HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN INHIBITOR DAN ENHANCER Fe, BIOAVAILABILITAS Fe, STATUS GIZI DENGAN STATUS ANEMIA MAHASISWI IPB FERAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN INHIBITOR DAN ENHANCER Fe, BIOAVAILABILITAS Fe, STATUS GIZI DENGAN STATUS ANEMIA MAHASISWI IPB FERAWATI"

Transkripsi

1 HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN INHIBITOR DAN ENHANCER Fe, BIOAVAILABILITAS Fe, STATUS GIZI DENGAN STATUS ANEMIA MAHASISWI IPB FERAWATI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe, Bioavailabilitas Fe, Status Gizi dengan Status Anemia Mahasiswi IPB adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Ferawati NIM I

3 FERAWATI. Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe, Bioavailabilitas Fe dan Status Gizi dengan Status Anemia Mahasiswi IPB. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis hubungan pola konsumsi pangan inihibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, status gizi dengan status anemia mahasiswi IPB. Studi cross sectional dilakukan pada mahasiswi gizi IPB. Data primer dikumpulkan dari 69 orang mahasiswi meliputi pola konsumsi pangan sumber heme dan nonheme, intake zat gizi makro dan mikro berdasarkan FFQ dan konsumsi pangan recall 2x24 jam, data kadar hemoglobin, status gizi, serta bioavailabilitas Fe. Pengukuran bioavailabilitas Fe menggunakan metode Du et al. (2000. Hasil penelitian menunjukkan persentase anemia responden sebesar 56.5% termasuk kategori anemia ringan. Lebih dari separuh responden berstatus gizi normal. Konsumsi kelompok pangan inhibitor meliputi konsumsi pangan serealia (322.9 g/hari), kacang-kacangan (62.6 g/hari), dan teh (2.7 g/hari). Kelompok pangan enhancer yaitu sayuran (59.1 g/hari) dan buah (96.3 g/hari). Rerata tingkat kecukupan gizi berturut turut energi (55.1%), protein (69.3%), Fe (32.7%), Vitamin A (185%), vitamin C (38.7%) dan kalsium (27.7%). Hasil uji korelasi Rank Spearman, menunjukkan ada hubungan frekuensi konsumsi enhancer tomat dan suplemen dengan status anemia (p<0.05). Ada hubungan negatif antara konsumsi pangan inhibitor Fe yaitu kacang-kacangan, kopi dan susu (p<0.05). Ada hubungan konsumsi pangan enhancer Fe yaitu vitamin C, pangan hewani dan sayuran dengan status anemia (p<0.05), namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dan bioavailabilitas Fe dengan status anemia (p>0.05). Kata kunci: anemia, bioavailabilitas Fe, enhancer, inhibitor, status gizi FERAWATI. Correlation of Dietary Pattern from Enhancer and Inhibitors of Fe, Bioavailability of Fe, Nutritional Status, with Anemia Status on the Female Students at IPB. Supervisor by ALI KHOMSAN. ABSTRACT This research was to identify correlation of dietary pattern from enhancer and inhibitors of Fe, Fe bioavailability, nutritional status, with anemia status on the female students, IPB. Cross sectional study was conducted on April till June 2016, in Dramaga, IPB. Primary data was collected from 69 subjects include food consumption of heme and non heme, macro and micro nutrition intake used FFQ and recall 2x24 hours, nutritional status, the levels of hemoglobin and Measurement bioavailability of Fe used the method from Du et al. (2000. The results showed about 56.52% subjects were categorized as anemia and mild anemia. More than half of the subjects (78.3%) had normal nutritional status. Consumption of food inhibitor groups include cereal grains (322.9 g/day), legumes (62.59 g/day), and tea (2.3 g/day). Consumption of food enhancer groups

4 include vegetables (59.1 g/day) and fruits (96.8 g/day). Approximately level of nutritional adequacy from energy about (55.1%), protein (69.3%), Fe (32.7%), Vitamin A (185%), vitamin C (38.7%) and calcium (27.7%). The result of Rank Spearman correlation showed there was a significant correlation between frequency of tomato consumption and supplement consumption with anemia status (p<0.05), and there was a negative correlation between consumption food inhibitor of iron such as legumes, coffee milk with anemia status (p<0.05). There was a correlation between consumption food enhancer of iron such as vitamin C, animal food and vegetables with the anemia status (p<0.05). But, there was not significant correlation between nutritional status, bioavailability of Fe with anemia status. Key words: anemia, bioavailability of Fe, enhancer, inhibitor, nutrition status.

5 RINGKASAN FERAWATI. Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe, Bioavailabilitas Fe dan Status Gizi dengan Status Anemia Mahasiswi IPB. Di bawah bimbingan ALI KHOMSAN. Ujung tombak dalam pembangunan adalah generasi muda yang memiliki peran besar dalam peningkatan IPM Indonesia. Namun, masalah kesehatan pada remaja yakni anemia Prevalensinya masih tinggi di Indonesia (Septiani 2016). Data Riskesdas (2013) menunjukkan prevalensi anemia gizi besi sebesar 21.7%, sedangkan anemia pada remaja putri 26.9% dan 11% remaja laki laki. Anemia merupakan kondisi medis dengan jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal yaitu 12 g/dl (Proverawati 2011). Hasil survey di Prancis membuktikan, 16% mahasiwi kehabisan cadangan besi sementara 75% menderita kekurangan besi (Luo et al. 2011). Anemia berdampak pada fungsi kognitif dan memori, serta menurunkan kapasitas kerja sehingga dapat menurunkan konsentrasi dan prestasi sekolah (Tarwoto et al. 2012). Penyebab utama anemia pada remaja umumnya jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Kurangnya asupan besi akibat dari kurangnya jumlah besi yang dikonsumsi, serta pengaruh bioavailabilitas zat besi itu sendiri (Dickey et al. 2010). Bioavailabilitas merupakan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dapat diserap tubuh dengan zat gizi yang dikonsumsi (Palupi 2008). Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh faktor pendorong (enhancer) dan faktor penghambat (inhibitor) yang terdapat pada bahan pangan dalam diet. Mahasiswi adalah sekumpulan remaja yang dapat diteliti yang mempunyai beragam aktivitas yang padat baik kegiatan akademik maupun non akademik. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, status gizi dengan status anemia pada mahasiswi gizi IPB. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik responden (usia, besar uang saku, pengeluaran pangan dan nonpangan, Indeks Prestasi Kumulatif, dan riwayat penyakit); (2) Mengidentifikasi pola konsumsi pangan inhibitor dan Enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, status gizi dan status anemia responden; (3) Menganalisis hubungan antara karakteristik responden, pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, dan status gizi responden dengan status anemia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilaksanakan di lingkungan kampus IPB. Subjek penelitian ini berjumlah 69 orang mahasiswi secara purposive. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik responden (umur, uang saku, pengeluaran pangan, nonpangan, IPK, riwayat penyakit), frekuensi konsumsi pangan sumber heme dan non heme, bioavailabilitas Fe metode Du et al. (2000), status gizi dan status anemia dengan memeriksa kadar Hemoglobin darah metode Hemocue.. Responden penelitian ini sebanyak 69 mahasiswi Gizi IPB dengan kisaran umur terbanyak antara 17 hingga 23 tahun dan rerata usia 21 tahun. Mayoritas berasal dari Suku Jawa. Rerata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) responden adalah 3.36 dan uang saku Rp per bulan. Persentase responden yang anemia sebesar 56.5% dengan rerata kadar Hb 11.7 g/dl dan tergolong kategori anemia

6 ringan. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara karakteristik umur, uang saku, pengeluran pangan dan nonpangan dengan status anemia (kadar Hb). Sebesar 78.4% responden memiliki status gizi normal dengan rerata IMT 21.9 kg/m 2. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan status gizi (IMT) dengan status anemia (kadar Hb) (p>0.05). Konsumsi pangan diukur secara kualitatif dan kuantitatif yaitu dengan Food Frequency Questioner (FFQ) dan asupan gizi dengan recall 2x24 jam. Hasil analisis kebiasaan konsumsi pangan menunjukkan frekuensi konsumsi pangan sumber besi heme yang paling sering adalah ayam, telur, ikan segar dan ikan teri. Frekuensi konsumsi pangan sumber nonheme yang paling sering serealia, kacangkacangan dan susu. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kategori frekuensi konsumsi pangan inhibitor Fe dengan status anemia. Ada hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi tomat dan suplemen dengan status anemia (kadar Hb) responden (p<0.05). Jumlah pangan inhibitor yang paling banyak dikonsumsi adalah serealia, kacangkacangan dan susu. Jumlah pangan enhancer yang banyak dikonsumsi adalah kelompok pangan hewani dan buah-buahan. Hasil uji korelasi Rank Spearman, ada hubungan negatif antara konsumsi kacang-kacangan (r=-0.274; p=0.012), susu (r=-0.855; p=0.007), dan kopi (r=-0.263; p=0.029) dengan status anemia (kadar Hb) responden. Artinya semakin tinggi konsumsi kacang-kacangan, susu dan kopi dapat menurunkan kadar Hb responden. Terdapat hubungan yang positif antara konsumsi pangan hewani (r=0.300; p=0.012) dan sayuran (r=0.360; p=0.002) dengan status anemia (kadar Hb) responden. Asupan zat gizi dihitung berdasarkan recall 2x24 jam. Tingkat kecukupan zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (Fe, vitamin A, vitamin C dan kalsium) mayoritas responden dalam kategori defisit. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan zat gizi makro (energi dan protein) dengan status anemia (p>0.05). Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin C dengan status anemia (kadar Hb) responden (p<0.05). Hasil dari perhitungan bioavailabilitas Fe responden berdasarkan metode Du et al. (2000) menunjukkan sebagian besar responden memiliki konsumsi dengan kategori bioavailabilitas Fe rendah dengan rerata 3.69%. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara bioavailabilitas Fe dengan status anemia (kadar Hb) responden (p>0.05). Hal ini diduga karena sebagian besar rerata konsumsi responden memiliki bioavailabilitas Fe yang masih tergolong rendah (66.7%). Jumlah konsumsi sayur dan buah responden masih sangat rendah (20%) dibandingkan anjuran dalam Pedoman Gizi Seimbang. Indahswari et al. (2013), menyatakan cara pengolahan bahan makanan dapat mempengaruhi bioavailabilitas Fe dalam bahan makanan, seperti cara pencucian dapat melarutkan zat besi dalam air. Proses pemanasan bahan makanan juga dapat mempengaruhi kandungan zat besi dalam bahan makanan. Kata kunci: anemia, bioavailabilitas Fe, enhancer, inhibitor, status gizi

7 HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN INHIBITOR DAN ENHANCER Fe, BIOAVAILABILITAS Fe, STATUS GIZI DENGAN STATUS ANEMIA MAHASISWI IPB FERAWATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena rahmat dan karunia-nya sehingga penyusunan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April sampai juni 2016 ini adalah Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe, Bioavailabilitas Fe, Status Gizi dengan Status Anemia Mahasiswi IPB. Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia memberikan waktu, ilmu, arahan, dan masukan selama bimbingan. 2. Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS selaku dosen pembimbing akademik dan penguji yang telah meluangkan waktu memberikan ilmu, arahan, dan masukan selama bimbingan. 3. Kepala BPPSDM Kemenkes RI beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dana kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar di IPB. 4. Ibunda tersayang (Ibu Jaminar), ibu terhebat yang selalu menjadi inspirator dalam setiap langkah kehidupan ku, selalu menyemangati dan mendoakan yang terbaik. Kakak-kakak dan adik tercinta (Riko Saputra) yang selalu ada di saat suka dan duka. Beserta semua keluarga besar yang selalu memberikan kasih sayang, doa dan perhatian serta motivasi kepada penulis. 5. Suami tercinta (Emil Salim S.AP) yang selalu memberikan perhatian, kasih sayang, kekuatan cinta dan motivasi kepada penulis. Ananda tercinta (Meherunissa Salim dan Alm. Adila Amnan Salim) buah hati penyemangat hidup bagi penulis. 6. Seluruh civitas akademika Departeman Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia yang telah membantu dalam proses penyelesaian studi ini. 7. Semua teman-teman Alih Jenis Gizi angkatan 8 ( Antioksidan keluarga baru, sahabat, kakak dan adik-adik) yang terbaik dan terindah bagi penulis selama menjalani pendidikan di IPB yang selalu memberikan motivasi, doa dan dukungan serta bantuan dalam proses penyelesaian studi ini. 8. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada penulis, masyarakat umum, dan pemerintah mengenai pentingnya pencegahan resiko terjadinya anemia. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Ferawati

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Tujuan 3 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis 3 Manfaat 3 KERANGKA PEMIKIRAN 4 METODE 6 Desain, Tempat, dan Waktu 6 Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh 6 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 6 Pengolahan dan Analisis Data 7 Definisi Operasional 11 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 Karakteristik Responden 12 Status Anemia berdasarkan Kadar Hemoglobin 13 Pola Konsumsi Pangan Sumber Heme 16 Pola Konsumsi Pangan Sumber Nonheme 17 Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe 18 Konsumsi Pangan Inhibitor Fe 18 Konsumsi Pangan Enhancer Fe 19 Status Gizi 19 Bioavailabilitas Fe 20 Intake dan Tingkat Kecukupan Gizi 21 Hubungan Karakteristik Responden dengan status anemia 22 Hubungan Pola Konsumsi dengan Status Anemia 24 Hubungan Konsumsi Pangan Inhibitor Fe dengan Status Anemia 28 Hubungan Konsumsi Pangan Enhancer Fe dengan Status Anemia 30 Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi dengan Status Anemia 31 Hubungan Status Gizi dengan Status Anemia 32 Hubungan Bioavailabilitas Fe dengan Status Anemia 33 SIMPULAN DAN SARAN 35

11 DAFTAR PUSTAKA 36 LAMPIRAN 39 RIWAYAT HIDUP 51 DAFTAR TABEL 1 perhitungan bioavailabiltas Fe metode Duet al. (2000) 8 2 Variabel, alat, dan cara pengumpulan data 10 3 Sebaran responden berdasarkan karakteristik dan sosiodemografi 12 4 Sebaran kadar hemoglobin responden 14 5 Penentuan jumlah anemia berdasarkan gejala klinis dan kadar Hb 15 6 Sebaran responden berdasarkan gejala klinis dan status anemia 15 7 Sebaran responden berdasarkan pola konsumsi pangan sumber heme 16 8 Sebaran responden berdasarkan pola konsumsi pangan sumber nonheme 9 Rerata konsumsi kelompok pangan inhibitor Fe Rerata konsumsi kelompok pangan enhencer Fe Sebaran responden berdasarkan status gizi Sebaran responden berdasarkan persentase bioavailabilitas Fe Sebaran responden berdasarkan intake zat gizi Sebaran responden TKG makro dan mikro Hubungan karakteristik responden dengan status anemia Hubungan frekuensi konsumsi pangan sumber heme (lauk hewani) dengan status anemia 17 Hubungan frekuensi konsumsi pangan nonheme dengan status anemia 18 Hubungan konsumsi pangan inhibitor Fe dengan status anemia Hubungan konsumsi pangan enhancer Fe dengan status anemia Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi dengan status anemia Hubungan status gizi dengan status anemia Perhitungan bioavailabilitas Fe metode Du et al. (2000) Hubungan bioavailabilitas Fe dengan status anemia

12 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inihibitor Fe dan Enhancer Fe, Bioavailabilitas Fe, Status Giz idengan Status Anemia Mahasiswi IPB 5 DAFTAR LAMPIRAN 1 Naskah Penjelasan penelitian 40 2 Kuesioner penelitian 41 3 Kebiasaan makan (FFQ) 43 4 Data konsumsi form recall 2x24 jam (hari pertama) 44 5 Data konsumsi form recall 2x24 jam (hari kedua) 45 6 Hasil uji hubungan 46 7 Surat keterangan lolos kaji etik penelitian 49 8 Dokumentasi 51

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan pada suatu negara dapat di lihat melalui nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM adalah akumulasi dari nilai indeks kesehatan, pendidikan dan daya beli yang menunjukkan kualitas hidup masyarakat di suatu negara. IPM Indonesia pada tahun 2014 dengan nilai indeks 68.9% (BPS 2015). Angka ini menempati peringkat ke 110 dari 187 negara, namun dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia berada pada peringkat ke 62, posisi Indonesia jauh tertinggal. Salah satu ujung tombak dalam pembangunan di Indonesia adalah generasi muda, yaitu para remaja yang semakin meningkat jumlahnya, dan memiliki peran besar dalam peningkatan IPM Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, masalah anemia pada remaja di Indonesia masih tinggi (Septiani 2016). Data Depkes (2005) menunjukkan bahwa penderita anemia pada remaja putri berjumlah 26.50%. Di Jawa Barat tercatat 28% remaja menderita anemia (Depkes RI 2008). Data Riskesdas (2013) menunjukkan prevalensi anemia gizi besi sebesar 21.7%, prevalensi anemia pada remaja putri 26.9% dan 11% remaja laki laki. Anemia diakui sebagai gangguan gizi yang paling umum di dunia baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi anemia masih sangat tinggi, menurut WHO (2008) penduduk dunia yang anemia sebanyak 1.62 miliar dengan prevalensi sebesar 24.8% dari total penduduk dunia. Prevalensi anemia remaja putri di Asia Tenggara sekitar 25-40% yang bervariasi dari anemia tingkat ringan hingga berat. Penelitian di Cina, menunjukkan prevalensi anemia pada mahasiswi cukup tinggi. Kekurangan zat besi pada golongan masyarakat ekonomi kurang merupakan permasalahan gizi yang signifikan di China (Luo et al. 2011). Survei terhadap mahasiswi kedokteran di Perancis menyatakan bahwa 16% mahasiswi kehabisan cadangan besi dan 75% menderita kekurangan zat besi (Sandoval et al. 2004). Penelitian Briawan et al. (2012) pada siswi remaja SMK Pelita di kabupaten Bogor menunjukkan bahwa prevalensi anemia sebesar 10.8% dan faktor konsumsi protein hewani, asupan vitamin A dan vitamin C berhubungan nyata dengan kadar hemoglobin darah siswi. Kekurangan besi dapat mengakibatkan anemia dan keletihan. Zat besi dibutuhkan tubuh untuk membentuk mioglobin dalam jaringan otot yang baru. Zat besi (Fe) lebih banyak dibutuhkan oleh remaja putri karena remaja putri mengalami menstruasi setiap bulan, sekitar ± 1.3 mg per hari kehilangan zat besi, sehingga kebutuhan zat besi lebih banyak dari pada remaja pria. Selain itu, remaja putri juga punya kebiasaan yang selalu ingin tampil langsing, sehingga membatasi asupan makanan yang mengandung zat besi (Tarwoto et al. 2010). Menurut Proverawati (2011), anemia merupakan suatu kondisi medis dengan jumlah sel darah merah kurang dari normal yaitu 12 g/100 ml. Anemia juga menunjukkan gejala klinis antara lain; 1) lemah, lesu, letih, lelah, dan lalai; 2) sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang; 3) kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat. Kondisi ini akan berdampak

14 terhadap fungsi kognitif dan memori, serta menurunkan kapasitas kerja sehingga dapat menurunkan konsentrasi dan prestasi sekolah (Tarwoto et al. 2012). Penyebab utama anemia pada remaja umumnya jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Kurangnya asupan zat besi akibat dari kurangnya jumlah zat besi yang dikonsumsi, serta pengaruh bioavailibilitasnya ataupun pengaruh kemampuan penyerapan zat besi itu sendiri. Dickey et al. (2010), menyatakan selain ketidakcukupan jumlah zat besi dalam diet, bioavailabilitas zat besi yang rendah dalam makanan dapat menyebabkan anemia defisiensi. Bioavailabilitas merupakan perbandingan antara jumlah zat gizi (besi) yang dapat diserap tubuh dengan zat gizi (besi) yang dikonsumsi (Palupi 2008). Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat yang terdapat pada bahan pangan dalam diet. Faktor pendorong dan penghambat menjadi perhatian penting dalam menilai intake atau asupan zat besi. Banyak zat gizi mikro yang digunakan bersama-sama dengan zat besi untuk meningkatkan penyerapan zat gizi yang disebut dengan faktor pendorong diantaranya asam folat, vitamin A, vitamin C, seng, vitamin B12 dan lainnya. Soemardjo (2009), menyatakan vitamin C dapat mempercepat penyerapan besi dalam tubuh serta berperan dalam memindahkan besi ke dalam darah, dan simpanan besi terutama hemosiderin dalam limpa. Penelitian Zarianis (2006) menunjukkan bahwa defisiensi besi bukan merupakan satu-satunya faktor utama penyebab anemia, defisiensi vitamin C juga turut berperan dalam menimbulkan anemia. Selain itu, adanya faktor penghambat yaitu zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain asam fitat, asam oksalat, dan tanin yang terdapat dalam serealia, sayuran, kacang-kacangan dan teh. Hasil penelitian Rofles dan Whitney (2008), menjelaskan bahwa besi yang dapat diserap oleh sel-sel mukosa juga sangat ditentukan oleh kekuatan ikatan besi kelat, kelarutan dari kompleks, faktor lingkungan seperti ph dan adanya competiting chelator lainnya. Selama proses pencernaan, besi nonheme dapat berubah valensinya dan secara cepat membentuk kompleks besi kelat dengan senyawa ligan seperti asam fitat, tanin, dan oksalat. Upaya penanggulangan masalah anemia pada remaja berkaitan dengan faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya anemia. Oleh karena itu diperlukan informasi masalah gizi pada remaja dan fakor-faktor yang mempengaruhinya. Informasi ini sangat berguna sebagai dasar penetapan strategi program perbaikan kesehatan dan gizi pada kelompok remaja. Mahasiswa adalah salah satu subjek sekumpulan remaja yang dapat diteliti yang mempunyai beragam aktivitas yang padat baik kegiatan akademik maupun non-akademik. Mahasiswa berkemungkinan memiliki pola makan kurang teratur dan asupan yang kurang sehingga mempengaruhi status gizi dan status anemianya. Penelitian anemia terkait bioavailabilitas Fe yang dilakukan pada mahasiswi gizi di Institut Pertanian Bogor (IPB) masih jarang. Uraian latar belakang di atas, menggunggah penulis untuk melakukan penelitian tentang status anemia pada mahasiswi gizi IPB dengan judul Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe, Bioavailabilitas Fe, Status Gizi dengan Status Anemia Mahasiswi Gizi di IPB.

15 Perumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe dengan status anemia mahasisiwi IPB? 2. Bagaimana hubungan bioavailabiltas Fe dengan status anemia mahasisiwi IPB? 3. Bagaimana hubungan status gizi dengan status anemia mahasisiwi IPB? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, status gizi dengan status anemia pada mahasiswi IPB. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia, besar uang saku, pengeluaran pangan dan nonpangan, Indeks Prestasi Kumulatif, dan riwayat penyakit). 2. Mengidentifikasi pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, status gizi dan status anemia responden. 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik, pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, dan status gizi responden dengan status anemia. Hipotesis Adanya hubungan positif antara pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, status gizi dengan status anemia mahasiswi IPB. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang anemia pada remaja putri (mahasiswi) dan dapat digunakan sebagai salah satu sarana memperkaya ilmu pengetahuan pembaca khususnya mengenai anemia pada remaja putri. Serta dapat menjadi masukan dalam upaya meningkatkan pengetahuan secara umum tentang anemia pada remaja putri, sehingga diperoleh sikap dan pemikiran yang selaras dengan upaya pencegahan penyakit anemia khususnya pada remaja putri.

16 KERANGKA PEMIKIRAN Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu atau belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji 2012). Menurut Slameto (2010), usia mahasiswa termasuk kategori remaja akhir yang memasuki masa dewasa, serta memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda. Remaja putri merupakan salah satu kelompok rawan untuk menderita anemia. Remaja putri membutuhkan lebih banyak besi, untuk mengganti besi yang hilang bersamaan dengan darah haid. Anemia pada remaja putri adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang dari normal dimana nilai Hb normal pada remaja putri menurut WHO adalah 12 g/dl (Arisman 2010). Umumnya pemeriksaaan kadar Hb di lapangan menggunakan 3 metode yaitu : kertas saring (talquist), Sahli dan Hemocue. Metode Hemocue merupakan metode laboratorium terbaik untuk pemeriksaan kuantitatif Hb, sehingga dianjurkan oleh WHO. Selain itu, status anemia juga bisa dilihat berdasarkan gejala klinis anemia diantaranya kelopak mata pucat, lidah pucat, kuku pucat, kuku mudah rusak, mata berkunang-kunang, pusing, lemah dan lelah. Gejala ini dapa digunakan untuk mendiagnosa secara dini terjadinya anemia pada remaja putri (Hankusuma 2009). Anemia yang umumnya terjadi adalah anemia defisiensi besi. Salah satu penyebab utama anemia defisiensi besi adalah kurangnya konsumsi pangan hewani sayur dan buah, sumber protein dan zat besi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi anemia defisiensi besi baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya yaitu karakteristik individu dapat mempengaruhi konsumsi pangan dan intake seseorang yang selanjutnya akan mempengaruhi status anemia seseorang. Umur, besar uang saku dan riwayat penyakit mempengaruhi status anemia seseorang. Pendapatan termasuk uang saku merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Pendapatan keluarga yang rendah berhubungan dengan tingkat konsumsi besi yang berasal dari daging, ikan, dan unggas serta makanan dari sumber hewani lainnya (Prasetyono DS 2009). Bioavailabilitas intake zat besi tergantung pada jenis protein yang dikonsumsi, karena pada umumnya Fe yang terdapat pada protein hewani lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan Fe pada protein nabati. Hal ini disebabkan oleh bentuk Fe di dalam masing-masing protein berbeda-beda. Bioavailabilitas zat besi juga dipengaruhi oleh zat-zat yang menghambat penyerapan Fe seperti tanin, asam oksalat, dan asam fitat. Penyerapan Fe juga dipengaruhi oleh vitamin C yang dapat mereduksi ferri dalam pangan protein nabati menjadi ferro sehingga lebih mudah diserap oleh usus. Berdasarkan uraian di atas, maka dikembangkan suatu kerangka pemikiran yang dimodifikasi dari kerangka konsep Zulaekah (2007). Hubungan antara pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe dan intake zat gizi dengan status anemia secara ringkas disajikan pada Gambar 1 berikut ini.

17 Sosial Ekonomi Pendidikan Gizi (Metode, Alat Bantu) Pengetahuan Gizi Asupan Zat Gizi Makro (Energi, Protein) dan Mikro (Fe, Vitamin A, vitamin C, dan Calsium) Konsumsi pangan inhibitor Fe (serealia, kacangkacangan) dan konsumsi pangan enhancer Fe (pangan hewani, Vitamin C,sayur dan buah) Peningkatan Kebutuhan Besi Bioavailabilitas Fe Suplementasi Besi Riwayat penyakit Status anemia (Kadar Karakteristik Individu (Umur, Ras/suku, uang saku, ) Prestasi akademik (IPK) Diagram 1 Kerangka Pemikiran Hubungan Pola Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe, Bioavailabilitas Fe, Intake Zat Gizi, Status Gizi dengan Status Anemia Mahasiswi IPB. Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan variabel yang di teliti = Hubungan variabel yang tidak diteliti.

18 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study dengan lokasi di kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan belum banyak penelitian tentang status anemia pada mahasiswi gizi yang aktif berjumlah sebanyak 341 orang dari berbagai daerah. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juni Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswi Departemen Gizi Masyarakat IPB. Dari data Komisi Pendidikan Departemen Gizi Masyarakat diketahui bahwa terdapat sebanyak 341 orang mahasiswi Departemen Gizi Masyarakat di IPB. Pengambilan sampel secara purposive sampling berdasarkan kriteria tertentu. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu: a. Sampel mahasiswi Departemen Gizi Masyarakat IPB yang aktif b. Sampel berbadan sehat c. Tidak sedang menstruasi d. Bersedia untuk terlibat menjadi sampel dalam penelitian. Rumus perhitungan sampel berdasarkan besar prevalensi dan populasi (Snedecor GW and Cochran WG 1997 dalam Bhisma-Murti dan Supranto 2015): n = Keterangan : Z1- α = Tingkat Kepercayaan 95%=1. 96 Z = Simpangan N = Besar populasi mahasiswi IPB (341 orang) p = Prevalensi remaja wanita 26.9% (riskesdas 2013) q = 1 p = = d = Presisi Penyimpangan 10% Hasil perhitungan rumus tersebut, maka diperoleh besar sampel minimal adalah 61.9 = 62 orang responden. Jika kebutuhan estimasi drop out 10% maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah: 62x10%= = 68.2 atau 69 orang mahasiswi. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui tiga cara yaitu dengan wawancara langsung, pengukuran langsung, dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh seorang petugas laboratorium profesional di Departemen Gizi Masyarakat IPB. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status anemia mahasiswi, sedangkan variabel independennya adalah pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, dan status gizi. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari

19 karakteristik mahasiswi yaitu umur, uang saku, pengeluaran pangan dan nonpangan, suku/asal daerah, indeks prestasi kumulatif (IPK) dan riwayat penyakit. Wawancara langsung dengan mahasiswi dilakukan pada saat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, uang saku, dan frekuensi konsumsi pangan. Data frekuensi konsumsi pangan diperoleh dengan metode Food Frequency Questionnaires (FFQ) terhadap pangan sumber heme dan pangan sumber non heme 1 minggu terakhir. Data intake zat gizi dengan cara wawancara dan recall 2x24 jam. Pengumpulan data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran langsung berat badan dan tinggi badan dengan alat ukur timbangan digital dan microtoise. Selanjutnya hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengetahui status gizi antropometri mahasiswi. Status anemia mahasiswi diketahui dari pemeriksaan kadar hemoglobin darah. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan darah sampel yang dilakukan oleh petugas Laboratorium profesional dan terlatih di departemen Gizi Masyarakat dan selanjutnya diukur langsung dengan metode Hemocue. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan gejala klinis dengan wawancara dan pengamatan. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan inferensia menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS version 16.0 for windows. Data diolah berupa entry, coding, editing, dan cleaning kemudian data dianalisis. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status anemia sedangkan variabel independennya adalah, pola konsumsi pangan, intake zat gizi, bioavailabilitas zat besi (Fe) dan status gizi. Usia sampel digolongkan menjadi 2, diberi skor 1 untuk usia tahun dan skor 2 untuk usia tahun. Prestasi akademik didapat melalui wawancara pada reponden untuk mengetahui nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sampel sebagai dampak tak langsung. Skor 1 dikategorikan sangat baik apabila nilai IPK sampel 3.50, skor 2 tergolong baik bila IPK sampel dan skor 3 tergolong kurang bila nilai IPK sampel <3.00. Suku asal daerah responden digolongkan menjadi 4, yaitu suku Jawa, Sunda, Minang, dan lain-lain. Uang saku dinyatakan dalam satuan rupiah per bulan dan dikelompokkan menjadi 3, yaitu <Rp , Rp Rp , dan Rp Terjadinya anemia apabila kadar hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Status anemia contoh ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin yaitu menjadi anemia (kadar Hb<12 g/dl) dan tidak anemia (kadar Hb 12 g/dl). Data kadar hemoglobin tersebut dapat dikategorikan berdasarkan jenis anemia yaitu kategori ringan ( g/dl), sedang (7-9.9 g/dl), dan berat (kadar Hb<7 g/dl). Terkait status anemia responden, juga dilakukan pemeriksaan dan pengamatan gejala klinis (kelopak mata pucat, lidah pucat, kuku pucat, kuku mudah rusak, mata berkunang-kunang, pusing, lemah dan lelah). Gejala ini dapat digunakan untuk mendiagnosa secara dini terjadinya anemia pada remaja putri (Hankusuma 2009). Dikatakan positif jika terdapat minimal 3 gejala klinis dari 8 gejala klinis yang diamati, tidak anemia jika tidak ada gejala klinis.

20 Data frekuensi konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe diukur dengan cara melihat dan memilih pangan sumber heme dan nonheme. Bahan pangan tersebut kemudian dikategorikan menurut frekuensi konsumsinya selama seminggu yaitu jarang (<3 kali), sering ( 3 kali). Konsumsi pangan dan asupan zat gizi diukur dari food recall 2x24 jam. Konsumsi zat gizi yang dihitung yaitu zat gizi makro (energi, protein) dan zat gizi mikro (vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi). Variabel tersebut dihitung dengan mengkonversi gram makanan ke dalam bentuk zat gizi menggunakan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Tingkat Kecukupan Gizi dihitung berdasarkan Angka Kecukupan Gizi tahun TKG = (K x AKGi) x 100% Kategori TKG mengacu pada Departemen Kesehatan RI (1996) tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menjadi lima, yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70%-79% AKG), defisit tingkat ringan (80%-89% AKG), cukup atau normal (90%-119% AKG), dan kelebihan (>120% AKG). Tingkat kecukupan zat besi, vitamin A, dan vitamin C, kalsium dikelompokkan menjadi cukup ( 77% AKG) dan kurang (< 77% AKG) (Gibson 2005). Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al. 2001). Data status gizi responden diperoleh menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihitung berdasarkan data antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan mahasiswi dengan rumus berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m 2 ). IMT memiliki satuan kg/m 2. Nilai IMT dikategorikan berdasarkan WHO (2010), yaitu skor 1 untuk IMT <17 (sangat kurus), skor 2 untuk IMT <18 (underweight), skor 3 untuk IMT (normal), skor 4 untuk IMT 25 (overweight) dan 25 (obese) untuk skor 5. Bioavailabilitas Fe diukur menggunakan metode Du et al. (2000) yang ditentukan oleh besi heme dan nonheme. dan faktor enhancer dan inhibitor. Perhitungannya dari intake 1 hari (recall 1x24 jam). Bioavailabilitas Fe ini dikategorikan menjadi tiga yaitu tinggi 15%, sedang 10% -15% dan rendah 5% (WNPG 2013). Adapun langkah-langkah dalam menganalisis bioavailabilitas zat besi dapat dilihat pada Tabel 1. Total Hewani (g) Tabel 1 Perhitungan bioavailabilitas Fe dengan metode Du et al. (2000) Fe (mg) Vit C (mg) Besi Heme (mg) Besi Non Heme (mg) Bioavailabilitas (%) Heme Non Heme Besi Terserap Total (mg) Heme (mg) Non Heme (mg) Persen Total (%) Keterangan : 1. Kolom pertama menunjukan jumlah pangan hewani (g) yang dikonsumsi selama sehari 2. Kolom kedua menunjukan jumlah total zat besi (mg) dari setiap pangan yang dikonsumsi

21 3. Kolom ketiga menunjukan jumlah total vitamin C (mg) dari setiap pangan yang dikonsumsi 4. Kolom keempat menunjukan besi heme (mg) yang diperoleh dengan cara mengalikan faktor heme atau nilai tetapan literature (0.4) dengan total zat besi (Kolom 2) 5. Kolom kelima menunjukan besi non heme yang merupakan selisih dari total zat besi (Kolom 2) dan besi heme (Kolom 4) 6. Kolom keenam menunjukan bioavailabilitas heme yaitu 23%. 7. Kolom ketujuh menunjukkan bioavailabilitas nonheme (%), yang diperoleh dengan rumus = ln (Efs / Ifs) Keterangan: Efs = Vit C (mg) + protein hewani (g) + sayur dan buah (g) + 1 Ifs = Serealia (g) + kacang-kacangan (g) + teh (g) Kolom kedelapan menunjukan penyerapan besi heme (mg) yang diperoleh dengan cara mengalikan bioavailabilitas heme (Kolom 6) dengan besi heme (Kolom 4) 9. Kolom kesembilan menunjukan penyerapan besi non heme (mg) yang diperoleh dengan cara mengalikan bioavailabilitas non heme (Kolom 7) dengan besi non heme (Kolom 5) 10. Kolom kesepuluh menunjukan total penyerapan (mg) yang diperoleh dengan cara menjumlahkan total penyerapan heme (Kolom 8) dan total penyerapan non heme (Kolom 9) 11. Kolom kesebelas menunjukan total persen (%) yang diperoleh dengan cara total penyerapan (Kolom 10) dibagi jumlah total hewani (g) (Kolom 1) dikali 100. Ada beberapa metode menghitung Bioavailabilitas zat besi dari konsumsi pangan yang ditentukan oleh besi heme dan non heme, zat pendorong dan penghambat penyerapan besi dari pangan. Bioavailabilitas zat besi menggunakan estimasi dari metode Du et al (2000). Bioavailabilitas heme diasumsikan sebesar 23% dan nonheme sebesar 40%. Bioavailabilitas nonheme menggunakan persamaan: ln (EFs/Ifs). EFs adalah penjumlahan dari vitamin C (mg), jumlah konsumsi pangan sumber hewani (g), sayuran dan buah (g) dan koefisen 1. Ifs yaitu penjumlahan serealia (g), kacang-kacangan (g), teh (g), kopi (g) dan koefisen 1. Penelitian Batty S.(2014) menyatakan, dalam menghitung bioavailabilitas menggunakan metode Du et al (2000) memiliki keunggulan dibandingkan dua metode lainnya yaitu metode WHO (FAO/WHO 1988) dan metode Monsen (Monsen et al. 1982). Metode Du et al (2000) merupakan metode perhitungan bioavailabilitas Fe dengan melihat jenis besi yang dikonsumsi dan intake dari recall 1x24 jam. Sehingga semua jenis pangan yang dikonsumsi baik serealia, kacang-kacangan, sayuran, buah dan minuman diperhitungkan. Namun kelemahan dari metode ini yaitu tidak memperhitungkan serat yang terdapat dalam faktor pendorong bioavailabilitas yaitu sayuran dan buah karena metode ini lebih fokus melihat kadar vitamin dan mineral dalam buah dan sayuran. Sedangkan metode WHO menghitung bioavailabilitas dari jenis besi (heme atau nonheme) dan intake

22 vitamin C dari total konsumsi makanan. Intake konsumsi sebagai faktor estimasi untuk bioavabilitas besi heme dan nonheme, sedangkan asumsi vitamin C dilihat dari persentase mg vitamin C di dalam daging yang dikonsumsi. Metode Monsen menghitung bioavailabilitas dari enhancing factors (EF). Faktor tersebut adalah vitamin C dan protein hewani. Hasil perhitungan data yang didapat dalam bentuk kategori kategori ditampilkan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan tabel silang untuk mengetahui hubungan antar variabel. Data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, setelah itu dibuat hubungan antara 2 variabel (bivariat) dengan menggunakan tabel silang. Data yang memiliki distribusi normal menggunakan uji korelasi Pearson dan data yang tidak normal menggunakan uji korelasi Ranks Spearman. Uji hubungan tersebut digunakan untuk melihat signifikansi hubungan status anemia dengan variabel independen (pola konsumsi inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe dan status gizi). Tabel 2 Variabel, data yang dibutuhkan dan kategori Variabel Data yang dibutuhkan Kategori Karakteristik contoh Umur Umur responden Suku Suku / Asal daerah contoh 1. Jawa 2. Sunda 3. Minang 4. Lain-lain Prestasi akademik Uang saku Data pimer Status anemia Intake zat gizi mikro Status gizi Indeks prestasi kumulatif contoh Uang saku contoh dalam satu bulan Kadar hemoglobin darah Pengamatan dan pemeriksaan gejala klinis Asupan zat gizi mikro (Fe, Vitamin A, vitamin C, Calsium) responden Keadaan status gizi responden tahun (remaja tengah) tahun (remaja akhir) Sumber: Susilowati (2010) Sumber: ketentuan peneliti 1. Sangat baik: Baik: Kurang: <3.00 Sumber: ketentuan peneliti 1. < Rp Rp Rp Sumber: ketentuan peneliti Metode hemocue 1.Anemia (<12 g/dl) 0. Tidak anemia ( 12g/dl) Sumber: Proverawati A. (2011) 1. Kurang : <77% AKG 2. Cukup : 77% AKG Sumber: Gibson (2005) 1. Sangat kurus: <17 2. Underweight: < Normal : Overweight: Obese: 30.0 Sumber: WHO (2010)

23 Tabel 2 Variabel, data yang dibutuhkan dan kategori (lanjutan) Variabel Data yang dibutuhkan Kategori Bioavailabilitas Fe Perbandingan antara jumlah zat gizi yang dapat diserap tubuh dengan zat gizi yang dikonsumsi 1. Rendah : <5% 2. Sedang : 5%-15% 3. Tinggi : 15% Sumber: WNPG (2013) Definisi Operasional Karakteristik sampel adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh mahasiwi gizi IPB yang menjadi sampel, yaitu: umur, suku/asal daerah dan uang saku, riwayat penyakit. Umur adalah lamanya sampel mahasiwi gizi IPB hidup yang dihitung sejak dilahirkan dinyatakan dalam tahun. Suku/Asal daerah adalah suku/asal daerah dari mana mahasiwi gizi IPB berasal. IPK adalah nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) melalui jalur akademisi yang mahasiwi gizi IPB dapatkan selama masa kuliah. Uang saku adalah jumlah uang yang didapatkan sampel mahasiwi gizi IPB per bulan yang dinyatakan dalam satuan rupiah. Riwayat penyakit adalah penyakit yang pernah diderita sampel (mahasiswi) yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan dalam jangka waktu sebulan terakhir.. Status anemia adalah Konsentrasi hemoglobin darah mahasiswi Kadar hemoglobin mahasiswi diukur dengan menggunakan metode digital Hemocue. Intake zat gizi adalah Jumlah konsumsi zat gizi makro (energi, protein) dan mikro (Fe, vitamin A, vitamin C dan kalsium) mahasiswi gizi IPB dalam satu hari yang didapat melalui pengisian recall 2x24 jam. Pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancer adalah kebiasaan konsumsi pangan sumber heme dan nonheme mahasiwi gizi IPB secara kualitatif yang didapat melalui pengisian Food Frequency questioner (FFQ). Secara kuantitatif diperoleh dari recall 1 hari Status gizi adalah indikator yang menggambarkan status gizi sampel mahasiwi gizi IPB. Data didapat melalui pengukuran antropometri kemudian dihitung nilai indeks massa tubuh (IMT) untuk mendapatkan hasil status gizi sampel. Bioavailabilitas Fe adalah kemampuan tubuh responden dalam mengabsorbsi zat besi dari makanan sumber heme dan nonheme yang dikonsumsi selama satu hari menggunakan perhitungan metode Du et al. (2000).

24 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Menurut data BPS (2015), Jawa Barat dalam angka, jumlah mahasiswa IPB sekitar orang. Pada tahun 2016, jumlah mahasiswa yang aktif pada Jurusan ilmu Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia yaitu sebanyak 59 orang laki-laki (mahasiswa) dan 431 orang perempuan (mahasiswi). Pada penelitian ini yang menjadi responden merupakan mahasiswi Jurusan Gizi Masyarakat IPB yang berasal dari angkatan 49, 50, 51, dan Alih Jenis yang bersedia untuk menjadi sampel dalam penelitian ini. Distribusi responden berdasarkan karakteristik dan sosiodemografi ini bisa dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan karakteristik dan sosio demografi Variabel n % Umur responden (tahun) 20.8 ± (remaja tengah) > (remaja akhir) Total Suku Jawa Sunda Minang Lain-lain Total Uang saku ( 000) 1 276±375 < Rp Rp1 000 Rp Rp Total Pengeluaran pangan (000) 812±237 < Rp Rp 500 Rp Rp Total Pengeluaran nonpangan (000) 449± 220 < Rp Rp500 Rp Rp Total

25 Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan karakteristik dan sosio demografi (lanjutan) Variabel n % Riwayat penyakit Ada Tidak ada Total Indeks prestasi kumulatif 3.37 ± 0.33 Kurang Baik Sangat baik Total Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi umur, asal suku, uang saku, pengeluaran pangan, pengeluaran nonpangan, Indeks Prestasi Komulatif (IPK) dan riwayat penyakit. Mayoritas kisaran umur responden antara 17 sampai 23 tahun dengan persentase sebesar 72.5% (50 orang). Dilihat dari asal suku, sebagian besar responden berasal dari suku jawa yaitu sebesar 56.5% (39 orang). Sementara berdasarkan karakteristik pengeluaran pangan dan nonpangan diketahui sebagian besar uang saku digunakan untuk pengeluaran pangan yang berkisar antara Rp sampai Rp dengan rerata uang saku diatas satu juta rupiah. Responden yang diamati memiliki badan yang sehat hanya dua orang yang memiliki riwayat penyakit (tuberculosis dan malaria). Persentase Indeks prestasi komulatif (IPK) responden sebagian besar dalam kategori baik (IPK 3-3.5) yaitu 50.7% (35 orang), kategori sangat baik 36.3% (25 orang) dan kurang hanya sekitar 13.0 (9 orang) dengan rata-rata IPK Status Anemia berdasarkan Pengukuran Kadar Hb Menurut Gleason dan Scrimshaw (2007), status anemia tiap individu bervariasi mulai dari excess zat besi sampai anemia defisiensi zat besi. Anemia terjadi apabila konsentrasi hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Pada penelitian ini, status anemia ditentukan dengan menggunakan indikator hemoglobin. Penggunaan kadar hemoglobin dalam darah merupakan pengukuran anemia defisiensi besi yang paling luas. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis menggunakan metode Hemocue. Sebaran responden berdasarkan kadar hemoglobin disajikan pada tabel berikut. Tabel 4 Sebaran kadar hemoglobin responden Kategori anemia (g/dl) n % Anemia tingkat ringan ( g/dl) Normal ( 12 g/dl) Total Rerata ± SD 11.7± 0.9

26 Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin darah responden dibedakan atas empat kategori yaitu anemia tingkat berat dengan kadar Hb <7 g/dl, anemia tingkat sedang (7-9.9 g/dl), anemia tingkat ringan ( g/dl) dan normal ( 12 g/dl) (ACC/SCN 1991). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden mengalami anemia dengan persentase 56.5% (39 orang), sedangkan yang normal sebesar 43.5% (30 orang). Konsentrasi hemoglobin responden berkisar antara 10.0 g/dl hingga 14.2 g/dl dengan rerata kadar hemoglobin 11.7 ± 0.9 g/dl, dan termasuk pada kategori anemia ringan. Menurut Gibson (2005), kejadian anemia pada remaja dipengaruhi oleh kurangnya konsumsi pangan yang mengandung zat besi serta rendahnya bioavailabilitas pangan yang dikonsumsi. Proses terjadinya kondisi anemia defisiensi besi terbagi atas tiga fase yaitu deplesi besi, iron defisiensi dan anemia kekurangan besi. Fase pertama merupakan pengurangan cadangan besi di hati yang tercermin pada penurunan kadar ferritin serum atau plasma. Fase kedua, terjadinya penurunan lebih lanjut simpanan besi hingga terjadi penurunan kejenuhan transferrin. Fase ketiga, terjadi kehabisan simpanan zat besi, sehingga terjadi penurunan tingkat sirkulasi besi dan keberadaan anemia hipokromik mikrositik yang berakibat pada berkurangnya konsentrasi hemoglobin di sel darah merah atau kondisi ini disebut sebagai anemia defisiensi besi. Biesalski dan Erhardt (2007) menyatakan bahwa penyebab terjadinya anemia diantaranya adalah kurangnya kandungan zat besi dalam asupan makanan, rendahnya penyerapan zat besi dari makanan, adanya zat-zat yang bersifat inhibitor zat besi, dan adanya parasit yang terdapat dalam tubuh seperti cacing jenis cacing tambang atau cacing pita, dan terjadinya kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi. Sejalan juga dengan pendapat Gleason and Scrimshaw (2007), menyatakan jika zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau rendah bioavailabilitasnya, maka tubuh merespon dengan cara membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat besi, sehingga cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan. Hal ini yang dapat menimbulkan defisiensi zat besi. Status Anemia berdasarkan Gejala Klinis Anemia Penentuan status anemia dilakukan berdasarkan pemeriksaan gejala klinis melalui pemangatan dan dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin darah responden. Sebelum pemeriksaan Hb responden, dilakukan pengamtan dan pemeriksaan gejala klinis anemia. Penentuan status anemia dengan pengamatan pemeriksaan gejala klinis anemia meliputi gejala pusing, mata berkunang-kunang, 4L(lelah,letih, lesu, lunglai), kuku pucat dan mudah rusak, kelopak mata pucat, telapak tangan pucat. Pada tabel 3 menggambarkan bahwa pemeriksaan Gejala ini dapat digunakan untuk mendiagnosa secara dini terjadinya anemia pada remaja putri. Dikatakan positif anemia jika terdapat minimal 3 gejala klinis dari 8 gejala klinis yang diamati. Status anemia dikategorikan menjadi dua, yaitu anemia dan tidak anemia. Hasil penelitian hankusuma (2009), melakukan skrining anemia dengan gejala klinis (klinis kelopak mata pucat dan lelah), menunjukkan nilai sensitifitasnya 72.73%. Artinya pemeriksaan gejala klinis dapat digunakan sebagai diagnosa dini terjadinya anemia pada remaja putri.

27 Pada penelitian ini, pemeriksaan gejala klinis terhadap pemeriksaan kadar hemoglobin menunjukkan nilai sensitifitas sebesar 66.67%, dan spesifisitas sebesar 56.7%. nilai duga positif (NPV) 66.7% dan nilai duga negatif 56.7%. Nilai sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan gejala klinis terhadap metode Hemocue kurang dari 100%, sehingga hasil ini menunjukkan penentuan anemia dengan pemeriksaan gejala klinis memiliki sensitifitas yang rendah meskipun nilainya telah menunjukkan lebih dari 50%. Penentuan status anemia responden berdasarkan pemeriksaan gejala klinis dan kadar hemoglobin darah bisa dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Penentuan status anemia berdasarkan pemeriksaan gejala klinis dan kadar hemoglobin darah Status anemia Status anemia metode Hemocue Total dengan gejala klinis Ya % Tidak % n % Ya Tidak Total Selanjutnya distribusi responden berdasarkan gejala klinis anemia dan status anemia disajikan pada tabel berikut. Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan gejala klinis anemia dan status anemia Variabel Gejala klinis anemia Anemia Tidak anemia Total n % n % n % Pusing Mata berkunang-kunang L(lelah,letih,lesu,lemah) Kuku mudah rusak Kelopak mata pucat Telapak tangan pucat Lidah pucat Kuku pucat Tabel 6 menggambarkan responden yang menderita anemia lebih banyak mengalami gejala keluhan seperti pusing, mata berkunang-kunang, 4L (lelah, letih, lesu, lemah), kuku mudah rusak, kelopak mata pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat, kuku pucat, meskipun sebagian kecil responden yang tidak anemia juga mengalami keluhan pusing dan kelopak mata pucat. Hal ini disebabkan karena faktor kelelahan dari aktivitas di kampus dan sebagian besar responden belum sarapan. Akibat lain yang disebabkan anemia sekaligus dapat dirasakan oleh penderitanya adalah penurunan kemampuan fisik berupa 4L mudah lelah, letih, lesu, lemah (Mikail dan Chandra 2011). Hal ini juga dinyatakan oleh Proverawati (2011) dan Aulia (2012), tanda-tanda anemia pada remaja putri diantaranya:1) Lesu, lemah, letih, lelah, dan lunglai (5L); 2) Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang; 3) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata,

28 bibir, dan telapak tangan menjadi pucat; dan anemia yang parah (<6 g/dl darah) dapat menyebabkan nyeri. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi makanan adalah frekuensi dan jumlah semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi tubuh setiap hari (Depkes 2010). Menurut Pinatih (2011) mengonsumsi makanan seimbang merupakan sudah anjuran mendasar yang hakiki bagi semua orang. Kandungan zat besi dalam makanan berbeda-beda. Makanan yang kaya akan kandungan zat besi adalah makanan yang berasal dari hewani (seperti ikan, daging, hati dan ayam). Makanan nabati (seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Depkes RI 2010). Data frekuensi konsumsi pangan diperoleh dengan metode Food Frequency Questionnaires (FFQ) selama satu minggu terhadap pangan sumber heme dan pangan sumber nonheme dan dikategori menjadi jarang dan sering. Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Besi Heme ( Lauk Hewani ) Bahan makanan yang dapat meningkatkan absorbsi (enhancer) zat besi adalah daging, ikan, ayam dan vitamin C (Almatsier 2009). Jenis pangan lauk hewani yang diamati pada penelitian ini yaitu jenis daging (ayam, kambing dan sapi), hati ayam dan sapi, jenis ikan laut dan ikan tawar. Sebaran kategori frekuensi jenis pangan sumber besi heme kelompok pangan lauk hewani disajikan pada tabel berikut. Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber besi heme (kali/minggu) Jenis pangan sumber Kategori frekuensi besi heme Jarang sering Total (lauk hewani) n % n % n % Daging ayam Hati ayam Daging sapi Ikan segar Telur ayam Udang Ikan teri Ikan tongkol Tabel 7 menggambarkan bahwa, dari tujuh belas lauk hewani atau sumber heme, enam jenis pangan diantaranya jarang dikonsumsi. seperti daging kambing, cumi, ikan asin, ikan mas, telur bebek, dan telur puyuh. Pada umumnya jenis pangan sumber besi heme yang sering dikonsumsi adalah ikan teri, daging ayam dan telur ayam. Jenis pangan sumber heme yang sering (3-6 kali/minggu) dikonsumsi responden adalah telur ayam (59.1%), daging ayam (50.7%), ikan teri (15.9%), ikan tongkol (15.9%), ikan segar (11.9%) sedangkan udang dan daging sapi hanya sekitar 2.9% dan 1.4%. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani

29 dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Oleh karena itu kurangnya konsumsi pangan sumber besi heme dapat mempengaruhi penyerapan zat besi. Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Nonheme Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi nonheme pada kelompok makanan nabati. Sumber besi nonheme yang diamati dalam penelitian diantaranya kelompok pangan lauk nabati, sayuran, buah-buahan, serealia, buahbuahan, makanan jajanan, minuman dan suplemen. Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan frekuensi konsumsi jenis pangan sumber nonheme (kali/minggu) Jenis pangan sumber besi nonheme Kategori frekuensi Jarang Sering Total n % n % n % Lauk nabati Tempe Tahu Kacang tanah Serealia Beras Mie Roti Sayuran Wortel Buncis Kangkung Sawi Kol putih Tomat Buah-buahan Pepaya Jambu biji Pisang Melon Jeruk manis Makanan jajanan Mie ayam Mie Bakso Minuman dan suplemen Kopi Teh Susu Suplemen Tabel 8 menunjukkan frekuensi jenis pangan sumber nonheme dari kelompok pangan nabati yang paling sering dikonsumsi yaitu tempe (60.9%) dan tahu (37.6%). Tempe merupakan pangan sumber zat besi dalam bentuk nonheme,

30 dengan bioavailabilitas yang rendah dan mengandung zat asam phytat yang bersifat inhibitor. Oleh sebab itu, konsumsi tempe dalam jumlah yang besar, jika tidak dibarengi dengan konsumsi pangan yang beraneka ragam terutama pangan yang bersifat enhancer akan berpengaruh pada rendahnya penyerapan Fe dan berdampak kadar Hb seseorang (status anemia) (Petry et al. 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari empat pangan sumber nonheme kelompok serealia, beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi setiap hari oleh responden anemia (98.6%). Hal ini disebabkan karena beras merupakan komoditas utama makanan pokok penduduk Indonesia, sedangkan mie dan roti dikonsumsi jarang oleh responden (92.2%-98.6%). Frekuensi konsumsi sayuran yang paling sering adalah wortel, buncis, kol putih dan tomat, brokoli (1.4%-2.9%). selebihnya jarang dikonsumsi oleh responden. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari sembilan jenis buahbuahan yang paling sering dikonsumsi responden adalah pepaya (23.2%), pisang (17.4%), melon (8.7%), jeruk (7.2%), selebihnya jarang dikonsumsi responden. Pada umumnya responden jarang mengonsumsi makanan jajanan seperti cimol, cireng, mie ayam, dan mie bakso, sedangkan frekuensi minuman dan suplemen yang sering dikonsumsi responden adalah susu (36.2%), teh (2.9%-10.1%), dan kopi (1.4%-8.7%). Konsumsi Pangan Inhibitor dan Enhancer Fe Konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, tidak hanya dilihat secara kualitatif (frekuensi), tapi juga dilihat secara kuantitatif yaitu jumlah rata-rata pangan inhibitor Fe yang dikonsumsi perhari dan diperoleh dari recall 1 x 24 jam. Setiap jenis pangan yang dikonsumsi dikelompokkan berdasarkan sifat inhibitor dan enhancer Fe nya. Kelompok pangan inhibitor yaitu serealia, kacangkacangan, teh, kopi, coklat dan susu, sedangkan kelompok pangan enhancer adalah protein hewani, sayuran, buah dan vitamin C. Konsumsi Pangan Inhibitor Fe Kelompok pangan kelompok inhibitor Fe yang diamati pada penelitian ini yaitu serealia, kacang-kacangan, teh, coklat, kopi, coklat dan susu. Konsumsi ratarata kelompok pangan yang bersifat inhibitor disajikan pada tabel berikut. Tabel 9 Rerata konsumsi kelompok pangan inhibitor Fe (g/hari) Kelompok/jenis pangan inhibitor Fe Rerata konsumsi (g/hari) Serealia (n=69) 323 Kacang-kacangan (n=69) 63 Teh (n=9) 2.9 Kopi (n=16) 32.5 Es krim (n=4) 110 Coklat (n=26) 38.9 Susu (n=30) 168 Tabel 9 menunjukkan rerata jumlah konsumsi kelompok pangan inhibitor yang jumlahnya paling banyak dikonsumsi oleh responden yaitu serealia. Besarnya kuantitas konsumsi serealia disebabkan karena komoditas tersebut

31 merupakan makanan pokok utama yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jika dilihat dari Anjuran Kecukupan Gizi tahun 2013 pada kelompok umur remaja, jumlah ini baru memenuhi 50% dari AKG kelompok umur tahun. Konsumsi Pangan Enhancer Fe Konsumsi pangan enhancer zat besi diukur berdasarkan kuantitas jenis pangan yang dikonsumsi dalam 1 hari yang memiliki sifat enhancer factors dan kandungan Fe dan vitamin C yang tinggi dikelompokkan menjadi pangan hewani, sayur, buah-buahan. Rerata konsumsi kelompok pangan enhancer Fe berdasarkan status anemia dan recall 1x24 jam(g/hari) pada tabel berikut. Tabel 10 Rerata konsumsi kelompok pangan enhancer Fe (g/hari) Kelompok pangan enhancer Fe Rerata konsumsi (g/hari) Pangan hewani (g) (n=69) 118 Sayur (g) (n=65) 59 Buah-buahan (g) (n=53) 97 Tabel 10 menunjukkan rerata konsumsi pangan hewani responden 118 g/hari. Konsumsi ini jika dibandingkan dengan anjuran pedoman gizi seimbang untuk remaja telah mencukupi 3 anjuran porsi dalam sehari. Rata-rata konsumsi sayuran dan buah pada responden yaitu 59 g/hari dan 97 g/hari. Apabila kuantitas tersebut dikonversi ke dalam satuan penukar, setara 0.5 porsi dari 3 porsi perhari, maka konsumsinya masih tergolong rendah (Kemenkes 2015). Adapun sayur dan buah kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan Fe. Menurut Gibney (2009), Vitamin C sangat membantu penyerapan besi non heme dengan mereduksi besi ferri menjadi ferro dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C juga berfungsi menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonheme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C juga berperan dalam memindahkan besi dari transferrin di dalam plasma ke feritin hati. Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi serta pola hidup yang dilakukan setiap hari (Supriasa et al. 2012). Pengukuran paling reliable untuk menentukan status gizi pada masa remaja adalah Indeks Masa Tubuh (IMT). Pada penelitian ini status gizi responden dilihat dari nilai IMT (kg/m 2 ) dengan kategori berdasarkan WHO (2010) yaitu sangat kurus (<17.0), underweight ( ), normal ( ), overweight ( ), Obese ( 30.0). Sebaran status gizi responden disajikan pada tabel berikut.

32 Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan status gizi (IMT) Status gizi IMT (Kg/m 2 ) n % Sangat kurus < Underweight Normal Overweight Obese Rerata ± SD 22.1 ± 2.6 Tabel 11 di atas menunjukkan sebaran status gizi responden sebagian besar tergolong pada kategori normal yaitu sebesar 78.3% dengan rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) 22.1 kg/m 2. Hal ini menggambarkan status gizi mahasiswi baik atau normal. Status gizi dipengaruhi oleh pola konsumsi energi dan protein, status gizi juga dapat dipengaruhi oleh faktor status kesehatan, pengetahuan, ekonomi, lingkungan dan budaya (Almasier 2004). Thompson (2007) menyatakan IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi Hb, artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka akan berisiko menderita anemia. Bioavailabilitas Fe Bioavailabilitas Fe dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat yang terdapat pada bahan pangan dalam diet. Faktor pendorong dan penghambat menjadi perhatian penting dalam menilai intake atau asupan zat besi. Menghitung bioavailabilitas Fe ini menggunakan metode Du et al (2000) dan dikategorikan menjadi tiga berdasarkan WNPG (2013) yaitu tinggi ( 15%), sedang ( 10%-15%) dan rendah ( 5%). Sebaran responden berdasarkan persentase bioavailabilitas Fe disajikan pada tabel berikut. Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan persentase bioavailabilitas Fe Bioavailabilitas Fe n % Rendah ( 5%) Sedang (5 10%) Tinggi ( 10%) Total Rerata ± SD 3.3 ± 6.8 Tabel 12 di atas menunjukkan persentase bioavailabilitas Fe responden masih tergolong rendah yaitu sekitar 66.7%, dengan rata-rata Hal ini sejalan hasil penelitian Harberd (2002), pada umumnya negara berkembang memenuhi kebutuhan zat besi nya berasal dari pangan nonheme. sementara pangan non heme memiliki bioavailabilitas Fe yang rendah sekitar 5 %. Menurut Kartono dan Soekatri (2004), penetapan AKG zat besi di Indonesia diasumsikan bioavailabilitasnya sebesar 10%.

33 Intake Zat Gizi dan Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) Menurut Supariasa (2012), status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi baik untuk hidup, tumbuh, berkembang, bergerak dan memelihara kesehatannya serta pola hidup yang biasa dilakukannya setiap hari. Adapun sebaran responden menurut tingkat kecukupan gizi makro dan mikro disajikan pada tabel berikut. Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan gizi Zat gizi AKG Konsumsi (rerata±sd) TKG (%) Energi (kkal) ± Protein (g) ± Besi (mg) ± Vitamin A (RE) ± Vitamin C (mg) ± Calsium (mg) ± Tabel 13 menunjukkan rerata asupan gizi energi (1239 kkal), protein (39.1 g), Fe (8.5 mg), vitamin C (29.0 mg) dan kalsium (304 mg) responden masih di bawah Anjuran Kecukupan Gizi, kecuali vitamin A. Jumlah zat besi yang dikonsumsi responden sebagian besar bersumber dari kelompok pangan nonheme, sehingga diduga bioavailabilitasnya akan tetap rendah dan akan berdampak pada status anemianya. Adapun sebaran responden berdasarkan tingkat kecupan gizi makro (energi dan protein) dan mikro (Fe, vitamin A, vitamin C dan kalsium) disajikan pada tabel berikut. Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan kategori TKG makro dan mikro Zat Gizi Makro dan mikro n % Energi - Defisit tingkat berat (<70% Protein - Defisit tingkat berat (<70%) Besi - Kurang ( 77%) Vitamin A- Kurang ( 77%) Vitamin C- Kurang ( 77%) Kalsium- Kurang ( 77%) Hasil penelitian pada Tabel 14 menggambarkan bahwa sebagian besar tingkat kecukupan gizi makro (energi dan protein) responden yang mengalami defisit tingkat berat (TKG<70%), dengan persentase energi sebesar 81.2%, dan protein 68.1%. Tingkat kecukupan zat gizi mikro (Fe, vitamin C dan kalsium ) responden lebih dari 50% termasuk kategori kurang (TKG<77%) dari AKG dengan rentang persenatase (92.8% hingga 98.5%), kecuali vitamin A, responden dengan konsumsi kategori kurang hanya sebesar 34.8%. Kondisi seseorang dengan tingkat kecukupan kategori defisit berat dapat mengakibatkan kekurangan energi kronik dan gangguan defisiensi vitamin dan mineral seperti anemia (Depkes 2010).

34 Hubungan Karakteristik Responden dengan Status Anemia Karakteristik responden meliputi umur, uang saku, asal suku, pengeluaran pangan dan nonpangan berdasarkan status anemia disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 15 Hubungan karakteristik responden dengan status anemia Variabel Anemia Tidak anemia n % n % Umur responden (tahun) (remaja tengah) > (remaja akhir) (r, p-value) (r=0.090, p=0.464) Suku Jawa Sunda Minang Lain-lain Uang saku (000) < Rp Rp1 000 Rp Rp (r, p-value) (r=0.141, p=0.248) Pengeluaran pangan (000) < Rp Rp500 Rp Rp (r, p-value) (r=0.123, p=0.315) Pengeluaran nonpangan (000) < Rp Rp500 Rp Rp (r, p-value) (r=0.168, p=0.169) Riwayat penyakit Ada Tidak ada Indeks prestasi kumulatif Kurang Baik Sangat baik (r, p-value) ( r=-0.164, p=0.178) Hasil penelitian pada Tabel 15 di atas menggambarkan bahwa umur responden pada kisaran antara 17 sampai 23 tahun yang menderita anemia dengan persentase sebesar 43.5% (30 orang) dibandingkan yang tidak anemia. Besarnya proporsi responden yang anemia pada kelompok umur ini diduga karena jumlah

35 responden lebih banyak pada kelompok umur 17 tahun sampai 23 tahun (remaja tengah), dibandingkan responden umur diatas umur 23 tahun. Menurut susilowati (2010) umur tahun, tahun ini tergolong dalam masa remaja tengah dan akhir. Pada usia ini remaja memasuki suatu masa yang disebut dengan pubertas, yang merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Selain itu, pada masa ini juga terjadi pematangan konsep diri yang banyak diperoleh dari pengalaman, lingkungan, teman dan keluarga, sehingga akan berdampak pada kebiasaan makan remaja (Sharlin dan Edelstein 2011). Pada usia ini juga remaja biasanya sudah dapat menentukan makanannya sendiri sesuai keinginan dan kesukaanya tanpa mempertimbangkan dari segi kesehatan dan gizi. Hasil analisis uji korelasi Ranks Spearmans menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan status anemia. Hal ini diduga karena kebutuhan zat gizi mikro terutama zat besi lebih tinggi pada usia remaja yang lebih muda. Selain itu, adanya faktor lain seperti aktivitas, stres yang dapat mempengaruhi kadar Hb seseorang. Persentase responden dengan mayoritas suku Jawa yang menderita anemia sebesar 30.4% (21 orang), lebih tinggi dibandingkan yang tidak anemia (29.0%). Hal ini dipengaruhi lebih banyaknya responden yang bersuku Jawa serta disebabkan juga oleh faktor pola konsumsi suku Jawa cenderung tinggi konsumsi protein nabati seperti tempe dan tahu serta lalapan sayuran dibanding protein hewani. Sejalan dengan hasil penelitian Batty (2014), menyatakan bahwa pola konsumsi protein hewani pada remaja di Yogyakarta lebih rendah dibanding remaja di Padang. Selain itu, pola konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh daya beli dan pendapatan atau uang saku seseorang yang digunakan untuk biaya pemenuhan pangan serta ketersediaan pangan pada suatu daerah. Kelompok responden yang memiliki uang saku lebih dari Rp lebih menunjukkan persentase anemia sebesar 56.2% (18 orang) dibandingkan dengan tidak anemia. Rerata uang saku responden Rp ± Rp dengan kisaran Rp hingga Rp Sementara itu rerata uang saku yang digunakan untuk pegeluaran pangan yaitu Rp ±Rp dengan kisaran Rp hingga Rp , sedangkan pengeluaran nonpangan respoden perbulan berkisar Rp hingga Rp dengan rerata Rp ± Pengeluaran pangan responden pada kelompok uang saku antara Rp sampai Rp perbulan terdapat 36.3% (25 orang) mengalami anemia. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian di Cina yang menyatakan bahwa kekurangan zat besi pada golongan masyarakat ekonomi kurang merupakan permasalahan gizi yang signifikan di Cina (Luo et al. 2011). Hal ini diduga karena mahasiswi sebagian besar mempunyai pola makan yang tidak teratur dan banyak melewatkan waktu makan seprti jarang sarapan karena kesibukan aktivitas perkuliahan. Karakteristik riwayat penyakit berdasarkan status anemia pada penelitian ini, sebagian besar responden 97.2% (67 orang) tidak memiliki riwayat penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh anemia maupun tidak anemia tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan. Menurut Permaesih dan Herman (2005), anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Thurnham and Northrop Clewes (2007), bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari infeksi dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi. Pada Tabel 15 dapat dilihat, terdapat sekitar 2.9%

36 (2 orang) responden yang memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia. Penyakit yang pernah diderita oleh responden tersebut adalah tuberculosis dan malaria. Berbagai manifestasi klinis akibat anemia defisiensi besi diantaranya gangguan pertumbuhan, penurunan intelegense dan penurunan kemampuan fisik. Gangguan pertumbuhan terlihat dari banyaknya anak Indonesia yang memiliki tubuh pendek. Anak dengan anemia menyebabkan penurunan IQ sebanyak 5-15 poin. Hasil dari penelitian ini menunjukkan hal yang berbeda, rerata nilai IPK mahasiswi gizi dengan kategori baik (IPK>3), hanya 5.8% (4 orang) dengan kategori kurang (IPK<3) mengalami anemia, kategori baik yang mengalami anemia sebesar 24.6% (17 orang) dan responden dengan IPK kategori sangat baik yang mengalami anemia sebesar 26.7% (18 orang). Hasil uji hubungan antara karakteristik (umur, uang saku, pengeluaran pangan dan nonpangan, IPK) responden dengan status anemia menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p 0.05). Hubungan Pola Konsumsi Pangan dengan Status Anemia Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Besi Heme (Lauk Hewani) Jenis pangan lauk hewani yang diamati pada penelitian ini yaitu jenis daging (ayam, kambing dan sapi), hati ayam dan sapi, jenis ikan laut dan ikan tawar. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Oleh karena itu kurangnya konsumsi pangan sumber besi heme dapat mempengaruhi penyerapan zat besi. Hubungan frekuensi jenis pangan sumber besi heme dari pangan lauk hewani dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16 Hubungan frekuensi konsumsi pangan lauk hewani dengan status anemia Kategori frekuensi Pangan sumber Anemia Tidak anemia r ; p-value, besi heme (lauk hewani) Jarang Sering Jarang Sering n % n % n % n % Daging ayam ; Hati ayam ; Daging sapi ; Ikan segar ; Telur ayam ; Ikan teri ; Ikan tongkol ; Tabel 16 menggambarkan bahwa, pada umumnya jenis lauk hewani yang sering dikonsumsi adalah ikan teri, daging ayam dan telur ayam. Jenis pangan lauk hewani yang sering (3-6 kali/minggu) dikonsumsi responden adalah telur ayam, daging ayam, ikan teri, ikan segar, ikan tongkol dan selebihnya jarang dikonsumsi. Keempat jenis pangan tersebut lebih dominan dikonsumsi pada kelompok anemia dengan persentase berturut-turut telur ayam (33.3%), daging ayam (30.2%), ikan teri (15.9%) dan ikan segar (10.1%). Persentase responden yang tidak anemia sering mengonsumsi pada jenis lauk hewani seperti ikan teri (37.7%), telur ayam (24.6%), daging ayam (20.2%) dan ikan tongkol (8.7%)

37 sedankan jenis lauk hewani yang lainnya jarang dikonsumsi. Persentase frekuensi konsumsi jenis lauk hewani ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak anemia. Zat besi heme yang berasal dari hewani seperti daging dan ikan mengandung zat besi 5-10% dengan tingkat penyerapan 25%. (Almatsier 2009). Bahan makanan yang di sebut meat, fish, poultry (MFP) seperti daging, ikan dan ayam apabila ada dalam menu makanan dapat meningkatkan absorbsi zat besi nonheme yang berasal dari serealia dan tumbuh-tumbuhan (Whitney 2008). Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak ada hubungan antara frekuensi konsumsi pangan sumber heme lauk hewani dengan status anemia. Hal ini disebabkan karena melihat frekuensi saja belum cukup menggambarkan pola konsumsi seseorang, perlu dilihat secara kuantitas. Selain itu, orang yang menyadari dirinya anemia akan cenderung mengkonsumsi aneka pangan sumber zat besi. Hasil analisis frekuensi konsumsi menunjukkan, responden lebih banyak dan sering mengonsumsi pangan sumber zar besi nonheme dari kelompok kacang-kacangan seperti tempe, tahu dan kacang tanah. Zat besi nonheme yang terdapat pada pangan nabati seperti sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan buah- buahan dengan penyerapan zat besi hanya 5% (Almatsier 2009). Menurut Reddy et al. (2006), status zat besi berhubungan dengan konsumsi diet omnivorous (konsumsi pangan yang beragam). Intake besi heme lebih tinggi penyerapannya jika dikonsumsi bersamaan dengan zat yang dapat mempercepat penyerapan Fe, seperti mengonsumsi daging dengan jenis pangan yang tinggi vitamin C. Artinya sangat penting mengkonsumsi makanan yang beragam. Hal ini sangat berpengaruh pada tingkat bioavailabilitas Fe. Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Besi Nonheme Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme pada kelompok hewani dan besi nonheme pada kelompok makanan nabati. Menurut Almatsier (2009), menyatakan zat besi nonheme yang terdapat pada pangan nabati seperti biji-bijian, kacang-kacanngan, serealia, sayuran, dan buah- buahan memiliki tingkat penyerapan zat besi hanya 5%. Sumber besi nonheme yang paling baik dan tinggi Fe nya yaitu kacang-kacangan. Adapun jenis pangan sumber besi nonheme yang diamati dalam penelitian ini adalah pangan yang tinggi kandungan Fe dan vitamin C. Bahan pangan yang disajikan pada tabel hasil hanya sekitar tiga hingga 5 jenis pangan pada masingmasing kelompok pangan menurut tingkat jarang atau seringnya frekuensi konsumsi responden terhadapa pangan yang diamati. Frekuensi konsumsi pangan sumber nonheme ini dikategorikan menjadi jarang (konsumsi <3 kali/minggu) dan sering (konsumsi 3 kali/minggu). Kelompok pangan sumber besi nonheme ini terbagi atas enam kelompok pangan yaitu lauk nabati (tempe, tahu, kacangkacangan), serealia (beras, mie, roti), (wortel, buncis, kangkung, bayam, sawi, kol putih, tomat), buah-buahan (pepaya, jeruk manis, jambu biji, pisang), makanan jajanan (mie ayam), serta kelompok minuman dan suplemen (kopi, teh, susu dan suplemen). Hubungan frekuensi konsumsi pangan sumber besi nonheme (kali/minggu) dengan status anemia disajikan pada tabel berikut ini.

38 Tabel 17 Hubungan frekuensi konsumsi pangan sumber besi nonheme dengan status anemia Status anemia dan kategori frekuensi konsumsi Jenis pangan Anemia Tidak anemia r ; p-value sumber besi nonheme Jarang Sering Jarang Sering n % n % n % n % Lauk nabati Tempe ; Tahu ; Kacang tanah ; Serealia Beras ; Mie ; Roti ; Sayuran Wortel ; Buncis ; Kangkung ; Sawi ; Kol putih ; Tomat ; Buah-buahan Pepaya ; Jambu biji ; Pisang ; Melon ; Jeruk manis ; Makanan Jajanan Mie ayam ; Minuman dan suplemen Kopi ; Teh ; Susu ; Suplemen ; Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati Tabel 17 menunjukkan jenis pangan sumber nonheme dari kelompok pangan nabati yang paling sering dikonsumsi yaitu tempe (60.9%) dan tahu (37.6%). Kelompok anemia memiliki frekuensi konsumsi tempe dan tahu yang lebih tinggi (36.2% dan 24.6%) dibandingkan kelompok tidak anemia (24.6% dan 13.0%). Hasil uji korelasi Rank Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi kelompok lauk nabati atau kacangan-kacangan dengan status anemia responden (p>0.05). Tempe merupakan pangan sumber zat besi dalam bentuk nonheme, dengan bioavailabilitas yang rendah dan mengandung zat asam phytat yang bersifat inhibitor. Oleh sebab itu, konsumsi tempe dalam jumlah yang besar pada kelompok anemia, jika tidak dibarengi dengan konsumsi pangan yang beragam terutama pangan yang bersifat enhancer akan berpengaruh pada

39 penyerapan Fe yang rendah dan berdampak pada status anemia dengan kadar Hb yang tetap atau menurun (anemia) (Petry et al. 2014). Frekuensi Konsumsi Serealia Tabel 17 juga menunjukkan bahwa dari tiga pangan sumber nonheme kelompok serealia, beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi setiap hari baik pada responden anemia maupun tidak anemia (98.6%). Hal ini disebabkan karena beras merupakan komoditas utama makanan pokok penduduk Indonesia. Mie dan roti dikonsumsi jarang oleh responden baik yang anemia maupun yang tidak anemia (92.2%-98.6%). Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi pangan kelompok serealia dengan status anemia (p>0.05). Serealia dan kacang-kacangan merupakan pangan sumber zat besi dari kelompok besi nonheme. Pada umumnya zat besi yang dapat diabsorbsi dalam makanan dari kelompok besi nonheme yaitu hanya sekitar 5% (Gibney 2005). Meskipun kedua kelompok mayoritas mengkonsumsi makanan pokok dari beras, kemungkinan terjadinya anemia dapat disebabkan karena pemilihan lauk yang dikonsumsi oleh kelompok anemia sebagian besar bersumber dari kelompok pangan nonheme yaitu lauk nabati (tempe dan tahu) yang dapat berdampak pada status anemia. Oleh karena itu, sangat penting pemilihan bahan pangan yang beragam terutama pangan yang bersifat enhancer Fe. Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayuran merupakan pangan sumber vitamin dan mineral seperti vitamin dan zat besi, namun sayuran juga mengandung asam oksalat dan serat yang dapat menghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Hasil penelitian pada Tabel 17 di atas menunjukkan, frekuensi konsumsi sayuran yang paling sering dikonsumsi adalah wortel, buncis, kangkung, kol putih, sawi dan tomat (15.9%-4.3%) dan kelompok sayuran yang frekuensi jarang dikonsumsi sebagian besar lebih tinggi pada kelompok anemia (50.7%-33.3%). Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mengalami anemia lebih jarang mengonsumsi sayuran tertentu seperti daun singkong, brokoli, tomat, buncis, bayam. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan ada hubungan antara frekuensi konsumsi tomat dengan status anemia (kadar Hb) (r =0.245; p=0,043). Sayuran merupakan sumber zat besi dan vitamin C yang tinggi. Menurut Devi (2012) jenis sayuran dan buah banyak mengandung vitamin C seperti jambu buji, pepaya, jeruk, kiwi, stroberi, gandaria, daun katuk, daun kelor, tangkil (melinjo), tomat, daun singkong, daun talas, daun melinjo dan brokoli. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi zat besi nonheme sampai empat kali lipat. Vitamin C dengan zat besi membentuk senyawa askorbat besi kompleks yang larut dan mudah diabsorbsi, karena sayuran segar dan buah-buahan banyak mengandung vitamin C baik dikonsumsi untuk mencegah anemia (Adriani 2014). Frekuensi Konsumsi Buah-buahan Buah-buahan merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Vitamin yang banyak terkandung dalam buah-buahan diantaranya adalah vitamin C yang sangat membantu penyerapan zat besi terutama nonheme. Tabel 17 di atas menunjukkan persentase frekuensi konsumsi buah-buahan yang jarang

40 dikonsumsi lebih tinggi pada responden yang anemia (40.2% hingga 52.2%) dibandingkan yang tidak anemia (36.2% hingga 42.2%). Hasil ini menunjukkan bahwa responden anemia mayoritas kurang mengonsumsi buah-buahan. Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan secara keseluruhan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi buah-buahan dengan status anemia responden (p>0.05). Hal ini diduga walaupun buah-buahan kaya akan vitamin C yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, namun jika dikonsumsi jarang dan bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau tanin maka pengaruh absorbs akhirnya bisa negatif. Selain itu dengan melihat frekuensi konsumsi belum bisa menggambarkan pola konsumsi seseorang tanpa melihat kuantitas pangan yang dikonsumsi. Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan Tabel 17 menggambarkan, umumnya responden jarang mengonsumsi makanan jajanan seperti cimol, cireng, mie ayam, dan mie bakso. Hasil analisis uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi makanan jajanan dengan status anemia (p>0.05). Menurut Arumsari (2008), makanan jajanan juga memberikan kontribusi pada cadangan zat besi tubuh namun zat besi yang terkandung di dalamnya hanya dalam jumlah yang sangat kecil. Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen Kelompok minuman dalam penelitian ini meliputi teh, kopi, dan susu serta konsumsi suplemen. Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Menurut FAO/WHO (2001), faktor penghambat penyerapan zat besi diantaranya adalah teh, kopi dan susu. Tabel 17 menunjukkan bahwa frekuensi minuman yang sering dikonsumsi responden baik yang anemia maupun tidak anemia adalah susu (36.2%), teh (2.9%-10.1%), dan kopi (1.4%-8.7%). Presentase Frekuensi konsumsi susu dan kopi sedikit lebih tinggi pada kelompok anemia dibandingkan tidak anemia. Hasil survei Hurlock (1998) menyatakan bahwa sebagian besar remaja menyukai minuman ringan kemasan, teh, kopi dan susu. Senyawa kafein dan tanin yang banyak terdapat dalam teh dan kopi merupakan inhibitor potensial karena dapat mengikat zat besi secara kuat membentuk Fe tanat yang bersifat tidak larut (Gibney 2009). Frekuensi konsumsi suplemen pada responden anemia agak lebih rendah (4.3%) dibanding tidak anemia (10.1%). Hal ini menunjukkan, responden tidak anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen. Suplemen yang umumnya dikonsumsi responden merupakan suplemen sumber vitamin C, kalsium dan tablet tambah darah. Hubungan Konsumsi Pangan Inhibitor Fe dengan Status Anemia Konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe, tidak hanya dilukur secara kualitatif, dan kuantitatif. Secara kuantitatif yaitu jumlah rata-rata konsumsi pangan inhibitor dan enhancer Fe perhari yang diperoleh dari recall 1 x 24 jam. Gibney (2009) menyatakan faktor yang menghambat (inhibitor) penyerapan zat besi adalah tanin, kalsium fosfat, asam fitat, dan poliffenol. Du et al. (2000)

41 menyatakan, dalam perhitungan bioavailabilitas Fe, setiap jenis pangan yang dikonsumsi dikelompokkan berdasarkan sifat inhibitor dan enhancer Fe nya. Kelompok pangan bersifat inhibitor Fe diantaranya serealia, kacang-kacangan dan teh. Selain itu kopi, coklat, susu dan es krim juga termasuk pangan inhibitor Fe. Hubungan konsumsi kelompok pangan yang bersifat inhibitor Fe berdasarkan recall 1 hari(g/hari) disajikan pada tabel berikut. Tabel 18 Hubungan konsumsi pangan inhibitor Fe dengan status anemia Kelompok Rerata pangan inhibitor Status anemia konsumsi r; p-value Fe (g/hari) Serealia Anemia (n=39) ; Tidak anemia(n=30) 345 Kacang-kacangan Anemia (n=38) 67 Tidak anemia(n=27) ; Teh Anemia (n=4) 15 Tidak anemia(n=5) ; Kopi Anemia (n=17) 29.7 Tidak anemia(n=7) ; Es krim Anemia (n=3) 145 Tidak anemia(n=1) ; Coklat Anemia (n=5) 9.8 Tidak anemia(n=8) ; Susu Anemia (n=35) ; Uji Rank Spearman 2 Uji Pearson Tidak anemia(n=30) Tabel 18 menunjukkan rerata jumlah konsumsi pangan inhibitor cenderung lebih tinggi pada responden anemia dibanding tidak anemia, kecuali serealia dan coklat. Jenis pangan yang jumlahnya paling banyak dikonsumsi oleh responden yaitu serealia dan susu. Besarnya kuantitas konsumsi serealia disebabkan karena komoditas tersebut merupakan makanan pokok yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Hasil analisis uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif antara konsumsi kacang-kacangan dengan status anemia (kadar Hb) responden (r=-0.274; p=0.022). Hal ini berarti bahwa semakin meningkatnya konsumsi kacang-kacangan, maka akan menurunkan kadar Hb. Hasil penelitian Petry et al. (2014), menyatakan asam fitat yang terkandung dalam kacang-kacangan dapat menurunkan absorbsi Fe dalam bahan makanan yang dikonsumsi. Selain itu, hasil penelitian Petry et al. (2014), menyatakan kandungan polipenol pada kacang-kacangan yang tinggi dapat menurunkan absorbsi Fe sebesar 27%. Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan negatif antara konsumsi kopi dengan kadar Hb responden (r=-0.263; p=0.029). Hal ini menunjukkan semakin meningkat konsumsi kopi maka akan menurunkan kadar Hb. Kafein dan polifenol yang terdapat dalam kopi memberikan efek negatif pada penyerapan zat besi, karena pofifenol bertindak sebagai inhibitor penyerapan zat

42 besi. Polifenol berbentuk asam fenolat, flavonoid dan produk polimerisasinya banyak terdapat dalam teh, kopi, kakao dan anggur merah (Gibney 2009). Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara konsumsi susu dengan status anemia (kadar Hb) responden (r= ; p=0.007). Artinya semakin meningkat konsumsi susu maka akan menurunkan kadar Hb. Hal ini sejalan dengan penelitian Roughead (2005), menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi kalsium dapat menurunkan penyimpanan zat besi pada sel darah merah baik dari sumber heme maupun nonheme. Kalsium yang terkandung dalam susu akan mengganggu penyerapan zat besi (Almatsier 2009). Protein yang berasal dari susu sapi, keju, dan telur tidak dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonheme karena memiliki bioavailabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, pengaturan waktu antara mengonsumsi susu baik sebelum atau sesudah makan sebaiknya diatur agar zat gizi khususnya Fe dapat diabsorbi secara optimal di dalam tubuh. Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan tidak ada hubungan antara konssumsi teh, coklat, dan es krim dengan kadar Hb responden. Hasil analisis menunjukkan konsumsi teh, coklat, dan es krim pada kelompok anemia dan tidak anemia hanya dalam jumlah atau kuantitas yang sedikit. Hal ini di duga tidak terlalu berpengaruh pada kadar Hb responden. Hubungan Konsumsi Pangan Enhancer Fe dengan Status Anemia Konsumsi pangan enhancer zat besi diukur berdasarkan kuantitas jenis pangan yang dikonsumsi dalam 1 hari yang memiliki sifat enhancer factors dan kandungan Fe dan vitamin C yang tinggi dikelompokkan menjadi pangan hewani, sayur, buah-buahan. Konsumsi rata-rata kelompok pangan enhancer Fe berdasarkan status anemia dan recall 1x24 jam(g/hari) pada tabel berikut. Tabel 19 Hubungan konsumsi kelompok pangan enhancer Fe dengan status anemia Kelompok pangan Rerata konsumsi r; p- value Status anemia enhancer Fe (g/hari) Pangan hewani (g) Anemia (n=39) ; Tidak anemia(n=30) 134 Sayur (g) Anemia (n=39) ; Tidak anemia(n=26) 61 Buah-buahan (g) Anemia (n=28) ; Tidak anemia(n=25) 92 Tabel 19 menunjukkan rerata konsusmi kelompok pangan enhancer yaitu pangan hewani dan sayuran cenderung lebih tinggi dikonsumsi pada kelompok tidak anemia, kecuali buah-buahan. Rerata konsumsi pangan hewani responden anemia 107g/hari dan tidak anemia 134 g/hari. Konsumsi ini jika dibandingkan dengan anjuran Pedoman Gizi Seimbang untuk remaja telah mencukupi 3 anjuran porsi dalam sehari. Rata-rata konsumsi sayuran dan buah pada kelompok anemia yaitu 57 g/hari dan 101 g/hari, dan tidak anemia masing-masing 62 g/hari dan 92 g/hari. Apabila kuantitas tersebut dikonversi ke dalam satuan penukar, setara 0.5 porsi dari 3 porsi perhari, maka konsumsinya masih tergolong rendah (Kemenkes

43 2015). Adapun sayur dan buah kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan Fe. Menurut Gibney (2009), Vitamin C sangat membantu penyerapan besi non heme dengan mereduksi besi ferri menjadi ferro dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C juga berfungsi menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonheme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C juga berperan dalam memindahkan besi dari transferrin di dalam plasma ke feritin hati. Hasil uji korelasi Rank Spearman, menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara konsumsi pangan hewani dan sayuran dengan kadar Hb responden (r=0.300; p=0.012,) dan (r=0.360; p=0.022). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Reddy MB et al. (2006) yang menyatakan bahwa konsumsi pangan sumber heme (daging) akan meningkatkan status besi jika dibandingkan dengan pangan sumber nonheme. Pangan hewani juga merupakan sumber heme yang memiliki bioavaialabilitas yang tinggi. Hasil analisis kebiasaan makan responden diketahui ada hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi suplemen. Suplemen yang umumnya sering dikonsumsi adalah suplemen sumber vitamin C, kalsium dan tablet Fe. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi (TKG) dengan Status Anemia Menurut Supariasa (2012), status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi serta pola hidup yang biasa dilakukannya setiap hari. Intake makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi tubuh setiap hari (Depkes 2010). Pinatih (2011) menyatakan, mengonsumsi makanan seimbang merupakan anjuran mendasar bagi semua orang dan penjabaran makanan yang memiliki kandungan gizi yang sesuai dengan asupan gizi yang dibutuhkan. Ada pun sebaran responden menurut tingkat kecukupan gizi makro dan mikro berdasarkan status anemia disajikan pada tabel berikut. Tabel 20 Tingkat kecukupan gizi responden berdasarkan status anemia Konsumsi TKG (%) r ; p-value Zat gizi AKG Tidak Tidak Anemia anemia Anemia anemia Energi (kkal) ; Protein (g) ; Besi (mg) ; Vitamin A(RE) ; Vitamin C(mg) ;0.040 Calsium (mg) ; Tabel 20 menunjukkan tingkat kecukupan gizi energi, protein, Fe, vitamin C, dan kalsium responden masih di bawah AKG, kecuali vitamin A. Persentase asupan zat gizi makro dan mikro pada kelompok tidak anemia cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok tidak anemia. Persentase kecukupan zat besi pada kelompok anemia cenderung lebih tinggi (34.6%) dibandingkan kelompok tidak anemia. Hasil analisis kebiasaan makan, menunjukkan jumlah zat besi tersebut

44 sebagian besar bersumber dari kelompok pangan nonheme, sehingga diduga bioavailabilitasnya akan tetap rendah dan akan berdampak pada status anemia. Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara asupan vitamin C dengan status anemia (kadar Hb). Meskipun tingkat kecukupan zat gizi dari vitamin C masih tergolong rendah, tetapi vitamin C sangat membantu penyerapan besi (khususnya nonheme) dengan mereduksi besi ferri menjadi ferro dalam usus halus sehingga akan meningkatkan absorbs hingga empat kali lipat (Gibney 2009). Vitamin C juga berperan dalam memindahkan besi dari transferrin di dalam plasma ke feritin hati. Hubungan Status Gizi dengan Status Anemia Pada penelitian ini status gizi responden dilihat dari nilai Indeks Massa Tubuh (kg/m 2 ) dengan kategori berdasarkan WHO (2010) yaitu sangat kurus (<17.0), underweight ( ), normal ( ), overweight ( ), obese ( 30.0). Hubungan status gizi responden dengan status anemia disajikan pada tabel berikut. Status gizi (IMT) (kg/m 2 ) Tabel 21 Hubungan status gizi dengan status anemia Anemia Tidak anemia Total n % n % n % Sangat kurus (< 17.0) Underweight ( ) Normal ( ) Overweight ( ) Obese ( 30.0) Total Rerata±SD 21.9 ± ± ± 2.6 ( r; p-value) (r=0.126, p=0.302) Pada tabel 21 di atas diketahui, rerata IMT responden adalah 22.1±2.6 kg/m 2 dengan kisaran IMT sebesar 15.9 kg/m 2 hingga 29.3 kg/m 2. Secara keseluruhan, status gizi responden berada pada kategori normal yaitu sebesar 78.3% (54 orang). Proporsi terbesar responden yang anemia juga berada pada kategori normal yaitu sebesar 46.4% (32 orang), namun proporsi tersebut tidak jauh berbeda dengan responden yang tidak anemia 31.9% (22 orang). Hasil analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan status anemia responden (p>0.05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Thompson (2007) menyatakan bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin yang artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka akan berisiko menderita anemia. Kemungkinan penyebabnya tidak ada status hubungan status gizi terhadap kejadian anemia pada mahasiswi diantaranya sebagian besar mahasiswi memiliki status gizi normal, serta dengan asumsi bahwa sebagai mahasiwi gizi yang memiliki ilmu gizi seyogyanya telah mampu memilih dan menentukan jenis makanan yang bergizi. Selain itu, remaja selalu ingin menjaga berat badan yang ideal. Serta masih banyak faktor lain yang mempengaruhi yang

45 perlu dipelajari lebih mendalam. Akan tetapi terdapat 2 orang responden dengan status gizi sangat kurus dan keduanya mengalami anemia. Hubungan Bioavailabilitas Fe dengan Status Anemia Penentuan bioavailabiltas Fe digunakan untuk mengetahui perbandingan antara jumlah zat besi yang dapat diserap tubuh dengan zat besi yang dikonsumsi. Du et al. (2000) menjelaskan terdapat beberapa unsur dalam menentukan bioavailabilitas Fe dari konsumsi seseorang. Ada pun unsur tersebut diantaranya, jumlah konsumsi protein yang berasal dari pangan hewani, asupan Fe, vitamin C, besi heme, besi nonheme, besi heme dan noheme yang terserap, nilai total dan persentase bioavailabilitas Fe. Hasil perhitungan bioavailabilitas Fe berdasarkan metode Du et al. (2000) disajikan pada tabel berikut. Tabel 22 Perhitungan bioavailabilitas Fe metode Du et al. (2000) Variabel bioavaibilitas Fe Anemia Tidak Anemia Protein hewani (g) Fe (mg) Vit.C (mg) Besi Heme (mg) Besi nonheme (mg) Bioavailabilitas nonheme (%) Besi terserap heme (mg) Besi terserap nonheme (mg) Total besi terserap (mg) Persentase total besi teserap (%) Bioavailabiltas Fe dipengaruhi oleh faktor pendorong (enhancer factors) dan penghambat (inhibitor factors) yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Faktor yang menghambat itu diantaranya tannin dalam teh dan kopi, posvitin, pitat, fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan. Faktor pendorong (Ifs) adalah bahan makanan yang dapat meningkatkan absorbsi zat besi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari (Gibney 2009). Tabel 22 menunjukkan bahwa konsumsi protein hewani dan vitamin C kelompok anemia lebih rendah (14 g dan mg) dibandingkan responden tidak anemia (16 g dan mg). Asupan Fe sedikit lebih tinggi pada responden anemia dibandingkan tidak anemia, Hal ini disebabkan asupan Fenya sebagian besar bersumber dari besi nonheme. Nilai akhir dari persentase bioavailabilitas Fe dari kedua kelompok responden tergolong rendah karena kurang dari 5%. Adriani (2014), menyatakan rendahnya absorbsi zat besi nonheme bisa ditingkatkan dengan peningkatan asupan vitamin C dan konsumsi pangan hewani yang mempermudah absorbsi Fe seperti daging, ikan dan ayam. Hubungan persentase bioavailabilitas Fe dengan status anemia disajikan pada tabel berikut.

46 Tabel 23 Hubungan persentase bioavailabilitas Fe dengan status anemia Bioavailabilitas fe Anemia Tidak anemia Total n % n % n % Rendah ( 5%) Sedang (5 10%) Tinggi ( 10%) Total Rataan ±SD 3.09± ± ±6.81 (r; p-value) ( 0.044; 0.179) Tabel 23 menunjukkan bahwa sebanyak 46 responden (66.7%), termasuk dalam kategori konsumsi dengan bioavailabiltas rendah dan 26 responden (37.7%) di antaranya berasal dari kelompok anemia. Ada pun yang tergolong dalam kategori bioavailabilitas Fe sedang sebanyak 25 responden (27.5%), dan 10 responden diantaranya dari kelompok tidak anemia. Berdasarkan pengkategorian bioavailabilitas Fe tersebut diketahui bahwa kelompok anemia umumnya tergolong dalam konsumsi dengan kategori bioavailabilitas rendah dan kelompok tidak anemia cenderung masuk ke dalam golongan kelompok dengan konsumsi bioavailabilitas sedang. Hal ini disebabkan frekuensi konsumsi lauk hewani, nabati, sayur dan buah per minggu masih sangat rendah dari yang dianjurkan. Hasil uji hubungan korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bioavailabilitas Fe dengan kadar Hb (status anemia). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pengukuran Hb responden yang dilakukan pada siang dan sore hari saat aktivitas dan mobilisasi responden tergolong padat. Hasil penelitian Briawan et al. (2012) pada remaja siswi di Bogor, juga menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara bioavailabilitas Fe dengan kadar Hb, namun bioavailabilitas Fe berhubungan nyata dengan konsumsi daging, ayam dan asupan vitamin C. Apabila dilihat hasil analisis kebiasaan makan responden berdasarkan FFQ perminggu dan hasil recall, responden memiliki kebiasaan konsumsi susu yang sering. Roughead (2005), menyatakan semakin tingginya konsumsi kalsium akan menurunkan penyimpanan zat besi pada sel darah merah baik dari sumber heme maupun nonheme. Protein yang berasal dari susu sapi, keju, dan telur tidak dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonheme karena memiliki bioavailabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, pengaturan waktu antara mengonsumsi susu baik sebelum dan sesudah makan sebaiknya diatur agar zat gizi khususnya Fe dapat di absorbsi secara optimal di dalam tubuh. Indahswari et al. (2013), menyatakan cara pengolahan bahan makanan dapat mempengaruhi bioavabilitas zat besi dalam bahan makanan, seperti cara pencucian dapat melarutkan zat besi dalam air. Selain itu proses pemanasan bahan makanan juga dapat mempengaruhi kandungan zat besi dalam bahan makanan tersebut.

47 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Responden penelitian ini sebagian besar dengan kisaran umur terbanyak antara 17 hingga 23 tahun dengan rerata usia 21 tahun. Mayoritas berasal dari Suku Jawa. Rerata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) responden adalah 3.36 dan uang saku Rp per bulan. Persentase responden yang anemia dalam penelitian sebesar 56.5% dengan rata-rata kadar Hb 11.7 mg/dl dengan kategori anemia ringan. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara karakteristik umur, uang saku dengan status anemia (kadar Hb). Sebesar 78.4% responden memilki status gizi normal dengan rata-rata IMT 21.9 kg/m 2. Frekuensi konsumsi pangan sumber heme yang paling sering adalah ayam, telur, ikan segar dan ikan teri. Frekuensi konsumsi pangan sumber nonheme yang paling sering serealia dan kacang-kacangan. Jumlah pangan inhibitor yang paling banyak dikonsumsi adalah serealia, kacang-kacangan dan susu. Jumlah pangan enhancer yang banyak dikonsumsi adalah kelompok pangan hewani dan buah-buahan. Tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro mayoritas responden dalam kategori defisit. Sebagian besar responden memiliki konsumsi dengan kategori bioavailabilitas Fe rendah Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan status gizi (IMT) dengan status anemia (kadar Hb). Hasil uji korelasi Rank Spearman juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kategori frekuensi konsumsi pangan inhibitor dengan status anemia. Frekuensi konsumsi pangan enhancer Fe kelompok sayuran berhubungan signifikan dengan status anemia (kadar Hb) yaitu pada tomat dan suplemen. Ada hubungan negatif antara konsumsi pangan inhibitor (kacang-kacangan, kopi dan susu) dengan kadar Hb responden. Ada hubungan yang signifikan antara konsumsi pangan enhancer Fe (pangan hewani, sayuran dan asupan vitamin C) dengan kadar Hb. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antar bioavailabilitas Fe dengan Status anemia (kadar Hb). Saran Perlunya mengonsumsi makanan yang beragam dan seimbang agar kualitas konsumsi bioavailabilitas Fe baik atau cukup. Konsumsi inhibitor zat besi (teh, kacang-kacangan, susu, kopi, dan es krim, coklat), sebaiknya tidak dikonsumsi bersamaan dengan sumber zat besi heme, karena makanan tersebut mengandung tanin, kalsium fosfat, asam fitat dan polfenol. Perlunya penelitian terkait faktor-faktor lain yang mempengaruhi bioavailabilitas Fe dan anemia baik dari segi asupan zat gizi mikro lainnya lainnya seperti asam folat, vitamin, serta pengaturan pola konsumsi pangan sumber besi (nonheme) dengan zat penghambat dan pendorong. Sebaiknya untuk penelitian lanjutan dilakukan perbandingan ketiga metode perhitungan bioavailabilitas Fe.

48 DAFTAR PUSTAKA [BPS.] Diakses [Depkes] Departemen Kesehatan RI Pedoman penanggulangan anemia gizi untuk remaja putri dan wanita usia subur. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. [Depkes] Departemen Kesehatan RI Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan RI Strategi KIE Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [PGS] Panduan Gizi Seimbang. [internet] Tersedia pada: gizi.depkes.go.id/pgs2014. [Riskesdas] Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun Jakarta (ID): Balitbangkes, Kemenkes RI. Aaron GJ, Dror DK, Yang Z Multiple-Micronutrient Fortified Non-Dairy Beverage Interventions Reduce the Risk of Anemia and Iron Deficiency in School-Aged Children in Low-Middle Income Countries: A Systematic Review and Meta-Analysis (i-iv). Nutrients May 21;7(5): doi: /nu Abalkhail B, Shawky S Prevalence of daily breakfast intake, iron deficiency anaemia and awareness of being anaemic among Saudi school students. Int J Food Sci Nutr. Nov;53(6): Adriani MW Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta (ID): Kencana. Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Arisman MB Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): ECG. Arisman MB Gizi dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi II. Jakarta (ID) : ECG Arumsari E Faktor risiko anemia pada remaja putri peserta Program pencegahan dan penanggulangan Anemia gizi besi (PPAGB) di kota bekasi [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Balcı Y, Karabulut A, Gürses D, Çövüt Ethem I Prevalence and Risk Factors of Anemia among Adolescents in Denizli, Turkey. Iran J Pediatr Mar;22(1): Batty S Hubungan antara bioavailabilitas intake zat besi dengan status anemia remaja di yogyakarta dan padang [SKRIPSI]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Bhisma M, Supranto Cara pengambilan dan penentuan besar sampel untuk penelitian sosial. Artikel Ilmiah metode penelitian. Briawan D, Adrianto Y, dan Ernawati D Konsumsi Pangan, Bioavailibilitas Zat Besi dan Status Anemia Siswi di Kabupaten Bogor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB.

49 Cacuza J, Lisandra MK, Valberio CA, Fabiana MR Sensitivity and Specivity of Criteria for classying Body Mass Index of in Adolescents. Rev Saude Publica. Departemento de Educacao fisica. Centri de Ciencias da Saude. Universidade Federal da Paraiba Joao Pessoa Brasil Vol 43 (1) Casgrain A, Collings R, Harvey LJ, Hooper L, Fairweather-Tait SJ Effect of iron intake on iron status: a systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr. Oct; 96(4): Citrakesumasari Anemia Gizi Masalah dan Pencegahannya. Yogyakarta (ID): Kaliaka. Devi N Gizi Untuk Keluarga. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara. Dickey V, Boedihardjo S, Bardosono T USAID/Indonesia Nutrition Assessment For 2010 New Project Design. Washington DC: (US) AID. Du S, Zhai F, Wang Y, and Popkin BM Current Methods for Estimating Dietary Iron Bioavailability Do not Work in China. America society for Nutritional Science 130: FHO/WHO Human vitamin and mineral requirements. Rome (IT). Gibney MJ Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): EGC. Hardinsyah, Briawan D Perencanaan dan Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor (ID): GMSK Faperta Institut Pertanian Bogor. Htet MK, Fahmida U, Dillon D The influence of vitamin A status on iron deficiency anaemia in anaemic adolescent schoolgirls in Myanmar. Public Health Nutr. Oct; 17 (10) : doi: /S [internet] Diakses pada 16 maret Hurlock EB Perkembangan Anak Edisi. Ke-6. Jakarta (ID): Erlangga. Idris FP, Citrakesumasari Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Antara Kota Makassar Tahun Jurnal Kesehatan Masyarakat Madani. Vol;1(1):25. Indahswari L, Thaha A, Syam A Hubungan pola konsumsi dengan kejadian anemia pada wanita prakonsepsi di kecamatan ujung tanah dan kecamatan biringkanaya kota makassar [Skripsi]. Makassar (ID): UNHAS. Indartanti D, Kartini A Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri. Journal of Nutrition College, Volume 3, Nomor 2, hal.33-39, Online di : Indriawati R Kajian terhadap pemeriksaan Haemoglobin (Hb) metode sahli dan talquist. Jakarta (ID): Mutiara Medika. Jus at I, Sandjaja, Sudikno, Ernawati F Hubungan Kekurangan Vitamin A Dengan Anemia Pada Anak Usia Sekolah. Gizi Indon 2013, 36(1): Kartono D, Soekatri M Angka kecukupan mineral besi, iodium, seng, mangan, selenium. Dalam Soekirman dkk. Ketahanan pangan dan gizi di era otonomi daerah dan globalisasi, prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta. Kusharto CM, Sa diyyah NY Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor (ID): IPB Press.

50 Luo R, Wang X, Zhang L, Liu C, Shi Y, Miller G, Rozelle S, Yu E, Martorell R. High anemia prevalence in western China Southeast Asian J Trop Med Public Health. Sep;42(5): Mariana W, Khafidhoh N Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri di smk swadaya wilayah kerja puskesmas karangdoro kota semarang tahun Jurnal Kebidanan Vol. 2 No. 4 April ISSN Mikail B, Candra A Anemia dan Tubuh Pendek Masih Mengancam. [Internet]. Diakses tanggal 20 Februari Monsen ER, Balintfy JL Calculating dietary iron bioavailability: refinement and computerization. J Am. Diet Assoc. 80: Morris MS, Jacques PF, Rosenberg IH, Selhub J Folate and vitamin B-12 status in relation to anemia, macrocytis, and cognitive impairment in older Americans in the age of folic acid fortification. Am J Clin Nutr 85(1): Muthayya S, Thankachan P, Zimmermann MB, Andersson M, Eilander A, Misquith D, Hurrell RF, Kurpad AV Low anemia prevalence in school-aged children in Bangalore, South India: possible effect of school health initiatives. Eur J Clin Nutr. Jul;61(7): Nadimin, Sri DA, Rudy H Pengaruh pemberian suplemen besi dan multivitamin terhadap Peningkatan kadar hemoglobin mahasiswa puteri Poltekkes Makassar. Media Gizi Pangan, Vol. XII, Edisi 2, Juli Desember. Palupi NS Fortifikasi zat besi. (terhubung berkala) biz/login/preview.php?view&id=56100 [internet]. Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Diakses 22 Februari 2016 Permaesih D, Herman, Susilowati Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan, 33(4): Petry MB, Hurell RF, Cook JD Meta Consumption in a varied diet marginally influences nonheme iron asbsorption in normal individual. J Nutr. Petry N, Egli I, Gahutu JB, Tugirimana PL, Boy E. and Hurell R Stable Iron Isotope Studies in Rwandese Women Indicate That the Common Bean Has Limited Potential as a Vehicle for Iron Biofortification1,2. J Nutr. Proverawati, A Anemia dan anemia kehamilan. Yogyakarta (ID) : Nuha Medika, pp. 1-2, Rolfes SR, Whitney E Understanding Nutrition. 11th Ed. Belmount USA: Thomson Higher Education Learning Inc. Roughead Z, Zito CA, and Hunt JR Inhibitory effects of dietary calcium on the initial uptake and subsequent retention of heme and nonheme iron in humans: comparisons using an intestinal lavage method1 4. Am J Clin. Nutr (1). Sandoval C, Somasundaram J, Alvin NE Trends in diagnosis and management of iron deficiency during infancy and early childhood. Hematol Oncol Clin N Am, 18: Slameto Belajar dan faktor-faktor mempengaruhinya. Jakarta (ID): Rhineka Cipta.

51 Soemardjo D Vitamin dan Biomineral dalam Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata 1Fakultas Bioeksakta. Jakarta (ID). EGC. Cetakan I. Hal Soesilowindradini Psikologi perkembangan remaja. Surabaya (ID): Usaha Nasional. Supariasa ID, Bakri B, Fajar, Ibnu Penilaian Status Gizi Edisi Revisi. Jakarta (ID) : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Supariasa ID, Bakri B, Fajar, Ibnu Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Tarwoto, Aryani R, Nuraeni A, Miradwiyana B, Sumiati, Dinarti, Nurhaeni H Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta (ID): Salemba Medika, pp. 26. Thompson B Food-based approaches for combating iron deficiency. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press. Thurlow RA, Winichagoon P, Green T, Wasantwisut E, Pongcharoen T, Bailey KB, Gibson RS Only a small proportion of anemia in northeast Thai schoolchildren is associated with iron deficiency. Am J Clin Nut 82: UNICEF/UNU/WHO Iron deficiency anaemia: assessment, prevention and control a guide for programme managers (US): New York. [WHO] Worldwide prevalence of anaemia , WHO Global Database on Anaemia. [internet] diakses pada tanggal 21 Februari 2016 dari [WHO] World Healt Organanization Child Growth Indicators and Their Interpretation. Geneva: WHO. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta(ID): Direktorat Bina Gizi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Zarianis Efek suplementasi besi dan vitamin C terhadap kadar hemoglobin anak sekolah dasar yang anemia di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Zulaikha E, Heni U Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester III Di Puskesmas Pleret Bantul Tahun 2015 [Skripsi]. Yogyakarta (ID) : Stikes aisyah.

52 LAMPIRAN Lampiran 1 Kode sample : NASKAH PENJELASAN PENELITIAN Kejadian anemia pada remaja di Indonesia masih tinggi. Remaja putri merupakan salah satu kelompok rawan untuk menderita anemia. Remaja membutuhkan lebih banyak besi dan wanita membutuhkan lebih banyak lagi untuk mengganti besi yang hilang bersamaan dengan darah haid. Tujuan penelitian mengetahui hubungan pola konsumsi pangan inhibitor dan enhancher Fe, bioavailabilitas Fe, intake zat gizi, status gizi dan status anemia pada mahasiswi gizi IPB. Partisipasi saudari bersifat sukarela, tahap awal saudari akan dimelakukan diwawancara mengenai identitas diri (±5 menit). Selain itu, saudari akan di wawancara kembali tentang keluhan terkait anemia, makanan yang biasa dikonsumsi selama 1 minggu terakhir, konsumsi pangan hewani, kebiasaan makan sayur dan buah, kebiasaan minum kopi dan teh dalam sehari (±30 menit). Setelah tahap wawancara selesai, saudari akan dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin darah serta gejala klinis anemia dengan pengamatan dan pengukuran antropometri (berat badan dan tinggi badan) (±10 menit). Penelitian ini tidak menimbulkan risiko apapun. Manfaat mengikuti penelitian ini adalah menambah wawasan mengenai pentingnya asupan fe, faktor penghambat dan pendorong penyerapan zat besi dan upaya mencegah terjadinya anemia yang dapat menurunkan konsentrasi belajar sehingga mempengaruhi prestasi belajar. Kompensasi yang saudari terima adalah cenderamata sebagai ungkapan terima kasih telah berpartisipasi pada penelitian ini. Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang saudari berikan. Jika ada hal-hal yang kurang jelas dapat menghubungi peneliti utama a.n. Ferawati ( ) Persetujuan Setelah Penjelasan (Inform Consent) Saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan mengerti mengenai penelitian Hubungan Pola Konsumsi Pangan inhibitor dan enhancer Fe, bioavailabilitas Fe, Status Gizi dengan Status Anemia Mahasiswi IPB tahun Pernyataan kesediaan berpartisipasi: Nama Subjek Tanggal/Bulan/Tahun Tanda Tangan

53

54 Lampiran 2 Kuesioner penelitian Kode sample : KUESIONER HUBUNGAN POLA KONSUMSI PNGAN INHIBITOR DAN ENHANCHER Fe, BIOAVAILABILITAS Fe, STATUS GIZI DENGAN STATUS ANEMIA MAHASISWI IPB A. Identitas Responden 1. Tanggal wawancara : tgl. bln.tahun Kode Sampel : 3. Nama : Usia :... tahun 5. Ras/ Suku : Daerah asal : Telp. (Rumah/ HP) : Uang saku (dalam satu bulan) : Rp Uang pengeluaran untuk pangan : Rp Uang pengeluaran untuk non-pangan : Rp... B. Pernyataan Kesediaan Diambil darah 1. Apakah bersedia diambil darah? 1. Ya 2. Tidak 2. Hasil pemeriksaan darah, Hb :... g% 1. Anemia (Hb<12 g%) 2. Normal (Hb 12 g%) B. Data Antropometri dan Status Gizi 1. Berat Badan:...,... kg 2. Tinggi Badan:...,... m 3. Indeks Massa Tubuh (IMT):..., Status Gizi: 1. Sangat kurus : IMT < Underweight : IMT < Normal : IMT Overweight : IMT Obese : IMT 30.0 C. Pertanyaan Keluhan gejala klinis anemia 1. Apakah anda sering merasakan beberapa gejala berikut ini : a. Pusing 1. Ya 2. Tidak b. Mata berkunang-kunang 1. Ya 2. Tidak c. 4 L (lelah, letih, lesu, lemah) 1. Ya 2. Tidak d. Kuku mudah rusak 1. Ya 2. Tidak 2. Hasil pemeriksaan klinis:... a. Kelopak mata pucat 1. Ya 2. Tidak b. Telapak tangan pucat 1. Ya 2. Tidak c. Lidah pucat 1. Ya 2. Tidak d. Kuku pucat 1. Ya 2. Tidak

55 D. RIWAYAT PENYAKIT (Lingkari jawaban yang paling sesuai) 1. Apakah pernah menderita sakit TB (sering batuk-batuk riak berdarah, keluar keringat malam)? 1. Ya 2. Tidak 2. Apakah pernah menderita sakit malaria (Sering demam disertai menggigil)? 1. Ya 2. Tidak 3. Apakah dalam satu bulan terakhir ini pernah keluar cacing? 1. Ya 2. Tidak E. KEBIASAAN MAKAN FOOD FREQUENCY QUESTIONNAIRE (FFQ) No Bahan Makanan Frekuensi Makan dalam Seminggu Tidak Setiap Hari 3 6 Kali <3 Kali SUMBER HEME 1 Lauk Hewani - Ikan segar - Ikan asin - Daging sapi - Daging ayam - Hati sapi - Hati ayam - Telur ayam - Telur bebek - Telur puyuh... 2 SUMBER NON HEME 2. Lauk Nabati - Tempe - Tahu - Kacang-kacangan Sayuran - Waluh - Kembang kol - Kol -Brokoli - Wortel - Kentang - Daun singkong - Bayam - Kangkung - Sawi - Daun pepaya. 4. Buah-buahan

56 - Jeruk - Pepaya - Tomat - Jambu biji - Mangga - Nenas - Pisang... 5.Serelia -Beras/nasi -Mie -Jagung -Kentang -Ubi -Singkong -Roti Makanan Jajanan -Batagor -Cireng -Mie bakso -Mie ayam Minuman - The - Kopi -Susu -Minuman bersoda. 8. Suplemen.

57 F. Data konsumsi pangan sehari Kode: Recall konsumsi pangan 2x24 jam Hari pertama Waktu Makan Menu Bahan Pangan URT Berat (gram) Pagi ( ) Selingan 1 ( ) Siang ( ) Selingan 2 ( ) Malam ( ) Selingan 3 ( )

58 Data konsumsi pangan sehari Kode: Hari kedua Waktu Makan Recall konsumsi pangan 2x24 jam Menu Bahan Pangan URT Berat (gram) Pagi ( ) Selingan 1 ( ) Siang ( ) Selingan 2 ( ) Malam ( ) Selingan 3 ( )

59 Hasil uji hubungan korelasi Spearman dan pearson Variabel dependen Variabel independen r Sig. Karakteristik contoh Umur (tahun) Status Anemia (kadar Hb) Uang saku (rupiah) Status Anemia (kadar Hb) Pengeluran pangan (rupiah) Status Anemia (kadar Hb) Pengeluaran Status Anemia (kadar Hb) nonpangan(rupiah) IPK Status Anemia (kadar Hb) Status gizi (IMT) IMT Status anemia (kadar Hb) Intake (Recall 2x24 jam) Asupan makan (recall- TKE) Status Anemia (kadar Hb) Asupan makan (recall- TKP) Status Anemia (kadar Hb) Asupan makan (Recall- Status Anemia (kadar Hb) VIT.A) Asupan makan (Recall- Status Anemia (kadar Hb) * VIT.C) Asupan makan (Recall-Fe) Status Anemia (kadar Hb) Asupan makan (Recall-Ca) Status Anemia (kadar Hb) Pola konsumsi Lauk Hewani Ikan Segar Ikan Asin Daging Sapi Daging kambing Daging Ayam Hati Sapi Hati Ayam Telur Ayam Ikan teri Tongkol Lauk Nabati Tempe Tahu Kacang-kacangan Serealia Beras Mie Roti Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Status Anemia (kadar Hb) Sayuran Wortel Status Anemia (kadar Hb) Buncis Status Anemia (kadar Hb) Kangkung Status Anemia (kadar Hb)

60 Sawi Status Anemia (kadar Hb) Kol putih Status Anemia (kadar Hb) Tomat Status Anemia (kadar Hb) * Buah-buahan Pepaya Status Anemia (kadar Hb) Jambu biji Status Anemia (kadar Hb) Pisang Status Anemia (kadar Hb) Melon Status Anemia (kadar Hb) Jeruk manis Status Anemia (kadar Hb) Makanan Jajanan-Mie Status Anemia (kadar Hb) ayam Minuman Kopi Status Anemia (kadar Hb Teh Status Anemia (kadar Hb Susu Status Anemia (kadar Hb Suplemen Status Anemia (kadar Hb Konsumsi inhibitor Fe Konsumsi serealia Status Anemia (kadar Hb) Konsumsi kacang-kacangan Status Anemia (kadar Hb) * Konsumsi kopi Status Anemia (kadar Hb) * Konsumsi susu Status Anemia (kadar Hb) * Konsumsi enhancer Fe Pangan hewani (g) Status Anemia (kadar Hb) * Vit.C (mg) Status Anemia (kadar Hb) * Sayur (g) Status Anemia (kadar Hb) * Buah (g) Status Anemia (kadar Hb) Bioavailabilitas Fet Bioavailabilitas Fe 1x24 jam Status Anemia (kadar Hb) * Signifikan

61 Lampiran 7 DOKUMENTASI

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 26 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah crosectional study. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder dari Program Perbaikan Anemia Gizi Besi di Sekolah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN PADANG SAIDA BATTY

HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN PADANG SAIDA BATTY HUBUNGAN ANTARA BIOAVAILABILITAS INTAKE ZAT BESI DENGAN STATUS ANEMIA REMAJA DI YOGYAKARTA DAN PADANG SAIDA BATTY DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n [(1.96) 2 x (0.188 x 0.812)] (0.1) 2. n 59 Keterangan: = jumlah contoh

METODE PENELITIAN. n [(1.96) 2 x (0.188 x 0.812)] (0.1) 2. n 59 Keterangan: = jumlah contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari penelitian payung Ajinomoto IPB Nutrition Program

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gizi adalah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Kebutuhan gizi yang tidak tercukupi, baik zat gizi makro dan zat gizi mikro dapat menyebabkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 16 METODOLOGI PENELITIAN Desain Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini adalah Cross sectional study yaitu rancangan yang digunakan pada penelitian dengan variabel sebab atau faktor resiko dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 19 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Cross sectional study yaitu rancangan yang digunakan pada penelitian dengan variabel sebab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah gizi yang sering terjadi di dunia dengan populasi lebih dari 30%. 1 Anemia lebih sering terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional study. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Aspek Sosio-ekonomi dan Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anemia adalah penyebab kedua terkemuka didunia dari kecacatan dan dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius global ( WHO, 2014).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n1 = = 35. n2 = = 32. n3 =

METODE PENELITIAN. n1 = = 35. n2 = = 32. n3 = 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilakukan di perguruan tinggi penyelenggara Beastudi Etos wilayah Jawa Barat yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang memiliki fisik tanggung, mental yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada

Lebih terperinci

Konsumsi Pangan Sumber Fe ANEMIA. Perilaku Minum Alkohol

Konsumsi Pangan Sumber Fe ANEMIA. Perilaku Minum Alkohol 15 KERANGKA PEMIKIRAN Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Anemia hampir dialami oleh semua tingkatan umur dan salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan tahap dimana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan tahap di mana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanakkanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

METODE. Zα 2 x p x (1-p)

METODE. Zα 2 x p x (1-p) 16 METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Pemilihan tempat dilakukan secara purposif dengan pertimbangan kemudahan akses dan perolehan izin. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering terjadi pada semua kelompok umur di Indonesia, terutama terjadinya anemia defisiensi besi. Masalah anemia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan satu dari empat masalah gizi yang ada di indonesia disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah gangguan akibat kurangnya

Lebih terperinci

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran analisis kontribusi konsumsi ikan terhadap kecukupan zat gizi ibu hamil

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran analisis kontribusi konsumsi ikan terhadap kecukupan zat gizi ibu hamil 13 KERANGKA PEMIKIRAN Masa kehamilan merupakan masa yang sangat menentukan kualitas anak yang akan dilahirkan. Menurut Sediaoetama (1996), pemenuhan kebutuhan akan zat gizi merupakan faktor utama untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan negara miskin,

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 8 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai hubungan konsumsi susu dan kebiasaan olahraga dengan status gizi dan densitas tulang remaja di TPB IPB dilakukan dengan menggunakan desain

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study, dilakukan di SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan lokasi sekolah dasar dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan adalah suatu proses pembuahan dalam rangka melanjutkan keturunan sehingga menghasilkan janin yang tumbuh di dalam rahim seorang wanita (1). Di mana dalam

Lebih terperinci

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI 1 KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI Oleh: FRISKA AMELIA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Waktu, dan Tempat

METODE PENELITIAN. Desain, Waktu, dan Tempat METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012 di Cipayung, Bogor. Pemilihan tempat

Lebih terperinci

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi KERANGKA PEMIKIRAN Masa yang terentang antara usia satu tahun sampai remaja boleh dikatakan sebagai periode laten karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih berstatus bayi (Arisman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, bertempat di Pabrik Hot Strip Mill (HSM) PT. Krakatau Steel Cilegon, Propinsi Banten. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah crosssectional study dimana seluruh paparan dan outcome diamati pada saat bersamaan dan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu pembangunan yang telah memperhitungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2011 di SMP/SMA Ragunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar anemia di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia karena defisiensi besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemukan di dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Saat ini diperkirakan kurang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n = N 1+ N (d 2 ) keterangan : N = besar populasi n = besar sampel d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

METODE PENELITIAN. n = N 1+ N (d 2 ) keterangan : N = besar populasi n = besar sampel d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study karena pengambilan data dilakukan pada suatu waktu. Penelitian dilaksanakan di Pesantren di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia pada remaja putri merupakan salah satu dampak masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data 29 METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Desember 2011 di SMA Ragunan

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang bertujuan mempelajari hubungan pengetahuan gizi ibu dan kebiasaan jajan siswa serta kaitannya dengan status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari normal, anemia merefleksikan eritrosit yang kurang dari normal di dalam sirkulasi dan anemia

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksanakan bulan Agustus-September 2011 di SMA Negeri 6

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study yaitu seluruh variabel diamati pada saat yang bersamaan pada waktu penelitian berlangsung. Pemilihan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMK N 1 Sukoharjo 1. Keadaan Demografis SMK Negeri 1 Sukoharjo terletak di Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia pada Remaja Putri Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan proporsi penduduk usia tua (di atas 60 tahun) dari total populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) dari total

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan masa depan bangsa yang akan menggantikan generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia anak menjadi usia dewasa. Salah satu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Cross Sectional dimana pengukuran variabel bebas dan variabel terikat

BAB III METODE PENELITIAN. Cross Sectional dimana pengukuran variabel bebas dan variabel terikat BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Desain penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan Cross Sectional dimana pengukuran variabel bebas dan variabel terikat dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence (Inggris),

BAB I PENDAHULUAN. seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence (Inggris), 111 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja dalam ilmu psikologis diperkenalkan dengan istilah lain, seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Status Anemia Kadar hemoglobin contoh yang terendah 9.20 g/dl dan yang tertinggi 14.0 g/dl dengan rata-rata kadar Hb 11.56 g/dl. Pada Tabel 6 berikut dapat diketahui sebaran contoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik dan mental yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Sistematika pengambilan contoh. Pemilihan SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Purposive. siswa kelas 5 & 6. Siswa laki-laki (n=27)

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Sistematika pengambilan contoh. Pemilihan SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Purposive. siswa kelas 5 & 6. Siswa laki-laki (n=27) METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah case study. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2, Kota Bogor. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional. Pemilihan lokasi SMA dilakukan secara purposive dengan pertimbangan

Lebih terperinci

TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, KESESUAIAN DIET DAN STATUS GIZI ANGGOTA UNIT KEGIATAN MAHASISWA (UKM) SEPAKBOLA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B A S I R

TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, KESESUAIAN DIET DAN STATUS GIZI ANGGOTA UNIT KEGIATAN MAHASISWA (UKM) SEPAKBOLA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B A S I R TINGKAT PENGETAHUAN GIZI, KESESUAIAN DIET DAN STATUS GIZI ANGGOTA UNIT KEGIATAN MAHASISWA (UKM) SEPAKBOLA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B A S I R PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain survei melalui pendekatan Cross-sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada suatu waktu

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study dimana seluruh pengumpulan data dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kekurangan zat besi merupakan salah satu masalah gizi utama dan jika terjadi pada anak-anak akan menjadi persoalan serius bangsa. Kekurangan zat besi mempunyai pengaruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Geografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kelas Populasi (N) Contoh (n) Kelas Kelas Total 81 40

METODE PENELITIAN. Kelas Populasi (N) Contoh (n) Kelas Kelas Total 81 40 15 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah metode survei dengan teknik wawancara. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Babakan, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN TABLET Fe DAN BUAH KURMA PADA MAHASISWI DI JURUSAN KEBIDANAN TANJUNGKARANG Nora Isa Tri Novadela*, Riyanti Imron* *Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Tanjungkarang E_mail :

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data 22 METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang menggambarkan hubungan antara asupan makanan dan komposisi lemak tubuh terhadap kapasitas daya tahan tubuh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode observasional analitik, yang dilakukan dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1 20 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional study dengan metode survey observational. Tempat penelitian dipilih dengan metode purposive yaitu di UPT

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian mengenai keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, kondisi mental dan status gizi pada lansia peserta dan bukan peserta home care menggunakan disain cross

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh: Karakteristik contoh: Pengetahuan gizi seimbang. Jenis kelamin Umur Uang saku

KERANGKA PEMIKIRAN. Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh: Karakteristik contoh: Pengetahuan gizi seimbang. Jenis kelamin Umur Uang saku 126 KERANGKA PEMIKIRAN Ada beberapa faktor yang mempengaruhi praktek gizi seimbang yang selanjutnya diterapkan dalam konsumsi energi dan zat gizi. Faktor tersebut diantaranya adalah pengetahuan,sikap,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 19 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan metode survey dengan desain cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 6 Bogor. Penentuan

Lebih terperinci

NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih

NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih Lampiran Kuesioner NAMA : UMUR : KELAS : No. Telpon : Alamat lengkap : Untuk pertanyaan di bawah ini, beri tanda X untuk jawaban yang kamu pilih PENGETAHUAN MENGENAI ANEMIA 1. Menurut kamu apakah itu anemia?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam tubuh, zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier, 2009). Besi dalam

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI

ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI ANALISIS BIAYA KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, SERTA TINGKAT KECUKUPAN GIZI SISWI SMA DI PESANTREN LA TANSA, BANTEN SYIFA PUJIANTI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sekolah merupakan generasi penerus dan modal pembangunan. Oleh karena itu, tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Salah satu upaya kesehatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan makan dan zat gizi yang digunakan oleh tubuh. Ketidakseimbangan asupan makan tersebut meliputi kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anemia Gizi Besi (AGB) masih menjadi masalah gizi yang utama di Indonesia. Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

METODE Disain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Subyek

METODE Disain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Subyek METODE Disain, Tempat dan Waktu Penelitian ini menggunakan data dasar hasil penelitian Kebiasaan Minum dan Status Hidrasi pada Remaja dan Dewasa di Dua Wilayah Ekologi Berbeda yang dilaksanakan oleh tim

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat dan Waktu Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE Desain, Tempat dan Waktu Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian mengenai konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan lansia menggunakan desain cross sectional. Desain ini merupakan pengamatan yang

Lebih terperinci

METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 35 METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Desain studi yang digunakan pada penelitian ini adalah studi observasional cross sectional, yaitu studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi. distribusi.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan fisik dan perkembangan emosional antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan suatu golongan dari suatu kelompok usia yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsinya. Taraf kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan status gizi untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin, yakni sejak manusia itu masih berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan harta yang sangat berharga dan patut dipelihara. Gaya hidup sehat harus diterapkan untuk menjaga tubuh tetap sehat. Salah satu cara agar kesehatan

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data 13 METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian tentang hubungan tingkat konsumsi dan aktivitas fisik terhadap tekanan darah dan kolesterol ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia Gizi Besi Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia adalah berkurangnya jumlah kadar Hb (sel darah merah) hingga dibawah nilai normal, kuantitas hemoglobin dan volume packed red blood cells ( hematokrit)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah Cross Sectional Study yaitu seluruh variabel diamati pada saat yang bersamaan ketika penelitian berlangsung. Penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Yayasan Yasmina Bogor (Purposive) N= 65. Kabupaten Bogor (N = 54) Populasi sumber (N=50) Contoh penelitian (n= 30)

METODE PENELITIAN. Yayasan Yasmina Bogor (Purposive) N= 65. Kabupaten Bogor (N = 54) Populasi sumber (N=50) Contoh penelitian (n= 30) 25 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah dengan cross sectional study. Pemilihan tempat tersebut dilakukan secara purposive, yaitu di Bogor pada peserta Program

Lebih terperinci