NERACA KARBON PADA PENGELOLAAN PADI GAMBUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NERACA KARBON PADA PENGELOLAAN PADI GAMBUT"

Transkripsi

1 NERACA KARBON PADA PENGELOLAAN PADI GAMBUT MAYANG HAYUNING ASTUTI F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 NERACA KARBON PADA PENGELOLAAN PADI GAMBUT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : MAYANG HAYUNING ASTUTI F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN NERACA KARBON PADA PENGELOLAAN PADI GAMBUT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : MAYANG HAYUNING ASTUTI F Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1987 di Solo Tanggal Lulus :... Menyetujui, Bogor, September 2009 Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Mengetahui, Dr. Ir. Desrial, MEng Ketua Departemen Teknik Pertanian

4 Mayang Hayuning Astuti. F Neraca Karbon pada Pengelolaan Padi Gambut. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc RINGKASAN Pengembangan pertanian dengan mengintensifkan lahan pertanian yang tersisa dan melakukan ekstensifikasi terpaksa diarahkan pada lahan-lahan marjinal diluar Jawa, seperti lahan rawa pasang surut karena semakin menyusutnya lahan pertanian. Tanah gambut jika digunakan sebagai lahan pertanian, maka lahan gambut tersebut mengalami perubahan penggunaan lahan yang dapat mengakibatkan pelepasan karbon dari dalam tanah dalam bentuk CO 2 dan CH 4. Selain itu, penggunaan lahan gambut untuk kegiatan pertanian dapat bermanfaat karena menyerap CO 2 yang dilepaskan dari dalam tanah untuk proses fotosintesis yang hasilnya akan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hal ini, maka penelitian tentang neraca karbon pada pengelolaan padi gambut dilakukan. Penelitian neraca karbon pada tanah gambut dengan menggunakan empat bahan amelioran (tanpa amelioran, dolomit, pupuk silikat, dan pupuk kandang) yang diharapkan mampu menekan emisi ini telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah pada bulan Februari-Juli Perlakuan disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian selama satu musim tanam menunjukkan bahwa emisi CO 2 tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa amelioran dengan nilai total emisi sebesar 7382 kg/ha, kemudian diikuti oleh perlakuan pupuk silikat, dolomit, dan pupuk kandang dengan nilai total emisi masing-masing sebesar 6126 kg/ha, 5392 kg/ha, dan 5121 kg/ha. Total emisi CH 4 tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa amelioran sebesar kg/ha, kemudian diikuti perlakuan pupuk silikat, dolomit, dan pupuk kandang masing-masing sebesar kg/ha, kg/ha, dan kg/ha. Sedangkan emisi N 2 O tertinggi dihasilkan oleh perlakuan dolomit sebesar kg/ha, diikuti pupuk silikat, tanpa amelioran, dan pupuk kandang masing-masing sebesar kg/ha, kg/ha, dan kg/ha. Hasil perhitungan Global Warming Potential (GWP) pada perlakuan tanpa amelioran menghasilkan nilai tertinggi sebesar ton CO 2 -eq, dan GWP terendah dihasilkan oleh perlakuan pupuk kandang sebesar ton CO 2 -eq. Perlakuan tanpa amelioran menghasilkan total kandungan C-Organik sebesar 4043 kg-c/ha, diikuti perlakuan pupuk kandang kg-c/ha, pupuk silikat kg-c/ha, dan dolomit kg-c/ha. Sedangkan GWP CO 2 -C yang dihasilkan dari perlakuan tanpa amelioran sebesar kg CO 2 -C/ha, pupuk silikat kg CO 2 -C/ha, dolomit 7603 kg CO 2 - C/ha, dan pupuk kandang kg CO 2 -C/ha. Sehingga net karbon terendah dihasilkan oleh perlakuan pupuk kandang sebesar kg-c/ha, diikuti dolomit, pupuk silikat, dan tanpa amelioran masing-masing sebesar kg-c/ha, kg-c/ha, dan kg-c/ha. Net karbon tertinggi pada perlakuan tanpa amelioran membuktikan bahwa lebih banyak karbon yang dilepas ke atmosfer dibandingkan yang disimpan oleh tanaman. Sedangkan net karbon terendah pada perlakuan pupuk kandang, menunjukkan bahwa lebih banyak karbon yang disimpan oleh tanaman dibandingkan karbon yang dilepas ke atmosfer. Hasil emisi GRK, GWP, total kandungan C, dan net karbon yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan bahan amelioran pupuk kandang merupakan bahan amelioran yang baik digunakan pada tanah gambut yang diusahakan untuk kegiatan pertanian.

5 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 26 Juni 1987, anak ke-3 dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Djuwadi Purwo Admojo dan Ibu Ratih Prasetyani. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis yaitu: pedidikan dasar di SDN Pluit 01 Pagi dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SLTPN 261 Muara Angke, lulus pada tahun Penulis menamatkan pendidikan menengah umumnya di SMUN 2 Jakarta pada tahun Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa IPB angkatan 42 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis melakukan Praktek Lapang di PTPN VII (Persero) Unit Usaha Pematang Kiwah, Lampung Selatan dengan judul Mempelajari Aspek Keteknikan pada Proses Pengolahan Karet dan Limbah yang di Hasilkan di PTPN VII (Persero) Unit Usaha Pematang Kiwah, Lampung Selatan. Penulis aktif dalam kegiatan organisasi HIMPUNAN MAHASISWA TEKNIK PERTANIAN (HIMATETA) sebagai staf di Biro Kewirausahaan dari Departemen Ekonomi pada tahun 2008/2009.

6 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah- Nya, serta salawat dan salam yang tak henti-hentinya dipanjatkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW, karena berkat suri tauladannya yang telah menerangi bumi ini sehingga penelitian berjudul NERACA KARBON PADA PENGELOLAAN PADI GAMBUT dapat selesai tepat pada waktunya. Penelitian ini akan digunakan penulis untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, saran dan bimbingan kepada penulis selama pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini. 3. Ir. Gardjito, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun kepada penulis. 4. Seluruh dosen pengajar di Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor, atas bekal ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. 5. Keluarga besar Laboratorium GRK, Mbak Lina, Mbak Mira, Mbak Rina, Mbak Titi, Pak Yarpani, Pak Jumari, Pak Yoto, Mas Yanto, Mas Yono, Mas Santo atas bantuannya selama penelitian. 6. Bapak, Ibu dan Kakakku yang selalu memberikan kasih sayang dan doanya, serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan. 7. Eka Setiawan yang telah memberikan dukungan, semangat serta perhatiannya. 8. Teman seperjuangan selama penelitian di Pati, yaitu Ismi (beserta keluarganya), Kaler, Cingah. 9. Teman-teman kosan yaitu, Ruly, Boncel, Cia, Triva, Jessi, Ka Dona, Kadek atas doa dan bantuannya selama ini. i

7 10. Seluruh teman-teman Teknik Pertanian angkatan 42 atas dukungan dan doanya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, maka dari itu penulis menyadari akan kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam menyusun skripsi ini. Penulis berharap adanya masukan dan kritikan untuk skripsi ini sehingga menjadi lebih baik. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian yang telah dilakukan dan dibukukan dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat. Terima kasih. Bogor, Agustus 2009 Penulis ii

8 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN Halaman RINGKASAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I.PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan Gambut Potensi dan Kendala Lahan Gambut Untuk Pertanian Pemanasan Global Gas Rumah Kaca Gas CH Gas CO Gas N 2 O Kandungan Karbon pada Tanaman III.METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Pelaksanaan Penelitian Pengolahan Data Emisi iii

9 3.5. Analisis Data IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Emisi Gas Rumah Kaca pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran Emisi Gas CH Emisi Gas CO Emisi Gas N 2 O Potensial Redoks dan ph Tanah Potensial Redoks Tanah Kemasaman (ph) Tanah Parameter-parameter Tanaman Jumlah Anakan dan Tinggi Tanaman Komponen Hasil Global Warming Potential (GWP) Analisis Kandungan Karbon pada Tanaman V. KESIMPULAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

10 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Mikroplot Untuk Penanaman Padi Gambar 2. Skema Penyusunan Perlakuan di Mikroplot Gambar 3. Susunan Tanaman Padi Gambut Dalam Mikroplot Gambar 4. Boks Otomatik Penangkap Gas CH Gambar 5. Boks Manual Gambar 6. Alat Eh dan ph meter Gambar 7. Tanur Pembakar 200ºC Gambar 8. Tanur Pembakar 900ºC Gambar 9. Bagan Alir Kegiatan Penelitian Gambar 10. Bagan Alir Kegiatan Analisis Serapan Karbon pada Tanaman Gambar 11. Tanaman Padi di dalam Boks Penangkap Gas Gambar 12. Lokasi Pengukuran Emisi CH Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Fluks CH 4 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Fluks Kumulatif CH 4 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Fluks CO 2 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Fluks Kumulatif CO 2 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Fluks N 2 O pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Fluks Kumulatif N 2 O pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Gambar 19. Elektroda Gelas Gambar 20. Pengukuran Potensial Redoks Tanah Gambar 21. Gambar 22. Perubahan Potensial Redoks (Eh) Tanah pada Pemberian Beberapa Bahan Amelioran di Tanah Gambut Kemasaman Tanah (ph) pada Pemberian Beberapa Bahan Amelioran di Tanah Gambut v

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses nitrifikasi dan denitrifikasi...13 Tabel 2. Hasil analisis statistik jumlah anakan, tinggi tanaman, dan fluks CH 4 pada setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam...42 Tabel 3. Komponen hasil padi pada setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam...43 Tabel 4. Total emisi GRK pada setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam...45 Tabel 5. Hasil gabah dan GWP pada setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam...46 Tabel 6. Kandungan C pada tanaman berdasarkan bagian tanaman pada setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam...47 Tabel 7. Neraca karbon pada setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam...48 Tabel 8. Total emisi CO 2, CH 4, dan N 2 O yang dihasilkan selama satu musim tanam...50 Tabel 9. GWP yang dihasilkan selama satu musim tanam...50 Tabel 10.Neraca karbon pada tanah gambut selama satu musim tanam...50 vi

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Data emisi CO 2 selama satu musim tanam pada setiap perlakuan amelioran. 57 Data emisi CH 4 selama satu musim tanam pada setiap perlakuan amelioran. 58 Data emisi N 2 O selama satu musim tanam pada setiap perlakuan amelioran. 59 Data panen gabah ubinan dalam Boks pada setiap perlakuan amelioran. 60 Data panen jerami ubinan dalam boks pada setiap perlakuan amelioran. 61 Data panen gabah ubinan luar boks pada setiap perlakuan amelioran. 62 Data panen jerami ubinan luar boks pada setiap perlakuan amelioran. 63 Data panen akar per rumpun pada setiap perlakuan amelioran 64 Data panen biomasa total ubinan dalam dan luar boks pada setiap perlakuan amelioran 65 Lampiran 10. Data panen gulma pada setiap perlakuan amelioran 66 Lampiran 11. Data panen gabah hampa, gabah isi, dan 1000 butir per rumpun pada setiap perlakuan amelioran. 67 Lampiran 12. Data potensi hasil gabah pada setiap perlakuan amelioran..68 Lampiran 13. Data potensial redoks tanah (Eh) di tanah gambut pada setiap perlakuan amelioran 69 Lampiran 14. Data ph tanah di tanah gambut pada setiap perlakuan amelioran.70 Lampiran 15. Hasil analisis kandungan C pada tanaman di tanah gambut 71 Lampiran 16. Hasil perhitungan kandungan C pada gabah per luas lahan.72 Lampiran 17. Hasil perhitungan kandungan C pada akar per luas lahan 73 Lampiran 18. Hasil perhitungan kandungan C pada jerami per luas lahan 74 Lampiran 19. Hasil perhitungan kandungan C pada gulma per luas lahan...75 vii

13 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gas rumah kaca (GRK) seperti CH 4, N 2 O, dan CO 2 merupakan gas yang sebagian besar dihasilkan dari aktivitas lahan pertanian. Lahan sawah yang ditanami padi merupakan penyumbang gas CH 4 yang cukup signifikan setelah pembakaran bahan bakar fosil. Kondisi tanah tergenang yang anaerobik merupakan habitat yang sangat baik bagi perkembangan bakteri metanogenik (pembentuk gas CH 4 ). Selain emisi yang dihasilkan dari lahan sawah, aktivitas manusia juga menjadi salah satu penyumbang emisi. Emisi tersebut merupakan pelepasan CFC s yang dapat merusak lapisan stratosfer sehingga radiasi matahari dapat menembus ke bumi. Dinitrogen oksida (N 2 O) terbentuk melalui proses mikrobiologi baik secara aerobik maupun anaerobik. Karbondioksida (CO 2 ) adalah hasil dari dekomposisi bahan organik secara aerobik, tetapi CO 2 dapat digunakan kembali dalam proses fotosintesis tanaman padi. Peningkatan CO 2 secara global dibandingkan gas rumah kaca lainnya (CH 4 dan N 2 O), dapat menangkap radiasi panas sehingga menyebabkan peningkatan suhu permukaan bumi (GEIA, 1993 dalam Wassman et al., 2000). Produksi beras semakin jauh dari tingkat pertumbuhan populasi, sementara sumberdaya lahan semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian, seperti pemukiman, jalan raya, dan industri. Kemungkinan pengaruh perubahan iklim menambah masalah pada sumberdaya hayati sementara kebutuhan konsumsi masyarakat semakin meningkat. Oleh karena itu, pengembangan pertanian dengan mengintensifkan lahan pertanian yang tersisa dan melakukan ekstensifikasi terpaksa diarahkan pada lahan-lahan marjinal diluar Jawa, seperti lahan rawa pasang surut. Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian karena arealnya cukup luas. Walaupun mempunyai prospek yang baik untuk dijadikan lahan pertanian, namun ada kendala yang dihadapi, yaitu kendala kimia yang membatasi produktivitas lahan gambut karena rendahnya ketersediaan hara dan tingginya 1

14 kandungan asam-asam organik yang dapat meracuni tanaman (Suastika et al., 2006; Barchia, 2006). Tanah gambut dalam keadaan alami memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Namun jika lahan gambut ini digunakan sebagai lahan pertanian, maka lahan gambut tersebut mengalami perubahan penggunaan lahan yang dapat mengakibatkan pelepasan karbon dari dalam tanah dalam bentuk CO 2 dan CH 4. Selain itu, kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah gambut menyebabkan dekomposisi gambut berjalan cepat karena pengaruh aktivitas mikroorganisme tanah dan akan melepaskan CO 2 dan CH 4. Penggunaan lahan gambut untuk kegiatan pertanian dapat bermanfaat karena menyerap CO 2 yang dilepaskan dari dalam tanah untuk proses fotosintesis yang hasilnya akan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hal ini, maka penelitian tentang neraca karbon pada pengelolaan padi gambut dilakukan Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan data emisi GRK serta bahan amelioran yang cocok untuk digunakan di tanah gambut yang dapat menekan emisi GRK. 2. Menganalisis serapan karbon pada tanaman dan emisi karbon ke atmosfer. 2

15 II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembentukan Gambut Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Pengertian gambut di sini sebagai bahan onggokan dan secara umum diartikan sebagai bahan tambang, bahan bakar (non-minyak), bahan industri, bahan kompos, dan lain sebagainya (Noor, 2001). Bahan organik pada tanah gambut belum mengalami perombakan yang jauh (Notohadiprawiro, 1986). Proses pembentukan tanah gambut di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan dimulai sejak periode Holosen yang dianalisis dengan terbentuknya rawa-rawa sebagai akibat dari peristiwa transgresi dan regresi karena mencairnya es di kutub yang terjadi sekitar 4200 sampai 6800 tahun yang lalu (Sabiham, 1988 dalam Salampak, 1999). Pada periode sebelum Holosen yaitu periode Pleistosen, permukaan laut berada kira-kira 60 m di bawah permukaan laut sekarang. Kenaikan permukaan laut pada periode Holosen menyebabkan daratan di sekitar pantai menjadi tergenang dan membentuk rawa-rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam dan mati, kemudian mengalami proses dekomposisi secara lambat, sehingga terakumulasi bahan organik (Barchia, 2006). Gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-topografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Dengan kata lain, pada kondisi ini laju penimbunan bahan organik lebih besar daripada mineralisasinya. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh paduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar daripada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan friksi lanau (silt) yang rendah (Noor, 2001). 3

16 Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu gambut eutrofik, gambut oligotrofik, dan gambut mesotrofik (Noor, 2001) : 1. Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral, terutama kalsium karbonat; sebagian besar berada di daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkalin. 2. Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral, khususnya kalsium dan magnesium, serta bersifat asam atau sangat asam (ph < 4). 3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara dua golongan di atas. Sedangkan berdasarkan proses pembentukannya, gambut dapat dibedakan atas gambut ombrogen dan gambut topogen (Noor, 2001): 1. Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah hujan. 2. Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi (cekungan) dan air tanah. Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri dari gambut tebal dan miskin akan unsur hara, digolongkan ke dalam tingkat kesuburan oligotrofik (Salampak, 1999). Sedangkan pada gambut pantai pada umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut. Sabiham (1989) dalam Riwandi (2000) menyatakan bahwa gambut dikelompokkan berdasarkan tingkat dekomposisi, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Bahan fibrik biasanya diendapkan di lapisan gambut bawah, bahan ini banyak mengandung serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan dapat diidentifikasi asal botaninya. Bahan hemik dan saprik biasanya ditemukan di atas lapisan bahan fibrik. 2.2.Potensi dan Kendala Lahan Gambut Untuk Pertanian Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai 4

17 daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut (Agus dan Subiksa, 2008). Kawasan hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang khas dan memiliki potensi yang sangat luar biasa, baik bagi masyarakat disekitar kawasan maupun bagi masyarakat global. Bagi masyarakat sekitar, hutan rawa gambut memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air (aquifer), sebagai penyangga ekologi, sebagai lahan pertanian, sebagai tempat berkembangbiaknya flora dan fauna, dan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan papan. Pada umumnya lahan gambut di Indonesia bereaksi masam, memiliki tingkat kesuburan yang rendah, dan miskin unsur hara. Kandungan unsur hara mikro tanah gambut umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, sehingga dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Menurut Andriesse (1988), gugus karboksilat dan fenolat pada tapak pertukaran kation tanah gambut dapat membentuk ikatan kompleks dengan unsur mikro, sehingga sehingga unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, adanya reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Ameliorasi dibutuhkan untuk mengatasi tingginya kemasaman tanah dan buruknya kesuburan tanah yang merupakan dua faktor pembatas utama dalam meningkatkan produktivitas lahan gambut (Barchia, 2006). Bahan yang digunakan untuk mengatasi tingginya kemasaman dan buruknya kesuburan tanah dinamakan amelioran. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008). Bahan organik sebagai bahan amelioran tidak saja berkontribusi terhadap unsur hara, tetapi juga dapat menurunkan reaktifitas kation-kation meracun, seperti tingginya konsentrasi Al dan Fe, sehingga kerusakan yang ditimbulkan dapat dikurangi. Pada ph yang lebih tinggi lagi, stabilitas menjadi meningkat. Pada tanah sulfat masam, fenomena ini diharapkan akan terjadi secara baik karena proses pencucian akan menurunkan faktor kemasaman tanah. 5

18 Kapur baik sebagai kalsit (CaCO 3 ) maupun dolomit (CaMg(C 3 O) 2 ) merupakan bahan yang sangat efektif dalam menurunkan faktor kemasaman tanah maupun meningkatkan ketersediaan Ca dan Mg (Rachim et al., 2000). Kejenuhan basa tanah gambut umumnya < 15%, sementara secara umum kejenuhan basa tanah gambut harus mencapai 30% agar tanaman dapat menyerap basa-basa tertukar dengan mudah. Unsur silikat (Si) yang terdapat pada pupuk silikat diperlukan oleh tanaman supaya tanaman dapat tumbuh tegak atau tidak terkulai (Pulung, 2008). Sedangkan pupuk kandang ialah zat organik yang digunakan sebagai pupuk organik dalam pertanian. Pupuk kandang berperan dalam kesuburan tanah dengan menambahkan zat dan nutrien, seperti nitrogen yang ditangkap bakteri dalam tanah. Organisme yang lebih tinggi kemudian hidup dari jamur dan bakteri dalam rantai kehidupan yang membantu jaring makanan tanah. Pembukaan lahan hutan yang didominasi oleh lahan bergambut untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan kegiatan pertanian lainnya merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca. Adapun konsekuensi dari dibukanya hutan bergambut, adalah: (1) pembukaan hutan bergambut akan lebih mempercepat dekomposisi bahan organik, yaitu dekomposisi anaerobik yang akan menghasilkan CH 4 dan dekomposisi aerobik yang akan menghasilkan CO 2 (kedua gas tersebut akan menguap ke atmosfer), (2) tumpukan sisa-sisa tanaman di permukaan tanah akan mengalami respirasi heterotropik yang hasil akhirnya adalah CO 2, (3) kebakaran hutan dan lapisan gambut, secara sengaja atau tidak sengaja akan menghasilkan CO 2, (4) respirasi oleh tanaman juga akan menghasilkan CO 2, (5) serapan CO 2 terjadi pada proses fotosintesis oleh tanaman, hal ini berarti bahwa benaman pepohonan pada lahan terbuka dan terlantar lebih luas akan memperbesar serapan CO 2 (Setyanto et al., 2007). Pernyataan tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh (Agus, 2007; CKPP, 2008) yang menyatakan bahwa dalam keadaan alami, hutan gambut merupakan penyimpan (net sink) dari karbon. Akan tetapi apabila hutan gambut dibuka sebagian besar karbon yang ada pada biomassa tanaman akan teroksidasi menjadi CO 2, terutama apabila pembukaan hutan disertai dengan pembakaran. Sejalan dengan terbakarnya biomassa di atas permukaan tanah, beberapa cm lapisan gambut juga 6

19 akan ikut terbakar. Selanjutnya apabila lahan tersebut didrainase (untuk keperluan pembangunan jalan dan pembukaan lahan pertanian) maka pengeringan dari gambut akan menyebabkan peningkatan emisi CO 2. Meskipun lahan gambut melingkupi hanya 3 persen dari keseluruhan permukaan daratan bumi, mereka menyimpan karbon dalam jumlah setara dengan yang dihasilkan oleh emisi dari bahan bakar minyak bumi selama 100 tahun pada tingkat penggunaan saat ini. Sehingga dengan demikian, gambut berperan sangat penting terhadap terjadinya perubahan iklim (CKPP, 2008). Menurut Hadi et al., (2005), emisi gas N 2 O, CH 4, dan CO 2 pada lahan gambut sangat kuat dipengaruhi oleh penggunaan lahan dan zona hidrologi. Lahan gambut Kalimantan, Indonesia berkontribusi kurang dari 0.3% dari total emisi gas N 2 O, CH 4, dan CO 2 secara global. 2.3.Pemanasan Global Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang mencapai bumi mencapai 342 Wm -2. Sekitar 30% dari radiasi tersebut direfleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi. Permukaan bumi akan menyerap radiasi matahari sebesar 168 Wm -2, sedangkan atmosfer menyerap 67 Wm -2. Atmosfer mempunyai beberapa lapis gas, termasuk gas rumah kaca dan awan, yang akan mengemisikan kembali sebagian radiasi infra merah yang diterima ke permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini maka panas yang ada di permukaan bumi akan bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah kaca (Sugiyono, 2006). Pemanasan global yang tidak terkendali dapat menenggelamkan sekitar 2000 pulau kecil di Indonesia sebelum berakhirnya abad ini karena kenaikan permukaan air laut. Berbagai fauna dan flora tidak adaptif terhadap kenaikan suhu yang signifikan sehingga mereka akan punah. Berbagai tanaman pertanian juga terancam menurun produktivitasnya karena tidak adaptif dengan suhu yang lebih tinggi. Banjir dan kemarau yang ekstrim yang makin sering terjadi merupakan gejala dari pemanasan global dan sangat mempengaruhi produktivitas pertanian serta kelestarian lahan (Agus, 2007). Emisi yang dihasilkan dari lahan pertanian sebagian besar disebabkan oleh pemupukan dan pengolahan lahan pertanian seperti pembakaran biomassa, 7

20 pertanian berkontribusi besar dalam emisi anthropogenik seperti NH 3, N 2 O, CH 4, dan CO masing-masing lebih dari 95%, 81%, 70%, dan 52%, sementara NO x dan CO 2 memberikan emisi relatif kecil yaitu 35% dan 21% (Isermann, 1994). Pengaruh langsung dan tidak langsung pemanasan global terhadap hasil dan kualitas hasil pertanian dan kehutanan adalah: (a) pengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman melalui perubahan laju fotosintesis dan efisiensi penggunaan air, karena konsentrasi CO 2 terus melonjak, (b) pengaruh langsung dari kenaikan suhu berupa berkurangnya ketersediaan air, dan faktor iklim lain yang ekstrim, dan (c) pengaruh tidak langsung melalui ledakan serangan hama dan penyakit, peningkatan populasi gulma, dan insiden kebakaran hutan. Tingginya konsentrasi CO 2 juga menurunkan daya konduksi mulut daun (stomata), maka menekan laju transpirasi dan memperbaiki efisiensi penggunaan air (Parry dan Materns, 1999 dalam Setyanto et al., 2007). Dekomposisi bahan organik adalah degradasi senyawa organik yang komplek, mengubahnya sebagian ke dalam bentuk yang lebih sederhana. Dekomposisi menyebabkan kehilangan massa dan melepaskan hasil samping ke dalam bentuk yang lebih stabil (Inubushi et al., 2003). Kehilangan karbon dan nitrogen dalam bentuk N 2 O, CH 4, dan CO 2 selama proses dekomposisi pada tanah gambut perlu mendapat perhatian karena kontribusinya dalam perubahan iklim global. Selain itu, karbon dan nitrogen tanah harus disimpan untuk hasil produksi yang lebih lanjut (Hadi et al., 2005). Barchia (2006), menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar juta ton atau 75 persen dari total emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui dimana pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2.6 miliar ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak bijaksana. Laju pelepasan CH 4 dan CO 2 meningkat sehingga dapat berimplikasi pada peningkatan pemanasan global. 8

21 2.4.Gas Rumah Kaca Dalam sepuluh tahun terakhir peningkatan emisi terjadi secara alami, gas yang bersifat radiatif seperti CO 2, CH 4, N 2 O, yang biasa disebut gas rumah kaca. Gas tersebut menangkap radiasi panas yang keluar dari permukaan bumi. Proses ini, umumnya lebih dikenal sebagai efek rumah kaca, meningkatnya panas bumi yang berpengaruh terhadap perubahan iklim secara global seperti suhu dan curah hujan. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia datang dari dua sektor utama, yaitu sektor kehutanan dan sektor energi. Sektor kehutanan berkontribusi sebesar 75 % dari total emisi gas rumah kaca yang diproduksi Indonesia, sementara sektor energi dan transportasi menyumbang 25 %. Saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga negara pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Deforestasi massif dan pembukaan lahan gambut menyebabkan Indonesia berada pada posisi ini (Fiyanto, 2009). Verge et al., (2007), berpendapat bahwa selama 30 tahun yang akan datang, Asia akan tetap menjadi konsumen terbesar meningkat dari 40 ke 55% dari konsumsi global (antara tahun 2000 dan 2015) dan sumber gas rumah kaca terbesar dari pertanian (sekitar 50% dari total emisi). Antara tahun 2000 dan 2030, total emisi gas rumah kaca diperkirakan meningkat sekitar 50% dengan pengaruh selanjutnya terhadap cuaca dan iklim Gas CH 4 Metana (CH 4 ) adalah salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan melalui dekomposisi anaerobik bahan organik. Untuk mengurai bahan organik menjadi CH 4 dibutuhkan kondisi redoks potensial dibawah -100 mv dan ph berkisar antara 6-7 (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Sedangkan menurut Lantin et al., (1998), produksi metana optimum terjadi dibawah kondisi tergenang: potensial redoks dibawah -200 mv, ph antara 6 dan 8, dan suhu diatas 10ºC. Produksi CH 4 mengalami hambatan pada potensial redoks >-150 mv yang disebabkan oleh introduksi O 2 bebas di dalam sistem. Nilai potensial redoks tersebut tidak perlu diperdebatkan sebab mikrobia mempunyai kemampuan yang baik untuk menurunkan potensial redoks (Barchia, 2006). Lahan sawah tergenang adalah kondisi ideal untuk proses ini. Selain dekomposisi bahan organik, sumber pelepasan CH 4 lainnya adalah fermentasi dari pencernaan hewan ternak, proses 9

22 pembakaran bahan organik yang tidak sempurna, serta akibat proses eksplorasi pertambangan minyak dan gas (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Menurut Wassman et al., (2000), padi lebih baik tumbuh dalam kondisi terendam, terutama tergenang dengan mempertimbangkan produksi CH 4 melalui dekomposisi anaerobik pada bahan organik. Besarnya CH 4 pada lahan sawah ditentukan oleh ketersediaan substrat yang dihasilkan dari residu organik dan penggunaan pupuk organik. Emisi CH 4 dipengaruhi 3 proses, yaitu: (1) produksi CH 4 dipengaruhi oleh Eh, ph, mineralisasi karbon, dan suhu; (2) Oksidasi CH 4 dipengaruhi oleh oksigen bebas yang berdifusi melalui tanaman, tekanan CH 4 parsial, dan suhu; (3) transfer secara vertikal dipengaruhi oleh kedalaman air dan tingkat tumbuh tanaman. Lantin et al. (1998), berpendapat bahwa besarnya dan pola emisi CH 4 terlihat dipengaruhi oleh interaksi faktor biotik dan abiotik yang termasuk suhu, sumber karbon, karakteristik tanah dan tanaman itu sendiri. Emisi CH 4 tertinggi terjadi pada siang hari, hal ini berkaitan dengan suhu udara dan tanah pada kedalaman 5 cm tertinggi tercapai pada siang hari jam waktu setempat dan terendah pada malam menjelang pagi hari dan hal tersebut seiring dengan emisi CH 4 yang dihasilkan (Sunar, 1993). Meningkatnya suhu akan merangsang kegiatan mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas. Rejim air merupakan faktor yang mempengaruhi potensial redoks tanah dan populasi metanogen. Ketika tanah tergenang potensial redoks mencapai <-150 mv dan tingginya ph tanah (6-7) (Chareonsilp et al., 1998) meningkatkan emisi metana dan produksi metana (Wanfang et al., 1998). Potensial redoks berkorelasi negatif dengan fluks CH 4 dan pelepasannya terjadi pada saat potensial redoks rendah (Adhya et al., 1998). Menurut Wang dan Adachi (1998), lahan pertanian merupakan sumber metana dan berkontribusi 10-15% dari emisi metana secara global yang konsentrasinya di atmosfer meningkat 1%/tahun (Parashar et al., 1993). Yagi dan Minami (1998), menduga bahwa emisi metana secara global dari lahan pertanian sebesar 31 ± 10 Tg/tahun. Aktivitas bakteri metanogen dan metanotrop pada lahan sawah mengakibatkan akumulasi metana. Tanaman padi mempengaruhi aktivitas kedua bakteri tersebut melalui pelepasan eksudat akar yang merupakan sumber 10

23 substrat utama bagi bakteri metanogenik untuk produksi metana dan melalui pelepasan oksigen untuk oksidasi metana disamping peran aerenkima (Lantin et al., 1998) dalam media emisi metana dari lahan sawah ke atmosfer. Sekitar 60-90% CH 4 dilepaskan dari lahan sawah ke atmosfer ditransportasikan melalui aerenkima tanaman (Aulakh et al., 2000). Rosot CH 4 selama ini dikenal hanyalah melalui dua proses yaitu konsumsi oleh bakteri metanotrop dan reaksi dengan ion radikal di atmosfer bumi. CH 4 dapat bertahan selama 12 tahun di atmosfer, sedangkan nilai potensi pemanasan globalnya (global warming potential) adalah 23 kali lebih besar dari CO 2. Konsentrasinya di atmosfer saat ini mencapai 1852 ppbv (Wihardjaka dan Setyanto, 2007) Gas CO 2 Pada dasarnya kehadiran gas rumah kaca di atmosfer sangat penting karena gas tersebut membuat iklim bumi menjadi hangat dan stabil. Tanpa gas rumah kaca di atmosfer, suhu permukaan bumi diperkirakan mencapai -18ºC. Tetapi konsentrasi gas rumah kaca yang berlebihan akan lebih banyak panas yang dipantulkan kembali ke muka bumi yang menyebabkan suhu bumi semakin panas. CO 2 adalah gas rumah kaca yang menjadi sasaran untuk diturunkan konsentrasinya di atmosfer. Secara alami, gas CO 2 dihasilkan melalui dekomposisi bahan organik secara aerobik, erupsi vulkanik, respirasi manusia, hewan, dan tanaman. Sedangkan akibat kegiatan manusia, CO 2 dihasilkan melalui pembakaran bahan bakar fosil, pertambangan gas bumi, dan kegiatan-kegiatan pembakaran bahan organik seperti sampah, kayu bakar, dan sisa residu pertanian. Ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO 2 di atmosfer sekitar 290 ppmv (part per million volume). Saat ini konsentrasi CO 2 meningkat menjadi 375 ppmv. Peningkatan CO 2 tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antar besarnya sumber emisi (source) dengan daya rosotnya (sink). Pada dasarnya secara alami CO 2 merupakan bagian penting dari proses fotosintesis tanaman. Tetapi akibat perkembangan industri yang pesat, tingginya pemakaian bahan bakar fosil dan laju deforestasi hutan-hutan alam yang semakin cepat menyebabkan daya pelepasan CO 2 dari sumber-sumber emisi lebih tinggi dibandingkan dengan daya tambatnya (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). 11

24 Karbondioksida dilepaskan dari tanah melalui respirasi tanah, termasuk tiga proses biologi, yaitu respirasi mikroba, respirasi akar, dan respirasi hewan, dan 1 proses non-biologi, yaitu oksidasi kimia yang dapat terjadi pada suhu tinggi. Pada respirasi akar, sumber C adalah hasil dari fotosintesis dan di translokasikan ke akar, sementara pemupukan dan residu akar menyediakan karbon untuk respirasi mikroba dalam tanah (Rastogi, 2002). Agus (2007), menyatakan bahwa sekitar separoh dari 200 t C/ha yang dikandung biomassa di atas permukaan tanah, karena dijadikan papan dan plywood, akan bertahan, sedangkan separoh lainnya yang terdiri dari cabang dan ranting pohon serta pohon yang masih kecil seringkali dibakar. Seiring dengan itu lebih dari 10 cm lapisan atas tanah gambut juga ikut terbakar. Dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 t C/ha. Dengan demikian sekitar 160 t C atau 587 t CO 2 /ha akan teremisi dalam proses pembukaan hutan gambut. Dengan demikian pengurangan emisi CO 2 dari lahan gambut pada dasarnya adalah melalui: (1) menghindari deforestasi hutan gambut, dan (2) memperbaiki sistem pengelolaan lahan. Efek rumah kaca merupakan 4 isu ekologi utama secara global termasuk: (1) keseimbangan sumber daya lahan untuk generasi saat ini dan yang akan datang, (2) peran tanah dan kegiatan pertanian dalam emisi gas rumah kaca, (3) potensi pengelolaan sisa tanaman, restorasi tanah yang terdegradasi, dan konservasi pengolahan tanah dalam penambatan karbon pada tanah, dan (4) meminimumkan resiko degradasi tanah melalui peningkatan kualitas tanah. Tiap tahun peningkatan konsentrasi CO 2 di atmosfer adalah 3.2 x g dan ada potensi untuk mitigasi pengaruhnya melalui penambatan C dalam tanah (Lal, 1997) Gas N 2 O Dinitrogen oksida (N 2 O) adalah gas yang dihasilkan melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen dalam tanah. N 2 O dihasilkan dari proses nitrifikasi yang merupakan proses aerobik baik dilakukan oleh jasad renik autotrop maupun heterotrop di dalam tanah. Proses nitrifikasi berlangsung dua tahap secara terpisah, yaitu (1) oksidasi ammonia menjadi nitrit dengan hasil berupa hidroksida amin yang dilakukan oleh bakteri pengoksidasi ammonia 12

25 seperti Nitrosomonas sp, (2) oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri pengoksidasi nitrit seperti Nitrobacter sp. Denitrifikasi merupakan proses tahap akhir dalam siklus hara nitrogen dalam suasana anaerobik dimana nitrogen yang terfiksasi dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk N 2. Banyak jasad renik denitrifikasi heterotropik menggunakan nitrat sebagai akseptor elektron utama untuk memperoleh energi dari senyawa organik ketika kandungan oksigen tersedia dalam tanah rendah. Beberapa jasad renik denitrifikasi autotropik bisa memperoleh energi dengan menggunakan nitrat untuk proses oksidasi senyawa anorganik. Namun sumber terbentuknya N 2 O terpenting terjadi pada proses denitrifikasi heterotropik melalui tahapan-tahapan berikut: NO - 3 NO - 2 NO N 2 O N 2 Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses nitrifikasi dan denitrifikasi: Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses nitrifikasi dan denitrifikasi Nitrifikasi Denitrifikasi Tersedianya NH + 4, urea, asam - NO 3 substrat amino Konsentrasi O 2 Tinggi Rendah Penurunan karbon Tidak berpengaruh Tinggi (sumber energi) Kelembaban Sedang (30-70%) Tinggi (55-100%) Suhu tanah Tinggi Tinggi ph > 5 Rendah (< 5) Sumber: Machefert et al., (2002) Konsentrasi N 2 O di atmosfer relatif kecil hanya sekitar 319 ppbv. Waktu tinggalnya yang lama di atmosfer (114 tahun) dan potensi pemanasan globalnya yang 296 kali lebih besar dibanding CO 2 menjadikan gas ini sebagai objek penting untuk diturunkan konsentrasinya. N 2 O dihasilkan dalam proses nitrifikasi yang bersifat oksidatif, jika dalam suasana sangat reduktif, lahan sawah dapat menjadi tempat penyerapan (sink) N 2 O (Agus dan Irawan, 2004 dalam Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Emisi N 2 O umumnya dihasilkan akibat penggunaan pupuk yang mengandung nitrogen pada sistem pertanaman kering. Pemakaian pupuk nitrogen 13

26 yang tidak tepat sasaran sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan N 2 O (Setyanto, 2008). Diperkirakan antara 1-2% pupuk nitrogen yang diberikan ke tanaman terurai menjadi N 2 O. Cara mengurangi emisi N 2 O adalah dengan penggunaan pupuk N lambat urai, pembenaman pupuk dekat ke lapisan perakaran, dan pemberian pupuk N sesuai takaran yang dibutuhkan tanaman (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Machefert et al., (2002), menyatakan bahwa emisi N 2 O tertinggi dihasilkan dari lahan pertanian dibandingkan hutan dan padang rumput. Faktor utama yang mempengaruhi adalah ketersediaan mineral nitrogen, suhu tanah, kadar air tanah, dan tersedianya senyawa organik. Kadar bahan organik tanah sangat mempengaruhi emisi CH 4, CO 2, dan N 2 O, dan ph tanah sangat mempengaruhi penguapan NH 3 (Li, 1998) yang akan teroksidasi membentuk N 2 O. Pergantian N dan N 2 O berlangsung cepat pada waktu kering yang akan mengakibatkan berkurangnya CH 4 (Lantin et al., 1998). Volatilisasi pupuk N sebagai N 2, N 2 O, NO, dan NH 3 adalah keadaan yang biasa. N 2 O dibentuk dalam tanah saat pelepasan N dan juga diproduksi selama dekomposisi sisa tanaman, proses tersebut tergantung pada tingkat pelepasan N dan ketersediaan C dalam tanah. Emisi N 2 O dari tanah meningkat 16% antara tahun 1990 dan 2000 dan pupuk N berkontribusi sekitar 4% (Verge et al., 2007). 2.5.Kandungan Karbon pada Tanaman Dari 188 juta ha total luas daratan Indonesia, sekitar 20 juta ha di antaranya adalah lahan gambut. Gambut di Sumatera mempunyai kedalaman antara 0.5 sampai lebih dari 12 m, dan cadangan karbonnya mencapai 22.3 Gt dan di Kalimantan cadangan karbon lahan gambut sekitar 11.3 Gt. Untuk seluruh Indonesia cadangan karbon gambut diperkirakan mencapai 37 Gt (Agus, 2007). Setyanto et al., (2007), menyatakan bahwa penanaman padi gogo di antara tanaman karet muda dan di antara tanaman kelapa sawit muda diperkirakan berfungsi sebagai sink gas CH 4, karena tanah mengandung bakteri metanotropik yang mampu menyerap gas CH 4. Sementara, gas CH 4 dihasilkan oleh rawa-rawa disekitarnya yang umumnya gambut (source); lahan perkebunan disekitarnya berfungsi sebagai sink. 14

27 Menurut Agus (2007), jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 t CO 2 atau setara dengan 100 t C/ha dalam bentuk pohon sawit. Untuk kebun sawit yang mempunyai kedalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO 2 sekitar 73 t/ha/tahun atau 1820 t/ha/25tahun. Jadi net emisi CO 2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO 2 sebanyak 367 t/ha/25 tahun) adalah sekitar 1453 t/ha. Jumlah emisi CO 2 dalam satu siklus kelapa sawit selama 25 tahun ini, lebih dari dua kali emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan yang besarnya sekitar 587 t/ha. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008). Karbon adalah bahan dasar penyusun semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain; karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan CO 2 dibebaskan bersama energi selama respirasi. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO 2 dari atmosfer melalui stomata daun dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO 2 ke atmosfer (Campbell et al., 2004 dalam Notonegoro, 2008). Wikipedia (2009), menyatakan bahwa siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer Bumi (objek astronomis lainnya bisa jadi memiliki siklus karbon yang hampir sama meskipun hingga kini belum diketahui). 15

28 Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan tahunan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermaca-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer. Neraca karbon global adalah kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya atmosfer - biosfer). Analisis neraca karbon dari sebuah kolam atau reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon dioksida. 16

29 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah pada bulan Februari-Juli Bahan dan Alat Bahan Benih padi varietas Punggur Gas N 2, H 2, udara tekan dan gas standar CH 4, CO 2, N 2 O Aquades Bahan amelioran, yaitu pupuk silikat, pupuk kandang, dolomit Pupuk N, pupuk P 2 O 5, pupuk K 2 O Alat-alat Boks penangkap gas secara manual. Boks penangkap gas secara otomatis. Jarum suntik. Eh (alat ukur potensial redoks tanah) dan ph meter. Elektroda Kromatografi Gas Komputer Tanur pembakar dan cawan. Grinder 3.3. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah. Pengambilan data di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah dilakukan 1 minggu sekali. Percobaan dilakukan dengan menggunakan mikroplot berukuran 1.5 m x 1.5 m x 1 m yang telah terisi oleh tanah gambut yang telah diambil pada penelitian sebelumnya. Untuk menghindari 17

30 terjadinya pencampuran tanah penelitian dengan tanah disekitarnya, mikroplot tersebut dilapisi plastik sampai pada batas pematang dan penampang kayu dibuat lebih tinggi dari tanah sekitar. Berikut adalah skema mikroplot yang digunakan selama penelitian : plastik penampang kayu 0.3 m 0.8 m permukaan tanah 1.5 m Gambar 1. Mikroplot Untuk Penanaman Padi Dua belas mikroplot tersebut berisi tanah gambut dengan kedalaman 80 cm yang selanjutnya disusun dalam perlakuan bahan amelioran, yaitu : 1. Tanpa amelioran 2. Dolomit dengan dosis 2 ton/ha 3. Pupuk silikat 1 ton/ha 4. Pupuk kandang 2 ton/ha III U II I Gambar 2. Skema Penyusunan Perlakuan di Mikroplot Semua perlakuan bahan amelioran diberikan 8 hari sebelum tanam. Perlakuan disusun dengan rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Mikroplot tersebut ditanami padi varietas Punggur dengan jarak tanam 20 cm x 20 18

31 cm. Bibit padi ditanam pada umur 21 hari setelah sebar (HSS). Masing-masing titik persemaian ditanami 2-3 benih padi. Pemupukan diberikan berkala dengan dosis pupuk sama untuk semua perlakuan, yaitu 90 kg N + 60 kg P 2 O kg K 2 O/ha. Pupuk N dan K diberikan 3 kali, yaitu 1/3 bagian saat tanaman berumur 5 hari setelah tanam (HST), 1/3 bagian saat tanaman berumur 21 hari setelah tanam (HST), dan sisanya pada 42 HST. Pupuk P (P 2 O 5 ) dalam bentuk SP36 diberikan sekali pada saat 8 hari sebelum tanam bersamaan dengan pemberian bahan amelioran. Hara mikro (Zn) diberikan jika tanaman menunjukkan gejala kahat atau gejala dimana warna daun pada tanaman padi menjadi kuning. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara intensif. Pengendalian hama utama lainnya dilakukan dengan penyemprotan insektisida sesuai dengan jenis hama yang berkembang di lapangan. Berikut adalah susunan tanaman padi dalam mikroplot yang diambil sebagai parameter tanaman. 1 Keterangan: 1. Titik pengamatan parameter tanaman. 2. Potensial redoks (Eh). 3. Boks manual Boks otomatik Gambar 3. Susunan Tanaman Padi Gambut Dalam Mikroplot Data yang dikumpulkan selama penelitian adalah sebagai berikut : 1. Emisi CH 4 yang diukur secara otomatik menggunakan Sistem Sampling Gas Otomatik. Pengukuran dilakukan 1 minggu sekali selama 24 jam yaitu dimulai dari pukul 6 pagi dan berakhir pukul 6 pagi keesokan harinya. Suhu otomatis dicatat setiap pukul dan Pengukuran suhu otomatis diperlukan dalam penghitungan fluks CH 4 dan suhu yang digunakan adalah pada pukul 19

32 06.00 sebagai suhu minimum dan pukul sebagai suhu maksimum. Setiap mikroplot percobaan dipasang boks berukuran 1 m x 1 m x 1 m. Boks terbuat dari pleksiglas yang dilengkapi dengan pompa hidrolik untuk membuka menutupnya tutup boks secara otomatik. Di dalam boks tersebut dilengkapi 2 buah kipas elektrik (24 VDC) untuk mencampur gas atau udara dalam boks supaya homogen. Sampel udara dari dalam dihisap secara otomatik menuju alat kromatografi gas (GC), yang selanjutnya dianalisis konsentrasinya dengan menggunakan GC 8A Shimadzu yang dilengkapi dengan FID (Flame Ionisation Detector) dengan suhu kolom 75ºC dan suhu detektor 90ºC. Gambar 4. Boks Otomatik Penangkap Gas CH 4 2. Emisi CO 2 dan N 2 O diukur secara manual setiap satu minggu sekali menggunakan sungkup atau boks dengan ukuran 40 cm x 60 cm x 40 cm yang dioperasikan secara manual. Boks diletakkan disela-sela tanaman di luar boks penangkap CH 4. Sampel gas diambil dengan jarum suntik ukuran 10 ml. Pengambilan sampel CO 2 dan N 2 O dilakukan pada pukul 6 pagi. Untuk mendapatkan kurva perubahan konsentrasi gas CO 2 dan N 2 O, setiap mikroplot diambil 4 sampel gas dengan waktu pengambilan gas CO 2 (interval waktu 15 menit) pada menit ke- 15, 30, 45, dan 60. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas N 2 O (interval waktu 20 menit) dilakukan pada menit ke- 20, 40, 60, 80. Perubahan suhu dalam boks selalu dicatat pada menit saat pengambilan sampel dan tinggi ruang boks (head space) pada awal pengambilan sampel. Sampel gas CO 2 dan N 2 O dianalisa dengan 20

33 menggunakan GC Shimadzu 14A dengan suhu injektor 100ºC, kolom 100ºC, detektor 150ºC untuk sampel gas CO 2 dan dilengkapi dengan detektor TCD (Thermal Conductivity Detector) dan untuk sampel gas N 2 O dengan suhu injektor 150ºC, kolom 60ºC, detektor 320ºC dan dilengkapi dengan detektor ECD (Electron Capture Detector) langsung setelah pengambilan sampel gas dari mikroplot. Gambar 5. Boks Manual 3. Data parameter tanaman padi meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan yang diamati setiap 2 minggu sekali setelah tanam pindah sampai panen. 4. Data perubahan potensial redoks tanah (Eh) dan ph diukur dengan Eh dan ph meter bersamaan dengan pengambilan sampel gas CH 4 yang dilakukan setiap 1 minggu sekali. Elektroda gelas diletakkan pada tengah-tengah perakaran rumpun padi sampai pada kedalaman 15 cm. Peletakkan elektroda di tengah perakaran dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kapasitas oksidasi akar tanaman (root oxidizing power). Gambar 6. Alat Eh dan ph meter 21

34 5. Komponen hasil tanaman yang diukur adalah berat biomassa (atas dan bawah), jumlah malai, berat gabah panen, berat 1000 butir gabah, persentase gabah hampa dan gabah isi, serta kandungan karbon pada tanaman padi dan gulma. 6. Pengukuran kandungan C pada tanaman (akar, jerami, gabah, dan gulma) dilakukan dengan mengeringkan sampel tanaman hingga kadar air ± 2% menggunakan oven pengering. Biomassa yang telah kering kemudian dihancurkan menggunakan mesin grinder hingga berbentuk serbuk. Berikut adalah proses pengukuran kandungan C selanjutnya (Yulianto, 2008): Biomassa tanaman yang telah dihaluskan kemudian ditimbang, lalu ditempatkan dalam cawan yang telah ditimbang bobotnya. Pemanasan dilakukan dalam tanur pembakar sampai 105ºC (menggunakan tanur pembakar 200ºC). Gambar 7. Tanur Pembakar 200ºC Setelah didinginkan, cawan dan sampel biomassa ditimbang untuk mengetahui bobot yang hilang setelah pembakaran. Cawan dan sampel kemudian dimasukkan kembali ke dalam tanur pembakar hingga tanur bersuhu 700ºC (menggunakan tanur pembakar 900ºC), dan sampel telah berubah menjadi abu. 22

35 Gambar 8. Tanur Pembakar 900ºC Cawan dan sampel ditimbang kembali untuk mengetahui kadar C yang tertinggal dalam tanaman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui besarnya karbon yang dikandung oleh tanaman sangat sederhana. Biomassa tanaman yang telah dihaluskan dikeringkan dan diabukan dalam tanur pembakar. Analisis kandungan karbon pada tanaman dilakukan pada setiap plot, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keakuratan data kandungan karbon pada masing-masing perlakuan. 23

36 Berikut ini adalah bagan alir kegiatan penelitian serta kegiatan analisis kandungan karbon pada tanaman: Pembuatan mikroplot Mikroplot diisi dengan tanah gambut Penanaman dan pemeliharaan Pengambilan sampel gas CH 4, CO 2, dan N 2 O setiap 1 minggu sekali Sampel gas dianalisis dengan Kromatografi Gas Hasil analisis dari Kromatografi Gas Gambar 9. Bagan Alir Kegiatan Penelitian 24

37 Biomassa yang telah dihaluskan ditimbang lagi Biomassa diletakkan di cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur pembakar C Biomassa dan cawan ditimbang bersamaan Biomassa dan cawan dimasukkan Kembali ke tanur pembakar C Biomassa dan cawan ditimbang Hasil timbangan=kadar C Gambar 10. Bagan Alir Kegiatan Analisis Kandungan Karbon pada Tanaman Untuk menganalisis karbon organik dari sampel tanaman yang telah diambil menggunakan rumus sebagai berikut (Yulianto, 2008): C-Organik (%) = C C D A : * 100 Keterangan: A B : Bobot Cawan Kosong (g). : Bobot Cawan Kosong + Contoh (g). 25

38 C : Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu 105 C (g). D : Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu 700 C (g) : Faktor Koreksi ( kadar C 58% mudah teroksidasi) Nilai diperoleh dari hasil perhitungan, nilai 58% merupakan kandungan karbon pada tanah yang mudah teroksidasi sehingga tanaman tidak mungkin memiliki kandungan karbon melebihi 58% Pengolahan Data Emisi Gas CH 4 yang diambil secara otomatik dan CO 2 dan N 2 O yang diambil secara manual kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan rumus berikut: E =. (. ) E dc/dt = Emisi gas CH 4 dan CO 2 (mg/m 2 /hari) sedangkan N 2 O (µg/m 2 /hari) = Perbedaan konsentrasi CH 4, CO 2 dan N 2 O per waktu (ppm/menit) Vch = Volume boks (m 3 ) Ach = Luas boks (m 2 ) mw = Berat molekul CH 4, CO 2 dan N 2 O (g) mv = Volume molekul CH 4, CO 2 dan N 2 O (22.41 L) T = Temperatur rata-rata selama pengambilan sampel (ºC) 3.5. Analisis Data Data parameter-parameter tanaman dianalisis dengan menggunakan ANOVA (analysis of varian). Perbedaan dari masing-masing nilai tengah akan ditentukan dengan menggunakan uji Duncan pada P = Analisis statistik menggunakan software SAS (system analysis statistic) versi

39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Emisi Gas Rumah Kaca pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran Gas rumah kaca yang dihasilkan dari lahan pertanian terutama lahan pasang surut mempunyai kontribusi dalam pemanasan global. Pemberian bahan amelioran pada tanah gambut dimaksudkan untuk menekan emisi yang dihasilkan dari lahan tersebut. Penelitian tentang Neraca Karbon pada Pengelolaan Padi Gambut ini dilakukan di Balingtan, tepatnya di Jakenan, Pati-Jawa Tengah. Lokasi penelitian secara geografis terletak pada koordinat 6 45 LS dan BT serta beriklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata kurang dari 1600 mm/tahun Emisi Gas CH 4 Lahan sawah pasang surut banyak mengandung bahan organik yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk pembentukan CH 4. Selain itu, kondisi lahan yang selalu tergenang (anaerobik) mendukung aktivitas bakteri metanogen untuk mendekomposisi bahan organik tersebut dalam proses pembentukan CH 4. Menurut Wassman et al., (2000), pengairan secara terus menerus dan pemberian pupuk anorganik memberikan nilai emisi yang bervariasi dari 15 sampai 200 kg CH 4 /ha/musim. Pada suhu rendah membatasi emisi CH 4 di daerah iklim sedang dan subtropik seperti di Cina Utara dan India Utara. Perbedaan pada daerah beriklim sedang (sampai iklim tropika) mengindikasikan bahwa pentingnya karakteristik tanah dalam mempengaruhi potensi emisi CH 4. Neue dan Roger (1994), menyatakan bahwa suhu dan ph tanah tidak membatasi proses metanogenesis tetapi mengontrol intensitasnya. Varietas padi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pungur. Punggur merupakan varietas yang baik ditanam pada lahan potensial, gambut, dan sulfat masam (Suprihatno et al., 2007). Kondisi tanaman padi pada fase awal pertumbuhan terlihat sehat walaupun berada dalam boks penangkap gas. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar

40 Gambar 11. Tanaman Padi di dalam Boks Penangkap Gas Lokasi pengukuran emisi CH 4 dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan), Jakenan, Pati, Jawa Tengah. Pengukuran dimulai pada 11 hari sebelum tanam pindah, tanam pindah dilakukan pada tanggal 1 Maret Pengukuran tersebut dimaksudkan untuk mengetahui besarnya emisi sebelum tanam sampai dengan panen. Gambar 12. Lokasi Pengukuran Emisi CH 4 Tanah gambut yang ditanami tanaman padi varietas punggur ini diberikan perlakuan penambahan amelioran yang berbeda dan mempunyai pola fluktuasi emisi CH 4 harian yang sangat beragam mulai dari awal pertumbuhan sampai panen (Gambar 13). Perbedaan tersebut mungkin dipengaruhi oleh kandungan amelioran pada setiap perlakuan yang berpotensi menekan emisi gas CH 4. Selain itu, pemberian amelioran juga dapat mengatasi tingginya kemasaman tanah dan buruknya kesuburan tanah. 28

41 Gambar 13. Fluks CH 4 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Gambar 14. Fluks Kumulatif CH 4 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Dari grafik fluks CH 4 terlihat pada fase-fase pertumbuhan tanaman dari keempat perlakuan mempunyai pola fluktuasi yang hampir seragam antar masing- cenderung masing perlakuan. Fluks CH 4 dari keempat perlakuan tersebut mengalami peningkatan pada awal masa pertumbuhan (fase vegetatif) dan menurun ketika tanaman memasuki fase reproduktif hingga menjelang panen. 29

42 Dari Gambar 14 dapat terlihat secara mudah fluks CH 4 yang mengemisikan paling tinggi dan yang paling rendah. Fluks CH 4 terendah dihasilkan oleh tanaman padi dengan perlakuan pupuk kandang, dan yang tertinggi dengan perlakuan tanpa amelioran. Dengan pemberian perlakuan pupuk kandang tanaman padi mampu mengemisikan gas CH 4 lebih rendah dibandingkan dengan tanpa amelioran, dolomit, serta pupuk silikat. Pada umur 11 hari sebelum tanam pindah (belum ada tanaman) fluks CH 4 masih sangat rendah. Pada pengukuran dua minggu berikutnya (1 HST) fluks CH 4 sudah mengalami peningkatan dibanding pengukuran fluks CH 4 tanpa adanya tanaman, tetapi lebih rendah dari pengukuran pada umur 6 hari sebelum tanam. Hal tersebut mungkin disebabkan fotosintat yang dihasilkan oleh tanaman digunakan untuk proses adaptasi fisiologis tanaman terhadap kondisi lingkungan yang baru. Pada saat fase vegetatif, mulai dari perkecambahan biji sampai menjelang primordia, fluks CH 4 dari keempat perlakuan tersebut meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Pada fase ini, fotosintat yang dihasilkan tidak banyak digunakan untuk pertumbuhan tanaman sehingga eksudat akar yang dikeluarkan cukup besar. Fase pertumbuhan vegetatif ditandai dengan jumlah anakan bertambah cepat, bertambahnya tinggi tanaman dan jumlah daun (Yoshida, 1981 dalam Ernawanto et al., 2003). Jumlah pori-pori mikro di daun yang meningkat pada fase vegetatif aktif serta bertambahnya ruang distribusi akar akan meningkatkan bidang kontak antara jaringan kortek akar dengan metana yang terbentuk di rizosfer sehingga difusi metana dari rizosfer ke dalam akar akan meningkat pula (Ernawanto et al., 2003). Sedangkan menurut Schutz et al., (1989) dalam Suharsih et al., (2004), emisi gas CH 4 terbesar terjadi saat fase reproduksi tanaman padi, ketika aktivitas metabolisme tanaman sangat tinggi, yang pada gilirannya akan menghasilkan eksudat akar dalam jumlah besar. Eksudat atau hasil autoksis akar padi merupakan sumber karbon bagi bakteri metanogenik penghasil gas CH 4. Raimbault et al., (1977) dalam Yulianto (2008), menyatakan bahwa 90% CH 4 yang dilepaskan dari sawah ke atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan sisanya melalui gelembung air (ebullition). Ruang pembuluh pada aerenkima 30

43 daun, batang, dan akar yang berkembang dengan baik menyebabkan pertukaran gas pada tanah tergenang berlangsung cepat. Pembuluh tersebut bertindak sebagai cerobong (chimney) bagi pelepasan CH 4 ke atmosfer. Suplai O 2 untuk respirasi pada akar melalui pembuluh aerenkima dan demikian pula gas-gas yang dihasilkan dari dalam tanah, seperti CH 4 akan dilepaskan ke atmosfer juga melalui pembuluh yang sama untuk menjaga keseimbangan termodinamika. Kemampuan tanaman padi dalam mengemisi metana beragam, bergantung pada sifat fisiologis dan morfologis suatu varietas. Selain itu, masing-masing varietas mempunyai umur dan aktivitas akar yang berbeda yang erat kaitannya dengan volume emisi metana. Emisi metana ditentukan oleh karakteristik tanaman, diameter rongga aerenkima, eksudasi akar, daya oksidasi akar, serta pemupukan dan pengaturan air. Hasil penelitian di Jakenan, Pati Jawa Tengah, menunjukkan lama tumbuh tanaman juga menentukan besarnya emisi metana dari lahan sawah. Makin lama periode tumbuh tanaman, makin banyak eksudat dan biomasa akar yang terbentuk sehingga emisi metana menjadi tinggi (Setyanto, 2006). Pada HST fluks CH 4 cenderung tinggi, namun jumlah anakan maksimum terjadi pada 50 HST dan fluks CH 4 cenderung turun. Hal ini disebabkan karena pada umur 50 HST tanaman padi sudah mengalami proses pembentukan malai (fase bunting) walaupun jumlah anakan yang dihasilkan sudah mencapai maksimum. Dan pada HST penurunan fluks terjadi secara perlahan, setelah 78 HST penurunan fluks terjadi secara tajam. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh pada HST terjadi proses pengisian malai dan setelah 78 HST terjadi proses pemasakan biji. Penguraian fotosintat untuk pengisian malai dan proses pemasakan biji akan menyebabkan semakin kecilnya eksudat akar yang dilepaskan oleh akar sehingga pembentukan CH 4 menjadi rendah. Menurut Setyanto et al., (1999), besarnya emisi CH 4 berkaitan dengan besarnya C organik dan nisbah C/N. Pupuk kandang yang mempunyai nisbah C/N rendah dan relatif mengemisi CH 4 lebih rendah. Selain itu, pupuk kandang diperlukan untuk memperbaiki produksi padi dan juga menurunkan emisi CH 4 apabila diberikan dalam kondisi matang (setelah mengalami dekomposisi). 31

44 Pemberian pupuk kandang selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga dapat memelihara keseimbangan hara dalam tanah. Pupuk kandang tidak hanya mengandung unsur nitrogen, asam fosfat, dan kalium saja tetapi juga mengandung semua unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman (Souri, 2001). Pemberian dosis pupuk yang sama untuk setiap plot dan penambahan bahan amelioran pupuk kandang akan semakin meningkatkan kandungan unsur nitrogen (N) dan kalium (K) pada tanah. Peningkatan kadar K dalam jaringan tanaman mendorong proses regulasi tanaman meningkat terutama dalam perubahan gula sederhana seperti karbohidrat dan asam-asam amino menjadi protein yang sulit berdifusi ke luar melalui akar karena ukuran dan bobot molekulnya yang lebih besar (Marschner, 1986; Mengel dan Kirkby, 1987 dalam Basir, 1995). Kondisi ini dapat mengurangi jumlah eksudat akar yang akan mempengaruhi pembentukan CH 4 (Basir, 1995) Emisi Gas CO 2 Meningkatnya konsentrasi oksigen pada kondisi reduksi dapat menghambat produksi gas CH 4 karena CH 4 akan teroksidasi oleh bakteri metanotrop (bakteri yang mengkonsumsi CH 4 ) menjadi CO 2 (Wahyuni et al., 2007; Setyanto, 2008). Karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Walaupun emisi CO 2 sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini akan digunakan kembali oleh tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman. Oleh karena itu, emisi CO 2 dari tanaman padi disebut sebagai zero net emission (Setyanto, 2008). Tanah merupakan sumber utama CO 2 atmosfer, namun juga dapat berperan sebagai sink. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi dan emisi CO 2 dari tanah, yaitu karakteristik tanah seperti tekstur tanah, kelembaban, ph, ketersediaan C dan kadar N tanah, salinitas yang mempengaruhi produksi CO 2 melalui aktivitas mikroba dalam tanah dan respirasi akar. Selain itu, faktor eksternal (pengaruh musim dan tekanan atmosfer) dan manipulasi kondisi lingkungan pada tanah, pengolahan tanah, irigasi, pemupukan juga berpengaruh terhadap produksi dan emisi CO 2 (Rastogi, 2002). 32

45 Perubahan penggunaan lahan pada rawa gambut akan mempengaruhi muka air di lahan gambut dan perubahan suhu secara drastiss sehingga akan merubah keseimbangan dan pelepasan CO 2 dan CH 4. Evolusi CO 2 dari tanah yang dikenal dengan istilah respirasi, sering dipakai sebagai indeks aktivitas mikrobiologi tanah. Metabolisme mikroba dan proses mineralisasi dari senyawa karbon lebih lambat pada suhu rendah, pada saat terjadi peningkatan suhu akan terjadi proses metabolisme dan respirasi yang akan melepaskan CO 2. Kandungan N-total gambut terkategori tinggi, namun unsur hara N relatif kurang tersedia bagi tanaman karena N dalam bentuk N-organik dan pada tingkatan C/N rasio yang tinggi tersebut menyebabkan terjadinya proses immobilisasi N oleh mikroba dalam tanah. Bila C/N rasio yang tinggi ini teroksidasi karena adanya pengembangan jaringan drainase dan reklamasi, aktivitas mikrobiologi tanah akan meningkat untuk mendekomposisi gambut dan melepaskan CO dekomposisi bahan gambut) dan CH 4 (Barchia, 2006). O 2 (hasil utama Gambar 15. Fluks CO 2 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut 33

46 Gambar 16. Fluks Kumulatif CO 2 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Pola fluks dan fluks kumulatif CO 2 ditunjukkan pada Gambar 15 dan 16. Fluks CO 2 yang dihasilkan selama satu musim tanam sangat beragam dan terdapat pola kenaikan emisi CO 2 dari keempat perlakuan tersebut. Tanah gambut dengan perlakuan tanpa amelioran memiliki fluks CO 2 tertinggi dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya. Hal tersebut juga terjadi dengan fluks CH 4 dengan perlakuan tanpa amelioran. Tingginya hasil fluks CO 2 dan CH 4 dengan perlakuan tanpa amelioran mungkin disebabkan oleh jumlah eksudat akar yang dihasilkan cukup tinggi dan jumlah karbon (C/N rasio) dalam tanah gambut yang sangat tinggi menyebabkan aktivitas mikroorganisme dalam tanah meningkat sehingga proses pembentukan CH 4 dan CO 2 dapat terjadi dengan mudah. Selain itu, adanya suplai oksigen dari atmosfer melalui aerenkima maupun dari turbulensi aliran air yang membawa udara yang terperangkap dalam air menyebabkan suasana oksidatif tetap terjadi pada kondisi tanah tergenang (Barchia, 2006). Fluks CO 2 tertinggi setelah perlakuan tanpa amelioran adalah pupuk silikat, dolomit, dan pupuk kandang. Ternyata pupuk kandang selain dapat menekan emisi CH 4, juga dapat menekan emisi CO Emisi Gas N 2 2O Dinitrogen oksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berpotensi terhadap pemanasann global. Konsentrasinya yang rendah namun mempunyai 34

47 potensi pemanasan global yang lebih besar dibandingkan gas rumah kaca lainnya. Produksi dan emisi N 2 O sangat kuat dipengaruhi oleh besarnya pengairan dan kontinuitasnya (Ball et al., 2008). Nilai fluks N 2 O untuk setiap perlakuan beragam seperti yang terlihat pada Gambar 17. Dari grafik terlihat bahwa pemberian aplikasi dolomit mengemisikan N 2 O paling tinggi dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya. Menurut Erickson dan Keller (1997) dalam Hutabarat (2001), sumber utama N 2 O atmosfer berasal dari proses mikrobiologi baik secara alamiah maupun antropogenik. Proses mikrobiologi N 2 O terdiri dari nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses oksidasi (aerobik) oleh bakteri autotrop maupun heterotrop mengubah amonium (NH + 4 ) menjadi nitrit (NO - 2 ) dan nitrat (NO - 3 ). Sedangkan denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat secara biokimia dalam suasana anaerobik oleh bakteri heterotrop menjadi N 2. Di samping proses mikrobiologi, karakteristik fisik dan kimia juga berpengaruh terhadap produksi dan emisi N 2 O antara lain suhu tanah, kandungan air tanah, tipe tanah, ph, tekstur, dan aerasi tanah. Karakteristikkarakteristik tersebut mempunyai hubungan yang linier dengan emisi N 2 O. Dolomit (CaCO 3.MgCO 3 ) mengandung hara Ca dan Mg. Pupuk ini dianggap pupuk netral walaupun sering sedikit menaikkan ph tanah (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Pengaruh kemasaman (ph) tanah terhadap emisi sangat kompleks tergantung dari adanya sumber denitrifikasi dan nitrifikasi. Jika denitrifikasi sebagai sumber utama, peningkatan ph cenderung akan menurunkan emisi sampai ph 6. Sedangkan jika nitrifikasi sebagai sumber utama emisi N 2 O, emisi akan cenderung meningkat dengan meningkatnya nilai ph yang berkisar 6-8 (Granli, 1995 dalam Hutabarat, 2001). Emisi N 2 O yang dihasilkan dengan perlakuan dolomit cenderung lebih tinggi mungkin disebabkan oleh pengaruh ph tanah yang meningkat sehingga memberikan media aktivitas mikrobiologi tanah dalam keadaan optimum untuk mendegradasi gambut (Barchia, 2006) dan proses mikrobiologi yang terjadi adalah nitrifikasi sebagai sumber utama emisi. Sedangkan emisi yang terendah dihasilkan oleh perlakuan pupuk kandang. Walaupun pupuk kandang memiliki kandungan N yang cukup tinggi namun mengemisikan N 2 O paling rendah. Hal ini 35

48 diduga karena pemberian amelioran pupuk kandang belum mampu meningkatkan ph tanah yang dapat menjadi kondisi optimum bagi bakteri pembentuk N 2 O. Gambar 17. Fluks N 2 O pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Gambar 18. Fluks Kumulatif N 2 O pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut Kemasaman tanah pada perlakuan pupuk kandang berkisar , sedangkan ph tanah pada perlakuan dolomit berkisar Kemasaman 36

49 tanah pada perlakuan pupuk kandang lebih rendah namun nilainya tidak berbeda jauh dengan perlakuan dolomit. Tingkat kemasaman tersebut lebih rendah dari tingkat kemasaman yang dibutuhkan oleh bakteri untuk pembentukan N 2 O. Selain itu, mungkin juga dapat disebabkan oleh besarnya pemanfaatan N pada tanaman untuk pertumbuhan sehingga menyebabkan berkurangnya N (baik dalam bentuk NH + 4 maupun NO - 3 ) untuk pembentukan N 2 O. Wihardjaka dan Indratin (2002), menyatakan bahwa efisiensi pupuk N ditentukan oleh besarnya N dari pupuk yang dapat dimanfaatkan tanaman dan kehilangan N dari sistem tanah-tanaman. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian amelioran pupuk kandang untuk tanaman akan semakin efisien jika N dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk proses pertumbuhan tanaman dibandingkan untuk proses nitrifikasi dan denitrifikasi. 4.2.Potensial Redoks dan ph Tanah Perubahan potensial redoks tanah dan tingginya kemasaman tanah berpengaruh terhadap produksi dan emisi CH 4 dari lahan sawah yang tergenang. Kondisi tersebut akan mempengaruhi aktivitas bakteri metanogenik dalam merombak bahan organik untuk pembentukan CH Potensial Redoks Tanah Suatu petunjuk ketersediaan elektron dalam larutan tanah disebut potensi redoks tanah. Ketersediaan elektron merupakan petunjuk status oksidasi-reduksi tanah. Kondisi oksidasi-reduksi ini merupakan faktor pengontrol pembentukan CH 4. Tahapan proses redoks yang terjadi di lahan sawah yang tergenang adalah berkurangnya kandungan oksigen tanah, reduksi NO 3, Mn 4+, Fe 3+, SO 4, dan reduksi CO 2. Proses reduksi dari oksidan-oksidan tanah ini disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme yang berbeda. Oksigen akan direduksi oleh mikroorganisme anaerobik, sedangkan Mn 4+ dan Fe 3+ oleh bakteri fakultatif anaerobik. Semakin besar kandungan oksidan dalam tanah, semakin lama CH 4 terbentuk (Wihardjaka et al., 2006). Minamikawa dan Sakai (2005), berpendapat bahwa pengelolaan air di dasarkan pada potensial redoks tanah (Eh), yang disebut Eh control. Eh berpengaruh pada hasil padi dan emisi CH 4. Reaksi oksidasi-reduksi 37

50 mempengaruhi banyak proses kimia yang terjadi dalam tanah termasuk kejenuhan, ketersediaan C, mikroorganisme, suhu, dan jenis reaksi redoks yang terjadi (Vaughan et al., 2009). Gambar 19. Elektroda Gelas Gambar 20. Pengukuran Potensial Redoks Tanah Pengukuran potensial redoks tanah di tanah gambut ditunjukkan dalam Gambar 20. Dari grafik potensial redoks (Gambar 21) terlihat nilai potensial redoks bervariasi untuk masing-masing perlakuan. Pada awal pertumbuhan tanaman padi (1 HST) nilai potensial redoks masih berada pada kisaran positif. Selanjutnya, pada pengukuran minggu berikutnya nilai potensial redoks tanah berada pada kisaran negatif. 38

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN ADI BUDI YULIANTO F14104065 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi sejak tahun 80-an telah memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini berdampak kepada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Dinamika Unsur Hara pada Berbagai Sistem Pengelolaan Padi Sawah 4.1.1. Dinamika unsur N Gambar 12 menunjukkan dinamika unsur nitrogen di dalam tanah pada berbagai sistem pengelolaan

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI Oleh : YANUESTIKA DWIJAYANTI F14103011 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut 4 perbedaan antar perlakuan digunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan emisi CH 4. HASIL a. Fluks CH 4 selama

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman yang banyak mengonsumsi pupuk, terutama pupuk nitrogen (N) adalah tanaman padi sawah, yaitu sebanyak 72 % dan 13 % untuk palawija (Agency for Agricultural Research

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 EKOSISTEM Topik Bahasan: Aliran energi dan siklus materi Struktur trofik (trophic level) Rantai makanan dan

Lebih terperinci

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA 4.DAUR BIOGEOKIMIA 4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA Dalam lingkungan, unsur-unsur kimia termasuk juga unsur protoplasma yang penting akan beredar di biosfer mengikuti jalur tertentu yaitu dari lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO 2 Tanah Tanah merupakan bagian dari sistem yang mengatur konsentrasi CO 2 atmosfer. Hampir 10% CO 2 dari tanah sampai ke atmosfer tiap tahunnya (Raich dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 4.1.1. Karbondioksida (CO 2 ) Keanekaragaman nilai fluks yang dihasilkan lahan pertanian sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan tersebut.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengolahan Tanah dan Pemanasan Global Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan untuk menyiapkan tempat persemaian, memberantas gulma, memperbaikai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Jahe Iklim Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian 200-600 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata berkisar 2500-4000 mm/ tahun. Sebagai

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan KTK yang tergolong sedang sampai tinggi menjadikan tanah ini memunyai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Ultisol dan Permasalahan Kesuburannya Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan bagian penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan kondisi

Lebih terperinci

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI PRINSIP DAN KONSEP ENERGI DALAM SISTEM EKOLOGI 1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI ENERGI DALAM EKOSISTEM Hukum thermodinamika I energi

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 5 II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 2.1. Karakteristik tanah tropika basah Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas di kawasan tropika basah, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai ekonomis, serta harus terus dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan oleh petani

1.PENDAHULUAN. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan oleh petani 1.PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Salah satu dari program intensifikasi pertanian adalah pemupukan. Pupuk yang banyak digunakan oleh petani adalah pupuk kimia. Dalam memproduksi pupuk kimia dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran. 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan 4.1.1 Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis dan dosis amelioran tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman padi ciherang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri lainnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan penting sebagai

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan penting sebagai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia, jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan penting sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras, sebagai bahan makanan ternak dan bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar

I. PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tragedi lumpur Lapindo Brantas terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 yang telah menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar Desa Renokenongo (Wikipedia,

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, umur masak, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta rasa nasi. Umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang pertanian, sebab tanah merupakan media tumbuh dan penyedia unsur hara bagi tanaman.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Tanaman Cabai Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1400

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu merupakan bahan pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung. Daunnya dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim Balai Penelitian Kehutanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia setelah Malaysia dengan luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci