, Ebb. P",x.**l HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ", Ebb. P",x.**l HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini mengkaji aspek fisik dan aspek sosial. Pengkajian aspek Gsik dilihat dari kondisi terkini penggunaan lahan serta kondisi fisik lainnya di Kabupaten Bandung. Selanjutnya dari aspek fisik tersebut dilakukan pengolahan peta untuk memperoleh peta resiko banjir. Pengkajian aspek sosial diperoleh dari data primer berupa persepsi masyarakat terhadap penyebab terjadinya banjir, peuataan ruang, maupun upaya konservasi. Realisasi Pemanfaatan Ruang Berdasarkan hasil up daling peta penggunaan lahan 2002 dari BPN Kabupaten Bandung melalui verifikasi lapang, jenis penggunaan ataupun tutupan lahan di Kabupaten Bandung dapat diklasifikasikan atas hutan, industri, kebun campwan, ladang, perkebunan PTP, permukiman, situ/kolam/waduk, dan tanah kosonglsemak (Gambar 17). Pengklasifikasian ini didasarkan dari klasifikasi penggunaanlpenutupan lahan yang terdapat dalam RTRW Kabupaten Bandung (Pemkab Bandung 2001).. j-., Ebb. P",x.**l LEGENDA,B,W., >b.s,., ".I,.6*, I' r~n~aroronoan~r,,,i> r, Gambar 17 Penggunadpenutupan lahan Kabupaten Bandung (hasil verifikasi)

2 Keterangan : [I7! peruntukan dalm RTRW 1 : Hutan Lindung 8 : PerdaganganIJasa 2 : Hutan Produksi 9 : Perikanan 3 : Hutan Rakyat 10 : Perkebunan PTP 4 : Kawasan Indushi 11 : PerumahanIPermukiman 5 : Kehun 12 : Sawah Irigasi 6 : Ladang 13 : Sawah Tadah hujan 7 : PemerintahIFasum 14 : SitdDanauIWaduk Gambar 18 Grafik kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap RTRW. H. H. H. Kw Kbn Ldg PmrIFas is ikan PTP Rmh Sw Sw SituIDa Lin Prd Ryt Ind um IRi Tdh Hj n nau Keterangan : H. Lin = Hutan Lindung Js = JasaIPerdagangan H. Prd = Hutan Produksi Ikan = Perikanan H. Ryt = Hutan Rakyat PTP = Perkebunan PTP Kw Ind = Kawasan Industri Rmh = Perumahan/Permukiman Kbn = Kebun Sw Iri= Sawah irigasi Ldg = Ladang Sw Tdh hjn = Sawah tadah hujan PmrIFasum = PemerintahadFasilitas umum SitulDanau = SituIDanaulWaduk Gambar 19 Persentase luas penyimpangan masing-masing peruntukai lahan.

3 Berdasarkan Gambar 18 dan 19, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang terjadi di setiap jenis peruntukan pemanfaatan ruang, dan hampir semua mempunyai persentase penyimpangan lebih dari SO%, kecuali perdagangan dan jasa yang 48.5%. Hal ini menunjukkan ada yang tidak benar dengan penerapan rencana pemanfaatan ruang yang telah dibuat dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2001 sampai 2006 sekarang. Peninjauan kembali terhadap RTRW dapat dilakukan untuk mengevaluasi tata ruang sehingga dapat dilakukan revisi yang dapat mengakomodir kebutuhan dm kepentingan daerah. Jangka waktu 5 (lima) tahun adalah waktu minimal untuk meninjau ulang RTRW, agar pemerintah dapat mengadakan perbaikan dalam penyusunan tata ruang sesuai Keputusan Menteri Kirnpraswil No. 327/KPTS/Mf2002 tentang Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Berdasarkan hasil analisis tumpang tindih yang telah dilakukan, maka diketahui secara global daerah yang tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang berlaku, lebih luas dibandingkan dengan daerah yang mengikuti RTRW, yaitu ha atau sekitar 73% dari luas Kabupaten Bandung, dan dapat dilihat pada Gambar 20. Tampak bahwa daerah dengan warna merah yang menunjukkan daerah dengan penggunaan lahan tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang dalam RTRW, mendominasi wilayah Kabupaten Bandung. MWHTERll*OAP RTRW (Cbb.O Y*IUPATLNBANDUW L~OSIIUI [ ~ - - Z ~ W.>.a. x. Gambar 20 Peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (global)

4 Daerah Bahaya Banjir Daerah bahaya banjir adalah daerah dengan kondisi fisik alamiall yang jika mengalami peristiwa alam seperti hujan, memiliki kemungkinan mengalami banjir, dan dapat berulang dalam jangka waktu tertentu. Melalui data masukan berupa petapeta genangan banjir sebanyak 15 buah dari Balai PSDA Wilayah Citarum dengan verifikasi (Gambar 21), maka dihasilkan peta bahaya banjir Kabupaten Bandung berdasarkan jumlah kejadian banjir yang dialami oleh suatu daerah. Analisis dilaksanakan melalui tumpang tindih 15 peta genangan banjir tersebut, sehingga diperoleh peta bahaya banjir dengan 4 kelas bahaya berdasarkan junllah kejadian banjir yang menimpa suatu daerah, dalam ha1 ini lebih menekankan analisis pada daerah genangan di Kabupaten Bandung, karena terkait dengan data pendukung yang ada. Teknis pembuatan peta bahaya banjir ini dapat dilihat pada Bab Metodologi Penelitian. Adapun sebaran daerah bahaya banjir dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan sketsa genangan yang ada pada Gambar 21 tampak bahwa genangan banjir yang terjadi sebagian besar berada dalam wilayah administratif Kabupaten Bandung. Genangan di luar wilayah Kabupaten Bandung tampak pada banjir yang terjadi tahun 1995, 1998, 1999, 2000, 2004, 2005 dan Selain itu, pada peristiwa banjir tahun 2005 dan 2006, daerah-daerah yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pemah banjir menjadi tergenang dengan lokasi genangan yang terpencar-pencar, baik di Kabupaten maupun Kota Bandung. Genangan di Kabupaten Bandung cenderung ke arah selatan dari lokasi banjir pada tahun-tahun sebelumnya, sedangkan di Kota Bandung tampak daerah-daerah genangan baru. Secara potensial luas daerah bahaya banjir cenderung bertambah, meskipuu genangan banjir pada dua tahun terakhir berkurang luasannya. Hal ini dapat diperkirakan dengan melihat timbulnya daerah-daerah genangan baru, sehingga daerah yang sudah lama tidak mengalami banjir berpotensi akan terulang jika masalah banjir ini tidak ditangani dengan baik.

5 Gambar 21 Daerah genangan di Bandung dan sekitiunya pada perstiwa banjir tahun (verifikasi)

6 R j, k k C I. 101'1B<" IO"Jlro1~ L,?~.e9*,,...,- 1- \. i i. Kah 'l:rwak+tta i I- -.,. )--- >& C i Kat. t.ciajw /J 5 fj -./I\ \ \ i /,P' L-- 'I < - K,t. Gwt 'VLY7V -.- -,,i' L Su11bcr: b.,'\- <' /-- Prra pangan hanjr tahihlm 19~6.'~ ,. 1995,1996,13?7, 199E. 1599,2103, 2011, 2002,,i drn~my L. > IIasil a~iair~.,..i i.x' fp m'191p' 101'31<01' I>?,&<%@,, Gainbar 22 Peta bahaya banjir berdasarkan kejadian banjir. -! x cj PETA BAHAYA BANJlR KABUPATEN BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT (Brrdarwkw ICrjadian Bwjir) Kelnr Ifalm~a Ilanjir O 3Km FGZ! LEGENDA: LUAS PERSEX MA) TASEW) =T~K AAHAYA =RENDAH SEDAN G ~ T ~ C C I ,i:\";/" Bataskabupatcn Sqsi

7 Berdasarkan jumlah kejadian banjir dari hasil operasi turnpang tindih pada 15 peta, daerah yang tidak pemah mengalami banjir merupakan daerah terluas di Kabupaten Bandung, yang pada Gambar 22 tampak berwarna krem. Sedangkan daerah yang pemah mengalami banjir berada di tengall Kabupaten Bandung dengan berbagai macam tingkat bahaya. Adapun hasil analisis wilayah bahaya banjir berdasarkan jumlah kejadian banjir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir) No Kecamatan Luas Wilayah (Ha) pada kelas bahaya banjir tidak bahaya rendah sedang tinggi 1 Arjasari Baleendah Banjaran Batujajar Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cihampelas Cikalongwetan Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cililin Cimaung Cimenyan Ciparay Cipatat Cipeundeuy Cipongkor Cisarua Ciwidey Dayeuhkolot Gununghalu Ibun Katapang Kertasari Lembang Majalaya

8 Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir) (lanjutan) Luas Wilayah (Ha) pada kelas bahaya banjir No Kecamatan tidak bahaya rendah sedang tinggi 29 Margaasih Margahayu 31 Nagreg 32 Ngamprah 33 Pacet 34 Padalarang 35 Pameungpeuk 36 Pangalengan 37 Parongpong 38 Paseh 39 Pasirjambu 40 Rancabali 41 Rancaekek 42 Rongga 43 Sindangkerta 44 Solokanjeruk 45 Soreang Total (Ha) Persentase (%) Sumber : Hasil analisis Berdasarkan Tabel 6, daerah-daerah bahaya banjir dengan kategori rendah sampai tinggi tersebar di 21 kecamalan yaitu Arjasari, Baleendah, Banjaran, Bojongsoang, Cangkuang, Cicalengka, Cikancung, Cilengkrang, Cileunyi, Cimaung, Ciparay, Dayeuhkolot, Katapang, Majalaya, Margaasih, Margahayu, Pameungpeuk, Paseh, Rancaekek, Solokanjeruk, dan Soreang. Daerah-daerah tersebut ternlasuk daerah-daerah aliran Sungai Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey, seperti dapat dilihat pada Gambar 23. Sebaran daerah bahaya tinggi tampak luas pada Sub DAS Citarik dan Sub DAS Cikapundung. Pada lokasi tersebut aliran Sungai Citarik dan anak-anak sungainya bertemu dengan aliran Sungai Cikapundung dan Cirasea dengan muara Sungai Citarum, dapat diiengerti jika hujan deras daerah tersebut dan sekitamya lebih sering mengalami banjir.

9 Tampak pula fenomena yang unik pada 2 kecamatan yaitu di Kecamatan Bojongsoang yang berada di sub DAS Cikapundung dan sebagian Citarik, dan Rancaekek pada sub DAS Citarik, dimana pada 2 kecamatan tersebut daerah yang tidak pemah mengalami banjir (kelas tidak berbahaya) dalam kurun waktu 20 tahun ( ) mempunyai luas yang lebih rendah dibandingkan dengan luas daerah yang pemah mengalami banjir. Di Kecamatan Bojongsoang hanya bektar wilayah yang bebas banjir, sedangkan di Kecamatan Rancaekek hanya hektar. Dengan kata lain, sekitar 83% dari luas wilayah Kecamatan Bojongsoang dan 73% wilayah Kecamatan Rancaekek pemah mengalami banjir. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena Kecamatan Bojongsoang dan Rancaekek mempunyai morfologi dataran yang dilalui aliran sungai dan jika dikaitkan dengan sejarah, daerah tersebut dahulu merupakan rawa (ranca = rawa; bojongsoang=rancaekek=rawa bebeklangsa) yang selalu tergenang air kemudian menjadi sawah, sehingga dapat dimengerti apabila tanah di daerah tersebut mempunyai sifat kedap air. Bila hujan deras terjadi dengan intensitas tinggi, tanah menjadi jenuh air dan saluran-saluran tidak mampu menampung air maka banjir pun melanda dataran sekitar sungai dan tertampung di cekungan-cekungan. Daerah bahaya tinggi yang termasuk juga pada sub DAS Cikapundung adalah sebagian Kecamatan Margahayu dan Dayeuhkolot. Selain itu, daerah bahaya tinggi berada di Kecamatan Paseh yang termasuk sub DAS Cirasea dengan luas ha, Kecamatan Baleendah seluas 94.4 ha yang termasuk sub DAS Cisangkuy dan Cirasea, Kecamatan Pameungpeuk seluas 6.1 ha yang termasuk sub DAS Cisangkuy, dan Kecamatan Soreang seluas 32.6 ha yang termasuk sub DAS Ciwidey. Adanya daerah bahaya tinggi pada setiap sub DAS penyuplai banjir menunjukkan bahwa 5 sub DAS tersebut berada dalam kondisi bunik, karena tidak mampu mengalirkan air dalam salurannya maupun meresapkan ke dalam tanah, sehingga daerah bahaya tinggi tersebut mengalami fiekuensi banjir yang cukup sering

10 Gambar 23 Sub DAS yang meliputi daerah bahaya banjir. Wilayah Resiko Banjir Resiko diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti atau terhambatnya aktivitas ekonomi karena adanya bahaya dari suatu fenomena alami atau buatan. Adapun properti yang dimaksud adalah infiastruktur, fasilitas sosial dan umum, serta penggunaan lahan pada daerah tertentu yang jika mengalami suatu fenomena bahayalkerawanan seperti banjir, akan mengalami kerugian.wilayah beresiko terhadap banjir adalah wilayah yang selain mempunyai potensi bahaya banjir berdasarkan kondisi fisik alarniah, juga pada wilayah tersebut terdapat jiwa manusia dan properti yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga bila mengalami banjir akan mengalami kerusakan dan kerugian jiwa dan harta benda (bencana). Untuk mengetahui tingkat resiko banjir di Kabupaten Bandung maka dilakukan operasi tumpang tindih pada peta bahaya banjir dengan peta penggunaan lahan, peta infiastruktur, dan peta fasilitas sosial dan umum (fasos fasum). Sebaran wilayah resiko banjir dapat dilihat pada Gambar 24.

11 PET-A RESIKO B-AN..JIR K.&EiUP.ATEN B.ANI)ITN(:: PROT'INSI.J-A\\-A B-$RAT 5 0 5K, LPGENIIA, 0 TIDAKBERESIKO REMKO RENDAH RE~KO ~DANG RESIKO IINGGI /V Batas-Bntns I<nbt~])tuta Pch gexmgan (rol.iqkd),psta jaliagrn jnhn Peh p=nggla=na hhan (rcrtaka), Peh fasol fpnrm Asdl m&l Gambar 24 Peta resiko banjir Kabupaten Bandung.

12 Secara teknis, pemetaan daerah resiko banjir dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan konsep logika berbasis pengetahuan yang diterjemahkan kedalarn nilai elemen-elemen resiko (kerugian) yang diakibatkan oleh banjir. Nilai elemen tersebut terkait dengan nilai kerugian akibat banjir, dalam ha1 ini diwakili oleh properti. Pada Gambar 24 tarnpak bahwa daerah dengan resiko banjir tinggi terletak pada daerab bahaya banjir di sebagian Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, Dayeuhkolot, Ciparay, Solokanjemk, dan Rancaekek. Kondisi ini terjadi karena di daerah-daerah tersebut selain termasuk dalam wilayah bahaya banjir tinggi juga mempunyai nilai propeiii yang tinggi. Penggunaan lahan sangat berpengaruh dalam penentuan nilai resiko karena skor penggunaan lahan mendominasi dalam perh'itungan total skor properti. Adapun luasan penggunaan lahan pada tiap tingkat resiko banjir dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Penggunaan lahan pada berbagai tingkat resiko banjir T.nas Pada Kelas Resiko Baniir (Ha) Jumlah (Ha) Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Perkebunan PTP Perrnukiman Sawah Situ/Kolam/Waduk Tanah kosonglsemak Jumlah (Ha) Sumber : Hasil analisis Sebagian besar penggunaan lahan di daerah dengan kelas resiko banjir tinggi adalah permukiman, dan terdapat pula industri, sawah, dan ladang dengan luasan kecil. Adapun daerah terluas pada daerah berpotensi banjir ini merupakan daerah dengan resiko rendah. Rendahnya resiko dapat dikarenakan daerah tersebut berada

13 pada daerah bahaya banjir rendah, atau meskipun berada pada daerah bahaya banjir tinggi, properti di daerah tersebut tidak termasuk kategori bernilai tinggi. Daerah tidak beresiko banjir adalah juga daerah yang kondisinya tidak bahaya banjir, dimana lokasinya tersebar pada hampir seluruh kecarnatan yang berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain di sebelah barat, timur, utara dan selatan Kabupaten Bandung. Kondisi ini dapat dimengerti karena daerah-daerah tersebut sebagian besar berada di daerah tinggi yang justru sebagai tempat sumber-sumber air, dimana air tersebut kemudian mengalir secara alami ke tempat yang lebih rendali. Adapun properti yang terdapat di daerah tersebut tidak ternlasuk bemilai tinggi seperti jaringan jalan yang umumnya merupakan jalan lokal. Lebih jelas dapat dilihat sebaran daerah beresiko banjir dengan properti yang ada pada Gambar 25. Pada gambar tersebut tampak bahwa daerah-daerah beresiko sedang dan tinggi adalah daerah yang dilalui oleh jalan raya, dengan adanya fasilitas sosial dan fasilitas umum yang lokasinya dekat dengan jalan raya, selain itu penggunaan lahan adalah permukiman dan industri, ataupun sawah yang terletak di sisi jalan raya sehingga daerah tersebut cukup beresiko jika terlanda banjir. Adapun daerah-daerah dengan resiko rendah adalah daerah dengan komponen properti bemilai rendah seperti lokasi permukiman yang jauh dari jalan raya,dan hanya dilalui oleh jalan lokal, ataupun kurangnya fasilitas sosial dan umum, sehingga tingkat resiko pada daerah-daerah tersebut rendah. Sedangkan daerah yang tidak beresiko banjir tidak termasuk daerah bahaya banjir, dan tampak bahwa hanya sedikit memiliki fasos fasum, dan hanya dilalui oleh jalan lokal dimana penggunaan lahamya pun bervariasi

14 Gambar 25 Jaringan jalan dan fasos fasum di daerah beresiko banjir

15 Tabel 8. Adapun sebaran wilayah dengan berbagai tingkat resiko dapat dilihat pada Tabel 8 Luas daerah resiko banjir pada wilayah kecamatan Luas Wilayah (Ha) pada kelas resiko banjir No Kecamatan tidak beresiko rendah sedang tinggi 1 Aqasari Baleendah Banjaran Batujajar Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cihampelas Cikalongwetan Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cililin Cimaung Cimenyan Ciparay Cipatat Cipeundeuy Cipongkor Cisarua Ciwidey Dayeuhkolot Gununghalu Ibun Katapang Kertasari Lembang Majalaya Margaasih Margahayu Nagreg Ngamprah

16 Luas Wilayah (Ha) pada kelas resiko banjir No Kecamatan tidak beresiko rendah sedang tinggi 33 Pacet Padalarang Pameungpeuk Pangalengan Parongpong Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Rongga Sindangkerta Solokanjemk Soreang Total (Ha) Persentase (%) Daerah dengan wilayah resiko tinggi yang terluas adalah Kecarnatan Rancaekek (56.2 hektar). Kondisi ini dapat dimaklumi karena Rancaekek adalah kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Surnedang, sehingga nlempakan daerah dengan lokasi aksesibilitas strategis berupa jalan arteri yang juga merupakan jalur antar kota menuju timur pulau Jawa. Selain itu, indushi-industri banyak tersebar di Kecamatan Rancaekek. Pembahan penggunaan lahan memang pesat tejadi di daerah ini yang dahulu masih me~pakan sawah irigasi. Perumahan dan permukiman pun tumbuh dengan subur. Fasilitas sosial dan umum berupa pasar dan sekolah yang terdapat di Kecamatan Rancaekek selalu ramai oleh penduduk, termasuk pula stasiun kereta api Rancaekek yang berada dalam sebuah komplek perumahan. Apabila banjir menerjang Rancaekek, maka resiko yang akan diterima pun tinggi. Kaitan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Banjir Daerah beresiko banjir dapat dikaitkan pula dengan penggunaan lahan pada daerah, aliran sungai yang mempengaruhi bahaya banjir di Kabupaten Bandung

17 seperti tehh &ai&an sebelumnya, yaitu Sub DAS Cikapundung, Cisawghy, Cirasea, dan Citarik, yang dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Pengylnaan ld~an pada Sub DAS yang meliputi daerah beresiko banjir.

18 Pada Gambar 26 tersebut, tampak bahwa daerah-daerah yang terkena banjir sebagian besar terjadi di permukiman pada tiap sub DAS. Selain itu genangan juga menimpa industri, sawah, ladang, sebagian kecil kebun campuran, dan semak. Hal ini dapat ditinjau dari penggunaan lahan yang terletak pada hulu hiigga hilir sub DASsub DAS tersebut. Hutan masih mendominasi penggunaan lahan di Sub DAS Cirasea seluas ha, yang diikuti oleh permukiman seluas ha. Luas hutan di sub DAS ini sekitar 35% dari luas sub DAS, sehingga masih memenuhi persyaratan luas hutan pada DAS yang minimal hams 30% menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Daerah genangan berada pada permukiman, sawah, dan semak yang tersebar di Kecamatan Majalaya, Solokanjeruk, dan Bojongsoang, yaitu daerah hilir pertemuan dengan Sungai Cikapundung dan Citarik. Pada sub DAS Cikapundung, tampak kebun campuran mendominasi penggunaan lahan seluas ha, yang diikuti oleh permukiman seluas ha. Luas butan adalah atau sekitar 17% dari luas sub DAS tersebut, sehingga jauh dari persyaratan minimal 30%. Kondisi di sub DAS Cikapundung ini belum termasuk dengan penggunaan lahan di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Seperti umumnya kota, apalagi sebagai ibukota provinsi, maka jenis penggunaan lahan di Kota Bandung hampir seluruhnya merupakan permukiman. Demikian pula dengan Cimahi yang baru dikukuhkan menjadi kota pada tahun 2001, merupakan sebuah kota yang padat dengan industri. Sehingga bisa digeneralisir bahwa dominasi penggunaan lahan di sub DAS Cikapundung adalah permukiman. Kurangnya daerah resapan di sub DAS Cikapundung turut berperan dalam banjir yang terjadi di bagian hilir sungai, dan ha1 ini berpengaiuh terhadap resiko yang dihadapi bagi properti di daerah bahaya banjir. Banjir yang terjadi di Sub DAS Cikapundung sebenamya juga tejadi di Kota Bandung, namun dalam penelitian ini hanya ditelaah di daerah Kabupaten Bandung, berkaitan dengan data pendukung yang ada. Pada Sub DAS Cisangkuy, penggunaan lahan didominasi oleh ladang seluas ha, diikuti permukiman ha. Sedangkan, luas hutan adalah ha, atau 14% dari luas sub DAS. Bila perkebunan PTP diasurnsikan pula sebagai

19 vegetasi permanen yang berfungsi meresapkan air dan menghambat laju aliran permukaan setara dengan hutan, maka dengan luas ha yang bila dijumlahkan dengan luas hutan hanya mencapai ha, atau sekitar 21% dari luas sub DAS. Luasnya penggunaan lahan ladang dapat meningkatkan laju air larian melalui aktivitas pengolahan tanah sehingga air membawa butiran tanah ke arah hilir yang berkontribusi terhadap pendangkalan sungai. Adapun permitkiman dan industri yang berada di bagian hilir sungai beresiko terhsdap banjir yang dapat mengakibatkan kerugian. Sub DAS Citarik didominasi oleh permukiman yang terletak berbatasan dengan Kabupaten Sumedang yaitu di Kecamatan Rancaekek, dan di daerah ini pun terdapat industri-industri yang termasuk wilayah Kabupaten Bandung maupun Kabupaten Sumedang. Hutan seluas ha sebagian besar terletak di Kecamatan Nagrek, berbatasan dengan Kabupaten Garut dimana terdapat anak Sungai Citarik di G. Mandalawangi. Persentase luasan hutan tidak bisa ditentukan di Sub DAS Citarik ini, karena untuk perhitungan hams memperhatikan pula penggunaan lahan pada daerah yang termasuk Kecamatan Sumedang dan Gamt. Pada Gambar 25 tampak daerah bahaya yang cukup luas di Sub DAS Citarik, dimana beberapa lokasi merupakan daerah beresiko tinggi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh buruhya kondisi daerah hulu Sungai Citarik yang berada di G. Kareurnbi di Kabupaten Sumedang, maupun maraknya pembangunan permukiman dan industri di hilir sungai, yang merupakan alih fungsi lahan besar-besaran dari penggunaan lahan sawah dalam 15 tahun terakhir. Industri-industri yang limbahnya langsung dibuang ke sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu berkontribusi dalam pendangkalan sungai, sehingga dapat mempengaruhi penurunan kapasitas pengaliran sungai. Sedangkan penggunaan lahan di Sub DAS Ciwidey didominasi oleh kebun campuran seluas ha, kemudian hutan seluas G ha atau 24% dari luas sub DAS. Bila kondisi kebun campuran dan hutan masih cukup baik maka dapat menghambat laju aiiran permukaan. Tampak bahwa daerah genangan di sub DAS Ciwidey adalah yang paling sedikit dibanding dengan genangan pada sub DAS laixu~ya, dan sebagian besar termasuk beresiko rendah. Hal ini perlu diwaspadai

20 karena meskipun jarang terkena banjir tapi banjir dapat terjadi setiap saat di daerah bahaya tersebut. Daerah resiko banjir tinggi pada sub DAS Ciwidey ini berada di pemukiman di Kecarnatan Soreang, dimana kondisi ini diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang menyatakan banjir selalu terjadi di daerah tersebut tiap hujan mengguyur deras. Bila ditinjau secara agregat, maka luas hutan pada sub DAS-sub DAS penyuplai banjir adalah ha atau sekitar 23% dari luas kelima sub DAS yang termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Hal ini dapat menjadi gambaran kondisi hutan pada sub DAS stimulan banjir meskipun belum ditinjau dari hutan yang berada di sub DAS Citarik yang termasuk Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Gamt, karena sedikitnya daerah aliran sungai tersebut yang berada di kedua kabupaten. Persentase luas hutan yang tidak mencapai persyaratan minimal dalam suatu DAS menurut UU No. 41 tahun 1999 tersebut, dapat merupakan kendala dalam menangani banjir. Selain itu, bila ditinjau sepintas jenis penggunaan lahan di Kota Bandung pada sub DAS Cikapundung yang didorninasi permukiman, maka ha1 ini pun mempakan faktor-faktor terjadinya banjir di Kabupaten Bandung, mengingat topografi Kota Bandung yang lebih tinggi dibandingkan daerah bahaya banjir di Kabupaten Bandung, sehingga air larian di Kota Bandung mengalir ke lokasi yang lebih rendah, yaitu muara Sungai Cikapundung di sekitar Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Selain itu, tingginya perbedaan debit Sungai Citarum saat banjir dibandingkan debit sungai rata-rata tahunan menunjukkan kondisi daerah aliran sungai yang tidak mampu menahan laju aliran permukaan dari hulu ke hilir. Kondisi ini mempakan salah satu faktor yang dapat mendorong peningkatan resiko akibat banjir yang terjadi di hilir-hilir sungai tersebut. Selain itu, tampak huluhulu DAS dengan penggunaan lahan hutan yang sedikit, bahkan terdapat pula pem~ukiman. Bagian hulu sungai yang seharusnya menjadi daerah resapan menjadi berkurang fungsinya karena semakin hilangnya hutan akibat kegiatan budidaya lain seperti ladang, kebun campuran, bahkan permukiman. Maka, bila tejadi huja11, air yang jatuh di kawasan ini akan inenjadi aliran permukaan, yang kemudian masuk ke saluran-saluran/penampung air seperti sungai, kolam, danau, maupun cekungan-

21 cekungan di permukaan tanah. Jika volume air tersebut melebih kapasitas saluranlpenampung air, maka air akan meluap mencari saluran lain, sehingga terjadi genangan pada daerah-daerah sekitar saluran atau sungai. Genangan yang terjadi di Kabupaten Bandung sebenarnya tidak luput pula dari kondisi saluran ataupun drainase perrnukiman. Saluran yang buruk akibat sampah yang dibuang masyarakat dapat menghambat aliran air di salurah tersebut dan meluap jika air yang masuk ke saluran tersebut melebihi kapasitas. Selain sampah, kondisi bangunan drainase tersebut juga harus diperhatikan apakah masih baik ataupun rusak. Untuk itu pengkajian dalarn masalah drainase sebaiknya dilakukan tersendiri secara lebih mendalam. Penggunaan lahan pada 5 Sub DAS tersebut dapat ditinjau pula dari rencana pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan melalui Perda RTRW untuk melihat seberapa besar penyimpangan yang terjadi (Gambar 27). Pada Gambar 27 tampak bahwa hampir seluruh penggunaan lahan pada daerah aliran sungai tidak sesuai dengan alokasi pemanfaatan ruang (RTRW), yaitu

22 sekitar 71% dari luas kelima Sub DAS yang berada di wilayah Kabupaten Bandung tersebut. Namun, terdapat pula daerah yang sesuai dengan RTRW tapi merupakan daerah beresiko banjir, maka jelas terlihat bahwa RTRW yang disusun tidak memperhatikan daerah banjir. Penyimpangan pemanfaatan ruang dapat menjadi stimulan banjir jika RTRW yang dibuat sudah benar-benar mempertirnbangkan seluruh kondisi daerah yang dikaitkan dengan masalah banjir. Perhatian terhadap aktivitas yang beriangsung pada daerah-daerah aliran sungai yang melalui wilayah resiko banjir merupakan ha1 yang penting karena di Icabupaten Bandung sungai merupakan penyuplai banjir yang utama, sehingga harus ditinjau secara komprehensif dari hulu hingga hilir. Melihat tingginya penyimpangan pemanfaatan ruang pada kelima sub DAS penyuplai banjir yang tennasuk Kabupaten Bandung ini, maka peninjauan ulang terhadap RTRW sebaiknya segera dilakukan secara menyelumh. Persepsi Masyarakat Masyarakat adalah salah satu unsur dalam wilayah pemerintahan dan sangat diharapkan peran sertanya dalam kegiatan pembangunan. Masukan, baik berupa saran atau pendapat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam mendorong tenvujudnya kualitas ruang yang lebih baik. Peran serta masyarakat tersebut terkait dengan pengetahuan masyarakat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan di daerahnya, sehingga penataan ruang yang dibuat dapat efektif terlaksana dan masyarakat bersama stakeholder lain secara sadar saling menunjang dalam memajukan daerahnya. Penataan ruang yang bemawasan lingkungan adalah suatu cara non strukturai dalam upaya mengatasi bencana alam, tennasuk juga bencana banjir, sehingga pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang sangat diperlukan. Pada tahap ini, pengetahuan mengenai wilayahnya serta kepedulian dalanl mengelola bencana penting dimiliki oleh penduduk sehingga partisipasi yang diharapkan dari masyarakat dapat berjalan optimal.

23 Pada penelitian ini, bersamaan dengan verifikasi lapang dilakukan wawancara kepada masyarakat Kabupaten Bandung untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan wawasan mereka mengenai banjir dan tata ruang secara umm. Adapun hasil yang ingin diperoleh adalah informasi mengenai frekuensi banjir, penyebab banjir, pengetahuan konservasi, dan penataan mang secara umum. Pada era otonomi daerah, kewenangan penanganan bencana menjadi tanggung jawab daerah, dan dengan adanya paradigma pengurangan resiko atau mitigasi sebagai konsep, maka setiap individu, masyarakat dapat ditingkatkan kemampuannya dalam menekan dan mengelola resiko (Departemen PU 2005). Kebijakan penanganan banjir melalui penataan mang adalah ha1 yang diupayakan oleh pemerintah pada tahun-tahun terakhir ini. Frekuensi Banjir Pada tahap ini dilakukan analisis dari hasil wawancara mengenai frekuensi banjir di daerah responden. Hal ini dimaksudkan untuk meagetahui seberapa sering banjir melanda daerah responden ketika tmn hujan yang sangat deras. Hasil wawancara dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan pemetaan persepsi masyarakat pada Gambar 28, temyata banjir selalu teljadi di Kecamatan Rancaekek, Majalaya, Solokanjeruk, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran, Margaasih, Soreang, dan Pameungpeuk. Pada lokasi-lokasi tersebut, seluruh responden (100%) yang bertempat tinggal di daerah beresiko tinggi menyatakan daerahnya selalu mengalami banjir, sedangkan di daerah resiko sedang terdapat 77.7% responden dan 34.6% responden di daerah resiko rendah inenyatakan daerahnya selalu banjir. Pada daerah dengan frekuensi banjir tinggi belum tentu resiko banjir yang dihadapi tinggi pula, karena ha1 ini terkait dengan nilai properti yang ada sehingga mempengaruhi tingkat resikonya. Selain itu responden yang ditanya dapat mempunyai persepsi yang berbeda mengenai banjir yang terjadi di daerahnya karena walaupun berada pada desa yang sama tapi lokasi dan tinggi genangan banjir belum tentu sama.

24 LEGENDA: FREKUOUSI BANJlR m SELALU * IIDAK PEI1NAH m KADANG-KADANG PETA FHEKUENSI BANJIR MENURUT MASYARAKAI' (Ilsril Wawsnmra) N Batas kabupaten Sumber : Kuesioner,Pc!a resiko banjir Sungai Has11 analisis Gambar 28 Frekuensi banjir menurut masyarakat

25 Persepsi Penyebab Banjir Persepsi masyarakat terl~ada penyebab banjir dalam penelitian ini didasarkan oleh 2 faktor, yaitu faktor alam dan manusia. Penyebab alam dalam ha1 ini bahwa banjir mempakan peristiwa alam dan wajar saja jika terjadi begitu saja. Faktor manusia mempakan hasil aktivitas manusia seperti membuang sampah di sungai, membangun mmah di bantaran sungai, tidak adanya penegakan hukum bagi pelanggar aturan yang berkaitan dengan lingkungan, dan sebagainya yang mengakibatkan kemsakan lingkungan. Sebaran persepsi masyarakat tentang penyebab banjir ini dapat dilihat pada Gambar 29. Berdasarkan hasil wawancara, temyata sebagian besar responden di tiap tingkat resiko mempunyai persepsi bahwa banjir disebabkan oleh manusia. Mereka berpendapat bahwa tindakan manusia yang selalu membuang sampah di sungai maupun saluran lainnya mengakibatkan saluran tersumbat, aliran air terhambat sehingga meluap. Hal itu terjadi karena selain kebiasaan juga karena keterpaksaan, seperti tidak adanya lokasi pembuangan sampah yang dekat dengan permukiman. Dilain pihak, tidak adanya aparat yang mengambil tindakan tegas akibat perbuatan itu. Selain itu, masyarakat pun menyalahkan industri yang membuang limbahnya di sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan air sungai menjadi hitam dan bau karena limbah. Maka dari hasil wawancara tersebut disimpulkan bahwa sebenarnya menurut sebagian besar masyarakat, stimulan banjir di Kabupaten Bandung adalah perilaku manusia yang rnembuang sampah ke saluran air, dan ha1 ini terjadi dari daerah hulu hingga hilir sungai. Kondisi ini tejadi karena faktor kebiasaan untuk mencari kemudahan dalam melenyapkan sampah di sekitar lingkungan mereka, dan juga karena tidak adanya sanksi. Masyarakat juga berpendapat bahwa penyebab banjir akibat kondisi dan peristiwa alam juga bukan ha1 yang tidak mungkin, dapat dilihat dari hasil wawancara bahwa masyarakat pun tnengetahui faktor-faktor alamiah yang dapat menyebabkan banjir seperti curah hujan yang tinggi maupun luapan sungai.

26 PENYEBAD BANIlR I e MANUSIA I Tingkst Re~iko PENYBBAB BAWII Benennn Bsniir Jnn. ALAS, MANUSIA PETA PENYEBAB BANSIR hlenurlit MASYARAKAT (Ifasil Wawsneara) N Batas kabupatcn Sungai Surnbor : Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis Gambar 29 Distribusi persepsi penyebab banjir

27 Pengetahuan Konservasi Pada analisis pengetahuan konservasi, wawancara dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan responden tentang konsewasi alam. Responden diharapkan dapat menerangkan pentingnya konsewasi terutama bagi lingkungan, agar te Gaga dari peningkatan aliran permukaan yang menimbulkan bahaya erosi sehingga terjadi penumpukan sedimentasi yang dapat menurunkan kapasitas aliran sungai sehingga mudah meluap dan akhimya banjir. Adapun dai hasil wawancara dapat dilihat distribusi persepsi masyarakat tersebut pada Gambar 30. Garnbar 30 menunjukkan bahwa di daerah tidak beresiko, 53.3% responden tidak mengetahui teknik-teknik konsewasi dan ha1 ini dapat mempengaruhi pola hidup mereka terhadap lingkungan seperti penggunaan lahan yang tidak mengikuti kaidah konsewasi, penebangan liar, dan sebagainya. Hal ini terjadi pada beberapa responden yang berada di daerah pertanian, yang meskipun sudah dilakukan upaya konservasi tanah seperti pembuatan teras, namun teras itu dibongkar lagi dengan alasan bibit yang ditanam menjadi lebih sedikit, meskipun tidak berpengaruh terhadap produksi. Selain itu, terdapat kecenderungan yang serupa di daerah resiko rendah, sedang dan tinggi yaitu persentase responden yang tidak mengetahui konservasi berkisar 40%. Maka, dari hasil wawancara yang dilakukan secara acak tersebut menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap konservasi masih sangat terbatas. Menut hasil wawancara yang telah dilakukan, mayoritas responden berpendapat konservasi dilakukan cukup dengan menanan pohonpohonan atau penghijauan, sedangkan pengetahuan tentang teknik konsewasi lain yang dapat mendukung dalam penanaman pohon tersebut agar efektif berfungsi konservasi, seperti penggunaan lahan berbasis konservasi tanah, macam bangunan konservasi seperti penggunaan bronjong, clzeck dam, dan sumw resapan tidak begitu mereka pahami.

28 e MENOETAHUI * TlDAK MENGETAIIUI Q TIDAKPEDULI RUlKORENDAll 14(53.8%) 11(42.3%) 1(3.8%) 26 REIKOSEDANC x55.5%) 4(44.4%) N Batas kabupaten Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis Garnbar 30 Distribusi pengetahuan konservasi masyarakat

29 Pengetahuan Informasi Tata Ruang Informasi tata ruang yang dimaksud adalah untuk mengetahui sejauh mana penyebaran informasi atau sosialisasi mengenai rencana penataan ruang sampai ke masyarakat. Hal ini untuk mengetahui apakah pemerintah setempat telah mengikuti peraturan yang menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk ikut berpartisipasi dalam penataan ruang, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, rlan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyebaran informasi tata ruang yang sampai pada sasaran, yaitu turut sertanya masyarakat dalam membahas tata ruang di wilayahnya adalah yang diharapkan dari hasil wawancara ini. Adapun hasil wawancara melalui kuesioner yang disebarkan dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Kabupaten Bandung tidak pemah mengetahui tentang adanya informasi rencana penataan ruang, dengan persentase lebih dari 50%. Hal ini dimungkinkan karena penyebaran infoimasi ataupun pengumuman mengenai akan diadakannya penataan ruang tidak gencar dan kurang intensif, padahal partisipasi masyarakat sangat diharapkan dalam perencanaan tata ruang tersebut. Adapun para responden yang mengetahui adanya pengumuman mengenai penataan ruang biasanya adalah para profesional, dalam ha1 ini pengembang yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Selain itu pelaksanaan penataan ruang kabupaten dalam tenggang waktu 10 tahun juga merupakan salah satu faktor informasi penataan ruang kurang meninggalkan kesan di masyarakat. Salah satu kesan yang dapat ditimbulkan oleh pemerintah bagi masyarakat adalah terealisasinya rencana pemanfaatan ruang.

30 107'1510" Kab. Purwakarta [p/71p) LEGENDA: NFORMASI PENATAAN RUANC PEL4 PENGETAflUAN MASYARAKAT TERHADAP INFORMAS1 I'ENA'rAAN RUANG (Hnsil Wawancsra) /V Batas kabupaten Sungai Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir ITasil analisis Gambar 3 1 Pengetahuan masyarakat tentang penyebaran informasi tata ruang

31 Kesadaran partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan adalah ha1 yang sangat diharapkan untuk mendorong tercapainya kemakmuran yang diharapkan dalam suatu wilayah. Apalagi dalam era otonomi daerah, masyarakat sangat berkepentingan dengan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan pemerintah di daerahnya. Salah satu peran serta masyarakat yang diharapkan adalah dalam kegiatan penatsan ruang sesuai dengan PP 69/96 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dari wawancara yang telah dilakukan diperoleh informasi mengenai kemungkinan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan penataan ruang. Pada daerah beresiko banjir tinggi, mayoritas masyarakat menyatakan keinginannya untuk ikut dalam penataan mang supaya daerah mereka terbebas banjir Hasil dari wawancara tersebut disajikan dalam Gambar 32. Berdasarkan wawancara tersebut, tampak bahwa hampir seluruh responden pada tiap daerah resiko banjir mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penataan ruang, dengan persentase pada daerali tidak beresiko adalah 99.30/0, pada daerah resiko rendah loo%, daerah resiko sedang loo%, dan pada daerah resiko tinggi 90.0%. Responden sangat antusias terhadap berbagai kegiatan yang dilaksanakan pemsrintah apalagi yang menyangkut dengan kegiatan yang akan diadakan di daerahnya, termasuk responden yang tinggal di daerah bahaya banjir. Sebenamya responden di daerah bahaya banjir selalu menunggu tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah mereka dan pada dasamya mereka siap mengikuti langkah terbaik yang diputuskan. Namun terdapat pula responden yang tidak peduli dengan apapun kegiatan yang direncanakan pemerintah. Hal ini perlu mendapatkan perhatian agar dapat ditumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membangun daerahnya agar dapat terhindar dari resiko yang dapat muncul sewaktu-waktu. Masyarakat perlu mendapatkan penerangan tentang kegiatan penataan ruang dan sosialisasi ini sebaiknya mencapai seluruh pelosok di daerah Kabupaten Bandung, sehingga wawasan dan pemahaman masyarakat bertambah.

32 LEGENDA: [~r- KE'NGINAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEINOINAN BERPARTISIPASI PENATAAN RUANG PETA I s MAU I (Hnsil Waxancam) /,/ Batas kabupaten Sumber : Sungai Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis Gambar 32 Sebaran keinginan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang

33 Upaya Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Resiko Banjir Penataan ruang merupakan proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang, karena itu dalam kajian ini dibahas arahan penataan ruang sebagai masukan dalam penentuan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebagai berikut : Perencanaan Tata Ruang Belum tersedianya peraturan dan perundangan mengenai penanganan bencana banjir skala kabupaten sampai saat ini, menyebabkan penataan ruang yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspek kebencanaan, maka ha1 tersebut seyogyanya segera ditetapkan dalam suatu perundangan sehingga mempunyai berkekuatan hukum dan bersinergi dalam rangka penataan ruang, termasuk di Kabupaten Bandung. Dengan demikian sifat dan resiko kebencanaan terutama banjir di Kabupaten Bandung bisa dipertimbangkan sebagai aspek penting dalarn penataan ruang. RTRW Kabupaten Bandung yang telah disusun tampaknya tidak memperhatikan aspek resiko bencana dengan adanya daerah yang sesuai dengan RTRW tapi termasuk dalam daerah beresiko banjir. Selain itu belum selaras ditinjau dari penggunaan lahan aktual mengingat tingginya persentase ketidaksesuain, khususnya pada daerah-daerah aliran sungai yang terdapat daerah bahaya banjir. Kondisi ini hendaknya menjadi bahan pemikiran para pengambil kebijakan dalam penataan ruang. Peninjauan kembali terhadap RTRW yang sudah ada sebaiknya dilakukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki segala kekeliruan maupun kekurangankekurangan yang telah dibuat, sehingga perbaikan terhadap RTRw tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan dengan konsisten. Dalam ha1 ini, untuk perbaikan RTRW Kabupaten Bandung, sebaiknya mempertimbangkan daerah-daerah bahaya banjir. Alangkah baiknya jika untuk selanjutnya perencanaan pembangunan industri, permukiman, termasuk fasos fasum berada di luar daerah bahaya banjir, dan kemungkinan relokasi adalah ha1 yang hams dipikirkan dan menjadi pertimbangan penanganan banjir, sehingga resiko di daerah bahaya banjir dapat dikurangi. Selain

34 itu, untuk mengurangi resiko di daerah bahaya banjir, maka revisi RTRW agar memperhatikan pula kondisi DAS stimulan banjir, yaitu Sub DAS Cirasea, Sub DAS Ciwidey, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Citarik, dan Sub DAS Cisangkuy. Koordinasi antar stakeholder dalam revisi RTRW ini selain yang berada di wilayah Kabupaten Bandung, juga harus melibatkan para stakeholder yang berada di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut untuk membahas pengelolaan sub DAS Citarik, serta Kota Bandung dan Cimahi dalam pembahasan Sub DAS Cikapundung. Berdasarkan analisis persepsi, mayoritas masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan tata ruang, karena mereka tidak mengetahui penyebaran informasi tentang rencana penataan ruang di daerahnya. Padahal sebenamya, keingilian masyarakat untuk berpartisipasi cukup tinggi, sehingga dalam kegiatan revisi RTRW, ataupun penataan ruang selanjutnya, sosialisasi penataan ruang hams lebih menjangkau masyarakat dengan mengikutsertakan mereka dalam penyusunan rencana pemanfaatan ruang. Masyarakat yang berada di daerah-daerah bahaya banjir maupun yang berada di daerah-daerah aliran sungai stimulan banjir hams diikutsertakan dalam pembahasan yang menyangkut aspek resiko banjir, sehingga dapat diperoleh masukan yang mengangkat masalah banjir dengan memperhatikan pula kepentingan masyarakat maupun lingkungan. Perbaikan terhadap RTRW ini diharapkan dapat menetapkan aturan baru yang mempertimbangkan aspek resiko kebencanaan suatu kawasan bahaya banjir. Pemanfaatan Ruang Adanya perubahan fungsi lahan di daerah akumulasi air, terutama pada berbagai daerah dataran rendah yang beresiko banjir secara alaini agar disikapi dengan serius, terutama makin maraknya permukiman di bantaran sungai. Perubahan fungsi lahan di Kabupaten Bandung mengakibatkan terjadinya pula penyimpangan dari yang sudah direncanakan dalam RTRW. Upaya pengendalian secara fisik berupa pengerukan saluran-saluran drainase termasuk sungai maupun pengaturan bangunanbangunan dengan meninggikannya di daerah banjir agar air tidak mudah masuk ke dalam rumah tangga dapat dipertimbangkan untuk menghindari banjir untuk

35 sementara. Namun untuk program jangka panjang agar dipertimbangkan keberlanjutan pemanfaatan ruang yang optimal, yaitu dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan berbagai aspek kepentingan daerah, sehingga banjir tidak menimbulkan masalah lagi. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penataan ruang yang dapat dilakukm untuk mengurangi resiko banjir adalah dengan lebih memfokuskan perhatian pada kondisi daerah-daerah aliran sungai yang selama ini mempakan, stimulan banjir di Kabupaten Bandung, yaitu Sungai Cikapundung, Ciwidey, Cisangkuy, Cirasea, dan Citarik karena sungai-sungai tersebut bermuara di Sungai Citamm pada daerah dataran. Keberadaan hutan dapat dipertahankan, dan dapat diperluas lagi dengan melakukan reboisasi di bagian hulu-hulu sungai tersebut yang dalam kondisi gundul. Aktivitas budidaya pertanian seperti kebun campuran maupun ladang di daerah berlereng agar memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah seperti pembuatan teras, dan penanaman searah kontur, sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan. Penataan kawasan permukiman juga agar dilakukan pada daerah yang tidak termasuk daerah bahaya banjir, karena masih banyak daerah di Kabupaten Bandung yang mempunyai potensi untuk dilakukan pembangunan permukiman sehingga tidak terkonsentrasi di daerah bahaya banjir, nlisalnya di daerah yang tidak dilalui oleh sungai-sungai tersebut di atas. Adapun pemanfaatan ruang yang berada di luar wilayah administratif Kabupaten Bandung tapi termasuk dalam daerah aliran sungai yang sama, yaitu Kota Bandung dan Cimahi yang termasuk Sub DAS Cikapundung, serta Kabupaten Sumedang yang termasuk Sub DAS Citarik, hams diupayakan bersama baik oleh aparat maupun masyarakat karena masalah banjir ini juga dialami oleh daerah-daerah tersebut. Pemanfaatan ruang di Kota Bandung kemungkinan hams menitikberatkan pada drainase maupun pemanfaatan lahan sempit sebagai ruang terbuka hijau karena sebagian besar lahan yang digunakan adalah permukiman Berdasarkan hasil wawancara, harus diupayakan pengelolaan sampah, mengingat persepsi masyarakat bahwa penyebab banjir adalah perilaku manusia yang membuang sampah ke sungai dan saluran karena praktis. Pengelolaan sampah

36 organik dapat menggunakan lahan-lahan di sekitar permukiman jarang penduduk seperti pembuatan kompos. Bagaimanapun, lokasi untuk pengolahan sampah hams ada dan jauh dari permukiman, karena itu perlu dipikirkan lokasi yang cocok untuk pengolahan sampah. Pengendalian Tata Ruang Berdasarkan data primer melalui wawancara, menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah tertentu dalam mensikapi kondisi alam yang berada di kawasan rawan bencana karena kurangnya informasi dan sosialisasi berbagai resiko kebencanaan. Masalah banjir di Kabupaten Bandung mempakan masalah yang tidak ada hentinya sejak dulu, dan pengendalian tata mang adalah salah satu cara non struktural untuk menanganinya. Namun, kondisi yang terjadi tidak menunjukkan upaya ke arah pengendalian tata mang tersebut. Persentase yang tinggi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan RTRW mempakan salah satu indikasi kurang berfungsinya aparat penegakan hukum dalarn tata mang. Bahkan, kondisi tersebut seolah-oleh dimanfaatkan oleh pihak-pihak teitentu baik yang mengetahui RTRW maupun yang tidak. Ketidaktahuan masyarakat mengenai konservasi juga mempakan ha1 yang perlu diperhatikan. Penyuluhan yang intensif dengan tema konservasi dapat dilaksanakan oleh para petugas lapangan terutama pada sub DAS-sub DAS stimulan banjir. Pengendalian tata ruang ini juga hms mengantisipasi kemungkinan arus urbanisasi, sehingga penggunaan lahan permukiman tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, temtama banjir. Hal ini diantisipasi dengan melihat kemungkinan-kemunglanan pembangunan yang lebih ke arah fisik, sipil teknis, dan dapat dijadikan kajian lanjutan. Meskipun demikian, pada dasarnya kemauan masyarakat cukup besar untuk ikut membantu kegiatan pemerintah asal jelas-jelas manfaat bagi mereka. Karena itu perlu adanya penyebarluasan informasi yang efektif dan tepat sasaran mengenai penataan ruang dengan memperhatikan resiko banjir di Kabupaten Bandung.

37 0 Alternatif kawasan permukiman di luar daerah bahaya banjir, merupakan daerah landai Pertanian lahan kering berbasis konservasi tanah Gambar 33 Skema upaya penataan ruang Kabupaten Bandung memperhatikan aspek resiko banjir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM

BAB III GAMBARAN UMUM BAB III GAMBARAN UMUM 3.1 Letak Geografis Letak Geografis Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung terletak pada koordinat 107 0 14 107 0 56 bujur timur dan 6 0 49 7 0 18 lintang selatan. Kecamatan Pasirjambu

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ANALISIS PENENTUAN LOKASI KAWASAN INDUSTRI TEMBAKAU

STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ANALISIS PENENTUAN LOKASI KAWASAN INDUSTRI TEMBAKAU Pekerjaan Jasa Konsultansi STRATEGI PENGEMBANGAN DAN ANALISIS PENENTUAN LOKASI KAWASAN INDUSTRI TEMBAKAU Pada bagian ini akan dijelaskan analisis mengenai analisis strategi pengembangan kawasan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG RANCANGAN PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BANDUNG RANCANGAN PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BANDUNG RANCANGAN PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN UNIT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001)

Lampiran 1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001) LAMPIRAN Lampiran 1 Indikator dari Pembangunan yang Berkelanjutan (CSD 2001) SOSIAL TEMA SUBTEMA INDIKATOR Persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan Kemiskinan Indeks gini dari ketidaksamaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI IV. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dengan luas 6.614 Km 2 dan panjang 300 km (Jasa Tirta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung mempunyai tugas pokok merumuskan kebijaksanaan teknis dan melaksanakan kegiatan teknis operasional

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG sebagai Dokumen ROADMAP KECAMATAN, dimana, berdasarkan (1) luas, (2) jumlah desa dan (3) jumlah penduduk. LANDASAN PENYUSUNAN ROADMAP Pasal 223 Desa/kelurahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam meliputi sumber daya lahan, hutan, air, dan mineral.

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam meliputi sumber daya lahan, hutan, air, dan mineral. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam meliputi sumber daya lahan, hutan, air, dan mineral. Sumber daya alam ini mempunyai peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia sehingga

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan PROGRAM DAN KEGIATAN, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF

Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan PROGRAM DAN KEGIATAN, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan RENCANA STRATEGIS PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK

Lebih terperinci

ANALISIS LUAS LAHAN GARAPAN PER RUMAH TANGGA PETANI DI SELURUH KECAMATAN DAS CITARUM HULU

ANALISIS LUAS LAHAN GARAPAN PER RUMAH TANGGA PETANI DI SELURUH KECAMATAN DAS CITARUM HULU Analisis Luas Garapan Petani di DAS Citarum Hulu May 15, 2011 1. Pendahuluan ANALISIS LUAS LAHAN GARAPAN PER RUMAH TANGGA PETANI DI SELURUH KECAMATAN DAS CITARUM HULU Oleh: D.K. Kalsim 1 dan M. Farid Rahman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan subsektor peternakan sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan subsektor peternakan sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berpotensi untuk mengembangkan sektor pertanian hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berpotensi untuk mengembangkan sektor pertanian hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia berpotensi untuk mengembangkan sektor pertanian hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki faktor geografis yang baik untuk membudidayakan tanaman

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang :

Lebih terperinci

Jumlah penduduk Kabupatent Bandung berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 3,17 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 2,56 persen per tahun

Jumlah penduduk Kabupatent Bandung berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 3,17 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 2,56 persen per tahun Jumlah penduduk Kabupatent Bandung berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 3,17 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 2,56 persen per tahun Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

BADAN PERENCANAAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PERWUJUDAN VISI...SINERGI PEMBANGUNAN PERDESAAN... DALAM SIKLUS PERENCANAAN TAHUNAN UU 25/2004; PP 8/2008 & PMDN 54/2010 Penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAHAN TAYANGAN MATERI SOSIALISASI

BAHAN TAYANGAN MATERI SOSIALISASI BAHAN TAYANGAN MATERI SOSIALISASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016 SAMPAI TAHUN 2036 PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub DAS Cikapundung berada di bagian hulu Sungai Citarum dan merupakan salah satu daerah yang memberikan suplai air ke Sungai Citarum, yang meliputi Kab. Bandung Barat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

UU No.23 Tahun Indikator. 6 Dimensi 28 Aspek. Pelimpahan Kewenangan

UU No.23 Tahun Indikator. 6 Dimensi 28 Aspek. Pelimpahan Kewenangan UU No.23 Tahun 2014 3 Indikator - Jumlah Penduduk - Luas Wilayah - Jumlah Desa/Kelurahan Klasifikasi : Tipe A (beban besar) Tipe B (beban kecil) 6 Dimensi 28 Aspek (Kreasi Tim: Pemetaan Pembanguna) Intervensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Perencanaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 LAMPIRAN 34 Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 Bulan Cikapundung Citarik Cirasea Cisangkuy Ciwidey mm Januari 62,9 311 177 188,5 223,6 Februari 242,1 442 149 234 264 Maret 139,3 247 190

Lebih terperinci

METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN DALAM PENENTUAN PUSAT PELAYANAN

METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN DALAM PENENTUAN PUSAT PELAYANAN 163 METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN DALAM PENENTUAN PUSAT PELAYANAN A.1 METODE ANALSISIS STURGESS Dalam mencari rangking untuk faktor penduduk penulis terlebih dahulu menentukan kelas wilayah yang dan melakukan

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

RENCANA TINDAK PENGELOLAAN DAS CITARUM

RENCANA TINDAK PENGELOLAAN DAS CITARUM RENCANA TINDAK PENGELOLAAN DAS CITARUM Oleh : Dr. Nana Mulyana Arifjaya, MS. Idung Risdiyanto, M.Sc Kegiatan Sosialisasi Rencana Tindak Pengelolaan DAS Citarum terpadu Bandung, 2013 LATAR BELAKANG Jumlah

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Bab ini secara garis besar membahas tinjauan mengenai gambaran wilayah studi yaitu Kota Soreang. Gambaran umum Kota Soreang dibagi dua bagian utama yaitu tinjauan eksternal

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan DIPRESENTASIKAN OLEH : 1. MAGDALENA ERMIYANTI SINAGA (10600125) 2. MARSAHALA R SITUMORANG (10600248) 3. SANTI LESTARI HASIBUAN (10600145) 4. SUSI MARIA TAMPUBOLON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi dari objek penelitian ini berada pada Kecamatan Rancaekek, tepatnya di Desa Sukamanah dan Kecamatan Rancaekek sendiri berada di Kabupaten Bandung.

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2036 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

4/12/2009. Water Related Problems?

4/12/2009. Water Related Problems? DRAINASE PENDAHULUAN Permasalahan dan Tantangan Water Related Problems? Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek penelitian Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan asumsi bahwa Pemerintah Kabupaten telah melaksanakan kebijakan pendelegasian wewenang Bupati

Lebih terperinci

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Kelurahan Mangunharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan) T U G A S A K H I R Oleh : LYSA DEWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam arti luas bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam arti luas bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan sumber yang penting bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumber daya alam menyediakan sesuatu

Lebih terperinci

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006 LANDSLIDE OCCURRENCE, 4 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA 6 Maret 4, Tinggi Moncong, Gowa, Sulawesi Selatan juta m debris, orang meninggal, rumah rusak, Ha lahan pertanian rusak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya memiliki matapencaharian dalam sektor pertanian. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan sektor yang

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR Oleh: EVA SHOKHIFATUN NISA L2D 304 153 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) 1 Pendahuluan Sungai adalah salah satu sumber daya alam yang banyak dijumpai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

Usulan Program dan Kegiatan dari Para Pemangku Kepentingan Tahun 2015 Kabupaten Bandung

Usulan Program dan Kegiatan dari Para Pemangku Kepentingan Tahun 2015 Kabupaten Bandung Usulan Program dan Kegiatan dari Para Pemangku Kepentingan Tahun 2015 Kabupaten Bandung Dinas Tenaga Kerja NO PELATIHAN LOKASI KECAMATAN DESA volume (org) Pagu 1 2 3 4 5 6 1 LAS LISTRIK ARJASARI KECAMATAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 20 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 20 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 20 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS DAERAH KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2036 I. UMUM Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai, sehingga memiliki potensi sumber daya air yang besar. Sebagai salah satu sumber daya air, sungai memiliki

Lebih terperinci

VISI DINAS PERTANIAN PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BANDUNG

VISI DINAS PERTANIAN PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BANDUNG VISI DINAS PERTANIAN PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BANDUNG 2011-2015 TUJUAN Menumbuhkembangkan sistem manajemen terpadu antar komoditas pertanian dan wilayah sentra produksi Menciptakan sistem produksi

Lebih terperinci

KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG

KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG Dede Rohmat 1, Mudjiadi 2, Hendra Ahyadi 3 1. Guru Besar Bidang Konservasi SDA pada Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

TINJAUAN KEBIJAKAN TERKAIT

TINJAUAN KEBIJAKAN TERKAIT TINJAUAN KEBIJAKAN TERKAIT Pada bagian ini akan dibahas mengenai kebijakan yang terkait dengan pengembangan industri tembakau, yang terdiri dari : 1) Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007 SAMPAI TAHUN 2027

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007 SAMPAI TAHUN 2027 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007 SAMPAI TAHUN 2027 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG; Menimbang

Lebih terperinci

3.1. BATASAN ADMINSTRASI KABUPATEN BANDUNG

3.1. BATASAN ADMINSTRASI KABUPATEN BANDUNG BAB 3 GAMBARAN UMUM 3.1. BATASAN ADMINSTRASI KABUPATEN BANDUNG Secara geografis, Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa barat. Tofografi sebagian besar di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai penampung air hujan, daerah resapan, daerah penyimpanan air, penangkap air hujan dan pengaliran air. Wilayahnya meliputi

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENYESUAIAN PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA PADA KAMI, KETUA PENGADILAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG

PERUBAHAN PENYESUAIAN PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA PADA KAMI, KETUA PENGADILAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG =================== SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG ------------------------------------------------------------------------------- Nomor : W11.U-6/1687/HT.04.10/IX/2014

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 54 BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Karakteristik Umum Wilayah 3.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Secara geografis wilayah studi terletak diantara 107 o 14 53 BT sampai dengan 107 o

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh dan fenomena alam yang ada, berbagai macam aktifitas manusia pasti berhubungan dengan lingkungan. Salah atu kelebihan

Lebih terperinci

DAFTAR KEGIATAN SKPD YANG DILAKSANAKAN DI WILAYAH TAHUN ANGGARAN Besaran Satuan Kecamatan Desa

DAFTAR KEGIATAN SKPD YANG DILAKSANAKAN DI WILAYAH TAHUN ANGGARAN Besaran Satuan Kecamatan Desa DAFTAR KEGIATAN SKPD YANG DILAKSANAKAN DI WILAYAH TAHUN ANGGARAN 2015 Kode Rekening Nama Kegiatan/ Sub Kegiatan 1 14 01 15 Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja 1 14 01 15 02 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan menunjukkan bahwa manusia dengan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu dikaitkan dengan aktifitas pembabatan hutan (illegal logging) di kawasan hulu dari sistem daerah aliran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Simpulan

BAB V PENUTUP Simpulan BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Tingginya peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas perekonomian di Kota Bandung mengakibatkan lahan di wilayah tersebut kian terbatas. Keterbatasan lahan di Kota Bandung mengakibatkan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia Tahun 2013 sebanyak rumah tangga Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia Tahun 2013 sebanyak 141.553 rumah tangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Indonesia Tahun 2013 sebanyak 41 Perusahaan Jumlah perusahaan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Uraian Umum Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai trilyunan rupiah berupa rumah,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

DESKRIPSI UMUM WILAYAH

DESKRIPSI UMUM WILAYAH DESKRIPSI UMUM WILAYAH Lokasi dan Kondisi Fisik Geografis Di dalam wilayah Jawa Barat, Kabupaten Bandung terletak pada koordinat 6"41' - 7'19' LS dan 107'22' - 108"05' BT, serta memiliki ketinggian antara

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI

BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI Pada bab ini akan dijelaskan gambaran umum mengenai Kecamatan Gunungpati yang mencakup letak administratif Kecamatan Gunungpati, karakteristik fisik Kecamatan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG Oleh : Muhammad 3615100007 Friska Hadi N. 3615100010 Muhammad Luthfi H. 3615100024 Dini Rizki Rokhmawati 3615100026 Klara Hay 3615100704 Jurusan Perencanaan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

REHABILITASI DAN KONSERVASI DAERAH HULU SUNGAI CITARUM. Oleh: Wahyu Sukiman Komar Kosasih Achmad Pranusetya

REHABILITASI DAN KONSERVASI DAERAH HULU SUNGAI CITARUM. Oleh: Wahyu Sukiman Komar Kosasih Achmad Pranusetya REHABILITASI DAN KONSERVASI DAERAH HULU SUNGAI CITARUM Oleh: Wahyu Sukiman Komar Kosasih Achmad Pranusetya Latar Belakang Degradasi hutan dan lahan di Indonesia telah mencapai angka seluas 100,7 juta hektar,

Lebih terperinci

2015 DAMPAK BANJIR CILEUNCANG TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI DI KECAMATAN RANCAEKEK KABUPATEN BANDUNG

2015 DAMPAK BANJIR CILEUNCANG TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI DI KECAMATAN RANCAEKEK KABUPATEN BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah salah satu bencana yang cukup populer di Indonesia pada musim hujan karena beberapa wilayah di Indonesia sering mengalami bencana banjir. Dibanding dengan

Lebih terperinci

DISKRIPSI PROGRAM UTAMA A-1 PENGEMBANGAN LINGKUNGAN SEHAT PERMUKIMAN (AIR LIMBAH)

DISKRIPSI PROGRAM UTAMA A-1 PENGEMBANGAN LINGKUNGAN SEHAT PERMUKIMAN (AIR LIMBAH) DISKRIPSI PROGRAM UTAMA A-1 PENGEMBANGAN LINGKUNGAN SEHAT PERMUKIMAN (AIR LIMBAH) I. Latar Belakang Rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung sebesar 1,6% akan menciptakan kebutuhan permukiman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 -

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Dengan pembangunan dan industrialisasi, pemerintah berusaha mengatasi permasalahan yang timbul akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Dan dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci