BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan"

Transkripsi

1 BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengatur mengenai masalah pengguguran kandungan yang secara subtansi berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam Undang-undang tersebut tindakan pengguguran kandungan ini diatur dalam Pasal 75. Menurut Undang-undang inipengguguran kandungan dilarang dan dapat dilakukan apabila ada indikasi medis dan trauma pada korban perkosaan. Pasal 75 : 1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi 2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan : a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan 3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehat pra tindakan dan diakhiri dengan

2 konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Pasal 76 : Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Mentri c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 : Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab secara bertentangan dengan norma agama da ketentuan perundang-undangan Pasal 194 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah)

3 a) Unsur subjektif : dengan sengaja b) Unsur-unsur objektif : 1. Setiap orang 2.melakukan aborsi 3. aborsi dilakukan tidak sesuai ketentuan Pada Pasal 75 diatas, yang dimaksud dengan konselor adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Dan yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu. Pada Pasal 77 diatas, yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis. Seperti yang kita ketahui Peraturan - peraturan hukum pidana Umum di Indonesia terwujud dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sedangkan peraturan peraturan Hukum Pidana Khusus adanya tersebar dalam perbagai Undang undang yang secara khusus dan tersendiri mengatur tentang delik delik tertentu lebih mendalam daripada pengaturannya dalam KUHP yang bersifat umum. Selaras dengan adagium atau semboyan Lex Specialis Derogat Lex Generali (hukum yang khusus menyingkirkan hukum yang umum), maka untuk delik delik tertentu yang diatur dalam ketentuan khusus sepanjang telah

4 diatur oleh undang undang tersendiri, KUHP tidak berlaku penerapannya terhadap delik delik tertentu tersebut 32 Di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdapat beberapa hal yang bisa diuraikan yaitu sebagai berikut : 1. Tindakan pengguguran kandungan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai cara untuk menyelamatkan ibunya, jadi tindakan penggugurankandungan yang dilakukan karena alasan lain jeals-jelas dilarang. Alasan lain ini misalnya bayi cacat, jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang diinginkan orang tuanya, kehamilan yang tidak dikehendaki (bisa termasuk perkosaan), incest, gagal KB dan lain sebagainya. 2. Yang sering disebut-sebut sebagai indikasi medis sebenarnya tidak secara langsung disebutkan di dalam Undang-undang itu, ada kemungkinan bahwa indikasi medis itu untuk menyelamatkan janin. Padahal hasil akhir pengguguran kandungan adalah kematian janin, bukan untuk menyelamatkan janin. Indikasi medis ini sangat terbatas yakni hanya boleh dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan nyawa ibu, tidak boleh menjadi alasan untuk menggugurkan kandungan, sebab ia tidak membahayakan nyawa ibu. 3. Indikasi medis itu tidak sama dengan indikasi kesehatan. Oleh karena itu alasan demi kesehatan baik ibu maupun janin tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan. Misalnya ibu yang mengandung dan kesehatannya terganggu, tetapi gangguan itu tidak hal Halim A. Ridwan, Hukum Pidana dalam tanya jawab,(jakarta:ghalia Indonesia,1986),

5 mengancam nyawanya, maka ini tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan B. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dalam pandangan hukum pidana di Indonesia, tindakan pengguguran kandungan tidak selalu merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindak pidana, hanya aborsi provocatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana, adapun pengguguran kandungan yang lainnya terutama bersifat spontan dan medikalis bukan merupakan suatu tindak pidana. Pengguguran kandungan dalam keperluan untuk tindakan medis memang diperkenankan, tetapi tindakan medis tersebut tidak berarti bahwa kehidupan manusia yang satu dikorbankan kepada kehidupan manusia yang lain. Sebab hal itu tidak pernah diperbolehkan, jika terjadi diluar kemauan dari yang bersangkutan. Dalam indikasi medis, terdapat suatu dilematis, menurut pemikiran etika dalam situasi seperti itu sebaiknya berpegang pada prinsip the lesser evil (dari dua hal yang jelek harus dipilih yang kurang jelek). Dan pada ibu maupun janin akan mati atau malah satu dari mereka akan mati, kita memilih bahwa ibu akan hidup, karena itu mau tidak mau janin harus digugurkan/aborsi. Makna kejahatan dalam pengguguran kandungan sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dalam suatu masyarakat tertentu. Misalnya di beberapa Negara barat tindakan pengguguran kandungan sudah dianggap bukan merupakan perbuatan jahat, baik bersifat medikalis atau bukan. Misalnya di antara Negaranegara modren, hanya Canada yang mendekriminalisasi pengguguran

6 kandungansecara radikal, artinya larangan pengguguran kandungan dicoret begitu saja dari hukum pidana. Masyarakat memang memiliki penilaian tertentu dalam persoalan ini. Dalam banyak hal melarang pengguguran kandungan secara mutlak memang tidak memecahkan masalah, karena pada dasarnya masyarakat membutuhkan pengguguran kandungan. Menolak pengguguran kandungan adalah suatu yang sangat dilematis. Di Negara-negara yang sekarang sudah melegalisasi tindakan pengguguran kandungan, dulu juga demikian. Barang yang dibutuhkan tidak tersedia secara resmi akan mengakibatkan pasar gelap. 33 Di Indonesia tindakan pengguguran kandungan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terpisah, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menjelaskan bahwa segala macam tindakan pengguguran kandungan itu dilarang, dengan tanpa pengecualian, sebagaimana diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut : 1. Pasal 299 KUHP: 1) Barang siapa yang dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah. 2) Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya Mien Rukmini,Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi,(Bandung:PT.Alumni,2006) hal

7 3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu. Tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 299 ayat(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdiri atas unsurunsur sebagai berikut: c) Unsur subjektif : dengan sengaja d) Unsur-unsur objektif : 1. barang siapa 2.merawat 3.menyarankan untuk mendapat suatu perawatan 4.memberitahukan atau memberikan harapan bahwa dengan perawatan tersebut,suatu kehamilan dapat terganggu. 5.seorang wanita Sesuai yang dijelaskan didalam Memorie van Toelichting, yakni apabila didalam perumusan ketentuan pidana tersebut terdapat kata-kata dengan sengaja,maka kata-kata tersebut meliputi semua unsur tindak pidana yang terdapat dibelakangnya,unsur-unsur subjektif dengan sengaja dengan rumusan ketentuan pidan yang diatur dalam pasal 299 ayat 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana meliputi unsur-unsur objektif kedua samapai yang kelima. Untuk menyatakan seorang terdakwa terbukti telah memenuhi unsur subjektif dengan sengaja tersebut,disidang dipengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa yng didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 299 ayat(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,baik penuntut umun

8 maupun hakim harus dapat membuktikan tentang adanya kehendak,maksud atau niat terdakwa untuk: a) Merawat b) Menyarankan untuk mendapat suatu perawatan c) Memberitahukan atau memberikan harapan bahwa dengan perawatan tersebut suatu kehamilan dapat terganggu. Jika salah satu kehendak terdakwa maupun pengetahuan terdakwa ternyata tidak dapat dibuktikan,dengan sendirinya tidak ada alasan baik bagi penuntut umum maupun bagi hakim untuk menyatakan terdakwa terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur pada Pasal 299 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hakim harus memberikan putusan bebas bagi terdakwa. Untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti telah memenuhi unsur dengan sngaja yang terdapat dalam rumusan ketentuan pidana yang diataur Pasal 299 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,dengan sendirinya hakim tidak perlu menggantungkan diri pada adanya pengakuan dari terdakwa,melainkan ia dapat menyimpulkannya dari kenyataan yang terungkap disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa,baik yang diperoleh dari keterangan para saksi maupun yang diperoleh dari keterangan terdakwa sendiri. Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah unsur barang siapa.kata barang siapa menunjukkan pada orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur yang terdapat didalam rumusan ketentuan pidana yng diatur Pasal 299 ayat

9 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,maka ia dapat disebut pelaku dari tindak pidana yang dimaksudkan kedalam ketentaun pidana tersebut. Unsur objektif kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatu Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum pidana ialah unsur merawat. Kata-kata merawat menmpunyai arti yang sangat luas, sehingga dapat dimaksudkan kedalam pengertian tindakan-tindakan seperti melakukan segala tindakan yang sifatnya operasioanal,perawatan dengan caracara yang sifatnya intern, bahwa perawatan yang dilakukan dengan cara mwemberikan saran-saran atau nasihat-nasihat. Unsur objektif ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsur een behandeling doen ondergaan atau menyarankan untuk mendapat suatu perawatan.menurut Prof.Simons 34 yakni sesuai dengan yang dijelaskan di dalam Memorie van Toelichting,perbuatan menyarankan untuk mendapat suatu perawatan menyangkut perbuatan dari seorang aborteur,yang tidak merawat sendiri seorang wanita,melainkan yang telah membuat orang lain merawat wanita tersebut. Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah unsur memberitahukan atau memberikan harapan bahwa dengan perawatan tersebut,suatu kehamilan dapat menjadi terganggu. 33 Lamintang & Theo Lamintang,Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan,(Jakarta:Sinar Grafika),hal 225

10 Unsur objektif kelima dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah unsur seorang wanita. Perlu diketahui bahwa undang-undang hanya mensyaratkan bahwa wanita tersebut harus merupakan seorang wanita yang hamil.bahkan di dalam memori penjelasannya,menteri telah menegaskan bahwa tidaklah perlu suatu kehamilan itu harus menjadi terganggu karena perawatan yang bersangkutan,bahkan juga tidak disyaratkan bahwa kehamilan itu harus benar-benar ada. 2. Pasal 346 KUHP : Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana penjara selama-lamanya empat tahun. Unsur-unsur dalam pasal ini yaitu: Unsur obyektif: 1. Petindak: seorang wanita, 2. Perbuatan: a. Menggugurkan b. Mematikan c. Menyuruh orang lain menggugurkan; dan d. Menyuruh orang lain mematikan; 3. Obyek: kandungannya sendiri; Unsur subyektif: dengan sengaja

11 Pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 346 KUHP dilakukan oleh seorang perempuan, terhadap kandungannya sendiri. Tidak disyaratkan bahwa kandungan tersebut sudah berwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran maupun kelahiran bayi, sebagaimana pada pasal 341 dan 342 KUHP. Berlainan dengan kejahatan dalam pasal 341 dan 342 KUHP, karena kandungan sudah berwujud sebagai bayi lengkap, bahkan perbuatan yang dilakukan dalam kejahatan itu adalah pada waktu bayi sedang dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan maka dikatakan bahwa pelakunya haruslah ibunya. perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari rahim perempuan sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Lahirnya bayi atau janin sebelum waktunya inilah yang menjadi maksud si pelaku. Kelahiran bayi atau janin sebelum waktunya menurut alam akibat dari perbuatan menggugurkan kandungan, apakah harus dalam keadaan hidup atau mati tidak penting. Hal yang penting dalam perbuatan ini adalah bayi atau janin harus keluar dari rahim dan keluarnya karena paksaan oleh perbuatan, artinya lahir sebelum waktunya menurut alam. Unsur menyuruh orang lain untuk menggugurkan atau mematikan kandungan, dalam konteks Pasal 346, istilah menyuruh mempunyai makna yang tidak sama dengan istilah menyuruh lakukan (doen plegen) dalam Pasal 55 (1). Istilah menyuruh dalam Pasal 346 KUHP mempunyai makna yang bersifat harafiah. Artinya istilah tersebut harus dimaknai dalam pengertian secara harafiah

12 bukan pengertian dalam konteks Pasal 55 KUHP. Namun demikian, oleh karena pengertian menyuruh dalam Pasal 346 sangatlah luas, maka sangatlah mungkin pengertiannya juga meliputi pengertian pada Pasal 55. Pengertian menyuruh lakukan dalam konteks Pasal 55 (1) menurut Memorie van Toelichting (MvT) disyaratkan bahwa orang yang disuruh (manus manistra) merupakan subyek tak berkehendak atau pelakunya tidak dapat dipidana, karena tidak tahu, tunduk pada kekerasan dan karena tersesatkan. Sedangkan pada konteks Pasal 346 melakukan dapat dijatuhi pidana. Pengertian menyuruh lakukan dalam Pasal 346 adalah baik sebagai menyuruh dalam arti harafiah pelakunya adalah subyek tak berkehendak, atau dalam arti menganjurkan dalam pengertian Pasal 55 ayat (1) sub 2. Dalam Pasal 346, istilah menyuruh (menggugurkan atau mematikan) adalah berupa unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dari suatu tindak pidana. Sedangkan menyuruh lakukan pada Pasal 55 ayat (1) adalah berupa suatu perbuatan dalam suatu perbuatan adlam penyertaan melakukan tindak pidana, bukan unsur perbuatan dari suatu tindak pidana. Unsur kesalahan dalam Pasal 346 ialah dengan sengaja yang mendahului semua unsur lainnya. Kesengajaan harus ditunjukkan pada unsur-unsur perbuatan menggugurkan atau mematikan atau menyuruh orang lain melakukan perbuatan tersebut pada obyek kandungannya sendiri. Artinya bahwa perempuan itu menghendaki dan mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya sendiri dan perbuatan orang lain tersebut dapat menggugurkan dan mematikan kandungannya. Kesengajaan harus diartikan dalam arti luas yaitu kesengajaan sebagai tujuan, sebagai kepastian, sebagai kemungkinan. Unsur kesengajaan Pasal 346 haruslah

13 ditujukan pada keempat perbuatan itu (menggugurkan, mematikan, menyuruh menggugurkan dan menyuruh mematikan kandungan), meskipun keempat perbuatan itu bersifat tersirat alternatif, namun terhadap perbuatan mana kesengajaan tersebut ditujukan haruslah jelas, berkaitan dengan perbuatan. 3. Pasal 347 KUHP : 1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. 2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun Unsur-unsur dalam pasal ini adalah: Unsur obyektif: 1. Perbuatan: a. menggugurkan, b. mematikan 2. Obyek: kandungan seorang perempuan; 3. Tanpa persetujuan perempuan itu Unsur subyektif: dengan sengaja Perbedaan kejahatan dalam pasal 346 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 347 KUHP adalah dalam pasal 346 KUHP terdapat perbuatan menyuruh (orang lain) menggugurkan dan menyuruh (orang lain) mematikan, yang tidak ada dalam pasal 347. Pada pasal 347 ada unsur tanpa persetujuannya (perempuan yang

14 mengandung). Petindak dalam pasal 346 adalah perempuan yang mengandung, sedang petindak dalam pasal 347 adalah orang lain (bukan perempuan yang mengandung. tanpa persetujuannya, artinya perempuan itu tidak menghendaki akibat gugurnya atau matinya kandungan itu, dan tidak selalu tidak setuju dengan wujud perbuatannya. Bisa terjadi bahwa terhadap perbuatan yang dilakukan orang lain itu disetujuinya, akan tetapi ia tidak tahu bahwa akibat dari perbuatan tersebut menyebabkan gugurnya atau matinya kandungan yang tidak dikehendakinya. Tanpa persetujuan ini dapat terjadi dalam beberapa kemungkinan. Mungkin terjadi karena perempuan tersebut tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan orang lain itu dimaksudkan untuk menggugurkan atau mematikan kandungan juga bisa terjadi bahwa si perempuan mengetahui bahwa perbuatan tersebut bisa mengakibatkan gugurnya atau matinya kandungan tetapi ia tidak berdaya karena misalnya diancam atau dipaksa dengan kekerasan. Dari kedua contoh di atas, perempuan tersebut tidak dapat dipidana. Dalam hal ini abortus yang dituju ialah kandungan yang ada dalam tubuh seorang wanita. Apabila yang menjadi sasaran adalah tubuh seorang wanita hamil bukan kandungannya, maka seseorang yang melakukan kejahatan melukai berat dan dapat mengakibatkan gugurnya kandungan juga, dapat dikenai Pasal 354, berhubungan dengan konteks Pasal 90 KUHP yang memasukkan menggugurkan kandungan atau membunuh kandungan dalam konteks luka berat.

15 4. Pasal 348 KUHP : 1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gagal atau mati kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan 2) Jika perbuatan itu berakhir wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun Unsur-unsur dalam pasal ini adalah: Unsur obyektif: 1) Perbuatan: a) menggugurkan, b) mematikan 2) Obyek: kandungan seorang perempuan; 3) Dengan persetujuan perempuan itu Unsur subyektif: dengan sengaja Perbedaan mendasar antara kejahatan dalam pasal 347 KUHP dengan kejahatan dalam pasal 348 KUHP adalah dalam pasal 347, pengguguran dan pembunuhan kandungan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung sedangkan pasal 348 dilakukan atas persetujuan perempuan yang mengandung. Persetujuan artinya dikehendaki bersama orang lain, disini ada 2 orang atau lebih yang mempunyai kehendak sama untuk menggugurkan atau mematikan kandungan. Syarat persetujuan adalah adanya dua pihak yang berkehendak sama. Faktor yang paling penting adalah pada saat sebelum atau pada saat memulai

16 perbuatan tersebut, gugurnya atau matinya kandungan sama-sama dikehendaki oleh perempuan (korban) dan pelaku. Dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah, apakah gugurnya atau matinya kandungan perempuan itu dikehendaki oleh wanita yang mengandung atau tidak. Kedudukan wanita terbatas pada kesediaannya atau tidak untuk digugurkan kandungannya. Jadi wanita tersebut hanya menyetujui persetujuan sesuai konteks Pasal 348 identik kata menyuruh Pasal 346. Wanita dalam hal ini dapat berperan baik secara aktif sebagai penyuruh dalam konteks Pasal 346, juga secara pasif yaitu hanya sebagai korban yang menyetujui. Ancaman hukuman pidana maksimal lima tahun enam bulan dan tujuh tahun penjara apabila terjadi kematian. Dalam hal ini baik wanita (korban) maupun si pelaku materiil dapat diancam dengan hukuman pidana penjara. Wanita bersalah melakukan tindak pidana kejahatan Pasal 346 sedangkan orang lain (pelaku) melanggar Pasal Pasal 349 KUHP : 1) Bila dokter, bidan, atau juru obat membantu kejahatan tersebut dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salh satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347, dan pasal 348 maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dicabut haknya melakukan [ekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu. Unsur-unsur dalam pasal ini adalah: Perbuatan dokter, bidan atau juru obat tersebut dapat berupa perbuatan:

17 1. Melakukan 2. Membantu melakukan. Perbuatan melakukan adalah berupa perbuatan melaksanakan dari kejahatan itu, yang artinya dialah (dokter, bidan atau juru obat) sebagai pelaku baik sebagai petindaknya maupun sebagai pelaku pelaksananya (plegen). Sebagai petindak, apabila ia melaksanakan kejahatan itu sendiri, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam kejahatan itu. Sebagai pelaku pelaksananya apabila dalam melaksanakan kejahatan itu dapat terlibat orang lain selain dirinya. Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau melancarkan pelaksanaan kejahatan itu. Perbuatan melakukan berupa perbuatan melaksanakan kejahatan itu, artinya dia sebagai pelaku baik sebagai pelaku atau yang melakukan maupun sebagai pelaku pembantu. Sebagai pelaku yang melakukan apabila dia sendiri yang melakukan kejahatan itu tanpa ada orang lain yang terlibat, sedangkan pelaku pembantu adalah apabila dalam melaksanakan kejahatan itu terlibat orang lain selain dia sendiri. Membantu melaksanakan adalah berupa perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau melancarkan pelaksanaan kejahatan itu. Kesengajaan pelaku dengan orang yang membantu tidak sama. Pelaku ditujukan untuk terlaksananya kejahatan, pembantu hanya ditujukan untuk mempermudah atau memperlancar terlaksananya kejahatan. Pengertian membantu dalam Pasal 349 meskipun sama dengan Pasal 56 tetapi ancaman hukuman berbeda. Pada Pasal 349 ancaman hukuman pidana dapat

18 ditambah sepertiga bagi si pembantu kejahatan sedangkan pada Pasal 56 pelaku pembantu ancaman hukuman pidana adalah ancaman pidana tertinggi dikurangi sepertiga. Alasan pemberat pidana pada Pasal 349 adalah bahwa orang memiliki keahlian untuk disalahgunakan serta keahlian tersebut justru digunakan untuk mempermudah dan memperlancar terjadinya kejahatan. Selanjutnya bagi pihak yang membantu melaksanakan kejahatan dari Pasal 346 sampai 348 maka menurut Pasal 349 haknya menjalankan profesi yang di dalamnya ia melakukan kejahatan tersebut dapat dicabut haknya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pihak-pihak yang dapat mewujudkan adanya pengguguran kandungan adalah Seseorang yang melakukan pengobatan atau menyuruh supaya berobat terhadap wanita tersebut sehingga dapat gugur kandungannya. 2. Wanita itu sendiri yang melakukan upaya atau menyuruh orang lain, sehingga dapat gugur kandungannya. 3. Seseorang yang tanpa ijin menyebabkan gugurnya kandungan seorang wanita. 4. Seseorang yang dengan izin menyebabkan gugurnya kandungan seorang wanita. 5. Seseorang yang dimaksud dalam angka 1, 2, 3 dan termasuk di dalamnya dokter, bidan, tabib, juru obat serta pihak lain yang berhubungan dengan medis (dengan kualitas tertentu) diposkan pada tanggal 29 Maret 2013

19 Apabila melihat pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maka semua perbuatan atau tindakan pengguguran kandungan itu dilarang tanpa terkecuali.untuk melihat persoalan itu secara lebih mendalam khususnya berkenaan dengan tindakan pengguguran kandungan, perlu melihat beberapa hal yang menarik dalam beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu sebagai berikut : 1. Kejahatan pada tindakan pengguguran kandungan sering terjadi karena ada dua faktor yaitu: Pertama, adanya seorang wanita yang bersedia untuk digugurkan kandungannya. Kedua, adanya orang lain yang mau melakukan atau membantu tindakan pengguguran kandungan tersebut. 2. Bahwa apabila di analisa dari Pasal 346 sampai dengan Pasal 349 dapat disimpulkan bahwa yang menggugurkan kandungan bisa oleh si wanita itu sendiri, bisa juga oleh orang lain. Kalau oleh orang lain diatur dalam Pasal 349, statusnya sebagai orang yang membantu, pidananya ditambah 1/3 sebagai pemberatan, maka hak untuk menjalankan praktik dapat dicabut. Disini tampak adanya unsur penyertaan yang menyimpang dari Psal 56 jo 57 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sehingga dikatakan pembantuan dalam Pasal 349 dinyatakan sebagai pembantu yang berdiri sendiri. 3. Dari rangkaian Pasal-pasal tadi dijelaskan apakah janin yang digugurkan itu dalam keadaan hidup atau mati. Namun, dalam praktik yang dianut janin yang digugurkan harus/masih dalam keadaan hidup. Juga rentetan Pasal-pasal tidak menyebutkan atau menjelaskan cara yang dipakai untuk menggugurkan kandungan tersebut, sehingga cara-cara yang dipakai untuk menggugurkan

20 kandungan tersebut diperoleh hakim saat mengadili, yaitu bisa dengan suntikan obat atau ramuan, dengan diurut, dan lain lain 4. Terdapatnya hal-hal yang meringankan, apabila tindakan pengguguran kandungan dilakukan atas persetujuan si wanita atau si ibu. 5. Kalau kita amati pada Pasal 356 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terdapat ketidakadilan di dalam penuntutan, karena yang selalu dituntut adalah pihak ke-3 yang disuruh oleh si wanita untuk menggugurkan kandungan, sedangkan si wanita sendiri yang menyuruhnya tidak pernah diajukan sebagai terdakwa. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa yang dapat dihukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam kasus tindakan pengguguran kandungan ini adalah: Pelaksana tindakan pengguguran kandungan, yaitu tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan hukuman maksimal empat tahun ditambah sepertiganya dan bida juga dicabut hak untuk berpraktik 2. Wanita yang menggugurkan kandungannya, dengan hukuman maksimal empat tahun 3. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab terjadinya tindakan pengguguran kandungan itu dihukum dengan hukuman bervariasi. 35 Mien Rukmini,Op.cit, hal 26

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Hukum Aborsi Akibat Perkosaan Aborsi akibat perkosaan merupakan permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Setiap orang berhak atas kehidupan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Oleh : Angga Indra Nugraha Pembimbing : Ibrahim R. Program Kekhususan: Hukum Pidana, Universitas Udayana Abstract: The rise of

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 ABSTRAK Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi

Lebih terperinci

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN 52 BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN A. Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam pembukaan Undang-undang Dasar

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. Sebenarnya kekerasan terhadap perempuan sudah lama terjadi, namum sebagian masyarakat belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, hamil di luar nikah sering terjadi. Hal ini dikarenakan anak-anak muda jaman sekarang banyak yang menganut gaya hidup seks bebas. Pada awalnya para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS MENURUT PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergaulan bebas sebagai pengaruh efek global telah mempengaruhi perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. Pergaulan bebas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

1. PERCOBAAN (POGING)

1. PERCOBAAN (POGING) Hukum Pidana Lanjutan Rabu, 25 Mei 2016 Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Poging, Deelneming,Residive, dan Pasal Tindak Pidana dalam KUHP Pembicara : 1. Sastro Gunawan Sibarani (2009) 2. Sarah Claudia

Lebih terperinci

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam PIT PDFI, Balikpapan 9-10 September 2015 Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam Budi Sampurna amanat UU 36/2009 Frasa kesehatan reproduksi muncul di pasal 48

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah

I. PENDAHULUAN. yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 80 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak

Lebih terperinci

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia semakin mencapai tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017 PERBUATAN SENGAJA MENGOBATI SEORANG WANITA UNTUK MENGGUGURKAN KANDUNGAN MENURUT PASAL 299 KUHP 1 Oleh: Ribka Anasthasia Eva Karamoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan : Pengertian Abortus (aborsi). Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran

Lebih terperinci

TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN Oleh : Clifford Andika Onibala 2

TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN Oleh : Clifford Andika Onibala 2 TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 1 Oleh : Clifford Andika Onibala 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama,

BAB II PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama, BAB II PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Sejarah Singkat Aborsi di Beberapa Negara di Dunia Aborsi merupakan masalah kompleks karena mencakup norma-norma agama, etika, moral,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik hukum pada dasarnya merupakan arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

BAB III ABORSI DALAM KONTEKS KEDARURATAN MEDIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III ABORSI DALAM KONTEKS KEDARURATAN MEDIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA BAB III ABORSI DALAM KONTEKS KEDARURATAN MEDIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Karakteristik Aborsi 1. Pengertian Aborsi Aborsi menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti pengguguran. Aborsi atau

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Beberapa pasal yang tercantum dalam

Lebih terperinci

[INDONESIA-L] MEDIKA - Bila 'Mereka. Bila 'Mereka' Memilih Aborsi. From: Date: Wed Nov :09:00 EST

[INDONESIA-L] MEDIKA - Bila 'Mereka. Bila 'Mereka' Memilih Aborsi. From: Date: Wed Nov :09:00 EST [INDONESIA-L] MEDIKA - Bila 'Mereka From: apakabar@access.digex.net Date: Wed Nov 04 1998-14:09:00 EST Edisi 10/XXIV - Oktober 1998 Bahasan Utama Bila 'Mereka' Memilih Aborsi Keputusan untuk menggugurkan

Lebih terperinci

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Sebelum adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian No.169, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi (pengguguran kandungan). Maraknya aborsi dapat diketahui dari berita di surat kabar atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN Oleh : Bastianto Nugroho. SH., M.Hum 1, Vivin Indrianita, SST., M.Psi 2, Agung Putri Harsa Satya Nugraha, SST., M.P.H 3 Abstrak Aborsi atau lazim

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri,

Lebih terperinci

ASPEK JURIDIS TERHADAP TINDAKAN ABORSI PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN 1 Oleh : Trisnawaty Abdullah 2

ASPEK JURIDIS TERHADAP TINDAKAN ABORSI PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN 1 Oleh : Trisnawaty Abdullah 2 ASPEK JURIDIS TERHADAP TINDAKAN ABORSI PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN 1 Oleh : Trisnawaty Abdullah 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah larangan melakukan aborsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pendahuluan Istilah Hukum Pidana menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia secara alami sejak ia di lahirkan, bahkan jika kepentingannya dikehendaki, walaupun masih dalam kandungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan modernisasi pada saat ini berdampak negatif pada para remaja yang tidak mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI 23 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI A. Aborsi dari Sudut Pandang Hukum 1. Aborsi dan kejahatan Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum, yang terhadap perbuatan ini

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Manusia memiliki perbedaan baik secara biologis maupun rohani. Secara

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Manusia memiliki perbedaan baik secara biologis maupun rohani. Secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai khalifah dimuka bumi ini dengan dibekali akal pikiran untuk berkarya dimuka bumi. Manusia memiliki perbedaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Lebih terperinci

ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1. Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga

ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1. Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1 PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga sebagai penerus bangsa. Baik hukum maupun masyarakat, membedakan antara anak sah dan

Lebih terperinci

BAB III ABORSI BAGI IBU HAMIL PENDERITA HIV/AIDS DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB III ABORSI BAGI IBU HAMIL PENDERITA HIV/AIDS DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB III ABORSI BAGI IBU HAMIL PENDERITA HIV/AIDS DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. ABORSI BAGI PENDERITA HIV/AIDS MENURUT HUKUM ISLAM Pada dasarnya, aborsi telah ditetapkan oleh Fatwa Majelis Ulama

Lebih terperinci

TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN JURNAL

TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN JURNAL TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN JURNAL Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG A. PENGANIAYAAN Kejahatan terhadap tubuh orang lain dalam KUHP diatur pada pasal 351-358 KUHP. Penganiayaan diatur dalam pasal 351 KUHP yang merumuskan

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999 A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 1. Pengertian Remisi Pengertian Remisi memang tidak hanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci