PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI"

Transkripsi

1 PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia nilotica di Taman Nasiona Baluran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Rosalina Alvionita Dwi Pratiwi NIM E

4 ABSTRAK ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI. Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI. Taman Nasional Baluran memiliki permasalahan invasi spesies eksotik yang mengancam kelestarian ekosistem yaitu Acacia nilotica. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan, tetapi hingga saat jenis tersebut belum bisa dikendalikan secara optimal. Kondisi saat ini A. nilotica telah menyebar di sebagian besar wilayah taman nasional dan menjadi tegakan homogen di beberapa lokasi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi peranan mamalia besar sebagai pemencar biji A. nilotica yang mencakup jumlah biji yang tekandung dalam feses dan persen tumbuh benih yang terbawa oleh mamalia besar serta kajian seberapa jauh jarak terbawanya biji A. nilotica oleh mamalia besar. Mamalia besar yang terbukti memiliki peran yang besar yaitu kerbau air dan banteng. Jumlah kandungan biji dalam 1000 gram feses banteng sebesar 7.24±6.59 dan feses kerbau air 1.46±0.95. Biji A. nilotica yang termakan kerbau liar memiliki viabilitas 54% dan banteng 34 %. Mamalia besar juga memiliki peran besar dalam menyebarkan biji A. nilotica jarak jauh. Terutama jenis kerbau air terbukti mampu menyebarkan biji hingga ke luar tegakan A. nilotica. Kata kunci: Acacia nilotica, mamalia besar, pemencar biji ABSTRACT ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI. The Role of Large Mammals as the Acacia nilotica Seed Disseminator in Baluran National Park. Supervised by ABDUL HARIS MUSTARI. Baluran National Park has a species invasion problem caused by Acacia nilotica that threaten its ecosystem sustainability. Several prevention has been done, but still can t completely control the invasion. At this moment, A. nilotica has disseminated in most of Baluran area and becomes a homogenous stands in some places. The objective of this research is to identify the role of large mammals as A. nilotica seed disseminators which found in their feces and the seed growth rate, and also to study how far the seed can be disseminated by those large mammals. Water buffalo and javan banteng are proven has the big role in this. Number of seeds found in 1000 gram javan banteng feces is about 7.24±6.59 and water buffalo feces is about 1.46±0.95. A. nilotica seed eaten by the water buffalo has 54% viability while javan banteng has 34% viability. Large mammals also has a big role in disseminating A. nilotica seed for a long wide range, especially buffalo. Buffalo able to spread the seed up to outside A. nilotica stands. Keywords: Acacia nilotica, large mammals, seed disseminator

5 PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi : Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia nilotica di Taman Nasiona Baluran Nama : Rosalina Alvionita Dwi Pratiwi NIM : E Disetujui oleh Dr Ir Abdul Haris Mustari, MScF Pembimbing I Diketahui oleh Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah mamalia besar, dengan judul Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari,M.ScF sebagai pembimbing skripsi telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan selama penulisan skripsi ini, serta Bapak Dr. Ir. Endes N Dachlan,MS atas kesediaanya sebagai moderator dalam seminar hasil penelitian ini. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si atas kesediaanya sebagai ketua sidang dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina,M.Sc sebagai penguji sidang komprehensif. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penelitian di Taman Nasional Baluran yaitu Ibu Ir. Emy Endah Suwarni,M.Sc selaku Kepala Balai Taman Nasional Baluran dan Bapak Supriyanto selaku Kepala SPTN I Bekol, Bapak M. Yusuf Sabarno, S.Hut, M.Si selaku pembimbing di lapangan, Tim PEH Baluran (Pak Siswanto, Pak Nanang, Pak Andy, Pak Toha, Pak Tedi dan Pak Lamijan) telah memberikan banyak saran dan arahan dalam pengambilan data, seluruh pegawai Taman Nasional Baluran, serta rekan PKLP saya (Aldi, Dendi, Yoga, dan Tiwi) yang telah membantu dan memberikan semangat selama pengambilan data. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, dan almamater tercinta Institut Pertanian Bogor serta kepada seluruh dosen, staff tata usaha, laboran, mamang dan bibi yang telah membantu penulis selama menuntut ilmu di IPB. Ungkapan terima kasih dan rasa hormat penulis ucapakan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga yang selalu mendoakan, memberikan semangat, dan kasih sayang yang tak terhingga, serta sahabat Nepenthes rafflesiana 47, Mila, Azti, Ventie, Caca, Tazkiya, Fitha, Ita, Aris, Andini, Ganies, dan teman-teman semua yang telah memberikan semangat dan dukungan dari awal sampai akhir. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2014 Rosalina Alvionita Dwi Pratiwi

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat penelitian 2 METODE 2 Waktu dan Tempat 2 Alat dan Bahan 3 Metode Pengumpulan Data 3 Analisis Data 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Kondisi Persebaran Feses Mamalia Besar 9 Jumlah Biji Acacia nilotica yang Ada pada Feses Mamalia Besar 12 Persen Tumbuh Biji Acacia nilotica dari Feses Mamalia Besar 15 Persebaran Acacia nilotica yang Terbawa oleh Mamalia Besar 18 SIMPULAN DAN SARAN 20 Simpulan 20 Saran 20 DAFTAR PUSTAKA 21 LAMPIRAN 23

10 DAFTAR TABEL 1 Perbedaan feses banteng dan kerbau air 4 2 Perbedaan feses lama dan baru antara banteng dan kerbau air 5 3 Biji A. nilotica yang terkandung dalam feses mamalia besar 13 4 Perbandingan rata-rata kandungan biji A. nilotica dalam satu feses 14 5 Perbandingan rata-rata jumlah biji A. nilotica dalam 1000 gram feses 14 6 Viabilitas benih yang berasal dari kerbau air, banteng, dan kontrol 16 7 Tingkat dan jumlah perkecambahan biji A. nilotica yang berasal dari feses kerbau air, feses banteng, dan kontrol 17 DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi pengambilan data 3 2 Peta sebaran feses mamalia besar di SPTN I Bekol 9 3 Diagram kepadatan feses mamalia besar 10 4 Kerbau air di Savana Bekol 11 5 Rusa timor di Savana Bekol 11 6 Bateng di Savana Bekol 12 7 Peta sebaran A. nilotica yang terbawa oleh kerbau air dan banteng 19 DAFTAR LAMPIRAN 1 Gangguan yang mengancam mamalia besar di SPTN I Karangtekok berupa (a) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Labuhan Merak, (b) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Watunumpuk, (c) pemukiman masyarakat eks-hgu di Resort Labuhan Merak, (d) perencekan kayu di hutan jati Resort Bitakol 23 2 A. nilotica (a) pohon, (b) polong, (c) biji, (d) perkecambahan, (e) semai 24 3 Peta sebaran feses mamalia besar di Taman Nasional Baluran 25 4 Perhitungan dugaan populasi kerbau air dan rusa timor 26 5 Perhitungan chi square hubungan antara sumber biji dengan viabilitas benih Acacia nilotica 26 6 Perhitungan uji Duncan perbedaan viabilitas antara kontrol, banteng, dan kerbau air 27 7 Tabel perhitungan kepadatan feses lama mamalia besar 28 8 Tabel perhitungan kepadatan feses baru mamalia besar 29

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Indonesia. Salah satu permasalahan taman nasional yang sampai saat ini belum terselesaikan yaitu serangan yang bersifat invasif oleh tanaman Acacia nilotica. Tanaman A. nilotica yang berasal dari Afrika Selatan diintroduksi pada tahun 1969 di sekitar area savana Bekol sebagai sekat bakar karena Taman Nasional Baluran sering sekali terjadi kebakaran hutan. Akan tetapi, kondisi habitat justru mendukung A. nilotica ini tumbuh berkembang dan menginvasi hingga seluruh savana. Kenyataanya hingga saat ini Taman Nasional Baluran belum mampu secara optimal mengatasi invasi A. nilotica yang telah mengubah sebagian besar savana yang ada menjadi tegakan homogen A. nilotica. Hal tersebut berdampak pada hilangnya beberapa key species penyusun ekosistem alami, berkurangnya daya dukung habitat terkait dengan ketersediaan pakan, dan berkurangnya ruang yang biasa digunakan untuk aktivitas sosial satwaliar (BTNB 2013 ). Upaya pengendalian invasi A. nilotica telah dilakukan untuk mengurangi jumlah dan serangan yang lebih besar, namun hasilnya kurang begitu optimal. Secara mekanis pemberantasan berupa penebangan/pemotongan bahkan dengan pencabutan dan ditindas buldozer. Pemotongan justru memberi dampak tumbuhnya cabang baru yang lebih banyak dan pematahan dormansi biji yang lebih cepat, serta menyebabkan rusaknya lapisan tanah yang berakibat mengurangi produktivitas tumbuhan bawah pakan satwaliar (Djufri 2006). Pemberantasan secara kimiawi juga kurang efektif dan efisien karena membutuhkan biaya yang besar untuk jumlah A. nilotica yang banyak dan sebaran yang luas (Djufri 2004). Kurang optimalnya pengendalian A. nilotica dapat disebabkan oleh aktifitas satwaliar terutama herbivora. Satwa tersebut dapat menyebarkan biji denga cara memakan dan mengeluarkan kembali dalam kondisi biji utuh, terbawa melalui kuku atau kulit tubuh satwa. Menurut Harvey (1981), biji A. nilotica yang termakan oleh herbivora seperti domba dan sapi dapat keluar kembali dalam kondisi yang masih utuh setelah melalui proses pencernaan. Selain itu, feses satwa juga mempengaruhi kondisi lingkungan biji sehingga mempercepat biji untuk tumbuh. Jenis satwaliar yang diduga menyebarkan biji A. nilotica adalah beberapa mamalia besar yang biasanya memakan biji A. nilotica. Mamalia besar tersebut diantaranya seperti kerbau air (Bubalus bubalis), banteng (Bos javanicus), dan rusa timor (Rusa timorensis). Kajian mengenai peran mamalia besar sebagai penyebar biji A. nilotica di Taman Nasional Baluran perlu dipelajari. Hal ini dikarenakan upaya pengendalian yang telah dilaksanakan kurang optimal dalam mengurangi invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi peran mamalia besar dalam penyebaran biji A. nilotica di Taman Nasional Baluran. Peran mamalia besar dalam menyebarkan biji A. nilotica mencakup jumlah biji dalam feses, persen tumbuh bibit A. nilotica, dan jarak terbawanya biji oleh mamalia besar. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

12 2 pengelolaan ekosistem hutan untuk memberantas spesies invasif ini dari sisi peranan satwa. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Jenis mamalia besar manakah yang berperan menyebarkan biji A. nilotica? 2. Berapa jumlah biji A. nilotica yang terkandung dalam feses mamalia besar? 3. Berapa persen tumbuh bibit A. nilotica yang dihasilkan dari sisa pencernaan mamalia besar? 4. Berapa jarak terbawanya biji A. nilotica yang terbawa oleh mamalia besar? 5. Berapa besar peran mamalia besar menyebarkan biji A. nilotica dibandingkan dengan faktor penyebar lainnya? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi peranan mamalia besar sebagai pemencar biji A. nilotica yang mencakup jumlah biji, persen tumbuh benih A. nilotica, dan jarak terbawanya biji A. nilotica oleh mamalia besar. Manfaat penelitian Hasil dari penelitian ini mampu memberikan data mengenai peranan mamalia besar dalam penyebaran biji A. nilotica sehingga dapat menjadi masukan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan bahan pertimbangan dalam upaya penanggulangan invasi A. nilotica. METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Baluran, Kabupaten Situbondo Jawa Timur dengan fokus pada daerah wilayah jelajah banteng, kerbau air dan rusa timor yang berada pada SPTN I Bekol yaitu savana bekol dan tegakan A. nilotica yang berada di sekelilingnya, Talpat, Evergreen, HM jalan utama Batangan ke Bekol, Ketoan Kendal Timur, Semiang, Manting, Kajang, dan Balanan. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari-April Pengambilan data feses dilaukan pada bulan Februari-Maret 2014, sedangkan bulan April digunakan untuk pengujian viabilitas benih. Lokasi pengambilan data dapat terlihat pada Gambar 1.

13 3 Gambar 1 Peta lokasi pengambilan data Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital, GPS, ayakan, plastik spesimen, timbangan, penggaris, polybag, meteran, golok, thermometer, tallysheet, komputer dan perangkat GIS, program microsoft excel 2007 dan alat tulis. Bahan yang digunakan berupa feses mamalia besar dan biji A. nilotica sebagai objek penelitian. Metode Pengumpulan Data Observasi lapang Observasi lapang bertujuan untuk pengenalan kondisi lokasi pengambilan data. Pengenalan lapang dilakukan selama satu minggu sebelum pengambilan data dilakukan. Observasi lapang yang dilakukan berupa melihat kondisi mamalia di lapangan, merencakan pengambilan data dengan mencocokan kondisi dilapangan.

14 4 Analisis Feses Metode analisis feses merupakan metode pengamatan untuk menganalisis sample koleksi feses lebih lanjut (Tiuria et al. 2008). Analisis feses merupakan salah satu teknik mikrografik untuk mengkaji makanan herbivora dari makanan yang telah tercerna dalam perut dan biasanya diterapkan untuk ruminansia (Gonzalez 1992). Penerapannya yaitu dengan mengambil sample feses jenis kerbau air, banteng, dan rusa timor kemudian mengamati setiap bagian yang termakan dengan fokus utama biji A. nilotica. Feses kerbau air, banteng, dan rusa timor dianalisis kandungan biji A. nilotica yang terkandung didalamnya. Cara identifikasi biji A. nilotica dalam feses kerbau air dan banteng yaitu dengan menggunakan bantuan golok untuk membuka bagian feses dan menggunakan tangan langsung agar biji A.nilotica yang terkandung dalam feses tidak hilang ketika pengecekan. Pengecekan feses rusa timor dilakukan dengan cara mengambil feses kemudian dicairkan dengan air dan disaring dengan ayakan untuk memastikan kandungan biji A. nilotica. Sebelum mengidentifikasi kandungan biji dalam feses dilakukan penimbangan berat feses terlebih dahulu. Kondisi biji yang berasal dari feses mamalia besar diidentifikasi menjadi empat kategori, yaitu biji kualitas buruk, biji rusak, dan biji yang telah berkecambah. Biji kualitas baik merupakan biji utuh yang berpotensi untuk tumbuh. Biji kualitas buruk merupakan biji utuh yang kosong atau tidak berpotensi untuk tumbuh. Biji rusak merupakan biji yang kondisinya tidak utuh, sedangkan biji yang telah berkecambah merupakan biji yang mulai tumbuh menjadi kecambah. Feses rusa timor, banteng, dan kerbau air memiliki perbedaan bentuk dan ukuran. Feses rusa timor berbentuk butiran seperti kacang tanah dengan ukuran panjang feses 1.5 cm dan diameter 1 cm. Feses kerbau air dan banteng memiliki bentuk yang hampir sama. Perbedaan feses banteng dengan feses kerbau air disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Perbedaan feses banteng dan kerbau air Kategori Feses Pembeda Jenis Banteng Jenis Kerbau air Warna Hijau lebih gelap Hijau kuning lebih terang Serat Serat daun lebih Serat daun lebih halus kasar Bau Tingkat bau Tingkat bau menyengat lebih tinggi menyengat sedang Berat Berat kg Berat 3-5 kg Kandungan air a Kandungan air lebih sedikit sehingga serat lebih banyak (69%) Kandungan air lebih banyak sehingga lebih lembek (73%) Keterangan a Presentasi kandungan air dalam feses didapatkan dari perhitungan berat kering feses melalui proses pengovenan. Selama pengambilan feses ditemukan feses kerbau air dan banteng dalam kondisi yang masih baru dan lama. Perbedaan feses lama dan baru dari jenis

15 kerbau air dan banteng dapat dilihat dari kondisi fisiknya. Penggolongan feses baru yaitu feses yang berumur 1 minggu. Sedangkan, feses lama yaitu feses yang berumur 1 minggu lebih hingga 6 bulan. Perbedaan feses lama dan baru antara banteng dan kerbau air disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Perbedaan feses lama dan baru antara banteng dan kerbau air Feses Baru Feses Lama Pembeda Jenis Kerbau Jenis Banteng Jenis Kerbau air Jenis Banteng air Warna Hijau gelap Kuning terang Gelap seperti warna tanah disekitarnya Kuning pucat kecoklatan 5 Bentuk Berlipat-lipat menggunung (tinggi feses cm) Menggunung bulat biasa (tinggi feses 9-15 cm) Tinggi gunungan berkurang dan hampir menyatu dengan tanah(sekitar 5 cm dari tanah tingginya), lipatan feses tidak begitu terlihat. Tinggi gunungan feses hampir menyatu dengan tanah (sekitar 1-3 cm) Struktur Lembek padat Lembek padat Keras seperti tanah yang menggumpal Suhu Bila umur feses 1 hari maka akan terasa hangat (suhu 37 C). Umur feses di atas 1 hari suhunya mengikuti lingkungan (28-29 C) Sama seperti feses banteng Suhu lingkungan Serat serat terurai seperti abu bila dipegang Suhu lingkungan

16 6 Feses banteng dan kerbau yang masih baru memiliki suhu yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan feses lama. Pengukuran suhu feses menggunakan alat termometer. Suhu feses dihitung selama tiga kali pengulangan. Hasil suhu pasti merupakan rata-rata dari tiga kali pengukuran suhu feses. Penentuan Jalur Lokasi Penelitian Penentuan jalur lokasi penelitian di Taman Nasional Baluran menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2008) purposive sampling merupakan teknik pengambilan sample sumber data dengan petimbangan tertentu. Dasar pertimbangan dalam pengambilan lokasi sample yaitu pada wilayah jelajah mamalia besar yang diduga memiliki peran menyebarkan A. nilotica. Pertimbangan lain yaitu kawasan-kawasan yang telah terinvasi spesies A. nilotica. Jalur pengambilan data menggunakan metoda line transect yaitu pengamatan bergerak sepanjang jalur. Penemuan feses jenis mamalia besar dihitung dan diukur posisi (jarak dan sudut pandang) feses tersebut terhadap pengamat. Batasan jarak kanan dan kiri jalur saat pengambilan objek yang diamati sejauh mata memandang. Jalur pengamatan terdiri 14 jalur dengan panjang jalur yang berbeda-beda. Penentuan panjang jalur yang bervariasi dipengaruhi oleh batas kawasan, topografi yang tidak bisa dilalui, dan lokasi yang sering dilewati satwa. Lokasi hutan evergreen terdiri dari lima jalur dengan panjang setiap jalurnya 2000 m dan jarak antar jalur 500 m. Lokasi hutan evergreen memiliki tutupan vegetasi yang rapat dan berbatasan dengan zona inti sehingga panjang jalur hanya 2000 m. Lokasi Talpat, Ketoan Kendal, Balanan, dan Kajang berada pada satu jalur dengan panjang jalur 5000 m untuk Talpat, Ketoan Kendal, dan Kajang, serta 7000 m untuk Balanan. Lokasi Talpat, Balanan dan Kajang hanya bisa dibuat satu jalur karena kondisi topografinya berbatasan langsung dengan jurang dan tebing yang sangat tinggi. Lokasi Ketoan Kendal hanya terdapat satu jalur karena ujung kawasan ini berbatasan dengan lokasi savana Bekol dan Manting. Lokasi savana Bekol terdiri dari lima jalur dengan panjang jalur 3000 m dan jarak antar jalur 1000 m. Jarak pandang di savanna Bekol lebih panjang jika dibangkan dengan lokasi yang berada pada hutan evergreen. Populasi Mamalia Besar Data populasi mamalia besar Taman Nasional Baluran diperlukan untuk mengetahui jumlah mamalia besar yang memiliki peran sebagai penyebar A. nilotica. Metode yang digunakan dalam pendugaan populasi mamalia besar yaitu concentration count. Metode concentration count merupakan metode penghitungan populasi secara menyeluruh (sensus) pada luasan areal tertentu. Metode ini cocok untuk penghitungan populasi satwa yang hidup berkelompok. Kerbau air dan rusa timor merupakan satwaliar yang hidup berkelompok. Savana Bekol merupakan lokasi utama tempat berkumpulnya kerbau air dan rusa timor. Teknik pengambilan data populasi di Savana Bekol yaitu dengan pengamat diam pada titik dimana satwa biasa berkumpul dan melakukan aktivitas. Lokasi pengamatan berada di menara pandang yang berada di savana karena dari lokasi tersebut bisa menjangkau seluruh areal Savana Bekol. Pengamatan satwa

17 dilakukan selama tiga kali ulangan. Waktu pengamatan pada pagi hingga sore hari (pukul WIB) dan malam hari ( WIB). Data populasi banteng di Taman Nasional Baluran diperoleh dengan data sekunder. Hal ini karena pada saat pengamatan dilapangan sulit untuk menemukan banteng. Data sekunder populasi banteng yang dijadikan acuan yaitu data populasi tahun 2013 berdasarkan hasil inventarisasi pengelola dengan menggunakan metode penjelajahan. Uji Viabilitas Benih Penghitungan tingkat keberhasilan tumbuh biji bertujuan untuk mengetahui kemampuan benih atau daya hidup benih yang terkandung dalam feses mamalia besar dan dibandingkan dengan benih yang berasal dari proses alami (biji kontrol). Uji viabilitas benih dilakukan dengan menanam biji yang terkandung dalam feses mamalia besar. Biji yang ditanamkan yaitu biji yang memiliki kualitas baik. Cara menentukan biji yang memiliki kualitas baik yaitu dengan merendam biji didalam air. Biji yang tenggelam di dasar air merupakan biji yang memiliki kualitas bagus. Jumlah sample biji yang ditanam sebanyak 35 buah untuk masingmasing kategori sumber biji. Jumlah tersebut didasarkan pada jumlah minimal biji yang memiliki kualitas baik. Biji berasal dari feses banteng yang memiliki kualitas baik lebih rendah dibandingkan kerbau air. Biji yang memiliki kualitas baik ditanam dalam media polybag yang berisi tanah. 7 Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai parameterparameter yang diukur dan diamati. Data mengenai kondisi persebaran feses mamalia besar, kepadatan feses mamalia besar, jumlah biji yang ada pada feses mamalia besar, presentasi viabilitas benih, dan jarak terbawanya biji dijelaskan secara deskriptif yang ditunjang penjelasan tabel, gambar, dan grafik. Analisis kuantitatif merupakan pengolahan data menggunakan teknik matematik dan statistik. Data mengenai kepadatan feses, populasi mamalia besar, presentase viabilitas benih, dan hubungan suatu jenis sumber biji terhadap perkecambahan A. nilotica dianalisis secara kuantitatif. Pendekatan Chi-Square (X2) Penentuan ada atau tidaknya hubungan yang berpengaruh antara suatu jenis sumber biji terhadap perkecambahan A. nilotica diuji dengan uji Chi-square (X 2 ) yang dinotasikan sebagai berikut: Keterangan: X 2 : Nilai chi-kuadrat f e : Frekuensi yang diharapkan f 0 : Frekuensi yang diperoleh/diamati (Walpole 2005)

18 8 Kriteria uji = ( (0,05); Db =(b-1)(c-1)) yang digunakan sebagai berikut: Hipotesis yang diuji dirumuskan sebagai berikut: H o : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suatu jenis sumber biji terhadap kemampuan perkecambahan bibit A. nilotica H 1 : Terdapat hubungan yang siginifikan antara suatu jenis sumber biji terhadap kemampuan perkecambahan bibit A. nilotica Kriteria uji pemeriksaan atau peroleha hipotesis ditentukan dengan ketentuan : Jika, maka terima H 0 Jika, maka tolak H 0 Jika kesimpulan hipotesis menunjukan terdapat hubungan yang signifikan (terima H 1 ) maka analisis dilanjutkan ke Uji Duncan untuk mengetahui variabel mana yang saling berpengaruh. Menurit Walpole (2005), uji Duncan dinotasikan sebagai berikut: Keterangan: S 2 : Kuadrat tengah galat rp : wilayah terstudenkan nyata ( (0.05), v = k (n-1)) n : jumlah perlakuan Rp : wilayah nyata terkecil Kriteria uji: Jika Jika < Rp maka hasilnya tidak berbeda nyata (sama) > Rp maka hasilnya berbeda nyata Kepadatan Feses Kepadatan feses mamalia besar yang dijumpai selama penelitian berguna untuk mengetahui kondisi persebaran mamalia besar. Data kepadatan feses dianalisis secara kuantitatif dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: D = kepadatan feses (feses/km 2 ) x i = jumlah feses pada kontak ke-i L j = panjang transek jalur ke-j (m) d j = rata-rata lebar kiri kanan jalur ke j (m) n j = jumlah kontak pada jalur ke-j Sin θ i = besar sudut antara pengamat dengan kontak atau feses (Krebs 1978) Concentration Count Concentration count merupakan metode penghitungan populasi karbau air dan rusa timor di lokasi penelitian. Persamaan penduga ukuran populasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

19 9 Keterangan: P j = dugaan ukuran populasi x i = jumlah individu yang dijumpai pada pengamatan ke-i (individu) n = jumlah ulangan pengamatan (Bismark 2011) Uji Viabilitas Benih Uji viabilitas benih dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan tumbuh biji yang berasal dari sisa pencernaan mamalia besar maupun langsung dari alam. Analisis data viabilitas benih dilakukan secara kuantitatif. Perhitungan presentasi kecambah biji sebagai berikut: % kecambah = (biji yang berkecambah/total biji) x 100% HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Persebaran Feses Mamalia Besar Feses mamalia besar di Taman Nasional Baluran secara tidak langsung memiliki peranan terhadap penyebaran A. nilotica. Penyebaran A. nilotica yang disebabkan oleh mamalia besar dapat dilihat dari jumlah biji yang terkandung dalam feses, kemampuan viabilitas benih yang berasal dari feses mamalia besar, dan persebaran feses mamalia besar yang mengandung biji A. nilotica. Kerbau air, banteng, dan rusa timor merupakan herbivora jenis browser (pemakan pucuk daun) ataupun grasser (pemakan rumput) yang diindikasi memiliki potensi menyebarkan A. nilotica melalui biji yang dimakan atau terbawa melalui injakan. Peta sebaran feses mamalia besar disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Peta sebaran feses mamalia besar di SPTN I Bekol

20 10 Berdasarkan hasil pengamatan di SPTN I Bekol didapatkan sebaran feses mamalia besar jenis kerbau air, banteng, dan rusa timor seperti yang disajikan pada Gambar 2. Feses banteng tersebar di lima lokasi, yaitu hutan evergreen,hutan sekunder Talpat, tegakan A. nilotica Talpat, tegakan A. nilotica Simacan, dan Savana Semiang. Feses kerbau air tersebar mengelompok di enam loksi yaitu areal savana Bekol, tegakan A. nilotica Bama, Talpat, Ketoan Kendal, dan Balanan. Berbeda dengan feses rusa yang tersebar mengelompok hanya di sekitar savana Bekol dan tegakan A. nilotica Bama. Persebaran feses kerbau air, banteng dan rusa timor terkonsentrasi di wilayah SPTN I Bekol. Jelajah kerbau air, banteng, dan rusa timor jarang ditemukan di SPTN II Karangtekok karena adanya gangguan di wilayah tersebut. Gangguan berupa penggembalaan sapi liar di Resort Labuhan Merak dan Resort Watunumpuk, pemukiman masyarakat eks-hgu yang berada di zona rimba Resort Labuhan Merak, dan gangguan masyarakat perencek kayu di wilayah Bitakol. Besarnya gangguan tersebut menyebabkan satwaliar terutama mamalia besar menghindari daerah SPTN II Karangtekok. Sebaran mamalia besar cenderung berada disekitar Savana Bekol dan tegakan homogen A. nilotica disekitar savana. Keberadaan savana dan hutan primer disekitar Bekol mampu memenuhi kebutuhan satwa terutama mamalia besar. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang ada di Savana Bekol. Pakan mamalia besar berupa alang-alang (Imperata cylindrica), rayapan (Brachiria reptans), lamuran putih (Dichantium caricosum), dan letak (Sclerachne punctata) (Sabarno 2002). Tim Balai Taman Nasional Baluran (2011) menyatakan savana merupakan bentang alam yang sesuai untuk kehidupan mamalia besar seperti banteng, kerbau air, dan rusa timor. Savana mempunyai peranan penting bagi kelestarian satwaliar karena berfungsi sebagai sumber pakan, tempat makan, tempat istirahat sambil melakukan kegiatan ruminansia, serta sebagai tempat perkawinan dan membesarkan anak (Sabarno 2002). Grafik kepadatan feses mamalia besar disajikan dalam Gambar 3. Gambar 3 Diagram kepadatan feses mamalia besar

21 Gambar 3 menunjukan bahwa kepadatan feses mamalia besar di SPTN I Bekol bervariasi. Kepadatan feses mamalia besar dipengaruhi oleh jumlah satwa, pergerakan satwa, dan ukuran feses. Kepadatan feses lama cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan feses baru. Lamanya waktu dalam penguraian feses menyebabkan feses lama masih utuh dan mengumpul semakin banyak. Feses kerbau air memiliki kepadatan paling tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Tingginya kepadatan feses kerbau air dipengaruhi oleh jumlah populasi kerbau air. Selama pengamatan jumlah kerbau air di lokasi penelitian sebesar 128 individu. Jejak kaki dan feses kerbau air paling banyak ditemukan pada hampir seluruh lokasi pengamatan kecuali di daerah hutan evergreen dan wilayah SPTN II Karangtekok. Kerbau air merupakan satwaliar yang hidup berkelompok dan cenderung menyukai daerah savana. Selain itu, ukuran feses kerbau air yang besar dengan diameter ±30 cm, lebih mudah teramati dan terhitung. Gambar kerbau air yang berada di savanna Bekol disajikan dalam Gambar Gambar 4 Kerbau air di Savana Bekol Kepadatan feses rusa timor juga menunjukan hasil yang cukup tinggi. Jumlah feses rusa timor dipengaruhi populasi rusa timor. Jumlah rusa timor di lokasi pengamatan sebanyak 566 individu. Feses rusa timor menyebar secara berkelompok dan terkonsentrasi di Savana Bekol dan tegakan A. nilotica di sekitarnya. Hal ini karena rusa timor lebih banyak melakukan aktivitas harian di Savana Bekol dan tegakan A. nilotica tersebut. Populasi rusa timor lebih banyak dibandingkan kerbau air, namun kepadatan feses rusa timor lebih rendah dibandingkan dengan kerbau air. Ukuran feses rusa timor yang kecil seperti butiran kacang juga mempengaruhi penghitungan feses. Gambar rusa timor yang berada di savana Bekol disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 Rusa timor di Savana Bekol

22 12 Kepadatan feses banteng di Taman Nasional Baluran sangat rendah karena jumlah feses baru maupun lama yang ditemukan sangat sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh populasi banteng yang sedikit. Hasil inventarisasi terakhir yang dilakukam pengelola tahun 2013 menggunakan metode penjelajahan menunjukan bahwa populasi banteng sebesar 34 individu. Perjumpaan langsung dengan banteng selama penelitian juga sangat jarang. Banteng yang ditemukan secara langsung berjumlah 2 individu di HM 70 dan Savana Bekol. Kedua banteng tersebut merupakan individu yang berbeda karena banteng yang di jumpai di HM 70 merupakan banteng jantan remaja, sedangkan banteng yang berada di Savana Bekol merupakan jantan dewasa. Gambar bamteng yang berada di savana Bekol disajikan dalam Gambar 6. Gambar 6 Banteng di Savana Bekol Perjumpaan tidak langsung berupa jejak kaki banteng juga jarang ditemukan. Jejak kaki banteng hanya ditemukan di daerah evergreen HM 56-80, Talpat, dan Bukit Si Macan. Lokasi perjumpaan jejak kaki banteng merupakan hutan sekunder yang jarang dilewati manusia. Hoogerwerf (1970) menyatakan banteng merupakan satwaliar yang sangat sensitif terhadap gangguan, sehingga pergerakan banteng cenderung menghindari daerah terbuka untuk menghindari gangguan perjumpaan manusia. Jumlah Biji Acacia nilotica yang Ada pada Feses Mamalia Besar Herbivora memiliki peranan dalam penyebaran biji A. nilotica. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah biji A. nilotica yang terbawa dalam feses mamalia besar. Jenis mamalia besar yang memungkinkan memakan bagian A. nilotica yaitu kerbau air, banteng, dan rusa timor. Menurut Schuurman (1993), jenis herbivora besar lebih efektif dalam menyebarkan biji dibandingkan jenis herbivora kecil. Ketiga jenis satwaliar tersebut mengkonsumsi bagian dari A. nilotica, namun tidak semua jenis memakan bagian polong dengan porsi yang sama. Mamalia besar jenis kerbau air dan banteng terbukti memakan polong A. nilotica. Jumlah biji A. nilotica yang ditemukan dalam feses kerbau air paling tinggi karena penemuan feses kerbau air lebih banyak dibandingkan dengan feses satwa lainnya. Jumlah feses banteng yang ditemukan lebih rendah, namun biji A. nilotica yang terkandung dalam feses jumlahnya cukup banyak. Biji A. nilotica yang terkandung dalam feses mamalia besar disajikan dalam Tabel 3.

23 Sumber biji Feses kerbau air Feses banteng Feses rusa timor Tabel 3 Biji A. nilotica yang terkandung dalam feses mamalia besar Kondisi biji Jumlah Jumlah Biji yang feses biji rusak Biji utuh kualitas baik Biji utuh kualitas buruk 13 Biji yang telah berkecambah Total Kondisi biji A. nilotica yang masih utuh dalam feses kerbau air dan banteng menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu 84% dan 79%. Biji utuh memiliki kondisi biji yang bulat utuh. Biji yang rusak yaitu biji yang bentuknya sudah tidak utuh bulat akibat pengaruh proses pencernaan. Menurut Harvey (1981), polong A. nilotica yang termakan oleh jenis sapi memiliki proporsi yang sangat tinggi, yaitu hingga 81% biji dalam kondisi utuh setelah perjalanan pencernaan makanan dalam usus. Sapi memiliki karakter pencernaan yang hampir sama dengan banteng dan kerbau air. Biji utuh yang berasal dari feses kerbau air sebanyak 62% dalam kondisi baik. Biji tersebut memiliki potensi untuk dapat tumbuh menjadi pohon. Biji yang berkualitas buruk dalam feses kerbau air sebanyak 14%, 16% dalam kondisi biji yang sudah rusak, dan 8% merupakan biji yang sudah berkecambah. Biji yang berkecambah dalam feses ditemukan pada feses lama. Penentuan kualitas biji dilakukan dengan cara merendam dalam air. Biji kualitas baik posisinya akan tenggelam dalam dasar air. Biji dengan kualitas buruk akan terapung karena masa biji sudah berkurang. Jumlah serpihan biji rusak yang terkandung dalam feses kerbau air juga menunjukan hasil yang paling tinggi dibandingkan dengan mamalia besar lainnya. Feses banteng yang mengandung biji A. nilotica dalam kondisi utuh menunjukan bahwa banteng juga terbukti memiliki peran dalam penyebaran A. nilotica. Sebanyak 60% biji yang terkandung dalam feses banteng memiliki kualitas biji yang baik atau berpotensi untuk dapat tumbuh. Keseluruhan biji total yang terkandung dalam feses banteng sebanyak 17 % memiliki kualitas biji yang buruk, 21% biji kondisinya rusak atau sudah tidak bulat utuh dan 2 % biji sudah berkecambah dalam feses. Dugaan bahwa mamalia besar jenis rusa timor memiliki peran dalam penyebaran biji A. nilotica belum dapat dibuktikan karena tidak ditemukan biji tersebut pada feses rusa timor. Tim Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Baluran menjelaskan bahwa selama penelitian dan patroli di lapang tidak pernah menemukan biji A. nilotica dalam feses rusa timor. Satwaliar yang memiliki jenis pencernaan seperti domba proporsi kemampuan biji untuk keluar dalam kondisi utuh setelah proses pencernaan kurang dari 1% (Harvey 1981). Satwaliar sejenis cattle seperti banteng dan kerbau air dalam memamah makanannya kurang efektif

24 14 dibandingkan sejenis domba dan rusa sehingga proporsi jumlah biji utuh lebih banyak (Tiver et al. 2001). Perbandingan jumlah biji per feses mamalia besar digunakan untuk melihat perbedaan kandungan biji dalam feses setiap jenisnya. Feses banteng dan feses kerbau air memiliki perbedaan kandungan biji. Perbandingan rata-rata kandungan biji A. nilotica dalam satu feses disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Perbandingan rata-rata kandungan biji A. nilotica dalam satu feses Kondisi biji Biji per Biji kualitas Biji rusak feses baik ( ±SD) ( ±SD) ( ±SD) Jenis feses Feses banteng Feses kerbau air Biji kualitas buruk ( ±SD) Biji yang telah berkecam bah ( ±SD) 28.50± ± ± ± ± ± ± ± ±0.76 Data dari Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah biji yang terkandung dalam feses banteng lebih tinggi dibandingkan dengan feses kerbau air. Jumlah biji yang terkandung dalam satu feses banteng sebesar 28.50±28.99 dan sebesar 5.68±4.12 dalam feses kerbau air. Hal ini menunjukkan bahwa banteng memiliki peran yang besar dalam penyebaran biji A. nilotica di Taman Nasional Baluran. Kondisi biji yang berasal dari feses mamalia besar dibedakan menjadi empat yaitu biji kualitas baik, biji kualitas buruk, biji rusak, dan biji yang telah berkecambah. Biji berkualitas baik memiliki nilai rata-rata paling tinggi di antara keempat kondisi biji lainnya. Hal ini berbeda pada kondisi biji yang telah berkecambah yang hanya ditemukan satu biji sehingga tidak dapat dirata-rata. Biji yang telah berkecambah menunjukkan bahwa biji yang terbawa oleh satwa dapat berkembang (viable) di dalam feses. Perbandingan rata-rata jumlah biji A. nilotica dalam 1000 gram feses disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan rata-rata jumlah biji A. nilotica dalam 1000 gram feses Biji per Kondisi biji 1000 Biji kualitas Biji Biji rusak Biji yang Jenis feses gram baik ( ±SD) kualitas ( ±SD) telah feses buruk berkecamba ( ±SD) ( ±SD) h ( ±SD) Feses 7.24± ± ± ± Banteng Feses Kerbau Air 1.46± ± ± ± ±0.24 Hasil penghitungan biji A. nilotica dalam 1000 gram feses menunjukkan jumlah biji dalam feses banteng lebih tinggi dibandingkan kerbau air. Dalam

25 setiap 1000 gram feses, rata-rata jumlah biji adalah 7.24±6.59 untuk banteng dan 1.46±0.95 untuk kerbau air. Selain itu, rata-rata jumlah biji berkualitas baik dalam 1000 gram feses banteng lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah biji yang berasal dari feses kerbau air. Hal ini menunjukkan bahwa banteng memiliki potensi yang lebih besar dalam menyebarkan biji yang berkualitas baik dan berpotensi untuk tumbuh. Karakteristik pencernaan herbivora mempengaruhi hasil temuan biji yang terdapat dalam feses. Kemampuan herbivora dalam mencerna makanan berbedabeda antara jenis browser, intermediet feeder atau grazer (Darlis et al. 2012). Klasifikasi herbivora berdasarkan tipe rumen ada dua yaitu cattle-type dan moose-type (Darlis et al. 2012). Jenis kerbau air dan banteng termasuk dalam cattle-type, sedangkan rusa timor merupakan jenis moose-type. Ruminansia yang tergolong cattle-type menunjukan perbedaan nyata retensi rata-rata dalam mengolah partikel kecil dan zat terlarut dalam ticolorumen dan hasil pencernaan masih heterogen (Clauss et al. 2011). Biji A. nilotica yang terkandung dalam feses kerbau air dan banteng lebih tinggi. Sedangkan rusa timor yang tergolong moosetype memiliki stratifikasi yang kurang dalam mengolah partikel kecil dan zat terlarut sehingga hasil pencernaan lebih homogen (Clauss et al. 2011). Rusa kurang membedakan partikel makanan yang masuk kedalam pencernaan sehingga pengolahan sama dan hasilnya menjadi lebih homogen. Banteng, kerbau air, dan rusa timor merupakan mamalia besar yang termasuk ke dalam satwa berkuku atau ungulata. Shorrock (2007) menjelaskan ungulata diklasifikasikan menjadi dua ordo yaitu Artiodactyl (kuku genap) dan Perissodactyl (kuku ganjil). Berdasarkan ukuran tubuh ungulata dibagi menjadi dua yaitu ungulata besar dan ungulata kecil. Banteng dan kerbau air merupakan satwa berkuku genap yang tergolong kedalam ungulata besar, sementara rusa timor merupakan ungulata berkuku genap yang tergolong kedalam ungulata kecil (Parker et al. 2009). Ukuran tubuh herbivora berbanding lurus dengan tingkat konsumsi makanannya. Ungulata besar memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga membutuhkan jumlah pakan yang banyak, sebaliknya ungulata kecil mengkonsumsi makanan dengan kuantitas rendah dari makanan yang kualitas tinggi (Bailey et al. 1996). Banteng dan kerbau air termasuk kedalam ungulata besar yang membutuhkan jumlah makanan yang banyak. Kebutuhan makanan yang besar mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan menjadi lebih cepat sehingga makanan tidak hancur secara menyeluruh dalam rongga mulut (Lane 2013). Sedangkan rusa timor merupakan ungulata kecil yang membutuhkan jumlah makanan tidak banyak tetapi kualitasnya tingggi seperti hijauan pakan rumput. Waktu yang dibutuhkan untuk memecah partikel makanan dalam rongga mulut akan lebih lama karena jumlah makananya sedikit (Lane 2013). Hal ini menyebabkan partikel makanan akan lebih halus dibandingkan dengan hasil pengunyahan banteng dan kerbau air. 15 Persen Tumbuh Biji Acacia nilotica dari Feses Mamalia Besar Persen tumbuh biji merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan parameter peran suatu jenis mamalia besar dalam menyebarkan A. nilotica di

26 16 Taman Nasional Baluran. Kemampuan biji untuk tumbuh atau viable menunjukan potensi berkembangnya suatu jenis tanaman. Pengujian mengenai kemampuan viabilitas benih yang berasal dari sisa pencernaan suatu jenis mamalia besar dapat menjadi dasar pertimbangan adanya peran mamalia besar dalam penyebaran biji A. nilotica. Perbandingan viabilitas benih yang berasal dari feses kerbau air, banteng, dan kontrol disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Viabilitas benih yang berasal dari kerbau air, banteng, dan kontrol Sumber biji n Jumlah biji yang viable Persen kecambah Kontrol % Feses kerbau air % Feses banteng % Tabel 6 menunjukan bahwa jenis kerbau air memiliki kemampuan viabilitas yang paling tinggi dibandingkan banteng dan kontrol. Sumber biji yang berasal langsung dari alam memiliki kemampuan yang sangat rendah untuk berkecambah. Kemampuan viabilitas benih yang berasal dari sisa pencernaan banteng memiliki persentase yang cukup besar. Hal tersebut menunjukan bahwa adanya potensi peran yang besar dari kerbau air dan banteng dalam penyebaran biji A. nilotica dibandingkan dengan proses pertumbuhan secara alami. Persebaran biji A. nilotica akan lebih efektif melalui satwaliar dibandingkan secara alami karena pengaruh proses pencernaan yang dapat membunuh atau menghancurkan telur larva atau sejenis serangga yang akan memakan biji (Schuurman 1993). Viabilitas benih yang berasal dari feses kerbau liar lebih tinggi dibandingkan dari feses banteng. Biji yang berasal dari feses kerbau air 54% memiliki kemampuan tumbuh setelah melalui proses pencernaan. Sedangkan biji yang berasal dari feses banteng hanya 34% biji yang viable. Kemampuan viabilitas benih A. nilotica yang berasal dari sisa pencernaan herbivora sejenis cattle menunjukan 40% biji dapat tumbuh kembali (Jeffrey dan Marker 1996). Menurut Harvey (1981), feses juga berpengaruh terhadap lingkungan sehingga dapat mempercepat viabilitas benih A. nilotica. Viabilitas benih A. nilotica yang telah melalui pencernaan kerbau air dan banteng lebih tinggi dibandingkan viabilitas benih yang berasal dari proses alami. Jumlah biji berkecambah dan waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah berbeda-beda berdasarkan sumber bijinya. Sumber biji kontrol membutuhkan waktu yang paling lama untuk mengecambahkan biji A. nilotica dibandingkan sumber biji yang berasal dari feses banteng dan kerbau air. Selama 40 hari pengujian viabilitas benih, waktu paling lama yang dibutuhkan biji kontrol untuk mengecambahkan A. nilotica yaitu 25 hari. Sedangkan waktu kecambah paling cepat yaitu 9 hari. Biji A. nilotica yang berasal dari feses banteng membutuhkan waktu paling lama 15 hari untuk berkecambah, waktu tercepat biji dari feses banteng berkecambah yaitu selama 2 hari. Sedangkan biji yang bersumber dari kerbau air membutuhkan waktu paling lama berkecambah 11 hari dan waktu paling singkat berkecambah 3 hari. Hasil tingkat dan jumlah perkecambahan biji A. nilotica yang berasal dari feses mamalia besar dan kontrol disajikan pada Tabel 7.

27 Tabel 7 Tingkat dan jumlah perkecambahan biji A. nilotica yang berasal dari feses kerbau air, feses banteng, dan kontrol Perkecambahan X 2 Sumber Biji Rata-rata Jumlah Kecambah X 2 tabel hitung (days±sd) Kontrol 16.99± Feses Banteng 8.67± Feses Kerbau air 7.05± Pengujian chi-square dengan menggunakan taraf nyata 0.05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sumber biji terhadap perkecambahan biji A. nilotica. Pengujian Duncan menunjukan bahwa hasil perkecambahan yang berasal dari feses kerbau dan feses banteng tidak berbeda nyata. Sedangkan sumber biji kontrol berbeda nyata hasilnya dengan feses banteng dan kerbau. Hal ini menunjukan bahwa biji yang berasal dari feses kerbau dan banteng memiliki peran yang sama dalam menyebabkan invasi di TamanNasional Baluran. Perkecambahan biji A. nilotica melalui proses alami akan membutuhkan waktu yang lebih lama karena tidak mengalami proses pengunyahan herbivora. Proses pengunyahan herbivora memudahkan polong terbuka dengan cepat sehingga waktu paling lama biji yang berasal dari feses dapat berkecambah hanya 25 hari. Menurut Kriticos et al. (1999), waktu yang dibutuhkan polong A. nilotica terbuka secara alami setelah jatuh ke tanah yaitu sekitar 2-3 bulan. Sementara biji yang termakan oleh mamalia besar akan dikeluarkan dari dalam perutnya maksimal 6 hari setelah makan (Codron et al. 2005). Biji A. nilotica di alam juga rentan terhadap pemangsaan predator serangga pemakan buah, yaitu sejenis serangga dari famili Bruchid seperti Bruchidius grandmaculatus, Acizzia sp., dan Risbecoma capensis yang memakan polong A. nilotica dan merusak polong (Miller 1994). Bruchid akan memakan kotiledon biji yang menyebabkan biji menjadi kopong (Or dan Ward 2003). Kerusakan polong akibat pemangsaan serangga famili Bruchid ini membuat kemampuan viabilitas benih Acaccia nilotica tumbuh secara alami menjadi rendah. Proses pencernaan makanan menyebabkan biji dalam feses kerbau air dan banteng memiliki viabilitas yang tinggi. Tiver et al. (2001) menjelaskan bahwa proses pencernaan (digestion) polong A. nilotica di dalam lambung kerbau air dan banteng meningkatkan kematangan biji. Menurut Lamprey (1974), herbivora yang memakan biji, biji tersebut akan mengalami penggosokan dan kondisi asam di lambung kurang lebih jam dengan ph Kondisi tersebut akan mematikan larva serangga pemakan biji, sehingga biji yang keluar dari lambung banteng dan kerbau air akan lebih cepat tumbuh dibandingkan biji yang langsung jatuh dari pohonnya. Feses juga dapat membantu mempertahankan kelembaban sehingga memungkinkan biji berkecambah setelah datang hujan (Clode 2010). Perkecambahan benih A. nilotica secara optimal berasal dari biji yang telah melalui pencernaan mamalia besar. Kecepatan perkecambahan lebih optimal dari benih yang berasal dari pencernaan jenis cattle dibandingkan biji yang telah melalui perlakuan perendaman air panas, larutan acid, dan secara alami (Shayo dan Uden 1998). Miller (1995) menyatakan bahwa viabilitas benih yang telah 17

28 18 melalui saluran pencernaan ungulata akan meningkat berbanding lurus dengan ukuran tubuh. Semakin besar ukuran tubuh ungulata maka akan semakin besar proporsi biji utuh yang dikeluarkan bersama fesesnya. Biji ini memiliki kemampuan viabilitas yang besar. Senzota (1984) juga menyatakan bahwa proporsi biji A. nilotica yang dihasilkan dari ungulata kecil lebih rendah daripada ungulata besar. Waktu yang dibutuhkan biji untuk tumbuh kembali sekitar 7.05±4.19 hari untuk jenis kerbau liar dan 8.67±6.69 hari untuk banteng (Tabel 7). Waktu tersebut lebih cepat dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk mengecambahkan biji yan berasal dari pohon langsung yaitu sekitar 16.99±7.63 hari. Harvey (1981) menyatakan biji yang berasal dari sisa pencernaan herbivora dapat tumbuh kembali setelah enam hari. Hal tersebut sesuai dengan waktu yang dibutuhkan biji yang berasal dari banteng dan kerbau air untuk berkecambah. Jumlah biji dengan tingkat viabilitas yang tinggi dan waktu yang singkat untuk berkecambah mengindikasikan bahwa persebaran A. nilotica di Taman Nasional Baluran dilakukan secara efektif melalui feses kerbau air dan banteng. Persebaran Acacia nilotica yang Terbawa oleh Mamalia Besar Pada awalnya, introduksi tanaman A. nilotica hanya terkonsentrasi di sekitar Savana Bekol sebagai sekat bakar. Saat ini A. nilotica telah menyebar di sebagian besar areal taman nasional dan menjadi tegakan homogen di beberapa lokasi. Penemuan biji A. nilotica yang terkandung dalam feses kerbau air dan banteng mengindikasikan adanya peran satwa tersebut dalam penyebaran biji A. nilotica. Jarak terbawanya biji A. nilotica yang terkandung dalam feses merupakan salah satu indikator peran mamalia besar dalam menyebarkan biji tersebut. Berdasarkan Gambar 7, biji A. nilotica yang terbawa oleh banteng dan kerbau air tersebar secara mengelompok pada tegakan homogen A. nilotica yang di daerah Talpat, Ketoan Kendal, Simacan, dan Bama. Adapun A. nilotica yang terbawa di luar lokasi tersebut diduga bersumber dari mamalia besar yang memakan polong di tegakan A. nilotica. Biji yang ada pada feses banteng berada di dalam tegakan homogen A. nilotica di wilayah savana Kramat Talpat dan Simacan Balanan. Posisi feses cenderung berada di pinggir areal tegakan menuju perbatasan dengan tipe tutupan lahan lain dan cenderung tersebar acak dan jarak yang jauh antar fesesnya (hingga 12 km). Populasi banteng di Taman Nasional Baluran yang sedikit mempengaruhi jumlah perjumpaan fesesnya. Kecenderungan banteng membawa biji tidak jauh dari tegakan A. nilotica dan jumlah banteng yang sedikit mengimplikasikan peran banteng dalam menyebarkan biji ke areal-areal yang jauh masih kurang.namun, banteng tetap memiliki peran besar dalam proses percepatan perkecambahan biji melalui proses pencernaannya. Sebaran biji A. nilotica yang ada pada feses kerbau air sebagian besar mengelompok di bawah tegakan A. nilotica yang berada di Talpat, Ketoan Kendal, dan Bama. Selama pengamatan kerbau air yang dijumpai langsung selalu mengelompok. Selain biji ditemukan di dalam tegakan A. nilotica, biji juga terbawa diluar tegakan A. nilotica.jarak terbawanya biji di luar tegakan A. nilotica

29 sejauh 500 m dari tegakan terdekat. Peta sebaran feses mamalia besar yang mengandung biji A. nilotica disajikan pada Gambar Gambar 7 Peta sebaran A. nilotica yang terbawa oleh kerbau air dan banteng Biji A. nilotica yang berada di luar tegakan A. nilotica merupakan sebuah potensi persebaran dengan jarak yang jauh. Satwaliar yang memakan biji tidak hanya beraktifitas di sumber tempat makannya, namun juga beraktifitas di tempat lain. Biji yang keluar dalam kondisi utuh dan memiliki viabilitas yang tinggi. Hal ini yang menjadi potensi sebagai penyebab penyebaran biji. Kerbau air memiliki potensi yang lebih tinggi dalam menyebarkan biji A. nilotica karena persebaran biji yang tekandung dalam feses tidak hanya berada di dalam tegakan tanaman ini (Gambar 7). Sesuai dengan pendapat Djufri (2004) yang menyatakan pemencaran biji A. nilotica hingga jarak yang jauh dilakukan oleh hewan dengan memakan biji, kemudian membawanya ke tempat yang berjarak mencapai 1000 m atau lebih. Invasi A. nilotica yang luas dapat menjadi dasar yang kuat bahwa sebaran A. nilotica di Taman Nasional Baluran tidak hanya disebabkan oleh persebaran secara alami. Distribusi sebaran A. nilotica dapat melalui angin dan satwaliar (Walters et al. 2005). Pemencaran polong A. nilotica yang terjatuh dari pohonnya hanya berjarak sekitar m dari pohon. Menurut Djufri (2004), pemencaran jarak pendek A. nilotica secara alami melalui angin adalah sejauh 25 m dengan menerbangkan biji yang jatuh di tanah. Proses tersebarnya biji A. nilotica oleh mamalia besar tidak hanya melalui feses. Menurut Djufri (2004), pemencaran biji jarak pendek bisa melalui tumpukan lumpur yang menempel pada kuku hewan. Selama penelitian, terdapat beberapa semaian biji yang berada pada bekas jejak kaki rusa timor dan kerbau air. Namun, kondisi jejak-jejak tersebut berada dibawah tegakan A. nilotica

30 20 sehingga sulit untuk menentukan apakah biji berasal dari biji yang jatuh atau terbawa oleh kaki. Perbandingan besarnya peran diantara kerbau air, banteng, dan rusa timor dalam membawa biji melalui kakinya dapat dilihat dari perbandingan besarnya ukuran jejak kaki. Ukuran jejak yang lebih besar akan memberikan pengaruh yang lebih besar dalam membawa biji karena ruang penempelan biji lebih besar. Ukuran panjang jejak kaki kerbau air rata-rata cm dan lebar cm. Ukuran panjang jejak kaki banteng rata-rata cm dan lebar cm. Jejak kaki kerbau air dan banteng hampir sama berdasarkan bentuknya. Perbedaan jejak kaki banteng dan kerbau air terletak pada bentuknya. Jejak kaki banteng lebih ramping dibandingkan kerbau air yang lebih melebar. Sementara itu, ukuran panjang jejak rusa timor rata-rata 5-8 cm dan lebar 3-5 cm. Berdasarkan ukuran jejak kaki, kerbau air dan banteng memiliki potensi yang besar untuk berperan sebagai pembawa biji A. nilotica. Mamalia besar tetap memiliki peran yang paling besar dalam penyebaran A. nilotica. Kerbau air berperan paling besar karena dapat menyebarkan biji hingga jarak yang jauh. Meskipun persebaran biji bisa secara alami melalui angin dan air serta melalui kaki satwa, tetapi persebaran biji melalui feses mamalia besar memiliki viabilitas yang lebih tinggi. Peran besar mamalia besar dalam penyebaran A. nilotica di Taman Nasional Baluran perlu menjadi perhatian pengelola dalam merumuskan kembali upaya pemberantasan jenis eksotik ini shingga upaya pemberantasan selanjutnya bisa lebih tepat dan efektif karena mempertimbangkan sumber utama penyebab penyebaran A. nilotica. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kerbau air dan banteng memiliki peran yang besar dalam penyebaran biji A. nilotica. Rata-rata jumlah biji dalam 1000 gram feses kerbau air dan banteng adalah 1.46±0.95 dan 7.24±6.59. Kemampuan tumbuh biji A. nilotica yang terkandung dalam feses kerbau air dan banteng masing-masing sebesar 54% dan 34%. Hasil tersebut memiliki presentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan biji kontrol sebesar 11%. Kedua mamalia besar tersebut memiliki peran besar dalam menyebarkan biji A. nilotica pada jarak yang jauh, terutama kerbau air yang mampu menyebarkan biji hingga 500 m ke luar tegakan A. nilotica. Saran 1. Pengelolaan habitat di Taman Nasional Baluran dalam upaya penanggulangan invasi A. nilotica hendaknya perlu memperhatikan sisi pergerakan satwa yang mempengaruhinya. 2. Perlu kajian lebih lanjut mengenai proses fermentasi biji dalam pencernaan herbivora untuk membuktikan viabilitas benih yang dimakan oleh herbivora

31 3. Perlu kajian lebih lanjut mengenai biji A. nilotica yang terbawa oleh mamalia besar lainnya seperti babi hutan dan kijang di Taman Nasional Baluran. 21 DAFTAR PUSTAKA Bailey DW, Gross JE, Laca EA, Rittenhouse LR, Coughenour MB, Swift DM, Sims PL Mechanisms that result in large herbivore grazing distribution patterns. Journal of Range Management. 49: [BTNB] Balai Taman Nasional Baluran Laporan Kegiatan Pemataan Sebaran Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Situbondo (ID): BTNB. Bismark M Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis pada Kawasan Konservasi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Clauss M, Lunt N, Ortmann S, Plowman A, Codron D, Hummel J Fluid and particle passage in three duiker species. Eur. J. Wild Res. 57: Clode D The Animal Improved Dung (AID) Plus Seeds Treatment. Queensland (AU): Permaculture. Codron D, Codron J, Sponheimer M, Thorp JAL, T Robinson, Grant CC, Ruiter D Assessing diet in savanna herbivores using stable carbon isotopes ratios of faeces. Koedoe. 48: Darlis, Norhani A, Juan BL, Yin WH Effects of diets of differing fiber contents on digestibility, passage rate of digesta and heat production in lesser mouse deer (Tragulus javanicus). Jurnal Mammalian Biology. 77: Djufri Acacia nilotica (L.) Wild. Ex Del. dan permasalahannya di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Biodiversitas. 5 (2): Studi autekologi dan pengaruh invasi akasia (Acacia nilotica) (L.) Wild. Ex. Del terhadap eksistensi savana dan strategi penangannya di Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur [ disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Gonzalez RG On the micrographic technique to study herbivorous diets. Di dalam: Gonzalez RG, editor. Plant-Animal Interactions Workshop Okt 8-10; Jaca, Spanyol. Jaca (ES): CAMAR EU, hlm 1-9. Harvey GJ Recovery and viability of prickly acacia (Acacia nilotica subsp. indica seed ingested by sheep and cattle. Di dalam: Wilson BJ dan Swarbrick JT, editor. Proceedings 6th Australian Weeds Conference (1981 Sept 13-18); Queensland, Australia. Queensland (AU): Queensland Weed Societ, hlm Hoorgerwerf A Udjungkulon The Land of The Javan Rhinocheros. Leiden (NL): E. J. Brill. Jeffrey P, Marker M Prickly acacia (Acacia nilotica) in Quessland. Quessland (AU): Departement of Natural Resources and Mines Qld. Krebs, CJ Ecologi The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New York (US): Harper&Row

32 22 Kritickos, Darren, Brown J, Ian R, Mike N Plant population ecology and biological control: Acacia nilotica as a case study. Biological Control. 16: Lamprey HF, Halevy G, Makacha S Interactions between Acacia, bruchid beetles dan large herbivores. East Afr.Wild.J. 12: Lane HW Would additional nitrogen, phosphorus, and water to a savanna in the Kruger National Park result in a change in the feeding behavior and diet of the local ungulates [thesis]. Cape Town (tza): Program Magister Universitas Cape Town. Miller MF The costs and benefits of Acacia seed consumtion by ungulates. Oikos.71: Miller M Acacaia seed survival, seed germination and seedling growth following pod consumtion by large herbivores and seed chewing by rodents. African Journal of Ecology. 33: Or K, Ward D Three way interactions between Acacia, large mammalian herbivores and bruchid beetles. African Journal of Ecology. 41: Parker KL, Barboza PS, Gilinghan MP Nutrition integrates environtmmental responses of ungulates. Functional Ecology. 23: Sabarno MY Savana Taman Nasional Baluran. Biodiversitas. 3(1): Schuurmans Acacia nilotica: ecology and management. Jerman (DE): Agricultural University Wegeningen. Senzota RBM Dry season food refuge of thimson s gazelles in the Serengeti. Oikos. 42: Shayo CM, Uden P Recovery of seed of four African browse shrubs ingested by cattle, sheep and goats and effect of ingestion, hot water and acid treatment on the viability of the seeds. Tropical Grasslands. 32: Shorrock B The Biology of African Savannah. New York (US): Oxford University Press Inc. Sugiyono Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): Alfabeta. Tim Balai Taman Nasional Baluran Pengelolaan banteng di Taman Nasional Baluran. Di dalam: Balai Taman Nasional Baluran, editor. Prosiding Workshop Pengelolaan Banteng di Taman Nasional Baluran (2011 Oktober 11); Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): Fakultas Kehutanan UGM. hlm Tiuria R, Jimmy P, Ripta MH, Bambang PP, Adhi RH Kecacingan trematoda pada badak jawa dan banteng jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. J Vetenier. 9 (2): Tiver F, Mike N, Darren K, Joel RB Low density of prickly acacia under sheep grazing in Queensland. J Range Manage. 54: Walpole RE Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Walters M, Suzanne JM, Somers MJ, Jeremy JM Post dispersal fate of Acacia seeds in an African savanna. South African Journal of Wildlife Reasearch. 35:

33 Lampiran 1 Gangguan yang mengancam mamalia besar di SPTN I Karangtekok berupa (a) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Labuhan Merak, (b) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Watunumpuk, (c) pemukiman masyarakat eks-hgu di Resort Labuhan Merak, (d) perencekan kayu di hutan jati Resort Bitakol 23 (a) (b) (c) (d)

34 24 Lampiran 2 A. nilotica (a) pohon, (b) polong, (c) biji, (d) perkecambahan, (e) semai (a) (b) (c) (d) (e)

35 Lampiran 3 Peta sebaran feses mamalia besar d Taman Nasional Baluran 25

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 1 BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Telah diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI

SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI SERANGAN Ganoderma sp. PENYEBAB PENYAKIT AKAR MERAH DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DEASY PUTRI PERMATASARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah

Lebih terperinci

MAKALAH Pengendali Ekosistem Hutan

MAKALAH Pengendali Ekosistem Hutan MAKALAH Pengendali Ekosistem Hutan ANALISA PERKEMBANGAN KONDISI BANTENG (Bos javanicus) DI TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : Nama : Mochammad Yusuf Sabarno NIP : 710031517 TAMAN NASIONAL BALURAN 2007 ANALISA

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

Suhadi Department of Biology, State University of Malang

Suhadi Department of Biology, State University of Malang Berk. Penel. Hayati: ( ), 00 sebaran tumbuhan bawah pada tumbuhan Acacia nilotica (l) Willd. ex Del. di savana bekol taman nasional baluran Suhadi Department of Biology, State University of Malang ABSTRACT

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN Ambar Kristiyanto NIM. 10615010011005 http://www.ppt-to-video.com Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu taman nasional tertua

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL

PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 15 Maret sampai dengan 15 Juni 2015.

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 15 Maret sampai dengan 15 Juni 2015. 21 III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 15 Maret sampai dengan 15 Juni 2015. Tempat yang digunakan yaitu di tempat peneliti di desa Pacing, Kecamatan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan REHABILITASI SAVANA BEKOL DENGAN PEMBERANTASAN GULMA. Oleh : TIM PENGENDALI EKOSISTEM HUTAN

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan REHABILITASI SAVANA BEKOL DENGAN PEMBERANTASAN GULMA. Oleh : TIM PENGENDALI EKOSISTEM HUTAN Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan REHABILITASI SAVANA BEKOL DENGAN PEMBERANTASAN GULMA Oleh : TIM PENGENDALI EKOSISTEM HUTAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 LAPORAN KEGIATAN REHABILITASI SAVANA BEKOL

Lebih terperinci

Nurdiansyah et al., Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Banteng TEKNOLOGI PERTANIAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT BANTENG DI TAMAN

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PERAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SEBAGAI BENTENG TERAKHIR PELESTARIAN BANTENG (Bos javanicus d Alton) DI BAGIAN TIMUR PULAU JAWA Bidang Kegiatan : PKM Artikel Ilmiah Diusulkan

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan dilaksanakan pada bulan Juli

Lebih terperinci

Savana Taman Nasional Baluran

Savana Taman Nasional Baluran B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Halaman: 207-212 Savana Taman Nasional Baluran Baluran Nasional Park Savanna M. YUSUF SABARNO Balai Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komodo (Varanus komodoensis Ouwens, 1912) merupakan kadal besar dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL

PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL PENYUSUNAN PAKET WISATA ALAM BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK SISWA SMP DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MIFTACHU FIRRIDJAL DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN. PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN

LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN. PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN AGUNG SISWOYO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber (DRT), Sei. Sinepis, Provinsi Riau. Waktu pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et.

PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et. PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et. B) DI PERSEMAIAN Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Kendala

Lebih terperinci

TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS HERBA DI SAVANA ALAS MALANG DAN SAVANA WATUNUMPUK TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR

TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS HERBA DI SAVANA ALAS MALANG DAN SAVANA WATUNUMPUK TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS HERBA DI SAVANA ALAS MALANG DAN SAVANA WATUNUMPUK TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan memberi perlakuan (treatment) terhadap objek. penelitian serta adanya kontrol penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan dengan memberi perlakuan (treatment) terhadap objek. penelitian serta adanya kontrol penelitian. 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini jenis penelitian eksperimen, yaitu penelitian yang dilakukan dengan memberi perlakuan (treatment) terhadap objek penelitian serta adanya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian bertempat di Laboratorium Fisiologi Hewan

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian bertempat di Laboratorium Fisiologi Hewan 28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan penelitian bertempat di Laboratorium Fisiologi Hewan Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penelitian ini

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

PEMANTAUAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN

PEMANTAUAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 TEKNOLOGI PERTANIAN PEMANTAUAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN MONITORING LANDCOVER CHANGE USING GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEM APPLICATION

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Blok Koleksi Tanaman Tahura Wan Abdul Rachman. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2012 sampai dengan Maret 2012.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

47 Tabel 3. Rata-rata Persentase kecambah Benih Merbau yang di skarifikasi dengan air panas, larutan rebung dan ekstrak bawang merah Perlakuan Ulangan

47 Tabel 3. Rata-rata Persentase kecambah Benih Merbau yang di skarifikasi dengan air panas, larutan rebung dan ekstrak bawang merah Perlakuan Ulangan BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Pengamatan Pengamatan dilakukan dengan mengamati kecambah benih merbau yang hidup yaitu dengan cara memperhatikan kotiledon yang muncul ke permukaan tanah. Pada tiap perlakuan

Lebih terperinci

Penggunaan Accu zuur Dalam Rangka Pemberantasan Sedling dan Trubusan Acasia nelotica

Penggunaan Accu zuur Dalam Rangka Pemberantasan Sedling dan Trubusan Acasia nelotica Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Penggunaan Accu zuur Dalam Rangka Pemberantasan Sedling dan Trubusan Acasia nelotica Oleh : Nama : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Identifikasi Hijauan Makanan Ternak (HMT) Lokal mendukung Pengembangan Sapi Potong di Sulawesi Selatan

Identifikasi Hijauan Makanan Ternak (HMT) Lokal mendukung Pengembangan Sapi Potong di Sulawesi Selatan Identifikasi Hijauan Makanan Ternak (HMT) Lokal mendukung Pengembangan Sapi Potong di Sulawesi Selatan Nurlina Saking dan Novia Qomariyah Disampaikan Dalam Rangka Seminar Nasional Teknologi Peternakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu

ABSTRAK. Kata kunci : intensitas serangan penggerek kayu di laut, perubahan sifat fisik dan sifat mekanik kayu ABSTRAK ADITYA NUGROHO. Perubahan Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Beberapa Jenis Kayu Akibat Serangan Penggerek Kayu Laut di Perairan Pulau Rambut. Dibimbing oleh SUCAHYO SADIYO dan MOHAMMAD MUSLICH. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 15 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca dan laboratorium silvikultur Institut Pertanian Bogor serta laboratorium Balai Penelitian Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2012 dilaksanakan di Kebun Kelompok Wanita Tani Ilomata Desa Huntu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Penangkaran Rusa Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PPPKR) yang terletak di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Pada bulan September 2013 sampai dengan Oktober 2013. B. Alat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Darmaga pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian,, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai dari bulan April 2016 hingga Mei

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. penelitian ini dilakukan di Gang Metcu, Desa Guru Singa, Kecamatan

BAHAN DAN METODE. penelitian ini dilakukan di Gang Metcu, Desa Guru Singa, Kecamatan III. BAHAN DAN METODE 3.1.Tempat dan Waktu Penelitian penelitian ini dilakukan di Gang Metcu, Desa Guru Singa, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo, dan jarak penelitian 15 km dari letak gunung sinabung

Lebih terperinci

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA AgroinovasI SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan rusa dan lain-lain mempunyai keistimewaan dibanding ternak non ruminansia yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di lokasi pembibitan CV. TAIDU Kecamatan Alor

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di lokasi pembibitan CV. TAIDU Kecamatan Alor 33 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lokasi pembibitan CV. TAIDU Kecamatan Alor Barat Daya, Kab. Alor-NTT. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 sampai

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. = 0 minggu = 1 minggu = 2 minggu = 3 minggu = 4 minggu = 5 minggu = 6 minggu = 7 minggu = 8 minggu P 1 P 2 P 3 P 4 P 5 P 6 P 7 P 8

MATERI DAN METODE. = 0 minggu = 1 minggu = 2 minggu = 3 minggu = 4 minggu = 5 minggu = 6 minggu = 7 minggu = 8 minggu P 1 P 2 P 3 P 4 P 5 P 6 P 7 P 8 III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium dan lahan percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri sultan Syarif Kasim Riau, Jalan H.R

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau yang beralamat di Jl. H.R.

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci