BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Kekerasan. kekuasaan antara pelaku (bullies/bully) dengan korban (victim), pelaku pada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Kekerasan. kekuasaan antara pelaku (bullies/bully) dengan korban (victim), pelaku pada"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Kekerasan 1. Pengertian Perilaku Kekerasan di Sekolah Menurut Papler & Craig (2000) kekerasan atau bullying dapat diartikan sebagai bentuk agresi dimana terjadi ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan antara pelaku (bullies/bully) dengan korban (victim), pelaku pada umumnya memiliki kekuatan/kekuasaan lebih besar daripada korbannya. Sedangkan Coloroso (2007) menyebutkan, bahwa kekerasan akan selalu melibatkan empat komponen, yaitu ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut, dan terror. Sehingga, kekerasan merupakan suatu tindakan yang berulang, tidak hanya terjadi sekali dan pada tingkat yang lebih parah, teror akan menjadi tujuan utama kekerasan serta menjadikannya kekerasan sistematik untuk mengintimidasi dan memelihara dominasi. Menurut Riauskina, dkk (2005) mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara berulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Selain itu, Shin Kim dkk (2005) juga mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai suatu jenis kekerasan yang merupakan perilaku agresif yang dilakukan oleh para siswa yang memiliki kekuasaan yang dominan atas orang lain di sekolah. Dengan demikian, siswa yang commit mencoba to user mendominasi kekuasaannya kepada 15

2 16 orang lain cenderung akan melalukan perilaku kekerasan dan kekerasan yang dilakukan akan menyebabkan orang lain terluka secara fisik maupun psikis kepada orang lain. Perilaku kekerasan merupakan jenis kekerasan yang mengarah pada perilaku agresif. Perilaku agresif sendiri merupakan kata sifat dari perilaku agresi (Koeswara, 1988). Perilaku agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi yang sejatinya disengaja (Sarwono, 2005). Dari pernyataan diatas, terdapat persamaan antara perilaku agresif dengan kekerasan yaitu kesamaan melakukan serangan kepada orang lain. Terdapat pula perbedaan antara kekerasan dan perilaku agresif yang terletak pada jangka waktu melakukannya yaitu, pada kekerasan terjadi secara berkelanjutan dengan jangka waktu yang lama sehingga menyebabkan korban terus menurus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi, sedangkan perilaku agresif serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu yang pendek. Kekerasan dapat berbentuk secara langsung dan tidak langsung, sedangkan perilku agresif berbentuk secara langsung (Krahe, 2005) Kekerasan (bullying) sering juga disebut peer victimization dan hazing. Kekerasan adalah bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis seseorang atau kelompok yang lebih lemah oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih kuat. Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi didalam sebuah

3 17 kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah, dengan demikian disebut sebagai peer victimization (Wiyani, 2012) Sedangkan hazing adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok yang lebih senior berupa keharusan bagi junior untuk melakukan tugas-tugas memalukan, melecehkan bahkan juga menyiksa atau setidaknya menimbulkan ketidaknyamanan fisik maupun psikologis sebagai syarat penerimaan anggota baru sebuah kelompok. Kegiatan semacam ini dikenal dengan MOS (Masa Orientasi Siswa) yang biasanya sudah merupakan tradisi dari tahun ke tahun terutama di SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Umum) di Indonesia. (Wiyani, 2012) Kekerasan di sekolah terjadi di lingkungan sekolah, terutama di tempat-tempat yang bebas dari pengawasan guru maupun orang tua. Tempat yang umum terjadi kekerasan adalah di halaman sekolah, dikelas, di kamar mandi sekolah, dan sepanjang jalan/wilayah antara sekolah dan rumah (jalan, taman, mal, dan pasar) (Astuti, 2008). Akibatnya, sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi siswa, tetapi justru menjadi tempat yang menakutkan dan membuat trauma (Mudjijanti, 2011). Berdasarkan pengertian kekerasan diatas bahwa seseorang yang melakukan kekerasan adalah seseorang yang mempunyai kebiasaan berperilaku kejam dan mendominasi terutama terhadap korban yang lebih kecil atau orang yang lebih lemah. Seseorang yang lebih kecil atau lebih lemah di sebut dengan korban. Menurut Olweus (Murphy, 2009) seseorang dikatakan korban apabila orang tersebut diperlakukan secara negatif berulang-

4 18 ulang oleh satu atau lebih pelaku dalam berbagai kesempatan. Kekerasan bersifat sengaja, yaitu ditujukan untuk menyakiti korban baik secara emosi atau secara fisik. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang lebih besar, terhadap seorang siswa/siswi atau kelompok siswa/siswi yang lemah dengan tujuan untuk menyakiti secara fisik atau psikis yang terjadi di lingkungan sekolah. 2. Aspek-Aspek Perilaku Kekerasan di Sekolah Coloroso (2007) membagi kekerasan ke dalam tiga bentuk, yaitu kekerasan secara verbal, fisik, dan sosial. Bentuk-bentuk perilaku kekerasan tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut : a. Kekerasan Lisan, merupakan bentuk penindasan yang paling umum dilakukan, baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Carpenter dan Ferguson (2009) juga menyebutkan kekerasan lisan dan pemerasan sebagai bagian dari tipe kekerasan. Kekerasan lisan dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan dan penyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual. Kekerasan lisan juga dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon secara kasar, surat kaleng yang berisi ancaman dan intimidasi, tuduhan yang tidak benar, gosip yang keji dan keliru. Anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama menggunakan kekerasan lisan untuk mengintimidasi korbannya.

5 19 b. Kekerasan fisik, dapat berupa memukuli, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, mencakar, meludahi, menekuk anggota tubuh korban hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak dan menghancurkan barang-barang korban. Carpenter dan Ferguson (2009) juga menyebutkan kekerasan fisik sebagai salah satu tipe kekerasan. Kekerasan fisik lebih banyak digunakan anak laki-laki daripada anak perempuan. Perbedaan tersebut berkaitan dengan sosialisasi laki-laki dan perempuan secara budaya, yaitu anak laki-laki lebih cenderung bermain dalam kelompok besar dan disatukan oleh minat yang sama. Pada anak laki-laki, tatanan kekuasaan dalam kelompok tersebut dibentuk melalui perebutan posisi dominan yang lebih mengandalkan keberanian fisik daripada kecakapan intelektual. c. Kekerasan relasional atau sosial, dilakukan dengan cara melemahkan harga diri korban kekerasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, pengasingan, penolakan, atau penghindaran. Kekerasan relasional dapat berupa pandangan agresif, lirikan mata, helaan napas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar. Kekerasan relasional lebih banyak dilakukan anak perempuan daripada anak laki-laki. Selain kekerasan lisan, fisik dan pemerasan, Carpenter dan Ferguson (2009) juga menyebutkan kekerasan langsung dan tidak langsung, kekerasan sosial, relasional dan emosional serta cyberbullying sebagai bagian dari tipe kekerasan. Kekerasan langsung berkaitan dengan perilaku yang dilakukan langsung oleh pelaku kekerasan seperti kekerasan fisik dan lisan. Sementara

6 20 kekerasan tidak langsung berkaitan dengan intimidasi secara tidak langsung seperti penyebaran rumor atau gosip yang bertujuan untuk mengasingkan korban dari lingkungannya. Cyberbullying berkaitan dengan penyebaran intimidasi melalui media elektronik, media sosial atau telepon genggam. Sejalan dengan Coloroso, Sullivan (2000) mengelompokkan perilaku kekerasan menjadi dua kategori, antara lan : a. Kekerasan Fisik, contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang, mengunci, dan mengintimidasi korban didalam ruangan dngan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan merusak barang-barang milik korban, penggunaan senjata, dan perbuatan kriminal. b. Kekerasan Non-Fisik, terbagi menjadi bentuk lisan dan non-lisan. Lisan contohnya panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam atau mengintimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, dan meyebarluaskan kejelakan korban. Sedangkan non-lisan terbagi menjadi langsung dan tidak langsung. Non-lisan tidak langsung diantaranya adalah manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengajak atau mengikutsertakan, mengirim pesan untuk menghasut, curang, dan sembunyi-sembunyi. Non-lisan langsung contohnya, geakan kasar atas mengancam, menatap, menggeram, hentakan mengancam dan menakuti. Dari beberapa perilaku kekerasan dapat diketahui bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang

7 21 lain, serta lingkungan sekitarnya. Adapun aspek-aspek yang digunakan dalam pengukuran perilaku kekerasan di sekolah yang dikemukakan oleh Coloroso (2007), yaitu : Kekerasan Fisik antara lain: menusuk, mendorong, memukul, menendang dan memukul; Kekerasan Lisan antara lain: berteriak, menggoda, memanggil julukan, menghina, dan mengancam untuk menyakiti orang lain; dan Kekerasan Relasional antara lain: penolakan, tidak mengikutsertakan, menyebarkan gosip, berbohong dan meminta orang lain untuk menyakiti seseorang. 3. Pembagian Peran dalam Perilaku Kekerasan di Sekolah Menurut Coloroso (2007), peran dalam perilaku kekerasan di sekolah terbagi menjadi tiga yaitu pelaku, korban dan penonton. Pembagian peran dalam kekerasan tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut : a. Pelaku atau penindas Perilaku Kekerasan di Sekolah Brofenbrenner (dalam Coloroso, 2007) menyatakan bahwa, faktor temperamen bawaan sejak lahir, pengaruh lingkungan, dan budaya (termasuk media) merupakan beberapa faktor pendorong perilaku kekerasan. Teori ekologi yang disampaikan oleh Brofenbrenner menyatakan, bahwa perkembangan sosiokultural anak terjadi dalam lima sistem lingkungan yaitu: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem (Santrock, 2007). Individu dengan temperamen bawaan sejak lahir berinteraksi dalam mikrosistem yang merupakan interaksi sosial individu dengan sekolah, keluarga, teman sebaya, dan lingkungan tempat tinggal. Kondisi-kondisi mikrosistem yang

8 22 menyuburkan perilaku kekerasan akan membuat individu belajar berperilaku agresif dari lingkungannya. Coloroso (2007) mengemukakan mengenai sifat-sifat yang biasa dimiliki oleh pelaku bullying: 1) Suka mendominasi orang lain dan memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan, 2) Sulit melihat situasi dari titik pandang orang lain karena hanya peduli pada keinginan dan kesenangan mereka sendiri, bukan pada kebutuhan, hakhak, dan perasaan-perasaan orang lain, 3) Cenderung melukai anak-anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka, 4) Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai mangsa, 5) Menggunakan kesalahan, kritikan, dan tuduhantuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan penindas terhadap target, 6) Tidak mau bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan, 7) Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan, tidak mampu memikirkan konsekuensi jangka pendek, jangka panjang serta akibat yang tidak diinginkan dari perilaku yang dilakukan, dan 8) Haus perhatian. b. Korban Perilaku Kekerasan di Sekolah Korban kekerasan merupakan sasaran dari seorang pelaku atau sekelompok pelaku. Korban kekerasan dipilih menjadi obyek hinaan kemudian menjadi penerima agresi secara lisan, fisik, atau relasional hanya karena berbeda dalam hal-hal tertentu.

9 23 Karakteristik korban kekerasan menurut Coloroso (2007) antara lain : 1) Anak baru di lingkungan itu, 2) Anak termuda di sekolah, 3) Anak yang pernah mengalami trauma, 4) Anak penurut, pencemas, kurang percaya diri, dan mudah dipimpin, 5) Anak yang perilakunya dianggap mengganggu bagi orang lain, 6) Anak yang tidak mau berkelahi dan lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, 7) Anak yang pemalu, gugup, dan pendiam, 8) Anak yang miskin atau kaya, 9) Anak dengan orientasi gender, seksual, atau agamanya dipandang inferior, 10) Anak yang cerdas, berbakat atau memiliki kelebihan, 11) Anak yang merdeka, tidak mempedulikan status sosial serta tidak berkompromi dengan normanorma, 12) Anak yang siap mengekspresikan emosinya sewaktu-waktu, 13) Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung, 14) Anak yang berjerawat atau punya masalah kondisi kulit lainnya, 15) Anak yang memiliki ciri fisik berbeda dari mayoritas anak lainnya, 16) Anak dengan ketidakcakapan fisik atau mental, dan 17) Anak yang berada di tempat keliru pada saat yang salah. c. Penonton Para penonton adalah kelompok ketiga dari pembagian peran dalam bullying. Penonton merupakan peran pendukung yang membantu dan mendorong pelaku secara aktif, bisa berdiam diri atau memandangi saja, atau bergabung dan menjadi salah satu dari gerombolan pelaku. Alasan berikut ini adalah pembenar yang paling sering dipakai untuk tidak ikut campur: 1) Sang penonton takut dirinya tersakiti, 2) Penonton takut

10 24 menjadi korban baru, 3) Penonton takut melakukan sesuatu yang hanya akan memperburuk situasi, 4) Penonton tidak tahu tindakan yang harus dilakukan, 5) Pelaku adalah temannya sendiri, 6) Perasaan bahwa kejadian tersebut bukan urusan penonton, 7) Tidak mengenal anak yang menjadi korban, 8) Takut kehilangan status dalam kelompok ketika membantu korban, 9) Perasaan bahwa anak tersebut memang layak menjadi korban dan menyebabkan perilaku bullying itu sendiri, 10) Anak-anak memiliki aturan sikap diam yang sangat kuat, 11) Lebih baik menjadi anggota kelompok daripada mempertahankan orang yang terbuang, dan 12) Menolong korban akan menambah beban berat pada otak. Berdasarkan uraian di atas, terdapat pembagian peran dalam perilaku kekerasan di sekolah yang meliputi pelaku, korban, dan penonton. Penelitian ini memfokuskan pada korban kekerasan karena korban merupakan seseorang yang menjadi sasaran utama atau target yang cenderung memilki keunikan atau karakteristik tertentu oleh pelaku kekerasan. Pelaku cenderung memberikan pemahaman yang salah terhadap korban sehingga pelaku akan cenderung melekukan kekerasan secara berulang-ulang kepada korban. Dengan demikian, korban akan selalu menjadi pusat perhatian oleh pelaku kekerasan. 4. Faktor-Faktor Timbulnya Perilaku Kekerasan Tindakan kekerasan mencerminkan bahwa perilaku tersebut adalah masalah penting yang dapat terjadi di sekolah, jika tidak terjadi hubungan sosial yang akrab oleh sekolah terhadap suatu komunitasnya antara lain ;

11 25 murid, guru, masyarakat sekitar dan orang tua murid. Maka Sullivan, dkk (2004) menyimpulkan faktor-faktor timbulnya kekerasan di sekolah antara lain : a) Perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, gender, etnis/rasis b) Senioritas, sebagai salah satu perilaku kekerasan seringkali diperluas oleh siswa sendiri sebagai sebagai kejadian yang bersifat laten/ wajib. Keinginan mereka untuk melanjutkan masalah senioritas adalah untuk hiburan, penyaluran dendam, iri hati, atau mencari popularitas, melanjutkan tradisi atau untuk menunjukkan kekuasaan. c) Keluarga yang tidak rukun d) Situasi sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif e) Karakter individu/kelompok, seperti berikut ; 1) Dendam atau iri hari; 2) Adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik dan daya tarik seksual; 3) Untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan (peer-group); 4) Pemahaman nilai yang salah atas perilaku korban. Menurut Psikolog Seto Mulyadi (dalam Mudjijanti, 2011) munculnya perilaku kekerasan di sekolah, disebabkan karena ; a) Saat ini remaja Indonesia penuh tekanan, terutama yang datang dari sekolah akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang terlalu

12 26 kaku. Sehingga sulit bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya. Penyalurannya lewat kejahilan-kejahilan dan menyiksa b) Budaya feodalisme yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu penyebab kekerasan, wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah harus nurut sama yang atas. Berdasarkan uraian diatas, maka faktor-faktor timbulnya perilaku kekerasan di sekolah dalam penelitian ini mengacu pada teori yang di kemukakan oleh Sullivan, dkk (2004) yang meliputi faktor perbedaan kelas, faktor senioritas, faktor keluarga, faktor situasi disekolah, dan faktor karakteristik dalam individu sendiri yang terdiri dari : dendam atau iri hari, adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik dan daya tarik seksual, untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan (peer-group), dan pemahaman nilai yang salah atas perilaku korban. B. Iklim Sekolah 1. Pengertian Iklim Sekolah Kata iklim biasanya dihubungkan dengan suasana atau kondisi udara di lingkungan tertentu. Iklim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) berarti (1) keadaan hawa (suhu, kelembapan, perawanan, hujan dan sinar matahari) pada suatu daerah dalam jangka waktu yang agak lama ; (2) suasana; keadaan. Iklim ada tetapi tidak dapat dilihat dan tidak dapat disentuh dan memiliki pengaruh dalam perilaku manusia yang ada didalamnya. Istilah

13 27 iklim dalam konteks organisasi atau suatu institusi, memiliki pengertian senada dengan pengertian iklim diatas. Definisi iklim sekolah tidak luput dari pengertian iklim itu sendiri. Sifat dan suasana yang ada di sekolah adalah hasil interaksi antara guru dan murid serta masyarakat yang terdapat disekolah tersebut secara keseluruhan. Iklim sekolah sebagai suatu fenomena sistem sosial yang membentuk di lingkungan proses belajar mengajar. Fenomena ini berlaku karena murid terdiri dari berbagai latar belakang dan pengalaman yang berbeda berada dalam satu kelompok dimana tingkah laku murid banyak bergantung pada guru dan lingkungan sekolah. Sehingga iklim sekolah dapat didefinisikan sebagai suasana yang menggambarkan sekolah yang teratur, aman, tenang dan tertib dan dapat memberikan suatu keadaan yang kondusif dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang sesuai tujuan pendidikan dan positif (Taat dkk, 2012) Menurut Freiberg (1999) iklim sekolah dapat diartikan sebagai suasana atau kualitas dari sekolah untuk membantu individu masing-masing merasa berharga secara pribadi, bermartabat dan penting sehingga dapat membantu terciptanya suatu perasaan memiliki terhadap segala sesuatu di sekitar lingkungan sekolah. Sedangkan menurut Hoy dan Miskel (1987) mendefinisikan iklim sekolah sebagai kualitas dari lingkungan sekolah yang terus menerus dialami oleh guru-guru, mempengaruhi tingkah laku dan berdasar pada persepsi kolektif tingkah laku.

14 28 Hoy dan Miskel (1987) juga berpendapat bahwa Organizatinal climate is a broad concept that donates members shared perceptions of tone or character of workplace ; it is a set of internal characteristics that distinguishes one school from another and influences the behavior of people in schools. Iklim organisasi merupakan konsep yang luas yang diketahui anggota mengenai persepsi berbagi terhadap sifat atau karakter tempat kerja, ini merupakan karakteristik internal yang membedakan antara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya dan mempengaruhi orang-orang yang ada di sekolah. Sementara Sergiovanni & Startt (dalam Hadiyanto,2004) mendefinisikan iklim sekolah sebagai karakteristik yang ada, yang menggambarkan cirri-ciri psikologis dari suatu sekolah tertentu, yang membedakan suatu sekolah dari yang lain, mempengaruhi tingkah laku guru dan para murid didik dan merupakan persaan psikologis yang dimiliki guru dan murid didik di sekolah tertentu. Iklim sekolah merupakan karakteristik dari keseluruhan lingkungan pada suatu bangunan sekolah. Interaksi yang terjadi dalam lingkungan sekolah meupakan indikasi adanya keterkaitan satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Untuk terjalinnya interaksi-interkasi yang melahirkan hubungan yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif diperlukan iklim sekolah yang positif. Dengan demikian, iklim sekolah memegang peranan penting dalam menjaga suasana kehidupan pergaulan di lingkungan sekolah.

15 29 Iklim sekolah memiliki peran yang penting bagi penyelenggaraan proses belajar mengajar disekolah. Menurut Marshall (2004) mengemukakan pentingnya peran iklim sekolah bagi berbagai pihak, sebagai berikut.: a. Iklim sekolah dapat mempengaruhi banyak orang di sekolah. Misalnya, iklim sekolah yang positif telah dikaitkan dengan emosi dan perilaku siswa yang bermasalah. b. Iklim sekolah di perkotaan berisiko tinggi menunjukkan bahwa lingkungan yang positif, mendukung, dan budaya sadar iklim sekolah signifikan dapat membentuk kesuksesan siswa perkotaan dalam memperoleh gelar akademik. Para peneliti juga menemukan bahwa iklim sekolah yang positif memberikan perlindungan bagi anak dengan lingkungan belajar yang mendukung serta mencegah perilaku antisosial. c. Hubungan interpersonal yang positif dan kesempatan belajar yang optimal bagi siswa di semua lingkungan demografis dapat meningkatkan prestasi dan mengurangi perilaku maladaptive. d. Iklim sekolah yang positif berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja bagi personil sekolah. e. Iklim sekolah dapat memainkan peran penting dalam menyediakan suasana sekolah yang sehat dan positif. f. Interaksi dari berbagai sekolah dan faktor iklim kelas dapat memberikan dukungan yang memungkinkan semua anggota komunitas sekolah untuk mengajar dan belajar dengan optimal.

16 30 g. Iklim sekolah, termasuk kepercayaan, menghormati, saling mengerti kewajiban, dan perhatian untuk kesejahteraan lainnya, memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidik dan peserta didik, hubungan antar peserta didik, serta prestasi akademis dan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Iklim sekolah yang positif merupakan lingkungan yang kaya, untuk pertumbuhan pribadi dan keberhasilan akademis. Maka dapat diketahui bahwa iklim sekolah adalah suasana atau kualitas dari lingkungan sekolah yang memiliki karakteristik berbeda antara satu sekolah dengan sekolah yang lain dan dapat mempengaruhi tingkah laku setiap individu yang ada didalamnya termasuk para guru dan para murid didik, dan dapat memberikan suatu proses pembelajaran dan pengajaran yang kondusif demi terciptanya tujuan pendidikan. Iklim sekolah yang positif memberikan hubungan yang harmonis antara guru dan murid, sehingga memacu murid untuk dapat mengutarakan tentang ketidaknyamanan yang terjadi di sekolah tanpa ada rasa takut akan ancaman yang diberikan. Iklim sekolah yang positif akan membentuk murid-murid menjadi pribadi yang memiliki keyakinan yang tinggi dan dapat mencegah perilaku anti sosial. 2. Aspek-Aspek Iklim Sekolah Kassabri, dkk (2005) membagi aspek-aspek iklim sekolah menjadi tiga yaitu : a. Kejelasan peraturan sekolah terhadap perilaku kekerasan, kejelasan ini terjadi secara konsisten dan peraturan yang adil.

17 31 Meliputi pertimbangan para siswa mengenai kebijakan sekolah atau prosedur yang mengarah pada pengurangan kekerasan. b. Dukungan yang diberikan guru terhadap siswa. Meliputi hubungan guru dan siswa yang dapat mendukung siswa. c. Sejauh mana keterlibatan siswa dalam pembuatan keputusan dan rancangan intervensi untuk pencegahan kekerasan di sekolah. Hal ini dapat dilihat dengan bagaimana peran siswa dalam melihat isu kekerasan di sekolah. Menurut Cohen, dkk (2008) terdiri dari sepuluh dimensi yang dikategorikan menjadi empat aspek, seperti berikut : a. Safety (Keamanan) Merasakan aman dalam aspek social, emosional, intelektual dan fisik. Rasa aman merupakan kebutuhan dasar manusia. Keamanan sekolah yang tinggi akan memberikan pembelajaran yang kondusif. b. Relationship (Hubungan) Proses belajar mengajar merupakan hal yang penting dalam sekolah, akan tetapi interaksi yang sesuai dengan norma, tujuan dan nilai-nilai merupakan suatu hubungan yang menjadi landasan penting bagi iklim sekolah. c. Teaching and Learning (Pengajaran dan Pembelajaran) Pihak-pihak sekolah seperti guru maupun kepala sekolah harus dapat menerapkan norma-norma, tujuan, dan nilai yang membentuk proses belajar mengajar belajar di sekolah dapat berjalan dengan baik.

18 32 d. Environment (Lingkungan) Menggambarkan kondisi lingkungan fisik dan partisipasi orang-orang yang berada di lingkungan sekolah. ruang sekolah berdampak pada keselamatan dan keamanan, dan orang-orang seperti orang tua mendukung segala kegiatan di sekolah. Selain itu, menurut Haynes, dkk (1993) aspek-aspek iklim sekolah dibagi menjadi enam, seperti berikut : a. Achievment Motivation (Motivasi Berprestasi) Para siswa disekolah meyakini bahwa mereka dapat melaksanakan proses belajar mengajar dan bersedia untuk melakukan proses belajar mengajar. b. Fairness (Keadilan) Memberikan perlakuan yang sama terhadap murid tanpa memandang etnis dan status ekonomi sosial c. Order And Dicipline (Ketertiban dan Kedisiplinan) Para siswa memperilihatkan perilaku yang sesuai dengan peraturanperaturan yang ada di sekolah. d. Parent Involvement (Keterlibatan Orang Tua) Tingkat keterlibatan orang tua dalam mendukung kegiatan di sekolah. e. Sharing of Resources ( Berbagi Sumber Daya) Memberikan kesempatan yang sama murid dalam kegiatan-kegiatan di sekolah. f. Student Interpersonal Relations ( Hubungan Interpersonal Murid) Tingkat kepedulian, rasa menghormati, dan kepercayaan antar siswa di sekolah.

19 33 g. Student-Teacher Relations ( Hubungan antara Murid dan Guru) Tingkat kepedulian, rasa menghormati, dan kepercayaan antara murid dan guru di sekolah. Dari berbagai aspek yang dikemukakan oleh para ahli di atas, peneliti dalam penelitian ini menggunakan aspek iklim sekolah menurut Cohen dkk, (2008) dan Haynes dkk, (1993) yaitu: Relationship (hubungan), Order and Dicipline (ketertiban dan Kedisplinan), Fairness (Keadilan), dan Enviroment (Lingkungan). Aspek ini dipilih karena lebih komprehensif dan sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah Menurut Everard dkk (2004) factor-faktor yang mempengaruhi iklim sekolah, antara lain : a. Pemimpin yang kuat Sekolah efektif mempunyai kepemimpinan yang kuat. Kepala sekolah tidak hanya ingin stafnya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, tetapi bahkan memberikan mereka kesempatan untuk mencoba hal-hal baru dan bahkan hak untuk gagal. b. Kejelasan Misi Sekolah Di sekolah yang baik, kepala sekolah dan guru-guru dapat mengembangkan visi bersama, bagaimana visi dan misi itu seharusnya dilakukan, dikembangkan oleh semua anggota dalam lingkungan sekolah.

20 34 c. Sekolah Memiliki Iklim yang Aman dan Tertib Sekolah harus memiliki haraapan yang tinggi dan toleransi atas kesalahan. Sekolah harus memberikan peluang umtuk merasa aman dan nyaman, sehingga ruang gerak disekolah tidak terbatas dan murid tidak merasa ketakutan, dan merasakan nyaman dalam melakukan segala aktivitas di sekolah. d. Memantau Kemajuan Siswa Sekolah yang baik memiliki kejelasan dalam meningkatkan kemajuan siswanya. Sekolah secara jelas mendokumentasikan kelas dan kemajuan siswanya di sekolah, dalam hal akademik atau lainnya. Siswa memiliki rasa yang jelas tentang apa yang dilakukannya di sekolah. Sehingga guru dapat memberikan pengawasan yang baik terhadap kegiatan murid di sekolah. e. Harapan yang Tinggi Di sekolah yang baik, guru memegang harapan yang tinggi bahwa siswa dapat belajar dan mereka dapat mencapai harapan tersebut delam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Guru menetapkan tujuan, berkerja sesuai dengan tujuan, dan secara aktif memberikan pengawasan terhadap perkembangan siswa sehingga guru di sekolah yakin bahwa isiswa di sekolah dapat berhasil.

21 35 C. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Dalam kehidupan seseorang, harga diri atau self esteem merupakan aspek kepribadian yang memiliki peran penting dan berpengaruh terhadap perilaku individu. Menurut teori Maslow, dijelaskan ada lima tingkat kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan yang bersifat fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki-dimiliki, kebutuhan penghargaan (menjurus pada kepercayaan diri sendiri dan harga diri), dan kebutuhan aktualisasi diri (Sobur, 2003). Jadi, setiap individu menganggap harga diri sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi bagi diri sendiri. Harga diri merupakan tingkat individu terhadap kepuasan dirinya, menerima dirinya, menghargai dirinya, dan mencintai dirinya, sehingga dapat dikatakan bahwa harga diri merupakan tingkat kebanggaan individu terhadap dirinya sendiri (Setiawan, 2005) Hal yang sama disampaikan oleh Santrock (2007), harga diri merupakan dimensi evaluasi yang menyeluruh dari diri. Contohnya, seorang remaja dapat menilai dirinya sendiri bahwa dirinya seseorang yang baik atau seseorang yang tidak baik. Selain itu, Sobur (2003) mengungkapkan harga diri merupakan bagian yang meliputi suatu penilaian, suatu perkiraan dan mengenai kepantasan diri (self worth). Misalnya, saya peramah, saya pandai, dan sebagainya. Jadi, setiap individu mempunyai penilaian masing-masing terhadap dirinya sendiri, bisa kearah yang positif atau negatif.

22 36 Sarwono dan Meinarno (2009) menyatakan bahwa harga diri merupakan penilaian atau evaluasi terhadap dirinya, secara positif maupun negatif sehingga mempengaruhi tingkah laku sosial. Sejalan dengan pernyataan Baron daan byrne (2004) harga diri adalah evaluasi terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif atau tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi berarti individu tersebut menyukai diri sendiri, memfokuskan diri pada kekuatan mereka, dan mampu mengingat peristiwa yang menyenangkan dengan lebih baik, sehingga akan membantu dalam mempertahankan evaluasi diri yang positif. Individu dengan harga diri rendah memiliki ketrampilan sosial yang tidak memadai, merasa kesepian, dan merasa depresi. Menurut Branden (1992) bahwa harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri dengan penghormatan diri. Harga diri menggambarkan keputusan seseorang secara implisit atas kemampuan dalam mengatasi tantangan-tantangan kehidupan dan hak seseorang untuk menikmati kebahagiaan. Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang merupakan kunci terpenting dalam pembentukan perilaku seseorang karena hal tersebut berpengaruh pada proses berfikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, bahkan nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah disebutkan, dapat dipahami bahwa harga diri adalah suatu evaluasi atau penilaian terhadap dirinya sendiri dalam rentang positif sampai negatif atau tinggi sampai rendah sehingga mempengaruhi tingkah laku individu dalam mengatasi berbagai tantangan-

23 37 tatangan kehidupan dan dapat menikmati kebahagian, serta adanya perasaan bahwa dirinya mampu, penting, dan berharga. 2. Aspek-Aspek Harga Diri Aspek-aspek harga diri menurut Kostelnik (2002) sebagai berikut : a. Competence (Kemampuan) Keyakinan seseorang terhadap diri sendiri yang memiliki kemampuan dan dapat menyelesaikan tugas dan mencapai suatu tujuan. b. Worth (Kepantasan) Perasaan dan penilaian individu bahwa menyukai diri sendiri sama halnya dengan orang lain yang menilai individu tersebut dengan baik. c. Control (Kontrol) Keyakinan individu yang dapat mempengaruhi suatu hasil atau peristiwa didalam kehidupan sehari-hari. d. Belonging (Perasaan Memiliki) Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dapat diterima serta dihargai oleh anggota kelompoknya. Individu akan memiliki nilai yang positif pada diri sendiri apabila mengalami perasaan diterima atau menilai dirinya sebagai bagian dari kelompok. Beberapa aspek-aspek harga diri yang lain disampaikan oleh Branden (1992), antara lain : a. Self efficacy (Keyakinan Diri) Keefektifan diri mempunyai keyakinan dalam pemikiran, kemampuan berpikir, kemampuan penilaian, kemampuan memilih, kemampuan

24 38 memutuskan, kemampuan untuk memahami minat dan kebutuhan, dan kepercayaaan diri. b. Self respect (Penghormatan Diri) Suatu sikap untuk mencapai hak pribadi untuk hidup dan bahagia, kenyamanan dalam menegaskan pemikiran, kenyamanan dalam keinginan, kenyamanan dalam kebutuhan, serta perasaan bahagia merupakan bagian dari hidup. Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, maka peneliti dalam penelitian ini menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Kostelnik (2002) dan Branden (1992) yaitu kemampuan, kepantasan, perasaan memiliki dan penghormatan diri. Aspek tersebut digunakan karena lebih komprehensif dan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini. 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri Ghufron & Risnawita (2010) menyatakan harga diri dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interkasi individu dengan lingkungan dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga dri dapat di bedakan menajdi dua kelompok, yaitu faktor internal seperti jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik individu dan faktor eksternal seperti lingkungan sosial, sekolah, dan keluarga. Berikut faktor yang mempengaruhi harga diri : 1. Jenis kelamin Wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu, kepercayaan diri yang kurang, dan merasa harus

25 39 dilindungi. Hal ini mungkin terjadi karena peran orang tua dan harapanharapan berbeda baik pada pria maupun wanita. 2. Intelegensi Intelegensi sebagai gambaran lengkap mengenai kapasistas fungsional individu sangat erat kaitannya dengan prestasi kaena pengukuran intelegensi selalu berdasarkan kemampuan akademis. 3. Kondisi Fisik Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik, 4. Lingkungan Keluarga Peran keluarga sangat menentukan bagi perkembangan harga diri anak. Dalam keluarga, seorang anak untuk pertama kalinya mengenal orang tua yang mendidik dan membesarkan serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih besar, keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar untuk mencapai perkembangan harga diri anak yang baik. 5. Lingkungan Sosial Pembentukan harga diri dimulai dari seseorang menyadari dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepada dirinya. Harga diri remaja dipengaruhi beberapa hal dalam kehidupannya. Penampilan fisik remaja sangat mempengaruhi harga diri remaja (Santrock, 2007). Menurunnya harga diri remaja dapat dikarenakan bentuk tubuh mereka yang mengalami perubahan di masa pubertas. Mereka mengalami rasa tidak

26 40 nyaman, takut, dan malu dengan perubahan yang terjadi pada perubahan tubuh mereka. Hal lain yang mempengaruhi harga diri remaja adalah konteks sosial, seperti keluarga, teman, dan sekolah (Santrock, 2007). Jumlah waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul bersama, kualitas komunikasi antar anggota keluarga, keterlibatan remaja dalam pengambilan keputusan di keluarga. Penilaian teman-teman sebaya terhadap diri remaja menilai diri mereka sendiri. Remaja akan membandingkan diri mereka dengan temantemannya dalam bergaul. Berdasarkan beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri menurut Ghufron & Risnawita (2010) dan Santrock (2007) adalah lingkungan keluarga, lingkungan sosial, perilaku yang tertekan karena mengalami kegagalan, dan perubahan fisik yang dialami oleh remaja. D. Hubungan antara Iklim Sekolah dan Harga Diri dengan Perilaku Kekerasan 1. Hubungan antara Iklim Sekolah dan Perilaku Kekerasan Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku seseorang. Pengaruh lingkungan sekolah juga dapat menentukan kualitas iklim sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoy & Miskel (1987) bahwa iklim sekolah merupakan salah satu ciri yang membedakan antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Iklim sekolah adalah suasana yang terjadi dalam organisasi di sekolah yang diciptakan oleh pola hubungan antar pribadi dalam

27 41 suatu sekolah (Koehler dkk,1981). Dengan demikian, iklim masing-masing di sekolah akan berbeda-beda dengan yang lain. Hal ini di sebabkan karena setiap sekolah mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi perilaku murid-murid di sekolah tersebut. Iklim sekolah menjadi peran penting bagi timbulnya perilaku kekerasan di sekolah. Perilaku kekerasan yang terjadi di sekolah tidak memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa yang menjadi korban kekerasan di sekolah, sehingga siswa akan merasa takut dan terintimidasi, rendah diri serta tidak berharga, sulit berkonsentrasi dalam belajar, jarang masuk sekolah, akademis menurun dan dengan lingkungan di sekolah sulit untuk bersosialisasi (Sejiwa, 2008). Dengan demikian, sekolah dapat menyediakan suatu iklim sekolah yang nyaman dan kondusif bagi anak dalam berkembang secara akademis, hubungan interpersonal, emosional dalam berperilaku di sekolah. Guru merupakan unsur yang terdapat dalam iklim sekolah, guru memberikan peran yang penting dalam menghasilkan iklim sekolah yang positif. Hubungan yang baik antara guru dan murid dapat mempengaruhi timbulnya iklim sekolah yang positif. Akan tetapi, siswa yang menjadi korban kekerasan merasakan kurangnya dukungan dan pengawasan yang diberikan oleh guru. Siswa tersebut merasakan hubungannya yang kurang baik dengan guru, sikap guru yang kurang peduli terhadap siswa membuat siswa enggan untuk bersikap terbuka dalam menceritakan yang terjadi dalam dirinya.

28 42 Terkadang guru bersikap membeda-bedakan antara satu siswa dengan siswa yang lain seperti contoh ; siswa yang memiliki kemampuan lebih akan mendapat perhatian yang lebih sedangkan siswa yang memiliki kemampuan biasa kurang mendapatkan perhatian. Sama halnya dengan para korban, kurangnya perhatian yang diberikan oleh guru akan membuat korban merasa malu dan merasa takut menceritakan kepada guru karena pelaku akan memberikan ancaman yang membuat siswa sakit secara fisik maupun psikis. Selain dukungan yang diberikan oleh guru, pengawasan dalam setiap kegiatan siswa disekolah merupakan tanggung jawab bagi pihak sekolah khususnya pada guru. Guru yang kurang memberikan pengawasan mengakibatkan timbulnya perilaku kekerasan terhadap korban akan bertambah. Guru memberikan tanggung jawab sepenuhnya terhadap siswa yang dianggapnya dapat dipercaya. Akan tetapi, terkadang kepercayaan tersebut disalahartikan oleh siswa sendiri. Siswa merasa berkuasa dan dapat melakukan apapun tanpa sepengetahuan guru tersebut. Biasanya siswa yang menjadi korban akan mendapatkan ancaman apabila melaporkan kepada guru. Pengalaman anak selama di sekolah merupakan suatu fundamental dalam kesuksesan transisinya menjadi orang dewasa. Di sekolah yang merupakan tempat menanamkan kemampuan-kemampuan interpersonal, menemukan dan menyaring kekuatan dan perjuangan atas kemungkinankemungkinan sesuatu yang melukai diri mereka. Oleh karena itu, pentingnya iklim sekolah dalam mengurangi korban kekerasan di sekolah harus di landasi oleh kejelasan peraturan sekolah terhadap perilaku kekerasan, dukungan yang

29 43 diberikan guru terhadap siswanya, dan sejauh mana keterlibatan siswa dalam pembuatan keputusan dan rancangan intervensi untuk pencegahan kekerasan di sekolah (Kassabri dkk, 2005). Sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh Ma (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa sekolah yang memiliki standar akademis yang tinggi, keterlibatan orang tua yang tinggi, dan disiplin yang efektif, cenderung memperlihatkan perilaku kekerasan di sekolah yang lebih sedikit. Freiberg (dalam Ross dan Lowther, 2003) bahwa iklim sekolah yang positif akan meningkatkan performasi staff atau pihak-pihak di sekolah, mempromisikan moral yang lebih tinggi, serta meningkatkan prestasi para murid di sekolah. Sehingga dengan adanya iklim sekolah yang positif akan mengurangi adanya tindak kekerasan di sekolah, sesuai dengan penelitian Kassabri dkk (2005) bahwa iklim sekolah yang positif berhubungan dengan rendahnya tingkat korban kekerasan di sekolah, Hal ini turut juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Magfirah dan Rachmawati (2010) menyatakan bahwa semakin positif iklim sekolah maka akan semakin rendah perilaku kekerasan di sekolah dan sebaliknya, semakin negatif iklim sekolah maka semakin tinggi perilaku kekerasan di sekolah. 2. Hubungan antara Harga Diri dan Perilaku Kekerasan Harga diri dapat mempengaruhi inisiatif siswa dan rentan untuk memperlihatkan perilaku anti-sosial maupun pro sosial (Baumeister dkk, dalam Santrock 2007). Harga diri merupakan bagian dari terbentukanya karakteriktik seseorang, seseorang yang memiliki harga diri maka akan

30 44 memperilhatkan perilaku pro sosial sebaliknya apabila seseorang yang tidak memiliki harga diri akan cenderung melakukan perilaku anti sosial. Harga diri menurut Santrock (2007) bahwa harga diri merupakan dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri. Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi ditandai dengan mempertahankan dirinya sebagai sesuatu yang sangat berharga dan memandang segala sesuatu dengan positif. Harga diri memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri sebagaimana seperti perasaannya dinilai oleh orang lain (Kostelnik, 2002). Penilaian terhadap dirinya merupakan manisfestasi terhadap perilaku yang dilakukan orang lain pada dirinya. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi mempunyai keyakinan diri akan kemampuannya, dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan sehingga tingkat kecemasan rendah serta memiliki ketahanan diri yang seimbang. Sebaliknya, jika individu tidak dapat mengembangkan harga diri dengan baik maka individu akan mengalami tingkat kecemasan yang tinggi dan tidak dapat mempertahankan diri dengan seimbang dan tidak dapat terhindar dari kekerasan. Peran orang tua sangat membantu dalam perkembangan harga diri, kasih sayang dan pengawasan yang diberikan orang tua di rumah memberikan pengaruh yang baik dalam harga diri anak. Menurut Wells & Peterson (dalam Mruk, 2006) orang tua menunjukkan kepada anak tentang rute dari harga diri, melalui bagaimana anak dapat mengatasi konflik dan tantangan yang dihadapi. Seorang anak akan cenderung mengikuti pola perilaku orang tuanya, sehingga

31 45 dapat dikatakan akibat dari perilaku orang tua terhadap harga diri tidak dapat ditolak. Peran guru di sekolah juga memberikan dampak terhadap harga diri anak, guru memberikan kepercayaan dan dukungan akan berpengaruh terhadap harga diri. Kurangnya dukungan, keterlibatan seorang murid dalam kegiatan disekolah dan diskriminatif mengakibatkan anak mengalami harga diri yang rendah. Perkembangan seseorang dalam meningkatkan kognitif, memperluas pemahaman diri dan meningkatkan penerimaan diri dapat membantu mengontrol seseorang dalam mempertahankan harga dirinya. Seseorang yang memiliki harga diri dapat mengembangkan pengalaman yang penuh pemikiran, perasaan dan nilai penerimaan diri serta dapat menghargai martabatnya sebagai manusia (Coopersmith dalam Branden, 1992). Dengan demikian, apabila seseorang yang memiliki harga diri rendah maka penerimaan diri yang kurang. Kurangnya penerimaan diri seseorang dapat memandang dirinya tidak berharga dan tidak memiliki kemampuan dalam segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan penerimaan terhadap keadaannya fisik. Dengan keadaan tersebut maka seseorang akan lebih mudah untuk mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh teman sebayanya terutama terjadi di sekolah. Uraian diatas menunjukkan bahwa individu yang dapat mempertahankan harga dirinya maka akan cenderung dapat menerima keadaan dalam dirinya dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sekolah. Sedangkan ketidakmampuan individu dalam

32 46 mempertahankan harga diri maka akan membuat individu untuk menjadi korban kekerasan terhadap teman sebayanya di sekolah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Septriana dkk (2009) bahwa jika harga diri tinggi maka perilaku kekerasan terjadi rendah, sebaliknya jika harga diri rendah maka perilaku kekerasan yang terjadi akan semakin tinggi. 3. Hubungan antara Iklim Sekolah dan Harga Diri dengan Perilaku Kekerasan di Sekolah Dewasa ini masalah kekerasan sudah menjadi bahan perbincangan di media massa maupun media cetak, terutama masalah kekerasan yang terjadi di sekolah yang disebut dengan kekerasan di sekolah. Kekerasan di sekolah yang sudah menimbulkan beberapa korban biasanya menjadi sorotan, akan tetapi ada juga sekolah yang masih merahasiakan terjadinya kekerasan di sekolah. Menurut Olweus (Murphy, 2009) seseorang dikatakan menjadi korban kekerasan di sekolah apabila orang tersebut diperlakukan secara negatif berulang-ulang oleh satu atau lebih pelaku dalam berbagai kesempatan. Biasanya seseorang tersebut mendapatkan perlakuan dalam bentuk serangan fisik, serangan verbal atau bahkan serangan secara psikologis. Korban kekerasan di sekolah seringkali memunculkan masalah bagi pihak di sekolah. Korban kekerasan seringkali ditemukan takut untuk bersekolah, hal ini dikarenakan dari tingginya absensi korban untuk bersekolah akibat keinginan korban untuk menghindar dari kemungkinan seseorang terluka secara fisik akibat kekerasan yang ditimbulkan. Korban kekerasan tidak memandang laki-laki atau perempuan, korban biasanya terjadi

33 47 pada seseorang yang lebih muda atau lebih kecil secara fisik biasanya terjadi pada siswa yunior atau adik kelas. Sekolah memainkan peran penting dalam perkembanagan remaja dalam memberi keamanan dan kepercayaan, meningkatkan adaptive skills dan kompetensi, dan memberikan kontrol perilaku informal. Menghadapi masalah yang begitu kompleks, banyak remaja dapat mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang ada sebagian remaja yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya (Hurlock, 1997). Sekolah juga tempat menanamkan kemampuan-kemampuan interpersonal, menemukan dan menyaring kekuatan, dan perjuangan atas kemungkinan-kemungkinan sesuatu yang akan melukai. Terjadinya kekerasan di sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah iklim sekolah. Iklim sekolah adalah suasana atau kualitas dari sekolah untuk membantu individu masing-masing merasa berharga secara pribadi, bermartabat dan penting sehingga dapat membantu terciptanya suatu perasaan memiliki terhadap segala sesuatu di sekitar lingkungan sekolah (Freiberg, 1999). Iklim sekolah menggarisbawahi nilai-nilai individu, perilaku dan norma kelompok. Berdasarkan perspektif teori motivasi, persepsi siswa akan iklim sekolah adalah bagian penting, karena iklim sekolah akan membentuk sikap dan kognisi tentang diri mereka dan pada akhirnya berkontibusi pada hasil akhirnya. Persepsi atas kualitas iklim sekolah yang baik, dapat menjaga remaja dari resiko pengalaman peningkatan tingkat emosi dan masalah

34 48 perilaku (Loukas dkk, 2004). Dengan demikian, minimnya kekerasan di sekolah yang ditimbulkan dan lebih banyaknya fokus pada kegiatan akademik, dukungan dan pengawasan yang diberkan oleh pihak selah maupun guru akan mengakibatkan korban yang ditimbulkan dari masalah kekerasan di sekolah akan semakin sedikit. Seseorang yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi (Sari, 2005). Korban kekerasan di sekolah biasanya cenderung memperlihatkan ketidakyakinan dan perasaan tidak berharga terhadap dirinya. Perasaan tersebut dipengaruhi oleh harga diri seseorang. Sarwono & Meinarno (2009) mengungkapkan bahwa harga diri merupakan penilaian atau evaluasi terhadap dirinya, secara positif maupun negatif sehingga mempengaruhi tingkah laku sosial. Harga diri yang tinggi akan membangkitkan rasa penghargaan diri, rasa berguna, dan rasa kehadirannya diperlukan, sedangkan individu yang mempunyai harga diri yang rendah akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Seseorang yang menjadi korban kekerasan di sekolah cenderung memiliki harga diri yang rendah. Karakteristik individu yang memiliki harga diri yang rendah adalah hypersensitive, tidak stabil, kepercayaan diri yang kurang, lebih memperhatikan perlindungan terhadap ancaman daripada mengaktualisasi kemampuan dan menikmati hidup, depresi, pesimis, kesepian, dan mengasingkan diri (Rosernberg & Owens dalam Mruk, 2006). Korban

35 49 kekerasan cenderung akan merasa malu, merasa bersalah, merasa gagal karena tidak dapat mengatasi masalah, korban merasa cemas, tidak bahagia, dan selalu mengalami ketegangan yang lebih dari batas normal. Kurangnya interaksi dengan teman sebaya dan kemampuaan sosial yang kurang sehingga teman-teman sering menganggap aneh dan terjadi penolakan bahkan pengasingan oleh teman-teman sebayanya. Korban juga dapat terjadi akibat adanya keadaan fisik yang berlebih seperti cantik sehingga mengakibatkan teman-teman sebaya menjadikan korban sebagai target kekerasan. Sekolah yang memiliki iklim sekolah yang baik maka akan mampu memberikan rasa yang aman dan nyaman siswa saat berada di sekolah, sehingga kegiatan belajar dan hubungan antar siswa di sekolah akan berjalan dan terjalin dengan baik. Dengan demikian, siswa dapat mempertahankan pikiran, perilaku, emosi dalam mengatur suatu upaya dengan mengontrol diri dan berkeyakinan sesuai dengan standar diri untuk mencapai tujuan serta melakukan evaluasi atas hasil yang dicapainya dan tingkat korban kekerasan akan menurun. Siswa yang memiliki harga diri yang baik juga dapat menerima dirinya dengan baik di lingkungan sekitar terutama di sekolah, siswa akan merasa yakin dan mampu terhadap kemampuan dirinya sehingga mampu membentengi diri dalam mencegah terjadinya perilaku kekerasan yang terjadi dalam dirinya. Iklim sekolah dan harga diri dapat dijadikan sebagai pencetus pada korban kekerasan di sekolah. Semakin tinggi iklim sekolah maka korban

36 50 kekerasan di sekolah akan semakin rendah. Semakin tinggi harga diri siswa, maka semakin rendah pula korban kekerasan di sekolah. Berdasarkan uraian di atas dapat dimungkinkan terdapat hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan di sekolah. E. Kerangka Pemikiran Iklim Sekolah H2 H1 Perilaku Kekerasan Harga Diri H3 Gambar 1 Kerangka Pemikiran Hubungan Antara Iklim Sekolah dan Harga Diri dengan Perilaku Kekerasan Keterangan : Panah H I (Hipotesis I) menggambarkan terdapat hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan. Semakin baik iklim sekolah dan harga diri maka akan semakin rendah perilaku kekerasan.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu proses penting dalam usaha mengembangkan potensi pada anak. Melalui proses pendidikan, seorang anak diharapkan dapat mengembangkan

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA SMA CHRISTIN Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Semakin hari kita semakin dekat dengan peristiwa kekerasan khususnya bullying yang dilakukan terhadap siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan perilaku, pengalaman dan pengetahuan peserta didik. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap negara. Di Jepang sendiri, ijime adalah sebuah fenomena sosial yang cukup serius. Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini

Lebih terperinci

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying. 1. Pengertian bullying. Menurut Priyatna (2010), bullying merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku kepada korban yang terjadi secara berulang-ulang dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian 1. Pengertian Kecenderungan Perilaku Bullying Pengertian perilaku bullying masih menjadi perdebatan dan belum menemukan suatu definisi yang diakui secara universal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan periode perkembangan yang sangat banyak mengalami krisis dalam perkembangannya. Masa ini sering juga disebut dengan masa transisi karena remaja

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa. 12 BAB I Pendahuluan I.A Latar Belakang Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja tidak termasuk golongan anak tetapi tidak pula golongan dewasa. Remaja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Bullying 2.1.1. Pengertian Bullying Bullying merupakan salah satu dari manifestasi perilaku agresif, Krahe (dalam Suharto, 2014) menyebutkan bahwa terdapat 3 jenis manifestasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,. BAB I RENCANA PENELITIAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anak Anak a. Pengertian Anak adalah aset bagi suatu bangsa, negara dan juga sebagai generasi penerus yang akan memperjuangkan cita-cita bangsa dan menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Sosial 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Sosial Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan dengan berbagai macam masalah yang menghadang di hadapannya.dari masalah yang ringan seperti mencontek

Lebih terperinci

MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH

MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH Nandiyah Abdullah* Abstrak : Bullying di sekolah tidak hanya terjadi ketika masa orientasi sekolah, tetapi sepanjang tahun dengan berbagai modus, intensitas dan pelaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku negatif terhadap seorang atau lebih terhadap siswa lain. Tindakan negatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

Lebih terperinci

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 133 134 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 135 136 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 137 138

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut; Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti,

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Coopersmith (1967 ; dalam Sert, 2003; dalam Challenger, 2005; dalam Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 121 122 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 123 124 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 125 126

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kekerasan bukanlah fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan siswa salah satunya adalah

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tindak kekerasan dapat muncul dimana saja, seperti di rumah, di sekolah, maupun masyarakat. Kekerasan yang terjadi di sekolah dikenal dengan sebutan aksi bullying.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan sosial dan kepribadian anak usia dini ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang sangat penting di dalam perkembangan seorang manusia. Remaja, sebagai anak yang mulai tumbuh untuk menjadi dewasa, merupakan

Lebih terperinci

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah (School Violence) Oleh : Nandang Rusmana Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan di Sekolah Faktor psikologis (hiperaktivitas, konsentrasi terhadap masalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri merupakan salah satu unsur kepribadian yang memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Banyak ahli mengakui bahwa kepercayaan diri merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Variabel. Perilaku Bullying Secara operasional, definisi bullying dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Coloroso (006:43-44),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pengertian Bullying Bullying adalah perilaku negatif seseorang atau lebih kepada korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat menentukan untuk perkembangan individu di masyarakat. Kemajuan pada individu bisa dilihat dari seberapa besar perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan) adalah upaya penumbuhkembangan sumber daya manusia melalui proses kecerdasan interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas dan ambang dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupuan psikologis, yang tentunya bertujuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Subyek dan Lokasi Penelitian 1. Subyek Penelitian Nama : SR Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 19 April 1999 Usia : 14 tahun Agama : Islam Alamat Kelas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh 23 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross-sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap negara pasti memerlukan generasi penerus untuk menggantikan generasi lama. Bangsa yang memiliki generasi penerus akan tetap diakui keberadaannya, oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orangtua. Fenomena yang sering terjadi di sekolah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Begitu banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahrga Daerah Istimewa Yogyakarta Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada periode ini

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dalam masyarakat industri modern adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja berlangsung dari usia 10 atau 11 tahun sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi 7 TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan suatu cara untuk memengaruhi individu agar si pemberi pesan (sender) dan si penerima pesan (receiver) saling mengerti

Lebih terperinci