Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh. Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Disusun Oleh: MAULIDAH NUR ATIQOH NIM.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh. Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Disusun Oleh: MAULIDAH NUR ATIQOH NIM."

Transkripsi

1 GAMBARAN PENGETAHUAN DAN PERSEPSI FAMILY CAREGIVER TENTANG PENCEGAHAN DEKUBITUS PADA ANGGOTA KELUARGA YANG BERISIKO DEKUBITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PISANGAN DAN CIPUTAT Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Disusun Oleh: MAULIDAH NUR ATIQOH NIM PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2017 M i

2 ii

3 SCHOOL OF NURSING FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Undergraduate Thesis, Juli 2017 Maulidah Nur Atiqoh Description Knowledge and Perception of Family Caregiver about Prevention of Decubitus in Risk Family Member at Decubitus in Puskesmas Pisangan and Ciputat Work Area xvii + 97 page + 8 table + 4 chart + 3 attachement ABSTRACT Decubitus risk occurs in people who suffer from mobilization limitations such as Stroke patients, Liming, etc. Decubitus sores may lead to some complications such as local infection to sepsis. Family as caregiver at home, plays an important role in precautionary action of Decubitus. This study aims to determine the description of knowledge and perception of family caregiver about the prevention of Decubitus. This study uses descriptive quantitative research type. The sample technique used is purposive sampling with total respondent 26 people. Analysis of the data in use univariate analysis in the form of frequency and cross tabulation. The results showed the gender of the family caregiver 88.5% were female and dominated the final adult age group (50%), 84.6% of respondents were inexperienced in treating immobilized patients before. The education level of respondents is 50% low and 78.5% in low economic class. Knowledge level of respondents is less than 11.5%, enough 69.2% and good by 20%. In the perceptual variables, 53.8% of respondents had negative perceptions and 46.2% had positive perceptions of the prevention of Dekubtius. Conclusion: The family caregiver's level of knowledge about Decubitus is largely categorized as sufficient and has a negative perception of the prevention of decubitus. Suggestions: can be input to nurse as educator to provide knowledge about Decubitus to family with family member at risk Decubitus. Keywords: Family caregiver, Decubitus, Knowledge, Perception iii

4 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Juli 2017 Maulidah Nur Atiqoh, NIM: Gambaran Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver Tentang Pencegahan Dekubitus pada Anggota Keluarga yang Berisiko Dekubitus di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan dan Ciputat xvii + 97 halaman + 8 tabel + 4 bagan + 3 lampiran ABSTRAK Dekubitus berisiko terjadi pada orang yang menderita keterbatasan mobilisasi seperti pasien Stroke, pengapuran, dan lain sebagainya. Luka Dekubitus dapat mengakibatkan beberapa komplikasi seperti infeksi lokal hingga sepsis. Keluarga sebagai pemberi perawatan (family caregiver) di rumah, berperan penting dalam upaya tindakan pencegahan Dekubitus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver tentang pencegahan Dekubitus. Studi ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif deskriptif. Teknik sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan total responden 26 orang. Analisa data berupa analisa univariat untuk berupa frekuensi dan tabulasi silang.. Hasil penelitian menunjukkan jenis kelamin family caregiver 88,5 % adalah wanita dan didominasi kelompok usia dewasa akhir (50%). Responden 84,6% tidak berpengalaman merawat pasien imobilisasi sebelumnya. Tingkat pendidikan responden 50% rendah dan 78,5% pada kelas ekonomi rendah. Tingkat pengetahuan responden kurang sebesar 11,5%, cukup 69,2% dan baik sebesar 20%. Pada variabel persepsi, 53,8% responden memiliki persepsi negatif dan 46,2% memiliki persepsi positif terhadap pencegahan Dekubtius. Kesimpulan: tingkat pengetahuan family caregiver tentang Dekubitus sebagian besar masuk dalam kategori cukup dan memiliki persepsi negatif terhadap pencegahan Dekubitus. Saran: dapat dijadikan masukan untuk perawat selaku edukator untuk memberikan pengetahuan tentang Dekubitus kepada keluarga dengan anggota keluarga yang berisiko Dekubitus. Kata kunci: Family caregiver, Dekubitus, Pengetahuan, Persepsi iv

5 v

6 vi

7 vii

8 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Maulidah Nur Atiqoh Tempat, tanggal lahir : Pasuruan, 02 Agustus 1995 Jenis Kelamin Agama Status Alamat : Perempuan : Islam : Belum Menikah : Nuso RT/RW: 01/06 Kel. Wonosari Kec. Gondangwetan Pasuruan, Jawa Timur, HP : maulidah.nur13@mhs.uinjkt.ac.id Fakultas/ Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan / Program Studi Ilmu Keperawatan PENDIDIKAN 1. Sekolah Dasar Negeri Gayam I SMP Negeri 2 Kraton Al-Yasini MA Negeri Kraton Al-Yasini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013 sekarang ORGANISASI 1. CSSMoRA (Community of Santri Scholarship 2013 sekarang of Ministry of Religious Affairs) 2. Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Keperawatan viii

9 3. Kampoeng Hompimpa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sekarang Komfakkes ix

10 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan segala nikmat, karunia, taufiq, serta hidayah-nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa mengalir kepada khotimul anbiya, sang pembimbing umat manusia, Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. 1. Bapak Prof. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Maulina Handayani, S.Kp., M.Sc, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan. 3. Ibu Ernawati, S.Kp., Sp. KMB sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan 4. Ibu Ratna Pelawati, S.Kp., M.BioMed selaku pembimbing akademik saya yang telah memberikan bimbingan, arahan serta nasihat selama saya menjadi mahasiswa. 5. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep., MKM selaku pembimbing 1 skripsi yang telah memberikan banyak arahan, saran serta motivasi dalam penyusunan penelitian ini. 6. Ibu Ita Yuanita, S.Kp., M.Kep, selaku pembimbing 2 skripsi yang telah memberikan banyak pengetahuan baru juga arahan selama penyusunan penelitian ini. 7. Pihak Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa penuh kepada penulis melalui PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) sehingga penulis dapat melanjutkan studi hingga di Perguruan Tinggi 8. Kepada yang terindu ayah saya, bapak Heru Wahyudi, yang terus menjadi inspirasi meski telah mendahului menghadap sang ilahi juga kepada ibu saya, x

11 ibu Nurul Ma rifah yang senantiasa menyemangati, memenuhi kebutuhan serrta yang tidak pernah absen untuk mendo akan saya. 9. Teruntuk yang terkasih kakak saya (Robithotul Izza) dan adik (Ahmad Robeth Bahruddin) yang tidak pernah lelah memberi semangat, untaian do a, ikhlas menjadi tempat cerita dan memberikan saran serta menghibur penulis saat menghadapi banyak masalah. 10. Sahabat tercinta, teman-teman CSSMoRA UIN Jakarta terutama angkatan 2013 dan Kontrakan Puri Laras yang memberikan banyak pengalaman dan kenangan manis serta tidak pernah lelah untuk saling mendukung dan menyemangati. 11. Sahabat- sahabat terbaikku (Abif, Galih, Rendy, Jack, Aryo, Lala, Ika, Putri dan Hayu) yang selalu berusaha menghibur, memotivasi dan saling mendo akan selama proses skripsi. 12. Teman-teman seperjuangan PSIK angkatan 2013 yang telah memberi warna dalam perjalanan perkuliahan, saling mendukung meskipun tidak jarang ada adu persepsi. Terima kasih telah memberikan pengalaman juga kenangan yang luar biasa. Peneliti menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini sehingga kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan oleh peneliti agar dapat terus memperbaiki kualitas penelitian yang akan dilakukan. Atas perhatian pembaca saya sampaikan terimakasih. Wassalam alaikum warahmatullah wabarakatuh Jakarta, Juli 2017 Maulidah Nur Atiqoh xi

12 DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT... iii ABSTRAK... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN... Error! Bookmark not defined. PERNYATAAN PENGESAHAN... Error! Bookmark not defined. LEMBAR PENGESAHAN... vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vii KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xii DAFTAR SINGKATAN... xv DAFTAR BAGAN... xvi DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah...9 C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Ruang Lingkup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus Definisi Dekubitus Faktor Risiko Dekubitus Patogenesis Dekubitus xii

13 5. Pengkajian Risiko Dekubitus Kategori/ Derajat Luka Dekubitus Pencegahan Dekubitus Manajemen Dekubitus B. Keluarga Definisi Keluarga Fungsi Keluarga Tugas Kesehatan Keluarga C. Pengetahuan D. Persepsi E. Health Belief Model (HBM) F. Penelitian Terkait G. Kerangka Teori BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESA DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep B. Definisi Operasional BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian B. Lokasi dan Waktu Penelitian C. Populasi, Sampel dan Teknik sampling D. Instrumen Penelitian E. Pengujian Instrumen F. Tahap Pengumpulan Data G. Pengolahan Data H. Analisis Data I. Etik Penelitian BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian B. Karakteristik Responden C. Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver xiii

14 D. Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver Berdasarkan Karakteristik Responden. 79 BAB VI PEMBAHASAN A. Gambaran Karakteristik Family Caregiver dengan Anggota Keluarga yang Berisiko Dekubitus B. Gambaran Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver dengan Anggota Keluarga yang Berisiko Dekubitus C. Keterbatasan Penelitian BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

15 DAFTAR SINGKATAN ICU : Intensive Care Unit MICU : Medical Intensive Care Unit IPUP : International Pressure Ulcer Prevalence KPPI : Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi HBM : Health Belief Model xv

16 DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Bagan 2.2 Bagan 2.3 Bagan 3.1 Algoritma Manajemen Luka Dekubitus Health Beliefe Model (HBM) Kerangka Teori Kerangka Konsep xvi

17 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Definisi Operasional Tabel 4.1 Interpretasi Skor Pengetahuan Tabel 4.2 Frekuensi Hasil Skor Pengkajian Risiko Dekubitus dengan Skala Braden Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Tingkat Risiko Terjadinya Dekubitus pada 76 Anggota Keluarga Responden Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Family Caregiver dengan 77 Anggota Keluarga yang Berisiko Dekubitus Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Family 78 Caregiver tentang Pencegahan Dekubitus Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Family Caregiver Berdasarkan Karaktersitik 79 dan Tingkat Pengetahuan tentang Dekubitus Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Family Caregiver Berdasarkan Karaktersitik 81 dan Persepsi tentang Dekubitus xvii

18 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Lampiran 2 Kuesioner Penelitian Lampiran 3 Hasil Olah Data Statistik Komputer xviii

19 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan masalah yang sangat serius terutama bagi pasien yang dirawat lama di rumah sakit dengan keterbatasan aktifitas (Widodo, 2007). Dekubitus merupakan luka pada kulit yang terlokalisasi atau pada jaringan dibawah tulang yang menonjol akibat tekanan yang terus-menerus atau tekanan yang disertai dengan gesekan (Osuala, 2014). Tekanan secara lokal berdampak menurunkan atau bahkan menghambat sirkulasi yang menyebabkan metabolisme sel terganggu dan berakhir pada kondisi iskemik jaringan. Iskemik jaringan adalah kondisi tidak adanya atau menurunnya aliran darah sebab obstruksi mekanik (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2011). Luka Dekubitus dapat menurunkan citra dan mutu pelayanan rumah sakit karena program pengendalian terjadinya luka Dekubitus merupakan salah satu indikator kendali mutu pelayanan (E. M. D. Kosegeran, A. J. M. Rattu, 2016). Luka Dekubitus lebih mudah berkembang pada pasien di ruang ICU, gangguan neurolgi dan lansia (Jaul & Menzel, 2014). Beberapa faktor risiko dapat menajdi predisposisi perkembangan luka Dekubitus, diantaranya: imobilisasi dalam waktu lama, defisit sensori, gangguan sirkulasi dan nutrisi kurang. Menurut National Institue for Health and Cere Excellence 2005 (NIHCE) dalam Jones (2013), faktor resiko untuk perkembangan luka Dekubitus adalah penyakit akut, kronik dan terminal, komorbiditas seperti 1

20 2 diabetes dan malnutrisi, penurunan mobilisasi, masalah postur seperti pelvis miring, kerusakan sensori, penurunan tingkat kesadaran, infeksi sistemik, status nutrisi kurang, kerusakan kulit akibat tekanan sebelumnya, nyeri, faktor psikologi seperti depresi, faktor sosial, Inkontinensia, pengobatan, kerusakan kognitif, dan menurunnya aliran darah (NIHCE, 2005 dalam Jones, 2013). Epidemiologi luka Dekubitus beragam di beberapa lokasi, insiden rate berkisar antara 0,4% - 38% di unit perawatan akut, 2,2% 23,9% di unit long term care (perawatan jangka panjang), 0% - 7% di home care (perawatan di rumah) (Skala et al., 2009). Luka tekan atau Dekubitus lebih umum ditemui di ruang ICU (Intensive Care Unit) dari pada di ruang yang lain. Beberapa faktor resiko di ICU (Intensive Care Unit) dapat meningkatkan kejadian Dekubitus. Faktor-faktor yang menyebabkannya adalah kelemahan fisik, keterbatasan mobilisasi, penyakit yang membutuhkan tirah baring dalam waktu lama, penggunaan anastesi dalam dosis yang tinggi, sedatif, analgesik dan obat relaksan otot, masalah metabolik, abnormal sirkulasi, penurunan kesadaran, Inkontinensia, dan penggunaan ventilator mekanik (Ko se, Yes il, O ztunc, & Eskimez, 2016). Pasien gangguan mobilasi seperti pasien stroke dan lansia tidak hanya terbatas di instansi kesehatan seperti di rumah sakit dan panti jompo, tetapi juga di masyrakat. Jumlah pasien penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan diperkirakan sebanyak jiwa (7,0%), sedangkan berdasarkan diagnosis Tenaga Kesehatan (Nakes)/gejala diperkirakan sebanyak jiwa

21 3 (12,1%). Berdasarkan diagnosis Nakes dan diagnosis/gejala, pasien stroke di Provinsi Banten sebanyak orang (6,6%) dan (12,0%) (Kemenkes RI, 2014). Menurut hasil Riskesdas (2013) Provinsi Banten, prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) tertinggi di Kota Tangerang Selatan (7,7%), sedangkan prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang (17,0%). Prevalensi tertinggi pasien stroke berdasarkan kelompok umur baik berdasarkan diagnosis nakes maupun diagnosis nakes/gejala berada pada kelompok usia >75 tahun sebesar 53,8% dan 91,7% (Kemenkes RI, 2013). Kondisi imobilisasi meningkatkan resiko terjadinya kerusakan kulit dan proses penyembuhan luka yang lambat (Mersal, 2014). Studi Dekubitus di komunitas telah beberapa kali dilakukan. Diperkirakan, luka tekan atau Dekubitus terjadi pada 30% pasien di komunitas dan dapat secara signifikan menurunkan kualitas hidup dan karir pasien (NHS Institute for Innovation and Improvement, 2013 dalam Jones, 2013). Studi tentang prevalensi Dekubitus pada 796 pasien di komunitas di New South Wales (NSW), New England, mendapatkan hasil, sebesar 8,7% (71) dari responden memiliki luka Dekubitus. 28,2% (20) pasien mengalami Dekubitus akibat hospitalisasi sedangkan 71,8% (51) pasien lainnya luka Dekubitus berkembang selama di rumah. Dari 71 pasien, ditemukan 111 luka Dekubitus. Luka Dekubitus derajat 2 sebesar 40,5% dari 71 pasien, diikuti derajat 1 sebesar 29,7%. Bagian tubuh yang paling umum terkena Dekubitus adalah tumit (33,3%). Hampir 70% luka yang diidentifikasi oleh perawat komunitas disebabkan

22 4 oleh alat yang digunakan oleh pasien seperti selang hidung, prostesis, kateter, kursi mandi, balutan (bidai) dan sebagainya (Asimus & Li, 2011). Ferrel dkk (1996) melakukan studi tentang luka tekan atau Dekubitus yang terdaftar di jasa rumah perawatan selama 2 bulan. Sebanyak pasien yang dirawat selama masa studi dengan sampel akhir terdiri dari pasien. Rentang usia sampel mulai dari usia <1 tahun hingga 104 tahun, dengan rata-rata usia 75 tahun. 75% dari sampel berusia 70 tahun atau lebih dan hanya 1% yang kurang dari 25 tahun. Mayoritas sampel adalah wanita (63%), berkulit putih (85%), hidup di rumah sendiri atau apartemen (92%), dan memiliki pengasuh (caregiver) yang teridentifikasi (78%). Hampir dua per tiga sampel (65%) memiliki riwayat dirawat di Rumah Sakit atau panti jompo sebelum memilih untuk home care. Saat terdaftar layanan home care, 9,12% dari sampel memiliki luka Dekubitus, dengan lebih sepertiga (37,4%) dari sampel yang Dekubitus memiliki dua atau lebih luka Dekubitus dan 14,0% memiliki tiga atau lebih luka Dekubitus. Hanya 76 sampel dengan luka Dekubitus (27,3%) dan106 sampel yang berisiko Dekubitus (14,2%) yang memiliki alas busa (foam mattress), alas udara (alternating air mattress), atau alat penurun tekanan lainnya. Kebanyakan sampel dirawat menggunakan balutan kasa dengan atau tanpa produk hidrokoloid ( Ferrel et al, 1996). Hasil ini menunjukkan masih rendahnya peran keluarga dalam menunjang tindakan pencegahan Dekubitus Sedikitnya 60% dari semua luka Dekubitus berkembang di rumah sakit, 18% berkembang di rumah perawatan dan 18% luka Dekubitus berkembang di rumah

23 5 (Fleming, Andrews, Evans, Chutka, & Garness, 1995). Penelitian lain yang dilakukan oleh Betty dan Amik (2014) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar mendapati 38 orang berisiko Dekubitus melalui pengkajian skala Norton sebelumnya. Dari jumlah sampel, diperoleh warga dengan skor resiko sedang sebanyak 18 orang (47,4%) sedangkan 20 (52,6%) orang sisanya memiliki skor resiko berat mengalami Dekubitus (Sunaryanti & Muladi, 2014). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kejadian atau risiko pembentukan Dekubitus di masyarakat cukup tinggi. Pada studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di wilayah kerja UPT Puskesmas Pisangan, jumlah lansia yang berusia di atas 70 tahun di kelurahan per bulan September 2016 ada sebanyak 982 jiwa, namun yang ada di Posbindu hanya 206 orang. Lansia dengan tingkat kemandirian tingkat C per bulan Sepmtember 2016 ada sebanyak 13 orang. Pasien stroke per bulan September di wilayah kerja UPT Puskesmas Pisangan ada sebanyak 54 orang dan lansia dengan gizi kurang ada sebanyak 60 orang. Andrea E, N, dkk (2009) menyakatakan bahwa Dekubitus berdampak terhadap kualitas hidup lansia yang menderita. Diantara dampak tersebut adalah dampak terhadap kondisi fisik, sosial, psikologis, finansial, dampak yang diakibatkan dari gejala Dekubitus, dan dampak terhadap kesehatan secara umum. Dua belas penelitian mengidentifikasi dampak Dekubitus terhadap kesehatan secara umum berupa infeksi serta penyembuhan luka yang lambat. Sebanyak 15 penelitian

24 6 mengatakan bahwa keluhan nyeri dirasakan oleh mayoritas pasien sebagai dampak yang berhubungan dengan gejala Dekubitus (Gorecki et al., 2009). Rasa nyeri dan tidak nyaman akibat Dekubitus mengakibatkan penundaan waktu rehabilitasi, memperpanjang masa sakit dan keluar rumah sakit, serta berkontribusi terhadap kecacatan dan kematian (Nuru, Zewdu, Amsalu, & Mehretie, 2015). Perkembangan Dekubitus dapat mengakibatkan beberapa komplikasi. Kemungkinan komplikasi yang paling serius adalah sepsis. Ketika luka Dekubitus berkembang dan ada bakteri aerobik atau anaerobik ataupun keduanya, luka Dekubitus sering menjadi sumber utama terjadinya infeksi (Lyder, 2010). Sepsis yang berhubungan dengan luka Dekubitus memiliki angka kematian hampir 50%. Osteomyelitis terjadi sekitar 26% pada luka Dekubitus yang gagal disembuhkan (Fleming et al., 1995). Komplikasi luka Dekubitus lainnya meliputi infeksi lokal, Selulitis, dan Osteomyelitis. Luka Dekubitus yang tidak kunjung sembuh cukup sering diindikasikan adanya Osteomyelitis yang menjadi penyebab. Kematian dapat juga dihubungkan dengan perkembangan luka Dekubitus. Faktanya, tingkat kematian telah dicatat sebanyak 60% dari lanjut usia yang mengalami perkembangan luka Dekubitus dalam satu tahun setelah keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, pengkajian yang teliti terhadap luka Dekubitus sangat penting (Lyder, 2010). Pencegahan terhadap Dekubitus menjadi sangat penting daripada mengobati komplikasi yang ditimbulkannya dengan biaya yang lebih tinggi. Perawat memiliki peran utama dalam

25 7 upaya pencegahan Dekubitus sebagai tenaga kesehatan yang pertama mengenali tanda-tanda ulkus Dekubitus selama pasien dirawat karena berhadapan langsung selama 24 jam (Mohamed & Weheida, 2015). Ketika pasien telah kembali ke rumah, maka peran perawatan untuk pencegahan Dekubitus diambil alih oleh keluarga. Pengetahuan dan kesadaran oleh praktisi penyedia perawatan kesehatan, baik professional (perawat dan dokter) maupun non profesional (keluarga dan pembatu) berperan penting dalam deteksi dini tanda-tanda abnormalitas kulit seperti kemerahan. Langkah-langkah pencegahan dimulai sejak dirumah oleh anggota keluarga dan sebagai pemberi perawatan dengan meningkatkan status gizi, mencegah adanya tekanan eksternal, kekuatan akibat gesekan dari reposisi, serta menghindari kelembaban kulit. Kurangnya pengetahuan dan asing terhadap etiologi pembentukan luka Dekubitus, secara signifikan pada tingkat masyarakat mengakibatkan munculnya luka tekan. Tim primer dan non-profesional caregiver memiliki peran penting dalam pencegahan (Jaul & Menzel, 2014). Masalahnya, dalam menjalankan peran sebagai caregiver, keluarga melakukan usaha pencegahan Dekubitus baik tindakan yang dilakukan ataupun yang tidak dilakukan bukan karena memahami betul secara jelas apa tujuan tindakan tersebut melainkan hanya karena kebiasaan atau naluri untuk membantu dan melindungi pasien. Hal ini dapat menurunkan kualitas tindakan pencegahan yang diberikan jika tidak dilandasi dengan pengetahuan yang cukup dan berakibat pada

26 8 penurunan konsistensi keluarga dalam merawat (Diharjo, 2000 dalam Narni et al., 2008). Menurut teori health belief model (HBM), tindakan atau upaya pemeliharaan kesehatan dipengaruhi oleh persepsi ancaman terhadap suatu penyakit. Persepsi ancaman dibentuk oleh beberapa beberapa faktor, yaitu: persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan serta faktor pencetus. Persepsi terhadap ancaman, kerentanan, keseriusan, manfaat juga hambatan di pengaruhi oleh : 1) variabel demografi (umur, jenis kelamin, latar belakang budaya), 2) variabel sosiopsikologis (kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial), dan 3) variabel struktural (pengetahuan dan pengalaman sebelumnya) (Maulana, 2009). Dalam konteks pencegahan Dekubitus oleh family caregiver jika disesuaikan dengan teori HBM, maka dalam upaya untuk mendorong tindakan pencegahan dibutuhkan persepsi positif tentang pencegahan Dekubitus yang selanjutnya akan mendorong keluarga untuk bertindak. Persepsi sendiri dibangun oleh beberapa variabel yaitu variabel demografi, variabel sosio-psikologis, dan variabel struktural. Penelitian yang dilakukan Sulastri, Effendy, & Haryani (2008) menunjukkan tingkat pengetahuan keluarga tentang Dekubitus terbanyak dalam rentang cukup sebesar 40% dan kurang 33,33 sedangkan yang berpengetahuan baik hanya 26,67% atau 8 orang dari total 30 responden. Setelah dilakukan edukasi tentang dekubitus kepada keluarga dalam penelitian Sulastri, Effendy, & Haryani (2008) didapatkan

27 9 hasil adanya kenaikan nilai rerata skor pengetahuan yang secara simultan juga berhubungan meningkatkan nilai rerata keterlibatan keluarga dalam pencegahan Dekubitus. Hasil ini menunjukkan adanya peran pengetahuan dalam mendorong persepsi keluarga untuk selanjutnya melakukan tindakan pencegahan yang benar. Mengetahui persepsi keluarga terhadap pencegahan Dekubitus menjadi penting untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam modifikasi faktor yang dapat mempengaruhi persepsi keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan Dekubitus. B. Rumusan Masalah Dekubitus menjadi masalah yang sangat serius bagi orang dengan keterbatasan moblisisasi. Dekubitus merupakan luka pada kulit yang terlokalisasi atau pada jaringan dibawah tulang yang menonjol akibat tekanan yang terus-menerus atau tekanan yang disertai dengan gesekan. Risiko Dekubitus meningkat pada pasien gangguan neurologi seperti stroke dan pada lansia. Dampak dari Dekubitus dapat mempengaruhi kualitas hidup pasiennya baik dampak terhadap kondisi fisik, sosial, psikologis, finansial, dampak yang diakibatkan dari gejala Dekubitus, dan dampak terhadap kesehatan secara umum. Dekubitus juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi pada pasien. Keluarga sebagai family caregiver berperan penting dalam upaya pencegahan terjadinya luka Dekubitus pada anggota keluarga dengan keterbatasan mobilisasi. Deteksi dini terhadap kondisi abnormalitas kulit dilakukan oleh keluarga seat pasien

28 10 di rumah. Kurangnya pengetahuan dan tidak tidak asing tentang pembentukan luka Dekubitus akan mengakibatkan munculnya luka Dekubitus. Dalam teori HBM, tindakan atau upaya pemeliharaan kesehatan dipengaruhi oleh persepsi terhadap suatu penyakit C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk diketahui gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver tentang pencegahan Dekubitus. 2. Tujuan Khusus a. Diketahui karakteristik sosio-demografi family caregiver yang memiliki anggota keluarga berisiko Dekubitus yang terdiri dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pengalaman dan pendapatan b. Diketahui gambaran pengetahuan family caregiver yang memiliki anggota keluarga berisiko Dekubitus tentang Dekubitus c. Diketahui gambaran persepsi kerentanan, keseriusan Dekubitus, manfaat, dan hambatan untuk melakukan tindakan preventif Dekubitus. d. Diketahui distribusi proporsi pengetahuan dan persepsi tentang Dekubitus berdasarkan karakteristik responden. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi kesehatan

29 11 Hasil penelitian dapat dijadikan evaluasi serta pertimbangan untuk dijadikan topik dalam pemberian pendidikan kesehatan kepada masyarakat, terutama yang memiliki anggota keluarga berisiko Dekubitus. Meskipun bukan diagnosa utama, Dekubitus dapat menjadi penyebab utama terjadinya infeksi. 2. Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan Bagi instansi pendidikan, hasil penelitian dapat menjadi dorongan untuk memberikan pengetahuan serta keterampilan yang profesional kepada peserta didik sehingga siap menjadi tenaga kesehatan yang mengupayakan preventif terjadinya Dekubitus saat terjun di masyarakat. 3. Bagi Masyarakat Hasil penelitian dapat menjadi informasi terutama pada keluarga dengan anggota keluarga berisiko Dekubitus. Informasi tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk dipraktekkan dalam upaya pencegahan Dekubitus pada anggota keluarga yang berisiko Dekubitus. 4. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dalam menyusun dan melaksanakan penelitian. Selain itu, penelitian ini menjadi wadah untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkan dibangku kuliah serta menjadi motivasi untuk mengikuti perkembangan penelitian terbaru terkait praktek keperawatan. Hasil penelitian juga dapat

30 12 menjadi acuan atau bahan bagi peneliti selanjutnya khususnya dalam upaya preventif kejadian Dekubitus di komunitas/masyarakat. E. Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif, dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Penelitian ini merupakan penelitian yang terkait dengan gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver tentang pencegahan Dekubitus. Lokasi penelitian ini berada di wilayah kerja UPT Puskesmas Pisangan dan Ciputat.

31 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus 1. Definisi Dekubitus Dekubitus adalah cedera lokal pada kulit dan atau permukaan jaringan, biasanya pada bagian penonjolan tulang, sebagai akibat dari tekanan atau tekanan yang disertai dengan gaya gesek dan atau friksi. Terdapat sejumlah faktor kontribusi juga berhubungan dengan luka Dekubitus; pentingnya faktor-faktor ini masih harus dijelaskan (National Pressure Ulcer Advisory Panel, National, 2007). Klien dengan penurunan kemampuan mobilisas, nutrisi yang tidak adekuat, kelembaban kulit yang berlebihan, penurunan fungsi persepsi sensori, atau penurunan aktifitas merupakan faktor risiko pengembangan luka Dekubitus (Potter et al., 2011). Iskemia jaringan, penurunan aliran darah ke jaringan yang berakhir dengan kematian jaringan, terjadi ketika aliran darah kapiler terhambat seperti pada kondisi tertekan. Ketika tekanan dihilangkan dalam waktu yang relatif singkat, akan terjadi fenomena yang disebut hiperemia reaktif (Potter et al., 2011). Hiperemia aktif normal adalah kemerahan pada kulit akibat dilatasi pembuluh darah kapiler superfisial. Reaksi hiperemia aktif akan menghilang dalam waktu kurang dari 1 jam. Respon terhadap terkanan berupa vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan merupakan kelainan hiperemia reaktif. Kulit tampak berwarna merah muda terang sampai merah. Indurasi adalah edema 13

32 14 lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan diatasi (Potter & Perry, 2012). Berat badan akan berpindah pada lokasi penonjolan tulang saat klien dalam posisi berbaring atau duduk. Semakin lama durasi tekanan diberikan, semakin besar risiko kerusakan kulit. Tekanan mengakibatkan suplai darah menuju jaringan menurun yang berakhir dengan iskemia. Jika tekanan diatasi segera akan terdapat periode hiperemia aktif sebagai respon kompensasi dan hanya efektif jika tekanan dihilangkan sebelum ada nekrosis atau kerusakan (Potter & Perry, 2012) 2. Faktor Risiko Dekubitus Ada beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan timbulnya luka Dekubitus pada klien, yaitu: a. Gangguan Input Sensorik Klien berisiko tinggi mengalami gangguan integritas jika terjadi perubahan atau gangguan pada fungsi persepsi sensorinya, terutama dalam merasakan nyeri dan tekanan. Klien yang persepsi sensorinya masih normal akan bereaksi dan mengatahui jika salah satu anggota tubuhnya mengalami tekanan yang berlebihan atau nyeri, sehingga klien akan berespon untuk mengubah posisinya atau meminta bantuan untuk mengubah posisinya (Potter & Perry, 2012). b. Gangguan Fungsi Motorik

33 15 Klien yang tidak mampu mengganti posisi secara mandiri berisiko tinggi mengalami Dekubitus. Nyeri dan tekanan dapat dirasakan oleh pasien, namun tidak dapat merubah posisi secara mandiri untuk menurunkan tekanan tersebut. Kondisi ini menjadi peluang terjadinya pembentukan luka Dekubitus (Potter & Perry, 2012). c. Perubahan Tingkat Kesadaran Perubahan tingkat kesadaran yang dialami oleh klien mengakibatkan ketidakmampuan klien untuk melindungi dirinya sendiri dari Dekubitus. Klien dengan bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, namun tidak mampu mengerti cara untuk menghilangkan tekanan tersebut. Klien koma tidak bisa merasakan tekanan dan tidak mampu mengganti posisinya untuk mengurangi tekanan (Potter & Perry, 2012). d. Gips, Traksi, Alat Ortotik, dan peralatan lain Gips dan traksi mengakibatkan penurunan tingkat mobilisasi klien dan gerakan ekstremitasnya. Gaya friksi atau tarikan eksternal mekanik dari permukaan gips akan menggesek lapisan kulit dibawahnya. Hal ini meningkatkan risiko kerusakan integritas kulit pada klien. Selain itu, tekanan yang ditimbulkan oleh gips pada kulit karena terlalu ketat saat dikeringkan atau jika ekstremitas yang bersangkutan mengalami bengkak menjadi gaya mekanik yang dapat melukai kulit dan menyebabkan Dekubitus. Klien yang mengalami fraktur tulang belakang servikal bagian atas

34 16 akan menggunakan alat ortotik seperti collar neck atau penyangga leher untuk pengobatannya. Beberapa penyengga leher dapat menekan aliran kapiler di bagian servikal, yang berisiko menimbulkan Dekubitus. Semua peralatan yang memberikan tekanan pada kulit klien berisiko menimbulkan Dekubitus, seperti selang oksigen dan naso gastric tube (NGT) (Potter & Perry, 2012). 3. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus a. Gaya gesek Gaya gesek atau geser merupakan gaya yang bekerja pada kulit ketika kulit dalam posisi diam sedangkan struktur tulang bergerak. Pembuluh darah yang berada di bawah jaringan akan tertekan dan terbebani, serta aliran darah yang menuju ke jaringan lebih dalam terhambat. Akibatnya, akan terjadi perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Akhirnya pada kulit akan terbentuk suatu saluran sebagai ruang drainase dari area nekrosis (Potter et al., 2011). b. Friksi Friksi merupakan cedera pada kulit yang memiliki penampilan abrasi. Abrasi merupakan hilangnya lapisan atas kulit, yaitu epidermis. Friksi dihasilkan oleh dua permukaan yang saling bergesek satu sama lain. Bagian tubuh yang paling berisiko mengalami friksi adalah siku dan tumit. Hal ini dikarenakan saat reposisi kedua bagian tersebut mengalami gesekan dengan alas dibawahnya yang menyebabkan terjadinya abrasi. Kerusakan kulit yang diakibatkan oleh friksi tampak seperti abrasi

35 17 (Bryant dan Clark, 2007 dalam Potter et al., 2011). c. Kelembaban Kondisi lembab pada kulit meningkatkan resiko pembentukan luka tekan. Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap berbagai faktor fisik lain seperti tekanan dan gesekan. Kelembaban dapat berasal dari drainase luka, keringat, dan Inkontinensia baik urin maupuk fekal. Kulit yang lembab dan basah akibat Inkontinensia dapat menyebabkan kerusakan kulit (Fader, bain, dan Cottenden, 2004 dalam Potter et al., 2011). d. Nutrisi Nutrisi kurang, khususnya kekurangan protein menyebabkan jaringan yang lunak menjadi rentan terjadi kerusakan. Tingkat protein yang rendah menyebabkan edema atau pembengkakan yang berkontribusi mengganggu aliran oksigen serta nutrisi (Pieper, 2007 dalam Potter et al., 2011). Kekurangan nutrisi mengakibatkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang kehilangan protein berat, hipoalbuminemia (level serum albumin dibawah 3 g/100ml) mengakibatkan pergeseran cairan dari ekstraseluler menuju ke jaringan, yang berakhir dengan edema. Edema meningkatkan resiko pembentukan luka tekan. Suplai darah menuju jaringan yang edema meunurun, dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Potter et al., 2011).

36 18 e. Infeksi Infeksi diakibatkan adanya patogen didalam tubuh. Klien dengan infeksi biasanya mengalami demam. Infeksi dan demam akan meningkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang hipoksia semakin rentan mengalami cidera karena iskemi. Selain itu, demam mengakibatkan diaporesis dan meningkatkan kelembaban kulit yang menjadi predisposisi rusaknya jaringan kulit klien (Potter et al., 2011). f. Usia Struktur kulit berubah seiring dengan usia, penyebab hilangnya lapisan dermal dan meningkatkan resiko kerusakan kulit. Lansia memiliki risiko tertinggi terjadinya pembentukan luka tekan, 60%-90% luka Dekubitus terjadi pada klien yang berusia di atas 65 tahun (Stotts and Wu, 2007 dalam Potter et al, 2011 ). Neonatus dan balita juga berisiko tinggi mengalami luka Dekubitus (Noonan, Quigley dan Curly, 2006; WOCN, 2003 dalam Potter et al., 2011). 4. Patogenesis Dekubitus Terdapat tiga kondisi atau elemen yang menjadi dasar terjadinya Dekubitus, yaitu: (1) intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930 dalam Potter & Perry, 2012); (2) durasi dan besarnya tekanan (Koziak, 1959 dalam Potter & Perry, 2012); dan (3) toleransi jaringan (Husain, 1953; Trumble, 1930 dalam Potter & Perry, 2012). Beberapa bagian tubuh yang sering mengalami Dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus,

37 19 trokanter besar, dan tuberositis iskial (Meehan, 1994 dalam Potter & Perry, 2012). Dekubitus muncul sebagai akibat hubungan antara waktu dengan tekanan (Stotts, 1988 dalam Potter & Perry, 2012). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula peluang mengalami Dekubitus. Beberapa tekanan dapat ditoleransi oleh kulit dan jaringan subkutan. Tapi, jika tekanan eksternal lebih besar dibandingkan tekanan dasar kapiler akan terjadi penurunan atau kehilangan aliran darah menuju jaringan sekitarnya. Jaringan tersebut akan kekurangan suplai oksigen atau mengalami hipoksia sehingga terjadi iskemi. Jika besarnya tekanan tersebut melebihi 32 mmhg dan tidak disingkirkan dari lokasi yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah akan menjadi kolaps dan trombosis. Sirkulasi pada jaringan tersebut dapat normal kembali dengan menghilangkan tekanan sebelum sampai pada titik krisis melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif. Toleransi kulit terhadap iskemi lebih besar dibandingan yang dimiliki oleh otot, sehingga perkembangan Dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang berujung melebar ke area epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2012). Gaya gesek yang ditimbulkan saat menaikkan posisi klien di atas tidur juga berkontribusi dalam pembentukan Dekubitus. Efek tekanan juga dapat diperbesar oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Gaya gravitasi menimbulkan tekanan yang konstan pada tubuh melalui permukaan tempatnya berada, misalnya kasur (Berecek, 1975 dalam Potter & Perry, 2012). Jika

38 20 tekanan tidak terbagi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat. Metabolisme kulit pada titik tekanan tersbut akan mengalami keabnormalan. Saat terjadi iskemi, jaringan akan memberikan kompensasi melalui mekanisme hiperemia reaktif yang memungkinkan jaringan iskemi dialiri lebih banyak darah ketika tekanan dihilangkan. Peningkatan aliran darah akan meningkatkan suplai oksigen dan nutrien ke dalam jaringan. Gangguan metabolik yang dikarenakan oleh tekanan akan berangsur kembali normal. Equilibrium yang sehat kembali normal, dan nekrosis jaringan dapat dihindari (Maklebust, 1991; Pires dan Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2012). Hiperemia reaktif akan memberikan dampak yang optimal hanya jika tekanan dihilangkan sebelum terjadi kerusakan (potter dan perry). Derajat ulserasi bergantung pada beberapa faktor, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. pada saat tekanan terus berlanjut tanpa interupsi, jaringan tersebut menjadi kekurangan oksigen dan nutrien yang penting bagi metabolisme sel dan kemudian sel mengalami hipoksia dan membengkak. Jika diberikan tekanan pada titik ini, jaringan akan dipenuhi darah karena pembuluh darah kapiler membesar dan daerah tersebut akan berwarna kemerahan, yang dikenal secara klinis sebagai hiperemia regional. Periode hiperemia akan bertahan kira-kira separuh dari lamanya periode hipoksia yang telah terjadi. Dalam keadaan ini, area yang berada dibawah tekanan dapat dengan sepenuhnya kembali ke kondisi semula pada saat faktor risiko telah dikenali dan dihilangkan dan tindakan pencegahan dimulai. Namun, jika tidak diketahui

39 21 pada titik ini, tekanan tidak akan dapat dihilangkan dan edema sel akan berkembang menjadi trombosis pembuluh darah kecil, penurunan suplai oksigen yang lebih lanjut, dan jaringan akan mulai mengalami ulserasi. (gerontik) 5. Pengkajian Risiko Dekubitus Terdapat empat instrumen yang dapat digunakan untuk mengkaji risiko terjadi Dekubitus yang hasilnya dapat secara langsung mengidentifikasi klien yang berisiko tinggi. Masing-masing instrumen pengkajian memiliki faktor risiko yang berbeda (5-8 jenis) diurutkan berdasarkan angka. Nilai pengkajian risiko klien didapat dengan cara menjumlahkan tiap angka yang diberikan untuk masing-masing faktor risiko. Interpretasi dari nilai numerik berbeda pada setiap skala. a. Skala Norton Skala pertama yang dilaporkan dalam literatur adalah skala Norton (1962). Skala norton menilai lima faktor risiko, yaitu: kondisi fisik, kodisi mental, aktivitas, mobilisasi, dan Inkontinensia. Jumlah nilai berada di rentang 5-20; jumlah nilai rendah mengindikasikan risiko tinggi dan begitu sebaliknya. Saat ini nilai 16 dianggap sebagai nilai yang berisiko (Norton, 1989 dalam Potter & Perry, 2012). b. Skala Gosnell Pada skala Gosnell terdapat 5 faktor yang dinilai, yaitu: status mental, Inkontinensia, mobilisasi, aktivitas, dan nutrisi. Pada skala Gosnell terdapat tambahan berupa data demografi, hal-hal lain yang bersifat klinik,

40 22 dan pedoman kriteria narasi. Total nilai berada pada kisaran 5-20, dengan total nilai tinggi mengindikasikan risiko Dekubitus (Gosnell, 1987 dalam Potter & Perrry, 2012). c. Skala Knoll Pengkajian skala Knoll didapatkan dari hasil pengembangan faktor resiko klien yang berada pada ruang perawatan akut rumah sakit besar. Terdapat delapan faktor risiko yang dinilai dalam skala Knoll, yaitu: status kesehatan umum, status mental, aktivitas, mobilisasi, Inkontinensia, asupan nutrisi melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor predisposisi. Total nilai berada dalam rentang 0-33 dengan interpretasi total nilai tinggi menunjukkan risiko tinggi terjadi Dekubitus. Nilai risiko berada pada total nilai 12 atau lebih (Potter & Perry, 2012). d. Skala Braden Skala Braden dikembangkan berdasarkan faktor risiko pada populasi perawatan di rumah (Bergstrom dkk, 1987 dalam Potter & Perry, 2012). Skala Braden terdiri dari 6 subskala, yaitu: persepsi sensori, kelembaban, aktifitas, mobilisasi, nutrisi, friksi, dan gesekan (Potter & Perry, 2012). Braden (2001) dalam Registered Nurse s Association of Ontario (RNAO) (2005) menjelaskan interpretasi dari hasil total nilai pengkajian, yaitu: skor adalah berisiko, skor adalah berisiko sedang, skor adalah berisiko tinggi, dan skor 9 adalah sangat berisiko tinggi mengalami Dekubitus (MacLeod et al., 2005).

41 23 6. Kategori/ Derajat Luka Dekubitus a. Dicurigai Cedera Jaringan Dalam Tampak keunguan atau merah maroon yang terlokalisasi pada kulit yang utuh atau darah diisi blister karena kerusakan akibat penekanan pada jaringan lunak. Daerah tersebut didahului dengan jaringan terasa nyeri, keras, lembek, lebih hangat atau dingin dibandingkan jaringan lain yang berdekatan. Cedera pada jaringan dalam sulit dideteksi pada klien dengan warna kulit yang gelap. b. Derajat I Eritema atau kemerahan tidak pucat pada kulit yang utuh secara lokal pada bagian kulit dengan penonjolan tulang. Pigmentasi kulit menjadi gelap mungkin tidak terlihat pucat, namun warna tersebut tampak berbeda dengan daerah lain disekitarnya. Daerah kulit tersebut mungkin terasa nyeri, keras, lembek, lebih hangat atau lebih dingin dari jaringan lainnya. Luka Dekubitus derajat satu sulit dideteksi pada klien dengan warna kulit yang gelap. c. Derajat II Hilangnya sebagian ketebalan kullit meliputi epidermis dan/ dermis yang menghasilkan luka dangkal terbuka dengan warna luka merah muda tanpa adanya lubang yang dalam atau slaugh. Mungkin juga didapatkan kerusakan, ruptur atau terbukanya serum. Ulkus superfisial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.

42 24 d. Derajat III Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan yang rusak atau nekrotik yang mungkin melebar ke bawah, namun tidak sampai mengenai tulang, otot atau tendon. Ulkus secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. Dapat ditemukan juga luka goa (tunnel). Kedalaman luka derajat III bervariasi sesuai dengan lokasi anatominya. Pada daerah seperti hidung, telinga, tengkuk dan malleolus tidak terdapat jaringan subkutan sehingga penampakan derajat III lebih dangkal. Sebaliknya, pada daerah yang memiliki banyak jaringan adiposa pembentukan luka dapat terjadi sangat dalam secara signifikan. e. Derajat IV Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif; nekrosis jaringan atau kerusakan mengenai otot, tulang, atau struktur penyangga (misalnya: tendon, sendi dan lain-lain). Termasuk ditemukan adanya kerusakan yang dalam dan adanya tunnel. f. Tidak Terklasifikasi Kehilangan jaringan secara menyeluruh dimana dasar luka atau ulkus tertutupi oleh slough (coklat, abu-abu, kuning, atau hijau) atau eschar (coklat atau hitam) pada dasar luka. Derajat ini tidak dapat ditentukan karena harus membuang cukup slough dan eschar hingga terlihat dasar luka dan kedalaman luka yang sebenarnya untuk dapat diketahui derajat yang sebenarnya (National Pressure Ulcer Advisory

43 25 Panel National, 2007). 7. Pencegahan Dekubitus a. Mengurangi/ menghilangkah friksi dan gesekan Mengurangi friksi dan gaya gesekan dapat dilakukan dengan tindakan seperti: 1) Mengangkat tubuh pasien ketika akan dipindahkan. Hindari memindahkan pasien dengan cara digeser baik dari tempat tidur maupun kursi roda. 2) Hindari mengangkat bagian kepala pasien lebih dari 30 derajat kecuali terdapat kontraindikasi untuk dielevasi. Posisikan 90 derajat ketika pasien dalam kondisi duduk baik kursi roda maupun kursi biasa untuk mengurangi friksi dan gaya gesek. 3) Gunakan perangkat untuk transfer pasien seperti lift, kasur dorong dan lain-lain. 4) Gunakan alas antara kulit dengan kulit atau kulit dengan peralatan yang dapat saling bergesekan. 5) Sering berikan minyak yang hipoalergi, krim atau lotion yang dapat menurunkan ketegangan pada permukaan kulit dan mengurangi gaya gesekan (Reddy, 2006 dalam dalam Perry et al., 2012). 6) Gunakan transparan film, balutan hidrokoloid atau balutan kulit pada bagian penonjolan tulang untuk mengurangi friksi. 7) Jaga kondisi hidrasi kulit tetap baik dan lembab 8) Lumasi pispot terlebih dahulu sebelum digunakan ke pasien.

44 26 Gulingkan pasien ke samping untuk menempatkan pispot bukan dengan menarik dan mendorong pispot. 9) Lindungi kulit dari kelembaban. Kondisi kulit yang terlalu lembab akan menurunkan integritas kulit dan merusak lapisan lipid bagian luar. Oleh karena itu, menurunnya kemampuan mobilisasi berperan dalam pembentukan luka dan penyebab luka terbuka (Baronoski, 2004 dalam Perry et al., 2012). b. Minimalisir tekanan Toleransi jaringan adalah kemampuan kulit dan struktur pendukungnya untuk menahan efek akibat tekanan yang dapat merugikan kondisi klien (Braden, 1987 dalam Perry et al., 2012). Imobilisasi merupakan faktor risiko yang paling signifikan untuk terjadi pembentukan ulkus Dekubitus. Latihan gerak pasif dapat dilakukan sebagai pencegahan, pengobatan kontraktur sendi dan rujukan kepada fisioterapi dapat menajdi pilihan sebagai perawatan tambahan. Pasien dengan imobilisasi dengan derajat apapun perlu mendapat pengawasan terhadap pengembangan ulkus Dekubitus. Pasien memiliki intensitas tekanan lebih besar terhadap penonjolan tulang ketika duduk di kursi, karena distribusi berat badan tidak terdistribusi merata. Seiring dengan peningkatan berat badan pada penonjolan tulang, terdapat kecenderungan tubuh untuk meluncur dalam gerakan ke bawah, menyebabkan adanya gaya gesek yang dapat merusak jaringan lunak yang lebih tipis pada area penonjolan tulang. Posisi duduk

45 27 termasuk duduk diatas tempat tidur dengan elevasi kepala lebih 30 derajat. Ketika dalam posisi ini, penting bagi pasien untuk mengubah posisinya atau sekedar menggeser tubuhnya setiap 15 menit jika klien dapat melakukannya secara mandiri. Jika pasien tidak mampu berganti posisi secara mandiri, maka posisinya harus diubah dengan bantuan penyedia perawatan tiap jam (Baronoski, 2004 dalam Perry et al., 2012). c. Alas Pendukung (Kasur dan Tempat Tidur) Untuk mengurangi bahaya akibat imobilisasi pada sistem kulit dan muskuloskletal telah dibuat berbagai alas pendukung, termasuk kasur dan tempat tidur khusus. Perbedaan antara alas pendukung yang dapat mengurangi tekanan dan alas pendukung yang dapat menghilangkan tekanan penting untuk dipahami. Alat yang dapat menghilangkan tekanan dapat mengurangi tekanan antar permukaan (tekanan antara tubuh dengan alas pendukung) di bawah 32 mmhg (tekanan yang menutupi kapiler). Alat untuk mengurangi tekanan juga mengurangi tekanan antar permukaan, tapi tidak di bawah besar tekanan yang menutupi kapiler (AHCPR, 1994 dalam Potter & Perry, 2012). Saat memilih alas khusus perlu pengkajian kebutuhan klien secara keseluruhan oleh perawat atau tenaga kesehata pemberi perawatan. The Support Surface Consesus Panel mengidentifikasi 3 tujuan alat pendukung tersebut, yaitu: kenyamanan, kontrol postur tubuh, dan manajemen tekanan. Alat pendukung dan hubungannya dengan setiap tiga tujuan perlu dievaluasi melalui 9 parameter, yaitu: harapan hidup,

46 28 kontrol kelembaban kulit, kontrol suhu kulit, redistribusi tekanan, perlunya servis produk, perlindungan dari jatuh, kontrol infeksi, kemudahan terbakar api, dan sriksi klien/produk (Krouskop dan van Rijswijk, 1995 dalam Potter & Perry, 2012). Klien dan keluarga perlu diberi pemahaman alasan dan cara menggunakan tempat tidur tersebut yang tepat. Klien yang berisiko dapat dikurangi pembentukan luka Dekubitus jika kasur dan tempat tidur digunakan dengan tepat (Potter & Perry, 2012). d. Mengelola Kelembaban Mengelola kelembaban dari keringat, drainase luka dan Inkontinensia merupakan faktor-faktor yang penting dalam pencegahan luka Dekubitus. Kelembaban yang disebabkan oleh Inkontinensia dapat menjadi pemicu perkembangan luka Dekubitus dengan maserasi kulit dan peningkatan friksi (Ratliff, 1999 dalam Perry et al., 2012). Tindakan yang dapat dilakukan: 1) Evaluasi tipe Inkontinensia klien, urin atau fekal atau keduanya dan faktor yang berkontribusi lainnya. Hilangkan jika memungkinkan 2) Lakukan jadwal toileting atau program bowel/bladder secara tepat. 3) Cek kondisi Inkontinensia minimal tiap 2 jam dan sesuai kebutuhan. 4) Bersihkan kulit setelah periode Inkontinensia dengan air. Hindari menggosok atau friksi yang berlebihan karena dapat melukai kulit jeter, 1996 dalam Perry et al., 2012).

47 29 5) Gunakan pelembab perlindungan kulit (misal: krim, salep) sesuai kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan kulit, atau merawat kulit yang sudah luka. 6) Pilih underpad dan celana yang memiliki daya serap tinggi terhadap Inkontinensia untuk mencegah kelembaban yang menjadi penyebab maserasi. 7) Pertimbangkan penggunaan perangkat penampung tinja (misal: kantong rektal, selang rektal). Kaji konsistensi tinja, frekuensi dan efektifitas tindakan diatas sebelum penggunaan alat dimulai, tapi gunakan perangkat sebelum terjadi kerusakan kulit. 8) Kaji adanya candidiasis dan obati secara tepat (Evans, 2003 dalam Perry et al., 2012) 9) Tampung dan bersihkan drainase luka 10) Hindari adanya lipatan kulit, ganti pakaian klien sesuai kebutuhan (Wound, Ostomy, and Continence Nurse Society, 2003 dalam Perry et al., 2012) 11) Ganti linen atau sprei secara berkala untuk menghindari keringat yang berlebihan. e. Pertahankan Asupan Nutrisi dan Cairan yang Adekuat Intervensi pengeloaan nutrisi dan pengembangan rencana perawatan nutrisi dapat mengidentifikasi dan mengatasi masalah nutrisi yang terjadi. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menjadi faktor risiko reversibel untuk luka Dekubitus. Tindakan:

48 30 Lengkapi pengkajian untuk pencegahan atau pengobatan luka Dekubitus, meliputi: 1) Pengkajian kebutuhan nutrisi, protein, kalori, cairan, vitamin dan mineral Keast, 2007 dalam Perry et al., 2012); 2) Kecukupan asupan oral, baik riwayat terdahulu maupun aktual saat ini (Dorner, 2004 dalam Perry et al., 2012); 3) Hambatan menerima nutrisi yang optimal, meliputi kemampuan menelan, mengunyah, dan implikasi sosial (Dorner, 2004 dalam Perry et al., 2012); 4) Fungsi kognitif, termasuk kemampuan makan secara mandiri (Dorner, 2004 dalam Perry et al., 2012); 5) Review kondisi kesehatan pasien dan penyakit kronis yang menyertai, meliputi: kontrol diabetes dan penyakit ginjal (European Pressure Ulcer Advisory Panel, 2009 dalam Perry et al., 2012); 6) Indikator antropometri dan biokimia, seperti indeks massa tubuh, perubahan berat badan dan skala Braden (European Pressure Ulcer Advisory Panel, 2009 dalam Perry et al., 2012); 7) Catat riwayat berat badan dan kehilangan berat badan; 8) Tingkat aktifitas. Nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan terhadap luka Dekubitus harus secara individual dan menyertakan partisipasi pasien dalam perencanaannya. Intervesi nutrisi perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini: 1) Pengkajian kebutuhan

49 31 2) Kecukupan gizi saat ini dan sejauh mana kekurangan nutrisi serta cairan 3) Hambatan dalam mencapai nutrisi yang optimal 4) Stastus penyakit 5) Antropometri 6) Indikator biokimia dan klinis status gizi 7) Pertimbangan yang berkaitan dengan hidup bersama 8) Tujuan dan harapapan pasien (Keast, 2007 dalam Perry et al., 2012) 9) Edukasi kepada klien/pemberi perawatan Edukasi kepada pasien bagian penting dalam pencegahan dan pengobatan luka Dekubitus. Pasien, keluarga dan pemberi perawatan merupakan kunci untuk mencegah, memenejemen dan mengobati luka Dekubitus. Topik edukasi yang harus diberikan meliputi: 1) Penyebab luka Dekubitus 2) Cara pencegahan luka Dekubitus 3) Kebutuhan nutrisi, dan 4) Pengaturan posisi (Perry D, Borchert K, Burke S, Chick K, Johnson K, Kraft W, Patel B, 2012) 8. Manajemen Dekubitus Manajemen luka Dekubitus memerlukan pendekatan antar disiplin ilmu, termasuk dokter, ahli dermatologi, konsultan penyakit infeksi, pekerja sosial, ahli psikologis, ahli gizi, perawat luka, ahli rehabilitasi dan

50 32 pembedahan. Komponen dasar dari manajemen luka Dekubitus adalah mengurangi tekanan pada kulit, debridemen jaringan nekrotik, membersihkan luka, mengelola perkembangan bakteri dan kolonisasi, dan memilih jenis balutan. Peralatan yang menurunkan tekanan di perawatan pencegahan juga dapat digunakan untuk medikasi, seperti alas kasur khusus. Alas statis sangat berguna pada pasien yang dapat merubah posisi secara mandiri. Alas kehilangan sedikit udara (low-air-loss) mungkin dibutuhkan untuk pasien dengan luka dekubitu multipel atau luka yang tidak sembuh, setelah operasi, atau ketika alas stastis tidak efektif. Pengkajian nyeri harus dilengkapi, khususnya selama reposisi, penggantian balutan, dan debridemen. Pasien dengan risiko tinggi terjadi luka Dekubitus biasanya sensasi nyerinya terdapat gangguan. Tujuan pengajian ini untuk mengurangi nyeri dengan menutup luka, menyesuaikan tekanan pada permukaan luka, dan pemberian analgesik topikal atau sistemik. Jaringan nekrotik dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dan kegagalan penyembuhan luka, bagian nekrotik harus didebridemen hingga eskar dihilangkan dan jaringan granulasi berkembang. Namun, debridemen tidak direkomendasikan untuk luka Dekubitus pada tumit yang stabil, eskar kering tanpa edema, eritema, serta drainase. Metode debridemen meliputi pembedahan, mekanikal, enzimatik, dan autolitik. Debridemen bedah menggunakan pisau atau gunting bedah, atau benda tajam lain. Meskipun lebih ekstensif, debridemen bedah harus dilakukan di ruang operasi. Debridemen bedah dibutuhkan jika terjadi infeksi atau menghilangkan eskar yang tebal dan

51 33 luas. Penyembuhan setelah debridemen bedah memerlukan vaskularisasi yang adekuat. Debridemen mekanikal mengandung balutan basah hingga kering, hidroterapi, irigasi luka, dan whirlpool. Balutan basah hingga kering harus benar-benar kering sebelum menarik balutan tipis yang telah menempel pada jaringan Dekubitus. Namun, jaringan yang tidak nekrotik dapat ikut terkelupas serta rasa nyeri selama proses debridement. Hidroterapi dengan debridemen guyuran whirlpool dapat menghilangkan debris. Debridemen enzimatik berguna pada pasien perawatan jangka panjang yang tidak bisa mentoleransi debridemen bedah, namun cara ini membutuhkan waktu lama untuk efektif dan mungkin tidak berguna jika ada infeksi. Luka perlu dibersihkan dan diganti balutan. Menggunakan syringe 35 ml dan 19-gauge angiokateter dapat memberikan tekanan yang kuat namun aman; gunakan normal salin untuk irigasi lebih dianjurkan. Pembersihan luka dengan antiseptik atau hydrogen peroxide dapat merusak jaringan granulasi. Balutan yang menjaga lingkungan luka tetap lembab dapat memfasilitasi penyembuhan dan dapat digunakan untuk debridemen autolitik. Balutan sintetik mengurangi waktu perawatan, penyebab kurangnya ketidaknyamanan, dan berpotensial menyediakan kelembaban yang konsisten. Jenis balutan meliputi transparan film, hydrogels, alginates, foams, dan hydrocolloids.transparan film efektif menahan kelembaban, dan mungkin digunakan sendirian untuk luka yang setengah tebal atau dikombinasikan dengan hidrogel atau hidrokoloid untuk luka yang tebal dan penuh. Hydrogels

52 34 dapat digunakan untuk luka dalam dengan eksudat. Alginates dan foams adalah tinggi penyerapan dan sangat berguna pada luka dengan eksudat sedang hingga banyak. Hidrokoloid menahan kelembaban dan cocok untuk debridemen autolitik. Pemilihan jenis balutan dilakukan oleh diagnosa klinis dan karakteristik luka (Bluestein & Javaheri, 2008)

53 35 Bagan 2.1 Algoritma Manajemen Luka Dekubitus Derajat I Gunakan balutan protektif, sesuai kebutuhan Luka bersih, tanpa selulitis Derajat II Gunakan balutan lembab, seperti transparan film; bersihkan luka Derajat III, tanpa jaringan nekrotik Derajat IV, tanpa jaringan nekrotik Gunakan balutan lembab hingga balutan penyerap, seperti hydrogel, foam, atau alginate; pertimbangkan konsultasi pembedahan, sesaui kebutuhan; bersihkan luka Infeksi lokal Luka bersih, dengan selulitis Infeksi sistemik atau perkemban gan selulitis Jaringan nekrotik (derajat III atau IV) Lakukan debridemen bedah, jika terdapat selulitis atau sepsis Gunakan debridemen autolitik, enzimatik, atau mekanikal jika tidak gawat Tidak ada kemajuan setelah 14 hari Antibiotik topikal, gunakan balutan lembab dan penyerap; bersihkan luka Tidak ada perkembangan penyembuhan luka setelah 2-4 minggu; selulitis persisten atau ada sepsis Gunakan balutan lembabpenyerap; bersihkan luka Kultur jaringan; pertimbangkan osteomielitis Antibiotik sistemik, gunakan balutan lembabpenyerap, bersihkan luka Hess CT Wound care, 4 th ed. Springhouse, Penn: Springhouse, 2002:54-55 dalam Daniel dan Ashkan 2008

54 36 B. Keluarga 1. Definisi Keluarga Definisi untuk keluarga bervariasi dan beragam. The U.S. Census Bureau (2006) dalam Melanie dan Bridgette (2009) mendefinisikan keluarga merupakan satu atau lebih orang yang hidup bersama dan berhubungan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi. Sebuah rumah tangga dapat terdiri dari satu kelompok tersebut, lebih dari satu atau tidak sama sekali. Hitungan kelompok keluarga meliputi rumah tangga, subfamili yang memiliki hubungan dan subfamili yang tidak tidak memiliki keterkaitan (McEwen & Pullis, 2009). Menurut Friedman (2010) keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keluarga (Friedman & Marilyn, 2010). Menurut Undang-Undang RI nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Republik Indonesia, 2009). 2. Fungsi Keluarga berikut: Menurut Friedman (2010), fungsi keluarga secara umum adalah sebagai a. Fungsi Afektif adalah fungsi pokok keluarga untuk mempersiapkan anggotanya dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi afektif dibutuhkan untuk proses perkembangan individu dan psikososial anggota

55 37 keluarga; b. Fungsi sosialisasi adalah fungsi adalah fungsi yang berperan dalam mengembangkan dan melatih anggota keluarga dalam hidup bersosial sebelum mereka meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah; c. Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan hidup; d. Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhannya secara ekonomi dan tempat bagi individu untuk mengembangkan kemampuan dalam meningkatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga; e. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan, yaitu fungsi untuk mencapai dan mempertahankan kondisi sehat seluruh anggota keluarga agar tetap memiliki produktifitas tinggi. Kemampuan keluarga dalam memberikan perawatan kesehatan berpengaruh terhadap status kesehatan keluarga (Friedman & Marilyn, 2010). 3. Tugas Kesehatan Keluarga Baiton dan Maglaya (1998) dalam Efendi dan Makhfuldi (2009) tugas kesehatan keluarga meliputi: a. Mengenal masalah kesehatan Mengenali dan interpretasi masalah kesehatan/penyakit dipengaruhi oleh keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak dapat diacuhkan karena kondisi sakit akan menurunkan arti

56 38 dari hidup dan menjadi akar habisnya kekuatan sumber daya serta dana keluarga. Orang tua perlu mengetahui kondisi kesehatan dan perubahanperubahan yang dialami anggota keluarga. Mengenali masalah kesehatan keluarga diawali saat suatu gejala individu (1) dikenali; (2) diinterpretasi terkait dengan keparahannya, kemungkinan etiologi, dan makna atau artinya; (3) dirasakan sebagai kondisi yang mengganggu oleh individu yang mengalami gejala tersebut dan keluarga. Tahap ini terdiri dari keyakinan keluarga akan gejala seorang anggota keluarga dan bagaimana menangani penyakit tersebut. b. Mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat. Tugas ini adalah usaha keluarga untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan kondisi keluarga. Pencarian keperawatan dimulai ketika keluarga menetapkan anggota yang sakit benar-benar sakit dan membutuhkan pertolongan. Individu dan keluarga mulai mencari pengobatan, informasi, saran, dan validasi profesional dari keluarga besar, teman, tetangga, dan pihak non profesional lainnya. Ketetapan terkait apakah anggota keluarga yang sakit sebaiknya ditangani di rumah, di klinik atau di rumah sakit, cenderung di musyawarahkan di dalam keluarga. c. Merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan Ketika keluarga memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, keluarga perlu memahami bagaimana kondisi penyakitnya, sifat dan perkembangan perawatan yang diperlukan,

57 39 fasilitas yang dibutuhkan, sumber-sumber yang ada dalam keluarga, dan bagaimana sikap keluarga terhadap sakit. d. Modifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga Ketika memodifikasi lingkungan atau membuat suasana rumah yang sehat, keluarga perlu mengetahui beberapa hal, yaitu: sumbersumber yang dimiliki keluarga, manfaat pemeliharaan lingkungan, urgensi higiene sanitasi, upaya pencegahan penyakit, dan sikap atau pandangan keluarga terhadap higiene sanitasi. e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga Keluarga mulai memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan ketika dilakukan komunikasi dengan pelayanan kesehatan profesional atau praktisi pengobatan tradisional. Keluarga menjadi agen utama dalam melakukan rujukan kesehatan bagi anggota keluarganya yang sakit ke jenis layanan atau praktisi yang dinilai tepat (Efendi & Makhfuldi, 2009). C. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga kepada objek tertentu. Pengetahuan adalah domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku yang berdasarkan pengetahuan umumnya bersifat lama (Sumaryo, 2004). Pengetahuan juga didefinisikan sebagai pencerminan objekobjek eksternal di alam lain pikiran (Marhaeni, 2010).

58 40 2. Tingkat pengetahuan Notoatmodjo (2007) menjabarkan cakupan pengetahuan dalam domain kognitif dalam 6 tingkatan, antara lain: a. Tahu (Know) Tahu didefinisikan sebagai aktivitas mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang khusus dari seluruh materi yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami (Comperhension) Memahami berarti mampu untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang sudah paham harus mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya. c. Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan berkapasitas atau mampu untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya. Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain. d. Analisis (Analysis) Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih berkaitan satu sama lain. Kapasitas

59 41 melakukan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), memisahkan, membedakan, mengklasifikasikan dan sebagainya. e. Sintesis (Synthesis) Sintesis merujuk pada kemampuan untuk meletakkan atau menyatukan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis merupakan kemampuan untuk menata formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Seperti dapat menyusun, dapat menyesuaikan, dapat merencanakan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada. f. Evaluasi (Evaluation) Mampu untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi disebut evaluasi. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada. 3. Sumber Pengetahuan a. Sumber pertama yaitu dari kepercayaan berdasarkan tradisi, adat dan agama yang berup nilai-nilai warisan nenek moyang. Sumber pengetahuan ini umumnya berbntuk norma-norma dan kaidah-kaidah baku yang berlaku didalam kehidupan sehri-hari. Didalam norma dan kaidah tersebut memuat pengetahuan yang keabsahannya boleh jadi tidak dapat dibuktikan secara rasional dan empiris, tetapi susah dikritik untuk diganti begitu saja (Suhartono, 2005).

60 42 b. Sumber kedua pengetahuan yaitu berdasarkan otoritas kesaksian orang lain, juga masih dipengaruhi oleh kepercayaan. Pihak-pihak pemegang otoritas kebenaran pengetahuan yang dapat dipercayai adalah orangtua, guru, ulama, orang yang dituakan, dan sebagainya. Perkataan yang disampaikan oleh mereka tentang baik atau buruk, benar atau salah, dan indah atau kelek, biasanya akan diikuti dan dijalankandengan patuh tanpa kritik. Boleh jadi sumber pengetahuan ini mengandung kebenaran, namun permasalahannya terletak pada sejauh mana orang-orang tersebut dapat dipercaya (Suhartono, 2005). c. Sumber ketiga adalah pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi adalah alat vital bagi manusia sebagai kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, orang dapat melihat secara langsung dan dapat pula melakukan kegiatan hidup (Suhartono, 2005) d. Sumber keempat berupa akal pikiran. Akal pikiran memiliki sifat lebih rohani dibandingkan dengan panca indera. Oleh sebab itu, lingkup kemampuannya melebihi panca indera, yang melampaui batas-batas fisis sampai pada hal-hal yang bersifat metafisis. Karena itu, akal pikiran senantiasa bersikap meragukan kebenaran pengetahuan inderawi sebagai pengetahuan semu dan menyesatkan (Suhartono, 2006). e. Sumber kelima adalah intuisi. Sumber ini berupa gerak hati yang paling dalam. Sehingga sumber pengetahuan ini sangat bersifat spiritual, menembus ambang batas ketinggian akal pikiran dan kedalaman pengalaman. Pengetahuan yang bersumber dari intuisi merupakan

61 43 pengalaman batin yang bersifat langsung. Artinya, tenpa melewati sentuhan indera ataupun olahan akal pikiran. Dengan demikian, pengetahuan intuitif ini kebenarannya tidak dapat diuji baik menurut ukuran pengelaman inderawi maupun akal pikiran. Karena itu tidak dapat berlaku umum, hanya berlaku secara personal saja (Suhartono, 2005) 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003) dan Sukmadinata (2003) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu: a. Tingkat pendidikan Kemampuan atau kapasitas belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. Tingkat pendidikan tentu dapat menghasilkan suatu perubahan dalam pengetahuan. b. Paparan media massa (akses informasi) Berbagai informasi dapat diperoleh oleh masyarakat melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Seseorang yang lebih sering terpapar dengan media massa (TV< radio, majalah, dan lain-lain) akan memperoleh dan memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang jarang atau bahkan tidak pernah terpapar dengan informasi media. Hal ini menunjukkan bahwa paparan media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang.

62 44 c. Budaya Budaya mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang melalui penyaringan terhadap informasi-informasi baru yang diterima untuk selanjutnya disesuaikan dengan kebudayaan yang dianutnya. d. Pengalaman Pengalaman disini berhubungan dengan usia, tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki pengalaman yang luas, begitupun dengan usia orang tersebut pengalamannya juga akan semakin bertambah. e. Sosial ekonomi Lingkungan sosial akan mendorong tingginya pengetahuan seseorang, sedangkan ekonomi dihubungkan dengan daya pendidikan yang ditempuh seseorang sehingga memperluas pengetahuan seseorang. 5. Alat ukur pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat diidentifikasi melalui wawancara atau angket yang menyatakan isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan responden akan ditentukan dengan sebarapa jauh kemampuannya dalam menjawab pertanyaan mengenai Dekubitus. D. Persepsi 1. Definisi Persepsi merupakan sebuah proses yang diawali oleh pengideraan. Penginderaan adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh seseorang

63 45 melewati alat penerima yaitu alat indera. Selanjutnya, stimulus itu dilanjutkan oleh syaraf untu dibawa menuju ke otak sebagai pusat susunan saraf yang selanjutnya masuk dalam proses persepsi. Proses penginderaan terjadi setiap waktu, yaitu pada saat seseorang menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Brabca, 964; Woodwoeth dan Marquis, 1957 dalam). Stimulus mengenai individu itu selanjutnya diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga seseorang menyadari tentang apa yang diinderanya itu. Proses inilan yang dinamakan dengan persepsi. Jadi sesuatu akan menjadi berarti setelah sesuatu iru yang menjadi stimulus diterima oleh alat indera yang kemudian mengalami proses persepsi yang diorganisasi dan diinterpretasikan (Davidoff, 1981 dalam (Wagito, 2003). Dalam psikologi, persepsi secara umum didefinisikan sebagai proses peroleh, penafsiran, pemilihan, serta pengaturan informasi yang diterima oleh alat indera (Sarwono et al., 2014). Sedangkan menurut Desi-derato (1976) dalam Luthfi dkk (2009) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang didapatkan dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi menyuguhkan arti pada stimuli inderawi. Sensasi dalam hubungannya dengan persepsi adalah menjadi bagian yang dilalui untuk proses persepsi. Meskipun begitu, mengartikan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, memori serta prasangka sosial.

64 46 2. Jenis Persepsi Persepsi dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan objek persepsi, yaitu: a. Things Perception/ persepsi benda/ barang, yaitu persepsi terhadap objek yang berupa benda atau barang atau selain manusia. b. Social perception/ persepsi sosial, yaitu persepsi dimana yang menjadi objek persepsinya adalah manusia atau orang. Bimo Walgito membedakan antara persepsi terhadap diri sendiri (self perception)dengan social perception. Persepsi sosial terdiri dari persepsi terhadap orang lain dan persepsi terhadap interaksi sosial (interpersonal perception) (Luthfi, Saloom, & Yasun, 2009). 3. Faktor yang mempengaruhi Persepsi Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut: a. Diri orang yang bersangkutan sendiri. Interpretasi seseorang tentang apa yang dilihatnya dipengaruhi oleh karakteristik individual, seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, dan harapan. b. Sasaran persepsi, sasaran persepsi dapat berupa orang, benda, atau peristiwa. Sasaran persepsi orang dapat dikarenakan adanya kesamaan, kedekatan, kebetulan atau penggenarisasian. c. Faktor situasi, kondisi yang tidak wajar atau umum dapat menarik perhatian dan mempengaruhi persepsi. Misalnya orang yang menggunakan pakaian renang pada situasi yang tidak ada

65 47 hubungannya dengan berenang akan sangat menarik perhatian, karena bukan hal yang wajar (Sukadji dalam Luthfi et al., 2009). E. Health Belief Model (HBM) Teori Health Belief Model (HBM) dikembangkan mulai tahun 1950 oleh kelompok ahli psikologi sosial dalam pelayanan kesehatan masyarakat Amerika. Model ini digunakan dalam upaya mendeskripsikan secara luas kegagalan keikutsertaan masyarakat dalam program preventif atau deteksi penyakit (Houchbaum, 1958; Rosenstock, 1974 dalam Glanz dkk., 1997 dalam Maulana, 2009). Model ini merupakan salah satu model pertama yang dirancang untuk mengajak penduduk melakukan tindakan ke arah kesehatan positif. Hal yang dititikberatkan pada model ini adalah peranan persepsi kerentanan terhadap suatu penyakit dan kefektifan potensial dalam pengobatan (Bensley, 2009). HBM adalah model kognitif, yang digunakan untuk memprediksi perilaku peningkatan kesehatan. Dalam pandangan teori HBM, probabilitas seseorang melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi secara langsung dari hasil 2 penilaian kesehatan (heakth belief), antara lain sebagai berikut: 1. Ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness) Ancaman dalam hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berasumsi bahwa penyakit benar-benar menjadi ancaman bagi diri mereka, sehingga jika ancaman yang dirasakan meningkat, perilaku preventif juga

66 48 akan meningkat. Penilaian terhadap ancaman yang dirasakan dipengaruhi pada hal-hal berikut: a. Ketidakkebalan yang dirasakan (perceived vulnerability) Seseorang mungkin dapat membuat masalah kesehatannya sendiri sesuai dengan kondisi. b. Keseriusan yang dirasakan (perceived severity) Individu menilai keseriusan atau keparahan penyakit jika penyakit tersebut timbul akibat tindakan individu tersebut atau penyakit diacuhkan tidak ditangani. 2. Keuntungan dan kerugian (benefits and costs) Pertimbangan mengenai keuntungan atau manfaat serta kerugian yang akan diperoleh dari perilaku pencegahan menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan untuk melakukan tindakan pencegahan atau tidak. 3. Petunjuk berperilaku atau keyakinan terhadap posisi yang menonjol (salient position) Hal ini berupa berbagai informasi dari luar atau nasihat tentang permasalahan kesehatan seperti media massa, kampanye, penyakit dari anggota keluarga yang lain atau teman. Ancaman, keseriusan, ketidakkebalan, pertimbangan keuntungan dan kerugian dipengaruhi oleh : 1) variabel demografi (umur, jenis kelamin, latar belakang budaya), 2) variabel sosio-psikologis (kepribadian,

67 49 kelas sosial, tekanan sosial), dan 3) variabel struktural (pengetahuan dan pengalaman sebelumnya) (Maulana, 2009). Bagan konsep teori Health Belief Model (HBM) dapat digambarkan seperti berikut (Noorkasiani, Heryati, & Ismail, 2009): Bagan 2.2 Health Belief Model Variabel Demografi (usia, jenis kelamin, ras, etnik,dsb) Variabel sosio-psikologis (kepribadian, kelas sosial, teman seusia, dsb) Variabel struktural (pengetahuan, pengealaman) Kemungkinan keuntungan yang diperoleh dari upaya preventif dikurangi keumngkinan halangan yang dihadapi dalam upaya pencegahan - Kemungkinan terkena penyakit X - Kemungkinan derajat keparahan penyakit X Kemungkinan pengobatan terhadap penyakit X Kecenderungan dalam melakukan pencegahan kesehatan yang direkomendasikan Faktor pencetus untuk bertindak: - Kampanye dari media massa - Surat peringatan dari dokter - Anggota keluarga atau teman yang sakit - Artikel surat kabar atau majalah F. Penelitian Terkait 1. Tingkat Pengetahuan Keluarga Klien tentang pencegahan Dekubitus di RS. Dr. Soekardjo Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Rismawan (2014) melakukan penelitian yang berjudul Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga Klien tentang pencegahan Dekubitus terhadap Kejadian Dekubitus pada Pasien Bedrest Total di RS. Dr. Soekardjo Tasikmalaya Kota Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan metode

68 50 analitik asosiatif dengan desain penelitian observatif. Dalam mengukur tingkat pengetahuan keluarga instrumen yang digunakan berupa pedoman wawancara dengan soal sebanyak 10 butir dan lembar observasi untuk menilai kejadian Dekubitus. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan keluarga tentang Dekubitus rendah, dibuktikan dengan jumlah keluarga yang mengerti 0%, kurang mengerti 23% dan tidak mengerti 87%. Selain itu juga didapatkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian Dekubitus (p value = 0,045). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, dimana responden adalah family caregiver di komunitas bukan di rumah sakit. 2. Manfaat Pendidikan Kesehatan dan Minyak Kelapa terhadap Pencegahan Dekubitus Sunaryanti & Muladi (2014) melakukan penelitian tentang manfaat pendidikan kesehatan dan minyak kelapa terhadap pencegahan Dekubitus. Peneitian dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen dengan randomized cotrolled triali. Populasi yang digunakan pada penelitian tersebut adalah pasien yang berisiko mengalami luka dekubitus di masyarakat, dengan melakukan pengkajian risiko dekubitus menggunakan skala Norton yang berskor < 14. Analisis yang digunakan berupa uji univariat dan bivariat berupa uji t. Hasil penelitian didapatkan 38 orang berisiko Dekubitus melalui pengkajian skala Norton sebelumnya. Dari jumlah sampel, diperoleh warga dengan skor resiko sedang sebanyak 18

69 51 orang (47,4%) sedangkan 20 (52,6%) orang sisanya memiliki skor resiko berat mengalami Dekubitus. Betty dan Amik (2014) selanjutnya mengukur efektifitas pemberian minyak kelapa dan penyuluhan sebagai pencegahan Dekubitus. Hasilnya terdapat perbedaan yang signifikan antara pemberian minyak kelapa dan penyuluhan kesehatan tentang reposisi terhadap pencegahan Dekubitus dibandingkan perlakuan pemberian minyak kelapa saja atau penyuluhan tentang reposisi saja (Sunaryanti & Muladi, 2014). 3. Pengetahuan dan Keterlibatan Keluarga dalam Pencegahan Dekubitus Sulastri et al., (2008) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Keterlibatan Keluarga dalam Pencegahan Dekubitus pada Pasien Tirah Baring. Penelitian yang dilakukan berupa kuasi eksperimen dengan desain satu kelompok pretest-posttest. Pengukuran tingkat pengetahuan keluarga menggunakan kuesioner dengan jumlah pertanyaan 16 butir. Hasil penilaian pengetahuan didapatkan hasil 33,33% responden berpengetahuan kurang, 40% cukup dan 26,67% baik. Setelah dilakukan edukasi terdapat perubahan skor nilai pengetahuan pada responden dengan selisih nilai sebelum dan setelah edukasi sebesar 3,6. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan kesehatan dengan keterlibatan keluarga dalam pencegahan dekubitus, dimana terdapat perbedaan nilai rerata keterlibatan keluarga sebelum dan setelah pendidikan kesehatan sebesar 0,83.

70 52 G. Kerangka Teori Variabel Demografi (usia, jenis kelamin) Variabel sosio-psikologis (tingkat ekonomi, tingkat pendidikan) Variabel struktural (pengetahuan, pengealaman merawat pasien imoblisasi) Kemungkinan keuntungan yang diperoleh dari upaya preventif dikurangi keumngkinan halangan yang dihadapi dalam upaya pencegahan Dekubitus - Persepsi keseriusan Dekubitus - Persepsi kerentanan terhadap Dekubitus Kemungkinan pengobatan terhadap Dekubitus Kecenderungan dalam melakukan pencegahan Dekubitus Faktor pencetus untuk bertindak: - Kampanye dari media massa - Surat peringatan dari dokter - Anggota keluarga atau teman yang sakit - Artikel surat kabar atau majalah Bagan 2.3 Kerangka Teori Diadaptasi dari Teori Health Beliefe Model (Glanz, dkk, 1998 dalam Maulana, 2009), Potter&Perry (2012), Potter et al., (2011), dan Efendi & Makhfuldi (2009)

71 BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESA DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang dilakukan dan memberi landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai dengan identifikasi masalahnya. Kerangka konsep harus didukung landasan teori yang kuat serta ditunjang oleh informasi yang bersumber pada berbagai laporan ilmiah, hasil penelitian, jurnal, penelitian, dan lain-lain (Hidayat, 2007). Variabel penelitian dalam penelitian ini berupa jenis kelamin, usia, pengalaman, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan persepsi. Bagan 3.1 Kerangka Konsep Variabel Penelitian Jenis Kelamin Usia Pengalaman menjadi Caregiver dengan imobilisasi Tingkat Ekonomi Tingkat Pendidikan Tingkat Pengetahuan Dekubitus Persepsi Pencegahan Dekubitus 53

72 54 B. Definisi Operasional Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil Skala Tingkat Pengetahuan Pemahaman yang diperoleh oleh orang orang terdekat yang merawat Family pasien langsung melalui proses Caregiver pengalaman dan proses belajar, meliputi definisi, faktor risiko, faktor yang mempengaruhi pembentukan Dekubitus, proses pembentukan Dekubitus, tanda dan derajat luka Dekubitus, dan pencegahan Dekubitus. Usia Lama hidup responden terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir. Jenis Kelamin Merupakan pertanda gender responden Skala Guttman Menggunakan kuesioner 1: Kurang jika skor < 60% tingkat pengetahuan 2: Cukup jika skor 60-74% Dekubitus dari Sulastri et al. (2008), dengan skoring: 3: Baik jika skor % (Sulastri et al., 2008) a. Benar = 1 b. Salah = 0 Ditanyakan didalam Kuesioner 1: Dewasa Muda (18-24 instrumen mengenai tahun) berapa usia responden 2: Dewasa Pertengahan (25-44 tahun) 3: Dewasa Akhir (45-65 tahun) 4: Lansia (>65 tahun) (WHO, 2013) Ditanyakan dalam Kuesioner 1: laki-laki instrumen jenis kelamin 2: Perempuan dari responden Ordinal Ordinal Nominal

73 55 Tingkat Pedidikan Tahapan pendidikan yang dimiliki oleh responden melalui pendidikan formal yang dipakai oleh pemerintah serta disahkan oleh departemen pendidikan Kelas Kategori yang didasarkan pada ekonnomi akumulasi pendapatan dari anggota keluarga yang digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga. Pengalaman Pernah merawat seseoang yang sebelumnya berisiko Dekubitus atau yang sudah memiliki luka Dekubitus. Persepsi Pandangan family caregiver mengenai Dekubitus, meliputi: 1. Keseriusan Dekubitus 2. Kerentanan terhadap Dekubitus 3. Manfaat pencegahan Ditanyakan dalam Kuesioner 1: Tidak sekolah dan tidak instrumen mengenai lulus SD jenjang pendidikan 2: Dasar : SD- SMP terakhir yang diikuti oleh 3: Menengah : SMA/Sederajat responden 4: Tinggi : diploma dan Perguruan Tinggi Ditanyakan dalam Kuesioner 1: Rendah < UMR instrumen kuesioner ( ,13) besar pendapatan 2 : Tinggi > UMR keluarga per bulan dalam ( ,13) rupiah Ditanyakan dalam Kuesioner 1: Tidak instrumen mengenai 2: Ya adanya pengalaman atau tidak dalam merawat seseorang dengan Dekubitus Skala Likert Menggunakan kuesioner 1. Persepsi negatif < persepsi HBM dari Kautsar mean (57,6) & Haryanthi (2016), 2. Persepsi positif > dengan skoring: mean (57,6) 1. Bagian pernyataan positif: Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal

74 56 Dekubitus 4. Hambatan pencegahan Dekubitus a. sangat setuju: 4 b. setuju: 3 c. tidak setuju: 2 d. sangat tidak setuju: 1 2. Bagian pernyataan negatif: a. Sangat tidak setuju: 4 b. Tidak setuju: 3 c. Setuju: 2 d. Sangat setuju: 1

75 BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan proporsi atau rerata suatu variabel (Dahlan, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver tentang pencegahan Dekubitus. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pisangan dan Puskesmas Ciputat, Tangerang Selatan pada bulan April - Juni Alasan pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan studi pendahuluan didapatkan data yang relevan dengan kebutuhan sebagai awal perlunya dilakukan penelitian disana. Selain itu, lokasi yang dipilih memiliki kondisi geografis yang strategis dan dapat dijangkau oleh peneliti serta belum pernah dilakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pisangan dan Ciputat mengenai gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver tentang pencegahan dekubitus yang memiliki anggota keluarga berisiko Dekubitus. C. Populasi, Sampel dan Teknik sampling 1. Populasi 57

76 58 Populasi merupakan subjek yang memiliki kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian adalah semua family caregiver yang memiliki anggota keluarga yang memiliki anggota keluarga berisiko Dekubitus di wilayah kerja Puskesmas Pisangan, Ciputat Timur. Pada penelitian ini tidak dapat diketahui jumlah pasti populasinya karena keterbatasan data yang dimiliki oleh UPT Puskesmas Pisangan, sehingga jumlah populasi pasien yang berisiko Dekubitus tidak dapat diketahui. 2. Sampel Sampel penelitian adalah bagian dari total dan karakteristik yang dipunyai oleh populasi tersebut (Sugiono, 2009). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai subjek penelitian melalui proses sampling. Sampling adalah proses memilih porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang tersedia. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pengambilan sampel dengan purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti, berdasarkan karakteristik atau sifat-sifat poupulasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan rancangan penelitian yaitu dengan menggunakan rumus besar sampel uji hipotesa beda 2 proprsi, seperti berikut ini: n = Z1 α/2 2P(1 P) + Z1 β P1(1 P1) + P2(1 P2)) 2 (P1 P2) 2 n = (1,96 2.0,4(1 0,4) + 1,28 0,6(1 0,6) + 0,2(1 0,2)) 2 (0,6 0,2) 2

77 59 n = (1,96 0,48 + 1,28 0,4) 2 0,16 n = (1, ,809) 2 0,16 n = 4, ,16 n = 29,3 = 30 Ketrangan: Z1-α/2= 5% (1,96) (Derajat kemaknaan α pada uji dua sisi (two tail)) P = (P1+P2)/2= (0,2+0,6)/2= 0,4 P1 = 0,6 P2 = 0,2 Z1-β = 1,28 ( nilai z pada kekuatan uji (power) 1-β 90%) P1 merupakan proporsi jumlah caregiver berjenis kelamin laki-laki sebesar 0,6 pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mersal (2014) yang meneliti tentang Pengetahuan dan Perilaku Caregiver terhadap Pencegahan Komplikasi Pasien Imobilisasi di RS EL-demerdash Kairo. Lokasi yang digunakan untuk penelitian adalah rumah sakit, dimana untuk mendapatkan responden yang beragam cukup mudah. Sedangkan P2 merupakan proporsi caregiver laki-laki yang ditentukan oleh peneliti didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sulastri et al (2008) dimana caregiver laki-laki sebanyak 0,7 dengan seting lokasi penelitian di rumah sakit. Peneliti menganggap selisih poporsi P1 dan P2 sebesar 0,4 adalah bermakna karena mengingat lokasi

78 60 penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah di masyarakat yang lebih sulit untuk mencari caregiver berjenis kelamin laki-laki. Dari hasil penghitungan menggunakan rumus diatas, diperoleh n atau jumlah sampel adalah 30 responden. Pengambilan sampel untuk penelitian ini menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut: 2.1 Kriteria Inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel (Nursalam, 2003), yaitu: a. Responden merupakan family caregiver yaitu salah satu anggota keluarga yang memberikan perawatan langsung kepada anggota keluarga yang berisiko Dekubitus (skor sakala Braden <19) dengan intensitas merawat selama minimal 18 jam perminggu b. Dapat berkomunikasi c. Bersedia menjadi responden 2.2 Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi merupakan karakteristik sampel yang tidak dapat dimasukkan atau tidak layak untuk diteliti, kriteria inkluasi pada penelitian ini adalah : a. Keluarga menggunakan jasa petugas kesehatan perofesional untuk merawat anggota keluarga yang berisiko dekubitus Responden didapatkan dengan mencari informasi melalui kader Posbindu. Namun, karena tidak disemua RW memiliki Posbindu dan kader

79 61 tidak menghafal seluruh anggota warganya satu RW, maka peneliti mendapatkan informasi masyarakat yang memiliki angggota keluarga dengan keterbatasan mobilisasi dengan bertanya langsung kepada warga sekitar atau ketua RT jika sedang ada di tempat. Peneliti melakukan pencarian responden di 8 RW pada kelurahan Pisangan dan 6 RW di Kelurahan Ciputat dengan jumlah kunjungan rumah sebanyak 36 rumah. Dari informan tersebut, peneliti mendapati responden di 16 RT di Kelurahan Pisangan dan 9 RT di wilayah Kelurahan Ciputat. Kemudian peneliti mengunjungi rumah responden untuk selanjutnya diukur skor risiko Dekubitus dengan skala Braden dan dimintai persetujuan sebagai responden. Dalam kunjungan ke rumah calon responden, 4 calon responden menolak untuk menjadi responden dan 6 calon responden tidak memenuhi kriteria inklusi responden. Penilaian risiko dekubitus dengan skala Braden terdiri dari 6 item, yaitu: persepsi sendorik, kelembaban, aktivitas, mobilisasi, nutrisi, dan friksi dan gesekan. Penilaian persepsi sensorik dilakukan dengan observasi kondisi pasien dan wawancara baik ke pasien dan caregiver. Sedangkan penilaian item lainnya dilakukan dengan wawancara kepada pasien dan caregiver, seperti bagaimana BAB dan BAKnya menggunakan popok atau tidak, dalam sehari ganti berapa kali, ketika diatas tempat tidur bisa merubah posisi secara mandiri atau tidak, porsi makan sehari-harinya, bantuan untuk aktivitas seberapa jauh dan sebagainya.

80 62 D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner atau angket yang akan dijawab melalui wawancara oleh peneliti kepada family caregiver dalam angket kuesioner terdapat 5 bagian. Kuesioner pengetahuan diadaptasi dari Sulastri et al., (2008) dan kuesioner persepsi diadaptasi dari Kautsar & Haryanthi, (2016) yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut: 1. Bagian pertama atau A berupa data sosial demografi dari Family Caregiver yang terdiri dari nama, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pengalaman dan hubungan dengan anggota keluarga yang berisiko. 2. Bagian B merupakan kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan Family Caregiver. Kesioner pengetahuan menggunakan kuesioner dari penelitian yang telah dilakukan oleh Sulastri, Effendy, & Haryani (2008) dan peneliti telah mendapat izin untuk menggunakannya. Jumlah pernyataan ada 18 nomor dengan sub bagian yang terdiri dari pernyataan terkait definisi Dekubitus (1,2), lokasi kejadian dekubitus (4,5), derajat Dekubitus (6,7,8,9), penyebab dan faktor risiko(3, 9, 10, 11, 12), tindakan pencegahan Dekubitus (13, 14, 15,16). 3. Bagian C merupakan kuesioner untuk mengetahui persepsi family caregiver tentang Dekubitus yang diadaptasi dari Kautsar & Haryanthi (2016), dimana peneliti telah mendapat izin untuk menggunakannya melalui surat elektronik. Jumlah pernyataan sebanyak 20 nomer. Pernyataan persepsi terdiri dari persepsi tentang kerentanan terhadap Dekubitus (12,13,14,15,16), persepsi

81 63 manfaat (1,2,3,4,5), persepsi hambatan (6, 7, 8, 9) dan persepsi keseriusan (17,18,19, 20). Pernyataan-pernyataan yang disusun untuk mengetahui tingkat pengetahuan family caregiver tetang Dekubitus menggunakan skala Guttman, dimana untuk setiap jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0. Skala Guttman dipilih oleh peneliti karena menginginkan jawaban tegas atas setiap pernyataan yang diajukan. Pernyataan dibuat dalam bentuk pilihan jawaban benar dan salah yang hanya memiliki satu jawaban benar. Penilaian untuk tingkat pengetahuan dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor jawaban dengan skor yang diharapkan (tertinggi) kemudian dikalikan 100% dan hasilnya dalam bentuk atau berupa persentase. Selanjutnya, persentase dari jawaban diinterpretasikan dalam kalimat kualitatif dengan acuan yang disesuaikan dengan penelitian sebelumnya oleh Sulastri et al., (2008) sebagai berikut: Tabel 4.1 Interpretasi Skor Pengetahuan Skor Penilaian Interpretasi Tingkat Pengetahuan % Baik 60-75% Cukup >60% Kurang

82 64 Dalam bagian persepsi, pernyataan-pernyataan persepsi tentang Dekubitus disusun dalam bentuk skala Likert dengan memberikan bobot pada setiap jawaban. instrumen persepsi menggunakan skala 1-4 sesuai dengan penelitiayang dilakukan oleh Kautsar & Haryanthi (2016) dengan kategori: a. Sangat setuju (SS) yang berarti sangat sesuai b. Setuju (S) yang berarti sesuai c. Tidak Setuju (TS) yang berarti tidak sesuai d. Sangat Tidak Setuju (STS) yang berarti sangat tidak sesuai. Perolehan skor dari masing-masing item disesuaikan berdasarkan jawaban dari jenis pernyataan positive/favorable atau negative/unfavourable. Dalam mengkategorikan hasil kuesioner persepsi, peneliti menggunakan cut of point. Hal ini ditentukan oleh peneliti, dikarenakan pada penelitian sebelumnya oleh Kautsar & Haryanthi (2016) hanya sebatas konstruk validitas instrumen tidak ada acuan untuk kategori hasil skor dari persepsi. Persepsi positif apabila total skor yang diperoleh > mean, persepsi negatif jika total skor yang didapatkan < mean. Cut of Point pada kuesioner persepsi menggunakan mean karena distribusi data persepsi normal. Persepsi positif pada kerentanan memiliki arti bahwa responden menganggap ada anggota keluarganya rentan terkena Dekubitus, persepsi positif pada manfaat pencegahan Dekubitus memiliki arti bahwa responden menganggap tindakan

83 65 pencegahan sangat bermanfaat, dan persepsi positif pada hambatan adalah responden tidak mempunyai hambatan dalam melakukan pencegahan Dekubitus. Persepsi negatif pada kerentanan memiliki arti bahwa responden menganggap tidak ada anggota keluarga yang berisiko Dekubitus, persepsi negatif pada manfaat pencegahan Dekubitus memiliki arti bahwa responden menganggap mencegah Dekubitus tidak bermanfaat, dan persepsi negatif pada hambatan adalah responden beranggapan memiliki banyak hambatan untuk melakukan tindakan pencegahan Dekubitus. E. Pengujian Instrumen 1. Uji Validitas Alat ukur penelitian yang baik adalah alat ukur yang dapat lolos daam aspek validitas. Validitas merupakan kemampuan sebuah tes atau uji untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Bruce (2008) dalam Swarjana (2016) menyebutkan bahwa validitas merupakan kapasitas sebuah tes, instrumen atau pertanyaan untuk memberikan hasil yang benar (Swarjana, 2016). Pada penelitian ini instrumen yang digunakan merupakan instrumen baku dimana telah diuji validitas oleh peneliti sebelumnya. Pada kuesioner pengetahuan diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Sulastri et al., (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Keterlibatan Keluarga dalam Pencegahan Dekubitus

84 66 pada Pasien Tirah baring. Peneliti telah mendapatkankan izin untuk menggunakan kuesioner dari peneliti sebelumnya melalui media sosial. Uji validitas kuesioner tingkat pengetahuan dilakukan pada 10 orang responden dengan kriteria yang sama dengan responden yang akan dilakukan penelitian. Uji validitas dilakukan dengan teknik korelasi Pearson Product Moment. Dari 20 pertanyaan 4 butir pernyataan dinyatakan valid, sedangkan 16 pernyataan yang tidak valid; 4 item dihilangkan dan 12 item pernyataan yang lain direvisi dan diuji oleh expert/ ahli (Sulastri et al., 2008). Kuesioner persepsi diadaptasi dari Kautsar & Haryanthi ( 2016) tentang Construct Validity of Test Instruments for Health Belief Model (HBM) in Cervical Cancer yang selanjutnya peneliti memperoleh izin untuk menggunakan dan memodifikasi kuesioner untuk disesuaikan dengan topik Dekubitus. Konstruk validitas yang digunakan oleh peneliti sebelumnya adalah metode Analisis Faktor Konfirmator (Confirmatory Factor Analysis / CFA). Jumlah item yang dikonstruk validitas sebanyak 32 dengan rincian: persepsi kerentanan 5 item, persepsi keseriusan 5 item, persepsi manfaat 5 item, persepsi hambatan 7 item, isyarat untuk bertindak (cues to action) 5 item, dan keyakinan kemampuan diri 5 item. Karena penelitian ini terkait persepsi kerentanan, keseriusan, manfaat, dan hambatan maka jumlah item sebanyak 22. Hasil uji konstruk validitas terdapat 2 item pertanyaan yang tidak valid (t value < 1,96), yaitu pada satu item pernyataan

85 67 persepsi hambatan (t value = 1,12) dan satu item pada pernyataan keseriusan (t value = 0,62), sehingga jumlah item yang valid dan digunakan sebanyak 20 butir. 2. Uji Reliabilitas Instrumen penelitian juga perlu mempertimbangkan aspek reliabilitas disamping memperhatikan validitas. Reliabilitas berarti sejauh mana alat ukur mampu menghasilkan nilai yang sama atau konsisten walaupun dilakukan pengukuran berulang atau beberapa kali pengukuran pada subyek dan aspek yang sama, selama aspek dalam subyek tersebut memang belum mengalami perubahan (Swarjana, 2016). Uji reliabilitas kuesioner Persepsi dilakukan dengan melihat nilai Alpha Cronbach. Hasil analisis menunjukkan nilai Alpha Cronbach sebesar 0,674, karena nilai alpha > 0,60, maka instrumen dapat dikatan reliabel (Hamdi & Bahruddin, 2014). Uji reliabilitas kuesioner tingkat pengetahuan dilakukan dengan teknik belah dua (split-half) yang dianalisis dengan rumus Spearman Brown. Hasil uji yang dilakukan oleh Sulastri et al., (2008) kepada 10 responden diperoleh nilai reliabilitas 0,638, nilai tersebut lebih besar dari nilai tabel pembandingnya yaitu 0,632 sehingga alat ukur dinyatakan cukup reliabel untuk dipakai dalam penelitian.

86 68 F. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data didahului dengan mengajukan izin ke Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan untuk melakukan studi pendahuluan dan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pisangan. Setelah mendapat izin dari Dinkes Kota Tangerang Selatan, pengajuan penelitian dilanjutkan ke UPT Puskesmas Pisangan. Pada awal kunjungan studi pendahuluan diperoleh data prevalensi populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian ini. Data didapatkan dari bagian program Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) Puskesmas Ciputat. Kemudian, untuk mendapat infromasi lebih detail mengenai calon responden, dilakukan turun lapangan dengan mengikuti kegiatan Posbindu PTM Puskesmas Pisangan. Sampel didapatkan melalui data yang dimiliki dan dikelola oleh kader Posbindu. Setelah mendapat data melalui kader Posbindu, peneliti melakukan peyaringan terhadap data melalui kunjungan rumah dengan menilai derajat risiko Dekubitus menggunakan Skala Braden dari anggota keluarga yang bermasalah. Nilai hasil pengkajian dengan skala Braden ditampilkan dalam tabel 4.2. Tabel 4.2 Frekuensi Hasil Skor Pengkajian Risiko Dekubitus dengan Skala Braden Skor Skala Braden Frekuensi (n) Persentase (%) Kategori Risiko 9 1 3,9 Sangat tinggi ,5 Tinggi ,4 Tinggi

87 ,4 Sedang ,1 Sedang ,7 Rendah ,5 Rendah ,5 Rendah Total Setelah responden didapatkan datanya melalui penyaringan, penelitian dilanjutkan dengan turun lapangan menemui calon responden untuk mengukur variabel yang berkaitan dengan penelitian. Dalam pengambilan data, peneliti menjelaskan terlebih dahulu maksud serta tujuan dari penelitian serta meminta persetujuan calon responden untuk bersedia menjadi responden melalui informed consent. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer yang didapatkan melalui kuesioner. Pada tahap pengumpulan data, peneliti melakukan penyebaran kuesioner kepada responden, kemudian responden menjawab pernyataan yang tertera di dalam kuesioner mengenai Dekubitus sesuai dengan persepsi dan pengetahuan yang dimiliki oleh responden. G. Pengolahan Data Langkah-langkah dalam pengolahan data meliputi editing, coding, processing, cleaning, dan tabulating. 1. Editing Editing adalah aktivitas untuk mengecek validitas data yang masuk. Pada tahap ini peneliti memeriksa kelengkapan data yang telah dikumpulkan

88 70 meliputi kelengkapan pengisian kuisoner, kejelasan jawaban, relevansi jawaban, dan kesamaan suatu pengukuran. Hasil pemeriksaan diperoleh hasil semua kuesioner diisi lengkap dan jelas oleh responden. 2. Coding Coding merupakan tahapan kegiatan mengklasifikasikan data dan jawaban sesuai dengan kategoti masing-masing sehingga memudahkan dalam pengelompokkan data. Pada tahap Coding peneliti memberikan kode atau mengklasifikasikan jawaban dari responden yang tertulis di kuesioner sesuai dengan kategori yang telah dibuat dan dijelaskan didalam definisi operasional oleh peniliti. 3. Processing Pada tahap ini dilakukan pemrosesan data agar dapat dianalisis. Pemrosesan data dikerjakan dengan cara memasukkan (entry) data hasil pengisian kuesioner ke dalam master tabel atau database komputer. Peneliti memasukkan data hasil pengisian kuesioner oleh responden yang telah diberi kode dan dikelompokkan ke dalam master data menggunakan komputer. 4. Cleaning Cleaning merupakan tahapan untuk memeriksa kembali data yang sudah di masukkan atau di-entry dan melakukan koreksi bila terdapat kesalahan. Setelah memasukkan data ke dalam master data maka peneliti akan mengecek kembali data yang sudah dimasukkan untuk mengevaluasi adanya kesalahan.

89 71 Setelah dilakukan cleaning terhadap instrumen penelitian diperoleh hasil seluruh pernyataan dijawab oleh responden sehingga keseluruhan data lengkap dan memenuhi variabel, sehingga tidak ada data dibuang. 5. Tabulating Pada tahap tabulating dilakukan pengorganisasian data sedemikian rupa supaya dengan mudah dapat diakumulasi, disusun, dan diatur atau ditata untuk selanjutnya disajikan dan dianalisis (Lapau, 2012). Pada tahap ini peneliti melakukan tabulasi atau penyusunan data yang telah dimasukkan ke dalam master data untuk memudahkan pengamatan dan analisis data selanjutnya. H. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver. Analisis data univariat yang digunakan adalah analisis proporsi atau presentase dari setiap variabel Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan data secara sederhana. Cara penyajiannya, seperti dengan persentase atau tabel distribusi frekuensi, diagram map, diagram batang (Budiharto, 2008). Pada uji univariat ditampilkan deskripsi frekuensi dari karakteristik responden berupa risiko terjadinya Dekubitus, usia, jenis kelamin, pengalaman, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi serta variabel tingkat pengetahuan dan persepsi family caregiver. Selain itu, pada penelitian ini juga ditampilkan tabulasi silang antara karakteristik reponden dengan kategori pengetahuan dan persepsi.

90 72 I. Etik Penelitian 1. Prinsip Manfaat (Beneficence) Prinsip manfaat merupakan keharusan untuk menguntungkan orang lain dan memberikan manfaat semaksimal mungkin. Responden diperlakukan dengan cara yang etis, keputusan mereka dihormati, mereka dilindungi dari bahaya, dan upaya yang dilakukan untuk mengamankan kesejahteraan mereka (National Commission, 1978 dalam Wood & Haber, 2006). Penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip manfaat bagi responden. Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian bagi responden. Selain itu, informasi yang telah diberikan oleh responden akan dijamin kerahasiaannya dan tidak akan digunakan untuk hal-hal yang dapat merugikan responden dalam bentuk apapun. 2. Prinsip Menghormati Manusia (Respect For Persons) Setiap orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dan untuk pengobatan sebagaii bagian otonom dari diri mereka, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam sebuah penelitian. Segala keputusan yang ditetapkan oleh setiap orang harus dihormati (National Commission, 1978 dalam Wood & Haber, 2006). Dalam penelitian ini tidak ada unsur pemaksaan. Responden memiliki hak sepenuhnya untuk memberi keputusan apakah bersedia menjadi responden atau tidak, tanpa ada kerugian atau sanksi apapun. Keputusan dari responden akan

91 73 dihormati sebagai hak otonominya. Dalam mengumpulkan data, responden akan menerima informasi secara lengkap dan jelas mengenai tujuan penelitian yang akan dilakukan. 3. Prinsip Keadilan (Justice) Manusia sebagai obyek harus diperlakukan dengan adil. Ketidakadilan terjadi ketika manfaat yang seharusnya menjadi hak seseorang tidak diberikan tanpa alasan yang jelas atau ketika beban yang diberikan terlalu dipaksakan (National Commission, 1978 dalam Wood & Haber, 2006). Dalam penelitian ini, semua responden diperlakukan secara adil tidak ada diskriminasi antar responden, baik sebelum, selama, dan setelah keikutsertaannya sebagai responden dalam penelitian ini.

92 BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di lingkup wilayah kerja UPT Puskesmas Pisangan dan UPT Puskesmas Ciputat, dengan jumlah responden sebanyak 30 responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling. Penyaringan dan pengisian kuesioner dilakukan secara bersama-sama karena dinilai lebih efisien oleh peneiliti mengingat keterbatasan waktu serta tidak adanya data yang lengkap mengenai masyarakat yang mengalami imobilisasi di Puskesmas. A. Gambaran Lokasi Penelitian 1. Puskesmas Pisangan Puskesmas Pisangan adalah salah satu Puskesmas yang berada di wilayah Kecamatan Ciputat Timur dan membawahi 2 Kelurahan, yaitu Kelurahan Pisangan dan Kelurahan Cirendeu. Luas wilayah kerja Puskesmas Pisangan sebesar Ha, dengan sebagian besar tanah darat dan sisanya rawa. Letak daerah binaan Puskesmas Pisangan berada di antara wilayah dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara : Wilayah Kerja Puskesmas Jurangmangu Timur (Kec. Pondok Aren) Sebelah Barat : Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat (Kecamatan Ciputat) 74

93 75 Sebelah Timur : DKI Jakarta Sebelah Selatan : Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang (Kel. Pondok Cabe Ilir) 2. Puskesmas Ciputat Puskesmas Ciputat terletak di sebelah Utara Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah kecamatan Ciputat kira-kira Ha yang didominasi oleh tanah darat / kering (93,64%) kemudian sisanya merupakan tanah rawa / danau. Wilayah kerja Puskesmas Ciputat terdiri dari 2 kelurahan, yaitu: kelurahan Ciputat dan kelurahan Cipayung, yang dijadikan sebagai kelurahan binaan. Tingkat kepadatan penduduk di kelurahan Ciputat lebih mendominasi (147,45 jiwa/km2) dibandingkan dengan kelurahan Cipayung (104, 91 jiwa/km2). Puskesmas Ciputat merupakan salah satu adri tiga Puskesmas yang ada diwilayah kecamatan Ciputat, yang berbatasan dengan: sebelah Utara : wilayah kerja Puskesmas kakampung Sawah sebelah Selatan : wilayah kerja Puskesmas Pamulang sebelah Barat : wilayah kerja Puskesmas Benda Baru sebelah Timur : wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur B. Karakteristik Responden Responden pada penelitian ini adalah family caregiver dengan anggota keluarga yang berisiko Dekubitus yaitu yang memiliki skor <19 pada pengkajian

94 76 skala Braden. Adapun distribusi frekuensi tingkat risiko terjadinya Dekubitus pada pasien ditunjukkan pada tabel 5.1 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Tingkat Risiko Terjadinya Dekubitus pada Anggota Keluarga Responden Risiko Dekubitus Frekuensi (n=26) Persentase (%) Sangat tinggi 1 3,8 Tinggi 7 26,9 Sedang 10 38,5 Rendah 8 30,8 Total Hasil pengkajian risiko Dekubitus menggunakan skala Braden menunjukkan hasil bahwa kebanyakan dari anggota keluarga yang berisiko memiliki risiko sedang sebesar 38,5% (10 responden). Gambaran karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, hubungan keluarga, pengalaman, tingkat ekonomi, dan tingkat pendidikan yang disajikan dalam beberapa tabel 5.2.

95 77 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Family Caregiver dengan Anggota Keluarga yang Berisiko Dekubitus Karakteristik Frekuensi (n= 26) Persentase (%) Kategori usia Dewasa Muda (18-24 tahun) 4 15,4 Dewasa Pertengahan (25-44 tahun) 6 23,1 Dewasa Akhir (45-64 tahun) Lansia ( 65 tahun) 3 11,5 Jenis Kelamin laki-laki 3 11,5 Perempuan 23 88,5 Hubungan Suami 2 7,7 Keluarga Istri 6 23,1 Anak 9 34,6 Saudara 3 11,5 Cucu 4 15,4 Menantu 1 3,8 orang tua 1 3,8 Pengalaman Tidak 22 84,6 Ya 4 15,4 Tingkat Rendah Pendidikan Menengah 10 38,5 Tinggi 3 11,5 Tingkat Rendah 20 76,9 Ekonomi Tinggi 6 23,1 Hasil analisa menunjukkan sebagian besar responden merupakan dewasa akhir yang terdapat dalam rentang usia tahun dengan frekuensi sebanyak 13 responden. Mayoritas responden adalah perempuan yakni mencapai 88,5% dari total

96 78 responden. Hubungan keluarga antara responden dengan anggots keluarganya yang mengalami risiko Dekubitus didominasi oleh anak. Sebagian besar reponden tidak memiliki pengalaman merawat orang dengan imobilisasi sebelumnya (84,6%). Mayoritas dari responden mengatakan bahwa baru satu kali merawat orang dengan risiko Dekubitus namun dalam rentang waktu yang cukup lama. Tingkat pendidikan responden paling banyak pada tingkat rendah yaitu SD/SMP (50%). Sedangkan pada tingkta ekonomi, mayoritas responden berpendapatan dibawah UMR atau pada tingkat ekonomi rendah yaitu sebesar 76,9%. C. Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver Gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver tentang pencegahan Dekubitus dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver tentang Pencegahan Dekubitus Kategori Tingkat Pengetahuan Persepsi Frekuensi (n= 26) Persentase (%) Kurang 3 11,5 Cukup 18 69,2 Baik 5 19,3 Negatif 14 53,8 Positif 12 46,2

97 79 Tabel 5.3 menggambarkan bahwa tingkat pengetahuan responden sebagian besar dalam kategori cukup yaitu sebesar 69,2%. Pengetahuan baik mengenai Dekubitus hanya didapati 5 responden dari 26 total responden, dan pengetahuan kurang sebesar 11,5%. Hasil ini menunjukkan bawah pengetahuan family caregiver tentang Dekubitus tergolong cukup rendah. Persepsi family caregiver didominasi dengan persepsi negatf terhadap pencegahan Dekubitus dengan persentase sebesar 53,8% dan responden yang berpresepsi negatif yaitu hanya sebesar 46,2%. D. Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver Berdasarkan Karakteristik Responden Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Family Caregiver Berdasarkan Karaktersitik dan Tingkat Pengetahuan tentang Dekubitus Karakteristik Jenis Kelamin Usia Pengalaman Tingkat Pengetahuan Kurang cukup Baik Total laki-laki 0 (0,0%) 2 (66,7%) 1 (33,3%) 3 (100%) Perempuan 3 (13%) 16 (69,6%) 4 (17,4%) 23 (100%) Dewasa Muda 0 (0,0%) 4 (100%) 0 (0,0%) 4 (100%) Dewasa Pertengahan 1 (16,7%) 3 (50%) 2 (33,3%) 6 (100%) Dewasa Akhir 0 (0,0%) 10 (76,9%) 3 (23,1%) 13 (100%) Lansia 2 (66,7) 1 (33,3%) 0 (0,0%) 3 (100%) Tidak 3 (13,6%) 15 (68,2%) 4 (18,2%) 22 (100%) Ya 0 (0,0%) 3 (75,0%) 1 (25,0%) 4 (100%)

98 80 Tingkat Ekonomi Tingkat Pendidikan Rendah 3 (15%) 15 (75%) 2 (10%) 20 (100%) Tinggi 0 (0,0%) 4 (66,7%) 2 (33,3%) 6 (100%) Rendah 3 (23,1%) 10 (76,9%) 0 (0,0%) 13 (100%) Menengah 0 (0,0%) 7 (70%) 3 (30%) 10 (100%) Tinggi 0 (0,0%) 1 (33,3%) 2 (66,7%) 3 (100%) Tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa dari kategori jenis kelamin, 66,7% responden laki-laki memiliki pengetahuan cukup dan 33,3% berpengetahuan baik. Sedangkan pada jenis kelamin perempuan, 69,6% berpengetahuan cukup, 17,4 % berpengetahuan kurang dan sisanya sebesar 19,2% berpengetahuan baik. Pada kategori kelompok usia terlihat kelompok usia dewasa akhir memiliki frekuensi terbanyak yaitu 13 orang dan didominasi dengan tingkat pengetahuan cukup sebesar 76,9%. Pada kelompok usia dewasa muda 100% responden berpengetahuan cukup. Berbeda pada kelompok usia lansia dimana 66,7% memiliki pengetahuan yang kurang. Pada kelompok usia dewasa pertengahan 50% responden memiliki pengetahuan yang cukup. Dari 26 responden, didapatkan bahwa hanya 4 orang yang memiliki pengalaman merawat pasien dengan keterbatasan mobilisasi. Pada kategori tidak beperngalaman 68,2% memiliki pengetahuan yang cukup, 13,6% pengetahuan kurang dan 18,2% memiliki pengetahuan yang baik. Pada kategori tingkat ekonomi, sebagian besar responden berada pada tingkat ekonomi rendah. Pada kelompok tingkat ekonomi rendah terlihat 75% responden memiliki pengetahuan yang cukup dan 15% pengetahuan kurang, sedangkan pada kelompok tingkat ekonomi tinggi

99 81 33,3% berpengetahuan baik dan 0% yang memiliki pengetahuan kurang. Pada kategori tingkat pendidikan terlihat adanya perbedaan pada tigkat pengetahuan, dimana pada responden dengan tingkat menengah dan tinggi tidak ada yang berpengetahuan kurang. Pada kelompok pendidikan rendah 23,1% memiliki pengetahuan yang kurang. Pada kelompok pendidikan menengah, tingkat pengetahuan cukup memiliki persentase terbesar yaitu 70%, sedangkan pada kelompok pendidikan timggi 66,7% memiliki pengetahuan yang tinggi. Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Family Caregiver Berdasarkan Karaktersitik dan Persepsi tentang Dekubitus Kategori Persepsi Negatif Positif Total Jenis Kelamin Laki-laki 2 (66,7%) 1(33,3%) 3 (100%) Perempuan 12 (52,2%) 11 (47,8%) 23(100%) Usia Dewasa Muda (18-24 th) 1 (25,0%) 3 (75,0%) 4 (1005) Dewasa Pertengahan (25-44 th) 5 (83,3%) 1 (16,7%) 6 (100%) Dewasa Akhir (45-65 th) 7 (53,8%) 6 (46,2%) 13 (100%) Lansia >65 th) 1 (33,3%) 2 (66,7%) 3 (100%) Pengalaman Tidak 12 (54,5%) 10 (45,5%) 22 (100%) Ya 2 (50,0%) 2 (50,0%) 4 (100%) Tingkat Ekonomi Rendah (< UMR) 12 (60%) 8 (40%) 20 (100%) Tinggi (> UMR) 2 (33,3%) 4 (66,7%) 6 (100%) Rendah 4 (40%) 6 (605%) 10 (100%) Tingkat Pendidikan Menengah 7 (53,8%) 6 (46,2%) 13 (100%) Tinggi 2 (66,7%) 1 (33,3%) 3 (100%)

100 82 Pada kategori jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan persentase terbesar responden memiliki persepsi negatif yaitu masing-masing sebesar 75,0% dan 57,7%.. Pada kategori usia, ditampilkan bahwa pada kelompok usia dewasa muda 75% memiliki persepsi yang positif, berbeda pada kelompok dewasa pertengahan dimana 85,7% berpersepsi negatif. Pada dewasa akhir 62,5% memiliki persepsi negatif, terbalik pada lansia dimana 75,0% memiliki persepsi positif. Pada kategori pengalaman, responden yang memiliki pengelaman memiliki persentase yang sama antara yang berpersepsi negatif dan positif, sedangkan pada kelompok yang tidak memiliki pengalaman 61,5% berpersepsi negatif. Pada kelompok tingkat ekonomi rendah persepsi negatif mendominasi dengan persentase sebesar 65,2%. Hasil ini berkebalikan pada kelompok tingkat ekonomi tinggi, dimana 57,2% memiliki persepsi positif tentang pencegahan Dekubitus. Pada kategori tingkat pendidikan didapatkan hasil baik pada kelompok pendidikan rendah, menengah dan tinggi didominasi oleh persepsi negatif dengan persentase masing-masing sebesar 64,3%, 53,8%, dan 75%.

101 BAB VI PEMBAHASAN A. Gambaran Karakteristik Family Caregiver dengan Anggota Keluarga yang Berisiko Dekubitus Hasil penelitian menunjukkan bahwa 88,5% dari responden berjenis kelamin perempuan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa perempuan lebih intensif dalam memberikan perawatan dibandingkan laki-laki (Schulz & Eden, 2016). Selain itu, perempuan memenuhi tiga per empat dari seluruh total pemberi perawatan primer / primary family caregiver (NAC/AARP, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Valente et al., (2011) juga memiliki frekuensi family caregiver lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 80,3%. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mersal, 2014 dimana jumlah responden laki-laki sebagai family caregiver lebih banyak dibandingkan perempuan dengan persentase sebesar 57,89%. Hal ini dapat terjadi karena wanita dianggap lebih intensif dalam memberikan perawatan (Greenlee & Scharlach, 2006). Selain itu, pada penelitian ini responden lebih banyak perempuan karena anggota keluarga yang laki-laki sebagian besar menjadi tulang punggung keluarga sehingga intensitas di rumah lebih sedikit dibandingkan anggota keluarga yang perempuan. Dalam kategori usia, responden didominasi oleh kelompok usia dewasa akhir dengan berjumlah 13 orang dari total 26 responden. Jumlah tersebut linier dengan jenis hubungan keluarga antara family caregiver dengan anggota keluarga yang 83

102 84 berisiko Dekubitus dimana paling banyak yang berperan sebagai family caregiver adalah anak dari pasien (34,6%), sedangkan usia rata-rata pasien adalah 70 tahun sehingga bisa dipastikan kebanyakan dari anak pasien sudah memasuki masa dewasa pertengahan atau akhir. Tingkat ekonomi responden sebagian besar pada tingkat ekonomi rendah yaitu dibawah UMR (Upah Minimun Regional) dengan jumlah sebanyak 20 responden (76,9%). Hasil ini dikarenakan adanya kesulitan dalam mengakses persetujuan pada responden yang tingkat ekonominya tinggi yang lebih banyak tinggal di area komplek. Dalam menjalankan perannya, familiy cregiver membutuhkan dukungan pemasukan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan keluarganya yang mengalami gangguan imobilisasi, seperti pembelian popok dan biaya kontrol kesehatan. Sulitnya dalam pemenuhan ekonomi merupakan salah satu faktor yang secara signifikan berhubungan dengan tingginya stres yang dialamai oleh caregiver (Pearlin, 1989). Secara teori, pendapatan merupakan hal yang penting dalam status kesehatan individu. Pendapatan menjadi media dalam memperoleh makanan yang sehat, tempat tinggal yang layak, dan gaya hidup yang sehat. Dampak pendapatan terhadap status kesehatan di kalangan orang miskin lebih besar dari pada kalangan orang yang memiliki pendapatan cukup hingga tinggi. Faktor penting pada masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah pendapatan tetap. Hal ini dikarenakan berpenghasilan rendah adalah kemiskinan relatif sedangkan pada orang miskin yang tidak

103 85 berpenghasilan merupakan kemiskinan yang mutlak (Backlund, Sorlie, & Johnson, 1999). Hasil penelitian mendapatkan bahwa dari 26 responden hanya 4 responden yang memiliki pengalaman merawat orang dengan imobilisas sebelumnya. Namun, dalam pemberian perawatan kepada keluarganya yang berisiko Dekubitus, 90% dari family caregiver telah merawat anggota keluarganya yang berisiko Dekubitus selama lebih dari satu tahun. Dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut family caregiver sudah terbiasa dalam memberikan perawatan dan memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya yang mengalami gangguan mobilisasi. Tingkat pendidikan responden paling besar adalah pada tingkat pendidikan rendah (SD/SMP) dengan persentase sebesar 50%. Hal ini karena usia responden yang mendominasi adalah pada rentang dewasa akhir. Dimana pendidikan masih belum banyak tersedia. Selain itu, tingkat ekonomi responden juga paling banyak dalam tingkat rendah, yang dapat mempengaruhi keputusan untuk mengambil pendidikan pada tingkat atas seperti perguruan tinggi. B. Gambaran Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver dengan Anggota Keluarga yang Berisiko Dekubitus Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga kepada objek tertentu. Pengetahuan adalah domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku yang

104 86 berdasarkan pengetahuan umumnya bersifat lama (Sunaryo, 2004). Hasil tingkat pengetahuan family caregiver diketahui family caregiver laki-laki yang memiliki pengetahuan baik hanya 33,3% reponden laki-laki, sedangkan pada jenis kelamin wanita 17,4% responden memiliki pengetahuan baik. Persentase yang lebih besar pada laki-laki disebabkan karena responden laki-laki tersebut memiliki pengalaman merawat dengan pasien gangguan mobilisasi sebelumnya yaitu ibunya sebelum sekarang merawat istrinya dengan gangguan mobilisasi karena stroke. Meskipun tidak pernah mendapat pendidikan kesehatan mengenai Dekubitus, responden mengetahui beberapa tindakan pencegahan Dekubitus karena pengalamannya bukan karena dasar teori seperti segera mengganti popok pasien jika BAB atau BAK agar tidak lembab dan membantu memiringkan pasien jika pasien mengeluh ada nyeri di bagian tubuh tertentu. Tingkat pengetahuan pada kategori usia sebagian besar pada kategori cukup, kecuali pada lansia dimana 66,7% memiliki pengetahuan kurang. Pada hasil analisa dari pengisian kuesioner, pada responden dengan kelompok usia lansia, didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikannya pada tingkat rendah. Menurut Notoatmodjo (2003) salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Mengenyam pendidikan akan melatih kemampuan dan kapasitas seseorang dalam belajar sehingga mampu menghasilkan suatu perubahan dalam pengetahuan.

105 87 Tingkat pengetahuan berdasarkan tingkat ekonomi masih paling banyak pada tingkat pengetahuan cukup yaitu 75% pada kelompok ekonomi rendah dan 57,1% pada kelompok ekonomi rendah. Hal ini berhubungan dengan tingkat pendidikan yang diambil oleh responden. Keputusan untuk mengenyam pendiidkan dipengaruhi oleh tingkat ekonomi seseorang. Selain itu, melihat mayoritas usia responden yang didominasi oleh kelompok usia dewasa akhir dapat diketahui bahwa kebanyakan responden lahir pada tahun an, dimana masih belum banyak tersedia institusi pedidikan juga subsidi pendidikan seperti sekarang karena wajib belajar 9 tahun baru diatur pada tahun Menurut Notoatmodjo (2003) dan Sukmadinata (2003) tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Kemampuan atau kapasitas belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. Tingkat pendidikan tentu dapat menghasilkan suatu perubahan dalam pengetahuan. Tingkat pengetahuan dilihat dari pengalaman responden mendapatkan hasil pada kelompok pengalaman tidak ada yang memiliki pengetahuan kurang, sedangkan pada kelompok tidak berpengalaman ada 3 dari 22 responden yang berpengetahuan kurang. Salah satu sumber pengetahuan pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi adalah alat vital bagi manusia sebagai kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, orang dapat melihat secara langsung dan dapat pula melakukan kegiatan hidup (Suhartono, 2005).

106 88 Meskipun didominasi oleh responden yang tidak berpengalaman merawat pasien imobilisasi sebelumnya, 92,3% responden telah merawat pasien lebih dari satu tahun. Hasil pendalaman informasi mengenai cara merawat pasien selama ini diketahui beberapa responden yang telah lama merawat pasien memberikan minyak kelapa atau lotion secara rutin di bagian bokong juga punggung pasien saat mengganti baju atau popok. Mereka mengaku hal ini dilakukan atas inisiatif sendiri bukan intruksi dokter atau tenaga kesehatan lainnya karena menganggap minyak kelapa bisa mencegah terjadinya lecet karena pemakaian popok dan posisi tidur yang lama. Selain itu, responden juga setiap hari memobilisasi pasien meskipun tidak tiap 2 jam seperti teori, seperti mendudukkan pasien di kursi roda pada pagi dan sore hari. Hasil penilaian tingkat pengetahuan family caregiver berdasarkan tingkat pendidikan didapati 18 responden memiliki pengetahuan cukup, 3 responden berpengetahuan kurang dan 5 responden memiliki pengetahuan yang baik tentang Dekubitus. Terlihat dari hasil tabulasi silang bahwa semakin tinggi pendidikan maka frekuensi tingkat pengetahuan rendah menurun. Hal ini karena pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak informasi yang diterima serta dorongan untuk mencari informasi lebih besar pada orang dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Kebanyakan dari responden tidak mengetahui tentang tanda-tanda pada tiap derajat perkembangan Dekubitus. Namun, untuk pernyataan tindakan pencegahan Dekubitus seperti menjaga kondisi kulit tetap kering dan bersih serta menggunakan

107 89 bantal atau gulungan handuk saat berbaring untuk mengurangi tekanan mampu dijawab benar oleh semua responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rismawan (2014) dan Sulastri et al., (2008) dimana tingkat pengetahuan keluarga tentang Dekubitus yang baik masing-masing 0% dan 26,67%. Berbeda dengan hasil penelitian Metkono, dkk, 2014 yang menemukan tingkat pengetahuan caregiver yang baik mencapai 79,3%. Persepsi responden dilihat dari jenis kelamin didapati bahwa baik perempuan maupun laki-laki sebagian besar memiliki persepsi yang negatif terhadap pencegahan dekubitus dengan persentase masing-masing 52,2% dan 66,7%. Hal ini karena sebagian besar responden menilai dirinya telah merawat dengan baik pasien dengan membersihkan badan pasien secara rutin. Oleh karena itu, pada item persepsi kerentanan terhadap Dekubitus, sebagian besar caregiver tidak setuju jika pasien akan mengalami luka Dekubitus. Persepsi berdasarkan kategori usia dimana 66,7% lansia memiliki persepsi positif. Hal tersebut terjadi karena pada usia yang semakin tua memiliki penerimaan yang lebih baik. Umur dewasa memiliki cara berfikir dan mengambil keputusan yang optimal sehingga mempengaruhi bagaimana hasil penilaian atau persespsi suatu keputusan (Sumarwan, 2014). Karakteristik dari tingkat usia dewasa adalah mampu memenuhi kebutuhannya, memanfaatkan pengalamannya dan mengidentifikasi kesiapan belajar (Knowless, 1986 dalam Ali, 2007). Hasil ini sejalan dengan

108 90 penelitian yang dilakukan oleh Greenlee & Scharlach, 2006 dimana mendapatkan hasil rata-rata usia dari caregiver adalah 46 tahun dan didominasi oleh perempuan. Persepsi berdasarkan tingkat ekonomi menunjukkan 60% responden memiliki persepsi negatif pada kelompok ekonomi rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitiian yang dilakukan oleh Sanchón-macias & Bover-bover, 2013 dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekonomi tidak berpengaruh dengan persepsi negatif status kesehatan baik pada kelompok pendapatan < 250 euro/ bulan, euro/bulan, euro/bulan, dan euro/ bulan masing-masing memiliki p value sebesar 0,355, 0,062, 0,633, dan 0,247. Gambaran persepsi berdasarkan pengalaman didapati 54,5% responden yang tidak berpengalaman memiliki persepsi negatif terhadap pencegahan Dekubitus. Persepsi merupakan insterpretasi unik terhadap situasi dan bukan pencarian yang benar tehadap situasi. Dalam membangun persepsi terdapat proses yang melibatkan rangkaian kognitif yang kompleks, sehingga melalui proses tersebut dapat dihasilkan penilaian tentang kenyataan yang mungkin berbeda dari ekspektasi. Selama prosesnya, pembentukan persepsi juga dipengaruhi oleh konteks, pengalaman masa lalu, dan ingatan (Thoha, 2000 dalam Marliyah et al., 2014). Persepsi negatif yang lebih banyak muncul pada responden dapat dipengaruhi oleh kondisi anggota keluarga yang dianggap tidak rentan untuk mengalami Dekubitus karena masih mampu mobilisasi meskipun menggunakan alat bantu.

109 91 Persepsi pada kategori tingkat pendidikan menunjukkan bahwa 58,3% responen memiliki persepsi yang negatif terhadap pencegahan Dekubitus. hal ini mungkin dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang masih relatif rendah. Hasil penelitian Rismawan, 2014 menyebutkan bahwa masih banyak keluarga yang tidak mengetahui tentang Dekubitus sehingga angka kejadian Dekubitus juga banyak. Pemberian pengetahuan kepada keluarga sangat penting sebagai upaya mendorong keluarga untuk melakukan tindakan yang sesuai. Dalam penelitian Rismawan, 2014 juga dijelaskan bahwa tingkat pengetahuan seseorang cenderung berpengaruh positif terhadap persepsi/penialaian dan perilaku yang sesuai. Perilaku positif dari keluarga dalam upaya pencegahan Dekubitus sangat berperan dalam pencegahan pembentukan luka dekubitus. Pengetahuan mengenai dekubitus mempengaruhi dorongan keluarga untuk terlibat dalam perilaku pencegahan Dekubitus (Sulastri et al., 2008). Komplikasi yang paling parah dan umum terjadi pada luka Dekubitus adalah infeksi, seperti Sepsis dan Osteomielitis. Hal ini karena kerusakan jaringan memberikan akses ynag mudah untuk invasi bakteri (Gambret, 1988). Sepsis yang berhubungan dengan luka dekubitus dapat terjadi pada semua derajat luka dekubitus. Beberapa penelitian menyebutkan dominasi organisme sebagai penyebab Sepsis pada Dekubitus adalah staphylococcus aureus, streptococcus faecalis dan coliform (Alder, VG dan Gillespie WS dalam Galpin et al., 1976). Pada kondisi sepsis hanya kultur darah satu-satunya cara untuk

110 92 mengidentifikasi patogen. Hal ini tentu akan menambah waktu pemulihan dari pasien (Maklebust & Siegreen, 2001). Osteomielitis atau infeksi yang menyerang tulang pada Dekubitus umumnya terjadi pada derajat IV luka Dekubitus, karena pada derajat ini telah terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan kulit serta kerusakan sudah mencapai otot, tulang, atau struktur penyangga sehingga terdapat akses untuk bakteri menginvasi bagian tulang pasien (National Pressure Ulcer Advisory Panel et al., 2007). Osteomielitis akan menunda proses penyembuhan luka itu sendiri, karena jaringan mengalami kerusakan yang parah dan hal ini berhubungan dengan risiko tinggi mengalami kematian. Biopsi tulang dan kutur dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis Osteomielitis (Maklebust & Siegreen, 2001). Pengobatan pada kronik Osteomielitis lebih baik dengan terapi antibiotik jangka pendek disertai perbaikan jaringan dan penutupan luka yang baik dibandingkan dengan terapi antibiotik jangka panjang dengan perbaikan jaringan yang sederhana (Marriott & Rubayi, 2008). Gambaran pengetahuan dan persepsi family caregiver secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup dan memiliki persepsi negatif terhadap pencegahan Dekubitus. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Safitri, Agustina, & Amrullah (2010) dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga memiliki pengetahuan yang cukup namun sikap yang ditunjukkan negatif atau tidak mendukung tentang perawatan di rumah pasien stroke dengan kejadian stroke berulang. Hasil ini dikarenakan terdapat

111 93 faktor yang memengaruhi persepsi family caregiver yaitu tingkat risiko Dekubitus. Hasil analisa korelasi oleh peneliti didapati hubungan keduanya, hal ini menginterpretasikan bahwa ketika anggota keluarga yang mengalami gangguan mobilisasi berisiko rendah, family caregiver cenderung berpresepsi negatif terhadap pencegahan Dekubitus karena menganggap anggota keluarga yang sakit tidak rentan untuk mengalami Dekubitus terlepas dari jenis kelaminnya, kelompok usianya, tingkat pendidikannya, pengalamannya, dan tingkat ekonominya, family caregiver merasa tidak perlu untuk melakukan tindakan pencegahan Dekubitus karena bersepsi keluarganya yang sakit tidak akan mengalami Dekubitus, begitupun sebaliknya. C. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, data responden tidak dimiliki oleh puskesmas, sehingga peneliti kesulitan dalam mencari responden, mengingat keluarga yang memiliki keterbatasan mobilisasi juga jarang sehingga membutuhkan waktu dan mobilisasi yang cukup lama untuk bisa mendapatkan responden. Kedua, tidak semua RW memiliki Posbindu sehingga sumber informasi untuk beberapa lokasi juga minim. Ketiga, masyarakat yang tinggal di komplek dan memiliki anggota keluarga yang imobilisasi cenderung menolak untuk menjadi responden meskipun peneliti sudah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian, mengingat saat pengambilan data peneliti tidak didampingi oleh perangkat pengurus RT atau RW sehingga masyarakat kurang kooperatif.

112 94 Dalam menentukan tingkat ekonomi, peneliti hanya menggunakan pendapatan dari caregiver tanpa mengonfirmasi siapa yang menjadi penanggung jawa atas perawatan kesehatan pasien secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan makna pengkajian tentang kelas ekonomi menjadi kurang relevan. Peneliti dalam menentukan pengalaman juga mengalami kesulitan dalam menentukan batasan kriteria berpengalaman atau tidak karena sulit mendapatkan sumber yang menjelaskan terkait batas waktu minimal seseorang dianggap berpengalaman dalam menjadi caregiver. Kuesioner dalam menilai pengetahuan caregiver perlu adanya penyesuaian dan peninjauan ulang, sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan secara langsung pada penelitian selanjutnya.

113 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Kelompok usia yang paling banyak menjadi family caregiver bagi anggota keluarganya yang berisiko Dekubitus adalah kelompok usia dewasa akhir (45-64 tahun) sebanyak 13 responden (50%%) dan didominasi oleh perempuan (88,5%). Hubungan keluarga antara family caregiver dengan anggota keluarga yang berisiko Dekubitus paling banyak adalah anak dengan orang tua sebanyak 11 responden. 2. Family caregiver mayoritas tidak memiliki pengalaman merawat orang dengan keterbatasan mobilisasi sebelumnya (84,6%), hanya 4 responden yang memiliki pengalaman merawat orang dengan keterbatasan mobilisasi sebelumnya. 3. Tingkat ekonomi responden rata-rata tergolong rendah (< UMR) yaitu 76,9% atau 20 responden. Pendidikan yang pernah ditempuh oleh family caregiver didominasi pada tingkat pendidikan menengah dengan jumlah responden sebanyak 13 orang. 95

114 96 4. Pengetahuan tentang Dekubitus yang dimiliki oleh family caregiver sebagian besar tergolong cukup (69,2%) dan memiliki persepsi negatif terhadap tindakan pencegahan Dekubitus yaitu sebesar 53,8%. B. Saran 1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan Sebaiknya discharge planning pada pasiem dengan gangguan mobilisasi atau imobilisasi diberikan pendidikan kesehatan tentang pencegahan dekubitus. 2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan Sebaiknya memasukkan materi tentang pencegahan Dekubitus pada mata kuliah Keperawatan Medikal bedah dan Komunitas. Selanjutya dapat dimanfaatan menjadi topik edukasi kepada masyarakat yang memiliki anggota keluarga dengan keterbatasan mobilisasi sejak di bangku kuliah misalnya pada agenda pengobatan gratis dari HMPS (Himpunan Mahasiswa Program studi). 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian selanjutnya disarankan berupa penelitian kualitatif untuk mendapatkan data yang lebih luas. Saran lainnya untuk penelitian kuantitatif sebaiknya dilakukan dengan sampel yang mencukupi, waktu yang lebih lama dan area yang lebih luas.

115 97 4. Bagi Caregiver Keluarga sebagai perawat utama di rumah disarankan untuk memperhatikan mobilisasi pasien selama diatas tempat tidur agar tidak terjadi penekanan pada bagian tubuh tertentu yang mengakibatkan Dekubitus.

116 DAFTAR PUSTAKA Asimus, M., & Li, P. (2011). Pressure Ulcers In Home Care Settings : Is It Overlooked? Wound Practice and Research, 19(2), Backlund, E., Sorlie, P., & Johnson, N. (1999). A Comparison Of The Relationships of Education and Income with Mortality: The National Longitudinal Mortality Study. Social Science Medical, 10, Bensley, R. J. (2009). Metode Pendidikan Kesehatan Masyarakat (2nd ed.). Jakarta: EGC. Bluestein, D., & Javaheri, A. (2008). Pressure Ulcers: Prevention, Evaluation, and Management, 78, Budiharto. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC. Dahlan, M. S. (2013). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel (3rd ed.). Jakarta: Salemba Medika. E. M. D. Kosegeran, A. J. M. Rattu, E. P. S. (2016). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Perawat Dalam Pencegahan Kejadian Luka Dekubitus Di Ruang Rawat Khusus RSUP Prof.Dr.R. D. Kandou Manado, Efendi, F., & Makhfuldi. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. Fleming, K. C., Andrews, K. L., Evans, Jo. M., Chutka, D. S., & Garness, S. L. (1995). Pressure Ulcers : Prevention and Management, 6196(agustus), Friedman, & Marilyn, M. (2010). Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.

117 Galpin, J. E., Chow, A. W., Bayer, A. S., & Guze, L. B. (1976). Sepsis Associated with Decubitus Ulcers, 61(September), Gambret, S. R. (1988). Contemporary Geriatric Medicine (3rd ed.). New York: Plenum Medical Book. Gorecki, C., Brown, J. M., Nelson, E. A., Briggs, M., Schoonhoven, L., Dealey, C., Nixon, J. (2009). Impact of pressure ulcers on quality of life in older patients: A systematic review: Clinical investigations. Journal of the American Geriatrics Society, 57(7), Greenlee, J., & Scharlach, A. (2006). Caregiver s Characteristic and Need. Family Caregivers In California, Jaul, E., & Menzel, J. (2014). Pressure Ulcers in the Elderly, as a Public Health Problem, 2(5), Jones, D. (2013). Pressure Ulcer Prevention In The Community Setting, Kautsar, G., & Haryanthi, L. P. S. (2016). Construct Validity Of Test Instruments For Health Belief Model ( Hbm ) In Cervical Cancer Screening Behavior. International Conference on Health and Well-Being (ICHWB), Kemenkes RI. (2013). Pokok-pokok Hasil RISKESDAS Provinsi Banten Kemenkes RI. (2014). Infodatin : Situasi Kesehatan Jantung. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 1 8. Retrieved from atin-jantung.pdf Ko se, I., Yes il, P., O ztunc, G., & Eskimez, Z. (2016). Knowledge of Nurses Working in Intensive Care Units in Relation to Preventive Interventions for Pressure Ulcer. International Journal of Caring Scieces, 9(2), Lapau, B. (2012). Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan Skripsi, Tesis, Dan Disertasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Luthfi, I., Saloom, G., & Yasun, H. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Lembaga

118 Peneitian UIN Jakarta. Lyder, C. H. (2010). Risk Factors And Risk-Assessment Scales Pressure Ulcer, 1 6. MacLeod, F., Barton, P., Campbell, K., Harrison, M., Kay, K., Labate, T., Parslow, N. (2005). Risk Assessment & Prevention of Pressure Ulcer, (March). Maklebust, J., & Siegreen, M. (2001). Pressure Ulcers: Guidlines for Prevention anda Management (3rd ed.). United State of America: Springhouse. Marriott, R., & Rubayi, S. (2008). Successful Truncated Osteomyelitis Treatment for Chronic Osteomyelitis Secondary to Pressure Ulcers in Spinal Cord Injury Patients. Annals of Plastic Surgery, 61, Maulana, H. D. J. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. McEwen, M., & Pullis, B. C. (2009). Community-Based Nursing. Canada: Saunders Elsevier. Mersal, F. A. (2014). Caregivers â TM Knowledge and Practice Regarding Prevention of Immobilization Complications in El-demerdash Hospital Cairo, 2(3), Mohamed, S. A., & Weheida, S. M. (2015). Effects Of Implementing Educational Program About Pressure Ulcer Control On Nurses Knowledge And Safety Of Immobilized Patients. Journal of Nursing Education and Practice, 5(3), National Pressure Ulcer Advisory Panel, National, T., Ulcer, P., & Panel, A. (2007). Pressure ulcer stages revised by the National Pressure Ulcer Advisory Panel. Ostomy/wound Management, 53(3), Retrieved from Noorkasiani, Heryati, & Ismail, R. (2009). Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

119 Nuru, N., Zewdu, F., Amsalu, S., & Mehretie, Y. (2015). Knowledge And Practice Of Nurses Towards Prevention Of Pressure Ulcer And Associated Factors In Gondar University Hospital, Northwest Ethiopia. BMC Nursing, 14(1), Osuala, E. O. (2014). Innovation in prevention and treatment of pressure ulcer Nursing, 17(2), Pearlin, L. I. (1989). The Sociological Study of Stress. Journal of Health and Social Behaviour, 3, Perry D, Borchert K, Burke S, Chick K, Johnson K, Kraft W, Patel B, T. S. (2012). Pressure Ulcer Prevention and Treatment Protocol. Updated January Retrieved from Potter, P. A., & Perry, A. G. (2012). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Volume 2 (4th ed.). Jakarta: EGC. Potter, P., Perry, Anne Griffin, Stockert, Patricia A, & Hall, A. (2011). Basic Nursing (7th ed.). Canada: Elsevier. Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 52 Tahun 2009, Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, 1. Retrieved from No-52-Tahun-2009-Perkembangan-Kependudukan-Dan-Pembangunan- Keluarga.pdf Rismawan, W. (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga Klien Tentang Pencegahan Dekubitus Terhadap Kejadian Dekubitus Pada Pasien Bedrest Total di RS Dr. Soekardjo Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada, 12(1), Safitri, F. N., Agustina, H. R., & Amrullah, A. A. (2010). Risiko Stroke Berulang dan Hubungannya Dengan Pengetahuan dan Sikap Keluarga. Sanchón-macias, M. V., & Bover-bover, A. (2013). Relationship Between Subjective Social Status And Perceived Health Among Latin American Immigrant Women, 21(6).

120 Sarwono, S. W., Meinarno, E. A., Kevin, A., Listian, F., Rahman, Al., Widiyaningsih, & Farhan, M. (2014). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Medika. Schulz, R., & Eden, J. (2016). Families Caring for an Aging America. Skala, P., Dan, B., Gosnell, S., Mizan, D. M., Rosa, E. M., & Yuniarti, F. A. (2009). Menilai Tingkat Resiko Luka Tekan, Sulastri, N. T., Effendy, C., & Haryani. (2008). Pengaruh Pemberian Pendidikan kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Keterlibatan Keluarga Dalam Pencegahan Dekubitus pada Pasien Tirah Baring. Jurnal Ilmu Keperawatan, 3, Sunaryanti, B., & Muladi, A. (2014).Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Dan Minyak Kelapa Terhadap Pencegahan Dekubitus, (Smeltzer 2002), Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. Swarjana, I. K. (2016). Statistik Kesehatan. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Valente, L. E., et al.,. (2011). Health Self-Perception By Dementia Family Caregivers Sociodemographic And Clinical Factors, 69(May), Wagito, B. (2003). Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Widodo, A. (2007). Uji Kepekaan Instrumen Pengkajian Risiko Dekubitus Dalam Mendeteksi Dini Risiko Kejadian Dekubitus Di RSIS. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 8(1), Wood, G. L., & Haber, J. (2006). Nursing Research: Methods and Critical Apprasial for Evidence-based Practice (6th ed.). United State of America: Mosby Elsevier.

121 LAMPIRAN

122

123

124

125

126

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus 1. Pengertian Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS)

LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS) LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS) A. KASUS (MASALAH UTAMA) Luka Tekan / Pressure Ulcer ( Dekubitus) B. PROSES TERJADINYA MASALAH 1. Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas, dan sensori persepsi, bila aktifitas ini berkepanjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan globalisasi, perkembangan pengetahuan dan teknologi, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang. Perkembangan pengetahuan masyarakat

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA

PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan adalah menjaga dan mempertahankan integritas kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hemoragik di Jawa Tengah adalah 0,03%. Sedangkan untuk stroke non

BAB I PENDAHULUAN. hemoragik di Jawa Tengah adalah 0,03%. Sedangkan untuk stroke non BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan luka yang timbul karena tekanan terutama pada bagian tulang-tulang yang menonjol akibat tirah baring yang lama di tempat tidur. Kasus dekubitus dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau dekubitus (Sumardino, Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau dekubitus (Sumardino, Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan adalah menjaga dan mempertahankan integritas kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka tekan 2.1.1 Pengertian luka tekan Luka tekan adalah cedera pada kulit dan jaringan lain yang berada dibawahnya, biasanya di atas penonjolan tulang, akibat tekanan atau tekanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Magelang dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Magelang dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Pelaksanaan Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang terletak pada jalur yang sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia keperawatan menjaga dan mempertahankan integritas kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di dalamnya. Intervensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan perawatan kulit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tindakan (practice) 2.1.1 Definisi Tindakan (practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan neurologis, penyakit kronis, penurunan status mental, pasien yang dirawat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi

Lebih terperinci

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim PERAWATAN LUKA by : Rahmad Gurusinga A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka timbul, beberapa

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Luka tekan (pressure ulcer) merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri tulang belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, Pasien yang sangat lemah, dan Pasien yang lumpuh dan waktu lama, bahkan saat ini

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PERAN KELUARGA DALAM PRAKTIK MOBILISASI PASIEN PASCA STROKE

KARYA TULIS ILMIAH PERAN KELUARGA DALAM PRAKTIK MOBILISASI PASIEN PASCA STROKE KARYA TULIS ILMIAH PERAN KELUARGA DALAM PRAKTIK MOBILISASI PASIEN PASCA STROKE Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngariboyo Kecamatan Ngariboyo Kabupaten Magetan Oleh : MUHAMAD IKHSAN SANTOSO NIM 12612130 PRODI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Luka Dekubitus 2.1.1 Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi

Lebih terperinci

INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG

INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG Lampiran 1 A. Pengertian Skala Braden merupakan salah satu jenis skala atau metode yang digunakan dalam menilai resiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. UU R.I Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 62 tentang. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. UU R.I Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 62 tentang. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit menyatakan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dapat dibuktikan juga dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akibat gangguan fungsional otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akibat gangguan fungsional otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan suatu kondisi klinis yang berkembang dengan cepat akibat gangguan fungsional otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24

Lebih terperinci

Pengertian Luka Dekubitus

Pengertian Luka Dekubitus Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latindecumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stroke masih tinggi. Menurut estimasi World Health Organisation (WHO), pada

BAB I PENDAHULUAN. stroke masih tinggi. Menurut estimasi World Health Organisation (WHO), pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kronis yang terjadi di Indonesia setiap tahun semakin bertambah. Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk Indonesia yang meninggal dunia akibat dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja

BAB 1 PENDAHULUAN. karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Stroke atau gangguan peredaran darah otak ( GPDO) merupakan penyakit neurologik yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana penelitian dibatasi oleh waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar dan Isezuo, 2012). Stroke juga merupakan

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DETEKSI DINI SKIZOFRENIA. Di Dusun Nambangrejo Tengah, Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo,

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DETEKSI DINI SKIZOFRENIA. Di Dusun Nambangrejo Tengah, Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DETEKSI DINI SKIZOFRENIA Di Dusun Nambangrejo Tengah, Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo Oleh: ERWAN HAMDANI NIM 13612529 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HUBUNGAN RIWAYAT GARIS KETURUNAN DENGAN WAKTU TERDIAGNOSIS DIABETES MELITUS DI RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

HUBUNGAN RIWAYAT GARIS KETURUNAN DENGAN WAKTU TERDIAGNOSIS DIABETES MELITUS DI RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO HUBUNGAN RIWAYAT GARIS KETURUNAN DENGAN WAKTU TERDIAGNOSIS DIABETES MELITUS DI RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PERILAKU PASIEN HEMODIALISIS DALAM MENGONTROL CAIRAN TUBUH. Di Ruang Hemodialisis RSUD Dr. Harjono Ponorogo

KARYA TULIS ILMIAH PERILAKU PASIEN HEMODIALISIS DALAM MENGONTROL CAIRAN TUBUH. Di Ruang Hemodialisis RSUD Dr. Harjono Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH PERILAKU PASIEN HEMODIALISIS DALAM MENGONTROL CAIRAN TUBUH Di Ruang Hemodialisis RSUD Dr. Harjono Ponorogo Oleh: WAHYU WIJAYANTI NIM: 13612558 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Usia Lanjut. Margaretha Teli, SKep,Ns, MSc

Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Usia Lanjut. Margaretha Teli, SKep,Ns, MSc Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Usia Lanjut Margaretha Teli, SKep,Ns, MSc Proses Keperawatan Lansia Assessment Nursing Diagnosis Intervention Implementation Evaluation Askep Lansia di tatanan Klinis (clinical

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perdarahan atau non perdarahan (Junaidi Iskandar, 2002: 4).

BAB 1 PENDAHULUAN. perdarahan atau non perdarahan (Junaidi Iskandar, 2002: 4). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut definisi WHO tahun 2005, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejalagejala yang berlangsung

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PERAWATAN KAKI PADA DIABETES MELLITUS. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr.

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PERAWATAN KAKI PADA DIABETES MELLITUS. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PERAWATAN KAKI PADA DIABETES MELLITUS Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Harjono Ponorogo Oleh: MAYA FEBRIANI NIM: 13612565 PRODI D III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat, memberikan terapi serta menunjang fungsi-fungsi vital pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat, memberikan terapi serta menunjang fungsi-fungsi vital pasien yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian mandiri dari rumah sakit, yang dilengkapi dengan tenaga medis dan teknologi khusus untuk mengobservasi, merawat,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas. dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas. dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh. 61 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas Pada bagian ini akan diuraikan karakteristik responden dan uji homogenitas penelitian kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 UPAYA PERAWAT UNTUK MENCEGAH TERJADINYA LUKA DEKUBITUS DALAM PERSEPSI PASIEN YANG MENGALAMI TRAUMA ORTHOPEDI DI RUANGAN RINDU B3 RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI Oleh Surya Andika 091121042

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam otak yang mengakibatkan kematian sel otak. dan ada riwayat keluarga yang menderita stroke (Lewis, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam otak yang mengakibatkan kematian sel otak. dan ada riwayat keluarga yang menderita stroke (Lewis, 2009). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan besar dalam kehidupan modern saat ini. Jumlah penderitanya semakin meningkat setiap tahun, tidak hanya menyerang usia tua

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DEKUBITUS. Di Ruang Aster RSUD dr. Hardjono Ponorogo

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DEKUBITUS. Di Ruang Aster RSUD dr. Hardjono Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DEKUBITUS Di Ruang Aster RSUD dr. Hardjono Ponorogo Oleh: PUTRI DEWANTI NIM: 12612191 PRODI D III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai sekumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien dengan luka

Lebih terperinci

PERILAKU PASIEN DIABETES MELLITUS DALAM PENCEGAHAN HIPOGLIKEMIA. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Harjono Ponorogo

PERILAKU PASIEN DIABETES MELLITUS DALAM PENCEGAHAN HIPOGLIKEMIA. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Harjono Ponorogo PERILAKU PASIEN DIABETES MELLITUS DALAM PENCEGAHAN HIPOGLIKEMIA Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Harjono Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH Diajukan kepada Program Studi DIII Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jatuh merupakan suatu kejadian fisik yang sering dialami lansia saat proses penuaan. Jatuh pada usia lanjut dapat meningkatkan angka morbiditas, mortalitas, kecacatan,

Lebih terperinci

GAMBARAN STATUS KOGNITIF LANJUT USIA MENURUT JENIS PEKERJAAN DI WILAYAH PUSKESMAS MASARAN II SKRIPSI

GAMBARAN STATUS KOGNITIF LANJUT USIA MENURUT JENIS PEKERJAAN DI WILAYAH PUSKESMAS MASARAN II SKRIPSI GAMBARAN STATUS KOGNITIF LANJUT USIA MENURUT JENIS PEKERJAAN DI WILAYAH PUSKESMAS MASARAN II SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk meraih gelar Sarjana Keperawatan Disusun oleh : FRAMESTI NURJANAH

Lebih terperinci

KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN PENGGUNAAN BED DECUBITUS DAN BLANKET ELECTRIC DOSEN : BU MIRA ASMIRAJANTI

KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN PENGGUNAAN BED DECUBITUS DAN BLANKET ELECTRIC DOSEN : BU MIRA ASMIRAJANTI KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN PENGGUNAAN BED DECUBITUS DAN BLANKET ELECTRIC DOSEN : BU MIRA ASMIRAJANTI KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN PENGGUNAAN BED DECUBITUS DAN BLANKET ELECTRIC ANGGOTA KELOMPOK 5 Sri Harta Carina

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT TB PARU

PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT TB PARU KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT TB PARU Di RW 01 Dusun Poh Sawit Desa Karangan Wilayah Kerja Puskesmas Badegan Kabupaten Ponorogo Oleh : ARISTINA DIAN PERMATASARI NIM : 11611942

Lebih terperinci

KECEMASAN KELUARGA PASIEN DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

KECEMASAN KELUARGA PASIEN DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN KECEMASAN KELUARGA PASIEN DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

PENELITIAN PERILAKU KELUARGA DALAM MENCEGAH SERANGAN ULANG PADA ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA STROKE. Di Ruang Aster RSUD Dr.

PENELITIAN PERILAKU KELUARGA DALAM MENCEGAH SERANGAN ULANG PADA ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA STROKE. Di Ruang Aster RSUD Dr. PENELITIAN PERILAKU KELUARGA DALAM MENCEGAH SERANGAN ULANG PADA ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA STROKE Di Ruang Aster RSUD Dr. Hardjono Ponorogo Oleh : PURY EKA IRAWAN NIM : 10611886 PRODI D III KEPERAWATAN

Lebih terperinci

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK PENGERTIAN MOBILISASI Adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat. Semua manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada disfungsi motorik dan

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada disfungsi motorik dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah penyakit neurologis terbanyak yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada disfungsi motorik dan sensorik. Kelemahan

Lebih terperinci

1 GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS. BAPTIS KEDIRI

1 GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS. BAPTIS KEDIRI 1 GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS. BAPTIS KEDIRI DESCRIPTION OF NURSE IN THE PREVENTION OF BEHAVIOR IN THE EVENT OF PLEBITIS INPATIENT KEDIRI BAPTIST

Lebih terperinci

Pengetahuan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Luka Kaki Diabetes di Asri Wound Care Centre Medan

Pengetahuan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Luka Kaki Diabetes di Asri Wound Care Centre Medan Pengetahuan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Luka Kaki Diabetes di Asri Wound Care Centre Medan SKRIPSI Oleh RAHIMI 111101018 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 Pengetahuan dan

Lebih terperinci

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Diabetes adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak dapat menggunakan (menyerap) gula

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau oleh tidak efektifnya insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. atau oleh tidak efektifnya insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan karena keturunan dan/atau disebabkan karena kekurangan produksi insulin oleh pankreas, atau oleh tidak efektifnya

Lebih terperinci

serangan yang cepat dan penyembuhannya dapat diprediksi (Lazarus,et al., 1994).

serangan yang cepat dan penyembuhannya dapat diprediksi (Lazarus,et al., 1994). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap kulit sehat memiliki risiko mengalami kerusakan yang disebabkan oleh faktor mekanis, bahan kimia, vaskular, infeksi, alergi, inflamasi, penyakit sistemik, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada orang dewasa (Hudak & Gallo, 2010). Hampir sekitar tiga perempat stroke

BAB I PENDAHULUAN. pada orang dewasa (Hudak & Gallo, 2010). Hampir sekitar tiga perempat stroke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke dapat didefinisikan sebagai defisit neurologi yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari gangguan neurologi yang sering terjadi

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PADA PASIEN TB PARU. di Puskesmas Badegan, Kabupaten Ponorogo

KARYA TULIS ILMIAH PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PADA PASIEN TB PARU. di Puskesmas Badegan, Kabupaten Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PADA PASIEN TB PARU di Puskesmas Badegan, Kabupaten Ponorogo Oleh : RUDIANTO NIM: 11611969 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi

LAPORAN PENDAHULUAN Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi LAPORAN PENDAHULUAN I. Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi Termoregulasi adalah suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai keseimbangan produksi

Lebih terperinci

KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN. FATWA IMELDA, S.Kep, Ns

KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN. FATWA IMELDA, S.Kep, Ns KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN FATWA IMELDA, S.Kep, Ns PENGERTIAN Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari ancaman bahaya / kecelakaan. ( Tarwoto dan Wartonah,

Lebih terperinci

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan F. KEPERAWATAN Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan Kaji TTV, catat perubahan TD (Postural), takikardia, demam. Kaji turgor kulit, pengisian kapiler dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengetahuan a. Defenisi Etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Sedangkan secara terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. PENGETAHUAN IBU POST PARTUM TENTANG PERAWATAN EPISIOTOMI Di Ruang Melati RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo

KARYA TULIS ILMIAH. PENGETAHUAN IBU POST PARTUM TENTANG PERAWATAN EPISIOTOMI Di Ruang Melati RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN IBU POST PARTUM TENTANG PERAWATAN EPISIOTOMI Di Ruang Melati RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo Oleh : Elis Ariyanti NIM : 11612058 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PERAWATAN KEBERSIHAN DIRI (PERSONAL HYGIENE)

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PERAWATAN KEBERSIHAN DIRI (PERSONAL HYGIENE) LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PERAWATAN KEBERSIHAN DIRI (PERSONAL HYGIENE) Di Ruang Cendana V RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tugas Mandiri Stase Praktek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU ASERTIF MAHASISWA KEPERAWATAN S1 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO ANGKATAN 2014

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU ASERTIF MAHASISWA KEPERAWATAN S1 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO ANGKATAN 2014 HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU ASERTIF MAHASISWA KEPERAWATAN S1 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO ANGKATAN 2014 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

Kebutuhan Personal Higiene. Purnama Anggi AKPER KESDAM IM BANDA ACEH

Kebutuhan Personal Higiene. Purnama Anggi AKPER KESDAM IM BANDA ACEH Kebutuhan Personal Higiene Purnama Anggi AKPER KESDAM IM BANDA ACEH Pendahuluan Kebersihan merupakan hal yang penting Dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan Konsep Dasar Berasal dari bahasa Yunani,

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PENCEGAHAN INFEKSI LUKA POST OPERASI Di Poli Bedah RSUD Dr. Harjono Ponorogo.

KARYA TULIS ILMIAH. PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PENCEGAHAN INFEKSI LUKA POST OPERASI Di Poli Bedah RSUD Dr. Harjono Ponorogo. KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PENCEGAHAN INFEKSI LUKA POST OPERASI Di Poli Bedah RSUD Dr. Harjono Ponorogo Oleh : ADISTYA NOVANTAMA NIM : 13612464 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus

BAB I PENDAHULUAN. abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih dari satu periode (Udjianti,

Lebih terperinci

PENELITIAN PERILAKU LANSIA DALAM PENCEGAHAN NYERI SENDI Di Desa Tatung Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Oleh: ENDAH AYU PRATIWI NIM:

PENELITIAN PERILAKU LANSIA DALAM PENCEGAHAN NYERI SENDI Di Desa Tatung Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Oleh: ENDAH AYU PRATIWI NIM: PENELITIAN PERILAKU LANSIA DALAM PENCEGAHAN NYERI SENDI Di Desa Tatung Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo Oleh: ENDAH AYU PRATIWI NIM: 13612320 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Proses Hemodialisa Di RSUD Dr. Hardjono Ponorogo.

ABSTRAK. Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Proses Hemodialisa Di RSUD Dr. Hardjono Ponorogo. ABSTRAK Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Proses Hemodialisa Di RSUD Dr. Hardjono Ponorogo. Oleh: Ida Royani Kecemasan pada pasien gagal ginjal yang menjalani proses hemodialisa

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN MASYARAKAT PEKERJA GENTENG DAN BATU BATA TENTANG ACHATINA FULICA (LENDIR BEKICOT) DALAM PENYEMBUHAN LUKA BAKAR

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN MASYARAKAT PEKERJA GENTENG DAN BATU BATA TENTANG ACHATINA FULICA (LENDIR BEKICOT) DALAM PENYEMBUHAN LUKA BAKAR KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN MASYARAKAT PEKERJA GENTENG DAN BATU BATA TENTANG ACHATINA FULICA (LENDIR BEKICOT) DALAM PENYEMBUHAN LUKA BAKAR Di RW 002 Desa Gelang Kulon Sampung Ponorogo Oleh: FRISKA MERCHURY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif, dengan manifestasi gangguan metabolisme glukosa dan lipid, disertai oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intervensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tubuh memiliki pusat pengaturan yang diatur oleh otak. Otak merupakan organ paling besar dan paling kompleks pada sistem saraf. Sistem saraf merupakan sistem fungsional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kardiovaskuler (PKV) (Kemenkes RI, 2012). World Health Organization. yang berpenghasilan menengah ke bawah (WHO, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Kardiovaskuler (PKV) (Kemenkes RI, 2012). World Health Organization. yang berpenghasilan menengah ke bawah (WHO, 2003). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transisi epidemiologi yang terjadi di dunia saat ini telah mengakibatkan berbagai perubahan pola penyakit, yaitu dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Peningkatan

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Disusun Oleh : Hendra Yuda Pramanta

KARYA TULIS ILMIAH. Disusun Oleh : Hendra Yuda Pramanta KARYA TULIS ILMIAH GAMBARAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KELUARGA DALAM MEMILIH PELAYANAN KESEHATAN DI DUSUN BODEH AMBARKETAWANG GAMPING SLEMAN YOGYAKARTA Diajukan untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. DM suatu penyakit dimana metabolisme glukosa yang tidak normal, yang terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. DM suatu penyakit dimana metabolisme glukosa yang tidak normal, yang terjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak akibat penurunan sekresi insulin atau resistensi insulin (Dorland, 2010). DM suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intrvensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten merupakan intervensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. di Jalan Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja mempunyai visi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. di Jalan Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja mempunyai visi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta atau yang terkenal dengan nama Rumah Sakit Jogja adalah rumah sakit milik Kota Yogyakarta yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran darah otak. Terdapat dua macam stroke yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik dapat terjadi

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA POST STROKE HEMORAGE DEXTRA STADIUM RECOVERY DI RS. Dr. RAMELAN SURABAYA

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA POST STROKE HEMORAGE DEXTRA STADIUM RECOVERY DI RS. Dr. RAMELAN SURABAYA PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA POST STROKE HEMORAGE DEXTRA STADIUM RECOVERY DI RS. Dr. RAMELAN SURABAYA Oleh : IMA DAMAR DEWATI J100060043 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Guna Menyelesaikan Tugas dan Memenuhi

Lebih terperinci

Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pasien Fraktur di Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan

Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pasien Fraktur di Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pasien Fraktur di Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan SKRIPSI Oleh Siti Khodijah 091121048 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

Lebih terperinci

PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN PERSONAL HYGIENE MENURUT PERSEPSI PASIEN IMOBILISASI FISIK

PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN PERSONAL HYGIENE MENURUT PERSEPSI PASIEN IMOBILISASI FISIK JURNAL NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 169 174 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN PERSONAL HYGIENE MENURUT PERSEPSI PASIEN

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PERILAKU BUANG AIR BESAR DI SUNGAI Di Desa Temon Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo

KARYA TULIS ILMIAH. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PERILAKU BUANG AIR BESAR DI SUNGAI Di Desa Temon Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PERILAKU BUANG AIR BESAR DI SUNGAI Di Desa Temon Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo Oleh : WINDY ARDINA NIM: 13612475 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PROTOKOL TINDAKAN MOBILISASI MIRING KANAN / MIRING KIRI DAN PERAWATAN KULIT / MASSAGE. Suatu tindakan merubah posisi tidur pada pasien yang mengalami

PROTOKOL TINDAKAN MOBILISASI MIRING KANAN / MIRING KIRI DAN PERAWATAN KULIT / MASSAGE. Suatu tindakan merubah posisi tidur pada pasien yang mengalami LAMPIRAN - LAMPIRAN Lampiran 1 PROTOKOL TINDAKAN MOBILISASI MIRING KANAN / MIRING KIRI DAN PERAWATAN KULIT / MASSAGE A. Pengertian : Suatu tindakan merubah posisi tidur pada pasien yang mengalami keterbatasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diikuti oleh penyakit stroke (Mozaffarian, Benjamin, Go, Arnett, Blaha,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diikuti oleh penyakit stroke (Mozaffarian, Benjamin, Go, Arnett, Blaha, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit terbesar kedua setelah penyakit jantung yang diikuti oleh penyakit stroke (Mozaffarian, Benjamin, Go, Arnett, Blaha, Cushman, et al,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh : RATNA MALITASARI J PROGRAM STUDI S1 GIZI

SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh : RATNA MALITASARI J PROGRAM STUDI S1 GIZI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG INISIASI MENYUSU DINI DAN STATUS PEKERJAAN IBU DENGAN STATUS PEMBERIAN ASI DI KECAMATAN JATIPURO KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Salah Satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinding pembuluh darah dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang utama.

BAB I PENDAHULUAN. dinding pembuluh darah dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang utama. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh sirkulasi darah pada dinding pembuluh darah dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang utama. Peningkatan atau

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA Tn. N DENGAN FOKUS UTAMA Ny. R DENGAN RIWAYAT GAGAL JANTUNG DI DESA LEMBERANG KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA Tn. N DENGAN FOKUS UTAMA Ny. R DENGAN RIWAYAT GAGAL JANTUNG DI DESA LEMBERANG KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA Tn. N DENGAN FOKUS UTAMA Ny. R DENGAN RIWAYAT GAGAL JANTUNG DI DESA LEMBERANG KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi sebagai syarat mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang utama dan merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Lebih terperinci

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatnya tingkat sosial dalam kehidupan masyarakat dan ditunjang pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak pada peningkatan usia harapan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN KELUARGA PASIEN DIABETES MELLITUS TENTANG KOMPLIKASI AKUT. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Hardjono Ponorogo

PENGETAHUAN KELUARGA PASIEN DIABETES MELLITUS TENTANG KOMPLIKASI AKUT. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Hardjono Ponorogo PENGETAHUAN KELUARGA PASIEN DIABETES MELLITUS TENTANG KOMPLIKASI AKUT Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Hardjono Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH Diajukan kepada Program Studi D III Keperawatan Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

PENELITIAN PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PERNIKAHAN DINI. Di Desa Baosan Kidul dan Desa Cepoko Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo

PENELITIAN PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PERNIKAHAN DINI. Di Desa Baosan Kidul dan Desa Cepoko Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo PENELITIAN PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PERNIKAHAN DINI Di Desa Baosan Kidul dan Desa Cepoko Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo Oleh : AFIFAH ANDAR RIANDITA NIM 12612133 PRODI D III KEPERAWATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID Definisi: Typhoid fever ( Demam Tifoid ) adalah suatu penyakit umum yang menimbulkan gejala gejala sistemik berupa kenaikan suhu dan kemungkinan penurunan kesadaran. Etiologi

Lebih terperinci