Bab IV Hasil dan Pembahasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Hasil dan Pembahasan"

Transkripsi

1 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Karakterisasi Lumpur Sidoardjo Objek penelitian ini adalah lumpur yang diperoleh dari kolam spillway di daerah bencana semburan lumpur panas di Sidoardjo. Analisis karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh lumpur Sidoardjo sebagai informasi pendahuluan. Analisis karakterisasi yang dilakukan meliputi karakterisasi fisik yaitu kadar air dan kadar volatil dilakukan terhadap lumpur Sidoardjo dalam bentuk slurry, cake/ padatan basah dan padatan yang telah mendapat perlakuan pengeringan dengan cara dianginkan. Hasil analisis diperlihatkan pada Tabel IV.1, Gambar IV.1 memperlihatkan wujud lumpur Sidoardjo dalam fasa slurry, padatan dan padatan kering hasil air dry. Perolehan data dan perhitungan selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran B.1 dan Lampiran B.2. Tabel IV.1 Hasil analisis karakterisasi fisik lumpur Sidoardjo Analisis Lumpur slurry Padatan Lumpur Padatan Kering Kadar Air (%) 64,31 13,76 4,82 Kadar Kering (%) 35,69 86,24 95,18 Kadar Volatil (%) 84,36 15,46 9,95 Kadar Abu (%) 15,64 84,54 90,05 ph 8,8 9,04 9,08 Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa lumpur dalam bentuk slurry memiliki kadar air dan kadar volatil yang tinggi yaitu 64,31% dan 84,36% dengan ph bersifat netral yaitu 7,82. Nilai kadar air dan kadar volatil yang tinggi tersebut menyebabkan lumpur fasa slurry tidak dapat digunakan langsung untuk proses stabilisasi/solidifikasi sehingga diperlukan proses pendahuluan yaitu proses pemisahan air lumpur dan pengeringan padatan hasil pemisahan tersebut untuk menurunkan kadar airnya. 42

2 Fasa slurry Cake/Padatan basah Padatan kering angin Gambar IV. 1 Lumpur Sidoardjo dalam fasa slurry, padatan basah dan padatan hasil pengeringan Terhadap sample lumpur dalam bentuk slurry dilakukan juga analisis COD, kandungan fenol, oil/grease dan TPH untuk mengetahui kandungan senyawasenyawa kimia yang terdapat di dalam sample. Hasil selengkapnya diperlihatkan pada Tabel IV.2. Tabel IV.2 Hasil analisis air lumpur Sidoardjo Analisis Lumpur Slurry COD (mg/l) 129,25-615,04 Fenol (mg/l) 10,5-12,50 Oil-grease (mg/l) 5,63 TPH (mg/l) <<1 Nilai COD dan kandungan fenol sebesar 615,04 mg/l dan 10,5 mg/l melampaui nilai baku mutu limbah cair yang ditetapkan dalam Kep. Men LH No. 42/MenLH/10/1996 untuk Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi yaitu 100 mg/l untuk COD dan 1 mg/l untuk fenol. Sedangkan untuk kandungan oil-grease dan TPH dalam lumpur Sidoardjo berada di bawah baku mutu. Hasil analisis kandungan fenol dan oil-grease memberikan 43

3 penjelasan lebih lanjut tentang tingginya kadar volatil dalam lumpur Sidoardjo pada fasa slurry. Sample lumpur dalam bentuk padatan yang memiliki nilai kadar air 13,76% dan ph 9,04 membutuhkan proses pendahuluan yang tidak serumit lumpur fasa slurry. Proses pengeringan di udara terbuka/kering angin terhadap sample padatan dapat menurunkan kadar air sebesar 13,76% menjadi 4,82% dan menurunkan kadar volatil dari 15,46% menjadi 9,95%. Kadar air sample padatan lumpur setelah proses pengeringan memenuhi persyaratan Peraturan Beton bertulang Indonesia tahun 1971 untuk kadar air agregat halus campuran bahan bangunan yaitu 1-6% (Anatasia, 2007). Sample padatan kering yang selanjutnya akan digunakan dalam proses pembuatan model bata merah dan adsorben dalam proses adsorpsi kemudian dianalisis berat jenis/apparent specific gravity, berat volume dan Atterberg test untuk mengetahui jenis tanah, batas cair batas plastis dan indeks platisitasnya, keseluruhan uji tersebut dinamakan Soil Test. Hasil analisis diperlihatkan pada Tabel IV.3. Perolehan data dan perhitungan selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran B.3 dan Lampiran B.4 Tabel IV.3 Hasil analisis soil test padatan lumpur Sidoardjo Keterangan Nilai Apparent specific gravity (g/cm 3 ) 2,45 Bulk specific gravity kering (g/cm 3 ) 2,43 Bulk specific gravity SSD (g/cm 3 ) 2,44 Absorpsi (%) 0,38 Berat volume padat (g/cm 3 ) 1,09 Berat volume gembur (g/cm 3 ) 1,02 Batas cair (%) 68,50 Batas plastis (%) 28,82 Indeks plastisitas (%) 39,68 Modulus kehalusan 1,23 44

4 Berat jenis sample padatan kering sebesar 2,45 g/cm 3 mendekati nilai berat jenis pasir Galunggung yaitu 2,43 g/cm 3, menunjukkan bahwa lumpur Sidoardjo dapat digunakan sebagai agregat halus/ bahan pengisi dalam produk solidifikasi (Anatasia, 2007). Berat jenis padatan pun mendekati nilai berat jenis tanah liat Cilampeni yaitu 2,63 g/cm 3 sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bata merah ( Katombo, 1997). Nilai absorpsi menunjukkan kemampuan sample padatan dalam menyerap air sehingga nilai % absorpsi yang tinggi akan menyebabkan kebutuhan air yang lebih banyak pada saat proses solidifikasi (Winurdiastri, 2005). Nilai absorpsi padatan lumpur yang rendah yaitu 0,38 % akan membutuhkan sedikit air pada saat proses solidifikasi. Berat volume menunjukkan berat sample per satuan volume (ASTM C 29-87). Nilai ini dapat digunakan dalam perhitungan berat sample yang diperlukan dalam mengisi cetakan model solidifikasi. Berat gembur adalah berat sample tanpa pemadatan sedangkan berat padat adalah berat sample setelah dilakukan pemadatan dengan cara penusukan. Berat volume dari bahan pengganti agregat halus dalam proses solidifikasi diharapkan lebih kecil dari agregat halus yang umumnya dipakai yaitu pasir agar produk yang dihasilkan lebih ringan (Winurdiastri, 2005). Berat volume padat padatan lumpur sebesar 1,09 g/cm 3 dan berat volume gembur sebesar 1,02 g/cm 3 menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai berat volume pasir yang umum digunakan sebagai bahan pengisi pada proses solidifikasi sehingga apabila padatan lumpur digunakan sebagai pengganti pasir dalam proses solidifikasi akan dihasilkan produk yang lebih ringan. Gambar IV. 2 memperlihatkan hasil analisis butiran lumpur Sidoardjo dalam fasa slurry. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam fasa slurry, lumpur Sidoardjo memiliki butiran yang sangat halus, yaitu 84,33% butiran yang lolos saringan No Ukuran dan kuantitas partikel dalam padatan lumpur Sidoardjo kering menunjukkan nilai modulus kehalusan 1,23. Modulus kehalusan adalah nilai yang menggambarkan urutan ayakan yang menahan partikel dalam jumlah yang paling 45

5 besar dari gradasi butiran. Gradasi partikel padatan lumpur Sidoardjo kering hasil analisis ayakan selengkapnya pada Gambar IV.3. dan Gambar IV.4. Data percobaan dan perhitungan selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran B.7 Gambar IV. 2 Hasil analisis butiran lumpur Sidoardjo fasa slurry Analisis Saringan Solid Lumpur Sidoardjo Lolos Kumulatif (%) Ukuran Saringan (mm) Sample Batas Bawah Batas Atas Gambar IV. 3 Grafik analisis saringan lumpur Sidoardjo kering 46

6 Gambar IV. 4 Gradasi butiran padatan lumpur Sidoardjo kering Berdasarkan hasil analisis ayakan, padatan lumpur Sidoardjo kering memiliki gradasi ukuran partikel yang baik tetapi berada di bawah standar ASTM. Hal ini dapat terjadi karena padatan lumpur berasal dari butiran halus lumpur Sidoardjo fasa slurry yang mengering secara alami di sekitar spillway. Padatan lumpur tersebut kemudian dikeringkan secara air dry sehingga ukuran butiran sangat tergantung kepada perilaku ikatan lumpur dalam fasa slurry dan selama proses pengeringan. Ukuran butiran padatan lumpur Sidoardjo lebih banyak berada pada rentang 4,76-0,075 mm yang menunjukkan bahwa padatan lumpur Sidoardjo memenuhi persyaratan ASTM C33 ukuran butiran untuk agregat halus dan persyaratan bahan baku pembuatan bata merah (Sinugroho, 1979). Berdasarkan hasil Atterberg Test dalam Lampiran F nilai batas cair, batas plastis dan indeks platisitas apabila diplotkan ke dalam segitiga tekstur tanah pada Gambar II.13 yang dikeluarkan oleh USDA padatan lumpur Sidoardjo termasuk ke dalam klasifikasi silty clay loam/tanah lempung berlanau. Silty loam clay/ tanah lempung berlanau adalah material tanah yang sifat ikatannya kohesif menyerupai tanah lempung, tetapi memiliki lebih sedikit partikel pasir dan lebih banyak partikel halus sehingga terasa lebih halus. Tanah 47

7 lempung berlanau bersifat lengket dan bersifat plastis/ dapat dibentuk dalam kedaan basah dan dapat mengeras apabila telah kering (Brown, 2003). Lempung adalah mineral yang merupakan senyawa alumina silikat yang terdiri dari silika tetrahedral dan alumina oktahedral/ gibbsitte (Das, 1993). Hasil analisis kandungan mineral menggunakan instrumen XRD/X-Ray Difraction pada Gambar IV.5 menunjukkan bahwa padatan lumpur Sidoardjo mengandung mineral Kaolinite (16,0%), Nontronite (21,1%), Illite (62,9%) dan Quartz (kuarsa) yaitu mineral yang umum terdapat pada tanah lempung/clay. Mineral Quartz dan Illite memberikan intensitas yang paling tinggi. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat di Lampiran H. Counts A-original [ ]; [Å]; Nontronite [ ]; [Å]; Illite [ ]; [Å]; Kaolinite [ ]; [Å]; Nontronite; Illite; Kaolinite [ ]; [Å]; Nontronite; Illite; Kaolinite; Quartz, low [ ]; [Å]; Illite; Kaolinite [ ]; [Å]; Illite; Quartz, low [ ]; [Å]; Illite [ ]; [Å]; Illite [ ]; [Å]; Illite [ ]; [Å]; Nontronite; Illite; Kaolinite [ ]; [Å]; Nontronite; Illite; Quartz, low [ ]; [Å]; Nontronite; Illite; Quartz, low [ ]; [Å]; Illite; Quartz, low [ ]; [Å]; Nontronite; Illite [ ]; [Å]; Illite; Kaolinite; Quartz, low [ ]; [Å]; Nontronite; Illite; Kaolinite; Quartz, low [ ]; [Å]; Illite; Kaolinite; Quartz, low [ ]; [Å]; Nontronite; Illite; Kaolinite [ ]; [Å]; Illite [ ]; [Å]; Illite; Quartz, low [ ]; [Å] [ ]; [Å]; Quartz, low [ ]; [Å] Position [ 2Theta] Gambar IV. 5 Grafik analisis XRD padatan lumpur Sidoardjo Mineral Kaolinite adalah alumino-silikat terhidrasi dengan rumus kimia umum Al 2 Si 2 O 5 (OH) 4 merupakan mineral dengan dua lapisan tetrahedral dan oktahedral yang diikat oleh ikatan hidrogen. Lempung dari mineral kaolinite mempunyai sifat mengembang dan mengkerut yang kecil sehingga bersifat stabil. Nilai kapasitas tukar kation mineral kaolinitte berkisar antara 1-10 mek/100g dengan 48

8 luas permukaan 7-30 m 2 /g (Notodarmojo, 2005). Mineral kaolinite memiliki bentuk lempengan tipis dengan diameter Å dan tebal sekitar Å (Das,1993) Mineral Illite dengan rumus kimia KAl 2 [(OH) 2 AlSi 3 O 10 ] memiliki struktur yang mirip dengan kelompok montmorilonite dengan lapisan silika dan alumina yang diikat oleh ikatan kalium sehingga ikatan antar lapisan menjadi lebih kuat yang menyebabkan mineral illite tidak mengembang apabila terkena air. Nilai kapasitas tukar kation mineral ini sekitar 30 mek/100g (Notodarmojo, 2005). Kandungan oksida dalam padatan lumpur Sidoardjo terutama senyawa Al 2 O 3, SiO 2 dan Fe 2 O 3 dapat memberikan informasi tentang sifat pozzolan dari padatan tersebut. Pozzolan menurut ASTM 1976 adalah material silika atau alumina yang pada kondisi kering memiliki sedikit atau tidak sifat mengikat/sementius, tetapi dengan adanya air akan bersifat sementius (Sherwood, 1993). Persyaratan sifat pozzolan ASTM C-618 untuk bahan pengikat/ binder kelas C adalah tidak kurang dari 50% dan kelas F tidak kurang dari 70%. Hasil analisis kandungan oksida padatan lumpur Sidoardjo oleh instrumen EDX diperlihatkan pada Tabel IV.4. Tabel IV. 4 Kandungan oksida padatan lumpur Sidoardjo Oksida logam Kadar (%massa) SiO 2 47,69 Al 2 O 3 25,07 Fe 2 O 3 5,26 Total SiO 2 + Al 2 O 3 + Fe 2 O 3 78,02 MgO 3,03 Na 2 O 2,43 K 2 O 1,57 CaO 2,10 Nilai dari tiga oksida utama yaitu silikat, aluminat dan oksida besi dari padatan lumpur Sidoardjo adalah 78,02 %. Nilai tersebut memenuhi persyaratan bahan pengikat kelas F, sehingga padatan lumpur Sidoardjo memungkinkan untuk dijadikan bahan tambahan pada proses solidifikasi. 49

9 Berdasarkan hasil analisis SEM/Scanning Electron Micrograph yang ditampilkan pada Gambar IV.6 partikel lumpur Sidoardjo memiliki bentuk pipih yang menyerupai bentuk partikel mineral kaolinite seperti tampak pada Gambar IV.7. Gambar IV. 6 Partikel padatan lumpur Sidoardjo pembesaran SEM 5000 kali Sumber: Das, 1993 Gambar IV. 7 Bentuk partikel mineral kaolinite Kandungan logam yang terdeteksi dalam padatan lumpur Sidoardjo berdasarkan hasil analisis dengan AAS pada Tabel IV.5 umumnya berada di bawah baku mutu 50

10 kandungan logam berat yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam landfill menurut Kep. 04/ Bapedal/09/1995. Hasil percobaan dan perhitungan selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran B.5. Tabel IV. 5 Kandungan total logam dalam padatan lumpur Sidoardjo Logam Kadar (mg/g) Kadar maksimum* Padatan Slurry Kolom A Kolom B Arsen (As) 11,17 11, Barium (Ba) 42,63 33, Boron (B) T.A T.A Kadmium (Cd) 1,15 1, Kromium (Cr) 32,24 43, Perak (Ag) < 0,0475 < 0, Raksa (Hg) < 0,045 < 0, Selenium (Se) < 4,75 < 4, Seng (Zn) 114,51 91, Tembaga (Cu) 78,76 58, Timbal (Pb) 35,9 66, Ket: T.A : tidak dianalisis * Kep. 04/ Bapedal / 09/1995 Tabel IV. 6 Nilai sebaran logam lumpur Sidoardjo Kandungan Logam Standar Rerata dalam Min Maks Rerata Deviasi lempung Cu (ppm) ,49 4, Pb (ppm) ,40 5, Zn (ppm) , Mn (ppm) ,78 101, Ag (ppm) 0 2 0,95 0,270 0,19 Fe (%) 3,12 3,95 3,55 0,38 4,7 Au (ppb) ,37 4,092 4 Se (ppm) 2, ,528 24,380 0,6 Hg (ppb) ,41 18,245 0,02-0,4 Sumber : Sabtanto et. al, 2007 Kandungan logam yang terdapat dalam lumpur Sidoardjo pada Tabel IV.5 berada pada kisaran jumlah kandungan logam yang umumnya terdapat dalam tanah lempung seperti yang terlihat pada Tabel IV.6. yang merupakan hasil penelitian 51

11 sebaran kandungan logam lumpur Sidoardjo yang dilakukan oleh Pusat Sumberdaya Geologi yang menunjukkan pola sebaran yang semakin menurun seiring dengan jauhnya jarak dari sumber semburan (Sabtanto et.al, 2007). Uji TCLP padatan lumpur Sidoardjo yang diperlihatkan pada Tabel IV.7 menunjukkan nilai yang jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh PP 18/99 jo PP 85/99 dan USEPA. Hasil percobaan dan perhitungan selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran B.6. Tabel IV. 7 Uji TCLP padatan lumpur Sidoardjo Baku Mutu Logam Metode Analisis 85/99 Kadar PP 18/99 (mg/l) jo PP USEPA Arsen (As) AAS Hydride 0, Barium (Ba) AAS 0, Boron (B) AAS T.A Kadmium (Cd) AAS 0, Kromium (Cr) AAS 0, Tembaga (Cu) AAS 0, Timbal (Pb) AAS 0, Raksa (Hg) Hg Analyzer 0, Selenium (Se) AAS 0, Perak (Ag) AAS 0, Seng (Zn) AAS 0, Nikel (Ni) AAS 0, Ket: T.A : tidak dianalisis Berdasarkan hasil analisis kandungan logam berat dan TCLP pada Tabel IV.5 dan Tabel IV.7 bahwa kandungan logam yang terdapat dalam padatan lumpur Sidoardjo berada di bawah baku mutu. Hal ini menunjukkan bahwa padatan lumpur Sidoardjo tidak akan menyebabkan pencemaran akibat proses pelindian logam berat apabila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pembuatan campuran mortar atau pengganti tanah liat dalam pembuatan bata merah atau keramik. 52

12 IV.2 Solidifikasi Lumpur Sidoardjo sebagai Bata Merah Pembuatan model bata merah dalam penelitian ini dilakukan dengan penambahan logam tembaga (Cu) sebanyak 2000 mg/kg untuk melihat pengaruh proses solidifikasi terhadap pengikatan logam, juga dilakukan variasi penambahan sodium silika untuk melihat pengaruh penambahan sodium silika terhadap kualitas model bata yang dihasilkan. Model I adalah model bata merah tanpa penambahan sodium silika. Model II, Model III dan Model IV adalah model bata merah dengan penambahan sodium silika masing-masing 0,5; 1 dan 1,5%. Model bata merah kemudian dikeringkan selama 0, 7 dan 14 hari dan dibakar pada suhu 600 dan 1140 o C. Uji kualitas terhadap produk bata merah berbahan baku padatan lumpur Sidoardjo meliputi kuat tekan pada kondisi tidak dibakar dan dibakar, uji durabilitas selama 7 siklus dan uji pelindian. IV.2.1 Pemadatan Optimum Salah satu tahapan penting dalam pembuatan bata merah adalah tahap pencampuran bahan baku dengan air agar tanah yang digunakan sebagai bahan baku dapat bersifat plastis/mudah dicetak. Penentuan penambahan air ini berhubungan dengan nilai pemadatan optimum yaitu kondisi dimana penambahan air memberikan nilai kepadatan kering/ dry density bahan yang paling tinggi. Prosedur analisis ini mengacu kepada prosedur Uji Proctor. Hasil penentuan pemadatan optimum dapat dilihat pada Tabel IV.8, hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat di Lampiran C.1 dan Lampiran C.2. Hasil Uji Proctor menunjukkan bahwa volume air yang memberikan nilai pemadatan optimum/kadar air maksimum adalah 550ml. Untuk melihat pengaruh penambahan air terhadap sifat plastisitas dan kekuatan model bata pada kondisi basah dilakukan percobaan dengan penambahan air sebanyak 1; 1,5 dan 2 kali 53

13 kadar air maksimum. Tabel IV.9 dan Gambar IV.8 memperlihatkan hasil variasi penambahan air terhadap kuat tekan kondisi basah dan bentuk model bata merah. Tabel IV. 8 Nilai pemadatan optimum padatan lumpur Sidoardjo Air (ml) Kepadatan kering (g/cm 3 ) Kadar air (%) 350 1,37 24, ,38 26, ,40 31, ,35 35, ,23 41,39 Tabel IV. 9 Nilai kuat tekan basah model bata Air Kuat tekan (kg/cm 2 ) 1 x 4,33 1,5 x 0,54 2 x 0,17 Gambar IV. 8 Model bata merah dengan penambahan air 1, 1,5 dan 2 x 550ml Pada penambahan air 1 kali kadar air maksimum proses pencetakan model bata 1X 1.5 X merah dapat dilakukan dengan mudah dan menghasilkan bentuk model dengan permukaan yang halus serta kuat tekan basah paling tinggi. Sedangkan pada penambahan air 1,5 kali dan 2 kali terjadi penurunan bentuk dan kuat tekan yang cukup signifikan dari model bata merah dan proses pencetakan berlangsung lebih sulit karena kadar air yang tinggi menyebabkan bahan baku lebih lembek dan menempel pada alat pencetak. Dari hasil tersebut ditetapkan penambahan air 54

14 sebanyak 550 ml menjadi kondisi standar proses pembuatan model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo. IV.2.2 Kadar Air Model Bata Merah Pengukuran kadar air terhadap model bata merah dilakukan setelah model mengalami proses pengeringan selama 0, 7 dan 14 hari pada suhu kamar untuk melihat pengaruh waktu pengeringan terhadap kandungan air dalam model. Tabel IV.10 memperlihatkan nilai kadar air model bata merah setelah mengalami proses pengeringan. Hasil percobaan dan perhitungan selengkapnya dapt dilihat di Lampiran C.5 Tabel IV. 10 Kadar air model bata merah setelah pengeringan Model Kadar air setelah pengeringan (hari) bata I 22,43 18,01 15,87 II 23,20 18,96 15,78 III 22,92 18,56 16,30 IV 22,81 19,24 15,94 Pengaruh waktu pengeringan terhadap kadar air model bata merah Kadar Air (%) Model I Model Waktu IIPengeringan Model III (Hari) Model IV Gambar IV. 9 Pengaruh waktu pengeringan terhadap kadar air model bata merah 55

15 Gambar IV.9 memperlihatkan pengaruh waktu pengeringan terhadap kadar air model bata merah. Penurunan kadar air pada model bata disebabkan oleh proses solidifikasi secara self cementious/ swa-semen dimana air yang terikat secara kimia tetap berada dalam campuran setelah proses solidifikasi selesai. Air ini dapat berubah menjadi lindi atau menguap. Sehingga seiring dengan bertambahnya waktu, kadar air dalam model solidifikasi akan semakin menurun (Cole et. al dalam Katombo, 1997). IV.2.3. Kuat Tekan Model Bata Merah Penentuan nilai kuat tekan model bata merah dilakukan pada kondisi pengeringan 0, 7 dan 14 hari terhadap model tanpa pembakaran, pembakaran 600 o C dan pembakaran 1140 o C. Hasil percobaan diperlihatkan pada Tabel IV.11 dan Gambar IV.10, perolehan data percobaan dan perhitungan nilai kuat tekan selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran C.6. Tabel IV. 11 Nilai kuat tekan (kg/cm 2 ) model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo dengan dan tanpa penambahan sodium silika Model Non Bakar Bakar 600 o C Bakar 1140 o C I 4,33 6,93 10,34 24,06 32,10 30,48 84,63 108,55 99,31 II 4,39 6,80 6,14 24,70 31,92 30,32 90,88 110,77 102,71 III 4,36 6,58 6,00 19,23 27,87 21,33 93,59 116,85 111,99 IV 4,30 5,95 4,48 13,73 22,36 14,74 90,93 110,21 64,53 Hasil pengukuran nilai kuat tekan model bata merah beberapa diantaranya ada yang di bawah nilai baku mutu kualitas bata merah yang tertera pada SII No yang diperlihatkan pada Tabel II.5, namun ada juga yang memenuhi nilai baku mutu tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis varians dua arah, terdapat efek perbedaan yang diakibatkan oleh proses pembakaran. Hasil perhitungan analisis varians dua arah kuat tekan model bata merah dapat dilihat di Lampiran E.1. 56

16 Nilai Kuat Tekan Model Bata Merah Kuat Tekan (kg/cm 2 ) I II III IV Model Bata Merah 0 hari, non bakar 0 hari, bakar hari, bakar hari, non bakar 7 hari, bakar hari, bakar hari, non bakar 14 hari, bakar hari, bakar 1140 SII Min SII Max Gambar IV.10 Nilai kuat tekan model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo dengan waktu pengeringan 0, 7 dan 14 hari pada kondisi tanpa pembakaran, pembakaran 600 o C dan pembakaran 1140 o C. Hasil percobaan memperlihatkan bahwa pada model bata tanpa pembakaran dengan waktu pengeringan 0 hari semua model bata memiliki nilai kuat tekan yang hampir sama, pada model bata tanpa penambahan sodium silika nilai kuat tekan semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu pengeringan. Hal ini dikarenakan terjadinya ikatan antara lempung dalam model bata yang dipengaruhi oleh air yang berada dalam produk bata tersebut. Molekul air bersifat memiliki dua kutub/dipol yaitu memiliki kutub positif dan kutub negatif. Sifat ini terjadi karena atom hidrogen pada air tidak tersusun secara simetris tapi membentuk sudut 105 o. Molekul air yang memiliki dua kutub akan tertarik oleh permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif dan oleh kation 57

17 yang berada dalam lapisan lempung, kemudian kation tersebut akan menempel di permukaan yang bermuatan negatif (Das, 1993). Mekanisme tertariknya molekul air ke permukaan partikel lempung seperti yang diperlihatkan pada Gambar IV.10, dapat terjadi karena adanya ikatan hidrogen dimana satu atom hidrogen pada molekul H 2 O dipakai secara bersama-sama oleh atom oksigen pada permukaan lempung. Dalam penelitian ini, lumpur Sidoardjo yang memiliki muatan negatif dan kation adalah kation yang secara alami berada dalam lumpur ditambah dengan kation logam tembaga yang ditambahkan ke dalam adonan. Kation-kation tersebut kemudian menempel pada permukaan negatif lumpur Sidoardjo. Gaya tarik menarik antara air dan lumpur Sidoardjo akan berkurang jika jarak partikel semakin jauh (Das, 1993). Peningkatan nilai kuat tekan model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo tanpa penambahan sodium silika setelah pengeringan menunjukkan semakin kuatnya ikatan kimia yang terjadi antara partikel lumpur seiring bertambahnya waktu pengeringan. Sumber: Das, 1993 Gambar IV. 11 Mekanisme tarik menarik antara molekul air dan lempung Pada model bata berbahan baku lumpur Sidoardjo dengan penambahan sodium silika dalam rentang waktu pengeringan yang sama mengalami penurunan seiring 58

18 dengan penambahan jumlah sodium silika ke dalam adonan, hal ini dikarenakan sifat silika yang dapat mengubah muatan molekul dalam lempung sehingga partikel dalam lempung menjadi tolak menolak (Rhodes, 1977). Hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya ikatan antara lempung dan molekul air yang menyebabkan ikatan antara air dengan lempung menjadi lemah. Hal inilah yang berpengaruh terhadap penurunan nilai kuat tekan model bata dengan penambahan sodium silika. Seiring dengan bertambahnya waktu pengeringan maka kadar air yang terdapat dalam model bata pun semakin menurun, keadaan ini semakin menurunkan daya ikat antara lempung dan air yang berpengaruh terhadap kemampuan ikatan antara air dan molekul lempung sehingga terjadi penurunan kuat tekan model bata. Nilai kuat tekan model bata merah setelah proses pembakaran 600 o C dan 1140 o C mengalami kenaikan. Hal ini dapat dimungkinkan karena sifat lempung yang plastis dan dapat bersifat rigid setelah mengalami pengeringan. Selain itu lempung memiliki mineral yang dapat bertindak sebagai bahan gelas sewaktu mengalami pembakaran yang dapat meningkatkan kekuatan bahan ( Sinugroho, 1979). Secara umum lempung memiliki kandungan kuarsa yang cukup tinggi yaitu lebih besar dari 45% (Rhodes, 1979). Kuarsa yang memiliki rumus kimia SiO 2 lebih dikenal dengan nama silika. Kristal kuarsa memiliki beragam bentuk yang tergantung kepada suhu. Pada suhu pembakaran 600 o C, silika yang terkandung pada lumpur Sidoardjo hanya mengalami perubahan bentuk kristal dari alpha ke beta yang tidak berpengaruh kepada perubahan sifatnya yang dapat bertindak sebagai bahan gelas (Rhodes, 1979). Kondisi ini menyebabkan pada pembakaran suhu 600 o C kuat tekan model bata hanya mengalami sedikit peningkatan. Nilai kuat tekan model bata merah pada pembakaran 600 o C dengan waktu pengeringan 7 hari yang merupakan nilai tertinggi memenuhi persyaratan kuat tekan SII No untuk bata merah pejal kualitas 25 (kuat tekan minimum 25 kg/cm 2 ). 59

19 Lempung pada pembakaran suhu 1140 o C mengalami proses vitrifikasi. Vitrifikasi adalah proses pengerasan, perapatan dan perubahan lempung menjadi seperti gelas. Proses vitrifikasi pada suhu tinggi dapat menyebabkan lempung bersifat, padat, kuat dan keras seperti batu. Selain silika yang berperan pada proses vitrifikasi adalah mineral besi oksida (FeO). Mineral tersebut dapat memberikan kekuatan terhadap lempung yang mengalami pembakaran pada suhu tinggi (Rhodes, 1979). Selain terjadinya perubahan mineral silika dan besi oksida, pembakaran pada suhu tinggi menyebabkan terbentuknya mullite yaitu mineral yang berasal dari pembakaran aluminium silikat yang dapat memberikan sifat kohesif dan kuat (Rhodes, 1979). Proses perubahan mineral silika, besi oksida dan pembentukkan mullite tersebut menyebabkan nilai kuat tekan model bata merah pada pembakaran 1140 o C mengalami peningkatan yang sangat drastis yaitu sekitar 300%. Nilai kuat tekan model bata merah pada pengeringan 7 hari dan pembakaran 1140 o C memenuhi persyaratan SII No untuk nilai kuat tekan bata merah kelas 100 (kuat tekan minimum 100 kg/cm 2 ). Model dengan penambahan sodium silika 1% memiliki nilai kuat tekan paling tinggi yaitu 116 kg/cm 2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan silika sebanyak 1% dapat meningkatkan kuat tekan sebesar 7,65% dibandingkan dengan model tanpa penambahan silika. Penambahan sodium silika sebanyak 2% b/b terhadap bata merah berbahan baku campuran lempung-fly ash pada suhu pembakaran C dapat meningkatkan kuat tekan dan menurunkan absorpsi. Hasil ini dapat dikatakan sebagai tanda adanya peningkatan dalam kualitas bata tersebu. Selain meningkatkan kualitas sifat fisik bata merah, penambahan sodium silika dapat minimalkan perbedaan struktur kristal di permukaan dan di dalam bata. Analisis mikrostruktur memperlihatkan adanya dua jenis kristal yang berbeda dalam matriks gelas, yaitu struktur kristal quartz dan yang lainnya struktur kristal 60

20 berbentuk jarum yang kemungkinan merupakan kristal dari anorthite, syngenite, seynite dll yang terbentuk pada saat pendinginan (Mukhopadhyay, 2005). IV.2.4. Durabilitas dan Absorpsi Model Bata Merah Uji durabilitas atau uji ketahanan terhadap cuaca untuk kestabilan model dalam keadaan basah dan kering yang disesuaikan dengan kondisi cuaca di Indonesia yaitu musim hujan dan musim kemarau dengan waktu uji/siklus selama 7 siklus mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan oleh Hardayani 1996 (uji durabilitas terhadap bata merah) dan Ahsani 2004 (uji durabilitas terhadap mortar) bahwa untuk daerah Indonesia persentase kehilangan berat benda uji pada siklus ke-7 sudah menunjukan nilai yang konstan. Uji ini dilakukan terhadap model bata merah dengan waktu pengeringan 7 hari pembakaran 600 o C dan 1140 o C. Prinsip uji durabilitas adalah menghitung persentase kehilangan berat selama siklus uji mengacu kepada prosedur ASTM D4843. Persentase kehilangan berat pada akhir siklus tidak boleh melebihi nilai 35%. Absorpsi merupakan kemampuan aliran air dalam menembus suatu benda uji. Benda uji diharapkan mempunyai nilai absorpsi yang rendah sehingga dapat menahan aliran air. Nilai adsorpsi berpengaruh terhadap durabilitas, semakin kecil nilai absorpsi maka nilai durabilitas semakin baik. Berdasarkan standar ASTM C62 untuk bata bangunan nilai absorpsi air pada kondisi dingin maksimum 22,5% (Pimraksa et.al, 2001) Tabel IV.12 memperlihatkan nilai kehilangan berat model bata merah selama siklus uji durabilitas dan nilai penyerapan air model bata merah. Perolehan data selengkapnya dapat dilihat di Lampiran C.7 dan Lampiran C.8. Dari hasil yang diperoleh, nilai kehilangan berat dan absorpsi model bata merah yang telah mengalami proses pembakaran 600 o C dan 1140 o C selama siklus uji durabilitas dan percobaan absorpsi masih berada di bawah peryaratan ASTM. 61

21 Tabel IV. 12 Nilai kehilangan berat model bata merah selama siklus uji durabilitas dan nilai penyerapan air model bata merah. Model Bata Durabilitas Absorpsi 600 o C 1140 o C 600 o C 1140 o C I 19,45 10,81 19,69 10,02 II 20,07 10,39 20,12 9,05 III 19,97 10,03 20,70 8,47 IV 20,82 8,81 20,20 7,87 Selain durabilitas dan absorpsi terhadap model bata merah dilakukan uji pelindian. Tes pelindian dilakukan untuk melihat proses pelindian logam Cu, yang ditambahkan ke dalam adonan, akibat proses perendaman selama 7 siklus uji durabilitas. Tes dilakukan terhadap air rendaman uji durabilitas basah pada siklus ke-1 dan siklus ke-7. Tabel IV.13 menunjukkan konsentrasi logam Cu yang terlindikan selama 7 siklus uji durabilitas. Tabel IV. 13 Konsentrasi terlindikan Logam Cu pada air rendaman uji durabilitas kondisi basah Model Konsentrasi Cu di air rendaman (mg/l) Pembakaran 600 o C Pembakaran 1140 o C Siklus Ke-1 Ke-7 Ke-1 Ke-7 I 0,0418 0,0422 0,0953 0,1780 II 0,0138 0,0233 0,2369 0,6414 III 0,0269 0,0367 0,0347 0,1956 IV 0,0273 0,0364 0,0808 0,1376 Hasil analisis kadar logam Cu yang terlarut di air rendaman menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya siklus pengujian. Nilai konsentrasi logam Cu yang terlindikan selama 7 siklus kondisi basah uji durabilitas masih berada di bawah baku mutu TCLP PP 18/99 jo PP 85/99. Hal ini berarti model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo dengan penambahan logam Cu sebanyak 2000 mg/kg tergolong aman untuk digunakan sebagai bahan bangunan. 62

22 IV.2.5. Pelindian Model Bata Merah Tes pelindian terhadap model bata merah dilakukan untuk melihat berapa banyak logam yang dapat terlindikan dari suatu produk solidifikasi. Dalam penelitian ini, dikarenakan kandungan logam dalam lumpur Sidoardjo sangat rendah untuk melihat proses pengikatan logam dan pelindiannya, ke dalam adonan bahan baku bata ditambahkan logam tembaga/cu sebanyak 2000 mg/kg lumpur Sidoardjo. Besarnya penambahan Cu didasari atas nilai kandungan logam Cu yang terdapat dalam limbah dinyatakan berbahaya menurut Kep. 04/ Bapedal / 09/1995 apabila memiliki kandungan di atas 1000 mg/kg. Uji pelindian dilakukan terhadap model bata merah dengan waktu pengeringan 7 hari dengan dan tanpa proses pembakaran, mengikuti prosedur TCLP USEPA Method 1311 menggunakan larutan pelindi #1, asam asetat ph 4,93 hasil selengkapnya dapat dilihat di Lampiran C.9. Tabel IV.14 menunjukkan hasil uji pelindian model bata merah. Tabel IV. 14 Hasil uji pelindian model bata merah berbahan lumpur Sidoardjo Model Bata Konsentrasi terlindikan (mg/g) Non Bakar 600 o C 1140 o C I 1,6135 0,0553 0,2526 II 1,4451 0,0382 0,0635 III 1,3319 0,0112 0,0341 IV 0,8284 0,0084 0,0521 Hasil uji pelindian di Tabel IV.14 memperlihatkan adanya penurunan konsentrasi logam akibat proses penambahan sodium silika dan pembakaran. Hasil tersebut dapat menyatakan bahwa penambahan sodium silika dan pembakaran pada model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo dapat mengurangi mobilitas logam Cu. Penurunan konsentrasi terlindikan dapat disebabkan karena adanya proses pertukaran ion dalam produk solidifikasi. Proses tersebut dapat terjadi karena 63

23 lumpur Sidoardjo termasuk dalam klasifikasi tanah lempung. Lempung telah dikenal sebagai bahan yang dapat menyerap kation karena memiliki permukaan yang bermuatan negatif, yang berasal dari ion natrium, magnesium, kalsium dan kalium yang teradsorspi, sehingga berkemampuan untuk menukarkan ion. Secara umum nilai tukar kation tanah lempung cukup tinggi (Kim et.al, 2005). Penambahan sodium silika semakin menambah jumlah ion yang dapat dipertukarkan. Silika yang bermuatan negatif dapat bereaksi dengan ion logam Cu untuk membentuk suatu logam silikat yang tidak larut dan tidak reaktif dengan reaksi Cu 2+ + SiO 2-3 Cu SiO 3 (Vogel, 1990). Sehingga dengan semakin tinggi jumlah penambahan sodium silika ke dalam adonan bata merah maka konsentrasi logam Cu yang terlindikan dapat semakin menurun. Model bata merah pada proses pembakaran suhu 600 o C mengalami proses penguraian air kristal (Departemen Perindustrian,1985). Proses ini menyebabkan air bebas yang terdapat dalam model bata merah hilang. Air bebas dalam produk solidifikasi dapat berperan dalam pembentukan lindi (Katombo, 1997). Hilangnya air bebas akibat proses penguraian air kristal menyebabkan konsentrasi terlindikan logam Cu akibat proses pembakaran pada suhu 600 o C menurun. Sedangkan pada pembakaran suhu 1140 o C, walaupun air kristal telah hilang namun kadar logam Cu yang terlindikan lebih besar dari pada kadar terlindikan logam Cu pada pembakaran 600 o C. Hal ini dikarenakan logam Cu memiliki nilai titik leleh pada suhu 1084,62 C. Pada suhu 1140 o C logam Cu tersebut meleleh, namun konsentrasi terlindikannya tidak sebesar konsentrasi terlindikan model tanpa pembakaran karena pada suhu tersebut natrium silika dengan titik leleh 1088 C pun sudah meleleh sehingga dapat mengikat kembali logam Cu. IV.2.6. Perubahan Akibat Proses Pembakaran Proses pembakaran, selain menyebabkan kenaikan nilai kuat tekan dan penurunan konsentrasi terlindikan logam Cu, juga menyebabkan perubakan wujud fisik dan kimia terhadap model bata merah. Gambar IV.12 dan Tabel IV.15 menunjukkan 64

24 perubahan bentuk fisik model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo akibat proses pembakaran. Tanpa pembakaran Pembakaran 600 o C Pembakaran 1140 o C Gambar IV.12 Perubahan fisik model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo akibat proses pembakaran Tabel IV. 15 Perubahan bentuk fisik model bata merah akibat proses pembakaran Model I II III IV Keterangan Suhu Pembakaran ( o C) Warna abu-abu merah bata muda merah bata tua Permukaan halus ada retakan halus ada rekahan Volume (cm3) 70,49 79,71 95,82 Warna abu-abu merah bata muda merah bata tua Permukaan halus ada retakan halus ada rekahan Volume (cm3) 68,78 80,32 86,28 Warna abu-abu merah bata muda merah bata tua Permukaan halus ada retakan halus ada rekahan Volume (cm3) 67,34 80,83 90,27 Warna abu-abu merah bata muda merah bata tua Permukaan halus ada retakan halus ada rekahan Volume (cm3) 66,61 82,18 100,16 Pada tahap pembakaran, kandungan senyawa oksida besi (Fe 2 O 3 ), aluminium (Al 2 O 3 ) dan kalsium (CaO) dapat berpengaruh kepada warna produk bata yang 65

25 dihasilkan. Tabel IV.16 memperlihatkan pengaruh kandungan oksida logam tersebut terhadap warna bata merah yang dihasilkan (Sagala, 2000). Tabel IV. 16 Pengaruh kandungan oksida logam besi, alumunium dan kalsium terhadap warna bata merah No. Oksida logam Kadar (%) Warna 1. Fe 2 O Kondisi oksidasi berwarna merah, Al 2 O kondisi reduksi berwarna coklat atau CaO 0 abu-abu mendekati hitam 2. Fe 2 O 3 6 Pada awal vitrifikasi akan berwarna Al 2 O krem atau agak kekuningan/ buff, pada CaO 14 akhir vitrifikasi akan berwarna hitam 3. Fe 2 O 3 1,5-3 Al 2 O Warna hasil pembakaran kuning/buff 4. Fe 2 O 3 <1 Pada suasana oksidasi akan berwarna Al 2 O 3 <1 putih, pada suasana reduksi akan berwarna putih abu-abu Hasil analisis kandungan oksida logam lumpur Sidoardjo pada Tabel IV.4 yaitu kadar Fe 2 O 3 5,26%, Al 2 O 3 25,07% dan CaO 2,10% menunjukkan bahwa pembakaran bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo pada tahap oksidasi akan menghasilkan warna merah, pada kondisi reduksi akan berwarna coklat dan pada tahap vitrifikasi akan berwarna kehitaman. Informasi tersebut sesuai dengan warna hasil pembakaran 600 o C yaitu merah muda dan pada pembakaran 1140 o C berwarna merah bata tua-kecoklatan. Selain perubahan warna, proses pembakaran pun berpengaruh terhadap luas permukaan dan volume bata merah. Perubahan volume dapat terjadi pada tahap oksidasi dan vitrifikasi. Pada tahap oksidasi terjadi perubahan bentuk struktur kristal silika yang terkandung dalam lempung dari bentuk struktur kristal silika alfa menjadi bentuk beta. Perubahan ini akan menaikkan volume sebesar 2% yang akan kembali ke volume semula pada tahap pendinginan. Perubahan ini dapat menyebabkan keretakan pada permukaan produk yang dikenal sebagai dunting (Rhodes, 1979). 66

26 Sedangkan pada pembakaran 1140 o C akibat berlangsungnya proses vitrifikasi menyebabkan terjadi pelelehan material lempung yang dapat memberikan sifat padat, kuat dan keras seperti batu. Pada saat mengalami proses pelelehan biasanya mengalami proses bloating/mengembang seperti kue sebagai hasil dari keluarnya gas yang terperangkap sehingga dapat menyebabkan terjadi perubahan bentuk/deformasi (Rhodes, 1979). Hal ini menjelaskan terjadinya rekahan/ retakan pada model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo dengan pembakaran 1140 o C. Proses pembakaran dapat menyebakan terjadinya perubahan mieral yang trekandung dalam lempung. Secara umum reaksi perubahan mineral pada lempung yang mengandung mineral kaolinite (Al 2 O 3 Si 2 O 5 (H 2 O) 4 atau Al 2 O 3 2SiO 2 2H 2 O) akibat pembakaran adalah sebagai berikut (Sagala, 2000): Al 2 O 3 Si 2 O 5 (H 2 O) 4 o C Al 2 O 3 Si 2 O 7 + 2H 2 O (Al 2 O 3 2SiO 2 = meta kaolinite) o C (Al 2 O 3 2SiO 2 ) 2 Al 2 O 3 3SiO 2 + SiO 2 Silicone Spinel/Trydimite o C Al 2 O 3 3SiO 2 o C (Al 2 O 3 SiO 2 ) 2 (Al 2 O 3 SiO 2 ) + SiO 2 Pseudo Mullite 3Al 2 O 3 2SiO 2 ) + SiO 2 Mullite Crystobalite Melalui analisis dengan XRD perubahan mineral lumpur Sidoardjo akibat proses pembakaran dapat terlihat. Gambar IV.13 memperlihatkan spektrum yang dihasilkan oleh padatan lumpur Sidoardjo yang telah mengalami proses pembakaran pada suhu 600 o C. Hasil analisis XRD menunjukkan kandungan mineral lumpur Sidoardjo setelah pembakaran pada suhu 600 o C adalah Chlorite-vermiculite-montmorillonite (23,6%), Illite (76,4%) sebagai mineral dengan intensitas terbesar, juga terdapat Quartz/ SiO 2, Hematite/ Fe 2 O 3 dan Graphite/ C. 67

27 Counts D-Bakar 600 C [ ]; [Å]; Illite-2\ITM\RG#1 [NR] [ ]; [Å]; Chlorite-vermiculite-montmorillonite; Illite-2\ITM\RG#1 [NR] [ ]; [Å]; Quartz [ ]; [Å]; Chlorite-vermiculite-montmorillonite; Illite-2\ITM\RG#1 [NR] [ ]; [Å]; Illite-2\ITM\RG#1 [NR]; Quartz; Graphite [ ]; [Å]; Illite-2\ITM\RG#1 [NR] [ ]; [Å]; Iron(III) oxide [ ]; [Å]; Chlorite-vermiculite-montmorillonite; Illite-2\ITM\RG#1 [NR]; Iron(III) oxide [ ]; [Å]; Illite-2\ITM\RG#1 [NR]; Quartz [ ]; [Å]; Quartz; Iron(III) oxide [ ]; [Å]; Graphite [ ]; [Å]; Chlorite-vermiculite-montmorillonite; Quartz [ ]; [Å]; Quartz; Graphite Position [ 2Theta] [ ]; [Å]; Quartz [ ]; [Å]; Quartz; Iron(III) oxide [ ]; [Å]; Quartz Gambar IV. 13 Hasil analisis XRD padatan lumpur Sidoardjo pembakaran 600 o C Keberadaan Grafit/Karbon dapat disebabkan oleh proses pembakaran senyawa organik lempung pada pembakaran suhu 600 o C yang berjalan tidak sempurna. Terdeteksinya mineral Fe 2 O 3 menjelaskan adanya penguraian dari mineral nontronite dan menjelaskan pula perubahan warna merah pada model bata akibat dari oksidasi senyawa besi pada suhu 600 o C yang merupakan pembakaran tahap oksidasi. Kandungan mineral lumpur Sidoardjo setelah pembakaran pada suhu 1140 o C yang diperlihatkan Gambar IV.14 hanya menunjukkan keberadaan mineral Quartz/ SiO 2 dan Sodium tecto-alumotrisilicate sebagai mineral dengan intensitas terbesar. Tidak adanya sisa mineral besi oksida dan grafit/karbon menunjukan bahwa pada pembakaran 1140 o C proses oksidasi telah berlangsung sempurna, sekaligus menunjukkan bahwa proses vitrifikasi sudah terjadi yang ditandai dengan hanya terdapat mineral berbasis silika pada model bata merah berbahan baku lumpur Sidoardjo. 68

28 Counts E-Bakar 1140 C [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å]; Quartz; Sodium tecto-alumotrisilicate [ ]; [Å] Position [ 2Theta] Gambar IV. 14 Hasil analisis XRD padatan lumpur Sidoardjo pada suhu pembakaran 1140 o C. Perubahan mineral akibat proses pembakaran terhadap lumpur Sidoardjo selengkapnya diperlihatkan pada Tabel IV.17, Gambar IV.15, Gambar IV.16 dan Gambar IV. 17. Tabel IV. 17 Kandungan mineral lumpur Sidoardjo sebelum dan sesudah proses pembakaran pada suhu 600 o C dan 1140 o C Tanpa pembakaran Pembakaran 600 o C Pembakaran 1140 o C Nontronite (21,1%) Chlorite-vermiculitemontmorillonite (23,6%) Illite (62,9%) Illite (76.4%) Kaolinite (16,0%) Quartz Quartz Iron(III) oxide Graphite Quartz (71,5%) Sodium tectoalumotrisilicate (28,5%) 69

29 Keterangan: garis merah = tanpa pembakaran garis biru = pembakaran 600 o C Gambar IV. 15 Perubahan kandungan mineral antara lumpur Sidoardjo tanpa pembakaran dan yang telah mengalami proses pembakaran 600 o C Keterangan: garis merah = tanpa pembakaran garis biru = pembakaran 1140 o C Gambar IV. 16 Perubahan kandungan mineral antara lumpur Sidoardjo tanpa pembakaran dan yang telah mengalami proses pembakaran 1140 o C 70

30 Keterangan: garis merah = tanpa pembakaran garis hijau = pembakaran 600 o C garis biru = pembakaran 1140 o C Gambar IV. 17 Perubahan kandungan mineral antara lumpur Sidoardjo tanpa pembakaran dan yang telah mengalami proses pembakaran 600 o C dan 1140 o C. IV.3 Mekanisme Adsorpsi Logam Tembaga oleh Lumpur Sidoardjo Salah satu proses yang terjadi pada proses immobilisasi logam dalam prosedur solidifikasi/stabilisasi adalah mekanisme adsorpsi yang terjadi antara logam dengan permukaan adsorben. Adsorpsi adalah proses fisika atau kimia dimana suatu zat terakumulasi pada interfasa padatan-larutan (Mihelcic, 1999) IV.3.1 Karakterisasi Adsorben Padatan yang berfungsi untuk mengadsorpsi dikenal dengan nama adsorben. Adsorben dapat berupa serbuk atau butiran dengan luas permukaan yang sangat besar yang merupakan faktor penting dalam proses adsorpsi (Cooney, 1999) Mineral lempung telah diketahui sebagai material yang baik dalam proses adsorpsi kation logam karena memiliki luas permukaan yang besar dan bermuatan negatif (Kim et. al, 2005). Pada umumnya mineral lempung memiliki nilai tukar 71

31 kation yang tinggi yang memungkinkan terjadinya proses petukaran kation logam oleh anion permukaan mineral lempung (Notodarmojo, 2005). Lumpur Sidoardjo yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam klasifikasi tanah lempung dengan kandungan mineral yang beragam, diantaranya mineral montmorilonite yang memiliki luas permukaan yang sangat besar sehingga memungkinkan terjadinya proses adsorpsi. Proses penyerapan logam Cu oleh lumpur Sidoardjo selain dapat dilihat dari penurunan konsentrasi pada akhir proses, dapat juga dilihat dari perubahan mineral akibat dari menempelnya logam Cu pada permukaan partikel lumpur Sidoardjo. Gambar IV.18 menunjukkan perubahan mineral lumpur Sidoardjo akibat dari proses adsorpsi logam Cu. Hasil analisis menunjukkan adanya perubahan kandungan mineral yaitu ada penambahan mineral Labradorite pada sample padatan lumpur Sidoardjo setelah proses adsorpsi. Counts C-adsorpsi cu [ ]; [Å]; Nontronite [ ]; [Å]; Kaolinite [ ]; [Å]; Kaolinite; Nontronite [ ]; [Å]; Kaolinite; Nontronite; Quartz [ ]; [Å]; Kaolinite; Labradorite [ ]; [Å]; Quartz [ ]; [Å]; Labradorite [ ]; [Å]; Labradorite [ ]; [Å]; Labradorite [ ]; [Å]; Kaolinite; Nontronite; Labradorite [ ]; [Å]; Nontronite; Quartz [ ]; [Å]; Kaolinite [ ]; [Å]; Quartz; Labradorite [ ]; [Å]; Nontronite; Labradorite [ ]; [Å]; Kaolinite; Nontronite; Quartz; Labradorite [ ]; [Å]; Kaolinite; Nontronite; Quartz [ ]; [Å]; Kaolinite; Quartz; Labradorite [ ]; [Å]; Quartz; Labradorite [ ]; [Å]; Kaolinite; Nontronite; Quartz; Labradorite Position [ 2Theta] Gambar IV. 18 Mineral lumpur Sidoardjo setelah proses adsorpsi logam Cu. 72

32 IV.3.2. Mekanisme Adsorpsi oleh Lumpur Sidoardjo IV Percobaan Pendahuluan Percobaan pendahuluan meliputi pelindian pendahuluan, optimasi dosis adsorben dan optimasi konsentrasi logam Cu artifisial. Pelindian pendahuluan dilakukan terhadap sample padatan lumpur Sidoardjo untuk mengetahui konsentrasi terlindikan logam Cu dalam larutan asam klorida (HCl) ph 3, ph 4 dan ph 5 yang akan digunakan sebagai pelarut dalam proses adsorpsi. Optimasi dosis dilakukan untuk melihat pengaruh berat adsorben terhadap persentase penyisihan/ adsorption rate logam Cu selama proses adsorpsi yang dilakukan dengan waktu kontak 2 dan 24 jam. Optimasi konsentrasi dilakukan untuk melihat pengaruh konsentrasi logam Cu artifisial pada berat adsorben optimum terhadap persentase penyisihan logam Cu selama proses adsorpsi yang dilakukan dengan waktu kontak 2 dan 24 jam. IV Pelindian Pendahuluan Proses pelindian dilakukan terhadap padatan lumpur Sidoardjo dengan dan tanpa penambahan sodium silika 1% b/b lumpur dengan variasi waktu pengocokan 0; 0,5; 1; 2; 3 dan 24 jam, pengocokan pada kecepatan 250 rpm, berat padatan 5 gram dan volume pelarut sebanyak 100 ml. Konsentrasi logam Cu dan perubahan ph selama proses pelindian diperlihatkan pada Tabel IV.18, Tabel IV.19 dan Gambar IV.19. Hasil dan perhitungan dapat dilihat di Lampiran D.1. Tabel IV. 18 Hasil pelindian pendahuluan lumpur Sidoardjo dengan pelarut HCl ph 3, 4 dan 5 t (jam) Lumpur Lumpur + Silika 1% ph ,0287 0,0299 0,0329 0,0330 0,0394 0, ,0259 0,0243 0,0276 0,0293 0,0393 0, ,0212 0,0213 0,0219 0,0228 0,0354 0, ,0199 0,0166 0,0194 0,0220 0,0307 0, ,0014 0,0036 0,0042 0,0186 0,0285 0,

33 Tabel IV. 19 ph larutan pada proses pelindian pendahuluan lumpur Sidoardjo dengan pelarut HCl ph 3, 4 dan 5 t (jam) Lumpur Lumpur + Silika 1% ph ,79 5,98 6,02 5,92 6,52 7, ,98 7,99 7,88 8,69 8,52 8,75 1 7,89 8,00 7,96 8,39 8,59 8,56 2 7,85 7,89 7,92 8,28 8,40 8,40 3 7,88 7,95 7,93 8,12 8,33 8, ,96 7,96 7,93 8,10 8,06 8,07 Berdasarkan hasil analisis pelindian lumpur Sidoardjo dengan pelarut HCl ph 3,4 dan 5, konsentrasi logam Cu sangat kecil hingga dapat diasumsikan bahwa konsentrasi Cu tidak akan berpengaruh terhadap nilai penyisihan logam Cu artifisial oleh lumpur Sidoardjo. Perubahan ph selama Proses Pelindian Lumpur Sidoardjo tanpa dan dengan Penambahan Sodium silika 1% b/b ph Waktu (jam) ph 3, Lumpur ph 4, Lumpur ph 5, Lumpur ph 3, Lumpur + Silika 1% ph 4, Lumpur + Silika 1% ph 5, Lumpur Sidoardjo + Silika 1% Gambar IV. 19 Perubahan ph selama proses pelindian lumpur Sidoardjo dengan dan tanpa sodium silika 1% b/b Lumpur. 74

34 IV Optimasi Berat Adsorben dan Konsentrasi Logam Cu Adsorpsi adalah proses akumulasi substansi dalam larutan dengan interfasa yang sesuai. Adsorbat adalah substansi yang akan dihilangkan dalam fasa cair interfasa, adsorben adalah subtansi dimana adsorbat terakumulasi (Metcalf, 2003). Selain dari karakteristik adsorben yang berkaitan dengan tektur, komposisi dan mineralogi, banyaknya adsorben dalam suatu proses adsorpsi memiliki peranan yang penting berkaitan dengan luas permukaan yang dapat digunakan sebagai tempat terjadinya ikatan antara kation logam dengan anion adsorben, semakin banyak adsorben, maka ketersedian jumlah pori yang dapat digunakan ion logam untuk menempel semakin banyak. Pada proses sorpsi oleh lempung semakin tinggi rasio padatan dengan larutan akan menunjukkan peningkatan adsorpsi (Notodarmojo, 2005). Hal ini berlaku juga untuk konsentrasi kation yang akan diadsorpsi, semakin tinggi konsentrasi logam maka ketersediaan kation yang akan disisihkan pun semakin besar sehingga konsentrasi adsorbat berpengaruh terhadap persentase penyisihan (Quek et. al, 1998). Optimasi Dosis Adsorben Persentase penyisihan (%) Berat adsorben (g) Lumpur ph 3 Lumpur ph 4 Lumpur ph 5 Lumpur + silika 1% ph 3 Lumpur + silika 1% ph 4 Lumpur + silika 1% ph 5 Gambar IV. 20 Optimasi dosis adsorben Gambar IV.20 memperlihatkan hasil optimasi dosis dilakukan dengan variasi berat adsorben 1-5 gram. Berdasarkan hasil tersebut, berat adsorben lumpur 75

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III.1 Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap pelaksanaan yang secara umum digambarkan oleh bagan alir di bawah ini: MULAI Pengambilan sample Lumpur Sidoardjo

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Lumpur Sidoarjo

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Lumpur Sidoarjo BAB IV PEMBAHASAN Pada bagian ini penulis akan membahas hasil percobaan serta beberapa parameter yang mempengaruhi hasil percobaan. Parameter-parameter yang berpengaruh pada penelitian ini antara lain

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISIS

BAB IV DATA DAN ANALISIS BAB IV DATA DAN ANALISIS 4.1 Karakterisasi Abu Ampas Tebu ( Sugarcane Ash ) 4.1.1 Analisis Kimia Basah Analisis kimia basah abu ampas tebu (sugarcane ash) dilakukan di Balai Besar Bahan dan Barang Teknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian sampel tanah asli di laboratorium didapatkan hasil :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian sampel tanah asli di laboratorium didapatkan hasil : IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pemeriksaan Sampel Tanah Asli Pengujian sampel tanah asli di laboratorium didapatkan hasil : 1. Hasil Pengujian Kadar Air (ω) Kadar air didefinisikan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlakuan Awal dan Karakteristik Abu Batubara Abu batubara yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu abu batubara hasil pembakaran di boiler tungku

Lebih terperinci

a. Jenis I merupakan semen portland untuk penggunaan umum yang memerlukan persyaratan persyaratan khusus seperti yang disyaratkan pada jenis-jenis

a. Jenis I merupakan semen portland untuk penggunaan umum yang memerlukan persyaratan persyaratan khusus seperti yang disyaratkan pada jenis-jenis BAB III LANDASAN TEORI A. Pozzolan Pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa silika dan alumina, yang tidak mempunyai sifat semen, akan tetapi dalam bentuk halusnya dan dengan adanya air dapat menjadi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tanah yang akan diuji adalah jenis tanah lempung/tanah liat dari YosoMulyo,

III. METODE PENELITIAN. Tanah yang akan diuji adalah jenis tanah lempung/tanah liat dari YosoMulyo, III. METODE PENELITIAN A. Sampel Tanah Tanah yang akan diuji adalah jenis tanah lempung/tanah liat dari YosoMulyo, Kecamatan Metro Timur, Metro. Pengambilan sampel dilakukan pada awal musim penghujan namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan zaman, inovasi dalam dunia konstruksi terus meningkat, seperti perkembangan kontruksi pada beton. Beton adalah salah satu bahan konstruksi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Penelitian yang sudah pernah dilakukan dan dapat di jadikan literatur untuk penyusunan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ishaq Maulana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Logam Berat Istilah "logam berat" didefinisikan secara umum bagi logam yang memiliki berat spesifik lebih dari 5g/cm 3. Logam berat dimasukkan dalam kategori pencemar lingkungan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MORTAR PADA LIMBAH ABU KELAPA SAWIT. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Binawidya Km 12,5 Pekanbaru, 28293, Indonesia

KARAKTERISTIK MORTAR PADA LIMBAH ABU KELAPA SAWIT. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Binawidya Km 12,5 Pekanbaru, 28293, Indonesia KARAKTERISTIK MORTAR PADA LIMBAH ABU KELAPA SAWIT Riski Febriani 1, Usman Malik 2, Antonius Surbakti 2 1 Mahasiswa Program Studi S1Fisika 2 Dosen Jurusan Fisika 2 Dosen Jurusan Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Yufiter (2012) dalam jurnal yang berjudul substitusi agregat halus beton

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Yufiter (2012) dalam jurnal yang berjudul substitusi agregat halus beton BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Yufiter (2012) dalam jurnal yang berjudul substitusi agregat halus beton menggunakan kapur alam dan menggunakan pasir laut pada campuran beton

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Tinjauan Umum Pelaksanaan penelitian ini dimulai dari tahap perencanaan, teknis pelaksanaan, dan pada tahap analisa hasil, tidak terlepas dari peraturan-peraturan maupun referensi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. untuk bangunan gedung, jembatan, jalan, dan lainnya baik sebagai komponen

BAB III LANDASAN TEORI. untuk bangunan gedung, jembatan, jalan, dan lainnya baik sebagai komponen BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Beton Beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang telah umum digunakan untuk bangunan gedung, jembatan, jalan, dan lainnya baik sebagai komponen struktural maupun non-struktural.

Lebih terperinci

BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON

BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON Air merupakan salah satu bahan pokok dalam proses pembuatan beton, peranan air sebagai bahan untuk membuat beton dapat menentukan mutu campuran beton. 4.1 Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Agregat Halus Agregat halus adalah agregat dengan besar butir maksimum 4,76 mm berasal dari alam atau hasil olahan sesuai dengan SNI 03-6820-2002. Riyadi (2013) pada penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia Abu Terbang PLTU Suralaya Abu terbang segar yang baru diambil dari ESP (Electrostatic Precipitator) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. ini adalah paving block dengan tiga variasi bentuk yaitu berbentuk tiga

III. METODE PENELITIAN. ini adalah paving block dengan tiga variasi bentuk yaitu berbentuk tiga 20 III. METODE PENELITIAN A. Umum Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Struktur Bahan dan Konstruksi Fakultas Teknik Universitas Lampung. Obyek dalam penelitian ini adalah paving block dengan

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Aktivasi Zeolit Sebelum digunakan, zeolit sebaiknya diaktivasi terlebih dahulu untuk meningkatkan kinerjanya. Dalam penelitian ini, zeolit diaktivasi melalui perendaman dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sejenisnya, air dan agregat dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya. 2. Kegunaan dan Keuntungan Paving Block

II. TINJAUAN PUSTAKA. sejenisnya, air dan agregat dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya. 2. Kegunaan dan Keuntungan Paving Block II. TINJAUAN PUSTAKA A. Paving Block 1. Definisi Paving Block Bata beton (paving block) adalah suatu komposisi bahan bangunan yang dibuat dari campuran semen portland atau bahan perekat hidrolis sejenisnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Produk keramik adalah suatu produk industri yang sangat penting dan berkembang pesat pada masa sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Mortar Mortar didefinisikan sebagai campuran material yang terdiri dari agregat halus (pasir), bahan perekat (tanah liat, kapur, semen portland) dan air dengan komposisi tertentu

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Beton Konvensional Beton adalah sebuah bahan bangunan komposit yang terbuat dari kombinasi agregat dan pengikat (semen). Beton mempunyai karakteristik tegangan hancur tekan yang

Lebih terperinci

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA NANOSILIKA PASIR Anggriz Bani Rizka (1110 100 014) Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat Triwikantoro M.Si JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pozzolan Pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa silika dan alumina, yang tidak mempunyai sifat semen, akan tetapi dalam bentuk halusnya dan dengan adanya air dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pozzolan Pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa silika dan alumina, yang tidak mempunyai sifat semen, akan tetapi dalam bentuk halusnya dan dengan adanya air dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mulai tahap perencanaan hingga tahap analisis, penelitian dilaksanakan berdasarkan sumber yang berkaitan dengan topik yang dipilih, yaitu penelitian tentang agregat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah lempung lunak yang. diambil dari Desa Yosomulyo, Kecamatan Metro Timur, Kota Metro.

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah lempung lunak yang. diambil dari Desa Yosomulyo, Kecamatan Metro Timur, Kota Metro. 24 III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah lempung lunak yang diambil dari Desa Yosomulyo, Kecamatan Metro Timur, Kota Metro. 2. Bahan campuran yang akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mortar Menurut SNI 03-6825-2002 mortar didefinisikan sebagai campuran material yang terdiri dari agregat halus (pasir), bahan perekat (tanah liat, kapur, semen portland) dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN PENELITIAN

BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN PENELITIAN BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan pengujian terhadap tanah yang diambil dari proyek jalan tambang Kota Berau Kalimantan Timur, maka pada bab ini akan diuraikan hasil

Lebih terperinci

No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 8 Semester I BAB I Prodi PT Boga BAB I MATERI

No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 8 Semester I BAB I Prodi PT Boga BAB I MATERI No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 8 BAB I MATERI Materi adalah sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa. Materi dapat berupa benda padat, cair, maupun gas. A. Penggolongan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Beton pada umumnya adalah campuran antara agregat. kasar (batu pecah/alam), agregat halus (pasir), kemudian

BAB III LANDASAN TEORI. Beton pada umumnya adalah campuran antara agregat. kasar (batu pecah/alam), agregat halus (pasir), kemudian 11 BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Beton Beton pada umumnya adalah campuran antara agregat kasar (batu pecah/alam), agregat halus (pasir), kemudian direkatkan dengan semen Portland yang direaksikan dengan

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI Semen. Semen adalah suatu bahan pengikat yang bereaksi ketika bercampur

BAB III DASAR TEORI Semen. Semen adalah suatu bahan pengikat yang bereaksi ketika bercampur BAB III DASAR TEORI 3.1. Semen Semen adalah suatu bahan pengikat yang bereaksi ketika bercampur dengan air. Semen dihasilkan dari pembakaran kapur dan bahan campuran lainnya seperti pasir silika dan tanah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ). 0.45 µm, ph meter HM-20S, spektrofotometer serapan atom (AAS) Analytic Jena Nova 300, spektrofotometer DR 2000 Hach, SEM-EDS EVO 50, oven, neraca analitik, corong, pompa vakum, dan peralatan kaca yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMAKAIAN AIR KAPUR DAN AIR TAWAR SERTA PENGARUH PERENDAMAN AIR GARAM DAN AIR SULFAT TERHADAP DURABILITAS HIGH VOLUME FLY ASH CONCRETE

PERBANDINGAN PEMAKAIAN AIR KAPUR DAN AIR TAWAR SERTA PENGARUH PERENDAMAN AIR GARAM DAN AIR SULFAT TERHADAP DURABILITAS HIGH VOLUME FLY ASH CONCRETE PERBANDINGAN PEMAKAIAN AIR KAPUR DAN AIR TAWAR SERTA PENGARUH PERENDAMAN AIR GARAM DAN AIR SULFAT TERHADAP DURABILITAS HIGH VOLUME FLY ASH CONCRETE Naskah Publikasi untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bata merah merupakan salah satu bahan material sebagai bahan pembuat dinding. Bata merah terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan suhu tinggi sampai bewarna kemerah-merahan.

Lebih terperinci

PENAMBAHAN CaCO 3, CaO DAN CaOH 2 PADA LUMPUR LAPINDO AGAR BERFUNGSI SEBAGAI BAHAN PENGIKAT

PENAMBAHAN CaCO 3, CaO DAN CaOH 2 PADA LUMPUR LAPINDO AGAR BERFUNGSI SEBAGAI BAHAN PENGIKAT PENAMBAHAN CaCO 3, CaO DAN CaOH 2 PADA LUMPUR LAPINDO AGAR BERFUNGSI SEBAGAI BAHAN PENGIKAT Abdul Halim, M. Cakrawala dan Naif Fuhaid Jurusan Teknik Sipil 1,2), Jurusan Teknik Mesin 3), Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Hasil penentuan kandungan oksida logam dalam abu boiler PKS Penentuan kandungan oksida logam dari abu boiler PKS dilakukan dengan menggvmakan XRF

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Baja Baja adalah salah satu dari bahan konstruksi yang paling penting. Sifatsifatnya yang terutama penting dalam penggunaan konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi, dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. A. Karakteristik Tanah Lempung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. A. Karakteristik Tanah Lempung BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Karakteristik Tanah Lempung Tanah selalu mempunyai peranan yang sangat penting pada suatu lokasi pekerjaan konstruksi. Kebanyakan problem tanah dalam keteknikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7. Contoh Tabel 7. Hasil

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 1 Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lanau yang berasal dari. Desa Yoso Mulyo, Kecamatan Metro Timur

III. METODE PENELITIAN. 1 Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lanau yang berasal dari. Desa Yoso Mulyo, Kecamatan Metro Timur III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian 1 Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lanau yang berasal dari Desa Yoso Mulyo, Kecamatan Metro Timur 2 Cetakan batu bata berupa persegi dengan masing masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi. Air digunakan hampir di setiap aktivitas makhluk hidup. Bagi manusia, air

Lebih terperinci

Kinerja Kuat Tekan Beton dengan Accelerator Alami Larutan Tebu 0.3% Lampiran 1 Foto Selama Penelitian

Kinerja Kuat Tekan Beton dengan Accelerator Alami Larutan Tebu 0.3% Lampiran 1 Foto Selama Penelitian Lampiran 1 Foto Selama Penelitian Gambar L.1 Uji Kuat Tekan Silinder Gambar L.2 Benda Uji Normal 7 hari Gambar L.3 Benda Uji Normal 14 hari Gambar L.4 Benda Uji Normal 28 hari Gambar L.5 Benda Uji Sukrosa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

halus butir, berat volume, dan logam berat yang terkandung, di laboratorium BKT

halus butir, berat volume, dan logam berat yang terkandung, di laboratorium BKT BAB I HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Susun Setelah melakukan pemeriksaan bahan susun berupa berat jenis, modulus halus butir, berat volume, dan logam berat yang terkandung,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN ABU AMPAS TEBU DAN SERBUK GYPSUM TERHADAP KARAKTERISTIK TANAH LEMPUNG EKSPANSIF DI BOJONEGORO

PENGARUH PENAMBAHAN ABU AMPAS TEBU DAN SERBUK GYPSUM TERHADAP KARAKTERISTIK TANAH LEMPUNG EKSPANSIF DI BOJONEGORO PENGARUH PENAMBAHAN ABU AMPAS TEBU DAN SERBUK GYPSUM TERHADAP KARAKTERISTIK TANAH LEMPUNG EKSPANSIF DI BOJONEGORO Arie Wahyu Aprilian, Yulvi Zaika, Arief Rachmansyah Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah berbutir halus yang. diambil dari Desa Yoso Mulyo, Kecamatan Metro Timur, Metro.

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah berbutir halus yang. diambil dari Desa Yoso Mulyo, Kecamatan Metro Timur, Metro. 24 III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah berbutir halus yang diambil dari Desa Yoso Mulyo, Kecamatan Metro Timur, Metro. 2. Abu ampas tebu (baggase ash)

Lebih terperinci

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol PENGARUH PENAMBAHAN SURFAKTAN hexadecyltrimethylammonium (HDTMA) PADA ZEOLIT ALAM TERDEALUMINASI TERHADAP KEMAMPUAN MENGADSORPSI FENOL Sriatun, Dimas Buntarto dan Adi Darmawan Laboratorium Kimia Anorganik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beton Beton merupakan bahan bangunan yang dihasilkan dari campuran atas semen Portland, pasir, kerikil dan air. Beton ini biasanya di dalam praktek dipasang bersama-sama

Lebih terperinci

Semen (Portland) padatan berbentuk bubuk, tanpa memandang proses

Semen (Portland) padatan berbentuk bubuk, tanpa memandang proses Semen (Portland) Semen didefinisikan sebagai campuran antara batu kapur/gamping (bahan utama) dan lempung / tanah liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk bubuk, tanpa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Proses penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu; proses pengujian keadaan fisik bahan-bahan beton ( cth : specific gravity, absorpsi, dan kadar air ) serta preparasi benda

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN ABU CANGKANG KELAPA SAWIT GUNA MENINGKATKAN STABILITAS TANAH LEMPUNG

PENGARUH PENGGUNAAN ABU CANGKANG KELAPA SAWIT GUNA MENINGKATKAN STABILITAS TANAH LEMPUNG ISSN : 2598 3814 (Online), ISSN : 141 452 (Cetak) PENGARUH PENGGUNAAN ABU CANGKANG KELAPA SAWIT GUNA MENINGKATKAN STABILITAS TANAH LEMPUNG Jupriah Sarifah, Bangun Pasaribu Program Studi Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Beton Geopolimer Geopolimer adalah bentuk anorganik alumina-silika yang disintesa melalui material yang mengandung banyak Silika (Si) dan Alumina (Al) yang berasal dari alam

Lebih terperinci

( Sumber : Data primer, 2005 )

( Sumber : Data primer, 2005 ) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1 Karakteristik Limbah Katalis Pemeriksaan karakteristik limbah katalis meliputi sifat fisik dan kimia yang disajikan pada Tabel 4.1 dan

Lebih terperinci

Hariadi Aziz E.K

Hariadi Aziz E.K IMMOBILISASI LOGAM BERAT Cd PADA SINTESIS GEOPOLIMER DARI ABU LAYANG PT. SEMEN GRESIK Oleh: Hariadi Aziz E.K. 1406 100 043 Pembimbing: Ir. Endang Purwanti S,M.T. Lukman Atmaja, Ph.D. MIND MAP LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II-1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Materi yang dibahas berdasarkan referensi maupun peraturan mengenai teknologi beton yaitu: Teori beton. Limbah padat (Slag). Silica fume sebagai bahan tambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan. Tanah yang terdiri dari campuran butiran-butiran mineral dengan atau

BAB I PENDAHULUAN. bangunan. Tanah yang terdiri dari campuran butiran-butiran mineral dengan atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Dalam dunia geoteknik tanah merupakansalah satu unsur penting yang yang pastinya akan selalu berhubungan dengan pekerjaan struktural dalam bidang teknik sipil baik sebagai bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. 1. Pengembangan Tanah (Swelling) Lempung Ekspansif tanpa Metode Elektrokinetik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. 1. Pengembangan Tanah (Swelling) Lempung Ekspansif tanpa Metode Elektrokinetik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengembangan Tanah (Swelling) Lempung Ekspansif tanpa Metode Elektrokinetik Hasil pengujian berikut dilakukan sebagai pembanding bagaimana nilai pengembangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik sludge 4.1.1. Sludge TPA Bantar Gebang Sludge TPA Bantar Gebang memiliki kadar C yang cukup tinggi yaitu sebesar 10.92% dengan kadar abu sebesar 61.5%.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung anorganik yang. merupakan bahan utama paving block sebagai bahan pengganti pasir.

METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung anorganik yang. merupakan bahan utama paving block sebagai bahan pengganti pasir. III. METODE PENELITIAN A. Metode Pengambilan Sampel 1. Tanah Lempung Anorganik Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung anorganik yang merupakan bahan utama paving block sebagai bahan pengganti

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS BAB 4 HASIL DAN ANALISIS Sehubungan dengan prekursor yang digunakan yaitu abu terbang, ASTM C618 menggolongkannya menjadi dua kelas berdasarkan kandungan kapur (CaO) menjadi kelas F yaitu dengan kandungan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI A. Beton BAB III LANDASAN TEORI Beton berdasarkan SNI-03-2847-2007 didefinisikan sebagai campuran antara semen, agregat halus, agregat kasar dan air dengan atau tanpa bahan campuran tambahan membentuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. kedua, dan 14 jam untuk Erlenmeyer ketiga. Setelah itu larutan disaring kembali, dan filtrat dianalisis kadar kromium(vi)-nya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. kedua, dan 14 jam untuk Erlenmeyer ketiga. Setelah itu larutan disaring kembali, dan filtrat dianalisis kadar kromium(vi)-nya. 8 kedua, dan 14 jam untuk Erlenmeyer ketiga. Setelah itu larutan disaring kembali, dan filtrat dianalisis kadar kromium(vi)-nya. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Kapasitas Tukar Kation Kapasitas tukar kation

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair mempunyai gaya tarik kearah dalam, karena tidak ada gaya-gaya lain yang mengimbangi. Adanya gayagaya ini

Lebih terperinci

Kriteria Agregat Berdasarkan PUBI Construction s Materials Technology

Kriteria Agregat Berdasarkan PUBI Construction s Materials Technology Kriteria Agregat Berdasarkan PUBI 1987 Construction s Materials Technology Pasir Beton Pengertian Pasir beton adalah butiranbutiran mineral keras yang bentuknya mendekati bulat dan ukuran butirnya sebagian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Umum. Beton non pasir atau sering disebut juga dengan no fines concrete merupakan merupakan bentuk sederhana dari jenis beton ringan, yang dalam pembuatannya tidak menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk merubah karakter permukaan bentonit dari hidrofilik menjadi hidrofobik, sehingga dapat meningkatkan kinerja kitosan-bentonit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dari penelitian ini dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dari penelitian ini dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu hasil BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu hasil pemeriksaan material (bahan-bahan) pembentuk beton dan hasil pengujian beton tersebut. Tujuan dari pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta,merupakan suatu pencarian data yang mengacu pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah lempung merupakan jenis tanah yang memiliki sifat yang kurang menguntungkan jika dijadikan tanah pendukung suatu konstruksi bangunan karena memiliki daya dukung

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO Sifat Umum Lumpur Sidoarjo merupakan lumpur yang keluar dari perut bumi, berasal dari bagian sedimentasi formasi Kujung, formasi Kalibeng dan formasi Pucangan. Sedimen formasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kendaraan bermotor merupakan salah satu alat yang memerlukan mesin sebagai penggerak mulanya, mesin ini sendiri pada umumnya merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Pembentuk Media Pada penelitian kali ini dicoba sebuah media adsorben yang terbuat dari tanah, kapur (CaCO 3 ), dan serbuk kayu. Ketiga komponen tersebut dicampur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran lingkungan oleh logam berat menjadi masalah yang cukup serius seiring dengan penggunaan logam berat dalam bidang industri yang semakin meningkat. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengembangan (swelling) tanah lempung tanpa elektrokinetik Hasil pengujian pengembangan tanah lempung tanpa elektrokinetik dapat dilihat pada Lampiran

Lebih terperinci

TINJAUAN SIFAT PLASTISITAS TANAH LEMPUNG YANG DISTABILISASI DENGAN KAPUR ABSTRAKSI

TINJAUAN SIFAT PLASTISITAS TANAH LEMPUNG YANG DISTABILISASI DENGAN KAPUR ABSTRAKSI TINJAUAN SIFAT PLASTISITAS TANAH LEMPUNG YANG DISTABILISASI DENGAN KAPUR Heru Dwi Jatmoko Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAKSI Tanah merupakan material

Lebih terperinci

TARIF LINGKUP AKREDITASI

TARIF LINGKUP AKREDITASI TARIF LINGKUP AKREDITASI LABORATORIUM BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG BIDANG PENGUJIAN KIMIA/FISIKA TERAKREDITASI TANGGAL 26 MEI 2011 MASA BERLAKU 22 AGUSTUS 2013 S/D 25 MEI 2015 Bahan Atau Produk Pangan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR LAPINDO DALAM CAMPURAN BETON NORMAL

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR LAPINDO DALAM CAMPURAN BETON NORMAL Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010 PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR LAPINDO DALAM CAMPURAN BETON NORMAL Jonie Tanijaya 1 dan Mardiana Oesman 2 1 Program Studi Teknik Sipil,

Lebih terperinci

BAB II ZAT DAN WUJUDNYA

BAB II ZAT DAN WUJUDNYA BAB II ZAT DAN WUJUDNYA Zat adalah : Sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa. Wujud zat ada 3 macam : padat, cair, dan gas 1. MASSA JENIS ZAT ( ) Yaitu perbandingan antara massa dan volume zat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbawa selama proses pengendapan. Pasir kuarsa yang juga dikenal dengan nama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbawa selama proses pengendapan. Pasir kuarsa yang juga dikenal dengan nama BAB II TINJAUAN PUSTAKA Siregar (2014) menyebutkan pasir kuarsa adalah bahan galian yang terdiri dari atas kristal-kristal silika (SiO 2 ) dan mengandung senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stabilisasi Tanah dengan Abu Sekam Padi dan Kapur Abu sekam padi (rice husk ash) merupakan sisa pembakaran tanaman padi dan salah satu bahan pozzolan yang memiliki potensi sebagai

Lebih terperinci

VARIASI TANAH LEMPUNG, TANAH LANAU DAN PASIR SEBAGAI BAHAN CAMPURAN BATU BATA. Elianora*), M. Shalahuddin, Aljirzaid

VARIASI TANAH LEMPUNG, TANAH LANAU DAN PASIR SEBAGAI BAHAN CAMPURAN BATU BATA. Elianora*), M. Shalahuddin, Aljirzaid Jurnal Teknobiologi, 1(2) 2010: 34-46 ISSN : 2087-5428 VARIASI TANAH LEMPUNG, TANAH LANAU DAN PASIR SEBAGAI BAHAN CAMPURAN BATU BATA Elianora*), M. Shalahuddin, Aljirzaid Fakultas Teknik Universitas Riau,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. PENDAHULUAN Berdasarkan penjelasan tentang metode penelitian pada Bab I, akan dijelaskan lebih rinci mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Metode penelitian

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Uraian Umum Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental yang dilaksanakan di Laboratorium Bahan Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Tanah secara umum didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain

Lebih terperinci

Pemeriksaan Gradasi Agregat Halus (Pasir) (SNI ) Berat Tertahan (gram)

Pemeriksaan Gradasi Agregat Halus (Pasir) (SNI ) Berat Tertahan (gram) Lampiran 1 Pemeriksaan Gradasi Agregat Halus (Pasir) (SNI 03-1968-1990) 1. Berat cawan kosong = 131,76 gram 2. Berat pasir = 1000 gram 3. Berat pasir + cawan = 1131,76 gram Ukuran Berat Tertahan Berat

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Persen lolos saringan (%) 89 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Bahan Dasar Material Pengujian bahan dan benda uji dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan standar pengujian yang

Lebih terperinci

Efek Substitusi Semen dengan Limbah Padat Industri Pupuk PT. Petrokimia terhadap Kuat Lentur Genteng Beton di PT.

Efek Substitusi Semen dengan Limbah Padat Industri Pupuk PT. Petrokimia terhadap Kuat Lentur Genteng Beton di PT. Efek Substitusi Semen dengan Limbah Padat Industri Pupuk PT. Petrokimia terhadap Kuat Lentur Genteng Beton di PT. Varia Usaha Beton Oleh : Yultino Syaifullah F 3110030087 M. Rohim Lathiif 3110030091 Pembimbing

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN

BAB III PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN BAB III PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan yang di gunakan dalam pembuatan sampel bata skala lab adalah : 1. Lumpur Sidoarjo yang sudah dipasahkan dan dikeringkan dari airnya, 2. Lempung

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Beton Berdasarkan SNI 03 2847 2012, beton merupakan campuran dari semen, agregat halus, agregat kasar, dan air serta tanpa atau dengan bahan tambah (admixture). Beton sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

Judul Tugas Akhir STABILISASI LIMBAH MENGANDUNG Cu DENGAN CAMPURAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT

Judul Tugas Akhir STABILISASI LIMBAH MENGANDUNG Cu DENGAN CAMPURAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT Judul Tugas Akhir STABILISASI LIMBAH MENGANDUNG Cu DENGAN CAMPURAN SEMEN PORTLAND DAN BENTONIT Oleh Komang Ritayani 3310100054 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum, M. App. Sc Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Upaya stabilisasi yang dapat diambil salah satunya adalah dengan menstabilisasi tanah lempung dengan cara kimia sehingga kekuatan dan daya dukung tanah dapat

Lebih terperinci

V. HASIL PENELITIAN. Tabel V-1 Hasil analisa fly ash Analisis kimia Satuan Fly ash Pasaran

V. HASIL PENELITIAN. Tabel V-1 Hasil analisa fly ash Analisis kimia Satuan Fly ash Pasaran V. HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil analisa material Material-material yang akan digunakan dalam penelitian ini telah dilakukan pengujian sifat propertiesnya untuk mengetahui apakah material tersebut memenuhi

Lebih terperinci