BAB II PENGATURAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS COGENS) DALAM HUKUM INTERNASIONAL
|
|
- Shinta Kurnia
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II PENGATURAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS COGENS) DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Batasan Pengertian Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens) Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, pengertian jus cogens terdapat dalam Bagian V yang mengatur perihal pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Pada rumusan Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut:..a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as norm from modified only by a subsequent norm of general international law having the same character. Maksudnya adalah sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Sebagaimana kita ketahui bahwa rumusan naskah Konvensi Wina 1969 ini merupakan produk hasil kerja selama dua puluh tahun Panitia Hukum Internasional, yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 174/II/1947/ yang beranggotakan para ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan berbagai sistem hukum. Berkenaan dengan jus cogens, Panitia Hukum Internasional 21 menyatakan bahwa: 21 Syahmin A.K. SH, 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi wina Bandung: Armico, hal. 177.
2 The emergence of rules having to character of jus cogens is comparativelu recent, while international law is in process of rapid development.the right course to provide in general terms that treaty is void if it conflict with a rule of jus cogens and to leave the full content of this rule to be worked out in state practice and the yurisprudence of international tribunal. Dari pandangan Panitia Hukum Internasional tersebut dapat ditarik beberapa hal yang menyangkut jus cogens ini, yakni jus cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional umum yang dapat ditafsirkan sebagai public policy dalam pengertian hukum nasional. 1. Suy Sudargo Gautama 22 menjelaskan tentang public policy ini sebagai rem darurat yang dapat dipakai terhadap suatu ketentuan hukum asing (yang sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum positif suatu Negara) yang dapat dikategorikan merupakan suatu pelanggaran yang sangat berat terhadap sendisendi suatu hukum nasional. Sendi-sendi asasi ini dapat dianalogikan sebagai norma-norma dasar dari jus cogens. Mengenai apa yang merupakan ketertiban umum sangat sukar dikemukakan suatu perumusan. Selanjutnya untuk dapat memberikan gambaran dan perbandingan pendapat di atas, maka akan dikutip beberapa pendapat para ahli tentang jus cogens sebagai berikut: 23, memberikan batasan terhadap jus cogens sebagai berikut: the body of those general rules of law whose non observance may effect the very essence of the legal system to which they belong to such an extent that the subject of law may not, under paid of absolute nullity defart from them in virtue of particular agreements 22 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai. Bandung: PT. Alumni. Hal Ibid, hal 53.
3 Dari defenisi Suy ini dapat dilihat bahwa konsep jus cogens sangat umum dikenal bukan hanya dalam sistem hukum perdata, tetapi juga dalam sistem hukum internasional publik. 2. Lord Mc Nair 24 dalam hal ini memberikan komentarnya walaupun tidak menggunakan istilah jus cogens, ia menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kategori hukum yang lebih tinggi dan ketentuan-ketentuan mana tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh Negara-negara yang membuat suatu perjanjian. Ia pun menegaskan bahwa adalah lebih baik memberikan contoh-contoh (illustration) dari ketentuan jus cogens itu daripada memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan jus cogens. Lord Mc Nair memberi contoh ketentuanketentuan yang telah diterima baik secara tegas maupun secara diam-diam dalam hukum kebiasaan internasional dan aturan mana yang lebih penting untuk melindungi kepentingan umum masyarakat internasional. Misalnya ketentuan-ketentuan yang melarang digunakannya perang agresi, hukum mengenai genocide (larangan untuk membunuh massal), ketentuan-ketentuan mengenai perbudakan, pembajakan dan lain-lain tindakan kriminal terhadap kemanusiaan, juga ketentuan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri juga hak-hak asasi manusia. 3. Christos L. Rozakis 25 memberikan penegrtian jus cogens sebagai berikut: in all major systems subject are free, it is true, to contract out of rules of law in their interse relations, that freedom, however, is conditional. There 24 Syahmin A. K. Op.Cit. hal F. A. Whisnu Suteni., Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. Bandung: Cv. Mandar Maju. Hal. 100.
4 are general rules of law which exclude the conclusion of particular contractual arrengenents conflicting with them by actually prohibiting derogating from their content and by threatening with invalidity any attempt of violation of that prohibition. These rules are usually called jus cogens. Dari pengertian ini ditegaskan bahwa meskipun Negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur tingkah laku mereka sendiri, namun kebebasan itu ada batasnya. Terdapat kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara. Kaidah hukum yang mengancam dengan invaliditas setiap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh Negara-negara yang bertentangan dengannya. Kaidah hukum ini disebut jus cogens. Masyarakat internasional membutuhkan suatu kaidah atau norma yang membatasi kehendak Negara, dan menurut Lord McNair s kaidah tersebut ada dalam masyarakat internasional, bahkan dalam setiap masyarakat yang beradab. Hal ini dikemukakannya sebagai berikut 26 : It is difficult to imagine any society, whether of individuals or of states, whose law sets no limit whatever to freedom of contract. In every civilized community there are some rules of law ad some principles of morality which individuals are not permitted by law to ignore or to modify by their agreements. The maxim modus et convention vincint legem does not apply to imperative provisions of the law or of public policy. Dalam pendapat Lord McNair s di atas dikemukakan adanya imperative provision (ketentuan memaksa); dalam latar internasional tentu saja yang dimaksudkan oleh Lord McNair s adalah jus cogens. Karena jus cogens adalah norma yang imperatif atau memaksa. Maksudnya jus cogens mengikat para pembentuk hukum internasional dengan memaksakan normanya. Sifat jus cogens ini berbeda dengan norma yang disebut jus dispositivum, yang berarti mengatur, 26 Ibid., hal. 101.
5 karena norma yang terakhir ini hanya bersifat mengatur, sehingga dapat disimpangi. Dalam tulisan T.O. Elias hal ini digambarkan sebagai berikut 27 : Except where they apply, or any similar principle is applicable in other international organizations, the jus dispositivum consisting of the treaty stipulation agreed between the parties thereto is not generally rregarded as being governed by eny jus cogens consisting of the principles of law or policy which are binding on the negotiators of such treaties or can be ignore by them only at the risk of the invalidity of their agreement. There have been isolated judicial dicta suggesting the existence of an international public order which the provisions of treaties must respect. Pengertian jus cogens di atas menunjukkan karakteristik tertentu dari kaidah atau norma hukum, atau pada jenis kaidah hukum tertentu. Karena itu dispositivum dapat disimpulkan adanya dua jenis kaidah hukum, yaitu jus cogens dan jus dispositivum. Jadi pengertian jus cogens tidak menunjuk pada bentuk hukum. Sedangkan bentuk hukum dari jus cogens sendiri tergantung pada sumber-sumber hukum internasional formal dimana ia ditemukan. Dengan perkataan lain jus cogens dapat merupakan kaidah perjanjian internasional, kaidah hukum kebiasaan internasional, atau bentuk-bentuk hukum international lainnya; sehingga pembahasan jus cogens otomatis juga merupakan pembahasan mengenai perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Akhehurst 28 mengemukakan bahwa suatu aturan dalam hukum internasional tidak dapat menjadi jus cogens apabila tidak diakui dan diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian, praktek Negara-negara yang berdasarkan local custom, derajatnya dapat naik apabila diterima oleh masyarakat internasional. 27 Ibid., hal Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Op. cit. hal. 170.
6 Jadi jus cogens yang dibahas dalam skripsi ini bukan jus cogens yang terdapat dalam hukum perjanjian, tetapi hukum kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sudah mulai diadopsi dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Schwarzenberger 29 mengemukakan tiga sifat universal dan tujuh asas fundamental dalam tubuh hukum internasional sebagai unsur-unsur dari norma jus cogens. Verdross mengemukakan tiga ciri aturan yang dapat menjadi jus cogens hukum internasional, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul karena adanya kepentingan bersama dalam masyarakat internasional, timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan harus sesuai atau selaras dengan Piagam PBB. B. Fungsi Jus Cogens Secara konseptual, jus cogens memiliki tiga fungsi, yaitu 30 : 1. Sebagai pembatasan atas kehendak bebas Negara; 2. Sebagai pengakuan atas pranata ilegalitas obyektif; 3. Sebagai pembentuk sistem hukum internasional vertikal. Fungsi pertama muncul berdasarkan pemikiran bahwa Negara-negara dalam hubungsn internasional selalu berpegangan pada ideologi dan kepentingan nasional mereka yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan pertentangan yang menjurus pada pelanggaran hukum internasional. Namun walaupun melakukan pelanggaran hukum, Negara dapat menjustifikasi tindakan mereka, yaitu dengan membentuk ketentuan hukum yang membenarkan tindakan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena Negara mempunyai kebebasan 29 Ibid., hal Whisnu Suteni,. Op. cit. hal. 102.
7 untuk membentuk hukum. Disamping itu Negara juga mempunyai kebebasan untuk mengakui atau tidak mengakui suatu ketentuan hukum, sehingga kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan dalam hukum internasional boleh tidak ditaati oleh suatu Negara, apabila Negara tersebut memang tidak menyetujui ketentuan yang dimaksud. Maka dalam masyarakat internasional dubutuhkan hukum yang membatasi kehendak bebas Negara, agar Negara-negara tidak membentuk hukum yang bertentangan dengan keadilan dan ketertiban internasional, dan mengharuskan mentaati hukum tersebut. Hukum itu bersifat memaksa, yang walaupun pada awalnya dibentuk oleh Negara-negara, tetapi kemudian hukum itu membatasi kehendak bebas Negara. Sebagai konsekuensi fungsi di atas dan sesuai dengan sifatnya yang tidak boleh dikesampingkan, maka apabila terdapat Negara-negara yang bertindak secara unilateral atau membentuk hukum yang tidak sesuai dengan hukum yang memaksa tersebut (jus cogens), maka tindakan itu tidak sah berdasarkan hukum (illegal). Ketidaksahan tersebut adalah ketidaksahan yang otomatis atau disebut ilegalitas obyektif. Brownlie 31 memberikan beberapa contoh aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya perang agresi, pelanggaran terhadap hukum genocide, perdagangan perbudakan, pembajakan, kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak 31 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op. cit. hal. 170.
8 menentukan nasib sendiri, UN Convention Racial Discrimination dan UN Declaration on Permanent Soverreignity Over Natural Resources. Mengenai tindakan Negara yang tidak sesuai dengan jus cogens yang disebut ilegalitas obyektif berbeda dengan ilegalitas subyektif. Ilegalitas subyektif 32 yaitu suatu tindakan hukum dianggap ilegal setelah terdapat protes dari Negara yang terkena akibat tindakan ilegal tersebut dan memang terbukti. Sedangkan ilegalitas obyektif berarti pengakuan secara obyektif terhadap suatu yang ilegal. Maksudnya begitu suatu tindakan atau perjanjian yang melawan hukum terjadi, maka tindakan atau perjanjian tersebut otomatis dianggap ilegal, karenanya menjadi tidak sah atau batal. Dengan adanya kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara dan mengancam dengan ilegalitas obyektif disatu pihak, dan adanya kaidah hukum yang tidak memiliki karakteristik seperti diatas dilain pihak, menciptakan dua tipe kaidah hukum, yaitu norma superior dan norma inferior. Jus cogens sebagai kaidah memaksa merupakan kaidah hukum yang superior, dan jus dispositivum sebagai kaidah mengatur merupakan kaidah hukum yang inferior. Akibatnya kedua hukum tersebut membentuk hierarki hukum, yang menciptakan sistem hukum vertikal, disamping sistem hukum horizontal, dalam latar internasional. Dengan demikian hierarki dalam hukum internasional tidak ditentukan berdasarkan bentuk hukum, melainkan berdasarkan jenis atau tipe hukum. 32 Whisnu Suteni. Op. cit. hal. 103.
9 C. Syarat Pemanifestasian Jus Cogens Agar dapat diterapkan dalam masalah-masalah yang bertaraf internasional, maka jus cogens harus memenuhi syarat-syarat pemanisfestasian berikut ini, yaitu 33 : 1. Syarat Double Consent Tidak mudah mengidentifikasikan norma-norma yang termasuk jus cogens. Karena itu Komisi Hukum Internasional memutuskan tidak menyebutkan contoh-contoh jus cogens dalam merancang pasal 53 (tentang jus cogens) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun walaupun demikian, beberapa ahli telah mencoba memberikan contoh-contoh atau batasan-batasan jus cogens; seperti misalnya Verdross berusaha memberikan patokan-patokan umum yang menunjukkan tiga tipe jus cogens, yakni 34 : a. Kaidah-kaidah yang menyangkut kepentingan bersama masyarakat internasional secara keseluruhan; b. Kaidah-kaidah yang dibentuk demi tujuan-tujuan kemanusiaan; c. Kaidah-kaidah yang ditempatkan oleh piagam PBB melawan perjanjianperjanjian atau penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional. Sedangkan L. Rozakis langsung memberikan contoh konkret dari jus cogens, yaitu: a. Larangan penggunaan kekerasan; b. Prinsip kebebasan laut; c. Hak-hak asasi manusia dan hak penentuan nasib sendiri (self determination). 33 Ibid,. hal Ibid.
10 Syarat-syarat pemanifestasian jus cogens diatur oleh hukum perjanjian internasional, yaitu tersirat dalam pasal 53 Konvensi Wina Pasal 53 yang berjudul Trities conflicting with a ppremptory norm of general international law (jus cogens), menentukan sebagai berikut: A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a premptory norm of general international law. For the purposes of the present convention, a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character. Kalimat yang terpenting dalam pasal di atas adalah a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole.. Dalam kalimat ini jus cogens diartikan sebagai kaidah hukum internasional umum yang memaksa dan diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian kaidah hukum yang dianggap sebagai jus cogens harus disetujui terlebih dahulu oleh Negara-negara. Persetujuan itu meliputi, pertama, persetujuan atau pengakuan bahwa kaidah hukum tersebut adalah kaidah hukum internasional yang bersifat umum, yang biasanya secara implisit dianggap ada apabila memang kaidah hukum tersebut dibentuk oleh Negara-negara secara umum atau global, selain dapat pula pengakuan tersebut dianyatakan dalam perjanjian secara eksplisit. Kedua, adanya persetujuan bahwa kaidah hukum tersebut bersifat memaksa. Jadi jus cogens dimanifestasikan melalui persetujuan atas sifat umum dan sifat memaksa dari suatu kaidah hukum internasional; dan hal inilah yang disebut syarat double concent.
11 2. Syarat Universalitas Kalimat yang dianggap penting dalam pasal 53 menyebutkan pula bahwa jus cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Negara sebagai keseluruhan. Dengan demikian jus cogens harus merupakan norma yang diterima dan diakui secara universal atau oleh semua Negara tanpa keculi. Hal itu tentu saja membahayakan bagi proses penetapan jus cogens, karena apabila salah satu Negara tidak mengakui suatu kaidah sebagai jus cogens, maka kaidah tersebut akan gagal menjadi jus cogens. Maka dicarilah jalan keluar dengan mengganti pengertian universal menjadi near universal (hampir universal). Hal ini berarti bahwa suatu Negara akan terikat pada jus cogens walaupun ia tidak memberikan persetujuan. Dengan demikian persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan dengan suara mayoritas, dimana mayoritas yang dimaksud adalah near universal. Sebagai contoh adalah praktek Majelis Umum PBB dalam mengeluarkan suatu resolusi. Hal ini diartikan bahwa resolusi tersebut merupakan suatu pengakuan eksplisit dari pencerminan pendapat umum suatu masyarakat internasional secara keseluruhan. Oleh karena apabila ada suatu aturan dalam hukum internasional yang tidak diterima oleh masyarakat internasional atau diakui secara keseluruhan (near universal), maka aturan itu tidak dapat menjadi jus cogens. Menurut Schwarzenberger 35 untuk membentuk suatu jus cogens internasional maka suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat 35 Syahmin A.K., Op.cit., halaman 180.
12 yang universal dan asas-asas fundamental. Sifat-sifat yang dimaksud haruslah mempunyai arti penting luar biasa (exceptionally significant) dalam hukum internasional disamping mempunyai arti penting luar biasa dibandingkan dengan asas-asas lainnya. Selain itu, asas tersebut merupakan bagian esensial dalam sistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari hukum internasional yan berlaku. Jika sifat-sifat itu diterapkan maka akan timbul tujuh asas fundamental dalam tubuh hukum internasional, yakni 36 : 1. asas kedaulatan; 2. asas pengakuan; 3. asas permufakatan; 4. asas itikad baik; 5. asas hak membela diri; 6. asas tanggung jawab internasional; 7. asas kebebasan laut lepas. Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut (inalienable) karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap Negara apabila berkeinginan untuk tetap exist dalam pergaulan masyarakat internasional, kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus tetap melekat pada Negara. Sebagaimana dikatakan Jean Bodin, sarjana pertama yang menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara, bahwa sebagai sifat khas dari Negara yang berdaulat adalah kekuasaan yang mutlak dan abadi dari Negara. 36 Loc. Cit.
13 Pengakuan sebagai asas kedua dinyatakan terhadap pembatasan penggunaan kekerasan senjata dan hak membela diri dapat diperluas dengan adanya suatu larangan terhadap hak untuk mengakui perubahan-perubahan wilayah yang bertentangan dengan tujuan diperkenankannya kekerasan senjata. Asas permufakatan dan itikad baik adalah sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 2 Piagam PBB. Hal ini berarti bahwa setiap anggota PBB tidak dapat mengubah suautu resolusi yang telah dicetuskan dengan cara mengambil suatu tindakan tertentu terhadap resolusi tersebut dengan menggunakan kebebasan sedemikian rupa, dan karenanya harus menerimanya sebagai kewajiban yang telah dimufakatinya, yang tidak dapat dilanggar dengan kehendak sendiri. Hak membela diri sebagai asas fundamental dalam tubuh hukum internasional telah mendapat tempat pengaturannya yang kuat pada Piagam PBB yang terletak pada pasal 51, sebagai suatu hak yang dipunyai suatu Negara untuk membela diri apabila terjadi suatu serangan bersenjata terhadapnya. Hak membela diri ini dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara bersama-sama. Tanggung jawab internasional dapat dilukiskan sebagai adanya penerimaan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946 terhadap prinsip-prinsip yang merupakan tanggung jawab masyarakat internasioanal. Kemudian yang terakhir adalah mengenai prinsip kebebasan di laut lepas yang diatur dalam Bagian VII, bab I Hukum Laut III (UNCLOS) khususnya dalam pasal 87 hingga pasal 115.
14 Ian Brownlie 37 memberikan contoh-contoh aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya: 1. Perang agresi; 2. Pelanggaran terhadap hukum genocide; 3. Perdagangan budak; 4. Pembajakan; 5. Kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan; 6. pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri. Menurut seorang penulis terkenal 38, kaidah-kaidah jus cogens itu meliputi: kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian.kaidah-kaidah fundamental dari suatu kodrat manusia (larangan genocide, perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hakhak dasar manusia pada masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap pelanggaran terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan Negara-negara, kaidah-kaidah yang menjamin semua masyarakat internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam bersama (laut lepas, ruang angkasa, dan lain-lain). Pada hakekatnya kedaulatan dalam konsepsi hukum internasional modern tidaklah bersifat mutlak. Kedaulatan dalam persepsi juridis sifatnya terbatas, dibatasi oleh hukum alam, hukum internasional, dan bahkan aspek internal kedaulatan itu dibatasi oleh konstitusi Negara itu sendiri. Hal ini digambarkan secara tepat oleh Bierly 39 sebagai berikut: there were some laws that bind him, the divine law, the law that is common to all nations and also certain laws wich calls the leges imperii, the law of government. 37 Ian Brownlie Principles of Public International Law., Oxford University Press. Hal J.G. Starke Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1. Jakarta: Sinar Grafika. Hal Bierly The Law Of Nation. London: Oxford Clarendon Press. Hal 9.
15 Adalah sangat tepat pernyataan Bierly itu bahwa salah satu instrument pembatas kedaulatan adalah the law that is common to all nations, apalagi bila didalamnya terkandung kaidah-kaidah hukum internasional yang universal. Kaidah-kaidah mana yang sangat penting karena mempunyai fungsi pokok mengatur masyarakat internasional teerutama dalam hubungan antar Negara dengan Negara. Kaidah hukum internasional ini juga disebut oleh J. Morghentau sebagai suatu kaidah internasional yang diperlukan atau jus necessarium dari sistem Negara modern. Kaidah mana yang mengikat semua Negara tanpa memperdulikan kesediaan mereka. Namun in tegaskan pula bahwa kekuatan mengikat tersebut tidak berdampak terhadap kedaulatan masing-masing bangsa. Malahan kekuatan mengikat tersebut memungkinkan kedaulatan sebagai konsep hukum. Sebab tanpa adanya saling menghormati yurisdiksi masing-masing bangsa dan tanpa pelaksanaan hukum saling menghormati itu, maka hukum internasional dan system Negara tidak mungkin ada. Peranan jus cogens juga digambarkan oleh David H. Ott 40 sebagai berikut:..states are completly free to establish whatever customary law they like whitin their own region in the past when positivism was the dominant view and other fundamental elements of international law were not in place the answer probably yes. But there is strong argument to be made today that what is called Jus Cogens has altered the position. Maksudnya Negara-negara dahulunya mempunyai kebebasan mutlak menetapkan kaidah aturan hukum apa yang berlaku bagi tatanan perhubungan di 40 David H. Ott Public International Law In The Modern World. London: Pittman Publishing. Hal 18.
16 wilayah mereka, karena tidak adanya suatu ketentuan yang mendasar dari hukum internasional tentang hal tersebut. Namun hal tersebut dewasa ini telah dibatasi oleh apa yang disebut sebagai Jus Cogens dan telah mengganti posisi aturan yang lama, sebagai kaidah hukum internasional universal yang mengatur hubungan masyarakat internasional, mengikat dan harus ditaati secara keseluruhan. D. Self Determination Sebagai Implementasi Jus Cogens Pada penjelasan-penjelasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai jus cogens dan pendapat para ahli mengenai norma dasar hukum internasional tersebut. Bahwa hal yang sangat mendasar adalah bahwa norma tersebut harus diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Kemudian telah diuraikan pula pendapat ahli hukum internasional mengenai aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens dan contoh-contoh jus cogens. Dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai self determination sebagai implementasi dari jus cogens. Bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri telah diterima secara keseluruhan oleh masyarakat internasional dan telah dituangkan dalam beberapa instrument internasional. Hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat dan kesatuan-kesatuan yang belum merdeka diakui secara tegas oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa dalam resolusi tentang Penentuan Nasib Sendiri (Resolution on Self- Determination) tanggal 12 Desember 1958, dan dalam Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat jajahan (Declaration on The Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples) pada tanggal 14 Desember Hak tersebut telah diuraikan secara
17 rinci di bawah judul Prinsip Persamaan Hak dan Penentuan Nasib Sendiri Rakyat, dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan-Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara-negara Sesuai dengan Charter PBB (Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Co-operation Among States In Accordance With the United Nation Charter), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun Pada taggal 10 November 1975, Majelis Umum Mengeluarkan sebuah resolusi yang menegaskan kembali pentingnya realisasi universal atas hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, terhadap kedaulatan nasional dan integritas wilayah, dan mempercepat pemberian kemerdekaan kepada nengeri-negeri dan rakyatrakyat terjajah sebagai kewajiban untuk dinikmatinya hak-hak manusia. Pada tanggal 16 Desember 1966 secara bulat disetujui Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Covenant on Civil and Political Rights, keduanya terbuka untuk ditanda tangani tanggal 15 Desember 1967, dalam kedua konvensi itu diakui hak-hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Jus cogens termanifestasi dalam hukum kebiasaan internasional juga melalui konsensus secara global, dalam arti near universal, yang menghasilkan hukum kebiasaan internasional umum. Dalam pembentukan hukum kebiasaan intetrnasional sebagai jus cogens, opinio juris yang terbentuk disebut opinio juris cogentis, yang berarti keyakinan yang dirasakan Negara-negara bahwa bentuk tingkah laku tertentu wajib dilakukan atau dilarang dilakukan terhadap setiap subjek hukum.
18 Proses pembentukan hukum kebiasaan internasional sebagai jus cogens mencakup dua unsur yang harus terpenuhi, yaitu unsur material (kebiasaan) dan unsure psikologis (opinio juris) sebagai unsur konsensual 41. Dalam pembentukan hukum kebiasaan internasional sebagai jus cogens dimungkinkan hanya terdapat satu unsur yang terpenuhi, yaitu opinion juris cogentis. Artinya, apabila nengaranegara secara universal mempunyai opinio juris cogentis maka otomatis tlah terbentuk hukum kebiasaan internasional. Hal ini dimungkinkan Karena Negaranegara menyetujui bahwa bentuk tingkah laku tertentu dilarang atau diwajibkan dilakukan terhadap setiap subjek hukum, sehingga apa yang disetujui tersebut berlaku memaksa. Jadi walaupun belum ada praktek, diantara Negara-negara dapat tercipta hukum kebiasaan internasional; sedangkan praktek atau kebiasaan internasional itu diandaikan atau dianggap ada karena sudah dapat dipastikan Negara-negara harus bertindak berdasarkan opinio juris cogentisnya terhadap subjek hukum. Munculnya opinion juris cogentis, sebagai contoh dapat dibuktikan melalui diterimanya yurisdiksi universal oleh Negara-negara. Yurisdiksi universal adalah kekuasaan yang diberikan kepada setiap Negara, dalam batas prinsip nebis in idem, untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan yang digolongkan sebagai hostis humani generic (musuh umat manusia) atau disebut juga crime contra humanum genus, tanpa memperhatikan kewarganegaraan pelaku dan tempat kejahatan dilakukan. 41 Whisnu Suteni. Op. cit. hal. 111.
19 Karena opinion juris cogentis dimiliki oleh Negara-negara secara near universal, maka larangan melakukan crime contra humanum genus juga merupakan kaidah hukum internasional umum, dan sekaligus memenuhi syarat universalitas, sehingga larangan tersebut merupakan jus cogens. Contoh lain mengenai larangan perdagangan budak dan piracy, dan tidak ketinggalan juga mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak untuk menentukan nasib sendiri dianggap perlu mencakup sejumlah kewajiban yang mengikat Negara-negara, termasuk kewajiban untuk mendorong dilakukannya tiindakan merealisasikan hak menentukan nasib sendiri baik melalui kerjasama maupun tersendiri, dan menyerahkan kekuasaan berdaulat kepada rakyat yang berhak atas hak ini dan kewajiban untuk menghindari tindakan pemaksaan yang dinilai merintangi rakyat menikmati hak ini. Kewajibankewajiban ini telah ditegaskan atau tersirat dalam Deklarasi-deklarasi tersebut di atas yang disahkan oleh Majelis Umum, dan memperoleh dukungan dalam praktek pada decade terakhir ini. Pertama, telah terjadi emansipasi beberapa wilayah koloni atau wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Yang kedua, telah terasa pengaruh Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri-negeri dan Rakyat-rakyat terjajah yang telah disebut di atas. Dalam Deklarasi ini Majelis Umum menyatakan perlunya mempercepat dan mengakhiri dengan cepat tanpa syarat bentuk kolonialisme dan menifestasinya dan menyerukan pengambilan langkah-langkah segera guna menyerahkan semua kekuasaan kepada rakyat di wilayah-wilayah yang belum merdeka J.G. Starke. Op. cit. Hal. 158.
20 Kewajiban-kewajiban yang dianggap memaksa dalam Piagam PBB terutama diatur dalam pasal 2 Piagam, yang mengatur mengenai prinsip-prinsip organisasi. Prinsip-prinsip dalam pasal 2 juga merupakan kaidah hukum internasional umum, karena telah diakui secara near universal, sehingga prinsipprinsip ini adalah jus cogens, yang antara lain sebagai berikut: 1. Prinsip persamaan kedaulatan (ayat 1); 2. Prinsip itikad baik (ayat 2); 3. Prinsip penyelesaian perselisihan dengan cara damai (ayat 3); 4. Prinsip tidak mengancam dengan atau menggunakan kekerasan (ayat 4); 5. Prinsip non-intervensi urusan domestik Negara lain (ayat 7). Selain itu ketentuan lain dalam Piagam yang juga merupakan jus cogens adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri (pembukaan, pasal 1, 55, 56, 62, 68 dan 76). Masih ada beberapa kesulitan mengenai apa yang dinyatakan sebagai penentuan nasib sendiri (self- determination) baik dalam hal artinya maupun yang tercakup dalam istilah tersebut. Beberapa penulis menolak untuk menganggap hak ini sebagai suatu hak yang sifatnya mutlak, mereka menekankan bahwa hak ini harus dianggap ada dalam konteks rakyat atau kelompok yang menuntut pelaksanaan hak tersebut. Tampaknya hak untuk menentukan nasib sendiri berkonotasi kepada kebebasan untuk memilih dari rakyat yang belum merdeka melalui plebisit (plebiscite) atau metode-metode lainnya untuk memastikan kehendak rakyat. Persoalan lain yang cukup rumit adalah untuk menentukan masyarakat manusia mana yang merupakan rakyat yaitu mereka
21 yang memiliki hak menentukan nasib sendiri. Aspek-aspek seperti kesamaan wilayah, kesamaan bahasa dan kesamaan tujuan politik mungkin harus dipertimbangkan. Singkatnya, secara wajar haruslah ada suatu unit wilayah yang sama bagi rakyat pada siapa hak tersebut dianggap dapat diberikan. Di luar hal ini, ada persoalan mengenai sejauh manakah hak menentukan naasib sendiri tersebut akan memperbolehkan pemisahan bagian wilayah dari suatu wilayah. Suatu hak pemisahan diri yang tidak memenuhi syarat, yang timbul dari hak menentukan nasib sendiri, dapat menimbulkan kekacauan terhadap sistem-sistem kenegaraan 43. Penentuan nasib sendiri tidak perlu hanya menyangkut atau secara eksklusif merupakan hak untuk memilih status Negara otonom, tetapi juga pilihan untuk berintegrasi dengan Negara induk. E. Kedudukan Jus Cogens Sebagai Sumber Hukum Internasional Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai pengertian, fungsi dan syarat-syarat pemanifestasian jus cogens, maka semakin jelas terlihat bahwa jus cogens merupakan kaidah yang tidak dapat dikesampingkan. Semua jus dispositivum harus sesuai dengan jus cogens, karena apabila tidak sesuai akan batal demi hukum. Sanksi atau ancaman invaliditas ini juga mempengaruhi para pembentuk hukum, karena mereka dalam membentuk hukum baru tidak boleh melanggar jus cogens. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jus cogens turut menentukan atau mempengaruhi isi hukum, sehingga jus cogens merupakan 43 Ibid. hal 159.
22 sumber dalam menentukan isi hukum. Dengan perkataan lain jus cogens merupakan sumber hukum internasional dalam arti material. Sumber-sumber material hukum internasional dapat didefenisikan sebagai bahan-bahan aktual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu. Bahan-bahan ini dimasukkan dalam lima kategori atau bentuk utama, yaitu 44 : 1. Kebiasaan; 2. Traktat-traktat; 3. Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrase; 4. Karya-karya hukum; 5. Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lembagalembaga internasional. Sedangkan tata urutan sumber-sumber material yang dinyatakan dalam ayat 1 pasal 38 Statuta International Court of Justice adalah 45 : 1. Traktat-traktat dan konvensi-konvensi; 2. Kebiasaan; 3. Prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; 4. Keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum, sebagai alat tambahan bagi penetapan kaidah hukum. Dalam praktek, sumber hukum material ini harus dipergunakan sebagai pedoman pembentukan hukum. Dalam latar internasional keberadaan sumber hukum material memerlukan pembentukan atau persetujuan. Maksudnya bahwa 44 J.G. Starke. Op. cit. hal Ibid. hal. 65.
23 suatu ketentuan hukum dapat dianggap sebagai sumber hukum material hanya jika memang telah dikonsensuskan demikian. Selain sebagai sumber hukum internasional material, jus cogens dalam bentuk hukumnya, yaitu berupa perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, atau bentuk-bentuk hukum internasional lainnya, juga merupakan sumber hukum internasional formal. Sumber hukum formal dapat diartikan dalam dua macam pengertian, yaitu 46 : 1. Sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum; 2. Sumber hukum formal sebagai dasar mengikat. Salah satu arti sumber hukum formal adalah sebagai tempat menemukan hukum. Maksudnya berdasarkan sumber hukum formal ini suatu kaidah dapat dikenal sebagai kaidah hukum. Hukum itu sendiri agar dapat ditemukan atau dikenal harus memiliki bentuk. Dengan perkataan lain hukum baru dapat dapat ditemukan setelah hukum itu terbentuk. Sumber hukum formal dalam arti sebagai dasar mengikat merupakan lanjutan dari pengertian sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum, karena keterikatan Negara terhadap suatu kaidah hukum muncul setelah kaidah hukum itu terbentuk. Keterikatan yang dimaksud adalah keterikatan untuk mentaati dan/atau melaksanakan hukum yang telah dibentuk. Hal inilah yang disebut sebagai kekuatan mengikat secara formal. Kekuatan mengikat hukum 46 Whisnu Suteni. Op. cit. hal. 12.
Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional
Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh
Lebih terperinciPELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL
PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.
HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan
Lebih terperinciBAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara
Lebih terperinciMATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN
Lebih terperinciBAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan
99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu terdapat keinginan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI
Lebih terperinciDALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN
ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TRAKTAT PERDAMAIAN (PEACE TREATY) TAHUN 1947 ANTARA ITALIA DAN JERMAN BERDASARKAN PRINSIP JUS COGENS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Lebih terperinciATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM
ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh
Lebih terperinciHAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN
HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak
Lebih terperinciVIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969
VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
Lebih terperinciPERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian
Lebih terperinci- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik
BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL
BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan
Lebih terperinciH. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI
H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI HUKUM INTERNASIONAL INTERNATIONAL LAW : 1. PUBLIC INTERNATIONAL LAW ( UNITED NATIONS LAW, WORLD LAW, LAW of NATIONS) 2. PRIVATE INTERNATIONAL LAW 2 DEFINISI "The Law of Nations,
Lebih terperinciKebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,
Lebih terperinciA. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT
A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap warga negaranya dengan menggunakan sarana hukum atau berlandaskan pada hukum dan aturan
Lebih terperinciDiadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH
Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan
Lebih terperinciPENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK
MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,
Lebih terperinciMATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL
MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
Lebih terperinciBAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL
BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL A. Negara sebagai Subyek Hukuin Internasional 1. Pengertian Negara: - H Kelsen = Negara adalah identik
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciHUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1
HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan
Lebih terperinciKonvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid
Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara
Lebih terperinciKata Kunci: Ekspresi budaya tradisional, Tarian tradisional, Perlindungan Hukum
vi TINJAUAN YURIDIS TARIAN TRADISIONAL DALAM RANGKA EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL YANG DIGUNAKAN WARGA NEGARA ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA ABSTRAK Indonesia merupakan
Lebih terperinciJURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL
JURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL NPM : 100510366 Diajukan Oleh: ARCANJO JUVIANO SAVIO Program Studi Program Kekhususan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciDEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH
DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak
Lebih terperinciHak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015
Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi
Lebih terperinciKEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The
Lebih terperinciHak atas Informasi dalam Bingkai HAM
Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria
PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 adalah
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
Lebih terperinciINSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM
INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME
Lebih terperinciBAB VII. KEPRIBADIAN HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL (International Personality of International Organization)
BAB VII KEPRIBADIAN HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL (International Personality of International Organization) Suatu organisasi internasional yang dibentuk melalui suatu perjanjian dengan bentuk-bentuk instrumen
Lebih terperinciBAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional
BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase
Lebih terperinciLEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan
Lebih terperinciUNOFFICIAL TRANSLATION
UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sengketa Internasional Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan
Lebih terperinciPernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Mukadimah Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan
Lebih terperinciPERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA
PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA MUKADIMAH Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan
Lebih terperinciDEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA
DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciMAKALAH HAK SIPOL & HAK EKOSOB. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta
PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH HAK SIPOL & HAK EKOSOB Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta Ifdhal Kasim
Lebih terperinciUU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)
Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR
Lebih terperinciHAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM
HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.
Lebih terperinciDEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA. Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)
DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah
Lebih terperinciPENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL oleh Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Ne bis in idem principle
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL
Lebih terperinciSUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta
Lebih terperinciHAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
BAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Children), merupakan
Lebih terperinciDEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA
DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperinciPENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951
PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian
Lebih terperinciDAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL
DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL OLEH : GRIZELDA (13/354131/PHK/7794) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perwujudan atau
Lebih terperinciINSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA HAM MERUPAKAN BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL: (Pasal 38.1 Statuta Mahkamah Internasional) Konvensi internasional; Kebiasaan internasional
Lebih terperinciSarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional
Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciSTATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING
STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DALAM HUKUM PERJANJIAN INDONESIA Oleh Ketut Surya Darma I Made Sarjana A.A. Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional
19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.
Lebih terperinciMASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak
MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1 Abstrak Masalah kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan merupakan masalah yang asasi, dan menyangkut perlindungan
Lebih terperinciKEHARUSAN PENDAMPINGAN PENASEHAT HUKUM DALAM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
KEHARUSAN PENDAMPINGAN PENASEHAT HUKUM DALAM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Oleh I Dewa Agung Ayu Paramita Martha I Made Pujawan Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT
Lebih terperinciHAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA
HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-9 FH UNSRI LATAR HISTORIS Dirumuskan di bawah pengaruh konteks internasional ketika itu, yakni Perang Dingin; Dirumuskan dalam satu kovenan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPemahaman Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh. oleh Pusham UII bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dan Norwegian Centre for Human Rights.
Hkhk Hak-hak hkek Ekonomi, Sosial dan Budaya Ifdhal Kasim Disampaikan ik pada Pelatihan Hakim Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh Indonesia pada 5 May 2011, di Medan. Diselenggarakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (selanjutnya
Lebih terperinciKEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004
KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
Lebih terperinciPENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL 1 BATASAN SENGKETA INTERNASIONAL Elemen sengketa hukum internasional : a. mampu diselesaikan oleh aturan HI b. mempengaruhi kepentingan vital negara c. penerapan HI
Lebih terperinciPENGANTAR KONVENSI HAK ANAK
Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp
Lebih terperinciSejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan
Lebih terperinciPendidikan Kewarganegaraan
Modul ke: 09 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Hak Asasi Manusia : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id
Lebih terperinciVolume 12 Nomor 1 Maret 2015
Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN
Lebih terperinciMemutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin
Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAUM MINORITAS MUSLIM ATAS PERLAKUAN DISKRIMINATIF DI UNI EROPA
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAUM MINORITAS MUSLIM ATAS PERLAKUAN DISKRIMINATIF DI UNI EROPA Oleh : Miga Sari Ganda Kusuma Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS I Made Budi Arsika, SH., LLM Bagian Hukum
Lebih terperinci