AKIBAT PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PEMBANGUNAN KAWASAN BOGOR NIRWANA RESIDENCE SKRIPSI. Oleh : LISMA SAFITRI F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AKIBAT PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PEMBANGUNAN KAWASAN BOGOR NIRWANA RESIDENCE SKRIPSI. Oleh : LISMA SAFITRI F"

Transkripsi

1 AKIBAT PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PEMBANGUNAN KAWASAN BOGOR NIRWANA RESIDENCE SKRIPSI Oleh : LISMA SAFITRI F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIANN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 Lisma Safitri. F Akibat Perubahan Kapasitas Simpan Air Pembangunan Kawasan Bogor Nirwana Residence (BNR). Di bawah bimbingan Prastowo RINGKASAN Peningkatan jumlah populasi manusia dari tahun ke tahun mendorong peningkatan kebutuhan untuk kawasan perumahan. Pembangunan kawasan perumahan di berbagai daerah akan berdampak terhadap adanya konversi lahan dari kawasan vegetasi terbuka seperti hutan, sawah, tegalan, maupun ladang menjadi areal perumahan dan berbagai fasilitas yang melengkapinya seperti pertokoan, tempat hiburan, jalan, dan lain sebagainya. Salah satu contoh konversi lahan menjadi areal perumahan adalah kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR). Kawasan BNR dibangun di atas lahan dengan komposisi penutupan awal seperti ladang, tegalan, sawah, kebun campuran, dan perumahan penduduk. Kawasan BNR sendiri kemudian akan dibangun menjadi kawasan perumahan, pendidikan, sarana kesehatan dan olahraga, serta sarana wisata air. Kawasan BNR yang luasnya sekitar 402,3 ha ini terletak pada 9 titik catchment area (CA) sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipinang Gading. Pembangunan di kawasan DAS ini memiliki peluang untuk menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan di sekitarnya baik secara khusus di kawasan tersebut maupun dampak secara umum bagi kawasan Jakarta dan sekitarnya. Troeh, dkk(2004) menyatakan bahwa banyak kegiatan manusia yang dapat menimbulkan erosi air maupun tanah antara lain pembangunan gedung, jalan, pengoperasian tambang, dan lain-lain. Penanaman vegetasi dalam proyek-proyek tersebut dapat mengurangi erosi, sedimentasi, dan masalah polusi lainya. Oleh sebab itu, dalam pembangunan kawasan DAS seperti pada kawasan BNR tersebut, diperlukan sebuah upaya konservasi untuk mempertahankan kondisi ideal agar tidak berdampak besar bagi perubahan lingkungan. Secara garis besar metode konservasi tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan utama yaitu secara agronomis, secara mekanis, dan secara kimia. Metode agronomis adalah memanfaatkan vegetasi untuk membantu menurunkan erosi lahan. Tutupan vegetasi dapat memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan daya tahan tanah terhadap air pada suatu kawasan. Adapun tujuan penelitian ini adalah mempelajari perubahan kapasitas simpan air pada kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR) serta memberikan rekomendasi komposisi ruang terbuka hijau (RTH) yang tepat dalam pengelolaan kawasan perumahan BNR agar dapat mengembalikan kapasitas simpan air mendekati keadaan ideal serta dapat meminimalisir dampak negatif lainnya. Ruang lingkup penelitian antara lain analisis neraca air pada kondisi eksistint untuk setiap CA, analisis neraca air sesuai site plan untuk setiap CA dalam beberapa komposisi RTH (komposisi RTH yang digunakan dalam analisis antara lain 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60% dan 70%), analisis komposisi RTH yang paling sesuai dengan dampak yang dihasilkan yaitu meminimalisir limpasan dan mengoptimalkan pengisian air tanah, perhitungan kontribusi CH lebih, limpasan dan pengisian air tanah dari tiap CA, analisis dampak perubahan penutupan lahan terhadap parameter neraca air serta melakukan observasi lapang di kawasan BNR untuk memverifikasi data dan informasi yang telah diperoleh. Dari analisis neraca air yang telah dilakukan pada keseluruhan CA, dapat ditarik beberapa poin penting antara CH lebih, limpasan, pengisian air tanah, serta

3 hubungannya dengan perubahan komposisi RTH. Seluruh kurva neraca air dari semua CA menunjukkan CH lebih meningkat seiring dengan penurunan komposisi RTH. Hal ini karena nilai CH lebih berbanding terbalik dengan nilai ETP. Sedangkan ETP sendiri salah satunya bergantung pada nilai koefisien tanaman (kc). Dengan makin berkurangnya komposisi tutupan vegetasi, nilai ETP akan semakin kecil. Selanjutnya, limpasan memiliki pola yang sama dengan CH lebih Semakin berkurangnya komposisi RTH, limpasan akan semakin besar. Bentuk lain dari CH lebih yang merupakan sisa limpasan adalah pengisian air tanah. Pada kurva neraca air di seluruh CA, dapat dilihat pola berbeda pada pengisian air tanah. Di semua CA, nilai maksimum pengisian air tanah tidak terjadi pada tutupan vegetasi maksimum atau pada komposisi RTH 70%. Namun nilai maksimum pengisian air tanah terjadi pada komposisi RTH 60% untuk CA 1, 2b+c, 7 dan 8. Sedangkan sisanya, memiliki nilai maksimum pada komposisi RTH 50%. Setelah mengalami titik maksimum, selanjutnya nilai pengisian air tanah akan mengalami penurunan hingga pada komposisi RTH terendah yaitu 10%. Nilai maksimum pengisian air tanah ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar untuk menentukan batas komposisi RTH minimal bagi pembangunan perumahan. Selanjutnya, dilihat dari proporsi limpasan dan pengisian air tanah pada seluruh kawasan. proporsi ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50%:50%. Hasilnya, semua CA memiliki komposisi ideal pada RTH 60%. Secara umum dapat dilihat bahwa kapasitas simpan air pada kawasan BNR akan berpengaruh pada nilai CH lebih. Perubahan kapasitas simpan air terjadi pada setiap komposisi RTH. Berkurangnya komposisi RTH akan mengakibatkan kapasitas simpan air menurun. Dari penelitian dan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perubahan penutupan lahan dari existing landuse menjadi landuse sesuai site plan pada kawasan perumahan dan wisata terpadu BNR tahap III menyebabkan penurunan kapasitas simpan air sebesar 50 mm (34,7% dari kondisi eksisting). Hal ini berakibat pada peningkatan CH lebih sebesar 371 mm/tahun (32,2% dari kondisi eksisting) atau setara dengan m 3 /tahun. Proporsi peningkatan limpasan sebesar 80%, sedangkan proporsi peningkatan pengisian air tanah sebesar 20%. Peningkatan limpasan yang terjadi sebesar 298 mm/tahun (64,5% dari kondisi eksisting) atau setara dengan m 3, sedangkan peningkatan pengisian air tanah yang terjadi sebesar 73 mm/tahun (10,6% dari kondisi eksisting) atau setara dengan m 3 /tahun. Pembangunan kawasan perumahan dan wisata terpadu BNR sudah sesuai dengan komposisi RTH ideal. Namun, proporsi peningkatan limpasan yang dihasilkan tiap tahun jauh lebih besar dibanding peningkatan pengisian air tanah yang terjadi. Oleh sebab itu, diperlukan upaya pengelolaan limpasan berlebih untuk mengurangi dampak negatif yang akan timbul. Salah satu metode konservasi yang dapat digunakan adalah dengan pembangunan sumur atau kolam resapan dan lubang bipori. Pembangunan sumur resapan atau lubang resapan biopori disesuaikan dengan kondisi masing-masing CA. Untuk CA 4 dan 9, diperlukan pembangunan sumur resapan atau lubang resapan biopori pada tiap perumahan. Sedangkan untuk CA 2a yang memiliki kontribusi limpasan terbesar, dapat dilakukan pembangunan kolam resapan yang dipadukan dengan pertamanan.

4 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Akibat Perubahan Kapasitas Simpan Air Pembangunan Kawasan Bogor Nirwana Residence adalah hasil karya Saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bogor, Februari 2010 Yang membuat pernyataan, Lisma Safitri F

5 AKIBAT PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PEMBANGUNAN KAWASAN BOGOR NIRWANA RESIDENCE Oleh : LISMA SAFITRI F SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Strata 1 Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : AKIBAT PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PEMBANGUNAN KAWASAN BOGOR NIRWANA RESIDENCE : LISMA SAFITRI : F Menyetujui; Bogor, Februari 2010 Dr. Ir. Prastowo, M. Eng NIP Mengetahui, Ketua Departemen Teknik Pertanian Dr. Ir. Desrial, M. Eng NIP Tanggal Lulus :

7 BIODATA PENULIS Lisma Safitri yang dilahirkan di Kec.Galang, Kab. Deli Serdang, 26 Juni 1986 merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Bapak Suparno dan Ibu Satimah (alm). Pada tahun 1998, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN no Desa Jaharun-A, Sumatera Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTP YPAK PTPN III Sei. Karang pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Lubuk Pakam dan lulus pada tahun Pada tahun 2005, penulis melanjutkan studinya di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi Dirjen Media Publik pada Departemen Kebijakan Nasional BEM KM IPB (2005/2006), Sekretaris komisi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fateta (2006/2007), Anggota Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (2006/2007), Kepala Departemen Politik Kajian Strategi BEM Fateta (2008), Direktur IPB Social Politic Center BEM IPB (2009), serta Menteri Kebijakan Pertanian BEM KM IPB (2009). Selain itu penulis juga terlibat aktif dalam aliansi BEM Seluruh Indonesia dan Forum Perempuan BEM Seluruh Indonesia (FP BEMSI). Penulis juga memiliki beberapa prestasi selama masa studi antara lain penerima beasiswa Tanoto Foundation selama 4 tahun, penerima hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan dari DIKTI pada tahun 2008, Finalis kompetisi bisnis tingkat nasional Trust by Danone pada tahun 2009, serta menjadi mahasiswa berprestasi I Departemen Teknik Pertanian pada tahun Saat ini, penulis juga sudah bekerja sebagai salah satu redaksi pada majalah Bangkit Tani. Penulis melaksanakan praktek lapangan pada tahun 2008 dengan topik Aspek Keteknikan Pertanian di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN II Tanjung Garbus-Pabrik, Deli Serdang, Sumatera Utara. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Tekonologi Pertanian penulis melakukan penelitian dengan judul Akibat Perubahan Kapasitas Simpan Air Pembangunan Kawasan Bogor Nirwana Residence.

8 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirabbil alamin. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Akibat Perubahan Kapasitas Simpan Air Pembangunan Kawasan Bogor Nirwana Residence. Selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Prastowo, M.Eng sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak arahan dan nasehat 2. Ir. Sukarsono yang telah membantu dalam memberikan pengarahan teknis selama penelitian 3. Bapak dan Alm. Mamak atas didikannya, adik serta ibu tercinta atas semua doa dan dukungannya 4. Via, Hadi, Nurdi, serta teman-teman di Teknik Pertanian 42 atas segala dukungan dan bantuannya 5. Sahabat-sahabat di wisma Vamdi atas dorongan, semangat dan bantuannya 6. Rekan-rekan di BEM KM Gemilang khususnya Agrojaker tercinta yang telah memberikan banyak inspirasi dan dorongan 7. Bapak Wayan Supadno serta rekan-rekan di majalah Bangkit Tani atas kesempatan berkarya yang telah diberikan 8. Rekan-rekan seperjuangan lainnya yang sangat membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai saran dan masukan yang membangun Wassalamu alaikum Wr. Wb. Bogor, Februari 2010 Penulis i

9 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi Neraca Air Presipitasi Evapotranspirasi Simpan Air Konservasi Tanah dan Air Kondisi Ideal DAS III. METODOLOGI Alat dan Bahan Metoda Penelitian IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Citra Iklim Rona Tanah Topografi, Vegetasi dan Penutupan Lahan V. HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Air Analisis Neraca Air ii

10 5.2.1 Analisis Neraca Air CA Analisis Neraca Air CA 2a Analisis Neraca Air CA 2b+c Analisis Neraca Air CA Analisis Neraca Air CA Analisis Neraca Air CA Analisis Neraca Air CA Analisis Neraca Air CA Analisis Neraca Air CA Kontribusi Dampak dari Tiap Catchment Area (CA) Curah Hujan lebih (CH lebih ) Pengisian Air Tanah Evaluasi Dampak Perubahan Penutupan Lahan Pengelolaan dan Pengisian Air Tanah VI. PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Nilai kapasitas cadangan lengas tanah pada beberapa kombinasi tekstur tanah dan klasifikasi tanaman Tabel 2. Karakteristik hasil limpasan Tabel 3. Koefisien aliran permukaan (C) untuk daerah urban Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tipe pembagian curah hujan dalam komponen-komponennya untuk beberapa pembagian wilayah di dunia Jenis penutupan dan luas lahan sebelum pembangunan pada tiap catchment area (CA) Luas total rencana pembangunan perumahan dan kawasan wisata terpadu BNR tahap III Tabel 7. Nilai Sto pada tiap CA Tabel 8. Hasil analisis neraca air pada CA Tabel 9. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA1 37 Tabel 10. Hasil analisis neraca air pada CA 2a Tabel 11. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA 2a Tabel 12. Hasil analisis neraca air pada CA 2b+c Tabel 13. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA 2b+c Tabel 14. Hasil analisis neraca air pada CA Tabel 15. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA4 43 Tabel 16. Hasil analisis neraca air pada CA Tabel 17. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA5 45 Tabel 18. Hasil analisis neraca air pada CA iv

12 Tabel 19. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA6 47 Tabel 20. Hasil analisis neraca air pada CA Tabel 21. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA7 49 Tabel 22. Hasil analisis neraca air pada CA Tabel 23. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA8 51 Tabel 24. Hasil analisis neraca air pada CA Tabel 25. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah pada CA9 53 Tabel 26. Kontribusi CA terhadap CH lebih Tabel 27. Kontribusi CA terhadap limpasan Tabel 28. Kontribusi CA terhadap pengisian air tanah Tabel 29. Rekapitulasi nilai parameter Neraca Air v

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bagan alir daur hidrologi... 6 Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian Gambar 3. Kondisi sub-das sebelum pembangunan Gambar 4. Kondisi saat proses pembangunan Gambar 5. Grafik curah hujan bulanan andalan 80% Gambar 6. Grafik nilai ETP dalam beberapa skenario RTH Gambar 7. Grafik nilai STo pada tiap CA Gambar 8. Kurva neraca air CA Gambar 9. Kurva neraca air CA 2a Gambar 10. Kurva neraca air CA 2b+c Gambar 11. Kurva neraca air CA Gambar 12. Kurva neraca air CA Gambar 13. Kurva neraca air CA Gambar 14. Kurva neraca air CA Gambar 15. Kurva neraca air CA Gambar 16. Kurva neraca air CA Gambar 17. Grafik kontribusi CA terhadap total CH lebih Gambar 18. Grafik kontribusi CA terhadap total limpasan Gambar 19. Grafik kontribusi CA terhadap total pengisian air tanah Gambar 20. Diagram keterkaitan parameter Neraca Air kawasan BNR Gambar 21. Skema distribusi CH lebih / defisit Neraca Air vi

14 Gambar 22. Sumur resapan dari tembok Gambar 23. Sumur resapan dari hong Gambar 24. Sumur resapan dari fiberglass Gambar 25. Konstruksi kolam resapan yang dipadukan dengan pertamanan 65 Gambar 26. Sketsa penampang lubang resapan biopori vii

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Pembagian sub-das menjadi 9 catchment area (CA) Lampiran 2. Data curah hujan Stasiun Empang Lampiran 3. Data iklim St. Klimatologi Darmaga Lampiran 4. Peta topografi kawasan BNR Tahap III Lampiran 5. Peta peruntukan lahan kawasan sebelum pembangunan Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Peta lay out pembangunan perumahan dan kawasan wisata terpadu BNR Tabel perhitungan curah hujan andalan dengan Metode W. Bull Nilai evapotranspirasi potensial pada setiap skenario komposisi RTH Lampiran 9. Perhitungan nilai STo Lampiran 10. Perhitungan neraca air untuk setiap catchment area (CA) pada kondisi eksisting dan berbagai skenario komposisi RTH 87 Lampiran 11. Perhitungan koefisien limpasan (C ) viii

16 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah populasi manusia dari tahun ke tahun mendorong peningkatan kebutuhan untuk kawasan perumahan. Pembangunan kawasan perumahan di berbagai daerah akan berdampak terhadap adanya konversi lahan dari kawasan vegetasi terbuka seperti hutan, sawah, tegalan, maupun ladang menjadi areal perumahan dan berbagai fasilitas yang melengkapinya seperti pertokoan, tempat hiburan, jalan, dan lain sebagainya. Perubahan tata guna lahan ini tentunya akan berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan yang ada di sekeliling kawasan tersebut. Terlebih jika pembangunan dilakukan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Fungsi DAS sebagai kawasan pemasok air, akan terganggu jika terjadi pembangunan berlebihan di kawasan tersebut. Dampaknya akan terasa tidak hanya di kawasan hulu DAS saja tetapi juga di kawasan hilir. Menurut Troeh et al (2004), penutupan lahan dengan vegetasi yang berlimpah dapat membatasi laju erosi. Pengolahan lahan, penambangan, penebangan hutan, aktivitas pembangunan dan kebakaran yang mengurangi atau merusak vegetasi akan menyebabkan laju erosi meningkat. Kerusakan yang terjadi akibat erosi adalah kehilangan tanah, hilangnya tanah produktif, sedimentasi, polusi air dan udara dan sebagainya. Menurut Seyhan (1990), bila kita memandang suatu sistem yang mengalir yang dapat diterapkan pada suatu daerah aliran sungai, akan nampak bahwa struktur sistem adalah daerah aliran sungai yang merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi oleh suatu batas air topografi serta yang memberikan sumbangan terhadap debit suatu sungai pada irisan melintang tertentu. Faktor iklim, tanah (topografi, tanah, geologi, geomorfologi) dan tata guna lahan membentuk subsistem dan bertindak sebagai operator dalam mengubah urutan waktu terjadinya presipitasi secara alami (P[t]) menjadi urutan waktu limpasan (Q[t]) yang dihasilkannya. Oleh sebab itu, dapat dipastikan setiap perubahan yang terjadi pada faktor-faktor operator akan berdampak pada limpasan yang kemudian akan meningkatkan

17 jumlah erosi. Meningkatnya bagian dari curah hujan yang menjadi nilai limpasan juga akan berdampak pada penurunan kapasitas simpan air pada suatu daerah. Kapasitas simpan air di suatu daerah berhubungan dengan suplai air untuk kebutuhan manusia di sekitarnya. Salah satu contoh konversi lahan menjadi areal perumahan adalah kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR). Kawasan BNR dibangun di atas lahan dengan komposisi penutupan awal seperti ladang, tegalan, sawah, kebun campuran dan perumahan penduduk. Kawasan BNR sendiri kemudian akan dibangun menjadi kawasan perumahan, pendidikan, sarana kesehatan dan olahraga serta sarana wisata air. Kawasan BNR yang luasnya sekitar 402,3 ha ini tersebar pada sembilan titik daerah penangkapan air (catchment area/ CA) di sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipinang Gading, Bogor. Kawasan BNR sendiri terdiri dari tiga tahapan pembangunan. Dalam hal ini, penelitian dilakukan pada kawasan BNR tahap III. Pemilihan kawasan BNR tahap III sebagai lokasi penelitian disebabkan karena pembangunan kawasan tahap III belum selesai sehingga hasil penelitian harapannya dapat dijadikan rekomendasi. Selain itu, dibanding kawasan BNR tahap I dan II, kawasan BNR tahap III memiliki areal yang jauh lebih luas. Kawasan BNR tahap I memiliki luas 89,7 Ha dan tahap II memiliki luas 25,6 Ha, sedangkan kawasan BNR tahap III memiliki luas areal 402,3 Ha. Dengan luas kawasan yang besar serta letak pembangunan yang semakin mendekati daerah kaki Gunung Salak, pembangunan kawasan BNR tahap III diperkirakan akan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kondisi DAS. Pembangunan di kawasan DAS ini memiliki peluang untuk menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan di sekitarnya baik secara khusus di kawasan tersebut maupun dampak secara umum bagi kawasan Jakarta dan sekitarnya. Oleh sebab itu, dalam pembangunan di kawasan DAS seperti pada kawasan BNR tersebut, diperlukan sebuah upaya konservasi untuk mempertahankan kondisi ideal agar tidak berdampak besar bagi perubahan lingkungan. 2

18 Upaya yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan melakukan perencanaan konservasi. Perencanaan konservasi dapat dilakukan setelah mengetahui analisis perkiraan dampak yang mungkin terjadi. Oleh sebab itu, perlu sekiranya dilakukan analisis perhitungan neraca air pada kawasan BNR tersebut sebagai landasan dalam usulan rekomendasi yang tepat dalam upaya pembangunan kawasan perumahan BNR yang tetap sesuai dengan kondisi lingkungan ideal. Berdasarkan prinsip neraca air, perubahan presipitasi dan limpasan akan berpengaruh pada infiltrasi dan cadangan lengas tanah. Secara garis besar neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran ke luar (outflow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air. Salah satu metode perhitungan neraca air yang sering digunakan adalah neraca air Thornthwaite. Pada metode ini, semua aliran masuk dan keluar air serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus air dan defisit air. Penerapan analisis neraca air pada kawasan BNR akan dapat menggambarkan kondisi aktual ketersediaan air serta dampak lainnya akibat pembangunan yang dilakukan. Dengan begitu, hasil analisis akan dapat dijadikan dasar usulan rekomendasi yang tepat. Menurut Schwab (1981), tutupan vegetasi dapat memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan daya tahan tanah terhadap air pada suatu kawasan. Salah satu rekomendasi yang dapat diberikan adalah dengan memberikan komposisi tutupan vegetasi yang tepat bagi kawasan perumahan BNR. Tutupan vegetasi di kawasan perumahan dapat dimodifikasi dalam bentuk ruang terbuka hijau (RTH). Menurut Oesman (2007), ruang terbuka hijau terdiri dari taman kota, taman rekreasi, lapangan olah raga, pemakaman, cagar alam, suaka margasatwa, kebun raya, taman hutan rakyat, sempadan sungai, danau, waduk, pantai. Komposisi RTH yang tepat diharapkan akan dapat mengurangi dampak negatif dari pembangunan kawasan perumahan BNR bagi lingkungan DAS dan sekitarnya. 3

19 2.2 Tujuan Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk : 1. Mempelajari perubahan kapasitas simpan air (water storage capacity) pada kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR) 2. Memberikan rekomendasi komposisi ruang terbuka hijau (RTH) yang tepat dalam pengelolaan kawasan perumahan BNR 2.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi : 1. Analisis neraca air pada kondisi sebelum pembangunan (eksisting) untuk setiap daerah tangkapan air kawasan BNR tahap III 2. Analisis neraca air sesuai rencana pembangunan (site plan) dalam beberapa komposisi RTH untuk setiap daerah tangkapan air kawasan BNR tahap III 3. Analisis komposisi RTH kawasan BNR tahap III yang paling sesuai dengan dampak yang dihasilkan yaitu meminimalisir limpasan dan mengoptimalkan pengisian air tanah 4. Perhitungan kontribusi curah hujan lebih, limpasan dan pengisian air tanah dari tiap daerah tangkapan air kawasan BNR tahap III 5. Analisis dampak perubahan penutupan lahan terhadap parameter neraca air 6. Observasi lapang di wilayah penelitian untuk mengenal dan memverifikasi data dan informasi yang telah diperoleh 4

20 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Menurut Seyhan (1990), siklus atau daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer yaitu mulai dari proses evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah maupun tubuh air, dan evaporasi kembali. Gambaran mengenai proses lengkap siklus hidrologi ditunjukkan pada Gambar 1. Presipitasi dalam segala bentuk (salju, hujan batu es, hujan, dan lan-lain) jauh ke atas vegetasi, batuan gandul, permukaan tanah, permukaan air dan saluran-saluran sungai. Air yang jatuh pada vegetasi disebut intersepsi. Sebagian presipitasi berevaporasi selama perjalanannya dari atmosfer dan sebagian pada permukaan tanah. Sebagian dari presipitasi yang membasahi permukaan tanah berinfiltrasi ke dalam tanah dan membentuk cadangan lengas tanah (soil water storage) yang kapasitasnya bergantung pada tekstur, jenis tanah dan jenis tanaman. Sebagian lagi bergerak menurun sebagai perkolasi ke dalam mintakat jenuh di bawah muka air tanah dan menjadi air tanah (groundwater). Air ini secara perlahan berpindah melalui aktifer ke saluran-saluran sungai yang disebut limpasan air tanah (groundwater runoff). Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai aliran bawah permukaan (subsurface runoff atau interflow). Air yang berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada vegetasi sebagai lengas tanah. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen. Air yang mengalir ini disebut limpasan permukaan (surface runoff). Selama perjalanannya menuju dasar sungai, bagian dari limpasan permukaan disimpan pada depresi permukaan dan disebut cadangan depresi. Air pada sungai mungkin berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau mengalir kembali ke laut dan selanjutnya berevaporasi. Selanjutnya, air ini kembali lagi ke permukaan bumi sebagai presipitasi.

21 Evaporasi Presipitasi Lautan dan Samudra Aliran sungai Debit mata air Intrusi garam Perembesan air tanah Aliran air tanah Cadangan air tanah Perkolasi Kenaikan kapiler Cadangan permukaan (danau, sungai, kanal, dan lain- Leburan Salju permukaan Infiltrasi Detensi permukaan dan cadangan depresi Cadangan salju Salju Evaporasi Presipitasi Evaporasi Presipitasi tanah Evaporasi Evaporasi Intersepsi Transpirasi Curah hujan Uap air di atmosfer Gambar 1. Bagan Alir Daur Hidrologi (Seyhan, 1990) 6

22 2.2 Neraca Air Menurut Mori (2006), dalam proses sirkulasi air, penjelasan mengenai hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu disebut neraca air. Seyhan (1990) mendefenisikan persamaan neraca air sebagai persamaan yang menggambarkan prinsip bahwa selama selang waktu tertentu, masukan air total pada suatu ruang tertentu harus sama dengan keluaran total ditambah perubahan bersih cadangan. Dalam perhitungan neraca air, penentuan jenis masukan dan keluaran air disesuaikan dengan ruang lingkup dimana neraca air akan dianalisis. Menurut Thornthwaite and Mather (1957), pada suatu daerah tangkapan, perhitungan neraca air dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (1). P = ET + St (1) dimana : P = presipitasi (mm/bulan) ET = evapotranspirasi (mm/bulan) St = perubahan cadangan air (mm/bulan) Presipitasi merupakan sumber utama pemasukan air pada suatu lahan yang masuk ke lahan dengan berbagai cara, misalnya dengan intersepsi dari tumbuhtumbuhan atau jatuh langsung ke tanah. Evapotranspirasi adalah hasil akumulasi dari semua jenis kehilangan air pada suatu lahan tertentu. Selisih antara nilai presipitasi dan evapotranspirasi pada suatu daerah tangkapan disebut cadangan air yang berarti jumlah masukan air total pada keseluruhan luas lahan yang dianalisis, yang masih tersedia dan dapat dimanfaatkan pada lahan tersebut (Parapat, 1997). Pada metode ini semua aliran masuk dan keluar air serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus air, dan defisit air. Dalam proses analisis neraca air dengan persamaan Thornthwaite, diperlukan data curah hujan bulanan, suhu udara bulanan, penggunaan lahan, jenis atau tekstur tanah, serta letak lintang daerah tersebut. Perhitungan neraca air persamaan Thornthwaite dapat memberikan gambaran curah hujan lebih (CH lebih ) dan defisit air pada suatu kawasan. Setelah simpan air mencapai kapasitas cadangan lengas tanah (water holding capacity), 7

23 kelebihan curah hujan akan dihitung sebagai CH lebih. Air ini merupakan kelebihan setelah air tanah terisi kembali. Dengan demikian CH lebih dihitung sebagai nilai curah hujan dikurangi dengan nilai evapotranspirasi dan perubahan kadar air tanah. Selanjutnya, CH lebih akan menjadi limpasan dan pengisian air tanah. Surplus air dapat ditentukan dengan persamaan (2). S = P ETP - St (2) dimana : S = Surplus/ CH lebih (mm/bulan) Jika curah hujan yang turun lebih kecil dari evapotranspirasi aktual, akan terjadi defisit air. Nilai defisit air merupakan jumlah air yang perlu ditambahkan untuk memenuhi keperluan evapotrasnpirasi potensial (ETP) tanaman. Defisit air adalah selisih antara nilai evapotranspirasi potensial (ETP) dan evapotranspirasi aktual (ETA) yang ditunjukkan dengan persamaan (3). D = ETA - ETP.. (3) dimana : D = defisit air (mm/bulan) Menurut Thornthwaite and Mather (1957), mayoritas stasiun iklim hanya memiliki satu jenis musim, musim kering atau musim basah. Pada wilayah kering, curah hujan tidak cukup untuk mengembalikan lengas tanah pada kapasitas maksimum. Pada wilayah ini, selalu terjadi defisit air pada akhir periode. Sebaliknya, pada daerah daerah basah, nilai defisit air selalu nol pada akhir periode Presipitasi Mori (2006) mendefenisikan presipitasi sebagai uap yang mengkondensasi dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi. presipitasi selalu dinyatakan dalam satuan mm/bulan. Seyhan (1990) menyatakan bentukbentuk presipitasi vertikal antara lain hujan, hujan gerimis, salju, hujan es batu dan sleet (campuran hujan dan salju). Sifat-sifat hujan yang penting sehubungan dengan proses terjadinya adalah jumlah dan intensitas hujan, lama hujan, serta pola distribusi hujan. Sifat-sifat tersebut mempengaruhi debit dan volume aliran permukaan (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja dalam Parapat, 1997). Untuk mempelajari keadan suatu daerah 8

24 tangkapan sehubungan dengan curah hujannya, data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan daerah yang ditentukan dari beberapa stasiun di daerah tersebut Evapotranspirasi Peristiwa air atau es menjadi uap dan naik ke udara disebut penguapan. Penguapan terjadi pada permukaan air, permukaan tanah, padang rumput persawahan, hutan, dan lain-lain pada tiap keadaan suhu, sampai udara di atas permukaan menjadi jenuh dengan uap. Kecepatan dan jumlah penguapan tergantung dari suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan tekanan atmosfer (Mori, 2006). Menurut Eagleson dalam Seyhan (1990), tidak semua presipitasi yang mencapai permukaan secara langsung berinfiltrasi ke dalam tanah atau melimpas di atas permukaan tanah. Sebagian dari total presipitasi, secara langsung atau setelah memenuhi simpanan permukaan dan bawah permukaan, hilang dalam bentuk evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari evaporasi dan transpirasi. Evaporasi merupakan proses dimana air menjadi uap, sedangkan transpirasi adalah proses dimana air menjadi uap melalui metabolisme tanaman (Mori, 2006). Ada dua istilah evapotranspirasi yang umum digunakan yaitu evapotranspirasi aktual dan potensial. adalah air yang dikeluarkan yang tergantung pada kelembaban udara, suhu, dan kelembaban relatif. merupakan nilai evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi pada suatu daerah. Sedangkan evapotranspirasi potensial adalah sejumlah air yang menguap di bawah kondisi optimal diantara persediaan air yang terbatas. Pendugaan besarnya evapotranspirasi dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain adalah metode Blaney Criddle, metode Thonthwaite, metode keseimbangan energi, metode Penman, metode korelasi dengan pengukuran evaporasi dan metode radiasi. Menurut Doorenbos and Pruitt (1977), untuk wilayah dimana terdapat data suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, dan lama penyiranan matahari, disarankan untuk menggunakan metode Penman. Dibanding dengan metode yang lain, metode ini dianggap memberikan hasil yang 9

25 memuaskan. Pendugaan nilai evapotranspirasi dengan metode Penman menggunakan persamaan (4). ETo = c [W.Rn + (1-W).f(u).(ea-ed)].. (4) dimana : ETo = evapotransirasi tanaman acuan (mm/hari) W = suhu-berhubungan dengan faktor pembobot Rn = lama penyinaran matahari setara dengan evaporasi (mm/hari) F(u) = faktor kecepatan angin Ea-ed = perbedaan antara tekanan jenuh dan aktual rata-rata c = faktor penyesuaian Untuk mengetahui nilai ET tanaman tertentu, ETo dikalikan dengan nilai Kc yakni koefisien tanaman yang tergantung pada jenis tanaman dan tahap pertumbuhan. Nilai Kc tersedia untuk setiap jenis tanaman. Perhitungan nilai ETc dapat dilihat pada persamaan (5). Nilai ETc dapat dikonversi kedalam satuan mm/ bulan dengan cara mengalikan nilai ETc (mm/hari) dengan jumlah hari tertentu dalam suatu bulan. ETc = Kc. ETo (5) dimana : ETc = Evapotranspirasi potensial tanaman (mm/hari) Kc = koefisien pertanaman Simpanan Air (Water Storage) Simpanan atau cadangan air merupakan besaran yang menunjukkan jumlah air tersedia di dalam suatu batasan ruang tertentu, yang merupakan hasil interaksi antara aliran masuk dan aliran keluar pada ruang tersebut. Bagi suatu daerah perakaran, bila dipandang sebagai ruang tempat terjadinya proses neraca air, besarnya cadangan lengas tanah maksimum adalah hasil perkalian antara jumlah air yang tersedia dengan kedalaman zona perakaran (Parapat, 1997). Menurut Thornthwaite and Mather (1957), kapasitas cadangan lengas tanah bergantung pada dua faktor yaitu jenis dan struktur tanah serta jenis tanaman yang terdapat pada permukaan tanah tersebut. Sebagai contoh, tanah 10

26 berpasir hanya dapat menahan air sekitar satu sampai dua cm tiap 30 cm, sedangkan untuk tanah liat dapat menahan lebih dari 10 cm tiap 30 cm. Selain itu, perbedaan jenis tanaman juga menentukan kedalaman akar yang dapat dicapai oleh tanaman tersebut. Tanaman sayuran seperti bayam, buncis, dan lain-lain hanya dapat menyimpan air dalam jumlah kecil sesuai dengan kedalaman akar yang dangkal. Sebaliknya tanaman seperti pohon, perdu, rumput dapat menyimpan air dalam jumlah yang jauh lebih besar sesuai kedalaman akarnya dibanding tanaman sayuran. Namun, jenis tanaman yang sama pun akan menghasilkan kapasitas cadangan lengas tanah yang berbeda pula jika ditanam pada jenis tanah yang berbeda. Menurut Zelfi dalam Parapat (1997), besarnya cadangan lengas tanah pada suatu daerah perakaran dapat berubah-ubah dan dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi serta daya menahan air oleh tanah. Perubahan ini diidentifikasikan dengan adanya perubahan kelembaban pada zona perakaran. Menurut Thonthwaite and Mather (1957), kapasitas simpanan air tanah (Sto) dihitung dengan persamaan (6) STo = (KL fc KL wp )x dz (6) dimana : KL fc = kadar lengas tanah kapasitas lapang (mm) KLwp = kadar lengas tanah titik layu permanen (mm) dz = kedalaman jeluk tanah (mm) Dalam estimasi cadangan lengas tanah pada suatu daerah perakaran tertentu untuk periode tertentu, penentuan nilai daya menahan air oleh tanah adalah suatu hal yang sulit karena ditentukan oleh dua faktor yaitu klasifikasi tanaman dan tektur tanah (Thonthwaite and Mather, 1957). Untuk itu Thornthwaite and Mather (1957) telah memberikan pedoman untuk menentukan nilai kapasitas cadangan lengas tanah di daerah seperti terlihat pada Tabel 1. Analisa perubahan cadangan lengas tanah pada suatu daerah, dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (7). ST = ST i ST (i-1) (7) ST i = cadangan lengas tanah pada bulan ke-i (mm/bulan) 11

27 Tabel 1. Nilai kapasitas cadangan lengas tanah pada beberapa kombinasi tekstur tanah dan klasifikasi tanaman Klasifikasi tanaman Tanaman berakar dangkal Tanaman berakar sedang Tanaman berakar dalam Tanaman buahbuahan Tekstur tanah Air tersedia (mm/ m) Daerah perakaran (m) Cadangan lengas tanah (mm) Pasir halus Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat Pasir halus Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat Pasir halus Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat Pasir halus Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat Tanaman hutan Pasir halus Sumber : Thornthwaite and Mather, 1957 Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat Thonthwaite and Mather (1957) telah mengembangkan suatu metode penghitungan neraca air yang lebih kompleks daripada metode aljabar sederhana terdahulu. Pada metode ini semua aliran masuk dan keluar air serta nilai kapasitas cadangan lengas tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya nilai cadangan lengas tanah, kehilangan air, CH lebih dan defisit cadangan air, limpasan dan pertambahan muka air tanah (dangkal) pada lokasi tersebut untuk setiap bulannya. Perhitungannya memerlukan 12

28 keterangan mengenai jenis tanaman, tekstur tanah dan kapasitas cadangan lengas tanah. Hasil perhitungannya akan memberikan gambaran kondisi neraca air tahunan yang lengkap untuk suatu lokasi dan dapat dijadikan acuan untuk perencanaan selanjutnya. Kapasitas simpan air akan bergantung dengan laju infiltrasi yang terjadi. Infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, yang umumnya melalui permukaan dan secara vertikal. Sedangkan laju infiltrasi (infiltration rate) adalah banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan dalam mm/ jam. Kemampuan tanah untuk menyerap air infiltrasi pada suatu saat disebut kapasitas infiltrasi (Arsyad, 2006). Menurut Lee (1988), air yang berinfiltrasi ke dalam tanah dapat mengalir secara cepat sebagai aliran dalam (interflow), berperkolasi ke lapisan batuan di bawahnya dan reservoir air tanah, atau disimpan sementara waktu sebagai lengas tanah. Lengas tanah memainkan fungsi-fungsi yang vital dalam melarutkan unsur-unsur hara dan menyokong kehidupan tanaman. Akan tetapi secara hidrologis, lengas tanah merupakan suatu reservoir simpan yang naik turun secara cepat akibat penyerapan air oleh akarakar tanaman untuk transpirasi dan evaporasi langsung dari permukaan. Setelah kapasitas pada daerah perakaran terpenuhi, air akan mengalami perkolasi dan menjadi air tanah. Menurut Schwab et al (1960), air tanah (groundwater) merupakan air yang tersedia di bawah permukaan. Air tanah dihasilkan dari presipitasi yang mencapai batas jenuh air bawah permukaan melalui infiltrasi dan perkolasi. Air tanah dipergunakan untuk banyak hal antara lain sumur, sumber mata air dan sumber penampungan air. Di banyak wilayah, air tanah merupakan sumber air utama sehingga penggunaan atau penarikan air jauh lebih cepat dibanding pengisiannya melalui infiltrasi dan perkolasi. Hal ini yang penting diperhatikan dalam konservasi air. Air yang bergerak di tanah melalui bawah perakaran tanaman menuju lapisan batuan bawah disebut perkolasi dalam. Sebagian besar air yang mengalami perkolasi akan mencapai batas jauh di bawah wilayah perakaran dan akan mengisi cadangan air tanah. Proses ini disebut pengisian air tanah. Air tanah terdiri dari kurang lebih 4% dari total air yang ada dalam siklus air (Ward and Trimble, 1995). 13

29 2.2.4 Jika intensitas curah hujan maupun lelehan salju melebihi laju infiltrasi, kelebihan air mulai berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan dilampaui, limpasan permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Seyhan (1990) mendefenisikan limpasan sebagai bagian presipitasi yang terdiri atas gerakan gravitasi air baik kontribusi-kontribusi permukaan dan bawah permukaan yang nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus. Menurut Schwab, et al (1981), limpasan (run off) adalah bagian dari presipitasi yang mengalir menuju saluran saluran, sungai, danau dan laut. Dalam hal ini, limpasan pada permukaan juga termasuk ke dalamnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan terdiri dari dua hal utama yaitu presipitasi dan daerah aliran sungai (DAS). Durasi, intensitas serta sebaran curah hujan mempengaruhi laju dan volume limpasan. Faktor-faktor DAS yang mempengaruhi limpasan antara lain ukuran, bentuk, arah, topografi, geologi dan tutupan permukaan. Laju dan volume limpasan meningkat sebandingan dengan peningkatan luas DAS. DAS yang sempit akan menyebabkan laju limpasan lebih rendah dibanding pada DAS yang padat dalam luasan yang sama. Tutupan vegetasi dapat memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan daya tahan tanah terhadap air sehingga dapat mengurangi laju limpasan puncak. Karakteristik limpasan dalam sebuah DAS dalam kaitannya dengan penutupan vegetasi ditunjukkan pada Tabel 2. Mori (2006) mengklasifikasikan limpasan ke dalam tiga bentuk yaitu limpasan permukaan, limpasan bawah permukaan dan limpasan air tanah. permukaan adalah bagian limpasan yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai. bawah permukaan adalah bagian dari limpasan permukaan yang disebabkan oleh presipitasi yang berinfiltrasi ke tanah permukaan dan bergerak secara lateral melalui horison-horison tanah bagian atas menuju sungai (Chow dalam Seyhan, 1990). air tanah adalah air tanah yang bergerak sedikit demi sedikit muncul ke permukaan pada daerah yang lebih rendah. 14

30 Tabel 2. Karakteristik hasil limpasan Karakteristik DAS Penutupan Lahan yang dihasilkan 100 (ekstrim) 75 (tinggi) 50 (normal) 25 (rendah) tidak ada penutupan tanaman yang efektif ; lahan gundul, penutupan yang jarang Sumber : Schwab et al(1981) buruk menuju cukup; areal pertanian murni, miskin akan pentutupan vegetasi alami, kurang dari 10% dari wilayah drainase berada dalam kondisi tidak baik Cukup menuju baik ; sekitar 50% wilayah drainase terdiri dari komposisi padang rumput yang baik, areal hutan yang baik, atau tutupan lahan sejenisnya, serta tidak lebih dari 50% areal lahan merupakan areal pertanian murni baik menuju sangat baik ; sekitar 90% area drainase merupakan komposisi padang rumput yang baik, areal hutan yang baik, atau tutupan lahan sejenisnya. Menurut Troeh et al (2004), limpasan DAS (meliputi limpasan permukaan dan bawah permukaan) pada penelitian di benua Amerika memiliki kisaran antara 2,4-57%. dipengaruhi oleh intensitas hujan, sifat-sifat tanah, susunan lahan, dan tutupan vegetasi. yang melebihi 75% dari total curah hujan merupakan limpasan karena miskinnya vegetasi. Untuk menduga besaran limpasan yang terjadi di suatu kawasan, perlu diketahui nilai koefisien aliran permukaan. Schwab et al (1981) menyatakan bahwa koefisien aliran permukaan (C) didefenisikan sebagai nisbah laju puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah, tanaman penutup dan intensitas hujan. Nilai C untuk daerah urban tertera pada Tabel Konservasi Tanah dan Air Menurut Arsyad (2006), konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak serta menjaga ketersediaan air agar tetap cukup pada waktu musim kemarau. 15

31 Tabel 3. Koefisien aliran permukaan (C ) untuk daerah urban Macam Daerah Koefisien C 1. Daerah perdagangan : - Pertokoan (down town) Pinggiran Pemukiman : - Perumahan satu keluarga Perumahan berkelompok, terpisah pisah Perumahan berkelompok, bersambungan Suburban Daerah apartemen Industri : - Daerah industri ringan Daerah industri berat Taman, pekuburan Tempat bermain Daerah stasiun kereta api Daerah belum diperbaiki Jalan Bata : - Jalan, hamparan Atap Sumber : Schwab, et al (1981) Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat hilirnya (Arsyad, 2006). Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (landuse planning). Hasil evaluasi lahan memberikan alternatif penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat digunakan secara lestari (Arsyad, 2006). Menurut Suripin (2004), strategi konservasi tanah harus mengarah pada beberapa hal antara lain melindungi tanah dari hantaman air hujan dengan penutup permukaan tanah, mengurangi aliran permukaan dengan meningkatkan kapasitas infiltrasi, meningkatkan stabilitas agregat tanah dan mengurangi kecepatan aliran permukaan dengan meningkatkan kekasaran permukaan lahan. Secara garis besar metode konservasi tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan utama yaitu secara agronomis, mekanis dan kimia. 16

32 Metode agronomis adalah memanfaatkan vegetasi untuk membantu menurunkan erosi lahan. Metode mekanis atau fisik adalah konservasi yang berkonsentrasi pada penyiapan tanah supaya dapat ditumbuhi vegetasi yang lebat dan penyiapan topografi mikro untuk mengendalikan aliran air dan angin. Sedangkan metode kimia adalah usaha konservasi yang ditujukan untuk memperbaiki struktur tanah sehingga lebih tahan terhadap erosi. Secara singkat dapat dikatakan metode agronomis ini merupakan usaha untuk melindungi tanah, mekanis untuk mengendalikan energi aliran permukaan yang erosif dan metode kimia untuk meningkatkan daya tahan tanah. Konservasi secara mekanis mempuyai fungsi untuk memperlambat aliran permukaan, menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak merusak, memperbesar kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah serta menyediakan air bagi tanaman. Menurut Arsyad (2006), aliran permukaan pada tanah terbuka (tanpa tumbuhan) setelah hujan dan tanpa hujan sehari sebelumnya jauh lebih besar dari tanah yang tertutup hutan atau padang rumput. Schwab et al (1981) menyatakan bahwa tutupan vegetasi dapat memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan daya tahan tanah terhadap air pada suatu kawasan. Menurut Troeh, et al (2004), tanaman dapat menahan (intersepsi) air hujan sehingga memudahkan penyerapan air oleh tanah. Dengan begitu, air hujan akan dapat terinfiltrasi lebih banyak di tanah dibanding menjadi limpasan. Tanah sendiri bertindak sebagai penampung air dan ini bermanfaat bagi konservasi air. Berkurangnya limpasan sama artinya dengan konservasi tanah. Topografi tanah, kedalaman, permeabilitas, tekstur, struktur dan kesuburan adalah faktor penting yang mempengaruhi konservasi. Penutupan lahan dengan vegetasi yang berlimpah dapat membatasi laju erosi. Pengolahan lahan, penambangan, penebangan hutan, aktivitas pembangunan dan kebakaran yang mengurangi atau merusak vegetasi akan menyebabkan laju erosi meningkat. Kepadatan penutupan vegetasi merupakan salah satu jenis penutupan lahan yang penting. Zöbisch dalam Troeh et al (2004) dalam penelitiannya di Kenya menemukan titik batas penutupan vegetasi yang dapat menahan erosi yaitu 40%. Laju erosi akan meningkat seiring dengan pengurangan komposisi penutupan 17

33 vegatasi di bawah 40%. Duley and Kelly dalam Troeh et al (2004) membuktikan bahwa material vegetasi yang telah mati di permukaan tanah dapat meningkatkan laju infilttrasi dan menurunkan limpasan dan erosi. Kerusakan yang terjadi akibat erosi adalah kehilangan tanah, hilangnya tanah produktif, sedimentasi, polusi air dan udara dan sebagainya. Kegiatan manusia yang dapat menimbulkan erosi air maupun tanah antara lain pembangunan gedung, jalan, pengoperasian tambang dan lain-lain. Penanaman vegetasi dalam proyek-proyek tersebut dapat mengurangi erosi, sedimentasi dan masalah polusi lainnya. Salah satu rekomendasi yang dapat diberikan dalam konservasi tanah dan air khususnya untuk daerah urban adalah dengan memberikan komposisi tutupan vegetasi yang tepat. Tutupan vegetasi di kawasan perumahan dapat dimodifikasi dalam bentuk ruang terbuka hijau (RTH). Menurut Oesman (2007), ruang terbuka hijau terdiri dari taman kota, taman rekreasi, lapangan olah raga, pemakaman, cagar alam, suaka margasatwa, kebun raya, taman hutan rakyat, sempadan sungai, danau, waduk dan pantai Kondisi Ideal Daerah Aliran Sungai (DAS) Menurut Asdak (2007), dalam suatu DAS, perubahan indikator hidrologis dapat disebabkan oleh faktor input alamiah dan input artifisial atau buatan. Paramater hidrologis yang dapat dimanfaatkan untuk menelaah kondisi suatu DAS adalah data klimatologi (curah hujan, suhu, klimatologi), limpasan (run off), debit sungai, sedimentasi, potensi air tanah, koefisien regim sungai, koefisien limpasan, nisbah debit maksimum-minimum serta frekuensi dan periode banjir. Kondisi DAS dianggap normal apabila : 1. koefisien limpasan berfluktuasi secara normal (nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan dari tahun ke tahun cenderung kurang lebih sama besarnya) 2. angka koefisien varians (CV) debit aliran kecil (lebih kecil dari 10%) 3. angka koefisien regim sungai (nisbah Qmax/Qmin) juga normal (tidak terus naik dari tahun ke tahun) Menurut Falkenmark and Rockström (2004), kondisi yang biasa terjadi pada faktor curah hujan dan komponennya termasuk limpasan, pengisian air tanah 18

34 dan evapotrasnpirasi tergantung pada tipe daerah iklim dan zona penutupan lahan. Tipe pembagian curah hujan dalam komponen-komponennya untuk beberapa pembagian wilayah di dunia (rata-rata tahunan dalam mm) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tipe pembagian curah hujan dalam komponen-komponennya untuk beberapa pembagian wilayah di dunia (rata-rata tahunan dalam mm) Daerah iklim Zona Curah hujan (mm/ tahun) (mm/tahun) Air tanah (mm/tahun) Total Evapotrasnpirasi (mm/tahun) Subtropical dan tropical Desert Savanna Dry subhumid savanna Wet savanna Subartic temperate Tundra Taiga Mixed Forest Wooded Equatorial Steppes Wet evergreen equatorial forest Sumber : L vovich dalam Falkenmark and Rockström (2004) 19

35 III. METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan program Microsoft Excel dan Cropwat, kamera digital, dan alat tulis. Sedangkan bahanbahan yang digunakan adalah serangkaian data sekunder tentang kondisi lingkungan kawasan BNR seperti : 1. Peta penggunaan lahan pada existing landuse (kondisi eksisting) dan rencana pembangunan (site plan) kawasan BNR 2. Data iklim meliputi suhu, kelembaban, lama penyinaran matahari, ketingggian dan letak lintang, serta arah dan kecepatan angin 3. Data curah hujan bulanan 4. Data jenis tanah 5. Data luasan areal kawasan BNR 3.2 Metode Penelitian Diagram Alir Penelitian Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar Tahapan Penelitian Tahapan penelitian terdiri dari 1. Studi pustaka Studi pustaka digunakan untuk mempelajari berbagai metode untuk menentukan analisis perubahan kapasitas simpan air dan parameter yang mempengaruhinya serta mengkaji kondisi ideal dari sebuah DAS. 2. Pengumpulan data dan informasi Data yang diperlukan seluruhnya merupakan data sekunder. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi data curah hujan yang dapat diperoleh dari Balai Agroklimat Bogor, data penggunaan lahan kondisi eksisting dan site plan, data luasan lahan yang diperoleh dari peta kawasan proyek, data suhu dan data jenis tanah atau tekstur tanah dan letak garis lintang kawasan proyek.

36 3. Pengolahan dan analisis data 1. Mengidentifikasi penutupan lahan pada kawasan BNR melalui peta kondisi eksisting dan site plan. 2. Melakukan perhitungan curah hujan andalan dengan peluang 80% dengan metode W. bull. Metode W.bull tersebut dipilih dalam analisis ini karena metode W.bull merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penentuhan curah hujan andalan dengan asumsi nilai yang diperoleh paling mendekati kebenaran. 3. Melakukan perhitungan evapotranspirasi dengan Persamaan (4) dan (5). Nilai evapotransiprasi ditentukan dengan metode Penman. Metode ini digunakan untuk daerah dimana data suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan lama penyinaran matahari tersedia (Doorenbos and Pruitt, 1977). Selain itu, dibanding metode yang lain, metode ini dianggap memberikan hasil yang paling memuaskan. 4. Menghitung selisih hujan (P) dan evapotranspirasi potensial (ETP) Untuk mengatahui CH lebih dan defisit air, perlu dilakukan perhitungan P-PE. Hasil negatif mengindikasikan jumlah air dibutuhkan oleh tanaman pada waktu tersebut yang tidak dapat disediakan oleh hujan. Nilai positif menunjukkan kelebihan air yang diperoleh pada waktu tertentu yang kemudian akan menjadi limpasan dan pengisian air tanah. Mayoritas stasiun iklim hanya memiliki satu jenis musim, musim kering atau musim basah. Di sebagian tempat pada waktu yang sama, kelebihan air (nilai positif P-E) lebih besar dibanding akumulasi kekurangan airnya (nilai P-E). sedangkan di tempat yang lain pada waktu yang sama, bisa saja terjadi situasi sebaliknya. Kondisi yang terakhir biasa terjadi pada wilayah kering, dimana curah hujan tidak cukup untuk mengembalikan lengas tanah pada kapasitasnya maksimumnya. Pada wilayah ini, selalu terjadi defisit air pada akhir periode. Sebaliknya, pada daerah dengan nilai P-E positif, nilai defisit air selalu nol pada akhir periode. 5. Menghitung accumulated potential water losses (APWL) dengan menjumlahkan seluruh selisih hujan (P) dan evapotranspirasi (ETP). Nilai negatif P-E menununjukkan potensi defisit air yang merupakan hasil penjumlahan setiab bulannya. Untuk wilayah basah, jumlah P-E dari setiap bulan bernilai positif. Oleh

37 karena itu, perhitungan akumulasi kehilangan air dimulai dari 0. Sedangkan untuk daerah kering, dimana jumlah total P-E adalah negatif, nilai awal perhitungan akumulasi kehilangan air ditentukan dari Tabel penyimpanan air (soil moisture retention table). Tabel penyimpanan air memiliki fungsi mengkonversi nilai kekuranagan air ke dalam kapasitas simpanan air. 6. Menghitung kapasitas simpan air (water storage capacity (STo)). Tabel penyimpanan air memberikan nilai penyimpanan air dalam tanah setelah dikurangi dengan akumulasi kehilangan air yang terjadi. Nilai yang terdapat pada tabel tersebut bergantung pada kapasitas cadangan lengas tanah dan kedalaman akar. Nilai kapasitas cadangan lengas tanah ditentukan pada Tabel 1. STo kemudian ditentukan dengan persamaan (6). Perhitungan kapasitas simpan air ini dilakukan pada kondisi eksisting dan berbagai komposisi RTH. Nilai STo tersebut berlaku untuk keadaan dimana nilai P yang lebih besar dari ETP. Jika nilai P lebih kecil dari ETP, akan terjadi penarikan sejumlah air tertentu dari cadangan yang ada sehingga nilai cadangan lengas tanah akan berkurang. 7. Menghitung evapotranspirasi aktual (ETa Untuk bulan basah (P>ETp), maka ETa = ETp Untuk bulan kering (P<ETp), maka ETa = P + 8. Menghitung cadangan lengas tanah (water holding capacity/st) Nilai cadangan lengas tanah pada awal periode dianggap sama dengan nilai cadangan lengas tanah maksimum (kapasitas simpan air tanah). Selanjutnya, jika nilai P>ETP, nilai cadangan lengas tanah tidak akan berubah. Namun, jika nilai P<ETP, nilai cadangan lengas tanah akan ditentukan dengan persamaan (8) ST (i) = ST (i-1) {(P-ETP)x(ST (i-1)/ STo)}..(8) 9. Menghitung perubahan cadangan lengas tanah ( St) dengan menggunakan persamaan (7). Jika nilai cadangan lengas tanah sama dengan nilai kapasitas simpannya, diasumsikan tidak terjadi perubahan dalam penyimpanan air. 10. Menghitung CH lebih /surplus air (S) yaitu pada kondisi P>Ep, dengan persamaan neraca air Thornthwaite and Mather (2) 11. Menghitung defisit (D), dengan menggunakan persamaan (3)

38 12. Melakukan prosedur perhitungan yang sama untuk CA 1, 2,a, 2b+c, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 sub-das Cipinang Gading pada kondisi eksisting dan site plan dengan skenario komposisi RTH yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan skenario komposisi RTH sebagai berikut 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60% dan 70%. 13. Membuat kurva neraca air untuk setiap skenario komposisi RTH 14. Menghitung kontribusi nilai hasil neraca air dengan mengkonversi dalam bentuk volume (m 3 ) serta kurvanya. 15. Menganalisis komposisi RTH yang tepat yaitu komposisi RTH yang mampu memenuhi kondisi ideal sebuah DAS dari parameter keluaran neraca air serta membandingkannya dengan kondisi eksisting.

39 Data Analisis Hasil Interpretasi hasil Curah hujan bulanan Data iklim (suhu, Data tekstur tanah kelembaban, kecepatan angin, letak lintang) Data penutupan lahan Data luas areal Data tekstur tanah Curah hujan andalan Metode W.Bull Perhitungan ETo (Metode Penman) Nilai koefisien tanaman (Kc) Penentuan nilai water holding capacity (WHC) Penentuan koefisien limpasan Nilai P Nilai ETP Nilai Storage Capacity (Sto) Nilai C Perhitungan neraca air Surplus/ defisit Pengisian air tanah Perubahan kapasitas simpan air pada setiap skenario komposisi RTH pada Surplus/defisit setiap skenario air komposisi pada RTH setiap skenario komposisi RTH Pengisian air tanah pada setiap skenario komposisi RTH pada setiap skenario komposisi RTH Perbandingan antara kondisi eksisting dengan seluruh kompisisi RTH Rekomendasi komposisi ruang terbuka hijau (RTH) yang paling tepat (paling mendekati dengan kondisi ideal), rekomendarsi pengelolaan limpasan Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian 24

40 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Administratif Bogor Nirwana Residence (BNR) adalah salah satu kawasan proyek perumahan dan kawasan wisata terpadu yang terletak di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Mulyaharja, Kelurahan Ranggamekar dan Kelurahan Pamoyanan. Ketiga kelurahan tersebut termasuk Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Lokasi perumahan ini berada di kaki Gunung Salak di atas tanah bekas tegalan, sawah dan ladang campuran dengan kontur yang bervariasi dan dilewati Sungai Cipinang Gading dan Sungai Cileungsir. Pembangunan perumahan dan kawasan wisata terpadu BNR seluas 402,3 ha merupakan pengembangan tahap III. Kondisi eksisting yang sudah terbangun pada saat penelitian ini dilakukan adalah kawasan wisata water park dan perumahan tahap I seluas 89,7 ha dan tahap II seluas 25,6 ha. Batas lokasi penelitian kawasan BNR tahap III sebagai berikut : - Sebelah Utara : perumahan BNR Tahap II - Sebelah Selatan : sawah, tegalan - Sebelah Barat : permukiman penduduk - Sebelah Timur : permukiman penduduk Pengembangan BNR tahap III terdiri dari 6 kawasan yang tersebar di subdas Cipinang Gading. Sungai Cipinang Gading merupakan bagian dari DAS Cisadane yang mengalir dari kaki Gunung Salak ke arah timur laut dan di batas utara wilayah tapak proyek, sungai membelok ke utara selanjutnya bermuara di Sungai Cisadane. Aliran sungai ini sejajar dengan Sungai Cisadane di sebelah timur dan Sungai Ciapus di sebelah barat. Sungai Cipinang Gading dan anakanak sungainya (subdas) merupakan drainase utama (alam) dari sistem drainase lapang wilayah tapak proyek. Untuk keperluan analisis neraca air wilayah tapak proyek dibagi menjadi 9 daerah tangkapan hujan (catchment area, CA) yang terdapat di subdas Cipinang Gading yang disajikan dalam Lampiran Citra Iklim Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Empang. Stasiun ini dianggap paling mewakili kondisi iklim lokasi penelitian. Data curah hujan lengkap dari stasiun Empang selama 20 tahun terakhir ( ) terdapat pada Lampiran 2.

41 Data iklim diperoleh dari Stasiun Klimatologi, Darmaga. Data lengkap mengenai kondisi iklim pada Stasiun Darmaga dapat dilihat pada Lampiran 3. Tipe iklim wilayah kajian masih termasuk kategori tipe iklim Af (hutan hujan tropis) berdasarkan klasifikasi Koppen bila dilihat dari nilai suhu udara rataan bulanan semua di atas 18 o C dan distribusi hujan bulanan semua bernilai di atas 60 mm (Laporan Amdal BNR, 2008). 4.3 Rona Tanah Jenis tanah yang ada di lokasi tapak proyek dimasukkan dalam jenis tanah latosol coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm. Jenis tanah latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah dan agak tahan terhadap erosi. Sifat kimia tanah jenis tanah ini pada dasarnya tergolong baik dengan ph tanah agak netral serta kandungan bahan organik biasanya rendah atau sedang. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan kondisi pertumbuhan tanaman di sekitar lokasi tapak kegiatan menunjukkan bahwa jenis tanah tersebut cenderung bersifat subur, secara fisik mempunyai tingkat erosi sedang dan memiliki tingkat perkembangan tanah yang tergolong baik. 4.4 Topografi dan Penutupan lahan Keadaan alam, fisiografi dan bentang lahan yang ada di lokasi tapak proyek cukup kompleks, merupakan dataran vulkan dengan ketinggian meter dari permukaan laut, dengan bentuk wilayah yang bervariasi mulai datar, berombak, bergelombang sampai berbukit. Sebagian besar wilayah ini mempunyai kemiringan antara 8-15%. Secara keseluruhan bervariasi mulai datar sampai sangat curam. Keunikan topografi perbukitan yang ada diwilayah tapak proyek membentuk alur-alur bukit terjal yang sempit dengan pola vegetasi yang mengikuti punggung bukit. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta interpretasi pada peta topografi kawasan BNR, karakteristik topografi dari 9 CA juga berbeda-beda. Peta topografi yang menunjukkan ketinggian setianp CA ditunjukkan pada Lampiran 4. 26

42 CA 1 yang memiliki luas 3,3 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 1 relatif landai di bagian hulu dan agak curam di bagian hilir. CA 2a yang memiliki luas 88,56 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 2a relatif landai di bagian hilir dan memiliki sebagian wilayah yang agak curam pada daerah hulu. CA 2b+c yang memiliki luas 46,08 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 2b dapat dikatakan lebih dekat pada kawasan hulu dan kaki gunung. Kondisinya relatif agak curam dibanding CA 1 dan 2a. CA 4 yang memiliki luas 65,05 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 4 relatif landai keseluruhan bagiannya. Namun, pada CA 4 bagian barat daya dan barat relatif lebih curam dibanding yang lainnya. CA 5 yang memiliki luas 26,24 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 5 relatif landai di bagian hilir dan memiliki sebagian kecil wilayah yang agak curam pada daerah hulu. CA 6 yang memiliki luas 43,21 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 6 relatif curam pada bagian hulu dan hilir. Namun, di bagian tengah CA 6 agak landai. CA 7 yang memiliki luas 28,80 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 7 relatif landai menuju curam pada bagian hulu. CA 8 yang memiliki luas 51,57 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 8 relatif sedikit landai di bagian hilir dan lebih curam pada bagian hulu. CA 9 yang memiliki luas 26,24 ha terletak pada kisaran topografi antara m menuju daerah hulu. Bentangan CA 9 relatif lebih curam. CA 9 terletak pada bagian ujung hulu kawasan. Secara umum CA yang relatif lebih landai dibanding yang lainnya adalah CA 1, 2a dan 4. CA tersebut sebagian besar wilayahnya terletak pada kawasan hilir. Selanjutnya sebagian kecil CA 1, sebagian kecil CA 2a, CA 2b, 5, 6, 7, 8 dan 9 relatif lebih curam karena terletak pada bagian hulu. Kondisi penutupan lahan pada kondisi eksisting sebagian merupakan daerah perbukitan dengan vegetasi yang masih rapat, lahan terbuka, juga terdapat penggunaan lahan untuk sawah padi di bagian Timur serta ladang dengan jenis 27

43 tanaman ketela pohon (Manihot utilisima) maupun kebun campuran dan penggunaan untuk vegetasi tertentu secara tersebar. Secara terperinci penggunaan lahan di lokasi tapak proyek disajikan pada Lampiran 5. Pembagian penutupan lahan pada kondisi eksisting sesuai pembagian CA dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis penutupan lahan dan luas lahan sebelum pembangunan pada tiap catchment area (CA) CA Semak/ Belukar Tegalan/ Ladang Sawah Irigasi Sawah Tdh Hujan Rumput/ Tanah Kosong Kebun Campuran Permukiman/ Gedung Luas CA (ha) 1 0,61 0,00 0,00 1,67 0,00 0,21 0,82 3,31 2A 5,97 0,00 0,00 76,81 0,00 0,00 5,78 88,56 2B 5,07 0,00 2,44 31,99 0,05 0,00 6,53 46, ,60 6,80 9,57 0,49 4,73 0,00 8,86 65, ,52 0,00 6,77 7,51 0,00 0,00 1,44 26,24 6 7,42 7,42 15,74 0,92 7,28 0,00 4,43 43,21 7 3,96 0,00 17,75 0,00 4,25 0,00 2,84 28, ,68 0,00 12,57 12,19 8,86 0,00 5,27 51, ,33 0,00 1,42 5,26 12,00 0,00 8,47 49,48 Luas BNR tahap III 103,16 14,22 66,26 136,84 37,17 0,21 44,44 402,3 Sumber : Laporan AMDAL BNR 2008 Pada wilayah rencana akan dilakukan pembangunan kawasan perumahan dengan rencana penutupan lahan serta sebaran pada masing-masing CA yang dapat dilihat pada Tabel 6. Rencana pembangunan kawasan terdiri dari perumahan, niaga/ perkantoran, fasilitas pendidikan, penginapan, rumah sakit, kawasan wisata, fasilitas umum, dan RTH. Komposisi RTH pada perencanaan awal kawasan BNR adalah 60%. Peta perencanaan pembangunan kawasan yang menggambaran penutupan lahan kawasan BNR dapat dilihat pada Lampiran 6. 28

44 Tabel 6. Luas total rencana pembangunan perumahan dan kawasan wisata terpadu BNR tahap III CA Perumahan Niaga/ Perkantoran Pendidikan Hotel Rumah Sakit Wisata Fasilitas Umum RTH Luas CA (ha) 1 2,43 0,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,26 0,36 3,30 2A 39,58 20,67 4,41 6,16 1,21 2,90 10,94 2,69 88,56 2B 18,28 7,86 0,00 0,29 0,00 0,03 16,89 2,74 46,09 Luas BNR tahap III 4 5,14 0,00 51,04 0,00 0,00 0,00 8,35 0,52 65,05 5 0,00 0,00 23,84 0,00 0,00 0,00 2,33 0,06 26, ,13 2,46 1,65 0,00 0,00 0,00 12,70 7,28 43, ,93 2,18 0,00 0,00 0,00 0,00 4,22 2,47 28, ,20 3,60 0,00 0,00 0,00 3,25 11,73 3,80 51, ,12 6,39 0,00 0,00 0,00 6,91 22,05 0,00 49,47 147,81 43,41 80,94 6,45 1,21 13,09 89,47 19,92 402,30 Sumber : Laporan AMDAL BNR 2008 Berdasarkan hasil observasi lapang di kawasan BNR, dapat diperlihatkan kondisi eksisting kawasan tersebut. Gambar 3 menunjukkan lahan yang belum dibangun. Terlihat penutupan lahan kawasan terdiri dari sawah, ladang dan rumah penduduk. (a) Ladang, sawah dan pemukiman (b) Anak sungai Cipinang Gading Gambar 3. Kondisi eksisting sub-das 29

45 Gambar 4 menunjukkan proses pembangunan yang sedang berlangsung. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa pembangunan perumahan kawasan BNR tahap III mencapai kaki gunung Salak. Gambar 4. Kondisi saat proses pembangunan 30

46 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Neraca Air masukan yang pertama adalah presipitasi (P) atau curah hujan bulanan. Curah hujan yang digunakan adalah curah hujan andalan dengan peluang 80%. Hal ini berarti bahwa kisaran nilai curah hujan mulai dari nol hingga nilai andalan dalam satu bulan memiliki peluang terlampaui sebesar 80%. Peluang 80% ini mengindikasikan bahwa nilai curah hujan yang dihasilkan relatif kecil dibanding dengan curah hujan andalan yang memiliki presentase lebih kecil. Curah hujan andalan 80% pada sub-das Cipingan Gading dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai curah hujan bulanan tersebut akan berlaku untuk analisis neraca air di setiap CA pada sub-das Cipinang Gading serta setiap skenario penutupan lahan yang akan dilakukan. Nilai curah hujan andalan diasumsikan sama untuk seluruh CA dan seluruh skenario komposisi RTH karena data curah hujan diambil dari stasiun yang sama untuk periode tahun yang telah ditetapkan. Perhitungan curah hujan andalan dengan metode W.Bull dapat dilihat dengan jelas pada Lampiran Nilai (mm/ bulan) Curah hujan bulanan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Gambar 5. Grafik curah hujan bulanan andalan 80% Setelah mengetahui nilai curah hujan, selanjutnya dibutuhkan nilai evapotranspirasi potensial (ETP). Menurut Asdak (2007), faktor-faktor yang

47 menentukan besarnya ETP adalah radiasi matahari dan suhu, kelembaban atmosfer dan angin. Selain itu nilai ETP juga bergantung pada nilai koefisien tanaman (kc). Dalam hal ini kondisi dianggap sama untuk seluruh skenario komposisi RTH yang digunakan sehingga sesuai persamaan (5), nilai ETP berbanding lurus dengan kc. Untuk berbagai perubahan penutupan lahan, nilai kc akan paling berpengaruh pada besarnya perubahan ETP. Gambaran Nilai ETP untuk berbagai penutupan lahan dengan skenario komposisi ruang terbuka hijau (RTH) disajikan pada Gambar Nilai evapotranspirasi (mm/tahun) CA 1 CA 2a CA 2b+c CA 4 CA 5 CA 6 CA 7 CA 8 CA Persentase RTH (%) Gambar 6. Grafik nilai ETP dalam beberapa skenario RTH Dari Gambar 6, dapat diketahui bahwa nilai ETP berbanding lurus dengan penurunan komposisi RTH. Dengan asumsi seluruh tanaman pada RTH merupakan tanaman sejenis, maka RTH dengan komposisi lebih besar akan memiliki ETP lebih tinggi. Pada semua komposisi RTH, CA 6 memiliki ETP tertinggi. Hal ini disebabkan pada CA 6 area RTH paling luas dibanding CA lainnya yaitu 7,28 ha. 32

48 Pola perubahan nilai ETP sama untuk tiap CA. Nilai ETP bulanan untuk setiap CA dan skenario komposisi RTH disajikan dengan lengkap pada Lampiran 8. masukan yang dibutuhkan selanjutnya adalah kapasitas simpan air. Nilai Sto akan sangat dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan. Oleh sebab itu, nilai Sto pada setiap skenario komposisi RTH akan berbeda. Nilai Sto untuk setiap CA dan berbagai skenario komposisi RTH disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Sto pada tiap CA RTH Sto CA (mm) 1 2A 2B+C Rata-rata Eksisting % % % % % % % Untuk kawasan BNR ini, jenis tanah di setiap CA sama yaitu tanah liat. Begitu juga dengan jenis tanaman. Sistem RTH diasumsikan menggunakan jenis tanaman yang sama yaitu sejenis perdu, pohon-pohonan dan rumput. Kapasitas simpan air yang digunakan untuk jenis tanah dan tanaman ini adalah 150 mm. Dengan begitu yang membedakan kapasitas simpan air dari setiap CA adalah luasan area RTH. Gambaran nilai Sto pada setiap CA untuk berbagai skenario komposisi RTH juga disajikan pada Gambar 7. Tabel perhitungan lengkap nilai Sto dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari Gambar 7 terlihat bahwa nilai Sto memiliki perbandingan yang sama pada tiap CA. Namun, besarannya berbanding lurus terhadap komposisi RTH. RTH dengan komposisi terkecil yaitu 10% memiliki nilai Sto terkecil pula. CA yang memiliki Sto terbesar adalah CA 6, sedangkan Sto terkecil terdapat pada CA 4, 5 dan 9. Padahal dibanding CA yang lain, ketiga CA tersebut tidak termasuk CA dengan luasan terkecil. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan nilai Sto pada CA tersebut dapat dilakukan dengan menambah luasan RTH dan menanam tanaman dengan kedalaman akar tertentu yang mampu meningkatkan kapasitas simpan air. 33

49 CA 1 Nilai STo (mm/tahun) CA 2a CA 2b+c CA 4 CA 5 CA 6 CA 7 CA 8 CA 9 Persentase RTH (%) Gambar 7. Grafik nilai Sto pada tiap CA 5.2 Analisis Neraca Air Analisis neraca air dilakukan pada kawasan perumahan BNR tahap III dengan total luas areal 402,3 ha yang tersebar ke dalam 9 CA. Untuk mengetahui komposisi RTH yang tepat bagi tiap bangunan di kawasan perumahan tersebut, dilakukan analisis neraca air dalam beberapa skenario komposisi RTH. Skenario komposisi RTH yang digunakan antara lain 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60% dan 70%. Analisis neraca air juga dilakukan pada kondisi eksisting kawasan BNR. Hasil analisis neraca air pada skenario-skenario tersebut akan menunjukkan komposisi RTH yang paling sesuai dengan kondisi ideal serta perbandingannya dengan kondisi sebelumnya. Hasil analisis neraca air juga dapat menunjukkan apakah komposisi RTH yang digunakan dalam rencana pembangunan sudah sesuai atau tidak dengan kondisi ideal. Kondisi ideal sebuah DAS jika dilihat dari parameter limpasan dan pengisian air tanah dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan karakteristik limpasan dengan berbagai kondisi penutupan vegetasi dan Tabel 4 yang menunjukkan pembagian curah hujan dalam komponen-komponennya sesuai daerah iklim di dunia. Menurut Falkenmark and Rockström (2004), berdasarkan Tabel 4, pada daerah dengan curah hujan lebih besar dari 2000 mm/tahun, 34

50 memiliki nilai limpasan sebesar 600 mm/tahun dan nilai pengisian air tanah sebesar 600 mm/ tahun. Hasil analisis neraca air pada setiap CA dengan berbagai skenario komposisi RTH menunjukkan nilai ETP yang sama dengan nilai evapotranspirasi aktual (ETa) sehingga nilai defisit air di semua skenario komposisi RTH sangat kecil, mendekati nol. Dalam seluruh perhitungan neraca air dari tiap CA, nilai cadangan lengas tanah secara akumulasi tidak mengalami perubahan. Oleh sebab itu, dalam hal ini akan dilakukan pembahasan dari segi CH lebih, limpasan dan pengisian air tanah. Perhitungan lengkap neraca air untuk setiap CA dalam pada kondisi eksisting dan berbagai skenario komposisi RTH terdapat pada Lampiran 10. Hasil analisis neraca air untuk setiap CA dalam berbagai skenario RTH dijabarkan dalam tiap CA sebagai berikut : Analisis Neraca Air CA 1 Kawasan perumahan di CA 1 memiliki luas wilayah 3,3 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari perumahan, niaga, fasilitas umum dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 8. Dari Tabel 8 dapat dilihat perbandingan CH lebih, limpasan dan pengisian air tanah pada kondisi eksisting setiap skenario komposisi RTH. Nilai yang tertera pada Tabel 8 merupakan akumulasi jumlah dalam satu tahun. Tabel 8. Hasil analisis neraca air pada CA 1 (mm/tahun) Eksisting RTH 75% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Evaluasi dampak skenario komposisi RTH dapat dilihat dengan jelas pada nilai surplus air. Semakin kecil komposisi RTH, nilai CH lebih akan semakin besar. Namun ternyata besarnya CH lebih tidak selalu menguntungkan. Surplus air akan diderivasi menjadi limpasan dan pengisian air tanah. Besarnya bagian CH lebih yang menjadi limpasan akan ditentukan oleh nilai koefisien limpasan (C) yang bergantung pada penutupan lahan. Nilai C berbanding terbalik dengan 35

51 peningkatan komposisi RTH. Perhitungan nilai C untuk semua CA pada berbagai skenario komposisi RTH terdapat pada Lampiran 11. Pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 8. Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Eksisting Persentase RTH (%) Gambar 8. Kurva neraca air CA 1 CH lebih Surplus Air Pengisian Air Tanah Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 60% yaitu sebesar 778,5 mm dengan nilai limpasan 718,6 mm. Komposisi ini sesuai dengan site plan. Selain itu, menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 60% sudah dianggap tepat karena memiliki persentase limpasan sebesar 48% seperti yang tertera pada Tabel 9. Penurunan komposisi RTH berbanding lurus dengan penurunan nilai pengisian air tanah. Jika dibandingkan dengan nilai limpasan, akan diperoleh komposisi RTH yang paling aman bagi lingkungan. Pada CA 1, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 75%. Kondisi eksisting memiliki nilai CH lebih yang lebih kecil dibanding RTH 80% dan 90%. Hal ini disebabkan karena sebagian besar tutupan lahannya adalah sawah (Tabel 36

52 5). Padi sawah memiliki nilai kc lebih besar dibanding jenis tanaman pada RTH sehingga nilai ETP semakin besar dan menurunkan CH lebih. Pada kondisi eksisting, CA 1 memiliki kapasitas simpan air sebesar 109,5 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 96,55 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 1 dari sebelumnya 1166 mm menjadi 1497 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 331 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 183 mm per tahun dan pengisian air tanah sebesar 148 per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan yang tepat. Tabel 9. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 1 Daerah iklim Zona per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) Wet evergreen Equatorial equatorial forest CA 1 Eksisting 536, ,0 54 RTH 70% 629, ,8 55 RTH 60% 718, ,5 52 RTH 50% 837, ,3 48 RTH 40% 1000, ,2 45 RTH 30% 1058, ,1 42 RTH 20% 1209, ,3 38 RTH 10% 1339, , Analisis Neraca Air CA 2a Kawasan perumahan di sub-das 2a memiliki luas wilayah 88,56 ha. Penutupan lahan pada sub-das ini terdiri dari perumahan, niaga, hotel, pendidikan, rumah sakit, wisata, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisis neraca air pada CA 2a (mm/tahun) Eksisting RTH 93% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan 37

53 yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 9. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 50% yaitu sebesar 764 mm dengan nilai limpasan sebesar 897 mm. Komposisi ini lebih kecil dibanding site plan. Menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 50% belum dianggap tepat karena nilai limpasan memiliki persentase lebih dari 50% seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11. Komposisi RTH yang sesuai adalah 60 % dengan perbandingan limpasan dan pengisian air tanah yang ideal. Pada CA 2a, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 93%. Pada kondisi eksisting, CA 1 memiliki kapasitas simpan air sebesar 121,9 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 91,82 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 2a dari sebelumnya 766 mm menjadi 1538 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 772 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 409 mm per tahun dan pengisian air tanah sebesar 362 per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan yang tepat. Tabel 11. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 2a Daerah iklim Zona per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) Wet evergreen Equatorial equatorial forest CA 2a Eksisting 375, ,0 51 RTH 70% 664, ,6 53 RTH 60% 784, ,4 50 RTH 50% 896, ,0 45 RTH 40% 1034, ,3 42 RTH 30% 1182, ,8 38 RTH 20% 1340, ,4 34 RTH 10% 1507, ,

54 Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) Surplus Air CH lebih Pengisian Air Tanah Eksisting Gambar 9. Kurva neraca air CA 2a Analisis Neraca Air CA 2b+c Kawasan perumahan di CA 2b+c memiliki luas wilayah 46,09 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari perumahan, niaga, hotel, pendidikan, rumah sakit, wisata, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis neraca air pada CA 2b+c (mm/tahun) Eksisting RTH 85% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar

55 Dari Gambar 10 dapat diketahui bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 60% yaitu sebesar 746 mm dengan nilai limpasan sebesar 777 mm. Komposisi tersebut sesuai dengan site plan. Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) Gambar 10. Kurva neraca air CA 2b+c Eksisting Surplus CH lebih Air Pengisian Air Tanah Menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 60% sudah dianggap mendekati kondisi ideal dengan persetase limpasan mencapai 51% seperti yang dapat dilihat pada Tabel 13. Pada CA 2b+c, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 85%. Pada kondisi eksisting, CA 2b+c memiliki kapasitas simpan air sebesar 119,5 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 93,57 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 2b+c dari sebelumnya 937 mm menjadi 1523 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 586 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 337 mm per tahun dan pengisian air tanah sebesar 249 mm per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan yang tepat. 40

56 Tabel 13. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 2b+c Daerah iklim Equatorial Zona Wet evergreen equatorial forest per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) CA 2b+c Eksisting 440, , Analisis Neraca Air CA 4 RTH 70% 659, ,7 53 RTH 60% 776, ,1 49 RTH 50% 903, ,0 45 RTH 40% 1057, ,7 40 RTH 30% 1204, ,3 36 RTH 20% 1360, ,3 32 RTH 10% 1526, ,7 28 Kawasan perumahan di CA 4 memiliki luas wilayah 65,05 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari perumahan, niaga, hotel, pendidikan, rumah sakit, wisata, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 14. Pada Tabel 14, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 11. Tabel 14. Hasil analisis neraca air pada CA 4 (mm/tahun) Eksisting RTH 86% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 50% yaitu sebesar 787 mm dengan nilai limpasan sebesar 888 mm. Komposisi ini lebih kecil dibanding pada site plan. Menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 50% belum dianggap tepat karena persentase limpasan pada komposisi ini adalah 53% seperti yang dapat dilihat pada Tabel 15. Komposisi RTH yang sesuai adalah 60 % dengan perbandingan limpasan dan pengisian air tanah yang ideal. 41

57 Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) Gambar 11. Kurva neraca air CA 4 Eksisting CH lebih Surplus Air Pengisian Air Tanah Pada CA 4, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 86%. Pada kondisi eksisting, CA 4 memiliki kapasitas simpan air sebesar 161,5 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 90,48 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 4 dari sebelumnya 1245 mm menjadi 1549 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 304 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 338 mm per tahun dan penurunan nilai pengisian air tanah sebesar 36 mm per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan dan penurunan pengisian air tanah yang tepat. 42

58 Tabel 15. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 4 Daerah iklim Equatorial Zona Wet evergreen equatorial forest per tahun jumlah (mm) persen (%) Pengisian air tanah per tahun persen (%) jumlah (mm) CA 4 Eksisting 436, , Analisis Neraca Air CA 5 RTH 70% 654, ,3 54 RTH 60% 774, ,4 50 RTH 50% 887, ,2 47 RTH 40% 1026, ,3 43 RTH 30% 1175, ,6 39 RTH 20% 1314, ,2 36 RTH 10% 1482, ,4 32 Kawasan perumahan di CA 5 memiliki luas wilayah 26,23 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari pendidikan, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 16. Secara umum, kondisi neraca air pada CA 5 hampir sama dengan CA 4. Hal tersebut karena nilai kc gabungan antara kedua CA sama sehingga besaran evapotranspirasi sama. Selain itu, nilai kapasitas lengas tanah juga hampir sama. Tabel 16. Hasil Analisis Neraca Air Pada CA 5 (mm/tahun) Eksisting RTH 94% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 12. Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 50% yaitu sebesar 787 mm dengan nilai limpasan sebesar 888 mm. Komposisi ini lebih kecil dibanding rencana pembangunan. 43

59 Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) Gambar 12. Kurva neraca air CA 5 CH lebih Surplus Air Pengisian Air Tanah Eksisting Menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 50% belum dianggap tepat karena persentase limpasan pada komposisi ini adalah 53% seperti yang dapat dilihat pada Tabel 17. Komposisi RTH yang sesuai adalah 60 % dengan perbandingan limpasan dan pengisian air tanah yang ideal. Pada CA 5, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 94%. Pada kondisi eksisting, CA 5 memiliki kapasitas simpan air sebesar 167,56 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 90,14 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 5 dari sebelumnya 1016 mm menjadi 1549 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 533 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 398 mm per tahun dan pengisian air tanah sebesar 134 mm per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan yang tepat. 44

60 Tabel 17. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 5 Daerah iklim Equatorial Zona Wet evergreen equatorial forest per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) CA 5 Eksisting 376, , Analisis Neraca Air CA 6 RTH 70% 654, ,3 54 RTH 60% 774, ,4 50 RTH 50% 887, ,2 47 RTH 40% 1026, ,3 43 RTH 30% 1156, ,9 40 RTH 20% 1317, ,3 36 RTH 10% 1482, ,4 32 Kawasan perumahan di CA 6 memiliki luas wilayah 43,22 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari perumahan, niaga, pendidikan, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 18. Pada Tabel 18, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 13. Tabel 18. Hasil analisis neraca air pada CA 6 (mm/tahun) Eksisting RTH 89% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 50% yaitu sebesar 755 mm dengan nilai limpasan sebesar 818 mm. Komposisi ini lebih kecil dibanding site plan. Menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 50% belum dianggap tepat karena persentase limpasan pada komposisi ini adalah 52% seperti yang dapat dilihat pada Tabel 19. Komposisi RTH yang sesuai 45

61 adalah 60 % dengan perbandingan limpasan dan pengisian air tanah yang ideal. Persentase limpasan pada komposisi 60% adalah 49%. Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) CH lebih Surplus Air Pengisian Air Tanah Eksisting Gambar 13. Kurva neraca air CA 6 Pada CA 6, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 89 %. Pada kondisi eksisting, CA 6 memiliki kapasitas simpan air sebesar 156,68 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 100,11 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 6 dari sebelumnya 1143 mm menjadi 1467 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 324 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 296 mm per tahun dan pengisian air tanah sebesar 28 mm per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan yang tepat. 46

62 Tabel 19. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 6 Daerah iklim Equatorial Zona Wet evergreen equatorial forest per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) CA 6 Eksisting 423, , Analisis Neraca Air CA 7 RTH 70% 612, ,9 55 RTH 60% 719, ,3 51 RTH 50% 818, ,0 48 RTH 40% 940, ,6 44 RTH 30% 1034, ,4 42 RTH 20% 1171, ,2 38 RTH 10% 1317, ,6 34 Kawasan perumahan di CA 7 memiliki luas wilayah 28,22 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari perumahan, niaga, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil analisis neraca air pada CA 7 (mm/tahun) Eksisting RTH 90,1% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Pada Tabel 20, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 14. Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 60% yaitu sebesar 770 mm dengan nilai limpasan 740 mm. Komposisi ini sesuai dengan rencana pembangunan. Selain itu, menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 60% sudah dianggap tepat karena memiliki persentase limpasan sebesar 49% seperti yang tertera pada Tabel

63 Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) Gambar 14. Kurva neraca air CA 7 CH lebih Surplus Air Pengisian Air Tanah Eksisting Pada CA 7, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 90,14 %. Pada kondisi eksisting, CA 7 memiliki kapasitas simpan air sebesar 169,21 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 95,15 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 7 dari sebelumnya 1140 mm menjadi 1509 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 369 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 352 mm per tahun dan pengisian air tanah sebesar 17 mm per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan yang tepat. 48

64 Tabel 21. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 7 Daerah iklim Equatorial Zona Wet evergreen equatorial forest per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) CA 7 Eksisting 388, , Analisis Neraca Air CA 8 RTH 70% 640, ,3 54 RTH 60% 739, ,8 51 RTH 50% 861, ,0 47 RTH 40% 975, ,4 44 RTH 30% 1114, ,2 40 RTH 20% 1243, ,4 37 RTH 10% 1400, ,8 33 Kawasan perumahan di CA 8 memiliki luas wilayah 51,58 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari perumahan, niaga, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 22. Pada Tabel 22, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 15. Tabel 22. Hasil analisis neraca air pada CA 8 (mm/tahun) Eksisting RTH 89% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada RTH 60% yaitu sebesar 779 mm dengan nilai limpasan 748 mm. Komposisi ini sesuai dengan rencana pembangunan. Selain itu, menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Dengan begitu, komposisi RTH 60% sudah dianggap tepat karena memiliki persentase limpasan sebesar 49% seperti yang tertera pada Tabel

65 Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) Gambar 15. Kurva neraca air CA 8 Eksisting CH lebih Surplus Air Pengisian Air Tanah Pada CA 8, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 89 %. Pada kondisi eksisting, CA 8 memiliki kapasitas simpan air sebesar 148,95 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 94,42 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 8 dari sebelumnya 1074 mm menjadi 1527 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 453 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 329 mm per tahun dan pengisian air tanah sebesar 124 mm per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan yang tepat. 50

66 Tabel 23. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 8 Daerah iklim Equatorial Zona Wet evergreen equatorial forest per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) CA 8 Eksisting 419, , Analisis Neraca Air CA 9 RTH 70% 645, ,8 54 RTH 60% 748, ,5 51 RTH 50% 870, ,9 47 RTH 40% 986, ,2 44 RTH 30% 1128, ,6 40 RTH 20% 1260, ,3 37 RTH 10% 1420, ,7 33 Kawasan perumahan di CA 9 memiliki luas wilayah 49,47 ha. Penutupan lahan pada CA ini terdiri dari perumahan, niaga, fasilitas umum, dan RTH. Hasil analisis untuk beberapa parameter dapat dilihat pada Tabel 24. Pada Tabel 24, dapat dilihat bahwa nilai limpasan semakin besar sebanding dengan penurunan komposisi RTH. Namun pola peningkatan limpasan yang linear berbeda dengan pola pengisian air tanah. Perbandingan nilai limpasan dan pengisian air tanah ditampilkan pada Gambar 16. Tabel 24. Hasil analisis neraca air pada CA 9 (mm/tahun) Eksisting RTH 82% Skenario persentase RTH (%) CH lebih Pengisian Air Tanah Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa pengisian air tanah memiliki nilai maksimum pada kondisi eksisting yaitu sebesar 782 mm dengan nilai limpasan sebesar 500 mm. Menurut Falkenmark and Rockström (2004), perbandingan ideal antara limpasan dan pengisian air tanah adalah 50% : 50%. Untuk mengembalikan kondisi pada keadaan ideal, digunakan komposisi RTH yang sesuai yaitu 60 %. Komposisi RTH 60% memiliki perbandingan limpasan dan pengisian air tanah yang mendekati kondisi ideal. Persentase limpasan pada komposisi 60% adalah 51% seperti ditunjukkan pada Tabel

67 Nilai parameterneraca air ( x 10 2 mm/ tahun) Site plan Persentase RTH (%) Gambar 16. Kurva neraca air CA 9 Eksisting CH lebih Surplus Air Pengisian Air Tanah Pada CA 9, komposisi RTH pada kondisi eksisting adalah 82 %. Pada kondisi eksisting, CA 9 memiliki kapasitas simpan air sebesar 139,6 mm, sedangkan kapasitas simpan air pada komposisi RTH 60% adalah 90 mm. Hal ini menjadi salah satu penyebab bertambahnya nilai CH lebih pada CA 9 dari sebelumnya 1281 mm menjadi 1553 mm dalam tiap tahunnya. Penambahan CH lebih sebesar 272 mm ini mengakibatkan peningkatan limpasan sebesar 308 mm per tahun dan penurunan nilai pengisian air tanah sebesar 37 mm per tahun. Oleh sebab itu, selain komposisi RTH yang tepat, diperlukan pula pengelolaan limpasan dan penurunan pengisian air tanah yang tepat. 52

68 Tabel 25. Nilai dan persentase limpasan dan pengisian air tanah CA 9 Daerah iklim Equatorial Zona Wet evergreen equatorial forest per tahun jumlah (mm) persen (%) persen (%) Pengisian air tanah per tahun jumlah (mm) CA 9 Eksisting 499, ,6 61 RTH 70% 670, ,7 53 RTH 60% 807, ,4 49 RTH 50% 924, ,0 45 RTH 40% 1066, ,9 41 RTH 30% 1218, ,7 37 RTH 20% 1381, ,3 33 RTH 10% 1553, ,7 29 Dari analisis neraca air yang telah dilakukan pada keseluruhan CA, dapat ditarik beberapa hal penting antara CH lebih, limpasan, pengisian air tanah serta hubungannya dengan perubahan komposisi RTH. Seluruh kurva neraca air dari semua CA menunjukkan CH lebih meningkat seiring dengan penurunan komposisi RTH. Secara umum dapat dilihat bahwa kapasitas simpan air pada suatu wilayah akan berpengaruh pada nilai CH lebih. Perubahan kapasitas simpan air terjadi pada setiap komposisi RTH. Berkurangnya komposisi RTH akan mengakibatkan kapasitas simpan air menurun. Oleh sebab itu, untuk menjaga kondisi ideal pada kawasan BNR, diperlukan upaya untuk mengimplementasikan rencana komposisi RTH yang tepat dalam pembangunannya. Dari keseluruhan hasil analisis neraca air, seluruh CA memiliki komposisi RTH ideal yang sama yaitu 60%. Perubahan kapasitas simpan air secara keseluruhan dari kondisi eksisting menjadi kawasan perumahan dengan komposisi RTH 60 % adalah 50 mm. Penurunan kapasitas simpan air ini mengakibatkan peningkatan nilai CH lebih secara total sebesar 371 mm/ tahun. Penurunan kapasitas simpan air juga akan berdampak pada peningkatan limpasan sebesar 298 mm/ tahun dan pengisian air tanah sebesar 73 mm. 53

69 5.3 Kontribusi Dampak dari Tiap Catchment Area (CA) Setelah mengetahui hasil analisis neraca air serta komposisi RTH yang tepat bagi tiap CA, selanjutnya dilakukan analisis kontribusi tiap CA dalam tiap parameter hasil neraca air. Secara umum, perubahan penutupan lahan dari kondisi eksisting menjadi kawasan perumahan dengan komposisi RTH 60 % akan menyebabkan penurunan kapasitas simpan air sebesar 452 mm. Perubahan kapasitas simpan air akan berpengaruh pada kondisi CH lebih, limpasan dan pengisian air tanah Curah Hujan lebih (CH lebih ) Nilai CH lebih diperoleh dari selisih antara P dan ETP yang kemudian dijumlahkan dengan nilai perubahan cadangan lengas tanah. Semakin besar nilai ETP, maka nilai CH lebih akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya. Sedangkan nilai ETP sendiri dipengaruhi oleh penutupan lahan oleh tanaman pada suatu areal. Dalam hal ini, dengan komposisi RTH yang kecil, nilai CH lebih akan menjadi besar. Kondisi tersebut berlaku pada setiap CA. Namun, dengan luasan area yang berbeda, kontribusi nilai surplus dari tiap CA akan berbeda pula. Semakin luas areal CA kawasan tertentu dibanding CA lainnya, kontribusinya akan semakin besar. Areal dengan kontribusi sub-das yang besar diharapkan menjadi fokus perhatian dalam perencanaan konservasi. Kontribusi nilai CH lebih dari tiap CA ditunjukkan pada Tabel 26. Nilai persentase kontribusi yang tertera pada Tabel 26 merupakan perbandingan nilai CH lebih tiap CA terhadap total CH lebih dari seluruh CA yang ada. Nilai CH lebih sebelumnya telah dikonversi ke dalam bentuk volume (m 3 ). Dari Tabel 26 dapat diketahui bahwa CA 2a memiliki kontribusi CH lebih terbesar dibanding CA yang lain yaitu rata-rata 22,18%. Disusul kemudian oleh CA 4 dengan nilai persentase rata-rata untuk tiap skenario komposisi RTH sebesar 16,44%. Sedangkan kontribusi CH lebih terkecil diberikan oleh CA 1 yang memiliki persentase rata-rata sebesar 0,8%. 54

70 Tabel 26. Kontribusi CA terhadap CH lebih air CA Eksisting RTH 70% Persentase Kontribusi CH lebih (%) RTH RTH RTH 60% 50% 40% RTH 30% RTH 20% RTH 10% 1 0,9 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 2a 18,7 22,1 22,1 22,2 22,2 22,2 22,2 22,2 2b+c 11,1 11,4 11,4 11,4 11,4 11,4 11,4 11,4 4 18,0 16,3 16,4 16,4 16,4 16,5 16,5 16,5 5 6,7 6,6 6,6 6,6 6,6 6,6 6,7 6,7 6 11,0 10,4 10,3 10,2 10,2 10,1 10,1 10,0 7 7,3 7,1 7,1 7,1 7,0 7,0 7,0 7,0 8 12,4 12,8 12,8 12,8 12,8 12,8 12,7 12,7 9 14,0 12,5 12,5 12,5 12,6 12,6 12,6 12,6 ( %) ( x10 6 m3) 4,5 5,7 6,1 6,6 7,1 7,6 8,1 8,6 Jika dilihat dari segi topografi, CA 2a relatif lebih landai dibanding CA yang lain. Begitu juga jika dilihat dari segi penutupan lahan, CA 2a terdiri dari perumahan, kawasan penginapan, pendidikan, rumah sakit, perkantoran, fasilitas umum, wisata dan RTH. Penutupan lahan yang ada di CA 2a hampir sama dengan CA lainnya seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Sebaliknya, nilai CH lebih terkecil terdapat pada CA 1 disebabkan karena luas arealnya yang terkecil dibanding CA lainnya. Hal ini membuktikan bahwa faktor luasan CA menjadi faktor paling berpengaruh dalam menentukan kontribusi nilai CH lebih. Perubahan penutupan lahan dari kondisi eksisting menjadi kawasan perumahan dengan komposisi RTH 60% akan menyebabkan penurunan kapasitas simpan air sebesar 452 mm. Perubahan ini berakibat pada peningkatan CH lebih sebesar 371 mm/ tahun atau setara dengan m 3. Secara umum, kontribusi CH lebih yang diberikan oleh tiap CA memiliki pola yang sama untuk setiap skenario komposisi RTH. Hal ini disebabkan kontribusi CH lebih tergantung pada luas area CA. CA 2a yang memiliki area terluas menjadi penyumbang CH lebih terbesar. Kontribusi CH lebih dari tiap CA ditunjukkan oleh Gambar

71 CA 1 CA 2a CA 2b+c CA 4 CA 5 CA 6 CA 7 CA 8 CA 9 Gambar 17. Diagram kontribusi CA terhadap total CH lebih Nilai limpasan merupakan bagian dari nilai CH lebih. Besarannya sebanding dengan nilai koefisien limpasan (C) yang tergantung pada jenis penutupan lahan. Nilai C berbanding terbalik dengan peningkatan komposisi RTH. Perhitungan nilai C untuk semua CA pada berbagai skenario komposisi RTH terdapat pada Lampiran 11. Nilai limpasan tiap bulan merupakan hasil penjumlahan dari setengah nilai limpasan yang terjadi pada bulan sebelumnya dengan persentase dari nilai surplus yang sebanding dengan nilai koefisien limpasan (C). Nilai C berkisar antara 0,42-0,72. Kontribusi nilai limpasan dari tiap CA ditunjukkan pada Tabel 27. Nilai persentase kontribusi yang tertera pada Tabel 27 merupakan perbandingan nilai limpasan tiap CA terhadap total limpasan air dari seluruh CA yang ada. Nilai limpasan juga sebelumnya telah dikonversi ke dalam bentuk volume (m 3 ). Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa CA 2a memiliki kontribusi limpasan terbesar dibanding CA yang lain yaitu rata-rata 22,47%. Disusul kemudian oleh CA 4 dengan nilai persentase rata-rata untuk tiap skenario komposisi RTH sebesar 16,29 %. Sedangkan kontribusi limpasan terkecil diberikan oleh CA 1 yang memiliki persentase rata-rata sebesar 0,77 %. Kondisi tersebut hampir sama dengan kontribusi CH lebih pada CA. 56

72 Tabel 27. Kontribusi CA terhadap limpasan Persentase Kontribusi (%) CA RTH RTH RTH RTH RTH RTH RTH Eksisting 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 1 1,0 0,8 0,8 0,8 0,8 0,7 0,8 0,7 2a 22,6 22,4 22,5 22,3 22,4 22,5 22,6 22,6 2b+c 12,9 11,6 11,6 11,7 11,9 11,9 11,9 11,9 4 15,6 16,2 16,3 16,2 16,3 16,4 16,3 16,3 5 6,1 6,5 6,6 6,5 6,6 6,5 6,6 6,6 6 10,1 10,1 10,1 9,9 9,9 9,6 9,6 9,6 7 6,2 7,0 6,9 7,0 6,9 6,9 6,8 6,8 8 12,0 12,7 12,5 12,6 12,4 12,5 12,4 12,4 9 13,5 12,6 12,9 12,9 12,9 12,9 13,0 13,0 (%) (x10 6 m 3 ) 1,8 2,6 3,1 3,6 4,1 4,7 5,3 5,9 Sebanding dengan CH lebih, kontribusi limpasan yang diberikan oleh tiap CA memiliki pola yang sama untuk setiap skenario komposisi RTH. Hal ini disebabkan kontribusi limpasan tergantung pada luas area sub-das. menurut Asdak (2007), salah satu faktor yang berpengaruh terhadap besarnya perubahan limpasan adalah persentase luas DAS. Semakin besar perubahan tata guna lahan, semakin besar pula perubahan yang terjadi pada limpasan. CA 2a yang memiliki area terluas menjadi penyumbang limpasan terbesar. Areal dengan kontribusi CA yang besar diharapkan menjadi fokus perhatian dalam perencanaan konservasi. Kontribusi limpasan dari tiap CA ditunjukkan oleh Gambar 18. CA 1 CA 2a CA 2b+c CA 4 CA 5 CA 6 CA 7 CA 8 CA 9 Gambar 18. Diagram kontribusi CA terhadap total limpasan 57

73 Perubahan penutupan lahan dari kondisi eksisting menjadi kawasan perumahan dengan komposisi RTH 60 % akan menyebabkan peningkatan CH lebih sebesar 371 mm/ tahun atau setara dengan m 3. Peningkatan CH lebih akan meningkatkan nilai limpasan sebesar 298 mm/tahun atau setara dengan m Pengisian Air Tanah Nilai pengisian air tanah merupakan bagian dari nilai CH lebih disamping limpasan. Besarannya berbanding terbalik dengan koefisien limpasan. Nilai pengisian air tanah merupakan selisih dari pengurangan total nilai CH lebih dengan hasil kali nilai CH lebih dengan nilai C. Kontribusi pengisian air tanah dari tiap CA ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28. Kontribusi CA terhadap pengisian air tanah CA Eksisting Persentase Kontribusi Pengisian Air Tanah (%) RTH 70% RTH 60% RTH 50% RTH 40% RTH 30% RTH 20% RTH 10% 1 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 0,9 2a 16,0 21,8 21,8 22,0 21,9 21,8 21,5 21,4 2b+c 9,8 11,3 11,2 11,1 10,7 10,6 10,4 10,2 4 19,6 16,4 16,5 16,6 16,6 16,6 16,9 17,0 5 7,0 6,6 6,6 6,7 6,7 6,9 6,8 6,8 6 11,6 10,7 10,6 10,6 10,6 11,0 10,9 11,0 7 8,1 7,1 7,2 7,1 7,3 7,3 7,4 7,4 8 12,7 12,9 13,1 12,9 13,2 13,2 13,4 13,5 9 14,3 12,3 12,1 12,1 12,1 12,0 11,8 11,7 (%) (x10 6 m 3 ) 2,7 3,0 3,1 3,1 3,0 2,9 2,8 2,7 Nilai persentase kontribusi yang tertera pada Tabel 29 merupakan perbandingan nilai pengisian air tanah tiap CA terhadap total pengisian air tanah dari seluruh CA yang ada. Nilai pengisian air tanah juga sebelumnya telah dikonversi ke dalam bentuk volume (m 3 ). Sebanding dengan kontribusi CH lebih dan limpasan, dari Tabel 30 dapat dilihat bahwa CA 2a memiliki kontribusi pengisian air tanah terbesar dibanding CA yang lain yaitu rata-rata 21,74 %. Disusul kemudian oleh CA 4 dengan nilai persentase rata-rata untuk tiap skenario komposisi RTH sebesar 16,66 %. Sedangkan kontribusi pengisian air tanah terkecil diberikan oleh CA 1 yang memiliki persentase rata-rata sebesar 0,84 %. 58

74 Sebanding dengan CH lebih dan limpasan, kontribusi pengisian air tanah yang diberikan oleh tiap CA memiliki pola yang sama untuk setiap skenario komposisi RTH. Hal ini disebabkan kontribusi pengisian air tanah tergantung pada luas area CA. CA 2a yang memiliki area terluas menjadi penyumbang pengisian air tanah terbesar. Pola kontribusi limpasan pada tiap komposisi RTH ditunjukkan oleh Gambar 19. CA 1 CA 2a CA 2b+c CA 4 CA 5 CA 6 CA 7 CA 8 CA 9 Gambar 19. Diagram kontribusi CA terhadap total pengisian air tanah Perubahan penutupan lahan dari kondisi eksisting menjadi kawasan perumahan dengan komposisi RTH 60 % akan menyebabkan peningkatan CH lebih sebesar 371 mm/ tahun atau setara dengan m 3. Peningkatan CH lebih akan meningkatkan nilai pengisian air tanah sebesar 73 mm/tahun atau setara dengan m Evaluasi Dampak Perubahan Penutupan Lahan Analisis neraca air pada kawasan BNR menunjukkan perubahan parameter neraca air yang terjadi pada beberapa skenario RTH. Dari hasil analisis, diperoleh komposisi RTH ideal bagi kawasan BNR adalah 60%. Komposisi RTH ini sesuai dengan siteplan landuse BNR saat ini. Namun, perbandingan hasil akhir parameter neraca air antara kondisi exsisting landuse dengan siteplan landuse menunjukkan adanya perubahan parameter neraca air yang cukup berpengaruh terutama pada 59

75 parameter limpasan dan pengisian air tanah. Perbandingan nilai parameter neraca air antara kondisi eksisting landuse dengan siteplan landuse pada kawasan BNR ditunjukkan pada Tabel 29. Tabel 29. Rekapitulasi nilai parameter Neraca Air Siteplan Perubahan (+/-) No Eksisting (RTH % terhadap kondisi 60%) Nilai eksisting 1 Koefisien limpasan 0,4 0,5 +0,1 25,0 2 Kapasitas simpan air 144 mm 94 mm -50 mm -34,7 3 CH lebih 1152 mm 1523 mm +371 mm 32, mm 760 mm +298 mm 64,5 5 Pengisian air tanah 690 mm 763 mm +73 mm 10,6 Dari Tabel 29 dapat diketahui bahwa perubahan landuse menyebabkan koefisien limpasan pada siteplan landuse meningkat menjadi 0,5. Nilai koefisien limpasan menunjukkan proporsi antara limpasan dan pengisian air tanah. Koefisien limpasan sebesar 0,5 dapat diartikan bahwa 50% CH lebih menjadi limpasan dan sisanya dalam jumlah yang sama menjadi pengisian air tanah. Proporsi yang sama antara limpasan dan pengisian air tanah sudah sesuai dengan kondisi ideal menurut Falkenmark and Rockström (2004). Namun, pada kenyataannya perubahan koefisien limpasan menyebabkan perubahan parameter lain yang cukup signifikan. Selain peningkatan koefisien limpasan, perubahan landuse juga mengakibatkan penurunan kapasitas simpan air sebesar 50 mm. Perubahan koefisien limpasan yang juga disertai dengan perubahan kapasitas simpan air menyebabkan peningkatan jumlah CH lebih setiap tahunnya. CH lebih yang merupakan akumulasi total dari limpasan dan pengisian air tanah akan berdampak bagi lingkungan sekitar. Diagram alir yang menunjukkan dampak perubahan landuse dapat dilihat pada Gambar

76 Existing landuse Landuse sesuai site plan (RTH 60%) Perubahan landuse Penurunan kapasitas simpan air sebesar 50 mm (34,7% terhadap kondisi eksisting) Penambahan CH lebih sebesar 371 mm (32% terhadap kondisi eksisting) Proporsi limpasan sebesar 80% (298 mm ) Proporsi pengisian air tanah sebesar 20% (73 mm ) Peningkatan limpasan sebesar 64 % terhadap kondisi eksisting Peningkatan pengisian air tanah sebesar 10,5 % terhadap kondisi eksisting Gambar 20. Diagram keterkaitan parameter Neraca Air kawasan BNR Penurunan kapasitas simpan air menyebabkan peningkatan CH lebih sebesar 371 mm atau 32 % terhadap kondisi eksisting. Peningkatan CH lebih menyebabkan peningkatan limpasan sebesar 298 mm dan peningkatan pengisian air tanah sebesar 73 mm. Distribusi CH lebih menjadi limpasan dan pengisian air tanah ditunjukkan pada Gambar 32. Proporsi peningkatan limpasan adalah 64% dari kondisi eksisting, sedangkan proporsi pengisian air tanah meningkat sebesar 10,5 % dari kondisi eksisting. Peningkatan limpasan total sebanding dengan m 3 / tahun. Peningkatan limpasan yang proporsinya jauh lebih besar dibanding pengisian air tanah akan menimbulkan dampak buruk jika tidak dikelola dengan baik. Oleh sebab itu perlu adanya upaya pengelolaan limpasan yang sesuai untuk mencegah dampak buruk yang ditimbulkan peningkatan limpasan setiap tahunnya. 61

77 Curah hujan Peningkatan CH lebih (371mm/tahun) Proporsi limpasan sebesar 80% Peningkatann limpasan 298 mm/tahun (64 % terhadap kondisi eksisting) setara dengan m 3 /tahun Pengisian air tanah sebesar 20% Peningkatan pengisian air tanah 73 mm/tahun (10,5 % terhadap kondisi eksisting) setara dengan m 3 /tahun Gambar 21. Skema distribusi CH lebih / defisit Neraca Air 5.5 Pengelolaan dan Pengisian Air Tanah Berdasarkan hasil analisis neraca air pada seluruh CA, komposisi RTH 60% merupakan komposisi yang paling tepat untuk kawasan BNR. Namun, di seluruh CA, nilai limpasan mengalami peningkatan dari kondisi eksisting. Sedangkan pada CA 4 dan 9, selain terjadi peningkatan limpasan, terjadi pula penurunan pengisian air tanah. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengelola limpasan dan penurunan pengisian air tanah yang terjadi. Salah satu metode konservasi yang dapat dilakukan adalah pembuatan sumur resapan. Menurut Maryono (2005), sumur resapan merupakan cara efektif untuk memasukkan limpasan air hujan ke dalam tanah. Menurut Kusnaedi (2002), fungsi sumur resapan antara lain sebagai pengendali banjir, melindungi dan memperbaiki (konservasi) air tanah, serta menekan laju erosi. Dan tujuan utama dari sumur resapan ini adalah memperbesar masuknya air ke dalam tanah sebagai 62

78 air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan lebih banyak masuk ke dalam tanah dan sedikit yang mengalir sebagai aliran permukaan. aliran permukaan akan menurun karena adanya sumur resapan. Menurut Suripin (2004), sumur resapan wilayah perkotaan, dapat dibangun dengan cara sebagai berikut : 1. Sumur resapan dari tembok, dapat dilihat pada Gambar 22. e d c a b 30 cm a : permukaan tanah b : pipa paralon c : saringan d : penyadap lumpur e : talang rumah Gambar 22. Sumur resapan dari tembok (Suripin 2004) 2. Sumur resapan dari hong (saluran air besar), dapat dilihat pada Gambar 23. Hong 2 Hong 1 kerikil Gambar 23. Sumur resapan dari hong (Suripin 2004) 63

79 3. Sumur resapan dari fiberglass, dapat dilihat pada Gambar 24. a b c d Gambar 24. Sumur resapan dari fiberglass (Suripin 2004) Pada rumah tinggal dengan ukuran kapling terbatas, penempatan sumur resapan yang memenuhi syarat akan mengalami kesulitan. Untuk mengatasi hal ini maka perlu dibuat sumur resapan kolektif, dimana satu sumur resapan kolektif dapat melayani beberapa rumah. Untuk menjamin air mengalir dengan lancar, maka sumur resapan kolektif sebaiknya diletakkan pada lahan yang paling rendah diantar kawasan yang dilayani. Berdasarkan lahan yang tersedia, sumur kolektif dapat dibuat dalam bentuk kolam resapan, sumur dalam, atau parit berkoak. Kolam resapan cocok dibuat pada wilayah dimana lahan tersedia cukup dan kondisi air tanahnya dangkal (<5m). Sedangkan jika lahannya sempit dan air tanahnya dangkal dapat dibuat dari parit berkoak. Konstruksi kolam resapan yang dipadukan dengan pertamanan dapat dilihat pada Gambar 25. Pembangunan sumur resapan dapat disesuaikan dengan kondisi masingmasing CA. Pada CA 4 dan 9 perlu dilakukan pembangunan sumur resapan di setiap rumah karena pada CA tersebut terjadi penurunan nilai pengisian air tanah. Untuk CA lainnya cukup dengan komposisi RTH yang tepat, kecuali pada CA 2a, dengan kontribusi surplus terbesar, dapat dilakukan upaya konservasi dengan membangun sumur resapan kolektif atau kolam resapan. a : tangki b : lubang pipa c : adukan d : kerikil Selain sumur resapan, alternatif lain yang dapat digunakan untuk mengurangi limpasan adalah pembuatan lubang resapan biopori. Menurut Brata 64

80 (2007), lubang resapan bipori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter cm dan kedalaman sekitar 100 cm, atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentunya biopori. Biopori adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan kecil) yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman. Tanaman tahunan Bunga atau tanaman berakar pendek Saluran pemukaan kolam 1,5 m kerikil 2-5 m 3 m Gambar 25. Konstruksi kolam resapan yang dipadukan dengann pertamanan (Suripin 2004) Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resapan air, mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan), memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman serta mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria. Kehadiran lubang resapan biopori secaraa langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/ dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm, maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3140 cm 2 atau hampir 1/3 m 2. 65

81 Dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diameter 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78,5 cm 2 setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3218 cm 2. Dengan aktivitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaanya. Oleh karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersamasama akan meningkatkan kemampuan meresapkan air. Sketsa penampang lubang resapan biopori dapat dilihat pada Gambar cm Sampah organik Biopori, terbentuk karena aktivitas organisme tanah Proses pengomposan Gambar 26. Sketsa penampang lubang resapan biopori (Brata, et al 2007) 66

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Menurut Seyhan (1990), siklus atau daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI 2.2 DAERAH ALIRAN SUNGAI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI 2.2 DAERAH ALIRAN SUNGAI II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SIKLUS HIDROLOGI Persediaan air segar dunia hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai hasil dari penguapan air laut. Proses proses yang tercakup dalam peralihan uap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Daerah Aliran Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Daerah Aliran Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Manan (1976) Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifatsifatnya dan hubungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan PENDAHULUAN Latar Belakang Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan gletser (2,15%), air artesis (0,62%) dan air lainnya (0,03%). Air lainnya ini meliputi danau air tawar

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Hidrologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam, yang meliputi bentuk berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS SIMPAN AIR PADA DAS CISARUA, KABUPATEN BOGOR ABDUL AZIZ

ANALISIS KAPASITAS SIMPAN AIR PADA DAS CISARUA, KABUPATEN BOGOR ABDUL AZIZ ANALISIS KAPASITAS SIMPAN AIR PADA DAS CISARUA, KABUPATEN BOGOR ABDUL AZIZ DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang terjadi secara terus menerus, air

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi 2.1.1 Curah hujan rata-rata DAS Beberapa cara perhitungan untuk mencari curah hujan rata-rata daerah aliran, yaitu : 1. Arithmatic Mean Method perhitungan curah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat-sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. BAB I SIKLUS HIDROLOGI A. Pendahuluan Ceritakan proses terjadinya hujan! Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. Tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada II. DAUR HIDROLOGI A. Siklus Air di Bumi Air merupakan sumberdaya alam yang sangat melimpah yang tersebar di berbagai belahan bumi. Di bumi terdapat kurang lebih 1,3-1,4 milyard km 3 air yang terdistribusi

Lebih terperinci

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993). batas topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian

Lebih terperinci

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det DEBIT ANDALAN Debit Andalan (dependable discharge) : debit yang berhubungan dgn probabilitas atau nilai kemungkinan terjadinya. Merupakan debit yg kemungkinan terjadinya sama atau melampaui dari yg diharapkan.

Lebih terperinci

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7) 7 Persamaan-persamaan tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (Persamaan 5) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Pengukuran Curah Hujan dan Tinggi

Lebih terperinci

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*) PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS Oleh: Suryana*) Abstrak Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan secara integratif dari komponen biofisik dan sosial budaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) Oleh : AI MARLINA F14102084 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Surface Runoff Flow Kuliah -3

Surface Runoff Flow Kuliah -3 Surface Runoff Flow Kuliah -3 Limpasan (runoff) gabungan antara aliran permukaan, aliran yang tertunda ada cekungan-cekungan dan aliran bawah permukaan (subsurface flow) Air hujan yang turun dari atmosfir

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan Skripsi... ii Halaman Pernyataan... iii Halaman Persembahan... iv Kata Pengantar... vi Daftar Isi... vii Daftar Tabel... ix Daftar Gambar... x Daftar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidrologi Siklus hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan bumi. Selama berlangsungnya Siklus hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Embung Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang berada di bagian hulu. Konstruksi embung pada umumnya merupakan

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR..... ii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR TABEL..... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN.... 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah. 7 C. Tujuan Penelitian......

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perputaran air dengan perubahan berbagai bentuk dan kembali pada bentuk awal. Hal ini menunjukkan bahwa volume

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik,

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. URAIAN UMUM Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau terdapat

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peil Banjir Peil Banjir adalah acuan ketinggian tanah untuk pembangunan perumahan/ pemukiman yang umumnya di daerah pedataran dan dipakai sebagai pedoman pembuatan jaringan drainase

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Siklus hidrologi (hydrological cycle) merupakan rangkaian proses perubahan fase dan pergerakan air dalam suatu sistem hidrologi (Hendrayanto 2009). Menurut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular Kabupaten Serdang Bedagai

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular Kabupaten Serdang Bedagai TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular Kabupaten Serdang Bedagai Kabupaten Deli Serdang memiliki iklim tropis yang kondisi iklimnya hampir sama dengan kabupaten Serdang Bedagai. Pengamatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TANAH - AIR - TANAMAN

HUBUNGAN TANAH - AIR - TANAMAN MINGGU 2 HUBUNGAN TANAH - AIR - TANAMAN Irigasi dan Drainasi Widianto (2012) TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Memahami sifat dan karakteristik tanah untuk menyediakan air bagi tanaman 2. Memahami proses-proses aliran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iii MOTTO iv DEDIKASI v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiv DAFTAR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggungpunggung gunung atau pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Umum merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota (perencanaan

Lebih terperinci

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi. Sekitar 396.000 kilometer kubik air masuk ke udara setiap tahun. Bagian yang terbesar sekitar 333.000 kilometer kubik naik dari samudera. Tetapi sebanyak 62.000 kilometer kubik ditarik dari darat, menguap

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Sumber Daya Air dan Lahan Jurusan Teknik Pertanian dan Laboratorium Ilmu

Lebih terperinci

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian 2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menjadi panduan untuk petani dalam pengelolaan air hujan dan aliran permukaan di kebun pala untuk menekan penurunan hasil akibat kekurangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Jakarta adalah sebuah provinsi sekaligus ibukota Indonesia. Kedudukannya yang khas baik sebagai ibukota negara maupun sebagai ibukota daerah swantantra, menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara kepulauan yang secara astronomis terletak di sekitar garis katulistiwa dan secara geografis terletak di antara dua benua dan dua samudra, Indonesia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PADA DAS CISADANE HULU, JAWA BARAT ARRASYID MAULANA

ANALISIS PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PADA DAS CISADANE HULU, JAWA BARAT ARRASYID MAULANA ANALISIS PERUBAHAN KAPASITAS SIMPAN AIR PADA DAS CISADANE HULU, JAWA BARAT ARRASYID MAULANA DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN Jonizar 1,Sri Martini 2 Dosen Fakultas Teknik UM Palembang Universitas Muhammadiyah Palembang Abstrak

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU SELASA 11.20 13.00 SABTU 12.00 13.30 MATERI 2 PENGENALAN HIDROLOGI DATA METEOROLOGI PRESIPITASI (HUJAN) EVAPORASI DAN TRANSPIRASI INFILTRASI DAN PERKOLASI AIR TANAH (GROUND WATER) HIDROMETRI ALIRAN PERMUKAAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Curah Hujan Data curah hujan yang terekam pada alat di SPAS Cikadu diolah menjadi data kejadian hujan harian sebagai jumlah akumulasi curah hujan harian dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-1 BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-2 Metodologi dalam perencanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soemarto (1999) infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak pasti), melalui permukaan dan secara vertikal. Setelah beberapa waktu kemudian,

Lebih terperinci

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS)

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Taufiq, dkk., Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Keseimbangan Air Hutan 47 PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Mohammad Taufiq 1),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

Bab III TINJAUAN PUSTAKA

Bab III TINJAUAN PUSTAKA aliran permukaan (DRO) Bab II BAB II Bab III TINJAUAN PUSTAKA Bab IV 2. 1 Umum Hidrologi adalah suatu ilmu tentang kehadiran dan gerakan air di alam. Pada prinsipnya, jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang dibutuhkan tanaman untuk membentuk jaringan tanaman, diuapkan, perkolasi dan pengolahan tanah. Kebutuhan

Lebih terperinci

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Kebutuhan Tanaman Padi UNIT JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOV DES Evapotranspirasi (Eto) mm/hr 3,53 3,42 3,55 3,42 3,46 2,91 2,94 3,33 3,57 3,75 3,51

Lebih terperinci

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen 7 radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi. Kebutuhan

Lebih terperinci

Pengaruh Hujan terhadap Perubahan Elevasi Muka Air Tanah pada Model Unit Resapan dengan Media Tanah Pasir

Pengaruh Hujan terhadap Perubahan Elevasi Muka Air Tanah pada Model Unit Resapan dengan Media Tanah Pasir JURNAL ILMIAH SEMESTA TEKNIKA Vol. 16, No. 1, 57-64, Mei 2013 57 Pengaruh Hujan terhadap Perubahan Elevasi Muka Air Tanah pada Model Unit Resapan dengan Media Tanah Pasir (The Effect of Rain to the Change

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Waduk Muara Nusa Dua, Pola Operasi, Debit Andalan, Kebutuhan air baku, Simulasi

ABSTRAK. Kata kunci: Waduk Muara Nusa Dua, Pola Operasi, Debit Andalan, Kebutuhan air baku, Simulasi ABSTRAK Waduk Muara Nusa Dua yang terletak di muara Sungai/Tukad Badung, tepatnya di Jembatan by Pass Ngurah Rai, Suwung, Denpasar, dibangun untuk menyediakan air baku guna memenuhi kebutuhan air bersih.

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG Titik Poerwati Leonardus F. Dhari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Genangan merupakan dampak dari ketidakmampuan saluran drainase menampung limpasan hujan. Tingginya limpasan hujan sangat dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 15 7 55.5 BT - 15 8 2.4 dan 5 17 1.6 LS - 5 17 27.6 LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa

Lebih terperinci