KAJIAN PSIKOLINGUISTIK PADA PENDERITA AFASIA BROCA PASCASTROKE: PEMANGGILAN LEKSIKON, KEKELIRUAN BERBAHASA, DAN SIASAT KOMUNIKASI

Transkripsi

1 KAJIAN PSIKOLINGUISTIK PADA PENDERITA AFASIA BROCA PASCASTROKE: PEMANGGILAN LEKSIKON, KEKELIRUAN BERBAHASA, DAN SIASAT KOMUNIKASI Lilis Hartini, Dadang Sudana Syihabuddin Universitas Pendidikan Indonesia A. PENDAHULUAN Komunikasi akan berjalan lancar apabila pesan yang disampaikan penutur dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Jika tidak terjadi demikian maka ada gangguan dalam komunikasi. Gangguan komunikasi adalah hal yang merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah menafsirkan pesan yang diterimanya. Salah satu gangguan berkomunikasi dialami oleh para penderita afasia. Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa. Para penderita afasia dapat mengalami gangguan berbicara, gangguan dalam memahami sesuatu, gangguan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Penyebab afasia selalu berupa cedera otak. Pada kebanyakan kasus, afasia dapat disebabkan oleh pendarahan otak. Oleh para dokter, pendarahan otak disebut CVA: Cerebro Vasculair Accident atau Kecelakaan Vaskuler Otak. Di pusat bahasa manusia, manusia memahami dan mengenal huruf, suku kata, arti kata, kalimat sederhana, kalimat bertingkat sampai yang kompleks dan abstrak, serta berbagai macam bahasa. Sedang di bagian lain ada yang bertugas mengeluarkan isi pikiran secara lisan dan tulisan, yang berarti harus berkoordinasi dengan pergerakan otot-otot jari. Penelitian ini dilakukan terhadap seorang informan yang telah mengalami afasia broca. Afasia yang dialami informan disebabkan oleh stroke hemaragik di belahan otak kiri. Dampak dari stroke tersebut menyisakan afasia broca dan melemahnya fungsi kaki sebelah kanan. Afasia broca ditandai oleh gangguan atau hilangnya kemampuan untuk menyatakan pikiran-pikiran yang dapat dimengerti dalam bentuk bicara dan menulis. Kusumoputro (1992) menyatakan bahwa afasia broca memiliki ciri bicara spontan pasien ialah lambat, tidak lancar atau terbata-bata, monoton dan kalimat pendek-pendek. Penyimakan bahasa baik, pengulangan kalimat buruk dan penyebutan nama benda buruk. Pasien sulit menemukan kata dan bicara tersendat-sendat dengan kalimat yang tidak lengkap. Orang yang mengidap afasia broca tidak menghadapi masalah dalam hal memahami orang lain. Pada umumnya gangguan menulis setara dengan gangguan berbicara, meniru ucapan terganggu, sedngkan pengertian bahasa lisan dan tulis lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk (1) memberikan gambaran tentang bunyi yang dipanggil dari leksikon mental informan, (2) memberikan gambaran tentang kekeliruan sintaksis pada informan dalam memproduksi bahasa, (3) memberikan gambaran tentang kekeliruan leksikal/semantik pada informan dalam memproduksi bahasa, dan (4) memberikan gambaran tentang siasat yang digunakan oleh informan dalam mengungkapkan gagasan yang hilang dari memorinya. B. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, dan catatan memo. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci, dan tuntas. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif. 252

2 Pertimbangan kami menggunakan penelitian kualitatif ini adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan berdasarkan hasil pengamatan dari informan yang mengalami afasia broca, yang sudah mengalami stroke, dan sisa stroke tersebut mengakibatkan terganggunya hemisfere kiri di daerah lobus temporalis tepatnya di area broca. C. LANDASAN TEORI Afasia Broca Menurut Guyton & Hall, afasia broca lazim disebut afasia ekspresif atau afasia motorik. Kerusakan yang menyebabkan afasia broca terletak di lapisan permukaan daerah broca (lesi kortikal). Afasia ini memiliki karakter-karakter sendiri bila dibandingkan dengan afasia sensorik. Karakter tersebut ditandai dengan cara berbicara yang sulit, sehingga kata-kata yang dikeluarkan sedikit. Penderita tidak dapat mengatur sistem vokal untuk menghasilkan kata-kata. Penderita stroke yang mengalami afasia broca secara otomatis mengalami gangguan dalam memahami suatu bahasa atau kemampuan bahasanya mendadak hilang. Hilangnya kemampuan dalam mengujarkan atau menirukan ujaranujaran bunyi vokal. Gejala utama pada penderita afasia broca adalah kesulitan dalam bertutur yang dapat terjadi dalam berbagai derajat keparahan. 1 Linguistik Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua bahasa.iilmu linguistik dikenal sebagai linguistics dalam bahasa Inggris, dan sebagai linguistique dalam bahasa Prancis. Bentuk Indonesia dari istilah tersebut ialah linguistik. 1 Pada penelitian ini bidang fonologi, sintaksis, dan semantik leksikal merupakan bidang yang menjadi bahan kajian dalam psikolinguistik. Tepatnya beberapa bidang ilmu linguistik yang dikaji dalam penelitian afasia broca. Muslich mengatakan bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselidiki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik linguistik teoretis maupun terapan. 1 Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha menjelaskan unsur-unsur suatu satuan serta hubungan antara unsur-unsur itu dalam suatu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi. Keluaran yang dihasilkan oleh komponen sintaktik, kemudian dikirim ke komponen fonologi untuk mendapatkan interpretasi fonologis. Pada komponen ini masukan dari komponen sintaktik ditelaah secara fonologis, yakni dicermati apakah semua kaidah fonologis bahasa tersebut telah ditaati. Semantik leksikal adalah makna sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi kita, makna apa adanya, atau makna yang ada dalam kamus. Sementara menurut Kridalaksana, semantik leksikal adalah penyelidikan makna unsur-unsur kosa kata suatu bahasa pada umumnya. 1 Menurut Djajasudarma makna leksikal (bhs. Inggris; lexical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks. 1 Psikolonguistik Dardjowidjojo 1 memberi istilah psikolinguistik sebagai ilmu hibrida, yaitu ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu psikologi dan linguistik. Tahap linguistik, yaitu perkembangan ilmu linguistik, yang semula berorientasi pada aliran behaviorisme dan kemudian beralih ke mentalisme (nativisme) pada tahun 1957 dengan diterbitkannya buku Chomsky, Syntactic Structures, dan kritik tajam dari Chomsky terhadap teori behavioristik B.F. Skinner. 1 telah membuat psikolinguistik sebagai ilmu yang banyak diminati orang. Tahap kognitif, psikolinguistik mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia dalam pemerolehan bahasa. D. ANALISIS 253

3 a. Kekeliruan Berbahasa pada Informan (a) Kekeliruan Fonologi Komponen fonologi menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan bunyi. Bunyi merupakan simbol lisan yang dipakai oleh manusia untuk menyampaikan segala sesuatu yang ingin diinformasikan. Dalam komponen fonologi, bunyi-bunyi dibentuk dalam suatu sistem yang disebut bahasa. Jika bunyi-bunyi yang dibentuk tersebut tidak sesuai maka bunyi yang sudah berbentuk kata akan ditolak oleh bahasa yang bersangkutan. Pada penderita afasia broca bunyi yang ditolak itu merupakan suatu kekeliruan dalam produksi berbahasanya, seperti: (1) In: Engke beli toyona kalau gak ada baru masak tongkol. Di sini jelas bahwa informan mengalami kekeliruan dalam memproduksi bahasa sehingga informan mengubah bunyi konsonan pertama /s/ dengan /t/ dan bunyi konsonan kedua [t] dengan bunyi konsonan [y]. Sementara itu, informan pun memindahkan bunyinya dari suatu posisi ke posisi yang lain, yaitu kata soto dengan toyo. Inferensi yang dapat ditarik dari kalimat tersebut adalah informan hanya mengingat suku kata terakhirnya saja, yaitu bunyi to- sehingga informan nenyiasatinya dengan mengasosiasikan bunyi yang baru yaitu bunyi yo. Informan dalam menggolongkan bunyi tertentu ke dalam fonem tertentu menghadapi kesulitan khusus, seperti bunyi [s] pada soto diubah bunyinya menjadi [t] pada suku kata pertama. Begitu juga diubahnya bunyi [t] pada suku kata terakhir dengan bunyi [y]. Kesulitan khusus ini disebut juga kesulitan dalam oposisi. Kesulitan oposisi ini bukan tanpa alasan karena informan di leksikon mentalnya sudah akan mengeluarkan kata soto, bahkan kata soto telah terabstraksikan dalam benaknya tetapi gangguan produksi berbahasa itulah yang menyebabkan informan melakukan asimilasi bunyi soto menjadi toyo. Kondisi ini dapat pula dijelaskan lewat jarak antara organ yang terlibat dengan produksi berbahasa. Pada dasarnya, setelah kata untuk calon kalimat itu selesai diproses dan akan diujarkan, maka bagian otak yang bertanggung jawab mengenai pengujaran, yakni daerah broca, memerintahkan korteks motor untuk mulai bekerja. (Korteks motor adalah sebuah jalur di otak yang mengendalikan lidah, rahang, gigi, pita suara, dan mekanisme wicara lainnya). Karena jarak antara otak dengan alat penyuara itu berbeda-beda maka intruksi dari otak juga diberikan secara berurutan. Jarak yang paling jauh adalah jarak dari otak ke pita suara. Agar iringan getar suara sebagai [+vois] atau [-vois] dengan segmen fonetiknya itu tepat, maka instruksi ke pita suara diberikan paling awal, sekitar 0,30 milidetik sebelum intruksi ke segmen bunyi itu dikeluarkan. 1 Dalam kajian psikolinguistik, informan berusaha berkomunikasi dengan melakukan strategi atau siasat berbahasa agar ujaran yang disampaikan informan dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Akan tetapi siasat berbahasa pada data di atas mengalami kegagalan karena makna kata keluar dari konteks kalimat Hal ini yang menjadikan hambatan-hambatan interaksi oleh informan. Siasat berbahasa yang dipakai informan adalah parafasia semantik, yaitu dengan mensubstitusi kata secara verbal dan parafasia fonemik (literal), yaitu kekeliruan dalam mengucapkan soto menjadi toyo, yang tidak bermakna apa pun. Kekeliruan-kekeliruan bunyi seperti ini menunjukkan bahwa dalam leksikon mental informan kata-kata yang mirip bunyinya disimpan berdekatan. (b) Kekeliruan Sintaksis Data berikut merupakan salah satu sumber yang melibatkan penggunaan ciri-ciri konteks untuk mempermudah pemahaman mereka terhadap item-item leksikal dan kalimat-kalimat pasif yang dibalik susunannya. (2) In: itu ucing ku lauk! Pada data (2) tampak informan melakukan kekeliruan dengan mengganti peran pada struktur kalimatnya. Jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka arti dari kalimat (2) adalah itu kucing (dimakan) oleh ikan. Tampak di sini informan melesapkan verba pasif dimakan dan menggunakan kalimat yang rancu karena tidak sesuai dengan realitas yang ada pada kucing maupun ikan. 254

4 Pada dasarnya struktur lahir (surface structure) sebuah kalimat merupakan hasil transformasi dari struktur batinnya (deep structure) Struktur lahir yang sama belum tentu mengandung struktur batin yang sama pula. Hal ini tampak pada data (2). Data tersebut menunjukkan bahwa teori Chomsky dapat diterapkan dengan menggunakan deep structure, yaitu S NP + VP. Ketika informan menghapus (deleted) verba dimakan dengan cara pelesapan verba dan mengubah letak nomina yang berperan sebagai aktor menjadi berperan sebagai pasien (VP V + N) maka terjadilah transformasi dari lauk ku ucing menjadi ucing ku lauk. Dalam kalimat tersebut informan berusaha membangun komunikasi untuk mempermudah pemahaman terhadap item-item leksikal dengan cara membalik susunan kalimat. Informan mengakses bentuk leksikal yang dia perlukan, yaitu lauk dan ucing untuk memasukkan ke kolom nomina yang berperan sebagai agen. Tetapi informan keliru dan memasukkannya ke kolom yang salah. Yang harusnya diisi dengan ucing dia isi dengan lauk. Oleh karena itu, kalimat tersebut menjadi janggal karena maknanya tidak sesuai dengan kebiasaan kucing dan ikan. Kucing adalah sejenis binatang yang senang memakan ikan, dan hidup di darat. Sementara ikan adalah binatang yang hidup di air. Jadi tidak mungkin ikan memakan kucing karena ikan hidup di air sedangkan kucing hidup di darat. Secara psikologi ketika pertukaran peran dalam kalimat itu diujarkan informan, informan dalam keadaan kaget sehingga tergesa-gesa dalam mengungkapkan sesuatu yang dilihatnya. Situasi ketika mengujarkan data (2) informan merasa kaget karena kucing naik ke atas meja makan dan memakan ikan. Sebenarnya kata-kata yang akan diujarkan oleh informan telah terabstraksikan dalam benaknya tetapi karena kelemahan di area motoriknya maka terjadilah gangguan berbahasa tersebut. Ditambah lagi ketergesa-gesaannya mengujarkan kalimat sehingga terjadilah kekeliruan pemakaian struktur kalimat yang mengakibatkan kekacauan makna gramatikalnya. (c) Kekeliruan Semantik Defisit semantik yang dialami informan mengakibatkan kata yang diretrifnya menjadi salah, seperti pada data berikut: (3) In: Ade, teteh udah bangun? Data (3) merupakan kekeliruan makna yang diujarkan informan ketika magrib (A1) belum pulang sekolah, informan bertanya kepada (A2). Item-item leksikal yang dibangun dalam kalimat tersebut sebenarnya cukup jelas makna konteksnya jika memang yang dimaksudnya demikian. Akan tetapi, makna yang diciptakan oleh informan berlainan dengan makna konteks kalimat tersebut karena konteks situasi ketika bertanya begitu adalah (A1) belum pulang sekolah. Jadi tidak mungkin (A1) sedang tidur. Di sini informan mensubstitusi kata pulang dengan bangun. Makna leksikal kedua kata tersebut tidak bersinonim ataupun berkolokasi karena makna leksikal dari kata pulang adalah pergi ke rumah atau ke tempat asalnya. Jelaslah bahwa maksud yang diujarkan oleh informan tidak akan dapat dimengerti oleh mitra tuturnya karena inferensi dalam kalimat tersebut berbeda dengan yang dikehendaki informan, sehingga informan mengalami hambatan berkomunikasi. Jika dilihat dari konteks situasinya maka kata bangun yang dimaksud informan muncul karena (A1) tidak ada di dekatnya. Jadi kekeliruan yang terjadi pada informan tidak pernah keluar dari konteks makna karena antara pulang dan bangun mempunyai kesamaan makna, yaitu sesuatu (dalam hal ini kata) itu muncul dari yang tidak ada atau tidak hadir ketika informan mengucapkan kata tersebut. Kekeliruan substitusi pulang dengan bangun mencerminkan bahwa informan mengalami kesulitan dalam meretrit kata yang tersimpan di leksikon mentalnya. Hambatan seperti ini merupakan kegagalan komunikasi yang paling tidak diinginkan oleh para penderita afasia broca karena akan membuat penderita afasia, dalam hal ini informan mengalami keterasingan dalam bersosialisasi. Kegagalan memanggil unsur leksikal yang mempunyai medan makna yang sama ini membuat makna struktur gramatikal berubah pula sehingga antara makna yang terkandung dalam kalimat dengan maksud informan berlainan. Akan tetapi, informan mensubstitusi bentuk verba ke bentuk verba yang lain, yaitu kata pulang dengan bangun. Jadi kekeliruan kata yang diciptakan informan tidak hanya mengganggu makna leksikalnya tetapi juga kekeliruan dari segi sintaksisnya. 255

5 Pada beberapa hal informan salah memilih kata yang umum sehingga kata yang diretrifnya menjadi tidak nyambung. Hal ini seolah-olah terjadi anomali pada informan sebagai penderita afasia broca. Padahal, jika ditelusuri berdasarkan maksud informan maka pilihan katanya itu mempunyai kesamaan makna, misalnya pada kata bangun, padahal maksud informan pulang mempunyai kesamaan maksud, yaitu orang yang ditanyakannya tidak ada di tempat. E. SIMPULAN Afasia bisa diteliti melalui ilmu neurologi, psikologi, dan linguistik. Pada penelitian ini, saya menggabungkan ketiga kajian ilmu tersebut. Akan tetapi penelitiannya lebih menitikberatkan pada kajian linguistik, sesuai bidang ilmu yang saya tekuni. Oleh karena itu, penelitian ini sudah selesai dilakukan dengan menghasilkan simpulan sebagai berikut: 1. Informan melakukan kekeliruan berbahasa jika dalam keadaan lelah, tergesa-gesa, konsentrasi yang terpecah, dan dalam keadaan emosi. 2. Informan meretrif gagasan dari leksikon mentalnya dengan cara asembling, yaitu menyusun kata dengan keliru, misalnya, soto menjadi toyo. 3. Kekeliruan sintaksis meliputi urutan kata (word order) dan pelesapan salah satu unsur kalimat, misalnya Itu ucing ku lauk. 4. Pada kekeliruan leksikal atau semantik informan mendapat kesulitan dalam meretrif atau memanggil kata yang mempunyai kesamaan makna, misalnya antara kata pulang dengan kata bangun. 5. Pemrosesan bahasa informan terhambat sehingga proses semantik, sintaksis, fonologi, bahkan pragmatiknya terganggu. Untuk menyiasati gangguan kelancaran berbahasa tersebut informan berusaha memparafasia, mengasosiasi, atau menginteraksi makna dalam melakukan konteks komunikasi dengan mitra tuturnya, misalnya memparafasia sekolah dengan kuliah atau mengasosiasi keripik singkong dengan sampeu garing. F. REFERENSI Cummings, Louise. (2007). Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dardjowidjojo, S. (2008). Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Djajasudarma, F. (2009). Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Finegan, Edward et.al. (1990). Language Its Structure and Use. Jovanovich: Harcourt Brace. Guyton dan Hall. (1996), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia. Kusumoputro S. (1992). Afasia Gangguan Berbahasa. Jakarta: FK. UI. Lumempou, Silvia F. (2003). Tersedia: Diakses Muslich, Masnur. (2008). Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Sulistyanto, Adi. (2011). Tersedia: diakses Verhaar, J.W.M (1984). Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 256