KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH"

Transkripsi

1 BAB III KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH A. Pengertian Warga Sipil dan Obyek Sipil 1. Pengertiaan Warga Sipil Warga Sipil merupakan orang yang bukan termasuk ke dalam anggota angkatan bersenjata dari suatu milisi atau suatu negara dan tidak ikut terlibat dalam situasi permusuhan konflik bersenjata atau perang militer. Sedangkan Militer adalah bagian dari warga sipil yang mempunyai kualifikasi militer yang dididik, dibentuk dan dilatih untuk melakukan pertahanan negara secara militer. 30 Pengertiaan anggota Militer adalah orang yang berdinas pada suatu Angkatan Perang dan tetap terus menerus berada dalam dinas tersebut selama periode waktu ikatan dinas. 31 Menurut Konvensi Jenewa ke-iv, penduduk sipil di defenisikan sebagai orang yang bukan merupakan anggota militer. Militer sendiri merupakan angkatan bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang berhubugan dengan angkatan bersenjata biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu. Sedangkan pengertian penduduk sipil yang terdapat pada Pasal 50 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penduduk sipil adalah orang-orang selain daripada kategori yang dimaksud dalam Pasal 4 (A) (1),(2),(3) dan (6) konvensi ke-iii dan pasal 43 Protokol Tambahan I Pada 30 Suryanto Suryokusumo, Konsep Sistem Pertahanan Non-Militer, Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1947.

2 intinya penduduk sipil adalah bukan pihak yang berperang dan tidak boleh membawa senjata. Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menjelaskan penduduk sipil adalah orang, seorang atau sekumpulan orang yang bukan anggota angkatan bersenjata, yang karenanya tidak berhak ikut serta langsung dalam permusuhan. 32 Pada hakekatnya penduduk sipil adalah seseorang atau warga masyarakat yang tidak ikut ambil bagian dalam suatu konflik bersenjata, permusuhan, perang ataupun suatu pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan bersenjata serta tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi serta dihormati hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan atau bagian objek militer. Dalam Sebuah Perang yang melibatkan angkatan bersenjata ada aturan yang menyatakan larangan menyerang warga sipil, bahkan tindakan ini termasuk kategori kejahatan perang. Sangat tidak beradab jika seorang tentara yang terlatih dan bersenjata menyerang warga sipil yang tidak terlatih dan bersenjata. Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi kombatan dan penduduk sipil. Kombatan yang telah berstatus hors de combat harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ketangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan hak-hak sebagai tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III. Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dan Hukum Internasional, Yogyakarta, Andi Offset, 1992, hlm.6

3 Menurut Hans-Peter Gasser, orang yang dilindungi adalah seseorang yang berdasarkan Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, memiliki kedudukan yang dilindungi secara khusus. 33 Sebagaimana yang telah disebutkan, perlindungan terhadap warga sipil telah diatur dalam Konvensi Jenewa IV. Menurut Konvensi Jenewa IV ini, perlindungan tersebut meliputi perlindungan umum (general protection), diatur dalam Bagian II. Sedangkan berdasarkan Protokol Tambahan, perlindungan tersebut diatur dalam Bagian IV tentang penduduk sipil. Bagian IV Protokol tersebut ini, antara lain mengatur mengenai perlindungan umum (general protection againts the effect of hostilities);bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population); serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a conflict), termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap para pengungsi, orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), anak-anak, wanita dan wartawan. Meskipun perlindungan warga sipil ini sudah memliki pengaturan hukum Internasional nya, namun dalam implementasinya di suatu wilayah konflik bersenjata semua seperti tidak ada gunanya, masih banyak warga sipil yang menjadi korban luka-luka maupun tewas dan bahkan sampai meninggalkan tanah kelahirannya untuk mendapatkan suatu kehidupan yang damai. Oleh sebab itu Prinsip Martens Clause Klausula Martens ini sangat dibutuhkan dalam suatu situasi konflik bersenjata. 33 Hans-Peter Gesser, International Humanitarian Law, An Introduction, Separate Print from Hans Haug Humanity for All, International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Paul Hauot Publisher, Berne Stuttgart, Vienna, 1993, hlm.25.

4 Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27-34, yaitu ; a. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan b. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani c. Menjatuhkan Hukuman kolektif d. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan e. Menjadikan mereka sebagai sandera f. Melakukan pembalasan (reprisal) g. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi. Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi seperti ; 1) Orang Asing di Wilayah Pendudukan Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di dalam wilayah negara musuh, maka orang-orang asaing ini merupakan warga negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan di negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika

5 permohonan mereka ditolak, mereka berhak meminta agar penolakan tersebut dipertimbangkan kembali Permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu. Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku di masa damai (hukum tentang orang asing). Perlindungan minimum atas hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya, negara penahan juga diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat laporan reguler ke kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika keadaan keamanan yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk berpindah tempat tinggal (pasal 42 Konvensi Jenewa IV). Mereka juga dapat dipindahkan ke negara asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, mereka harus dipulangkan pada saat terakhir setelah berakhirnya permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke pengadilan karena keyakinan politik atau agama yang mereka anut. 34 2) Orang yang tinggal di wilayah Kependudukan Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi. Penguasa Pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki masih berlaku secara de 34 Ibid

6 jure, walaupun berkuasa atas wilayah pendudukan adalah Penguasa Pendudukan secara de facto. Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah Wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka sedia kala. Orang-orang Sipil di wialayah tersebut harus dihormati hak-hak asasinya; misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan bangunan-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugastugasnya. Penguasa Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anakanak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk; dan bila Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri. Sebaliknya Penguasa Pendudukan, dapat membentuk peraturan perundangundangan sendiri, mereka juga dapat membentuk pengadilan militer yang bersifat non-politis. Namun, adanya pembentukan tersebut tidak boleh melepaskan kewajiban Penguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban dan untuk menjaga segala infrastruktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi sebagaimana sedia kala. Dalam melakukan kegiatan peradilan, Penguasa Pendudukan juga harus menghormati dan menerapkan asas-asas hukum umum (general principle of law), terutama asas hukum yang menyatakan bahwa

7 hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan; pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap kasusu pelanggaran berat, seperti mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer, atau karena pelanggaran yang disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman mati menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Interniran Sipil Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan tentang peralakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang rill dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan administratif. 35 Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka. Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah ; 36 a) Penduduk sipil musuh dalam wialyah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah, Op.cit. 36 Lihat pasal 79 Konvensi Jenewa IV yang berbunyi : Pihak-pihak dalam pertikaian hanya boleh menginternir orang-orang yang dilindungi, sesuai dengan aturan-aturan pasal-pasal 41-48, Lihat pasal 41 ayat (1) dan pasal 42 ayat (2) jo.pasal 78 Konvensi Jenewa IV

8 b) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan suka rela menghendaki untuk diinternir, atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir 38 c) Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa Pendudukan menghendaki meraka perlu diinternir karena alasan mendesak d) Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum secara khusus bertujuan untuk merugikan Penguasa Pendudukan. 39 Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh di tempatkan di dalam daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf IC (TI = Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau sistem penandaan lainnya yang disepakati. 40 Pengurusan para interniran harus dilakukan oleh negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat interniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang bertanggung jawab yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari Negara Penahan. 41 Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting, penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut. 38 Lihat pasal 42 ayat (2), Konvensi Jenewa IV 39 Lihat pasal 68 ayat (1), Konvensi Jenewa IV 40 Lihat pasal 83, Konvensi Jenewa IV 41 Lihat pasal 99 ayat (1), Konvensi Jenewa IV

9 Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara pihak yang bersengketa. 4) Perlindungan Khusus Disamping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu bersengketa senjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial (sipil), biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-bangunan khusus), maupun lambang-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindungi (proctected). Dihormati berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu sengketa bersenjata, sedangkan pengertian dilindungi adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.

10 2. Pengertiaan Objek Sipil dan Objek Militer Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter. Suatu objek yang dianggap sebagai sasaran militer bukan hanya meliputi objek-objek militer saja seperti tank, barak-barak militer, pesawat mliter atau kapal perang sebagaimana terlihat pada gambar di samping, akan tetapi yang termasuk sasaran militer adalah semua objek dapat dikategorikan sebagai sasaran militer berdasarkan ketentuan Hukum Humaniter. Sering kita lihat dalam berbagai konflik yang ada, rumah-rumah penduduk sipil, hotel, atau sekolah yang merupakan fasilitas umum, menjadi sasaran serangan pada waktu sengketa bersenjata. Reaksi selanjutnya adalah banjirnya protes atas hal tersebut, terutama dari kalangan NGO, pemerhati konflik, pers dan masyarakat umum sendiri. Benarkah selalu demikian? Penentuan apakah suatu objek merupakan objek sipil ataukah sasaran militer secara yuridis menurut Hukum Humaniter, telah lama diupayakan dalam berbagai forum. Secara kasat mata, apalagi pada waktu damai, penentuan demikian memang tidak menemukan kesulitan. Artinya, kita bisa menentukan dengan santai, bahwa objek tertentu merupakan objek sipil atau sasaran militer. Rumah sakit, sekolah, pasar, mall, lapangan bermain, tempat rekreasi, museum, adalah sederet objek sipil yang dengan mudah dikenali. Adapun, kita dengan mudah pula mengenali sasaran-sasaran militer, seperti : tank, atau kendaraan-kendaraan lapis

11 baja, pesawat udara militer, markas dan barak-barak militer sebagai suatu sasaran militer. Akan tetapi, pada waktu terjadinya peperangan, penentuan apakah suatu objek termasuk ke dalam objek sipil ataukah sasaran militer tidak semudah yang kita bayangkan. Dalam kondisi seperti itu, penentuan mengenai status suatu objek harus selalu didasarkan kepada aturan-aturan Hukum Humaniter, karena Hukum Humaniter ini akan berlaku jika terjadi sengketa bersenjata atau peperangan. Berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I tahun 1977, maka sudah ditentukan apa yang dimaksudkan dengan objek sipil dan sasaran militer. Perhatikan redaksional pasal tersebut berikut ini : Pasal 52. Perlindungan Umum Objek-objek sipil 1. Objek-objek sipil bukan merupakan sasaran serangan atau tindakan balasan. Objek-objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan sasaran militer sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). 2. Serangan harus hanya ditujukan pada sasaran militer. Sasaran militer adalah terbatas pada objek-objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan atau kegunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer dan apabila (objek-objek tersebut) dihancurkan baik keseluruhannya maupun sebagian, dikuasai atau dinetralisir, dalam situasi yang terjadi pada saat itu, maka hal tersebut dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. 3. Dalam hal terdapat keragu-raguan tentang apakah suatu objek biasanya digunakan untuk tujuan-tujuan non-militer, seperti tempat ibadah, rumah

12 atau sekolah, digunakan untuk memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer, maka hal demikian harus dianggap (sebagai) tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Berdasarkan ketentuan di atas, maka suatu sasaran militer, harus memiliki beberapa syarat tertentu sehingga penghancurannya dapat dibenarkan menurut prinsip kepentingan militer. Syarat tersebut adalah : a. Objek yang karena sifatnya, lokasinya, atau tujuan penggunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer; b. Objek yang apabila dihancurkan (seluruhnya maupun sebagian), dikuasai atau dinetralisir, maka dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. Kita juga dapat melihat pula dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Hague Regulation, yang telah menggambarkan usaha untuk membedakan obyek-obyek mana yang boleh dan tidak boleh diserang. Pasal-pasal yang perlu diperhatikan, antara lain : Pasal 23 ayat (g) Hague Regulation, yang melarang ; menghancurkan harta benda musuh kecuali...sangat diperlukan oleh kepentingan berperang. Menurut Austin, pasal ini menyatakan adanya keinginan yang tumpang tindih untuk melindungi kombatan dan penduduk sipil sekaligus. Ini dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk menganggap bahwa harta benda musuh adalah obyekobyek yang tidak boleh diserang. Aturan-aturan yang secara khusus memberikan perlindungan pada penduduk sipil merupakan aturan yang dirancang sekaligus berkenaan dengan suatu pemboman. Ketentuan ini tidak saja melindungi penduduk sipil, tetapi juga sekaligus melindungi benda-benda dan suatu daerah tertentu yang dianggap

13 sebagai obyek-obyek sipil dan menghindarkannya dari sasaran serangan secara langsung. Ini ditunjukkan dalam pasal 25 Hague Regulation yang melarang ; serangan atau pemboman, dengan cara apapun, suatu perkotaan, pedesaan, pertambangan atau bangunan-bangunan yang tidak dipertahankan sedangkan Pasal 27 Hague Regulation menyatakan bahwa semua tindakan-tindakan yang perlu dilakukan sedapat mungkin untuk memisahkan bangunan-bangunan keagamaan, seni, ilmu, monumen-monumen sejarah, rumah-rumah sakit, tempattempat dimana mereka yang luka dan sakit dirawat, asalkan semua bangunan ini tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer.ketentuan ini juga menyebutkan secara eksplisit obyek-obyek apa saja yang tidak boleh dijadikan sasaran serangan dalam peperangan. B. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional Mengenai Perlindungan Warga Sipil dan Obyek Sipil 1. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Warga Sipil Dalam konflik bersenjata internasional (international armed conflict) atau sering disebut sebagai perang, harus tetap ada dan mesti dipertahankan dalam melindungi penduduk sipil, maka hukum internasional telah memberikan perlindungan hukum bagi para penduduk sipil. Dalam hal ini maka akan terpikir ada dua hal hukum yang biasa diajukan, yaitu ; a. Perang tersebut memiliki cukup legitimasi (jus ad bello). b. Dalam perang tersebut tersedia cukup koridor tentang metode dan sarana yang digunakan serta perlindungan hukum terhadap warga yang tak ikut

14 berperang (jus in bellum), sering disebut sebagai bagian dari hukum humaniter internasional (international humanitarian law). Saat terjadi perang, hak-hak sipil tetap dilindungi oleh hukum hak asasi manusia internasional mencakup wilayah yang lebih luas. Hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak budaya, hak sosial, hak atas pendidikan, hak pembangunan, lingkungan dan sebagainya yang utamanya berlaku di waktu bukan perang. Perlindungan penduduk sipil dalam Hukum Humaniter Internasional dibedakan menurut bentuk dan isinya yang tertuang dalam Hukum Internasional kebiasaan dan hukum internasional perjanjian. Adapun aturan-aturan tersebut berdiri sendiri terlepas dari satuan pengaturan lainnya. Aturan-aturan dalam halnya perlindungan penduduk sipil ini terdapat pada Instruksi Lieber tahun 1863 yang berbentuk Hukum Humaniter Internasional kebiasaan, dan yang berbentuk Hukum Humaniter Internasional perjanjian meliputi Konvensi Jenewa 1864, Konvensi Den Haag 1899/1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan Dimulai dari Instruksi Lieber tahun 1863, Instruksi pemerintah Amerika Serikat, yang dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional dengan menggunakan kata-kata seperti unarmed citizens, private citizens, inoffensive citizens, private individuals dan non-combatant menetapkan beberapa ketentuan yang mengatur orang sipil. Instruksi itu membedakan orang sipil dalam tiga kelompok, yakni orang sipil yang inoffensive, orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan, dan orang sipil yang terkait dalam 42 Fadillah Agus, Hukum Humaniter-Suatu Perspektif, Jakarta, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas USAKTI,1977, hlm.42.

15 pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Bagi mereka instruksi tersebut menetapkan perlindungan dan larangan. 43 Orang sipil yang inofffensive mendapatkan perlindungan pribadi, harta dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindah paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesuciaan hubungan keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Orang sipil yang turut serta langsung dalam permusuhan sebagai peserta leeve en masse diberi kedudukan sebagai belligerent. Orang sipil yang terkait aktif dalam pelaksanaan tugas angkatan bersenjata bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tahanan perang. Disamping perlindungan itu instruksi tersebut juga menetapkan larangan bagi penduduk sipil, misalnya larangan dilakukannya perbuatan perang oleh orang sipil. Di wilayah pendudukan orang sipil dilarang melakukan perlawanan bersenjata. 44 Ketentuan hukum humaniter internasional dalam instruksi lieber 1863 yang mengatur penduduk sipil itu berlaku pada penduduk sipil beserta perlindungan yang ditetapkannya sebagai ketentuan hukum humaniter internasional kebiasaan. 45 Selanjutnya pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam bentuk perjanjian internasional ialah Konvensi Jenewa tahun Merupakan perjanjian internasional hukum humaniter internasional pertama yang menetapkan perlindungan bagi korban perang. Konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi korban perang ini menetapkan perlindungan bagi mereka yang luka di medan perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Ketentuan ini juga 43 Ibid, hlm F. Sugeng Istanto, Op.cit, hal Fadillah Agus, Loc.cit

16 mengatur tingkah laku orang sipil dalam konflik bersenjata dan perlindungan terhadapnya. Di rasa perlu untuk memperbaharui aturan sebelumnya, maka pada tahun 1899 dan 1907 diadakan Konvensi Den Haag untuk mendapatkan aturan tentang hukum dan kebiasaan perang darat Regulations respecting the laws and Custom of war on Land atau disebut juga Pengaturan Den Haag Hague Regulation. Pengaturan Den Haag ini lebih banyak mengatur belligerents, baik kualifikasi maupun hak dan kewajibannya. Belligerents adalah mereka yang tunduk pada hukum perang. Dalam istilah sekarang mereka dikategorikan sebagai kombatan. Pengaturan Den Haag tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Namun dalam pengaturan Den Haag tidak terdapat ketentuan-ketentuan orang-orang yang tidak tergolong Belligerents yakni orang-orang yang tidak ikut permusuhan hostilities atau dengan kata lain disebut sebagai penduduk sipil. Pengaturan Den Haag ini melindungi penduduk sipil yang berada di wilayah pendudukan. Bentuk perlindungan tersebut ialah perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari musuh yang menguasainnya. Bentuk perlindungan tersebut antara lain 46 : a. Larangan pemaksaan penduduk sipil mmberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan bertikai atau tentang perlengkapan pertahanan; b. Larangan meminta sumpah kepada penduduk sipil untuk setia kepada penguasa pendudukan; c. Penghormatan hak-hak pribadi penduduk sipil d. Larangan menjarah penduduk sipil 46 Ibid, hlm

17 e. Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain secara sewenang-wenang; f. Larangan penghukuman kolektif pada orang sipil; g. Larangan pencabutan hak milik penduduk sipil secara sewenang-wenang. Pada perkembangannya dalam pengaturan perlindungan penduduk sipil, pada tahun 1949 diadakan Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang. Memiliki empat bagian dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention) tahun 1949 yang terdiri atas : 1) Perlindungan terhadap korban luka dan yang menderita sakit dalam konflik bersenjata 2) Perlindungan terhadap korban luka, korban yang menderita sakit dan korban kapal karam akibat konflik bersenjata di laut 3) Perlakuan terhadap tawanan perang 4) Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu berperang Perlindungan penduduk sipil ketika dalam keadaan perang yang diatur secara khusus dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa IV 1949 menyebutkan bahwa ; Persons protected by the Convention are those who, at a given moment and in anymanner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or occupation, in the handsof a Party to the conflict or Occupying Power of which they are not nationals. Nationals of a States which is not bound by the Convention are not protected by it. Nationals of a neutral State who find themselves in the territory of a belligerent State, and Nationals of a co-belligerent State, shall not be regarded as protected persons while the State of which they are

18 nationals has normal diplomatic representationin the State in whose hands they are. Secara umum, Konvensi Jenewa IV tersebut berlaku kepada penduduk sipil musuh apabila dilihat dari sudut pandang pihak yang menguasai mereka atau dalam hal ini berarti penduduk sipil negara bersengketa yang jatuh dalam kekuasaan musuh karena mereka yang dianggap paling membutuhkan perlindungan dari pendudukan belligerent tersebut. Hal ini berarti bahwa selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam perang juga berkuasa diwilayah musuh yang diduduki oleh angaktan perangnya. Dapat juga orang-orang yang dilindungi atu Protected persons dalam Konvensi Jenewa IV dirumuskan sebagai berikut ; a. Warga negara sipil musuh di wilayah negara pihak yang bersengketa b. Penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki, terkecuali ; a) Warga negara dari pendudukan sendiri b) Warga negara dari pendudukan sekutu c) Warga negara dari sekutu d) Warga negara dari negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik dengan pendudukan, dan e) Warga negara dari negara bukan peserta konvensi Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan yang diberikan konvensi ini kepada orang-orang yang dilindungi ini diatur dalam paragraf terakhir dalam Pasal 14 dari Konvensi Jenewa IV yaitu status protected persons yang terdapat dalam Konvensi Jenewa I-III 1977 tidak termasuk dalam orang-

19 orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV ini karena Konvensi Jenewa IV ini hanya melindungi penduduk sipil saja. Selanjutnya, dalam pasal 5, pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam sengketa atau wilayah yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau terlibat peperangan sebagai mata-mata bagi pihak musuh, akan kehilangan status dari perlindungan terseut. Dikarenakan adanya perkembangan pemahaman tentang pertikaian bersenjata, kebutuhan perlindungan yang lebih luas lagi bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam serta perkembangan cara dan sarana perang beberapa waktu yang lalu lahirlah Protokol Tambahan tahun Protokol tambahan ini merupakan tambahan pada Konvensi Jenewa 1949, namun melihat dari isi aturan yang terkandung di dalamnya Protokol Tambahan 1977 in juga merupakan tambahan dari Kovensi Den Haag 1907 karena memuat aturan dan tata cara serta sarana pertikaian senjata. Keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai bentuk penyempurnaan Konvensi Jenewa Bukan sebagai pengganti dari Konvensi Jenewa Protokol ini sendiri terdiri dari dua bagian, yakni Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Protokol Tambahan I memuat aturan tentang perlindungan korban konflik bersenjata yang bersifat internasional, sedangkan Protokol Tambahan II memuat aturan perlindungan korban konflik bersenjata yang bersifat non-internasional.

20 Ketentuan pokok yang terdapat dalam Protokol Tambahan I 1977 antara lain 47 ; Melarang serangan yang membabi buta dan reprisal terhadap; Penduduk sipil dan orang-orang sipil; Obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil; Benda-benda budaya dan juga tempat-tempat religius; Bangunan dan instalansi berbahaya; Lingkungan alam. Tidak Hanya pada Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II juga memiliki beberapa hal yang diatur khusus di dalamnya. Ketentuan-ketentuan dalam Protokol Tambahan II antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut : 48 Mengatur jaminan-jaminan yang sifatnya fundamental bagi semua orang, apakah mereka yang terlibat atau tidak dalam suatu pertempuran. Menentukan hal-hal bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil. Memberikan perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan melarang dilakukannya tindakan intervensi secara sengaja. Mengenai ruang lingkupnya, Pasal 1 ayat (2) Protokol Tambahan II yang tidak lain sebagai perlengkapan Konvensi Jenewa 1949, menetapkan bahwa Protokol Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak dirumuskan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang perlindungan korban konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah negara-negara peserta konvensi. Dalam Protokol Tambahan II ini, ditegaskan bahwa negara yang sedang dilanda konflik bersenjata dalam negeri memiliki kedaulatan yang penuh untuk melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat 47 Iskandarsyah, Pengantar Hukum Humaniter,op.cit 48 Ibid, hal.45.

21 disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar di dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri suatu negara. Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 ayat (2). Protokol I dan II tahun 1977 juga menjabarkan dalam hal menetapkan perlindungan bagi orang sipil antara lain : 49 Protokol Tambahan I tahun 1977 menetapkan a.l : a. Larangan menyerang orang sipil; b. Keharusan dilakukannya penhati-hatian dalam melakukan perbuatan perang demi untuk melindungi orang sipil; c. Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil; d. Larangan pemindahan paksa orang sipil; e. Jaminan mendapatkan bantuan; f. Kesempatan memberi bantuan korban konflik bersenjata. Prtokol Tambahan II tahun 1977 menetapkan a.l : a. Perlindungan terhadap operasi militer; b. Larangan dijadikannya orang sipil sebagai sasaran konflik bersenjata; c. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian; d. Larangan menyerang bangunan dan instalansi yang mengandung kekuatan berbahaya; e. Larangan pemindahan paksa orang sipil; 49 Fadillah Agus, Op.cit., hlm.49.

22 f. Perlindungan kumpulan dan orang sipil penolong korban pertikaian bersenjata. Perikemanusiaan sebagai suatu asas pokok hukum perang, dalam bentuknya yang modern, untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Rousseau menyatakan teori pembatasan tentang siapa yang merupakan musuh dalam perang. Rousseau membedakan penduduk sipil dan Kombatan berdasarkan Perikemanusiaan. Perlindungan penduduk sipil dalam perang ditetapkan berdasarkan tuntutan peradaban yang menghendaki dilaksanakannya prinsip pembedaan antara warga negara dan negaranya. Pembedaan itu dimaksudkan untuk melindungi penduduk sipil di masa perang. Perlindungan itu dibedakan dalam tiga macam perlindungan bagi penduduk sipil yang berbeda yakni penduduk sipil yang inoffensive, penduduk sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan dengan mengangkat senjata dan penduduk sipil yang terkait dalam pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Penduduk sipil yang inoffensive mendapatkan perlindungan pribadi, harta dan kehormatannya. Mereka ini tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindah paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesucian hubungan keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Penduduk sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan sebagai peserta levee en masse ditetapkan sebagai public enemy, meskipun mereka tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan bagi belligerent. Dengan ditetapkannya peserta leeve en masse sebagai public enemy itu maka bila tertangkap musuh mereka berhak mendapatkan status tawanan perang.

23 Penduduk sipil diwilayah yang diduduki musuh, misalnya yang melakukan perlawanan bersenjata, dinyatakan sebagai pelanggaran hukum perang. Demikian pula orang-orang yang melakukan perbuatan permusuhan tanpa menjadi anggota angkatan bersenjata tidak ditetapkan sebagai public enemy, yang karenanya bila tertangkap musuh maka mereka tidak berhak atas perlindungan sebagai tawanan perang. Mereka ini diperlakukan sebagai perampok atau pembajak. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Pelanggaran Humaniter serius diatur dalam Konvensi Geneva (IV) TAHUN 1949, Grave Breaches dipakai untuk membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata internasional dalam hubungannya dengan istilah orang-orang yang dilindungi (the protected persons) dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik internal atau domestik (Psl 4 Jo.Psl 147 Konvensi Geneva IV). Sementara yang dimaksud sebagai the protected persons adalah; mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apapun, mendapatkan dirinya, dalam sebuah konflik atau pendudukan berada pada kekuasaan salah satu pihak dalam konflik, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang menguasainya. Penggunaan terminologi the protected person di atas, memang mengarah pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam konflik internal, tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Geneva. Maksudnya meskipun pasal 3 serta Protokol Tambahan No.2 Konvensi Geneva dengan jelas melindungi kaum sipil serta tawanan perang dalam konflik internal tekstual legalnya mereka memang tak masuk dalam apa yang disebutkan sebagai the

24 protected persons. Dalam perkembangannya hal tersebut di atas ternyata tidak bersifat absolut. Beberapa praktik hukum pidana internasional nyatanya memasukan para korban sipil dalam konflik internal sebagai the protected persons. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk bekas Yugoslavia (The International Tribunal of Former Yugoslavia), dalam beberapa keputusannya memutuskan bahwa muslim Bosnia termasuk orang-orang yang dilindungi dari Kejahatan Serbia Bosnia dan begitu pula sebaliknya (Karine Lescure, 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa yang terpenting dalam pengkasiflikasian orang-orang yanng dilindungi bukanlah legal nationality dari seseorang, tetapi juga kenyataan bahwa ada kondisi yang secara de facto memperlihatkan tidak adanya perlindungan diplomatik atau hukum terhadap korban-korban tersebut. Kelemahan Konvensi Geneva, tampaknya menjadi perhatian khusus para pelaku hukum internasional. Usaha perluasan penafsiran atas konflik internal terus meningkat. 50 Dalam Hal ini Hukum Humaniter Internasional juga mempunyai suatu prinsip yang dapat membedakan Warga Sipil dalam Konflik bersenjata, dimana Prinsip ini dikenal dengan Prinsip Pembedaan. Prinsip Pembedaan ini membedakan antara Warga Sipil dengan Kombatan, pembedaan ini perlu diketahui untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan objek sasaran dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, adanya prinsip pembedaan ini dapat diketahui siapa yang turut ikut dalam permusuhan, sehingga dijadikan objek 50 Konflik Internal Yugoslavia serta Genosida di Rwanda barangkali dapat disebutkan sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik internal. Ketetntuan yang dikeluarkan oleh peradilan Rwanda, misalnya dengan jelas menegaskan mengenai otoritas yurisdiksinya terhadap pelanggaran atas pasal 3 Konvensi Geneva, serta protokol tambahannya (Protokol Tambahan No.2)

25 sasaran dan siapa yang tidak ikut serta dalam permusuhan untuk mendapatkan perlindungan. Prinsip Pembedaan ini berguna untuk menghormati dan melindungi Warga sipil dari sasaran perang serta untuk tidak menyerang objek-objek sipil, seperti rumah sakit, sekolah, rumah ibadah dan lainya. Tujuan prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi Warga sipil. Oleh karena itu, berkenaan dengan tindakan peperangan tidak hanya berakibat terhadap anggota angkatan bersenjata, tetapi juga berakibat terhadap warga sipil. Apalagi warga sipil sebagai pihak yang lemah dan menderita, sangat mudah dijadikan sasaran kekerasan dengan berbagai tuduhan dibuat-buat. Hukum Humaniter juga telah mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil dalam Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949, yang pengaturannya lebih sempurna daripada Konvensi Den Haag. Namun dalam praktiknya, ketentuan tersebut tidak diterapkan secara sungguh-sungguh. Menurut M.Gaussyah, 51 bahwa untuk mewujudkan cita-cita melindungi segenap bangsa dan seluruh warga negara, maka harus diadakan lembaga/alat yang bertugas melindungi penduduk, yaitu alat negara atau lembaga Kepolisian sebagai penegak Hukum yang bertanggung jawab penuh bagi keamanan. Perkembangan teknik persenjataan modern dewasa ini mengakibatkan bertambah susahnya usaha untuk mencegah Warga Sipil turut menjadi sasaran perang. Kenyataan bahwa perang modern merupakan perang yang total, mengakibatkan perlindungan yang diberikan oleh hukum perang internasional 51 M.Gaussyah, Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai alat negara dalam kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban Dalam Masyarakat, Jurnal Hukum Kanun Vol.XIII No.35 April 2003, hlm.63

26 secara negatif, dengan menempatkan di luar perang jelas tidak memadai lagi dewasa ini. 52 Warga sipil membutuhkan perlindungan yang lebih positif/baik dan netralisasi dari perbuatan yang dilatarbelakangi oleh faktor politik, ekonomi, kekuasaan dan lainnya, yang hanya menimbulkan penderitaan bagi Warga sipil yang tidak ikut dalam konflik bersenjata tersebut. Oleh karena itu, Warga sipil dibedakan secara tegas dengan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata tersebut. Disamping itu Warga sipil harus bersikap netral atau tidak boleh ikut serta dalam konflik bersenjata. Ketentuan Pasal 4 Konvensi Jenewa IV 1949 menetukan, orang-orang yang dilindungi dalam Konvensi ini adalah mereka yang dalam suatu peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dengan cara bagaimanapun juga ada dalam tangan satu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka. Orang sipil dapat jatuh dibawah kekuasaan negara pendudukan dan untuk itu diperlakukan perlindungan. Pemerintah atau negara wajib melakukan penegakan hukum secara maksimal guna melindungi orang-orang yang menjadi korban dari pelanggaran hukum humaniter. Dasar Hukum bagi tindakan kejahatan dapat mendasarkan pada Konvensi Den Haag IV tahun 1907 yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan pihak-pihak yang berperang akan tetap tunduk pada perlindungan dan prinsipprinsip pokok umum hukum internasional sebagai yang ditetapkan dalam kebiasaan bangsa-bangsa yang beradab. 52 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.103

27 Prinsip-prinsip Hukum tersebut, seperti prinsip pembedaan, prinsip kemanusiaan dan prinsip kesatria pada dasarnya telah menjadai landasan bagi setiap negara dalam pengaturan hukum lebih lanjut dan bagi tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh aparat negara atau kombatan yang terlibat dalam konflik bersenjata. Dalam kenyataan, prinsip dan aturan yang telah ditetapkan tersebut kurang dilaksanakan dengan sebenarnya oleh para pihak yang bersengketa dalam konflik bersenjata tersebut, sehingga terjadi tindakan kekerasan terhadap orang-orang yang seharusnya dilindungi. Sebenarnya, semua konflik bersenjata yang terjadai pada umumnya, mengharuskan pemerintah negara yang bersagkutan mengambil kebijakan lebih tegas untuk melindungi dan menyelesaikan masalah tersebut secara tuntas dengan cara yang damai. Kenyataan nya menunjukan bahwa banyak orang-orang menjadi koraban hanya karena keegoisan dari para pihak bersengketa, dan hal ini dapat dilihat dalam kasus Perang Suriah yang sudah berlangsung kurang lebih 6 tahun. Jelasnya perlindungan terhadap warga sipil sangat lemah sekali, baik karena penyeangan yang tidak tepat sasaran ataupun pemboman maupun akibat kekerasan dari pihak yang bertikai yang kurang peduli bagi keselamatan Warga sipil. Ketentuan Pasal 3 common article sebagai ketentuaan minimal, telah meletakkan kewajiban untuk melindungi kombatan yang tidak lagi bertempur. Dengan demikian dapat dipahami bahwa terhadap orang yang terlibat dalam konflik bersenjata itu sendiri dilindungi oleh hukum humaniter internasional, apalagi dengan warga sipil atau terhadap orang yang sama sekali tidak terlibat

28 dalam konflik bersenjata tersebut harus mendapatkan perlindungan yang sangat optimal dan maksimal, akan tetapi dalam kenyataannya yang paling banyak menjadi korban dalam konflik bersenjata tersebut adalah orang-orang yang tidak ikut dalam konflik bersenjata tersebut. Sudah semestinya pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian atau konflik bersenjata memperhatikan hak-hak penduduk sipil yang patut dilindungi dan dihormati dengan menatti dan tidak melakukan tindakan pelanggran dengan menyerang penduduk sipil yang sebenarnya bukan merupakan sasaran atau obyek penyerangan dalam suatu pertikaian atau konflik bersenjata, sehingga tidak menimbulkan korban yang tidak semestinya (collateral damage) bahkan pihak yang bertikai dalam suatu konflik bersenjata juga tidak diperbolehkan menjadikan penduduk sipil sebagai alat pertikaian atau konflik bersenjata, menyebarkan teror dan kelaparan demi mendapatkan keuntungan terhadap jalannya pertikaian atau konflik bersenjata tersebut. 2. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Obyek-obyek Sipil Dimana kenyataan dalam sebuah konflik bersenjata warga sipil yang menjadi korban tidak hanya menderita karena terkena serangan langsung dari sasaran konflik bersenjata, namun ada hal lain yang menyebabkan penderitaan warga sipil menjadi sangat menderita akibat objek (fasilitas) sipil yang tidak dapat digunakan sebagaimana fungsi dari kegunaanya. Objek (fasilitas) yang sangat rawan terkena serangan dari konflik bersenjata seperti; Sekolah, Rumah Sakit,

29 Tempat Ibadah, Bangunan budaya (besejarah), sumber makanan dan air, instalasi yang mengandung tenaga listrik dan air, dan lain-lainya. Oleh sebab itu Protokol Tambahan 1977, mengatur perlindungan objek sipil dari sasaran-sasaran akibat dari adanya konflik bersenjata, teaptnya pengaturan ini terdapat pada Pasal 57 dimana ditentukan sebagai dasar bahwa dalam melakukan operasi militer harus selalu diusahakan untuk menyayangi/melindungi (spare) penduduk sipil, orang sipil dan obyek sipil. Ketentuan selanjutnya ditujukan kepada mereka yang merencanakan atau menentukan suatu serangan. Mereka diwajibkan mengambil tindakan pengamanan, diantaranya : 1) Meneliti benar-benar bahwa objek serangan bukan orang sipil atau objek sipil dan bahwa objek tersebut tidak secara khusus mendapat perlindungan. Objek yang akan diserang haruslah objek militer seperti yang ditentukan dalam Pasal 52 ayat 2, dan objek-objek tersebut tidak dinyatakan sebagai objek terlarang oleh protokol ini; 2) Mengambil tindakan yang perlu dalam memilih alat (means) dan cara (methods) menyerang, dengan maksud untuk mencegah, atau sekurangkurangnya memperkecil adanya korban tak disengaja/kebetulan (incidental) di kalangan penduduk sipil atau kerusakan pada objek sipil; 3) Menangguhkan penentuan serangan yang dapat diperkirakan/diharapkan akan menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil dan kerusakan pada objek sipil yang lebih besar, dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh dari serangan itu.

30 Apabila ternyata bahwa : objek serangan bukan objek militer, atau objek dilindungi secara khusus, atau serangan menimbulkan kerugian yang melebihi manfaat militer, serangan harus dibatalkan (cancelled). Apabila suatu serangan memengaruhi penduduk sipil, harus diberikan peringatan sebelumnya kecuali apabila keadaan tidak mengizinkan. Di sini tidak ditentukan siapa yang harus menilai apakah keadaan mengizinkan atau tidak. Dapat diperkirakan bahwa hanya komandolah yang dapat membuat penilaian itu. Selanjutnya ditentukan bahwa apabila dimungkinkan membuat pilihan di antara beberapa objek militer yang memberikan keuntungan militer yang sama, harus dipilih objek yang dapat menimbulkan kerugian kepada penduduk sipil dan objek sipil. Juga di sini komandan atau perencana serangan yang dapat membuat keputusan ketentuan semacam ini juga berlaku di laut dan di udara. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 57 ini benar-benar mengharuskan para komandan serangan untuk memilih cara menyerang yang sesuai dengan ketentuan tersebut. Dapat dipahami bahwa dengan adanya ketentuan-ketentuan itu cara menyerang menjadi sangat dibatasi. Mungkin sekali harus dipilih cara menyerang, yang dilihat dari segi militer kurang menguntungkan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Humaniter Internasional. Selain tindakan pengamanan seperti yang baru saja diuraikan, masih ada tindakan-tindakan lain yang harus diperhatikan untuk mencegah atau mengurangi efek-efek serangan terhadap penduduk sipil dan objek sipil. Pihak bersengketa harus :

31 1) Berusaha memindahkan penduduk sipil, objek sipil yang berada di bawah pengawasan mereka, dari sekitar objek militer. Dalam hal ini harus diperhatikan Pasal 49 dari Konvensi IV tentang deportasi. 2) Mencegah ditempatkannya objek militer di dalam kota atau wilayah yang padat penduduknya. 3) Mengambil tindakan pengamanan lain untuk melindungi penduduk sipil dan objek sipil yang berada di bawah pengawasannya terhadap bahaya yang berasal dari operasi militer. Masih ada ketentuan lain mengenai serangan yang perlu mendapat perhatian para komandan, yaitu dilarangnya serangan membabi-buta (indiscriminate attack). Pengertian serangan membabi-buta yaitu : 1) Serangan yang tidak ditujukan kepada objek militer tertentu; 2) Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang tidak dapat ditujukan kepada objek militer tertentu; 3) Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang efeknya tidak dapat dibatasi, seperti yang ditentukan dalam protokol ini. Denagn demikian, dapat dikatakan serangan membabi-buta mempunyai sifat tidak dapat membedakan antara objek militer dengan objek sipil. Sebagai contoh dari apa yang dimaksudkan dengan serangan yang membabi-buta dapat dikemukakan : 1) Serangan yang dilakukan dengan pemboman, dengan cara atau alat apapun, yang memperlakukan sebagai satu objek militer sejumlah objek militer yang

32 berlainan dan terpisah, yang terletak di dalam suatu kota, dusun atau wilayah, dimana terdapat pula konsentrasi penduduk sipil dan objek sipil; 2) Serangan yang dapat diharapkan akan menimbulkan korban jiwa pada penduduk sipil, luka-luka pada orang sipil, kerusakan pada objek sipil yang berlebihan, dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Protokol I, berbeda dengan Konvensi-konvensi sebelumnya. Objek-objek yang mungkin dapat dijadikan sasaran serangan, dibagi dalam dua golongan besar dengan batasan tertentu, yaitu objek militer dan objek sipil. Pembagian semacam ini perlu diadakan karena objek yang dapat diserang hanyalah objek militer saja. Adapun batasan dari objek sipil terdapat pada Pasal 52 ayat 1. Secara negatif dinyatakan bahwa objek sipil (civilian object) adalah semua objek yang bukan objek militer seperti dicantumkan dalam Pasal 52 ayat 2. Di dalam ayat 1 ditegaskan bahwa objek sipil tidak boleh dijadikan objek suatu serangan atau reprisal. Mengenai objek militer, ayat 2 tidak memberikan batasan yang jelas. Dinyatakan bahwa objek militer adalah terbatas pada objek-objek yang karena: sifat, lokasi, tujuan atau penggunaannya meberikan saham (contribution) yang efektif untuk suatu aksi militer. Selanjutnya penghancuran atau perebutan atau netralisasi untuk sebagian atau seluruhnya dari objek itu, akan memberikan keuntungan militer nyata (difinite) pada saat itu. Mengingat bahwa batasan tersebut cukup luas sehingga dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda, ayat 3 memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan apabila timbul keragu-raguan, yaitu apakah suatu objek itu merupakan objek militer atau bukan. Dalam hal demikian, objek tersebut harus dianggap

33 sebagai objek sipil. Sebagai contoh disebut bahwa apabila diragukan apakah suatu tempat ibadah atau sebuah sekolah dipakai untuk kepentingan militer, objek tersebut harus dianggap bukan objek militer. Selain ada pembedaan antara objek sipil dan militer, ada juga ketentuan yang secara tegas melarang, atau dengan kata lain, objek-objek tersebut mendapat perlindungan. Objek-objek yang dilindungi ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sebgai berikut : 1) Objek yang dilindungi secara umum Objek yang termasuk golongan ini adalah sebagai berikut : a. Objek kebudayaan-tempat ibadah Dalam Pasal 53 dikatakan bahwa dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan (act of hostilities) terhadap monumen bersejarah, benda-benda budaya atau tempat-tempat ibadah, yang merupakan peninggalan budaya suatu bangsa. Dilarang pula menggunakan objek-objek tersebut untuk keperluan militer. b. Objek yang mutlak perlu untuk kelangsungan hidup penduduk sipil. Mengenai hal ini, Pasal 54 mengatakan bahwa dilarang untuk membiarkan penduduk mati kelaparan (starvation) sebagai suatu cara berperang. Dilarang pula untuk menyerang, menghancurkan atau merusak objek yang mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil, seperti bahan makanan, ternak, daerah pertanian dan sumber serta instalasi air minum, dengan motif apapun. Di antara motif yang disebut ialah untuk membiarkan penduduk sipil mati kelaparan agar penduduk pindah dan seterusnya. Dalam pasal itu seterusnya dinyatakan bahwa larangan tersebut di atas tidak

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Email : firman.yusticia86@gmail.com ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Humaniter Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter merupakan istilah yang dianggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang adalah suatu kondisi dimana terjadinya pertikaian antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter? BAB I PENDAHULUAN 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah

Lebih terperinci

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Makalah Hukum Humaniter Internasional) Oleh : PRISCA

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA LEGAL PROTECTION FOR CHILDREN IN THE MIDST OF ARMED CONFLICTS Enny Narwati, Lina Hastuti 1 ABSTRACT The purposes of the research are to understand

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928.

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Tujuan dari

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT Yang Mulia Kaisar Jerman, Raja Prussia dan Menimbang bahwa, pencarian cara untuk memelihara perdamaian dan mencegah konflik bersenjata

Lebih terperinci

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2018 KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6180) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a. bahwa pertahanan negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Oktober 2011 MAKALAH Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC (Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah) SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.

nasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli. NEGARA DAN INDIVIDU NASIONALITAS Merupakan status hukum keanggotaan kolektivitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya dijamin melalui konsep hukum negara yang

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ABSTRACT

TINJAUAN YURIDIS KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ABSTRACT TINJAUAN YURIDIS KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ABSTRACT Rafika Mayasari Siregar 1 Abdul Rahman 2 Arif 3 Wars arise because of the hostility

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH. A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN PERANG DI SURIAH A. Perlindungan yang di berikan pemerintah Suriah terhadap anak korban Perang. Konflik bersenjata di Suriah diawali dengan adanya pemberontakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan kemanusiaan berupaya untuk

Lebih terperinci

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN A. Pengertian Relawan Kemanusiaan Realitas menunjukkan bahwa hampir di semua komunitas masyarakat, aktivitas tolong-menolong

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL ANATOMI KEAMANAN NASIONAL Wilayah Negara Indonesia Fungsi Negara Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa setiap negara, apapun ideologinya, menyeleng garakan beberapa fungsi minimum yaitu: a. Fungsi penertiban

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palang Merah terbentuk dari situasi sulit di dunia seperti peperangan dan bencana alam. Awal mula terbentuknya Palang Merah yaitu pada abad ke-19, atas prakarsa seorang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

Konsep Keikutsertaan Langsung dalam Permusuhan dan Prinsip Pembedaan dalam Konflik Bersenjata

Konsep Keikutsertaan Langsung dalam Permusuhan dan Prinsip Pembedaan dalam Konflik Bersenjata http://dx.doi.org/10.18196/hi.2015.0077.171-177 Konsep Keikutsertaan Langsung dalam Permusuhan dan Prinsip Pembedaan dalam Konflik Bersenjata Jerry Indrawan Jurusan Hubungan Internasional, Universitas

Lebih terperinci

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Hukum Humaniter Internasional a. Definisi Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Prinsip Pembeda (Distinction Principle) dalam Konflik Bersenjata di Suriah Menurut Hukum Humaniter Internasional Implementation of Distinction Principle in

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, dan mensejahterakan warga negara. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban negara menciptakan suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA)

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) Tentang: MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te No.1133, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Penggunaan Senjata Api Dinas. Ditjen Bea dan Cukai. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci