Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode (Studi Komparasi: Indonesia dan India) Galih Ramadian Nugroho Putra.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode (Studi Komparasi: Indonesia dan India) Galih Ramadian Nugroho Putra."

Transkripsi

1 Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode (Studi Komparasi: Indonesia dan India) Galih Ramadian Nugroho Putra Mahasiswa Program S1 Reguler Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia Abstrak Artikel ini membahas tentang liberalisasi pendidikan tinggi yang dipengaruhi oleh globalisasi. Akibatnya, banyak negara di dunia yang meliberalisasi sektor pendidikan tingginya. Politik Pendidikan di Indonesia dan India tidak terlepas dari fenomena tersebut. Kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia dan India mencerminkan adanya desentralisasi, privatisasi, dan komersialisasi pada pendidikan tingginya, yang menyebabkan negara mengurangi tanggung jawabnya dan sumber pendanaan dari masyarakat meningkat. Implementasi dari liberalisasi pendidikan di Indonesia dan India dapat dilihat pada penyelenggaraan PTN-PTN di kedua negara tersebut. Dampak dari liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia dan India adalah semakin sulitnya masyarakat yang berpengasilan rendah untuk mengakses pendidikan tinggi. Kata Kunci: Politik, Pendidikan, Liberalisasi, Privatisasi, Desentralisasi, Komersialisasi, PTN Abstract This thesis discusses the globalization are influenced the liberalization of higher education. As a result, many countries liberalize the higher education sector. Politics of Education in Indonesia and India are not apart of the phenomenon. Liberalization of higher education in Indonesia and India reflect a decentralization, privatization and commercialization of higher education, which led the country reduce its responsibilities and funding from the public increased. The implementation of the liberalization of education in Indonesia and India can be seen in the state universities in both countries. The impact of the liberalization of higher education in Indonesia and India are increasingly difficult low income people to access higher education. Keywords: Politics, Higher Education, Liberalization, Privatization, Commercialization, State University 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Globalisasi pendidikan tinggi memang tidak bisa dihindari Indonesia dan India. Secara realitas, prinsip neoliberal termanifestasi di dalam kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia dan India, seperti: desentralisasi PTN agar otonom dalam mencari sumber pendanaan dan mengelolanya secara mandiri, pengurangan subsidi pemerintah terhadap pendidikan tinggi,

2 pengurangan kontrol pemerintah, serta terdapat praktek komersialisasi pada PTN. Hal ini menyebabkan peran negara berkurang dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dan India. Minimnya political will dan kesalahan kebijakan pendidikan tinggi membuat pola pasar bebas menguasai penyelenggaraan pendidikan tinggi baik di Indonesia dan India. Artikel ini membahas tentang bagaimana politik pendidikan menunjang liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia dan India dalam periode tahun ? Penelitian tentang masalah pendidikan tinggi telah menjadi ranah kajian studi pendidikan. Kajian yang dihasilkan memaparkan mengenai masalah konseptual dan teknis mengenai penerapan, yang meliputi perencanaan, implementasi, sampai evaluasi. Namun, penelitian tentang politik pendidikan masih minim dilakukan Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini berupaya untuk membahas secara khusus masalah liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia dan India dari sudut pandang kajian politik pendidikan. Penelitian ini menggunakan konsep liberalisasi pendidikan tinggi untuk menggambarkan bentuk liberalisasi pendidikan tinggi yang diimplementasikan pada PTN di Indonesia dan India. 2. Metode Penelitian 2.1. Kerangka Konseptual Liberalisasi Pendidikan Tinggi Dalam kajian politik pendidikan, konsep liberalisasi pendidikan tinggi digunakan untuk membahas aspek kebijakan politik proses liberalisasi pendidikan tinggi, yang meliputi desentralisasi, privatisasi, dan komersialisasi. Di dalam laporan untuk konferensi pendidikan tinggi dunia yang diselenggarakan oleh UNESCO tahun 2009, Philip Albatch, Liz Reizberg, dan Laura E. Rumbley menjelaskan liberalisasi pendidikan tinggi disebabkan oleh pasar bebas dan sektor swasta yang berorientasi profit. Liberalisasi mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan pendidikan, seperti: korporatisasi, privatisasi perguruan tinggi negeri, dan mengimplementasikan pola manajemen publik baru dalam sistem anggaran dan pendanaan perguruan tinggi negeri, untuk menyelesaikan masalah pendanaan pendidikan tinggi. (Albatch, Reizberg, Rumbley, 2009: 69) Politik Pendidikan Muhammad Sirozi menjelaskan konsep politik pendidikan dengan mengutip pendapat dari Roger Dale. Menurut Dale, politik pendidikan adalah relasi antara produksi dan tujuan-tujuan dan bentuk pencapaiannya. Konsentrasi politik pendidikan menurut Dale adalah peranan negara. Dale menambahkan melalui studi politik pendidikan dapat menerangkan pola-pola, kebijakan, dan proses pendidikan pada

3 masyarakat kapitalis. Selain itu, politik pendidikan memungkinkan kita untuk mempertanyakan persoalan-persoalan di seputar asumsi, maksud, dan outcome berbagai strategi perubahan pendidikan. (Sirozi, 2010: 83-84). 2.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas tentang bagaimana politik pendidikan di Indonesia dan India meliberalisasi sektor PTN di negaranya masing-masing. Pemerintah Indonesia dalam hal ini memulai meliberalisasi dengan mengeluarkan kebijakan pada tahun 1999, sedangkan India sudah melakukannya pada tahun Tahun menjadi batasan penelitian karena penulis tren liberalisasi di kedua negara tersebut sangat terlihat pada rentang waktu tersebut Metode dan Teknik Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Prosedur pendekatan kualitatif mengandalkan pada teks dan data gambar, memiliki langkah-langkah yang unik dalam analisis data, dan memiliki langkahlangkah yang unik dalam analisis data, dan memiliki beragam strategi penyelidikan yang menarik Penelitian kualitatif ini digunakan untuk dapat menangkap dan mengungkapkan fakta dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Data yang didapati kemudian diproses melalui analisis tematis atau generalisasi dari bukti yang didapat, sehingga menghasilkan suatu gambaran yang koheren dan konsisten dapat disajikan (Cresswell, 1994: 20) Proses Pengumpulan Data Penulis menggunakan pengumpulan data primer dan data sekunder dalam menyelesaikan penelitiannya. Data primer akan didapat dari wawancara. Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud tertentu antara peneliti dan responden, dimana jawaban responden akan menjadi data mentah. Wawancara dilakukan penulis dengan pedoman wawancara yang akan dilampirkan bersamaan dengan transkripnya di akhir bagian penelitian ini. Selanjutnya penulis menggunakan data sekunder dari berbagai macam literatur, jurnal ilmiah, koran, dan internet untuk mempertajam argumen dan logika penelitian. Penulis juga menggunakan data kuantitatif untuk memperkuat argumen dan logika kualitatif tentang liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia. 3. Analisis/Interpretasi Data 3.1 Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia dan India Baik Indonesia maupun India sama-sama melakukan massifikasi pendidikan tinggi untuk pembangunan negaranya. Sesuai dengan data yang sudah dilampirkan di bab sebelumnya, jumlah partisipasi pendidikan tinggi di India pada tahun 1950-an hanyalah 397 ribu mahasiswa dengan jumlah universitas 30 dan kolese 695, sedangkan pada tahun berkembang menjadi 16,975 juta mahasiswa, dengan jumlah universitasnya menjadi 564 dan

4 kolesenya Hal ini menegaskan bahwa kolese adalah ujung tombak dari sistem pendidikan tinggi di India. Sedangkan, di Indonesia pada tahun 1985 tingkat partisipasinya hanyalah 9 % atau sekitar 500 ribuan mahasiswa. Peningkatan tersebut terus berkembang hingga mencapai 26 % pada tahun 2010 atau sekitar 5,226 juta mahasiswa, dengan jumlah perguruan tinggi sekitar dan proporsi PTNnya sekitar 130-an. Usaha massifikasi pendidikan tinggi dari Indonesia dan India dihadapkan dengan permasalahan krisis ekonomi yang melanda kedua negara tersebut, India pada tahun 1991 dan Indonesia pada tahun Krisis ekonomi tersebut membuat India dan Indonesia harus meliberalisasi sektor pendidikan tingginya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan yang mencerminkan desentralisasi, privatisasi, dan komersialisasi pada PTN-PTN di kedua negara tersebut. Kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi tersebut dilakukan India dan Indonesia untuk meningkatkan sumber pendanaan dari masyarakat dalam membiayai pendidikan tinggi di negaranya Desentralisasi Pendidikan Tinggi Di India struktur regulasinya jauh lebih kompleks dibanding Indonesia. Masing-masing dari lembaga dapat mengeluarkan kebijakan pendidikan sendiri. Struktur regulasi di India terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah negara bagian, UGC (University Grants Commission), dan dewan profesional lainnya. Selain struktur regulasi tersebut, kebijakan pendidikan di India dapat dikeluarkan oleh lembaga-lembaga dan komite-komite bentukan pemerintah lainnya. berbeda halnya dengan struktur regulasi di Indonesia dimana produk kebijakan Undang-Undang melalui pembahasan DPR dan Kementrian Pendidikan dan Budaya dan produk sekelas Peraturan Pemerintah dapat langsung dikeluarkan oleh pemerintah pusat saja. Krisis ekonomi menyebabkan berkurangnya kemampuan subsidi dari pemerintah terhadap pendidikan tinggi di India dan Indonesia. Hal ini membuat kedua negara tersebut mengeluarkan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan sumber pemasukan dari sektor lain bagi perguruan tingginya, terutama PTN yang sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Salah satu strategi yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dan India agar PTNnya dapat mencari sumber pendanaan secara mandiri adalah memberikannya otonomi untuk mengelola manajemen dan keuangan. Kebijakan desentralisasi tersebut membuat PTN dapat menentukan jalur masuk, menetapkan biaya kuliah, dan melakukan kegiatan komersil lainnya secara mandiri. Terdapat beberapa tingkatan otonomi yang diberikan oleh pemerintah terhadap PTN. Di Indonesia terdapat PTN dengan status BHMN, PTN dengan pola keuangan BLU (Badan Layanan Umum), dan PTN satuan kerja (konvensional). Sementara di India, otonomi yang diberikan lebih kompleks lagi karena ada otonomi yang diberikan penuh kepada perguruan tingginya, otonomi yang diberikan kepada kolese afiliasi di bawah universitas, dan otonomi yang

5 diberikan hanya kepada program studi tertentu dari PTN. DI India, UGC adalah badan regulator tertinggi bagi seluruh perguruan tingginya. UGC dapat dikatakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk mengawasi dan mendanai perguruan tingginya. Sesuai dengan Undang-Undang UGC tahun 1956 versi amandemen tahun 1985, UGC telah membolehkan PTN untuk membebankan biaya kuliah kepada peserta didiknya sesuai dengan universitas dan daerahnya masing-masing. Selain itu, PTN juga diperbolehkan mendapatkan donasi atau sumbangan lainnya dari sektor swasta. Namun, sampai dengan tahun 1980-an, jumlah subsidi dari pemerintah India masih lebih dari 80 % untuk pendidikan tingginya, sehingga belum ada PTN yang diberikan otonomi yang luas. Barulah pada tahun 1986 salah satu lembaga bentukan pemerintah India, NPE (National Policy on Education) India mengeluarkan rekomendasi kebijakan yang berbau liberalisasi, yakni PTN-PTN di India boleh menaikkan biaya kuliahnya dan membuat sistem alternatif untuk meningkatkan investasi dan sumbangan daru sektor swasta untuk meningkatkan sumber pendanaan. Seperti yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya, India lebih dulu meliberalisasi sektor pendidikan tingginya setelah krisis ekonomi tahun Pemerintah India langsung membentuk dua komite untuk meningkatkan dan memobilisasi sumber pendanaan dari lembaga pendidikan tinggi. Komite pertama adalah Punnaiya Committee yang dibentuk tahun 1992 untuk universitas sentral (central university), sedangkan komite kedua adalah Swaminadhan Committee yang dibentuk tahun 1994 untuk pendidikan teknis. Kedua komite tersebut memberikan otonomi kepada PTN untuk menaikkan biaya kuliah setidaknya 20 % dari total unit biaya per mahasiswannya per tahun. Selanjutnya, secara lebih khusus Swaminadhan Committee, memberikan otonomi kepada perguruan tinggi teknis dan profesional untuk mencari pendanaan mandiri dari riset dan konsultasi dengan pihak industri. Implementasi dari kebijakan ini adalah terdapat PTN-PTN di India yang pada periode sampai , lebih dari 50 % proporsi sumber pendanaannya berasal dari biaya pendidikan. Beberapa PTN tersebut adalah University of Mumbai, Karnataka University, Indira Gandhi State Open University, M.D Saraswati University, Pune University, dan YCM Open University. Selanjutnya, pada tahun 2002 pemerintah pusat India mengeluarkan Tenth Five Year Plan yang membolehkan PTN untuk meningkatkan sumber pendanaan internal, salah satunya dengan menaikkan biaya kuliah. Sedangkan, pada tahun 2005 pemerintah India lewat CABE (Commitee on Advisory Board of Education) membentuk dua komite lain untuk mengeluarkan kebijakan pendidikan tinggi. komite pertama adalah Committee on Autonomy of Higher Educations Institutions yang bertujuan untuk memberikan PTN mempunyai otonomi untuk menentukan struktur biaya pendidikan terhadap masing-masing program studi yang dimilikinya. Sedangkan, komite kedua adalah Commitee on Financing of Higher Education yang merekomendasikan

6 penetapan beban biaya kuliah harus berbeda antara universitas sentral dan universitas negara bagian, perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi profesional, program sarjana dan program pasca-sarjana. Pada tahun 2006, pemerintah India kembali membuat komisi yang dinamakan National Knowledge Commision. Komite tersebut memberikan otonomi kepada PTN untuk dapat menentukan tingkat biaya pendidikan minimal 20 % dari total anggaran belanja di perguruan tinggi tersebut. Selain itu, PTN juga harus menyesuaikan besaran biaya pendidikan setiap dua tahun melalui indeksasi harga. Dalam konteks India seperti yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya, program studi yang paling banyak diminati oleh masyarakat adalah program studi teknis dan profesional. Kebijakankebijakan desentralisasi di atas melegalkan universitas maupun kolese negeri yang mempunyai program studi teknis dan profesional untuk menentukan besaran biaya pendidikan yang akan dibebankan kepada mahasiswanya. Hal ini karena program studi teknis membutuhkan biaya operasional yang tinggi, sehingga perguruan tinggi teknis atau perguruan tinggi yang mempunyai program studi teknis diberikan otonomi. Sebagai contoh, Universitas negeri di India yang program studinya diberikan otonomi adalah program studi arsitektur pada Jawaharlal Nehru University. Program studi tersebut memiliki otonomi untuk menentukan kuota kursi untuk subsidi dan nonsubsidi, serta menentukan besaran biayanya secara mandiri. Pada tahun 2007, pemerintah pusat India mengeluarkan kebijakan The National Institutes of Technology yang bertujuan untuk merubah status institut teknologi menjadi institut kepentingan nasional (institute of national importance). Tingkat otonomi yang diberikan kepada institut kepentingan nasional cukup besar, yakni mereka dapat: membentuk statuta sendiri, menetapkan biaya pendidikan dan jalur masuk mandiri, mendirikan dan memelihara asrama, mengelola properti kampus secara mandiri, dan melakukan usaha komersil dengan industri untuk meningkatkan sumber pendanaan. Sebagai contoh, sebelum kebijakan ini dikeluarkan total besaran biaya masuk yang harus dikeluarkan mahasiswa di the Indian Institute of Technology, Delhi pada tahun hanyalah Rs , sedangkan setelah kebijakan tersebut diimplementasikan biaya masuk yang harus dibayarkan mahasiswa pada tahun 2012 menjadi Rs Jumlah kenaikkan biaya yang disebabkan oleh pemberian otonomi pada IIT s sangatlah signifikan. Produk kebijakan pendidikan India yang terbaru adalah The Central Universities Act, Undang-undang ini tujuannnya untuk memberikan kerangka legal kepada universitas sentral. Tingkat otonomi yang diberikan kepada universitas sentral melalui undang-undang ini sangatlah luas karena universitas sentral dapat mengelola administrasi secara mandiri, menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, mengadakan pelatihan, mendirikan kolese, melakukan kerjasama komersil dengan industri, menentukan jalur masuk, memberikan status otonomi kepada kolese, departemen, dan lembaga lainnya di bawah

7 universitas, dan menetapkan biaya pendidikan sendiri. Sedangkan, untuk Indonesia kebijakan desentralisasi pendidikan tingginya tidak sekompleks India. Kebijakan desentralisasi pendidikan tinggi di Indonesia diawali oleh keluarnya PP 61 Tahun 1999 yang bertujuan untuk memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada PTN-PTN yang dianggap sudah mampu, seperti UI, ITB, UGM, dan IPB, serta diikuti oleh UPI Bandung dan USU Medan. Menurut Soffian Effendi PP 61 Tahun 1999 harus keluar karena memang sudah dicanangkan sejak Propenas. PTN yang telah diberikan status BHMN tersebut tidak lagi bertanggung jawab kepada pemerintah secara langsung, melainkan lewat MWA (Majelis Wali Amanah) yang sudah diberi wewenang oleh pemerintah. Selanjutnya, terdapat pemisahan aset kekayaan awal perguruan tinggi BHMN, sehingga aset yang sudah dimiliki sebelumnya oleh PT-BHMN dapat dikelola secara mandiri untuk kepentingan kampus. Hal ini membuat PT-BHMN menjadi suatu entitas yang otonom dalam hal manajemen dan sumber pendanaannya. Secara akuntabilitas keuangan, PT-BHMN tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada pemerintah, tetapi langsung ke masyarakat dengan dibentuknya Dewan Audit Internal oleh MWA. Selain itu, dalam pemilihan Rektor/ Pimpinan universitas di PT-BHMN tidak lagi ditunjuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan secara langsung, melainkan lewat mekanisme pemilihan yang diadakan oleh MWA. Peran dari Mendikbud sebagai unsur MWA terhadap pemilihan Rektor di PT-BHMN adalah sebesar 35 %, sedangkan untuk MWA unsur lainnya tetap berlaku sistem one man one vote. Bentuk implementasi dari desentralisasi kebijakan di PT- BHMN terhadap meningkatnya sumber pendanaan dari masyarakat adalah sebagai, berikut: Dibukanya jalur masuk mandiri di PT-BHMN; penentuan sistem penetapan biaya kuliah sendiri; dibukanya program non-reguler atau non-subsidi; dibukanya program internasional; membuka unit usaha untuk menambah pemasukan, serta mengadakan kerjasama riset dan konsultasi dengan pihak industri. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa bentuk desentralisasi yang diberikan pemerintah kepada UI, ITB, UGM, dan IPB dapat berbeda satu dengan yang lainnnya. Selain pendanaan, dalam hal ketenagakerjaan PT BHMN memiliki otonomi untuk mengangkat pegawai dengan status pegawai universitas dan mengalihkan status PNS menjadi pegawai BHMN dan pegawai universitas. Namun, implementasi dari sisi ketenagakerjaan ini belum berjalan dengan baik karena masingmasing dari PT-BHMN memiliki kebijakan masing-masing. Hal ini ditandai dengan masih beragamnya status kepegawaian semenjak UI dan UGM sudah menjadi PT-BHMN. Di UI misalnya terdapat 4000-an pekerja yang statusnya belum jelas, sedangkan di UGM status pegawai non-pnsnya lebih sedikit karena mereka tetap mengusulkan pengangkatan PNS. Dengan konsep liberalisasi yang penulis gunakan, perubahan status PTN menjadi PT-BHMN merupakan bentuk liberalisasi pendidikan tinggi yang paling tegas.

8 Memang secara status kepemilikan PT-BHMN masih milik negara, namun secara tingkat otonomi sangat tinggi, kontrol dari pemerintah berkurang, pengelolaannya sudah menggunakan pola manajemen swasta, sumber pendanaannya mayoritas berasal dari masyarakat, dan terdapat praktek komersialisasi pada unit usaha di perguruan tinggi BHMN. Hal ini menegaskan bahwa desentralisasi pendidikan tinggi dalam bentuk PT-BHMN memperkuat bahwa liberalisasi pendidikan tinggi sudah terjadi di Indonesia. Setelah PP 61 Tahun 1999, kebijakan lainnya yang keluar pada tahun 2002 adalah SK Dirjen Dikti No. 28/DIKTI/Kep/2002 tentang penyelenggaraan program, reguler dan non-reguler di PTN. Tujuannya adalah untuk meningkatkan sumber pendanaan dari masyarakat lewat program non-reguler yang dikenakan biaya lebih tinggi karena bukan jalur subsidi. Melalui SK ini, PTN-PTN di lingkungan Dikti diberikan otonomi untuk menentukan tata cara jalur masuk, jumlah kuota, dan besaran biaya pendidikan program nonreguler yang akan dibebankan kepada masyarakat. Selain perencanaan, PTN juga diberikan otonomi untuk mengelola uang penerimaan dari program non-reguler secara mandiri. Implementasi dari SK ini adalah hampir semua PTN mempunyai program non-reguler baik yang berstatus BHMN (UI, UGM, ITB, dll); BLU, (UNPAD, UNDIP, UNSOED, UNS, dll), maupun Satker (Universitas Unwiku Purwokerto, dll). Pada tahun 2003, keluar UU Sisdiknas yang menjabarkan lebih rinci amanah UUD Di dalam UU Sisdiknas diatur pemberian otonomi dan sumber pendanaan yang menjadi dasar legal dari PTN untuk menyelenggarakan kegiatan. Selain itu, UU Sisdiknas mengamanahkan untuk mengatur sendiri Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan. Bentuk implementasi dari amanah yang terakhir tersebut terejawantahkan ke dalam bentuk UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) Tahun Namun, UU BHP tersebut telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap melanggar UUD Namun, yang menjadi paradoks adalah status BHMN sudah diberikan kepada beberapa perguruan tinggi sebelum UU Sisdiknas ini keluar. Selanjutnya pada tahun 2005, PTN-PTN yang berstatus Satker boleh berubah menjadi perguruan tinggi yang menggunakan pola keuangan BLU (Badan Layanan Umum) agar PTN dapat menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dan dapat lebih fleksibel mengelola keuangannya. Perubahan status dari PTN ke PT-BLU ditetapkan oleh SK dari Kementrian Keuangan. Pemberian status kepada BLU ini, menegaskan bahwa pendidikan tinggi merupakan produk jasa yang dijual tanpa mencari profit. Perbedaan PT-BHMN dan PTN BLU adalah, penerimaan dana dari PT BLU tetap harus disetor ke negara, sedangkan penerimaan PT BHMN masuk ke dalam kategori PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Implementasi dari kebijakan ini adalah beberapa PTN diberikan otonomi untuk mengelola keuangannnya seperti BLU, seperti: UNPAD, UNDIP, UNSOED, UNJ, UNHAS, UNS, UIN Jakarta, UIN Sunan Gunung Jati, dan lainnya). Produk kebijakan terbaru dari Indonesia adalah UU No. 12

9 Pendidikan Tinggi Tahun Desentralisasi pendidikan tinggi di dalam Undang-Undang ini terlihat dari dilegalkannya perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, melakukan riset dengan dunia industri dan dunia usaha, perguruan tinggi menentukan besaran biaya pendidikan sendiri, dan status perguruan tinggi dapat berbentuk PTN Badan Hukum atau PTN BLU. Implementasi dari kebijakan ini belum terlaksanakan karena masih baru disahkan dan masih dalam tahap judicial review di Mahkamah Konstitusi. Struktur regulasi yang kompleks membuat kebijakan pendidikan dari pemerintah India dikeluarkan oleh berbagai macam badan regulasi, baik itu dalam bentuk Undang-Undang, keputusan pemerintah pusat, keputusan pemerintah daerah, UGC, Dewan Profesional lainnya, komite buatan pemerintah, dan Universitas itu sendiri. Hal ini membuat tujuan kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing badan regulasi tersebut tampak sama. Persamaan dari desentralisasi pendidikan tinggi yang diberikan oleh pemerintah India dan Indonesia adalah memberikan PTN otonomi untuk meningkatkan sumber pendanaan dari masyarakat. Perbedaannya terletak pada kadar dan tingkatan otonomi yang diberikan. Di Indonesia otonomi PTN diberikan tingkatan status otonomi penuh dalam bentuk Badan Hukum, semi otonom dalam bentuk PTN BLU, dan otonomi terbatas dalam bentuk PTN Satker yang konvensional. Sedangkan, bentuk otonomi di India ada yang langsung diberikan kepada PTN atau kepada program studi. Pemberian otonomi kepada program studi di India ditandai dengan pendanaan mandiri program studi tersebut karena mereka diberikan otonomi yang luas, terutama dalam program studi teknis dan profesional. Oleh karena itu, implementasi dari kebijakan program studi teknis dan profesional yang diberikan otonomi adalah tingginya biaya pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswanya seperti di IIT s dan kampus-kampus umum yang memiliki program studi tersebut Privatisasi Pendidikan Tinggi Menurut model analisa privatisasi pendidikan tinggi dari Bruce Johnstone, terdapat perubahan dalam hal kepemilikan, sumber pendanaan, dan kontrol pemerintah dari sangat publik menjadi sangat swasta. Semakin publik maka polanya semakin tersentralisasi, sebaliknya semakin swasta maka semakin tidak ada campur tangan negara. Dalam menganalisis privatisasi pendidikan tinggi ini penulis akan memulainya dari tataran negara sampai ke polanya di beberapa PTN sebagai penegas dari terjadinya privatisasi pendidikan tinggi di Indonesia dan India. Hal paling mudah adalah melihat jumlah proporsi antara PTN dan PTS yang dimiliki baik oleh Indonesia maupun India. Secara status kepemilikan, perkembangan PTS baik di Indonesia maupun India sangatlah massif. Perbedaan utama dari PTS dan PTN adalah dalam hal otonominya. PTS memiliki otonomi penuh, sedangkan PTN memiliki beberapa tingkatan otonomi. Di Indonesia mayoritas partisipasi pendidikan tinggi ditampung di PTS karena jumlahnya lebih banyak,

10 begitu juga di India. Perkembangan PTS di Indonesia dan India dapat dilihat dari proporsi jumlah PTS dan PTN yang dimilikinya. Menurut data yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya, pada tahun 2010 di Indonesia terdapat lebih dari 3000-an PTS, sedangkan jumlah PTN hanyalah 130-an. Sedangkan di India pada tahun 2006 terdapat PTS yang terdiri dari 80 universitas dan kolese afiliasinya, sedangkan jumlah PTNnya adalah 268 universitas dan 4225 kolese afiliasi. Seperti data yang tersedia pada gambar 4.4, di India perkembangan PTS lebih banyak pada program studi teknis dan profesional, seperti permesinan, farmasi, manajemen, arsitektur, pendidikan guru, kedokteran, dan fisioterapi. Data-data di atas menegaskan bahwa pemerintah Indonesia dan India menyerahkan pengembangan pendidikan tingginya kepada sektor swasta dilihat dari jumlah PTS di kedua negara tersebut. Oleh karena itu, semangat privatisasi pendidikan tinggi di Indonesia dan India nampak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan India karena berkembang pesatnya sektor PTS. Banyaknya PTS di Indonesia membuat sumber pendanaan pendidikan tinggi secara makronya lebih besar ditanggung oleh masyarakat. Hal ini karena PTS tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga mahasiswa dan orang tuanya harus membayar biaya pendidikan penuh. Walaupun ada subsidi terhadap PTS itu diberikan pemerintah dalam bentuk beasiswa langsung kepada mahasiswa, pemberian staf pengajar PNS di kampus swasta, atau pembangunan infrastruktur. Selain banyaknya jumlah PTS, tingginya biaya pendidikan tinggi baik di PTN Indonesia dan India juga berpengaruh terhadap proporsi sumber pendanaan pendidikan tinggi yang dimiliki negara masing-masing. Hal ini dapat dilihat proporsi sumber pendanaan makro antara Indonesia dan India setelah kedua negara tersebut mengeluarkan kebijakan yang menyebabkan privatisasi pendidikan tinggi seperti yang sudah dijelaskan di sub bab analisis tentang desentralisasi. Sebelum tahun 1990, sumber pendanaan pendidikan tinggi di India sangat bergantung pada subsidi pemerintah. Namun, setelah keluarnya kebijakan liberalisasi tahun 1993 proporsi pendanaan publik dan swastanya terus berubah. Mengacu pada data yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya, di India pada periode jumlah sumber pendanaan yang berasal dari swastanya mencapai 50 % dan kondisi tersebut terus meningkat seiring bertambahnya PTS dan banyaknya PTN yang menaikkan biaya pendidikan. Jumlah subsidi pemerintah India untuk pendidikan tingginya sesuai data di gambar 4.5 memang cenderung meningkat sejak tahun 2006 sampai 2009, namun kenyataannnya peningkatan tersebut tidak cukup untuk membiayai meningkatnya jumlah perguruan tinggi dan partisipasi mahasiswa di India, sehingga sebenarnya jumlah pengeluaran pendanaan per mahasiswa terus turun dari tahun ke tahun. Dapat dilihat pada temuan sekunder, jumlah PTS subsidi dan PTS non-subsidi pada tahun lebih banyak dibanding PTNnya. Walaupun PTS subsidi di India, jumlah subsidinya sangatlah kecil,

11 sehingga tetap mematok biaya yang mahal. Di sisi lain PTN India mulai menaikkan biaya pendidikan sejak rekomendasi dari Punnaiya Committee dan Swaminadhan Committee pada tahun 1993 diimplementasikan. Kondisi pendanaan yang mayoritas ditanggung oleh sektor swasta ini menegaskan bahwa privatisasi pendidikan tinggi terjadi di India setelah kebijakan liberalisasi pendidikan diimplementasikan. Sedangkan di Indonesia mengacu pada data sekunder di tahun 2001, proporsi sumber pendanaan swastanya adalah 56,2 % dan pada tahun 2009 mengacu pada gambar 3.7 dan 8.8, proporsi pendanaan publiknya hanya 25 % dan pendanaan swastanya meningkat menjadi 75 %. Bila dihitung secara GDP pada tahun 2009, proporsi dari pemerintah untuk pendidikan tinggi adalah 0,3 %, sedangkan dari swastanya 0,9 %. Hal ini berarti sejak dikeluarkannya kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi di tahun 1999, jumlah subsidi negara terus berkurang dan beban masyarakat semakin meningkat. Dalam konteks mikro, kebijakan pendidikan yang menyebabkan privatisasi pendidikan dapat dilihat dari proporsi sumber pendanaan publik dan swasta di PTN yang dimiliki Indonesia dan India. Mengacu pada data sekunder, di India alokasi dana dari UGC harus dibagi kepada sekitar 5500 perguruan tinggi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi. Sedangkan an lainnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah. Kritik terhadap UGC selama ini adalah mereka hanya terkesan bertanggungjawab terhadap pembiayaan di universitas sentral. Hal ini membuat banyak universitas negara bagian harus mencari pendanaannya sendiri dan yang paling mudah ialah dari biaya kuliah mahasiswa. Semangat privatisasi pendidikan tinggi di India dapat dilihat dari berkurangnya jumlah subsidi pada beberapa PTN. Berkurangnya subsidi dari pemerintah tersebut membuat PTN harus mencari dana sendiri untuk membiayai kegiatan operasional dan menjaga kualitasnya. Salah satu caranya adalah dengan menaikkan biaya pendidikan, seperti yang dilakukan oleh berbagai IIT s dan program studi teknis/ profesional lainnya. Dari temuan sekunder, semakin menegaskan bahwa subsidi dari pemerintah India hanya berfokus ke universitas sentral karena struktur biaya di Jawaharlal Nehru University dan University of Delhi cenderung lebih murah dibandingkan dengan universitas negara bagian, seperti University of Mumbai dan Karnataka University, serta institut kepentingan nasional, seperti IIT s Kharagpur dan IIT s Rajahstan. Permasalahan dari PTN di India adalah mayoritas pengeluarannya adalah untuk membayar gaji dosen. Jika melihat mayoritas pemasukannya dari dana masyarakat, maka dana dari masyarakat tersebut secara langsung digunakan untuk membayar gaji dosen di PTN-PTN tersebut. Hal ini berarti pemerintah memang berusaha melepaskan tanggung jawab pembiayaan gajian dosen kepada masyarakat. Sedangkan, dalam konteks mikro di Indonesia semangat privatisasi pendidikan tinggi sangat terlihat pada kampus-kampus BHMN, seperti yang data sekunder.

12 Setelah status BHMN diimplementasikan, peta sumber pendanaan dari kampus-kampus BHMN, seperti UI, ITB, UGM, IPB, UPI, dan USU mayoritas berasal dari masyarakat dan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi akibat dari kebijakan desentralisasi PP 61 Tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pendapat dari Satriyo Soemantri Brodjonegoro dan Bagyo Moeliodihardjo dalam satu sesi wawancara, menegaskan bahwa banyaknya sumber pendanaan dari masyarakat dalam PT BHMN disebabkan oleh kesalahan persepsi dan ketiadaan kepastian hukum dari pemerintah dalam menginterpretasikan konsep BHMN. Permasalahan lainnya, pemerintah tidak mau memberikan uangnya untuk dikelola oleh PT BHMN karena PT BHMN dianggap instansi yang otonom di luar pemerintahan. Akibatnya, penyelenggaraan PT BHMN menjadi tidak jelas jaminan proporsi pendanaan dari pemerintahnya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah yakni, kebijakan pendidikan PT BHMN dari pemerintah tidak didukung oleh instansi pemerintah lainnya, sehingga pada kenyataannya hanya membuat pengimplementasian PT BHMN bersemangatkan privatisasi pendidikan. Dari semua ini yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai stakeholder yang membutuhkan akses pendidikan tinggi. Akibatnya, lebih spesifik dapat dilihat pada peta pendanaan penerimaan pemerintah dan dana masyarakat di Universitas Indonesia pada tahun 1994 sampai dengan Pada periode tahun , sumber pendanaan UI dari pemerintah masih lebih besar daripada sumber pendanaan dari masyarakat. Komposisi tersebut mulai berubah pada tahun 1998, jumlah sumber pendanaan masyarakat menjadi lebih besar dibanding dengan jumlah subsidi pemerintah (UI Dalam Angka, 2008). Besaran sumber pendanaan dari masyarakat cenderung semakin besar dari tahun Pada tahun 2012 di UI, jumlah sumber pendanaan dari masyarakat adalah 61,15 %, sedangkan dari pemerintah hanyalah 38,85 % (UI Dalam Angka, 2008). Keadaan di UI juga terjadi di kampus BHMN lainnya. Di ITB pada tahun 2012, jumlah penerimaan dana dari masyarakat adalah 61 %, sedangkan dari pemerintah hanyalah 39 %. Hampir sama dengan PT BHMN, semangat privatisasi pendidikan tinggi juga terlihat pada perguruan tinggi yang menggunakan pola keuangan BLU. Dapat dilihat tentang peta pendanaan PT BLU, dari laporan Bappenas tersebut mayoritas pendanaan dari PT BLU masih berasal dari pemerintah. Namun, laporan Bappenas tersebut hanya menggunakan 8 sampel PT BLU, sehingga tidak dapat menggeneralisir. Jika melihat PT BLU ternama seperti: UNPAD, UNDIP, UNS, UNY Yogyakarta, dan ITS, sumber pendanaan dari masyarakat tetaplah mayoritas. Hal ini menegaskan liberalisasi pendidikan tinggi juga terjadi pada PT BLU, hanya saja kadar dan tingkatannya berbeda. Struktur pengeluaran dana dari PT BLU menurut laporan Bappenas hampir 60 % dialokasikan untuk membiayai pengeluaran rutin seperti gaji dan biaya operasional

13 lainnya. Hal ini menegaskan bahwa semangat privatisasi pendidikan pun terlihat pada PT BLU. Hanya saja kadarnya berbeda antara satu PT BLU dengan PT BLU lainnya. PT BLU yang semangat privatisasinya tinggi dapat dilihat pada kampuskampus ternama seperti, UNPAD, UNDIP, UNY Yogyakarta, sedangkan tidak terlalu tinggi pada PT BLU lainnya. Namun, secara umum pola-pola privatisasi pendidikan tinggi hampir terjadi di semua PT BLU. Bentuk PTN lainnya di Indonesia adalah PTN satuan kerja yang tata kelolanya masih sangat konvensional. Hal ini dapat dilihat dari kontrol dan pendanaan yang diberikan pemerintah kepada mereka. Dapat dilihat pada peta sumber pendanaan dari PTN satuan kerja menurut laporan Bappenas Mayoritas pendanaan PTN Satker sangat bergantung pada dana dari pemerintah. jumlah subsidi pemerintahnya lebih besar daripada dana masyarakat. Di sisi lain, walaupun jumlah subsidi dari pemerintah kepada PTN Satker cenderung mayoritas dari tahun ke tahun, tetap saja jumlah tersebut masih kalah dibandingkan dengan jumlah peningkatan jumlah mahasiswa yang diterima di PTN Satker. Secara struktur pengeluaran, alokasi PTN Satker terhadap penelitian dan pembangunan masih sangat minim, karena mayoritasnya harus dialokasikan untuk biaya rutin. Hal ini mengakibatkan kualitas dari PTN Satker cenderung rendah. Berdasarkan pemaparan tentang privatisasi pendidikan dari Indonesia dan India, terdapat pola yang sama dalam tataran implementasinya. Persamaan dapat dilihat dari program teknis dan profesional dari PTN yang membebankan biaya pendidikan yang lebih tinggi dibanding program studi umum. Perbedaannya dapat dilihat pada privatisasi pendidikan tinggi di India yang sangat terlihat pada universitas negara bagian dan IIT s. Sedangkan, di Indonesia sangat terlihat pada kampus-kampus BHMN, yang secara latar belakang sejarah dapat dikategorikan sebagai universitas sentralnya Indonesia, seperti Jawaharlal Nehru University dan University of Delhi di India Komersialisasi Pendidikan Tinggi Salah satu indikator komersialisasi pendidikan tinggi adalah dibukanya unit usaha berbasis dan penggunaan lahan atau aset berbasis profit di lingkungan perguruan tinggi untuk meningkatkan sumber pendanaan. Selain itu, ada ketidakjelasan status dari pekerja di institusi perguruan tinggi tersebut. Tujuan pembukaan unit usaha komersil di PTN-PTN Indonesia adalah untuk meningkatkan sumber pemasukan di luar pemerintah dan biaya kuliah masyarakat. Di Indonesia tingkat komersialisasi pendidikan tinggi kampus-kampus BHMN cukup tinggi. Dapat dilihat di dalamnya banyak dibuka perusahaan-perusahaan konsultasi dan riset yang bertujuan untuk profit. Selain itu, lahan dan aset universitas banyak yang disewakan kepada pihak luar, seperti rumah makan, cafe, bank, papan iklan, tempat kebugaran, minimarket dan lainnya. Dari sisi ketenagakerjaan hampir semua kampus BHMN memiliki permasalahan status

14 kepegawaian. Namun, yang paling mencolok adalah di UI karena pada tahun 2011 terdapat sekitar lebih dari 7000 pekerja yang belum jelas status kepegawaiannya. Tingginya tingkat komersialisasi pendidikan di kampus BHMN dapat dilihat dari jumlah sumber penerimaan bantuan dan kerjasama dari kampus-kampus tersebut. Sesuai dengan laporan Bappenas untuk PT BHMN, untuk PT BLU, untuk PTN Satker, penerimaan terbesar ada di PT BHMN. Hal ini karena otonomi yang diberikan kepada PT BHMN membuat mereka lebih leluasa dalam melakukan komersialisasi pendidikan. Pada kenyataannya, walaupun penerimaan unit usaha komersil di kampus BHMN lebih besar dari PT BLU dan PTN Satker, jumlah penghasilan mereka secara internal masihlah sangat sedikit dan tidak signifikan dalam membantu kondisi keuangan universitas. Hal yang sama juga terjadi di India, setelah kebijakan pemerintahnya melegalkan untuk dilakukannya kegiatan lain di luar pendidikan untuk menambah pemasukan universitas, beberapa sumber pemasukan internal dari PTN meningkat. Pada akhir periode , beberapa PTN di India yang sumber pemasukan internalnya melebihi 20 % dari pemasukan adalah Anna University, Dibrugarh University, Gauhati University, Goa University, Kumaon University, M. Dayanand University, dan Osmania University. Hal ini menegaskan bahwa pemberian otonomi kepada PTN di India dan Indonesia mengakibatkan terjadinya praktek komersialisasi pendidikan untuk menambah sumber pemasukan di luar pemerintah dan masyarakat. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari semua adalah liberalisasi pendidikan tinggi memang tidak bisa dihindari dari negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dan India. Namun, liberalisasi pendidikan tinggi yang dilakukan Indonesia maupun India, bukanlah semata karena mengikuti ideologi negara-negara neoliberal, tetapi lebih karena minim komitmen untuk memberikan pendanaan yang maksimal. Dengan diliberalisasinya sektor pendidikan tinggi, politik pendidikan di Indonesia dan India seharusnya juga aktif untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, dengan mengeluarkan lebih banyak kebijakan afirmasi dan kebijakan lainnya untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah tersebut. Hal ini karena di era globalisasi yang mengedepankan knowledge-based economy, pendidikan tinggi merupakan motor utama pembangunan dan sarana mobilitas sosial masyarakat yang berpenghasilan rendah. Masyarakat yang tidak mengeyam pendidikan tinggi akan sulit untuk bersaing dan akhirnya kesenjangan yang terjadi akan semakin parah.

15 Daftar Acuan Buku: Agarwal, Pawan, Higher ducation in India: The Need for Change. India: ICRIER, Albatch, P. G, Liz Reisberg, dan Laura E. Rumbley, Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic Revolution, France: UNESCO, Bappenas, Laporan Kajian Strategi Pendanaan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Bappenas, Moeliodihardjo, Bagyo, Equity and Access in Higher Education: The Case of Indonesia, Jakarta: World Bank, Referensi Internet: Data UI dalam Angka Diunduh dari alam_angka.pdf Data laporan RKAT UI tahun anggaran 2012, versi 7 April Diunduh dari wnload/ Wawancara: Wawancara dengan Prof. Satriyo Soemantri Brodjonegoro (mantan Dirjen Dikti ) di Universitas BINUS pada 3 Mei Wawancara dengan, Prof. Sofian Effendi (mantan Rektor UGM dan Ketua MWA UGM), di Kementrian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN), pada 11 September Wawancara dengan Bagyo Moeliodihardjo (Pakar Manajemen Pendidikan Tinggi, mantan anggota MWA UI, dan mantan Dekan Fasilkom UI), di Cafe Victoria PIM 2, pada 14 September 2012.

Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Organisasi. Oleh: Muhammad Ridha Intifadha 1

Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Organisasi. Oleh: Muhammad Ridha Intifadha 1 Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Organisasi Oleh: Muhammad Ridha Intifadha 1 1 Deputi Divisi Kajian Kebijakan BK MWA UI UM 2013 Prolog Universitas Indonesia, layaknya institusi lainnya, membutuhkan

Lebih terperinci

JAWA POS, 24/7/03 PT-BHMN KELUAR DARI CUL-DE-SAC

JAWA POS, 24/7/03 PT-BHMN KELUAR DARI CUL-DE-SAC JAWA POS, 24/7/03 PT-BHMN KELUAR DARI CUL-DE-SAC Sofian Effendi Pemerataan Akses Untuk mencapai pemerataan pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia telah menempuh kebijakan klasik menyediakan subsidi biaya

Lebih terperinci

Reposisi Sikap Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa tentang Otonomi Pendidikan Tinggi: Konteks Universitas Indonesia

Reposisi Sikap Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa tentang Otonomi Pendidikan Tinggi: Konteks Universitas Indonesia Reposisi Sikap Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa tentang Otonomi Pendidikan Tinggi: Konteks Universitas Indonesia oleh Arya Adiansyah, Rifqi Alfian dan Daya Cipta S Tulisan ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Institut Seni Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Institut Seni Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota yang identik dengan sebutan kota pelajar. Terdapat empat Perguruan Tinggi Negeri di daerah ini, yaitu: Universitas Gadjah Mada, Universitas

Lebih terperinci

&DIKTI. Keuangan Negara DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS

&DIKTI. Keuangan Negara DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS UU &DIKTI Keuangan DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS Keuangan Di dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 perumusan tentang keuangan adalah: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan

Lebih terperinci

Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Ketenagakerjaan. Oleh: Arinta Dea Dini Singgi dan Daya Cipta S 1

Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Ketenagakerjaan. Oleh: Arinta Dea Dini Singgi dan Daya Cipta S 1 Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Ketenagakerjaan Oleh: Arinta Dea Dini Singgi dan Daya Cipta S 1 1 SuperStaf Divisi Kajian Kebijakan BK MWA UI UM 2013 Pada tanggal 14 Oktober 2013 telah disahkan

Lebih terperinci

Implementasi Kebijakan BOPTN dan UKT : Implikasinya Terhadap Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi Negeri Lainnya

Implementasi Kebijakan BOPTN dan UKT : Implikasinya Terhadap Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi Negeri Lainnya Implementasi Kebijakan BOPTN dan UKT : Implikasinya Terhadap Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi Negeri Lainnya Oleh : 1 Alldo Fellix Januardy 1 Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa

Lebih terperinci

Sosialisasi Peraturan Perundangan Berkaitan Pendanaan PTN Badan Hukum

Sosialisasi Peraturan Perundangan Berkaitan Pendanaan PTN Badan Hukum 1 Sosialisasi Peraturan Perundangan Berkaitan Pendanaan PTN Badan Hukum Armansyah Ginting Rapat Koordinasi dan Pengawasan Internal Universitas Sumatera Utara Medan, 21 Juni 2014 2 Peraturan Perundangan:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bangsa agar salah satu tujuan Negara Indonesia tercapai. Berdasarkan visi dalam

PENDAHULUAN. bangsa agar salah satu tujuan Negara Indonesia tercapai. Berdasarkan visi dalam PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha yang terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran agar peserta didik dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Pendidikan merupakan

Lebih terperinci

Catatan Pengabdian MWA UI UM

Catatan Pengabdian MWA UI UM Catatan Pengabdian MWA UI UM Fadel Muhammad Anggota Majelis Wali Amanat UI Unsur Mahasiswa Bulan Juli ini tepat enam bulan saya menjabat di Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI), sebagai MWA

Lebih terperinci

PIDATO KUNCI REKTOR PADA PEMBUKAAN SEMINAR TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP) SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN

PIDATO KUNCI REKTOR PADA PEMBUKAAN SEMINAR TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP) SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN PIDATO KUNCI REKTOR PADA PEMBUKAAN SEMINAR TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP) SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN 12 Juli 2005 Hotel Santika, Yogyakarta Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SRIWIJAYA Jln. Raya Palembang - Prabumulih Km. 32 Indralaya, OI, Sumatera Selatan 30662 http://www.unsri.ac.id

UNIVERSITAS SRIWIJAYA Jln. Raya Palembang - Prabumulih Km. 32 Indralaya, OI, Sumatera Selatan 30662 http://www.unsri.ac.id K UNIVERSITAS SRIWIJAYA Jln. Raya Palembang - Prabumulih Km. 32 Indralaya, OI, Sumatera Selatan 30662 http://www.unsri.ac.id Senin, 15 Juni 2009 Universitas Sriwijaya Dipersiapkan Masuk 500 Besar Versi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Edo Yuliandra ( ) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia - Akuntansi ABSTRAK

PENDAHULUAN. Edo Yuliandra ( ) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia - Akuntansi ABSTRAK ANALISIS TATA KELOLA INSTITUSI PENDIDIKAN TINGGI DALAM PERUBAHAN PERATURAN TERKAIT PERGURUAN TINGGI (PP 152/2000, PP 66/2010, DAN UU 12/2012), STUDI KASUS : UNIVERSITAS INDONESIA Edo Yuliandra (0906558786)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita pembangunan Negara Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita pembangunan Negara Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita pembangunan Negara Indonesia yang tercantum dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demi tercapainya kualitas hidup yang lebih baik di butuhkan upaya-upaya dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Demi tercapainya kualitas hidup yang lebih baik di butuhkan upaya-upaya dari berbagai BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang masalah Salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai mana telah tertulis di dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945, maka

Lebih terperinci

Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (I-MHERE) IBRD Loan No IND (USD 50 juta) IDA Loan No IND (USD 30 juta)

Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (I-MHERE) IBRD Loan No IND (USD 50 juta) IDA Loan No IND (USD 30 juta) I-MHESRE Directorate General of Higher Education Ministry of National Education Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (I-MHERE) Workshop Sosialisasi Program B.1. Tanggal 15 Agustus

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENDIDIKAN TINGGI: TANTANGAN DAN STRATEGI. Dwi Esti Andriani, M. Pd., MEdSt/AP FIP UNY/2011

MANAJEMEN PENDIDIKAN TINGGI: TANTANGAN DAN STRATEGI. Dwi Esti Andriani, M. Pd., MEdSt/AP FIP UNY/2011 MANAJEMEN PENDIDIKAN TINGGI: TANTANGAN DAN STRATEGI Dwi Esti Andriani, M. Pd., MEdSt/AP FIP UNY/2011 Perubahan Lingkungan Eksternal PT Perubahan demografis (peningkatan mobilitas/imigrasi) berdampak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (PT BHMN), dan kemudian disusul dengan 3 (tiga) Perguruan Tinggi Negeri

BAB I PENDAHULUAN. (PT BHMN), dan kemudian disusul dengan 3 (tiga) Perguruan Tinggi Negeri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masih terus menjadi dambaan, ketika sosok yang sesungguhnya belum lagi

BAB 1 PENDAHULUAN. masih terus menjadi dambaan, ketika sosok yang sesungguhnya belum lagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia seutuhnya yang diidealisasikan menjadi titik puncak pencapaian tujuan pendidikan nasional sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan sejati masih terus

Lebih terperinci

KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT

KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT Bagian I 51 BAB IV KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT 4.1 Globalisasi dan Otonomi Rumah Sakit Di Indonesia problem keuangan menyebabkan kemampuan pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik 19 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik adalah dengan sistem pembangunan ekonomi nasional. Sejak era reformasi bergulir, pemerintah

Lebih terperinci

PARADIGMA SALAH TENTANG PT-BHMN

PARADIGMA SALAH TENTANG PT-BHMN PARADIGMA SALAH TENTANG PT-BHMN Sofian Effendi 1 Artikel berjudul Stop Privatisasi PTN oleh Darminingtyas, Anggota Dewan Penasihat The Center for the Betterment of Education (CBE) di Kompas terbitan 14

Lebih terperinci

Kajian Kebijakan Privatisasi Pendidikan dan Kebijakan Relevansinya Dengan Ketimpangan

Kajian Kebijakan Privatisasi Pendidikan dan Kebijakan Relevansinya Dengan Ketimpangan Kajian Kebijakan Privatisasi Pendidikan dan Kebijakan Relevansinya Dengan Ketimpangan Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi Mike Verawati Tangka Pendidikan dan Kesehatan dalam Konstitusi,

Lebih terperinci

Disarikan dari Forest, J. J.F & Altbach, P.G (ed) International Handbook of Higher Education. Dordrecht: Springer.

Disarikan dari Forest, J. J.F & Altbach, P.G (ed) International Handbook of Higher Education. Dordrecht: Springer. Disarikan dari Forest, J. J.F & Altbach, P.G (ed). 2007. International Handbook of Higher Education. Dordrecht: Springer. Rahmania Utari Keuangan, penggunaan teknologi komunikasi dan informasi, kompetisi

Lebih terperinci

BOPTN dan BPPTNBH. Bahan Biro Perencanaan dalam Rakor Pengawasan Bersama Itjen-BPKP. Solo, 28 Februari 2017

BOPTN dan BPPTNBH. Bahan Biro Perencanaan dalam Rakor Pengawasan Bersama Itjen-BPKP. Solo, 28 Februari 2017 Bahan Biro Perencanaan dalam Rakor Pengawasan Bersama Itjen-BPKP BOPTN dan BPPTNBH Solo, 28 Februari 2017 Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 1 BOPTN Bantuan Operasional Perguruan Tinggi

Lebih terperinci

Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan

Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan KMA Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. Proses Pembuatan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut. Kapasitas institusi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut. Kapasitas institusi tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ketika tantangan yang dihadapi datang bersamaan dengan kesempatan untuk meningkatkan daya saing dan pencapaian di tengah persaingan global, perguruan tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Pendidikan juga penting bagi terciptanya kemajuan dan kemakmuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pesat terhadap akses yang dapat dilakukan masyarakat untuk. masyarakat akan adanya suatu pengukuran kinerja.

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pesat terhadap akses yang dapat dilakukan masyarakat untuk. masyarakat akan adanya suatu pengukuran kinerja. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kesadaran masyarakat terhadap kualitas kinerja publik baik di pusat maupun daerah kini kian meningkat. Kesadaran masyarakat ini berkaitan dengan kepedulian

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Pambagio, M.Eng.Mgt., CPN

Oleh: Ir. Agus Pambagio, M.Eng.Mgt., CPN KAJIAN SAKSI AHLI KEBIJAKAN PUBLIK ATAS PENGUJIAN UU NO. 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI TERHADAP UUD REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERKAIT DENGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR DALAM PERKARA NOMOR 33/PUU-XI/2013

Lebih terperinci

Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum.

Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI (SUBSTANSI KEBAHARUAN DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA) Oleh: Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. (Pembantu Rektor II UNS) Disampaikan dalam rangka Diskusi Terbatas Pro-Kontra

Lebih terperinci

Prof. Dr. Ari Purbayanto. Ketua Tim Penyusun Statuta IPB Sekber 7 PT BHMN Sekretaris Komisi C SA IPB Ketua Komisi D Senat FPIK IPB

Prof. Dr. Ari Purbayanto. Ketua Tim Penyusun Statuta IPB Sekber 7 PT BHMN Sekretaris Komisi C SA IPB Ketua Komisi D Senat FPIK IPB Prof. Dr. Ari Purbayanto Ketua Tim Penyusun Statuta IPB Sekber 7 PT BHMN Sekretaris Komisi C SA IPB Ketua Komisi D Senat FPIK IPB Jumat, 03 Februari 2012 IPB sebagai PT BHMN PP 154/2000 menetapkan Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian, proses penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

IONAL AL PT P N (TRANSISI ME

IONAL AL PT P N (TRANSISI ME BANTUAN OPERASIONAL PTN (TRANSISI MENUJU UKT) DIRJEN DIKTI RAPAT DIKTI DAN PARA REKTOR PTN UNTUK TRANSISI PEMBIAYAAN OPERASIONAL PTN 2012 DALAM RANGKA PENERIMAAN MAHASISWA TAHUN AKADEMI 2012/2013 BANDUNG,

Lebih terperinci

MARI BELAJAR DI INDIA. Bab 3 Sistem Pendidikan Tinggi di India

MARI BELAJAR DI INDIA. Bab 3 Sistem Pendidikan Tinggi di India Bab 3 Sistem Pendidikan Tinggi di India 17 Sistem Pendidikan Tinggi di India Stuktur Pendidikan Tinggi Di bawah konstitusi India, pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya kebijakan pemerintah dengan kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah telah membawa dampak yang cukup besar dalam berbagai aspek pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dari pelaksanaan hak-hak asasi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dari pelaksanaan hak-hak asasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dari pelaksanaan hak-hak asasi manusia, penyelenggaraan hak tersebut dilakukan setiap negara demi mencapai cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2).

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sektor publik merupakan entitas yang aktivitasnya memberikan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2). Dalam menyelenggarakan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi ini, tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan tidak dapat dielakkan lagi. Istilah good

Lebih terperinci

ALTERNATIF PEMBIAYAAN SARANA DAN PRASARANA PERGURUAN TINGGI NEGERI

ALTERNATIF PEMBIAYAAN SARANA DAN PRASARANA PERGURUAN TINGGI NEGERI ALTERNATIF PEMBIAYAAN SARANA DAN PRASARANA PERGURUAN TINGGI NEGERI Batam, 16 Maret 2017 Hamir Hamzah Direktur Sarana dan Prasarana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi DASAR HUKUM Undang-Undang

Lebih terperinci

Bandung, 26 Mei 2016

Bandung, 26 Mei 2016 Bandung, 26 Mei 2016 PP No. 66 Tahun 2013 tentang Statuta IPB Statuta IPB adalah peraturan dasar pengelolaan IPB yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di IPB. Pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah

BAB I PENDAHULUAN. komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah adalah sebuah aktifitas besar yang di dalamnya ada empat komponen yang saling berkaitan. Empat komponen yang di maksud adalah Staf Tata laksana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain proses reformasi sektor publik, khususnya reformasi pengelolaan keuangan daerah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN REKTOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR Nomor : 05/I3/LL/2011 Tentang PENGELOLAAN SATUAN USAHA AKADEMIK DAN SATUAN USAHA PENUNJANG DI

SALINAN PERATURAN REKTOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR Nomor : 05/I3/LL/2011 Tentang PENGELOLAAN SATUAN USAHA AKADEMIK DAN SATUAN USAHA PENUNJANG DI Menimbang Mengingat SALINAN PERATURAN REKTOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR Nomor : 05/I3/LL/2011 Tentang PENGELOLAAN SATUAN USAHA AKADEMIK DAN SATUAN USAHA PENUNJANG DI LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR REKTOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bebas seperti sekarang ini. Fasilitas hidup mahasiswa sebenarnya secara teoritis ada

BAB I PENDAHULUAN. bebas seperti sekarang ini. Fasilitas hidup mahasiswa sebenarnya secara teoritis ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah investasi terbesar dari suatu bangsa, bangsa mana yang mengabaikannya akan menuai bencana di masa datang, apalagi di era persaingan bebas seperti

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA (ANALISIS KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI NO. 12 TAHUN 2012) Disusun Oleh: Yossi Hagaita Tarigan (090906082) Dosen Pembimbing : Indra Fauzan, SHI. M.Soc.Sc

Lebih terperinci

BAB III OBJEK PENELITIAN

BAB III OBJEK PENELITIAN BAB III OBJEK PENELITIAN A. Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Salah satu unsur yang sangat penting dalam rangka mendukung tugastugas Dewan adalah Sekretariat Jenderal DPR RI (Setjen DPR RI)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

MEDIA INDONESIA 22/7/03 CAPITAL FLIGHT DAN PENDIDIKAN TINGGI. Sofian Effendi 1

MEDIA INDONESIA 22/7/03 CAPITAL FLIGHT DAN PENDIDIKAN TINGGI. Sofian Effendi 1 MEDIA INDONESIA 22/7/03 CAPITAL FLIGHT DAN PENDIDIKAN TINGGI Sofian Effendi 1 Selama hampir dua bulan PTN, khususnya yang telah berstatus PT-BHMN, mendapat sorotan tajam dari masyarakat gara-gara melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pemerintah merupakan organisasi sektor publik yang mempunyai tanggung

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pemerintah merupakan organisasi sektor publik yang mempunyai tanggung BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemerintah merupakan organisasi sektor publik yang mempunyai tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Paparan Metode Penelitian Penelitian tesis ini memfokuskan pada formulasi kebijakan kriminal dalam kaitan fenomena korupsi selama masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Lebih terperinci

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS PADJADJARAN NOMOR 70 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PENGELOLA UNIVERSITAS PADJADJARAN

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS PADJADJARAN NOMOR 70 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PENGELOLA UNIVERSITAS PADJADJARAN PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS PADJADJARAN NOMOR 70 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PENGELOLA UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA REKTOR UNIVERSITAS PADJADJARAN, Menimbang

Lebih terperinci

Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Tri Dharma Pendidikan Tinggi. Oleh: Ida Fauziah 1

Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Tri Dharma Pendidikan Tinggi. Oleh: Ida Fauziah 1 Kajian Statuta Universitas Indonesia Aspek Tri Dharma Pendidikan Tinggi Oleh: Ida Fauziah 1 1 Kepala Divisi Kajian Kebijakan BK MWA UI UM 2013 Pada tanggal 14 Oktober 2013, Universitas Indonesia (UI) memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era reformasi yang terjadi di negara kita memberikan banyak perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah timbulnya otonomi

Lebih terperinci

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA FORMULIR 2 : RENCANA PENCAPAIAN HASIL (OUTCOME) UNIT ORGANISASI TAHUN ANGGARAN : 215 A. KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA : B. UNIT ORGANISASI : (15) KEMENTERIAN

Lebih terperinci

Tunjangan Kinerja pada PTN Badan Hukum. Dialog Bersama Rektor IPB Bogor, 17 Februari 2014

Tunjangan Kinerja pada PTN Badan Hukum. Dialog Bersama Rektor IPB Bogor, 17 Februari 2014 Tunjangan Kinerja pada PTN Badan Hukum Dialog Bersama Rektor IPB Bogor, 17 Februari 2014 Kronologi kejadian dan informasi yang diperoleh 1. Tanggal 22 November 2012 Direktur SDM IPB menyampaikan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (Bappenas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia pada akhir abad 20 tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sistem manajemen pemerintahan

Lebih terperinci

IMPLIKASI PRAKTIK NEOKOLONIALISME DALAM GLOBALISASI TERHADAP STRESS DAN PENUAAN DINI

IMPLIKASI PRAKTIK NEOKOLONIALISME DALAM GLOBALISASI TERHADAP STRESS DAN PENUAAN DINI IMPLIKASI PRAKTIK NEOKOLONIALISME DALAM GLOBALISASI TERHADAP STRESS DAN PENUAAN DINI Firman Adi Prasetyo, Jurusan Pendidikan Dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta Globalization that does not prioritize

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI TOLOK UKUR DAN TATA CARA PENILAIAN KINERJA PIMPINAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

KETENTUAN MENGENAI TOLOK UKUR DAN TATA CARA PENILAIAN KINERJA PIMPINAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG KEPUTUSAN SENAT AKADEMIK INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Nomor : 32/SK/K01-SA/2003 TENTANG KETENTUAN MENGENAI TOLOK UKUR DAN TATA CARA PENILAIAN KINERJA PIMPINAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG SENAT AKADEMIK INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I KEBIJAKAN MUTU INTERNAL FAKULTAS A. Kebijakan Umum 1. Fakultas sebagai bagian dari Universitas Andalas berpartisipasi aktif dalam gerakan menjag

BAB I KEBIJAKAN MUTU INTERNAL FAKULTAS A. Kebijakan Umum 1. Fakultas sebagai bagian dari Universitas Andalas berpartisipasi aktif dalam gerakan menjag MANUAL MUTU INTERNAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK TAHUN 2015-2019 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas 2015 Manual Mutu FISIP Tahun 2015-2019 1 BAB I KEBIJAKAN MUTU INTERNAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian, proses penelitian dan sistematika penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian, proses penelitian dan sistematika penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan penjabaran latar belakang masalah pemilihan studi kasus berdasarkan fenomena yang terjadi dilapangan dan juga rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang

Lebih terperinci

SAMBUTAN KETUA SENAT AKADEMIK ITB Dies Natalis ke-56 Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Senin 2 Maret 2015

SAMBUTAN KETUA SENAT AKADEMIK ITB Dies Natalis ke-56 Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Senin 2 Maret 2015 1 SAMBUTAN KETUA SENAT AKADEMIK ITB Dies Natalis ke-56 Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Senin 2 Maret 2015 Pertama tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rakhmat dan hidayah-nya,

Lebih terperinci

2014, No.16 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah pengaturan

2014, No.16 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah pengaturan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.16, 2014 PENDIDIKAN. Pendidikan Tinggi. Perguruan Tinggi. Pengelolaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

Rumah Sakit Perjan: Konsep Salah Kaprah

Rumah Sakit Perjan: Konsep Salah Kaprah Rumah Sakit Perjan: Konsep Salah Kaprah Hasbullah Thabrany 1 Jika kita memperhatikan prilaku masyarakat Indonesia, maka terdapat dua perbedaan sikap yang sangat menyolok terhadap dua jenis institusi sosial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil

Lebih terperinci

Pengembangan Kapasitas SDM

Pengembangan Kapasitas SDM Pengembangan Kapasitas SDM Dalam tiga tahun terakhir pemerin- tah melakukan pembangunan infrastruktur secara intensif untuk mendorong perekonomian, meningkatkan daya saing, produktivitas dan pemerataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menyusun laporan keuangan merupakan sebuah kewajiban bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. Menyusun laporan keuangan merupakan sebuah kewajiban bagi setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menyusun laporan keuangan merupakan sebuah kewajiban bagi setiap kepala daerah, hal ini bertujuan untuk mempertanggungjawabkan penggunaan uang negara sesuai mekanisme

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

Oleh: Prof Dr H Jamal Wiwoho, SH,MHum PR II UNS

Oleh: Prof Dr H Jamal Wiwoho, SH,MHum PR II UNS FLEKSIBILITAS PK BLU DAN KEUNTUNGAN BAGI UNIT KERJA UNS Oleh: Prof Dr H Jamal Wiwoho, SH,MHum PR II UNS Disampaikan dalam Lokakarya Pengelolaan Keuangan BLU Fakultas Kedokteran UNS Salatiga 11-13 Nopember

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru dalam sistem pendidikan tinggi yang tertuang dalam Higher Education Long Term Strategy (HELTS) 2003-2010 dan kemudian diamanahkan dalam beberapa peraturan

Lebih terperinci

Buku Panduan Permohonan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu bagi Sivitas Akademika IPB

Buku Panduan Permohonan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu bagi Sivitas Akademika IPB Buku Panduan Permohonan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu bagi Sivitas Akademika IPB Kantor Hak Kekayaan Intelektual Institut Pertanian Bogor (Kantor HKI-IPB) Gedung Rektorat IPB Lantai 5 Kampus IPB Darmaga,

Lebih terperinci

.BAB 1 PENDAHULUAN. dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem

.BAB 1 PENDAHULUAN. dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem .BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Munculnya otonomi daerah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem pemerintahan yang

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM KOMISIONER KKR MENJADI DEKAN PTS

KAJIAN HUKUM KOMISIONER KKR MENJADI DEKAN PTS J A R I N G A N S U R V E I I N I S I A T I F 1 KAJIAN HUKUM KOMISIONER KKR MENJADI DEKAN PTS Tim riset JSI (Aryos Nivada, MA & Teuku Harist Muzani, SH) Anggota Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia yang masih berlangsung hingga sekarang telah menghasilkan berbagai perubahan khususnya dalam hal tata kelola pemerintahan. Salah satu

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desentralisasi adalah salah satu sistem administrasi pemerintahan, dalam banyak hal tidak dapat dilepaskan dari proses pertumbuhan suatu negara. Sejarah mencatat desentralisasi

Lebih terperinci

Dalam keterangan saya ini, saya beri judul Analisis Peningkatan Kinerja Universitas Airlangga Tahun Tinjauan terhadap PT-BHMN dan PTN

Dalam keterangan saya ini, saya beri judul Analisis Peningkatan Kinerja Universitas Airlangga Tahun Tinjauan terhadap PT-BHMN dan PTN Hal : Keterangan Saksi Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Pada Mahkamah Konstitusi R.I. Dengan Hormat, Perkenankan, saya Prof. Dr. H. Fasich, Apt, Rektor Universitas Airlangga, dengan ini menyampaikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1: Kesesuaian Pedoman Sistem Akuntansi PTN BLU X dengan. PMK No 76 Tahun

LAMPIRAN. Lampiran 1: Kesesuaian Pedoman Sistem Akuntansi PTN BLU X dengan. PMK No 76 Tahun LAMPIRAN Lampiran 1: Kesesuaian Pedoman Sistem Akuntansi PTN BLU X dengan PMK No 76 Tahun 2008... 114 Lampiran 2: Perhitungan tingkat kesesuaian Pedoman Sistem Akuntansi PTN BLU X dengan PMK No 76 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan manajemen sektor publik melalui perwujudan New Public

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan manajemen sektor publik melalui perwujudan New Public BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan manajemen sektor publik melalui perwujudan New Public Management bertujuan untuk menekankan pengelolaan pemerintahan berbasis kinerja, pengelolaan yang

Lebih terperinci

SELAYANG PANDANG PENGELOLAAN KEUANGAN MODEL BADAN LAYANAN UMUM* Oleh: Sutrisna Wibawa (PRII UNY)

SELAYANG PANDANG PENGELOLAAN KEUANGAN MODEL BADAN LAYANAN UMUM* Oleh: Sutrisna Wibawa (PRII UNY) SELAYANG PANDANG PENGELOLAAN KEUANGAN MODEL BADAN LAYANAN UMUM* Oleh: Sutrisna Wibawa (PRII UNY) Hekinus Manao (Mantan Direktur Akuntansi & Pelaporan Keuangan, Ditjen Perbendaharaan: Ketua Tim Penyusun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI DAN PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI DAN PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI DAN PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. neoliberal melalui proses penerapan diskursus good governance di

BAB III METODE PENELITIAN. neoliberal melalui proses penerapan diskursus good governance di 81 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokus Penelitian Lokus dalam penelitian ini adalah adanya indikasi masuknya ideologi neoliberal melalui proses penerapan diskursus good governance di Indonesia. 3.2 Tipe

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN BANTUAN OPERASIONAL PERGURUAN TINGGI NEGERI

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN BANTUAN OPERASIONAL PERGURUAN TINGGI NEGERI PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN BANTUAN OPERASIONAL PERGURUAN TINGGI NEGERI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI 2016 Petunjuk Teknis Pelaksanaan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa pemahaman masyakarat kian terbuka akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa pemahaman masyakarat kian terbuka akan pentingnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan investasi penting bagi setiap orang. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman masyakarat kian terbuka akan pentingnya melanjutkan sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Semenjak era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 bangsa Indonesia telah maju selangkah lagi menuju era keterbukaan, hal ini terlihat dari semakin tingginya kesadaran

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR: TENTANG PENGGELOLAAN KEUANGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PERGURUAN TINGGI BADAN HUKUM MILIK NEGARA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR: TENTANG PENGGELOLAAN KEUANGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PERGURUAN TINGGI BADAN HUKUM MILIK NEGARA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR: TENTANG PENGGELOLAAN KEUANGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PERGURUAN TINGGI BADAN HUKUM MILIK NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rendahnya corporate governance merupakan salah satu hal yang memperparah terjadinya krisis di Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Hal ini ditandai dengan kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN I. PARA PEMOHON Mohamad Yusuf Hasibuan dan Reiza Aribowo, selanjutnya disebut Pemohon II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Lebih terperinci

perkembangan investasi di Indonesia, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing, termasuk investasi oleh ekonomi rakyat. Sementara itu, pada

perkembangan investasi di Indonesia, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing, termasuk investasi oleh ekonomi rakyat. Sementara itu, pada ix B Tinjauan Mata Kuliah uku Materi Pokok (BMP) ini dimaksudkan sebagai bahan rujukan utama dari materi mata kuliah Perekonomian Indonesia yang ditawarkan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka. Mata

Lebih terperinci

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan desentralisasi pembangunan di Indonesia pada era otonomi daerah tidak dapat terpisahkan dari upaya perwujudan demokrasi dalam pembangunan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

Menelisik Kembali Kondisi Ventura UI

Menelisik Kembali Kondisi Ventura UI Menelisik Kembali Kondisi Ventura UI Oleh: Ilma Sulistyani dan Muhammad Arizal Staf Bidang Kajian BK MWA UI UM 2016 A. PENGANTAR SINGKAT: VENTURA Penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi, khususnya

Lebih terperinci