PEMANFAATAN DATA READY-ARL NOAA DAN CMORPH UNTUK PENGEMBANGAN MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH INDAH PRASASTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANFAATAN DATA READY-ARL NOAA DAN CMORPH UNTUK PENGEMBANGAN MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH INDAH PRASASTI"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN DATA READY-ARL NOAA DAN CMORPH UNTUK PENGEMBANGAN MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH INDAH PRASASTI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemanfaatan Data READY-ARL NOAA dan CMORPH untuk Pengembangan Model Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2012 Indah Prasasti G

3 ABSTRACT INDAH PRASASTI. Utilization of READY-ARL NOAA Data and CMORPH for Land and Forest Fire Risk Model Development in Central Kalimantan. Under the supervision of RIZALDI BOER, M. ARDIANSYAH, AGUS BUONO, and LAILAN SYAUFINA. Land and forest fires are one of the many causes of land degradation in Central Kalimantan. The utilization of remote sensing data, particularly READY-ARL NOAA and CMORPH data, is helpful in providing climate observation data. The objectives of this study are: 1) to analyze the relationship between the surface observation data and the READY-ARL NOAA and CMORPH (CPC Morphing) data by using Partial Least Square (PLS) Method to extract climate data from the satellite, 2) to develop the FDRS (Fire Danger Rating System) indices by using READY-ARL NOAA, CMORPH and hotspot data derived from the satellite data, 3) to develop an estimation model for burned area from hotspot, rainfall condition, and FDRS indices, and 4) to develop fire risk prediction model. The result of this study indicates that the READY-ARL NOAA and CMORPH data have the potential to make climate data estimation and are relatively good as FDRS (SPBK) data input. The use of PLS method is much better in generating a model estimation than simple regression. Precipitation accumulation for two months prior to fire occurrence and drought condition have correlation with the burned area. There is a correlation between the total number of fire hotspot and a series of days without rain around one to two months prior to fire occurrence. In addition, this study also found that the burned area in Central Kalimantan will increase if the drought code exceeds 500 point. Burned area can be estimated by using the following formulas: Burned Area (Ha) = (CH2bl 93) (R-sq = 67.2%) and this formula: Burned Area (Ha) = (DC 500) (R-sq = 58%) where CH2bl = precipitation accumulation for two months prior to fire occurrence and DC = drought code. The forecasts of fire occurrence probability can be determined by using a precipitation accumulation for two months prior to fire occurrence and Monte Carlo simulation. Efforts to anticipate and address the fire risk should be carried out as early as possible, i.e. two months in advance if the probability of fire risk has exceeded the value of 40%. Keyword: READY-ARL NOAA, CMORPH, Partial Least Square Analyzis, Drought Code, Fire extent

4 RINGKASAN INDAH PRASASTI. Pemanfaatan Data READY-ARL NOAA dan CMORPH untuk Pengembangan Model Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh RIZALDI BOER, M. ARDIANSYAH, AGUS BUONO, dan LAILAN SYAUFINA. Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling sering dan hampir setiap tahun mengalami kebakaran, terutama pada musim kemarau. Penggunaan data iklim observasi dalam model-model pengembangan risiko kebakaran hutan dan lahan seringkali terkendala oleh keterbatasan ketersediaan data yang near real-time dengan cakupan wilayah bersifat lokal (titik lokasi). Dengan demikian, untuk memantau dan memetakan area bahaya kebakaran yang luas memerlukan banyak data titik lokasi yang digunakan sebagai masukannya (input). Salah satu upaya mengatasi permasalahan ini adalah dengan menggunakan data penginderaan jauh (inderaja), seperti data READY-ARL NOAA dan CMORPH. Potensi pemanfaatan data READY-ARL NOAA sebagai penduga unsur cuaca/iklim belum pernah diteliti untuk kepentingan pengembangan model risiko kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Data curah hujan CMORPH merupakan hasil estimasi dari data satelit dengan resolusi temporal tinggi yang diharapkan dapat digunakan sebagai pengisi data hilang serta memenuhi kebutuhan ketersediaan data curah hujan observasi terutama di wilayah yang tidak memiliki stasiun pengamatan. SPBK (Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran) yang dikembangkan menggunakan masukan data iklim dari data inderaja diharapkan dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini kebakaran dengan cakupan area pemantauan yang lebih luas dibandingkan apabila dikembangkan berdasarkan data observasi permukaan. Selanjutnya, keterkaitan antara parameter SPBK ini dengan kejadian kebakaran, keberadaan hotspot dan kondisi iklim khususnya curah hujan penting pula dianalisis untuk menilai efektifitasnya dalam memberikan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan model prediksi tingkat kebakaran di Kalimantan Tengah berdasarkan kondisi iklim. Tujuan khusus penelitian adalah: 1) Mendapatkan model estimasi data profil atmosfir (Suhu, Kelembaban Relatif, Arah Angin, dan Kecepatan Angin) dan data iklim non-hujan (Suhu, suhu maksimum, kelembaban relatif, arah angin, dan kecepatan angin) dari data READY-ARL NOAA berdasarkan metode PLS, 2) Mendapatkan model estimasi curah hujan dari data CMORPH berdasarkan metode PLS, 3) Mengembangkan indeks-indeks SPBK dengan pemanfaatan data READY-ARL NOAA dan CMORPH dan mendapatkan model hubungan antara luas kebakaran dengan masing-masing indeks risiko kebakaran dari kerapatan hotspot, indikator kondisi iklim, dan indeks-indeks SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI), dan 4) Mengembangkan model prediksi risiko kebakaran. Analisis hubungan parameter suhu (T), kelembaban relatif (RH), arah angin (WD), dan kecepatan angin (WS) dengan data observasi radiosonde menggunakan analisis PLSR (Partial Least Square Regression) menunjukkan korelasi yang relatif baik, terutama arah angin dan kecepatan angin di Cengkareng dengan korelasi > 0.5. Penggunaan analisis PLSR dalam pembangunan model estimasi T, RH, WD, dan WS secara umum meningkatkan perolehan koefisien keragaman model dan menurunkan tingkat bias/galat estimasi model. Hubungan antara suhu READY-ARL NOAA pada level atmosfir permukaan (sekitar 1200mb) pada pukul UTC dengan suhu maksimum di beberapa stasiun observasi di Pulau Jawa cukup baik, khususnya di Cilacap yang sangat baik dan konsisten dari hasil validasinya. Data curah hujan CMORPH mempunyai korelasi yang cukup kuat dengan curah hujan observasi stasiun, sehingga memiliki potensi yang cukup baik untuk dimanfaatkan dalam pengembangan model risiko kebakaran hutan dan lahan. Hasil validasinya menunjukkan bahwa curah hujan hasil estimasi yang diperoleh mempunyai keragaman yang cukup tinggi,

5 namun konsistensi keterandalan modelnya sangat beragam tergantung dari kualitas data observasinya. Dengan demikian, data READY-ARL NOAA dan CMORPH mempunyai potensi yang sangat baik untuk dimanfaatkan dalam pengembangan model risiko kebakaran hutan dan lahan. Terdapat korelasi yang relatif kuat antara luas kebakaran dengan DC (Drought Code yang merupakan salah satu code luaran SPBK) dan akumulasi curah hujan dua bulan sebelum kebakaran. DC juga memiliki korelasi yang sangat kuat dengan akumulasi curah hujan satu hingga tiga bulan sebelumnya. Semakin berkurang jumlah curah hujan 3 bulan sebelumnya, maka DC akan semakin meningkat. DC menggambarkan potensi kekeringan suatu wilayah. Dari hubungan ini luas kebakaran dapat diestimasi dari curah hujan dua bulan sebelumnya dan dari nilai DC melalui persamaan-persamaan berikut: Luas (Ha) = (CH2bl 93) (R-sq = 67.2%) Luas (Ha) = (DC 500) (R-sq = 58%) dengan CH2bl adalah akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran, dan DC adalah nilai Drought Code. Dari hasil analisis juga menunjukkan bahwa di Kalimantan Tengah umumnya luas kebakaran akan meningkat jika nilai DC melebihi poin 500. Prediksi peluang kejadian dan luas kebakaran dapat ditentukan menggunakan informasi curah hujan dua bulan sebelumnya dengan menggunakan simulasi Monte Carlo). Sementara itu, upaya antisipasi untuk penanganan risiko kebakaran perlu dilakukan sedini mungkin yaitu dua bulan sebelumnya apabila peluang risiko terjadinya kebakaran melewati nilai 40%. Kata kunci: READY-ARL NOAA, CMORPH, analisis Partial Least Square, Drought Code, Luas kebakaran

6 ak cipta milik Indah Prasasti, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya

7 PEMANFAATAN DATA READY-ARL NOAA DAN CMORPH UNTUK PENGEMBANGAN MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH INDAH PRASASTI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi: Sidang Tertutup : Prof (R). Dr. Ir. Irsal Las, MS (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Deptan) Dr. Ir. Rini Hidayati, MS (Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB) Sidang Terbuka : Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Sc (Guru Besar Fahutan IPB) Dr. Ir. Tania June, M.Sc (Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB)

9 Judul Disertasi : Pemanfaatan Data READY-ARL NOAA dan CMORPH untuk Pengembangan Model Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah Nama Mahasiswa : Indah Prasasti Nomor Pokok : G Program Studi : Klimatologi Terapan Disetujui: Komisi Pembimbing (Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc) Ketua (Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah) Anggota (Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom) Anggota (Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc) Anggota Diketahui Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Dekan Sekolah Pascasarjana (Dr. Ir. Rini Hidayati, M.Si) (Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr) Tanggal ujian: 8 Agustus 2012 Tanggal lulus:

10 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... viii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Kebaruan / Novelty Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan dan Lahan Difinisi, Proses dan Faktor-faktor Penyebabnya Kebakaran Lahan Gambut Hubungan Kebakaran Hutan/Lahan dengan Faktor Iklim Deteksi Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Analisis dan Pengolahan Risiko (Risk) dan Bahaya (Hazard) Kebakaran Definisi Risiko dan Bahaya Kebakaran Analisis dan Pengelolaan Risiko Kebakaran Beberapa Hasil Penelitian Analisis Risiko dan Bahaya Kebakaran Data READY-ARL NOAA Data CMORPH (CPC MORPHing Technique) Statistical Downscaling ANALISIS HUBUNGAN DATA ARL-NOAA DENGAN DATA OBSERVASI PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE PLS (Partial Least Square) Pendahuluan Data dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan ANALISIS HUBUNGAN DATA CURAH HUJAN CMORPH DENGAN CURAH HUJAN OBSERVASI Pendahuluan Data dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan iii

11 5. ANALISIS HUBUNGAN HOTSPOT, KONDISI HUJAN 89 DAN PARAMETER SPBK DENGAN LUAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH Pendahuluan Data dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Pendahuluan Data dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH LAMPIRAN iv

12 DAFTAR TABEL Halaman 2-1 Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia berdasarkan beberapa sumber (Najiyati et al yang diacu Syaufina 2008) Data hotspot berdasarkan penggunaan lahan di Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi Riau tahun 1997 Maret 2005 (Sumber data: Kementrian Lingkungan Hidup dalam Hendriana 2006) Jumlah PC dan besarnya keragaman X yang diwakili model penduga untuk masing-masing parameter profil atmosfir di Juanda dan Cengkareng Model Pendugaan T max dari T 06.00_UTC arl, Koefisien Determinasi (R-sq), dan Koefisien Korelasi (r) di 9 Wilayah di Pulau Jawa Koefisien Korelasi (r) dan RMSE Hasil Validasi Silang Model Pendugaan T max dari T 06.00_UTC arl di 9 Wilayah di Pulau Jawa Lokasi stasiun hujan yang dikaji Nilai koefisien korelasi (r) dan determinasi (R-sq) untuk masing-masing stasiun hujan berdasarkan analisis regresi sederhana Keragaman X dan koefisien determinasi (R-sq) berdasarkan metode PLSR Periode data untuk verifikasi model dan validasi Hasil uji Z pada model regresi linier MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru Jenis data, periode, dan cara perolehannya yang digunakan dalam penelitian v

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1-1 Distribusi Jumlah hotspot di Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Periode tahun (Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, 2011) Penurunan jumlah hotspot tahun di Kalimantan Tengah (Sumber: Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, 2010) Bagan alir kerangka penelitian Keterkaitan antar bab dalam penulisan disertasi Hubungan Jumlah Hari Kering sebelum Kebakaran dengan Jumlah Hotspot (Sumber: Boer et al. 2010) Hubungan anomali curah hujan dengan hotspot kebakaran di 23 Kalimantan Tengah (Sumber: IRI dan CCROM-SEAP, IPB 2009) Perbandingan IKKB dengan Indeks Nesterov (Sumber: Buchholz dan Weidemann 2000) Illustrasi Downscaling (Sumber: ) Bagan alir tahap pemrosesan dan analisis data Koefisien korelasi hubungan antara masing-masing unsur iklim pada setiap ketinggian lapisan atmosfir di Juanda, Surabaya Koefisien korelasi hubungan antara masing-masing unsur iklim pada setiap ketinggian lapisan atmosfir di Cengkareng, Tangerang Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk Suhu (T) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk kelembaban (RH) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk arah angin di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk kecepatan angin (WD) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Koefisien korelasi dan RMSE dugaan model dengan observasi dari parameter T (a), RH (b), WD (c), dan WS (d) di Juanda, Surabaya Koefisien korelasi dan RMSE dugaan model dengan observasi dari parameter T (a), RH (b), WD (c), dan WS (d) di Cengkareng, Tangerang Perbandingan pola T 06.00_UTC arl dengan T max observasi BMKG Ratarata bulanan di 9 (sembilan) wilayah di Pulau Jawa Contoh hasil validasi antara T max dugaan model dengan T max observasi permukaan di Serang dan Cilacap Nilai koefisien r antara T max dugaan model dengan T max observasi pada 1 (satu) bulan, 2 bulan, dan 3 bulan ke depan di Cilacap Bagan alir proses analisis dan evaluasi model estimasi curah hujan dari data CMORPH Pola hujan rata-rata bulanan 4 (empat) stasiun observasi di Riau Perbandingan pola Curah Hujan observasi dengan CMORPH domain vi

14 1x1 di Riau Nilai koefisien korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi hasil validasi silang pada masing-masing domain di 4 (empat) wilayah kajian Nilai RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi hasil validasi silang pada masing-masing domain di 4 (empat) wilayah kajian Contoh nilai koefisien model estimasi curah hujan menggunakan PLSR di Pekanbaru pada domain 3x3 dengan 4 PC Perbandingan nilai curah hujan dugaan model dengan curah hujan observasi tahun 2003 di 4 lokasi penelitian Perbandingan nilai koefisien keragaman (R-sq) antara analisis regresi linier dengan PLSR Pola curah hujan di Pekanbaru dan Palangka Raya Perbandingan pola curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi Bentuk hubungan CH CMORPH-IRI pada MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru Nilai korelasi dan RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi Perbandingan antara curah hujan dugaan model dengan observasi pada musim kemarau dan musim hujan di Palangka Raya (a dan b) dan di Pekanbaru (c dan d) Proses penentuan indeks SPBK dan data masukannya Bagan alir proses dan analisis data hubungan parameter hotspot, SPBK, dan kondisi iklim dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan Lokasi titik kejadian dan pemadaman kebakaran tahun 2009 dan 2011 di Kalimantan Tengah Distribusi hotspot pada tahun 2009 di Kalimantan Tengah (Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs: geog.umd. edu/firms/shapes.html ) Distribusi hotspot pada tahun 2011 di Kalimantan Tengah (Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs: geog. umd. edu/firms/shapes.html ) Hubungan luas kebakaran dengan jumlah hotspot Hubungan masing-masing indeks SPBK dengan luas kebakaran di Kalimantan Tengah Hubungan anomali curah hujan dengan jumlah hotspot pada lokasi kebakaran di Kalimantan Tengah pada tahun 2009 (a) dan 2011 (b) Hubungan antara luas kebakaran dengan peubah kondisi iklim Korelasi antara hotspot dengan peubah kondisi iklim Hubungan jumlah hotspot dengan peubah kondisi iklim Hubungan indeks-indeks SPBK dengan kondisi iklim Bentuk hubungan antara potensi kekeringan (DC) dengan peubah iklim curah hujan 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan sebelum kebakaran dengan luas kebakaran Proses penyusunan model prediksi risiko kebakaran hutan dari data curah hujan Pola hujan dua bulanan di Palangka Raya Peluang kumulatif terjadi kebakaran (luas > 50 Ha) pada bulan vii

15 September (kiri) dan Oktober (kanan) di Palangka Raya apabila sifat dan tinggi hujan dua bulanan normal Hubungan antara koefisien keragaman (CV) dan rata-rata curah hujan dua bulanan di Palangka Raya (Catatan: Nilai CV = simpangan baku/nilai rata-rata) Perkiraan peluang terjadi kebakaran pada bulan September dan Oktober berdasarkan informasi tinggi hujan dua bulanan pada bulan Juli-Agustus dan Agustus-September di Palangka Raya DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Contoh Hasil Uji Korelasi antara Parameter Profil Atmosfir Suhu dari ARL NOAA dengan Radiosonde di Juanda Contoh Luaran Pengolahan Menggunakan Metode PLSR pada Analisis Hubungan T dari ARL NOAA dengan Radiosonde Hasil Ekstraksi Jumlah Hotspot, Curah hujan, dan Jumlah Hari Tidak Hujan di Masing-masing Lokasi dan Luas Kebakaran Nilai FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI di Masing-masing Lokasi Kebakaran Korelasi antara indikator kejadian kebakaran (Luas & Jumlah Hotspot), Curah Hujan, dan SPBK viii

16 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat sehat, hidayah, serta pertolongannya-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan desertasi ini. Tema yang dipilih dalam disertasi ini adalah iklim dan kebakaran hutan dan lahan. Desertasi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Komisi pembimbing yang terdiri atas Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc (Ketua), Dr. Ir. M. Ardiansyah (anggota), Dr. Ir. Agus Buono, MSi, MKom. (anggota), dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc (anggota) atas segala arahan, bimbingan, dukungan semangat dan nasehatnya sehingga desertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. 2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, Ketua dan Staf Pengajar pada Program Studi Klimatologi Terapan SPs-IPB yang telah memberikan kesempatan, bantuan, dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan program Doktor. 3. Kepala LAPAN, Deputi Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala PUSFATJA LAPAN, Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana atas kesempatan dan bantuan yang diberikan untuk menempuh pendidikan program Doktor hingga selesai. 4. Prof (R) Dr. Irsal Las dan Dr. Rini Hidayati sebagai penguji luar komisi pada sidang tertutup, Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya dan Dr Tania June sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka atas kritik dan sarannya yang membangun untuk perbaikan desertasi ini. 5. Sahabat-sahabat saya khususnya Dr Katmoko Ari S atas program esktraksi hotspotnya, Dr Ety Parwati, Ita Carolita, Tatik Kartika, Sri Harini, Arum atas doa dan dukungan semangatnya, dan Yenny Vetrita atas pelajaran Arc View-nya dan share datanya. 6. Sahabat dan teman seperjuanganku Suciantini yang selalu memberi inspirasi saya agar tetap kuat dan selalu tetap semangat (Tak ada yang tak mungkin jika kita mau berjuang, percaya atas kemampuan diri dan tetap semangat. Sengsara membawa nikmat). Teman baik saya Bu Woro Estiningtyas (Ballitklimat, Bogor) dan Bu Adeley atas dukungan semangat dan partisipasinya pada saat seminar dan sidang terbuka. 7. Sahabat-sahabat saya di CCROM-SEAP IPB (Mbak Pipiet, Ani, Diva, Sisi, Adi, Gito, Doddy) atas kebaikan, keramahan, dan suasana kerja yang santai dan menyenangkan. 8. Almarhum Ibu dan bapak saya, Suami dan anak-anakku tercinta, Ning Yam, serta adikadikku terkasih atas doa, perhatian, pengertian, kasih sayang, pengorbanan, dan dukungan semangat yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan Program Doktor. Demikian disertasi ini disusun, dengan harapan semoga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang iklim, penginderaan jauh, dan teknologi mitigasi kebencanaan. Bogor, Agustus 2012 Indah Prasasti i

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1963 dari keluarga ayah H. Achmad Syamsul Barry (almarhum) dan ibu Hj. Noerhajatie Bakrie (almarhum). Penulis adalah puteri pertama dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Imam Ghozali dan telah dikaruniai 2 orang anak yaitu Septian Imansyah Ghozali dan Rizki Novia Rahma. Saat ini penulis dan keluarga tinggal di Cibinong, Bogor. Jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) diselesaikan di SD Islam Tompokersan di Kabupaten Lumajang pada tanggal 31 Desember Pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) diselesaikan di SMPN 1 Lumajang di Kota Lumajang pada tanggal 4 Mei Adapun jenjang pendidikan sekolah lanjutan atas (SLTA) diselesaikan di SMPP Negeri (sekarang SMAN 2) Lumajang di Kota Lumajang pada tanggal 10 Mei Pada tanggal 1 September 1982 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PP II di Bogor. Tahun 1983 penulis diterima di Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, Bogor. Penulis lulus dan meraih gelar Sarjana Sains dari IPB, Bogor tahun Kemudian penulis melanjutkan studi pada jenjang Strata II (S2) di Program Pascasarjana (PPs) IPB, Bogor pada tahun 1999 pada Program Studi Ilmu Tanah dan lulus serta mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) tahun Sejak tahun 2007 penulis melanjutkan studi jenjang Strata III (S3) pada Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, Bogor pada Program Studi Klimatologi Terapan. Penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (PUSFATJA) LAPAN sejak ii

18 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu penyebab degradasi hutan dan lahan adalah kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang hampir setiap tahun terjadi di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Pada kejadian kebakaran skala besar pada tahun 1997/1998 diperkirakan sekitar 10 juta hektar lahan rusak terbakar dengan kerugian ekonomis untuk Indonesia mencapai 9.3 milyar dolar US (ADB/BAPPENAS 1999). Sementara kerugian akibat polusi asapnya diperkirakan mencapai 800 juta US dolar. Bersamaan dengan itu, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfir sebanyak 810 2,563 Mt C (Page et al. 2002) yang setara dengan 13 40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan bahan bakar fosil per tahunnya (Cochrane 2003, Page et al. 2002). Apabila kebakaran terjadi pada lahan gambut, maka emisi karbon yang dikeluarkan tidak hanya terbatas dari vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah saja tetapi bahan organik yang terdapat di dalam tanah juga akan terurai dan mengeluarkan karbon ke atmosfir. Hal ini dikarenakan lahan gambut memiliki lebih banyak karbon di bawah permukaan daripada di atasnya (CIFOR, 2009). Pada periode tersebut, diduga lahan gambut menyumbang 60% dari produksi asap di Asia Tenggara dan mempengaruhi 35 juta orang (ADB/BAPPENAS 1999). Hal ini berarti akan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Hasil kajian pustaka Miettinen (2007) mendapatkan bahwa kebakaran di wilayah tropis terjadi karena kegiatan manusia dalam mengelola lahan (seperti: penyiapan lahan pertanian, pembersihan lahan, dan pembakaran pasca panen), penggunaan api dalam sengketa lahan, perburuan, dan ketidaksengajaan (seperti: api unggun dari aktivitas perkemahan, kegiatanmerokok, dan sebagainya), dan aktivitas pengendalian hama. Menurut Saharjo (2000), dalam satu kali pembukaan lahan sebuah perusahaan dapat melakukan penebangan seluas ha, bahkan sampai 40 ha, kemudian bekas tebangan dibiarkan mengering selama 2 3 minggu untuk selanjutnya dibakar. Fuller (1995) menyatakan bahwa unsur-unsur iklim berpengaruh sangat besar terhadap kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dikarenakan iklim dapat

19 2 mempengaruhi kondisi bahan bakaran dan kemudahannya terbakar. Sementera itu, Chandler et al. (1983) menyatakan bahwa faktor iklim mempengaruhi kebakaran melalui dua cara, yakni: menentukan panjang musim dan tingkat keparahan kebakaran, serta berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar hutan di suatu daerah. Pada beberapa kejadian kebakaran seperti tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002, meluasnya bencana kebakaran diakibatkan musim kemarau panjang yang berasosiasi dengan kejadian El Nino. Walaupun sebagian besar kebakaran terjadi akibat ulah manusia, namun faktor iklim terutama curah hujan tetap memegang peranan penting. Hal ini terkait dengan kebiasaan penyiapan lahan yang dilakukan pada musim kemarau. Oleh karena itu, unsur-unsur iklim terutama curah hujan atau tingkat kekeringan akibat menurunnya jumlah hujan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat risiko kebakaran hutan dan lahan. Kebutuhan data iklim dan cuaca dalam pengembangan model-model yang menggunakan data iklim sebagai masukannya (input) seringkali terkendala dengan keterbatasan ketersediaan data. Kondisi ini menjadi salah satu faktor penghambat untuk melakukan kajian lebih lanjut masalah-masalah yang berhubungan dengan iklim dan cuaca. Pengumpulan informasi ke pusat yang berjalan lambat, jumlah stasiun hujan dan tenaga ahli yang masih sangat kurang menjadi faktor pendukung keterbatasan data. Permasalahan utama lainnya yang dihadapi adalah format dan struktur data yang belum standar, sehingga sulit untuk dapat langsung digunakan dalam penelitian (Balitklimat 2009). Kebutuhan terhadap ketersediaan data dan informasi yang aktual dan relatif near real-time telah mendorong berkembangnya model prediksi, baik yang berbasis statistik maupun stokastik. Dewasa ini dengan makin berkembangnya teknologi satelit, maka pemanfaatan data satelit menjadi alternatif yang sangat baik. Hal ini dikarenakan datanya lebih mampu mewakili wilayah yang luas, biaya lebih murah, dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak dalam pengumpulan datanya. Berbagai jenis data curah hujan estimasi dan unsur-unsur iklim lainnya dari data satelit telah dikeluarkan oleh NOAA dengan tingkat keakuratan yang relatif baik. Hal ini membuat penggunaan data estimasi curah hujan yang berasal dari

20 3 satelit geostationary menjadi alternatif utama bagi peneliti dalam dan luar negeri untuk melakukan kajian iklim, seperti data estimasi curah hujan CMORPH (CPC- Morphing Technique). Menurut Janowiak (2007), TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) TMI (TRMM Microwave Image) yang digunakan dalam pembangkitan data curah hujan CMORPH memiliki kemampuan yang lebih baik dalam estimasi hujan dengan tingkat kesalahan kecil. Menurut Oktavariani (2008), kemampuan model estimasi curah hujan dari data CMORPH untuk mengisi data yang hilang selama 2-3 bulan adalah cukup baik. Nilai korelasi antara observasi dan hasil dugaannya berkisar antara Selain data CMORPH, NOAA juga telah mengeluarkan data dan informasi meteorologi lainnya yang dapat dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan pemantauan dinamika atmosfir dan cuaca serta dispersi polusi melalui pengamatan profil atmosfer, seperti data profil atmosfer dari READY-ARL (Realtime Environment Applications and Display System-Air Resources Laboratory) NOAA dan dari MODIS. Penggunaan data READY-ARL NOAA sebagai data penduga parameter profil atmosfer dan unsur cuaca diharapkan dapat membantu mengatasi keterbatasan data permukaan dan pengisi data profil atmosfer yang hilang (missing data) yang secara operasional di permukaan diperoleh dari radiosonde. Penggunaan data READY-ARL NOAA selama ini belum banyak dieksplorasi untuk kepentingan pendugaan unsur iklim dan cuaca, khususnya di Indonesia. Penelitian ini mencoba menganalisis hubungannya dengan data observasi permukaan dan memanfaatkannya sebagai masukan model Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK). Selain itu, hasil analisis hubungannya dengan data observasi radiosonde diharapkan menjadi alternatif untuk perolehan data radiosonde di wilayah yang tidak mempunyai stasiun peluncuran radiosonde. Sebagaimana diketahui bahwa, Indonesia dengan wilayah yang sangat luas hanya memiliki 14 stasiun peluncuran radiosonde di seluruh Indonesia. Dengan demikian, potensi pemanfaatan data READY-ARL NOAA sangat penting untuk dikaji. Keunggulan penggunaan data READY-ARL NOAA adalah data dapat diperoleh secara gratis, waktu pengamatan 3 jam-an (dibandingkan dengan radiosonde yang hanya 2 kali sehari), dan data pengamatan yang lebih rapat di level lapisan bawah atmosfir (sebaliknya radiosonde lebih rapat di atas, padahal

21 4 proses dinamika atmosfir yang mempengaruhi cuaca adalah pada lapisan atmosfir bawah). Adanya kaitan yang cukup erat antara kebakaran hutan dan lahan dengan faktor iklim memungkinkan untuk dikembangkannya model-model pemantauan dan peringatan dini kebakaran. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi (BMKG) dan LAPAN telah mengembangkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang berbasis data iklim. SPBK BMKG menggunakan data iklim observasi permukaan, sedangkan LAPAN menggunakan data iklim yang diturunkan dari data satelit dari berbagai sumber. Model SPBK, baik yang dikembangkan oleh BMKG dan LAPAN mengadopsi model FDRS (Fire Danger Rating System) yang dikembangkan di Canada. Masukan (input) data dalam model ini adalah data suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan curah hujan. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian Syaufina et al. (2004) menjelaskan bahwa dari beberapa faktor iklim yang diuji hubungannya dengan kondisi kebakaran lahan gambut di Hutan Simpan Sungai Karang di Tanjong Karang, Selangor, Malaysia hanya faktor curah hujan yang memiliki hubungan yang relatif baik. Faktor curah hujan berpengaruh pada kandungan air bahan bakar organik pada lahan gambut. Selain itu, Ceccato et al. (2007) mendapatkan bahwa faktor anomali hujan yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran. Oleh karena itu, penelitian ini juga menganalisis efektifitas penggunaan indeks-indeks SPBK dalam menduga potensi kebakaran hutan dan lahan. Kondisi suhu yang panas karena kebakaran hutan dan lahan dapat terpantau oleh satelit sebagai titik-titik panas (hotspots). Deteksi hotspot didasarkan pada deteksi radiasi inframerah termal (TIR = thermal infrared) yang diemisikan oleh kobaran api kebakaran yang terjadi di permukaan. Data hotspot tersebut dapat diperoleh dari data satelit National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) dan MODIS.Hingga saat ini deteksi hotspot (titik panas) masih dipercaya sebagai salah satu cara yang cocok dan efektif dalam menggambarkan keragaman musiman, tahunan, dan waktu terjadinya kebakaran. Namun dari hasil penelitian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa banyaknya jumlah hotspot yang terdeteksi tidak selalu berhubungan dengan banyaknya kejadian dan luasnya kebakaran.

22 5 Oleh sebab itu, penelitian ini juga menilai hubungan jumlah hotspot dengan luas kejadian kebakaran. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya telah menggunakan faktor lingkungan fisik, iklim dan infrastruktur baik secara terpisah maupun terintegrasi untuk menilai dan mengkajikondisi kebakaran yang terjadi, seperti yang dilakukan Hidayat (1997), Syaufina et al. (2004), Adiningsih (2005), Hadi (2006), dan Jaya et al. (2008). Akan tetapi, setiap lokasi penelitian memiliki karakter dan perbedaan faktor-faktor utama yang mendukung terjadinya kebakaran tersebut. Kondisi yang berbeda dari setiap kejadian kebakaran suatu daerah menyebabkan perlu dilakukan penelitian secara khusus agar kegiatan pengendalian kebakaran yang akan dilakukan dapat berjalan dengan efektif dan efisien sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Pemilihan wilayah Kalimantan Tengah sebagai studi kasus kebakaran dalam penelitian ini adalah dikarenakan ketersediaan data kejadian kebakaran (tanggal, luas, dan posisi lokasi) yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lain. Selain itu, sekitar 2 juta hektar lahan di sekitar Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah berupa lahan gambut dengan tutupan vegetasi hutan rawa gambut (Rieley et al. 1996) yang pada akhir-akhir ini telah rusak akibat konversi lahan yang berdampak pada penurunan kualitas lahan dengan makin menurunnya tinggi muka air lahan gambut (Simbolon 2003). Kondisi ini dimulai pada tahun 1996 saat terjadi konversi hutan lahan gambut menjadi lahan pertanian melalui program pemerintah Indonesia yang dikenal dengan Mega Proyek Lahan Sawah Sejuta Hektar yang terkait dengan program transmigrasi (Notohadiprawiro 1998). Hampir 1.5 juta hektar total area dibuka dan dikonversi. Sejak itu, lokasi proyek ini menjadi lokasi utama ditemukannya hotspot kebakaran hutan akibat adanya pembakaran sisa-sisa vegetasi untuk pembersihan lahan, khususnya pada musim kemarau (Jaya et al. 2000, Page et al. 2000). Sementara itu menurut Badan Lingkungan Hidup (2010), hampir 19.60% (3,010,640 Ha) lahan gambut tersebut mempunyai potensi terjadinya kebakaran. Berdasarkan data jumlah distribusi hotspot di Indonesia dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan periode tahun , Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan rata-rata hotspot tertinggi (Gambar 1-1).

23 Rata Jumlah Hotspot Sumut Riau Sumsel Jambi Kalbar Kalteng Kaltim Kalsel Sulsel Gambar 1-1. Distribusi Jumlah Hotspot di Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Periode Tahun (Data diolahdari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, 2011) Gambar 1-2. Penurunan Jumlah Hotspot Tahun di Kalimantan Tengah (Sumber: Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, 2010) Walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah untuk menurunkan jumlah hotspot dari sekitar 41 ribuan hotspot pada tahun 2006 menjadi sekitar 4600an hotspot pada tahun 2009

24 7 (Gambar 1-2), namun jumlah hotspot di wilayah tersebut pada tahun 2011 juga masih cukup tinggi, yakni sekitar hotspot walaupun jika dibandingkan dengan tahun telah terjadi penurunan sebesar 43% (Vetrita et al. 2012). Kondisi ini menjadikan kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah cukup menarik untuk dikaji. Dalam pembangunan model hubungan antara data observasi permukaan dengan data yang diturunkan dari data satelit diperlukan teknik atau metode analisis yang memungkinkan diperolehnya model hubungan kedua data. Dalam penelitian ini analisis hubungan antara data iklim observasi dengan data READY- ARL NOAA dan CMORPH menggunakan teknik analisis PLS (Partial Least Square). PLSdapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas yang mungkin terjadi antar lapisan atmosfir dari data READY-ARL NOAA dan peubah curah hujan CMORPH yang digunakan dalam membangun model pendugaan parameter iklim/cuaca non hujan dan hujan. PLS umumnya juga digunakan untuk mengatasi adanya multikolinearitas yang terjadi dari persamaan yang menggunakan peubah banyak, mereduksi dimensi kovariasi, menghindari adanya kolinearitas antar komponen kovariasi, dan mengatasi struktur data yang tidak linier serta mengatasi masalah dimensi peubah respon yang besar (Zhu et al. 2007). Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh tidak unik dan menghasilkan penduga model regresi yang bias, tidak stabil, dan mungkin jauh dari nilai sasarannya. Pemanfaatan analisis PLS untuk hubungan data READY-ARL NOAA dengan radiosonde dalam penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain Kerangka Pemikiran Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang hampir setiap tahun terjadi pada musim kemarau, terutama di Kalimantan dan Sumatera dan telah menyebabkan banyak kerugian baik secara ekonomi, ekologi, sosial, maupun politik. Sebaran asapnya juga menyebar ke negara tetangga dan dapat mengganggu kesehatan dan aktivitas masyarakat. Polutannya terutama karbon

25 8 diduga telah memberi kontribusi yang nyata terhadap pemanasan global. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun upaya tersebut masih belum optimal dalam mengatasi kebakaran tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan model-model pemantauan atau sistem peringatan dini kebakaran baik berdasarkan data observasi maupun dengan memanfaatkan data satelit. Pemanfaatan data satelit untuk pengembangan dan pembangunan model sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan lebih banyak ditujukan dalam upaya mengatasi keterbatasan data observasi permukaan dan mengisi data yang hilang. Selain itu, cakupan wilayah yang teramati lebih luas dan data dapat diperoleh secara lebih near real-time dibandingkan bila harus menggunakan data observasi permukaan. Dalam penelitian ini data satelit yang digunakan adalah data READY-ARL NOAA untuk menurunkan data iklim non hujan dan CMORPH untuk mengestimasi data curah hujan. Dalam pembangunan model hubungan antara data READY-ARL NOAA dan CMORPH dengan data observasi permukaan digunakan teknik analisis PLS. Pada analisis hubungan antara data READY-ARL NOAA dengan observasi radiosonde, penggunaan analisis PLS ditujukan untuk mereduksi multikolinearitas yang terjadi antar masing-masing lapisan atmosfir yang digunakan sebagai data masukan model. Sementara itu, penggunaan PLS dalam analisis hubungan curah hujan CMORPH dengan curah hujan observasi dimaksudkan untuk mereduksi dimensi peubah curah hujan CMORPH yang bersifat global agar lebih kompatibel digunakan dalam mengestimasi curah hujan regional atau lokal di wilayah penelitian. Data iklim yang diturunkan dari kedua data satelit tersebut selanjutnya digunakan sebagai data masukan dalam model SPBK untuk model pemantauan dan peringatan dini bahaya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Kemudian berdasarkan data curah hujan CMORPH dilakukan analisis hubungan antara kondisi curah hujan dengan kejadian kebakaran.selanjutnya, dari hubungan yang diperoleh dengan curah hujan ini dibangun model prediksi risiko kebakaran hutan dan lahan sebagai sistem peringatan dini kebakaran. Dengan adanya sistem peringatan dini terhadap bahaya kebakaran tersebut diharapkan dampak yang ditimbulkan dapat di antisipasi lebih awal.

26 9 Data hotspot yang diturunkan dari data kanal inframerah termal (TIR = thermal Infrared) baik dari NOAA maupun MODIS hingga saat ini masih dipercaya sebagai alat deteksi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Meskipun dari beberapa hasil wawancara di lapangan di beberapa instansi menyatakan bahwa beberapa hotspot yang dicek di lapangan bukan berasal dari kejadian kebakaran, tetapi dari objek lain seperti: atap seng, lahanpenambangan pasir, dan sebagainya. Oleh sebab itu, penelitian ini juga menilai efektifitas penggunaan informasi hotspot dalam hubungannya dengan kejadian kebakaran dan untuk pendugaan luas kebakaran. Selain itu, juga melihat hubungannya dengan kondisi iklim (curah hujan) dan dengan indeks-indeks SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI). Berkurangnya akumulasi curah hujan 1, 2, dan 3 bulan dan makin panjangnya hari tanpa hujan 1, 2, dan 3 bulan sebelum kebakaran akan menyebabkan kekeringan dan kelembaban vegetasi jauh menurun dan makin kering. Pada lahan gambut akan menyebabkan makin menurunnya paras muka air lahan. Kondisi ini diprediksi akan berpotensi terjadinya kebakaran. Oleh karena itu, perlu diketahui hubungan kondisi curah hujan tersebut dengan kejadian kebakaran di Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian tahapan penelitian. Tahap pertama adalah melakukan analisis hubungan antara data READY-ARL NOAA dengan data radiosonde dan observasi permukaan untuk mendapatkan model estimasi data non hujan dari data satelit. Tahap kedua adalah melakukan analisis hubungan data CMORPH dengan data curah hujan observasi untuk mendapatkan model estimasi curah hujan dari data satelit. Tahap ketiga adalah menentukan indeks risiko kebakaran (IRK) yang paling baik digunakan sebagai alat peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Tahap ketiga dicapai melalui pembangunan model hubungan antara luas kejadian kebakaran dengan jumlah hotspot pada suatu domain dalam periode waktu tertentu (HS0, HS7, HS14), akumulasi jumlah hujan (CH1Bl, CH2Bl, CH3Bl) dan hari tanpa hujan (HTH) dalam satu periode waktu tertentu (HTH1Bl, HTH2Bl, HTH3Bl), dan indeks-indeks luaran SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI) yang dihitung menggunakan data estimasi dari satelit. Secara ringkas kerangka penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 1-3.

27 10 Gambar 1-3. Bagan Alir Kerangka Penelitian Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah kejadian kebakaran yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan manusia pada suatu kawasan hutan atau lahan. Berdasarkan UU no 41 tahun 1999 dan PP no 4 tahun 2001, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat (PP no 4 tahun 2001). Kawasan hutan adalah wilayah tertentu

28 11 yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (PP no 4 tahun 2001) Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan model prediksi tingkat kebakaran di Kalimantan Tengah berdasarkan kondisi iklim. Tujuan khusus penelitian adalah: 1) Mendapatkan model estimasi data profil atmosfir (Suhu, Kelembaban Relatif, Arah Angin, dan Kecepatan Angin) dan data iklim non-hujan (Suhu, suhu maksimum, kelembaban relatif, arah angin, dan kecepatan angin) dari data READY-ARL NOAA berdasarkan metode PLS, 2)Mendapatkan model estimasicurah hujan dari data CMORPH berdasarkanmetode PLS,3) Mengembangkan indeks-indeks SPBK dengan pemanfaatan data READY-ARL NOAA dan CMORPH, dan 4) Mendapatkan model hubungan antara luas kebakaran dengan masing-masing indeks risiko kebakaran dari kerapatan hotspot, indikator kondisi iklim, dan indeks-indeks SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI) Kebaruan/Novelty Kebaruan penelitian ini terletak pada penggunaan data READY-ARL NOAA sebagai alternatif pengganti data radio/rawinsonde, sebagai pengganti data observasi permukaan terutama pada perolehan data suhu, kelembaban relatif, arah angin, dan kecepatan angin. Kebaruan lainnya terletak pada penggunaan data suhu (T), kelembaban relatif (RH), dan kecepatan angin (WS) pada level permukaan dari data READY-ARL NOAA dalam perhitungan indeks-indeks (code)luaram SPBK. Selain itu, kebaruan juga pada penggunaan metode PLS dalam pembangkitan model estimasi profil suhu, kelembaban relatif, arah angin, dan kecepatan angin dari READY-ARL NOAA dan CMORPH Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Selain itu dapat

29 12 bermanfaat sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam merumuskan kebijakan antisipasi dini dan strategi pengelolaan kebakaran hutan dan lahan Sistematika Penulisan Penulisan disertasi terdiri dari 8 Bab. Bab 1membahas latar belakang, tujuan serta kerangka pemikiran yang mendasari penelitian, sedangkan Bab 2 berisi tinjauan pustaka tentang definisi, penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan, kebakaran lahan gambut, hubungan iklim dengan kebakaran hutan dan lahan, pemanfaatan data inderaja untuk pemantauan dan deteksi kebakaran, serta potensi pemanfaatan data READY-ARL NOAA dan CMORPHuntuk estimasiunsur iklim (khususnya suhu, kelembaban, kecepatan angin, arah angin, dan curah hujan). Bab 2 berisi hasil studi pustaka tentang pemanfaatan data MODIS untuk deteksi hotspot kebakaran, model-model yang telah dikembangkan dalam analisis, deteksi dini, estimasi dan pemetaan kerawanan kebakaran hutan dan lahan, serta pemahaman tentang analisis risiko bencana kebakaran hutan dan lahan. Bab 3 menjelaskan hasil hubungan data inderajaready-arl NOAA dengan data radiosonde dan observasi stasiun cuaca dari BMKG untuk mendapatkan faktor koreksi pendugaan unsur-unsur iklim dari data READY-ARL NOAA di Indonesia. Bab 4 membahas tentang estimasi curah hujan dari data CMORPH dengan teknik downscaling dan metode PLS (Partial Least Square) untuk mendapatkan model estimasi curah hujan CMORPH di Indonesia.Bab 5 membahas tentang hasil pembangunan model SPBK sebagai penduga indeks risiko kebakaran (IRK) dan hubungannya dengan luas kebakaran, kerapatan jumlah hotspot, dan parameter kondisi iklim. Bab 6 menjelaskan tentang hasil penyusuan model prediksi tingkat kebakaran berdasarkan simulasi Monte Carlo. Bab 7 berisi pembahasan umum potensi pemanfaatan data inderaja untuk IRK sebagai sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Bab 8berisi simpulan dan saran. Keterkaitan antar Bab secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1-4.

30 13 Bab 1 Pendahuluan Bab 2 Tinjauan Pustaka Pemodelan Bab 3 Model estimasi T, RH, WD, dan WS Data ARL-NOAA Bab 4 Model estimasi CH dari data CMORPH Bab 5 IRK dari hotspot, CH, SPBK Bab 6 Model prediksi tingkat kebakaran dengan simulasi Monte Carlo Bab 7 Pembahasan Umum Bab 8 Simpulan dan Saran Gambar 1-4. Keterkaitan Antar Bab dalam Penulisan Disertasi

31 14 2. TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan dan Lahan Definisi, Proses dan Faktor-faktor Penyebabnya Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebakaran hutan dan lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang menyebabkan kurang berfungsinya hutan atau lahan dalam menunjang kehidupan yang berkelanjutan sebagai akibat dari penggunaan api yang tidak terkendali maupun faktor alam yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. Sementara itu menurut Syaufina (2008), kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api membakar bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sementara kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia seringkali membakar areal hutan dan areal non hutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan non hutan atau sebaliknya. Dengan demikian, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia. Menurut JICA (2000), kebakaran hutan adalah keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasilnya serta menimbulkan kerugian ekonomis, ekologis, dan sosial. Proses pembakaranterjadi apabila ada tiga unsur yang bersatu, yaitu: bahan bakar, oksigen dan panas. Jika salah satu dari ketiganya tidak ada, maka proses pembakaran tidak akan terjadi. Proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesa. Pada proses fotosintesa, energi matahari terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran, energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran (combustion) juga menghasilkan beberapa jenis gas terutama karbondioksida, uap air dan partikelpartikel. Secara sederhana hubungan antara proses fotosintesa dengan pembakaran dapat digambarkan sebagai berikut: Fotosintesa: CO 2 + H 2 O + energi matahari C 6 H 12 O 6 + O 2

32 15 Pembakaran: C 6 H 12 O 6 + O 2 + suhu penyalaan CO 2 + H 2 O + panas Menurut BNPB, kebakaran hutan dan lahan dapat disebabkan oleh, antara lain: 1) Aktivitas manusia yang menggunakan api di kawasan hutan dan lahan, sehingga menyebabkan bencana kebakaran, 2) Faktor alam yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan, 3) Jenis tanaman yang sejenis dan memiliki titik bakar yang rendah serta hutan yang terdegradasi menyebabkan semakin rentan terhadap bahaya kebakaran, 4) Angin yang cukup besar dapat memicu dan mempercepat menjalarnya api, dan 5) Topografi yang terjal semakin mempercepat merembetnya api dari bawah ke atas. Sementara itu dari hasil penelitian CIFOR/ICRAF (2001) di 10 lokasi penelitian di 6 propinsi: Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah sebagai berikut: a) Api digunakan dalam pembukaan lahan; b) Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah; c) Api menyebar secara tidak sengaja; dan d) Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam. Sementara penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan, meliputi: a) Penguasaan lahan; b) Alokasi penggunaan lahan; c) Insentif/Dis-insentif ekonomi; d). Degradasi hutan dan lahan; e) Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan; dan f) Lemahnya kapasitas kelembagaan. Hasil penelitian Chokkalingam dan Suyanto (2004) di Sumatera, telah mengidentifikasi beberapa penyebab kebakaran di lahan basah antara lain: penggunaan api dalam pengelolaan lahan oleh masyarakat, pembakaran untuk pembersihan lahan oleh perusahaan hutan dan perkebunan, pembukaan daerah transmigrasi, pembangunan berskala besar, konversi lahan, dan konflik antara perusahaan dan masyarakat. Pada proses konversi lahan, kegiatan penyiapan lahan sering kali diawali oleh penebangan yang menghasilkan sisa-sisa penebangan, serasah, dan limbah kayu yang dibiarkan menumpuk dan mengering di lapangan. Selanjutnya, agar lahan bersih dari sisa-sisa tebangan dan limbah kayu, maka dilakukan pembakaran. Seringkali proses pembakaran tidak terkendali sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang besar.

33 16 Menurut Tacconi (2003), salah satu faktor penyebab kebakaran yang cukup menonjol adalah faktor penutup lahan dan perubahannya. Pada kawasan yang dilanda kebakaran tahun 1997/1998 di Indonesia diperoleh bahwa lahan pertanian menempati urutan pertama dalam luas kawasan yang terbakar di Sumatera. Urutan kedua terluas terbakar adalah hutan payau dan gambut, yang selanjutnya diikuti oleh hutan dataran rendah, semak dan rumput, hutan tanaman, dan perkebunan Kebakaran Lahan Gambut Lahan gambut merupakan ekosistem yang bersifat unik yang tidak ditemukan pada ekosistem lain. Pada musim hujan, lahan gambut berperilaku seperti spons yang menyerap kelebihan air hujan sehingga mencegah terjadinya banjir. Sebaliknya pada musim kemarau, lahan gambut mengeluarkan air ke udara dan mengalirkannya ke tempat lain sehingga tidak terjadi kekeringan. Lahan gambut memiliki peran utama dalam siklus karbon dan hidrologi serta prosesproses lingkungan global lainnya (Krankina et al. 2008; Syaufina 2008), konservasi biodiversiti untuk flora dan fauna yang penting, sebagai lahan budi daya di bidang pertanian, kehutanan, dan perkebunan (Syaufina 2008). Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tipe, yakni: fibrik, saprik, dan Hemik. Fibrik, apabila 1/3 dari bahan asal telah terdekomposisi dan 2/3 bagian masih dapat dilihat dan ditentukan bahan asalnya. Saprik, apabila 2/3 dari bahan asal sudah terdekomposisi, dan hemic adalah di antara fibrik dan saprik. Berdasarkan hasil kajian pustaka oleh Syaufina (2008), Indonesia menempati urutan keempat di dunia untuk negara dengan lahan rawa gambut terluas, yakni sekitar 17,2 juta ha (Euroconsult 1984 dalam Syaufina 2008) atau sekitar 17,0 27,0 juta ha (Maltby 1997 dalam Syaufina) setelah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Meskipun lahan gambut tropika hanya sekitar 10 12% dari total lahan gambut dunia, namun keberadaannya berperan sangat penting pada lingkungan global. Lahan gambut sebagian besar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan perkiraan luas yang cukup beragam menurut berbagai sumber (Tabel 1). Perbedaan perkiraan luas lahan gambut di Indonesia dikarenakan adanya

34 17 perbedaan dalam definisi dan standar klasifikasi lahan gambut yang digunakan oleh berbagai sumber tersebut. Tabel 2-1. Perkiraan Luas dan Penyebaran Lahan Gambut di Indonesia Berdasarkan Beberapa Sumber (Najiyati et al dalam Syaufina 2008) Penulis / Sumber Penyebaran gambut (dalam juta hektar) Sumatera Kalimantan Papua Lainnya Total Driessen (1978) 9,7 6,3 0,1-16,1 Puslittanak (1981) 8,9 6,5 10,9 0,2 26,5 Euroconsult (1984) 6,84 4,93 5,46-17,2 Soekardi & Hidayat 4,5 9,3 4,6 < 0,1 18,4 (1988) Deptrans (1988) 8,2 6,8 4,6 0,4 20,1 Subagyo et al. 6,4 5,4 3,1-14,9 (1990) Di Kalimantan, lahan gambut tersebar terutama di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Umumnya terdapat di sepanjang pantai barat Provinsi Kalimantan Barat, seperti: Mempawah, Ketapang, dan Sambas. Sementara di Kalimantan Tengah terdapat di pantai selatan di sepanjang aliran Sungai Sebangau, Kahayan, dan Barito. Di Kalimantan timur, lahan gambut banyak dijumpai di wilayah danau di basin bagian tengah Sungai Mahakam, sebelah barat laut Kota Samarinda, dan bagian barat Kota Tarakan (Syaufina 2008). Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan lahan gambut berbeda dengan yang terjadi di kawasan hutan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan (Kurnain, 2005). Menurut Syaufina (2008), berdasarkan pola penyebaran dan tipe bahan bakar kebakaran hutan dan lahan digolongkan ke dalam tiga tipe, yaitu: kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire), dan kebakaran tajuk (crown fire). Dalam hal ini, kebakaran lahan gambut termasuk tipe kebakaran bawah (ground fire). Pada tipe ini, api menjalar di bawah permukaan membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering). Sementara menurut Usup et al. (2003 dalam Kurnain 2005) ada dua tipe kebakaran lapisan

35 18 gambut, yaitu tipe lapisan permukaan (surface fire) dan tipe bawah permukaan (ground fire). Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 cm jam -1 (atau 92 cm hari -1 ). Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman cm di bawah permukaan. Pada tipe dua ini ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam -1 (atau 29 cm hari -1 ). Kebakaran tipe kedua ini lebih berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe dua ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun. Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut dapat menimbulkan dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut (tanah mineral). Oleh karena itu, cara penanganannyapun berbeda Hubungan Kebakaran Hutan/Lahan dengan Faktor Iklim Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan melalui dua cara, yaitu: panjang musim dan keparahan kebakaran, dan peningkatan jumlah bahan bakar hutan di suatu daerah (Chandler et al. 1983). Lebih lanjut Chandler et al. (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan melalui berbagai cara yang saling berkaitan, yakni: 1. Jumlah total bahan bakar yang tersedia, 2. Jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, 3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan 4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan. Sementara itu menurut Pyne et al. (1996), iklim terutama curah hujan juga menentukan jumlah dan jenis vegetasi serta kadar air bahan bakaran. Faktor iklim sangat mempengaruhi perilaku api dalam hal proses penyalaan, perkembangan nyala api, penjalaran api, dan kondisi asap (Weise dan Biging

36 ; Saharjo 1999; Gomez-Tejedor et al. 2000). Selain itu, faktor iklim juga mempengaruhi sifat-sifat bahan bakar seperti tipe bahan bakar, kandungan bahan bakar, sifat-sifat instrinsik, kekompakan, dan kadar air bahan bakar (Johansen 1985; van Wagtendonk dan Sydoriak 1985; Saharjo 1999). Walaupun hampir seluruh kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan manusia, baik sengaja maupun tidak disengaja, namun faktor iklim tetap memegang peranan penting. Hal ini terkait dengan kebiasaan penyiapan lahan yang dilakukan pada musim kemarau. Fakta lain menunjukkan bahwa kemarau panjang tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002 yang berasosiasi dengan kejadian El Nino menyebabkan meluasnya bencana kebakaran hutan Deteksi Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Deteksi dini kebakaran hutan sangat penting dalam mengurangi dampak kerusakan kebakaran. Satelit inderaja membuka peluang pilihan analisis kehutanan dan ekosistem lainnya secara kualitatif pada skala spasial dan geografis. Sehubungan dengan kebakaran hutan dan lahan, data satelit mempunyai peranan yang sangat penting dalam identifikasi dan pemetaan kebakaran hutan serta dalam perekaman frekuensi kerusakan pada wilayah atau tipe vegetasi. Dengan demikian, pemantauan dan pendeteksian kebakaran hutan akan sangat efektif menggunakan data inderaja. Selain itu, data inderaja juga dapat digunakan untuk memahami perilaku kebakaran hutan, faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap area kebakaran, dan faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku kebakaran. Integrasi antara data inderaja dengan faktorfaktor penyebab kebakaran secara Sistem Informasi Geografi (GIS) akan sangat efektif untuk keperluan pemetaan wilayah risiko kebakaran hutan. Kondisi suhu yang panas karena kebakaran hutan/lahan sering terpantau oleh satelit sebagai hotspots (titik-titik panas). Hotspots merupakan salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan/lahan. Deteksi kebakaran aktif menggunakan hotspot didasarkan pada deteksi dari radiasi inframerah termal (TIR = termal infrared) yang diemisikan oleh api kebakaran. Data hotspot tersebut dapat diperoleh dari data satelit NOAA-AVHRR dan MODIS.

37 20 Hotspotdidefinisikan sebagai titik-titik pada citra (pixel atau sub-pixel) yang mempunyai suhu sangat tinggi dan berhubungan dengan active fire (Kobaran Api) di permukaan bumi. Menurut hukum pergeseran WIEN S, suhu tersebut berkisar antara 400 o K sampai dengan 700 o K di permukaan bumi. Suhu titik api tersebut pada citra dapat dihasilkan berdasarkan nilai suhu kecerahannya (Temperature Brightness=Tb), yang diturunkan berdasarkan persamaan yang dikembangkan oleh D Souza (1993). Data hotspot dari NOAA-AVHRR ditentukan dengan memanfaatkan data kanal 3 (kanal inframerah sedang) dengan panjang gelombang µm dan kanal 4 (kanal inframerah panjang) dengan panjang gelombang µm, sedangkan dari data MODIS ditentukan dengan menggunakan kanal-kanal yang mempunyai panjang gelombang 4µm dan 11µm. Dari hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa data hotspot yang diturunkan dari data NOAA maupun MODIS dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya kebakaran hutan/lahan di suatu wilayah. Penggunaan MODIS untuk deteksi hotspot kebakaran memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan menggunakan AVHRR-NOAA. Kelebihannya adalah penentuan posisi geolokasi yang lebih baik, penggunaan metode pemrosesan data yang lebih konsisten, dan informasi dapat diperoleh lebih cepat melalui internet. Selain itu, algoritma yang diaplikasikan untuk data AVHRR tidak mampu menghasilkan nilai suhu permukaan yang lebih tinggi dari 325 K, sehingga nilai ini diterima sebagai nilai maksimum pada kisaran luaran sensor. Hal ini dikarenakan adanya kejenuhan (saturasi) dalam kanal 3 ( µm) (Kaufman et al yang diacu oleh Fuller 2003). Meskipun pengaruh Sunglint dan suhu permukaan yang tinggi selama siang hari memungkinkan menghasilkan nilai suhu yang lebih tinggi (Justice et al yang diacu oleh Fuller 2003), akan tetapi kanal-kanal termal MODIS jenuh pada suhu yang lebih tinggi sehingga memungkinkan untuk mendapatkan sumber informasi suhu yang lebih akurat pada sebaran dan waktu kejadian kebakaran dibandingkan dengan AVHRR. MODIS memiliki 36 kanal yang dapat digunakan untuk mengkoreksi nilai suhu yang tidak benar dibandingkan AVHRR yang hanya memiliki 4 kanal. Selain itu, kanal inframerah-tengah MODIS dipusatkan pada 4 µm; sedangkan

38 21 AVHRR pada 3.8 µm, yang dapat mengurangi proporsi radiansi yang diterima dari pantulan permukaan (Fuller 2003). Deteksi kebakaran dengan hotspot dapat dilakukan secara harian dan dipertimbangkan sebagai cara yang relatif baik dan cukup efektif untuk menentukan keragaman kebakaran antar musim, waktu dan tahun (Eva dan Lambin 1998a). Kelemahan utama sistem deteksi hotspot ini antara lain: adanya kemungkinan bias yang disebabkan oleh tidak sesuainya waktu kejadian kebakaran regional dengan waktu lintas satelit yang relatif tetap (Eva dan Lambin 2000) dan masalah penutupan awan yang menjadi hambatan khususnya pada area tropis lembab seperti wilayah Indonesia. Selain itu, sistem deteksi hotspot tidak mampu untuk mengestimasi dampak kebakaran dikarenakan ketidakmampuannya untuk mengukur/menghitung total area dari bagian permukaan yang terbakar pada area yang terkena kebakaran. Sebuah piksel berukuran 1km 2 dapat dijenuhi oleh sebuah kebakaran yang tidak lebih besar dari 0.001km 2 yang melebihi ketidakpastian ukuran area terbakar yang terjadi pada daerah yang terdeteksi terbakar. Walaupun demikian, dikarenakan perlunya informasi tentang dampak dari kebakaran vegetasi dan ketiadaan data yang lebih baik, maka penggunaan hotspot sering pula digunakan untuk mengestimasi area terbakar secara luas dan telah diuji oleh beberapa peneliti dengan berbagai tingkat keberhasilan, baik pada skala global (Giglio et al. 2006) dan regional (Eva and Lambin 1998a, Stolle et al. 2004). Berdasarkan distribusi hotspot kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir di seluruh provinsi, khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan yang merupakan wilayah dengan kejadian kebakaran terbesar. Di Sumatera, kebakaran lebih sering terjadi di wilayah Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan (Gambar 2-1). Sementara itu di Provinsi Riau, wilayah yang sering dilanda kebakaran ada di Kabupaten Pelalawan, Bengkalis, dan Rokan Hilir (Gambar 2-2). Berdasarkan penggunaan lahan di Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2001 sampai dengan 2005, hotspot rata-rata tertinggi ditemukan pada areal perkebunan (264), diikuti pada areal HPH (259), areal penggunaan lain (157) dan HTI (103) (Hendriana 2006). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2-1.

39 22 Tabel 2-2. Data hotspotberdasarkan Penggunaan Lahan di Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi Riau tahun Maret 2005 Penggunaan Lahan Hotspot / Tahun Jumlah Rata-rata HPH HTI Perkebunan ArealPenggunaan Lain Total Sumber data : Kementerian Lingkungan Hidup (dalam Hendriana 2006) Hasil penelitian Syaufina et al. (2004b) menyatakan bahwa jumlah hotspotpada kejadian kebakarandi Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau juga berhubungan erat dengan jumlah curah hujan. Peningkatan dan penurunan jumlah hotspot pada bulan-bulan tertentu berkaitan dengan peningkatan dan penurunan jumlah curah hujan. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, yaitu mulai bulan Agustus-Desember,jumlahhotspot berkurang bahkan tidak dijumpai sama sekali. Sebaliknya, pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan, maka terjadi hotspot dalam jumlah tinggi seperti pada bulan Maret, April, dan Juli. Jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli di mana curah hujan mengalami titik terendah. Boer et al. (2010) mendapatkan bahwa berdasarkan analisis statistik hubungan antara jumlah hotspot dengan panjang deret hari kering sebelum kebakaran menunjukkan jumlah hotspot meningkat secara exponensial dengan meningkatnya jumlah deret hari kering dengan tingkat keragaman 62% (Gambar 2-1). Dengan demikian, semakin panjang deret hari kering, risiko untuk terjadinya kebakaran akan semakin besar.

40 23 Hubungan JHKSKb (CH<5 mm) dengan Jumlah HS (MODIS) Domain 10 KM H0 s/d H Jumlah HS y = x x R 2 = JHKSKb (hari) Gambar 2-1. Hubungan Jumlah Hari Kering sebelum Kebakaran dengan Jumlah Hotspot (Sumber: Boer et al. 2010) Berdasarkan hasil penelitian IRI bekerja sama dengan CCROM-SEAP, IPB (2009) menunjukkann bahwa kejadian kebakaran di Kalimantan Tengah yang direpresentasikan dengan kerapatan hotspot berhubungan dengann anomali curah hujan yang negatif. Kondisi anomali curah hujan negatif makin meningkat, maka potensi kerapatan hotspot terlihat makin tinggi (Gambar 2-2). Gambar 2-2. Hubungan anomali curah hujan dengan hotspot kebakaran di Kalimantan Tengah (Sumber: IRI dan CCROM-SEAP, IPB 2009) Analisis dan Pengelolaan Risiko (Risk) dan Bahaya (Hazard) Kebakaran

41 Definisi Risiko dan Bahaya Kebakaran Risk atau risiko merupakan kombinasi antara kemungkinan terjadinya suatu kejadian (hazard) yang tidak diinginkan (peluang kejadian) dan konsekuensi (besar dampak) (vulnerability) dari kejadian tersebut (Beer dan Ziolkwoski 1995 dan USPCC RARM 1997 dalam Boer 2002). Terkait dengan kebakaran, risiko kebakaran (Fire risk) meliputi risiko penyalaan dan risiko penyebaran (penjalaran)-nya. Penilaian risiko kebakaran adalah sangat penting untuk dapat menduga penjalarannya dari beberapa tegakan hutan tempat mulainya api yang menimbulkan kebakaran. Hal ini dikarenakan penjalaran kebakaran hutan dapat menimbulkan ancaman bagi tutupan lahan alam dan keselamatan makhluk hidup. Berdasarkan definisi FAO (1986), risiko kebakaran hutan merupakan peluang dari sebuah awal kebakaran yang ditentukan oleh keberadaan dan aktivitas beberapa faktor penyebabnya. Sementara itu Chuvieco dan Congalton (1989) mendefinisikan risko kebakaran sebagai gabungan dua komponen, yakni bahaya kebakaran dan penyalaan kebakaran. Seluruh risiko tergantung pada bahan bakaran dan kemudahannya terbakar (sebagai bahaya) dan pada adanya penyebabpenyebab eksternal (baik oleh faktor alam atau oleh faktor antropogonik) yang menyebabkan penyalaan kebakaran. Sumber-sumber lain yang dipertimbangkan sebagai sumber penyalaan disebut sebagai jumlah potensi sumber penyalaan (Canadian Forest Service 1997). Chuvieco et al. (2003a, b) menyebutkan risiko kebakaran sebagai kombinasi dua faktor, yakni behaya kebakaran (peluang dari penyalaan dan penyebaran) dan kerentanan kebakaran (sebagai hasil atau akibat dari kebakaran). Bahaya kebakaran mengacu pada pendugaan faktor-faktor lingkungan yang tetap maupun yang berubah (seperti: bahan bakar, cuaca, dan topografi) yang menentukan kemudahan penyalaan, laju penyebaran, kesulitan pengendalian, dan dampak dari kebakaran lahan yang tidak terkendali (Merril and Alexander 1987; Taylor and Alexander 2006). Bahaya (hazard) kebakaran hutan didefinisikan sebagai peluang (probability) kejadian kebakaran hutan di suatu tempat pada intensitas tertentu. Dengan demikian, bahaya kebakaran tergantung pada dua unsur, yakni: kejadian (occurrence) dan intensitas (intensity). Kejadian berkaitan dengan peluang sebuah kejadian kebakaran pada suatu waktu (berdasarkan analisis statistik dari

42 25 kebakaran hutan yang telah terjadi sebelumnya) atau peluang untuk sebuah titik lokasi tertentu terbakar (berdasarkan pada model perilaku kebakaran atau data historis). Intensitas dari sebuah kebakaran berhubungan dengan jumlah energi kebakaran yang terkait secara langsung dengan akibatnya. Kerentanan (vulnerability) terkait dengan akibat yang dapat diduga dari sebuah fenomena alam dan ditentukan oleh intensitas risikonya. Oleh karena itu, kerentanan dipengaruhi oleh tiga unsur, yakni: risiko, kerusakan, dan usaha (pencegahan atau pengendalian) (Hardy 2005). Bahaya kebakaran (fire hazard)menggambarkan keadaan bahan bakar (bahan yang mudah terbakar) yang ditentukan oleh volume, tipe, kondisi, susunan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan penyalaan dan sulitnya pengendalian kebakarannya. Sementara itu, kerentanan kebakaran menentukan tingkat ancaman terhadap properti yang berisiko pada wilayah tertentu (yang bernilai risiko: pemukiman, bangunan, kehidupan). Hutan dapat dianggap sebagai penyebab kebakaran (bahan bakaran) sekaligus sebagai penerima akibat kebakaran, yang secara bersamaan merupakan penentu risiko dan kerentanan. Manusia dengan kegiatannya yang dapat menimbulkan kebakaran (sebagai penyebab) dan juga yang menderita kerugian akibat dampak negatif dari fenomena kebakaran tersebut (penerima dampak) (Hardy 2005) Analisis dan Pengelolaan Risiko Kebakaran Analisis risiko (risk analysis) merupakan analisis untuk menentukan besarnya peluang terjadinya suatu keadaan yang tidak diinginkan yang akan menyebabkan kegagalan atau kerusakan. Jadi analisis risiko kebakaran hutan dan lahan adalah analisis untuk menentukan besarnya peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Analisis risiko kebakaran secara kuantitatif tergantung pada karakterisasi dan penggabungan peluang perilaku kebakaran (fire behavior probabilities) dan dampaknya. Peluang perilaku kebakaran adalah berbeda berdasarkan statistik kejadian kebakaran (jumlah historis atau peluang penyalaan yang ditemukan) karena tergantung pada faktor-faktor yang mengendalikan perkembangan kebakaran secara spasial maupun temporal. Kebakaran yang menghanguskan sebuah area tertentu dapat dipicu oleh kondisi di luar area

43 26 tersebut dan kondisi bahan bakar, topografi, cuaca dan arah kebakaran relatif, yang memungkinkan setiap kebakaran mencapai lokasi tersebut (Finney 2005). Sementara itu, analisis bahaya (hazard analysis) dapat digunakan untuk menentukan bahaya yang terjadi pada sebuah fasilitas yang ada atau yang direncanakan dan mendesain (merancang) strategi yang selanjutnya dapat dievaluasi untuk menentukan apakah tujuan-tujuan pengamanan kebakaran dapat tercapai. Analisis bahaya dapat dianggap sebagai sebuah komponen dari analisis risiko. Oleh karena itu, sebuah analisis risiko merupakan sekumpulan analisis bahaya yang diboboti berdasarkan peluang kejadiannya. Risiko total merupakan jumlah dari semua nilai bahaya berdasarkan bobotnya. Nilai risiko pada suatu area bahaya adalah kemampuannya untuk mengidentifikasi skenario yang memberikan sumbangan secara signifikan terhadap risiko (Bukowski 1996). Sebuah bencana kebakaran dapat dianalisis dengan cara mengevaluasi semua risiko yang telah diidentifikasi sebelumnya. Terdapat dua cara pendugaan risiko (assessing risk), yakni berdasarkan peluang (probability) kejadiannya dan tingkat kerentanannya (vulnerability). Pada setiap bahaya kebakaran (Fire hazard) yang telah diidentifikasi sebelumnya, sebuah keputusan akan terkait dengan peluang sebuah kebakaran yang disebabkan oleh sumber penyalaan (ignition source) dan keparahan (severity) akibat yang ditimbulkannya (DeVaul 1992 dan Hau 1993 dalam Mallet dan Brnich 1999). Sementara itu, pengelolaan risiko dapat meliputi informasi dan teknik kuantitatif atau kualitatif untuk menggambarkan risiko-risiko alam. Peluang bisa diasosiasikan dengan frekuensi dan besaran dari kejadian bencana, atau frekuensi kejadian yang melewati batas toleransi. Peluang bisa dinyatakan dalam bentuk kualitatif (misalnya sangat mungkin atau sangat diyakini akan terjadi) atau dalam bentuk kuantitatif yaitu angka dari 0 sampai 1. Risiko kebakaran hutan dapat diprediksi dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan, sehingga dengan cara ini diharapkan dapat menurunkan frekuensi dan kerusakan kebakaran (Johnson dan Gutsell 1994, Jaiswal et al. 2002). Prediksi risiko kebakaran hutan dapat dilakukan dengan menggunakan peta wilayah risiko kebakaran. Wilayah risiko kebakaran hutan merupakan lokasi dimana sebuah kebakaran berpeluang terjadi yang

44 27 dimungkinkan dapat dengan mudah menyebar ke wilayah lain (Jaiswal et al. 2002).Sebagian besar penelitian memetakan wilayah risiko kebakaran hutan secara langsung dengan teknologi inderaja dan sistem informasi geografi (SIG) menggunakan informasi topografi, vegetasi, penggunaan lahan, jumlah penduduk, dan permukiman (Jaiswal et al. 2002; Chuvieco dan Congalton 1989; Chuvieco dan Salas 1996 dalam Dong et al. 2006). Umumnya wilayah risiko kebakaran didelineasi dengan penentuan bobot secara subyektif untuk kelas-kelas dari semua layer data berdasarkan sensitifitasnya terhadap kebakaran atau kemampuan mudahnya kebakaran Beberapa Hasil Penelitian Analisis Risiko dan Bahaya Kebakaran Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan unsur iklim dan atau parameter lain dalam menganalisis risiko kebakaran. Anderson et al. (1999) menggunakan SDI (Soil Dryness Index) dan indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai penentu risiko kebakaran dan menghubungkannya dengan jumlah hotspot. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah hotspot sejalan dengan meningkatnya SDI. Hidayat (1997) dan Junaidi (2001) hanya menggunakan NDVI sebagai indikator risiko kebakaran, sedangkan Departemen Kehutanan Canada menggunakan FWI (Fire Weather Index) sebagai indikatornya (Dimitrakopoulos dan Bemmerzouk 1996) yang kemudian diadopsi oleh LAPAN untuk pemantauan dan pemetaan rawan kebakaran di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Hidayat (1997) menghubungkan NDVI dari NOAA-AVHRR dengan kandungan air daun (sebagai indikator tingkat kelengasan bahan bakaran) untuk menentukan batas NDVI yang dapat digunakan sebagai peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa hutan sudah mengalami kekeringan dan rawan terhadap kebakaran apabila nilai NDVI 0,3. Sementara itu, Satriani (2001) memetakan dan menghitung luasan daerah rawan kebakaran beberapa tipe penggunaan hutan di Kalimantan menggunakan teknik SIG. Satriani menggunakan teknik tumpang-susun (overlay) dan pembobotan antara indeks kekeringan Keetch-Byram (IKKB) (dengan bobot

45 28 40%), tipe hutan (dengan bobot 25%), jumlah hotspoot NOAA-AVHRR (dengan bobot 25%), dan NDVI (dengan bobot 10%) di Kalimantan pada tahun untuk menentukan indeks kerawanan kebakaran dan menghitung luas masing-masing kelas wilayah rawan kebakaran (rendah, sedang, dan tinggi). Satriani juga mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara IKKB bulanan dengan jumlah hotspot bulanan di Kalimantan Barat (r = 0.73 dengan R-sq = 53%) dan Selatan (r = 0.80 dengan R-sq = 64%), sedangkan di Kalimantan Tengah (r = 0.22 dengan R-sq = 5%) dan Kalimantan Timur (r = 0.34 dengan R-sq = 12%) tidak cukup erat. Sementara itu Buchholz dan Weidemann (2000) membandingkan penggunaan IKKB dengan Indeks Nesterov (yang dikembangkan oleh Nesterov tahun 1949 di Rusia dan negara-negara Eropa lainnya) untuk menentukan model paling sederhana sebagai indeks risiko kebakaran pada kejadian kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1997/1998. IKKB menggunakan tiga variabel dalam perhitungan indeks kekeringan, yakni curah hujan rata-rata tahunan, suhu maksimum harian, dan curah hujan harian. Indeks Nesterov menggunakan variabel hari tanpa hujan, suhu bola kering, dan suhu titik embun (yang dihitung berdasarkan suhu dan kelembaban relatif (RH)). Hasil perbandingan dari kedua metode dapat dilihat pada Gambar 2-3. Namun, penelitian ini tidak dipetakan secara spasial.

46 29 Gambar 2-3. Perbandingan IKKB dengan Indeks Nesterov (Sumber: Buchholz dan Weidemann 2000) Maki et al. (2004) mengembangkan model pendugaan bahaya kebakaran hutan berdasarkan status kandungan air daun vegetasi yang diestimasi berdasarkan nilai NDWI (Normalized Difference Water Index) yang diturunkan dari data spektral inframerah dekat (NIR = near infrared) dan inframerah gelombang pendek (SWIR = shortwave infrared). Selanjutnya dari hasil uji cobanya di laboratorium, mereka mengembangkan VDI (Vegetation Dryness Index) menggunakan data SPOT/VEGETATION untuk menduga kandungan air vegetasi secara global. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa VDI sangat bermanfaat untuk mendeteksi wilayah berpotensi kebakaran yang tinggi. Selain itu, VDI dapat digunakan untuk mendeteksi potensi arah penyebaran (penjalaran) kebakaran. Sementera itu,adiningsih (2005) mengembangkan model regional prediksi risiko kebakaran hutan dan lahan di Sumatera menggunakan variabel curah hujan bulanan (6 interval kelas), NDVI bulanan (6 kelas NDVI), penutup lahan (6 kelas penutup lahan), dan jenis lahan (kelas lahan kering dan gambut) dengan skoring, selanjutnya menganalisis risiko kebakaran hutan dan lahan pada berbagai kondisi penyimpangan iklim. Dari hasil skenario pembobotan yang dicoba dalam penelitian ini diperoleh bahwa kombinasi pembobotan yang memberikan hasil terbaik untuk curah hujan dan NDVI masing-masing adalah

47 30 sebesar 0.35, sedangkan masing-masing 0.15 untuk penutup lahan dan jenis lahan. Dengan kata lain, kontribusi curah hujan dan NDVI di dalam risiko kebakaran hutan dan lahan lebih besar dibandingkan penutup lahan dan jenis lahan. Dolling et al. (2005) meneliti hubungan antara IKKB dengan luasan total area terbakar di Kepulauan Hawaii. Sementara itu, Hernandez-Leal et al. (2006) mengembangkan Indeks Dinamik Risiko Kebakaran (FRDI = Fire Risk Dynamic Index) yang diturunkan dari integrasi antara Indeks Statis Risiko Kebakaran (FRSI = Fire Risk Static Index) dengan komposit nilai NDVI 10 harian global (resolusi 1 Km) dari AVHRR-NOAA. Variabel yang digunakan untuk menentukan FRSI adalah ketinggian tempat (altitude), insolasi, kemiringan lereng (slope), penutup lahan (land cover), dan jarak dari jalan utama. Selanjutnya, model peluang kejadian kebakaran dihitung berdasarkan regresi multivariat logistik. Nilai peluang kejadian kebakaran akan berkisar antara 0 1. Bilangan 0 1 ini merupakan peubah Bernoulli atau biner. Model FRDI ini dikembangkan di Pulau Tenerife, Spanyol. LAPAN dan BMKG juga telah mengembangkan SPBK (Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran). SPBK LAPAN mengadopsi metode FDRS yang dikembangkan oleh Canada dan parameter yang digunakan diturunkan dari data satelit, sedangkan SPBK BMKG diturunkan dari data historis iklim hasil pengukuran stasiun klimatologi. Model SPBK LAPAN telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Kedua model SPBK ini tentu saja memiliki sensifitas berbeda dan masih perlu dikaji lebih lanjut keunggulan dan kelemahan kedua sistem SPBK tersebut Data READY-ARL NOAA Salah satu data yang dihasilkan oleh READY-ARL NOAA adalah data profil vertikal atmosfer. READY adalah sebuah perangkat yang berbasis web yang dikembangkan oleh ARL sejak Programnya antara lain adalah penayangan data meteorologi dan hasil model dispersi udara dalam format yang lebih mudah untuk digunakan oleh para pengguna (para ilmuwan dan peneliti atmosfer, meteorolog, para pengelola lembaga pelayanan peramalan cuaca

48 31 nasional, peramalan kualitas udara, dan sebagainya). READY-ARL NOAA juga mengeluarkan data meteorologi yang dihasilkan oleh NCEP untuk berbagai tempat di dunia, seperti data time-series peubah meteorologi, kestabilan atmosfer, dan peta-peta dua dimensi yang dapat dipilih sendiri oleh pengguna, dan sebagainya ( Data profil atmosfer dari READY-ARL NOAA ini merupakan data GDAS (Global Data Assimilation System) yang secara operasional diinformasikan oleh dan diperoleh dari NCEP website. Oleh ARL (Air Resources Laboratory) NOAA, luaran model NCEP ini digunakan untuk pemodelan dispersi dan transport kualitas udara dalam format luaran EDAS (Eta Data Assimilation System) dan GDAS.Kedua jenis arsip data tersebut berisi data komponen angin U dan V (uwinddan v-wind), suhu, dan kelembaban dengan resolusi berbeda, dikarenakan yang satu resolusinya secara horizontal dan yang lain secara vertikal ( Data harian profil horizontal dan vertikal dari READY-ARL NOAA ini tersedia sejak Desember Data profil vertikal tersebut terdiri dari data ketinggian potensial (H), suhu (T), suhu titik embun (Td), arah angin (WD), kecepatan angin (WS), dan kelembaban (RH) dari beberapa lapisan atmosfer mulai di atas permukaan hingga pada ketinggian 20 mb dengan resolusi spasial 1 o x 1 o. Data profil vertikal ini merupakan fungsi dari tekanan dan ketinggian dari permukaan hingga ketinggian batas sounding yang ditentukan. Selanjutnya, dari data profil vertikal atmosfer ini dapat diturunkan data total precipitable water (TPW) dan nilai indeks stabilitas atmosfer (KI = K-Index, LI = Lifted Index, dan MVV (maximum vertical velocity)) yang bisa diekstraksi menggunakan perangkat lunak RAOB (Rawinsonde Observation). Data profil atmosfer ini dapat diaplikasikan untuk pengkajian/penelitian klimatologi antara lain dalam inisialisasi model-model prediksi cuaca secara numeris, kajian iklim, sebagai data ground truth untuk pengembangan algoritma perolehan data satelit, sebagai data masukan untuk model-model dispersi polutan, penerbangan, dan sebagainya.

49 Data CMORPH (CPC MORPHing Technique) Ketersediaan data iklim, khususnya curah hujan sangat bergantung pada stasiun pengamatan. Namun, jaringan stasiun pengamatan di Indonesia masih belum mencakup seluruh wilayah. Hal ini akan menyebabkan terbatasnya ketersediaan data untuk berbagai aplikasi penggunaan. Pendugaan curah hujan menggunakan data satelit dapat menjadi salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut. Pemanfaatan kanal infra merah untuk estimasi curah hujan telah dilakukan sejak 1960 dan estimasi menggunakan gelombang pasif mikro (passive microwave) telah dimulai sejak 1987, namun penggabungan kedua produk ini baru dilakukan sekitar tahun CMORPH merupakan salah satu teknik estimasi curah hujan yang mengkombinasikan antara hujan estimasi yang dihasilkan oleh passive microwave dan pergerakan awan dari satelit geostationary yang berupa infrared 10.7 mikron saat ketinggian awan 4 m (Joyce et al. 2004). Proses penggabungan kedua data tersebut berupa: 1) CMORPH periode 30 menitan resolusi 0, lintang/bujur di atas ekuator, cakupan 60N-60S. 2) CMORPH periode 3 jam-an resolusi 0,25 0 lintang/bujur dengan cakupan global 60N-60S, dan 3) CMORPH periode harian dengan resolusi 0,25 0 lintang/bujur mencakup skala global. Selain CMORPH terdapat pula Turk Algorithm, Persiann dan CMAP yang dapat digunakan untuk menghasilkan hujan estimasi hasil gabungan infrared dan microwave. Menurut Janowiak et al. (2007), TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) TMI (TRMM Microwave Image) yang digunakan CMORPH untuk estimasi distribusi hujan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam estimasi hujan dengan tingkat kesalahan kecil. Kondisi sebaliknya dikemukakan oleh Dinku (2007), berdasarkan proses validasi di daerah Afrika, dari sebelas model estimasi curah hujan menunjukkan bahwa CMORPH memang bagus untuk mendeteksi kejadian hujan namun tidak untuk estimasi besarnya hujan yang digambarkan oleh tiap pikselnya. Keluaran estimasi curah hujan dari CMORPH yang berskala global membuat data ini kurang kompatibel digunakan langsung dalam skala regional untuk menduga hujan lokal. Oleh karena itu, perlu dilakukan teknik downscaling.

50 Statistical Downscaling Metode statistical downscalling (SD) didasarkan pada asumsi bahwa iklim regional dikendalikan oleh dua faktor, yaitu kondisi iklim skala besar (resolusi rendah) dan kondisi fisiografik regional (Busuioc et al dalam Sutikno 2008). Metode SD merupakan suatu fungsi transfer yang menggambarkan hubungan fungsional sirkulasi atmosfer global; hasil dari Global Climate Model (GCM), dengan unsur-unsur iklim lokal (Zorita and von Storch 1999 dalam Bergant and Kajfez-Bogataj 2005) atau merupakan fungsi transfer untuk mereduksi dimensi GCM yang dapat digunakan untuk memprakirakan kondisi iklim pada tingkat lokal berdasarkan sifat-sifat peubah pada skala global. Metode ini mencari informasi skala lokal dari skala global melalui hubungan fungsional antara kedua skala tersebut (Storch et al dalam Wigena 2006). Namun untuk keadaan skala global yang sama, keadaan skala lokalnya dapat bervariasi atau adanya regionalisasi. SDmenjelaskan hubungan antara skala global dan lokal dengan lebih memperhatikan keakuratan model penduga untuk mempelajari dampak perubahan iklim (Yarnal et al dalam Wigena 2006). Downscaling lebih menunjukkan proses perpindahan dari peubah penjelas ke peubah respon, yaitu perpindahan dari skala global ke skala regional (titik). Gambar 2-4 mengillustrasikan proses downscaling. Deret data yang homogen sangat diperlukan dari lokasi tertentu secara individu untuk memperoleh hubungan secara statistik. Lokasi terpilih haruslah dapat meliputi suatu area yang sebanding dengan ukuran grid GCM. Hubungan yang diperoleh sangat tergantung pada lokasi yang diambil, sehingga pada lokasi terpilih untuk downscaling harus tersedia data yang cukup lengkap dan mempunyai deret yang cukup panjang. Jika data yang tersedia cukup, maka sebagian data digunakan untuk membangun model sedangkan bagian yang lainnya untuk verifikasi model. Hal yang perlu diperhatikan adalah penggalan data tidak memisahkan deret data dari suatu regim iklim (Rummukainen 1997 dalam Haryoko 2004).

51 34 Gambar 2-4. Ilustrasi downscaling (Sumber : Bentuk umum model SD adalah (Wigena, 2006):y = f(x)dengan y (t x q) adalah peubah-peubah iklim lokal, X (t x p x s x g) adalah peubah-peubah sirkulasi atmosfir global, t adalah banyaknya waktu (seperti: bulanan, harian), p adalah banyaknya peubah X, q adalah banyaknya peubah y, s adalah banyaknya lapisan atmosfir, g adalah banyaknya grid domain GCM. Menurut Weichert and Bürger (1998) dan Zorita and von Storch (1999)(dalam Kajfez-Bogataj (2005), pendekatan untuk SD dapat dilakukan melalui pendekatan linier dan non-linier. Pendekatan linier yang umum digunakan antara lain analisis korelasi kanonik (CCA = canonical correlation analysis) seperti yang pernah dilakukan oleh von Storch et al., (1993), Busuioc et al. (1999), Landman dan Tennant (2000), Benestad (2001), Busuioc et al. (2001) (dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005), regresi komponen utama (PCR = principal components regression) oleh Schubert (1998), Benestad et al. (2002), Bergant et al. (2002) (dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj, 2005), dan regresi berganda pada indeks-indeks sirkulasi skala besar (MLR = multiple linear regression) (Wilby et al., 1998, 1999 dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005). Sementara itu, teknik non-linier yang sering digunakan antara lain metode analog (ANL = analog method) oleh Zorita dan von Storch (1999) dan Timbal et al.(2003)(dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005) dan jaringan syaraf tiruan (ANN = artificial neural networks) oleh Hewitson dan Crane (1996), Cavazos (1997), Weichert dan Bürger (1998), Trigo dan Palutikof (2001) (dalam Bergant dan Kajfez-Bogataj 2005).

52 35 CCA mempunyai kelebihan dalam memilih pasangan spasial antara peubah tak bebas dengan peubah bebas yang berkorelasi secara optimal. Pada periode berikutnya Noguer (1994 dalam Haryoko 2004) dan Busuioc et al. (1999 dalam Haryoko 2004) menggunakan metode CCA untuk memvalidasi model GCM. Sedangkan, Bergant dan Kajfez-Bogataj (2005) dan Zhu et al. (2007) menggunakan teknik PLS (partial least squares regression) sebagai metode SD. Sutikno (2008) menggunakan metode Regresi Splines Adaptif Berganda (MARS = multivariate adaptive regression splines) yang dikembangkan oleh Friedman pada tahun Metode kuadrat terkecil parsial (Partial Least Square/PLS) merupakan soft model yang dapat menjelaskan struktur keragaman data dengan menggeneralisasi dan menggabungkan antara metode analisis faktor, PCA, dan multiple regression (Abdi 2007). Metode kuadrat terkecil parsial dapat dilihat sebagai dua bentuk yang saling berkaitan antara CCA dan PCA. Deret data yang homogen sangat diperlukan dari lokasi tertentu secara individu untuk memperoleh hubungan secara statistik. Lokasi terpilih haruslah dapat meliputi suatu area yang sebanding dengan ukuran grid GCM. Hubungan yang diperoleh sangat tergantung pada lokasi yang diambil, sehingga pada lokasi terpilih untuk downscaling harus tersedia data yang cukup lengkap dan mempunyai deret yang cukup panjang. Jika data yang tersedia cukup, maka sebagian data digunakan untuk membangun model sedangkan bagian yang lainnya untuk verifikasi model. Hal yang perlu diperhatikan adalah penggalan data tidak memisahkan deret data dari suatu regim iklim (Rummukainen 1997 dalam Haryoko 2004). PLSdapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas antar peubah pada persamaan yang menggunakan peubah banyak. Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh tidak unik. Metode PLS bertujuan untuk membentuk komponen yang dapat menangkap informasi dari peubah bebas untuk memprediksi peubah respon. PLS terfokus pada kovarian diantara peubah bebas dan peubah tak bebas. Model yang dihasilkan akan mengoptimalkan hubungan prediksi antara dua komponen

53 36 peubah. Metode ini terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap building set (membangun model) dan prediction set (validasi). Proses penentuan model pada metode kuadrat terkecil parsial dapat dilakukan secara iterasi dengan melibatkan keragaman peubah x dan y. Struktur ragam dalam y akan mempengaruhi komponen kombinasi linier dalam x, dan sebaliknya (Bilfarsah 2005). Menurut Abdi (2007), regresi PLS merupakan suatu teknik yang umum yang mengkombinasikan ciri-ciri dari analisis komponen utama dan regresi berganda. Selain itu, menurut Zhu et al. (2007), PLS dapat digunakan untuk mereduksi dimensi kovariasi, menghindari adanya kolinearitas antar komponen kovariasi, dan mengatasi struktur data yang tidak linier serta mengatasi masalah dimensi peubah respon yang besar. Dengan demikian, PLS mampu untuk menentukan model prediksi dari sejumlah peubah prediktan berdasarkan peubah prediktor yang sama secara bersamaan sehingga menghemat waktu pemrosesan data. Selanjutnya pada Bab 3 akan dibahas hasil hubungan antara data READY- ARL NOAA dengan data radiosonde yang ditujukan untuk menurunkan model estimasi data iklim non hujan, seperti: suhu (T), suhu maksimum (T max ), kelembaban udara (RH), arah angin (WD), dan kecepatan angin (WS).

54 37 3. ANALISIS HUBUNGAN DATA READY ARL-NOAA DENGAN DATA OBSERVASI PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE PLS (Partial Least Square) Pendahuluan Data profil atmosfer sangat bermanfaat dalam kajian-kajian cuaca, penurunan model dispersi atau polusi, dan kondisi kestabilan udara. Data profil atmosfer ini dapat diperoleh dari hasil pengukuran radiosonde atau rawinsonde (apabila menyertakan profil arah dan kecepatan angin). Namun dengan makin berkembangnya teknologi penginderaan jauh (inderaja), data profil atmosfer tersebut dapat pula diperoleh dari satelit, seperti NOAA dan MODIS atau dari hasil estimasi dan interpolasi yang dipublikasikan oleh institusi yang bekerja di bidang peramalan cuaca, seperti dari READY-ARL (Real-time Environment Applications and Display system - Air Resources Laboratory) NOAA. Radiosonde merupakan sebuah paket instrumen yang dibawa oleh balon terbang yang digunakan untuk mengukur dan mentranmisikan data meteorologi selama bergerak naik menembus atmosfer. Instrumen tersebut terdiri dari sensor pengukur tekanan, suhu, dan kelembaban. Selanjutnya data hasil pengukuran secara bertahap ditransmisikan ke stasiun di bumi yang kemudian diproses pada beberapa selang waktu yang ditetapkan. Jika informasi angin juga diukur selama balon bergerak, maka paket instrumen tersebut disebut rawinsonde. Dengan demikian, hasil pengamatan atmosfer dari rawinsonde menggambarkan profil vertikal dari suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin sebagai sebuah fungsi dari tekanan dan ketinggian dari permukaan bumi hingga ketinggian terbang balon berakhir (OFCM, 1997). Di Indonesia terdapat 14 stasiun pengamatan/pengukuran rawinsonde untuk mewakili wilayah Indonesia yang sangat luas.padahalwmo (World Meteorological Organization) merekomendasikan jarak minimum antara stasiun pengamatan rawinsonde yaitu sekitar 250 km pada daerah daratan atau sekitar 1000 km pada daerah lautan atau daratan yang tidak berpenduduk.sementara itu menurut OFCM (1997), data pengamatan rawinsonde ini dapat diaplikasikan dalam pengkajian/penelitian klimatologi antara lain dalam inisialisasi modelmodel prediksi cuaca secara numeris, kajian iklim, sebagai data ground truthuntuk

55 38 pengembangan dan verifikasi algoritma perolehan data satelit, sebagai data masukan untuk model-model dispersi atau polusi, penerbangan, peramalan dalam kelautan, dan penelitian-penelitian secara umum.dengan demikian, terbatasnya jumlah rawinsonde yang diluncurkan tersebut menyebabkan pada beberapa wilayah tidak tersedia informasi dan data profil atmosfer yang cukup. Oleh karena itu, kajian pemanfaatan data profil atmosfer dari sumber lain perlu dilakukan. Salah satu data yang dihasilkan oleh READY-ARL NOAA adalah data profil vertikal atmosfer. READY adalah sebuah perangkat yang berbasis web yang dikembangkan oleh ARL sejak Sementara itu ARL adalah lembaga yang mengembangkan penelitian dan pengembangan model-model di bidang kualitas udara, dispersi atmosfer, dan iklim. Kegiatan utamanya adalah pengembangan, evaluasi, dan aplikasi dari model-model kualitas udara, peningkatan pemodelan prediksi dispersi atmosfer dari material berbahaya, dan model-model pertukaran energi atmosfer dengan permukaan dan kecenderungan serta keragaman iklim. Programnya antara lain adalah penayangan data meteorologi dan hasil model dispersi udara dalam format yang lebih mudah untuk digunakan oleh para pengguna (para ilmuwan dan peneliti atmosfer, meteorologi, para pengelola lembaga pelayanan peramalan cuaca nasional, peramalan kualitas udara, dan sebagainya). READY-ARL juga menghasilkan data meteorologi yang dihasilkan oleh NCEP untuk berbagai tempat di dunia, seperti data peubah meteorologi secara deret waktu (time-series), kestabilan atmosfer secara time series, peta-peta dua dimensi yang dapat dipilih sendiri oleh pengguna, dan sebagainya ( Data harian profil vertikal dari READY-ARL ini tersedia sejak Desember 2004 dan potensi pemanfaatannya di Indonesia belum banyak dikaji oleh para peneliti. Data profil vertikal ini terdiri dari data ketinggian potensial (H), suhu (T), suhu titik embun (Td), arah angin (WD), kecepatan angin (WS), dan kelembaban (RH) dari beberapa lapisan atmosfer mulai di atas permukaan hingga pada ketinggian 20 mb dengan resolusi spasial 1 o x 1 o dan resolusi temporal 3 jam-an (mulai pukul GMT GMT). Sedangkan, pengukuran profil atmosfir menggunakan radiosonde yang dilakukan oleh BMKG hanya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) hari, yakni pada pukul GMT dan GMT. Oleh karena itu,

56 39 penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis hubungan antara data READY-ARL ini dengan data profil atmosfer yang diperoleh dari data radiosonde dan menganalisis potensi pemanfaatan data tersebut untuk menggantikan data pengamatan profil atmosfer di wilayah Indonesia yang tidak ada stasiun peluncuran radiosondenya. Dalam bab ini analisis hubungan antara data READY-ARL NOAA dengan data rawinsonde dilakukan dengan menggunakan metode PLS (Partial Least Square). Penggunaan metode ini bertujuan untuk menghilangkan multikolinearitas antar lapisan atmosfir yang dipakai sebagai peubah penduga masing-masing lapisan atmosfir dari setiap parameter profil atmosfir. Multikolinearitas antar lapisan atmosfir ini dimungkinkan karena batas antar lapisan atmosfir tersebut tidak jelas dan tidak selalu tetap sama pada setiap kali pengukuran. Penggunaan data READY-ARL NOAA dan analisis hubungannya dengan data rawinsonde berdasarkan metode PLS dan hubungannya dengan data observasi permukaan belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengatasi keterbatasan ketersediaan data iklim dan mengisi data yang hilang akibat kurangnya stasiun observasi di permukaan. Metode analisis regresi kuadrat terkecil parsial (Partial Least Square Regression/PLSR) merupakan soft model yang dapat menjelaskan struktur keragaman data dengan menggeneralisasi dan menggabungkan antara metode analisis faktor, PCA (Principal Component Analyzis), dan regresi berganda (multiple regression)(abdi 2007). Selain itu, metode PLSR dapat dilihat sebagai dua bentuk yang saling berkaitan antara CCA (Canonical Correlation Analysis) dan PCA. PLSRdapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas antar peubah pada persamaan yang menggunakan peubah banyak, mereduksi dimensi kovariasi, menghindari adanya kolinearitas antar komponen kovariasi, dan mengatasi struktur data yang tidak linier serta mengatasi masalah dimensi peubah respon yang besar (Zhu et al. 2007). Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh tidak unik dan menghasilkan penduga model regresi yang bias, tidak stabil, dan mungkin jauh dari nilai sasarannya (Bilfarsah 2005).

57 40 Penelitian dalam bab 3 ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara data READY-ARL NOAA dengan data rawinsonde dan dengan data observasi permukaan untuk mendapatkan model estimasi data iklim non hujan (suhu (T), suhu maksimum (T max ), kelembaban (RH), kecepatan angin (WS), dan arah angin (WD)) dari data satelit Data dan Metode Data dan Alat Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data profil atmosfer yang diperoleh dari Sementara data pembanding yang digunakan adalah data profil atmosfer dari hasil pengukuran rawinsonde di wilayah Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang dan wilayah Bandara Juanda, Surabaya yang diperoleh dari Badan Meteorologi Geofisika dan Klimatologi (BMKG), Jakarta. Data yang digunakan adalah data bulan Desember 2004 Desember Selain itu, data yang digunakan adalah data suhu udara maksimum dari 9 (sembilan) stasiun observasi di Pulau Jawa dari tahun yang diperoleh dari BMKG. Alat yang digunakan adalah seperangkat PC yang dilengkapi dengan perangkat lunak microsoft excell dan minitab 14. Metode Analisis Tahap awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ekstraksi data profil atmosfer harian yang meliputi data tekanan potensial (H), suhu (T), suhu titik embun (Td), arah angin (WD), kecepatan angin (WS), dan kelembaban relatif (RH) dari tekanan di atas permukaan hingga 20 hpa (mb) melalui situs titik lokasi Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng (6 o 7 LS dan 106 o 39 BT) dan Bandara Juanda (7 o 22 LS dan 112 o 46 BT), Surabaya dan 9 (sembilan) titik lokasi stasiun observasi suhu permukaan di Pulau Jawa (Serang, Citeko, Jatiwangi, Tanjung Priok, Cilacap, Achmad Yani Semarang, Banyuwangi, Bawean, dan Kalianget).

58 41 Selanjutnya dilakukan analisis pola hubungan antara masing-masing parameter atmosfer dari ARL-NOAA dengan rawinsonde BMKG (observasi) dan antara suhu level permukaan pada pukul UTC dari ARL-NOAA dengan suhu maksimum (T max ) observasi stasiun permukaan. Analisis ini dilakukan untuk menilai potensi pemanfaatan data ARL-NOAA dalam menduga parameter atmosfer dan T max di wilayah penelitian. Analisis ini dilakukan dengan memplotkan nilai masing-masing parameter atmosfir ARL-NOAA dengan dari radiosonde dan antara T 06.00_UTC ARL-NOAA dengan T max observasi BMKG dalam satu grafik. Jika nilai parameter atmosfer dari ARL-NOAA memiliki pola yang dapat mengikuti fluktuasi nilai parameter atmosfer dari radiosonde dan T max observasi BMKG, maka data ARL-NOAA dikatakan memiliki kemampuan yang baik dalam mengikuti pola perubahan (fluktuasi) nilai observasi. Selain itu, analisis hubungan kedua data tersebut juga dinilai berdasarkan nilai korelasi (r) antara keduanya. Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan hubungan (linier) relatif antara dua peubah. Persamaan koefisien korelasi adalah :...(3-1) Nilai r digunakan untuk mengukur tingkat keeratan hubungan antara data ARL- NOAA dengan data observasi BMKG. Jika nilai r > 0,5 maka ada hubungan yang erat antara kedua data tersebut. Dengan demikian nilai parameter atmosfer dari ARL-NOAA dikatakan mempunyai potensi yang baik untuk digunakan sebagai penduga data iklim di permukaan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 14. Untuk analisis selanjutnya, data parameter atmosfer dari ARL-NOAA dinotasikan sebagai berikut: untuk suhu (T) dengan T_arl, kelembaban (RH) dengan RH_arl, arah angin (WD) dengan WD_arl, dan kecepatan angin (WS) dengan WS_arl, sedangkan parameter atmosfer dari radiosonde dinotasikan dengan T_rason, RH_rason, dan seterusnya. Pada beberapa hubungan kedua data selanjutnya dinyatakan dengan rason untuk radiosonde dan arl untuk data dari ARL-NOAA.

59 42 Oleh karena, nilai masing-masing parameter pada setiap lapisan (layer) data rason dan data arl mempunyai batas yang tidak jelas sehingga memungkinkan adanya korelasi antar lapisan atmosfer tersebut, maka analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis PLSR (Partial Least Square Regression). Untuk menilai efektifitas dan kelebihan analisis PLSR, maka dilakukan perbandingannya dengan analisis regresi sederhana. Analisis PLS (Partial Least Square) PLS dikembangkan pertama kali oleh Herman Wold pada tahun 1966 sebagai teknik ekonometrik. PLS merupakan metode analisis yang powerfull karena tidak didasarkan pada banyak asumsi. Selain itu, data tidak harus terdistribusi normal, multivariat (indikator dengan skala kategori maupun rasio dapat digunakan pada model yang sama), dan sampel tidak harus besar. Menurut Abdi (2007), regresi PLS merupakan suatu teknik yang mutakhir yang mengkombinasikan ciri-ciri dari analisis komponen utama dan regresi berganda. PLS ditujukan untuk memprediksi atau menganalisis satu set peubah tak bebas (Y) dari satu set peubah bebas atau prediktor (X). Prediksi dapat dicapai melalui ekstraksi dari prediktor sejumlah faktor yang orthogonal yang disebut peubah laten yang mempunyai kemampuan memprediksi yang terbaik. Untuk meregresikan peubah Y dengan sejumlah peubah prediktor X 1,...,X p, maka metode PLS digunakan untuk mendapatkan faktor baru yang berperan sebagai X. Faktor baru ini disebut peubah laten atau komponen. Setiap komponen merupakan kombinasi linier dari X 1,...,X p. Prinsip ini sama seperti pada PCR (Principle Component Regression), yakni kedua metode ini digunakan untuk mendapatkan beberapa faktor yang akan diregresikan dengan peubah Y. Perbedaan utamanya adalah PCR hanya menggunakan keragaman X untuk membangun faktor baru, sedangkan PLS menggunakan keragaman X dan Y untuk membangun faktor baru yang akan menggantikan peran peubah prediktor (penjelas). PLS akan membentuk komponen-komponen yang mampu menangkap sebagian besar informasi yang terdapat dalam peubah X yang akan digunakan untuk memprediksi y 1,..., y q sekaligus dengan mereduksi dimensi dari penggunaan jumlah peubah X yang besar menjadi lebih kecil.

60 43 Untuk menurunkan koefisien penduga β dan B, maka matriks X merupakan sebuah dekomposisi bilinier dengan persamaan sebagai berikut: = = =...(3-2) t i merupakan kombinasi linier dari X yang ditulis sebagai X ri. Vektor p x 1 dari p i sering disebut loading. Tidak seperti pembobot dalam PCR (eigenvector γ i ), maka r i tidak orthonormal. Akan tetapi, t i haruslah orthogonal (seperti halnya dengan Z i pada komponen utama). Ada dua cara untuk mendapatkan koefisien penduga PLS, yakni dengan algoritma NIPALS atau SIMPLS. Tahap pertama adalah orthogonalitas t i diperoleh dengan menganggapnya sebagai kombinasi linier dari matriks sisaan E i, dimana: =, =, =...(3-3) dengan w i adalah orthonormal. Dengan demikian, kedua faktor pembobot w i dan r i,dimana i = 1, 2,..., m, akan berupa matriks yang sama. Dalam sebagian besar algoritma multivariat maupun univariat, tahap pertama adalah menurunkan nilai w i dan r i,dimana i = 1, 2,..., m agar dapat digunakan untuk menghitung kombinasi linier t i. Selanjutnya, p i dihitung dengan cara meregresikan X terhadap t i. Ketika sejumlah m faktor dihitung, maka hubungannya dapat ditulis sebagai berikut: =...(3-4) = ( )...(3-5) = ( )...(3-6) dimana faktor dominan m pertama (yang menangkap sebagian besar keragaman dalam X) mempunyai kemampuan maksimum untuk memprediksi model. Persamaan (3-6) menghubungkan dua set vektor pembobot berdasarkan transformasi linier. Dari persamaan (3-4) dan (3-5), pada saat proses transformasi dilakukan maka P m R m dan R m P m sama dengan I m. = = ( ) =...(3-7) Kemudian setelah dimensi m diperoleh, maka vektor nilai dugaan dari PLS dapat diwakili oleh m pertama PLS kombinasi linier T m. Dengan demikian, PLS akan diperoleh persamaan berikut: = ( )...(3-8) Persamaan ini adalah untuk mendapatkan Y dugaan PLS pada kasus univariat.

61 44 Untuk PLS multivariat, perolehan persamaannya hampir sama dengan yang univariat, kecuali bahwa vektor diganti dengan matriks. Penggantian untuk dan OLS untuk perolehan y sebagai berikut: = ( )...(3-9) Dengan demikian, jelas bahwa = ( )...(3-10) Persamaan yang lebih sederhana untuk dapat diperoleh dengan subtitusi persamaan (3-4) ke dalam persamaan (3-5) yang akan menghasilkan: = ( ). Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (3-10) akan dihasilkan persamaan berikut: = = ( )...(3-11) Dalam PLS multivariat, maka mempunyai bentuk yang sama. Perbedaannya hanya pada diganti dengan, sehingga: = ( )...(3-12) Selanjutnya, analisis PLSR dan regresi sederhana dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak minitab 14. Uji keterandalan dan konsistensi model dilakukan dengan cara validasi silang. Tingkat keterandalan model ditinjau dari nilai RMSEP (Root Mean Square Error Prediction) dan korelasi ( r ) antara nilai dugaan model dengan nilai observasi. RMSE menunjukkan tingkat bias pendugaan yang dilakukan oleh model pendugaan. Nilai RMSE dihitung berdasarkan rumus:...(3-13) dengan n adalah banyaknya data, X obi dan X dgi berturut-turut adalah nilai observasi dan nilai dugaan ke-i. Korelasi antara nilai prediksi (dugaan) (X dg ) dengan nilai observasi (X ob ) dihitung berdasarkan: (3-14) Semakin kecil nilai RMSEP dan semakin besar nilai korelasi ( r ) antara nilai dugaan dengan nilai observasi, maka model semakin baik dan andal.

62 45 Secara rinci keseluruhan tahapan proses pengolahan data dan analisis disajikan pada bagan alir Gambar 3-1. Radiosonde Koordinat Pengukuran Radiosonde READY ARLNOAA Koordinat stasiun Stasiun Observasi BMKG T, RH, WS, WD T, RH, WS, WD Data T max T UTC Analisis PLSR Analisis statistik (korelasi & Regresi) Model estimasi parameter profil atmosfer dan Tmax dari ARL-NOAA Validasi silang (uji signifikansi & konsistensi model estimasi) Uji Korelasi & RMSEP Model Estimasi Parameter Atmosfer dan Tmax dari ARL-NOAA tervalidasi Gambar 3-1. Bagan alir tahap pemrosesan dan analisis data

63 Hasil dan Pembahasan Hubungan Data ARL dengan Rason Menggunakan Metode PLSR Paket data parameter profil atmosfer (T, RH, WD, dan WS) arl merupakan hasil pengukuran dari tekanan permukaan di Cengkareng (sekitar 1007mb 1003mb) dan di Juanda (sekitar 987mb 985mb) hingga ketinggian lapisan 20 mb di atmosfer. Mulai ketinggian 1000mb (di Cengkareng) dan 975mb (di Juanda) hingga 900mb, pengukuran dilakukan setiap 25mb. Mulai ketinggian 900mb hingga 50mb, pengukuran dilakukan dengan selang 50mb. Sementara itu, data radiosonde dari BMKG terdiri dari data hasil pengukuran dari permukaan (sekitar 1010mb 1003mb), 925mb, 850mb, 700mb, 500mb, 400mb, 300mb, 250mb, 200mb, 150mb, 100mb, 70mb, 50mb, 30mb, 20mb, dan 10mb. Dengan demikian pada lapisan atmosfer mulai 1000mb hingga 300mb, data pengamatan dari arl lebih rapat dibandingkan hasil pengukuran rason, sedangkan pengamatan pada lapisan atmosfer mulai 100mb 20mb pengukuran dengan rason lebih rapat dibandingkan arl. Paket data parameter atmosfer arl tersedia secara deret waktu (time-series) harian (mulai Desember 2002 sekarang) dengan selang pengamatan 3 (tiga) jaman, mulai dari GMT GMT. Sementara itu, rason hanya mengukur 2 (dua) kali sehari, yakni pada GMT dan GMT. Dengan demikian, data parameter atmosfer arl akan memiliki potensi yang sangat baik untuk digunakan sebagai pemantauan cuaca di wilayah Indonesia, khususnya pada wilayah yang tidak memiliki stasiun pengukuran radiosonde dengan selang pengamatan setiap 3 jam sekali. Dalam penelitian ini data profil atmosfer (T, RH, WD, dan WS) yang digunakan adalah data dari ketinggian atmosfer 1000mb, 925mb, 850mb, 700mb, 500mb, 400mb, 300mb, 250mb, 200mb, 150mb, 100mb, 50mb, dan 20mb untuk wilayah Cengkareng, sedangkan untuk wilayah Juanda mulai pada 925mb 20mb. Pemilihan lapisan ketinggian atmosfir dari data arl yang digunakan ini karena menyesuaikan dengan data hasil observasi rason BMKG. Sementara itu, untuk RH mulai pada ketinggian atmosfer 1000mb (untuk Cengkareng) dan 925mb (untuk Juanda) hingga 300mb. Hal ini dikarenakan, pengukuran RH oleh

64 47 radiosonde BMKG dilakukan hingga 300mb 250mb saja. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diukur pada pukul GMT. Hubungan antara kedua data dapat dilihat dari hasil analisis koefisien korelasi (r) liniernya. Koefisien korelasidigunakan untuk mengukur tingkat keeratan hubungan antara data profil atmosfer dari arl dengan data pengukuran rason BMKG. Jika nilai r > 0,5 maka terdapat hubungan yang erat antara kedua data (ARL-NOAA dengan radiosonde). T RH WD WS Koefisien Korelasi ( r ) Ketinggian Lapisan Atmosfir Gambar 3-2. Koefisien Korelasi Hubungan Antara Masing-Masing Unsur Iklim pada Setiap Ketinggian Lapisan Atmosfir di Juanda, Surabaya T RH WD WS Koefisien Korelasi (r) Ketinggian Lapisan Atmosfir Gambar 3-3. Koefisien Korelasi Hubungan Antara Masing-Masing Unsur Iklim pada Setiap Ketinggian Lapisan Atmosfir di Cengkareng, Tangerang

65 48 Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien r untuk T di Juanda berkisar antara , terendah dihasilkan pada lapisan atmosfir 200mb dan tertinggi pada 100mb. Nilai r untuk RH berkisar antara , terendah pada lapisan atmosfir 925mb dan tertinggi pada 500mb. Nilai r untuk WD berkisar antara , terendah pada lapisan atmosfir 925mb dan tertinggi pada 20mb. Sementara itu, nilai r untuk WS berkisar antara dengan r terendah pada lapisan atmosfir 20 mb dan tertinggi pada 200mb (Gambar 3-2). Dari hasil ini tampak bahwa nilai r sangat beragam dari kecil hingga sangat erat. Akan tetapi, nilai r dari masing-masing parameter tersebut sangat signifikan berdasarkan nilai p-value-nya (uji korelasi Pearson) seperti terlihat dalam Tabel Lampiran 1. Pada Tabel Lampiran 1, korelasi antara T 200_arl (suhu pada 200 mb ARL) dengan T 200_R (suhu pada 200mb Rason) hanya sebesar 0.19 dengan p-value Koefisien r untuk parameter T di Cengkareng berkisar antara , terendah pada ketinggian lapisan atmosfir 1000mb dan tertinggi pada 100mb. Nilai r untuk RH berkisar antara , terendah pada lapisan atmosfir 1000mb dan 925mb dan tertinggi pada 400mb. Nilai r untuk WD berkisar antara , terendah pada lapisan atmosfir 100mb dan tertinggi pada 925mb. Sementara, nilai r untuk WS berkisar antara , tertinggi pada lapisan atmosfir 20mb dan terendah pada 1000mb (Gambar 3-3). Dari hasil ini menunjukkan bahwa parameter WD dan WS dari arl mempunyai potensi yang sangat baik digunakan untuk menduga WD dan WS. Walaupun, korelasi untuk parameter T dan RH relatif lebih rendah, tetapi cukup baik dan hubungannya sangat nyata hingga 99% berdasarkan nilai p-valuenya, dalam menggambarkan T dan RH rason di Juanda (Tabel Lampiran 1) dan Cengkareng. Sementara apabila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh di Juanda, maka hasil yang diperoleh di Cengkareng terlihat lebih baik. Perbedaan hasil antara kedua lokasi penelitian tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas data rason dari masing-masing stasiun radiosonde. Kualitas data rason dapat dipengaruhi oleh peralatan (sensor) yang dipasang pada radiosonde (kepekaan, akurasi, pemeliharaan, tipe dan jenis) yang berbeda, perbedaan proses kalibrasi dan ketelitian perhitungan yang dilakukan antara kedua

66 49 stasiun (Cengkareng dan Juanda). Tingkat akurasi dan presisi pengukuran angin oleh radiosonde sangat dipengaruhi oleh sistem jelajah (tracking) balon dan kondisi tempat saat pengukuran dilakukan. Sementara itu, RH merupakan fungsi dari suhu sehingga beberapa kesalahan (error) yang terjadi dalam pengukuran suhu akan tercermin pada pengukuruan RH (OFCM, 1997). Oleh karena lapisan atmosfir tidak mempunyai batas yang jelas antar lapisannya, sehingga dimungkinkan adanya korelasi antar lapisan. Dari hasil uji korelasi antar parameter tersebut menunjukkan adanya korelasi antara lapisan atmosfir yang berdekatan, baik pada hasil observasi rason maupun yang dihasilkan oleh arl. Adanya korelasi antar lapisan ini memungkinkan koefisien penduga model regresi yang dihasilkan kurang optimal dan jauh dari sasaran yang diharapkan serta menimbulkan hasil yang bias. Untuk mengoptimalkan perolehan model penduga, maka analisis dilakukan menggunakan metode PLSR. Untuk menilai efektifitas penggunaan metode PLSR ini, hasil analisis dengan PLSR dibandingkan dengan metode regresi sederhana. Dalam analisis PLSR ini, parameter masukan yang digunakan sebagai peubah penduga (X) masing-masing parameter (T, RH, WD, dan WS) pada masing-masing lapisan atmosfir (1000mb 20mb) adalah nilai parameter pada semua lapisan atmosfir. Dengan demikian, model penduga yang dihasilkan berupa persamaan regresi linier berganda, sebagai contoh untuk Cengkareng pada lapisan atmosfir 1000mb adalah: Y 1000mb = a 1 X 1000mb + a 2 X 925mb + a 3 X 850mb a 13 X 20mb + C dengan Y 1000mb adalah nilai parameter profil atmosfir pada lapisan 1000mb, X 1000mb,...,20mb adalah nilai parameter profil atmosfir pada lapisan 1000mb hingga 20mb, a 1..a 13 adalah koefisien penduga dalam model untuk lapisan 1000mb, dan seterusnya hingga m 1..m 13 adalah koefisien penduga dalam model untuk lapisan 20mb. Untuk Juanda dimulai pada lapisan atmosfir 925mb. Oleh karena jenis dan banyaknya peubah (X) yang digunakan sebagai penduga untuk masing-masing parameter atmosfir sama dan juga kemungkinan adanya korelasi yang terjadi antar lapisan atmosfir pada peubah respon (Y), maka dalam proses analisis PLSR ini semua peubah, baik peubah respon (Y) maupun peubah penduga (X) yang digunakan dimasukkan secara bersama-sama. Dengan metode PLSR ini

67 50 multikolinearitas yang terjadi antar masing-masing peubah Y dan X yang digunakan dalam model dapat direduksi, sehingga tingkat keragaman yang diwakili oleh model diharapkan dapat meningkat. Selanjutnya, R-sq optimum ditentukan jika keragaman X (X-variance) 90% dan penambahan jumlah komponen utama (PC = principle component) hanya memberikan penambahan nilai R-sq yang relatif kecil. Tabel 3-1 menyajikan jumlah PC dan besarnya keragaman X yang diwakilili oleh model penduga T, RH, WD, dan WS di Juanda dan Cengkareng. Sementara itu, model regresi linier dibangkitkan dari hubungan antara masing-masing lapisan atmosfir yang bersesuaian pada setiap parameter profil atmosfir, seperti: parameter profil T pada lapisan atmosfir 1000mb_arl dengan lapisan atmosfir 1000mb_rasondengan persamaan penduga berbentuk: Y 1000mb_rason = a 1 X 1000mb_arl + C. Jumlah PC untuk parameter T dan WS yang mewakili lebih dari 90% keragaman X adalah 9 PC, baik di Juanda maupun di Cengkareng. Untuk parameter RH di Juanda membutuhkan 4 PC dan di Cengkareng 5 PC untuk mewakili lebih dari 90% keragaman dalam X. Parameter WD di Juanda membutuhkan 9 PC, sedangkan di Cengkareng 10 PC untuk mewakili > 90% keragaman dalam X. (Tabel 3-1). Tabel 3-1. Jumlah PC dan besarnya keragaman X yang diwakili model penduga untuk masing-masing parameter profil atmosfir di Juanda dan Cengkareng Parameter Juanda, Surabaya Cengkareng, Tangerang X-variance Jumlah PC X-variance Jumlah PC T RH WD WS Apabila dibandingkan dengan hasil analisis regresi sederhana, hasil analisis menggunakan metode PLS di Juanda dan Cengkareng tampak meningkatkan perolehan nilai R-sq, r, dan menurunkan RMSE, kecuali pada T_400mb dan T_300mb di Cengkareng. Peningkatan R-sq berkisar antara 1.8% 21.2% (terendah pada 700mb dan tertinggi pada 50mb) di Juanda dan 2.4% - 8.1%

68 51 (terendah pada 925mb dan tertinggi pada 200mb) di Cengkareng. Sementara, perolehan R-sq dengan analisis regresi sederhana pada lapisan atmosfir 400mb dan 300mb di Cengkareng lebih baik dibandingkan dengan analisis PLSR (Gambar 3-4). Penggunaan metode PLSR pada analisis hubungan RH arl dengan RH rason di Juanda meningkatkan perolehan R-sq sebesar 0.8% - 2.4%, kecuali pada lapisan atmosfir 850mb dan 300mb. Pada lapisan 850mb dan 300mb, perolehan R-sq dengan analisis regresi sederhana lebih baik dibandingkan dengan PLSR. Sementara di Cengkareng, perolehan R-sq dengan analisis regresi sederhana lebih baik dibandingkan dengan analisis PLSR. Kalaupun terjadi kenaikan nilai R-sq pada lapisan atmosfir 1000mb, 925mb dan 100mb, tetapi persentase kenaikannya hanya kecil berkisar antara 0.13% - 1,93% saja (Gambar 3-5). Koefisien Determinasi (%) 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% Juanda Linier Juanda PLS Cengkareng Linier Cengkareng PLS T_1000 T_925mb T_850mb T_700mb T_500mb T_400mb T_300mb T_250mb T_200mb T_150mb T_100mb T_50mb T_20mb RMSE (oc) Juanda Linier Juanda PLS Cengkareng Linier Cengkareng PLS T_1000mb T_925mb T_850mb T_700mb T_500mb T_400mb T_300mb T_250mb T_200mb T_150mb T_100mb T_50mb T_20mb a. Koefisien Determinasi (R-sq)(%) b. RMSE Gambarl 3-4. Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk suhu (T) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Hasil analisis hubungan WD arl dengan WD rason dan WS arl dengan WS rason di Juanda menunjukkan bahwa penggunaan metode PLSR meningkatkan perolehan R-sq sekitar 0.5% % (terendah pada lapisan 20mb dan tertinggi pada lapisan 100mb) untuk WD dan 5.4% % (terendah pada 500mb dan tertinggi pada 100mb) untuk WS. Sementara itu, hasil analisis hubungan WD arl dengan WD rason di Cengkareng juga menunjukkan penggunaan analisis PLSR meningkatkan perolehan R-sq berkisar antara 0.8% (pada lapisan atmosfir 20 mb) - 8.3% (pada lapisan atmosfir 400mb), kecuali pada lapisan atmosfir 1000mb. Pada lapisan 1000mb, analisis dengan PLSR menghasilkan R-sq yang relatif sama

69 52 dengan yang dihasilkan dari regresi linier. Penggunaan analisis PLSR untuk parameter WS hanya meningkatkan perolehan R-sq pada lapisan atmosfir 1000mb, 500mb, 250mb, 150mb, dan 20mb. Akan tetapi, hasil analisis regresi sederhana menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan hasil analisis PLSR pada lapisan atmosfir 925mb, 850mb, 700mb, 400mb, 300mb, dan 200mb (Gambar 3-6 dan Gambar 3-7). Koefisien Determinasi (R-sq)(%) Juanda R-sq Linier Cengkareng R-sq Linier 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% Juanda R-sq PLS Cengkareng R-sq PLS RMSE (%) Juanda Linier Cengkareng Linier Juanda PLS Cengkareng PLS a. Koefisien Determinasi (R-sq) b. RMSE Gambar 3-5. Koefisien determinasi (R-sq)(a) dan RMSE (b) untuk kelembaban (RH) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Koefisien Determinasi (R-sq)(%) 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% Juanda Linier Cengkareng Linier WD_1000 WD_925mb WD_850mb WD_700mb WD_500mb WD_400mb WD_300mb WD_250mb Juanda PLS Cengkareng PLS WD_200mb WD_150mb WD_100mb WD_50mb WD_20mb RMSE ( o ) Juanda Linier Juanda PLS Cengkareng Linier Cengkareng PLS WD_1000 WD_925mb WD_850mb WD_700mb WD_500mb WD_400mb WD_300mb WD_250mb WD_200mb WD_150mb WD_100mb WD_50mb WD_20mb a. Koefisien Determinasi (R-sq)(%) b. RMSE Gambar 3-6. Koefisien determinasi (R-sq), Korelasi ( r ) dan RMSE untuk Arah Angin (WD) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa secara umum penggunaan metode PLS akan meningkatkan perolehan nilai R-sq dan korelasi serta menurunkan nilai RMSE. Keuntungan penggunaan metode PLSR adalah proses pengolahan data lebih cepat untuk model yang menggunakan peubah banyak dan

70 53 dapat mereduksi multikolinearitas yang terjadi antar masing-masing peubah penduga (X 1 dengan X 2, X 3,..., X n ) sekaligus yang terjadi antar peubah respon (Y 1 dengan Y 2, Y 3,..., Y k ) yang menggunakan peubah penduga (X) yang sama. Kelemahan penggunaan metode PLSR adalah jika salah satu peubah penduga tidak tersedia, maka nilai dugaan tidak akan diperoleh. Koefisien Determinasi (%) 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% Juanda Linier Juanda PLS Cengkareng Linier Cengkareng PLS WS_1000 WS_925mb WS_850mb WS_700mb WS_500mb WS_400mb WS_300mb WS_250mb WS_200mb WS_150mb WS_100mb WS_50mb WS_20mb RMSE (m/det) WS_100 WS_925 Juanda Linier Cengkareng Linier WS_850 WS_700 WS_500 WS_400 WS_300 Juanda PLS Cengkareng PLS WS_250 WS_200 WS_150 WS_100 WS_50mb WS_20mb a. Koefisien Determinasi (R-sq)(%) b. RMSE Gambar 3-7. Koefisien determinasi (R-sq), Korelasi ( r ) dan RMSE untuk kecepatan angin (WS) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang Hasil Validasi Silang Untuk menentukan keterandalan model maka dilakukan validasi model dengan teknik validasi silang. Untuk tujuan ini, terlebih dulu data dibagi menjadi 3 (tiga) kategori periode pembangunan model (verifikasi) dan validasi model, yakni: a) Data Desember tahun 2004 Desember tahun 2006 untuk verifikasi model dan data tahun 2007 untuk validasi, b) Data Desember tahun 2004 Desember tahun 2005 dan tahun 2007 untuk verifikasi model dan data tahun 2006 untuk validasi, dan c) Data tahun untuk verifikasi model dan data Desember tahun 2004 Desember tahun 2005 untuk validasi. Keterandalan model diukur berdasarkan nilai korelasi (r) dan RMSE antara nilai dugaan model terhadap nilai observasi.

71 54 Korelasi ( r ) / T_925 T_850 T_700 T_500 T_400 T_300 T_250 T_200 T_150 T_100 T_50mb T_20mb RMSE / T_925 T_850 T_700 T_500 T_400 T_300 T_250 T_200 T_150 T_100 T_50mb T_20mb a. Koefisien korelasi dan RMSE T dugaan model dengan observasi Korelasi ( r ) / RMSE / b. Koefisien korelasi dan RMSE RH dugaan model dengan observasi Korelasi ( r ) / RMSE WD_925mb WD_850mb WD_700mb WD_500mb WD_400mb WD_300mb WD_250mb WD_200mb WD_150mb WD_100mb WD_50mb WD_20mb 2004/ WD_925mb WD_850mb WD_700mb WD_500mb WD_400mb WD_300mb WD_250mb WD_200mb WD_150mb WD_100mb WD_50mb WD_20mb c. Koefisien korelasi dan RMSE WD dugaan model dengan observasi Korelasi ( r ) / RMSE WS_925mb WS_850mb WS_700mb WS_500mb WS_400mb WS_300mb WS_250mb WS_200mb WS_150mb WS_100mb WS_50mb WS_20mb 2004/ WS_925mb WS_850mb WS_700mb WS_500mb WS_400mb WS_300mb WS_250mb WS_200mb WS_150mb WS_100mb WS_50mb WS_20mb d. Koefisien korelasi dan RMSE WS dugaan model dengan observasi Gambar 3-8. Koefisien Korelasi dan RMSE dugaan model dengan observasi dari parameter T (a), RH (b), WD (c), dan WS (d) di Juanda

72 55 Nilai r terendah pada parameter T di Juanda dijumpai pada lapisan atmosfir 200mb, sedangkan tertinggi pada 100mb. Semakin naik ketinggian lapisan udara, semakin besar bias atau galat (RMSE) yang terjadi (Gambar 3-8a). Pada parameter RH terlihat bahwa koefisien r tertinggi umumnya diperoleh pada hasil validasi tahun 2007 dengan RMSE paling rendah, sedangkan terendah pada hasil validasi tahun dengan RMSE tertinggi (Gambar 3-8b). Koefisien r hasil validasi pada parameter WD secara umum paling tinggi diperoleh tahun dan terendah pada tahun Demikian pula besarnya RMSE mengikuti pola kenaikan dan penurunan koefisien r, semakin besar korelasinya maka semakin kecil RMSE yang terjadi (Gambar 3-8c). Koefisien r hasil validasi parameter WS pada lapisan atmosfir 925mb, 500mb, dan 400mb tampak relatif konsisten dibandingkan dengan lapisan atmosfir dan parameter lainnya. Selain itu, koefisien r relatif tinggi (r > 0.5) pada semua periode validasi dan dijumpai mulai lapisan atmosfir paling bawah (925mb) hingga lapisan 100mb. RMSE terlihat makin besar dengan makin tingginya ketinggian lapisan atmosfir. RMSE kurang dari 5 m/detik ditemui mulai lapisan atmosfir 925mb hingga 200mb (Gambar 3-8d). Makin besarnya nilai RMSE dengan semakin tingginya level lapisan atmosfir dapat disebabkan oleh sistem jelajah (tracking) dari balon udara (yang membawa instrumen radiosonde) yang semakin melebar dan tergantung oleh kecepatan angin. Hal ini juga menunjukkan bahwa potensi bias model akan semakin tinggi dengan semakin tingginya lapisan atmosfir yang diamati. Hasil validasi di Cengkareng menunjukkan bahwa koefisien r parameter T yang relatif konsisten terjadi hanya pada lapisan atmosfir bawah, yakni: pada lapisan atmosfir 1000mb 850mb dan 150mb saja. Pada lapisan atmosfir selebihnya tidak terlihat konsisten, walaupun pada beberapa lapisan nilai r relatif relatif tinggi (r > 0.5) dan signifikan. Nilai RMSE kurang dari 2 o C ditemui hingga pada lapisan atmosfir 150mb (Gambar 3-9a).

73 56 Korelasi ( r ) / RMSE / T_1000mb T_925mb T_850mb T_700mb T_500mb T_400mb T_300mb T_250mb T_200mb T_150mb T_100mb T_50mb T_20mb T_1000mb T_925mb T_850mb T_700mb T_500mb T_400mb T_300mb T_250mb T_200mb T_150mb T_100mb T_50mb T_20mb a. Koefisien korelasi dan RMSE T dugaan model dengan observasi Korelasi ( r ) / RMSE / b. Koefisien korelasi dan RMSE RH dugaan model dengan observasi Korelasi ( r ) / RMSE / WD_1000mb WD_925mb WD_850mb WD_700mb WD_500mb WD_400mb WD_300mb WD_250mb WD_200mb WD_150mb WD_100mb WD_50mb WD_20mb WD_1000mb WD_925mb WD_850mb WD_700mb WD_500mb WD_400mb WD_300mb WD_250mb WD_200mb WD_150mb WD_100mb WD_50mb WD_20mb c. Koefisien korelasi dan RMSE WD dugaan model dengan observasi Korelasi ( r ) WS_1000 WS_925mb 2004/ WS_850mb WS_700mb WS_500mb WS_400mb WS_300mb WS_250mb WS_200mb WS_150mb WS_100mb WS_50mb WS_20mb RMSE WS_ / WS_925mb WS_850mb WS_700mb WS_500mb WS_400mb WS_300mb WS_250mb WS_200mb WS_150mb WS_100mb WS_50mb WS_20mb d. Koefisien korelasi dan RMSE WS dugaan model dengan observasi Gambar 3-9. Koefisien Korelasi dan RMSE dugaan model dengan observasi dari parameter T (a), RH (b), WD (c), dan WS (d) di Cengkareng

74 57 Hasil validasi RH di Cengkareng menunjukkan bahwa korelasi tertinggi umumnya terjadi pada hasil validasi tahun 2007, kecuali pada lapisan 1000mb. Walaupun koefisien r pada lapisan 1000mb 850mb relatif lebih kecil (kurang dari 10%), tetapi tingkat RMSEnya lebih kecil dibandingkan lapisan atmosfir 700mb 300mb (Gambar 3-9b). Untuk parameter WD, konsistensi nilai koefisien r dan relatif persisten terjjadi hanya pada lapisan atmosfir 925mb, 500mb, dan 400mb, sedangkan pada lapisan atmosfir lainnya relatif tidak konsisten dan tidak persisten. Umumnya, RMSE kurang dari 100 o kecuali pada lapisan atmosfir 50mb pada hasil validasi tahun 2006 (Gambar 3-9c). Sementara itu, untuk parameter WS walaupun tidak cukup konsisten, nilai koefisien r parameter WS sangat baik (r > 0.5) pada semua lapisan dan semua periode tahun validasi. RMSE umumnya kurang dari 4 m/detik terutama pada hasil validasi periode tahun pada semua lapisan atmosfir (Gambar 3-9d). Secara umum hasil validasi silang dari masing-masing parameter profil atmosfir di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang menunjukkan bahwa koefisien r tidak konsisten dan persisten antara masing-masing periode validasi. Kondisi ini terjadi hampir pada semua parameter dan pada masing-masing lapisan atmosfir (Gambar 3-8 dan Gambar 3-9). Banyak faktor yang memungkinkan yang mempengaruhi kondisi tersebut antara lain: proses kalibrasi sensor rason yang tidak rutin sehingga menyebabkan perolehan data yang kurang baik, pemeliharaan alat yang kurang baik, dan lain sebagainya. Hubungan Data ARL dengan Observasi Stasiun Permukaan Hubungan antara data arl dengan observasi stasiun permukaan (BMKG) dicoba pada parameter iklim suhu maksimum (T max ) di 9 (sembilan) stasiun observasi di Pulau Jawa. Data T arl yang digunakan adalah data pengamatan pada pukul UTC (13.00 WIB). Sementara itu, data T max diperoleh dari hasil observasi stasiun Serang, Citeko, Jatiwangi, Cilacap, Banyuwangi, Achmad Yani (Semarang), Tanjung Priok (Jakarta), Bawean, dan Kalianget (Madura). Data observasi stasiun permukaan yang digunakan adalah data bulan Desember 2004 Maret 2006.

75 58 Berdasarkan Gambar 3-10 terlihat bahwa T max rata-rata bulanan observasi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan arl, kecuali di Citeko. Namun demikian, pola T 06.00_UTC arl mampu mengikuti pola T max rata-rata observasi. Koefisien r antara T max observasi dengan T 06.00_UTC arl berkisar antara dan sangat signifikan berdasarkan nilai p-value-nya. Dengan demikian, T 06.00_UTC arl mempunyai potensi yang cukup baik untuk digunakan sebagai penduga T max di permukaan (Tabel 3-2). Tmax (oc) ARL BMKG Des- Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des- Feb-06 Tmax (oc) ARL BMKG Des- Feb- Apr- Jun-05 Ags- Okt- Des- Feb- Tmax (oc) ARL BMKG Des-04 Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des-05 Feb-06 a. Serang b. Citeko c. Jatiwangi Tmax (oc) ARL BMKG Tmax (oc) ARL BMKG Tmax (oc) ARL BMKG Des-04 Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des-05 Feb-06 Des-04 Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des-05 Feb-06 Des-04 Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des-05 Feb-06 d. Cilacap e. Banyuwangi f. Achmad Yani, Semarang Tmax (oc) ARL BMKG Tmax (oc) ARL BMKG Des-04 Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des-05 Feb-06 Des-04 Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des-05 Feb-06 Tmax (oc) ARL Des-04 Feb-05 Apr-05 Jun-05 Ags-05 Okt-05 Des-05 Feb-06 BMKG g. Tanjung Priok, Jakarta h. Bawean i. Kalianget, Madura Gambar Perbandingan Pola T 06.00_UTC arl dengan T max Observasi BMKG Rata-rata Bulanan di 9 (sembilan) wilayah di Pulau Jawa Selanjutnya dari hasil penilaian yang menunjukkan bahwa pola T 06.00_UTC rata-rata bulanan mampu mengikuti pola T max rata-rata bulanan observasi serta korelasi yang relatif baik, dibangun model estimasi T max berdasarkan T max harian. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwatingkat keragaman model (R-sq) pendugaan berkisar antara 9.2% %, terendah di wilayah Bawean dan

76 59 tertinggi di Achmad Yani (Semarang) (Tabel 3-3). Perbedaan perolehan R-sq di masing-masing wilayah kemungkinan disebabkan oleh kualitas data pada masingmasing stasiun observasi BMKG, seperti sistem kalibrasi alat, sistem pemeliharaan alat, perbedaan topografi (ketinggian) lokasi stasiun observasi, dan sebagainya. Namun secara keseluruhan, model persamaan regresi dari semua wilayah kajian sangat baik digunakan sebagai model pendugaan T max permukaan berdasarkan hasil uji signifikansinya. Tabel 3-2. Model Pendugaan T max dari T 06.00_UTC arl, Koefisien Determinasi (Rsq), dan Koefisien Korelasi (r) di 9 Wilayah di Pulau Jawa Lokasi Persamaan Regresi R-sq r Serang BMKG_SRG = 9.40** ** ARL_SRG 32.50% 0.57 Citeko BMKG_CTK = 9.87** ** ARL_CTK 17.00% 0.41 Jatiwangi BMKG_JTW = 17.3** ** ARL _JTW 21.40% 0.46 Cilacap BMKG_CLP = 3.85* ** ARL_CLP 41.90% 0.65 Banyuwangi BMKG_BNY = 15.4** ** ARL_BNY 24.00% 0.49 A. Yani, Smg BMKG_AYN = 15.1** ** ARL_AYN 45.90% 0.68 Tj. Priok BMKG_TJP = 8.14** ** ARL_TJP 32.80% 0.57 Bawean BMKG_BWN = 8.94** ** ARL_BWN 9.40% 0.31 Kalianget BMKG_KLA = 5.34** ** ARL_KLA 28.40% 0.53 Keterangan: ** nyata pada taraf uji 99% (α = 0.01), * nyata pada taraf uji 95% (α = 0.05) Penilaian keterandalan model dilakukan dengan cara validasi silang. Hasil validasi diukur berdasarkan nilai korelasi ( r ) dan RMSE antara nilai T max dugaan model dengan T max observasi. Untuk kepentingan validasi silang, sebelumnya data dibagi menjadi periode data untuk verifikasi (pembagkit model) dan periode data untuk validasi (uji model). Periode data dibagi menjadi sebagai berikut: 1) Periode verifikasi bulan Desember dengan periode validasi bulan Januari 2006 Maret 2006, dan 2) Periode verifikasi bulan April 2005 Maret 2006 dan periode validasi bulan Desember 2004 Maret 2005.

77 60 Tabel 3-3. Koefisien Korelasi (r) dan RMSE Hasil Validasi Silang Model Pendugaan T max dari T 06.00_UTC arl di 9 Wilayah di Pulau Jawa Verifikasi: Des'04 - Des'05; Validasi: Jan'06 - Mar'06 Verifikasi:Apr'05- Mar'06; Validasi: Des'04- Mar'05 Lokasi r RMSE r RMSE Serang Citeko Jatiwangi Cilacap Banyuwangi A. Yani, Smg Tj. Priok Bawean Kalianget Tmax Serang Tmax Cilacap a. T max dugaan VS T max Obs (validasi 1) di Serang Tmax_Obs Tmax_obs Hari Pengamatan Tmax_dugaan R-sq=29.5%, r =0.63 R-sq=39.3%, `r = Hari Pengamatan Tmax_dugaan c. T max dugaan VS T max Obs (validasi 1) di Cilacap Tmax Serang Tmax Cilacap Tmax_Obs R-sq= 37.5%. r = Hari Pengamatan Tmax_dugaan b. T max dugaan VS T max Obs (validasi 2) di Serang Tmax_obs R-sq=39.8%, r = Hari Pengamatan Tmax_dugaan d. T max dugaan VS T max Obs (validasi 2) di Cilacap Gambar Contoh hasil validasi antara T max dugaan model dengan T max observasi permukaan di Serang dan Cilacap

78 61 Hasil dari validasi model menunjukkan bahwa koefisien r untuk T max dugaan model terhadap T max observasi di Serang dan Cilacap sangat baik bahkan tampak konsisten pada dua periode validasi. Keragaman model yang dihasilkan di Serang berkisar antara 29.5% %, sedangkan di Cilacap berkisar antara 39.3% %. Sementara itu, koefisien r pada lokasi lain tidak terlihat konsisten. Meskipun demikian, hasil uji korelasi berdasarkan p-value di semua lokasi sangat signifikan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bisa dilakukan dengan penambahan jumlah atau panjang periode data yang digunakan. Dengan demikian, diharapkan bahwa hasil korelasi akan lebih baik, sehingga potensi data T arl akan nampak lebih baik untuk digunakan sebagai penduga T max di permukaan. Contoh hasil T max dugaan model dari dua periode hasil validasi yang dibandingkan dengan T max observasi di Serang dan Cilacap dapat dilihat pada Gambar Dari hasil ini, model pendugaan T max untuk wilayah Cilacap memiliki potensi yang sangat baik untuk digunakan. Sementara, untuk lokasi lain perlu kajian lebih lanjut dengan memperpanjang data observasi yang digunakan dalam pembangunan model. Tmax_Cilacap Tmax_dugaan (2bl)(r = 0.72) Tmax_dugaan (1bl)(r = 0.57) Tmax (oc) Des-04 Jan-05 Feb-05 Gambar Nilai koefisien r antara T max dugaan model dengan T max observasi pada 1 (satu) bulan, 2 bulan, dan 3 bulan ke depan di Cilacap Contoh kasus di Cilacap, nilai koefisien r untuk 1 (bulan) hingga 2 (dua) bulan ke depan cukup tinggi dan sangat baik dengan koefisien r antara Dengan demikian, T arl memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai penduga T di permukaan (Gambar 3-12). Pada lokasi stasiun yang lain,

79 62 aplikasinya masih memerlukan penyesuaian dan penambahan data untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Selanjutnya, pada bab berikutnya akan dibahas tentang hasil estimasi curah hujan dari data curah hujan CMORPH SIMPULAN Secara umum terdapat korelasi linier yang relatif baik antara parameter T, RH, WD dan WS dari arl dengan rason, baik di Juanda, Surabaya maupun di Cengkareng, Tangerang. Walaupun pada beberapa kasus ditemui korelasi yang tidak terlalu tinggi, namun sangat signifikan dari hasil p-value (uji korelasi Pearson). Di Juanda, koefisien korelasi paling tinggi (r > 0.5) dihasilkan dari parameter T (kecuali pada lapisan atmosfir 250mb 150mb hanya sekitar 0.4), WD, dan WS. Di Cengkareng, nilai koefisien r untuk semua parameter T, RH, WD, dan WS relatif cukup tinggi (r > 0.5) kecuali pada T pada lapisan atmosfir 1000mb dan RH pada lapisan atmosfir 1000mb dan 925mb yang kurang dari 0.5. Walaupun dari hasil uji korelasi Pearson (p-value) sangat signifikan. Penggunaan metode PLSR pada analisis hubungan antara parameter profil atmosfir dari arl dengan radiosonde tidak selalu lebih baik hasilnya dibandingkan dengan hasil analisis regresi sederhana, namun secara umum akan meningkatkan perolehan nilai koefisien determinasi, korelasi, dan menurunkan nilai RMSE. Kelebihan penggunaan metode PLSR adalah mampu melakukan proses analisis secara simultan pada sejumlah peubah respon/bebas (Y 1, Y 2,.., Y k ) yang menggunakan peubah prediktor (penduga, terikat) yang sama dan banyak (X 1, X 2,..., X m ) serta mampu mereduksi multikolinearitas yang mungkin terjadi antar peubah respon (Y) maupun antar peubah prediktor (X). Kelemahannya adalah apabila terdapat data hilang pada salah satu peubah prediktor, maka nilai dari semua peubah respon tidak dapat diperoleh. Hal yang penting diperhatikan adalah dalam hal pemilihan komponen utama (PC) yang akan digunakan secara bersamasama dalam menduga Y, karena pada beberapa peubah Y memerlukan PC yang lebih sedikit atau lebih banyak untuk mencapai koefisien determinasi (R-sq) yang optimum.

80 63 Terdapat korelasi yang cukup signifikan antara T pada pukul UTC dengan T max observasi BMKG dengan kisaran Koefisien korelasi di Cilacap sangat baik dan cukup konsisten, sehingga T arl sangat potensial digunakan untuk menduga T max di wilayah ini. Sementara untuk wilayah lain masih perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan menambah panjang data atau menambah jumlah data yang digunakan dalam pemodelan.

81 64 4. ANALISIS HUBUNGAN DATA CURAH HUJAN CMORPH DENGAN CURAH HUJAN OBSERVASI PENDAHULUAN Di antara unsur iklim yang lain, curah hujan merupakan unsur yang sangat penting. Data curah hujan banyak dimanfaatkan dalam pengembangan model, pemantauan dan kajian iklim terkait dengan adanya isu perubahan iklim dewasa ini. Namun dalam banyak kasus, ketersediaan data seringkali menjadi faktor pembatas. Pengumpulan informasi ke pusat yang berjalan lambat, jumlah stasiun hujan dan tenaga ahli yang masih sangat kurang menjadi faktor pendukung keterbatasan data. Permasalahan utama lainnya yang dihadapi adalah format dan struktur data yang belum standar, sehingga sulit untuk dapat langsung digunakan dalam penelitian (Balitklimat, 2009). Kebutuhan terhadap ketersediaan data dan informasi yang aktual untuk beberapa waktu ke depan telah mendorong berkembangnya model prediksi, baik yang berbasis statistik maupun stokastik. Berbagai jenis data curah hujan estimasi dan parameter iklim lainnya dari data satelit telah dikeluarkan oleh NOAA dengan tingkat keakuratan yang relatif cukup baik. Hal ini membuat penggunaan data estimasi curah hujan yang berasal dari satelit geostationary menjadi alternatif utama bagi peneliti dalam dan luar negeri untuk melakukan kajian iklim. Sebagai contoh, pemanfaatan data CMORPH untuk estimasi curah hujan permukaan diharapkan dapat menjadi jalan keluar dalam masalah ketersediaan data iklim. CMORPH (CPC MORPHing technique) merupakan salah satu teknik estimasi hujan dengan resolusi temporal yang tinggi. Teknik ini berusaha menggabungkan antara hujan estimasi yang dihasilkan oleh passive microwave dan pergerakan awan dari satelit geostationary yang berasal dari infrared 10.7 µm saat ketinggian awan 4m. Proses penggabungan tersebut menghasilkan keluaran data berupa: (1) CMORPH periode 30 menitan dengan resolusi o lintang/bujur di atas ekuator dan mencakup 60 o N 60 o S, (2) CMORPH periode 3 jam-an dengan resolusi 0.25 o lintang/bujur dan mencakup skala global, dan (3) CMORPH periode harian dengan resolusi 0.25 o lintang/bujur mencakup skala global (Joyce et al. 2004). Selain CMORPH terdapat juga Turk Algorithm, Persiann dan CMAP yang juga mengeluarkan data hujan estimasi hasil gabungan

82 65 infrared dan microwave. Menurut Janowiak 2007, TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) TMI (TRMM Microwave Image) yang digunakan CMORPH untuk estimasi penyebaran hujan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam estimasi hujan dengan tingkat kesalahan kecil. Oleh karena data CMORPH bersifat global sehingga kurang kompatibel untuk digunakan secara langsung. Untuk itu, dalam penelitian ini dilakukan teknik downscaling dengan menerapkan metode PLS (Partial Least Square). Teknik downscaling merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi iklim regional yang diperoleh dari informasi global (Sutikno 2008). Teknik downscaling terbagi menjadi dynamical downscaling dan statistical downscaling.menurut von Storch (1999) dalam Sutikno (2008),downscaling didasarkan pada asumsi bahwa iklim regional dipengaruhi oleh iklim skala global atau benua. Iklim regional adalah hasil dari interaksi antara atmosfer, lautan, dan sirkulasi spesifik (lokal) seperti topografi, distribusi penggunaan lahan (Gambar 2-3). Model statistical/empirical downscaling (SD) merupakan suatu fungsi transfer yang menggambarkan hubungan fungsional sirkulasi atmosfer global (data Global Climate Model (GCM)) dengan unsur-unsur iklim lokal (Zorita and von Storch, 1999 dalam Bergant and Kajfez-Bogataj, 2005) atau merupakan fungsi transfer untuk mereduksi dimensi GCM yang dapat digunakan untuk memprakirakan kondisi iklim pada tingkat lokal berdasarkan sifat-sifat peubah pada skala global. SD telah digunakan secara luas untuk menghubungkan gap antara skala global (hasil dari GCM) dengan skala lokal (data masukan yang diperlukan dalam kajian dampak)(rummukainen, 1997; Wilby and Wigley, 1997; Zorita and von Storch, 1999; von Storch et al., 2000 dalam Bergant and Kajfez- Bogataj, 2005). Ide dasar dari SD adalah menggunakan hubungan antara variabel iklim skala global (sebagai prediktor) dengan variabel iklim skala lokal atau variabel yang tergantung iklim (sebagai prediktan) untuk memproyeksikan hasilhasil GCM pada skala regional atau lokal. Seperti telah dijelaskan pada Bab III, bahwa metode kuadrat terkecil parsial (Partial Least Square/PLS) merupakan soft model yang dapat menjelaskan struktur keragaman data dengan menggeneralisasi dan menggabungkan antara

83 66 metode analisis faktor, PCA (Principal Component Analyzis), dan regresi berganda (multiple regression)(abdi 2007). Metode PLS dapat dilihat sebagai dua bentuk yang saling berkaitan antara CCA (Canonical Correlation Analysis) dan PCA. Dalam penelitian ini PLS digunakan untuk mereduksi dimensi peubah curah hujan estimasi CMORPH dalam ukuran domain tertentu yang dipakai sebagai prediktor untuk menduga curah hujan permukaan. Sehubungan dengan kebakaran hutan dan lahan, kurangnya hujan terutama pada musim kemarau sangat mempengaruhi kondisi kelembaban vegetasi tanaman. Tidak adanya hujan dapat menyebabkan area hutan dan lahan menjadi lebih kering dan mudah terbakar. Kondisi inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk memulai aktivitas pembersihan lahan dari sisa-sisa tanaman dan serasah dengan cara membakar. Selain itu, meluasnya bencana kebakaran hutan pada beberapa kejadian kebakaran seperti pada tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002 diduga berasosiasi dengan kemarau panjang akibat El Nino. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor iklim terutama hujan sangat mempengaruhi perilaku api dalam hal proses penyalaan, perkembangan nyala api, penjalaran api, dan kondisi asap serta sifat-sifat bahan bakar (tipe bahan bakar, kandungan bahan bakar, sifat-sifat instrinsik, kekompakan, dan kadar air bahan bakar). Meskipun hampir seluruh kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan manusia, baik sengaja maupun tidak disengaja, namun faktor iklim tetap memegang peranan penting. Hal ini terkait dengan kebiasaan penyiapan lahan yang dilakukan pada musim kemarau. Mengingat pentingnya pengaruh curah hujan pada kebakaran dan terbatasnya data curah hujan observasi yang tersedia di lapangan guna pengembangan model peringatan dini kebakaran, sehingga penelitian ini merasa perlu menilai potensi curah hujan CMORPH untuk dapat dimanfaatkan dalam pembangunan model Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK). Penelitian dalam bab 4 ini bertujuan untuk menganalisis hubungan data estimasi hujan CMORPH untuk mendapatkan data curah hujan dari data satelit. Data CMORPH yang dieksplorasi untuk mendapatkan data curah hujan dari satelit ini berasal dari dua sumber, yakni: data harian resolusi 0.25 o lintang/bujur yang

84 67 diperoleh dari situs dan CMORPH dasarian wilayah kabupaten yang diperoleh dari situs Data dan Metode Data dan Alat Dalam bab ini ada 2 (dua) macam data CMORPH yang digunakan dalam analisis, yakni: data curah hujan harian dengan resolusi 0.25 o lintang/bujur dan data dasarian curah hujan wilayah. Data curah hujan estimasi CMORPH diperoleh dari situs CPC NOAA melalui sedangkan data CMORPH dasarian wilayah kabupaten diperoleh dari IRI melalui Data curah hujan observasi yang diperoleh dari 4 (empat) stasiun pengukuran di wilayah Riau, yakni: Pekanbaru, Japura Rengat, Tanjung Pinang, Dabo Singkep dan 1 (stasiun) permukaan di wilayah Kalimantan Tengah, yakni: Palangka Raya. Data yang dianalisis adalah data tahun Data curah hujan observasi diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta. Posisi lokasi masingmasing stasiun pengukuran hujan disajikan pada Tabel 4-1. Alat yang digunakan untuk proses pengolahan data adalah komputer dengan perangkat lunak Microsoft Excell dan Minitab 14. Tabel 4-1. Lokasi Stasiun Hujan yang dikaji Stasiun Posisi Ketinggian Bujur Lintang (m) Pekanbaru 101 o 26 BT 00 o 28 LU 31 Tanjung Pinang 104 o 32 BT 00 o 55 LU 17 Japura Rengat 102 o 19 BT 00 o 20 LS 19 Dabo Singkep Palangka Raya 104 o 35 BT 113 o 57 BT 00 o 29 LS 02 o 14 LS Metode Analisis hubungan curah hujan CMORPH harian dengan observasi menggunakan metode PLS (Partial Least Square) Penelitian dalam bab ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni: 1) Tahap perolehan data CMORPH untuk masing-masing lokasi penelitian,2) Tahap

85 68 ekstraksi data CMORPH dengan beberapa luasan domain yang digunakan untuk estimasi curah hujan dengan teknik downscaling, 3) Tahap pengolahan dan analisis data, dan 4) Tahap validasi model. Tahap pertama, proses yang dilakukan dalam tahap ini adalah untuk mendapatkan data curah hujan CMORPH dari situs untuk semua lokasi penelitian. Oleh karena informasi data CMORPH masih berupa raw data, maka dilakukan proses konversi data menjadi informasi numerik agar dapat dibaca oleh model numerik. Selanjutnya, proses koreksi geometrik dilakukan terhadap data tersebut agar koordinat lintang dan bujurnya sesuai dengan koordinat bumi yang sebenarnya. Kemudian, untuk mendapatkan curah hujan di seluruh wilayah Indonesia dilakukan proses pencuplikan (cropping) data. Tahap kedua, proses yang dilakukan adalah menentukan luasan domain yang akan digunakan dalam teknik downscaling untuk estimasi curah hujan di wilayah penelitian. Hal ini dikarenakan data luaran CMORPH berskala global, sehingga membuat data ini kurang kompatibel digunakan langsung dalam skala regional/lokal. Selain itu, teknik downscaling ini ditujukan untuk mereduksi dimensi data CMORPH yang bersifat global untuk mengestimasi curah hujan regional/lokal di wilayah penelitian. Tahap ketiga, dalam tahap ini dilakukan beberapa langkah pengolahan data, yakni: 1) Menghitung nilai curah hujan dasarian CMORPH dan BMKG di masing-masing lokasi penelitian. Penggunaan periode dasarian dimaksudkan agar fluktuasi dan variabilitas hujan lebih tergambarkan dengan jelas dibandingkan menggunakan data periode harian, 2) Memplotkan kedua jenis data secara deret waktu untuk penilaian awal potensi pemanfaatan data CMORPH dalam mengestimasi curah hujan di wilayah penelitian, 3) Menilai hubungan kedua data melalui analisis koefisien korelasi, dan 4) Membangun model estimasi curah hujan di empat lokasi penelitian menggunakan analisis regresi linier sederhana dan analisis PLSR. Tahap keempat, proses yang dilakukan adalah validasi model. Validasi model dilakukan dengan teknik validasi silang. Pada tahap validasi model, data dibagi menjadi dua periode data, yakni: periode data untuk verifikasi (pembangunan) model dan periode data untuk validasi model. Validitas model diuji untuk menentukan tingkat keterandalan model. Validitas model diukur dari nilai RMSEP (root mean

86 69 square error prediction) dan nilai koefisien korelasi (r) antara curah hujan dugaan model terhadap curah hujan observasi. Nilai koefisien korelasi (r) dan RMSEP dihitung berdasarkan persamaan (3-13) dan persamaan (3-14). Jika nilai r curah hujan dugaan dengan curah hujan observasi semakin besar maka semakin kuat hubungan di antara keduanya sehingga nilai dugaan akan semakin mendekati pola data aktualnya. Galat atau error didefinisikan sebagai selisih antara curah hujan dugaan dengan curah hujan observasi (Wibowo 2010). RMSEP menunjukkan tingkat bias pendugaan yang dihasilkan oleh model estimasi curah hujan. Secara ringkas proses analisis dan evaluasi model estimasi dalam penelitian ini dijelaskan dalam Gambar 4-1. Analisis hubungan data CMORPH dasarian wilayah dengan observasi permukaan Analisis hubungan data CMORPH dasarian wilayah dengan observasi permukaan dilakukan untuk wilayah Pekanbaru dan Palangka Raya. Tahapan yang dilakukan adalah: 1) Ekstraksi data CMORPH melalui 2) Memplotkan kedua jenis data dalam sebuah grafik; 3) Menguji korelasi antara kedua jenis data;4) Menguji dua persamaan regresi untuk menilai perlu atau tidaknya dilakukan pemisahan antara model estimasi pada musim hujan dengan musim kemarau dengan menggunakan uji Zpersamaan dua regresi; 5) analisis regresi untuk mendapatkan model estimasi curah hujan; dan 6) validasi model.

87 70 Data CMORPH Data Curah Hujan Observasi Ekstraksi dan Konversi format data CMORPH Reduksi spasial (domain) wilayah Indonesia 94 0 BT BT dan 6 0 LU-11 0 LS Analisis hubungan data observasi dan CMORPH dengan Regresi Sederhana Penentuan ukuran domain grid dan reduksi dimensi domain dengan PLS Apakah PLSR lebih baik? Tidak Analisis hubungan data observasi dan CMORPH dengan PLSR Ya Validasi Model PLSR Tidak Validasi Model Regresi Sederhana Validasi bagus Ya Model dapat dipergunakan Gambar 4-1. Bagan Alir Proses Analisis dan Evaluasi Model Estimasi Curah Hujan dari data CMORPH Tahap pertama, tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan data curah hujan dasarian wilayah penelitian, yakni wilayah Pekanbaru dan Palangka Raya dengan mengunduh (download) dari situs: maproom/.fire/ yang dipulikasikan oleh IRI (International Research Institute). Tahap kedua, tahapan ini dilakukan untuk menilai apakah curah hujan CMORPH mampu mengikuti perubahan curah hujan observasi. Tahap ketiga, tahapan ini ditujukan untuk menilai seberapa kuat hubungan antara data CMORPH dengan data observasi. Semakin baik hubungan antara kedua data, maka potensi data

88 71 CMORPH semakin baik digunakan untuk menduga curah hujan. Tahap keempat, tahapan ini ditujukan untuk meninjau perlu atau tidaknya pemisahan antara model pendugaan curah hujan musim kemarau dengan musim hujan. Tujuan tersebut dicapai melalui uji dua regresi dengan membangun persamaan regresi sederhana untuk musim kemarau (MK) dan musim hujan (MH) dan mengganggap intersep = 0 sehingga persamaannya menjadi Y = bx. Uji dua regesi dilakukan dengan persamaan : z = ( )... (4-3) dengan b 1 adalah slope persamaan 1 (musim hujan), b 2 adalah slope persamaan 2 (musim kemarau), sb 1 adalah SE Coef b 1, dan sb 2 = SE Coef b 2. Jika z < taraf nyata berarti kedua persamaan tidak berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan pemisahan antara musim hujan dan musim kemarau, dan sebaliknya. Taraf nyata yang digunakan pada penelitian ini adalah 5%. Tahap kelima adalah membangun model pendugaan curah hujan permukaan melalui analisis persamaan regresi. Untuk tujuan ini dilakukan plotting kedua data dalam grafik scatter diagram (diagram pencar) guna membangkitkan model yang sesuai (linier ataukah non linier). Model persamaan penduganya dapat berupa persamaan: Y = bx, apabila linier, atau polinomia, eksponensial, logaritmik apabila non linier. Tahap keenam adalah melakukan validasi dengan teknik validasi silang untuk mengukur keterandalan model. Keterandalan model diukur dari nilai korelasi dan RMSE antara curah hujan hasil dugaan model dengan observasi. RMSE dihitung dengan menggunakan persamaan (3-13) dan korelasi dihitung dengan persamaan (3-14). Selanjutnya untuk membedakan hasil analisis antara data CMORPH pada sub bab sebelumnya dengan CMORPH dalam sub bab ini, maka data CMORPH dalam sub bab ini digunakan istilah CMORPH-IRI (berdasarkan sumber perolehan data CMORPHnya).

89 HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan CMORPH harian dengan observasi permukaan menggunakan Metode PLS Berdasarkan pola curah hujan rata-rata bulanan di 4 wilayah penelitian memperlihatkan bahwa tinggi hujan pada musim hujan dan musim kemarau relatif tidak berbeda di semua lokasi penelitian (Gambar 4-3). Hal ini dikarenakan wilayah Riau mempunyai pola hujan ekuatorial. Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, dimana terdapat dua puncak hujan sekitar bulan Maret dan Oktober. Dalam penelitian ini, proses evaluasi model estimasi curah hujan di Riau menggunakan data CMORPH tidak dilakukan pemisahan model estimasi antara musim hujan dengan musim kemarau. Curah Hujan (mm) Pekanbaru Japura Rengat Tanjung Pinang Dabo Singkep Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Gambar 4-2. Pola Hujan Rata-rata Bulanan 4 (empat) Stasiun Observasi di Riau Berdasarkan hasil plotting curah hujan dasarian dari domain 1x1 CMORPH dengan observasi di masing-masing lokasi penelitian menunjukkan bahwa pola curah hujan CMORPH cukup mampu mengikuti pola dan variasi curah hujan permukaan (Gambar 4-3). Sementara itu korelasi antara curah hujan CMORPH pada grid 1 x 1 dengan curah hujan observasi pada stasiun Pekanbaru, Japura Rengat, Dabo Singkep, dan Tanjung Pinang berturut-turut adalah 0.60, 0.53, 0.68, dan Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa korelasi sangat signifikan (p-value = 0.000). Dengan demikian, data CMORPH memiliki potensi yang cukup baik digunakan untuk estimasi curah hujan di semua wilayah kajian.

90 73 Curah Hujan (mm) CH_Obs CH_Cmorph Curah Hujan (mm) CH Observasi CH CMORPH Dasarian Pengamatan Dasarian Pengamatan) a. Pekanbaru b. Japura Rengat Curah Hujan (mm) CH Observasi CH CMORPH Curah Hujan (mm) CH Observasi CH CMORPH Dasarian Pengamatan Dasarian Pengamatan c. Tanjung Pinang d. Dabo Singkep Gambar 4-3. Perbandingan Pola Curah Hujan Observasi dengan CMORPH domain 1x1 di Riau Oleh karena data luaran CMORPH berskala global membuat data ini kurang kompatibel digunakan secara langsung dalam skala regional untuk estimasi hujan lokal sehingga perlu dilakukan teknik downscaling informasi curah hujan CMORPH. Untuk teknik downscaling ini digunakan 4 (empat) ukuran domain, yaitu: 3x3 (9 grid), 5x5 (25 grid), 7x7 (49 grid), dan 9x9 (81 grid) untuk setiap lokasi stasiun. Dalam setiap penentuan ukuran domain, lokasi stasiun selalu berada di tengah (pusat) domain. Domain 1x1 digunakan untuk mewakili penggunaan grid secara langsung dalam estimasi hujan lokal. Untuk membuktikan efektifitas penggunaan metode PLS pada teknik downscaling dalam pembangkitan model estimasi curah hujan, maka perlu dilakukan perbandingan antara hasil analisis PLSR dengan hasil analisis regresi linier sederhana. Tabel 4-2 menyajikan nilai koefisien determinasi/keragaman (Rsq) hubungan antara curah hujan CMORPH rata-rata masing-masing domain dengan curah hujan observasi di masing-masing stasiun observasi hujan dengan

91 74 menggunakan analisis regresi linier sederhana. Nilai koefisien determinasi (R-sq) menunjukkan proporsi keragaman atau variasi total dalam nilai peubah tak bebas yang dapat diterangkan atau diakibatkan oleh hubungan linier dengan nilai peubah bebas dan dapat memberikan informasi tambahan mengenai penentuan jumlah komponen yang digunakan dalam pembangunan model pendugaan. Tabel 4-2. Nilai koefisien determinasi (R-sq) untuk masing-masing stasiunhujan berdasarkan analisis regresi sederhana Stasiun Observasi Ukuran Domain 1x1 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru Japura Rengat Tanjung Pinang Dabo Singkep Berdasarkan Tabel 4-2 tampak bahwa tingkat keragaman (R-sq) model estimasi dengan menggunakan persamaan linier berkisar antara %. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa penggunaan domain yang semakin luas tidak selalu meningkatkan nilai keragaman yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua grid dalam suatu ukuran domain mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan kondisi hujan di permukaan sehingga tidak semua grid dapat digunakan untuk menentukan curah hujan di suatu permukaan. Seperti di Pekanbaru dan Dabo Singkep, cukup menggunakan domain 3x3 untuk mengestimasi curah hujan di wilayah tersebut, sedangkan Japura Rengat dan Tanjung Pinang bisa menggunakan domain 5x5. Penggunaan peubah banyak pada pembangkitan model (misalnya: pada domain 3x3 akan ada 9 peubah prediktor yang terlibat, domain 5x5 ada 25 peubah prediktor, dan seterusnya) memungkinkan terjadinya multikolinearitas antar peubah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan teknik PLS. Tabel 4-3 menyajikan koefisien keragaman (R-sq) dan jumlah komponen utama (PC = principal component) yang digunakan dalam analisis hubungan antara curah hujan CMORPH dan observasi dengan metode PLSR. Jumlah komponen pada penelitian ini ditentukan jika nilai x variance (keragaman x)lebih dari 90% dan perolehan nilai koefisien keragaman relatif stabil (artinya

92 75 penambahan jumlah komponen utama (PC) kecil pengaruhnya terhadap peningkatan nilai keragaman). Hasil penelitian menunjukkan bahwa domain 3x3 dan 5x5 cukup menggunakan 4 5 buah komponen utama saja untuk dapat mewakili keragaman curah hujan CMORPH sebesar 90%, sedangkan domain 7x7 hanya memerlukan 3 4 komponen untuk dapat mewakili curah hujan secara keseluruhan. Akan tetapi, domain 9x9 justru memerlukan jumlah komponen yang relatif lebih banyak, yaitu buah komponen utama untuk dapat menggambarkan keragaman curah hujan CMORPH pada wilayah kajian. Tingkat keragaman yang diperoleh pada masing-masing wilayah yang dikaji juga sangat baik, yakni lebih besar dari 90% (Tabel 4-3). Tabel 4-3. Keragaman x, koefisien daterminasi (R-sq), dan Jumlah PC padamasing-masing Domain berdasarkan metode PLSR di Semua Stasiun Stasiun Domain Jumlah PC x variance R 2 (%) Pekanbaru Japura Rengat Tanjung Pinang Dabo Singkep 3x x x x x x x x x x x x x x x x

93 76 Terdapat perbedaan antara hasil yang diperoleh dari analisis regresi sederhana dengan yang diperoleh dari analisis PLSR. Berdasarkan analisis PLSR, ukuran domain yang paling baik dan mampu menerangkan lebih dari 90% keragaman curah hujan permukaan di semua lokasi kajian adalah domain 7x7 dengan jumlah PC antara 3 4 buah dan tingkat cakupan variansi peubah bebas CMORPH lebih dari 95%. Dengan demikian, dari hasil analisis ini terlihat bahwa ukuran efektiftas domain yang menentukan hujan di beberapa wilayah di Riau adalah domain 7x7. Namun demikian, tingkat keterandalan (validitas) penggunaan domain 7x7 tersebut masih perlu diuji. Uji keterandalan model estimasi curah hujan permukaan ini dapat diukur dengan cara menghitung nilai RMSE dan korelasi (r) antara curah hujan dugaan model terhadap curah hujan observasi. Validasi model estimasi curah hujan dari data CMORPH dilakukan untuk mengukur akurasi pemanfaatan data CMORPH dalam mengestimasi curah hujan permukaan. Proses validasi dilakukan dengan teknik validasi silang. Teknik validasi silang ditujukan untuk menilai konsistensi model dalam mengestimasi curah hujan permukaan. Untuk tujuan validasi silang, maka dilakukan pembagian data antara periode tahun yang akan digunakan untuk verifikasi model dan periode data yang digunakan untuk validasi. Periode data yang digunakan untuk verifikasi dan validasi model dijelaskan pada Tabel 4-4. Signifikansi nilai koefisien korelasi antara kedua data CMORPH dan observasi ditunjukkan oleh nilai p-valuenya (uji korelasi Pearson). Tabel 4-4. Periode data untuk verifikasi model dan validasi No. Periode data verifikasi model Tahun Validasi , , , ,

94 77 Hasil validasi silang antara nilai dugaan model terhadap nilai observasi dari tahun menunjukkan bahwa korelasi yang relatif selalu tinggi (r > 0.5) dan konsisten diperoleh di stasiun Dabo Singkep pada domain 3x3, 5x5, dan 7x7 dengan RMSE berkisar antara mm untuk domain 3x3, mm untuk domain 5x5, dan mm untuk domain 7x7. Selain di Dabo Singkep, korelasi yang cukup baik berkisar dijumpai di Pekanbaru pada domain 3x3 dengan RMSE berkisar antara mm. Sementara itu, untuk wilayah Japura Rengat dan Tanjung Pinang tampak berfluktuasi dan tidak konsisten(gambar 4-4) Korelasi ( r ) x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru Japura Rengat Tj Pinang Dabo Singkep Gambar 4-4. Nilai koefisien korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi hasil validasi silang pada masing-masing domain di 4 (empat) wilayah kajian RMSE x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru Japura Rengat Tj Pinang Dabo Singkep Gambar 4-5. Nilai RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi hasil validasi silang pada masing-masing domain di 4 (empat) wilayah kajian

95 78 Dari hasil validasi silang ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat konsistensi luasan domain terhadap besarnya nilai korelasi dan RMSE. Selain itu, ketidak-konsistenan nilai korelasi juga terjadi pada tahun ke tahun di semua stasiun yang dikaji. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa semakin luas ukuran grid tidak selalu meningkatkan nilai korelasi dan memperkecil nilai RMSE. Besarnya tingkat ketepatan model sangat dipengaruhi oleh posisi lokasi stasiun, topografi, kualitas data yang diperoleh dari observasi, dan sebagainya. Untuk stasiun yang jauh dari laut, maka topografi akan sangat berpengaruh dikarenakan sifat unsur klimatologinya lebih tidak homogen. Kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi proses termodinamika pembentukan awan dan distribusi hujannya. Wetterhall (2005) menyatakan bahwa ukuran luasan grid (domain) yang optimum tidak bergantung pada musim, tetapi lebih pada posisi lokasi stasiun.di antara unsur iklim yang lain, curah hujan merupakan unsur iklim yang mempunyai tingkat keragaman yang paling tinggi. Keragaman ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan musiman, topografi, gangguan cuaca (siklon tropis), maupun oleh pengaruh fenomena sirkulasi barat-timur (El Nino, La Nina, DMI (Dipole Mode Index)), dan sebagainya. Berdasarkan hasil validasi ini menunjukkan bahwa ukuran domain yang optimum untuk model estimasi curah hujan di Pekanbaru dihasilkan dari ukuran domain 3x3 dengan jumlah PC 4, sedangkan di Dabo Singkep dengan ukuran domain3 x 3 dengan jumlah PC 5. Untuk dua lokasi lain (Japura Rengat dan Tanjung Pinang) masih perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut dengan mempertimbangkan panjang deret data yang lebih banyak dan kontinyu. Contoh koefisien model estimasi curah hujan dari data CMORPH pada domain 3x3 di Pekanbaru tahun 2003 menggunakan analisis PLSR disajikan pada Gambar 4-6.

96 PLS Coefficient Plot (response is Y) 4 components 0.6 Coefficients Predictors Gambar 4-6. Contoh Koefisien model estimasi curah hujan menggunakan PLSR di Pekanbaru pada domain 3x3 dengan 4 PC Untuk mengetahui apakah model estimasi curah hujan memiliki kemampuan yang cukup baik untuk digunakan sebagai model penduga curah hujan permukaan, maka dilakukan plotting data curah hujan hasil dugaan model dibandingkan dengan data observasi. Gambar 4-7 memperlihatkan data dugaan model pada domain 3 x 3 dengan data observasi pada tahun Curah Hujan (mm) CH Obs (2003) CH_dug 3x Curah Hujan (mm) CH Obs (2003) CH dug (3x3) JanFebMarAprMayJun Jul AugSepOctNovDec Jan FebMarAprMayJun Jul AugSep OctNovDec Dasarian Pengamatan Dasarian Pengamatan a. Pekanbaru b. Japura Rengat Cura Hujan (mm) CH Obs (2003) CH dug 3x Curah Hujan (mm) CH Obs (2003) CH dug 3x JanFebMarAprMayJun Jul AugSepOctNovDec Dasarian Pengamatan Jan FebMarAprMayJun Jul AugSep OctNovDec Dasarian Pengamatan c. Tanjung Pinang d. Dabo Singkep Gambar 4-7. Perbandingan Nilai Curah Hujan Dugaan Model dengan Curah Hujan Observasi Tahun 2003 di 4 (empat) lokasi penelitian

97 80 Berdasarkan Gambar 4-7 tampak bahwa curah hujan hasil estimasi tahun 2003 di Pekanbaru dan Dabo Singkep relatif baik dengan korelasi masing-masing 0.81 dan 0.72, namun model estimasi ini kurang cukup menjangkau nilai curah hujan yang sangat ekstrim. Hasil estimasi hujan di Tanjung Pinang kurang bagus dibandingkan dengan ketiga wilayah lainnya. Namun demikian, secara umum curah hujan dari data CMORPH relatif cukup baik digunakan untuk estimasi curah hujan permukaan. Selanjutnya, untuk menilai seberapa efektif penggunaan PLSR dalam analisis hubungan antara curah hujan CMORPH dengan curah hujan observasi dilakukan perbandingan antara tingkat keragaman (R-sq) yang dihasilkan dari analisis linier sederhana dengan analisisi PLSR (Gambar 4-8). Hasil perbandingan antara analisis regresi sederhana dengan analisis PLSR menunjukkan bahwa penggunaan analisis PLSR meningkatkan perolehan R-sq sebesar 7% 12,1% dengan domain 3x3, 26,9% 68% dengan domain 5x5, 61,7% 69,8% dengan domain 7x7, dan 20,9% - 41,5% dengan domain 9x9. Kenaikan R-sq tertinggi di semua lokasi kajian terjadi pada ukuran domain 7x7. Dengan demikian, analisis PLSR memiliki kemampuan yang lebih baik daripada regresi sederhana. Koefisien Keragaman (R2)(%) R2 Regresi Sederhana R2 PLSR (%) 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 3x3 5x5 7x7 9x9 Pekanbaru Japura Rengat Tanjung Pinang Dabo Singkep Gambar 4-8. Perbandingan Nilai Koefisien Keragaman (R-sq) antara Analisis Regresi Linier dengan PLSR Wilayah Riau dibagi menjadi dua bagian, yaitu wilayah daratan (Provinsi Riau) dan wilayah kepulauan (Kepulauan Riau). Wilayah daratan diwakili oleh Pekanbaru dan Japura Rengat. Sementara wilayah kepulauan diwakili oleh

98 81 Tanjung Pinang dan Dabo Singkep. Oleh sebab itu, karakteristik hujan kedua wilayah tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya. Pengkajian penggunaan ukuran dan bentuk domain (bujur sangkar, persegi panjang, dan sebagainya) yang digunakan sebagai prediktor masih perlu dilakukan. Menurut Wigena (2006) ada tiga hal yang masih menjadi isu penting dan perlu pengkajian lebih banyak dalam penggunaan luaran data yang bersifat global, yakni: 1)Penggunaan peubah penting yang dapat digunakan atau dilibatkan dalam prediksi iklim agar mampu menjelaskan keragaman peubah lokal, 2) Penentuan domain GCM (Global Climate Model) dalam pemodelan prediksi iklim, dan 3) Penentuan metode statistik yang dapat menjelaskan hubungan antara peubah prediktor dengan peubah respon sesuai karakteristik wilayah serta yang dapat mengakomodir kejadian-kejadian ekstrim. Hubungan CMORPH-IRI Wilayah Kabupaten dengan observasi permukaan Analisis hubungan CH CMORPH-IRI dilakukan terhadap data curah hujan di Palangka Raya dan Pekanbaru menggunakan data tahun Model dibangkitkan berdasarkan data dasarian (10 harian). Penggunaan data dasarian dimaksudkan untuk mereduksi keragaman yang sangat besar pada data harian. Berdasarkan pola curah hujan rata-rata bulanan dari tahun hasil observasi BMKG di Pekanbaru dan Palangka Raya terlihat bahwa tinggi CH ratarata bulanan di Palangka Raya pada musim kemarau dan hujan sangat jelas perbedaannya, sedangkan di Pekanbaru tampak tidak memiliki perbedaan yang jelas antara MH dengan MK (Gambar 4-9). Di Palangka Raya, MK berlangsung dari bulan Mei Oktober, sedangkan MH dari bulan November April. Sementara itu menurut BMKG, MK di Pekanbaru berlangsung dari bulan April sampai September dan MH dari bulan Oktober hingga Maret (Gambar 4-9).

99 82 Pekanbaru Palangkaraya 500 Curah Hujan (mm) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des Gambar 4-9. Pola curah hujan di Pekanbaru dan Palangka Raya Hasil plotting antara curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi di Palangka Raya dan Pekanbaru memperlihatkan bahwa curah hujan CMORPH-IRI mampu mengikuti pola perubahan curah hujan observasi permukaan (Gambar 4-10). Selain itu, hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa data CMORPH-IRI mempunyai hubungan cukup erat dengan CH observasi di kedua wilayah penelitian, yakni masing-masing sebesar 0.68 di Palangka Raya dan sebesar 0.60 di Pekanbaru. Korelasi curah hujan CMORPH dengan observasi pada curah hujan MK di Palangka Raya (r = 0.72) lebih tinggi dibandingkan dengan MK (r = 0.47), sedangkan di Pekanbaru terjadi sebaliknya korelasi pada MK (r = 0.56) lebih kecil dibandingkan MH (r = 0.64).Dengan demikian, data curah hujan CMORPH-IRI mempunyai potensi yang cukup baik untuk digunakan sebagai penduga curah hujan observasi. Sementara itu, dari hasil uji dua persamaan regresi antara MK dan MH di kedua wilayah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata antara model pendugaan musim kemarau dengan musim hujan di Palangka Raya ( α (0.0000) < 5%). Di Pekanbaru, hasil uji Z juga menunjukkan perbedaan kecil antara musim kemarau dengan musim hujan (α (0.0082) < 5%) (Tabel 4-5). Dengan demikian, selanjutnya dalam pembentukan model estimasi hujan akan dipisahkan antara model estimasi curah hujan pada musim hujan dengan musim kemarau.

100 83 CH (mm) Ms Kemarau CH CMORPH CH Observasi CH (mm) Ms. Hujan CH CMORPH Pengamatan Pengamatan a. Musim Kemarau di Palangka Raya b. Musim Hujan di Palangka Raya CH (mm) Ms Kemarau CMORPH_IRI CH Observasi CH (mm) Ms. Hujan CMORPH_IRI CH Observasi Pengamatan Pengamatan c. Musim Kemarau di Pekanbaru d. Musim Hujan di Pekanbaru Gambar Perbandingan pola curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi Tabel 4-5. Hasil Uji Z pada model regresi linier MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru Pekanbaru Palangkaraya Koefisien SE koef Koefisien SE koef MH MK [MH-MK] Z α Selanjutnya untuk mendapatkan model pendugaan curah hujan dari data CMORPH-IRI dilakukan analisis regresi antara kedua data pada masing-masing musim. Bentuk hubungan antara data curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi dibangkitkan dari pola diagram pencar antara kedua data.

101 84 CH MK Observasi (mm) CH CMORPH-IRI (mm) a. Musim Kemarau di Palangka Raya CH MH Observasi (mm) y = 0.824x R-sq= CH CMORPH-IRI (mm) 300 b. Musim Hujan di Palangka Raya CH MK PEKANBARU (mm) y = 0.867x R-sq= CH CMORPH_IRI (mm) CH MH PEKANBARU (mm) y = 0.984x R-sq= CH CMORPH_IRI (mm) c. Musim Kemarau di Pekanbaru d. Musim Hujan di Pekanbaru Gambar Bentuk hubungan CH CMORPH-IRI pada MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru Hasil analisis di Palangka Raya menunjukkan bahwa keragaman model estimasi curah hujan musim kemarau (MK) lebih baik dibandingkan dengan musim hujan (MH) dengann R-sq masing-masing 54.2 % dan 20.8%. Sementara itu di Pekanbaru, keragaman model estimasi curah hujan MK (R-sq =26.2%) lebih kecil dibandingkan dengan curah hujan MH (R-sq = 37.9%). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 54.2% keragaman curah hujan MK di Palangka Raya dapat diwakili oleh model, sedangkan untuk curah hujan MH hanya sebesar 20.8%. Di Pekanbaru, keragaman yang dapat diwakili oleh model sekitar 26.2% pada MK dan sebesar 37.9% pada MH. Untuk menguji keterandalan dan konsistensi model dilakukan validasi silang. Adapun model estimasi curah hujan untuk MK dan MH untuk dua wilayah penelitian adalah sebagai berikut: Palangka Raya: Musim Kemarau: y = x (CH MK) x (CH MK)(R-sq = 54.2%) Musim Hujan: y = x (CH MH) (R-sq = 20.8%)

102 85 Pekanbaru: Musim Kemarau: y = x (CH MK) (R-sq = 26.2%) Musim Hujan: y = x (CH MH) (R-sq = 37.9%) Untuk menguji keterandalan model-model tersebut perlu dilakukan validasi. Validasi dilakukan dengan teknik validasi silang. Pembagian tahun untuk verifikasi model dan tahun untuk validasi seperti pada Tabel 4-4, khusus untuk Palangka Raya ditambah dengan periode tahun untuk verifikasi model dan tahun 2009 untuk validasi. Korelasi ( r ) Pekanbaru Palangkaraya RMSEP (mm) Pekanbaru Palangkaraya MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK MH MK a. Korelasi b. RMSE Gambar Nilai korelasi dan RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi pada MK dan MH hasil validasi silang di Palangka Raya dan Pekanbaru Berdasarkan hasil validasi silang menunjukkan bahwa kisaran korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi di Palangka Raya berturut-turut berkisar antara untuk MK dan untuk MH. Korelasi terendah terjadi pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2004 untuk MK dan terendah pada tahun 2005 dan tertinggi pada tahun 2006 untuk MH. Tingkat kesalahan estimasi (RMSE) pada MK berkisar mm, sedangkan pada MH sebesar mm. Selain pada tahun 2004 (r = 0.93) dan 2005 (r = 0.46), korelasi dari hasil validasi dugaan model untuk MK relatif baik dan stabil (persisten) sedangkan untuk MH relatif tidak stabil (Gambar 4-12). Sementara itu, hasil validasi di Pekanbaru memperlihatkan bahwa nilai korelasi antara nilai dugaan model dengan observasi pada MK berkisar antara 0.27 (pada tahun 2007) hingga 0.90 (pada tahun 2003), sedangkan pada MH

103 86 berkisar antara Korelasi terendah pada tahun 2004 dan tertinggi pada tahun Dari hasil validasi silang ini tidak terlihat adanya konsistensi perolehan korelasi, baik pada MK maupun pada MH (Gambar 4-12). Selanjutnya, hasil perbandingan antara nilai curah hujan dugaan model dengan observasi disajikan pada Gambar CH Observasi CH Dugaan (r = 0.74) CH Observasi CH Dugaan (r = 0.47) Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Dasarian MK Dasarian MH a. Musim Kemarau di Palangka Raya b. Musim Hujan di Palangka Raya CH Observasi CH_MK Dugaan (r = 0.56) CH Observasi CH_MH Dugaan (r = 0.64) Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Dasrian MK Dasarian MH c. Musim Kemarau di Pekanbaru d. Musim Hujan di Pekanbaru Gambar Perbandingan antara curah hujan dugaan model dengan observasi pada musim kemarau dan musim hujan di Palangka Raya (a dan b) dan di Pekanbaru (c dan d) Hasil perbandingan pola curah hujan dasarian dugaan model terhadap observasi pada MK dan MH di Palangka Raya menunjukkan bahwa model pendugaan pada MK lebih baik dibandingkan pada MH. Sebaliknya di Pekanbaru, model pendugaan pada MH sedikit lebih baik dibandingkan pada MK. Model tidak mampu menjangkau nilai curah hujan pada kondisi ekstrim. Nilai korelasi di Palangka Raya antara MK dan MH relatif berbeda, sedangkan di Pekanbaru

104 87 sedikit sekali perbedaannya. Kondisi ini disebabkan Pekanbaru memiliki pola hujan ekuatorial dengan curah hujan hampir merata sepanjang tahun, sementara di Palangka Raya memiliki pola hujan monsun dengan perbedaan musim yang jelas. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki keragaman sangat tinggi di antara unsur iklim lainnya, baik dari musim ke musim maupun tempat ke tempat. Selain itu, kondisi Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa, memiliki tingkat non-linieritas yang tinggi sebagai akibat dari beragamnya topografi dan pengaruh Monsoon, sehingga kondisi atmosfer di wilayah ini sulit diprediksi dibandingkan dengan wilayah lintang tinggi (Satiadi dan Subarna 2006; Hermawan 2005). Selain itu, beragamnya topografi dan adanya pengaruh monsoon yang kuat menyebabkan adanya perbedaan pola hujan pada wilayahwilayah Indonesia. Bab selanjutnya akan membahas tentang aplikasi data READY-ARL NOAA dan CMORPH dalam perolehan indeks-indeks SPBK dan mengkorelasikannya dengan luas kebakaran SIMPULAN Data curah hujan CMORPH, baik data harian yang diperoleh dari dan CMORPH dasarian wilayah kabupaten yang diperoleh dari situs memiliki potensi yang sangat baik untuk digunakan sebagai penduga curah hujan permukaan. Tingkat keragaman yang dapat diwakili model sangat dipengaruhi oleh kondisi keragaman curah hujan yang terjadi di permukaan. Keuntungan pemanfaatan kedua jenis data CMORPH adalah mudah diperoleh dan bebas biaya dengan tingkat ketepatan relatif baik. Pada data CMORPH harian skala global, penggunaan teknik downscaling dengan metode PLS akan meningkatkan keragaman yang dapat diwakili oleh model dibandingkan apabila hanya menggunakan metode regresi sederhana. Penggunaan ukuran luasan domain yang efektif sangat dipengaruhi oleh kondisi lokasi dan tahun pengamatan. Penggunaan ukuran domain lebih besar tidak selalu meningkatkan perolehan nilai keragaman. Namun secara umum, ukuran domain 3x3 relatif lebih baik dibandingkan dengan ukuran domain yang lain.

105 88 Pemanfaatan teknik PLS ini relatif mudah digunakan dikarenakan PLS merupakan soft model yang tersedia pada beberapa perangkat lunak, seperti Minitab 14. Keuntungan penggunaan PLS adalah proses pembentukan model dengan peubah prediktor yng banyak dapat berlangsung secara simultan dengan proses validasi model, sehingga dapat menghemat waktu pemrosesan data. Data dasarian CMORPH wilayah Kabupaten yang dipublikasi oleh IRI memiliki potensi yang relatif baik untuk dimanfaatkan dalam analisis curah hujan lingkup luasan wilayah kabupaten tanpa harus melakukan proses dari data mentah. Keuntungan penggunaan data CMORPH-IRI adalah lebih mudah diperoleh dan sangat mudah dalam proses pengunduhannya serta bebas biaya.

106 89 5. ANALISIS HUBUNGAN HOTSPOT, KONDISI HUJAN DAN PARAMETER SPBK DENGAN LUAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH Pendahuluan Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang paling banyak mengalami kebakaran hutan dan lahan (Syaufina 2008). Sejak adanya pembukaan lahan sejuta hektar pada tahun 1990 untuk areal persawahan dan pertanian lainnya, telah terjadi penurunan kualitas kawasan lahan gambut di wilayah ini dengan makin menurunnya tinggi permukaan air lahan gambut. Pada musim kemarau tahun 1997/1998 yang bertepatan dengan periode El Nino, banyak dilakukan pembukaan lahan pertanian dengan cara tebang dan bakar. Pada Desember 1997, api akibat pembukaan lahan ini menyebar tidak terkendali membakar kawasan di sekitarnya sehingga menimbulkan kebakaran hebat. Dampak kebakaran ini tidak hanya menyebabkan kerugian terhadap kerusakan biodiversitas hutan gambut di wilayah ini, tetapi juga berdampak pada kondisi lingkungan dan sosial (Simbolon 2003). Walaupun telah terjadi penurunan jumlah hotspot dibandingkan tahun 2006, namun hingga tahun 2009 tampak jumlah hotspot cenderung meningkat dibandingkan tahun 2008 (Gambar 1-1). Pada tahun 2009 berdasarkan hasil wawancara WWF dengan Balai Taman Nasional Sebangau diperkirakan luasan area yang terbakar adalah 20 ha di Pulang Pisau, 600 ha di Mendawai dan sekitar 20 ha lebih di sekitar Palangkaraya ( saat ini, Kalimantan Tengah masih merupakan salah satu wilayah yang mempunyai risiko tinggi terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sistem peringatan dini sangat penting dalam pengelolaan bencana kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dikarenakan upaya penanggulangan bencana akan lebih mahal dibandingkan dengan upaya pencegahan, dan risiko kerugian dari dampak yang terjadi akan lebih kecil. Berbagai upaya dan penelitian telah dikembangkan, seperti pemantauan hotspot, pemetaan wilayah rawan kebakaran berdasarkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK), dan model-model prediksi lain yang memanfaatkan unsur iklim terutama hujan.

107 90 Faktor iklim terutama curah hujan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan, meskipun curah hujan bukan penyebab kebakaran. Curah hujan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kondisi kelembaban bahan bakar. Menurut van Wilgen et al. (1990), curah hujan menentukan akumulasi bahan bakar rerumputan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia umumnya berkaitan dengan berlangsungnya musim kemarau terutama akibat kekeringan, yakni pertengahan hingga akhir musim kemarau. Selain itu, terdapat hubungan yang sangat nyata antara luas kebakaran (Ha) dengan curah hujan (mm) dan frekuensi kebakaran (Syaufina 2008). Hingga saat ini, hotspot masih dipercaya sebagai alat deteksi kebakaran hutan dan lahan. Namun dalam pemanfaatannya, banyaknya jumlah hotspot yang terdeteksi tidak selalu mencerminkan makin luasnya kebakaran yang terjadi. Kondisi ini menyebabkan kesalahan penafsiran di kalangan masyarakat pengguna informasi hotspot ini. Oleh karena itu, kajian seberapa efektif penggunaan informasi hotspot dalam mencerminkan luasan areal terbakar juga perlu untuk dilakukan. Pengembangan SPBK dimaksudkan untuk memberikan peringatan dini terhadap bahaya kebakaran di suatu wilayah. Namun dalam upaya memberikan informasi berkala tentang wilayah yang mempunyai risiko tinggi terhadap kebakaran seringkali terkendala oleh ketersediaan data yang memadai, khususnya apabila mencakup wilayah yang relatif luas. Dengan demikian, dukungan teknologi satelit penginderaan jauh (inderaja) menjadi solusi yang tepat terlebih dengan makin berkembangnya teknologi inderaja dewasa ini. Selain cakupan wilayah yang dipetakan lebih luas, juga waktu pemantauan lebih near real-time dibandingkan apabila menggunakan data observasi permukaan. Selain itu, cakupan wilayah pemetaan dengan data iklim observasi bersifat lokal (titik lokasi), sehinggauntuk memantau dan memetakan area bahaya kebakaran yang luas memerlukan banyak data titik lokasi yang digunakan sebagai masukannya (input) dan perlu teknik interpolasi yang tepat. Penggunaan teknik interpolasi memungkinkan timbulnya kesalahan terutama apabila titik estimasi relatif jauh dari stasiun observasi dan tidak mewakili kondisi topografi di wilayah tersebut (Narasimhan dan Srinivasan 2002). Salah satu upaya mengatasi permasalahan ini

108 91 adalah dengan memanfaatkan data penginderaan jauh (inderaja) seperti READY- ARL NOAA dan CMORPH. SPBK atau FDRS (Fire Danger Rating System) yang saat ini banyak dikembangkan; khususnya di Indonesia, diadopsi dari FDRS yang dikembangkan di Canada. Beberapa indeks atau kode (code) yang digunakan sebagai parameter peringkat bahaya kebakaran, yakni: FFMC (Fine Fuel Moisture Code), DMC (Drought Moisture Code), DC (Drought code), ISI (Initial Spread Index), BUI (Build-Up Index) dan FWI (Fire Weather Index). Data masukan (input) yang digunakan adalah data harian suhu (T), kelembaban relatif (RH), kecepatan angin pada ketinggian 10-m, dan curah hujan selama 24-jam (hasil review dari Tanskanen dan Venalainen 2008). FFMC dan DMC merupakan indikator kandungan kelembaban bahan bakar permukaan halus dan lapisan organik dengan ketebalan sedang. ISI menentukan pengaruh FFMC dan kecepatan angin terhadap laju penjalaran kebakaran (van Wagner 1987 dalam Tanskanen dan Venalainen 2008). DC mewakili laju kandungan air pada sebuah kedalaman tanah pada lapisan organik padat dan merupakan indikator yang baik dari adanya pengaruh kekeringan musiman terhadap bahan bakaran kasar. BUI mengkombinasikan laju DMC dan DC dari kelembaban bahan bakar yang merepresentasikan fraksi bahan bakar yang sangat kering dan mudah terbakar (van Wagner 1987; Stocks et al dalam Tanskanen dan Venalainen 2008). FWI mengkombinasikan ISI dan BUI yang merupakan ukuran relatif dari intensitas potensi penjalaran api tunggal pada suatu area (Stocks et al dalam Tanskanen dan Venalainen 2008). Nilai FWI berkisar antara Kelemahan utama dari model ini adalah hanya dapat memberikan gambaran umum tentang kondisi bahan bakar berdasarkan komponen bahan bakar yang mati dari bahan yang ada saat ini. Tingkat kelembaban bahan bakar halus dikendalikan oleh kondisi cuaca di sekitarnya, antara lain: suhu udara, kelembaban, angin, radiasi matahari, dan jumlah curah hujan, sedangkan kelembaban bahan bakar halus hidup tidak terpengaruhi oleh kondisi cuaca jangka pendek melainkan oleh keragaman iklim jangka panjangnya (hasil review Tanskanen dan Venalainen 2008). Sementara itu, Dimitrakopoulos dan Bemmerzouk (1996) telah mengevaluasi penggunaan FWI dari data harian untuk memprediksi cuaca kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan hasil pengamatan

109 92 selama 9 bulan pada tahun 1994 dan 1995 terhadap kondisi FWI bulanan menunjukkan adanya korelasi yang erat antara selang FWI, kelas bahaya kebakaran, dan persentase kejadian kebakaran hutan dan lahan. Korelasi kuat terjadi terutama pada selang FWI tinggi dan ekstrim dengan persentase kejadian kebakaran. Kelemahan data SPBK adalah belum mencakup prediksi dampak anomali iklim terhadap bahaya kebakaran dan masih menggunakan data cuaca harian observasi stasiun meteorologi. Beberapa peneliti telah mengembangkan model penentu risiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan, antara lain: menggunakan parameter SDI (Soil Dryness Index) dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan (Anderson et al. 1999), menggunakan parameter tunggal NDVI (Hidayat 1997 dan Junaidi 2001), dan Departemen Kehutanan Canada menggunakan FWI sebagai indikator risiko kebakaran hutan dan lahan (Dimitrakopoulos dan Bemmerzouk 1996), menggunakan parameter ENSO dan DMI sebagai prediktor risiko kebakaran (Adiningsih 2005). LAPAN sejak 2005 telah mengembangkan SPBK menggunakan data masukan yang diturunkan dari data satelit. Namun dalam aplikasinya belum mengintegrasikan dengan data pantauan hotspot. Selain itu, parameter luaran yang dihasilkan masih sangat membutuhkan verifikasi dan validasi di lapangan terutama terkait dengan prediksi kejadian dan luas kebakaran. Dengan demikian, kajian yang melibatkan peubah luaran SPBK, data hotspot, kondisi iklim secara bersama-sama untuk memprediksi kejadian dan risiko kebakaran hutan dan lahan masih perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) menghitung peubah SPBK dari data READY-ARLNOAA dan CMORPH, 2) mendapatkanmodel hubungan SPBK dan hotspot dengan kejadian kebakaran, dan 3) mendapatkanmodel hubungan SPBK, hotspot, dan kejadian kebakaran dengan kondisi curah hujan. Adapun SPBK digunakan sebagai parameter yang mewakili kondisi kerentanan permukaan terhadap bahaya kebakaran. Hotspot digunakan sebagai alat deteksi kebakaran. Kondisi curah hujan direpresentasikan oleh akumulasi curah hujan 1, 2, dan 3 bulan sebelum kebakaran dan oleh jumlah hari tidak hujan selama 1, 2, dan 3 bulan sebelum kebakaran. Kejadian kebakaran yang dimaksud dalam penelitian

110 93 ini adalah: tanggal kejadian kebakaran, posisi lokasi kebakaran, dan luas kebakaran Data dan Metode Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data harian suhu (T), kelembaban relatif (RH), dan kecepatan angin (WS) level permukaan dari data READY-ARL NOAA tahun 2009 dan 2011 dan curah hujan harian CMORPH tahun 2009 dan Selain itu, data yang dimanfaatkan adalah data hotspot MODIS dari FIRMS tahun 2009 dan 2011 dan data kejadian kebakaran yang meliputi: tanggal kejadian atau pemadaman kebakaran, posisi lokasi kebakaran, dan luas kebakaran. Secara lengkap jenis data dan cara perolehannya disajikan pada Tabel 5-1. Tabel 5-1. Jenis data, periode, dan cara perolehannya yang digunakan dalam penelitian No. Jenis Data Periode Cara Perolehan 1. T, RH, dan WS harian 2. Curah hujan harian CMORPH 3. Lokasi dan jumlah hotspot harian 4. Lokasi kebakaran 5. Lokasi pemadaman kebakaran 2009 dan dan dan 2011 Diekstraksi dari data ARL NOAA via untuk data pada level permukaan Diekstraksi dari data CMORPH via Diekstraksi dari data hotspot MODIS yang dipublikasi oleh FIRMS via Hasil survei dan pengukuran GPS di lokasi kebakaran di TN Sebangau, Kalimantan Tengah 2009 Hasil pemadaman kebakaran yang dilakukan oleh Manggala Agni dan diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Palangka Raya.

111 94 Metode Pengolahan dan Analisis Data Ekstraksi data iklim dari ARL NOAA dan CMORPH Data iklim non hujan yang diekstraksi adalah data harian suhu (pada level ketinggian tekanan 1200mb), kelembaban relatif (%), dan kecepatan angin (m/det) pada level permukaan. Ekstraksi data ini dilakukan dengan mengkropping data ARL NOAA berdasarkan koordinat lintang bujur Pulau Kalimantan. Resolusi grid dari data ARL NOAA ini adalah 1 o x 1 o. Data ARL NOAA ini dapat pula diekstraksi berdasarkan lokasi titik yang diinginkan. Selanjutnya, data ini berupa data nilai parameter iklim tiap-tiap grid yang diwakili oleh lintang bujur grid dan dapat dibaca dalam format.text sehingga bisa dibaca dan diolah dengann perangkat lunak microsoft excell dan Arc View. Data curah hujan CMORPH setelah diekstraksi dilakukan koreksi geometri untuk menyamakan koordinat sebenarnya di permukaan wilayah yang dikaji. Resolusi grid CMORP adalah 0.25 o lintang/bujur. Selanjutnya data dikonversi ke dalam format.txt agar dapat dibaca dan diolah dengan perangkat lunak microsoft excell dan Arc View. Untuk menyamakan resolusi kedua data tersebut dilakukan resize menjadi berukuran 2.5 Km per grid. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai masingmasing parameter SPBK, yakni: FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI. Unsur iklim dan alur perhitungan SPBK disajikan pada Gambar 5-1. Gambar 5-1. Prosess penentuan indeks SPBK dan data masukannya

112 95 Persamaan yang digunakan dalam perhitungan masing-masing nilai parameter SPBK dikutip dari Alexander et al. (2010). Adapun penjelasan dari masing-masing parameter, data masukan dan dasar perhitungannya dijelaskan pada sub bab berikut ini. Perhitungan Nilai Parameter FFMC (Fine Fuel Moisture Code) Parameter masukan untuk perhitungan FFMC adalah: suhu (T) yang diukur pada level tekanan 1200mb, kelembaban udara relatif (RH) (%), kecepatan angin (m/det), akumulasi curah hujan selama 24 jam, nilai FFMC hari sebelumnya. Jika FFMC hari-hari sebelumnya tidak ada maka FFMC hari sebelumnya = 85. Selanjutnya FFMC dihitung dengan persamaan (Alexander et al. 2010): FFMC = 59.5*(250 m) /( m)...(5-1) dimana m adalah kandungan kelembaban bahan bakar halus setelah pengeringan. Nilai FWI berkisar antara 0 100, dengan 0 = kelembaban bahan bakar 250% (bobot kering oven) dan 100 = kelembaban bahan bakar 0%. Perhitungan Nilai Parameter DMC (Duff Moisture Code) Paremeter masukan untuk perhitungan DMC adalah: suhu yang diukur pada level tekanan 1200mb, kelembaban udara relatif (%), akumulasi curah hujan selama 24 jam, jumlah bulan dan DMC hari sebelumnya. Jika DMC har-hari sebelumnya tidak ada, maka DMC hari sebelumnya = 6. Panjang hari efektif tiap bulan (Le) untuk DMC ditentukan berdasarkan van Wagner (1985)(dalam Alexander et al. 2010), yakni: berturut-turut mulai bulan Januari hingga Desember adalah 6.5, 7.5, 9.0, 12.8, 13.9, 13.9, 12.4, 10.9, 9.4, 8.0, 7.0, 6.0. Untuk wilayah Indonesia yang terletak di ekuator, maka penggunaan panjang hari efektif terlebih dulu harus disesuaikan. Oleh karena variasi panjang hari di ekuator relatif kecil, maka peubah panjang hari bulanan (Le) diganti dengan sebuah konstanta 0.9 jam pengeringan per hari dalam perhitungan DMC (de Groot et al. 2006). DMC dihitung dengan persamaan: P = P o (atau P r ) * K *100...(5-2)

113 96 dengan P adalah DMC hari ini (baru), P o adalah DMC hari sebelumnya, P r adalah DMC setelah hari hujan dan K merupakan log laju kekeringan dalam DMC. K dihitung dengan persamaan berikut: K = * (T + 1.1) * (100 RH) + Le * (5-3) Le = panjang hari efektif tiap bulan. Nilai DMC berkisar antara 0 250, nilai 0 = RH 300% dan 250 = RH 20%. Perhitungan Nilai Parameter DC (Drought Code) Parameter masukan DC adalah suhu yang diukur pada level tekanan 1200mb ( o C), akumulasi curah hujan selama 24 jam (mm), DC hari sebelumnya, panjang hari efektif tiap bulan untuk DC yang ditentukan berdasarkan van Wagner (1985), yakni: berturut-turut dari bulan Januari hingga Desember: -1.6, - 1.6, -1.6, 0.9, 3.8, 5.8, 6.4, 5.0, 2.4, 0.4, -1.6, Untuk wilayah Indonesia yang terletak di ekuator, maka penggunaan panjang hari efektif terlebih dulu harus disesuaikan. Oleh karena variasi panjang hari di ekuator relatif kecil, maka peubah panjang hari bulanan (Lf) diganti dengan sebuah konstanta 1.39 dalam perhitungan DC (de Groot et al. 2006). Jika DC hari sebelumnya tidak ada, maka DC sebelumnya = 15. Selanjutnya DC dihitung menggunakan persamaan: D = D o (atau D r ) * V...(5-4) D adalah DC baru, Do adalah DC hari sebelumnya, Dr adalah DC setelah hujan dan V adalah evapotranspirasi potensial. Nilai DC berkisar 0 tidak terhingga. 0 = kandungan kelembaban tinggi, semakin besar nilai DC semakin kering, jika sangat tinggi menunjukkan ekstrim kering. Perhitungan Nilai Parameter ISI (Initial Spread Index) Parameter masukan untuk perhitungan ISI adalah kecepatan angin (m/det) dan FFMC. ISI dihitung dengan persamaan: ISI = * f (F) * f (W)...(5-5) f (F) merupakan sebuah fungsi dari FFMC dan f (W) merupakan fungsi dari kecepatan angin, kedua fungsi ini ditentukan berdasarkan persamaan van Wagner (1985). Kedua fungsi tersebut adalah:

114 97 ( )= (. )...(5-6) ( )= 91.9 (. ) (1+. /( )...(5-7) =147.2 (101 )/(59.5+ )...(5-8) Nilai ISI semakin tinggi berarti laju penjalaran api akan semakin tinggi. Perhitungan nilai parameter BUI (Build Up Index) Parameter masukan dalam BUI adalah nilai DMC dan DC. Jika: 0.4, =0.8 Jika: >0.4, = (5-9). [0.92+ ( )....(5-10) Nilai BUI berkisar antara DMC dan DC. BUI menggambarkan akumulasi bahan bakar tersedia. Perhitungan Nilai Parameter FWI (Fire Weather Index) Parameter masukan FWI adalah BUI dan ISI. Jika BUI 80, maka: ( )= (5-11) Jika BUI > 80, maka: ( )=.....(5-12) =0.1 ( )...(5-13) >1 =2.72(0.434 )....(5-14) 1 =...(5-15) B merupakan bentuk antara dari FWI. FWI ( < 2) = sangat rendah, FWI (2 5) = rendah, FWI (5 9) = sedang, FWI (9 17) = tinggi, FWI (17 30) = sangat tinggi, dan FWI (> 30) = ekstrim. Selanjutnya untuk menghitung semua nilai parameter SPBK ini digunakan FWI Calculator yang dapat dioperasikan melalui perangkat lunak microsoft execll. Nilai masing-masing parameter SPBK ini lalu dikonversi ke dalam format shapefile agar dapat dibaca menggunakan perangkat lunak Arc View. Kemudian nilai masing-masing parameter SPBK untuk masing-masing lokasi kebakaran

115 98 (dimana titik lokasi kebakaran berada ditengah-tengah atau sebagai pusat grid) diekstraksi dengan menggunakan perangkat lunak ArcView dan ArcGIS dengan ukuran luasan 3 x 3 grid. Nilai masing-masing parameter SPBK harian pada ukuran luasan grid 3 x 3 grid ini selanjutnya dirata-ratakan. Nilai rata-rata ini selanjutnya dianalisis hubungannya dengan luas kebakaran, kerapatan hotspot dan parameter kondisi iklim. Penentuan Kerapatan Jumlah Hotspot Ekstraksi jumlah hotspot untuk masing-masing lokasi kebakaran atau pemadaman kebakaran dilakukan dengan menumpang-susunkan (overlay) layer hotspot dengan layer CMORPH dan posisi lokasi kebakaran. Selanjutnya berdasarkan ukuran domain 3 x 3 grid CMORPH yang telah di resize menjadi 2.5 x 2.5 Km per grid dengan lokasi kebakaran sebagai pusat grid, maka dilakukan ekstraksi jumlah hotspot dalam luasan grid tersebut. Kemudian, dengan mengacu pada tanggal kejadian/pemadaman kebakaran dilakukan perhitungan jumlah hotspot HS7 (jumlah hotspot pada 6 hari sebelum kebakaran (HS-6) hingga hari kebakaran/pemadaman (HS0)), dan jumlah hotspot HS14 (jumlah hotspot pada 6 hari sebelum kebakaran hingga 7 hari setelah kebakaran), dan jumlah hotspot pada hari kejadian kebakaran (HS0). Dengan demikian, ada 3 parameter kerapatan hotspot yang akan digunakan sebagai indeks risiko kebakaran (IRK), yakni: HS7, HS14, dan HS0. Penentuan parameter kondisi iklim Parameter kondisi iklim yang digunakan sebagai indeks risiko kebakaran (IRK) dan alat prediksi kebakaran adalah CH1bl, CH2bl, CH3bl, HTH1bl, HTH2bl, HTH3bl. CH1bl, CH2bl, dan CH3bl merupakan akumulasi curah hujan 1, 2, dan 3 bulan sebelum kebakaran. HTH1bl, HTH2bl, dan HTH3bl merupakan jumlah hari tanpa hujan 1, 2, dan 3 bulan sebelum kebakaran.

116 99 Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menentukan hubungan antara kejadian kebakaran (luas kebakaran) dengan masing-masing parameter hotspot (HS0, HS7, dan HS14), kondisi iklim (CH1bl, CH2bl, CH3bl, HTH1bl, HTH2bl, dan HTH3Bl), dan SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI) untuk memilih IRK yang paling baik digunakan untuk memprediksi kejadian kebakaran dan menduga luas kebakaran. IRK yang paling baik ditentukan berdasarkan nilai korelasi ( r ) dan keragaman (R-sq) yang paling tinggi. Analisis dilakukan dengan persamaan regresi sederhana. Selain itu, analisis regresi juga dilakukan antar masing-masing parameter yang digunakan, yakni antara masing-masing parameter hotspot dengan masing-masing parameter iklim dan parameter SPBK. Secara ringkas proses pengolahan dan analisis data disajikan pada Gambar 5-2.

117 100 ARL NOAA CMORPH Tanggal, Posisi Lokasi, dan Luas Kebakaran Hotspot FIRMS T, RH, WS Curah Hujan Hitung parameter SPBK: FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, FWI Tentukan domain 3x3 dengan titik lokasi kebakaran sebagai pusat grid Ekstraksi nilai SPBK dari domain 3x3 Posisi Kebakaran Luas Kebakaran Tanggal Kebakaran Tentukan domain 3x3 dengan domain CMORPH sebagai acuan Ekstraksi jumlah HS dalam domain 3x3 Perhitungan nilai rata-rata domain dari masing-masing parameter SPBK Hitung: CH1bl, CH2bl, CH3bl, HTH1bl, HTH2bl, HTH3bl Hitung: HS7, HS14, dan HS0 Analisis hubungan: - Luas kebakaran dengan HS7, HS14, dan HS0 - Luas kebakaran dengan FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI - Luas kebakaran dengan CH1bl, CH2bl, CH3bl, HTH1bl, HTH2bl, HTH3bl - HS7, HS14, HS0 dengan CH1bl, CH2bl, CH3bl, HTH1bl, HTH2bl, HTH3bl - HS7, HS14, HS0 dengan FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, FWI. - CH1bl, CH2bl, CH3bl, HTH1bl, HTH2bl, HTH3bl dengan FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, FWI Pilih parameter indeks risiko kebakaran (IRK) yang paling baik untuk prediksi kebakaran Gambar 5-2. Bagan Alir Proses dan Analisis Data

118 Hasil dan Pembahasan Hubungan Hotspot dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan lahan Analisis hubungan antara kejadian kebakaran dengan parameter hotspot, SPBK dan kondisi iklim dilakukan berdasarkan data kejadian kebakaran tahun 2009 yang diperoleh dari 4 titik lokasi kebakaran di Kalimantan Tengah. Keempat titik tersebut dinamakan Kalteng 1, Kalteng 2, Kalteng 3, dan Kalteng 4. Titik lokasi kebakaran ini diperoleh berdasarkan hasil survei yang diukur di lapangan menggunakan GPS. Sementara itu, untuk data kejadian kebakaran tahun 2011 terdapat 26 titik lokasi kejadian kebakaran yang diperoleh berdasarkan titik lokasi pemadaman kebakaran yang dilakukan oleh BKSDA Palangka Raya. Lokasi titik-titik kebakaran pada tahun 2009 dan 2011 disajikan pada Gambar 5-3. Dengan demikian, ada 30 titik lokasi kebakaran yang dianalisis hubungannya dengan indeks-indeks SPBK, hotspot, dan kondisi iklim (Lampiran 4). Gambar 5-3. Lokasi titik kejadian dan pemadaman kebakaran tahun 2009 dan 2011 di Kalimantan Tengah

119 102 Distribusi hotspot pada tahun 2009 terlihat lebih banyak dibandingkan pada tahun 2011 (Gambar 5-4 dan Gambar 5-5). Kondisi ini mungkin disebabkan oleh adanya upaya Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam mengurangi jumlah hotspot dengan melarang masyarakat membakar terutama pada musim kemarau dan sanksi pidana apabila pelanggaran dilakukan oleh masyarakat, adanya sanksi pencabutan izin usaha apabila pembakaran dilakukan oleh Perusahaan, serta pemasangan spanduk dan plang-plang berisi himbauan dan peringatan bahaya kebakaran di beberapa lokasi terutama pada daerah-daerah yang rentan terhadap kebakaran. Gambar 5-4. Distribusi hotspot di Kalimantan Tengah pada tahun 2009 (Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs:

120 103 Gambar 5-5. Distribusi hotspot di Kalimantan Tengah pada tahun 2011 (Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs: Dari hasil ekstraksi jumlah hotspot pada HS0, HS7, HS14 dan hubungannya dengan luas kebakaran menunjukkan bahwa jumlah hotspot yang banyak tidak menggambarkan makin luasnya kebakaran (Lampiran 3). Sebaliknya, pada terjadinya kebakaran yang sangat luas tidak terdapat hotspot. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah hotspot yang terpantau oleh satelit tidak selalu menggambarkan makin luasnya area yang terbakar (Gambar 5-6). Ini pula yang menyebabkan tidak terdapat korelasi antara jumlah hotspot dengan luas kebakaran (Lampiran 5). Kondisi ini dapat disebabkan antara lain: oleh tidak sesuainya waktu kejadian kebakaran regional dengan waktu lintas satelit yang relatif tetap (Eva and Lambin 2000), juga masalah penutupan awan yang menjadi hambatan pada area tropis lembab. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan staf di BKSDA dan Dinas Perkebunan diperoleh keterangan bahwa permukaan atap seng dan lahan bekas galian pasir juga bisa terpantau oleh satelit sebagai hotspot. Namun demikian, deteksi hotspot harian masih merupakan cara

121 104 yang sangat cocok dan efektif untuk menentukan keragaman kebakaran antar musim, waktu dan tahun (Eva and Lambin 1998a). Luas kebakaran (Ha) Luas (Ha) HS Jumlah HS0 Luas Kebakaran (Ha) Luas (Ha) HS Jumlah HS Lokasi Kebakaran Lokasi Kebakaran a. Luas Kebakaran (Ha) VS Jumlah Hotspot pada hari kejadian kebakaran (HS0) b. Luas Kebakaran (Ha) VS Jumlah Hotspot pada 6 hari sebelum dan hari kejadian kebakaran (HS7) 2000 Luas (Ha) HS Luas Kebakaran (Ha) Jumlah HS Lokasi Kebakaran c. Luas Kebakaran (Ha) VS Jumlah Hotspot dari 6 hari sebelum s/d 7 hari kejadian kebakaran (HS14) Gambar 5-6. Hubungan Luas Kebakaran dengan Jumlah Hotspot Menurut Miettinen (2007), deteksi hotspot tidak mampu untuk digunakan sebagai alat estimasi luas kebakaran. Hal ini dikarenakan deteksi hotspot tidak dirancang untuk mengukur/menghitung luasan area permukaan yang terbakar. Sebuah piksel berukuran 1 Km 2 dapat dijenuhi oleh sebuah kebakaran yang tidak lebih besar dari Km 2. Namun dikarenakan perlunya informasi tentang dampak dari kebakaran vegetasi dan ketiadaan data yang lebih baik, maka hotspot digunakan pula untuk mengestimasi area terbakar secara luas, baik global (Giglio et al. 2006) maupun regional (Eva and Lambin 1998a, Stolle et al. 2004) dengan berbagai tingkat keberhasilan. Boer et al. (2010) mendapatkan bahwa jumlah hotspot mulai 7 hari sebelum kebakaran hingga hari terjadinya kebakaran dalam

122 105 domain 10 Km dapat digunakan sebagai pendugaan luas kebakaran dengan tingkat keragaman 69%. Hubungan Luaran SPBK dengan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan Luaran SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI) digunakan sebagai peringatan bahaya kebakaran dan menggambarkan potensi suatu hutan dan lahan terbakar jika kondisi cuaca mengindikasikan ekstrim. Analisis hubungan kejadian kebakaran dengan masing-masing luaran SPBK dibangkitkan dari luas kebakaran (Ha) yang terjadi di 30 lokasi kebakaran pada tahun 2009 dan 2011 dengan nilai rata-rata masing-masing luaran SPBK pada ukuran luas domain 3x3 (Tabel Lampiran 4). Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi yang erat diperoleh dari hubungan antara luas kebakaran dengan DC (r = 0.76) yang dapat mewakili keragaman (R-sq) sekitar 58% dari kejadian kebakaran (Gambar 5-7). DC menunjukkan kondisi kekeringan. Dari hubungan ini memperlihatkan bahwa jika nilai DC lebih dari 500 maka luas area yang terbakar diestimasi akan meningkat. Hubungan yang baik dengan korelasi > 0.5 juga terjadi antara luas kebakaran dengan ISI (r = 0.68) yang dapat mewakili 46.6% keragaman luas kebakaran, BUI (r = 0.58) mewakili sekitar 33.3% luas kebakaran, dan FWI (r = 0.65) mewakili sekitar 42.5% luas kebakaran, sedangkan FFMC dan DMC kurang baik digunakan sebagai peubah penduga luas kebakaran (Gambar 5-7). FFMC dan DMC menggambarkan kondisi kelembaban bahan bakar halus dan kasar sebagai potensi kemudahan penyulutan api. Oleh sebab itu, apabila tidak ada pemicu berupa kegiatan membakar maka tidak akan terbakar. Hal ini dikarenakan kebakaran yang terjadi di Indonesia lebih dikarenakan faktor kesengajaan manusia.

123 Luas kebakaran (Ha) Luas Kebakaran (Ha) FFMC a. Luas Kebakaran VS FFMC b. Luas Kebakaran VS DMC 0 Luas (Ha) = 110FFMC* R-sq = 11.3% FFMC* = FFMC -90 Luas (Ha) = 5.14DC* R-sq =58% DC* = DC DC c. Luas Kebakaran VS DC d. Luas Kebakaran VS ISI Luas Kebakaran (Ha) Luas Kebakaran (Ha) Luas (Ha) = DMC* R-Sq = 15.4% DMC* = DMC DMC Luas (Ha) = 190 ISI* -88 R-sq = 31.9% ISI* = ISI ISI Luas Kebakaran (Ha) Luas (Ha)= 14.4 BUI* R-sq = 28.4% BUI* = BUI BUI e. Luas Kebakaran VS BUI f. Luas Kebakaran VS FWI Gambar 5-7. Hubungan masing-masing indeks SPBK dengan Luas Kebakaran di Kalimantan Tengah DC merefleksikan potensi kekeringan dan asap, ISI menggambarkan kondisi kesulitan pengendalian kebakaran, dan FWI merupakan indeks cuaca kebakaran. Kategori tingkat kerentanan kebakaran berdasarkan potensi kekeringan dan asap (DC) adalah: < 140 (rendah), (sedang), (tinggi), dan > 350 (ekstrim). Kategori tingkat kesulitan pengendalian kebakaran (ISI) adalah: 0 1 (rendah), 2 3 (sedang), 4 5 (tinggi), dan > 6 (ekstrim). Kategori indeks cuaca kebakaran (FWI) adalah: 0 1 (rendah), 2 6 (sedang), 7 12 (tinggi), dan > 13 (ekstrim). Dari hasil analisis hubungan SPBK dengan luas kebakaran di Kalimantan Tengah dapat dijelaskan bahwa kecenderungan meluasnya kebakaran di Kalimantan Tengah terjadi apabila kondisi DC (potensi kekeringan dan asap), Luas Kebakaran (Ha) Luas (Ha) = 49.3 FWI* -105 R-sq = 42.5% FWI*= FWI FWI

124 107 ISI (kondisi kesulitan pengendalian kebakaran), dan FWI (Indeks Cuaca Kebakaran) berada pada level sangat ekstrim, yakni :DC >500, ISI > 11, dan FWI > 27. Menurut McAlpine (1991 dalam de Groot et al. 2006), nilai DC dapat mencapai 800 di Amerika Utara. Nilai DC > 300 menunjukkan kondisi yang semakin kering pada lapisan organik lebih dalam; seperti gambut, yang akan meningkatkan potensi terjadinya kebakaran dalam (smouldering) dan kabut asap (de Groot et al. 2006). Hubungan Kondisi Iklim dengan Kejadian kebakaran dan Hotspot Kondisi iklim yang dijadikan sebagai parameter penentu indeks risiko kebakaran (IRK) yang dianalisis dan dihubungkan dengan kejadian kebakaran dan hotspot adalah: akumulasi curah hujan 1 bulan (CH1bl), 2 bulan (CH2bl), 3 bulan (CH3bl) sebelum kebakaran, hari tanpa hujan 1 bulan (HTH1bl), 2 bulan (HTH2bl), dan 3 bulan (HTH3bl) sebelum kebakaran. Penggunaan kriteria curah hujan dan hari tanpa hujan dari 1 3 bulan dimaksudkan agar model IRK terbaik yang dihasilkan dalam analisis ini dapat dimanfaatkan sebagai parameter prediksi kebakaran yang terjadi 1 hingga 3 bulan ke depan. Dengan demikian, informasi prediksi curah hujan yang dikeluarkan oleh BMKG dapat digunakan sebagai peringatan dini kebakaran dan prakiraan luas kebakaran serta jumlah hotspot. Pada tahun 2009 ada beberapa titik lokasi kebakaran yang disurvei. Akan tetapi setelah diplot pada peta, ada beberapa lokasi yang saling berdekatan sehingga dikelompokkan menjadi 4 kelompok lokasi kebakaran yang diberi notasi K1, K2, K3, dan K4. Demikian pula untuk data lokasi pemadaman kebakaran pada tahun 2011, lokasi yang berdekatan dikelompokkan menjadi 6 kelompok lokasi yang diberi notasi P1 P6. Ekstraksi jumlah hotspot untuk setiap kelompok lokasi kebakaran dilakukan berdasarkan ukuran domain 3 x 3 grid CMORPH hasil resize dengan resolusi grid 2.5 x 2.5 Km 2. Berdasarkan jumlah hotspot pada bulan Juni hingga November / Desember dan hubungannya dengan anomali hujan tampak bahwa secara umum di semua lokasi kebakaran di Kalimantan Tengah, hotspot muncul pada bulan-bulan musim kemarau yang berlangsung mulai bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus (tahun 2011) atau September (tahun 2009). Puncak jumlah hotspot

125 108 tertinggi tampak bersamaan dengan anomali hujan negatif tertinggi di semua lokasi kebakaran, baik pada tahun 2009 (K1 K4) (Gambar 5-8a) maupun 2011 (P1 P6) (Gambar 5-8b). anom_k1 anom_k2 anom_k3 anom_k4 HS_K1 HS_K2 HS_K3 HS_K4 Jumlah Hotspot Anomali CH CMORPH Jun-09 Jul-09 Ags-09 Sep-09 Okt-09 Nov-09 Des-09 a. Kejadian Kebakaran tahun 2009 anom_p1 anom_p2 anom_p3 anom_p4 anom_p5 anom_p6 HS_P1 HS_P2 HS_P3 HS_P4 HS_P5 HS_P6 Jumlah Hotspot Anomali CH CMORPH Jun-11 Jul-11 Ags-11 Sep-11 Okt-11 Nov-11 b. Kejadian Kebakaran tahun 2011 Gambar 5-8. Hubungan Anomali Curah Hujan dengan Jumlah Hotspot pada Lokasi Kebakaran di Kalimantan Tengah pada tahun 2009 (a) dan 2011 (b) Hasil analisis hubungan antara luas kebakaran dengan variabel kondisi iklim menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang erat antara luas kebakaran dengan jumlah curah hujan 2 bulan (r = 0.82) dan 3 bulan (r = 0.62) sebelum kebakaran dengan tingkat keragaman berturut-turut sebesar 67.2% dan 38.5% (Gambar 5-9). Merujuk pada Gambar 5-9b dan c, apabila akumulasi curah hujan kurang dari 93 mm pada 2 bulan sebelumnya atau kurang dari 167 mm pada 3 bulan sebelumnya, maka potensi luas kebakaran diperkirakan akan meningkat tajam. Sementara itu,

126 109 berdasarkan hubungan luas kebakaran dengan jumlah hari tanpa hujan sebelum kebakaranmenunjukkan bahwa jumlah hari tanpa hujan 2 bulan atau 3 bulan sebelum kebakaran hanya mempengaruhi berturut-turut sekitar 20.6% dan 15.3%keragaman luas kebakaran. Apabila jumlah hari tanpa hujan melebihi 45 hari selama 2 bulan sebelumnya atau melebihi 66 hari selama 3 bulan sebelumnya, maka luas kebakaran akan berpotensi meningkat (Gambar 5-9 e dan f). Luas Kebakaran (Ha) y = x R-sq= 3.8% CH1Bl (mm) a. Luas Kebakaran VS Akumulasi curah hujan 1 bulan sebelum kebakaran Luas Kebakaran (Ha) Luas Kebakaran (Ha) c. Luas Kebakaran VS Akumulasi curah hujan 3 bulan sebelum kebakaran CH3Bl (mm) Luas (Ha) = X* R-sq= 20.6% X* = HTH2bl -45 Luas (Ha) = X* R-sq = 38.5% X* = CH3bl HTH2Bl (hari) e. Luas Kebakaran VS jumlah hari tanpa hujan 2 bulan sebelum kebakaran Luas Kebakaran (mm) Luas (Ha) = X* R-sq = 67.2% X* = (CH2Bl -93) mm CH2Bl (mm) b. Luas Kebakaran VS Akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran Luas kebakaran (Ha) y = 11.73x R-sq= 1.4% HTH1bl (hari) d. Luas Kebakaran VS jumlah hari tanpa hujan 1 bulan sebelum kebakaran Luas Kebakaran (Ha) Luas (Ha) = X* R-sq = 21.1% X* = HTH3bl HTH3Bl (hari) f. Luas Kebakaran VS jumlah hari tanpa hujan 3 bulan sebelum kebakaran Gambar 5-9. Hubungan antara Luas Kebakaran dengan Parameter Kondisi Iklim

127 110 Parameter kejadian kebakaran yang lain yang dapat digunakan sebagai indikator kebakaran adalah deteksi jumlah hotspot. Hasil analisis antara variabel kondisi iklim dengan jumlah hotspot dalam domain 3 x 3 grid CMORPH pada saat kejadian kebakaran (HS0), pada 6 hari sebelum hingga saat kejadian kebakaran (HS7), dan pada 6 hari sebelum kebakaran hingga 7 hari sesudah kebakaran menunjukkan bahwa jumlah hotspot pada saat kejadian kebakaran (HS0) berkorelasi dengan akumulasi curah hujan 1 bulan sebelum kebakaran, sedangkan jumlah hotspott HS7 berkorelasi dengan hari tanpa hujan 2 bulan sebelum kebakaran dan jumlah hotspot HS14 berkorelasi dengan kondisi jumlah curah hujan 1 bulan sebelum kebakaran (Gambar 5-10). Jika jumlah hujan 1 bulan sebelum kebakaran diprediksi meningkat, maka jumlah hotspot diprediksi akan menurun secara logaritmik dengan keragaman sekitar 29.6% (r = 0.54)(Gambar 5-11a) atau apabila jumlah hari tanpa hujan 1 bulan sebelum kebakaran diprediksi menurun maka jumlah hotspot pada kebakaran sebulan yang akan datang juga akan berkurang secara polinomial dengan keragaman sekitar 20.5% (r = 0.45) (Gambar 5-11c). Sementaraa itu, jumlah hotspot 6 hari sebelum kebakaran sampai hari kebakaran (HS7) terlihat berkorelasi dengan hari tanpa hujan 2 bulan sebelum kebakaran (r = 0.55) dengann keragaman sebesar 30.5% (Gambar 5-11). Gambar Korelasi antara Hotspot dengan Peubah Kondisi Iklim Hasil analisis hubungan antara peubah kondisi iklim dengan masing-masing indeks SPBK menunjukkan bahwa indikator potensi kekeringan dan asap (DC) yang memiliki hubungan sangat erat dengan akumulasi curah hujan dan hari tanpa hujan 1 hingga 3 bulan sebelum kebakaran. Korelasi antara DC dengan akumulasi

128 111 curah hujan 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan sebelum kebakaran berturut-turut adalah-0.57,-0.84, Hal ini berarti bahwa semakin menurun akumulasi curah hujan 1, 2, hingga 3 bulan sebelum kebakaran maka DC akan semakin tinggi (kering) dan semakin tinggi risiko wilayah Kalimantan Tengah terhadap kebakaran. Jumlah HS y = -2.73ln(x) R² = CH1bl (mm) a. Jumlah hotspot hari kebakaran VS Jumlah Curah Hujan 1 bulan sebelum kebakaran Jumlah HS HTH2bl (hari) b. Jumlah hotspot 6 hari sebelum hingga hari kebakaran VS jumlah hari tanpa hujan 2 bulan sebelum kebakaran Jumlah HS HTH1bl (hari) c. Jumlah hotspot 6 hari sebelum hingga 7 hari sesudah kebakaran VS Jumlah hari tanpa hujan 1 bulan sebelum kebakaran Gambar Hubungan Jumlah Hotspot dengan Peubah Kondisi Iklim 1.00 FFMC DMC DC ISI BUI FWI Korelasi (r) Parameter Kondisi Iklim Gambar Hubungan Indeks-indeks SPBK dengan Kondisi Iklim

129 112 DC y = x R² = CH1bl (mm) y = x R² = a. DC VS CH1bl b. DC VS CH2bl DC CH 2bl (mm) DC c. DC VS CH3bl y = x R² = CH3bl (mm) Gambar Bentuk Hubungan antara Potensi Kekeringan (DC) dengan Peubah Iklim Curah Hujan 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan Sebelum Kebakaran dan Dengan Luas Kebakaran Selain itu, DC juga berkorelasi dengan jumlah hari tanpa hujan selama 1, 2, dan 3 bulan sebelumnya berturut-turut sebesar 0.47, 0.68, dan Kondisi ini memperlihatkan bahwa semakin banyak jumlah hari tidak hujan maka semakin rentan terhadap kekeringan dan kebakaran. Kondisi iklim dalam hal ini akumulasi curah hujan 3 bulan sebelum kebakaran berkorelasi dengan ISI (indeks/tingkat kesulitan pengendalian kebakaran) sebesar dan FWI (indeks cuaca kebakaran) dengan r sebesar Korelasi antara akumulasi curah hujan 3 bulan sebelum kebakaran dengan ISI dan FWI ini, walaupun kecil tetapi cukup signifikan pada taraf 95%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi berkurangnya akumulasi curah hujan 3 bulan sebelum kebakaran akan berpengaruh terhadap tingkat kesulitan pengendalian kebakaran. Parameter ISI dan FWI juga memiliki korelasi positif dengan jumlah

130 113 hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya, masing-masing berturut-turut 0.47 dan Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin panjang hari tanpa hujan pada dua bulan sebelum kebakaran, maka akan semakin sulit kebakaran dikendalikan akibat indeks cuaca (FWI) yang juga mendukung. Selain itu, parameter BUI berkorelasi negatif dengan akumulasi curah hujan 2 bulan sebelumnya (r = ) dan dengan hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya (r = 0.71). BUI menggambarkan akumulasi bahan bakar tersedia. Berdasarkan hasil analisis ini dapat dijelaskan bahwa apabila akumulasi curah hujan 3 bulan sebelumnya menurun maka akan semakin kering dan semakin banyak akumulasi bahan bakar yangtersedia yang terbakar. Pada kondisi ini apabila terjadi kebakaran, maka tingkat kesulitan pengendalian kebakaran juga akan semakin tinggi dan luas kebakaran dapat diprediksi akan meningkat (Gambar 5-12 dan Gambar 5-13). Potensi Pemanfaatan Indeks Risiko Kebakaran (IRK) Sebagai Peringatan Dini Kebakaran Indeks risiko kebakaran (IRK) dipilih berdasarkan korelasi paling baik antara semua peubah SPBK dan kondisi iklim dengan luas kebakaran dan jumlah hotspot. Berdasarkan hasil analisis di atas, IRK yang menghasilkan korelasi sangat baik dengan luas kebakaran dan dengan tingkat keragaman cukup tinggi adalah parameter akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran (CH2bl) dari data CMORPH dengan r sebesar 0.82 dengan keragaman sebesar 67.2%. Parameter ini dapat digunakan sebagai penduga luas kebakaran berdasarkan persamaan berikut: Luas (Ha) = * (CH2bl 93) (R-sq = 67.2%)...(5-16) dengan Ch2bl adalah akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran. Luas kebakaran juga dapat diduga berdasarkan hubungannya dengan parameter DCdengan menggunakan persamaan berikut: Luas (Ha) = 5.14 * (DC 500) 62.9(R-sq = 58%)...(5-17) dengan DC adalah nilai drought code.

131 114 Sementara itu, estimasi jumlah hotspot yang terjadi selama periode 6 hari hingga saat kebakaran dapat dilakukan berdasarkan jumlah hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya melalui persamaan berikut: HS7 = 0.003(HTH2bl) (HTH2bl) (HTH2bl) (R-sq = 30.5%)......(5-18) Berdasarkan hasil analisis di atas, tingkat risiko terjadinya kebakaran dan prakiraan luas terbakar dapat diprakirakan satu atau dua bulan sebelumnya apabila informasi prakiraan hujan bulanan tersedia. Penggunaan data curah hujan CMORPH tentunya akan sangat bermanfaat dalam sistem peringatan dini kebakaran secara spasial. Wilayah atau lokasi yang berisiko tinggi untuk kebakaran dapat diprakirakan lebih awal sehingga dapat menetapkan langkahlangkah pengendalian kebakaran yang lebih efektif. Namun demikian untuk pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan secara spasial tetap perlu mempertimbangkan keberadaan faktor-faktor pendorong terjadinya kebakaran seperti kedekatannya dengan pemukiman, sarana jalan, sungai, jenis tutupan lahan dan sistem lahan. Jaya et al. (2008) menemukan bahwa wilayah yang rawan terkena kebakaran umumnya berada dekat pemukiman dan jalan dengan jenis tutupan lahan semak belukar atau pertanian pangan Simpulan Keberadaan hotspot tidak selalu menggambarkan kejadian kebakaran di suatu wilayah dan banyaknya jumlah hotspot pada suatu wilayah tertentu tidak selalu menggambarkan makin luasnya wilayah kebakaran. Dengan demikian, pemanfaatan informasi jumlah hotspot dalam pendugaan luas areal yang terbakar sebaiknya menggunakan data jumlah hotspot dalam suatu luasan domain tertentu yang terdeteksi minimal 3 7 hari periode kebakaran. Luas area terbakar dapat diestimasi menggunakan informasi curah hujan 2 bulan sebelumnya ataumenggunakan nilai potensi kekeringan DC dengan tingkat keragaman masing-masing berturut-turut 67.2% dan 58%. Sementara itu, jumlah hotspot selama periode 6 hari sebelum hingga saat terjadi kebakaran dapat

132 115 diprakirakan berdasarkan jumlah hari tanpa hujan 2 bulan sebelumnya dengan tingkat keragaman sekitar 30.5%. Faktor iklim dominan yang menentukan tingkat risiko kebakaran di wilayah Kalimantan Tengah adalah curah hujan terutama kondisi curah hujan 2 bulan sebelumnya. Berkurangnya jumlah curah hujan dari kondisi normalnya akan berdampak pada meningkatnya potensi kekeringan dan akumulasi bahan bakar tersedia yang selanjutnya akan meningkatkan indeks risiko kebakaran. Dengan demikian, informasi tentang kondisi hujan 2 bulan sebelumnya baik yang dikeluarkan oleh BMKG dan atau prediksi dari data satelit dapat dimanfaatkan untuk memprakirakan potensi kekeringan, jumlah hotspot dan luas kebakaran di suatu wilayah sebagai sistem peringatan dini kebakaran.

133 MODEL PREDIKSI RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN 6.1. Pendahuluan Salah satu dampak perubahan iklim terhadap keberadaan hutan adalah perubahan intensitas, frekuensi, lama dan waktu kejadian kebakaran hutan. Perubahan iklim dapat memberikan dampak pada hutan, melalui peningkatan suhu yang akan meningkatkan kerentanan vegetasi. Perubahan iklim pada hutan dapat berupa: 1) Perubahan keanekaragaman hayati, flora dan fauna; 2) Peningkatan kerentanan vegetasi hutan terhadap ancaman bahaya kebakaran; 3) Peningkatan bahaya kebakaran hutan dilihat dari kondisi lingkungan; 4) Peningkatan kerentanan lahan gambut terhadap kekeringan dan bahaya kebakaran; 5) Perubahan serangan hama dan penyakit pada hutan tanaman. Apabila dibandingkan dengan faktor perusak lainnya, kebakaran hutan merupakan ancaman yang paling berbahaya bagi keberadaan hutan.hal ini dkarenakankebakaran yang terjadi dalam waktu yang singkat dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Selain dampaknya pada kerusakan vegetasi dan lahan hutan, kebakaran juga dapat berdampak bagi lingkungan, termasuk asap lintas batas negara dan pada kesehatan manusia. Oleh karena itu, kejadian kebakaran hutan perlu diantisipasi dan dicegah sedini mungkin. Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah dengan luas areal hutan gambut tropis terbesar di dunia. Akibat pembukaan dan konversi lahan secara besar-besaran yang dimulai pada tahun 1996 hingga 1998 dan penggunaan api dalam aktivitas penyiapan lahan pertanian, menjadikan wilayah ini seringkali mengalami kebakaran, terutama pada musim kemarau. Walaupun sudah ada upaya dari Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam menurunkan tingkat kebakaran yang terjadi, namun hingga saat ini Kalimantan Tengah masih termasuk salah satu wilayah yang rawan terhadap kebakaran. Oleh sebab itu,

134 117 untuk menentukan langkah dan strategi antisipasi dini terhadap bahaya kebakaran diperlukan pengembangan model prediksi terhadap kebakaran menggunakan data iklim. Chandler et. al (1983a) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu: 1) Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia. 2) Iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran. 3) Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan 4) Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.selanjutnya, sifat-sifat bahan bakar seperti tipe bahan bakar, kandungan bahan bakar, sifat-sifat instrinsik, kekompakan, dan kadar air bahan bakar juga sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, demikian menurut Rice dan Martin (1985), Johansen (1985), van Wagtendonk dan Sydoriak (1985), Saharjo (1999).Bahkan pada beberapa kejadian kebakaran Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model prediksi peluang kejadian dan luas kebakaran hutan dan lahan menggunakan data curah hujan Data dan Metode Data Data yang digunakan dalam penelitian pada bab ini adalah data CMORPH- IRI dasarian wilayah Palangka Raya dari tahun 2003 Juli Data ini diperoleh dari situs milik IRI melalui Data lainnya adalah data luas kebakaran yang digunakan pada bab 5. Metode Analisis Analisis penetapan luas kebakaran dilakukan dengan menggunakan data curah hujan. Asumsi dalam pendekatan ini didasarkan bahwa penurunan hujan akan menyebabkan turunnya kadar air bahan bakar hutan sehingga bahan bakar menjadi lebih mudah terbakar. Berdasarkan hasil penelitian pada bab 5 diperoleh bahwa ada korelasi yang baik (r = 0.82) antara luas kebakaran dengan akumulasi curah hujan 2 (dua) bulan sebelum kebakaran dengan tingkat keragaman sebesar 67.2%. Luas lahan terbakar cenderung meningkat dengan menurunnya akumulasi

135 118 hujan 2 bulan sebelumnya. Dari hubungan ini, prediksi peluang kerusakan hutan akibat kebakaran dapat dilakukan melalui beberapa tahap analisis. Adapun tahapan analisis adalah sebagai berikut: - Tahap 1: Penetapan hubungan tingkat kerusakan kebakaran dengancurah hujan. Tahapan ini telah dilakukan pada bab sebelumnya (Bab 5) untuk mengetahui apakah tingkat kerusakan akibat kebakaran memiliki hubungan nyata dengan curah hujan. Dari Bab 5 luas kebakaran dapat diprakirakan berdasarkan akumulasi curah hujan dua bulan sebelum kebakaran dengan persamaan sebagai berikut: Luas (Ha) = * (CH2bl 93) (R-sq = 67.2%) - Tahap 2: Menghitung akumulasi curah hujan dua bulanan untuk menentukan pola hujan dua bulan dan peluang curah hujan dua bulan yang lebih rendah dari 93 mm. Data akumulasi curah hujan dua bulanan ini dihitung dengan menggunakan data curah hujan CMORPH-IRI. Penggunaan data CMORPH dikarenakan keterbatasan ketersediaan data observasi. - Tahap 3: Apabila informasi sifat hujan dua bulanan ke depan diperkirakan akan jauh di bawah normal atau lebih rendah dari 93 mm, maka diperkirakan risiko terjadi kebakaran pada dua bulan ke depan akan tinggi. Dengan mengintegrasikan model empiris yang diperoleh pada tahap 1menggunakan simulasi Monte Carlo melalui lembar kerja stokastik (stochastic spreadsheet), besar peluang terjadinya kebakaran pada dua bulan ke depan dapat diketahui. Selanjutnya untuk prediksi peluang kebakaran diperlukan informasi hujan dua bulanan. Informasi hujan dua bulanan yang digunakan adalah informasi prakiraan yang memiliki nilai error. Nilai error ini sangat menentukan besarnya tingkat kepastian (certainty) prakiraan kebakaran tersebut. Semakin kecil error dari tinggi hujan prakiraan, maka akan semakin besar tingkat kepastian nilai prakiraan kebakaran. Jika informasi nilai error tidak ada, nilai error tinggi hujan dua bulanan dapat diduga berdasarkan persamaan hubungan antara nilai koefisien keragaman (CV) dan rata-rata tinggi hujan. Secara skematis, hubungan antara ke tiga tahapan analisis di atas disajikan pada Gambar 6-1.

136 119 Data Curah Hujan (CH) CMORPH- IRI Tahun Hitung CH dua bulanan - Tentukan distribusi normal CH - Hitung Rata2 dan keragamanan Informasi prediksi CH dari BMKG (Tinggi hujan & nilai errornya) Tentukan Bulan2 dengan nilai CH 2 bulan < 93 Simulasi Monte Carlo melalui Lembar Kerja Stokastik Cek apakah CH prediksi di bawah normal Hitung Peluang Kejadian dan Luas kebakaran Simulasi Monte Carlo Penentuan Nilai peluang ambang kritis kejadian dan luas kebakaran Tidak Apakah nilai Peluang Kejadian dan luas kebakaran melewati batas kritis? Ya Tidak perlu dilakukan intensifikasi upaya antisipasi kebakaran Lakukan antisipasi dan upaya pencegahan pada daerah rawan kebakaran

137 120 Gambar 6-1. Proses Penyusunan Model Prediksi Risiko Kebakaran Hutan dari Data Curah Hujan Hasil dan Pembahasan Luas kebakaran hutan dapat diduga dari tinggi hujan dua bulanan sebelum terjadi kebakaran. Hasil analisis (lihat Bab 5) menunjukkan bahwa apabila tinggi hujan dua bulanan lebih rendah dari 93 mm, maka risiko terjadi kebakaran akan meningkat dengan luasan yang akan terbakar yang cukup tinggi. Berdasarkan pola hujan dua bulanan, bulan dengan peluang terjadinya hujan dua bulanan yang kurang dari 93 mm ialah pada periode Juli-September (Gambar 6-2). Apabila informasi sifat hujan dua bulanan ke depan yang dikeluarkan pada bulan Juni atau Juli diperkirakan akan jauh di bawah normal atau lebih rendah dari 93 mm, maka diperkirakan risiko terjadi kebakaran pada bulan September atau Oktober akan tinggi. Dengan menggunakan simulasi Monte Carlo, besar peluang terjadinya kebakaran pada bulan September atau Oktober apabila sifat hujan Juli-Agustus atau Agustus-September normal, berkisar antara 15% dan 20% (Gambar 6-3). Dengan menggunakan prinsip bahwa kebakaran harus dihindari, maka peluang kritis 20% dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan upaya antisipasi. Dengan kata lain, apabila prakiraan sifat dan tinggi hujan dua bulanan yang dikeluarkan oleh penyedia jasa informasi prakiraan (BMKG) akan memberikan nilai prediksi peluang kebakaran di atas 20%, maka upaya antisipasi mengatasi kebakaran harus segera dilakukan. Tinggi Hujan (mm) JF FM MA AM MJ JJ JA AS SO ON ND

138 121 Gambar 6-2. Pola hujan dua bulanan di Palangka Raya Gambar 6-3. Peluang kumulatif terjadi kebakaran (luas > 50 ha) pada bulan September (kiri) dan Oktober (kanan) di Palangka Raya apabila sifat dan tinggi hujan dua bulanan normal Untuk menduga besar peluang terjadi kebakaran pada bulan September dan Oktober selama kurun waktu 2003 sampai 2011, maka simulasi Monte Carlo dilakukan berdasarkan informasi tinggi hujan dua bulanan Juli-Agustus dan Agustus-September setiap tahun. Untuk keperluan prediksi peluang kebakaran, informasi hujan dua bulanan yang digunakan adalah informasi prakiraan yang memiliki nilai error. Nilai error ini sangat menentukan sebesar apa tingkat kepastian (certainty) prakiraan kebakaran tersebut. Semakin kecil error dari tinggi hujan prakiraan, maka akan semakin besar tingkat kepastian nilai prakiraan kebakaran. Oleh karena itu untuk dapat menggunakan model risiko ini, BMKG selain memberikan prakiraaan sifat hujan musiman (Bawah Normal, normal atau atas normal), juga perlu mengeluarkan informasi prakiraan tinggi hujan disertai error-nya. Di wilayah Indonesia yang pengaruh ENSO kuat, tingkat kepastian prakiraan hujan akan tinggi atau error-nya kecil, dengan demikian tingkat kepastian prakiraan kebakaran juga akan tinggi. Untuk keperluan simulasi pendugaan besar peluang terjadi kebakaran bulan September dan Oktober setiap tahun dari data tinggi hujan Juli-Agustus dan Agustus-September, nilai error tinggi hujan dua bulanan diduga berdasarkan persamaan hubungan antara nilai koefisien keragaman (CV) dan rata-rata tinggi hujan (Gambar 6-4). Hasil analisis menunjukkan bahwa tahun yang nilai peluang terjadi kebakaran melewati nilai kritis (20%) ialah 2006, 2009 dan 2011 (Gambar 6-5).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

PEMBAHASAN ... (3) RMSE = 7 kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan model dapat dilihat dari beberapa parameter, antara lain : Koefisien korelasi Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS

ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS ESTIMASI UNSUR-UNSUR CUACA UNTUK MENDUKUNG SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DENGAN DATA MODIS M. Rokhis Khomarudin 1, Orta Roswintiarti 1, dan Arum Tjahjaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR. Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR. Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK ANALISIS POTENSI BANJIR Indah Prasasti*, Parwati*, M. Rokhis Khomarudin* Pusfatja, LAPAN Datangnya musim penghujan tidak hanya menjadikan berkah bagi sebagian orang,

Lebih terperinci

INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR

INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS DI KABUPATEN SAMOSIR Oleh Perdamean Abadi. P 061201018 Manajemen Hutan DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN MENTERI

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017 Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI ANALISIS REGRESI TERPOTONG DENGAN BEBERAPA NILAI AMATAN NOL NURHAFNI SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip April 2017

Jurnal Geodesi Undip April 2017 ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PARAMETER SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN (SPBK) DENGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN UNTUK MENENTUKAN NILAI AMBANG BATAS KEBAKARAN Nur Itsnaini, Bandi Sasmito,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN KODE-KODE SPBK (SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN) DAN HOTSPOT DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH

ANALISIS HUBUNGAN KODE-KODE SPBK (SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN) DAN HOTSPOT DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 2 No. 2 (Desember 212): 91-11 ANALISIS HUBUNGAN KODE-KODE SPBK (SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN) DAN HOTSPOT DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia memiliki potensi rawan akan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam. Bencana dapat menimbulkan terancamnya keselamatan jiwa,

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PADA MUSIM KEMARAU Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PADA MUSIM KEMARAU Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN ANALISIS POTENSI KEKERINGAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PADA MUSIM KEMARAU 2015 Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN PENDAHULUAN Musim kemarau identik dengan kondisi berkurangnya curah hujan. Jika

Lebih terperinci

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 12 Juni 2014 RUANG LINGKUP 1. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE

MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE MODEL PENDUGA POTENSI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN HUJAN TROPIS MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE (Studi Kasus di Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Bungo) URIP AZHARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun

Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun JURNAL 130 Bambang SILVIKULTUR Hero Saharjo TROPIKA et al. J.Silvikultur Tropika Vol. 04 No. 3 Desember 2013, Hal. 130 135 ISSN: 2086-8227 Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

KLIMATOLOGI TERAPAN. Ketua Program Studi: Tania June. Staf Pengajar:

KLIMATOLOGI TERAPAN. Ketua Program Studi: Tania June. Staf Pengajar: Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB KLIMATOLOGI TERAPAN Ketua Program Studi: Tania June Staf Pengajar: Ahmad Bey Irsal Las Akhmad Faqih Rahmat Hidayat Bagus P. Purwanto Rini

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBUKAAN LAHAN DAN PEKARANGAN BAGI MASYARAKAT DI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP

PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1  ( ) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Informasi ramalan curah hujan sangat berguna bagi petani dalam mengantisipasi kemungkinan kejadian-kejadian ekstrim (kekeringan akibat El- Nino dan kebanjiran akibat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE 2005 2013 Herin Hutri Istyarini 1), Sri Cahyo Wahyono 1), Ninis

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 06 No. 2, Agustus 2015, Hal 132-138 ISSN: 2086-8227 PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 OUTLINE I. PENDAHULUAN II. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN: anggaran atau

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci