KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA BOKY JEANNE TUASIKAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA BOKY JEANNE TUASIKAL"

Transkripsi

1 KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA BOKY JEANNE TUASIKAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Kandidat Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae Untuk Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2012 Boky Jeanne Tuasikal NRP B

4

5 ABSTRACT BOKY JEANNE TUASIKAL. Streptococcus agalactiae Irradiated Vaccine Candidate for Subclinical Mastitis Prevention in Ruminants. Under supervision of Fachriyan H. Pasaribu, Sri Estuningsih, I Wayan T. Wibawan. Subclinical mastitis (SCM) is a disease that often infects dairy cow, which then decline milk production. Streptococcus agalactiae is well known as a dominant causative agent of SCM. An experiment to obtain gamma irradiated candidates vaccine of S. agalactiae for the prevention of subclinical mastitis in ruminants have been conducted. S. agalactiae bacteria selected for the irradiated vaccine material was isolated from dairy cows of subclinically mastitis from dairy farm in Bogor and Garut area. The S. agalactiae used in this experiment was group B (GBS) type, which is uncapsulated and has haemaglutynine (Hn+) property. Based on dose irradiation orientation, 17 Gy dose was found to weaken the GBS bacteria to have 50% lethal dose (LD50), which therefore, utilized to manufacture live vaccine. Irradiated GBS surface protein was characterized by SDS-PAGE and resulted to find more than 75 kda of the protein s molecular weight, where minimun of antigenically substance is 10 kda. Infecting of the irradiated GBS using mice resulted in lack pathogenic properties of the bacteria, which is histophatology drawn that the mammary gland alveolly of mice grouped vaccinated with irradiated GBS and vaccinated then challenge, were remain producing milk, and significantly not different as compare to control animal. GBS vaccine irradiation did not cause inflammation of the mammary glands of mice tested, evidences showed that number of udder interstitial inflammatory cells around alveolly and gland epithelial cells in vaccinated mice groups were not significantly different as compare to the control group. Most interstitial inflammatory cells in challenged groups are found in mice that were challenged with virulent GBS and significantly different to be found more as compare to vaccine and control groups. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) to Ig-G serum showed levels of higher immune response in mice vaccinated group compare to control group. The overall experiment confirmed that attenuated GBS using gamma ray irradiation capable to induce immune response. This evidences were confirmed by an observation result in the application of GBS irradiated vaccine at Etawah dairy-goat, where immune responses are induced in those dairy-goats, and also were showed by the evidences found of higher concentration of Ig-G serum by ELISA in the vaccinated group than the control group. Milk production of vaccinated goat had no effect by vaccination. In summarize, irradiated SGB vaccine does not affect milk yield. Keywords: Subclinical mastitis, Group-B S. agalactiae, irradiated vaccine.

6

7 RINGKASAN BOKY JEANNE TUASIKAL. Kandidat Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia. Dibawah bimbingan Fachriyan H. Pasaribu, Sri Estuningsih, I Wayan T. Wibawan. Mastitis subklinis (MSK) adalah penyakit yang sering menyerang sapi perah sehingga menyebabkan turunnya produksi susu. Streptococcus agalactiae dikenal sebagai bakteri dominan yang umum menyebabkan MSK. Untuk mengantisipasi kasus ini, telah dilakukan suatu penelitian untuk memperoleh kandidat vaksin iradiasi gamma S. agalactiae untuk pencegahan MSK pada ruminansia. Sebanyak 65 ekor sapi perah yang terdiri dari 19 ekor berasal dari Kunak Kabupaten Bogor, serta 25 ekor dari Cisurupan dan 21 ekor dari Bayongbong Kabupaten Garut, telah diuji untuk MSK menggunakan reagen California Mastitis Test (CMT). Total sampel susu yang diambil dari tiap puting sapi adalah sebanyak 240 sampel yang berasal dari Kunak (66 sampel), Cisurupan (97 sampel) dan Bayongbong (77 sampel). Hasil uji CMT menunjukkan bahwa proporsi kejadian MSK berturut-turut dari daerah terinfeksi tertinggi ke daerah terendah yaitu Kunak (100%), Cisurupan (94,84%) dan Bayongbong (93,50%). Dari sampel susu kasus MSK tersebut diperoleh 57 genus Streptococcus sp. dari hasil uji Gram positif dan katalase negatif dengan persentase kehadiran dalam sampel dari Kunak (40,90%), Cisurupan (15,22%) dan Bayongbong (22,22%). Selanjutnya 34 isolat S. agalactiae diperoleh dengan uji keberadaan faktor Christie, Atkins, Munch-Petersen (CAMP) pada media agar darah. Hasil pengelompokkan dengan Streptococcal grouping kit diperoleh 14 isolat S. agalactiae group-b (SGB). Ekspresi fenotip protein permukaan bakteri tanpa kapsul diidentifikasi dengan penanaman SGB pada media soft agar (SA), sedangkan sifat adhesi SGB diuji dengan reaksi hemaglutinasi. Bakteri terpilih untuk bahan vaksin iradiasi ini diperoleh dari kasus mastitis subklinis di peternakan daerah Kunak Bogor, yaitu satu isolat S. agalactiae group-b (SGB) yang tidak berkapsul dan memiliki sifat Hemaglutinin (Hn+). Berdasarkan orientasi dosis iradiasi gamma dengan sumber 60 Co diketahui dosis sebesar 17 Gy untuk melemahkan bakteri SGB terpilih sampai taraf Lethal dose 50% (LD 50 ) untuk pembuatan vaksin hidup. Dosis iradiasi SGB tersebut diperoleh dari kurva Pengaruh Iradiasi terhadap % Viabilitas SGB Hn + dengan persamaan Y=95,414e -0,0371X ; R 2 =0,9979 (Y=%Viabilitas dan X= dosis iradiasi). Karakterisasi Protein permukaan SGB iradiasi ini dengan metode SDS-PAGE mempunyai berat molekul lebih dari 75 KDa yang berarti

8 bersifat antigenik karena BM lebih dari 10 Kda (syarat BM minimal suatu protein bersifat antigenik). Uji patogenitas dan imunitas pada hewan percobaan mencit betina jenis Balb-C, berumur 8 minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi kedalam 4 kelompok perlakuan, menjadi 3 ekor untuk tiap kelompok yaitu kelompok vaksin (V) diberi SGB Hn + iradiasi, kelompok vaksin dan tantang (VT) diberi vaksin iradiasi lalu ditantang dengan SGB Hn + ; kelompok tantang (T) diinfeksi dengan SGB Hn +, dan kelompok kontrol (K) tanpa vaksin dan tanpa tantang. Hasil perhitungan alveol produktif kelenjar mamae mencit adalah 70,9±13,2; 77,1±13,7; 72,5±17,8; 60,4±14,0, masing-masing untuk kelompok hewan coba K, V, VT, dan T. Hasil tersebut menunjukkan bahwa SGB iradiasi tidak patogen, terbukti dari gambaran histopatologi (HP) bahwa sel-sel pada alveol kelenjar mamae dari kelompok yang diberi vaksin SGB iradiasi (V) dan kelompok vaksin kemudian ditantang dengan SGB tanpa iradiasi (VT), masih memproduksi susu dan jumlah alveol kelenjar tidak berbeda nyata dibanding dengan kelompok kontrol (K) atau mencit normal; jumlah alveol kelenjar mamae yang paling sedikit berproduksi ada pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas tanpa divaksin (T). Hasil perhitungan sel epitel terdeskuamasi dari kelenjar mamae mencit K=8,8±7,2; V=8,1±0,7; VT=5,9±2,3; T=9,7±3,1 ; sedangkan perhitungan sel radang interstisial disekitar kelenjar mamae mencit K=23,0±1,1; V=11,8±6,4; VT=14,5±10,7; T=41±5,9. Hasil pemeriksaan kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa vaksin SGB iradiasi juga tidak menimbulkan peradangan pada kelenjar mamae mencit yang diuji, dibuktikan dari jumlah sel radang interstisial disekitar alveol mamae dan sel epitel kelenjar yang terdeskuamasi pada kelompok mencit yang divaksin (V) tidak berbeda nyata bahkan lebih sedikit dibanding dengan kelompok kontrol (K); sel radang interstisial terbanyak pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas (T), bahkan berbeda nyata (p<0,05) dibanding kelompok vaksin (V) dan kontrol (K). Hasil pemeriksaan Ig-G serum mencit dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menunjukkan tingkat respon imun yang lebih tinggi pada kelompok mencit yang divaksin dibandingkan kelompok kontrol, hal tersebut membuktikan bahwa SGB yang telah dilemahkan dengan iradiasi sinar gamma masih mampu menimbulkan respon imun. Aplikasi vaksin SGB iradiasi pada kambing perah peranakan Etawah-pun dapat menimbulkan respon imun yang baik, terbukti dari hasil pemeriksaan serum dengan ELISA pada kelompok kambing yang divaksin mempunyai konsentrasi Ig-G lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Produksi susu kambing

9 perah kelompok vaksin tidak mengalami penurunan sehingga dapat disimpulkan pula bahwa pemberian vaksin iradiasi SGB tidak mengganggu produksi susu. Kata-kata kunci: Mastitis subklinis, S. agalactiae group-b, vaksin iradiasi.

10

11 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

12

13 KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA BOKY JEANNE TUASIKAL B Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

14 Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tertutup: 1. Drh. Kamaluddin Zarkasie, Ph.D. 2. Dr. drh. Agustin Indrawati M.Biomed Ujian Terbuka: 1. Drh. Enuh Rahardjo Djusa, Ph.D. 2. Dr. drh. Koekoeh Santoso

15 Judul disertasi Nama NRP Program Studi : Kandidat Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia : Boky Jeanne Tuasikal : B : Mayor Ilmu Biomedis Hewan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu Ketua Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si., APVet Anggota Prof. Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Mayor Ilmu Biomedis Hewan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB drh. Agus Setiyono, MS. PhD.APVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 27 Juli 2012 Lulus Tanggal : 09 Agustus 2012

16

17 KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, atas berkat rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pascasarjana program doktor serta melaksanakan tugas penelitian dan penulisan disertasi ini. Pada kesempatan yang membahagiakan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang sangat dalam dan hormat, serta rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sejak penulis mempersiapkan judul disertasi, membuat proposal, melaksanakan penelitian, dan membuat laporan berupa disertasi ini. Penghargaan yang dalam, rasa hormat yang tinggi disertai rasa terima kasih yang tulus ditujukan pula kepada Ibu Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si.APVet. dan Bapak Prof. I Wayan T. Wibawan, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, nasihat, dan dorongan semangat yang telah diberikan dengan penuh tanggung jawab selama penulis belajar, mempersiapkan, dan melakukan penelitian di Institut Pertanian Bogor hingga penulisan disertasi ini selesai. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua Mayor Ilmu Biomedis Hewan, Bapak drh. Agus Setiyono, MS. PhD. APVet. dan Ketua Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bapak Prof. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan di Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Kepada yang terhormat Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya, Direktur Program Pascasarjana beserta staf, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan program doktor di IPB sejak tahun Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Bapak Dr. Hendig Winarno dan Kepala Bidang Pertanian, Bapak Dr. Sobrizal atas ijin yang diberikan, serta Prof. Ris. Dr. Ir. Soeranto Human, APU sebagai Pembimbing Karyasiswa. Tak lupa terima kasih saya kepada para staf peneliti dan teknisi di Kelompok Kesehatan dan Reproduksi Ternak, Badan Tenaga Nuklir Nasional atas pengertian dan dorongan semangat

18 maupun bantuan secara moril dan materil yang telah diberikan kepada penulis. Demikian pula rasa terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bapak drh. Srihadi Agungpriyono, PhD, PAVet., Penanggung jawab Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Penanggung jawab Laboratorium Hewan Percobaan Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Penanggungjawab Laboratorium Mikrobiologi Medis Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk menggunakan fasilitas laboratorium selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua staf pengajar, para teknisi laboratorium di lingkungan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini. Penulis sampaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan kepada Deputi Bidang Dinamika Masyarakat selaku penanggungjawab Program Pascasarjana Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) yang telah memberikan beasiswa kepada karya siswa untuk melanjutkan Program Doktor di Pascasarjana IPB. Kepada ayahanda (alm) dan ibunda serta kakak dan adik-adik tercinta, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggitingginya atas doa restu, bimbingan, didikan, serta dorongan semangat sejak lahir hingga penulis mencapai jenjang pendidikan ini. Terima kasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta yang dengan setia, penuh kasih, sabar, dan penuh pengertian mendoakan, memberikan dorongan semangat, berkorban, serta mendampingi penulis sehingga penulis dapat menghargai waktu dan kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. Penulis menyadari, bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, oleh sebab itu dengan rendah hati, penulis mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan saran-saran yang bermanfaat demi kesempurnaan karya tulis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Agustus 2012 Penulis

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1963 di Jakarta, sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari ayah H. Umar Tuasikal (alm) dan ibu Hj. Syarifah Hadiyati. Penulis menikah dengan drh. Zainul Zakir pada tahun 1989 dan dikaruniai seorang putra, Muhammad Hafizh Dewantara, S.Ked. dan seorang putri, Hanifah Septianti. Setelah lulus SMA Negeri 2 Bandung pada tahun 1982, penulis melanjutkan pendidikan di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1983, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun Kemudian penulis mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan Program Magister pada bidang studi Sains Veteriner Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun Sejak tahun 1989 hingga sekarang, penulis adalah staf peneliti di Kelompok Kesehatan dan Reproduksi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada bidang Ilmu Biomedis Hewan di Sekolah Pascasarjana IPB. Selama studi S3 penulis mendapat bantuan beasiswa dari Program Pascasarjana Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KMNRT).

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xvi xvii xviii PENDAHULUAN 1 1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis 5 5. Manfaat Penelitian Kebaruan Ruang Lingkup Penelitian. 6 TINJAUAN PUSTAKA 7 1. Mastitis Patogenesa Mastitis Mastitis Subklinis Streptococcus agalactiae Sistem Imun Radiasi Vaksin Iradiasi Sinar Gamma BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Sampel Susu Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Tidak Langsung Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Langsung Identifikasi dan Isolasi S. agalactiae Pemeriksaan Morfologi Koloni Bakteri Pemeriksaan Mikroskopi 21

22 5.3. Uji Katalase Uji Christie, Atkins and Munch-Petersen (CAMP) Uji Serogrup S. agalactiae Ekspresi Fenotipe SGB in vitro Uji Hemaglutinasi Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma SGB untuk LD Karakterisasi Antigenik Permukaan SGB dengan SDS PAGE Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah Rancangan Penelitian 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel Susu Isolat SGB Terpilih sebagai Bahan Vaksin Iradiasi Mastitis Subklinis Orientasi Dosis Iradiasi SGB untuk LD Hasil Uji Patogenitas dan Imunitas pada Hewan Model Mencit Hasil Uji Respon Imun dan Produksi Susu pada Kambing Perah.. 51 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran.. 55 DAFTAR PUSTAKA 57 LAMPIRAN 65

23 xvi DAFTAR TABEL Halaman 1. Kejadian MSK pada Wilayah Cisurupan, Bayongbong dan KUNAK Jumlah Mikroba dalam Sampel Susu dari Uji Total Plate Count (TPC) Presentasi Kehadiran Streptococcus sp. pada Susu dengan Uji Katalase Jumlah Isolat S. agalactiae dengan uji CAMP Jumlah Isolat S. agalactiae dari Uji Grouping Kit Pola Pertumbuhan S. agalactiae pada Media SA, SSA dan THB Pengamatan persen viabilitas SGB akibat iradiasi sinar gamma pada berbagai dosis untuk LD Hasil perhitungan kelenjar mamae mencit pada empat kelompok perlakuan. 46

24

25 xvii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Phenomena Gunung es pada mastitis subklinis Hasil CMT memperlihatkan kekentalan yang terbentuk akibat pencampuran susu dengan reagen uji Tampilan koloni Streptococcus sp. pada media BAP Pola hemolisis Streptococcus sp. pada media BAP Tampilan mikroskopik Streptococcus sp. Gram positif Hasil uji CAMP positif dan negatif Bentuk koloni S. agalactiae pada media SA dan SSA Perhitungan Dosis Iradiasi gamma untuk melemahkan SGB sampai taraf LD Visualisasi pita protein SGB iradiasi 0 Gy dan 17 Gy pada BM kda Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Kontrol Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Vaksin Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Vaksin+Tantang Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Tantang Titer Ig-G kelompok mencit yang divaksin SGB iradiasi dibanding kelompok mencit kontrol Titer Ig-G kelompok vaksin SGB iradiasi kemudian ditantang dibandingkan dengan kelompok kontrol Konsentrasi Ig-G serum kambing yang telah divaksin dengan SGB iradiasi dibandingkan dengan kontrol Produksi susu kambing pada kelompok vaksin iradiasi SGB post-partus 52

26

27 xviii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Identifikasi S. agalactiae Grup-B Karakterisasi SGB tanpa kapsul, keberadaan Antigen Protein dan Hemaglutinin positif (Hn+) Pengamatan Pertumbuhan SGB Hn Prosedur Orientasi Dosis Iradiasi untuk Penentuan LD Iradiator Gamma Chamber dengan Sumber Isotop 60 Co Jadwal Perlakuan dan Parameter Penelitian pada Hewan Model Mencit Pembuatan Preparat Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Ekstraksi Antigen SGB untuk coating Ag pada ELISA ELISA untuk Titer Antibodi Ig-G. 76

28

29 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Usaha peternakan mempunyai potensi untuk dapat berkembang pesat di Indonesia, mengingat cukupnya ketersediaan pakan dan keragaman jenis ternak yang ada. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani bagi penduduk Indonesia adalah dengan mengembangkan peternakan sapi perah, yang telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda hingga saat ini (Subandriyo dan Adiarto 2009). Hal ini terlihat dengan meningkatnya populasi sapi perah dari tahun ke tahun, yaitu dari ekor pada tahun 2006 menjadi ekor pada tahun 2008, dan terus meningkat menjadi ekor pada tahun 2011 (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Kesadaran masyarakat yang meningkat tentang nilai gizi serta kebutuhan konsumsi akan protein hewani, khususnya susu juga turut mendukung berkembangnya usaha peternakan rakyat. Susu merupakan sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar mamae mamalia termasuk manusia, dan merupakan bahan makanan sempurna serta mempunyai nilai gizi yang tinggi. Bayi membutuhkan susu sebagai satu-satunya bahan makanan dalam beberapa bulan di awal kehidupannya. Hingga saat ini susu sapi masih dianggap sebagai sumber makanan utama yang dapat menggantikan air susu ibu (ASI). Susu sapi merupakan bahan makanan istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal yaitu mengandung banyak zat yang dibutuhkan oleh tubuh seperti lemak, protein terutama casein, laktosa, vitamin, mineral seperti kalsium, dan lain-lain (De Laval 2008, Mirdhayati dkk. 2008). Konsumsi susu penduduk Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 6,50 kg/ kapita/ tahun pada tahun 2004 menjadi 16,42 kg/ kapita/ tahun pada tahun Meningkatnya konsumsi susu tentu saja diikuti oleh peningkatan permintaan, tetapi pemenuhan permintaan susu dari produksi dalam negeri hanya dapat memasok 23% saja, dan selebihnya berasal dari substitusi impor (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi susu di Indonesia masih kurang.

30 2 Kendala yang sering menghambat keberhasilan suatu usaha peternakan adalah serangan penyakit. Salah satu penyakit penting yang dapat menurunkan produksi susu pada ternak sapi perah yaitu Mastitis yang dikenal juga sebagai penyakit radang kelenjar air susu (mamae). Penurunan produksi susu merupakan masalah bagi peternak sapi perah Indonesia yang umumnya hanya memelihara 3-4 ekor sapi tiap peternak. Sebagian besar peneliti setuju bahwa kerugian ekonomi akibat mastitis pada usaha sapi perah minimal sebanyak 70% yang diakibatkan oleh penurunan produksi susu dan dibuangnya susu yang berasal dari sapi mastitis (Bogni et al. 2011). Penyakit mastitis secara garis besar dibagi menjadi 2 tipe, pertama yaitu mastitis klinis yang menunjukkan gejala kesakitan pada mamae ternak maupun kerusakan pada susu, dan kedua adalah mastitis subklinis yang tidak menampakkan gejala peradangan pada mamae kecuali bila dilakukan pemeriksaan pada air susu dengan uji khusus contohnya California Mastitis Test (CMT) (Dirkeswan. 2001). Sebagaimana negara-negara lain, di Indonesia-pun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu mastitis subklinis (Supar 1997, Subronto 2003, Hashemi et al. 2011). Kasus mastitis terutama mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75% - 83% (Sudarwanto dkk. 2006). Mastitis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni cara pemerahan yang salah, sanitasi yang buruk, kandang yang kurang bersih dan lantai kandang yang tidak memenuhi persyaratan untuk sapi perah. Penyebaran penyakit ini dapat melalui pemerahan yang tidak mengindahkan kebersihan, alat pemerahan, kain pembersih puting dan pencemaran dari lingkungan. Kuman penyebab mastitis dari kandang yang kotor akan masuk ke dalam mamae melalui lubang dan kanal puting saat pemerahan atau ketika sapi duduk di lantai kandang. Kuman yang potensial menyebabkan mastitis adalah Streptococcus agalactiae, Streptococcus digalactiae, Steptococcus uberis dan Staphylococcus aures (Dirkeswan. 2001). Streptococcus agalactiae adalah salah satu agen utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. Hasil studi Estuningsih dkk. (2002) menyebutkan bahwa 83 isolat bakteri yang diisolasi dari 3 area peternakan sapi perah di pulau Jawa, seluruhnya teridentifikasi sebagai Streptococcus agalactiae. S. agalactiae memiliki nama lain yaitu Streptococcus

31 3 Grup- B (SGB). S. agalactiae lebih banyak dikenal di dalam dunia kedokteran hewan sedangkan SGB populer di kedokteran manusia. Diketahui pula bahwa S. agalactiae grup B (SGB) merupakan bakteri utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah dan merupakan parasit obligat pada mamae (Wahyuni dkk. 2006). S. agalactiae juga dilaporkan dapat menginfeksi anjing, babi, kelinci, kuda, dan merpati. Bakteri ini menyebabkan abortus dan servitis pada kuda dan babi, bahkan dapat menyerang ikan (Pasaribu et al. 1993, Evans et al. 2006). Berbagai macam antibiotik untuk mengatasi permasalahan mastitis telah banyak digunakan seperti penisilin, streptomisin, ampisilin, kloksasilin, dan lain sebagainya. Pengobatan mastitis dengan menggunakan antibiotik terutama ditujukan untuk membunuh bakteri penyebab mastitis, namun dengan banyaknya macam obat antibiotik yang dipergunakan dan cara pemberian dosis yang tidak terkontrol, maka dikhawatirkan menimbulkan permasalahan baru berupa resistensi kuman penyebab mastitis (Wu et al. 2007) dan terdapat residu obat pada susu yang dihasilkan. Hasil penelitian Sudarwanto dkk. (1992) menunjukkan 32,52% susu pasteurisasi dan 31,10% susu segar di wilayah Jakarta, Bogor dan Bandung mengandung residu antibiotik dalam jumlah yang cukup tinggi. Keberadaan residu antibiotik pada susu yang dikonsumsi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergis dan gangguan terhadap mikroflora saluran pencernaan manusia yang mengkonsumsi susu tersebut. Susu yang akan diekspor-pun diharuskan bebas dari residu antibiotik oleh negara pengimpor. Penggunaan dan pemilihan antibiotik yang tidak tepat, ditinjau dari aspek indikasi, dosis, waktu dimulainya dan lamanya terapi, serta penggunaan kombinasi antibiotik dapat mempercepat terjadinya resistensi bakteri. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri Gram posisif semakin sulit ditangani dengan antibiotik karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik (Wibawan 1998, Maricato et al. 2005). Peternak sudah mengetahui cara pencegahan penyakit mastitis, yaitu sistem pemeliharaan dan manajemen pemerahan yang baik, termasuk melakukan teat dipping pada sapi-sapi setelah pemerahan. Namun demikian kasus mastitis subklinis masih saja banyak terjadi di Indonesia. Keberadaan masalah resistensi bakteri

32 4 terhadap antibiotik dan residunya pada susu, serta masih banyaknya kejadian mastitis subklinis, maka menjadikan perlu untuk mencari alternatif lain dalam pencegahan penyakit ini, salah satunya dengan pembuatan vaksin. Pemanfaatan iradiasi dalam pembuatan vaksin dimaksudkan untuk melemahkan patogenitas S. agalactiae sebagai bakteri dominan penyebab mastitis, namun bakteri ini diharapkan masih dapat menimbulkan respon tanggap kebal sebagai bahan vaksin iradiasi. Sumber-sumber sinar gamma yang digunakan untuk iradiasi kandidat vaksin dihasilkan dari radioisotop 60 Co. Penggunaan sinar gamma memiliki keunggulan dibandingkan dengan teknik konvensional seperti pemanasan atau penggunaan zat kimia. Sinar gamma yang menembus tidak merusak dinding sel bakteri tempat protein antigenik sehingga mampu mempertahankan imunogenitasnya (Kochman 2006). Sel yang terpapar radiasi gamma akan kehilangan kemampuan replikasinya di dalam tubuh inang, namun tidak menghentikan aktivitas metaboliknya. Sel tetap mempunyai metabolik aktif, sehingga mampu menghasilkan senyawa imunogenik untuk menstimulasi respon imun protektif pada inang (Sanakkayala 2005). 2. Perumusan Masalah Berbagai aspek mengenai mastitis secara umum telah banyak diteliti tetapi belum ada cara pencegahan mastitis yang efektif diaplikasikan pada ternak sapi perah, sehingga kasus mastitis subklinis yang merugikan masih tetap terjadi di Indonesia. Penelitian ini mencoba turut berkontribusi dalam penyelesaian masalah tersebut dengan pembuatan bahan vaksin iradiasi dari bakteri terpilih S. agalactiae untuk pencegahan mastitis subklinis pada ternak ruminansia. 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kandidat vaksin guna pencegahan mastitis subklinis pada ruminansia dengan memanfaatkan teknik radiasi terhadap bakteri dominan penyebab mastitis subklinis S. agalactiae. Tujuan ini dicapai dengan cara:

33 5 1. Mengisolasi S. agalactiae sebagai bakteri terpilih dengan sifat-sifat atau karakter yang cocok untuk bahan vaksin iradiasi mastitis subklinis. 2. Orientasi dosis iradiasi sinar gamma untuk melemahkan S. agalactiae Group- B sampai taraf lethal dose 50% (LD 50 ). 3. Menguji pengaruh iradiasi SGB dengan mempelajari patogenitasnya pada mencit. 4. Menguji imunitas hewan coba mencit dan kambing perah setelah divaksin dengan SGB iradiasi. 4. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diperoleh isolat lokal S. agalactiae dari kasus mastitis subklinis sebagai bakteri terpilih untuk bahan vaksin iradiasi MSK. 2. Iradiasi sinar gamma dapat melemahkan bakteri S. agalactiae Group-B sampai taraf LD Kandidat vaksin iradiasi SGB tidak bersifat patogen pada hewan coba mencit namun menimbulkan kekebalan. 4. SGB iradiasi mampu menginduksi timbulnya respon imun pada hewan coba mencit dan kambing perah. 5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini dapat memperoleh kandidat vaksin SGB terpilih dengan karakter yang cocok sebagai bahan vaksin mastitis subklinis. 2. Teknik nuklir iradiasi sinar gamma dapat bermanfaat untuk melemahkan dan menghilangkan patogenitas SGB tetapi masih mampu menimbulkan respon imun pada hewan percobaan yang digunakan. 3. Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pencegahan penyakit mastitis subklinis pada ternak perah, sehingga dapat meningkatkan

34 6 produksi susu sebagai sumber protein hewani dalam mendukung ketahanan pangan di Indonesia. 6. Kebaruan Kebaruan dari penelitian dalam disertasi ini adalah aplikasi teknik nuklir untuk vaksin iradiasi S. agalactiae dalam pencegahan mastitis subklinis. Pemanfaatan iradiasi sinar gamma dimaksudkan untuk mengatenuasi bakteri S. agalactiae Group-B sebagai bakteri dominan penyebab mastitis subklinis, namun kandidat vaksin ini diharapkan masih dapat menimbulkan respon imun pada ternak perah. 7. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian terdiri dari empat tahap. Pertama dilakukan isolasi dan identifikasi isolat S. agalactiae yang termasuk ke dalam group-b (SGB) yang tidak berkapsul dan memiliki sifat Hemaglutinin (Hn+). Bakteri terpilih diperoleh dari sampel susu sapi perah yang mengalami mastitis subklinis dengan uji tapis CMT. Tahap kedua yaitu atenuasi SGB terpilih dengan teknik iradiasi sinar gamma dari sumber isotop Cobalt-60 ( 60 Co). Orientasi dosis iradiasi dilakukan untuk melemahkan bakteri SGB sampai taraf Lethal dose 50% (LD 50 ) dalam pembuatan vaksin hidup. Karakterisasi Protein permukaan SGB iradiasi ini menggunakan metode SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul (BM) yang masih bersifat antigenik pada kandidat vaksin iradiasi SGB. Tahap ketiga adalah uji patogenitas vaksin iradiasi SGB dan respon imun pada hewan coba mencit. Tahap keempat merupakan aplikasi kandidat vaksin iradiasi SGB pada kambing perah untuk uji respon imun dan pengaruhnya terhadap produksi susu.

35 7 TINJAUAN PUSTAKA 1.Mastitis Mastitis merupakan peradangan di dalam parenkim kelenjar mamae, yang dapat menurunkan produksi dan kualitas susu. Penyakit ini tersebar luas pada peternakan perah di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia, sehingga mastitis menjadi penyakit utama pada sapi perah dan sangat merugikan (Supar dan Ariyanti 2008, Rinaldi et al. 2010). Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari trauma mekanis pada kelenjar mamae atau puting susu, akibat mikroorganisme patogen, hingga kekurangan unsur nutrisi pada pakan ternak. Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh mikroorganisme patogen, diantaranya Streptococcus agalactiae, S. disgalactiae, S. uberis, S. zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas aeruginosa (Dirkeswan 2001). Berdasarkan perubahan patologi anatomi kelenjar mamae, mastitis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu mastitis klinis (MK) dan mastitis subklinis (MSK) (Hashemi et al ). Perubahan patologi mastitis klinis dapat jelas digambarkan dari perubahan patologi anatomis kelenjar mamae dan air susu. Kelenjar mamae membengkak edematus berisi cairan eksudat, disertai tanda-tanda peradangan lainnya (kemerahan, terasa panas, kesakitan dan penurunan fungsi). Perubahan penting yang terjadi di dalam susu mencakup perubahan warna, konsistensi dan penurunan jumlah produksi susu. Mastitis subklinis tidak menampakkan perubahan patologi anatomis, sehingga perlu pemeriksaan khusus. Diagnosa mastitis subklinis hingga sekarang dilakukan berdasarkan pada pemeriksaan sampel susu serta perubahan komposisi susu untuk mengenali tanda peradangannya (Malinowski et al. 2006, Mirdhayati dkk. 2008).

36 8 2. Patogenesa Mastitis Mastitis merupakan peradangan internal mamae yang sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (80% disebabkan oleh bakteri) terutama pada kasus mastitis subklinis (Lukman et al. 2009). Menurut Jayarao (2006) ada 3 faktor utama yang berperan dalam terjadinya mastitis yaitu kondisi hewan/ternak, kondisi lingkungan dan agen penyebab. Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukositleukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel mamae. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. Hal ini kembali pada daya tahan tubuh ternak. Ternak yang dipengaruhi kondisi lingkungan yang buruk dan berkembangnya mikroorganisme akan memudahkan terjadinya mastitis. Penularan mastitis dari mamae yang terinfeksi ke mamae yang sehat dapat terjadi melalui peralatan pemerahan yang kotor, higiene personal yang buruk dari pemerah dan urutan pemerahan yang salah (Jayarao, 2006). Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering kandang merupakan masa awal kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada mamae. Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mamae atau mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Namun tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter masih terbuka beberapa saat, sedangkan sel darah putih, antibodi serta enzim juga habis karena ikut terperah.

37 9 Disamping faktor-faktor mikroorganisme yang terdiri dari berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang mamae pada sapi perah. Faktor predisposisi radang mamae dilihat dari segi ternak, meliputi : bentuk mamae, misalnya mamae yang sangat menggantung, atau mamae dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto 2003). Demikian pula bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al. (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang mengalami lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri belakang dan kanan depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan depan mencapai 30,06% (Sori et al. 2005). Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendur memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto 2003). Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang mamae meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi yang buruk, mastitis mencapai 87,5%, sedangkan ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al. 2005). 3. Mastitis Subklinis Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF) adalah mastitis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik (> /ml

38 10 susu) dan ditemukan bakteri patogen pada susu yang berasal dari kwartir dalam masa laktasi normal. Kejadian mastitis subklinis diperkirakan kali kejadian mastitis klinis. Hal ini sering digambarkan sebagai Fenomena Gunung Es atau Iceberg Phenomena (Lukman et al. 2009). Gambar 1. Phenomena Gunung es pada mastitis subklinis (Hurley and Morrin 2000). Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (97-98%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto, 1999). Pada kejadian MSK tersebut S.agalactiae merupakan agen penyebab yang sering ditemukan (Pasaribu et al. 1994). Hal yang sama diiungkapkan Supar (1997) yang telah melakukan penelitian intensif pada beberapa tempat peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diketahui prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37% sampai 67%, sedangkan mastitis klinis lebih rendah yaitu 5% sampai 30%. Survei yang dilakukan oleh Supar dan Ariyanti (2008) pada mastitis subklinis juga didominasi oleh bakteri S. agalactiae yaitu sebanyak 60,6%. Diketahui pula bahwa S. agalactiae Group B merupakan agen kontagius patogen yang menyebabkan mastitis subklinis pada sapi perah secara umum di dunia (Bogni et al. 2011).

39 11 4. Streptococcus agalactiae S. agalactiae merupakan jenis bakteri yang termasuk ke dalam famili Streptococcaceae dari ordo Lactobacillales. Bakteri ini berbentuk bulat (coccus) dan tersusun seperti rantai yang panjangnya bervariasi, diameter selnya sekitar 0,6-1,2 µm. Sifatnya Gram positif yang terlihat berwarna keunguan pada pewarnaan Gram, non motil, tidak membentuk spora, dan dapat membentuk kapsul. Sifat lainnya adalah katalase negatif, anaerob fakultatif, oksidase negatif, dapat memfermentasikan beberapa jenis karbohidrat namun tidak menghasilkan gas (Carter 1984, Quinn et al. 2006). Tahun 1896 Lehman dan Naumann mengklasifikasikan bakteri ini berdasarkan taksonomi sebagai berikut (Bruckner and Colonna 1997): Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus Spesies : S. agalactiae Biakan S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media agar darah terlihat membentuk koloni-koloni halus, basah, konveks, terang tembus, dan menghemolisis sel darah merah. Hemolisis yang ditimbulkan berupa β-hemolisis, dan beberapa tidak menghemolisis (Daignault 2003). Strain yang menghemolisis darah hanya mengasilkan zona hemolitik tidak lebih dari 1 mm pada agar darah, sedangkan yang tidak menghemolisis dapat menghasilkan pigmen bewarna kehijauan pada media agar darah. Secara umum Streptococcus sp memiliki antigen terstruktur pada permukaannya seperti kapsul, dinding sel, dan antigen protein. Keberadaan antigen polisakarida pada dinding sel dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian genus Streptococcus sp. kedalam grup-grup. Penentuan grup-grup tersebut berdasarkan

40 12 serologis dari antigen polisakarida yang ditemukan oleh Lancefield pada Terdapat sekitar 20 grup Streptococcus sp sampai saat ini yang dinamai sesuai abjad mulai dari A-V; S. agalactiae dikelompokan kedalam grup B oleh Lancefield. Pengelompokan ini didasari oleh substansi C polisakarida spesifik yang terdapat pada diding sel (Cowan 2003). Secara serologis Grup ini dikelompokan lagi kedalam serotipe-serotipe. Serotipe tersebut berdasarkan antigen polisakarida dan antigen protein yang dihasilkan. Beberapa serotipe tersebut terdiri dari 9 serotipe yang berbeda antara lain 1a, 1b, II, III, IV, V, VI, VII, VIII dari antigen polisakarida dan c, R dan X berdasarkan antigen proteinnya (Henrichsen et al. 1984). Wibawan dan Lammler (1991) menyatakan isolat S. agalactiae dapat memiliki serotipe dengan antigen poliskarida dalam bentuk kombinasi atau hanya berdiri sendiri tanpa antigen protein, misalnya Ia/c, II/X. Ada juga isolat yang belum bisa diklasifikasikan kedalam serotipe yang ada disebut sebagai nontypeable (NT). Antigen protein X dominan ditemukan pada S. agalactiae yang diisolasi dari sapi sedangkan antigen protein R lebih banyak ditemukan pada S. agalactiae yang berasal dari manusia. Kedua antigen ini erat hubungannya dengan patogenitas bakteri terhadap inangnya (Wibawan 1990). Wahyuni et al. (2006) menyimpulkan dari beberapa tempat di pulau jawa S. agalactiae yang berasal dari mamae yang menderita masititis subklinis ditemukan sebanyak 52% didominasi oleh S. agalactiae serotipe NT dan protein antigen yang muncul paling banyak adalah antigen protein X. Keberhasilan bakteri melakukan infeksi terhadap sel inangnya ditentukan oleh adanya faktor virulensi. Bakteri akan berpenetrasi dengan menggunakan faktor virulrensi untuk mempengaruhi targetnya. Faktor virulensi yang penting bagi bakteri antara lain adalah kapsul. Kapsul bakteri tersusun oleh asam hyaluronat seperti yang ditemukan pada struktur dasar jaringan ikat pada mamalia. Kapsul polisakarida sebagai antigen permukaan dan asam hyluronat sebagai produk ektraseluler akan meningkatan kemampuan virulensi bakteri (Hayati dan Karmil 2009). Terhambatnya kerja komplemen oleh kapsul S. agalactiae akan menghambat aktivitas fagositosis oleh makrofag sehingga tidak dapat menfagosit bakteri. Peranan kapsul juga sebagai antifagositik dan antigen yang tidak imunogenik.

41 13 Virulensi dari Streptococcus sp dipengaruhi oleh pemukaan sel, sekresi protein yang dihasilkan dan strukturnya yang secara langsung atau tidak langsung dapat menghambat fagositosis, terlibat dalam proses adhesi dan mengakibatkan pelepasan sitokin proinflamasi (Timoney and Kumar 2010). Streptococcus juga memiliki komponen nonstruktural seperti protein antigen. Protein tersebut dihasilkan selama masa perkembangbiakan dan membantu selama proses infeksi. Protein ini berupa enzim ekstraseluler hasil metabolisme seperti hemolisin, streptokinase, nuklease, protease, dan hyaluronidase. Hemaglutinin sebagai adhesin pada permukaan bakteri berperan mempengaruhi tingkat virulensi (Wahyuni dkk. 2005). Adhesi adalah kemampuan menempelnya bakteri pada permukaan mukosa yang bersifat irreversibel dan stabil. Kemampuan bakteri untuk menempel (adhesi) pada sel inang diperantarai oleh komponen adesin bakteri yang membantu perlekatan bakteri pada reseptor spesifik dari sel inang. Sifat hidrofobitas permukaan bakteri berperan dalam mekanisme perlekatan dengan sel inang. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah protein permukaan. Semakin hidrofobik permukaan sel maka akan semakin tinggi kemampuan adhesi pada sel inang (Lämmler et al. 1998). Derajat hidrofobitas permukaan S. agalactiae dapat ditentukan secara langsung dengan melihat pertumbuhan koloni pada media padat, cair dan agar lunak (soft agar). Koloni yang tumbuh dengan permukaan yang kasar pada media agar dan kompak pada agar lunak merupakan bakteri yang bersifat hidrofob, sedangkan bakteri yang tumbuh difus pada media agar lunak dan permukaan mukoid pada media padat menunjukan sifat yang hidrofil (Wibawan dan Lämmler 1992). Hasil kajian Wibawan et al. (1993) menyebutkan bahwa S. agalactiae yang memilki hemaglutinin mempunyai kamampuan adhesi yang lebih besar daripada yang tidak mempunyai hemaglutinin pada sel epitel mamae. Kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan mamae (Wibawan et al. 1998). Keberadaan protein hemaglutinin dengan kemampuan adhesi sel bakteri MSK pada sel epitel mamae mencit memiliki

42 14 keterkaitan, oleh karena itu ada peluang untuk pembuatan suatu produk pencegahan mastitis yang cukup besar (Dian dkk. 2010). 5.Sistem Imun Manusia dan hewan multiseluler memiliki suatu sistem imun yang melindungi dirinya terhadap unsur-unsur patogen yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun tubuh terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen, dan kemampuan dalam melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, thymus, sistem saluran nafas, saluran cerna, peredaran darah dan organ-organ lain. Bila antigen masuk ke dalam tubuh, maka dapat terjadi dua macam reaksi imun yang berlainan, yaitu imun humoral dan imun seluler (Baratawijaya dan Rengganis 2009). Dalam reaksi imun humoral terjadi sintesa dan masuknya antibodi berupa Imunoglobulin (Ig) ke dalam aliran darah dan cairan tubuh lainnya (antibodi humoral). Antibodi ini akan mengikat dan menetralisir antigen, misalnya toksin kuman atau dapat membungkus kuman untuk persiapan fagositosis. Bila kita menyuntikkan antigen misalnya vaksin ke tubuh hewan percobaan, maka setelah beberapa hari sampai seminggu dapat ditemukan antibodi di dalam darah. Sel utama dalam hal ini adalah Sel-B yang diproduksi oleh sumsum tulang. Reaksi imun seluler ditengahi oleh sel-sel limfosit dan tidak tergantung pada antibodi. Seri reaksi yang terlibat dalam jenis imunitas ini dikaitkan dengan reaksi-reaksi sel sasaran efektor yang terlibat, terutama yang berkaitan dengan penolakan tumor. Pada masing-masing keadaan ini, antigen berada intraseluler atau karena tempatnya tidak dapat dicapai, sehingga reaksi antigen-antibodi tampak secara relatif tidak efisien. Sel utama yang berperan dalam hal ini adalah Sel-T yang dihasilkan oleh Thymus. Pada masa-masa akhir kebuntingan hewan, antibodi dari darah dapat dikeluarkan dan masuk ke dalam kelenjar mamae berupa kolostrum susu. Imunoglobulin yang

43 15 paling banyak dalam kolostrum dari semua hewan piara adalah Ig G, yang meliputi 65-95% dari semua imunoglobulin yang ada. Sementara laktasi berkembang, kolostrum berubah menjadi susu, perbedaan terjadi diantara jenis hewan. Pada primata dan manusia, Ig A merupakan bagian terbanyak baik dalam kolostrum maupun susu. Pada ruminansia, Ig G1 merupakan imunoglobulin terbanyak baik dalam kolostrum maupun dalam susu (Tizard 1988). 6. Radiasi Radiasi merupakan energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau gelombang. Radiasi diklasifikasikan sebagai radiasi non pengion (energi rendah) atau pengion (energi tinggi). Jenis radiasi non pengion seperti sinar ultraviolet, cahaya tampak, radiasi inframerah, radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro. Radiasi pengion dari matahari (sinar kosmik), bahan radioaktif, dan mesin X-ray. Empat jenis utama dari radiasi pengion (1) alpha partikel. bermuatan positif terdiri dari dua neutron dan dua proton, relatif berat dan bergerak lambat dari emisi radioaktif lainnya, (2) partikel beta merupakan partikel bermuatan negatif terdiri dari elektron dan lebih ringan serta cepat dibandingkan partikel alpha, (3) sinar gamma adalah radiasi gelombang elektromagnetik pendek yang dipancarkan oleh peluruhan radioaktif yang dipancarkan oleh atom dengan kecepatan tinggi dan mempunyai penetrasi yang tinggi pula, dan (4) sinar X mempunyai energi lebih rendah dan kemampuan penetrasinya kurang daripada sinar gamma. Sinar X yang dipancarkan berasal dari proses luar inti, sementara sinar gamma berasal dari inti (Soeminto 1989). 7. Vaksin Iradiasi Sinar Gamma Sinar gamma berupa radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek yang dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti tidak stabil dan meluruh untuk mencapai bentuk stabil. DNA merupakan target selular yang mengatur hilangnya viabilitas setelah terpapar sinar gamma. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena sinar gamma akan mengalami kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek

44 16 langsung adalah terjadinya pemutusan ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek tidak langsung terjadi karena materi sel terbanyak adalah air yang apabila terkena sinar gamma akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebaslah yang akan menyebabkan kerusakan materi sel. Target utama bagian sel adalah DNA yang merupakan sumber informasi genetik sel. Perubahan genetik sel akan berakibat pada terganggunya kinerja atau kematian sel (Alatas 2007). Pemanfaatan sinar gamma umumnya digunakan untuk sterilisasi alat-alat medis dari cemaran bakteri (Trampuz et al. 2006), pengawetan makanan dan pengolahan jaringan allografts dan komponen darah, dan menghindarkan kebutuhan suhu tinggi yang dapat merusak suatu produk. Selain itu sinar gamma juga digunakan untuk membuat vaksin yang lebih efektif daripada pemanasan atau inaktivasi kimiawi. Penelitian penggunaan vaksin yang dilemahkan dengan memberikan paparan radiasi pengion terhadap suspensi mikroorganisme dilakukan pada metaserkaria iradiasi yang mampu mengurangi jumlah Fasciola hepatica pada anak sapi, penggunaan radiasi sinar X pada larva stadium kedua yang menetas dari telur cacing paru Dictyocaulus viviparus penyebab pneumoni verminosa (Tizard 1988). Penelitian vaksin iradiasi gamma untuk Venezuelan equine encephalitis (VEE) telah menginduksi dengan tinggi serum netralisasi dan antibodi hemaglutinininhibisi pada marmut dan kelinci. Percobaan vaksin iradiasi ini pada kultur jaringan menyebabkan sel-sel dapat bertahan hidup sampai taraf Lethal dose-50 (LD 50 ) terhadap virus VEE tantangan (Reitman et al. 1970). Vaksin lain dengan teknik iradiasi yaitu Vaksin bakteri Listeria monocytogenes iradiasi yang dapat meningkatkan respon imun dibandingkan teknik konvensional. Bakteri diiradiasi mendorong respon pelindung dari sel sistem kekebalan sel T (Kochman 2006). Sinar gamma juga digunakan untuk melemahkan Plasmodium (WHO 2001). Tanggap kebal sapi terhadap Fasciolosis akibat inokulasi metaserkaria Fasciola gigantica iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy telah diteliti oleh Arifin (2006). Hasil analisis ELISA dari penelitian tersebut menunjukkan titer Ig-G lebih tinggi

45 17 pada sapi yang diinokulasi metaserkaria F. gigantica iradiasi dibandingkan dengan sapi kontrol. Sinar gamma yang dimanfaatan untuk inaktivasi yaitu radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek yang memiliki kemampuan penetrasi tinggi dan memiliki karakteristik tanpa memberikan radiaoaktivitas pada materi yang terpapar (Hall & Giaccia 2006). Prospek vaksin iradiasi gamma untuk influenza sangat baik karena vaksin inaktif ini dapat diproduksi dengan aman. Inaktifasi vaksin dengan dosis 10 kgy mempunyai potensi respon imun perlindungan silang dalam melawan heterotipe virus tantangan. Iradiasi gamma ini juga mempunyai kemampuan tinggi dalam inaktifasi virus-virus dengan keuntungan yaitu perubahan yang sangat minim pada protein molekuler dan struktur virus. Dengan adanya perlindungan silang, maka produksi vaksin bisa lebih murah. (Alsharifi dan Mullbacher 2009). Efek metode inaktifasi dengan sinar gamma pada virus influenza-a yang dapat menginduksi perlindungan silang pada beberapa subtipe virus dan persiapan vaksin komersial ini juga dilakukan oleh Furuya et al. (2010). Fenomena perlindungan silang terhadap beberapa subtipe virus influenza akibat vaksin iradiasi gamma sebagaimana tersebut di atas, kemungkinan dapat terjadi pula pada vaksin iradiasi SGB karena sama-sama memiliki beberapa subtipe.

46 18

47 19 BAHAN DAN METODE 1. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Medik, Fasilitas Kandang Bagian Hewan Coba untuk hewan model mencit dan Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan - IPB. Perlakuan iradiasi bahan vaksin SGB dilakukan dalam iradiator Gamma chamber dengan sumber isotop 60 Co, di Balai Iradiasi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta. Aplikasi kandidat vaksin iradiasi SGB dilakukan pada peternakan kmamae perah Bangun Dioro Farm, desa Palasari, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan sejak Januari 2010 sampai Februari Sampel Susu Sampel susu diperoleh dari kasus mastitis subklinis sapi perah di peternakan rakyat yaitu Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor dan daerah Cisurupan serta Bayongbong Kabupaten Garut. Penapisan awal menggunakan California Mastitis Test (CMT) pada 65 ekor sapi perah dengan total sampel susu yang diambil dari tiap puting sapi adalah sebanyak 240 sampel, yang berasal dari Kunak (66 sampel), Cisurupan (97 sampel) dan Bayongbong (77 sampel). 3. Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Tak Langsung. Pengujian sampel susu di lapang dilakukan dengan menggunakan uji California Mastitis Test (CMT). Setiap sampel susu yang diambil dari setiap kuartir melalui pemerahan langsung ditempatkan pada paddle sesuai urutan kuartir. Uji CMT dimulai setelah susu dalam paddle ditambahkan dengan pereaksi CMT dengan perbandingan yang sama, kemudian dihomogenkan campuran susu dan reagen dengan cara menggoyang paddle secara searah selama detik. Hasil campuran segera diamati kekentalannya maksimal dalam 30 detik (reaksi cenderung mengarah ke arah reaksi positif jika terlalu lama), kemudian diamati dengan bantuan tusuk gigi yaitu dengan menarik hasil campuran keatas. Ukuran kekentalan diukur dengan

48 20 positif I (tebentuknya lendir tipis), II (terbentuk lendir lebih kental), dan III (lendir sangat kental seperti massa gelatin). Sampel dengan kekentalan positif I, II dan III dipakai sebagai sampel untuk kandidat yang dikultur pada agar darah (Ruegg 2005). 4. Pemeriksaaan Mastitis Subklinis Secara Langsung Uji dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC). Pemeriksaan sampel susu terhadap jumlah total bakteri yang dapat ditemukan dalam media Plate Count Agar (PCA). Sebanyak 1 ml sampel susu dimasukkan ke dalam pengencer NaCl fisiologis 9 ml, kemudian dihomogenkan selama 1 menit, campuran ini merupakan pengenceran ke-1 (10-1 ). Sebanyak 1 ml pengenceran 10-1 dipindahkan ke dalam 9 ml pengencer NaCl fisiologis pada tabung yang berbeda, dan campuran ini merupakan pengenceran ke-2 (10-2 ). Langkah ini terus dilakukan hingga pengenceran ke-6 (10-6 ). Pada penelitian ini digunakan metode hitungan cawan dengan cara tuang (pour plate method). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran tersebut di atas dipupuk di dalam cawan petri steril yang telah diberi label sesuai dengan urutan pengenceran, kemudian ditambah dengan media PCA yang telah dicairkan sebanyak 18 ml (suhu 45 0 C). Campuran dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8 pada cawan petri di tempat yang datar lalu didiamkan hingga memadat dan diinkubasi didalam inkubator pada suhu 35 0 C selama jam dengan posisi terbalik. Pencatatan terhadap pertumbuhan koloni dilakukan setelah 48 jam pada setiap cawan yang mengandung koloni. Langkah ini dilanjutkan dengan penghitungan angka lempeng total dalam cawan tersebut dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan sesuai dengan faktor pengenceran yang digunakan (Lay 1994). 5. Identifikasi dan Isolasi S. agalactiae Isolasi S. agalactiae berasal dari air susu yang menunjukkan reaksi CMT positif. Identifikasi terhadap keberadaan S. agalactiae berdasarkan morfologi koloni, morfologi sel bakteri dengan pemeriksaan mikroskopis dan pewarnaan Gram, uji

49 21 katalase dan keberadaan faktor Christie, Atkins dan Muence Petersen (CAMP) pada media agar darah (Quinn et al. 2006) Pemeriksaan Morfologi Koloni Bakteri Uji dilakukan pada media agar darah (Blood agar plate/ BAP. Kultur bakteri pada media BAP dilakukan secara aseptik untuk mencegah terjadinya pencemaran/kontaminasi pada media yang digunakan. Langkah pertama adalah memberikan label pada cawan-cawan petri yang telah berisi media Blood Agar Plate (BAP). Langkah berikutnya sampel susu kuartir diambil sebanyak 2 mata öse dan digoreskan pada agar darah. Penanaman bakteri secara aseptis dilakukan dalam kabinet laminair flow dekat nyala api bunsen. Agar darah yang telah ditanami sampel susu kuartir, lalu diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37 C. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni bakteri dan wilayah jernih di sekitar koloni (hemolisis). Bakteri Streptococcus memiliki bentuk koloni-koloni bulat halus, basah, cembung, terang tembus, dan menghemolisis sel darah merah. Hemolisis yang terjadi di sekeliling koloni bakteri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu hemolisis alpha (α) berupa hemolisis sebagian yang ditunjukkan dengan zona kehijauan disekitar koloni; hemolisis beta (β) berupa hemolisis komplit yang ditunjukkan dengan zona bening di sekeliling koloni, dan hemolisis gamma (γ) yang tidak menunjukkan perubahan warna di seputar koloni bakteri (Quinn et al. 2006) Pemeriksaan Mikroskopi Untuk menunjang pemeriksaan mikroskopi maka dilakukan pewarnaan Gram. Langkah awal dari pewarnaan Gram adalah mempersiapkan preparat yang akan diwarnai. Larutan NaCl fisiologis secukupnya diteteskan diatas gelas objek. Kemudian koloni bakteri sebanyak 1 Öse diambil dari media Blood Agar Plate (BAP) dan dicampurkan bersama NaCl fisiologis diatas gelas objek tadi. Pencampuran ini dilakukan dengan cara menggerakkan Öse memutar dari arah dalam dan makin lama

50 22 makin keluar. Selanjutnya campuran yang terdapat diatas objek gelas tadi difiksasi diatas bunsen yang menyala. Kemudian preparat ini diteteskan dengan zat warna kristal violet diatas gelas objek hingga preparat tertutup, langkah ini dilakukan selama 1 menit. Setelah itu ditambahkan lugol diatas preparat tadi selama 1 menit. Preparat kemudian dicuci dengan aquadest/air kran diatas bak pewarnaan. Pencucian dilanjutkan dengan aceton alkohol selama 15 detik. Preparat kemudian dibilas sekali lagi dengan aquadest/air kran hingga bersih. Pewarnaan kemudian dilanjutkan dengan meneteskan safranin selama 15 detik pada preparat tersebut dan kemudian dibilas lagi dengan aquadest/air kran hingga bersih. Preparat yang telah dibilas kemudian dikeringkan, lalu ditetesi dengan minyak emersi dan siap untuk diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x100 (Carter 1984). Koloni Streptococccus sp. akan terlihat berbentuk bulat (coccus), bergerombol membentuk rantai, berwarna ungu. 5.3 Uji Katalase Uji ini dilakukan sebagai acuan untuk identifikasi bakteri yang berkarakteristik dapat memproduksi enzim katalase. Langkah yang pertama yaitu menyiapkan gelas objek atau cawan petri yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan dikeringkan diatas api Bunsen. Pada gelas objek ini kemudian diteteskan reagen H 2 O 2 3% sebanyak 1 tetes. Langkah berikutnya yaitu mengambil koloni bakteri yang telah tumbuh dari Blood Agar Plate (BAP) sebanyak 1 Öse dan kemudian dicampurkan pada reagen H 2 O 2 tadi. Reaksi memberikan hasil positif apabila terbentuk gelembung-gelembung udara, sebaliknya reaksi memberikan hasil negatif apabila tidak terbentuk gelembung. Bakteri Streptococcus sp. akan memberikan hasil berupa katalase negatif (Lay 1994) Uji Christie, Atkins, and Munch-Petersen (CAMP) Uji CAMP dilakukan pada media agar darah. Koloni bakteri yang akan diuji adalah koloni bakteri yang telah dikultur ulang selama satu malam. Koloni S. aureus diambil dengan öse, digoreskan vertikal ditengah-tengah media agar darah sehingga membagi agar darah menjadi dua bagian sama besar. Koloni Streptococcus diambil

51 23 dengan ose kemudian digoreskan horizontal di sebelah kanan dan kiri goresan Staphylococcus aureus membentuk seperti garis tegak lurus. Jarak antara kedua goresan kira-kira 0.5 cm dari goresan Staphylococcus aureus. Setelah selesai, agar darah diinkubasi selama jam pada suhu 37 ο C. Uji positif akan menunjukan zona bening seperti anak panah (arrow head) diantara kedua goresan bakteri tersebut (Allen-Mierl et al. 2006) Uji Serogrup S. agalactiae S. agalctiae dari mastitis subklinis umumnya termasuk Grup-B. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan Streptococcal Grouping kit (Oxoid, England). Tiap isolat bakteri CAMP positif yang telah diremajakan pada media agar darah diambil 3-5 koloni menggunakan öse secara aseptis, lalu dimasukan ke dalam tabung-tabung kecil ujung lancip bertutup ukuran 1 ml yang telah berisi ekstrak enzim streptococcal masing-masing sebanyak 200 µl. Suspensi tersebut dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 37 ο C selama 10 menit. Setiap lima menit tabung-tabung tersebut dikocok. Langkah berikutnya suspensi diambil dengan pipet Pasteur lalu diteteskan sebanyak dua tetes di atas kertas latex. Tambahkan latex reagen group B pada suspensi dan keduanya dicampurkan, dibiarkan selama detik sambil diamati reaksi aglutinasi yang terjadi Ekspresi Fenotipe SGB in vitro Pengujian ekspresi fenotip dilakukan dengan menanam SGB pada media Soft Agar (SA) dan media cair Todd Hewit Broth (THB) untuk diamati pola pertumbuhannya. Isolat SGB yang telah diremajakan pada media agar darah ditanam secara aseptis sebanyak satu öse kedalam tabung reaksi yang berisi 5 ml media brain heart infusion (BHI) broth. Suspensi diinkubasi selama jam pada suhu 37 ο C, kemudian biakan segar diambil dengan öse dan diencerkan dalam 10 ml larutan NaCl 0.14 M. Langkah berikutnya, batang öse ujung lurus dimasukan kira-kira nya ke

52 24 dalam suspensi biakan segar SGB yang telah diencerkan, lalu ditanam kedalam 10 ml media soft agar (SA). Setiap suspensi tersebut ditanam dalam dua media SA. Salah satu dari media SA ditambahkan serum kelinci sebanyak 200 µl (serum soft agar/ssa) selanjutnya diinkubasi selama jam pada suhu 37 ο C. Pengujian pola tumbuh pada media cair dilakukan dengan menanam 1 öse biakan segar SGB ke dalam 10 ml media cair THB, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama jam dan diamati pola pertumbuhannya (Wibawan and Lämmler, 1990) Uji Hemaglutinasi Isolat S. agalactiae Group B (SGB) selanjutnya diuji hemaglutinasi menggunakan 1% eritrosit sapi perah dalam NaCl fisiologis. Pengujian hemaglutinasi dilakukan dengan mencampur secara homogen 50 µl suspensi bakteri 10 8 sel/ml dengan 50 µl eritrosit sapi perah ke dalam mikroplate. Reaksi hemaglutinasi dapat dibaca jika kontrol eritrosit mengendap. Reaksi dikatakan positif apabila terjadi aglutinasi di dasar tabung dan negatif apabila terjadi endapan seperti pada kontrol eritrosit (Wahyuni dkk. 2005). 6. Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma SGB untuk LD 50 Isolat SGB terpilih (yang mempunyai hemaglutinin positif/ Hn + ) ditumbuhkan dalam media BHI broth dan diinkubasi 37 o C pada inkubator. Jika telah mencapai fase log dengan waktu pembelahan sel tertinggi pada kurva pertumbuhan perlakuan, lalu bakteri dicuci memakai aquades steril 3 kali dengan sentrifus rpm. Setelah pencucian, bakteri diencerkan menjadi 10 8 cfu/ml, lalu diiradiasi dengan dosis iradiasi bertingkat dengan laju dosis 112,504 krad/ jam, di dalam iradiator Gamma chamber di PATIR, BATAN. Selanjutnya bakteri ditanam pada media BHI agar plat dan diinkubasi di dalam inkubator 37 o C selama 1 malam, lalu keesokan harinya koloni SGB yang tumbuh dihitung untuk menentukan nilai LD 50 bakteri SGB iradiasi yang

53 25 masih bertahan hidup sebanyak 50% sebagaimana penelitian terdahulu (Tuasikal dkk. 2003). 7. Karakterisasi Protein Antigenik Permukaan SGB dengan SDS PAGE Karakterisasi protein permukaan SGB iradiasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu persiapan protein antigenik dan teknik SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamid Gel Electrophoresis) untuk mengukur berat molekulnya (Walker JM 2002). Protein antigenik diperoleh dari isolat SGB yang sudah ditanam dalam BHI Broth dan diberi perlakuan iradiasi dengan dosis 0 dan 17 Gy, lalu disentrifuge dengan kecepatan rpm selama 10 menit. Pelet sel bakteri diambil kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis, selanjutnya diencerkan dengan NaCl fisiologis sampai volume 1,5 ml. Suspensi sel dimasukkan ke dalam tabung sonikator untuk memecah dinding sel dan melepas protein. Sonikasi dilakukan selama tiga menit. Sel hasil sonikasi dipindahkan ke dalam tabung mini steril, kemudian disentrifuge pada rpm selama 3 menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan dan disimpan pada suhu 0-4 o C sampai akan digunakan dalam pengukuran konsentrasi protein menggunakan metode Bradford. Penentuan berat molekul (BM) protein dianalisis dengan metode SDS PAGE. Pembuatan agar akrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca berukuran 13 x 15,5 cm (Pharmacia - Biothec yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Kedua lempeng kaca di himpit dan dijepit, serta diberi celah pada kedua sisi tepi bagian dalam. Di bagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur yang diisi gel pemisah (12% poliakrilamid) sampai 1 cm di bawah ujung sisir dengan bantuan mikropipet, lalu dibiarkan sekitar 60 menit, kemudian diisi gel pengumpul (4% poliakrilamid) hingga mencapai permukaan lempeng kaca. Gel yang sudah dicetak kemudian dibuka sisirnya, selanjutnya dipasang pada tangki elektroforesis, dan ditambahkan buffer elektroforesis (Tris-glysin) sampai gel terendam. Sumuran dibersihkan sebelum digunakan dengan menyemprotkan bufer elektroforesis ke

54 26 dalamnya sehingga gel-gel yang tersisa di dalam sumuran dapat keluar. Setiap sumuran diisi dengan 10 µl campuran sampel protein dan sampel buffer yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Selain sampel digunakan juga marker protein sebagai penanda. Marker protein yang digunakan mempunyai berat molekul 25 sampai 225 kda. Visualisasi berat molekul protein antigen dilakukan dengan perangkat elektroforesisi yang dihubungkan ke arus listrik pada tegangan 100 volt dengan arus 50 ma selama kurang lebih 3 jam sampai sampel buffer terlihat pada bagian bawah gel (kurang lebih 1 cm di atas batas bawah gel). Elektroforesis dilakukan pada kondisi suhu 4 o C. Setelah elektroforesis berakhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan direndam di dalam pewarnaan Commasie Brilliant Blue selama 30 menit pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening atau pita-pita protein telah terlihat jelas. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dari garis awal gel pemisah dengan jarak migrasi pewarna, atau dibandingkan terhadap pewarna marker. 8. Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit Hewan model yang digunakan adalah mencit betina jenis Balb-C, berumur 8 minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok vaksin (V) diberi SGB Hn + iradiasi, kelompok vaksin dan tantang (VT) diberi vaksin SGB Hn + iradiasi lalu ditantang dengan SGB Hn + tanpa iradiasi; kelompok tantang (T) diinfeksi dengan SGB Hn + tanpa iradiasi, dan kelompok kontrol (K) tanpa vaksin dan tanpa tantang. Bakteri yang diberikan mempunyai kepadatan 10 8 cfu / ml. Vaksin SGB Hn+ iradiasi diinjeksikan dengan route intraperitoneal dengan dosis 0,3 0,4 cc/ ekor. Vaksin booster diberikan setelah hari ke 7 dan ke 14, dan tantangan pada hari ke 21 (post partus). Infeksi tantang SGB Hn + tanpa iradiasi diberikan melalui parenteral (tetes) pada 5 pasang putting sebanyak 50 µl/ mencit. Suspensi bakteri tantangan diteteskan di atas orificium externa puting susu mencit secara bertahap (satu tetes sebanyak 5

55 27 µl), kemudian ditunggu hingga terabsorbsi. Nekropsi dilakukan sehari setelah tantangan. Penilaian respon terhadap vaksin yang diberikan, dilakukan dengan pemeriksaan Histopatologi jaringan kelenjar mamae yang difiksasi formalin dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE) (Kiernan, 1990). Titer antibodi Ig-G diperiksa dengan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay secara tak langsung (indirect ELISA) dari sampel serum darah yang dikoleksi tiap minggu (Crowther 2010). 9. Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 6 ekor kambing perah peranakan etawah yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu 4 ekor untuk kelompok vaksin (V) yang diberi SGB Hn+ iradiasi secara subkutan dengan dosis 10 8 cfu/ml sebanyak 2 ml/ kambing, dan 2 ekor untuk kelompok kontrol (K) yaitu hewan normal yang tidak diberi vaksin SGB. Vaksin diberikan pada masa kering kandang dengan pemberian booster 3 kali prepartus. Pemeriksaan konsentrasi Ig-G dilakukan dengan teknik ELISA dari serum sampel yang dikoleksi tiap minggu (Crowther 2010). Produksi susu postpartus dicatat setiap hari. 10. Rancangan Penelitian Informasi tentang efektifitas bahan vaksin ini akan dilakukan dengan cara membandingkan kondisi hewan percobaan antara yang hanya divaksin (V) yang diberi vaksin dengan tantangan (VT), yang diberi tantangan tanpa vaksin (T); dan hewan kontrol tanpa vaksin maupun tantangan (K). Signifikansi dari efektifitas bahan vaksin akan ditelusuri dengan membandingkan kelompok perlakuan tersebut menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Gambar histopatologi diambil dengan kamera digital Electronic Eyepiece MD-130 menggunakan mikroskop cahaya. Gambar diolah menggunakan software NIH Image-J. Data pengamatan dianalisis

56 28 pada analisis ragam (ANOVA), post hoc Duncan test menggunakan software SPSS versi 16 untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada p<0,05.

57 29 HASIL DAN PEMBAHASAN 1.Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel Susu Sampel susu yang digunakan berasal dari 3 wilayah pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Bogor dengan wilayah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Cibungbulang dan Garut dengan wilayah Kecamatn Cisurupan dan Kecamatan Bayongbong. Sampel susu dari hewan penderita mastitis subklinis dapat diketahui dengan CMT (California Mastitis Test). Dengan uji ini didapatkan hasil dengan mengamati parameter derajat konsistensi kekentalan dari campuran susu dan reagen uji yang membentuk materi gelatinous kental. Parameter ini diukur dengan melihat kekentalan yang terjadi untuk positif I akan terbentuk lendir tipis, positif II akan terbentuk lendir yang lebih kental, dan positif III lendir yang terbentuk sangat kental seperti massa gelatin. CMT bekerja berdasarkan 3 prinsip yaitu jumlah leukosit akan meningkat drastis saat jaringan mamae mengalami luka atau infeksi, leukosit terutama polymorphonuclear leukosit (PMNs) mempunyai inti sel yang besar (DNA) bila dibandingkan dengan sel lain atau bakteri yang terdapat didalam susu, selain itu penyusun utama dinding sel leukosit adalah lipid (lemak). Semakin tebal gel yang terbentuk di dalam piring uji CMT, maka semakin banyak juga sel darah putih yang terdapat di dalam sampel susu. Peningkatan penebalan dari gel ini menandakan terdapat peningkatan dalam hal infeksi. Reagen dari CMT merupakan suatu detergen dengan penambahan indikator ph yang menyebabkan terbentuknya warna ungu pada pencampuran dengan sampel susu. Saat sampel susu dan reagen MT dicampur dengan jumlah yang setara, reagen CMT akan melarutkan dinding sel terluar dan dinding sel nuklear dari leukosit yang penyusun utamanya adalah lemak, dimana detergen akan melarutkan lemak. Hal ini mengakibatkan DNA lepas dari inti yang mengarah kepada pembentukan gel oleh sesama DNA ntuk membentuk suatu massa seperti serabut. Seiring dengan penambahan jumlah leukosit pada setiap quarter akan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pembentukan gel (Ruegg 2005). Hasil dari uji ini pada ketiga wilayah dapat dilihat pada gambar 2.

58 30 a Gambar 2. Hasil CMT memperlihatkan kekentalan (a) yang terbentuk akibat pencampuran susu dengan reagen uji. Berdasarkan hasil uji ini, kejadian mastitis subklinis tertinggi berada pada wilayah Kunak, disusul Cisurupan, dan Bayongbong (Tabel 1). Tabel 1 Kejadian mastitis subklinis pada wilayah Cisurupan, Bayongbong, dan Kunak Asal sampel Jumlah sampel Jumlah sampel Kejadian mastitis positif CMT subklinis Cisurupan % Bayongbong % Kunak % Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat kejadian terjadinya mastitis subklinis di ketiga wilayah peternakan ini sangatlah tinggi, dengan presentasi kejadian pada daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak, berturut-turut sebesar 94,84%, 93,50%, 100%. Peluang terjadinya mastitis subklinis di peternakan wilayah Kunak adalah sangat mungkin terjadi atau selalu terjadi. Data ini menggambarkan buruknya kondisi

59 31 lingkungan, rendahnya tingkat sanitasi perkandangan, dan cara pemerahan mencerminkan higienitas personal yang buruk. Faktor manusia menjadi masalah utama sehingga hal-hal buruk tersebut dapat terjadi. Tingginya presentasi kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di ketiga daerah ini dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan dan pengelolaan peternakan diantaranya yaitu sanitasi kandang dan cara pemerahan susu (Sori et al. 2005). Sanitasi kandang yang buruk, peralatan yang tidak bersih dan ditambah lagi dengan cara pemerahan susu yang juga tidak bersih kemungkinan besar merupakan faktor utama penyebab terjadinya mastitis subklinis pada ketiga peternakan sapi perah tersebut. Hasil pemeriksaan CMT positif yang lebih dari 50% pada penelitian ini menunjukkan masih tingginya kejadian mastitis subklinis. Penelitian intensif Balai Penelitian Veteriner di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37 sampai 67%, sedangkan mastitis klinis antara 5 sampai 30% (Supar 1997). Kasus mastitis terutama mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75% - 83% (Sudarwanto dkk. 2006). Sebagaimana Indonesia, di negara-negara lainpun kasus mastitis subklinis selalu lebih tinggi dibandingkan mastitis klinis. Kejadian mastitis subklinis di Polandia sebesar 25,35% sedangkan mastitis klinis hanya 0,41% (Hameed et al. 2007). Prevalensi mastitis klinis dan subklinis di Iran berturut-turut 2,2 dan 42,5% (Hashemi et al. 2011). Mastitis subklinik adalah mastitis yang tidak menampakkan perubahan fisik pada mamae dan susu yang dihasilkan, tetapi dapat menurunkan produksi susu, ditemukannya mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan komposisi susu (Petrovski and Emanuel, 2006). Hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup besar dalam usaha peternakan sapi perah. Kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh mastitis antara lain: Penurunan produksi susu perkwartir per hari antara 9% 45,5% (Sudarwanto 1999); Penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30% - 40% (Sudarwanto dan Sudarnika 2008) dan penurunan kualitas hasil olahan susu (Hamman 2005);

60 32 Peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Seegers et al. 2003, Shim et al. 2004). Selain kondisi lingkungan dan pengelolaan peternakan sebagai faktor utama penyebab mastitis subklinis di ketiga peternakan, faktor penunjang dari sisi ternak juga berperan dalam terjadinya radang mamae ini. Kondisi kesehatan ternak yang kurang baik, luka/lecet pada puting susu yang diakibatkan pemerahan kasar, lantai kasar, lap yang kotor dan sikat yang keras, bentuk mamae yang sangat menggantung, serta mamae dengan lubang puting yang terlalu lebar merupakan faktor predisposisi terjadinya mastitis subklinis dari segi ternak. Disamping itu terdapat pula faktor penyebab mastitis subklinis dari segi mikroorganisme penyebab, diantaranya adalah jenis dan jumlah mikroorganisme patogen. Faktor-faktor penyebab tersebut dapat berpengaruh terhadap kerusakan struktur dan gangguan fungsi kelenjar mamae pada ruminansia yang terserang mastitis, sehingga berujung pada penurunan produksi susu pada induk pasca melahirkan (Akers and Nickerson, 2011). Kondisi lingkungan (kandang) tempat sampel susu diperoleh maupun sanitasi saat pemerahan dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter diantaranya adalah jumlah mikroba. Rata-rata jumlah mikroba dalam sampel susu yang diperoleh dari daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Jumlah mikroba dalam sampel susu dari uji Total Plate Count (TPC) Asal sampel Rata-rata jumlah mikroba (cfu/ml) Cisurupan Bayongbong Kunak Data dari hasil tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah mikroba pada setiap perwakilan sampel di ketiga wilayah sangat tinggi karena berada diatas nilai kisaran normal total cemaran mikroba pada susu segar yaitu 10 6 cfu/ml sesuai dengan SNI Hal ini mendukung data dari hasil CMT dimana prevalensi

61 33 mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di ketiga wilayah sangat tinggi, yang dibuktikan dengan tingginya rata-rata jumlah mikroba pada sampel susu yang dikumpulkan secara aseptis langsung ditampung dalam tabung steril. Menurut Lukman dkk (2009) pencemaran dapat berasal dari mamae atau masuk melalui puting susu. Jumlah mikroba bertambah dengan adanya cemaran dari tangan dan baju pemerah, alat perah dan lingkungan kandang. Jumlah mikroba dalam susu akibat kontaminasi melalui udara sekitar koloni/ml susu, melalui kontaminasi mamae dan sekitarnya ditemukan koloni/ml. melalui sanitasi yang buruk pertambahan mikroba mencapai koloni/ml. kontaminasi dari mamae yang sakit mencapai koloni/ml. jumlah mikroba dalam susu akan meningkat melalui kontaminasi dari peralatan susu sampai dengan lebih dari koloni/ml (Lukman dkk. 2009). 2. Isolat S. agactiae Group B Terpilih sebagai Bahan Vaksin Iradiasi Mastitis Subklinis Isolasi dan identifikasi bakteri Streptococcus sp pada sampel susu yang dinyatakan positif mastitis subklinis berdasarkan hasil CMT, dilakukan dengan mengkultur pada media Blood Agar Plate (BAP). Media BAP ini merupakan media diferensial yang dapat membedakan bakteri normal dan bakteri pathogen berdasarkan kemampuannya melisiskan sel darah merah. Selain itu pada media ini dapat pula diamati bentuk koloni dari bakteri yang tumbuh. Koloni Streptococcus sp pada permukaan BAP akan tampak sebagai koloni yang halus, kecil, cembung, transparan sampai putih (Gambar 3). Koloni ini akan membentuk pola hemolisis α, hemolisis β, atau γ (tanpa hemolisis) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 (Cowan 2003).

62 34 Gambar 3. Tampilan koloni Streptococcus sp pada media Blood Agar Plate. beta gamma alpha Gambar 4. Pola hemolisis Streptococcus sp pada media Blood Agar Plate. Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopi dengan pewarnaan Gram. Pemeriksaan mikroskopi ini dilakukan dengan tujuan untuk identifikasi bakteri berdasarkan bentuk, susunan dan sifat Gram bakteri. Bakteri Streptococcus sp dibawah mikroskop akan tampak bulat (coccus), koloninya tersusun berpasangan atau membentuk rantai. Koloni bakteri juga tampak berwarna ungu yang berarti bahwa bakteri ini bersifat Gram positif (Gambar 5). Pewarnaan Gram merupakan salah satu tahap penting dalam proses perincian dan identifikasi bakteri dan pewarnaan yang banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi (Lay 1994). Bakteri Gram positif bewarna ungu saat teramati dibawah mikroskop dengan perbesaran tinggi karena pengaruh kompleks zat warna dari kristal violet yang tetap dipertahankan walaupun telah diberi larutan pemucat. Pada dinding bakteri Gram positif mengandung lipid yang rendah sehingga pada saat dilakukan pencucian

63 35 dengan larutan pemucat terjadi dehidrasi dan lubang pori-porinya mengecil, itu sebabnya zat warna tetap dipertahankan. Ditemukan juga pada dindingnya senyawa Mg-ribonukleat yang mengikat kristal violet sehingga tidak mudah dilarutkan (Lay 1994). Gambar 5. Tampilan mikroskopik Streptococcus sp. Gram positif menggunakan mikroskop cahaya (perbesaran 10x100). Untuk membedakan lebih lanjut bakteri bulat Gram positif maka dilakukan uji katalase. Uji ini dilakukan sebagai acuan untuk identifikasi bakteri yang berkarakteristik dapat memproduksi enzim katalase. Katalase yang diproduksi oleh bakteri ini dapat mengubah hidrogen peroksida menjadi gas hidrogen dan air. Hasil positif mengindikasikan adanya cytochrome oxidase (Quinn et al. 2006). Bakteri Streptococcus sp akan memberikan hasil katalase negatif yang ditandai dengan tidak terbentuknya gas hidrogen dan air. Hal ini menunjukkan salah satu karakteristik bakteri tersebut yaitu tidak mempunyai enzim cytochrome oxidase. Uji katalase positif pada Staphylococcus sp, dengan reaksi yang terjadi sebagai berikut: H 2 O 2 enzim katalase H 2 O (l) + O 2(g) Berdasarkan pada prosedur isolasi dan identifikasi bakteri yang telah dilaksanakan maka diperoleh sejumlah sampel dari ketiga daerah yang memenuhi kriteria sebagai Streptococcus sp penyebab mastitis subklinis. Jumlah sampel yang

64 36 memenuhi kriteria sifat-sifat Streptococcus sp tersebut dan presentasi kehadiran bakteri ini dalam sampel dari tiap daerah disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Presentasi kehadiran Streptococcus sp pada susu dengan uji Katalase negatif Asal sampel Jumlah sampel susu CMT positif Jumlah sampel mengandung Streptococcus sp Presentasi kehadiran Streptococcus sp Cisurupan % Bayongbong % Kunak % Dari Tabel 3. dapat diketahui bahwa presentasi kehadiran Streptococcus sp tertinggi terdapat pada sampel susu yang berasal dari Kunak yaitu sebesar 40.90%, disusul oleh sampel dari Bayongbong sebesar 22.22%, dan sampel dari Cisurupan sebesar 15.22%. Streptococcus sp merupakan bakteri yang umum diduga sebagai agen patogen penyebab penyakit pada kebanyakan hewan vertebrata (Chanter 1997). Malinowski et al. (2006) berhasil mengisolasi Streptococcus sp. sebagai agen mastitis terbanyak (15,7%) dari sampel susu dengan nilai Jumlah Sel Somatic (JSS) antara sel/ml. Uji CAMP merupakan presumptive test dalam mengidentifikasi bakteri S. agalactiae (Darling 1975, Facklam et al. 1979). Hasil dari 57 isolat yang diuji dengan uji CAMP didapatkan sebanyak 34 isolat (59,6%) memperlihatkan hasil uji CAMP positif sedangkan 23 isolat (40,4%) lainnya menunjukkan hasil uji CAMP negatif (Tabel 4). Tabel 4. Jumlah isolat Streptococcus agalactiae dari uji CAMP Hasil uji CAMP Jumlah Persentase Positif Negatif ,6% 40,4% Total (n) %

65 37 Isolat yang menunjukkan hasil CAMP positif membentuk zona hemolisis seperti anak panah (arrowhead) pada media BAP diantara biakan Staphylococcus aureus dan isolat yang diuji, sedangkan hasil uji CAMP negatif tidak menunjukkan perubahan apapun pada media BAP seperti yang terlihat pada Gambar 6. Gambar 6. Hasil uji CAMP positif (zona bening seperti anak panah dibagian tengah BAP), dan CAMP negatif (tidak ada hemolisis dibagian paling atas dan paling bawah). Fenomena yang terjadi pada uji CAMP karena adanya interaksi antara faktor CAMP yang dihasilkan isolat yang diuji (dalam hal ini Streptococcus agalactiae) dengan produk ekstraseluler berupa β-lysin stpahylococcal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus β-hemolisis sehingga hemolisis pada media BAP semakin jelas karena daya hemolisis yang ditimbulkan meningkat (Hansen and Sørensen 2003). Bahan vaksin yang dipilih adalah Streptococcus agalactiae karena merupakan salah satu agen utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi untuk industri susu (Keefe et al. 1997, Keefe 1997). Hasil studi Estuningsih dkk (2002) menyebutkan bahwa 83 isolat bakteri yang diisolasi dari 3 area di pulau Jawa, seluruhnya teridentifikasi sebagai Streptococcus agalactiae. Sesuai dengan hasil isolasi bakteri yang dilakukan Supar dan Ariyanti (2008) dari sampel susu kuartir di daerah Bandung, Bogor dan Sukabumi diperoleh 60,6% Streptococcus agalactiae sebagai bakteri dominan penyebab mastitis

66 38 subklinis. S. aureus yang digunakan dalam uji CAMP ini merupakan isolat yang bersifat β hemolitik dan diisolasi juga dari kasus MSK. Uji berikutnya adalah uji grouping. Sampel yang diuji adalah sampel yang positif uji CAMP. Hasil uji grouping yang dilakukan menunjukkan dari 34 sampel yang positif uji CAMP didapatkan 14 isolat (41,2%) diantaranya menunjukkan aglutinasi positif terhadap latex reagen group B sedangkan 20 isolat (57,8%) lainnya tidak terjadi aglutinasi dengan reaksi latex reagen group B (tabel 5). Tabel 5. Jumlah isolat S. agalactiae dari uji Grouping Kit Hasil uji grup B Jumlah Presentase Aglutinasi Tidak terjadi aglutinasi ,2% 57,8% Total sampel (n) % Reaksi aglutinasi yang terjadi pada saat uji group merupakan reaksi dari latex reagen group B dengan karbohidrat berupa polisakarida C. Polisakarida ini hanya dapat ditemukan pada permukaan dinding sel bakteri S. agalactiae. 14 isolat yang positif uji serogrouping ini merupakan murni streptococcus grup B atau S. agalactiae, karena latex reagen group B hanya akan bereaksi aglutinasi bila direaksikan dengan S. agalactiae. Hasil identifikasi dari 57 isolat yang berasal dari susu sapi penderita mastitis subklinis yang bersifat Gram positif dengan katalase negatif dapat ditemukan 14 isolat atau sekitar 24.6 % merupakan S. agalactiae Group B. Diketahui pula bahwa S. agalactiae grup B (SGB) merupakan bakteri utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah dan merupakan parasit obligat pada mamae (Wahyuni dkk. 2006, Abubakar et al. 2006, Moatamedi et al. 2007). Isolat S. agalactiae Group B yang telah didapatkan ditanam ke dalam media soft agar (SA) dan serum soft agar (SSA). Pengujian ini adalah untuk melihat

67 39 ekspresi fenotip S. agalactiae secara in vitro. Hasil bentuk koloni dan pola pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. No. Tabel 6. Pola pertumbuhan S. agalactiae pada media SA, SSA dan THB Bentuk koloni di media : Pertumbuhan dan Endapan Kode SA SSA pada media cair THB isolat 1 CK2 Difus Difus Keruh tanpa endapan 2 EK1 Kompak Kompak Bening dengan endapan 3 EK4 Kompak Kompak Bening dengan endapan 4 M3 Difus Difus Keruh tanpa endapan 5 K2 Difus Difus Keruh tanpa endapan 6 PK1 Difus Difus Keruh tanpa endapan 7 PK2 Difus Difus Keruh tanpa endapan 8 RB4 Difus Difus Keruh tanpa endapan 9 BK2.2 Difus Difus Keruh tanpa endapan 10 BK4.1 Kompak Kompak Bening dengan endapan 11 JK3 Kompak Kompak Bening dengan endapan 12 AK4 Difus Difus Keruh tanpa endapan 13 MK1 Kompak Kompak Bening dengan endapan 14 SK2.3 Kompak Kompak Bening dengan endapan Ekspresi fenotip 8 isolat pada media SA memperlihatkan pertumbuhan koloni yang difus dan 6 isolat tumbuh dengan pertumbuhan koloni yang kompak. Hasil pertumbuhan pada media SSA juga memperlihatkan hasil yang sama dengan koloni yang tumbuh pada media SA terdapat 8 isolat menunjukkan bentuk koloni yang difus dan 6 isolat lainnya berbentuk koloni kompak. Pertumbuhan SGB pada media cair THB juga terdapat 8 isolat dengan pola pertumbuhan keruh tanpa tanpa endapan di

68 40 dasar tabung, dan 6 isolat dengan pola pertumbuhan bening dengan endapan di dasar tabung. Bentuk koloni pada media SA dan SSA dapat dilihat pada isolat PK1 dan MK1 dalam Gambar 7. Isolat PK1 pada media SA menunjukkan bentuk koloni difus halus, sedangkan pada media SSA terlihat bentuk koloni difus yang lebih besar. Koloni yang tumbuh kompak dapat terlihat pada isolat MK1. Koloni MK1 pada media SA terlihat kompak dengan koloni yang kecil, sedangkan pada media SSA terlihat kompak dengan koloni lebih besar. Penambahan serum ke dalam media SA dapat memperkaya media tersebut akan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Koloni dari isolat yang sama di media SA yang semula kecil menjadi koloni yang tampak lebih jelas dan besar pada media SSA. Gambar 7. Bentuk koloni S. agalactiae pada media SA dan SSA menunjukkan pertumbuhan bentuk koloni difus (isolat PK1 sebelah kiri) dan pertumbuhan bentuk koloni kompak (isolat MK1 sebelah kanan). Media SA digunakan untuk melihat ekspresi fenotip dari komponen yang terdapat pada permukaan bakteri, diantaranya untuk membedakan bakteri yang membentuk kapsul dengan yang tidak membentuk kapsul pada permukaannya. Kondisi ini akan ditunjukkan oleh pola pertumbuhan koloni yang tumbuh pada media

69 41 SA. S. agalactiae yang memiliki kapsul pada permukaannya akan diekspresikan dengan pola pertumbuhan koloni yang difus di media SA sedangkan bentuk koloni yang lebih kompak menandakan tidak adanya kapsul pada permukaan dinding sel (Wibawan & Lämmler 1991). Kapsul sebagian besar penyusunnya merupakan karbohidrat dalam bentuk polisakarida yang menutupi protein permukaan sel bakteri, sehingga tidak terekspresikan pada SA yang bahan penyusunnya juga karbohidrat (Harlina. 1999). Oleh karena itu, dalam media SA bakteri berkapsul akan terekspresikan dengan bentuk pertumbuhan yang difus sedangkan bakteri tidak berkapsul terekspresikan dalam bentuk kompak. Bentuk pertumbuhan koloni pada media SA juga dapat menentukan keberadaan antigen protein R dan X. Permukaan bakteri diselimuti oleh antigen protein R atau X akan terekspresikan dengan tumbuh menjadi koloni yang kompak pada media SA sedangkan yang tidak memiliki antigen protein akan tumbuh menjadi difus pada media SA (Wibawan & Lämmler 1990). Selain mengekspresikan bentuk pertumbuhan koloni pada media SA dapat juga terlihat ekspresi pertumbuhan koloni yang ditanam pada media cair Todd-Hewitt broth (THB). Penanaman pada media cair untuk menentukan ukuran panjang rantai yang tersusun membntuk koloni. Pertumbuhan koloni yang keruh pada media cair menggambarkan koloni dengan rantai pendek (<20 bakteri/rantai), sebaliknya koloni yang tumbuh membentuk sedimen didasar tabung dan supernatan yang jernih merupakan koloni dengan rantai yang lebih panjang (>40 bakteri/rantai). Sedimen terbentuk karena koloni degan rantai panjang cenderung mengendap di dasar tabung (Wibawan and Lämmler 1990). Adanya antigen protein R dan X ini juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan pada media cair THB. Bakteri dengan antigen protein akan tumbuh dengan supernatan yang jernih dan membentuk sedimen didasar tabung sedangkan bakteri tanpa antigen protein tumbuh keruh di media cair (Wibawan and Lämmler 1990).

70 42 Umumnya komponen yang terdapat pada permukaan sel adalah faktor virulen yang membantu bakteri dalam proses infeksi. Kapsul menentukan tingkat virulensi dari S. agalactiae. Kehilangan kapsul asam sialat akan menghilangkan daya virulensi (Wibawan & Lämmler 1991). Kapsul pada bakteri akan membantu menurunkan penyingkiran bakteri terhadap fagositosis sel-sel polimorfonuklear (PMN) (Wibawan & Lämmler 1991). Bahan pembangun kapsul merupakan polisakarida yang merupakan antigen yang tidak imunogenik terhadap inang menyebabkan sel-sel PMN tidak mengenalinya sebagai benda asing bagi tubuh. Namun, bakteri yang tidak memliki kapsul akan memiliki daya adhesi yang lebih tinggi untuk melekat pada sel inang dibanding yang memiliki kapsul (Utama et al. 1997). Adanya antigen protein R atau X menimbulkan permukaan sel memiliki daya hidrofobitas yang tinggi dan mempunyai peran penting terhadap daya adesi dari S. agalactiae untuk melekat pada sel epitel inangnya (Wibawan and Lämmler 1991). Hemaglutinin mempunyai peran dalam proses adhesi. Hasil kajian Wibawan (1998) menyebutkan bahwa S. agalactiae yang memilki hemaglutinin mempunyai kamampuan adhesi yang lebih besar daripada yang tidak mempunyai hemaglutinin pada sel epitel mamae. Pada mastitis subklinis kemampuan adhesi mempunyai peran lebih penting dari pada kemampuan invasi (Wahyuni, 2005). Kebanyakan strain bakteri yang bereaksi hemaglutinin mempunyai tipe protein antigen-x pada S. agalactiae yang diisolasi dari kasus mastitis pada sapi perah (Rainard dkk. 1991). Lewat kemampuan adhesi ini S. agalactiae terbebas dari pengaruh pembasuhan organ-organ sekresi, sehingga terhindar dari efek basuh aliran susu. Kondisi ini menjawab alasan bakteri ini menyebabkan masititis subklinis. Isolat bakteri terpilih untuk kandidat vaksin iradiasi pada penelitian ini adalah Streptococcus agalactiae yang diperoleh dari susu asal mastitis subklinis dan termasuk ke dalam kelompok Group-B (SGB). Sebagai bahan vaksin iradiasi telah dipilih SGB dengan karakter mempunyai antigen protein tanpa kapsul yang tumbuh dengan bentuk koloni kompak dalam media soft agar dan mempunyai Hemaglutinin (Hn+).

71 43 3.Orientasi Dosis Iradiasi SGB untuk LD 50 Dari orientasi dosis iradiasi untuk melemahkan bakteri diperoleh hasil pengamatan koloni bakteri pada Tabel 7. Dari perlakuan tersebut diperoleh kurva Pengaruh Iradiasi terhadap % Viabilitas bakteri dengan persamaan Y=95,414e -0,0371X ; R 2 = (Y=%Viabilitas dan X= dosis iradiasi) yang terdapat pada Gambar 10. Dari persamaan tersebut dapat diperoleh dosis iradiasi 17,4 Gy untuk melemahkan bakteri Streptococcus agalactiae sampai taraf LD 50. Tabel 7. Pengamatan persentasi viabilitas SGB akibat iradiasi sinar gamma pada berbagai dosis untuk LD 50. Dosis (Gy) SGB(cfu/ml)x10 8 % viabilitas Keterangan 0 16, LD 50 = 8,45x ,10 36,1 50 2,40 14,2 75 1,05 6, Gambar 8. Perhitungan Dosis Iradiasi gamma untuk melemahkan SGB sampai taraf LD 50

72 44 Berdasarkan Tabel 7 dan Gambar 8, iradiasi sinar gamma dapat mempengaruhi jumlah sel bakteri. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa semakin tinggi dosis iradiasi semakin rendah jumlah populasi sel bakteri yang dapat bertahan hidup (Tuasikal dkk. 2003). Hasil analisis protein permukaan SGB melalui teknik SDS-PAGE (Gambar 9) menunjukkan masih tervisualisasinya pita protein pada kedua sampel antara yang non-iradiasi dan iradiasi 17 Gy, juga tidak tampak perbedaan pola pita protein tersebut. Hal ini mengindikasikan tidak adanya perbedaan sifat antigenik bakteri tersebut, yang ditunjukkan dengan berat molekul (BM) dari kedua perlakuan isolat bakteri, yaitu berkisar antara kda, berdasarkan standar marker yang digunakan. Telah diketahui bahwa syarat minimal BM antigen yang dapat menimbulkan antibodi pada sistim kekebalan tubuh hewan adalah Dalton (10 kda) (Lindahl, et al. 2006). Keadaan ini dapat diartikan bahwa radiasi sebesar 17 Gy tidak menyebabkan S. agalactiae kehilangan sifat antigeniknya sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar vaksin iradiasi untuk penyakit Mastitis Subklinis pada ternak ruminansia. Gambar 9. Visualisasi pita protein SGB iradiasi 0Gy dan 17Gy pada BM kda

73 45 Penelitian Hughes et al. (2002) berhasil mengidentifikasi 2 macam antigen permukaan SGB dari kasus meningitis bayi yang baru lahir. Protein permukaan SGB tersebut adalah ornithine carbamoyltransferase dan phosphoglycerate kinase dengan visualisasi protein masing-masing 38 kda dan 42 kda. Antisera terhadap kedua protein ini pada hewan model mencit dapat melindungi hewan baru lahir terhadap infeksi S. agalactiae. Diketahui pula bahwa protein permukaan SGB bersifat imunoreaktif yang dapat menimbulkan respon imun berupa Ig G1 pada sapi. Diduga protein extraseluler ini mempunyai peranang penting dalam patogenesis S. agalactiae dalam menginduksi mastitis (Trigo et al. 2008). Park et al. (2002) mengidentifikasi Lactoferrin-Binding Protein (LBP) Streptococcus spp. yang diisolasi dari sapi perah mastitis. LBP ini memegang peranan dalam patogenesis mastitis sapi. Seluruh strain S. agalactiae yang diteliti menunjukkan LBP dengan pita-pita protein dari 70 kda sampai 112 kda. LBP dengan BM yang bersifat antigenik ini juga ideal untuk menjadi kandidat vaksin di masa depan. 4.Hasil Uji Patogenitas dan Imunitas pada Hewan Model Mencit Hasil pemeriksaan gambaran histopatologi pada kelenjar mamae mencit yang diuji ditunjukkan pada Tabel 8. Uji patogenitas pada hewan percobaan mencit menunjukkan bahwa SGB iradiasi tidak patogen, terbukti dari gambaran histopatologi (HP) menunjukkan bahwa sel-sel pada alveol kelenjar mamae dari kelompok yang diberi vaksin SGB iradiasi dan kelompok vaksin kemudian ditantang dengan SGB tanpa iradiasi, masih memproduksi susu dan jumlah alveol kelenjar tidak berbeda nyata dibanding dengan kelompok kontrol (mencit normal); jumlah alveol kelenjar mamae yang paling sedikit berproduksi ada pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas tanpa divaksin. Vaksin SGB iradiasi juga tidak menimbulkan peradangan pada kelenjar mamae mencit yang diuji, dibuktikan dari jumlah sel

74 46 radang interstisial disekitar alveol mamae dan sel epitel kelenjar yang terdeskuamasi pada kelompok mencit yang divaksin tidak berbeda nyata bahkan lebih sedikit dibanding dengan kelompok kontrol. Gambaran histopatologi yang tidak berbeda nyata antara kelompok vaksin dan kontrol menunjukkan bahwa mencit yang divaksin masih mempunyai fungsi fisiologis yang normal, sehingga vaksin SGB iradiasi aman untuk diaplikasikan. Sel radang interstisial terbanyak ditemukan pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas, bahkan berbeda nyata dibanding kelompok vaksin dan kontrol (p<0,05), hal ini berarti telah terjadi peradangan pada kelompok mencit tantang tanpa divaksin, dan mengindikasikan tidak ada proteksi pada mencit kelompok tantang. Tidak ada perbedaan nyata pada histopatologis kelompok vaksin lalu ditantang dengan kelompok kontrol menunjukkan jika mencit yang divaksin SGB iradiasi lebih tahan terhadap infeksi SGB, dengan demikian vaksinasi penting dilakukan. Tabel 8. Hasil perhitungan kelenjar mamae mencit pada empat kelompok perlakuan Kelompok Alveol produktif Sel radang dalam lumen Sel deskuamasi Sel radang interstitial K 70,9±13,2 a 1,9±1,7 a 8,8±7,2 a 23,0±1,1 a V 77,1±13,7 a 2,3±1,6 a 8,1±0,7 a 11,8±6,4 a VT 72,5±17,8 a 1,5±1,1 a 5,9±2,3 a 14,5±10,7 a T 60,4±14,0 a 3,6±1,1 a 9,7±3,1 a 41±5,9 b Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K=Kontrol; V=Vaksin; VT=Vaksin+Tantang; T=Tantang. Mencit memiliki kesamaan dengan sapi dalam hal struktur kelenjar mamae/ mamae dan reaksi jaringan terhadap infeksi S. agalactiae, dengan demikian mencit dapat digunakan sebagai model untuk mempelajari patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae pada sapi perah (Estuningsih 2002). Kecocokan mencit sebagai hewan model untuk mempelajari mastitis pada sapi juga telah dinyatakan oleh Notebaert dan Meyer (2006).

75 47 a Gambar 10. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok kontrol perbesaran 100X dengan alveol produktif menghasilkan susu (a). b Gambar 11. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin perbesaran 100X epitel alveol masih utuh dan produktif menghasilkan susu (b).

76 48 C Gambar 12. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin+tantang perbesaran 100X sebagian besar alveol produktif menghasilkan susu (c) e f d Gambar 13. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok tantang perbesaran 100X Sel epitel alveol deskuamasi (d), epitel alveol atrofi (e), sel radang (f).

77 49 Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin (Gambar 10) mirip dengan kelompok kontrol (Gambar 11) yaitu mencit normal. Mencit-mencit dari kedua kelompok perlakuan ini sama-sama mempunyai epitel alveol yang masih utuh dan produktif menghasilkan susu. Hal tersebut membuktikan jika pemberian vaksin iradiasi SGB masih aman dilakukan karena kelompok mencit yang divaksin menunjukkan fungsi fisiologis normal sebagaimana kelompok mencit kontrol. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok vaksin kemudian diberi tantangan dengan SGB ganas atau tidak diradiasi (Gambar 12) menunjukkan bahwa sebagian besar alveol kelenjar masih produktif menghasilkan susu. Hal tersebut menunjukkan bahwa mencit yang divaksin dengan SGB iradiasi dapat menahan infeksi tantangan dan tetap memproduksi susu. Gambaran Histopatologi kelenjar mamae mencit kelompok yang tidak divaksin tetapi hanya diberikan uji tantang dengan SGB ganas tanpa iradiasi (Gambar 13) memperlihatkan kerusakan berupa atrofi epitel alveol dan berdeskuamasinya sel epitel ke dalam lumen alveol. Hal tersebut terjadi akibat peradangan yang ditunjukkan dengan sel-sel radang yang terlihat baik di dalam lumen alveol maupun interstisial. Keadaan patologis pada kelompok tantang ini mengakibatkan alveol tidak dapat berproduksi dan tampak lumen alveol banyak yang tidak berisi susu. Hasil pemeriksaan Ig-G serum mencit dengan ELISA (Gambar 14.) menunjukkan tingkat respon imun yang lebih tinggi pada kelompok mencit yang divaksin dibandingkan kelompok kontrol, hal tersebut membuktikan bahwa SGB yang telah dilemahkan dengan iradiasi sinar gamma masih mampu menimbulkan respon imun. Gambar 15 juga menunjukkan bahwa titer Ig-G pada kelompok Vaksin dan tantang masih lebih tinggi dari pada kelompok kontrol. Hewan model mencit dapat menunjukkan respon imun bawaan maupun dapatan terhadap Streptococcus agalactiae penyebab mastitis (Trigo et al., 2009). Hewan model mencit juga digunakan untuk uji vaksin rekombinan S. agalactiae dan S. aureus dari kasus mastitis sapi. Uji ELISA serum mencit menunjukkan antibodi dominan berasal dari subtipe Ig G1 (Xu et al. 2011).

78 K V Absorbansi Waktu (minggu) Gambar 14. Titer Ig-G kelompok mencit yang divaksin (V) SGB iradiasi dibanding kelompok mencit kontrol (K) K VT 0.14 Absorbansi Gambar 15. Titer Ig-G kelompok mencit yang divaksin SGB iradiasi kemudian ditantang dibandingkan dengan kelompok kontrol. 3 Waktu (minggu) 4 5 6

79 51 5.Hasil Uji Respon Imun dan Produksi Susu pada Kambing Perah. Aplikasi vaksin iradiasi SGB pada kambing perah Peranakan Etawahpun dapat menimbulkan respon imun yang baik, terbukti dari hasil pemeriksaan serum dengan ELISA pada kelompok kambing yang divaksin mempunyai konsentrasi Ig-G lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (Gambar 16) Kontrol Kambing Vaksin Kambing [IgG] Gambar 16. Konsentrasi Ig-G dari serum kambing yang telah divaksin dengan SGB iradiasi dibandingkan dengan kontrol. 3 Waktu (minggu) Produksi susu pada kambing percobaan yang divaksin dengan vaksin iradiasi SGB tetap stabil (Gambar 17). Produksi susu kambing perah kelompok vaksin tidak mengalami penurunan sehingga dapat disimpulkan pula bahwa pemberian vaksin iradiasi SGB tidak mengganggu produksi susu.

80 52 Jumlah Produksi Susu (ml) 11,000 10,500 10,000 9,500 9,000 8,500 8,000 7,500 7, Waktu (minggu) K2 Jumlah Produksi Susu (ml) 10,000 9,500 9,000 8,500 8,000 7,500 7, Waktu (minggu) K8 Jumlah Produksi Susu (ml) 15,000 14,000 13,000 12,000 11,000 10,000 9,000 8,000 K22 7, Waktu (minggu) Gambar 17. Produksi susu kambing dari kelompok perlakuan vaksin iradiasi SGB post-partus.

81 53 Penanganan kasus mastitis pada kambing perah pada intinya sama dengan pengendalian mastitis pada sapi perah. Deteksi MSK juga dilakukan dengan cara tak langsung seperti uji dengan CMT maupun penghitungan sel somatik (Shearer and Haris 2003). Kambing perah dapat digunakan sebagai hewan model yang paling tepat sebelum dilakukan uji lapang pada sapi perah.

82 54

83 55 SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini telah diperoleh kandidat vaksin iradiasi S. agalactiae yang termasuk kedalam Group-B (SGB) tanpa kapsul dengan hemaglutinin positif (Hn+) yang dapat digunakan sebagai bahan vaksin mastitis subklinis. Dapat disimpulkan pula bahwa iradiasi sinar gamma dosis 17 Gy dapat melemahkan Isolat SGB bahan vaksin hidup tersebut sehingga tidak bersifat patogen dan masih mempunyai sifat antigenik dengan berat molekul lebih besar dari 75 kda. Vaksin iradiasi SGB tidak bersifat patogen pada mencit dan dapat menimbulkan respon imun yang lebih baik dibanding kelompok mencit kontrol yang tidak divaksin. Aplikasi vaksin iradiasi SGB pada kambing perah dapat menimbulkan respon imun, sehingga besar harapan untuk dapat membuat vaksin iradiasi SGB dalam mencegah mastitis subklinis pada ternak ruminansia. Produksi susu kambing perah kelompok vaksin tidak mengalami penurunan sehingga dapat disimpulkan pula bahwa pemberian vaksin iradiasi SGB tidak mengganggu produksi susu. 2. Saran Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan uji lapang aplikasi vaksin SGB iradiasi pada hewan ruminansia khususnya sapi perah.

84 56

85 57 DAFTAR PUSTAKA Alsharifi M and Mullbacher A The γ-irradiated influenza vaccine and the prospect of producing safe vaccines in general. Immunol Cell Biol: 1-2. Abrar M Isolasi, karakterisasi dan aktifitas biologi hemaglutinin Staphylococcus aureus dalam proses adhesi pada permukaan sel epitel mamae sapi perah. IPB. Bogor. Abubakar M, Muhammad G, Ibrahim K Primary and secondary response to formalin inactivated Streptococcus agalactiae isolates in rabbits. Pakistan Vet J 26(3): Akers RM and Nickerson SC Mastitis and its impact on structure and function in the ruminant mammary gland. J Mammary Gland Biol. Neoplasia. Springer. Publish online 04 October Alatas Z Efek kesehatan pajanan radiasi. Cermin Dunia Kedokteran No Allen-Mierl D, Buxton R, Jones LK, Madl D, Mason A, Malendez J, Milligan P camp-test-protocols [27Juni2010] Arifin M Tanggap kebal sapi terhadap Fasciolosis akibat inokulasi metaserkaria Fasciola gigantica iradiasi. J Apl Isotop dan Radiasi. 2(1): Baratawidjaya KG dan Rengganis I Imunologi Dasar. Ed 8. Balai Penerbit. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Bogni, C, Ordieno L, Raspanti C, Giraudo J, Larriestra A, Reinoso E, Lasagno M, Ferrari M, Ducrós E, Frigerio C, Bettera S, Pellegrino M, Frola I, Dieser S, Vissio C War against mastitis: Current concepts on controlling bovine mastitis pathogens., Science against pathogens: communicating current research and technological advances., A. Mendez-Vilaz (Ed.) : , Cordoba Argentina. Bruckner DA and Colonna P Nomenclatur for Aerobic and Facultative Bacteria. Clin Infect Dis 25 : Carter GR Diagnostic Procedures in Veterinary Bacteriology and Mycology. Publisher Springfield. Illinois. 4 th Ed. Chanter N Streptococci and Enterococci as animal pathogens. J Applied Microbiol. Symposium Supplement. 83 : 100S 109S. Cowan ST Manual for The Identification of Medical Bacteria. Cambridge University Press. Cambridge London New York Melbourne Sydney. pp: Crowther JR The ELISA Guidebook, 2 nd ed., Humana Press, International Atomic Czarnecki L Nuclear physics. [12 Juni 2011].

86 58 Daignault D Serotype of Streptococcus agalactiae cultured from dairy milk sample in Quebec. Can Vet J 44: Darling CL Standardization and evaluation of CAMP reaction for the prompt, presumptive identification of Streptococcus agalactiae (Lancefield Group B) in clinical material. J Clin Microbiol : De Laval, 2008, Milking Technology, /.../ Milking _ Technology. htm [27 Juni 2009]. Dian AS, Lusia W, Franky, Rosana SD, Riyan P Karakterisasi kemampuan adesi bakteri penyebab mastitis subklinis pada sapi perah serta peluang pembuatan anti adesi untuk pencegahannya. J Saintifika Vol.II No.2 : [Dirjenak & Keswan] Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. [Dirkeswan] Manual Penyakit Hewan Mamalia: Mastitis. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Direktorat Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian: Duval J Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. [15 Juli 2010]. Estuningsih S, Soedarmanto I, Fink K, Lämmler C, Wibawan IWT Studies on Streptococcus agalactiae isolated from bovine mastitis in Indonesia, J Vet Med 49 (4): Estuningsih S Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah: Pendekatan histopatologis mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus agalactiae hemaglutinin positif pada mencit, Disertasi Doktor Pascasarjana, IPB. Evans JJ, Pasnik DJ, Klesius PH, Al-Ablani S First Report of Streptococcus agalactiae and Lactococcus garvieae from a wild bottlenose dolphin (Tursiups truncatus). J Wildlife Dis 42(3) : Facklam RR, Padula JF, Wortham EC, Cooksey RC, Rountree HA Presumptive identification of Group A, B, and D Streptococci on Agar Plate Media. J Clin Microbiol: Furuya Y, Regner M, Lobigs M, Koskinen A, Mullbacher A, Alsharifi M Effect of inactivation method on the cross-protective immunity induced by whole killed influenza A viruses and commercial vaccine preparations. J Gen Virol (91): Hall EJ, Giaccia AJ Radiobiology for the Radiologist. 6 th ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins. Hameed KGA, Sender G, Korwin-Kossakowska A Public health hazard due to mastitis in dairy cow. Animal Science Papers and Report vol.25, no.2:

87 59 Hamman J Diagnosis of mastitis and indicators of milk quality. Proceeding of IDF Congress on Mastitis in Dairy Production: Current Knowledge and Future Solutions. H. Hogeveen (Ed.). Wageningen Academic Publishers, The Netherlands p Hansen SM and Sørensen UBS Method for quantitative detection and presumptive identification of Group B Streptococci on primary platting. J Clin Microbiol. Vol.41 No.4: Harlina E Studi Patogenitas Fase Varian Streptococcus equi subsp. Zooepidimicus. Penyebab Wabah Penyakit pada Babi di Indonesia Berdasarkan Gambaran Patologi dan Virulensinya [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hashemi M, Kafi M, Safdarian M The prevalence of clinical and subclinical mastitis in dairy cows in the central region of fars province, South of Iran. Iranian J Vet Res, Shiraz University 12 (3) Ser. No. 36: Hayati Z, Karmil TF Patogenitas streptokakus grup B pada mencit neonatus. J Vet 10(4): Henrichen G, Ferrieri P, Jelinkova J, Kohler W, Maxted WR Nomenclature of antigens of group B streptococci. Int J Syst Bacteriol 34:500. Hughes MJG, Moore JC, Lane JD, Wilson R, Pribul PK, Younes ZN, Dobson RJ, Everest P, Reason AJ, Redfern JM, Greer FM, Paxton T, Panico M, Morris HR, Feldman RG, Santangelo JD Infect Immun pp: Hurley WL and Morrin DE Mastitis Lesson A. Lactation Biology, ANSCI 308, aces.uiuc.edu/ansci 308 [27 Juli 2009]. Keefe GP, Dohoo IR, Spangler E Physiology and Management: Herd prevalence and incidence of Streptococcus agalactiae in the dairy industry of Prince Edward island. J Dairy Sci 80 : Keefe GP Streptococcus agalactiae mastitis: A Review. Can Vet J (38): Kiernan JA Histological and Histochemical Method: Theory and Practice. 2 nd ed. UK. Pergenan Press. Kochman M Gamma radiation proves effective in vaccine development. BioPharm Bulletin. [5 Februari 2011]. Lämmler C, Wibawan IWT, Pasaribu FH Relation between encapsulation of streptococci of serogical group B and adherence properties of the bacteria to DEAE-sephacel. Media veteriner 5(4):1-5. Lang S. and Palmer M Characterization of Streptococcus agalactiae CAMP Factor as a Pore-forming Toxin. J Biol Chem 278 (10):

88 60 Lay BW Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Rajawali Press Lindahl G, Carlemalm MS, Areschoug T Surface proteins of Streptococcus agalactiae and related proteins in Other bacterial pathogens. Clin Microbiol Rev: Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latief H, Soejoedono RR Higiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Malinowski E, Lassa H, Klosowska A, Markiewicz H, Kaczmarowski M, Smulski S Relationship between mastitis agents and Somatic Cell Count in Foremilk Samples. Bull Vet Inst Pulawy 50 : Maricato E, Lange CC, Brito MAVP, Brito JRF, Cerqueira MMOP Characterization and antibiotic susceptibility patterns of catalase-negative Grampositive Cocci isolated from bovine mastitis in Brazil. ISAH Warsaw Poland Vol 1: Mirdhayati I, Handoko J, Putra KU Mutu susu segar di UPT Ruminansia Besar Dinas Peternakan Kabupaten Kampar Provinsi Riau. J Peternakan 5 (1): Moatamedi H, Shapouri, Ghorbanpoor M, Jamshidin M, Gooraninejad S A Polymerase Chain Reaction based study on the subclinical mastitis caused by Streptococcus agalactiae, S. dysgalactiae and S. uberis in Cattle in Ahvaz., Iranian J Vet Res University of Shiraz Vol.8, No.3, Ser. No. 20: Notebaert S and Meyer E Mouse models to study the pathogenesis and control of bovine mastitis. A review. Vet Quart 28: Park HM, Almeida RA, Oliver SP Identification of Lactoferin-Binding Proteins in Streptococcus species Isolated from Cows with Mastitis. FEMS Microbiol Letters vol 207 Issue 1 pp: Pasaribu FH, Wibawan IWT, Warsa UC Distribusi tipe antigen Streptococcus agalactiae isolat sapi dan manusia di Jakarta, Bogor dan Sekitarnya. Disampaikan dalam KONAS Permi ke-vi di Surabaya. Petrovski KR and Emanuel S Milk composition changes during mastitis. Published in composition changes during mastitis [3/17/2009]. Quin PJ, Markey BK, Carter MF, Donnelly WJC, Leonard FC Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Section II Pathogenic Bacteria: Streptococci. pp: Blackwell Science Asia Pty.Ltd. Victoria. Australia. Reitman M, Tribble HR Jr, Green L Gamma-irradiated Venezuelan Equine Encephalitis Vaccines. App Microbiol:

89 61 Rainard P, Lautrou Y, Sarradin P, Poutrel B Protein X of Streptococcus agalactiae induces opsonic antibodies in cows. J Clin Microbiol 29(9): Rinaldi M, Li RW, Capuco AV Mastitis associated transcriptomic disruption in cattle. Vet Immunol and Immunopathol 138 : Ruegg, P. L California Mastitis Test (CMT) Fact Sheet pdf/pg _CMT_factsheet_1.pdf [28 Juli 2010]. Sanakkayala N et al Induction of Antigen-Specific Th1 Type Immune Responses by Gamma-Irradiated Recombinant Brucella abortus RB51. Clin Diagn Lab Immunol 12 (12) : Seegers H, Fourichon C, Beaudeu F Production effect related to mastitis and mastitis economics in dairy cattle herds. Vet Res 34: Shearer JK and Harris B Jr Mastitis in dairy goats. University of Florida, Ifas extention. [28 Juli 2010]. Shim EH, Shanks RD, Morin DE Milk loss and treatment cost associated with two treatment protocols for clinical mastitis in dairy cows. J Dairy Sci 87: Soeminto B Manfaat Tenaga Atom untuk kesejahteraan manusia: Radiasi. Karya Indah: Sori H, Zerihum A, Abdicho S Dairy cattle mastitis in and around Sebeta Ethiopia. Int J Appl Res Vet Med 3 : Subandriyo dan Adiarto Sejarah perkembangan peternakan sapi perah. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor : Subronto Ilmu Penyakit Ternak I. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta : Sudarwanto M Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinik. Orasi Ilmiah, 22 Mei FKH IPB. Sudarwanto M., Latif MH, Noordin M The Relationship of the somatic cell counting to subclinical mastitis and to improve milk quality., 1 st International AAVS Scientific Conference. Jakarta, July 12-13, Sudarwanto M dan Sudarnika E Hubungan antara ph susu dengan Jumlah Sel Somatik sebagai parameter mastitis subklinis. Media Peternakan: Supar Mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia: masalah dan pendekatannya, Wartazoa 6 (2) :

90 62 Supar, Ariyanti T Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah. Pros. Semiloka Nas. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas PUSLITBANGNAK : Timoney JF, Kumar P Streptococcus. Di dalam Carlton LG, JF Prescott, G songer, Charles OT, editor. Pathogenesis Of Bacterial Infections In Animals 4th Edition. Danvers-Massachusetts USA: Blackwell Publishing. Hlm Tizard I Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi ke 2. Airlangga University Press. Trampuz A, Piper KE, Steckelberg JM, Patel R Effect of gamma irradiation on viability and DNA of Staphylococcus epidermidis and Escherichia coli. J Med Microbiol 55: Trigo G, Ferreira P, Ribeiro N, Dinis M, Andrade EB, Cristino JM, Ramirez M, Tavares D Identifications of immunoreactive extracelluler proteins of Streptococcus agalactiae in bovine mastitis. Canadian J Microbiol 54 (11): Trigo G, N, Dinis M, Franca A, Andrade EB, Rui M, da Costa G, Ferreira P, Tavares D Leukocyte populations and cytokine expression in the mammary gland in a mouse model of Streptococcus agalactiae matitis. J Med Microbiol 58: Tuasikal BJ, Sugoro I, Tjiptosumirat T, Lina M Pengaruh iradiasi sinar gamma pada pertumbuhan Streptococcus agalactiae sebagai bahan vaksin penyakit Mastitis pada sapi perah. J Sains Tek Nuklir Ind Vol. IV, Edisi Khusus (2): Tubiana M, Dutreix J, Wambersie A Introduction to Radiobiology. London : Taylor & Francis. Walker J. M The Protein Protocols Handbook: Human Press. Second ed. Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Wibowo MH Karakterisasi hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus penyebab mastitis subklinis sapi perah. J Sain Vet 23 (2): Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP Distribusi serotipe Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi perah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. J Vet Vol 7 (1). [WHO] World Health Organization Malaria early warning systems concepts, indicators and partners. A framework for field research in Africa. Geneva : The organization. Wibawan IWT, Lämmler C Properties of group B Streptococci with protein surface antigens X and R. J Clin Microbiol 28(12):

91 63 Wibawan IWT, Lämmler C Influence of capsuler neuramnic acid on properties of Streptococci of serogical group B. J Gen Microbiol 137: Wibawan IWT, Lammler C, Pasaribu FH Role of hydrophobic surface proteins in mediating adherence of group B streptococci to epithelial cells. J Gen Microbiol 138 (6): Wibawan IWT, Lammler C, Seleim R, Pasaribu FH A haemaglutinin adhesin of group B Streptococci isolated from cases of bovine mastitis mediates adherence to Hela cells. J Gen Microbiol 139(9): Wibawan IWT The possibility of using vaccine to control bovine subclinical mastitis and human neonatal infection caused by group B Streptococci. Media Veteriner 5: 1-6. Wu J, Hu S, Cao L Therapeutic effect of Nisin Z on subclinical mastitis in lactating cows., Antimicrob Agents and Chemoth 51 (9) : Xu H, Hu C, Gong R, Chen Y, Ren N, Xiao G, Xie Q, Zhang M, Liu Q, Guo A, Chen H Clin Vacc Immunol 18(6):

92 64

93 LAMPIRAN 65

94 66

95 67 Lampiran 1: Identifikasi S. agalactiae Grup-B Bagan identifikasi SGB yang berasal dari susu sapi MSK dengan uji CMT positif, berupa bakteri coccus Gram positif: SGB berasal dari bakteri cocci Gram positif, tidak bereaksi pada uji Katalase (negatif), berbentuk rantai panjang, bereaksi β hemolisis pada media agar darah dan bereaksi positif pada uji CAMP.

96 68 Lampiran 2. Karakterisasi SGB tanpa kapsul, keberadaan antigen protein dan Hemaglutinin positif (Hn+). Karakterisasi SGB isolat no.2 dengan kode isolat EK1: 1. Karakter tanpa kapsul ditunjukkan dengan pola pertumbuhan kompak pada media soft agar (SA) di tabung kanan. 2. SGB dengan antigen protein tumbuh dengan supernatan jernih dan membentuk sedimen di dasar tabung pada media cair Todd Hewitt Broth. 3. Hemaglutinin SGB menunjukkan jika bersifat adhesi pada kelenjar mamae

97 69 Lampiran 3. Pengamatan Pertumbuhan SGB Hn+ Bagan alur prosedur pembuatan kurva tumbuh bakteri SGB Hn+ isolat no.2 Pengamatan pertumbuhan SGB Hn+ dengan pengukuran nilai absorbansi: SGB Hn+ isolat no. 2 S. agalactiae isolat no. 2 Waktu (jam) Absorbansi Max , , , , µmax = (ln(at 2 ) ln(at 1-1) / (t (t 1)) Dimana: µmax = kecepatan pertumbuhan maksimal bakteri At 1 = Absorbansi pada waktu pertama At 2 = Absorbansi pada waktu kedua t = waktu dalam jam Pertumbuhan SGB Hn+ dengan waktu pembelahan sel maksimal pada 3 jam. Absorbansi Waktu (jam)

98 Log Jumlah Sel/ml 70 Lampiran 4. Prosedur Orientasi Dosis Iradiasi untuk Penentuan LD 50 Pengaruh iradiasi terhadap pertumbuhan SGB Hn+, semakin tinggi dosis iradiasi semakin rendah jumlah bakteri yang bertahan hidup Dosis Iradiasi (kgy) Diperoleh dosis iradiasi 17 Gy untuk atenuasi SGB Hn+ sampai taraf LD 50

99 71 Lampiran 5. Iradiator Gamma Chamber dengan Sumber Isotop Cobalt-60 ( 60 Co). Iradiasi SGB Hn+ dilakukan dalam iradiator Gamma Chamber dengan sumber isotop 60 Co menggunakan fasilitas Balai Iradiasi Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta. Perhitungan waktu paparan iradiasi untuk masing-masing dosis serap iradiasi : Waktu = Dosis / Laju dosis Dosis 50 Gy = 0,050 KGy = 5 Krad Laju dosis = 112,504 Krad/jam Waktu = 5 Krad = 0, jam = 2 menit 40 detik 112,504 Krad/jam untuk selanjutnya seperti tersaji dalam tabel berikut, Dosis serap iradiasi Waktu paparan iradiasi Gy menit detik

100 72 Lampiran 6. Jadwal Perlakuan dan Parameter Penelitian pada Hewan Model Mencit Persiapan Hewan Percobaan Mencit: Mencit yang digunakan dalam penelitian adalah mencit betina dalam keadaan bunting. Sebelum dikawinkan, seluruh mencit diberi obat cacing (albendazole50%) dengan dosis 10mg/kg BB dan diulang seminggu kemudian, lalu diberi antibiotik (clavamox) dengan dosis 25mg/kg BB selama lima hari berturut-turut setelah pemberian obat cacing yang pertama dengan jeda waktu 2 hari. Diberikan pula anti jamur (flagyl) dengan dosis 30mg/kgBB setelah jeda dua hari dari pemberian obat cacing yang kedua. 2 hari 5 hari 2 hari 2 hari 2 hari albendazole clavamox albendazole flagyl kawin Perlakuan Hewan Percobaan Mencit: Pengamatan parameter: 1.Histopat kelenjar mamae dengan pewarnaan Haematoksilin Eosin (HE) Alveol kelenjar produktif Sel epitel kelenjar deskuamasi Sel radang dalam lumen alveol kelenjar Sel radang interstisial 2.Antibodi Ig-G dengan ELISA secara tidak lansung.

101 73 Lampiran 7. Pembuatan Preparat Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit 1. Kelenjar mamae yang telah difiksasi dalam BNF 10% kurang lebih dua hari kemudian dipotong tipis. Potongan kelenjar mamae dengan ketebalan kurang lebih 3mm dimasukkan ke dalam tissue basket dan di dehidrasi dengan merendam sediaan secara berturut-turut pada alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, lalu dijernihkan dalam xilol I, xilol II, dan diinfiltrasi pada parafin parafin I, dan parafin II. Masing-masing proses perendaman dilakukan selama 2 jam dalam mesin automatic tissue processor, Sakura (Japan). 2. Jaringan dimasukkan ke dalam pencetak berisi parafin cair dengan bentuk blok dan disusun di tengah parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras. Selanjutnya, parafin yang berisi jaringan, dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 mikron. Hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan diatas permukaan air hangat bersuhu 45 0 celcius dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas obyek yang telah diolesi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Setelah itu, preparat dikeringkan dalam inkubator bersuhu 60 0 celcius semalam. 3. Sediaan yang telah kering dimasukkan ke dalam xilol dua kali selama 2 menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80% dengan waktu masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci pada air mengalir dan dikeringkan. 4. Sediaan yang telah siap, diwarnai dengan pewarnaan Mayer s Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium karbonat selama detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai dengan pewarna eosin selama 2 menit. Untuk menghilangkan warna eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian sediaan dicelup ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan,

102 74 alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit, dan xylol II selama 2 menit. 5. Sediaan dikeringkan dahulu, lalu ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup dengan cover glass dan dibiarkan selama beberapa menit hingga melekat sempurna. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dan diambil gambar menggunakan camera mikroskop. Identifikasi dan pengambilan gambar preparat dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

103 75 Lampiran 8. Ekstraksi Antigen SGB untuk coating Antigen pada ELISA Metode ekstraksi untuk mempersiapkan antigen untuk coating Ag pada ELISA mengikuti metode yang dikembangkan oleh Wibawan (1993). Ekstraksi Ag dilakukan dengan menggunakan Asam Klorida (HCl). 1. Sebanyak 40 ml biakan SGB Hn+ yang telah ditumbuhkan dalam media BHI broth selama 1 malam disentrifus (10000 rpm selama 10 menit, pada suhu 4 0 C); 2. Sedimen bakteri yang terbentuk kemudian dicuci sebanyak 2 kali menggunakan 10 ml 0,14 mol/l NaCl dengan sentrifugasi seperti metode penyiapan Ag di atas. 3. Sedimen bakteri yang terbentuk diresuspensikan dalam 350 µl larutan 0,2 mol/l asam klorida (HCl) dan diinkubasikan dalam penangas air pada suhu 52 o C, selama 2 jam. 4. Suspensi bakteri kemudian dinetralisasi oleh 1 mol/l NaOH dan diberi Phenol Red sebagai indikator. 5. Antigen untuk coating plat ELISA dikoleksi dengan cara sentrifugasi suspensi bakteri tersebut dengan kecepatan rpm, selama 5 menit pada suhu 4 o C. Supernatan yang terbentuk dipergunakan sebagai Antigen untuk melapisi sumuran pada plat ELISA dengan metode tidak langsung (Indirect ELISA)..

104 76 Lampiran 9. ELISA untuk Titer Antibodi Ig-G Prosedur ELISA (indirect) untuk pengukuran titer antibodi Ig-G sebagai berikut: 1. Coating plat ELISA dg Ag SGB dalam buffer carbonat bicarbonat ph 9,6 masing-masing 50 µl tiap sumur, bungkus alumunium foil, lalu simpan satu malam dalam refreegerator 4 o C 2. Cuci plat dengan PBS Tween20 (0,05%) 4 kali lalu bilas dengan aquabidest 3. Blocking dg Fetal Bovine Serum (FBS) 2% dalam PBS masing-masing 50 µl tiap sumur, lalu inkubasi 1jam dlm inkubator 37 o C 4. Cuci plat seperti langkah 2 5. Serum sampel yg sdh diinaktifasi pada penangas air 54 o C selama 30 menit dan diencerkan dgn PBS 1:30, diisikan kedlm sumuran plat sesuai pola nomor sampel, lalu diinkubasi 1 jam dlm inkubator 37 o C 6. Cuci plat seperti langkah 2 7. Penambahan conjugate Peroxidase-Anti mouse Ig-G (1:10.000) masingmasing 50 µl tiap sumur, lalu diinkubasi 1jam dlm inkubator 37 o C 8. Cuci plat seperti langkah 2 9. Masukkan substrat TMB (dalam ruang gelap) masing-masing 50 µl tiap sumur lalu diinkubasi dalam inkubator 37 o C selama 30 menit 10. Pembacaan titer ELISA dalam microplate reader Benchmark Biorad dengan panjang gelombang (λ) = 655 nm.

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil leukosit (nilai total leukosit diferensiasi jenis leukosit, dan jumlah masing-masing jenis leukosit) kambing PE setelah vaksinasi iradiasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) Sapi perah yang umum digunakan sebagai ternak penghasil susu di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. PENDAHULUAN Latar Belakang Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Seseorang pada umur produktif, susu dapat membantu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang diduga memiliki khasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sejumlah 205 sampel susu kuartir yang diambil dari 54 ekor sapi di 7 kandang peternakan rakyat KUNAK, Bogor, diidentifikasi 143 (69.76%) sampel positif mastitis subklinis (Winata 2011).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakteri Patogen dalam Susu Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi susu dipengaruhi beberapa faktor utama yang salah satunya adalah penyakit. Penyakit pada sapi perah yang masih menjadi ancaman para peternak adalah penyakit mastitis yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Kambing Susu merupakan bahan pangan alami yang mempunyai nutrisi sangat lengkap dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyuwangi secara astronomis terletak di antara 113 53 00 114 38 00 Bujur Timur dan 7 43 00 8 46 00 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi yang mencapai

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

DOSIS INAKTIF DAN KADAR PROTEIN Klebsiella pneumonia K5 HASIL IRADIASI GAMMA

DOSIS INAKTIF DAN KADAR PROTEIN Klebsiella pneumonia K5 HASIL IRADIASI GAMMA Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi DOSIS INAKTIF DAN KADAR PROTEIN Klebsiella pneumonia K5 I. Sugoro 1 Y. Windusari 2, dan D. Tetriana 3 Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116 EKO FARIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Produksi Susu Produksi susu yang fluktuatif selama sapi laktasi hal ini disebabkan kemampuan sel-sel epitel kelenjar ambing yang memproduksi susu sudah menurun bahkan beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI 15 METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 2, yang merupakan penelitian secara laboratorium untuk menggambarkan permasalahan secara menyeluruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangsa Sapi Perah Sapi-sapi perah di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah bangsa Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu terdapat warna

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar 4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Susu Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu, air dan peralatan berasal dari tujuh peternak dari Kawasan Usaha Peternakan Rakyat (Kunak), yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel susu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu dan produk olahannya merupakan pangan asal hewan yang kaya akan zat gizi, seperti protein, lemak, laktosa, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memenuhi hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu. Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia

Lebih terperinci

TOTAL BAKTERI DAN KANDUNGAN NUTRISI SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA YANG MENDAPAT PERLAKUAN OZON DENGAN LAMA WAKTU YANG BERBEDA SKRIPSI.

TOTAL BAKTERI DAN KANDUNGAN NUTRISI SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA YANG MENDAPAT PERLAKUAN OZON DENGAN LAMA WAKTU YANG BERBEDA SKRIPSI. TOTAL BAKTERI DAN KANDUNGAN NUTRISI SUSU KAMBING PERANAKAN ETAWA YANG MENDAPAT PERLAKUAN OZON DENGAN LAMA WAKTU YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh DESY GALUH KUSUMANINGRUM PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia dengan kelezatan dan komposisinya yang ideal karena susu mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Semua

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi

I PENDAHULUAN. menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Iradiasi merupakan salah satu jenis pengolahan bahan pangan yang menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi kehilangan akibat kerusakan dan pembusukan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok II. TINJAUAN PUSTAKA A. Usus Itik Semua saluran pencernaan hewan dapat disebut sebagai tabung dari mulut sampai anus, yang memiliki fungsi untuk mencerna, mengabsorbsi, dan mengeluarkan sisa makanan yang

Lebih terperinci

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

THE POSSIBILITY OF USING VACCINE TO CONTROL BOVINE SUBCLINICAL MASTITIS AND HUMAN NEONATAL INFECTION CAUSED BY GROUP B STREPTOCOCCI

THE POSSIBILITY OF USING VACCINE TO CONTROL BOVINE SUBCLINICAL MASTITIS AND HUMAN NEONATAL INFECTION CAUSED BY GROUP B STREPTOCOCCI THE POSSIBILITY OF USING VACCINE TO CONTROL BOVINE SUBCLINICAL MASTITIS AND HUMAN NEONATAL INFECTION CAUSED BY GROUP B STREPTOCOCCI PELUANG PENGGUNRAN VAKSIN UNTUK PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS PADA

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan berdarah panas yang berasal dari famili Bovidae. Sapi banyak dipelihara sebagai hewan ternak. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sambal Cabai 1. Sambal Sambal salah satu bahan yang terbuat dari cabai dan ditambah bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal memiliki cita rasa yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Geografis Kecamatan Busungbiu Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng memiliki letak geografis antara 114-115 Bujur Timur dan 8 03-9 23 Lintang

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009) TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang S.aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan penyakit infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga merupakan flora

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

Orientasi Dosis Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk

Orientasi Dosis Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Orientasi Dosis Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk (B.J. Tuasikal, dkk.) Orientasi Dosis Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Orientation of Streptococcus agalactiae Irradiation Dose for Subclinical

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya teknologi di segala bidang merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Diantara sekian banyaknya kemajuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Pencemaran Kuman Listeria monocytogenes

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Pencemaran Kuman Listeria monocytogenes HASIL DAN PEMBAHASAN Tiga puluh sampel keju impor jenis Edam diambil sebagai bahan penelitian. Sampel keju impor diambil didasarkan pada frekuensi kedatangan keju di Indonesia, dilakukan di Instalasi Karantina

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Susu Kuda Sumbawa Kuda Sumbawa dikenal sebagai ternak penghasil susu yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan susu kuda. Susu kuda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan masalah yang paling banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Kasus infeksi disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme patogen yang masuk

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah yang bersifat akut, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

Lebih terperinci

UJI BAKTERIOLOGI AIR ES BATU BALOK DI DAERAH PABELAN. SUKOHARJO DITINJAU DARI JUMLAH BAKTERI Coliform

UJI BAKTERIOLOGI AIR ES BATU BALOK DI DAERAH PABELAN. SUKOHARJO DITINJAU DARI JUMLAH BAKTERI Coliform UJI BAKTERIOLOGI AIR ES BATU BALOK DI DAERAH PABELAN SUKOHARJO DITINJAU DARI JUMLAH BAKTERI Coliform SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat. Selain dagingnya yang enak, ikan mas juga memiliki nilai jual

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L) UNTUK TEAT DIPPING DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI PADA SUSU SKRIPSI. Oleh

EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L) UNTUK TEAT DIPPING DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI PADA SUSU SKRIPSI. Oleh EFEKTIFITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L) UNTUK TEAT DIPPING DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI PADA SUSU SKRIPSI Oleh DYAH RUMANIAR PRASETYANTI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kesempurnaan Susu UHT/Uji Kekeruhan (Aschaffenburg test) Pengujian dilakukan terhadap 30 sampel susu UHT dari Australia dengan merek A sebanyak 15 sampel, dan merek B sebanyak 15

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi

Lebih terperinci

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase MURNI SARI, IDA BAGUS NGURAH SWACITA, KADEK KARANG AGUSTINA Laboratorium Kesmavet, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Penyakit infeksi ini

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN HENI RIZQIATI F 251020021 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah TEKNIK PEMERAHAN DAN PENANGANAN SUSU SAPIPERAH G. Suheri Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor PENDAHULUAN Perkembangan dalam pemeliharaan sapi perah pada akhir-akhir ini cukup pesat dibandingkan tahun-tahun

Lebih terperinci

AGENT AGENT. Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Jenis. Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak

AGENT AGENT. Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Jenis. Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak AGENT AGENT Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi Jenis Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak Dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/ esensial

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah

Lebih terperinci

ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA

ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA Alvita Ratnasari, 2011,Pembimbing 1 : Triswaty Winata, dr., M.Kes Pembimbing 2: Roys A. Pangayoman, dr., SpB., FInaCS. Madu,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

mengkonsurnsr daging babi atau darah yang tidak dimasak atau d~masak setengah matang Hal ini rnenjadi salah satu faktor pendukung penyebaran

mengkonsurnsr daging babi atau darah yang tidak dimasak atau d~masak setengah matang Hal ini rnenjadi salah satu faktor pendukung penyebaran Pendahuluan : Ekspresi Fenotip dan Aktivitas Biologi Streptokokus Grup C lsolaf asal I 'PENDAHULUAN 1 1 Latar Belakang DI negara berkembang mash ditemukan masyarakat yang gemar mengkonsurnsr daging babi

Lebih terperinci

STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE

STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE Nama : Margareta Krisantini P.A NIM : 07 8114 025 STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE Streptococcus pneumoniae adalah sel gram possitf berbentuk bulat telur atau seperti bola yang dapat menyebabkan berbagai macam

Lebih terperinci

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS

ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS ISOLASI DAN UJI ANTAGONIS BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK DARI TAMBAK UDANG TERHADAP BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT VIBRIOSIS TESIS Mariany Razali 087030016 Biologi / Mikrobiologi PROGRAM MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

RESPON IMUNOGENITAS ANTIBODI POLIKLONAL IgY TERHADAP PROTEIN ADHESI PILI 95 kda Shigella dysenteriae SKRIPSI

RESPON IMUNOGENITAS ANTIBODI POLIKLONAL IgY TERHADAP PROTEIN ADHESI PILI 95 kda Shigella dysenteriae SKRIPSI RESPON IMUNOGENITAS ANTIBODI POLIKLONAL IgY TERHADAP PROTEIN ADHESI PILI 95 kda Shigella dysenteriae SKRIPSI Oleh Asihanti Rosita Ferdiana NIM 102010101032 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2013 RESPON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu bahan alami yang mempunyai nilai gizi tinggi dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi manusia. Pada umumnya

Lebih terperinci

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NANANG SYAIFUL

Lebih terperinci