BAB II HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL. A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL. A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi"

Transkripsi

1 BAB II HUKUM YANG MENGATUR KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL A. Pengaturan Hukum Mengenai Kontrak Dagang Internasional Dalam Berbagai Konvensi Berkenaan dengan kontrak dagang yang bersifat internasional, maka setidaknya jika diteliti secara umum dapat ditemukan paling sedikit ada 5 (lima) jenis konvensi internasional yang berhubungan dengan kontrak dagang. Kontrak dagang yang demikian itu, berkaitan dengan transaksi jual beli benda. Keenam konvensi tersebut akan dipaparkan dalam penelitian ini. 1. Convention on The Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi atas Hukum yang Berlaku Dalam Penjualan Barang Internasional) Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods ini adalah konvensi yang telah diterima pada tahun 1951 di Den Haag, namun baru mulai ditandatangani pada tahun 1955 dengan Belgia sebagai Negara pertama yang menandatangani konvensi ini pada tanggal 15 Juni Perbedaan pada waktu penerimaan dan penandatanganan kovensi inilah yang menyebabkan konvensi ini seringkali disebut dengan Kovensi Jual Beli 1951 (1955). Konvensi Jual Beli 1951 (1955) menyatakan dirinya hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian jual beli yang bersifat internasional, namun demikian Konvensi ini tidak memberikan suatu rumusan atau pengertian mengenai maksud yang bersifat internasional tersebut. Dari pembahasan selama berlangsungnya konferensi tersebut di Den Haag dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan makna yang bersifat internasional adalah adanya unsur asing dalam kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat. Dengan demikian berarti harus suatu unsur yang benar-benar

2 menyebabkan berlakunya suatu sistem hukum asing dalam transaksi jual beli yang sedang dilakukan dalam Pasal 1 paragraf 4 Konvensi 1951 (1955). Suatu pernyataan dari para pihak saja mengenai hukum yang berlaku dalam kontrak dagang internasional tidak cukup untuk menjadikan jual beli tersebut sebagai jual beli internasional. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 7 Konvensi Jual Beli 1951 (1955) ini, ketentuan-ketentuan pokok yang diatur dalam Konvensi ini wajib untuk dimasukkan ke dalam hukum nasional dari seluruh Negara yang telah meratifikasi dan memberlakukan Konvensi ini. Konvensi ini secara tegas mengatur mengenai benda yang diperjualbelikan yang menjadikannya sebagai jual beli internasional yang tunduk pada Konvensi ini. Jual beli benda tidak bergerak tidaklah masuk ke dalam yurisdiksi Konvensi ini, oleh karena dalam jual beli benda tidak bergerak sudah diterima secara umum suatu adagium bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari Negara dimana benda yang tidak bergerak tersebut terletak (lex rei sitae). Selanjutnya Konvensi ini juga tidak berlaku bagi jual beli benda bergerak, termasuk di dalamnya piutang-piutang, hakhak kebendaan dan surat-surat berharga. 23 Terkait dengan hukum yang berlaku, dikatakan bahwa jika ada pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak. Dalam hal ini para pihak dibebaskan untuk memilih hukum dari negara mana saja yang mereka anggap cocok, dan tidak perlu semata-mata merupakan pilihan dari dua sistem hukum yang memiliki hubungan dalam transaksi jual beli internasional 23 Sudargo Gautama (II)., Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1978), hal

3 tersebut, selama pilihan tersebut tidak menyebabkan terjadinya pertentangan dengan asas ketertiban umum, yang merupakan penyelundupan hukum 24. Pilihan hukum ini harus dilakukan dengan jelas dan tegas. Dalam Pasal 3 KOnvensi Jual Beli 1951 (1955), disebutkan bahwa jika tidak dilakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum dari negara dimana penjual secara de facto berkediaman atau berkedudukan hukum. Demikian Sudargo Gautama menyatakan bahwa pilihan hukum dari negara penjual didasarkan pada kenyataan bahwa penjual mempunyai karakteristik yang lebih unik dibandingkan dengan pembeli, yang hanya sekedar melakukan pembayaran sejumlah uang saja, manakala penjual diwajibkan untuk melakukan penyerahan barang dan hal-hal lain dalam bentuk penjaminan, yang pada pokoknya merupakan esensi dari pelaksanaan suatu jual beli. 25 Satu hal perlu diberikan catatan di sini adalah bahwa jika transaksi jual-beli dilakukan atau ditutup oleh penjual yang memiliki kantor perwakilan atau cabang pada suatu negara lain daripada kantor pusatnya, maka yang diberlakukan adalah hukum dan negara dimana perwakilan atau cabang penjual berada. Hal ini ternyata diterima baik oleh negara-negara Eropa yang melakukan transaksi jual beli bahanbahan baku dengan negara berkembang, dengan mengadakan kontrak dagang internasional jual beli dengan perwakilan dan atau cabang dari perusahan-perusahan penjual yang ada di Eropa 26. Jika diperhatikan, jelas tampak bahwa perusahaan dari negara-negara maju ini tidak ingin terhadap mereka diberlakukan hukum dari negaranegara Asia dan Afrika yang dianggap terbelakang. Jadi masalah hukum negara 24 Ibid, hal Sudargo Gautama (II)., Op. cit, hal Ibid.

4 tertentu yang berlaku dalam suatu transaksi perdagangan internasional, ternyata masih menyisakan berbagai persoalan, tidak hanya pesoalan hukum, tetapi juga persoalan humanisme, alter ego dan chauvinisme, yang menganggap bahwa suatu tatanan atau sistem hukumm tertentu lebih beradab dibandingkan dengan tatanan atau sistem hukum yang lainnya. Selanjutnya oleh karena Konvensi ini hanya mengatur mengenai hukum yang berlaku bagi suatu transaksi jual beli internasional, segala sesuatu yang terbit dari kontrak dagang internasional jual beli tersebut dikembalikan pada hukum yang berlaku. Dengan demikian Konvensi ini tidak mempersyaratkan apakah suatu kontrak dagang internasional jual beli wajib untuk dibuat secara tertulis. Hal ini diatur sepenuhnya hukum yang dipilih atau ditentukan sebagai hukum yang berlaku. 2. Convention on The Law Governing Transfer of Title in International Sales of Goods (Konvensi atas Hukum yang Mengatur Pengalihan Hak Dalam Penjualan Barang Internasional) Jika pada Konvensi ini Jual Beli 1951 (1955) diatur soal hukum yang berlaku dalam suatu transaksi jual beli internasional tanpa mengatur mengenai materi atau isi kontrak dagang internasional, dengan menyerahkan pengaturannya sepenuhnya pada hukum dari negara yang dipilih atau ditentukan; maka Konvensi ini mengatur secara khusus, hanya mengenai saat terjadinya peralihan pemilikan (hak milik) dari barang yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli. Secara historis, Konvensi ini merupakan tambahan atau aksesoris terhadap Konvensi Jual Beli 1951 (1955). Selanjutnya oleh karena Konvensi hanya merupakan tambahan dan ikutan terhadap Konvensi Jual Beli 1951 (1955), maka semua konsepsi dan aturan yang ada dalam Konvensi Jual Beli 1951 (1955) juga diatur dan disalin ulang dalam Konvensi ini. Hal ini memberikan kesimpulan

5 sederhana bahwa dalam Konvensi ini, peralihan hak milik dari barang yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli diatur sepenuhnya oleh hukum yang berlaku sebagaimana ditentukan berdasarkan Konvensi Jual Beli 1951 (1955). Hal ini jugalah yang pada hakekatnya membuat Konvensi ini menjadi tidak populer, dan sampai saat ini baru dua Negara yang menandatangani konvensi ini Convention on The Jurisdiction of The Selected Forum in The Case of International Sales Of Goods (Konvensi atas Jurisdiksi Pilihan Forum Dalam Kasus Penjualan Barang Internasional) Konvensi ini, seperti halnya Convention on The Law Governing Transfer of Title in International Sales of Goods, juga tidak dapat dilihat atau dibaca terlepas dari Konvensi Jual Beli 1951 (1955). Jika dalam Konvensi Jual Beli 1951 (1955) yang diatur adalah hukum yang dipilih dan atau diberlakukan dalam suatu kontrak dagang internasional jual beli internasional, maka dalam Konvensi ini yang diatur adalah masalah pilihan forum oleh para pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli internasional tersebut. Konvensi ini disebut juga Konvensi Jual Beli Jika ada pilihan forum secara tegas, maka pengadilan dari negara-negara peserta Konvensi ini wajib untuk menolak menangani penyelesaian sengketa jual beli internasional ini. Jika jual beli dilakukan secara lisan, maka perlu dibuat suatu klausula tersendiri yang mengatur mengenai pilihan forum ini. Pengaturan ini dapat dilakukan dalam bentuk suatu pernyataan tertulis yang disetujui dan dikonfirmasikan oleh salah satu pihak, dan tidak ditentang atau ditolak oleh pihak lainnya 28. Jadi dalam hal ini pada hakekatnya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa dalam transaksi jual beli tersebut tetap diperlukan, agar forum yang 27 Ibid, hal Ibid, hal

6 dipilih (di luar pengadilan) berwenang untuk menangani penyelesaian perselisihan yang telah terjadi. Jika salah satu pihak, meskipun para pihak telah menentukan pilihan forum, memasukkan gugatan pada pengadilan di salah satu negara peserta Konvensi dan ternyata pihak yang digugat (tergugat) tidak berkeberatan, maka perkara tersebut akan terus dilanjutkan sesuai dengan Pasal 3 KOnvensi JualBeli Eksekusi terhadap putusan dari forum di luar pengadilan yang dipilih tersebut dilaksanakan berdasarkan pada New York Convention, yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan dilaksanakan oleh pengadilan yang berwenang berdasarkan pada New York Convention tersebut. Sampai sejauh ini dapat dilihat bahwa Konvensi Jual Beli 1951 (1955) dan Konvensi Jual Beli 1958 ini ternyata saling melengkapi dan dibuat dengan tujuan untuk menghilangkan perdebatan mengenai hukum yang berlaku dan siapa yang berhak menyelesaikan sengketa yang terkait dengan jual beli internasional. 4. Convention Relating to A Uniform Law on The International Sales of Goods dan Convention Relating to a Uniform Law on The Formation of Contracts for The International Sales of Goods (Konvensi yang Berkaitan Dengan Hukum Uniform atas Penjualan Barang Internasional dan Konvensi yang Berkaitan Dengan Hukum Uniform atas Pembentukan Kontrak Bagi Penjualan Barang Internasional) Konvensi selanjutnya yang dibicarakan di sini adalah dua Konvensi yang mengatur mengenai hukum yang uniform atau seragam dalam rangka jual beli internasional dan pembentukkan kontrak dagang internasional jual beli internasional. Convention Relating to a Uniform Law on The International Sales of Goods dikenal dengan nama Konvensi Jual Beli Disebut dengan nama Konvensi Jual Beli 1964 adalah karena Konvensi ini disetujui pada tahun 1964 di Den Haag.

7 Jika Konvensi Jual Beli 1951 (1955) mengatur mengenai hukum yang berlaku. Maka dalam Pasal 1 Konvensi Jual Beli 1964 yang diatur adalah hukum materilnya, yang wajib dimasukkan sebagai bagian dari hukum positif masingmasing negara peserta Konvensi. Selengkapnya Pasal 1 menurut Konvensi 1964 ini, yang dinamakan jual beli internasional adalah jual beli yang: a. Pada saat kontrak dagang internasional ditutup, barang yang diperjualbelikan akan diserahkan melintasi negara, yaitu dari wilayah suatu negara tertentu peserta Konvensi ke wilayah negara lain yang juga peserta Konvensi ini; b. Penawaran dan penerimaan dilakukan di dua negara peserta Konvensi yang berbeda; c. Penyerahan dari benda dilaksanakan berbeda dari negara dimana penawaran dan penerimaan dilakukan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Konvensi 1964 ini, pengertian jual beli internasional dipersempit. Ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa terhadap isi atau materi Konvensi Jual Beli 1964 ini, tidak berlaku ketentuan hukum perdata internasional mengenai pilihan hukum negara tertentu, namun demikian isi dari Konvensi Jual Beli 1964 ini dapat disimpangi oleh para pihak dalam kontrak dagang internasional, baik untuk keseluruhan maupun untuk sebagian. Hal yang menarik dari Konvensi Jual beli 1964 ini adalah adanya kebebasan dari setiap pihak dalam kontrak dagang internasional, yang meskipun merupakan warga negara dari negara yang bukan peserta Konvensi ini, berhak untuk memilih dan karenanya menundukkan diri secara sukarela kepada berlakunya Konvensi Jual Beli 1964 ini untuk mengatur hubungan atau transaksi jual beli internasional yang

8 mereka buat sesuai dengan Pasal 4. Namun demikian pemberlakuan yang demikian tunduk pada persyaratan berlakunya hukum memaksa dari sistem hukum yang seharusnya diberlakukan, seandainya para pihak tidak memilih Konvensi Jual Beli 1964 ini sebagai hukum yang berlaku bagi mereka. Disebutkan dalam Pasal 8 Konvensi Jual Beli 1964 ini tidak mengatur mengenai pembentukan kontrak dagang internasional, akibat kontrak dagang internasional jual beli terhadap benda yang diperjualbelikan dan juga terhadap keabsahan dari kontrak dagang internasional jual belinya. 5. Vienna Convention on Contracts for The International Sales of Goods/CISG (Konvensi Vienna Tentang Kontrak Penjualan Barang Internasional) Vienna Convention adalah Konvensi yang dihasilkan dari suatu konferensi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation) yang diprakarasi oleh UNCITRAL. Konferensi ini sendiri, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Maret hingga 11 April 1980 telah berhasil menghasilkan kesepakatan mengenai hukum materil yang mengatur kontrak dagang internasional jual beli (barang) internasional (Contract for the International Sales of Goods) yang sering juga disebut dengan singkatan CISG. Selain itu Konvensi ini juga sering disebut dengan Konvensi Jual Beli Pemberlakuan Konvensi Jual Beli 1980 ini memberikan pengaruh besar bagi Konvensi Jual Beli Oleh karena peserta Konvensi Jual Beli 1980 ini adalah juga peserta Konvensi Jual Beli 1964, maka berdasarkan pada ketentuan Pasal 99 khususnya paragraph 3 dari Konvensi Jual Beli 1980 yang mewajibkan negara yang menyatakan diri tunduk pada Konvensi Jual Beli 1980 ini wajib untuk menyatakan penarikan diri dari Konvensi Jual Beli 1964 dengan segala macam bentuk penyimpangan yang diperbolehkan, maka secara

9 praktis Konvensi Jual Beli 1964 menjadi hampir tidak memiliki anggota lagi dan karenanya menjadi tidak berarti lagi, kecuali untuk bagian-bagian dari ketentuanketentuan tertentu masih di reserved oleh negara-negara tertentu, dengan tidak memberlakukan ketentuan yang sama, yang diatur dalam Konvensi Jual Beli Inipun relatif sangat kecil jumlahnya. Convention on Contracts for the International Sales Goods (CISG) adalah Konvensi yang mengatur aturan hukum materil yang akan diberlakukan pada setiap transaksi perdagangan internasional. Dalam pandangan ini, konvensi yang berkaitan dengan pilihan hukum, bukanlah konvensi yang mengatur mengenai aturan hukum dalam transaksi perdagangan internasional, melainkan hanya memberlakukan ketentuan hukum domestik pada suatu transaksi perdagangan internasional. 29 Dengan demikian jelaslah mengapa Konvensi Jual Beli 1980 ini diperlukan dan dibutuhkan. Sifat dan karekteristik yang berbeda antara international trade dan domestic trade telah membawa akibat bahwa hukum domestik tidak dengan begitu saja dapat diberlakukan dalam setiap transaksi perdagangan internasional. Belum lagi chauvenistic character yang senantiasa melekat pada diri individu atau pihak-pihak tertentu mengenai keberlakuan hukum domestik dari suatu negara tertentu terhadap negara yang lain. Pada Pasal 1 paragraf 1 CISG berlaku untuk kontrak dagang internasional jual beli antara pihak-pihak dengan domisili usaha yang berada pada negara yang berbeda yang merupakan anggota Konvensi Jual Beli 1980 ini atau ketentuan hukum perdata internasional yang berlaku menunjuk pada berlakunya hukum dari negara yang merupakan anggota Konvensi Jual Beli 1980 tersebut. 29 Gunawan Widjaja (I)., Op. cit, hal. 30.

10 Pasal 4 CISG hanya mengatur mengenai pembentukan kontrak dagang internasional jual beli, hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli yang terbit dari kontrak dagang internasional jual beli tersebut, dan tidak mengatur mengenai keabsahan kontrak dagang internasional dan atau setiap pasal dari padanya atau penerapannya, dan akibat dari kontrak dagang internasional terhadap kepemilikan dari benda yang diperdagangkan. Pasal 5 CISG juga tidak berlaku terhadap kewajiban penjual untuk kematian atau luka pribadi dari setiap orang yang disebabkan oleh benda yang diperdagangkan. Para pihak dalam Konvensi ini bebas untuk mengesampingkan pemberlakuan CISG, ataupun mengatur secara berbeda ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG, atas kehendak mereka hal tersebut terdapat pada Pasal 6 CISG. Dalam Pasal 11 CISG ditentukan keberadaan kontrak dagang internasional jual beli tidak perlu dibuat ataupun dibuktikan secara tertulis, dan tidak memerlukan formalitas tertentu. Keberadaan jual beli dapat dibuktikan dengan segala macam alat bukti termasuk saksi-saksi. Dikatakan lebih lanjut dalam Pasal 18 CISG, bahwa suatu pernyataan yang dibuat atau suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak yang menerima penawaran (tidak mutlak harus pembeli) yang mengindikasikan persetujuan terhadap suatu penawaran yang diajukan oleh pihak lainnya diperlukan sebagai suatu bentuk penerimaan. Jadi, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak dagang internasional jual beli baru ada manakala ada penawaran yang disampaikan, dan penerimaan yang harus terwujud dalam bentuk tindakan atau perbuatan atau suatu pernyataan yang dilakukan oleh pihak yang menerima penawaran. Sementara itu, saat efektifnya suatu penerimaan adalah pada saat penerimaan ini diterima oleh pihak yang mengajukan penawaran, dengan ketentuan bahwa penerimaan penawaran

11 tersebut haruslah sampai dalam suatu jangka waktu yang telah ditentukan oleh pemberi penawaran atau dalam suatu jangka waktu yang secara umum dianggap patut untuk melakukan penerimaan suatu penawaran untuk jual beli. Ketentuan Pasal 4 CISG, seperti yang telah disinggung di atas, tidak mengatur mengenai keabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang bentuk oleh para pihak. Ketentuan ini jelas menerbitkan kesulitan bagi penyelesaian sengketa, dimana salah satu pihak dalam kontrak dagang internasinal jual beli tersebut mendalilkan ketidakabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat. Secara konseptual, sebagai hukum materil yang berlaku mengatur seluruh isi kontrak dagang internasional jual beli, jelas tidak mungkin diadakan pilihan hukum negara tertentu untuk menentukan keabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat. Di samping itu, perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan dengan seksama, bukankah tujuan para pihak untuk memilih CISG dan karenanya tunduk pada ketentuan CISG adalah untuk mengecualikan pemberlakuan hukum nasional dari negara tertentu, termasuk hukum dari negara para pihak dalam kontrak dagang internasional tersebut. Persoalan akan menjadi semakin rumit jika ternyata ketentuan dalam CISG ini bertentangan dengan hukum nasional (hukum domestik) dari salah satu atau para pihak yang membuat kontrak dagang internasional jual beli ini, khususnya yang meyangkut keabsahan kontrak dagang internasional. Terkait dengan hal keabsahan dari suatu kontrak dagang internasional, ada dua hal yang dapat dikemukakan di sini. Pertama terkait dengan masalah subjeknya, yang berhubungan dengan pihak-pihak yang melakukan kontrak dagang internasional, yaitu masalah kecakapan dan ada tidaknya kewenangan dari pihak yang masuk dalam kontrak dagang internasional jual beli ini, dan masalah ada

12 tidaknya persetujuan bebas dari para pihak untuk mengakibatkan diri dalam kontrak dagang internasional jual beli ini. Kedua berkaitan dengan masalah objeknya, yaitu yang terkait dengan masalah pelaksanaan kontrak dagang internasional jual beli itu sendiri. Dalam permasalahan kedua ini, perlu diperhatikan bahwa dalam hal ketentuan hukum materil mengenai pelaksanaan kontrak dagang internasional jual beli yang diatur dalam CISG bertentangan dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku di suatu negara tertentu yang merupakan negara dari salah satu pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli, maka hal ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan kontrak dagang internasional jual beli menjadi tidak sah dan harus dibatalkan. Dalam hal ini penulis berpandangan, bahwa untuk hal-hal yang berkaitan dengan subjek kontrak dagang internasional jual beli, yang meliputi kecakapan dan ada tidaknya kewenangan dari pihak yang masuk dalam kontrak dagang intenasional jual beli ini, dan masalah ada tidaknya persetujuan bebas dari para pihak untuk mengikat diri dalam kontrak dagang internasional jual beli; hal ini dpat dikembalikan keabsahannya pada dari negara masing-masing pihak yang membuat jual beli. Jika menurut ketentuan hukum dari negara masing-masing pihak yang membuat jual beli, seseorang dinyatakan tidak cakap, atau secara konseptual ditemukan alasan yang menyebabkan tidak adanya kesepakatan bebas, maka jelaslah eksistensi dari salah satu dari kedua hal tersebut sudah merupakan dan menjadikan alasan cukup untuk menyatakan kontrak dagang internasional jual beli tersebut tidak sah. Selanjutnya terkait dengan hal-hal yang meliputi objek kontrak dagang internasional, khususnya pelaksanaan kontrak dagang internasional, maka selain benda yang diperjualbelikan haruslah benda yang diperbolehkan untuk

13 diperjualbelikan di negara dimana benda tersebut ditransportasikan, maka seluruh ketentuan CISG harus dinyatakan berlaku dan sah, manakala terdapat pertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku di suatu negara tertentu yang merupakan negara dari salah satu pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli. Dalam konteks ini ketentuan hukum domestik yang berlaku di negara tertentu yang merupakan negara dari salah satu pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli yang bertentangan atau berbeda dari ketentuan CISG harus dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian berarti untuk menghindari terjadinya permasalahan yang berkait dengan keabsahan kontrak dagang internasional jual beli yang dibuat berdasarkan CISG dan karenanya tunduk pada ketentuan CISG ini, perlu dikatakan bahwa terhadap masalah kecakapan dan kewenangan subjektif dari para pihak untuk masuk dalam kontrak dagang internasional jual beli ini dan kesepakatan bebas dalam pembentukan kontrak dagang internasional jual beli, kedua hal ini tunduk sepenuhnya pada aturan hukum domestik dari negara dimana para pihak berkedudukan hukum dan atau menjalankan kegiatan usahanya. Dengan demikian persoalan terkait dapat diselesaikan. Selanjutnya untuk menentukan berlakunya CISG, ada empat hal berikut yang perlu diperhatikan. 30 a. Mengenai para pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli 1) Para pihak haruslah pihak-pihak yang memiliki tempat usaha yang berada pada negara yang berbeda, yang keduanya telah ikut serta memberlakukan CISG; 2) Para pihak dalam kontrak dagang internasional jual beli haruslah pihakpihak yang memiliki tempat usaha yang berada pada negara yang berbeda, dan hanya salah satu pihak yang negaranya telah ikut serta 30 Gunawan Widjaja, Op. cit, hal. 31.

14 memberlakukan CISG, tetapi kaedah hukum internasional menunjuk hukum dari negara ini (peserta CISG) sebagai hukum yang berlaku bagi transaksi jual beli tersebut; b. Mengenai isi kontrak dagang internasional 1) Kontrak dagang internasional jual beli yang diatur dalam CISG adalah kontrak dagang internasional komersial dan tidak meliputi penjualan kepada konsumen atau pengguna akhir; dan 2) Tidak semua benda-benda yang diperdagangkan dapat tunduk pada ketentuan CISG. Dalam hal ini dapat diperhatikan ketentuan Pasal 2 CISG yakni: 31 a. CISG mengecualikan penjualan barang dimana pembeli memasok sejumlah besar dari barang tersebut untuk keperluan produksi. CISG juga tidak berlaku bagi penjualan di mana kewajiban pokok dari jual belinya adalah pemberian jasa tenaga kerja atau sejenisnya; b. CISG mengecualikan: 1) Keabsahan kontrak dagang internasional; 2) Akibat terhadap benda yang diperjualbelikan, termasuk hak pihak ketiga atas benda tersebut; 3) Tanggung jawab terhadap cidera atau kematian yang disebabkan oleh benda yang diperjualbelikan tersebut. Untuk hal-hal tersebut, penunjukan pilihan hukum tetap disarankan untuk mengisi kekosongan hukum. B. Asas-Asas Hukum Kontrak Dagang Internasional Berikut ini, peneliti paparkan beberapa asas-asas hukum kontrak yang digunakan dalam kontrak dagang internasional. 1. Hukum kontrak bersifat mengatur Hukum dilihat dari daya mengikatnya, umumnya dibagi atas dua kelompok, yaitu hukum memaksa dan hukum mengatur. Hukum bersifat memaksa adalah kaedah-kaedah hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan. Hukum memaksa ini wajib diikuti oleh setiap warga negara dan tidak memungkinkan 31 Ibid, hal. 32.

15 membuat aturan yang menyimpang dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam hukum bersifat memaksa. Hukum memaksa ini umumnya termasuk dalam bidang hukum publik. Sedangkan hukum yang bersifat mengatur maksudnya hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat pengaturan tersendiri yang disepakati oleh para pihak tersebut. Hukum bersifat mengatur ini umumnya terdapat dalam lapangan hukum perjanjian/hukum kontrak (Buku III KUH Perdata). Jadi, dalam hal ini, jika para pihak mengatur lain, maka aturan yang dibuat oleh para pihaklah yang berlaku. 2. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) Salah satu asas kontrak yang paling utama dan pokok dan yang paling populer dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak atau dalam bahasa lain dikenal sebagai freedom of contract. Prinsip ini berlaku tidak saja dalam tradisi hukum civil law, namun juga dalam tradisi anglo saxon. Basis utamanya adalah ajaran hukum alam yang mengajarkan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam menentukan kehendaknya sendiri. Dengan kata lain, kehendak bebas manusia dalam hubungannya dengan harta kekayaan, antara lain diwujudkan dalam bentuk kontrak. Persetujuan atau kesepakatan adalah bentuk (perwujudan) dari asas kebebasan para pihak dalam mewujudkan niatnya mengadakan hubungan bisnis. Dikatakan ada persetujuan atau kesepakatan apabila para pihak yang hendak mengadakan hubungan bisnis terlebih dahulu menyetujui (berdasarkan kehendak bebasnya) tentang hal-hal yang telah dibicarakan sebelumnya dalam proses negosiasi.

16 Pada tahap acceptance, para pihak menyatakan persetujuannya, baik secara tegas (expressed) maupun secara tidak langsung dalam bentuk tindakan (implied) tentang hal-hal yang ditawarkan pada tahap negosiasi. Secara normatif dalam sistem hukum perdata Indonesia, yang diadopsi dari hukum perdata Belanda, dikatakan ada kesepakatan berdasarkan kehendak bebas, apabila terpenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu: (1) kesepakatan itu dibuat tanpa ada unsur kekhilafan; (2) kesepakatan dibuat tanpa unsur paksaan; (3) kesepakatan dibuat tanpa unsur penipuan. Artinya, walaupun mungkin kedua belah pihak sudah menyatakan persetujuannya atas hal-hal yang diperjanjikan, tetapi bilamana persetujuan itu diberikan karena ada informasi yang tidak benar tentang objek kontrak dagang internasional, atau ada tindakan paksaan (baik fisik ataupun mental) dari salah satu pihak untuk membuat persetujuan, maka pesetujuan itu harus dianggap cacat. Artinya, walaupun ada pernyataan setuju, tetapi sesungguhnya tidak ada kehendak bebas untuk menyetujui. Jika salah satu pihak mengetahui bahwa mereka sedang ditipu, maka niscaya mereka tidak akan memberikan persetujuan. Dalam hal ada unsur paksaan, maka bila mereka tidak dipaksa sesungguhnya mereka tidak akan memberikan persetujuan. Simpulannya, kehendak bebas dianggap tidak ada jika ada ketiga unsur tersebut di atas. Dalam sistem Anglo Saxon juga dikenal ketiga unsur tersebut, yaitu: duress, mistake, dan fraud. Jika ketiga unsur tersebut terjadi dalam sebuah pembentukkan kontrak, maka dapat dikatakan tidak ada freedom to contract. 32 Persoalannya adalah, bahwa dalam aspek praksis, seringkali paksaan yang dimaksud tidak sepenuhnya cocok dengan doktrin tentang makna paksaan itu 32 Agus Sardjono., Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Dalam Cross Border Transaction: Antara Norma dan Fakta, Jurnal Hukum Bisnis, Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional, Vol. 27, No. 4, Tahun 2008, hal. 6.

17 sendiri. Sebagai contoh, dalam dunia praksis, keterpaksaan dapat muncul karena adanya faktor dominasi dari salah satu pihak, atau sebaliknya ada unsur inferioritas dari pihak lainnya. Celakanya, dalam konteks normatif, unsur dominasi atau inferioritas itu tidak menjadi persoalan. Doktrin normatif membuat asumsi bahwa orang yang mengadakan kontrak dagang internasional berada dalam posisi seimbang. Orang dalam posisi dominan cenderung memaksakan kehendaknya. Apabila itu terjadi dalam konteks kontrak bisnis, maka akibatnya adalah munculnya klausula yang timpang dalam hak dan kewajiban di anatara para pihak. Orang hukum dengan enteng akan menyatakan take it or leave it (kalau anda tidak setuju, ya jangan disetujui). Namun sesungguhnya persoalannya lebih kompleks dari sekedar ungkapan tak bertanggung jawab itu. Seorang calon debitor yang sedang sangat membutuhkan kredit, cenderung menerima apa saja yang ditetapkan oleh calon kreditor. Seorang pencipta lagu baru yang sedang membutukan popularitas cenderung menerima apa saja yang dikehendaki produser atau artis. Seorang pembeli rumah yang sedang sangat membutuhkan tempat tinggal akan menerima saja yang dikehendaki Bank yang membiayai pembelian rumah tersebut. Salah satu persoalan berkenaan dengan implementasi doktrin kebebasan berkontrak adalah berkenaan dengan posisi bisnis kecil-kecilan ketika harus berhadapan dengan bisnis yang besar. Pada umumnya, posisi bisnis kecil-kecilan kurang menguntungkan bilamana harus berhadapan dengan perusahaan besar. Dalam kajian Blake D. Morant terungkap bahwa banyak hambatan yang dihadapi perusahaan kecil ketika harus berhadapan dengan perusahaan besar. Walaupun dalam doktrin freedom of contract keduanya mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk masuk ke dalam hubungan kontraktual, tapi perbedaan posisi justru akan

18 sangat menentukan hasil dari proses berkenaan dengan hak dan kewajiban yang akan diperjanjikan. 33 Persoalan tentang implementasi doktrin freedom of contract juga muncul dalam konteks kontrak baku, atau juga sering disebut sebagai kontrak standart. Dalam model ini, klausula yang akan diperjanjikan sudah ditulis terlebih dahulu dalam bentuk standart atau baku. Contoh yang paling konkrit adalah kontrak yang tertuang dalam polis asuransi. Mo Zhang menyatakan bahwa kontrak baku semacam ini sebenarnya bukanlah kontrak yang dihasilkan dari suatu proses tawar menawar. Dengan demikian, secara faktual tidak ada freedom to contract dari salah satu pihak yang mengadakan kontrak dagang internasional yang bersangkutan. Seorang calon yang tertanggung dalam asuransi hanya memiliki satu posisi terhadap polis, yaitu take it or leave it. 34 Tidak salah lagi bahwa munculnya fenomena kontrak baku memang brhubungan dengan faktor non-hukum, bernama kepraktisan dan dominasi. Atas nama kepraktisan, berbagai perusahaan yang melayani jasa tertentu, seperti asuransi dan bank atau lembaga pembiayaan lainnya cenderung menciptakan draft kontrak berisi semua klausula yang aman bagi dirinya sendiri. Draft kontrak itu yang dikemudian ditawarkan kepada calon klien untuk disetujui. Hampir tidak ada kemungkinan untuk menghapus dan mengubah apa yang sudah dituliskan di dalam draft tersebut. Perubahan biasanya hanya dilakukan dalam kolom yang memang disediakan kosong untuk diisi pihak-pihak tertentu. 33 Ibid, hal Ibid.

19 3. Asas facta sunt servanda Asas facta sunt servanda adalah berarti perjanjian yang bersifat mengikat secara penuh karenanya harus ditepati. Hukum kontrak di Indonesia menganut asas ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi, semua persetujuan yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan pasal ini, daya mengikat kontrak sama dengan undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya. 4. Asas Konsensual Asas ini mempunyai pengertian bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat pada saat tercapai kata sepakat para pihak, tentunya sepanjang kontrak tersebut memenuhi syarat sah yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perlu diingat bahwa asas konsensual tidak berlaku pada perjanjian formal. Perjanjian formal maksudnya adalah perjanjian yang memerlukan tindakan-tindakan formal tertentu, misalnya Perjanjian Jual Beli Tanah, formalitas yang diperlukan adalah pembuatannya dalam Akta PPAT. Dalam perjanjian formal, suatu perjanjian akan mengikat setelah terpenuhi tindakan-tindakan formal dimaksud. 5. Asas Obligatoir Maksud asas ini adalah bahwa suatu kontrak sudah mengikat para pihak seketika setelah tercapainya kata sepakat, akan tetapi daya ikat ini hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Pada tahap tersebut hak milik atas suatu benda yang diperjanjikan (misalnya perjanjian jual beli)belum berpindah. Untuk dapat memindahkan hak milik diperlukan satu tahap lagi, yaitu kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst). Wujud konkrit kontrak kebendaan ini adalah tindakan penyerahan (levering) atas benda yang bersangkutan dari tangan penjual ke

20 tangan pembeli. Tahapan penyerahan ini penting untuk diperhatikan karena menimbulkan konsenkuensi hukum tertentu. Misalnya dalam suatu perjanjian jual beli barang belum diserahkan kepada pembeli, jika barang tersebut hilang atau musnah, maka pembeli hanya berhak menuntut pengembalian harga saja, akan tetapi tidak berhak menuntut ganti rugi, karena secara hukum hak milik atas benda tersebut belum berpindah kepada pembeli. Hal ini dikarenakan belum terjadi kontrak kebendaan berupa penyerahan benda tersebut kepada pembeli. Berbeda jika benda tersebut sudah diserahkan kepada pembeli dan selanjutnya dipinjam oleh penjual, maka jika barang tersebut rusak atau musnah maka pembeli berhak menuntut pengembalian harga dan ganti rugi. Sifat obligatoir ini berada dengan asas hukum kontrak yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata Perancis yaitu hak kepemilikan turut berpindah ketika kontrak telah disepakati. 6. Asas Keseimbangan Maksud asas ini adalah bahwa kedudukan para pihak dalam merumuskan kontrak harus dalam keadaan seimbang. Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiada kata sepakat dianggap sah apabila diberikan karena kekhilafan, keterpaksaan atau penipuan. Sedangkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), disepakati sejumlah asas dalam kontrak secara garis besar asas-asas tersebut adalah: 35 1) Asas konsensualisme, asas ini ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata; 2) Asas kepercayaan; 35 Badan Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), Asas Hukum Kontrak Nasional, Departement Kehakiman, Januari 1989, hal. 31.

21 3) Asas kekuatan mengikat; 4) Asas persamaan hak; 5) Asas keseimbangan; 6) Asas moral, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata; 7) Asas kepatutan, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata; 8) Asas kebiasaan, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUH Perdata; dan 9) Asas keastian hukum. C. Peraturan Hukum Kontrak Dagang Indonesia yang Berhubungan Dengan Kontrak Dagang Internasional Berikut ini, peneliti paparkan berbagai peraturan hukum di Indonesia yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan mengenai kontrak dagang Indonesia yang bersifat internasional. 1. Peraturan Hukum Peninggalan Kolonial Peraturan hukum yang berkenaan dengan kontrak dagang Internasional bagi negara Indonesia merujuk kepada Het Herziene Indonesich Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Landasan hukum Indonesia berdasarkan hukum peninggalan Belanda yang masih berlaku sekarang tentang arbitrase dalam Het Herziene Indonesich Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), Rechtverordering (Rv) 36, dimana landasan hukum tersebut terdapat pada Pasal 317 HIR yang berbunyi, Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan yang mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. 36 M. Yahya Harahap., Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 1.

22 bahwa: Berdasarkan pasal tersebut, maka peneliti memberikan batasan-batasannya 1. Menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau dikenal dengan lembaga arbitrase; 2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan ; dan 3. Para pihak arbiter wajib tunduk menurut peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa. Landasan Rv terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) disingkat dengan Rv. S jo hal tersebut dapat dibaca dalam kalimat, wajib menurut peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. Penunjukan pada pasal-pasal Rv pada prinsipnya adalah untuk mengisi kekosongan hukum tentang aturan arbitrase, karena pada HIR dan Rbg tidak membuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Sebagai pedoman aturan umum arbitrase yang wajib ditaati golongan Bumiputra, Timur Asing, dan Eropa yang diatur dalam buku ketiga Reglement Acara Perdata, terbagi atas lima bagian pokok yaitu: Bagian Pertama (Pasal 615-Pasal 623) mengenai, persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter; 2. Bagian Kedua (Pasal 631-Pasal 640) mengenai, putusan arbitrase; 3. Bagian Ketiga (Pasal 631-Pasal 640) mengenai, upaya-upaya terhadap keputusan arbitrase; dan 4. Bagian Kelima (Pasal 648-Pasal 651) mengenai, berakhirnya acara-acara arbitrase. Reglemen Acara Perdata yang dibuat tahun 1849, mungkin sudah memenuhi kebutuhan praktek pada jamannya. Namun belum dapat menjangkau permasalahan 37 Ibid, hal. 2.

23 arbitrase untuk saat ini yang semakin komplek seperti arbitrase yang diputus di luar negeri, karena dalam Reglemen Acara Perdata belum mengatur tentang pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing. Padahal, maslaah putusan arbitrase asing pada saat sekarang merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari terutama dalam era globalisasi dan interdepensi kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan penanaman modal asing maupun dalam lalulintas perdagangan dunia. Putusan hakim asing pada umumnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 Rv. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Putusan asing di Indonesia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu fakta, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa...keputusankeputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia. Umumnya ketentuan putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusanputusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan umum terhadap kapal atau pemilik kargo yang diangkut

24 oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada Het Herziene Indonesich Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing. Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal (woonplaats) atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada (werkelijk verbliff). Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Yurisdiksi menurut Sudargo Gautama, merupakan ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dala Pasal 118 ayat (3) HIR. 38 Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri ditempat penggugat (Forum Actoris). Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak (Forum Rei Sitae). Pasal 118 ayat (4) HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang 38 Sudargo Gautama (III), Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8), (Bandung: Alumni, 1979). hal. 210.

25 telah dipilih tersebut (Chice of Forum). Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara diamana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah dilakukan. 39 Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering (Rv) 40 mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Kontrak dagang Internasional mengandung elemen-elemen asing, maka dalam pelaksanaannya menimbulkan persoalan, hukum manakah yang berlaku atas perjanjian atau kontrak tersebut. Prinsip hukum yang berlaku dalam kontrak yang mengandung unsur HPI tersebut adalah hukum yang dipilih sendiri oleh para pihak (pilihan hukum).jika pilihan hukum tersebut tidak ditemukan dalam kontrak yang bersangkutan, dapat digunakan bantuan titik-titik taut sekunder. Asas kebebasan berkontrak menekankan kepada para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak, bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian termasuk untuk 39 Ibid, hal Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan RV dapat dijadikan sebagai pedoman. 41 Ibid, hal. 211.

26 menentukan pilihan hukum. 42 Kemudian apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai undang-undang bagi mereka kedua belah pihak yang berkontrak. 43 Pilihan hukum merupakan masalah sentral dalam HPI berbagai sistem hukum. Pilihan hukum ini telah diterima baik dikalangan akademisi maupun dalam praktik di pengadilan. Yansen Derwanto Latif menyatakan bahwa pilihan hukum dihormati dengan beberapa alasan: Pilihan hukum sebagaimana yang dimaksud para pihak dianggap sangat memuaskan bagi mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku di banyak negara. Hal ini merupakan fakta yang menarik, karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai negara; 2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur tentang kontrak tersebut; 3. Memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Pilihan hukum para pihak dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi.alasan tersebut memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak efisien, meningkatkan persaingan hukum, dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang dipergunakan. Pemuatan pilihan hukum dalam hukum kontrak adalah hanya satu cara dari pengurangan biaya. Suatu alternatif mungkin adalah suatu peraturan bersifat memaksa yang relatif sederhana, seperti menentukan hukum tempat kontrak itu dibuat. Hal ini akan menghemat bagi para pihak dari biaya penentuan hukum yang berlaku, jika tidak terdapat klausul pilihan hukum; dan 4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dan setiap sistem hukum. 42 Sutan Remy Sjahdeini., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal Ridwan Khairandy (II)., Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal Yansen Derwanto Latif., Pilihaan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal

27 Pilihan hukum para pihak didasarkan pada pertimbangan bahwa pada prinsipnya seluruh sistem hukum nasional adalah sama dan oleh karenanya dapat saling dipindahkan. Dalam kontrak internasional, hukum private nasional akan diterapkan apabila tidak ada pilihan hukum kepada hukum nasional lainnya. 45 Pilihan hukum ini sudah umum. Kini orang sudah tidak meragukan lagi, bahwa para pihak dalam membuat sebuah kontrak dapat menentukan sendiri hukum bagi kontrak yang mereka buat itu. 46 Pihak-pihak dalam berkontrak, bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan mengingat beberapa pembatasan; Pertama, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Kedua, pilihan hukum itu tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan tidak berarti tidak ada batasnya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum. Hukum yang memaksa juga membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum. Pembatasan-pembatasan tersebut dientukan oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi pasar. Pilihan hukum harus secara tegas di dalam kontrak yang bersangkutan. Para pihak secara tegas dan jelas menentukan hukum mana yang merreka pilih. Hal tersebut biasanya muncul dalam klausul governing law. Keabsahan suatu kontrak didasarkan pada hukum yang dipilih para pihak tersebut. Demikian juga apabila terjadi perselisihan maupun pelaksanaan perjanjian, maka Hakim atau Arbiter yang Ibid. 46 Sudargo Gautama (III)., Op. cit, hal Ibid, hal. 24.

28 mengadili perkara tersebut juga harus merujuk kepada hukum yang telah dipilih para pihak tersebut. Permasalahan yang timbul adalah jika pilihan hukum itu tidak ada dalam menentukan hukum yang diberlakukan. Hakim atau Arbiter harus menggunakan teori yang lazim dikenal di dalam HPI. Teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut; (1). Lex Loci Contractus, (2). Mail Box Theory of Declaration, (3). Lex Loci Solutions, (4). The Proper Law of a Contract, (5). Theory Most Characteristic Connection. Penentuan tentang teori mana yang akan diberlakukan menimbulkan permasalahan tersendiri. Penggunaan titik pertalian atas teori tersebut sangat beragam, tergantung pada titik pertalian mana yang dianut oleh masing-masing kaidah HPI setiap negara. Kaidah HPI Indonesia yang terdapat dalam Pasal 18 AB menentukan, jika tidak ada pilihan hukum, maka hukum yang berlaku harus merujuk kepada hukum negara dimana tempat diadakannya kontrak tersebut. Pilihan hukum merupakan cara yang terbaik untuk menentukan hukum yang berlaku terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul dalam menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam terjadinya sengketa bisnis yang mengandung unsur HPI, dan untuk menghindari berbagai kesulitan yang mungkin timbul, serta untuk menghindari hukum yang tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi serta menghindari hukum yang tidak dikehendaki oleh negara dimana trnasaksi tersebut dilakukan. 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa (APS) Salah satu ketentuan yang merupakan sumber pokok dapat dilaksanakannya arbitrase atau ketentuan hukum yang mengatur arbitrase atas perselisihan atau

29 sengketa kontrak dagang Internasional, di Indonesia sebelumnya diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS adalah ketentuan yang dalam Pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui Het Herziene Reglement, Staasblad; 44 (HIR) untuk Jawa dan Madura, atau Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227 (Rbg). Kedua ketentuan dasar tersebut, dianggap menjadi sumber dari berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur pratanya secara cukup lengkap dalam ketentuan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata atau Reglement op de Rechtsvordering Staatsblad 1847;52) bagi seluruh golongan penduduk Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, maka seluruh ketentuan tersebut di atas, yaitu Pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui Het Herziene Reglement, Staasblad; 44 (HIR), Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227 (Rbg), dan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata atau Reglement op de Rechtsvordering Staatsblad 1847;52), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Bab I Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, menyatakan mengenai penyelesaian sengketa dimana para pihak telah memutus dari sejak awal bahwa dalam kesepakatan perjanjian mereka apabila terjadi sengketa, maka akan diselesaikan dengan cara arbitrase. Klausula perjanjian arbitrase tersebut menjadi bagian yang sah dari perikatan tersebut. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase dapat dipilih sesudah terjadinya

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum OLEH SETIAWAN KARNOLIS LA IA NIM: 050200047

Lebih terperinci

HPI PILIHAN HUKUM PERTEMUAN IX. By Malahayati, SH., LLM

HPI PILIHAN HUKUM PERTEMUAN IX. By Malahayati, SH., LLM HPI 1 PILIHAN HUKUM PERTEMUAN IX By Malahayati, SH., LLM TOPIK 2 PENGERTIAN CARA PILIHAN HUKUM LEX MERCATORIA LEX LOCI CONTRACTUS TEORI PENGERTIAN 3 Pada prinsipnya hukum yang berlaku di dalam kontrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kontrak termasuk dalam ranah hukum perdata, disebut demikian karena ini memusatkan perhatian pada kewajiban individu dalam berhubungan dengan individu lain untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I.

PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I. PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I. Latar Belakang. Kontrak binis Internasional selalu dipertautkan oleh lebih dari system hukum. Apabila para pihak dalam kontrak kontrak bisnis yang demikian ini tidak

Lebih terperinci

BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA

BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA E. Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial Pengakuan (recognition) harus dibedakan dengan pelaksanaan (enforcement).

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1 Soeikromo D.: Kontrak Standar Perjanjian.. Vol.22/No.6/Juli /2016 Jurnal Hukum Unsrat KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS Oleh : Deasy Soeikromo

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2

Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/Agustus/2013. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2 PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL 1 Oleh : Raditya N. Rai 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip apa yang ada dalam hukum kontrak dagang internasional

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2 ABSTRAK Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM 1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun di dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah membubuhkan tanda tangannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di

Lebih terperinci

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul Oleh: Hengki M. Sibuea, S.H., C.L.A. apple I. Pendahuluan Arbitrase, berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mesin yang dapat menerima informasi input digital, kemudian. Internet merupakan sekumpulan jaringan komputer yang menghubungkan

BAB I PENDAHULUAN. mesin yang dapat menerima informasi input digital, kemudian. Internet merupakan sekumpulan jaringan komputer yang menghubungkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan informasi dalam era globalisasi, membuat berbagai aktivitas sehari-hari dilakukan dengan bantuan alat-alat elektronik yang salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

Hukum Kontrak Elektronik

Hukum Kontrak Elektronik Kontrak Elektronik (E-Contract) Hukum Kontrak Elektronik Edmon Makarim menggunakan istilah kontrak online (online contract) bagi kontrak elektronik (e-contract) dan mendefinisikan kontrak online sebagai:

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN JUAL BELI ANTAR NEGARA MENURUT KETENTUAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN JUAL BELI ANTAR NEGARA MENURUT KETENTUAN HUKUM PERDATA INDONESIA kerangka konseptual. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bagaimana bentukbentuk serta pelaksanaan klausula eksonerasi dan kaitannnya dengan perlindungan para pihak khususnya dalam perjanjian jual beli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract) Definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam melakukan kehidupan sehari-hari, seringkali tidak pernah lepas dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam melakukan kehidupan sehari-hari, seringkali tidak pernah lepas dalam melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam melakukan kehidupan sehari-hari, seringkali tidak pernah lepas dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Hubungan tersebut menimbulkan hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi diantara masyarakat itu sendiri semakin menjadi kompleks. satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam

BAB I PENDAHULUAN. interaksi diantara masyarakat itu sendiri semakin menjadi kompleks. satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dengan kemajuan teknologi yang semakin modern saat ini, ikut mendorong peningkatan perekonomian yang semakin maju, sehingga berdampak terhadap

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA 1 of 27 27/04/2008 4:06 PM UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : SHAFIRA HIJRIYA

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini: NAMA: Catherine Claudia NIM: 2011-0500-256 PELAKSANAAN KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE KOMERSIAL NTERNASIONAL MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG]

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] Untuk keperluan kutipan versi AS, teks bahasa Inggris bersertifikasi PBB dipublikasikan dalam 52

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama? PANDUAN WAWANCARA Mediator: 1. Apa saja model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian? a. Bagaimana cara menerapkan model-model pendekatan agama dalam proses mediasi terhadap

Lebih terperinci

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

Muhammad Risnain, S.H.,M.H. 1

Muhammad Risnain, S.H.,M.H. 1 PROBLEMATIKA PILIHAN HUKUM (CHOICE OF LAW) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS ELEKTRONIK INTERNASIONAL DALAM UNDANG- UNDANG (UU) NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi BAB IV ANALISIS A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara umum mediasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention This translation was kindly prepared by Dr. Afifah Kusumadara, Vannia Nur Isyrofi, and Hary Stiawan (lecturer and students at the Faculty of

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM HPI 1 PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV By Malahayati, SH, LLM TOPIK 2 PEMAKAIAN HUKUM ASING PELAKSANAAN PUTUSAN PUTUSAN PAILIT PUTUSAN ARBITRASE ICC 3 International Chamber of Commerce, Paris;

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum antar manusia maupun badan hukum sebagai subjek hukum, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. hukum antar manusia maupun badan hukum sebagai subjek hukum, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dewasa ini sangat berdampak pada hubungan hukum antar manusia maupun badan hukum sebagai subjek hukum, yaitu hubungan yang terjadi akibat

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1 KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA Oleh : Revy S.M.Korah 1 A. PENDAHULUAN Lelang di Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah yang baru, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit).

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan bisnis tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan BAB I 1. Latar Belakang Masalah Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan jaminan kepastian atas transaksi bisnis yang dilakukan para pihak, sifat otentik atas akta yang dibuat oleh

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama

BAB I PENDAHULUAN. berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama BAB I PENDAHULUAN Perjanjian berkembang pesat saat ini sebagai konsekuensi logis dari berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama bisnis dilakukan oleh pelaku bisnis dalam bentuk

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

Kontrak: Pendekatan-pendekatan Hukum Perdata dan Common Law

Kontrak: Pendekatan-pendekatan Hukum Perdata dan Common Law Kontrak: Pendekatan-pendekatan Hukum Perdata dan Common Law Sistem Common Law: Kebanyakan negara-negara yang dulunya di bawah pemerintahan Kolonial Inggris manganut sistem hukum kasus (common law) Inggris.

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci