PROFIL KESEHATAN KOTA BEKASI TAHUN 2014

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROFIL KESEHATAN KOTA BEKASI TAHUN 2014"

Transkripsi

1 PROFIL KESEHATAN KOTA BEKASI TAHUN 2014

2 BAB I PENDAHULUAN merupakan media untuk penyajian data hasil kegiatan pembangunan kesehatan yang menggambarkan situasi dan kondisi kesehatan masyarakat Kota Bekasi pada tahun 2014, termasuk upaya dan pencapaian pembangunan kesehatan Kota Bekasi. Gambaran pembangunan kesehatan Kota Bekasi yang terdapat dalam ini melibatkan banyak pihak dalam melaksanakan berbagai upaya kesehatan melalui kerja sama lintas sektor yang serasi, harmonis, efektif, dan efisien. Mekanisme pengumpulan data dalam penyusunan Profil Kesehatan Kota Bekasi melibatkan UPTD Puskesmas se-kota Bekasi, Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi, Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Palang Merah Indonesia Cabang Kota Bekasi, dan Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kota Bekasi (BP3AKB). Instrumen yang digunakan dalam Profil Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2014 mengacu pada instrumen yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, yaitu Petunjuk Teknis Penyusunan Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2013 yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penyajian Data dalam Buku ini masih mengalami keterbatasan, yaitu belum tersedia seluruh data dan informasi yang terpilah/ responsif gender. Hal ini disebabkan karena pencatatan, pelaporan, penyusunan, serta informasi dari pelaksanaan kegiatan program baik di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Bekasi maupun instansi sumber data pendukung lain dari lingkungan Pemerintan Kota Bekasi belum semuanya menyediakan data dimaksud. 1

3 Buku Profil Kesehatan Kota Bekasi diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk memantau dan mengevaluasi pencapaian pembangunan kesehatan di Kota Bekasi termasuk kinerja dari penyelenggaraan pelayanan minimal bidang kesehatan di Kota Bekasi. Selain itu juga diharapkan dapat menjadi acuan untuk menyusun perencanaan ke depan di bidang kesehatan. Adapun sistematika penyajian profil kesehatan Kota Bekasi tahun 2014 sebagai berikut. BAB I - Pendahuluan. Bab ini menyajikan tentang latar belakang serta tujuan diperlukannya Profil Kesehatan serta sistematika penyajiannya. BAB II - Visi Misi Pembangunan Kesehatan Kota Bekasi. Bab ini berisi tentang visi misi pembangunan kesehatan Kota Bekasi. BAB III - Gambaran Umum. Bab ini berisi tentang gambaran umum Kota Bekasi yang terdiri dari peta wilayah, wilayah administrasi, kondisi daerah, serta faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kesehatan dan faktor lainnya seperti kependudukan, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. BAB IV Situasi Derajat Kesehatan. Bab ini menyajikan tentang indikator mengenai mortalitas (umur harapan hidup, kematian ibu, kematian bayi dan balita), dan morbiditas (gambaran umum masalah kesehatan, gambaran penyakit menular, penyakit tidak menular), dan status gizi. BAB V Situasi Upaya Kesehatan. Bab ini berisi tentang uraian pelayanan kesehatan dasar berupa kesehatan ibu anak, keluarga berencana, imunisasi, pelayanan kesehatan usia lanjut; pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit, pelayanan kesehatan khusus dan promosi kesehatan. BAB VI Sumber Daya Kesehatan. Bab ini menyajikan tentang tenaga kesehatan, sarana pelayanan kesehatan dasar, sarana pelayanan kesehatan rujukan, dan pembiayaan kesehatan. BAB VII Kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan tentang keadaan umum maupun pencapaian pembangunan kesehatan dan kinerja pembangunan kesehatan. 2

4 Lampiran Pada lampiran berisi tabel resume profil kesehatan yang berisi angka pencapaian pembangunan kesehatan Kota Bekasi dan 85 tabel data terpilah. 3

5 BAB II VISI MISI PEMBANGUNAN KESEHATAN KOTA BEKASI 2.1 Visi Dinas Kesehatan Kota Bekasi Dinas Kesehatan Kesehatan sebagai salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kota Bekasi bekerja mengacu pada visi pembangunan Kota Bekasi tahun yaitu Bekasi Yang Maju, Sejahtera dan Ihsan. Untuk itu arah yang harus dicapai oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi adalah mewujudkan sikap dan kondisi masyarakat Kota Bekasi yang mampu memenuhi kebutuhannya untuk lebih maju dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri, dalam bidang kesehatan. Untuk mendukung visi pembangunan Kota Bekasi ini, dan visi Kementerian Kesehatan yaitu Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan, maka Dinas Kesehatan Kota Bekasi merumuskan visi yaitu Pelayanan Kesehatan Prima Menuju Masyarakat Kota Bekasi yang Sehat dan Mandiri. Pelayanan Kesehatan Prima berarti upaya dengan mutu terbaik yang diselenggarakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan baik perorangan, kelompok maupun masyarakat. Sehat berarti suatu keadaan masyarakat Kota Bekasi yang sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani) dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Mandiri berarti sikap dan kondisi masyarakat Kota Bekasi yang mampu memenuhi kebutuhannya untuk lebih maju dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri, untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat beserta lingkungannya. 4

6 2.2 Misi Dinas Kesehatan Kota Bekasi Rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan Dinas Kesehatan dalam mewujudkan visi di atas ditetapkan melalui 4 (empat) misi, yaitu: 1. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. 2. Meningkatnya upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. 3. Meningkatkan status gizi masyarakat. 4. Menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan yang merata dan berkualitas. Penjabaran dari misi di atas adalah sebagai berikut. Misi 1: Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, mencerminkan upaya yang akan dilaksanakan Dinas Kesehatan bermitra dengan pihak terkait vertikal dan horizontal untuk mendorong kemandirian masyarakat untuk secara aktif menjaga kesehatannya, mampu memilih upaya kesehatan yang diperlukannya, mampu menjangkau upaya kesehatan yang diperlukannya terutama dari aspek pembiayaan. Serta upaya Dinas Kesehatan untuk menjamin kualitas pelayanan kesehatan diberbagai jenjang fasilitas pelayanan kesehatan. Misi 2: Meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit mencerminkan upaya yang akan dilaksanakan Dinas Kesehatan bermitra dengan pihak terkait vertikal dan horizontal untuk melindungi masyarakat dari ancaman penyakit menular maupun tidak menular melalui sistem deteksi dini faktor resiko akan terjadinya suatu penyakit yang melibatkan masyarakat dan tindak lanjutnya yang berkesinambungan, yang mengutamakan pada upaya pencegahan dan pengendalian lingkungan. Misi 3: Meningkatkan status gizi masyarakat mencerminkan upaya yang akan dilaksanakan Dinas Kesehatan bermitra dengan pihak terkait vertikal dan horizontal untuk melindungi masyarakat terhadap upaya menangani permasalahan gizi yang dihadapi masyarakat. 5

7 Misi 4: Menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan yang merata dan berkualitas mencerminkan upaya yang akan dilaksanakan Dinas Kesehatan bermitra dengan pihak terkait secara vertikal dan horizontal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya kesehatan sesuai dengan kebutuhan.dan standar yang ditetapkan. 2.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai sebagai penjabaran dan implementasi dari misi yang telah ditetapkan Dinas Kesehatan untuk mencapai visi, melaksanakan misi, memecahkan permasalahan, dan menangani isu strategis daerah yang dihadapi adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya kemandirian masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas. 2. Meningkatnya kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. 3. Menjamin akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. 4. Terwujudnya kualitas fasilitas pelayanan kesehatan. 5. Tersedianya data penunjang kebijakan dan manajemen kesehatan. 6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular. 7. Menurunnya prevalensi masalah gizi pada kelompok masyarakat rentan. 8. Menjamin ketersediaan sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas. 6

8 BAB III GAMBARAN UMUM 3.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bekasi merupakan salah satu Kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di ujung sebelah barat laut Provinsi Jawa Barat. Kota Bekasi memiliki luas wilayah sekitar 210,49 km 2, dengan batas wilayah Kota: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bekasi - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok - Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta. Gambar 3.1 Peta Wilayah Kota Bekasi 7

9 Secara geografis Kota Bekasi berada pada posisi 106º º27 29 Bujur Timur serta Lintang Selatan. Wilayah Kota Bekasi berada pada ketinggian antara 11 m - 81 m di atas permukaan laut. Wilayah administrasi Kota Bekasi sejak tahun 2001 sampai tahun 2004 terbagi menjadi 10 Kecamatan yang terdiri dari 52 Kelurahan. Tetapi mulai tahun 2005 sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 04 Tahun 2004 tentang Pembentukan Wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan, Kota Bekasi terbagi menjadi 12 kecamatan yang terdiri dari 56 kelurahan dan belum ada perubahan sampai dengan Tahun Kependudukan Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Kondisi Kota Bekasi yang terletak bersebelahan dengan ibukota Negara (DKI Jakarta), menjadikan Kota Bekasi sebagai salah satu daerah penyangga ibukota. Sehingga banyak kemudahan serta kelengkapan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bekasi sebagai akses menuju Jakarta sehingga menjadikan Kota Bekasi sebagai salah satu daerah penyeimbang DKI Jakarta. Seiring peningkatan infrastruktur di Kota Bekasi, terjadi juga peningkatan jumlah penduduk di Kota Bekasi setiap tahunnya. Sejak dibentuk sebagai Kota Bekasi pada tanggal 10 Maret 1997 hingga tahun 2014, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk hampir dua kali lipat. Jumlah penduduk tahun 1997 sebanyak jiwa dan tahun 2014 diperkirakan jumlah penduduk Kota Bekasi sebanyak jiwa (Sumber: BPS Kota Bekasi). Komposisi penduduk berdasarkan struktur umur, penduduk Kota Bekasi termasuk dalam kategori penduduk menengah, karena jumlah terbanyak berada pada kelompok umur tahun ( jiwa), diikuti kelompok umur tahun ( jiwa) dan umur tahun ( jiwa). 8

10 Gambar 3.2 Piramida Penduduk Kota Bekasi Tahun 2014 Piramida penduduk di atas berbentuk kendi. Bentuk ini terjadi karena adanya penurunan tingkat kelahiran dan kematian bayi. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin penduduk Kota Bekasi hampir berimbang, laki-laki sebanyak (50,5 persen) dan perempuan sebanyak (49,5 persen). Dengan demikian diketahui rasio jenis kelamin (sex ratio) Kota Bekasi sebesar 101,90 yang artinya dari setiap 100 penduduk perempuan, terdapat 102 penduduk laki-laki. Kecamatan yang paling banyak kelebihan laki-laki adalah Kecamatan Bantargebang dengan rasio jenis kelamin 110,70. Bantargebang merupakan salah satu daerah industri di Kota Bekasi yang menarik banyak pendatang terutama kaum laki-laki yang bekerja di sektor industri. Selain itu di Bantargebang juga terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah domestik, yang juga menarik banyak pendatang untuk mencari rezeki. Diikuti oleh Kecamatan Bekasi Timur dengan rasio jenis kelamin sebesar 103,77 karena di 9

11 kecamatan ini terdapat lembaga pemasyarakatan yang seluruh penghuninya adalah laki-laki. Grafik 3.1 Laju Pertumbuhan Penduduk Di Kota Bekasi Tahun 2011 s.d Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya tidak diiringi peningkatan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Kota Bekasi. Tahun 2014 LPP di Kota Bekasi sebesar 2,707 persen, menurun dari tahun sebelumnya (2013) sebesar 2,766 persen. Seperti terlihat pada grafik 3.1 di atas. Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan oleh migrasi penduduk yang tinggi karena Kota Bekasi sebagai daerah penyangga ibukota Negara, dengan meningkatnya perumahanperumahan baru di wilayah Kota Bekasi dan perkembangan industri di daerah atau sekitar daerah tersebut. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) menurut kecamatan, tertinggi sama seperti tahun 2013 lalu yaitu di Kecamatan Mustika Jaya sebesar 6,88 persen. Dan kecamatan dengan LPP terendah adalah Kecamatan Bekasi Timur sebesar 0,44 persen. Seperti terlihat pada grafik 3.2 berikut. 10

12 Grafik 3.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan Di Kota Bekasi Tahun Persebaran dan Kepadatan Penduduk Persebaran penduduk di Kota Bekasi tidak merata, penduduk terkonsentrasi di wilayah pusat kota sehingga hal ini dapat mengakibatkan daya dukung lingkungan di wilayah tersebut menjadi rendah akibat kepadatan yang tinggi. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial seperti: pemukiman penduduk yang padat dan kumuh, kemacetan lalu lintas, kriminalitas, dan sebagainya. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Bekasi Utara, dan sebaliknya penduduk dengan jumlah paling sedikit terdapat di Kecamatan Bantargebang. Dilihat dari kepadatan penduduk menurut kecamatan, Kecamatan Bekasi Timur merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk paling tinggi yaitu sebesar jiwa/km 2 karena di wilayah ini banyak perumahan penduduk. Dan Kecamatan Pondok Melati adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk paling rendah dengan tingkat kepadatan jiwa/km 2. 11

13 Tabel 3.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Km 2 menurut Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2014 No. Kecamatan Luas Wilayah (Km 2 ) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/ km 2) 1. Pondok Gede 16, Pondok Melati 18, Jati Sampurna 14, Jati Asih 22, Rawa Lumbu 15, Bekasi Timur 13, Bekasi 14, Selatan 8. Bekasi Utara 19, Bekasi Barat 18, Medan Satria 14, Bantargebang 17, Mustika Jaya 24, Jumlah 210, Struktur umur penduduk di Kota Bekasi mengalami transisi demografi cukup cepat. Proporsi balita (0-4 tahun) mencapai 9,25 persen. Dan penduduk usia muda (0-14 tahun) mencapai 26,69 persen. Sedangkan penduduk usia tua (>65 tahun) mencapai 2,37 persen. Keadaan ini berimplikasi pada beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif. Rasio ketergantungan penduduk berarti jumlah orang yang secara ekonomi tidak aktif per seratus penduduk yang aktif secara ekonomi. Rasio ketergantungan Kota Bekasi sebesar 40,96 persen artinya setiap seratus orang penduduk produktif (15-64 tahun) menanggung orang penduduk usia tidak produktif. Rasio ketergantungan ini dibagi menjadi 2 yaitu Youth Dependency Ratio (YDR) dan Aged Dependency Ratio (ADR). YDR di Kota Bekasi tahun 2014 sebesar 37,63 persen artinya bahwa setiap seratus orang penduduk produktif menanggung sekitar orang penduduk usia tidak produktif muda (<15 tahun). Sedangkan ADR Kota Bekasi sebesar 3,34 persen artinya bahwa setiap seratus orang penduduk produktif menanggung 3 orang penduduk usia tidak produktif tua (65 tahun ke atas). 12

14 3.3 Pendidikan Keberhasilan Pembangunan di suatu wilayah sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Ukuran keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: kemampuan membaca dan menulis (melek huruf), Angka Partisipasi Sekolah (APS), dan tingkat pendidikan penduduknya. Indikator-indikator ini untuk melihat potensi intelektual masyarakat dalam menyerap informasi sehingga dapat mendukung dalam pembangunan daerah. Angka Melek Huruf pada penduduk berumur 10 tahun ke atas di Kota Bekasi tahun 2014 sebesar 99,99. Angka ini sudah cukup tinggi, artinya hampir seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Kota Bekasi sudah mampu berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Grafik 3.3 Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Di Kota Bekasi Tahun ,000, , , , , , , , , , ,083 Pra Sekolah 251, , , ,243 16,435 78,394 13, SD SLTP SLTA DII DIII S1 S2 S3 Sumber: Dinas Pendidikan Kota Bekasi Jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA merupakan jumlah tertinggi di Kota Bekasi tahun 2014 (sebesar 40,33 persen). Sedangkan tingkat pendidikan Strata 3 merupakan tingkat pendidikan dengan jumlah terendah pada penduduk Kota Bekasi (sebesar 0.04 persen). 13

15 3.4 Lingkungan Fisik Rumah Sehat Rumah Sehat adalah rumah dimana bangunan rumah memenuhi 4 kriteria yaitu : a. Memenuhi syarat psikologi, sebagai contoh rumah harus memiliki ruang yang diberi batas jelas seperti ada kamar keluarga, kamar tidur yang berpintu sehingga penghuninya menrasa aman nyaman. b. Memenuhi syarat fisiologi, sebagai contoh tinggi pintu harus lebih tinggi dari tinggi penghuni orang dewasa. c. Dapat mencegah timbulnya penyakit menular, ventilasi harus sesuai dengan ketentuan, ada sarana sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan d. Dapat mencegah timbulnya kecelakaan, terletak di daerah aman, jauh dari pencemaran, jaringan listri dalam rumah rapih dan jauh dari jangkauan anak anak. Jumlah rumah yang ada di wilayah Kota Bekasi sebanyak unit. Dari jumlah tersebut, sebanyak unit atau sekitar persen telah memenuhi syarat kesehatan. Jumlah ini naik dari tahun 2013 yaitu sebesar 85,92 persen. Peningkatan rumah sehat ini disebabkan oleh adanya program perbaikan RUTILAHU (Rumah Tidak Layak Huni) pada 12 wilayah kecamatan dan 56 Kelurahan di Kota Bekasi Akses Air Minum Berkelanjutan Sumber air minum yang digunakan oleh masyarakat Kota Bekasi sebagian besar berasal dari air sumur bor dengan kedalaman maksimal 30 meter, sumur gali yang dilengkapi dengan pompa listrik, dan ada pula yang bersumber dari terminal air. Seperti yang terdapat pada beberapa kelurahan yaitu: Kelurahan Jatimakmur, Jatibening, Kaliabang Tengah dan Kelurahan Bantargebang. 14

16 Sumber air lainnya yaitu air yang berasal dari PDAM, sekitar 1,24 persen sumber air minum masyarakat Kota Bekasi berasal dari PDAM. Ada 2 PDAM yang menyuplai masyarakat Kota Bekasi yaitu PDAM Tirta Patriot milik Pemerintah Daerah Kota Bekasi dan PDAM Tirta Bhagasasi milik Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi. Selain itu masih ada beberapa Penyelenggara air minum yang dikelola oleh masyarakat seperti PAM di Perumahan Kemang dan PAM yang ada di Perumahan Pondok Hijau (keduanya berada di Kecamatan Rawalumbu). Sedangkan penyelenggara air dengan skala kecil terdapat di Kelurahan Margajaya dan Jatibening yang didanai oleh Pemerintah Pusat pada tahun 2012 melalui Integrated Citarum Water Resource Management Investment Program (ICWRMIP). Dalam hal pengawasan kualitas, PDAM Tirta Bhagasasi sudah melakukan pengawasan dengan melakukan uji kualitas secara eksternal dengan rata-rata hasil masih di bawah target yang diharapkan yaitu 100 persen. Kemungkinan besar kebocoran pada sambungan rumah mengakibatkan penurunan kualitas air PDAM tersebut. Karena sepanjang tahun 2014 kualitas sampel air yang diambil dari reservoar hasilnya cukup baik yaitu 100 persen memenuhi syarat kesehatan baik fisik, kimia dan mikrobakteriologis. Depot air minum yang tersebar di 31 wilayah kerja Puskesmas yaitu sebanyak 686 sarana. Pada tahun 2014 telah dilakukan pemeriksaan sampel pada penyelenggara air minum tersebut dengan 333 sampel yang diperiksa. Hasil yang peroleh dari pemeriksaan tersebut adalah hanya 241 sampel yang memenuhi syarat kesehatan atau sekitar 72,37 persen. Maraknya peredarn air depot dan masih rendahnya pengawasan yang dilakukan secara internal (pengawasan oleh pengusaha Depot) mendorong pemerintah membuat usulan di tahun 2015 untuk melakukan kajian pentingnya pengawasan air minum oleh penyelenggara air minum. 15

17 3.4.3 Akses Fasilitas Sanitasi Penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi layak (jamban sehat) menurut jenis jamban dapat dilihat pada lampiran tabel 62. Sebagian besar penduduk di Kota Bekasi dengan akses jamban memenuhi syarat ada sebanyak 89,72 persen, sebagian besar masyarakat Kota Bekasi menggunakan jamban leher angsa sebanyak unit dengan sarana yang memenuhi syarat sebanyak unit atau sekitar 99,03 persen. Jumlah jamban Komunal 638 unit, jumlah jamban plengsengan sebanyak 19 unit dan hanya ada di Kelurahan Jati Makmur sedangkan Jamban cemplung masih banyak terdapat di Kecamatan Mustikajaya, Bantargebang, Jatiasih, Pondokmelati dan Pondokgede, jumlah sarana jamban cemplung seluruhnya sebanyak unit Kelurahan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Kota bekasi terdiri dari 12 Kecamatan dengan 56 Kelurahan, Kelurahan yang sudah melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah kelurahan dimana masyarakaatnya sudah terpapar STBM sebanyak 23 Kelurahan, sedangkan Kelurahan STBM adalah Kelurahan yang sudah melakukan 5 Pilar STBM yaitu : 1. Stop Buang Air Besar Sembarangan 2. Cuci Tangan Pakai Sabun 3. Pengelolaan Air Minum dan makanan Rumah Tangga 4. Pengelolaan Sampah dengan 3 R 5. Pengelolaan air limbah rumah tangga (domestik) Di Kota Bekasi belum terlihat ada kelurahan yang merupakan kelurahan STBM begitu juga dengan kelurahan yang Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABs), karena belum ada satu Kelurahan pun yang berani mengajukan Kelurahannya untuk di verifikasi Stop BABs. Untuk meningkatkan capaian program STBM, upaya yang sudah dilakukan adalah: 16

18 1. Meningkatkan kemampuan petugas sanitasi untuk melaksanakan pemicuan atau pendekatan kepada masyarakat untuk mempunyai keinginan dalam merubah perilaku Stop BABs. 2. On the Job Training (OJT) di beberapa Puskesmas pada saat Dinas Kesehatan memiliki program terkait STBM seperti misalnya program P2WKSS (Peningkatan peranan wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera). 3. Kerja sama dengan LSM yaitu IUWASH (Indonesia Urban Water and Sanitation Hygiene) yang pada tahun 2014 membantu melakukan OJT pembuatan septik tank berstandar SNI di Kelurahan Padurenan, memfasilitasi pembuatan Peraturan Walikota Tentang Penyelenggaraan Kegiatan STBM di Kota Bekasi dengan Peraturan Walikota Bekasi nomor 44 tahun Kerjasama dengan PT. Aqua Golden Mississipi (AGM) dengan PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat) sebagai pihak ketiga secara rutin membina RW di Kelurahan Medansatria, sejak tahun 2011 sudah 3 RW yang diintervensi dengan nama kegiatan Kampung Hijau di RW 7, 8, 10 dan tahun 2014 mengintervensi di RW 6 Kelurahan Medansatria Kecamatan Medansatria. Pada tahun 2014 ini 60 KK telah disuport untuk kepemilikan septik tank komunal, sehingga masyarakat tidak membuang tinjanya ke selokan, untuk kegiatan seperti ini PT AGM, sudah merencanakan akan mengintervensi di RW 5 kelurahan Medansatria dengan kegiatan yang sama. Bina Masyarakat Peduli (BMP) Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) lokal juga banyak melakukan kegiatan di Kota Bekasi dengan spesialisasi meningkatkan perubahan perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) pada tahun 2014 dilaksanakan pada 100 Sekolah Dasar di 12 kecamatan di Kota Bekasi. 17

19 BAB IV SITUASI DERAJAT KESEHATAN 4.1 Angka Harapan Hidup Pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan/ kemajuan suatu negara. IPM mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup: umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan ratarata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Angka Harapan Hidup (AHH) pada waktu lahir merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Selain merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap IPM, angka harapan hidup juga merupakan salah satu indikator derajat kesehatan. Tinggi rendahnya angka harapan hidup merupakan indikator taraf hidup suatu daerah. Semakin tinggi angka harapan hidup berarti semakin meningkat pula derajat kesehatan masyarakat. 18

20 Grafik 4.1 Indeks Pembangunan Manusia dan Angka Harapan Hidup di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d IPM AHH Sumber data: BPS Kota Bekasi Angka harapan hidup dan indeks pembangunan manusia Kota Bekasi setiap tahunnya terus meningkat. Berdasarkan data BPS Kota Bekasi tahun 2014 AHH Kota Bekasi yaitu 74,18 tahun, dan IPM Kota Bekasi sebesar 78,84. Grafik 4.1 di atas menunjukkan kecenderungan peningkatan IPM dan AHH di Kota Bekasi. Namun, pertumbuhan angka harapan hidup Kota Bekasi lebih lambat dibandingkan pertumbuhan indeks pembangunan manusia Kota Bekasi. 4.2 Kelahiran Angka kelahiran kasar (Crude Birth Rate) menunjukkan jumlah kelahiran per penduduk dalam suatu periode, biasanya satu tahun. CBR merupakan ukuran fertilitas yang sangat kasar karena penduduk yang digunakan sebagai penyebut adalah semua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dan semua umur yang tidak mempunyai potensi untuk melahirkan. 19

21 Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, diketahui CBR Kota Bekasi sebesar 17,4 (Sumber: BPS Kota Bekasi). Grafik 4.2 berikut menunjukkan jumlah bayi lahir dan CBR di Kota Bekasi berdasarkan pencatatan dan pelaporan Puskesmas se-kota Bekasi. Jumlah bayi lahir pada tahun 2014 sebanyak bayi meningkat dari tahun 2013 sebanyak bayi, namun CBR tahun 2014 (17,64) sedikit menurun dibandingkan tahun 2013 (17,83). Grafik 4.2 Jumlah Kelahiran Bayi dan Crude Birth Rate di Kota Bekasi Tahun 2008 s.d ,000 46,000 44,000 42, ,000 38,000 36,000 41,944 39,642 41,547 45,342 47,067 46,223 46, , Jumlah Kelahiran CBR 4.3 Kematian Kematian Bayi Salah satu tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan kematian anak. Target MDGs yang ingin dicapai pada tahun 2015 adalah mengurangi tingkat kematian anak-anak dibawah 5 tahun (balita) hingga dua per tiganya dari kondisi tahun Indikator keberhasilan target ini antara lain: angka kematian bayi, angka kematian balita, dan cakupan imunisasi campak untuk anak usia hingga 12 bulan dan bulan. 20

22 Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun per kelahiran hidup pada tahun yang sama. AKB merupakan indikator yang terbaik untuk menilai status kesehatan di suatu wilayah. Indikator ini terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. Berdasarkan pencatatan dan pelaporan Puskesmas se-kota Bekasi, jumlah kematian bayi (dilaporkan) di Kota Bekasi mengalami sedikit penurunan yaitu terdapat 47 kasus kematian bayi pada tahun 2014, sedangkan pada tahun 2013 terdapat 48 kasus kematian bayi. Grafik 4.3 Distribusi Kematian Bayi (dilaporkan) dan Kelahiran Hidup Menurut Kecamatan di Kota Bekasi Tahun , Kelahiran Hidup Kematian Bayi Kematian bayi terjadi pada masa neonatal atau baru lahir hingga usia 28 hari, dengan jumlah kematian bayi tertinggi di Kecamatan Bekasi Utara (11 bayi dari kelahiran hidup) dan terendah di Kecamatan Jati Sampurna yaitu 1 bayi dari kelahiran hidup. Hal ini terlihat pada grafik 4.3 di atas. 21

23 Berdasarkan pencatatan dan pelaporan Puskesmas, penyebab kematian bayi tertinggi tahun 2014 yaitu Asfiksia, Berat bayi Lahir Rendah (BBLR), pneumonia dan penyebab lain-lain (kelainan bawaan dan anenchepal) Kematian Balita Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per kelahiran hidup. Angka kematian balita merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal anak-anak termasuk pemeliharaan kesehatannya. Akaba kerap dipakai untuk mengidentifikasi kesulitan ekonomi penduduk. Manfaat Akaba adalah untuk mengetahui gambaran tingkat permasalahan kesehatan anak Balita, tingkat pelayanan KIA/Posyandu serta kondisi sanitasi lingkungan. Berdasarkan laporan kematian dari Puskesmas dan Rumah Sakit se-kota Bekasi tidak ada kasus kematian anak balita (usia 1 sampai kurang dari 5 tahun) pada tahun 2014, jumlah ini menurun jika dibandingkan pada tahun 2013 terdapat 1 kasus dan 3 kasus pada tahun Namun jumlah kematian balita seluruhnya (usia 0 sampai kurang dari 5 tahun) di Kota Bekasi tahun 2014 sebanyak 47 orang Kematian Ibu Angka kematian ibu atau Maternal Mortality Rate (MMR) yang merupakan salah satu tujuan/ sasaran MDGs adalah banyaknya wanita yang meninggal karena suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per kelahiran hidup. 22

24 Indikator ini dapat dilakukan pada daerah yang kelahiran hidupnya minimal Manfaat AKI adalah untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan sewaktu ibu melahirkan, dan masa nifas. Target MDGs untuk menurunkan AKI pada tahun 2015 adalah 102 per kelahiran hidup. Sedangkan data SDKI tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI Indonesia sebesar 228 per kelahiran hidup. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam (59 per kelahiran hidup). Hal inilah yang menempatkan Indonesia sebagai salah Negara dengan AKI tertinggi di Asia dan tertinggi ketiga di kawasan ASEAN. Oleh karena itu diperlukan upaya yang keras untuk dapat menurunkan AKI ini. Salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan angka kematian ibu adalah dengan meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas kesehatan. Berdasarkan pencatatan dan pelaporan Puskesmas dan rumah sakit di Kota Bekasi tahun 2014, jumlah kematian ibu dilaporkan menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 22 orang, terlihat pada grafik 4.4 berikut. 20 Grafik 4.4 Jumlah Kematian Ibu (dilaporkan) di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d Ibu Hamil Ibu Bersalin Ibu Nifas

25 Jumlah kematian ibu tertinggi pada kelompok umur >25 tahun karena kelompok umur ini merupakan masa produktif seorang ibu. Dari grafik 4.4 berikut, ibu bersalin/melahirkan merupakan kondisi kematian tertinggi di Kota Bekasi. Selain itu, terjadi kecenderungan peningkatan jumlah kematian ibu hamil dan ibu nifas, dengan demikian pelaksanaan P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) harus ditingkatkan agar jumlah kematian ibu dapat diturunkan. Dilihat berdasarkan kecamatan, jumlah kematian ibu tertinggi yaitu di Kecamatan Bekasi Timur 5 kasus dan Mustika Jaya 3 kasus, sedangkan Kecamatan Pondok Gede, Jati Sampurna dan Rawa Lumbu tidak terdapat kasus kematian ibu. Grafik 4.5 Jumlah Kelahiran Hidup dan Jumlah Kematian Ibu (dilaporkan) Menurut Kecamatan di Kota Bekasi Tahun , Kelahiran Hidup Kematian Ibu Penyebab kematian ibu tahun 2014 antara lain: perdarahan, pre eklamsi, penyakit penyerta (jantung dan sesak), infeksi post partum, pasca sectio, dan lain-lain. Beberapa penyebab kematian tersebut dihindari dengan adanya program P4K (program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi). 24

26 4.3.4 Kematian Kasar Angka Kematian Kasar atau Crude Death Rate (CDR) merupakan petunjuk umum status kesehatan masyarakat, menggambarkan tingkat permasalahan penyakit, kondisi sosial ekonomi dan kondisi lingkungan. Angka kematian kasar di Kota Bekasi belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan pencatatan dan pelaporan rumah sakit jumlah orang yang meninggal pada tahun 2014 ada sebanyak orang. Jumlah ini belum menunjukkan jumlah yang sebenarnya karena dari 37 rumah sakit yang ada di Kota Bekasi, baru 15 rumah sakit (40,54 persen) yang melaporkan data kematian dan itu pun belum lengkap. Untuk mengetahui gambaran distribusi kematian di rumah sakit dapat dilihat pada grafik 4.6 seperti berikut Grafik 4.6 Distribusi Kematian Menurut Laporan Kematian Rumah Sakit di Kota Bekasi Tahun 2014 Anna Medika Dr. Subki AK Graha Juanda Jati Sampurna Hermina Galaxi Budi Lestari Hermina Bekasi Bella Mitra Kel. Cibubur Jati Rahayu Bhakti Kartnini Mitra Kel. Bekasi Mitra Kel. Bekasi Rawa Lumbu St Elisabeth

27 Grafik 4.7 Distribusi Kematian di Rumah Sakit Menurut Kecamatan Di Kota Bekasi Tahun 2014 Jml Proporsi (%) Grafik 4.7 di atas menunjukkan bahwa kematian paling tinggi pada semua umur (tidak melihat pada satu kelompok umur) di Kota Bekasi Tahun 2014 adalah di Kecamatan Bekasi Timur sebanyak 188 orang (18.5%) dan dikuti Kecamatan Rawa Lumbu yaitu sebanyak 175 orang (17.2%), sedangkan yang paling rendah di Kecamatan Medan Satria sejumlah 29 orang (2.9%) dari orang kematian. Grafik 4.8 Proporsi Kematian di Rumah Sakit berdasarkan Jenis Kelamin pada Semua Umur di Kota Bekasi Tahun 2014 Peremp 407 (40%) Laki2 608 (60%) 26

28 Proporsi kematian menurut jenis kelamin pada semua umur dimaksud penting untuk dilakukan analisa agar dapat mengetahui perbandingan yang terjadi. Grafik 4.8 di atas menunjukkan besaran proporsi kematian berdasarkan jenis kelamin. 4.4 Kesakitan Gambaran Umum Masalah Kesehatan Upaya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan diperlukan pemahaman terhadap karakteristik lokal, perencanaan kebutuhan dan kegiatan yang efektif, efisien dan terukur. Salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan dasar Puskesmas, seperti kebutuhan farmasi, peralatan medis, penunjang, SDM dan lain-lain dapat melalui analisis 20 besar penyakit yang ada di Puskesmas masing-masing. Berikut adalah kondisi dan distribusi 20 besar penyakit, seperti pada grafik 4.9 berikut ini: Grafik 4.9 Distribusi 20 Besar Penyakit berbasis Puskesmas di Kota Bekasi Tahun 2014 ISPA Acut tak Spesifik (J06) Peny pulpa & Jar Peripekal (K04) Nasofaringitis akut / CC (J00) Hypertensi (I10) Faringitis Acut (J02) Demam Tak diket. Sebab (R50) Diarhe (A09) Dispepsia (K30) Myalgia (M 79.1) Dermatitis Kontak (L 23- L25) ISPA lainnya (J36- J 39) Peny Gusi & Peridontal (K05- K 06) Gg Gigi & Jaringan Lainnya (K08) DM (E14) Migrain (G43-G44) Tukak Lambung (K25) Arthritis (M13) Caries Gigi (K02) Conjungtivitis (H10.9) Penyakit lain - lain Jml Proporsi (%)

29 Seroja Kali A Tengah Teluk Pucung Marga Mulya Pejuang Bintara Bintara Jaya Kranji Kota Baru Rawa Tembaga Pekayon Jaya Perum II Jaka Mulya Marga Jaya Aren Jaya Wisma Jaya Duren Jaya Karang Kitri Bj Rawa Lumbu Bj Menteng Pengasinan Pondok Gede Jatibening Jati Makmur Jati Warna Jati Rahayu Jati Sampurna Jati Asih Jati Luhur Bantar Gebang Must. Jaya Grafik 4.9 di atas menunjukkan bahwa posisi pertama dan terbanyak adalah ISPA Acut tak Spesifik (J06) berjumlah kasus (22,9%), terbanyak kedua Peny pulpa & Jar Peripekal (K04) kasus (10,2%), terbanyak ketiga Nasofaringitis akut / CC (J00) kasus (9,3%), terbanyak keempat adalah kasus degenerative Hypertensi (I10) kasus (6,4%), dan seterusnya dari jumlah kasus dalam 20 besar kasus penyakit di Puskesmas Kota Bekasi. Grafik 4.10 Distribusi Kasus ISPA Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun 2014 Kasus ISPA paling tinggi di Puskesmas Bantar Gebang dengan empat wilayah kerja kelurahan sebanyak kasus, tertinggi kedua di Puskesmas Rawa Tembaga dengan satu wilayah kerja kelurahan berjumlah kasus, dan terendah adalah di Puskesmas Duren Jaya berjumlah 55 kasus saja. Namun, dalam tahun yang sama terdapat satu Puskesmas yang tidak ada kasus (nihil) serupa yaitu Puskesmas Mustika Jaya. Dengan melihat kondisi dan kuantitas kasus di Puskesmas masing-masing, diharapkan Puskesmas Kota Bekasi dapat membuat perencanaan kebutuhan obat yang rasional tanpa mengurangi asas manfaat dan tepat sasaran kasus penyakit pada masyarakat di wilayahnya. 28

30 Seroja Kali A Tengah Teluk Pucung Marga Mulya Pejuang Bintara Bintara Jaya Kranji Kota Baru Rawa Tembaga Pekayon Jaya Perum II Jaka Mulya Marga Jaya Aren Jaya Wisma Jaya Duren Jaya Karang Kitri Bj Rawa Lumbu Bj Menteng Pengasinan Pondok Gede Jatibening Jati Makmur Jati Warna Jati Rahayu Jati Sampurna Jati Asih Jati Luhur Bantar Gebang Must. Jaya Gambar 4.1 Estimasi Rata-Rata Kasus ISPA Menurut Waktu Di Kota Bekasi Tahun ,584 10, Kasus/Tahun Kasus/Bulan Kasus/Hari Kasus/Jam Hasil analisa data kasus ISPA di Kota Bekasi dapat diketahui dan diikuti perkembangannya dari waktu ke waktu. Dalam 1 tahun ± terdapat 360 hari, kasus tersebut di atas dalam satu tahun berjumlah Kalau jumlah kasus tersebut dibagi 12 bulan dalam satu tahun maka rata-rata kasus adalah per bulan, dan apabila kasus tersebut dibagi lagi per hari maka ditemukan rata-rata kasus 363 per hari, artinya kalau dibagi lagi kasus perjam, maka ditemukan rata-rata 15 kasus per jam. 363 kasus baru per hari ini senantiasa akan mendatangi layanan kesehatan di Puskesmas, dengan estimasi rumus sederhana kunjungan kasus per Puskesmas per hari seperti terlihat pada gambar 4.1 di atas. Grafik 4.11 Distribusi Kasus Penyakit Pulpa dan Jaringan Periapikal Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun

31 Seroja Kali A Tengah Teluk Pucung Marga Mulya Pejuang Bintara Bintara Jaya Kranji Kota Baru Rawa Tembaga Pekayon Jaya Perum II Jaka Mulya Marga Jaya Aren Jaya Wisma Jaya Duren Jaya Karang Kitri Bj Rawa Lumbu Bj Menteng Pengasinan Pondok Gede Jatibening Jati Makmur Jati Warna Jati Rahayu Jati Sampurna Jati Asih Jati Luhur Bantar Gebang Must. Jaya Seperti terlihat pada grafik 4.11 di atas, secara kuantitas dapat diketahui Kasus Penyakit pulpa & jaringan peripikal. Kasus terbanyak berada di Puskesmas Jati Asih dengan wilayah 4 kelurahan berjumlah kasus, terbanyak kedua berada di Puskesmas Pondok Gede dengan 2 wilayah kerja kelurahan berjumlah kasus, sedangkan terendah di Puskesmas Bojong Menteng dengan 1 wilayah kelurahan berjumlah 267 kasus. Terdapat 4 Puskesmas tidak ada kasus (nihil), yakni Puskemas Seroja, Pekayon Jaya, Bojong Rawa Lumbu dan Mustika Jaya. Grafik 4.12 Distribusi Kasus Nasofaringitis Akut Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun 2014 Pada grafik 4.12 di atas dapat diketahui bahwa kunjungan paling tinggi kasus Nasofaringitis akut yaitu di Puskesmas Duren Jaya dengan satu wilayah kerja kelurahan berjumlah kasus, tertinggi kedua berada di Puskesmas Kali Abang Tengah dengan jumlah wilayah kerja satu kelurahan berjumlah kasus. Dari 31 Puskesmas di Kota Bekasi terdapat 3 Puskesmas yang tidak ada kasus (nihil), yakni Puskesmas Jatibening, Jati Asih dan Mustika Jaya. 30

32 4.4.2 Gambaran Penyakit Menular Bersumber Binatang a. Demam Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan mobilitas penduduk yang meningkat sejalan dengan meningkatnya penyebaran penyakit dan vektornya, urbanisasi yang tak terkendali seiring meningkatnya pertambahan penduduk, kesadaran masyarakat terhadap 3M Plus yang masih rendah, dan adanya pengaruh perubahan iklim. Penyakit Demam Berdarah Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, belum tersedia obat ataupun vaksinnya, sering menyebabkan kematian dan hingga saat ini angka kesakitan DBD masih cenderung meningkat. Pada tahun 2014, Kota Bekasi tercatat memiliki DBD sebanyak 821 kasus dan tercatat 16 kasus kematian. Penyakit DBD berpotensi menjadi wabah atau Kejadian Luar Biasa, terutama di musim penghujan. Oleh karena itu harus ditindaklanjuti secara tepat dan sesegera mungkin setelah diagnosa DBD ataupun Tersangka DBD ditegakkan oleh Rumah Sakit. Adapun beberapa kegiatan pokok pengendalian DBD meliputi surveillans epidemiologi, penemuan dan tatalaksana kasus, pengendalian dan pengamatan vektor secara kimia, fisik, dan biologi, peningkatan peran serta masyarakat, sistem kewaspadaan dini, dan penyuluhan. Indikator kinerja pengendalian DBD, yaitu Incidence Rate (IR) DBD pada tahun 2014 mencapai 51 per penduduk, serta Angka Bebas Jentik (ABJ) sebesar 95 persen dapat tercapai. Berdasarkan data di Provinsi Jawa Barat, tercatat IR DBD adalah 39,66 per penduduk dan berdasarkan data nasional bahwa IR DBD mencapai 51 per penduduk. 31

33 Kota Bekasi merupakan salah satu Kabupaten/ Kota yang endemis DBD di Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2014 tercatat IR sebesar 30,8 per penduduk dengan angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) 1,9 persen dan berhasil menduduki peringkat kelima se-jawa Barat dengan angka kematian tertinggi. Tahun 2013 tercatat 58 per penduduk dengan CFR 1,2 persen dari 17 kasus kematian. Dan tahun 2012 tercatat 37 per penduduk dengan angka CFR mencapai 2.0 persen dari 17 kasus kematian. Pada tahun 2011 tercatat IR DBD 27 per penduduk dengan CFR 1,4 persen. Pada tahun 2010 tercatat IR 96 per penduduk dan CFR 0,9 persen dari 23 kasus kematian.terlihat di Kota Bekasi terjadi fluktuasi angka Insidence Rate dan angka kematian selama 5 (lima) tahun terakhir. Grafik 4.13 Trend 5 Tahunan Penyakit DBD di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEP OKT NOV

34 Kasus terbanyak terlihat pada tahun 2010 sebanyak kasus dengan jumlah kematian 23 kasus dan tahun 2013 sebanyak kasus dengan jumlah kematiann 17 kasus. Pada grafik terlihat selama 5 (lima) tahun itu trend DBD terjadi peningkatan jumlah kasus yang tercatat dimulai bulan maret sampai bulan juli. Dengan puncak tertinggi terlihat pada bulan maret selama 5 (lima) tahun itu. Untuk pelaksanaan bulan bakti PSN 3M Plus sebaiknya lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya. Karena selain di bulan-bulan yang telah disebutkan tadi, terlihat juga bahwa kenaikan jumlah kasus di Bulan Januari setiap tahunnya setelah di Bulan Desember pada tahun sebelumnya mengalami penurunan jumlah kasus. Grafik 4.14 Distribusi Penyakit DBD Menurut Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2012 s.d

35 Dalam kurun waktu tahun 2012 sampai dengan 2014 terlihat 3 wilayah kecamatan yang jumlah kasus DBD-nya selalu terbanyak di Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, dan Kecamatan Bekasi Utara. Sebagian besar kelurahan di Kota Bekasi merupakan desa yang endemis DBD. Kecuali beberapa kelurahan yang tersebut ini termasuk Kelurahan Sporadis yaitu Kelurahan Marga Jaya, Kelurahan Jati Bening Baru, dan Kelurahan Jati Murni tercatat selama tahun 2012 sampai dengan Kasus DBD tertinggi pada tahun 2012 terdapat di Kelurahan Kayuringin, Kelurahan Bintara, dan Kelurahan Jaka Setia. Pada tahun 2013 kasus DBD tertinggi terdapat di Kelurahan Jaka Sampurna, Kelurahan Harapan Jaya, dan Kelurahan Pekayon. Sedangkan pada tahun 2014 kasus tertinggi di Kelurahan Bintara, Kelurahan Bojong Rawalumbu dan Kelurahan Pekayon Jaya. Banyaknya kasus DBD yang tercatat juga bisa menunjukkan keaktifan pengelola program DBD Puskesmas dalam menindaklanjuti setiap laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KD/RS) DBD dari Rumah Sakit di wilayahnya. Jumlah kematian karena DBD pada tahun 2014 yang tertinggi di Kelurahan Harapan Jaya dengan jumlah kematian ada 3 (tiga) kasus yang berada dalam satu wilayah RW yang sama. Kasus kematian ini terjadi pada rentang bulan Maret sampai dengan Mei tahun Ketiga kasus kematian terjadi karena memang keadaan pasien sudah kritis dengan diagnosa DSS (Dengue Shock Syndrom) pada saat masuk Rumah Sakit. Mereka hanya dirawat sekitar 24 jam saja. Tingginya angka kematian di wilayah ini, terlihat masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pertolongan pertama untuk DBD, dan juga perlu adanya perhatian khusus dari lintas sektor terkait untuk dapat menggerakkan warganya dalam melaksanakan upaya pencegahan di lingkungannya 34

36 masing-masing secara berkesinambungan. Karena meskipun petugas Puskesmas sudah selalu mengingatkan tentang penyakit DBD melalui penyuluhan kepada warganya, jika tanpa diikuti dengan kesadaran masyarakatnya untuk PSN 3M Plus maka tidak akan berarti apa-apa. Perlu juga dilaksanakan sosialisasi tentang penatalaksanaan kasus DBD ke Rumah Sakit se-kota Bekasi dan juga dokter atau bidan praktek swasta di setiap wilayah Puskesmas. Dengan demikian, diharapkan angka CFR bisa turun menjadi < 1 persen. Peningkatan kewaspadaan terhadap munculnya kasus DBD ini perlu kerjasama dari berbagai lintas sektor, tak hanya merupakan kerja dari petugas kesehatan saja. Perlu adanya dukungan dari tokoh masyarakat sebagai motivator untuk dapat mengaktifkan kinerja Pokja DBD yang bertanggung jawab pada berbagai upaya pengendalian kasus DBD di wilayahnya. Peran serta masyarakat yang harus ditingkatkan lagi adalah kegiatan pemeriksaan jentik oleh jumantik dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelaksanaan PSN 3M Plus. Sebaiknya kegiatan pemeriksaan jentik oleh jumantik dilakukan setiap sebulan sekali, tak hanya bila ada kasus saja. Dan kegiatan PSN 3M Plus ini dilakukan setiap seminggu sekali untuk dapat memutus daur hidup nyamuk DBD sebagai vektornya. Pada tahun 2014, telah dilaksanakan Monev Pokjanal DBD tingkat kelurahan di 10 Kelurahan. Dari setiap wilayah kelurahan terlihat beragam permasalahan yang timbul, kegiatan jumantik yang banyak vakum. Namun tak menutup kemungkinan kegiatan jumantik berjalan baik, tapi jumlah kasus yang ditemukan pun tetap tinggi. Namun sebagian besar wilayah kelurahan kurang mendapatkan dukungan dari lintas sektor terkait di wilayahnya, dan juga koordinasi kepada ketua RW setempat kurang berjalan sehingga banyak Pokja DBD tingkat RW yang tidak berjalan optimal. 35

37 Berdasarkan hasil Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang dilakukan oleh petugas Puskesmas di Kota Bekasi, ada beberapa kelurahan Potensial DBD yaitu: Kelurahan Kelurahan Jati Karya, Kelurahan Jati Rangga, Kelurahan Sumur Batu, dan Kelurahan Ciketing Udik. Dari keempat desa ini selama tahun 2014 ditemukan jentik 5 perse dari seluruh rumah yang diperiksa. Tabel 4.1 Jumlah RW, Jumlah Kader, dan Pokja Pengendalian DBD pada 6 Kelurahan di Kota Bekasi Tahun 2014 NO KELURAHAN JUMLAH RW JUMLAH KADER JUMLAH POKJA KEGIATAN POKJA 1 Harapan Jaya Kaliabang Tengah Kayuringin Jaya x sebulan 4 Pekayon Jaya Bintara Bj. Rawalumbu b. Malaria Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah kesehatan di dunia, demikian pula di Indonesia Malaria masih merupakan ancaman yang dapat mempengaruhi tingginya angka kesakitan dan kematian bayi, balita dan ibu melahirkan, serta dapat menurunkan produktivitas kerja dan memberi dampak negatif pada pariwisata. Program Pengendalian Malaria di Indonesia difokuskan untuk mencapai masyarakat yang hidup sehat, terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun

38 Perkembangan status Eliminasi Malaria di Provinsi Jawa Barat yaitu terdiri dari 20 Kabupaten/Kota yang telah mendapatkan sertifikat Eliminasi Malaria yang diserahkan pada saat peringatan Hari Provinsi Jawa Barat di Gasibu tanggal 19 Agustus Termasuk salah satunya adalah Kota Bekasi. Namun, untuk 4 Kabupaten yang endemis malaria masih belum bisa disertifikasi eliminasi. Angka kesakitan Malaria di Jawa Barat tahun mengalami fluktuasi, yaitu pada tahun 2010 dan tahun 2011 angka kesakitan malaria adalah 0,535 persen akan tetapi pada tahun 2012 meningkat menjadi 0,781 persen, lalu menurun pada tahun 2013 menjadi 0,574 persen dan tahun 2014 menjadi 0,495 persen. Masih tercatat 4 (empat) Kabupaten/Kota di Jawa Barat yang termasuk wilayah endemis malaria yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis. Obat-obatan anti malaria dan Rapid Tes Malaria juga telah didistribusikan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat ke 27 Kabupaten/Kota. Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kasus malaria yaitu aktifitas sehari-hari, pekerjaan, dan faktor lingkungan. Intervensi yang bisa dilakukan untuk mengendalikan jumlah vektornya yaitu pelaksanaan Indoor Residual Spray (IRS), Larvasidasi, budi daya ikan patin dan modifikasi lingkungan. Sementara sebagai upaya pencegahannya terdiri dari pemakaian repellent, alat pelindung diri dan kelambu berinsektisida (LLIN) serta pemberian obat profilaksis yaitu doksisiklin. Di tahun 2014, Kota Bekasi sebagai salah satu wilayah non endemis malaria telah melaksanakan surveilans penemuan kasus malaria berdasarkan laporan yang dikirim dari Rumah 37

39 Sakit. Pemberian obat anti malaria kepada setiap penderita malaria impor yang dirawat dan ditemukan parasit plasmodium dalam sediaan darahnya. Sehingga dapat diukur angka kesakitan Malaria di Kota Bekasi dengan Annual Parasite Incidence 0,0034 per penduduk. Setiap kasus malaria yang ditemukan, berdasarkan hasil wawancara bahwa sebelumnya penderita melakukan perjalanan ke wilayah endemis malaria seperti: Papua, Lampung, dan Jambi sekitar sebulan sebelum mulai sakit. Penderita malaria menetap selama beberapa hari sampai beberapa bulan di sana. Terdapat 19 persen Rumah Sakit di Kota Bekasi yang sudah melaporkan perawatan kasus Malaria Impor ke Dinas Kesehatan, yaitu RS Elisabeth, RS Mitra Barat, RS Mitra Timur, RS Hermina, RS Hermina Galaxy, RS Jati Rahayu, dan RS THB. Tercatat ada 9 (sembilan) kasus malaria impor yang ditangani di Rumah Sakit namun hanya 66 persen saja yang mendapat terapi radikal sesuai standar (Artemisinin Combination Therapy dan Primakuin). Grafik 4.15 Distribusi Kasus Malaria Menurut Kecamatan Tahun 2014 di Kota Bekasi

40 Diharapkan pada tahun selanjutnya setiap Rumah Sakit yang merawat penderita malaria dapat melaporkan ke Dinas Kesehatan tepat waktu sehingga penderita mendapatkan terapi sesuai standar yaitu Artemisinin Combination Therapy (ACT). Dan Puskesmas mampu untuk melakukan surveilans migrasi untuk mendata semua penduduknya yang bekerja di wilayah endemis malaria. Dengan demikian, dapat terjalin kerja sama yang baik dalam menindaklanjuti kasus malaria impor di Kota Bekasi. c. Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menahun menular, disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelanjar getah bening. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat menetap dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berdampak pada stigma sosial, kerugian ekonomi, produktifitas, menurunkan tingkat kesejahteraan yang akhirnya berdampak pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sampai dengan tahun 2007 sebanyak 304 Kabupaten/Kota endemis filariasis (64,54 persen) dan jumlah penduduk di daerah endemis yang beresiko tertular filariasis (at risk) 125 juta. Kasus kronis yang dilaporkan sampai dengan tahun 2007 secara kumulatif sebanyak dari 378 Kabupaten/Kota (banyak kasus kronis yang belum terlaporkan). Penyakit Filariasis (kaki gajah) di Kota Bekasi menempati urutan tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bekasi, sampai dengan tahun 2008 jumlah kasus klinis yang ditemukan sejumlah 46 orang, tersebar di 28 Kelurahan, di 12 Kecamatan. Sejak tahun 2000 sudah tercatat ada beberapa wilayah kelurahan yang endemis filariasis, dimana terlihat dari Mikrofilaria rate 1 persen. Pada tahun 2010 tercatat pada Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Murni mf Rate sebesar 1,3 persen dan Bintara Jaya dengan mf rate 1,1 persen. 39

41 Pada tahun 2012 hanya Kelurahan Jati Sampurna yang endemis Filariasis. Dan pada tahun 2014 tercatat kelurahan Jati Karya yang endemis, berdasarkan hasil Survey Darah Jari (SDJ) terhadap orang ditemukan masih ada 4 (empat) orang yang positif mengandung mikrofilaria dalam darahnya (Mf Rate 1 persen). Ini menunjukkan bahwa persentase wilayah endemis telah berkurang, namun masih perlu ditinjau lagi strategi yang harus dilakukan terhadap wilayah yang masih endemis filariasis secara sungguh-sungguh karena dikhawatirkan pada waktu yang lama dapat terjadi penularan dan penyebaran yang lebih luas lagi. Karena dari hasil pemeriksaan SDJ di Jati Sampurna dari 5 (lima) kelurahan yang dilakukan pada tahun 2014 ditemukan Mf rate nya 1 persen, sehingga berdasarkan kebijakan nasional dan WHO melalui surat tanggal 18 November 2014 nomor PM.01.13/IV.4/1078/2014 tentang Penyampaian Rekomendasi Pertemuan Evaluasi dalam rangka Akselerasi POMP Filariasis. Pemberitahuan Hasil Survey Endemisitas dan survey pre TAS Filariasis untuk wilayah ini dilakukan penambahan pelaksanaan POMP F sebanyak 2 putaran (2 tahun) di 2 kecamatan yang telah melaksanakan putaran ketiga dan 1 kecamatan yang memiliki Mf rate >1 persen serta untuk 9 kecamatan lainnya dibagi menjadi 2 Evaluation Unit (EU). Wilayah yang dievaluasi ini dikelompokkan berdasarkan distribusi geografisnya, dan direncanakan untuk dapat dilaksanakan TAS (Transmission Areal Survey) untuk menentukan apakah kedua area tersebut telah terbebas dari filariasis atau belum. Salah satunya adalah wilayah Kecamatan Jati Sampurna yang telah menjalankan pengobatan missal filariasis selama hampir 10 (sepuluh) tahun. 40

42 Tabel 4.2 Distribusi Penderita Filariasis Ditangani Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 No PUSKESMAS KASUS LAMA DITEMUKAN PENDERITA FILARIASIS KASUS BARU DITEMUKAN JUMLAH SELURUH KASUS L P L+P L P L+P L P L+P 1 Pondok Gede Jati Makmur Jati Bening Pindah 4 Jati Rahayu Jati Warna Jati Sampurna Jati Luhur Jati Asih Pindah 2 9 Bj. Rawalumbu Pengasinan Bojong Menteng Karang Kitri Wisma Jaya Aren Jaya Duren Jaya Pekayon Jaya Jaka Mulya Meninggal thn Marga Jaya Perumnas II Seroja KET Meninggal thn Kali A. Tengah Marga Mulya Teluk Pucung Rawa Tembaga Bintara Jaya Bintara Pindah 27 Kranji Kotabaru Pejuang Bantargebang Mustika Jaya KOTA BEKASI Ket: Jumlah kasus adalah seluruh kasus yang ada di wilayah kerja Puskesmas tersebut termasuk kasus yang ditemukan di RS 41

43 Pada tahun 2014 jumlah kasus klinis berkurang menjadi 29 orang dikarenakan ada yang meninggal dan pindah, berdasarkan data yang telah di validasi beberapa kali oleh pengelola program filariasis Dinas Kesehatan Kota Bekasi kepada petugas di Puskesmas sejak tahun Untuk pelaksanaan Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis (POMP-F) tahun 2014 angka cakupan minum obat juga masih rendah dengan rata-rata 70,57 persen dari 12 kelurahan. Sedangkan target yang ingin dicapai adalah angka cakupan minum obat di atas 75 persen dari seluruh jumlah penduduk. Padahal angka cakupan minum obat ini merupakan indikator keberhasilan program eliminasi Filariasis. Selama ini ditemukan bahwa dalam metode minum obat filariasis masih banyak kesalahan dan juga masih banyak warga di Kota Bekasi yang tidak meminum obat tersebut. Obat filariasis yang >1 macam itu seharusnya diminum sekaligus di satu waktu, namun banyak yang masih meminumnya satu per satu Gambaran Penyakit Menular Langsung a. Tuberkulosa (TB Paru) Tuberkulosas (TB Paru) sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang harus menjadi perhatian. Saat ini Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di dunia sebagai penyumbang penderita TB setelah Negara India, China, dan Afrika Selatan. Di Indonesia, TB merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung dan ISPA, dan penyebab kematian nomor 1 dari semua penyakit infeksi. Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama sebagai penyumbang penderita TB di Indonesia. Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan adalah pasien 42

44 TB BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji kurang dari atau sama dengan kuman per cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada tahun 1995 WHO mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Salah satu target Nasional program pengendalian TB dapat dilihat dari angka penemuan kasus (Case Detection Rate = CDR) adalah persentase jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut yaitu 43

45 sebesar 90 persen, tetapi untuk target wilayah provinsi Jawa Barat adalah sebesar 70 persen dan persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang disembuhkan sebesar 85 persen. Tahun 2014, Kota Bekasi menemukan kasus baru BTA positif dari kasus baru BTA positif yang diperkirakan (CDR = 47,7 persen). Angka ini sedikit menurun dibandingkan angka CDR tahun 2013 sebesar 50,1 persen. Angka kesembuhan pada tahun 2013 sebesar 74,9 persen juga sedikit menurun dibanding angka kesembuhan tahun 2012 sebesar 76 persen. Data tersebut masih jauh dari target yang seharusnya. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya kasus TB yang hilang atau tidak terlaporkan ke program. Beberapa tantangan yang masih dialami program pengendalian TB Kota Bekasi antara lain: 1. Fasilitas kesehatan yang ada belum seluruhnya terlibat dalam program pengendalian TB. RSUD Kota Bekasi dan seluruh Puskesmas yang ada di Kota Bekasi telah menerapkan strategi DOTS. Namun, baru sekitar 26 persen rumah sakit swasta (hanya 10 RS swasta dari 37 RS yang ada di Kota Bekasi) yang menerapkan pelayanan dengan menggunakan strategi DOTS. 2. Program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi. Saat ini Belum semua pengelola program TB Puskesmas terlatih (16 persen petugas TB di Puskesmas belum dilatih) dan ada beberapa Puskesmas Pelaksana Mandiri tidak mempunyai tenaga laboratorium/ analis. Pelatihan dasar tentang TB selalu dibutuhkan mengingat adanya ekspansi program serta berbagai inovasi baru untuk memperkuat pelaksanaan program, seterti Sistem informasi TB elektronik. 44

46 3. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan terhadap pendanaan dari donor internasional. Untuk APBD Program TB ini, masuk pada rencana kerja dan anggaran kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular lainnya dengan kegiatan tidak hanya untuk program TB saja, tetapi meliputi program TB, Kusta, Ispa, Diare, Malaria dan Penyakit Tidak Menular. 4. Penatalaksanaan TB di sebagian besar RS belum sesuai standar mutu yang telah ditetapkan program. Untuk itu harus dikembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Grafik 4.16 Jumlah Kasus TB Paru Dengan BTA (+) dan Case Detection Rate (CDR) di Kota Bekasi Tahun 2011 s.d BTA POSITIF CDR Setelah tahun 2015, indikator evaluasi pencapaian MDGs untuk Program Pengendalian TB akan diganti dengan Case Notification Rate (CNR) sebagai indikator yang menggambarkan cakupan penemuan pasien TB. Pada tahun 2014 Insidensi seluruh pasien TB Di Kota Bekasi yang ditemukan dan tercatat 45

47 sebesar 116,37 per penduduk, angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 insidensi seluruh pasien TB tercatat 100,55 per penduduk. Angka Notifikasi kasus ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Dan angka ini diharapkan meningkat 5 persen setiap tahunnya. Grafik 4.17 Case Notification Rate (CNR) dan Success Rate (SR) di Kota Bekasi 2011 s.d CNR SR Cakupan kesembuhan TB paru pada tahun 2013 (74,9 persen) mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2012 (74 persen), meskipun masih di bawah target kesembuhan sebesar 85 persen. Tapi bila dilihat angka keberhasilan pengobatan (success rate) yang menunjukan prosentase pasien TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB BTA positif yang tercatat tahun 2013 sebesar 85,9 persen. 46

48 Walaupun angka keberhasilan pengobatan telah mencapai 85 persen, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan. Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10 persen, karena akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi di masa yang akan datang yang disebabkan karena ketidakefektifan dari pengendalian Tuberkulosis. Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan terjangkau, semua fasilitas kesehatan (Puskesmas, RS, DPS/Klinik) perlu bekerja sama dalam kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah. b. Kusta Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Pausibasilar (PB) dan tipe Multibasilar (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui pemeriksaan kerokan jaringan kulit. Provinsi Jawa Barat berdasarkan analisa P2 Kusta di nasional merupakan salah satu provinsi high burden kusta di Indonesia yang merupakan provinsi nomor 2 di Indonesia setelah provinsi Jawa Timur sebagai provinsi penyumbang kasus baru terbanyak. 47

49 Pada akhir tahun 2014 di Provinsi Jawa Barat terdapat kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi > 1 per penduduk, yaitu Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Subang. Sedangkan berdasarkan beban kerja P2 Kusta di wilayah Provinsi Jawa Barat dimana kabupaten/kota dengan angka absolut penemuan kasus baru >100 kasus/tahun termasuk kabupaten high burden. Termasuk Kota Bekasi dengan penemuan kasus baru pada tahun 2014 sebanyak 144 kasus baru, walaupun bila dilihat dari angka prevalensi kusta Kota Bekasi tahun 2014 sama dengan tahun 2013 yaitu sebesar 0,6 per penduduk, sudah < 1/ penduduk. Sedangkan angka penemuan kasus baru kusta atau New Case Detection Rate (NCDR) tahun 2014 mengalami penurunan, yaitu sebesar 4,0 per penduduk, dibandingkan tahun 2013 sebesar 5,9 per penduduk. Namun dilihat dari seluruh pendertita kusta hampir sama. Tahun 2014 ditemukan kasus baru type MB sebanyak 126 kasus dan type PB sebanyak 18 kasus. Grafik 4.18 Distribusi NCDR dan Kasus Kusta Baru Menurut Tipe Kusta Di Kota Bekasi Tahun 2012 s.d TIPE PB TIPE MB NCDR

50 Indikator proporsi cacat tingkat II pada kasus baru kusta, merupakan indikator untuk mengkaji keberhasilan program dari sisi partisipasi masyarakat dan kemampuan program dalam penemuan dini kasus kusta. Proporsi kasus cacat tingkat II pada tahun 2014 ditemukan sebesar 8,7 persen (14 orang), angka ini masih diatas target nasional yang diharapkan yaitu <5 pesen. Hal ini disebabkan keterlambatan dalam penemuan dini kasus kusta (keterlambatan penderita mencari pengobatan atau keterlambatan petugas dalam penemuan kasus) terkait pengetahuan atau kurangnya informasi mengenai kusta di masyarakat, stigma yang masih melekat terhadap kusta sehingga kasus-kasus baru kusta yang ditemukan sudah dalam kondisi cacat tingkat II. Grafik 4.19 Prevalensi dan Proporsi cacat tinggkat II di Kota Bekasi Tahun 2012 s.d PREVALENSI Proporsi Cacat tk II Penderita kusta yang telah selesai pengobatan Release From Treatment (RFT) atau angka kesembuhan merupakan indikator yang sangat penting dalam kualitas tatalaksana pasien dan kepatuhan pasien dalam minum obat. Untuk keperluan analisa pengobatan digunakan analisa kohort, yaitu teknik 49

51 analisa yang digunakan didalam mempelajari angka kesakitan yang dikelompokkan menurut tanggal/ waktu mulai diberikan pengobatan MDT dan dimonitoring selama pengobatan, yaitu selama 6-9 bulan untuk pasien PB dan bulan untuk pasien MB. Angka kesembuhan tahun 2014 untuk penderita kusta tipe PB adalah 100 persen (14 orang yang telah selesai berobat dari 14 orang penderita). Dan penderita kusta tipe MB adalah 85,15 persen (86 orang yang telah selesai berobat dari 101 orang penderita). Dengan Pelaksanaan program pengendalian kusta diintegrasikan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dapat menjaga kesinambungan pelayanan kusta yang berkualitas dan memastikan setiap orang yang terkena kusta dimanapun dia berada mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan oleh petugas kesehatan yang kompeten termasuk sistem rujukan yang efektif dalam mengatasi kompikasi tanpa terlambat dan biaya yang tinggi. Grafik 4.20 Distribusi RFT Rate Penyakit Kusta Pasien Tipe PB dan MB Di Kota Bekasi Tahun 2012 s.d RFT PB RFT MB

52 c. Diare Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah. Hingga saat ini penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya angka kesakitan diare dari tahun ke tahun. Hasil kajian morbiditas yang dilakukan oleh subdit diare dan ISP menunjukkan bahwa angka kesakitan diare semua umur tahun 2012 adalah 214 per penduduk semua umur dan angka kesakitan diare pada balita adalah 900 per balita. Kematian diare pada balita 75,3 per balita dan semua umur 23,2 per penduduk semua umur. Data program diare Dinas Kesehatan Kota Bekasi tahun 2014 menunjukkan bahwa angka kesakitan diare semua umur berdasarkan hasil kajian morbiditas diare sebesar 214 per penduduk adalah kasus, dan hanya terealisasi sebanyak kasus dengan prosentase 50,5 persen. Masih sangat jauh dari target penemuan diare di sarana kesehatan adalah 90 persen. Sumber data program diare Dinas Kesehatan Kota Bekasi hanya berasal dari Puskesmas dan sebagian kecil saja rumah sakit yang melaporkan kasus diare. Padahal ada 37 Rumah Sakit di Kota yang jumlahnya lebih banyak dibanding jumlah Puskesmas yang ada (31 Puskesmas). Jadi data kasus diare yang masuk baru sekitar 45 persen saja. Hal inilah yang menyebabkan cakupan penemuan diare sangat rendah. Apalagi cara pengumpulan data di Puskesmas sendiri belum maksimal. Penyakit diare termasuk penyakit yang dapat menimbulkan KLB, maka perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk dapat membuat laporan rutin perlu pencacatan setiap hari (register) 51

53 penderita diare yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, posyandu atau kader. Laporan rutin ini dikompilasi oleh petugas pencatatan dan pelaporan diare di Puskesmas kemudian dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi melalui laporan bulanan (LB) setiap bulan. Untuk meningkatkan cakupan penderita diare perlu adanya sosialisasi program diare dan kerjasama dengan seluruh Rumah Sakit yang ada di Kota Bekasi. Grafik 4.21 Trend Penyakit Diare dan Persentase Penderita yang Ditangani di Kota Bekasi Tahun 2012 s.d YANG DITANGANI PREDIKSI d. Pneumonia Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung-alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan dapat berupa: batuk, kesukaran benapas, sakit tenggorok, pilek, sakit telinga dan demam. 52

54 Pneumonia merupakan penyakit paling serius dan paling membahayakan jiwa anak-anak dibandingkan dengan infeksi saluran pernapasan lainnya terutama pada bayi dan anak berusia di bawah lima tahun. Dari tahun ke tahun Pneumonia selalu menduduki peringkat atas dalam hal penyebab kematian bayi dan anak Balita Indonesia. Strategi dalam penanggulangan pneumonia adalah penemuan dini dan tatalaksana anak batuk dan atau kesukaran bernapas dengan tepat. Capaian penemuan penderita pneumonia balita di Kota Bekasi tahun 2014 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, seperti terlihat pada grafik 4.22 berikut. Penderita pneumonia balita tahun 2014 yaitu sebanyak balita atau sebesar 21,2 persen yang ditangani dari target penemuan kasus pneumonia balita sebanyak kasus. Jumlah penderita ini hampir sama dengan tahun 2013 dengan jumlah penderita pneumonia balita sebanyak balita atau 21 persen dari target kasus. Grafik 4.22 Trend Capaian Penemuan Penderita Pneumonia Pada Balita di Kota Bekasi Tahun 2012 s.d YANG DITANGANI TARGET 53

55 Cakupan penemuan diatas masih jauh dari target yang diharapkan yaitu 70 persen. Karena sumber data sebagian besar baru dari Puskesmas. Cakupan yang sangat rendah ini bisa berarti bahwa banyak kasus pneumonia balita yang tidak dibawa berobat oleh orang tua atau dapat juga berarti bahwa petugas tidak melaksanakan tata laksana standar (terutama penghitungan napas). Hal ini dapat diatasi dengan lebih meningkatkan peran serta masyarakat melalui pelatihan kader, penyuluhan kepada ibu-ibu dan memberikan pelatihan kepada petugas kesehatan. Mungkin bisa juga disebabkan petugas belum mengerti tata laksana standar yang dimaksud atau petugas sudah dilatih dan mengerti namun belum mau mengubah sikap dalam tata laksana pneumonia. Untuk itu bimbingan tehnik program ISPA Pneumonia baik bagi petugas Puskesmas maupun petugas di rumah sakit harus selalu dilaksanakan dan kegiatan pemantauan di setiap wilayah kerja Puskesmas. Kegiatan pemantauan sangat penting dilakukan khususnya pemantauan cakupan di tingkat Puskesmas. Diperkenalkan alat (tool) pemantau sederhana yang disebut alat pemantauan wilayah setempat (PWS) berupa tabel pemantauan cakupan per bulan yang dapat digunakan di semua tingkat terutama di Puskesmas. Tabel ini sebagai alat untuk mengetahui kemajuan/kemunduran suatu wilayah mengenai cakupan pelayanan yang harus dicapainya pada suatu saat tertentu. Dengan kegiatan pemantauan yang teratur dapat diketahui dengan cepat, strategi apa yang harus dilakukan untuk mencapai target yang telah ditentukan pada 3 bulanan, 6 bulanan dan seterusnya sehingga evaluasi di akhir tahun dapat mencapai target yang diinginkan. 54

56 4.4.4 Gambaran Penyakit Menular Seksual Indonesia secara kumulatif berdasarkan laporan dari seluruh provinsi yang dikeluarkan setiap triwulan oleh Kementerian Kesehatan RI sampai bulan Maret tahun 2010, tercatat sebanyak kasus AIDS dengan persentase laki-laki sebanyak 62 persen, perempuan 30, dan tidak diketahui 8 persen. AIDS pada pengguna Napza suntik (penasun) di Indonesia sampai tahun 2010 sebanyak kasus dan jika dilihat dari kelompok umur tersebut, sebesar 70 persen berada di kelompok usia produktif (20-39 tahun). Indonesia sudah menjadi Negara urutan ke 5 di Asia paling beresiko HIV/ AIDS. Para pakar memperkirakan jumlah kasus HIV/ AIDS sudah mencapai orang, sehingga tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat Internasional yang diikuti kebijakan nasional. Pada tahun 2014, Dinas Kesehatan Kota Bekasi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan penyakit AIDS, telah melaksanakan beberapa kegiatan yaitu Pelatihan Infeksi Menular Seksual (IMS), gebyar mobile VCT dalam rangka hari AIDS, Pertemuan Surveillans AIDS Rumah Sakit, Pembinaan dan Penguatan Komunitas RESTI, serta desinfo dan Optimalisasi PPIA kepada bidan swasta. Adapun layanan kesehatan HIV/AIDS yang ada di Kota Bekasi antara lain: 1. UPTD Puskesmas Pondok Gede (VCT, IMS, PTRM) 2. UPTD Puskesmas Bantar Gebang (VCT dan IMS) 3. UPTD Puskesmas Rawa Tembaga (VCT dan IMS) 4. UPTD Puskesmas Jati Sampurna (VCT dan IMS) 5. UPTD Puskesmas Bojong Rawa Lumbu (VCT dan IMS) 6. UPTD Puskesmas Kaliabang Tengah (VCT dan IMS) 7. UPTD Puskesmas Mustika Jaya (VCT dan IMS) 8. UPTD Puskesmas Karang Kitri (VCT dan IMS) 9. UPTD Puskesmas Teluk Pucung (VCT dan IMS) 55

57 10. UPTD Puskesmas Aren Jaya (VCT dan IMS) 11. UPTD Puskesmas Pekayon (VCT dan IMS) 12. UPTD Puskesmas Seroja (VCT) 13. UPTD Puskesmas Kotabaru (VCT) 14. UPTD Puskesmas Pengasinan (VCT) 15. UPTD Puskesmas Jati Asih (VCT) 16. UPTD Puskesmas Jati Makmur (VCT) 17. UPTD Puskesmas Pejuang (VCT) 18. RSUD Bekasi (VCT, PTRM, PMTCT, dan CST) 19. RS Ananda (VCT dan CST) 20. RS Elisabeth (VCT dan CST) 21. Lapas (VCT) Grafik 4.23 Jumlah Donor Darah Diskrining dan Persentase Pemeriksaan Reaktif HIV di Kota Bekasi Tahun 2009 s.d , , ,000 25,868 18, ,000 10,000 5, ,168 18, ,621 9, Pendonor % HIV (+) Pemeriksaan skrining donor darah terhadap HIV/AIDS di Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bekasi pada tahun 2014 tercatat ada pendonor yang datang ke PMI Kota Bekasi, tercatat 56

58 (98,5 persen) sampel darah yang diperiksa, dan yang hasil pemeriksaannya reaktif terhadap HIV hanya 67 sample saja (0,36 persen). Hasil darah yang reaktif terhadap HIV tidak bisa dikumulasi pada kasus HIV karena pendonornya dirujuk langsung ke RSUD Kota Bekasi untuk ditindaklanjuti dan diperiksa ulang darahnya terhadap HIV/AIDS. Saat ini jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Bekasi menduduki urutan kedua se Jawa Barat setelah Kota Bandung, yaitu dengan angka kasus dari tahun 1998 sampai dengan Desember 2014 adalah kasus HIV dan kasus kumulatif AIDS. Dan jumlah kasus yang tercatat selama tahun 2014 adalah 826 kasus. Jumlah kasus HIV tercatat kumulatif 357 kasus, AIDS 133 kasus, sifilis 27 kasus, dan 8 kasus kematian selama tahun Total kumulatif kematian karena AIDS sejak tahun 1998 sampai dengan Desember 2014 mencapai 166 kasus, sehingga sudah termasuk dalam concentrated epidemic. Grafik 4.24 Trend Kasus HIV dan AIDS di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d HIV AIDS 57

59 Setiap tahunnya Kota Bekasi rata-rata menemukan kasus baru HIV sebanyak 300 sampai 350 orang yang terinfeksi HIV, ini menandakan adanya peningkatan penemuan kasus HIV dari tahun ke tahun. Dalam penemuan kasus HIV/AIDS ini yang cukup berperan besar adalah Puskesmas yang telah mempunyai beberapa layanan HIV/AIDS. Sementara peran Rumah Sakit belum terlalu banyak, hal ini dilihat dari sekian banyak Rumah Sakit hanya ±5 persen saja yang melaporkan adanya kasus HIV/AIDS ke Dinas Kesehatan. Penyakit HIV/AIDS adalah seperti fenomena gunung es, yang artinya bila ditemukan kasus baru di wilayah tersebut maka akan ada kasus baru di sekitarnya yang masih tersembunyi. Dengan demikian, peringkat kedua se-jawa Barat pada kasus AIDS ini berarti juga bahwa Kota Bekasi telah mampu menggali sebanyak mungkin keberadaan kasus HIV/AIDS, sehingga diharapkan dapat memutus rantai penularan HIV/AIDS di Kota Bekasi Gambaran Penyakit Tidak Menular a. Penyakit Hipertensi dan Diabetes Mellitus Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Penyakit ini sering tidak bergejala sehingga menyebabkan setiap individu tidak mengetahui dan menyadari kondisi tersebut sejak perrmulaan perjalanan penyakit. Kondisi ini berdampak terhadap keterlambatan dalam penanganan dan menimbulkan komplikasi PTM bahkan berakibat kematian lebih dini. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) diketahui 69,6 persen dari kasus Diabetes Mellitus dan 63,2 persen dari kasus hipertensi masih belum terdiagnosis. Penyakit tidak menular dapat dicegah melalui pengendalian faktor resikonya dengan upaya pelayanan kesehatan yang berbasis promotif dan preventif. Posbindu PTM di masyarakat bermanfaat dalam meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan dini masyarakat terhadap faktor resiko PTM sehingga kejadian PTM dapat dikurangi di masa mendatang. 58

60 Kegiatan deteksi dini dan pemantauan faktor resiko PTM meliputi wawancara untuk perilaku merokok, kurang konsumsi sayur dan buah, kurang aktifitas fisik, konsumsi alkohol, kemudian pengukuran secara berkala tinggi badan dan berat badan, menghitung nilai Indeks Massa Tubuh (IMT), mengukur lingkar perut, tekanan darah, dan pemeriksaan gula darah sewaktu, pemeriksaan klinis payudara (CBE), lesi pra kanker leher rahim dengan metode IVA Tes. Jika ditemukan adanya faktor resiko PTM, maka dilakukan tindak lanjut dini berupa pembinaan terpadu melalui penyuluhan. Selanjutnya bagi yang memerlukan penanganan lebih lanjut dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas). Pada tahun 2014, di Kota Bekasi telah terbentuk 6 (enam) Posbindu PTM yang kadernya telah dilatih untuk menggunakan alat-alat kesehatan yang terdapat dalam posbindu kit. Diharapkan setiap bulannya rutin terlaksana pemeriksaan deteksi dini Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular (FR PTM) dengan sasaran masyarakat di wilayahnya masing-masing dengan rentang usia 15 tahun keatas. Puskesmas yang telah mempunyai Posbindu PTM yaitu Puskesmas Pondok Gede, Puskesmas Pejuang, Puskesmas Rawa Tembaga, Puskesmas Perumnas II, Puskesmas Bantargebang, dan Puskesmas Mustika Jaya. Dengan adanya pengukuran faktor-faktor resiko di Posbindu PTM dan di Puskesmas, diharapkan dapat meningkatkan cakupan deteksi dini penyakit tidak menular di Kota Bekasi. Sumber data yang ada di Dinas Kesehatan hanya tercatat dalam kurun waktu 5 (lima) bulan terakhir saja. Belum semua pengunjung dilakukan pemeriksaan deteksi dini di Puskesmas karena sering menghambat pelayanan rutin. Sehingga untuk hasil yang dicapai dalam pemeriksaan tekanan darah dan obesitas tahun 2014 belum bisa menggambarkan situasi Penyakit Tidak Menular di Kota Bekasi. 59

61 Tercatat jumlah kunjungan Puskesmas untuk hipertensi yaitu kunjungan laki-laki dan kunjungan wanita. Sehingga total kunjungan untuk hipertensi adalah kunjungan. Berdasarkan data yang tercatat, untuk pemeriksaan faktor resiko penyakit tidak menular, pemeriksaan obesitas yang dilakukan terhadap pengunjung Puskesmas hanya mencapai 39 persen saja dari jumlah penduduk Kota Bekasi. Sementara untuk pemeriksaan tekanan darah belum bisa dianalisa karena data yang kurang mendukung. Grafik 4.25 Pemeriksaan Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di Kota Bekasi Tahun % 56% 50% 40% 30% 22% 20% 10% 0% LAKI PEREMPUAN PEM.OBESITAS PEM.TEK.DARAH b. Penyakit Kanker Serviks dan Kanker Payudara Penyakit kanker merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan adanya sel/jaringan abnormal yang bersifat ganas, tumbuh cepat tidak terkendali dan dapat menyebar ke tempat lain dalam tubuh penderita. Bila tidak dilakukan upaya pengendalian yang sesuai sekitar 13,1 juta orang diprediksikan akan meninggal pada tahun 2030 (WHO, 2013) 60

62 Kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi dan berasal dari sel leher rahim, yang disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Hampir 100 persen infeksi ini ditularkan melalui hubungan seksual. Faktor resiko terjadinya kanker leher rahim terdiri dari perempuan yang melakukan aktivitas seksual sebelum 18 tahun, berganti-ganti pasangan seksual, merokok aktif/pasif, faktor keturunan dan penurunan kekebalan tubuh. Kanker ini adalah jenis kanker kedua yang paling sering terjadi pada perempuan Indonesia, dan merupakan salah satu kanker yang dapat diketahui pada keadaan lesi prakanker. Pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Tes adalah salah satu pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim yang dilakukan oleh tenaga terlatih. Dilakukan dengan mengamati serviks yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3 5 persen dengan pengelihatan mata langsung. Kanker payudara merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara. Pemeriksaan awal dapat dilakukan dengan memeriksa payudara sendiri (SADARI) yang dilakukan oleh perempuan setiap bulannya. Sebaiknya SADARI ini dilakukan pada hari ke 7 10 yang dihitung sejak hari pertama mulai haid atau bagi yang telah menopause pemeriksaan dilakukan dengan memilih tanggal yang sama setiap bulannya. Saat ini di Indonesia kaner payudara seringkali ditemukan pada stadium lanjut. Pada tahun 2014 di Kota Bekasi telah dilatih 2 (dua) orang tenaga kesehatan yaitu Bidan dan Dokternya dari 3 (tiga) Puskesmas. Yaitu Puskesmas Rawa Tembaga, Puskesmas Pejuang, dan Puskesmas Pondok Gede. Pelatihan yang diberikan adalah pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim dengan metode IVA Tes dan Pemeriksan SADARI (CBE). 61

63 Tenaga terlatih tersebut membantu pelaksanaan On The Job Training (OJT) deteksi dini kanker rahim dengan metode IVA Tes bagi bidan Puskesmas. Data sasaran pemeriksaan IVA tes terhadap wanita usia subur (30 49 tahun) dari seluruh wilayah Kota Bekasi. Namun, pelaksanaan pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim dengan metode IVA Tes hanya dilakukan oleh 3 (tiga) Puskesmas saja. Sehingga hanya tercatat 0,04 persen wanita yang dilakukan pemeriksaan IVA tes dan 0,03 persen wanita yang dilakukan pemeriksaan SADARI. Sumber data yang diambil hanya dalam kurun waktu 5 (lima) bulan terakhir di tahun c. Penyakit Jiwa Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakitnya biasanya akut dan bisa kronis atau menahun. Di masyarakat ada stigma bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan dan aib bagi keluarganya. Menurut UU No 18 Tahun Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, definisi ODGJ atau Orang Dengan Gangguan Jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Definisi ODMK atau Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. 62

64 Dari data hasil penemuan kasus di 24 kabupaten/kota di Jawa Barat Tahun 2002 sebanyak 36,7 persen pengunjung Puskesmas menderita gangguan mental emosional. Menurut data Riskesdas Tahun 2007 menunjukkan sebanyak 20 persen penderita gangguan mental emosional di Jawa Barat dan data Riskesdas Tahun 2013, masalah gangguan mental emosional sebanyak 6 persen dan gangguan jiwa berat sebanyak 0,17 persen. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia (UU No. 23 Tahun 1992). Gangguan jiwa adalah suatu perbedaan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan jiwa atau menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar adalah pelayanan kesehatan jiwa yang dilaksanakan oleh dokter, perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya di Puskesmas dan pelayanan kesehatan dasar lainnya secara terintegrasi sesuai dengan kompetensi bidang masing-masing. Jadi sambil memeriksa kesehatan fisik, juga dilakukan deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan jiwa. Di wilayah Kota Bekasi, pada tahun 2014 jumlah kunjungan jiwa meningkat tajam yaitu sebanyak dibanding tahun 2013 yang hanya berjumlah Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya perubahan format laporan program kesehatan jiwa dimana masalah penyakit gangguan jiwa dan penyakit fisik saling terkait dan mempengaruhi. Berdasarkan laporan bulanan Puskesmas di Kota Bekasi, tahun2014, gangguan jiwa yang sering ditemukan adalah gangguan neurotic, schizophrenia dan gangguan psikotik kronik lainnya. 63

65 Grafik 4.26 Jumlah Kunjungan Gangguan Jiwa di Kota Bekasi Tahun 2009 s.d Masalah yang ada dalam kehidupan dapat mempengaruhi masalah fisik, psikologis, sosial, budaya dan spiritual. Masalah penyakit gangguan jiwa di Kota Bekasi adalah kemungkinan pasien yang belum dirawat masih tinggi dan belum adanya pelayanan rawat inap. Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dengan dukungan dari lintas sektor untuk menangani masalah gangguan kesehatan jiwa. Peningkatan preventif promotif dapat dilakukan dengan cara pendekatan kelompok resiko, pelatihan kader jiwa, pembentukan RW Siaga Sehat Jiwa dan lain-lain. Selain itu peningkatan pelayanan di Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani masalah gangguan kesehatan jiwa. d. Penyakit Gigi dan Mulut Pengembangan dan peningkatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas secara keseluruhan. Angka kepenyakitan gigi 64

66 dan mulut yang masih tinggi, meningkatnya ancaman penyakit gigi dan mulut sebagai faktor resiko penyakit sistemik serta rendahnya perilaku masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan gigi adalah beberapa hal upaya yang menjadi faktor pemicu dalam pengembangan dan peningkatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang bermutu dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Karies adalah masalah utama kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan profil data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, penyakit pulpa dan periapikal termasuk sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di seluruh Indonesia. Penyakit gigi dan mulut kedua terbanyak diderita masyarakat ± 70 persen adalah penyakit periodontal, dimana penyakit ini dapat menyebabkan gigi goyang dan lepas. Grafik 4.27 Proposi Jenis Penyakit Gigi dan Mulut di Kota Bekasi Tahun % 5% 11% Karies Gigi Penyakit Pulpa dan Jaringan periapikal 23% 47% Gingivitis dan Jaringan Periodontal Gangguan gigi dan jar. Lainnya Penyakit Rongga Mulut Masalah yang serupa terjadi juga di Kota Bekasi, dimana penyakit gigi yang paling banyak ditemukan adalah penyakit pulpa dan periapikal. Pada grafik 4.27 di atas dapat dilihat jumlah penyakit pulpa dan jaringan periapikal sebanyak (47 persen), gingivitis dan jaringan periodontal sebanyak (23 65

67 persen), gangguan gigi dan jaringan lainnya sebanyak (14 persen), karies sebanyak (10 persen) dan penyakit rongga mulut sebanyak (5 persen). Hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya motivasi masyarakat untuk segera memeriksakan kesehatan gigi dan mulut sedini mungkin. Faktor pendidikan,sosial ekonomi dan psikologis seperti takut ke dokter gigi memjadi hal yang memungkinkan tingginya angka penyakit gigi dan mulut tersebut. Untuk melihat besarnya penyebaran karies pada populasi penduduk, perlu dilakukan pengukuran kuantitatif karies yang dikenal sebagai Indeks DMF-T (Decay, Missing, Filling Teeth). Komponen D, M dan F menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang dialami seseorang. Nilai DMF-T didapatkan dengan menghitung jumlah gigi permanen yang mengalami karies (D), mengalami ekstraksi karena karies (M) dan gigi karies yang sudah ditumpat (F). DMF-T juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan prevalensi dan insidensi karies. Dari gambar terlihat bahwa komponen terbesar dan meningkat jumlahnya adalah komponen M, sedangkan F sangat rendah. Artinya, di Indonesia umumnya, orang yang mengalami karies gigi, cenderung mencabut gigi dari pada mempertahankan giginya dengan melakukan penambalan/ perawatan Grafik 4.28 Nilai Komponen D, M dan F Indeks DMF-T Nasional Tahun 2007 dan Komponen D Komponen M Komponen F Riskesdas 2007 Riskesdas

68 Indikator rasio tambal dan cabut adalah 1:1 dimana jumlah penambalan sebanding atau sama banyak dengan jumlah pencabutan. Dari grafik 4.29 dapat dilihat bahwa di wilayah Kota Bekasi, rasio tumpatan dan pencabutan mengalami peningkatan di tahun 2014 dibandingkan tahun 2013 dengan rasio sebesar 1,5 yang artinya jumlah penumpatan lebih banyak dibandingkan jumlah pencabutan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Kota Bekasi mulai menyadari pentingnya untuk menjaga dan mempertahankan keadaan gigi dan mulut mereka dengan mendapatkan pengobatan atau tindakan sedini mungkin. Grafik 4.29 Rasio Penambalan Gigi Tetap dan Pencabutan Gigi Tetap di Puskesmas se- Kota Bekasi Tahun 2009 s.d Untuk Puskesmas di wilayah Kota Bekasi, rasio tambal dan cabut paling tinggi adalah Puskesmas Jati Makmur yaitu 8,3 dan paling kecil atau dibawah indikator rasio adalah Puskesmas Jati Rahayu yaitu 0,2. Selain Jati Rahayu, ada beberapa Puskesmas yang berada di bawah indikator rasio 1:1 atau dengan kata lain lebih banyak melakukan pencabutan dibandingkan penambalan yaitu: Puskesmas Pejuang (0,9), Kranji (0,6), Seroja (0,7) dan Aren Jaya (0,4). Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor internal Puskesmas seperti sarana dan prasarana yang kurang memadai (dental unit 67

69 Jati Makmur Pondok Gede Duren Jaya Jati Luhur Karang Kitri Pekayon Jaya Pengasinan Rawa Tembaga Teluk Pucung Perumnas II Bojong Menteng Wisma Jaya Marga Mulya Bojong Rawa Lumbu Bantar Gebang Marga Jaya Bintara Jaya Mustika Jaya Kotabaru Jati Warna Jati Sampurna Jati Asih Jati Bening Kali Abang Tengah Jaka Mulya Bintara Pejuang Seroja Kranji Aren Jaya Jati Rahayu rusak di Puskesmas Kranji) dan faktor eksternal seperti faktor sosial ekonomi serta faktor latar belakang pendidikan yang menyebabkan kurangnya pemahaman di masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut sehingga mereka memeriksakan gigi saat keadaan gigi tersebut sudah tidak bisa ditambal. Grafik 4.30 Rasio Tumpatan dan Pencabutan Gigi Tetap Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun TARGET Upaya kesehatan gigi dan mulut di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan yang bersifat pemeliharaan, peningkatan dan perlindungan kesehatan gigi dan mulut masih berasa kurang. Salah satu upaya untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut adalah dengan program UKGS. Berdasarkan data Riskesdas Tahun 2013, program UKGS di wilayah Jawa Barat dinilai masih kurang (33,3). 68

70 Target SD/ MI yang mendapat pelayanan UKGS adalah 80 persen. Di wilayah Kota Bekasi jumlah SD/ MI yang mendapat pelayanan gigi sebanyak 99 persen dan jumlah SD/ MI yang melaksanakan sikat gigi masal sebanyak 70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua SD/MI di wilayah kota Bekasi sudah melaksanakan program UKGS. Grafik 4.31 Jumlah SD/MI Dengan Jumlah SD/MI Yang Mendapat Pelayanan Gigi Dan Yang Melaksanakan Sikat Gigi Masal di Kota Bekasi Tahun JUMLAH SD/MI JUMLAH SD/MI YANG MENDAPAT PELAYANAN GIGI JUMLAH SD/MI YANG MELAKSANAKAN SIKAT GIGI MASAL Pada grafik dibawah terlihat jumlah SD/MI paling banyak terdapat di wilayah Puskesmas Jati Asih yaitu sebanyak 61 SD/MI dan yang paling sedikit terdapat di wilayah Puskesmas Marga Jaya yaitu sebanyak 6 SD/MI. Hampir semua sekolah SD/MI di wilayah Puskesmas di wilayah kota Bekasi mendapatkan pelayanan gigi akan tetapi masih ada beberapa SD/MI yang belum melaksanakan sikat gigi masal. Hal ini membutuhkan kerja sama lintas sektor yaitu antara pihak Puskesmas dengan pihak sekolah, Dinas Pendidikan, Kelurahan, serta Kecamatan agar dapat melaksanakan program UKGS secara optimal. 69

71 Jati Asih Pejuang Mustika Jaya Jati Sampurna Seroja Pondok Gede Pengasinan Karang Kitri Bantar Gebang Jati Bening Aren Jaya Bojong Rawa Lumbu Jaka Mulya Perumnas II Kali Abang Tengah Teluk Pucung Jati Warna Wisma Jaya Rawa Tembaga Kranji Duren Jaya Pekayon Jaya Bintara Jati Luhur Bintara Jaya Jati Makmur Jati Rahayu Kotabaru Bojong Menteng Marga Mulya Marga Jaya Grafik 4.32 Jumlah SD/MI Yang Mendapat Pelayanan Gigi Dan Yang Melaksanakan Sikat Gigi Masal Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun JUMLAH SD/MI SD/MI YANG MENDAPATKAN PELAYANAN GIGI Penyelenggaraan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan di Puskesmas di wilayah Kota Bekasi dalam bentuk pemeriksaan dan penjaringan kesehatn gigi dan mulut peserta didik, penyuluhan kesehatan gigi dan mulut perorangan, sikat gigi masal dan rujukan kesehatan gigi dan mulut ke Puskesmas bagi yang memerlukan. Untuk pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan pada kelas selektif yaitu kelas: 1, 3 dan 5. Dari jumlah murid SD/ MI yang ada, sebanyak 53 persen yang dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut. Jumlah murid SD/ MI (kelas selektif) di Kota Bekasi sebanyak orang dan jumlah murid SD/MI yang diperiksa kesehatan gigi dan mulutnya ada sebanyak orang. Dari murid yang diperiksa tersebut, 48 persen ( orang) memerlukan perawatan atau dalam kata lain terdapat masalah 70

72 pada gigi dan mulutnya. Dan jumlah murid SD/MI yang mendapatkan perawatan adalah sebanyak 15 persen ( orang). Angka ini menunjukkan masih tingginya penyakit gigi dan mulut pada murid SD/ MI dan masih minimnya murid SD/ MI yang mendapatkan perawatan karena masalah kesehatan gigi dan mulutnya. Faktor perilaku masyarakat seperti perilaku menyikat gigi dan motivasi untuk berobat dapat mempengaruhi keadaan ini. Untuk itu diperlukan intervensi dari orang tua, guru dan juga petugas kesehatan. Perlunya pembinaan kerja sama lintas sektor melalui TP UKS serta intervensi perilaku seperti penyuluhan dan pembinaan kader kesehatan di lingkungan guru juga orang tua diperlukan untuk mengatasi maslah tersebut Gambaran Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) Sampai dengan Tahun 2014, rasa kekhawatiran dunia internasional masih sangat terasa akan terjadinya ledakan kasus dan Kejadian Luar Biasa/Wabah (KLB/W) oleh penyakit PD3I. Upaya imunisasi pun masih menjadi prioritas, disamping upaya inovasiinovasi baru, peningkatan cakupan imunisasi bayi, anak sekolah dan wanita usia subur di semua layanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta. Universal Child Immunization (UCI) pun harus tercapai 100 persen di semua kelurahan termasuk kelurahan-kelurahan yang ada di wilayah administrasi Pemerintahan Kota Bekasi, sehingga dengan upaya ini menjadi salah satu metode mengeliminasi dan eradikasi penyakit PD3I di muka bumi. Upaya eliminasi dan eradikasi penyakit PD3I dirasa sulit dapat berhasil tanpa danya komitmen dan sinegitas dari semua pihak. Selama komitmen, sinergitas dan imunisasi belum menjadi 71

73 suatu kebutuhan investasi kesehatan jangka panjang masyarakat, maka bagi Negara yang sehat, efektif dan efisiensi masih belum optimal. Penyakit PD3I dikenal ada 6 jenis penyakit, yaitu penyakit Diteri, Pertusis, Tetanus Neonatorium, Campak, Hepatitis B dan penyakit Polio. Kasus PD3I di Kota Bekasi tidak semuanya 6 jenis penyakit PD3I muncul. Sudah puluhan tahun berlalu, kasus polio di Kota Bekasi tidak pernah ada. Belakangan ini sejak Tahun 2011, kasus difteri muncul kembali (re-emerging disease) hingga kini telah muncul 22 kasus menyebar dihampir 50 persen kelurahan tertular. a. Acute Flaccid Paralysis (AFP) Non Polio Memulai dari Sistem Kewaspadaan Dini/Respon (SKD/R), pelacakan ke penemuan kasus AFP, pengambilan dan pengiriman sampel kasus AFP-Non Polio masih menjadi prioritas program pelaksanaan surveilans epidemiologi Dinas Kesehatan maupun Puskesmas dan Rumah Sakit. Walaupun dalam pelaksanaannya tidak sedikit mengalami kendala, di antaranya kendala sumber daya manusia, waktu, koordinasi dan informasi lintas program/ lintas sektor yang belum optimal. Namun demikian sedapat mungkin program tetap harus berjalan. Penemuan kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) yaitu kasus lumpuh, layuh, lemas, lemah bukan karena ruda paksa dan atau bukan karena virus polio (non polio) yang mengenai pada anak umur kurang dari 15 tahun pada suatu wilayah dan pada waktu tertentu. 72

74 No Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Usia <15 Tahun dan Kasus AFP Menurut Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2014 Kecamatan Jml Penduduk < 15 Tahun Jml Kasus AFP Non Polio 1 Pondok Gede 72, Pondok Melati 39,105 3 Jati Sampurna 37,042 4 Jati Asih 65,739 5 Rawa Lumbu 63, Bekasi Timur 60, Bekasi Selatan 54,428 8 Bekasi Utara 97, Bekasi Barat 74, Medan Satria 48, Bantar Gebang 30, Mustika Jaya 67,321 Kota Bekasi 710,912 8 Gambar 4.2 Peta Sebaran Kasus AFP di Kota Bekasi Tahun 2014 Peta Kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) Non Polio Di Kota Bekasi Tahun 2014 U = Gambaran Kasus AFP Sumber: Bidang PMK Dinkes Kota Bekasi

75 Pada Tahun 2014, Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) yang dilakukan oleh Surveilans Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kota Bekasi telah menemukan 8 kasus AFP- non polio. 8 kasus tersebut diantaranya 1 kasus ditemukan di Puskesmas Bantar Gebang dan 7 kasus ditemukan di Rumah Sakit. Berdasarkan domisili kasus, 2 kasus berasal dari Kecamatan Pondok Gede, 2 kasus dari Kecamatan Bekasi Timur, sedangkan 4 kasus lainnya berdomisili di Kecamatan Rawa Lumbu, Bekasi Utara, Medan Satria dan Bantargebang masing-masing 1 kasus. Grafik 4.33 Proporsi Kasus AFP Non Polio Menurut Jenis Kelamin di Kota Bekasi Tahun 2014 L 12% P 88% Kasus AFP pada tahun 2014 lebih banyak kasus dengan jenis kelamin perempuan yaitu 88 persen (7 kasus), atau 76 persen lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki yang berjumlah 1 kasus (12 persen) dari total 8 kasus yang ada. Secara epidemiologis kasus AFP tidak mengenal jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan semuanya mempunyai peluang yang sama terkena penyakit ini. Dalam Kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) Non Polio, sangat penting surveilans melakukan analisa terhadap kasus berdasarkan Status Vaksinasi (Tetes Polio), dimana hasil analisa tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan, kajian dan 74

76 kebijakan lokal spesifik maupun nasional bagi pimpinan dan program imunisasi. Untuk mengetahui status vaksinasi kasus dapat dilihat pada grafik 4.34 berikut. Grafik 4.34 Proporsi Kasus AFP Non Polio Menurut Status Vaksinasi di Kota Bekasi Tahun kali 0% 3 kali 0% Tdk/tdk tahu 38% 4 kali 37% 2 kali 25% Grafik 4.34 menunjukkan bahwa 38 persen kasus (orang tua kasus) menjawab tidak/ tidak tahu saat diwawancara dipertanyakan tentang status vaksinasi anaknya. 37 persen kasus menerima imunisasi polio lengkap (4 kali) sebelum sakit, dan 25 persennya hanya menerima 2 kali imunisasi polio sebelum sakit. Setiap ditemukan kasus AFP, petugas Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) harus melakukan pengambilan sampel terhadap kasus, yaitu feses/ tinja. Di tahun 2014 ditemukan 8 kasus AFP dan telah dilakukan pengambilan sampel sebanyak 8 kasus x 2 sampel/ kasus sehingga berjumlah 16 sampel, dengan ketentuan sebagai berikut: Ketentuan waktu dipastikan tidak bisa melebihi 15 hari sejak gejala ditimbulkan, dan sampel pertama dan kedua dengan jarak waktu ± 24 jam; 75

77 Ketentuan kuantitas dan kualitas dipastikan dengan berat sampel ± 20 gram/sampel dan dimasukan ke dalam pot berulir serta diperlakukan dan disimpan dalam suhu 2-8ºC. Setelah dilakukan pengambilan sampel kasus AFP, petugas Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) harus melakukan pengiriman sampel ke Pusat Laboratorium Polio Nasional (PT. Biofarma-Bandung, Jawa Barat). Di Tahun 2014 telah dilakukan pengiriman sampel sebanyak 8 kasus kali 2 sampel per kasus ke PT. Biofarma-Bandung, Jawa Barat. Sebanyak 16 sampel dari 8 kasus AFP telah dilakukan pemeriksaan laboratorium di Pusat Laboratorium Polio Nasional (PT. Biofarma-Bandung) dengan hasil terkonfirmasi dinyatakan bukan Polio.Secara Program di internal SKPD-Dinas Kesehatan Kota Bekasi memastikan di Tahun 2014 Kota Bekasi telah terbebas dari Kasus Polio. b. Difteri Difteri merupakan salah satu Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), yang dalam kurun waktu beberapa tahun ini secara sporadis menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan frekuensi kejadian dan wilayah baru. Secara epidemiologi, penyakit Diphteri merupakan penyakit menular akut yang menyerang tonsil, faring dan hidung yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dengan masa inkubasi antara 2-5 hari dan masa penularan 2-4 minggu sejak masa inkubasi. Difteri menyerang setiap orang yang tidak punya kekebalan. Kekebalan tinggi didapat secara aktif dengan Imunisasi. Cara penularannya langsung dan cepat, carrier yang dapat bertahan selama 6 bulan. Tingkat perlindungan vaksin, serta pilihan penggunaan vaksin untuk perlindungan tergantung kepada usia sasaran (DPT, DT, dt). 76

78 Grafik 4.35 Proporsi Kasus Difteri Menurut Jenis Kelamin di Kota Bekasi Tahun 2014 P 3 (75%) L 1 (25%) Kasus difteri masih terjadi di Tahun 2014 sebanyak 4 kasus. 3 kasus terjadi di Kelurahan Jaka Mulya (terdiri dari 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan), dan 1 kasus lagi terjadi di Kelurahan Kotabaru berjenis kelamin perempuan. Gambar 4.3 Peta Sebaran Kasus Difteri di Kota Bekasi Tahun 2014 Peta Kasus Difteri di Kota Bekasi Tahun 2014 U = Kasus Difteri Sumber: Bidang PMK Dinkes Kota Bekasi

79 Kasus difteri tersebut di atas terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun dengan 1 kasus (25 persen), 5-9 tahun 2 kasus (50 persen), dan 1 kasus terjadi pada kelompok umur tahun. Dan bahwa keempat kasus berdomisili di komplek perumahan. c. Campak Definisi kasus campak yang digunakan dalam sistem surveilans epidemiologi nasional adalah demam, dan bercak merah berbentuk mokulopapular, dan batuk/pilek atau mata merah (conjunctivitis) atau didiagnosa oleh dokter sebagai kasus campak. Secara epidemiologi, penyakit campak dikenal juga sebagai Morbili atau Measles, merupakan penyakit yang sangat menular (infeksius) yang disebabkan oleh virus, 90% anak yang tidak kebal akan terserang penyakit campak. Manusia diperkirakan satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi tetapi tidak berperan dalam penyebaran. Sejak vaksinasi campak diberikan secara luas, terjadi perubahan epidemiologi campak terutama di Negara berkembang. Dengan tingginya cakupan imunisasi, terjadi penurunan insiden campak dan pergeseran umur ke umur yang lebih tua. Walaupun cakupan imunisasi tinggi, KLB campak mungkin saja masih akan terjadi yang diantaranya disebabkan adanya akumulasi anak-anak rentan ditambah 15 persen anak yang tidak terbentuk imunitas di tengah-tengah masyarakat. Penyebab penyakit campak adalah Paramyxoviridae (RNA), jenis Morbilivirus yang mudah mati karena panas dan cahaya. Cara penularannya dari orang ke orang melalui percikan ludah dan transmisi melalui udara terutama melalui batuk, bersin atau sekresi hidung. Sedangkan masa penularannya 4 hari sebelum rash sampai 4 hari setelah timbul rash, puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-78

80 Kota Baru Seroja Duren Jaya Jati Sampurna Bintara Jaya Jati Makmur Teluk Pucung Aren Jaya Kranji Kali A Tengah Mustika Jaya Pondok Gede Rawa Tembaga Jati Bening Jati Rahayu Jati Asih Pekayon Jati Warna Bintara Bojong Menteng Pengasinan Marga Jaya Pejuang Bantar Gebang Perumnas II Jaka Mulya Karang Kitri Marga Mulya Wisma Jaya Rawa Lumbu Jati Luhur hari pertama sakit, dan masa inkubasinya 7-18 hari, rata-rata 10 hari. Komplikasi sering terjadi pada anak usia < 5 tahun dan penderita dewasa > 20 tahun. Kasus Campak Berbasis Individu atau Case Based Measles Surveillance (CBMS) adalah kasus campak klinis secara perorangan yang muncul di tengah-tengah masyarakat berisiko di luar Kejadian Luar Biasa/Wabah (KLB/W). Grafik 4.36 Distribusi Kasus Campak Klinis Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun 2014 Grafik 4.29 di atas menunjukkan bahwa kasus campak klinis terdistribusi di 27 Puskesmas. Puskesmas Marga Mulya, Wisma Jaya, Rawa Lumbu dan Jati Luhur tidak ada kasus (nihil). Kasus tertinggi terjadi di Puskesmas Kota Baru sebanyak 21 kasus, diikuti di Puskesmas Seroja dan Duren Jaya masingmasing 18 kasus, dan kasus terendah di Puskesmas Perumnas II, Jaka Mulya dan Karang Kitri dengan kasus masing-masing 1 kasus. Secara epidemiologis, kasus campak selalu terjadi fluktuatif dari tahun ke tahun berikutnya. Kejadian tersebut diduga 79

81 kuat karena adanya ketidakseimbangan antara tiga faktor yang saling mempengaruhi, yaitu agent penyakit, environment dan manusia sehat. Apabila agent penyakit semakin kuat (virulensi), environment semakin buruk dan manusianya semakin lemah dan tidak sehat, maka dapat dipastikan kasus campak akan meningkat dan bahkan dapat terjadi KLB/W. Berikut adalah fluktuasi kasus campak klinis yang teraji di Kota Bekasi Tahun Grafik 4.37 Fluktuasi Kasus Campak Klinis Menurut Waktu di Kota Bekasi Tahun 2014 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Berdasarkan waktu terjadinya kasus campak klinis terbagi atas 12 bulan (Januari- Desember). Pada grafik 4.30 di atas dapat disimpulkan, bahwa kasus campak klinis tertinggi terjadi pada bulan April sebanyak 26 kasus, tertinggi kedua terjadi pada bulan November sebanyak 25 kasus, sedangkan kasus terendah terjadi pada bulan Agustus berjumlah 9 kasus. Fluktuasi seperti ini selalu terjadi dari tahun sebelumnya ke tahun berikutnya dan ada kecenderungan pola yang sama pada tahun 2013 lalu. Secara epidemiologis, untuk kasus campak klinis tidak terlalu signifikan yang membedakan proporsi kejadian kasus pada laki-laki dan perempuan. Proporsi tersebut dapat dilihat pada grafik 4.38 berikut. 80

82 Grafik 4.38 Proporsi Kasus Campak Klinis Menurut Jenis Kelamin di Kota Bekasi Tahun 2014 Peremp uan 46% Lakilaki 54% Melihat grafik 4.38 di atas dapat disimpulkan bahwa proporsi kasus campak klinis 54 persen terjadi pada laki-laki dan 46 persen pada perempuan, atau 8 persen lebih tinggi mengenai pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, namun demikian belum dapat dinyatakan signifikan, karena peluang kejadian dan faktor risikonya sama di tengah-tengah masyarakat, baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Pada dasarnya penyakit campak dapat mengenai semua umur. Akan tetapi kecenderungan penyakit ini sebagian besar selalu terjadi pada usia anak dan remaja muda. Kasus campak tertinggi terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun sebanyak 80 kasus (33,9 persen) diikuti pada kelompok umur 1-4 tahun sebanyak 77 kasus (32,6 persen). Kasus terendah terjadi pada umur > 15 tahun berjumlah 15 kasus (6,4 persen) dari 236 jumlah kasus yang ada. Umur < 1 tahun - 4 tahun merupakan usia balita atau prasekolah yang aktifitasnya belum terlalu luas dan bahkan aktifitas kesehariannya masih di sekitar lingkungan tempat tinggal. Pada usia tersebut terjadi 110 anak (46,6 persen), dan pada kelompok umur 5-14 tahun (kelas 1 SD/MI- kelas 2 SLTP) terjadi pada 111 anak (47 persen). 81

83 Grafik 4.39 Distribusi Kasus Campak Klinis Menurut Kelompok Umur di Kota Bekasi Tahun < 1 th 1-4 th 5-9 th th > 15 th Berdasarkan Kinerja Program Imunisasi, sudah berjalan beberapa tahun ini sudah 100 persen mencapai United Child Immunization (UCI) di semua kelurahan di Kota Bekasi. Akan tetapi masih ada kejanggalan di masyarakat tentang informasi, pengetahuan dan pemahaman terhadap imunisasi campak. Masih terdapat 64 persen kasus di masyarakat yang menjawab tidak/belum atau tidak tahu bila petugas kesehatan mempertanyakan status vaksinasi campak terhadap orang tua kasus. Lebih jelasnya hal tersebut dapat dilihat pada grafik 4.40 berikut. Grafik 4.40 Distribusi Kasus Campak Klinis Menurut Status Vaksinasi di Kota Bekasi Tahun 2014 Tidak/b elum/tid ak tahu 64% Divaksin asi 36% 82

84 Melihat grafik 4.40 di atas, dengan masih adanya 64 persen masyarakat yang tidak/belum /tidak tahu vaksinasi/ imunisasi campak, maka upaya kesehatan masyarakat (public health) harus lebih banyak mengedepankan: 1) Upaya Promotif azas manfaat, tujuan dan pentingnya imunisasi, risiko bila tidak diimunisasi, imunisasi merupakan investasi kesehatan jangka panjang ; 2) Sertifikasi Lima Imunisasi Dasar Lengkap Bayi. Imunisasi merupakan kebutuhan dan hak dasar bayi, sertifikasi tersebut dapat dikeluarkan melalui keputusan bersama 4 kementerian plus (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, dan Majelis Ulama Indonesia); PT. Biofarma- Bandung merupakan pusat rujukan campak nasional di Jawa Barat. 50 persen sampel darah (serum) kasus campak berbasis individu dan KLB campak di Jawa Barat semua dilakukan pemeriksaan laboratorium di PT. Biofarma-Bandung. Klasifikasi final hasil pemeriksaan lab. dapat dilihat pada grafik 4.41 berikut. Grafik 4.41 Proporsi Klasifikasi Final Hasil Pemeriksaan Sampel Serum Kasus Campak di Kota Bekasi Tahun 2014 Neg (-) Camp/ Rub 31% Pos (+) Campa k 35% Pos (+) Rubell a 34% 83

85 Diketahui, bahwa klasifikasi final hasil pemeriksaan sampel darah (serum) kasus campak berbasis individu, 35 persen campak (+), 34 persen rubella (+), dan 31 persen negatif (bukan campak dan bukan rubella). Artinya bahwa di tengah-tengah masyarakat masih ada dan tidak sedikit virus Paramyxoviridae (RNA). Indikator Kinerja Output Program Imunisasi, yaitu 100 pesen kelurahan mencapai UCI, termasuk imunisasi campak lebih dari 90 presen. Namun walaupun cakupan imunisasi tinggi dan 100 persen kelurahan mencapai UCI, kasus campak (+) berbasis individu, bahkan KLB campak mungkin saja masih akan terjadi yang diantaranya disebabkan adanya akumulasi anakanak rentan ditambah 15 persen anak yang tidak terbentuk imunitas di tengah-tengah masyarakat. Lebih jelasnya kasus campak (+) kelurahan dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 4.4 Peta Sebaran Kasus Campak Positif di Kota Bekasi Tahun 2014 Kelurahan dengan Kasus Campak (+) Tahun 2014 U = Kasus Campak (+) Sumber: Bidang PMK Dinkes Kota Bekasi

86 Diketahui pada peta di atas, bahwa terdapat 11 kasus campak (+) tersebar di 7 kelurahan (12,5 persen) dari 56 kelurahan di Wilayah Kota Bekasi. Kelurahan paling tinggi kasus campak (+) yaitu Kelurahan Harapan Jaya sebanyak 4 kasus, tertinggi kedua yaitu Kelurahan Pelayon Jaya sebanyak 2 kasus. Sedangkan Kelurahan Marga Jaya, Kota Baru, Aren Jaya, Bojong Menteng dan Jati Raden masing-masing 1 kasus. Tersangka KLB Campak adalah adanya 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan epidemiologi (manusia, tempat dan waktu). Pasti KLB adalah apabila minimum 2 spesimen positif IgM campak dari hasil pemeriksaan kasus pada tersangka KLB campak. Grafik 4.42 Proporsi KLB Kasus Campak Klinis Menurut Kelompok Umur di Kota Bekasi Tahun 2014 >15 th 5% th 9% 1-4 th 24% < 1 th 5% 5-9 th 57% KLB Kasus Campak Klinis di Tahun 2014 terjadi di 2 kelurahan, yakni di Kelurahan Kota Baru dan Kranji. Secara administrative 2 kelurahan tersebut merupakan bagian Wilayah Kecamatan Bekasi Barat yang capaian target UCI-nya sudah terpenuhi 100 persen. Untuk lebih jelasnya mengetahui tempat kejadian KLB dapat dilihat pada gambar berikut. 85

87 Gambar 4.5 Peta Sebaran KLB Kasus Campak di Kota Bekasi Tahun 2014 Kelurahan dengan KLB Kasus Campak Klinis Tahun 2014 U 1 = Kasus Campak (+) Sumber: Bidang PMK Dinkes Kota Bekasi 2014 Melihat peta 4.5 di atas dapat dijelaskan bahwa di Wilayah Kelurahan Kota Baru jumlah kasusnya paling tinggi, yakni sebanyak 16 kasus yang terjadi atas 2 kali kejadian, yaitu pada Bulan Oktober sebanyak 10 kasus dan Bulan November 6 kasus. Kejadian ini merupakan kejadian lanjutan Bulan Oktober- November, karena secara epidemiologis jarak waktu akhir kejadian di Bulan Oktober dengan kejadian awal di Bulan November sangat berdekatan (< 2 kali masa inkubasi). Sedangkan KLB berikutnya terjadi di Wilayah Kelurahan Kranji pada Bulan Desember sebanyak 5 kasus. 86

88 4.5 Bencana Kota Bekasi terletak di dataran rendah, walaupun bukan termasuk daerah rawan bencana, namun hampir setiap tahunnya mengalami banjir, angin puting beliung serta bencana yang disebabkan karena ulah manusia. Banjir di Kota Bekasi dikarenakan turunnya hujan dengan intensitas tinggi dan durasi yang lama. Pada saat demikian, air hujan tidak tersalurkan pada saluran drainase Kota sehingga menimbulkan genangan dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Selain itu, jika di hulu sungai (Bogor) turun hujan lebat menyebabkan debit air sungai dan volumenya meningkat sehingga tidak tertampung pada badan sungai, menyebabkan banjir di daerah sempadan sungai. Saat ini daerah sempadan sungai banyak beralih fungsi menjadi perumahan penduduk sehingga terjadi banjir di sekitar daerah tersebut. Tabel 4.4 Kejadian Bencana Banjir di Kota Bekasi Tahun 2014 NO Variabel- Uraian Waktu Kejadian Wilayah Kecamatan yang terkena Bencana Banjir 2 Wilayah Kecamatan yang terancam terkena Bencana Banjir Wilayah Kelurahan yang terkena Bencana Banjir 4 Wilayah Kelurahan yang terancam terkena Bencana Banjir 5 Titik Banjir (RT, RW, Komp/Perum, TTU) Penyebab Banjir (diakibatkan) Hujan, Luapan Hujan, Luapan Hujan, Luapan air kali air kali air kali 7 Rata-rata Ketinggian Air Banjir 100 cm ( cm) 100 cm ( cm) 100 cm ( cm) 8 Jumlah Kepala Keluarga (KK) terkena Bencana Banjir 9 Jumlah Jiwa Jumlah Bayi (umur < 1 tahun) Jumlah Balita (umur 1-5 tahun) Jumlah Ibu Hamil (Bumil) Jumlah Lanjut Usia (kelompok rentan) Lokasi Pengungsian Jumlah Pengungsi Jumlah Rumah yang mengalami kerusakan Jumlah Sumber Air Bersih (SAB) yang mengalami kerusakan 18 Jumlah Sekolah yang mengalami kerusakan Jumlah Tempat Ibadah yang mengalami kerusak Jumlah Tempat-tempat Umum yang mengalami kerusakan 21 Tempat Posko Kesehatan Jumlah Korban ke Posko Kesehatan s.d 17/01 18 s.d 27/01 28 s.d

89 Bencana alam lainnya yang terjadi di Kota Bekasi, yakni angin puting beliung yang terjadi akibat dari perubahan cuaca yang mendadak. Angin puting beliung ini biasanya terjadi saat panas terik kemudian turun hujan lebat disertai petir, yang menimbulkan kerusakan pada rumah warga dan fasilitas umum, bahkan ada beberapa warga yang tertimpa bangunan rumah dan terluka. Selain itu, Wilayah Kota Bekasi yang berada di pinggir DKI Jakarta, berfungsi sebagai daerah penyeimbang Ibukota Jakarta. Kondisi ini mengakibatkan Kota Bekasi menjadi rentan terhadap isu-isu yang beredar di Ibukota, yang memberikan efek negatif di masyarakat, seperti demonstrasi mahasiswa dan buruh yang kadang menimbulkan korban jiwa walaupun tidak sampai meninggal dunia. Juga karena penduduk Kota Bekasi demikian heterogen, adanya kesalahpahaman antara penduduk dapat menimbulkan konflik/masalah sosial. Grafik 4.43 Distribusi Titik Bencana Banjir Menurut Kelurahan di Kota Bekasi Tahun 2014 Kali A Tengah Bj Rawa Lumbu Jaka Sampurna Pejuang Kota Baru Jati Rasa Bintara Jaka Mulya Jatibening Bojong Menteng Sepanjang Jaya Jati Cempaka Jati Mekar Jaka Setia Cimuning Medan Satria Jati Rahayu Mustika Jaya Marga Mulya Jml Titik Banjir Proporsi (%) 88

90 Melihat grafik 4.43 di atas dapat diketahui bahwa kelurahan paling banyak yang mengalami titik banjir adalah di Kelurahan Kali Abang Tengan sebanyak 20 titik (8,9 persen), diikuti di Kelurahan Aren Jaya berjumlah 18 titik (8 persen) dan Kelurahan Bojong Rawa Lumbu berjumlah 16 titik (7,1 persen) dari 224 jumlah titik banjir, sedangakan 5 kelurahan seperti di Kelurahan Jati Rahayu, Jatibening Baru, Mustika Jaya, Cikiwul dan Marga Mulya masing-masing 1 titik banjir saja. Gambar 4.6 Peta KLB Bencana Banjir di Kota Bekasi Tahun 2014 Peta KLB Bencana Banjir Kota Bekasi Tahun 2014 (Jan-Feb) U 89

91 Pengasinan Jati Asih Karang Kitri Kota Baru Aren Jaya Marga Jaya Wisma Jaya Rawa Tembaga Kali A Tengah Pejuang Kranji Perumnas II Mustika Jaya Bintara Jaya Jaka Mulya Posko Kota Bintara Pondok Gede Bojong Menteng Jati Rahayu Bantar Gebang Duren Jaya Jati Makmur Marga Mulya Jatibening Pekayon Jaya Bj. Rawa Lumbu Teluk Pucung Pada peta di atas dapat diketahui, bahwa bencana banjir tahun 2014 terdapat 224 titik tersebar di 37 kelurahan (62 persen) dari 56 kelurahan yang ada di Kota Bekasi, atau di 27 wilayah kerja Puskesmas (84 persen). Secara wilayah terdapat 19 kelurahan (38 persen) tidak terjadi bencana banjir, namun disebut sebagai kelurahan terancam. Grafik 4.44 Distribusi Kunjungan Korban Bencana Banjir Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun 2014 Kunjungan korban bencana paling banyak berada di Puskesmas Pengasinan sebanyak orang dan terbanyak kedua berada di Puskesmas Jati Asih berjumlah orang. Terdapat 4 Puskesmas yang tidak ada kunjungan korban bencana banjir yaitu: Puskesmas Jatibening, Pekayon Jaya, Bojong Rawa Lumbu dan Teluk Pucung. Korban bencana banjir yang mengakses ke Posko Kesehatan dan Puskesmas sebanyak orang (54,1 persen) adalah perempuan atau 8,2 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang berjumlah orang (45,9 persen). Korban yang mengakses Posko Kesehatan dan Puskesmas pada kelompok umur > 5 tahun sebanyak orang (90,5 persen), sedangkan kelompok umur < 5 tahun berjumlah 674 orang (9,5 persen). 90

92 Grafik 4.45 Distribusi Penyakit Akibat Bencana Banjir di Kota Bekasi Tahun Pada grafik 4.45 di atas dapat diketahui penyakit paling banyak korban bencana banjir adalah penyakit kulit kasus (31,8 persen), terbanyak kedua adalah ISPA berjumlah kasus (26,5 persen), sedangkan kasus paling rendah adalah Anemia berjumlah 3 kasus. 4.6 Status Gizi Status gizi didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan zat gizi. Status gizi juga merupakan ukuran keberhasilan dalam pemenuhan zat gizi, yang diindikasikan dengan berat badan dan tinggi badan. Keadaan gizi akan berakibat langsung maupun tidak langsung pada angka kesakitan dan kematian, serta gangguan-gangguan lain yang dapat menghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu untuk meningkatkan status gizi masyarakat, dilaksanakan program perbaikan gizi yang bertujuan untuk meningkatkan mutu konsumsi pangan. Peningkatan status gizi ini diarahkan pada peningkatan intelektualitas, produktivitas kerja, prestasi belajar serta menurunkan angka malnutrisi baik gizi kurang maupun gizi lebih. Karena status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup masyarakat. 91

93 4.5.1 Status Gizi Balita Tujuan pertama MDGs adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Salah satu target yang ingin dicapai adalah menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990 hingga Dan status gizi digunakan sebagai indikator kunci untuk mencapai target tersebut, yaitu dengan menurunkan prevalensi balita kurang gizi. Anak yang kurang gizi memiliki kemungkinan risiko kematian yang tinggi, menghambat pertumbuhan sehingga mempengaruhi status kesehatannya di kemudian hari. Prevalensi balita kurang gizi secara universal juga digunakan sebagai indikator untuk memonitor status kesehatan penduduk. Untuk menilai status gizi balita digunakan tiga indeks berdasarkan standar baku antropometri WHO 2005, yaitu: BB/U, TB/U, dan BB/TB dengan klasifikasi sebagai berikut. a. Klasifikasi status gizi berdasarkan Indeks BB/U Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik : Zscore < -3SD : Zscore antara -3 SD s.d. < -2SD : Zscore > -2SD b. Klasifikasi status gizi berdasarkan Indeks TB/U Sangat Pendek Pendek Normal : Zscore < -3SD : Zscore antara -3 SD s.d. < -2SD : Zscore > -2SD c. Klasifikasi status gizi berdasarkan Indeks BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk : Zscore < -3SD : Zscore antara -3 SD s.d. < -2SD : Zscore antara -2 SD s.d. -2SD : Zscore > 2SD Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberilan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan 92

94 indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/ pemberian makan yang kurang baik sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker). Grafik 4.46 Prevalensi Pendek, Kurus, Sangat Kurus, Gizi Buruk, dan Gemuk pada Balita di Kota Bekasi Tahun 2013 dan Pendek Kurus Sangat Kurus TH 2013 TH Gizi Buruk 9.29 Gemuk

95 Penanggulangan masalah gizi di Kota Bekasi tidak bisa hanya berfokus pada gizi buruk, namun harus sudah memperhatikan masalah gizi lebih karena Kota Bekasi sudah mengalami double burdon, artinya selain masih menghadapi masalah gizi buruk, disisi lain telah terjadi masalah gizi lebih ataupun gemuk. Berikut disajikan prevalensi pendek, kurus, sangat kurus, gizi buruk, dan gemuk pada balita di Kota Bekasi Tahun 2013 dan Tahun Grafik 4.46 memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan balita kurang gizi, baik pendek, kurus, sangat kurus maupun gizi buruk, akan tetapi telah terjadi peningkatan balita gemuk. Data tersebut juga membuktikan bahwa Kota bekasi telah mengalami double burdon, yaitu selain mengalami masalah kurang gizi tapi juga mengalami masalah kelebihan gizi. Prevalensi balita pendek (stunting) dan gemuk jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kasus gizi buruk maupun sangat kurus. Tingginya prevalensi balita pendek sangat erat kaitannya dengan kejadian gizi buruk (BB/U). Sebagian besar balita gizi buruk (BB/U) disebabkan balita tersebut pendek, sebagaimana data Penilaian Status Gizi-Keluarga Sadar Gizi (PSG-Kadarzi) tahun 2009 yang menyebutkan bahwa 78 persen balita yang gizi buruk adalah pendek. Selama tahun 2014 telah ditemukan 137 kasus baru balita sangat kurus, 12 persen diantaranya disertai penyakit penyerta seperti: TB paru, pneumonia, kejang, down sindrom, faringitis, epilepsi, ISPA, BBLR, dan mikrochepalus. Dari 137 kasus tersebut, sebanyak 34 balita (24,8 persen) membaik ataupun sembuh, yaitu berubah status gizinya menjadi kurus atau normal. Masih rendahnya balita yang berhasil disembuhkan selain karena disertai penyakit penyerta juga dikarenakan oleh masih banyak balita yang tidak terpantau secara rutin setiap bulan, sehingga intervensi yang diberikan tidak maksimal. Intervensi yang 94

96 diberikan adalah konseling gizi, rujukan ke rumah sakit, pengobatan dan PMT. Selain itu berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan balita gizi buruk maupun stunting. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mengedepankan pentingnya hari pertama kehidupan, yaitu berupa konseling gizi, penyuluhan, pemberian makanan tambahan pemulihan bagi balita kurang gizi melalui dana BOK, pelatihan komunikasi MP-ASI bagi kader Posyandu, dan pemberian tablet tambah darah pada remaja putri untuk mencegah anemia sebagai bentuk penanggulangan masalah gizi jangka panjang, serta pembelajaran kelas ibu dan balita melalui program KIA ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, dengan memberikan ASI saja tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain termasuk air. ASI sangat bermanfaat dalam memberikan asupan zat gizi dan zat kekebalan sehingga bayi tidak mudah terkena penyakit infeksi, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada balita seperti diare dan pneumonia, termasuk menurunkan kejadian gizi buruk. Cakupan ASI eksklusif di Kota Bekasi dalam dua tahun terakhir cenderung meningkat. Dari 8,16 persen tahun 2010 meningkat menjadi 11,7 persen tahun 2011 dan meningkat kembali tahun 2012 menjadi 22,1 persen, tetapi turun kembali pada tahun 2013 menjadi 13,8 persen dan sedikit menurun di tahun 2014 menjadi 13,5 persen. Hal tersebut jauh di bawah target capaian ASI eksklusif sebesar 75 persen. Pelatihan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI eksklusif bagi petugas kesehatan di Puskesmas beberapa tahun terakhir maupun pembentukan kelas ibu belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan capaian ASI eksklusif. 95

97 Berikut disajikan capaian ASI eksklusif tahun 2009 sampai dengan tahun Grafik 4.47 Persentase Cakupan Bayi yang Diberi Asi Eksklusif di Kota Bekasi Tahun 2009 s.d Rendahnya cakupan ASI eksklusif ini antara lain karena pencatatan dan pelaporan ASI eksklusif yang kurang baik, masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya ASI eksklusif, ibu yang bekerja, dan masih sedikitnya tenaga konselor laktasi maupun kelompok pendukung laktasi yang diharapkan dapat memberikan bantuan kepada ibu menyusui ketika menghadapi masalah dalam pemberian ASI. Penyebab lain rendahnya capaian ASI eksklusif adalah rendahnya partisipasi masyarakat untuk membawa balita datang ke posyandu (D/S), yaitu baru 42 persen. Sedangkan sumber data ASI eksklusif berasal dari bayi yang berkunjung ke Posyandu yang dibandingkan dengan seluruh sasaran bayi dalam kurun waktu satu tahun. 96

98 4.5.3 Anemia Gizi Anemia defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh. Anemia defisiensi besi ini merupakan masalah kesehatan yang dialami oleh wanita di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang. Anemia pada kehamilan ini juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu, antara lain: meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan, risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan meningkatnya angka kematian perinatal. Selain itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita anemis. Perdarahan ini dapat berakibat fatal karena wanita yang anemia tidak dapat mentolerir kehilangan darah. Pemberian tablet tambah darah (Fe) sebanyak 90 tablet selama kehamilan dilakukan sebagai upaya untuk mencegah anemia pada ibu hamil. Pemberian tablet ini dilakukan pada saat kunjungan ibu hamil ke fasilitas kesehatan, yaitu kunjungan ke I pada kehamilan trimester pertama, kunjungan ke II pada trimester kedua dan kunjungan ke III/IV pada trimester ketiga. Capaian Fe1 maupun Fe3 tahun 2014 bila dibandingkan dengan capaian tahun 2013 mengalami peningkatan, bahkan capaian Fe3 pada tahun 2014 merupakan capaian tertinggi dalam 7 tahun terakhir. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan capaian pemberian Fe, yaitu meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan fasilitas kesehatan swasta. Selain pemberian tablet tambah darah kepada ibu hamil, sebagai upaya mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil juga dilakukan program pencegahan dan penanggulangan anemia pada remaja putri, yaitu dengan cara memberikan tablet tambah darah kepada remaja putri selama 4 bulan. 97

99 Grafik 4.48 Persentase Cakupan Pemberian Fe I dan Fe III di Kota Bekasi Tahun 2009 s.d Fe1 Fe Tingkat Partisipasi Masyarakat ke Posyandu (D/S) D/S merupakan gambaran tingkat partisipasi masyarakat untuk membawa balitanya ke Posyandu. Menimbang balita secara teratur juga merupakan wujud keluarga yang sadar gizi. Idealnya seorang balita menimbang berat badannya dalam 6 bulan minimal 4 kali, atau 8 kali dalam 1 tahun. Pada tahun 2014 diharapkan D/S sebesar 81 persen, tetapi data penimbangan di Posyandu yang dilaksanakan secara rutin setiap bulan berdasarkan laporan bulanan Puskesmas pada tahun 2014 baru sebesar 42 persen. Menurut data laporan hasil penimbangan balita di Jawa Barat, Kota Bekasi menduduki urutan terendah. Sedangkan data hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa balita yang menimbang berat badannya > 4 kali dalam 6 bulan terakhir sebesar 45,3 persen. Capaian D/S di Kota Bekasi menurut Puskesmas tahun 2014 disajikan pada grafik 4.49 berikut. 98

100 Bintara Jaya Jatiwarna Rawatembaga Aren Jaya Duren Jaya Kranji Jatimakmur Karang Kitri Marga Jaya Jatirahayu Teluk Pucung Bintara Wisma Jaya Bj Menteng Kotabaru Bantar Gebang Marga Mulya Mustika Jaya Kota Bekasi Kaliabang Tengah Jatisampurna Seroja Perumnas 2 Bj R Lumbu Pejuang Jatiluhur Jatiasih Pengasinan Jaka Mulya Pondok Gede Jatibening Pekayon Jaya Grafik 4.49 Capaian D/S Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa capaian D/S di Kota Bekasi sebesar 42 persen. D/S tertinggi adalah Puskesmas Bintara Jaya sebesar 64,3 persen, sedangkan terendah adalah Puskesmas Pekayon Jaya sebesar 19,3 persen. Peningkatan capaian D/S sangat penting dilakukan mengingat dengan D/S yang tinggi, maka capaian ASI Eksklusif dan pemberian vitamin A pada balita secara otomatis dapat ditingkatkan. Selain itu dengan D/S yang tinggi, maka intervensi dini dapat dilakukan pada balita yang mengalami gangguan pertumbuhan sehingga kasus BGM dan gizi buruk dapat diturunkan dan balita yang naik berat badannya dapat ditingkatkan. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya D/S, antara lain: orang tua sibuk/ repot, malas, lokasi Posyandu yang jauh, anak sudah besar (> 1 tahun) dan lain-lain. Diperlukan upaya-upaya yang 99

101 komprehensif untuk meningkatkan D/S dengan meningkatkan peran lintas program dan lintas sektor terkait pada berbagai tingkatan yang dimulai dari Pokjanal Posyandu Kota, Pokjanal Posyandu Kecamatan, Pokja Posyandu Kelurahan dan sampai pada tingkat Posyandu. 100

102 BAB V SITUASI UPAYA KESEHATAN 5.1 Pelayanan Kesehatan Dasar Pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kegiatan pelayanan kesehatan dasar ini merupakan fungsi utama yang dilaksanakan oleh Puskesmas untuk mengatasi sebagian besar masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Dalam SOTK Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar Dinas Kesehatan Kota Bekasi memiliki tupoksi antara lain menangani program: Kesehatan Ibu dan Anak, pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Imunisasi, Gizi, Perkesmas, UKS, Lansia dan pembinaan sarana pelayanan kesehatan klinik pratama Kesehatan Ibu dan Anak Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak (KIBBLA) merupakan salah satu isu prioritas dan indikator kesehatan baik dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) maupun Millennium Development Goals (MDGs). Sasaran kesehatan Ibu dan anak antara lain: Pemeliharaan Ibu Hamil, Ibu Bersalin, Ibu Nifas, Ibu dengan Komplikasi Kebidanan, Ibu Menyusui, Keluarga Berencana (KB), Bayi Baru Lahir, Bayi Baru Lahir dengan Komplikasi, Bayi dan Anak Balita, serta Anak Prasekolah agar mencapai kemampuan hidup sehat. a. Pelayanan Antenatal (K1-K4) Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). 101

103 Pelayanan antenatal disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut : - Minimal 1 kali pada triwulan pertama. - Minimal 1 kali pada triwulan kedua. - Minimal 2 kali pada triwulan ketiga. Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan komplikasi. Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat. Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal kepada ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter umum dan bidan. Pelayanan antenatal digunakan untuk memonitoring dan mendukung kesehatan ibu hamil normal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi sedini mungkin, dengan demikian diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Oleh karena itu ibu hamil dianjurkan mengunjungi dokter atau bidan sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Cakupan K1 di Kota Bekasi tahun 2014 naik menjadi 92,8 persen dari 89,4 persen pada tahun 2013, begitupun pada K4 mengalami sedikit kenaikan 85,5 persen tahun 2014 dari 82,5 persen pada tahun 2013 seperti terlihat pada grafik 5.1 berikut.tetapi K4 lebih rendah dari K1. K1 akses adalah kunjungan pertama kali ibu hamil di tenaga kesehatan tanpa melihat umur kehamilan. Pembinaan yang telah dilakukan terhadap bidan koordinator pada tahun 2013 sesuai dengan penjelasan sebelumnya menghasilkan dampak positif dalam perbaikan pencatatan pelaporan KIA. 102

104 Grafik 5.1 Cakupan Pelayanan Antenatal (K1 dan K4) Di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d K1 K4 Capaian K4 lebih rendah dari capaian K1 dikarenakan K1 yang tercatat adalah K1 akses, dimana jika K1 akses hadir pada trimester akhir ke II dan ke III tidak dapat kunjungan K4 nya. Kunjungan lengkap (K4) diharapkan dapat mendeteksi dini komplikasi ibu hamil dan perawatan kehamilan dapat dilaksanakan dengan baik dan berkualitas sehingga komplikasi yang terjadi saat kehamilan dapat dicegah, dengan demikian kematian ibu dan bayinya dapat dicegah. Karena cakupan K4 merupakan salah satu indikator program yang dilaksanakan dalam upaya menurunkan angka kematian ibu (indikator tujuan MDGs kelima). b. Pertolongan Persalinan Tujuan MDGs kelima adalah meningkatkan kesehatan ibu dengan target menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya sampai tahun Upaya-upaya untuk mencapai target ini antara lain: Proporsi Pertolongan Kelahiran (PPK) oleh Tenaga Kesehatan Terlatih (TKT) dan cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani, serta cakupan pelayanan nifas. 103

105 Dengan persalinan yang bersih dan aman diharapkan akan menurunkan angka kematian ibu. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan di fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di Kota Bekasi dilaksanakan dengan tujuan agar tercapainya Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan yang mengalami sedikit kenaikan menjadi 84,9 persen tahun 2014 dari 83,8 persen pada tahun Capaian linakes yang mengalami sedikit kenaikan ini dikarenakan pemahaman dan kedisiplinan petugas kesehatan dalam mengisi kohort ibu, akan tetapi analisa data di Puskesmas masih lemah, sehingga masih ada ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang tidak tercatat dan tidak ditelusuri dengan sistem kohort. Grafik 5.2 Jumlah Ibu Bersalin dan Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan Di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d Ibu Bersalin Linakes

106 c. Penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat Deteksi dini kehamilan dengan faktor risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal, tetapi tetap mempunyai risiko untuk terjadinya komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor risiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya. Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Diperkirakan sekitar persen ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar komplikasi kebidanan dapat segera dideteksi dan ditangani. Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan komplikasi kebidanan maka diperlukan adanya fasilititas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi secara berjenjang mulai dari bidan, Puskesmas mampu PONED sampai rumah sakit PONEK 24 jam. Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah apabila mendapat penanganan yang adekuat di fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor waktu dan transportasi merupakan hal yang sangat menentukan dalam merujuk kasus risiko tinggi. Oleh karenanya deteksi faktor risiko pada ibu baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah kematian dan kesakitan ibu. 105

107 Faktor risiko pada neonatus adalah sama dengan faktor risiko pada ibu hamil. Ibu hamil yang memiliki faktor risiko akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pada neonatus. Grafik 5.3 Jumlah Komplikasi Obstetri dan Neonatal yang ditangani Di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d PKO PKN Jumlah komplikasi obstetrik yang ditangani mengalami sedikit kenaikan pada tahun 2014 sebesar 94 persen bila dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 90 persen. Sedangkan jumlah komplikasi neonatal yang ditangani walaupun masih sangat kecil tapi mengalami sedikit kenaikan di tahun 2014 sebesar 19 persen bila dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 17.8 persen. Hal ini disebabkan karena kohort bayi sudah mulai terisi dengan baik walaupun masih banyak data dari bidan praktek mandiri dan RS yang belum tercatat. d. Kunjungan Ibu Nifas Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi 106

108 pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dengan melakukan kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan ketentuan waktu : Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam sampai dengan 3 hari setelah persalinan. Kunjungan nifas ke dua dalam waktu 2 minggu setelah persalinan (8 14 hari). Kunjungan nifas ke tiga dalam waktu 6 minggu setelah persalinan (36 42 hari). Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu nifas adalah dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat. Grafik 5.4 Jumlah Kunjungan Ibu Nifas Lengkap (KF 3) Di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d Jumlah kunjungan ibu nifas lengkap mengalami kenaikan pada tahun 2014 sebesar 74 persen bila dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 70,5 persen. 107

109 e. Kunjungan Neonatus Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan rumah. Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus : 1. Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6 48 Jam setelah lahir. 2. Kunjungan Neonatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah lahir. 3. Kunjungan Neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah lahir. Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah kesehatan pada neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat dianjurkan untuk tetap tinggal di fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama. Pelayanan Kesehatan Neonatal dasar dilakukan secara komprehensif dengan melakukan pemeriksaan dan perawatan Bayi baru Lahir dan pemeriksaan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) untuk memastikan bayi dalam keadaan sehat, Neonatus merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan cukup tinggi. Upaya-upaya kesehatan yang dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut antara lain dengan melakukan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan pada neonatus. 108

110 Jumlah cakupan KN1 tahun 2014 mengalami penurunan yaitu 88 persen dibandingkan tahun 2013 yaitu 90,3 persen. Hal ini ditunjukkan pada grafik 5.3 berikut. Namun sebaliknya kunjungan KN Lengkap tahun 2014 mengalami peningkatan 82 persen dibandingkan tahun sebelumnya 70,7 persen tahun Grafik 5.5 Cakupan Kunjungan Neonatus Pertama dan Kunjungan Neonatus Lengkap Di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d KN1 KN f. Kunjungan Bayi Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada bayi, selama periode 29 hari sampai dengan 11 bulan setelah lahir. DO Kunjungan bayi sesuai standar harus menerima pelayanan kesehatan sebagai berikut : 1. Kunjungan minimal 4 kali yaitu a. satu kali pada umur 29 hari 2 bulan. b. satu kali pada umur 3 5 bulan. c. satu kali pada umur 6 8 bulan. d. satu kali pada umur 9 11 bulan. 2. Dilakukan SDIDTK minimal 2 kali 3. Imunisasi lengkap 4. Mendapat Vitamin A minimal 2 kali 109

111 Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat mendapat pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulasi tumbuh kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi. Kunjungan bayi sangat penting dilakukan untuk memantau pertumbuhannya sehingga dapat diketahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) pada anak secara dini. Kunjungan ini dilakukan minimal 4 kali yaitu saat: bayi berumur 29 hari 2 bulan (1 kali), bayi berumur 3 5 bulan (1 kali), bayi berumur 6 8 bulan (1 kali), bayi berumur 9 11 bulan (1 kali). Kunjungan bayi dilaksanakan tidak hanya di Puskesmas, tetapi juga termasuk di posyandu, bidan, dan fasilitas kesehatan lain. Grafik 5.6 Cakupan Kunjungan Bayi Di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d Grafik 5.6 di atas menunjukkan peningkatan cakupan kunjungan bayi di Kota Bekasi pada tahun 2014 sebesar 76 persen bila dibandingkan pada tahun 2013 sebesar 73,4 persen. 110

112 g. Pelayanan Kesehatan Anak Balita Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan intelektual berkembang pesat. Masa ini merupakan masa keemasan atau golden period dimana terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan, berfikir, berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal pertumbuhan moral. Pada masa ini stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan pengembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia dini menjadi sangat penting agar dapat dikoreksi sedini mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang lebih berat. Kunjungan balita paripurna sesuai standar adalah balita (usia 1-5 tahun) yang mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap setiap tahun antara lain: a. Berkunjung ke posyandu/menimbang berat badan serta mengukur tinggi badan minimal 8 kali setahun b. Dilakukan SDIDTK minimal 2 kali setahun c. Mendapat vitamin A 2 kali d. Jika sakit di MTBS e. Memiliki buku KIA Kematian bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesejahteraan suatu negara. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita dapat dicegah dengan teknologi sederhana di tingkat pelayanan kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Bank Dunia, 1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak, malaria, kurang gizi dan yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut. 111

113 Grafik 5.7 Cakupan Kunjungan Balita Di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d Grafik 5.7 di atas menunjukkan penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2010 sampai tahun 2013, sedangkan tahun 2013 ke 2014 tetap diangka 25 persen. Hal ini adalah kemungkinan hasil dari pembinaan pencatatan pelaporan dan pemahaman DO serta pengisian kohort yang baik dan benar ke Puskesmas dan Bidan Praktek Mandiri yang telah kami lakukan sejak tahun 2013 agar semua memiliki persepsi yang sama. Hal ini perlu dilakukan karena menimbang beberapa laporan dari Puskesmas yang tidak relevan seperti capaian di atas 100 persen Keluarga Berencana Berdasarkan laporan KB Puskesmas se-kota Bekasi Kecamatan dengan cakupan peserta KB baru tertinggi yaitu Kecamatan Bekasi Selatan (22,1 persen) dan terendah pada Kecamatan Mustika Jaya (7,0 persen). Hal ini terlihat pada grafik 5.8. Kecamatan dengan cakupan peserta KB aktif tertinggi yaitu Kecamatan Medan Satria (77,9 persen) dan terendah pada Kecamatan Pondok Melati (72,8 persen). 112

114 Grafik 5.8 Cakupan Peserta KB Baru dan KB Aktif di Kecamatan Kota Bekasi Tahun 2014 Peserta KB Baru Peserta KB Aktif Dilihat dari jenis kontrasepsinya, suntik merupakan metode tertinggi yang dipilih peserta KB baru pada tahun 2014 yaitu (59,4 persen), dan tidak ada akseptor yang memilih metode MOP (Metode Operasi Pria). Hal ini terlihat pada grafik 5.9 berikut. Grafik 5.9 Proporsi Peserta KB Baru Menurut Jenis Kontrasepsi Di Kota Bekasi Tahun IUD MOP MOW IM PLAN KON DOM SUNTIK 59.4 PIL 113

115 Sama seperti peserta KB baru, peserta KB aktif memilih suntik sebagai jenis kontrasepsi terbanyak yaitu (40,6 persen), dan jenis kontrasepsi yang paling sedikit digunakan peserta KB aktif adalah MOP yaitu sebesar 0,8 persen. Hal ini dapat dilihat dari gambar 5.10 berikut. Grafik 5.10 Proporsi Peserta KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi di Kota Bekasi Tahun IUD MOP MOW IM PLAN KON DOM SUNTIK PIL Imunisasi Kegiatan imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri,Pertusis, Campak, Polio, Hepatitis serta Tetanus. Efektifitas program imunisasi sudah terbukti secara global, nasional maupun lokal. Secara global dapat dibuktikan dengan terbasminya penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti penyakit cacar (variola). Upaya imunisasi yang berkualitas perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat population immunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga PD3I dapat dibasmi, dieliminasi atau dikendalikan. 114

116 Cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata diseluruh wilayah. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya daerah kantong yang akan mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk mendeteksi dini terjadinya peningkatan kasus penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, maka imunisasi perlu didukung oleh upaya surveilans epidemiologi. a. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) Imunisasi dasar lengkap (IDL) adalah suatu kondisi dimana anak sebelum umur 1 (satu) tahun telah mendapatkan imunisasi secara lengkap yaitu mulai dari imunisasi hepatitis B (0-7) hari, BCG, Polio 4 kali, DPTHB-Hib 3 kali dan imunisasi campak. Gambaran cakupan IDL di Kota Bekasi tahun 2014 dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Grafik 5.11 Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun PEJU SER JATI DURJAKA BINTPER KOTRAWKA.TJATI MARBINT WIS PENKAR TEL JATI PONRAWARE BOJMARKRA JATI JATI PEKMUSBAN JATI JATI KOT ANG OJA ASIH EN MULARA UM A ALU ENGSAM GA ARA MA GASIANG UK RAHDOK ATE N ONG GA NJI BENIMAKAYOTIKA TAR WARLUH A JAYA YA NAS BAR MB AH PURMULJAYA JAYA NAN KITR PUC AYU GEDMBAJAYA MENJAYA NG MU N JAYA GEB NA UR BEK II U U NA YA I UNG E GA TEN G R JAYA ANG ASI Series

117 Dari grafik 5.11 di atas, dapat kita lihat bahwa capaian imunisasi dasar lengkap di Kota Bekasi tahun 2014 mencapai 64,12 persen, dari target 90 persen. Sehingga masih ada kesenjangan antara target dengan capaian cakupan imunisasi dasar lengkap sebesar 25,88 persen. Hal ini dikarenakan masih ada hasil cakupan imunisasi dasar lengkap yang belum dilaporkan, sehingga capaian imunisasi dasar lengkap Kota Bekasi belum mencapai target. Untuk memaksimalkan cakupan imunisasi dasar lengkap rencananya setiap bayi yang sudah lulus imunisasi akan diberikan Sertifikat Lulus Imunisasi, namun hal ini masih terkendala dengan anggaran biaya belanja pada program imunisasi karena kegiatan ini harus berlangsung selamanya. Dari hasil cakupan Imunisasi Dasar Lengkap ini terdapat 1 Puskesmas yang belum melaporkan IDL yaitu Puskesmas Jati Luhur. Cakupan IDL tertinggi yaitu Puskesmas Pejuang dengan capaian sebesar 95,8 persen. b. Cakupan Imunisasi Polio 4 Cakupan imunisasi polio adalah cakupan yang didapat dari hasil pelayanan imunisasi polio dilapangan, pelayanan statis, dan pelayanan swasta baik swasta murni ataupun tidak murni. Vaksin yang diberikan adalah vaksin Oral Polio (trivalent) yang dilemahkan yang terdiri dari suspensi virus poliomyelitis tipe 1,2 dan 3 (strain sabin) dengan indikasi untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomyelitis, dengan dosis pemberian sebanyak 2 tetes (oral) diberikan sebayak 4 kali (polio 1, polio 2, polio 3 dan polio 4) pada bayi umur 0-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu. Vaksin polio dapat disimpan pada suhu 2 8 C, vaksin polio bersifat sensitif terhadap suhu panas (heat sensitive). Cakupan imunisasi polio 4 merupakan indikator capaian Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80 persen secara merata pada bayi di seluruh desa/ kelurahan. 116

118 Adapun cakupan imunisasi polio 4 tahun 2014 di Kota Bekasi dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 5.12 Cakupan Imunisasi Polio 4 Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun PEJ SER UAN OJA G JATI SAM PUR NA JATI WA RNA PON DOK GED E ARE N JAY A JAK A MUL YA JATI PEN MAK GASI MU NAN R JATI LUH UR KOT A BAR U DUR EN JAY A BINT BINT ARA ARA JAY A TEL UK PUC UNG JATI RAH AYU MA JATI JATI KA.T RGA ASIH BENI ENG JAY A NG AH WIS MA JAY A RA KAR MA RA WAL ANG RGA WAT UM KITR MUL EMB BU I YA AGA KRA BAN NJI TAR GEB ANG PER UM NAS II PEK MUS BOJ AYO TIKA ONG N JAY A JAY A ME NTE NG Series KOT A BEK ASI Dari grafik di atas hasil cakupan imunisasi rutin polio 4 di Kota Bekasi tahun 2014, sebesar 91,6 persen atau bayi, dengan memakai hasil estimasi sasaran di Puskesmas yaitu bayi. Puskesmas yang memilki hasil cakupan imunisasi polio 4 terendah adalah Puskesmas Bojong Menteng yaitu sebesar 81,9 persen atau 769 bayi dari jumlah sasaran 938 bayi. Sedangkan hasil imunisasi yag memiliki hasil cakupan imunisasi polio 4 tertinggi adalah Puskesmas Pejuang yaitu sebesar 99,6 persen atau bayi yang diimunisasi polio 4. c. Cakupan Imunisasi BCG Cakupan Imunisasi BCG adalah cakupan yang diperoleh dari hasil pelayanan imunisasi BCG di lapangan, pelayanan statis, dan pelayanan swasta baik swasta murni ataupun tidak murni. 117

119 Imunisasi BCG adalah pemberian vaksin BCG kepada bayi usia 0-11 bulan sebanyak 1 kali yang bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap tuberkulosa dengan dosis pemberian sebanyak 0,05 ml diberikan sebanyak 1 kali dengan disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas. Cakupan imunisasi BCG merupakan indikator capaian Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80 persen secara merata pada bayi di seluruh desa/ kelurahan. Gambaran cakupan imunisasi BCG di Kota Bekasi dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 5.13 Cakupan Imunisasi BCG Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun JAKA JATI JATI BINT JATI JATI SEROPOND PEJU TELU BINT KOTA MAR WIS PERU JATI RAW KA.TEAREN PEKA PENGKRANKARA JATI DURE JATI MAR MUS BOJO RAW BANT KOTA MULYSAMP MAK ARA RAHALUHU JA OK ANG K ARA BARU GA MA MNA BENI ALU NGA JAYA YON ASIN JI NG ASIH N WAR GA TIKA NG ATEM AR BEKA A URNA MUR JAYA YU R GEDE PUCU JAYA JAYA S II NG MBU H JAYA AN KITRI JAYA NA MULY JAYA MEN BAGA GEBA SI NG A TENG NG Series Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa hasil cakupan imunisasi BCG di Kota Bekasi tahun 2014 sebesar 95,6 persen atau bayi. Hal ini masih ada kesenjangan sebesar 2,4 persen dari target yang ditentukan yaitu sebesar 98 persen. 118

120 Puskesmas yang memilki hasil cakupan imunisasi BCG terendah adalah Puskesmas Bantargebang yaitu sebesar 82,4 persen atau bayi. Sedangkan hasil imunisasi BCG dengan hasil cakupan tertinggi yaitu Puskesmas Jaka Mulya yaitu sebesar 101 persen atau bayi, hasil cakupan imunisasinya melebihi 100 persen, hal ini disebabkan laporan luar daerah dari BPS dicatat dan dimasukkan sebagai cakupan daerah tersebut. d. Cakupan Imunisasi DPTHBHib 1 Cakupan imunisasi DPTHBHib 1 (pentavalent) adalah cakupan imunisasi DPTHBHib 1 yang diperoleh dari hasil pelayanan imunisasi DPTHBHib di lapangan, pelayanan statis, dan pelayanan swasta baik swasta murni ataupun tidak murni. Pemberian vaksinasi DPTHBHib bertujuan untuk pencegahan tehadap difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi haemophilus influenza tipe b secara simultan. Vaksin diberikan pada bayi usia 2-11 bulan sebayak 3 kali (DPTHBHib 1, DPTHBHib 2 dan DPTHBHib 3) dengan interval minimal pemberian adalah 4 minggu, vaksinasi diberikan dengan penyuntikan intramuscular pada paha anterolateral. Grafik 5.14 Cakupan Imunisasi DPTHBHib 1 Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun KA.TEPOND JATI JATI MAR PEJU JATI JATI BINTASEROJ JATI TELU JAKA WISMBINTA JATI RAW KOTA DURE PEKA AREN KRAN PENGKARA JATI RAW MAR MUSTBANT BOJO PERU KOTA NGAH OK WAR RAHA GA ANG MAK LUHU RA A SAMP K MULY A RA BENI ALUMBARU N YON JAYA JI ASINA NG ASIH ATEM GA IKA AR NG MNAS BEKA GEDE NA YU JAYA MUR R JAYA URNA PUCU A JAYA NG BU JAYA JAYA N KITRI BAGA MULY JAYA GEBAMENT II SI NG A NG ENG Series

121 Grafik 5.14 di atas menunjukkan hasil imunisasi rutin DPTHBHib1 di Kota Bekasi tahun 2014, sebesar 95,5 persen atau bayi, dengan memakai estimasi sasaran di Puskesmas yaitu bayi. Puskesmas yang memilki hasil imunisasi DPTHBHib1 terendah adalah Puskesmas Perumnas II yaitu sebesar 83,6 persen atau bayi dari jumlah sasaran bayi. Sedangkan hasil imunisasi yang memiliki hasil cakupan imunisasi DPTHBHib1 tertinggi adalah Puskesmas Kaliabang Tengah yaitu sebesar 103 persen atau bayi. Hal ini dikarenakan laporan luar daerah dari BPS dimasukkan sebagai cakupan daerah tersebut. e. Cakupan Imunisasi DPTHB Hib 3 Cakupan imunisasi DPTHBHib 3 (pentavalent) adalah cakupan imunisasi DPTHBHib 3 yang diperoleh dari hasil pelayanan imunisasi DPTHBHib di lapangan, pelayanan statis, dan pelayanan swasta baik swasta murni ataupun tidak murni. Vaksin diberikan pada bayi usia 4-11 bulan dengan interval minimal pemberian adalah 4 minggu dari vaksinasi DPTHBHib 2, vaksinasi diberikan secara penyuntikan intramuscular pada paha anterolateral. Grafik 5.15 Cakupan Imunisasi DPTHBHib 3 Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun JATI SER PEJUKRA TEL BINT PER DUR JATI KOT ARE WISBINTRAWMARJATI JAKA KA.T PEN JATI JATI JATI PON JATI KAR RAWBANMUS PEKMAR BOJ KOT SAM OJA ANG NJI UK ARA UM EN LUH A N MA ARA ALU GA MAKMULENGGASIASIH WARBENI DOK RAHANG ATE TAR TIKA AYO GA ONG A PUR PUC NAS JAYA UR BARJAYA JAYA JAYA MB JAYA MU YA AH NAN NA NG GED AYU KITRMBAGEB JAYA N MULMEN BEK NA UNG II U U R E I GA ANG JAYA YA TEN ASI G Series

122 Hasil imunisasi rutin DPTHB Hib3 di Kota Bekasi tahun 2014 sebesar 91,4 persen atau bayi, dengan memakai estimasi sasaran di Puskesmas yaitu bayi. Puskesmas dengan hasil imunisasi DPTHBHib 3 terendah adalah Puskesmas Bojong Menteng sebesar 83,26 persen atau 781 bayi yang diimunisasi dari jumlah sasaran 938 bayi. Sedangkan hasil imunisasi yang memiliki hasil cakupan imunisasi DPTHBHib3 tertinggi adalah Puskesmas Jati Sampurna yaitu sebesar 97,37 persen. f. Cakupan Imunisasi Campak Cakupan imunisasi campak adalah cakupan yang diperoleh dari hasil pelayanan imunisasi campak di lapangan, pelayanan statis, dan pelayanan swasta baik swasta murni ataupun tidak murni. Imunisasi campak diberikan pada bayi usia 9-11 bulan diberikan sebayak 1 kali yang bertujuan untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak, vaksinasi diberikan dengan disuntik pada lengan kiri atas secara subkutan dengan dosis pemberian 0,5 ml. Grafik 5.16 Cakupan Imunisasi Campak Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun ARE JATI SER JATI DUR JATI JATI TEL PEJUBINTBINT KRAJAKA PER JATI KOT PEN PON JATI WIS KA.TRAWMARKAR RAWJATI BAN MUSMAR BOJ PEK KOT N SAM OJA RAH EN MAKLUH UK ANG ARA ARA NJI MUL UM ASIH A GASIDOK BENI MA ENG ALU GA ANG ATEWARTAR TIKA GA ONG AYO A JAYA PUR AYU JAYA MU UR PUC JAYA YA NAS BARNAN GED NG JAYA AH MB JAYA KITRMBA NA GEB JAYA MULMEN N BEK NA R UNG II U E U I GA ANG YA TENJAYA ASI G Series

123 Hasil imunisasi rutin campak di Kota Bekasi tahun 2014 sebesar 90,38 persen atau bayi, dengan memakai estimasi sasaran di Puskesmas yaitu bayi. Puskesmas yang memilki hasil imunisasi campak terendah adalah Puskesmas Pekayon Jaya yaitu sebesar 81,75 persen atau bayi yang diimunisasi dari jumlah sasaran bayi. Sedangkan hasil imunisasi yang memiliki hasil cakupan imunisasi campak tertinggi adalah Puskesmas Aren Jaya yaitu sebesar 98 persen atau bayi yang diimunisasi campak. g. Cakupan Imunisasi Ibu Hamil Imunisasi pada ibu hamil yaitu pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada ibu dan bayi yang akan dilahirkan dari Tetanus Maternal dan Neonatal yang merupakan penyakit mematikan, pemberian imunisasi TT adalah dosis 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau subkutan. Dalam pemberian imunisasi rutin TT didahului dengan skrining sesuai jadual pemberian TT 5 dosis, vaksin TT dapat diberikan pada usia kehamilan berapapun diberikan sesuai dengan interval dari status imunisasinya. Cakupan imunisasi TT diperoleh dari hasil pelayanan imunisasi di lapangan, pelayanan statis, dan pelayanan swasta baik swasta murni ataupun tidak. Grafik 5.17 Cakupan Imunisasi TT Ibu Hamil Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun TT 1 TT 2 TT 3 TT 4 TT 5 TT 1+ TT 2+ % CAKUPAN

124 Dilihat dari grafik 5.17 di atas, hasil cakupan imunisasi TT untuk wanita usia subur dan ibu hamil sudah mencapai target. Target hasil cakupan imunisasi untuk imunisasi TT1+ (TT1, TT3, TT4 dan TT5) adalah 103,65 persen dari target 90 persen, sedangkan hasil cakupan imunisasi TT2+ (TT2, TT3, TT4 dan TT5) adalah 94,67 persen dari target 85 persen, cakupan imunisasi ibu hamil dan wanita usia subur sudah melebihi target. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam penentuan status T pada ibu hamil antara imunisasi dan KIA, serta banyaknya cakupan dari BPS yang mempengaruhi hasil capaian imunisasi TT h. Cakupan UCI Kelurahan Salah satu indikator tujuan program imunisasi adalah tercapainya Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan. Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80 persen secara merata pada bayi di seluruh desa kelurahan. Indikator UCI kelurahan adalah dapat dilihat dari cakupan imunisasi BCG, Polio 4, DPTHBHib 3 dan campak. Adapun gambaran cakupan UCI kelurahan selama 5 tahun di Kota Bekasi adalah sebagai berikut. Grafik 5.18 Cakupan Imunisasi TT Ibu Hamil Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun TH TH TH TH TH % CAK

125 Kota Bekasi telah berhasil mencapai UCI kelurahan selama 3 tahun yaitu tahun 2012 (100 persen), 2013 (100 persen) dan pada tahun 2014 (100 persen) artinya seluruh kelurahan sebanyak 56 kelurahan di Kota Bekasi telah mencapai UCI. Hasil dari tabel diatas capaian UCI Kelurahan di Kota Bekasi tahun 2010 capaian UCI hanya mencapai 98,2 persen artinya 55 kelurahan sudah mencapai target UCI dan hanya 1 kelurahan tidak mencapai target UCI yaitu Kelurahan Kayuringin Puskesmas Perumnas I. Pada tahun 2011 capaian UCI mengalami penurunan yaitu hanya 94,6 persen ini berarti hanya 53 kelurahan yang mencapai target UCI dan 3 kelurahan tidak mencapai target UCI yaitu Kelurahan Jati Rasa dan Jati Kramat (wilayah Puskesmas Jati Asih) dan kelurahan Pekayon Jaya (wilayah Puskesmas Pekayon Jaya). Tahun 2012 sampai tahun 2014 Kota Bekasi sudah mencapai target UCI yaitu sebesar 100 persen artinya 56 kelurahan di Kota Bekasi sudah mencapai target UCI. i. Cakupan Drop-out Imunisasi DPTHBHib1 Terhadap Campak Pengertian drop out imunisasi yaitu bayi yang gagal mendapatkan imunisasi dengan batas angka toleransi adalah sebesar 8 persen. Drop out imunisasi DPTHBHib1 terhadap campak berarti cakupan imunisasi DPTHBHib 1 harus lebih tinggi dari pada cakupan imunisasi campak karena kontak pertama bayi adalah pemberian imunisasi DPTHBHib1. Apabila cakupan imunisasi campak lebih tinggi berarti ada bayi yang gagal atau belum diimunisasi DPTHBHib1 pada saat umur bayi kurang dari 1 tahun, ini berarti harus dilakukan pemeriksaan pada buku kohort bayi, untuk melihat adanya bayi yang gagal diimunisasi dan harus dilakukan pemberian imunisasi dengan pemberian imunisasi lengkap sebelum bayi berumur 18 bulan. 124

126 SEROJA KA.TENGAH TELUK PUCUNG MARGA MULYA PEJUANG KOTA BARU BINTARA JAYA BINTARA KRANJI RAWATEMBAGA PERUMNAS II MARGA JAYA PEKAYON JAYA JAKA MULYA RAWALUMBU BOJONG MENTENG PENGASINAN KARANG KITRI AREN JAYA DUREN JAYA WISMA JAYA JATI RAHAYU JATI WARNA PONDOK GEDE JATI MAKMUR JATI BENING JATI SAMPURNA JATI ASIH JATI LUHUR BANTAR GEBANG MUSTIKA JAYA KOTA BEKASI Grafik 5.19 Cakupan Drop-out Imunisasi DPTHBHib1 Terhadap Campak Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun (5.0) (4.3) (1.9) (10.0) (8.6) Dari grafik 5.19 di atas hasil DO DPTHBHib1 terhadap campak di Kota Bekasi tahun 2014 sebesar 5,4 persen. DO Kota Bekasi dikatakan baik, karena kurang dari angka toleransi drop out yaitu sebesar 8 persen. Puskesmas yang memilki DO DPTHBHib 1 campak terendah adalah Puskesmas Perumnas II sebesar -8,6 persen. ini berarti masih ada sasaran DPTHBHib1 yang belum mendapatkan imunisasi DPTHBHib1. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, salah satunya adalah sasaran datang ke pelayanan kesehatan pada saat usia campak dan diberikan imunisasi campak, bayi tersebut harus diberikan imunisasi DPTHBHib 1 pada bulan berikutnya. Sedangkan hasil imunisasi yang memiliki hasil cakupan DO DPTHBHib1 terhadap campak tertinggi adalah Puskesmas Jati Warna sebesar 14,9 persen ini artinya masih ada sasaran campak yang belum mendapatkan imunisasi campak pada saat usia campak yaitu umur 9 bulan. 125

127 5.2 Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut Keberhasilan Pembangunan Nasional memberikan dampak meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH) yaitu dari 68,6 tahun 2004 menjadi 70,6 pada tahun 2009 (infodatin-lansia 2015). Meningkatnya UHH menyebabkan peningkatan jumlah lanjut usia (lansia), dimana pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta jiwa. Di Kota Bekasi jumlah penduduk lansia sudah mencapai jiwa atau 12.8% dari total jumlah penduduk di Kota Bekasi. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia no 13 tahun 1998, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI lanjut usia dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1. Pra Lanjut Usia (45-59 tahun) 2. Lanjut usia (60-69 tahun) 3. Lanjut usia resiko tinggi ( 70 tahun atau usia 60 tahun dengan masalah kesehatan). (Pedoman Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia, Kemenkes 2010) Besarnya populasi lanjut usia serta pertumbuhan yang sangat cepat juga menimbulkan berbagai permasalahan, sehingga lanjut usia perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua sektor. Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis. Selain itu, Pemerintah wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif. Salah satu bentuk perhatian yang serius terhadap lanjut usia adalah terlaksananya pelayanan pada lanjut usia melalui kelompok (posbindu) lanjut usia yang melibatkan semua lintas sektor terkait, swasta, LSM dan masyarakat. Posbindu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posbindu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah 126

128 Rw Tembaga Pengasinan KA Tengah Kranji Jt Rahayu Mg Mulya Seroja Jt Luhur Wisma Jy Bintara Jy Kotabaru Bj Menteng Aren Jy Bj Rw lumbu Pekayon Jy Kr Kitri Marga Jy Jt Warna Jt Asih Jt Sampurna Kota Bekasi Jt Makmur Jk Mulya Mustika Jy Tl Pucung Btgebang Jt Bening Pejuang Pd Gede Bintara Perum II Duren Jy melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya. Tujuan Posbindu Lansia menurut Depkes RI (2006) antara lain: 1. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia 2. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat lanjut usia. Sasaran Posbindu lansia ada 2 yaitu sasaran langsung, antara lain pra lanjut usia (45-59 tahun), lanjut usia (60-69 tahun) dan lanjut usia resiko tinggi (usia lebih 70 tahun atau berumur 60 tahun lebih dengan masalah kesehatan) dan sasaran tidak langsung antara lain keluarga dimana lanjut usia berada, masyarakat tempat lanjut usia berada, petugas kesehatan, organisasi sosial dan masyarakat luas. Dinas Kesehatan Kota Bekasi pada tahun 2014 telah melaksanakan kegiatan untuk masyarakat lanjut usia yaitu peningkatan pelayanan kesehatan lanjut usia melalui posbindu lansia. Grafik 5.20 Cakupan Pelayanan Kesehatan Lansia Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun

129 Pada grafik 5.20 di atas diketahui bahwa pada tahun 2014 cakupan pelayanan kesehatan lanjut usia di Kota Bekasi secara umum sudah mencapai target (75 persen) karena capaian RPJMD 70 persen dan SPM juga 70 persen. Puskesmas yang cakupannya mencapai target adalah Puskesmas Jati Warna (100 persen), Jati Sampurna (95 persen) dan Jati Asih (98 persen). Namun belum semua Puskesmas mencapai target yaitu: Puskesmas Pondok Gede (47 persen), Jati Makmur (65 persen), Jati Bening (54 persen), Duren Jaya (9 persen), Jaka Mulya (58 persen), Perumnas II (30 persen), Teluk Pucung (56 persen), Bintara (46 persen), Pejuang (51 persen), Bantar Gebang (54 persen) dan Mustika Jaya (57 persen). Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran para lansia untuk memeriksakan diri ke Posbindu, selain itu banyak juga para lansia yang kurang memahami tentang kesehatan pribadinya. Dari grafik 5.20 di atas juga dapat dilihat ada beberapa Puskesmas yang cakupannya melebihi target (> 100 persen), hal tersebut disebabkan banyak kunjungan yang diluar sasaran atau banyak lanjut usia yang memeriksakan diri ke Puskesmas berasal dari luar wilayah Puskesmas tersebut. 5.3 Pelayanan Kesehatan Rujukan Indikator statistik Unit rawat inap adalah data yang diolah di unit rawat inap dan disesuaikan dengan kebutuhan laporan ke instansi di atasnya, salah satunya adalah Laporan Triwulan (RL) dalam bentuk data yang diolah dari pemantauan bulanan, triwulan, dan tahunan sesuai dengan kebutuhan manajemen rumah sakit maupun pelaporan kepada Dinas Kesehatan. Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan rujukan di Kota Bekasi terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2013 tercatat ada 35 rumah sakit di wilayah Kota Bekasi dan pada tahun 2014 tercatat ada 37 rumah sakit di wilayah Kota Bekasi. 128

130 Namun demikian, kenyataannya laporan RL dari rumah sakit ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi masih mempunyai beberapa kendala, sehingga pelaporannya belum bisa sesuai dengan waktu pelaporan data yang telah disepakati. Adapun beberapa kendala pelaporan RL ke Dinas Kesehatan adalah: Belum adanya forum komunikasi antara rekam medis rumah sakit dan Dinas Kesehatan Kota Bekasi secara intens untuk memudahkan tanya jawab dan feedback dari Dinas Kesehatan, (saat ini sudah di atasi dengan pembuatan group sosial media beranggotakan petugas rekam medis dan Dinas Kesehatan). Adanya pergantian petugas rekam medis baru di beberapa rumah sakit, sehingga sosialisasi rapat dari Dinas Kesehatan tentang laporan kegiatan pelayanan di rumah sakit tidak terealisasi dengan maksimal. Kurangnya sanksi dari Dinas Kesehatan ke rumah sakit yang tidak melaporkan data RL tepat waktu. Saat ini baru diberikan surat teguran, dan ke depannya akan dimasukkan sebagai persyaratan akreditasi. Tidak lancarnya jaringan internet di Dinas Kesehatan Kota Bekasi sehingga menghambat pengecekan data yang masuk di SIRS online. Tingkat keberhasilan pelayanan di rumah sakit dapat diketahui dari tingkat pemanfaatan sarana pelayanan, mutu pelayanan, dan tingkta efesiensi pelayanan. Indikator tingkat pemanfaatan sarana pelayanan, mutu pelayanan, dan tingkat efisisensi pelayanan rumah sakit digunakan untuk mengukur kinerja rumah sakit secara umum, yaitu: BOR (Bed Occupancy Rate) yaitu tingkat hunian rumah sakit, LOS (Length Of Stay) yaitu rata-rata hari rawat di rumah sakit, TOI (Turn Over Interval) yaitu jarak pemanfaatan tempat tidur antara satu pasien dengan pasien lainnya. Indikator-indikator ini memperlihatkan sejauh mana rumah sakit dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna dan sejauh mana tempat tidur dipergunakan seoptimal mungkin. Seiring dengan penambahan rumah sakit, jumlah tempat tidur rumah sakit di Kota Bekasi juga harus terus meningkat setiap tahunnya. Namun peningkatan jumlah tempat tidur ini tidak diiringi dengan peningkatan BOR atau tingkat hunian rumah sakit. 129

131 Tabel 5.1 BOR, LOS, TOI Rumah Sakit di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d 2014 NILAI LOS NO TAHUN NILAI BOR (%) (hari) NILAI TOI (hari) 1 TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN Tabel 5.1 di atas menunjukkan BOR yang cukup rendah dalam 4 tahun terakhir. Nilai ideal BOR yang dapat ditolerir adalah persen. BOR Kota Bekasi 4 tahun terakhir masih kurang dari 60 persen. Pada tahun 2014 hanya RSUD dan RS Budi Lestari yang nilai BOR lebih dari 60 persen masing-masing 68,57 persen dan 60,56 persen. Hal ini disebabkan karena jumlah rumah sakit yang melaporkan belum semuanya. Seperti pelaporan tahun 2012 dan 2013 dari 35 rumah sakit yang ada di Kota Bekasi baru 17 rumah sakit yang memberikan laporan. Sedangkan di tahun 2014 dari 37 rumah sakit hanya 14 rumah sakit yang mengirimkan laporan. Selain pelaporan yang belum optimal, tingkat pemanfaatan rumah sakit sangat rendah oleh masyarakat terutama di rumah sakit swasta, karena masih adanya rumah sakit swasta yang belum bekerja sama dengan BPJS, mengingat biaya pelayanan kesehatan merupakan salah satu pertimbangan masyarakat dalam memutuskan mencari pelayanan kesehatan. LOS (lama hari rawat) rumah sakit di Kota Bekasi tahun 2010 sampai dengan 2013 mengalami sedikit peningkatan. Dan di tahun 2014 mengalami sedikit penurunan yaitu 3 sampai 4 hari. Angka tersebut menunjukkan mutu pelayanan rumah sakit cukup baik karena standar ideal LOS menurut Kemenkes RI adalah 3 sampai 4 hari. Nilai LOS terendah tahun 2014 adalah RS Selasih Medika (1 sampai 2 hari). Nilai TOI pada rumah sakit di Kota Bekasi pada tahun 2013 dan 2014 mengalami peningkatan dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu hari dari 9 sampai 10 hari pada tahun Angka ini masih jauh dari 130

132 angka ideal menurut Kemenkes RI yaitu lamanya tempat tidur kosong 1 sampai 3 hari. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah tempat tidur rumah sakit di Kota Bekasi sudah melebihi kebutuhan. Tabel 5.2 NDR dan GDR Rumah Sakit di Kota Bekasi Tahun 2010 s.d 2014 NDR GDR NO TAHUN (org) (org) 1 TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN Selain tiga indikator di atas ada indikator lain yang menjadi tolak ukur efisiensi kinerja dan mutu pelayanan rumah sakit yaitu: GDR (Gross Death Rate) seluruh jumlah kematian di rumah sakit dan NDR (Net Death Rate) jumlah kematian di rumah sakit < 48 jam. GDR adalah indikator angka kematian umum untuk tiap pasien keluar. Berdasarkan tabel di atas GDR di rumah sakit se-kota Bekasi sejak tahun 2010 sampai 2014 masih cukup baik, di tahun 2010 nilai GDR 19,41 per pasien keluar. Tahun 2011 nilai GDR 1,6 per 1000 pasien keluar. Hanya di tahun 2014 yang angka GDR agak sedikit tinggi yaitu per pasien keluar. Namun hal ini masih dapat ditolerir karena angka GDR yang ideal yaitu dibawah 45 per pasien keluar. Namun demikian, angka yang cukup baik dari tahun 2010 sampai dengan 2014 ini belum menunjukkan angka Kota Bekasi yang sebenarnya karena pada pelaporan GDR setiap tahunnya belum semua rumah sakit mengumpulkan laporan, seperti pada tahun 2014 dari 37 rumah sakit baru 14 rumah sakit yang mengirimkan laporan. Rumah sakit dengan GDR tertinggi di Kota Bekasi tahun 2014 yaitu RSUD Kota Bekasi (52,7 per pasien keluar) artinya bahwa dari pasien keluar terdapat 52 pasien meninggal. 131

133 NDR adalah angka kematian > 48 jam setelah pasien dirawat per pasien keluar. Angka NDR yang dapat ditolerir di bawah 25 per penderita keluar. Dari tabel di atas, NDR tahun 2014 masih dapat ditolerir yaitu 12,14 per pasien keluar (di bawah 25 per pasien keluar). Angka NDR dari tahun 2010 sampai dengan 2013 nilai NDR bisa dikatakan cukup rendah. Namun, hal ini bukan angka yang sebenarnya karena pada tahun 2014 dari 37 rumah sakit baru 14 rumah sakit yang mengumpulkan laporan. Begitu juga pada tahun 2013 dari 35 rumah sakit baru 18 rumah sakit yang mengumpulkan laporan. Adapun tahun 2014 nilai NDR tertinggi yaitu RSUD (26,3 per pasien keluar). 5.4 Promosi Kesehatan Setiap masalah kesehatan umumnya disebabkan tiga faktor yang timbul secara bersamaan, yaitu adanya bibit penyakit atau pengganggu lainnya, adanya lingkungan yang memungkinkan berkembangnya bibit penyakit, dan adanya perilaku hidup manusia yang tidak peduli terhadap bibit penyakit dan lingkungannya. Oleh sebab itu, sehat dan sakitnya seseorang sangat ditentukan oleh perilaku hidup manusia sendiri. Karena masalah perubahan perilaku sangat terkait dengan promosi kesehatan, maka peran promosi kesehatan sangat diperlukan dalam meningkatkan perilaku masyarakat agar terbebas dari masalah-masalah kesehatan. Sejalan dengan visi dan misi Kementerian Kesehatan, serta fungsi Puskesmas khususnya dalam penggerakan dan pemberdayaan keluarga dan masyarakat, dirumuskan bahwa promosi kesehatan Puskesmas adalah upaya Puskesmas melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan setiap individu, keluarga, serta lingkungannya secara mandiri dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat. 132

134 Strategi dasar utama Promosi Kesehatan adalah pemberdayaan, bina suasana, dan advokasi yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan kondisi Puskesmas Kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas wilayah Kota Bekasi Tahun 2014, meliputi: kegiatan penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah dan penyebaran informasi. Pada prinsipnya baik pemberdayaan, bina suasana, maupun advokasi adalah proses komunikasi. Oleh karena itu, perlu ditentukan metode yang tepat dalam proses tersebut. Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu metode pendukung dalam pelaksanaan strategi dasar utama Promosi Kesehatan. Diperlukan media atau sarana informasi yang sesuai, dengan memperhatikan sasaran penyuluhan, suasana (ruang dan waktu). Selain itu kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) juga menentukan keberhasilan sebuah penyebaran informasi, terutama penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah. Kegiatan penyuluhan oleh tenaga kesehatan Puskesmas di Kota Bekasi telah dilakukan sebanyak kali. Kegiatan penyuluhan yang dilakukan yaitu: penyuluhan dalam gedung (baik kelompok maupun individu) dan penyuluhan luar gedung (baik kelompok maupun massa). Puskesmas Mustika Jaya melaporkan frekuensi penyuluhan tahun 2014 paling rendah, hal ini perlu dijadikan bahan evaluasi, kendala yang dialami Puskesmas Mustika Jaya dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan. Beberapa Puskesmas tidak melaporkan kunjungan rumah yang dilakukan, sementara kunjungan rumah berdasarkan target adalah seluruh sasaran KIP-K dalam gedung yang telah dilakukan yang dilakukan. Hal ini dapat disebabkan lemahnya pencatatan dan pelaporan petugas Puskesmas atau kurangnya sumber daya manusia untuk melakukan berbagai kegiatan luar gedung. Penyebaran informasi menggunakan metode penyebaran leaflet, spanduk, maupun media promosi lainnya, sangat terkait dengan anggaran pengadaan media-media tersebut, baik pada level Dinas Kesehatan maupun level Puskesmas. Keaktifan Dinas Kesehatan dan atau Puskesmas dalam 133

135 merangkul LSM, CSR atau ormas lainnya untuk membantu pengadaan media promosi, merupakan suatu upaya dan inovasi yang diharapkan. 5.5 Kelurahan Siaga Aktif Program Desa dan Kelurahan Siaga berawal dari Desa Siaga Maternal, perkembangan selanjutnya adalah pelaksanaan akselerasi pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif. Dari 56 kelurahan di Kota Bekasi terdapat 8 Kelurahan Siaga Aktif atau 14,28 persen, pencapaian yang masih rendah mengingat target provinsi adalah 80 persen Kelurahan Siaga Aktif. Kelurahan Siaga Aktif adalah Kelurahan yang penduduknya dapat dengan mudah mendapatkan akses pelayanan kesehatan dasar, mampu mengembangkan berbagai Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM), siaga terhadap wabah bencana dan kegawatdaruratan, mampu mengidentifikasi masalah kesehatan di lingkungannya serta dapat meningkatkan dan menjaga kesehatan lingkungan. Tabel 5.3 Pengembangan Kelurahan Siaga Aktif 134

136 Sebuah Kelurahan Siaga Aktif harus memenuhi kriteria, yaitu; adanya Forum Masyarakat Desa, adanya Kader Pemberdayaan Masyarakat, kemudahan akses Yankesdas, adanya posyandu dan UKBM, adanya dukungan dana, adanya peran serta masyarakat dan ormas, adanya peraturan Kepdes atau Bupati/ Walikota serta pembinaan PHBS RT. 8 kriteria ini tidak mudah dipenuhi, sehingga pengembangan Kelurahan Siaga Aktif memerlukan proses yang kompleks, seperti advokasi perencanaan kegiatan, koordinasi lintas sektor, peningkatan pengetahuan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dan tentunya sumber dana pendukung. 5.6 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang setingi-tinginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Namun setiap orang tidak luput dari kewajiban-kewajiban di bidang kesehatan. Oleh sebab itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberdayakan dan mendorong peran serta aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. Upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, diawali dengan melakukan pendataan PHBS tatanan rumah tangga, dibantu oleh kader kesehatan di wilayah kerja Puskesmas. Target pendataan PHBS adalah 100 persen rumah tangga dan target provinsi Jawa Barat adalah 70 persen rumah tangga ber- PHBS. Hasil pendataan di Kota Bekasi tahun 2014 dari rumah tangga yang dipantau, sebanyak rumah tangga atau 58,28 persen rumah tangga ber- PHBS baik, yang berarti memenuhi lebih dari 6 indikator PHBS. 135

137 Dapat terlihat beberapa Puskesmas tidak melakukan pendataan pada tahun 2014, terkait alokasi dana masing-masing Puskesmas. Adapun 10 indikator PHBS adalah: 1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 2. Memberi bayi ASI eksklusif 3. Menimbang bayi dan balita 4. Menggunakan air bersih 5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun 6. Menggunakan jamban sehat 7. Memberantas jentik di rumah 8. Makan buah dan sayur setiap hari 9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari 10. Tidak merokok Berdasarkan pendataan tahun 2014 diperoleh 3 (tiga) indikator terendah di Kota Bekasi adalah: 1. Tidak merokok di dalam rumah sebesar 48,36 persen 2. Menimbang bayi dan balita setiap bulan sebesar 79,59 persen 3. Makan buah dan sayur setiap hari sebesar 81,69 persen. Walaupun telah termasuk dalam kategori baik, namun berdasarkan target, jumlah rumah tangga yang ber- PHBS belum mencapai target Provinsi. Sebagai tindak lanjut pendataan PHBS Rumah Tangga, perlu berbagai upaya mensosialisasikan pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam kehidupan sehari-hari, dengan harapan dengan meningkatnya kepedulian dan kesadaran masyarakat, upaya pencegahan dan penularan penyakit dapat memberikan hasil positif sehingga derajat kesehatan masyarakat dan kualitas hidup masyarakat khususnya di Kota Bekasi akan meningkat. 136

138 BAB VI SUMBER DAYA KESEHATAN Salah satu faktor pendukung dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas yaitu sumber daya kesehatan, yang diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada bab sumber daya kesehatan menyajikan gambaran keadaan sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. 6.1 Sarana Kesehatan Sarana kesehatan yang disajikan dalam bab ini meliputi: Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Rumah Sakit (RS), sarana produksi dan distribusi kefarmasian dan alat kesehatan, sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), serta institusi pendidikan tenaga kesehatan Sarana Kesehatan Dasar a. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang 1) memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat; 2) mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu; 3) hidup dalam lingkungan sehat; dan 4) memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. 137

139 Dalam tugas melaksanakan kebijakan kesehatan Puskesmas menyelenggarakan fungsi: a. Penyelenggaraan UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) tingkat pertama di wilayah kerjanya. UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat. b. Penyelenggaraan UKP (Upaya Kesehatan Perseorangan) tingkat pertama di wilayah kerjanya. UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan. Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan. Berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk dan aksesibilitas, pada 1 (satu) kecamatan dapat didirikan lebih dari 1 (satu) Puskesmas. Sampai dengan akhir tahun 2014 jumlah Puskesmas di Kota Bekasi yang tercatat sebanyak 31 Puskesmas, dengan rincian Puskesmas dengan perawatan sejumlah 5 Puskesmas (Puskesmas Bantargebang, Pondok Gede, Bojong Rawalumbu, Karang Kitri, Jati Sampurna) dan Puskesmas non perawatan sejumlah 26 Puskesmas. Untuk mengetahui keterjangkauan penduduk terhadap Puskesmas, salah satu indikator yang digunakan yaitu rasio Puskesmas dengan jumlah penduduk. Rasio Puskesmas dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 2014 di Kota Bekasi sebesar 1 : ,581 berarti setiap Puskesmas rata-rata melayani ,581 penduduk. Sedangkan idealnya adalah setiap Puskesmas melayani penduduk, baru 2 (dua) Puskesmas yang melayani kurang dari penduduk yaitu 138

140 Puskesmas Puskesmas Marga Jaya dan Puskesmas Marga Mulya. Di Kota Bekasi dengan jumlah penduduk tahun 2014 sebanyak jiwa (Proyeksi BPS), yang seharusnya berjumlah 89 Puskesmas. Sehingga Kota Bekasi masih membutuhkan 58 Puskesmas lagi. Grafik 6.1 Rasio Puskesmas Dengan Penduduk Di Kota Bekasi Tahun 2014 Mustika Jaya Pejuang Jati Asih Jati Sampurna Seroja Pondok Gede Bantar Gebang Pengasinan Teluk Pucung Kaliabang Tengah Jati Bening Bojong Rawa Lumbu Jaka Mulya Bintara Jati Warna Rawa Tembaga Jati Rahayu Duren Jaya Jati Makmur Jati Luhur Pekayon Jaya Aren Jaya Karang Kitri Perumnas II Wisma Jaya Bojong Menteng Kotabaru Kranji Bintara Jaya Marga Mulya Marga Jaya 214, , , , , , , , , ,690 96,548 83,715 79,151 76,671 75,461 74,234 72,213 71,442 70,227 69,494 65,589 64,755 64,171 60,659 58,023 50,192 49,152 47,794 45,293 24,212 16,120-50, , , , ,000 Jumlah Penduduk 139

141 Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan pertama dan terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan melaksanakan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan wajib harus diselenggarakan oleh setiap Puskesmas dan upaya kesehatan pengembangan diselenggarakan sesuai dengan masalah, kondisi, kebutuhan, kemampuan dan inovasi serta kebijakan pemerintah daerah setempat. Upaya kesehatan pengembangan di Puskesmas antara lain Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) yang dilaksanakan Puskesmas merupakan upaya mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebagai salah satu target pencapaian MDGs Puskesmas PONED bertujuan mendekatkan akses masyarakat kepada pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar. Konsep istilah rawat inap yang digunakan dalam PONED berbeda dengan Puskesmas perawatan. Konsep rawat inap yang digunakan dalam Puskesmas PONED adalah Puskesmas yang dapat melakukan perawatan inap kepada pasien pasca tindakan emergensi (one day care). Sehingga memungkinkan Puskesmas non perawatan yang memiliki tempat tidur dan mampu melakukan tindakan emergensi obstetri neonatal dasar, dapat menyelenggarakan PONED. Jumlah Puskesmas mampu PONED di Kota Bekasi tahun 2014 sebanyak 10 unit, yaitu: Puskesmas Bantargebang, Pondok Gede, Bojong Rawalumbu, Karang Kitri, Jati Sampurna, Pejuang, Teluk Pucung, Kali Abang Tengah, Pekayon Jaya, Mustika Jaya. b. Puskesmas Pembantu (Pustu) Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan Puskesmas terhadap masyarakat di wilayah kerjanya, Puskesmas didukung 140

142 oleh sarana pelayanan kesehatan berupa Puskesmas Pembantu (Pustu). Jumlah Pustu pada tahun 2014 sebanyak 24 unit. Gambar 6.1 Peta Sebaran Puskesmas Pembantu Di Kota Bekasi Tahun

143 Grafik 6.2 Trend Jumlah Pustu di Kota Bekasi Tahun 2009 s.d Berikut ini merupakan data Puskesmas pembantu di wilayah Kota Bekasi tahun Tabel 6.1 Distribusi Puskesmas Pembantu Menurut Kecamatan Di Kota Bekasi Tahun 2014 No Kecamatan Puskesmas Pembantu 1 Pondok Gede Jati Makmur 2 Pondok Melati Jati Murni Jati Melati 3 Jati Sampurna Jati Ranggon Jati Rangga 4 Jati Asih Jati Sari 5 Rawa Lumbu Sepanjang Jaya 6 Bekasi Timur Aren Jaya Duren Jaya Bekasi Jaya 7 Bekasi Selatan Jaka Mulya 8 Bekasi Utara Perwira Permata Harapan Baru 9 Bekasi Barat Jaka Sampurna 10 Medan Satria Pejuang Harapan Mulya Kalibaru 11 Bantargebang Cikiwul Ciketing Udik Sumur Batu 12 Mustika Jaya Mustika Sari Cimuning Padurenan 142

144 6.1.2 Sarana Kesehatan Rujukan Rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan rujukan di Kota Bekasi terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2009 terdapat 28 rumah sakit di Kota Bekasi yang terus meningkat hingga tahun 2014 tercatat ada 37 rumah sakit di wilayah Kota Bekasi, seperti terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 6.2 Jumlah Rumah Sakit dan Jumlah Tempat Tidur Di Kota Bekasi Tahun 2009 s/d 2014 Rumah Sakit Jumlah Rumah Sakit Jumlah Tempat Tidur RSU Pemerintah RSU Swasta RS Khusus Swasta Kota Bekasi Kebutuhan tempat tidur pada rumah sakit di Kota Bekasi dapat didekati berdasarkan ratio 1 : 1000 artinya 1 tempat tidur berbanding dengan penduduk sampai dengan tahun yang berjalan. Jumlah penduduk di Kota Bekasi dari tahun 2010 sampai dengan 2014 mengalami peningkatan. Hal ini berdampak juga pada kebutuhan jumlah tempat tidur di rumah sakit pada setiap tahunnya. Tabel 6.3 Rasio Perbandingan Jumlah Tempat Tidur Rumah Sakit Dengan Jumlah Penduduk Kota Bekasi Tahun 2010 s/d 2014 NO TAHUN JUMLAH TEMPAT TIDUR RS JUMLAH PENDUDUK 1 TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN TAHUN

145 Pada Tahun 2010 Jumlah penduduk Kota Bekasi jiwa, jumlah tempat tidur buah. Rasio jumlah tempat tidur rumah sakit dan jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 1 : 120 per penduduk. Pada Tahun 2011 rasio jumlah tempat tidur rumah sakit dan jumlah penduduk adalah 1 : 125 per penduduk. Tahun 2012 rasio jumlah tempat tidur rumah sakit dan jumlah penduduk adalah 1 : 136 per penduduk. Rasio kebutuhan tempat tidur menurun di tahun 2013 sebesar 1 : 131 per penduduk dan meningkat lagi di tahun 2014, yaitu 1 : 137 per penduduk, artinya pada penduduk, 1 tempat tidur diperuntukkan bagi 137 penduduk. Hal ini menggambarkan dari tahun 2010 sampai dengan 2014 Kota Bekasi mempunyai jumlah tempat tidur yang sangat berlebih setiap tahunnya. Karena menurut WHO rasio kebutuhan tempat tidur 1 : jiwa penduduk. Grafik 6.3 Persentase Rumah Sakit Berdasarkan Tipe Kelas Rumah Sakit Di Kota Bekasi Tahun % 55% 16% TYPE RS B TYPE RS C TYPE RS D Pengertian Rumah Sakit menurut Wolper dan Pena (dalam Azwar, 1996) menyatakan bahwa rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran, pusat pendidikan,dan penelitian kedokteran. Pada grafik di atas, Kota Bekasi memiliki rumah sakit dengan tipe kelas B, C, dan D. Kota Bekasi belum mempunyai rumah sakit dengan tipe kelas A. 144

146 Rumah sakit dengan tipe kelas C presentasenya lebih banyak dibandingkan dengan tipe rumah sakit yang lain yaitu 55 persen. Hal ini dikarenakan adanya penambahan rumah sakit dan jumlah tempat tidur setiap tahunnya namun tidak diiringi dengan peningkatan hunian, sarana prasarana dan fasilitas penunjang mutu rumah sakit. Grafik 6.4 Distribusi Rumah Sakit Menurut Tipe Kelas dan Kecamatan Di Kota Bekasi Tahun TYPE RS B TYPE RS C TYPE RS D Penetapan kelas rumah sakit di suatu wilayah pemerintahan kota ditinjau dari kemampuan yang dimiliki setiap rumah sakit. Seperti rumah sakit tipe C dengan syarat harus mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas, yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak dan pelayanan kebidanan dan dapat menampung pelayanan rujukan dari Puskesmas. Pada grafik di atas, rumah sakit dengan tipe kelas C tersebar merata di Kota Bekasi, kecuali di Kecamatan Bantar Gebang dan Kecamatan Pondok Melati. Sedangkan rumah sakit tipe kelas B yang baru terdapat di 3 kecamatan saja yaitu: Kecamatan Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Bekasi Barat. Hal ini didukung juga karena pusat pemerintahan Daerah Kota Bekasi terbanyak berada di Kecamatan Bekasi Selatan dan Kecamatan Bekasi Barat. 145

147 Tabel 6.4 Jumlah Tempat Tidur Kelas III Rumah Sakit Di Kota Bekasi Tahun 2014 No Rumah Sakit Jumlah TT Kelas III Presentase Minimal Jumlah TT (Permenkes No. 56 Thn 2014) 1 RSUD Bekasi RS Hermina RSU Mitra Keluarga RS. Budi Lestari RS Awal Bross RS Anna Pekayon RS Hermina Galaxi RS Mitra Keluarga Timur RS Bhakti Kartini RS. Juwita RS. Subki Abdul Kadir RS Mekarsari RS. Graha Juanda RS. Sentosa RS. Bella RS Seto Hasbadi RSIA. Rinova Intan RS. Anna Medika RSIA Selasih Medika RS Ananda RS. Citra Harapan RSB Taman Harapan Baru RS. Taman Harapan Baru RS. Rehabilitasi Medik Zainuttaqwa 25 RS. St. Elisabeth RS. Rawa Lumbu RSIA Ratna Ervita Medika RS. Hosana Medica Bekasi RS Karya Medika RS Permata Bekasi RSIA Kartika Husada RS Jati Sampurna RS Permata Cibubur RS Mitra Keluarga Cibubur RS Jati Rahayu RSIA Karunia Bunda RS Masmitra Jatimakmur TOTAL

148 Berdasarkan Permenkes No. 56 tahun 2014 pelayanan rawat inap tipe kelas A, B, C,dan D harus memiliki jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30 persen dari seluruh tempat tidur untuk rumah sakit milik pemerintah. Sedangkan Rumah Sakit milik Swasta, harus dilengkapi dengan jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20 persen dari seluruh tempat tidur rumah sakit swasta tersebut. Pada tabel 6.4 rumah sakit yang mempunyai jumlah tempat tidur kelas III yang paling sedikit yaitu: RSIA Karunia Bunda, RSIA Kartika Husada, dan RS Juwita. Ketiga Rumah Sakit tersebut sudah memenuhi kriteria Permenkes No. 56 tahun 2014 yaitu jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20 persen dari seluruh tempat tidur untuk rumah sakit swasta. Jumlah tempat tidur terbanyak tahun 2014 adalah RSUD Kota Bekasi sebanyak 172 tempat tidur (sudah mencapai 30 persen dari seluruh jumlah tempat tidur, yaitu 51 tempat tidur). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 228/ Menkes/ SK/ 2002 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Daerah, bahwa jumlah pasien miskin 100 persen harus terlayani. Oleh karena itu, RSUD harus menyediakan kebutuhan tempat tidur kelas III yang cukup dan memadai sebagai tanggung jawab rumah sakit terhadap pelaksanaan fungsi sosial rumah sakit terhadap pasien miskin (kelas III). Berdasarkan Permenkes No. 56 tahun 2014, rumah sakit dengan tipe kelas A, B, C dan D harus mempunyai ruang intensif lima persen dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta. Namun kenyataannya masih ada beberapa rumah sakit tipe kelas C yang belum mempunyai tempat tidur ruang isolasi sebesar 43 persen. Hanya 57 persen rumah sakit type kelas C 147

149 yang sudah mempunyai ruang isolasi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada rumah sakit dengan type kelas C yang belum memenuhi Peraturan Permenkes No. 56 tahun 2014 rumah sakit dengan tipe kelas A, B, C dan D harus mempunyai ruang intensif sebesar lima persen, karena ketersediannya pelayanan ruang isolasi menunjukkan ada tidaknya jumlah tempat tidur pada pelayanan tersebut. Grafik 6.5 Persentase Ketersediaan Pelayanan Ruang Isolasi Menurut Tipe Kelas Rumah Sakit di Kota Bekasi Tahun % 200% 55% 150% 100% 50% 57% 100% 45% TYPE D TYPE C TYPE B 0% RS YG PNY RUANG ISOLASI 43% RS YG TDK PNY RUANG ISOLASI Sarana Kesehatan Lainnya Posyandu di Kota Bekasi terus bertambah setiap tahunnya. Dari posyandu pada 2009 bertambah menjadi posyandu di tahun 2010 dan bertambah lagi pada tahun 2011 sebanyak dan terus bertambah menjadi posyandu tahun Peningkatan ini terlihat pada grafik 6.7 berikut. 148

150 Grafik 6.7 Trend Jumlah Posyandu di Kota Bekasi Tahun 2009 s.d ,560 1,540 1,520 1,500 1,500 1,506 1,522 1,538 1,543 1,480 1,460 1,464 1,440 1, Dalam melaksanakan fungsinya posyandu dibagi menjadi 4 kategori yaitu posyandu pratama, madya, purnama, dan mandiri. Tahun 2014 terdapat 100 posyandu pratama, 578 posyandu madya, 723 posyandu purnama, dan posyandu mandiri sebanyak 142. Dari posyandu ini, baru sebesar persen merupakan posyandu aktif. Grafik 6.8 Jumlah Posyandu Menurut Strata di Kota Bekasi Tahun 2011 s.d Pratama Madya Purnama Mandiri 149

151 Namun jumlah posyandu aktif ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, seiring dengan peningkatan jumlah posyandu. Tahun 2013 jumlah posyandu aktif sebesar persen, tahun 2012 jumlah posyandu aktif sebesar 49,08 persen, dan tahun 2011 sebesar 41,77 persen. Selain posyandu beberapa Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) yang harus ada di masyarakat diantaranya: Poskesdes, Polindes, Posyandu, Warung Obat Desa, Poskestren. Wilayah yang didahulukan untuk memiliki Poskesdes adalah wilayah yang tidak memiliki Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan bukan ibu kota Kabupaten. Kota Bekasi telah memiliki 38 Rumah Sakit, baik pemerintah maupun swasta, 31 Puskesmas, 24 Puskesmas Pembantu dan ratusan klinik yang tersebar di wilayah Kota Bekasi, sehingga dianggap tidak lagi membutuhkan Poskesdes, karena seharusnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan telah terpenuhi. Di wilayah Kota Bekasi tahun 2914 terdapat 301 Posbindu, dengan fokus pelayanan terutama pada Lansia, kecuali Puskesmas Seroja dan Puskesmas Marga Mulya yang tidak melaporkan adanya Posbindu. Selain itu tidak ada satupun wilayah Puskesmas yang melaporkan memiliki UKBM lain seperti Poskesdes, Polindes Sarana Kefarmasian a. Ketersediaan Obat Ketersediaan obat dan vaksin pada tahun 2014, menggunakan indikator 144 jenis obat dan vaksin. Dari 144 jenis obat dan vaksin terdapat 63 jenis yang tidak tersedia di Dinas Kesehatan Kota Bekasi atau sekitar 43,75 persen. Pada pelaksanaannya tidak semua jenis obat yang dijadikan indikator ketersediaan tersebut dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi. 150

152 Terdapat 61 jenis obat dan vaksin dari obat yang mengalami kekosongan ketersediaan tidak dibutuhkan dalam pelayanan. Jadi sebagai denominator dalam ketersediaan ini adalah hanya 83 jenis obat (144 jenis obat dikurangi 61 jenis obat). Dengan data yang telah diuraikan di atas, maka ketersediaan obat di Dinas Kesehatan Kota Bekasi adalah 81 jenis obat yang tersedia sebagai nominator, 83 jenis obat sebagai denominator, sehingga didapat 97,6 persen. Ketersediaan obat menurut jenis obat dihitung 18 bulan kebutuhan sebagai ketersediaan optimal. Berikut adalah jenis obat yang termasuk sebagai indikator ketersediaan obat menurut jenis tetapi sudah tidak dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas: 1. Dektrometorfan tab 15 mg; 2. Dektrometorfan HBr Sirup 10 mg/5 ml; 3. Kotrimoksazol DOEN II (pediatric) tab; 4. Klorokquin tab; 5. Difenhidramin HCl inj 10 mg/ml-1ml. Dengan demikian terdapat 5 jenis obat indikator yang tidak dibutuhkan sehingga denominator dari persentase ketersediaan obat menurut jenis obat adalah 28 jenis obat, dari 33 jenis obat indicator ketersediaan (33 jenis obat dikurangi 5 jenis obat). Bila dilihat dari tingkat kecukupan dalam satuan bulan, di Dinas Kesehatan Kota Bekasi terdapat 5 jenis obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas memiliki ketersediaan kurang dari 18 bulan kebutuhan. Berikut adalah jenis obat yang termasuk sebagai indikator ketersediaan obat menurut jenis yang memiliki ketersediaan kurang dari 18 bulan kebutuhan, yaitu: 1. Deksametason inj 5 mg/ml; 2. Kloramfenikol kapsul 250 mg; 3. Multivitamin sirup; 151

153 4. OAT FDC II; 5. OAT Kombipak Anak. Dengan demikian nominator dari persentase ketersediaan obat menurut jenis obat adalah 23 jenis obat (28 jenis obat yang dibutuhkan dikurangi 5 jenis obat yang mempunyai ketersediaan kurang dari 18 bulan). Ada beberapa alasan jenis obat yang memiliki ketersediaan kurang dari 18 bulan, antara lain: Kloramfenikol kapsul 250 mg memiliki tingkat kecukupan 9,8 bulan, hal ini disebabkan tidak tersedianya obat tersebut dipasaran saat dilakukan pemesanan secara e-purcashing. Kondisi ini dapat diatasi dengan menggunakan obat lain yang memiliki efek terapi yang sama yaitu thiamphenikol; Deksametason inj 5 mg/ml memiliki tingkat kecukupan 1,5 bulan, hal ini disebabkan pengadaan obat tahun sebelumnya dengan cara e-katalog telah melampaui kuota nasional, sehingga obat tersebut di atas kosong dipasaran; OAT FDC II dan OAT Kombipak Anakmemililki kecukupan kurang dari 18 bulan. Hal ini disebabkan telah terjadi kegagalan pengadaan obat pada tahun Dilihat dari segi kebutuhan berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa ketersediaan obat menurut jenisnya memenuhi kebutuhan pelayanan di Puskesmas sebesar persen. b. Penggunaan Obat Rasional Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas dipantau setiap bulan dan direkap per triwulan untuk dilaporkan ke Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan secara random setiap hari berdasarkan resep yang ditulis dokter dan dilayani di apotek Puskesmas. Penggunaan Obat Rasional dipantau dari data 152

154 kompilasi peresepan di Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Triwulan Poli Farmasi Tabel 6.5 Kompilasi Peresepan Tahun 2014 Pemakaian Antibiotik pada ISPA (%) Pemakaian Antibiotik pada Diare Non Spesifik (%) Injeksi pada Myalgia (%) I 3,26 47,48 36,37 0 II 3,32 43,78 29,1 0 III 3,29 49,43 35,21 0 IV ,51 31,95 0 Dari tabel 6.5 di atas, jumlah jenis obat dalam setiap resep berkisar antara 3 sampai 4. Hal ini terlihat dari jumlah poli farmasi yang berkisar 2,96 sampai 3,32. Menurut standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, poli farmasi yang ideal adalah di bawah 3,00, dengan kata lain setiap resep idelanya hanya menuliskan 1 sampai 3 jenis obat saja. Jadi dapat disimpulkan poli farmasi di Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi perlu diturunkan. Pemakaian antibiotik pada ISPA berkisar 43,78 persen sampai 49,43 persen, menurut standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan adalah di bawah 20 persen. Demikian pula untuk pemakaian antibiotik kasus diare non spesifik. Pemakaian antibiotik pada diare non spesifik di Puskesmas sekitar 29,1 persen - 36,7 persen, sementara Kementerian Kesehatan menetapkan pemakaian ideal adalah di bawah 20 persen. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemakaian antibiotik pada kasus ISPA dan diare non spesifik masih cukup tinggi. Hal ini perlu dilakukan peningkatan rasionalisasi penggunaan obat di Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan. 153

155 Pemakaian injeksi pada kasus myalgia sudah tidak ditemukan di Puskesmas yang berada di wilayah kerja dinas kesehatan Kota Bekasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemakaian injeksi pada kasus myalgia telah sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. c. Penulisan Obat Generik Tabel. 6.6 Penulisan Obat Generik pada tahun 2014 Triwulan Pemakaian Obat Generik (%) I 97,89 II 97,7 III 96,9 IV 97,63 Pada tahun 2014, presentase penulisan obat generik di Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bekasi berkisar antara 96,9 persen sampai 97,89 persen. Jika disesuaikan dengan Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kota Bekasi tahun 2013 hingga 2018, persentase penulisan resep obat generik di Puskesmas pada tahun 2014 mempunyai target kinerja sasaran 97 persen. Jadi untuk tahun 2014 ini telah mencapai target yang ditetapkan. d. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas salah satunya dilakukan dengan pemberian konseling dan pemberian informasi obat terhadap pasien. 154

156 Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga kefarmasian di Puskesmas, maka untuk melakukan konseling dan pemberian informasi obat diprioritaskan terhadap pasien-pasien tertentu. Biasanya pesien yang diberikan konseling adalah pasien memiliki penyakit kronis dan dipandang perlu untuk dipantau keteraturan pemakaian obatnya serta perkembangan penyakitnya. e. Sarana Produksi dan Distribusi Kefarmasian Dalam penyelenggaraan izin sarana kefarmasian terdapat wewenang yang melekat pada masing-masing tingkat pemerintahan. Menurut ketentuan penyelenggara izin sarana produksi merupakan wewenang Kementerian Kesehatan. Terdapat empat jenis sarana produksi kefarmasian yaitu Industri Farmasi,Industri Obat Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional dan Produksi Alat Kesehatan.. Penerbitan izin sarana produksi diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan rekomendasi dari pemerintah Provinsi. Kabupaten/ Kota yang merupakan tempat domisili sarana produksi, biasanya mendapat surat tembusan penerbitan izin tersebut. Pada kenyataannya kesinambungan penyampaian tembusan izin yang diterbitkan belum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga data yang terdapat di kabupatan/kota sering tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Untuk sarana distribusi kefarmasian, dalam hal ini Pedagang Besar Farmasi dan serta Penyalur Alat Kesehatan, penerbitan izin diselenggarakan oleh Kemeterian Kesehatan berdasarkan rekomendasi dari pemerintah Provinsi. Sama halnya dengan saran produksi, Kabupaten/Kota hanya mendapat tembusan penerbitan izin tersebut. Berbeda halnya dengan sarana kefarmasian sebelumnya, sarana distribusi kefarmasian lainnya adalah Pedagang Besar 155

157 Farmasi Cabang (PBF Cabang) dan Penyalur Alat Kesehatan Cabang (PAK Cabang). Penyelenggara izin PBF Cabang dan PAK Cabang adalah Pemerintah Provinsi berdasarkan rekomendasi Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan jenjang tersebut, maka secara regulasi Kabupaten/Kota mendapat tembusan penerbitan izin PBF Cabang dan PAK Cabang yang berada di wilayah kerja Kabupaten/Kota tersebut.pada kenyataannya, sama halnya dengan jenis sarana sebelumnya, kesinambungan penyampaian tembusan penerbitan PBF Cabang dan PAK Cabang tidak berjalan dengan semestinya. Sarana kefarmasian yang berfungsi sebagai sarana pelayanan, dalam hal ini apotek dan toko obat, penyelenggara penerbitan izinnya merupakan kewenangnan pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini penerbitan izin diselenggarakan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bekasi, sedangkan Dinas Kesehatan Kota Bekasi berperan sebagai Tim Teknis Perizinan Sarana Pelayanan Kefarmasian dan mempunyai kewenangan untuk menerbitkan rekomendasi penerbitan izin sarana pelayanan kefarmasian. Dengan kewenangan tersebut, maka dapat dipastikan pemerintah Kabupaten/ Kota memiliki data yang akurat untuk apotek dan toko obat. Pertambahan jumlah apotek dalam setiap tahunnya dapat mencapai 20 persen. Pada tahun 2013 jumlah apotek yang berada di Kota Bekasi sejumlah 425 Apotek, sedangkan pada tahun 2014 jumlah apotek mencapai 519 apotek. Dari jumlah apotek yang ada pada tahun 2015, terdapat sekitar 19 persen belum memperpanjang izin masa berlaku. Disamping data di atas, pada tahun 2014 terdapat 28 apotek yang mengajukan penutupan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2014 terdapat sekitar 5,39 persen yang ditutup. Pihak Dinas Kesehatan, dalam hal ini selaku tim teknis penyelengaraan izin apotek serta selaku pembina dan pengawas 156

158 apotek, telah menerbitkan surat peringatan bagi apotek yang memiliki masa izin sudah tidak berlaku. Dari hasil pemberian surat peringatan tersebut, terdapat 10 persen apotek yang memiliki masa izin sudah tidak berlaku, melakukan perpanjangan izin apoteknya. Berbeda halnya dengan apotek, toko obat memiliki pertambahan jumlah tidak sebanyak pertambahan apotek. Pembinaan dan pengawasan terhadap toko obat belum dilakukan secara maksimal mengingat keterbatasan jumlah SDM Seksi Kefarmasian. Dalam pengawasan sarana pelayanan kefarmasian kami bekerjasama dengan UPTD POM Dinas Kesehatan Kota Bekasi serta pihak-pihak terkait lainnya. 6.2 Tenaga Kesehatan Keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan salah satunya dari ketersediaan sumber daya manusia di bidang kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan baik secara kualitas maupun kuantitas. Karena tenaga kesehatan merupakan ujung tombak pelayanan kepada masyarakat sehingga sangat diperlukan mengingat banyaknya program program kesehatan yang harus diselesaikan dan pelayanan kesehatan di Puskesmas maupun di rumah sakit. Tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas dan Rumah Sakit di wilayah Kota Bekasi terus meningkat seiring bertambahnya sarana pelayanan kesehatan yang ada Tenaga Kesehatan di Lingkungan Dinas Kesehatan Tenaga kesehatan yang ada di lingkungan Dinas Kesehatan dan UPTD Puskesmas antara lain terdiri dari tenaga medis (dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi), paramedis (bidan, perawat, perawat gigi), tenaga kefarmasian ( tenaga teknis kefarmasian dan Apoteker), tenaga kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, nutrisionis, tenaga teknis medis (analis kesehatan), fungsional umum 157

159 dan tenaga kesehatan lainnya (pejabat strukkural, staf penunjang administrasi, staf penunjang perencanaan dan Juru). Tabel. 6.7 Tenaga Penunjang Pada Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2014 NO JENIS JABATAN JUMLAH 1 Pejabat Esselon II 1 2 Pejabat Esselon III 5 3 Pejabat Esselon IV 18 4 Fungsional Umum Tenaga Tenaga Kontrak Kerja ( TKK) 22 Total Pegawai 156 Tenaga Medis Dokter Spesialis yang ada di UPTD Puskesmas Kota Bekasi sebanyak 6 orang terdiri dari : 1 orang dokter spesialis mata, 1 orang dokter spesialis kulit dan kelamin, 1 orang dokter spesialis obgyn, 1 orang dokter spesialis gigi Anak dan 2 orang dokter gigi spesialis Ortodenti. Dokter spesialis yang ada pada UPTD Puskesmas terdiri dari 1 orang laki-laki dan 5 orang perempuan semua berstatus PNS dan tidak ada tenaga dokter spesialis PTT Pusat maupun PTT Provinsi yang ditempatkan di Kota Bekasi. Tabel 6.8 Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 No Jenis Tenaga Jumlah 1 Dokter spesialis 3 2 Dokter Umum Dokter Gigi 70 4 Dokter Gigi Spesialis 3 5 Bidan Perawat Umum Perawat Gigi 33 8 Kefarmasian 31 9 Gizi Kesmas - 11 Sanitasi Analis Lab

160 Tenaga medis dokter spesialis yang ada di UPTD Puskesmas Kota Bekasi ada sebanyak 3 (tiga) orang yang tersebar di UPTD Puskesmas Karang Kitri sebanyak 1 (satu) orang, UPTD Puskesmas Bojong Rawa Lumbu sebanyak 1 (dua) orang, UPTD dan UPTD Puskesmas Bantar Gebang sebanyak 1 (satu) orang, semua dokter spesialis yang ada di Kota Bekasi berstatus PNS. Grafik 6.9 Proporsi Dokter Spesialis dan Dokter Spesialis Gigi Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 laki, 1, 17% Perempua, 5, 83% Dokter spesialis yang ada di UPTD Puskesmas kota Bekasi sebanyak 1 orang berjenis kelamin laki-laki dan 3 orang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan dokter spesialis gigi ada sebanyak 3 orang, yang ketiganya berjenis kelamin perempuan. Tenaga dokter umum di UPTD Puskesmas tahun 2014 sebanyak 118 orang yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas di Kota Bekasi terdiri dari 19 orang berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 16 persen dan 99 orang berjenis kelamin perempuan dengan persentase sebesar 84 persen, jika di lihat dari status pegawai sebanyak 117 orang dokter umum berstatus PNS dan 1 orang tenaga dokter umum berstatus tenaga PTT Provinsi Jawa Barat/ Non PNS. 159

161 Grafik 6.10 Proporsi Dokter Umum Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 Dokter umum, lakilaki, 19, 16% Dokter umum, Perempuan, 99, 84% laki-laki Perempuan Tenaga dokter gigi di UPTD Puskesmas tahun 2014 sebanyak 70 orang yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas di Kota Bekasi terdiri dari 4 orang berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 6 persen dan 66 orang berjenis kelamin perempuan dengan persentase sebesar 94 persen, jika dilihat dari status pegawai semua tenaga dokter gigi yang ada semuanya berstatus PNS yaitu sebanyak 70 orang. Grafik 6.11 Proporsi Dokter Gigi Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 Dokter gigi, Laki-laki, 4, 6% Dokter gigi, Perempuan, 66, 94% Laki-laki Perempuan 160

162 Puskesmas Pondok Gede Puskesmas Jati Makmur Puskesmas Jati Bening Puskesmas Jati Rahayu Puskesmas Jati Warna Puskesmas Jati Sampurna Puskesmas Jati Luhur Puskesmas Jati Asih Puskesmas Bj. Rawalumbu Puskesmas Pengasinan Puskesmas Bojong Puskesmas Karang Kitri Puskesmas Wisma Jaya Puskesmas Aren Jaya Puskesmas Duren Jaya Puskesmas Pekayon Jaya Puskesmas Jaka Mulya Puskesmas Marga Jaya Puskesmas Perumnas II Puskesmas Seroja Puskesmas Kali Abang Puskesmas Marga Mulya Puskesmas Teluk Pucung Puskesmas Rawa Tembaga Puskesmas Bintara Jaya Puskesmas Bintara Puskesmas Kranji Puskesmas Kota Baru Puskesmas Pejuang Puskesmas Bantargebang Puskesmas Mustika Jaya Grafik 6.12 Distribusi Tenaga Bidan Menurut Puskesmas di Kota Bekasi Tahun Grafik 6.12 di atas menunjukkan data tenaga bidan di lingkungan UPTD Puskesmas Kota Bekasi pada tahun 2014 sebanyak 197 orang. Semua Puskesmas di kota Bekasi mendapatkan tenaga bidan hanya saja pembagiannya yang tidak sama, ini disebabkan karena jumlah wilayah binaan yang lebih sedikit. Jika di lihat dari status pegawai tenaga bidan yang berstatus PNS yaitu sebanyak 183 orang, 10 orang berstatus tenaga Kontrak kerja (TKK), 4 orang tenaga bidan PTT Provinsi Jawa Barat, dengan pendidikan D1 Kebidanan sebanyak 49 orang, D3 kebidanan sebanyak 108 orang, D4 kebidanan sebanyak 30 orang dan S1 sebanyak 10 orang. Sedangkan tenaga perawat di UPTD Puskesmas tahun 2014 sebanyak 167 orang yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas di Kota Bekasi terdiri dari 25 orang berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 15 persen dan 142 orang berjenis kelamin perempuan dengan persentase sebesar 85 persen. Jika dilihat dari status pegawai tenaga perawat yang berstatus PNS yaitu sebanyak 159 orang dengan pendidikan SPK sebanyak 21 orang, D3 sebnyak 124 orang dan S1 sebanyak 14 orang, sedangkan 161

163 pegawai yang berstatus tenaga kontrak kerja (TKK) sebanyak 8 orang dengan latar belakang pendidikan D3 sebanyak 7 orang dan S1 Keperawatan sebanyak 1 orang. Grafik 6.13 Proporsi Tenaga Perawat Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 Laki- laki 25 org 15 % Laki - laki Perempuan Perempuan 142 org 85 % Grafik 6.14 berikut menunjukkan data tenaga perawat gigi di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas pada tahun 2014 sebanyak 33 dengan keseluruhan (100 persen) berstatus PNS, sedangkan data tenaga perawat gigi berdasarkan jenis kelamin sebanyak 3 orang berjenis kelamin laki-laki dengan presentase sebesar 1 persen dan 30 orang berjenis kelamin perempuan dengan presentase sebesar 99 persen. Grafik 6.14 Proporsi Tenaga Perawat Gigi Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 Laki - laki Perempuan Laki-laki 3 orang 1 % Perempuan 30 org 99 % 162

164 Tenaga kefarmasian di UPTD Puskesmas tahun 2014 sebanyak 31 orang yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas di Kota Bekasi terdiri dari tenaga teknis kefarmasian sebanyak 18 orang dengan latar belakang pendidikan D3 farmasi, dan tenaga Apoteker dengan latar belakang pendidikan S1 Apoteker sebanyak 13 orang dengan jenis kelamin lakilaki sebanyak 3 dan perempuan sebanyak 15 orang. Sementara untuk tenaga apoteker semuanya berjenis kelamin perempuan. Jika dilihat dari status pegawai tenaga kefarmasian yang ada semua berstatus PNS yaitu sebanyak 31 orang. Data UPTD Puskesmas tahun 2014 UPTD yang tidak memiliki tenaga kefarmasian, baik tenaga teknis kefarmasian maupun apoteker yaitu UPTD Puskesmas: Jati bening, Jati luhur, Pengasinan dan Bintara Jaya. Grafik 6.15 Distribusi Tenaga Kefarmasian Menurut Jenis kelamin di Puskesmas kota Bekasi Tahun Tenaga teknis kefarmasian Laki - laki Perempuan 10 % 90 % Apoteker Laki - laki 0 % Perempuan 100 % Grafik 6.16 berikut menunjukkan data tenaga Nutrisionis di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas pada tahun 2014 sebanyak 32 orang dengan keseluruhan (100 persen) berstatus PNS. Namun kenyataannya ada 1 Puskesmas yang tidak mempunyai tenaga nutrisionis, dikarenakan ada 1 Puskesmas yang mempunyai 2 tenaga nutrisionis. Bila berdasarkan jenis kelamin 163

165 hanya ada 1 orang berjenis kelamin laki-laki dengan presentase sebesar 1 persen dan 31 orang berjenis kelamin perempuan dengan presentase sebesar 99 persen. Grafik 6.16 Proporsi Tenaga Nutrisionis Menurut Jenis kelamin di Puskesmas kota Bekasi Tahun 2014 Laki-laki 1 org 1 % Perempuan 31 org 99 % Laki - laki Perempuan Grafik 6.17 berikut menunjukkan data tenaga Analis Kesehatan di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas pada tahun 2014 sebanyak 21 orang dengan keseluruhan (100 persen) berstatus PNS, ada 10 puskesmas yang tidak mempunyai tenaga analis kesehatan. Bila berdasarkan jenis kelamin hanya ada 4 orang berjenis kelamin laki-laki dengan presentase sebesar 19 persen dan 17 orang berjenis kelamin perempuan dengan presentase sebesar 81 persen. Grafik 6.17 Proporsi Tenaga Analis Kesehatan Menurut Jenis kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 Laki-laki 4 org 19 % Laki - laki Perempuan Perempuan 17 orang 81 % 164

166 Grafik 6.18 Proporsi Tenaga Kesehatan Lingkungan Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 Laki-laki 5 24% Perempuan 16 76% Tenaga Kesehatan Lingkungan di UPTD Puskesmas tahun 2014 sebanyak 21 orang yang tersebar di 31 UPTD Puskesmas di Kota Bekasi terdiri dari 5 orang berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 24 persen dan 16 orang berjenis kelamin perempuan dengan persentase sebesar 76 persen. Jika dilihat dari status pegawai tenaga kesehatan lingkungan yang ada semua berstatus PNS. UPTD Puskesmas yang belum memiliki tenaga Kesehatan lingkungan diantaranya: Jati Bening, Jati Luhur, Karang Kitri, Duren Jaya, Marga Jaya, Marga Mulya, Rawa Tembaga, Bintara Jaya, Kranji dan Kota baru. Dengan demikian berdasarkan data tahun 2014 masih terdapat 10 UPTD Puskesmas yang belum memiliki tenaga kesehatan lingkungan. Tabel 6.9 Tenaga Kesehatan Lainnya di UPTD Puskesmas Kota Bekasi Tahun 2014 NO TENAGA KESEHATAN LAINNYA JUMLAH TENAGA 1 Pejabat Struktural 31 2 Staf penunjang administrasi 53 3 Juru 6 165

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografi Secara geografis Kota Bekasi berada pada posisi 106 o 48 28 107 o 27 29 Bujur Timur dan 6 o 10 6 6 o 30 6 Lintang Selatan. Letak Kota Bekasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar-dasar atau prinsip pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah nilai

BAB I PENDAHULUAN. Dasar-dasar atau prinsip pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah nilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dasar-dasar atau prinsip pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah nilai kebenaran dan aturan pokok sebagai landasan untuk berpikir atau bertindak dalam pembangunan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bekasi berada posisi 106º55 BT dan 6º7-6º15

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bekasi berada posisi 106º55 BT dan 6º7-6º15 V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Objektif Kota Bekasi 5.1.1 Keadaan Geografis Kota Bekasi Secara geografis Kota Bekasi berada posisi 106º55 BT dan 6º7-6º15 LS dengan ketinggian 19 meter diatas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003

Lampiran 1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 LAMPIRAN 70 Lampiran 1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 Jumlah Jumlah Jenis Hirarki Bekasi Timur Margahayu 353 24 Hirarki 1 Medan Satria Medan Satria 959 23 Hirarki 1 Pondokgede Jatirahayu 557 23

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan kualitatif karena sangat kaya dan sarat dengan

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan kualitatif karena sangat kaya dan sarat dengan BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan kualitatif karena sangat kaya dan sarat dengan deskripsi serta analisis. Penulis terdorong untuk memahami fenomena secara

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN STRATEGI PEMBANGUNAN KESEHATAN 1

Bab 1 PENDAHULUAN STRATEGI PEMBANGUNAN KESEHATAN 1 Bab 1 PENDAHULUAN STRATEGI PEMBANGUNAN KESEHATAN 1 Bab 1 PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembangunan Kesehatan di Provinsi Riau adalah Riau Sehat 2020. Dengan rumusan ini dimaksudkan bahwa pada tahun 2020

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANTUL. 1. Sejarah Perkembangan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul

BAB II DESKRIPSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANTUL. 1. Sejarah Perkembangan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul BAB II DESKRIPSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANTUL A. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul 1. Sejarah Perkembangan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul terletak di Jalan Lingkar

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat.

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Pada misi V yaitu Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat telah didukung dengan 8 sasaran sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Kerja Dinas Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Kerja Dinas Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Program dan kegiatan pembangunan pada dasarnya disusun untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sebesarbesarnya yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Masyarakat Kolaka yang Sehat, Kuat. Mandiri dan Berkeadilan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2016 Hal. i

KATA PENGANTAR Masyarakat Kolaka yang Sehat, Kuat. Mandiri dan Berkeadilan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2016 Hal. i KATA PENGANTAR Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Taufik dan Hidayah - NYA, sehingga buku Profil Kesehatan Tahun dapat disusun. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun merupakan gambaran pencapaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan tertuang dalam Undang- Undang No 36 Tahun 2009. Kesehatan merupakan suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan Kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Eliminasi Malaria di Daerah; BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 67 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada masalah dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan perubahan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR GRAFIK...

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR GRAFIK... I II VII VIII X BAB I PENDAHULUAN BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG A. GEOGRAFI... 4 B. KEPENDUDUKAN / DEMOGRAFI...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari tiga dasawarsa, derajat kesehatan di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan angka kematian bayi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka ini dengan baik. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan salah

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 24 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 DAFTAR ISI hal. KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i ii iv v x BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 A. KEADAAN PENDUDUK 3 B. KEADAAN EKONOMI 8 C. INDEKS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003

Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003 LAMPIRAN 72 Lampiran 1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003 Kecamatan Kelurahan/Desa Penduduk fasilitas Pendidikan Ekonomi Kesehatan Sosial Jenis PONDOKGEDE JATIRAHAYU 45675 40 398 61 58 1056 23 Hirarki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama hampir dua abad, penyakit Demam Berdarah Dengue dianggap sebagai penyakit penyesuaian diri seseorang terhadap iklim tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus. BAB I PENDAHULUAN 1.4 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk keperedaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus aedes

Lebih terperinci

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun 3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat di Mandar 2007-2009 Indikator 2 3 4 5 6 7 8 9 0 2 3 4 5 6 7 8 9 20 Tujuan Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Menurunkan Proporsi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kolaka, Maret 2012 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka, dr. Hj. Rosmawati NIP Pembina Tk. I Gol.

KATA PENGANTAR. Kolaka, Maret 2012 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka, dr. Hj. Rosmawati NIP Pembina Tk. I Gol. KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan nayah-nya atas tersusunnya Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan salah

Lebih terperinci

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR REVIEW INDIKATOR DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR 2015-2019 MISI 1 : Menyediakan sarana dan masyarakat yang paripurna merata, bermutu, terjangkau, nyaman dan berkeadilan No Tujuan No Sasaran Indikator Sasaran

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Data Pengeluaran Per Kapita Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bekasi bahwa jumlah rumah tangga sebanyak 428,980 dengan jumlah anggota rumah tangga

Lebih terperinci

UKURAN-UKURAN DALAM EPIDEMIOLOGI

UKURAN-UKURAN DALAM EPIDEMIOLOGI UKURAN-UKURAN DALAM EPIDEMIOLOGI 1. PROPORSI Proporsi adalah perbandingan yang pembilangnya merupakan bagian dari penyebut. Proporsi digunakan untuk melihat komposisi suatu variabel dalam populasi Rumus

Lebih terperinci

Tim Penyusun Pengarah : dr. Hj. Rosmawati. Ketua : Sitti Hafsah Yusuf, SKM, M.Kes. Sekretaris : Santosa, SKM

Tim Penyusun Pengarah : dr. Hj. Rosmawati. Ketua : Sitti Hafsah Yusuf, SKM, M.Kes. Sekretaris : Santosa, SKM KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2014 ini dengan baik. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan

Lebih terperinci

yang diuraikan dalam bab ini juga mengakomodir indikator kinerja Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan serta upaya pelyaanan kesehatan

yang diuraikan dalam bab ini juga mengakomodir indikator kinerja Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan serta upaya pelyaanan kesehatan BAB I PENDAHULUAN Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Anambas tahun 211-215 adalah Kepulauan Anambas Sehat, sedangkan untuk mencapai visi tersebut diperlukan misi Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi baik untuk jajaran manajemen kesehatan maupun untuk masyarakat umum perlu disediakan suatu paket data/informasi kesehatan yang ringkas

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD

KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD Nomor : Revisi Ke : Berlaku Tgl: KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD UPT KESMAS TAMPAKSIRING 1. Pendahuluan Dewasa ini, pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia, terutama negara-negara tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan. keluarga dengan melaksanakan pembangunan yang berwawasan kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan. keluarga dengan melaksanakan pembangunan yang berwawasan kesehatan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan melaksanakan pembangunan yang berwawasan kesehatan, memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran,

Lebih terperinci

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS : 4102004.1111 Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara Jl. T. Chik Di Tiro No. 5 Telp/Faks. (0645) 43441 Lhokseumawe 24351 e-mail : bpsacehutara@yahoo.co.id, bps1111@bps.go.id BADAN PUSAT

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak umur bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, terutama penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2011). Gangguan kesehatan

Lebih terperinci

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN 2017-2019 Lampiran 2 No Sasaran Strategis 1 Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan dengan masyarakat, lintas sektor, institusi

Lebih terperinci

Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta 2016 i KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberi rahmat dan hidayah Nya sehingga dapat tersusunnya Profil Kesehatan Dinas Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap individu masyarakat yang harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk memproteksi masyarakatnya

Lebih terperinci

TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas

TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas Indikator Kinerja Utama Pemerintah Kota Tebing Tinggi 011-016 3 NAMA UNIT ORGANISASI : DINAS KESEHATAN TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti dan Aedes albopictus) dan dapat

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3 DAFTAR ISI SAMBUTAN BUPATI POLEWALI MANDAR....... i DAFTAR ISI............ iii DAFTAR TABEL............ vi DAFTAR GRAFIK............ ix DAFTAR GAMBAR............ xiii DAFTAR SINGKATAN............ xiv PETA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN ACEH TIMUR

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN ACEH TIMUR ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemiologi perubahan vektor penyakit merupakan ancaman bagi kesehatan manusia, salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD). Dengue hemorraghic fever (DHF) atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Visi Indonesia Sehat 2010 merupakan gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan

Lebih terperinci

TREND PEMBANGUNAN KESEHATAN

TREND PEMBANGUNAN KESEHATAN TREND JAWA TIMUR TREND PEMBANGUNAN KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2000 2011 Jl. A. Yani 118 Surabaya HTTP://dinkes.jatimprov.go.id Email : info@dinkesjatim.go.id DINAS Tahun KESEHATAN 2012 PROVINSI

Lebih terperinci

RPJMD Kab. Temanggung Tahun I X 47

RPJMD Kab. Temanggung Tahun I X 47 2 KESEHATAN AWAL TARGET SASARAN MISI 212 213 214 215 216 217 218 218 Kunjungan Ibu Hamil K4 % 92,24 95 95 95 95 95 95 95 Dinas Kesehatan Jumlah Ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai

Lebih terperinci

BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN

BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN Prioritas dan sasaran merupakan penetapan target atau hasil yang diharapkan dari program dan kegiatan yang direncanakan, terintegrasi, dan konsisten terhadap pencapaian

Lebih terperinci

Indonesia Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Kuat Atau Sebaliknya?

Indonesia Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Kuat Atau Sebaliknya? Indonesia Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Kuat Atau Sebaliknya? Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, karena dengan tubuh yang sehat atau fungsi tubuh manusia berjalan

Lebih terperinci

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia? Di beberapa negara terutama negara berkembang, kesehatan ibu dan anak masih merupakan permasalahan besar. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka kematian

Lebih terperinci

UNGGULAN UTAMA RW SIAGA KESEHATAN

UNGGULAN UTAMA RW SIAGA KESEHATAN UNGGULAN UTAMA RW SIAGA KESEHATAN Untuk meningkatkan derajat masyarakat, Pemerintah Kelurahan Kedungmundu bersama lembaga masyarakat telah mengupayakan kegiatan/gerakan menuju masyarakat sehat yang diikuti

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Bekasi Sebagai salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah, maka Pemerintah Kota Bekasi terus berupaya mengelola sumber-sumber penerimaan

Lebih terperinci

MISI 5 Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesibilitas Kesehatan Masyarakat SATU AN

MISI 5 Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesibilitas Kesehatan Masyarakat SATU AN MISI 5 Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesibilitas Masyarakat No PROGRAM SI AWAL PENGGU NG WAB 1 Program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 Cakupan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh vektor masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam Berdarah Dengue

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kelurahan Sumur Batu Kelurahan merupakan salah satu dari delapan yang ada di Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat terdiri dari 7 Rukun Warga dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH... II Aspek Geografi Dan Demografi... II-2

DAFTAR ISI. BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH... II Aspek Geografi Dan Demografi... II-2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI Hal DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xix BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-4 1.3. Hubungan Antar Dokumen RPJMD

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 1 menyatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

Lebih terperinci

BAB IV SITUASI DERAJAT KESEHATAN KOTA BOGOR

BAB IV SITUASI DERAJAT KESEHATAN KOTA BOGOR 29 BAB IV SITUASI DERAJAT KESEHATAN KOTA BOGOR Pembangunan kesehatan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat semua orang sehingga terwujudnya derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB IV SITUASI DERAJAT KESEHATAN KOTA BOGOR

BAB IV SITUASI DERAJAT KESEHATAN KOTA BOGOR 29 BAB IV SITUASI DERAJAT KESEHATAN KOTA BOGOR Pembangunan kesehatan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat semua orang sehingga terwujudnya derajat kesehatan

Lebih terperinci

1. Seluruh Komponen Pelaku Pembangunan dalam rangka Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan Penyelenggaraan Tugas Pembangunan Daerah

1. Seluruh Komponen Pelaku Pembangunan dalam rangka Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan Penyelenggaraan Tugas Pembangunan Daerah PAPARAN MUSYAWARAH RENCANA PEMBANGUNAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BEKASI TAHUN 2014 Bekasi, 18 Maret 2013 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BEKASI PENDAHULUAN RENCANA KERJA PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia merupakan salah satu penyakit yang endemis, hingga sekarang angka kesakitan DBD cenderung meningkat dan angka Kejadian Luar

Lebih terperinci

Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rakhmatnya sehingga buku Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG BERKUALITAS Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dari Analisa Data Secara Integratif Untuk Menghasilkan Database Kecamatan dan Atlas adalah sebagai berikut: 1. Gambaran umum sejauh mana pencapain dari 7

Lebih terperinci

PROFIL DINAS KESEHATAN

PROFIL DINAS KESEHATAN PROFIL DINAS KESEHATAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2012 DINAS KESEHATAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrabbil alamiin. Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor tidak terlepas

Lebih terperinci

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan. kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan. kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas Kecamatan Matraman Tahun 2017 selesai disusun. Laporan Tahunan dan Profil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam

Lebih terperinci

RESUME PROFIL KESEHATAN DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2012

RESUME PROFIL KESEHATAN DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2012 RESUME PROFIL KESEHATAN NO A. GAMBARAN UMUM L P L + P Satuan 1 Luas Wilayah 37.116,5 Km 2 Tabel 1 2 Jumlah Desa/Kelurahan 5.918 Desa/Kel Tabel 1 3 Jumlah Penduduk 22.666.168 21.882.263 44.548.431 Jiwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah dicerminkan oleh besar kecilnya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan PDRB Per Kapita. Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) yang melaksanakan sebagian tugas dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di seluruh Indonesia, serta sering menimbulkan

Lebih terperinci

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor DATA/INFORMASI KESEHATAN KABUPATEN LAMONGAN Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI 2012 Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG A. GEOGRAFI Kota Bandung merupakan Ibu kota Propinsi Jawa Barat yang terletak diantara 107 36 Bujur Timur, 6 55 Lintang Selatan. Ketinggian tanah 791m di atas permukaan

Lebih terperinci

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit DBD banyak

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015 PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR 2015 Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015 1 BAB VI PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia yang jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN PELACAKAN KASUS KEMATIAN IBU/BAYI

KERANGKA ACUAN PELACAKAN KASUS KEMATIAN IBU/BAYI KERANGKA ACUAN PELACAKAN KASUS KEMATIAN IBU/BAYI I. PENDAHULUAN Saat ini status kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih jauh dari harapan, ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemapuan hidup sehat bagi setiap orang agar

BAB 1 : PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemapuan hidup sehat bagi setiap orang agar BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemapuan hidup sehat bagi setiap orang agar

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 3 TAHUN 2009 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 3 TAHUN 2009 T E N T A N G KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DI KABUPATEN CIREBON

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iii iv ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI. Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada

BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI. Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada 4.1. Profil Wilayah BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 49 29 Lintang Selatan dan 6 0 50 44

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat virus yang ditularkan oleh vektor nyamuk dan menyebar dengan cepat. Data menunjukkan peningkatan 30 kali lipat dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat diwujudkan jika masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan global di seluruh dunia dan sering terjadi di negara tropis dan sub tropis, terutama di daerah perkotaan

Lebih terperinci