BAB II. KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Koridor Kota sebagai Ruang Publik Ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi sangat penting dalam pembahasan studi mengenai hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku karena fungsinya sebagai wadah kegiatan manusia (Haryadi & Setiawan, 2010). Ruang kota merupakan ruang publik yang dapat diakses oleh semua masyarakat kota dan dapat digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Tanpa kita sadari, jalan merupakan ruang publik terbesar dan pasti dimiliki oleh setiap kota dengan berbagai aktivitas di dalamnya Ruang Publik Ruang Publik merupakan ruang atau wadah yang terbentuk karena adanya kebutuhan akan tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi. Pada dasarnya, ruang publik ini merupakan suatu tempat untuk menampung aktivitas tertentu dari manusia, baik secara individu maupun berkelompok (Prihutami, 2008). Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007, bahwa ruang terbuka dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam bentuk area memanjang / jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ketersediaan ruang publik kota sangatlah penting dalam perencanaan kota guna meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan. Peranan ruang publik sebagai salah satu komponen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi serta tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2007). Ruang publik juga harus memenuhi beberapa faktor agar berhasil yaitu melalui aspek sirkulasi/ aksesibilitas. Dengan kata lain, ruang publik harus tetap dapat diakses bagi seluruh penggunanya dan dapat merefleksikan komunitas sekitarnya. 6

2 Sehingga segala bentuk aktivitas, termasuk aktivitas komersial di dalam suatu ruang publik harus dapat membuat para user merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas tersebut. Menurut Hakim dan Utomo (2003), ruang publik terbagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yaitu: 1. Ruang publik tertutup; ruang publik yang berada di dalam bangunan 2. Ruang publik terbuka; ruang publik yang berada di luar bangunan. Adapun pengertian ruang publik terbuka menurut Hakim dan Utomo (2003) adalah sebagai berikut: 1. Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan 2. Dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh setiap orang 3. Memberi tempat untuk menampun bermacam-macam kegiatan/aktivitas (multifungsi). Contoh ruang publik terbuka seperti : jalan, jalur pedestrian, taman lingkungan, plaza, lapangan olahraga, taman kota, dan lain-lain. Ruang publik terbuka tentunya memiliki peranan penting terhadap perkembangan sosial masyarakat. Hadirnya suatu ruang publik akan memberi dampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat dalam beraktivitas. Beberapa fungsi ruang terbuka menurut Hakim dan Utomo (2003), yaitu: 1. Fungsi sosial; sebagai tempat berkomunikasi dan bersosialisasi, tempat bermain dan berolahraga, tempat untuk mendapatkan udara segar, tempat menunggu kegiatan lain, sebagai pembatas di antara massa bangunan, menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain, sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan lingkungan, sebagai saranan penelitian dan pendidikan, serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. 2. Fungsi ekologi; yaitu ruang terbuka yang memiliki fungsi untuk memperlunak arsitektur bangunan, menyerap air hujan, pencegah 7

3 banjir, meyegarkan udara, memperbaiki iklim mikro dengan mereduksi panas dan polusi, memelihara serta menjaga keseimbangan ekosistem. Secara garis besar, Krier (1979) dalam Prihutami (2008) mengklasifikasikan ruang terbuka menjadi dua jenis, yaitu: 1. Ruang terbuka yang bentuknya memanjang (koridor) yang pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, misalnya bentuk ruang terbuka pada jalan. 2. Ruang terbuka yang bentuknya bulat dan pada umumnya mempunyai batasan di sekelilingnya, misalnya ruang rekreasi dan lapangan upacara Koridor sebagai Ruang Publik Salah satu bentuk ruang publik kota adalah koridor. Menurut Darmawan (2003), koridor adalah sebuah jalan yang diapit oleh dinding dari sebelah kiri maupun kanan yang merupakan ruang-ruang di sekitar jalan. Koridor juga merupakan bentuk dasar street yang merupakan ruang pergerakan linear, sebagai sarana untuk sirkulasi. Koridor jalan sebagai linear space tidak sekedar menjadi ruang sirkulasi, namun juga sangat berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sebagai ruang aktivitas masyarakat (Shirvani, 1985). Menurut Bishop (1989) dalam buku Designing Urban Corridors, terdapat 2 jenis urban koridor, yaitu: 1. Koridor komersial biasanya berada pada area perkotaan dan dimulai dari area-area komersial menuju pusat sub-urban berupa kompleks bangunan perkantoran dan pusat-pusat pelayanan jasa perdagangan yang terbentuk di sepanjang koridor. Koridor komersial termasuk di dalamnya memiliki jalur pedestrian sebagai aktivitas dan pergerakan manusia serta jalan sebagai jalur sirkulasi kendaraan yang melewati kawasan kota. 2. Koridor Scenic, kebanyakan berada di area pedesaan. scenic koridor memberikan pemandangan yang unik dan khas bagi pengendara saat melewati koridor tersebut. 8

4 Menurut Carr, et al. dalam Sigit (2015), bentuk fisik koridor dapat berperan secara baik jika mengandung beberapa unsur, yaitu: 1. Comfort, adalah salah satu syarat keberhasilan ruang fisik koridor. lama seseorang beraktivitas pada suatu koridor dapat dijadikan tolok ukur tingkat kenyamanan (comfortable) pada koridor tersebut. Dalam hal ini, kenyamanan koridor antara lain dipengaruhi oleh: kenyamanan lingkungan yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari dan angin; kenyamanan fisik yang berupa ketersediaan fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk; kenyamanan sosial yang berupa ruang bersosialisasi untuk pengguna. 2. Relaxation, merupakan aktivitas yang erat hubungannya dengan kenyamanan psikologi. Suasana rileks akan mudah dicapai jika badan dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman atau pepohonan, air, serta dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di sekelilingnya. 3. Passive engagement, aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk atau berdiri sambil melihat aktivitas yang tejadi di sekitarnya atau melihat pemandangan lingkungan sekitar. 4. Active engagement, yaitu ketika suatu ruang koridor dapat mewadahi aktivitas kontak atau interaksi antar anggota masyarakat dengan baik. 5. Discovery, dapat diartikan secara umum sebagai suatu proses mengelola ruang koridor agar di dalamnya terjadi suatu aktivitas yang tidak monoton dengan memelihara keunikan aktivitas dan ciri khas arsitektural yang terdapat pada koridor sesuai dengan budaya setempat. Jacob (1995) mengatakan bahwa ada beberapa kriteria dalam perencanaan koridor, yaitu: 1. Adanya perbandingan proporsi antara lebar jalan dengan tinggi bangunan 2. Mempunyai fungsi yang jelas 9

5 3. Bangunan di sekitar koridor memiliki kesatuan yang saling melengkapi Koridor sebagai wadah aktivitas manusia, sirkulasi pergerakan manusia dan transportasi memiliki dua pengaruh langsung pada kualitas lingkungan, yaitu kelangsungan aktivitas komersial dan kualitas visual yang kuat terhadap struktur dan bentuk fisik kota Koridor Komersial Koridor dibentuk oleh dua deretan massa (pohon atau bangunan) yang membentuk sebuah ruang untuk menghubungkan dua kawasan atau wilayah kota (Zahnd, 2012 dalam Dipta, 2015 ). Kawasan komersial merupakan suatu kawasan yang diawarnai atau ditandai oleh aktivitas ekonomi yaitu perdagangan dan jasa (Yunus, 2005). Menurut Philadelphia (2009), koridor komersial adalah kumpulan toko ritel yang melayani area perdagangan yang berada di sepanjang jalan tunggal. Dengan kata lain koridor komersial adalah sebuah ruang yang diapit oleh dua deretan massa sebagai jalur pergerakan transportasi, manusia dan juga sebagai kawasan aktivitas perekonomian masyarakat yang berupa aktivitas perdagangan dan jasa. Menurut PPS (Project for Public Space), terdapat beberapa elemen pada koridor komersial, antara lain: 1. Kenyamanan dan identitas a. Menciptakan budaya lokal dan identitas b. Adanya elemen penanda sebagai informasi kepada pengunjung c. Terdapat ruang tempat duduk untuk para pengunjung, lansekap, elemen pencahayaan yang baik, dan perabot jalan yang memberikan keamanan dan kenyamanan 2. Aksesibilitas a. Kemudahan dalam menyebarang dan melintasi jalan b. Mengakomodasi dan memberikan kenyamanan bagi pengguna pedestrian 10

6 c. Terdapat transportasi publik 3. Fungsi dan aktivitas a. Keragaman aktivitas seperti tempat makan, toko, dan lainnya b. Pengunjung merasa betah berada pada koridor ini c. Aktivitas di koridor mengundang pengunjung lain untuk berkunjung ke koridor ini 4. Mendukung fungsi sosial a. Masyarakat dapat berkumpul di koridor b. Adanya rasa memiliki terhadap koridor c. Adanya ruang untuk melakukan kegiatan dalam kondisi apapun Pengguna Ruang Publik Ruang publik merupakan salah satu ruang kota yang dapat diakses oleh siapa saja dan digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Dengan kata lain, pengguna-pengguna ruang publik pun bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan user dalam batas tertentu. Adapun beberapa pengguna koridor jalan, antara lain: Pedestrian (Pejalan Kaki) Pejalan kaki adalah setiap orang yang bergerak atau berpindah dari suatu tempat ke tempat tujuan tanpa menggunakan kendaraan. Pedestrian berasal dari bahasa Yunani pedos yang berarti kaki. Pedestrian juga berasal dari bahasa Latin pedester-pedestris yaitu orang yang berjalan kaki atau pejalan kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki (Dharmawan,2004). Jalur pedestrian pertama kali dikenal pada tahun 6000 SM di Khirokitia, Cyprus, dimana jalan terbuat dari batu gamping lalu permukaannya di tinggikan terhadap tanah dan pada interval tertentu dibuat ramp untuk menuju ke kelompok hunian pada kedua sisi-sisinya (Kostof,1992). Menurut Iswanto (2006), suatu ruas jalan perlu dilengkapi dengan adanya jalur pedestrian apabila 11

7 disepanjang jalan terdapat penggunaan lahan yang memiliki potensi menimbulkan pejalan kaki. Pengertian dasar berjalan kaki menurut Fruin, 1979 yaitu Berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan internal kota, satu satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota. Berjalan kaki merupakan alat penghubung antara moda moda angkutan yang lain. Menurut Rapoport (1977), kebutuhan ruang berjalan kaki dibagi menjadi 2 jenis yaitu ruang gerak dan ruang istirahat. Ruang gerak bersifat dinamis dimana kegiatannya antara lain yaitu berjalan dan bergerak walaupun dengan kecepatan yang sangat lambat atau perlahan-lahan. Besaran dimensi ruang gerak tergantung pada jarak berpapasan baik dari arah yang sama maupun berbeda kemudian juga tergantung sesuai dengan lokasi (Harris dan Dines, 1988). Dimensi minimum yang dibutuhkan sewaktu pengguna jalur berpapasan adalah 1,5m x 1,5m. Gambar 2.1 Jarak Ruang yang Dibutuhkan Pejalan Kaki Sesuai Lokasi (Harris dan Dines, 1988) Sumber: Washington State Department of Transportation

8 Pedagang Kaki Lima (PKL) Salah satu produk dari proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia adalah lahirnya sektor informal seperti pedagang kaki lima yang menempati ruang publik berupa jalur pejalan kaki. Pedagang kaki lima dapat ditemukan hampir di seluruh kota dan kebanyakan berada di ruang fungsional kota seperti pusat perdagangan, pusat rekreasi, taman kota, dan tempat-tempat umum yang dapat menarik sejumlah besar penduduk sekitar. Sektor informal menurut Ahmad (2002) dalam Lie (2014) merupakan kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal dan memiliki beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap dan berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil, serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan. Dilihat dari sejarahnya di Indonesia, komunitas PKL sudah ada sejak pada masa penjajahan Kolonial Belanda. Istilah pedagang kaki lima berasal dari zaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jendeeral pmerintahan Kolonial Belanda, yaitu dari kata "five feet" yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut kemudian digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (Lie, 2014). PKL juga mempunyai pengertian yang sama dengan "hawkers" oleh McGee dan Yeung (1977), yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Menurut Kartono et al. (1980), ada beberapa karakteristik umum pada pedagang kaki lima, yaitu: 1. Merupakan pedagang yang sebagian juga sekaligus menjadi produsen 2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu dan ada yang bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stand yang tidak permanen serta bongkar pasang) 13

9 3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran 4. Umumnya bermodal kecil dan terkadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sbagai imbalan atas jerih payahnya 5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar 6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli cenderung merupakan pembeli yang berdaya beli rendah 7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anakanak turut membantu dalam usaha tersebut, baik langsung maupun tidak langsung 8. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri khas pada usaha pedagang kaki lima 9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang, dan ada pula yang melaksanakan musiman. Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL dalam tiga tipe berdasarkan sifat layanannya, yaitu: a. Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapat membawa barang dagangannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari menggunakan sepeda, gerobak atau keranjang. b. Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan berpindah setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut. c. Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya permanen disuatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik dengan membangun kios, maupun jongko. 14

10 Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL dalam tiga tipe berdasarkan pola penyebaran aktivitas, yaitu: a. Pola penyebaran mengelompok (focus aglomeration), biasanya terjadi pada mulut jalan, di sekitar pinggiran pasar umum atau ruang terbuka. Pengelompokkan ini merupakan suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang yang memiliki sifat sama / berkaitan. Pengelompokan pedagang yang sejenis dan saling mempunyai kaitan, akan menguntungkan pedagang, karena mempunyai daya tarik besar terhadap calon pembeli. Aktivitas pedagang dengan pola ini dijumpai pada ruang-ruang terbuka publik (taman, lapangan, dan lainnya). b. Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini terjadi di sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola ini terjadi berdasarkan pertimbangan kemudahan pencapaian, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah sandang / pakaian, kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan lain-lain Arsitektur Perilaku sebagai Pendekatan Dalam buku Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku, Haryadi dan Setiawan (2010) berpendapat bahwa pada masa kini dan yang akan datang, perkembangan suatu bidang ilmu akan lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan bidang-bidang ilmu lain, tidak terlepas ilmu arsitektur. Isu tentang kenyamanan ruang, kesesakan, rasa terisolasi, hilangnya privasi seseorang, citra budaya suatu bangunan atau kawasan adalah beberapa contoh yang mulai banyak dibicarakan pada masa sekarang. Kepedulian akan kualitas hidup manusia inilah yang membantu berkembangnya ilmu arsitektur ke arah hal-hal yang mengandung permasalahan sosial. Haryadi dan Setiawan (2010) menjelaskan bahwa perilaku dioperasionalisasikan seabagai kegiatan manusia yang membutuhkan setting atau 15

11 wadah kegiatan yang berupa ruang. Wadah-wadah berbabagai kegiatan tersebut yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari arsitektur. Hal-hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan bahwa ruang menjadi salah satu komponen arsitektur yang menjadi penting dalam pembahasan studi hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku. Kemudian hal ini dipertegas oleh Prohansky (1976) dalam Syahputra (2013) bahwa kini perhatian utama dalam perancangan urban adalah pengaruh psikologi lingkungan terhadapnya. Proses interaksi lingkungan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objek Sumber: Prohansky, 1976 dalam Syahputra, Pengertian Arsitektur Perilaku Arsitektur adalah bangunan tempat kegiatan manusia, berguna dan mempunyai nilai-nilai tertentu (keindahan) yang dapat menyentuh perasaan manusia (Talarosha, 1999). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Tandal dan Egam (2011) dalam Lie (2014) berpendapat bahwa kata perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Dengan kata lain, arsitektur perilaku merupakan bangunan, arsitektur, ruang, lingkungan sebagai wadah aktivitas manusia yang dipengaruhi atau mempengaruhi manusia di dalamnya secara psikologi. 16

12 Berikut merupakan definisi arsitektur perilaku menurut beberapa tokoh: 1. Menurut Y.B. Mangun Wijaya dalam buku Wastu Citra. Arsitektur perilaku adalah arsitektur yang manusiawi, yang mampu memahami dan mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap dari berbagai macam perilaku, baik itu perilaku pencipta, pemakai, pengamat juga perilaku alam sekitarnya 2. Donna P. Duerk mengatakan bahwa manusia dan perilakunya adalah bagian dari sistem yang menempati tempat dan lingkungan tidak dapat dipisahkan secara empiris. Oleh sebab itu, perilaku manusia selalu terjadi pada suatu tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa pertimbangan faktor-faktor lingkungan. Lingkungan mempengaruhi perilaku manusia. orang cenderung menduduki suatu tempat yang biasanya diduduki meskipun tempat tersebut bukan tempat duduk. Misalnya: susunan anak tangga di depan rumah, bagasi mobil yang besar, pagar yang rendah, dsb. Perilaku manusia yang mempengaruhi lingkungan. Pada saat orang cenderung memilih jalan pintas yang dianggapnya terdekat daripada melewati pedestrian yang memutar sehingga orang tersebut tanpa sadar telah membuat jalur sendiri meski telah disediakan pedestrian. 3. Gary T. More dalam buku Introduction to Architecture Istilah perilaku diartikan sebagai suatu fungsi dari tuntutan-tuntutan manusia dalam dan lingkungan sosio-fisik luar. Pengkajian perilaku menurut Garry T. More diakitkan dengan lingkungan sekitar yang lebih dikenal sebagai pengkajian lingkungan-perilaku. Adapun pengkajian lingkungan_perilaku seperti yang dimaksudkan oleh Garry T. More terdiri atas definisi-definisi sebagai berikut : a. Meliputi penyelidikan sistematis tentang hubungan-hubungan antara lingkungan dan perilaku manusia serta penerapannya dalam proses perancangan. b. Pengakjian lingkungan-perilaku dalam Arsitektur mencakup lebih banyak daripada sekedar fungsi. 17

13 c. Meliputi unsur-unsur keindahan estetika, dimana fungsi berhubungan dengan perilaku dan kebutuhan oang, estetika berhubungan dengan pilihan dan pengalaman. Jadi, estetika formal dilengkapi dengan estetika hasil pengalaman yang bersandar pada si pemakai. d. Jangkauan faktor perilaku lebih mendalam, pada psikologi si pemakai bangunan, kebutuhan interaksi kemasyarakatan, perbedaan-perbedaan sub budaya dalam gaya hidup dan makna serta simbolisme bangunan. e. Pengkajian lingkungan-lingkungan juga meluas ke teknologi, agar elemen-elemen Arsitektur dapat memberikan penampilan kemantapan atau perlindungan. 4. Victor Papanek mengatakan bahwa dalam telaah-telaah lingkungan dalam arsitektur, harus dipahami dua kerangka konsep yang satu menjelaskan jajaran informasi lingkungan perilaku-perilaku yang tersedia, dan yang lain memperhatikan dimana proses perancangan informasi lingkungan perilaku paling mempengaruhi pengambilan keputusan Arsitektur. 5. J.B. Watson mengatakan bahwa arsitektur perilaku adalah arsitektur yang dalam penerapannya selalu menyertakan pertimbanganpertimbangan perilaku dalam perancangan kaitan perilaku dengan desain arsitektur (sebagai lingkungan fisik) yaitu bawa desain arsitektur dapat menjadi fasilitator terjadinya perilaku atau sebaliknya sebagai penghalang terjadinya perilaku Konsep - Konsep Perilaku Perkembangan kajian arsitektur lingkungan dan perilaku diawali oleh kajian psikologi lingkungan yang pada hakikatnya mempertanyakan peran proses-proses psikologis. Beberapa konsep penting dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku menurut Haryadi dan Setiawan (2010) adalah sebagai berikut: 18

14 1. Setting Perilaku (Behavior Setting) Behavior setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik. Dengan demikian, behavior setting mengandung unsur-unsur: sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut, serta tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan. Contoh dari setting perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari seperti di dalam suatu setting bank, kelas, ruang tunggu, pasar, sederet penjual kaki lima, dsb. Dalam banyak kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, istilah behavior setting dijabarkan dalam dua istilah yakni system of setting dan system of activity, dimana keterkaitan antara keduanya membentuk satu behavior setting tertentu. system of setting atau sistem tempatdiartikan sebagai rangkaian unsur-unsur fisik atau spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk suatu kegiatan tertentu. Contoh dari setting adalah ruang yang dimanfaatkan sebagai ruang untuk pameran, ruang terbuka atau trotoar yang ditata untuk berjualan kaki lima. Sementara itu System of activity atau sistem kegiatan diartikan sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Contohnya adalah rangkaian persiapan dan pelayanan di dalam suatu restoran atau rangkaian upacara perkawinan dengan adat Jawa. Behavior setting mempunyai spektrum yang luas, mulai dari setting suatu kamar hingga setting suatu kota. 2. Persepi tentang Lingkungan (Environmental Perception) Persepsi lingkungan atau environmental perception adalah interpretasi tentang suatu setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian, setiap individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda karena latar belakang budaya, nalar serta pengalamannya berbeda. Akan tetapi, dimungkinkan pula beberapa kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip karena 19

15 kemiripan latar belakang budaya, lanar, serta pengalamannya. Pendekatan persepsi akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya. 3. Lingkungan yang Terpersepsikan (Perceived Environment) Lingkungan yang terpersepsikan atau perceived environment merupakan produk atau bentuk persepsi lingkungan seseorang atau sekelompok orang. Apabila kita berbicara mengenai persepsi lingkungan berarti kita berbicara tentang proses kognisi, afeksi serta kognasi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungan. Keseluruhan proses ini menghasilkan apa yang disebut perceived environment atau lingkungan yang terpersepsikan. 4. Kognisi Lingkungan, Citra, dan Skemata (Environmental Cognition, Image and Schemata) Kognisi lingkungan atau environmental cognition adalah suatu proses memahami dan memberi arti terhadap lingkungan. Proses ini dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku penting karena merupakan suatu proses yang menjelaskan mekanisme hubungan antara manusia dan lingkungannya. Rapoport (1997) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mengatakan bahwa kognisi lingkungan ditentukan oleh tiga faktor yakni: organismic, environmental, dan cultural. Ketiganya saling berinteraksi mempengaruhi proses kognisi seseorang. 5. Pemahaman Lingkungan (Environmental Learning) Environmental learning diartikan sebagai keseluruhan proses yang berputar dari pembentukan kognisi, schemata serta peta mental. Sebagaimana dilihat pada Gambar 2.3, proses environment learning meliputi proses pemahaman yang menyeluruh dan menerus tentang suatu lingkungan oleh seseorang (Rapoport, 1977 dalam Haryadi dan Setiawan, 2010). Gambar 2.3 menjelaskan bahwa pembentukan kognisi mengenai suatu lingkungan merupakan suatu pengetahuan, pemahaman, dan pengartian yang dinamis dan berputar. 20

16 6. Kualitas Lingkungan (Environmental Quality) Keseluruhan proses environmental learning, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan didefinisikan secara umum sebagai suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Definisi ini menegaskan bahwa dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, kualitas lingkungan seyogyanya dipahami secara subjektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosio-kultural masyarakat yang menghuni suatu lingkungan. Namun, meskipun kualitas lingkungan sangat subjektif, terdapat pula unsur-unsur dasar kualitas lingkungan yang harus kita jaga. 7. Teritori (Territory) Teritori di dalam kajian arsitektur dan perilaku diartikan sebagai batas tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menanai, serta mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak lain. Konsep Teritori yang berlaku pada manusia menyangkut juga perceived environment serta imaginary environment. Artinya, bagi manusia, konsep teritori lebih dari sekedar tuntutan atas suatu area untuk memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tetapi juga untuk kebutuhan emosional dan kultural. Altman (1975) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) membagi teritori menjadi 3 kategori dikatikan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan seharihari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut adalah: primary, secondary, serta public territory. Penjelasan mengenai konsep teritori ini akan dilanjutkan lebih mendalam pada subbab berikutnya. 8. Ruang Personal dan Kesumpekan (Personal space and Crowding) Secara sederhana, Sommer (1969) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mendefinisikan ruang privat sebagai batas tak tampak di sekitar seseorang, yang mana orang lain tidak boleh atau merasa enggan untuk memasukinya. Personal space merupakan konsep yang dinamis dan 21

17 adaptif, tergantung pada situasi lingkungan dan psikologis seseorang serta kultural seseorang. Dengan kata lain, jarak individu untuk mendapatkan personal space dapat membesar atau mengecil. Konsepsi mengenai personal space ini, lebih lanjut menentukan isu dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku yakni crowding (kesumpekan). Crowding ialah situasi ketika seseorang atau sekelompok orang sudah tidak mampu mempertahankan ruang privatnya. Dengan kata lain, karena situasi tertentu, masing-masing telah mengintervensi batas-batas personal space. Oleh karena personal space-nya dimasuki oleh orang atau banyak orang lain, situasi crowding apabila berlangsung lama akan mengarah pada munculnya stress. Faktor utama crowding adalah densitas manusia yang terlalu tinggi di suatu tempat. Namun, mengingat konsep personal space menyangkut pula aspek psikologis dan kultur seseorang, masalah crowding tidak hanya berkaitan dengan densitas fisik. 9. Tekanan Lingkungan dan Stres (Environmenal Pressures and Stress) Tekanan lingkungan didefinisikan sebagai faktor-faktor fisik, sosial, serta ekonomi yang dapat menimbulkan perasaan tidak enak, tidak nyaman, kehilangan orientasi, atau kehilangan keterikatan dengan suatu tempat tertentu. Apabila hal ini dibiarkan secara terus menerus, tekanan lingkungan dapat menyebabkan stres.dengan kata lain, tekanan lingkungan yang terlalu besar menyebabkan inteaksi antara manusia dan lingkungan tidak terjadi secara baik dan optimal yang kemudian menimbulkan perilaku yang tidak wajar akibat stres Persepsi Persepsi merupakan proses untuk memperoleh informasi dari seseorang tentang lingkungan di mana ia berada. (Lang, 1987). Pemahaman terhadap perilaku manusia dapat diawali dengan memahami proses terbentuknya perilaku tersebut serta mengetahui faktor-faktor penting yang mempengaruhinya Perilaku manusia merupakan pusat perhatian dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya. 22

18 Manusia menginderakan objek di lingkungannya, hasil penginderaannya diproses, sehingga timbul makna tentang objek tersebut. Ini dinamakan persepsi yang selanjutnya menimbulkan reaksi (Wirawan, 1992). Istilah persepsi berasal dari Bahasa Inggris yaitu kata "perception" yang berarti penglihatan, keyakinan dapat melihat atau mengerti. Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya, manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan adanya kemampuan kognitif untuk mengadakan reaksi-reaksi tertentu terhadap lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. (Bell, 2001). Proses hubungan dengan lingkungan yang terjadi sejak individu berinteraksi melalui penginderaan sampai terjadinya reaksi, digambarkan dalam skema persepsi oleh Paul A. Bell (2001). Gambar 2.3 Skema Persepsi Sumber: Bell, 2001 Dalam skema tersebut terlihat bahwa tahap paling awal dari hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing sedangkan individu datang dengan sifat- 23

19 sifat individunya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan berbagai ciri pribadi masing-masing (social background). Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek tersebut. Jika persepsi berada dalam batas optimal, maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang dan biasanya selalu ingin dipertahankan oleh setiap individu karena menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan di luar batas optimal, maka individu akan mengalami stress. Terjadi peningkatan energi, sehingga harus dilakukan coping untuk menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya disebut dengan adaptasi, sedangkan penyesuaian lingkungan terhadap individu disebut adjustment. Kemudian, Walgito dalam Mujib (2011) membagi proses terjadinya persepsi menjadi dua jenis,yaitu: a. Proses fisik Proses persepsi dimulai dari pengindraan yang menimbulkan stimulus pada reseptor kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data pada syaraf sensoris otak atau dalam pusat kesadaran. Proses ini disebut juga dengan proses fisiologis. b. Proses psikologis Proses pengolahan data pada syaraf sensoris otak akan menyebabkan reseptor menyadari apa yang dilihat, didengan serta apa yang diraba. Persepsi manusia dapat berubah-ubah karena adanya proses fisiologis di mana ruang mempunyai komponen yang dapat mempengaruhi persepi seseorang. Menurut Hall.E (1966) dalam Utomo (2008), Faktorfaktor pemahaman ruang menyangkut hal-hal yang lebih dalam mengenai aspek psikologi dari pemakai, bagaimana persepsinya terhadap suatu ruang/ bangunan, bagaimana kebutuh interaksi sosial antara pemakai dan bagaimana arti simbolis suatu ruang/bangunan. Hall E kemudian menjelaskan bahwa pengalaman ruang dapat dibentuk melalui: 1. Visual Space, yang terbentuk dari persepsi indera penglihatan 24

20 2. Audial Space, yang terbentuk dari persepsi indera pendengaran 3. Obsticel space, terbentuk dari persepsi indera penciuman 4. Thermal space, terbentuk dari persepsi terhadap temperatur lingkungan 5. Testicle space, terbentuk dari persepsi indera peraba 6. Kinesthetic space, terbentuk dari persepsi keterbatasan gerak manusia Menurut Gifford dalam Yusra (2014), persepsi manusia dipengaruhi oleh beberapa hal,yaitu: a. Faktor personal Karakterisik seorang individu akan dihubungan dengan perbedaan persepsi terhadap lingkungan. Dengan kata lain, dalam hal ini akan melibatkan faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Pada umumnya, proses pengalaman atau pengenalan seseorang terhadap kondisi lingkungan yang di hadapi mempunyai orientasi pada kondisi lingkungan lain yang telah dikenal sebelumnya dan secara otomatis akan menghasilkan proses pembanding yang menjadi dasar persepsi yang dihasilkan. b. Faktor kultural Dalam hal ini, Gifford menjelaskan bahwa konteks kultural yang dimaksud berhubungan dengan tempat asal atau tempat tinggal seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal suatu individu akan membentuk cara yang berbeda bagi setiap individu tersebut dalam memandang dunia. Kemudian Gifford menyebutkan bahwa faktor pendidikan juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap lingkungan dalam konteksnya. c. Faktor fisik Faktor fisik merupakan faktor di mana kondisi alamiah dari suatu lingkungan akan turut mempengaruhi persepsi seseorang dalam lingkungan tersebut. Lingkungan dengan elemen pembentuknya akan menghasilkan karakter atau tipikal tertentu yang kemudian menciptakan identitas bagi lingkungan tersebut. 25

21 Selanjutnya, Laurens (2004) mengemukakan istilah yang digunakan untuk pengalaman ruang, pengetahuan akan bentuk dan simbolisasi adalah peta mental. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Haryadi dan Setiawan dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku bahwa kognisi lingungan yang sifatnya abstrak dapat diproyeksikan secara spasial dan di dalam kajian arsitektur linkungan dan perilaku disebut sebagai peta mental. Peta mental setiap individu akan berbeda-beda terhadap suatu lingkungan yang sama (Laurens, 2004 & Haryadi dan Setiawan, 2010). Faktor-faktor yang membedakan peta mental seseorang menurut Laurens (2004), antara lain: a. Gaya Hidup Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta mental. Hal tersebut erat kaitannya dengan tempat (jenis, kondisi, jumlah, dan lain sebagainya) yang pernah dikunjungi sesuai dengan gaya hidup yang dimiliki. b. Keakraban dengan lingkungan Hal ini menyangkut pada seberapa baik seseorang mengenal lingkungannya. Semakin kuat seseorang mengenal lingkungannya, semakin luas dan rinci peta mentalnya. c. Keakraban sosial Semakin luas pergaulannya, semakin luas wilayah yang dikunjungi, dan semakin ia tahu akan kondisi wilayah tertentu maka semakin baik peta mentalnya. d. Kelas sosial Semakin terbatas kemampuan seseorang, semakin terbatas pula daya geraknya dan semakin sempit peta mentalnya. e. Perbedaan seksual Laki-laki biasanya mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci daripada perempuan karena kesempatan pergaulan dan ruang geraknya juga lebih luas. Terlebih lagi, dalam kondisi masyarakat yang ada pada 26

22 umumnya akan lebih memberi peluang kepada kaum pria untuk bergerak dengan berbagai aktivitas. Faktor-faktor inilah yang akan memberi pengertian bagaimana menciptakan bangungan atau lingkungan yang mudah dilihat dan diingat sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang yang memakainya sebagai citra pada tempat tersebut Pemetaan Perilaku (Behavioral mapping) Dari beberapa teknik survei yang dapat dipakai dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, teknik behavioral mapping yang dikembangkan oleh Ittelson sejak tahun 1970-an, merupakan teknik yang sangat populer dan banyak dipakai. Selain relatif gampang dipahami, teknik ini mempunyai kekuatan utama pada aspek spasialnya. Artinya, dengan teknik ini didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai suatu fenomena (terutama pelaku individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan sistem spasialnya. Sommer dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mengatakan bahwa behavioral mapping digambarkan dalam bentuk sketsa atau diagram mengenai suatu area di mana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku, serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik. Secara umum, prosedur pemetaan perilaku terdiri dari lima unsur dasar (Ittelson dalam Haryadi dan Setiawan, 2010), yaitu: 1. Sketsa dasar area atau setting yang akan diobservasi 2. Definisi yang jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang akan diamati, dihitung, dideskripsikan dan didiagramkan 3. Satu rencana waktu yang jelas pada saat kapan pengamatan akan dilakukan 4. Prosedur sistematis yang jelas harus diikuti selama observasi 5. Sistem coding yang efisien untuk lebih mengefisiensikan pekerjaan selama observasi. 27

23 Adapun jenis-jenis perilaku yang biasa dipetakan antara lain meliputi: 1. Pola perjalanan 2. Migrasi 3. Perilaku konsumtif 4. Kegiatan rumah tangga 5. Hubungan ketetanggaan 6. Penggunaan berbagai fasilitas publik Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku yakni: 1. Place-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan tempat) Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok manusia memanfaatkan, menggunakan, atau mengakomodasikan perilaku dalam suatu situasi waktu dan tempat yang tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah satu tempat yang spesifik, baik kecil maupun besar. Dalam teknik ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa dari tempat atau setting meliputi seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi perilaku pengguna ruang tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat daftar perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol atau tanda sketsa atas setiap perilaku. Kemudian, dalam satu kurun waktu tertentu, peneliti mencatat berbagai perilaku yang terjadi dalam tempat tersebut dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang telah disiapkan. 2. Person-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan pelaku) Teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan tidak hanya satu tempat akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi. Pada person-centered mapping ini, peneliti berhadapan dengan seseorang yang khusus diamati. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah memilih sampel person atau sekelompok manusia yang akan diamati perilakunya. tahap berikutnya adalah mengikuti pergerakan dan 28

24 aktivitas yang dilakukan oleh orang tersebut. pengamatan ini dapat dilakukan dengan membuat sketsa-sketsa dan catatan-catatan pada suatu peta dasar yang sudah disiapkan. pengamatan dapat dilakukan secara kontiniu atau hanya pada periode-periode tertentu saja, tergantung dari tujuan penelitiannya Teritorialitas Batasan ruang dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dikenal dengan sebutan teritorial space. Menurut Haryadi dan Setiawan (2010) dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, teritori diartikan sebagai batas tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menandai, serta mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak lain. Pastalan (1970) dalam Ricardo mendefinisikan teritori sebagai ruang yang diberi batas atau cagar yang melibatkan indetifikasi psikologis terhadap tempat, seperti tindakan pengaturan dan sikap memiliki pada benda-benda yang berada di dalamnya. Lang (1987) dalam Ricardo (2014) berpendapat bahwa batas dari sebuah teritori bisa dikenali lewat terjadinya perubahan perilaku dan sifat privasi ketika teritori tersebut diintervensi. Kemudian menurut lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, antara lain sebagai berikut: 1. kepemilikan atau hak dari suatu tempat 2. personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu 3. hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar 4. pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai dengan kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuh estetika. Sementara itu, Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut yaitu primary territory, secondary territory, dan public territory. 29

25 1. Primary territory, adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya. 2. Secondary territory, adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala. 3. Public territory, adalah suatu area yang digunakan dan dapat dimasuki oleh siapapun akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut. Kajian tentang persoalan teritori ini akan sangat penting terutama untuk memberikan rekomendasi bagi perancangan desain ruang publik mengingat teritori merupakan hal yang sangat mempengaruhi perilaku pada ruang publik. Beberapa faktor yang mempengaruhi teritori menurut Fatimah (2011), yaitu sebagai berikut: 1. Faktor Personal Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis kelamin, usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap teritorialitas. 2. Faktor Situasi Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi yaitu tatanan fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam menentukan sikap teritorialitas. 3. Faktor Budaya Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. 30

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS III.1. Latar Belakang Pemilihan Tema Gambaran beberapa kata kunci dengan pengelompokan dalam tapak dan sekitarnya, dengan pendekatan pada tema : Diagram 3.1.Latar Belakang Pemilihan

Lebih terperinci

GENDER DALAM TERITORI

GENDER DALAM TERITORI GENDER DALAM TERITORI Oleh Dina Fatimah Abstrak. Teritori merupakan suatu wujud pembagian wilayah kekuasaan. Teritori sangat berkaitan dengan pemahaman akan keruangan. Pada manusia, teritorialitas ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hampir seluruh kota di indonesia kini bersifat dualistik. Dualistik berarti telah terjadi pertemuan antara dua kondisi atau sifat yang berbeda (Sujarto, 1981). Kondisi

Lebih terperinci

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Gambar simulasi rancangan 5.30 : Area makan lantai satu bangunan komersial di boulevard stasiun kereta api Bandung bagian Selatan 5.6.3 Jalur Pedestrian Jalur

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ruang terbuka Publik berasal dari bahasa latin platea yang berarti jalur

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ruang terbuka Publik berasal dari bahasa latin platea yang berarti jalur BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Ruang Terbuka Publik 2.1.1. Definisi Ruang Terbuka Publik Ruang terbuka Publik berasal dari bahasa latin platea yang berarti jalur yang diperluas seperti square. Square merupakan

Lebih terperinci

BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA)

BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA) BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA) 5.1 Sirkulasi Kendaraan Pribadi Pembuatan akses baru menuju jalan yang selama ini belum berfungsi secara optimal, bertujuan untuk mengurangi kepadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dominan berupa tampilan gedung-gedung yang merupakan karya arsitektur dan

BAB I PENDAHULUAN. yang dominan berupa tampilan gedung-gedung yang merupakan karya arsitektur dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam beraktivitas di ruang kota pasti akan disajikan pemandangan yang dominan berupa tampilan gedung-gedung yang merupakan karya arsitektur dan menjadi bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2010). Aksesibilitas adalah konsep yang luas dan fleksibel. Kevin Lynch

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2010). Aksesibilitas adalah konsep yang luas dan fleksibel. Kevin Lynch BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aksesibilitas 2.1.1. Pengertian Aksesibilitas Jhon Black mengatakan bahwa aksesibilitas merupakan suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan pencapaian lokasi dan hubungannya satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo)

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo) BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ruang terbuka merupakan ruang publik yang digunakan masyarakat untuk berinteraksi, berolahraga, dan sebagai sarana rekreatif. Keberadaan ruang terbuka juga bermanfaat

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN Kerangka kajian yang digunakan dalam proses perancangan Hotel Resort Batu ini secara umum, diuraikan dalam beberapa tahap antara lain: 3.1 Pencarian Ide/Gagasan Tahapan kajian

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Tesis desain ini bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang publik di kota Jakarta, juga sekaligus dapat mendekatkan ruang publik dengan masyarakat

Lebih terperinci

Evaluasi Penataan Ruang Kawasan Pengrajin Keramik Berwawasan Lingkungan Perilaku di Kelurahan Dinoyo, Kota Malang

Evaluasi Penataan Ruang Kawasan Pengrajin Keramik Berwawasan Lingkungan Perilaku di Kelurahan Dinoyo, Kota Malang Seminar Nasional Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Di Industri 2018 ISSN 2085-4218 Evaluasi Penataan Ruang Kawasan Pengrajin Keramik Berwawasan Lingkungan Perilaku di Kelurahan Dinoyo, Kota Malang Adhi Widyarthara

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG. Oleh I Kadek Mardika

LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG. Oleh I Kadek Mardika LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG Oleh I Kadek Mardika UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG 2015 i KATA PENGANTAR Dunia arsitektur selama ini lebih banyak diketahui

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. teknologi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang semakin kompleks

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. teknologi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang semakin kompleks BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pembahasan Arsitektur Perilaku Arsitektur merupakan seni dan ilmu dalam merancang yang senantiasa memperhatikan tiga hal dalam perancangannya yaitu fungsi, estetika, dan teknologi.

Lebih terperinci

BAB VI KONSEP PERANCANGAN

BAB VI KONSEP PERANCANGAN BAB VI KONSEP PERANCANGAN 6.1. Konsep Multifungsionalitas Arsitektur Kesadaran bahwa perancangan youth center ini mempunyai fungsi yang lebih luas daripada sekedar wadah aktivitas pemuda, maka dipilihlah

Lebih terperinci

KAJIAN PERSEPTUAL TERHADAP FENOMENA DAN KARAKTERISTIK JALUR PEDESTRIAN SEBAGAI BAGIAN DAR1 RUANG ARSITEKTUR KOTA

KAJIAN PERSEPTUAL TERHADAP FENOMENA DAN KARAKTERISTIK JALUR PEDESTRIAN SEBAGAI BAGIAN DAR1 RUANG ARSITEKTUR KOTA MODEL JALUR PEDESTRIAN KAJIAN PERSEPTUAL TERHADAP FENOMENA DAN KARAKTERISTIK JALUR PEDESTRIAN SEBAGAI BAGIAN DAR1 RUANG ARSITEKTUR KOTA Studi Kasus : Kawasan Alun - Alun Bandung ABSTRAK Perkembangan kota

Lebih terperinci

PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA

PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA Pia Sri Widiyati Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain InterStudi Jl. Kapten Tendean No. 2 Kebayoran Baru Jakarta Selatan Abstrak Para ahli

Lebih terperinci

POLA PEMANFAATAN DAN PELAYANAN ALUN-ALUN KOTA PATI BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG TUGAS AKHIR TKPA 244

POLA PEMANFAATAN DAN PELAYANAN ALUN-ALUN KOTA PATI BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG TUGAS AKHIR TKPA 244 POLA PEMANFAATAN DAN PELAYANAN ALUN-ALUN KOTA PATI BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG TUGAS AKHIR TKPA 244 Oleh : INDRA KUMALA SULISTIYANI L2D 303 292 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

D.03 PERAN RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG SOSIALISASI ANAK DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA

D.03 PERAN RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG SOSIALISASI ANAK DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA D.03 PERAN RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG SOSIALISASI ANAK DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA Suryaning Setyowati Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta suryanings@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fristiawati, 2015 PENGEMBANGAN TAMAN RA. KARTINI SEBAGAI RUANG REKREASI PUBLIK DI KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. Fristiawati, 2015 PENGEMBANGAN TAMAN RA. KARTINI SEBAGAI RUANG REKREASI PUBLIK DI KOTA CIMAHI BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keberadan ruang terbuka publik di dalam suatu kota semakin terbatas. Pembangunan gedung-gedung tinggi dan kawasan industri yang merupakan trademark dari kemajuan suatu

Lebih terperinci

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : NURUL FATIMAH Y.M. L2D 002 422 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : Arif Rahman Hakim L2D 303 283 JURUSAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. keberadaan elemen-elemen fisik atau yang disebut juga setting fisik seiring

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. keberadaan elemen-elemen fisik atau yang disebut juga setting fisik seiring BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diketahui bahwa keberadaan elemen-elemen fisik atau yang disebut juga setting fisik seiring dengan pergantian

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN BAB V KONSEP PERANCANGAN 5.1 Konsep Dasar Dari Tema Perancangan Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila, di Kota Tangerang ini menggunakan konsep manusiawi atas dasar pendekatan dari segi perilaku dan psikologis

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN Burhanuddin Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako bur_arch07@yahoo.co.id Abstrak Perkembangan kota yang begitu cepat

Lebih terperinci

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU BAB IV PENGAMATAN PERILAKU 3.1 Studi Banding Pola Perilaku Pengguna Ruang Publik Berupa Ruang Terbuka Pengamatan terhadap pola perilaku di ruang publik berupa ruang terbuka yang dianggap berhasil dan mewakili

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan pada Bab IV didapatkan temuan-temuan mengenai interaksi antara bentuk spasial dan aktivitas yang membentuk karakter urban

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan studi berupa temuantemuan yang dihasilkan selama proses analisis berlangsung yang sesuai dengan tujuan dan sasaran studi,

Lebih terperinci

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET 42 VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET Pengembangan konsep dalam studi perencanaan kawasan ini akan terbagi ke dalam empat sub konsep, yaitu perencanaan lanskap pedestrian shopping street,

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada 1

Universitas Gadjah Mada 1 MINGGU III 1.1. Pokok Bahasan : Pemahaman tentang fenomena perilaku 1.2. Sub Pokok Bahasan : Atribut Lingkungan, Teori Adaptasi Lingkungan, Adaptasi dan Tekanan Lingkungan: Kompetensi 1.3. Materi Pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang didukung kegiatan di sektor industri sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan yang struktur dan infrastrukturnya

Lebih terperinci

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru. BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan Beberapa hal yang menjadi dasar perencanaan dan perancangan Asrama Mahasiwa Bina Nusantara: a. Mahasiswa yang berasal dari

Lebih terperinci

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang TEMU ILMIAH IPLBI 2017 Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang Desti Rahmiati destirahmiati@gmail.com Arsitektur, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS TEMA 3.1. Arsitektur Perilaku Setiap orang pasti merasakan ketakutan tertentu secara psikologis mengenai hal yang berkenaan dengan Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan kita takut akan

Lebih terperinci

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR Oleh: SULISTIANTO L2D 306 023 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku 2.1.1. Hubungan Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku Buku yang berjudul Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku (Haryadi dan Setiawan, 2010)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PEMANFAATAN RUANG PUBLIK DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PENGHUNI RUMAH SUSUN KOPASSUS DI CIJANTUNG

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PEMANFAATAN RUANG PUBLIK DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PENGHUNI RUMAH SUSUN KOPASSUS DI CIJANTUNG HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PEMANFAATAN RUANG PUBLIK DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PENGHUNI RUMAH SUSUN KOPASSUS DI CIJANTUNG S K RI P S I Untuk Memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penyusunan konsep simbiosis mutualistik untuk penataan PKL Samanhudi erat kaitannya dengan karakter masing-masing pelaku dan konflik kepentingan serta konflik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Sesuai dengan judul yang digunakan, penelitian ini bersifat kajian atau studi eksplorasi. Metodologi penyajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Konsep utama yang mendasari Rancang Ulang Stasiun Kereta Api Solobalapan sebagai bangunan multifungsi (mix use building) dengan memusatkan pada sistem dalam melayani

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. berdasarkan kebutuhan pengguna? 6.1 Penilaian Pengguna Mengenai Komponen Setting Fisik Ruang Terbuka Publik Kawasan Eks MTQ

BAB VI KESIMPULAN. berdasarkan kebutuhan pengguna? 6.1 Penilaian Pengguna Mengenai Komponen Setting Fisik Ruang Terbuka Publik Kawasan Eks MTQ BAB VI KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini merupakan hasil dari analisis dan pembahasan terhadap penilaian komponen setting fisik ruang terbuka publik dan non fisik (aktivitas) yang terjadi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum manusia mengenal makna arsitektur itu sendiri, namun pada saat ini signage

BAB I PENDAHULUAN. sebelum manusia mengenal makna arsitektur itu sendiri, namun pada saat ini signage BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam arsitektur signage dikenal sebagai alat komunikasi dan telah digunakan sebelum manusia mengenal makna arsitektur itu sendiri, namun pada saat ini signage digunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Konsumen Motivasi berasal dari kata latin mavere yang berarti dorongan/daya penggerak. Yang berarti adalah kekuatan penggerak dalam diri konsumen yang memaksa bertindak

Lebih terperinci

REVIEW PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN SANGKURUN KOTA KUALA KURUN

REVIEW PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN SANGKURUN KOTA KUALA KURUN REVIEW PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN SANGKURUN KOTA KUALA KURUN Alderina 1) Fransisco HRHB 2) ABSTRAKSI Tujuan penelitian ; mengetahui karakteristik dan potensi Pedagang Kaki Lima di kawasan

Lebih terperinci

BAB IV : KONSEP. 4.1 Konsep Dasar. Permasalahan & Kebutuhan. Laporan Perancangan Arsitektur Akhir

BAB IV : KONSEP. 4.1 Konsep Dasar.  Permasalahan & Kebutuhan. Laporan Perancangan Arsitektur Akhir BAB IV : KONSEP 4.1 Konsep Dasar Table 5. Konsep Dasar Perancangan Permasalahan & Kebutuhan Konsep Selama ini banyak bangunan atau gedung kantor pemerintah dibangun dengan hanya mempertimbangkan fungsi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1 Pengertian Tema Arsitektur Berwawasan Perilaku, berasal dari kata : Arsitektur : Arsitektur adalah ruang fisik untuk aktifitas manusia, yang memungkinkan pergerakan manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat perbankan dan pusat perindustrian menuntut adanya kemajuan teknologi melalui pembangunan

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Dasar Perancangan Konsep dasar perancangan meliputi pembahasan mengenai pemanfaatan penghawaan dan pencahayaan alami pada City Hotel yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan kualitas dan daya tariknya kemudian berangsur-angsur akan berubah

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan kualitas dan daya tariknya kemudian berangsur-angsur akan berubah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pusat kota sebagai kawasan yang akrab dengan pejalan kaki, secara cepat telah menurunkan kualitas dan daya tariknya kemudian berangsur-angsur akan berubah menjadi lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Saat ini industri perhotelan di Indonesia terus berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha yang ditandai dengan terus bertambahnya jumlah hotel yang ada. Dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. pengumpulan data, analisis, dan proses sintesis atau konsep perancangan.

BAB III METODE PERANCANGAN. pengumpulan data, analisis, dan proses sintesis atau konsep perancangan. BAB III METODE PERANCANGAN Pada perancangan hotel resort dalam seminar ini merupakan kajian berupa penjelasan dari proses perancangan yang disertai dengan teori-teori dan data-data yang didapat dari studi

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour BAB VI HASIL PERANCANGAN 6.1 Dasar Perancangan Hasil perancangan Sekolah Dasar Islam Khusus Anak Cacat Fisik di Malang memiliki dasar konsep dari beberapa penggambaran atau abstraksi yang terdapat pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY 81 BAB V KESIMPULAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Keterkaitan Konsep dengan Tema dan Topik Konsep dasar pada perancangan ini yaitu penggunaan isu tentang Sustainable architecture atau Environmental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada saat ini keterbatasan lahan menjadi salah satu permasalahan di Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada saat ini keterbatasan lahan menjadi salah satu permasalahan di Jakarta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada saat ini keterbatasan lahan menjadi salah satu permasalahan di Jakarta mengingat jumlah penduduk Jakarta yang terus bertambah, sehingga saat ini di Jakarta banyak

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN

BAB VI HASIL PERANCANGAN BAB VI HASIL PERANCANGAN 6.1 Konsep Dasar Perancangan Konsep dasar perancangan Pusat Studi dan Budidaya Tanaman Hidroponik ini adalah Arsitektur Ekologis. Adapun beberapa nilai-nilai Arsitektur Ekologis

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN Ruang terbuka publik di perumahan merupakan fasilitas yang harus disediakan oleh pengembang. Pemberlakuan standar ruang terbuka publik yang sama untuk semua perumahan menyebabkan kesamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pedestrian berasal dari bahasa Yunani, dimana berasal dari kata pedos yang berarti kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan

Lebih terperinci

BAB VI KONSEP PERENCANAAN

BAB VI KONSEP PERENCANAAN BAB VI KONSEP PERENCANAAN VI.1 KONSEP BANGUNAN VI.1.1 Konsep Massa Bangunan Pada konsep terminal dan stasiun kereta api senen ditetapkan memakai masa gubahan tunggal memanjang atau linier. Hal ini dengan

Lebih terperinci

Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal

Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 6, No.2, (2017) 2337-3520 (2301-928X Print) G 218 Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal Ariq Amrizal Haqy, dan Endrotomo Departemen Arsitektur, Fakultas

Lebih terperinci

Persepsi Masyarakat terhadap Suasana pada Bangunan Kolonial yang Berfungsi sebagai Fasilitas Publik

Persepsi Masyarakat terhadap Suasana pada Bangunan Kolonial yang Berfungsi sebagai Fasilitas Publik TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Persepsi Masyarakat terhadap Suasana pada Bangunan Kolonial yang Berfungsi sebagai Fasilitas Publik Emmelia Tricia Herliana (1) Himasari Hanan (2) (1) Mahasiswa Program Doktor Arsitektur,

Lebih terperinci

PUSAT PERTOKOAN DENGAN KONSEP PEDESTRIAN MALL DI KOTA PALU

PUSAT PERTOKOAN DENGAN KONSEP PEDESTRIAN MALL DI KOTA PALU PUSAT PERTOKOAN DENGAN KONSEP PEDESTRIAN MALL DI KOTA PALU Ahda Mulyati dan Fitria Junaeny Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako ahdamulyati@gmail.com Abstrak Perkembangan Kota Palu diiringi

Lebih terperinci

PERANCANGAN TAPAK II DESTI RAHMIATI, ST, MT

PERANCANGAN TAPAK II DESTI RAHMIATI, ST, MT PERANCANGAN TAPAK II DESTI RAHMIATI, ST, MT DESKRIPSI OBJEK RUANG PUBLIK TERPADU RAMAH ANAK (RPTRA) Definisi : Konsep ruang publik berupa ruang terbuka hijau atau taman yang dilengkapi dengan berbagai

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP ATRIBUT KENYAMANAN PADA SETING TANGGA DALAM HALL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA - PURWOKERTO

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP ATRIBUT KENYAMANAN PADA SETING TANGGA DALAM HALL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA - PURWOKERTO PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP ATRIBUT KENYAMANAN PADA SETING TANGGA DALAM HALL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA - PURWOKERTO Oleh: Yohanes Wahyu Dwi Yudono Abstraksi Pemahaman suatu lingkungan fisik,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP ATRIBUT SOSIALIBILITAS PADA SETING TANGGA DALAM HALL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA - PURWOKERTO

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP ATRIBUT SOSIALIBILITAS PADA SETING TANGGA DALAM HALL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA - PURWOKERTO PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP ATRIBUT SOSIALIBILITAS PADA SETING TANGGA DALAM HALL FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA - PURWOKERTO Oleh: Yohanes Wahyu Dwi Yudono Abstraksi Pemahaman suatu lingkungan

Lebih terperinci

KAJIAN AREA PARKIR SEPEDA MOTOR PLAZA SIMPANGLIMA SEMARANG DITINJUA DARI PERILAKU PENGUNJUNG

KAJIAN AREA PARKIR SEPEDA MOTOR PLAZA SIMPANGLIMA SEMARANG DITINJUA DARI PERILAKU PENGUNJUNG KAJIAN AREA PARKIR SEPEDA MOTOR PLAZA SIMPANGLIMA SEMARANG DITINJUA DARI PERILAKU PENGUNJUNG Mohhamad Kusyanto Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sultan Fatah (UNISFAT) Jl. Sultan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KEGIATAN PEMBENTUKAN RUANG LUAR RUKO PADA KORIDOR JALAN DI KAWASAN PERUMAHAN SAWOJAJAR KOTA MALANG. Elong Pribadi**) dan Suning*)

IDENTIFIKASI KEGIATAN PEMBENTUKAN RUANG LUAR RUKO PADA KORIDOR JALAN DI KAWASAN PERUMAHAN SAWOJAJAR KOTA MALANG. Elong Pribadi**) dan Suning*) IDENTIFIKASI KEGIATAN PEMBENTUKAN RUANG LUAR RUKO PADA KORIDOR JALAN DI KAWASAN PERUMAHAN SAWOJAJAR KOTA MALANG Elong Pribadi**) dan Suning*) Abstrak Salah satu kebutuhan masyarakat perkotaan adalah tersedianya

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA PADA KAWASAN PERMUKIMAN MENENGAH KE BAWAH Studi Kasus : Kawasan Permukiman Bumi Tri Putra Mulia Jogjakarta

RUANG TERBUKA PADA KAWASAN PERMUKIMAN MENENGAH KE BAWAH Studi Kasus : Kawasan Permukiman Bumi Tri Putra Mulia Jogjakarta RUANG TERBUKA PADA KAWASAN PERMUKIMAN MENENGAH KE BAWAH Studi Kasus : Kawasan Permukiman Bumi Tri Putra Mulia Jogjakarta Ariati 1) ABSTRAKSI Pembangunan perumahan baru di kota-kota sebagian besar berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serasi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2008, p.37) ditinggalkan baik oleh wanita maupun pria. Wanita maupun pria di

BAB I PENDAHULUAN. serasi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2008, p.37) ditinggalkan baik oleh wanita maupun pria. Wanita maupun pria di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Kecantikan adalah: anggapan untuk suatu objek yang molek dan lainnya tampak serasi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2008, p.37) Kecantikan juga mulai menjadi

Lebih terperinci

BAB V KONSEP DASAR. Konsep dasar yang digunakan dalam perancangan Kepanjen Educaion. Prinsip-prinsip tema Arsitektur Perilaku

BAB V KONSEP DASAR. Konsep dasar yang digunakan dalam perancangan Kepanjen Educaion. Prinsip-prinsip tema Arsitektur Perilaku BAB V KONSEP DASAR 5.1 Konsep Perancangan Konsep dasar yang digunakan dalam perancangan Kepanjen Educaion Park ini mencangkup tiga aspek yaitu: Prinsip-prinsip tema Arsitektur Perilaku Kriteria dalam behaviour

Lebih terperinci

BAB 4 KONSEP PERANCANGAN

BAB 4 KONSEP PERANCANGAN BAB 4 KONSEP PERANCANGAN 4.1. Konsep Makro Perancangan pasar tradisional bantul menerapkan pendekatan analogi shopping mall. Yang dimaksud dengan pendekatan analogi shopping mall disini adalah dengan mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya akan memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan ruang. Pertumbuhan penduduk di kota besar

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN Ruang Lingkup Penelitian Untuk Rancangan. Penelitian tentang upaya Perancangan Kembali Pasar Karangploso

BAB III METODE PERANCANGAN Ruang Lingkup Penelitian Untuk Rancangan. Penelitian tentang upaya Perancangan Kembali Pasar Karangploso BAB III METODE PERANCANGAN 3.1 Proses Perancangan 3.1.1 Ruang Lingkup Penelitian Untuk Rancangan Penelitian tentang upaya Perancangan Kembali Pasar Karangploso Kabupaten Malang ini mempunyai ruang lingkup

Lebih terperinci

STUDI PERSEPSI TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KENYAMANAN KAWASAN SIMPANG LIMA SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK TUGAS AKHIR

STUDI PERSEPSI TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KENYAMANAN KAWASAN SIMPANG LIMA SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK TUGAS AKHIR STUDI PERSEPSI TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KENYAMANAN KAWASAN SIMPANG LIMA SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK TUGAS AKHIR Oleh: ENI RAHAYU L2D 098 428 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

HOME OF MOVIE. Ekspresi Bentuk BAB III TINJAUAN KHUSUS. Ekspresi Bentuk. III.1 Pengertian Tema. Pengertian Ekspresi, adalah :

HOME OF MOVIE. Ekspresi Bentuk BAB III TINJAUAN KHUSUS. Ekspresi Bentuk. III.1 Pengertian Tema. Pengertian Ekspresi, adalah : BAB III TINJAUAN KHUSUS III.1 Pengertian Tema Pengertian Ekspresi, adalah : Ungkapan tentang rasa, pikiran, gagasan, cita-cita, fantasi, dan lain-lain. Ekspresi merupakan tanggapan atau rangsangan atas

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif, karena penelitian ini bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif, karena penelitian ini bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau BAB III METODE PERANCANGAN 3.1 Metode Umum Kajian perancangan dalam seminar ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena penelitian ini bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau uraian secara sistematis

Lebih terperinci

Kepentingan Ruang Terbuka di dalam Kota

Kepentingan Ruang Terbuka di dalam Kota TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Kepentingan Ruang Terbuka di dalam Kota Hindra K. P. Handana Mahasiswa Magister Rancang Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.

Lebih terperinci

BAB IV PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGGUNA TERHADAP PENATAAN PASAR TRADISIONAL

BAB IV PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGGUNA TERHADAP PENATAAN PASAR TRADISIONAL BAB IV PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGGUNA TERHADAP PENATAAN PASAR TRADISIONAL Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai kriteria dan indikator kinerja yang diperlukan untuk dapat mendeskripsikan kondisi

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBUATAN JALUR HIJAU DI JALAN PIERE TENDEAN MANADO

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBUATAN JALUR HIJAU DI JALAN PIERE TENDEAN MANADO Sabua Vol.2, No.1: 56-62, Mei 2013 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBUATAN JALUR HIJAU DI JALAN PIERE TENDEAN MANADO Venly D. Kawuwung 1, Sonny

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

PERSEPSI BENTUK. Persepsi, Lanjutan Modul 2. Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn. Modul ke: Fakultas Desain dan Seni Kreatif. Program Studi Desain Produk

PERSEPSI BENTUK. Persepsi, Lanjutan Modul 2. Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn. Modul ke: Fakultas Desain dan Seni Kreatif. Program Studi Desain Produk PERSEPSI BENTUK Modul ke: Persepsi, Lanjutan Modul 2 Fakultas Desain dan Seni Kreatif Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id Abstract Istilah persepsi sering disamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengabaikan masalah lingkungan (Djamal, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengabaikan masalah lingkungan (Djamal, 1997). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sering mengalami permasalahan kependudukan terutama kawasan perkotaan, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas dan diuraikan hasil observasi dan dokumentasi peneliti selama berada di lapangan. Data yang telah diperoleh melalui pedoman observasi dikelompokkan

Lebih terperinci

Urban Space, Mall, dan City Walk Ruang Hijau Kota (Ruhiko) atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space)

Urban Space, Mall, dan City Walk Ruang Hijau Kota (Ruhiko) atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) Urban Space, Mall, dan City Walk Ruang Hijau Kota (Ruhiko) atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau

Lebih terperinci

ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA

ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA Tataguna Lahan Aktivitas Pendukung Bentuk & Massa Bangunan Linkage System Ruang Terbuka Kota Tata Informasi Preservasi & Konservasi Bentuk dan tatanan massa bangunan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU 3.1. Tinjauan Tema a. Latar Belakang Tema Seiring dengan berkembangnya kampus Universitas Mercu Buana dengan berbagai macam wacana yang telah direncanakan melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan Perumahan bagi Penduduk Jakarta

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan Perumahan bagi Penduduk Jakarta BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kebutuhan Perumahan bagi Penduduk Jakarta Sebagai sentral dari berbagai kepentingan, kota Jakarta memiliki banyak permasalahan. Salah satunya adalah lalu lintasnya

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Rumusan konsep ini merupakan dasar yang digunakan sebagai acuan pada desain studio akhir. Konsep ini disusun dari hasil analisis penulis dari tinjauan pustaka

Lebih terperinci

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

Mata Kuliah Persepsi Bentuk Modul ke: Mata Kuliah Persepsi Bentuk Pertemuan 2 Fakultas FDSK Nina Maftukha, S.Pd., M.Sn. Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id Apakah sensasi = persepsi? Apakah sensasi = persepsi? Sensasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar1.1 Kemacetan di Kota Surabaya Sumber: 25/4/

BAB I PENDAHULUAN. Gambar1.1 Kemacetan di Kota Surabaya Sumber:  25/4/ BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa kini pola kehidupan manusia terlebih masyarakat kota besar atau masyarakat urban semakin modern, serba cepat, serba instan, sistematis, dan mekanis. Hal-

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomis yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Jakarta merupakan Ibukota dari Indonesia, oleh sebab itu industri dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Jakarta merupakan Ibukota dari Indonesia, oleh sebab itu industri dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Jakarta merupakan Ibukota dari Indonesia, oleh sebab itu industri dan teknologi berkembang secara pesat, sehingga permasalahan urbanisasi meningkat per tahunnya. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WISATAWAN ELITE

BAB III TINJAUAN WISATAWAN ELITE BAB III TINJAUAN WISATAWAN ELITE Dalam bab ini berisi tentang tinjauan wisatawan elite, yaitu berupa: batasan dan pengertian wisatawan elite, tuntutan dan kebutuhan pokok wisatawan elite selama mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Eksistensi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Eksistensi Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang A. Latar Belakang Eksistensi Penelitian Menurut Hamid Shirvani, 1985 dalam buku yang berjudul The Urban Design Process, jalur pejalan kaki merupakan elemen penting

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan Yang menjadi dasar dari perencanaan dan perancangan Mesjid di Kebon Jeruk adalah : Jumlah kapasitas seluruh mesjid pada wilayah

Lebih terperinci

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAN KAWASAN KORIDOR JALAN GATOT SUBROTO SURAKARTA Sebagai kawasan wisata belanja yang bercitra budaya Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL RANCANGAN. terdapat pada Bab IV dan Bab V yaitu, manusia sebagai pelaku, Stadion Raya

BAB VI HASIL RANCANGAN. terdapat pada Bab IV dan Bab V yaitu, manusia sebagai pelaku, Stadion Raya 165 BAB VI HASIL RANCANGAN 6.1. Dasar Rancangan Hasil perancangan diambil dari dasar penggambaran konsep dan analisa yang terdapat pada Bab IV dan Bab V yaitu, manusia sebagai pelaku, Stadion Raya sebagai

Lebih terperinci

1.2.1 Mengapa system of setting dan system of activity berkaitan dengan behavior setting? BAB 2 PEMBAHASAAN 2.1 PENGERTIAN SETTING PERILAKU

1.2.1 Mengapa system of setting dan system of activity berkaitan dengan behavior setting? BAB 2 PEMBAHASAAN 2.1 PENGERTIAN SETTING PERILAKU BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sebagian besar pola perilaku manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Selain pola perilaku, karakter manusia juga ditentukan oleh lingkungan. Lingkungan

Lebih terperinci