BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Beberapa pasal yang tercantum dalam KUHP yang dapat dikenakan dalam kasus malpraktek, yaitu yang berkaitan dengan kesengajaan dan pelanggaran. Pasal-pasal yang berkaitan dengan kesengajaan seperti misalnya, kejahatan terhadap pemalsuan surat, kejahatan terhadap kesusilaan, membiarkan orang yang seharusnya ditolong, pelanggaran terhadap rahasia dokter, melakukan atau membantu melakukan abortus, euthanasia dan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa. Pasal-pasal KUHP tersebut yang dapat dipakai oleh pasien atau keluarganya untuk menuntut dokter atau dokter gigi atas tindakan malpraktek tersebut. Sebagaimana telah diuraikan, bahwa untuk adanya suatu kesalahan maka harus dibuktikan dulu adanya kesengajaan atau kelalaian dari perbuatan tersebut, serta tidak adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dari perbuatannya. Pasal-pasal tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok perbuatan pidana, yaitu yang termasuk kategori kesengajaan dan yang lain termasuk kategori kealpaan. Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut : 31

2 32 a. Kesengajaan (dolus) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dicantumkan: Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Rumusan sengaja pada umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana. Akan tetapi adakalanya rumusan sengaja telah dengan sendirinya tercakup dalam suatu perkataan, misalnya perkataan memaksa. Moeljatno, menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurangperhatian pelaku terhadap objek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya adalah sama dengan kesengajaaan, hanya berbeda gradasi saja. 34 Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya tiga bentuk kesengajaan, yakni: Kesengajaaan sebagai maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi. 2. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yakni sipelaku (doer or dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yakni seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2000, hal Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal

3 33 sipelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang, dan diancam oleh undang-undang. Yang dapat dikategorikan dalam unsur kesengajaan adalah: 1. Pasal 267 KUHP (1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun). (2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun 6 (enam) bulan. (3) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran. Ada 3 (tiga) pengertian yang terkandung di dalam seorang dokter memberikan surat keterangan, yang terdiri dari: 1. Keterangan tersebut diberikan secara tertulis (berbentuk tertulis). 2. Yang membuat surat dan bertanggung jawab terhadap surat itu adalah seorang dokter (tidak berlaku bila yang menandatangani bukan dokter). 3. Surat tersebut dipergunakan dan diserahkan kepada seseorang yang telah memintanya.

4 34 Dalam praktek begitu mudahnya seorang dokter memberikan surat keterangan sehat kepada seseorang walaupun tanpa melalui pemeriksaan dalam atau laboratorium atau pemeriksaan pendukung lainnya. Hal semacam ini sudah termasuk kategori membuat surat keterangan palsu manakala seseorang yang dibuatkan surat sehat tersebut ternyata mengidap penyakit dalam yang tidak terdeteksi hanya dengan sekedar melakukan pemeriksaan luar. 2. Pasal 294 ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama (maksudnya seperti pada ancaman ayat (1): (1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya atau diserahkan kepadanya. (2) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya. Khusus untuk dokter yang disangka melakukan medikal malpraktek, maka unsur dari Pasal 294 ayat (2) yang dapat dipergunakan adalah tentang perbuatan cabul dengan pasiennya. Karena dapat saja terjadi seorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya di ruangan tertutup, terangsang, dan melakukan perbuatan cabul seperti mencium, meraba-raba atau bahkan menyetubuhi. 3. Pasal 299 KUHP (1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahu atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp ,- (empat puluh lima ribu rupiah). (2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang menjadikan tabib, bidan, atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiganya.

5 35 (3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu. 4. Pasal 304 KUHP Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) atau pidana denda paling banyak Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah). 5. Pasal 344 KUHP Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. 6. Pasal 345 KUHP Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau member sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun kalau orang itu jadi bunuh diri. Pasal-pasal ini berkaitan dengan pertolongan membunuh diri atau dalam istilah kedokteran euthanasia. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata eu yang artinya baik, tanpa penderitaan, dan tanathos yang artinya mati. Jadi euthanasia arti mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita. Dari pandangan dokter, euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja

6 36 melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. 36 Euthanasia ini berkaitan dengan profesi dokter, karena sakit pasien yang tidak mungkin lagi sembuh, atau sakit yang terus menerus, atau terlalu berat beban biaya pengobatannya di rumah sakit sehingga baik pasien itu sendiri atau atas permintaan keluarganya minta agar disuntik mati saja. Hal semacam ini dalam sistem hukum Indonesia masih masuk kategori terlarang atau tidak dibenarkan. Hanya saja dalam prakteknya sering juga terjadi euthanasia dalam arti yang pasif, yaitu apabila menurut keadaannya pasien harus dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu oksigen, infus, cuci darah misalnya, karena sudah tidak sanggup lagi membayar biaya rumah sakit maka keluarganya memaksa untuk pulang tanpa perawatan dokter. Sementara untuk tindakan euthanasia masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan dokter maupun ahli hukum Pasal 346 KUHP Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Dalam ketentuan di atas dokter dapat tersangkut apabila perempuan meminta (menyuruh orang lain untuk itu) dokter untuk melaksanakan aborsi tersebut. Jelas disini dokter bukan subjek hukum sebagai pebuat tunggal (dader) Soekidjo Notoadmodjo, Etika Hukum Dan Kesehatan, Jakarta, Mandar Maju, 2010, hal 37 Machmud, Syahrul, Op.cit, hal 213.

7 37 karena disebutkan dalam rumusan subjek hukumnya adalah seorang wanita (de vrouw). Akan tetapi dokter dapat melakukan malpraktek menurut pasal ini jika dokter tersebut diminta untuk melaksanakan pengguguran atau pembunuhan kandungannya. Lalu dokter sebagai apa atau melanggar pasal mana, kiranya ada dua pendapat mengenai hal ini: Sebagai pembuat pelaksana (pleger) menurut Pasal 55 ayat (1) KUHP. Jika dokter sendiri yang melaksanakan aborsi tersebut sedangkan perempuan pemilik kandungan terlibat sebagai pembuat penganjur atau pembuat peserta, bergantung pada apa yang meliputi perbuatan tersebut. Pelaku peserta jika perempuan pemilik kandungan juga ikut terlibat perbuatan fisik besar atau kecil. Boleh sebagai pembuat penganjur jika dokter mendapatkan pembayaran untuk itu. 2. Dokter dapat dipertanggungjawabkan melalui Pasal 348 KUHP. Alasan pendapat ini yakni subjek hukum Pasal 346 ialah harus seorang perempuan, in casu perempuan pemilik kandungan. Subjek hukum yang disebut dalam rumusan tindak pidana adalah pembuat tunggal (dader) dan tidak termasuk bentuk-bentuk penyertaan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Sementara itu, unsur tiga perbuatan (menggugurkan, mematikan, dan menyuruh orang lain untuk itu) dikhususkan pada perbuatan dader in casu perempuan tersebut. Dalam hal ini, dokter juga bukan dader. Dader harus si perempuan pemilik kandungan. Dengan demikian tidak mungkin dokter dapat melakukan tiga perbuatan. Jika demikian, dokter tidak mungkin Adami Chazawi, Malpraktek Kedokteran, Malang, Bayumedia Publishing, 2007, hal

8 38 dipidana menurut pasal ini, tetapi dokter dapat dipidana sebagai dader berdasarkan Pasal 348. Sementara itu, perempuan yang menyuruh dokter dipidana sebagai dader menurut Pasal 346. Perbuatan perempuan bukan menggugurkan atau mematikan kandungannya tetapi perbuatan menyuruh orang lain (dokter) untuk itu. 8. Pasal 347 KUHP (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Inilah aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan. Tanggungjawab pidananya lebih berat (penjara paling lama 12 (dua belas) tahun) daripada aborsi atas persetujuan (penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 bulan (Pasal 348). Jika menimbulkan kematian perempuan itu sama dengan pembunuhan (Pasal 338). Walaupun kesengajaan tidak ditujukan pada kematian perempuan yang mengandung seperti pada pembunuhan. Tanpa persetujuan harus diartikan pada akibat, bukan pada perbuatan tertentu. Kesengajaan pembuat harus ditujukan baik pada perbuatannya maupun akibat gugur atau matinya kandungan. Kesengajaan ini harus diartikan tiga bentuk kesengajaan, yakni sebagai maksud, kemungkinan, atau kesengajaan sebagai kepastian. 9. Pasal 348 KUHP (1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan dengan ijin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun (6) enam bulan. (2) Jika perbuatan tersebut berakibat perempuan itu mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

9 39 Perbedaan pokok dengan aborsi Pasal 348 terletak pada aborsi terhadap perempuan yang mengandung disetujui oleh pemilik kandungan sendiri. Dari persetujuannya, dapat dikatakan inisiatif tindakan aborsi itu berasal dari perempuan. Disinilah letak perbedaan antara aborsi perbuatan menyuruh mematikan atau menggugurkan kandungan menurut Pasal 346 dengan aborsi yang dilakukan orang lain atas persetujuan perempuan yang mengandung Pasal Pasal 349 KUHP Jika seorang dokter, bidan atau tukang obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 maka pidana yang ditentukan dalam pasal tersebut dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan. Pasal-pasal di atas berkaitan dengan upaya abortus criminalis atau upaya menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis (abortus medicalis). Abortus medicalis ini dibenarkan oleh hukum, dengan pertimbangan bahkan kehamilan seorang ibu akan mengakibatkan bahaya bagi keselamatan jiwanya atau bayinya, maka dokter memutuskan lebih memilih keselamatan ibunya dan mengorbankan bayinya. Permasalahan yang mungkin akan memunculkan adalah dengan semakin majunya teknologi kedokteran, maka akan diketahui lebih dini bahwa janin dalam kandungan ibu pertumbuhannya tidak sempurna atau cacat misalnya, bolehkan dengan alasan itu dokter menggugurkan bayi yang ada dalam kandungan ibu.

10 40 Tindakan abortus criminalis ini merupakan perbuatan pidana diancam dengan pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP tersebut Pasal 531 KUHP Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu meninggal dunia, dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah). Sebagai sebuah profesi, maka dokter memiliki kewajiban hukum untuk selalu memberikan pertolongan terhadap orang yang menderita sakit. Maka apabila ternyata seorang mengetahui ada orang yang sedang menderita sakit namun tidak melakukan pertolongan berupa perawatan, maka dokter tadi dapat dikenakan Pasal 304 dan 531 KUHP tersebut. b. Kealpaan/Kelalaian Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya. Jadi dalam kealpaan ini tidak ada niatan jahat dari pembuat. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain tetap harus dipidanakan Machmud Syahrul, SH, MH, Op.Cit, hal Maschruchin Ruba I, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP, Malang, 1997, hal 58.

11 41 Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut Profesor SIMONS, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-masing het gemis aan voorzichtigheid van het gevolg atau masing-masing tidak adanya kehati-hatian dan kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul. 41 Menurut Teori Hukum Pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut, dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Kealpaan ringan (Culpa Levissisma) 2. Kealpaan berat (Culpa Lata) Dalam melakukan penilaian adanya kealpaan ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu keadaan psikis pelaku dan sikap tindaknya secara lahiriah dengan tolak ukur bagaimana pelaku tersebut berbuat bila dibandingkan dengan ukuran yang umum dilingkungan pelaku. Menurut Danny Wiradharma, bahwa dalam kealpaan ini harus dapat dibuktikan adanya gradasi sebagai berikut : 41 Lamintang P.A.F, Drs, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997, hal 336.

12 42 (1) Culpa lata atau kelalaian berat. Kesalahan ini disebabkan oleh kekurang hatihatian yang menyolok. Untuk menentukan gradasi kesalahan ini, harus membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan rata-rata orang lain yang segolongan petindak. Bila dilakukan petindak berbeda dengan perbuatan rata-rata orang lain yang segolongan dengannya dalam menangani suatu keadaan, maka petindak masuk dalam kategori culpa lata ini. (2) Culpa levis atau kelalaian ringan dinilai dengan membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan orang yang lebih ahlidari golongan si petindak. Perlakuan yang berbeda antara petindak dengan orang yang lebih ahli dari golongan si petindak di dalam menangani hal yang sama menunjukkan adanya kelalaian ringan si petindak. 42 adalah: Yang dapat dikategorikan dalam unsur kealpaan (culpa) menurut KUHP 1. Pasal 359 KUHP Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Kealpaan atau kelalaian merupakan salah satu unsur dari Pasal 359 KUHP yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kelalaian (culpa) 2. Wujud perbuatan tertentu 3. Akibat kematian orang lain 42 Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1996, hal 101.

13 43 4. Hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain tersebut. Adanya unsur culpa dalam Pasal 359 KUHP tersebut bukan ditujukan pada kurang hati-hatinya perbuatan, tetapi ditujukan pada akibat. Hal ini dapat kita lihat dalam contoh nyata yang mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, seseorang menjatuhkan balok, karena kurang hati-hati, sehingga menimpa orang lain yang sedang lewat, atau seseorang yang menebang pohon, karena kurang hatihati menimpa anak yang sedang bermain, dan sebagainya. 43 Pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, dimana kematian bukanlah dituju atau dikehendaki. Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, akan tetapi pada akibat kematian. Akibat kematian timbul tidak lama setelah tindakan medis. Boleh lebih lama, asalkan kematian itu benar-benar disebabkan oleh tindakan medis yang dilakukan akan tetapi, jika terlalu lama akan sulit menentukan adanya hubungan causal antara tindakan medis dengan akibat kematian. 2. Pasal 360 KUHP (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau kurungan paling lama 1 (satu) tahun. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau kurungan 43 Isfandyarie Anny, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2005, hal 54.

14 44 paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp.300,- (tiga ratus rupiah). Dari rumusan (kalimat) pada ayat (1) dapat dirinci unsur-unsur yang harus dibuktikan jaksa, yakni: a. Adanya kelalaian b. Adanya wujud perbuatan c. Adanya akibat luka berat d. Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan Rumusan ayat (2) mengandung unsur, yakni: a. Adanya kelalaian b. Adanya wujud perbuatan c. Adanya akibat: (1) luka yang menimbulkan penyakit; (2) luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu. d. Adanya hubungan kausal antar perbuatan dengan akibat. 3. Pasal 361 KUHP Jika kejahatan yang diterangkan dalam pasal ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan Hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. Untuk dapat menerapkan pasal-pasal diatas terhadap kasus medikal malpraktek, maka harus dibuktikan dulu adanya unsur kelalaian atau ketidak hatihatian atau sembrono, serta harus dibuktikan pula unsur tidak/kurang dipenuhi standar profesi, standar pelayanan dan standar operasional prosedur.

15 45 Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara perbuatan/tindak pidana biasa dengan perbuatan/tindak pidana medis. Karena pada perbuatan/tindak pidana biasa yang perlu diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan untuk perbuatan/tindak pidana medis adalah penyebabnya. Dengan demikian walaupun berakibat fatal, namun bila tidak didapati adanya kesalahan yaitu unsur kelalaian atau kealpaan yang berkaitan dengan profesi kedokteran, maka dokter tidak dapat dituntut. Khusus untuk profesi kedokteran maka standar profesi medis, standar pelayanan kesehatan, serta standar operasional prosedur harus mendapat perhatian yang lebih serius. Karena kealpaan atau kelalaian dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, tolak ukur utamanya adalah dipenuhi atau tidaknya standar-standar dimaksud. Hal ini berbeda dengan pasal-pasal yang mengandung unsur kesengajaan, seperti memberi surat keterangan yang kurang benar (tanpa melakukan pemeriksaan yang komprehensif), melakukan atau membantu abortus, euthanasia, menyebarkan rahasia kedokteran tanpa alasan hukum, maka unsur kesengajaan ini tanpa harus memperhatikan terlebih dahulu standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, karena jelas perbuatannya telah disengaja dilakukan dokter Machmud, Syahrul, SH.MH, Op.Cit, hal 215.

16 46 B. Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari Undang-Undang Di Luar KUHP Selain diatur dalam KUHP, tindak pidana malpraktek juga diatur dalam perundang-undangan lainnyadi luar KUHP, yaitu dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 1. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pada dasarnya norma hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran merupakan norma hukum administrasi. Namun dalam undang-undang ini juga tercantum ketentuan pidana di dalam pasal 75 sampai dengan 80. Pencantuman sanksi pidana dalam undangundang ini tidak lepas dari fungsi hukum pidana secara umum yaitu ultimum remedium. Makna yang terkandung dalam ultimum remedium adalah bahwa sanksi pidana merupakan upaya terakhir yang diancamkan pada suatu pelanggaran norma hukum, manakala sanksi hukum lainnya sudah dianggap tidak signifikan dengan bobot norma hukum yang dilanggar. Dalam konteks Undang-Undang Praktek Kedokteran, dengan dicantumkannya sanksi pidana pada pelanggaran norma hukum administrasi tertentu, berarti pembuat undang-undang menilai sanksi administrasi saja tidak cukup signifikan sehingga diperlukan sanksi pidana. Pasalpasal yang berisi sanksi pidana terdapat dalam pasal 75 sampai 80 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dapat dirinci sebagai berikut:

17 47 1. Pasal 75 (1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). (2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupah). (3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah. 2. Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu memiliki surat izin praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di Indonesia. Kewajiban dokter ini semula adalah kewajiban hukum administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karena pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam pidana. Ketentuan mengenai surat izin praktik (selanjutnya disebut SIP) adalah sebagai berikut :

18 48 a. SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan (Pasal 37 ayat 1) b. SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat (Pasal 37 ayat (1)) c. Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (Pasal 37 ayat (3)) d. Untuk memiliki SIP harus memenuhi syarat, yakni (1) memiliki surat tanda regristrasi (selanjutnya disebut STR) yang masih berlaku; (2) memiliki tempat praktik; (3) memiliki rekomendasi dari organisasi profesi (Pasal 38 ayat (1)) e. SIP berlaku sepanjang (1) STR masih berlaku dan (2) tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (Pasal 38 ayat (2)). 3. Pasal Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 78 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Jika dibandingkan dengan tindak pidana pasal 77, tindak pidana pasal 78 memiliki unsur hampir sama. Perbedaannya hanya pada unsur materilnya saja. Perbuatan materil pasal 78 adalah menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan masyarakat. Perbuatan materil pasal 77 adalah

19 49 menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain sedangkan unsur lain selebihnya sama. 5. Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: a. Dengan sengaja tidak memasang papan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Ketentuan pasal 51 tersebut merupakan ketentuan terhadap kewajibankewajiban yang harus dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran, manakala kewajiban ini tidak ditaati maka berakibat sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 79. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban pada pasal 51 huruf a, dokter atau dokter gigi untuk memberikan pelayanan kesehatan harus sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Kewajiban yang tertuang dalam huruf b adalah merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. Selanjutnya kewajiban pada huruf c adalah, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien telah meninggal dunia. Kewajiban pada huruf d adalah, melakukan pertolongan darurat atas dasar

20 50 perkemanusian, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Kewajiban lainnya seperti yang tercantum dalam huruf e adalah, menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Manakala kewajiban-kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 tersebut tidak dilakukan, maka dokter atau dokter gigi terancam pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 79 huruf c tersebut. 6. Pasal 80 (1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh koporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana diaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan beupa pencabutan izin. 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan meskipun telah dicabut dengan keluarnya Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 dan telah diperbaharui lagi dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tetapi esensinya secara implisit masih dapat digunakan yakni bahwa malpraktek dapat terjadi apabila petugas kesehatan : a. Melalaikan kewajibannya; b. Melakukan satu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatan maupun sumpah profesinya.

21 51 Bertitik dari dua butir kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila petugas kesehatan lalai melakukan kewajiban yang berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan (butir a) dan petugas kesehatan melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan (butir b). Apabila petugas kesehatan apapun jenisnya termasuk dokter maupun dokter gigi bertindak seperti itu dapat dikatakan malpraktek. Melakukan kelalaian bagi petugas kesehatan dalam melakukan tugas maupun profesinya sebenarnya tidak melanggar hukum atau kejahatan, kalau kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Dalam hukum prinsip ini dikenal dengan de minimis noncurat lex yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang kecil. Petugas yang melakukan kelalaian seperti ini, meskipun tidak melanggar hukum tetapi melanggar etika. Namun demikian, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan menyebabkan orang lain menderita kerugian atau cedera, cacat atau bahkan meninggal dunia berarti juga melanggar hukum dan etika. Kelalaian petugas kesehatan yang menyebabkan kerugian, cedera atau cacat, dan sebagainya bagi orang lain diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau culpa lata atau serius, dan disebut tindakan kriminal. Kriteria yang digunakan apakah kelalaian petugas kesehatan sudah memenuhi kelalaian berat menurut Yusuf Hanafiah dan Amri Amir dalam buku karangan Soekidjo Notoadmodjo (Etika dan Hukum Kesehatan) adalah sebagai berikut: Soekidjo Notoadmodjo, Op.Cit, hal 168.

22 52 a. Bertentangan dengan hukum b. Akibatnya dapat dibayangkan c. Akibatnya dapat dihindarkan d. Perbuatannya dapat dipersalahkan Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang merupakan undang-undang yang terbaru yang telah mencabut undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang 23 tahun 1992, terdapat beberapa pasal yang mengatur ketentuan sanksi pidana antara lain sebagai berikut : 1. Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). Pasal 32 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu dan dilarang untuk menolak pasien dan/atau meminta uang muka Pasal Hukum Terhadap Pasien_04/html diakses tanggal 30 April 2013, pukul WIB

23 53 3. Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah) Pasal 192 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah) 4. Pasal 193 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah) 5. Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). 6. Pasal 195 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). 7. Pasal 196

24 54 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana diaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu milyar rupiah). 8. Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) 9. Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). 10. Pasal 199 (1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesehatan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). 11. Pasal 200 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu ekslusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). 12. Pasal 201

25 55 1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal ) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa : a. Pencabutan izin usaha; dan/atau b. Pencabutan status badan hokum 3. Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 1. Pasal 62 Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima milyar rupiah) 2. Pasal 63 1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; dan/atau b. Pencabutan status badan hukum

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA Semakin maraknya kasus malapraktek medik yang terjadi akhir-akhir ini semakin membuat masyarakat resah, sehingga mendorong masyarakat lebih kritis dan

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 80 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS. dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS. dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS 1.1 Ganti Kerugian Pengertian mengenai ganti kerugian tidak ditemukan dalam KUHP, namun pengertian mengenai ganti kerugian dapat dilihat menurut

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Oleh : Angga Indra Nugraha Pembimbing : Ibrahim R. Program Kekhususan: Hukum Pidana, Universitas Udayana Abstract: The rise of

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007 I. PEMOHON dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., S.H. KUASA HUKUM Sumali, S.H. dkk II. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN - sebanyak 11 (sebelas) norma

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016 PERBUATAN MELAWAN HUKUM DOKTER PRAKTEK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 1 Oleh : Rikhie Febrie Kumajas 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kapan seorang dokter praktek

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA KLINIK, IZIN USAHA RUMAH BERSALIN, DAN IZIN USAHA LABORATORIUM KLINIK SWASTA

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA KLINIK, IZIN USAHA RUMAH BERSALIN, DAN IZIN USAHA LABORATORIUM KLINIK SWASTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan : Pengertian Abortus (aborsi). Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM

KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM PEMBUKTIAN PERKARA MALPRAKTEK DI BIDANG KEDOKTERAN 1 Oleh: Agriane Trenny Sumilat 2 ABSTRAK Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Kesehatan menjadi

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : I Gede Indra Diputra Ni Md. Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

1. PERCOBAAN (POGING)

1. PERCOBAAN (POGING) Hukum Pidana Lanjutan Rabu, 25 Mei 2016 Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Poging, Deelneming,Residive, dan Pasal Tindak Pidana dalam KUHP Pembicara : 1. Sastro Gunawan Sibarani (2009) 2. Sarah Claudia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum) BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN Peraturan tertulis maupun tidak tertulis, dilihat dari bidang pengaturannya, dibagi menjadi dua bentuk, yaitu: 25 1. Peraturan Non Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan Pasal 413 Seorang komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaja mengabaikan untuk menggunakan kekuatan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Aspek Etik dan Hukum Kesehatan

Aspek Etik dan Hukum Kesehatan Aspek Etik dan Hukum Kesehatan Latar Belakang berlakunya etik sebagai norma dalam kehidupan manusia : - Kata etik atau etika, berasal dari dua kata yunani yang hampir sama bunyinya namun berbeda artinya.

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KASUS VAKSIN PALSU DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG Oleh: Ophi Khopiatuziadah * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016 Kejahatan yang dilakukan para tersangka

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh kelalaian pengemudi baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa faktor yang menyebabkan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF 40 BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF A. Pengertian Dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Anak Oleh Orang Tuanya Menurut Hukum Pidana Positif

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IZIN KERJA DAN IZIN PRAKTEK PERAWAT Bagian Hukum Setda Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN A. Tindak Pidana Penganiayaan Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota militer beserta keluarganya secara gratis termasuk masyarakat. oleh kelompok agama yang ingin mendirikan rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. anggota militer beserta keluarganya secara gratis termasuk masyarakat. oleh kelompok agama yang ingin mendirikan rumah sakit. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan rumah sakit di Indonesia sangat pesat dari waktu ke waktu, di mulai pada tahun 1626 yang didirikan oleh VOC dan dikembangkan pula oleh tentara Inggris

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengatur mengenai masalah pengguguran

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016 TANGGUNG GUGAT TENAGA MEDIS TERHADAP PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAUPETIKAR 1 Oleh: Andreas Wenur 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dalam hal apa dokter dalam menjalankan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN [LN 2002/94 TLN 4226]

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN [LN 2002/94 TLN 4226] UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN [LN 2002/94 TLN 4226] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 59 (1) Setiap orang yang memberikan informasi palsu, kesaksian palsu, atau menahan informasi

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS MENURUT PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi

Lebih terperinci

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21

Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. Written by Siswoyo Monday, 14 June :21 Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama,

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015 PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER ATAS TINDAKAN MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA 1 Oleh: Kevin G. Y. Ronoko 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah yang menjadi kriteria

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci