CHOICE OF FORUM & CHOICE OF LAW DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL: STUDY KASUS YASMINA - THE WORLD FOOD PROGRAMME (WFP)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "CHOICE OF FORUM & CHOICE OF LAW DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL: STUDY KASUS YASMINA - THE WORLD FOOD PROGRAMME (WFP)"

Transkripsi

1 CHOICE OF FORUM & CHOICE OF LAW DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL: STUDY KASUS YASMINA - THE WORLD FOOD PROGRAMME (WFP) 1

2 DAFTAR ISI Kata Pengantar..... Daftar Peristilahan Daftar Lampiran... Daftar Isi.. i ii iii iv BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Pemilihan Judul 1 B. Pokok-pokok Permasalahan... 2 C. Metode Penelitian... 4 D. Kerangka Landasan Teori.. 5 E. Kerangka Konsepsional. 11 F. Sistematika Penulisan. 13 BAB II T1NJAUAN UMUM TERHADAP KAIDAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL 15 YANG TERKAIT DENGAN KONTRAK YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING. A. Tinjauan Umum Hukum Perdata Internasional (HPI) Pengertian Hukum Perdata Internasional (HPI) 15 Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional (HPI) 16 Tahap-Tahap Pemeriksaan suatu Perkara Hukum Perdata Internasional (HPI).... B. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselisihan yang Timbul dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing 1. Pilihan Forum 2. Pilihan Forum Pengadilan. 3. Pilihan Forum Arbitrase a. Pengertian Arbitrase b. Perumusan Klausula Arbitrase c. Jenis-JenisArbitrase. d. UNCITRAL Arbitration Rules (UAR).... e. Kewenangan Mengadili.. 4. Prinsip-Prinsip yang Berkaitan dengan Kewenangan Mengadili C. Hukum yang Berlaku (Lex Causae) dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing (Foreign Elements) Pilihan Hukum (Choice of Law) 2. Teori Lex Loci Contractus

3 3. Teori Lex Loci Solutionis.. 4. Teori The Proper Law of The Contract 5. Teori The Most Characteristic Connection BAB III ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA THE WORLD FOOD PROGRAMME (WFP) DAN DAN YAYASAN ASPIRASI MUSLIMAH INDONESIA (YASMINA)... A. Ketentuan-Ketentuan yang Disepakati dalam Kontrak B. Klausula dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing... C. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin Timbul dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina adalah Arbitrase D. Hukum yang Berlaku untuk Mengatur dan Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin Timbul dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina Ditentukan oleh Forum Arbitrase... Teori Lex Loci Contractus... Teori Lex Loci Solutionis. Teori The Proper Law of Contract... Teori The Most Characteristic Connection BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 72 A. Kesimpulan.. 72 B. Saran. 72 DAFTAR PUSTAKA 74 Lampiran I Contract Between The World Food Programme (WFP) And Yasmina-Regarding The Implementation Of Community Development Project Under The OPSM Trust Fund During The Period 1 Feruary 2005 to 30 June Lampiran II Panduan Teknis untuk Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM)... Lampiran III UNCITRAL Arbitration Rules 3

4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Judul Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah termasuk dalam kelompok hukum privat. Karena menyangkut hukum privat, maka HPI tersebut juga mengatur hubungan hukum antar pihak dalam suatu kontrak yang timbul dari hukum perikatan. HPI memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar yurisdiksi dalam satu negara. HPI adalah hukum perdata untuk hubungan-hubungan internasional. Pengertian internasional bukan diartikan sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing (foreign element). 1 Dipilihnya Kontrak Contract Between The World Food Programme (WFP) And Yasmina-Regarding The Implementation Of Community Development Project Under The OPSM Trust Fund During The Period 1 February 2005 to 30 June sebagai objek analisis dalam paper ini adalah karena kontrak ini dapat dikategorikan sebagai kontrak yang mengandung unsur-unsur asing (foreign elements). Oleh karena itu, apabila timbul perselisihan antara WFP dan Yasmina, dalam hal ini merupakan bidang kajian dari HPI, yang akan menjawab persoalan-persoalan mengenai forum mana yang berwenang mengadili jika terjadi perselisihan antara para pihak dan hukum 3 mana yang akan dipergunakan jika terjadi perselisihan antara para pihak. Pada prinsipnya, forum yang berlaku didasarkan pada pilihan forum para pihak. Pilihan forum yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu. 1 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, 1987, hlm Selanjutnya disebut kontrak antara WFP dan Yasmina. 3 Hukum yang dimaksud dalam konteks ini adalah hukum materil suatu negara tertentu sesuai dengan pilihan hukum atau yang dirujuk sesuai dengan kaidah-kaidah HPI. 4

5 Selain dikenal adanya pilihan forum, di dalam suatu kontrak yang mengandung unsur-unsur asing, dikenal pula pilihan hukum. Oleh karena itu, manakala terjadi perselisihan antara para pihak, hukum yang akan dipergunakan adalah pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak. Namun, adakalanya dalam suatu kontrak, para pihak tidak mengadakan pilihan hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dapat digunakan bantuan titik-titik taut penentu atau titik-titik taut sekunder yang penggunaannya tergantung pada teori yang dianut oleh negara hakim yang bersangkutan. Dalam salah satu klausula kontrak antara WFP dan Yasmina disebutkan bahwa manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah pihak. Selain itu, disebutkan pula apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan Arbitration Rules dari United Nations Commision on Internasional Trade Law 4. Dengan demikian, ketentuan beracara arbitrase antara WFP dan Yasmina didasarkan pada UNCITRAL Arbitration Rules. Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada pertimbangan bahwa cara tersebut lebih menguntungkan kedua belah pihak, mengingat hubungan kerjasama bersifat perdata dan merupakan hubungan antar lembaga. Selain itu, dikarenakan WFP masih di bawah naungan PBB maka aturan arbitrase yang dipakai adalah aturan arbitrase yang diakui oleh lembaga tersebut, yang dalam hal ini adalah UNCITRAL Arbitration Rules. Berkaitan dengan hal di atas, masih terdapat suatu pertanyaan tentang hukum manakah yang akan dipergunakan manakala terjadi sengketa antara WFP dan Yasmina. Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules dalam penyelesaian sengketanya, maka jawaban pertanyaan di atas dapat kita telusuri dari ketentuan-ketentuan hukum acara dalam UNCITRAL Arbitration Rules. Pasal 33 paragrap (1) UNCITRAL Arbitration Rules disebutkan: 4 Selanjutnya disebut UNCITRAL Arbitration Rules. 5

6 The arbitral tribunal shall apply the law designated by the parties as applicable to the substance of the dispute. Failing such designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable. Selanjutnya dalam Pasal 16 UNCITRAL Arbitration Rules sisebutkan: Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the circumstances of the arbitration. Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum yang dipergunakan oleh panitia arbitrase, yang pertama-tama adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak sendiri dan apabila pilihan hukum tersebut tidak ada, maka panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang dianggap harus diperlakukan oleh panitia arbitrase. Selanjutnya, panitia arbitrase dapat menentapkan tempat arbitrase di dalam wilayah negara yang sudah disepakati oleh para pihak dan dapat mendengar keterangan saksi dan mengadakan pertemuan untuk berkonsultasi antara sesama anggota dimanapun yang dianggap pantas dengan mempertimbangkan segala keadaan sekitar arbitrase. Persoalannya, UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase berkenaan dengan rules itu, sehingga para pihak dapat memilih arbitrase ad hoc atau arbitrase institusional untuk menyelesaikan sengketanya, yang dalam melaksanakan fungsinya akan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules. 5 Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas secara singkat, maka penulis akan menyoroti klausula-klausula yang terdapat dalam Kontrak anrata WFP dan Yasmina untuk mencari forum manakah yang berwenang dan hukum manakah yang berlaku manakala timbul perselisihan antara WFP dan Yasmina. B. Pokok-Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan, sebagai berikut: 5 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Intemasional dalam Transaksi Bisnis Intemasional, Refika Aditama, Bandung, 1997, hlm

7 1. Forum manakah yang berwenang menyelesaikan apabila timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina? 2. Hukum manakah yang akan mengatur dan menyelesaikan apabila timbul persetisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina? C. Metode Penelitian Metode Penelttian yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UNCITRAL Arbitration Rules, pasalpasal dalam kontrak antara WFP dan Yasmina, kaidah-kaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional. 2. Spesifikasi penelitian Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa deskriptif analitis yaitu untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai kaidah-kaidah penyelesaian sengketa HPI dalam bidang hukum kontrak dan kaidah-kaidah hukum acara perdata internasional. 3. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum, yaitu: 1) Bahan hukum primer, berupa peraturan mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UNCITRAL Arbitration Rules, yurisprudensi HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional. 7

8 2) Bahan hukum sekunder, berupa kontrak antara WFP dan Yasmina, doktrin para ahli yang berkaitan dengan bidang hukum kontrak dan, hukum acara perdata internasional, buku atau bahan-bahan yang terkait mengenai kaidahkaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional, serta bahan lain dari situs-situs internet. 3) Bahan hukum tersier, berupa kamus-kamus yang memberikan pengertianpengertian dasar yang menunjang. 4. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian yang ada dikumpulkan dengan teknik studi pustaka (library research), yaitu melakukan penelitian dokumen-dokumen yang menyangkut kaidahkaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan ketentuan-ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules guna mendapatkan landasan-landasan teoritis. Selain itu, penulis juga melakukan penelusuran data-data mengenai Yasmina, dan WFP, UNCITRAL, dan makalah-makalah pada situs-situs di internet. 5. Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode yuridis kualitatif, karena dari data yang diperoleh selanjutnya disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas tanpa mempergunakan rumus dan angka-angka. D. Kerangka Landasan Teori Dalam hal terdapat fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut mengandur unsur-unsur asing, maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI. Suatu kasus akan menjadi kasus HPI apabila terdapat sekumpulan fakta hukum yang mengandung unsur-unsur asing di dalamnya. Fakta-fakta ini dalam HPI disebut sebagai Titik Pertalian 8

9 Primer (TPP). 6 TPP tersebut diantaranya: 7 1. Kewarganegaraan; 2. Bendera kapal; 3. Domisili; 4. Tempat kediaman; 5. Tempat kedudukan badan hukum; 6. Pilihan hukum dalam hubungan intern. Hal tersebut juga berlaku dalam bidang hukum kontrak. Suatu kontrak merupakan bidang kajian HPI apabila mengandung foreign elements didalamnya. HPI pada prinsipnya harus menjawab pertanyaan: forum manakah yang berwenang mengadili dan hukum manakah yang harus diberlakukan. HPI adalah ilmu mengenai hukum yang harus diberlakukan (Internationaal privaatrecht is rechtstoepassingsrecht/applicable law/rechtstoepassingsrecht), hukum yang harus dipergunakan menurut istilah van Zevenbergen. Hukum untuk mempergunakan hukum, hukum di antara tata hukum, hukum yang mengatur, hukum manakah yang harus kita pilih di antara tata-tata hukum masingmasing, itulah HPI. 8 Pada prinsipnya, mengenai persoalan forum mana yang berhak untuk mengadili didasarkan pada pilihan forum para pihak. Para pihak mempunyai kebebasan untuk memilih forum manakah yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak, baik melalui forum pengadilan suatu negara tertentu atau suatu badan arbitrase tertentu. Dalam hal para pihak tidak mengadakan pilihan forum, maka untuk menentukan suatu forum mempunyai kompetensi atau tidak, ditentukan berdasarkan Pasal 118 Met 6 Bayu Seto, Dasar-Dasar HPI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm Sudargo Gautama, Pengantar Ibid, hlm Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar..., hlm

10 Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal (woonplaats) si tergugat (actor sequitor forum rei), atau jika tidak ada tempat tinggal, tempat ia sebenarnya berada (werkelijk verblijf). 9 Jika terdapat lebih dari satu tergugat, maka dapat diajukan gugatan pada pengadilan negeri dari tempat tinggal (kediaman) salah satu tergugat. 10 Kemudian jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat penggugat (forum actoris). Selain itu, apabila gugatan berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak (forum rei sitae). 11 Berkaitan dengan uraian di atas, yang diutamakan ialah prinsip penyampaian gugatan di tempat tinggal (beradanya) pihak tergugat. Kewenangan untuk mengadili ini didasarkan pertama-tama atas the basis of presence, yakni bahwa pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda-benda yang berada di dalam batas-batas wilayahnya. 12 Prinsip presence dari pihak tergugat, yang tak dapat dirugikan dalam pembelaannya, membawa kepada pilihan dari pengadilan tempat tinggal tergugatlah, sebagai yang berwenang. 13 Principle of effectiveness pun memegang peranan penting, di samping pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan sewajarnya terhadap semua orang yang mencari keadilan. Prinsip efektivitas berarti, bahwa pada umumnya hakim hanya akan memberi putusan yang pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak. 9 Sudargo Gautama, Hukum Perdata fnternasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8). Alumni, Bandung, 2002, hlm Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. hlm Ibid. 10

11 Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan di mana pihak tergugat (dan benda-bendanya) berada. 14 Selain itu, prinsip forum of conveniens pun perlu diperhatikan. Prinsip ini mengemukakan bahwa forum yang berwenang harus menguntungkan tergugat. 15 Dalam hal ini, penggugat tidak boleh menyulitkan tergugat dengan mengajukan gugatan di tempat yang tidak mempunyai hubungan dengan perkara, sehingga tidak akan ada kesulitan dalam pengumpulan bukti-bukti yang dibutuhkan. Selain pemilihan forum pengadilan suatu negara tertentu, para pihak dapat memilih arbitrase sebagai pilihan forumnya. Bilamana para pihak telah memilih forum arbitrase baik melalui sistem factum de compromitendo 16 maupun akta kompromis 17, maka arbitrase memiliki kewenangan atau kompetensi absolut untuk menyelesaikan perkaranya. Berkaitan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, pada Article 10, disebutkan bahwa manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah pihak. Apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules. Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules, maka penyelesaian sengketa ini akan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari UNCITRAL Arbitration Rules yang diklasifikasikan atas empat bagian, yaitu : 1. Ketentuan pengantar (intoductory rules), Pasal 1-4 UNCITRAL Arbitration Rules; 2. Komposisi Arbitrase (composition of the arbitral tribunal), Pasal 5-14 UNCITRAL Arbitration Rules; 14 Ibid. 15 Ibid, hlm Sebelum terjadi sengketa diantara para pihak, telah dimasukkan atau dibuat klausula arbitrase di dalam kontrak yang bersangkutan. Lihat Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm Apabila di dalam suatu kontrak yang dibuat para pihak tidak terdapat klausula arbitrase, kemudian terjadi sengketa atau perselisihan, dan mereka sepakat menyelesaikannya melalui arbitrase, maka kesempatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus dituangkan dalam perjanjian tersendiri. Lihat, Ibid, hlm

12 3. Proses Pemeriksaan (arbitral proceeding), Pasal UNCITRAL Arbitration Rules; 4. Keputusan Arbitrase (the award), Pasal UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase (arbitration institution) berkenaan dengan rules itu. Oleh karena itu, maka para pihak dapat memilih arbitrase ad hoc atau lembaga arbitrase (arbitral institution) yang ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase bersangkutan. Lembaga arbitrase ini dalam hal demikian akan memakai kaedah-kaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu akan merupakan suatu arbitrase ad hoc yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase yang sudah ada (administered ad hoc arbitration). 18 Mengenai masalah tempat arbitrase, pada prinsipnya akan dilakukan di tempat yang telah dimusepakati para pihak. Namun, apabila para pihak tidak mengadakan pilihan, maka panitia arbitrase yang akan menentukan tempat itu dan dalam hal ini maka akan diperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini (circumstances of arbitration). 19 Selain masalah forum manakah yang berwenang mengadili, timbul masalah lain berkaitan dengan hukum (materiil) mana yang akan berlaku adalah hukum yang dipilih sendiri oleh para pihak. Pilihan hukum dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka. 20 Namun, dalam keadaan para pihak tidak mengadakan pilihan hukum, dapat digunakan bantuan teori-teori HPI sesuai dengan yang dianut oleh negara hakim yang bersangkutan Sudargo Gautama, op.cit, Arbitrase Dagang International, hlm Pasal 16 UNCITRAL Arbitration Rules : (1) Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the circumstances of the arbitration. (2) The arbitral tribunal may determine the locale of the arbitration within the country agreed upon the parties. It may hear witnesses and hold meetings for consultation among its members at any place it deems appropriate, having regard to the circumstances of the arbitration. 20 Sudargo Gautama, op. cit, hal 5, lihat pula Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,1987, hlm Ibid. 12

13 Dalam HPI terdapat beberapa teori dalam menentukan hukum mana yang berlaku dalam suatu kontrak, yaitu : 1. Teori Lex Loci Contractus Menurut teori klasik lex loci contractus, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasionai adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak dibuat. 22 Dalam hal ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasionai adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak itu ditandatangani oleh para pihak. 2. Teori Lex Loci Solutionis Sebagai variasi terhadap teori lex loci contractus dikemukakan pula adanya teori lex loci solutionis, Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan Teori The Proper Law of The Contract Menurut Morris, the proper law suatu kontrak adalah sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, atau jika kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi Teori The Most Characteristic connection. Dalam teori ini kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang paling karakteristik merupakan tolak ukur penentuan hukum yang akan mengatur perjanjian itu. 25 Dengan demikian, dasar analisis penulis dalam melakukan kajian terhadap 22 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasionai Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm Ibid., hlm Ibid. 25 Ibid., hlm

14 forum manakah yang berwenang mengadili dan hukum negara manakah yang akan dipergunakan manakala timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina, bertitik tolak pada hal-hal yang telah diutarakan di atas. E. Kerangka Konsepsional Berikut ini akan diuraikan konsep-konsep yang akan dipergunakan dalam penelitian ini dengan tujuan menghindarkan perbedaan pengertian dan memperoleh pemahaman yang sama. Istilah-istilah tersebut tersebut: 1. HPI Istilah HPI yang digunakan dalam paper ini mengacu pada istilah Private International Law, International Private Law, Internationales Privaatrecht, Droit International Prive, Dirritto Internazionale Privato. 26 HPI didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubunganhubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal. 27 Dengan demikian, pengertian internasional bukan diartikan sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing (foreign element) Pilihan Hukum Pilihan hukum diartikan sebagai kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka. 29 Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan 26 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan JawahirThontowi, op.cit. hlm Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar, hlm Bandingkan dengan Ibid, hlm Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1987, hal

15 pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat. 3. Pilihan Forum Pilihan forum ini dumaksudkan bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak. Menurut Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional. Pilihan forum dalam hal ini tidak berlaku bagi: status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau hakhak pribadi atau finansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri; 2. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir a; 3. warisan; 4. kepailitan; 5. hak-hak atas benda tidak bergerak 4. UNCITRAL Arbitration Rules UNCITRAL Arbitration Rules adalah kaidah-kaidah yang mengatur apa yang dinamakan ad hoc arbitration. Arbitrase secara ad hoc ini adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan oleh suatu atau melatui suatu badan lembaga arbitrase tertentu (institutional abitration). Para pihak dapat menunjuk kepada kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan cara memasukkan arbitration clause di dalam kontrak mereka. Arbitration clause ini menyatakan secara tegas bahwa semua sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan kontrak mereka ini akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara arbitrase sesuai dengan ketentuanketentuan UNCITRAL Arbitration Rules. 31 F. Sistematika Penulisan 30 Sudargo Gautama, op.cit,...buku ke-8, hlm Sudargo Gautama, op.ctf, Arbitrase Dagang Internasional, hlm

16 Untuk memberikan gambaran yang komprehensif, penulis akan menyusun sistematika penulisan paper ini sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud dan tujuan, kegunaan penetitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONTRAK YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING Bab ini akan membahas mengenai aspek-aspek hukum secara umum yang terkait dengan kontrak yang mengandung unsur asing, sebagai landasan dalam menganalisis Kontrak antara WFP dan Yasmina pada bab selanjutnya. Aspek-aspek hukum tersebut meliputi pengertian HPI, ruang lingkup HPI, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI, forum yang berwenang mengadili dikaitkan dengan pilihan forum, pilihan forum pengadilan, pilihan forum arbitrase (pengertian arbitrase, perumusan klausula arbitrase, jenis-jenis arbitrase, Uncitral Arbitration Rules, kewenangan mengadili (forum rei, forum actoris, forum rei sitae), prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili (the basis of presence, principle of effectiveness, dan forum of conveniens), teori-teori HPI untuk menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak internasional ( yaitu teori lex loci contractus, teori lex loci solutionis, teori the proper law of contract, teori the most characteristic connection). BAB III ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA WFP DAN YASMINA Bab ini akan menguraikan tentang unsur-unsur asing yang terdapat dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina, forum yang berwenang mengadili dikaitkan dengan pilihan forum, klausula arbitrase (Article 10 Kontrak antara WFP dan Yasmina), ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu juga menguraikan tentang hukum yang berwenang untuk menyelesaikan dan mengatur apabila timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina dikaitkan dengan teori-teori HPI dalam 16

17 menentukan hukum yang berlaku (pilihan hukum, teori lex loci contractus, teori lex loci solutionis, teori the proper law of the contract, dan teori the most characteristic connection). BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Sebagai bab terakhir maka di dalamnya akan dirumuskan secara singkat, padat dan jelas, hal-hal yang dapat disimpulkan dan juga saran dari hasil penelitian paper ini. Kesimpulan ini akan menjawab pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya akan disampaikan saran sebagai tindak lanjut dan perbaikan yang perlu berdasarkan pembelajaran dari kasus yang diteliti. 17

18 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KAIDAH HPI YANG TERKAIT DENGAN KONTRAK YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING A. Tinjauan Umum HPI Meningkatnya hubungan internasional berpengaruh pada semakin kompleks dan beragamnya pola-pola hubungan hukum antar manusia dalam lingkup internasional. Dengan demikian, sistem hukum atau aturan-aturan hukum dari suatu negara berdaulat seringkali dihadapkan pada masaiah-masalah hukum yang tidak sepenuhnya bersifat interndomestik, melainkan menunjukkan adanya kaitan dengan unsur-unsur asing. 32 Hubungan/peristiwa hukum yang mengandung unsur-unsur yang melampaui batasbatas teritorial negara atau unsur-unsur transnasional itulah yang diatur oleh bidang hukum yang dikenal dengan sebutan HPI. 1. Pengertian HPI Dalam bukunya Pengantar HPI Indonesia, Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal. 33 Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian internasional bukan diartikan sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus 32 Bayu Seto, op.cit., hlm.2 33 Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar, hlm

19 diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing. 34 Unsur-unsur inilah yang menjadikan hubungan-hubungan tersebut menjadi internasional (obyeknyalah yang internasional), sedangkan kaidah-kaidah HPI adalah hukum perdata nasional. Dengan demikian, masing-masing negara yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri, sehingga akan dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda, dan sebagainya Ruang Lingkup HPI (HPI) Menurut Sudargo Gautama, ruang lingkup HPI, yaitu : 36 a. HPI = rechtstoepassingsrecht HPI hanya terbatas pada masalah hukum yang diberlakukan (rechtstoepassingsrecht). Pandangan yang demikian ini merupakan pandangan yang tersempit sehubungan dengan ruang lingkup HPI. Sistem semacam ini dianut oleh HPI Jerman dan Belanda. b. HPI = choice of law + choice of jurisdiction Menurut sistem ini, HPI tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan masalah hukum yang diberlakukan (conflict of laws atau lebih tepatnya choice of law), tetapi mencakup pula persoalan-persoalan mengenai hakim manakah yang berwenang (conflict of jurisdiction atau lebih tepat choice of jurisdiction), yakni persoalan tentang kompetensi atau wewenang hakim. Sistem HPI yang lebih luas ini dikenal di Inggris, Amerika Serikat,, dan negara-negara Anglo Saxon lainnya. c. HPI = choice of law + choice of jurisdiction + condition des etrangers Dalam sistem ini HPI tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum dan pilihan forum, tapi juga menyangkut status orang asing (condition des etranger, vreemdelingen-statuut). Sistem semacam ini dikenal di negara-negara latin, yaitu Italia, Spanyol, dan negara-negara Amerika Selatan. 34 Bandingkan dengan Ibid, hlm Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan JawahirThontowi, op.cit, hlm Sudargo Gautama, op.cit., Pengantar..., hlm

20 d. HPI = choice of law + choice of jurisdiction + condition des etrangers + nationalite Menurut sistem ini, HPI menyangkut persoalan choice of laws, choice of jurisdiction, status orang asing, dan kewarganegaraan (nationalite). Masalah kewarganegaraan ini menyangkut persoalan tentang cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Sistem yang luas ini dikenal dalam HPI Perancis dan juga dianut kebanyakan penulis HPI. Selain itu, beberapa sarjana HPI seperti Sunaryati Hartono 37 dan Bayu Seto 38 mengemukakan bahwa yang termasuk dalam masalah-masalah pokok HPI, yaitu : a. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkaraperkara hukum yang mengandung unsur asing. b. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan/atau menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing. c. Bilamana/sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan hukum asing atau mengakui hak-hak yang terbit berdasarkan hukum atau putusan pengadilan asing. 3. Tahap-Tahap Pemeriksaan suatu Perkara HPI Untuk menjelaskan bagaimana tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI akan dikemukakan contoh sebagai berikut: Kontrak kerja sama antara sebuah Yayasan di Indonesia dengan WFP, yang merupakan badan PBB, bermarkas besar di Roma, Italia dan memiliki beberapa kantor perwakilan, yang salah satunya di Jakarta, Indonesia. Kontrak ditandatangani di Jakarta. Dalam hal ini Yayasan tersebut mempunyai kewajiban untuk membangun fasilitas sanitasi umum, sedangkan pihak WFP memberikan bantuan dana, yang dilakukan dengan transfer antar bank melalui kantor perwakilannya di Indonesia. Namun, setelah dana dikirimkan, yayasan tersebut tidak 37 Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Intemasional, Putra A. Bardin, Bandung, 2001, hlm Bayu Seto, op.cit, hlm

21 memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pembangunan fasilitas sanitasi umum pada waktunya. Dalam kontrak kerja sama tersebut para pihak memilih forum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Menurut Sunaryati Hartono, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI, yaitu: 39 a. Jika dengan bantuan TPP diketahui terdapat suatu perkara HPI, maka pertama-tama harus ditentukan: pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan. Dalam tahap ini, terdapat persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta hukum yang mengandung unsur-unsur asing. Contoh di atas menunjukkan adanya kaitan antara fakta-fakta yang ada di perkara dengan suatu negara dan juga sistem hukum negara-negara tertentu, yaitu : 1) Status badan hukum Yayasan (Indonesia); 2) Status hukum WFP (Italia); 3) Tempat kontrak ditandatangani (Indonesia); 4) Tempat dilaksanakannya pembangunan fasilitas sanitasi umum (Indonesia); 5) Tempat dilakukannya pemberian dana melalui transfer antar bank (Indonesia); 6) Tempat perkara diajukan/forum (Indonesia); 7) Bahasa dalam kontrak yang digunakan (Inggris). Fakta-fakta tersebut dalam HPI disebut TPP. TPP adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI. 40 TPP menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa HPI, dan bukan suatu peristiwa intern nasional. Oleh sebab itu maka TPP 39 Sunaryati Hartono, op.cit, hlm Lihat juga Bayu Seto, op. cit, hlm Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar..., hlm.25 21

22 juga dinamakan titik taut pembeda. 41 Selanjutnya, sebagai akibat dari adanya unsur-unsur asing tersebut, kemudian harus ditentukan forum yang memiltki kewenangan untuk memeriksa perkara. Dalam hal ini karena para pihak memilih forum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka HPI dan Hukum Acara Indonesia yang akan beriaku baginya. Dalam hal para pihak memilih arbitrase sebagai pilihan forumnya, maka hukum formil yang mengatur prosedur arbitrase ini adalah hukum dari tempat dimana arbitrase ini dilakukan. Misalnya saja para pihak mengadakan arbitrase di Indonesia, maka ketentuan beracara mereka akan menggunakan hukum acara Indonesia. b. Tingkat yang kedua selanjutnya adalah menentukan mengenai persoalan apakah perkara HPI tersebut. Pada tahap ini dilakukan kualifikasi (dari fakta-fakta). Oleh karena pada tahap ini baru diketahui lex fori-nya 42, maka pengkualifikasian dilakukan menurut lex fori, Dari contoh di atas, maka hakim Indonesia harus terlebih dahulu melakukan kualifikasi fakta 43 yang pada dasarnya merupakan upaya untuk menentukan kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara dan menentukan kualifikasi hukum 44 dari pokok perkara berdasarkan kategori yuridis yang dikenal hakim (berdasarkan kategori yuridis yang dikenal di dalam lex fori). Dalam hal ini, hakim Indonesia mengkualifikasikan sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara tersebut, selanjutnya berdasarkan kualifikasi hukum yang dikenal di dalam hukum Indonesia, perkara dikualifikasikan sebagai gugatan wanprestasi dalam kontrak. c. Usaha selanjutnya adalah mencari hukum mana yang berlaku (lex causae). Dalam 41 Sunaryati Hartono, op. cit, hlm Lex fori adalah sistem hukum dari tempat dimana persoalan hukum diajukan sebagai perkara. Dengan kata lain, lex fori adalah hukum dari forum tempat perkara diselesaikan. Lihat Bayu Seto, op.cit, hlm Kualifikasi fakta adalah proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta di dalam sebuah peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issues), sesuai dengan klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam suatu sistem hukum tertentu. Lihat Ibid, hlm Kualifikasi hukum adalah penetapan tentang penggolongan/pembagian seluruh kaidah hukum di dalam sebuah sistem hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan, atau kategori hukum tertentu. Ibid, hlm

23 tahap ini harus dicari titik-titik pertalian sekunder (TPS) yang dilakukan berdasarkan lex fori, oleh karena sampat tahap ini belum ada sistem hukum lain yang ditemukan. TPS adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. 45 IPS seringkali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan (lex causae) dalam penyelesaian suatu perkara. 46 Dalam praktik, terkadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka usaha selanjutnya diteruskan menurut lex fori. Selain itu, terkadang lex causae ditentukan oleh tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus), tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis), dan lain-lain. Sejalan dengan butir b di atas, misalnya kaidah HPI yang harus digunakan adalah kaidah HPI lex fori (Indonesia) tentang pelaksanaan kontrak, yang rumusannya sebagai berikut: "Masalah-masalah hukum yang timbuldari pelaksanaan suatu kontrak (ini adalah kategori perkara hasil kualifikasi) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana kontrak itu dilaksanakan. Dengan demikian, karena fakta dalam perkara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan kontrak (pembangunan sanitasi umum dan pemberian dana) adalah di Indonesia, maka hukum Indonesia-lah yang harus dianggap sebagai lex causae. Artinya, kaidah-kaidah hukum perdata intern Indonesia-lah yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara hukum yang sedang dihadapi. d. Setelah lex causae diketahui, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI selanjutnya dilakukan menurut lex causae. Dihubungkan dengan contoh di atas, hakim akan memutus perkara tentang wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUH Perdata). Namun, apabila lex causae memberi hasil yang : 1) Bertentangan dengan ketertiban umum lex fori, maka lex fori-lah yang berlaku; atau 45 Sunaryati Hartono, op.cit, hlm, Bayu Seto, op.cit, hlm

24 2) Jika lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan. B. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselislhan yang Timbul dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing Yurtsdiksi suatu forum di dalam HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan suatu forum untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan. 47 Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional, suatu forum harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan. 48 Mengenai persoalan forum mana yang berhak untuk mengadili harus diperhatikan masalah pilihan forum (forum pengadilan atau forum arbitrase), kewenangan mengadili dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili. 1. Pilihan Forum Di dalam suatu kontrak internasional, selain dikenal adanya pilihan hukum (choice of law) juga dikenal adanya pilihan forum (choice of forum). Pilihan forum ini bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak. Menurut Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi: 49 a. status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau fmansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri; 47 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahif Thontowi, op.cit, hlm Ibid. 49 Sudargo Gautama, op.cit,...buku ke-8, hlm

25 b. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir a; c. warisan; d. kepailitan; e. hak-hak atas benda tidak bergerak Pilihan forum yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu pengadilan di negara tertentu, juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang tidaknya ia mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti ktausula pilihan forum yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan. 50 Bilamana hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung unsur asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk pada badan arbitrase lain, tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. 51 Demikian juga apabila di dalam suatu kontrak itu para pihak ternyata memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri Pilihan Forum Pengadilan Penyelesaian sengketa melalui forum pengadilan adalah suatu pola penyelesaian melalui proses gugatan atas suatu sengketa yang diritualisasikan untuk menggantikan sengketa sesungguhnya, melalui persidangan-persidangan untuk diperiksa oleh hakim, 50 Bandingkan dengan Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi op.cit, hlm Ibid. 52 Ibid. hlm

26 dengan putusannya yang bersifat mengikat. 53 Para pihak dapat melakukan pilihan forum pada pengadilan untuk menyelesaikan sengketanya, dengan mencantumkan klausula dalam kontrak. Misalnya saja para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York, maka dalam hal ini District of Court New York-lah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Pada umumnya para pihak dianggap mempunyai kebebasan untuk memilih forum pengadilan. Mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih hakim lain. Akan tetapi, tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan hakim tidak berwenang adanya. Menurut Sudargo Gautama, misalnya saja untuk Nederland tak akan dapat dipilih hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada hakim Belanda yang, relatif berwenang untuk mengadili perkara itu Pilihan Forum Arbitrase a. Pengertian Arbitrase Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Jadi, arbitrase adalah perjanjian perdata di antara para pihak sendiri yang bersepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka, yang diputuskan oleh pihak ketiga yang netral (arbitrator) secara musyawarah. b. Perumusan Klausula Arbitrase Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor Salim, H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm Sudargo Gautama, Buku ke-8, op.cit, hlm

27 Tahun 1999 tentang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikenal adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu : 55 1) Pactum de compromittendo Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata. Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal tersebut berbunyi: Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara, yaitu dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok atau dibuat terpisah dalam akta tersendiri. 2) Akta Kompromis Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, akta kompromis diatur dalam Pasal 9 yang berbunyi: (1) Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. 55 Gunawan Widjaja, op.cit., hlm

28 (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat: a) masalah yang dipersengketakan; b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau rnajelis arbitrase; d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e) nama lengkap sekretaris; f) jangka waktu penyelesaian sengketa; g) pernyataan kesediaan arbiter; dan h) pernyataan kesediaan para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum. c. Jenis-Jenis Arbitrase Dengan mengacu kepada Konvensi New York 1958 dan ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules, maka dapat dikemukakan dua jenis arbitrase, yaitu: 56 1) Arbitrase ad hoc; Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan. Para pihak dapat mengatur cara-cara bagimana pelaksanaan pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase. 56 Ibid, hlm

29 2) Arbitrase institusional Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering juga disebut permanent arbitration sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958, arbitrase ini disedikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Selain itu, arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc yang baru dibentuk setelah perselisihan timbul. d. UNCITRAL Arbitration Rules UNCITRAL Arbitration Rules merupakan suatu set kaidah-kaidah yang mengatur apa yang dinamakan ad hoc arbitration, Arbitrase secara ad hoc ini adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan oleh suatu atau melatui suatu badan lembaga arbitrase tertentu (institutional abitration). Para pihak dapat menunjuk kepada kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan cara memasukkan Arbitration Clause di dalam kontrak mereka. Arbitration clause ini menyatakan secara tegas bahwa semua sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan kontrak mereka ini akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara arbitrase sesuai dengan ketentuan-ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules. 57 Kaidah-kaidah ini bersifat optional di dalam arbitrase ad hoc. Artinya bahwa para pihak tidak diwajibkan untuk memakainya. Mereka dapat memilih untuk memakainya atau tidak. Mengingat UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase, maka para pihak dapat memilih ad hoc arbitration atau memilih lembaga arbitrase yang ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase bersangkutan. Lembaga arbitrase ini dalam hal demikian akan memakai kaedahkaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu akan merupakan suatu ad hoc arbitration yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase 57 Sudargo Gautama, op.ctf, Arbitrase Dagang Internasional, hlm

30 yang sudah ada (administered ad hoc arbitration). 58 yaitu: Substansi UNCITRAL Arbitration Rules diklasifikasikan atas empat bagian, 1) Ketentuan pengantar (intoductory rules), yang mencakup: a. Ruang Lingkup (Scope of Application), Pasal 1 UNCITRAL Arbitration Rules. Pasal 1 Paragraph 1 dari UNCITRAL Arbitration Rules menyatakan secara tegas bahwa apabila para pihak telah menyetujui secara tertulis (yaitu dengan menerima apa yang dinamakan suatu arbitration clause) untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari kontrak melalui arbitrase berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, maka sengketa-sengketa demikian itu harus diselesaikan sesuai dengan apa yang diatur UNCITRAL Arbitration Rules, kecuali jika para pihak telah mengadakan modifikasimodifikasi tertentu secara tertulis terhadap kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini. Dalam Pasal 1 Paragraph 2 UNCITRAL Arbitration Rules disebutkan bahwa UNCITRAL Arbitration Rules digunakan selama proses arbitrase berlangsung, kecuali terdapat pertentangan antara UNCITRAL Arbitration Rules dengan hukum dari iempat dimana arbitrase dilakukan, maka dalam hal ini UNCITRAL Arbitration Rules tidak dapat digunakan. b. Pemberitahuan, perhitungan jangka waktu (notice, calculation of periods of time). Pasal 2 paragraph 1 mengatur tentang pemberitahuan dari Penggugat kepada tergugat bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase dengan ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap surat pemberitahuan, segala 58 Ibid. 30

31 bentuk komunikasi atau penawaran sianggap sudah diterima Tergugat apabila telah dikirimkan secara fisik ke tempat tinggal Tergugat atau ketempat berdomisili atau tempat ia menjalankan usaha atau mailing address. Pasal 2 mengatur tentang perhitungan jangka waktu yang mulai dihitung sejak pemberitahuan tersebut diterima oleh Tergugat. c. Pemberitahuan adanya proses arbitrase (Notice of Arbitration), Pasal 3. Dalam Pasal 3 diatur bahwa pihak Penggugat harus memberitahukan tergugat tentang adanya proses arbitrase ini. d. Representation and Assistance (Perwakilan dan pemdampingan), Pasal 4. Pasal 4 menyatakan bahwa para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh orang yang telah mereka tunjuk, mengenai nama, alamat dan dalam posisi apa orang yang mewakili tersebut ditunjuk sebagai perwakilan atau pendampingan, harus diberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya. 2) Komposisi Arbitrase (composition of the arbitral tribunal), Pasal 5-14 UNCITRAL Arbitration Rules; Komposisi arbitrase yang dibentuk didasarkan kepada persetujuan pihak-pihak, jumlah arbiter dapat satu orang atau tiga orang. Jika dalam waktu 15 hari belum diperoleh kesepakatan tentang jumlah arbitrase bersifat tunggal (satu orang} akan diangkat tiga orang arbiter. Apabila harus diangkat tiga orang arbiter, maka tiap pihak akan mengangkat seorang arbiter. Kedua arbiter ini akan memilih arbiter yang ketiga untuk bertindak sebagai Ketua dari Panitia Arbitrase ini. Penyanggahan terhadap arbiter dapat dilakukan dalam hal arbiter telah dipilih bersikap tidak adil atau ada dalam pengaruh pihak lain. Selain itu, ketentuan ini juga mengatur dalam hal arbiter meninggal dunia atau mengundurkan diri sebelum keputusan arbitrase diucapkan. 31

TITIK-TITIK TAUT & KUALIFIKASI

TITIK-TITIK TAUT & KUALIFIKASI TITIK-TITIK TAUT & KUALIFIKASI HPI Kelas D All Images : Internet s Archive FOKUS BAHASAN Definisi & Jenis Titik Taut Definisi & Jenis Kualifikasi TITIK-TITIK TAUT Aanknopingspunten (Ned) Momenti di collegamento

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2 PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip apa yang ada dalam hukum kontrak dagang internasional

Lebih terperinci

Materi Diskusi Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) Hukum Internasional Lanjutan

Materi Diskusi Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) Hukum Internasional Lanjutan Hukum Perdata Internasional Jum at, 10 Maret 2017 Materi Diskusi Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) Hukum Internasional Lanjutan Pembicara :HendraSiahaan (2013) SaraiBangun (2013) Pemateri : Herman Gea

Lebih terperinci

HPI PILIHAN HUKUM PERTEMUAN IX. By Malahayati, SH., LLM

HPI PILIHAN HUKUM PERTEMUAN IX. By Malahayati, SH., LLM HPI 1 PILIHAN HUKUM PERTEMUAN IX By Malahayati, SH., LLM TOPIK 2 PENGERTIAN CARA PILIHAN HUKUM LEX MERCATORIA LEX LOCI CONTRACTUS TEORI PENGERTIAN 3 Pada prinsipnya hukum yang berlaku di dalam kontrak

Lebih terperinci

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL HUKUM PERDATA INTERNASIONAL I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., LL.M. 9/18/2012 3:21 PM Ngurah Suwarnatha 1 Pendahuluan dan Definisi HPI HPI merupakan bagian daripada hukum nasional. Istilah internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih arbitrase internasional daripada arbitrase nasional sebagai pilihan forum penyelesaian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara

Lebih terperinci

PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I.

PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I. PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I. Latar Belakang. Kontrak binis Internasional selalu dipertautkan oleh lebih dari system hukum. Apabila para pihak dalam kontrak kontrak bisnis yang demikian ini tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian pada era globalisasi dan modernisasi dewasa ini, menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang melibatkan pihak-pihak

Lebih terperinci

Muhammad Risnain, S.H.,M.H. 1

Muhammad Risnain, S.H.,M.H. 1 PROBLEMATIKA PILIHAN HUKUM (CHOICE OF LAW) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS ELEKTRONIK INTERNASIONAL DALAM UNDANG- UNDANG (UU) NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

Kualifikasi. All images:internet s Archives. Hukum Perdata Internasional Kelas D

Kualifikasi. All images:internet s Archives. Hukum Perdata Internasional Kelas D Kualifikasi All images:internet s Archives Hukum Perdata Internasional Kelas D 1 FOKUS BAHASAN DEFINISI KUALIFIKASI J E N I S T E O R I KUALIFIKASI JENIS KUALIFIKASI Aanknopingspunten (Ned) Momenti di

Lebih terperinci

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM HPI 1 PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV By Malahayati, SH, LLM TOPIK 2 PEMAKAIAN HUKUM ASING PELAKSANAAN PUTUSAN PUTUSAN PAILIT PUTUSAN ARBITRASE ICC 3 International Chamber of Commerce, Paris;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Suatu keniscayaan bahwa dalam penyelesaian suatu konflik sengketa

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Suatu keniscayaan bahwa dalam penyelesaian suatu konflik sengketa BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Suatu keniscayaan bahwa dalam penyelesaian suatu konflik sengketa khususnya sengketa hukum diperlukan adanya penyelesaian yang pasti untuk menentukan kebenaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam dunia filsafat, para filosof, khususnya Aristoteles menjuluki manusia dengan zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN KONTRAK MANAJEMEN HOTEL JARINGAN INTERNASIONAL DI BALI

PEMBENTUKAN KONTRAK MANAJEMEN HOTEL JARINGAN INTERNASIONAL DI BALI PEMBENTUKAN KONTRAK MANAJEMEN HOTEL JARINGAN INTERNASIONAL DI BALI Oleh : Nyoman Santi Dewi Ni Nyoman Sukeni Ida Ayu Sukihana Hukum Bisnis Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Perkembangan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

BAB II HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL. A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi

BAB II HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL. A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi BAB II HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi Berkenaan dengan kontrak dagang yang bersifat internasional, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian/ Definisi Hukum Perdata Internasional 1 Prof. R. H. Graveson Prof. R. H. Graveson berpendapat bahwa: Conflict of laws atau hukum perdata internasional adalah bidang

Lebih terperinci

BEBERAPA CATATAN TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA; ARBITRASE oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH.

BEBERAPA CATATAN TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA; ARBITRASE oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. 1 BEBERAPA CATATAN TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA; ARBITRASE oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. I Berkembangnya usaha perniagaan di Indonesia telah membawa pada suatu segi yang lain dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kontrak termasuk dalam ranah hukum perdata, disebut demikian karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan dengan individu lain untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan perekonomian dan dunia usaha semakin bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya ditemukan pelaku-pelaku usaha

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

Lebih terperinci

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1 Soeikromo D.: Kontrak Standar Perjanjian.. Vol.22/No.6/Juli /2016 Jurnal Hukum Unsrat KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS Oleh : Deasy Soeikromo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Cipta Melalui Internet (Studi Kasus: Itar-Tass Russian Agency Melawan Russian Kurier Agency) Rehulina Tarigan

Pelanggaran Hak Cipta Melalui Internet (Studi Kasus: Itar-Tass Russian Agency Melawan Russian Kurier Agency) Rehulina Tarigan Pelanggaran Hak Cipta Melalui Internet (Studi Kasus: Itar-Tass Russian Agency Melawan Russian Kurier Agency) Rehulina Tarigan Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unila Abstrak Kasus Itar-Tass

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di dunia bisnis, perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya, namun dalam penyelesaiannya

Lebih terperinci

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja SENGKETA KOMPETENSI ANTARA SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) DENGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN DALAM PENYELESAIAN KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORKS PLC BESERTA AFILIASINYA DAN LIPPO

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2 PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada instansi

BAB I PENDAHULUAN. keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada instansi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum. Setiap interaksi antar individu maupun kelompok memiliki akibat hukum. Oleh karena itu, untuk mengatasi semua akibat hukum

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

SILABUS NAMA MATA KULIAH : HUKUM PERDATA INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KEPERDATAAN KODE MATA KULIAH : HKI4004

SILABUS NAMA MATA KULIAH : HUKUM PERDATA INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KEPERDATAAN KODE MATA KULIAH : HKI4004 SILABUS A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PERDATA INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KEPERDATAAN KODE MATA KULIAH : HKI4004 JUMLAH SKS : 2 (DUA) PRASYARAT : Seluruh Mata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi membawa dampak yang signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu domain

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa ini menimbulkan hubungan hukum antara para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini: NAMA: Catherine Claudia NIM: 2011-0500-256 PELAKSANAAN KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE KOMERSIAL NTERNASIONAL MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum OLEH SETIAWAN KARNOLIS LA IA NIM: 050200047

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

PERAN NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA YANG MEMUAT KLAUSA ARBITRASE DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

PERAN NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA YANG MEMUAT KLAUSA ARBITRASE DAN IMPLIKASI HUKUMNYA Jurnal Repertorium Volume III No. 2 Juli-Desember 2016 PERAN NOTARIS DI DALAM PEMBUATAN AKTA YANG MEMUAT KLAUSA ARBITRASE DAN IMPLIKASI HUKUMNYA Farizal Caturhutomo Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas

Lebih terperinci

KEKUATAN YURIDIS METERAI DALAM SURAT PERJANJIAN

KEKUATAN YURIDIS METERAI DALAM SURAT PERJANJIAN KEKUATAN YURIDIS METERAI DALAM SURAT PERJANJIAN Oleh : Komang Kusdi Wartanaya Nyoman A. Martana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT: This paper entitled Juridical Power of Seal on

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum dan Peradilan Niaga SHPDT1210 2 VI Marnia Rani Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi Mata kuliah Hukum dan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Martin Surya 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH DAN PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang merdeka di dalam wadah Negara Republik Indonesia sudah berumur lebih dari setengah abad, tetapi setua umur tersebut hukum nasional yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami beberapa peristiwa yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan mempunyai akibat hukum.

Lebih terperinci

Pilihan Hukum (Terkait dengan Transaksi Bisnis Internasional)

Pilihan Hukum (Terkait dengan Transaksi Bisnis Internasional) Pilihan Hukum (Terkait dengan Transaksi Bisnis Internasional) TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA 2012 Bridge Ingat tujuan ilmu Hukum Perdata Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL HAK ISTIMEWA BAGI INVESTOR ASING DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh : Melya Sarah Yoseva I Ketut Westra A.A Sri Indrawati Hukum Bisnis

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE 20 FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE Oleh : Suphia, S.H., M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember Abstract Disputes or disagreements can happen anytime and anywhere without being limited space and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengeketa di Luar Pengadilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL 1 PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL Istiadiningdyah, Lita Arijati, Mutiara Hikmah Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015 KLAUSUL ARBITRASE DAN PENERAPANNYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS 1 Oleh : Daru Tyas Wibawa 2 ABSTRAK Dari segi tipe penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arbitrase 2.1.1. Pengertian Arbitrase Istilah Arbitrase berasal dari Bahasa Latin yaitu arbitrare, artinya kekuasaan untuk menyelesaikan suatu masalah berdasarkan kebijaksanaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 ABSTRAK Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mencapai suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dengan banyaknya industri rokok tersebut, membuat para produsen

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dengan banyaknya industri rokok tersebut, membuat para produsen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia saat ini banyak sekali industri rokok, baik industri yang berskala besar maupun industri rokok yang berskala menengah ke bawah, sehingga dengan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, Aditya Bakti, 2001), hlm Ibid., hlm

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, Aditya Bakti, 2001), hlm Ibid., hlm 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk individu mempunyai berbagai macam kebutuhan dalam hidupnya dimana kebutuhan tersebut kadangkala bertentangan dengan kebutuhan dimana

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 Oleh : Aryani Witasari,SH.,M.Hum Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Abstrak Arbitrase sebagai salah

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN 1 KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN BANGUNAN YANG DIMILIKI OLEH PIHAK LAIN Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR: PER-01/BAKTI/ TENTANG PERUBAHAN KEDUA PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE

PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR: PER-01/BAKTI/ TENTANG PERUBAHAN KEDUA PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PERATURAN BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR: PER-01/BAKTI/03.2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PENGURUS BADAN ARBITRASE PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak komprehensifnya ketentuan-ketentuan pengakuan

Lebih terperinci

PENERAPAN AZAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO

PENERAPAN AZAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO PENERAPAN AZAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO. O1 TAHUN 2008 DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan diajukan untuk

Lebih terperinci

2 melalui pemberian kuasa kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Energi Dan Su

2 melalui pemberian kuasa kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Energi Dan Su LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.179, 2014 APBN. Arbitrase. Gugatan. Nusa Tenggara Partnership. PT. Newmont Nusa Tenggara. Penugasan Menteri. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru

BAB I PENDAHULUAN. Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru dalam kehidupannya. Dalam arti sosiologis manusia menjadi pengemban hak dan kewajiban, selama manusia

Lebih terperinci

PILIHAN HUKUM DALAM PERJANJIAN LISENSI DI BIDANG MEREK DAGANG ANTARA PARA PELAKU USAHA YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NO

PILIHAN HUKUM DALAM PERJANJIAN LISENSI DI BIDANG MEREK DAGANG ANTARA PARA PELAKU USAHA YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NO PILIHAN HUKUM DALAM PERJANJIAN LISENSI DI BIDANG MEREK DAGANG ANTARA PARA PELAKU USAHA YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NO.15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK Oleh : Nyoman Bob Nugraha Ngakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Komang Padma Patmala Adi Suatra Putrawan Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci