BAB I INTRODUKSI. Bab I merupakan pendahuluan, berisi mengenai latar belakang yang

Transkripsi

1 BAB I INTRODUKSI Bab I merupakan pendahuluan, berisi mengenai latar belakang yang mendasari riset, konteks riset, permasalahan riset, pertanyaan riset, tujuan riset, dan kontribusi riset. 1.1 Latar Belakang Haryanto (1997) menyampaikan bahwa kepemerintahan ada dan berjalan dengan tujuan untuk melayani warga negara dalam kepemerintahan tersebut. Pelayanan kepada masyarakat diberikan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Untuk menjangkau masyarakat secara langsung, instansi-instansi di daerah dibentuk sebagai representasi kementerian/lembaga yang berada di pusat. Adanya instansi-instansi ini diharapkan dapat mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Namun pada masa orde baru, kinerja pelayanan publik mendapat citra buruk di masyarakat. Birokrasi yang panjang, tidak transparan, dan diperparah dengan maraknya praktek gratifikasi kian memperburuk kinerja pelayanan publik. Instansi pemerintah berjalan tanpa ada pengukuran kinerja yang jelas, terukur, dan transparan sehingga pelayanan buruk yang diberikan kepada masyarakat berjalan terus-menerus tanpa ada perbaikan (Wayan, 2013). Tuntutan masyarakat terhadap perbaikan atas pelayanan publik memuncak. Hal itu memicu lahirnya era reformasi birokrasi. Di bidang keuangan negara, reformasi birokrasi ditandai dengan lahirnya paket Undang-Undang (UU) 1

2 Keuangan Negara. Paket UU tersebut yakni Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang profesional, amanah, dan tepat arah, serta membangun kepercayaan publik dengan adanya peningkatan pelayanan publik. Untuk mencapai tujuan reformasi birokrasi yang sejalan dengan prinsip good governance, perlu ada sistem pengukuran kinerja di organisasi sektor publik. Seperti disampaikan oleh Hatry (1978), apabila organisasi tidak dapat mengukur hasil yang telah dicapainya, maka organisasi tersebut tidak dapat dikatakan berhasil atau gagal, dan apabila organisasi tidak dapat menunjukkan keberhasilannya maka tidak bisa mendapatkan penghargaan. Demikian juga apabila organisasi tidak dapat mengenali kesalahannya atau kegagalannya, maka organisasi tersebut tidak dapat melakukan perbaikan. Saat ini, kementerian/lembaga beramai-ramai menerapkan pengukuran kinerja di unit kerjanya masing-masing. Di Kementerian Keuangan, pengukuran kinerja menggunakan Balanced Scorecard (BSC) sebagai tools. Hal itu diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktur Jenderal Perbendaharaan telah menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Kep- 241/PB/2015 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal 2

3 Perbendaharaan sebagai dasar pengelolaan kinerja di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Berdasar KMK-454/KMK.01/2011, tujuan BSC di Kementerian Keuangan agar pengelolaan kinerja menjadi lebih terarah dan terukur. Bagi manajemen, yakni pimpinan organisasi dan para atasan, adanya pengukuran kinerja diharapkan menjadi early warning system. Manajemen diharapkan dapat bersikap proaktif dan antisipatif terhadap setiap tantangan dan kesempatan yang muncul, sehingga membantu dalam mencapai tujuan organisasi. Mengenai Kep-241/PB/2015, secara umum mengatur mengenai pengelolaan kinerja organisasi dan kinerja pegawai. Hasil (output) dari pengelolaan kinerja berupa Nilai Kinerja Organisasi (NKO) dan Nilai Kinerja Pegawai (NKP). NKO berisi target dan pencapaian atas Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam satu tahun. Misalnya peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan kepuasan stakeholder. Angka dalam NKO menggambarkan pencapaian kinerja organisasi. Angka tersebut didapatkan dari membandingkan antara target dan pencapaian kinerja sesungguhnya. Sedangkan NKP berisi pencapaian IKU pegawai dan Nilai Perilaku (NP). Pencapaian IKU pegawai ialah pencapaian/realisasi atas target kinerja pegawai yang telah ditentukan sebelumnya. Pencapaian IKU atas target kinerja menggambarkan target kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi secara objektif. NP berisi penilaian atas soft competency seperti: integritas, kerjasama, komitmen, disiplin, pelayanan, dan leadership. Penilaian NP cenderung bersifat subjektif. 3

4 Pengelolaan kinerja di Kementerian Keuangan telah membuahkan hasil. Dibuktikan dengan predikat terbaik yang diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN/RB, 2015). Di internal Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan dinobatkan sebagai unit berkinerja terbaik karena memperoleh nilai tertinggi dalam reviu pengelolaan kinerja tahun 2015 (Ditjen Perbendaharaan, 2016). Apresiasi tersebut menjadi indikasi bahwa pengelolaan kinerja yang ada di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah berjalan dengan baik. Namun riset yang telah dilakukan oleh Yalestiarini (2013) mengenai penerapan BSC di Ditjen Perbendaharaan menyebutkan beberapa kendala dalam pengelolaan kinerja. Disebutkan bahwa peran pimpinan pada pengelolaan kinerja masih belum merata dan kurang aktif, jika dibiarkan terus-menerus, dapat menjadi penyakit kronis yang berpotensi menurunkan kinerja organisasi. Senada dengan Yalestiarini, Akbar, Pilcher, dan Perrin (2015) juga menyebutkan bahwa kurangnya komitmen dari pucuk pimpinan akan menghambat pelaksanaan pengukuran kinerja. Pustakawan (2015) yang meneliti mengenai pengukuran kinerja di KPPN Yogyakarta juga menyebutkan bahwa banyak pegawai menganggap pelaksanaan pengukuran kinerja hanya sebagai formalitas. Pentingnya pemanfaatan informasi kinerja disampaikan oleh Behn (2005). Disebutkan bahwa sistem pengukuran kinerja tidak dapat meningkatkan kinerja, tetapi pimpinanlah yang berperan. Pelaksanaan pengukuran kinerja tidak membawa dampak positif bagi organisasi, jika informasi yang dihasilkan dari pengukuran kinerja tidak menjadi perhatian bagi pimpinan maupun staf suatu 4

5 organisasi. Organisasi sektor publik pun seharusnya demikian, agar dapat meningkatkan kinerja organisasi, dibutuhkan peran pimpinan dalam optimalisasi pemanfaatan informasi kinerja. 1.2 Konteks Riset Fokus riset pada evaluasi pemanfaatan informasi kinerja yang dihasilkan sesuai dengan Kep-241/PB/2015, di Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Tengah (Kanwil Jateng). Yakni pemanfaatan atas NKO dan NKP oleh manajer Kanwil Jateng, baik NKO dan NKP sebagai nilai akhir kinerja organisasi maupun proses berjalan dalam mencapai nilai akhir tersebut. Fokus riset dibatasi pada pemanfaatan atas NKO dan NKP terkait dengan pencapaian kinerja tugas pokok dan fungsi di Kanwil Jateng (economics performance). Rasionalisasi pemilihan objek penelitian karena Kanwil Jateng memiliki beban kerja terbesar dibandingkan dengan Kanwil Perbendaharaan lain di seluruh Indonesia. Kanwil Jateng membawahi 15 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) se-jawa Tengah, dari 181 KPPN yang tersebar di 33 Kanwil. Selain faktor beban kerja, faktor kemudahan akses informasi terhadap manajemen Kanwil Jateng juga menjadi alasan pemilihan objek riset. Hal tersebut karena peneliti telah membangun hubungan (rapport) dengan manajemen Kanwil Jateng, sehingga diharapkan akan mempermudah menggali informasi terkait topik riset. 1.3 Problem Riset Berdasarkan riset terdahulu, peran pimpinan dan staf dalam memanfaatkan informasi kinerja bagi kemajuan organisasi belum optimal. Pelaksanaan pengelolaan kinerja sebatas pada pelaporan atas pelaksanaan pengukuran kinerja. 5

6 Pimpinan dan staf belum menggunakan informasi tersebut untuk kemajuan organisasi. Di samping itu, peraturan terkait pengelolaan kinerja menyebutkan bahwa pengelolaan kinerja meliputi hasil (output) dan manfaat (outcome). Hasil dari pengelolaan kinerja yakni laporan kinerja seperti NKO dan NKP telah diatur secara tegas dan jelas dalam Kepdirjen No-241/PB/2015. Namun mengenai pemanfaatan informasi kinerja tidak diatur secara tegas dan jelas, baik dalam KMK No-454/KMK.01/2011 maupun Kepdirjen No-241/PB/ Pertanyaan Riset Berdasarkan permasalahan di atas, muncul pertanyaan riset sebagai berikut: 1) bagaimanakah pemanfaatan informasi kinerja pada Kanwil Jateng? 2) apakah pemanfaatan informasi kinerja dapat meningkatkan kinerja Kanwil Jateng? 1.5 Tujuan Riset Tujuan riset ini yaitu: 1) untuk mengevaluasi pelaksanaan pemanfaatan informasi kinerja di objek riset, bagaimana kendala yang muncul, dan solusi apa yang dapat ditempuh dalam pemanfaatan informasi kinerja; 2) mengeksplorasi bagaimana pengukuran kinerja dalam meningkatkan kinerja organisasi sektor publik. 6

7 1.6 Kontribusi Riset Kontribusi dari riset ini yaitu: 1) kontribusi praktis, memberikan pertimbangan bagi manajemen agar dapat memanfaatkan informasi yang dihasilkan dari pengukuran kinerja secara lebih optimal; memberikan informasi kepada pembaca mengenai pemanfaatan informasi kinerja di organisasi sektor publik. 2) kontribusi akademis, memberikan bukti empiris dari teori isomorfisma terhadap proses pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik di Indonesia. 7