Mengapa Perlu Visi Indonesia 2033? Oleh Tim Visi Indonesia 2033

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Mengapa Perlu Visi Indonesia 2033? Oleh Tim Visi Indonesia 2033"

Transkripsi

1 Mengapa Perlu Visi Indonesia 2033? Oleh Tim Visi Indonesia 2033

2 Mengapa Perlu Visi i Indonesia 2033 Tim Visi Indonesia 2033 Tim Visi Indonesia 2033 Andrinof A Chaniago Ahmad Erani Yustika M. Jehansyah Siregar Tata Mutasya

3 StrategiMenuju Indonesia Baru 2033 Pengantar Skli Sekali lagi, dan sedapat mungkin berulang-ulang l diingat bh bahwa, untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam berbangsa dan bernegara, semua dokumen kebijakan kita harus memiliki kerangka berpikir yang jelas dan logis dalam menggambarkan perkiraan situasi dan pilihan-pilihan lh lh tindakan dk serta memperlihatkan pengakuan atas kompleksitas hubungan antarkelompok sosial, antarwilayah, antarbidang isu dan antara waktu saat ini dan akan datang. Oleh karena itu, pendekatan dan tindakan sadar maupun tidak sadar, dalam kerja mencapai tujuan jangka panjang yang berorientasi, atau membuat orang terjebak pada tujuan parsial, sektoral, eksklusifitas kelompok dan kawasan, dan tujuan jangka pendek adalah salah satu musuh yang harus disingkirkan. Berpijak dari kondisi saat ini, yang merupakan warisan cara kerja puluhan tahun, pekerjaan menata sekali lagi, menata harus dilihat sama pentingnya dengan pekerjaan menambah dan menumbuhkan. Kita harus menata relasi-relasi antarkelompok sosial, jejaring antarwilayah dan antarkota, termasuk antara desa dan kota, antarsektor, antara bangunan bawahah dan bangunan atas kelembagaan berbangsa dan bernegara, dan berbagai bentuk-bentuk relasi lainnya. 1

4 Sebab, menambah atau menumbuhkan dalam bangunan-bangunan relasi yang rapuh sangatlah lhberisiko membawa bangsa dan negara kepada guncangan besar seperti yang sudah pernah kita alami pada tahun Relasi-relasi yang perlu kita tata itu haruslah menjadi salah satu panduan, disamping panduan-panduan normatif dan etik yang dibuat para founding fathers bangsa, dalam rencana-rencana dan tindakan praktis kita untuk mencapai tujuan jangka panjang. Upaya py menataataumerekayasa tatanan relasi berbagai dimensi kehidupan tadi tidak ada hubungannya dengan sikap belenggu-membelenggu kebebasan manusia, karena apapun pilihan cara bermasyarakat dan bernegara yang kita ambil kita tidak akan menemukan kebebasan yang hakiki. Memilih jalan kebebasan sebebas-bebasnya di bidang politik maupun ekonomi, tetap saja sebagian besar dari kita akan dihadang oleh belenggu tirani elite, tirani oligarki, tirani pemilik modal besar, dan sebagainya. Melepas belenggu-belenggu seperti ini sama pentingnya dengan melepas belenggu rejim otoriter dan totaliter yang bertindak mengatasnamakan negara. 2

5 Semestinya, tidak harus ada tubrukan antara pembangunan di tingkat pusat dan daerah. Daerah adalah dlhtempat kita meletakkan lokus-lokus l k pembangunan yang berada dl dalam sebuah disain jejaring, morfologi, distribusi dan hirarki kota atau kawasan secara nasional. Daerah, atau suatu wilayah pemerintahan daerah, adalah tempat kita dengan konsisten dan serius mengisi dan menggerakkan pembangunan dengan dengan tujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, menerapkan demokrasi ekonomi, melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, melakukan pembangunan struktur sosial dan relasi-relasi sosial baru, pembangunan perilaku bermasyarakat dan bernegara, pembangunan etos kerja dan kewirausahaan untuk mendukung kehidupan yang berkualitas, dan berbagai kegiatan tata kelola lainnya. Semuanya itu tentu saja harus dilakukan dengan penghormatan penuh terhadap HAM sipil dan politik maupun HAM ekonomi, sosial dan budaya. Dengan cara pandang seperti ini, maka isi terbesar dari apa yang kita namakan sebagai pembangunan nasional tidak lain adalah agregasi dari pembangunan di berbagai daerah tadi. Dengan kata lain, pembangunan nasional adalah himpunan dari proyek-proyek p y menata dan menumbuhkan atau menambah di tingkat lokal yang berada di dalam disain tatanan nasional yang serasi, efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan privat dan kebutuhan sosial (publik) yang juga akan terus mengalami pertumbuhan. 3

6 Kondisi yang kita warisi saat ini jelas mengharuskan kita untuk memiliki rencana pembangunan jangka panjang. Tt Tetapi, konsep pembangunan jangka panjang nasional kita harusnya bersifat logis dan memperlihatkan jalan terang untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut. Oleh karena itu, konsep pembangunan jangka panjangitutidak dkcukup hanya berisi gugusan prosa indah dhdan tidak dkcukup hanya berbentuk daftar keinginan-keinginan muluk. Tidak ada salahnya, konsep pembangunan jangka panjang berisi sejumlah agenda straregis yang merupakan jalan logis dan bisa dibayangkan efektifitasnya untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara yang sudah lama kita canangkan. Bagi kami(tim Visi Indonesia 2033), metode menata dan menambah yang dilakukan secara beriringan adalah metode yang harus kita pakai dalam pembangunan jangka panjang sebagai konsekuensi dari kondisi yang kita warisi dan sebagai strategi untuk mewujudkan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Dalam konteks itulah, dengan berbagai pertimbangan logis dan kajian empiris, kami merekomendasikan sejulah agenda strategis, seperti Pemindahan Ibukota ke Kalimantan, Pengembangan sekitar 53 kota kecil 4

7 yang tersebar di nusantara, pendaygunaan agen-agen sosial untuk membangun perilaku lk masyarakat, akselerasi pembangunan pedesaan, regulasi dan penetapan insentif dan disintentif dalam mengatur penempatan pejabat struktural dan fungsional (seperti syarat mendapatkan jenjang profesor di perguruan tinggi), prioritas pembangunan pada sektor-sektor tertentu dan kawasan tertentu, dan sebagainya. Metode yang kami tawarkan ini bukanlah perubahan yang menakutkan dan janganlah dipolitisasi untuk menakut-nakutkan masyarakat. Apa yang kami tawarkan haruslah dipahami sebagai refleksi atas kompleksitas dan solusi yang harus dipahami dari berbagai aspek. Usulan pemindahan ibukota ke Kalimantan, misalnya, janganlah terburu-buru dikatakan akan memakan biaya mahal, jika tidak bisa melihatnya dari segi biaya manfaat, peluang-peluang yang hilang, usia manfaat, efek berantainya, dan sebagainya, yang semuanya terkait dengan tujuan kita berbangsa dan bernegara. Agenda-agenda strategis yang perlu ditetapkan secara eksplisit itu, adalah untuk membawa masyarakat, bangsa dan negara inikl keluar darikondisi i 5

8 yang membuat kita sulit mencapai tujuan jangka panjang berbangsa dan bernegara dan sekaligus untuk membuat kejelasan tentang cara mencapai tujuan jangka panjang. Agenda- agenda strategis tersebut haruslah h tercermin di dl dalam dokument-dokumen d k kb kebijakank pembangunan pusat dan daerah seperti Undang-undang, RPJP, RPJM, Arah Kebijakan Umum (AKU), Propenas dan Propeda, Perda APBD dan APBD, dan dokumen-dokumen lain yang bersifat mengikat. Mengadopsi usulan-usulan di dalam Visi Indonesia 2033 tentu saja mengharuskan kita melakukan perubahan, revisi, penyesuaian, bahkan pembuatan sejumlah undang-undang dan peraturan. Tetapi, perubahan dan penambahan perangkat perundang-undangan itu harus juga dilihat sebagai perubahan untuk mensingkronkan berbagai kebijakan dan peraturan agar terhindar dari keperluan perubahan yang berulang-ulang untuk jangka pendek dan terhindar dari pemborosan energi yang disedot oleh pro-kontra wacana kebijakan di berbagai sektor, bidang dan wilayah. Karena Visi Indonesia 2033 memandang perlunya revisi atas sejumlah dokumen kebijakan, maka hal itu sekaligus secara tidak langsung menjawab pertanyaan tentang pilihan tahun Dengan segala hormat kepada Pemerintah dan DPR RI yang telah merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun , dan kepada Tim Perumus Visi Indonesia 2030, atau tim-tim perumus gagasan pembangunan jangka panjang lainnya, kami memandang kita terpaksa mengundur beberapa tahun target waktu jangka panjang kita untuk mewujudkan Indonesia dengan kemakmuran yang menyebar, adil sejahtera dan berkelanjutan. Dan, tahun 2033, adalah tahun perkiraan untuk mencapai kondisi tersebut apabila elemen- elemen strategis bangsa ini sesegera mungkin bekerja dengan cara pandang, metode dan strategi yang kami rekomendasikan. 6

9 Pendahuluan Sejak awal hingga pertengahan tahun 2007, di tangan pemerintah paling tidak sudah ada dua konsep tentang visi pembangunan jangka panjang nasional yang ditawarkan melalui hasil kerja kolaboratif. Pertama, konsep yang secara perundangundangan harus dipegang sebagai pedoman, yakni Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Arah Pembangunan Ekonomi Kedua, Visi Indonesia 2030 yang diluncurkan secara resmi oleh Yayasan Indonesia Forum di Istana Negara pada 22 Maret Kalau kita mau bicara secara jujur, kedua konsep tersebut belumlah memuat cara- cara efektif untuk mencapai tujuan jangka panjang yang diinginkan. Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan, kondisi yang terbentuk secara sosial, ekonomi maupun geografis justru makin menambah beban bagi bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita jangka panjang yang telah ditetapkan. Agar kita tidak hanya diiming-imingiimingi oleh mimpi indah, kita perlu melangkah ke tahap memilih sejumlah agenda strategis yang lebih mampu memastikan jalan untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut. 7

10 Masyarakat dan Ekonomi yang Rentan UU No. 17/2007 maupun Visi 2030 Yayasan Indonesia Forum sama-sama menyajikan daftar impian yang menyenangkan. UU No. 17/2007 menyebutkan, antara lain, struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh sektor pertanian dalam artian luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif yang menerapkan praktik terbaik dan tata kelola yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. Sementara, Visi 2030 Yayasan Indonesia Forum memimpikan Indonesia akan mencapai pendapatan perkapita US $ dan menjadi salah satu dari lima kekuatan ekonomi dunia bersama China, India, AS dan Uni Eropa pada tahun Kecuali menyebut syarat kuantitatif untuk mendapatkan impian di atas, konsep Yayasan Indonesia Forum sebetulnya tidak memiliki perbedaan mendasar dengan konsep di dalam Undang-Undang g tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (UU No. 17/2007). Hanya saja, karena isi UU No. 17/2007 disertai banyak ungkapan normatif, di dalamnya lebih mudah ditemukan beberapa rumusan bersayap yang bisa menjadi sumber masalah dalam implementasi hingga akhirnya membelokkan tujuan jangka panjang yang dijanjikan. 8

11 Para perancang Visi 2030 akan lebih mudah berkelit jika impian yang mereka sebutkan gagal tercapai. Seperti yang sudah beberapa kali terdengar, beberapa anggota tim perumus Visi 2030 ini mengatakan bahwa ini baru mimpi. Lain halnya dengan naskah UU No. 17 Tahun 2007 yang sudah masuk ke soal strategi dan berstatus sebagai dasar hukum yang sah. Di situ dikatakank bh bahwa dl dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi, misalnya, diperlukan iklim investasi yang menarik. Kedua konsep menuju masa depan Indonesia tadi sama-sama mengandung bias kepentingan kelompok. Di dalam UU No. 17 Tahun 2007, bias itu lebih eksplisit dan mudah ditemukan. Sementara di dalam Visi 2030, bias itu lebih implisit. Ungkapan tentang perlunya ikliminvestasiyang menarik di dalam UU No. 17 Tahun 2007 adalah contoh bias kepentingan pelaku bisnis dan kaum pragmatis yang menjadi aktor pembuat kebijakan. Jika kita cermati lebih jauh lagi, UU No. 17 Tahun 2007 belum memberi arahan operasional bagi proses pembangunan menuju terbentuknya ekonomi berbasis luas (broad-based economy) yang merupakan prasyarat terbentuknya pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan. Malah, yang tampak justru dorongan 9

12 ke arah rapuhnya basis ekonomi jangka panjang. Selain ungkapan perlunya iklim investasi yang menarik, sektorsektor sektor-sektor andalan yang disebutkan menunjukkan bahwa perekonomian jangka panjang Indonesia akan menuju kepada ekonomi pasar bebas yang menyedot deposit sumber daya alam, pertumbuhan sektor pertanian yang mengandalkan dlk sektor perkebunan kb luas, dan ekonomi perkotaan yang berbasisb pada sektor properti didukung oleh sektor keuangan yang spekulatif. Perekonomian seperti ini mengarah kepada struktur ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal dan tidak mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan. Pengalaman guncangan besar tahun menunjukkan, pertumbuhan ekonomi yang sudahtumbuhrata-rata sebesar 7,3 persen pertahun dari tahun 1988 hingga tahun 1996 bisa tiba-tiba berhenti bahkan berubah menjadi kejatuhan nilai kekayaan nasional karena rapuhnya perekonomian. Ekonomi perkotaan mengalami penderitaan lebih tragis karena pertumbuhan ekonominya jatuh hingga minus antara 15 hingga 22 persen dibanding kemerosotan secara nasional yang minus 13,7 persen. Ketika itu, kita tidak sadar bahwa ekonomi nasional yang bertumpu pada pertumbuhan pesat beberapa kota besar -dengan sejumlah kompleksitas 10

13 permasalahannya- menghadapi ancaman kelangsungan pertumbuhan jangka panjang. Sektor properti yang sering dibanggakan bukan merupakan penampung lapangan kerja secara permanen sehingga menjadi penyumbang besar lonjakan angka pengangguran ketika sektor ini anjlok. Sementara sektor pertambangan jelas tidak mungkin diharapkan menampung angkatan kerja dl dalam jumlah besar karena sektor ini dikenal dengan karakteristik memberikan pendapatan paling tinggi dengan daya serap tenaga kerja paling rendah di antara sektor-sektor ekonomi lain. Pernyataan para pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok berpengaruh akhirakhir ini menunjukkan, paradoks arah implementasi kebijakan ekonomi nasional seperti terjadi di masa lalu- mulai terulang. Ketika UU No. 17/2007 baru diundangkan, seorang menteri ekonomi dan beberapa anggota DPR langsung langsung menyebutkan pentingnya sektor migas dan perkebunan sebagai penggerak perekonomian ke depan. Sikap ini juga tampak dalam kampanye menarik modal asing oleh pemerintah. Padahal, sektor pertama yang disebut itu jelas memiliki sifat mengurangi daya dukung jangka panjang karena menyebabkan defisit cadangan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan. Sementara, sektor perkebunan 11

14 juga cenderung menurunkan daya dukung lingkungan dan melemahkan ekonomi rakyat apabila dijadikan sebagai sektor padat modal. Bahkan, jika kita tidak berhati- hati, perkebunan akan memperbesar jumlah anggota masyarakat buruh dan menyusutkan jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan. Struktur ekonomi dan masyarakat yang rentan terhadap gejolak eksternal telah menjadi pengalaman buruk kita di masa lalu. Baik di masa oil boom ( ), di masa ekonomi gelembung yang digerakkan oleh sektor properti dan perbankan ( ), 1996) atau di dalam sistem ekonomi lokal daerah pertambangan emas dan batu bara saat ini, kita melihat bagaimana cara hidup orang-orang kaya baru yang menikmati hidup boros, senang pamer kemewahan, suka berfoya-foya dan sebagainya. Begitu kaya secara mendadak, d mereka tidak berpikir cara hidup untuk kelangsungan jangka panjang atau maju secara berkelanjutan. Mereka berpikir bahwa untuk hidup aman, cukup membeli tanah dan bangunan untuk simpanan atau menyimpan dana abadi dalam mata uang asing. Perilaku ekonomi di atas telah melahirkan penyakit sosial-ekonomi yang kompleks dan akhirnya membentuk masyarakat yang rapuh. Semuanya bermula dari sistem ekonomi rumah tangga yang tidak berpikir untuk hidup produktif 12

15 secara berkelanjutan hingga jangka panjang. Mereka melupakan perlunya mengubah cara mendapatkan kekayaan menjadi berdasarkan jerih payah anggota keluarga yang bekerja, kemudian larut dalam budaya konsumtif dan hedonis. Pemikiran ekonomi arus utama (mainstream) yang jarang menghiraukan efek negatif dari perilaku sosial ekonomi masyarakat di atas bertemu dengan struktur ekonomi yang rapuh sebagai produk kebijakan pragmatis. Ketika perekonomian Indonesia makin bergantung pada beberapa kota besar, para penganut aliran mainstream memberi pembenaran melalui lli teori aglomerasi yang memandang aglomerasi ekonomi kota sebagai ciri ekonomi yang efisien dan produktif. Padahal, dilihat dari risiko jangka panjang dan beban ongkos yang ditimbulkan untuk mengongkosi masalah lh sosial di blk balik aglomerasi yang terjadi, teori ini tidak dk kontekstual. Perekonomian nasional yang bergantung pada laju pesat perekonomian beberapa kota besar disertai kehidupan sosial-ekonomi yang kontras di dalamnya jelas membahayakan perekonomian nasional itu sendiri. Sebab, di sanalah terdapat potensi ledakan sosial dan politik yang disebut oleh Ted Gurr (1970) bersumber dari deprivasi relatif (relative deprivation). Artinya, kondisi tersebut berpotensi 13

16 menimbulkan inefisiensi ekonomi jangka panjang jika potensi instabilitas sosial di kota-kota kt besar tadi juga membuat pelaku ekonomi global l tidak merasa nyaman dengan iklim ekonomi di Indonesia. Jika kecenderungan sosial-ekonomi perkotaan itu diiringi pula oleh pertumbuhan ekonomi sektoral yang tidak dk memperkuat ekonomi masyarakat di kawasan agraris -karena kawasan itu mengandalkan sektor pertambangan dan perkebunan luas- yang akan terbentuk adalah perekonomian yang rentan. Meski pertumbuhan ekonomi jangka menengah rata-rata cukup tinggi, ini akan menghasilkan konsentrasi kepemilikan pada segelintir orang dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif kecil. Selain itu, struktur ekonomi seperti ini memiliki kerentanan tinggi karena harga komoditas yang dihasilkan, seperti properti, hasil pertambangan, dan hasil perkebunan setengah olahan sangat sensitif terhadap perubahan harga internasional. Pemilik modal besar yang sedikit jumlahnya juga sangat mudah memindahkan modalnya ke luar negeri. Dari perspektif ini, yang selalu absen di dalam konsep operasional pembangunan ekonomi jangka panjang kita adalah bagaimana membuat pertumbuhan 14

17 ekonomi yang seimbang antara Jawa dan luar Jawa, antara pedesaan dan perkotaan, antara sektor yang menyerap tenaga kerja secara permanen dalam jumlah besar dan sektor paling produktif tetapi memiliki daya serap tenaga kerjanya rendah, dan antara akses ekonomi masyarakat golongan atas dan golongan bawah. Masalah ini tentu penting untuk diperhatikan dalam menyusun prasyarat pencapaian tujuan jangka panjang jika kita tidak ingin dihempaskan oleh mimpi-mimpi muluk kita di tengah perjalanan memburu impian masa depan itu. Pelajaran dari Masa Lalu dan Ancaman Masa Depan Krisis ekonomi dari tahun 1997 hingga 2001 telah menunjukkan hilangnya peluang untuk hidup lebih baik dan berkelanjutan, sebagian karena perilaku buruk segelintir pihak yang terlalu ingin menguasai sumber daya ekonomi dan politik untuk kepuasan dirinya sendiri dan untuk pameran prestasi jangka pendek. Peran pelaku ekonomi dan politik ini bertambahb ll leluasa karena mereka jugadd didukung oleh lhpara perencana kebijakan yang berpikir sektoral dan mementingkan rencana jangka pendek. 15

18 Korban utama dan pertama dari perilaku dan cara pandang tadi sebagaimana kita saksikan di masa-masa krisis yang lalu- adalah rakyat mayoritas yang belum diberi akses yang cukup untuk mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain. Mereka yang sebetulnya memerlukan kebijakan afirmatif bersyarat -agar suatu saat siap terjun ke dalam kancah ekonomi pasar yang kompetitif- dilepas secara bb bebas sebagai sasaran para pengusaha dan pemodal yang unggul dalam informasi dan pengetahuan. Diantara para korban itu adalah ribuan rumah tangga yang memiliki lahan di tengah kota tetapit tidak mengerti nilai i masa depan dari aset lahan yang mereka miliki. Karena terkena penyakit yang disebut ilusi uang, mereka bukan saja melepas aset berupa tanah, tetapi juga berbagai akses yang sebetulnya menjadi modal untuk anak cucu mereka. Mereka sungguh tidak sadar, ilusii setumpuk uang yang hanya diukur dengan kepemilikan lh lahan yang lebih luas di pinggiran atau di luar kota merupakan jebakan yang membuat anak-anak cucu mereka menjadi makin tertinggal dalam derap pembangunan. Kecuali hidup di atas tanah yang lbihl lebih luas atau sesaat menikmati i barang-barangb konsumsi yang sebelumnya bl jarang mereka beli, mereka selanjutnya akan berjuang di tengah fasilitas pelayanan publik yang buruk dan biaya transportasi sehari-hari yang lebih mahal serta pengorbanan waktu lbhl lebih lama dl dalam menempuh perjalanan kepusat-pusat fasilitas umum. 16

19 Siklus Buruk Kebijakan Gagasan megapolitan yang mengemuka selama berbulan-bulanbulan semenjak pertengahan tahun 2007 sama sekali tidak menjanjikan jalan keluar dari siklus buruk kebijakan yang berlangsung hingga saat ini. Baik Pemprov DKI Jakarta yang gigih iihdengan gagasan manajemen megapolitan tersebut maupun pemerintah pusat yang ketinggalan kereta sama-sama tidak memiliki konsep untuk memutus siklus buruk kebijakan perkotaan yang penulis sampaikan. Generasi masa depan sebetulnya bisa diselamatkan dari kemiskinan berkelanjutan. Syaratnya adalah, mereka yang menguasai sumber daya ekonomi dan pemerintah yang memiliki kewenangan mengelola sumber daya alam harus memiliki visi pembangunan yang holistik. Visi holistik ini bisa disebut sebagai cara berpikir yang lintas sektoral, lintas regional dan lintas kelompok sosial. 17

20 Sinyal dari Ekosistem Jawa Skala longsor dan banjir bandang -berikut korban jiwa dan harta yang terjadi berturut-turut di berbagai daerah di Pulau Jawa sepanjang Januari adalah indikasi minimnya antisipasi dan kepedulian kita dalam melihat keseimbangan hubungan antar berbagai faktor, terutama antara manusia dan lingkungan sampai kepada hubungan antarunsur lingkungan. Kita kurang peduli dengan kecenderungan yang akan muncul meskipun tersedia data indikatif mengenai hal tersebut. Kecenderungan meningkatnya skalabanjir dan tanah longsor di Jawa sendiri sebetulnya sudah tampak sejak tahun Tercatat bahwa sejak 1999 sampai 2003 saja telah terjadi 26 kejadian banjir dan longsor. Masalahnya, mengapa data indikatif itu tidak menjadi bagian penting dalam membuat perencanaan dan mengendalikan perilaku orang-orang yang menguasai sumber daya tadi? Hubungan antarunsur lingkungan itu, misalnya, hubungan antara kawasan dataran tinggi dan dataran rendah, atau antara kawasan hijau dengan daerah aliran sungai (DAS), dan sebagainya. Hubungan keseimbangan ekosistem dan manusia di Pulau Jawa tadi akan lebih mudah dipahami dari tren ekonomi nasional dan ekonomi di Pulau Jawa sendiri. Dengan luas wilayah kurang dari7 persen (6,7%) dari total luas daratan 18

21 nasional, Pulau Jawa menampung sekitar 130 juta, atau hampir 59 persen dari total penduduk d Indonesia. Bagi kl kalangan pencari lb laba (pengusaha dan investor), penduduk d yang padat di Pulau Jawa ini memberi stimulus bagi kegiatan ekonomi karena menyediakan pasar yang mudah dijangkau sekaligus menyediakan sumber tenaga kerja yang murah. Sedangkan bagi masyarakat biasa, tanah Jawa terlalu sayang untuk ditingalkan karena berbagai jenis kebutuhan pangan pokok bisa didapat dengan kualitas paling baik dibanding daerah lain di Indonesia. Tidak heran jika sekitar 60% industri nasional juga berlokasi di Jawa dan arus kedatangan penduduk dari luar Jawa ke Jawa tetap jauh lebih besar dari jumlah penduduk yang dipindahkan ke luar Jawa lewat program transmigrasi. Para ekonom lalu menjustifikasi perkembangan industri di Pulau Jawa ini dengan teori aglomerasi yang menyediakan skala ekonomi yang efisien bagi pengembangan industri. Karena pandangan yang terlalu positif terhadap Pulau Jawa selaku lokasi industri inilah masalah-masalah lain dipandang inferior dari program pertumbuhan ekonomi nasional yang berpusat di Jawa. 19

22 Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku lk (Persen) Daerah Sumatera 22,41 22,12 22,27 22,85 23,23 Jawa 59,32 58,84 59,48 58,83 57,68 Jawa dan Bali 60,63 60,11 60,68 60,03 58,87 Kalimantan 9, ,51 9,42 10,5 Sulawesi 416 4, , , , ,21 Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua 3,3 3,71 3,5 3,6 3,19 Kawasan Barat 83,05 82,22 82,95 82,88 82,1 Kawasan Timur 16,95 17,78 17,05 17,12 17,9 Sumber: Badan Pusat Statistik 20

23 Sebagai lahan subur untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi, Jawa tidak hanya ditempatkan sebagai daerah industri, perdagangan dan jasa. Jawa adalah dlhjuga daerah industri kehutanan untuk mendatangkan keuntungan bagi pelaku bisnis. Akibatnya, komposisi dan distribusi hutan Jawa saat ini tidak mampu menahan datangnya bencana banjir dan longsor. Menurut para ahli lingkungan, proporsi ideal luas hutan adalah 30 persen dari total lahan. Sementara, saat ini hutan negara yang dikelola Perhutani seluas 2,56 juta hektar atau hanya 22persen dari luas daratan Jawa. Itupun kondisinya banyak yang rusak dan tidak sesuai dengan fungsi untuk mendukung keseimbangan ekosistem (Dedi Muhtadi, 7 Januari 2006). Jawa Sejak 1980-an Meningkatnya gangguan keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa tidak terlepas dari visi pembangunan Indonesia sejak berhadapan dengan tuntutan penyesuaian struktural di awal tahun 1980-an. Jawa, sejak pertengahan tahun 1980-an, adalah tanah yang diberi beban jauh lebih berat dari masa sebelumnya. Perubahan struktur dan basispertumbuhan b ekonomi nasional dari sektor ekstraktif k yang berbasisb 21

24 di luar Jawa dan kawasan lepas pantai ke sektor industri dan jasa yang harus berbasis di kawasan darat yang strategis t menjadikan jdik Jawa sebagai satu-satunya t kawasan andalan untuk kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional. Gagalnya atau menyimpangnya transformasi ekonomi dari ekonomi yang berbasisb sektor ekstraktif k ke sektor industri menjadi ekonomi yang berbasisb sektorsektor nontradable dan bisnis finansial, telah memperburuk keseimbangan ekosistem dan keseimbangan sosial di Jawa. Setelah era minyak berlalu, Indonesia ternyata gagal mengembangkan sektor industri yang kompetitif maupun ramah lingkungan. Jenisjenis industri yang muncul adalah industri properti dan industri perbankan yang sama-sama rapuh. Bisnis prasarana industri sendiri -yang tadinya dimaksudkan memperlancar pengembangan sektor industri- berhenti dan berbelok pada bisnis properti dalam bentuk bisnis kawasan industri, perumahan, lapangan golf, kawasan rekreasi komersial, dan sebagainya. Kerjasama untuk kepentingan jangka pendek antara pengusaha sektor properti dan perbankan sejak akhir tahun 1980-an ini sekilas menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Tetapi dampak buruk yang harus diterima 22

25 rakyat Indonesia bukan saja kerusakan keseimbangan ekosistem dan keseimbangan sosial, il tt tetapijuga kerapuhan struktur ekonomi nasional yang berujung pada kii krisis terburuk sepanjang sejarah Indonesia membangun. Secara ekologis, pertumbuhan dua sektor inti yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi sejak akhir tahun 1980-an dan paruh pertama tahun 1990-an yang berbasisb di kawasan perkotaan dan sekitarnya terbukti telah menimbulkan tekanan terhadap daerah-daerah hijau di Bogor dan Cianjur. Tekanan ini muncul karena struktur ekonomi yang ada memunculkan permintaan terhadap lahan yang berfungsi sebagai kawasan peristirahatan dan wisata komersial bagi kalangan kelas menengah kota. Kekuatan wacana yang mendukung atau membiarkan perkembangan ekonomi pada saat itu tidak terbendung. Menurut hemat saya, selain mendapat pembenaran dari teori aglomerasi yang dianut kebanyakan ahli ekonomi, hasil jangka pendek dari proses ekonomi seperti itu sangat memenuhi kepentingan dan cara berpikir pejabat pemerintah, perancang agenda pembangunan di legislatif (MPR), dan sebagian pengusaha kita di masa sepuluh tahun terakhir Orde Baru ( ). Pada masa itu, para pejabat pemerintah dan politisi kita betul-betul larut dalam alam 23

26 pikiran pembangunan yang berorientasi pada penambahan wujud fisik dan akumulasi pendapatan. Alat untuk mencapai tujuan pembangunan seperti itu bagi mereka tidak lain adalah prasarana dan sarana fisik. Asumsinya, penambahan prasarana dan sarana fisik tadi akan meningkatkan produktivitas ekonomi dan akumulasi penerimaan pajak (Lihat Andrinof A Chaniago, Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2001). Meski pemerintah Orde Baru ketika itu telah berkuasa lebih dua puluh tahun dan sejak awal pemerintah sudah memiliki konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang, namun sejak akhir tahun 80-an cara berpikir pemerintah kembali seperti para politisi yang mengutamakan keberhasilan jangka pendek. Berbagai desakan jangka pendek -seperti keterbatasan dana pembangunan dan tetap rendahnya respons investor terhadap kebijakan-kebijakan deregulasi- direspons oleh pemerintah dengan mengkomersialkan ruang di lokasi-lokasi strategis di tengah dan di pinggir kota. Ruang-ruang di lokasi strategis tersebut menjanjikan produktivitas yang tinggi untuk menghasilkan nilai tambah perekonomian dan penerimaan pemerintah untuk jangka pendek. dkyang tidak dipedulikand oleh lhpemerintah ktik ketika ituadalah dlhbiaya 24

27 eksternalitas dari kegiatan pihak swasta dan kebijakan pemerintah yang nantinya akan menjadi jdibb beban publik. Pemerintah dan pengusaha mengambil kesempatan untuk meraih penerimaan pajak dan laba melalui peran sektor properti sebagai primadona dan lokomotif perekonomian. Melihat sumbangan sektor properti begitu gemilang terhadap pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak, para pejabat pemerintah makin antusias mendukung penambahan gedung-gedung tinggi dan bangunan-bangunan superblock untuk perkantoran, apartemen mewah dan pertokoan, dan infrastruktur fisik terpadu di dalam kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Perkembangan ekonomi berbasis properti dan perbankan ini akhirnya meluber ke daerah pendukung kota-kota besar tersebut. Untuk Jakarta, aglomerasi ekonomi itu telah menyatukan Jakarta dengan kawasan Bogor, Tangerang dan Bekasi, hingga kawasan Puncak (Cianjur) yang berfungsi sebagai daerah tujuan rekreasi warga kelas menengah kota. Untuk Bandung, perkembangan yang paling kontroversial adalah berubahnya kawasan Bandung Selatan sebagai kawasan pemukiman. Di Semarang, bukit-bukit yang mengelilingi kota berubah menjadi lahan pemukiman kalangan menengah atas. 25

28 Program Transmigrasi yang Sia-sia Program transmigrasi isudah dhberjalan sejak jkjaman kl kolonial ilbl Belanda. Sjk Sejak Od Orde Baru, program ini berlanjut dalam perkembangan ekonomi yang berbeda. Tujuan untuk mengurangi ketimpangan persebaran penduduk antara Jawa dan luar Jawa melalui program transmigrasi menunjukkan kemubaziran sejak akhir tahun 1980-an karena arus kedatangan penduduk dari luar Jawa ke Jawa semakin besar, termasuk dari provinsi yang tadinya menjadi daerah tujuan penempatan p transmigran seperti Provinsi Lampung. Berlanjutnya program transmigrasi yang semestinya sudah dihentikan itu membuat beberapa kebijakan pembangunan mengandung paradoks. Secara de facto tampak bahwa strategi pembangunan ekonomi nasional tetap diorientasikan ke sumber daya-sumber daya yang ada di Jawa, mulai dari tenaga kerja, pasar, infrastruktur dan sebagainya. Tetapi, secara normatif selalu digembar-gemborkan kita ingin menciptakan pemerataan pembangunan antarwilayah, antarkawasan Barat dan Timur, antara Jawa dan luar Jawa, antara kelautan dan nonkelautan, dan sebagainya. 26

29 Pasca2006: Potensi Ancaman Ekologis Meluas ke Kawasan Selatan Jawa Slh Salah satu fkt fakta yang kurang menjadi jdiperhatian hti publik hingga saat inii adalah dlh dipersiapkannya landasan untuk akselerasi eksploitasi Jawa tahap kedua sejak tahun 1990-an. Hal itu bisa dilihat dari rencana pemerintah untuk membangun dan mendukung pembangunan jalan tol secara nasional. Hingga saat ini -dilihat dlh dari realisasi maupun rencana pembangunan ruas jalan tol baru- bagian yang dibangun di Jawa di atas 70 persen dari keseluruhan. Secara kebetulan, visi lama pembangunan tadi mendapat kesesuaian dengan visi baru pemerintah daerah. Dengan pertemuan visi lama dan visi baru itulah, dimulai sejarah pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) Jawa. Sejak Pemerintahan Megawati rencana pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa sudah dimulai, yang dimaksudkan untuk mengimbangi perkembangan di Pantura. Rencana ini bermula dari rencana Pemerintah Provinsi Jawa Timur tahun 2001 untuk meningkatkan percepatan pembangunan Jawa Timur bagian Selatan. Setelah dikomunikasikan dengan pemerintah provinsi lain di Jawa, rencana ini disambut dan dikembangkan menjadi rencana pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa. a 27

30 Akhirnya, rencana ini didukung oleh Pemerintah Pusat, baik pada masa Pemerintahan Presiden Megawati maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dukungan pemerintah pusat terhadap pembangunan lintas selatan terlihat lebih digerakkan oleh pemikiran yang semata-mata melihat potensi ekonomi kawasan selatan Pulau Jawa. Seperti disampaikanik Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas saat itu, Paskah Suzetta, dukungan untuk pembangunan jalan lintas selatan (JLS) itu karena adanya potensi ekonomi di sepanjang jalur selatan Jawa mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, hingga Jawa Timur. Untuk menjadikan status jalan yang membentang sepanjang km tersebut - mulaidariujung Kulon, Banten sampai Banyuwangi, Jawa Timur- menjadi jalan arteri primer diperlukan dana sekitar Rp 3 triliun. Pengadaan dana yang cukup besar tersebut jelas tidak mungkin diambil dari APBD lima provinsi dan dari APBN. Karena itu, baik pemerintah daerah dari lima provinsi maupun pemerintah pusat sudah sepakat menawarkan pembangunan ruas-ruas tertentu dari jalur ini kepada investor. 28

31 Pilihan berpaling kepada investor dalam pembangunan infrastruktur jalan (jalan tol) selama ini juga tidak pernah dilihat sebagai awal ancaman bagi keseimbangan ekosistem dan hubungan sosial. Merupakan fakta bahwa infrastruktur jalan tol yang dibangun di Indonesia sejak tahun 1980-an bukan bertujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa industri yang kemudian meningkatkan ekspor. Jalan tol adalah industri tersendiri yang ingin dibuat beranak- pinak oleh investornya dan pemerintah. Dengan kata lain, jalan tol itu bukanlah infrastruktut atau prasarana yang membantu bergeraknya sektor manufaktur dan jasa-jasa lainnya. Jawa adalah lahan industri jalan tol yang paling menggiurkan karena penduduknya yang amat padat. Juga, harus diakui sektor bisnis ini bisa menghasilkan percepatan pertumbuhan ekonomi jangka pendek karena adanya backward dan forward lingkage yang ditimbulkannya. Tetapi, perlu sekali diantisipasi dampak dari pembangunan jalan tol ini terhadap keseimbangan ekosistem dan keseimbangan sosial di Pulau jawa di masa depan atau sekitar 20 hingga 25 tahun yang akan datang. Tahun 2020 saja penduduk Indonesia diperkirakan sudah berjumlah 261,5 juta. Sebanyak 146,5 juta jiwa tinggal di Jawa yang luasnya kurang dari 7% dari total luas daratan Indonesia Jawa. Perkiraan jumlah penduduk Jawa itu didasarkan pada asumsi bahwa tren pertumbuhan penduduk berjalan sebagai kelanjutan normal dari kondisi sekarang. Kondisi normal itu artinya Jawa adalah daerah yang tetap lebih menarik untuk dd didatangi. 29

32 Tetapi, yang lebih penting lagi untuk diperkirakan adalah arah pergerakan relasi-relasi ekonomi-politik antara masyarakat, pelaku bisnis, dan pejabat publik. Tren pembangunan fisik diperkirakan akan membuat kawasan-kawasan hijau di sepanjang jalan tol lintas selatan Jawa akan menarik selera kaum kelas menengah untuk mendirikan rumah-rumah peristirahatan, lapangan golf, lalu berubah menjadi factory outlet, dan sebagainya. Dari aspek ekosistem, jelas tekanan terhadap daerah hijau akan bertambah. Lalu, karena jumlah orang miskin di Jawa bertambah, makin banyak dari mereka yang tinggal di lahan-lahan kritis dan mendirikan bangunan sesukanya. Akibatnya, y, daerah-daerah tangkapan air dan daerah resapan air di sepanjang selatan Jawa nanti akan makin berkurang kualitas dan kuantitasnya. Kita belum lagi berbicara tentang relasi sosial-ekonomi dan politik. Salah satu pola relasi sosial yang akan muncul adalah interaksi fisik antarkelompok sosial akan semakin intensif karena mereka tinggal di lahan yang semakin terbatas. Karena besarnya kesenjangan sosial-ekonomi, garis-garis kelas sosial di Jawa juga akan semakin tegas. Garis-garis tegas ini tentu akan menjadi komoditas yang menarik untuk diperdagangkan oleh para politisi yang hanya memburu kedudukan dan uang. Mudah-mudahan tidak semua ramalan itu benar. Tetapi, sebaiknya, marilah kita tetap merenung tentang masa depan Pulau Jawa dan masa depan ekonomi Indonesia setelah 20 atau 25 tahun lagi dari sudut pandang ini! 30

33 Membangun Ketahanan Ekonomi Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dl dalam tulisannya pernah menyatakan bahwa ketahanan ekonomi merupakan bagian penting dari ketahanan nasional di Indonesia dan ketahanan ekonomi memerlukan sumber-sumber ketahanan nonekonomi (Kompas, 8 Mei 2006). Duasumber ancaman ketahanan ekonomi yang disebut Juwono ketika itu adalah ketidakadilan sosial dan kemiskinan. Tinjauan intuitif Juwono itu sebenarnya perlu dikaji lebih jauh. Situasi menjelang krisis ekonomi tahun 1997 merupakan fakta empiris untuk melihat sumber-sumber ancaman ketahanan ekonomi di luar fundamental makroekonomi yang konvensional. Sesungguhnya, di masa itu banyak sekali faktor nonekonomi -yang tidak bisa diwakili oleh angka-angka nominal yang biasa disusun secara instan untuk uji korelasi atau uji regresi- yang nyata pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Faktor-faktor tersebut bukan saja soal kemiskinan dan ketidakadilan sosial, tetapi mencakup juga ketimpangan pembangunan antarwilayah, urbanisasi yang tak terkendali, deprivasi sosial (seperti dikatakan Ted Gurr), dan sebagainya. 31

34 Kita mungkin sudah merasa keluar dari krisis. Tetapi, merasa keluar dari krisis bukan berarti kita aman dari ancaman krisis berikutnya. Meskipun sudah dhterlihat lh tanda-tanda yang menunjukkan fundamental makroekonomi konvensional -seperti cadangan devisa, inflasi, stabilitas nilai kurs Rupiah, dan sebagainya- membaik fundamental nonekonomi untuk ketahanan ekonomi harus diperhatikan. Ketimpangan Infrastruktur Menurut hemat penulis, di atas kertas memang banyak tercantum agenda untuk memulihkan ekonomi Indonesia setelah krisis tahun 1997 sekaligus menggeser orientasi pembangunan ekonomi ke arah prorakyat. Namun, jika dilihat langkah-langkah konkret yang diambil pemerintah, banyak di antaranya yang mengandung paradoks. Di satu sisi, ia berangkat dari komitmen yang kuat untuk melakukan pemerataan, menegakkan keadilan, dan mengurangi ketimpangan. Tetapi, di sisi lain, kebijakan ekonomi dan langkah-langkah yang diambil, termasuk masalah yang diabaikan, menunjukkan bahwa pemerintah membangun perintang untuk mewujudkan tujuan tadi. 32

35 Negara-negara yang terbukti perekonomiannya memiliki daya tahan didukung oleh distribusi i aset, infrastruktur dan pelayanan n jasa pemerintahan. n Tetapi, di negeri kita hingga saat ini, pemerintah belum mempunyai konsep untuk memanfaatkan potensi ekonomi di luar Jawa untuk membangun ketahanan ekonomi yang berbasis ketahanan sosial-ekonomi. Sementara, rencana untuk menggerakkan perekonomian pedesaan melalui peningkatan infrastruktur pedesaan belum tampak seperti yang dijanjikan. Ketidakjelasan dan paradoks langkah-langkah pemerintah tadi bisa dilihat, antara lain, dari kecenderungan pembangunan infrstruktur perhubungan yang masih tetap bersifat Jawa-sentris. Potensi Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang sangat besar untuk memeratakan pembangunan ekonomi hingga saat ini belum menjadi perhatian serius. Jalan Lintas Tengah Sumatera yang sudah belasan tahun kondisinya rusak parah hingga kini tidak berubah. Jalan Trans Kalimantan yang yang memiliki kondisi serupa juga belum mendapat perhatian untuk perbaikan permanen. Sementara kita tahu, triliunan nilai kekayaan hutan Kalimantan telah dipindahkan ke Jakarta oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan HPH nasional. 33

36 TREN KETIMPANGAN ANTARWILAYAH Wilayah Penduduk PDB Investasi Kesenjangan Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Bali + NT Maluku Papua Sumber data:dimodifikasi dari Anggito Abimayu, presentasi di Komisi XI DPR RI, 30 Agustus

37 Kita juga tahu, prasarana dan sarana perhubungan udara antarkota utama di Kl Kalimantan dan dari kota-kotak utama di Sulawesi masih tertinggal db dibandingd antarkota di Jawa. Untuk perjalanan dari satu kota besar ke kota besar lain di Kalimantan, atau dari Makassar ke kota-kota besar di Kalimantan, orang harus pergi dulu ke Surabaya. Ini jl jelas nilai i minus bagi daya tarik investasii maupun pembangunan secara keseluruhan bagi kota-kota di Kalimantan. Ketertinggalan prasarana dan sarana transportasi di daerah-daerah luar Jawa juga terjadi pada subsektor perhubungan laut. PT Pelni -yang nota bene adalah badan usaha milik publik- selama beberapa tahun terakhir menghentikan satu persatu armada pelayaran kapal penumpangnya. Terakhir, jasa pelayaran PT Pelni rute dari Kupang ke kota-kota di Papua berhenti sejak Maret 2006 (Kompas, 8 Mei 2006, hal 18). Di tengah penyediaan dan perawatan prasarana transportasi yang semakin merosot tersebut, pemerintah dengan gencarnya mencari mitra dari kalangan swasta untuk membangun jalan-jalan tol di Jawa. Kalaupun ada penawaran untuk luar Jawa, porsinya tidaklah lebih dari 10 persen dari keseluruhan. Inilah salah satu bukti paradoks janji j pembangunan pemerintah saat ini. 35

38 Fondasi Sosial Terus Merapuh Pertumbuhan infrastruktur yang tidak sebanding antara Jawa dan luar Jawa merupakan sumber ancaman ketahanan ekonomi nasional. Masyarakat daerah luar Jawa sadar kalau daerah mereka tidak mungkin berkembang menyamai Jawa. Akibatnya, kb Jawa tetap menjadiorientasiuntuk memperbaiki kualitas hd hidup. Sejak pertengahan 1980-an -seiring dengan meningkatnya fungsi aglomerasi Jabodetabek dalam mendorong pergerakan ekonomi nasional- arus migrasi keluar dari Provinsi Lampung berbalik menjadi lebih besar dari arus migrasi masuk ke daerah yang dikenal sebagai daerah tujuan transmigrasi tertua tersebut. Alasan mereka yang melakukan out-migration itu jelas karena Lampung tidak lagi menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Sebaliknya dengan Jawa yang terus dipasok dengan berbagai infrastruktur moderen. Alasan penduduk Lampung itu mudah dibaca dari kondisi sosial-ekonomi masyarakat daerah tersebut. Di samping sektor industri dan jasa yang tidak berkembang, kondisi petani di Lampung merupakan salah satu yang terburuk di antara daerah-daerah di Indonesia. Indikasi tersebut bisa kita baca dari nilai tukar petani (NTP) mereka. 36

39 Penduduk Lampung tidak mungkin pergi ke Sumatera Selatan atau Bangka-Belitung karena perekonomian daerah ini juga tidak berkembang sebanding dengan provinsi-provinsi di Jawa. Lain halnya jika pembangunan infrastruktur di kedua daerah itu sejak dulu tidak terus-menerus dianaktirikan. Kondisi umum beberapa daerah di Kalimantan tidak berbeda dengan Lampung. Ketika berkunjung ke sebuah provinsi di Kalimantan tahun lalu, sebuah universitas negeri di daerah tersebut memiliki program studi yang jumlah dosennya lebih besar dari jumlah mahasiswa karena minat mahasiswa terhadap program tersebut terus menurun. Hal itu bukan karena minat putera-puteri daerah tersebut terhadap program tersebut berkurang, tetapi karena jika orang tuanya mampu, mereka lebih baik mengirim anak-anaknya kuliah di Jawa. Alasannya, ketertinggalan fasilitas dan kualitas sistem pendidikan di universitas daerah asal mereka dari universitas-universitas di Jawa. Bayangkan jika suatu saat sebagian kawasan Kalimantan menjadi kawasan kering kerontang di musim kemarau dan kawasan langganan banjir di musim hujan. Biaya ekonomi masyarakat pasti akan bertambah untuk pengadaan air bersih di musim kemarau dan disebabkan kehilangan harta di musim banjir. Potensi ancamannya akan lebih besar apabila kita melakukan anatomi struktur sosial-ekonomi masyarakat Kalimantan. Rata-rata di provinsi-provinsi dan juga kota-kotak besar Kl Kalimantan, tingkat ketimpangan 37

40 sosial-ekonominya cukup tinggi. Kesenjangannya bahkan lebih besar dari kondisi nasional. Sebabnya, tidak ada upaya mentransformasi ekonomi Kalimantan dari ekonomi yang mengeksploitasi kekayaan alam dengan cara cara padat modal dan padat keuntungan ke struktur ekonomi yang menumbuhkan pemerataan dan memiliki keterkaitan yang kuat antarsektor. Dari kondisi seperti ini, yang harus diprediksi adalah, bagaimana situasi sosial Kalimantan setelah sumber daya alamnya nanti menipis, sementara sektor sekunder dan tersier tidak tumbuh sebanding dengan penurunan peran sektor primer. Ada dua kecenderungan buruk yang akan terjadi. Pertama, konflik kelas seperti yang terjadi di Banjarmasin pada Pemilu 1997 dan konflik sosial-ekonomi bercampur konflik budaya seperti yang terjadi di Kalimantan Barat tahun Kedua, migrasi penduduk Kalimantan ke Jawa yang lebih menjanjikan bagi keselamatan hidup, terutama akses terhadap pangan. Tekanan terhadap ketahanan ekonomi nasional akan bertubi-tubi. Masyarakat juga makin merasakan situasi lingkungan sosial yang makin tidak aman karena meningkatnya kriminalitas. Rumah tangga kaya akan menambah investasinya untuk menyewa satpam dan mengadakan peralatan pelindung dari korban kriminalitas. Sementara masyarakat yang kurang mampu akan berbagi kemiskinan dengan para pelaku pencurian dan pencopetan karena mereka lbh lebih mudah dhmenjadi sasaran kejahatan di kereta api, bus kota, 38

41 pasar tradisional dan lingkungan perumahan nonbuatan. Polarisasi seperti ini juga merupakan bom waktu bagi stabilitas sosial yang pada akhirnya akan mengancam stabilitas ekonomi. Jika siklus huru-hara massa itu terus berulang, apa mungkin meyakinkan masyarakat internasional bahwa Indonesia adalah tempat aman untuk berinvestasi dan nyaman untuk berekreasi? Dengan kecenderungan di atas, sebuah struktur sosial lima belas hingga dua puluh lima tahun ke depan yang berpotensi meruntuhkan kembali perekonomian nasional sangatlah perlu kita antisipasi. Pelajaran dari krisis ekonomi Indonesia yang bergulir pertengahan tahun 1997 dan meledak tahun 1998, bukanlah semata-mata pengaruh penularan (contagion effect) dari ekonomi global. Indonesia mengalami krisis terparah dan terlama untuk disembuhkan tidak lain karena kita lupa membangun fondasi sosial dan fondasi kewilayahan sebagai pilar-pilar ketahanan ekonomi sepanjang masa Orde Baru. Sejak akhir 1980-an kita terbuai oleh ekonomi gelembung (bubble economy) dan lupa akan bara dalam sekam. Akankah kita mengulang kegagalan itu? 39

42 BIODATA TIM PERANCANG 40 64

43 ANDRINOF A. CHANIAGO lahir di Padang, 3 November Saat ini bekerja sebagai Pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI, untuk mata kuliah-mata kuliah: Ekonomi-Politik pada Program S1 dan S2; Politik Perkotaan pada Program Sarjana Ekstensi, dan Isu-isu Politik Dalam Kebijakan Publik pada Program S2 FISIP UI. Selain itu, penulis juga menjadi Senior Fellow The Habibie Center. Bersama bb beberapa peneliti i mendirikan ik Center for Indonesian Regional and Ub Urban Studies (CIRUS) pada tahun 1999, dan mendirikan CIRUS Surveyors Group (CSG) pada Saat mahasiswa pernah menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UI. Juga pernah aktif pada beberapa organisasi sosial (nonprofit), yakni sebagai Anggota Dewan Redaksi Jurnal Galang, (jurnal pemikiran tentang penggalangan dana sosial atau filantrofi); dan menjadi Ketua III Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI); Menyelesaikan S-1 dari Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, dan S2 (Magister)) dari Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik dari FE UI, serta Diploma The National Development Courses dari Fu Hsing Kang College, Taipei, Taiwan, (2004); Mengkuti Short Courses dan Training, antara lain, (1) Economic Globalization, di Wuhan, China, 2007; (2) Taiwan Economic Development and Planning, di Taipei, Taiwan, 2006; (3) Sustainable Urban Development di Touyuan City, Taiwan, 2004; dan (4) Conflict Mediation, di Oslo dan Troms O, Norwegia, Menulis buku berjudul, Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik Akar Krisis Indonesia (LP3ES, Jakarta, 2001), dan sejumlah tulisan pada buku, jurnal dan media massa. 41

44 AHMAD ERANI YUSTIKA lahir di Ponorogo, 22 Maret Menyelesaikan gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Setelah lulus aktif memublikasikan tulisan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Pada tahun 2001 menuntaskan studi postgraduate (MSc.) dan tahun 2005 menyelesaikan studi doktoral, semuanya di University of Göttingen (George-August Univesitat Göttingen) Jerman dengan spesialisasi ekonomi kelembagaan. Buku yang pernah diterbitkan antara lain: Perspektif Baru Pembangunan Indonesia: Catatan Kritis terhadap Isu-Isu Aktual (Brawijaya University Press dan P3BE, Malang, 1997); Industrialisasi Pinggiran (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000); Pembangunan dan Krisis: Memetakan Perekonomian Indonesia (PT Grasindo, Jakarta, 2002); Economic Analysis of Small Farm Households (Brawijaya Univesity Press, Malang, 2003); Negara vs Kaum Miskin (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003); Transaction Cost Economic of the Sugar Industry in Indonesia (Wissenschafttsverlag Vauk Kiel KG, Germany, 2005). Selain itu, juga menjadi editor buku: Emansipasi Kebijakan Lokal: Ekonomi dan Bisnis Paskasentralisasi Pembangunan (Bayumedia, Malang, 2003); Perekonomian Indonesia: Deskripsi, Preskripsi, dan Kebijakan (Bayumedia, Malang, 2005); dan Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi Sektor Pertanian dan Kehutanan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005). Sejak tahun 1997 bekerja sebagai dosen di kampus almamater dan pernah menjabat sebagai sebagai Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute). Pada tahun 2006 terpilih sebagai Dosen Berprestasi I (Teladan I) Universitas Brawijaya. Sekarang menjabat sebagai Direktur Utama INDEF. 42

45 MOHAMMAD JEHANSYAH SIREGAR dikenal dengan Jehan Siregar sejak tahun 1995 hingga sekarang menjadi staf pengajar dan peneliti di Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung (KKPP, SAPPK ITB). Setelah menamatkan Sarjana Arsitektur di ITB tahun 1995, di tempat yang sama Jh Jehan mendapatkan dptk Mgit Magister di alur studi Perumahan dan Permukiman pd pada tahun 1999, hingga kemudian memperoleh gelar Ph.D pada 2006 di bidang Perencanaan Kota dari The University of Tokyo, Jepang. Konsistensi di bidang perumahan dan permukiman terlihat dari fokus studi sejak tingkat sarjana, yaitu Studio Tugas Akhir berjudulaplikasi Konsep Support dalam Desain Rumah Susun Sederhana, Tesis berjudul Model Perumahan untuk Keluarga Muda Kelas Menengah Perkotaan, dan Disertasi di bidang kebijakan perumahan berjudul Identifying Policy Networks in the Development of Indonesian Housing Policy. Selain mengajar di Program Sarjana Arsitektur dan Magister Perumahan dan Permukiman ITB, sejak tahun 1993 Jehan Siregar sudah terlibat dalam berbagai kegiatan pendampingan masyarakat, terutama di kawasan Kota Bandung dan Jawa Barat. Antara 1997 hingga 2002 sebagian besar kegiatannya ada di Lembaga Pengakbdian Masyarakat ITB. Sejak tahun 2001 terlibat dalam berbagai kegiatan di Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, di Kementerian Perumahan Rakyat sejak tahun 2005, di Direktorat Perumahan Bappenas, dan di UN-Habitat Jakarta sejak tahun Beberapa karya yang dihasilkan di antaranya adalah RPJM Perumahan dan Permukiman , Rencana Pembangunan Rusunawa , dan berbagai makalah di bidang perumahan, permukiman, pengembangan komunitas, pertanahan dan penataan ruang 43

46 TATA MUSTASYA menyelesaikan pendidikan pascasarjana (Master of Arts) bidang Manajemen Pembangunan di University of Turin and ITC-ILO (2009) dan sarjana bidang Ekonomi Pembangunan, FE UI (2001). Sejak lulus UI, ia bergelut di bidang riset, analisa, dan advokasi kebijakan dengan konsentrasi politik dan pembangunan. Dalam kurun yang sama, ia menjadi editor freelance dan penulisa kolom di beberapa media nasional, seperti Kompas,TheJakartaPost,MediaIndonesia dan Sinar Harapan. apa Pengalamannya di dunia riset antara lain: Policy and Advocacy Officer Oxfam Great Britain-Indonesia ( ); Analyst/Researcher The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research ( ); Researcher The Habibie Center (2004), Researcher and Community Development Officer Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives ( ). Pengalaman lainnya adalah Country Lead, Biofuels Advocacy and Media Campaign, Oxfam International in Indonesia dan Lead, Monitoring, Evaluation and Learning-Oxfam GB in Indonesia, Media, Advocacy and Communications Team ( ). Selain itu, ia aktif mengikuti berbagai konferensi dan seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara, misalnya: kontributor International Institute for Environment and Development (IIED) Regional Advisory Panel Meeting, Bangkok, Thailand (2008), peserta aktif Poverty Footprint Workshop, Bangkok, Thailand (2008), utusan Asian Forum on Corporate Social Responsibility, Ho Chi Minh City Vietnam (2007), pembicara dan utusan Roundtable on Sustainable Biofuels for Asia Outreach, Shanghai, China (2007), dan utusan Oxfam International Policy and Lobby Team Conference of Parties for Climate Change, Bali, Indonesia (2007). 44

47

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH 4.1. Strategi dan Tiga Agenda Utama Strategi pembangunan daerah disusun dengan memperhatikan dua hal yakni permasalahan nyata yang dihadapi oleh Kota Samarinda dan visi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan

Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Lorong Keluar dari Berbagai Paradoks Pembangunan, Menuju Indonesia yang Tertata t Oleh Tim Visi Indonesia 2033 Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Lorong Keluar dari Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK The New Climate Economy Report RINGKASAN EKSEKUTIF Komisi Global untuk Ekonomi dan Iklim didirikan untuk menguji kemungkinan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

Jakarta, 10 Maret 2011

Jakarta, 10 Maret 2011 SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM ACARA TEMU KONSULTASI TRIWULANAN KE-1 TAHUN 2011 BAPPENAS-BAPPEDA PROVINSI SELURUH INDONESIA Jakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

INDONESIA NEW URBAN ACTION

INDONESIA NEW URBAN ACTION KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH KEMITRAAN HABITAT Partnership for Sustainable Urban Development Aksi Bersama Mewujudkan Pembangunan Wilayah dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan salah satu bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi. Agribisnis subsektor ini mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 24 Sesi NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG : 2 A. PENGERTIAN NEGARA BERKEMBANG Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, standar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan pada gilirannya akan mempengaruhi manusia. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan perekonomian nasional dan patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi karena sektor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infrastruktur Transportasi baik transportasi darat, laut maupun udara merupakan sarana yang sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial,

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA Abstrak Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Pengalokasian anggaran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

ASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

ASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL ASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh: Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Disampaikan pada Pembahasan RPP Penataan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Oleh : Ir. Bahal Edison Naiborhu, MT. Direktur Penataan Ruang Daerah Wilayah II Jakarta, 14 November 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Pendahuluan Outline Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia =============================================================================== Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia !" #$ %$#&%!!!# &%!! Tujuan nasional yang dinyatakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Community Development di Wilayah Lahan Gambut

Community Development di Wilayah Lahan Gambut Community Development di Wilayah Lahan Gambut Oleh Gumilar R. Sumantri Bagaimanakah menata kehidupan sosial di permukiman gambut? Pertanyaan ini tampaknya masih belum banyak dibahas dalam wacana pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011 BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011 7.1. Kondisi Wilayah Maluku Saat Ini Perkembangan terakhir pertumbuhan ekonomi di wilayah Maluku menunjukkan tren meningkat dan berada di atas pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian akan saling terjalin

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS 3.1 Identifikasi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kondisi Saat Ini sebagaimana tercantum dalam BAB II maka dapat diidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Republik Indonesia adalah sebuah negara yang besar dengan luas sekitar 2/3 bagian (5,8 juta Km 2 ) adalah lautan, dan sekitar 1/3 bagian (2,8 juta km 2 ) adalah daratan,

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1)

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) melindungi segenap bangsa

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda indonesia pada tahun 1998 menunjukkan nilai yang positif, akan tetapi pertumbuhannya rata-rata per

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS PADA PEMBUKAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) PROVINSI JAMBI TAHUN Jambi, 6 April 2011

SAMBUTAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS PADA PEMBUKAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) PROVINSI JAMBI TAHUN Jambi, 6 April 2011 SAMBUTAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS PADA PEMBUKAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) PROVINSI JAMBI TAHUN 2011 Jambi, 6 April 2011 Yang terhormat Saudara Menteri Dalam Negeri, Yang terhormat

Lebih terperinci

KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP

KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP Republik Indonesia Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP DISAMPAIKAN OLEH: DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH BAPPENAS PADA:

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI PERKEMBANGAN MIGRASI, PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA. penting untuk diteliti secara khusus karena adanya kepadatan dan distribusi

V. DESKRIPSI PERKEMBANGAN MIGRASI, PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA. penting untuk diteliti secara khusus karena adanya kepadatan dan distribusi 131 V. DESKRIPSI PERKEMBANGAN MIGRASI, PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA 5.1. Migrasi Internal Migrasi merupakan salah satu faktor dari tiga faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Peninjauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

Perekonimian Indonesia

Perekonimian Indonesia Perekonimian Indonesia Sumber : 2. Presentasi Husnul Khatimah 3. Laporan Bank Indonesia 4. Buku Aris Budi Setyawan 5. Sumber lain yg relevan (Pertemuan 1-11) Peraturan Perkuliahan Hadir dengan berpakaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemerataan pembangunan ekonomi merupakan hasil yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bagi sebuah negara. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG Misi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk dapat mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

RANCANGAN AWAL RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2010

RANCANGAN AWAL RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2010 RANCANGAN AWAL RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2010 Oleh: H. Paskah Suzetta Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Disampaikan pada Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Pusat (Rakorbangpus) untuk RKP 2010 Jakarta,

Lebih terperinci

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan 18 Desember 2013 STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup 18 Desember 2013 Peran Jakarta

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam. pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam. pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata. Dunia pariwisata Indonesia sempat

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses 115 V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Petumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan proses perubahan PDB dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Wahyu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci