OPTIMALISASI PERTUMBUHAN ANAK SAPI FR LEPAS SAPIH MELALUI PERBAIKAN PAKAN DAN TATA LAKSANA TEPAT GUNA

Transkripsi

1 Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000 OPTIMALISASI PERTUMBUHAN ANAK SAPI FR LEPAS SAPIH MELALUI PERBAIKAN PAKAN DAN TATA LAKSANA TEPAT GUNA NuRHAsANAH HII)AJATi, T. SUGIARTI, S.B. SiREGAR, ABDURAYS A.K., dan E. MASBULAN Kata kunci : Pembesaran pedet, sapi perah Balai Penelitian Terak P.O. Box 211, Bogon ABSTRAK Pada umumnya potensi genetik sapi perah di Indonesia sudah baik karena merupakan keturunan sapi impor. Akan tetapi sapi-sapi tersebut tidak dapat memperlihatkan kemampuan genetiknya. Hal tersebut tergambar dari umur ataupun bobot badan pada saat kawin pertama. Penelitian ini dilakukan'guna mempelajari tatalaksana pemberian pakan pedet sapi perah agar dicapai efisiensi produksi. Penelitian ini di lakukan di lokasi peternak di Cibungbulang Bogor, digunakan 15 ekor pedet betina lepas sapih dengan bobot badan berkisar antara kg/ ekor. Pedet tersebut dibagi kedalam 5 kelompok berdasarkan bobot badan. Masing-masing ternak dalam kelompok yang sama akan memperoleh pakan yang berbeda sebagai berikut : RO=pernberian pakan sesuai yang diberikan oleh peternak kepada pedet betina, R1=R0 + Konsentrat tambahan dengan pemberian konsentrat 2 keli dalam sehari semalam, R2=RO + Konsentrat tambahan + hijauan tambahan dengan pernberian dengan 2 keli pemberian konsentrat dan 2 kali pemberian hijauan. Hasil penelitian menunjukkan ata-rata berat badan awal untuk masing-masing perlakuan adalah : 94,8 ; 88,6 ; 96,6 kgle, sedangkan rata-rata berat akhir adalah : 176,42 ; 202,82; clan 224,1 kg/e untuk masing-masing perlakuan RO, RI, dan R2. Konsumsi konsentrat untuk masing-masing RO, RI, R2 adalah 1,72; 2,22; dan 2,22 kg/ekor/hari. Sedangkan konsurnsi hijauan adalah 10,88 ; 10,88 ; dan 15,88 kg/e/h. Konsumsi protein per kilo berat badan metabolis adalah: 11,17; 13,12 ; clan 14,% g/kgbb metabolis, masing-masing untuk RO, RI, dan R2, sedangkan konsumsi badan kering adalah: 87,49; 102,08 ; dan 117,25 glkg BB metebolis. Perlakuan tidak nyata mempengaruhi pertarnbahan berat badan : RO 302,3 g/e/h, RI 423,02 g/e/h, clan R2 472 g/elh. Hasil perhitungan terhadap perubahan biaya produksi. dengan RO diperlukan biaya lebih tinggi untuk memelihara pedet sampai mencapai estrus pertama dibandingkan dengan R2 (1,24 vs 1,13 juta rupiah) karena dengan RO estrus pertama akan dicapai pada umur bulan sedangkan dengan R2 dicapai pada umur bulan. PENDAHULUAN Peningkatan produksi susu dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan populasi sapi perah laktasi ataupun meningkatkan kemampuan produksi per individu ternak. Akan tetapi keadaan peternakan sapi perah di Indonesia berbeda dengan di negara lain, karena 91,1% peternakan sapi perah di Indonesia adalah peternakan sapi perah rayat yang berskala kecil (SOEHM, 1992). Peternakan yang demikian ditandai dengan permodalan clan pengetahuan yang minim. Hal itu membuat peternak kita sangat enggan memelihara pedet betina karena ketidak tahuan peternak sehingga menganggap pemberian pakan yang baik kepada pedet lepas sapih merupakan suatu pemborosan. Pada umumnya peternak sapi perah di Indonesia enggan membesarkan sendiri ternak pengganti dengan alasan tidak mempunyai modal. Hasil penelitian PAMUNGKAs et al. (1994) di Kecamatan Tutur memperlihatkan proporsi ternak pedet yang dipelihara peternak hanya 11,8-40% dari jumlah ternak yang dipelihara dan itupun dilakukan oleh sebagian peternak saja, dan hampir separuh data yang dipelihara adalah ternak gaduhan. Hai itu sangat tidak menguntungkan karena perkembangan sapi calon pengganti incluk yang sudah tua tidak dapat dipantau. Seharusnya pertumbuhan pedet sapi perah dipantau sejak lahir karena masa kritis pertumbuhan dan perkembangan ambing adalah pada 9 bulan pertama dari masa hidupnya (PRABOWO, 1994). Pada 257

2 Seminar Nasiona! Peternakan clan Veteriner 1000 masa ini pemberian pakan merupakan faktor penentu pertumbuhan sel-sel ambing. Akan tetapi pada kenyataannya pemberian pakan pada masa ini sangat diabaikan peternak. Sehingga sangat sulit dicapai usaha peningkatan produksi susu melalui peningkatan kemampuan produksi per individu sapi perah. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari tatalaksana pemberian pakan pada ternak pedet lepas sapih agar dicapai efisiensi produksi. Dengan demikian diharapkan peternak akan merubah pola pemelihaman pedet betina pada umumnya. Pada umummya potensi genetik sapi perah di Indonesia sudah baik karena merupakan keturunan sapi impor. Hal itu dihasilkan baik melalui program inseminasi buatan maupun dari keturunan sapi yang diimpor langsung dalam keadaan bunting. Akan tetapi sapi-sapi tersebut tidak dapat memperlihatkan kemampuan genetiknya. Hal tersebut tergambar dari umur ataupun bobot badan pada saat kawin pertama yang tidak memenuhi standar produksi sapi perah yang baik. Hasil penelitian SIREGAR et al. (1992) menunjukkan di Jawa Barat umur rata-rata kawin pertama berkisar antara 17,6-18 bulan clan mulai menghasilkan susu pada umur 27,6-28 bulan. Sementara itu penelitian WuoNO (1994) menunjukkan di Jawa Timur, umur estrus pertama berkisar antara bulan dengan bobot badan berkisar antara kg. Kondisi demikian dicapai dengan pemberian pakan hijauan segar antara kg/ekor/hari, dengan suplemen dedak padi antara 0,25-2kg/e/h. Hasil basil tersebut memperlihatkan bahwa tatalaksana pemeliharaan pedet betina sapi perah masih kurang memadai, sehingga tidak tercapai produktivitas seperti potensi genetiknya. VEEPRO (1996) menyatakan bahwa dalarn pemeliharaan ternak pengganti pemberian pakan hares sangat di perhatikan. Apabila pedet sapi perah betina clapat tumbuh clan berkembang dengan baik akan mendatangkan keuntungan yaitu mengurangi biaya clan masa pemeliharaan dara, beranak pertama lebih awal berarti memperpanjang masa produksi susu dalam seumur hidupnya, sehingga meningkatkan pendapatan petani dari setiap ekor sapi yang dipeliharanya. Sedangkan STELWAGEN et al. (1990) menunjukkan bahwa pemberian pakan yang terlalu banyak pada periode ini akan menurunkan jumlah set ambing yang akan memproduksi susu karena akan terbentuk lemak yang lebih banyak. Peneliti lain menyatakan bahwa pemberian pakan tingkat tinggi menghambat perkembangan set ambing semasa pra pubertas akan tetapi tidak berpengaruh setelah pubertas (SEMEN et al., 1980). Sementara NIEZEN (1996) berpendapat bahwa pertumbuhan pada masa pubertas sebelum laktasi mungkin merupakan pertumbuhan set ambing yang hypertropic sehingga manipulasi pemberian pakan pada saat ini akan mempunyai efek yang lebih besar pada perkembangan ambing. MATERI DAN METODE Penelitian ini di lakukan di lakasi peternak di Cibungbulang Bogor. Dalam penelitian ini digunakan 15 ekor pedet betina lepas sapih dengan bobot badan berkisar antara kg/ ekor. Pedet tersebut dibagi kedalam 5 kelompok berdasarkan bobot badan. Masing-masing ternak dalam kelompok yang sama akan memperoleh pakan yang berbeda sebagai berikut : o RO=pemberian pakan sesuai yang diberikan oleh peternak kepada pedet betina. o Rl=RO + Konsentrat tambahan dengan pemberian konsentrat 2 kali dalam sehari semalam. o R2=RO + konsentrat tambahan + hujauan tambahan dengan pemberian dengan 2 kali pemberian konsentrat clan 2 kali pemberian hijauan. Untuk semua temak air minum tersedia sepanjang hari. Sebelum penelitian dimulai semua ternak diberi obat cacing. 258

3 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000 Parameter yang diamati adalah perubahan berat badan bulanan, konsumsi pakan harian, konsumsi zat-zat pakan dan perubahan biaya produksi. Untuk mengetahui konsumsi bahan nutrisi pakan maka dilakukan analisa kimia terhadap sampel pakan sebanyak dua kali dalam masa penelitian., HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa di laboratoriun kimia di Bogor memperlihatkan bahwa konsentrat yang diberikan peternak mengandung protein kasar sebesar 10,19% dengan energi kasar sebesar 3211 kal/gr, sedangkan konsentrat tambahan yang diberikan mengandung protein kasar sebesar 16,84% dan energi kasar sebesar 4027cal/gr (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisa kimia terhadap pakan yang digunakan selama penelitian Jenis pakan Kadar air (%) Protein kasar (%) Serat kasar (1/6) ca (0/6) P (0/0) Hijauan 21 7,68 31,37 0,39 0,27 Konsentrat petemak 13,56 10,19 16,79 3,49 0,49 Konsentrat tambahan 11,42 16,84 4,97 1,47 0,63 Konsumsi konsentrat untuk masing-masing RO, RI, R2 adalah 1,72; 2,22 ; dan 2,22 kg/ekor/hari. Sedangkan konsumsi hijauan adalah 10,88 ; 10,88 ; dan 15,88 kg/e/h. Perbedaan perlakuan menyebabkan perbedaan konsumsi protein dan bahan kering dari ternak dalam masing masing perlakuan, seperti tertera dalam Tabel 2. Sedangkan konsumsi bahan kering dan protein per kilogram bobot badan metabolis tidak berbeda nyata (P<0,05). Pertambahan berat badan untuk masing masing perlakuan sebagai berikut : RO 302,3 g/e/h ; RI 423,02 gleah ; dan R2 472 g/e/h. Akan tetapi perbedaan tersebut secara statistik tidak berbeda secara nyata (P<0,05). Tabel 2. Berat badan dan konsumsi pakan temak selama penelitian Uraian Bobot badan (BB): RO R1 R2 Awal (kg) 94,8 88,6 96,6 Akhir (kg) 176,42 202,82 224,1 Pert. BB (gle/h) 302,3 423,82 472,2 Konsumsi : - Konsentrat (kg/e/h) 1,73 2,23 2,23 - Rumput (kgle/h) 10,93 10,93 15,% - Bhn kering (Kgle/h) 3,72 4,15 5,15 - Protein (gle/h) 474,9 533,3 657,1 Konsumsi/kg BB.,75 Protein (g) 11,17 13,12 14,96 Bhn kering (g) 87,49 102,02 117,25 Pertambahan BB harian tertinggi dicapai oleh temak yang mendapat perlakuan R2 (472,2 g/e/h). hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh WIJONO (1994) di daerah Pasuruan untuk sapi dara 259

4 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000 yang mencapai estrus pada umur kurang dari 21 bulan. Adapun konsumsi protein per kilo BB metabolis tidak berbeda untuk perlakuan RO, RI, dan R2 (Tabel 2.) aksn tetapi menghasilkan pbb yang berbeda walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini menggambarkan bahwa Icualitas konsentrat tambahan yang diberikan lebih baik dari konsentrat peternak. Karena berbagai macam kendala, penelitian ini baru dimulai pada bulan Agustus 1999, sehingga harus dihentikan pada bulan Mei 2000 menunggu sapi tersebut menampilkan gejala estrus pertama, yang ditandai dengan keluarnya lendir bening dari vagina. Pada awal bulan Mei 2000 terdapat dua ekor ternak dalam kelompok perlakuan R2 memperlihatkan tanda estrus untuk pertama kali. Kedua ternak tersebut masing-masing berbobot badan : 243 dan 249,5 kg. Psda saat itu ternak tersebut berumur 14 bulan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian WIJONO bahwa di Grati 44% sampel mencapi estrus pertama antara umur bulan dengan bobot badan 244,1 kg. Akan tetapi hasil ini melampaui umur estrus pertama yang diperoleh NiEZEN (1996) dan SEJRSEN (1983). Dalam penelitainnya dengan tiga perlakuan yang berbeda diperoleh umur estrus pertama 9,3 bulan dan BB 294,6 kg dengsn pemberian pakan tinggi pada periode I (ssmpai dicapai bobot badan 200 kg) clan pakan tinggi pula pada periode II (dari bobot badan 200 kg sampai dicapai estrus pertama). Sedargkan pemberian pakan tinggi pada periode I dsn pakan rendah pada periode II diperoleh umur estrus pertama 10,3 bulan clan BB 274,3 kg. Dan pemberian pakan rendah dalam kedua periode tersebut diperoleh umur estrus pertama 11,27 buklan dsn BB 291,1 kg. Umur estrus yang lebih muda ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pemberian pakan. Dalam penelitian ini pakan yang diberikan hanya mengandung protein kasar rata-rata 13% sedsngkan protein kasar yang diberikan dalam periode I adalah 20% clan periode II 15% dari total ransum yang berupa ransum komplit yang terdiri dari 89,5% konsentrat, 0,5% mineral premix, clan 10% hay. Sedangkan dengan hasil penelitian WuoNo tidak terlalu berbeda karena kemungkinan besar masih dalam kondisi pakan yang tidak jauh berbeda yaitu rumput lapang clan konsentrat seadanya. Tabel 3. Perbedaan biaya produksi sebagai akibat perbedaan perlakuan Biaya pakan (Rp/e/h) 2477,0 3102,0 3602,0 Biaya pembesaran pedet (Rp) , , ,70 Biaya pakan yang harus dikeluarkan peternak untuk tiap ekor per hari berbeda antar perlakuan (Tabel 3). Biaya terendah adalah pada perlakuan RO dan tertinggi pada perlakuan R2 yang disebabkan perbedaan pemberian 0,5 kg konsentrat clan 5 kg rumput. Bila berat estrus pertama dari dus ternak pada R2 (rata-rata 246 kg) dijadikan tolok ukur BB estrus pertama maka peternak memerlukan biaya 1,24 juta rupiah (Tabel 3) bila pedet lepas sapih diberi pakan seperti RO untuk mencapai BB estrus pertama. Biaya tersebut semakin mengecil untuk RI clan R2 (Tabel 3) ksrena perbedaan pemberian pakan yang menghasilkan perbedaan pertambahan bobot badan harian. Tabel 4. Perhitungan umur estrus sapi yang berbeda perlakuan Uraian RO RI R2 BB swat ft/e) 94,6 88,6 96,6 BB akhir (kg/e) 176,42 202,82 224,1 pbb (g/e) 302,3 423,02 472,2 BB estrus (kg) Perkiman umur estrus pertama (b in)

5 SeminarNational Peternakan don Veteriner 2000 Hasil perhitungan berdasarkan data yang diperoleh memperlihatkan bahwa sapi dengan perlakuan RO akan mengalami estrus pertama pada umur bulan. Sementara pada umur yang sama sapi pada perlakuan R2 akan berada pada keadaan bunting 5 bulan apabila kondisi ternak dan semen untuk inseminasi baik. Karena sapi pada R2 sudah mengalami estrus pertama pada umur yang lebih muda yaitu bulan. Sehingga diharapkan pada umur 24 bulsn sapi dengan perlakuan R2 akan beranak untuk pertama kali. Umur estrus pertama kali yang terlambat/lebih tua berakibat pada tertundanya laktasi pertama. Sapi dari R2 pada umur 2 tshun sudah mulai produksi susu sedangkan sapi pada RO baru akan memproduksi susu pada umur 30 bulsn. Selisih waktu 6 bulsn tersebut sangat merugikan peternak antara lain. 1. Hsrus tetap memberi pakan sampai ternak mengalami estrus pertama. 2. Seharusnya sapi dara pada umur yang lebih dini sudah menghasilkan pedet dan susu. 3. Sesuai dengan VEEPRO (1996) : masa/umur produksi sapi tersebut menjadi lebih pendek KESIMPULAN DAN SARAN Dari basil tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan konsentrat dan juga rumput dapat menngkatkan pertumbuhan pedet betina (walaupun secara statistik tidak berbeda nyata). Demikian juga peningkatan frekuensi pemberian pakan dapat memperbatki pertumbuhan pedet seperti talihat dari R2. Disarankan agar dalam pembesaran pedet betna dilakukan pemberian pakan dua kah baik konsentrat maupun hijauan untuk mencapai efisiensi pembesaran pedet betina yang lebih tinge. Diharapkan basil penelitian ini dapat ditiru oleh peternak sehingga akan mempersingkat masa pembesaran pedet yang pada akhunya akan bermanfaat ganda yakni: mempercepat peningkatan produksi susu nasional, meningkatkan populasi sapi perah karena umur beranak pertama dapat dipersingkat, dan menngkatkan pula pendapatan peternak karena umur produksi setup ekor sapi perah dapat diperpanjang. DAFfAR PUSTAKA NtEzEN, J.H., D.G. GRIEvF, B.W. Mc.B=E, and J.H. BURTON Effect ofplane nutrition before and after 200 kilograms of body weight on mammary developmentof prepubertal Holstein heifer. J. Dairy Sci. 79:1255. PAmuNGKAs, D., MAmyoNO, dan A. MusoRE Eksistensi sapi dara dalam usaha petemakan sapi perah rakyat (Studi kasus di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan). Proc. Pertemuan linliah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Pasuman 26 Maret Sub Balai Penelitian Temak Gradi. PRASowo, A Kepentingan menjaga perkembangan ambing pada sapi perah dara. Proe. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Pasuruan, 26 Msret Sub Balai Penelitian Ternak Grati. SEmsEN, K., J.T. HuBER, H.A. TUCKER, and R.M. AKERss Influence of nutrition on mammary development in pre-and post pubertal heifers. J. Dairy 5ci. 65 :793. SmEGAR S.B., N. HmAJAm, dan A.K. RAYs Keragaan pembesaran pedet sapi perah betina di daerah dataran rendah dan tinggi. Ilmu dan Peternakan 2 :57-61 STELwAGEN, K. and D.G. GRIEvF Effect of plane nutrition on growth and mammary gland development in Holstein heifers. J. Dairy Sci. 73:

6 Seminar Nasional Petemakan den Veteriner 2000 SoEHAn Usaha petemakan sekarang dan di masa depan. Proc. Agro-industri Petemakan di Pedesaan. Balai Penelitian Temak. WuoNo D.B., ARYoGi, D. PAMUNGKAS den L. AFFANDHY Tampilan estrus pertama sapi perah dare berdasarkan umur den beret badan. Proc. Perternuan ilmiah den Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Temak, Grati.