ANALISIS PENGARUH JENIS ASING INVASIF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGARUH JENIS ASING INVASIF"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGARUH JENIS ASING INVASIF Acacia nilotica Willd ex Dell 1813 TERHADAP POLA PERGERAKAN BANTENG (Bos javanicus d Alton 1823) DI PADANG SAVANA BEKOL, TAMAN NASIONAL BALURAN NUR ROCHMAH KUMALASARI P SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 ANALISIS PENGARUH JENIS ASING INVASIF Acacia nilotica Willd ex Dell 1813 TERHADAP POLA PERGERAKAN BANTENG (Bos javanicus d Alton 1823) DI PADANG SAVANA BEKOL, TAMAN NASIONAL BALURAN NUR ROCHMAH KUMALASARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

3 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul: ANALISIS PENGARUH JENIS ASING INVASIF Acacia nilotica Willd ex Dell 1813 TERHADAP POLA PERGERAKAN BANTENG (Bos javanicus d Alton 1823) DI PADANG SAVANA BEKOL, TAMAN NASIONAL BALURAN Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, 6 Maret 2006 Yang menyatakan Nur Rochmah Kumalasari

4 Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH JENIS ASING INVASIF Acacia nilotica Willd ex Dell 1813 TERHADAP POLA PERGERAKAN BANTENG (Bos javanicus d Alton 1823) DI PADANG SAVANA BEKOL, TAMAN NASIONAL BALURAN Nama : Nur Rochmah Kumalasari NRP : P Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menyetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Ketua Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Tanggal Lulus: Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah pada tanggal 14 Februari 1981 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Rochmani Subagyono dan Rochmah. Jenjang pendidikan formal diawali di SD Negeri III Pejagoan dari tahun 1987 sampai dengan tahun Selanjutnya penulis diterima di SMP Negeri I Kebumen pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SMU Negeri I Kebumen dan lulus pada tahun Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2003 di Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya pada semester genap tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005 penulis menikah dengan Sunardi. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai CPNS Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor.

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur hanya pada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Analisis Pengaruh Jenis Asing Invasif Acacia nilotica Willd ex Dell 1813 terhadap Pola Pergerakan Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Andry Indrawan, MS dan Ir. Arzyana Sunkar MSc., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan kesempatan dan kesabaran untuk membimbing sejak usulan penelitian sampai penulisan tesis. Kepada Dr. Ir. Harnios Arief, MS penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pembimbing dalam ujian sidang tesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr yang telah memberikan ide dan motivasi untuk melanjutkan studi pascasarjana dan menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis mempersembahkan tesis ini kepada Bapak dan Ibu atas segala kasih sayang, dukungan, nasehat, kesabaran dan doa yang selalu mengiringi penulis dalam menyelesaikan kuliah sampai tesis ini selesai. Rasa terima kasih kepada adik-adik tersayang Nunik dan Putut atas doa, kasih sayang, perhatian dan motivasi yang diberikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan adanya bantuan dari berbagai pihak, sehingga secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap Staf Balai Taman Nasional Baluran yang telah banyak membantu selama penelitian. Kepada Bapak Kuswaya, Ibu Lela, Mba Eri dan Mas Yoga atas dukungan, bantuan dan kasih sayang selama pengumpulan data dan berada di Banyuwangi penulis ucapkan terima kasih. Kepada Pak Jamlis, Pak Udin, Mas Yanto, Mas Fajri dan Mba Ophie serta seluruh teman PS-PSL penulis ucapkan banyak terima kasih atas kebersamaan dan bantuan selama menempuh pendidikan. Pada akhirnya, dengan sepenuh rasa cinta penulis mempersembahkan karya ini bagi Yang tsu yang telah menanti dengan penuh pengertian, perhatian, bantuan dan dukungan untuk menyelesaikan studi pasca sarjana ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, 6 Maret 2006 Penulis

7 ABSTRAK NUR ROCHMAH KUMALASARI. Analisis Pengaruh Jenis Asing Invasif Acacia nilotica Wild. ex Dell 1813 terhadap Pola Pergerakan Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran. Di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN dan ARZYANA SUNKAR. Bos javanicus d Alton 1823 (banteng) merupakan suatu spesies langka yang terancam punah di dunia. Di Indonesia, banteng dilindungi dan dilestarikan di beberapa kawasan konservasi, diantaranya Taman Nasional Baluran. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh serta dampak keberadaan Acacia nilotica Wild. ex Dell 1813 terhadap pola pergerakan banteng di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran dengan membangun hubungan antara berbagai komponen konservasi sehingga diperoleh suatu model konservasi banteng. Penelitian dilakukan dengan melakukan simulasi model dinamik yang terdiri dari hijauan pakan dan pengaruh invasi Acacia nilotica untuk menentukan kapasitas tampung di Padang Savana Bekol. Pengumpulan data dilakukan mulai Agustus sampai Oktober 2005 di Padang Savana Bekol dan Balai Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Pendekatan menggunakan sistem dinamik yang telah menunjukkan kemampuannya sebagai suatu alat pendukung manajemen untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan lingkungan. Model dibangun dengan menggunakan software Powersim Constructor 2.5 untuk membuat prediksi mengenai tingkah laku banteng pada sistem konservasi yang akan datang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan banteng di Padang Savana Bekol dipengaruhi oleh ketersediaan ruang gerak yang dapat merubah pola pergerakan banteng ke luar atau ke dalam kawasan tersebut serta pertumbuhan Acacia nilotica berpengaruh negatif terhadap habitat banteng dengan mengurangi ruang gerak dan ketersediaan hijauan pakan Padang Savana Bekol. Simulasi dengan menggunakan model menunjukkan hasil bahwa Acacia nilotica mengubah struktur habitat sehingga terjadi penurunan populasi banteng di Padang Savana Bekol. Kata Kunci: banteng, hijauan pakan, Acacia nilotica, model

8 ABSTRACT NUR ROCHMAH KUMALASARI. Analysis The Effect of Acacia nilotica Wild ex. Dell 1813 Invasion to The Pattern of Banteng Movement (Bos javanicus d Alton 1823) in Bekol Savanna of Baluran National Park. Under the direction of ANDRY INDRAWAN and ARZYANA SUNKAR Bos javanicus d Alton 1823 (banteng) is a rare and threatened species in the world. In Indonesia, it was conserve in some place, i.e: Baluran National Park. This research investigated the affected factors and effects of Acacia nilotica Wild ex. Dell 1813 invasion on the pattern of banteng movement in Bekol Savanna, Baluran National Park by built the correlation of conservation variable. The objective of the research is to build a conservation model of banteng. This is done by simulating the dynamic model consists of green forage and the effect of Acacia nilotica invasion to determine the carrying capacity in savanna Bekol. Field research began in August through to October 2005 at Bekol Savanna, Baluran National Park, East Java. A system dynamic approach was used since it has demonstrated its capability as a tool to support management for environmental decision. The model is built using software by Powersim Constructur 2.5 to make a prediction about the future behaviour of banteng conservation system. Results revealed that banteng in Bekol Savanna are responsed of movement space and the growth of Acacia nilotica reduced the movement space and forage productivity of Bekol savanna. Based on the simulated model, it was concluded that Acacia nilotica invasion has changed the structure of banteng habitat this resulted in the decrease population of banteng in Bekol savanna. Key words: banteng, green forage, Acacia nilotica, model

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Hipotesis Manfaat Penelitian... 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Banteng Morfologi Status Habitat Hutan alam Padang savana Sumber air Hutan pantai atau hutan payau Acacia nilotica Morfologi Potensi Perkembangbiakan Jenis Asing Invasif Pendekatan Sistem... 27

10 ii BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Metode Pengumpulan Data Rancangan Penelitian Pelaksanaan Penelitian Variabel yang Diamati Analisis Data Analisis Data Spasial Analisis Data Deskriptif Pendekatan Sistem Model dan Simulasi Analisis Sensitivitas Definisi Operasinal BAB IV. KEADAAN UMUM 4.1. Sejarah Taman Nasional Baluran Letak dan Luas Iklim Topografi Hidrologi Geologi dan Tanah BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Habitat Banteng Model Dinamika Banteng Batasan Model Sub Model Dinamika Banteng Sub Model Hijauan Pakan Sub Model Acacia nilotica Diagram Sebab Akibat Diagram Input Output... 46

11 iii Diagram Alir Model Sub Model Dinamika Banteng Sub Model Hijauan Pakan Sub Model Acacia nilotica Simulasi Model Dinamika Banteng Analisis Sensitivitas Model BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 63

12 iv DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1 Permasalahan dalam Manajemen Pelestarian Banteng Komposisi Kimia dan Nilai Nutrisi Beberapa Bagian Acacia nilotica Variabel, Input dan Sumber Informasi yang Diperlukan Hasil Analisis Sensitivitas terhadap Variabel-variabel dalam Model Dinamika Banteng di Padang Savana Bekol... 54

13 v DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Kerangka Pemikiran Mekanisme Umpan Balik antara Faktor dalam Habitat Pelestarian Padang Savana Bekol Lingkungan Hidup Banteng yang Ideal (Alikodra, 1983) Peta Kawasan Taman Nasional Baluran Peta Penyebaran Banteng dan Lokasi Sumber Air di Kawasan Taman Nasional Baluran Model Dinamika Populasi Banteng di Padang Savana Bekol Diagram Hubungan Sebab Akibat (Causal Loop) antara Komponen dalam Ekosistem Banteng di Padang Savana Bekol Taman Nasional Baluran Diagram Input-Output Sistem Pelestarian Banteng di Padang Savana Taman Nasional Baluran Dinamika Populasi Banteng di Padang Savana Bekol ( ) Diagram Alir Sub Model Populasi Banteng Diagram Alir Sub Model Hijauan Diagram Alir Sub Model Acacia nilotica Simulasi Model Dinamika Banteng selama 10 Tahun di Padang Savana Bekol (Berdasarkan Data 2003) Analisis Sensitivitas terhadap Hasil Simulasi Sub Model Dinamika Banteng di Padang Savana Bekol Selama 10 Tahun (Berdasarkan Data 2003) Analisis Sensitivitas terhadap Hasil Simulasi Sub Model Dinamika Hijauan Pakan di Padang Savana Bekol Selama 10 Tahun (Berdasarkan Data 2003) Analisis Sensitivitas terhadap Hasil Simulasi Sub Model Dinamika Acacia nilotica di Padang Savana Bekol Selama 10 Tahun (Berdasarkan Data 2003)... 57

14 vii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Diagram Alir Model Formulasi Model Jenis Flora yang Terdapat di Taman Nasional Baluran Jenis Fauna di Taman Nasional Baluran Jenis Hijauan Pakan Banteng di Taman Nasional Baluran Inventarisasi dan Sensus Satwa Mamalia Data Perjumpaan Satwa Ajak Statistik Hasil Perburuan Inventarisasi dan Sensus Banteng Penebangan Acacia nilotica Luas Savana yang Direhabilitasi dengan Pencabutan Seedling/Anakan Acacia nilotica Pasca Penebangan Produksi Hijauan Pakan di Padang Savana Kondisi Sumber Air Aktivitas Manusia di Sekitar Kawasan Taman Nasional Baluran Analisis Sensitivitas Hasil Simulasi Model... 86

15 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan termasuk dalam kategori endangered (IUCN, 2004) yang berarti mempunyai populasi dalam tahap terancam punah sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus dalam perlindungan. Populasi banteng mengalami penurunan hingga 80% dalam 20 tahun terakhir, sehingga jumlah banteng pada saat ini tidak lebih dari 8000 ekor di seluruh dunia. Penyebab utama penurunan populasi banteng adalah perburuan oleh manusia, berkurangnya habitat banteng dan degradasi terhadap habitat yang tersisa (Alikodra, 1983). Sedangkan menurut IUCN (2004), ancaman utama terhadap kelestarian banteng adalah: 1)hilang atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk; 2)spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor); 3)perburuan; dan 4)perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakit/patogen. Menurut Soewadji dalam KapanLagi (2003), faktor penyebab penurunan populasi banteng yang umum adalah perburuan liar dengan menggunakan jebakan tradisional maupun senjata api, namun berburu satwa liar pada saat ini telah ditinggalkan setelah masyarakat mengetahui adanya pelarangan perburuan dalam undang-undang dan bahaya dari aktivitas tersebut. Pada dasarnya setiap kawasan konservasi memiliki penyebab dinamika populasi banteng yang beragam dan berbeda. Penurunan jumlah banteng di Taman Nasional Meru Betiri terjadi karena perpindahan banteng keluar kawasan. Sedangkan di Taman Nasional Alas Purwo, dinamika populasi banteng disebabkan pemangsaan berlebihan oleh ajak (Iskandar dalam Gatra, 2004). Penyebab penurunan populasi banteng di Taman Nasional Baluran, terutama di padang savana, hingga saat ini masih menjadi pertanyaan karena berbagai upaya yang dilakukan belum memberikan hasil yang optimal. Penjarangan kerbau pada 1990 telah dilakukan di Taman Nasional Baluran dan eradikasi tanaman eksotik Acacia nilotica di padang savana sejak tahun 1993

16 2 untuk mengatasi penurunan populasi banteng, tetapi hingga saat ini belum diperoleh hasil yang menunjukkan penurunan populasi banteng karena dikonsumsi ajak. Banteng merupakan salah satu jenis satwa liar yang termasuk golongan ruminansia. Wilayah penyebaran banteng berada di Indonesia, Myanmar, Indo China, Thailand dan Malaysia Barat dengan tingkat penyebaran di wilayah tersebut rata-rata berada di kawasan lindung (Huffman, 2005). Salah satu kawasan lindung di Indonesia yang merupakan habitat banteng adalah Taman Nasional Baluran. Taman Nasional Baluran merupakan bagian dari upaya konservasi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Sebelumnya, sekitar tahun 1935, kawasan Baluran ditetapkan sebagai taman margasatwa oleh pemerintah Belanda. Status kawasan Baluran berubah menjadi taman nasional pada tahun 1982 melalui surat keputusan Menteri Pertanian RI No. 327/Kpts/Um/7/1972. Pada tahun 1997, keluar surat keputusan Menteri Kehutanan No. 279/Kpts- VI/1997 tanggal 25 Mei 1997 yang menyatakan luas kawasan taman nasional sebesar ha, meliputi wilayah daratan seluas ha dan perairan seluas ha. Kemudian terjadi revisi luasan wilayah dengan adanya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 187/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999, yang menyatakan bahwa luas Taman Nasional Baluran terdiri dari ha wilayah daratan dan ha wilayah perairan (Departemen Kehutanan, 2004). Habitat yang tersedia untuk banteng di Taman Nasional Baluran sangat beragam. Banteng bergerak dalam habitatnya sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pakan dan tempat beraktivitas hidup, yaitu bereproduksi, berkembang biak dan memelihara anak-anaknya. Salah satu komponen penting dalam habitat banteng adalah padang rumput atau savana. Satu-satunya padang savana alamiah di Jawa terdapat di Taman Nasional Baluran dengan luas mencapai ha atau sekitar 40% dari luas kawasan. Padang savana merupakan sumber pakan utama banteng dan beberapa jenis satwa terestrial lain di Baluran, seperti, rusa dan kerbau liar pada musim kemarau. Padang savana merupakan tempat bersosialisasi antara satwa jantan dan betina serta antara kelompok satwa, termasuk perkawinan dan mengasuh anak yang memerlukan luasan tertentu untuk berbagai kegiatan satwa tersebut. Oleh karena itu, gangguan terhadap struktur padang savana dapat mengurangi

17 3 intensitas pemanfaatan oleh satwa. Gangguan ini dapat berupa masuknya spesies eksotik. Awalnya Acacia nilotica diintroduksi ke dalam Taman Nasional Baluran pada tahun 1963, sebagai tanaman sela untuk sekat bakar (fire break) di daerah hutan jati Perhutani Baluran. Kemudian pada tahun 1969 jenis akasia ini ditanam pula di savana Bekol sebagai tanaman pagar untuk mencegah kebakaran padang savana di Baluran. Masuknya Acacia nilotica yang merupakan jenis asing invasif ke sejumlah kawasan savana menekan populasi vegetasi padang rumput endemik yang menjadi pakan satwa, seperti Arundinela setosa (lamuran), Dochantium caricosum (lamuran putih), Sorghum nitidum (padi-padian), Brothriochloa modesta, dan Heteropogon contortus (merakan). Kehadiran Acacia nilotica yang merupakan tumbuhan tahan api menghalangi suksesi padang savana yang terbentuk secara alami melalui kebakaran (Ewusie, 1990). Satwa herbivora (termasuk banteng) mengkonsumsi hijauan Acacia nilotica muda sebagai sumber protein. Namun, satwa tidak dapat mengambil hijauan setelah Acacia nilotica tumbuh besar membentuk pohon. Satwa juga tidak suka bernaung di bawah Acacia nilotica karena batangnya berduri keras dengan tajuk berbentuk payung sehingga jarak antara pohon menjadi semakin kecil dan mempersempit ruang gerak satwa. Dengan tingkat percepatan tumbuhan akasia di Baluran mencapai ha/tahun, pada tahun 2000 tumbuhan Acacia nilotica telah menginvasi 50% dari luas savana (Mutaqin, 2001). Kelestarian satwa herbivora, terutama banteng, di Taman Nasional Baluran saat ini, tengah mengalami ancaman serius karena terjadinya perubahan habitat dengan masuknya jenis asing invasif Acacia nilotica yang mengganggu kestabilan ekosistem padang savana (Muttaqin, 2001) Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem pelestarian banteng di Padang Savana Bekol Taman Nasional Baluran. Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan khusus, yaitu: 1. Mengidentifikasi dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan banteng di Padang Savana Bekol 2. Mengidentifikasi pengaruh Acacia nilotica terhadap habitat banteng 3. Membangun model pergerakan banteng di Padang Savana Bekol

18 Kerangka Pemikiran Kawasan Taman Nasional Baluran kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki ekosistem yang lengkap yang terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan savana dan hutan musim (dataran tinggi dan dataran rendah). Baluran memiliki lebih kurang 27 jenis mamalia di mana 14 jenis merupakan langka dan dilindungi. Banyak satwa liar yang sudah jarang dan langka dapat dilihat, seperti banteng (Bos javanicus), ajak (Cuon alpinus), macan tutul (Panthera pardus), ayam hutan (Gallus sp.), merak (Pavo muticus), kerbau liar (Bubalus bubalis), kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus sp.), rusa (Cervus timorensis), kucing hutan (Felis bengalensis), monyet ekor panjang (Macaca sp.), biawak (Varanus salvator) dan masih banyak lagi. Keberadaan Acacia nilotica menimbulkan dampak yang negatif karena menghalangi terjadinya kebakaran untuk suksesi vegetasi padang savana secara alami (Ewusie, 1990). Tumbuhan ini juga menekan populasi vegetasi endemik pakan satwa herbivora karena memiliki zat alelopati yang mampu menghambat perkecambahan dan pertumbuhan tumbuhan lain di sekitarnya (UGM, 1993). Menurut Barata (2000), biomassa tumbuhan bawah dalam naungan Acacia nilotica pada tingkat tiang-pohon 96% lebih kecil daripada biomassa tumbuhan bawah dalam naungan tingkat semai-pancang. Jika dibandingkan pada kondisi savana yang terbuka, biomassa tumbuhan bawah ini hanya mencapai 1,35%. Pada kerapatan Acacia nilotica sekitar 3000 batang/ha, jarak yang tersedia antara tumbuhan berkisar kurang dari 1 meter. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap kelangsungan kehidupan banteng yang terdiri dari jumlah populasi banteng saat ini, laju kelahiran dan kematian banteng, aktivitas makan dan aktivitas sosial dan kapasitas tampung habitat yang digambarkan dari ketersediaan pakan berupa produktivitas dan komposisinya dan pengaruh adanya invasi Acacia nilotica baik populasi, percepatan tumbuh maupun kawasan yang terinvasi dan laju eradication oleh pengelola Taman Nasional Baluran. Pendekatan-pendekatan sistem ini diharapkan akan dapat membentuk model yang dapat menggambarkan kondisi pelestarian satwa banteng pada saat ini dan potensi manajemen pada saat mendatang yang dapat disimulasikan melalui model. Skema kerangka pemikiran untuk penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

19 5 Gambar 1. Kerangka Pemikiran 1.4. Perumusan Masalah Ancaman keanekaragaman hayati yang terjadi di Taman Nasional Baluran pada saat ini menunjukkan adanya degradasi keanekaragaman spesies padang rumput. Hal ini dapat terjadi karena degradasi lingkungan akibat perubahan iklim global dan aktivitas manusia yang merusak ekosistem padang rumput Taman Nasional Baluran diantaranya perambahan hutan, perburuan dan pengenalan spesies asing yang bersifat invasif ke suatu habitat alami. Ancaman terhadap keanekaragaman hayati akibat spesies asing invasif di Taman Nasional Baluran pada saat ini sangat tinggi, diantaranya terhadap kelestarian satwa banteng dalam kawasan konservasi Taman Nasional Baluran. Gangguan terhadap satwa banteng di Taman Nasional Baluran mulai terjadi dengan masuknya Acacia nilotica ke padang savana sehingga mengganggu aktivitas dan mobilitas satwa dalam padang savana.

20 6 Permasalahan yang dihadapi pengelola Taman Nasional Baluran dalam pelestarian satwa banteng saat ini secara ringkas terangkum dalam Tabel 1. Tabel 1. Permasalahan dalam Manajemen Pelestarian Banteng No. Formulasi Masalah 1. Meningkatnya populasi Acacia nilotica 2. Penurunan kapasitas tampung padang savana 3. Berkurangnya ruang gerak bagi satwa 4. Meningkatnya populasi gulma lain 5. Persaingan antara satwa pengguna padang savana Informasi Acacia nilotica menjadi jenis asing invasif yang membahayakan ekosistem Padang Savana Bekol Pertumbuhan gulma Acacia nilotica menginvasi Padang Savana Bekol sehingga menekan pertumbuhan vegetasi endemik pakan satwa dan menurunkan kapasitas tampung padang savana Invasi Acacia nilotica ke padang savana mengurangi tempat melakukan aktivitas sosial, proses belajar, kawin, serta mengasuh dan membesarkan anak Ruang kosong bekas Acacia nilotica yang ditebang ditumbuhi oleh jenis gulma lain Invasi Acacia nilotica ke padang savana telah mengurangi luasan savana sehingga menyebabkan terjadinya persaingan antara satwa yang ada di padang savana 6. Tekanan populasi banteng Terjadi penurunan daya dukung banteng karena dalam perkembangbiakannya, banteng membutuhkan pakan yang mencukupi dan ruang gerak yang memadai untuk melakukan aktivitas sosial, proses belajar, kawin, serta mengasuh dan membesarkan anak Permasalahan dalam pelestarian satwa banteng dalam Taman Nasional Baluran akibat invasi Acacia nilotica dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara habitat banteng dengan keberadaan Acacia nilotica di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran? 2. Bagaimana kapasitas tampung padang savana sebelum dan sesudah mengalami pengaruh invasi Acacia nilotica? 3. Bagaimana model dinamika populasi banteng yang memanfaatkan padang savana Bekol? Hubungan antara faktor dalam permasalahan dinamika populasi banteng di Padang Savana Bekol dapat ditelusuri dengan mekanisme umpan balik antara parameter yang berhubungan. Melalui mekanisme ini dapat diketahui sifat

21 7 hubungan antara faktor baik yang bersifat positif maupun negatif. Hubungan ini dapat digambarkan dalam loop umpan balik (Gambar 2.) Gambar 2. Mekanisme Umpan Balik antara Faktor dalam Habitat Pelestarian Banteng di Padang Savana Bekol 1.5. Hipotesis Penelitian ini mempunyai hipotesis sebagai berikut: 1. Keberadaan Acacia nilotica berpengaruh negatif terhadap kehadiran banteng di Padang Savana Bekol 2. Acacia nilotica menurunkan produktivitas hijauan pakan dan ruang gerak satwa banteng 3. Berkurangnya ruang gerak satwa berpengaruh negatif terhadap dinamika pergerakan satwa banteng 1.6. Manfaat Penelitian Model dinamika konservasi banteng yang berbasis ekosistem dari penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi dasar mengenai dampak perubahan habitat terhadap populasi banteng bagi pengelola Taman Nasional Baluran.

22 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Indonesia mempunyai kekayaan hutan hujan tropik yang melimpah. Sepuluh persen permukaan bumi ditutupi oleh hutan di mana 30%-nya adalah hutan tropika basah. Dua per tiga dari hutan tropika basah ini adalah hutan hujan tropika yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Amerika, Afrika dan Indo-Malaya. Indonesia termasuk dalam Indo-Malaya dan dijuluki sebagai megabiodiversity karena memiliki 10-20% keanekaragaman hayati dunia yang terdiri dari 10% jumlah spesies tumbuhan dunia, mamalia 10%, burung 17%, ikan 25% dan serangga 15%, sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman genetik yang tinggi (Purwanto dan Warsito, 2001). Ironisnya, pada saat ini Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan tingkat laju kepunahan flora dan fauna tertinggi di dunia akibat degradasi hutan dan konversi yang tidak terkendali. Predikat sebagai megadiversity country, yaitu negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, perlahan namun pasti bergeser menjadi hotspot country, yaitu negara dengan tingkat kepunahan keanekaan hayati tertinggi di dunia. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki daftar spesies terancam punah terpanjang dan terbanyak di dunia, yang meliputi 104 jenis burung, 57 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar dan 281 jenis tumbuhan, dan jumlah ini terus mengalami peningkatan (Purwanto dan Warsito, 2001) Menurut Shiva et al. (1993) terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terganggunya keanekaragaman hayati di suatu kawasan, yaitu: 1. Hilangnya dan fragmentasi habitat. Berkurangnya habitat pendukung keanekaragaman hayati terutama disebabkan oleh kegiatan manusia berupa pembukaan hutan untuk berbagai keperluan, pembuatan dam, pengeringan rawa dan penggembalaan ternak. Faktor lain yang menyebabkan perubahan dan kerusakan habitat adalah bencana alam, kebakaran hutan dan pencemaran bahan kimia. 2. Eksploitasi spesies hewan dan tumbuhan secara berlebihan. Eksploitasi keanekaragaman hayati banyak terjadi untuk mendapatkan komoditi yang bernilai komersial tinggi seperti bagian tubuh hewan bermitos (gading, tanduk, kulit), hewan peliharaan, barang antik dan barang koleksi. Komisi Kelangsungan Hidup IUCN

23 9 memperkirakan bahwa eksploitasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kepunahan dua dari lima spesies vertebrata. 3. Pengaruh spesies asing (eksotik). Introduksi spesies hewan dan tumbuhan asing menimbulkan gangguan terhadap ekosistem karena faktor-faktor yang menjamin keseimbangan ekosistem asli tidak berlaku bagi spesies pendatang. Jenis spesies asing yang mempunyai daya adaptasi tinggi dan bersifat invasif mampu mengubah ekosistem lokal. Spesies tanaman asing telah dianggap sebagai ancaman utama bagi sistem Taman Nasional Amerika Serikat dan telah mengganggu keseimbangan ekosistem di sejumlah taman nasional di Indonesia, yaitu Taman Nasional Wasur, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Lore Lindu (Kepala Pusat PHKA, 2001). Namun sampai saat ini kesadaran dan pemahaman mengenai isu ini, terutama di Indonesia, masih sangat terbatas. 4. Pencemaran pada air, tanah dan atmosfer. Produk-produk industri membuang sebagian dari hasil olahannya (pestisida, ozon troposferik, oksida sulfur dan nitrogen serta berbagai macam limbah) ke lingkungan. Masuknya zat asing pada suatu habitat dapat mengurangi dan atau melenyapkan spesies yang peka. 5. Perubahan iklim dunia. Perubahan iklim yang terjadi pada saat ini berlangsung lebih cepat dari sebelumnya karena tingginya gangguan terhadap ekosistem secara meluas. Pencemaran dan pembukaan hutan telah meningkatkan kecepatan perubahan iklim. Pembukaan lahan untuk pertanian, perumahan dan industri telah menyebabkan fragmentasi habitat alami. Kondisi ini membuat spesies mengalami permasalahan untuk bermigrasi pada saat menghadapi perubahan iklim. Spesies-spesies yang mempunyai penyebaran sempit atau kemampuan menyebar rendah akan mengalami kepunahan lebih cepat. Salah satu upaya untuk menjaga keanekaragaman hayati adalah dengan penetapan kawasan lindung. Konservasi in situ dilakukan di daerah-daerah perlindungan, di kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Daerahdaerah yang dikenal sebagai ekosistem alami akan melindungi spesies dari campur tangan manusia seminimal mungkin. Sedangkan ekosistem daerah

24 10 penyangga merupakan kawasan yang dapat dipengaruhi oleh manusia sejauh pengaruh manusia tidak lebih besar dari faktor lainnya (Shiva et al, 1993). Terdapat 8163 daerah yang dilindungi yang tersebar di dunia yang mencakup 750 juta hektar atau sekitar 1,5 % dari luas permukaan bumi (WRI et al., 1992) yang terdiri dari beragam ekosistem laut dan darat. Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 491 unit kawasan konservasi dengan luas mencapai ,28 ha (Departemen Kehutanan, 2004), terdiri dari cagar alam, suaka mergasatwa, taman nasional, dan taman wisata alam yang berada di darat maupun di laut, serta taman hutan raya dan taman buru. Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan lindung terdiri dari: 1. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 2. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. 3. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 4. Cagar Biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. 5. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 6. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

25 11 dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. 7. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. 8. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam Banteng Di beberapa daerah banteng mempunyai nama lain yaitu B. birmanicus, B. butleri, B. discolour, B. domesticus, B. leucoprymnus, B. longicornis, B. lowi, B. porteri dan B. sondaicus (Huffman, 2005). Nama binomial banteng adalah Bos javanicus d Alton 1823 dengan sistematika sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Class : Mamalia Order : Artiodactyla Family : Bovidae Subfamily : Bovinae Genus : Bos Species : javanicus d Alton 1823(Wikipedia, 2005) Sejarah wilayah penyebaran banteng meliputi Indochina, Kalimantan, Jawa dan Malay Peninsula (Bowman, 1992). Banteng merupakan satwa liar yang menyukai daerah hutan yang terbuka dan berumput sehingga pola penyebarannya diduga mengikuti pola penyebaran hutan terbuka (Alikodra, 1983) Morfologi Banteng memiliki tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depan lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya. Banteng dapat tumbuh mencapai 1,6 m dengan berat mencapai kg untuk pejantan dan betina memiliki berat kg. Banteng mempunyai bulu putih pada kakinya, pantat putih dan sedikit hiasan di sekitar mata dan moncongnya. Pejantan mempunyai bulu berwarna hitam kebiruan atau coklat gelap dengan tanduk yang panjang ke

26 12 arah atas (CSEW, 2005), runcing dan melengkung secara simetris ke dalam (Hoogerweef (1970) dan Halder (1976) dalam Alikodra (1983)). Betinanya mempunyai warna coklat kemerahan dengan tanduk yang lebih kecil ke arah atas. Pada saat ini banteng mempunyai umur rata-rata 11 tahun dalam habitat alami, meskipun ada juga banteng yang bertahan hidup hingga tahun (CSEW, 2005). Banteng pada dasarnya merupakan jenis satwa browser yang pemilih. Banteng cenderung memilih rumput, namun akan mengkonsumsi berbagai jenis pakan lainnya yang tersedia tergantung pada musim dan jenis yang tersedia (Huffman, 2005). Pakan banteng dapat berupa rumput, daun, buah-buahan, bambu muda, pucuk semak dan lain-lain. Proses reproduksi banteng umumnya dilakukan pada musim kemarau (Huffman, 2005). Pada musim kemarau ini terjadi pertemuan antara banteng jantan dan betina siap kawin untuk melakukan reproduksi serta dilakukan pengasuhan terhadap banteng muda di padang rumput. Padang rumput merupakan habitat yang penting untuk proses reproduksi banteng karena memberikan ruang gerak yang diperlukan selama prosesi perkawinan. Perkembangbiakan merupakan suatu penentu dalam kelestarian suatu populasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses perkembangbiakan adalah penyebaran umur dalam populasi (Suwasono, 1994). Perbandingan umur dalam populasi dapat menentukan keadaan reproduktif yang berlangsung dalam populasi dan dapat dipakai untuk memperkirakan keadaan populasi masa depan. Populasi yang sedang berkembang cepat mengandung sebagian besar individu muda, sedangkan populasi yang stasioner pembagian umur lebih merata dan populasi yang sedang menurun sebagian besar berumur tua. Banteng liar mulai dewasa seksual pada umur 2-3 tahun (Huffman, 2005) sehingga banteng betina dewasa umumnya dapat mulai mempunyai anak pada umur 3 tahun. Banteng liar ini mempunyai sifat monoestrus (satu musim kawin dalam satu tahun). Banteng betina mengandung anaknya selama 285 hari dengan rata-rata jumlah anak dari setiap induknya adalah 1 ekor (Huffman, 2005) Status IUCN Red Data List dan US Endangered Species Act memasukkan banteng dalam status konservasi endangered berdasarkan pada penurunan populasi yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir (IUCN, 2004).

27 13 Populasi banteng di dunia pada saat ini diperkirakan antara ekor yang tersebar di beberapa negara, yaitu Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam (Huffman, 2005). Pada umumnya banteng di daerah tersebut terancam oleh perburuan dan pengambilan bagian tubuh, khususnya tanduk. Populasi banteng di Jawa pada saat ini terancam oleh perburuan, kerusakan habitat dan penyakit peternakan domestik. Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN (2004) adalah: 1. Hilang atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk 2. Spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor) 3. Perburuan 4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakit/patogen Salah satu langkah untuk melestarikan satwa ini adalah dengan menetapkan banteng sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan dilakukan konservasi di sejumlah kawasan konservasi di Indonesia. Pelestarian banteng di setiap kawasan konservasi mengalami permasalahan tersendiri. Diantaranya populasi banteng di Meru Betiri yang kini ada sekitar 200 ekor yang tersebar pada beberapa kawasan seperti Pagargunung, Nanggelan, Curahmalang, Moroseneng, Sarongan, dan Mandilis. Banteng di kawasan konservasi ini tampak bergerak keluar batas taman nasional. Kawasan luar taman nasional mencakup daerah penyangga (buffer zone), perkebunan, pertanian dan hutan produksi yang letaknya berdekatan dengan taman nasional. Taman Nasional Alas Purwo, pada tahun 1992, memilliki banteng mencapai 188 ekor yang terdiri dari 57 ekor jantan dewasa, 90 ekor betina dewasa, 31 betina muda dan 10 ekor anak-anak. Permasalahan yang ada di Taman Nasional Alas Purwo adalah pemangsaan berlebihan oleh ajak, persaingan dengan binatang lain dan perburuan liar (Iskandar dalam Gatra, 2004). Satu-satunya kawasan konservasi yang memiliki populasi banteng berlebih adalah Taman Nasional Ujung Kulon dengan populasi mencapai lebih dari 900

28 14 ekor. Jumlah ini telah melebihi kapasitas daya dukung lingkungan terhadap kehidupan banteng sebanyak 404 ekor (Ibrahim dalam KapanLagi, 2003). Kondisi ini menjadi permasalahan karena jumlah banteng yang berlebih mengancam kelestarian badak bercula satu di Ujung Kulon. Jumlah banteng di Taman Nasional Baluran pada tahun 2004 mencapai kisaran ekor yang terbagi atas beberapa kelompok yang terdiri atas 2-25 ekor/kelompok. Beberapa permasalahan yang dikemukakan oleh pengelola Taman Nasional Baluran yaitu adanya persaingan dengan satwa herbivora lain terutama kerbau, perburuan liar, predator dan gangguan terhadap habitat dengan masuknya jenis asing invasif (Siubelan dalam KapanLagi, 2003). Pada tahun 1990-an telah dilakukan penjarangan kerbau untuk mengurangi persaingan terhadap benteng namun tidak tampak peningkatan jumlah banteng secara signifikan meskipun pada tahun 2004 jumlah kerbau hanya ekor (Departemen Kehutanan, 2004). Perburuan liar yang terjadi hampir di semua kawasan konservasi pada saat ini telah menurun dengan adanya UU No. 5 Tahun 1990 yang memberikan perlindungan atas sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, selain munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan (Soewadji dalam KapanLagi, 2003) Habitat Habitat adalah tempat organisme hidup atau tempat di mana manusia dapat menemukan organisme tersebut (Suwasono dan Kurniati, 1994). Habitat utama banteng adalah di hutan tropis atau subtropis kering dan savana. Banteng tinggal pada dataran terbuka dan kering di daerah hutan sekunder akibat penebangan maupun kebakaran. Menurut Huffman (2005), banteng akan meninggalkan padang rumput terbuka pada musim penghujan menuju daerah hutan di dataran yang lebih tinggi. Tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan (ekosistem) yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan sumber-sumber air (Alikodra, 1983).

29 15 Hutan Padang Penggembalaan Hutan Pantai Gambar 3. Lingkungan Hidup Banteng yang Ideal (Alikodra, 1983) Hutan Alam Hutan di Taman Nasional Baluran berupa hutan musim dataran tinggi dan dataran rendah. Hutan musim dataran rendah berupa daerah terbuka sampai hutan yang rapat pada ketinggian m dpl. Sedangkan hutan musim dataran tinggi terdapat di lereng Gunung Baluran, kecuali daerah Talpat dan Klosot yang ditumbuhi rumput sampai ke puncaknya. Talpat merupakan salah satu daerah yang sering dikunjungi satwa karena terdapat sumber air yang mengalir sepanjang tahun. Hutan merupakan suatu ekosistem yang diperlukan bagi kehidupan banteng. Hutan berfungsi sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari bermacam-macam gangguan, seperti cuaca, manusia maupun pemangsa serta sebagai tempat tidur dan beristirahat. Banteng akan berlindung di hutan di sekitar padang savana jika terjadi angin kencang atau hujan lebat. Pada musim penghujan, banteng memanfaatkan tumbuhan bawah yang ada di hutan sebagai pakan. Selain itu, semak (tumbuhan bawah) dalam hutan dapat berfungsi sebagai sumber makanan banteng pada kondisi terbatas. Semak belukar di hutan juga merupakan tempat bersembunyi banteng dari serangan predator (Alikodra 1983). Ketersediaan air pada musim penghujan cukup banyak dan dapat dijumpai tergenang di bawah tegakan pohon sehingga aktivitas pergerakan banteng keluar hutan relatif kecil Padang Savana Savana merupakan padang rumput tropika yang terdapat di daerah bermusim kering panjang. Savana tropika terdiri dari pepohonan yang tersebar berjauhan di atas padang rumput tersebut. Pepohonan dapat

30 16 mencapai 20% dari seluruh wilayah savana dalam jarak sebaran yang beragam. Umumnya kerdil dan berbonggol-bonggol. Banyak yang bersifat mudah menggugurkan daunnya dan meranggas pada musim kemarau (Ewusie, 1990). Padang rumput di Taman Nasional banyak diselingi oleh tumbuhan Acacia leucophloea, Schleichera oleosa, jeungjing (Albizia falcataria) dan jenis palem yang berfungsi sebagai peneduh dan memberi naungan (shelter). Pada cuaca yang sangat panas, banteng akan berlindung di bawah pohon rindang yang terdapat di padang savana (Alikodra, 1983). Pada cuaca mendung, banteng akan lebih lama berada di padang savana (Balai Taman Nasional Baluran, 2001). Musim kering yang panjang di padang savana mengakibatkan kondisi tumbuhan menjadi sangat kering dan mudah terbakar jika terjadi pergesekan. Banteng akan segera lari ke hutan dan berlindung di antara semak di sekitar padang savana jika terjadi angin kencang (Alikodra, 1983). Kebakaran padang savana terjadi setiap tahun di Taman Nasional Baluran. Kebakaran ini secara alami membantu suksesi padang savana, karena sejumlah vegetasi padang savana di Baluran sangat tergantung pada api (fire climax vegetation). Api membantu menyingkirkan gulma yang tidak tahan api, memberikan waktu bera pada tanah dengan tidak adanya peragutan dan injakan oleh satwa selama beberapa saat setelah kebakaran serta memacu perkecambahan. Keberadaan jenis asing invasif Acacia nilotica yang tahan api telah menghalangi terjadinya kebakaran di padang savanna. Acacia nilotica juga memiliki kemampuan bertunas dan pertumbuhan yang lebih cepat daripada vegetasi endemik sehingga dapat mendominasi kawasan padang savana. Padang rumput mempunyai peranan penting dalam usaha pelestarian banteng. Pada musim kemarau banteng kembali ke dataran rendah yang terbuka untuk memenuhi kebutuhan pakan (Huffman, 1995). Sebagian besar waktu hidup banteng dipergunakan untuk tinggal di padang rumput. Banteng menggunakan padang savana selain untuk makan juga bersosialisasi (berhubungan antara banteng) antara banteng dewasa dan banteng muda (anaknya) maupun antara jenis kelamin sehingga dapat terjadi perkawinan banteng dewasa. Menurut Sancahyaningsih et al. dalam Martatilofa (2004), persebaran banteng pada saat merumput berjarak 1,5-7 m antara individu. Pada saat

31 17 berada di padang savana, banteng juga melakukan aktivitas lain yaitu melakukan pendekatan dengan banteng yang berlawanan jenis, dan melakukan perkawinan. Pada saat melakukan perkawinan diperlukan ruang untuk manting (banteng jantan menaiki banteng betina). Padang savana juga merupakan tempat untuk melahirkan, mengasuh, dan membesarkan anaknya. Sebagian besar populasi banteng (Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak) maupun kerbau liar (Bubalus bubalis) mempergunakan areal flat savanna untuk merumput, sedangkan daerah undulating savanna kurang disukai karena kontur tanahnya yang bergelombang. Jenis-jenis rumput yang dominan di daerah flat savanna adalah lamuran putih (Dichantium caricosum), rumput merakan (Heteropogan concortus), Schlerachne punctata dan padi-padian (Shorgum nitidus), dengan beberapa jenis pohon savana, diantaranya Pilang (Acacia leucophloea) dan Kesambi (Schleichera oleosa). Pertumbuhan rumput di areal undulating savanna lebih tinggi jika dibandingkan dengan flat savanna dengan didominasi oleh rumput merakan putih (Dichantium caricosum) dan padi-padian (Shorgum nitidus). Kesambi (Scleichera oleosa), Pilang (Acacia leucophoea) dan Bidara (Zizypus rotundifolia) tumbuh terpencar di savana ini (Departemen Kehutanan, 1997). Penyebaran pohon-pohon di padang savana ini sangat bermanfaat sebagai naungan satwa liar dari teriknya matahari (Alikodra, 1986). Banteng di Taman Nasional Baluran melintasi padang savana tidak hanya pada musim kemarau karena perlu memenuhi kebutuhan mineral dengan meminum air laut. Padang Savana Bekol merupakan salah satu savana dengan tipe flat savana yang penting dalam ekosistem Taman Nasional Baluran. Padang Savana Bekol menempati posisi yang strategis, yaitu terletak pada daerah dataran rendah yang landai serta relatif dekat dengan pantai, sehingga sejumlah satwa herbivora banyak terkonsentrasi di sekitarnya. Padang Savana Bekol dibatasi oleh hutan dataran rendah sekunder ke arah darat dan hutan mangrove sekunder ke arah laut. Daya tarik Padang Savana Bekol juga terdapat pada topografi yang relatif datar sehingga memberikan kemudahan untuk satwa mengakses Padang Savana Bekol. Menurut Susetyo (1980), topografi yang relatif datar memberikan nilai proper use factor yang lebih tinggi daripada topografi

32 18 berombak atau terjal, terutama untuk satwa herbivora yang berukuran besar. Proper use factor pada topografi datar bernilai antara 60-70%. Pada kondisi topografi curam, ruang gerak satwa besar menjadi terbatas sehingga nilai proper use factor semakin kecil. Menurut Setyawan (1996), nilai proper use factor di Padang Savana Bekol sebesar 61% Sumber Air Air merupakan komponen ekologi yang mutlak diperlukan dalam kehidupan makhluk hidup. Sumber air baik sungai maupun danau harus ada di sekitar padang rumput dan berair sepanjang tahun. Pergerakan banteng di Taman Naional Baluran dipengaruhi oleh musim karena sumber air yang tersedia berfluktuatif. Pada musim kemarau, banteng cenderung terkonsentrasi di dekat sumber air dan padang savana (Balai Taman Nasional Baluran, 2001). Sumber air yang mengalir di Taman Nasional terdapat 24 dan yang banyak dikunjungi satwa pada musim kemarau terdapat pada 16 lokasi (Lampiran 13). Hal ini terjadi karena beberapa titik sumber air berdekatan dengan aktivitas manusia sehingga satwa tidak lagi berkunjung (Lampiran 14). Perubahan iklim yang menyebabkan air tidak tersedia pada suatu musim maka harus dibuat bak-bak persediaan air yang dapat mencukupi kebutuhan satwa. Selain itu, untuk pemenuhan kebutuhan mineral, satwa akan mengkonsumsi air garam (air laut). Sumber air di Bekol berupa bak buatan yaitu di bagian utara bukit Bekol dan di bagian savana. Bak buatan di utara bukit Bekol mempunyai luas ± 4 m 2 dengan kedalaman 1 m, sedangkan di savana berupa bak memanjang dengan luas ± 6 m 2 dan kedalaman ±80 cm. Kualitas dan kuantitas air di Bekol masih mendukung kehidupan satwa banteng dan mamalia besar lainnya (UGM, 1993). Ketersediaan air di kedua tempat tersebut sangat dipengaruhi oleh pengisian air dengan generator sehingga sangat mempengaruhi intensitas kedatangan satwa. Pada saat sekarang ini, satwa yang secara rutin datang dengan jumlah cukup banyak adalah rusa (Pratiwi, 2005) Hutan Pantai atau Hutan Payau Hutan pantai di Taman Nasional Baluran merupakan daerah ekoton yang berbatasan dengan savana. Hutan ini sebagian besar terdapat di Kalikepuh bagian tenggara, Popongan, Kelor, bagian timur Bama serta barat

33 19 laut Gatel. Selain itu terdapat hutan mangrove di daerah pantai utara dan timur kawasan Taman Nasional Baluran, seperti di Bilik, Lempuyang, Bama, Tanjung Sedano dan Kelor. Di daerah ini, tanah menjadi berlumpur pada musim penghujan sedangkan pada musim kemarau menjadi keras dan kering dengan lapisan garam di permukaannya. Menurut Alikodra (1983), banteng kurang menyukai hutan mangrove karena kondisi berlumpur ini. Keberadaan hutan di sekitar pantai berfungsi sebagai penyangga yang meliputi fungsi sebagai penghalang angin atau wind break (tajuk), pencegah intrusi garam ke arah darat melalui sistem perakarannya, sebagai tempat berlindung dan beristirahat satwa, tempat bersarang dan mencari makan serta mempersulit pemburu masuk areal dari arah laut (Alikodra, 1983). Penentuan daya dukung padang savana terhadap binatang pemakan rumput berdasarkan pada pertimbangan: (1) produktivitas primer dan (2) persentasi produktivitas bersih yang dapat dihasilkan setiap tahun, dengan tetap meninggalkan tumbuhan rumput cukup sebagai cadangan untuk memungkinkannya melakukan produktivitas di masa yang akan datang, terutama untuk mengatasi tekanan pada waktu-waktu tertentu, pada saat udara kurang baik (kekeringan) (Odum, 1993). Produktivitas primer kurang lebih sejalan dengan keadaan curah hujan dan diketahui bahwa kurang dari setengah hasil bersih tahunan akan dikonsumsi oleh satwa, sehingga dapat diperhitungkan produktivitas hijauan pakan yang sesuai dengan jumlah satwa Acacia nilotica Acacia nilotica Willd, ex Dell 1813 termasuk dalam famili leguminosae subfamili Mimosoideae. Akasia ini dikenal dengan nama daerah red heat, kudupod, sweet smell, babul acacia dan babul (India); kiker, babal (Pakistan); lekkerruikpeul, ruikperul, sun (Arab); Egyptian acacia; Indian gum-arabic-tree; thorn-mimosa, thorny acacia (Australia); acacia ă gomme, gommier rouge (Perancis); arabische Gummiakazie (Jerman), algarrobo dan acacia gomifera (Spanyol) (GRIN, 2005). Sistematika nama ilmiah Acacia nilotica adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta

34 20 Class : Magnoliopsida Subclass : Rosidae Order : Fabales Family : Fabaceae (alt. Leguminosae) Subfamily : Mimosoideae Suku : Acaciae atau Mimosoiceae Genus : Acacia P. Mill Species : Acacia nilotica (L) Willd. ex Delile 1813 (GRIN, 2005 dan USDA, 2005) Morfologi Acacia nilotica merupakan pohon yang dapat mencapai umur 60 tahun, berukuran sedang dengan tinggi dapat mencapai 20 meter tergantung pada kondisi lingkungannya dan pada umumnya tinggi maksimum hanya mencapai 5-8 meter (Binggeli, 1997), di Australia mencapai tinggi rata-rata 4-5 m dan kadang mencapai 10 m (Department of Natural Resources and Mines, 2004). Pada daerah yang kondisi lingkungannya tidak cocok, pertumbuhannya menjadi kerdil menyerupai semak. Acacia nilotica mempunyai percabangan tajuk berbentuk payung (umbrellashaped crown), batangnya berduri keras dan ranting berwarna gelap. Duri lurus berwarna keputih-putihan tajam panjangnya lebih dari 3 cm pada pohon muda dan pohon dewasa umumnya duri mengeras dengan warna semakin gelap. Daunnya hijau sepanjang tahun, bersirip biasanya terdiri dari 3-12 pasang, anak daun pasang linear oblong dengan panjang 0,4 cm; bunga kuning cerah dengan diameter 10 mm; buah berwarna hijau keabu-abuan dan berbulu, tebal lurus atau bengkok ramping, panjang cm dengan lekukan diantara bijibijian, lunak pada waktu masih muda dan menjadi hitam dan keras setelah tua; berakar tunjang dan jalar Potensi Potensi Acacia nilotica sendiri cukup banyak, diantaranya : 1. Kayu Kayu Acacia nilotica yang berwarna coklat tua termasuk jenis kayu berat (berat jenis 0,67-0,68) yang kuat, tahan rayap, tahan lama, keras (hampir dua kali lebih keras dari kayu jati), dan sangat tahan tekanan. Di India dan Pakistan, kayu Acacia nilotica yang berumur tahun digunakan sebagai bahan bakar kayu dan bangunan. Sebagai bahan

35 21 bakar mempunyai nilai kalori yang tinggi yaitu 4950 kcal/kg dan sangat baik digunakan dalam bentuk kayu bakar maupun arang yang berkualitas dengan asap yang sedikit. Di Sudan, pada umur tahun, digunakan sebagai gerbong kereta api. Pemanfaatan lain Acacia nilotica digunakan untuk bangunan, tiang penyangga pertambangan, perangkat pegangan alat pertukangan dan gerobak. Pada saat masih hijau kayunya dapat diukir (Fagg,1992). 2. Agroforestry Di India dan Zimbabwe, pohon Acacia nilotica digunakan sebagai penahan angin (windbreak) di padang penggembalaan (Fagg,1992). 3. Makanan Ternak Buah polong dan daunnya dapat dikonsumsi. Di India polongnya digunakan sebagai suplemen pakan untuk peternakan, terutama dalam bentuk polong kering. Komposisi kimia dan nilai nutrisi beberapa bagian Acacia nilotica tampak pada tabel berikut : Tabel 2. Komposisi Kimia dan Nilai Nutrisi Beberapa Bagian Acacia nilotica Daun Bunga Komponen Muda Sedang Tua yang jatuh ke Polong Biji tanah Komposisi Kimia Bahan Kering (%BK) Total Protein (%BK) N-tersedia (%protein) Komponen Dinding Sel NDF (%BK) ADF (%BK) ADL (%BK) Nilai Nutrisi Nilai Energi (MJ ME/kg BK) Protein Kasar Tercerna (g DCP/kg BK) Sumber : Audru et al., 1993

36 22 4. Rehabilitasi Tanah Lebih dari ha jurang Indian Chambal direhabilitasi dengan Acacia nilotica (Binggeli,1997). Di India digunakan secara ekstensif dalam menurunkan tingkat salinitas dan alkalinitas tanah. Hal ini karena Acacia nilotica dapat tumbuh pada tanah dengan ph di atas 9 dengan kandungan garam terlarut mencapai 3%, dan dapat tetap tumbuh dengan baik pada saat pengairan kurang dan dapat berkembang pada timbunan batuan limbah pertambangan. 5. Tanin Tanin digunakan dalam industri penyamakan kulit. Polong Acacia nilotica mengandung 50% tanin. Pada pohon berumur 10 tahun memproduksi kg kulit kayu yang mengandung tanin 12-20% (Audru et al., 1993). 6. Getah Getah Acacia nilotica sudah sangat terkenal sebagai bahan dasar dari Gum Arabic dan dipergunakan dalam industri-industri korek api, tinta, cat dan konveksi (Alikodra, 1986). 7. Pengobatan Tanin dari Acacia nilotica dapat digunakan sebagai astringent yang kuat. Getahnya dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan kanker dan/atau tumor (telinga, mata atau testicle) dan menjaga kondisi hati dan ginjal, condylomas, dan flesh berlebih, kedinginan, kongesti, batuk, diare, disentri, demam, gallbladder, hemorrhage, wasir, leucorrhea, ophthalmia, sklerosis, cacar, dan TBC (James, 1983). Buah polong yang direbus dalam air dapat digunakan sebagai minuman kesehatan untuk penderita diabetes dan untuk mengobati bisul (Audru et al., 1993) Perkembangbiakan Acacia nilotica mulai berbunga kurang lebih 1 bulan setelah turun hujan pertama, dua bulan kemudian musim berbuah dan lima bulan kemudian musim biji dengan produksi rata-rata per pohon berukuran sedang sekitar biji per tahun pada kondisi yang mendukung (Department of Natural Resources and Mines, 2003) sedangkan pada pohon berukuran besar produksi biji dapat mencapai > biji atau sekitar 70 kg polong per tahun. Acacia nilotica mulai berbuah umur 2 tahun sehingga mempercepat penyebaran tumbuhan tersebut.

37 23 Biji Acacia nilotica memiliki masa dormansi yang cukup lama yaitu sekitar 8 tahun. Pada awal pertumbuhan dengan penanaman bijinya sangat membutuhkan sinar matahari dan kelembaban yang tinggi. Masyarakat di sekitar Taman Nasional Baluran memanfaatkan bijinya sebagai bahan campuran kopi dan untuk kecambah (Mutaqin, 2001). Buah akasia ini juga dipungut oleh penduduk sekitar taman nasional untuk dijual kepada Perum Perhutani sebagai bibit. Acacia nilotica dapat ditanam baik secara langsung dengan biji maupun benih. Akan tetapi bijinya akan dapat tumbuh dengan sempurna jika direndam dahulu dalam air panas sebelum ditanam. Acacia nilotica termasuk jenis yang cepat pertumbuhannya. Pada keadaan lingkungan yang sesuai laju pertumbuhan mencapai 2-3 cm per tahun. Akasia ini memiliki habitat asli di daerah tropis kering dengan jenis tanah liat (Binggeli,1997) namun dapat tumbuh pada tanah berpasir dengan curah hujan yang tinggi. Acacia nilotica merupakan salah satu tumbuhan yang tahan api sehingga sering dimanfaatkan sebagai sekat bakar (fire break). Tumbuhan ini dapat berkembang pada ketinggian lebih dari 2000 m dpl (di Pegunungan Himalaya), pada suhu ekstrim (-1-50 O C) dapat tumbuh (Fagg, 1992) dan bertahan hidup di daerah-daerah yang sangat kering dan daerah yang biasa terkena banjir serta pada berbagai jenis tanah. Jadi tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah walaupun pada tanah-tanah yang sangat miskin. Biji Acacia nilotica yang dikonsumsi oleh satwa dapat langsung tumbuh setelah enam hari keluar dari tubuh satwa melalui feses (Department of Natural Resources and Mines, 2004). nya berduri dan sering menimbulkan masalah sehingga dianjurkan untuk ditanam pada daerah-daerah yang sangat kritis akan kebutuhan kayu bakar. Acacia nilotica mempunyai zat alelopatik sehingga dapat mempunyai ruang tumbuh tersendiri karena tanaman di sekitarnya mati (El Khawas dan Shehata, 2005). Acacia nilotica mempunyai ciri tumbuhan yang berpotensi invasif, yaitu: 1) suatu tumbuhan perennial yang plastis sehingga dapat berkecambah pada rentang kondisi fisik yang luas; 2) pertumbuhan cepat; 3) berbunga dalam waktu singkat; 4) adaptif; 5) memproduksi benih yang banyak dengan penyebaran luas; 6) dapat bereproduksi secara vegetatif; dan 7) merupakan kompetitor yang tangguh (Noble, 1989). Di Australia, Acacia nilotica dimasukkan ke wilayah Middle East di padang savana sebagai peneduh dan sumber pakan. Pada awal tahun 1900-an, biji

38 24 Acacia nilotica dibawa dan disebarkan oleh ternak dan saat ini telah menginvasi hampir semua padang savana di kawasan timur laut (pada perbatasan Queensland). Vektor penyebaran Acacia nilotica di kawasan ini adalah sapi karena tidak mampu mencerna biji Acacia nilotica sebaik domba. Luas lahan yang terinvasi mencapai 7 juta hektar, di mana hektar diantaranya tidak dapat lagi digunakan sebagai padang penggembalaan. Kerugian ekonomi akibat invasi Acacia nilotica mencapai 5 juta dolar per tahun dengan turunnya produktivitas penggembalaan dan 4 juta dolar untuk mengontrol populasi Acacia nilotica. Kondisi ekologi kawasan tersebut mengalami kerugian dengan adanya perubahan struktur vegetasi yang mengakibatkan perubahan komposisi spesies flora dan fauna. Peningkatan kepadatan pohon juga mengakibatkan perubahan komposisi lapisan tanah yang merugikan spesies rumput endemik (Tropical Savanna CRC, 2003). Di Indonesia, Acacia nilotica dimasukkan pada tahun 1963 sebagai fire break di perbatasan wilayah Taman Nasional Baluran untuk mengurangi tingkat penyebaran kebakaran dari padang savana ke areal hutan jati pada musim kemarau (Mutaqin, 2001). Dalam kawasan Taman Nasional Baluran kebakaran dapat terjadi setiap tahun dalam musim kemarau. Kebakaran umumnya mulai terjadi pada kawasan padang savana karena hijauan yang mengering sangat mudah terbakar dengan adanya pergesekan oleh angin dalam sinar matahari yang terik. Oleh karena itu pada tahun 1969 Acacia nilotica juga ditanam sebagai tanaman pagar untuk mencegah perluasan kebakaran yang terjadi. Menurut Alikodra (1986), penyebaran yang pesat di Savana Bekol terjadi karena: 1. Adanya satwa liar banteng, kerbau dan rusa yang suka memakan kulit buah akasia, sehingga sekaligus biji akasia terbawa ke dalam sistem pencernaan yang kemudian dikeluarkan bersama-sama fesesnya pada saat satwa berada di padang rumput savana. Biji akasia yang tertelan oleh satwa liar tersebut setelah dikeluarkan bersama-sama dengan feses diduga mempunyai daya kecambah yang lebih tinggi 2. Di padang rumput savana intensitas cahaya matahari lebih tinggi jika dibandingkan dengan di hutan, sehingga sangat sesuai untuk perkecambahan biji akasia, serta mampu menstimulir pertumbuhan selanjutnya

39 25 3. Adanya penggembalaan yang berat telah menyebabkan kondisi tanah semakin jelek dan pertumbuhan rumput kurang baik. Keadaan ini menyebabkan rumput tidak mampu bersaing dengan akasia sehingga pertumbuhannya tertekan 4. Adanya jalur akasia sebagai penahan api telah mengakibatkan semakin berkurangnya peranan api di padang rumput savana Bekol. Hal ini tidak menguntungkan pertumbuhan rumput savana Potensi dampak positif dan negatif yang dimiliki oleh tumbuhan ini dapat mempengaruhi kestabilan ekosistem padang savana. Hal ini karena ekosistem padang rumput di Padang Savana Bekol terdiri dari jenis-jenis vegetasi klimaks karena pengaruh api (fire-climax vegetation) (Alikodra, 1986). Sehingga keberadaan Acacia nilotica yang menurunkan tingkat kebakaran yang terjadi di padang savana menghalangi terbentuknya komunitas padang savana. Selain itu, spesies pohon Acacia nilotica toleran untuk tumbuh diantara spesies yang dominan pada savana terbuka, dapat berkembang lebih cepat pada saat kelembaban yang lebih tinggi tersedia dan pada saat kondisi kering dapat bertahan dari kematian secara berangsur-angsur dapat menginvasi savana (Huston, 1995). Dampak yang nyata yaitu berkurangnya luasan savana juga mengurangi ruang gerak satwa dalam melakukan aktivitas sosial, proses belajar, kawin, serta mengasuh dan membesarkan anak. Selain itu, tumbuhan ini dapat tumbuh menyaingi hijauan pakan satwa, menaungi luasan lahan tempat tumbuh hijauan sehingga menekan perolehan sinar matahari yang dibutuhkan hijauan untuk tumbuh. Suksesi tumbuhan ini di savana dapat membentuk hutan tertutup jika terdapat kelembaban yang mencukupi untuk mendominasi savana (Huston, 1995). Apabila kondisi ekologis ini berlangsung terus tanpa pengendalian maka populasi jenis-jenis satwa dan flora endemik akan terancam (Mutaqin, 2001). Upaya-upaya pemberantasan Acacia nilotica dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberantasan secara fisik, biologi dan kimiawi. Pemberantasan secara fisik bisa dilakukan dengan cara menebang atau memotong batang pada pangkal akar pada kedalaman cm di bawah permukaan tanah. Hal ini karena pada pangkal akar akasia mempunyai tunastunas yang berada dalam kondisi dorman dan akan segera tumbuh apabila keadaan memungkinkan. Pemberantasan secara biologi sudah diuji coba di Australia dengan menggunakan serangga tertentu tetapi untuk kondisi di Taman

40 26 Nasional Baluran hal tersebut tidak memungkinkan karena akan mengganggu keaslian jenis dan keutuhan ekosistem yang ada. Pemberantasan secara kimiawi dapat dilakukan namun perlu mendapatkan pengawasan yang ketat mengingat herbisida mempunyai efek samping yang dapat meracuni organisme lain, dapat bertahan lama dalam betuk racun dalam tanah, mengakibatkan transfer racun, keracunan sekunder, penyimpanan racun dalam jaringan tubuh dan sepanjang rantai makanan Jenis Asing Invasif Invasi merupakan suatu kondisi ekstrim penyebaran geografis spesies dalam kondisi yang paling memungkinkan. Jenis asing invasif adalah suatu spesies yang menyebar jauh dari distribusi aslinya, melintasi benua atau kadang menyebar ke seluruh penjuru dunia (Huston, 1995). Spesies ini berasal dari suatu tempat/ekosistem tertentu masuk atau dibawa ke suatu tempat atau ekosistem lain yang berbeda dan mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang biak dengan sangat cepat sehingga mampu mengganggu kelangsungan hidup spesies asli di tempat tersebut. Jenis asing invasif ini dapat berupa hewan maupun tumbuhan. Di dunia ini hampir tidak ada ekosistem yang tidak terpengaruh oleh invasi tumbuhan darat walaupan hanya sedikit, khususnya oleh tumbuhan berbunga dan conifer. Spesies tumbuhan yang mempunyai potensi invasif umumnya berasal dari famili-famili yang mempunyai ruang penyebaran yang luas dengan daya reproduktif tinggi, mekanisme penyebaran yang kompleks dan konsentrasi secara alami besar seperti Asteraceae, Fabaceae dan Poaceae (Heywood, 1989). Penyebaran jenis asing invasif secara alami dapat terjadi karena angin dan hewan. Sekitar 32 % spesies tumbuhan berkayu yang invasif di Afrika Selatan mempunyai buah yang disebarkan oleh vertebrata atau mempunyai potensi untuk menyebar melalui hewan (Kruger et al., 1989). Pada saat ini, intervensi manusia merupakan faktor penyebab utama terjadinya invasi tumbuhan, khususnya melalui pembersihan vegetasi alami untuk pertanian dan perkebunan yang dilanjutkan dengan invasi oleh spesies gulma (Heywood, 1989). Pada struktur ekosistem daerah lindung, jenis asing invasif mempunyai dampak terhadap percepatan laju kepunahan lokal dan global serta terjadinya perubahan genetis (Macdonald et al., 1989). Invasi yang terjadi pada beberapa komunitas alami di beberapa bagian dunia disebabkan oleh

41 27 pengenalan tumbuhan, khususnya tumbuhan berkayu, yang kemudian menjadi permasalahan paling serius yang dapat mengancam kelangsungan komunitas tersebut. Kondisi di beberapa tempat menunjukkan invasi menjadi penyebab kepunahan dan menghasilkan penurunan keanekaragaman spesies. Kepunahan yang cepat dapat merupakan hasil dari: 1) interaksi predator-mangsa atau induk semang-parasit; atau 2) masuknya jenis asing invasif yang mempunyai jenis fungsional sama dengan spesies yang ada (Huston, 1995). Pola penyebaran jenis asing invasif ditentukan oleh kondisi lingkungan, terutama iklim dan status nutrisi tanah tempat baru yang dimasuki (Kruger, 1989). Pengaruh perubahan suatu habitat akibat invasi bervariasi tergantung pada bioklimatik daerah tersebut. Pada daerah mediterania dan ekosistem pulau, keberadaan jenis asing invasif memiliki pengaruh yang besar. Padang rumput dan penggembalaan merupakan ekosistem yang kaya akan jenis asing invasif dan banyak berubah dari kondisi aslinya karena suatu perluasan untuk kepentingan manusia (Heywood, 1989). Pemahaman ekologi invasi membutuhkan perhatian terhadap tiga hal berikut: 1) laku dan mekanisme transport atau perpindahan organisme; 2) karakteristik organisme yang menjadikannya invasif; 3) kondisi ekosistem yang membuat ekosistem tersebut rentan atau resisten terinvasi (Huston, 1995) Pendekatan Sistem Suatu sistem merupakan suatu kumpulan objek yang masing-masing bekerja untuk menjaga keseimbangan kinerja sistem dengan lingkungannya (Caswell et al., 1972). Sistem adalah suatu kumpulan dari bagian-bagian yang berinteraksi menurut proses tertentu (Odum, 1992). Analisis sistem merupakan suatu cara mengorganisasikan data dan informasi secara teratur dan logik menjadi model-model yang kemudian diikuti dengan berbagai uji dan eksplorasi dari model-model tersebut untuk validasi dan penerapan model (Jeffers, 1978). Kegiatan analisis sistem ini lebih menekankan pada hubungan yang terjadi antar bagian-bagian. Sedangkan menurut Kendall dan Kendall (1992), analisis sistem dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: 1) mengidentifikasi masalah, peluang dan tujuan; 2) menentukan informasi yang dibutuhkan; 3) menganalisis kebutuhan sistem; 4) merancang sistem yang direkomendasikan; 5) membangun dan mendokumentasikan software; 6) menguji dan membangun sistem; dan 7) menerapkan dan mengevaluasi sistem.

42 28 Pendekatan dalam analisis sistem dapat dilakukan dengan membangun model. Pemodelan merupakan suatu rangkaian aktivitas pembuatana model (Eriyatno, 2003). Suatu model merupakan suatu perumusan yang menirukan kejadian alam sebenarnya untuk membuat peramalan-peramalan (Odum, 1993) dan merupakan gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam kondisi tertentu (Winardi, 1989). Dalam pembuatan model suatu sistem maka pengelolaan sumberdaya alam suatu daerah dapat digambarkan dalam bentuk masukan luaran (Soerianegara, 1978). Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari kinerja dunia nyata dan untuk membantu dalam mengenali struktur dan perilaku sistem, dapat digunakan model grafik yang terdiri atas diagram sebab akibat (causal loop), diagram kotak hitam (black box) dan diagram alir (flow chart). Menurut Eriyatno (2003), pemodelan dapat dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu: 1) tahap seleksi konsep; 2) tahap rekayasa model; 3) tahap implementasi komputer; 4) tahap validasi; 5) analisis sensitivitas; 6) analisis stabilitas; dan 7) aplikasi model. Model dapat dibuat dalam beberapa bentuk (Jeffers, 1978), diantaranya: 1. Model deskriptif (word model), sebagai suatu preliminary yang penting untuk pemodelan di mana di dalamnya semua teronsentrasi pada masalah yang harus dipecahkan yang dikombinasikan untuk menghasilkan suatu gambaran sistem ekologi dalam kata-kata. 2. Model matematika, merupakan suatu logika simbolis yang dapat mengekspresikan pemikiran pemikiran terutama hubunganhubungan yang sangat kompleks sehingga dapat dihasilkan suatu ekspresi yang sederhana dan ringkas. Model matematika dapat berupa model dinamik, model compartment, model matriks model multivariate, model optimisasi dan lain-lain.

43 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Pengumpulan data penelitian dilaksanakan mulai Agustus sampai Oktober 2005 di Taman Nasional Baluran Metode Pengumpulan Data Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dengan pendekatan sistem untuk mendesain model pelestarian satwa banteng. Penelitian ini memanfaatkan data sekunder sebagai dasar analisis Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini menghasilkan suatu model pelestarian banteng di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran yang diberi batasan sebagai berikut: Lokasi (batas fisik) : Padang Savana Bekol Taman Nasional Baluran yang masuk wilayah administratif Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Variabel : jumlah banteng, produktivitas hijauan pakan satwa di savana dan invasi Acacia nilotica Variabel yang Diamati Berdasarkan batasan model yang telah ditetapkan, maka variabel yang diamati dapat diuraikan sebagai berikut: Tabel 3. Variabel, Input dan Sumber Informasi yang Diperlukan Variabel Input Sumber Informasi Keberadaan banteng Jumlah banteng Angka kelahiran Angka kematian Sex ratio Umur dewasa Umur hidup Data sensus satwa Data sekunder Data sekunder Data sensus satwa Data sekunder Data sekunder

44 30 Daya dukung hijauan pakan di savana Invasi Acacia nilotica Luas lahan savana Jenis hijauan pakan Analisis vegetasi Produktivitas hijauan Kecepatan tumbuh Konsumsi oleh satwa herbivora lain Jumlah tegakan Acacia nilotica Luas lahan savana terinvasi Produksi biji Data spasial Data vegetasi savana Bekol Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data vegetasi savana Bekol Data sekunder Data sekunder 3.3. Analisis Data: Analisis Data Spasial Analisis data spasial untuk mengetahui kondisi lapang di Taman Nasional Baluran berdasarkan data penelitian yang terkumpul. Analisis data spasial dilakukan dengan metode overlay menggunakan program Arc View 3.2. Analisis ini juga memberikan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan banteng di Taman Nasional Baluran Analisis Data Deskriptif Analisis data terhadap faktor ekologi banteng untuk mengetahui hubungan antara jumlah satwa yang ada di Padang Savana Bekol, tingkah laku, dan pola makan. Selain itu, dilihat keberadaan satwa lain yang dapat mempengaruhi tingkah laku satwa banteng, seperti keberadaan predator, satwa herbivora lain yang bersaing dalam memperebutkan hijauan serta keberadaan manusia di sekitar wilayah jelajah banteng. Analisis data dilakukan secara sistem yang didukung simulasi dengan menggunakan program Powersim Construction 2.5. Uji sensitivitas hasil simulasi dilakukan dengan analisis regresi menggunakan program SPSS Pendekatan Sistem Penelitian melalui pendekatan sistem dilakukan dalam upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan banteng di Padang Savana Bekol sehingga dapat dilakukan pengelolaan yang sesuai untuk mempertahankan keberadaan banteng. Metodologi dinamika sistem digunakan berdasarkan pertimbangan kemampuannya menyajikan keterkaitan antar

45 31 variabel yang dikaji dan mensimulasikan perilaku sistem. Berdasarkan kecenderungan dinamika sistem dan perilakunya maka dapat disusun informasi sebagai dasar pengelolaan di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran. Pendekatan sistem ditandai dengan dua hal, yaitu mencari semua faktor penting yang ada untuk menyelesaikan masalah dan membuat model kuantitatif untuk membantu mengambil keputusan secara rasional. Pendekatan sistem dilakukan dengan melalui beberapa tahap yang terdiri dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem dan evaluasi. Dalam penelitian ini, pendekatan sistem dilakukan sampai evaluasi terhadap model yang dibangun untuk mengetahui faktor penting yang sensitif dalam sistem sebagai dasar perbaikan dalam pengelolaan Model dan Simulasi Model konservasi banteng di Padang Savana Bekol disusun berdasarkan hasil analisis data dengan membuat simulasi. Proses simulasi dilakukan dengan menggunakan perhitungan dan hubungan matematik yang telah diformulasikan dalam model dengan memasukkan perubahan terhadap setiap peubah pada jangka waktu yang ditetapkan. Simulasi menggunakan software Powersim Construction Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan terhadap hasil simulasi untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap perubahan keberadaan banteng dan hijauan pakan. Perubahan yang terjadi pada variabel ini akan mengakibatkan perubahan terhadap kinerja sistem.

46 Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Jenis asing invasif, adalah jenis-jenis flora ataupun fauna, termasuk mikroorganisme, yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dan berkembang biak dengan pesat karena memiliki rentang toleransi terhadap kondisi lingkungan yang luas dan tidak mempunyai musuh alami sehingga menjadi gulma, hama dan penyakit pada jenis-jenis asli b. Padang savana, adalah padang rumput tropika yang terdapat di daerah bermusim kering panjang dengan pepohonan yang tersebar berjauhan dalam kawasan tersebut c. Taman nasional, adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi d. Model, adalah suatu abstraksi dan penyederhanaan dari suatu sistem yang sesungguhnya e. Sistem, adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan f. Pendekatan sistem, adalah suatu analisis terhadap kinerja suatu sistem yang seharusnya agar dapat memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan di mana kriteria jalannya sistem yang spesifik untuk mencapai suatu optimasi sehingga output yang spesifik dapat ditentukan g. Pemodelan, adalah suatu rancangan model sistem sebagai alat penunjang keputusan untuk meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan taman nasional dan implementasi kebijakan pelestarian satwa h. Simulasi model, adalah suatu aktivitas di mana pengkaji atau pengguna (user interface) dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem berdasarkan skenario, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, di mana hubungan sebab akibat seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya i. Pemodelan dinamika sistem adalah suatu rancangan model sistem untuk menjelaskan suatu keadaan yang heterogen di mana peubah-peubahnya mengandung faktor waktu sehingga bersifat dinamis

47 33 j. Source, adalah sumber dari materi yang tidak didefinisikan k. Sink, adalah tempat mengalirnya materi yang tidak didefinisikan l. Level, adalah akumulasi dari suatu materi yang mencerminkan kondisi atau keadaan (state) sistem pada titik waktu tertentu m. Flow, merupakan aliran materi yang menjadi indikasi aktivitas dalam sistem dari atau yang atau keluar level; atau dari source dan ke sink n. Auxilary, adalah pengkonversi input menjadi output melalui suatu proses yang dapat diperhitungkan, dapat mewakili materi maupun informasi o. Constant, adalah suatu nilai tertentu yang tidak mengalami perubahan atau perubahannya kecil sehingga dianggap tetap selama sistem bekerja dan menjadi bagian yang berpengaruh terhadap kinerja variabel lain p. Connector, adalah alur informasi yang menghubungkan antar level ke auxilary, level ke flow, antar flow, auxilary ke flow, antar auxilary, constant ke flow, atau constant ke auxilary

48 BAB IV. KEADAAN UMUM 4.1. Sejarah Taman Nasional Baluran Kawasan Baluran diusulkan sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1928 oleh A.H. Loedeboer yang menguasai daerah tersebut, dan pada tahun 1937 melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor: 9 tahun 1937 (Lembaran Negara No. 544 tahun 1937) ditetapkan sebagai suaka margasatwa dengan tujuan untuk melindungi berbagai jenis satwa langka dari kepunahan. Pada tahun 1982 Suaka Margasatwa Baluran dideklarasikan sebagai Taman Nasional (Departemen Kehutanan, 1997) melalui surat keputusan Menteri Pertanian RI No. 327/Kpts/Um/7/1972. Pada tahun 1997, surat keputusan Menteri Kehutanan No. 279/Kpts-VI/1997 tanggal 25 Mei 1997 menyatakan bahwa luas kawasan Taman Nasional Baluran sebesar ha meliputi ha wilayah daratan dan ha perairan, yang dikelola dengan sistem zonasi sesuai Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA). Kemudian terjadi revisi dengan adanya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 187/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999, yang menyatakan bahwa luas Taman Nasional Baluran terdiri dari ha wilayah daratan dan ha wilayah perairan (Dono dan Mardana, 2003). Kawasan ini kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki ekosistem yang lengkap yang terdiri dari hutan mangrove dan rawa asin, hutan pantai, hutan payau, hutan savana (datar dan bergelombang), hutan musim (dataran tinggi dan dataran rendah) dan curah (stoney streambeds) (Departemen Kehutanan, 1995). Taman nasional ini merupakan satu-satunya taman nasional di Jawa yang memiliki padang savana alamiah dengan luas sekitar ha atau sekitar 40% dari luas kawasan. Sebagian besar dari populasi banteng, rusa maupun kerbau liar mempergunakan areal savana ini untuk merumput. Ciri-ciri yang tampak di savana adalah 1) pergantian musim hujan dan kemarau; 2) struktur rumput dan pohon yang ditentukan oleh kompetisi pemanfaatan kelembaban tanah; dan 3) perubahan yang mendasar karena api, herbivora dan hara tanah (Huston, 1995). Savana-savana tropis (padang rumput dengan pohon-pohon yang tersebar atau rumpun-rumpun pohon) ditemukan di daerah-daerah kering dengan curah

49 35 hujan mm tetapi dengan musim kering yang berkepanjangan sehingga kebakaran merupakan bagian penting dari lingkungannya (Odum, 1993). Kebakaran penting untuk mempertahankan populasi sejumlah spesies, meningkatkan keanekaragaman spesies dan mempersiapkan bentuk landscape secara umum (Huston, 1995). Tipe habitat savana di Taman Nasional Baluran merupakan tipe klimaks kebakaran yang mempunyai jenis-jenis vegetasi yang sangat dipengaruhi api (fire-climax vegetation). Keanekaragaman spesies yang tinggi dapat ditemukan dalam vegetasi padang rumput yang terbakar secara rutin, terutama rumput-rumputan, semak dan perdu. Tipe habitat savana di Taman Nasional Baluran dapat dibedakan menjadi dua sub tipe, yaitu flat savanna (padang rumput alami datar) dan undulating savanna (padang rumput alami bergelombang). Flat savanna tumbuh pada tanah aluvial berbatu-batu, dan ini terdapat pada bagian tenggara kawasan, yaitu daerah sekitar Plalangan dan Bekol dengan luasan sekitar ha. Sedangkan undulating savanna tumbuh pada tanah hitam berbatu-batu dan membujur dari sebelah utara hingga timur laut dengan luas kurang lebih 8000 ha (Dono dan Mardana, 2003). Pada sub tipe flat savanna terdapat beberapa jenis rumput dominan, yaitu Dichantium caricosum, Heteropogon concotyus, dan Shorgum nitidus. Selain itu terdapat beberapa pohon, yaitu Acacia leucophloea dan Schleichera oleosa. Sebagian besar populasi banteng, rusa maupun kerbau liar mempergunakan areal ini untuk merumput (Departemen Kehutanan, 1995). Savana di Taman Nasional Baluran mempunyai peranan yang sangat penting karena: 1. Mempunyai bentuk ekosistem khas dengan luas mencapai 40% dari seluruh taman nasional dan di seluruh Pulau Jawa hanya terdapat di Taman nasional Baluran 2. Merupakan pusat kehidupan berbagai jenis satwa liar, terutama untuk jenis-jenis mamalia besar, serta berbagai jenis satwa liar yang dilindungi 3. Mempunyai panorama alam yang sangat unik dan indah, sesuai dengan tujuan pengembangan Taman Nasional untuk menarik minat pengunjung 4. Merupakan obyek yang sangat penting bagi kegiatan penelitian dan pendidikan

50 36 Kondisi komposisi vegetasi, topografi, dan adanya sumber-sumber air tawar dalam satu kesatuan seperti di savana Bekol sangat ideal bagi kehidupan jenis satwa herbivora (Alikodra, 1986) Letak dan Luas Taman Nasional Baluran termasuk dalam wilayah Kecamatan Banyuputih, kurang lebih 32 km di sebelah utara Banyuwangi Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Secara geografis Taman Nasional Baluran terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Taman Nasional Baluran berbatasan dengan Selat Bali di sebelah timur; di sebelah selatan dibatasi oleh Sungai Bajulmati, Desa Wonorejo dan Desa Pandean; sebelah barat dibatasi oleh Sungai Kelokoran, Desa Karangtekok dan Desa Sumberanyar; dan disebelah utara dibatasi oleh Selat Madura (Balai Taman Nasional,1995). Tutupan Lahan Insert Lokasi Penelitian Sumber: Citra Sumber: Landsat, 2002 Citra Landsat 2002 Departemen Kehutanan, 2004 Gambar 4. Peta Kawasan Taman Nasional Baluran Secara administratif Taman Nasional Baluran berada dalam tiga wilayah kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan SK menteri Kehutanan no. 096/kpts-II/1984, Taman Nasional Baluran merupakan unit pelaksana teknis

51 37 Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Dalam mengatur wilayah kerja masing-masing taman nasional berpedoman pada AK Direktorat Jenderal PHPA no. 46/kptsVI-Sek/1984 (Departemen Kehutanan, 1995). Pada tanggal 31 Maret 1997, Taman Nasional Baluran ditetapkan menjadi Balai Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo menjadi Balai Taman Nasional Alas Purwo yang masing-masing berdiri sendiri melalui Keputusan Menteri Kehutanan no. 185/kpts-II/1997 (Departemen Kehutanan, 2004) Iklim Iklim di kawasan Taman Nasional Baluran bertipe monsoon (musim) dengan musim kering yang panjang. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Taman Nasional Baluran bagian utara termasuk ke dalam tipe klasifikasi iklim C (agak kering) dengan suhu rata-rata tahunan 26,20 0 C. Curah hujan per tahun mm, dengan rata-rata bulan kering 4-9 bulan per tahun. Bulan terkering terjadi antara bulan Agustus dan September, sedangkan musim hujan hanya terjadi pada bulan Desember sampai dengan April (Balai Taman Nasional,1995). Pada bagian selatan Taman Nasional Baluran mempunyai tipe iklim E. Dalam kawasan ini, curah hujan maksimum rata-rata pada bulan Februari yaitu sebesar 240 mm dengan jumlah hari hujan maksimum pada bulan Januari sebanyak 15,48 hari. Curah hujan minimum rata-rata berada pada bulan September, yaitu sebesar 5 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata minimum 0,32 hari. Curah hujan per tahunnya rata-rata adalah 1220 mm dengan jumlah hari hujan tahunan sebanyak 75,5 hari (Balai Taman Nasional,1995).

52 Topografi Keadaan topografi di kawasan Taman Nasional Baluran bervariasi dari m di atas permukaan laut dengan bentuk topografi datar sampai bergelombang. Topografi tertinggi terdapat pada puncak Gunung Baluran. Daerah di sekitarnya memiliki topografi berbukit sampai bergunung. Dataran rendah di kawasan ini terletak di sepanjang pantai, di sebelah timur dan utara kawasan. Bentuk topografi berombak di bagian selatan dan barat kawasan taman nasional (Balai Taman Nasional,1995) Hidrologi Di Taman Nasional Baluran terdapat dua buah sungai yang cukup besar, yaitu Sungai Bajulmati dan Sungai Klokoran. Kedua sungai ini membentuk batas Taman Nasional Baluran di sebelah selatan dan barat kemudian bermuara pada pantai utara dan timur Pulau Jawa (Balai Taman Nasional,1995). Mata air yang berasal dari resapan air yang masuk ke dalam tanah dan membentuk aliran air bawah tanah muncul di beberapa tempat yang memiliki permukaan tanah lebih rendah. Diantaranya di Talpat (kaki bukit), Kelor, Popongan, Bama, Mesigit (daerah pantai), Teluk Air Tawar (ujung pantai) dan Tanjung Sedano (daerah laut) (Balai Taman Nasional,1995) Geologi dan Tanah Kawasan Taman Nasional Baluran didominasi oleh batuan vulkanik tua dan batuan alluvium. Batuan vulkanik tua hampir mendominir seluruh kawasan, sedangkan batuan alluvium terletak di sepanjang pantai yang meliputi daerah Pandean, Tanjung Sedano, Tanjung Sumber Batok dan Tanjung Lumut (Balai Taman Nasional,1995). Jenis tanah yang ada di kawasan Taman Nasional Baluran diantaranya Mediteran Merah Kuning dan Grumusol (51,25%), Alluvuium (23%), Latosol (20,23%) serta Andosol (5,52%). Tanah-tanah ini merupakan tanah yang kaya akan mineral, tetapi miskin bahan organik sehingga kondisi tanah mempunyai kesuburan kimiawi yang relatif tinggi dengan kesuburan fisik yang rendah. Hal ini

53 39 karena sebagian besar berpori-pori dan tidak bisa menyimpan air dengan baik (Balai Taman Nasional,1995). Setiap jenis tanah memiliki wilayah penyebaran tersendiri. Daerah perbukitan didominasi jenis tanah Andosol dan Latosol. Daerah yang lebih rendah jenis tanahnya terdiri dari Mediteran Merah Kuning dan Grumusol. Sedangkan daerah yang paling rendah (cekung) didominasi jenis tanah alluvium (Balai Taman Nasional,1995). Tanah alluvium yang menyelimuti setengah dataran rendah (antara lain Bekol), ditumbuhi rumput yang sangat subur sehingga banyak didatangi satwa herbivora. Namun jenis tanah tersebut mempunyai ciri khas berupa mudah longsor dan sangat berlumpur pada musim penghujan. Sedangkan pada musim penghujan permukaan tanah akan pecah-pecah dengan patahan sedalam ± 80 cm dan lebar ± 10 cm (Balai Taman Nasional,1995).

54 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. HABITAT BANTENG Kehidupan banteng sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan yang menopang kebutuhan hidup dan berkembang biaknya. Keperluan hidup banteng meliputi makan, minum, kawin, melahirkan, mengasuh anak, serta tempat berlindung ataupun bersembunyi dari gangguan. Habitat banteng merupakan tempat banteng dapat ditemukan, hidup dan bereproduksi secara alami. Persebaran banteng sebagian besar berada di kawasan bagian timur (Balai Taman Nasional Baluran, 1997). Pada kawasan bagian timur lebih dekat pantai dengan kondisi topografi pada daerah itu relatif datar dan terdapat sejumlah sumber air yang dapat dimanfaatkan oleh banteng (Lampiran 13). Selain itu, kondisi habitat pada kawasan bagian timur sangat beragam, berupa hutan pantai, padang savana, hutan musim dan hutan hijau sepanjang tahun (Gambar 5). Keberagaman habitat ini merupakan suatu bentuk yang ideal untuk mendukung kehidupan banteng (Alikodra, 1983). Pergerakan satwa secara teratur pada wilayah yang sering dikunjungi membentuk wilayah jelajah yang dianggap dapat mensuplai kebutuhan hidupnya. Wilayah jelajah dari pergerakan suatu kelompok banteng pada tahun 2001 tampak pada Gambar 5. Kelompok banteng yang diamati terdiri dari 2 ekor banteng jantan dewasa, 10 ekor banteng betina dewasa dan 1 ekor banteng jantan muda. Pergerakan banteng yang diamati memerlukan waktu 3 hari dengan pola yang tetap. Kelompok banteng lain bergerak dengan pola dan waktu jelajah yang berbeda (Balai Taman Nasional Baluran, 2001). Hasil pengamatan 2001 menunjukkan bahwa pada musim kemarau banteng mendatangi savana pada periode tertentu untuk makan (Balai Taman Nasional Baluran, 2001). Pergerakan banteng di kawasan ini dipengaruhi oleh musim dan habitat (Balai Taman Nasional Baluran, 2001). Pada musim kemarau banteng cenderung mendekati sumber air, sedangkan pada musim penghujan banteng lebih memilih kawasan ternaungi. Banteng melakukan perpindahan untuk memenuhi keperluan hidupnya, mencari makan, minum, berlindung, bermain dan berkembang biak secara optimal.

55 40 Gambar 6. Peta Penyebaran Banteng dan Lokasi Sumber Air di Kawasan Taman Nasional Baluran (1997) 41

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Indonesia mempunyai kekayaan hutan hujan tropik yang melimpah. Sepuluh persen permukaan bumi ditutupi oleh hutan di mana 30%-nya adalah hutan tropika basah. Dua per tiga dari hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi DISUSUN OLEH : DYDIK SETYAWAN E

Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi DISUSUN OLEH : DYDIK SETYAWAN E i PEMODELAN SPASIAL ARAH PENYEBARAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO PROVINSI JAWA TIMUR BULAN OKTOBER TAHUN

Lebih terperinci

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN Ambar Kristiyanto NIM. 10615010011005 http://www.ppt-to-video.com Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu taman nasional tertua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

Suhadi Department of Biology, State University of Malang

Suhadi Department of Biology, State University of Malang Berk. Penel. Hayati: ( ), 00 sebaran tumbuhan bawah pada tumbuhan Acacia nilotica (l) Willd. ex Del. di savana bekol taman nasional baluran Suhadi Department of Biology, State University of Malang ABSTRACT

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 1 BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Telah diketahui

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu PO. BOX. 179 Telp./Fax Palembang

Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu PO. BOX. 179 Telp./Fax Palembang PENDEKATAN MODEL SISTEM DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN POPULASI RUSA (Cervus timorensis Mul. & Schl. 1844) DI TAMAN NASIONAL BALURAN (System Model Approach in Management Policy of Deer (Cervus timorensis

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PENDAHULUAN Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri, dari hari ke hari ancaman terhadap kerusakan lingkungan semakin meningkat. Banyaknya

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam Banyak sekali ulah manusia yang dapat menyebabkan kepunahan terhadap Flora dan Fauna di Indonesia juga di seluruh dunia.tetapi,bukan hanya ulah manusia saja,berikut beberapa penyebab kepunahan flora dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC CURRICULUM VITAE WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC 1 Jabatan Peneliti Peneliti Madya 2 Kepakaran Konservasi Sumberdaya Hutan 3 E-mail wkuswan@yahoo.com 4 Riwayat Pendidikan S1 : Jurusan Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

Konservasi Biodiversitas Indonesia

Konservasi Biodiversitas Indonesia Konservasi Biodiversitas Indonesia Dr. Luchman Hakim Bahan Kuliah PS S2 Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan dan Pembangunan Program Pasca Sarjana Univesitas Brawijaya Posisi Indonesia dalam dunia 1 2 3 4

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan kota pelajar dan kota budaya, selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal sebagai daerah pariwisata ini dibuktikan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan sebagai kawasan strategis karena kawasan penyangga ini memiliki peranan yang sangat besar dalam melindungi dan

Lebih terperinci

Individu adalah satu makhluk hidup, misalnya seekor semut, seekor burung dan sebuah pohon.

Individu adalah satu makhluk hidup, misalnya seekor semut, seekor burung dan sebuah pohon. a.individ u b.popul asi c.komu nitas d.ekosis tem e.bioma Individu adalah satu makhluk hidup, misalnya seekor semut, seekor burung dan sebuah pohon. Populasi adalah kumpulan individu sejenis yang dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan manfaat, antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2 SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI Pertemuan ke 2 Sumber daya habis terpakai yang dapat diperbaharui: memiliki titik kritis Ikan Hutan Tanah http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/148111-

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

Savana Taman Nasional Baluran

Savana Taman Nasional Baluran B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Halaman: 207-212 Savana Taman Nasional Baluran Baluran Nasional Park Savanna M. YUSUF SABARNO Balai Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER Disusun oleh : Nama NIM : Mohammad Farhan Arfiansyah : 13/346668/GE/07490 Hari, tanggal : Rabu, 4 November 2014

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP PLASMA NUTFAH OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP Sejak berakhirnya konvensi biodiversitas di Rio de Jenairo, Brasil, 1992, plasma nutfah atau sumber daya genetik tidak lagi merupakan kekayaan dunia di mana setiap

Lebih terperinci