BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari 6 bulan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari 6 bulan"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kronis Definisi Penyakit Kronis Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari 6 bulan (Sarafino, 2006). Penyakit kronis merupakan suatu kondisi yang memiliki durasi penyakit yang lama dan umumnya perkembangannya lambat (WHO, 2012). Anderson (2010, dalam Goodman 2013) menambahkan bahwa kondisi kronis mungkin membutuhkan perawatan medis dalam menangani masalah kesehatannya sehingga membatasi apa yang dapat ia lakukan (Anderson 2010, dalam Goodman 2013) Karakteristik Penyakit Kronis Menurut McKenna dan Collins (2010 dalam Goodman et. al. 2013) penyakit kronis pada umumnya memiliki karakteristik seperti berikut ini : a. Penyebabnya belum pasti; b. Multiple faktor resiko; c. Periode laten yang panjang; d. Nyeri berkepanjangan; e. Ketidakmampuan atau gangguan fisiologis Tipe-tipe Penyakit Kronis Berdasarkan pada faktor keberbahayaan dan tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan, Dennis Turk, Donald Meichenbaum, dan Myles Genest (dalam Sarafino, 2006) menggambarkan tiga tipe penyakit kronis, yakni:

2 a. chronic recurrent pain yang ditandai oleh adanya pengulangan dan episode rasa sakit yang dipisahkan dengan periode tanpa rasa sakit (seperti migrain dan tension type headache); b. chonic intracable beningn pain yang ditandai oleh ketidaknyamanan yang dirasakan sepanjang waktu dengan tingkat bervariasi, namun bukan merupakan kondisi yang berbahaya (seperti nyeri pinggang kronis); c. chronic progressive pain yang ditandai oleh ketidaknyamanan berkelanjutan yang merupakan kondisi berbahaya, dimana rasa sakit akan semakin meningkat saat kondisi semakin memburuk seperti rheumatoid arthritis dan kanker (Sarafino, 2006) Fase-fase Penyakit Kronis Menurut Brunner & Suddarth (2010) ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu : a. Fase pra-trajectory, yaitu individu berisiko terhadap penyakit kronis karena faktor -faktor genetik atau gaya hidup. b. Fase trajectory, yaitu adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. Fase ini sering tidak jelas karena pada fase ini individu sedang dievaluasi dan dilakukan pemeriksaan diagnostik. c. Fase stabil, yaitu terjadi ketika gejala -gejala dan perjalanan penyakit terkontrol. Aktifitas dalam kehidupan sehari-hari dapat tertangani oleh penderita dalam keterbatasan penyakit. d. Fase tidak stabil, yaitu periode ketidakmampuan untuk mengontrol gejala penyakit atau reaktivasi penyakit serta terdapat gangguan dalam melakukan aktifitas sehari - hari. 36

3 e. Fase akut, yaitu pada fase ini ditandai dengan adanya gejala -gejala yang berat dan tidak dapat pulih atau penyakit sudah mencapai komplikasi sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit. f. Fase krisis, yaitu fase yang ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa penderitanya yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan. g. Fase pulih yaitu pulih kembali namun gaya hidup yang diterima berada dalam keterbatasan karena dibebani oleh penyakit kronis. h. Fase penurunan, yaitu terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejala gejala yang datang kembali. i. Fase kematian, yaitu hari-hari terakhir atau 1 minggu sebelum kematian. Pada fase ini ditandai dengan penurunan bertahap atau cepat fungsi tubuh dan berakhirnya hubungan individual Dampak Psikososial Penderita Penyakit Kronis Menurut George (2005) mengatakan bahwa psikososial merupakan keadaan pikiran serta perilaku individu atau kelompok. Karabulutlu, Bilici, Cayir, Tekin dan Kantarci (2010) sebelumnya menjelaskan bahwa penderita penyakit kronis bukan hanya memberikan gangguan fisik pada penderitanya namun juga memberikan efek psikososial yang negatif. Hurlock (1996) membagi kelompok umur masa dewasa kedalam 3 periode sesuai dengan perkembangan psikologisnya sehingga diketahui akan respon individu terhadap suatu penyakit, yaitu dewasa awal (20-40 tahun), usia pertengahan (40-60 tahun), dan usia lanjut (60

4 meninggal). Pada masa dewasa awal, individu mengalami perubahan fisik dan psikologis namun masih dalam kondisi stabil, bersamaan dengan masalahmasalah penyesuaian diri dan harapan-harapan terhadap perubahan tersebut. Dewasa madya (usia pertengahan) tahun terjadi penurunan fungsi fisik dan psikologis sehingga pada fase ini mulai muncul gejala-gejala penurunan fungsi tubuh, sedangkan pada usia lanjut 60- meninggal kemampuan fisik dan psikologis cepat menurun. Dampak psikososial akan penyakit kronis dipandang dari kelompok umur akan selalu bervariasi, hal tersebut diakibatkan adanya penurunan fungsi dan psikologis sehingga mempengaruhi penerimaan individu terhadap suatu penyakit yang dideritanya. Berbagai kondisi psikososial pada penderita penyakit kronis dari berbagai penelitian adalah sebagai berikut: a. Pasien Kanker Kanker menyerang siapa saja dan membahayakan kesehatan seseorang dimana sel-sel membelah secara abnormal tanpa terkontrol dan menyerang jaringan disekitarnya dan menyebabkan kematian. Salah satu penanganan kanker adalah dengan menjalani pengobatan kemoterapi dimana pasien tersebut akan mengalami masalah psikologis sebagai efek dari perjalanan kanker atau efek dari kemoterapi yang dapat memperkecil peluang kesembuhan sehingga memunculkan keinginan penderitanya untuk menghentikan kemoterapi (Bintang, Ibrahim, Emaliyawati, 2012) Penelitian Oetami, F., Thaha I. L., dan Wahiduddin (2014) pada 25 pasien penderita kanker payudara menjelaskan bahwa pasien kanker

5 payudara mengalami dampak psikologis berupa ketidakberdayaan (68%) dan kecemasan (84%). b. Pasien Diabetes Mellitus Perubahan yang besar terjadi pada seseorang yang mengidap penyakit diabetes mellitus. Seseorang yang mengalami diabetes mellitus harus melakukan banyak sekali penyesuaian diri dalam kehidupannya, seperti tidak boleh mengkonsumsi makanan dengan sembarangan, cek gula darah yang rutin, serta treatmen dan pemakaian obat secara rutin (Sholihah, 2009). Saat seseorang didiagnosis menderita diabetes melitus maka respon emosional yang biasanya muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi, tidak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain. Penderita diabetes melitus memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, yang berkaitan dengan treatmen yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi serius. Depresi yang dialami penderita berkaitan dengan treatmen yang harus dijalani seperti diet atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat dan juga olahraga. Selain itu, risiko komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya depresi (Taylor, 1995). c. Pasien Penyakit Ginjal Kronis Penyakit ginjal kronik memiliki dampak yang signifikan pada aspek psikologis. Beberapa penyebab kondisi tersebut adalah akibat efek samping pengobatan, yaitu imobilitas dan kelelahan terkait

6 ketidakmampuan untuk bekerja, disfungsi seksual, takut mati dan ketergantungan pada mesin untuk hidup. Hal tersebut sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis sehingga berujung terjadinya depresi. Depresi merupakan permasalahan psikiatri terbanyak pada pasien yang menjalani hemodialisis. Gejala depresi terdapat pada 30% pada pasien yang menjalani hemodialisis. Gejala depresi ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan penurunan kualitas hidup dari pasien yang menjalani hemodialisis (Amalia, Nadzmir, Azmi, 2015). d. Pasien Penyakit Jantung Pada kebanyakan pasien dengan penyakit jantung, depresi merupakan keadaan yang umum terjadi, persisten dan kurang disadari. Gangguan nafsu makan, konsentrasi, tidur, dan energi, depresi yang nyata (dengan mood depresi yang persisten atau anhedonia) merupakan konsekuensi yang tidak normal dari penyakit jantung. Cemas juga umum terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler akut. Peningkatan level cemas yang dilaporkan sendiri mencapai 20%- 50% pada pasien dengan infark miokard akut, dengan seperempatnya mengalami gejala cemas yang sama dengan yang dialami pasien di unit psikiatri (Widiyanti, 2010)

7 2.2 Resiliensi Definisi Resiliensi Secara harfiah resiliensi berasal dari kata resile yang berarti bangkit atau bangkit kembali. Definisi mengenai resiliensi kian berkembang dan bervariasi. Pada awalnya, resiliensi dianggap sebagai sifat kepribadian yang bekerja setelah mereka mengalami peristiwa traumatis dalam hidup (Klohnen, 1996 dalam Herrmann et al., 2011). Salah satu ahli yang melihat resiliensi sebagai sifat adalah Newman (2005), yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, serta stressor dalam hidup yang bersifat signifikan. Resiliensi merupakan konsep yang bersifat multidimensional dimana tidak ada sifat kepribadian atau karakteristik yang disebut sebagai resiliensi. Resiliensi lebih diasosiasikan dengan kemampuan menjaga hubungan dengan orang lain, menjaga pandangan yang optimis terhadap kehidupan, memiliki tujuan, dan mengambil langkah untuk mencapainya hingga mencapai individu yang percaya diri (Luthar & Cichetti, 2000 dalam Newman, 2005). Henderson & Milstein (2003 dalam Nasution, 2011) juga mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kemampuan individu untuk bangkit dari pengalaman negatif, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani proses penanggulangannya. Menurut penilitian Masten (2001 dalam Newman, 2005), tingkah laku yang banyak dikaitkan dengan resiliensi bukanlah tingkah laku yang luar biasa melainkan yang dapat dilakukan oleh semua orang.

8 Bahkan menurutnya, anak-anak yang mengalami kesulitan hidup selama tahap perkembangannya pun masih mampu untuk mengatasi hal tersebut seperti layaknya orang dewasa. Maka pada dasarnya resiliensi dimiliki semua orang bahkan anak-anak. Kemudian sejalan dengan pandangan diatas, Herrmann et al. (2011), mengatakan bahwa meskipun definisi resiliensi berkembang seiring waktu, namun secara fundamental resiliensi dapat dipahami sebagai adaptasi positif, atau kemampuan untuk menjaga atau mengembalikan kesehatan mental setelah menghadapi hambatan. Menurutnya resiliensi bukanlah suatu hal yang menetap, melainkan suatu hal yang dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia, serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Wagnild dan Young (1993) sebelumnya juga menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya. Hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya. Kemampuan untuk bangkit dan terus melanjutkan hidup ini disebut resiliensi. Penelitian Wagnild dan Young (1993) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang berorientasi

9 pada tujuan dimana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan yang dimiliki dirinya, serta bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri. Untuk itu, Wagnild dan Young menekankan bahwa semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima komponen resiliensi yaitu kebermaknaan, ketenangan hati, ketekunan, kemandirian dan eksistensi kesendirian. Definisi yang dikemukakan oleh Wagnild dan Young (1993) seperti yang dipaparkan diatas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan juga memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen yang mendasari resiliensi itu sendiri Bangunan resiliensi Menurut Nasution (2011) resiliensi memiliki konstruk yang bidimensional, yaitu: a. Mengalami kesengsaraan berkepanjangan, seseorang telah mencapai resiliensi apabila ia pernah mengalami suatu kejadian yang menyebabkan penderitaan hidup yang berkepanjangan. b. Perwujudan dari keberhasilan beradaptasi bila berhadapan dengan resiko seseorang dapat dikatakan telah mencapai resiliensi apabila ia telah berhasil bangkit dari penderitaan hidup yang ia alami.

10 Dimensi tersebut menjelaskan bahwa penjelasan tentang resiliensi selalu melibatkan adanya kesulitan sebagai faktor resiko dan adanya adaptasi positif sebagai reaksi dalam menghadapi resiko Komponen Resiliensi Adapun komponen resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993) adalah sebagai berikut : a. Kebermaknaan (Meaningfulness) Kebermaknaan merupakan suatu kesadaran hidup memiliki tujuan, dimana diperlukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Komponen ini adalah yang menjadi dasar dari keempat komponen lainnya sekaligus menjadikan komponen-komponen terpenting dari resiliensi itu sendiri. Hal ini dikarenakan tanpa tujuan akan menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Menurutnya, akan sangat sulit untuk menjalani hidup tanpa tujuan yang baik, karena tujuan tersebut yang akan membantu setiap individu yang mengalami kesulitan ataupun mendorong untuk maju. b. Ketenangan hati (Equanimity) Ketenangan hati merupakan suatu perspektif mengenai keseimbangan dan harmoni yang dimiliki individu yang berkaitan tentang hidup berdasarkan pengalaman yang terjadi masa hidupnya. Para individu yang resilien telah memahami bahwa hidup bukanlah sebatas hal yang baik dan buruk. Mereka mampu untuk memperluas perspektifnya sehingga dapat lebih fokus pada aspek positif daripada negatif dari setiap kejadian dalam hidupnya. Selain itu mereka pun telah belajar untuk tidak menunjukkan

11 respon yang ekstreem dan sikap tenang. Hal tersebut menjadikan individu yang resilien sebagai individu yang optimis, karena bahkan pada situasi yang sulit mereka mampu melihat kesempatan untuk tidak menyerah dan menemukan jalan keluar. Baik pengalaman diri sendiri maupun orang lain pun dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi mereka. Dalam komponen ini juga termasuk adanya humor pada individu yang resilien. Mereka mampu menertawai diri sendiri maupun lingkungannya ketika berada pada situasi yang relevan. c. Ketekunan (Perseverance) Ketekunan yaitu suatu tindakan untuk bertahan meskipun harus menghadapi tantangan dan kesulitan. Selain itu, memiliki komponen ketekunan juga berarti bahwa seseorang bersedia untuk berjuang untuk menyusun kembali hidupnya dan disiplin terhadap dirinya sendiri. Secara umum, resiliensi melibatkan komponen ketekunan karena pada dasarnya konsep ini merupakan sebuah kemampuan untuk bangkit ketika seseorang telah jatuh. Dalam mencapai tujuan hidup, sering kali kita bertemu dengan hambatan, kesulitan bahkan kegagalan. Kondisi ini sangat mendorong seseorang untuk menyerah. Namun demikian, individu yang resilien akan terus bertahan untuk terus berjuang sampai akhir. Salah satu cara untuk membangun ketahanan ini adalah dengan menekuni rutinitas yang positif dan membuat tujuan realistis dalam hidup.

12 d. Kemandirian (Self-Reliance) Kemandirian yaitu keyakinan individu terhadap diri serta kemampuan yang ia miliki. Melalui berbagai pengalaman, baik itu kesuksesan maupun kegagalan, individu yang resilien belajar untuk mengatasi masalahnya sendiri. Keterampilan tersebut yang kemudian memunculkan rasa percaya akan kemampuan dirinya sendiri. Mereka secara berkesinambungan menggunakan, mengadaptasi, memperkuat, serta memperbaiki keterampilan tersebut sepanjang hidupnya. Selain itu, kemandirian juga merupakan kemampuan individu untuk bergantung pada dirinya serta mengenali kekuatan dan keterbatasan yang ia miliki. e. Eksistensial kesendirian (Existential aloneness) Eksistensial kesendirian merupakan suatu kesadaran bahwa jalan hidup setiap orang bersifat unik serta mampu menghargai keberadaan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu berteman dengan dirinya sendiri dalam artian merasa puas, nyaman, dan menghargai keunikan yang ada pada dirinya. Komponen eksistensial kesendirian menunjukkan bahwa individu yang resilien mampu untuk merasa nyaman atas kondisi dirinya sendiri. Mereka menghargai dirinya dan sadar penuh bahwa ia memiliki banyak hal yang dapat dikontribusikan untuk lingkungan sekitarnya. Mereka pun tidak merasakan tekanan untuk melakukan konformitas dengan lingkungannya. Karakteristik eksistensial kesendirian bukan berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan menerima diri sendiri apa adanya.

13 2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Resiliensi Faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi terbagi menjadi faktor risiko dan faktor protektif. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Nasution (2011) adalah sebagai berikut : a. Faktor resiko Faktor resiko dalam kehidupan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu sumber internal dan eksternal dalam keluarga dan dari dalam diri sendiri. Berbagai faktor resiko yang dapat disandangkan pada individu antara lain sebagai berikut: a. anggota dari kelompok berisiko tinggi, misalnya anak-anak dari keluarga yang serba kekurangan dalam kebutuhan materialnya serta hidup dalam kemelaratan; b. tumbuh dilingkungan yang penuh kekerasan atau tercerabut; c. terlahir memiliki cacat fisik, mengalami trauma fisik atau penyakit; d. mengalami kondisi penuh tekanan dalam jangka waktu yang lama, misalnya mengalami disfungsi dalam keluarga atau anak-anak dari orang tua yang memiliki gangguan mental; e. menderita trauma, misalnya kekerasan fisik atau seksual, atau berada dalam situasi perang. Pada dasarnya manusia menerjemahkan berbagai pengalaman hidup tersebut secara berbeda. Hasil penelitian Reivich & Shatte (2002) menunjukkan bahwa kebanyakan orang menganggap dirinya cukup memiliki resiliensi, padahal sebenarnya kebanyakan orang tidak siap secara emosional ataupun psikologis untuk menghadapi penderitaan. Setiap orang berisiko putus asa dan merasa tidak berdaya, jadi tidak ada

14 orang yang tidak membutuhkan resiliensi karena pada dasarnya setiap manusia pernah, sedang, atau akan mengalami kesulitan dalam satu atau beberapa area kehidupannya. b. Faktor Protektif Faktor protektif memainkan peran penting dalam memodifikasi efek negatif lingkungan yang merugikan hidup dan membantu menguatkan resiliensi. Penelitian terdahulu menunjukkan tiga perangkat variabel yang berlaku sebagai faktor protektif yang mungkin menghalangi atau menghentikan pengaruh kuat dari pengalaman yang merugikan. Faktorfaktor ini meliputi karakteristik individu, lingkungan keluarga, dan konteks sosial yang lebih luas. Seperangkat faktor triarkik ini dapat dipahami sebagai sumber daya psikososial yang mendukung atau meningkatkan perkembangan adaptif. Individu yang dapat mendatangkan sumberdaya pribadi dan sosial dalam jumlah banyak atau level yang tinggi akan lebih efektif dalam melakukan koping terhadap kesulitan dibanding individu yang memiliki sumberdaya yang sedikit. Faktor protektif ini dilaksanakan dalam tiga tingkat yaitu pengaruh individu, keluarga, komunitas yang lebih luas dan dinamakan kerangka triarkik dari resiliensi Manfaat Resiliensi Hampir 15 tahun para ahli di Universitas Pensylvania melakukan penelitian mengenai peran resiliensi terhadap kehidupan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi sangat penting bagi kesuksesan dan kebahagiaan

15 manusia. Sebagai tindak lanjut dari penelitian tersebut, para ahli kemudian mengembangkan seperangkat keterampilan untuk membantu individu mencapai tujuan hidupnya dengan cara meningkatkan kemampuan dengan resiliensi. Kemampuan yang membuat mereka bangkit dari kesulitan dimana biasanya kesulitan tersebut justru menyebabkan depresi maupun kecemasan (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang memiliki resiliensi yang baik mampu bangkit dari trauma yang mereka alami. Mereka mencari pengalaman baru yang menantang bagi diri mereka karena mereka telah belajar bahwa hanya melalui perjuangan yang berat mereka akan mampu memperluas wawasan mereka. Mereka memahami bahwa kegagalan bukanlah titik akhir. Mereka tidak malu saat tidak berhasil, tapi justru dapat mengambil makna dari kegagalan dan mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk mencoba lebih baik dari yang pernah dilakukan (Reivich dan Shatte, 2002). Reivich dan Shatte (2002) telah merintis dan menyelesaikan berbagai penelitian dalam menolong anak-anak, pelajar dan karyawan agar mampu mengembangkan resiliensi mereka. Hasilnya sangat mengesankan, salah satu penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi partisipan menggunakan keterampilan yang diajarkan dan tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Manusia membutuhkan resiliensi agar mampu bangkit dari kesulitan. Bila biasanya kesulitan dapat menyebabkan depresi atau kecemasan, dengan kemampuan resiliensi seseorang akan dapat mengambil makna dari kegagalan

16 dan mencoba lebih baik dari yang pernah ia lakukan, sehingga menurunkan resiko depresi atau kecemasan Tujuh Faktor Resiliensi Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out. Hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki tujuh kemampuan tersebut dengan baik. a. Regulasi Emosi Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah. Individu yang memiliki kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain akan memiliki harga diri dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

17 Emosi yang dirasakan oleh individu tidak semua harus dikontrol, dan tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang akan membantu individu untuk dapat mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu, yaitu tenang dan fokus a) Tenang Individu dapat mengurangi stres yang mereka alami dengan cara merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Meskipun begitu seorang individu tidak akan mampu untuk menghindar dari keseluruhan stres yang dialami, diperlukan cara untuk membuat diri mereka berada dalam kondisi tenang ketika stres menghadang. Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan untuk meningkatkan kontrol individu terhadap respon tubuh dan pikiran ketika berhadapan dengan stres dengan cara relaksasi. Dengan relaksasi individu dapat mengontrol jumlah stres yang dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat diri kita berada dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol pernapasan, relaksasi otot serta dengan

18 menggunakan teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang tenang dan menyenangkan. b) Fokus Keterampilan untuk fokus pada permasalahan yang ada memudahkan individu untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada (Reivich & Shatte, 2002). Setiap permasalahn yang ada akan berdampak pada timbulnya permasalahan-permasalahan baru. Individu yang fokus mampu untuk menganalisa dan membedakan antara sumber permalasahan yang sebenarnya dengan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari sumber permasalahan. Pada akhirnya individu juga dapat mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini tentunya akan mengurangi stres yang dialami oleh individu. b. Pengendalian Impuls Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich & Shatte, 2002), penulis dari Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam pengendalian impuls. Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing ruangan tersebut telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut. Masing- masing peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa selang waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka

19 dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow tersebut sampai peneliti kembali ke ruangan tersebut, maka mereka akan mendapatkan satu buah marshmallow lagi. Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich & Shatte, 2002). Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain. Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002), pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan

20 kemampuan regulasi emosi yang dimiliki. Seorang individu yang memiliki skor resiliensi yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor resiliensi pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte, 2002) c. Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich & Shatte, 2002). Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Mereka memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa merekalah pemegang kendali atas arah hidup mereka. Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis. Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan efikasi diri yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan efikasi diri, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang inividu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

21 Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis, yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan optimisme yang tidak realistis dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan efikasi diri adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). d. Efikasi diri Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap efikasi diri mereka akan selalu tertinggal dari yang lain. e. Analisis penyebab masalah Analisis penyebab masalah merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang

22 menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yag resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga harga diri mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). f. Empati Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002). Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tandatanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

23 g. Reaching out Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002). Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individuindividu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini memberikan batasan bagi diri mereka sendiri, atau dikenal dengan istilah halangan diri Sumber Pembentukan Resiliensi Grotberg (1995) menyebutkan upaya mengatasi kondisi-kondisi sulit dan mengembangkan resiliensi sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri, disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi, yaitu I have, I am, dan I can.

24 I have (aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya.sumber I have ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu : a. hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh; b. struktur dan peraturan di rumah; c. model-model peran; d. dorongan untuk mandiri; e. akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan. I am (aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am adalah : a. disayang dan disukai banyak orang; b. mencinta, empati, dan kepedulian pada orang lain; c. bangga dengan dirinya sendiri; d. bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri dan menerima konsekuensinya; e. percaya diri, optimistik, dan penuh harap. I can (aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keterampilanketerampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan ini meliputi : a. Berkomunikasi; b. memecahkan masalah; c. mengelola perasaan-perasaan dan impuls; d. mengukur temperamen sendiri dan orang lain; e. menjalin hubungan yang saling mempercayai. Grotberg (1995) menyimpulkan bahwa sumber resiliensi ada dari dukungan eksternal (I have), mengembangkan kekuatan batin (I am), dan interpersonal dan keterampilan pemecahan masalah (I can),

25 Susanto (2013) menjelaskan mekanisme koping yang digunakan oleh individu dapat mempengaruhi resiliensi. Individu yang lebih aktif dalam menggunakan strategi koping secara fleksibel ketika stres kemungkinan besar akan berhasil dalam menghadapi stres, dan hal tersebut menunjukkan bahwa individu tersebut mempunyai resilien yang baik. Semakin tinggi kemampuan koping maka semakin tinggi resiliensi, demikian juga sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan koping maka semakin rendah resiliensi. Remaja yang mempunyai kemampuan koping yang baik, mereka akan berusaha menyelesaikan masalahnya dengan baik, tidak mudah menyerah dan mampu menghadapi keadaan yang sangat sulit sekalipun. Allen dan Leary tahun 2010 (dalam Susanto, 2013) mengungkapkan bahwa Individu memiliki kematangan dalam koping yang tinggi maka akan cenderung pada problem-focused coping (PFC) saat ia bermasalah, sebaliknya seseorang yang memiliki kematangan dalam koping yang relatif rendah maka akan lebih cenderung menggunakan emotional-focused coping (EFC) dalam penyelesaian masalahnya Pengukuran Resiliensi Berikut beberapa alat ukur atau skala yang dikembangkan oleh peneliti untuk menilai kemampuan seseorang dalam menghadapi bentuk-bentuk situasi yang menekan. a. The Brief Resilience Scale Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya sebagai pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih dari stres (Windle dalam Wardani, 2014). BRS yang terdiri dari

26 enam item ini dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat dinilai sebagai kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan sumber-sumber resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan (Smith dalam Wardani, 2014). b. Resiliency Quotient (RQ) Reivich dan Shatte (2002) mengembangkan tes Resiliency Quotient (RQ) untuk mengukur dimana individu berada pada tujuh faktor kemampuan resiliensi. Menurutnya resiliensi bukanlah sifat. Resiliensi berada pada garis kontinum, tidak peduli dimana individu terjatuh pada garis kontinum tersebut, maka ia dapat menaikkan resiliensinya dengan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi tantangan hidup dengan tabah dan bersemangat. c. The Connor-Davidson resilience Scale Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) dikembangkan sebagai penilaian singkat mengenai diri untuk membantu mengukur resiliensi sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor & Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal, kepercayaan penguatan stres, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan yang aman, kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Wardani 2014). d. Resilience Scale Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young (1993). Tujuan pengembangan yang dirancang untuk mengidentifikasi individu

27 tangguh atau mereka yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam merawat, terdiri dari 25 item. Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih Resilience Scale (RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu mewakili tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi dari faktor protektif yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya (Wardani, 2014).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa, BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama ego resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab kematian pada manusia adalah penyakit kronis (dalam Sarafino, 2006). Penyakit kronis merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya bahkan dapat mengakibatkan kematian. Sampai saat ini kanker masih menjadi momok bagi semua orang, hal ini

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Menurut Smet (1994, dalam Desmita, 2009) istilah resiliensi pertama kali dikenalkan oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga menimbulkan beberapa macam penyakit dari mulai penyakit dengan kategori ringan sampai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Istilah resiliensi berasal dari kata Latin `resilire' yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun, namun biasanya tidak dapat disembuhkan melainkan hanya diberikan penanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Salah satu jenis kanker yang paling ditakuti oleh para wanita adalah kanker payudara (Rahmah, 2009). Menurut data organisasi kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perubahan gaya hidup menyebabkan terjadi pergeseran penyakit di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perubahan gaya hidup menyebabkan terjadi pergeseran penyakit di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perubahan gaya hidup menyebabkan terjadi pergeseran penyakit di Indonesia. Pergeseran tersebut terjadi dari penyakit menular menjadi penyakit degeneratif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TBC, AIDS, leukemia, dan sebagainya (Fitria, 2010). ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh (Potter & Perry, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. TBC, AIDS, leukemia, dan sebagainya (Fitria, 2010). ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh (Potter & Perry, 2005). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Munculnya berbagai macam penyakit yang mengancam jiwa menjadi tantangan dunia, termasuk Indonesia. Hal ini ditandai dengan fenomena temuan terjadinya peningkatan penyakit,

Lebih terperinci

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI Naskah Publikasi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Diajukan oleh: ARYA GUMILANG PUTRA PRATHAMA F.100090190 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap individu pasti mengalami kesulitan karena individu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Kesulitan dapat terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan merupakan suatu misteri yang dijalani seseorang. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai dari usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk membantu anak-anak yang tidak memiliki orang tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002)

Lebih terperinci

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah Nama : Gemi Arthati NPM : 13513674 Pembimbing : Mimi Wahyuni. Jurusan Psikologi 2016 Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker serviks menempati terbanyak kedua di seluruh dunia yang mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi penyebab kanker terbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang pasti menginginkan memiliki keluarga yang bahagia. Menurut Sigmund Freud, pada dasarnya keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan pria dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Reivich dan Shatte (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan, beradaptasi terhadap sesuatu yang menekan, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan manusia, aspek paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Menurut Hurlock (1999), masa dewasa awal dimulai pada umur 18 40 tahun, saat perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan dapat menyebabkan kematian terbesar di seluruh dunia, salah satunya adalah diabetes melitus (DM). Diabetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panti Asuhan merupakan lembaga yang bergerak di bidang sosial untuk membantu anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : Yustina Permanawati F 100 050 056 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Remaja adalah generasi penerus bangsa, oleh karena itu para remaja harus memiliki bekal yang baik dalam masa perkembangannya. Proses pencarian identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, manusia dan pekerjaan merupakan dua sisi yang saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan; keduanya saling mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penderita skizofrenia dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dunia. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock dan Sadock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh (WHO, 2015). Menurut National

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitas

Lebih terperinci

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap orang tua pasti berharap memiliki anak yang dapat bertumbuh kembang normal sebagaimana anak-anak lainnya, baik dari segi fisik, kognitif, maupun emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada seseorang di seluruh dunia. National Cancer Institute (dalam

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada seseorang di seluruh dunia. National Cancer Institute (dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker payudara adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (Depkes RI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsinya secara normal (Soematri, 2012).Secara global lebih dari 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. fungsinya secara normal (Soematri, 2012).Secara global lebih dari 500 juta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal (Soematri, 2012).Secara global lebih dari 500 juta orang mengalami GGK,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia adalah salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada fase ini seorang individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini. Sejarah kasus dari penyakit dan serangkaian treatment atau

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini. Sejarah kasus dari penyakit dan serangkaian treatment atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan salah satu jenis penyakit kronis yang mematikan di dunia. Kanker menjadi salah satu penyakit yang menakutkan bagi setiap orang. Setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi kehidupan abad 21 yang penuh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik maupun emosional. Semakin bertambahnya usia, individu akan mengalami berbagai macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di negara-negara maju dan berkembang setiap tahunnya, sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di negara-negara maju dan berkembang setiap tahunnya, sebagai akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi diabetes melitus di negara-negara maju dan berkembang setiap tahunnya, sebagai akibat peningkatan kesemakmuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa dimana individu telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki atribut fisik dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, sehingga membutuhkan program individual dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini Indonesia diramaikan dengan kasus kekerasan seksual terhadap remaja. Ibarat fenomena bola es yang semakin lama semakin membesar. Kasus kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menjalani kehidupan profesional di dunia modern yang serba cepat seperti saat ini merupakan sebuah tantangan hidup. Selain tuntutan untuk mampu bertahan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya. Seseorang yang mengalami peristiwa membahagiakan seperti dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya. Seseorang yang mengalami peristiwa membahagiakan seperti dapat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai pengalaman baik positif maupun negatif tidak dapat lepas dari kehidupan seseorang. Pengalaman-pengalaman tersebut akan memberi pengaruh yang pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang dan masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara. Namun, pada saat ini banyak

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat disembuhkan, salah satu jenis penyakit tersebut adalah Diabetes Mellitus (DM). DM adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas 1.2 Karakteristik Spiritualitas 1.3

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Hidup. individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Hidup. individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian Menurut WHOQOL Group (1997) kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan sistem nilai dimana

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Lhoksukon dan rumah pasien rawat jalan Puskesmas Lhoksukon.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Lhoksukon dan rumah pasien rawat jalan Puskesmas Lhoksukon. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian Pengambilan data untuk penelitian dilakukan pada tanggal 21 Januari 2012 sampai dengan tanggal 28 Januari 2012. Pengambilan data dilakukan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

berkembang akibat peningkatan kemakmuran di Negara bersangkutan akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan perkapita dan perkembangan gaya hidup

berkembang akibat peningkatan kemakmuran di Negara bersangkutan akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan perkapita dan perkembangan gaya hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Meningkatnya prevelensi Diabetes Mellitus dibeberapa Negara berkembang akibat peningkatan kemakmuran di Negara bersangkutan akhir-akhir ini banyak disoroti.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. degenerative. Diabetes Melitus (yang selanjutnya disingkat DM) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. degenerative. Diabetes Melitus (yang selanjutnya disingkat DM) merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gaya hidup modern dengan banyak pilihan menu makanan dan cara hidup yang kurang sehat yang semakin menyebar keseluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini beragam sekali masalah yang dihadapi manusia, baik itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal dari dalam dirinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh

BAB 1 PENDAHULUAN. kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversibel. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat manusia akan dapat melakukan segala sesuatu secara optimal. Tetapi

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat manusia akan dapat melakukan segala sesuatu secara optimal. Tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik sehat secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada tahap ini ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh (Nugroho, 2007). Semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa, pada dasarnya sebagai generasi penerus. Mereka diharapkan sebagai subyek atau pelaku didalam pergerakan pembaharuan. Sebagai bagian dari masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir hingga lansia. Ketika memasuki usia dewasa awal tugas perkembangan individu

Lebih terperinci

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN Rahayu Rezki Anggraeni Dosen Pembimbing Ibu Ni Made Taganing, Spsi., MPsi. Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma, 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pada umumnya memiliki harapan dengan memiliki tubuh yang selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang terjadi

Lebih terperinci

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Pengertian Remaja Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah tersebut mempunyai arti

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. uji asumsi dan uji hipotesis terhadap data penelitian tersebut.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. uji asumsi dan uji hipotesis terhadap data penelitian tersebut. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan try out terpakai, sehingga data yang sudah valid dan reliabel menjadi data penelitian. Selanjutnya dilakukan uji asumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi penyalahguna narkoba saat ini sudah mencapai 3.256.000 jiwa dengan estimasi 1,5 % penduduk Indonesia adalah penyalahguna narkoba. Data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang selalu mengharapkan kehidupan yang bahagia. Salah satu bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun mental.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada fungsi ginjal, dimana tubuh tidak mampu untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. timbulnya berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang dapat terjadi yaitu diabetes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. timbulnya berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang dapat terjadi yaitu diabetes 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup yang tidak sehat dapat mempengaruhi kesehatan individu. Kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji dan kurangnya olahraga telah menjadi pola hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan (Desmita, 2010).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perceraian di Indonesia semakin meningkat di sepanjang tahun. Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010, angka perceraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Menurut WHO (World Health Organization) sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Menurut WHO (World Health Organization) sehat adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi perhatian utama secara global dalam kesehatan. Setiap tahun terjadi peningkatan kasus dengan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 109 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harapan dan konsep Tuhan pada anak yang mengalami kanker, serta bagaimana mereka mengaplikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Lupus. Penyakit ini merupakan sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Di masa ini, remaja mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis sehingga remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisik adalah bagian dari tubuh manusia yang mudah dilihat dengan kasat mata, termasuk bagian kulit. Kulit merupakan bagian yang terluas dari tubuh dan bagian terpenting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari kesejahteraan. Mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut baik secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar belakang Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Rasa Takut dan Cemas Rasa takut dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti objek internal dan hal yang tidak disadari. Menurut Darwin kata takut (fear) berarti hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan pengetahuan telah membawa kemajuan salah satunya yaitu meningkatnya usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan dengan usaha menyeluruh, yaitu usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orang tua, atau pasangan.

Lebih terperinci

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com Krisis merupakan suatu titik balik yang memungkinkan individu untuk tumbuh dan berkembang, atau menyebabkan dirinya merasa tidak puas, gagal, dan kehidupannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai situasi selama rentang kehidupannya, begitu pula pada keluarga yang memiliki anak dengan hidrosefalus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Impian setiap pasangan adalah membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Dalam menjalani rumah tangga setiap pasangan pasti memiliki berbagai keinginan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi setiap individu. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap fase kehidupan manusia pasti mengalami stres pada tiap fase menurut perkembangannya. Stres yang terjadi pada mahasiswa/i masuk dalam kategori stres

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada setiap keluarga yang amat mendambakannya. Berbagai harapan hadir ketika anak mulai ada di dalam perut Ibu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah satu diagnosis kardiovaskular yang paling cepat meningkat jumlahnya (Schilling, 2014). Di dunia,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pengatasan Masalah Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengatasan masalah merupakan suatu proses usaha individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Visi Indonesia sehat yang diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Visi Indonesia sehat yang diharapkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia memiliki visi menciptakan masyarakat yang mempunyai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik sehat secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan fisik yang tidak sehat, dan stress (Widyanto, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lanjut usia merupakan individu yang berada pada tahapan dewasa akhir yang usianya dimulai dari 60 tahun keatas. Setiap individu mengalami proses penuaan terlihat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah di atas normal (hiperglikemia) akibat kelainan pada sekresi insulin, kerja

Lebih terperinci

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tingkat Kecemasan Remaja yang Menjalani Perawatan (Hospitalisasi) Remaja 1. Kecemasan Kecemasan merupakan suatu sinyal yang menyadarkan dan mengingatkan adanya bahaya yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang utama dan merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dengan adanya perubahan gaya hidup berdampak pada penyakit gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan

Lebih terperinci