KIYAI DAN PROFESOR: MENCARI TITIK TEMU PERGURUAN TINGGI ISLAM Oleh : Muhammad Isnaini
|
|
- Shinta Jayadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 KIYAI DAN PROFESOR: MENCARI TITIK TEMU PERGURUAN TINGGI ISLAM Oleh : Muhammad Isnaini Sungguh ironis jika kita memperbincangkan tentang keberadaan lembaga pendidikan pesantren di negeri ini. Biarpun pesantren merupakan lembaga pendidikan khas dan asli pribumi (Bruinessen;1999). Namun kenyataannya, lembaga ini tetap saja kalah bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Padahal, baik dari segi wacana maupun praksis, perbedaan tradisonal maupun modern tentang lembaga pendidikan ini sudah tidak persoalkan lagi. Sebab, baik pesantren yang bersifat tradisional dan modern sama-sama mempunyai ciri-ciri yang kurang lebih persis sama. Pesantren tradisonal, misalnya pesantrennya orang-orang NU, meskipun dalam sistem pengkajiannya dikatakan tradisional namun, untuk tingkat pola pikir yang terjadi justru sebaliknya, mereka lebih modern atau bahkan liberal (baca JIL) ketimbang lembaga pendidikan lainnya yang lebih modern. Untuk contoh ini bisa disebut para alumni dari pesantren tradisional seperti; Ulil Abshar Abdalla, Abdurrahman Wahid, Khamami Zada, Musda Mulia dan lain sebagainya. Sedangkan pesantren yang dikategorikan sebagai pesantren modern, biasanya identik dengan pesantren atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh umat Islam yang masuk kelompok ormas Muhammadiyah, Persis, Islam Lc dan lain-lain. Dalam konteks ini, biarpun mereka dikatakan mengikuti sistem pendidikan modern, akan tetapi, untuk pola pikir, mereka masih terlalu jauh dibandingkan dengan kelompok NU di atas. Baik dari segi wacana maupun dalam tataran praksis. Dan mungkin untuk beberapa hal lainnya juga sama. Untuk itu, maka kata ''modern'' dan ''tradisional'' sudah tidak relevan lagi bila disematkan pada lembaga pendidikan ini dalam hal ini pesantren. Namun, persoalannya tidak hanya berhenti sampai di situ. Melainkan sejumlah persoalan yang melingkupi pesantren ini masih saja ada. Setidaknya, ketika dihadapkan perbincangan pesantren ini dengan perbincangan lembaga pendidikan lainnya yang lebih diakui Penulis adalah Dosen IAIN Raden Fatah Palembang dan Anggota Dewan Riset (DRD) Sumsel, sekarang tengah mengikuti Pelatihan Penelitian Sosial Keagamaan di UGM Yogyakarta
2 mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat dan pemerintahan, yakni perguruan tinggi-perguruan tinggi seperti universitas, institut dan sekolah tinggi. Meskipun untuk pengembangan studi ilmu-ilmu pesantren telah didirikan sebuah perguruan tinggi Islam dengan nama UIN, IAIN dan STAIN, namun, tetap saja, dua lembaga pendidikan ini dianggap mempunyai banyak perbedaan yang cukup mendasar dan substansial. Baik dari segi kurikulum, metode pengkajian dan berbagai faktor lainnya. Oleh karena itu, fenomena tersebut jelas perlu dipertanyakan kembali mengenai sejauh mana antara pesantren dan perguruan tinggi mempunyai relevansi yang seimbang, atau paling tidak bisa dikatakan sama. Karena, kedua lembaga pendidikan ini tetap saja dipandang berbeda. Lebih dari itu, pesantren-terlepas dari perbedaan tradisional dan modern-tetap saja dipandang sebelah mata. Bahkan, dalam pandangan penulis, semodern-modernnya sebuah pesantren tetap saja tidak akan mempunyai arti apa-apa ketika dikomparasikan dengan lembaga pendidikan negara, yakni perguruan tinggi. Bahkan lebih jauh, banyak juga lulusan-lulusan dari pesantren-pesantren modern yang pada akhirnya melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Begitu juga dengan santrisantri yang sebelumnya belajar di pesantren tradisional, melakukan hal yang sama, yakni melanjutkan studinya di perguruan tinggi negara. Akan tetapi, dalam tulisan ini secara lebih khusus hanya akan memaparkan tentang bagaimana relevansi antara kedua tokoh figur di masing-masing kedua lembaga pendidikan tersebut, yakni kiyai di pesantren dan dosen (guru besar) di perguruan tinggi. Apakah kedua tokoh figur tersebut mempunyai kesamaan yang selaras dan relevan? Ataukah sebaliknya, kedua tokoh tersebut memang benar-benar jauh berbeda? Sehingga tidak bisa dipertemukan antara satu dengan lainnya. Namun, biarpun tulisan ini secara khusus hanya akan mengurai upaya mencari titik temu antara kiyai dan dosen (khususnya lagi guru besar) di masing-masing lembaga tersebut. Tetapi, dalam konteks tersebut, tentu tidak lepas dari pembahasan pesantren dan perguruan tinggi itu sendiri. Sehingga dalam uraian nanti, juga akan diterangkan secara sekilas mengenai kapan dan bagaimana perjalanannya untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai peran dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat yang jelas begitu plural dan heterogen. Sekilas Tentang Pesantren dan Perguruan Tinggi Di Masa Kolonial
3 a. Pesantren Ketika membicarakan antara pesantren dan perguruan tinggi di masa kolonial, tampaknya dalam konteks ini, pesantren lebih mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat. Bahkan pesantren menjadi motor penggerak segala bentuk perubahan dan protes terhadap pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu yang masih dan sedang berkuasa. Sebaliknya, perguruan tinggi pada masa-masa awal kolonial belumlah bisa dikatakan mempunyai sesuatu hal yang bisa dikatakan berarti ketika itu. Karena, memang ketika itu perguruan tinggi juga belum lahir. Pada masa-masa kolonial tersebut, hegemoni pesantren dan pembelajaran ilmuilmu agama sangatlah besar dan menjadi salah satu kebanggaan umat muslim ketika itu. Karena dengan begitu, mereka akan bisa belajar langsung kepada tokoh-tokoh Islam terkemuka pada saat itu. Di mana tokoh-tokoh Islam pada saat itu merupakan pujangga-pujangga terkemuka di dunia Islam Nusantara, bahkan internasional. Jika kita melihat ke belakang sekitar abad ke maka, kita akan melihat bagaimana peran seorang ulama seperti syekh Yusuf al-maqassari, Abdurrauf Singkel, Syamsudin as- Sumaterani, Nuruddin ar-raniri dan yang lainnya dalam memimpin umatnya dan memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada umatnya. Lebih jauh ketika perkembangan tradisi keilmuan Islam mengalami dinamika yang cukup pesat. Apalagi dengan sudah dibukanya terusan Suez pada abad ke-19 (1870) (Steenbrink; 1984). Maka, semakin banyaklah umat muslim Indonesia yang mondok dan mesantren tidak hanya ke seluruh pesantren-pesantren yang ada di Nusantara-walaupun pada saat itu belum ada istilah atau nama pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam---tapi lebih jauh lagi hingga ke Mekah dan Madinah. Tetapi, jika yang ada adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengkaji ilmuilmu keislaman tentu saja sudah ada. Karena hal itu bisa terlihat dari banyaknya kiyai atau ulama-ulama yang lahir ketika itu--dan tentu saja pada abad ke-19, jumlah pesantren sudah tidak sedikit jumlahnya. Lebih dari itu, pada abad ini pula para santri semakin bertambah banyak yang melanjutkan studi keislamannya di kota Mekah sekaligus sambil menjalankan ibadah haji. Apalagi pada saat itu di kota Mekah banyak sekali para santri yang berasal dari Nusantara telah menjadi ulama-ulama yang dikenal akan kapasitas keilmuannya
4 bahkan kealimannya. Kenyataan tersebut semakin dipertegas dengan adanya bahasa Nusantara yang menjadi bahasa kedua setelah bahasa arab yang digunakan di sana. Setidaknya, menurut Martin, sekurang-kurangnya kira-kira tahun 1860 bahasa Melayu merupakan bahasa kedua setelah bahasa arab yang dipergunakan di Mekah. Kembali kepada pesantren. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan kira-kira abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu. Karena, kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak ) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984) Namun, ketika mulai menginjak abad ke-20, di mana abad ini disebut-sebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Tentang hal tersebut, sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga dengan begitu, fungsi dan peran pesantren seakan-akan memang benar telah bergeser dari sebelumnya. Tapi, paling tidak hal di atas cukup kiranya untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren
5 merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan. b. Perguruan Tinggi. Sebagaimana yang sudah dikatakan di atas bahwa lembaga pendidikan yang paling berpengaruh sebelum abad ke-20 adalah pesantren, namun pada abad XX dan selanjutnya hingga sekarang justru sebaliknya, tingkat dominasi pesantren di seluruh kawasan Nusantara mengalami penurunan. Dan, mulai abad dua puluh itulah dan sampai sekarang yang lebih berperan dan mengambil peran dalam setiap persoalan pemerintah adalah lembaga pendidikan yang disebut kemudian dengan nama perguruan tinggi, baik itu universitas, institut ataupun sekolah tinggi. Fenomena tersebut memang jelas merupakan hasil dari begiu kuatnya dominasi dan wilayah domain pemerintah Hindia Belanda dalam setiap menjalankan kebijakan politiknya. Namun, tentang mulai kapan ada dan berdirinya lembaga pendidikan yang berlabelkan universitas, institut dan sekolah tinggi ini juga belum bisa dipastikan. Tapi, setidaknya sebagai sekedar informasi yang ditemukan oleh Akira Nagazumi dari hasil studinya mengenai ''Perhimpunan Indonesia; Kegiatan Mahasiswa Indonesia Di Negeri Belanda, '', patut dijadikan catatan. (Akira Nagazumi; 1986) Tentang mulai berdirinya perguruan tinggi di Nusantara memang tidaklah langsung jadi secara cepat. Atau, pemerintah Hindia Belanda pada saat itu tidak langsung mendirikan lembaga pendidikan tersebut, perguruan tinggi. Melainkan yang pertamakali didirikan terlebih dahulu adalah semacam sekolah tingkat dasarnya. Sekitar abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai berusaha meningkatkan pendidikan di Hinida Belanda. Tepatnya pada tahun 1845 Gubernur Jenderal J.C. Baud mengusulkan untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi kalangan elit penduduk pribumi. Yang kemudian baru menjadi kenyataan beberapa tahun sesudahnya. Tahun 1852 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertama untuk guru pribumi (kweekscholen) dan satu sekolah untuk melatih ''juru suntik'' (dokter Djawa- Scholen). Karena baru ada 20 sekolah dasar untuk anak-anak pribumi pada tahun 1854, maka umumnya yang dapat memasuki lembaga pendidikan tersebut di atas, hanyalah mereka yang telah menerima pelajaran privat dari guru-guru Belanda atau, mereka yang telah dari Europeese Lagere School (sekolah dasar Eropa) di Hindia Belanda,
6 yang baru setelah itu, tahun 1864 membuka pintu bagi anak-anak pribumi untuk belajar di lembaga pendidikan tersebut. (A. Nagazumi; 1986) Tahun 1878 di Jawa telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofdenscholen). Pada mulanya sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak kaum bangsawan (elite), tetapi kemudian menjadi lembaga pendidikan para pegawai pemerintah pribumi atau ambtenar (yang dimasa itu lebih dikenal sebagai sekolah pangreh praja). Guru, tenaga medis dan pegawai pemerintahan adalah orang-orang yang paling diperlukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan lembaga untuk mendidik tenaga-tenaga ini, merupakan sekolah lanjutan yang paling tinggi tingkatnya di Hindia Belanda. (A. Nagazumi; 1986). Sementara itu, sekolah-sekolah kejuruan seperti hukum, peternakan, pertanian dan perdagangan, tumbuh seperti jamur dalam dasawarsa-dasawarsa abad XX, baru pada tahun 1920-an pendidikan universitas mulai diadakan di Hindia Belanda. Dan untuk pendidikan tinggi ini, seseorang terpaksa harus ke luar negeri, khususnya negeri Belanda. Di tahun 1900 hanya ada lima orang mahasiswa pribumi menuntut pendidikan tinggi di Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa sudah 23 orang, dan pada tahun yang sama inilah Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) dibentuk. Yang kemudian ''Perhimpunan Hindia'' berubah nama menjadi ''Perhimpunan Indonesia'' pada tahun Itulah kira-kira sekilas tentang bagaimana pertamakali munculnya perguruan tinggi. Hanya untuk menegaskan, bahwa dari sinilah perguruan tinggi itu tumbuh dan kemudian mulai mengalami perkembangan terus semakin pesat. Dan tentunya berbeda dengan pesantren yang memang didirikan oleh masyarakat sendiri. Perguruan tinggi sengaja didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda sangat memerlukan banyak sekali orang-orang pribumi untuk dijadikan pegawai-pegawai di Pemerintahan Hindia Belanda, dan tentunya itu juga tidak lepas dari pretensi-pretensi Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pada perkembangan selanjutnya itulah yang lebih mempunyai peran di tingkat pemerintahan nasional adalah para pemuda-pemuda yang memang merupakan llulusan perguruan tinggi. Salah satu contoh dapat kita sebut misalnya adalah; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Syafrudin Prawirangera dan yang lainnya. Mereka inilah yang kemudian mempunyai peranan dalam dinamika pemerintahan tingkat nasional.
7 Antara Kiyai dan Profesor Selama ini, mungkin kita hanya melihat kiyai dan professor sebagai dua sosok figur yang berbeda, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan masyarakat intelektual. Apalagi jika dikaitkan dengan di mana kedua tokoh tersebut mengabdikan dirinya kepada masyarakat, kiyai di pesantren, sedangkan professor di perguruan tinggi. Kemudian, kiyai lebih dikenal sebagai tokoh agama yang tentu saja sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman yang berkembang dan memang sudah menjadi keharusan bagi seorang kiyai untuk menguasainya. Sedangkan professor lebih dikenal sebagai seorang tokoh intelektual yang juga mempunyai keilmuan yang mendalam di bidang keilmuannya. Hanya saja, jika kiyai merupakan gelar atau title yang diperoleh dari masyarakat langsung. Namun, tidak hanya disebabkan karena kedalaman keilmuan saja ia memperoleh gelar tersebut. Tetapi, ia mendapat gelar itu juga dikarenakan kesabarannya dalam mengasuh dan membina umat. Dan, tentunya moral juga dipertanggungjawabkan. Jadi, jika bisa dikatakan, gelar atau titel kiyai didapatkan dari dan oleh masyarakat langsung karena peranannya dalam membina dan membawa masyarakat suatu pedesaan dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang tidak bermoral menjadi bermoral. Sehingga dengan demikian, gelar kiyai tidak semata-mata disebabkan oleh kedalaman ilmu yang dimilikinya. Tetapi, secara moral dan tanggung jawab seoarang kiyai memang lebih besar daripada seoarang professor. Karena, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kiyai untuk menjadi tokoh masyarakat yang disegani, dihormati dan dikagumi. Atau pendeknya, kiyai mempunyai tugas tidak hanya semata-mata urusan duniawi, tetapi, ia mempunyai tanggung jawab untuk dapat membimbing masyarakat ke jalan ukhrawi (agama). Agar masyarakat tersebut nantinya bisa menyeimbangkan antara keperluan duniawi dan ukhrawi. Namun, dalam realitasnya, kiyai ini terbagi menjadi dua. Munurut Prajarta Dirjosanto sebagaimana yang dikutip Nurul Huda SA, kiyai pesantren dan kiyai langgar. Kiyai pesantren adalah kiyai yang mempunyai pesantren, sedangkan kiyai langgar yaitu kiyai yang tidak memiliki pesantren dan hanya mengajar di rumah atau di langgar. Namun, meskipun demikian, pada dasarnya kedua kiyai tersebut tetap mempunyai
8 peran dan tanggung jawab yang sama; membimbing umat. (Pikiran Rakyat, 2007). Akan tetapi, terlepas dari itu semua, bila sedang membicarakan tentang kiyai, maka hal itu identik dengan kiyai-kiyai yang tinggal di pesantren. Karena memang perannya yang begitu sentral dalam pembinaan umat. Dengan demikian, maka apa yang dikatakan Dhofier cukup selaras. Karena kiyai merupakan elemen yang paling penting dan esensial dari suatu pesantren. Bahkan seringkali ia merupakan pendiri dari pesantren tersebut. Maka sudah sewajarnya pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kiyainya. (Dhofier; 1994). Berbeda dengan professor, di mana gelar tersebut diperoleh berdasarkan beberapa kriteria yang telah dirumuskan oleh masyarakat akademis pada suatu perguruan tinggi. Bisa jadi karena telah banyak menulis buku, melakukan penelitian, mengajar dan beberapa kategori yang lainnya. Sehingga, gelar atau titel professor diraih berdasarkan prestasi atau pengabdian di tempat di mana ia mengabdikan dirinya sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya. Singkatnya, gelar professor merupakan gelar yang diraih atas dasar prestasi akademis. Akan tetapi, biarpun perguruan tinggi berbeda dengan pesantren, namun ketika seorang mahasiswa yang akan dan sedang menyusun tugas akhirnya (baik itu skripsi, tesis maupun disertasi), biasanya dan memang sudah mejadi keharusan, setiap tema dan judul tugas akhir yang diambil oleh mahasiswa tersebut dan ketika si mahasiswa akan diberikan dosen pembimbing maka akan disesuaikan dengan masing-masing keahlian dari si dosen pembimbing tersebut. Melihat realitas seperti itu maka, hal itu mengingatkan kita tentang di setiap pesantren, atau pesantren-pesantren yang ada itu biasanya mempunyai ciri khas yang berbeda-beda. Ciri khas itu biasanya identik dengan kajian yang dibahasnya di masing-masing pesantren. Ada pesantren al-quran, gramatika arab, fiqih, tasawuf dan lain sebagainya. Dan, pesantren-pesantren tersebut menjadi terkenal dikarenakan ada satu bidang yang diprioritaskan untuk dikaji atau ditonjolkan. Misalnya saja seperti pesantren Gontor yang lebih dikenal dengan sistem dan program bahasa asingnya-arab dan Inggris. Hal itu biasanya juga disesuaikan dengan keahlian dari para pengasuh atau para pengajar pesantren tersebut, baik itu ustadz maupun kiyainya.
9 Sehingga dengan begitu, ternyata sistem pendidikan yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut sama persis dengan pendidikan yang diterapkan di pesantren-pesantren. Singkatnya mengenai sipenuntut ilmu akan mencari seorang guru untuk studinya yang digelutinya. Hanya saja bedanya terletak pada, santri memang sudah dari awal diarahkan untuk mengkaji satu disiplin ilmu tertentu, dan biasanya untuk langkah menuju ke sana, santri tersebut harus mempelajari ilmu-ilmu dasarnya sebelum beralih ke tingkatan yang paling atas untuk mendalami satu bidang disiplin ilmu tertentu. Sedangkan di perguruan tinggi, hal itu akan terjadi ketika akan menulis tugas akhir. (Allahu a lam bi ashowab)
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun tidak lepas dari intrik-intrik politik dan memiliki tujuan didalamnya, hal yang pada awalnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia berhak menentukan nasib bangsanya sendiri, hal ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan. Pembangunan merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tidak diragukan lagi peranannya dan kiprahnya dalam membangun kemajuan bangsa Indonesia. Perkembangan
Lebih terperinciBEDAH BUKU: KONTIUNUITAS ISLAM TRADISIONAL DI BANGKA 1 Oleh: Janawi 2
BEDAH BUKU: KONTIUNUITAS ISLAM TRADISIONAL DI BANGKA 1 Oleh: Janawi 2 Pendahulun Buku yang dibahas sekarang adalah tulisan yang dihasilkan melalui proses yang cukup panjang. Terbitnya buku ini diawali
Lebih terperincimanusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Identitas manusia jejak langkah hidup manusia selalu membutuhkan komunikasi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh aktivitas manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Identitas manusia sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Selama masa penjajahan Belanda, terjadi berbagai macam eksploitasi di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama masa penjajahan Belanda, terjadi berbagai macam eksploitasi di Indonesia. Keadaan sosial dan ekonomi di Indonesia begitu buruk terutama untuk pendidikan pribumi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian bahwa Islam tidak hanya tentang sistem nilai, tetapi juga memuat sistem politik. Islam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan dunia telah melahirkan suatu perubahan dalam semua aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak tertutup kemungkinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Lia Nurul Azizah, 2013
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional pertama yang bergerak dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan yang awalnya sangat berperan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan sistem pendidikan yang dibuat pemerintah kolonial Belanda.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang bergerak di bidang dakwah Islam, pendidikan dan sosial kemasyarakatan, mendirikan lembaga pendidikan dalam berbagai
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan
201 BAB V PENUTUP A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hubungan historis antara Turki Utsmani dan Hindia Belanda sejatinya telah terjalin lama sebagaimana yang telah dikaji oleh banyak
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam khas Indonesia merupakan pendidikan alternatif dari pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah. Pertama, karena pesantren
Lebih terperinciPERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA
PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA A. LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERGERAKAN KEBANGSAAN Politik DRAINAGE Belanda mengeruk kekayaan dari negara Indonesia untuk kepentingan dan kesejahteraan negara
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Pendidikan Islam di Nusantara pada masa KH. Ahmad Dahlan sangat
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pendidikan Islam di Nusantara pada masa KH. Ahmad Dahlan sangat terbelenggu oleh kolonialisasi Belanda. Semua aktifitas pendidikan Islam dibatasi dan diawasi. Kondisi ini
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Secara kuantitas dapat diakui apa yang dilakukan Muhammadiyah dalam
BAB V KESIMPULAN Secara kuantitas dapat diakui apa yang dilakukan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan sangatlah luar biasa dengan jumlah lembaga pendidikannya yang mencapai angka ribuan di seluruh indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan selain karena manusia tercipta sebagai makhluk
Lebih terperinciPOLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG
POLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG A. Latar Belakang Masalah Pada setiap kajian tentang Islam tradisional di
Lebih terperinciBAB IV RESPON MASYARAKAT TERHADAP SOSOK USTADZ ABDUL QADIR HASSAN DALAM MENGEMBANGKAN PESANTREN PERSATUAN ISLAM BANGIL
BAB IV RESPON MASYARAKAT TERHADAP SOSOK USTADZ ABDUL QADIR HASSAN DALAM MENGEMBANGKAN PESANTREN PERSATUAN ISLAM BANGIL A. Tokoh Persatuan Islam ( Persis) 1 Ustadz Umar Fanani BA Ustadz Abdul Qadir Hassan
Lebih terperinciPENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Eksistensi pondok pesantren Mamba us Sholihin dalam memenuhi kebutuhan
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Eksistensi pondok pesantren Mamba us Sholihin dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam bidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik praktis artinya tidak terlibat dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (Bandung: Mizan,1995), hlm Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab kuning merupakan sebuah elemen penting dalam sebuah pondok pesantren. Kitab kuning telah menjadi bahan ajar pesantren dalam kurun waktu yang lama sehingga kitab
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus diberikan terhadap seorang anak. Pendidikan terbagi menjadi tiga yaitu pendidikan formal seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perjalanan Islam di Nusantara (Indonesia) erat kaitannya dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjalanan Islam di Nusantara (Indonesia) erat kaitannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah. Jaringan ulama yang terbentuk sejak abad ke-17 dan ke-18
Lebih terperinciBAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI
69 BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI A. Santri dan Budaya Politik Berdasarkan paparan hasil penelitian dari beberapa informan mulai dari para pengasuh pondok putra dan putri serta
Lebih terperinciDinamika Peran Madrasah Dalam Memajukan Pendidikan Di Indonesia
Vol,1, No.1 Risâlah, Vol.1. No.1, Desember 2014(1-6) Desember 2014 Fakultas Agama Islam Universitas Wiralodra www.jurnal.faiunwir.ac.id Dinamika Peran Madrasah Dalam Memajukan Pendidikan Di Indonesia Oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkualitas, bertanggung jawab, dan bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, dengan pendidikan diharapkan dapat mengahasilkan manusia berkualitas, bertanggung jawab, dan
Lebih terperinciYAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN AL-AZHAR
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN AL-AZHAR NAMA DAYAH YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN AL-AZHAR LOKASI/ALAMAT Jl. Banda Aceh Medan Km 318 Gampong Matang Kumbang Kec. Baktiya Kabupaten Aceh Utara Propinsi
Lebih terperincidari periode yang awal sampai pada periode-periode berikutnya?. Perkembangan terjadi bila berturut-turut masyarakat bergerak dari satu bentuk yang
PERIODISASI SEJARAH Apakah yang disebut dengan periodisasi? Pertanyaan tersebut kita kembalikan pada penjelasan sebelumnya bahwa sejarah adalah studi tentang kehidupan manusia dalam konteks waktu. Untuk
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi hasil kesimpulan penelitian secara keseluruhan yang dilakukan oleh penulis Selain kesimpulan, diuraikan pula rekomendasi yang penulis berikan kepada beberapa pihak
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi
BAB V ANALISIS Adanya sekolah dan madrasah di tanah air sebagai institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
Arab. 2 Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880 aksara Arab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi ar Agama Islam, diduga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubagus Arief Rachman Fauzi, 2013
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Pandeglang terletak di wilayah Provinsi Banten, merupakan kawasan sebagian besar wilayahnya masih pedesaan. Luas wilayahnya 2.193,58 KM 2. Menurut
Lebih terperinciRESUME BUKU. : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari. Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2)
RESUME BUKU Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2) Penulis : Sartono Kartodirdjo Judul : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah
Lebih terperinciPEMIKIRAN DAN AKTIVITAS POLITIK K.H. HASYIM ASY ARI PADA MASA PERJUANGAN MEREBUT DAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN SKRIPSI
PEMIKIRAN DAN AKTIVITAS POLITIK K.H. HASYIM ASY ARI PADA MASA PERJUANGAN MEREBUT DAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1926-1947 SKRIPSI Oleh Achmad Nuril Zamzami NIM 050210302088 PROGRAM STUDI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sehingga kebijaksanaan mengenai Pribumi (Inlandsch Politiek) sangat. besar artinya dalam menjamin kelestarian kekuasaan tersebut.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah Indonesia mencatat bahwa negara kita ini telah mengalami masa kolonialisasi selama tiga setengah abad yaitu baik oleh kolonial Belanda maupun kolonial
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan yang diberlakukan oleh
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda memang membuka kesempatan banyak bagi pemudapemuda Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesantren merupakan khazanah pendidikan dan budaya Islam di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, peran pesantren tidak diragukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan jaman, perkembangan dalam berbagai bidang kini semakin terasa di Indonesia. Kemajuan teknologi telah membawa suatu pengaruh yang cukup signifikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang sangat penting.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang sangat penting. Ayat Al-Quran yang pertama kali disampaikan kepada Nabi Muhammad berisi seruan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dakwah Islamiyah merupakan suatu kegiatan yang bersifat menyeru,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dakwah Islamiyah merupakan suatu kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak maupun memanggil umat manusia untuk beriman serta taat kepada Allah Swt, serta sejalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah dan Penegasan Judul
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah dan Penegasan Judul Pendidikan merupakan hal yang secara mutlak harus dilakukan karena melalui pendidikan manusia dapat menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia
Lebih terperinci[Type text] PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA KOTA SERANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SERANG
[Type text] PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA KOTA SERANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SERANG TERHADAP RAPERDA TENTANG PENYELENGGARAAN PONDOK PESANTREN DI KOTA SERANG; DISAMPAIKAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kyai memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perpolitikan di Martapura
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Martapura Kabupaten Banjar diidentikan dengan pondok pesantrennya, dengan puluhan, ratusan, bahkan ribuan santri yang ada di dalamnya. Nilai-nilai religius yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pesantren terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dunia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hadis Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ulama menduduki tempat yang sangat penting dalam Islam dan dalam kehidupan kaum Muslimin. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penghasilan sebanyak-banyaknya dengan melakukan usaha sekecil-kecilnya. Para
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Latar Belakang Pemilihan Objek Persaingan dalam dunia perekonomian kini telah melanda berbagai penjuru dunia. Sebagian orang terjebak dalam egonya untuk memperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fani Nurlasmi Kusumah Dewi, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ungkapan modernisasi sangat sulit didefinisikan karena mempunyai cakupan yang sangat luas dan selalu berganti mengikuti perkembangan zaman sehingga pengertian
Lebih terperinciEDARAN DIREKTUR PENDIDIKAN DINIYAH DAN PONDOK PESANTREN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI
Lampiran: EDARAN DIREKTUR PENDIDIKAN DINIYAH DAN PONDOK PESANTREN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI Nomor: DT.I.III/HM.01/2606/ TENTANG PROGRAM BEASISWA PENDIDIKAN KADER ULAMA BIDANG
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus
195 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir tesis ini, peneliti memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan memiliki peran yang penting dalam suatu negara yakni sebagai saran untuk menciptakan manusia yang unggul. Pendidikan tidak bisa terlepas dari kondisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagian besar bertumpu salah satunya pada sektor pendidikan dan pembangunan pribadi manusia khususnya untuk membentuk akhlakulkarimah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. 1. pesantren; dalam hal ini kyai dibantu para ustadz yang mengajar kitab-kitab
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat
Lebih terperinciMa'had al Jamiáh dan Pembinaan Karakter Mahasiswa
Ma'had al Jamiáh dan Pembinaan Karakter Mahasiswa Akhir-akhir ini banyak perguruan tinggi memandang pentingnya asrama bagi mahasiswa. Asrama mahasiswa tidak saja dilihat sebagai sarana penting sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan peranan penting dan strategis. Bukan hanya dalam peningkatan spiritual umat, melainkan juga
Lebih terperinciKIAI WAHID HASYIM SANG PEMBAHARU PESANTREN. Oleh, Novita Siswayanti, MA. *
KIAI WAHID HASYIM SANG PEMBAHARU PESANTREN Oleh, Novita Siswayanti, MA. * Abstrak: Pemikiran pembaharuan Kiai Wahid Hasyim telah memberikan pencerahan bagi eksistensi pesantren dalam menentukan arah serta
Lebih terperincic. Preferensi Fiqih Dalam Beragama di Demak Dipengaruhi oleh Kondisi Lokal dan Keikutsertaan Pada Ormas Islam d. Budaya Ziarah Makam Wali yang
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i HALAMAN PERNYATAAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan bangsa dibina melalui dunia pendidikan. Dunia pendidikan sangat erat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan hal yang dapat membangun bangsa dan menjadikan bangsa besar. Hal itu menekankan pendidikan sebagai prioritas untuk diperhatikan, anak bangsa yang akan meneruskan
Lebih terperincibarakah sesuai dengan sosio-kultural yang membentuknya dan mendominasi cara
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsep barakah dimaknai oleh para peziarah di makam KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidaklah tunggal. Artinya, latar belakang peziarah turut mempengaruhi makna barakah sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan bagi kepentingan hidup manusia, bukan hanya untuk kepentingan hidup pada masa
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS MANAJEMEN DAKWAH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS KEBERAGAMAAN SANTRI PONDOK PESANTREN SALAFIYYAH AL MUNAWIR GEMAH PEDURUNGAN KOTA SEMARANG
121 BAB IV ANALISIS MANAJEMEN DAKWAH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS KEBERAGAMAAN SANTRI PONDOK PESANTREN SALAFIYYAH AL MUNAWIR GEMAH PEDURUNGAN KOTA SEMARANG A. Analisis Planning Manajemen Dakwah dalam Meningkatkan
Lebih terperinciBAB I AKHLAK TASAWUF
BAB I AKHLAK TASAWUF a. Kompetensi Dasar 2. Mahasiswa mampu memahami pengertian akhlak dalam konteks tasawuf. 3. Mahasiswa mampu membedakan antara akhlak, etika dan moral. 4. Mahasiswa mampu mengamalkan
Lebih terperinci2015 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN CIPARI DESA SUKARASA KECAMATAN PANGATIKAN KABUPATEN GARUT TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional pertama yang bergerak dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan sebelum adanya lembaga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, t.th.), h Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akar pendidikan Islam Indonesia tidak lepas dari pendidikan pesantren. Sebagi ahli bahkan menyebutkan pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Islam yang
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
216 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Kiprah A. Hassan dalam upaya mencerdaskan umat Islam dapat dilihat dari karya-karyanya yang menambah khazanah ilmu pengetahuan. Usahanya mengeluarkan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PERAN ULAMA DALAM MENDIDIK AKHLAK REMAJA. A. Analisis Akhlak Remaja di Desa Karanganom
BAB IV ANALISIS PERAN ULAMA DALAM MENDIDIK AKHLAK REMAJA A. Analisis Akhlak Remaja di Desa Karanganom 1. Remaja melakukan penyimpangan karena kurangnya pengetahuan agama. Akhlak remaja adalah tingkah laku
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Teks critical Linguistik, Pesan Liberalisme situs karya Ulil
BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Teks critical Linguistik, Pesan Liberalisme situs www.islamlib.com karya Ulil Abshar Abdala Sebuah kesempatan yang berharga bagi peneliti dalam mempelajari pesan- pesan liberalisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBERIAN GELAR WALIYYUL AMRI AD- DHARURI BI AS-SYAUKAH OLEH NAHDATUL ULAMA KEPADA PRESIDEN SOEKARNO
BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBERIAN GELAR WALIYYUL AMRI AD- DHARURI BI AS-SYAUKAH OLEH NAHDATUL ULAMA KEPADA PRESIDEN SOEKARNO A. Analisis pemberian Gelar Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi Al-Syukah oleh Nahdatul
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari skripsi dengan judul GEJOLAK PATANI DALAM PEMERINTAHAN THAILAND (Kajian Historis Proses Integrasi Rakyat Patani
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana manusia dapat
Lebih terperinciDaftar Isi PENDIRIAN MUSEUM MUHAMMADIYAH PROPOSAL 5 ASAS-ASAS 13 RENCANA 24 TAHAPAN PENDIRIAN 1 LATAR BELAKANG SEJARAH PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH
PIMPINAN PUSAT PROPOSAL PENDIRIAN MUSEUM Daftar Isi 1 LATAR BELAKANG SEJARAH 5 ASAS-ASAS 13 RENCANA 24 TAHAPAN PENDIRIAN MUSEUM LATAR BELAKANG SEJARAH 2 Latar Belakang Kolonialisme Belanda yang berlangsung
Lebih terperinciKISI-KISI SOAL UAMBN MADRASAH TSANAWIYAH TAHUN PELAJARAN 2011/2012
KISI-KISI SOAL UAMBN MADRASAH TSANAWIYAH TAHUN PELAJARAN 2011/2012 Satuan Pendidikan : Madrasah Tsanawiyah Bentuk Soal : Pilihan Ganda Mata Pelajaran : Sejarah Kebudayaan Islam Jumlah Soal : 50 Butir Kurikulum
Lebih terperinciBAB 7: SEJARAH PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA. PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI
www.bimbinganalumniui.com 1. Berikut ini adalah daerah pertama di yang diduduki oleh tentara Jepang... a. Aceh, Lampung, Bali b. Morotai, Biak, Ambon c. Tarakan, Pontianak, Samarinda d. Bandung, Sukabumi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam dapat menjamin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai rahmat bagi seluruh
Lebih terperinci2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lingkup pendidikan agama pada lembaga pendidikan meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Diniyah, Pendidikan Guru Agama,
Lebih terperinciRINGKASAN DAN SUMMARY
RINGKASAN DAN SUMMARY Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengungkap fakta-fakta ilmiah (scientific finding) berkaitan dengan peran sosio-kultural perempuan Nahdlatul Ulama, melalui studi Komunikasi
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. menyebabkan beliau dihargai banyak ulama lain. Sejak usia muda, beliau belajar
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Hisoris Kemampuan keilmuan dan intelektualitasya K.H. Hasyim Asy ari merupakan hasil dari belajar keras selama waktu yang tidak pendek. Hal ini menyebabkan beliau dihargai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi di Indonesia saat ini membutuhkan sumberdaya manusia berkompeten dan mempunyai kompetensi spiritual yang baik. Terjadinya kasus-kasus korupsi
Lebih terperinciTeori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1
Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Sebagai seorang akademisi yang sangat memperhatikan aspek-aspek pengajaran dan pengembangan kebudayaan, E.K.M. Masinambow merupakan
Lebih terperinci5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
13. Mata Pelajaran Sejarah Untuk Paket C Program IPS A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan
10 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Usaha K. H. Abdurrahman Wahid Usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dapat pula dikatakan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Analisis
BAB V PENUTUP A. Analisis Keterlibatan ulama dalam berpolitik sudah ada sejak dahulu bukanlah hal yang baru. Fakta sejarah mencatat bahwa ulama sudah terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik
Lebih terperinciDawam Rahardjo: Saya Muslim dan Saya Pluralis
http://www.sinarharapan.co/news/read/31850/dawam-rahardjo-saya-muslim-dan-saya-pluralis- Dawam Rahardjo: Saya Muslim dan Saya Pluralis 03 February 2014 Ruhut Ambarita Politik dibaca: 279 Dawam Rahardjo.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. pendidikan Islam di Indonesia antara lain dibukanya pendidikan agama di
118 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang dalam kaitannya dengan pendidikan Islam di Indonesia antara lain dibukanya pendidikan agama di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Jepang
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.
BAB IV PENUTUP Kesimpulan Kemunculan karya sastra Indonesia yang mengulas tentang kolonialisme dalam khazanah sastra Indonesia diprediksi sudah ada pada masa sastra Melayu Rendah yang identik dengan bacaan-bacaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pendidikan nasional pada hakikatnya mencari nilai tambah melalui pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia atau kualitas manusia utuh jasmaniah rohaniah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini dihadapkan pada tuntutan tujuan yang semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada saat ini dihadapkan pada tuntutan tujuan yang semakin canggih, semakin meningkat baik ragam, lebih-lebih kualitasnya (Tilaar, 1997). Di sisi lain, berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lebih baik, mereka dapat mengenyam pendidikan sistem Barat.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai pergerakan nasional yang muncul di kalangan pribumi lahir dari rasa persatuan dan kemanusiaan yang tinggi dari para golongan terpelajar yang pada
Lebih terperinciAKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)
AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) A. Latar Belakang Masalah Setiap agama bagi para pemeluknya merupakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2010-2014 memuat enam strategi, yaitu: 1) perluasan dan pemerataan akses pendidikan usia dini bermutu dan berkesetaraan gender, 2) perluasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan menciptakan suasana kondusif yang mendorong siswa untuk melaksanakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk waktu serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cenderung ditulis sebagai fenomena yang tidak penting dengan alasan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penulisan sejarah Indonesia, gerakan-gerakan sosial cenderung ditulis sebagai fenomena yang tidak penting dengan alasan bahwa sejarawan konvensial lebih
Lebih terperinciINTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi
INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Oleh : NANANG FEBRIANTO F. 100 020 160 FAKULTAS PSIKOLOGI
Lebih terperinciISLAM DI INDONESIA. UNIVERSITAS MERCU BUANA BEKASI Sholahudin Malik, S.Ag, M.Si. MATA KULIAH AGAMA ISLAM. Modul ke: 04Fakultas.
ISLAM DI INDONESIA Modul ke: 04Fakultas MATA KULIAH AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MERCU BUANA BEKASI Sholahudin Malik, S.Ag, M.Si. Program Studi A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia Pada tahun 30 H/651M Khalifah
Lebih terperinciPendahuluan. Ainol Yaqin. Pertemuan ke-1 M E T O D O L O G I S T U D I I S L A M
M E T O D O L O G I Pertemuan ke-1 S T U D I I S L A M Pendahuluan Ainol Yaqin Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Kontrak Perkuliahan Pendahuluan Outline Kontrak Perkuliahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Sebuah manuskrip dalam aksara Latin yang berjudul Tjajar Sapi berisi tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkembangnya aksara Latin pada awal abad ke-20 secara perlahan-lahan menggeser penggunaan aksara Arab-Melayu di Nusantara. Campur tangan bangsa Eropa (Belanda) dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda
Lebih terperinciPEDOMAN PRAKTIKUM.
PEDOMAN PRAKTIKUM 1 PENGEMBANGAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SEJARAH Oleh : SUPARDI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
Lebih terperinci( aql) dan sumber agama (naql) adalah hal yang selalu ia tekankan kepada
130 BAB V ANALISA ATAS PANDANGAN SHAIKH MUHAMMAD AL-GHAZAli> memang tidak akan mungkin dilupakan dalam dunia pemikiran Islam. Karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan kewarganegaraan pada hakekatnya adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati
Lebih terperinci