LAPORAN ESTIMASI KEMAMPUAN BIOMASSA DALAM PENYERAPAN KARBON DI DAERAH REKLAMASI PERTAMBANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN ESTIMASI KEMAMPUAN BIOMASSA DALAM PENYERAPAN KARBON DI DAERAH REKLAMASI PERTAMBANGAN"

Transkripsi

1 Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung Telp : Fax : Info@tekmira.esdm.go.id LAPORAN Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang dan Pengelolaan Sumber Daya ESTIMASI KEMAMPUAN BIOMASSA DALAM PENYERAPAN KARBON DI DAERAH REKLAMASI PERTAMBANGAN Oleh : Harry Tetra Antono M. Lutfi Wulandari Surono A. Fuad A Tanjung Komarudin PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA - tekmira 2012

2

3 KATA PENGANTAR Perubahan iklim (Climate Change) merupakan salah satu isu global yang berkembang pada saat ini dan gas rumah kaca (GRK) penyebab meningkatnya suhu dunia dan hutan memainkan peranan penting berkaitan dengan jumlah karbon yang dihasilkan. Sebuah persetujuan internasional menyatakan bahwa karbon yang dihasilkan dari penghijauan dan reboisasi dapat digunakan sebagai pengganti kerugian akibat emisi CO2 yang dihasilkan, karena hutan mempunyai kemampuan menyerap CO2 dari udara dan menyimpannya dalam biomassa hutan. Adapun salah satu butirnya mengatur mekanisme pembangunan bersih dalam rangka mengontrol karbon yang dihasilkan oleh negara-negara di dunia. Batubara termasuk bahan bakar fosil yang menghasilkan CO 2. Puslitbang tekmira sebagai instansi di bawah Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral ikut aktif memberikan masukan dalam kebijakan energi terutama berkaitan dengan pengelolaan lingkungan pada kawasan aktifitas pertambangan batubara yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan memberikan informasi mengenai pengelolaan lingkungan yang lebih baik sehingga dampak negatif dapat diminimalisir. Evaluasi performa kegiatan pemantauan lingkungan di kawasan aktifitas pertambangan baik di lokasi reklamasi dan ataupun baseline area/hutan sekunder mutlak harus dilaksanakan/dilakukan sebagai salah satu wujud dari upaya pengurangan CO 2. Informasi pemantauan lingkungan dengan menggunakan teknologi inderaja merupakan langkah yang cepat dan tepat akan menjadi salah satu masukan bagi para pengambil keputusan sehingga menjadi lebih efisien. Bandung, Desember 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Dra. Retno Damayanti, Dipl.EST. NIP i

4 S A R I Pengurangan emisi karbon hutan, baik yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan, merupakan salah satu upaya penting dalam mengurangi perubahan iklim. Upaya ini mensyaratkan informasi tentang cadangan karbon hutan. Dengan tidak adanya metode yang praktis dalam mengukur langsung seluruh cadangan karbon hutan, maka kombinasi data pengukuran di lapangan dan data satelit penginderaan jauh diharapkan dapat menghasilkan estimasi yang lebih akurat mengenai cadangan karbon dan emisi karbon akibat penutupan lahan hutan. Untuk itu diperlukan teknik yang efektif dan mudah digunakan dalam menduga cadangan karbon pada suatu hamparan vegetasi. Penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan persamaan alometrik biomassa untuk menduga kandungan karbon di daerah reklamasi. Daerah/kawasan yang dijadikan studi kasus dalam penelitian ini terdiri atas tiga perusahaan batubara, yaitu PT Bukit Asam, PT Bukit Sunur dan PT Danau Mas Hitam. Dengan melakukan analisis citra menggunakan ALOS PALSAR resolusi spasial 12,5 m dan citra ASTER serta pembuatan peta sebaran menggunakan model terpilih didapatkan dugaan sebaran biomassa di ketiga perusahaan tersebut. Pada Tahun 2010 nilai biomassa dan karbon rata-rata di areal reklamasi PT Bukit Asam sebesar 270,76 ton/ha dan 135,74 ton/ha, nilai biomassa dan karbon ratarata di areal reklamasi PT Bukit Sunur adalah sebesar 448,93 ton/ha dan 224,47 ton/ha dan untuk PT Danau Mas Hitam nilai biomassa dan karbon rata-ratanya sebesar 216,85 ton/ha dan 108,42 ton/ha. Model pendugaan biomassa di areal reklamasi PT Bukit Asam dihasilkan model polynomial dimana Y=BS_HV/(2,588+(0,094 x BS_HV)), PT Bukit Sunur model pendugaan biomassanya adalah model persamaan eksponensial Y=323,847+(477,910xNDVI), dan untuk PT Danau Mas Hitam model pendugaan biomassanya adalah model persamaan eksponensial Y=Exp(2,561+(3,449 NDVI)). Kata kunci : Alometrik, biomassa, PALSAR, ASTER, pemetaan ii

5 DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar... Sari... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... i ii iv vi viii x BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang Lingkup Tujuan Sasaran Lokasi Kegiatan Penerima Manfaat... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA/STUDI LITERATUR 2.1. Teknologi Penginderaan Jauh Citra satelit sistem RADAR Citra satelit ALOS PALSAR Citra ASTER Sistem Informasi Geografi Acacia Mangium Sungkai (Peronema canescen) Sengon (Paraseriantes falcataria) Biomassa Karbon stok iii

6 Karbon diatas permukaan tanah Karbon didalam tanah Nekromasa Seresah Bahan organic tanah BAB III PROGRAM KEGIATAN 3.1. Pengolahan Citra Pengolahan Citra ALOS PALSAR Metode Pengolahan ALOS untuk Mengetahui Penyerapan CO Persiapan Estimasi Biomassa menggunakan Citra ALOS PALSAR Pengolahan Citra ASTER BAB IV METODOLOGI 4.1. Metelogi Penelitian Metode Pengolahan Citra Palsar Pembuatan Komposit Citra Layer Stacking Menghitung Nilai Digital ( DN = Digital Number ) Konversi Nilai Digital ke Backscatter Pembuatan Citra Biomassa dan Layout Peta SebaranBiomassa Metode Pengolahan Citra Aster Koreksi Geometrik Analisis Vegetasi dengan menggunakan NDVI Pembuatan Subset Training Area ( Daerah Acuan ) Pengamatan Digital Number ( DN ) Pengumpulan Data Pengolahan Data iv

7 Pengukuran Kadar Air Perhitungan Biomassa Perhitungan Kabor Pohon Perhitungan Karbon Serasah Pendugaan Nilai Biomassa Menggunakan Citra ALOS PALSAR Pemilihan Model Terbaik BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. Bukit Asam Biomassa Pohon Hasil Pengolahan Data Citra ALOS PALSAR/Aster Penyusunan dan Pemilihan Model Verifikasi Model Peta Sebaran Biomassa dan Akurasi Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. Bukit Sunur Biomassa Pohon Hasil Pengolahan Data Citra ALOS PALSAR/Aster Penyusunan Model Hubungan Bacscatter dengan Biomassa Verifikasi Model Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Peta Sebaran Biomassa Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. Danau MasHitam Biomassa Pohon Hasil Pengolahan Data Citra Penyusunan Model Hubungan NDVI dengan Biomassa Verifikasi Model Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Peta Sebaran Biomassa v

8 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR TABEL Tabel Halaman 2.1. Spektrum Elektromagnetik Keterangan Umum ALOS Karakteristik Satelit PALSAR Karateristik ASTER Beberapa Metode untuk Menduga biomassa Persamaan Allometrik yang digunakan untuk menduga Biomassa dari A. Mangium Berdasarkan Variabel D dan H Data Pengukuran Plot Contoh Berat Basah Total Per-bagian Pendugaan Biomassa Total Per-bagian Pendugaan Biomassa Per-Kelas Umur Model Pendugaan Biomassa Sebaran Titik Pembangun model pendugaan biomassa PT Bukit Asam Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa dengan Backscatter polarisasi HH citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m PT Bukit Asam Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa dengan Backscatter polarisasi HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m PT Bukit Asam Data verifikasi model pendugaan biomassa vi

9 5.10. Nilai Rata-rata Biomassa dan Kandungan Karbon (C-stock) PT Bukit Asam Selang kelas biomassa yang digunakan untuk membuat peta sebaran Biomassa tahun Selang kelas biomassa yang digunakan untuk membuat peta sebaran Biomassa tahun Nilai parameter a dan b dalam alometrik Heriansyah (2007) Data pengukuran plot contoh lokasi reklamasi PT Bukit Sunur Data pengolahan sample serasah Sebaran titik penyusunan model penduga biomassa di areal revegetasi tambang batubara PT Bukit Sunur tahun Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Biomassa dan NDVI citra ASTER di PT Bukit Sunur Data verifikasi persamaan regresi terpilih PT Bukit Sunur Kandungan Karbon (C-stock) PT Bukit Sunur Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun Nilai parameter a dan b dalam alometrik Heriansyah (2007) Data pengukuran plot contoh lokasi reklamasi PT Danau Mas Hitam Data pengolahan sample serasah Sebaran titik penyusunan model penduga biomassa di areal revegetasi tambang batubara PT Danau Mas Hitam tahun Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Biomassa dan NDVI citra ASTER di PT Danau Mas Hitam Data verifikasi persamaan regresi terpilih PT Danau Mas Hitam Kandungan Karbon (C-stock) PT Danau Mas Hitam Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun vii

10 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1.1. Lokasi Penelitian Spektrum Elektromagnetik Transmisi dan Reflekstansi pada RADAR Wahana dan Arah Tembak Sensor Citra Polarimetrik SAR Mekanisme Hamburan Balik pada RADAR di setiap Jenis Permukaan Mekanisme hamburan Balik pada Tegakan Hutan Instrumen PALSAR Prinsip Geometri dari PALSAR Diagram ALir Penelitian Diagram Alir Penelitian dan Pengolahan Citra Aster Plot Pengukuran Pohon dan Serasah Pengukuran Diameter Pohon Kegiatan Penebangan dan Penimbangan Berat Basah Pohon Percontoh Kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai Biomassa alometrik dengan nilai backscatter HH Kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai Biomassa alometrik dengan nilai backscatter H Grafik distribusi kelas biomassa Peta sebarab PT Bukit Asam tahun Peta sebaran biomassa PT Bukit Asam tahun Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Eksponensial Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Polynomial Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Linear Kurva sebaran titik model pendugaan biomassa antara nilai biomassa Alometrik dengan nilai NDVI menggunakan persamaan exponensial Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT Bukit Sunur, Bengkulu dengan viii

11 menggunakan citra ASTER VNIR resolusi 15 m tahun perekaman Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT Bukit Sunur, Bengkulu dengan menggunakan citra ASTER VNIR resolusi 15 m tahun perekaman Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Eksponensial Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Polynomial Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Linear Kurva sebaran titik model pendugaan biomassa antara nilai biomassa Alometrik dengan nilai NDVI menggunakan persamaan exponensial Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT Danau Mas Hitam, Bengkulu dengan menggunakan citra ASTER NIR resolusi 15 m tahun perekaman Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT Danau Mas Hitam, Bengkulu dengan menggunakan citra ASTER NIR resolusi 15 m tahun perekaman ix

12 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Peran ekosistem daratan dalam siklus karbon global merupakan topik yang menarik bagi peneliti dan pembuat kebijakan lingkungan. Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO 2b ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan (Lasco, 2002). Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO 2 dengan jumlah sebesar 1,7 ± 0,6 Pg karbon per tahun (Watson et al., 2000). Apabila laju konsumsi bahan bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,7-4,5 C (Houghton et al.,2001). Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO 2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan-bangunan dan aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg/ha C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg/ha C per tahun. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon (Sedjo and Salomon, 1988) dan/atau menurunkan emisi karbon (Lasco, 2002). Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: Mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, Meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan Mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Lasco et al., 2000). Melalui Keputusan Meneg LH No. 217/2012 tentang Pembentukan IPCC Indonesia, steering comitte telah membentuk beberapa gugus tugas, diantaranya gugus tugas energy, pangan, kehutanan, kelautan dan pendanaan. Setiap kementerian bertanggungjawab pada gugus tugas masing-masing. KESDM telah membentuk forum ilmiah perubahan iklim gugus tugas energy yang diketahui oleh Direktur Konservasi Energi. 1

13 Untuk melengkapi data gugus tugas tersebut Puslibang TekMIRA tahun telah melakukan penelitian mengenai pengukuran serapan karbon di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Pulau Sumatera merupakan pulau terbesar kedua di Indonesia dengan areal hutan yang cukup luas, tetapi juga memiliki laju penurunan areal dan kualitas hutan yang relatif cepat. Dengan kondisi seperti ini, Sumatera telah menjadi pusat perhatian dalam diskusi yang menyangkut dinamika tutupan hutan beserta dampaknya terhadap cadangan dan penyerapan karbon. Pemantauan cadangan karbon diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini dalam mencapai tujuan dan untuk menentukan informasi dasar mengenai laju perubahan lahan di kawasan aktivitas pertambangan. Sampai saat ini data mengenai serapan karbon di sektor pertambangan belum tersedia secara memadai untuk itu salah satu misi Puslitbang Tekmira mempunyai sasaran berupa penguasaan alih teknologi yang tentunya juga berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan sasaran itulah akan diupayakan suatu kegiatan untuk memanfaatan teknologi penginderaan jauh (inderaja) dalam monitoring dan mengawasi sejauh mana kegiatan reklamasi/reboisasi telah dilaksanakan di kawasan/wilayah yang ada aktifitas pertambangan yang hasilnya sebagai informasi awal sejauh mana kualitas lingkungan dapat terjaga dan mencegah terjadinya keadaan degradasi kemampuan lingkungan. Integrasi data perubahan tutupan vegetasi dengan data hasil pengukuran cadangan karbon pada skala plot dapat memberikan pendugaan perubahan cadangan karbon. I.2. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup pada pekerjaan adalah : Analisis perubahan luasan daerah revegetasi dan hutan sekunder Analisis biomassa hutan I.3. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : Menghitung penyerapan karbon pada kawasan hutan di sekitar pertambangan batubara yang belum di eksplorasi (baseline forest) dan di kawasan yang sudah di reklamasi 2

14 I.4. Sasaran Sasaran akhir kegiatan adalah tersedianya informasi kandungan karbon di Hutan Revegetasi dan Hutan Sekunder di sekitar pertambangan batubara. I.5. Lokasi Kegiatan Lokasi penelitian akan dilakukan di lokasi aktifitas pertambangan batu bara (PKP2B, KP) di Kabupaten Muaraenim - Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu (Gambar 1.1). Gambar 1.1 Lokasi Penelitian I.6. Penerima Manfaat Keberhasilan kegiatan penelitian ini akan memberikan informasi mengenai pengelolaan lingkungan yang lebih baik sehingga dampak negatif dapat diminimalisir. Kegiatan penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan Balitbang/tekMIRA, membantu pemerintah pusat (KESDM, Minerba), Pemda serta Industri Pertambangan dalam pemantauan lingkungan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. 3

15 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 2008). Fussel dkk. (1986) mendefinisikan penginderaan jauh sebagai pengumpulan dan pencatatan informasi tanpa kontak langsung pada julat elektromagnetik ultraviolet, tampak, inframerah, dan mikro dengan menggunakan peralatan seperti penyiam (scanner) dan kamera yang ditempatkan pada wahana bergerak seperti pesawat udara atau pesawat angkasa, dan menganalisis informasi yang diterima dengan teknik interpretasi foto, citra dan pengolahan citra. Teknik penginderaan jauh berkembang sangat pesat sejak diluncurkannya satelit penginderaan jauh ERTS (Earth Resources Technology Satellite) pada Hal itu memungkinkan pengumpulan data permukaan bumi dalam jumlah besar. Perkembangan sistem penginderaan jauh khususnya dalam penggunaan sensor dan cara perekaman data penginderaan, telah diikuti dengan pengembangan dalam cara pengolahan dan analisis data penginderaan jauh. Pengembangan penginderaan jauh yang terjadi tahun 1960-an terbatas pada penelitian serta analisis foto udara multispectral scanner (perangkat pengindera yang terdiri atas kurang dari sepuluh spektrum elektromagnetik yang berbeda) dan dijitalisasi dari foto udara yang diambil dengan sensor kamera. Semenjak ERTS-1 atau Landsat-1 (Land Satellite) diluncurkan tahun 1972, data citra dijital rekaman satelit menjadi semakin penting, khususnya untuk penggunaan analisis permukaan bumi (Purwadhi, 2001). Samsuri (2004) menyatakan bahwa dalam penginderaan jauh terdapat beberapa proses yang melibatkan interaksi antara radiasi dan target yang dituju mencakup tujuh elemen penting yakni: 1. Sumber energi atau Illumination, merupakan elemen pertama dalam menyediakan energi elektromagnetik ke target interes 4

16 2. Radiasi dan atmosfer, adalah perjalanan energi dari sumber ke targetnya dan sebaliknya. Energi akan mengalami kontak dengan target dan berinteraksi dengan atmosfer yang dilewatinya. 3. Interaksi dengan target. 4. Perekaman energi oleh sensor setelah energi dipancarkan atau dilepaskan dari target, elemen penting yang dibutuhkan adalah sensor untuk mengumpulkan dan merekam radiasi elektromagnetik. 5. Transmisi, penerimaan dan pemrosesan energi yang terekam oleh sensor harus ditransmisikan untuk diterima oleh stasiun pengolahan, dimana data diolah menjadi citra (hardcopy ataupun digital) 6. Interpretasi dan analisis, merupakan pengolahan image dengan interpretasi secara visual atau digital untuk mengekstrak informasi tentang target. 7. Aplikasi, elemen terakhir adalah pengaplikasian informasi tentang target untuk memperoleh pengertian yang lebih baik, menerima beberapa informasi baru, dan membantu pemecahan masalah. Sensor adalah alat perekam obyek bumi. Sensor dipasang pada wahana (platform) dan letaknya jauh dari obyek yang diindera, maka diperlukan tenaga elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut. Sensor elektronik membangkitkan sinyal elektrik yang sesuai dengan variasi tenaga elektromagnetik. Tenaga radiasi yang dipantulkan oleh obyek dan ditangkap oleh sensor, dapat menghasilkan citra yang sesuai dengan wujud aslinya. Setiap sensor mempunyai kepekaan spektral yang terbatas, batas kemampuan sensor untuk memisahkan obyek disebut resolusi. Resolusi suatu citra merupakan indikator tentang kemampuan sensor dan atau kualitas sensor dalam merekam obyek. Empat resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor terdiri atas resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal (Purwadhi, 2001). Data penginderaan jauh digital (citra digital) direkam menggunakan sensor nonkamera, antara lain scanner, radiometer, spectometer. Detektor yang digunakan dalam sensor penginderaan jauh adalah detektor elektronik dengan menggunakan tenaga elektromagnetik yang luas, yaitu spektrum tampak, ultraviolet, inframerah dekat, inframerah termal, dan gelombang mikro (Gambar 2.1). Citra digital dibentuk dari elemen-elemen gambar atau pixel (picture element) yang menyatakan tingkat keabuan pada gambar. Citra bersifat digital dapat 5

17 secara langsung disimpan pada suatu pita magnetik. Citra digital dapat direkam dalam beberapa spektrum secara sekaligus sehingga disebut citra multispektral. Gambar 2.1 Spektrum elektromagnetik (Purwadhi, 2001). Sumber data citra penginderaan jauh digital saat ini mulai berkembang dan bervariasi, yaitu data dapat diperoleh dari rekaman satelit penginderaan jauh komersial, rekaman data satelit meteorologi, rekaman scanner dari pesawat udara, data digital dari kamera foto udara, citra digital dari rekaman sensor mikro densitometer, dan citra digital dari hasil rekaman beberapa sistem dijitasi dengan resolusi tinggi (Purwadhi, 2001). Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan obyek dipermukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga elektromagnetik yang dibangkitkan oleh sensor RADAR (Radio Detection and Ranging). Tabel 2.1 Spektrum elektromagnet. Spektrum/saluran Panjang gelombang Keterangan Gamma 0,03 nm Diserap oleh atmosfer, benda radioaktif dapat diindera dari pesawat terbang rendah. X nm Diserap oleh atmosfer, sinar buatan digunakan dalam kedokteran. Ultraviolet (UV) UV Fotografik Tampak Biru Hijau Merah Inframerah (IM) NIR 0,03-0,4 μm 0,3 0,4 μm 0,4 0,7 μm 0,4 0,5 μm 0,5 0,6 μm 0,6 0,7 μm 0,7 300 μm 0,7 1,5 μm Radiasi UV diserap oleh ozon. UV Fotografik dapat direkam oleh film fotografi, diperlukan lensa kuarsa dalam kamera. Jendela atmosfer terpisah oleh saluran absorpsi. Film khusus dapat merekam hingga 6

18 SWIR MWIR LWIR FIR 1,5 3 μm 3 8 μm 8 15 μm 15 μm panjang gelombang hampir 1,2 μm. MWIR dan LWIR dikenal dengan sebagai thermal infrared (TIR). Gelombang Mikro 8 14 μm Gelombang panjang yang mampu menembus awan, citra dapat dibuat dengan cara aktif. Radar Ka K Ku X C S L P Radio 0, cm 0,75 1,1 cm 1,1 1,7 cm 1,7 2,4 cm 2,4 3,8 cm 3,8 7,5 cm 7,5 15 cm cm cm Penginderaan jauh sistem aktif. Yang paling sering digunakan. Tidak digunakan dalam penginderaan jauh. Sumber : Prahasta (2009) 2.2 Citra Satelit Sistem RADAR RADAR (Radio Detecting and Ranging) dikembangkan sebagai suatu cara untuk mendeteksi adanya obyek dan menentukan posisi obyek tersebut dengan menggunakan radio. Karena penginderaan jauh sistem radar merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek yaitu sekitar 10-6 detik (Purwadhi, 2001). Antena pada radar mentransmisi dan menerima gelombang (pulsa) pada panjang gelombang dan polarisasi tertentu. Energi gelombang radar menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai backscatter atau hamburan balik (lihat Gambar 2.2). 7

19 Gambar 2.2 Transmisi dan reflektansi pada radar (NASA 1996). Hamburan balik ini dipantulkan kembali pada radar sebagai pantulan gelombang radar yang lemah dan diterima oleh antena pada bentuk polarisasi tertentu (horizontal atau vertikal, tidak selalu sama dengan yang ditransmisikan). Pantulan gelombang tersebut dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data kemudian ditampilkan menjadi image (citra satelit). Biasanya lama waktu sebuah gelombang sampai pada obyek digunakan sebagai penghitung jarak ke obyek (bandwidth). Semakin besar bandwidth semakin baik resolusi yang dihasilkan pada dimensi obyek tersebut. Panjang antena radar menentukan resolusi pada image searah azimuth, semakin panjang antena semakin baik resolusi yang dihasilkan. Synthetic Aperture Radar (SAR) menunjuk pada sebuah teknik yang digunakan untuk mensintetis antena yang sangat panjang dengan mengombinasikan sinyal yang diterima radar yang bergerak pada jalur terbangnya. Aperture berarti pembukaan yang terjadi dalam proses penyerapan refleksi energi yang digunakan dalam pembuatan gambar, sebagai contoh, pada kamera pembukaan ini berarti pembukaan lensa kamera, sedangkan pada radar adalah pembukaan antena. Sebuah aperture sintetis dibangun oleh pergerakan antena pada berbagai posisi di sepanjang jalur penerbangan. Pada radar, antena dipasang di bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping, sistem ini dikenal sebagai Side Looking Aperture Radar (SLAR). SAR merupakan teknik yang digunakan untuk menghasilkan radar image, dan menyediakan kemampuan yang unik sebagai alat pencitraan. SAR dapat menghasilkan penerangan sendiri (pulsa radar) tidak bergantung pada penerangan matahari, sehingga dapat melakukan peliputan baik di siang hari maupun di malam hari. Di samping itu, karena panjang gelombang radar lebih besar dari sinar tampak maupun Infra merah, SAR dapat menembus 8

20 awan maupun debu dimana kondisi ini tidak memungkinkan untuk sistem optik (NASA 1996). Sinyal radar dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang (lihat Gambar 2.3). Gambar 2.3 Wahana dan arah tembak sensor (NASA 1996). Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang horizontal (H) ataupun vertikal (V), demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai obyek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal memengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan. Citra polarisasi HH, HV dan VV ditunjukkan dalam Gambar 2.4. Untuk mereduksi efek speckle yang ada pada masing-masing citra, sebelum diproses/ diklasifikasi lebih lanjut terlebih dahulu diaplikasikan filter yang telah umum dipakai pada citra SAR yaitu Lee filter. 9

21 HH image HV image VV image Gambar 2.4 Citra Polarimetrik SAR Banyak sifat khas medan yang bekerja bersama panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hasil balik radar dari obyek. Akan tetapi faktor utama yang memengaruhi intensitas hasil balik sinyal obyek adalah ukuran (geometris) dan sifat khas elektrik obyek. Efek geometri sensor/obyek dari intensitas backscatter radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar tenaga menjauhi sensor dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah. Meskipun demikian orientasi obyek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat (Lillesand dan Kiefer, 2008)(Gambar 2.5). Gambar 2.5 Mekanisme hamburan balik pada radar di setiap jenis permukaan (NASA 1996). NASA (1996) mengategorikan nilai hamburan balik pada radar ke dalam beberapa kelas, yaitu nilai backscatter sangat tinggi (berkisar -5dB ke atas) biasanya terjadi pada obyek lereng menghadap sensor, incident angle kecil, permukaan obyek yang sangat kasar, hutan yang 10

22 tergenang, dan obyek buatan. Pada kelas nilai backscatter tinggi (berkisar 0 sampai -10dB) bisanya terjadi pada obyek dengan permukaan yang kasar dan vegetasi rapat. Hamburan balik pada radar merupakan ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang kembali ke antena. Nilai hamburan balik yang dihasilkan pada sebuah sensor radar dipengaruhi beberapa faktor antara lain kedalaman penetrasi dari gelombang radar, kekasaran permukaan obyek dan sifat-sifat dielektrik volume obyek. Michigan Microwave Canopy Scattering Model (MIMICS) telah dikembangkan untuk memberikan pemahaman terhadap hamburan balik (backscatter) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk (Dobson dkk. 1992). Mekanisma hamburan balik ini digambarkan pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Mekanisme hamburan balik pada tegakan hutan (Dobson, et al, 1992). Gelombang radar yang lebih panjang menghasilkan nilai backscatter yang tinggi pada penetrasi batang, percabangan, permukaan tanah dan tajuk. Sedangkan gelombang yang lebih pendek menghasilkan nilai backscatter yang tinggi hanya pada tajuk saja. Kemampuan gelombang panjang untuk menembuskan kanopi hutan dengan lebih baik menjadi dasar kemampuan dari sistem SAR untuk secara langsung menduga kuantiti dari struktur tegakan dalam hal ini yang berkaitan dengan biomassa dimana sebagian besar biomassa berada pada batang dan percabangan (ranting-ranting besar). Hamburan balik yang kuat dari vegetasi akan dihasilkan oleh tipe vegetasi rapat. Sistem radar L-band bekerja pada gelombang maksimum 11

23 untuk citra radar yang tersedia. L-band memiliki kemampuan besar untuk menembus daundaunan hingga ke pokok batang yang paling bawah. Banyak studi yang telah dilakukan dan menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan hamburan balik pada SAR (Mitchard dkk, 2009; Sarker dan Nichol,2010). Studistudi tersebut selain menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan backscatter juga menemukan bahwa backscatter SAR meningkat seiring peningkatan biomassa sampai mencapai nilai saturasi tertentu yang mana nilai pendugaan tertinggi akan berada pada frekuensi yang rendah atau memiliki nilai backscatter rendah (Bergen dan Dobson 1999) Citra Satelit ALOS PALSAR ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh Badan Luar Angkasa Jepang pada bulan Januari Satelit ALOS ini membawa tiga jenis sensor yaitu PALSAR (Phased Array L-band Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif yang bekerja pada frekuensi band L. Sensor PALSAR mempunyai kemampuan untuk menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam ataupun siang hari. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM, Interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain (Rosenqvist et al, 2004). Untuk dapat bekerja dengan ketiga instrumen di atas, ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat. Keterangan umum tentang ALOS disajikan dalam Tabel 2.2. Alat peluncuran Tempat Peluncuran Berat Satelit Power Waktu Operasional Tabel 2.2 Keterangan umum ALOS Roket H-IIA Pusat Ruang Angkasa Tanagashima 4000 Kg 7000 W 3-5 Tahun 12

24 Orbit Sumber: Jaxa 2010 Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent period: 46 hari Sub Cycle 2 hari Tinggi lintasan: 692 km di atas ekuator Inklinasi: 98,2 Secara ringkas terdapat lima misi dari satelit ALOS (Jaxa, 2010), yaitu: 1. Kartografi : Untuk menyediakan peta wilayah Jepang dan wilayah Asia Pasifik 2. Pemantauan regional : Melakukan pemantauan regional untuk pengembangan pembangunan yang berkelanjutan dan harmonisasi antara kesediaan sumber daya alam pengembangan pembangunan 3. Monitoring bencana : Melakukan monitoring bencana alam 4. Survei sumberdaya : Untuk survei sumber daya alam 5. Pengembangan teknologi : Mengembangkan teknologi penginderaan jauh yang tepat untuk masa sekarang dan akan datang. PALSAR merupakan salah satu instrumen ALOS dengan sensor aktif untuk pengamatan cuaca dan permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari JERS-1 SAR. Sensor PALSAR mempunyai sorotan yang dapat disetir dalam elevasi, di samping mode ScanSAR. Bentuk dari instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Gambar 2.7 dan Gambar 2.8. Sedangkan karakter teknik sensor PALSAR disajikan pada Tabel 2.3. Gambar 2.7 Instrumen PALSAR (Jaxa, 2010). 13

25 Gambar 2.8 Prinsip geometri dari PALSAR (Jaxa, 2010). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari instrument PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experiment Mode) Frekuensi MHz (L-Band) Lebar kanal 28/114 MHz Polarisasi HH/VV/HH+HV atau HH atau VV HH+HV+VH+VV VV+VH Resolusi spasial 10 m (2 look)/20 m (4 100 m (multi look) 30 m look) Lebar cakupan 70 km km 30 km Incidence angle 8-60 derajat derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 db (70 km) <-25 db <-29 db <-25 db (60 km) Panjang bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit 14

26 Ukuran AZ:8.9 m x EL :2.9 m Sumber : Jaxa (2010) 2.3 Citra Aster Aster (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah alat pencitraan yang diluncurkan oleh NASA pada Desember ASTER terdiri dari 14 band dari yang visible hingga thermal infrared dengan spasial spektrum yang cukup banyak. Kelebihan lain adalah adanya efek stereoskopis pada band 3 visibel yang terdiri dari 3N (nadir) dan 3B (backward). Resolusi spasialnya bervariasi antara 15 m untuk band visible dan Near-infrared (VNIR), 30 m untuk short wave infrared (SWIR), dan 90 m untuk thermal infrared (TIR). Cakupan area tiap scene adalah 60 km x 60 km. Masing-masing resolusi spasial terdiri atas 3 band pada VNIR, 6 band pada SWIR dan 5 band pada TIR (Tabel 2.4). Salah stu instrument yang diorbitkan oleh NASA adalah Terra yang digunakan untuk mengobservasi bumi (Earth Observing System/EOS). EOS berisi suatu komponen science dan system informasi data yang disebut EOSDIS yang didukung system koordinat polar-orbiting dan satelit inklinasi rendah untuk observasi global jangka panjang terhadap permukaan bumi, biosfir, atmosfir dan lautan. Sistem EOS memberikan keuntungan kepada kita semua. Sebagai tambahan pada ASTER ada instrument selain dalam Terra yang disebut sebagai Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), Multi-angle Imaging Spectro-radiometer (MISR), Cloud and the Earth s Radian Energy System (CERES), dan Measurement Pollution Troposphere (MOPITT). Aster dapat memperoleh data dari atas permukaan bumi dengan rata-rata duty cycle 8% per orbit, lalu di translate menjadi 650 scene per hari yang selanjutnya semuanya diproses menjadi Level-A, dari jumlah tersebut 150 scene menjadi Level-B. semua scene Level 1A dan 1B selanjutnya di transfer ke EOSDIS dan diarsipkan di pusat data EROS atau EDC untuk diproses menjadi produk dengan level yang lebih tinggi. Citra Aster yang digunakan pada penelitian ini ber-level 1B dimana level 1B ini berasal dari Level 1A yang telah mengalami koreksi radiometric dan geometric. Level 1B untuk SWIR dan TIR juga telah mengalami registrasi terhadap VNIR. Adapun karakteristik dari 14 band ASTER ditampilkan dalam Tabel 2.4 berikut : 15

27 Tabel 2.4. Karakteristik ASTER Saluran Spektral Kisaran Spektral Resolusi Spasial Kisaran Dinamis Keterangan 1(Visible Green) um 15 m 8 bit integer 2 (Visible Red) um 15 m 8 bit integer 3(Near Infrared) um 15 m 8 bit integer 4 (SWIR) um 30 m 8 bit integer 5 (SWIR) um 30 m 8 bit integer 6 (SWIR) um 30 m 8 bit integer 7 (SWIR) um 30 m 8 bit integer 8 (SWIR) um 30 m 8 bit integer 9 (SWIR) um 30 m 8 bit integer Near Infrared has 2 bands (3B & 3N) which are stereo pair images from which DEM can be generated. Orbit:705km,10:30am descending node, sunsynchronous 10 (TIR) um 90 m 12 bit integer 11 (TIR) um 90 m 12 bit integer Swath = 60 x 60 km 12 (TIR) um 90 m 12 bit integer 13 (TIR) um 90 m 12 bit integer 14 (TIR) um 90 m 12 bit integer Sumber : Adang, 2004 Citra Aster menampilakan signal to rasio yang spesifik(yamaguchi et al, 2001). Citra tersebut dapat digunakan untuk memetakan batuan karbonat dan silikat, dan juga telah digunakan untuk studi vulkanik, pemetaan litologi, dan memantau kerusakan lingkungan. 2.4 Sistem Informasi Geografi Johnson (1992) mendefinisikan SIG sebagai sebuah sistem yang berguna untuk 16

28 menangani dan menganalisis data geografi untuk banyak pemakai dan aplikasi. Data yang digunakan dalam SIG adalah data geografis yang terdiri dari data geometrik dan data deskriptif. Data geometrik berhubungan dengan lokasi, bentuk dan hubungan antar kenampakan, misal peta-peta atau data dari penginderaan jauh. Sementara itu, data deskriptif berhubungan dengan sifat-sifat dari kenampakan, misal tabel, grafis dan keterangan lainnya. Data tersebut dipakai sebagai visualisasi dan menerangkan keadaan dunia yang sesungguhnya. SIG adalah informasi yang dibuat untuk berbagai data yang dikumpulkan dengan keruangan atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah sebuah sistem database dengan kemampuan spesifik untuk data keruangan dan juga sebuah perangkat operasi untuk bekerja dengan data. Menurut Paryono (1994) SIG memerlukan data masukan agar berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya. Data masukan tersebut dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu : (a) Data lapangan, data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti misalnya ph tanah, salinitas air, curah hujan, jenis tanah, dan sebagainya (b) Data peta, informasi yang lebih terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan ke dalam bentuk digital, misalnya, peta geologi, peta tanah dan sebagainya. Apabila data sudah terekam dalam bentuk peta, tidak lagi diperlukan data lapangan, kecuali untuk mengecek kebenarannya. (c) Data citra pengideraan jauh, citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar dapat diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital. Sementara itu, citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan koreksi seperlunya. Ketiga sumber tersebut saling mendukung satu terhadap yang lain. Data lapangan dapat digunakan untuk membuat peta fisis, sedangkan data penginderaan jauh juga memerlukan data lapangan untuk lebih memastikan kebenaran data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling berkaitan, melengkapi dan mendukung, sehingga tidak boleh ada yang diabaikan. Menurut Jaya (2002) pada bidang kehutanan, SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan (spasial) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (polygon), batas (line atau arc) dan lokasi (point). Data spasial (peta) yang umum digunakan di bidang kehutanan antara lain adalah: 1. Peta Rencana Tata Ruang, 17

29 2. Peta Rencana Tata Guna Hutan, 3. Peta Rupa Bumi (Kontur), 4. Peta Jaringan Jalan, 5. Peta Jaringan Sungai, 6. Peta Tata Batas, 7. Peta Batas Unit Pengelolaan Hutan, 8. Peta Batas Administrasi Kehutanan, 9. Peta Tanah, 10. Peta Iklim, 11. Peta Geologi, 12. Peta Vegetasi, 13. Peta Potensi Sumberdaya Hutan. 2.5 Acacia mangium Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan kerapatan pohon yang terdiri atas Akasia, Sungkai dan Sengon. Jenis akasia merupakan tumbuhan asli Queensland bagian utara Australia, Papua New Guinea, Irian Jaya, dan Pulau Moluccas di Indonesia. akasia adalah tumbuhan cepat tumbuh dengan ukuran sedang dan termasuk pohon evergreen. Ketinggian tumbuhnya dapat mencapai 30 m dengan diameter sekitar 60 cm. Akasia dapat tumbuh dengan baik pada curah hujan berkisar antara mm dengan ketinggian antara mdpl (Francis, 2003). Selain itu spesies ini dapat tumbuh pada suhu rata-rata maksimum C pada musim panas dan suhu rata-rata minimum C pada musim dingin. Spesies ini dapat tumbuh pada berbagai macam jenis tanah dengan ph antara 4,2 7,5 (Mangium Industries, 2009). Akasia merupakan pohon yang banyak ditanam dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Karakteristiknya yang cepat tumbuh dan tajuknya yang lebat menjadikan pohon ini efektif dan dapat mengurangi resiko kebakaran. Kemampuannya untuk tumbuh dengan baik di tanah yang kurang subur khususnya pada tanah dengan kandungan fosfor yang rendah menjadikan spesies ini spesies favorit dalam kegiatan rehabilitasi lahan yang telah tererosi. Kayu dari akasia dapat digunakan sebagai papan partikel, plywood, veener, pulp, kayu bakar, dan arang. Pembuahan pada Acacia mangium terjadi pada bulan Mei di 18

30 Australia, sedangkan di Indonesia terjadi pada bulan Juli, di Papua New Guinea terjadi pada bulan September, dan di Amerika Tengah terjadi pada bulan Februari sampai April (Francis, 2003). 2.6 Sungkai (Peronema canescens) Kayu Sungkai (Peronema canescens) termasuk dalam kelas awet III dan kelas kuat II-III, mempunyai berat jenis 0,53-0,73. Disamping itu dijumpai pula bahwa, kayu gubalnya berwarna putih yang dalam keadaan kering berubah menjadi kekuning-kuningan dan kayu terasnya mempunyai warna hampir menyerupai bagian gubal, daya retak tinggi, dan mudah dikeringkan. Sungkai termasuk suku Verbenaceae dan dikenal dengan nama Jati Seberang atau Kisabrang. Bentuk batang Sungkai lurus dengan parit kecil, tetapi kadang-kadang bentuk batangnya jelek akibat serangan hama pucuk, kulit luarnya berwarna abu-abu atau sawo muda, beralur dangkal, mengelupas kecil-kecil dan tipis. Kulit luar penampangnya berwarna kuning, coklat atau merah muda. Rantingnya penuh dengan bulu-bulu. Ciri lainnya adalah bunga dalam kedudukan malai, cabangnya lebar-lebar dan letaknya berpasangan, panjang 20-40cm. Bunga letaknya hampir duduk, kelopak bunga agak tertutup rapat dan berbulu. Ukurannya ½ mm 2 mm, warnanya hijau pada pangkal. 2.7 Sengon (Paraserianthes falcataria) Sengon pernah diberi nama latin Albizia moluccana, Albizia falcata dan Albizia falcataria. Nama lokalnya Batai (Eropa dan Amerika), Kayu Machis (Malaysia) dan Puah (Brunei Darussalam). Keunggulan Sengon merupakan jenis yang paling cepat pertumbuhannya di antara jenis-jenis yang dikenal di dunia saat ini. Setelah berumur 1 tahun tingginya 7 m dan setelah 12 tahun mencapai 39 m dengan diameter batang 60 cm. Tingginya bebas cabangnya sekitar m. Batangnya lurus tidak berbanir dengan kayu berwarna putih. Berat jenis kayu sekitar 0,3. Sengon tumbuh baik pada daerah bercurah hujan mm/th, di ketinggian m dpl, keasaman tanah dari agak masam sampai netral. Solum tanah minimal 50 cm. Pada tanah yang kurang subur pun jenis ini masih dapat tumbuh dengan baik. Sengon merupakan salah satu komoditas hutan rakyat di Jawa. Kayu sengon digunakan sebagai bahan baku kayu panel, kerajinan seni, kotak peti, bubur kayu, kayu lapis dan kayu 19

31 pertukangan. Kayunya biasasnya awet asal direndam dahulu di dalam lumpur selama beberapa bulan dan diusahakan kayu jangan muncul di udara. Ketika digunakan sebagai konstruksi bangunan jangan terkena air hujan. Kayu Sengon juga sering digunakan sebagai lagur dalam rumah walet. Penanamannya dapat secara monokultur dapat juga polikultur. Sistem tumpang sari dengan nenas, jahe, padi huma, cabe atau jenis lainnya yang penting perakarannya tidak lebih dari 40 cm. Tumpang sari dengan pepohonan juga dapat dilakukan asal jarak tanam dan sistem perakarannya diperhatikan. Sengon juga dapat digunakan sebagai pohon sisipan di perkebunan teh. Sengon tidak perlu dipupuk terutama nitrogen, karena pada perakarannya ada bintil akar yang di dalamnya ada bakteri Rhizobium yang dapat mengikat N dari udara. Pupuk yang dibutuhkan jenis TSP dan KCl. Hama yang penting adalah Kupu Kuning (Eurema sp), Kumbang (Xylasandrus moriqeus), Boktor (Xystrocera festiva), dan penggerek batang (Endoclita sericea). Hama Boktor dianggap sangat merugikan karena setelah tanaman berumur 3-5 tahun tanaman akan menjadi mati. Penyakit Puru (galls) akibat Uromycdalium tepperianum yang menyerang daun dan cabang muda. Penyakit lainnya yang berbahaya adalah jamur upas (Upassia salmonicolor) dan Ganoderma sp. Banyaknya tanah kritis dan adanya ancaman pemanasan global akibat meningkatnya gas CO 2, belakangan ini sengon banyak digunakan bersama trembesi untuk penghijauan di daerah kurang subur. 2.8 Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bobot total materi organisme hidup setiap pohon di atas permukaan tanah dinyatakan dalam bobot kering ton per unit area. Biomassa dapat pula didefinisikan sebagai bobot dari material tumbuhan hidup per unit area. Total biomassa yang terdapat pada areal hutan dibagi ke dalam dua bagian yaitu biomassa di atas permukaan dan biomassa di bawah permukaan tanah. Biomassa pada dasarnya terdiri dari bobot organismae hidup di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah, seperti pohon, semak belukar, tumbuhan menjalar, akar dan berat organisme mati dan sampah kasar yang terasosiasi dengan tanah. Karena terdapat kesulitan pada pengumpulan data lapangan biomassa di bawah permukaan (Below-Ground Biomass, 20

32 BGB), penelitian estimasi biomassa yang telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan (Above-Ground Biomass, AGB) (Lu, 2005). Tabel 2.4 menyajikan rangkuman dari beberapa teknik pendugaan biomassa yang berbeda berdasarkan (1) pengukuran lapangan, (2) remote sensing, dan (3) GIS. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974). Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran (Lu, 2005): (a) teknik pemetaan pemanenan atau teknik pemercontohan destruktif (b) teknik pemercontohan non-destruktif (c) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airborne/spaceborne, and (d) estimasi menggunakan model. Tabel 2.5 Beberapa metode untuk menduga biomassa Ketegori Metode Data digunakan Metode Dasar- Pengukuran Lapangan Penarikan contoh Destruktif Karakteristik Referensi Pohon per contoh Individu pohon Klinge dkk, (1975) Allometric equations (persamaan allometric) Pohon per contoh Individu pohon Overman dkk,(1994), Honzak dkk, (1996), Nelson dkk, (1999) Konversi dari volume ke biomassa Volume dari pohon per contoh atau tegakan Individu pohon atau tegakan vegetasi Brown dan Lugo (1984), Brown dkk, (1989), Brown dan Lugo (1992), Gillespie dkk, (1992), Segura dan Kanninen (2005) Metode Dasar- Penginderaan Jauh Metode berdasarkan fine spatialresolution data Aerial photographs, IKONOS Per-pixel level Tiwari dan Singh (1984), Thenkabail dkk, (2004) Metode berdasarkan medium Landsat TM/ETM+, SPOT Per-pixel level Roy dan Ravan (1996), Nelson dkk, (2000a), Steininger 21

33 spatialresolution data Metode berdasarkan coarse spatialresolution data IRS-1C WiFS, AVHRR (2000), Foody dkk, (2003), Lu (2005) Per-pixel level Barbosa dkk, (1999), Wylie dkk, (2002), Dong dkk, (2003) Metode berdasarkan data Radar Radar, lidar Per-pixel level Harrel dkk, (1997), Lefsky dkk, (1999b), Santos dkk, (2002, 2003) Metode Dasar- SIG Metode berdasarkan Ancillary data Elevasi, kemiringan, tanah, presipitasi, dll. Per-pixel level atau per-field level Brown dkk, (1994), Iverson dkk, (1994), Brown dan Gaston (1995) Sumber: Lu (2005) Metode Pendugaan Biomassa dengan Non-Destructive Sampling Pendekatan destruktif untuk menduga biomassa memberikan hasil yang paling akurat, tetapi penerapan teknik ini tidak dapat dilakukan pada seluruh areal hutan karena kerusakan yang diakibatkan cukup besar. Selain kerusakan yang diakibatkan, mahalnya biaya dan banyaknya waktu yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan biomassa yang lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Teknik pendugaan biomasa yang banyak dilakukan pada saat ini adalah pendekatan non-destructive sampling yang tidak memerlukan pemanenan pohon. Pendekatan non-destructive sampling memilik persamaan regresi yang berbeda-beda, dengan parameter penyusunya seperti tinggi pohon, diameter pohon, volume batang, dan basal area untuk menduga biomassa. Persamaan regresi yang banyak digunakan untuk menduga biomassa menurut Husch dkk, (2003) adalah sebagai berikut; B = C 0 + C 1S B = C 0 + C 1S + C 2S 2 B = exp (C 1S) B = exp (C 2S C 1) 22

34 B = C 0 + C 1logS Menurut Chave dkk, (2005) berdasarkan pengujian yang telah dilakukan didapatkan bahwa diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi pendugaan biomassa selain berat jenis pohon dan tipe hutan. Teknik estimasi biomassa non-destruktif memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan dengan teknik sampling destruktif. Pada kasus area hutan tropis campuran yang heterogen, survey lapangan tidak mungkin dilakukan untuk mengambil sample pada plot dengan aksesibilitas yang rendah. Untuk memonitoring area hutan tropis campuran yang heterogen maupun hutan tropis homogen, penginderaan jauh menyediakan alat yang paling sesuai dan efektivitas waktu serta biaya jauh lebih baik dibandingkan pengukuran in-situ. Dalam beberapa tahun terakhir, teknik penginderaan jauh (remote sensing) telah menjadi hal umum dalam menduga AGB (Lu, 2005). Penginderaan jauh sistem optik pada dasarnya merespon pada struktur kimia daun seperti Normilize Difference Vegetation Index (NDVI) (Dong dkk, 2003). Berdasarkan resolusi spasial, Lu (2005) mengategorikan data penginderaan jauh (citra satelit) untuk estimasi AGB ke dalam tiga kategori yaitu fine spatialresolution data (resolusi spasial kurang dari 5 m), medium spatial-resolution data (resolusi spasial pada kisaran antara 10 m hingga 100 m), dan coarse spatial-resolution data (resolusi spasial lebih dari 100 m). Penggunaan coarse spatial-resolution data memiliki keterbatasan dikarenakan ukuran pixelnya yang besar, dimana berbagai jenis pohon dari bermacam-macam area hutan terdapat di dalam pixel tersebut dan perbedaan yang amat besar antara ukuran pixel dengan plot yang dibuat untuk pengukuran lapangan. Pendugaan biomassa untuk wilayah revegetasi dengan jenis tanaman Acacia mangium menggunakan persamaan allometrik yang disusun oleh Heriansyah (2007), untuk tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) menggunakan persamaan alometrik yang disusun oleh Kawahara et. al. (1981) dalam Kenzo (2009), dan untuk tanaman Sungkai menggunakan persamaan alometrik yang disusun oleh Ketterings (2001) dengan berat jenis kayu Sungkai sebesar 0,63 (Dishut Jabar, 2011), seperti terlihat pada Tabel

35 Tabel 2.6 Persamaan allometrik yang digunakan untuk menduga biomassa dari A. mangium berdasarkan variabel D dan H Sumber: Heriansyah (2007) Selain pendugaan nilai biomassa, dilakukan juga penghitungan nilai BEF (Biomass Expansion Factor) untuk kemudian dibandingkan dengan hasil pendugaan biomassa menggunakan persamaan alometrik. 2.9 Karbon stok Lima sumber karbon yang disepakati dalam perhitungan emisi adalah (1) biomasa di atas tanah (above ground biomass), (2) biomasa di bawah tanah (below ground biomass), (3) sisa-sisa kayu mati (necromass), (4) serasah (litter) dan (5) tanah (soil). 24

36 Skema REDD belum memutuskan sumber karbon yang harus diukur. Akan tetapi pada dasarnya setiap sumber karbon yang berubah secara signifikan karena adanya kegiatan seperti REDD harus diukur Karbon di atas permukaan tanah (pool 1) Biomassa pohon. Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang sangat penting pada ekosistem hutan, karena sebagian besar karbon hutan berasal dari biomasa pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar penyimpanan C di daratan. Pengukuran biomasa pohon dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung hasil penebangan (destruktif sampling) dan cara tidak langsung dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang. Beberapa persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk hutan tropis telah disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara global maupun lokal. Untuk meningkatkan ketelitian, alometrik local dapat dikembangkan berdasarkan kondisi tapak maupun jenis atau kelompok jenis (Kettering, 2007; Basuki, et al, 2009). Persamaan alometrik lokal disusun dengan metode destruktif atau dengan cara ditebang dan merupakan kegiatan yang memakan waktu dan biaya. Namun penggunaan persamaan alometrik lokal berdasarkan tipe hutan yang sesuai akan meningkatkan keakurasian pendugaan biomasa. Pengukuran biomasa pohon menggunakan alometrik membutuhkan data lapangan yang diukur pada plot utama. Data yang dikumpulkan dari tiap plot adalah, diameter pohon setinggi dada (dbh), tinggi pohon, nama pohon dan berat jenis pohon. Beberapa persamaan alomatrik dan informasi cadangan karbon pada berbagai tutupan hutan dan type lahan dapat dilihat pada buku Informasi Cadangan Karbon pada berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia). Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (destruktif sampling). Dibuat plot berukuran 0,5 x 0,5 m berjumlah 6-10 buah. Semua tumbuhan bawah yang berada pada plot tersebut dipotong dan ditimbang berat basahnya. Sebagian dari tumbuhan bawah diambil sebagai contoh sebanyak gram dan dimasukan kedalam oven selama 48 jam pada suhu 100 o C sehingga diperoleh berat keringnya. 25

37 2.9.2 Karbon di dalam tanah (pool 2) Biomassa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan, biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter >2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang. Biomasa akar sudah termasuk dalam persamaan alometrik pengukuran pohon Nekromasa (pool 3) Merupakan batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan diukur agar diperolehestimasi penyimpanan C yang akurat. Pengukuran nekromas berkayu di lapangan dilakukan pada plot utama dengan data yang dikumpulkan dari tiap plot yaitu diameter nekromas berkayu, tinggi atau panjang nekromas berkayu, dan berat jenis nekromas Seresah (pool 4) Seresah yang diukur meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan rantingranting yang terletak di permukaan tanah. Serasah diambil dari plot berukuran 0,5 x 0,5 m yang juga dilakukan untuk pengukuran tumbuhan bawah. Semua serasah yang berada pada plot tersebut ditimbang beratnya. Sebagian dari serasah diambil sebagai contoh sebanyak < 100 gram dan dimasukan kedalam oven selama 48 jam pada suhu 100 o C sehingga diperoleh berat keringnya Bahan organik tanah (pool 5) Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisma tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, 26

38 dinamakan bahan organik tanah. Pengukuran C tanah dilakukan di laboratorium dengan mengambil contoh tanah secara komposit sampai kedalaman 30 cm. 27

39 III. PROGRAM KEGIATAN Kegiatan Tim Penginderaan Jauh untuk Estimasi Penyerapan Karbon di daerah Reklamasi Pertambangan di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu meliputi : 3.1. Pengolahan Citra Erdas IMAGINE merupakan sebuah aplikasi penginderaan jauh dengan kemampuan editor grafis raster yang dirancang oleh Erdas, Inc untuk aplikasi geospasial. Erdas IMAGINE ditujukan terutama untuk pengolahan data raster geospasial dan memungkinkan pengguna untuk mempersiapkan, menampilkan, dan meningkatkan kualitas gambar digital yang digunakan untuk pemetaan pada perangkat lunak GIS atau CADD (computer-aided design and drafting). Perangkat ini memungkinkan pengguna untuk menampilkan berbagai operasi pada gambar dan memberikan jawaban atas pertanyaan geografis tertentu. Erdas IMAGINE mengembangkan metode pengolahan citra terbaru dengan pendekatan yang interaktif, sehingga dapat langsung melihat hasil dari setiap metode pengolahan citra pada monitor komputer. Erdas IMAGINE memberikan kemudahan dalam pengolahan citra dengan berbagai proses pengolahan citra seperti : koreksi radiometrik, penajaman citra, filtering citra, koreksi geometrik citra, klasifikasi multispeltral, dan lainnya. Hasil dari pengolahan citra tersebut kemudian dapat diekspor ke dalam berbagai format data digital, seperti : Er- Mapper(*,ers), PCI(*.pix), GeoTiff(*,tiff) dan lain sebagainya. 3.2 Pengolahan Citra ALOS PALSAR Pengolahan citra ALOS PALSAR yang merupakan citra radar memiliki perbedaan dengan citra optik. Ini dikarenakan citra radar menggunakan gelombang mikro aktif. Sehingga tahapan pengolahannya berbeda dengan citra optik. 25

40 Metode Pengolahan Citra ALOS untuk Mengetahui Penyerapan CO 2 Tahapan pengolahan citra untuk memperoleh jumlah serapan karbon yang telah dicapai menggunakan citra ALOS meliputi persiapan, pengolahan citra ALOS, pengumpulan data lapangan, analisis data, dan pembuatan peta sebaran biomassa dan karbon Persiapan Tahap persiapan ini meliputi 1. Pengumpulan Data Dijital Data dijital pada penelitian ini mencakup semua data spasial, baik vektor maupun raster. 2. Pra pengolahan Kegiatan yang dilakukan adalah pengurangan speckle noise dengan metode Lee Sigma Filter. Kemudian koreksi geometrik dilakukan terhadap citra. Koreksi geometrik merupakan kegiatan pengkoreksian posisi geometri obyek terhadap koordinat sebenarnya di permukaan bumi 3. Pembuatan band sintetis pada PALSAR Data PALSAR yang dimiliki hanya dual polarisasi yaitu HH dan HV. Untuk memperoleh informasi lebih banyak dari citra PALSAR maka diperlukan pembuatan band sintetis menggunakan rumus aritmatik berikut: i. HH/HV ii. HH-HV iii. HH+HV iv. HH-HV/HH+HV 4. Klasifikasi Terbimbing Pembuatan training area dilakukan secara manual pada proses klasifikasi citra, memilih lokasi-lokasi untuk proses pendugaan biomassa pada citra. Training area digunakan untuk membagi pola sebaran spektral pada jenis penutupan lahan tertentu. Pola sebaran spektral ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasi pola yang sama pada seluruh karakteristik pada setiap Area of Interest (AOI). Hal ini dilakukan agar analisis pada citra terpusat pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan. 26

41 Estimasi Biomassa menggunakan citra ALOS PALSAR Nilai backscatter PALSAR untuk tiap plot sampel diturunkan dari nilai backscatter tiap polarisasi dan band sintetis dan merupakan nilai rata-rata dari 5x5 piksel yang dipusatkan pada masing-masing plot sampel. Nilai backscatter (σ o ) dihitung dari nilai digital number menggunakan rumus: σ o = 10log10 (dn 2 ) + CF ; Dimana : σ o = Backscatter (db) dn = Nilai dijital (degree) CF = Calibration factor dari Citra ALOS PALSAR peliputan tahun 2007 sebesar -83,0 (JAXA Publication) Nilai backscatter ini kemudian di hubungkan dengan nilai biomassa terukur yang diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan. Hubungan antara nilai backscatter dan biomassa tersebut akan menghasilkan persamaan regresi matematis yang dapat dipakai untuk menduga nilai biomassa di lokasi lain dalam suatu areal perusahaan tambang yang memiliki nilai backscatter yang serupa. 3.3 Pengolahan Citra ASTER Citra ASTER telah digunakan secara luas untuk berbagai keperluan, antara lain identifikasi mineral dan batuan dengan memanfaatkan sub-sistem TIR, klasifikasi jenis tanah dengan memanfaatkan sub-sistem SWIR, monitoring aktivitas gunung berapi dengan kombinasi sub-sistem VNIR dan SWIR, monitoring suhu permukaan laut dengan memanfaatkan subsistem TIR, dan identifikasi peruntukan lahan menggunakan kombinasi sub-sistem VNIR dan SWIR. Karakteristik citra Aster disajikan pada Tabel 2.1 dan yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Aster band 3N (Near Infrared) dan band 2 (VNIR). 27

42 IV METODOLOGI 4.1. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam membuat estimasi penyerapan karbon pada kawasan kegiatan pertambangan batubara adalah menggunakan klasifikasi secara digital dengan interpretasi visual dan deliniasi obyek langsung melalui layar monitor dengan menggunakan penggabungan data multispektral (color composit). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ALOS PALSAR resolusi spasial 12,5m tahun perekaman 2007 dan 2010 yang meliput wilayah sekitar tambang, data hasil pengukuran diameter dan tinggi pohon (D dan H), dan informasi wilayah revegetasi PT. Bukit Asam, PT Bukit Sunur dan PT Danau Mas Hitam. Analisis spasial yang akan dilakukan untuk menentukan zonasi daerah yang mengalami kerusakan atau berubahnya fungsi lahan dengan metode sistem informasi geografi (SIG) dengan dibantu hasil tracking GPS yang digunakan untuk penentuan titik kontrol (GCP) di lapangan di mana titik kontrol tersebut juga diperlukan dalam proses koreksi geometrik. Sebagai data sekunder untuk membantu interpretasi digunakan juga peta penggunaan lahan. 4.2 Metode Pengolahan Citra Palsar Tahapan cara pengolahan data secara lengkap adalah sebagai berikut : Pembuatan Komposit Citra Langkah-langkah pembuatan tampilan Komposit : 1. Klik Modeler pada Jendela Utama software Erdas Imagine, kemudian pilih Model Maker pada menu selanjutnya 2. Kemudian akan muncul sebuah jendela New_Model, dengan menggunakan toolbar Raster Object dan Process dari Model Maker, buatlah sebuah diagram alir proses pengolahan citra pada jendela model. 3. Kemudian hubungkan antara ketiga variabel model tersebut menggunakan tanda panah, klik ikon panah yang berada di toolbox model maker 28

43 4. Klik ganda pada Variabel model yang paling atas (Raster Object), kemudian pilih berkas yang akan dijadikan sumber pengolahan citra. Dalam hal ini adalah citra yang memiliki dua band HH dan HV. 5. Masukkan fungsi pengolahan citra pada Variabel Process dalam model. Klik ganda variabel process, kemudian pilih tipe fungsi Conditional, kemudian pilih fungsi EITHER <arg1> IF ( <test> ) OR <arg2> OTHERWISE. Variabel <arg1> dirubah menjadi angka 0 (Nol), variabel <test> dirubah menjadi $n1_palsar_000_hh_hv2) == 0 dan variabel <arg2> menjadi $n1_palsar_000_hh_hv(1)/ $n1_palsar_000_hh_hv(2). Sehingga formula yang dihasilkan berupa: EITHER 0 IF ($n1_palsar_000_hh_hv(2) = 0) OR $n1_palsar_000_hh_hv(1)/ $n1_palsar_000_hh_hv(2) OTHERWISE 6. Klik ganda pada variabel model yang paling bawah (Raster Object) untuk menentukan tempat penyimpanan citra baru hasil proses. 7. Klik ikon Execute model untuk memulai proses dari model yang telah dibuat. Kemudian tunggu hingga proses selesai. Citra Palsar dengan Komposit Citra HH,HV,Rasio (HH/HV) Layer Stacking Layer Stacking dilakukan agar band yang telah ada pada file-file tertentu dapat digabungkan menjadi sebuah file citra, sehingga memudahkan dalam pengolahan citra. Tahapan layer stacking adalah sebagai berikut: 29

44 1. Klik menu Interpreter pada Jendela Utama Erdas Imagine, kemudian Klik Utilities pada jendela Image Interpreter yang kemudian muncul, dan pilih Layer Stack. 2. Pada jendela Layer Selection and Stacking, diperlukan menentukan input citra yang memiliki layer-layer yang akan di tumpuk (stack). 3. Tentukan file yang akan dijadikan sumber layer-layer yang akan di stack, kemudian pilih layer yang akan di urutkan, kemudian klik add. Dalam kasus Citra Palsar, urutan stacking sebaiknya HH-HV-Rasio. Klik untuk menentukan berkasberkas citra yang akan digunakan sebagai Klik untuk memilih layer-layer pada citra yang akan di stack Klik menentukan dan penyimpanan hasil stack Klik untuk untuk lokasi nama citra menentukan tipe output citra hasil stack Kotak antrian, berisi urutan layer-layer yang dipilih untuk di Klik untuk memasukkan layerlayer yang sudah di pilih kedalam kotak antrian 30

45 Menghitung Nilai Digital (DN = Digital Number) Pendugaan biomassa menggunakan citra PALSAR dapat dilakukan dengan pendekatan nilai digital. Nilai biomassa yang diperoleh dari pengamatan di lapangan di regresikan dengan nilai hamburan balik (backscatter) dari citra PALSAR. Band yang digunakan untuk pengamatan nilai dijital ini hanya satu band saja, yaitu HH atau HV. Pengambilan nilai dijital dilakukan pada radius 2x2 piksel dari pusat titik pengamatan. Tahapan untuk memperoleh nilai dijital dari citra adalah sebagai berikut: 1. Buka Viewer Erdas IMAGINE, lalu pilih citra yang akan di buka. Gunakan Inquire Cursor untuk mengetahui nilai DN (Nilai Dijital) pada sebuah Piksel. Nilai dijital yang muncul merupakan nilai HH, HV, dan Rasio. Untuk melihat nilai piksel yang lain, maka geserlah posisi kursor. 2. Lakukan pengamatan nilai dijital pada titik-titik pengamatan di lapangan, untuk mengetahui lokasi pengamatan dapat dibantu dengan mengoverlay titik pengamatan di lapangan (Buka file shp titik pengamatan lapangan pada viewer yang sama). Nilai dijital yang digunakan adalah nilai File Pixel. Zoom in pada lokasi pengamatan, hingga piksel terlihat. Kemudian, nilai piksel yang diamati adalah 2x2 piksel di sekitar titik pengamatan. Nilai piksel tersebut dirata-ratakan. 3. Untuk melihat nilai dijital untuk keseluruhan citra, Pilih menu Raster Attributes. Nilai dijital pada tabel Raster Attribut adalah Value. 31

46 Tampilan nilai digital number contoh di plot PBM KONVERSI NILAI DIJITAL KE BACKSCATTER - Buka aplikasi Erdas Imagine

47 - Pilih menu Modeler kemudian pilih Model Maker. Akan muncul sebuah jendela untuk membuat model. Disini akan dibuat sebuah model yang merubah nilai dijital pada citra ALOS PALSAR menjadi nilai backscatter melalui persamaan Backscatter = 10*Log10 (DN2) + CF, dimana CF untuk citra yang digunakan adalah -83. Pada input raster dimasukkan citra alos palsar band HH, HV dan HH/HV secara bergantian. Pada icon function defenition dimasukkan formula backscatter Backscatter = 10*Log10 (DN2) + (-83). Untuk output raster pilih directory atau tempat penyimpanan citra yang sudah dikonversi menjadi nilai backscatter. 33

48 Berikut merupakan citra Alos-PALSAR resolusi 12.5 m PT.Bukit Asam yang sudah diekstraksi ke nilai backscatter Pembuatan citra biomassa dan layout peta sebaran biomassa Pembuatan citra biomassa dibuat berdasarkan model terbaik dari persamaan regresi dengan R-square terbesar melalui analisis regresi yang dilakukan menggunakan software SPSS. Berikut merupakan citra biomassa backscatter HV. 34

49 Citra hasil pembuatan peta sebaran biomassa selanjutnya dikelaskan menjadi tiga kelas dan dibedakan warna per kelas. Berikut merupakan layout sebaran biomassa pada citra alos palsar resolusi 12.5 meter tahun perekaman

50 Gambar berikut merupakan layout sebaran biomassa pada citra alos palsar resolusi 12.5 meter tahun perekaman Tampilan lokasi penelitian dioverlay dengan peta Rupa Bumi Indonesia pada polarisasi HH/HV, dimana garis yang berwarna kuning merupakan jalan sedangkan garis yang berwarna merah merupakan aliran sungai Titik Pengamatan 36

51 Tahapan penelitian dan pengolahan citra ALOS PALSAR disajikan dalam diagram alir berikut ini Mulai Persiapan dan Pengumpulan data Hasil inventarisasi tegakan Citra ALOS PALSAR Perhitungan Biomassa Konversi Nilai Digital Dimensi tegakan dan Nilai Biomassa Nilai Backscatter Overlay Analisis statistik dan penyusunan model Verifikasi Model Terbaik Peta Sebaran Bomassa Selesai Gambar 4.1 Diagram Alir Penelitian 37

52 4.3 Metode Pengolahan Citra Aster Pengolahan citra Aster meliputi koreksi geometrik, analisis vegetasi (NDVI), pembuatan subset training area (daerah acuan), pengamatan nilai digital (DN = Digital Number) Koreksi Geometrik Langka-langkah koreksi geometric dari citra ke citra dengan menggunakan perangkat lunak Erdas IMAGINE 9.1 adalah sebagai berikut : 1. Buka 2 viewer sekaligus, tampilkan masing-masing citra (master image dan slave image) dengan komposit bebas, pada Aster baik citra yang terkoreksi maupun slave image menggunakan komposisi band Pada viewer 1, buka file image yang akan dikoreksi, sedangkan viewer 2 digunakan untuk membuka citra acuan atau master image. Menu utama Erdas IMAGINE 9.1 Viewer#1 sebagai tempat citra yang belum terkoreksi. Viewer#2 sebagai tempat citra yang telah terkoreksi atau menjadi acuan dalam koreksi (citra master). 38

53 3. Pada viewer 1 (slave image), kemudian klik menu Raster Geometric Correction 4. Pada jendela Set Geometric Model pilih polynomial sebagai persamaan transformasi yang dipilih kemudian klik Ok 5. Pada jendela Polynomial Model Properties, pilih polynomial order 1, dimana kita akan melakukan koreksi dengan jumlah GCP minimal 3. Untuk daerah yang lebih kompleks dapat digunakan polynomial order 2 atau 3 dengan jumlah GCP lebih banyak. Selanjutnya klik Apply Close 39

54 6. Pada jendela yang muncul selanjutnya yaitu jendela GCP tools reference setup pilih Existing Viewer untuk mendapatkan titik referensi, selanjutnya klik pada Viewer#2 (citra yang digunakan sebagai acuan atau citra master). 7. Kemudian akan muncul jendela Reference Map Information yang menampilkan informasi dari citra acuan. 8. Prosedur pemilihan GCP : Klik GCP yang diinginkan pada citra referensi setelah itu pada citra slave/yang akan dikoreksi. Jika orde yang digunakan orde 1, maka GCP minimal yang dibutuhkan sebanyak 3 titik, pada orde 2 sebanyak 6 titik, dan orde 3 minimal sebanyak 10 titik. 40

55 Buat GCP sebanyak mungkin dengan ketersebaran yang merata mewakili seluruh citra. Pilih GCP yang mudah dikenali dan tidak berubah dalam waktu yang cukup lama, misal : persimpangan jalan, tugu, monumen dan lain-lain. Lakukan peletakan GCP seakurat mungkin sehingga error yang dihasilkan (RMSE) < 0,5 piksel. Simpan GCP yang memiliki nilai RMSE yang memenuhi. 9. Setelah selesai melakukan pemilihan GCP dan nilai RMSE sudah memenuhi syarat, pada jendela GCP Tools klik File Save Input As : beri nama file sesuai dengan yang diinginkan misal : GCP1_inp.pcc. Kemudian simpan Reference, klik File Save Reference As : beri nama file sesuai dengan yang diinginkan misal : GCP1_out.pcc Tampilan pada GCP Tool Sub menu pada GCP Tool untuk menyimpan input GCP Sub menu pada GCP Tool untuk menyimpan GCP referensi 10. Setelah memastikan RMSE sesuai kriteria dan melakukan penyimpanan file, maka lakukan resampling dan pembuatan citra terkoreksi. Pada Geo Correction Tools klik icon Resampling 41

56 11. Pada kotak dialog Resample, output file diisi dengan nama citra baru yang kita kehendaki (citra hasil koreksi geometrik), dan simpan pada direktori yang diinginkan, misal : Citra_geo.img. 12. Kemudian output Cell Size diisi dengan besar nilai Pixel aktual pada citra (resolusi citra satelit yang dikoreksi), misal pada Avnir-2 resolusi spasial citra 10m x 10m, maka cell size diisi dengan pada x, dan pada y. Resample method : Nearest Neighbor. Setelah output ditentukan, metode resampling ditentukan dan cell size ditentukan maka klik Ok, kemudian akan muncul jendela dialog proses seperti gambar dibawah ini. Tunggu hingga proses selesai dilakukan. 42

57 13. Setelah proses resampling selesai buka kembali citra hasil koreksi untuk melihat hasil koreksi yang telah dilakukan pada slave image. Tampilan Citra hasil koreksi dimana format koordinat image UTM/WGS Analisis Vegetasi dengan menggunakan NDVI Cara menampilkan NDVI pada citra Aster maupun Avnir-2, dengan menggunakan perangkat lunak Erdas IMAGINE 9.1 (pada contoh pengolahan NDVI ini digunakan citra Avnir-2): 1. Buka Aplikasi ERDAS IMAGINE Klik viewer select viewer type, pilih classic viewer 43

58 Select layer to add 3. Kemudian klik pada ikon kemudian keluar jendela select layer to add kemudian pilih file yang akan ditampilkan pada viewer. Kemudian Klik OK. 4. Pada Viewer, klik kanan kemudian pilih Fit Image to Window untuk memunculkan seluruh tampilan citra pada viewer. 44

59 5. Untuk melakukan analisis NDVI, klik pada Menu Interpreter di Jendela Utama Erdas Imagine, kemudian pilih Spectral Enhancement. Pada menu Spectral Enhacement yang kemudian muncul, pilih menu Indices 6. Pada jendela dialog Indices, Klik Open pada bagian Input File, kemudian pilih file yang akan digunakan dalam analisis NDVI. Namai Output file sesuai dengan keinginan anda. Pastikan tipe sensor pada Output Options sesuai dengan jenis fungsi perhitungan NDVI pada citra yang digunakan. Untuk Citra ASTER, analisis NDVI menggunakan band 3 (Inframerah dekat) dan band 2 (saluran merah). 45

60 7. Setelah sensor dan fungsi sesuai dengan kebutuhan citra yang diinginkan, maka klik ok. 8. Untuk menampilkan citra NDVI, buka Viewer baru kemudian lakukan langkah 2 dan 3. Citra denga komposit band citra NDVI Grayscale 9. Untuk memunculkan pixel value / Digita Number (DN), klik icon pada viewer#2 (viewer tempat citra NDVI berada). Muncul kursor berbentuk + pada viewer#2, dan jendela yang menampilkan nilai pixel. 46

61 10. Jendela yang menampilkan nilai Pixel. Kursor 10. Untuk mengetahui nilai pixel lain maka geser kursor degan menggunakan ikon 11. Untuk menampilkan gradasi warna pada citra NDVI, lakukan Query pada citra NDVI grayscale, klik Raster Attribute Jendela attribute 47

62 12. Untuk memunculkan kolom warna pada Raster Attribute Editor, pilih Edit kemudian column properties. 13. Pada jendela Column Properties pilih New, kemudian ganti title dengan Color, Type : Color kemudian klik OK. 14. Buat kriteria pada Attribute, klik kembali Edit pada Raster Attribute Editor kemudian pilih Criteria. 48

63 15. Pada Selection Criteria, klik dua kali pada Value sehingga terdapat Fungsi ($"Value"), buat Fungsi ( $"Value" > 0 ), untuk memunculkan NDVI terpilih. Kemudian klik Select 16. Setelah NDVI terpilih dikelompokan, klik Edit Color, untuk memunculkan gradasi warna pada Citra NDVI yang telah dibuat. 17. Slice Method RGB slice ; Slice Type By Value ; Start Color Yellow ; End Color Dark Green. OK, pada jendela Raster Attribute Editor Klik ikon save. 49

64 18. Buka viewer baru tampilkan kembali citra NDVI pada Viewer, pada Raster Option Pilih Pseudo color 19. Tampilan Citra dengan gradasi warna hijau kuning akan terlihat seperti gambar di bawah ini Warna hijau menggambarkan nilai NDVI yang mendekati 1, kuning menggambarkan nilai NDVI yang mendekati 0, sementara Hitam menggambarkan nilai NDVI 0 atau pada daerah tersebut tidak terdapat Vegetasi. 50

65 4.3.3 Pembuatan Subset Training Area (Daerah Acuan) Pembuatan Subset Training Area pada citra NDVI pada perangkat lunak Erdas IMAGINE 9.1 : 1. Sebelum melakukan analisis terhadap Nilai Digital pada citra NDVI yang telah dibuat sebelumnya, ada baiknya melakukan pemilihan training area, dalam hal ini penggunaan perangkat lunak ArcView 3.3 diperlukan untuk membuat data vector point dan polygon untuk memudahkan pembuatan training area dan pembuatan titik pengamatan. 2. Buka image NDVI yang telah dibuat sebelumnya pada view 1, kemudian lakukan deliniasi pada daerah yang menjadi training area sesuai dengan point yang telah didapatkan di lapangan. 3. Buka data point, kemudian lakukan deliniasi pada daerah sekitar point. Titik pada training area 51

66 4.3.4 Pengamatan Digital Number (DN) Pengamatan Digital Number (DN) pada citra NDVI pada perangkat lunak Erdas IMAGINE 9.1 adalah sebagai berikut adalah cara mengamati nilai digital pada citra indeks vegetasi yang telah dibuat. 1. Buka Viewer, tampilkan citra NDVI, buka titik lapang dengan bentuk shapefile yang sudah terkoreksi pada viewer yang sama. Pemilihan data Vektor Point Citra yang dioverlaykan dengan titik pengamatan 2. Aktifkan MS Office Exel untuk menyimpan data pengamatan. 52

67 3. Untuk mengamati DN, Zoom in pada areal yang akan diamati, lakukan perbesaran 4. hingga piksel terlihat jelas. Misal : pengamatan pada titik pertama. Point pengamatan pertama Hasil Zoom In pada point pertama, perhatikan letak piksel, pemilihan 4 piksel didasarkan pada letak piksel terdekat dengan titik pengamatan 53

68 5. Klik Start Up inquiry Cursor pada window viewer (yang berbentuk tanda tambah) maka akan muncul tabel display data piksel yang ditunjuk oleh kursor untuk band yang terdapat pada data. Pastikan layer citra berada diatas layer vektor titik pengamatan sebelum melakukan pengamatan nilai digital. Kursor Inquiry Pixel Value / DN pada NDVI 6. Untuk mengamati piksel yang lain maka geserlah posisi kursor 54

69 Gambar 4.2 Tahapan penelitian dan pengolahan citra aster disajikan dalam diagram alir di bawah ini. Mulai Persiapan Pengumpulan Data Hasil Inventarisasi Tegakan Citra Aster 2011 Peta Rupa Bumi Indonesia Perhitungan Biomassa Koreksi Geometrik Dimensi Tegakan dan Nilai Biomassa Citra Komposit True Colour (4,3,2) Overlay Subset Image Transformasi Nilai NDVI Analisis Korelasi Analisis Statistik dan Penyusunan Model Verifikasi Model Terbaik Peta Sebaran Biomassa Selesai 55

70 4.4 Pengumpulan Data Data berupa diameter (D) dan tinggi pohon (H) diambil dengan melakukan pengukuran plot-plot per contoh berupa persegi panjang berukuran 20 m 50 m sebanyak 60 buah dan tersebar proporsional menurut umur tanaman hasil revegetasi. Pengukuran diameter dilakukan terhadap tanaman dengan diameter 5 cm ke atas. Kelas umur pada wilayah revegetasi dibagi menjadi 3 yaitu, Kelompok Umur (KU) I Muda, Kelompok Umur (KU) Sedang, Kelompok Umur (KU) Tua. Setiap KU diambil (ditebang) satu pohon yang dianggap mewakili kondisi tegakan di kelasnya untuk diukur biomassanya menggunakan metode destruktif. Pengumpulan data berat basah dan berat kering contoh dilakukan pada bagian akar, batang, ranting, dan daun. Bagian akar, batang, ranting, daun, dan serasah kemudian diambil contoh uji seberat 300g untuk pengukuran kadar air. Contoh uji tersebut dikeringkan menggunakan oven di laboratorium dengan suhu 103±2 C. Pengukuran berat serasah dilakukan menggunakan sub-plot bujur sangkar berukuran 0,5 m 0,5 m yang diletakkan berseling pada poros jalur dengan jarak 10 m antar sub plot (Gambar 4.). Gambar 4.3 Plot pengukuran pohon dan serasah. 56

71 4.4.1 Pengolahan Data Pengukuran Kadar Air Perhitungan kadar air akar, ranting, batang, daun, dan serasah dilakukan menggunakan persamaan matematis yang diperoleh dari Haygreen dan Bowyer (2007) %KA = BBc BKc 100% BKc %KA : Persentase kadar air (%) BBc BKc : Berat basah contoh uji (g) : Berat kering contoh uji (g) Perhitungan Biomassa Perhitungan biomassa dilakukan dalam dua tahap, yaitu penghitungan biomassa hasil pengukuran destruktif dan pengukuran biomassa menggunakan persamaan alometrik. Perhitungan biomassa hasil pengukuran destruktif dilakukan menggunakan persamaan yang diperoleh dari Haygreen dan Bowyer (2007) B BB B = BB 1 + %KA 100 : Biomassa (kg) : Berat Basah (kg) %KA : Persentase kadar air (%) Pendugaan biomassa untuk wilayah revegetasi dengan jenis tanaman Acacia mangium menggunakan persamaan allometrik yang disusun oleh Heriansyah (2007), seperti ditunjukkan pada Tabel 2.5. Pendugaan biomasa untuk jenis Sungkai dilakukan menggunakan persamaan alometrik yang dibuat oleh Ketterings dkk, (2001), yaitu: Dimana B = 0,11ρD 2+0,62 B : Biomassa (kg) ρ : Berat jenis kayu (Sungkai = 0,63) 57

72 D : Diameter (cm) Perhitungan Karbon Pohon Biomassa hutan menurut Brown (1997) tersimpan dalam bentuk karbon sebesar 50% dari jumlah total biomassa. Berdasarkan perbandingan tersebut maka dapat dibuat faktor konversi sebesar 0,5. C=0,5B Dimana C B : jumlah stok karbon (kg) : biomassa (kg) Perhitungan Karbon Serasah Hairiah dkk, (2001) menjelaskan bahwa kandungan karbon di dalam serasah adalah sebesar 40% dari total biomassa, sehingga dapat diperoleh faktor konversi untuk biomassa serasah terhadap karbon adalah sebesar 0,4. C=0,4B C B : jumlah stok karbon (kg) : biomassa (kg) Pendugaan Nilai Biomassa Menggunakan Citra ALOS PALSAR Pendugaan nilai biomassa menggunakan citra ALOS PALSAR didasarkan pada hubungan antara nilai backscatter (hamburan balik) citra ALOS PALSAR dengan nilai biomassa yang diperoleh pada plot-plot ukur. Hasil hubungan antara backscatter dengan biomassa ini lah yang digunakan untuk menduga lokasi-lokasi lain sehingga diperoleh nilai dugaan simpanan biomassa pada wilayah yang lebih luas. Persamaan yang digunakan untuk merubah nilai dijital menjadi backscatter adalah sebagai berikut (Shimada dkk, 2009). Dimana BS = 10 Log10(DN 2 ) + CF 58

73 BS DN : Nilai backscatter (db) : Nilai dijital CF : Faktor kalibrasi (-83) (Jaxa, 2009) Nilai backscatter di ambil pada tiap-tiap titik pengamatan yang ditandai menggunakan GPS. Dengan software Erdas Imagine pada titik-titik tersebut dilihat dan dicatat nilai backscatter-nya untuk kemudian di regresikan dengan nilai biomassa menggunakan software Minitab/SPSS. Hasil regresi antara nilai backscatter dan nilai biomassa yang memiliki koefisien determinasi terkoreksi (R 2 ) paling tinggi dan RMSE (Root Mean Square Error) paling rendah akan dijadikan model terpilih untuk diverifikasi. Model yang telah diverifikasi berikutnya akan digunakan dalam pendugaan simpanan biomassa dalam wilayah yang lebih luas. Setelah dilakukan pendugaan terhadap luasan yang lebih luas, maka dapat dibuat peta biomassa sesuai dengan kriteria yang diperlukan Pemilihan Model Terbaik Model terbaik dipilih berdasarkan tiga kriteria yaitu thitung, RMSE dan koefisien determinasi (R 2 ). Hubungan regresi yang signifikan ditunjukkan oleh thitung< ttabel. Level toleransi (α) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05 dan Semakin kecil thitung maka dapat dikatakan hubungan regresi tersebut semakin signifikan. Model terbaik juga dipilih berdasarkan ketelitian model yang dilihat dari besarnya koefisian determinasi (R 2 ) yang menunjukkan persentase besarnya variasi peubah biomassa yang dapat diterangkan oleh peubah backscatter. Nilai R 2 berkisar antara 0 (nol) dan 100 %, dimana semakin tinggi nilai R 2 maka hubungan antar peubah semakin kuat. Berikut merupakan proses analisis regresi menggunakan model tertentu dimana R 2 yang dihasilkan sebesar 84.9%. 59

74 Verifikasi dan uji Normalitas Verifikasi model dilakukan untuk mengetahui apakah nilai dugaan biomassa yang dihasilkan oleh model terpilih tidak berbeda dengan nilai biomassa di lapangan. Verifikasi model dilakukan dengan menggunakan analisis uji T berpasangan (Paired T-Test), dimana apabila T hit 60

75 > T Tabel maka tolak H 0 atau nilai signifikansi 0,05. Apabila T hit < T tabel maka terima H 0 atau nilai signifikansi > 0,05. Hipotesis uji yang digunakan adalah: H 0 : μ 1- μ 2 = 0 (biomassa aktual = biomassa model) H 1 : μ 1- μ 2 0 (biomassa aktual biomassa model) Sebelum melakukan uji T berpasangan sebelumnya perlu dilakukan uji normalitas terhadap data verifikasi, baik terhadap biomassa aktual hasil pengukuran lapangan maupun biomassa hasil pendugaan model. Statistik uji model yang digunakan untuk sebaran normal adalah Lillefors (Kolmogorov-Smirnov) normality test. Hipotesis uji normalitas adalah: H 0 : Data menyebar normal H 1 : Data tidak menyebar normal α : 0,05 61

76 Tampilan verifikasi dan uji normalitas menggunakan SPSS 16 62

77 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi pertambangan aktif yaitu di PT. Bukit Asam Kabupaten Muara Enim, PT Bukit Sunur dan PT. Danau Mas Hitam di Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Pendugaan biomassa dilakukan dengan pendekatan citra satelit dalam hal ini ini citra satelit yang digunakan terdiri atas dua citra, yakni ALOS PALSAR (Advanced Land Observing Sattelit - Phased-Array type L- band Synthetic Aperture Radar) dan citra ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emision and Reflection Radiometer). Kedua citra ini memiliki karakteristik yang berbeda untuk menganalisis suatu objek di permukaan bumi. Sensor PALSAR memiliki empat jenis polarisasi yaitu HH, HV, VH dan VV. Karakteristik dari setiap polarisasi berbeda dan selalu bergandengan misalkan untuk polarisasi HH (horizontal-horizontal), HV (horizontal-vertikal), VV (vertikal-vertikal) dan VH (vertikal-horizontal). Polarisasi ini berguna untuk pembuatan citra komposit berwarna, dengan cara meletakkan setiap polarisasi pada guns Red, Green dan Blue. Karakteristik masing-masing tipe polarisasi tersebut antara lain: a. HH Memiliki transmisi berupa gelombang horizontal dan hanya menerima gelombang pantul horizontal pada antenanya. b. HV Memiliki transmisi berupa gelombang horizontal dan hanya menerima gelombang pantul vertikal pada antenanya. c. VH Memiliki transmisi berupa gelombang vertikal dan hanya menerima gelombang pantul horizontal pada antenanya. d. VV Memiliki transmisi berupa gelombang vertikal dan hanya menerima gelombang pantul vertikal pada antenanya. 61

78 Sensor Aster terdiri dari tiga macam instrumen yaitu VNIR, SWIR dan TIR. Ketiga sensor ini mempunyai resolusi spasial masing masing 15 meter, 30 meter dan yang terkecil adalah 90 meter. Dalam kajian ini citra yang dipakai untuk analisis biomassa di atas permukaan tanah adalah alos palsar polarisasi HH dan HV. Sedangkan untuk citra ASTER band yang digunakan adalah band NIR ( Near Infrared) dan Red yang memiliki respon terhadap biomassa dan berbanding lurus dengan nilai suatu biomassa. 5.1 Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. Bukit Asam Biomassa Pohon Hasil pengukuran diameter dan jumlah pohon pada plot-plot contoh yang tersebar pada setiap kelas umur disajikan pada Gambar 5.1 dan Tabel 5.1 Gambar 5.1. Pengukuran diameter Tabel 5.1 Data Pengukuran Pohon Kelas Umur Jumlah Plot Diameter (m) Jumlah Pohon I II III

79 Penentuan biomassa pada pohon akasia dilakukan berdasarkan pengukuran pohon contoh pada plot-plot contoh, dimana pohon contoh yang telah ditebang dan ditimbang dipilih pada setiap kelas umur yang ada. Setiap kelas umur diambil (ditebang) satu pohon contoh sehingga didapatkan empat pohon contoh untuk diukur berat basah sebagai bahan pengukuran biomassa. Penimbangan berat basah dilakukan langsung di lapangan setelah pohon contoh yang dipilih ditebang dan dibagi kedalam beberapa bagian yaitu akar, batang, ranting, dahan dan daun (Gambar 5.2). Data tentang pohon contoh meliputi berat basah, berat kering, dan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 1. Gambar 5.2. Kegiatan penebangan, pemisahan bagian-bagian pohon, penimbangan berat basah pohon per kelas umur Hasil pengukuran berat basah dan biomassa pada pohon contoh menunjukkan bahwa kandungan berat basah dan biomassa pohon contoh terbesar 63

80 terdapat pada bagian batang pohon (33,261%) (Tabel 5.2 dan Tabel 5.3). Secara kasar sekitar 40% atau 330 miliar ton karbon tersimpan dalam bagian pohon dan bagian tumbuhan hutan lainnya di atas permukaan tanah, sedangkan sisanya yaitu sekitar 60% atau 500 miliar ton tersimpan dalam tanah hutan dan akar-akar tumbuhan di dalam hutan (Suhendang 2002). Tabel 5.2 Berat Basah Pohon Contoh Pada Setiap Bagian (kg) Umur Akar Batang Ranting Dahan Daun Muda 8,3 39,5 3,5 6,5 12 Muda 2,5 12,5 1,5 4,5 9,1 Menengah ,4 Tua , ,3 Tabel 5.3 Biomassa Total (kg) Pohon Contoh Pada Setiap Bagian (kg) Umur Akar Batang Ranting Dahan Daun Muda 2,21 13,17 0,7 2,17 1,6 Muda 0,5 2,92 0,25 1,2 1,82 Menengah 10, ,5 11,67 5,91 Tua 6,72 242,13 8, ,77 Menggunakan persamaan pendugaan volume pohon (V= π/4 x d 2 x h x f) dengan angka bentuk (f) sebesar 0,7 dapat diduga volume pohon yang ditebang berdasarkan diameter (d) dan tinggi (h). hasil pendugaan volume dapat dilihat pada Tabel 5.4 Lokasi Banko Kelas Umur Muda Tabel 5.4 Pendugaan Biomasssa Diameter (cm) Tinggi (m) Karbon Pohon Volume BEF (kg) (m3) (ton/m3) ,63 0,067 0, ,34 0,02 0,18 PBM Sedang ,94 0,4 0,16 64

81 PBM Tua ,26 0,26 0,93 Selain menggunakan metode destruktif pendugaan biomassa juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode alometrik dengan menggunakan persamaan alometrik Brown (1997) yang diformulasikan oleh Heriansyah (2007). Pengukuran biomassa tegakan di lapangan untuk memperoleh data biomassa dihitung menggunakan hubungan alometrik dengan rumus Wi = a (D 2 H) b dimana parameter yang digunakan adalah diameter (D) dan tinggi (H). Alometrik tersebut digunakan dalam menduga nilai biomassa pada tegakan akasia di hutan tanaman pada daerah Sumatra Selatan dengan nilai R2 = 0,9892 (Heriansyah 2007). Beberapa penelitian lain juga melakukan pendugaan biomassa dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah data biomassa yang di ukur di lapangan dan kemudian menghubungkan data tersebut dengan data nilai backscatter citra. Dengan menganalisis hubungan tersebut, akan diperoleh persamaan yang bisa digunakan untuk menduga potensi biomassa melalui peta citra. Data berat basah serasah didapat dari subplot contoh berukuran 0,5 m 0,5 m. Contoh uji serasah diambil seberat 300 gram dari masing-masing kelas umur untuk menentukan kadar air serasah. Perhitungan biomassa dan serapan karbon pada serasah didapat berdasarkan data berat basah dan kadar air serasah Hasil Pengolahan Data Citra ALOS PALSAR Jenis data yang diambil dari citra ALOS PALSAR berupa nilai dijital (digital number) yang kemudian dikonversi menjadi nilai hamburan balik (backscatter). Konversi nilai dijital menjadi backscatter dilakukan menggunakan persamaan yang dirumuskan oleh (Shimada et al. 2009) : Dimana : BS = Backscatter (db) BS = 10 x Log10(dN² ) + CF (Shimada et al. 2009) 65

82 dn = Nilai dijital (degree) CF = Calibration factor dari Citra ALOS PALSAR peliputan tahun 2009 sebesar -83 (JAXA Publication) Sebaran nilai backscatter pada KU I untuk polarisari HH berkisar antara -34,7 db hingga -22,20 db, untuk KU II berkisar antara -30,91 db hingga -20,88 db, dan untuk KU III berkisar antara -30,032 db hingga -17,938 db sedangkan untuk hutan sekunder berkisar antara -32,789 sampai -20,815 db. Sedangkan sebaran backscatter pada KU I untuk polarisasi HV berkisar antara -43,819 db hingga -33,399 db, untuk KU II berkisar antara -39,026 db hingga -30,032 db, dan untuk KU III berkisar antara 47,582 db hingga -28,449 db sedangkan untuk hutan sekunder berkisar antara - 30,798 hingga -28,814. Polarisasi HV memiliki nilai backscatter lebih rendah dibandingkan dengan polarisasi HH, hal tersebut dikarenakan polarisasi HV lebih sensitif dalam menduga nilai biomassa di atas permukaan pada kondisi permukaan yang datar dibandingkan di tempat yang bergelombang (Wijaya 2009) Backscatter polarisasi HV cenderung memiliki korelasi yang lebih erat dengan biomassa tegakan dibanding nilai-nilai backscatter polarisasi HH (Saleh 2010 dalam Tiryana 2011). Pada plot-plot dengan kelas umur muda, kondisi vegetasi di lapangan yang rapat, pendugaan biomassa dengan menggunakan backscatter cenderung memiliki nilai yang lebih besar, atau sebaliknya pada plot-plot dengan kelas umur tua dan memiliki kondisi vegetasi di lapangan yang kurang rapat, pendugaan biomassa dengan menggunakan backscatter akan lebih kecil. Hal ini dikarenakan hubungan antara biomassa dan backscatter dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah heterogenitas atau homogenitas hutan, topografi, tutupan tajuk, dan salah satunya adalah kerapatan tegakan Penyusunan dan Pemilihan Model Penyusunan model hubungan antara biomassa di atas permukaan tanah dengan nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR menggunakan beberapa model matematika sebagai berikut : 66

83 Tabel 5.5 Model Pendugaan Biomassa Jenis Model Model Linier Model eksponensial Inverse polynomial Schumacher Bentuk Model Y = a+bx Y = Exp(a+bX) Y = X/(a+bX) Y = a*(exp(b/x)) Sebelum dilakukan penyusunan model, perlu dilakukan analisis terhadap hubungan antara sebaran data backscatter yang diekstraksi dari citra ALOS PALSAR dengan nilai biomassa diatas permukaan tanah yang dihitung berdasarkan alometrik Heriansyah (2007). Berdasarkan hubungan antara dua variable tersebut dimana backscatter sebagai variabel peubah bebas dan biomassa diatas permukaan sebagai variabel peubah terikat, dapat dilihat jenis persamaan yang akan dibuat sebagai model dan untuk menjelaskan hubungan antara dua variable tersebut secara matematis. Untuk melihat pola sebaran dan hubungan kedua variabel tersebut digunakan diagram pencar (scatter-plot) antara nilai-nilai backscatter (pada sumbu X) dengan nilai-nilai biomassa diatas permukaan tanah dari plot-plot contoh (pada sumbu Y) (Gambar 5.3 dan 5.4). Sebaran titik yang digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa pada daerah revegetasi PT. Bukit Asam adalah sebanyak 30 titik yang tersebar antara KU I hingga KU III termasuk hutan sekunder (Tabel 5.6). Tabel 5.6 Nilai biomassa menggunakan alometrik Heriansyah (2007) pada setiap titik plot pengukuran yang digunakan dalam pembangunan model pendugaan simpanan biomassa PT. Bukit Asam PLOT BS_HH BS_HV BIOMASSA ALOMETRIK BA BA

84 MTS MTS BA SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP MTS PBM PBM BA BA BA PBM PBM PBM PBM PBM HT HT HT HT

85 Proporsi masing-masing kelas umur (KU) dalam pembuatan model terbaik yaitu sebanyak 4 titik untuk KU I, 14 titik untuk KU II, 8 titik untuk KU III dan 4 titik untuk hutan sekunder. Hubungan yang lebih erat diperoleh pada hubungan antara biomassa dengan backscatter polarisasi HV dibandingkan dengan hubungan antara biomassa dengan backscatter polarisasi HH, dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 73,3% untuk backscatter polarisasi HV dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 54,1% untuk backscatter polarisasi HH. Gambar 5.3 dan 5.4 disajikan kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik dengan nilai backscatter pada polarisasi HH dan backscatter polarisasi HV. BIOMASSA BIOMASSA Poly. (BIOMASSA) 50 0 y = 1,8564x ,79x ,6 R² = 0, Gambar 5.3 Kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik (Y) dengan nilai backscatter HH (X). BIOMASSA BIOMASSA Poly. (BIOMASSA) y = 2,7974x ,98x ,6 R² = 0,

86 Model Rsquare RMSE thitung ttable Sig Gambar 5.4 Kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik (Y) dengan nilai backscatter HV (X). Penaksiran biomassa menggunakan teknik regresi dengan model persamaan yang baik adalah sangat disarankan, karena relatif sederhana, dan secara statistik dapat dipertanggungjawabkan. Persamaan alometrik biomassa terpilih adalah persamaan yang memiliki nilai R 2 yang besar (mendekati 100%), dan nilai RMSE yang paling kecil (Sembiring 2003). Pada penelitian ini model terbaik untuk menduga kandungan biomassa diatas permukaan tanah didasarkan pada dua kriteria yaitu besarnya koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) dan Root Mean Square Error (RMSE). (R 2 adj) menunjukkan presentase besarnya variasi peubah biomassa yang dapat dijelaskan oleh peubah backscatter dan Root Mean Square Error (RMSE) menunjukkan indikator kesalahan yang didasarkan pada total kuadratis dari simpangan antara hasil model dengan hasil di lapangan. Pada Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa model terbaik untuk menduga biomassa dengan menggunakan backscatter polarisasi HH adalah model eksponensial dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) sebesar 68,2% yang berarti besarnya variasi peubah biomassa yang dapat dijelaskan oleh peubah backscatter sebesar 68,2 % dan RMSE sebesar 45,49 yang menunjukkan kesalahan yang didasarkan pada total kuadratis dari simpangan antara hasil model dengan hasil perhitungan di lapangan. Bentuk persamaan dari model terbaik yang dibentuk pada backscatter polarisasi HH yaitu Y = Exp(9.691+(0,228 BS_HH)). Tabel 5.7 Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa dengan backscatter polarisasi HH citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m PT. Bukit Asam 70

87 Y=Exp(9.691+(0.228xBS_HH)) 68,20% 45,49 2,03 2,037 2,739 0,05 Y=(0.966(Exp( /BS_HH)) 65,40% 47,48 1,93 2,037 2,739 0,06 Y= (16.801xBS_HH) 56% 53,48 2,03 2,037 2,739 0,5 Y=BS_HH/( xBS_HH) 54,10% 54,62 1,65 2,037 2,739 0,11 Keterangan: Y = Nilai Biomassa BS HH = Nilai Backscatter pada Citra Alos Palsar Polarisasi HH Model untuk menduga biomassa terbaik dengan menggunakan backscatter polarisasi HV adalah model Polynomial dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2 adj)sebesar 73,3 % yang berarti besarnya variasi peubah biomassa yang dapat dijelaskan oleh peubah backscatter sebesar 73,3 % dan kesalahan yang didasarkan pada total kuadratis dari simpangan antara hasil model dengan hasil perhitungan di lapangan atau RMSE sebesar 41,65 pada bentuk persamaan Y=BS_HV/(2,588+0,094xBS_ HV) (Tabel 5.8). Tabel 5.8 Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa dengan backscatter polarisasi HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m PT. Bukit Asam. Tabel 5.8 Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa dengan backscatter polarisasi HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m PT. Bukit Asam Model Rsquare RMSE thitung ttabel Sig Y=Exp( (0.308xBS_HV)) 69.30% Y=(0.07(Exp( /BS_HV)) 71.20% Y= (17.595xBS_HV) 53% Y=BS_HV/( xBS_HV) 73.30% Keterangan: Y = Nilai Biomassa BS HV = Nilai Backscatter pada Citra Alos Palsar Polarisasi HV 71

88 Pada model pendugaan biomassa terbaik dengan backscatter polarisasi HH dan HV, thitung dan Sig digunakan sebagai indikator bahwa model tersebut dapat digunakan dengan syarat thitung < ttabel atau Sig > 0,05 (taraf nyata 5%) maka model tersebut dapat digunakan dalam menduga biomassa. Dari kedua model yang dihasilkan, model tersebut memiliki nilai thitung kurang dari ttabel dan Sig lebih dari 0,05 sehingga model tersebut layak untuk digunakan dalam menduga biomassa. Hasil penyusunan model regresi antara nilai biomassa alometrik Heriansyah (2007) dengan nilai backscatter pada masing-masing polarisasi menunjukkan bahwa secara umum model terbaik adalah model dengan persamaan eksponensial. Dari syarat yang telah ditentukan, kedua model tersebut dapat digunakan untuk menduga biomassa, namun hanya satu model yang akan dipilih dalam menduga biomassa, yaitu model yang dihasilkan oleh backscatter polarisasi HV. Selain memiliki nilai R2 adj yang lebih besar dan RMSE yang lebih kecil, nilai-nilai backscatter polarisasi HV cenderung memiliki korelasi yang lebih erat dengan biomassa tegakan dibanding nilai-nilai backscatter polarisasi HH (Saleh 2010). Hasil dari kedua model terbaik untuk menduga biomassa dengan variable backscatter polarisari HH maupun HV, dapat dilihat polarisasi silang (HV) dari memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan polarisasi searah (HH). Hal tersebut juga dibenarkan pada berbagai studi mengenai pendugaan biomassa di daerah lain. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Awaya (2009) di daerah Palangkaraya, dalam studinya tersebut dilakukan analisis terhadap hubungan antara biomassa dan koefisien backscatter dari data PALSAR dengan menggunakan analisis regresi. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa polarisasi HV menunjukkan hubungan yang lebih baik dengan biomassa dibandingkan dengan polarisasi HH. Merujuk pada hasil koefsien determinasi terkoreksi (R2 adj) dan nilai RMSE yang dijadikan sebagai dasar pemilihan model pendugaan biomassa, maka model terbaik yang digunakan untuk menduga biomassa di atas permukaan tanah pada 72

89 areal revegetasi PT. Bukit Asam adalah model polinomial pada varibel backscatter polarisasi HV yaitu Y = BS_HV/( xBS_HV) Verifikasi Model Verifikasi model pendugaan biomassa dilakukan untuk mengetahui apakah nilai dugaan biomassa yang dihasilkan oleh model terpilih tidak berbeda dengan nilai biomassa di lapangan. Verifikasi model dilakukan secara pusposive pada citra sebanyak 32 titik plot pengamatan dilapangan. Verifikasi model dilakukan dengan membandingkan antara hasil perhitungan biomassa alometrik Heriansyah (2007) yang diasumsikan sebagai biomassa aktual dengan nilai biomassa yang diperoleh dari model yang terpilih yaitu model Y = BS_HV/( xBS_HV pada backscatter polarisasi HV. Verifikasi model pendugaan biomassa dilakukan dengan menggunakan analisis uji t-berpasangan (paired t-test), dengan ketentuan apabila thitung < ttabel maka terima H0 atau signifikasi > 0,05 dan apabila thitung > ttabel maka tolak H0 atau signifikasi < 0,05. Dimana hipotesis uji yang diberlakukan adalah sebagai berikut: H 0 : μ1 - μ2 = 0 (Biomassa aktual = biomassa model) H 1 : μ1 - μ2 0 (Biomassa aktual biomassa model) Hasil uji t-berpasangan yang dilakukan terhadap model yang terpilih tabel 5.9 telah sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan (thitung < ttabel maka terima H 0 atau signifikasi > 0,05) dengan nilai thitung sebesar -0,478 yang memiliki nilai lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 2,04 atau signifikasi lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,636. Artinya model terpilih memiliki nilai pendugaan biomassa di atas 73

90 permukaan tanah yang tidak berbeda nyata dengan nilai biomassa aktual di lapangan. Tabel 5.9. Data verifikasi model pendugaan biomassa Plot KU BS_HH BS_HV Biomassa Aktual Ton/Ha Biomassa Model (BS_HV) BA BA BA BA MTS MTS MTS SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP MTS MTS BA BA BA BA BA BA PBM PBM PBM HTN1 Sekunder HTN3 Sekunder HTN4 Sekunder HTN5 Sekunder HTN6 Sekunder Kandungan Karbon (C-stock) dihitung dengan menggunakan pendekatan biomassa dengan asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan. Maka 74

91 BIOMASSA Ton/Ha diperoleh rata-rata nilai biomassa dan karbon tersimpan untuk tahun 2007 dan 2010 yang disajikan pada Tabel 5.10 Tabel 5.10 Nilai Rata-rata Biomassa dan Karbon (C-stock) PT Bukit Asam Tahun Biomassa Total Rata-rata Carbon Rata-rata Karbon (Ton) Biomassa(ton/ha) Total (Ton) (Ton/Ha) ,04 237, ,02 118, ,12 270, ,56 135,37 Untuk tahun 2007, pendugaan biomassa pada PT Bukit Asam menghasilkan potensi rata-rata simpanan biomassa sebesar 237,657 ton/ha dan pada tahun 2010 potensi rata-rata simpanan biomassanya meningkat menjadi 270,758 ton/ ha. Kandungan rata-rata (C-Stock) simpanan karbon sebesar 118,829 Ton/Ha dan pada tahun 2010 adalah 135,379 Ton/Ha Peta Sebaran Biomassa dan Akurasi Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terbaik yang terpilih, yaitu model yang dihasilkan oleh polarisasi HV (Tabel 5.9) dengan persamaan Y = BS_HV/( xBS_HV. Peta sebaran biomassa dibuat ke dalam tiga kelas biomassa. Grafik distribusi kelas biomassa disajikan pada Gambar Grafik Distribusi Biomassa RENDAH SEDANG TINGGI

92 Gambar 5.5 Grafik Distribusi Biomassa Selang kelas biomassa pada Tabel 5. 11dan Tabel 5.12 digunakan sebagai acuan klasifikasi dalam pembuatan peta sebaran biomassa berdasarkan model hubungan Biomassa dengan nilai backscatter pada Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Tabel 5.11 Selang kelas biomassa yang digunakan untuk membuat peta sebaran biomassa tahun 2007 Kelas Biomassa Kisaran Nilai Biomassa (ton/ha) Luas (ha) , , ,375 Tabel 5.12 Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun 2010 Kelas Biomassa Kisaran Nilai Biomassa (ton/ha) Luas (ha) Pada hasil penelitian ini kelas biomassa rendah untuk tahun 2007 memiliki luas 7.871,25 kelas biomassa sedang seluas 2.413,125 ha dan kelas biomassa tinggi seluas ,375 ha. Dari nilai diatas dapat diartikan bahwa susunan tegakan dominan di areal revegatasi tambang terbanyak terdapat pada kelas umur III atau kelas umur tua. Sedangkan pada tahun 2010 biomassa rendah memiliki luas 6.670,08 ha, biomassa sedang seluas ha dan luas areal terbanyak terdapat pada kelas umur III yaitu sebesar ha. Terjadi penurunan luas terhadap kelas umur I dan III dalam 3 tahun yang disebabkan oleh kegiatan penambangan batubara atau pembukaan lahan tambang, tetapi untuk tahun 2010 terjadi peningkatan luasan untuk kelas umur menengahyaitu seluas 1.585,875. Berdasarkan model pendugaan biomassa pada Y=BS_HV(2, ,094 v BS_HV) dan selang kelas biomassa pada Tabel 5.11 dibuat peta sebaran biomassa 76

93 pada citra ALOS PALSAR polarisasi HV resolusi 12,5 m tahun 2007 dan tahun Peta sebaran biomassa pada daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.6 dan Gambar 5.7. TAHUN

94 Gambar 5.6 Peta sebaran PT Bukit Asam tahun

95 TAHUN 2010 Gambar 5.7 Peta sebaran biomassa PT Bukit Asam tahun

96 5.2 Hasil Pengambilan dan Pengolahan data di PT. Bukit Sunur Biomassa Pohon Pengolahan data di lapangan dilakukan dengan menduga biomassa atas permukaan (BAP/above-ground biomass) pada tiap plot menggunakan persamaan alometrik. Model alometrik yang digunakan untuk menghitung biomassa atas permukaan pada kegiatan ini adalah model alometrik Heriansyah (2007), dimana parameter yang digunakan adalah diameter (D) dan tinggi pohon (H) dengan rumus: W = a(d 2 H) b (Heriansyah 2007) Keterangan: W = Nilai biomassa a = nilai dugaan parameter (-log a) (tabel 5.12) b = nilai dugaan parameter (b) (tabel 5.12) D H = diameter (cm) = tinggi (m) Nilai parameter a dan b dalam persamaan alometrik Heriansyah (2007) yang digunakan untuk memperkirakan biomassa Acacia mangium menggunakan kombinasi diameter dan tinggi disajikan pada Tabel Tabel 5.13 Nilai parameter a dan b dalam alometrik Heriansyah (2007) Biomassa Pohon Umur (tahun) -log a b Batang Cabang Daun

97 Berdasarkan data hasil pengukuran lapangan yang dilakukan di areal reklamasi tambang PT. Bukit Sunur Provinsi Bengkulu, data meliputi tiga bagian kelas umur yakni kelas muda (KU I) sebanyak 13 plot, kelas menengah (KU II) sebanyak 20 plot dan kelas tua (KU III) sebanyak 15 plot. Pengukuran dilakukan pula pada komposisi hutan sekunder dengan jumlah plot sebanyak 8 plot. Setiap plot pada tiap kelas umur mempunyai nilai biomassa yang berbeda-beda tergantung dari diameter, tinggi dan jumlah pohon di dalam plot tersebut. Jumlah pohon pada setiap kelas umur disajikan pada Tabel Tabel 5.14 Data pengukuran plot contoh lokasi reklamasi PT. Bukit Sunur Kelas umur Jumlah plot Diameter (cm) Jumlah pohon Secara umun peningkatan kelas diameter setinggi dada (Dbh) akan meningkatkan biomassa beberapa bagian pohon acasia mangium. Proporsi biomassa merupakan persentase besarnya biomassa pada bagian pohon terhadap biomassa total tanaman. Batang memiliki kadar karbon yang terbesar karena pada masa pertumbuhan dan masa produktif, pohon menyerap karbon melalui daun dalam proses fotosintesis dan hasilnya langsung disebar ke seluruh bagian pohon yang lain. Bagian pohon yang mampu menyimpan lebih banyak adalah pada bagian terbesar yaitu batang. Sedangkan daun umumnya tersusun oleh banyak rongga stomata yang berfungsi untuk pertukaran gas sehingga kurang padat dan tidak banyak menyimpan karbon. Tingginya kadar karbon pada bagian batang disebabkan karena unsur karbon menurut Hilmi (2003) dalam Limbong (2009) merupakan bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Kayu secara umum tersusun oleh selulosa, lignin dan bahan ekstraktif yang sebagian besar disusun dari unsur karbon. Kadar karbon bagian batang pohon penting dalam menduga potensi karbon tegakan dan banyak digunakan sebagai dasar perhitungan dalam 79

98 pendugaan karbon. Ini erat hubungannya dengan dimensi diameter (Dbh) sebagai indikator penting dalam kegiatan pengukuran dan perencanaan hutan. Variasi kadar karbon berdasarkan variasi diameter dan umur tanaman, adanya korelasi positif antara pertambahan diameter dan umur dengan pertambahan kadar karbon. Demikian juga terdapat variasi kadar karbon pohon dimana bagian pangkal memiliki kadar karbon yang paling besar dan semakin keatas bagian ujung batang dan bagian pohon lainnya seperti cabang, ranting dan daun semakin kecil. Fenomena ini cenderung sama dengan kandungan bahan organik dan produksi biomassa pohon, variasi ini sangat dipengaruhi oleh berat jenis, kerapatan kayu dan kadar air pada setiap bagian jaringan pohon. Dalam pengambilan data di lapangan dilakukan pengambilan sample serasah untuk menduga biomassa yang dihasilkan oleh serasah hutan. Serasah didefinisikan sebagai bahan organik mati yang berada di atasa tanah mineral. Hanya kayu mati yang ukuran diameternya kurang dari 10 cm diaktegorikan sebagi serasah. Serasah umumnya diestimasi biomassanya dengan metode pemanenan/pengumpulan. Serasah dipilahkan lagi menjadi lapisan atas dan bawah. Lapisan atas disebut serasah yang merupakan lapisan di lantai hutan yang terdiri dari guguran daun segar, ranting, serpihan kulit kayu, lumut dan lumut kerak mati, dan bagian-bagian buah dan bunga. Data serasah yang diambil adalah serasah yang terdapat di atas lantai hutan berupa dedaunan, serpihan kayu, kerak mati, lumut dan bagian-bagian kescil dari pohon yang jatuh di lantai hutan. Data yang diambil untuk serasah berupa titik dengan luas 50 cm x 50 cm sebanyak 5 titik. Sample serasah tersebut ditimbang berat basahnya di lapangan. Hasil serasah yang diperoleh lalu dioven untuk mendapatkan berat kering dan kadar air yang terdapat pada tingkat lantai hutan. Tabel 5.15 merupakan hasil pengolahan data serasah yang diperoleh di PT. Bukit Sunur. Tabel 5.15 Data pengolahan sample serasah Kelas Umur Berat Kering Sampel Berat Basah Total Biomassa Serasah (kg) Biomassa Serasah Total (kg) Karbon Serasah Total (kg) 80

99 (gr) (kg) I II III Kandungan biomassa tertinggi terdapat pada serasah usia muda dengan total biomassa sebesar 4,4032 kg sedangkan untuk karbon sebesar 2,2016 kg. Besarnya serapan karbon dalam tegakan hutan tergantung dari besarnya biomassa hutan. Biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga serapan karbon yang terdapat dalam vegetasi karena 50% biomassa tersusun oleh karbon (Brown, 1997). Peningkatan jumlah biomassa akan diikuti oleh peningkatan jumlah karbon Hasil Pengolahan Data Citra Penelitian ini dilakukan di wilayah Bengkulu yang termasuk zone 48S datum WGS-84. Citra digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ASTER level1b tahun 2011 dan tahun Pemrosesan citra digital untuk analisis kajian biomassa meliputi penggabungan band (layer stacking), koreksi citradigital (koreksi geometrik), dan transformasi citra (RGB). Transformasi citra ini merupakan teknik penajaman yang digunakan untuk membuat citra komposit ASTER yang jelas untuk menunjukkan obyek bentuk lahan dan karakteristik tutupan lahan. Pantulan spektral suatu vegetasi sangat dipengaruhi oleh kandungan klorofil, struktur internal daun, kondisi kesehatan tumbuhan dan kandungan air pada daun. Pantulan spektrum untuk vegetasi sehat berdaun hijau dipengaruhi oleh zat pigmen tumbuhan. Klorofil menyerap energi pada panjang gelombang sekitar 0.4 µm dan 0.6 µm sehingga vegetasi sehat terlihat berwarna hijau yang disebabkan oleh besarnya penyerapan energi pada spektrum hijau. Pantulan vegetasi sehat meningkat pada rentang 0.7 µm dan 1.3 µm dimana tumbuhan memantulakan 50% tenaga yang datang dan sisanya akan ditransmisikan. Domain panjang gelombang infrared berkisar antara 0.7 µm sampai dengan 300 µm dan dapat dibagi lagi menjadi beberapa subdomain, yaitu NIR (Near Infrared), SWIR (Short Wavelength 81

100 InfraRed), TIR (Thermal InfraRed). NIR dan SWIR yang terdapat pada citra aster ataupun pada citra optik lainnya sering dikenal sebagai reflected infrared atau dikatakan untuk metode remote sensing permukaan bumi dan dapat digambarkan oleh film fotografi. TIR juga digunakan untuk metode pengamatan remote sensing tetapi untuk TIR tidak bisa digambarkan oleh film fotografi melainkan dengan sensor mekanik. Dalam suatu analisis digital pada sistem penginderaan jauh, dikenal suatu teknik manipulasi yang bertujuan untuk menonjolkan kenampakan-kenampakan khusus. Teknik tersebut sering disebut dengan penajaman citra, yang dapat dilakukan dalam tiga cara, yaitu manipulasi contrast (contrast manipulation), manipulasi kenampakan spasial (spatial feature manipulation), dan manipulasi multicitra (multi-image manipulation). Masing-masing cara dalam manipulasi tersebut mempunyai fungsi dan tujuan sendiri-sendiri. Tiga unsur utama dipermukaan bumi yang dapat diindera secara langsung melalui sistem penginderaan jauh adalah obyek vegetasi, tanah, dan air. Pada kurva pantulan spektral antara obyek vegetasi, tanah, dan air, vegetasi mempunyai pantulan. spektral yang kuat pada panjang gelombang 0,7 µm ± 1,3 µm (spectrum inframerah dekat). Pada panjang gelombang 0,45 µm ± 0,67 (spektrum biru dan merah) µm akan terjadi penyerapan energi secara kuat oleh klorofil daun, sehingga akibatnya mata manusia akan melihat warna vegetasi tampak hijau. Pantulan yang kuat pada spektrum inframerah dekat disebabkan karena struktur internal daun (yang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan). Terdapat beberapa macam cara untuk menentukan nilai indeks vegetasi, yaitu dengan membandingkan beberapa saluran (citra rasio, normalisasi, dan hasil transformasi), dengan membuat selisihnya (different vegetation index), citra index vegetasi hasil kebakaran (Ashburn vegetation index), model Tasseled Cap, dan perpendicular vegetation index. Dalam beberapa penelitian tentang penggunaan transformasi index vegetasi, terdapat hubungan yang sangat erat antara kerapatan tajuk dengan nilai kecerahan pada hasil transformasi indeks 82

101 vegetasi. Semakin tinggi kerapatan tajuk maka akan semakin tinggi pula nilai kecerahan pada saluran hasil transformasi indek vegetasinya. Transformasi indek vegetasi merupakan salah satu proses penajaman dengan membuat citra perbandingan dari beberapa saluran. Tujuan dari penggunaan teknik transformasi ini adalah menonjolkan kenampakan vegetasi agar indeks yang didapat mempunyai nilai yang pasti, yaitu antara 0 dan 1, dimana selisih antara pantulan inframerah dekat dinormalisasi dengan cara membagi dengan jumlah dari keduanya. NDVI merupakan suatu transformasi yang menggunakan kombinasi antara teknik penisbahan dan teknik pengurangan citra dan dapat menonjolkan aspek kerapatan vegetasi. NDVI dipilih karena formula ini telah dikenal luas dalam penginderaan jauh untuk studi vegetasi. Meskipun sederhana, namun terbukti memiliki kemampuan untuk menonjolkan fenomena yang terkait dengan kerapatan vegetasi dengan menekan sumber-sumber variasi spektral lain. Nilai hasil transformasi indeks vegetasi berkisar antara +1 hingga -1. Formula NDVI adalah sebagai berikut : NDVI = inframerah dekat saluran merah inframerah dekat+saluran merah...(1) atau NDVI = band 3N band 2 band 3N+band 2...(2) Berdasarkan formula tersebut diatas maka diperoleh kisaran nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) pada KU I sebesar sampai dengan yang diambil pada data 13 plot, KU II berkisar antara sampai pada pengambilan data sebanyak 20 plot sedangkan KU III berkisar antara sampai pada pengambilan data sebanyak 15 plot. Sedangkan untuk komposisi hutan sekunder kisaran nilai NDVI antara sampai pada pengambilan plot sampel sebanyak 8 plot Penyusunan Model Hubungan NDVI dengan Biomassa 83

102 Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa nilai NDVI memiiki korelasi dengan biomassa. Korelasi faktor biofosik dengan NDVi yang berkorelasi kuat pada penutupan kanopi, biomassa dan sensitif terhadap klorofil terjadi karena faktor biofisik yang diukur semuanya terkait dengan tingkat kehijauan. Analisis hubungan antara NDVI dan biomassa di tunjukan pada scatter berikut ini (Gambar 5.8, 5.9 dan 5.10). Model Biomassa Eksponensial Biomassa Ton/Ha Expon. (Biomassa Ton/Ha) y = 1606,9e 6,0446x R² = 0, ,8-0,6-0,4-0,2 0 Gambar 5.8 Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Eksponensial Model Biomassa Polynomial Biomassa Ton/Ha Poly. (Biomassa Ton/Ha) y = -1858,6x ,4x - 77,192 R² = 0, ,8-0,6-0,4-0,2 0 Gambar 5.9. Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan polynomial 84

103 Model Biomassa Linear ,8-0,6-0,4-0, Biomassa Ton/Ha Linear (Biomassa Ton/Ha) y = 477,91x + 323,85 R² = 0,4752 Gambar Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Linear Sebaran titik yang digunakan untuk membangun model pendugaaan biomassa pada daerah revegetasi PT. Bukit Sunur adalah sebanyak 30 titik yang tersebar antara KU I hingga KU III (Tabel 5.16). T abel 5.16 Sebaran titik penyusun model pendugaan biomassa di areal revegetasi tambang batubara PT. Bukit Sunur tahun 2012 PLOT KU NDVI Biomassa (ton/ha) ART ART ARTB ARTB ARTB ARTB ARTB SET SET SET SET ARTU ARTU

104 ART ARTB ARTB ARTB ARTB SET SET SET SET SET SET SET HT-1 sekunder HT-2 sekunder HT-3 sekunder HT-5 sekunder HT-6 sekunder Model yang terpilih untuk menduga biomassa atas permukaan ini didasarkan pada prosedur semua kemungkinan regresi dengan tiga kriteria, yaitu koefisien determinasi (R 2 ) terbesar, RMSE terkecil, dan juga t hitung terkecil. Oleh karena itu, pada Tabel 5.17 model yang terpilih adalah model linear dengan Y= ( xNDVI). Model ini menerangkan bahwa peubah bebas NDVI sangat berperan dalam menjelaskan peubah terikat berupa biomassa atas permukaan sebesar 47.5 %. Tabel 5.17 Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Biomassa dan NDVI citra ASTER di PT. Bukit Sunur No Model R 2 (%) RMSE t hitung t tabel Sig 1 Y= ( xNDVI) Y=16.469(EXP(-0.778/NDVI)) Y =EXP(6.555+(4.324xNDVI) Pada model pendugaan biomassa terbaik dengan NDVI, t hitung dan Sig digunakan sebagai indikator bahwa model tersebut dapat digunakan dengan syarat t hitung < t table maka model tersebut dapat digunakan dalam menduga biomassa. Dari 86

105 model diatas, nilai t hitung yang diperoleh kurang dari t table sehingga model tersebut layak untuk pendugaan biomassa. Hasil penyusunan model regresi antara nilai biomassa alometrik Heriansyah (2007) menunjukan secara umum model terbaik adalah model dengan persamaan linear. Dari syarat yang telah ditentukan persamaan linear memiliki nilai R 2 lebih besar dan RMSE yang lebih kecil. Berikut ini disajikan kurva sebaran model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik dengan nilai NDVI menggunakan persamaan linear. Model Biomassa Linear Biomassa Ton/Ha Linear (Biomassa Ton/Ha) y = 477,91x + 323,85 R² = 0, ,8-0,6-0,4-0, Gambar 5.11 kurva sebaran titik model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik dengan nilai NDVI menggunakan persamaan exponensial Verifikasi Model Verifikasi model pendugaan biomassa dilakukan untuk mengetahui apakah nilai dugaan biomassa yang dihasilkan oleh model terpilih tidak berbeda dengan nilai biomassa di lapangan. Verifikasi model dilakukan secara pusposive pada citra sebanyak 26 titik plot pengamatan dilapangan. Verifikasi model dilakukan dengan membandingkan antara hasil perhitungan biomassa alometrik Heriansyah yang diasumsikan sebagai biomassa aktual dengan nilai biomassa yang diperoleh dari model yang terpilih yaitu model Y= ( xNDVI). Verifikasi model 87

106 pendugaan biomassa dilakukan dengan menggunakan analisis uji t-berpasangan (paired t-test), dengan ketentuan apabila thitung < ttabel maka terima H 0 atau signifikasi > 0,001 dan apabila thitung > ttabel maka tolak H 0 atau signifikasi < 0,001. Dimana hipotesis uji yang diberlakukan adalah sebagai berikut: H0 : μ1 - μ2 = 0 (Biomassa aktual = biomassa model) H1 : μ1 - μ2 0 (Biomassa aktual biomassa model) Hasil uji t-berpasangan yang dilakukan terhadap model yang terpilih telah sesuai dengan kaedah yang telah ditentukan (thitung < ttabel maka terima H0 atau signifikasi > 0,001) dengan nilai thitung sebesar yang memiliki nilai lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar Artinya model terpilih memiliki nilai pendugaan biomassa di atas permukaan tanah yang tidak berbeda nyata dengan nilai biomassa aktual di lapangan (Tabel 5.18). Tabel 5.18 Data verifikasi persamaan regresi terpilih PT. Bukit Sunur PLOT KU NDVI Biomassa Alometrik (Ton/Ha) Biomassa_model (Ton/Ha) SE SE SE SE SE SE SE SE SE ARTU ARTU ARTU ARTU ART ART ARTB ARTB ARTB ARTB ARTB ARTB ARTB SET HT-4 sekunder

107 HT-7 sekunder HT-8 sekunder Kandungan Karbon (C-stock) dihitung dengan menggunakan pendekatan biomassa dengan asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan. Maka diperoleh data biomassa dan data karbon tersimpan untuk tahun 2007 dan 2011 pada Tabel Tabel 5.19 Kandungan Karbon (C-stock) PT Bukit Sunur Tahun Biomassa Total (Ton) Biomassa Rata-rata (Ton/ha) Karbon Total (Ton) Rata-rata Karbon (Ton/Ha) , , , , , , , ,467 Untuk tahun 2007, pengukuran pada PT Bukit Sunur menghasilkan potensi rata-rata simpanan biomassa adalah sebesar 334,912 ton/ha dan pada tahun 2011 potensi rata-rata simpanan biomassanya meningkat menjadi 448,934 ton/ha. Kandungan karbon total (C-Stock) sebesar 2425,256 Ton dan pada tahun 2011 adalah 3005,770 Ton. Sedangkan kandungan biomassa total pada lokasi penelitian PT. Bukit Sunur Bengkulu mencapai Ton pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 6011,541 Ton pada tahun Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terpilih yang disajikan pada Tabel Peta sebaran biomassa ini berisi informasi mengenai sebaran biomassa di tiga bagian hutan reklamasi PT. Bukit Sunur. Peta ini dibuat dalam kelas yang nilainya berupa selang biomassa dimana setiap kelas diwakili oleh warna yang berbeda. Tabel 5.20 Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun 2007 Kelas Biomassa Kisaran Nilai Rata-rata Luas (ha) 89

108 Biomassa (ton/ha) Tabel 5.21 Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun 2011 Kelas Biomassa Kisaran Nilai Rata-Rata Luas (ha) Biomassa (ton/ha) Pada hasil penelitian ini kelas biomassa rendah untuk tahun 2007 memiliki luas ha kelas biomassa sedang seluas ha dan kelas biomassa tinggi seluas ha. Dari nilai diatas dapat diartikan bahwa susunan tegakan dominan di areal revegetasi tambang terbanyak terdapat pada kelas umur I. Sedangkan pada tahun 2011 luas areal terbanyak terdapat pada kelas umur I yaitu sebesar ha yang artinya dalam 4 tahun terakhir kegiatan reklamasi di PT. Bukit Sunur cukup tinggi dan terjadi penambahan luasan seluas ha. Untuk kelas umur II diperoleh luasan seluas ha dan untuk kelas III seluas ha. Peta sebaran biomasssa hasil dari pendugaan dengan model terbaik disajikan pada Gambar 5.12 dan Peta Sebaran Biomassa Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terbaik yaitu model persamaan eksponensial Y= ( xNDVI). Peta sebaran biomassa dibuat kedalam tiga kelas biomassa. Berikut merupakan peta sebaran biomassa pada lokasi kegiatan pertambangan PT. Bukit Sunur, Bengkulu tahun 2007 dan

109 Gambar Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT. Danau Mas Hitam, Bengkulu dengan menggunakan citra ASTER VNIR resolusi 15 m tahun perekaman

110 Gambar Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT. Bukit Sunur, Bengkulu dengan menggunakan citra ASTER VNIR resolusi 15 m tahun perekaman

111 5.3 Hasil Pengambilan dan Pengolahan data di PT. Danau Mas Hitam Biomassa Pohon Pengolahan data di lapangan dilakukan dengan menduga biomassa atas permukaan (BAP/above-ground biomass) pada tiap plot menggunakan persamaan alometrik. Model alometrik yang digunakan untuk menghitung biomassa atas permukaan pada kegiatan ini adalah model alometrik Heriaansyah (2007), dimana parameter yang digunakan adalah diameter (D) dan tinggi pohon (H) dengan rumus: Keterangan: W = a(d 2 H) b (Heriansyah 2007) W = Nilai biomassa a = nilai dugaan parameter (-log a) (tabel 5.21) b = nilai dugaan parameter (b) (tabel 5.21) D H = diameter (cm) = tinggi (m) Nilai parameter a dan b dalam persamaan alometrik Heriansyah yang digunakan untuk memperkirakan biomassa Acacia mangium menggunakan kombinasi diameter dan tinggi disajikan pada Tabel Tabel 5.22 Nilai parameter a dan b dalam alometrik Heriansyah (2007) Biomassa Pohon Umur (tahun) -log a b Batang Cabang Daun

112 Berdasarkan data hasil pengukuran lapangan yang dilakukan di areal reklamasi tambang PT. Danau Mas Hitam Provinsi Bengkulu, data meliputi tiga bagian kelas umur yakni kelas muda (KU I) sebanyak 10 plot, ke.las menengah (KU II) sebanyak 26 plot dan kelas tua (KU III) sebanyak 14 plot. Setiap plot pada tiao kelas umur mempunyai nilai biomassa yang berbeda-beda tergantung dari diameter, tinggi dan jumlah pohon di dalam plot tersebut. Jumlah pohon pada setiap kelas umur disajikan pada tabel Tabel 5.23 Data pengukuran plot contoh lokasi reklamasi PT. Danau Mas Hitam Kelas umur Jumlah plot Diameter (cm) Jumlah pohon Secara umun peningkatan kelas diameter setinggi dada (Dbh) akan meningkatkan biomassa beberapa bagian pohon acasia mangium. Proporsi biomassa merupakan persentase besarnya biomassa pada bagian pohon terhadap biomassa total tanaman. Batang memiliki kadar karbon yang terbesar karena pada masa pertumbuhan dan masa produktif, pohon menyerap karbon melalui daun dalam proses fotosintesis dan hasilnya langsung disebar ke seluruh bagian pohon yang lain. Bagian pohon yang mampu menyimpan lebih banyak adalah pada bagian terbesar yaitu batang. Sedangkan daun umumnya tersusun oleh banyak rongga stomata yang berfungsi untuk pertukaran gas sehingga kurang padat dan tidak banyak menyimpan karbon. Tingginya kadar karbon pada bagian batang disebabkan karena unsur karbon menurut Hilmi (2003) dalam Limbong (2009) merupakan bahan organik penyusun dinding sel-sel batang. Kayu secara umum tersusun oleh selulosa, lignin dan bahan ekstraktif yang sebagian besar disusun dari unsur karbon. Kadar karbon bagian batang pohon penting dalam menduga potensi karbon tegakan dan banyak digunakan sebagai dasar perhitungan dalam 92

113 pendugaan karbon. Ini erat hubungannya dengan dimensi diameter (Dbh) sebagai indikator penting dalam kegiatan pengukuran dan perencanaan hutan. Variasi kadar karbon berdasarkan variasi diameter dan umur tanaman, adanya korelasi positif antara pertambahan diameter dan umur dengan pertambahan kadar karbon. Demikian juga terdapat variasi kadar karbon pohon dimana bagian pangkal memiliki kadar karbon yang paling besar dan semakin keatas bagian ujung batang dan bagian pohon lainnya seperti cabang, ranting dan daun semakin kecil. Fenomena ini cenderung sama dengan kandungan bahan organik dan produksi biomassa pohon, variasi ini sangat dipengaruhi oleh berat jenis, kerapatan kayu dan kadar air pada setiap bagian jaringan pohon. Dalam pengambilan data di lapangan dilakukan pengambilan sample serasah untuk menduga biomassa yang dihasilkan oleh serasah hutan. Serasah didefinisikan sebagai bahan organik mati yang berada di atasa tanah mineral. Hanya kayu mati yang ukuran diameternya kurang dari 10 cm diaktegorikan sebagi serasah. Serasah umumnya diestimasi biomassanya dengan metode pemanenan/pengumpulan. Serasah dipilahkan lagi menjadi lapisan atas dan bawah. Lapisan atas disebut serasah yang merupakan lapisan di lantai hutan yang terdiri dari guguran daun segar, ranting, serpihan kulit kayu, lumut dan lumut kerak mati, dan bagian-bagian buah dan bunga. Data serasah yang diambil adalah serasah yang terdapat di atas lantai hutan berupa dedaunan, serpihan kayu, kerak mati, lumut dan bagian-bagian kescil dari pohon yang jatuh di lantai hutan. Data yang diambil untuk serasah berupa titik dengan luas 50 cm x 50 cm sebanyak 5 titik. Sample serasah tersebut ditimbang berat basahnya di lapangan. Hasil serasah yang diperoleh lalu dioven untuk mendapatkan berat kering dan kadar air yang terdapat pada tingkat lantai hutan. Tabel 5.23 merupakan hasil pengolahan data serasah yang diperoleh di PT. Danau Mas Hitam (Tabel 5.24). Tabel 5.24 Data pengolahan sample serasah Kelas Umur Berat Kering Sampel Berat Basah Total Biomassa (kg) Biomassa Total (kg) Karbon Total (kg) 93

114 (gr) (kg) I II III Kandungan biomassa tertinggi terdapat pada serasah usia muda dengan total biomassa sebesar 2,295 kg sedangkan untuk karbon sebesar 1,1472. Besarnya serapan karbon dalam tegakan hutan tergantung dari besarnya biomassa hutan. Biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga serapan karbon yang terdapat dalam vegetasi karena 50% biomassa tersusun oleh karbon (Brown, 1997). Peningkatan jumlah biomassa akan diikuti oleh peningkatan jumlah karbon Hasil Pengolahan Data Citra Penelitian ini dilakukan di wilayah Bengkulu yang termasuk zone 48S datum WGS-84. Citra digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ASTER level1b tahun 2011 dan tahun Pemrosesan citra digital untuk analisis kajian biomassa meliputi penggabungan band (layer stacking), koreksi citra digital (koreksi geometrik), dan transformasi citra (RGB). Transformasi citra ini merupakan teknik penajaman yang digunakan untuk membuat citra komposit ASTER yang jelas untuk menunjukkan obyek bentuk lahan dan karakteristik tutupan lahan. Pantulan spektral suatu vegetasi sangat dipengaruhi oleh kandungan klorofil, struktur internal daun, kondisi kesehatan tumbuhan dan kandungan air pada daun. Pantulan spektrum untuk vegetasi sehat berdaun hijau dipengaruhi oleh zat pigmen tumbuhan. Klorofil menyerap energi pada panjang gelombang sekitar 0.4 µm dan 0.6 µm sehingga vegetasi sehat terlihat berwarna hijau yang disebabkan oleh besarnya penyerapan energi pada spektrum hijau. Pantulan vegetasi sehat meningkat pada rentaang 0.7 µm dan 1.3 µm dimana tumbuhan memantulakan 50% tenaga yang datang dan sisanya akan ditransmisikan. Domain panjang gelombang infrared berkisar antara 0.7 µm sampai dengan 300 µm dan dapat 94

115 dibagi lagi menjadi beberapa subdomain, yaitu NIR (Near Infrared), SWIR (Short Wavelength InfraRed), TIR (Thermal InfraRed). NIR dan SWIR yang terdapat pada citra aster ataupun pada citra optik lainnya sering dikenal sebagai reflected infrared atau dikatakan untuk metode remote sensing permukaan bumi dan dapat digambarkan oleh film fotografi. TIR juga digunakan untuk metode pengamatan remote sensing tetapi untuk TIR tidak bisa digambarkan oleh film fotografi melainkan dengan sensor mekanik. Dalam suatu analisis digital pada sistem penginderaan jauh, dikenal suatu teknik manipulasi yang bertujuan untuk menonjolkan kenampakan-kenampakan khusus. Teknik tersebut sering disebut dengan penajaman citra, yang dapat dilakukan dalam tiga cara, yaitu manipulasi contrast (contrast manipulation), manipulasi kenampakan spasial (spatial feature manipulation), dan manipulasi multicitra (multi-image manipulation). Masing-masing cara dalam manipulasi tersebut mempunyai fungsi dan tujuan sendiri-sendiri. Tiga unsur utama dipermukaan bumi yang dapat diindera secara langsung melalui sistem penginderaan jauh adalah obyek vegetasi, tanah, dan air. Pada kurva pantulan spektral antara obyek vegetasi, tanah, dan air, vegetasi mempunyai pantulan. spektral yang kuat pada panjang gelombang 0,7 µm ± 1,3 µm (spectrum inframerah dekat). Pada panjang gelombang 0,45 µm ± 0,67 (spektrum biru dan merah) µm akan terjadi penyerapan energi secara kuat oleh klorofil daun, sehingga akibatnya mata manusia akan melihat warna vegetasi tampak hijau. Pantulan yang kuat pada spektrum inframerah dekat disebabkan karena struktur internal daun (yang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan). Terdapat beberapa macam cara untuk menentukan nilai indeks vegetasi, yaitu dengan membandingkan beberapa saluran (citra rasio, normalisasi, dan hasil transformasi), dengan membuat selisihnya (different vegetation index), citra index vegetasi hasil kebakaran (Ashburn vegetation index), model Tasseled Cap, dan perpendicular vegetation index. Dalam beberapa penelitian tentang penggunaan transformasi index vegetasi, terdapat hubungan yang sangat erat 95

116 antara kerapatan tajuk dengan nilai kecerahan pada hasil transformasi indeks vegetasi. Semakin tinggi kerapatan tajuk maka akan semakin tinggi pula nilai kecerahan pada saluran hasil transformasi indek vegetasinya. Transformasi indek vegetasi merupakan salah satu proses penajaman dengan membuat citra perbandingan dari beberapa saluran. Tujuan dari penggunaan teknik transformasi ini adalah menonjolkan kenampakan vegetasi agar indeks yang didapat mempunyai nilai yang pasti, yaitu antara 0 dan 1, dimana selisih antara pantulan inframerah dekat dinormalisasi dengan cara membagi dengan jumlah dari keduanya. NDVI merupakan suatu transformasi yang menggunakan kombinasi antara teknik penisbahan dan teknik pengurangan citra dan dapat menonjolkan aspek kerapatan vegetasi. NDVI dipilih karena formula ini telah dikenal luas dalam penginderaan jauh untuk studi vegetasi. Meskipun sederhana, namun terbukti memiliki kemampuan untuk menonjolkan fenomena yang terkait dengan kerapatan vegetasi dengan menekan sumber-sumber variasi spektral lain. Nilai hasil transformasi indeks vegetasi berkisar antara +1 hingga -1. Formula NDVI adalah sebagai berikut : NDVI = inframerah dekat saluran merah inframerah dekat+saluran merah...(1) atau NDVI = band 3N band 2 band 3N+band 2...(2) Berdasarkan formula tersebut diatas maka diperoleh kisaran nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) pada KU I sebesar sampai dengan yang diambil untuk data 10 plot, untuk KU II berkisar antara sampai untuk pengambilan data sebanyak 26 plot sedangkan KU III berkisar antara sampai untuk pengambilan data sebanyak 14 plot. Berdasarkan analisis kisaran nilai NDVI diperoleh bahwa pada usia muda tanaman berperan sebagai carbon sink yaitu 96

117 menyerap karbon lebih banyak. Jika dibandingkan nilai NDVI pada ketiga kelas umur tersebut dapat dilihat bahwa nilai nilai tersebut mengalami peningkatan yang signifikan. Hasil terbesar terdapat pada usia tanaman tua yang artinya kandungan karbon dan biomassa pada tanaman usia tua lebih banyak dan merupakan titik tertinggi dari penyimpanan biomassa. Nilai NDVI berkorelasi positif dengan biomassa atau dapat dikatakan berbanding lurus dengan nilai biomassa yang terkandung pada tanaman Penyusunan Model Hubungan NDVI dengan Biomassa Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa nilai NDVI memiiki korelasi dengan biomassa. Korelasi faktor biofosik dengan NDVi yang berkorelasi kuat pada penutupan kanopi, biomassa dan sensitif terhadap klorofil terjadi karena faktor biofisik yang diukur semuanya terkait dengan tingkat kehijauan. Analisis hubungan antara NDVI dan biomassa di tunjukan pada scatter berikut in (Gambar 5.14, 5.15 dan 5.16). Biomassa ,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 Biomassa Model Eksponensial Expon. (Biomassa Model Eksponensial) y = 14,197e 3,7634x R² = 0,7488 Gambar Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Eksponensial 97

118 Biomassa 0-0, ,2 0,4 0,6 0,8 Biomassa Poly. (Biomassa) y = 1812x 2-832,5x + 44,35 R² = 0,6117 Gambar 5.15 Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan polynomial Biomassa Model Linear 0-0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 Biomassa Model Linear Linear (Biomassa Model Linear) y = 371,83x - 56,655 R² = 0,3095 Gambar 5.16 Hubungan Biomassa dengan NDVI pada persamaan Linear Berdasarkan gambar 5 terlihat bahwa pola sebaran hubungan peubah citra ASTER dengan biomassanya membentuk pola yaang tidak linear sehingga pembuatan model dilakukan dengan memperhatikan kaidah regresi nonlinier yang mana membuat jumlah kuadrat galat sekecil mungkin. Sebaran titik yang digunakan untuk membangun model pendugaaan biomassa pada daerah revegetasi PT. Danau Mas Hitam adalah sebanyak 30 titik yang tersebar antara KU I hingga KU III (Tabel 5.25). 98

119 Tabel 5.25 Sebaran titik penyusun model pendugaan biomassa di areal revegetasi tambang batubara PT. Danau Mas Hitam tahun 2012 PLOT NDVI Biomassa ATS GRT GRT GRT ATS ATS ATS ATS ATS ATS ATS ATS ATS ATS GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT GRT

120 Model yang terpilih untuk menduga biomassa atas permukaan ini didasarkan pada prosedur semua kemungkinan regres dengan tiga kriteria, yaitu koefisien determinasi (R 2 ) terbesar, RMSE terkecil, da juga t hitung terkecil. Oleh karena itu, pada Tabel 5.26 model yang terpilih adalah model eksponensial dengan Y = Exponensial(2.566+(3.449 x NDVI)). Model ini menerangkan bahwa peubah bebas NDVI sangat berperan dalam menjelaskan peubah terikat berupa biomassa atas permukaan sebesar 92.1 %. Tabel 5.26 Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Biomassa dan NDVI citra ASTER di PT. Danau Mas Hitam No Model R 2 adj (%) RMSE t hitung t tabel Sig 1 Y = Exp(2.561+(3.449 x NDVI)) Y = (Exp(0.695/NDVI)) Y = x NDVI Y = NDVI/( ( x NDVI)) Pada model pendugaan biomassa terbaik dengan NDVI, t hitung dan Sig digunakan sebagai indikator bahwa model tersebut dapat digunakan dengan syarat t hitung < t table atau Sig > 0,001(taraf nyata 1%) maka model tersebut dapat digunakan dalam menduga biomassa. Dari model diatas, nilai t hitung yang diperoleh kurang dari t table dan nilai significant lebih dari 0,001 sehingga model tersebut layak untuk pendugaan biomassa. Hasil penyusunan model regresi antara nilai biomassa alometrik Heriansyah (2007) menunjukan secara umum model terbaik adalah model dengan persamaan exponensial (Gambar 5.17). Dari syarat yang telah ditentukan persamaan exponensial memiliki nilai R 2 adj memiliki nilai lebih besar dan RMSE yang lebih kecil. Berikut ini disajikan kurva sebaran model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik dengan nilai NDVI menggunakan persamaan exponensial. 100

121 120 Biomassa ,2 0,4 0,6 0,8 Biomassa Expon. (Biomassa) y = 16,163e 3,0092x R² = 0,9248 Gambar 5.17 Kurva sebaran titik model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik dengan nilai NDVI menggunakan persamaan exponensial Verifikasi Model Verifikasi model pendugaan biomassa dilakukan untuk mengetahui apakah nilai dugaan biomassa yang dihasilkan oleh model terpilih tidak berbeda dengan nilai biomassa di lapangan. Verifikasi model dilakukan secara pusposive pada citra sebanyak 20 titik plot pengamatan dilapangan (Tabel 5.27). Verifikasi model dilakukan dengan membandingkan antara hasil perhitungan biomassa alometrik Heriansyah yang diasumsikan sebagai biomassa aktual dengan nilai biomassa yang diperoleh dari model yang terpilih yaitu model Y = Exp(2.561+(3.449 NDVI)). Verifikasi model pendugaan biomassa dilakukan dengan menggunakan analisis uji t-berpasangan (paired t-test), dengan ketentuan apabila thitung < ttabel maka terima H 0 atau signifikasi > 0,001 dan apabila thitung > ttabel maka tolak H 0 atau signifikasi < 0,001. Dimana hipotesis uji yang diberlakukan adalah sebagai berikut: H0 : μ1 - μ2 = 0 (Biomassa aktual = biomassa model) H1 : μ1 - μ2 0 (Biomassa aktual biomassa model) Hasil uji t-berpasangan yang dilakukan terhadap model yang terpilih telah sesuai dengan kaedah yang telah ditentukan (thitung < ttabel maka terima H0 atau signifikasi > 0,001) dengan nilai thitung sebesar yang memiliki nilai lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar atau signifikasi lebih besar dari 0,001 yaitu

122 Artinya model terpilih memiliki nilai pendugaan biomassa di atas permukaan tanah yang tidak berbeda nyata dengan nilai biomassa aktual di lapangan. Tabel 5.27 Data verifikasi persamaan regresi terpilih PT. Danau Mas Hitam. PLOT KU NDVI Biomassa Alometrik (Ton/Ha) Biomassa Model (Ton/Ha) ATS 8 I ATS 10 I ATS 11 I ATS 12 I ATS 14 I ATS 15 I ARM 1 III GRT 1 III GRT 2 III GRT 3 III GRT 4 III GRT 5 III GRT 17 III GRT 23 III GRT 27 III GRT 28 III GRT 29 III ATS 13 III ATS 18 III ATS 19 III Kandungan Karbon (C-stock) dihitung dengan menggunakan pendekatan biomassa dengan asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan. Maka diperoleh data biomassa dan data karbon tersimpan untuk tahun 2007 dan 2011 pada tabel berikut; Tabel 5.28 Kandungan Karbon (C-stock) PT Danau Mas Hitam Tahun Biomassa Total (Ton) Biomassa ratarata (Ton/ha) Karbon Total (Ton) Rata-rata Karbon (Ton/Ha) , , ,788 75, , , , ,

123 Untuk tahun 2007, pengukuran pada PT Danau Mas Hitam menghasilkan potensi rata-rata simpanan biomassa adalah sebesar 151,024 ton/ha dan pada tahun 2011 potensi rata-rata simpanan biomassanya meningkat menjadi 216,847 ton/ ha. Kandungan karbon (C-Stock) total sebesar 1.253,788 Ton dan pada tahun 2011 adalah 1.933,035 Ton Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terpilih yang disajikan pada tabel Peta sebaran biomassa ini berisi informasi mengenai sebaran biomassa di tiga bagian hutan reklamasi PT. Danau Mas Hitam. Peta ini dibuat dalam kelas yang nilainya berupa selang biomassa dimana setiap kelas diwakili oleh warna yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 5.29 dan Tabel 5.29 Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun 2007 Kelas Biomassa Kisaran Nilai Biomassa (ton/ha) Luas (ha) 1 3, , , , , ,745 Tabel 5.30 Selang kelas biomassa yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa tahun 2011 Kelas Biomassa Kisaran Nilai Biomassa Luas (ha) (ton/ha) 1 3, , , , , ,675 Pada hasil penelitian ini kelas biomassa rendah untuk tahun 2007 memiliki luas 2576,16 ha kelas biomassa sedang seluas 5333,04 ha dan kelas biomassa tinggi seluas 18101,74 ha. Dari nilai diatas dapat diartikan bahwa susunan tegakan dominan di areal revegatasi tambang terbanyak terdapat pada kelas umur III atau kelas umur tua. Sedangkan pada tahun 2011 luas areal terbanyak terdapat pada 103

124 kelas umur I yaitu sebesar 22060,9125 ha yang artinya dalam 4 tahun terakhir kegiatan reklamasi di PT. Danau Mas Hitam cukup tinggi. Untuk kelas umur II diperoleh luasan seluas 3692,1375 ha dan untuk kelas III seluas 8451,675 ha. Peta sebaran biomasssa hasil dari pendugaan dengan model terbaik disajikan pada Gambar 5.12 dan Peta Sebaran Biomassa Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terbaik yaitu model persamaan eksponensial Y = Exp(2.561+(3.449 NDVI)) 104

125 Gambar Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT. Danau Mas Hitam, Bengkulu dengan menggunakan citra ASTER VNIR resolusi 15 m tahun perekaman

126 Gambar 5.19 Peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT. Danau Mas Hitam, Bengkulu dengan menggunakan citra ASTER VNIR resolusi 15 m tahun perekaman

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya

L A P O R A N. Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telp : 022-6030483 Fax : 022-6003373 E-mail :Info@tekmira.esdm.go.id L A P O R A N Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI (Tectona grandis Linn.F) MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DAN 12,5 M (Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211

Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telp : 022-6030483 Fax : 022-6003373 E-mail :Info@tekmira.esdm.go.id L A P O R A N Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur M. Lutfi & Harry Tetra Antono Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan 09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital by: Ahmad Syauqi Ahsan Remote Sensing (Penginderaan Jauh) is the measurement or acquisition of information of some property of an object or phenomena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA) remote sensing (Inggris), teledetection (Prancis), fernerkundung (Jerman), distantsionaya (Rusia), PENGERTIAN. Lillesand and Kiefer (1994), Inderaja adalah ilmu dan seni untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS A. Pendahuluan Di bumi ini tersebar berbagai macam fenomena fenomena alam yang sudah diungkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

Radiasi Elektromagnetik

Radiasi Elektromagnetik Radiasi Elektrmagnetik 3. Radiasi Elektrmagnetik Berangkat dari bahasan kita di atas mengenai kmpnen sistem PJ, energi elektrmagnetik adalah sebuah kmpnen utama dari kebanyakan sistem PJ untuk lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati SATELIT ASTER Oleh : Like Indrawati ADVANCED SPACEBORNE THERMAL EMISSION AND REFLECTION RADIOMETER (ASTER) ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah instrumen/sensor

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG + MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa TINJAUAN PUSTAKA Produksi Biomassa dan Karbon Tanaman selama masa hidupnya membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa dengan

Lebih terperinci

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL Rokhmatuloh Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia Kampus UI Depok 16424, Tel/Fax.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang penting untuk kehidupan manusia karena hutan memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan. Fungsi lingkungan dari hutan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jarak Jauh Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci