EVALUASI KEBIJAKAN PENETAPAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT EVA FAMURIANTY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI KEBIJAKAN PENETAPAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT EVA FAMURIANTY"

Transkripsi

1 0 EVALUASI KEBIJAKAN PENETAPAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT EVA FAMURIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 0 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal dari dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dan telah dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir dari tesis ini. Bogor, Agustus 2011 Eva Famurianty NIM. E

3 1 ABSTRACT EVA FAMURIANTY. Evaluation Policy Determination Of Prone Forest Fires Area in West Kalimantan Province. Under Supervision of RINEKSO SOEKMADI AND LILIK BUDI PRASETYO. Indonesia was one of countries having the world's fastest forest destruction. The damage was partly due to the land and forest fires that causing a serious impact on ecological, social, political and economy. The fires usually occur during the dry season in prone fire Province such as West Kalimantan. The fires in West Kalimantan is closely related to forests and land clearing activities. The research was carried out with spatial analysis of land cover change and evaluation of forest fire control policies in West Kalimantan Province. According to land cover analysis change during period , , , forest was the most widely land cover reduced by 631, ha, while the most significant increased were plantations 382, ha, bush/shrub 181, ha and ha of open land.. The most influence factor of land and forest fires was the land cover and land use that closely related to economic needs. In this case clearing land for plantations and paddy fields and also the shifting cultivation culture. of the policy setting fire prone areas of forest in West Kalimantan have not been effective, as indicated by a high change of forest land into forests and high non-hotspots. Determination of West Kalimantan as areas prone to forest fires is considered to be appropriate, but the implementation were considered less effective. This was due to the high rate of land cover change from forest to non forest and the hotspots also remains high, the legislation at the district level still not complete, inefficiency in implementing the mandate of the legislation at the local level, and ineffeciency coordination between central and local governments. Keywords :Prone Area, Forest Fire, Policy, West Kalimantan

4 2 RINGKASAN EVA FAMURIANTY. Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Di bawah bimbingan RINEKSO SOEKMADI dan LILIK BUDI PRASETYO Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia yang berdampak pada ekologi, ekonomi, sosial dan politik. Pada tahun 2002 Kalimantan Barat ditetapkan sebagai daerah rawan I kebakaran hutan, namun selama kurun waktu 8 tahun setelah itu, jumlah hotspot yang terpantau masih tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap efektifitas kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis besarnya perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu ; menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan di Kalimantan Barat; serta mengevaluasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini melingkupi analisis spasial perubahan lahan dan evaluasi secara deskriptif kebijakan pengendalian kebakaran hutan di Kalimantan Barat. Selama kurun waktu , hutan mengalami penurunan paling signifikan sebesar ,50 ha, sedangkan yang mengalami pertambahan paling signifikan adalah perkebunan sebesar ,17 ha, semak/belukar sebesar ,03 ha dan tanah terbuka sebesar ,85 ha. Faktor yang diduga paling mempengaruhi kebakaran hutan adalah jenis penutupan lahan dan penggunaan lahan dan laju faktor pertambahan penduduk yang erat kaitannya dengan kebutuhan ekonomi. Implementasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan di Kalimantan Barat belum efektif, yang diindikasikan dengan tingginya perubahan lahan hutan menjadi non hutan dan masih tingginya hotspot. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya peraturan perundangan di tingkat daerah kabupaten/kota, inefisiensi dalam mengimplementasikan amanat dalam peraturan perundangan di tingkat daerah, serta lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

5 3 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

6 4 EVALUASI KEBIJAKAN PENETAPAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT EVA FAMURIANTY Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. 5

8 6 Judul Tesis : Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat Nama Mahasiswa : Eva Famurianty Nomor Induk Mahasiswa : E Disetujui : Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. Ketua Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 1 Agustus 2011 Tanggal Lulus :

9 Kupersembahkan untuk : Orang-orang yang kucintai dan mencintaiku serta mewarnai hidupku 7

10 8 PRAKATA Puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah yang berjudul Evaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Salawat dan salam dihaturkan kepada Rasullullah Muhammad SAW, semoga syafaatnya selalu bersama kita. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MS yang telah luar biasa sabar dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir.Lailan Syaufina, M.Sc selaku penguji. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Mbah-mbahku, Suami, Mama, Papa, Bapak, Ibu, Teh Nur, Saudara-saudaraku dan teman-teman terbaikku yang tidak pernah lelah memberi dukungan, doa dan semangat bahkan di saat terburuk dan juga permata hatiku Muhammad Ihsan yang telah berkorban sangat besar. Tidak lupa semua pihak yang telah memberikan kemudahan dan keleluasaan serta bantuan kepada Penulis dalam mnyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah SWT yang Maha Adil memberikan balasannya. Semoga tulisan ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2011 Eva Famurianty NIM. E

11 9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 6 Februari 1981, merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Drs. H. Didi Mursadi dan Ir. Hj. Fadillah Usman, M.Si. Penulis menempuh jenjang pendidikan formal dimulai di SD Muhammadiyah II Pontianak dari tahun 1987 sampai 1991 dan SD Adabiah IV Padang dari tahun 1991 sampai Kemudian penulis meneruskan pendidikan di SMPN V Sawahan, Padang pada tahun Pada tahun 1995 penulis pindah ke Pontianak dan melanjutkan pendidikan di SMPN 3 Pontianak dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Pontianak sampai tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan di SMUN 85 Jakarta Barat pada tahun Pada tahun yang sama penulis memasuki jenjang perkuliahan di Jurusan D3 Kimia Terapan Universitas Indonesia namun tidak menyelesaikannya karena pada tahun 2000 penulis diterima di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN Tahun Pada tahun 2005 penulis masuk ke Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Pada tahun 2006 penulis diangkat menjadi Staff di Balai KSDA Jawa Barat II di Ciamis. Saat ini penulis bekerja sebagai staff tenaga pada Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.

12 ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR GRAFIK... x DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang... 1 I. 2 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Ruang Lingkup Kebakaran Hutan... 7 II.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia... 8 II.3. Kebijakan dan Ruang Lingkup Pengendalian Kebakaran Hutan II.4. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Pusat Terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan II.5. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan II.6. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan II.7. Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengendalian Kebakaran Hutan II.8 Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat II.9. Kaitan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan Kebakaran Hutan II.10. Analisis Kebijakan Publik III. KONDISI UMUM LOKASI III.1. Kondisi Geografis III.2. Pemerintahan dan Kependudukan III.3 Sosial Budaya dan Perekonomian IV. METODOLOGI IV.1. Lingkup Penelitian IV.2. Metode Pengumpulan Data IV.3. Metode Penetapan Objek Penelitian IV.4.Analisis Spasial IV.6. Content Analysis IV.6. Analysis Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaarn Hutan... 31

13 x V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot) dan Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat V.2. Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat V.3. Hubungan Sebaran Titik Panas, Perubahan Penutupan Lahan dan Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan VI. SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA.. 73 LAMPIRAN... 77

14 xi DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Perbandingan Titik Panas (Hotspot) di Indonesia dan Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan Tahun Luasan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Susunan Organisasi Pusdalkarhutlada (Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002) Sebaran Penduduk dan Luasan Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Content Analysis dalam Penelitian Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Daerah Administrasi Sebaran Hotspot di pada Kabupaten dengan Jumlah Lahan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat Sebaran Titik Panas Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2000, 2003, 2006 dan Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun Hasil Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat... 48

15 xii DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Tren Hotspot di Kalimantan Barat Tahun Kerangka Pemikiran dalam Upaya Mengevaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat Tingkat Kerapatan Hotspot pada Berbagai Jenis Penutupan Lahan Tahun 2000, 2003, 2006 dan

16 xiii DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hotspot bedasarakan Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hotspot bedasarakan Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hotspot bedasarakan Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat Sebaran Hotspot berdasarkan Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat Sebaran Hotspot berdasarkan Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat Sebaran Hotspot berdasarkan Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat

17 I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang vital, serba guna dan bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan ada dua yaitu fungsi langsung yang dapat dinilai dengan uang (tangible) dan fungsi tidak langsung yang terkait dengan penggunaan jasa lingkungan (intangible) berupa fungsi hutan sebagai pembentuk iklim mikro dan makro, pencegah bencanadan penyedia plasma nutfah keanekaragaman hayati. Beberapatahunterakhirini Indonesia ditenggaraisebagainegara yang mengalami laju kerusakan hutan tercepat di dunia. Kerusakan disebabkan oleh berbagai hal,antara lain kebakaran hutan dan lahan yang yang terjadi hampir setiap tahun. Kejadian Kebakaran Hutan besar yang pernah tercatat di Indonesia anatara lain pada tahun , 1987, 1991, 1994, Kejadian ini menimbulkandampak yang sangat besar baik dari ekologi, sosialekonomi, kesehatandanpolitik internasional antara lain karena asap akibat kebakaran hutan melintas batas negara. Kerugian yang ditimbulkan sangat tinggi di segala aspek. Suratmo et al (2003) mengemukakan kebakaran hutan pada tahun menimbulkan kerugian ekonomi U$ 8,7 juta U$ 9,6 juta. Sedangkan menurut Taconi (2003) kebakaran pada tahun menimbulkan kerugian ekonomi sebesar U$ 674 juta U$ 799 juta dan kerusakan ekologis sebesar U$ 1,62 miliar U$ 2,7 miliar. Selain itu kasus penyakit pernafasan (ISPA) meningkat tajam. Besarnya kerugian tersebut masih bertambah lagi jika kebakaran terjadi di kawasan konservasi yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah keanekaragaman hayari dan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itubahaya kebakaran hutan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang sangat serius. Titik panas (Hotspot) merupakan suatu indikator awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kementerian Kehutanan c.q Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan memantau jumlah hotspot melalui stasiun penerima SatelitNational Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Jumlah hotspot yang terpantau tidak selalu menggambarkan jumlah kebakaran

18 2 sebenarnya, namun merupakan indikasi awal (early warning). Jumlah hotspot yang dipantau dari beberapa stasiun bumi pun berbeda-beda bahkan bila menggunakan satelit yang sama. Sebagai contoh hasil pemantauan hotspot oleh Kementerian Kehutanan dan ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC) di Singapura berbeda karena perbedaan penetapan threshold.hotspot bisa saja mengalami kesalahan dan bisa saja jumlah kebakaran dengan jumlah hotspot yang terpantau berbeda. Berdasarkan jumlah hotspot yang terpantau di suatu Provinsi juga akhirnya ditetapkan daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia. Data hotspot di provinsi paling rawan kebakaran di Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2010 disajikan sebagai berikut : Tabel 1. Perbandingan Titik Panas (Hotspot) di Indonesia dan Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Jumlah Titik Panas (Hotspot )* Tahun Daerah Rata-rata Indonesia Sumut Riau Sumsel Jambi Kalbar Kalteng Kaltim Kalsel Sulsel * Data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Pada tahun 2002 Kalimantan Barat ditetapkan sebagai Daerah Rawan I Kebakaran Hutan bersama dengan empatprovinsi lainnyayaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah melalui Keputusan Direktur Jenderal PHKA (Dirjen PHKA) No. 21/KPTS/DJ-IV/2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia dan SK Dirjen PHKA No. 22/KPTS/DJ-IV/2004tentangPembentukan Brigdalkarhut di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.Sedangkan daerah lainnya ditetapkan kemudian melalui Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK. 113/IV-PKH/2005 tanggal 11 November 2005 tentang pembentukanbrigdalkarhut

19 3 Manggala Agni di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan yang selanjutnya disebut Daerah Operasi (DAOPS). Penetapan Daerah rawan ini didasarkan pada data hotspot yang terpantau pada tahun 1997 sampai dengan tahun Provinsi Kalimantan Barat setiap tahunnya selalu berada pada urutan tiga besar provinsi rawan kebakaran dengan jumlah hotspot tertinggi, bahkan pada tahun 2007 sampai dengan 2010 Kalimantan Barat menempati urutan teratas. Apabila dikaitkan dengan perkiraan el-nino yang berkepanjangan sampai tahun 2012 maka kecenderunganhotspotpada tahun-tahun yang akan datang di Kalimantan Barat akansemakin meningkat. Tren Hotspot di Kalimantan Barat dari tahun 2000 sampai 2010 disajikan sebagai berikut : 35,000 32,222 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5, ,311 7,061 8,646 10,144 2,586 4,383 7,561 1,785 3,022 5, Gambar 1. Tren Hotspot di Kalimantan Barat dari Tahun Mengingat pentingnya hal tersebut maka di dalam Rencana Strategis Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan , penurunan hotspot hingga 20% pertahun dari rerata tahun dan penurunan luasan kebakaran hutan sebanyak 50% dari rerata periode yang sama menjadi indikator kinerja keberhasilan pengendalian kebakaran hutan di Indonesia. Selanjutnya data luasan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disajikan pada Tabel 2 :

20 4 Tabel 2. Luasan kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan No Provinsi * Data Direktorat Pengedalian Kebakaran Hutan Dari tabel terlihat bahwa selama kurun waktu Provinsi Sumatera Utara memiliki luasan rata-rata kebakaran hutan dan lahan paling tinggi diikuti Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Tengah dan Jambi. Sementara itu Kalimantan Barat hanya menempati urutan keenam. Apabila memperhatikan jumlah dan tren hotspot Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan kelompok tiga besar daerah penghasil hotspot di Indonesia pada kurun waktu yang sama, bahkan pada tahun menempati peringkat teratas. Hal ini cukup menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan apakah data ini cukup akurat dalam menggambarkan kondisi kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Selama kurun waktu 8 tahun mulai tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 setelah berdirinya Daops di Provinsi Kalimantan Barat, jumlah hotspot yang terpantau di Provinsi Kalimantan Barat masih tetap relatif tinggi. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah penetapan daerah rawan kebakaran di Provinsi Kalimantan Barat sudah tepat dan efektif, serta apakah kerawanan yang didasarkan pada Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha)* Tahun Rata-rata 1. Sumut , ,16 734,5 153, ,80 80, ,47 2. Ri a u 2.630,10 937, , , , , , , ,18 3. Ja m b i 52, , ,00 614, , ,50 128, ,00 2, ,29 4. Sumsel , , ,25 94,5 739, ,83 5. Kalbar 2.460, , , , ,50 125,69 928,5 258,46 231,41 887,53 6. Kalteng , , , ,25 25, ,76 7. Kalsel , , ,25 25,00 421,36 8. Kaltim , , ,5 22,5 0,25 37, ,20 9. Sulsel 0 213, , , , ,75 2,5 37,00 544,23 dasar penetapan daerah jumlah hotspotsudah tepat dan mewakili, ataukah ada faktor-faktor lain yang perlu lebih diperhatikan dalam penetapan kebijakan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat sehingga tujuan yang pembentukan Daops mencapai target yang diharapkan. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat dengan cara melakukan analisis spasial yang dikaitkan dengan evaluasi kebijakan

21 5 pengendalian kebakaran baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Dampak Kebakaran Hutan Kalbar Politik, Sosial, Ekonomi, Kesehatan, Ekologi, dan sebagainya Usaha untuk mengatasi : 1. Regulasi - Daerah Rawan - Aturan Teknis 2. Perangkat organisasi Kenapa? Perlu evaluasi? Jumlah hotspot di Kalimantan Barat masih tinggi, tren hotspot meningkat, data luasan kebakaran rendah Peta Penutupan Lahan Peta, Administrasi dan Penunjukan Kawasan Hutan Data Hotspot Peraturan perundangan Analisi Sebaran Hotspot dan Evaluasi Perubahan Penutupan Lahan Gap 1. Hal-hal yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan 2. Apakah Metode Penetapan daerah Rawan Kebakaran hutan sudah tepat? Gambar 2. Kerangka Pemikiran dalam Mengevaluasi Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat

22 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis besarnya perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. 3. Mengevaluasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan yang diterapkan di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah cq. Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta perumusan kebijakan dalam penanganan kebakaran hutan secara umum.

23 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Lingkup Kebakaran Hutan Brown dan Davis (1973) mengemukakan bahwa kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak disengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul dan pohon-pohon yang masih hidup. Selanjutnya konsep kebakaran hutan dikenal dengan segitiga api (Fire Triangle) yang terdiri dari bahan bakar, sumber panas dan oksigen. Syaufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas tidak terkendali sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan/ Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan). Pengendalian kebakaran hutan adalah semua usaha, pencegahan, pemadaman, pengananan pasca kebakaran hutan dan penyelamatan. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan). Kegiatan Pengendalian Kebakaran meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. (Pasal 20 ayat 1 PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan). Titik Panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya. (Pasal 1 Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan) Hotspot dapat dideteksi dengan teknologi Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dimiliki oleh satelit NOAA. Sensor AVHRR akan melakukan pengambilan data setiap hari pada luasan piksel terkecil 1km 2 dengan suhu tertentu yang telah ditetapkan (Albar, 2009).

24 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia Aktivitas Manusia Suratmo (2003) mengemukakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera hampir seluruhnya dipengaruhi faktor manusia, baik akibat kelalaian maupun kesengajaan. Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terdiri dari dua faktor yaitu faktor alam antara lain petir, letusan gunung berapi atau potensi batu bara yang terbakar berupa dan faktor manusia baik yang sengaja maupun tidak sengaja. Menurut penelitan hampir 100% kebakaran hutan dan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia akibat adanya kegiatan pembukaan lahan (Syaufina, 2008) Menurut Asian Development Bank tahun 1997/1998, kebakaran hutan disebabkan oleh 99% perbuatan manusia dan 1 % faktor alam. Yang disebabkan perbuatan manusia dapat dikelompokan sebagai berikut : puntung rokok 35%, kecerobohan 25%, konversi lahan 13%, perladangan 10%, pertanian 7%, kecemburuan sosial 6%, kegiatan transmigrasi 13% (Sumantri, 2007) Pada beberapa daerah masyarakat sengaja membakar hutan untuk memperluas lahan garapan dengan cara membakar. Menurut Anderson, et. al (1999), pembakaran hutan yang dilakukan oleh petani lebih dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi yang sangat erat dengan konsep penguasaan lahan oleh masyarakat dimana pemilikan lahan sangat kecil atau tidak memiliki lahan akan membuka lahan baru atau bekerjasama dengan pendatang atau koperasi. Young and Ronald (1990) mengemukakan bahwa kebakaran hutan akan semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah pendatang baru, dan peladang ini akan membuka hutan secara cepat dengan melakukan pembakaran hutan. Selain itu membakar lahan juga dianggap dapat meningkatkan kesuburan tanah, walaupun sebenarnya hanya bersifat sementara saja dan malah merusak tanah itu sendiri. Menurut Hardjanto (1998), pembakaran yang dilakukan oleh petani dilakukan dengan tujuan menambah kesuburan tanah dan setiap keluarga hanya mampu membakar + 1 ha/tahun. Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung lama, karena hutan banyak memberikan manfaat bagi kehidupan. Menurut Yuadji (1981)

25 9 Faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap kemampuan daya dukung lingkungan suatu kawasan. Semakin tinggi jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi. Faktor pendorong terjadinya kebakaran hutan di Riau adalah pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, lapangan kerja, dan kesempatan kerja yang terbatas, kurangnya pembinaan terhadap masayarakat di sekitar hutan dan tidak adanya sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat di sekitar hutan (Mangandar, 2000) Pembukaan lahan dengan cara membakar juga dianggap lebih murah cepat dan efisien. Menurut KLH (1998) biaya pembukaan lahan hutan dengan cara membakar hanya memerlukan seperempat dari biaya pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) artinya tidak ada insentif ekonomi bagi perusahaan untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar. Pembukaan lahan dengan pembakaran hanya memerlukan waktu 28 HOK (Hari Orang Kerja), sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK dtambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder. Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik ynag dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman, 2008) Faktor Lingkungan Biofisik Terdapat tiga tipe bahan bakar yaitu 1. bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, gambut; 2. Bahan bakar permukaan yaitu serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang belum terurai, rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; 3. Bahan bakar tajuk yaitu bahan bakar hidup maupun yang sudah mati yang menutui kanopi dan menyebar setinggi 1,2 meter dari tanah (Brown dan Davis, 1973) Unsur-unsur yang mempengaruhi perilaku api yaitu bahan bakar, iklim/cuaca dan Topografi. Bahan bakar menentukan ketersediaan energi maksimum, sususnannya menentukan aerasi dan penjalaran api, distribusi dan ukuran mempengaruhi kemudahan nyala, serta ada tifdaknya kandungan kimia yang memepercepat nyala api. Iklim/Cuaca menentukan jumalah bahan bakar

26 10 yang tersedia, kerasnya musim kebakaran, mengatur kadar air dan flamibilitas bahan bakar mati dan mempengaruhi proses penyalaan (Syaufina, 2008). Terdapat 4 faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku api yaitu cuaca, bahan bakaran, topografi dan waktu. Faktor cuaca antara lain suhu yang tinggi, kecepatan angin yang tinggi, kelembaban relatif yang rendah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi namun pendek tidak akan meningkatkan kelembaban bahan bakar, sedangkan curah hujan rendah dalam waktu panjang akan menyerap air lebih banyak.. Faktor topografi antara lain kemiringan lereng, bentang alam dan Aspek. Semakin curam lereng semakin cepat api akan menjalar karena nyala api lebih dekat dengan bahan bakar, aliran angin biasanya menuju puncak, udara yang terpananskan akan menambah kecepatan angin dan bara api akan jatuh ke bawah sehingga menimpa bahan bakar baru. Bentang alam berpengaruh terhadap pola angin setempat yang dapat menjadi penghalang dan merubah aliran udara yang akan menyebabkan turbulensi. Aspek adalah arah menghadapnya lereng terhadap penyinaran matahari. Biasanya lereng yang pertama kali mendapat penyinaran matahari akan mempengaruhi cuaca setempat seperti suhu, kelembaban dan arah angin. Bahan bakaran dipengaruhi oleh kadar air, ukuran, susunan, volume dan kandungan resin. Semakin rendah kelembaban suatu bahan bakar semakin cepat api akan menjalar. Semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat terbakar. Susunan bahan bakar terkait dengan pola kesinambungan bahan bakar apakah ada penghambat penjalaran api. Volume terkait dengan kuantitas kebakaraan, semakin banyak bahan bakar terbakar maka semakin tinggi intensitasnya. Bahan bakar yang mengandung resin akan mempercepat proses penyalaan dan keawetan untuk menyala. Terkait dengan waktu, periode kritis terjadinya kebakaran adalah Pukul sampai 18.00, setelah jam 10 penyinaran matahari menyebabkan temperatur meningkat sehingga kelembaban turun dan kecepatan angin meningkat sehingga menyebabkan kadar air bahan akar menurun. (Sumantri, 2007) Faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Kalimantan Barat adalah vegetasi halus seperti rumput,

27 11 alang-alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti, 2006). Sementara Samsuri (2008) mengemukakan bahwa faktor-faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah tipe sistem lahan, tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan Kebijakan dan Ruang Lingkup Pengendalian Kebakaran Hutan Kebijakan publik atau disebut juga kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guidelines), rencana (plan), peta (map) dan strategi yang dirancang untuk menerjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare) (Suharto, 2008). Salah satu kebijakan Pemerintah Indonesia adalah mengenai pengendalian kebakaran hutan. Dalam rangkaian kebijakan tersebut ada beberapa peraturan perundangan yang terkait diantaranya adalah UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Menurut Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 47 huruf (a) perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit. Di dalam PP No. 4 tahun 2001 dinyatakan setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan dan pada Pasal 12 dinyatakan bahwa Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Untuk mengendalikan terjadinya kebakaran hutan, maka Pemerintah cq Kementerian Kehutanan menetapkan kategori daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia berdasarkan jumlah hotspot dan peta rencana pembukaan wilayah

28 12 perkebunan, pertanian dan pertambangan. Kategori daerah kerawanan tersebut yaitu kategori rawan I, rawan II dan rawan III. Tindak lanjutnya pada daerah yang masuk kategori rawan I dibentuklah Brigdalkarhut-Manggala Agni, melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 21/KPTS/DJ-1V/2002 tentang Pedoman Brigdalkarhut di Indonesia dan No. 22/KPTS/DJ-IV/2002 tentang Brigdalkarhut di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang secara riil di lapangan terwujud pada tahun 2003 yang selanjutnya disebut Daerah Operasi (DAOPS). Kemudian berdasarkan keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor No. SK. 113/IV-PKH/2005 tanggal 11 November 2005 dibentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Manggala Agni) di Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi pemantauan hotspot semakin intensif. Menurut Albar (2009), Kementerian Kehutanan memiliki stasiun penerima data hotspot dari satelit NOAA yang berbasis Sistem Informasi Geografis. Pemantauan ini dilakukan secara harian dan datanya dikirimkan kepada seluruh UPT Kementerian Kehutanan di seluruh Indonesia. Namun hotspot ini hanya bersifat early warning bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak menggambarkan kejadian kebakaran hutan yang sesungguhnya karena hotspot itu sendiri tidak semuanya yang merupakan titik api yang sebenarnya, hotspot hanya merupakan titik panas, bisa berasal dari kebakaran hutan, pembakaran skala besar, pantulan panas dari seng dan sebagainya. Selain Kementerian Kehutanan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga memiliki sistem pemantauan kebakaran, namun dengan ambang batas (treshold) suhu yang berbeda. Selanjutnya hal ini menjadi dasar utama penetapan daerah rawan kebakaran hutan. Daerah dengan kategori rawan I artinya frekuensi kebakaran lahan atau hutan sangat sering terjadi yang diamati dari data jumlah hotspot yang terpantau pada tahun-tahun sebelumnya ( ) baik dari stasiun penerima Departemen Kehutanan, LAPAN, maupun ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC) Singapura. Selain itu penetapan daerah rawan ini juga

29 13 berdasarkan rencana pembukaan wilayah perkebunan, pertanian dan pertambangan (Sukrismanto, 2009) Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Pusat Terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan Dalam Undang Undang (UU) No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 48 ayat 1 Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan khususnya pasal 16 menyatakan bahwa Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib memperhatikan: a. Kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumberdaya alam; b. Kesesuaian dengan tata ruang daerah; c. Kendapat masyarakat dan kepala adat; dan d. Pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang. Pada pasal 23 PP No. 4 tahun 2001 tersebut dinyatakan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Selanjutnya pada pasal 24 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan : a. Penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan; b. Pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; c. Pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan. Pada pasal 25 disebutkan dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau

30 14 lahan, instansi yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Selanjutnya pada pasal 26 disebutkan bahwa kepala instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Selain itu pada pasal 34 ayat (3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi dan atau lintas batas negara. Pada pasal 36 dinyatakan bahwa Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pengendalian Kebakaran Hutan Wewenang dan kewajiban Pemerintah daerah secara jelas diuraikan dalam PP No. 4 tahun Pasal 27 menyatakan bahwa Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Selanjutnya, pada Pasal 28 dinyatakan : (1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten/kota. (2) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Gubernur yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat.

31 15 Lebih jauh lagi, pada pasal 29 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. Selanjutnya pada ayat (2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Pada pasal 34 ayat (2) dinyatakan bahwa Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota. Selanjutnya pada pasal 35 dijelaskan bahwa Gubernur/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan persyarat yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Pada Pasal 43 ayat (1) ditegaskan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan Pengendalian Kebakaran Hutan Pada PP No. 4 tahun 2001 juga dirinci mengenai wewenang dan kewajiban Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagai berikut. Pasal 30 menyatakan bahwa Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.

32 16 Secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) dinyatakan kewajiban Bupati/Walikota sebagai berikut: (1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan : a. Penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan; b. Pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada; c. Pengukuran dampak; d. Pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan atau setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1). Pada Pasal 32 Bupati/Walikota yang melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat meminta bantuan pada Bupati/Walikota terdekat. Selanjutnya pada pasal 33 dijelaskan bahwa: (1) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang dibidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. (2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalanm ayat (1) wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Pada Pasal 34 ayat (1) ditegaskan bahwa Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.

33 Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengendalian Kebakaran Hutan Kewajiban dan kewenangan dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan, tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat dan sektor swasta juga berkewajiban mengendalikan kebakaran lahan dan hutan sebagaimana diamanatkan dalam UU 41 tahun 1999 dan PP 4 tahun Pada pasal 50 ayat (2) UU No. 41 tahun 1999 secara jelas disebutkan bahwa setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Dalam PP No. 4 tahun 2001 pasal 13 dinyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (1) diuraikan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; b. Alat pencegahan kebakaran hutan, dan atau lahan; c. Prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; d. Perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e. Pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.

34 18 Pada pasal 15 dinyatakan bahwa penananggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab. Pada pasal 17 disebutkan bahwa setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya. Selanjutnya pada pasal 18 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. Pada Pasal 20 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup. Pasal 21 diuraikan mengenai hal pemulihan lingkungan akibat kebakaran lahan oleh penanggung jawab usaha. Pada ayat (1) dinyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat Ada beberapa kebijakan daerah terkait masalah pengendalian kebakaran hutan dan lahan Provinsi Kalimantan Barat yaitu : Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan kebakaran Hutan dan Lahan, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 164 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Pusdalkarhutlada) Provinsi Kalimantan Barat, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 311 Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Yustisi Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 267 Tahun

35 Tentang Pembentukan Tim Action Plan Sterilisasi Kawasan Bandara Supadio dari asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Pos Tanggap Darurat Penanggulangan Bencana Asap/Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 menjelaskan mengenai usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan, kewajiban bagi masyarakat dan badan usaha untuk bersikap hati-hati dan waspada serta berusaha mencegah dan menghindari kegiatan yang dapat menyebabkan karhutla, kewajiban bagi badan usaha untuk melakukan upaya pencegahna karhutla di areal kerjanya, kewajiban instansi pemerintah, badan usaha dan masyarakat, organisasi beserta tugas dan fungsinya, ketentuan pidana serta ketentuan proses penyidikan. Organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dimaksud pada Perda ini terdiri atas : 1. Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah Tingkat I, yang selanjutnya disingkat Pusdalkarhutla berkedudukan di kantor Gubernur Kepala Daerah 2. Pos Komando Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah Tingkat II, yang selanjutnya disingkat Poskolakdalkarhutla berkedudukan di kantor bupati/walikotamadya 3. Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan Lahan, yang selanjutnya disingkat satlakdalkarhutla berkedudukan di kantor kecamatan. Selanjutnya pada pasal 18 diatur mengenai ketentuan pidana bagi pelanggaran terhadap Perda ini diancam dengan kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp ,- (lima puluh ribu rupiah) dapat juga diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002 ini dinyatakan bahwa untuk mewujudkan pelaksanaan pencegahan dan penggulangan kebakaran hutan dan lahan secara terpadu, terarah, terkoordinir, efisien, efektif dan mencapai sasaran dibentuk organisasi Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Pusdalkarhutlada) yang berkedudukan di kantor Gubernur Kalimantan Barat. Sedangkan Pos Komando Pelaksana

36 20 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Poskolakdalkarhutlada) berkedudukan di kantor Bupati/Walikota. Selanjutnya Satuan Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Satlakdalkarhutla) berkedudukan di Kantor Kecamatan. Pusdalkarhutlada dibantu oleh Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris yang berkedudukan di kantor Bapedalda Provinsi Kalimantan Barat. Susunan organisasi pos tanggap darurat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Susunan organisasi Pusdakarhutlada (Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002) 1. Penanggung jawab : Gubernur 2. Ketua : Wakil Gubernur 3. Wk. Ketua I : Kapolda 4. Wk. Ketua II : Komandan Korem 121 ABW 5. Wk. Ketua III : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat 6. Sekretaris : Kepala Bapedalda 7. Penanggung jawab Sektor Kehutanan selaku Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Hutan : Kepala Dinas Kehutanan 8. Penanggung jawab Sektor Perkebunan Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Perkebunan 9. Penanggung jawab Sektor Pertanian Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Pertanian 10. Penanggung jawab Sektor Kehewanan dan Peternakan Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan Peternakan 11. Penanggung jawab Sektor Tenaga Kerja dan kependudukan 12. Penanggung jawab Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Ketua Pelaksana Harian pada Areal/Kawasan pertambangan 13. Penanggung jawab Sektor Kesehatan Ketua Pelaksana Harian bidang kesehatan : Kepala Dinas Perkebunan : Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan : Kepala Dinas Kehewanan dan Peternakan : Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Kependudukan : Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral : Kepala Dianas Kesehatan Prov. Kalimantan Barat 14. Anggota-anggota : - Danlanud Soepadio Pontianak - Kepala Badan informasi Daerah - Kepala Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Kepala Dinas Kimpraswil Kepala Dinas Sosial Kepala UPT Penaggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Dishut - Kepaka BMG Pontianak - Kepala Biro Umum Setda Pusdalkarhutlada mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

37 21 1. Menetapkan kebijaksanaan dan langkah yang akan diambil dalam rangka pencegahan dan penggulangan kebakaran hutan dan lahan; 2. Mengkoordinasikan seluruh kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran utan dan lahan secara terpadu di tingkat daerah; 3. Memberikan bimbingan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan dan lahan; 4. Melakukan koordinasi dengan satuan kordinasi pelaksana penanggulangan bencana alam dan penaganan pengungsi yang selanjutnya disingkat satkorlak PBP yang telah ada; 5. Melaksanakan dan melaporkan tugas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Provinsi kepada Gubernur Kalimantan Barat yang selanjutnya melaporkan kepada Pemerintah Pusat. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 24 Tahun 2009 berisi tentang penunjukan personil dalam penugasan pada pos tanggap darurat penanggulangan bencana asap/kebakaran hutan dan lahan. Selain itu peraturan ini juga berisi mengenai tugas pos tanggap darurat tersebut yaitu (1) menetapkan langkah dan putusan yang tepat, cepat dan cermat dalam peanggulangan bencana yang terjadi dengan mengedepankan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi; (2). pos tanggap darurat yang ditetapkan akan dilengkapi dengan personil pendukung melalui keputusan Kepala Badan Penanggulangan Bencanan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, (3) menyampaikan laporan kepada Gubernur Kalimantan Barat. Selanjutnya Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (Protap) Mobilisasi Sumberdaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat berisi tentang ketentuan yang harus dilaksanakan dalam pengendalian kebakaraan hutan khususnya dalam hal mobilisasi sumberdaya. Pada lampirannya terdapat semua prosedur yang harus dilakukan mulai dari prosedur administrasi, prosedur yang harus dilakukan dalam melakukan mobilisasi sumberdaya dalam rangka pengendalian kebakaran hutan baik prosedur administrasi, mobilisasi sumberdaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan, penanganan pasca kebakaran dan organisasi yang terkait. Protap ini disusun atas kerjasama Pemda dalam hal ini UPT Pengendalian Kebakaran Hutan

38 22 Dinas Kehutanan Provinsi dan Balai KSDA Kalimantan Barat. Protap ini cukup mengakomodir dan secara rinci memberikan alur proses mobilisasi sumberdaya baik pada kawasan hutan maupun lahan Kaitan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan Kebakaran Hutan SIG merupakan suatu perkembangan teknologi terbaru dalam teknologi SIG analisis, yang menggunakan komputer untuk menggabungkan data yang melimpah mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spasial yang digunakan untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisis, serta menyajikan data dan informasi geografis (Paryono, 1994). Pada dasarnya pendekatan SIG meliputi penyimpangan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam, seperti tipe-tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi spesies. Pendekatan ini dapat menunjukkan korelasi antara elemen-elemen biotik dan abiotik dalam landscape dan dapat membantu perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan dan keanekaragaman hayati. Foto-foto udara dan citra merupakan data tambahan bagi SIG (Primack et al., 1998). Terkait dengan pengendalian kebakaran hutan SIG dapat juga dipakai untuk mengetahui sebaran dan distribusi hotspot di suatu daerah serta analisis daerah bekas kebakaran menggunakan citra satelit. Citra satelit sendiri dapat dipakai untuk berbagai kebutuhan tergantung analisis yang diperlukan. Terkait hal ini Sunuprapto (2000) dalam Thoha (2006) mengemukakan bahwa kombinasi band 543 memiliki keunggulan karena memberikan tampilan yang serupa dengan hasil penglihatan manusia dan memiliki kontras lebih baik pada kombinasi warna alami. Keunggulan lainnya adalah dapat membedakan antara vegetasi hidup dan vegetasi mati (terbakar). Thoha (2006) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan data hotspot antar data Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN. Jumlah hotspot terbanyak ditemukan pada sumber Departemen Kehutanan. Jumlah tertinggi dari sumber JICA terjadi secara konsisten dari tahun Sedangkan jumlah hotspot terendah terdapat pada data LAPAN. Akurasi jumlah desa yang terpantau hotspot untuk sumber Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN masing-masing 47%,

39 23 60% dan 40%. Akurasi jarak terdekat untuk sumber Departemen Kehutanan, ASMC dan LAPAN masing-masing adalah 1,75 km; 4,46 km dan 3,7 km. Albar (2009) mengemukakan bahwa perbedaan jumlah hotspot yang terpantau tersebut diakibatkan penetapan threshold (batas bawah) yang dipakai masing-masing lembaga berbeda. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (Direktorat Pengendalian KebakaranHutan) dan ASMC menggunakan satelit NOAA, namun threshold yang dipakai Direktorat Pengendalian KebakaranHutan sebesar 385 o K atau 44,85 o C pada siang hari dan 310 o K atau 36,85 o C pada malam hari sedangkan ASMC 320 o K atau 46,85 o C pada siang hari dan 314 o K atau 40,85 o pada malam hari. Sehingga sangat memungkinkan jumlah hotspot yang tercatat oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan jauh lebih banyak daripada jumlah yang dirangkum oleh ASMC. Hal ini disebabkan pantauan hotspot pada Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dimaksudkan sebagai early warning guna tindakan pencegahan.kebakaran hutan. Thoha (2006) mengemukakan bahwa hotspot dapat digunakan sebagai indikator terjadinya kebakaran lahan. Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis citra Landsat TM, lahan terbakar diidentifikasi dengan dengan karakteristik warna merah muda hingga merah tua untuk kombinasi band 543 dan hijau muda hingga hijau muda tua untuk kombinasi band Analisis Kebijakan Publik Analisis kebijakan sosial adalah usaha yang terencana dan sistematis dalam membuat analisis atau asesmen akurat mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial, baik sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan (Suharto, 2004) Menurut Dunn 1991 yang dikutip oleh Suharto (2008) Ada tiga model analisis kebijakan publik yaitu model prospektif, model retroprospektif dan model integratif yang diuraikan sebagai berikut : a. Model Prospektif Model prospektif adalah bentuk analisis kebijakan publik yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini disebut juga model prediktif.

40 24 b. Model Retroprospektif Model retroprospektif adalah analisis kebijakan publik yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini disebut juga model evaluatif. c. Model Integratif Model retprospektif adalah analisis kebijakan publik yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini disebut juga model evaluatif.

41 III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. KONDISI GEOGRAFIS Berdasarkan BPS Kalimantan Barat (2010), Provinsi Kalimantan Barat secara geografis terletak diantara 2 o 08 Lintang Utara 3 o 05 Lintang Selatan dan 108 o o 10 Bujur Timur, dengan demikian garis khatulistiwa (garis lintang 00) melintasi provinsi ini, tepatnya di Kota Pontianak. Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas wilayah ,00 km2 (14,68 juta ha), membentang dari utara ke selatan sepanjang 600 km dan dari timur ke barat sepanjang 850 km, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Utara berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur) Selatan berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan Laut Jawa Timur berbatasan dengan Sarawak dan Kalimantan Timur. Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Kalimantan Barat beriklim tropik basah dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun dan disertai kelembaban udara cukup tinggi yang merupakan ciri khas daerah berhutan tropis. Kalimantan Barat juga dilewati garis khatulistiwa sehingga memiliki suhu udara yang tinggi. Pada tahun 2009, curah hujan di Kalimantan Barat rata-rata 1817,1 mm/tahun, dengan rata-rata curah hujan tertinggi pada bulan Desember sebesar 3309,8 mm dan terendah sebesar 811,7 mm pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi dan terendah tercatat di Ketapang sebesar 764,4 mm pada bulan November dan 10,7 mm pada bulan Juli. Hari hujan per bulan antara 11 s/d 27 hari. Hari hujan terbanyak pada bulan Desember sebanyak 27 hari hujan dan yang terendah pada bulan Mei sebanyak 11 hari hujan. Kelembaban nisbi pada tahun 2009 berkisar antara 81% s/d 95%. Temperatur udara tertinggi pada tahun 2009 mencapai 33,2 o C, sedangkan yang terendah mencapai 22,3 o C dengan temperatur rata-rata antara 24,5 o C-27,2 o C. Kecepatan angin rata-rata 2-5 knots/jam, dan tertinggi rata-rata mencapai 30 knots/jam. Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan dataran rendah sekitar (sekitar 36%). Sekitar ha (19,5%) dari seluruh wilayah Kalimantan Barat merupakan daerah tergenang (flooding area) berupa

42 26 rawa-rawa bercampur gambut dan hutan mangrove. Gunung-gunung di Wilayah ini merupakan gunung api tua yang tidak aktif lagi dengan Gunung tertinggi adalah Gunung Baturaya di Kabupaten Sintang dengan ketinggian mdpl. Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah yang memiliki aliran sungai yang sangat banyak dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) utamanya adalah DAS Kapuas yang mengalir sejauh 1086 km. Jenis tanah utama di Kalimantan Barat adalah Podsolik merah kuning (PMK), aluvial, orgosol gley humus (OGH), Podsol, Latosol dan Regosol dengan proporsi terbesar adalah PMK. Sebagian besar luas tutupan lahan di Kalimantan Barat adalah hutan (42,32%) dan padang/semak belukar/alang-alang (34,11%). Adapun areal hutan terluas terletak di Kabupaten Kapuas Hulu seluas ha, sedangkan padang/semak belukar terluas berada di Kabupaten Ketapang yaitu seluas ha. Sementara itu areal perkebunan mencapai ,50 atau 10,73 %. Sementara areal pemukiman hanya berkisar 0,83 persen. (BPS Kalimantan Barat, 2010) Kawasan konservasi besar di Kalimantan Barat yaitu Taman Nasional Gunung Palung ( ha), Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ( ha), Taman Nasional Danau Sentarum ( ha), Taman Nasional Betung Kerihun ( ha) PEMERINTAHAN DAN KEPENDUDUKAN Provinsi Kalimantan Barat dipimpin oleh Seorang Gubernur yang dibantu 14 Bupati/Walikota. Provinsi Kalimantan Barat terbagi kepada 12 daerah administrasi pemerintahan kabupaten dan 2 kotamadya yaitu: Kabupaten Sambas, Bengkayang, Landak, Pontianak, Kubu Raya, Sanggau, Ketapang, Kayong Utara, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau dan Melawi serta Kotamadya Pontianak dan Singkawang. Kabupaten Ketapang merupakan daerah dengan wilayah terluas di Kalimantan Barat sedangkan Kota Pontianak memiliki luasan wilayah terkecil. Daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah kota Pontianak sebanyak

43 ,63 jiwa per kilometer persegi sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu memiliki kepadatan penduduk terendah sebesar 7,47 jiwa per kilometer persegi. Pada tahun 2009 jumlah penduduk di Kalimantan Barat adalah 4,3 juta jiwa. Penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak jiwa dan jiwa berjenis kelamin perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun sebesar1,64%. Untuk lebih jelasnya luasan Wilayah dan jumlah penduduk disajikan dalam Tabel 4. Tabel. 4. Sebaran Penduduk dan Luasan Wilayah Provinsi Kalimantan Barat No Kabupaten Jumlah Penduduk 2009* Persentase Penduduk 2009* Pertumbuhan Penduduk (%)* Luas Wilayah (km²)* Persentase Wilayah* 1 Bengkayang ,86 2, ,30 3,68 2 Kapuas Hulu ,16 1, ,00 20,33 3 Kayong Utara ,14 1, ,26 3,11 4 Ketapang ,68 2, ,74 21,28 5 Kota Pontianak ,20 1,06 107,80 0,07 6 Kota Singkawang ,11 1,43 504,00 0,34 7 Kubu Raya ,64 1, ,20 4,76 8 Landak ,67 1, ,10 6,75 9 Melawi ,97 1, ,00 7,25 10 Pontianak ,10 0, ,90 0,87 11 Sambas ,49 1, ,70 4,36 12 Sanggau ,15 1, ,70 8,76 13 Sekadau ,18 1, ,30 3,71 14 Sintang ,64 2, ,00 14,74 Total ,00 1, ,00 100,00 *BPS Kalimantan Barat, SOSIAL BUDAYA DAN PEREKONOMIAN Kondisi Sosial Budaya Kalimantan Barat saat ini umumnya relatif baik setelah berlalunya masa krisis sosial budaya akibat terjadinya konflik antar etnis pada tahun 2000-an. Hal ditandai dengan semakin kokohnya persatuan dalam keragaman, tumbuhnya suasana kehidupan penuh toleransi, berkembangnya budaya damai dan kemauan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan serta

44 28 kondusifnya interaksi antarbudaya. Selain itu juga terjadi penguatan peranan kearifan lokal serta peningkatan pemahaman terhadap keragaman sosial budaya Agama yang dipeluk penduduk Kalimantan Barat pada tahun 2009 adalah Islam sebanyak jiwa, diikuti oleh Katolik sebanyak jiwa, Protestan jiwa, Budha jiwa, Hindu jiwa, Kong Hu Chu jiwa dan yang lainnya jiwa. Pada tahun 2009 jumlah angkatan kerja di Provinsi Kalimantan Barat sebanyak jiwa dengan komposisi memiliki pekerjaan jiwa (94,56%) dan yang tidak bekerja (5,44%). Angkatan kerja di provinsi Kalimantan Barat masih didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah (SLTP kebawah) sebesar 79,67%. Bidang usaha yang paling dominan adalah sektor pertanian dengan angkatan kerja sebanyak jiwa atau 63,14% dari total angkatan kerja yang bekerja. Pertanian disini mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan antara lain kelapa sawit, kelapa,karet, kopi, lada dan kakao. Sedangkan penduduk yang bukan angkatan kerja berjumlah jiwa. Sebanyak jiwa (27,91%) bersekolah, jiwa (60,42 %) mengurus rumah tangga dan lain-lain sebanyak jiwa (11,67 %). Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Barat tahun 2009 sebesar 4,76% lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2008 sebesar 5,42% yang disebabkan pertumbuhan yang melambat pada sektor industri pengolahan yang memiliki kontribusi ketiga terbesar. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada Kabupaten Kubu Raya sebesar 5,87%, yang dihasilkan dari sub sektor pertambangan, industri pengolahan dan bangunan, diikuti Kabupaten Sanggau sebesar 5,59% yang didukung oleh pertumbuhan sub sektor perkebunan. Kabupaten yang mengalami pertumbuhan terendah adalah Ketapang dan Kabupaten Pontianak. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi kedua kabupaten tersebut masing-masing sebesar -1,22 persen dan 1,40 persen. Rendahnya pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten Ketapang terutama disebabkan turunnya pertumbuhan sektor Pertambangan dan Penggalian (-25,99 %) serta sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (2,32 %). Untuk Kabupaten Pontianak, relatif kecilnya pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan melemahnya pertumbuhan sektor Pertanian (1,59 %).

45 29 IV. BAHAN DAN METODOLOGI 4.1. Lingkup Penelitian Penelitian ini melingkupi analisis spasial terhadap perubahan lahan dan evaluasi secara deskriptif terhadap kebijakan pengendalian kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juli Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pendekatan observasi, wawancara dengan berbagai pihak yang kompeten seperti Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Dinas Kehutanan, serta masyarakat yang ada di dalam dan sekitar lokasi terpilih. Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi seperti Biro Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data hotspot tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Kementerian Kehutanan. 2. Peta land cover Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 skala 1: dari Ditjen Planologi Kementerian kehutanan 3. Peta Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000 skala 1: dari Ditjen Planologi kementerian Kehutanan. 4. Peta Administrasi Kalimantan Barat Tahun 2006 dari Bakosurtanal. 5. Peraturan pemerintah dan kebijakan (pusat, daerah provisnsi dan daerah kabupaten kota) 4.3. Metode Penetapan Objek Penelitian Penetapan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling dengan melihat pola kebakaran di beberapa daerah yang menjadi kategori rawan I di Indonesia. Dari data tersebut terpilihlah Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki pola kebakaran hutan realtif tinggi setiap tahun.

46 Analisis Spasial Pengolahan data Spasial dilakukan dengan cara melakukan overlay data hotspot (2000, 2003, 2006 dan 2009) dengan Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Barat, Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan dan Peta Penutupan Lahan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000, 2003, 2006 dan Selanjutnya akan didapatkan sebaran hotspot pada daerah administrasi di Provinsi Kalimantan Barat, sebaran hotspot pada didapatkan sebaran hotspot di masing-masing tipe penutupan lahan. Selanjutnya peta pentupan lahan tersebut tersebut masing masing akan dilakukan overlay untuk mendapatakan data perubahan penutupan lahan. Selain itu data hotspot juga dilakukan overlay dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Kalimantan Barat dan peta Administrasi Kalimantan Barat yang akan menghasilkan peta sebaran hotspot di masing-masing tipe penutupan lahan, jenis penggunaan lahan dan kabupaten. Pengerjaan ini dilakukan dengan menggunakan software ArcGIs 10 free Content Analysis Content analysis dilakukan dengan cara melakukan analisis menyeluruh terhadap peraturan perundangan baik itu Peraturan Pemerintah Pusat maupun Peraturan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan peraturan perundangan yang dianalisis, sehingga dapat diketahui permasalahan yang ada untuk mengetahui hubungan antara peraturan perundangan atau kebijakan yang terkait dengan masalah yang sama apakah terdapat relevansinya dan apakah ada kesenjangan (gap) yang terjadi antara peraturan perundangan tersebut. Sebelum melakukan analisis terlebih dahulu ditentukan keyword yang akan dijadikan acuan dalam menganalisis kebijakan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan. Keywords yang dipilih yaitu kebakaran hutan,

47 31 kebakaran lahan, wewenang pemerintah pusat, wewenang pemerintah provinsi, wewenang pemerintah kabupaten/kota, kewajiban pelaku usaha kewajiban/peran serta masyarakat, pengendalian kebakaran hutan/lahan, rawan kebakaran dan sanksi. Format Content analysis disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Content Analysis dalam Penelitian No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat (Sintaktis) Tersirat (Semantik) Ket 4.6 Analisis Kebijakan Penetapan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Analisis ini dilakukan secara deskriptif dengan berpedoman pada informasi dari hasil analisis sebelumnya untuk memperoleh bentuk kelembagaan pengelolaan hutan yang ramah masyarakat dan menjamin fungsi kelestarian hutan dengan nilai ekonomi yang baik. Analisis bersumber dari hasil observasi lapangan, wawancara dan analisis data sekunder. Hasil analisis ini nantinya akan dapat dijadikan bahan acuan untuk meninjau kembali status daerah rawan kebakaran yang ada saat ini.

48 33 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Sebaran Titik Panas (Hotspot) dan Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Sebaran Hotspot Berdasarkan Daerah Administrasi Pada penelitian ini tingginya hotspot diaumsikan sejalan dengan banyaknya kejadian kebakaran hutan. Sebaran titik panas Provinsi Kalimantan Barat menurut daerah administrasi dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan peta sebaran hotspot dapat dilihat pada Lampiran (1-4). Tabel 6. Sebaran Titik panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Daerah Administrasi No Kabupaten/ Kota Rata-rata Jumlah Pend 2009* Pert. Pend (%)* Luas Wilayah (km²)* 1 Sambas , , ,70 2 Bengkayang , , ,30 3 Landak , , ,10 4 Pontianak , ,90 5 Sanggau , , ,70 6 Ketapang , , ,74 7 Sintang , , ,00 8 Kapuas Hulu , , ,00 9 Sekadau , , ,30 10 Melawi , , ,00 11 Kayong Utara , , ,26 12 Kubu Raya , , ,20 13 Pontianak , ,06 107,8 14 Singkawang , Total *BPS,2010 Dapat dilihat pada tabel bahwa kejadian titik panas tertinggi tahun 2000 terjadi di Kabupaten Kubu Raya (dahulu Kabupaten Pontianak) dengan jumlah titik panas 644 titik. Namun pada tahun 2003, 2006 dan 2009 secara konstan dengan rata-rata titik panas tertinggi terjadi di Kabupaten Ketapang berturut-turut titik, titik, dan titik. Sedangkan Kabupaten Sintang dan Sanggau berturut-turut menjadi Kabupaten yang memiliki hotspot tertinggi. Dari

49 34 tabel juga terlihat jumlah penduduk di suatu daerah tidak memiliki hubungan langsung dengan tinginya titik panas, namun mungkin ada hubungan dengan laju pertumbuhan penduduk. Daerah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tinggi umumnya memiliki titik panas yang tinggi seperti Kabupaten Ketapang, Sintang, Landak dan Kayong Utara. Kecuali Kabupaten Sanggau. Tabel 7. Sebaran Hotspot pada Kabupaten dengan Jumlah Lahan Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat No. Kabupaten / Kota *BPS Kalimantan Barat, Rata-rata Kebun Belukar Kebun Campur Tanah kering Kampung Sawah Hutan 1 Sambas Bengkayang Landak Pontianak Sanggau Ketapang Sintang Kapuas Hulu Sekadau Melawi Kayong Utara Kubu Raya Kota Pontian Kota Singkaw Total Hotspot Jenis Penggunaan Lahan (Ha)* Dari tabel bisa kita lihat bahwa daerah yang memiliki lahan perkebunan, belukar dan tanah kering yang luas memiliki titik panas yang tinggi. Sedangkan daerah yang memiliki hutan luas belum tentu memiliki hotspot yang tinggi. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas pengelolaan lahan pertanian, perkebunan serta lahan non hutan menyebakan terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang diindikasikan dengan tinginya jumlah hotspot.. Jumlah kejadian titik panas paling sedikit secara konstan terjadi pada daerah perkotaan yaitu Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian dan perkebunan di daerah perkotaan relatif sedikit, dan titik panas seringkali terjadi akibat pantulan sinar matahari pada atap rumah.

50 35 Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Kayoman (2010) bahwa faktor tertinggi penyebab kebakaaran hutan dan lahan adalah tutupan lahan sebesar 36,5%, penggunaan lahan sebesar 29,4% jarak dari jalan sebesar 115,29%. Sedangkan analisis sebaran titik panas berdasarkan peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat juga menunjukaan asumsi sebaran titik panas terbanyak terdapat pada areal penggunaan lain yang mencakup perkebunan, lahan pertanian, pertambangan dan sebagainya. Hasil ini sejalan dengan hasil analisis sebelumnya yang dilkuakn pada daerah administrasdi di Kalimantan Barat. Sebaran titik panas pada area penunjukan kawasan disajikan pada Tabel 9, sedangkan peta sebaran hotspotnya dapat dilihat pada lampiran 5-8. Sebaran Hotspot Berdasarkan Penunjukan Lahan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat merupakan peta yang telah disahkan dengan SK No. 259/Kpts-II/2000 tanggal yang merupakan kesepakatan antar peta Tata Guna Hutan Kawasan (TGHK) dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Sebaran hotspot berdasarkan penunjukan lahan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran Titik panas Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat No Nama Hutan Lindung (HL) , , Kawasan Konservasi (KK) , Hutan Produksi (HP) , , Hutan Produksi Terbatas (HPT) , , Hutan Produksi Konversi (HPK) , , Area Pengguanaan Lain (APL) , Perairan ,0008 Total Hotspot Rata-rata Luasan (Ha) Kerapatan Hotspot ,0009 Bila meninjau dari rata-rata hotspot pada tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 hotspot secara konstan terjadi areal penggunaan lain, diikuti oleh hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT). Sedangkan titik panas terendah terjadi pada kawasan konservasi (KK). Kecuali pada tahun 2003 yang jumlahnya lebih

51 36 tinggi daripada hutan prduksi konversi. Sedangkan tahun selanjutnya kecenderungan jumlah titik panas di kawasan konservasi ini terus menurun. Apabila mengacu pada kerapatan hotspot maka kerapatan hotspot tertinggi terjadi pada hutan produksi (HP) sebesar 0,0014 hotspot/ha, diikuti areal penggunaan lain (APL) sebesar 0,0013 hotspot/ha dan hutan produksi konversi sebesar (HPK) 0,0012 hotspot/ha. Sedangkan hotspot pada kawasan hutan lindung memiliki kerapat terkecil sebesar 0,0004 hotspot/ha diikuti oleh kawasan konservasi sebesar 0,0005 hotspot/ha. Hal ini agak berbeda dengan yang dikemukan Kayoman (2010) bahwa zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat ditinjau dari segi jenis penggunaan lahan APL memiliki persentase luas areal untuk tingkat kerawanan tinggi sebesar 66,56% dan bekas HPH sebesar 16,65%. Sedangkan daerah terluas dengan kerawanan tinggi berturut-turut adalah Kabupaten Sanggau, Ketapang dan Sintang. Sebaran Hotspot pada Berbagai Penutupan Lahan Sebaran titik panas pada berbagai penutupan lahan pada tahun 2000 disajikan pada Tabel 9, sedangkan peta sebaran hotspotnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 9. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2000 No Jenis Tutupan Lahan Jumlah Hotspot Luasan (Ha) Kerapatan Hotspot (hotspot /ha) 1 Hutan ,15 0, Hutan Tanaman Industri ,26 0, Perkebunan ,82 0, Semak /Belukar ,19 0, Pertanian Lahan Kering (PLK) ,23 0, Transmigrasi ,48 0, Pemukiman ,67 0, Sawah ,89 0, Tanah Terbuka ,49 0, Bandara/Pelabuhan 64,30 0, Pertambangan ,90 0, Tubuh Air ,61 0, Rawa ,01 0, Tambak ,51 0, Awan 0 26,38 0,00000 Total ,89 0,00476

52 37 Kerapatan hotspot tertinggi terjadi pada Sawah sebesar 0,00096 hotspot/ha, diikuti oleh perkebunan 0,00085 hotspot/ha dan hutan tanaman industri (HTI) sebesar 0,0057 hotspot/ha. Sedangkan hotspot terendah terdeteksi pada tutupan lahan tambak, bandara, awan dan hutan sebesar masing-masing 0 hotspot/ha, 0 hotspot/ha,0 hotspot/ha, dan 0,00004 hotspot/ha. Dari hasil tersebut terlihat bahwa kejadian kebakaran banyak pada lahan non hutan yang terkait dengan produksi tanaman pangan, perkebunan, dan areal produksi kayu. Sementara hutan sendiri memiliki kejadian kebakaran yang rendah. Sebaran titik panas pada berbagai penutupan lahan pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 10, sedangkan peta sebaran hotspotnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel 10. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2003 No Jenis Tutupan Lahan Hotspot Luasan (ha) Kerapatan Hotspot (hotspot/ha) 1 Hutan ,80 0, Hutan Tanaman Industri ,26 0, Perkebunan ,44 0, Semak /Belukar ,81 0, Pertanian Lahan Kering (PLK) ,05 0, Transmigrasi ,83 0, Pemukiman ,13 0, Sawah ,89 0, Tanah Terbuka ,85 0, Bandara/Pelabuhan 64,30 0, Pertambangan ,46 0, Tubuh Air ,61 0, Rawa ,93 0, Tambak ,52 0,00000 Total ,89 0,02036 Dari tabel terlihat bahwa jumlah hotspot tertinggi terjadi pada areal pertanian lahan kering, diikuti oleh semak/belukar dan hutan. Namun apabila dilihat dari kerapatan hotspot maka hotspot tertinggi terjadi pada tanah terbuka

53 38 sebesar 0,338 hotspot/ha; HTI sebesar 0,331 hotspot/ha; rawa 0,00267 hotspot/ha; semak/belukar 0,00237 hotspot/ha, perkebunan 0,00155 hotspot/ha; pertambangan sebesar 0,00267 hotspot/ha dan PLK sebesar 0, Sedangkan hutan sebaran hotspotnya hanya 0,00017 hotspot/ha. Hal ini memeperlihatkan bahwa lahan non hutan merupakn tempat yang rawan kebakaran. Dari semua kawasan non hutan tersebut terdapat HTI, perkebunan, pertambangan dan pertanian lahan kering yang sangat erat dengan aktivitas ekonomi masyarakat. Sebaran titik panas pada berbagai penutupan lahan pada tahun 2006 disajikan pada Tabel 11, sedangkan peta sebaran hotspotnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 11. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2006 No Jenis Tutupan Lahan Jumlah Hotspot Luasan (Ha) Kerapatan Hotspot (hotspot/ha) 1 Hutan ,18 0, Hutan Tanaman Industri , , Perkebunan ,7079 0, Semak /Belukar ,314 0, Pertanian Lahan Kering (PLK) ,862 0, Transmigrasi , , Pemukiman , , Sawah ,8844 0, Tanah Terbuka ,3581 0, Bandara/Pelabuhan 0 64, , Pertambangan , , Tubuh Air ,6058 0, Rawa ,8782 0, Tambak , ,00000 Total ,89 0,03465 Pada tahun 2006 terlihat dari segi jumlah hotspot tertinggi terjadi pada areal PLK, hutan, semak/belukar dan perkebunan. Namun apabila kita memperhatikan kerapatan hotspot terlihat bahwa kerapatn hotspot tertinggi terjadi pada areal perkebunan sebesar 0,0580 hotspot/ha; diikuti oleh tanah terbuka sebesar 0,00436 hotspot/ha; transmigrasi sebesar 0,00377 hotspot/ha; semak/belukar sebesar 0,00359 hotspot/ha, sawah 0,00304 hotspot/ha,

54 39 pertambangan sebesar 0,00303 hotspot/ha, HTI sebesar 0,00277 hotspot/ha dan PLK sebesar 0,00261 hotspot/ha. Terlihat bahwa secara konstan lahan non hutan memiliki hotspot yang tinggi, namun bila dibandingkan dengan tahun 2003 terjadi perubahan urutan tingkat kerapat hotspot, namun unsur yang mendominasi tetap sama. Sedangkan hutan kerapatan hotspotnya sangat rendah setelah bandara dan tambak sebesar 0,0068 hotspot/ha, namun lebih meningkat bila dibandingkan tahun 2003 yaitu sebesar 0,00017 hotspot/ha. Sebaran titik panas pada berbagai penutupan lahan pada tahun 2006 disajikan pada Tabel 12, sedangkan peta sebaran hotspotnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 12. Sebaran Titik Panas di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2009 No Jenis Tutupan Lahan Jumlah Hotspot Luasan (Ha) Kerapatan Hotspot (hotspot/ha) 1 Hutan ,65 0, Hutan Tanaman Industri , , Perkebunan ,9859 0, Semak /Belukar ,221 0, Pertanian Lahan Kering (PLK) ,678 0, Transmigrasi , , Pemukiman ,13 0, Sawah ,52 0, Tanah Terbuka ,34 0, Bandara/Pelabuhan 64, , Pertambangan , , Tubuh Air ,6058 0, Rawa ,507 0, Tambak ,61 0, Awan 0 0,00 0,00000 Total ,89 0,00696 Pada tahun 2009, kerapatan hotspot tertinggi terjadi pada lahan perkebunan sebesar 0,00126 hotspot/ha; diikuti oleh PLK sebesar 0,00092 hotspot/ha; tanah terbuka sebesar 0,00083 hotspot/ha; semak belukar sebesar 0,00078 hotspot/ha sawah sebesar 0,00076 hotspot/ha. Terlihat bahwa kerapatan hotspot secara konstan terjadi pada areal non hutan. Kerapatan Hotspot pada tahun

55 ini menurun dibandingkan tahun 2006 karena pada tahun 2009 musim kemarau tidak terlalu berat seperti pada tahun tahun Gambar 3. Tingkat Kerapatan Hotspot pada Berbagai Jenis Penutupan Lahan Tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 Tingkat kerapatan hotspot dipengaruhi oleh jumlah luasan suatu di areal tutpan lahan. Kerapatan hotspot dapat dijadikan salah satu faktor untuk menentukan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap bahaya kebakaran seperti yang dilakukan oleh Samsuri Dari grafik terlihat bahwa yang kerapatan hostpot tertinggi dari tahun ke tahun di dominasi oleh areal non hutan seperti tanah terbuka, semak belukar, perkebunan, sawah, pertambangan, HTI dan PLK yang pada umumnya merupaka lahan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Sebaran Hotspot dan Perubahan Penutupan Lahan Sedangkan hasil analisis perubahan lahan selama 10 tahun ( ) memperlihatkan perubahan berbagai jenis tutupan lahan yang jumlah totalnya dapat dilihat pada Tabel 13.

56 41 Tabel 13. Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 No Jenis Tutupan Lahan Luasan (Ha) Perubahan Penutupan Lahan (Ha) Hutan , , , , , , ,53 2 HTI , , , ,76 0,00-87,50 0,00 3 Perkebunan , , , , , , ,28 4 Semak/Belukar , , , , , , ,09 5 PLK , , , , , , ,18 6 Transmigrasi , , , ,83 473,35 0,00 0,00 7 Pemukiman , , , ,13 46,46 0,00 0,00 8 Sawah , , , ,52 0, , ,64 9 Tambak 4.702, , , ,61 83, ,40 943,69 10 Tanah Terbuka , , , , , ,50 412,98 11 Bandara/Pelabuhan 64,30 64,30 64,30 64,30 0,00 0,00 0,00 12 Pertambangan , , , , ,56-504, ,59 13 Rawa , , , ,51 14,92-902, ,37 14 Tubuh Air , , , ,61 0,00 0,00 0,00 15 Awan 26,38 0,00 0,00 0,00-26,38 0,00 0,00 Total , , , , Hasil analisis perubahan penutupan lahan periode tahun memperlihatkan bahwa luasan lahan yang paling banyak berkurang adalah hutan sebesar ,35 Ha. Sedangkan yang bertambah paling banyak adalah perkebunan dan tanah terbuka masing-masing sebesar ,62 ha dan ,37 ha. Sedangakan bila dilihat dari alokasi perubahannya maka hutan dalam periode ini berubah menjadi perkebunan, semak belukar, pertanian lahan kering, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan dan rawa. Perubahan terbesar diakibatkan konversi hutan menjadi semak belukar sebesar , 25 ha, pertanian lahan kering sebesar ,01 Ha tanah terbuka sebesar 4.114,06 Ha dan perkebunan sebesar 2.834,96 ha. Sedangkan Pertambahan perkebunan selain dari konversi hutan, juga dari semak/belukar sebesar 4.294,20 ha, dan pertanian lahan kering (PLK) sebesar 8.843,16 ha. (Untuk lebih jelasnya alokasi perubahan lahan ini dapat dilihat pada Lampiran 13).

57 42 Sedangkan untuk melihat perubahan yang terjadi akibat kebakaran hutan atau bukan dilakukan overlay peta perubahan penutupan lahan dan data titik panas (hotspot) seperti yang terlihat pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun Kerapatan Penutupan Lahan No Hotspot 2003 Luasan (Ha) Hotspot (Hotspot/ ha) 1 Hutan Hutan ,19 0, Hutan Perkebunan ,96 0, Hutan Semak ,25 0, Hutan PLK ,01 0, Hutan Tanah Terbuka ,76 0, HTI HTI ,26 0, Perkebunan Perkebunan ,11 0, Semak/belukar Semak/belukar ,56 0, Semak/belukar Perkebunan ,20 0, Semak/belukar Tanah Terbuka ,21 0, Semak/belukar Pertambangan ,88 0, PLK PLK ,43 0, PLK Perkebunan ,16 0, PLK Tanah Terbuka 3 820,79 0, Sawah Sawah ,89 0, Pemukiman Pemukiman ,67 0, Transmigrasi Transmigrasi ,48 0, Tanah Terbuka Tanah Terbuka ,13 0, Pertambangan Pertambangan ,28 0, Rawa Rawa ,01 0, Tubuh Air Tubuh Air ,61 0,0313 Kerapatan hotspot tertinggi terjadi pada tubuh air, namun hotspot pada tubuh air diindikasikan sebagai false hotspot. Perubahan semak belukar menjadi tanah terbuka dengan kerapatan sebesar 0,0146 hotspot/ha menjadi kerapatan hotspot tertinggi pada penutupan lahan. Diikuti perubahan dari Pertanian lahan kering menjadi tanah terbuka sebesar 0,037 hotspot/ha dan kejadian hotspot pada tanah terbuka sebesar hotspot/ha dan HTI sebesar 0,033 hotspot/ha Namun apabila digabungkan maka jumlah hotspot yang paling tinggi terjadi pada perubahan semak belukar menjadi peruntukan lain sebesar 0,205 hotspot/ha, pertanian lahan kering sebesar 0,070 Hotspot/Ha dan perubahan hutan menjadi peruntukan lain sebesar 0,036. Sedangkan perubahan penutupan lahan yang terjadi selama periode memperlihatkan bahwa hutan tetap menjadi areal yang paling banyak

58 43 berkurang sebesar ,62 Ha, sawah sebesar 2.588,10 Ha, rawa sebesar 902,50 Ha, pertambangan sebesar 504,30 Ha dan HTI sebesar 87,50 Ha.. Sedangkan yang paling banyak bertambah adalah semak belukar sebesar ,51 Ha, perkebunan sebesar ,27 Ha dan tanah terbuka sebesar ,50 Ha. Apabila dilihat dari alokasi perubahan lahan hutan pada periode ini berubah menjadi perkebunan, semak, pertanian lahan kering, sawah, tanah terbuka dan pertambangan. Sedangkan sawah berubah menjadi perkebunan dan tambak. Rawa berubah menjadi semak, pertambangan berubah menjadi pertanian lahan kering dan HTI berubah menjadi pertanian lahan kering untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 14. Tabel sebaran titik panas pada perubahan lahan penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun No. Penutupan Lahan Hotspot 2006 Luasan (Ha) Kerapatan hotspot (hotspot/ ha) 1 Hutan Hutan ,33 0, Hutan Perkebunan ,90 0, Hutan Semak ,61 0, Hutan PLK ,87 0, Hutan Sawah , Hutan Tanah Terbuka ,56 0, HTI HTI ,76 0, Perkebunan Perkebunan ,44 0, Semak Semak ,74 0, Semak Perkebunan 8 291,36 0, Semak PLK ,60 0, Semak Tanah Terbuka ,13 0, PLK PLK ,91 0, PLK Perkebunan ,15 0, PLK Tanah Terbuka ,58 0, Sawah Sawah ,15 0, Sawah Perkebunan ,86 0, Pemukiman Pemukiman ,13 0, Transmigrasi Transmigrasi ,24 0, Tanah Terbuka Tanah Terbuka ,82 0, Tanah Terbuka PLK 1 822,46 0, Pertambangan Pertambangan ,81 0, Rawa Rawa ,88 0, Tubuh Air Tubuh Air ,61 0,0014

59 44 Kerapatan titik panas tertinggi pada periode terdapat perubahan dari semak menjadi lahan perkebunan sebesar 0,00275 hotspot/ha diikuti oleh perubahan hutan menjadi perkebunan sebesar 0,0256 hotspot/ha, PLK menjadi perkebunan sebesar 0,0118 hotspot/ha, dan perubahan dari semak menjadi lahan terbuka sebesar 0,0074 hotspot/ha. Apabila digabungkan terlihat bahwa perubahan lahan menjadi areal perkebunan merupakan tingkat kepadatan hotspot tertinggi sebesar 0,0654 hotspot/ha. Dengan kata lain konversi lahan menjadi perkebunan menyebabkan kebakaran lahan dan hutan yang tinggi. Perubahan penutupan lahan pada periode dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan titik panas pada areal penutupan lahan yang berubah dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Sebaran Titik Panas pada Perubahan Penutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun No. Penutupan Lahan Hotspot 2009 Luasan (ha) Kerapatan hotspot (hotspot /ha) 1 Hutan Hutan ,65 0, Hutan Perkebunan ,79 0, Hutan Semak ,12 0, Hutan PLK ,85 0, Hutan Tanah Terbuka ,22 0, Hutan Pertambangan ,10 0, HTI HTI ,76 0, Perkebunan Perkebunan ,33 0, Perkebunan PLK ,42 0, Semak/Belukar Semak/Belukar ,66 0, Semak/Belukar PLK ,12 0, Semak/Belukar Tanah Terbuka ,02 0, Semak/Belukar Pertambangan ,52 0, PLK PLK ,28 0, PLK Perkebunan ,33 0, PLK Semak ,59 0, PLK Sawah 1 228,86 0, PLK Tanah Terbuka ,49 0, PLK Pertambangan ,22 0, Sawah Sawah ,05 0, Tanah Terbuka Semak ,49 0, Tanah Terbuka Perkebunan ,56 0, Tanah Terbuka Pertambangan ,26 0, Pemukiman Pemukiman ,13 0, Transmigrasi Transmigrasi ,37 0, Tanah Terbuka Tanah Terbuka ,52 0, Tanah Terbuka PLK ,39 0, Pertambangan Pertambangan ,16 0, Rawa Rawa ,22 0, Rawa Perkebunan ,66 0, Air Air ,61 0,00036

60 45 Penutupan lahan yang paling banyak berkurang pada periode yaitu hutan sebesar ,53 Ha, pertanian lahan kering (PLK) sebesar ,18 Ha dan Semak sebesar ,09 Ha. Sedangkan areal yang bertambah adalah perkebunan sebesar ,28 Ha dan pertambangan sebeesar ,59 Ha serta sawah sebesar 4.388,64 Ha. Sedangkan berdasarkan alokasi perubahannya hutan berubah menjadi perkebunan, semak, pertanian lahan kering, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan dan rawa. Pertanian lahan kering berubah menjadi perkebunan, semak, sawah, tanah terbuka dan pertambangan, sedangkan semak berubah menjadi petanian lahan kering, tambak, dan pertambangan. Semua perubahan yang terjadi atas penutupan lahan tersebut erat kaitannya dengan penghidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan Yuadji (1981) bahwa semakin tinggi jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi. Untuk lebih jelasnya alokasi perubahan penutupan lahan periode dapat dilihat Lampiran 15 Pada tabel terlihat bahwa kerapatan hotspot tertinggi terjadi pada perubahan semak/belukar menjadi tanah terbuka sebesar 0,02621 hotspot/ha diikuti oleh PLK menjadi sawah sebesar 0,00437 hotspot/ha, hutan menjadi PLK sebesar 0,00299 hotspot/ha, rawa menjadi perkebunan sebesar 0,00292 hotspot/ha, hutan menjadi perkebunan sebesar 0,00258 hotspot/ha, lahan transmigrasi sebesar 0,00231 hotspot/ha, hutan menjadi tanah terbuka sebesar 0,00217 hotspot/ha dan aktivitas di lahan perkebunan sebesar 0,00216 hotspot/ha. Hal ini mengindikasikan bahwa lahan berupa semak/belukar dan tanah terbuka merupakan lahan yang rawan mengalami kebakaran, sedangkan dari hasil juga terlihat bahwa perubahan hutan menjadi lahan perkebunan, pertanian, lahan terbuka dan penutupan lahan lainnya menimbulkan kebakaran. Hal ini terkait dengan pola perluasan dari lahan pertanian dan perkebunan. Sedangkan kerapatan hotspot yang tinggi pada lahan pertanian, perkebuna dan trasmigrasi hal ini terkait erat dengan kegiatan penyiapan lahan. Sedangkan pada hutan sebaran titik panas diduga mengindikasikan perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder. Sedangkan pada semak belukar perubahan disebabkan semak memang merupakan tutupan lahan yang gampang terbakar,

61 46 titik panas yang terdeteksi pada tubuh air merupakan akibat pantulan sinar matahari dan yang tedeteksi pada areal pemukiman diduga kuat berasal dari pantulan atap rumah. Hasil analisis sebaran titik panas (hotspot) pada areal penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat terdapat indikasi yang kuat antara perubahan penutupan lahan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hampir semua areal yang mengalami perubahan penutupan lahan memiliki tingkat kerapatan hotspot yang tinggi. Selama periode hutan telah mengalami konversi menjadi lahan peruntukan lain sebanyak ,50 ha yang berubah menjadi peruntukan non hutan baik lahan perkebunan, lahan pertanian, pertambangan serta lainnya. Perubahan ini dilakuakn dengan cara membakar dengan adanya hotspot pada areal hutan yang berubah tersebut. Pembakaran hutan yang dilakukan antara lain untuk menyediakan perumahan, lahan pertanian dan perkebunan serta pertambangan yang sangat erat terkait kebutuhan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Anderson, et al. (1999) bahwa latar belakang pembakaran hutan yang dilakukan oleh petani adalah faktor sosial ekonomi yang erat dengan konsep penguasaan lahan. Masyarakat yang memiliki lahan kecil atau tidak memiliki lahan akan membuka lahan baru atau bekerjasama dengan pendatang atau koperasi untuk melakukan pembukaan lahan. Hal ini juga sejalan dengan yang dikemukakan Young and Ronald (1990) bahwa seiring semakin meningkatnya jumlah pendatang baru, dan peladang maka kebakaran hutan akan semakin meningkat. Kerapatan hotspot yang paling tinggi dari tahun ke tahun selalu terjadi pada kawasan non hutan antara lain pada lahan perkebunan, pertanian lahan kering, hutan, sawah, semak/belukar, tanah terbuka, lahan pertanian. Hasil analisis memperlihatkan bahwa semak belukar merupakan daerah rawan terbakar hal ini disebabkan jenis vegetasinya sangat mudah terbakar. Tanah terbuka biasanya ditutupi oleh alang-alang, rerumputan dan sebagainya sedangkan semak/belukar merupakan campuran berbagai tumbuhan perdu. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Arianti (2006) bahwa vegatasi halus seperti rumput

62 47 dan alang-alang serta semak yang memiliki kerapat sedand merupakan faktor biofisik yang memiliki pengaruh terhadap kebakaran hutan dan laha. Sedangkan kejadian kebakaran pada lahan perkebunan, hutan tanaman indusri, lahan pertanian kering, sawah, pertambangan membuktikan adanya proses penyiapan lahan dan kejadian kebakaran yang terjadi pada kawasan HTI juga merupakan indikasi dari adanya kegiatan penyiapan lahan. Hal ini sejalan dengan hasil Penelitian Kayoman (2010) bahwa faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia, jarak terhadap jalan, penggunaan lahan, faktor biofisik yang dipengaruhi tutupan lahan dan jumlah curah hujan, Sedangkan pembukaan lahan hutan, penyiapan lahan dan pengolahan lahan dilakukan dengan cara membakar disebabkan pembukaan lahan atau hutan dengan cara membakar lebih cepat dan murah serta tidak memerlukan tenaga yang banyak. Hal ini sesuai yang dikemukakan KLH(1998) yang menyatakan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hanya memerlukan waktu 28 HOK (Hari Orang Kerja), sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK dtambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Analisis ini menggunakan metode content analysis untuk mengetahui hubungan antara peraturan perundangan atau kebijakan yang terkait dengan masalah yang sama apakah terdapat relevansinya dan apakah ada kesenjangan (gap) yang terjadi antara peraturan perundangan tersebut. Untuk itu dipilih kata kunci (keywords) yang dianggap relevan yaitu kebakaran hutan, kebakaran lahan, wewenang pemerintah pusat, wewenang pemerintah provinsi, wewenang pemerintah kabupaten/kota, pengendalian kebakaran hutan/lahan, kerawanan kebakaran hutan, kewajiban pelaku usaha, kewajiban/peran serta masyarakat dan sanksi. untuk lebih jelasnya hasil content analysis dapat dilihat pada Tabel 17.

63 48 Tabel 17. Hasil Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat No Peraturan Perundangan 1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 2. UU 18 tahun 2004 tentang Perkebunan 3. Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Keyword Tersurat (Sintaktikal) Tersirat (Semantikal) Keterangan - kebakaran hutan x pasal 47 huruf a, pasal 50 ayat 3 huruf d dan l, pasal 48 - kebakaran lahan x x - wewenang pemerintah pusat pasal 4 ayat 2, pasal 5 ayat 3, pasal 48 ayat 1-2, pasal 51, pasal wewenang pemerintah provinsi x Pasal 60, pasal 62-63, pasal 66 - wewenang pemerintah kabupaten/kota x - kewajiban pelaku usaha Pasal 48 ayat 3, pasal 49, pasal 50 ayat 2, pasal 50 ayat 3 huruf d dan i - kewajiban/peran serta masyarakat Pasal 4 ayat 3, pasal 32, Pasal 48 ayat 3, pasal 50 ayat 3 huruf d dan i, pasal 60, pasal 61 ayat 2, pasal 64, pasal pengendalian kebakaran hutan/lahan Pasal 47, pasal 50 ayat 1 - rawan kebakaran hutan x x - sanksi x Pasal 78 ayat 3, 4 dan 11 (sanksi pidana), pasal 80 ayat kebakaran hutan x x - - kebakaran lahan Pasal 18, Pasal 25 ayat 1, ayat 2 hurufc, pasal 26 - wewenang pemerintah pusat x Pasal, 18, pasal 44, pasal 45 - wewenang pemerintah provinsi x Pasal 18, Pasal 44 - wewenang pemerintah kabupaten/kota x x - - kewajiban pelaku usaha Pasal 20, Pasal 25 ayat 1, pasal 26, penjlasan pasal 21 - kewajiban/peran serta masyarakat Pasal 18, pasal 20, pasal 22, penjelasan pasal 21 - pengendalian kebakaran hutan/lahan Pasal 25 ayat 1, ayat 2 huruf c, - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi Pasal 47, Pasal 48 (sanksi pidana), pasal 49 - kebakaran hutan x Pasal 1 (definisi Bencana), penjelasan - kebakaran lahan x Pasal 1 (definisi Bencana), penjelasan - wewenang pemerintah pusat Pasal 7, Pasal 13 - wewenang pemerintah provinsi Pasal 9, 18, 51, penjelasan - wewenang pemerintah kabupaten/kota Pasal 9, 18, 51, penjelasan

64 49 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat (Sintaktikal) Tersirat (Semantikal) Keterangan - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajiban/peran serta masyarakat Pasal 59, pasal 60, pasal 69, pasal 72, penjelasan - pengendalian kebakaran hutan/lahan x Pasal 11, pasal 13, - rawan kebakaran hutan x Pasal 1, pasal 21, pasal 32, pasal 47, penjelasan - sanksi Pasal 42, pasal 72, penjelasan 4. UU nomor 32 Tahun - kebakaran hutan Pasal 21 ayat 3 huruf c 2009 Tentang - kebakaran lahan x Pasal 21 ayat 3 huruf c, Pasal 108 Perlindungan dan - wewenang pemerintah pusat x pasal 82 ayat 1-2, pasal 63, pasal 94 Pengelolaan - wewenang pemerintah provinsi x pasal 82 ayat 2, pasal 39, pasal 63,pasal 64, pasal 94 Lingkungan Hidup - wewenang pemerintah kabupaten/kota x pasal 82 ayat 2, pasal 39, pasal 63, pasal 64, pasal 94 - kewajiban pelaku usaha x Pasal 49, - kewajiban/peran serta masyarakat Pasal 25, Pasal 26, Pasal 70, pasal 91 - pengendalian kebakaran hutan/lahan Pasal 39, Pasal rawan kebakaran hutan x Pasal 39 - sanksi Pasal 76-78, pasal 80 ayat 1-2, pasal 81-83, pasal 87 ayat 1 5. PP Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau lahan 4, Pasal kebakaran hutan x Pasal 1 ayat 8-10, pasal 11, pasal 13, pasal 14 ayat 1, pasal 15, pasal 17, pasal 18 ayat 1, Pasal 20, pasal 21 ayat1 - kebakaran lahan x Pasal 1 ayat 8-10, pasal 11, pasal 13, pasal 14 ayat 1, pasal 15, pasal 17, pasal 18 ayat 1, Pasal 20, pasal 21 ayat1 - wewenang pemerintah pusat x Pasal 23-26, pasal 34 ayat 3, pasal 43 ayat 1, pasal 44 - wewenang pemerintah provinsi x pasal 28-29, pasal 34 ayat 2, Pasal 36 - wewenang pemerintah kabupaten/kota x pasal 30-31, Pasal 33, pasal 34 ayat 1, Pasal 35 - kewajiban pelaku usaha x pasal 11, pasal 13, pasal 14 ayat 1, pasal 15, pasal 17, pasal 18 ayat 1, Pasal 20, pasal 21 ayat1, pasal 51, - kewajiban/peran serta masyarakat x Pasal 19, pasal 42-43, pasal pengendalian kebakaran hutan/lahan x pasal 14 ayat 1, pasal 17, pasal 18 ayat - rawan kebakaran hutan - - sanksi x Pasal 48, pasal 49, pasal 52

65 50 No Peraturan Perundangan 6. PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan 7. P No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Keyword Tersurat (Sintaktikal) Tersirat (Semantikal) Keterangan - kebakaran hutan Pasal 2 ayat 1, Pasal 6 huruf a, Pasal 8 ayat 4, Pasal 19 ayat 1-2, Pasal 22 ayat, 1 pasal 23 ayat 1 huruf c, pasal 24 ayat 5-6, pasal 24 ayat 5-6, pasal 26 - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat pasal 3 ayat 1, Pasal 19 ayat 3 (izin Pemb terkendali), Pasal 20 ayat 3, pasal 21 ayat 1, Pasal 22 ayat 1 dan 4 23 ayat 1 huruf a dan e, pasal 24 ayat 5-6, pasal 25 - wewenang pemerintah provinsi pasal 3 ayat 1, Pasal 3 ayat 3, Pasal 8-11, pasal 20 ayat 4, pasal 21 ayat 2, pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1 huruf b, pasal 24ayat 4 - wewenang pemerintah kabupaten/kota pasal 20 ayat 5, pasal 21 ayat 3, Pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1 huruf c, pasal 24ayat 3 - kewajiban pelaku usaha Pasal 8 ayat 1-4, pasal 10 ayat 1-2, pasal 19 ayat 1-3, pasal 20 ayat 6, pasal 21 ayat 4, pasal 24 ayat 1-2, pasal 26 ayat kewajiban/peran serta masyarakat Pasal 9 ayat 1 (masy.adat) - pengendalian kebakaran hutan/lahan Pasal 10 ayat 2, Pasal 19 ayat 2, pasal 20 ayat 3-6, pasal 21 ayat 1, pasal 21 ayat 4, Pasal 22 ayat 3-4, pasal 23,pasal 24 ayat 1, pasal 24 ayat 5-6, pasal 26, pasal 28 ayat rawan kebakaran hutan x Pasal 16, pasal 23, - sanksi x Pasal 30 (perdata dan pidana), Pasal 31 - kebakaran hutan x x - - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat x Pasal 2-5, pasal 9-10, pasal 15, pasal 16 ayat 1-2, pasal wewenang pemerintah provinsi x Pasal 6-8, pasal 11-12, pasal 13-14, pasal 16 ayat 3, pasal 19 - wewenang pemerintah kabupaten/kota x Pasal 6-8, pasal 11-12, pasal 13-14, pasal 16 ayat 4 - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajiban/peran serta masyarakat x x - - pengendalian kebakaran hutan/lahan x x - - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi x x -

66 51 No Peraturan Perundangan 8. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom 9. Peraturan menteri Kehutanan Nomor : P.12/Menhut-II/ Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 21/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaaran Hutan (Brigdalkarhut) di Indonesia Keyword Tersurat (Sintaktikal) Tersirat (Semantikal) Keterangan - kebakaran hutan x Pasal 2 - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat Pasal 3, pasal 5 ayat 1, pasal wewenang pemerintah provinsi Pasal 3, pasal 5 ayat 2, pasal 9 - wewenang pemerintah kabupaten/kota Pasal 4 - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajiban/peran serta masyarakat x x - - pengendalian kebakaran hutan/lahan x x - - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi x x - - kebakaran hutan Pasal 1 - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat Pasal 5, pasal 6, pasal 20-33, pasal 40 - wewenang pemerintah provinsi Pasal 7-8, pasal 17, pasal 20-33, pasal 40 - wewenang pemerintah kabupaten/kota Pasal 10-11, pasal 17, pasal 20-33, pasal 40 - kewajiban pelaku usaha Pasal pasal 13, pasal 20-33, pasal 39, pasal 40 - kewajiban/peran serta masyarakat Pasal pengendalian kebakaran hutan/lahan Pasal 5-16, pasal rawan kebakaran hutan Pasal4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10 - sanksi x x - - kebakaran hutan x Berupa SK pembentukan brigdalkarhut di Indonesia, Lampiran keputusan berupa panduan dan susunan komando brigdalkarhut mekanisme, anggota, regu, sarana prasarana satndar, susuanan organisasi, dsb. - kebakaran lahan x Lampiran Keputusan - wewenang pemerintah pusat x Lampiran Keputusan - wewenang pemerintah provinsi x Lampiran Keputusan - wewenang pemerintah kabupaten/kota x Lampiran Keputusan - kewajiban pelaku usaha x x Lampiran Keputusan

67 52 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Tersirat Keterangan (Sintaktikal) (Semantikal) - kewajiban/peran serta masyarakat x x Lampiran Keputusan - pengendalian kebakaran hutan/lahan x Lampiran Keputusan (keanggotaan Brigdalkarhut) - rawan kebakaran hutan x - - sanksi x x - 11 Keputusan Dirjen - kebakaran hutan x Berupa SK pembentukan brigade pengendalian kebakaran htan PHKA Nomor : (Brigdalkar) di beberapa daerah, penjelasan 22/Kpts/DJ-IV/ kebakaran lahan x penjelasan tentang Pembentukan - wewenang pemerintah pusat x penjelasan Brigade - wewenang pemerintah provinsi x Penjelasan Pengendalian - wewenang pemerintah kabupaten/kota x Penjelasan Kebakaran Hutan di Propinsi - kewajiban pelaku usaha x x - Sumatera Utara, - kewajiban/peran serta masyarakat x x - Riau, Jambi, - pengendalian kebakaran hutan/lahan x penjelasan Kalimantan Barat dan Kalimantan - rawan kebakaran hutan x penjelasan Tengah - sanksi x x Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 30/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pemebentukan Pos Komando Pengendalian kebakaran Hutan Nasional - kebakaran hutan x Pasal 1 (berupa SK personil Pusdalkarhutnas) - kebakaran lahan x x - wewenang pemerintah pusat x Pasal wewenang pemerintah provinsi x - wewenang pemerintah kabupaten/kota x - kewajiban pelaku usaha x x - kewajiban/peran serta masyarakat x x - pengendalian kebakaran hutan/lahan x - rawan kebakaran hutan x - sanksi x x

68 53 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat (Sintaktikal) Tersirat (Semantikal) Keterangan 13. Peraturan Daerah - kebakaran hutan x Pasal 1 huruf g, pasal 2-3, pasal 4 ayat 1, pasal 8, Provinsi Daerah - kebakaran lahan x Pasal 1 huruf g, pasal 2-4, pasal 4 ayat 1, pasal 8, Tingkat I Kalimantan - wewenang pemerintah pusat x Pasal 9 Barat Nomor 6 - wewenang pemerintah provinsi x Pasal 9, pasal 12, pasal 15, 19 Tahun wewenang pemerintah kabupaten/kota x Pasal 9, pasal 12, pasal 16, pasal 17 mengenai Pencegahan dan - kewajiban pelaku usaha x Pasal 5, pasal 6, pasal 7 ayat 2, pasal 10, pasal 12 penanggulangan - kewajiban/peran serta masyarakat x Pasal 5, pasal 7 ayat 1, pasal Kebakaran Hutan - pengendalian kebakaran hutan/lahan x Pasal huruf h-l, Pasal 4 ayat 2, pasal 8, pasal dan Lahan - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi x Pasal Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (Protap) Mobilisasi sumberdaya penegndalian kebakaran hutan dan lahan 15. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah - kebakaran hutan x Pasal 1 - kebakaran lahan x Pasal 1 - wewenang pemerintah pusat x Pasal 10, pasal 15 ayat 5, pasal 36 - wewenang pemerintah provinsi x Pasal 15 ayat 1-2, pasal 19, pasal 20 ayat 1, pasal 21, pasal 24, pasal 27-29, pasal 36 - wewenang pemerintah kabupaten/kota x Pasal 8-9, pasal 15 ayat 1 dan 3-5, pasal 20 ayat2-3, pasal 22-23, pasal 25-26, pasal 30, - kewajiban pelaku usaha x Pasal 10, pasal 12, pasal 15 ayat 6, pasal 35 ayat 1 - kewajiban/peran serta masyarakat x Pasal 31-34, pasal 35 ayat 1 - pengendalian kebakaran hutan/lahan x Pasal 1-7, pasal 10, pasal 13-14, pasal 16-19, - rawan kebakaran hutan x Pasal 5, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, - sanksi x x - - kebakaran hutan x Pasal 1 - kebakaran lahan x Pasal 1 - wewenang pemerintah pusat x Pasal 13 - wewenang pemerintah provinsi x Pasal 1 ayat 2, pasal 2-8, pasal 12, pasal 16 - wewenang pemerintah kabupaten/kota x Pasal 1 ayat 2, pasal 9-11, pasal 12, pasal 16 - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajiban/peran serta masyarakat x Pasal 12

69 54 No Peraturan Perundangan 16. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 311 Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Yustisi Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 17. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 267 Tahun 2003 Tentang Pemebntukan Tim Action Plan Sterilisasi Kawasn Bandara Supadio dari Asapa Akibat Kebakaran Lahan Keyword Tersurat (Sintaktikal) Tersirat (Semantikal) Keterangan - pengendalian kebakaran hutan/lahan x Pasal 1 - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi x x - - kebakaran hutan x Berupa SK penunjukan personil pemebntukan tim yustisi kebakaaran hutan dan lahan yang personilnya kepala pejabat daerah yang dianggap tugasnya dainggap relevan. - kebakaran lahan x - wewenang pemerintah pusat x - wewenang pemerintah provinsi x - wewenang pemerintah kabupaten/kota x - kewajiban pelaku usaha x - kewajiban/peran serta masyarakat x - pengendalian kebakaran hutan/lahan x - rawan kebakaran hutan x x - sanksi x x - kebakaran hutan x Berupa SK penunjukan personil pemebntukan tim yustisi kebakaaran hutan dan lahan yang personilnya kepala pejabat daerah yang dianggap tugasnya dainggap relevan. - kebakaran lahan x - wewenang pemerintah pusat x - wewenang pemerintah provinsi x - wewenang pemerintah kabupaten/kota x - kewajiban pelaku usaha x - kewajiban/peran serta masyarakat x - pengendalian kebakaran hutan/lahan x - rawan kebakaran hutan x x - sanksi x x

70 55 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat (Sintaktikal) Tersirat (Semantikal) Keterangan 18. Keputusan Gubernur - kebakaran hutan x Berupa SK penunjukan personil pemebentukan tim yustisi Kalimantan Barat No. 24 Tahun 2009 kebakaaran hutan dan lahan yang personilnya kepala pejabat daerah yang dianggap tugasnya dainggap relevan. tentang Pembentukan - kebakaran lahan x Pos Tanggap Darurat - wewenang pemerintah pusat x Penanggulangan - wewenang pemerintah provinsi x Bencana - wewenang pemerintah kabupaten/kota x Asap/Kebakaran - kewajiban pelaku usaha x Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan - kewajiban/peran serta masyarakat x Barat - pengendalian kebakaran hutan/lahan x - rawan kebakaran hutan x x - sanksi x x

71 56 Hampir semua peraturan perundangan yang dianalisis memiliki semua keywords yang dipilih terkait dengan pengendalian kebakaran hutan yaitu kebakaran hutan, kebakaran lahan, wewenang pemerintah pusat, wewenang pemerintah provinsi, wewenang pemerintah kabupaten/kota, kewajiban pelaku usaha kewajiban/peran serta masyarakat, penanggulangan/pengendalian kebakaran hutan/lahan, rawan kebakaran dan sanksi. Khusus untuk kata kunci rawan kebakaran hutan hanya ditemukan pada Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 22/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Permenhut No. P.12/Menhut-II/2009 dan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (Protap) Mobilisasi sumberdaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dari segi peraturan sendiri UU nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sangat baik dari segi penggambaran wewenang, namun tidak spesifik mengarah ke pengendalian kebakaran hutan namun dari segi sanksi sangat baik bagi pelaku pembakaran hutan atau lahan. Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan sangat lengkap sebagai panduan bagi pelaku usaha di bidang perkebunan dari segi kewajiban hingga sanksi yang diberikan. Sedangkan PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan lebih banyak membahas masalah perlindungan hutan, masalah kebakaran lahan tidak ditemukan, sedangkan dari segi sanksi sudah cukup baik. PP Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau lahan lebih spesifik membahas mengenai pencemaran lingkungan akibat kebakaran hutan dan lengkap dengan aturan pengendalian kebakaran hutan, wewenang pemerintah di semua lini terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta sanksi Peraturan pemerintah daerah Kalimantan Barat cukup baik namun lebih banyak aturan teknis mengenai mobilisasi, pembentukan badan pengendalian kebakaran hutan dan lahan daerah, sedangkan yang memuat sanksi hanya

72 57 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 mengenai Pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, itupun dengan sanksi yang sangat kecil. Pada Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 311 Tahun 2002 dan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 267 Tahun 2003, memperlihatkan itikad baik pemerintah daerah untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan, namun kerjasama dengan UPT pusat kurang terlihat karena UPT pemerintah pusat yang ada di daerah seperti Balai KSDA Sumber Daya Alam Kalimantan Barat tidak diikutsertakan dalam kegiatan ini, namun pada Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor, 24 Tahun 2009 pemerintah daerah dan pusat terkoordinasi dengan dimasukannya BKSDA Kalimantan Barat dalam pos tanggap darurat penanggulangan bencana asap kebakaran hutan dan lahan Kalimantan Barat. Selain itu pihak perguruan tinggi juga dimasukan dalam peraturan ini. Yang mengindikasikan kesiapan di semua segi. Peraturan pemerintah kabupaten/kota mengenai pengendalian kebakaran hutan tidak ditemukan sehingga boleh dibilang perangkat aturan daerah kurang memadai Hubungan Sebaran Titik panas, Perubahan Penutupan Lahan dan Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan Hasil analisis sebaran hotspot pada daerah Administrasi terlihat bahwa Kabupaten Ketapang, Sintang dan Sanggau serta Landak merupakan Kabupaten yang meimiliki jumlah hotspot tertinggi. Dari hasil analisis ini juga terlihat bahwa Kabupaten-kabupaten tersebut memiliki jumlah pertumbuhan penduduk yang tinggi dan jumlah lahan perkebunan, belukar dan tanah kering terluas. Peraturan penegndalain kebakaran di tingkat daerah hanaya ada pada tingkat Provinsi seperti yang telah disebutkan pada tabel 17. Namun pada daerahkabupaten kota khususnya yang tersebut di atas tidak memiliki perangkat peraturan perundangan yang mengadopsi kebijakan mengenai pengedalian kebakaran hutan maupun lahan di daerah tersebut.

73 58 UPT pemerintah pusat telah memiliki Daops di Kabupaten Ketapang dan Sintang yang memiliki jumlah hotspot tertinggi tersebut. Namun tugas pokok dan fungsi Daops tersebut adalah penanganan pengendalian kebakaran hutan pada kawasan konservasi. Selanjutnya dari hasil analisis sebaran hotspot pada jenis penggunaan lahan maka kerawanan kebakaraan tertinggi terjadi pada hutan produksi (HP) diikuti areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi sebesar (HPK). Peraturan perundangan yang mengatur tentang pengendalian kebakaran hutan di hutan produksi telah ada terutama di tingkat pusat yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa setiap pemegang izin usaha diwajibkan melakukan perlindung hutan pada areal kerjanya. Sedangkan pada PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan bahwa kegiatan perlindungan hutan menjadi tanggung jawab pemegang hak pengelolaan hutan produksi tersebut dan pengawasannya dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Namun tampaknya implementasi kebijakan peraturan ini tidak berjalan, mulai dari ketidapatuhan pelaku usaha sampai kelemahan pengawasan dari pemerintah pusat maupun daerah. Pada PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan juga dijelaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab terhadap semua kebakaarn hutan dan lahan yang terjadi pada lokasi usahanya dan setiap penanggung jawab usaha harus memiliki sarana dan parasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Di Provinsi Kalimantan Barat perusahaan kehutanan yang memiliki sarana prasarana Pengendalian Kebakaran Hutan hanya PT. Finantara Intiga (HTI). Pemegang izin usaha hutan di Kalimantan Barat sangat banyak, namun samapia saat ini belum ada yang mendapat sanksi baik administratif maupun pidana terkait dengan kelalaian ini. Padahal sanksi ini jelas tercantum pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. PP Nomor 4 tahun 2001, PP 45 Tahun Sementara itu peraturan perundangan yang terkait dengan pengendalian kebakaran di kawasan non hutan seperti areal penggunaan lain (APL) yang terdiri

74 59 atas perkebunan, lahan pertanian dan sebagainya. Peraturan pada tingkat pusat telah ada yaitu UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 41 Tahun 2001 serta peraturan pada daerah provinsi Perda Kalimantan Barat No 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Sektor perekebunan telah memilki peraturan perundang pokok yaitu UU No. 18 Tahun 2004 namun peraturan teknis yang terkait tidak ditemukan. Sedangkan peraturan pada daerah kabupaten/kota juga tidak ditemukan. Implementasi kebijakan pada sektor ini juga dinilai kurang. Dari sejumlah perusahaan perkebunan di Kalimantan Barat hanya PT Citra Usaha Lestari (perkebunan kelapa sawit) yang telah memiliki regu dan sarana prasaran pengendalian kebakaran hutan walaupun masih di bawah standar yang ditetapkan. Hal ini seharusnya bila diawasi dengan baik, dapat diberikan sanksi baik secara administratif, perdata maupun pidana seperti yang telah tercantum pada UU No. 18 Tahun 200 Tahun 2004 dan PP 4 Tahun Namun sampai saat ini hal tersebut belum dilakasanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten. Sementara itu berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat terdapat indikasi yang kuat antara perubahan penutupan lahan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hampir semua areal yang mengalami perubahan penutupan lahan memiliki tingkat kerapatan hotspot yang tinggi. Kejadian kebakaran hampir sebagian besar terjadi pada lahan non hutan. Dengan kondisi seperti ini peraturan perundangan yang mendukung tentang pengendalian kebakaran lahan telah tersedia yaitu UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 41 Tahun 2001 serta peraturan pada daerah provinsi Perda Kalimantan Barat No 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Semua pertauran yang ada bukan belum didukung oleh aturan teknis yang seharusnya ada untuk mengatur teknis pelaksanaan penegendalian kebakaran lahan di lapangan. Peraturan ini seharusnya

75 60 ada di tingkat daerah kabupaten/kota karena kejadian kebakaran lahan ini merupakan wilayah kerja pemerintah daerah kabupawen/kota. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat terlihat bahwa kejadian kebakaran di kawasan hutan masih cukup tinggi terutama yang diakibatkan oleh perubahan fungsi lahan jhutan menjadi peruntukan lain. Hal ini sangat disayangkan karena peraturan perundangan yang ada di bidang pengendalian kebakaran hutan sudah cukup baik dan memadai yaitu UU No. 41 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. PP Nomor 4 tahun 2001, PP 45 Tahun 2004, Perda Kalimantan Barat No 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Permenhut Nomor : P.12/Menhut- II/2009 hingga Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 21/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaaran Hutan (Brigdalkarhut) di Indonesia, Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 22/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 30/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pemebentukan Pos Komando Pengendalian kebakaran Hutan Nasional, Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (Protap) Mobilisasi sumberdaya penegndalian kebakaran hutan dan lahan. permasalahan saja. Khusus di kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan bahkan telah memiliki Regu Pengedalian Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut) Manggala Agni yang berkeddudukan di Daops. Kalimantan Barat memiliki 5 Daops yaitu di Daops Pontianak di Kabupaten Kubu Raya, Daops Singkawang di Kota Singkawang, Daops Sintang di Kabupaten Sintang, Daops Ketapang di Kabupaten Ketapang dan Daops Semitau di Kabupaten Sintang. Empat Daops pertama berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, sedangkan Daops Putusibau berada di bawah pengelolan Balai taman Nasional Danau Sentarum. Selain Daops yang memiliki personil manggala agni dan sarpras yang lebih

76 61 lengkap, Taman nasional Gunung palung juga memliki Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dengan Sarpras ex proyek JICA. Sedangkan Taman Nasional lain di Provinsi Kalimantan Barat tidak memiliki pasukan Brigdalkarhut. Lingkup kegiatan Brigdalkar meliputi serangkaian proses kegiatan yang terdiri dari pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran hutan baik dari darat maupun udara. Ketiga kegiatan tersebut dilaksanakan secara lengkap, seimbang dan proporsional Pencegahan kebakaran hutan adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan ini pada dasarnya dilakukan sepanjang tahun, tetapi dalam pentahapan kesiagaan dikategorikan dalam SIAGA III. Kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya kebakaran hutan; pembangunan sarana/prasarana fisik seperti sekat bakar, menara pengamat api, embung, jalur hijau dan lain-lain; pengembangan sumberdaya pengendalian baik sumberdaya manusia (SDM), peralatan dan pendanaan melalui rekruitmen dan pelatihan, identifikasi dan pengadaan peralatan dan pendanaan; dan pengkajian dan penerapan ilmu dan teknologi kebakaran hutan seperti pembakaran terkendali, pengelolaan bahan bakar, peringatan dini, deteksi dini dan lain-lain. Terkait dengan kegiatan pencegahan yang dilakukan di Kalimantan Barat, Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan menggandeng pihak luar yaitu Japan International Corporation Agency (JICA) dan Canadian Forest System (CFS), Lembaga Penerbangan dan Antarikasa Nasional (LAPAN), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Tekhnologi (BPPT). Kegiatan yang dilakukan dengan JICA merupakan pilot project awal dari sebelum terbentuknya Daops hingga saat ini. Pada tahun 2000 JICA memfasilitasi pembentukan Brigdalkar di Taman Nasional Gunung Palung Kalimantan Barat. Namun saat ini pembantuan JICA ini lebh terpusat pada pemberdayaan masayarakat di tingkat desa terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada tahun 2004 juga dikembangkan kerjasama antara CFS, BMG, LAPAN dan BPPT mengenai Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK). SPBK ini sangat baik dan sangat responsif terhadap kondisi yang terjadi di

77 62 lapangan. SPBK ini dikembangkan untuk kegiatan pengendalian kebakaran hutan dibutuhkan data cuaca on site, sedangkan BMG Kalimantan Barat hanya memiliki 7 (tujuh) stasiun pengamatan yang umumnya terletak di bandara setempat. Pada kegiatan ini dibutuhkan Automatic Weather System (AWS) namun alat ini sudah rusak dikarenakan tidak cocok dengan iklim tropis dan biaya perbaikan alat ini sangat besar, sehingga otomatis kegiatan SPBK ini sementara ini terhenti dan dalam pengendalian kebakarn hutan hanya mengandalkan data hotspot yang dikirimkan melalui miling list sipongi (sipongi@yahoogroups.com) Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dilakukan pada musim siaga I dan II mencakup pra-pemadaman pada siaga II, pemadaman/penyerangan dan mop-up (patroli dan pemadaman sisa-sisa) pada siaga III. Kegiatan pemadaman yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat telah dilakukan dengan cukup baik. Namun hal ini terkendala apabila ada kebakaran di luara kawasan konservasi, dimana brigdalkarhut hanya mempunyai kewenangan perbantuan saja dan tidak diizinkan untuk memakai dana operasional yang ada untuk kegiatan ini. Hal ini juga di sebabkan karena Pemerintah daerah tidak memiliki pasukan pengendali kebakaran sendiri, Daops seringkali dijadikan ujung tombak pengendalian kebakaran hutan baik di kawasan hutan maupun lahan. sesuai dengan kebutuhan setempat. Saat ini posisi Daops yang dikepalai oleh Kepala Daops berada di bawah pengelolaan Balai KSDA/TN setempat. Hal ini membuat Daops tidak indipenden dan sulit melakukan koordinasi dengan aparat pemerintah daerah karena kepala Daops bukan merupakan jabatan struktural. Selain itu Kepala Daops juga tidak memiliki kewenangan dalam hal pengelolaan keuangan Daops sehingga seringkali hal ini menyebabkan kesulitan dalam penanganan kebakaran secara cepat di lapangan. Selain itu kondisi Daops di Kalimantan Barat yang jauh dari kawasan konservasi juga cukup menyulitkan tugas Daops. Daops yang letaknya berhampiran dengan kawasan konservasi hanya Daops Putussibau yang berada di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum. Sedangkan yang lain jauh dari kawasan konservasi bahkan Daops Pontianak yang terletak di Kabupaten Kubu Raya wilayah kerjanya tidak memiliki kawasan konservasi.

78 63 Jumlah personil yang dimiliki Daops bila dibandingkan dengan wilayah kerja Daops dinilai tidak sebanding. Terkadang Daops hanya memiliki 3 regu yang masing-masing regu terdiri dari 15 orang. Apabila Daops yang ada ingin dipertahanakan, penulis berpendapat sebaiknya lokasi daops juga harus ditinjau ulang. Selain itu status anggota Manggala Agni yang merupakan tenaga kontrak juga menyebabkan kaderisasi personil Manggala Agni sering tidak berhasil., karena personil yang mahir biasanya akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Walaupun hubungan antara jumlah titik panas di kawasan konservasi dan keberadaan Daops diasumsikan positif namun dari pelaksanaan kebijakan belum efektif karena masih tingginya jumalah kejadian kebakaran hutan yang diindikasdikan dengan tingginya hotspot yang terpantau dan luasan kebakaran sesuai dengan Renstra Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan tahun Indikator penilaian keberhasilan kinerja pengendalian kebakaran hutan berdasarkan penurunan titik panas dan pengurangan luasan kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran hutan dinilai berhasil bila terjadinya penurunan tren titik panas yang signifikan (berdasarkan rerata). Saat ini penurunan titik panas 20% dan luasan kebakaran hingga 50% per tahun dari rerata merupakan indikator kinerja Kementerian Kehutanan (Renstra Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan ). Namun hal ini terkendala pada data luas areal kebakaran hutan dan lahan yang dirilis oleh Pemerintah seringkali tidak akurat dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hal ini disebabkan penghitungan luas kebakaran hutan masih merupakan perkiraan yang disebabkan kurangnya kemampuan SDM dalam hal penggunaan perangkat yang ada untuk memperkirakan luasan kebakaran. Selain itu titik panas hanya peringatan dini yang belum tentu merupakan titik api sebenarnya, dan adakalanya titik panas ini mengalami kesalahan. Terkadang titik panas ada tetapi kejadian kebakaran tidak ada ataupun kejadian kebakaran ada tetapi tidak terdeteksi sebagai titik panas oleh satelit. Selain itu, sejak tahun 2002 semenjak berdirinya Daops Sampai saat ini Kementerian Kehutanan sebagai penanggung jawab nasional Pengendalian

79 64 kebakaran kehutanan belum memiliki standar atau kriteria penetapan suatu daerah sebagai daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Upaya untuk merangkul masyarakat sudah mulai dilakukan oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dengan cara memperkenalkan pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB) dan membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA) dengan tujuan mengetuk kesadaran masyarakat lokal untuk menyadari besarnya masalah ini. Namun saat ini cara ini belum begitu efektif. Kegiatan pemeberdayaan madayarakat ini terbentur dengan pola pikir dan budaya masyarakat pada umumnya. Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa angota masyarakat kebanyakan masyarakat kebakaran lahan dan hutan merupakan hal biasa dan asap hasil kebakaran hutan dan lahan ini tidak terlalu mengganggu aktivitas mereka terkecuali bila sampai pada tahapan yang sangat berat. Hal ini dipengaruhi dan mempengaruhi kultur bertani masyarakat yang masih melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, walaupun pemerintah memberikan penyuluhan mengenai pembukaan lahan tanpa bakar namun praktik pembukaan lahan dengan cara membakar tetap dilakukan karena dinilai murah, cepat dan efektif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan KLH (1998) bahwa biaya pembukaan lahan hutan dengan cara membakar hanya memerlukan seperempat dari biaya pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) artinya tidak ada insentif ekonomi bagi perusahaan untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar. Pembukaan lahan dengan pembakaran hanya memerlukan waktu 28 HOK (Hari Orang Kerja), sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK ditambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder. Selain itu masyarakat juga menganggap tanah yang telah dibakar akan memberikan hasi panen yang baik, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Hardjanto (1998), bahwa pembakaran yang dilakukan oleh petani dilakukan dengan tujuan menambah kesuburan tanah dan setiap keluarga hanya mampu membakar + 1 ha/tahun. Hal ini sesuai dengan hasil. Selanjutnya menurut Anonimous (1998) Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung lama, karena hutan banyak memberikan manfaat bagi kehidupan.

80 65 Pola perladangan berpindah masih terus dilakukan masyarakat terutama masyarakat lokal, seperti yang terjadi di Kecamatan Bonti Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, setiap kepala keluarga mungkin memiliki 3-5 Ha lahan yang sistem perladangannya digilir dengan waktu yang tidak jelas. Pola pemilikan lahan di sini cukup unik, pemilikan tanah biasanya dilakukan dengan melakukan pembakaran lahan dan setelah itu menanam suatu pohon tertentu sebagai tanda kepemilikan. Lahan ini biasanya akan diolah untuk beberapa saat sampai kurang baik hasilnya kemudian akan ditinggalkan dan akan diolah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian untuk selanjutnya berpindah ke ladang yang lainnya. Sesuai dengan pendapat Yuadji (1981) bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap kemampuan daya dukung lingkungan suatu kawasan. Semakin tinggi jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi. Pada tingkatan Daerah Provinsi peraturan mengenai pengendalian kebakaran hutan ini suadah terdapat peraturan daerah yang cukup baik namun perlu segera dilakukan revisi ulang karena Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 karena isinya khusus mengenai sanksi dan penegakan hukum sudah tidak bisa mengakomodir kondisi yang ada saat ini. Selain Pemerintah Daerah juga telah memiliki prosedur Tetap pengendalian kebakaran Hutan tentang Mobilisasi Sunberdaya Pengendalian Kebakaran Hutan. Namun sayangnya tidak dibarengi dengan pembentukan Brigade pengedalian kebakaran hutan seperti yang diamanatkan oleh PP 45 tahun 2004 Mengenai Perlindungan Hutan. Sedangkan pada tingkatan daerah kabupaten/kota tidak ditemukan adanya peraturan pengendalian kebakaran hutan baik mengenai mekanisme daerah rawan kebakaran maupun mekanisme pengendalian kebakaran hutan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa peraturan pengendalian kebakaran hutan di tingkata provinsi yaitu Perda No. 6 Tahun 1998 tetang Penegndalian Kebakaran Hutan dan Lahan tidak terlalu spesifik membahas mekanisme pengendalian kebakaran hutan. Peraturan teknis di tingkat Provinsi sudah ada dan sangat baik dan lengkap yaitu Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (Protap) Mobilisasi

81 66 Sumberdaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, namun sayangnya peraturan ini tidak dibarengi dengan pembentukan regu pengendalian kebakaran hutan dan lahan seperti yang diamanatkan pada PP No. 45 Tahun 2004 dan PP No. 4 Tahun 2001 untuk menangani kebakaran hutan di kawasan hutan yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah seperti hutan lindung, kawasan hutan pada daerah aliran sungai. Selain itu keberadaan peraturan di tingkata daearah kabuapaten/kota juga tidak ditemukan. Sedangkan dari pembagian wewenang dan tupoksi sampai saat ini masih kurang terintegrasi dengan baik antara pemerintah pusat dan daerah. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan pihak UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan pihak Balai KSDA Kalimantan Barat, terkesan adanya kekurang sepakatan dalam memahami peraturan perundangan baik di tingkat nasioanal maupun lokal. Hal ini terjadi apabila terjadi kebakaran di luar kawasan konservasi. Hal ini disebabkan antara lain karena sampai saat ini pemerintah daerah belum memiliki regu dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sementara UPT pusat terkendala dengan ketentuan tugas pokok dan fungsi serta masalah pembiayaan. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenangan pemerintah dan Provinsi sebagai daerah otonomi pada pasal 2 ayat 3 bagian 4e telah dijelaskan penyelenggaraan pengelolaan Wewenang pemerintah pusat di bidang kehutanan di kawasan suaka alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), kawasan pelestarian alam (Taman Nasional dan Taman Wisata Alam) taman buru termasuk daerah aliran sungai. Sedangkan pada pasal 3 bagian 4a dan 4n dijelaskan bahwa wewenang pemerintah daerah adalah penyelenggaraan hutan lindung hutan produksi dan taman hutan raya serta pengendalian kebakaran hutan di hutan lindung Taman Hutan Raya (Tahura) dan lahan. Kondisi seperti ini menyebabkan kejadian kebakaran hutan dan lahan sulit ditanggapi secara cepat sehingga membuat pengendalian kebakaran lahan dan hutan lambat sehingga hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab luasan kebakaran hutan dan jumlah titik panas di Kalimantan Barat masih relatif tinggi dibandingkan provinsi lain..

82 67 Kegiatan penanganan pasca kebakaran hutan di Kalimantan Barat yang mencakup kegiatan penegakan hukum (penyelidikan, penyidikan, pengadilan), rehabilitasi, inventarisasi dan penanganan dampak kebakaran masih banyak yang belum dilakukan. Kegiatan ini pada umumnya bersifat lintas sektoral yang melibatkan berbagai lembaga atau instansi. Kegiatan penanganan dampak samapi saat ini masih belum efektif dilaksanakan, yang terkendala masalah biaya dan prioritas. Selain itu dalam hal penegakan sampai saat ini belum ada kasus kebakaran hutan yang memiliki kekuatan hukum tetap, umumnya terhenti sampai tahap P21 saja. Hal ini diasumsikan terkendala asumsi masyarakat bahkan aparat pemerintah mengenai isu-isu lingkungan khususnya pengendalian kebakaran hutan. Di sisi lain sanksi yang ada berbeda-beda pada UU NO. 41 Tahun 1999 Sanksi pidana dijelaskan pada pasal 78 4 UU No. 41 Tahun 1999, pada ayat 4 sanksi pidana bagi pelaku yang sengaja membakar hutan diancam ayat pidana 15 (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp ,- (satu milyar lima ratus juta rupiah). Pada ayat 11 dijelaskan sanksi pidana pelaku yang membuang benda yang dapat menyebabkan kebakaran serta kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan diancam sanksi pidana penjara paling lama 3 (tiga tahun penjara) dan denda paling banyak Rp ,- (satu milyar rupiah), sementara pada Perda No. 6 Tahun 1998 sanksi pidana bagi eplaku pemabakaran hutan yaitu 6 bulan penjar dan denda Rp ,-. Hal ini tidak memberikan efek jera terhadap pelaku. Padahal sesuai dengan peraturan perundangan yang ada sanksi yang dikenakan sudah sangat jelas, walaupun ada sanksi yang sangat ringan dan tidak seseuia dengan kerugian yang ditimbulkan. Kearifan-kearifan yang dimiliki oelh masayarakat yang mndukung pengedalian kebakaran hutan harusnya terus digali dan dipelajari dengan serius apaklah juga bisa diimplementasikan di tempat lain. Kearifan lokal mengenai pengendalain kebakaran hutan dan lahan yang terdapat di Desa Tanjung Lokang Kabupaten Kapuas Hulu yang wilayahnya merupakan enclave di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Pada

83 68 peraturan ini disebutkan apabila ada masyarakat yang berladang dan memabakar lahan, dan kebaran tersebut merambat sampai ke lahan orang lain (tembawang) maka akan diberikan sanksi adat yang besarnya ditentukan oleh faktor kesengajaan atau bukan dan diputuskan oleh pemuka adat. Hal ini mendapat sambutan baik dari pihak Taman Nasional dengan gencar melakukan penyuluhan mengenai pembuatan sekat bakar dan bahaya kebakaran hutan dan lahan. Selain itu pada kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, dimana masyarakat di dalam dan sekitar kawasan melakukan usaha madu organik, juga tedapat aturan tersendiri mengenai kebakaran hutan dan lahan. Apabila ada anggota masayarakat melakukan pembakaran dan mengenai tikung (sarang) lebah madu milik orang lain maka pelaku akan dikenakan sanksi mengganti semua kerusakan yang terjadi pada tikung tesebut yang besarannya sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh pemuka adat dan kesepakatan dengan pemilik tikung. Hal ini juga didukung oleh Pihak Taman Nasional dengan terus memberika penyuluhan dan peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan uraian di atas penetapan Kalimantan Barat sebagai daerah rawan kebakaran hutan dinilai sudah tepat namun dari segi keefektifannya pelaksanaan dinilai kurang. Hal ini diindikasikan dengan masih tingginya titik panas dan tingginya luasan kejadian kebakaran hutan yang menjadi indikator keberhasilan kinerja Pengendalian Kebakaran Hutan saat ini, sesuai yang tercantum dalam Renstra Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Tahun Selain itu karena kejadian kebakaran pada lahan non hutan lebih tinggi porsinya daripada kejadian kebakaran di lahan hutan, hendaknya kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan ini dijadikan satu dengan daerah kebakaran lahan. Sejalan dengan konsekuensi ini tentunya pembentukan brigade pengendalian kebakaran hutan dan lahan juga harus dibeentuk oleh pemerintah daerah yang memiliki otoritas pada wilayah tersebut. Perlu pengkajian ulang mengenai keefektifan implementasi kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sistem reward and punishment bagi semua pihak namun lebih dititikberatkan pada masyarakat dan pelaku usaha karena terkait

84 69 dengan kebutuhan hidup. Untuk itu perlu ada reward baik langsung dan tidak langsung (bisa berupa keringanan pajak, atau jenis insentif lainnya) agar masyarakat tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Hal ini disebabkan selain faktor efisiensi biaya juga karena budaya masyarakat karena pada beberapa suku di Provinsi Kalimantan Barat pembukaan lahan merupakan bagian dari Budaya masyarakat. Selain itu kearifan-kearifan lokal menegnai pengendalian kebakaran hutan harusnya lebih diperkenalkan da apabila cocok bisa ditularkan pada daerah lain. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Taconi (2003) bahwa jika kegiatan mata pencaharian masyarakat terkait dengan masalah kebakaran hutan atau kabut asap, maka hanya inisiatif atau kegiatan berbasis masyarakat saja yang didukung oleh perundangan yang akan berhasil. Untuk itu di tingkat lokal perlu ditinjau ulang implementasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran khususnya di tingkat Kabupatean/kota, kecamatan hingga desa. Karena kejadian kebakaran hutan di Kalimantan Barat bukan hanya permasalahan politis saja namun terkait erat dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Selain itu Pihak Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan sebagai pemangku kebijakan pengendalian kebakaran hutan di tingkat nasional perlu memiliki standarisasi dan kriteria penetapan daerah rawan kebakaran hutan di seluruh Indonesia yang memasukan berbagai aspek seperti hotspot, penutupan lahan, karakteristik lainnya seperti akses, ekonomi dan sosial budaya.

85 71 VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN 1. Penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat yang paling banyak berkurang selama kurun waktu adalah hutan sebesar ,50 ha, sedangkan yang mengalami pertambahan paling signifikan adalah perkebunan sebesar ,17 ha, semak/belukar senesar ,03 ha dan tanah terbuka sebesar ,85 ha. 2. Hal yang paling berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan adalah faktor jenis penutupan lahan, penggunaan lahan dan laju faktor pertambahan penduduk yang erat kaitannya dengan kebutuhan ekonomi dan pembukaan lahan guna menjadi lahan pertanian atau perkebunan sebagai mata pencaharian serta budaya perladangan berpindah yang biasa diterapkan masyarakat. 3. Implementasi kebijakan penetapan Kalimantan Barat sebagai daerah rawan kebakaran hutan dinilai belum efektif, yang diindikasikan dengan tingginya tingkat perubahan lahan hutan menjadi non hutan dan masih tingginya hotspot. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya peraturan perundangan di tingkat daerah kabupaten/kota, inefisiensi dalam mengimplementasikan amanat dalam peraturan perundangan di tingkat daerah, serta lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah SARAN 1. Perlu peninjauan kembali, deregulasi dan sinkronisasi peraturan perundangan yang ada, untuk menghindari terjadinya konflik akibat kebakaran hutan dan lahan, terutama status hukum kepemilikan lahan dan penggarapan lahan. 2. Penegakan hukum secara tegas dan konsekuen terhadap para pelaku dan pihak yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya biaya transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya pihak tertentu melakukan pembakaran.

86 72 3. Perlu adanya instrumen kebijakan berbasis ekologis dan ekonomi dalam hal pengendalian kebakaran hutan seperti yang dilakukan di negara lain seperti insentif kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok sekitar kawasan konservasi lahan seperti diskon pembayaran listrik, keringanan pajak, kemudahan kredit usaha tani/usaha mandiri, prioritas beasiswa kepada anak-anak dari keluarga yang tidak membakar lahan dan hutan dan sebagainya dan memberikan disinsentif kepada yang melakukan pembakaran lahan dan hutan; memberikan insentif kepada perusahan berupa keringanan pajak, kemudahan perizinan, reward, sertifikasi ramah lingkungan dan sebagainya kepada perusahaan yang tidak melakukan pembakaran hutan dan lahan serta diinsentif kepada perusahaan yang melakukan pembakaran hutan; Mengintensifkan penyuluhan lingkungan termasuk pengendalian kebakaran hutan. 4. Perlu dibuat standarisasi penetapan daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia dan Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang baru khusunya di Tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten Kota, Kecamatan hingga Desa dengan memasukan faktor jenis tutupan lahan, topografi, kelerengan, iklim, assesibilitas, sebaran penduduk dan faktor sosial budaya sebagai salah satu faktor penentu daerah rawan kebakaran hutan.

87 73 DAFTAR PUSTAKA Adiningsih ES Penyimpangan Iklim dan Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Albar. I. Komunikasi Pribadi. 20 Februari Anderson IP, Bowen MR, Imanda ID, Muhnandar Kebakaran Vegetasi di Indonesia. Sejarah Kebakaarn di Beberapa Provinsi di Sumatera Sebagai perkiraan Daerah yang Beresiko di Masa Datang. Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah II dan Kanwil Kehutanan dan Perkebunan Palembang. Arianti I Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Sub DAS Kapuas Tengah, Propinsi Kalimantan Barat. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BPS Kalimantan Barat] Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Barat Dalam Angka Pontianak : Artha Grafistama. Brown AA, Davis KP Forest Fire Control Land Use. New York : Mc. Graw-Hill Inc. Dunn W Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjahmada University Press Gani GA, Roswintiarti O, Albar I Advances in Operational Weather System For Fire Danger Rating. Laporan FDRS Project. Hardjanto Dampak Sosial Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Integrated Forest Fire Management In Indonesia Phase I: National Guidelinesnon The Pprotection of Forest Againts fire. Bogor : Fakultas Kehutanan. Hoten Komunikasi Pribadi. 13 Februari Kayoman L Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ketterings QM, Wibowo TT, Van Noordwijkc M, Penot E Farmers' perspectives on slash-and-burn as a land clearing method for small-scale rubber producers in Sepunggur, Jambi Province, Sumatra, Indonesia. Elsevier : Forest Ecology and Management 120 (1999)

88 74 [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Dampak, Faktor dan Evaluasi Jilid I. Jakarta : KLH. Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 21/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaaran Hutan (Brigdalkarhut) di Indonesia Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 22/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 30/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pemebentukan Pos Komando Pengendalian kebakaran Hutan Nasional. Koesnadi. Komunikasi Pribadi. 10 Februari Mangandar Keterkaitan Sosial Masyarakat di Sekitar Hutan dengan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di Propinsi Daerah Tingkat I Riau). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat No. 6 Tahun 1998 Pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 103 Tahun 2009 Tentang protap Mobilisasi sumber Daya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2009 mengenai Pengendalian Kebakaran Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenagnan Propinsi sebagai Daerah Otononomi. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pratondo BJ Kajian Pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Samsuri Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

89 75 Subarsono AG Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi. Ed ke-2. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suharto E Analisis Kebijakan Publik : Panduan praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung : CV. Alfabeta. Sukrismanto, E Komunikasi Pribadi. 20 Februari Sumantri Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan, Sebuah Pemikiran, Teori, Hasil Praktek dan Pengalaman di Lapangan. Jakarta : Ditjen PHKA- JICA. Suparto AS Komunikasi Pribadi. 11 Februari Suratmo FG, Jaya INS, Husaeni EA Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : IPB Press. Sunanto Peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Lahan (Studi Kasus Kelompok Peduli Api di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat). Semarang : Program Magister Ilmu Lingkungan Program pasca sarjana Universitas diponegoro. Suwignyo M Komunikasi Pribadi. 12 Februari Syaufina L Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesei : Perilakua Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang : Bayumedia Publishing. Stolle F. Chomitz KM, Lambin EF, Tomich TP Land Use and Vegetation Fires in Jambi Provine Sumatra Indonesia. Elsevier BV: Forest Eology and Managment 179 (2003) : Taconi L Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR Occasional Paper No. 38.i. Bogor: CIFOR. Taconi L, Vayda AP Slash and Burn and Fires in Indonesia: A Comment. Elsevier BV: Ecological Economics 56 (2006) : 1-4. AH Penggunaan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Deteksi dan Prediksi Kebakaarn Gambut di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

90 76 Young AR. Ronald CG Introduction to Forest Science. Madison : Wisconsin University Yuadji. B Pengaruh Pola Penggunaan Lahan Terhadap Daya Dukung Lingkungan. Gema Rimba. Surabaya: Perum Perhutani. Yunus L Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebaakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zulkarnain E Komunikasi Pribadi12 Februari 2010

91 Lampiran 1. Peta Sebaran Hotspot Berdasarakan Daerah Administrasi Kalimantan Barat Tahun

92 Lampiran 2. Peta Sebaran Hotspot Berdasarkan Daerah Administrasi Kalimantan Barat Tahun

93 Lampiran 3. Peta Sebaran Hotspot bedasarakan Daerah Administrasi Kalimantan Barat Tahun

94 Lampiran 4. Peta Sebaran Hotspot bedasarkan Daerah Administrasi Kalimantan Barat Tahun

95 Lampiran 5. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun

96 Lampiran 6. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun

97 Lampiran 7. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun

98 Lampiran 8. Peta Sebaran Hospot di Provinsi Kalimantan Barat Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat Tahun

99 Lampiran 9. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun

100 Lampiran 10. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun

101 Lampiran 11. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun

102 Lampiran 12. Peta Sebaran Hotspot berdasarkan Peta Penutupan Lahan Tahun

103 89 TUTUPAN LAHAN 2000 Lampiran 13. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun TUTUPAN LAHAN 2003 Hutan HTI KBN SMK PLK TRAN PMK SWH TMBK TNH BAND TMBG RAWA AIR AWAN JUMLAH Hutan , , , ,01-46,46-49, ,06-295,00 14, ,15 HTI , ,26 KBN , , ,82 SMK , ,56-473, , , ,19 PLK 4.594, , , ,79-69, ,23 TRAN , ,48 PMK , ,67 SWH , ,89 TMBK , ,51 TNH 57, , ,49 BAND , ,30 TMBG , , ,90 RAWA , ,01 AIR , ,61 AWAN 26, ,38 JUMLAH , , , , , , , , , ,85 64, , , ,61 0, ,89 Ket : Hutan = Hutan Sekunder dan Primer TRAN = Transmigrasi BAND = Bandara/Pelabuhan HTI = Hutan Tanaman Industri PMK = Pemukiman TMBG = Pertambangan KBN = Perkebunan SWH = Sawah RAWA = Rawa SMK = Semak Belukar TMBK = Tambak AIR = Tubuh Air PLK = Pertanian Lahan Kering TNH = Tanah Terbuka AWAN = Awan

104 90 TUTUPAN LAHAN 2003 Lampiran 14. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun TUTUPAN LAHAN 2006 Hutan HTI KBN SMK PLK TRAN PMK SWH TMBK TNH BAND TMBG RAWA AIR AWAN JUMLAH Hutan , , , , , ,56-433, ,80 HTI , , , ,26 KBN , ,44 SMK ,13-291, , , , ,72-25, ,81 PLK , , , ,13-31, ,05 TRAN , ,83 PMK , ,13 SWH , ,15 52, ,89 TMBK , , ,52 TNH 9, ,86 822, , ,85 BAND , ,30 TMBG , , ,46 RAWA , , ,93 AIR , ,61 AWAN ,00 JUMLAH , , , , , , , , , ,36 64, , , ,61 0, ,89 Ket : Hutan = Hutan Sekunder dan Primer TRAN = Transmigrasi BAND = Bandara/Pelabuhan HTI = Hutan Tanaman Industri PMK = Pemukiman TMBG = Pertambangan KBN = Perkebunan SWH = Sawah RAWA = Rawa SMK = Semak Belukar TMBK = Tambak AIR = Tubuh Air PLK = Pertanian Lahan Kering TNH = Tanah Terbuka AWAN = Awan

105 91 TUTUPAN LAHAN 2006 Lampiran 16. Tabel Alokasi Perubahan Penutupan Lahan Tahun TUTUPAN LAHAN 2009 Hutan HTI KBN SMK PLK TRAN PMK SWH TMBK TNH BAND TMBG RAWA AIR AWAN JUMLAH Hutan , , , , ,81 134, , ,10 161, ,18 HTI , ,76 KBN ,65 614, , ,71 SMK , , , , ,31 PLK , , , , , , ,86 TRAN , ,83 PMK , ,13 SWH ,05-500, ,88 TMBK , ,92 TNH , , , ,70 45, , , ,36 BAND , ,30 TMBG , ,16 RAWA , , , ,88 AIR , ,61 AWAN ,00 JUMLAH , , , , , , , , , ,34 64, , , ,61 0, ,89 Ket : Hutan = Hutan Sekunder dan Primer TRAN = Transmigrasi BAND = Bandara/Pelabuhan HTI = Hutan Tanaman Industri PMK = Pemukiman TMBG = Pertambangan KBN = Perkebunan SWH = Sawah RAWA = Rawa SMK = Semak Belukar TMBK = Tambak AIR = Tubuh Air PLK = Pertanian Lahan Kering TNH = Tanah Terbuka AWAN = Awan

106 Lampiran 17. Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat

107 Lampiran 18. Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat

108 Lampiran 19. Peta Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat

109 Lampiran 19. Sebaran Hotspot berdasarkan Perubahan Lahan Tahun Provinsi Kalimantan Barat

Indonesia

Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang vital, serba guna dan bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan ada dua yaitu fungsi langsung yang dapat dinilai dengan uang

Lebih terperinci

Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan).

Permenhut No P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Lingkup Kebakaran Hutan Brown dan Davis (1973) mengemukakan bahwa kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak disengaja atau tidak direncanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN Menimbang : PRESIDEN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN UMUM

Lebih terperinci

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN UMUM

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 22, Pasal 23, Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALANGAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 TENTANG KRITERIA TEKNIS STATUS KESIAGAAN DAN DARURAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia memiliki potensi rawan akan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam. Bencana dapat menimbulkan terancamnya keselamatan jiwa,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN ATAU HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN ATAU HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN ATAU HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 T E N T A N G SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Instruksi Presiden

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP

PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, JAWA BARAT ALDI YUSUP DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN MENTERI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

BAB IV TATA LAKSANA PENGENDALIAN Bagian Pertama Umum Pasal 11 Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.

BAB IV TATA LAKSANA PENGENDALIAN Bagian Pertama Umum Pasal 11 Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 12 Juni 2014 RUANG LINGKUP 1. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA

Lebih terperinci

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan suatu tempat yang luas yang didalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup yang tinggal disana. Hutan juga merupakan suatu ekosistem yang memiliki

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa guna menciptakan kesinambungan dan keserasian lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 04 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 04 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 04 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI, Menimbang : a. bahwa kebakaran hutan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang seharusnya menjadi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 267, 2000 LINGKUNGAN HIDUP.TANAH.Pengendalian Biomasa. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DAFTAR ISI BAB I KETENTUAN UMUM... 2 BAB II LANDASAN PENGELOLAAN AIR TANAH... 3 Bagian Kesatu Umum... 3 Bagian Kedua Kebijakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN, UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa air merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG Menimbang NOMOR 02 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KABUPATEN TABALONG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA G U B E R N U R NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KOTA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, : a. bahwa

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa sumber daya hutan dan lahan merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh MAYA SARI HASIBUAN 071201044 PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. No.377, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, 1 BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa pengaturan Air Tanah dimaksudkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBUKAAN LAHAN DAN PEKARANGAN BAGI MASYARAKAT DI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot di tanggal 19 Oktober 2016

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1127, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Reklamasi Hutan. Areal Bencana. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI

Lebih terperinci

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut 1 Ruang lingkup dari materi Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut meliputi: 1. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 2. Karakteristik kebakaran hutan dan lahan gambut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan 2.1.1. Definisi Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat antara oksigen, sumber penyulutan, dan bahan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa Lingkungan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN

DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN PEDOMAN TEKNIS FASILITASI TEKNIS DUKUNGAN PERLINDUNGAN PERKEBUNAN TAHUN 2018 (Operasional Brigade Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan wilayah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci