Prosiding Pertemuan dalam rangka. Awareness Raising. Penanganan Perubahan Iklim. Penanganan. Bidang Kehutanan di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Prosiding Pertemuan dalam rangka. Awareness Raising. Penanganan Perubahan Iklim. Penanganan. Bidang Kehutanan di Indonesia"

Transkripsi

1 Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Penanganan Bidang Kehutanan di Indonesia Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan Jakarta, Juni 2012

2

3 Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Penanganan Review Status PerubahanIklim Bidang Kehutanan di Indonesia Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan Jakarta, Juni 2012

4 PROSIDING PERTEMUAN DALAM RANGKA AWARENESS RAISING PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia Penyusun: Tim Bidang Perubahan Iklim Pusat Standardisasi dan Lingkungan 1. Novia Widyaningtyas, S.Hut, M.Sc 2. Ir. Andi Andriadi, MM 3. Radian Bagiyono, S.Hut., M.For 4. Haryo Pambudi, S.Hut, M.Sc 5. Dinik Indrihastuti, S.Hut 6. Windyo Laksono, S.Hut 7. Erna Rosita, S.Hut Editor: Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak Prosiding ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut: Pusat Standardisasi dan Lingkungan (2012). Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim. Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia. Design Sampul dan Lay-out: Bintoro, S.Kom ISBN: Diterbitkan oleh: Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan Jl. Gatot Subroto, Gd. Manggala Wanabakti Blok VII Lt. 8 Jakarta, 10270, Indonesia. Telp/Fax: pustanling@yahoo.com pustanling@dephut.go.id ii

5 Kata Pengantar Tahun 2012 merupakan tahun yang krusial terhadap proses negosiasi penanganan perubahan iklim, bukan hanya karena pada tahun 2012 akan berakhirnya kesepakatan Kyoto Protocol akan tetapi juga pada tahun tersebut akan berakhir masa tugas beberapa perangkat UNFCCC seperti AWG-LCA maupun AWG-KP, dimana isu-isu kehutanan biasanya dinegosiasikan di dalam kedua perangkat tersebut. Pada sidang UNFCCC di Bonn bulan Mei 2012 juga mulai dibahas program kerja Ad-hoc Working Group on Durban Platform (ADP) yang nantinya akan mewadahi proses negosiasi isu-isu kehutanan dan REDD+. Hal tersebut tentu saja harus diantisipasi dan dipersiapkan oleh Indonesia terkait dengan subtansi dan strategi negosiasi serta melihat keterkaitan dengan agenda Rio+20 maupun proses-proses lainnya, yang akan dibawa dalam pertemuan COP 18 di Doha pada akhir tahun Dalam rangka mempersiapkan substansi dan merumuskan strategi negosiasi tersebut, tahun 2012 juga merupakan momentum yang baik bagi Indonesia untuk mereview progres yang telah dicapai Indonesia dalam mempersiapkan implementasi REDD+. Beberapa aspek yang perlu direview adalah terkait dengan kesiapan perangkat untuk implementasi REDD+, terutama : (1) penyusunan Strategi Nasional (Stranas), (2) penentuan REL/RL, (3) pembangunan National Forest Monitoring System (NFMS) sebagai perangkat monitoring REDD+, dan (4) penyusunan Sistem Informasi Implementasi Safeguards (SIS) REDD+. Pertemuan multi pihak (stakeholder) ini merupakan salah satu sarana untuk meng-update status dari proses negosiasi di tingkat internasional serta kesiapan Indonesia terkait dengan implementasi REDD+. Dari hasil pertemuan ini diharapkan para pihak meningkat pemahamannya sehingga dapat merumuskan dengan tepat substansi apa yang akan diperjuangkan melalui proses negosiasi internasional dan strategi apa yang perlu dipersiapkan Indonesia dalam negosiasi tersebut. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia iii

6 Atas terselenggaranya pertemuan serta tersusunnya prosiding ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan kontribusinya. Semoga prosiding ini bermanfaat. Jakarta, Juni 2012 Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Dr.Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. NIP iv Kata Pengantar

7 Daftar Isi Kata Pengantar... iii Daftar Isi... v Daftar Singkatan... vii 1. Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Hasil yang Diharapkan Peserta Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Format/Pengorganisasian Pertemuan Penyelenggaraan Pertemuan Agenda Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Catatan Penyelenggaraan Sesi I Sesi II Penutupan Kesimpulan...43 Lampiran Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia v

8

9 Daftar Singkatan A/R-CDM : Afforestation/Reforestation Clean Development Mechanism ADP : Ad-hoc Working Group on the Durban Platform AGB : Above Ground Biomass AOSIS : Alliance of Small Island States APHI : Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia AWG DPEA : Ad-hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions AWG-KP : Ad-hoc Working Group on the Kyoto Protocol AWG-LCA : Ad-hoc Working Group on the Long Term Cooperative Actions BACI : Before After Control Intervention Bakosurtanal : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BAU : Business as Usual BUR : Biennial Update Report CGE : Consultative Group of Experts CIFOR : Center for International Forestry Research CMP : Conference of the Parties Serving as the Meeting of the Parties COP : Conference of the Parties DA : Demonstration Activities DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim FAO : Food and Agricultural Organization FCPF : Forest Carbon Partnership Facility FE : Faktor Emisi Forclime : Forest and Climate Change FPIC : Free, Prior, and Informed Consent GRK : Gas Rumah Kaca HOB : Heart of Borneo HPH : Hak Pengusahaan Hutan IAFCP : Indonesia Australia Forest Carbon Partnership ICA : International Consultation and Analysis INCAS : Indonesia National Carbon Accounting System Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia vii

10 IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change JTT : Jatah Tebang Tahunan K/L : Kementerian/Lembaga KLH : Kementerian Lingkungan Hidup KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat LULUCF : Land Use, Land Use Change, and Forestry MRV : Monitoring, Reporting, and Verification NAMAs : Nationally Appropriate Mitigation Actions NC : National Communication NFI : National Forest Inventory NFMS : National Forest Monitoring System NGO : Non Governmental Organization NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria PRISAI : Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguards Indonesia PSP : Permanent Sample Plot QELROs : Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives RAD-GRK : Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca RAN-GRK : Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca REDD+ : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation REL/RL : Reference Emission Level/ Reference Level SBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice SIGN : Sistem Informasi GRK Nasional SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah SNI : Standar Nasional Indonesia STRADA : Strategi Daerah TSP : Temporary Sample Plot UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change UN-REDD+ : United Nations Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation UPT : Unit Pelaksana Teknis viii Daftar Singkatan

11 Pendahuluan Latar Belakang Isu perubahan iklim merupakan masalah global, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim. UNFCCC merupakan forum internasional untuk membahas berbagai permasalahan di seputar isu tersebut. Dalam pertemuan internasional selama dekade terakhir, kehutanan menjadi sektor yang termasuk agenda penting. Hal ini karena dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sumber emisi GRK yang dapat meningkatkan pemanasan global maupun sebagai penyerap GRK di atmosfer sehingga berkontribusi dalam upaya menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dimaksud. Dengan peran tersebut, hutan dapat berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satu aktivitas mitigasi di sektor kehutanan yang saat ini merupakan agenda utama baik pada proses negosiasi UNFCCC maupun di dalam negeri yaitu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks) atau dikenal dengan REDD+. Karena nilai penting hutan ini pula, REDD+ masuk dalam Bali Action Plan pada COP-13 tahun Lebih lanjut, pada tahun 2009 pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan % emisi GRK dari tingkat BAU pada tahun 2020, yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK, yang mempertegas peran yang diharapkan dari sektor kehutanan yang besar dalam upaya penanganan perubahan iklim di Indonesia, khususnya dalam penurunan emisi GRK (di mana sektor kehutanan memperoleh alokasi target penurunan emisi sebesar 0,672 Gton CO 2 e (26%) sampai Gton CO 2 e (41%) dari BAU tahun Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 1

12 Pada bulan Mei 2012 telah diselenggarakan sidang UNFCCC di Bonn, dimana isu kehutanan masuk dalam agenda SBSTA dan AWG-LCA, dimana REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Pasca perundingan di Bonn ini menjadi momentum yang tepat untuk mereview status penanganan perubahan iklim di bidang kehutanan di Indonesia. Di satu sisi, perlu diikuti perkembangan negosiasi di tingkat internasional, untuk mengetahui implikasinya serta memperoleh arah penanganan perubahan iklim khususnya yang terkait dengan REDD+ dan peran sektor kehutanan. Di sisi lain, perlu ditinjau bagaimana perkembangan penyiapan aspek teknis REDD+ di Indonesia hingga saat ini, bagaimana status perkembangan kegiatan REDD+ di tingkat sub nasional serta pembelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ di lapangan selama ini. Sehubungan dengan itu, Kementerian kehutanan cq. Pusat Standardisasi dan Lingkungan menyelenggarakan pertemuan dalam rangka awareness raising Penanganan Perubahan Iklim dengan tema Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia. Pertemuan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kepada para stakeholder terkait penanganan perubahan iklim di Indonesia, mengenai perkembangan negosiasi internasional yang terjadi saat ini, sekaligus me-review dan mendiskusikan status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan, guna memperoleh masukan untuk perbaikan/ pemyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia. 1.2 Tujuan 1. Menginformasikan dan mengkomunikasikan kepada stakeholders perkembangan negosiasi UNFCCC, dan implikasinya terhadap penanganan perubahan iklim sektor kehutanan termasuk REDD+ di Indonesia; 2. Me-review dan mendiskusikan status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan di Indonesia; 3. Memperoleh masukan untuk perbaikan/penyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia 2 Pendahuluan

13 1.3 Hasil yang Diharapkan 1. Terkomunikasikannya perkembangan negosiasi UNFCCC, dan implikasinya terhadap penanganan perubahan iklim sektor kehutanan termasuk REDD+ di Indonesia; 2. Ter-update-nya status penanganan perubahan iklim bidang kehutanan di Indonesia; 3. Diperolehnya masukan untuk perbaikan/penyempurnaan penanganan perubahan iklim sektor kehutanan di Indonesia. 1.4 Peserta Pertemuan diikuti 102 orang yang merupakan perwakilan dari Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, NGOs dan organisasi terkait, akademisi, lembaga penelitian, swasta, dan mitra internasional serta pelaku REDD+ di lapangan. 1.5 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Workshop diselenggarakan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, selama 1 (satu) hari, pada hari Kamis tanggal 14 Juni Format/Pengorganisasian Pertemuan Pertemuan diselenggarakan dengan format acara sebagai berikut : 1. Pertemuan dibuka dengan sambutan dan arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Tenaga Ahli Menteri Bidang Strategi dan Politik Kehutanan), 2. Sesi ke-1 (pagi) merupakan sesi presentasi dan diskusi (panel) yang menampilkan 3 (tiga) paparan dengan topik terkait perkembangan negosiasi internasional dan aspek teknis nasional, yaitu : a. REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn (Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc - Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kemenhut) Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 3

14 b. Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR /Biennial Update Report (Ir. Dida Migfar Ridha, MS - Kepala Bidang Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup) c. Progress Pengembangan National Forestry Monitoring System (NFMS) untuk Monitoring dan Reporting REDD+ Indonesia (Ir. Iman Santosa, M.Sc - Kepala Sub Direktorat PSDH Ditjen Planologi, Kemenhut) Selanjutnya sesi ini dilanjutkan presentasi dan diskusi dengan paparan Lessons learned from the first Generation of REDD+ Activities oleh Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso (CIFOR) 3. Sesi ke-2 (siang) menampilkan 3 (tiga) paparan dengan topik terkait status perkembangan kegiatan REDD+ di tingkat sub nasional serta pembelajaran apa yang bisa kita tarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ (pilot / DA) di lapangan, yaitu : a. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan (Bp. Solichin Manuri - Forest Carbon Senior Advisor GIZ-Forclime) b. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan (Ir. Nahardi, M.M - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah), c. Road to Doha and Beyond : apa yang harus disiapkan Indonesia? oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, selaku Focal Point UNFCCC). 4. Pertemuan ditutup oleh Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan. 4 Pendahuluan

15 Penyelenggaraan Pertemuan Agenda Waktu Kegiatan Registrasi dan morning coffee Panitia PEMBUKAAN Pembukaan MC Penanggung Jawab/Pembicara/ Moderator Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan SESI I Moderator : Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc (Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kemenhut) REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR / Biennial Update Report Progress Pengembangan National Forestry Monitoring System (NFMS) untuk Monitoring dan Reporting REDD+ Indonesia Diskusi Overview Kegiatan Lapangan REDD+ Indonesia Diskusi Ishoma Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kemenhut) Ir. Dida Migfar Ridha, MS (Kepala Bidang Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup) Ir. Iman Santosa, M.Sc (Kepala Sub Direktorat PSDH Ditjen Planologi, Kemenhut) Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso CIFOR SESI II Moderator : Dr. Ir. Tonny R. Suhartono, M.Sc (Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional Wil. II, Kemenhut) Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 5

16 Waktu Kegiatan Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - GIZ Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - UNREDD Sulawesi Tengah Diskusi Presentasi kunci : Road to Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia? Diskusi Coffee Break Penanggung Jawab/Pembicara/ Moderator Bp. Solichin Manuri (Forest Carbon Senior Advisor GIZ- Forclime) Ir. Nahardi, M.M (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah) Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim) Penutupan Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan 2.2 Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Sambutan dan Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, yang disampaikan oleh Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Tenaga Ahli Menteri Bidang Strategi dan Politik Kehutanan) Assalamu alaikum warrahmatullahiwabarakatuh, Yang saya hormati : Bapak Prof. Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim dan selaku utusan khusus Presiden RI bidang Perubahan Iklim. Saudara-Saudara Perwakilan Kementerian Koordinator, serta Kementerian dan Lembaga terkait dalam penanganan perubahan iklim, Saudara-Saudara pejabat dan staf Kementerian Kehutanan, Para mitra dan peserta pertemuan yang berbahagia, Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya sehingga pada hari ini kita dapat 6 Penyelenggaraan Pertemuan

17 berkumpul disini dalam rangka mengikuti Pertemuan dakam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim dengan tema Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia Hadirin yang saya hormati, Isu perubahan iklim merupakan masalah global yang dihadapi semua negara, termasuk Indonesia. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diakibatkan oleh kegiatan manusia merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim. Pada dekade terakhir ini, isu kehutanan menjadi agenda penting dalam forum UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Hal ini sangat beralasan mengingat hutan dalam konteks perubahan iklim berperan sebagai sumber emisi sekaligus penyerap dan penyimpan GRK. Dengan demikian hutan dapat berkontribusi sebagai sumber daya alam yang mampu penjadi penyeimbang konsentrasi GRK di atmosfer bumi. Hadirin yang saya hormati, Indonesia memiliki komitmen yang serius untuk menurunkan emisi GRK di tingkat nasional, dengan sendirinya isu kehutanan, secara langsung maupun tidak langsung, menjadi isu penting dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, terlebih karena ± 70 % dari luas negara adalah kawasan hutan yang tentunya akan sangat mempengaruhi kebijakan sektor lain terutama sektor berbasis lahan. Sejak COP-13 UNFCCC di Bali, tahun 2007, isu tentang kehutanan dalam perubahan iklim secara tegas dimasukan dalam format kerangka REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, role of conservation, sustainable management of forest and enhancing forest carbon stocks). Sejalan dengan amanah Bali Action Plan, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi GRK sebesar % dari tingkat Business as Usual (BAU) pada tahun Komitmen ini telah ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dalam Peraturan Presiden ini, target yang diberikan kepada sektor kehutanan dalam penurunan emisi GRK adalah mencapai + 87 % dari kontribusi nasional. Untuk mencapai sasaran tersebut, tentunya sangat penting bagi sektor kehutanan untuk Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 7

18 menentukan strategi perencanaan dan pelaksanaan penurunan emisi GRK, termasuk penentuan posisi antara REDD+ dengan RAN GRK - NAMAs. Hadirin yang saya hormati, Pada tanggal 14 s/d 25 Mei 2012 yang lalu, di Bonn, Jerman telah dilaksanakan perundingan beberapa Badan Bawahan UNFCCC dan isu kehutanan termasuk REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Hasil perundingan di Bonn ini sangatlah penting bagi Indonesia dalam rangka menentukan sikap dan langkah tindak lanjut Indonesia dibawah Durban Platform for Enhance Action (DPEA) yang akan dibahas pada perundingan UNFCCC berikutnya di Doha, Qatar pada akhir November Hadirin yang terhormat, Perkembangan negosiasi di tingkat internasional dalam perubahan iklim dan khususnya REDD+ bagi sektor kehutanan sangat penting untuk terus diikuti. Tujuannya antara lain agar arah dan implikasi penerapan REDD+ di tingkat nasional dapat terus menerus disesuaikan dengan perubahan kondisi internasional dengan tetap memperhatikan kepentingan dan kedaulatan negara dan sebaliknya agar pengalaman di tingkat lokal/nasional dapat dieksternalisasikan ke dalam negoisasi global. Lebih lanjut, REDD+ juga merupakan komitmen strategi mitigasi perubahan iklim yang sarat dengan aspek-aspek teknis perencanaan dan implementasi pencapaian penyerapan emisi CO 2 dan peningkatan stok karbon di berbagai level implementasi, mulai dari tingkat tapak/ unit manajemen, kabupaten, provinsi dan tingkat nasional. Oleh karena itu, sangatkah perlu bagi Indonesa, khususnya Kementerian Kehutanan untuk terus menerus memonitor dan me-review bagaimana perkembangan penyiapan aspek teknis REDD+ Indonesia untuk sektor kehutanaan hingga saat ini, dan bagaimana status perkembangan kegiatan inisiatif REDD+ tahap readiness dan transition, serta pembelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman pelaksanaan REDD+ yang selama ini sudah dilaksanakan di lapangan. 8 Penyelenggaraan Pertemuan

19 Hadirin yang terhormat, Berdasarkan hal-hal yang saya uraikan dimuka, maka dalam pelaksanaan pertemuan ini saya ingin menyampaikan hal-hal penting sebagai berikut: 1. Marilah kita bersama-sama menyimak apa yang akan disampaikan oleh Bapak Profesor Rachmat Witoelar mengenai apa yang akan kita hadapi pada perundingan UNFCCC di Doha pada akhir November 2012 dan strategi apa yang harus kita siapkan pada perundingan tersebut. 2. Pada pertemuan ini kita harus mampu mengumpulkan dan menggali lebih dalam masukan dan saran para stakeholder dalam rangka mengevaluasi penanganan isu perubahan iklim di bidang kehutanan khususnya dalam menindaklanjuti persiapan pembangunan perangkat implementasi REDD+ yang terdiri dari : a. Penyusunan Strategi Nasional (Stranas) atau Rencana Aksi REDD+ b. Penetapan dan penghitungan Reference Emission Level (REL) dan atau Reference Level di tingkat nasional dan sub nasional. c. Implementasi mandat REDD+ dalam menyusun National Forest Monitoring System (NFMS). Berdasarkan nomenklatur dan aspek teknisnya, tentunya penyusunan dan implementasi NFMS ini seharusnya berada dibawah koordinasi Kementerian Kehutanan. d. Perkembangan penyusunan dan penetapan Sistem Informasi tentang pelaksanaan Safeguard (SIS REDD+) sebagaimana yang diamanatkan pada COP-16 di Cancun, Mexico. 3. Kita juga harus mampu menarik pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan (atau proyek) REDD+ di tingkat lapangan ataupun ditingkat sub nasional dan nasional untuk kepentingan penyusunan dan penetapan pedoman Monitoring, Reporting, and Verifying (MRV) dalam menghitung serapan, emisi karbon dan penambahan stok karbon dari pelaksanaan kegiatan REDD+ di tingkat tapak dan sub nasional yang harus konsisten dengan pendekatan yang dipakai di tingkat nasional. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 9

20 Hadirin yang saya hormati, Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan dan pesankan pada pembukaan Pertemuan Komunikasi Stakeholder tentang Penanganan Perubahan Iklim dengan tema Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia ini. Apa yang nanti dirumuskan dalam pertemuan ini harus betul-betul dapat menjadi masukan yang berharga dalam menentukan langkah dan strategi tindak lanjut bagi Kementerian Kehutanan dalam memenuhi target sektor kehutanan dalam penurunan emisi GRK baik melalui mekanisme RAN-GRK, NAMAs maupun mekanisme REDD+, dengan tetap mendasarkan pada kebijakan pembangunan nasional pro growth (pertumbuhan ekonomi), pro poor/pro job (peningkatan aspek kesejahteraan sosial) dan pro green (kelestarian lingkungan). Saya, atas nama Kementerian Kehutanan, menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Rachmat Witoelar atas kesediaan beliau untuk menjadi narasumber utama pada pertemuan ini. Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrohmannirrohim, pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim dengan topik Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia dengan ini saya nyatakan resmi dibuka. Wabillahitaufiqwalhidayah Wassalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh. Jakarta, 14 Juni 2012 Sekretaris Jenderal, Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA. 10 Penyelenggaraan Pertemuan

21 2.3 Catatan Penyelenggaraan Pengantar dari Moderator (Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan) Fenomena perubahan iklim telah menimbulkan dampak yang membahayakan bagi kehidupan di bumi. Perubahan iklim terjadi karena kegiatan manusia di masa lalu, namun hal itu dapat diatasi melalui respon kebijakan yang dilakukan secara segera. Namun demikian, dalam prakteknya di lapangan pemerintah sering menempatkan kebijakan perubahan iklim dan pembangunan secara terpisah. Oleh karena itu sering terjadi masalah bahwa kegiatan penanganan perubahan iklim tidak sejalan dengan pembangunan sehingga terkadang menimbulkan sebuah paradoks. Maka sebaiknya agenda pembangunan yang ada dapat diintegrasikan ke dalam aksi-aksi penanganan perubahan iklim. Hari ini akan dibahas update dari Sidang UNFCCC di Bonn tahun Pasca sidang Bonn ini merupakan momentum tepat bagi kita untuk me-review status penanganan perubahan iklim di Indonesia. Ibu Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For,Sc. yang selalu mengikuti negosiasi perubahan iklim, akan memberikan paparan tentang perkembangan negosiasi perubahan iklim di tingkat internasional. Hal ini penting karena bermanfaat untuk mengetahui implikasinya serta arah penanganan perubahan iklim khususnya yang terkait dengan REDD+ dan peran sektor kehutanan. Selain itu diperlukan sebuah paparan tentang aspek teknis REDD+, maka Bapak Ir. Dida Migfar Ridha, M.S. dari Kementerian Lingkungan Hidup akan memberikan penjelasan mengenai progress penyiapan MRV NAMAs dan BUR. Kemudian akan disampaikan progress pengembangan National Forest Monitoring System (NFMS) untuk monitoring dan reporting REDD+ Indonesia oleh Bapak Ir. Iman Santosa, M.Sc dari Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 11

22 2.3.1 Sesi I Presentasi I 1. REDD+ dan LULUCF : Update dari Sidang di Bonn Oleh : Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kemenhut). Presentasi dimulai dengan bagaimana arrangement sidang pasca Durban, posisi kehutanan dalam agenda sidang di Bonn, seberapa jauh Indonesia mencapai progress di Bonn untuk REDD+ dan perubahan yang terjadi di LULUCF, setting serta fokus negosiasi, link ke Rio+20. Pada dokumen draft the Future We Want untuk Rio+20 tercantum bahwa akan terdapat beberapa isu yang memiliki interkoneksi antara yang diperjuangkan di Rio+20 dan proses-proses lainnya. Persidangan ADP dimulai sejak sidang di Bonn 14 Mei Target ADP adalah menghasilkan protokol atau dokumen legally binding lainnya di tahun Isu-isu yang sebelumnya biasa dinegosiasikan di bawah AWG-LCA banyak yang sudah dialihkan ke SBI lalu yang biasa berada di bawah AWG-KP banyak dialihkan ke SBSTA termasuk isu LULUCF. Isu kehutanan dalam hal ini REDD+ dan LULUCF dinegosiasikan di bawah SBSTA, sedangkan negosiasi REDD+ masih berada di bawah AWG-LCA sampai dengan COP di Doha. Dari sisi pelaksanaan mandat COP Durban dan Cancun, progress untuk aspek teknis cukup signifikan. SBSTA-36 di Bonn sudah menyelesaikan beberapa isu kritikal menyangkut NFMS dan MRV, dan mencapai kesepakatan terkait elemen-elemen apa yang akan dibawa ke negosiasi di Doha untuk diadopsi sebagai keputusan COP-18. Selain itu SBSTA juga mendiskusikan tentang bagaimana menangani drivers of deforestation and forest degradation di nasional dan internasional serta guidance lebih lanjut mengenai forest REL. Dengan kondisi demikian, kemungkinan isu-isu tersebut akan dapat terselesaikan pada negosiasi di Doha. 12 Penyelenggaraan Pertemuan

23 Aspek teknis yang akan diselesaikan di Doha tersebut dalam hal implementasinya tidak terlepas dari dukungan finansial, alih teknologi, serta capacity building yang perlu diberikan oleh negara maju. Persoalannya sekarang adalah negosiasi finansial dilakukan di bawah AWG-LCA yang akan selesai di Doha. Sementara itu selama proses negosiasi di Bonn tahun 2012 masih belum jelas apakah akan langsung di bawah SBI agar aspek finansial dapat langsung dinegosiasikan secara detail. Fast Start Finance, di mana REDD+ juga berada di dalamnya, akan selesai pada tahun Kemungkinan besar hal itu akan menjadi bagian dari negosiasi di bawah ADP. Jika hal tersebut terjadi dan penetapan secara hukum akan dilakukan pada tahun 2020 maka kemungkinan besar akan terjadi gaps of financing. Oleh karena itu negosiasi di Doha akan sangat krusial. Untuk isu REDD+ terdapat beberapa koordinasi intensif yang perlu dilakukan di tingkat nasional, dalam hal ini para negosiator Indonesia terkait NAMAs, BUR, dan CGE (Consultative Group of Experts) untuk National Communication. Kemudian semua agenda yang menyangkut pendanaan akan dikoordinasikan lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman di Durban komunikasi intensif dengan Co-Chairs REDD+ di SBSTA dan para fasilitator terbukti efektif untuk mempersempit perbedaan dalam negosiasi. Untuk implementasi di tingkat nasional, meskipun proses negosiasi berjalan lamban, terutama dalam kondisi perekonomian negara maju yang saat ini sedang mengalami krisis, namun komitmen kerjasama bilateral dan multilateral tetap berjalan dan bertambah dari waktu ke waktu. Di samping itu perlu adanya konsistensi antara REDD+ dan RAN/RAD-GRK, NAMAs terkait dengan MRV, serta berbagai kebijakan berbasis lahan lainnya. Adapun perangkat yang harus disiapkan untuk implementasi REDD+ antara lain: Stranas atau RAN REDD+ yang disiapkan oleh Satgas REDD+, National Forest REL dan NFMS, yang merupakan tanggung jawab Kementerian Kehutanan Sistem Informasi Safeguards REDD+, yang pembangunannya dikoordinasi oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 13

24 Pasca tahun 2012 isu LULUCF yang pada mulanya berada di bawah AWG-KP sudah dialihkan ke SBSTA. Isu ini banyak dinegosiasikan atas kepentingan negara maju dan sekarang tujuan Indonesia dan negara berkembang lainnya adalah menjaga agar tidak ada indikasi negatif ke negara berkembang dan agar negara maju comply dengan komitmennya. Pasca COP di Durban, terdapat ruang-ruang untuk menambahkan aktivitas dari LULUCF ke dalam mekanisme CDM. Hal ini menimbulkan pertanyaan karena akan menimbulkan peluang kegiatan lain, yaitu CDM untuk kehutanan di luar A/R- CDM, sedangkan di lain pihak sudah terdapat REDD+. Dalam konteks Indonesia, komitmen 26-41% yang terumuskan dalam dokumen RAN-GRK saat ini tidak sama dengan NAMAs. Oleh karena itu Indonesia perlu mendefinisikan REDD+, NAMAs, dan RAN-GRK agar jelas saat dilakukan kegiatan nyata di lapangan sehingga akan memudahkan proses reporting dan BUR. Adapun agenda dari DPEA adalah sebagai berikut: Tahun 2012 : AWG-DPEA mulai bekerja Tahun 2015 : pada COP 21 Protocol atau instrumen lain yang legally binding diadopsi oleh COP Tahun : antara COP proses ratifikasi oleh parties Tahun 2020 : pada COP 26 Protokol mulai berlaku (enter into force) Catatan penutup: DPEA membawa konsekuensi terhadap percaturan negosiasi UNFCCC termasuk isu kehutanan (REDD+ di dalamnya), Hampir semua negara melihat pentingnya pelibatan sektor swasta, namun negosiasi belum menunjukkan kemajuan signifikan menuju ke arah itu, Penentuan posisi Indonesia dalam berbagai forum internasional yang membahas isu yang sama/serupa menjadi tantangan tersendiri, termasuk penanganan cross-cutting issues dalam forum yang sama (dalam hal ini UNFCCC). 14 Penyelenggaraan Pertemuan

25 Tantangan di tingkat nasional yang akan sangat signifikan adalah dalam mendefinisikan green economy ke dalam mainstream perencanaan pembangunan nasional dan elaborasi ke dalam aksi konkret yang dapat diukur kinerjanya, baik ke dalam sektor maupun berdasar kewilayahan (misalnya kabupaten-provinsinasional), Dengan berakhirnya AWG-LCA tahun 2012 dan mulai beroperasinya ADP, diperlukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan perubahan setting negosiasi isu kehutanan dalam UNFCCC (dalam hal ini REDD+ dan LULUCF). 2. Progress Penyiapan Perangkat MRV NAMAs dan BUR/ Biennial Update Report Oleh : Ir. Dida Migfar Ridha, MS - Kepala Bidang Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup Definisi MRV sebagai suatu sistem adalah sistem untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi pencapaian penurunan emisi GRK secara berkala, sahih, akurat, menyeluruh, konsisten, dan transparan. Tujuan MRV sendiri adalah untuk mendukung pelaksanaan kebijakan nasional penurunan emisi GRK. Adapun prinsip dasar dari MRV adalah: Transparency, Accuracy, Consistency, Comparability, dan Completeness. Bali Action Plan menggarisbawahi kebutuhan NAMAs oleh negara berkembang yang didukung dengan pendanaan, teknologi, dan capacity building dalam tatanan yang dapat dimonitor, diverifikasi, dan dilaporkan (MRV-able). Adapun elemen dari MRV adalah: Aksi Mitigasi/NAMAs Dukungan (teknologi, pendanaan, capacity building) Inventarisasi GRK (tidak disebutkan secara eksplisit pada Bali Action Plan, namun secara umum dianggap sebagai komponen yang diperlukan bagi MRV) Terkait dengan international submission, negara berkembang harus menyerahkan BUR (Biennial Update Report) setiap dua tahun sekali terhitung dari konferensi UNFCCC berikutnya. Adapun elemenelemen yang harus dimasukkan dalam BUR adalah: Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 15

26 a. update mengenai inventarisasi GRK nasional termasuk laporan inventarisasi nasional, b. informasi mengenai aksi mitigasi termasuk informasi tentang MRV domestik c. kebutuhan dan dukungan yang telah diterima Jika BUR sudah diserahkan oleh negara berkembang maka negara berkembang yang bersangkutan akan diberikan fasilitas ICA (International Consultation and Analysis). Data BUR harus disampaikan pada tahun 2014, (data paling aktual yang tersedia adalah data tahun 2010, namun diharapkan dapat diperoleh data tahun 2012) kemudian tahun 2016 akan diserahkan BUR kedua berdasarkan 3 rd National Communication. Dalam melakukan MRV terdapat beberapa isu terkait pelaksanaan kesiapan MRV, yaitu: d. Pemahaman mengenai MRV, BUR, dan NC. Pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut masih berbeda-beda. e. Sumber daya manusia. f. Institutional arrangement di masing-masing sektor. g. Aktivitas dan dokumentasi inventarisasi, aksi/rencana mitigasi, dan pendanaan terkait emisi GRK. Hal ini dikarenakan setelah dilakukan aksi mitigasi, pendanaan tidak terjadi on top, namun tetap instrumental seperti yang sudah dilakukan. h. Timeline dan perencanaan. Hal ini dikarenakan dinamika negosiasi yang tinggi serta waktu yang berjalan cepat seiring dengan banyaknya agenda kegiatan negara, seperti Pemilihan Umum di tahun Oleh karena itu lembaga terkait perlu fokus dalam menyiapkan BUR dan lain-lain. i. Kesiapan dalam mengukur dan melaporkan emisi GRK kegiatan/sektor (Inventarisasi) dan monitoring aksi mitigasi (RAN dan keterkaitan RAN dengan RAD). Diperlukan sebuah kepastian bahwa aksi-aski yang dilakukan dalam RAN-GRK dapat diukur. Aksi yang tidak terukur tidak dapat dimasukkan ke dalam aksi mitigasi. Oleh karena itu tiap K/L telah memiliki tugas/kewenangan dalam melaksanakan berbagai komponen kegiatan MRV RAN/RAD- GRK, yaitu monitoring, pelaporan, dan verifikasi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumak Kaca dan Peraturan Presiden 16 Penyelenggaraan Pertemuan

27 Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Mengingat prioritas kegiatan saat ini adalah penyampaian BUR pertama pada tahun 2014, maka tantangan dan rencana tindaklanjutnya adalah tercapainya kesepakatan dan/atau pemahaman bersama mengenai: Sistem MRV dan rencana kerja penyusunan pedoman MRV Kaitan antara sistem MRV, kerangka kerja NAMAs, dan inventori GRK nasional; dan dalam hal ini koordinasi harus berjalan secara intensif antara SIGN Centre dengan Sekretariat RAN-GRK Peran dan strategi operasional BAPPENAS, KLH, K/L terkait, provinsi/kabupaten/kota untuk membuat sistem berjalan dengan baik Selain itu diperlukan sosialisasi dan rencana kerja untuk pengembangan dan pelaksanaan MRV NAMAs terkait regulasi baru, peningkatan kapasitas personalia, instrumen dan metodologi, pelatihan, proyek percontohan MRV, sosialisasi nasional MRV, pelaksanaan MRV, dan lain-lain. Adapun rencana pengembangan Perangkat BUR terkait inventarisasi GRK adalah penyusunan dokumen dan database komprehensif faktor emisi (FE) untuk sawah pada berbagai jenis tanah, iklim, dan teknik budidaya; landfill pada berbagai daerah; serta limbah cair produksi dan jenis industri pertanian. Hal tersebut menjadi perhatian karena pada penyusunan 2 nd National Communication faktor emisi tersebut masih belum tersedia, namun sekarang sedang dikembangkan oleh beberapa kementerian terutama Kementerian Pertanian. Dengan tersedianya data faktor emisi tersebut maka dapat dilakukan pengukuran secara locally specific tanpa harus menggunakan default dari IPCC. Dalam hal ini diperlukan juga sebuah acuan untuk mengorganisasi proses validasi data aktivitas dan aspek uncertainty. Selain itu juga perlu dilakukan pengembangan mekanisme kelembagaan penyusunan inventarisasi GRK di daerah percontohan Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 17

28 (mulai dari proses pengumpulan data yang terintegrasi dengan Sistem Informasi GRK Nasional (SIGN), termasuk kegiatan pelatihan bagi personil daerah) dan di tingkat sektor (mulai dari proses pengumpulan data, Quality Assurance/Quality Control, sampai integrasinya dengan SIGN dan hubungannya dengan RAN- GRK, termasuk kegiatan peningkatan kapasitas di setiap sektor). Kementerian Lingkungan Hidup akan berkoordinasi terus dengan berbagai lembaga sehingga setidaknya pada tahun 2014 Indonesia sudah memiliki data inventarisasi GRK kurun waktu tahun (sampai saat ini data yang tersedia hanya kurun waktu ) untuk bahan BUR yang taraf konsistensinya dapat digunakan sebagai bahan modelling atau pengambilan kebijakan lainnya. 3. Pengembangan National Forest Monitoring and Reporting System (NFMS) untuk Monitoring REDD+ Indonesia) Oleh : Ir. Iman Santosa, M.Sc Kepala Sub Direktorat PSDH, Direktorat Jenderal Planologi, Kemenhut) Sampai saat ini belum terbentuk kesepahaman yang utuh terkait NFMS, namun berdasarkan hasil monitoring Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan luas hutan di Indonesia sampai tahun 2009 adalah ± 99 juta ha. Angka tersebut diperoleh berdasarkan hasil pemantauan satelit melalui penafsiran citra Landsat dan hasil cross check di lapangan serta data dari citra satelit lain dengan resolusi yang lebih tinggi. Di lain pihak tingkat deforestasi Indonesia cukup tinggi terutama pada periode awal reformasi sekitar tahun 2000, namun dewasa ini sudah ada kecenderungan bahwa laju deforestasi tersebut mengalami penurunan. Di sisi lain telah diketahui bahwa hutan menjadi sangat penting dalam konteks pengurangan emisi karbon, oleh karena itu sistem monitoring hutan yang kuat saat ini sangat diperlukan. Berdasarkan pantauan terhadap luas lahan hutan di Indonesia tahun 2009, pulau Sumatera memiliki luas hutan yang sudah rendah namun tingkat deforestasinya cukup tinggi. Kemudian pada pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku meskipun luas hutannya masih tinggi namun tingkat deforestasinya juga cukup tinggi. Untuk pulau Jawa sendiri walaupun tutupan hutannya 18 Penyelenggaraan Pertemuan

29 rendah namun tingkat deforestasinya juga cukup rendah. Lain halnya dengan kondisi di pulau Papua di mana luas hutannya masih tinggi dan tingkat deforestasinya terbilang rendah. Kegiatan monitoring hutan untuk menduga emisi karbon yang terjadi dilakukan dengan mengalikan variabel Data Aktivitas dengan Faktor Emisi. Data aktivitas diperoleh dari perubahan penutupan lahan berdasarkan penafsiran citra satelit, sedangkan faktor emisi diperoleh dari data pada sample plots di tiap-tiap provinsi dalam kerangka Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory). Citra satelit yang digunakan dalam penentuan data aktivitas berasal dari penafsiran citra Landsat yang kemudian dilakukan pemetaan penutupan lahan secara periodik mulai tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, dan mulai tahun 2011 akan dilakukan setiap tahun agar mendapatkan data dengan periodisasi yang lebih rapat. Pada dasarnya proses tersebut dilakukan dengan melakukan penafsiran terhadap beberapa citra satelit, yaitu citra satelit Landsat 7 (Enhanced Thematic Method) ETM+, namun sejak tahun 2003 terdapat kerusakan pada citra sehingga pada hasil pencitraan terdapat stripping yang sangat mengganggu proses penafsiran. Meskipun penafsiran telah dikombinasikan dengan Citra Landsat 5 namun tetap tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, digunakan citra satelit pendukung yaitu MODIS, SPOT 4, SPOT 5, dan PALSAR. Untuk penutupan lahan, Kementerian Kehutanan sendiri telah memiliki 23 kelas penutupan lahan yang akan dapat di reklasifikasi dengan kelas penutupan lahan menurut IPCC. Terdapat 7 dari 23 klasifikasi milik Kementerian Kehutanan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kelas Forestland menurut klasifikasi IPCC, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan hutan tanaman. Selain itu terdapat pula klasifikasi lain yang disusun oleh Bakosurtanal, oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi antara Kementerian Kehutanan dengan Bakosurtanal terkait hal tersebut. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 19

30 Kegiatan monitoring hutan dilakukan untuk mengetahui laju deforestasi dan deradasi hutan. Deforestasi merupakan perubahan permanen areal berhutan menjadi tidak berhutan akibat kegiatan manusia, sedangkan degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu akibat kegiatan manusia. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa pada periode awal reformasi yaitu sekitar tahun 2000 laju deforestasi Indonesia berada pada level yang tinggi, namun kemudian terjadi penurunan drastis sampai tahun Untuk laju deforestasi sendiri juga terjadi penurunan dari periode hingga Penentuan faktor emisi sendiri seperti yang juga telah disinggung sebelumnya dilakukan dengan membuat Permanent Sample Plot (PSP) dan Temporary Sample Plot (TSP). Pembuatan TSP bertujuan untuk menduga potensi sumber daya hutan baik volume, kondisi tegakan, distribusi dan keanekaragaman jenis, sedangkan PSP bertujuan untuk memantau perubahan sumber daya hutan dan riap pertumbuhan. Plot-plot tersebut terletak di seluruh kawasan hutan baik berupa Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Hutan Lindung dengan prioritas pada ketinggian di bawah m dpl pada hutan lahan kering dataran rendah, rawa, dan mangrove. Penyebaran plot-plot tersebut dilakukan secara sistematik dalam kisi 20 x 20 km dan dapat dirapatkan menjadi 10 x 10 km atau 5 x 5 km. Pada tahun terdapat hampir 3000 plot klaster dan berdasarkan Renstra Kehutanan maka pada tahun akan dilakukan penambahan plot klaster sebanyak 599 plot klaster/tahun. Untuk mendukung kegiatan NFMS, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Australia dalam kerangka Indonesia- Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) guna mengembangkan Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS). Adapun tujuan dari kerjasama tersebut adalah untuk menyediakan data dan laporan sektor lahan pada sistem MRV Indonesia. INCAS sendiri terdiri dari 5 komponen pokok, yaitu: 1) land cover change, 2) landuse and management, 3) soil, including peat, 4) biomass and growth, dan 5) climate data. 20 Penyelenggaraan Pertemuan

31 Diskusi I 1. Bagaimana status kemajuan penanganan isu perubahan iklim, serta dampak dari segi politik terhadap perdagangan kayu dan konservasi keanekaragaman hayati? (Bp. Ombo Sastrapradja UNB) Jawaban : Sampai saat ini belum ada data mengenai seberapa jauh dampak penanganan perubahan iklim terhadap perdagangan kayu dan konservasi keanekaragaman hayati. Yang dilakukan sekarang adalah melihat movement baik nasional maupun internasional. Sebagai contoh adalah seperti pada sidang UNFCCC di Bonn tahun 2012, di mana delegasi Indonesia bersama REDD+ countries lain membahas penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan kaitannya dengan perdagangan internasional, tetapi dapat dicapai kesepakatan di UNFCCC. Akan tetapi berdasarkan movement yang terjadi, sudah terbangun beberapa standar internasional misal carbon footprint perusahaan, organisasi, dan individu. Untuk isu konservasi keanekaragaman hayati, dapat dilacak dampak dari komitmen penurunan emisi di level nasional melalui data Ditjen Planologi terkait penurunan laju deforestasi. Di lain pihak, aksi yang terkait dengan REDD+ belum banyak secara nyata di lapangan, namun yang ada secara nyata masih berfokus di level policy. 2. Berdasarkan negosiasi internasional private sector dianggap memiliki peran penting dalam penanganan perubahan iklim di sektor kehutanan karena peningkatan stok karbon menjadi prioritas pertama, namun belum terdapat kemajuan terkait perannya dalam negosiasi. Peran apa yang diminta dari swasta dalam proses negosiasi? Apakah swasta harus berperan sebagai observer atau stakeholder dalam pengambilan keputusan? (Bp. Purwadi Suprihanto APHI) Jawaban : Terkait swasta maka yang menarik adalah terkait perdagangan karbon. Beberapa negara yang tingkat ekonominya kurang kompetitif menentang hal ini, terutama dari Afrika dan beberapa negara Amerika Latin serta negara yang tidak mempunyai hutan namun dapat membawa isu kehutanan, misalnya Arab Saudi. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 21

32 Hal itu menunjukkan bahwa semuanya merupakan proses politis. Keterlibatan sektor swasta dapat secara langsung dan tidak langsung, yang langsung seperti menjadi anggota delegasi. Di forum negosiasi apapun, yang dinegosiasikan adalah sejarah dan masa depan, maka keterlibatan swasta secara tidak langsung misalnya ingin dikembangkan mekanisme market, maka swasta dapat menentukan apakah mau atau tidak, dan bagaimana mekanismenya. Banyak konsep yang dibangun oleh swasta, oleh karena itu sebaiknya swasta juga membantu karena di situlah peran swasta. Apa yang terjadi di negosiasi biasanya lebih diwarnai isu politis, namun swasta bisa mengembangkannya. 3. Terkait potensi hutan alam dengan diameter 50 cm up yang ± sekitar 48 m 3 /ha, jika dilihat sekarang kawasan hutan yang dikelola oleh HPH adalah seluas 22 juta ha, maka secara sederhana terdapat potensi 48 m 3 /ha x 22 juta ha. Di lain pihak jatah tebang tahun 2012 hanya sekitar 9 jt m 3. Terdapat potensi kayu yang luar biasa karena jatah tebang tersebut juga tidak terealisasi secara maksimum. Apakah penyebaran sample plots tersebut efektif? Hal ini sangat penting untuk menentukan JTT ke depan (Bp. Purwadi Suprihanto APHI) Jawaban : Data potensi yang diperoleh memang berasal dari sample plot, belum dicoba dengan area yang open access. Untuk itu akan coba ditingkatkan, terutama sample plot yang dekat dengan open access area. 4. Berdasarkan penjelasan mengenai MRV, perlu diperhatikan siapa yang bertugas untuk melaksanakan pengukuran. Berdasarkan informasi, belum ada indikator penurunan emisi GRK. Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% merupakan tanggung jawab moral. Kapan batas waktu untuk mencapai target tersebut? Kemudian pihak Planologi Kehutanan belum memiliki standar baku untuk mengukur penurunan emisi hutan. Apakah ada semacam metode untuk mengukur agar dapat diketahui oleh masyarakat luas sehingga kita juga dapat melakukan pengukuran? (Bp. Eka Saputra Direktorat Hutan Alam, BUK) 22 Penyelenggaraan Pertemuan

33 Jawaban : Ada 2 hal yang tadi disampaikan, pertama pengukuran sudah dilakukan oleh K/L terkait. Di daerah setiap dinas melakukan pengukuran baik dengan proses topdown maupun bottom up, dan akan dilakukan koordinasi lebih lanjut. Kemudian akan dilihat kelengkapan data di daerah terkait laporan kualitas pengukuran GRK di daerah. Unit Industri yang ingin mendapatkan sertifikat hijau harus memiliki pernyataan terkait pengukuran GRK-nya. Yang kedua terkait versi penutupan lahan, versi Kementerian Kehutanan dan IPCC sebenarnya sama karena sudah terdapat cluster. Kementerian LH menggunakan klasifikasi yang sama dengan Kementerian Kehutanan. 5. Sebagaimana telah disampaikan bahwa NAMAs tidak sama dengan RAN-GRK, padahal dari segi penamaan konteksnya hampir sama. Seolah-olah Indonesia dipermainkan pihak lain karena harus melaksanakan RAN GRK dan NAMAs, sebaiknya RAN GRK dijadikan NAMAs. Yang kedua dikuti kriteria dan indikator dari NAMAs untuk implementasi RAN GRK sehingga tidak merepotkan pihak-pihak di daerah (Bp. Udiansyah UNLAM) Jawaban : Negara lain tidak mempermainkan Indonesia. Dunia internasional hanya mengenal NAMAs dan DNPI telah mendaftarkan sektor dan kegiatan-kegiatan yang masuk dalam janji pengurangan emisi 26%. Sebenarnya 4 aktivitas itu sudah ada di RAN-GRK, namun kalau dilihat ternyata banyak aktivitas lain dan bebannya hanya di pemerintah. Padahal NAMAs sifatnya beban negara (pemerintah, swasta, civil societies), sedangkan RAN GRK baru mengatur beban/ komitmen pemerintah. NAMAs tidak sama dengan RAN-GRK terkait aktivitas yang dimasukkan. Penilaian itu di-acknowledged di Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa salah satu amanah Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2010 adalah menyusun NAMAs yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Jadi bukan dunia internasional yang meminta. Contoh lain adalah mengenai safeguards REDD+ di Satgas REDD+, di mana safeguards berdasarkan keputusan COP di Cancun ada 7, namun Satgas REDD+ menentukan 10 safeguards. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 23

34 6. Siapakah yang bertanggung jawab untuk memonitor hutan dan apa saja yang perlu dilakukan dalam monitoring hutan? (Bp. Udiansyah UNLAM) Jawaban : Semua harus bertanggung jawab dari pusat sampai kabupaten, Kemenhut melalui UPT di daerah melaksanakan training penafsiran citra satelit. Jika merujuk pada data Inventarisasi Hutan Nasional, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 jelas tercantum bahwa untuk inventarisasi hutan pemerintah pusat hanya wajib menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) serta melakukan inventarisasi pada hutan konservasi, sedangkan untuk hutan produksi dan lindung merupakan kewajiban pemerintah provinsi dan kabupaten. Jadi hal ini merupakan kewajiban pusat dan daerah. 7. Kalimantan Tengah telah ditunjuk sebagai provinsi percontohan REDD+ dan mempunyai Rencana Strategi Daerah serta disahkan melalui Peraturan Gubernur. Di tingkat pusat penanganan perubahan iklim ini memiliki perspektif yang berbeda-beda, sehingga di daerah menjadi sulit mengikuti. Seharusnya di tingkat pusat dilakukan sinkronisasi agar daerah juga bisa menindaklanjuti, mengingat bahwa hutan berada di daerah bukan Jakarta. (Bp. Alpius Patanan Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng) Jawaban : Dalam teori chaos disebutkan bahwa di dalam kesemrawutan terdapat keteraturan, oleh karena itu dihimbau untuk bergerak di ruang-ruang itu. Dalam membangun Sistem Informasi Safeguards REDD+, telah dilakukan komunikasi dengan Satgas REDD+ yang membangun PRISAI untuk mensinkronkan kinerja. Di dalam dinamika hiruk pikuk yang sangat tinggi, falsafah yang dipakai Pustanling adalah mengisi gaps dan berusaha agar lebih baik dari waktu ke waktu dan nanti tentunya bagaimana komunikasi dengan daerah dapat ditingkatkan. Itulah hal terbaik yang dapat dilakukan sejauh ini. 24 Penyelenggaraan Pertemuan

35 8. Pemahaman deforestasi dan degradasi di lapangan berbeda-beda. Teman-teman LSM menganggap perbedaan pengertian ini secara hukum atau teknis? Harus diperoleh kesepahaman dulu agar lebih clear. Terkait dengan peta yang digunakan sebagai acuan, antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian lain tidak sinkron. Perlu penataan agar terdapat perspektif yang sama sehingga implementasi di lapangan dapat berjalan dengan baik. (Bp. Alpius Patanan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah) Jawaban : Pengertian deforestasi lebih kepada aspek teknis, deforestasi berarti hutan sebagai suatu ekosistem mengalami perubahan, sedangkan degradasi hutan berarti hutan mengalami perubahan kualitas. Mungkin dari sisi hukum maksudnya hutan bisa terdapat di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, dan demikian juga sebaliknya. Terkait dengan perbedaan klasifikasi lahan antara Kementerian Kehutanan dan Bakosurtanal, ke depan akan terbit citra satelit dengan resolusi tinggi (4 x 4 m) yang akan digunakan oleh semua K/L. Ada juga program One Map dari Bakosurtanal sehingga kami optimis bahwa perbedaan-perbedaan data dan informasi antar K/L akan dapat dikurangi secara bertahap Presentasi II 1. Lessons Learned from the First Generation of REDD+ Activities Oleh : Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso CIFOR Dalam presentasi ini dipaparkan laporan dari yang diamati oleh CIFOR di dunia terkait REDD+ dan fokusnya di Indonesia, sehingga merupakan overview yang sifatnya sangat umum dan banyak data yang masih tentative. Yang CIFOR lakukan adalah REDD+ Global Comparative Study dengan melihat secara global, nasional, dan subnasional. Ketiga level tersebut saling terkait dengan tiga komponen, yaitu 1) REDD+ Process and strategies, 2) REDD+ Demonstration Activities, 3) Monitoring and reference level seperti lingkaran yang saling terkait. Proses ini memakan waktu, tenaga dan melibatkan banyak stakeholder. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 25

36 Berdasarkan klasifikasi dari FCPF World Bank, terdapat tiga kategori laju deforestasi, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Indonesia sendiri bersama Brazil tidak berada dalam ketiga kategori tersebut karena laju deforestasinya dikatakan terlampau tinggi untuk dikategorikan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang terlibat REDD+ mengalami laju deforestasi yang tinggi. Secara umum Indonesia memiliki banyak Potential REDD+ Projects Area. Total terdapat 33 REDD+ Project di Indonesia dan 20 di Brazil yang diteliti oleh CIFOR. Dari segi tujuan project terdapat 3 kategori, yaitu: avoided deforestation, avoided degradation, dan restoration. Di Indonesia ketiga tujuan REDD+ tersebut terdistribusi secara seimbang. Ini juga tegantung kapasitas partner dan dinamika dalam men-design dan men-develop project. Dalam studi di tingkat nasional, CIFOR mencoba menganalisis seberapa jauh proses di tingkat nasional berlangsung semenjak REDD digulirkan oleh UNFCCC. Dalam studi ini CIFOR meneliti bagaimana cara suatu negara mengerucutkan isu REDD+ (convergence of discourse). Dalam hal ini aktor yang bermain antara lain pemerintah, akademisi, NGO, dan politisi. Secara garis besar negara yang memiliki konvergensi dan keterlibatan stakeholder paling bagus adalah Vietnam karena partai komunis berkuasa, sedangkan yang paling buruk adalah Kamerun karena pemerintah tidak banyak campur tangan dalam pembangunan REDD+, melainkan lebih banyak peran dari lembaga internasional dan akademisi. Indonesia sendiri tidak terlalu buruk dari segi ownership namun masih jauh dari mengerucut sempurna. Dalam hal keterlibatan aktor guna membentuk sebuah pengerucutan isu REDD+, Indonesia memiliki peran yang kuat di sektor pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah memiliki peran mengambil keputusan dan memberi ijin bagi seluruh project yang dilakukan oleh berbagai organisasi, seperti NGO. NGO dalam melaksanakan project-nya perlu berkoordinasi dengan pihak lain, dalam hal ini yang paling lama berinteraksi adalah dengan pihak pemerintah dikarenakan adanya kuasa dari pemerintah. Di lain pihak interaksi antar NGO satu dan lainnya kurang intensif. Meskipun pemerintah memiliki andil besar dalam pembangunan 26 Penyelenggaraan Pertemuan

37 REDD+, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat grand design pemerintah Indonesia untuk melakukan planned deforestation. Akbat dari hal ini adalah terjadinya tumpang tindih kepentingan di mana lahan yang ingin dilakukan moratorium tenyata telah memiliki ijin konsesi yang sah secara hukum. Untuk menganalisis kasus secara lokal, digunakan metode Before- After Control-Intervention (BACI method) supaya dapat dilihat dampaknya. Sampel diambil secara acak pada level desa sampai plot di daerah-daerah yang sudah dan belum ada project REDD+. Secara umum isu yang paling menonjol adalah tenurial yang merupakan jaminan bagi masyarakat untuk mengelola project REDD+ dan aktivitas sehari-hari mereka. Masyarakat bisa saja memandang REDD+ menjadi ancaman bagi mereka. Berdasarkan studi ini terdapat beberapa kasus di Aceh, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang dilakukan studi hingga level rumah tangga. Di Kalimantan Tengah kemampuan masyarakat untuk menolak intervensi kuat, hal ini mungkin dikarenakan pendapatan yang tinggi serta komunikasi dengan dunia luar sehingga masyarakat well-informed. Aceh dan Kalimantan Barat tergolong kurang dalam hal kemampuan untuk menolak campur tangan pihak luar. Dari segi pengukuran, CIFOR mencoba melihat secara teoritis bagaimana seyogyanya kegiatan di daerah dikombinasikan/ diintegrasikan melalui pendekatan yang tersarang/nested sehingga tercipta sebuah Nested MRV System. Pedekatan ini melibatkan peran dari semua level mulai dari nasional, provinsi, sampai ke site. Dari level nasional dana yang diperoleh didistribusikan sampai ke level site dengan menjamin benefit sharing dari sisi teknis, administrasi, dan finansial. Kemudian seiring dengan itu dari level site memberikan data MRV, dengan elemen karbon, sosial, dan biodiversitas, melalui mekanisme yang telah disepakati secara nasional kepada sumber dana. Sebagai gambaran umum, jika dibandingkan dengan seluruh negara Non Annex 1 capacity gap Indonesia dalam pembangunan dan MRV REDD+ berada pada level sedang. Adapun kategori yang digunakan dalam penilaian tersebut adalah: National engagement in REDD+ process Existing monitoring capacity Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 27

38 REDD+ Challenges Remote sensing technical challenges Jika dilihat dari skala yang lebih luas, terdapat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menyusun baseline atau REL/RL untuk pendanaan REDD+. Jika laju deforestasi sudah menurun, maka benefit yang akan diterima Indonesia juga menurun karena usaha yang dilakukan tidak terlalu besar. Oleh karena itu dalam menentukan REL diperlukan sebuah tahapan/stepwise approach yang melibatkan berbagai stakeholder. Dalam tahapan tersebut elemen kunci dalam menentukan REL/RL adalah data aktivitas dan faktor emisi. Jika data tersebut dapat konsisten, akurat, dan teliti maka hasil yang diperoleh akan semakin baik. Kesimpulan yang dapat diambil antara lain: Berdasarkan konvergensi yang ada, meskipun terdiri dari berbagai aktor terdapat beberapa aktor yang dominan yang dapat bersifat positif atau negatif tergantung kepentingan dari aktor tersebut. Pada skala lokal masalah tenurial sangat penting Nested MRV System perlu dicoba untuk diterapkan, termasuk mekanisme benefit sharing Diskusi II 1. Untuk Bapak Daniel Murdiyarso, banyak hal terjadi di lapangan. Saya tertarik pada managemen di tingkat nasional. Kalau nanti REDD+ terlaksana, apakah yang menjadi tugas terbesar kita terkait proses perancangan menuju implementasi? Yang kedua apa hal yang paling efektif untuk melaksanakan tugas itu, atau rancangan ke depan agar mekanismenya lancar? Lalu kalau kita membawa nama Indonesia, apa yang perlu kita negosiasikan/ suarakan di level internasional? (Ibu Eny Faridah Fakultas Kehutanan UGM) Jawaban : Bicara soal tantangan terbesar, proses yang dihadapi ini lama dan sulit karena termasuk masalah baru serta menimbulkan ketidakyamanan. Cara mengatasinya berbeda dengan yang dilakukan selama ini. Masalah yang paling mendesak kalau itu dikatakan sebagai barrier, 28 Penyelenggaraan Pertemuan

39 orang-orang dalam lembaga itu melihat distorsi, banyak interest yang berbenturan. Ini kenyataan yang harus diakomodasi oleh pengambil kebijakan. Dari segi teknis masalahnya cukup straight forward. Akan tetapi justru yang non teknis, seperti kelembagaan dan peraturan yang ada, beberapa pihak akan mempertahankannya agar ada zona nyaman tersebut ada untuk bergerak tanpa gangguan. Dengan adanya REDD+, zona tersebut diusik sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan tidak berujung dan akhirnya kembali ke square one. 2. Berdasarkan grafik perbandingan kemajuan REDD+ Indonesia dengan negara lain menunjukkan bahwa banyak tugas yang harus dilakukan. Apakah yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan agar koordinasi di tingkat nasional dan daerah jelas? (Bp. Muhammad Farid DNPI) Jawaban : Koordinasi kadang tidak berjalan dengan lancar karena adanya peraturan yang tidak sinkron. Ketika implementasi, masing-masing terkungkung dengan aturannya yang tidak sinkron, sehingga harus ada effort tambahan. Hal lain yang menghambat kecepatan proses kebijakan ini adalah kapasitas. Kami yang sudah lama dengan isu ini sudah mengerti dinamikanya, namun orang yang masih baru tidak. Maka perlu dilakukan proses belajar terus menerus. Itulah hidup dan kenyataan. Kapasitas perlu dibangun agar semua level. Jangan sampai kita tidak dapat berbicara karena tidak tahu. Orang di Jakarta belum tentu paling tahu segalanya. Kita memiliki local wisdom yang tidak terakomodir, sehingga kapasitas harus ditingkatkan sampai daerah. Selain itu ada leadership dari tingkat lokal-nasional. Tidak hanya dibutuhkan kemampuan berbicara, namun otoritas. Substansi dan leadership harus dikombinasikan Sesi II Presentasi I 1. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - GIZ Oleh : Bpk. Solichin Manuri - Forest Carbon Senior Advisor GIZ- Forclime Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 29

40 Proyek ini merupakan REDD+ Demonstration Activity (DA) oleh GIZ Forclime. Adapun tujuan dari DA ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat pedesaan melalui penerapan strategistrategi perlindungan hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Dalam Forclime sendiri terdapat 2 komponen utama, yaitu Financial Cooperation (FC) Module dan Technical Cooperation (TC) Module. Pada TC module terdapat beberapa sub komponen kegiatan, yaitu Kebijakan Kehutanan, Perencanaan Strategis dan Pengelolaan Hutan Alam Lestari, serta Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Heart of Borneo (HoB). Wilayah kerja Forclime sendiri terfokus di 3 kabupaten yaitu, Kabupaten Malinau dan Berau di Provinsi Kalimantan Timur, serta Kabupaten Kapuas Hulu di Provinsi Kalimantan Barat. Di dalam setiap kabupaten proyek hanya difokuskan di satu KPH dan analisis baru dilakukan untuk penentuan RL, namun pemantauan additionality, permanence dan leakage belum terlalu tersentuh. Terdapat hambatan dalam pelaksanaan proyek ini yaitu hak dan kewajiban, crediting area, benefit sharing, dan project scale. Terdapat pula hambatan secara khusus pada proses interpretasi citra Landsat, yaitu keberadaan awan. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara di wilayah tropis tergolong negara berawan yang cukup tinggi. Akan tetapi, permasalahan tersebut dicoba untuk diatasi dengan menggunakan software khusus yang dapat menghilangkan komponen awan dari citra yang dihasilkan dengan metode gap filling. Untuk kelas tutupan lahan Forclime mengikuti Land Cover Classification milik FAO di mana klasifikasi tersebut lebih berdasarkan pada tipe ekosistem hutan, lain halnya dengan klasifikasi oleh Bakosurtanal yang lebih berdasar pada spesies pohon hutan. Hal ini dikarenakan akan sangat sulit dalam menentukan klasifikasi spesies di wilayah hutan Dipterocarpaceae mengingat keberagaman spesies yang sangat tinggi. Dalam melakukan penghitungan biomassa, Forclime masih menggunakan literatur yang ada dengan mengkompilasi dan menggunakan rerata berdasarkan tipe penutupan lahan yang ada. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan di tiap kabupaten maka 30 Penyelenggaraan Pertemuan

41 dapat disusun sebuah persamaan yang dapat memprediksi cadangan karbon pada tahun 2030 jika BAU tetap dilakukan, yaitu sebesar ton karbon di Malinau, ton karbon di Kapuas Hulu, dan ton karbon di Berau. Berdasarkan angka tersebut terlihat bahwa prediksi stok karbon di Kabupaten Kapuas Hulu merupakan yang terendah dari kabupaten lain. Hal ini dikarenakan banyak terjadi deforestasi berupa pembukaan lahan untuk perkebunan di wilayah tersebut. Meskipun demikian, tingkat keakurasian data tersebut masih cukup rendah karena yang dilakukan adalah mengkalkulasi activity data dan emission factor yang diperoleh dari literatur, sehingga saat ini sedang dilakukan peningkatan akurasi pada activity data, emission factor dan removal factor. Untuk perbaikan kualitas citra sendiri saat ini Forclime telah memperoleh Citra Rapid Eye untuk satu KPH di setiap kabupaten dan citra ini bebas dari awan. Usaha peningkatan akurasi data juga dilakukan terhadap penghitungan biomassa dan karbon yang tidak hanya menghitung biomassa above ground namun juga nekromasa dengan metode stratified random sampling dengan merujuk pada IPCC Guidelines dan SNI Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon serta penggunaan persamaan alometrik lokal. Selain itu dilakukan juga kerjasama terhadap beberapa perusahaan HPH dalam menghitung biomassa dan karbon. Forclime juga mengembangkan software untuk memantau database dari pohon di tiap plot yang terdaftar berdasarkan proyek di Merang. Kesimpulan dari paparan Forclime adalah sebagai berikut: a. Hasil analisa perubahan tutupan lahan di 3 kabupaten prioritas Forclime telah dilakukan dan digunakan untuk pengembangan RL historis (setara dengan Tier 2) b. Karena perbedaan antara literatur dan data di lapangan, sangat disarankan untuk peningkatan akurasi hingga Tier 3 di tingkat KPH atau kabupaten c. Pemetaan tutupan lahan historis secara sistematis di 3 kabupaten prioritas hanya dapat dilakukan dengan data citra Landsat. d. Citra satelit resolusi lebih baik diperlukan untuk monitoring tutupan lahan yang lebih akurat. Citra Rapid Eye akan digunakan untuk monitoring wilayah kerja Forclime. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 31

42 Adapun saran dari Forclime adalah sebagai berikut: a. Penghitungan historical emission yang ada saat ini hanya dari perubahan tutupan lahan dan AGB. Ke depan perlu mempertimbangkan comprehensiveness. b. Klasifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada. c. Metode klasifikasi citra juga harus memungkinkan untuk direplikasi. d. Pengembangan sistem repository dan maintenance data potensi dan pertumbuhan hutan perlu dikembangkan di tingkat provinsi atau kabupaten/ kota. e. Pengembangan kapasitas terkait dengan klasifikasi tutupan lahan perlu dilakukan di provinsi atau kabupaten/ kota. f. Karena keterbatasan kapasitas di kabupaten, pre-processing citra satelit sebaiknya dilakukan di tingkat provinsi. 2. Lessons Learned dari Kegiatan REDD+ di Lapangan - UNREDD Sulawesi Tengah Oleh : Ir. Nahardi, M.M - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 2010 merupakan salah satu provinsi yang menjadi percontohan program UN-REDD+ Indonesia (Surat Sekjen Kemenhut No. S-786/II-KLN/2010 tanggal 26 Juli 2010). Sulawesi Tengah mempunyai komitmen yang kuat untuk ikut mendukung UN-REDD dan mendukung program pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, sebesar 26% dari BAU pada tahun Untuk menindaklanjuti komitmen tersebut maka sudah dibentuk Pokja REDD+ melalui SK Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah. Anggota Pokja tersebut terdiri dari berbagi stakeholder, antara lain dari SKPD, kelompok masyarakat adat, asosiasi pengusaha hutan, dan akademisi. Adapun tujuan dari pembentukan Pokja REDD+ tersebut antara lain: a. Melakukan penyamaan persepsi para pihak untuk mewujudkan komitmen penurunan emisi dimaksud. Untuk mendukung hal tersebut pemerintah provinsi juga melakukan penyusunan 32 Penyelenggaraan Pertemuan

43 dokumen-dokumen daerah di mana REDD+ menjadi bagian dari RPJM daerah. b. Peningkatan dan pengembangan kapasitas c. Membangun dan mengembangkan instrumen REDD (MRV, STRADA, FPIC Kriteria dan indikator DA) Pemerintah Sulawesi Tengah juga telah terlibat dalam kegiatan perubahan iklim internasional. Selain itu Sulawesi Tengah juga merupakan provinsi pilot pertama untuk pengukuran karbon (termasuk redesign National Forest Inventory-NFI dan pengujian hasil redesign). Hasil pengukuran karbon tersebut, apabila sudah layak, akan di scale up untuk provinsi-provinsi lainnya oleh Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan. Selain itu Provinsi Sulawesi Tengah juga terpilih sebagai provinsi pilot untuk testing metode penentuan REL/ RL pada level provinsi. Hasil dari piloting REL/RL tersebut akan direkomendasikan ke pihak terkait guna masukan penyusunan kebijakan REL/RL di tingkat nasional. Hal tersebut sangat penting bagi Provinsi Sulawesi Tengah sendiri karena Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kawasan hutan 69,4% dari luas wilayah atau sekitar 4,3 juta ha wilayah Sulawesi Tengah merupakan kawasan hutan. Di samping itu juga dilihat bagaimana kecenderungan ke depan terkait program pembangunan yang berpotensi menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan dilihat dari rencana tata ruang yang sedang berproses. Di sisi lain pemerintah Sulawesi Tengah juga sudah mengembangkan metode pelaksanaan kerangka pengaman sosial (social safeguard). Saat ini Pokja REDD+ Sulawesi Tengah telah mengembangkan draft Panduan FPIC sebagai acuan bagi pelaksanaan FPIC di tingkat tapak dan dalam proses uji coba yang ke dua kalinya. Secara nyata di lapangan, sebenarnya esensi dari kegiatan REDD+ sudah berlangsung. Penurunan emisi dilakukan dengan memperbaiki tata kelola hutan Indonesia, namun kenyataan di lapangan banyak kasus penggunaan lahan hutan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah dalam mencapai penurunan emisi tersebut. Beruntung bahwa UN-REDD membantu Provinsi Sulawesi Tengah dalam membangun REDD+. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 33

44 Bicara tentang REDD+ tidak sama dengan perdagangan karbon. REDD+ harus dipandang sebagai kebutuhan daerah untuk memperbaiki pengeloaan sumber daya hutan untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Sebaiknya jangan sampai masyarakat terjebak cara pandang bahwa REDD+ sama dengan perdagangan karbon. Terkait dengan konsep FPIC, Pemerintah Sulteng memberi pemahaman kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan bahwa mereka berada dalam kawasan pengelolaan pemerintah, dan akan dikelola demi kebaikan masyarakat. Pemerintah Sulawesi Tengah menganggap bahwa REDD+ sebagai bagian dari SFM, bagaimana mengelola hutan dengan baik agar masyarakat sejahtera. Hal ini karena kantong-kantong kemiskinan di Sulawesi Tengah berada di pesisir pantai dan sekitar hutan, maka ada yang salah di sini dan perlu diperbaiki Diskusi I 1. Dari presentasi hasil kegiatan yang dilakukan oleh GIZ Forclime terlihat begitu yakin bahwa dengan melindungi hutan akan menyejahterakan masyarakat. Padahal seperti yang diketahui bahwa hasil hutan itu kayu. Lalu hasil hutan apa yang dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan ini? (Bp. Ombo Sastrapradja - Universitas Nusa Bangsa) Jawaban : Hasil hutan yang paling bernilai selama ini adalah kayu, akan tetapi akan menjadi tidak benar kalau yang dibicarakan hanya kayu. Yang ingin dicari di sini adalah solusi bagaimana tanpa menebang namun masyarakat tetap bisa mendapat manfaat/ untung. Akan tetapi jika kita langsung bicara perdagangan karbon masih dirasa terlalu dini. Deforestasi di Indonesia sudah parah, maka hutan harus dijaga karena inilah harta yang dimiliki. Sebenarnya dalam REDD+ ini kita kembali ke konsep SFM. 2. Bagaimana perkembangan spesies kayu hitam yang terkenal mewah, terutama terkait dengan isu REDD+ ini, apa sudah ditanam kembali? (Bp. Ombo Sastrapradja - Universitas Nusa Bangsa) 34 Penyelenggaraan Pertemuan

45 Jawaban : Untuk spesies kayu mewah tersebut, harus terus dilakukan pengembangan karena tidak ingin spesies tersebut punah 3. Berdasarkan paparan yang disampaikan GIZ-Forclime, siapa yang akan memvalidasi data hasil perhitungan? (Bp. Muhammad Farid DNPI) Jawaban : Penentuan pihak yang akan memvalidasi data hasil perhitungan perlu diskusi yang seharusnya dilakukan di tingkat nasional. Yang pasti harus memiliki kewenangan dan terkait MRV disepakati saja pihak yang wajib melakukannya. 4. Bagaimana langkah selanjutnya di Sulawesi Tengah terkait pengembangan REDD+? (Bp. Muhammad Farid DNPI) Jawaban : Pembenahan yang dilakukan adalah pengurus hutan itu sendiri dengan membentuk KPH, di mana sampai tahun 2016 ditargetkan ada 3 KPH yang terbentuk. Pengurus hutan memang banyak, ada dari dinas dan instansi lain, namun yang dikembangkan adalah pengelola hutan itu sendiri. Hutan harus bebas dari kepentingan politik, sehingga bisa dikelola dengan baik di level nasional. Jadi orang yang mengelola hutan harus yang mengerti tentang hutan dan kehutanan. 5. Apakah cara perhitungan ini memiliki suatu interval yang mungkin hasilnya berbeda jika dilakukan oleh orang lain dengan metode lain? Karena jika tidak standar maka hasil akan berbeda. (Ibu Eny Faridah - Universitas Gadjah Mada) Jawaban : Negara berkembang memiliki masalah data yang tidak akurat, sehingga hasil konvensi internasional memperbolehkan menggunakan data yang ada. Nilai akurat yang belum ada adalah nilai pendugaan/estimasi, namun SNI Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon sudah ada sebagai standar. Yang terpenting harus Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 35

46 mengikuti standar yang ada. Di samping itu, perlu juga dihitung/ disampaikan perkiraan tingkat uncertainty agar dapat dibandingkan dengan data-data lain Presentasi Kunci 1. Road to Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia? Oleh : Prof. Ir. Rachmat Witoelar Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim/Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Indonesia berperan penting dalam penanganan perubahan Iklim, dalam arti jika Indonesia berkinerja tinggi maka usaha penanganan perubahan iklim akan berhasil, dan sebaliknya. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai kunci sukses penanganan perubahan iklim dunia. Perundingan di Doha tahun 2012 akan menutup periode Kyoto Protocol, sehingga tahun 2012 akan terjadi sesuatu yang krusial. Tahun 2011 telah berlangsung COP-17 di Durban yang juga sangat menentukan. Perundingan-perundingan seperti ini sulit dan memiliki aroma politik yang kuat. Itu dikarenakan kecenderungan masing-masing negara mempertahankan kepentingannya masingmasing. Berbeda dengan di KTT Bumi 1992 dimana pada mulanya naluri manusia untuk mempertahankan diri (survive) sangat tinggi, sehingga keputusan mudah tercapai dan di Rio dilahirkan UNFCCC. Conference of Parties (COP) merupakan kombinasi dari keahlian dan politik dalam negosiasi. Negara-negara di dunia sepakat bahwa hutan adalah penangkal yang kuat terhadap perubahan iklim. Sebagaimana yang kita telah ketahui, pertemuan tahunan para pihak dalam penanganan perubahan iklim telah dilaksanakan pada akhir tahun 2011 yang lalu di Durban, Afrika Selatan yang dikenal sebagai COP-17/CMP-7. Dalam pertemuan yang berlangsung cukup alot ini, pada akhirnya dihasilkan beberapa keputusan. Pertemuan COP-17 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-LCA di akhir tahun 2012 (dalam COP-18) serta (ii) dimulainya masa kerja Ad-Hoc Working Group on the Durban Platform (ADP) di pertengahan tahun Sementara itu, CMP- 7 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-KP di akhir tahun 2012 (dalam CMP-8) serta (ii) 36 Penyelenggaraan Pertemuan

47 berakhirnya Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto pada 31 Desember 2012 yang akan langsung dilanjutkan dengan pelaksanaan Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto pada 1 Januari AWG-KP memulai proses negosiasinya dengan kesepakatan yang dihasilkan dalam CMP-1 di Montreal pada tahun Berdasarkan kesepakatan di Durban maka AWG ini akan menyelesaikan masa kerjanya dalam bentuk negosiasi di CMP-8 di Doha akhir tahun ini dan segera diimplementasikan dalam bentuk Periode Komitmen Kedua sejak 1 Januari Berdasarkan proses perundingan yang berlangsung hingga saat ini, belum disepakati berapa lama Periode Komitmen Kedua ini akan berjalan. Beberapa negara terutama negara berkembang dan AOSIS menyampaikan posisinya agar periode komitmen ini hanya berlangsung selama 5 tahun dan selesai pada akhir Negara-negara lain melihat sebaiknya periode komitmen ini berlangsung selama 8 tahun hingga akhir 2020 dan karenanya diharapkan tidak ada kekosongan legal dengan masa implementasi ADP. AWG yang lain adalah AWG-LCA yang diawali masa kerjanya dengan Bali Action Plan sebagai hasil dari COP-13 di Bali, Kesepakatan di Durban memutuskan bahwa masa kerja AWG dalam bentuk negosiasi diselesaikan dalam COP-18 pada akhir tahun ini di Doha. Sesuai dengan nama dan mandatnya, hasil dari AWG ini akan diimplementasikan hingga akhir Berdasarkan kesepakatan di Durban, ADP dibentuk sebagai wadah untuk melakukan perundingan penanganan perubahan iklim secara global di masa depan setelah berakhirnya implementasi dari keluaran kedua AWG lainnya. Keputusan 1 dalam COP-17 menyatakan bahwa ADP ditargetkan untuk menyelesaikan masa kerja dan mencapai kesepakatan di tahun 2015 sehingga hasilnya dapat diadopsi guna memastikan kekuatan hukum dan implementasi sejak tahun Belajar dari pengalaman selama ini, tampaknya masa negosiasi selama kurang dari 4 tahun tidak akan mampu mencapai target yang diharapkan, sehingga muncul pertanyaan apakah mungkin masa kerja dalam bentuk negosiasi dilanjutkan? Jika hal ini dimungkinkan, seberapa lama penambahan ini dimungkinkan Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 37

48 mengingat pentingnya proses ratifikasi oleh masing-masing pihak sehingga hasil dari ADP dapat berkekuatan hukum yang sah dan diberlakukan secara efektif. Untuk menjawab pertanyaan apa yang harus disiapkan oleh Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu dimana posisi dan apa peran Indonesia di masing-masing proses yang berjalan ini. AWG- LCA berdasarkan sejarahnya memang dibentuk sebagai upaya penyeimbang implementasi Protokol Kyoto. Karenanya, pendekatan yang dipakai pun dengan membagi negara-negara di dunia dalam dua kelompok besar yaitu negara maju dan negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang termasuk dalam negara yang dapat berkontribusi dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) yang bersifat sukarela. Sektor kehutanan memegang peran penting dalam mitigasi termasuk NAMAs dalam bentuk REDD+. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga memiliki hak dalam bentuk akses dan support bagi kegiatan adaptasinya. Demikian pula Indonesia memiliki hak atas support dari negara maju dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas. Sementara itu, di dalam AWG-KP terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Di dalam Protokol Kyoto negara yang diberikan kewajiban untuk menurunkan emisi adalah negara maju yang tergabung dalam Annex B, sehingga pada dasarnya tidak ada hal yang diharapkan terkait kewajiban negara berkembang. Namun demikian, di dalam Protokol Kyoto negara berkembang memiliki akses terhadap mekanisme Kyoto yang merupakan mekanisme fleksibilitas bagi negara maju untuk memenuhi komitmen penurunan emisinya yaitu dalam bentuk CDM (Clean Development Mechanism). Demikian pula halnya dengan akses terhadap Adaptation Fund. Menjelang Doha, beberapa hal harus diperhatikan dan diantisipasi oleh Indonesia. Untuk AWG-LCA, satu hal yang perlu dicermati adalah seberapa jauh penurunan emisi sebagai kewajiban negara maju di luar Protokol Kyoto akan dilaksanakan hingga 2020 dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions (NAMAs). Demikian pula dengan komitmen negara maju untuk 38 Penyelenggaraan Pertemuan

49 memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas. Yang tidak kalah pentingnya adalah apa sesungguhnya arti dan nilai serta implikasi hukum dari keluaran AWG-LCA selama masa implementasi hingga Untuk AWG-KP yang menjadi isu penting hingga akhir tahun ini dan juga mungkin setelah Doha adalah mengenai lamanya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto. Perdebatan apakah periode ini 5 tahun atau 8 tahun masih berlangsung sangat kuat. Seperti halnya dalam Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto, dalam Periode Kedua ini harus pula ditentukan berapa besar penurunan emisi GRK yang ditargetkan oleh negara maju dalam Annex B. Hingga saat ini, negara-negara Annex B telah menyampaikan pledge-nya namun hingga saat ini belum disampaikan dalam bentuk QELROs (Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives) sebagai target komitmennya. Dalam pemenuhan komitmen tersebut, modalitas yang dapat digunakan akan memegang peranan penting, demikian pula dengan metodologinya. Pemanfaatan LULUCF dan CDM termasuk A/R CDM akan memberikan dampak terhadap penurunan emisi GRK secara netto. ADP seperti telah disebutkan sebelum ini merupakan penanganan perubahan iklim secara global dalam jangka panjang yaitu paska ADP atau Ad-Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions dihasilkan dalam pertemuan COP17 dalam Dec.1/CP.17. ADP merupakan badan subsider baru di bawah UNFCCC yang akan membahas penanganan perubahan iklim dalam bentuk perundingan. Perundingan tersebut merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan protokol, instrumen legal atau agreed outcome yang memiliki kekuatan hukum di bawah UNFCCC yang berlaku bagi seluruh pihak. Di dalam keputusan ini juga diangkat bahwa hasil tersebut nantinya akan pula mencakup elemen mitigasi, adaptasi dan means of implementation. Proses dalam ADP juga akan membuat rencana kerja yang tepat guna peningkatan level of ambitions termasuk dalam hal mitigasi. Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 39

50 Rencana kerja yang dibuat dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi opsi-opsi dari serangkaian aksi yang dapat menutup adanya kesenjangan ambisi dengan maksud untuk memastikan the highest mitigation efforts by all Parties. Beberapa terminologi baru yang muncul dalam keputusan ini perlu untuk diperhatikan dan dianalisis dengan seksama sehingga akan didapatkan pemahaman yang sama antar berbagai pihak. Di tahun 2012 ini seperti yang telah disepakati di Durban, salah satu agenda perundingan yang baru dimulai adalah ADP. Proses perundingan di bawah ADP akan terus berjalan dan diharapkan berakhir di tahun 2015 dengan diadopsinya keluaran yang disepakati oleh Para Pihak. Untuk itu, Indonesia perlu mempersiapkan beberapa hal. Dalam proses ADP perlu disepakati mekanisme kerja yang akan dilakukan yaitu bentuk perundingan bagi rezim baru di bawah UNFCCC. Perubahan sebagai implikasi dari applicable to all akan mengakibatkan terjadinya perubahan pendekatan dan pengelompokan negara. Pekerjaan rumah utama bagi Indonesia adalah bagaimana pengelompokan negara yang ada di bawah ADP. Dimanakah posisi Indonesia dalam pengelompokan baru tersebut. Elemen yang paling utama adalah untuk menjawab kesenjangan ambisi yaitu kesenjangan antara konsentrasi GRK di atmosfer yang aman bagi kehidupan yang berarti adanya penurunan emisi GRK secara signifikan melalui mitigasi. Dalam ADP seluruh negara akan diberikan peran dalam mitigasi. Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana Indonesia dapat berperan dalam mitigasi ini. Apakah peran Indonesia dalam bentuk kewajiban? Apakah peran Indonesia dalam kontribusi penurunan emisi seperti yang saat ini telah ditargetkan Indonesia secara sukarela hingga 2020? Apakah dalam bentuk kewajiban yang didukung oleh support dari negara maju? Atau dalam bentuk lainnya? Dalam hal mitigasi di Indonesia juga perlu diperhatikan sektor mana saja yang dapat berperan? Seberapa jauh peran sektor energi, seberapa jauh peran sektor kehutanan dan lainnya? Oleh karena itu penting bagi Indonesia untuk melakukan analisis kondisi Indonesia sehingga dapat ditentukan peran yang paling tepat bagi Indonesia 40 Penyelenggaraan Pertemuan

51 dalam penanganan perubahan iklim global paska Analisis ini perlu dilakukan oleh berbagai sektor berdasarkan kondisi, kekuatan dan kapasitas masing-masing. Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor kunci yang perlu melakukan analisis mendalam peran dan posisi Indonesia dalam melakukan penurunan emisi GRK. Peran hutan dalam REDD+ saat ini perlu dianalisis lebih jauh dan mendalam sehingga perannya di paska 2020 dapat diidentifikasi dan diprediksikan. Proses bersama stakeholder seperti yang dilaksanakan saat ini hendaknya dapat terus dibangun termasuk dalam melakukan analisis sehingga antisipasinya dapat dilakukan secara lebih partisipatif Diskusi 1. Dari target penurunan emisi karbon di Indonesia sebesar 26 %, 87% diantaranya adalah jatah sektor kehutanan. Dilihat dari sisi penganggaran kegiatan maka anggaran untuk kehutanan sangat kecil, dengan demikian komitmen pemerintah terhadap pentingnya kehutanan dinilai masih rendah. Di level internasional isu kehutanan memang dianggap penting, namun di dalam negeri sendiri isu tersebut malah kalah dengan isu-isu lain. Apa mungkin dunia menjadi tidak berkomitmen terhadap kehutanan karena negara juga tidak memiliki komitmen? (Bp. Madani Mukarom - Dishut Provinsi NTB) Jawaban : Terkait dengan anggaran semua sektor harus bekerja sama. Jangan sampai menjadi korban dari negosiasi, dan jangan sampai terjebak dalam kriteria yang tidak jelas. Sehingga harus diketahui apa yang menjadi masalah yang dihadapi, supaya bisa disampaikan ke forum negosiasi internasional. 2. Terkait dengan AWG-LCA dan AWG-DP, bagaimana kiatnya untuk REDD+? Kaitannya dengan kewajiban negara maju dan berkembang, negara maju wajib memberikan bantuan teknologi, pendanaan, peningkatan kapasitas. Banyak kerjasama yang datang ke Indonesia menwarkan kemungkinan pendanaan dan terkait dengan potensi hutan Indonesia, dengan banyaknya kerjasama ini Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 41

52 dikhawatirkan bahwa data dari dalam negeri dapat keluar dengan bebas. Ada data yang memang bisa diexpose namun ada yang tidak, karena akan ada konsekuensi politik. Tidak semua pihak memahami bahwa ada kerjasama yang sangat kritikal, namun sebaiknya tidak ditandatangani dan banyak negara maju yang tidak sadar akan hal ini. (Ibu Laksmi Banowati UNREDD) Jawaban : Terkait dengan kerjasama, Norwegia sendiri itu sejujurnya ingin menolong, namun terikat dengan permasalahan legislasi disana. 3. Kehutanan berada dalam posisi yang sangat vital, tetapi isu ini masih pada pembahasan hukum, belum sampai pada pelaksanaan. Sehingga di daerah sering dianggap penghambat pembangunan. Undang-undang kehutanan dan perkebunan perlu di-review karena ijin terkait perkebunan ijinnya dikeluarkan oleh Bupati sementara dukungan bagi kehutanan belum sepadan dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh rimbawan. (Bp. Alpius Patanan - Dishut Provinsi Kalimantan Tengah) Jawaban : Masa depan REDD+ harus dipandang dengan rasa optimis. Yang harus dilakukan adalah bagaimana melihat REDD+ ke depan dan bagaimana ikut berperan di dalamnya. Sebenarnya REDD+ ini adalah isu kehutanan in a changing world. The future we want di Rio berhubungan erat dengan ini. Meskipun Rio tidak legally binding, namun sangat kuat sisi politiknya, dan forum di Rio+20 juga mengaddress isu kehutanan. 4. Isu kehutanan dan perubahan iklim di jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup populer, pertanyaannya apakah setelah berakhir kepemimpinannya masih ada Satgas REDD+ dan DNPI? (Bp. Muhammad Rayan GIZ Forclime) Jawaban : Secara pribadi akan memilih calon presiden yang hijau dan Indonesia tidak bisa lepas dari peranannya sebagai icon pejuang REDD+. Terkait dengan kepedulian pemerintah terhadap 42 Penyelenggaraan Pertemuan

53 kehutanan, budget untuk KLH itu kurang dari 1/10 dari total APBN. Akan diupayakan kenaikan budgetnya supaya sampai ke pelosok, semua orang dapat mengerti isu lingkungan. Secara umum orang desa lebih cinta lingkungan daripada orang kota Penutupan Workshop ditutup oleh Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan) dengan ucapan terimakasih kepada Bapak Rachmat Witoelar atas kesediaan untuk hadir, juga kepada para narasumber, moderator, dan para peserta baik dari pusat maupun dari daerah. Wassalamulaikum wr. wb. 2.4 Kesimpulan Sidang UNFCCC yang diselenggarakan di Bonn pada bulan Mei 2012 memasukkan isu kehutanan dalam agenda SBSTA dan AWG-LCA, dimana REDD+ merupakan salah satu isu penting yang dibahas. Hal ini menjadi momentum yang tepat untuk mereview status penanganan perubahan iklim di bidang kehutanan di Indonesia. Beberapa catatan penting yang dihasilkan dalam pertemuan ini, baik dari hasil paparan narasumber maupun hasil diskusi yang terjadi selama pertemuan tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Keberlanjutan Kyoto Protocol akan ditentukan pada COP 18 di Doha yang akan dilaksanakan pada tahun Di Doha ini pula nantinya mas kerja AWG-LCA akan berakhir dan akan digantikan dengan ADP (Ad-hoc Working Group Durban Platform) dan REDD+ masuk ke dalam kerangka ADP, sehingga Indonesia perlu mempersiapkan strategi terkait dengan hal tersebut. 2. Indonesia perlu mempersiapkan 4 (empat) hal sebagai perangkat implementasi REDD+, yaitu : a. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional; b. Penentuan Reference Emission Level (REL)/ Reference Level (RL); c. Pembangunan National Forest Monitoring System (NFMS); d. Pembangunan Sistem Informasi Safeguards (SIS REDD+). Prosiding Pertemuan dalam rangka Awareness Raising Penanganan Perubahan Iklim Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan di Indonesia 43

54 Satuan Tugas REDD+ bertanggung jawab menyiapkan butir a, sedangkan Kementerian Kehutanan bertanggung jawab menyiapkan butir b s/d d sehingga perlu dukungan dan komitmen yang kuat untuk mempersiapkannya. 3. Isu perhitungan pengurangan emisi antara REDD+, NAMAs dan RAN-GRK masih merupakan pekerjaan rumah dan merupakan tantangan besar implementasinya. 4. Beberapa catatan dan pembelajaran terhadap aktivitas-aktivitas terkait dengan implementasi REDD+ yang diperoleh adalah sebagai berikut : a. Indonesia sudah memiliki sistem monitoring hutan nasional yang dibangun dalam kerangka National Forest Inventory (NFI) dengan menambahkan komponen perhitungan stok karbon hutan dan perubahannya; b. Permasalahan terbesar dalam implementasi REDD+ adalah kelembagaan dan perangkat peraturan terkait dimana koordinasi, pengembangan kapasitas dan leadership menjadi isu yang harus di-address; c. Beberapa metode yang dikembangkan dalam berbagai project REDD+ baik di tingkat tapak maupun provinsi/kabupaten dapat diadopsi dan dijadikan referensi untuk penghitungan dan penentuan REL/RL, pengembangan NFMS dan penyusunan MRV. d. Perlu ada konsistensi terhadap perangkat-perangkat (REL/RL dan MRV) untuk implementasi REDD+ dengan perangkat yang dikembangkan untuk implementasi NAMAs 5. Pembelajaran dari pelaksanaan DA REDD+ di Sulawesi Tengah menegaskan bahwa REDD+ merupakan alat untuk memperbaiki pengelolaan hutan dan bukan semata-mata untuk kepentingan perdagangan karbon. 44 Penyelenggaraan Pertemuan

55 Lampiran

56 46

57 A. Bahan Presentasi 1. REDD+ DAN LULUCF update dari sidang di Bonn Nur Masripatin - Kepala Pusat Standardisasi Dan Lingkungan (Standardisasi, Lingkungan, Perubahan Iklim) REDD+ DAN LULUCF update dari sidang di Bonn Nur Masripatin Kepala Pusat Standardisasi Dan Lingkungan (Standardisasi, Lingkungan, Perubahan Iklim) Workshop Review Status Penanganan PI Bidang Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 47

58 PENGANTAR PERSIDANGANAN UNFCCC PASCA DURBAN SBs AWG- LCA SBSTA SBI Pasca Durban AWG- KP???? ADP Pasca Durban STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM REDD+ 48

59 REDD+ (lanjutan) Isu kritikal aspek teknis diperkirakan dapat diselesaikan di Doha, Dapat/tidaknya aspek teknis tersebut dipenuhi oleh negara berkembang akan sangat terkait dengan kepastian pendanaan, Diperlukan kehati-hatian yang tinggi dalam negosiasi di Doha, terlebih karena : AWG-LCA 15 (dimana pendanaan REDD+ dibahas) hampir tidak ada progres di Bonn, Mandat AWG-LCA akan berakhir pada COP-18 Belum ada kejelasan apakah dapat langsung masuk SBI untuk memungkinkan dilakukannya negosiasi di level lebih teknis, Fast start finance berakhir tahun 2012 Proses di bawah ADP (termasuk posisi REDD+ dalam konteks ADP) masih dinegosiasikan mengandung resiko adanya gaps pendanaan pasca STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM UNTUK IMPLEMENTASI DI TINGKAT NASIONAL A. Meskipun proses negosiasi berjalan lamban, namun komitmen kerjasama bilateral/multilateral tetap berjalan perlu ada antisipasi untuk renegosiasi pengaturan kerjasama bilateral/multilateral kedepan (memasuki periode implementasi DPEA). B. Diperlukan adanya konsistensi antara REDD+ dengan : RAN/RAD-GRK, NAMAs (MRV REDD+ dan MRV-NAMAs), kebijakan kehutanan dan sektor berbasis lahan lainnya, C. Seberapa jauh penyiapan p perangkat untuk implementasi REDD+ dan RAN-GRK? STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 49

60 LULUCF LULUCF DALAM KONTES INDONESIA Komitmen penurunan emisis ii % (RAN-GRK) dibanding BAU 2020, Komitmen secara sukarela dalam NAMAs (dokumen yang disampaikan ke Sekretariat UNFCCC), penurunan emisi 26 % dibanding BAU, LULUCF dalam REDD+ STANDARDISASI, LINGKUNGAN, PERUBAHAN IKLIM 50

61 THE WAY FORWARD DURBAN PLATFORM FOR ENHANCED ACTIONS dan THE FUTURE WE WANT REDD+ Readiness Phase? REDD+ full implementation of result based actions LATAR BELAKANG (DPEA) : (1) PI adalah irreversible threat dan bersifat global, (2) Adanya gaps antara pledges dan yang diperlukan Mandat : menyusun Protokol/instrument hukum lainnya/kesepakatan yang berkekuatan hukum di bawah Konvensi untuk semua negara pihak (Parties) AWG-DPEA Mulai bekerja Protocol diadopsi oleh COP Proses ratifikasi oleh Parties Protocol mulai berlaku COP-18 COP-21 The Future We Want : Establish set of goals in 2015 which are part of post 2015 UN development agenda COP-22 s/d COP-25 Notes : keduanya menuju green economy COP-26 DPEA : Implementasi Protocol/legal instrumen lain yang disepakati Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 51

62 TERIMA KASIH passion & integrity

63 2. Pengembangan Perangkat MRV Aksi Mitigasi Nasional Dida Migfar Ridha - Kepala Bidang Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Pengembangan Perangkat MRV Aksi Mitigasi Nasional Dida Migfar Ridha Kepala Bidang Inventarisasi Emisi Gas RumahKaca KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 14 Juni 2012 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 53

64 Isi Paparan 1. MRV sebagai suatu Sistem 2. Isu-isu Terkait Kesiapan Pelaksanaan MRV 3. Mandat dan tanggungjawab terkait MRV RAN/RAD GRK 4. Analisis Kesenjangan MRV Aksi Mitigasi Nasional 5. Tantangan ke depan dan Tindak Lanjut 1. MRV sebagai suatu Sistem MRV: sistem untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi i pencapaian penurunan emisi GRK secara berkala, sahih, akurat, menyeluruh, hkonsisten, it dan transparan. Tujuan: j Untuk mendukung gpelaksanaan kebijakan nasional penurunan emisi GRK. Prinsip Dasar: Transparency, Accuracy, Consistency, Comparability, Completeness: 54

65 Elemen-elemen elemen yang di MRV The Bali Action Plan underlines the need for nationally appropriate mitigation actions by developing countries, supported by finance, technology and capacity building, in a measurable, verifiable and reportable manner [paragraph 1 (b)(ii), Decision 1/CP13]. The terms measurable, verifiable and reportable are now commonly abbreviated as MRV. Elements to be MRVed: a. mitigation actions/namas, b. Support (technology, financing, capacity building), and c. GHG inventories (not explicit in the Bali Action Plan, but it is generally viewed as a necessary component for MRV ). International Submission Biennial Update Report (BUR) - Developing countries should submit BUR every two years in the next international framework of UNFCCC. - The elements which h should be included d in the BUR are: (i) updates of national GHG inventories including a national inventory report; (ii) information on mitigation actions including information on domestic MRV; and (iii) needs and support received International Consultations and Analysis (ICA) will be conducted to the BUR submissions. MRV: - The level of verification for supported mitigation actions (international) and domestic mitigation actions are different - Internationally supported mitigation actions will be MRVed domestically and will be subject to international MRV in accordance with guidelines to be developed under the Convention; - Domestically supported mitigation actions will be MRVed domestically in accordance with general guidelines to be developed under the Convention Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 55

66 TIMELINE Pelaporan Internasional (BUR & NC) Preparation Stages ICA = International Consultations & Analysis ICA ICA GHG inventories mitigation actions needs and support received BUR 1 BUR-2/ 3 rd NC MRV (Domestic/International) BUR = Biennial Update Report NC= National Communication 2. Isu-isu Terkait Kesiapan Pelaksanaan MRV Pemahaman mengenai MRV, BUR, dan NC SDM Institutional arrangement a e masing-masing g sektor Aktifitas dan dokumentasi inventarisasi, aksi/rencana mitigasi, dan pendanaan terkait emisi GRK Timeline dan Perencanaan Kesiapan dalam mengukur dan melaporkan emisi GRK kegiatan/sektor (Inventarisasi) dan monitoring aksi mitigasi (RAN dan keterkaitan RAN dengan RAD) 56

67 3. Mandat dan tanggungjawab terkait MRV RAN/RAD GRK TUGAS/KEWENANGAN Perencanaan, Pelaksanaan pemantauan, dan pelaporan RAN/RAD GRK di tingkat pusat, bidang (sektor), dan daerah (Perpres 61, Pasal 3,4,5) Regulasi sektoral/petunjuk operasional sektor (Perpres 61, Pasal 5/3) Penyusunan RAD GRK (Perpres 61, pasal 6/1) LEMBAGA Level National : Bappenas atas nama Menko Ekuin Bidang: K/L terkait Daerah: Gubernur K/L terkait Gubernur Kompilasi seluruh RAD GRK (Perpres 61, pasal 6/4) Gubernur mengirimkan ke Bappenas dan Kemendagri Fasilitasi penyusunan RAD GRK (Perpres 61, pasal 7) Menyusun Pedoman RAD GRK 3 bulan setelah terbitnya Perpres 61/2011 (Perpres 61, pasal 8) Bappenas, Kemendagri, dan KLH Bappenas Mandat dan tanggungjawab terkait MRV RAN/RAD GRK TUGAS/KEWENANGAN LEMBAGA Periodical review tentang RAN GRK merujuk pada kebutuhan nasional dan perkembangan internasional (Perpres 61, pasal 9/1 2) Pelaporan hasil review RAN GRK. Hasil review akan menjadi dasar penyesuaian RAN GRK (Perpres 61, pasal 9/3 4) Pelaporan kegiatan RAN GRK setidaknya sekali setahun atau jika diminta i (Perpres 61, pasal 10/1) Laporan terintegrasi tentang pelaksanaan RAN GRK minimal sekali setahun atau jika diminta (Perpres 61, pasal 10/2) Verifikasi terhadap proses dan hasil inventarisasi GRK, termasuk hasil pencapaian penurunan emisi GRK dari kegiatan aksi mitigasi (Perpres 71, pasal 6/1 2) Tiap (sectoral) K/L dikoordinasikan oleh Bappenas BAPPENAS kepada MenkoEKUIN Tiap K/L terkait kepada MenkoEKUIN dengan tembusan kepada MenkoKESRA, Bappenas, and KLH MenkoEKUIN kepada Presiden KLH Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 57

68 Mandat dan kewenangan terkait MRV untuk Inventori Nasional TUGAS/KEWENANGAN LEMBAGA Mengembangkan/menetapkan faktor emisi (Perpres 71, pasal 3/4) KLH dan K/L terkait Menyusun pedoman penyelenggaraan inventarisasi GRK (Perpres 71, pasal 7/1a) Mengkoordinasikan penyelenggaraan inventarisasi GRK dan kecenderungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon di tingkat nasional (Perpres 71, pasal 7/1b) Monitoring dan evaluasi proses dan hasil inventarisasi GRK (Perpres 71, pasal 7/1c) Koordinasi, persiapan, dan penyampaian laporan National Communication kepada perwakilan pemerintah yang ditunjuk sebagai NFP oleh UNFCCC (Perpres 71, pasal 7/2 3) Pelaksanaan inventarisasi nasional GRK (Perpres 71, pasal 8/1a) KLH KLH KLH KLH K/L terkait (sesuai pasal 3) Mandat dan kewenangan terkait MRV untuk Inventarisasi Nasional TUGAS/KEWENANGAN LEMBAGA Menyusun tren faktor emisi, serapan GRK, dan stokkarbon K/L terkait (sesuai pasal 3) (Perpres 71, pasal 8/1b) Mengembangkan metode inventarisasi, faktor emisi, dan K/L terkait (sesuai pasal 3) serapan karbon (Perpres 71, pasal 8/1c) berkoordinasi erat dengan seluruh stakeholder Pelaksanaaninventarisasi GRK di tingkat provinsi dan melaporkan ke KLH sekali setahun (Perpres 71, pasal 9/1a and 2 dan pasal 12/2) Mengkoordinasikan pelaksanaan inventarisasi GRK di kab/kota (Perpres 71, pasal 9/1b and 2) Pelaksanaan inventarisasi GRK di tingkat kab/kota dan pelaporan p ke Gubernur sekali setahun (Perpres 71, pasal 10 and 12) Pelaporan inventori GRK (Perpres 71, pasal 13) Laporan diterbitkan sesuai dengan kebutuhan nasional, internasional, dan kebutuhan penyusunan National Communication (Perpres 71, pasal14) Gubernur dengan dukungan SKPD bidang lingkungan Gubernur dengan dukungan SKPD bidang lingkungan Bupati/Walikota dengan dukungan SKPD bidang lingkungan K/L terkait ke KLH KLH ke MenkoKESRA KLH 58

69 4. Analisis Kesenjangan MRV Aksi Mitigasi Nasional Prinsip Utama Monitoring Konsep/ Pelaksanaan Sistem MONEV Saat ini PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk Mendukung Sistem MRV informasi di tiap tingkat Arus Arusinformasi Perlu adanyaarus arus informasi bottom up dan informasi antar instansi diatur oleh regulasi yang berbeda, sehingga tersebar di top down yang terstandarisasi dari tingkat pusat ke provinsi dan kab/kota (vertikal), dan antar instansi (horizontal) (horizontal) dan pusat ke daerah beberapa instansi dengan maksud yang berbeda Arus informasi telah dicakup dalam kedua Perpres, namun rincian arus informasi perlu deskripsi lebih lanjut (vertikal) Kebutuhan Sering berupa ad Perlu adanya informasi yang terstandarisasi hoc, tergantung proyek yang ada dan terlembaga. Ini telah dicakup dalam Perpres 61 dan 71/2011 namun untuk rincian dan tipe informasi masih perlu dijelaskan ke dalam petunjuk operasional. Kebutuhan informasi diperoleh dari seperangkat indikator. Indikator tersebut perlu disepakati bersama Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 59

70 Prinsip Utama Monitoring Data apa yang harus dikumpulkan Konsep/Pelaksanaan Sistem MONEV Saat ini Berdasarkan regulasi PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk Mendukung Sistem MRV Data yang diperlukan disebutkan dalam kedua Perpres namun tipe dan jenis data perlu diatur lebih lanjut Kapan data Per bulan/ 3 bulan/ 6 Tiap tahun dikumpulkan bulan/ per tahun Bagaimana data dikumpulkan (methodology) literature review, FGD, field survey, dll tergantung kebutuhan regulasinya Melalui Inventarisasi nasional yang mengacu pada IPCC Guideline 2006, dan Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, dan pedoman lainnya (Permen) Siapa yang mengumpulkan, melaporkan data dan untuk siapa data dikumpulkan tergantung kebutuhan regulasinya Tim MRV seluruh tingkat, perlu diatur lebih lanjut Strategi sistem Monitoring Konsep/Pelaksanaan Sistem MONEV Saat ini PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk Mendukung Sistem MRV Unit analisis (contoh: tergantung gkebutuhan Berdasarkan pada kesepakatan bersama distrik sekolah, rumah sakit umum, desa, wilayah) regulasinya dan NAMAs/inventarisasi yang disetujui sesuai kerangka logisnya (disebutkan sebagian di Perpres No 61 and 71/2011), perlu diaturlebih lanjut Prosedur sampling (data aktivitas) Instrumen pengumpulan data yang digunakan tidak ada tergantung kebutuhan regulasinya disebutkan sebagian dalam Perpres, perlu diatur lebih lanjut perlu diatur lebih lanjut Frekuensi pengumpulan Per bulan/ 3 bulan/ 6 Perpres memandatkan pelaporan setiap data bulan/ per tahun tahun Metode analisis dan tidak dicantumkan disebutkan sebagian dalam Perpres, interpretasi data yang perlu diatur lebih lanjut diharapkan 60

71 Prinsip Utama Monitoring Konsep/Pelaksanaan Sistem MONEV Saat ini PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk Mendukung Sistem MRV Yang berwenang mengumpulkan data tergantung kebutuhan regulasinya Tim MRV pada semua tingkat Sumber data tidak dicantumkan Data sekunder dari K/L terkait dan BPS serta pemerintah daerah; verifikator adalah pihak ketiga; perlu diatur lebih lanjut Yang berwenang melakukan analisa, interpretasi, dan melaporkan data tergantung kebutuhan regulasinya Tim MRV pada semua tingkat, perlu diaturlebih lanjutmengenai unitteknis teknis mana yang terlibat Informasi dilaporkan tergantung kebutuhan Disebutkan dalam Perpres, perlu diatur kepada siapa regulasinya lebih lanjut Prosedur diseminasi tidak dicantumkan Disebutkan dalam Perpres, perlu diatur lebih lanjut Tindaklanjut dari laporan tidak dicantumkan Disebutkan dalam Perpres, perlu diatur lebih lanjut Prinsip Utama Konsep/Pelaksanaan Sistem PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Pelaporan a MONEV Saat ini Usulan Lebih Lanjut untuk u Mendukung Sistem MRV Siapa yang akan menerima informasi/ laporan Berbagai instansi, beragam tipe laporan; tergantung gkebutuhan dari regulasi tsb Tim MRV di tingkat pusat akan menerima laporan dari provinsi, dan provinsi menerima dari kab/kota, perlu diatur lebih lanjut Dalam format Tiap regulasi punya format yang Tidak disebutkan dalam PERPRES apa berbeda; tergantung kebutuhan dari Perlu adanya format pelaporan MRV tiap regulasi tsb yang terstandardisasi Kapan Tiap bulan, per 3 bulan, per 6 bulan, Per tahun, Biannual (per 2 tahun) per tahun; tergantung kebutuhan dari regulasi tsb Siapa yang akan Setiap instansi memiliki kewajiban Tim MRV semua tingkat, perlu diatur menyiapkan untuk menyiapkan laporan; lebih lanjut laporan tergantung kebutuhan dari regulasi tsb Siapa yang akan tergantung kebutuhan dari regulasi tsb Tim MRV semua tingkat melaporkan ke menyebarluaskan tingkat di atasnya, perlu diatur lebih informasi dalam laporan lanjut Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 61

72 Prinsip Utama Verifikasi Pelaksana verifikasi Tanggungjawab dan tugas Format verifikasi Lingkup Verifikasi Konsep/Pelaksanaan Sistem MONEV Saat ini Auditor, hanya terkait dengan audit keuangan tidak terkait dengan kinerja Tanggung jawab hanya untuk mengaudit dan verifikasi laporan keuangan; tergantung kebutuhan dari regulasi yang ada Tiap regulasi mengharuskan laporan dalam format yang berbeda; tergantung kebutuhan dari regulasi yang ada tergantung kebutuhan dari regulasi yang ada PERPRES 61/2011 dan 71/2011 dan Usulan Lebih Lanjut untuk Mendukung Sistem MRV KLH mengkoordinasikan dan mengorganisasikan g pelaksanaan verifikasi Verifikasi dilakukan oleh pihak ketiga/ lembaga professional bersertifikasi/universitas, perlu diatur lebih lanjut PERPRES mengatur perlu adanya QA/QC proses inventory (oleh KLH) PERPRES mengatur perlu adanya verifikasi / monev kegiatan mitigasi RAN/RAD GRK, yang perlu diatur lebih lanjut Diatur oleh Permen lebih lanjut Disebutkan, verifikasi hasil pemantauan dan pelaporan oleh sektor/provinsi/ kab/kota perlu penjelasan lagi 5. Tantangan dan Rencana Tindak Lanjut Tercapainya kesepakatan dan/atau pemahaman bersama mengenai: sistem MRV dan rencana kerja penyusunan pedoman MRV kaitan antara sistem MRV, kerangka kerja NAMAs, dan inventori GRK nasional; dan dalam hal ini koordinasi harus berjalan secara intensif antara SIGN Centre dengan Sekretariat RANGRK peran dan strategi operasional BAPPENAS, KLH, K/L terkait, provinsi/kab/kota untuk membuat sistem berjalan dengan baik Sosialisasi dan rencana kerja untuk pengembangan dan pelaksanaan MRV NAMAs (regulasi baru, peningkatan kapasitas personalia, instrumen, dan metodologi, pelatihan, proyek percontohan MRV, sosialisasi nasional MRV, pelaksanaan MRV, dll). 62

73 Rencana Pengembangan Perangkat BUR terkait Inventarisasi GRK Penyusunan dokumen dan database komprehensif faktor emisi FE untuk sawah pada berbagai jenis tanah, iklim dan teknik budidaya (SRI etc.) FE untuk landfill pada berbagai daerah FE limbah cari produksi dan jenis industri pertanian Penyusunan panduan untuk mengorganisir proses validasi data aktivitas dan kontrol kualitas, analisis sumber emisi utama (key source category analysis) dan analisis uncertainty Rencana Pengembangan Perangkat BUR terkait Inventarisasi GRK Pengembangan g mekanisme kelembagaan penyusunan inventarisasi GRK di daerah percontohan (mulai dari proses pengumpulan data yang terintegrasi dengan SIGN, termasuk kegiatan pelatihan bagi personil daerah) Penguatan mekanisme kelembagaan penyusunan GRK pada tingkat sektor (mulai dari proses pengumpulan data, QA/QC, sampai integrasinya dengan SIGN dan hubungannya dengan RAN GRK, termasuk kegiatan peningkatan kapasitas di setiap sektor Tersedianya dokumen Inventarisasi GRK Nasional ( ) dengan menggunakan metodologi IPCC 2006 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 63

74 64

75 3. Pengembangan National Forest Monitoring System untuk Monitoring REDD+ Indonesia Iman Santosa T. - Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Kehutanan Pengembangan National Forest Monitoring System untuk Monitoring REDD+ Indonesia IMAN SANTOSA T. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Kehutanan Review Status Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan Indonesia Jakarta, 14 Juni 2012 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 65

76 Luas Hutan Indonesia ± 98,6 juta ha* Deforestasi di Indonesia terjadi cukup tinggi di masa lalu Hutan menjadi sangat penting dalam konteks pengurangan emisi iikarbon. Perlu adanya sistem monitoring hutan akurat dan terkini Tutupan Hutan dan Laju Deforestasi di Indonesia (2009) LF/HD HF/HD HF/LD LF/LD 66

77 DATA AKTIVITAS (Citra Satelit) FAKTOR EMISI (Invent. Hutan Nas.) = X Pendugaan Emisi Karbon CO 2 equivalent Modified from: UNREDD general and MRV framework COP, 2010 *) - Sesuai Good practices and Guidelines of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2006); DATA AKTIVITAS Matriks Perubahan Penutupan Lahan Citra Satelit Peta Penutupan Lahan 1990, 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 67

78 Citra Satelit Citra Utama Citra Pendukung Landsat 7 ETM+, Landsat 5 MODIS, SPOT 4, SPOT 5, PALSAR Penutupan Lahan No. Kementerian Kehutanan 1 Hutan Lahan Kering Primer 2 Hutan Lahan Kering Sekunder 3 Hutan Rawa Primer 4 Hutan Rawa Sekunder 5 Hutan Mangrove Primer 6 Hutan Mangrove Sekunder 7 Hutan Tanaman 8 Pertanian Lahan Kering 9 Pertanian Lahan Kering Sekunder 10 Transimigrasi 11 Sawah 12 Perkebunan 13 Rumput 14 Semak Belukar 15 Rawa 16 Belukar Rawa 17 Permukiman 18 Tanah Terbuka 19 Tambak 20 Bandara/Pelabuhan 21 Pertambangan 22 Tubuh air 23 Awan No. IPCC Class 1 Forestland 2 Cropland 3 Grassland 4 Wetland 5 Settlement 6 Other Land 68

79 DEFORESTASI : Perubahan permanen areal berhutan menjadi tidak berhutan akibat kegiatan manusia DEGRADASI HUTAN : Penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu akibat kegiatan manusia. DEFORESTASI DEFORESTASI vs. DEGRADASI DEGRADASI HUTAN I (100-80%) II (80-60%) III (60-40%) IV (40-10%) LAJU DEFORESTASI Seluruh Indonesia Di dalam Kawasan Hutan Di luar Kawasan Hutan (APL) Laju Deforestasi * Seluruh Indonesia Di dalam Kawasan Hutan Di luar Kawasan Hutan (APL) 1,87 3,51 1,08 1,17 0,83 0,45 1,37 2,83 0,78 0,76 0,61 0,32 0,5 0,68 0,3 0,41 0,22 0,13 * Masih menunggu publikasi resmi Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 69

80 Unit: ribu hektar/thn PENUTUPAN LAHAN Konser vasi KAWASAN HUTAN Lindung Produksi A PL TOTAL 32,3 58,8 342,5 13,3 446,9 (7%) (13%) (77%) (3%) (100%) 23,7 (15%) 15,5 (10%) 94,2 (61%) 22,1 (14%) 155,5* (100%) Sumber: Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2009/2010 (217 scene) Penafsiran pada tahun *) Angka sementara FAKTOR EMISI INVENTARISASI HUTAN NASIONAL 70

81 Dilakukan dengan membuat Permanent Sample Plot (PSP) dan Temporary Sample Plot (TSP) Tujuan: TSP : Pendugaan potensi sumberdaya hutan (volume, kondisi tegakan, distribusi dan keanekaragaman jenis) PSP : (1) Pemantauan perubahan SDH ( 2) Riap pertumbuhan Terletak di seluruh kawasan hutan (HP, HPT, KSA/KPA HL) dgn prioritas i pada ketinggian i dibawah 1000 m dpl pada hutan lahan kering dataran rendah, rawa, dan mangrove Tersebar secara sistematik dalam kisi 20 kmx 20km km, dapat dirapatkan 10 km x 10 km atau 5 km x 5 km PLOT KLASTER TSP/PSP Satu klaster terdiri dari 8 TSP dan 1 PSP. Satu TSP terdiri dari 8 sub plot Satu PSP terdiri dari 16 record unit Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 71

82 Sebaran Plot Klaster TSP/PSP dipulau Sulawesi Jumlah Plot TSP/PSP (2.735 plot klaster) (1.145 plot klaster) ( 485 plot klaster) (2.997 plot klaster) (599 plot klaster/th) 72

83 POTENSI HUTAN DIAMETER 20 CM UP (m3/ha) TAHUN Kawasan Hutan Potensi ( m3/ha ) APL HL HP HPK HPT KSA/KPA Rata rata APL HL HP HPK HPT KSPA POTENSI HUTAN DIAMETER 50 cm up(m3/ha) TAHUN Potensi (m3/ha) Kawasan Hutan APL HL HP HPK HPT KSA/KPA Rata rata APL HL HP HPK HPT KSPA Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 73

84 DATA KARBON HUTAN STOCKS SERAPAN * Hasil perhitungan awal/sementara EMISI INCAS : Indonesia National Carbon Accounting System Kerjasama Indonesia Australia (IAFCP) Tujuan : Menyediakan data dan laporan sektor lahan pada sistem MRV Indonesia Terdiri dari 5 komponen pokok. Climate data Biomass and Growth Land cover change INCAS Carbon Accounting Model Soil including peat Land use and manage ment 74

85 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 75

86 4. Pembelajaran dari FORCLIME terkait dengan REL/RL GIZ - Forclime Pembelajaran dari FORCLIME terkait dengan REL/RL GIZ- Forclime Page Seite 11 76

87 Outline Tujuan FORCLIME REL/RL Peningkatan keakurasian DFMIS Penutup Page Seite 22 Tujuan Umum hingga 2020 Menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat pedesaan melalui penerapan strategi-strategi perlindungan hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan Page Seite 33 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 77

88 Wilayah Kerja Page Seite 44 MRV Scheme for REDD+ Project Boundary Historical Emission Reference Level Additionality Right and responsibility; crediting area ; benefit sharing; project scale Gain & loss or carbon stock difference method; activity data & emission factors Based on historical emission, adjusted and forward-looking baseline Ensuring differences with business as usual Permanence Leakage Risk Monitoring related to emission within project area; discount Monitoring and handling leakages for both activity and market leakages Page Seite 55 78

89 Image processing workflow Preprocessing Atmospheric correction Gap filling and image fusion Geometric correction Mosaicking Segmentation Processing Image classification Field sampling Validation Aerial image sampling Accuracy assessment RSS GmbH Biomass calculation Carbon and emission baseline assessment Change detection Page Seite 66 Landsat image acquisitions / / / / % 40% 30% 10% 05/ / / / % 80% 50% 20% 07/ / / /1991 RSS GmbH 30% 40% 80% 90% Page Seite 77 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 79

90 Landsat image preprocessing: Cloud masking RSS GmbH Page Seite 88 Gap filling Filled Masked Original image fill master with scene scene 3 12 fill fill scenes RSS GmbH Page Seite 99 80

91 Resulting datasets: Malinau Page Seite Hierarchical classification scheme based on FAO LCCS Image objects Primarily vegetated Primarily non-vegetated Forest Lowland Hill & sub montane Lower montane Upper montane Peat swamp Secondary forest classes Non-forest Shrubs, regrowth, agriculture Plantation Settlement Water Temporarily flooded wetland Bare areas Heath Riparian Fresh water swamp Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 81

92 Biomass calculation: Carbon database & calculator RSS GmbH Page Seite RSS GmbH Biomass calculation: Carbon database & calculator Land cover class Map code AGB [t/ha] Carbon [t/ha] Lowland Dipterocarp Forest (0 -< 300m a.s.l.) Secondary Lowland Dipterocarp Forest Hill and Sub-montane Dipterocarp Forest (300 -< 900m a.s.l.) Secondary Hill and Sub-montane Dipterocarp Forest Lower Montane Rainforest (900 -< 1500m a.s.l.) Secondary Lower Montane Rainforest* Upper Montane Rainforest (> 1500m a.s.l.) Secondary Upper Montane Rainforest* Peat Swamp Forest Secondary Peat Swamp Forest Heath Forest Secondary Heath Forest Riparian Forest Secondary Riparian Forest Freshwater Swamp Forest Secondary Freshwater Swamp Forest* Shrubs, Regrowth, Shifting Cultivation, Smallholder Agriculture, Grassland Plantation** / /39.00 Temporarily Flooded Wetland Settlement Bare Area Water Gap Page Seite

93 Results: Historic LC change in Malinau Page Seite Results: Historic LC change in Kapuas Hulu Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 83

94 Results: Carbon change in Malinau RSS GmbH Page Seite Results: Historic LC change in Berau RSS GmbH Page Seite

95 Results: Historic LC change in Berau 200,000 Area change per class 150, ,000 50, , , , , , , Page Seite Results: Carbon Stock Change in Berau 15,000,000 Carbon Stock Change per class (t C) 10,000,000 5,000, ,000,000 t C -10,000,000-15,000,000-20,000,000-25,000,000-30,000,000-35,000, Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 85

96 Carbon emission baseline Results Malinau RSS GmbH Page Seite Carbon emission baseline Results Kapuas Hulu RSS GmbH Page Seite

97 Carbon emission baseline Results Berau RSS GmbH Page Seite Carbon emission baseline: Comparison of three districts RSS GmbH Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 87

98 Carbon emission drivers RSS GmbH Page Seite Peningkatan keakurasian Activity Data - menggunakan citra dengan resolusi yang lebih baik - Kelas tutupan lahan yang mencakup variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada - Metode interpretasi yang replikabel Emission Factor - Pengembangan persamaan alometrik lokal - Pengukuran karbon di lapangan - Pemanfaatan data-data historis inventarisasi hutan (IHMB, NFI, dll) Removal Factor - Pengembangan dan pengukuran petak ukur permanen - Pengolahan data PUP yang ada (HPH, plot penelitian, dll) Page Seite

99 Page Seite Methodology Emission Factor Carbon inventory -> Plots measurement - Multi-purpose inventory - Record most (if not all) carbon pools - Stratified random sampling, with SE 5-10% Local allometric equation Destructive method: trees are felled, fractioned and weighted Allometric relationship between DBH and biomass or carbon Removal Factor Forest Growth Analysis - Utilize existing PSP data sets - Compilation from many different sources incl timber concessions Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 89

100 Carbon Inventory Design Target population Carbon pools : - Above ground biomass (tree, under growth, liana, palm) - Dead organic matters (dead wood, dead tree and litter) - Peat soil Species name, DBH and stem quality folowing IHMB criterias) Sampling method Stratified random sampling In compliance with IPCC guidelines and SNI Carbon Accounting Page Seite Current Status of Carbon Inventory at Kapuas Hulu Pelatihan bagi staf KPH dan Dinas kehutanan telah dilakukan Beberapa plot sudah diukur Sosialiasai di kecamatan lainnya Page Seite

101 N Plots Carbon Inventory Design CLASS Ha N Plot % Area % N Plot Bare areas Non-Forest Wetland Lowland Forest Secondary Lowland Forest Hill and submontane forest Secondary Hill and submontane forest Lower montane forest Peat swamp forest Secondary Peat swamp forest Heath forest Secondary Heath forest Riparian forest Secondary Riparian forest Page Seite Development of allometric equation for biomass estimation To develop local allometric equations for forests in Kalimantan Bunga & Buah Daun Ranting Cabang Kering / Mati Batang Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 91

102 14000 Existing allometric equations for tropical forests Brown Kettering PSF Pioneer Samalca Nat PSF Pioneer All PSF Page Seite Variations among equations R² = R² = BJ Sedang Series1 Power (Series1) Series1 Power (Series1) BJ rendah R² = Series1 Power (Series1) BJ Berat Page Seite

103 Biomass Stock Comparison using different equations at Merang Peat Swamp Forest Ton/ha AGB - Local equations AGB-Brown's equation Pristine Forest LoF Dense Canopy LoF Medium Canopy Secondary forest Regrowth Recently logged Burnt land Shrub land Page Seite Result comparison between local and generic equation Local biomass Area: 24,000 Brown s ha Peat Volume : 1.06 billion m3 equations equation Peat depth : 1.1 m 8.5 m average: 4.4 m AGB Stock in 1,288,028 1,087, AGB in ,518,344 3,624, Annual C 107,177 84, emission Annual CO2 emission 394, , % Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 93

104 Pengembangan Persamaan Biomassa 38 pohon contoh dari jenis non dipterocarp telah ditebang, diukur dan ditimbang Bekerja sama dengan PT Inhutani I and PT Intracawood Manufacturing di Kalimantan Timur Tambahan pohon contoh akan dikompilasi dari kabupaten Kapuas Hulu Destructive sampling plots Page Seite Kompilasi data inventarisasi Inventarisasi hutan telah banyak dilakukan di tingkat kabupaten dan provinsi, namun tidak semuanya mudah diakses Data IHMB dan PSP dikumpulkan dari berbagai sumber: Dishut, BPKH, HPH Page Seite

105 District Forest Management Information System DFMIS Development of Forest Carbon Accounting Software Page Seite Development of Forest Carbon Accounting Software Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 95

106 Kesimpulan Hasil analisa perubahan tutupan lahan di 3 kabupaten prioritas Forclime telah dilakukan dan digunakan untuk pengembangan RL historis (setara dengan Tier 2) Karena perbedaan antara literatur dan data di lapangan, sangat disarankan untuk peningkatan akurasi hingga Tier 3 di tingkat KPH atau kabupaten Pemetaan tutupan lahan historis secara sistematis di 3 kabupaten prioritas hanya dapat dilakukan dengan data citra landsat. Citra satelit resolusi lebih baik diperlukan untuk monitoring tutupan lahan yang lebih akurat. RapidEye akan digunakan untuk monitoring wilayah kerja Forclime Page Seite Saran Penghitungan historical emission yang ada saat ini hanya dari perubahan tutupan lahan dan AGB. Perlu mempertimbangkan comprehensiveness ke depan Klasifikasi tutupan lahan perlu mempertimbangkan variasi ekosistem dan tingkat kerusakan yang ada Metode klasifikasi citra juga harus memungkinkan untuk di replikasi Pengembangan sistem repository dan maintenance data potensi dan pertumbuhan hutan perlu dikembangkan di tingkat kabupaten atau provinsi Pengembangan kapasitas terkait dengan klasifikasi tutupan lahan perlu dilakukan di kabupaten atau provinsi Karena keterbatasan kapasitas di kabupaten, pre processing citra satellite sebaiknya dilakukan di tingkat nasional Page Seite

107 Terima Kasih Solichin Manuri Forest Carbon Forclime GIZ Barbara Lang Component 1 Forclime Team Leader Page Seite Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 97

108 5. Road to Doha and Beyond: Apa yang harus disiapkan Indonesia Prof. (Hon.) Ir. Rachmat Witoelar - Utusan khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim - Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim ROAD TO DOHA AND BEYOND: APA YANG HARUS DISIAPKAN INDONESIA? Prof. (Hon). Ir. Rachmat Witoelar Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 14 Juni

109 Keputusan dalam COP17/CMP7 Durban COP17: Berakhirnya masa kerja AWG LCA di Doha Dimulainya masa kerja ADP di pertengahan 2012 CMP7: Berakhirnya masa kerja AWG KP di Doha Berakhirnya Periode Komitment Pertama KP (31 Desember 2012) dan dimulainya implementasi Periode Komitmen Kedua KP (1 Januari 2013) Masa ADP POST 2020 ratifikasi AWG LCA Non KP up to 2020 AWG KP KP CP ?? Negosiasi kesepakatan Implementasi hasil kesepakatan Masa ratifikasi (negosiasi berlanjut?) Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 99

110 Indonesia dalam AWG LCA Sebagai negara berkembang Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) Peran kehutanan dalam mitigasi (termasuk NAMAs) dalam bentuk REDD+ Akses dan support bagi ikegiatan adaptasi Berhak atas support dari negara maju pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas Indonesia dalam AWG KP Tidak ada hal yang diharapkan dari negara berkembang Kewajiban hanya penurunan emisi oleh negara maju (Annex B) Negara berkembang b tetap memiliki akses terhadap mekanisme Kyoto CDM Negara berkembang berhak atas Adaptation Fund 100

111 Yang harus diperhatikan... (1) AWG LCA: Kewajiban negara maju dalam penurunan emisi nyata di luar KP Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions (NAMACs) Komitmen negara maju dalam menyediakan support pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas Arti implementasi hasil AWG LCA dalam upaya penanganan perubahan iklim hingga 2020 Yang harus diperhatikan... (2) AWG KP: Lamanya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto 5 tahun vs 8 tahun Komitmen penurunan emisi secara nyata oleh Annex B quantified emission limitation and reduction objectives (QELROs) Modalitas yang dapat digunakan oleh Annex B dalam memenuhi komitmennya Metodologi yang digunakan termasuk LULUCF dan CDM (termasuk A/R CDM) Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 101

112 ADP: Penanganan Perubahan Iklim Jangka Panjang Pasca 2020 (1) Jangka Panjang Pasca (1) Adhoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions (ADP) Dec.1/CP.17 Badan subsider baru dalam menangani perubahan iklim pasca 2020 Merupakan: a process to develop a protocol, another legal instrument or an agreed outcome with legal force under the Convention applicable to all Parties Meliputi: mitigasi, adaptasi dan means of implementation i ADP: Penanganan Perubahan Iklim Jangka Panjang Pasca (2) PENTING: peningkatan level of ambition termasuk dengan membuat rencana kerja untuk mitigasi... to identify and to explore options for a range of actions that can close the ambition gap with a view to ensuring the highest possible mitigation efforts by all Parties 102

113 Yang harus disiapkan bagi ADP... (1) Mekanisme kerja dalam ADP negosiasi rezim di bawah UNFCCC Pendekatan dan pengelompokan negara implikasi dari applicable to all BAGAIMANA PEMBAGIAN KELOMPOK NEGARA DI BAWAH ADP DI KELOMPOK MANA INDONESIA BERADA? Yang harus disiapkan bagi ADP... (2) Mitigasi sejauh mana Indonesia dapat berperan: Kewajiban??? Kontribusi penurunan emisi??? Kombinasi antara kewajiban dan support dari negara maju??? Sektor mana saja yang dapat tb berperan? PENTING: ANALISIS KONDISI INDONESIA GUNA MENENTUKAN PERAN DI PASCA 2020 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 103

114 104 TERIMA KASIH

115 6. Pembelajaran dari Kegiatan REDD+ di Propinsi Sulawesi Tengah Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah DINAS KEHUTANAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Juni 2012 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 105

116 Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi yang menjadi percontohan program UN-REDD+ Indonesia ( Surat Sekjen Kemenhut No. S-786/II-KLN/2010 tanggal 26 Juli 2010). Sulteng mempunyai komitmen yang kuat untuk ikut mendukung UN-REDD dan mendukung program pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, yaitu: Mendukung target t penurunan emisi ii gas rumah kaca nasional 26% tahun 2020 Pembentukan POKJA REDD Propinsi Sulwesi Tengah SK.Gubernur u No 522/84/Dishutda G.ST/2011 Multy stakeholder SKPD; LSM; Kelompok Masyarakat adat; Asosiasl Pengusaha Hutan; dan Akademisi Membangun Kesiapan REDD+ Penyamaan persepsi Peningkatan dan Pengembangan kapasitas Membangun dan mengembangkan Instrumen REDD (MRV, STRADA, FPIC Kriteria dan indikator DA ) dll 106

117 Komitmen Komitmen politik, pemerintah, serta masyarakat (masyarakat adat, tokoh agama, kaum perempuan) Penyiapan SDM Penyiapan SDM Peningkatan kt kapasitas sumberdaya manusia Proses pelibatan multi stakeholder secara aktif Partisipasi i i pertemuan Pertemuan Nasional Pertemuan Regional AFCU, Pertemuan Internationa; COP 17 di Durban Tahap kesiapan REDD+ di Sulawesi Tengah didukung oleh partisipasi aktif dan antusiasme tinggi stakeholders No KEGIATAM 1 Konsultasi regional, Stranas REDD+ 2 Persiapan Pembentukan Pokja Organisasi Perempuan Bappeda BKPMD 3 Sosialisasi 4 Penentuan perwakilan Tokoh Agama Distamben 5 Pembentukan POKJA REDD Sulteng APHI Stakeholders REDD+ Sulteng BLHD 6 Penyusunan Rencana Kerja dan Sinkronisasi 7 Penyusunan STRADA 8 Penyusunan Kriteria i dan Indikator DA DishutProv Masyarakat ADAT/Lokal NGO Akademia DIstan 9 Pelatihan Indraja, Pengukuran Karbon hutan dan REL 10 Penyusunan Panduan FPIC dan Uji Coba Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 107

118 propinsi pilot pertama untuk pengukuran karbon (termasuk redesign National Forest Inventory-NFI dan testing hasil redesign). Hasil pengukuran karbon, apabila sudah layak, akan di scale up untuk provinsi-provinsi lainnya oleh Ditjen Planologi. propinsi pilot untuk testing metode penentuan REL/RL pada level provinsi. Hasil dari piloting REL/RL akan direkomendasikan ke pihak terkait guna masukan penyusunan kebijakan REL/RL. sebagai lokasi pilot pengembangan metode pelaksanaan kerangka pengaman sosial (social safeguard). Saat ini Pokja REDD+ Sulteng telah mengembangkan draft Panduan FPIC sebagai acuan bagi pelaksanaan FPIC di tingkat tapak dan dalam proses uji coba yang ke dua. Pilot pengembangan opsi distribusi manfaat REDD+ (dalam proses) Pilot pengembangan rencana aksi implementasi REDD+ (dalam proses) Sinkronisasi rencana aksi REDD+ dan rencana aksi penurunan GRK (terkait Perpres 61/2011 dan 71/2011, dalam proses) 108

119 A. Pelibatan semua pihak dalam proses proses kegiatan REDD: a. munculnya semangat bersama dari semua kalangan untuk ikut mendukung kebijakan pembangunan terkait dengan penurunan emisi. b. Terbentuknya sistem kontrol dalam pelaksanaan pembangunan, misal: adanya Pokja REDD+ dan adanya Pokja Pantau REDD+; c. Transparansi dalam proses sebagai salah satu bentuk good governance, misal: penentuan kriteria kabupaten yang menjadi prioritas untuk DA REDD+ yang dilakukan secara transparan dan objective, terjamin akuntabilitasnya d. Peningkatan kapasitas para staff pemda terkait itu perubahan iklim, REDD+, baik di propinsi maupun di kabupaten. e. Terbentuknya hubungan yang harmonis antara pemerintah, swasta, NGO, organisasi masyarakat, akademisi, organisasi profesi dalam mensukseskan program penurunan emisi. 1. Pelibatan semua pihak dalam proses proses kegiatan REDD out come a. Munculnya semangat kebersamaan dan kesetaraam dari stakeholder untuk ikut mendukung kebijakan pembangunan terkait dengan penurunan emisi. b. Terbentuknya sistem kontrol dalam pelaksanaan pembangunan, misal: adanya Pokja REDD+ dan adanya Pokja Pantau REDD+; c. Transparansi dalam proses sebagai salah satu bentuk good governance, misal: penentuan kriteria kabupaten yang menjadi prioritas untuk DA REDD+ yang dilakukan secara transparan dan objective, terjamin akuntabilitasnya d. Peningkatan kapasitas para staff pemda terkait itu perubahan iklim, REDD+, baik di propinsi maupun di kabupaten. e. Terbentuknya hubungan yang harmonis antara pemerintah, swasta, NGO, organisasi masyarakat, akademisi, organisasi profesi dalam mensukseskan program penurunan emisi. Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 109

120 2. Pilot pengembangan metodologi NFI, REL, dan pengumpulan baseline data: a. Tersosialisasinya pengetahuan tentant REDD+ telah memunculkan keinginan dari berbagai kabupaten untuk dijadikan sebagai lokasi pilot. b. Penentuan skala prioritas kabupaten dalam kesiapan untuk lokasi DA REDD+ berdasarkan kriteria dan indikator telah menghilangkan klain ketidak puasan yang dikhawatirkan muncul. c. Diketahuinya tingkat kesiapan masing-masing Kabupaten untuk berperan dalam program REDD+ di Sulteng sehingga memudahkan dalam perencanaan program-program REDD+ di kabupaten. d. Gambaran nilai REL di propinsi (dengan data NFI nasional) sudah diketahui dan dengan adanya pengukuran plot NFI akan dapat dipakai i untuk mengetahui REL riil propinsi i dan dapat dikembangkan k metode untuk mengkoreksi nilai REL tersebut. 3. Testing FPIC a. Ada beberapa masyarakat yang sudah mengenal istilah REDD+ dan ada yang sama sekali belum mengetahui, terlepas benar tidaknya pemahaman istilah tersebut. b. Peranan sosialisai konsep REDD+ yang benar sangat diperlukan karena ini terkait dengan kemampuan masyarakat untuk mendukung atau tidak mendukung program REDD+. c. Media untuk sosialisasi sangat mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu masyarakat untuk mencerna isu perubahan iklim, REDD+ maupun suatu program. d. Terjalin komunikasi langsung antara masyarakat di lapangan dengan para pengambil keputusan/kebijakan. e. Teridentifikasinya kebutuhan (needs) masyarakat terkait dengan pembangunan kehutanan, problem-problem yang riil terjadi di lapangan. f. Dalam sosialisasi program, diketahui perluanya segmentasi penerima informasi dan pendekatan yang diterapkan. 110

121 4.. Sosialisasi REDD+ a. Pemahaman REDD+ oleh para pihak tidak dapat dilakukan secara instan, tapi harus secara tahap demi tahap dan berkali-kali / terus menerus. b. Pendekatan yang dipakai dalam sosialisasi REDD+ harus memperhatikan segmen target audien-nya. c. Penggunaan fasilitator yang berasal dari masyarakat setempat membantu mempercepat proses pemahaman REDD+ oleh masyarakat tersebut karena fasilitator sudah dikenal, berinteraksi langsung dan secara terus menerus dengan masyarakat. d. Pelibatan journalist dan media telah membantu mempercepat tersebarnya isu perubahan iklim dan REDD+ di masyarakat, khususnya peliputan oleh media elektronik (radion, TV). e. Kepergian Gubernur ke Durban telah menggugah keingin tahuan para Pemda terhadap isu perubahan iklim dan REDD+. 5. Sulteng sebagai Propinsi Pilot REDD+ a. Telah dikenalnya Sulteng oleh pihak luar terkait dengan isu REDD. Beberapa kunjungan ke Sulteng oleh pihak luar untuk mengetahui perkembangan REDD+ di Sulteng telah dilakukan oleh banyak pihak, baik dari propinsi lain, masyarakat adat internasional, para peneliti, dan lain-lain. Ini dapat meningkatkan pamor Sulteng di nasional maupun internasional. b. Kapasitas para pihak di sulteng untuk isu REDD+ ataupun perubahan iklim menjadi meningkat. c. Munculnya local champions terkait isu REDD+ baik yang dikenal di level propinsi, nasional maupun internasional. d. Kesiapan para pihak di Sulteng terhadap isu REDD+ telah mendapatkan respon positif dari Satgas REDD+ yang menjadikan Sulteng sebagai salah satu mitra propinsi untuk program LoI RI- Norwegia. Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 111

122 Pemerintah Propinsi i Sulawesi Tengah telah memantapkan diri i untuk secara aktif ambil bagian dalam REDD+ Readiness Indonesia. Berbagai kegiatan REDD+ Readiness di Sulteng dikembangkan untuk keperluan propinsi Sulawesi Tengah dan juga dapat dipakai untuk pembelajaran bagi propinsi lain, bahkan Negara lain, apabila diperlukan. Salah satu kekhasan dari apa yang telah dilaksanakan di Sulteng adalah pelibatan secara aktif semua stakeholder REDD+ yang ada yang terdiri atas pemerintah propinsi, masyarakat adat, komunitas local, tokoh agama, organissi perempuan, universitas, LSM, swasta serta organisasi profesi. Tidak kalah penting adalah keikut sertaan media baik media cetak maupun elektronik. Tahap demi tahap, segala hal yang diperlukan untuk REDD+ Readiness secara pasti akan dilaksanakan oleh Sulawesi Tengah. Sulteng akan berupaya terus melanjutkan kegiatan yang belum terlaksana dalam Sulteng akan berupaya terus melanjutkan kegiatan yang belum terlaksana dalam periode ini baik melalui dukungan dari UN-REDD Programme Indonesia maupun dari dukungan pihak lain seperti dari Satgas REDD+ yang baru-baru ini dimulai, termasuk dari upaya dalam propinsi sendiri 112

123 Nadea Belona dan Terima kasih Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 113

124 7. Keynote Speech Road to Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia? S.1 Assalamualaikum wr.w.b, Terima kasih dan apresiasi atas inisiatif dari Kementerian Kehutanan untuk menyelenggarakan Pertemuan Stakeholder tentang Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia kali ini. Juga terima kasih atas kesediaan dan fleksibilitas sehingga meskipun tidak sesuai dengan jadwal yang semula direncanakan namun saya tetap dapat memberikan catatan mengenai topik yang dimintakan kepada saya yaitu: Road t Doha and Beyond: Apa yang Harus Disiapkan Indonesia? S.2 Sebagaimana yang kita telah ketahui, pertemuan tahunan Para Pihak dalam penanganan perubahan iklim telah dilaksanakan pada akhir tahun 2011 yang lalu di Durban, Afrika Selatan yang dikenal sebagai COP17/CMP7. Dalam pertemuan yang berlangsung cukup alot ini, pada akhirnya dihasilkan beberapa keputusan. Pertemuan COP17 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-LCA di akhir tahun 2012 (dalam COP18) serta (ii) dimulainya masa kerja ADP di pertengahan tahun Sementara itu, CMP7 menghasilkan dua keputusan utama yaitu: (i) berakhirnya masa kerja AWG-KP di akhir tahun 2012 (dalam CMP8) serta (ii) berakhirnya Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto pada 31 Desember 2012 yang akan langsung dilanjutkan dengan pelaksanaan Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto pada 1 Januari 2013 S.3 Slide yang terlihat di layar memberikan gambaran mengenai kedua AWGs serta ADP dilihat dari timeframe-nya. 114

125 AWG-KP dimulai proses negosiasinya dengan kesepakatan yang dihasilkan dalam CMP1 di Montreal pada tahun Berdasarkan kesepakatan di Durban maka AWG ini akan menyelesaikan masa kerjanya dalam bentuk negosiasi di CMP8 di Dha akhir tahun ini dan segera diimplementasikan dalam bentuk Periode Komitmen Kedua sejak 1 Januari Berdasarkan proses perundingan yang berlangsung hingga saat ini, belum disepakati berapa lama Periode Komitmen Kedua ini akan berjalan. Beberapa negara terutama negara berkembang dan AOSIS menyampaikan posisinya agar periode komitmen ini hanya berlangsung selama 5 tahun dan selesai pada akhir Negara-negara lain melihat sebaiknya periode komitmen ini berlangsung selama 8 tahun hingga akhir 2020 dan karenanya diharapkan tidak ada kekosongan legal dengan masa implementasi ADP. AWG yang lain adalah AWG-LCA yang diawali masa kerjanya dengan Bali Action Plan sebagai hasil dari COP13 di Bali, Kesepakatan di Durban memutuskan bahwa masa kerja AWG dalam bentuk negosiasi diselesaikan dalam COP18 pada akhir tahun ini di Doha. Sesuai dengan nama dan mandatnya, hasil dari AWG ini akan diimplementasikan hingga akhir Berdasarkan kesepakatan di Durban, ADP dibentuk sebagai wadah untuk melakukan perundingan penanganan perubahan iklim secara global di masa depan setelah berakhirnya implementasi dari keluaran kedua AWG lainnya. Keputusan 1 dalam COP17 menyatakan bahwa ADP ditargetkan untuk menyelesaikan masa kerja dan mencapai kesepakatan di tahun 2015 sehingga hasilnya dapat diadopsi guna memastikan kekuatan hukum dan implementasi sejak tahun Belajar dari pengalaman selama ini, tampaknya masa negosiasi selama kurang dari 4 tahun tampaknya tidak akan mampu mencapai target yang diharapkan, karenanya pertanyaan pun timbul apakah mungkin masa kerja dalam bentuk negosiasi dilanjutkan? Jika hal ini dimungkinkan, seberapa lama penambahan ini dimungkinkan mengingat pentingnya proses ratifikasi oleh masing-masing Para Pihak sehingga hasil dari ADP dapat berkekuatan hukum yang sah dan diberlakukan secara efektif. Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 115

126 S.4 Untuk menjawab pertanyaan apa yang harus disiapkan oleh Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu dimana posisi dan apa peran Indonesia di masing-masing proses yang berjalan ini. AWG-LCA berdasarkan sejarahnya memang dibentuk sebagai upaya penyeimbang implementasi Protokol Kyoto. Karenanya, pendekatan yang dipakai pun dengan membagi negara-negara di dunia dalam dua kelompok besar yaitu negara maju dan negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang termasuk dalam negara yang dapat berkontribusi dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) yang bersifat sukarela. Sektor kehutanan memegang peran penting dalam mitigasi termasuk NAMAs dalam bentuk REDD+. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga memiliki hak dalam bentuk akses dan support bagi kegiatan adaptasinya. Demikian pula Indonesia memiliki hak atas support dari negara maju dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas. S.5 Sementara itu, di dalam AWG-KP terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Di dalam Protokol Kyoto negara yang diberikan kewajiban untuk menurunkan emisi adalah negara maju yang tergabung dalam Annex B, sehingga pada dasarnya tidak ada hal yang diharapkan dalam hal kewajiban dari negara berkembang. Namun demikian, di dalam Protokol Kyoto negara berkembang memiliki akses terhadap mekanisme Kyoto yang merupakan mekanisme fleksibilitas bagi negara maju untuk memenuhi komitmen penurunan emisinya yaitu dalam bentuk CDM (clean development mechanisms). Demikian pula halnya dengan akses terhadap Adaptation Fund. S.6 Menjelang Doha, beberapa hal harus diperhatikan dan diantisipasi oleh Indonesia. 116

127 Untuk AWG-LCA, satu hal yang perlu dicermati adalah seberapa jauh penurunan emisi sebagai kewajiban negara maju di luar Protokol Kyoto akan dilaksanakan hingga 2020 dalam bentuk Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions (NAMACs). Demikian pula dengan komitmen negaramaju utnuk memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas. Yangt idak kalah pentingnya adalah apa sesungguhnya arti dan nilai serta implikasi hukum dari keluaran AWG-LCA selama masa implementasi hingga S.7 Untuk AWG-KP yang menjadi isu penting hingga akhir tahun ini dan juga mungkin setelah Doha adalah mengenai lamanya Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto. Perdebatan apakah periode ini 5 tahun atau 8 tahun masih berlangsung sangat kuat. Seperti halnya dalam Periode Komitmen Pertama Protokol Kyoto, dalam Periode Kedua ini harus pula ditentukan berapa besar penurunan emisi GRK yang ditargetkan oleh negara maju dalam Annex B. Hingga saat ini, negara-negara Annex B telah menyampaikan pledge-nya namun hingga saat ini belum disampaikan dalam bentuk QELROs atau quantified emission limitation and reduction objectives sebagai target komitmennya. Dalam pemenuhan komitmen tersebut, modalitas yang dapat digunakan akan memegang peranan penting demikian pula dengan metodologinya. Pemanfaatan LULUCF dan CDM termasuk A/R CDM akan memberikan dampak terhadap penurunan emisi GRK secara neto. S.8 ADP seperti telah disebutkan sebelum ini merupakan penanganan perubahan iklim secara global dalam jangka panjang yaitu pasca ADP atau Adhoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions dihasilkan dalam pertemuan COP17 dalam Dec.1/CP.17. ADP merupakan badan subsider baru di bawah UNFCCC yang akan membahas penanganan perubahan iklim dalam bentuk perundingan. Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 117

128 Perundingan yang dilakukan ini adalah suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan protokol, instrumen legal atau agreed outcome yang memiliki kekuatan hukum di bawah UNFCCC yang berlaku bagi seluruh Para Pihak. Di dalam keputusan ini juga diangkat bahwa hasil tersebut nantinya akan pula mencakup elemen mitigasi, adaptasi dan means of implementation. S.9 Proses dalam ADP juga akan membuat rencana kerja yang tepat guna peningkatan level of ambitions termasuk dalam hal mitigasi. Rencana kerja yang dibuat dimaksudkan untuk melakukan identifikasi dan eksplorasi opsi-opsi dari serangkaian aksi yang dapat menutup adanya kesenjangan ambisi dengan maksud untuk memastikan the highest mitigation efforts by all Parties. Beberapa terminologi baru yang muncul dalam keputusan ini perlu untuk diperhatikan dan dianalisis dengan seksama sehingga akan didapatkan pemahaman yang sama antar berbagai Para Pihak. S.10 Di tahun 2012 ini seperti yang telah disepakati di Durban, salah satu agenda perundingan yang baru dimulai adalah ADP. Proses perundingan di bawah ADP akan terus berjalan dan diharapkan berakhir di tahun 2015 dengan diadopsinya keluaran yang disepakati oleh Para Pihak. Untuk itu, Indonesia perlu mempersiapkan beberapa hal. Dalam proses ADP perlu disepakati mekanisme kerja yang akan dilakukan yaitu bentuk perundingan bagi rezim baru di bawah UNFCCC. Perubahan sebagai implikasi dari applicable to all akan mengakibatkan terjadinya perubahan pendekatan dan pengelompokan negara. Pekerjaan rumah utama bagi Indonesia adalah bagaimana pengelompokan negara yang ada di bawah ADP. Dimanakah posisi Indonesia dalam pengelompokan baru tersebut. S.11 Elemen yang paling utama adalah untuk menjawab kesenjangan ambisi yaitu kesenjangan antara konsentrasi GRK di atmosfer yang aman bagi kehidupan yang berarti adanya penurunan emisi GRK secara signifikan melalui mitigasi. 118

129 Dalam ADP seluruh negara akan diberikan peran dalam mitigasi. Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana Indonesia dapat berperan dalam mitigasi ini. Apakah peran Indonesia dalam bentuk kewajiban? Apakah peran Indonesia dalam kontribusi penurunan emisi seperti yang saat ini telah ditargetkan Indonesia secara sukarela hingga 2020? Apakah dalam bentuk kewajiban yang didukung oleh support dari negara maju? Atau dalam bentuk lainnya? Dalam hal mitigasi di Indonesia juga perlu diperhatikan sektor mana saja yang dapat berperan? Seberapa jauh peran sektor energi, seberapa jauh peran sektor kehutanan dan lainnya? Oleh karena itu PENTING bagi Indonesia untuk melakukan analisis kondisi Indonesia sehingga dapat ditentukan peran yang paling tepat bagi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim global pasca S.12 Analisis ini perlu dilakukan oleh berbagai sektor berdasarkan kondisi, kekuatan dan kapasitas masing-masing. Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor kunci yang perlu melakukan analisis mendalam peran dan posisi Indonesia dalam melakukan penurunan emisi GRK. Peran hutan dalam REDD+ saat ini perlu dianalisis lebih jauh dan mendalam sehingga perannya di pasca 2020 dapat diidentifikasi dan diprediksikan. Proses bersama dengan stakeholder seperti yang dilaksanakan saat ini hendaknya dapat terus dilaksanakan termasuk dalam melakukan analisis sehingga antisipasinya dapat dilakukan secara lebih partisipatif. Wassalamualaikum wr.wb. Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 119

130 B. Dokumentasi

131

132

133 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 123

134 124

135 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 125

136 126

137 Mapping for Change: Land Uses and Natural Resources Community Mapping Experiences from Terantang Village, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan 127

United Nations Climate Change Conference (UNCCC Warsaw) COP19, CMP9, SBSTA39, SBI39, ADP2.3. Kantor UKP-PPI/DNPI

United Nations Climate Change Conference (UNCCC Warsaw) COP19, CMP9, SBSTA39, SBI39, ADP2.3. Kantor UKP-PPI/DNPI United Nations Climate Change Conference (UNCCC Warsaw) COP19, CMP9, SBSTA39, SBI39, ADP2.3 Kantor UKP-PPI/DNPI Alur Perundingan 19th session of the Conference of the Parties to the UNFCCC (COP19) 9th

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia IMAN SANTOSA T. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi kehutanan Kementerian Kehutanan Workshop Sistem

Lebih terperinci

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs Pandangan Indonesia mengenai NAMAs 1. Nationally Appropriate Mitigation Action by Non-Annex I atau biasa disingkat NAMAs adalah suatu istilah pada Bali Action Plan yang disepakati Pertemuan Para Pihak

Lebih terperinci

MENTERJEMAHKAN TRANSPARANSI FRAMEWORK

MENTERJEMAHKAN TRANSPARANSI FRAMEWORK Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jakarta, Januari 2017 MENTERJEMAHKAN TRANSPARANSI FRAMEWORK PERSETUJUAN PARIS DALAM KONTEKS NASIONAL Dr. Ir.

Lebih terperinci

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c No.163, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Inventarisasi GRKN. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.73/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

Hasil Pertemuan COP 17 dan COP/CMP 7 di DURBAN. Pekerjaan Rumah Indonesia

Hasil Pertemuan COP 17 dan COP/CMP 7 di DURBAN. Pekerjaan Rumah Indonesia Hasil Pertemuan COP 17 dan COP/CMP 7 di DURBAN Pekerjaan Rumah Indonesia oleh: Liana Bratasida lianab125@yahoo.com Jakarta, 22 Maret 2012 Negosiasi Internasional Menjelang 2012 Struktur Organisasi UNFCCC

Lebih terperinci

WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA

WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA Dr. Etti Ginoga Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan BADAN LITBANG

Lebih terperinci

Kebijakan Pelaksanaan REDD

Kebijakan Pelaksanaan REDD Kebijakan Pelaksanaan REDD Konferensi Nasional terhadap Pekerjaan Hijau Diselenggarakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional Jakarta Hotel Borobudur, 16 Desember 2010 1 Kehutanan REDD bukan satu-satunya

Lebih terperinci

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA IMPLEMENTASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA Ir. Wahyuningsih Darajati, M.Sc Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Disampaikan ik dalam Diskusi

Lebih terperinci

Tata ruang Indonesia

Tata ruang Indonesia Tata ruang Indonesia Luas 190,994,685 Ha Hutan Produksi Kawasan Non-hutan Hutan Produksi Terbatas Hutan konservasi Hutan dilindungi Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Departemen Kehutanan Indonesia

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM OUTLINE ISU PENDANAAN REDD+ PROGRESS PENDANAAN REDD+ di INDONESIA

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Implementasi MRV REDD+

Strategi dan Rencana Implementasi MRV REDD+ Strategi dan Rencana Implementasi MRV Workshop Sistem MRV Sumatera Barat Padang, 13-14 September 2012 0 Topik bahasan I II Rasionalisasi Sistem MRV III Roadmap MRV IV Lembaga MRV 1 1 9/24/2012 Mandat Pelaksanaan

Lebih terperinci

KETERPADUAN AGENDA PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL NASIONAL SUB NASIONAL

KETERPADUAN AGENDA PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL NASIONAL SUB NASIONAL KETERPADUAN AGENDA PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL NASIONAL SUB NASIONAL Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Iman Santosa Tj. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Ditjen Planologi Kehutanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD Plus

Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD Plus Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD Plus Doddy S. Sukadri Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Disampaikan dalam rangka PELATIHAN MEKANISME PEMBAYARAN REDD PLUS Hotel Grand USSU, Cisarua, 21 Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dijalankan beriringan dengan proses perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dimana pembangunan itu sendiri dilakukan

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

Implementasi Mekanisme REDD+

Implementasi Mekanisme REDD+ DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEMENTERIAN KEHUTANAN UN-REDD PROGRAMME INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEMENTERIAN KEHUTANAN UN-REDD Programme Indonesia Sekretariat: Gedung Manggala Wanabakti Ruang

Lebih terperinci

Overview of Climate Negotiation: Balanced Package for Doha?

Overview of Climate Negotiation: Balanced Package for Doha? Overview of Climate Negotiation: Balanced Package for Doha? Tazwin Hanif Deputy Director for Sustainable Development. Ministry of Foreign Affairs Dialog Kebijakan Indonesia Climate Action Network (ICAN)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, telah mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menurunkan emisi Gas

Lebih terperinci

WWF: Paket Istimewa yang diharapkan dari Durban

WWF: Paket Istimewa yang diharapkan dari Durban WWF: Paket Istimewa yang diharapkan dari Durban COP 17 di Durban akan menjadi titik balik proses negosiasi PBB untuk perubahan iklim. Para pemimpin dunia dapat meneruskan capaian yang telah dihasilkan

Lebih terperinci

Konservasi dan Perubahan Iklim. Manado, Pipin Permadi GIZ FORCLIME

Konservasi dan Perubahan Iklim. Manado, Pipin Permadi GIZ FORCLIME Konservasi dan Perubahan Iklim Manado, 28.05.2015 Pipin Permadi GIZ FORCLIME www.forclime.org Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan suatu keadaan dimana pola iklim dunia berubah secara drastis dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Lampiran 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja

Lebih terperinci

DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN. Jakarta, 26 Januari 2017

DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN. Jakarta, 26 Januari 2017 DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN Workshop Nasional "Menterjemahkan Transparency Framework Persetujuan Paris dalam Konteks Nasional" Jakarta, 26 Januari 2017 ISU STRATEGIS ORGANISASI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN. Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN. Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG KEHUTANAN TAHUN ANGGARAN 2015 KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PTT (51) Bidang Kehutanan I. Pendahuluan Asisten

Lebih terperinci

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4. Oleh: Task Force Pembangunan Rendah Emisi Provinsi Papua dan Papua Barat Isi Paparan 1. Pendahuluan REL Tanah Papua Tahun 2001-2020 dari Sektor Kehutanan 3. Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

Menuju Warsawa: Isu-isu Utama Negosiasi Pendanaan. Suzanty Sitorus Pokja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim

Menuju Warsawa: Isu-isu Utama Negosiasi Pendanaan. Suzanty Sitorus Pokja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim Menuju Warsawa: Isu-isu Utama Negosiasi Pendanaan Suzanty Sitorus Pokja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim Proses UNFCCC terkait pendanaan, 2013 ADP 2-1 Bonn 29 Apr-3 Mei Intersessional Bonn 3-14

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM Pokok Bahasan Tentang Konvensi Struktur Konvensi Peluang dukungan dan dana Tentang Protokol Kyoto Elemen & Komitmen Protokol Kyoto

Lebih terperinci

Dialog Kebijakan Indonesia Climate Action Network (ICAN) Jakarta, 30 Oktober 2012

Dialog Kebijakan Indonesia Climate Action Network (ICAN) Jakarta, 30 Oktober 2012 Dialog Kebijakan Indonesia Climate Action Network (ICAN) Jakarta, 30 Oktober 2012 Dua ad-hoc working groups, AWG-KP dan AWG-LCA, akan diakhiri di Doha AWG-LCA: diakhiri dengan agreed outcome untuk isu

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC)

Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) Prosiding Komunikasi Stakeholder tentang Penanganan Perubahan Iklim Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Implikasinya terhadap Penanganan Perubahan Iklim Bidang Kehutanan Indonesia Jakarta, 11 Desember

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

Pertemuan Koordinasi GCF

Pertemuan Koordinasi GCF Didanai oleh Uni Eropa Pertemuan Koordinasi GCF Bali, 23-25 Juni 2014 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan pelopor global dalam hal komitmen negara berkembang untuk melakukan aksi mitigasi secara nasional

Lebih terperinci

Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ Indonesia

Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ Indonesia Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ Indonesia Disampaikan dalam Lokakarya Peta Jalan Mempersiapkan dan Memberi Kerangka Hukum bagi REDD+ Jakarta, 28 November 2013 MRV (Measurement, Reporting, Verification)

Lebih terperinci

TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN

TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN LITBANG KEHUTANAN, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610. PO BOX 272. Telp +622518633944;

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN TROPICAL FOREST CONSERVATION FOR REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION AND ENHANCING CARBON STOCKS IN MERU BETIRI NATIONAL PARK, INDONESIA ITTO PD 519/08 REV.1 (F) KEMENTERIAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 15.11.2011 In cooperation with 14.05.2012 Page Seite 1 ISI PRESENTASI 1. Latar Belakang 2. Kemajuan Penyusunan Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan

Lebih terperinci

National Forest Monitoring System

National Forest Monitoring System National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia IMAN SANTOSA T. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen ij Planologi l ikh kehutanan Kementerian Kehutanan Workshop

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

STRATEGI READINESS REDD INDONESIA ( )

STRATEGI READINESS REDD INDONESIA ( ) MINISTRY OF FORESTRY STRATEGI READINESS REDD INDONESIA (2009-2012) POKJA Perubahan Iklim Departemen Kehutanan Disampaikan pada acara Konsultasi Publik, Jakarta, 14 September 2009 MINISTRY OF FORESTRY PENGANTAR

Lebih terperinci

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya Prosiding Workshop MRV dalam rangka REDD+ di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Prosiding ini merupakan hasil dari workshop dengan judul yang sama yang dilaksanakan

Lebih terperinci

Republik Indonesia Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BUKU PANDUAN

Republik Indonesia Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BUKU PANDUAN Republik Indonesia Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BUKU PANDUAN SOSIALISASI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAD-GRK)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION, ROLE

Lebih terperinci

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI KONTRIBUSI NON-PARTY STAKEHOLDERS (NPS) DI KALIMANTAN TIMUR DALAM PEMENUHAN NDC FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI Niken Sakuntaladewi (niken_sakuntaladewi@yahoo.co.uk) Pusat Litbang Sosial,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

SAMBUTAN KETUA DPR-RI. Pada Jamuan Makan Siang dengan Peserta International Youth Forum on Climate Change (IYFCC) Jakarta, 28 Februari 2011

SAMBUTAN KETUA DPR-RI. Pada Jamuan Makan Siang dengan Peserta International Youth Forum on Climate Change (IYFCC) Jakarta, 28 Februari 2011 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN KETUA DPR-RI Pada Jamuan Makan Siang dengan Peserta International Youth Forum on Climate Change (IYFCC) Jakarta, 28 Februari 2011 Assalamu alaikum

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA ATAU INDONESIA CERTIFIED EMISSION REDUCTION

Lebih terperinci

MEMBANGUN INVENTARISASI GRK

MEMBANGUN INVENTARISASI GRK MEMBANGUN INVENTARISASI GRK INVENTARISASI GAS RUMAH KACA ADALAH KEGIATAN UNTUK MEMANTAU DAN MENGHITUNG TINGKAT DAN STATUS GRK DARI BERBAGAI SUMBER EMISI (SOURCE) DAN PENYERAPNYA (SINK) AKIBAT KEGIATAN

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN International Conference on Sustainable Mangrove Ecosystems Bali, 18 April 2017 Yang kami

Lebih terperinci

Jambi, Desember 2013 Penulis

Jambi, Desember 2013 Penulis Laporan pelaksanaan Sosialisasi Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (PEP RAD GRK) ini, menguraikan tentang : pendahuluan, (yang terdiri dari latar belakang,

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 2085-787X Policy Volume 4 No. 3 Tahun 2010 Melihat Demonstration Activity

Lebih terperinci

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG Draft 10 November 1 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/200930 /Menhut- II/20092009 TENTANG TATA CARA PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK)

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK) RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK) Shinta Damerys Sirait Kepala Bidang Pengkajian Energi Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Kementerian Perindustrian Disampaikan

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD

PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD Draft 18 Maret 2009 LAMPIRAN 1 PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD Untuk pemberian rekomendasi pelaksanaan REDD, Pemerintah Daerah terlebih dahulu melakukan penilaian

Lebih terperinci

Dialog Nasional Program Investasi Kehutanan di Indonesia

Dialog Nasional Program Investasi Kehutanan di Indonesia Kerangka Acuan Dialog Nasional Program Investasi Kehutanan di Indonesia Dewan Kehutanan Nasional dan Kementerian Kehutanan RI Hotel Pangrango 2 - Bogor, 28 Juni 2013 1. Latar Belakang Indonesia sedang

Lebih terperinci

Workshop Perumusan Mekanisme Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan RAN/RAD - GRK

Workshop Perumusan Mekanisme Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan RAN/RAD - GRK BAPPENAS Workshop Perumusan Mekanisme Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan RAN/RAD - GRK Endah Murniningtyas Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/

Lebih terperinci

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012-2013 Tim Puspijak Disampaikan di Kupang, 16-17 Oktober 2014 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Agreement. Perubahan Iklim. PBB. Kerangka Kerja. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 204) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Endah Murniningtyas Deputi Bidang SDA dan LH Disampaikan dalam Forum Diskusi Nasional Menuju Kota Masa Depan yang Berkelanjutan dan Berketahanan

Lebih terperinci

Laporan. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada

Laporan. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada Laporan Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada Sosialisasi Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas

Lebih terperinci

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah B Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Desember, 2013 Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Penulis:

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

PEMBAGIAN MANFAAT REDD+ DI KAWASAN HUTAN

PEMBAGIAN MANFAAT REDD+ DI KAWASAN HUTAN PEMBAGIAN MANFAAT REDD+ DI KAWASAN HUTAN Muhammad Zahrul Muttaqin P3SEKPI, BLI KLHK Jakarta, 28 November 2017 Pendahuluan REDD+ sebagai positif insentif REDD+ sebagai sebuah program nasional yang dilaksanakan

Lebih terperinci

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK PROGRES DAN POTENSI OUTLINE HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK IDENTIFIKASI POTENSI HAKI POTENSI PEROLEHAN HAKI 1 HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK LITBANG

Lebih terperinci

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

SELAMAT TAHUN BARU 2011

SELAMAT TAHUN BARU 2011 SELAMAT TAHUN BARU 2011 TIM PENGARAH (National Program Executive Boad - PEB) STRUKTUR ORGANISASI REDD+ PROGRAMME INDONESIA NATIONAL PROJECT MANAGER (NPM) Laksmi Banowati STRUKTUR ORGANISASI PMU REDD+ PROGRAMME

Lebih terperinci

COP 17/CMP 7 DIBUKA OLEH

COP 17/CMP 7 DIBUKA OLEH COP 17/CMP 7 DIBUKA OLEH sambutan dari Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres, Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma, dan pidato pembukaan oleh Menteri Lingkungan Afrika Selatan, Nkoana-Mashabane

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Barat West Kalimantan Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Barat West Kalimantan Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Kalimantan Barat West Kalimantan Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Kalimantan Barat ornelis M.H West Kalimantan Governor Preface ornelis M.H Puji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih sebagai isu lingkungan global. Salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya suhu di bumi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung Dicky Edwin Hindarto Koordinator Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon Sosialisasi Skema Penilaian Kesesuaian Greenhouse Gases

Lebih terperinci

SAMBUTAN. PADA PEMBUKAAN SEMINAR BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGAN PERUBAHAN IKLIM Manado, 28 Mei 2015

SAMBUTAN. PADA PEMBUKAAN SEMINAR BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGAN PERUBAHAN IKLIM Manado, 28 Mei 2015 SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN SEMINAR BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGAN PERUBAHAN IKLIM Manado, 28 Mei 2015 Yang saya hormati: 1. Kepala Dinas

Lebih terperinci

KELEMBAGAAN DAN UPAYA INDONESIA

KELEMBAGAAN DAN UPAYA INDONESIA Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KELEMBAGAAN DAN UPAYA INDONESIA DALAM KONTRIBUSI PENURUNAN EMISI Dr. Ir. Joko Prihatno, M.M Direktur Inventarisasi

Lebih terperinci

Pendanaan utk Mitigasi Sektor Kehutanan dan Kesiapan Pasar REDD+ di Indonesia

Pendanaan utk Mitigasi Sektor Kehutanan dan Kesiapan Pasar REDD+ di Indonesia Pendanaan utk Mitigasi Sektor Kehutanan dan Kesiapan Pasar REDD+ di Indonesia Ismid Hadad Dewan Nasional Perubahan Iklim Presentasi untuk Workshop Kementerian Kehutanan tentang Pendanaan dan Mekanisme

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Asisten Deputi Urusan Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Asisten Deputi Urusan Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KEBIJAKAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & SISTEM INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL Sulistyowati Asisten Deputi Urusan Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer Jakarta, 26 Januari

Lebih terperinci

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010 STRATEGI REDD - INDONESIA FASE READINESS 2009 2012 dan progress implementasinya Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia Jakarta, 6 Januari 2010 AusAID KERJASAMA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010 STRATEGI REDD - INDONESIA FASE READINESS 2009 2012 dan progress implementasinya Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia Jakarta, 6 Januari 2010 AusAID KERJASAMA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci