BAB I. disertai ancaman pidana bagi yang melakukannya. 5 Menelusuri sejarah hukum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. disertai ancaman pidana bagi yang melakukannya. 5 Menelusuri sejarah hukum"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A.!Latar belakang Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisi ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman pidana bagi yang melakukannya. 5 Menelusuri sejarah hukum pidana di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sekarang di Indonesia pada dasarnya merupakan peninggalan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dinamakan Wetboek van Strafrecht vor Nederlandscg Indie (WvSNI). WvSNI ini diberlakukan berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 15 Oktober 1915 Staadsblad 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku pada 1 Januari Selanjutnya, WvSNI tersebut ditegaskan lagi berlaku dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 Berita RI Tahun II Nomor 9 (15 Maret 1946), dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang berlaku untuk seluruh Indonesia. 7 Arnold H. Loewy sebagaimana dikutip oleh Eddy Hiariej mengatakan bahwa salah satu karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan bidang hukum lainnya adalah adanya sanksi pidana. 8 Jenis sanksi pidana yang ada dalam perundang-undangan pidana secara jelas diatur dalam KUHP pada Pasal 10 yang membedakan jenis pidana ke dalam pidana pokok dan pidana tambahan. 9 Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda 10 5 Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rinneka Cipta, hlm Djamali Abdoel, 2005, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm Monang Siahaan, 2016, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, Grasindo, hlm Eddy O.S Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, hlm Moeljatno, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara, hlm Ibid.

2 2 serta jenis pidana baru yang ditambahkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan. 11 Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. 12 Pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang jumlahnya paling banyak dirumuskan sebagai ancaman pidana dalam KUHP. Terlihat dari 776 ancaman pidana yang dirumuskan, 575 diantaranya diancam dengan pidana penjara (kurang lebih 74,10%) baik dirumuskan secara tunggal maupun dirumuskan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya. 13 Selanjutnya apabila kita membandingkan jumlah pidana penjara dengan jumlah jenis-jenis pidana lainnya di dalam KUHP, maka diperoleh data sebagai berikut: Tabel 1. Data jumlah persentase jenis ancaman pidana dalam KUHP 14 No Jenis Pidana Jumlah Penggunaannya Dalam Rumusan Delik Persentase (%) 1 Pidana mati 13 ancaman pidana 1,68 2 Pidana Penjara 575 ancaman pidana 74,10 3 Pidana 42 ancaman pidana 5,41 Kurungan 4 Pidana Denda 80 ancaman pidana 18,81 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan. 12 Moeljatno, Loc. Cit. 13 Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm Ibid.

3 3 Pidana penjara di Indonesia dilaksanakan melalui sistem pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 15 Pasal 1 buti 2 UU tersebut memberikan pengertian sistem pemasyarakatan sebagai suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan 16 berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan. Hal tersebut dilakukan agar warga binaan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik serta bertanggung jawab. 17 Bertitik tolak dari pemahaman mengenai sistem pemasyarakatan tersebut, pada perkembangannya pidana penjara banyak menemui kendala dan hambatan dalam mencapai fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan. Dewasa ini Lembaga Pemasyarakatan seringkali dijadikan sebagai tempat kuliahnya para penjahat yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional. 18 Selain itu juga terdapat fenomena kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan dari kapasitas semestinya sebagaimana terlihat dalam tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Data Jumlah Penghuni Lapas di Indonesia pada Bulan Februari 2017 No Kantor Wilayah Kapasitas Lapas Penghuni Lapas Kelebihan Kapasitas (%) 1 Aceh Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 16 Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (lihat Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). 17 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. 18 Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta, Djambatan, hlm. 49.

4 4 2 Bali Bangka Belitung Banten Bengkulu D.I. Yogyakarta DKI Jakarta Gorontalo Jambi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kepulauan Riau Lampung Maluku Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua

5 5 24 Papua Barat Riau Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Sumber: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Berdasarkan tabel 2 di atas, kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan terjadi hampir di setiap provinsi Indonesia, kecuali Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Sulawesi Barat. 20 Kapasitas yang berlebih di Lembaga Pemasyarakatan menyebabkan ruang gerak yang terbatas dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Para penghuni cenderung berdesak-desakan sehingga dapat menyebabkan perkelahian dan bentrok antar sesama narapidana. Hal ini terakumulasi sehingga dapat mengakibatkan kerusuhan dan narapidana melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. 21 Insiden kerusuhan Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara adalah salah satu 19 Sistem Database Pemasyarakatan, Data Jumlah Penghuni Lapas Perkanwil di Indonesia pada bulan Februari 2017, Direktoral Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia, diakses pada tanggal 15 Februari Ibid. 21 Ibid.

6 6 contoh kerusuhan yang diakibatkan oleh kapasitas Lembaga Pemasyarakatan yang sudah berlebih. Jumlah hunian di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta terhitung 11 Juli 2013 adalah orang yang terdiri dari orang narapidana dan 6 (enam) orang tahanan. Jumlah tersebut melebihi batas maksimal daya tampung sebesar 147% dari kapasitas maksimal yang seharusnya orang. Terjadinya kelebihan kapasitas tersebut menjadi salah satu pemicu kerusuhan ketika terjadi pemadaman listrik dan pemadaman air di Lembaga Pemasyarakatan tersebut pada tanggal 11 Juli Akibat dari kerusuhan tersebut, 5 (lima) orang meninggal dunia dan 150 orang narapidana melarikan diri. 22 Kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan juga menjadi penyebab utama kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Sialang Bungkuk, Kulim, Tenayan Raya, Pekanbaru, Riau. Jumlah hunian di Lembaga Pemasyarakatan Sialang Bungkuk terhitung pada tanggal 5 Mei 2017 saat peristiwa tersebut terjadi adalah orang. Jumlah tersebut melebihi batas maksimal daya tampung sebesar 654% dari kapasitas maksimal yang seharusnya 350 orang. Kerusuhan tersebut dipicu oleh perkelahian yang terjadi di salah satu sel yang dihuni oleh 100 orang narapidana. Akibat kerusuhan tersebut, 448 orang narapidana melarikan diri. 23 Pidana penjara adalah pidana yang menyebabkan kehilangan kemerdekaan, dan pidana ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu. 24 P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa pidana penjara adalah suatu pidana 22 Lucky Pransiska, Denny: Kapasitas 1054 Orang, Lapas Tanjung Gusta Dihuni Orang, Kompas.com, a.dihuni orang, diakses pada tanggal 11 Maret Indri Yani, Kepala Rutan Sialang Bungkuk Dicopot, Tumbal Bobroknya Pengelolaan Lapas, Riauonline.co.id, diakses pada tanggal 18 Mei Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Alfabeta, hlm. 92.

7 7 pembatasan kebebasan bergerak seorang terpidana, dengan menempatkannya dalam Lembaga Pemasyarakatan dan mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalamnya. 25 Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada berbagai hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih, hak memegang jabatan publik, dan lain-lain. 26 Selain pidana penjara, salah satu pidana perampasan kemerdekaan yang kerap digunakan dalam sistem pemidanaan di Indonesia adalah pidana kurungan. Pidana kurungan atau disebut hechtenis menurut Pasal 10 KUHP dan Pasal 18 KUHP adalah pidana hilangnya kemerdekaan yang bersifat sementara yang lebih ringan daripada pidana penjara. 27 Jan Remmelink menyatakan bahwa terhadap tindak pidana pelanggaran, maka pidana kurungan merupakan satu-satunya bentuk pidana badan yang dimungkinkan. Namun demikian, pidana kurungan tidak terbatas pada pelanggaran saja tetapi juga terhadap beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan tanpa kesengajaan berdasarkan Pasal 114, 188, 191ter, 193, 195, 197, 199, 201, 359, 360, 481 KUHP, semua diancamkan pidana penjara maupun pidana kurungan. 28 Barda Nawawi Arief mendefinisikan bahwa setiap pidana penjara yang diputus dibawah 6 bulan adalah pidana penjara jangka pendek. 29 Lamanya masa pidana yang dijalani oleh narapidana pidana penjara jangka pendek relatif sama dengan pidana kurungan, namun kedua jenis sanksi pidana tersebut tidak dapat 25 P.A.F Lamintang, 1988, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Armico, hlm Ibid. 27 Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm Jan Remmelink, 2003, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti, hlm. 35.

8 8 dipersamakan, karena terdapat perbedaan hak dan kewajiban bagi narapidana pidana penjara dan pidana kurungan sebagai berikut: 30 1.! Dalam hal pelaksanaan pidana kurungan, terpidana tidak boleh dipindahkan ke tempat lain di luar tempat ia berdiam pada waktu eksekusi, tanpa kemauannya sendiri; 2.! Pekerjaan yang dibebankan kepada narapidana pidana kurungan lebih ringan daripada narapidana pidana penjara; 3.! Narapidana pidana kurungan dapat memperbaiki nasib dengan biaya sendiri menurut ketentuan yang berlaku. Hak inilah yang disebut hak Pistole; 31 4.! Pidana kurungan tidak ada kemungkinan pelepasan bersyarat seperti pada pidana penjara. Mengenai masalah efektifitas pidana perampasan kemerdekaan, R.M. Jackson sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pidana perampasan kemerdekaan termasuk jenis pidana yang kurang efektif. Pandangan ini didasarkan studi yang telah dilakukannya dengan membandingkan rata-rata angka pengulangan tindak pidana kejahatan atau residivis 32 cenderung lebih tinggi setelah orang tersebut dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan daripada bukan pidana perampasan kemerdekaan. 33 Masalah efektifitas pidana perampasan kemerdekaan ini juga menjadi pusat perhatian Kongres PBB kelima 30 Iman Hadi, Perbedaan Pidana Kurungan Dengan Pidana Penjara, Hukum Online, diakses pada tanggal 11 Maret Hak pistole adalah hak terpidana untuk membawa fasilitas dan kemudahan bagi dirinya sendiri dengan biayanya sendiri (lihat: Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Alfabeta, hlm. 92.) 32 Residivis adalah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh seseorang sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan akhir (lihat: R. Soenarto suerodibroto, 2004, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 310.) 33 Barda Nawawi Arief, 2010, Op. Cit, hlm. 44.

9 9 Tahun 1975 mengenai Prevention of Crime and The Treatment of Offenders yang menyatakan bahwa di banyak negara terjadi krisis kepercayaan terhadap pidana perampasan kemerdekaan dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang pengendalian atau pengurangan kejahatan. 34 Kongres tersebut juga membahas perlunya pembatasan kemungkinan penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, hal ini didasari pertimbangan bahwa selain membawa efek-efek negatif, pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek juga dipandang kurang menunjang Standart Minimum Rules for the Treatment of prisoners. 35 Standart minimum Rules for the treatment of prisoners menjadi salah satu pedoman dalam pembaharuan pidana perampasan kemerdekaan yang diajurkan oleh PBB, yang di dalamnya mengandung semangat perikemanusiaan yang dijiwai oleh Universal Declaration of human Right Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan bahwa pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis, maupun pertimbangan ekonomis. 37 Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil. Tidak hanya terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. Beberapa 34 Ibid. 35 Koesnoen, 1969, Standard Minimum Rules Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa- Bangsa, Direktur Djenderal Bina Tuna Warga, Jakarta, hlm Ibid. 37 Tongat, Op. Cit, hlm. 4.

10 10 dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan, terhadap narapidana antara lain: 38 1.! Loos of personality Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan; 2.! Loos of security Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya; 3.! Loos of liberty Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas; 4.! Loos of personal communication Dengan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, maka kebebasan berkomunikasi dengan siapapun menjadi terbatas; 5.! Loos of good and service Selama di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri; 6.! Loos of Sexual Heterogeneity Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas naluri seks narapidana tidak dapat tersalurkan kepada pasangan yang seharusnya, sehingga tidak jarang naluri tersebut dilampiaskan kepada sesama narapidana dalam satu sel; 38 Ibid, hlm. 5.

11 11 7.! Loos of practige Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya; 8.! Loos of belief Akibat dari perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan atas percaya diri; 9.! Loos of creatifity Karena perasaan tertekan di dalam penjara, narapidana dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan dan imajinasinya. Dalam pertimbangan filosofis, terjadinya perubahan dasar pemidanaan yang terjadi di dunia dari konsep retribusi ke arah konsep reformasi, ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi. Konsep pemidanaan yang hanya berorientasi terhadap pembalasan (punishment to punishment) telah digantikan dengan konsep pembinaan (treatment philosophy). 39 Dalam pertimbangan ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak pada kenyataan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Biaya-biaya tersebut antara lain meliputi biaya hidup narapidana seperti 39 Tongat, Op. Cit, hlm.6.

12 12 makan, pakaian dan sebagainya yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif besar. 40 Merujuk berbagai studi bahwa pidana perampasaan kemerdekaan cenderung membawa narapidana kearah hal-hal yang negatif selama di Lembaga Pemasyarakatan, Indonesia dan negara-negara di dunia dewasa ini mulai mencari alternatif penggunaan pidana tersebut, salah satunya adalah pidana kerja sosial. 41 Saat ini pidana kerja sosial belum diformulasikan dalam peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia, namun jika dicermati, terdapat perumusan sanksi tindakan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mirip dengan sanksi pidana kerja sosial namun dengan nomenklatur yang berbeda, yakni pidana dengan syarat pelayanan masyarakat. 42 KUHP yang masih berlaku sampai sekarang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. 43 Indonesia masih melakukan upaya pembaharuan dalam hukum pidana. Upaya pembaharuan tersebut dianggap sangat penting dalam agenda kebijakan/politik hukum di Indonesia. 44 Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2015, dalam Pasal 88 sudah memasukkan pidana alternatif pidana penjara di bawah 6 bulan. 45 Dalam RUU KUHP tersebut, hakim dapat memilih pidana kerja sosial menjadi sanksi pidana manakala hakim akan menjatuhkan pidana penjara dibawah 6 bulan atau denda 40 Ibid. 41 Tongat, Op.Cit., hlm Ibid. 43 Monang Siahaan, Loc.Cit. 44 Tongat, Op. Cit, hlm Pasal 88 RUU KUHP Tahun 2015.

13 13 yang tidak melebihi kategori I atau Rp ,00 (enam juta rupiah). 46 Pidana kerja sosial (community service order) yang diadopsi dalam RUU KUHP merupakan salah satu jenis pidana yang telah dilakukan oleh negara-negara Eropa seperti Belanda dan Inggris yang menjadikan pidana kerja sosial sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan. 47 Berdasarkan latar belakang di atas, konsep sanksi pidana kerja sosial merupakan hal yang relatif baru di Indonesia, sehingga perlu diteliti lebih lanjut dengan cara menelaah praktik pidana kerja sosial di berbagai negara. Dalam penelitian ini, Penulis akan mengkaji peraturan-peraturan dan mekanisme pelaksanaan pidana kerja sosial di dua negara yakni negara yang memiliki sistem hukum civil law yaitu Belanda. Hal tersebut mengingat bahwa hukum pidana Indonesia adalah warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Studi perbandingan selanjutnya Penulis lakukan terhadap negara yang memiliki sistem hukum common law yaitu Inggris. Karena dirumuskannya sanksi pidana kerja sosial di negara tersebut kemudian menjadi awal mula lahirnya sanksi pidana kerja sosial di negara-negara Eropa lainnya, termasuk Belanda. Hal tersebut Penulis lakukan agar mendapatkan hasil perbandingan yang lebih lengkap dan komperhensif sehingga dapat menjadi masukan yang membangun bagi pengembangan sistem pemidanaan di Indonesia, khususnya berkaitan dengan pidana kerja sosial. Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis menyusun penulisan hukum tentang Perbandingan Sanksi Pidana Kerja Sosial Sebagai 46 Pasal 82 ayat (3) RUU KUHP Tahun Tongat, Loc. Cit.

14 14 Alternatif Pidana Perampasan kemerdekaan Jangka Pendek di Belanda dan Inggris Sebagai Upaya Pengembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia. B.!Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.! Bagaimana konsep pengaturan dan mekanisme pelaksanaan sanksi pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di Belanda dan di Inggris? 2.! Bagaimana konsep pengaturan dan mekanisme pelaksanaan sanksi pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang seharusnya diatur di Indonesia berdasarkan studi perbandingan terhadap Belanda dan Inggris? C.!Tujuan penelitian 1.! Mengetahui dan mengkaji konsep pengaturan dan mekanisme pelaksanaan sanksi pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di Belanda dan Inggris; 2.! Mengetahui dan mengkaji konsep pengaturan dan mekanisme pelaksanaan sanksi pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek seharusnya diatur di Indonesia berdasarkan studi perbandingan terhadap Belanda dan Inggris. D.!Keaslian penelitian Berdasarkan hasil penelusuran Penulis, penulisan hukum dengan tema sanksi pidana kerja sosial belum pernah di lakukan di ruang lingkup Universitas Gadjah Mada. Namun Penulis menemukan penulisan hukum berupa skripsi dengan

15 15 tema sanksi pidana kerja sosial di luar ruang lingkup Universitas Gadjah Mada, antara lain: 1.! Karya yang disusun oleh Muhammad Fajar Septiano pada tahun 2014 berupa skripsi. 48 A.!Judul: Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek B.!Rumusan Masalah: 1.! Apakah pidana kerja sosial perlu dikembangkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek? 2.! Bagaimanakah seharusnya model pidana kerja sosial yang ideal di Indonesia sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek? C.!Kesimpulan: 1.! Semakin besarnya akibat yang ditimbulkan terhadap pidana penjara jangka pendek dan banyak sekali sisi negatif ditimbulkan secara nasional bahkan internasional membuat peluang bagi pidana kerja sosial untuk dikembangkan dalam hukum positif Indonesia. Munculnya pidana kerja sosial adalah akibat dari kritik terhadap pidana penjara jangka pendek yang tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan terhadap pelaku melainkan juga menimbulkan akibat negatif terhadap dirampasnya kemerdekaan tersebut. Akibat negatifnya pidana penjara menjadikan seseorang atau pelaku yang telah melaksanakan masa tahanannya mendapatkan 48 Muhammad Fajar Septiano, 2014, Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek, Malang, Universitas Brawijaya.

16 16 cap jahat (stigma) masyarakat sebagai penjahat atau mantan napi padahal pelaku tidak lagi melakukan kejahatan. Yang berawal dari stigma kemudian berujung terhadap dehumanisasi secara menyeluruh hingga ke sanak keluarga pelaku. Menyebabkan penurunan drajat serta harga diri pelaku sebagai manusia yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan pada diri sendiri. Mengakibatkan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan menjadi over capacity atau kuota penghuni LAPAS tidak mencukupi karena sifat dari pidana penjara yang pendek namun pelanggaran maupun kejahatan terus terjadi sehingga mengakibatkan ketidak seimbangan antara kapasitas LAPAS dengan pelaku di dalam LAPAS. 2.! Dengan begitu banyaknya sisi positif dari pidana kerja sosial maka perlu kiranya para legislator untuk segera diformulasikan dalam konsep RUU KUHP Tahun 2010 sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek. Dalam konsep KUHP dapat disertai dengan aturan pelaksanaan untuk menjadikan model pidana kerja sosial yang ideal di Indonesia sehingga dapat dilaksanakan secara efektif. Karena ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konsep KUHP Tahun 2010 masih terlihat secara umum, sehingga masih memerlukan bentuk teknis dalam pelaksanaannya. Adanya penambahan tentang Badan yang menaungi pidana kerja sosial agar dapat dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. D.!Persamaan penelitian yang telah dilakukan tersebut di atas dengan penelitian yang akan Penulis lakukan adalah:

17 17 1.! Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian yang sama, yakni penelitian studi pustaka dengan tema sanksi pidana kerja sosial; 2.! Dalam penelitian ini Penulis juga melakukan kajian terhadap efekefek negatif pidana penjara jangka pendek, sehingga perlu untuk diberikan batasan terkait dengan penggunaannya; 3.! Dalam penelitian ini Penulis juga akan melakukan kajian terkait konsep pengaturan pidana kerja sosial di Indonesia. E.!Perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan yang penelitian yang akan Penulis lakukan adalah: 1.! Dalam penelitian ini, Penulis melakukan studi perbandingan pengaturan dan mekanisme pelaksanaan pidana kerja sosial di Belanda dan Inggris. 2.! Dalam penelitian ini, Penulis tidak berusaha menggambarkan bagaimana prospek sanksi pidana kerja sosial untuk diterapkan dalam sistem pemidanaan di Indonesia, melainkan menggambarkan bagaimana sanksi pidana kerja sosial yang seharusnya diatur di Indonesia berdasarkan studi perbandingan terhadap Belanda dan Inggris. 2.! Karya yang disusun oleh Eva Norita pada tahun 2014 berupa skripsi. 49 A.!Judul: Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana di Indonesia. 49 Eva Norita, 2009, Pidana Kerja Sosial Dalam kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, Medan, Universitas Sumatera Utara.

18 18 B.!Rumusan Masalah: 1.! Bagaimana dasar filosofis dan konsep pemidanaan di Indonesia? 2.! Bagaimanakah prospek pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal dikaitkan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia? C.!Kesimpulan: 1.! Dasar filosofi dan konsep tujuan pemidanaan di Indonesia, bila dikaji lebih dalam filsafat pemidanaan memiliki ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP adalah berorientasi ke depan. 2.! Latar belakang lahirnya pidana kerja sosial karena adanya upaya untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari suatu kenyataan, bahwa pada perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomis. Secara filosofis, konsep pemidanaan mulai berubah dari orientasi pembalasan (punishment

19 19 to punishment) kepada orientasi pembinaan (treatment philosophy). Jenis pidana pokok baru yang diperkenalkan dalam RUU KUHP, yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial di mana pidana ini dimaksudkan untuk memberikan pilihan atas pidana selain penjara. Pidana kerja sosial ini dapat diterapkan jika pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda kategori I (sebagai catatan bahwa dalam pidana denda ditentukan pengkategorian untuk membatasi jumlah maksimal denda yang dapat diterapkan). Ketentuan yang secara tegas menentukan bahwa adanya semangat untuk menghindari pemidanaan berupa pencabutan kemerdekaan terdapat dalam pasal 71 RUU KUHP yang menyatakan bahwa pidana penjara juga sedapat mungkin tidak dijatuhkan terhadap beberapa keadaan-keadaan tertentu dengan tetap memperhitungkan pasal 54 tentang tujuan pemidanaan dan pasal 55 tentang pedoman pemidanaan. Alternatif pidana yang ditawarkan untuk pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial yang ditawarkan sebagai alternatif pemidanaan memiliki beberapa keunggulan terhadap aspek perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pidana kerja sosial yang memberikan harapan besar untuk perlindungan masyarakat, seorang terpidana memperoleh berbagai keuntungan antara lain: terhindar dari berbagai penderitaan akibat perampasan kemerdekaan, kehilangan

20 20 rasa percaya diri dapat dihindarkan sehingga terpidana tetap mempunyai kepercayaan diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dalam pidana kerja sosial terpidana tetap dapat menjalankan kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang tidak sedang menjalani pidana. Pidana kerja sosial dapat menghindari dehumanisasi yang selalu menjadi efek dari perampasan kemerdekaan. D.!Persamaan penelitian yang telah dilakukan tersebut di atas dengan penelitian yang akan Penulis teliti adalah: 1.! Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian yang sama, yakni penelitian studi pustaka dengan tema sanksi pidana kerja sosial; 2.! Dalam penelitian ini Penulis juga melakukan kajian terhadap sanksi pidana kerja sosial dikaitkan dengan filosofi pemidanaan; 3.! Dalam penelitian ini Penulis juga melakukan kajian terhadap efekefek negatif pidana penjara jangka pendek, sehingga perlu untuk diberikan batasan terkait dengan penggunaannya; 4.! Dalam penelitian ini penulis akan juga akan melakukan kajian terkait konsep pengaturan pidana kerja sosial di Indonesia. E.!Perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan yang penelitian yang akan Penulis lakukan adalah: 1.! Dalam penelitian ini, Penulis melakukan studi perbandingan pengaturan dan praktik pidana kerja sosial terhadap Belanda dan Inggris;

21 21 2.! Dalam penelitian ini, Penulis tidak berusaha menggambarkan bagaimana pengaturan sanksi pidana kerja sosial berdasarkan filosofi pemidanaan dan prospeknya dalam kebijakan kriminal di Indonesia, melainkan menggambarkan bagaimana sanksi pidana kerja yang seharusnya di atur di Indonesia berdasarkan studi perbandingan terhadap Belanda dan Inggris. Dengan demikian penulisan hukum ini adalah asli dan untuk pertama kalinya ditulis dalam penulisan hukum, bukan hasil plagiat, maka telah memenuhi syarat keaslian penelitian. Jika ternyata ditemukan penelitian yang serupa, maka hal tersebut diluar sepengetahuan Penulis dan penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya. E.!Kegunaan penelitian 1.! Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal menambah wawasan untuk kalangan akademisi maupun praktisi bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana. Terutama ketika RUU KUHP telah sah dan diundangkan nantinya sehingga sanksi pidana kerja sosial mulai berlaku dan diterapkan di Indonesia. 2.! Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, berupa konsep pemikiran dan pemahaman kepada hakim, terdakwa, advokat, jaksa dan masyarakat di Indonesia terkait dengan penjatuhan pidana kerja sosial kepada seorang terdakwa.

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan menjadi subjek yang dihormati dan dihargai oleh sesamanya. Pada dasarnya yang harus diberantas ialah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, hlm , hlm Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. 2001, hlm , hlm Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia saat ini merupakan peninggalan zaman kolonial belanda dan Prancis 1 yang sudah kurang relevan untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Mencuri 3 buah kakao dihukum 1,5 bulan penjara, mencuri semangka dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik ini, berdasarkan putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum bukan didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke-3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA PIDANA KERJA SOSIAL DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA Oleh : Putu Astrid Yolanda Sari Pembimbing : I Made Tjatrayasa Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan: Hukum Pidana Abstract:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain di dunia, negara Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan pencapaian tersebut harus

Lebih terperinci

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Masyarakat terdiri dari kumpulan individu maupun kelompok yang mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam melakukan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan (WBP), baik yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1995, yang didalamnya juga mencamtumkan 10 prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pemerintahan suatu negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh Ida Ayu Made Merta Dewi Pembimbing Akademik : Yuwono Program Kekhususan : Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem pemasyarakatan di Indonesia merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh : SHELLY ANDRIA RIZKY

SKRIPSI. Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh : SHELLY ANDRIA RIZKY PEMBINAAN KETERAMPILAN SEBAGAI SALAH SATU PROGRAM PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM MENCAPAI TUJUAN PEMASYARAKATAN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KELAS II B BATUSANGKAR SKRIPSI Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA Oleh : Hendra Rusliyadi Pembimbing : IGN Dharma Laksana Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract:

Lebih terperinci

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB I PENDAHULUAN

RENCANA INDUK PEMBANGUNAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-07.OT.01.03 TAHUN 2011 RENCANA INDUK PEMBANGUNAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu arah kebijaksanaan yang harus ditempuh khususnya dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, ketentuan ini tercantum dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Ini berarti,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Ini berarti, 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kemerdekaan bangsa Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Dalam pernyataan kemerdekaan

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PROSPEK PENGATURAN PIDANA KERJA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

PROSPEK PENGATURAN PIDANA KERJA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA KARYA ILMIAH PROSPEK PENGATURAN PIDANA KERJA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA OLEH : BUTJE TAMPI, SH KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS HUKUM MANADO 2 0 1 1 7 KATA

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

EKSISTENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Oleh: Laras Astuti

EKSISTENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Oleh: Laras Astuti EKSISTENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Laras Astuti Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta E-mail: larasastuti@law.umy.ac.id Abstrak

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya, kesehatan merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN A. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana Pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang kepada orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan merupakan masalah krusial yang sangat meresahkan masyarakat, baik itu dari segi kualitas maupun dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,

Lebih terperinci

PENGATURAN PIDANA PENJARA DI MASA MENDATANG DILIHAT DARI ASPEK PERBAIKAN PELAKU AFRIANSYAH / D

PENGATURAN PIDANA PENJARA DI MASA MENDATANG DILIHAT DARI ASPEK PERBAIKAN PELAKU AFRIANSYAH / D Edisi I, Volume 1, Tahun 2013 PENGATURAN PIDANA PENJARA DI MASA MENDATANG DILIHAT DARI ASPEK PERBAIKAN PELAKU AFRIANSYAH / D 101 07 090 ABSTRAK Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

2

2 2 3 c. Pejabat Eselon III kebawah (dalam rupiah) NO. PROVINSI SATUAN HALFDAY FULLDAY FULLBOARD (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. ACEH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan

Lebih terperinci

2011, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan

2011, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan www.djpp.kemenkumham.go.id BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.323, 2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM. Pembangunan UPT Pemasyarakatan. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem hukum negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana, tetapi merupakan

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA, PIDANA PENGAWASAN, PIDANA PENJARA DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA, PIDANA PENGAWASAN, PIDANA PENJARA DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA, PIDANA PENGAWASAN, PIDANA PENJARA DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA 1.1. Hukum Pidana 1.1.1. Pengertian Hukum Pidana Untuk mengetahui hakikat Hukum Pidana, terlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

PIDANA DENDA DALAM PEMIDANAAN SERTA PROSPEK PERUMUSANNYA DALAM RANCANGAN KUHP 1 Oleh : Selfina Susim 2

PIDANA DENDA DALAM PEMIDANAAN SERTA PROSPEK PERUMUSANNYA DALAM RANCANGAN KUHP 1 Oleh : Selfina Susim 2 PIDANA DENDA DALAM PEMIDANAAN SERTA PROSPEK PERUMUSANNYA DALAM RANCANGAN KUHP 1 Oleh : Selfina Susim 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana keberadaan pidana denda

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa di dalam Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Secara substansial,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. kemudian dilanjutkan dengan sidang komisi kode etik kepolisian, jadi. putusan akhir sebagai polisi melalui sidang komisi kode etik.

BAB III PENUTUP. kemudian dilanjutkan dengan sidang komisi kode etik kepolisian, jadi. putusan akhir sebagai polisi melalui sidang komisi kode etik. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis berkaitan dengan judul penyelesaian pelanggaran Kode Etik Kepolisian berpotensi Pidana dan upaya pengawasan pelanggaran Kode Etik

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III PIDANA BERSYARAT

BAB III PIDANA BERSYARAT 36 BAB III PIDANA BERSYARAT A. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat yang biasa disebut dengan pidana perjanjian atau pidana secara jenggelan, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) PADA SIDANG HAM

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) PADA SIDANG HAM PEMANTAUAN DAN PENELAAHAN TERHADAP KETERLAMBATAN PEMBERIAN PETIKAN SURAT PUTUSAN PENGADILAN (EXTRACT VONNIS) OLEH PENGADILAN SERTA KETERLAMBATAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH PENUNTUT UMUM Disampaikan oleh

Lebih terperinci

PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA

PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA Shinta Rukmi, SH. MHum. Dosen Fakultas Hukum Unisri Surakarta Abstract : Community Service order is a new criminal, and it is a rehabilitation to narapidana. The

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT UU No. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA 1 Oleh: Benny Laos 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejahatan dewasa ini menunjukan tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik serta sumber-sumber

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 2017

LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 2017 LAPORAN BULANAN SIDANG PARIPURNA BAGIAN DUKUNGAN PELAYANAN PENGADUAN BULAN JULI 17 Pendahuluan Komnas HAM mau tidak mau harus diakui menjadi lembaga pertahanan terakhir bagi warga sipil untuk memperjuangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT SERTA PENGAWASAN PELAKSANAANYA DALAM KASUS PEMBERIAN UPAH KARYAWAN DI BAWAH UPAH MINIMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana tanpa hak memiliki menyimpan atau menguasai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana Denda dalam Pemidanaan Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat,sesudah pidana mati,pidana penjara dan pidana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN DANA DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. anak juga memiliki hak dan kewajiban. Terdapat beberapa hak anak yang harus

BAB I. PENDAHULUAN. anak juga memiliki hak dan kewajiban. Terdapat beberapa hak anak yang harus 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I. PENDAHULUAN Anak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan suatu bangsa. Anak memiliki peran yang signifikan sebagai penerus dan penerima tongkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

DAFTAR PUSTAKA. Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku A. Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Rasanta, Jakarta, 1994; Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007; Adami Chazawi, Pelajaran Hukum

Lebih terperinci

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011 TABEL 1 GAMBARAN UMUM No. Provinsi Lembaga Pengelola Pengunjung Judul Buku 1 DKI Jakarta 75 83 7.119 17.178 2 Jawa Barat 1.157 1.281 72.477 160.544 3 Banten 96 88 7.039 14.925 4 Jawa Tengah 927 438 28.529

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2 PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum Pidana Materil

Lebih terperinci