ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 PERNYATAAN 2 Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten kupang Nusa Tenggara Timur adalah karya saya sendiri sesuai arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2006 Deselina M.W.Kaleka Nim C

3 ABSTRACT 3 DESELINA M. W. KALEKA. The study on Development of Capture Fisheries in Nusa Tenggara Timur Regency. Supervised by BUDHI H. ISKANDAR, DANIEL R. MONINTJA and MULYONO S. BASKORO. The utilization of fisheries resources, especially capture fisheries, in Kupang regency up to now still in under utilized level, the resources consist of small and big pelagic fishes and demersal fishes need to be optimally utilized through a wise way. Some problems in capture fisheries development in Kupang Regency such as a border line issues (Timor Leste and Australia), dominancy of small scale fishing fleet using of traditional fishing technology and dominancy of non native fishermen. Base on that, it is needed to evaluate and rearrange the policies in capture fisheries management to over come the problems. The objective the research is to construct a conceptual model in developing the capture fisheries in Kupang Regency. Some methods are used in this research to achieve the objective. The surplus production model is used to predict Total Allowable Catch (TAC) based on the Maximum Sustainable Yield (MSY); Strength, Weaknesses, Opportunity and Threat (SWOT) analysis is used to determine development strategies; Analytic Hierarchy Process (AHP) is used to determine priority in fishing fleet development, Liner Goal Programming (LGP) is used to determine allocating of fishing fleet based on some scenarios; Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) is taken into account as well in the analysis to give considerations in sustainable fisheries and financial analysis is used to asses the business feasibility. Based on those analysis show that the capture fisheries in Kupang regency feasible to be developed with some consideration in outonomy era such as outhority in capture fisheries management. Alternative of chosen fishing units in order to reach optimum number is purse seine fleet 5 10 GT, 126 units, hand line 5-10 GT, units, long line fleet 5 10 GT, 73 units and trap fleet 5 10 GT, 160 units. Among them hand line fleet consider to be developed in the fish priority. The conceptual model is constructed based on goal oriented with identifying problem that may arise from government fisheries or private sectors as constraints. Key words : Fishing fleet, Conceptual Model, Kupang Regency, Maximum Sustainable Yield (MSY).

4 ABSTRAK 4 DESELINA M. W. KALEKA. Analisis Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh BUDHI H. ISKANDAR, DANIEL R. MONINTJA DAN MULYONO S. BASKORO. Perairan Kabupaten Kupang merupakan perairan yang cukup potensial, memiliki berbagai jenis ikan, baik itu jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil maupun demersal. Batasan wilayah yang cenderung berdekatan dua negara yakni Timor Leste dan Australia dapat nenimbulkan masalah, armada penangkapan ikan yang ada di dominasi oleh armada skala kecil dengan tingkat teknologi yang masih rendah, untuk menekan tingkat pelanggaran dan konflik diantara nelayan yang selalu melakukan aktivitas penangkapan dengan menggunakan kapal-kapal kecil maupun kapal-kapal berukuran sedang yang cenderung sampai ke perbatasan, maka perlu dilakukan penataan terhadap kebijakan pengelolaan dan pengembangan armada penangkapan yang ada sedini mungkin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan suatu model konseptual pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Model surplus produksi digunakan untuk menduga jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch (TAC)) berdasarkan Tangkapan Maksimun Lestari (Maximun Sustainable Catch (MSY)) dan model Strength, Weaknesses, Opportunity dan Threat (SWOT) digunakan untuk menentukan strategi pengembangan armada, Goal Programming (LGP) Analisis Hierarchi Process (AHP) digunakan untuk menetapkan prioritas strategi pengembangan, dan Code of Conduct For Reponsible Fisheries (CCRF) digunakan untuk menyesuaikan pengembangan armada yang akan dikembangkan dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, sumberdaya ikan serta keberlanjutan usaha dan analisis finansial yang digunakan untuk menentukan kelayakan usaha. Hasil penelitian menunjukkan perairan Kabupaten Kupang masih sangat berpotensi dan kondisi perikanan tangkap saat ini masih dalam posisi pertumbuhan sehingga untuk pengembangan ke depan sangat diperlukan penataan sedini mungkin dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Kupang. Optimalisasi pemanfaatan saat ini perlu dilakukan dengan pengalokasian armada penangkapan dan pembatasan armada penangkapan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten Kupang terhadap perairan sejauh 4 mil dari garis pantai. Pengalokasian armada terpilih yang perlu dikembangkan saat ini adalah armada purse seine 5GT - 10 GT sebanyak 126 unit, armada pancing ulur 5GT - 10 GT sebanyak unit, armada rawai 5GT - 10 GT sebanyak 73 unit dan armada bubu 5GT - 10 GT sebanyak 160 unit. Posisi prioritas terbaik adalah armada pancing ulur hal ini di buktikan bahwa armada tersebut ramah terhadap lingkungan baik dari aspek teknologi maupun kegiatan penangkapan. Kinerja ekonomi dalam usaha pengembangan armada penangkapan prioritas dari segi finansial dinyatakan layak. Suatu bentuk kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap dapat mencapai tujuan yang diharapkan akan sangat ditentukan oleh kondisi sumberdaya ikan, sumberdaya manusia dan sarana prasarana pendukung yang saling bergantungan dalam pelaksanaannya.

5 5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm dan sebagainya

6 ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR 6 DESELINA M. W. KALEKA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

7 Judul Disertasi : Analisis Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur Nama Mahasiswa : Deselina M. W. Kaleka NRP : C Program Studi : Teknologi Kelautan 7 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si Ketua Prof. Dr. Daniel R. Monintja Anggota Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro MS Tanggal ujian : 04 Agustus 2006 Tanggal Lulus : 14 Agustus 2006

8 PRAKATA 8 Puji dan Syukur penulis panjatkan kekhadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala berkat karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini merupakan hasil penelitian dengan judul Analisis Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur Pada Kesempatan ini penulis dengan tulus hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si., Prof. Dr. Daniel R. Monintja, Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc., sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya disertasi ini 2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan staf, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, atas segala perhatian dan penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang yang telah menyediakan dana berupa Bantuan Pendidikan Pascasarjana selama mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 4. Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kupang yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5. Rekan-rekan kerja dan temam-teman mahasiswa/i yang selalu memberikan motivasi selama masa pendidikan. Khususnya bapak Yahyah, bapak Alfa Nelwan, bapak Muhamad Jamal, bapak Mustarudin, bapak Andi Asir, bapak Dr. Ir. Ahmat Fauzi dan ibu Fonny Risamassu yang dengan penuh cinta dan sayang serta ketulusannya dalam membangkitkan semangat saya untuk terus maju dalam berkarya. 6. Ayah, Ibu, Anggy dan Egy serta seluruh keluarga serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebut satu persatu atas segala perhatian dan bantuannya sehingga disertasi ini rampung. Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih terdapat berbagai kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan agar lebih memberikan bobot terhadap kesempurnaan tulisan ini.

9 9 Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan armada perikanan khususnya perikanan tangkap di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur dan daerah lain yang memiliki karakteristik serupa dengan Kabupaten Kupang serta Indonesia pada umumnya. Bogor, Agustus 2006 Penulis

10 RIWAYAT HIDUP 10 Penulis dilahirkan di kota Waikabubak, Sumba Barat, Provinsi Nusa Tengara Timur (NTT) pada tanggal 4 Desember 1969, dari pasangan Obed Kaleka dan Dorkas T. Radjah. Penulis adalah putri tunggal dari tiga bersaudara. Pendidikan : SD Negeri Dedekadu Waikabubak, Sumba Barat tahun 1977, tamat SMP Negeri 2 Waikabubak, Sumba Barat, tahun 1983 tamat SMA Negeri Waikabubak, Sumba Barat tahun 1985, tamat pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Diklat AUP Jakarta, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Perairan (PSDP). dan selesai pada tahun 1992 dengan judul karya tulis akhir adalah: Pengkajian Pengelolaan Rumput Laut Jenis Eucheuma Cottonii di Perairan Pantai Warambadi sumba Timur NTT. Tahun 1992 penulis diterima sebagai staf hononer pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumba Timur, NTT, Tahun 1993 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Perikanan Dan Kelautan, Propinsi NTT. Tahun 1996 melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT, pada program studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian dengan status ijin belajar dan lulus tahun 2000 dengan judul karya ilmiah Pengaruh Berbagai Tingkat Protein Energi Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) di Kabupaten Kupang. Tahun yang sama penulis di mutasikan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kupang dan ditempatkan pada seksi penyuluhan hingga saat ini. Tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan pada program magister (S-2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Nusa Cendana Kupang NTT pada jurusan rehabilitasi dan konservasi, dan disponsori oleh Pemda Kabupaten Kupang dengan status ijin belajar dan lulus pada ujian tesis dengan judul Transplantasi Karang Batu (Stony Coral) Marga Acropora pada Substrat Buatan dan Substrat Alami di Perairan Tablolong Kecamatan Kupang Barat pada tahun Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S-3 di sekolah pascasarjana IPB pada Program Studi Teknologi Kelautan dengan bantuan biaya dari Pemda Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur dengan status tugas belajar.

11 DAFTAR ISI 11 Halaman DAFTAR TABEL.... xiii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xix 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Definisi Armada Perikanan Klasifikasi Armada Perikanan Pengertian dan Karakteristik Kapal Perikanan Konsep Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Pengembangan Perikanan Tangkap Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Analisis Pengembangan Ketentuan-Ketentuan Dalam CCRF FAO Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Kapal Ikan Strategi Pengelolaan Perikanan Yang Memperhatikan Armada Perikanan Sebagai Input Konsep Kelembagaan METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Identifikasi permasalahan Determinasi armada perikanan tangkap Analisis potensi sumberdaya ikan Analisis pengembangan perikanan tangkap Analisis teknologi berwawasan lingkungan Analisis Kinerja usaha Penangkapan dan kelayakan investas KEADAAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN KUPANG Kondisi Sumberdaya Perikanan Tangkap Armada Perikanan Tangkap Pengelolaan Armada Perikanan Tangkap... 58

12 12 Halaman 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Sumberdaya Ikan di Kabupaten Kupang Identifikasi Sasaran Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Konflik Nelayan di Kabuapten Kupang Rancangan Umum Jenis Armada yang akan dikembangkan di Kabupaten Kupang Optimalisasi Alokasi Armada Perikanan Tangkap Kajian Kebijakan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang Optimalisasi Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Strategi Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Seleksi Alat Tangkap Ramah Lingkungan dan berkelanjutan berdasarkan CCRF Evaluasi Kinerja Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang Kelayakan Usaha Panangkapan Secara Finansial Model Konseptual Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13 DAFTAR TABEL 13 Halaman 1 Teknik Pengelolaan Perikanan Skala banding secara berpasangan berdasarkan taraf relatif pentingnya Produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Kabupaten Kupang Tahun Produksi perikanan laut menurut jenis non ikan di Kabupeten Kupang Tahun Undang-Undang Internasional dan Nasional Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri dan Perda Faktor strategi internal pengembangan perikanan tangkap Faktor strategi eksternal pengembangan perikanan tangkap Matriks internal-ekaternal (IE) armada perikanan tangkap Kabupaten Kupang Matriks SWOT sasaran pengembangan armada perikanan tangkap Departemen dan Lembaga-Lembaga yang terkait dalam komponen Perikanan Tangkap Perbandingan Hasil Optimalisasi Armada Perikanan Tangkap Skor untuk alternatif dalam kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang Hasil uji sensitivitas terhadap strategi pengembangan armada terpilih Hasil skoring teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan sesuai kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries Hasil skoring kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan sesuai kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries Parameter baseline Analysis Indikator Ekonomi ekstraktif per kapal per tahun (dalam Rp.juta)

14 14 halaman 19 Analisis kelayakan Usaha pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang sebelum kenaikan harga BBM Analisis kelayakan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang setelah kenaikan harga BBM...139

15 DAFTAR GAMBAR 15 Halaman 1 Kerangka pikir penelitian Sistem agribisnis perikanan tangkap (Kesteven dimodifikasi oleh Monintja, 2001) Diagram input-output pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Kupang Diagram identifikasi dan analisis dalam penelitian Armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang Tahun Jumlah alat tangkap di Kabupaten Kupang Tahun Jumlah nelayan di Kabupaten Kupang Tahun Hubungan produksi dan upaya sumberdaya perikanan pelagis besar di perairan Kabupaten Kupang NTT Hubungan CPUE dan upaya sumberdaya perikanan pelagis besar di Perairan Kabupaten Kupang NTT Hubungan produksi dan upaya sumberdaya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Kupang NTT Hubungan CPUE dan upaya Sumberdaya perikanan pelagis kecil di Perairan Kabupaten Kupang NTT Hubungan CPUE dan Upaya sumberdaya perikanan demersal di perairan Kabupaten Kupang NTT Hubungan CPUE dan upaya sumberdaya perikanan demersal di perairan Kabupaten Kupang NTT Nilai CPUE pelagis besar, CPUE pelagis kecil dan CPUE perikanan demersal sejak Tahun 1995 hingga Rancangan umum armada kapal penangkap purse seine Rancangan umum kapal pengangkut hasil tangkapan purse seine Rancangan umum armada kapal penangkap rawai Stuktur hierarki pengembangan armada perikanan tangkap

16 16 halaman 19 Posisi kriteria pengembangan pada level kedua (setelah goal) pada aplikasi program AHP Rasio kepentingan kriteria dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (Inconsistency 0,01) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kelestarian sumberdaya SDI lestari (Level III) Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada kelestarian Sumberdaya SDI lestari dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (Inconsistency 0,02) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada profit usaha meningkat (Level III) Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada profit usaha meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (Inconsistency 0,03) Posisi pembatas yang berkepentingan (level III) dan rasio kepentingan masing-masing dengan perhatian pada produktifitas penangkapan meningkat Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada produktivitas penangkapan dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,09) Posisi pembatas yang berkepentingan (level IV) dan rasio kepentingan masing-masing dengan perhatian pada selektivitas penangkapan meningkat Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada selektivitas penangkapan meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,05) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja meningkat (level V) Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,04) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penggunan BBM rendah (level VI)

17 17 halaman 32 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada penggunaan BBM rendah dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,07) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada pendapatan asli daerah meningkat (level VII) Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada pendapatan asli daerah meningkat (PAD) dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,08) Urutan prioritas pengembangan terhadap empat alternatif armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang (inconsistency 0,03) Perbandingan mini purse seine dengan pancing ulur untuk semua kriteria Perbandingan mini purse seine dengan rawai untuk semua kriteria Perbandingan mini purse seine dengan bubu untuk semua kriteria Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada kelestarian sumberdaya ikan lestari (SDI)(RK SDI = 0) Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada profit usaha meningkat (PROFIT) (RK PROFIT = 0,580) Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada produktivitas penangkapan meningkat (PRODUKTIF) (RK PRODUKTIF = 0,475) Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada kelestarian sumberdaya ikan meningkat (SELEKTITIF)(RK SELEKTIF= 0,363) Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada profit usaha meningkat (TNGKERJA) (RK TNGKERJA = 0,466) Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada produktifitas penangkapan meningkat (BBM) (RK BBM = 0,251)

18 18 halaman 45 Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada produktifitas penangkapan meningkat (PAD) (RK PAD = 0,007) Nilai ekonomi Perikanan Untuk Empat Armada Model Pengembangan Armada Perikanan Tangkap terintegrasi di Kabupaten Kupang Diagram input-output pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Kupang ke depan...147

19 DAFTAR LAMPIRAN 19 Halaman 1 Peta lokasi penelitian Peta Potensi sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Kupang Potensi armada penangkapan tangkap di Kabupaten Kupang Hasil analisis sumberdaya perikanan di Kabupaten Kupang Kriteria teknologi ramah lingkungan Kriteria kegiatan penangkapan ikan berkelanjutan Hasil olahan LINDO untuk skenario I (pencapaian semua sasaran pengembangan armada perikanan tangkap secara bersamaan) Hasil olahan LINDO untuk skenario II (pencapaian semua sasaran pengembangan armada perikanan tangkap secara bertahap) Gambar Armada saat ini di Kabupaten Kupang...174

20 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan sumberdaya ikan yang ada saat ini memungkinkan bagi Indonesia untuk mewujudkan industri perikanan yang kokoh, mandiri dan berkelanjutan serta memperluas kesempatan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan konsumsi ikan dalam negeri dan peningkatan penerimaan devisa negara yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pembangunan perikanan tangkap ke depan dinilai cerah karena potensi dan prospek yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu : (1) luasnya perairan yang dimiliki (laut teritorial, laut nusantara dan ZEE), dan perairan umum (danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya); (2) Potensi lestari ikan laut yang belum dikelolah secara optimal; (3) Potensi sumberdaya manusia nelayan yang melimpah yang belum dioptimalkan; (4) Prospek pasar dalam dan luar yang cerah untuk produk-produk perikanan laut; (5) Permintaan ikan untuk konsumsi dalam dan luar negeri sangat tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk; dan (6) Kesadaran masyarakat akan pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang aman, sehat dan bebas kolesterol sehingga masyarakat beralih dari mengkonsumsi red-meat menjadi white meat (Dirjen Perikanan Tangkap, 2004). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, diidentifikasi bahwa tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah : (1) Meningkatkan kesejahteraan nelayan; dan (2) Menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Sasaran pembangunan sub-sektor perikanan tangkap yang ingin dicapai menurut Dirjen Perikanan Tangkap (2004) pada akhir tahun 2009 adalah : (1) Tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,472 juta ton; (2) Meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp. 1,5 juta/bulan; (3) Meningkatnya nilai ekspor

21 21 hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar; (4) Meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun; dan (5) Penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekitar 4 juta orang. Berkaitan dengan beberapa hal tersebut di atas, maka kebijakan pembangunan perikanan tangkap adalah : (1) Menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri dalam negeri mulai dari penangkapan sampai ke pengolahan dan pemasaran; (2) Rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan pada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan (3) Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2004). Strategi yang diterapkan dalam pembangunan perikanan tangkap adalah : (1) Pemberdayaan nelayan skala kecil dengan memberikan insentif input industri dan jaminan harga ikan yang wajar; (2) Mendorong bangkit, tumbuhnya dan berkembangnya industri perikanan dalam negeri dengan deregulasi dan penerapan sistem perizinan yang efisien; penataan perizinan usaha penangkapan yang mengutamakan peran perusahaan dalam negeri, koperasi dan nelayan lokal yang lebih sederhana dan efisien; dan (3) Pemberantasan IUU Fishing dengan cara meningkatkan kerjasama dengan TNI-AL, POLRI, Ditjen PSDKP dan negara lain yang memiliki perjanjian bilateral bidang perikanan tangkap antara lain yakni RRC, Philipina dan Thailand (Dirjen Perikanan Tangkap, 2004). Sebagai suatu negara maritim, armada perikanan memiliki fungsi yang sangat penting untuk membawa kepada suatu kemakmuran dan kesejateraan rakyatnya, namun dilain sisi, juga sangat diperlukan pembinaan agar industrinya memberikan kontribusi yang menguntungkan dan tetap mempertahankan kelestarian alam, karena apabila terjadi kerusakan dan kepunahan maka akan sulit bahkan tidak memungkinkan untuk dilakukan rehabilitasi kembali (Soekarno, 1987). Panjang garis pantai Kabupaten Kupang kurang lebih 456 km dan memiliki luas perairan laut sekitar 7.178,28 km 2. Potensi lestari sumberdaya ikan di Perairan Kabupaten Kupang sebesar ton pertahun dan dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai sekitar ,65 ton (24,89%) pada tahun 2003 (DKP Kab. Kupang, 2004).

22 22 Armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang didominasi oleh perahu tanpa motor (PTM) sebanyak unit (79,23%); perahu motor tempel (PMT) sebanyak 416 unit (12,78%); dan kapal motor 0 5 GT sebanyak 223 unit (6,85%), GT sebanyak 7 unit (0,22%), serta kapal motor di atas ukuran 20 GT sebanyak 30 unit (0,92%) (DKP Kab. Kupang, 2004). Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa pengembangan perikanan tangkapa dikabupaten kupang perlu dikembangkan hal tersebut didasarkan pada letak geografis Kabupaten Kupang yang sebagian besar wilayahnya adalah laut yang tentunya mengandung kekayaan sumberdaya hayati yang sangat besar baik dari keanekaragamannya dan jumlahnya, hingga saat ini pemanfaatannya belum maksimal, hal ini disebabkan kondisi armada penangkapan yang masih didominasi oleh perahu tanpa motor. Disamping beberapa peluang pengembangan tersebut, terdapat juga beberapa peluang lainnya secara ekternal seperti : (1) Terdapat keterkaitan kuat antara industri perikanan tangkap dengan industri lainnya; (2) Terdapat sumberdaya yang dibutuhkan untuk membangun perikanan tangkap yang menjadi kewenangan instansi yang lain; (3) Terdapat desentralisasi sebagian urusan perikanan tangkap kepada pemerintah daerah oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan dukungan dari instansi atau sektor terkait dan pemerintah daerah untuk menghasilkan sinergi agar program pembangunan perikanan tangkap berhasil dilaksanakan sesuai harapan; dan (4) Peran aktif masyarakat dalam proses pembangunan perikanan tangkap sangat diperlukan karena akan ikut menentukan keberhasilan pembangunan tersebut. Upaya pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang NTT membutuhkan identifikasi permasalahan serta pemecahannya. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pendekatan penyusunan pengembangan armada perikanan tangkap yang merupakan salah satu dasar pengelolaan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan potensi sumberdaya ikan yang dimiliki Kabupaten Kupang NTT, diharapkan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang dinilai sangat potensial, namun terdapat beberapa permasalahan pembangunan perikanan tangkap,

23 23 antara lain : (1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional (2) Struktur armada penangkapannya masih didominasi skala kecil dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah (3) Mutu hasil tangkapan nelayan pada umumnya masih rendah dan (4) Belum memadainya dukungan sarana dan prasarana perikanan tangkap (5) Masih sedikitnya nelayan lokal; dan (6) Belum pernah dilakukan penyusunan/perencanaan armada penangkapan ikan yang berbasis ramah lingkungan dan usaha yang berkelanjutan, sedangkan permasalahan pada armada perikanan tangkapnya adalah (1) minimnya armada penangkapan ikan (2) kurangnya modal (3) jangkauan operasi daerah penangkapan dekat pantai (4) sumberdaya manusia terbatas (5) rendahnya penguasaan teknologi (6) kurangnya kemitraan dan (7) kurangnya peran pemerintah daerah (8) Pendapatan Asli Daerah rendah dan (9) Pendapatan nelayan rendah dan implementasi kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran. Memperhatikan permasalahan yang ada maka pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Kupang perlu ditingkatkan mengingat pembangunan perikanan di kabupaten tersebut merupakan bagian integral dari pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan perekonomian melalui pembangunan sumberdaya perikanan secara terpadu melalui partisipasi masyarakat secara massal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan sasaran wilayah kegiatan pada desa-desa pesisir. Untuk mewujudkan harapan tersebut maka pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur melalui suatu program menetapkan strategi yang dapat memberikan motivasi bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur agar dapat mengelola sumberdaya laut yang ada dengan mencanangkan Gerakan Masuk Laut yang selanjutnya disingkat GEMALA (Sekda NTT, 2002). Program ini dicanangkan dengan menelusuri issu pokok yang nyata yakni rendahnya produksi dan produktivitas perikanan di Nusa Tenggara Timur dan dominasi kultur ekonomi masyarakat pedesaan NTT yang berorentasi ke daratan (land oriented), rencana strategi yang digunakan dengan berpedoman pada visi dan misi yang pada prinsipnya ingin menjadikan masa depan rakyat NTT khususnya Kabupaten Kupang hanya berada di laut. Hal ini akan membangkitkan dan mampu meningkatkan parsitipasi rakyat dalam membangun ekonomi daerah. Pengalihan cara pandang masyarakat dari darat (land oriented) menuju laut (sea oriented). Strategi yang dicanangkan akan mendorong usaha nelayan untuk berkembang lebih profesional, namun hingga saat ini perkembangan perikanan belum maksimal

24 24 oleh sebab itu masih sangat diperlukan pembenahan yang serius dengan memperhatikan ciri-ciri tradisionalnya. Sehingga usaha nelayan harus dipersiapkan dan diarahkan agar dapat memberikan nilai tambah yang secara ekonomis menguntungkan dan harus menjadi prioritas utama dari pemerintah daerah setempat untuk diselesaikan secara arif bijaksana dan profesional. Salah satu cara atau strategi yang sebaiknya dilakukan adalah dengan menyusun suatu bentuk model pengembangan armada perikanan tangkap. Permasalahan yang telah teridentifikasi akan diformulasikan hingga mendapat solusi yang terbaik melalui metode yang digunakan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan terhadap sistem armada penangkapan. Pada pendekatan sistem ini berbagai unsur yang terkait dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang akan dikaji secara mendalam. Selain itu digunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat), LGP (Linear Goal Programming), dan AHP (Analysis Hierarki Process). 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Merancang model konseptual pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang yang berbasis ketentuan perikanan yang bertanggung jawab. Tujuan Khusus (1) Mengkaji keadaan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang masa kini; (2) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang (3) Mengkaji fasilitas pendukung perikanan tangkap (4) Mengkaji kebijakan-kebijkan pembangunan perikanan tangkap yang ada. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi: 1) Bahan informasi untuk pengembangan IPTEKS dalam bidang armada perikanan tangkap 2) Bahan pertimbangan penentuan kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang 3) Masukan untuk pengembangan industri perikanan tangkap di

25 Kabupaten Kupang dan daerah lainnya yang memiliki karakteristik perairan yang hampir sama Kerangka Pemikiran Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Kupang belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan baru mencapai sekitar ,65 ton atau (24,89 %) pada tahun 2003 dari potensi lestari yang tersedia (DKP Kab. Kupang, 2004). Belum optimalnya pemanfaatan ini disebabkan karena minimnya sarana dan prasarana penangkapan diantaranya minimnya armada penangkapan ikan, kurangnya modal usaha, jangkauan operasi penangkapan yang cenderung dekat pantai, sumberdaya manusia rendah, penguasaan teknologi yang sederhana, belum terciptanya kemitraan, peran serta pemerintah daerah dalam pengeloloaan, Pendapatan Asli Daerah rendah (PAD) dan pendapatan nelayan pun rendah serta kebijakan pemerintah dalam menerapkan progran dan strategi yang kurang tepat sasaran. Pemanfaatan yang optimal dapat dilakukan apabila peran serta pemerintah lebih ditingkatkan melalui kebijakan-kebijakan dengan strategi yang tepat, dengan melakukan analisis terhadap SDI, SDM dan sarana prasarana yang ada diantaranya melakukan kajian aspek armada penangkapan baik jenis, ukuran dan kapasitas armada serta menghitung finansial dan daerah penangkapan, kajian aspek alat tangkap (jenis, ukuran dan jumlah), kajian aspek potensi sumberdaya, sumberdaya manusia, sarana pelabuhan, TPI, PPI, regulasi dan teknologi ramah lingkungan serta usaha berkelanjutan. Hasil analisis akan merancang sebuah model konseptual yang merupakan gambaran dari hasil kajian kondisi saat ini yang diharapkan akan dirumuskan dalam suatu bentuk kebijakan pengembangan armada Perikanan Tangkap yang mampu memjawab permasalahan yang ada saat ini untuk menuju pada perikanan yang bertanggung jawab dan usaha perikanan yang berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian di tampilkan pada Gambar 1.

26 26 Minimnya armada penangkapan ikan Kurangnya modal Jangkauan operasi daerah penangkapan dekat pantai Sumberdaya manusia terbatas Rendahnya penguasaan teknologi Kurangnya Kemitraan Kurangnya Peran pemerintah daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah Pendapatan nelayan rendah Kebijakan Armada perikanan Tangkap saat ini Analisis : (1) Kajian aspek armada penangkapan Jenis, ukuran dan kapasitas Finansial Daerah penangkapan (2) Kajian aspek alat Jenis, ukuran dan jumlah alat (3) Kajian aspek potensi sumberdaya (4) Kajian aspek SDM (5) Kajian aspek prasarana pendukung Pelabuhan perikanan PPI dan TPI (6) Regulasi (7) Teknologi ramah lingkungan dan usaha berkelanjutan Model Konseptual Kebijakan Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

27 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Armada Perikanan Suatu Armada merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Dirjen Perikanan Tangkap, 2002), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Monintja (2001) menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan, yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Dirjen Perikanan Tangkap (2002), mendefinisikan unit penangkapan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasa terdiri dari perahu/kapal penangkap dan alat penangkap yang digunakan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Soekarsono (1995) menyatakan bahwa kapal adalah suatu bentuk konstruksi yang dapat terapung (floating) di air dan mempunyai sifat muat berupa penumpang atau barang, yang sifat geraknya dapat menggunakan dayung, angin dan mesin yaitu : (1) Penggerak dayung Kapal yang digerakkan oleh tenaga manusia dengan dayung (oar) disamping kiri/kanan lambung (hull) kapal (2) Pengerak angin Kapal yang konstruksinya menggunakan tiang-tiang layar dan beberapa macam layar (sail) untuk memanfaatkan tenaga hembusan angin pada layar kapal tersebut. (3) Tenaga mesin Kapal yang mempunyai ruang mesin di dalam lambung kapal dimana mesin tersebut mampu menggerakkan baling-baling (propeller) kapal sebagai sarana dorong/gerak kapal. Perahu atau kapal yang digunakan untuk mengangkut nelayan, alat-alat penangkap dan hasil penangkapan dalam rangka penangkapan dengan bagan, sero,

28 28 kelong dan lain-lain termasuk perahu atau kapal penangkap (Dirjen Perikanan Tangkap DKP, 2002). Kapal-kapal yang dipakai dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hayati perikanan, dikenal dengan nama kapal ikan, mempunyai peranan yang sangat penting dalam tujuan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan tersebut serta jenis dan bentuk yang berbeda sesuai dengan tujuan usaha, keadaan perairan, fishing ground, dan lain sebagainya (Pasaribu, 1985). Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), secara garis besar kapal ikan dapat dikelompokkan dalam empat jenis yaitu : (1) Kapal yang khusus digunakan dalam operasi penangkapan ikan. Termasuk dalam kelompok kapal penangkapan ikan adalah kapal yang khusus dipakai dalam usaha menangkap dan mengumpulkan sumberdaya hayati perairan, antara lain kapal pukat udang, perahu pukat cincin, perahu jaring insang, perahu payang, perahu pancing tonda, kapal rawai, kapal huhate dan sampan yang dipakai dalam mengumpul rumput laut, memancing dan lain-lain. (2) Kapal induk adalah kapal yang dipakai sebagai tempat mengumpulkan hasil tangkapannya dan mengolahnya. (3) Kapal pengangkut ikan adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut hasil perikanan dari kapal induk atau kapal penangkap ikan dari fishing ground ke pelabuhan dikatagorikan sebagai kapal pengangkut. Kapal induk juga berfungsi sebagai kapal pengangkut ikan. Hal ini berkaitan dengan pertimbangan efisiensi dan permodalan. (4) Kapal peneliti, pendidikan dan latihan adalah kapal ikan yang digunakan untuk keperluan penelitian, pendidikan dan latihan penangkapan pada umumnya adalah kapal-kapal milik instansi atau dinas. Pasaribu (1985) mengatakan bahwa peningkatan armada perikanan diperlukan : (1) penguasaan teknologi perkapalan, khususnya kapal perikanan; (2) permodalan; (3) man power; dan (4) kebijaksanaan-kebijaksanaan dan operasionalnya yang realistis dan terarah. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkapan dikatagorikan nelayan yang walaupun tidak melakukan aktivitas

29 29 menangkap (Dirjen Perikanan Tangkap DKP, 2002). Selanjutnya dalam Undang- Undang no. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mendefinisikan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Undang-Undang No 9 Tahun 1985 mendefinisikan alat penangkap ikan sebagai sarana dan perlengkapan atau bendabenda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan, dengan melihat dan menyimak definisi yang ada maka dapat disimpulkan bahwa armada perikanan tangkap merupakan kumpulan atau sekelompok unit penangkapan ikan yang melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan pada suatu perairan bersama- sama. 2.2 Klasifikasi Armada Perikanan Secara umum di Indonesia perahu atau kapal penangkap diklasifikasikan sebagai berikut (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2002) : (1) Perahu tidak bermotor Jukung Perahu papan - Kecil (perahu yang terbesar panjangnya kurang dari 7 m) - Sedang ( perahu yang terbesar panjangnya dari 7 sampai 10 m) - Besar (perahu yang terbesar panjangnya 10 m atau lebih) (2) Perahu motor tempel (3) Kapal motor Kurang dari 5 GT 5 10 GT GT GT GT GT GT 200 GT keatas Tipe kapal ikan secara umum terdiri dari dua (2) kelompok tipe, yakni : (1) kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat penangkap pancing dan (2) kelompok tipe kapal ikan yang menggunakan alat tangkap jaring /net (Andarto dan Sutedjo, 1993). FAO (1999) mengklasifikasian perikanan yang selektif bagi beberapa negara menggolongkan

30 30 perikanan di Indonesia pada dua (2) katagori yaitu : perikanan skala kecil (menggunakan mesin luar sebesar < 10 HP atau < 5 GT dan daerah operasinya pada zona I atau jalur 1 (4 mil dari garis pantai) dan yang menggunakan mesin luar sebesar < 50 HP atau < 25 GT dengan jalur operasinya pada zona II atau jalur 2 (4 mil 8 mil) sedangkan perikanan skala besar merupakan perikanan industri yang menggunakan mesin dalam dengan kekuatan < 200 HP atau 100 GT dan jalur operasinya pada jalur 3 dan 4 (8 mil - 12 mil dan atau > 12 mil). Selanjutnya Soekarsono (1995), yang mengklasifikasikan kapal menurut fungsinya diantaranya kapal perikanan terdiri dari kapal tonda (troller), kapal rawai dasar (bottom long liner), kapal rawai tuna (tuna long liner), kapal pukat cicin (purse seiner), kapal jaring insang (gillnetter), kapal bubu (pot fishing vessel), kapal pukat udang (shrimp trawler), kapal setnet, kapal pengangkut ikan dan jenis kapal lainnya. Secara umum di Indonesia standar alat penangkap perikanan laut diklasifikasikan sebagai berikut (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2002) : (1) Pukat udang (shrimp net) (2) Pukat kantong (seine net) Payang (termasuk lampara) Dogol Pukat pantai (3) Pukat cincin (purse seine) (4) Jaring insang (gillnet) (5) Jaring angkat (lift net) (6) Pancing (hook and lines) (7) Perangkap (traps) (8) Alat pengumpul kerang dan rumput (shell fish and seaweed collection) (9) Muro ami, dll (10) Alat Tangkap lainnya Widodo et al. (1988), mengklasifikasikan alat tangkap ikan sebagai berikut : (1) Pukat udang (shrimp net) (2) Pukat ikan (3) Pukat kantong (seine net) Payang (termasuk lampara)

31 31 Dogol Pukat pantai (4) Pukat cincin (purse seine) (5) Jaring insang (gillnet) Jaring insang hanyut Jaring insang lingkar Jaring insang tetap Trammel net (6) Jaring angkat (lift net) Bagan perahu/rakit Bagan tancap (termasuk kelong) Serok Jaring insang lainnya (7) Pancing (hook and lines) Rawai tuna Rawai hanyut lainnya selain rawai tuna Rawai tetap Huhate (pole and line) Pancing lain selain huhate Pancing tonda (8) Perangkap (traps) Sero Jermal Bubu Perangkap lainnya (9) Muro ami dan lain-lain (jala, tombak, dan lain-lain.) Secara resmi di Indonesia nelayan diklasifikasikan sebagai berikut (Dirjen Perikanan Tangkap, DKP, 2002) : (1) Nelayan penuh (2) Nelayan sambilan utama (3) Nelayan sambilan tambahan

32 Pengertian dan Karakteristik Kapal Perikanan Fyson (1985), mendefinisikan kapal ikan sebagai suatu bangunan yang dimanfaatkan dalam hubungannya dengan aktivitas penangkapan ikan di laut (perikanan) dan memiliki desain konstruksi yang berbeda dengan kapal lainnya (kapasitas muat, ukuran, model dek akomodasi, mesin dan komponen lainnya) disesuaikan dengan fungsi pengoperasian. Pengertian kapal yang disebutkan Iskandar dan Novita (1997) yang diacu Nanda (2004) adalah suatu bentuk bangunan yang dapat terapung dan berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk melakukan aktivitas dan merupakan sarana transportasi. Aktivitas yang dilakukan oleh sebuah kapal ikan akan sangat berbeda dengan kapal-kapal lainnya. Fungsi atau peruntukan sebuah kapal ikan akan menunjukkan perbedaan dalam mendesain konstruksi kapal tersebut. Komponen pelengkap suatu kapal ikan juga akan berbeda. Sebuah kapal ikan akan dirancang dengan melihat jangkauan daerah operasinya, jenis ikan yang ditangkap dan tingkah laku ikan target serta ukuran alat tangkap yang digunakan. Nomura dan Yamazaki (1975) dan Fyson (1985) menegaskan bahwa sebuah kapal ikan harus memiliki kapasitas muat yang memadai dan fasilitas yang cukup diantaranya fasilitas penyimpan (palka), ruangan pendingin, pembekuan dan penyimpan es. Komponen inilah yang membedakan kapal ikan dengan kapal lainnya dan komponen ini pula yang akan menentukan dan berpengaruh terhadap suatu desain konstruksi kapal ikan. Komponen ini akan menentukan kualitas suatu hasil tangkapan. Definisi lain tentang kapal ikan adalah kapal yang digunakan untuk usaha mengumpul dan menangkap sumberdaya perairan atau kegiatan yang berhubungan dengan penelitian, kontrol, suvey dan sebagainya (Boxton, 1987). Semua kapal yang beroperasi di Perairan Indonesia harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Departemen Perhubungan laut, baik itu kapal barang, kapal ikan, kapal penumpang, dll. Persyaratan yang telah ditetapkan bagi setiap kapal yang beroperasi sesuai dengan kegiatannya masing-masing digambarkan dengan model/disain kapal sesuai kebutuhan. Ada beberapa persyaratan yang harus ditaati oleh kapal ikan yang walaupun penggunaannya tidak sama dengan kapal lainnya, seperti ; kemampuan berlayar yang cukup aman dalam kondisi apapun, memiliki bentuk yang memberikan gambaran kestabilan dan daya apung yang cukup efisien hal ini dapat

33 33 dilihat dari ukuran, tenaga, biaya, produk dan tujuan penggunaannya. Persyaratan ini semuanya harus dipenuhi sebelum disain dasar dimulai atau ditentukan guna perencanaan kapal yang layak melaut (Brown, 1957). Kekuatan struktur badan kapal, falititas untuk menyimpan dan stabilitas tertinggi minimal harus dimiliki oleh setiap kapal ikan yang hendak melakukan aktivitas menangkap ikan (Nomura dan Yamazaki, 1977), selanjutnya dikatakan kapal ikan akan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan kapal-kapal lainnya, seperti : (1) Kemampuan olah gerak kapal Kemampuan olah gerak kapal ini sangat dibutuhkan bagi kapal ikan pada saat pengoperasian alat tangkap, sangat diperlukan kemampuan steerability yang baik, daya dorong mesin (propulsion engine) guna mempermudah gerak maju mundurnya kapal dan radius putaran (turning circle) yang kecil (2) Kelaik lautan Laik (layak) sangat diperlukan bagi setiap kapal ikan untuk beroperasi dalam menahan dan melawan kondisi yang tidak diharapkan terjadi, seperti kekuatan gelombang dan angin yang kadang-kadang datang secara tiba-tiba dengan tujuan dapat menjamin keslamatan dan kenyamanan, hal ini dibutuhkan stabilitas yang baik dan daya apung yang cukup (3) Kecepatan kapal Dibutuhkan dalam kegiatan pengoperasian yakni dalam melalukan pengejaran terhadap gerombolan ikan dan juga pada saat kembali dengan membawa hasil tangkapan agar hasil tangkapan selalu tetap berada dalam kondisi segar (kecepatan waktu), waktu penangkapan dan waktu penanganan. (4) Konstruksi kasko yang kuat Konstruksi yang baik dan kuat diperlukan dan merupakan hal yang sangat sensitif dalam menghadapi kondisi alam yang selalu berubah-ubah tanpa kompromi, dan terhadap getaran mesin yang bekerja selama beroperasi.. (5) Lingkup area pelayaran Luas area kapal ikan sangat ditentukan oleh jarak fishing ground yang akan di jelajah Jangkauan fishing ground ini ditentukan oleh migrasi ikan berdasarkan musim dan habitnya (sesuai tingkah laku ikan) dari setiap kelompok species ikan.

34 34 (6) Fasilitas penyimpanan dan pengolahan ikan Sarana ini sangat diperlukan dalam menyimpan dan mengolah ikan, bagi kapal yang melakukan processing secara langsung dilaut, baik ruang pendingin, ruang pembekuan, ruangan pembuat dan penyimpan es bahkan ruangan pengepakan, hal ini dibutuhkan untuk menghindari terjadinya ketidak higenisnya produk dan menjaga sanitasi terhadap produk dari bakteri (terkontaminasi oleh bahan-bahan luar yang mengakibatkan rendahnya kualitas produk). (7) Daya dorong mesin Kemampuan daya dorong mesin akan ditentukan sesuai dengan ukuran kapal yang digunakan dan jangkauan operasi serta alat tangkap yang digunakan. Sebab kemampuan daya dorong mesin dengan volume mesin serta getaran yang dibutukkan harus seimbang. Seperti daya dorong cukup besar, volume mesin dan getarannya harus sekecil mungkin, mesin yang dibutuhkan harus dilengkapi dengan alat Bantu penangkapan demi kelancaran operasi penangkapan. 2.4 Konsep Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Kebijakan berasal dari kata policy yang berupa aturan main atau set of rule of law. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sekalipun pemerintah misalnya tidak membuat kebijakan manun pemerintah mempunyai peranan untuk meligitimasinya. Kebijakan dapat berupa formal law (positive law) dan informal law (written). Kebijakan dapat ditingkatkan dan di sempurnakan dengan melakukan berbagai analisis kebijakan. Terdapat tujuh variasi kegiatan analisis kebijakan ini sekaligus menggambarkan ruang lingkup (scope) analisis kebijakan (Hogwood and gunn, 1986) yakni : (1) Studi-studi isi kebijakan ( studies of policy content). Maksud studi ini adalah menggambarkan dan menjelaskan asal mula serta perkembangan kebijakan. (2) Studi-studi tentang proses kebijakan, yang lebih mengutarakan tahap-tahap yang harus dilalui oleh isu kebijakan pemerintah sebelumnya dengan menilai pengaruh dari usaha-usaha yang dilakukan dari berbagai faktor terhadap perkembangan isu. (3) Studi mengenai out kebijakan (studies of policy outputs) pada umumnya menjelaskan tingkat pengeluaran biaya yang berbeda dari setiap daerah.

35 35 (4) Studi-studi evaluasi (evaluation studies) batas-batas antara analisis kebijakan, untuk melihat dampak dari suatu kebijakan terhadap kelompok sasaran. (5) Informasi untuk pembuatan kebijakan (information for policy making) maksudnya penyusunan dan pengumpulan data guna membantu pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan (6) Proses nasehat (process advocacy), yakni proses penasehatan yang tercermin dalam pelbagai upaya yang dilakukan untuk menyempurnakan mesin pemerintahan melalui relokasi tupoksi guna menetapkan landasan pemilihan kebijakan. (7) Nasehat kebijakan (policy advocacy) kegiatan yang melibatkan analis dalam pemilihan alternatif yang terdesak dalam proses kebijakan baik secara perorangan maupun kelompok/kerjasama. Kebijakan akan dilakukan dengan bertolak pada dasar hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum tidak akan terlepas dengan roda pemerintahan baik dalam menjalankan kebijakan maupun dalam pengambilan keputusan. Hukum adalah seluruh norma-norma hukum yang mengatur hubungan antara seorang, sekelompok orang atau badan hukum, termasuk lembaga pemerintah dengan sumberdaya perikanan tangkapnya. Hubungan ini meliputi hubungan fisik (cara pemanfaatan sumberdaya), hubungan administratif (perizinan) dan hubungan geografis (lokasi penangkapan ikan). Norma-norma hukum ini dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan sesuai tingkatnya dan ditegakkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu keinginan rakyat, suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dan kehidupan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga berakhir dengan penilaian kebijakan (Abidin, 2004). Pengembangan diartikan sebagai suatu upaya untuk selalu maju dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi berubah/meningkat pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi, sosial dan institusional, baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan

36 36 perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat (Tara, 2001 diacu oleh Jusuf, 2005). Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan hingga pemasaran merupakan kegiatan perikanan yang dilakukan dalam suatu bentuk sistem bisnis. Pembangunan nasional diarahkan oleh suatu bentuk kebijakan yang tertuang dalam GBHN 1999 yang pokoknya adalah: 1) Meningkatkan aktivitas perekonomian rakyat yang berorentasi global sesuai dengan perkembangan teknologi yang dibangun secara komporatif demi kesejateran rakyat yang adil dan merata 2) Menumbuhkan ekonomi rakyat yang bertumpuh pada mekanisme pasar dengan daya saing yang sehat dan berkualitas serta mampu melindungi hak-hak konsumen dan seluruh rakyat. 3) Meningkatkan peran pemerintah dalam mengoreksi kondisi pasar yang tidak sehat, mengupayakan kehidupan masyarakat yang lanyak, memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi lebih efisien, dan mengembangkan kebijakan makro dan mikro ekonomi secara sinergis dan terkoordinir. Kebijakan pengelolaan (policy management) mengacu pada upaya yang merupakan suatu bentuk tindakan yang sedemikian rupa (deliberate way) untuk dapat menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir. De Coning (2004) mengatakan analisis kebijakan adalah bagian dari kebijakan pengelolaan yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan dianggap resmi dan pemerintah merupakan bentuk dari suatu kebijakan yang sah dan mempunyai kewenangan dan dapat memaksa kehendaknya untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat. Kebijakan tersebut dibentuk sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat. Hal ini disebabkan agar sumberdaya ikan dapat di kelola dengan baik dan lestari. Nikijuluw (2002), mengatakan bahwa rezim pengelolaan akan selalu berubah sesuai dengan sifat khasnya yang tidak ditemukan pada sumberdaya lain. Kekhasan sifat tersebut dalam pengelolaan terdapat tiga bentuk sifat utama (1) sifat ekskludabilitas, (2) sifat substraktabilitas, dan (3) indivisibilitas. Sifat yang dimiliki pemerintah adalah sifat yang terkait dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses sumberdaya (sifat Ekskludabilitas), oleh karena itu pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang mampu mengendalikan dan mengatur serta melakukan pengawasan yang melibatkan masyarakat. Intervensi atau keterlibatan pemerintah dalam suatu kegiatan ekonomi

37 37 adalah kepentingan umum yang pada akhirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki proses yang berbeda dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda pula dalam implementasinya. Ada empat katagori kebijakan umum menurut (Buck,1996 diacu oleh Nikijuluw, 2002), yakni : 1) Kebijakan distributif (distributive policy) 2) Kebijakan pengaturan kompetisi (competitive regulatory policy) 3) Kebijakan pengaturan perlindungan (protective regulatory policy), dan 4) Kebijakan redistributif (redistributive policy) Keempat katagori kebijakan tersebut kebijakan ditributif dan redistributif adalah kebijakan yang sangat kontroversial, dimana kehendak pemerintah akan selalu bertentangan dengan pelaksanaannya kebijakan sejak perencanaan. Kebijakan ini akan lebih efektif jika dilakukan dalam bentuk kebijakan ekonomi dan finansial. Selanjutnya dikatakan Jentoft,1989 yang diacu oleh Nikijuluw, 2002, bahwa pemerintah ikut mengelola sumberdaya perikanan karena alasan efisiensi, keadilan dan administrasi. Disisi lain partisipasi masyarakat dapat mempengaruhi seluruh proses kebijakan mulai dari perumusan, pelaksanaan dan penilaian kebijakan. Thomas Dye diacu oleh Abidin (2004) menyatakan bahwa kebijakan merupakan pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Secara umun kebijakan dibedakan atas tiga tingkatan yakni kebijakan umum diantaranya adalah mengacu pada bentuk Undang-Undang dan Keputusan Presiden, kebijakan pelaksanaan, merupakan kebijakan yang dibentuk berupa peraturan-peraturan pemerintah maupun daerah dan kebijakan teknis, adalah kebijakan operasional yang dibawahi oleh kebijkan pelaksanaan. Setiap kebijakan akan memiliki isi dan tekanan yang berbeda. Kebijakan umum misalnya lebih menekankan pada isu strategi dan sedikit unsur teknis. Kebijakan teknis lebih menekankan pada unsur teknis dan isu strategis sedikit. Berbeda dengan kebijakan pelaksanaan yang lebih melihat pada perimbangan antara teknis dan isu strategis. Weimer dan Vining (1998) mengatakan produk dari analisis kebijakan adalah saran (advice) yang berorentasi pada pengguna yang berkaitan dengan keputusankeputusan publik berdasarkan nilai-nilai sosial.selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan sebagai proses sintesa informasi, termasuk hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan

38 38 suatu rekomendasi opsi disain kebijkan publik. Agar sumberdaya perikanan dapat di kelola dengan dengan baik dan pemanfaatannyapun optimal maka perlu dilakukan dengan membentuk suatu kebijakan yang rasionalisasi, dengan instrumen-instrumen konvensional yang sering digunakan diantaranya adalah pajak baik pajak terhadap input maupun output perikanan, pembatasan entry (limited entry) maupun kuota. Fauzi (2005) menjelaskan kebijakan konvensional yang dibentuk adalah kebijakan dengan tujuan agar pengelolaan perikanan menjadi lebih rasional. Meskipun secara teoritis ketiga kebijakan tersebut sangat elegan dan relatif sederhana, namun dalam kenyataan sering menimbulkan masalah, khususnya pada penerapan perikanan yang multispecies dan multigear. 2.5 Pengembangan Perikanan Tangkap Perikanan tangkap merupakan aktivitas perekonomian yang meliputi penangkapan atau pengumpulan hewan dan atau tanaman air yang hidup di perairan laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan sama lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, dapat dilihat pada Gambar 2 yakni : (1) Masyarakat; (2) sarana produksi; (3) usaha penangkapan; (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; (6) unit pemasaran; dan (Kesteven 1973 yang dimodifikasi oleh Monintja, 2001) yang terlihat pada Gambar 2. (1) Sumberdaya Manusia Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat dibutuhkan sumberdaya manusia yang cukup tangguh, handal dan profesional. Untuk memperoleh tenaga-tenaga yang trampil dalam penguasaan teknologi. Maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap sumberdaya manusia yang merupakan langkah awal yang harus diperhatikan sehingga dalam pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan dapat berjalan optimal. (2) Sarana Produksi Indikator utama dan merupakan penunjang kearah berkembangnya usaha perikanan tangkap sangat bergantung pada fungsi sarana produksi yang tersedia. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan

39 39 kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (Kesteven, 1973). (3) Usaha Penangkapan/Proses Produksi Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat dan nelayan, aspek legal yang meliputi sistem informasi dan unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat dan lingkungan fisik. Membangun Membuat Menyelenggarakan MASYARAKAT Konsumen Modal Teknologi Pembinaan EKSPOR Transportasi Devisa Domestik Dijual SARANA PRODUKSI UNIT PEMASARAN Galangan Kapal Membayar Distribusi Pabrik Alat Penjualan Diklat Tenaga Kerja Segmen Pasar PROSES PRODUKSI UNIT PENANGKAPAN Produk Kapal PRASARANA Dijual Alat PELABUHAN Oleh Nelayan Diolah UNIT PENGOLAHAN ASPEK LEGAL Menangkap Handling Sisitem Informasi Processing Packaging UNIT SUMBERDAYA Spesies Habitat Hasil Tangkapan Musim/Lingkungan Fisik Didaratkan Gambar 2. Sistem agribisnis perikanan tangkap (Kesteven, 1973 dimodifikasi oleh Monintja, 2001). (4) Prasarana Pelabuhan Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) diacu oleh Lubis (2000), pelabuhan perikanan adalah pusat pengembangan ekonomi ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran.

40 40 Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. Keputusan bersama Mentan dan Menhub (Pasal 1) No. 493/KPTS/IK.410/7/96 dan No. SK.2/AL.106/PNB-96 menyatakan bahwa pelabuhan perikanan sebagai prasarana perikanan adalah tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas di darat dan di perairan sekitarnya, untuk digunakan sebagai pangkalan operasional, tempat berlabuh, bertambat, mendaratkan hasil, penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan. (5) Unit Pengolahan Unit pengolahan terdiri dari handling atau penanganan, processing dan packaging. Bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan dengan melakukan penanganan yang tepat dan mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higenis dan terhindar dari sanitasi. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern /menggunakan es, atau alat pendingin lainnya (Moeljanto, 1996). (6) Unit Pemasaran Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Dalam proses produksi penangkapan ikan terdapat komponen-komponen yang kompleks demi keberhasilan diantaranya perlu dilakukan analisis terhadap beberapa aspek penting diantaranya adalah sebagai berikut (Monintja, 2001) : (1) Analisis aspek pemasaran meliputi : 1) Demand masa kini dan lampau (trend volume penjualan, harga dan pembeli) 2) Permintaan dan harga dimasa datang (pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, elastisitas pendapatan dan komonitas substitusi) 3) Persaingan pasar (lokal, nasional dan internasional) 4) Rencana kebijakan pemasaran.

41 41 (2) Analisis sumberdaya ikan (SDI) meliputi : 1) Deskripsi daerah penangkapan ikan 2) Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) 3) Hasil tangkapan spesies terkait selama 5 tahun sampai 10 tahun terakhir 4) Kecenderungan catch per unit effort 5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim 6) Mobilitas ikan (ruaya dan migrasi) 7) Karakteristik komersial dari ikan (ukuran) 8) Proyeksi hasil tangkapan tahunan dari proyek 9) Peluang pengembangan produksi (3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan meliputi : 1) Kapal penangkapan ikan 2) Alat penangkapan ikan 3) Tenaga kerja / nelayan 4) Bahan untuk operasi penangkapan 5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan 6) Pola operasi (lama 1 trip, hari navigasi, hari operasi, hari darat/pelabuhan, hari dok, jumlah trip per tahun, variasi daerah penangkapan dan variasi musim) 7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, HT per hari, HT per trip, HT per tahun) 8) Penanganan hasil tangkapan di kapal 9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan 10) Fasilitas pendaratan ikan (4) Aspek organisasi dan manajemen meliputi : 1) Aspek legal perusahaan 2) Aspek legal proyek 3) Struktur organisasi yang ada 4) Rencana struktur organisasi proyek 5) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain 6) Struktur manajemen per komponen 7) Uraian tugas setiap personel 8) Uraian tanggung jawab dan kewenangan

42 42 9) Pendapatan dan insentif karyawan / personel armada penangkapan ikan 10) Fasilitas dan kemudahan untuk para karyawan 11) Kualifikasi dan pengalaman personel yang ada 12) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut. (5) Analisis kepekaan 1) Penurunan produksi (5 25 %) tergantung pada pola musim ikan, kondisi fisik daerah penangkapan dan CPUE) 2) Penurunan harga produk (trend harga runtun tahun) Hermawan, 2006 mengatakan perikanan Tangkap adalah suatu kegiatan yang sangat bergantung pada ketersediaan dan daya dukung sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang tepat dan baik dengan mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan akan mampu meningkatkan pertumbuhan industri perikanan yang sehat. 2.6 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Pengembangan usaha perikanan adalah suatu bentuk proses atau kegiatan manusia dalam meningkatkan produksi di bidang perikanan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan nelayan melalui peneratapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Dalam pengembangan perikanan ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh seperti: 1) Aspek biologi, hal ini berkaitan dengan sumberdaya ikan, penyebarannya, komposisi dan jenisnyanya 2) Aspek teknis, hal ini terkait dengan sarana dan prasarana pendukung, seperti unit armada (kapal, alat tangkap dan nelayan), jumlah TPI, PPI dan pelabuhan sebagai tempat pendaratn ikan 3) Aspek sosial, hal ini terkait dengan sistem kemitraan, kelembagaan dan tenaga kerja yang berdampak pada nelayan 4) Aspek ekonomi yang tidak terlepas dengan hasil produksi dan pemasaran yang berdampak pada pendapatan bagi stakeholder. Usaha perikanan tangkap merupakan keterkaitan antar faktor-faktor atau elemen-elemen yang bekerja dalam sebuah sistem yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan hal ini sangatlah kompleks. Monintja (2001) menyatakan

43 43 apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Selain itu untuk menyediakan produksi perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting maka akan lebih baik jika di pilih unit penangkapan yang produktivitasnya tinggi namun ramah terhadap lingkungan. Usaha perikanan tangkap merupakan bentuk dari suatu industri perikanan kompetatif. Industri ini memiliki ciri tersendiri yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat waktu, tepat tempat dan tepat hukum (Monintja, 2005) Pengembangan jenis teknologi di Indonesia diarahkan sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 2004, tujuan pembangunan perikanan harus disepakati dengan syarat-syarat pengembangan teknologi yang dapat menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok produksi, menghasilkan produksi yang bermutu dan tidak merusak lingkungan khususnya sumberdaya ikan. Pengelompokan skala usaha perikanan, jenis alat tangkat pancing dan purse seine merupakan alat tangkap yang umum digunakan oleh rakyat yang skalanya sangat kecil, sarana dan prasarananyapun terbatas, hal ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha. Kegiatannyapun bersifat tradisional hal ini akan berdampak pada rendahnya produksi sehingga akan mempengaruhi daya saing (Monintja, 2001). Modal yang besar sangat dibutuhkan oleh suatu industri perikanan. Produksi per upaya tangkap tidak dapat diimbangi oleh perikanan rakyat, sarana dan prasarana yang memadai, hasil tangkapan yang lebih baik, penguasaan pasar baik. Namun sangat diharapakan industri perikanan akan mampu membangun perekonomian nasional dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2.7 Analisis Pengembangan Analisis pengembangan adalah analisis yang disusun berdasarkan analisisanalisis yang telah dilakukan sebelumnya, dalam analisis pengembangan ini akan dilihat dari sejumlah alternatif yang ditawarkan, alternatif mana saja yang mungkin untuk dikembangkan (Rumajar et al., 2002). Dalam proses pengambilan keputusan atau pemilihan alternatif kebijakan dalam suatu proses pengembangan digunakan metode Analitical Hierarchi Process (AHP).

44 44 AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menentukan skala ratio baik pembandingan pasangan yang diskrit maupun kontinyu (Mulyono, 1991). Saaty (1991) menyatakan bahwa Analitical Hierarchi Process (AHP) merupakan suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah. Metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. AHP dapat berfungsi dengan baik selama pemakai memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah yang dihadapi. Selanjutnya dinyatakan bahwa, kekuatan AHP terletak pada struktur hierarki yang memungkinkan dimasukkannya semua faktor penting dan mengaturnya sampai ketingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan untuk menunjukkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama elemen yang lain tergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemen-elemen yang berada setingkat dibawahnya. AHP memberikan kerangka yang memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif untuk persoalan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat pengambilan keputusan. Pada dasarnya metode AHP memecah suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesa berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi (Saaty, 1991). Mulyono (1991) menyatakan bahwa, penetapan prioritas berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Langkah pertama untuk menyusun prioritas adalah membandingkan kepentingan relatif dari masing-masing unsur dan menduga prioritas untuk sub faktornya. Sintesis prioritas dilakukan untuk mendapatkan prioritas menyeluruh subsektor dan langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan menyeluruh untuk masing-masing faktor.

45 2.8 Ketentuan-ketentuan dalam CCRF FAO yang berkaitan dengan pengelolaan kapal ikan Pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab Code of Conduct for Responsible Fisheries) bertujuan untuk menyiapkan suatu prinsip baik secara biologi, fisik, teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan dan komersial, penerapan secara nasional, untuk dapat memperbaiki dokumen yang belum lengkap, mengeliminir kegiatan secara internasional, mempromosi sumberdaya aquatik, pendayagunaan dan produksi baik jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam mengelola perikanan tangkap dalam hal ini pengelolaan akan kapal ikan diatur dalam pedoman tersebut yang dituangkan dalam Pasal 8.4 tentang operasi penangkapan yang patut ditaati oleh semua negara yang berkepentingan (FAO, 1995) diantaranya : 1. Pedoman untuk semua negara 1.1 Penetapan persyaratan bagi Negara berkepentingan untuk mendorong penangkapan ikan yang bertanggung jawab, meliputi: a) Keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penangkapan ikan yang harus diakui dan dapat menjamin kelestarian sumberdaya perikanan untuk jangka panjang (pasal 8.4.1) b) Mampu meningkatkan pendapatan, memungkinkan langkah konsevasi dalam pengelolaan yang tidak memberikan dampak cost yang relative tinggi (pasal 8.4.4) c) Mampu menjalankan kebijakan kebijakan yang diturunkan dan menjaga keselamatan dan kesehatan (standar keselamatan dan kesehatan bagi tiap orang yang dipekerjakan /nelayan dan kapal ikan, hal ini megacu pada kode FAO/ILO/IMO) dalam operasi penangkapan. Persyaratan ini harus dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (penetapan melalui Undang-Undang, 45 Kepmen atau pemilik kapal wajib memberikan asuransi kesehatan dan keselamatan jiwa bagi anak buah kapalnya) yang dirumuskan dalam suatu bentuk kebijakan dengan melibatkan berbagai pihak terkait. (pasal ) 1.2 Otorisasi menangkap ikan (pasal 8.1.2) a) Untuk perairan yang berada dibawah yurisdiksi kapal penangkap harus memiliki surat izin (seperti Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), surat

46 46 Izin Usaha Penangkapan (SIUP), Surat Izin Kapal Penangkap dan pengangkut Ikan (SIKPPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) yang menjamin operasi penangkapan ditetapkan dengan Kepmen No. 805/kpts/IK.120/12/95 tentang ketentuan kapal penggangkut ikan dan PP RI No. 15 tahun 1990 tentang usaha perikanan. b) Otorisasi menangkap ikan harus sah (resmi atau memiliki izin Penangkapan) dan rincian kegiatan (aktivitas penangkapan yang tercatat seperti tempat beroperasi/ daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan, lamanya waktu trip penangkapan jumlah ABK) serta informasi teknis kapal (volume kapal (GT), sistem navigasi, kapasitas kapal (ton) volume palka dsbnya) harus lengkap dan jelas. c) Persyaratan mengenai daerah penangkapan (daerah tempat operasi penangkapan bukan daerah yang mengalami over fishing atau kawasan konservasi), species target (jenis/ukuran ikan yang menjadi sasaran penangkapan harus standar) dan quota (jumlah yang dialokasikan) baik itu kapal, nelayan, tipe alat tangkap dan peralatan lainnya harus mendapat izin (yang termasuk/tercatat dalam dokumen izin (SIPI), waktu operasi (lama hari navigasi) dan pembatasan jaminan tercatat (masa berlakunya izin/sipi). d) Sistem pemantauan, pengendalian dan pegawasan aktivitas penangkapan termasuk didalamnya pelimpahan kekuasaan dan penegakan hukum 1.3 Pendidikan pelatihan dan sertifikat (pasal 8.1.7) a) Semua pihak yang berkepentingan wajib mempekerjakan tenaga yang professional (tenaga kerja yang terampil, terdidik dan terlatih seperti lulusan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) dan Sekolah Pembangunan Perikanan (SPP) dan mampu (keahlian dibidang perikanan dan sistem navigasi kapal) menjalankan sistem dan program serta ketentuan yang telah ditetapkan b) Tenaga kerja wajib mendapatkan kesempatan (bagi tenaga kerja/abk yang belum memiliki sertifikat keahlian wajib mengikuti pelatihan khusus atau bagi tenaga kerja yang sudah memiliki/pernah mengikuti pelatihan keterampilan dalam operasi penangkapan perlu ditingkatkan

47 47 melalui pelatihan-pelatihan/pendidikan pada level yang lebih tinggi) dalam berbagai pelatihan keterampilan yang dapat menunjang aktivitas penangkapan yang ditandai dengan pemberian sertifikat (tanda kelulusan dalam pelatihan/pendidikan yang sah/resmi serta berstandar Internasional. c) Dokumen wajib disimpan dan dicatat dalam suatu bentuk format berbagai informasi seperti rincian dari otoritas penerbit, sertifikat tentang uraian disiplin ilmu, keabsahannya identitas diri dan status dalam hal ini jabatan/tanggal pengesahannya d) Penyesuaian dokumen distandarkan secara Internasional e) Dalam hal kelalaian atau pelanggaran setiap pihak harus dapat memberikan jaminan atas hak pemcabutan (dalam izin yang dikeluarkan harus tertera sangsi pelanggaran diantaranya izin yang dikeluarkan dicabu/tidak diberlakukan sejak pelanggaran tersebut diproses) bahkan pembekuan izin otorisasi (pemberi izin/yang mengeluarkan izin). f) Harus ada kerjasama diantara pihak yang berkepentingan dalam memberikan informasi. 1.4 Keselamatan Untuk mengintegrasikan operasi penangkapan ikan yang berkelanjutan maka pihak-pihak berkepentingan harus mampu membentuk suatu sistem pencarian dan penyelamatan yang baik (SAR), agar terciptanya suatu keseimbangan maka ukuran dan tipe armada dalam suatu operasi penangkapan harus diperhatikan. Sistem informasinya harus dirancang dengan baik. 2. Pedoman untuk negara bendera a) Alokasi bendera, otorisasi untuk menangkap ikan dan dokumen setiap kapal menangkap ikan harus mendaftarkan kapalnya pada suatu negara sehingga kapal tersebut mempunyai dokumen tentang izin berlayaran dan penangkapan ikan dengan hak mengibarkan bendera (kapal yang melakukan aktivitas penangkapan pada suatu negara atau bukan negaranya dan telah melakukan pendaftaran pada negara tersebut maka kapal tersebut berhak untuk menggunakan bendera negara tempat mendaftar/ negara pemberi izin operasi

48 48 penangkapan) dari suatu negara. Dokumen tersebut dapat memuat juga tentang informasi kelaikan kapal, pelaporan posisi kapal, hasil tangkapan ikan yang dimuat dan hasil tangkapan yang dibuang b) Pemeliharaan kapal penangkap ikan dan survey yang diwajibkan artinya pemerintah wajib (pemerintah harus melakukan pelayan atas kebutuhan kapal yang membutuhkan bantuan seperti pengisian air, bahan bakar, kebutuhan bahan makanan dan perlengkapan perbengkelan) memberikan pelayanan kepada kapal penangkap ikan dan kapal survey yang memiliki surat izin pelayaran apabila berlabuh ( memasuki perairan suatu negara/pelabuhan). c) Pelaporan posisi penangkapan ikan Dimana semua kapal ikan wajib menyimpan laporan/jurnal penangkapan ikan dalam bentuk log book (jurnal penangkapan ikan dan navigasi) dengan benar dan secara teratur, melaporkan posisi kapal kepada otoritas yang berwenang. d) Penandaan kapal dan alat penangkapan ikan, dimana semua kapal ikan berbendera diberi tanda sesuai spesifikasi standart dan pedoman yang disetujui oleh komite perikanan FAO. Alat tangkap pun demikian sesuai peraturan dan perundang-undangan nasional agar mudah teridentifikasi pemiliknya. e) Keselamatan kapal penangkap ikan Semua negara wajib menetapkan standart keselamatan bagi semua ukuran dan tipe kapal ikan dengan memperhatikan ketentuan konvensi Internasional Teremolinos untuk keselamatan kapal ikan dan protocol 1993, kode FAO yang mengatur tentang perikanan secara umum/ilo yang mengatur tentang tenaga kerja dalam industri perikanan/imo yang mengatur tentang keslamatan jiwa di laut, kapal dan peralatan, serta perlengkapan diatas laut. tentang disain konstruksi termasuk peralatan kapal ikan yang berukuran kecil.(unus F., dkk 2005). f) Pelatihan dan sertifikat, dimana setiap awak kapal ikan wajib memiliki keahlian dan sertifikat keahlian yang sah dan diakuai secara internasional. g) Akses ke asuransi, dimana pihak yang berkepentingan dalam operasi penangkapan ikan wajib menanggung asuransi jasa pemeliharan keseimbangan lingkungan perairan dari dampak pencemaran.

49 49 h) Pemulangan anak buah kapal, negara bendera wajib menjamin hak untuk pulang/mendarat bagi setiap anak buah kapal. 3. Pedoman untuk Negara Pelabuhan. a) Bantuan kepada negara asing, dimana negara pelabuhan wajib memberikan bantuan pelayanan yang sama kepada setiap kapal berbendera asing/pelayanan yang bersifat internasional. b) Inspeksi oleh suatu negara pelabuhan, dimana negara pelabuhan wajib memeriksa dokumen kapal penangkap ikan dan anak buah kapal serta muatan pada sat memasuki pelabuhan. c) Penahanan, dimaksud negara pelabuhan mempunyai hak untuk menahan kapal ikan yang tidak taat/melanggar aturan yang telah ditetapkan pada pelabuhan tersebut d) Keabsahan sertifikat dan otorisasi menangkap ikan, maksudnya apabila dokumen yang masa berlakunya telah berakhir pada saat berada di laut segera memberitahukan/ menginformasikan ke negara bendera untuk diperpanjang. e) Kapal penangkap ikan tidak berkebangsan artinya apabila ditemukan kapal ikan yang memiliki dua bendera/dokumen maka kapal tersebut dapat ditahan/dijual oleh negara pelabuhan f) Pelatihan dimaksud negara-negara yang memiliki pelabuhan wajib bekerjasama dengan menggunakan pelatihan standart untuk para inspektur dan surveyor. 4. Pedoman untuk Pengawasan Perikanan a) Kapal pengawas perikanan Kapal pengawas perikanan mempunyai hak untuk menangkap (wewenang untuk menahan petugas pengawas di tunjuk dengan suatu bentuk keputusan direktur perikanan tangkap dalam juknis operasional bagi pengawas kapal ikan No. IK.420/S3.3996/94) kapal ikan dan memeriksa dokumen apabila diketahui melanggar peraturan yang berlaku di negara tersebut dan kapal pengawas perikanan harus memiliki dokumen yang berisi kewenangan untuk melaksanakan tugas pengawasan di ZEE atau lepas pantai b) Petugas pengawas perikanan

50 50 Mempunyai kewenangan antara lain menghentikan kapal yang melanggar aturan, menahan dan memeriksa kapal yang dicurigai melanggar, menyita setiap alat tangkap ikan dan peralatan lainnya dan kewajiban lainnya adalah berhak memberikan penyuluhan kepada nelayan tentang pengelolan perikanan yang bertanggung jawab c) Kapal penangkap ikan tidak berkebangsaan Kapal yang tidak berkebangsaan atau tidak memiliki dokumen jelas atau pemalsuan dokumen dapat dikawal oleh petugas kapal pengawas ke pelabuhan d) Strategi tanpa kekuatan Maksudnya pengawasan tanpa penegakan hukum dengan menempatkan petugas pegawas pada kapal-kapal penangkap ikan. 5. Pedomam Untuk Kegiatan Penangkapan Ikan a) Alat Penangkap Ikan Pemerintah wajib menetapkan kebijakan tentang alat yang diizinkan dalam penangkapan ikan, pengendalian alat tangkap pasif dan aktif sehingga tidak mengancam kelestarian stok ikan dan ekosistemnya b) Sikap perilaku kapal penangkap ikan Mentaati kaidah-kaidah internasional untuk pencegahan terjadinya tabrakan dilaut dan tidak membuang limbah yang membahayakan biota perairan aquatic c) Catatan tentang kegiatan kapal ikan dimana kapal penangkap ikan harus memiliki log book dan melaporkan kepihak yang berkewenangan d) Pemeliharaan hasil tangkapan artinya mutu hasil tangkapan harus diperhatikan mulai dari processing, handling dan packing yang standart e) Jaminan asuransi, para pemilik kapal ikan wajib menyediakan asuransi perlindungan (kecalakaan/kematian) bagi setiap anak buah kapal f) Pemindahan muatan, dalam hal ini pemindahan hasil tangkapan diatur dan perlu dicacat dalam log book agar mudah dalam pengontrolan dan pengawasan pengelolaan dan konservasi.

51 2.9 Strategi Pengelolaan Perikanan Yang Memperhatikan Armada Perikanan Sebagai Input 51 Penangkapan ikan merupakan kegiatan yang dapat memberikan sumbangan dalam ketersediaan bahan pangan (sumber protein) yang utama bagi manusia dan sebagai penyedia lapangan pekerjaan serta keuntungan ekonomi. Sumberdaya tersedia secara alami, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam suatu dinamika pembangunan yang membutuhkan sumberdaya akuatik sebagai pendukung, maka sesuai dengan sifat sumberdaya yang dapat diperbaharui namun terbatas, perlu dilakukan pengelolaan secara tepat. Akibat dari pemanfaatan akan sumberdaya yang tidak terbatas dalam menopang pembangunan ekonomi maka FAO menetetapkan sebuah ketentuan pelaksanaan (Code of Conduct) dalam suatu bentuk konferensi Internasional tentang Penangkapan Ikan Yang Bertanggung jawab (International Conference on Responsible Fisheries) pada tahun 1992 di Cancun. Aturan tersebut wajib di ratifikasi oleh setiap negara berkepentingan diantaranya negara berkembang termasuk Indonesia. Bentuk nyata dari kepedulian Indonesia akan pentingnya sumberdaya dimasa yang akan datang maka dibentuklah UU yang mengatur tentang Perikanan, produk terakhir yaitu UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Pengelolaan perikanan dalam UU No. 31 tahun 2004 mendefinisikan bahwa semua upaya, termasuk proses informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang undangan dibidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah/otoritas lainnya yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan sesuai tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan tersebut bersifat integrated/terpadu sehingga usaha perikanan dapat berkelanjutan. Implementasi dari UU 31 tahun 2004 ini mengacu pada ketentuan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries, pasal tentang pengelolaan Perikanan yang harus memperhatikan keberlanjutan sumberdaya (kelestarian sumberdaya hayati laut) sehingga dapat dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang panjang yang dititik beratkan pada konservasi dan pengelolaan dengan memperhatikan faktor lingkungan dan ekonomi yang selalu berada dalam keseimbangan. Pasal Langkah-langkah yang ditempuh guna mempertahankan ketersediaan akan sumberdaya antara lain dengan melakukan pengendalian

52 52 penangkapan yang berlebihan dan pengeksploitasian stock tetap layak secara ekonomi. Kondisi ekonomi yang mendasari beroperasinya industri penangkapan yang bertanggung jawab, kepentingan nelayan diperhatikan perlindungan sumberdaya hayati di kawasan konservasi yang dilindungi, pemulihan stock ikan, dan pencegahan dampak pencemaran yang merusak lingkungan, Selanjutnya dalam pasal 7.6 di sebutkan tentang langkah-langkah pengelolaan yang memastikan dan mengharuskan/mewajibkan setiap negara untuk tingkat penangkapan yang diizinkan sepadan dengan status sumberdaya perikanan, kapal-kapal yang akan melakukan aktivitas penangkapan ikan harus mendapat izin penangkapan dari otoritas yang berwenang dan taat pada peraturan yang ditetapkan otoritas tersebut, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi para nelayan beroperasi dalam mekanisme pemantauan kapasitas armada penangkapan yang bertanggung jawab, penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dan menjaga konflik antar para nelayan yang menggunakan kapal, alat tangkap dan metode yang berbeda. Implementasi aturan dalam bentuk kebijakan yang disusun dalam suatu perencanaan yang melihat potensi dan peluang serta melibatkan kepedulian semua stakeholder dituangkan dalam program dan strategi pengelolaan yang bertanggung jawab yang merupakan paradigma pengeloaan yang efektif dan efisien. Untuk mengelola perikanan yang baik maka ditemukan teknik pengelolaan perikanan disajikan pada tabel 1. Penutupan area penangkapan dan penutupan musim penangkapan/ pengaturan musim penangkapan dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya over fishing, yang pada akhirnya sumberdaya hayati laut menjadi minim bahkan punah. Selain itu untuk memberikan kesempatan bagi species-species dapat bertumbuh dan berkembang kembali. Atau dengan kata lain agar sumberdaya yang ada dapat dilestarikan dan berkelanjutan (pasal 7 ayat 2 poin 1, tentang tujuan pengelolaan yang bermaksud dapat memperbaiki dan mempertahankan stok ). Pembatasan alat tangkap yang beroperasi juga merupakan upaya untuk mengurangi degradasi sumberdaya dan memberikan peluang hidup dari ikan tertentu (mortalitas rendah atau natalitas tinggi) serta meminimumkan jumlah by catch dan discart (selektivitas alat tangkap (baik terhadap ukuran dan jenis)) yang diatur dalam CCRF pasal 8.5). Batasan penangkapan yang

53 53 ditetapkan dengan pengalokasian sumberdaya yang diperbolehkan (JTB/TAC) dengan tujuan ketersediaan sumberdaya (stok) tetap berkesinambungan. Tabel 1. Teknik pengelolaan perikanan. No regulasi pengaruh yang diharapkan pengaruh yang tidak diharapkan 1 penutupan perlindungan terhadap waktu efisiensi penangkapan rendah, area pemijahan ikan, juvenil dan intensitas penangkapan ikan diluar 2 penutupan pencegahan fiksi sosial daerah dan musim tertutup akan musim meningkat dan sumberdaya yang penangkapan mubazir 3 batasan ukur- peningkatan biomassa stok peningkatan ukuran dan jumlah an minimum ikan (pertumbuhan ikan kecil) alat tangkap dan ikan kecil yang 4 pembatasan terbuang dan mati (tidak tercatat) ukuran mata jaring 5 pembatasan peningkatan stok ikan dan pen- hanya untuk kepentingan kelomalat tangkap cegahan by catch pok nelayan perikanan tertentu dan menghalangi kegiatan per- 6 masa per- ikanan lainnya cobaan metode penangkapan 7 aturan penekanan mortalitas penang- berlebihnya armada yang sulit penangkapan kapan ikan (peningkatan pe- diatur dan persaingan tidak sehat milihan stok) karena catching rate berbeda 8 batasan total tangkapan 9 proteksi induk peningkatan produksi efisiensi penangkapan rendah ikan 10 pembatasan pencegahan konsumsi jenis tidak tercatat jumlah produksi pendaratan ikan ukuran tertentu IUU fishing ikan Sumber : Cochrane, Salah satu strategi pengelolaan perikanan yang memperhatikan armada perikanan sebagai faktor input adalah sebagai berikut (Cochrane, 2002) : (1) Pembatasan jumlah dan ukuran armada perikanan tangkap (fishing capasity controls)

54 54 Dengan adanya pembatasan jumlah armada maka operasi penangkapan akan optimal, pemanfaatan sumberdaya optimal, pendapatan nelayan akan meningkat dan kemungkinan konflik yang terjadi akan sangat kecil, serta kemungkinan kerusakan akan lingkungan dan sumberdaya sangat rendah. Pembatasan ukuran armada semata hanya untuk memaksimalkan potensi yang ada pada kawasan pantai dan lepas pantai oleh nelayan kecil yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya dengan melakukan penangkapan yang ramah lingkungan (kemampuan alat tangkap yang digunakan dan dampak buangan limbah bahan bakar yang relatif kecil) Implementasi dari pasal 7 ayat 2 poin 2.2.g ; pasal 7 ayat 6 poin 9; pasal 8 ayat 7 dan pasal 8 ayat 8 tentang pencemaran). (2) Pembatasan Jumlah trip penangkapan ikan (fishing usage controls) bertujuan agar tidak terjadi pengurasan sumberdaya dalam jangka waktu yang relatif singkat/jangka waktu yang pendek dan pembatasan terhadap penggunaan jumlah bahan bakar yang diperbolehkan (optimumisasi energi) (implementasi pasal dan 8.6.2). (3) Dengan membatasi jumlah trip penangkapan berarti dapat mengurangi terjadinya over fishing, dan mampu meminimkan jumlah produksi ikan yang bukan sasaran/ bukan ikan target/by catch dan discart (4) Pembatasan ukuran ikan yang menjadi sasaran operasi penangkapan ikan Pembatasan ukuran ikan target merupakan salah satu langkah yang ditempuh agar ikan-ikan ukuran kecil tidak ikut tertangkap sehingga mendapat peluang untuk bertumbuh menjadi dewasa, dalam hal selektivitas alat tangkap terhadap ukuran sangat diperlukan (5) Pemberlakuan kuota penangkapan yang dialokasikan menurut alat tangkap, kelompok nelayan atau daerah penangkapan ikan. Bertujuan agar ekploitasi sumberdaya ikan tidak berlebihan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan. (6) Penegakan hukum (pemberian hukum harus secara tegas) bagi setiap pelanggar ketentuan. Hal ini bertujuan untuk menekan tingkat penyalahgunaan sumberdaya atau kegiatan penangkapan yang merusak lingkungan.

55 Konsep Kelembagaan Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal ikhwal tentang suatu lembaga atau suatu organisasi kelembagaan, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undangundang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Hal ichwal tentang lembaga tersebut meliputi: (1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (2) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan itu sendiri. (3) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (4) Sumber daya manusia sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (5) Sumber daya manusia sebagai the man behind the gun yang memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (6) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. (7) Jejaring kerja antar organisasi kelembagaan. (8) Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. Hal ikhwal tentang lembaga yang pertama sampai dengan yang kelima merupakan aspek statik (static aspects) dari kelembagaan yang disebut tata kelembagaan atau institutional arrangement (ia), sedangkan hal ichwal tentang lembaga yang keenam, ketujuh dan kedelapan merupakan aspek dinamik (dynamic aspects) dari kelembagaan yang disebut sebagai kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan atau institutional framework (if). Dalam kaitan ini, (if) dapat dipahami sebagai (ia) dalam keadaan bergerak atau bekerja (Purwaka, 2003). Struktur kelembagaan (institutional structure) terbentuk oleh komponenkomponen yang menyebabkan suatu lembaga itu ada (exist), dapat berdiri dan

56 56 berfungsi. Keberadaan suatu organisasi kelembagaan sangat ditentukan ada tidaknya tujuan, dan berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan. tatanan atau aturan yang harus dipatuhi akan menjadi suatu dasar dalam membangun suatu organisasi. Tanpa adanya aturan, suatu lembaga bukanlah suatu organisasi kelembagaan. Oleh karena itu suatu organisasi kelembagaan tidak akan dapat berdiri tanpa aturan. Komponen penggeraknya, yaitu sumber daya manusia, yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Jadi, komponen utama dari suatu organisasi kelembagaan yakni adanya tujuan, aturan, sarana dan prasarana, serta adanya sumber daya manusia yang menjalankan organisasi kelembagaan tersebut. Struktur kelembagaan dari suatu organisasi kelembagaan sebagaimana terdiri dari 2 (dua) sub-struktur utama, yaitu tata kelembagaan (ia) dan kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan (if). Masing-masing sub-struktur kelembagaan tersebut mengandung komponen-komponen kapasitas potensial (potential capacity), daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (absorptive capacity). Lembaga adalah lembaga-lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumberdaya perikanan laut secara terpadu. Dengan dasar hukum yang ada baik nasional maupun internasional akan sangat membantu bentuk pengelolaan yang ada dalam mengembangkan perikanan tangkap. Dengan mengatur jalur dan zona-zona yang diperbolehkan untuk aktivitas penangkapan akan sangat membantu mekanisme pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Menurut Djalal dan Purwaka, (2005), terdapat 8 rejim wilayah yang diatur dalam ketentuan konvensi hukum laut dalam negeri, yakni ; 1) Perairan pedalaman (internal waters) 2) Perairan nusantara (artipelagic waters) 3) Laut teritorial (territorial water) 4) Zona tambahan (continguous zona) 5) Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI) 6) Laut lepas (haig seas) 7) Landasan kontinen (continental margin) 8) Dasar laut Internasional (seabelt authority)

57 57 Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Pengelolaan yang baik menurut Purwaka, (2003) melakukan pendekatan Triangle Integrated yakni Resources based (RB), Comunity based Management (CBR) dan Market Based (MB) ketiga pendekatan ini harus utuh sehingga interaksi antara hukum dan kelembagaan dapat berjalan dengan baik. Kelembagaan di pandang dari prespektif ekonomi maka kelembagaan akan beroperasi dalam level makro dan mikro. Pada level makro kelembagaan merupakan rule of the game yang mempengaruhi perilaku dan keragaan dari pelaku ekonomi dan hal ini menjadi dasar dari suatu aturan mendasar mengenai politik, sosial dan legal yang mendasar dari proses produksi, pertukaran dan distribusi, sedangkan level mikro, kelembagaan merupakan suatu institutional arragement yang lebih mengedepankan aspek institutional of governance, bagaimana proses bersaing dan bekerjasama (Williamson, 2000 yang diacu Fauzi, 2005) Pembagian rejim wilayah ini akan sangat membantu bagi setiap pihak yang ingin melakukan kegiatan eksploitasi pada suatu perairan. Pembagian zona akan sangat membantu dalam pengoperasian kapal-kapal (armada) perikanan. Pengaturan besaran/ukuran kapal dengan besaran kekuatan mesin serta besarnya ukuran alat tangkap akan sangat mempengaruhi jumlah produksi yang akan dihasilkan. Dengan jumlah sumberdaya yang terbatas dan kegiatan eksploitasi yang tidak terbatas akan memberikan dampak yang negatif bagi suatu keberlanjutan usaha. Agar dapat optimal maka pelaksanaan operasi penangkapan harus selalu diatur dalam suatu bentuk manejemen yang terkontrol mulai daya daya dukung sumberdaya maupun daya tampungnya. Potensi yang ada akan selalu mendukung kegiatan industri namun tidak terlepas dari hukum yang ada. Oleh sebab itu sangat diperlukan suatu bentuk kerjasama yang baik antara pemerintah dan stakeholder yang ada. Suatu bentuk pendekatan armada yang merupakan suatu klaster manajemen penangkapan ikan dilaut selayaknya dapat dilakukan dengan fleet approach dan bukan pendekatan kapal (vessel approach) artinya nelayan individu dalam suatu perahu (kapal) harus bekerjasama dengan nelayan perahu (kapal) lainnya dalam rangka mencapai efisiensi dan peningkatan produktivitas (Nikijuluw, 2005). Pendekatan ini juga bertujuan untuk menyatukan suatu bentuk organisasi penangkapan yang terkoordinir

58 58 mulai dari pangkalan didarat maupun melalui kapal induk (mother boat) yang berfungsi memasok kebutuhan atau menampung hasil tangkapan. Bentuk pendekatan ini adalah suatu bentuk kemitraan yang harus difasilitasi oleh suatu lembaga, sehingga bentuk pengelolaan dapat optimal.

59 3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan desa sampel meliputi kecamatan Kupang Barat, Kupang Timur, Sabu Barat, Raijua, Sulamu, Semau, Amfoang Utara dan Kota Madya, Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran Metode Pengumpulan Data Metode survei dalam penelitian ini akan digunakan untuk Pengumpulan data. Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder, Data primer diperoleh melalui questionnaire. Data sekunder didapatkan melalui penulusuran berbagai pustaka yang ada. Adapun data yang dikumpulkan meliputi : (1) Data potensi sumberdaya perikanan tangkap; (2) Data nelayan; (3) Data alat tangkap yang digunakan; (4) Data armada penangkapan ikan; (5) Data sosial ekonomi dan budaya; (6) Data kelembagaan; (7) Data peraturan dan perundang-undangan; dan (8) Informasi lainnya yang berkaitan dengan armada perikanan tangkap. Penentuan sampel dimulai dari penentuan kecamatan-kecamatan sampel, diikuti dengan penentuan desa-desa sampel yang dilakukan secara purposif dengan pertimbangan bahwa kecamatan dan desa sampel tersebut merupakan daerah produksi perikanan. Nelayan dan sumber data lainnya diperoleh data dan informasi guna keperluan analisis. 3.3 Metode Analisis Identifikasi permasalahan Identifikasi permasalahan dilakukan dengan pendekatan terhadap sistem armada yang ada yakni Minimnya armada penangkapan ikan, kurangnya modal, jangkauan operasi

60 60 daerah penangkapan dekat pantai, sumberdaya manusia terbatas, rendahnya penguasaan teknologi, kurangnya Kemitraan, kurangnya Peran pemerintah daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurun dan pendapatan nelayan menurun,hal ini merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang dimulai dari identifikasi serangkaian kebutuhan yang terdiri dari faktor-faktor input dan output baik yang terkendali maupun yang tidak terkendali untuk menghasilkan suatu manejemen sistem pengembangan armada yang optimal. Faktor input terkendali diantaranya adalah modal investasi, teknologi pasca panen, modal kredit, unit penangkapan, upaya penangkapan, tenaga kerja, ketrampilan nelayan, komponen biaya, daerah penangkapan ikan, teknologi penangkapan, sedangkan faktor input tidak terkendali adalah Permintaan pasar, harga ikan, stok sumberdaya ikan, musim penangkapan dan faktor oceanografi. Faktor output terkendali adalah Produksi meningkat, meningkatnya pendapatan & kesejahteraan nelayan, penangkapan berkelanjutan, harga relatif stabil/baik, kelayakan usaha perikanan Tangkap, terbukanya lapangan kerja, efisiensi tataniaga, Devisa dan PAD sedangkan faktor output tak terkendali adalah. Pendapatan nelayan menurun, hasil tangkapan berkurang, usaha penangkapan tidak layak, daerah penangkapan terganggu, biaya operasional tinggi, dan tatanan sosial terganggu, faktor-faktor tersebut dituangkan dalam gambar 3. Perihal dalam pendekatan terhadap sistem armada tidak hanya didekati dari satu segi saja namun dari beberapa segi yang dipandang penting untuk mendapatkan pemecahan yang objektif. Pendekatan dari satu segi akan mempunyai peluang yang besar untuk memperlihatkan dampak negatif di masa mendatang. Pendekatan integratif diperlukan untuk mengkaji seluruh faktor guna mendapatkan pemecahan yang optimal. Berdasarkan lingkup kajian yang meliputi segala aspek manajemen yang mempengaruhi pengembangan armada perikanan tangkap, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan sistem terhadap armada dari berbagai hubungan yang komplek. Sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen atau elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisir untuk mencapai tujuan. Dalam pendekatan sistem terdapat dua sifat yang sangat berperan yaitu (1) menentukan semua faktor yang penting untuk pemecahan masalah yang baik dan (2) menggunakan model kuantitatif yang cocok untuk membantu membuat keputusan yang rasional pada beberapa tingkat keputusan (Manetsch and Park, 1977).

61 Diagram input-output ditampilkan pada Gambar 3 dan diagram alir identifikasi dan analisis dalam penelitian ditampilkan pada Gambar Input Lingkungan : 1. Peraturan Pemerintah Pusat/Daerah 2. Iklim/Musim 3. Sosial Budaya Masyarakat Input Tidak Output Dikehendaki : Terkendali : 1. Produksi meningkat 1. Permintaan pasar 2. Meningkatnya pendapatan & 2. Harga ikan kesejahteraan nelayan 3. Stok sumberdaya ikan 3. Penangkapan berkelanjutan 4. Musim penangkapan 4. Harga relatif stabil/baik 5. Faktor oceanografi 5. Kelayakan usaha perikanan Tangkap 6. Terbukanya lapangan kerja 7. Efisiensi tataniaga 8. Devisa 9. PAD Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang Input Output Tidak Terkendali : Dikehendaki : 1. Modal investasi 1. Pendapatan nelayan 2. Teknologi pasca panen menurun 3. Modal kredit 2. Hasil tangkapan berkurang 4. Unit penangkapan 3. Usaha penangkapan tidak 5. Upaya penangkapan layak. 6. Tenaga kerja 4. Daerah penangkapan 7. Ketrampilan nelayan terganggu 8. Komponen biaya 5. Biaya operasional tinggi 9. Daerah penangkapan ikan 6. Tatanan sosial terganggu 10. Teknologi penangkapan Manajemen Armada Tangkap Gambar 3 Diagram input-output pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang.

62 62 Mulai Kajian Pustaka Survey Lapang Deskripsi Perikanan Tangkap Dimasa Kini (present status) : Nelayan Tradisional, armada skala kecil, IPTEK rendah, Produksi dan mutu hasil tangkapan rendah, dan Belum memadainya sarana dan prasarana perikanan tangkap Identifikasi Parameter dan Variabel Terkait SWOT MSY LGP AHP CCRF Strategi Pengembangan Armada Optimal Analisis Finansial Tidak Peningkatan Indikator Kinerja Perikanan Tangkap Ya Pengembangan Armada Terpilih Selesai Gambar 4 Diagram identifikasi dan analisis dalam penelitian

63 Determinasi armada perikanan tangkap Tujuan determinasi armada penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis armada tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, ekonomi dan sosial sehingga merupakan armada tangkap yang cocok untuk dikembangkan, dengan menggunakan metode ini kita dapat melakukan pemilihan armada guna standarisasi armada penangkapan. Metode skoring dapat digunakan untuk penilaian kriteria yang mempunyai satuan berbeda. Skoring diberikan kepada nilai terendah sampai nilai tertinggi. Untuk menilai semua kriteria atau aspek digunakan nilai tukar, sehingga semua nilai mempunyai standard yang sama. Unit armada yang mempunyai nilai tertinggi berarti lebih baik daripada yang lain demikian pula sebaliknya. Untuk menghindari pertukaran yang terlalu banyak, maka digunakan fungsi nilai yang menggambarkan preferensi pengambilan keputusan dalam menghadapi kriteria majemuk. Standardisasi dengan fungsi nilai dapat dilakukan dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) sebagai berikut : V ( X ) X X 0 =...(1) n 1 X X 0 V ( A) = V i ( X ), (i = 1, 2, 3, 4,..., n)... (2) j= 1 dimana : V(X) = Fungsi nilai dari variabel X X X 1 X 0 = Nilai variabel X i = Nilai tertinggi pada kriteria X = Nilai terendah pada kriteria X V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A V 1 (Xi) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i Karena V adalah fungsi nilai yang mencerminkan preferensi pengambilan keputusan, maka alternatif yang terbaik adalah alternatif yang memberikan nilai V(X) tertinggi merupakan armada tangkap yang dipilih untuk dikembangkan di perairan Kabupaten Kupang.

64 Analisis potensi sumberdaya ikan Pada pendugaan potensi sumberdaya ikan dilakukan dengan cara mengolah data hasil tangkapan utama dari berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan dan upaya penangkapan di Kabupaten Kupang. Dinamika sumberdaya ikan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan Model Surplus Produksi. Data yang digunakan berupa data hasil tangkap (catch) dan upaya penangkapan (effort) dan pengolahan data melalui pendekatan Schaefer (Schaefer, 1957 vide Clark, 1985). Hubungan hasil tangkap (catch) dengan upaya penangkapan (effort) dalam bentuk persamaan : 2 q K C = qkf f...(3) r Y 2 = af bf...(4) Perhitungan upaya penangkapan optimum, dilakukan dengan menurunkan persamaan (3) terhadap upaya penangkapan (effort) sebagai berikut : dy df = a 2bf 0= a 2bf a f opt =...(5) 2b Perhitungan nilai potensi lestari (MSY) ditempuh dengan memasukkan persamaan (7) ke persamaan (1), sehingga didapatkan kondisi MSY adalah : dimana : a MSY b C MSY 2 a =... (6) 4b = konstanta (intersep) = koefisien regresi (slope) = hasil tangkapan (catch) = Maximum Sustainable Yield (potensi lestari)

65 Analisis pengembangan perikanan tangkap Analisis SWOT Penentuan strategi pengembangan armada perikanan tangkap dilakukan survei PRA (Participatory Rural Appraisal), dengan menggali sebanyak mungkin informasi yang berbasis masyarakat; pemerintah maupun swasta Hal ini dilakukan untuk mendapatkan solusi pengembangan armada penangkapan ikan yang sesuai dengan kemauan stakeholders perikanan tangkap. Berdasarkan hasil survei PRA ini, kemudian dilakukan analisis SWOT (Rangkuti, 2003). Dalam analisis ini dicoba menggali informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai unsur pelaku (stakeholder). Sehingga ditemukan berbagai kesimpulan dalam suatu matriks mengenai kekuatan (strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threat) untuk ditemukan strategi pengembangannya. Formulasi strategi disusun dengan cara : (1) menentukan faktor-faktor strategis eksternal; (2) menentukan faktor-faktor strategis internal; dan (3) perumusan alternatif strategi, dengan menggunakan matriks Internal-Eksternal (matriks I-E) Analisis Linier Goal Programing (LGP) Analisis pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang dilakukan dengan menggunakan metode Linier Goal Programming (LGP). Metode ini digunakan untuk menentukan jumlah armada perikanan tangkap yang optimal dan dapat dikembangkan dengan batasan sumberdaya ikan dan faktor-faktor teknis dari armada perikanan tangkap tersebut. Siswanto (1990), mengatakan bahwa dalam model goal programming terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala. Variasi tersebut berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai, dimana dalam proses pengolahan model tersebut jumlah variabel deviasional akan diminimumkan di dalam fungsi tujuan. Model goal programming untuk optimasi jenis armada penangkapan menggunakan model matematik: Fungsi tujuan: Z = ( DBi+ DAi) m i= 1 Fungsi kendala-kendala...(7)

66 a a.. a dimana : Z x + a x + a m11 1 DB i DA i Cj b 1 a ij x + a x x a x m 2 2 1n a x 2 n a n x mn n + DB + DB x n 1 + DB DA 2 DA m 1 = b 2 DA = b m 1 2 = b = Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan = Deviasi bawah kendala ke-i = Deviasi atas kendala ke-i = parameter fungsi tujuan ke-j = kapasitas /ketersediaan kendala ke-i m = parameter fungsi kendala ke-i pada variabel keputusan ke-j kendala ke-i = target produksi, MSY, keuntungan, penyerapan tenaga kerja, tingkat konsumsi ikan, PAD dan penerimaan devisa negara Xj = variabel putusan ke-j (jumlah unit penangkapan) Xj, DAi dan DBi > 0, untuk i = 1, 2,., m dan j = 1, 2., n Analisis Hirarki Proses (AHP) Prioritas strategi yang diharapkan akan diperoleh dengan menggunakan analisis AHP (Analisis Hierarchi Process). Langkah pertama yang dilakukan dalam Analitical Hierarchi Process adalah mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang ingin dicapai dan selanjutnya penyusunan struktur hierarki dimulai dari tujuan umum (level 1), dilanjutkan dengan sub tujuan/kriteria (level 2) dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah (level 3). Langkah selanjutnya adalah membuat skala perbandingan, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada dengan beberapa alternatif yang ditawarkan. Skala perbandingan ini di buat berdasarkan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar beberapa alternatif. Dalam pembuatan skala ini diusahakan agar setiap sub kriteria mempunyai skala yang sama sehingga antar satu sub kriteria dengan sub kriteria yang lain dapat dibandingkan. Lebar dan jumlah skala yang dibuat disesuaikan dengan kemampuan untuk membedakan dari setiap level, yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Analisis perbandingan secara menyeluruh merupakan analisis perbandingan dari dua 66

67 67 kriteria utama yang digunakan dalam analisis ini. Dalam analisis perbandingan ini digunakan sistem perbandingan berganda dengan analisis matrik. Sistem pembobotan pada skala perbandingan pada analisis antar kriteria menggunakan tabel panduan skala perbandingan (Saaty, 1991). Sistem penilaian ini berdasarkan taraf relatif pentingnya suatu kriteria dibandingkan dengan kriteria lainnya (Tabel 2). Tabel 2 Skala banding secara berpasang berdasarkan taraf relatif pentingnya (Saaty, 1991) Intensitas Defenisi Penjelasan Pentingnya 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangkan sifat Sama besar pada sifat itu 3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting dibandingkan elemen sedikit menyokong satu elemen yang lainnya atas lainnya 5 Elemen yang satu esensial atau Pengalaman dan pertimbangan sangat penting dibanding elemen dengan kuat menyokong satu yang lainnya elemen atas elemen lainnya 7 Suatu elemen jelas lebih penting Suatu elemen dengan kuat di Dari elemen lainnya sokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek 9 Satu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen ketimbang elemen yang lain yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan Kompromi diperlukan antara dua yang berdekatan pertimbangan Kebalikan Jika satu aktivitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibanding kan dengan i

68 Analisis teknologi berwawasan lingkungan Analisis Teknologi Berwawasan lingkungan dalam pengembangan armada ini dilakukan secara deskritif. Dimana pengembangan perikanaan tangkap yang baik adalah perikanan tangkap yang menggunakan aturan atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan melalui suatu ketentuan tingkat internasional yang dapat diaplikasikan pada setiap Negara dan diteruskan ke setiap daerah yang memiliki insdustri perikanan tangkap. Ketentuan yang telah ditetapkan melalui suatu pedoman yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries, untuk menganalisis kebijakan armada tangkap yang ramah lingkungan dalam ketentuan ini disebutkan bahwa kapal-kapal yang beroperasi diwajibkan untuk menggunakan kode kapal, nomor kapal dan warna kapal yang telah ditetapkan berdasarkan jalur operasinya, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif (polutan dan kecelakaan) pada waktu beroperasi, selain itu kewajiban pemilik kapal dalam melengkapi dokumen kapal sebelum beroperasi. Ketentuan lainnya tentang alat tangkap yang digunakan diwajibkan bagi setiap negara yang menggunakan alat tangkap harus mengutamakan kelestarian sumberdaya ikan dengan menangkap ukuran dan jenis ikan yang menjadi target. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi over fishing dan ghost fishing. Untuk menghindari dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya dari kegiatan operasi penangkapan maka perlu dilakukan suatu bentuk kebijakan yang mengatur sistem penangkapan yang berkelanjutan, untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu dilakukan analisis terhadap produksi tangkapan dengan menghitung jumlah tangkapan yang menjadi spesies target dan jumlah tangkapan yang berupa by-catch per alat tangkap. Selanjutnya keselamatan terhadap nelayan merupakan bagian yang terpenting dari suatu kesuksesan pengoperasian suatu unit penangkapan. Jaminan keselamatan telah diatur agar setiap nelayan harus memiliki asuransi. Operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan baik apabila suatu usaha perikanan mamilki beberapa kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Menurut Monintja, (2001), kriteria teknologi penangkapan ikan memiliki sembilan (9) poin, yakni : (1) Selektivitas tinggi (2) Tidak destruktif terhadap habitat (3) Tidak membahayakan nelayan

69 69 (4) Produksinya berkualitas (5) Produknya tidak membahayakan konsumen (6) By-catch dan dischards minimum (7) Tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah (8) Dampak minimum terhadap keanekaragaman hayati (9) Dapat diterima secara sosial Kriteria kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan terdiri dari : (1) Menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan (2) Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (TAC) (3) Menguntungkan (4) Investasi rendah (5) Penggunaan bahan bakar minyak rendah (6) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku Analisis Kinerja Usaha Penangkapan dan Kelayakan Investasi Analisis Kinerja Usaha Penangkapan Manfaat ekonomi yang diperoleh dari suatu aktivitas penangkapan ikan dihitung terlebih dahulu financial performance (FP) dari kegiatan penangkapan yang ada saat ini. Nilai ekonomi saat ini akan di hitung dengan menggunakan analisis FP dengan menggunakan tiga indikator utama nilai ekonomi yakni Net Revenue/RTO, Value Added/ROI dan boat income yang merupakan proxy dari surplus produsen. Net Revenue sendiri adalah selisih antara penerimaan dan biaya operasi, sementara Value Added merupakan rente ekonomi (resource rent) karena sudah menggambarkan selisih antara total penerimaan dari sumberdaya alam dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksi sumberdaya tersebut. Boat income merupakan nilai akhir yakni selisih antara Value Added dan Total labor cost (RTL), oleh karena manfaat jangka panjang terkait dengan manfaat ekonomi mak aspek intemporal perlu diperhatikan, sehingga NPV manfaat jangka panjang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

70 t= δ t 1 n m + t= 1 j= 1 p h E c E ij ij ij ij ij w j ( p h E c E ) FC dimana : p ij = harga ikan oleh kapal i pada lokasi j h ij = catch rate kapal i pada lokasi j E ij = unit input (effort) yang digunakan oleh kapal i pada lokasi j c ij = cost per unit input (effort) w j = labor cost pada lokasi j FC ij = Fixed cost dari alat i pada lokasi j ij ij ij ij ij ij (8) c ij 1 = n n t= 1 w VC ij ij.. (9) dimana : w ij = weighted average VC ij = running cost dari alat tangkap i pada lokasi j (Fauzi dan Anna, 2005) Analisis Kelayakan Investasi Suatu investasi dapat di nilai dengan membandingkan semua penerimaan yang diperoleh dari invastasi tersebut dengan total pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi dilaksanakan. Baik penerimaan maupun pengeluaran dinyatakan dalam bentuk uang agar dapat dibandingkan dan harus dihitung dalam jangka waktu yang sama. Karena baik penerimaan maupun pengeluaran berjalan bertahap, sehingga terjadi arus pengeluaran dan penerimaan yang dinyatakan dalam bentuk tunai (cash flow). Kriteria yang digunakan dalam studi kelayakan penelitian ini didasarkan pada analisis biaya-manfaat secara finansial maupun ekonomi. Kriteria-kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut : (1) Net Present Value (NPV), kriteria ini berfungsi untuk menilai manfaat investasi dimana jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Rumus persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut (Sutojo, 2002) :

71 NPV = atau : NPV dimana : n 71 ( Bt Ct )...(10) t (1 i t= 1 + ) ( B C )( DF) t =...(11) t B t C t DF i n = benefit pada tahun ke-t; = biaya pada tahun ke-t; = discount factor; = tingkat bunga yang berlaku = lamanya periode waktu. Bila NPV > 0 berarti investasi dinyatakan menguntungkan dan merupakan tanda go untuk suatu proyek dikatakan layak. Apabila NPV < 0 maka investasi dinyatakan tidak layak (tidak menguntungkan) dan tidak dapat dilaksanakan. Pada keadaan nilai NPV = 0 maka investasi pada proyek tersebut hanya mengembalikan manfaat yang posisi sama dengan tingkat social opportunity cost of capital. (2) Net Benefit-Cost Rasio (Net B/C), kriteria ini merupakan perbandingan dimana pembilang sebagai nilai total dari manfaat bersih yang bersifat positif, sedangkan sebagai penyebut sebagai present value total yang bernilai negatif atau pada keadaan biaya kotor lebih besar dari manfaat kotor. Menurut Sutojo (2000), persamaan Net B/C Ratio tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : n ( Bt Ct) ( Bt Ct) > 0 t t= 0 (1+ i) Net B / C = n...(12) ( Ct Bt) ( Bt Ct) < 0 t (1+ i) atau : t= 1 n ( Bt Ct)( DF) Net B / C...(13) atau : t= 1 = n ( Bt Ct)( DF) t= 1

72 72 Net n NPVpositif t= 1 B / C = n...(14) NPV t= 1 negatif dimana : B t C t DF i n NPV = benefit pada tahu ke-t = biaya pada tahun ke-t = discount faktor = tingkat bunga yang berlaku = lamanya periode waktu = net present value Dari persamaan tersebut tampak bahwa nilai Net B/C akan terhingga jika sedikit nya ada satu nilai Bt Ct yang positif. Kedua Net B/C memberikan nilai > 1, maka keadaan tersebut menunjukkan bahwa NPV > 0,. Dengan demikian jika Net B/C 1 merupakan proyek tersebut dinyatakan layak, sedangkan bila Net B/C < 1 maka proyek tersebut dikatakan tidak layak (3) Internal Rate of Return (IRR), merupakan suatu interest rate (i) yang membuat nilai sekarang dari aliran kas proyek menuju nol, atau merupakan suatu indeks keuntungan (profitability index). Setiap manfaat yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur proyek. Menurut Sutojo (2002), dengan demikian IRR dapat dirumuskan sebagai berikut : NPV 1 IRR = i1 + ( i2 i1) NPV1 NPV...(15) 2 dimana : i 1 = discount factor (tingkat bunga) pertama di mana diperoleh NPVpositif; = discount factor (tingkat bunga) kedua di mana diperoleh NPVnegatif. i 2 Proyek dikatakan layak bila IRR > dari tingkat bunga berlaku. Sehingga bila, IRR ternyata sama dengan tingkat bunga yang berlaku maka NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari tingkat bunga yang berlaku maka berarti nilai NPV < 0, artinya proyek tidak layak.

73 (4) Pay Back Period (PBP) adalah jangka waktu tertentu yang menunjukkan terjadinya arus penerimaan (Cash in flows) secara kumulatif sama dengan jumlah investasi dalam bentuk present value. Analisis Pay Back Period dalam studi kelayakan perlu juga ditampilkan untuk mengetahui berapa lama usaha/proyek yang dikerjakan baru dapat mengembalikan investasi (Ibrahim, 2003). PBP= T p n n I i Bicp 1 i= 1 i= (16) B p Dimana : PBP = Pay Back Period T p-1 = Tahun sebelum terdapat PBP I i = Jumlah Investasi yang telah di-discount B icp-1 = Jumlah Benefit yang telah di-discount sebelum Pay Back Period B p = Jumlah benefit pada Pay Back Period berada. 73

74 4 KONDISI UMUM PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN KUPANG 74 Kabupaten Kupang merupakan salah satu dari 15 Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak antara 121 o 30 Bujur Timur dan 124 o 11 Bujur Timur, dan antara 9 o 19 Lintang Selatan dan 10 o 57 Lintang Selatan. Kabupaten Kupang sebelah utara dan barat berbatasan dengan laut Sawu, sementara sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Negara Timor Leste. Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang wilayahnya mencakup cukup banyak pulau, di mana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki nama. Dari ke dua puluh tujuh pulau tersebut yang telah dihuni hingga saat ini hanya sebanyak lima pulau yaitu Pulau Timor, Pulau Sabu, Pulau Raijua, Pulau Semau dan Pulau Kera. Suhu udara di Kabupaten Kupang yang tercatat tahun 2003 yaitu siang hari ratarata berkisar antara 30,0 o C sampai dengan 33,7 o C. Kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata berkisar antara 61 persen sampai dengan 84 persen. Kondisi curah hujan di Kabupaten Kupang yang tercatat tahun 2002 berkisar antara 3 mm sampai 383 mm, sedangkan iklimnya termasuk iklim kering yang dipengaruhi oleh angin Muson dengan musim hujan pendek, yang jatuhnya sekitar bulan Desember sampai April. Panjang garis pantai Kabupaten Kupang kurang lebih 456 km dan memiliki luas perairan laut sekitar 7.178,28 km 2. Potensi lestari sumberdaya ikan di Perairan Kabupaten Kupang sebesar ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan baru mencapai sekitar ,65 ton (24,89 %) pada tahun 2003 (DKP Kabupaten Kupang, 2004). 4.1 Kondisi Sumberdaya Perikanan Tangkap Sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Kupang terdiri dari sumberdaya jenis ikan dan sumberdaya jenis non ikan. Ada 19 jenis sumberdaya perikanan ekonomis penting yang diproduksi oleh nelayan. Data statistik tahun 2003 tercatat bahwa ikan Tongkol dan Cakalang merupakan jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Kupang yaitu sebesar 5.000,2 ton dan 1.143,2 ton (Tabel 4) (BPS Kabupaten Kupang, 2003).

75 Tabel 3 Produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Kabupaten Kupang Tahun 2003 No Jenis Ikan Jumlah (ton) 1 Bawal 17,10 2 Belanak 277,94 3 Cakalang 1.143,20 4 Ekor Kuning 483,73 5 Hiu/Pari 203,97 6 Ikan Terbang 205,84 7 Kakap 435,60 8 Kembung 477,02 9 Alu-alu 539,17 10 Kerapu 512,50 11 Layang 467,47 12 Julung-Julung 546,29 13 Parang-Parang 215,68 14 Peperek 359,47 15 Sardin 680,43 16 Selar 713,73 17 Tembang 819,90 18 Tenggiri 966,35 19 Tongkol 5.000,20 Sumber : Diolah dari Kupang dalam Angka (BPS, 2003) Jumlah ,83 75 Jenis non ikan yang dominan adalah rumput laut dan udang putih yaitu sebesar 3.010,6 ton dan 40,00 ton (Tabel 5) (BPS Kabupaten Kupang, 2003). Tabel 4 Produksi perikanan laut menurut jenis non ikan di Kabupaten Kupang Tahun 2003 No Jenis Non Ikan Jumlah (ton) 1 Cumi-cumi 90,00 2 Kepiting 8,80 3 Kerang 12,60 4 Rumput Laut 3.010,60 5 Teripang 9,50 6 Udang halus 7,50 7 Udang lobster 2,50 8 Udang putih 40,00 Sumber : Diolah dari Kupang dalam Angka (BPS, 2003) Jumlah 3.181,50

76 Armada Perikanan Tangkap Armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang terdiri dari jukung, Perahu Tanpa Motor (PTM), Perahu Motor Tempel (PMT) serta Kapal Motor (KM). Data statistik tahun 2003 tercatat bahwa jukung merupakan jenis perahu/kapal perikanan tangkap yang terbanyak di Kabupaten Kupang yaitu buah dan yang terkecil adalah jenis Kapal Motor (KM) yaitu 260 buah (Gambar 5) (BPS Kabupaten Kupang, 2003). PMT 13% KM 8% PTM 21% Jukung 58% Jukung PTM PMT KM Sumber : Diolah dari Kupang dalam Angka (BPS, 2003) Gambar 5 Armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang Tahun 2003 Jenis alat tangkap di Kabupaten Kupang terdiri dari 8 jenis alat yang terdiri dari : Lampara 47 unit, Gillnet unit, jala lompo 22 unit, bagan 99 unit, sero 220 unit, trammel net 710 unit, pancing unit dan jala buang 143 unit (Gambar 6). 50% 2% 1% Lampara Gill net Jala lompo 34% Bagan Sero Trammel net Pancing 1% Jala buang 9% 3% 0% Sumber : Diolah dari Kupang dalam Angka (BPS, 2003) Gambar 6 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Kupang Tahun 2003

77 Pengelolaan Armada Perikanan Tangkap Mekanisme aktivitas armada yang terdapat di Kabupaten kupang pada prinsipnya masih mengacu pada Peraturan Internasional dan Nasional baik dari pusat sampai ke daerah. Aturan perundang undangan yang diratifikasi oleh daerah Kabupaten kupang hanyalah tentang perizinan dan pungutan dengan mengeluarkan PERDA (Peratutan Daerah) sedangkan aturan yang lainnya tetap berpedoman pada aturan standar baik Nasional maupun Internasional. Kondisi armada yang beroperasi memiliki status yang berbeda-beda ada yang status sewa beli, milik pribadi, swasta, sewa saja, mendapat bantuan dana bergilir dan adapula yang join modal. Dengan adanya variasi kepemilikan akan mempersulit pula dalam pengurusan perizinan. Hingga Tahun 2003 nelayan di Kabupaten Kupang berjumlah orang dengan status yang berbeda-beda yaitu nelayan penuh, sambilan penuh serta sambilan tambahan. Status sebagai nelayan penuh merupakan jumlah terbanyak yaitu orang, diikuti nelayan sambilan penuh sebanyak orang, serta nelayan sambilan tambahan sebanyak orang (Gambar 7) 29% 36% 35% Penuh Sambilan Penuh Sambilan Tambahan Sumber : Diolah dari Kupang dalam Angka (BPS, 2003) Gambar 7 Jumlah nelayan di Kabupaten Kupang Tahun 2003 Kondisi dan letak admistratif daerah Kabupaten Kupang yang berhimpitan dengan Kota Kupang dengan ketidak jelasan batasan kewenangan juga menyulitkan dan membingungkan para pengusaha dalam kepengurusan izin usaha penangkapan. Perbedaan tempat domisili pengusaha dan lokasi penangkapan juga menentukan penerbitan izin. Peraturan perundang undangan, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan

78 78 dan Perda yang diacu Kabupaten Kupang saat ini antara lain dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6: Tabel 5 Undang-Undang internasional dan nasional No Peraturan Pemerintah/SK Men. Aspek 1 Maritime Kringen Ordonantie 1939 Laut Teritorial : 3 mil, sisanya Laut Bebas. (UU lingkungan maritim) Luas laut Indonesia 0,3 juta km 2 2 Deklarasi Juanda 1957 Perairan Kepulauan dengan laut teritorial : 12 mil (Konsep wawasan nusantara) Luas laut Indonesia 3,1 juta km 2 3 Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang ratifikasi konvensi Perserikatan Bangsabangsa tentang hukum laut 4 Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia 5 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 pengelolaan lingkungan hidup 6 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 2004, Perikanan pengganti UU No 9/ Code of Conduct Responsible Fisheries Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (CCRF) yang bertanggung jawab 8 International Maritime Organisation (IMO) Peraturan Keselamatan pelayaran dan pencegahan pencemaran di laut Tabel 6 Peraturan pemerintah, surat keputusan menteri dan perda No Peraturan Pemerintah/SK Men. Aspek 1 Peraturan Sb 1927 No 144 penangkapan Ikan di dalam Daerah Laut Indonesia (Ordonanti Penangkapan Ikan Pantai) 2 Peraturan Sb 1938 No 201, 1940 No 40 Peraturan Pendaftaran Kapal-kapal Nelayan dan No 50 Laut Berbendera Asing 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Perairan Indonesia Undang-undang No. 4 Tahun Keputusan Presiden Republik Indonesia Pungutan Pengusaha Perikanan dan Pungutan No. 8 Tahun 1975 Hasil Perikanan bagi Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri di Bidang Perikanan. 5 Surat Keputusan Menteri Pertanian No Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan dan 424/Kpts/Um/7/1977 Pungutan Hasil Perikanan bagi Penanaman Modal Dalam Negeri di Bidang Perikanan

79 79 Lanjutan tabel 6 6 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. Tatacara Pelaksanaan Penagihan, Pengembangan 425/Kpts/Um/7/1977 dan pembukuan Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan bagi Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri di Bidang Perikanan. 7 Surat Keputusan Menteri Perdagangan, Pelabuhan Laut dan Bandar Udara yang Menteri Keuangan dan Perhubungan No Terbuka untuk Perdagangan Luar Negeri 885/Kpb/VII/1985, KM 139/Mk.205/ Phb-85, 677/Kmk.05/1985 jo No 297/Kpb /X/86, KM 146/Hk-101/ Phb-86, 836/ kmk.01/ Surat Keputusan Menteri Pertanian No Kewajiban Mengekspor atau Menjual Hasil 900/Kpts/ Ik.250/12/ 1988 Tangkapan Kapal Perikanan Asing di Pasar dalam Negeri 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Usaha perikanan No 15 Tahun Surat Keputusan Menteri Pertanian No Perizinan usaha perikanan 815/kpts/ IK.120/11/90 11 Peraturan Pemerintah RI No 46 Tahun Perubahan atas PP No 15 Tahun 1990 tentang 1993 usaha perikanan 12 Surat Keputusan Direktorat Jenderal Petunjuk teknis operasional bagi pengawas Perikanan No. Ik.420/S /1994 kapal ikan 13 KepMen Pertanian No 805/kpts/IK.120/ Ketentuan penggunaan kapal pengangkut ikan 12/95 14 Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang Kepelabuhan 15 Surat Keputusan Bersama Direktorat Petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan Jenderal Perikanan dan Direktorat pelabuhan perikanan sebagai prasarana Jenderal Perhubungan Laut No. Ik. Perikanan 010/D /1996 dan No PP. 72/3/ Surat Keputusan Bersama Direktorat Pemberian surat izin berlayar kapal perikanan Jenderal Perikanan dan Direktorat dan kapal pengangkut ikan. Jenderal Perhubungan Laut No. Ik. 120/Dj. 7172/1996 dan No PY. 68/1/ Surat Keputusan Menteri Pertanian No. Pengadaan Kapal Perikanan dan Penghapusan 508/Kpts/ PL.810/7/ 1996 Sistem Sewa Kapal Perikanan Berbendera Asing. 18 Surat Keputusan Bersama Menteri Penyederhanaan Perizinan Kapal Perikanan. Pertananian dan Menteri Perhubungan No. 492/Kpts/Ik.120/7/ 1996 dan No Sk.1/ AL.003/Phb-96

80 80 Lanjutan tabel 6 19 Surat Keputusan Menteri Pertanian No Pembentukan tim pembina dan pengendali 646/kpts/Ik.150/7/1996 pengadaan kapal perikanan 20 Surat Keputusan Direk-torat Jenderal Pembentukan Sekretariat dan Pengangkatan Perikanan No TU.110/Dj.11051/ 1996 Pembantu Teknis Tim Pembina dan Pengendali Kapal Perikanan 21 Surat Keputusan Direk-torat Jenderal Tatacara pengadaan kapal perikanan dan kapal Perikanan No IK.340/Dj.11052/ 1996 pengangkut ikan dari dalam dan atau luar negeri 22 Surat Keputusan Menteri Pertanian No Pengadaan Kapal Perikanan dan Penghapusan 941/kpts/ PL.810/10/1997 tentang Sistem Sewa Kapal Perikanan Berbendera Perubahan Keputusan Menteri Pertanian Asing. No. 508/Kpts/PL.810/7/ Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1999 Pengendalian Pemcemaran dan/atau Perusakan Laut 24 Surat Keputusan Menteri Pertanian No Perizinan Usaha Perikanan 428/kpts/ Ik.120/4/1999 tentang Perubahan kedua Keputusan Menteri Pertanian No. 815/Kpts/Ik.120/11/ Surat Keputusan Menteri Pertanian No Jalur-Jalur Penangkapan Ikan 392/kpts/ Ik.120/4/ Keputusan Presiden Republik Indonesia Pemanfaatan Kapal Perikanan yang dinyatakan No. 14 Tahun 2000 dirampas untuk Negara 27 Keputusan Menteri Eksplorasi Laut dan Perizinan Usaha Perikanan. Perikanan No : 45 Tahun Keputusan Menteri Eksplorasi Laut dan Tim Perizinan Usaha Perikanan Perikanan No : 46 Tahun Peraturan Pemerintah RI No : 141 Tahun tentang Usaha Perikanan 2000 tentang Perubahan kedua Atas PP No : 15 Tahun Peraturan Pemerintah RI No : 7 Tahun Kepelautan Peraturan Pemerintah RI No : 51 Tahun Perkapalan Peraturan Pemerintah RI Nomor : 142 Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Tahun 2000 dan Perikanan Pajak Yang Berlaku di Departemen Kelutan 33 Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2002 Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak Yang berlaku di departemen Kelautan dan Perikanan 34 Keputusan Menteri Kelautan dan Produktivitas Kapal Pe-nangkap Ikan Perkanan RI Nomor : KEP/23/MEN /2001

81 81 Lanjutan tabel 6 35 Keputusan Menteri Kelautan dan Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Perikanan RI Nomor KEP/46/MEN/ 2001 Ikan. 36 Perda Propinsi NTT No. 11 thn 2003 Retribusi izin usaha perikanan Jalur penangkapan yang telah ditetapkan dengan Keputusan Mentan No. 392/Kpts/IK/120/4/99 Tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan yang membagi 4 jalur dengan tanda pengenal masing-masing jalur (warna), yakni : Jalur Ia (3 mil laut) = putih ; Jalur Ib (3 6 mil laut) = merah; Jalur II (6 12 mil laut)= = orange dan Jalur III ( 12 hingga 200 mil laut) = kuning, namun kenyataannya armada penangkapan yang beroperasi di perairan Kabupaten Kupang belum menggunakan warna standar. Jalur Ia dan b dapat digunakan oleh kapal-kapal yang berukuran dibawah 10 GT dan kewenangan pemberian izin adalah diserahkan penuh pada wilayan Kabupaten setempat, sedangkan jalur II dapat digunakan oleh kapal-kapal yang berukuran GT dan kewengan pemberian izinnya diserahkan penuh pada wilayah propinsi selanjutnya jalur III adalah kewenangan pusat. Hal ini diatur agar dalam pengawasan terhadap pengoperasian kapal-kapal ikan dapat optimal, dan pengunaan serta pengelolaan akan sumberdaya ikan pun dapat optimal. Kenyatannya ukuran armada yang beroperasi di perairan Kabupaten Kupang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan, operasi penangkapan disesuaikan dengan kebiasaan nelayan dalam menentukan daerah fishing ground. Kapal-kapal ikan yang beroperasi akan menggunakan sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah setempat baik itu TPI, PPI dan pelabuhan. Bagi kapal-kapal ikan yang melakukan penangkapan pada jalur II dan III akan mendaratkan hasilnya pada pelabuhan yang tersedia atau yang terdekat dan dapat melakukan service kapalnya pada pelabuhan tersebut sedangkan bagi kapal-kapal kecil yang akan melakukan operasi penangkapan dapat mendaratkan hasilnya pada TPI atau PPI yang tersedia. Pungutan akan dilakukan oleh pemerintah setempat sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap daerah sesuai PERDA. Saat ini TPI/PPI yang ada belum optimal digunakan, nelayan cenderung mendaratkan hasil tangkapannya pada tempat-tempat yang mudah untuk melakukan tansaksi jual beli dan dianggap tidak sulit dalam proses transaksi.

82 82 Ketersediaan sarana dan prasarana juga turut menunjang suatu keberhasilan dari suatu operasi penangkapan dalam hal ini industri perikanan tangkap. Kondisi sarana dan prasaran yang ada, belum memenuhi syarat/standar suatu bentuk dari industri perikanan tangkap. Kondisi yang ada pada daerah kabupaten kupang masih sangat minim sekali. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan yang ada juga memiliki banyak kendala. Daya dukung dan daya tampung sumberdaya tidak seimbang. Daya dukung lingkungan sangat cukup potensial sedangkan daya tampungnya masih sangat minim. Sumberdaya ikan yang sangat berlimpah di dukung oleh kondisi Perairan Indonesia Timur yang masih sangat potensial dengan berbagai jenis ikan dan non ikan belum mampu tereksploitasi dengan optimal. Pelaksanaan kegiatan ini juga tidak didukung oleh ketersedian sumberdaya manusia yang cukup. Produksi melimpah namun tidak dapat tertampung dengan baik. Daya tampung sumberdaya rendah. Sarana prasara Pelabuhan seperti pabrik es, bengkel, cool storge, air bersih, lokasi tambat labuh, dan kapasitas listrik; PPI dan TPI yang masih sangat minim. Pengelolaan yang yang belum optimal mengakibatkan jalur-jalur pemanfaatan oleh kapal-kapal ikan tidak teratur dengan baik sehingga ukuran kapal yang seharusnya beroperasi sesuai ketentuan yang ada tidak berjalan dengan baik. Kapal ukuran >10 GT dapat beroperasi pada jalur I, dan hal ini akan menimbulkan konflik pada nelayan kecil. Penentuan fishing ground yang belum optimal berdampak pada hasil tangkapan yang sangat rendah. Kondisi Pengelolaan armada yang terdapat di Kabupaten Kupang secara umum belum optimal, baik dari pengaturan jalur penangkapan, ukuran kapal, Izin Penangkapan sampai pada pendaratan hasil maupun penarikan pajak daerah (retribusi).

83 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Sumberdaya Ikan di Kabupaten Kupang Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jenis ikan hasil tangkapan dari ke sembilan alat tangkap ramah lingkungan di Kabupaten Kupang terdiri dari perikanan pelagis besar, meliputi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (euthynnus spp) dan tenggiri (Scomberomorus spp) ; perikanan pelagis kecil, meliputi ikan Alu-alu (Sphyraena spp), selar (Selaroides spp), tembang (Sardinella fimbriata), julung-julung (Hemirhamphus spp),teri (Stolephorus spp),ikan terbang (Cypsilurus spp), kembung (Rastrelliger spp) dan cumi-cumi (Loligo spp) serta perikanan demersal, meliputi ikan peperek (Leiognathus spp), ikan merah (Lutjanus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap ( Lates calcarifer) dan ekor kuning (Caesio erythrogaster). (1) Perikanan Pelagis Besar Produksi perikanan pelagis besar terdiri dari ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (euthynnus spp) dan tenggiri (Scomberomorus spp) dengan menggunakan alat tangkap purse seine, pancing tonda, hand line, rawai dan pole and line selama 10 tahun ( ) di perairan kabupaten Kupang dapat disajikan pada Tabel 1 Lampiran 4. Hubungan produksi dan upaya serta hubungan CPUE dan upaya hasil tangkapan ikan pelagis besar terlihat pada Gambar 8 dan 9. Gambar 8 Hubungan produksi dan upaya sumberdaya perikanan pelagis besar di perairan Kabupaten Kupang NTT tahun 2004

84 CPUE (ton/trip) Upaya Tangkap (trip) Gambar 9 Hubungan CPUE dan upaya tangkap sumberdaya perikanan pelagis besar di perairan Kabupaten Kupang NTT. Hasil analisis potensi sumberdaya perikanan pelagis besar dengan menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum laestari (Maximum Sustainable Yield) perikanan pelagis besar sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimal sebesar unit. Pada Gambar 8 dan 9 terlihat bahwa pemanfaatan perikanan pelagis besar di perairan Kabupaten Kupang sudah melewati batas nilai MSY, sehingga upaya penangkapan yang ada saat ini perlu dikurangi dan dikendalikan. Upaya penangkapan yang diperlukan untuk mempertahankan nilai MSY sebesar unit. (2) Perikanan Pelagis Kecil Produksi perikanan pelagis kecil terdiri dari ikan Alu-alu (Sphyraena spp), selar (Selaroides spp), tembang (Sardinella fimbriata), julung-julung (Hemirhamphus spp),teri (Stolephorus spp),ikan terbang (Cypsilurus spp), kembung (Rastrelliger spp) dan cumi-cumi (Loligo spp) dengan menggunakan alat tangkap purse seine, payang, gillnet dan bagan selama 10 tahun ( ) di perairan kabupaten Kupang dapat dilihat pada tabel 2 Lampiran 4. Hubungan produksi dan upaya serta hubungan CPUE dan upaya hasil tangkapan ikan pelagis kecil terlihat pada Gambar 10 dan 11. Hasil analisis potensi sumberdaya perikanan pelagis kecil dengan menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer memperlihatkan nilai dugaan

85 85 potensi maksimum laestari (Maximum Sustainable Yield) perikanan pelagis kecil sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimal sebesar unit. Pada Gambar 10 dan 11 terlihat bahwa pemanfaatan perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Kupang belum melewati batas nilai MSY, sehingga upaya penangkapan yang ada saat ini perlu ditambah hingga mencapai upaya yang optimum sebesar unit. Gambar 10 Hubungan produksi dan upaya sumberdaya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Kupang NTT tahun CPUE (ton/trip) Upaya Tangkap (trip) Gambar 11 Hubungan CPUE dan upaya sumberdaya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Kupang NTT.

86 86 (3) Perikanan Demersal Produksi perikanan Demersal terdiri dari peperek (Leiognathus spp), ikan merah (Lutjanus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap ( Lathes calcarifer) dan ekor kuning (Caesio erythrogaster) dengan menggunakan alat tangkap bubu, hand line dan gillnet selama 10 tahun ( ) di perairan kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 3 Lampiran 4. Hubungan produksi dan upaya serta hubungan CPUE dan upaya hasil tangkapan ikan pelagis kecil terlihat pada Gambar 12 dan 13. Gambar 12 Hubungan produksi dan upaya sumberdaya perikanan Demersal di perairan Kabupaten Kupang NTT tahun CPUE (ton/trip) Upaya Tangkap (ton) Gambar 13 Hubungan CPUE dan upaya sumberdaya perikanan Demersal di perairan Kabupaten Kupang NTT.

87 87 Hasil analisis potensi sumberdaya perikanan demersal dengan menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maximum sustainable Yield) perikanan pelagis kecil sebanyak ton/tahun dengan upaya penangkapan optimal sebesar unit. Pada Gambar 12 dan 13 terlihat bahwa pemanfaatan perikanan demersal di perairan Kabupaten Kupang telah melewati batas nilai MSY, sehingga upaya penangkapan yang ada saat ini perlu dikurangi dan dikendalikan hingga mencapai upaya yang optimum sebesar unit. CPUE (ton/unit) Tahun CPUE pelagis besar CPUE pelagis kecil CPUE perikanan demersal Gambar 14 Nilai CPUE pelagis besar, CPUE pelagis kecil dan CPUE perikanan demersal sejak Tahun 1995 hingga Dari Gambar 14 terlihat bahwa nilai CPUE tertinggi pada pelagis kecil, diikuti pelagis besar dan terakhir perikanan demersal. Tingginya nilai CPUE pada pelagis kecil menandakan bahwa upaya penangkapan masih dapat dikembangkan dengan cara lebih mengefektifkan alat tangkap yang sudah ada. Hal ini diduga bahwa kegiatan operasi penangkapan hanya berlangsung pada satu area fishing ground atau dengan kata lain terjadi pada fishing ground tertentu sehingga dengan adanya pergeseran tahun jumlah produksi menurun, namun jika terjadi pergeseran fishing ground atau untuk kegiatan penangkapan dilakukan pada daerah penangkapan yang baru maka produksi akan meningkat contoh antara tahun 2002 dan 2003 terjadi peningkatan produksi ini pertanda bahwa dalam memilih dan mengelola daerah penangkapan yang baik belum optimal.

88 Identifikasi Sasaran Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Identifikasi sasaran atau variabel terkait dengan pengembangan armada perikanan tangkap dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang perlu dicapai dalam pengembangan. Hal-hal yang perlu dicapai tersebut tidak lepas dari posisi dan kondisi usaha perikanan tangkap di Kabupaten Kupang saat ini terutama berkaitan dengan armada penangkapan. Hasil analisis SWOT pada Tabel 7. dan Tabel 8. memperlihatkan posisi pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Kupang dari segi internal (faktor strategi internal) maupun eksternal (faktor strategi eksternal). Tabel 7 Faktor strategi internal pengembangan perikanan tangkap Faktor Internal Bobot Rating Skor Kekuatan : 1. Tenaga kerja yang berlimpah 0,12 3 0,36 2. Penguasaan tinggi teknologi 0,15 4 0,60 Purse seine (25,18 % nelayan) dan Rawai (13,83 % nelayan) 3. Instalasi BBM yang tersedia baik 0,07 2 0,14 4. Fasilitas pabrik es yang memadai 0,08 2 0,16 5. Tersedia pelabuhan pendaratan ikan 0,7 2 0,14 Kelemahan : 1. Peraturan jumlah tangkap yang diper- 0,2 3 0,60 bolehkan (80 % MSY) belum disosiali sasikan dengan baik 2. Ukuran/kapasitas kapal yang belum 0,09 2 0,18 sesuai 3. Pemborosan dalam penggunaan air 0,1 1 0,10 tawar 4. Banyak mesin kapal yang belum standar 0,07 3 0,21 5. Pengaturan penangkapan/hari operasi 0,05 2 0,10 yang belum tertib Total 1,00 2,59 Bobot menunjukkan tingkat kepentingan pengembangan armada perikanan tangkap terhadap faktor tersebut (nilai 0-1, 0 = tidak penting dan 1 = sangat penting). Rating menunjukkkan tingkat pengaruh yang secara riil dapat diberikan oleh faktor terhadap pengembangan armada perikanan tangkap (nilai 1 4, 1 = rendah dan 4 = sangat tinggi). Nilai rating untuk faktor kelemahan dan ancaman diberi secara terbalik,

89 89 yaitu bila pengaruh rendah diberi nilai 4 dan pengaruh sangat tinggi diberi nilai 1). Skor menyatakan tingkat pengaruh nyata sesuai dengan kepentingan pengembangan armada perikanan tangkap terhadap faktor tersebut. Tabel 7 memperlihatkan lima kekuatan dan kelemahan utama perikanan tangkap di Kabupaten Kupang dalam kaitan dengan pengembangan armada penangkapan. Dari segi kekuatan, di Kabupaten Kupang tersedia tenaga kerja yang lebih dari cukup untuk berkontribusi dalam pengembangan armada perikanan tangkap dan saat ini terdapat nelayan sambilan. Mereka menjadi nelayan sambilan karena ketiadaan sarana penangkapan yang memadai untuk dioperasikan. Sekitar nelayan (25,18 %) menguasai dengan baik jenis teknologi purse seine dan sekitar 761 nelayan (13,83 %) menguasai dengan baik teknologi rawai. Kedua armada penangkapan ini termasuk armada penting karena banyak dipakai dan juga cukup ramah lingkungan. Pemilihan alat tangkap ini merupakan pilihan yang sesuai dengan kondisi yang ada dimana kebanyakan armada yang beroperasi mirip dengan armada yang beroperasi di perairan Sulawesi Selatan, dimana pernyataan Manggabarani, 2006 adalah kontribusi terbesar bagi daearah (PAD) Makasar adalah Purse seine dan rawai. Instalasi BBM dan fasilitas pabrik es juga tersedia dan memadai bagi pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Dalam kaitan dengan batasan penangkapan sesuai MSY, hal ini menjadi kelemahan pengembangan karena belum semua nelayan memahaminya. Hal ini tentunya menjadi kekwatiran di kemudian hari bila pengembangan armada benar-benar diwujudkan dan batasan tersebut tidak disosialisasikan dengan baik. Kelemahan lain berkaitan dengan armada ini adalah ukuran/kapasitas armada yang dioperasikan nelayan terkadang tidak sesuai dengan peruntukkannya, penggunaan air tawar yang masih boros, banyak mesin kapal yang belum standar, dan pengaturan hari operasi yang belum tertib. Dari lima kelemahan tersebut, penggunaan air tawar boros termasuk yang paling memperihatinkan sehingga pada Tabel 7. mendapatkan rating 1. Sedangkan batasan penangkapan sesuai MSY saat ini belum serius karena keterbatasan jumlah tangkap nelayan (rating 3). Begitu juga untuk mesin kapal hanya pada beberapa nelayan yang belum standar (rating 3). Pada Tabel 8. terlihat lima peluang dan ancaman serius yang berpengaruh dalam pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Untuk peluang,

90 90 kelimpahan sumberdaya ikan (SDI) sangat mendukung pengembangan armada perikanan tangkap. Kelimpahan tersebut terutama terlihat pada jenis ikan ekor kuning, cakalang, dan kerapu. Hasil analisis menunjukkan bahwa MSY ketiga jenis ikan tersebut adalah MSY ekor kuning sekitar kg/tahun, MSY ekor kuning sekitar kg/tahun, dan MSY kerapu sekitar kg/tahun. Dalam hal pemasaran, lobster dan kerapu saat ini telah menembus pasar ekspor Eropa dan Asia Timur sehingga prospek pengembangannya sangat baik. Dalam hal ketertarikan intervasi, beberapa investor terutama dari Jawa sangat berminat dalam pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Bentuk investasi yang sudah berkembang saat ini adalah investor luar lebih banyak hanya sebagai pemodal (belum banyak terlibat langsung). Sedangkan peluang lainnya adalah berkembangnya banyak kegiatan pelatihan yang dilakukan oleh kalangan LSM dan penyuluh resmi perikanan secara nasional serta kondisi sosial politik di kabupaten Kupang yang kondusif. Dalam kaitan dengan pelatihan, materi pelatihan banyak berkaitan dengan kegiatan penangkapan ramah lingkungan, keselamatan dalam operasi penangkapan, dan analisis usaha.

91 91 Tabel 8 Faktor strategi eksternal pengembangan perikanan tangkap Faktor Eksternal Bobot Rating Skor Peluang 1. Promosi SDI tinggi terutama jenis ekor kuning, 0,2 4 0,80 kerapu, dan cakalang 2. Pasar ekspor yang terbuka untuk lobster dan 0,13 4 0,54 kerapu 3. Minat investor dalam kegiatan perikanan 0,12 3 0,36 tangkap tinggi 4. Pembinaan nelayan cukup intensif oleh LSM 0,09 2 0,18 dan penyuluh secara nasional 5. Kondisi sosial politik yang kondusif 0,1 3 Ancaman : 1. Penangkapan menggunakan cara/teknik yang 0,15 2 0,3 merusak 2. Kualitas hasil tangkapan 0,04 3 0,12 3. Suplai BBM yang sering terlambat 0,05 3 0,15 4. Pencurian ikan oleh kapal asing 0,02 2 0,04 5. Banyaknya kapal asing beroperasi 0,1 3 0,30 Total 1,00 3,07 Sedangkan dari segi ancaman, kegiatan penangkapan ikan menggunakan caracara atau teknik yang merusak juga terjadi di Kabupaten Kupang, meskipun intensitasnya termasuk biasa (rating 2). Ancaman lain adalah kualitas hasil tangkapan yang yang merupakan salah satu faktor penting pasar, suplai BBM yang sering terlambat, pencurian ikan oleh kapal asing, dan bnyaknya kapal asing yang beroperasi di perairan kabupaten Kupang yang yang sering menciptakan konflik. Dari kelima ancaman tersebut, suplai air tawar yang terlambat, suplai BBM yang terlambat, dan cuaca yang kurang mendukung mempunyai pengaruh dengan intensitas agak rendah dalam kegiatan perikanan tangkap selama ini (rating 3). Untuk mempertajam analisis, terutama untuk melihat arah pengembangan yang tepat armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang, maka data faktor strategi internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor strategi eksternal (peluang dan ancaman) pengembangan armada perikanan tangkap (Tabel 7. dan Tabel 8.) dianalisis lanjut menggunakan matriks IE (Tabel 9). Pada Tabel 9, kuadran I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dan IX adalah berturut-turut strategi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi vertikal, strategi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal,

92 strategi turnaround atau penciutan, strategi stabilitas, strategi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal atau stabilitas, strategi divestasi atau pengurangan, strategi pertumbuhan melalui diversifikasi konsentrik, strategi pertumbuhan melalui konsentrasi konglomerat, dan strategi likuidasi. Tabel 9. Matriks internal-eksternal (IE) armada perikanan tangkap Kabupaten Kupang 92 Total Skor Faktor Stragei Internal 4 Kuat 3 Rata-rata 2 Rendah 1 Tinggi I Pertumbuhan II Pertumbuhan III Penciutan Total Skor Faktor Strategi Eksternal Menengah 3 2 IV Stabilitas V Pertumbuhan/ Stabilitas VI Penciutan Rendah VII Pertumbuhan VIII Pertumbuhan IX Likuidasi 1 = posisi armada perikanan tangkap Kabupaten Kupang Berdasarkan Tabel 9 posisi atau kondisi armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang saat ini terdapat pada kuadran II dengan total skor faktor strategi internal 2,59 dan total skor faktor integrasi eksternal 3,07. Posisi pada kuadran II ini mengandung pengertian bahwa armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang masih dalam pertumbuhan dan untuk pengembangannya perlu diarahkan/dikonsentrasikan pada integrasi horizontal. Konsentasi pada integrasi internal ini adalah pengembangan armada perikanan perikanan tangkap harus diorientasikan pada perbaikan-perbaikan faktor internal yang berkaitan kekuatan dan kelemahan armada perikanan tangkap selama ini, sehingga mampu menghadapi faktor-faktor eksternal yang datang dimana peluang dapat ditangkap dan ancaman dapat dihadapi.

93 93 Tabel 10 Matriks SWOT sasaran pengembangan armada perikanan tangkap Faktor Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W) 1. Tenaga kerja yang 1. MSY belum disosialisasi Berlimpah kan dengan baik 2. Penguasaan tinggi 2. Ukuran/kapasitas teknologi purse kapal yang belum sesuai seine (25,18 % nelayan) 3. Pemborosan dalam dan rawai (13,83 % penggunaan air tawar nelayan) 4. Mesin kapal yang 3 Instalasi BBM yang belum standar tersedia baik 5. Pengaturan 4 Fasilitas pabrik es yang penangkapan/hari memadai operasi yang belum 5 Tersedia pelabuhan tertib pendaratan ikan Faktor Eksternal Peluang (O) Sasaran SO Sasaran WO 1. Promosi SDI - Penyerapan tenaga kerja - Penangkapan SDI tinggi terutama jenis sebagai ABK pada kapal sesuai MSY ekor kuning, kerapu, investasi baru - Secara khusus dan cakalang - Pembinaan nelayan ahli penangkapan SDI 2. Pasar ekspor yang purse seine potensial berikut terbuka untuk lobster - Pembinaan nelayan sesuai MSY-nya dan kerapu ahli rawai ekor kuning 3. Minat investor dalam cakalang kegiatan perikanan kerapu tangkap tinggi lobster 4. Pembinaan nelayan kembung cukup intensif oleh - Prioritas investasi pada LSM dan penyuluh penyempurnaan secara nasional kapasitas kapal dan 5. Kondisi sosial politik mesinnya yang kondusif Ancaman (T) Sasaran ST Sasaran WT 1. Penangkapan - Pengembangan armada - Peningkatan kualitas menggunakan cara/ penting yang tidak tangkapan sesuai MSY teknik yang merusak merusak - penguatan armada lokal 2. Kualitas hasil tangkapan - Penggunaan BBM - Kebijakan operasional sering terganggu secara efiesian - Integrasi pengawasan 3. Suplai BBM yang - Penggunaan es secara dalam pengaturan sering terlambat efiesien jumlah hari operasi 4. Pencurian ikan oleh setiap armada kapal asing 5. Banyaknya kapal asing - penyelesaian konflik beroperasi

94 94 Berdasarkan hasil analisis faktor strategi internal (Tabel 7), faktor strategi eksternal (Tabel 8) dan matriks IE (Tabel 9) pengembangan armada perikanan tangkap, maka dengan menggunakan matriks SWOT dapat dirumuskan sasaran pengembangan armada. Sasaran pengembangan tersebut memuat hubungan faktor internal-eksternal dengan orientasi pada perbaikan faktor internal armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Hubungan faktor internal-eksternal adalah hubungan antara : kekuatan-peluang (sasaran SO), kekuatan-ancaman (sasaran SW), kelemahan-peluang (sasaran WO), dan kelemahan-ancaman (sasaran WT) (Tabel 10). 5.3 Konflik Nelayan di Kabupaten Kupang Laut merupakan batas laut suatu Negara dengan Negara lain, yang dilihat dari titik terluar melalui ekstradiksi bilateral atau multilateral dan hal ini merupakan batas kekuasaan suatu Negara sejauh garis terluar bats wilayah ( Adhurt dan ary w, 2004), dengan adanya batasan perairan ini akan sangat mudah terjadi konflik, baik itu konflik antara negara maupun antara daerah bahkan dalam suatu komunitas. Konflik nelayan yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari problem teritorial dan antar dua komunitas. Konflik ini cenderung terjadi pada nelayan akibat dari beberapa hal misalnya akibat over fishing dan open accsess dan tututan ekonomi. Nelayan kabupaten Kupang sebagian besar adalah nelayan pendatang yang melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan sekitar Kabupaten Kupang bahkan sekitar perairan Nusa Tenggara Timur. Aktivitas nelayan sangatlah bervariasi sesuai dengan tujuan penangkapan dan kapasitas armada yang digunakan. Aktivitas penangkapan yang cenderung dilakukan dengan ilegal akan berdampak negatif bagi nelayan itu sendiri. Kabupaten Kupang merupakan salah satu wilayahindonesia yang memiliki laut berbatasatan dengan dua negara yakni Australia dan Timor Leste. Sebagian nelayan dari Kabupaten Kupang melakukan operasi penangkapan ikan cenderung melintasi batas wilayah negara hingga memasuki wilayah perairan Ausralia maupun Timor Leste, akibat dari aktivitas ini nelayan selalu mendapat masalah. Berbagai masalah yang dihadapi namun tidak menurunkan semangat nelayan Indonesia khususnya nelayan Kabupaten Kupang untuk tetap berakses di perairan AsmoreRreef atau sering disebut dengan Pulau Pasir.

95 95 Konflik yang terjadi di Kabupaten Kupang sangatlah kompleks. Nelayan Kabupaten Kupang yang melakukan aktivitas operasi penangkapan di perbatasan mempunyai beberapa alasan sehingga mereka dapat berlayar dan beroperasi di perbatasan tersebut. Alasan yang sangat konkrit adalah sejarah dan yang kedua adalah jenis komuditi sebagai sasaran penangkapan. Jenis komuditi yang merupakan sasaran penangkapan yang merupakan komuditi ekonomis penting diantaranya lola (Trocus), teripang (Holothuridae), pimping (Abalone), siput hijau (Green Snail), telur penyu, hiu (Shark) dan ikan karang lainnya, armada yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan operasi penangkapan pada daerah tersebut merupakan armada skala kecil (armada tradisional). Adanya perbedaan persepsi atau konsep dalam mengklasifikasi armada antara Indonesia dan Australia yang mengakibatkan terjadinya konflik. Klasifikasi armada tradisional bagi Indonesia yakni armada yang berukuran skala kecil dengan ukuran < 10 GT dan armada ini menggunakan mesin skala kecil serta alat tangkap yang semi tradisional, sedangkan klasifikasi armada tradisional menurut Australia yakni armada tradisional adalah armada yang tidak menggunakan teknologi moderen seperti kapal hanya mengunakan layar dan tidak menggunakan mesin baik mesin dalam maupun mesin luar, alat tangkap yang digunakan bersifat ramah lingkungan tidak merusak, fishing right yang merupakan kata trend dalam masalah illegal fishing saat ini menjelaskan perbedaan persepsi yang dilihat secara teknis (teknologi) yang digunakan dijelaskan oleh Adhuri, dkk, 2005, bahwa hal inilah yang menjadi permasalahan bagi nelayan Indonesia khususnya nelayan Kabupaten Kupang yang hanya melakukan aktivitas guna peningkapan frekuensi dan teknologi dan merupakan adaptasi terhadap tututan kebutuhan (ekonomi dan operasi kerja) sedangkan bagi Australia merupakan ancaman bagi kelestarian sumberdaya laut dan sudah tentu menjadi masalah kedaulatan. Hasil persetujuan antar kedua negara yang memperbolehkan nelayan Indonesia untuk melakukan aktivitas penangkapan di wilayah perbatasan dalam Box MOU yang menggambarkan bahwa Australian meningkatkan law enforcement yang merupakan strategi untuk mengatasi masalah illegal fishing. isi MOU tersebut diantaranya yakni kelompok nelayan pelintas batas di bagi dalam 3 kelompok yang terdiri dari :

96 96 1) Nelayan yang menggunakan perahu Lambo (perahu layar tanpa motor) dengan target tangkapannya adalah tripang, trocus dan penyu hijau. 2) Nelayan yang menggunakan perahu lebih kecil dari Lambo (body dan mesin dalam) dengan target sasaran hiu dan sirip hiu dengan lat pancing/rawai dengan alat bantu rumpon. 3) Nelayan yang menggunakan perahu lebih kecil dari Lambo (body dan mesin dalam) dengan sasaran target teripang, trocus, kerang hijau dan penyu hijau. Selain pembagian kelompok armada, pembagian Zona pemanfaatanpun dilakukan yakni terdiri dari tiga Zona yang sering disebut dengan Australia Zona Fising (AZF) I atau sering dikenal dengan Pulau satu (west Island), AZF II atau dikenal dengan Pulau dua (Middle Island) dan AZF III dikenal dengan Pulau tiga (East Island) (DKP NTT, 2006). Ketiga Zona tersebut dikendalikan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan. Pemanfaatan sumberdaya dalam zona tersebut harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan yakni ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasikan sumberdaya yang dilarang guna komersial. Nelayan Indonesia melakukan aktivitas penangkapan pada daerah perbatasan dengan skala armada yang tradisional dapat dikatakan sebagai Ilegal Unregulated Unreported Fishing (IUU fishing) namun kalau ditinjau dari sejarah maka nelayan Indonesia dalam hal ini nelayan Kabupaten Kupang tidak dapat dikatan IUU fishing. Srtategi yang baik dalam menekan tingkat konflik yang terjadi pada nelayan Kabupaten Kupang adalah menelusuri akar permasalahan atau penyebab utama nelayan melakukan aktivitas hingga perbatasan, selain itu melakukan sosialisasi tentang penerapan hukum lintas batas, penciptaan lapangan kerja melalui diversifikasi usaha kesektor lain seperti budidaya dan pengolahan, meningkatkan ketrampilan nelayan dalan penggunaan teknologi penangkapan dan relokasi nelayan ke Pulau terluar yang belum dihuni dan berpotensi. 5.4 Rancangan Umum Jenis Armada yang akan dikembangkan di Kabupaten Kupang Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif jenis armada yang dapat dikembangkan di Kabupaten Kupang terdiri dari purse seine, handline, rawai dan bubu.. Keempat jenis tersebut memiliki desain yang mirip secara konstruksi dan ukuran sesuai dengan fungsi dari armada masing-masing. Desain armada akan selalu menyesuaikan

97 97 dengan fungsinya seperti ukuran kapal yang digunakan diharapkan sesuai dengan ukuran alat yang digunakan sebagai alat penangkapan ikan dan jenis ikan yang ditangkap dalam hal ini akan mempengaruhi ukuran mesin guna menentukan kecapatan kapal pada saat beroperasi. Selain itu juga jarak jangkauan fishing ground akan menentukan jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dan jumlah nelayan (ABK). Kesesuaian ukuran kapal ataupun dari model kapal dengan ukuran alat, jenis ikan target, kebutuhan akan bahan bakar dan beban lainnya akan mempengaruhi kondisi kapal pada saat beroperasi yang berdampak pada keslamatan pelayaran secara umun dan secara khususnya adalah keslamatan nelayan. Hal ini didukung oleh pendapat Unus dkk., 2005 yang mengatakan suatu operasi penangkapan dapat optimal apabila memperhatikan faktor keslamatan, karena operasi penangkapan merupakan aktivitas yang resiko tinggi, selanjutnya dikatan bahwa unsur kecelakaan sering terjadi pada kapal-kapal ukuran < 12 meter dan presentasi kecelakaannya 54 %, jenis kecelakaan tenggelam sebesar 40,66 %. Faktor eksternal dan internal sangat mempengaruhi kapal pada saat beroperasi, stabilitas kapal harus diperhatikan sebab dapat membahayakan keselamatan nelayan pada saat beroperasi. Selain itu komponen yang utama dan sangat berpengaruh diantaranya kekuatan mesin pengerak kapal untuk menjangkau fishing ground dan mengejar gerombolan ikan, merek mesinpun sangat berpengaruh dalam ukuran investasi, kekuatan mesin (PK) dan berat mesin, volume bahan bakar yang dibutuhkan dalam trip operasi, biaya perawatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Borgestam (1967) yang diacu Fara (1993) mengatakan ada beberapa syarat umum suatu mesin kapal perikanan yaitu : Mesin tidak terlalu berat, kisaran optimum Kg/HP Tidak membutuhkan ruangan yang besar/terlalu ruas Memiliki getaran yang relatif kecil Berkualitas (lama waktu pemakaian) Sederhana dan simpel Ekonomis (pemanfaatan bahan bakar) dan di ditambahkan oleh Soenarto (1985) prestasi motor/mesin kapal adalah persoalan utama yang harus diperhatikan baik tahun keluaran/pembuatan untuk mengetahui kecepatan putaran propeller (baling-baling) dan kecepatan mesinnya minimum agar mudah terkendali.

98 98 Jika mesin yang digunakan berkualitas dan memiliki kemampuan yang besar dalam mendukung kapal beroperasi maka daya dan kecepatan suatu kapal dapat dihitung. Untuk meningkatkan kecepatan kapal dalam knot (satu mil per jam) membutuhkan kenaikan daya yang besar pula serta kebutuhan bahan bakarpun akan meningkat, besaran badan kapal yang terendam air dapat menentukan suatu besaran daya. Besar kecilnya kecepatan sebuah kapal ikan dalam beroperasi sangat ditentukan oleh panjang kapal, daya pengerak kapal, dan displacement. Volume kapal juga sangat menentukan kesuksesan/kelancaran beroperasikannya suatu kapal ikan dalam proses penangkapan di laut. Jika volume kapal melebihi nilai standar maka dapat membahayakan bagi kapal tersebut sehingga keselamatan kerja para nelayan akan tidak aman. Keseimbangan kapal juga akan ditentukan oleh besaran muatan dan distribusi muatan pada kapal tersebut. Keseimbangan antara faktor faktor /komponen-komponen utama sangat membantu kelancaran beroperasinya kapal. Ruangan-ruangan yang akan digunakan seperti ruangan penyimpan hasil tangkapan/palka, penyimpan es, ruangan mesin, ruangan kemudi dan ruangan dan sebagainya harus lebih diutamakan. Dimensi utama kapal ikan yang terdiri dari panjang kapal, lebar kapal, dalam kapal dan draft tinggi kapal akan menentukan volume, kapasitas dan stabilitas kapal. Dimensi utama ini tidak hanya digunakan dalam menghitung volume kapal namun dapat pula digunakan untuk menghitung lainnya. Dengan mempertimbangkan kondisi kapal yang harus selalu mengikuti alur berpindahnya daerah fishing ground maka konstruksi kapalpun harus memiliki kualitas yang lebih tinggi, hal ini menuntut penggunan material pembuatan kapal yang ekstra lebih baik. Sesuai pendapat Pasaribu, 1985, di Indonesia terdapat 40 jenis kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuat kapal ikan. Kapal-kapal yang terdapat di Indonesia hampir sebagian besar terbuat dari kayu, konstruksi ini sudah sejak dahulu kala didisain untuk menjadi alat transportasi laut yang sangat baik. Dengan melihat fungsi dan sifat kayu yang mudah mengapung dan mudah lapuk maka kualitas kayupun harus diperhatikan dan menjadi pilihan utama bagi para pembuat/perancang kapal. Bahan yang dibutuhkan adalah kayu yang kuat dan tidak mudah lapuk, memiliki daya tahan terhadap air laut, panas, hujan, angin dan hempasan gelombang serta ukurannya. Kapal-kapal ikan yang beroperasi di Kabupaten Kupang hampir sebagian besar mengunakan jenis kayu yang berasal dari daerah Sulawesi, hal ini dikarenakan jenis

99 99 kayu lokal memiliki ukuran yang sangat pendek sedangkan untuk mendapatkan desain konstruksi yang baik sebaiknya digunakan jenis kayu yang utuh, misalnya untuk meletakkan bagian lunas dibutuhkan jenis kayu yang kuat, utuh dan panjangnya harus sesuai dengan ukuran panjang kapal. Kelayakan desain kapal ikan mempengaruhi keragaman teknis kapal pada saat beroperasi. Prediksi pergerakan kapal yang benar dilaut, ketahanan dan karakteristik propulsi kapal, pengaruh dinamika dan muatan struktur (seperti slamming dan basahan geladak adalah permasalahan kompleks). Hal ini sejalan dengan pendapat Bhattacharya, 1978 dan Ayodhyoa, 1972 bahwa pemilihan kasko dan dimensi kapal disesuaikan dengan kegunaan kapal dan harus memperhatikan proporsinal dimensi utama mutlak. Keefisiensi dan keefektifits dari sebuah kapal harus selalu memperhatikan besaran mesin, ukuran kapal, bentuk kapal dan kekuatan suatu tipe mesin agar selalu berimbang. Resistensi kapal juga dipengaruhi oleh panjang dan lebar kapal sedangkan kekutan kapal dipengaruhi oleh lebar dan dalam, yang mempengaruhi penampilan kapal ikan adalah ratio dimensi. Rancangan kapal harus memperhatikan platform perencanaannya (tujuan dan proses penangkapan) dan rancangan umum biasanya dikenal dengan general arrangement, yang menampilkan rancangan umum tata letak kapal secara lengkap baik dari sudut pandang/tampak atas dan samping. Iskandar (1990), mengatakan tujuan pembuatan gambaran umun kapal adalah guna penentukan ruang kapal secara umum. Gambar ini terdiri dari 3 bagian yakni gambar tampak samping dan tampak atas dan tampak depan dan belakang. Gambar tampak samping menunjukan tata ruang kapal dari buritan hingga bagian bawah dek, yang terdiri dari ruang mesin, ruang palka ikan, ruang peralatan dan dapur sedangkan gambar tampak atas menunjukan tata ruang diatas dek yang terdiri dari ruangan di bagian buritan yang berfungsi sebagai ruang kemudi dan ruang akomodasi dan gambar tampak belakang dan depan berfungsi untuk menentukan bentuk badan kapal.

100 100 Gambar 15 Rancangan umum armada Purse Seine

101 101 Lanjutan Gambar 15

102 102 Lanjutan Gambar 15

103 103 Gambar 16 Rancangan umum kapal pengangkut hasil tangkapan Purse Seine

104 104 Lanjutan Gambar 16

105 105 Gambar 17 Rancangan umum kapal rawai

106 106 Lanjutan Gambar 17

107 Optimalisasi Alokasi Armada Perikanan Tangkap Dalam kaitan dengan maksud akhir pengembangan armada perikanan tangkap yaitu optimalisasi alokasi armada perikanan tangkap, dan upaya untuk kedepan yakni memperbaiki faktor internalnya, maka sasaran pengembangan pada Tabel 11 disintesis dan diselaraskan sehingga menjadi : (1) Mengoptimalkan hasil tangkap total sesuai MSY (2) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan ekor kuning sesuai MSY ekor kuning (3) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan tuna/cakalang sesuai MSY tuna/cakalang (4) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan kembung sesuai MSY kembung (5) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan kerapu sesuai MSY kerapu (6) Mengoptimalkan hasil tangkap lobster sesuai MSY lobster (7) Mengoptimalkan ukuran kapal (8) Mengoptimalkan kekuatan mesin kapal (9) Mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian purse seine (10) Mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai (11) Mengoptimalkan jumlah hari operasi (12) Mengoptimalkan jumlah ABK (13) Mengoptimalkan penggunaan BBM (14) Mengoptimalkan penggunaan es (15) Mengoptimalkan penggunaan air tawar Sedangkan jenis armada yang dikembangkan, dipilih berdasarkan ilustrasi yang disebutkan dalam matriks SWOT yaitu armada penting baik dalam operasi maupun yang mendukung kegiatan operasi penangkapan dan banyak dikembangkan oleh nelayan, termasuk jenis armada yang tidak merusak, dapat menangkap jenis ikan potensial (ekor kuning, cakalang, kerapu, lobster, dan kembung), dan memanfaatkan teknologi yang sudah dikuasai dengan baik. Dengan demikian, maka armada penting tersebut adalah : - Pole and line - Rawai - Pancing ulur, - Purse seine,

108 108 - Bubu - Kapal pengangkut 5.6 Kajian kebijakan Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Pengelolaan yang baik tidak hanya berpihak pada hukum dan peraturan namun kerjasama yang baik antara lembaga yang terkait akan sangat membantu dalam mengoptimalkan sumberdaya. Adapun lembaga-lembaga yang terkait dalam pengelolaan ini disajikan pada Tabel 11. Hasil penelitian dilapangan menunjukan bahwa kebijakan yang berlaku saat ini adalah kebijakan yang berifat distributif redistribusif masih menerapkan peraturan yang diturunkan secara nasional (top down), sedangkan peraturan yang dibentuk oleh daerah belum ada, hal ini didukung oleh pendapat Buck, (1996) yang diacu oleh Nikijuluw (2002), selanjutnya setelah dilakukan analisis dengan melihat strategi dan prioritas trategi maka bentuk kebijakan yang akan diterapkan dapat dikatagorikan sebagai kebijakan pengaturan kompetisi dan perlindungan, hal ini didukung oleh pendapat Abidin, 2004 yang mengatakan kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan keinginan masyarakat dan kebijakan tersebut mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat sejak awal proses, perumusan, pelaksanaan dan penilaian selanjutnya untuk mendapatkan suatu bentuk pengelolan yang baik dan rasional Fauzi, 2005 mengatakan sumberdaya yang dikelola dengan baik dan optimal perlu dilakukan dengan bentuk kebijakan yang rasionalisasi. Keterlibatan masyarakat dalam menentukan suatu keberhasilan kebijakan sangatlah penting. Peraturan yang diturunkan dari pusat secara nasional sebaiknya diratifikasi oleh daerah sesuai dengan kondisi dan isu yang ada pada daerah tersebut secara rasional sehingga keseimbangan antara kebijakan yang dibuat dengan pelaksanaan tercipta.

109 Tabel 11. Departemen dan lembaga- lembaga yang terkait dalam kompleks komponen perikanan tangkap Komponen Departemen/Lembaga Ruang Lingkup Masyarakat Konsumen YLKI pemantauan produk Modal Departemen Keuangan permodalan Teknologi Departemen Perindustrian dan perdagangan peningkatan teknologi Pembinaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pembinaan tenaga kerja GAPPINDO asosiasi usaha Sarana Produksi Galangan kapal Departemen Perindustrian dan Perdagangan perijinan Pabrik alat Departemen Keuangan permodalan Diklat Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja, Departemen pelatihan tenaga kerja Pendidikan dan Kebudayaan pembinaan tenaga kerja Departemen Pertanian pelatihan tenaga kerja Unit Penangkapan Kapal Departemen Perindustrian dan Perdagangan Perijinan Pembuatan kapal Biro Klasifikasi Indonesia Perijinan pembuatan kapal ikan Ditjen Perhubungan Laut Pengawasan kapal penangkap ikan Departemen Hankam Pengawasan keamanan kapal penangkap Ikan Alat Ditjen Perikanan Pemantauan alat penangkapan, hasil tangkap, daerah penangkapan dan anak buah kapal Nelayan Departemen Keuangan dan Koperasi Permodalan Unit Sumberdaya Spesies Departemen Kehutanan Daerah Konservasi Habitat Departemen Lingkungan Hidup Pembinaan lingkungan hidup Musim/Lingkungan Fisik Departemen Pertanian dan Ditjen Perikanan Potensi sumberdaya P3O LIPI, BPPT, LAPAN, Univeritas pengkajian sstok sumberdaya Unit Pemasaran Distribusi Departemen Perindustrian dan Perdagangan perijinan/perdagangan Penjualan Departemen Pertanian dan Ditjen Perikanan sarana usaha pemasaran Segmen Departemen Keuangan dan Koperasi permodalan usaha GAPPINDO Departemen Perhubungan informasi pasar, penjualan penjualan secara regional maupun Internasional Unit Pengolahan Handling Departemen Perindustrian dan Perdagangan Perijinan usaha pengolahan Processing Departemen Pertanian dan Ditjen Perikanan rekomendasi usaha pengolahan perikanan Packaging Departemen Tenaga Kerja pelatihan tenaga kerja Departemen Keuangan/Koperasi permodalan Prasarana Pelabuhan Prasarana Pelabuhan Departemen Perhubungan pengelolaan jasa pelabuhan Departemen Perindustrian dan perdagangan perijinan pelabuhan Departemen Pertanian dan Ditjen Perikanan pengelolaan pelabuhan Ditjen Perhubungan laut pengelolaan navigasi dan rambu-rambu Departemen Pekerjaan Umum penggunanan tenaga kerja BAPPEDA perijinan daerah Optimalisasi Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Optimalisasi pengembangan armada perikanan tangkap ini dimaksudkan untuk menentukan alokasi optimal enam jenis armada penting yang terdapat di Kabupaten Kupang (pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut). Jumlah armada perikanan tangkap tersebut saat ini adalah pole and line 60 unit, rawai

110 unit, pancing ulur unit, purse seine 122 unit, bubu 88 unit, dan kapal pengangkut 20 unit. Berdasarkan hasil identifikasi, ada lima belas macam sasaran yang hendak dicapai dari upaya optimalisasi pengembangan armada perikanan tangkap tersebut, yaitu mengoptimalkan hasil tangkap total sesuai MSY, mengoptimalkan hasil tangkap ikan ekor kuning sesuai MSY ekor kuning, mengoptimalkan hasil tangkap ikan cakalang sesuai MSY cakalang, mengoptimalkan hasil tangkap ikan kembung sesuai MSY kembung, mengoptimalkan hasil tangkap ikan kerapu sesuai MSY kerapu, mengoptimalkan hasil tangkap lobster sesuai MSY lobster, mengoptimalkan ukuran kapal, mengoptimalkan kekuatan kapal, mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian purse seine, mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai, mengoptimalkan jumlah hari operasi, mengoptimalkan jumlah ABK, mengoptimalkan penggunaan BBM, mengoptimalkan penggunaan es, dan mengoptimalkan penggunaan air tawar. Optimalisasi pengembangan armada perikanan tangkap dengan memperhatikan lima belas sasaran yang hendak dicapai tersebut dilakukan dengan menggunakan metode linear goal programming aplikasi LINDO. Untuk memudahkan analisis, keenam macam armada perikanan tangkap kemudian disimbolkan dengan : X1 = pole and line X2 = rawai X3 = pancing ulur X4 = purse seine X5 = bubu X6 = kapal pengangkut X1, X2, X3, X4, X5, dan X6 kemudian menjadi variabel keputusan dalam analisis. Supaya tidak terjadi konflik atau keresahan sosial, maka optimalisasi pengembangan armada ini tidak bersifat meniadakan/mengurangi jenis armada tertentu yang sudah ada, tetapi bersifat mengatur komposisi yang tepat dan optimal serta membatasi jumlah armada yang tidak berpengaruh langsung dan jumlahnya dianggap sudah cukup dalam aktivitas penangkapan di Kabupaten Kupang. Dengan demikian, kondisi variabel keputusan X1, X2, X3, X4, X5, dan X6 :

111 111 X1 >= 60 X2 >= 34 X3 >= 8261 X4 >= 88 X5 >=120 X6 <=20 Dalam kaitan dengan optimalisasi ini ada dua skenario yang dikembangkan yaitu optimalisasi dengan tercapainya kelima belas sasaran secara bersamaan (Skenario I) dan optimalisasi dengan tercapainya sasaran secara bertahap sesuai dengan kelompok urgensi/kepentingannya (Skenario II). Untuk skenario II, pencapaian sasaran dibagi dalam tiga kelompok, yaitu berturut-turut dari yang paling penting adalah : a. Kelompok I - Mengoptimalkan hasil tangkap total sesuai MSY - Mengoptimalkan hasil tangkap ikan ekor kuning sesuai MSY ekor kuning - Mengoptimalkan hasil tangkap ikan cakalang sesuai MSY cakalang - Mengoptimalkan hasil tangkap ikan kembung sesuai MSY kembung - Mengoptimalkan hasil tangkap ikan kerapu sesuai MSY kerapu - Mengoptimalkan hasil tangkap lobster sesuai MSY lobster - Mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian purse seine b. Kelompok II - Mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai - Mengoptimalkan jumlah hari operasi c. Kelompok III - Mengoptimalkan jumlah ABK - Mengoptimalkan penggunaan BBM - Mengoptimalkan penggunaan es - Mengoptimalkan penggunaan air tawar Hasil optimalisasi keenam jenis armada perikanan tangkap kedua skenario dapat dilihat pada Tabel 12., tampilan olahan LINDO disajikan pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.

112 112 Tabel 12. Perbandingan hasil optimalisasi armada perikanan tangkap Jenis Armada Hasil Optimalisasi Skenario I Skenario II Pole and line Rawai Pancing ulur Purse seine Bubu Kapal pengangkut Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa pengembangan armada menurut skenario I dihasilkan alokasi optimal untuk pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 77 unit, unit, 125 unit, 157 unit, dan 20 unit, sedangkan menurut skenario II dihasilkan alokasi optimal untuk pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit. Bila dibandingkan dengan jumlah armada yang ada saat ini, maka baik berdasarkan skenario I maupun skenario II armada perikanan yang mengalami pengembangan adalah rawai, pancing ulur, purse seine, dan bubu. Sedangkan bila hasil optimalisasi kedua skenario diperbandingkan, maka alokasi rawai mengalami penurunan sebanyak 4 unit (dari 73 unit menjadi 77 unit) bila upaya pengembangan armada berubah dari skenario I ke skenario II, sedangkan alokasi pancing ulur, purse seine, dan bubu mengalami kenaikan masing-masing 1 unit (dari unit menjadi unit), 1 unit (dari 125 unit menjadi 126 unit), dan 4 unit (dari 156 unit menjadi 160 unit). Penurunan jumlah rawai pada skenario II disebabkan oleh sasaran optimalisasi yang berpengaruh khusus terhadap rawai yaitu mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai hanya dijadikan sasaran kelompok II. Implikasi dari sasaran kelompok II adalah sasaran ini baru akan dipertimbangkan setelah semua sasaran kelompok I tercapai. Kenaikan jumlah pancing ulur, purse seine, dan bubu pada skenario II lebih merupakan pelimpahan dari jumlah rawai yang menurun. Hal ini karena tujuan pengembangan mencari alokasi optimal sehingga bila setelah dicapai nilai optimal

113 113 terjadi pengurangan pada salah satu variabel keputusan, maka terjadi peningkatan pada variabel lainnya. Terlepas dari jumlah optimal yang diperoleh oleh kedua skenario, pemilihan skenario pengembangan hendaknya mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya yang ada. Pada skenario I, pencapaian kelima belas sasaran dilakukan secara bersamaan, sedangkan pada skenario II dilakukan secara bertahap (tiga tahap) sesuai dengan urgensi/kepentingannya oleh karena adanya peluang sasaran tidak bisa dicapai secara sekaligus, maka skenario II ini sangat cocok untuk kondisi sumberdaya yang terbatas sehingga dalam aplikasi di lapangan lebih aman. Dalam kaitan ini kebijakan optimalisasai pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang dipilih skenario II yaitu optimalisasi pengembangan armada perikanan tangkap dengan capaian sasaran pengembangan secara bertahap. Bahasan berikut akan membahas pencapaian kelima belas secara sasaran pengembangan dalam rangkah optimalisasi pengembangan armada perikanan tangkap Mengoptimalkan hasil tangkap total sesuai MSY Sasaran mengoptimalkan hasil tangkap total sesuai MSY menjadi sasaran kelompok I pengembangan armada perikanan tangkap. Hal ini karena MSY merupakan batas kritis jumlah tangkapan maksimum yang aman sehingga tidak menyebabkan kepunahan pada golongan ikan ekonomis dan secara keseluruhan tidak mengganggu ekosistem perairan. Ketersediaan sumberdaya ikan ini menjadi penentu utama perlu tidaknya pengembangan armada. Berdasarkan hasil analisis data lapang, MSY total perikanan tangkap di Kabupaten Kupang adalah kg/tahun. Nilai ini menjadi batas maksimum hasil tangkap total di Kabupaten Kupang. Kemampuan hasil tangkap rata-rata dari armada yang beroperasi adalah pole and line sekitar kg/tahun, rawai sekitar kg/tahun, pancing ulur sekitar kg/tahun, purse seine sekitar kg/tahun, dan bubu sekitar kg/tahun. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan hasil tangkap total sesuai MSY dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DA X X X X X5 <

114 114 Berdasarkan hasil olahan LINDO, sasaran mengoptimalkan hasil tangkap total sesuai MSY bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DA1 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan ekor kuning sesuai MSY ekor kuning Sasaran mengoptimalkan hasil tangkap ikan ekor kuning sesuai MSY ekor kuning menjadi sasaran kelompok I karena MSY ekor kuning merupakan batas kritis lestari tidaknya potensi ikan ekor kuning sebagai dasar dilakukannya pengembangan armada penangkapan ekor kuning. Berdasarkan hasil analisis data lapang, MSY ekor kuning di Kabupaten Kupang adalah kg/tahun. Nilai ini menjadi batas maksimum hasil tangkap ikan ekor kuning di Kabupaten Kupang. Kemampuan hasil tangkap rata-rata ikan ekor kuning dari armada sesuai yang beroperasi adalah rawai sekitar kg/tahun, pancing ulur sekitar 522 kg/tahun, purse seine sekitar kg/tahun, dan bubu sekitar kg/tahun. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan hasil tangkap ikan ekor kuning sesuai MSY ekor kuning dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DA X X X X5 <= Berdasarkan hasil olahan LINDO, sasaran mengoptimalkan hasil tangkap ikan ekor kuning sesuai MSY ekor kuning bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DA2 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan cakalang sesuai MSY cakalang Sasaran mengoptimalkan hasil tangkap ikan cakalang sesuai MSY cakalang juga menjadi sasaran kelompok I pengembangan armada perikanan tangkap. Hal ini karena MSY cakalang merupakan batas kritis lestari tidaknya potensi ikan cakalang yang menjadi dasar dilakukannya pengembangan armada penangkapan cakalang. Hasil analisis data lapang, MSY cakalang di Kabupaten Kupang adalah kg/tahun

115 115 dan menjadi batas maksimum hasil tangkap ikan cakalang di Kabupaten Kupang. Kemampuan hasil tangkap rata-rata ikan cakalang dari armada sesuai yang beroperasi (pole and line) sekitar kg/tahun. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan hasil tangkap ikan cakalang sesuai MSY cakalang dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DA X1 < Hasil olahan LINDO terhadap sasaran mengoptimalkan hasil tangkap ikan cakalang sesuai MSY cakalang bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai yang ditandai oleh nilai DA3 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan kembung sesuai MSY kembung Sasaran ini menjadi sasaran kelompok I pengembangan armada perikanan tangkap. Berdasarkan hasil analisis data lapang, MSY kembung di Kabupaten Kupang adalah kg/tahun dan menjadi nilai pembatas maksimum hasil tangkap ikan kembung di Kabupaten Kupang. Kemampuan hasil tangkap rata-rata ikan kembung dari armada sesuai yang beroperasi adalah rawai sekitar kg/tahun, pancing ulur sekitar 359 kg/tahun, dan purse seine sekitar kg/tahun. Berdasarkan data ini, model persamaan matematis mengoptimalkan hasil tangkap ikan kembung sesuai MSY kembung dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DA X X X4 < Berdasarkan hasil olahan LINDO, sasaran mengoptimalkan hasil tangkap ikan kembung sesuai MSY kembung bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DA4 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan hasil tangkap ikan kerapu sesuai MSY kerapu Sasaran mengoptimalkan hasil tangkap ikan kerapu sesuai MSY kerapu juga menjadi sasaran kelompok I pengembangan armada perikanan tangkap. MSY kerapu di Kabupaten Kupang adalah kg/tahun dan menjadi nilai pembatas maksimum

116 116 hasil tangkap ikan kerapu di Kabupaten Kupang. Kemampuan hasil tangkap rata-rata ikan kerapu dari armada sesuai yang beroperasi adalah rawai sekitar kg/tahun dan pancing ulur sekitar 521 kg/tahun. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan hasil tangkap ikan kerapu sesuai MSY kerapu adalah : DA X X3 < Setelah persamaan tersebut diolah menggunakan LINDO ternyata sasaran mengoptimalkan hasil tangkap ikan kerapu sesuai MSY kerapu bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DA5 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan hasil tangkap lobster sesuai MSY lobster Sasaran ini menjadi sasaran kelompok I yang perlu dicapai dari kegiatan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Hasil analisis data lapang menunjukkan MSY lobster di Kabupaten Kupang adalah kg/tahun, sedangkan kemampuan hasil tangkap rata-rata lobster dari armada sesuai yang beroperasi (bubu) adalah sekitar 307,55 kg/tahun. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan hasil tangkap lobster sesuai MSY lobster dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DA ,55X5 < Hasil olahan LINDO menunjukkan sasaran mengoptimalkan hasil tangkap lobster sesuai MSY lobster bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai yang ditandai oleh nilai DA6 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan ukuran kapal Sasaran mengoptimalkan ukuran kapal/armada menjadi sasaran kelompok I pengembangan armada perikanan tangkap. Hal ini karena ukuran kapal menjadi penentu kapasitas penangkapan (berhubungan langsung dengan kondisi sumberdaya

117 117 ikan) dan penentu kebutuhan penangkapan (ABK, BBM, es, air tawar, dan lain-lain). Berdasarkan hasil analisis data lapang, total ukuran kapal yang beroperasi di Kabupaten Kupang adalah GT. Nilai ini menjadi patokan minimum optimalisasi ukuran kapal di Kabupaten Kupang. Sedangkan ukuran rata-rata armada sesuai yang beroperasi adalah pole and line sekitar 28,44 GT, rawai sekitar 36,38 GT, pancing ulur sekitar 24,79 GT, purse seine sekitar 6,81 GT, bubu sekitar 42,03 GT, dan kapal pengangkut sekitar 167,38 GT. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan ukuran kapal dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DB7 + 28,44X1 + 36,38X2 + 24,79X3 + 6,81X4 + 42,03X ,38X6 > Hasil olahan LINDO terhadap sasaran mengoptimalkan ukuran kapal bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DB7 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan kekuatan mesin kapal Sasaran mengoptimalkan kekuatan mesin kapal menjadi sasaran kelompok I yang perlu dicapai dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap. Hal ini karena kekuatan mesin kapal menjadi penentu kapasitas dan jangkauan armada beroperasi serta penentu kebutuhan penangkapan. Hasil analisis data lapang menunjukkan total kekuatan mesin kapal yang beroperasi di Kabupaten Kupang adalah HP dan menjadi patokan minimum optimalisasi kekuatan mesin kapal di Kabupaten Kupang. Sedangkan kekuatan mesin rata-rata untuk pole and line sekitar 154,47 HP, rawai sekitar 123,24 HP, pancing ulur sekitar 119,29 HP, purse seine sekitar 38,81 HP, bubu sekitar 127,94 HP, dan kapal pengangkut sekitar 447,50 HP. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan kekuatan mesin kapal dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DB X X X X X X6 > Berdasarkan hasil olahan LINDO, sasaran mengoptimalkan kekuatan mesin kapal bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit

118 adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DB8 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian purse seine Sasaran mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian purse seine menjadi sasaran kelompok I yang perlu dicapai karena cukup dominan (25,18 %) nelayan sudah menguasai dengan baik teknik pengoperasian purse seine. Dampak langsung dari hal ini, termanfaatkannya keahlian yang ada secara dominan dan mendukung peningkatan produktivitas penangkapan. Analisis data lapang menunjukkan jumlah nelayan yang sudah menguasai dengan baik teknik pengoperasian purse seine sekitar orang, dan jumlah ini tentunya diharapkan meningkat (tidak sebaliknya). Jumlah rata-rata nelayan yang mengoperasikan purse seine sekitar 7 orang per armada. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian purse seine dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DB9 + 7X4 >= 1386 Setelah diolah menggunakan LINDO, sasaran mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian mini purse seine bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DB9 = 0 pada optimalisasi tahap I skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai Sasaran mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai menjadi sasaran kelompok II yang perlu dicapai. Nelayan ahli pengoperasian rawai saat sekitar 13,83 % sehingga tidak terlalu signifikan pengaruhnya dalam pengembangan armada dibandingkan nelayan ahli purse seine. Karena nelayan ahli rawai punya pengaruh langsung terhadap peningkatan produktivitas penangkapan, maka sasaran ini tetap menjadi penting (dimasukkan sebagai kelompok II). Hasil analisis data lapang menunjukkan jumlah nelayan yang sudah menguasai dengan baik teknik pengoperasian rawai sekitar 761 orang. Jumlah rata-rata nelayan yang mengoperasikan rawai sekitar 7 orang per armada. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan

119 jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai dalam pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang adalah : 119 DB X2 > 761 Hasil olahan LINDO menunjukkan bahwa bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit, maka sasaran mengoptimalkan jumlah nelayan ahli pengoperasian rawai adalah tidak tercapai 39 orang (atau hanya tercapai 722 orang). Hal ini ditandai oleh nilai DB10 = 39,16 pada optimalisasi tahap II skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan jumlah hari operasi Upaya mengoptimalkan jumlah hari operasi menjadi sasaran kelompok II pengembangan armada perikanan tangkap. Hal ini karena jumlah hari operasi menjadi penentu kebutuhan penangkapan (ABK, BBM, es, air tawar, dan lain-lain), namun jumlah hari operasi tersebut bergantung pada potensi sumberdaya ikan/msy. Hasil analisis data lapang menunjukkan jumlah hari operasi semua armada dalam satu trip sekitar hari dan jumlah hari operasi ini diharapkan menjadi patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi pada peningkatan biaya operasi. Jumlah hari operasi ratarata dari armada yang beroperasi adalah pole and line sekitar 4 hari per trip, rawai sekitar 3 hari per trip, pancing ulur sekitar 3 hari per trip, purse seine sekitar 2 hari per trip, bubu sekitar 4 hari per trip, dan kapal pengangkut sekitar 5 hari per trip. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan jumlah hari operasi dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DA11 + 4X1 + 3X2 + 3X3 + 2X4 + 4X5 + 5X6 < Hasil olahan LINDO terhadap sasaran mengoptimalkan ukuran kapal bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit adalah tercapai yang ditandai oleh nilai DA11 = 0 pada optimalisasi tahap II skenario II (Lampiran 8).

120 Mengoptimalkan jumlah ABK Sasaran mengoptimalkan jumlah ABK menjadi sasaran kelompok III pengembangan armada perikanan tangkap karena jumlah hari operasi menjadi bagian dari kebutuhan penangkapan yang ditentukan belakangan setelah potensi sumberdaya ikan/msy dan ukuran kapal diketahui. Berdasarkan hasil analisis data lapang menunjukkan total jumlah ABK semua armada yang beroperasi sekitar orang per trip dan jumlah ini diharapkan menjadi patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi pada peningkatan biaya tenaga kerja. Jumlah ABK rata-rata dari armada yang beroperasi adalah pole and line sekitar 14 ABK per trip, rawai sekitar 10 ABK per trif, pancing ulur sekitar 11 ABK per trip, purse seine sekitar 10 ABK per trip, bubu sekitar 7 ABK per trip, dan kapal pengangkut sekitar 8 ABK per trip. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan jumlah ABK dalam pengembangan armada perikanan tangkap adalah : DA X1 + 10X2 + 11X3 + 7X4 + 10X5 + 8X6 < Hasil olahan LINDO bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit dalam upaya mengoptimalkan jumlah ABK adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DA12 = 0 pada optimalisasi tahap III skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan penggunaan BBM Sasaran mengoptimalkan penggunaan BBM menjadi sasaran kelompok III yang perlu dicapai. Sasaran ini tidak mendesak karena ditentukan setelah MSY, ukuran kapal, kekuatan mesin kapal, jumlah hari operasi diketahui. Total penggunaan BBM yang terjadi sekitar liter per trip dan penggunaan ini diharapkan menjadi patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi pada pembengkakan biaya BBM yang menyebabkan armada tidak beroperasi. Data penggunaan BBM rata-rata dari armada yang beroperasi menunjukkan pole and line sekitar 107,75 liter per trip, rawai sekitar 213,25 liter per trip, pancing ulur sekitar 92,50 liter per trip, purse seine sekitar 46,96 liter per trip, bubu sekitar 143,556 liter per trip, dan kapal pengangkut sekitar 273,33 liter per trip. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan

121 penggunaan BBM dalam pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang adalah : DA ,75X ,5X2 + 92,50X3 + 46,96X ,756X X6 < Hasil olahan LINDO menunjukkan bahwa bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit, maka sasaran mengoptimalkan penggunaan BBM adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DA13 = 0 pada optimalisasi tahap III skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan penggunaan es Sasaran mengoptimalkan penggunaan es menjadi sasaran kelompok III karena bersifat tidak bersifat mendesak (ditentukan setelah MSY, ukuran kapal, jumlah hari operasi diketahui). Hasil analisis data lapang menunjukkan total penggunaan es yang terjadi sekitar 5.590,25 ton per trip dan penggunaan ini diharapkan menjadi patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi pada pembengkakan biaya pengadaan es. Data lain menunjukkan penggunaan es rata-rata dari armada yang sesuai adalah pole and line sekitar 0,62 ton per trip, rawai sekitar 0,46 ton per trip, pancing ulur sekitar 0,41 ton per trip, dan bubu sekitar 0,41 ton per trip. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan penggunaan es dalam pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang adalah : DA14 + 0,62X1 + 0,46X2 + 0,41X3 + 0,41X5 < 5.590,25 Hasil olahan LINDO menunjukkan bahwa bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit, maka sasaran mengoptimalkan penggunaan es adalah tercapai. Hal ini ditandai oleh nilai DA14 = 0 pada optimalisasi tahap III skenario II (Lampiran 8) Mengoptimalkan penggunaan air tawar Sasaran ini menjadi sasaran kelompok III karena bersifat tidak mendesak (ditentukan setelah MSY, ukuran kapal, jumlah hari operasi, dan jumlah ABK diketahui). Data lapang menunjukkan total penggunaan air tawar yang terjadi sekitar

122 ,55 ton per trip dan diharapkan menjadi patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi pada pembengkakan biaya pengadaan air tawar. Penggunaan air tawar ratarata dari armada yang beroperasi adalah pole and line sekitar 0,53 ton per trip, rawai sekitar 0,59 ton per trip, purse seine sekitar 0,44 ton per tahun, pancing ulur sekitar 0,05 ton per trip, bubu sekitar 0,5 ton per trip, dan kapal pengangkut sekitar 1,03 ton per trip. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan penggunaan air tawar dalam pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang adalah : DA15 + 0,53X X2 + 0,44X3 + 0,05X4 + 0,5X5 + 1,03X6 < 6399,55 Hasil olahan LINDO menunjukkan bahwa bila alokasi pole and line, rawai, pancing ulur, purse seine, bubu, dan kapal pengangkut masing-masing 60 unit, 73 unit, unit, 126 unit, 160 unit, dan 20 unit, maka sasaran mengoptimalkan penggunaan air tawar adalah tercapai yang ditandai oleh nilai DA15 = 0 pada optimalisasi tahap III skenario II (Lampiran 8). 5.8 Strategi Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Strategi pengembangan perikanan tangkap ini merupakan kegiatan menentukan prioritas yang tepat dari enam alternatif armada yang bisa dikembangkan berdasarkan hasil analisis Linear Goal Programming, hanya akan dipilih empat armada yang tepat untuk dikembangkan, untuk mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengembangan armada dijadikan kriteria dan pembatas (limiting factor) pengembangan armada dan analisis dilakukan secara terstruktur menggunakan AHP. Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap menurut Baruadi (2002), Yuniarti (2002), dan Saaty (1986) dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap Kabupaten Kupang, maka berbagai kriteria dan pembatas pengembangan armada perikanan tangkap Kabupaten Kupang ditetapkan : a. Kriteria pengembangan armada perikanan tangkap - Sumberdaya ikan (SDI) lestari - Profit (keuntungan) usaha meningkat - Produktivitas penangkapan meningkat - Selektifitas alat tangkap meningkat - Penyerapan tenaga kerja meningkat

123 123 - Penggunaan BBM rendah - Pendapatan asli daerah (PAD) meningkat b. Pembatas pengembangan armada perikanan tangkap - Pendanaan - Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) - Teknologi operasi penangkapan - Kondisi perairan - Keberadaan PPI/TPI - Jumlah galangan kapal Empat alternatif armada yang bisa dikembangkan (rawai, pancing ulur, purse seine, dan bubu) menjadi opsi pengembangan armada perikanan tangkap. Selanjutnya kriteria, pembatas, dan opsi dikembangkan berdasarkan interaksi/keterkaitannya dalam bentuk struktur hierarki AHP seperti terlihat pada Gambar 18. Sumberdaya Ikan lestari Pendanaan Pengembangan Armada Perikanan Kab. Kupang Profit Usaha Meningkat Produktivitas Tangkap Meningkat Selektivitas Alat Tangkap Meningkat Penyerapan Tenaga Kerja Meningkat Penggunaan BBM Rendah Ketersediaan SDM Tek. Operasi Penangkapan Kondisi Perairan Jumlah Galangan Kapal Rawai 5 GT 10GT Pancing Ulur 5 GT - 10 GT Purse Seine 5 GT -10 GT Bubu 5 GT -10 GT Pendapatan Asli Daerah Meningkat Keberadaan PPI/TPI Gambar 18 Struktur hierarki pengembangan armada perikanan tangkap Pada Gambar 18 bahwa dalam penentuan prioritas pengembangan armada dilakukan pertimbangan terhadap tujuh jenis kriteria yang perlu dicapai dalam upaya

124 pengembangan armada, setiap kriteria dilakukan pertimbangan terhadap enam jenis pembatas limiting factor di bidang perikanan tangkap, setiap armada alternatif dipertimbangkan untuk setiap pembatas pada setiap kriterianya. Untuk mengakomodir semua kepentingan, maka pertimbangan tersebut diminta melalui kuesioner kepada perwakilan semua stakeholders yang terkait dalam aktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Kupang seperti nelayan, pengusaha perikanan tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan, PEMDA, dan masyarakat umum. Bahasan berikut akan membahas kepentingan kriteria dan pembatas dalam kaitannya dengan opsi-opsi pengembangan untuk pengembangan armada perikanan tangkap Perbandingan kepentingan kriteria-kriteria dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap 124 Pada bahasan sebelumnya disebutkan bahwa kriteria pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang terdiri dari Sumberdaya ikan (SDI) lestari, profit usaha meningkat (PROFIT), produktifitas penangkapan meningkat (PRDUKTIF), selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF), penyerapan tenaga kerja meningkat (TNG KERJA), penggunaan BBM rendah (BBM), dan pendapatan asli daerah meningkat (PAD). Gambar 19 memperlihatkan posisi kriteria-kriteria tersebut pada level II, Gambar 19. menunjukkan hasil analisis rasio kepentingan setiap kriteria setelah diolah menggunakan Program AHP. Gambar 19 Posisi kriteria pengembangan pada level kedua (setelah goal) pada aplikasi Program AHP

125 125 Dalam kaitan dengan rasio kepentingan kriteria dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap, Gambar 19. menunjukkan bahwa kriteria kelestarian sumberdaya ikan lestari (SDI) mempunyai rasio kepentingan paling penting dibandingkan enam kriteria lainnya, yaitu 0,195 pada inconsistency terpercaya 0,01. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1. Hal ini menunjukkan bahwa armada perikanan tangkap yang dikembangkan diutamakan yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada. Hal ini bisa dimaklumi karena sumberdaya ikan merupakan faktor utama terjadinya kegiatan perikanan tangkap di suatu lokasi. Selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF) merupakan kriteria urutan kedua paling penting dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap yang ditandai oleh rasio kepentinggan kedua 0,174 pada inconstensy terpercaya 0,01. Kriteria ini termasuk urutan kedua karena selektivitas alat tangkap berkaitan langsung dengan sumberdaya ikan yang merupakan faktor utama penangkapan. Kriteria yang mempunyai rasio kepentingan ketiga adalah profit usaha meningkat (PROFIT) dan pendapatan asli daerah meningkat (PAD) masing-masing dengan nilai 0,163 pada inconsistency 0,01. Berdasarkan rasio kepentingan tersebut, maka armada perikanan tangkap yang dikembangkan di Kabupaten Kupang diupayakan yang dapat memberi profit sekaligus kontribusi terhadap PAD yang cukup signifikan setelah keletarian sumberdaya SDI dan selektifitas alat tangkap tangkap terjamin dengan penggunaan armada tersebut. Gambar 20 Rasio kepentingan kriteria dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,01)

126 126 Penggunaan BBM rendah (BBM) merupakan kriteria dengan rasio kepentingan paling rendah dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap yaitu hanya 0,073 pada inconsistency terpencaya 0,01 (Gambar 20). Rasio kepentingan ini menunjukkan bahwa penggunaan BBM oleh armada perikanan tangkap yang akan dikembangkan tidak terlalu dipersoalkan di Kabupaten Kupang. Hal ini mungkin karena sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Kupang relatif berlimpah sehingga fishing ground mudah dijangkau Perbandingan kepentingan pembatas (Limiting Factor) dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap Hasil sintesis sebelumnnya menunjukkan bahwa beberapa hal yang menjadi pembatas dalam pengembangan armada perikanan tangkap di kabupaten Kupang adalah pendanaan (DANA), ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG), kondisi perairan (PERAIRAN), keberadaan PPI/TPI (PPI/TPI), dan jumlah galangan kapal (GALANGAN). Pembatas-pembatas ini merupakan faktor koreksi dalam memenuhi kriteria-kriteria pengembangan sehingga armada-armada yang menjadi alternatif dapat dipilih priotitas dalam pengembangan armada. Bahasan berikut akan membahas kepentingan pembatas-pembatas yang sesuai dengan perhatian pada setiap kriteria dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Dalam kaitan dengan perhatian terhadap kriteria sumberdaya ikan (SDI) lestari, ada tiga pembatas yang berpengaruh atau berkepentingan, yaitu ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG), dan kondisi perairan (PERAIRAN) (Gambar 21). Pembatas ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG) merupakan pembatas yang pengaruh secara teknis melalui kegiatan penangkapan terhadap sumberdaya ikan, sedangkan pembatas kondisi perairan (PERAIRAN) berpengaruh secara biologis bagi perkembangan sumberdaya ikan.

127 127 Gambar 21 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada sumberdaya SDI lestari (level III) Pada Gambar 22. terlihat bahwa pembatas kondisi perairan (PERAIRAN) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,550 pada inconsistency terpercaya 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan (PERAIRAN) berpengaruh dominan (55 %) terhadap kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Kupang. Dalam kaitan ini, armada perikanan tangkap yang dikembangkan sebaiknya yang dapat menjaga kondisi perairan dalam artian tidak mencemari perairan dan tidak merusak ekosistem perairan. Oleh karena kriteria kelestarian sumberdaya ikan merupakan kriteria dengan rasio kepentingan tertinggi (0,195), maka saran agar armada yang dikembangkan dapat menjaga kondisi perairan termasuk sangat kritis dan urgen sehinga usaha penangkapan dapat berkelanjutan. Gambar 22 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada sumberdaya SDI lestari dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,02)

128 128 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria profit usaha meningkat (PROFIT) adalah pendanaan (DANA), ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG), kondisi perairan (PERAIRAN), dan keberadaan PPI/TPI (PPI/TPI) (Gambar 23). Gambar 23 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada profit usaha meningkat (level III) Kepentingan setiap pembatas terhadap kriteria tersebut pendanaan berkepentingan sebagai sumber dana pinjaman lunak/tanpa bunga, ketersediaan SDM berkepentingan sebagai calon tenaga kerja produktif, teknologi operasi penangkapan berkepentingan untuk efisiensi biaya operasi, kondisi perairan berkepentingan dalam kelimpahan SDI, dan keberadaan PPI/TPI berkepentingan dalam kemudahaan pasar. Rasio kepentingan kelima pembatas tersebut terlihat pada Gambar 24. Teknologi akan selalu berpengaruh terhadap suatu usaha yang secara tidak langsung akan mempengaruhi SDM, untuk mengimbangi maka dana sangat dibutuhkan sebagai modal untuk maju dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi.

129 129 Gambar 24 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada profit usaha meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,03) Dari kelima pembatas tersebut, pembatas teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,294 pada inconsistency terpercaya 0,03. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi operasi penangkapan adalah yang paling berpengaruh untuk meningkatkan profit usaha. Dalam kaitan dengan profit ini, maka armada yang dikembangkan diarahkan pada yang mempunyai kehandalan dalam teknologi. Hasil analisis sebelumnya profit usaha meningkat termasuk kriteria urutan ketiga dalam pengembangan armada perikanan tangkap (rasio kepentingan = 0,163 pada inconsistency terpercaya 0,03). Pembatas ketersediaan SDM (SDM) dan pendanaan (DANA) masing menduduki urutan kedua dan ketiga untuk perhatian pada peningkatan profit usaha, dengan rasio kepentingan masing-masing 0,279 dan 0,251 pada inconsistency terpercaya 0,03 sehingga perlu diperhatikan setelah teknologi operasi penangkapan dari setiap armada perikanan yang dikembangkan. Pembatas keberadaan TPI/PPI merupakan pembatas dengan rasio kepentingan terendah, yaitu 0,079 pada inconsistency terpercaya 0,03. Dengan demikian, tidak terlalu diperhatikan kontribusinya bagi profit usaha dari setiap armada yang akan dikembangkan. Hal ini mungkin disebabkan karena penjualan hasil tangkap dapat dijual di tempat lain tanpa mengurangi profit usaha secara berarti (Gambar 24) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria produktifitas penangkapan meningkat (PRDUKTIF) adalah ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG), kondisi perairan (PERAIRAN),

130 130 dan jumlah galangan kapal (GALANGAN). Kepentingan keempat pembatas tersebut terhadap kriteria ini adalah ketersedian SDM berkepentingan dalam penyediaan calon tenaga kerja terampil, teknologi operasi berkepentingan untuk meningkatkan hasil tangkap, dan jumlah galangan kapal berkepentingan dalam mendukung kesiapan sarana penangkapan. Gambar 25. memperlihatkan posisi ketiga pembatas tersebut dalam struktur hierarki aplikasi Program AHP dan rasio kepentingan masing-masing. Gambar 25 Posisi pembatas yang berkepentingan (level III) dan rasio kepentingan masing-masing dengan perhatian pada produktivitas penangkapan meningkat Berdasarkan Gambar 26, pembatas teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG) merupakan kriteria urutan pertama untuk perhatian pada kriteria produktifitas penangkapan meningkat (PRODUKTIF) dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Hal ini ditandai oleh rasio kepentingannya yang paling tinggi, yaitu 0,471 pada inconsistency terpercaya 0,09. Distribusi nilai rasio kepentingan yang cukup besar (47,1 %) ini untuk empat pembatas yang diperbandingkan menandakan bahwa teknologi operasi penangkapan relatif sangat berpengaruh dalam upaya peningkatan produktifitas penangkapan. Namun karena kritera produktiftas penangkapan meningkat (PRODUKTIF) hanya mempunyai rasio kepentingan 0,082 (urutan keenam dari tujuh kriteria), maka pengaruh pembatas teknologi operasi penangkapan pada perhatian ini tidak signifikan terhadap upaya pengembangan armada perikanan tangkap. Jumlah galangan kapal (GALANGAN)

131 131 merupakan pembatas dengan rasio kepentingan paling rendah, yaitu 0,102 pada inconsistency terpercaya 0,09. Dengan demikian, tidak berpengaruh penting pada perhatian pada produktiftas penangkapan meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap. Gambar 26 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada produktivitas penangkapan dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,09) Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria keempat (seletivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF)) adalah teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG), kondisi perairan (GALANGAN). (PERAIRAN), dan jumlah galangan kapal Kepentingan ketiga pembatas terhadap kriteria tersebut adalah teknologi berkepentingan dalam penciptaan alat tangkap selektif, kondisi perairan berkepentingan dalam penyediaan SDI dengan ukuran dan jenis sesuai target, dan galangan kapal berkepentingan dalam penyediaan secara mudah sarana penangkapan selektif. Gambar 27 memperlihatkan rasio kepentingan ketiga pembatas tersebut dengan perhatian pada selektivitas penangkapan meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap. Pada Gambar 28. terlihat bahwa pembatas kondisi perairan (PERAIRAN) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,493 pada inconsistency terpercaya 0,05. Dalam kaitan ini, armada perikanan tangkap yang dikembangkan untuk perhatian pada selektifitas alat tangkap ini adalah armada yang dapat menjaga kondisi perairan. Kemampuan armada untuk menjaga kondisi perairan dalam kaitan ini adalah armada mengoperasikan alat tangkap hanya dapat menangkap sumberdaya ikan dengan ukuran

132 132 dan jenis tertentu sesuai spesifikasinya. Oleh karena selektivitas alat tangkap termasuk kriteria kriteria dengan rasio kepentingan urutan kedua tertinggi (0,174), maka pada perhatian ini pengembangan armada perikanan tangkap yang dapat menjaga kondisi perairan sangat penting. Gambar 27 Posisi pembatas yang berkepentingan (level IV) dan rasio kepentingan masing-masing dengan perhatian pada selektivitas penangkapan meningkat. Gambar 28 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada selektifitas penangkapan meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,05) Pembatas teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG) dan jumlah galangan kapal (GALANGAN) masing-masing menduduki urutan kedua dan ketiga untuk perhatian pada selektivitas alat tangkap meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang. Hal ini ditandai oleh rasio kepentingan yang

133 133 di bawah pembatas kondisi peraiaran, yaitu masing-masing 0,311 dan 0,196 pada inconsistency terpercaya 0,05. Dalam pengembangan armada, kedua pembatas cukup penting karena kriteria yang menjadi perhatiannya termasuk kriteria penting urutan kedua (Gambar 28). Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria penyerapan tenaga kerja meningkat (TNG KERJA) adalah pendanaan (DANA), ketersediaan sumberdaya manusia (SDM), teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG), jumlah galangan kapal (GALANGAN), dan keberadaan PPI/TPI (PPI/TPI) (Gambar 29). Gambar 29 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja meningkat (level V). Pendanaan berkepentingan terhadap kriteria ini dalam hal penyediaan biaya/gaji/upah, ketersediaan SDM berkepentingan dalam hal penyediaan calon tenaga kerja, teknologi operasi penangkapan berkepentingan dalam hal kesesuaian keahlian, jumlah galangan kapal dan keberadaan PPI/TPI berkepentingan sebagai tempat bekerja dan tempat pendaratan hasil tangkapan. Gambar 29 memperlihatkan rasio kepentingan kelima pembatas dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap.

134 134 Gambar 30 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja meningkat dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,04). Pada Gambar 30. terlihat bahwa pembatas ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,384 pada inconsistency terpercaya 0,04 pada perhatian penyerapan tenaga kerja. Rasio kepentingan yang besar ini dimungkinkan oleh sumberdaya manusia yang tersedia adalah calon-calon tenaga kerja yang setiap saat dapat direkrut untuk pengembangan armada perikanan tangkap. Pembatas dengan rasio kepentingan urutan kedua paling tinggi adalah teknologi operasi penangkapan ikan (TEKNOLOG) (rasio kepentingan = 0,288 pada inconsistency terpercaya 0,04). Pembatas teknologi operasi penangkapan ikan ini berada di bawah pembatas sebelumnya karena lebih bersifat kelengkapan (keahlian dan keterampilan) yang dimiliki tenaga kerja bukan jumlah fisik. Pembatas pendanaan merupakan pembatas urutan terakhir untuk perhatian pada kriteria penyerapan tenaga kerja dengan rasio kepentingan 0,040 pada inconsistency terpercaya 0,04, oleh karena itu, maka untuk perhatian penyerapan tenaga kerja dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap dapat diabaikan. Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria penggunaan BBM rendah (BBM) adalah pendanaan (DANA), teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG), dan kondisi perairan (PERAIRAN). Kepentingan ketiga pembatas terhadap kriteria tersebut adalah pendanaan berkepentingan dalam penyediaan biaya BBM, teknologi berkepentingan dalam penciptaan mesin operasi hemat BBM, dan kondisi perairan berkepentingan dalam penyediaan SDI melimpah sehingga mudah dijangkau. Gambar 31 memperlihatkan rasio kepentingan ketiga pembatas tersebut

135 dengan perhatian pada penggunaan BBM rendah dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap. 135 Gambar 31 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada penggunan BBM rendah (level VI). Gambar 32 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada penggunaan BBM rendah dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,07) Pada Gambar 32 terlihat bahwa pembatas pendanaan (DANA) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,614 pada inconsistency terpercaya 0,07. Dalam kaitan ini, maka penggunaan BBM sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana sehingga jenis

136 136 armada perikanan tangkap yang dikembangkan juga harus mempertimbangkan ketersediaan dana operasinya terutama dalam penyediaan bahan bakar. Armada perikanan tangkap yang ditopang oleh dana oparasi yang memadai akan tidak bisa beroperasi dengan optimal dan bahkan tidak beroperasi sama sekali. Dalam kaitan dengan pengembangan, penambahan armada tersebut tersebut menambah cost, karena terjadi rekrutmen tenaga kerja dan biaya perawatan, padahal tidak menghasilkan, oleh karena besarnya pengaruh atau kepentingan pendanaan (61,4 %) dalam penggunaan BBM ini, maka perlu menjadi perhatian serius dalam pengembangan armada meskipun kriteria penggunaan BBM rendah yang dipengaruhinya mempunyai rasio kepentingan rendah (0,073). Pembatas teknologi operasi penangkapan (TEKNOLOG) dan kondisi perairan (PERAIRAN) mempunyai rasio kepentingan masing-masing 0,268 dan 0,117 pada inconsistency terpercaya 0,07, oleh karena rasio kepentingan kedua pembatas termasuk biasa dan kriteria pengembangan yang dipengaruhinya juga mempunyai rasio kepentingan rendah (0,073), maka kedua pembatas tersebut tidak termasuk pembatas kritis dalam pengembangan armada perikanan tangkap. Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada kriteria perhatian pada pendapatan asli daerah meningkat (PAD) adalah pendanaan (DANA), dan kondisi perairan (PERAIRAN), jumlah galangan kapal (GALANGAN), dan keberadaan PPI/TPI (PPI/TPI) (Gambar 33). Kepentingan pembatas terhadap kriteria tersebut adalah pendanaan berkepentingan terhadap volume usaha penyumbang PAD, kondisi perairan berkepentingan dalam penyediaan SDI yang dapat ditangkap, jumlah galangan kapal dan keberadaan TPI berkepentingan sebagai penyumbang retribusi.

137 137 Gambar 33 Pembatas yang berkepentingan dengan perhatian pada pendapatan asli daerah meningkat (level VII). Gambar 34 Rasio kepentingan pembatas sesuai dengan perhatian pada pendapatan asli daerah meningkat (PAD) dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap (inconsistency 0,08) Di antara empat kriteria tersebut, keberadaan PPI/TPI (PPI/TPI) mempunyai rasio kepentingan paling tinggi, yaitu 0,574 pada inconsistency terpercaya 0,08. Rasio kepentingan yang besar ini (57,4 %) karena PPI/TPI selama ini di Kabupaten Kupang merupakan penyumbang PAD terbesar untuk usaha penangkapan ikan. Di PPI/TPI dikumpulkan retribusi yang berasal dari nelayan dan distributor (buru bakul). Jumlah tersebut tentu lebih besar daripada yang bisa diberikan galangan kapal dan bunga pinjaman dana yang secara langsung dapat disetor menjadi PAD. Oleh karena rasio kepentingan kriteria pendapatan asli daerah meningkat yang dipengaruhi oleh pembatas

138 138 keberadaan PPI/TPI ini berada pada urutan ketiga (0,163), maka pembatas ini termasuk kritis sehingga harus dipertimbangkan dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap khususnya untuk meningkatkan PAD. Rasio kepentingan tiga pembatas lainnya dengan perhatian pada pendapatan asli daerah meningkat (PAD) adalah jumlah galangan kapal 0,191, pendanaan 0,127, dan kondisi perairan 0,109. Rasio kepentingan ketiga pembatas tersebut termasuk rendah, sehingga tidak terlalu penting bagi armada perikanan tangkap yang akan dikembangkan (Gambar 34) Hasil skor dari beberapa kriteria yang ada diperoleh beberapa urutan alternatif prioritas dalam pengembangan armada di kabupaten Kupang. Dimana terdapat empat armada yaitu purse seine mendapat prioritas pertama dengan skor 0,292, dan diikuti oleh pancing ulur pada urutan kedua dengan skor 0,251 kemudian armada rawai dengan skor 0,238 pada urutan ketiga dan pada urutan keempat adalah armada bubu dengan skor 0,220. hasil analisis ini menunjukkan bahwa armada yang dapat dikembangkan di kabupaten Kupang disesuaikan dengan kriteria-kriteria yang dapat mendukung kegiatan penangkapan ikan yang ada saat ini. Keempat armada tersebut sangat cocok dengan kondisi perairan dan SDM yang tersedia serta kewenangan pemerintah kabupaten Kupang dalam mengelola sumberdaya perairan di kabupaten Kupang. Hal tersebut dapat di tunjukkan dalam tabel 13.

139 139 Tabel 13 Skor untuk alternatif dalam kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap di kabupaten kupang Goal Kriteria Skor Sub Kriteria Skor SDM 0,047 SDI 0,195 Teknologi 0,041 Perairan 0,107 Dana 0,041 SDM 0,046 Profit 0,163 Teknologi 0,048 Perairan 0,016 PPI/TPI 0,013 SDM 0,013 Produksi 0,082 Teknologi 0,039 Perairan 0,022 Galangan 0,008 Teknologi 0,059 Selektiv 0,174 Perairan 0,086 Galangan 0,034 Dana 0,006 SDM 0,057 Tenaga Kerja 0,150 Teknologi 0,043 Galangan 0,018 PPI/TPI 0,025 Dana 0,045 BBM 0,073 Teknologi 0,020 Perairan 0,009 Dana 0,021 PAD 0,163 Perairan 0,018 Galangan 0,031 PPI/TPI 0,094 Alternatif Prioritas Purse Seine 5 10 GT Pancing ulur 5-10 GT Rawai 5-10 GT Bubu 5-10 GT Skor Prioritas 0, , , , Prioritas pengembangan armada perikanan tangkap Prioritas pengembangan armada perikanan tangkap ini ditentukan secara terstruktur dengan mempertimbangkan semua kriteria yang perlu dicapai dalam upaya pengembangan armada perikanan tangkap, setiap kriteria dilakukan pertimbangan terhadap semua jenis pembatas (limiting factor) yang sesuai/berkaitan di bidang perikanan tangkap, dan setiap armada alternatif dipertimbangkan untuk setiap pembatas pada setiap kriteria untuk ditentukan prioritas masing-masing dalam pengembangnnya. Pertimbangan tersebut ditunjukkan dalam bentuk rasio kepentingan kriteria, rasio kepentingan pembatas, dan rasio kepentingan opsi (alteratif armada yang dikembangkan). Bahasan pada Bagian 5.1, 5.2 dan Bagian 5.4 menjadi dasar utama dalam penentuan prioritas pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang.

140 140 Gambar 35 Urutan prioritas pengembangan terhadap empat alternatif armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang (inconsistency 0,03) Berdasarkan Gambar 35 terlihat bahwa purse seine mempunyai rasio kepentingan pengembangan tertinggi, yaitu 0,292 pada inconsistency 0,03. Hal ini mengandung pengertian bahwa purse seine menduduki prioritas pertama untuk dikembangkan di Kabupaten Kupang dari sebelumnya 88 unit menjadi 126 unit. Terpilihnya purse seine sebagai prioritas pertama pengembangan ini karena purse seine lebih mengakomodir tujuh kriteria yang perlu dicapai dalam pengembangan armada dan enam pembatas di bidang perikanan tangkap yang telah dianalisis satu per satu pada bagain sebelumnya. Hal ini didukung oleh Yulistyo.dkk.,2006 yang mengatakan bahwa perairan Indonesia timur yang kegiatan operasi penangkapannya masih didominasi oleh armada skala kecil dan sasaran ikan target adalah pelagis besar, kecil dan demersal. Untuk perbandingan menyeluruh terhadap semua kriteria antara purse seine dan tiga armada perikanan tangkap alternatif lainnya ditujukkan pada Gambar 36, dan 37.

141 141 Gambar 36. Perbandingan mini purse seine dengan pancing ulur untuk semua kriteria Pada Gambar 36 terlihat bahwa kriteria kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan kriteria peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) diakomodir pada pengembangan purse seine masing-masing lebih tinggi sekitar 4 % dan 4,4 % dibandingkan pada pengembangan pancing ulur. Kriteria kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan kriteria peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing merupakan kriteria dengan rasio kepentingan tertinggi (0,195) dan kriteria dengan rasio kepentingan urutan ketiga (0,163). Pada pengembangan pancing ulur, kriteria selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF) diakomodir lebih tinggi sekitar 2,5 % dibandingkan pada pengembangan mini purse seine. Kriteria selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF) ini mempunyai rasio kepentingan lebih rendah (0,174) daripada kriteria kelestarian sumberdaya ikan (SDI). Kriteria penyerapan tenaga kerja meningkat (TNGKERJA) dan kriteria penggunaan BBM rendah (BBM) diakomodir sedikit lebih tinggi dalam pengembangan pancing ulur tetapi kedua kriteria ini mempunyai rasio kepentingan rendah, yaitu masing-masing 0,150 dan 0,073.

142 142 Gambar 37. Perbandingan purse seine dengan rawai untuk semua kriteria Pada Gambar 37 juga terlihat bahwa kriteria kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan kriteria peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) diakomodir pada pengembangan purse seine masing-masing lebih tinggi sekitar 3 % dan 4,8 % dibandingkan pada pengembangan rawai. Oleh karena kedua kriteria selain lebih diakomodir secara signifikan juga kedua kriteria tersebut masing-masing merupakan kriteria dengan rasio kepentingan tertinggi (0,195) dan kriteria dengan rasio kepentingan urutan ketiga (0,163), maka akomodir yang yang sedikit lebih tinggi pada pengembangan mini purse seine untuk kriteria lainnya tidak berarti. Perbandingan akomodir kriteria pada pengembangan purse seine dan pada pengembangan bubu (Gambar 38) menunjukkan bahwa hanya sebagian besar kriteria diakomodir lebih tinggi pada pengembangan purse seine. Kriteria produktivitas penangkapan meningkat (PRDUKTIF) dan kriteria selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF) diakomodir sedikit lebih rendah (masing-masing -0,2 % dan -0,35 %) pada pengembangan purse seine dibandingkan pada pengembangan bubu. Dua kriteria dengan rasio kepentingan tertinggi dan ketiga tertinggi (kriteria kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan kriteria peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)) diakomodir pada pengembangan purse seine masing-masing lebih tinggi sekitar 2,1 % dan 3,9 % dibandingkan pada pengembangan rawai. Disamping rasio kepentingan yang tinggi, nilai ini tentu sangat tinggi dibandingkan yang bisa diakomodir lebih pada pengembangan bubu.

143 143 Gambar 38. Perbandingan purse seine dengan bubu untuk semua kriteria Terlepas dari purse seine sebagai prioritas pertama pengembangan, armada perikanan tangkap yang menjadi prioritas kedua dan prioritas ketiga pengembangan berturut-turut adalah pancing ulur dari sebelumnya unit menjadi unit, dan rawai dari sebelumnya 34 unit menjadi 73 unit. Rasio kepentingan pengembangan pancing ulur dan rawai masing-masing 0,251 dan 0,238 yang ditandai oleh rasio kepentingan pengembangan paling rendah, yaitu 0,220 pada inconsistency terpercaya 0,03. Bubu merupakan armada dengan prioritas terakhir untuk dikembangkan, yang ditandai oleh rasio kepentingan pengembangan paling rendah, yaitu 0,220 pada inconsistency terpercaya 0, Sensitivitas Strategi Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Terpilih Untuk mengetahui kestabilan/ketahanan strategi pengembangan armada yang telah dipilih sebagai pilihan terbaik (prioritas pertama) terutama oleh pengaruh kebijakan pemerintah, interaksi sosial, dan kondisi lingkungan lainnya yang mungkin, maka perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap strategi terpilih tersebut. Berdasarkan indentifikasi yang kemudian dituangkan dalam struktur hierarki, ada tujuh kelompok aspek/kriteria yang bisa berubah rasio atau perhatiannya oleh pengaruh tersebut yaitu sumberdaya ikan lestari (SDI), profit usaha meningkat (PROFIT), produktivitas operasi penangkapan meningkat (PRDUKTIF), selektivitas alat tangkap meningkat

144 (SELEKTIF), penyerapan tenaga kerja meningkat (TNGKERJA), penggunaan BBM rendah (BBM), dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah meningkat (PAD). Tabel 14. Hasil uji sensitivitas terhadap strategi pengembangan armada terpilih No. Aspek/Kriteria Rasio Kepentingan (RK) 144 Hasil Uji Sensitivitas Terhadap Purse Seine sebagai Prioritas Pertama Awal Range RK Stabil* Range RK Sensitif* 1 Sumberdaya ikan Tidak ada (SDI)lestari 2 Profit usaha meningkat <0,580 >0,580-1 (PROFIT) 3 Produktivitas operasi <0,475 >0,475 1 penangkapan meningkat (PRDUKTIF) 4 Selektivitas alat tangkap <0,363 >0,363 1 meningkat (SELEKTIF) 5 Penyerapan tenaga kerja <0,466 >0,466 1 meningkat (TNGKERJA), 6 Penggunaan BBM rendah <0,251 >0,251 1 (BBM) 7 Kontribusi terhadap pendapatan asli daerah meningkat (PAD) >0, <0,007 Keterangan : Aspek/kriteria lainnya berubah secara proporsional dari nilai atau rasio awal Hasil uji sensitivitas terhadap strategi pengembangan armada terpilih (pengembangan purse seine sebagai prioritas pertama) terlihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, RK range sensitif strategi terpilih terhadap kriteria kelestarian sumberdaya lestari (SDI) tidak ada. Hal ini mengandung pengertian bahwa posisi purse seine sebagai prioritas pertama pengembangan tidak terpengaruhi oleh perubahan perhatian terhadap kelestarian sumberdaya ikan yang meningkat meskipun dikurangi menjadi 0 % (RK = 0) (Gambar 39.) maupun ditambah menjadi 00 % (RK = 1). Hal ini karena akumulasi perhatian purse seine terhadap semua kriteria yang masih lebih besar, meskipun perhatiannya terhadap kelestarian sumberdaya ikan paling besar (grafik MINI PS untuk SDI pada Gambar 39).

145 145 Gambar 39. Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada sumberdaya ikan lestari (SDI)(RK SDI = 0) Gambar 40 Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada profit usaha meningkat (PROFIT) (RK PROFIT = 0,580)

146 146 RK range sensitif strategi terpilih terhadap kriteria profit usaha meningkat (PROFIT) berada pada kisaran >0, Hal ini mengadung pengertian bahwa bila terjadi perubahan perhatian terhadap kriteria profit usaha meningkat sehingga rasio kepentingannya menjadi 0,580 atau lebih akan menyebabkan purse seine tidak lagi menjadi prioritas pertama pengembangan armada (Gambar 38.). Dalam kaitan ini, maka aplikasi di lapangan perhatian terhadap profit usaha yang meningkat tersebut tidak boleh berlebihan sehingga mengabaikan kriteria lainnya. Gambar 41 Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada produktifitas penangkapan meningkat (PRODUKTIF) (RK PRODUKTIF = 0,475) RK range sensitif strategi terpilih terhadap kriteria produktivitas penangkapan meningkat (PRDUKTIF) berada pada kisaran >0, Dengan demikian, maka peningkatan perhatian terhadap kriteria profit usaha meningkat tidak boleh berlebihan hingga rasio keuntungannya menjadi 0,75 atau lebih. Bila rasio kepentingan kriteria tersebut saat ini 0,082, maka dapat ditambah hingga mendekati 0,475 dan perhatian terhadap kriteria lainnya tidak terlalu drop. Hal ini agar kondisi pada Gambar 41. tidak terjadi, dimana purse seine tidak lagi menjadi prioritas pertama pengembangan armada. Table 14. juga memperlihatkan RK range sensitif strategi terpilih terhadap kriteria selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF), penyerapan tenga kerja

147 147 meningkat (TNGKERJA), penggunaan BBM rendah (BBM), dan pendapatan asli daerah meningkat (PAD), yang masing-masing berada pada kisaran >0,363 1, >0,466 1, >0,251 1, dan 0 - <0,007, agar purse seine tetap menjadi prioritas pertama pengembangan armada, maka perhatian terhadap kriteria selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF) dapat ditambah sehingga rasio kepentingannya menjadi mendekati 0,363 (RK saat ini = 0,174), perhatian terhadap kriteria penyerapan tenaga kerja meningkat (TNGKERJA) dapat ditambah sehingga rasio kepentingannya menjadi mendekati 0,466 (RK saat ini = 0,150), perhatian terhadap kriteria penggunaan BBM rendah (BBM) dapat ditambah sehingga rasio kepentingannya menjadi mendekati 0,251 (RK saat ini = 0,073), perhatian terhadap kriteria pendapatan asli daerah meningkat (PAD) dapat dikurangi sehingga rasio kepentingannya minimal menjadi 0,007 (RK saat ini = 0,163). Gambar 42. Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF) (RK SELEKTIF = 0,363) Dalam kaitan dengan kriteria selektivitas alat tangkap meningkat (SELEKTIF), perhatian dapat ditambah sehingga rasio kepentingannya menjadi mendekati 0,363 (RK saat ini = 0,174) (Tabel 14.). Bila 0,363 atau lebih dapat menyebabkan purse seine tidak lagi menjadi prioritas pertama pengembangan armada di Kabupaten Kupang, tetapi akan digantikan oleh pancing ulur (Gambar 42.). Data Gambar 36 menunjukkan

148 148 bahwa pancing ulur mempunyai selektivitas yang lebih baik dari pada purse seine, oleh karena itu dalam aplikasinya, mempersyaratkan kriteria selektivitas alat tangkap meningkat yang terlalu berlebihan (36,3 % atau lebih dari proporsi semua kriteria) sehingga mengabaikan kriteria lainnya sebaiknya tidak dilakukan. Gambar 43. Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja meningkat (TNGKERJA) (RK TNGKERJA = 0,466) RK range sensitif strategi terpilih terhadap kriteria penyerapan tenaga kerja meningkat (TNGKERJA) berada pada kisaran >0, Hal ini mengandung pengertian bahwa bila terjadi perubahan perhatian (dalam bentuk peningkatan perhatian) terhadap kriteria profit usaha meningkat sehingga rasio kepentingannya berubah dari 0,150 menjadi 0,466 atau lebih akan menyebabkan purse seine tidak lagi menjadi prioritas pertama pengembangan armada (Gambar 40.). Perhatian terhadap kriteria penggunaan BBM rendah (BBM) dapat ditambah sehingga rasio kepentingannya menjadi mendekati 0,251 (RK saat ini = 0,073). Hal ini ditunjukkan oleh range sensitif kriteria penggunaan BBM rendah (BBM) berada pada kisaran > 0,251 1 (Tabel 14), Sedangkan bila lebih dapat menyebabkan purse seine menjadi prioritas kedua pengembangan armada (Gambar 44.).

149 149 Gambar 44. Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada penyerapan tenaga kerja meningkat (BBM) (RK BBM = 0,251) Gambar 45. Hasil uji sensitivitas purse seine sebagai strategi pengembangan terpilih dengan perhatian pada pendapatan asli daerah meningkat (PAD) (RK PAD < 0,007) RK range sensitif strategi terpilih terhadap kriteria pendapatan asli daerah meningkat (PAD) berada pada kisaran 0 - <0,007. RK range sensitif ini termasuk sempit dan berada pada kisaran rendah. Dengan demikian, perhatian terhadap kriteria

150 150 pendapatan asli daerah meningkat (PAD) dapat diubah-ubah dengan leluasa tanpa mengganggu posisi purse seine sebagai prioritas pertama pengembangan armada. Bila RK kriteria pendapatan asli daerah meningkat (PAD) saat ini 0,163, maka perubahan perhatian yang leluasa tersebut dapat berupa pengurangan perhatian sehingga rasio kepentingan (RK) turun menjadi 0,007 atau peningkatan perhatian sehingga RK bertambah hingga menjadi 1 (perhatian penuh, 100 %). Perubahan perhatian yang dapat lebih leluasa ini tanpa menyebabkan perubahan posisi purse seine sebagai prioritas pertama pengembangan armada karena akomodir atau kontribusi purse seine terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) lebih tinggi daripada kontribusi pancing ulur, rawai, dan bubu seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 37, Gambar 38, dan Gambar 39. Dengan demikian, perhatian terhadap kriteria pendapatan asli daerah meningkat (PAD) dapat diubah-ubah dalam aplikasi lapangan sesuai yang dibutuhkan selama tidak menyebabkan rasio kepentingannya tidak kurang dari 0,007 (perhatian tidak kurang dari 0,7 %), 5.7 Seleksi Alat Tangkap Ramah Lingkungan dan berkelanjutan berdasarkan CCRF Untuk memberikan arahan kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di Kabupaten Kupang NTT, dilakukan analisis terhadap teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan berdasarkan kriteria CCRF dengan pemberian skoring (nilai). Skoring (nilai) yang diberikan berkisar antara 1-4 pada setiap alat tangkap yaitu purse seine, handline, rawai dan bubu. Adapun kriteria teknologi ramah lingkungan (1) mempunyai selektivitas yang tinggi ; (2) tidak merusak habitat ; (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi ; (4) tidak membahayakan nelayan ; (5) produksi tidak membahayakan konsumen ; (6) By-catch dan discard rendah ; (7) tidak menangkap spesies yang dilindungi/hampir punah ; (8) dampak minimum terhadap sumberdaya alam dan (9) diterima secara sosial disajikan pada lampiran 5. Sedangkan untuk kriteria kegiatan penangkapan berkelanjutan adalah (1) menerapkan teknologi ramah lingkungan ; (2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC ; (3) menguntungkan ; (4) investasi rendah ; (5) penggunaan bahan bakar (BBM) rendah dan (6) memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, disajikan pada lampiran 6.

151 151 Berdasarkan hasil skoring terhadap kriteria alat tangkap yang ramah lingkungan berdasarkan CCRF pada setiap alat tangkap yang digunakan oleh armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang NTT, sebagai terlihat pada Tabel 15, maka rangking tertinggi diperoleh untuk armada handline sebagai rangking 1 dengan skor 35, kemudian rawai sebagai rangking 2 dengan skor 34, bubu rangking 3 dengan skor 33 dan purse seine rangking 4 dengan skor 32. Handline memiliki kriteria alat yang ramah lingkungan dengan skor tertinggi disebabkan karena : (1) mempunyai selektivitas yang tinggi, karena hanya menangkap ikan satu spesies dengan ukuran yang relatif seragam ; (2) tidak merusak habitat ; (3) tidak membahayakan nelayan, kalaupun berbahaya hanya memberikan gangguan kesehatan yang bersifat sementara ; (4) menghasilkan produksi berkualitas tinggi, karena memungkinkan hasil tangkapan masih hidup ; (5) produksi tidak membahayakan dan aman konsumen (6) by-catch dan discard rendah, dan mempunyai harga yang tinggi di pasaran ; (7) tidak menangkap spesies yang dilindungi/hampir punah karena ikan-ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap ; (8) dampak minimum terhadap sumberdaya alam karena alat ini aman bagi bio-diversity (9) dapat diterima secara sosial karena biaya investasi murah, menguntungkan, tidak bertentangan dengan budaya setempat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

152 152 Tabel 15. Hasil skoring teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan sesuai kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries No Alat Tangkap Selektivitas tinggi Tidak destruktif Terhadap habitat Tidak membahayakan nelayan Produksinya berkualitas Kriteria CCRF Produksi Tidak membahayakan konsumen Bycatch dan disds card minim Tidak menangkap species yang dilindungi/hampir punah Dampak minimum terhadap SDH Dapat diterima secara sosial Skor Rangking 1 Purse Seine Handline Rawai Bubu

153 153 Tabel 16. Hasil skoring kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan sesuai kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries No Alat Tangkap Menerapkan teknologi ramah lingkungan Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC Kriteria CCRF menguntungkan Investasi rendah Pengunaan bahan bakar rendah (BBM) Memenuhi ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku Skor Rangking 1 Purse Seine Handline Rawai Bubu

154 153 Berdasarkan hasil skoring terhadap kriteria alat tangkap berkelanjutan berdasarkan CCRF pada setiap alat tangkap yang digunakan oleh armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang NTT, sebagaimana terlihat pada Tabel 16, maka rangking tertinggi diperoleh untuk armada handline sebagai rangking 1 dengan skor 24, kemudian bubu sebagai rangking 2 dengan skor 23, purse seine rangking 3 dengan skor 19 dan rawai rangking 4 dengan skor 18. Handline memiliki kriteria alat yang ramah lingkungan dengan skor tertinggi disebabkan karena : Handline memiliki hampir semua syarat sebagai alat tangkap ramah lingkungan, hasil tangkapanya pun tidak lebih besar dari 25 % dari TAC, keuntungan lebih besar dari Rp per bulan, investasi rendah, penggunaan BBM relatif rendah karena dalam proses penangkapan lebih bersifat pasif dan kecenderungan untuk melakukan pelanggaran tidak terjadi. 5.9 Evaluasi Kinerja Usaha Armada Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang Manfaat ekonomi diperoleh dari penetapan pengembangan armada yang dihitung berdasarkn financial performance dari kegiatan saat ini. Nilai ini menggambarkan nilai ekonomi saat ini (existing condition). Berdasarkan hasil analisis data primer yang dijadikan sebagai baseline dalam perhitungan ekonomi disajikan dalam tabel 17. Tabel 17 Parameter baseline Analysis Komponen Unit Purse seine Handline Rawai Bubu Utilisation rate Trip/thn Catch ratarata Kg/trip Harga rata-rata Rp/kg Running cost Rp/trip Fixed cost Rp/vessel/thn Informasi diatas dan formulasi yang disajikan pada persamaan (bab 3), maka indikator ekonomi per vessel per tahun dapat dihitung (pada tabel 18) sebagai berikut.

155 154 Tabel 18 Indikator Ekonomi ekstraktif per kapal per tahun (dalam Rp. Juta) Indikator Purse seine handline Rawai Bubu Net Revenue/RTO Value Added/ROI RTL Boat Income Tabel 18 ini menunjukan bahwa nilai net revenue/rto tertinggi dicapai oleh armada purse seine yaitu Rp juta dan yang terendah adalah armada bubu yakni RP. 393 juta. Hal ini sama pada indikator boat income dan value added/roi, sedangkan indikator RTL tertinggi dicapai oleh rawai yaitu Rp juta dan yang terendah adalah armada bubu dengan nilai sebesarrp.21.8 juta. Hasil indikator secara umum menempatkan bahwa purse seine memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan armada lainnya, namun jika dihubungkan dengan analisis sebelumnya yakni dengan keramahan lingkungan penangkapan ikan yang lestari dan berkelanjutan maka diperoleh purse seine berada pada posisi 3 dan 4. dengan melihat hasil analisis ini kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa investasi yang dilakukan di Kabupaten Kupang dalam jangkah panjang masih profitable. Indikator-indikator ekonomi tersebut dapat digambarkan secara diagramatik dapat dilihat dalam Gambar 46. Hasil analisis ini akan menggambarkan kinerja usaha perikanan yang telah berjalan dalam kurun waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Secara esensial perubahan parameter ekonomi yang mungkin terjadi dari perubahan manfaat biaya. Evaluasi yang dilakukan dengan menilai komponen per unit armada yang ada saat ini untuk menentukan sejauhmana kelayakan suatu usaha yang sedang berjalan.

156 Nilai Ekonomi (Rp) Purse seine handline Rawai Bubu Jenis Armada Net Revenue/RTO Value Added/ROI RTL Boat Income Gambar 46. Nilai Ekonomi Perikanan untuk Empat Armada 5.10 Kelayakan Usaha Penangkapan secara Finansial Analisis Kelayakan Usaha dilakukan untuk melihat manfaat secara finansial pengembangan jenis armada perikanan tangkap purse seine, handline, rawai dan bubu di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Berdasarakan hasil analisis kelayakan usaha dengan menggunakan discount factor 18 % dalam jangka waktu umur proyek 10 tahun terhadap armada perikanan tangkap purse seine, handline, rawai dan bubu secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 19, dimana usaha dengan alat tangkap purse seine, handline, rawai dan bubu, kriteria nilai investasi untuk analisis finansial memperlihatkan bahwa NPV > 0 ; BC ratio > 0 ; PBP > 0 dan IRR > discount factor, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa secara finansial kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap purse seine, handline, rawai dan bubu di Kabupaten Kupang layak dikembangkan. Analisis ini dilakukan karena Kabupaten Kupang merupakan salah satu daerah/wilayah yang baru mengalami pemekaran sehingga analisis finansial ini sangat cocok digunakan. Melihat kondisi armada penangkapan di atas yang dominan dijalankan oleh nelayan tradisional maka tentunya sangat rentan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi secara global, seperti kenaikan suku bunga, kenaikan BBM, mutu ikan yang rendah karena penanganan pasca panen yang kurang baik, nilai jual ikan yang rendah akibat musim ikan, panjangnya saluran tataniaga, infrastruktur berupa jalan yang kurang

157 mendukung mengakibatkan keterlambatan tiba di pasar, kurangnya pabrik es balok sehingga sulit untuk mempertahankan mutu ikan dan masih kurangnya perusahaanperusahaan penampung hasil tangkapan sehingga mengakibatkan tidak tertampungnya hasil tangkapan jika musim ikan tiba. Tabel 19. Analisis kelayakan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang sebelum kenaikan harga BBM. 156 Jenis Armada Kriteria Investasi Hasil analisis Purse Seine Handline Rawai Bubu NPV IRR PBP B/C keputusan NPV IRR PBP B/C keputusan NPV IRR PBP B/C keputusan NPV IRR PBP B/C keputusan Rp % Layak Rp % Layak Rp % Layak Rp % Layak Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga BBM sebesar 100 % telah berpengaruh pada usaha pengembangan armada perikanan tangkap. Harga solar dan premium sebelum terjadi kenaikan sebesar Rp dan Rp menjadi Rp dan Rp setelah kenaikan, mendorong naiknya harga ikan sebesar 10 %. Berdasarakan hasil analisis kelayakan usaha setelah kenaikan harga BBM dengan menggunakan discount factor 18 % dalam jangka waktu umur proyek 10 tahun terhadap armada perikanan tangkap purse seine, handline, rawai dan bubu secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 20, dimana usaha dengan alat tangkap purse seine, handline, rawai dan bubu, kriteria nilai investasi untuk analisis finansial

158 memperlihatkan bahwa NPV > 0 ; BC ratio > 0 ; PBP > 0 dan IRR > discount factor, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa secara finansial kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap purse seine, hadline, rawai dan bubu setelah kenaikan BBM di Kabupaten Kupang masih layak untuk terus dikembangkan Tabel 20. Analisis kelayakan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang setelah kenaikan harga BBM. 157 Jenis Armada Kriteria Investasi Hasil analisis Purse Seine Handline Rawai Bubu NPV IRR PBP B/C keputusan NPV IRR PBP B/C keputusan NPV IRR PBP B/C keputusan NPV IRR PBP B/C keputusan Rp % Layak Rp % Layak Rp % Layak Rp % Layak 5.11 Model Konseptual Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Model konsep ini adalah tindak lanjut dari pengalian isu yang terjadi dengan melihat dan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan suatu kebijakan. Suatu kebijakan akan selalu mengutamakan tujuan tanpa memperhatikan masalah yang ada dilapangan, hal ini yang dapat menyebabkan tidak optimalnya penerapan suatu kebijakan. Hasil penelitian ini mencoba menggali issu yang ada dengan beberapa faktor permasalahan yang lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan dan pengembangan perikanan tangkap yang ada selama ini di Kabupaten Kupang dengan melihat kembali kebijakan-kebijakan yang

159 158 diterapkan apakah seimbang dengan jalannya roda pembangunan khususnya perikanan tangkap yang ada. Setelah mencoba untuk mengalisis faktor-faktor tersebut, ternyata hasil yang diperoleh lebih cenderung pada ketidakseimbangnya pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan permasalahan yang ada pada masyarakat. Hal ini lebih berorentasi pada tujuan kebijakan dibandingkan dengan berorentasi pada masalah. Kebijakan yang diharapkan mampu memadukan antara tujuan dengan permasalahan sehingga suatu kebijakan dapat di implementasikan tepat sasaran dan rasional. Hal ini didukung oleh Nugroho, (2003) yang mengatakan kebijakan selalu yang lebih diutamakan adalah tujuan dari pada mengamati masalah yang ada. Model ini dikatakan model goal oriented bukan problem oriented. Masalah yang ada pada Kabupaten Kupang sangatlah kompleks dan hasil analisis menyatakan posisi armada perikanan berada pada posisi pertumbuhan, hal ini membuktikan bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan harus dilakukan secara bersamaan antara goal oriented maupun problem oriented yang disepakati oleh semua pihak diantaranya pemerintah, masyarakat dan pengusaha, dengan suatu komitmen berdasarkan ketersediaan sumberdaya ikan, sumberdaya manusia, teknologi dan sarana prasarama pendukung yang ada. Bentuk kerjasama yang baik dan parsitipasi masyarakat dan swasta dalam mengoptimalkan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan akan mencapai sasaran, hal ini dibuktikan oleh Suharyanto et al., (2005) yang menyatakan bahwa bentuk Ko-management yang berbasis masyarakat akan sangat membantu untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Kekuatan daerah harus menjadi dasar untuk dapat berkembang dan maju dalam industri perikanan tangkap sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai serta kebijakan yang diambil melalui berbagai strategi dapat terlaksana. Model keterpaduan dari kedua model tersebut merupakan model yang kompleks dan terintegrasi guna pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang jangka panjang seperti disajikan pada Gambar 46 yang di bangun berdasarkan Gambar 1. Pengelolaan sumberdaya ikan yang baik akan selalu melibatkan semua unsur elemen yang berkepentingan dalam pemanfaatan akan sumberdaya ikan. Kerjasama yang baik akan mewujudkan suatu keberhasilan dalam pengelolaan yang bertanggungjawab dan lestari. Setiap pihak yang berkepentingan bila menjalankan dan mematuhi kesepakatan yang ditetapkan dalam suatu bentuk aturan baik itu formal

160 159 maupun non formal untuk mencapai tujuan maka dengan muda suatu sistem industri perikanan digerakan dan diarahkan. Menurut Nikijuluw 2002, bentuk ko-manajemen adalah suatu bentuk pembagian atau pendistribusian tanggungjawab dan kewenangan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan antara pemerintah dan masyarakat (nelayan dan swasta). Pengelolaan yang melibatkan masyarakat dan swasta dalam hubungan pelaku pembangunan perikanan pada hakekatnya dalah cara untuk memperkenalkan atau melembagakan sistem pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama-sama dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Ketersediaan sumberdaya akan selalu mempengaruhi aktivitas pemanfaatan yang secara terus menerus tanpa batas. Kerjasama yang baik dalam suatu komitmen yang baik guna mencapai tujuan dengan menekan permasalahan yang ada maka kompetisi yang sehat dalam uhasa akan mercipta. Nikijuluw 2002, mengatakan setiap perilaku yang melalui ko-manajemen akan menciptakan status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, efisien serta lebih adil dan merata. Tujuan tercapainya manajemen perikanan yang berbasis masyarakat, proses pengambilan keputusan yang terarah (bottom up) dan minimnya konflik. Dampak dari berbagai model kebijakan yang diambil pemerintah belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada, yang mengakibatkan pendekatan yang digunakan selama ini merupakan pendekatan top-down ( 2006). Proses dalam merumuskan suatu bentuk kebijakan sangat diharapkan pemerintah sebagai pengambil keputusan harus bekerjasama dengan masyarakat sebagai pelaksana. Pemerintah dan masyarakat adalah mitra yang setara dalam kerjasama untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Menurut Jentoft 1989 yang diacu Nikijuluw 2002 mengatakan keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan alasan efisiensi dalam hal ini dikarenakan sumberdaya ikan merupakan sumberdaya property bersama (commom property) sehingga dampak ekternalitasnya dapat dikurangi selain itu guna pengendalian upaya penangkapan sehingga tidak melebihi kapasitas yang berakhir dengan inefisiensi, keadilan, terwujudnya keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya antara nelayan skala kecil dan pengusaha (nelayan skala besar) dan administrasi, dengan kemampuan otoritas pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat berjalan dengan baik dengan

161 160 mempertimbangkan batasan kewenangan, luasnya daerah dan kompleksitas masalah dapat teratasi dengan mudah dan secara tidak langsung menghasilkan keuntungan ekonomi. Masyarakat (nelayan dan swasta) memiliki peran yang tidak kala pentingnya dengan pemerintah yakni sebagai pengguna dalam hal ini dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan dengan leluasa namun harus disadari bahwa tanggungjawab sebagai pengguna sumberdaya mempunyai rasa memiliki sehingga sumberdaya tersebut dapat lestari dan berkelanjutan. Masyarakat harus mampu mengelola dan mengawasi kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya ikan yang merupakan tanggung jawab bersama. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat serta swasta akan selalu berada pada posisi yang sama pada suatu saat. Masyarakat dan swasta juga akan mampu menduduki posisi pengelola dan pengambil keputusan tidak selalu pemerintah. Kerjasama yang baik dan terciptanya rasa tanggungjawab yang tinggi tujuan pasti akan tercapai. Pusat informasi yang akurat berada pada pihak masyarakat, permasalahan yang timbul dari masyarakat juga, dampak implementasi kebijakan yang tidak tepat sasaran dapat menimbulkan konflik dan industri perikanan tangkap tidak akan berkembang maju. Model yang dibangun ini diharapkan akan memberikan arti penting dalam penataan armada yang beroperasi di Kabupaten Kupang dengan melihat kesatuan persepsi yang dimulai dari masyarakat, pemerintah dan swasta. Komitmen yang dibangun ini akan diatur dan dirancang dengan baik secara interen kekuatan yang ada sesuai dengan tujuan dan masalah yang ada dan keseimbangan sumberdaya dan teknologi dalam merancang atau merumuskan kebijakan namun bukan berarti alur ini dapat menghambat proses untuk mencapai Goal yang bersifat makro (arti gambar arah panah kekiri dalam gambar 46). Desain interen untuk mencapai Goal harus bener-benar diperkuat dan diperjelas sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan mengalami hambatan (arah panah ke kanan), namun setiap komitmen yang dibangun diharapkan mampu menciptakan suatu bentuk rumusan kebijakan yang mampu menjawab permasalahan yang ada sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

162 161 Permasalahan yang ada Sumberdaya dan teknologi yang tersedia Tujuan Rumusan kebijakan GOAL Peningkatan pendapatan nelayan dan PAD K O M I T M E N Keterangan : P = Pemerintah M = Masyarakat S = Swasta S M P M S Gambar 47 Model Pengembangan Armada Perikanan Tangkap terintegrasi di Kabupaten Kupang P

163 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Perikanan pelagis besar di perairan Kabupaten Kupang telah melewati nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) yang sebesar ton/tahun dengan upaya penangkapan optimal sebesar unit, sedangkan perikanan pelagis kecil belum melewati nilai MSY yang sebesar ton/tahun dengan upaya penangkapan optimal sebesar unit. Hasil analisis perikanan demersal menunjukkan telah melewati nilai MSY yang sebesar ton/tahun dengan upaya penangkapan optimal sebesar unit. 2. Berdasarkan analisis SWOT, posisi perkembangan armada perikanan tangkap dengan mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal berada pada fase pertumbuhan, dimana masih dapat dikembangkan lebih lanjut. Sarana dan prasarana kegiatan perikanan tangkap masih perlu ditingkatkan untuk mendukung pengembangan armada perikanan tangkap. 3. Armada penangkapan ikan yang layak dikembangkan oleh nelayan adalah: 1) rawai sebanyak 73 unit, 2) handline sebanyak unit, 3) purse seine sebanyak 126 unit, 4) bubu sebanyak 160 unit. Pengembangan armada penangkapan ikan pada tiap unit dilakukan pada ukuran 5-10 GT. 4. Kebijakan yang berkenaan dengan armada penangkapan ikan di Kabupaten Kupang secara umum masih mengikuti kebijakan-kebijakan yang berlaku secara nasional, belum banyak mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal. 5. Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan berdasarkan CCRF di Kabupaten Kupang NTT, adalah handline dengan skor 35, rawai dengan skor 34, bubu dengan skor 33 dan purse seine dengan skor 32. Kegiatan penangkapan berkelanjutan berdasarkan CCRF yang digunakan oleh armada perikanan tangkap adalah handline dengan skor 24, bubu dengan skor 22, purse seine dengan skor 18 dan rawai dengan skor 19.

164 Kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang untuk jangka panjang diprioritaskan pada armada pancing ulur, untuk jangka pendek pengembangan armada perikanan tangkap dilakukan secara terbatas pada purse seine, rawai, dan bubu. 7. Model pengembangan dilakukan dengan keselarasan yang terintegrasi antara kebijakan pemerintah, ketersediaan sumberdaya ikan, serta ketersediaan sumberdaya manusia dan teknologi yang dikuasai masyarakat lokal guna tercapainya tujuan. 6.2 Saran Kebijakan pengembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Kupang seharusnya didasarkan pada daya dukung sumberdaya ikan, sumberdaya manusia yang menguasai teknologi penangkapan ikan,serta ketersediaan sarana dan prasarana yang dapat mendukung kegiatan usaha perkanan tangkap. Disamping itu juga perlu disusun data base perikanan tangkap sesuai keadaan yang secara benar, sehingga kebijakan yang ditetapkan dapat diiplemerntasikan secara tepat guna dan tepat sasaran.

165 DAFTAR PUSTAKA 164 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sekertaris Negara Republik Indonesia, Jakarta. 30p Abidin S.Z Kebijakan Publik. Jakarta. Yayasan Pancur Siwah Adhuri. D.S, Ary Wahyono dan Ratna Indrawasih Fishing In, Fishing Out : Memahami Konflik-Konflik Kenelayanan di Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI). Jakarta. Andarto, E. dan Sutedjo, D Proses Perencanaan Kapal Tuna Long Line, Surabaya. Ayodhyoa, Craft and gear Corespondendance Course Center. Jakarta. Bahari, R Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Jakarta, Desember Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. Baruadi. ASR Model Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Gorontalo. Institut Pertanian Bogor. Bogor Bhattacharya. R Dynamika Of Marine Vehicles. John wiley and Son, Inc. new York. Brown. K Kapal-Kapal Kayu untuk Perikanan Laut. Jawatan Perikanan Laut. Jakarta. Boxton. K Engenering Economics and Ships Design. School of Merine Technology University of Newcastle. Upon Tyne. UK. BPS Kabupaten Kupang Kupang Dalam Angka. Kupang. Hal Clark, C. W Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Toronto Cenada. 291 p. Clark, J. R Coastal Zone Management Handbooks, Lewis Publisher, New York. Cochrane, K. L A Fishery Manager s Guidebook. Management Measures and Their Application. Senior Fishery Resources Officer. Fishery Resources Division, FAO Fisheries Department. Rome. 231pp. Collins C English Dictionary for Advanced Learners. The University of Birmingham. England hal. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang Data Statistik Perikanan. Kupang. 85 hal.

166 165 [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Timur Buletin Media Perikanan Laut Masa Depan Masyarakat NTT, Triwulan I, edisi 2 bulan Februari hal 15. Departemen Kelautan dan Perikanan RI Perikanan Tangkap Indonesia (suatu Pendekatan Filosofis dan Analisis Kebijakan) tanggal 25 Juli [DJPT] Dirjen Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. [DJPT] Dirjen Perikanan Tangkap DKP Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap. Disampaikan Pada Rapat Koordinasi Relokasi Nelayan Tingkat Nasional Tahun 2004 Tanggal 9 10 Desember 2004 Di Hotel Ibis Mangga Dua, Jakarta. Dirjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 4 Hal. De Coning. C. B The Nature and Role of Public Policy, Chapter 1. Djalal, H. Dan Purwaka 1995 perkembangan Hukum Laut Internasional dan Implementasinya terhadap Peranan daerah dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelauatan. Lokakarya Nasional Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu. 11 januari hal. Fauzi, A Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis dan Gagasan, Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. 125 hal. Fauzi, A. Dan Suzy Ana, Studi Valuasi Ekonomi Perencanan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Makalah Akademik Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Selat Lembeh, sporsored By : USAID, DKP dan Mitra Pesisir. Bogor. 60 hal. Fara, Studi Tentang Daya Penggeraka Kapal Ikan (BHP) dan Aspek-Aspek Teknis Terkait. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perkanan. IPB. FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries. Food and Agriculture Organization. Rome. 41p. FAO Regional Guidelines for Resposible Fisheries in Southeast Asia, Resposible Fishing Operasinal. Southeast Asian Fisheries Development Center. 12p. Fyson. J Desain Of Small Fishing Vessels. Fishing News Book Ltd. Farm. Survey. England. Hanafiah dan Saefuddin A. M Tata Niaga Hasil Perikanan. UI Press. Jakarta

167 166 Hermawan M Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Disertasi tidak dipublikasikan Hogwood B.W and A. Gunn Policy Analysis for The Real World. Oxford University Press. New York. P. 29. Ibrahim, Y.H.M., Studi Kelayakan Bisnis (Edisi Revisi). Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 249 hal. Iskandar B. H Studi Tentang Desain dan Konstruksi Kapal Gillner di Indramayu, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skripsi tidak dipublikasikan. Jusuf N Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan Gorontalo. Disertasi telah di publikasikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 8 hal. Kesteven G. L Manual of Fisheries Science. Part I. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No Rome. 43 hal. Lubis E Pengantar Pelabuhan Perikanan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manetsch, P.G.W. and Park., System Analysis and Simulation With Application to Economic and Social Science. Michigan State University. Mangkusubroto, K., Trisnadi C.L Analisa Keputusan. Pendekatan system dalam Manajemen usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. Manggabarani. H Respon Stakeholder terhadap Faktor Internal dan Eksternal dalam Pembangunan Perikanan di Kota Makassar. Buletin PSP, Volume XIV. No.2. Oktober ISSN X, Terakreditasi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal Moeljanto Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Swadaya. Jakarta. Monintja D Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Monintja D Makalah Seminar Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

168 Mulyono, S Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 247 hal. Nanda Andesna Pengukuran dan Penggunaan GT kapal Ikan di Indonesia. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perkanan. IPB. Nomura, M. dan Yamazaki T Fishing Techniques (1). Japan International Cooperation Agency. Tokyo. 167 Nikijuluw. V. P.H., Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 54 hal. Nikijuluw. V. P.H., 2005 Politik Ekonomi Perikanan, Bagaimana dan kemana Bisnis Perikanan. PT. Fery Agung Corporation (FERACO), Jakarta. Nugroho R.D Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. 83 hal. Nomura. M and yamazaki Fishing Technigues. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. Pasaribu, B. P Prosiding Seminar Pengembangan Kapal Ikan di Indonesia Dalam Rangka Implementasi Wawasan Nusantara. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwaka T. H Bunga Rampai Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Bahan kulia Pascasarjana IPB. Jakarta. Purwaka T. H Dasar-dasar Pemahaman Peningkatan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan. Institusional Enginering and Capacity Building. Jakarta. Rangkuti, F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 188 hal. Rumajar, T., Haluan J, dan Mawardi W Pendekatan Sistem Untuk Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Karang Dengan Alat Tangkap Bubu Di Perairan Tanjung Manimbaya Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. MARITEK. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 2 No. 1. Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Hal Saaty, T.L Pengambilan Keputusan. Bagi Para Pemimpin. PT Pustaka Binaman Pressindi, Jakarta. 270 hal. Seafder, Regional Guidelines For Responsible Fisheries In Southeast Asia. Responsible Fishing Operations. Southeast Asian Fisheries Development Center. 71 hal.

169 Sekda Propinsi NTT Gerakan Masuk Laut (GEMALA). Sekertariat Daerah Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. 29 Hal. Siswanto Sistem Komputer Manajemen LINDO. Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Jakarta. 242 hal. 168 Sutojo, S Studi Kelayakan Proyek. Konsep, Teknik dan Kasus, Seni Manajemen Bank No.66. PT Damar Mulia Pustaka. Penerbit Buku Manajemen Terapan dan Perbankan. Jakarta. 225 Hal. Sunarto, N Motor serba Guna. Pragnya Paramita. Jakarta. Hal 98 Suharyanto, I. Jaya, M.F.A. Sondita, J. Haluan dan D.R. Monintja Evaluasi Kapasitas Masyarakat Untuk Berpartisipasi Dalam Manajemen Perikanan Parsipatif. Buletin PSP, Volume XIV. No.2. April ISSN X, Terakreditasi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal Soekarsono, N. A Pengantar Bangunan Kapal Dan Ilmu Kemaritiman. PT Pamator Pressindo. Jakarta. 380 hal. Sparre, P dan Venema, S.C Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1 ; Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta, 438 Hal. Unus F., Darmawan dan Yopi N Analisis Kebijakan Internasional Mengenai Keslamatan Nelayan Kapal Ikan. Buletin PSP, Volume XIV. No.1. April ISSN X, Terakreditasi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal Weimer, D.L and R Vining Policy Analysis : Concept and Praktice, Pretice-hall, Inc Upper Saddle River. New Jersey Widodo, J., Aziz, K. A., Priyono, B. E., Tampubolon, G. H., Naamin, N., Djamali, A Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 251 hal. Yuniarti. S Evaluasi Kegiatan Perikanan Tangkap di PPS Cilacap dan Alternatif Pengembangannya. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yulistyo., Mulyono Baskoro, Daniel R. Monintja, Budhi H. Iskandar Analisis Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab di Ternate, Maluku Utara. Buletin PSP, Volume XV. No.1. April Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal

170 169

171 170 Lampiran 1. Peta lokasi penelitian ' ' ' ' PE T A L O K A S I PE N E L IT IA N K AB U PA T E N K U PA N G N U SA T E N G G A R A T IM U R N M aq W E 9 20' 10 00' L A U T S A W U Bene Ufe # P oon baun # Bilo ka # N itb e # Bak ul # O em asembu # Son an # Bo e n Kapsali # # Le log a ma KAB. TTS # K c Be siana Tu a ka u # # N au ta us Bile si S # # O ek usapi # c O elb aki Bon etuk a # Bo ko ng # Tu lak abo ok # # c KAB. K U PAN G O etam an # Teluk Kupang O esau Ku ron c g c # # KOTA KUPANG Ten au %[ # O en au Rab e # O ek ab iti # c # # P. SE M AU N ae ke an Ba un # # c O iisin a Sek ala k c # # c 9 20' 10 00' Keterangan Peta Indeks 9 %[ # c km 120 Ibu Kota Provinsi Kota Kecamatan Lokasi Sampling Jalan Su ngai Batas Kabupaten S Daerah Penangkapan (Batas 4 mil) Lokasi Penelitian (Kab. Kupang ) Lokasi Penelitian (Kota Kupang) Kabupaten Lain Lau t PRO VIN SI NU SA TEN GG ARA TIMU R ' M esara # M erap o c # c c P. R AIJUA Timu # c Seb a Ba n dro # # c P. SABU # # Be b ae # # Ra irob a To silo Tu aisa # # M an usum ba # # # N em b rala # # Ro te # U su lain # D ae uren dale # Ko k ad ale Su aka Ba tuid u # # # To p o # P okaba tu # P. RO TE # N am o da le N am o da le # Ba n do Ku li # KAB. ROTE NDAO # L A U T T I M O R 10 40' %[ 124 Su mb er: - Peta Digital R upa Bumi Indonesia Bak osu rtanal, T ahun DESELINA M.W. KALEKA NRP C ' ' S A M U D E R A H I N D I A ' ' ' 11 20' PROGRAM STUDI TEKNOLOG I KELAU TAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

172 Lampiran 2. Peta Peotensi Pengembangan Armada di Kabupaten Kupang 171

173 172 Lampiran 3. Potensi Armada Penangkapan Ikan di Kabupaten Kupang Tabel 1. Jumlah nelayan di Kabupaten Kupang Tahun 2003 No. Status Nelayan Jumlah (orang) 1. Penuh Sambilan Penuh Sambilan Tambahan Jumlah Sumber : DKP, Kab. Kupang Tabel 2. Alat penangkap ikan di Kabupaten Kupang No Jenis Alat Tangkap Jumlah (Unit) 1. Lampara Gill net Monofilamen multifilamen Jala Lompo Bagan apung tanam Sero Trammel Net Pancing tonda tangan Jala buang 143 Sumber : DKP, Kab. Kupang Tabel 3. Jumlah Armada di Kabupaten Kupang Tahun 2003 No. Jenis Armada Penangkapan Jumlah (Unit) 1. Jukung Perahu tanpa motor (PTM) Perahu motor tempel Kapal motor 0 5 GT 5 10 GT GT > 20 GT Sumber : DKP, Kab. Kupang

174 173 Lampiran 4. Hasil Analisis Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Kupang Tabel 1 Produksi, total upaya, CPUE dan MSY sumberdaya perikanan pelagis besar di perairan Kabupaten Kupang Tahun Produksi (ton) Upaya (unit) CPUE (ton/unit) Intersep (a) = 2.62 Slope (b) = Potensi Lestari Maksimum (MSY) = ton Upaya Optimum = 7854 unit Tabel 2 Produksi, total upaya, CPUE dan MSY sumberdaya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Kupang Tahun Produksi (ton) Upaya (unit) CPUE (ton/unit) Intersep (a) = 9.84 Slope (b) = Potensi Lestari Maksimum (MSY) = ton Upaya Optimum = 3074 unit

175 174 Lanjutan Lampiran 4 Tabel 3. Produksi, total upaya, CPUE dan MSY sumberdaya perikanan demersal di perairan Kabupaten Kupang Tahun Produksi (ton) Upaya (unit) CPUE (ton/unit) Intersep (a) = 0.79 Slope (b) = Potensi Lestari Maksimum (MSY) = 2600 ton Upaya Optimum = 6583 unit

176 100 Lampiran 5. Kriteria Teknologi Penangkapan ramah lingkungan : 1. mempunyai selektivitas yang tinggi subkriteria : 1 menangkap lebih dari 3 spesies ikan dengan variasi ukuran yang berbeda jauh 2 menangkap 3 spesies ikan atau kurang dengan variasi ukuran yang berbeda jauh 3 menangkap kurang dari 3 spesies ikan dengan ukuran yang relatif seragam 4 menangkap 1 spesies ikan dengan ukuran yang relaitf seragam 2 tidak merusak habitat 1 menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas 2 menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit 3 menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit 4 aman bagi habitat 3 menghasilkan ikan berkualitas tinggi 1 ikan mati dan busuk 2 ikan mati, segar, cacat fisik 3 ikan mati dan segar 4 ikan hidup 4 tidak membahayakan nelayan 1 bisa berakibat kematian pada nelayan 2 bisa berakibat cacat permanen pada nelayan 3 hanya bersifat gangguan kesehatan yang bersifat sementara 4 aman bagi nelayan 5 produksi tidak membahayakan konsumen 1 berpeluang besar menyebabkan kematian pada konsumen 2 berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen 3 relatif aman bagi konsumen 4 aman bagi konsumen 6 by-catch rendah 1 by-catch ada beberapa species dan tidak laku dijual dipasar 2 by-catch ada beberapa species dan ada jenis yang laku dijual dipasar 3 by-catch kurang dari 3 species dan laku dijual dipasar 4 by-catch kurang dari 3 species dan mempunyai harga yang tinggi 7 dampak ke biodiversity 1 menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat 2 menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat 3 menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat 4 aman bagi biodiversity 8 tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi 1 ikan yang dilindungi sering tertangkap 2 ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap 3 ikan yang dilindungi pernah tertangkap 4 ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap

177 9 dapat diterima secara sosial : 1) biaya investasi murah, 2) menguntungkan 3) tidak bertentangan dengan budaya setempat dan 4) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada Peringkat 1 alat tagkap memenuhi 1 dari 4 kriteria di atas 2 alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada 3 alat tangkap tersebut memenuhi 3 dari 4 kriteria 4 alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada 101

178 102 Lampiran 6. Kriteria Kegiatan Penangkapan Ikan yang Berkelanjutan 1. menerapkan teknologi ramah lingkungan subkriteria : 1 memenuhi 2 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 2 memenuhi 3-5 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 3 memenuhi 5-7 kriteria alat tangkap ramah lingkungan 4 memenuhi seluruh kriteria alat tangkap ramah lingkungan 2 jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC 1 hasil tangkapan % dari TAC 2 hasil tangkapan % dari TAC 3 hasil tangkapan % dari TAC 4 hasil tangkapan lebih kecil dari 25 % dari TAC 3 menguntungkan 1 keuntungan lebih kecil dari Rp per bulan 2 keuntungan antara Rp Rp per bulan 3 keuntungan antara Rp Rp per bulan 4 keuntungan lebih besar dari Rp per bulan 4 investasi rendah 1 investasi lebih besar dari Rp per unit 2 investasi antara Rp Rp per unit 3 investasi antara dari Rp Rp per unit 4 investasi lebih kecil dari Rp per unit 5 penggunaan BBM rendah 1 Penggunaan BBM lebih besar dari 15 liter per trip 2 Penggunaan BBM antara liter per trip 3 Penggunaan BBM antara 5-10 liter per trip 4 Penggunaan BBM lebih kecil dari 5 liter per trip 6 memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku : 1) CCRF, 2) UU No 31/2002 tentang Perikanan, 3) Peraturan daerah dan 4) hukum adat 1 alat tagkap memenuhi 1 dari 4 kriteria di atas 2 alat tangkap tersebut memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada 3 alat tangkap tersebut memenuhi 3dari 4 kriteria 4 alat tangkap tersebut memenuhi semua kriteria yang ada

179 103 Lampiran 7. Hasil Olahan LINDO untuk Skenario I (Pencapaian Semua Sasaran Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Secara Bersamaan) : min DA1+DA2+DA3+DA4 + DA5 + DA6 + DB7 + DB8 + DB9 + DB10 + DA11 + DA12 + DA DA14 + DA15? st? DA X X X X X5 <= ? DA X X X X5 <= ? DA X1 <= ? DA X X X4 <= ? DA X X3 <= ? DA X5 <= 59830? DB X X X X X X6 >= ? DB X X X X X X6 >= ? DB9 + 7X4 >= 1386? DB X2 >= 761? DA11 + 4X1 + 3X2 + 3X3 + 2X4 + 4X5 + 5X6 <= 34984? DA X1 + 10X2 + 11X3 + 7X4 + 10X5 + 8X6 <= ? DA X X X X X X6<= ? DA X X X X5 <= ? DA X X X X X X6 <= ? X1 >= 60? X2 >= 34? X3 >= 8261? X4 >= 88? X5 >=120? X6 <=20? end : go LP OPTIMUM FOUND AT STEP 11 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE VALUE REDUCED COST DA DA DA DA DA DA DB DB DB DB

180 104 DA DA DA X X X X X X DA DA ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) NO. ITERATIONS= 11 DO RANGE(SENSITIVITY) ANALYSIS?? yes RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE

181 105 DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DB INFINITY DB INFINITY DB DB INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY X INFINITY X X X X X INFINITY DA INFINITY DA INFINITY RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY

182 106 Lampiran 8. Hasil Olahan LINDO untuk Skenario II (Pencapaian Semua Sasaran Pengembangan Armada Perikanan Tangkap Secara Bertahap) Tahap 1. Mengoptimalkan untuk pencapaian sasaran kelompok 1 : : min DA1+DA2+DA3+DA4 + DA5 + DA6 + DB7 + DB8 + DB9? st? DA X X X X X5 <= ? DA X X X X5 <= ? DA X1 <= ? DA X X X4 <= ? DA X X3 <= ? DA X5 <= 59830? DB X X X X X X6 >= ? DB X X X X X X6 >= ? DB9 + 7X4 >= 1386? X1 >= 60? X2 >= 34? X3 >= 8261? X4 >= 88? X5 >=120? X6 <=20? end. : go LP OPTIMUM FOUND AT STEP 9 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE VALUE REDUCED COST DA DA DA DA DA DA DB DB DB X X X X X X

183 107 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) NO. ITERATIONS= 9 DO RANGE(SENSITIVITY) ANALYSIS?? yes RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DB INFINITY DB INFINITY DB INFINITY X INFINITY X INFINITY X X X X INFINITY

184 108 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY Tahap 2. Mengoptimalkan lanjutan I (untuk pencapaian sasaran kelompok 2) : : min DA1+DA2+DA3+DA4 + DA5 + DA6 + DB7 + DB8 + DB9 + DB10 + DA11? st? 27888X X X X X5 <= ? 15201X X X X5 <= ? 24333X1 <= ? 13365X X X4 <= ? 15026X X3 <= ? X5 <= 59830? 28.44X X X X X X6 >= ? X X X X X X6 >= ? 7X4 >= 1386? DB X2 >= 761? DA11 + 4X1 + 3X2 + 3X3 + 2X4 + 4X5 + 5X6 <= 34984? X1 >= 60? X2 >= 34? X3 >= 8261? X4 >= 88? X5 >=120? X6 <=20? end : go

185 109 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 10 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE VALUE REDUCED COST DA DA DA DA DA DA DB DB DB DB DA X X X X X X ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) NO. ITERATIONS= 10

186 110 DO RANGE(SENSITIVITY) ANALYSIS?? yes RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DA INFINITY DB INFINITY DB INFINITY DB INFINITY DB INFINITY DA INFINITY X INFINITY X INFINITY X X INFINITY X INFINITY X INFINITY RIGHTHAND SIDE RANGES ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY

187 111 Tahap 3. Mengoptimalkan lanjutan II (untuk pencapaian sasaran kelompok 3) : : min DA1+DA2+DA3+DA4 + DA5 + DA6 + DB7 + DB8 + DB9 + DB10 + DA11 + DA12 + DA DA14 + DA15? st? 27888X X X X X5 <= ? 15201X X X X5 <= ? 24333X1 <= ? 13365X X X4 <= ? 15026X X3 <= ? X5 <= 59830? 28.44X X X X X X6 >= ? X X X X X X6 >= ? 7X4 >= 1386? 10X2 >= ? 4X1 + 3X2 + 3X3 + 2X4 + 4X5 + 5X6 <= 34984? DA X1 + 10X2 + 11X3 + 7X4 + 10X5 + 8X6 <= ? DA X X X X X X6<= ? DA X X X X5 <= ? DA X X X X X X6 <= ? X1 >= 60? X2 >= 34? X3 >= 8261? X4 >= 88? X5 >=120? X6 <=20? end : go OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE VALUE REDUCED COST DA DA DA DA DA DA DB DB DB DB DA DA DA

188 112 X X X X X X DA DA ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) NO. ITERATIONS= 8

189 113 Lampiran 9. Gambar Armada Saat ini di Kabupaten Kupang Gambar 1 Kapal Purse Seine (Lampara) di Pulau Sabu Gambar 2 Jukung di Pulau Sabu

190 114 Gambar 3 Armada Penangkapan Ikan di Kecamatan Sulamu Gambar 4 Armada Penangkapan Ikan di Kecamatan Kupang Barat (desa Tablolong)

191 115 Gambar 5 Kapal Pole and Line Gambar 6 Armada Bubu

192 116 Gambar 5 Galangan kapal tradisional kecamatan Sulamu Gambar 6 Pelabuhan Perikanan Tenau

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA

ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA ANALISIS PENGEMBANGAN ARMADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KABUPATEN KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR DESELINA M. W. KALEKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN 2 Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi ALAT PENANGKAPAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi A. Alat Penangkap Ikan Definisi alat penangkap ikan: sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan Pengertian sarana:

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Armada Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Armada Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 27 2.1 Definisi Armada Perikanan Suatu Armada merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Dirjen

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4.1 Provinsi Maluku Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 46 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Provinsi Maluku menjadi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa potensi sumber daya ikan perlu dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya ikan atau binatang air lainnya serta

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan dua per tiga wilayahnya berupa perairan dan mempunyai potensi sumber daya ikan sekitar 6,4 juta ton/tahun. Dengan besarnya potensi tersebut

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) merupakan pelabuhan perikanan tipe B atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal perikanan yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA

STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1515, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Dana Alokasi Khusus. Kelautan. Perikanan. Petunjuk Teknis. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Sistem = kesatuan interaksi diantara elemen terkait untuk mencapai suatu tujuan

Sistem = kesatuan interaksi diantara elemen terkait untuk mencapai suatu tujuan SISTEM DPI SISTEM FISHING GROUNG /Sistem DPI DR. Ir. Mustaruddin Fishing Ground /Daerah Penangkapan Ikan (DPI) adalah wilayah perairan, di mana alat tangkap dapat dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI

Lebih terperinci

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan

Lebih terperinci

FISHING GROUNG /Sistem DPI

FISHING GROUNG /Sistem DPI SISTEM FISHING GROUNG /Sistem DPI DR. Ir. Mustaruddin Fishing Ground /Daerah Penangkapan Ikan (DPI) adalah wilayah perairan, di mana alat tangkap dapat dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

SISTEM PENGELOLAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN (Fishing Ground System) DR. Mustaruddin

SISTEM PENGELOLAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN (Fishing Ground System) DR. Mustaruddin SISTEM PENGELOLAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN (Fishing Ground System) DR. Mustaruddin Fishing Ground /Daerah Penangkapan Ikan (DPI) adalah wilayah perairan, di mana alat tangkap dapat dioperasikan secara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.50/MEN/2011 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

Perikanan: Armada & Alat Tangkap

Perikanan: Armada & Alat Tangkap Perikanan: Armada & Alat Tangkap Mengenal armada dan alat tangkap sesuai dengan Laporan Statistik Perikanan Kul 03 Tim Pengajar PDP FPIK-UB. pdpfpik@gmail.com 1 Oktober 2013 Andreas, Raja Ampat Perikanan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes Oleh: Muh. Ali Arsyad * dan Tasir Diterima: 0 Desember 008; Disetujui:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Dana Alokasi Khusus. Tahun Penggunaan Petunjuk Teknis.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Dana Alokasi Khusus. Tahun Penggunaan Petunjuk Teknis. No.180, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Dana Alokasi Khusus. Tahun 2013. Penggunaan Petunjuk Teknis. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB VI ARAHAN DAN STRATEGI

BAB VI ARAHAN DAN STRATEGI BAB VI ARAHAN DAN STRATEGI 6.1. Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap Faktor-faktor penentu eksternal dan internal untuk pengembangan perikanan tangkap di wilayah pesisir Banyuasin dalam analisa SWOT untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Perencanaan Energi Provinsi Gorontalo 2000-2015 ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Hari Suharyono Abstract Gorontalo Province has abundace fishery sources, however the

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap 21 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mnyatakan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data 3 METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Menurut Riduwan (2004) penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER ANALISIS FUNGSI KELEMBAGAAN NON-PASAR (NON- MARKET INSTITUTIONS) DALAM EFISIENSI ALOKASI SUMBERDAYA PERIKANAN (Studi Kasus: Pelabuhanratu, Kab. Sukabumi) RIAKANTRI

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Penangkap Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Penangkap Ikan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Penangkap Ikan Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) kapal perikanan sebagai kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang meliputi aktivitas penangkapan atau pengumpulan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum bersifat terbuka (open access), sehingga nelayan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tertentu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(2): 43-49, Desember 2012 Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Strategic analysis

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN 1.1.1. Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, 2006. Menyatakan bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat

Lebih terperinci

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 30 5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 5.1 Kapal-kapal Yang Memanfaatkan PPS Cilacap Kapal-kapal penangkapan ikan yang melakukan pendaratan seperti membongkar muatan

Lebih terperinci