BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi"

Transkripsi

1 BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Udara Internasional Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah disiapkan oleh suatu Komisi Khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 27 negara yang terdiri dari Negara-negara sekutu, beberapa republic di Amerika Latin dan Negara-negara lainnya. Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939 mengikat sebanyak 29 negara. Selain itu, sebagian besar Negara-negara dibenua Amerika tidak ikut dalam Konvensi tersebut dan membuat sendiri konvensi udara dengan nama Konvensi Pan Amerika, Havana, pada tanggal 20 Februari Namun, Konvensi regional tersebut ternyata tidak mempunyai banyak peminat dan hanya diratifikasi oleh 11 negara di kawasan. 55 Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di smping itu, Negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam Konvensi. Namun, Konvensi tersebut kelihatannya hanya merupakan suatu instrument hukum yang pelaksanaannya terbatas pada hubungan antara Negaranegara yang menang Perang Dunia I, karena keikutsertaan Negara-negara bekas musuh ditundukkan pada syarat-syarat yang cukup ketat. Terhadap Negara-negara

2 bekas musuh, Pasal 42 Konvensi Paris memberikan persyaratan bahwa Negaranegara tersbeut hanya dapat menjadi pihak setelah masuk menjadi anggota pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau paling tidak atas keputusan dari ¾ Negaranegara pihak pada Konvensi. Pada tahun 1929, setelah direvisi dengan Protokol 15 Juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris 1919 betul-betul menjadi Konvensi yang bersifat umum karena sejak mulai berlakunya Protokol tersebut tahun 1933, 53 negara telah menjadi pihak. Konvensi 1919 dengan jelas menerima prinsip kedaulatan nasional. Pasal 1 Konvensi menegaskan kedaulatan penuh dan ekslusif Negara-negara peserta terhadap ruang udara diatas wilayahnya. Jadi prinsip utama Konvensi adalah ruang udara mengikuti status yuridik dari bumi yang berada dibawahnya. Ruang udara tunduk pada kedaulatan Negara-negara dimana saja udara tersebut membawahi daratan dan laut wilayah, tetapi sebaliknya udara itu bebas bila membawahi laut lepas. Namun, terhadap prinsip yang ketat ini, Konvensi memberikan serangkaian keringanan yang dirasa perlu dan kalau keringanan ini tidak ada maka tidak mungkin untuk melaksanakan lalu lintas udara. 56 Keringanan tersebut adalah kebebasan lintas sesuai Pasal 2 Konvensi. Tiap-tiap Negara pada Konvensi berjanji, dimasa damai untuk mengizinkan hak lintas damai pesawatpesawat udara Negara-negara pihak lainnya diatas wilayahnya sesuai syarat-syarat yang dimuat dalam Konvensi. Selanjutnya, hak lintas terbang ini dapat dibatasi oleh Negara dibawahnya atas alas an militer atau kepentingan keamanan public. 55 Boer Mauna., Op.Cit., hal Ibid, hal 424

3 Sehubungan dengan itu, Pasal 3 Konvensi mengizinkan kepada setiap Negara pihak untuk melarang penerbangan di zona-zona tertentu dari wilayahnya terhadap pesawat-pesawat asing ataupun nasional. Penjelasan ini kiranya merupakan jaminan yang perlu bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan. Bersamaan dengan kebebasan lintas, persamaan perlakuan juga dijamin terhadap semua diskriminasi yang didasarkan atass motif politik seperti kebangsaan dari pesawat (Pasal 2 ayat 2 Konvensi). Konvensi 1919 hanya berlaku diwaktu damai (Pasal 2 dan 38), sementara pada waktu perang, Konvensi membatasi diri dengan hanya menyatakan kebebasan bertindak bagi Negara-negara yang berperang dengan memperhitungkan hak dari Negara-negara netral. Selanjutnya, Konvensi membentuk suatu organ permanen untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya, yaitu Komisi Internasional Navigasi Udara yang berada dibawah kekuasaan Liga Bangsa- Bangsa. 57 Tiap-tiap pesawat udara untuk dapat diizinkan melakukan penerbangan internasional harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Penentuan kebangsaan ini mempunyai kepentingan rangkap: 1. Kepentingan dari segi tanggung jawab, yaitu Negara yang mempunyai pengawasan terhadap pesawat udara dapat memberikan dokumen-dokumen teknik yang diperlukan seperti sertifikat penerbangan, brevet kecakapan dll. 57 Ibid

4 2. Kepentingan perlindungan, yaitu suatu pesawat udara dapat menyatakan diri berasal dari suatu negara tertentu dan sewaktu-waktu dapat meminta bantuan kepada perwakilan diplomatiknya diluar negeri. 58 Menurut Konvensi, sistem kebangsaan pesawat udara adalah bahwa semua pesawat udara harus mempunyai satu kebangsaan. Pelaksanaan prinsip ini berdasar pada dua ketentuan: (1) Kebangsaan suatu pesawat udara ditentukan oleh pendafarannya disatu Negara tertentu. (2) Suatu Negara hanya dapat menerima pendaftaran dari suatu pesawat udara yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negaranya. Jadi, kebangsaan suatu pesawat udara akan ditentukan oleh kewarganegaraan pemiliknya. Dalam hal ini Konvensi menolak criteria Anglo- Saxon tentang domisili yang juga ditinggalkan oleh Inggris tahun 1918 sebagai akibat pengalaman perang. Dapat disimpulkan bahwa sistem ini sesuai dengan logika Konvensi yang didasarkan atas prinsip kedaulatan Negara yang menyelenggarakan lalu lintas udara internasional atas dasar konvensional yang pada hakekatnya besifat restriktif. Apabila konvensi ini diteruskan sebagaimana adanya maka diperkirakan tidak akan bertahan lama. Sejak semula, Konvensi ini menimbulkan kritik pedas dari Negara-negara Eropa yang netral selama Perang Dunia I seperti Switzerland dan Belanda yang ikut serta dalam Konvensi tidak mau melarang penerbangan pesawat-pesawat bekas musuh seperti Jerman diatas wilayahnya. Dengan 58 Ibid., hal 425

5 demikian, perubahan-perubahan terhadap Konvensi akhirnya tidak dapat dihindarkan. Perubahan tersebut berlangsung dalam tiga tahap, mulai dengan Protokol Tambahan tanggal 1 Mei 1920, kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, dan berakhir dengan diterimanya Protokol 15 Juni Revisi Konvensi 1919 tidak dapat dihindarkan disaat munculnya persoalan keanggotaan, Jerman mengajukan perubahan mendalam terhadap ketentuan-ketentuan yanga ada. Perubahan tersebut dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara dalam Sidangnya di Paris tanggal Juni Rezim baru tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Negara-negara bukan pihak pada Konvensi 1919 dapat diterima tanpa syarat apakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam Perang Dunia I. (2) Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan khusus dengan Negara-negara yang bukan merupakan pihak pada Konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Konvensi. 59 (3) Protokol 1929 meletakkan prinsip kesamaan yang absolute bagi semua Negara dalam Komisi Internasional. Masing-masing Negara pihak tidak boleh mempunyai lebih dari dua wakil dalam Komisi dan hanya memiliki satu suara. Dengan demikian dihapuskanlah ketentuan-ketentuan khusus Pasal 34 mengenai komposisi mayoritas yang memberikan hak-hak 59 Ibid., hal 426

6 istimewa yang kurang dapat dibenarkan kepada Negara-negara sekutu. Protokol tahun 1929 tersebut akhirnya ditandatangani oleh 53 negara dan mulai berlaku tanggal 17 Mei Sebelum meletusnya Perang Dunia II sebagaimana diketahui status yuridik navigasi udara diatur oleh Konvensi Paris 13 Oktober 1919 yang kemudian direvisi oleh Protokol 15 Juni Namun sistem yang terdapat dalam Konvensi tersebut tidak berjalan lancar. Kebebasan navigasi udara kenyataannya bukan merupakan pengakuan atas suatu rezim yang objektif akan tetapi sebagai hasil suatu konsesi konvensional yang diberikan atas dasar resipositas semata kepada Negara-negara penandatangan Konvensi. Disamping itu, kemajuan yang mengagumkan dari lalu lintas udara sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyebrangan Samudera Atlantik Utara tanpa berhenti oleh Linberg pada tahun 1927, dan bahkan jauh sebelum Perang Dunia II telah mengharuskan diadakannya revisi baru terhadap Konvensi Paris Walaupun peperangan telah memperlambat upaya untuk mengadakan revisi tersebut, beberapa Negara yang berkepentingan tidak menunggu berakhirnya perang untuk memulai kegiatannya. Menjawab undangan Amerika Serikat, 53 negara tanpa Uni Soviet, ikut menghadiri suatu konferensi internasional di Chicago yang diselenggarakan dari tanggal 1 November sampai 7 Desember tahun Konferensi Chicago membahas tiga konsep yang saling berbeda yaitu: (1) Konsep internasionalisasi yang disarankan Australia dan Selandia Baru.

7 (2) Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau fee enterprise. (3) Konsep intermedier Inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dann menarik akhirnya konsep Inggris diterima oleh Konferensi. Pada akhir Konferensi, Sidang menerima tiga instrument yaitu: 1. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional 2. Persetujuan mengenai Transit Jasa-Jasa Udara Internasional 3. Persetujuan Mengenai Alat Angkutan Udara Internasional Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun Konvensi ini membatalkan Konvensi Paris 1919 demikian juga Konvensi Inter Amerika Havana Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka B. Prinsip-Prinsip Hukum Udara Internasional Prinsip-prinsip hukum udara internasional tertuang dalam konvensi hukum udara internasional yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Konvensikonvensi tersebut muncul dari konferensi internasional yang dilakukan negaranegara didunia yang menganggap perlu adanya aturan-aturan yang mengatur tentang ruang udara (space).

8 Prinsip konvensi Paris 1919 yaitu : 1. Setiap negara mempunyai kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada diatasnya 2. Berisikan hak lintas damai 3. Larangan terbang melintasi daerah/area tertentu. Dengan alasan tidak boleh lain dari alasan pertahanan militer atau keselamatan rakyat-rakyat. 4. Membangun kerjasama di antara negara-negara untuk mengamankan penerbangan dan navigasi internasional 5. Mengatur aturan penerbangan, ber-schedule 6. Mengatur aturan penerbangan, un-schedule 60 Adapun prinsip-prinsip hukum udara internasional adalah sebagai berikut : a. Prinsip kedaulatan wilayah udara Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluasluasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memerhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya. Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara, bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun ke luar, mengatur hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain, membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksanaanya, mengatur politik luar negeri maupun dalam negeri, negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara asing yang ada di wilayahnya, walaupun tidak

9 mempunyai kewarganegaraan (stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan sosial lainnya. Menurut Konvensi Montevedeo Tahun 1933, negara berdaulat memenuhi unsur-unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat mengadakan hubungan internaional, mempunyai wilayah darat, laut, maupun udara, walaupun persyaratan wilayah tidak merupakan persyaratan mutlak untuk negara berdaulat. Negara berdaulat melaksanakan prinsip yuridiksi teritorial (territorial jurisdiction principle) disamping prinsip-prinsip yuridiksi lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, laut maupun udara, namun demikian bukan berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab dapat ditemukan diberbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan di udara seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1994, Konvensi Hanava 1928, Konvensi Jenewa 1958, Konvensi PBB 1982 (UNCLOS), Konvensi Wina 1961 dan lain-lain. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1, yang merupakan pasal utama yang berbunyi Para pengagung anggota konvensi mengakui bahwa setiap penguasa mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Pasal ini sebenarnya telah terbentuk berdasarkan hukum kebiasaan internasional yang terjadi sejak Inggris melakukan tindakan sepihak (unilateral action) dalam The Aerial Navigation Act of 1911 yang diikuti oleh 60

10 negara-negara di Eropa lainnya sampai berakhirnya perang dunia pertama The Aerial Navigation Act of 1911 berisikan bahwa Inggris mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya (Complete and exclusive sovereignty). Berdasarkan tersebut Inggris mempunyai hak se The Aerial Navigation Act of 1911 cara mutlak mengawasi semua bentuk penerbangan pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer. b. Prinsip yurisdiksi ruang udara Yuridiksi ruang udara diatur dalam Bab II Pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo Menurut Pasal 3 ayat (1) Konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun pidana kejahatan di dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat udara. Berdasarkan ketentuan tersebut ternyata bahwa Konvensi Tokyo 1963 telah sepakat adanya unifikasi yuridiksi. Menurut konvensi tersebut disepakati yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat udara. Unifikasi demikian sangat penting sekali untuk mencegah terjadinya conflict of jurisdiction, karena transportasi udara mempunyai karakteristik internasional yang tidak mengenal batas kedaulatan suatu negara, sekali terbang dapat melewati berbagai negara, sementara itu di dalam pesawat udara dapat menimbulkan persaingan yuridiksi (conflict of jurisdiction). Sebagai ilustrasi adanya persaingan yuridiksi dalam transportasi udara dapat digambarkan penerbangan Garuda Indonesia di atas Swiss, dalam pesawat udara tersebut terjadi perkelahian antara penumpang warga negara Swedia dengan diakses tanggal 17 Juni 2017.

11 penumpang warga negara Norwegia. Penumpang warga negara Swedia membunuh penumpang warga negara Norwegia, sementara pesawat udara Garuda Indonesia tetap terbang di atas Swiss, Prancis, Spanyol, dan mendarat di Lisboa, Portugal. Dalam peristiwa perkelahian antara penumpang warga negara Norwegia tersebut menimbulkan conflict of jurisdiction yaitu Indonesia menuntut yuridiksi berdasarkan territorial jurisdiction principle, Swedia menuntut yuridiksi berdasarkan active national jurisdiction principle, Norwegia menuntut yuridiksi berdasarkan passive national jurisdiction principle, sedangkan Swiss, Prancis, Spanyol, dan Portugal menuntut berdasarkan territorial jurisdiction principle. Dari kasus tindak pidana dalam pesawat udara tersebut terdapat tujuh negara yang menuntut yuridiksi. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan di dalam pesawat udara tersebut adalah Indonesia sebagai negara pendaftaran pesawat udara. Sebenarnya yang paling berhak mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana perkelahian tersebut adalah Swiss, Prancis, dan Spanyol berdasarkan territorial jurisdiction principle, tetapi sangat sulit untuk mengetahui dengan tepat dimana perkelahian tersebut terjadi, sebab pesawat udara terbang terus-menerus tanpa memerhatikan kedaulatan suatu negara. c. Prinsip tanggung jawab Hukum udara terdapat beberapa sistem dan prinsip mengenai tanggung jawab, yaitu sistem warsawa, system Roma dan system Guatemala. 61 Sistem Warsawa mempergunakan prinsip presumption of liability dan prinsip pada 61 K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa, Bandung: Alumni, 1987, hal. 67

12 limitation of liability untuk kerugian pada penumpang, barang dan bagasi tercatat, sedangkan untuk kerugian pada bagasi tangan di pergunakan prinsip presumption of non-liability dan prinsip limitation of liability. Prinsip-prinsip ini dipergunakan pula dalam ordonansi pengangkutan udara. Sistem Roma mempergunakan prinsip absolute liability dan prinsip limitation of liability, sedangkan dalam system Guatemala dipergunakan prinsip Absolute liability dan prinsip limitation of liability untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang dan bagasinya, tanpa membedakan antara bagasi tercatat dan bagasi tangan, bagi barang dipergunakan prinsip presumption of liability dan prinsip Limitation of liability, sedangkan untuk kerugian karena keterlambatan dipergunakan prinsip prinsip- prinsip yang sama dengan untuk barang. Pada liability Convention tahun 1972 dipergunakan prinsip absolute liability apabila kerugian ditimbulkan di permukaan bumi dan prinsip Liability based on fault apabila kerugian di timbulkan benda angkasa atau orang didalamnya, yang diluncurkan oleh suatu negara lain 62. C. Pengaturan Hukum Wilayah Udara Dalam Hukum Internasional Dalam konteks masyarakat internasional terdapat pengakuan bahwa setiap negara mempunyai hak eksklusif dalam batas wilayah negaranya tanpa ada keterikatan atau pembatasan dari hukum internasional. Di dalam Hukum udara internasional pelanggaran batas wilayah kedaulatan di ruang udara diatur dalam Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago Ibid

13 1. Konvensi Paris 1919 Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka. 64 Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5: Konvensi Paris no contracting State shall, except by a special and temporary authorization, permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the nationality of a contracting State. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas.pembatasan tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota Konvensi. 65 Konvensi Paris 13 Oktober 1919 merupakan konvensi internasional yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di Paris yang diikuti oleh 27 negara yang terdiri dari negara-negara sekutu, dan Amerika Latin. Konvensi ini mulai 63 Anggraini Wibowo. Op.Cit, hal 7 64 Pasal 1 Konvensi Paris 1919: The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its territory 65 Frans Likada, Masalah Lintas di Ruang Udara, Binacipta, Bandung, 1987, hal. 8

14 berlaku pada tanggal 11 Juli 1922 dan merupakan konvensi pertama mengenai pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. 66 Dasar hukum udara bersumber dari Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944 dan hukum nasional untuk penanganan pelanggaran kedaulatan udara diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 dan diganti dengan UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam ruang udara di atas laut kepulauan, negara asing mempunyai hak untuk melintas terbang bagi pesawat udaranya sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan Konvensi PBB Hukum Laut 1982 Pasal 53 ayat 9. Pemerintah Indonesia boleh saja tidak menentukan ALKI tetapi konsekuensinya, semua kapal internasional diperbolehkan melewati jalur-jalur navigasi yang sudah normal digunakan dalam pelayaran dunia (UNCLOS 1982 Pasal 53 ayat 12). Konvensi Paris ini dijalankan hanya dengan negara-negara yang menang Perang Dunia I dan negara yang merupakan bekas musuh hanya dapat menjadi negara pihak, itupun setelah terdaftar menjadi keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau atas keputusan 3 atau 4 negara anggota pada konvensi. Namun, pada tahun 1929 setelah direvisi dengan Protokol 15 Juli 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris benar-benar menjadi konvensi yang bersifat umum karena sejak berlakunya Protokol tersebut tahun 1933, terdapat 53 negara telah menjadi pihak. a. Rejim Udara menurut Pasal 1 Konvensi Paris 1919, kedaulatan penuh dan ekslusif negara-negara anggota terhadap ruang udara di atas wilayahnya. 66 Pasal 1 Konvensi Paris Loc.Cit

15 Kedaulatan ini terbatas oleh batas-batas wilayah negara tersebut, yaitu di mana suatu negara mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayah negaranya saja dan kedaulatan ini tidak berlaku di wilayah luar negara tersebut. Sehingga, suatu negara hanya dapat melaksanakan kedaulatannya secara penuh hanya dalam wilayahnya. Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu yang terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas permukaan tanah tersebut, laut dan udara. Selain itu, pada Pasal 2 Konvensi Paris 1919 setiap negara memperbolehkan untuk memutuskan hak lintas pesawat udara negara lain melintas di atas wilayahnya sesuai syarat-syarat yang dimuat dalam konvensi dan setiap negara boleh membatasi perlintasan di atas wilayahnya dengan alasan militer atau kepentingan keamanan publik. Dan pada Pasal 3 Konvensi Paris 1919 mengizinkan pada setiap negara untuk melarang penerbangan pesawat-pesawat asing ataupun nasional di zona-zona tertentu di wilayahnya. Konvensi Paris 1919 juga membentuk Komisi Internasional yaitu suatu organisasi untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi. b. Rezim Pesawat Udara Menurut konvensi Paris 1919, sistem setiap pesawat udara agar mendapatkan izin penerbangan harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Sistem ini sesuai dengan logika konvensi yang didasarkan atas prinsip kedaulatan negara yang menyelenggarakan lalu lintas udara internasional atas dasar konvensional.

16 Pada masa perkembangannya, Konvensi Paris 1919 banyak terjadi perubahan terhadap konvensi ini, dimulai dengan Protokol Tambahan tanggal 1 Mei 1920, kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, dan berakhir dengan Protokol 15 Juni Selain itu, Jerman juga mengajukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada yang dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal Juni Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di samping itu Negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatankesepakatan bilateral di antara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi. Namun, konvensi tersebut kelihatannya hanya merupakan suatu instrument hukum yang pelaksanaannya terbatas pada hubungan antara Negara-negara yang menang Perang Dunia I, karena keikutsertaan Negaranegara bekas musuh ditundukkan pada syarat-syarat yang cukup ketat. Terhadap Negara-negara bekas musuh, Pasal 42 Konvensi Paris 1919 memberikan persyaratan bahwa Negara-negara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi anggota pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB), atau paling tidak atas keputusan dari ¾ Negara-negara pihak pada konvensi. Pada tahun 1929, setelah direvisi dengan Protocol 15 Juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris 1919 betul-betul menjadi 67 Jey Ghafez, Hukum Udara, dalam diakses 15 Juni 2017.

17 konvensi yang bersifat umum, karena sejak mulai berlakunya Protocol tersebut tahun 1933, terdapat 53 negara yang telah resmi menjadi anggota Konvensi Chicago 1944 Berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai negara, baik negara-negara sekutunya maupun Negaranegara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuanketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris. Konvensi Chicago 1944 merupakan hasil kesepakatan negara-negara anggota masyarakat internasional. Sekalipun demikian, Konvensi Chicago 1944 masih menyisakan persoalan tertentu yaitu tidak adanya kesepakatan secara multilateral berkaitan dengan materi kebebasan di udara yang bisa dipertukarkan secara menyeluruh. Negara melalui perusahaan penerbangan nasional bisa melakukan kebebasan di udara menuju atau melewati negara lain harus didahului oleh adanya bilateral agreement antar negara berdasarkan prinsip resiprositas. Berkait dengan kebebasan penerbangan, Konvensi Chicago 1944 baru berhasil merumuskan macam-macam kebebasan yang bisa dipertukarkan antar negara, sebagaimana di atur dalam International Air Services Transit Agreement (kedua lintas penerbangan yang demikian sering disebut sebagai Transit rights), dan 68 Kean Arnold, Eassays in Air Law, Martinus Nijhoff Publisher, 2002, hal., 367

18 International Air Transport Agreement, yang berhasil membuat kesepakatan atas lima kebebasan penerbangan (The Five Freedoms of The Air). Dalam pelaksanaannya ketentuan dalam International Air Services Transit Agreementdan International Air Transport Agreement harus diperjanjikan secara bilateral, melalui bilateral agreement antar pemerintah. 69 Konvensi Chicago merupakan konvensi yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional. Konvensi ini merupakan revisi dari konvensi Paris 1919, karena disebutkan kebebasan navigasi udara dalam Konvensi Paris merupakan hasil konvensi internasional yang diberikan kepada negara-negara penandatanganan konvensi. Konvensi Chicago ini diadakan di Chicago atas undangan Amerika Serikat dan dihadiri oleh 53 negara (tanpa Uni Soviet) pada tanggal 1 November-7 Desember Konvensi ini mulai berlaku tanggal 7 April Pada pasal 9 konvensi Chicago 1944 mengatur tentang area terlarang, yang merupakan modifikasi dari Konvensi Paris. 70 Konvensi Chicago merupakan sumber hukum dalam hal penerbangan internasional, konvensi ini ditandatangani di Kota Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 yang terdiri dari 96 Artikel. a. Bab 1 mengatur tentang prinsip-prinsip umum dan penerapan konvensi b. Bab 2 mengatur tentang hak melintas (flight over territory) c. Bab 3 mengatur tentang kebangsaan pesawat (nationality of aircraft) d. Bab 4 mengatur tentang fasilitas navigasi udara e. Bab 5 dan 6 mengatur tentang standar internasional 69 Harry Purwanto. Prinsip Cabotage Dalam Kegiatan Penerbangan Di Indonesia. Naskah Publikasi. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2014, hal 7

19 f. Bab 7 sampai 13 mengatur tentang struktur organisasi ICAO g. Bab 14 tentang transportasi udara internasional (meliputi bandara dan fasilitas navigasi udara) Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menegaskan the contracting parties recognize that every sovereign state has complete and exclusive sovereignity over the airspace above its territory. Konsekuensi prinsip kedaulatan di udara tersebut adalah tidak ada pesawat udara yang terbang di atau ke atau melalui ruang udara nasional negara anggota tanpa memperoleh izin terlebih dahulu, berapa pun tinggi atau rendahnya pesawat udara melakukan penerbangan. Di samping itu, berdasarkan prinsip kedaulatan di udara tersebut, pesawat udara asing bersama dengan awak pesawat udara, penumpangnya tetap harus mematuhi hukum dan regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan. Lingkup yuridiksi teritorial suatu negara berdasarkan Konvensi Chicago 1944 adalah batas ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah pusat bumi, sepanjang dapat dieksploitasi. Secara hukum internasional (khususnya hukum udara) dan berlandaskan kepada doktrin kedaulatan, setiap negara berhak mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan keamanan negaranya, keamanan penerbangan bagi setiap penerbangan udara di wilayahnya (Pasal 12 Konvensi Chicago 1944), karena memberi izin kepada pesawat udara asing di wilayah udara nasional membawa akibat beban dan kewajiban kepada si pemberi izin agar yang memberi formalitas tadi dapat menikmatinya secara nyaman Jey Ghafez, Hukum Udara,Loc.Cit 71 Agus Pramono, Op. Cit., hal. 13

20 Berdasarkan preamble Konvensi Chicago 1944 lahirnya konvensi ini didasarkan pada semangat untuk melestarikan hubungan persahabatan antar negara dalam pengelolaan penerbangan sipil dan ruang udara dan menghindari terjadinya konflik antar negara yang merusak perdamaian dunia. Di samping itu konvensi ini lahir didasarkan adanya potensi ekonomi yang dimiliki negara-negara pada wilayah udara. 72 Sejalan dengan pertimbangan lahirnya di atas maka konvensi didasarkan didasarkan pada prinsip kedaulatan negara penuh dan eksklusif atas ruang udara (complete and exclusive), selengkapnya Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 berbunyi the contracting States recognize that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. Menurut E. Saefullah Wiradipradja, prinsip kedaulatan negara merupakan prinsip hukum yang bersifat universal yang diterima semua negara dan diakui juga dalam berbagai perjanjian internsaional baik yang dibentuk sebelum Konvensi Chicago (Konvensi Paris 1999 dan Kovensi Havana 1928) maupun yang konvensi yang lahir kemudian yang bersifat bilateral D. Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya: suatu kumpulan karangan, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, Depok, 2004, hal, E.Seafullah Wiradipradja, Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Alumni, Bsndung, 2014, hal 100

21 BAB IV PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGAWASAN WILAYAH DIRGANTARA INDONESIA TERHADAP LALU LINTAS PESAWAT UDARA ASING DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL A. Kedirgantaraan dan Konsepsi Kedaulatan Suatu Negara di Udara Ditinjau Dari Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Internasional Pembangunan kedirgantaraan pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ruang udara sebagai wilayah kedaulatan dan ruang antariksa sebagai wilayah kepentingan untuk didayagunakan bagi kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, hakikat tersebut mengandung pengertian sebagai modal perjuangan bangsa untuk mewujudkan tujuan dan citacita nasional yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila; sebagai wilayah dan sumber daya yang perlu diarahkan untuk kemakmuran dan keamanan rakyat banyak; sebagai dasar untuk ikut berperan serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; sebagai landasan untuk mewujudkan satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya, dan satu kesatuan pertahanan keamanan; dan sebagai modal untuk menjamin agar pemanfaatan ruang dirgantara hanya untuk maksud damai dan untuk kepentingan umat manusia yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan/ konvensi internasional. Kedaulatan suatu negara merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam batas batas wilayah negara itu sendiri, baik wilayah darat, laut maupun udara. Namun demikian kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak-hak negara lain untuk melintas diwilayah ruang udara sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944

22 dan perjanjian perjanjian lain. 74 Dalam hukum Romawi, ada suatu adagium yang menyebutkan, bahwa Cojus est solum, ejus est usque ad cuelum, artinya: barang siapa ynag memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segalagalanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang ada di dalam tanah. Besarnya kedaulatan negara atas ruang udara juga dibuktikan dengan keberadaan Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa setiap negara (sebagai wujud dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan terlarang untuk penerbangan baik karena alasan kebutuhan militer maupun keselamatan publik. Implementasi dari kewenangan yang diberikan Pasal 9 ini diterapkan oleh Uni Eropa Juli 2007 dengan melarang perusahaan penerbangan Indonesia untuk terbang ke Eropa dan melarang warga UE untuk terbang dengan menggunakan pesawat dari perusahaan penerbangan Indonesia karena banyaknya kasus kecelakaan pesawat udara yang melibatkan pesawat Indonesia di tahun itu. 75 Indonesia telah menjadi negara pihak pada Konvensi Chicago sejak tahun Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Konvensi ini pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara atas wilayah ruang udaranya. Akan tetapi, menyadari risiko yang besar di transportasi udara dan untuk kepentingan bersama masyarakat internasional, dalam beberapa hal konvensi membatasi kebebasan negara dalam mengatur lalu lintas transportasi udara. Negara harus patuh pada jalur-jalur penerbangan yang diatur dalam Enroute Charts ICAO serta 74 tanggal 15 Juni 2017

23 siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR). Penetapan FIR oleh ICAO berdasarkan pertimbangan beberapa faktor antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara tidaklah sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara semata. 76 Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa tidak semua wilayah kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya sekitar Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura. Penerbangan dari Batam ke Matak harus memutar lewat Toman terlebih dahulu karena adanya wilayah larangan yang sebagian besar ditetapkan oleh Malaysia meskipun sebagian wilayah larangan itu masuk ke wilayah territorial Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut sejak tahun 1946 telah masuk dalam FIR Singapura sehingga memang Singapura-lah yang harus memperingatkan jika ada pesawat yang keluar dari jalur penerbangan yang sudah dibuat dan disepakati secara internasional. Hal ini sering dikeluhkan pilot Indonesia yang merasa tidak nyaman mendapat peringatan dari otoritas Singapura padahal menurut mereka, mereka terbang di atas udara negaranya sendiri. Sebaliknya berdasarkan regulasi ICAO, FIR Makassar mengontrol lalu lintas udara Papua New Guinea dan Timor Leste dan FIR Jakarta mengatur Christmas Island (Australia). Artinya pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas harus melapor ke Indonesia lebih dahulu. Demikian 75. Sefriani., Op.Cit, hal Ibid

24 pula Royal Brunei pada saat melintasi negaranya harus meminta izin ke Malaysia. Masih banyak contoh lain bahwa FIR atas ruang udara negara tertentu ada di bawah kontrol negara lain. 77 Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignty). Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara. 78 Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah : 79 a. Prinsip territorial, yaitu prinsip yang lahir dari pendapat bahwa sebuah negara memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda dan kejadiankejadian di dalam wilayahnya sehingga dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum (kecuali dalam hal adanya kekebalan yurisdiksi seperti yang berlakukepada para diplomat asing). b. Prinsip nasional disebut juga hubungan fundamental antara individu dengan negaranya. c. Asas Personalitas Pasif, yaitu prinsip yang memberikan hak pelaksanaan yurisdiksi kepada sebuah negara untuk menghukum kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, oleh pelaku dari warga negara asing, yang korbannya adalah warga negara dari negara tersebut. hal Ibid 78 Yasidi Hambali, Hukum dan Politik Kedirgantaraan, Pradnya Paramita, Jakarta,1994,

25 d. Asas Protektif atau biasa juga disebut sebagai yurisdiksi yang timbul berdasarkan adanya kepentingan keamanan sebuah negara. e. Asas Universal, ini berbeda dengan prinsip-prinsip sebagaimana dibahas di atas, di sini harus ada hubungan antara kejahatan yang dilakukan dengan negara pelaksana yurisdiksi, namun prinsip universal tidak membutuhkan hubungan seperti itu. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 tidak mengatur secara tegas wilayah kedaulatan negara. Hal ini diatur dalam Pasal 2 konvensi yang sama. Yang dimaksud dengan "wilayah" menurut Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 adalah wilayah darat dan perairan, laut teritorial yang terlekat padanya berada dibawah kedaulatan, perlindungan atau perwalian (trusteeship). Pengertian wilayah kedaulatan tersebut di atas, kecuali perjanjian angkutan udara timbal balik dengan Czechoslovakia dan Jepang, selalu dicantumkan dalam perjanj1an angkutan udara timbal balik yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia. 80 Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Chicago 1944 juga bdak secara tegas mengatur kedaulatan udara diatas laut teritorial. Dalam hal demikian untuk menentukan kedaulatan udara diatas laut terltcna! mengikuti ketentuan hukum laut rnternasional sebagaimana dicantumkan dalam Konvensi Jenewa 1958 atau Pasal 2 ayat 2 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang berbunyi The Sovereignty extends to the airspace over the teritory as well as to its bed and subsoil (Kedaulatan suatu wilayah udara di atas wilayah dan lapisan tanahnya). Menurut Pasal 3 Konvensi PBB tentang Hukum Laut kedaulatan diatas laut 79 yurisdiksi.pdf, didownload pada tanggal 12 Juni 2017

26 teritorial termasuk Indonesia, mempunyai kedaulatan alas ruang duara di atas laut teritorial selebar 12 mil laut diukurdari garis pangkal (base lines). B. Pengaturan Hukum Tentang Pengawasan Wilayah Dirgantara Indonesia Terhadap Lalu Lintas Pesawat Udara Asing Ditinjau Dari Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Internasional Wilayah udara mempunyai nilai strategis yang harus diamankan. Melalui wilayah udara, musuh dapat dengan mudah melakukan penghancuran dengan cepat dan tepat di seluruh wilayah yang merupakan wilayah kedaulatan suatu negara. Untuk menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional, TNI Angkatan Udara saat ini didukung oleh 24 radar militer yang mencakup sebagian besar wilayah udara Indonesia. TNI Angkatan Udara juga memiliki total delapan skuadron tempur yang tersebar di berbagai kawasan Indonesia. Akan tetapi, TNI Angkatan Udara belum mencapai kondisi ideal untuk mampu meliputi seluruh wilayah Indonesia dan menindak semua potensi pelanggaran di wilayah udara Indonesia, terutama kawasan timur. Kemampuan yang dimiliki TNI Angkatan Udara saat ini tidak sebanding dengan wilayah udara Indonesia yang sangat luas sehingga hanya sebagian potensi pelanggaran wilayah udara yang dapat dideteksi dan ditindak. 81 Pengaturan kedaulatan indonesia atas ruang udara beserta penegakan hukumnya perlu dilakukan kajian terhadap beberapa peraturan terkait seperti Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 1 angka 1, Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional 80 Agus Pramono. Op.Cit., hal Rizki Roza. Pengawasan Wilayah Udara Indonesia. Jurnal Vol. VI, No. 22/II/P3DI/November/2014., hal 5

27 Indonesia Pasal 1 angka 5, Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 10 ayat 1 huruf h, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1 angka Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara. Ini dinyatakan dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan sipil internasional yang bunyinya sebagai berikut: The contracting States recognize that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory (setiap negara yang terikat pada konvensi menjamin kedaulatan ruang udara yang ada di atas wilayahnya secara penuh dan ekslusif) Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh dari negara di ruang udara nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat kedaulatan negara di laut wilayahnya. Karena sifatnya yang demikian maka di ruang udara nasional tidak dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat di laut teritorial suatu negara. 83 Pelanggaran wilayah udara adalah suatu keadaan dimana pesawat terbang suatu negara sipil atau militer memasuki wilayah udara negara lain tanpa izin sebelumnya dari negara yang dimasukinya. Hal ini berarti pada dasarnya wilayah udara suatu negara adalah tertutup bagi pesawat-pesawat negara lain. Penggunaan dan kontrol atas wilayah udaranya tersebut hanya menjadi hak yang utuh dan 82 Sefriani. Pelanggaran Ruang Udara oleh Pesawat Asing Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 22 Oktober 2015: , hal Josua P Hutabarat. Implikasi Penggunaan Teknologi Pesawat Siluman (Stealth Fighter) Dalam Kaitannya Dengan Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara Wilayahnya Ditinjau Menurut Hukum Internasional, Artikel, 2013, hal 7.

28 penuh dari negara kolongnya. Hingga kini belum ada perjanjian internasional yang secara jelas menetapkan jarak ketinggian kedaulatan masingmasing negara terhadap ruang udara/angkasa di atas wilayahnya. Pada umumnya hanya disebutkan: berdaulat penuh atas ruang udara dan angkasa di atas wilayah teritorialnya atau seperti Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang berbunyi: every high contracting parties has a full and exclusive sovereignty... (Setiap wilayah memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif), dan Pasal 1 Konvensi Chicago yang mencantumkan:... full and complete sovereignty on the air space over its territory..., (kedaulatan penuh dan lengkap pada ruang udara di atas wilayahnya). Mengadopsi dari Konvensi Chicago 1944, Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Wilayah Udara Indonesia adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Meskipun tidak sama persis dengan apa yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944, namun istilahistilah yang digunakan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Indonesia pada hakekatnya merujuk pada apa yang sudah ditetapkan oleh Konvensi Chicago Beberapa istilah yang digunakan Undang-undang

29 penerbangan Indonesia ini antara lain adalah pesawat udara sipil asing; pesawat udara sipil, pesawat udara Indonesia dan pesawat udara negara. Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa pesawat negara tidak diperbolehkan terbang di atas atau mendarat di wilayah territorial negara lain tanpa otorisasi berdasarkan perjanjian khusus atau sejenisnya dari negara kolong. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Indonesia tidak menggunakan istilah pelanggaran kedaulatan bagi pesawat asing yang masuk ke wilayah ruang udara Indonesia tanpa izin. Istilah yang digunakan adalah pelanggaran wilayah kedaulatan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga tidak merinci siapa yang dapat melakukan pelanggaran wilayah kedaulatan Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 8 angka 1 hanya menyebutkan Pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh petugas pemandu lalu lintas penerbangan. 84 C. Sanksi Bagi Pesawat Udara Asing dalam Melakukan Lintas Udara di Wilayah Kedaulatan Negara Indonesia dalam Hukum Internasional Sebagai negara dengan wilayah udara terluas di ASEAN, tidak dapat dipungkiri pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah bangsa dirgantara. Suatu fakta yang kian tenggelam di tengah kebangkitan sektor maritim. Pesatnya pertumbuhan bisnis penerbangan dunia dan strategisnya letak geografis Indonesia di tengah dua benua berimbas kepada semakin ramainya lalu lintas pada ruang 84 Ibid, hal 557

30 udara Indonesia. 85 Salah satu ancaman nyata terhadap keamanan wilayah udara Indonesia adalah maraknya penerbangan gelap (black flight). Motifnya beragam, mulai dari menghindari biaya operasional; menguji kemampuan radar dan kesiagaan pertahanan nasional; hingga melemahkan Indonesia secara politik dalam kancah internasional. Pesawat yang tersesat (aircraft in distress) juga dikategorikan sebagai ancaman, tepatnya terhadap keselamatan penerbangan. Masuknya pesawat asing ke wilayah udara kita bukan perkara baru. Dalam setahun, puluhan insiden serupa terjadi. Sebagian besar penyusup berhasil dihalau oleh pengelola lalu lintas udara. Hanya sebagian kecil yang mesti disergap dan dipaksa mendarat. 86 Indonesia memiliki prinsip kedaulatan yang utuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah Indonesia. "Artinya, Indonesia memiliki hak penuh untuk menggunakan ruang udaranya bagi nasional guna menjamin terciptanya kondisi wilayah udara yang aman serta bebas dari berbagai ancaman melalui media udara, termasuk ancaman navigasi serta pelanggaran hukum di wilayah udara nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada Pasal 4 menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia yang artinya sebagai negara berdaulat, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah 85 tanggal 17 Juni diakses tanggal 17 Juni 2017

31 udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. 87 Bentuk penegakan kedaulatan atas wilayah ruang udara nasional, antara lain penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan RI, dan pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara nasional maupun asing, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (Prohibited Area) dan kawasan udara bersifat terbatas. Selain itu, terdapat pula pelarangan lain, yaitu perekaman dari udara menggunakan pesawat udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. 88 Dalam rangka menyelenggarakan kedaulatan negara atas wilayah udara nasional, pemerintah mempunyai wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan. Sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) PP No.3 Tahun 2001, disebutkan bahwa untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan Kawasan Udara Terlarang (Prohibited Area), Kawasan Udara Terbatas (Restricted Area) dan Kawasan Udara Berbahaya (Danger Area). Kawasan Udara Terlarang adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan. Kawasan 87 Dita Anggraini Wibowo. Pelanggaran Kedaulatan Di Wilayah Udara Negara Indonesia Oleh Pesawat Sipil Asing. Jurnal Ilmiah. Fakultas Hukum. Universitas Brawijaya, Malang, 2014, hal 9

32 Udara Terbatas adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang melalui ruang udara tersebut. Sedangkan Kawasan Udara Berbahaya adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu terjadi aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat udara. 89 Terhadap pelanggaran wilayah udara Republik Indonesia dan atau kawasan udara terlarang oleh pesawat udara sipil, dilaksanakan penegakan hukum yang harus menjamin keselamatan dan keamanan awak pesawat, penumpang dan pesawat udara. Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara dan atau kawasan udara terlarang sebagaimanan dimaksud di atas, dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia. Berdasarkan Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia, ditetapkan bahwa area yang menjadi area udara terlarang hanya WRP 23 Balikpapan Flare. Pesawat asing yang melanggar wilayah kedaulatan Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana maupun administratif. Sebagai contoh adalah apa yang ditetapkan dalam Pasal 401 bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara 88 tanggal 15 Juli 2017.

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGAWASAN WILAYAH DIRGANTARA INDONESIA TERHADAP LALU LINTAS PESAWAT UDARA ASING DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGAWASAN WILAYAH DIRGANTARA INDONESIA TERHADAP LALU LINTAS PESAWAT UDARA ASING DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGAWASAN WILAYAH DIRGANTARA INDONESIA TERHADAP LALU LINTAS PESAWAT UDARA ASING DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL JURNAL Oleh : MHD. DENNY YUSRIL SRG NIM. 130200408

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM UDARA INTERNASIONAL. Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional

BAB II PENGATURAN HUKUM UDARA INTERNASIONAL. Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional BAB II PENGATURAN HUKUM UDARA INTERNASIONAL A. Sejarah dan Sumber Hukum Udara 1. Sejarah hukum udara Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional Hukum Udara yang pertama diselenggarakan

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH 1 PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : DITA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA. A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Udara di Indonesia

BAB II PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA. A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Udara di Indonesia BAB II PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Udara di Indonesia Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan perbandingan 2:3 antara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri, BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Indonesia adalah the most broken-up nation in the world, satu negeri, satu bangsa yang paling terserak-serak rakyatnya, terhimpun dari 17.499 pulau dan 80.791 km garis

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL D. Sejarah Penerbangan Sipil Internasional 1. Konvensi Paris 13 Oktober 1919 Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau ke luar wilayah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Perjanjian. Ekstradisi. Papua Nugini. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5674) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN KEDAULATAN Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Disusun oleh: Adrianus Terry Febriken 11010111140685 Styo Kurniadi 11010111150006 Riyanto 11010111150007 Wahyu Ardiansyah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci