BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter"

Transkripsi

1 BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Humaniter Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sejak sekitar Tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada Tahun Selanjutnya, pada Tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Sebagai bidang baru dalam Hukum Internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau defenisi mengenai Hukum Humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah : Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. 2. Esbjorn Rosenbland, merumuskan Hukum Humaniter Internasional dengan mengadakan pembedaan antara:

2 The Law Armed Conflict, berhubungan dengan: a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian; b. Pendudukan wilayah lawan; c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup: a. Metoda dan sarana berperang; b. Status kombatan; c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil. 3. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut : Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang. Dengan mencermati pengertian dan atau defenisi yang disebutkan di atas, maka ruang lingkup Hukum Humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Jean Pictet misalnya, menganut pengertian Hukum Humaniter dalam arti pengertian yang luas, yaitu bahwa Hukum Humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana

3 menurutnya Hukum Humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa Hukum Humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. 7 B. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Konvensi-konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of war) terdiri atas 4 Konvensi, yaitu : 8 1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, of August 12, 1949). 2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949). 3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949). 4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of War, of August 12, 1949). 7 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949, Pengayoman, Jakarta, 1999, hal. iii.

4 Yang dimana keempat konvensi tersebut di atas awal mulanya dibentuk pada Tahun Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, dalam sejarahnya berkaitan dengan pembentukan Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC). Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, sedikit banyak, dipengaruhi dari ide yang terpublikasi dari buku A Memory of Solferino yang ditulis oleh salah satu pendiri ICRC, yaitu Henry Dunant. Dalam buku tersebut, Henry Dunant menggambarkan pengalamannya menyaksikan penderitaan para tentara yang menjadi korban dan tidak memperoleh pertolongan di medan bekas pertempuran di Solferino. Cerita Henry Dunant tidak terlalu terfokus pada hal-hal yang mengerikan akibat perang, tetapi justru kepada permasalahan tidak cukupnya pertolongan untuk tentara korban tersebut. Ia juga menceritakan upaya spontannya mengumpulkan para wanita setempat untuk menolong para korban tersebut dengan fasilitas seadanya. Dua dari ide yang termuat dalam buku tulisan Henry Dunant terealisasi pada Tahun 1863 dan Tahun 1863 adalah Tahun pembentukan organisasi sukarelawan yang dipersiapkan untuk membantu korban perang yang kemudian dikenal dengan ICRC. Tahun 1864 adalah Tahun pembentukan perjanjian internasional untuk melindungi korban perang dan pihak yang bertugas menolong korban perang. Adapun konferensi diplomatik yang membahas dan mengadopsi perjanjian tersebut diselenggarakan oleh negara Swiss atas himbauan dari Henry Dunant dan para pendiri ICRC. Konvensi Jenewa 1864 menjadi instrumen hukum pertama tentang kesepakatan negara di bidang Hukum Humaniter Internasional dan menjadi

5 perjanjian pertama yang terbuka bagi setiap negara untuk ikut serta di dalamnya. Setelah itu cukup banyak pertemuan diplomatik dan antarnegara yang diselenggarakan secara teratur dan menghasilkan perjanjian-perjanjian lainnya di bidang Hukum Humaniter Internasional. Dalam perjalanannya, pembentukan perjanjian Hukum Humaniter Internasional dan norma-norma hukum yang disepakati di dalamnya banyak dipengaruhi oleh kebutuhan yang dirasakan karena peristiwa peperangan yang terjadi pada waktu itu. Di antaranya, juga dipengaruhi oleh kenyataan perkembangan teknologi dan sistem persenjataan atau metode peperangan yang digunakan. Peristiwa Perang Dunia I dan II serta berbagai perang atau konflikkonflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Amerika Latin yang melibatkan upaya dekolonisasi dan teknik gerilya sampai pembersihan etnis di Former Yugoslavia dan genosida di Rwanda, turut memberikan kontribusi bagi pembentukan dan penyempurnaan Hukum Humaniter Internasional. Sebelum masa Perang Dunia I, telah terbentuk berbagai perjanjian Hukum Humaniter Internasional berkenaan dengan larangan dan pembatasan penggunaan senjata dan metode perang tertentu, yaitu Deklarasi St Petersburgh Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil eksplosif tertentu pada saat perang dan beberapa Konvensi Den Haag berkenaan dengan peperangan di darat dan laut serta larangan penggunaan racun, gas mencekik, peluru mengembang, berikut pembatasan pengiriman proyektil tertentu melalui balon udara. Setelah masa Perang Dunia II, yaitu Tahun , dunia melihat terbentuknya peradilan internasional terhadap penjahat perang, yaitu di Tokyo

6 dan Nurmberg atas prakarsa para pemenang perang. Sementara itu, Konvensi Jenewa 1864 mengalami perbaikan dan penyempurnaan terakhir dengan terbentuknya empat Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan perlindungan korban perang. Tahun 1977 ditandai dengan terbentuknya dua perjanjian internasional yang merupakan tambahan atas Konvensi-Konvensi Jenewa Perjanjian Hukum Humaniter Internasional tersebut adalah Protokol Tambahan I/1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada situasi sengketa bersenjata internasional dan Protokol Tambahan II/1977 tentang Perlindungan Korban Perang pada Situasi Sengketa Bersenjata non-internasional Protokol I antara lain, memuat referensi Hukum Humaniter Internasional bagi perang melawan kolonial dan pembatasan penggunaan metode perang gerilya. 9 Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Penduduk Sipil dalam waktu Perang merupakan konvensi yang sama sekali baru. Konvensi ini yang mengatur kedudukan penduduk sipil pihak-pihak yang bersengketa, baik dalam daerah pertempuran maupun daerah pendudukan serta di negara-negara netral, seluruhnya meliputi 159 pasal dan tiga buah lampiran. Persiapan untuk Konvensi Jenewa IV 1949 sudah dimulai oleh Konferensi Internasional Palang Merah yang ke XV yang diadakan di Tokyo ditahun Konferensi ini telah menyetujui suatu rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil di negara musuh atau di negara yang diduduki musuh yang terdiri dari 40 pasal, yang dibuat untuk memenuhi rekomendasi 9 Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal

7 konferensi diplomatik yang diadakan di Jenewa ditahun 1929 untuk memperbarui Konvensi I dan menyusun Konvensi mengenai Perlakuan Tawanan Perang. Rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil ini yang dikenal juga dengan nama rancangan Tokyo, yang merupakan rancangan pertama bagi Konvensi Jenewa IV yang sekarang, mula-mula akan diajukan pada suatu konferensi Diplomatik yang akan diadakan di Jenewa pada Tahun Pecahnya Perang Dunia II membatalkan niat ini. Maksud untuk memperbaharui ketiga konvensi lainnya yaitu Konvensi I, II, dan III lahir setelah Perang Dunia II berakhir ditahun Di Tahun 1946 Komite Internasional Palang Merah mengadakan suatu konferensi pendahuluan di Jenewa yang dihadiri oleh utusan-utusan Palang Merah nasional untuk membahas Konvensi-Konvensi Jenewa dan masalah-masalah yang bertalian dengan Palang Merah. Konferensi ini membahas ketiga rancangan konvensi yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh suatu konferensi para ahli yang diadakan di Jenewa ditahun Pekerjaan persiapan di atas dilanjutkan dalam Tahun 1947 dengan diadakannya suatu konferensi di Jenewa antara ahli-ahli dari berbagai negara untuk mempelajari Konvensi- Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang, yang kemudian disusul dengan konsultasi antara Komite Internasional dengan beberapa pemerintah yang tidak mengirimkan wakilnya. Hasil pekerjaanpekerjaan persiapan tersebut di atas berupa empat buah rancangan Konvensi dibicarakan pada Konferensi Internasional Palang Merah ke-xvii yang diadakan

8 di Stockholm ditahun Rancangan-rancangan ini diterima dengan beberapa perubahan. Rancangan konvensi-konvensi inilah yang menjadi bahan perbincangan (working documents) daripada Konferensi Diplomatik yang diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April hingga 12 Agustus 1949, dan yang akhirnya menghasilkan keempat konvensi mengenai perlindungan korban perang dalam bentuknya yang dikenal sekarang. 10 C. Penjelasan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Penjelasan Konvensi Jenewa IV 1949 mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban perang diatur di dalam bagian II yang berisi tentang perlindungan umum. 1. Perlindungan Umum Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal Isi Pasal Konvensi Jenewa IV adalah : 1. Orang-orang yang dilindungi, dalam segala keadaan berhak akan penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat istiadat dan kebiasaan mereka. 10 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi DJenewa TH Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta Bandung, 1968, hal Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal. 170.

9 Mereka selalu harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, dan harus dilindungi khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau ancamanancaman kekerasan dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi objek tontonan umum. Wanita harus terutama dilindungi terhadap setiap serangan atas kehormatannya, khususnya terhadap perkosaan, pelacuran yang dipaksakan, atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan. Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keadaan kesehatan, umur dan jenis kelamin mereka, maka semua orang yang dilindungi harus diperlakukan dengan cara yang sama oleh Pihak dalam sengketa dalam kekuasaan mana mereka berada, tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan terutama pada suku, agama atau pendapat politik. Akan tetapi Pihak-pihak dalam sengketa dapat mengambil tindakan-tindakan pengawasan dan keamanan berkenaan dengan orang-orang yang dilindungi, yang mungkin diperlukan sebagai akibat perang (Pasal 27). 2. Adanya seseorang yang dilindungi tidak boleh digunakan untuk menyatakan sasaran-sasaran atau daerah tertentu kebal dari operasi-operasi militer (Pasal 28). 3. Pihak-pihak dalam sengketa bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan oleh alat-alat kelengkapannya kepada orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangannya, lepas dari tanggung jawab perseorangan apapun yang mungkin ada (Pasal 29).

10 4. Orang-orang yang dilindungi harus memperoleh setiap fasilitas untuk berhubungan secara tertulis dengan Negara Pelindung, dengan Komite Palang Merah Internasional, Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah) dari negara-negara tempat mereka berada, demikian pula dengan setiap organisasi yang dapat memberi bantuan kepada mereka. Organisasi-organisasi ini harus diberikan fasilitas-fasilitas untuk maksud itu oleh penguasa-penguasa, dalam batas-batas yang ditentukan oleh pertimbangan militer atau keamanan. Di samping kunjungan-kunjungan dan utusan-utusan Negara Pelindung serta Komite Palang Merah Internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 143, maka Negara Penahan atau Negara Pendudukan harus sebanyak mungkin memudahkan kunjungan-kunjungan kepada orang-orang yang dilindungi oleh wakil-wakil organisasi-organisasi lain yang bertujuan memberikan bantuan spiritual atau pertolongan materil kepada orang-orang trsebut (Pasal 30). 5. Terhadap orang yang dilindungi tidak boleh dilakukan paksaan phisik atau moral, terutama untuk memperoleh keterangan-keterangan dari mereka atau dari pihak ketiga (Pasal 31). 6. Pihak-pihak Peserta Agung teristimewa sepakat bahwa mereka masingmasing dilarang mengambil tindakan apapun yang sifatnya menimbulkan penderitaan-penderitaan jasmani atau pemusnahan orang-orang yang dilindungi yang ada dalam tangan mereka. Larangan ini tidak hanya berlaku

11 terhadap pembunuhan, penganiayaan, hukuman badan, pengudungan serta percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah yang tidak diperlukan oleh perawatan kedokteran daripada seorang yang dilindungi, akan tetapi juga berlaku terhadap setiap tindakan kekuasaan lainnya, baik yang dilakukan oleh alat-alat negara sipil maupun militer (Pasal 32). 7. Orang yang dilindungi tidak boleh dihukum untuk suatu pelanggaran yang tidak dilakukan sendiri olehnya. Hukuman kolektif dan semua perbuatan intimidasi atau terorisme dilarang. Perampokan dilarang. Tindakan pembalasan terhadap orang-orang yang dilindungi dan harta miliknya adalah dilarang (Pasal 33). 8. Penangkapan orang untuk dijadikan sandera (tanggungan) dilarang (Pasal 34). Yang dapat disimpulkan isi dari pasal tersebut tentang perlindungan umum terhadap penduduk sipil yaitu adalah : 12 Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan; 1. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani; 2. Menjatuhkan hukuman kolektif; 3. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan; 4. Melakukan pembalasan (reprisal); 5. Menjadikan mereka sebagai sandera; 12 Ibid, hal. 171.

12 6. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi. Demikian besarnya perhatian yang diberikan Konvensi Jenewa untuk melindungi penduduk sipil dalam sengketa bersenjata, sehingga konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan daerahdaerah keselamatan (safety zones), dengan persetujuan bersama antara pihakpihak yang bersangkutan (Pasal 14 Konvensi Jenewa IV). Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 14 Konvensi Jenewa IV : Dalam waktu damai, Pihak-pihak Peserta Agung dan setelah pecahnya permusuhan, pihak-pihak dalam permusuhan itu dapat mengadakan dalam wilayah mereka sendiri dan apabila perlu, dalam daerah yang diduduki, daerahdaerah serta perkampungan-perkampungan rumah sakit dan keselamatan, yang diorganisir sedemikian rupa sehingga melindungi yang luka, sakit dan orangorang tua, anak-anak di bawah lima belas Tahun, wanita-wanita hamil serta ibuibu dari anak di bawah tujuh Tahun dari akibat-akibat perang. Pada waktu pecahnya dan selama berlangsungnya permusuhan, pihakpihak yang bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-persetujuan tentang pengakuan bersama daripada daerah dan perkampungan yang telah mereka adakan. Untuk maksud ini mereka dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan dan Rencana Persetujuan yang dilampirkan pada Konvensi ini, dengan perubahanperubahan yang dianggap perlu.

13 Negara-negara Pelindung serta Komite Palang Merah Internasional diundang untuk memberikan jasa baik mereka guna memudahkan penetapan dan pengakuan atas rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan serta perkampunganperkampungan. Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat perang, yaitu orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil atau menyusui, perempuan yang memiliki anak-anak balita, orang lanjut usia dan anak-anak. Daerah keselamatan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputi sebagian kecil dari wilayah yang diperintah oleh negara yang mengadakannya. 2. Daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu. 3. Daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan administrasi yang besar. 4. Daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di wilayah-wilayah yang menurut perkiraan, dapat dijadikan areal untuk melakukan peperangan. Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi, perlakuan khusus harus diberikan terhadap anak-anak. Para pihak yang bersangkutan diharuskan untuk memelihara anak-anak yang sudah yatim piatu atau terpisah dengan orangtua mereka.

14 Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi, seperti : (1) Orang asing di wilayah pendudukan Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di wilayah negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan di negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika permohonan mereka ditolak, mereka penolakan tersebut dipertimbangkan kembali. Permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu. 13 Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 35 Konvensi Jenewa IV: Semua orang yang dilindungi yang berkehendak meninggalkan wilayah pada permulaan, atau selama berlangsungnya suatu sengketa, boleh berbuat demikian, kecuali apabila keberangkatannya itu bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional dari negara itu. Permohonan-permohonan orang tersebut untuk berangkat harus diputuskan sesuai dengan prosedurprosedur secara teratur dan keputusan harus diambil secepat mungkin. Orangorang yang diizinkan untuk berangkat dapat melengkapi diri mereka dengan dana-dana yang diperlukan untuk perjalanan mereka dan membawa serta satu jumlah yang pantas dari milik dan barabg-barang untuk pemakaian pribadi. 13 Ibid, Hal

15 Apabila ada seorang ditolak permintaannya untuk meninggalkan wilayah itu, maka ia berhak supaya penolakan itu dipertimbangkan kembali selekas mungkin oleh sebuah pengadilan atau dewan administratif, yang ditunjuk oleh Negara Penahan untuk maksud itu. Atas permintaan, maka wakil-wakil Negara Pelindung harus, kecuali apabila bertentangan dengan alasan-alasan keamanan, atau apabila orang-orang yang bersangkutan berkeberatan, diberitahu alasan-alasan penolakan dari tiap permohonan izin untuk meninggalkan wilayah dan kepada wakil-wakil itu harus diberi secepat mungkin nama-nama semua orang yang tidak diberi izin untuk berangkat. Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku di masa damai (hukum tentang orang asing). Perlindungan minimum atas hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya, negara penahan juga diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat laporan regular ke kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika keadaan keamanan yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk berpindah tempat tinggal (Pasal 42 Konvensi Jenewa IV). 14 Berikut ini adalah isi lengkap dari Pasal 42 Konvensi Jenewa IV : 14 Ibid, Hal. 173.

16 Penginterniran orang-orang yang dilindungi atau penempatan mereka di tempat-tempat tinggal yang ditunjuk hanya dapat diperintahkan apabila keamanan Negara Penahan betul-betul memerlukannya. Apabila seseorang, melalui wakil-wakil Negara Pelindung, dengan sukarela mohon penginterniran dan apabila keadaannya menyebabkan perlu diambil tindakan tersebut, maka ia akan diinternir oleh kekuasaan dalam tangan siapa ia pada waktu itu berada. Mereka juga dapat dipindahkan ke negara asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, mereka harus dipulangkan pada saat terakhir setelah berakhirnya permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke pengadilan karena keyakinan politik atau agama yang mereka anut. (2) Orang yang tinggal di wilayah pendudukan Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi. Penguasa Pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki masih berlaku (secara de jure), walaupun yang berkuasa atas wilayah pendudukan adalah Penguasa Pendudukan (secara de facto). Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah di wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya, harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka seperti sedia kala.

17 Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak asasinya; misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan bangunan-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugas-tugasnya. Penguasa Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anak-anak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk (Pasal 50 Konvensi Jenewa IV); dan bila Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri, sesuai dengan Pasal dan sebagainya. 15 Berikut adalah isi lengkap dari pasal 50,59,60 dan 61 Konvensi Jenewa IV: Kekuasaan Pendudukan, dengan bantuan penguasa-penguasa nasional dan lokal, harus membantu kelancaran bekerja semua lembaga yang bertujuan untuk perawatan dan pendidikan anak-anak. Kekuasaan Pendudukan harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk memudahkan identifikasi anak-anak dan pendaftaran dari asal-usul mereka. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga, tidak boleh merubah kedudukan pribadi mereka, atau memasukkan mereka dalam kesatuan-kesatuan atau organisasi-organisasi kekuasaannya. 15 Ibid, hal

18 Apabila lembaga-lembaga setempat tidak mencukupi untuk tujuan itu, maka Negara Pendudukan harus mengatur pemeliharaan dan pendidikan anakanak yatim piatu atau anak-anak yang terpisah dari ibu bapaknya sebagai akibat peperangan, dan yang tidak dapat dipelihara dengan baik oleh kerabat atau kawan. Pemeliharaan dan pendidikan ini jika mungkin dilakukan oleh orangorang yang sama kebangsaan, bahasa dan agamanya. Suatu seksi khusus dari Biro yang didirikan sesuai dengan Pasal 136, akan bertanggung jawab atas segala tindakan yang perlu diambil untuk mengidentifikasi anak-anak yang identitasnya diragukan. Keterangan-keterangan mengenai ibu-bapak atau keluarga mereka yang dekat, selalu harus dicatat apabila ada. Kekuasaan Pendudukan tidak boleh menghalang-halangi diadakannya tindakan-tindakan istimewa mengenai makanan, pengobatan dan perlindungan terhadap akibat-akibat perang yang mungkin telah diadakan sebelum pendudukan dan yang telah diadakan untuk manfaat anak-anak di bawah lima belas Tahun, wanita hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak di bawah tujuh Tahun (Pasal 50). Apabila seluruh atau sebagian dari penduduk sesuatu wilayah yang diduduki tidak mempunyai persediaan-persediaan cukup, maka Kekuasaan Pendudukan harus menyetujui rencana-rencana pemberian bantuan bagi penduduk tersebut, dan harus membantu rencana-rencana tersebut, dengan segala kesanggupan yang ada padanya. Rencana-rencana bantuan tersebut, yang mungkin diadakan, atau oleh negara-negara atau organisasi-organisasi kemanusiaan yang tidak memihak

19 seperti Komite Palang Merah Internasional, terutama harus berisikan pemberianpemberian kiriman bahan makanan, persediaan obat-obatan dan pakaian. Semua Pihak Peserta harus mengizinkan lalul lintas bebas daripada kiriman-kiriman ini, dan harus menjamin perlindungannya. Akan tetapi suatu negara yang mengizinkan perjalanan bebas kirimankiriman yang menuju ke wilayah yang diduduki oleh pihak lawan dalam sengketa, berhak untuk memeriksa kiriman-kiriman itu untuk mengatur perjalanannya sesuai dengan waktu dan rencana perjalanan yang telah ditentukan, dan berhak untuk mendapat jaminan sepantasnya dari Negara Pelindung bahwa kiriman-kiriman itu akan dipergunakan untuk menolong penduduk yang membutuhkannya dan tidak akan dipergunakan untuk keuntungan Kekuasaan Pendudukan (Pasal 59). Kiriman-kiriman sumbangan sekali-sekali tidak akan membebaskan Kekuasaan Pendudukan dari kewajiban dan tanggung jawab apapun dibawah Pasal 55, 56 serta Pasal 59. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga tidak boleh membelokkan kiriman-kiriman sumbangan itu dari tujuannya yang dimaksudkan semula, kecuali dalam hal-hal keperluan yang mendesak, guna kepentingan-kepentingan penduduk wilayah yang diduduki dan dengan persetujuan Negara Pelindung (Pasal 60). Pembagian kiriman-kiriman sumbangan yang tercantum dalam pasal-pasal di atas, harus diselenggarakan dengan kerja sama dan di bawah pengawasan Negara Pelindung. Kewajiban ini, dengan persetujuan dari Kekuasaan Pendudukan dan Negara Pelindung, dapat juga diserahkan kepada suatu Negara

20 Netral, kepada Komite Palang Merah Internasional atau kepada setiap badan kemanusiaan lain yang tidak memihak. Kiriman-kiriman tersebut harus dibebaskan dari segala biaya, kewajibankewajiban pajak atau bea dalam wilayah yang diduduki, kecuali apabila hal itu diperlukan demi kepentingan ekonomi wilayah itu. Kekuasaan Pendudukan harus memberi kelonggaran-kelonggaran untuk membantu pembagian yang cepat daripada kiriman-kiriman itu. Segenap Pihak Peserta Agung harus berusaha untuk mengizinkan lalu lintas dan pengangkutan yang bebas biaya dari pada kiriman-kiriman sumbangan tersebut dalam perjalanan kiriman-kiriman itu menuju wilayah yang diduduki (Pasal 61). Sebaliknya Penguasa Pendudukan, berdasarkan ketentuan pasal 64 Konvensi Jenewa IV, dapat membentuk peraturan perundang-undangan sendiri. Mereka, berdasarkan pasal 66 Konvensi Jenewa IV, juga dapat membentuk pengadilan militer yang bersifat non-politis. 16 Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 64 dan 66 Konvensi Jenewa IV : Perundang-undangan hukum pidana wilayah yang diduduki akan tetap berlaku, dengan pengecualian bahwa undang-undang tersebut dapat dicabut atau ditangguhkan pelaksanannya oleh Kekuasaan Pendudukan dalam hal-hal dimana undang-undang ini merupakan suatu ancaman terhadap keamanannya atau merupakan penghalang bagi pelaksanaan Konvensi ini. Dengan mengingat pertimbangan yang disebut terakhir di atas dan untuk menjamin pelaksanaan 16 Ibid, hal. 174.

21 peradilan yang efektif, pengadilan wilayah yang diduduki harus terus melakukan tugasnya berkaitan dengan segala kejahatan yang diatur oleh undang-undang hukum pidana termaksud. Akan tetapi Kekuasaan Pendudukan boleh menggunakan ketentuanketentuan hukum atas penduduk wilayah yang diduduki, yang perlu untuk memungkinkan Kekuasaan Pendudukan memenuhi kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini, untuk memelihara pemerintahan yang teratur dari wilayah dan untuk menjamin keamanan Kekuasaan Pendudukan, anggota dan harta milik angkatan perang atau pemerintah pendudukan dan pula untuk keamanan gedunggedung dan saluran-saluran perhubungan-perhubungan yang mereka pergunakan (Pasal 64). Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ditetapkan berdasarkan paragraf kedua dari Pasal 64, maka Kekuasaan Pendudukan dapat menyerahkan si tertuduh kepada pengadilanpengadilan militer yang non politis dan yang dibentuk dengan sewajarnya, dengan syarat bahwa pengadilan tersebut bersidang di wilayah negara yang diduduki. Pengadilan-pengadilan banding sebaiknya bersidang di wilayah yang diduduki (Pasal 66). Namun, adanya pembentukan tersebut tidak boleh melepaskan kewajibanpenguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban, dan untuk menjaga segala infra struktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi sebagaimana sedia kala. Dalam melakukan kegiatan peradilan, Penguasa

22 Pendudukan juga harus menghormati dan menerapkan asas-asas hukum umum (general principles of law), terutama asas hukum yang menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan (Pasal 67 Konvensi Jenewa IV); pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap kasus pelanggaran berat, seperti mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer, atau karena pelanggaran yang disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman mati menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 68 Konvensi Jenewa IV). 17 Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 67 dan 68 Konvensi Jenewa IV : Pengadilan-pengadilan itu hanya boleh menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang telah berlaku sebelum pelanggaran yang dituduhkan, dan yang sesuai dengan azas-azas hukum umum, terutama azas bahwa hukuman harus seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengadilan-pengadilan itu harus turut mempertimbangkan hal bahwa yang tertuduh seorang warga negara Kekuasaan Pendudukan (Pasal 67). Orang-orang yang dilindungi yang telah melakukan suatu pelanggaran yang khusus ditujukan untuk merugikan Kekuasaan Pendudukan akan tetapi yang tidak merupakan suatu percobaan atas jiwa dan raga anggota-anggota tentara atau administrasi pendudukan, yang juga tidak merupakan suatu bahaya kolektif besar, maupun yang tidak merusak dengan hebat harta milik tentara dan administrasi pendudukan atau instalasi-instalasi yang dipakai mereka, dapat dikenakan interniran atau hukuman penjara biasa, asal saja lamanya interniran atau hukuman 17 Ibid, hal. 174.

23 penjara itu seimbang dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Selanjutnya, penginterniran atau hukuman penjara untuk pelanggaran-pelanggaran tersebut, merupakan tindakan satu-satunya yang boleh dipakai untuk merampas kebebasan orang-orang yang dilindungi. Pengadilan-pengadilan yang dimaksudkan oleh Pasal 66 dari Konvensi ini dapat, atas kebijaksanaan sendiri, merubah hukuman penjara menjadi interniran untuk jangka waktu yang sama. Peraturan-peraturan hukum pidana yang diumumkan oleh Kekuasaan Pendudukan sesuai dengan Pasal-pasal 64 dan 65 hanya dapat menetapkan hukuman mati atas diri seseorang yang dilindungi, dalam hal-hal dimana orang itu bersalah melakukan pekerjaan mata-mata, perbuatan sabotase yang berat terhadap instalasi-instalasi militer Kekuasaan Pendudukan, atau karena pelanggaran-pelanggaran yang disengaja yang dapat dihukum dengan kematian di bawah hukum wilayah yang diduduki yang berlaku sebelum pendudukan dimulai. Hukuman mati itu tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang dilindungi, kecuali jika pengadilan sudah memperhatikan terutama hal bahwa karena yang tertuduh itu bukan warga negara Kekuasaan Pendudukan, yang bersangkutan tidak terikat pada Kekuasaan Pendudukan oleh kewajiban kesetiaan. Bagaimanapun juga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang dilindungi yng berumur di bawah delapan belas Tahun pada waktu pelanggaran itu dilakukan (Pasal 68). (3) Interniran sipil

24 Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan tentang perlakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang riil dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan administratif. Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka (Pasal 80 Konvensi Jenewa IV). 18 Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 80 Konvensi Jenewa IV : Orang-orang yang diinternir tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka sepenuhnya dan akan dapat melaksanakan hak-hak attendance yang bersangkutan dengan kedudukan sipil yang mereka miliki. Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah : a) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan; b) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan suka rela menghendaki untuk diinternir; atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir; c) Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa Pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alas an mendesak; 18 Ibid, hal. 175.

25 d) Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara khusus bettujuan untuk merugikan Penguasa Pendudukan. Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh ditempatkan di dalam daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf IC (TI = Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau system penandaan lainnya yang disepakati. Pengurusan para interniran, harus dilakukan oleh Negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat interniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang bertanggung jawab, yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari Negara Penahan. Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting, penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut. Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara para pihak yang bersengketa Ibid, hal

26 2. Perlindungan Khusus Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat social (sipil), biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-bangunan khusus), maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindung (protected). Dihormati berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu sengketa bersenjata; sedangkan pengertian dilindungi adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer. 20 D. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada Saat Berperang Berbeda dari ketiga Konvensi Jenewa Tahun 1949, Konvensi mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di waktu perang bukan merupakan penyempurnaan daripada Konvensi-Konvensi yang telah ada, melainkan adalah suatu Konvensi 20 Ibid, hal

27 yang sama sekali baru. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan hakhak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum perang yang tertulis. Ketentuan-ketentuan inilah yang berlaku ketika Perang Dunia II terjadi, disamping azas hukum perang yang melarang penyerangan atas penduduk sipil yang tak bersenjata, sebagai orang yang berdiri diluar perang. Pengalaman selama Perang Dunia II ini, baik di Eropa maupun di Asia menunujukkan betapa kurang sempurnanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas bagi perlindungan penduduk sipil terhadap tindakan sewenang-sewenang dari pihak lawan. Kenyataan bahwa perang modern merupakan perang yang total, mengakibatkan bahwa perlindungan yang diberikan oleh hukum perang tradisionil secara negatif dengan menempatkannya diluar perang jelas tidak memadai lagi. Kenyataan perang modern menunjukkan bahwa penduduk sipil tidak bisa lagi dianggap berdiri diluar perang. Mereka membutuhkan perlindungan yang lebih positif dari netralisasi dari perbuatan musuh yang hanya menghindarkan mereka dari serangan yang langsung. Untuk sebagian perlindungan ini memang telah diberikan oleh Peraturan Den Haag tersebut di atas. Akan tetapi ketentuan-ketentuan ini jauh dari lengkap, karena hanya mengatur perlindungan penduduk dipil di wilayah yang diduduki. Peraturan Den Haag tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan dan perlindungan hak penduduk sipil musuh di wilayah pihak dalam pertikaian sendiri, dan juga tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan penduduk sipil yang diinternir.

28 Sebagai tindakan darurat maka dalam Perang Dunia II, atas usul Komite Internasional Palang Merah, interniran sipil di wilayah pihak yang berperang diperlakukan sesuai dengan ketentuan ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1929 mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang sayang sekali tidak diperluas pada perlakuan terhadap interniran sipil di wilayah yang diduduki. Kekurangankekurangan dalam ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil di waktu perang ini telah menimbulkan banyak korban dan penderitaan, terutama sebagai akibat deportasi, penyanderaan dan penahanan di kamp-kamp konsentrasi. Konvensi ini yang disusun berdasarkan pengalaman yang menyedihkan itu bertujuan untuk menghindarkan berulangnya bencana tersebut di atas. Kenyataan bahwa Konvensi ini untuk sebagian mengatur hal yang sama dengan apa yang telah diatur oleh Peraturan Den Haag, bahkan mengandung ketentuan yang bersamaan, tidak berarti bahwa Konvensi ini menggantikan ketentuanketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam Peraturan Den Haag. Ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang merupakan tambahan dan penyempurnaan daripada Seksi II dan III Peraturan Den Haag mengenai Hukum dan Kebiasaan Peperangan di Darat. 21 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi pertama yang secara khusus mengatur tentang korban penduduk sipil selama peperangan. Banyak ketentuan pasalnya berkaitan dengan akibat dan perlakuan buruk terhadap 21 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal

29 penduduk sipil yang berada di wilayah Penguasa Pendudukan, daripada pasalpasal yang mengatur tentang aturan berperang. Konvensi ini menjawab tantangan timbulnya suatu trauma akibat pemboman yang dilakukan melalui udara (terjadi pada 1939 dan 1945), yang merupakan realitas buruk yang harus diterima akibat dibomnya kota berpenduduk padat. Hal ini mungkin merupakan suatu konsekuensi dari kegagalan Draft Rules on Air Warfare yang dirancang di Den Haag pada Tahun Penolakan terhadap Draft ini dan meletusnya Perang Dunia II, menggambarkan bahwa negara-negara belum siap menerima larangan untuk menyerang dan menteror penduduk sipil musuh. Oleh karena itu, menurut Konvensi Jenewa, orang-orang sipil biasa tetap harus mendapatkan perlindungan ketika peperangan sedang berlangsung. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam pasal 18 Konvensi Jenewa I dan pasal 19 Konvensi Jenewa IV yang mengatur tentang perlindungan terhadap petugas sipil medis dan rohaniawan, dan perlindungan umum untuk melaksanakan tugas-tugas medis. Walaupun negara-negara secara umum mengakui bahwa suatu serangan harus hanya ditujukan kepada sasaran militer, namun tidak ada defenisi yang dapat disetujui mengenai apa saja yang termasuk dalam sasaran-sasaran militer. Kenyataannya, selama Perang Dunia II dan selama sengketa-sengketa bersenjata yang terjadi setelah itu, setiap belligerent menentukan sendiri apa yang harus disetujui tentang sasaran-sasaran militer. Harus dicatat bahwa gagasan negaranegara seringkali berbeda, tergantung dari sudut pandang mana mereka melihatnya. Misalnya, ada negara yang menyatakan suatu sasaran militer

30 tergantung dari apakah suatu daerah itu wilayah mereka atau wilayah musuh, atau merupakan wilayah sekutu yang diduduki pihak musuh. Oleh karena itu, suatu defenisi yang bersifat restriktif diperlukan apabila hendak membedakan kombatan dan penduduk sipil serta sasaran militer dan obyek sipil. Namun, defenisi demikian belum terakomodasi dalam Konvensi Jenewa Di dalam Konvensi Jenewa IV pengertian orang-orang yang dilindungi adalah lain sekali dengan pengertian orang-orang yang dilindungi dalam arti ketiga Konvensi Jenewa lainnya. Hal ini ditegaskan dalam kalimat terakhir daripada pasal 4 yang mengatakan bahwa orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa ke-i, II, dan III tidak dapat dipandang sebagai orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV. Dengan perkataan lain, unsur pokok daripada pengertian orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah bahwa ia itu adalah penduduk sipil. Jika demikian, apakah seluruh penduduk sipil suatu negara itu merupakan orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV? Pasal 4 yang mengatur soal ini memuat batasan (defenisi) sebagai berikut : Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu Pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka. Warga negara suatu Negara yang tidak terikat oleh Konvensi tidak dilindungi oleh Konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah 22 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Op.Cit., hal

31 yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang turut berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara dalam tangan mana mereka berada Akan tetapi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13, ketentuan-ketentuan Bagian II mempunyai lingkungan berlaku yang lebih luas. Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota-anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang tanggal 12 Agustus 1949, tidak akan dipandang sebagai orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi ini. Secara mudah dapatlah dikatakan bahwa orang-orang yang dilindungi menurut pasal 4 adalah penduduk sipil negara dalam pertikaian yang telah jatuh kedalam kekuasaan musuh, atau apabila dilihat dari sudut pihak yang menguasai mereka, orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah penduduk sipil musuh. Karena selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam perang juga berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya, dapat juga orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV itu dirumuskan sebagai : 1. Warganegara sipil musuh di wilayah negara pihak dalam pertikaian. 2. Penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki terkecuali:

32 a.) Warganegara negara pendudukan sendiri. b.) Warganegara negara sekutu. c.) Warganegara negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik dengan negara pendudukan. d.) Warganegara negara bukan peserta konvensi. Pengertian yang tepat tentang apa yang diartikan dengan orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV perlu kita miliki karena untuk mereka itulah Konvensi ini telah disusun. Seluruh Konvensi Jenewa IV didasarkan atas pengertian orang-orang yang dilindungi tersebut di atas, kecuali sebagian kecil yaitu Bagian II (pasal 13 sampai dengan 26) yang berlaku untuk seluruh penduduk wilayah yang dikuasai Pihak dalam pertikaian. Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan di atas yang diberikan Konvensi kepada orang-orang yang dilindungi tersebut diatur dalam pasal 5. Pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam pertikaian atau wilayah yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merugikan keamanan Negara, kehilangan hak-haknya sebagai orang yang dilindungi dibawah Konvensi ini. Termasuk di dalamnya orang-orang yang melakukan atau dicurigai melakukan pekerjaan mata-mata dan sabotase. Walaupun demikian, mereka tetap harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan apabila diadili, mereka berhak memperoleh jaminan-jaminan peradilan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini. Karena hilangnya hak-hak sebagai orang-orang yang dilindungi merupakan sanksi yang berat, apalagi bagi orang yang hanya dicurugai keras, maka kalimat terakhir pasal

33 5 menetapkan, bahwa mereka secepat-cepatnya akan diberi kembali hak-hak dibawah Konvensi ini apabila hal itu tidak bertentangan dengan keselamatan Negara atau Kekuasaan Pendudukan. Ketentuan di atas yang telah dimuat untuk menjaga kepentingan militer pihak-pihak dalam pertikaian, dapat dipahamkan karena tanpa pembatasan demikian hak-hak dan perlakuan istimewa, mudah disalahgunakan untuk tujuantujuan yang bertentangan dengan kepentingan militer pihak lawan. Akibat daripada perang modern yang bersifat total adalah bahwa tidak saja perlindungan yang diberikan hukum perang harus diluaskan pada penduduk sipil, tetapi juga bahwa kepada pihak-pihak dalam pertikaian harus diberikan jaminan yang lebih banyak bahwa perlindungan demikian tidak akan disalahgunakan Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ABSTRACT

TINJAUAN YURIDIS KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ABSTRACT TINJAUAN YURIDIS KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ABSTRACT Rafika Mayasari Siregar 1 Abdul Rahman 2 Arif 3 Wars arise because of the hostility

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palang Merah terbentuk dari situasi sulit di dunia seperti peperangan dan bencana alam. Awal mula terbentuknya Palang Merah yaitu pada abad ke-19, atas prakarsa seorang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Email : firman.yusticia86@gmail.com ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2018 KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6180) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan kemanusiaan berupaya untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH

KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH BAB III KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH A. Pengertian Warga Sipil dan Obyek Sipil 1. Pengertiaan Warga Sipil Warga Sipil merupakan orang yang bukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang adalah suatu kondisi dimana terjadinya pertikaian antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu untuk

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA LEGAL PROTECTION FOR CHILDREN IN THE MIDST OF ARMED CONFLICTS Enny Narwati, Lina Hastuti 1 ABSTRACT The purposes of the research are to understand

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara Paragraf 1 Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasal 212 (1) Setiap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 74 TAHUN 1958 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 16 TAHUN 1957 TENTANG PAJAK BANGSA ASING (LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1957 NO. 63)" SEBAGAI UNDANG-UNDANG PRESIDEN, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Makalah Hukum Humaniter Internasional) Oleh : PRISCA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.368, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Luar Negeri. Pengungsi. Penanganan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te No.1133, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Penggunaan Senjata Api Dinas. Ditjen Bea dan Cukai. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG PENGGUNAAN SENJATA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Oleh : Ardiya Megawati E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Oleh : Ardiya Megawati E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pengaturan perlindungan terhadap ICRC (International Committee Of The Red Cross) dalam konflik bersenjata internasional (berdasarkan konvensi jenewa 1949 dan protokol tambahan I 1977) Oleh : Ardiya Megawati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT Yang Mulia Kaisar Jerman, Raja Prussia dan Menimbang bahwa, pencarian cara untuk memelihara perdamaian dan mencegah konflik bersenjata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci