DINAMIKA KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SULISTIYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DINAMIKA KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SULISTIYANTI"

Transkripsi

1 DINAMIKA KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SULISTIYANTI DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2014 Sulistiyanti NIM A

4 ABSTRAK SULISTIYANTI. Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA. Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu kejadian yang selalu terulang setiap tahunnya dengan intensitas dan luasan yang beragam, serta berdampak terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sangat rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Faktor biofisik dan aktifitas manusia adalah penyebab kebakaran hutan dan lahan, meskipun hingga saat ini seberapa besar pengaruhnya terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan belum diketahui secara pasti, namun kondisi di lapang menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera dipengaruhi oleh faktor manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan dinamika tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Metode yang digunakan untuk menyusun model adalah metode Composite Mapping Analysis (CMA). Pemetaan kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada tahun dilakukan berdasarkan persamaan model terbaik tahun Faktor yang paling berpengaruh dalam pembangunan model kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada setiap tahunnya adalah penutupan/penggunaan lahan dan kedalaman gambut. Tingkat kerentanan sangat tinggi dengan luasan terbesar terjadi pada tahun 2006 (tahun El-Nino). Kecamatan Mantangai adalah kecamatan dengan tingkat kerentanan sangat tinggi paling luas dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Kapuas. Sementara, jenis penutupan/penggunaan lahan yang umumnya ada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi adalah belukar rawa, belukar dan perkebunan. Kata kunci : titik panas, kebakaran hutan, CMA, penutupan/penggunaan lahan, kerentanan kebakaran hutan dan lahan

5 ABSTRACT SULISTIYANTI. Dynamic of the Vulnerability of Land and Forest Fire in Kapuas District, Central Kalimantan Province. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA. Land and forest fire always occurs every year with varying intensity and frequency and have impact to the environment, social and economic. Central Kalimantan is one of the Provinces in Indonesia very vulnerable to land and forest fire. Biophysical factors and human activities are the cause of land and forest fire, although it is currently unknown exactly how big its influence on the occurance of land and forest fire, however conditions in the field suggests that the main cause of land and forest fire happened in Kalimantan and Sumatra influenced by the human factor. This research was aimed to identifying and mapping the dynamics of the vulnerability of land and forest fire. The method used to compile a model is a method of Composite Mapping Analysis (CMA). The vulnerability assesment of land and forest fire in the peroid 2005 and 2012 is based on the equation model of the year of The most influential factor in the development of vulnerability model each year is land cover/use and the depth of peat. The vulnerability level with very high category and with the largest area occurred in 2006 (El-Nino year). Sub-district of Mantangai is a sub-district with vulnerability level of very high and most extensive compared with other sub-districts in the district of Kapuas. Meanwhile, type of land cover/use that always exist from high-level to very high vulnerability is the swampy shrub, shrub, and plantation. Keyword : hotspot, land and forest fire, CMA, land cover/use, land and forest fire vulnerability

6

7 DINAMIKA KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SULISTIYANTI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

8

9 Judul Skripsi Nama NIM : Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah : Sulistiyanti : A Disetujui oleh Dr Ir Muhammad Ardiansyah Pembimbing I Dr Ir Komarsa Gandasamita MSc Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir Baba Barus, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dan dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ialah tentang kerentanan kebakaran hutan dan lahan dengan judul Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah dan Dr. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Boedi Tjahjono selaku dosen penguji atas kritikan dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Achmad Sidik Thoha dan Mas Mohamad Saefudin yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. 4. Bapak, Ibu, Adek Imam, serta keluarga besar penulis atas motivasi, dukungan, doa, dan kasih sayang tiada hentinya sampai saat ini. 5. Proyek Columbia University and Institut Pertanian Bogor Partnership to Build Capacity for Adaptation to Climate Risk in Indonesia yang telah memberikan dukungan data dan dana dalam penelitian ini. 6. Seluruh staf Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penulis selama proses penelitian. 7. Keluarga besar Ilmu Tanah 46 atas bantuan dan inspirasi dalam gelak tawa bersama sebagai hiburan di tengah kejenuhan tugas akhir. Khususnya Ian, Teguh, Madi, dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung. 8. Keluarga besar PPJers 46 Swaesti, Dini, Ega, Papink, Annisa, Vita, Athu, Kak Merina, Kak Novia, Mbak Etika, Bang Farid, Bang Ardli dan lainnya atas bantuan, bimbingan, keceriaan, dan inspirasi yang telah diberikan selama proses penelitian. 9. Serta teman satu atap selama di Bogor Eky ers Bateng dan pihak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tanah. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-nya kepada kita semua. Bogor, Mei 2014 Sulistiyanti

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN vii vii viii I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 II TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan dan Lahan Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan Bentuk Kebakaran Hutan dan Lahan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Api Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Titik Panas NOAA-AVHRR MODIS Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Citra Satelit Landsat 7 ETM Pemodelan dan Pemetaan Kerentanan Kebakaran 8 III BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Data dan Alat Metode Penelitian Tahap Persiapan Tahap Pengolahan Data dan Citra Pemodelan Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Analisis Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan 15

12 IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Topografi 16 V HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Sebaran Titik Panas MODIS di Kabupaten Kapuas Tahun Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan pada Periode Tahun Hubungan antara Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Sebaran Titik Panas Hubungan antara Kerapatan Titik Panas dengan Kedalaman Gambut, Jarak dari Jalan, Jarak dari Pusat Desa dan Jarak dari Sungai 26 VI SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 33 VII DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN 36 RIWAYAT HIDUP 44

13 DAFTAR TABEL 1 Karakteristik band Landsat 7 ETM+ 8 2 Data yang digunakan dalam penelitian 10 3 Luas kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun Luas kerentanan sangat tinggi menurut kecamatan yang ada di Kabupaten Kapuas tahun Hasil pemodelan tahun DAFTAR GAMBAR 1 Diagram tahap penelitian 11 2 Peta lokasi penelitian 16 3 Jumlah titik panas tahun Jumlah titik panas bulanan pada tahun Perubahan penutupan/penggunaan lahan dalam rentang waktu 8 tahun ( ) 19 6 Peta kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun Hubungan penutupan/penggunaan lahan dengan luas kerentanan sangat tinggi di Kabupaten Kapuas tahun Sebaran titik panas di sekitar perkebunan dan perubahan penutupan/penggunaan lahan belukar rawa menjadi perkebunan 23 9 Hubungan kerapatan titik panas dengan kedalaman gambut Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika kedalaman gambut tahun Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan kedalaman gambut Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan jalan Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap jaringan jalan tahun Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap jaringan jalan Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan sungai Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap jaringan sungai tahun Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap jaringan sungai Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap pusat desa Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap pusat desa tahun Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap pusat desa 32

14 DAFTAR LAMPIRAN 1 Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan 36 2 Luas perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun Peta sebaran titik panas tahun

15 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu kejadian yang selalu terulang di wilayah barat Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah titik panas dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun terakhir ( ), terjadi pada tahun Jumlah titik panas pada tahun tersebut sebesar titik dengan luas kebakaran hutan Ha. Hal ini terjadi karena pada tahun 2006 Indonesia mengalami fenomena iklim El-Nino dengan musim kemarau yang lebih panjang. Selain itu juga terkait dengan pola pemanfaatan lahan serta kondisi penutupan hutan yang cenderung berkurang pada setiap tahunnya. Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya dari sisi lingkungan saja, tetapi juga dampak dari sisi ekonomi dan sosial (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan 2010). Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang paling rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sejak lima belas tahun terakhir provinsi Kalimantan Tengah yang dulu dikenal sebagai daerah yang kaya akan hutan berubah menjadi daerah penghasil asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Suratmo (2003) menyebutkan bahwa makin meluasnya areal yang terbakar sejak tahun 1991 disebabkan oleh makin banyaknya hutan alam yang diubah menjadi hutan produksi (HPH dan HTI), perkebunan, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya. Faktor biofisik dan aktifitas manusia merupakan penyebab kebakaran hutan dan lahan, meskipun hingga saat ini seberapa besar pengaruh dari faktor biofisik dan manusia yang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan belum dapat diketahui secara pasti. Namun, menurut Suratmo (2003) penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera adalah faktor manusia antara lain dikarenakan oleh kelalaian maupun kesengajaan manusia seperti pembukaan lahan dengan cara tebas dan bakar (slash and burning). Berdasarkan informasi tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara terpadu. Salah satu upaya untuk mendukung pencegahan yang efektif dan efesien adalah melalui penyediaan informasi tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dengan memanfaatkan data titik panas dan data biofisik seperti jarak dari jalan, jarak dari sungai, dan penggunaan lahan. Menurut Arifin (2010) kerentanan adalah kondisi atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan, mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya/bencana alam tertentu. Tingkat kerentanan bersifat dinamis karena beberapa faktor yang menentukan tingkat kerentanan juga berubah menurut waktu dan lokasi seperti kerapatan titik panas dan pola penutupan/penggunaan lahan. Dengan mengetahui pola temporal kerapatan titik panas dan penutupan/penggunaan lahan, maka dapat diketahui perkembangan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dari tahun ke tahun dengan memodelkan data multitemporal tersebut kedalam Sistem Informasi Geografis (SIG). Informasi tersebut dapat dijadikan masukan dan acuan

16 2 bagi pengambilan kebijakan dalam upaya menyusun rencana pencegahan kebakaran hutan dan lahan. 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan dinamika tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat dan zona kerentanan kebakaran hutan dan lahan, khususnya kepada masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan tersedianya informasi ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang lebih terencana dan tepat sasaran. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan dan Lahan Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009 pasal 1 angka 2). Suprayitno dan Syaufina (2008) membedakan kebakaran hutan dari kebakaran lahan berdasarkan lokasi terjadinya di mana kebakaran hutan merupakan kebakaran biomas yang terdapat di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di ladang atau lahan masyarakat. Kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam rangka pembukaan lahan, baik untuk usaha pertanian maupun perkebunan yang ditunjang oleh kondisi iklim dan adanya fenomena alam seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadian kebakaran selalu meningkat pada saat anomali SST (Sea Surface Temperature) menunjukkan nilai positif yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan di Indonesia (Putra et al. 2011) Bentuk Kebakaran Hutan dan Lahan Ditinjau dari aspek jenis kebakarannya dapat dibedakan menjadi tiga bentuk kebakaran yaitu kebakaran bawah, kebakaran permukaan, dan kebakaran tajuk (Purbowaseso 2004).

17 3 a. Kebakaran bawah (ground fire) Bentuk kebakaran ini biasa terjadi pada hutan yang berada pada daerah gambut, atau juga pada tanah yang mengandung batu bara. Hal ini terjadi karena adanya bahan-bahan organik di bawah lapisan serasah yang mudah terbakar. Api dimulai dari membakar serasah dan kemudian membakar bahan organik yang berada pada lapisan di bawahnya. Kebakaran bentuk ini tidak menampakkan nyala api, sehingga sulit dideteksi. b. Kebakaran permukaan (surface fire) Kebakaran permukaan merupakan kebakaran terjadi pada permukaan tanah dan hanya membakar serasah, semak-semak dan anakan pohon. Kebakaran bentuk ini tidak sampai membakar tajuk pohon, sehingga masih dapat diatasi. Namun, apabila angin bertiup kencang, tidak mustahil kebakaran permukaan bisa menjalar ke atas karena tiupan angin, sehingga menyebabkan kebakaran tajuk. c. Kebakaran tajuk (crown fire) Kebakaran tajuk adalah kebakaran hutan yang terjadi pada tajuk-tajuk pohon. Api berawal dari serasah (kebakaran permukaan) yang kemudian merambat ke tajuk pohon, sehingga pohon akan mati terbakar. Kebakaran tajuk ini menimbulkan kebakaran dalam skala besar, sehingga sulit dipadamkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Api Kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak lepas hubungannya dengan perilaku api yang dipengaruhi oleh segitiga api. Dalam segitiga api tergantung tiga unsur utama yaitu bahan bakar, oksigen, dan sumber api (Syaufina 2008). Ketiga unsur utama ini membuat perilaku api berhubungan erat dengan perubahan unsurunsur lingkungan antara lain bahan bakar, iklim/cuaca, dan topografi. Bahan Bakar. Kadar air merupakan faktor pengendali bahan bakar yang menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses pembakaran dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran (Sukmawati 2008). Menurut Syaufina (2008), kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku api terutama dalam kecepatan pembakaran bahan bakar. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka memerlukan panas yang besar untuk mengeluarkan air dari bahan bakar. Sehingga menyebabkan menurunnya kecepatan pembakaran dan flamabilitas (kemampuan terbakar) dari bahan bakar tersebut. Kadar air dipengaruhi oleh curah hujan, kelembababan, dan suhu udara. Iklim/Cuaca. Radiasi matahari menjadi faktor adanya kebakaran hutan akibat adanya pemanasan bahan bakar. Semakin dekat permukaan bahan bakar dengan sudut datang matahari, maka semakin besar pengaruh pemanasannya (Syaufina 2008). Suhu udara yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahan untuk terbakar. Suhu yang meningkat akan menurunkan kelembaban udara dan meningkatkan proses pengeringan bahan bakar, sehingga kadar air bahan bakar menurun (Sukmawati 2008). Keadaan inilah yang mempermudah bahan bakar menjadi mudah terbakar. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi terhadap kejadian kebakaran hutan. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran. Curah hujan merupakan unsur iklim yang mempunyai keragaman tinggi, karena pola hujan

18 4 yang bervariasi menurut skala ruang dan waktu (Asdak 2002 dalam Sukmawati 2008). Kecepatan angin dan pergerakan angin mempengaruhi perilaku api. Kecepatan angin berhubungan dengan pola penjalaran api. Menurut Chandler et al. (1983) dalam Siwi R (2013), kecepatan penjalaran api akan menigkat dua kali lipat pada setiap kenaikan angin sebesar 4 m/detik. Pengaruh angin terhadap perilaku api sangat dipengaruhi oleh topografi. Angin mendorong dan meningkatkan pembakaran serta mensuplai udara secara terus-menerus, sehingga api dapat menjalar ke bagian bahan bakar yang belum terbakar. Topografi. Kelerengan mempengaruhi penjalaran api, sifat-sifat nyala api, dan perilaku api lainnya. Api menjalar lebih cepat ke arah atas lereng daripada ke bawah lereng. Kecepatan penjalaran api menaiki lereng sampai kelerengan 20º relatif sama. Akan tetapi pada kelerengan 30º, kecepatan penjalaran akan meningkat secara signifikan. Hal ini berbeda pada saat api menuruni lereng, kecepatan api saat menuruni lereng akan lebih lambat daripada menaiki lereng (Syaufina 2008) Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan dan lahan diantaranya : Dampak Terhadap Bio-fisik. Dampak buruk dari kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman sampai dengan hancurnya pepohonan/tanaman secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu, kebakaran dapat melemahkan daya tahan tegakan terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan penyakit. Kebakaran hutan juga dapat mengurangi kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta menggangu habitat satwa liar. Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut. Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan.tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi, dan tingkat air tanah menurun. Kebakaran yang berulang-ulang di kawasan yang sama dapat menghabiskan lapisan serasah dan mematikan mikroorganisme/jasad renik yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Dampak lainnya dari kebakaran hutan adalah rusaknya permukaan tanah dan meningkatnya erosi. Kawasan yang terbakar di lereng-lereng di daerah hulu DAS cenderung menurunkan kapasitas penyimpanan air. Penurunan mutu kawasan karena kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan erosi tanah dan banjir, yang menimbulkan dampak lanjutan berupa pendangkalan terhadap saluran air, sungai, danau, dan bendungan.

19 5 Dampak Terhadap Sosial Ekonomi. Perubahan bio-fisik terhadap sumber daya dan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan, mengakibatkan penurunan daya dukung dan produktivitas hutan, dan lahan. Pada keadaan serupa ini akan menurunkan pendapatan masyarakat dan negara dari sektor kehutanan, pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa wisata, dan lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya. Dampak Terhadap Lingkungan. Selain dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1994 dan tahun 1997 telah menarik perhatian dunia, karena adanya suatu kondisi cuaca tertentu yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangkap di bawah suatu lapisan udara dingin atmosfir di atas wilayah Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan penurunan visibilitas (daya tembus pandang) sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut, dan udara. 2.2 Titik Panas Titik panas merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam titik koordinat. Pada kenyataannya, tidak semua titik panas mengindikasikan terjadinya kebakaran. Untuk itulah diperkenalkan istilah firespot yang secara khusus digunakan untuk mengindikasikan titik terjadinya kebakaran. Namun istilah hotspot lebih umum digunakan. Istilah ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya satelit meteorologi NOAA yang menghasilkan citra untuk mengindikasikan terjadinya vegetation fire (FFPMP2 2007). Data titik panas dapat diperoleh dari satelit penginderaan jauh yaitu sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) dan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Titik panas yang ditangkap oleh satelit akan diproyeksikan menjadi suatu pixel yang juga akan menunjukkan koordinat geografisnya. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, Aqua, dan Terra setara dengan ±1 km 2. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 km 2. Jika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu, koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah pixel, meskipun kebakaran yang terjadi berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 km 2 dari lokasi koordinat titik panas tersebut (Purwanto 2012). Oleh sebab itu, titik panas dari lokasi kebakaran di lapang dapat bergeser hingga radius ±1 km di sekeliling koordinat titik panas tersebut NOAA-AVHRR Satelit NOAA merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan memantau terjadinya kebakaran hutan dan lahan, karena selain memiliki sensor yang peka terhadap panas obyek juga dapat meliput daerah yang sangat luas (2600 x 1500 km²) dengan frekuensi perekaman mencapai dua kali dalam sehari (Dephut 1989). NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer) adalah satelit cuaca milik Amerika Serikat yang didesain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan,

20 6 dan studi iklim untuk kepentingan meteorologi yang mampu merekam tempat yang sama 2 kali per hari. Dengan kata lain perekaman dilakukan dalam 12 jam sekali. Pada sensor AVHRR, CH 3 (3,55-3,93 µm) terletak dekat spektral untuk emisi radiatif suatu objek pada suhu ±800ºK (suhu tipikal dari kebakaran alangalang). Sementara CH 4 (10,3-11,3) dan CH 5 (11,5-12,5) terletak dengan maksimum spektral untuk suhu lingkungan yang normal. Sebagai akibatnya kebakaran alang-alang dengan suhu ±800ºK, CH 3 akan menerima energi yang lebih banyak dibandingkan CH 4. Suatu pixel yang mempunyai permukaan suhu yang uniform 300ºK, rata-rata energi pada CH 3 dan 4 adalah 0,442 x 9,68 W m² µm¹ sr¹ dengan asumsi emisifitas 1. Untuk pixel yang mempunyai suhu berbeda, misal 800ºK dan 300ºK, energi pada CH 3 dan 4 adalah 670,0 dan 49,92 W m² µm¹ sr¹ (Purbowaseso 2004). Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics And Space Administration USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi (NOAA 12, 16, dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin 2004) MODIS MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sensor yang dibuat untuk menyediakan data darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei Satelit ini merupakan satelit dengan orbit selaras dengan matahari, dengan tinggi orbit 705 km, lebar sapuan 2330 km. Lintasan orbit Satelit Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada jam dan setiap hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada jam dan 01.30, sehingga dapat menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Sensor MODIS memiliki 36 band (36 panjang gelombang). Satelit ini memiliki resolusi radiometrik 12 bit coding dan memiliki resolusi spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), dan 1000 m (band 8-36). Sama halnya dengan NOAA-AVHRR, MODIS juga dapat mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memilki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Nilai ambang batas untuk menentukan sebuah hotspot oleh satelit MODIS adalah suhu lebih dari 360K (87 o C) untuk siang hari dan suhu 320K (47 o C) untuk malam hari (Kaufman et al dalam Giglio et al. 2003). Titik panas MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km 2, sehingga setiap titik panas atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 pixel. Jika kondisi pengamatan optimal (dekat nadir, asap sedikit/tidak ada, permukaan bumi yang homogen) kebakaran hutan/lahan dengan kondisi 100 m 2 akan dapat dideteksi, bahkan dalam kondisi bebas awan/asap/polusi (jarang sekali terjadi) kebakaran seluas 50 m 2 juga dapat terdeteksi (FIRM 2002 dalam Purwanto 2012).

21 7 2.3 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannya dengan lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dalam citra. Penggunaan lahan telah dikaji dari beberapa sudut pandang yang berlainan, sehingga tidak ada satu definisi yang benar-benar tepat di dalam keseluruhan konteks yang berbeda (Campbell 1983). Sedangkan Penutupan lahan merupakan gambaran konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961). Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra pengideraan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup dalam penutupan lahan yaitu : (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang (3) tipe pembangunan. Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai peralihan fungsi lahan yang semula untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula (yang lain). Perubahan penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Martin 1993 dalam Wahyunto et al. 2001). Perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat balik), karena untuk mengembalikannya dibutuhkan modal yang sangat besar. Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, yang pada akhirnya dapat berdampak positif maupun negatif. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya air serta terjadinya erosi tanah (Basyar 2009). Pada umumnya perubahan-perubahan tersebut dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penutupan/penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat membantu dalam pengamatan perubahan penutupan/penggunaan lahan. Pemetaan penutupan/penggunaan lahan sangat berkaitan dengan studi vegetasi, tanaman pertanian, dan tanah. Bagi seorang planner yang harus membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan, data penutupan/penggunaan lahan merupakan data yang paling penting, sehingga biasanya data dipresentasikan dalam bentuk peta dan bersifat ekonomi. Penggunaan citra pengindraan jauh sesuai untuk membuat peta-peta penutupan/penggunaan lahan. Penafsiran citra visual dapat didefinisikan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya (Ali dan Tesgaya 2010). Penafsiran citra merupakan kegiatan yang didasarkan pada deteksi dan identifikasi obyek di permukaan bumi pada citra satelit Landsat dengan mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsur-unsur spektral dan spasial serta kondisi temporalnya.

22 8 2.4 Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Satelit Landsat 7 sensor Enhanced Thematic MapperPlus (ETM+) merupakan satelit observasi permukaan bumi yang masih digunakan hingga sekarang. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, dengan orbit pada ketinggian 705 ± 5 km, dengan siklus 16 hari. Sensor ETM memiliki pengamatan spektral menggunakan 7 band dengan penambahan pankromatik band-8, dan resolusi radiometrik 8 bit. Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki resolusi spasial yang bagus (30 m x 30 m), juga memiliki resolusi spektral yang mencakup semua gelombang pendek (visible light) dan infra merah (NIR, MIR, dan TIR), selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik band Landsat7 ETM+ Band Panjang Gelombang (µm) Karakteristik ~ 0.52 Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda vegetasi, tanah, dan analisis penggunaan lahan ~ 0.60 Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan ~ 0.69 Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, serta membantu dalam penentuan spesiea tumbuhan ~ 0.90 Untuk menentukan tipe vegetasi dan biomassa vegetasi, serta memperkuat kontras antara tanaman tanah dan tubuh air 5 1,04 ~ 1.25 Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi, dan kondisi kelembaban tanah 6 1,55 ~ 1.75 Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas ~ 2.35 Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan batuan Sumber : Lillesand-Kiefer, Pemodelan dan Pemetaan Kerentanan Kebakaran Penerapan SIG dalam pemodelan kerentanan kebakaran hutan telah mempertimbangkan sejumlah faktor penyebab kebakaran, tergantung pada karakteristik dari kejadian kebakaran pada tempat yang berbeda. Menurut Chuvieco dan Salas (1996), variabel spasial yang digunakan untuk membangun model kerentanan kebakaran hutan yaitu topografi (elevasi, slope, aspek, dan iluminasi), vegetasi (tipe bahan bakar dan kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan, tipe kepemilikan lahan, jarak dari kota/desa, jenis tanah, sejarah kebakaran, dan ketersediaan air. Peta rawan kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk mempresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk

23 9 memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan permodelan ini (Solichin et al. 2007). Model peta rawan kebakaran tidak secara khusus memperhatikan potensi penyulutan, melainkan lebih secara luas memprediksi kemungkinan kebakaran akan terjadi serta kemungkinan intensitas serta dampak yang ditimbulkan. Potensi penyulutan juga dikembangkan sebagai salah satu komponen di dalam Sistem Analisa Ancaman Kebakaran (Kolden 2007) yang dikembangkan oleh SSFFMP. Menurut Arianti (2006) pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode ranking dan analisis pemetaan komposit (CMA) berdasarkan hasil harkat dan bobot. Model dengan metode ranking dilakukan berdasarkan analisis pengharkatan (scoring) menggunakan formulasi logis dari urutan tingkat pengaruh penyebab kebakaran hutan dan lahan, sedangkan model dengan metode CMA dilakukan berdasarkan analisis pengharkatan (scoring) menggunakan rasio jumlah titik panas yang terdapat di lapangan (aktual) dan titik panas yang diharapkan (dugaan) pada wilayah penelitian pada setiap peubah. Metode analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA) merupakan salah satu cara penentuan bobot dan skor suatu peubah spasial yang dilakukan secara empiris. Hubungan antara jumlah titik panas per km² dengan faktor-faktor penyusun kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing-masing faktor. Faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor yang lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Bobot masing-masing peubah adalah proporsi setiap koefesien korelasi dari regresi linear terhadap seluruh koefesien regresinya (Samsuri 2008). III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Desember 2013 dengan memilih Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokasi studi. Persiapan, pengolahan dan analisis data secara digital dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). 3.2 Data dan Alat Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas Citra Landsat 7 ETM+ tahun Data sekunder terdiri atas data titik panas, peta administrasi, peta penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Kapuas tahun , peta sungai, peta jalan, peta desa/kampung, dan peta kedalaman gambut (Tabel 2).

24 10 Tabel 2 Bahan yang digunakan dalam penelitian No. Data Sumber data 1. Citra Landsat 7 ETM part/row : 118/60, 118/61, 118/62 yang diakuisisi tahun Usgs.glovis.com 2. Peta administrasi Kabupaten Badan Koordinasi Survei dan Kapuas Pemetaan Nasional 3. Peta penutupan/penggunaan CCROM-SEAP (Interpretasi citra lahan Kabupaten Kapuas tahun Landsat) Data titik panas Modis tahun Modis.gsfc.nasa.gov 2005 hingga tahun Peta sungai, jalan, desa/kampung,dan peta kedalaman gambut Provinsi Kalimantan Tengah Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat komputer dengan perangkat lunak berupa ArcView 3.3, ArcGIS 9.3, Erdas Imagine 9.2, dan MINITAB versi Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas 4 (empat) tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengolahan data, dan citra, pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan dan analisis dinamika tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Secara ringkas tahap penelitian disajikan pada Gambar Tahap Persiapan Tahapan ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data spasial yang meliputi data titik panas, citra Landsat, peta administrasi, peta sungai, peta jalan, peta desa/kampung, dan peta kedalaman gambut Tahap Pengolahan Data dan Citra a. Pengolahan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Pengolahan citra satelit Landsat dilakukan supaya data citra dapat dikonversi menjadi data vektor, kemudian di tumpangsusunkan (overlay) dengan data vektor lainnya. Berdasarkan hasil pengolahan citra maka akan didapatkan peta tutupan/penggunaan lahan sebagai salah satu variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Kegiatan dalam pengolahan Landsat 7 ETM+ yaitu meliputi pengunduhan citra untuk wilayah penelitian, penggabungan band (layer stacking), penggabungan citra (mosaic), interpretasi citra, dan penyajian hasil dalam bentuk penutupan/penggunaan lahan.

25 11 Citra Landsat Tahun 2012 Citra Landsat Tahun Data Titik Panas Satelit MODIS Tahun Mozaic Mengubah data tabular menjadi vektor Interpretasi Citra Peta Penutupan/Penggunaan lahan Tahun 2012 Reinterpretasi Citra Landsat Th Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun Distribusi Spasial Peta Kerapatan Titik Panas Tahun Pemodelan Tahun 2009 Faktor Yang Berpengaruh Penutupan/Penggunaan Lahan Th.2009 Jarak dari Pusat Desa Jarak dari Jalan Jarak dari Sungai Kedalaman Gambut Analisis Hubungan antara Kerapatan Titik Panas dengan Faktor yang Berpengaruh Penentuan Skor dan Bobot Peubah Pembuatan Persamaan Matematik (CMA) Uji Signifikansi Uji Validasi Model Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Th.2009 Pemodelan Tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2010, 2011, 2012 Faktor Yang Berpengaruh Penutupan/Penggunaan Lahan Th.2005,2006,2007,2008,2010,2011, 2012 Jarak dari Pusat Desa Jarak dari Jalan Jarak dari Sungai Kedalaman Gambut Analisis Hubungan antara Kerapatan Titik Panas dengan Faktor yang Berpengaruh Penentuan Skor dan Bobot Peubah Persamaan Matematik (CMA) Mengacu Tahun 2009 Peta Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambar 1 Diagram tahap penelitian

26 12 Interpretasi citra bertujuan untuk menghasilkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2012 menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tahun Kemudian dilakukan pemutakhiran peta penutupan/penggunaan lahan tahun melalui reinterpretasi citra Landsat 7 ETM+ tahun dengan menggunakan batas administrasi yang baru. Interpretasi citra dilakukan secara visual dengan kombinasi band yang digunakan adalah (RGB), dengan menggunakan pendekatan unsur interpretasi: rona (berkaitan dengan derajat keabuan suatu obyek), warna, tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek yang lain). Selanjutnya dilakukan identifikasi, sebagai upaya mencirikan objek yang kemudian dikumpulkan keterangannya lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi. Tahap selanjutnya yaitu klasifikasi melalui proses deleniasi untuk membatasi dan membagi kelas penutupan/penggunaan lahan. Tahapan ini dilakukan dengan mengacu pada Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang untuk Menghasilkan Data Penutupan Lahan Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Kehutanan sesuai pada Lampiran 1. b. Pengolahan Data Titik Panas MODIS Data titik panas berupa data tabular hasil pantauan satelit MODIS dikonversi ke dalam bentuk vektor sehingga dapat ditampilkan dan dianalisis secara spasial. Selanjutnya dilakukan transformasi koordinat dari geografis menjadi koordinat UTM zone 49S dengan referensi ellipsoid WGS 84. Peta sebaran titik panas pada tiap komponen fisik wilayah penelitian tersebut kemudian diolah menjadi peta kerapatan titik panas, yang digunakan sebagai parameter pada pendekatan metode CMA untuk membangun model spasial tingkat kerentanan. Model tersebut dibangun berdasarkan hubungan antara kerapatan titik panas dan masing-masing peubahnya diantaranya, kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, dan penutupan/penggunaan lahan Pemodelan Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Pemodelan kerentanan kebakaran dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif CMA melalui beberapa tahap. Tahap awal dimulai dengan menentukan peubah yang berpengaruh (kedalaman gambut, penutupan/penggunaan lahan, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan jarak dari desa/kampung) dan tahap selanjutnya menganalisis hubungan antara peubah yang berpengaruh dengan kerapatan titik panas. a. Persiapan/Pengolahan Data Peubah Model Kerentanan Faktor/peubah yang digunakan dalam penyusunan model, dibagi ke dalam beberapa kelas sebagai berikut ; Kedalaman gambut (X1) dibedakan kedalam kelas non gambut (tanah mineral), sangat dangkal (<50 cm), dangkal/tipis ( cm), sedang ( cm), dalam/tebal ( cm), sangat dalam/sangat tebal ( cm) dan sangat dalam sekali/sangat tebal sekali (>800 cm). Penutupan/penggunaan lahan (X2). Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat diperoleh 20 kelas penutupan/penggunaan lahan yang terbagi atas

27 13 air, belukar, belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, perkebunan, pertambangan, permukiman, rawa, sawah, tambak dan transmigrasi Jarak terhadap pusat desa/kampung (X3) dilakukan buffer dengan interval 1000m (1km) Jarak terhadap jaringan jalan (X4) dilakukan buffer dengan interval 1000m (1km) Jarak terhadap jaringan sungai (X5) dan juga dilakukan buffer dengan interval 1000m (1km). b. Penentuan Skor Aktual (actual score) Penentuan nilai didasarkan pada luasan setiap sub faktor, jumlah hotspot yang ada (observed) pada setiap sub faktor dan jumlah hotspot yang diharapkan atau yang seharusnya ada (expected). Nilai masing-masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1) dan (2) Xi = oi ei x 100 ( oi ei )...(1) Ei = TxF (2) Dimana : Xi adalah skor kelas (sub faktor) pada setiap sub faktor Oi adalah jumlah hotspot yang ada pada setiap sub faktor (obseved hotspot) Ei adalah jumlah hotspot yang diharapkan pada setiap sub faktor T adalah jumlah total hotspot F adalah persentase luas dalam setiap sub faktor c. Penentuan Skor Dugaan (estimated score) Skor dugaan digunakan untuk merapikan pola nilai skor aktual yang tidak teratur. Skor dugaan didapatkan dengan meregresikan antara masing-masing sub faktor dengan skor aktual dengan pola regresi. d. Perhitungan Nilai Skor Skala (rescalling score) Standarisasi skor antara semua variabel yang digunakan dalam penyusunan model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan menghitung kembali skor sehingga didapatkan skor skala dengan nilai antara 10 sampai 100 dengan menggunakan persamaan 2 (Jaya et al. 2007). Score Rout = Score E. input Score E. min Score R. max Score R. min + Score R. min (2) Score E. max Score E. min Dimana : Score R.out adalah nilai skor hasil rescalling Score E.input adalah nilai skor dugaan (estimated score) input Score E.min adalah nilai minimal skor dugaan Score E.maxadalah nilai maksimal skor dugaan Score R.maxadalah nilai skor tertinggi hasil rescalling Score R.minadalah nilai skor terendah hasil rescalling

28 14 e. Penentuan Bobot Hubungan antara jumlah titik panas/km² dengan faktor-faktor penyusun model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk mendapatkan nilai skor komposit masing-masing faktor. Kemudian faktor-faktor yang memiliki korelasi relatif lebih tinggi daripada faktor yang lain dipilih dan diigunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Bobot masing-masing peubah adalah proporsi masing-masing koefesien korelasi dari regresi linear terhadap total seluruh koefesien regresinya. f. Pembuatan Persamaan Matematik Pembangunan model tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (empiris) dengan metode analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA). Model dibangun berdasarkan nilai skor komposit, disusun dengan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara jumlah hotspot per km² dengan skor komposit faktor-faktor penyusun. g. Uji signifikansi Pengujian ini dimaksudkan untuk memilih model terbaik dari beberapa model yang memiliki nilai akurasi tinggi, yang dikelompokkan ke dalam 3 dan 5 kelas kerentanan. Uji z ini dapat memperjelas apakah suatu model berbeda nyata terhadap model lainnya. Statistik uji yang digunakan adalah uji z-test two sample for mean dengan persamaan 3. Z = x1 x2 < 1,96 (3) σ 1 2 n 1 +σ²2 n 2 Dimana : z = nilai signifikansi x1,x2 = nilai rata-rata dua contoh ð1,ð2 = standar deviasi dua contoh n1, n2 = jumlah atau ukuran dua contoh = perbedaan rata-rata populasi h. Validasi Model Akurasi model dihitung berdasarkan koinsidensi antara model dan referensi dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Matrix ini untuk menilai akurasi peta yang dihasilkan. Matrik ini digunakan untuk menghitung akurasi umum dengan persamaan sebagai berikut : OA = r i=1 Xii N x 100%...(4) Dimana: OA = nilai validasi keseluruhan Xii = Coincided value atau luasan kelas kerentanan yang sama antara model dan kerapatan titik panas N = total area validasi

29 Analisis Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Pada tahapan ini dilakukan pemetaan zona kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005 sampai 2012 menggunakan persamaan regresi terbaik berdasarkan tahun dengan jumlah titik panas terbanyak (tahun 2009). Kemudian menganalisis tingkat kerentanan mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi pada masing-masing tahun ( ). Dalam penelitian ini, pembagian kelas kerentanan dilakukan berdasarkan pada skor kerawanan yang diturunkan dari persamaan model matematik terbaik tahun 2009 seperti berikut y = 0,016e 0,042x....(5) Dimana : Y = skor kerentanan e = eksponensial x = skor komposit (jumlah perkalian antara skor aktual dengan bobot masing-masing peubah yang membangun model) IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Lokasi Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota kabupaten yang terletak di Kuala Kapuas. Secara geografis Kabupaten Kapuas terletak di antara 0 o 8'48" sampai dengan 3 o 27'00" Lintang Selatan dan 113 o 2'36" sampai 114 o 44'00" Bujur Timur. Batas administrasi wilayah Kabupaten Kapuas berbatasan dengan kebupaten-kabupaten: sebelah utara dengan Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan, sebelah barat dengan Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangkaraya, dan Gunung Mas, dan sebelah timur dengan Kabupaten Barito Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Secara Administrasi Kabupaten Kapuas terbagi menjadi 17 kecamatan yaitu Basarang, Bataguh, Dadahup, Kapuas Barat, Kapuas Hilir, Kapuas Hulu, Kapuas Kuala, Kapuas Murung, Kapuas Tengah, Kapuas Timur, Mandau Talawang, Mantangai, Pasak Talawang, Pulau Petak, Selat, Tamban Catur, dan Timpah.

30 16 Gambar 2 Peta lokasi penelitian 4.2 Topografi Topografi daerah secara umum terbagi menjadi dua bagian kawasan besar, yaitu kawasan pasang surut (sebelah selatan yang berpotensi untuk pertanian tanaman pangan) dan kawasan non pasang surut (bagian utara yang berpotensi untuk perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar swasta). Bagian selatan merupakan daerah pesisir, dataran rendah, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut dan kemiringan lereng 0-8%. Sementara bagian utara merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dengan ketinggian antara meter dari permukaan air laut dan memiliki kemiringan lereng 8-15%. Kabupaten Kapuas umumnya termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur pada tahun 2010 berkisar antara o C dan maksimal mencapai 36 o C. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup banyak, sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan April berkisar mm, sedangkan bulan kering/kemarau jatuh pada bulan Juli sampai September.

31 17 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Dinamika Sebaran Titik Panas MODIS di Kabupaten Kapuas Tahun Titik panas adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi lain yang tertangkap oleh sensor, sehingga titik panas dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mendeteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Berdasarkan data titik panas dari citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dapat diketahui sebaran titik panas di wilayah Kabupaten Kapuas seperti yang terlihat pada Gambar 3. Jumlah Titik Panas Tahun Gambar 3 Jumlah titik panas tahun Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa jumlah titik panas dari tahun 2005 hingga tahun 2012 selalu mengalami perubahan. Jumlah titik panas terbanyak terjadi pada tahun 2009 (2.561 titik), sedangkan jumlah terendah terjadi pada tahun 2010 sebanyak 39 titik. Hal ini terjadi karena adanya anomali iklim pada tahun tersebut, dimana pada tahun 2009 terjadi El-Nino dan pada tahun 2010 terjadi La-Nina (Elida 2013). Berdasarkan informasi ini model spasial tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dapat dibangun dengan menggunakan data titik panas dari citra MODIS tahun Jumlah titik panas bulanan selama kurun waktu 8 tahun ( ) pada Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah titik panas yang teridentifikasi setiap awal tahun dari bulan Januari sampai Maret ( ) masih rendah. Jumlah titik panas mulai meningkat pada bulan Mei dan mencapai puncaknya pada bulan September, kemudian menurun pada Oktober. Hal ini berhubungan dengan puncak musim kemarau, pada bulan Agustus, September dan Oktober dimana curah hujan pada bulan-bulan tersebut lebih rendah daripada bulan lainnya.

32 18 Jumlah Titik Panas Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des Bulan Gambar 4 Jumlah titik panas bulanan pada tahun Menurut Wetland International (2006), kejadian kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi pada saat curah hujan terendah karena pada saat itu kelembaban udara juga rendah yang menyebabkan bahan bakar potensial seperti daun dan ranting kayu yang sudah kering akan lebih mudah terbakar. Selain itu, sebagian besar kegiatan pembakaran di Kalimantan Tengah dilakukan selama musim ini. Petani dan pemilik lahan melakukan pembersihan lahan untuk pembukaan lahan baru maupun penyiapan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Secara umum titik panas di Kabupaten Kapuas banyak ditemukan di bagian selatan, dimana daerah tersebut merupakan dataran rendah, daerah pesisir, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut. Berdasarkan kemiringan lereng bagian selatan memiliki lereng 0-8%. Wilayah ini merupakan kawasan budidaya dengan penggunaan lahan utama perkebunan dan pertanian termasuk Eks Proyek Lahan Gambut 1 juta Ha pada waktu dulu, namun sekarang sudah mulai dimanfaatkan kembali. Sebagian masyarakat Kapuas juga masih melakukan sistem pertanian lokal, dimana penyiapan lahan untuk pertanian atau perkebunan cenderung dilakukan dengan pembakaran lahan karena dianggap lebih mudah, murah, dan cepat, sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas. 5.2 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun Berdasarkan hasil interpretasi, Kabupaten Kapuas memiliki 20 kelas penutupan/penggunaan lahan, yaitu air, belukar, belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi. Selama kurun waktu 8 tahun ( ), penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas didominasi oleh hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa, dan belukar. Hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa

33 19 sekunder mengalami penurunan berturut-turut dari 37.73% (tahun 2005) menjadi 35% (tahun 2012) dan dari 23.84% (tahun 2005) menjadi 20.41% (tahun 2012). Sementara luas belukar rawa berubah secara fluktuatif dengan persentase luasan terendah pada tahun 2005 (11.74%) meningkat sampai tahun 2008 (12.81%), dan menurun hingga tahun 2012 (12.27%). Luas belukar juga mengalami perubahan secara fluktuatif dengan luasan tertinggi pada tahun (11.06%) dan terendah pada tahun 2007 (10.26%), sedangkan untuk luas penutupan/penggunaan lahan lainnya memiliki luasan yang kurang dari 10% dari total luas Kabupaten Kapuas. Perubahan penutupan/penggunaan lahan dalam rentang waktu disajikan pada Gambar 5. Luas perkebunan mengalami peningkatan sebanyak ha (48.9%), sedangkan hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering sekunder menurun berturut-turut sebesar ha (15.69%) dan ha (7.53%). Peningkatan penggunaan lahan perkebunan dalam jumlah besar tersebut terjadi, karena perkebunan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan/penggunaan lahan lainnya. Sementara penurunan luas pada hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa sekunder yang besar disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi non-hutan (lahan pertanian dan perkebunan). Luas (Ha) A B BR 0 HLKP HLKS -482 HMP HMS HRP HRS HT LT Pk 774 Pmk Pt 376 PLK Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan 0 PLKC Rw Sw 0 Tm 0 Tr Keterangan kode penutupan/penggunaanlahan: A : Air HRP : Hutan Rawa Primer PLK : Pertanian Lahan Kering B : Belukar HRS : Hutan Rawa Sekunder PLKC : Pertanian Lahan KeringCampur BR : Belukar Rawa HT : Hutan Tanaman Rw : Rawa HLKP : Hutan Lahan Kering Primer LT : Lahan Terbuka Sw : Sawah HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder Pk : Perkebunan Tm : Tambak HMP : Hutan Mangrove Primer Pmk : Permukiman Tr : Transmigrasi HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pt : Pertambangan Gambar 5 Perubahan Penutupan/penggunaan lahan selama rentang waktu 8 tahun ( ) Belukar dan belukar rawa merupakan lahan yang tidak dikelola atau tidak diusahakan dalam waktu yang lama karena kendala air (rawa). Lahan ini juga merupakan lahan transisi dari hutan sekunder yang dikonversi menjadi lahan pertanian dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan demikian bertambah luasnya belukar dan belukar rawa terkait dengan pembukaan lahan hutan menjadi non-hutan. Sementara peningkatan pertambangan cukup pesat disebabkan sektor pertambangan di Kapuas secara ekonomi cukup menjanjikan. Kabupaten ini di kenal kaya dengan intan, emas, batubara, batu kapur, dan pasir kuarsa

34 20 (Kalimantan Tengah Minning 2011). Badan air yang dimaksud pada penelitian ini meliputi tubuh sungai dan danau. Berdasarkan hasil interpretasi, penutupan/penggunaan lahan, badan air sedikit mengalami perubahan luas atau dapat dikatakan konstan. 5.3 Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan pada periode Tahun Berdasarkan hasil pemetaan zona kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas tahun (Gambar 6), kemudian dapat dianalisis perbedaan luas dari tingkat kerentanan pada masing-masing tahun dapat dihitung seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Pembagian kelas kerentanan dari sangat rendah sampai sangat tinggi dilakukan berdasarkan pada skor kerawanan yang diturunkan dari persamaan model matematik terbaik tahun 2009 yaitu; y = 0,016e 0,042x dengan (x) adalah nilai skor komposit yang diperoleh dari jumlah perkalian antara skor aktual dengan bobot masing-masing peubah. Tabel 3 Luas kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun Tahun Tingkat Kerentanan Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi - Sangat Tinggi Luas (%) Ha Luas (%) Ha Luas (%) Ha Luas (%) Ha , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa luas tingkat kerentanan dari tahun 2005 sampai 2012 selalu mengalami perubahan. Luas kerentanan terbesar dengan tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi terdapat pada tahun 2006, yaitu sebesar ha, sedangkan untuk kerentanan tinggi sampai sangat tinggi terkecil terdapat pada tahun 2012, yaitu seluas ha.

35 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) Gambar 6 Peta kerentanan kebakaran hutan dan lahan Kabupaten Kapuas Tahun (a) 2005, (b) 2006, (c) 2007, (d) 2008, (e) 2009, (f) 2010, (g) 2011, (h)

36 22 Kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2006 memiliki luas dengan tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi paling besar. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor, antara lain karena peristiwa penyimpangan iklim dan peubah yang mempengaruhinya. Pada tahun 2006 terjadi fenomena El-Nino, yang ditunjukkan dengan rendahnya curah hujan dan musim kemarau panjang yang diikuti oleh banyaknya jumlah titik panas. Selain itu peubah yang paling berpengaruh pada peta kerentanan tahun 2006 adalah penutupan/penggunaan lahan. Dimana penggunaan lahan (land use) merupakan bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2010). Adanya aktifitas manusia tersebut dapat mengakibatkan semakin rentannya lahan terhadap kebakaran. Luas penutupan/penggunaan lahan terbesar pada tahun 2006 didominasi oleh hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa, dan belukar. Untuk daerah penelitian ke-4 jenis penutupan lahan tersebut sangat berpeluang untuk dilakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Sedangkan untuk jenis penutupan/penggunaan lahan dengan jumlah titik panas terbesar adalah belukar rawa dan hutan rawa sekunder. Berdasarkan luas dan persebaran tingkat kerentanan kebakaran pada kurun waktu tahun 2005 sampai 2012 (Tabel 4), terlihat bahwa kecamatan yang mempunyai kerentanan tinggi sampai sangat tinggi terluas adalah Kecamatan Mantangai. Hal ini dapat dimengerti karena Kecamatan Mantangai terletak di Kapuas bagian selatan dengan topografi datar dan didominasi oleh lahan gambut dengan penutupan/penggunaan lahan didominasi oleh hutan rawa sekunder dan belukar rawa. Dimana jenis penutupan lahan tersebut sangat rentan dilakukan pembakaran untuk pembukaan lahan pertanian/perkebunan oleh masyarakat. Hasil analisis tingkat kerentanan selama kurun waktu 8 tahun juga menunjukkan bahwa jenis penutupan/penggunaan lahan yang selalu barada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi adalah belukar rawa, belukar, dan perkebunan (Gambar 7 dan Lampiran 2). Belukar dan belukar rawa merupakan lahan tak terawat yang hampir setiap tahun mengalami pembakaran secara terkontrol untuk penyiapan lahan pertanian, adapun kerentanan sangat tinggi pada perkebunan diduga karena adanya pancaran panas yang berasal dari pembakaran di sekitarnya, kemudian terekam oleh sensor MODIS seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Hasilnya pancaran tesebut menyebabkan besarnya jumlah titik panas yang teridentifikasi pada perkebunan. Selain itu perkebunan yang tergolong ke dalam tingkat kerentanan sangat tinggi dominan adalah perkebunan yang berada pada daerah gambut, dimana daerah gambut merupakan area yang mudah terbakar. Dalam penelitian Saharjo (2008) disebutkan bahwa titik panas pada citra satelit secara dominan dijumpai pada areal perkebunan dan hutan tanaman. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan lebih banyak disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan secara besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan tanpa terkendali.

37 Tabel 4 Luas kerentanan sangat tinggi menurut kecamatan yang ada di Kabupaten Kapuas Nama Tahun Kecamatan Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Basarang 845 5, , , , , , , ,15 Bataguh 56 0, , , , , , ,61 Dadahup 864 5, , , , , , , ,11 Kapuas Barat 598 3, , , , , , ,40 Kapuas Hilir 7 0, , , , ,22 Kapuas Kuala 553 0, , , , ,31 Kapuas Murung , , , , ,63 Kapuas Tengah , , , , ,16 Kapuas Timur 1 0, , , , ,01 Kapuas Hulu 12 0, , , , ,02 MandauTalawang 29 0,03 7 0, ,77 7 0,32 Mantangai , , , , , , , ,13 Pasak Talawang , , , ,39 8 0,01 Pulau Petak 39 0,04 3 0,00 Selat 17 0, , , , ,18 Tamban Catur 964 4, , , ,02 Timpah , , , , ,63 Jumlah

38 24 25 Luas (ha) A B BR HLKP HLKS HMP HMS HRP HRS HT LT Pk Pmk Pt PLK PLKC Rw Sw Tm Tr Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan Gambar 7 Hubungan penutupan/penggunaan lahan dengan luas kerentanan sangat tinggi di Kabupaten Kapuas Tahun Gambar 8 Sebaran titik panas di sekitar perkebunan dan perubahan penutupan lahan belukar rawa menjadi perkebunan

39 Hubungan Antara Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Sebaran Titik Panas Kesesuaian sebaran tingkat kerentanan kebakaran dengan pola sebaran titik panas (kerapatan titik panas) perlu dilakukan identifikasi. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana tingkat kesamaan dan keakuratan model pemetaan zona kerentanan yang terbangun dengan pola sebaran titik panas di lapangan. Identifikasi kesesuaian tingkat kerentanan dengan pola sebaran titik panas bisa dilakukan berdasarkan dua aspek, yaitu dengan membandingkan luasan tingkat kerentanan terhadap jumlah titik panas pada masing-masing tahun, dan aspek kedua adalah dilihat dari nilai hasil uji akurasi model pada setiap tahunnya. Berdasarkan data luas kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun pada Tabel 3, dapat diketahui adanya ketidaksesuaian luasan tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi pada tahun Luas tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi pada tahun 2010 lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2012, padahal jika dilihat dari jumlah titik panasnya tahun 2010 memiliki jumlah titik panas (39 titik), sedangkan tahun 2005 jumlah titik panasnya (628 titik) dan tahun 2012 sejumlah (678 titik). Untuk sebaran titik panas dari kurun waktu 8 tahun juga bisa dilihat pada lampiran 3, dimana terjadi anomali paa tahun Di samping itu, hasil nilai uji akurasi model (Tabel 5) juga menunjukkan bahwa model tahun 2010 memiliki nilai akurasi yang paling kecil (37%) jika dibandingkan dengan model pada tahun lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa akurasi model kerentanan tahun 2010 relatif rendah dan ini terjadi karena pemodelan dilakukan dengan jumlah titik panas yang sangat sedikit. Dengan kata lain, pendekatan Composite Mapping Analysis (CMA) mungkin tidak bisa digunakan untuk memodelkan kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada kondisi jumlah titik panas yang sedikit. Tabel 5 Hasil pemodelan tahun Nilai Tahun Urutan variabel Nilai Z akurasi 2005 X2, X1, X4, X5 1,71 0, X2, X3, X4, X5 1,95 0, X1, X2, X3, X4, X5 1,78 0, X2, X4, X3 1,95 0, X1, X2, X3, X4, X5 1,79 0, X1, X2, X4 1,75 0, X3, X1, X5, X2, X4 1,13 0, X1, X2, X3, X4 1,93 0,86 Dimana : X1 adalah Kedalaman Gambut X2 adalah Penutupan/Penggunaan Lahan X3 adalah Jarak terhadap Pusat Desa X4 adalah Jarak terhadap Jaringan Jalan X5 adalah Jarak terhadap Jaringan Sungai

40 Hubungan Antara Kerapatan Titik Panas dengan Kedalaman Gambut, Jarak dari Jalan, Jarak dari Pusat Desa, dan Jarak dari Sungai Berdasarkan zona kerentanan pada Gambar 6, dapat dilakukan analisis hubungan kerapatan titik panas dengan masing-masing peubah yang berpengaruh. Hasil analisis disajikan pada Gambar Gambar 9 menunjukkan bahwa umumnya titik panas jumlahnya lebih besar atau mempunyai kerapatan tinggi terjadi di daerah gambut dibandingkan di non gambut (mineral). Hal ini diduga karena pada lahan non-gambut sudah ada kepemilikannya baik digunakan sebagai lahan terbangun maupun pertanian. Kondisi ini mendorong masyarakat beralih ke lahan gambut untuk membuka lahan pertanian. Jika dilihat berdasarkan dinamika setiap tahunnya (Gambar 10) diketahui bahwa semakin dalam gambut kerapatan titik panas juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena kadar air gambut bersifat irreversible srink (pengeringan tak balik) yang menyebabkan gambut sangat sulit menjerap air kembali, sehingga gambut lebih mudah terbakar (Samsuri 2008). Selain itu menurut Syaufina (2008) kebakaran lahan gambut termasuk jenis kebakaran bawah, (api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah), sehingga penjalaran api berlangsung secara perlahan, tidak dipengaruhi angin, dan tanpa nyala api. Oleh karena itu, tipe kebakaran ini termasuk sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Keterangan Kedalaman : 1. Non gambut 5. Gambut Dalam ( cm) 2.Gambut Sangat Dangkal (< 50 cm) 6. Gambut Sangat Dalam ( cm) 3.Gambut Dangkal ( cm) 7. Gambut Sangat Dalam Sekali ( cm) 4. Gambut Sedang ( cm) Gambar 9 Hubungan kerapatan titik panas kedalaman gambut Kebakaran di kawasan gambut memberikan dampak yang lebih besar terhadap emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan non gambut. Selain itu emisi partikel yang terlepas ke udara akibat kebakaran gambut lebih banyak 10 kali lipat (Saharjo et.al. 2013). Dengan adanya dampak yang sangat besar dari kebakaran gambut tersebut, maka perlu adanya upaya perlindungan kawasan gambut agar tidak terbakar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pelaksanaan manajemen air dan hidrologi yang tepat.

41 27 Gambar 10 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika kedalaman gambut tiap tahun ( ) Berdasarkan hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan kedalaman gambut pada Gambar 11, dapat diketahui bahwa di tahun 2005, pembukaan lahan (lahan terbuka) masih dilakukan pada tanah mineral (bukan gambut) dan lahan gambut sangat dangkal. Pada tahun 2007 kemudian muncul perkebunan baru yang luasannya sudah menyebar sampai pada lahan gambut dalam, dan akhirnya tahun perkebunan semakin meluas pada lahan gambut yang lebih dalam. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pada awalnya masyarakat atau pengusaha lebih memilih membuka lahan perkebunan pada tanah mineral (bukan gambut) daripada pada tanah gambut. Hal ini disebabkan karena proses pengolahan lahan mineral lebih mudah dan biaya yang murah, dibandingkan pembukaan lahan di lahan gambut. Akan tetapi, akibat dari banyaknya lahan mineral yang sudah dimanfaatkan pada tahun sebelumnya, sehigga mendorong orang untuk membuka lahan perkebunan pada lahan gambut yang lebih dalam. Gambar 11 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan kedalaman gambut

42 28 Hubungan kerapatan titik panas terhadap jarak dari jaringan jalan menunjukkan pola yang jelas yaitu umumnya semakin dekat dengan jalan, maka kerapatannya semakin tinggi (Gambar 12). Dengan adanya akses jalan, akan mendorong seseorang untuk mengolah atau membuka lahan baru, karena mudahnya akses jalan menuju lokasi pertanian/perkebunan. Dalam hal ini pertimbangan ekonomis menjadi dasar pemikiran seseorang untuk menentukan lokasi pembukaan lahan pertanian/perkebunan yang dekat dengan jalan. Akan tetapi, jika dilihat dari dinamika kerapatan titik panas pada setiap tahunnya (Gambar 13) menunjukkan bahwa kerapatan atau jumlah titik panas pada jarak yang sama selalu mengalami penurunan. Dengan kata lain setiap pertambahan, tahun maka kecenderungan kerapatan titik panas akan lebih banyak pada lokasi yang lebih jauh dari jaringan jalan. Hal ini diduga karena lahan yang dekat dengan jalan sudah banyak dikelola, sehingga pada tahun berikutnya orang akan membuka lahan baru di lokasi yang jaraknya semakin jauh dari jalan. Gambar 12 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan jalan Gambar 13 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap jaringan jalan tiap tahun ( )

43 29 Gambar 14 menunjukkan hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap jaringan jalan. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa secara umum pembukaan lahan dari tahun ke tahun dilakukan pada area yang jaraknya tidak jauh dari jaringan jalan. Hal ini disebabkan, karena dengan semakin dekat terhadap akses jalan maka akan mempermudah aksesibilitas menuju lokasi lahan garapan, menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Pada gambar ini juga menunjukkan adanya perubahan penggunaan lahan dari tiap tahunnya, yang awalnya tahun 2005 masih berupa hutan lahan kering sekunder dan belukar. Pada tahun 2007 sudah terjadi perubahan penggunaan lahan berupa lahan terbuka, kemudian tahun sudah berubah menjadi lahan perkebunan yang semakin meluas. Gambar 14 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap jaringan jalan Seperti halnya terhadap jaringan jalan, hubungan kerapatan titik panas terhadap jarak dari jaringan sungai juga menunjukkan pola yang jelas yaitu semakin dekat dengan sungai, maka kerapatannya semakin tinggi (Gambar 15). Hal ini disebabkan, karena jaringan sungai merupakan salah satu sarana transportasi utama di Kabupaten Kapuas, sehingga semakin jauh dari jaringan sungai semakin sedikit aktivitas pertanian. Jika dilihat dari dinamika kerapatan tiap tahunnya pada jarak yang sama, dapat diketahui bahwa kerapatan titik panas mengalami penurunan hanya menuju jarak 3 km (Gambar 16). Mulai dari jarak 4 km ke atas pola kerapatannya mengalami kenaikan lagi dari tahun ke tahun. Hal ini diduga karena luasan lahan sampai jarak 3 km dari sungai sudah ada kepemilikiannya, sehingga orang akan mencari lahan baru untuk membuka lahan pertanian/perkebunanan pada area yang jaraknya lebih jauh dari jaringan sungai.

44 30 Gambar 15 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan sungai Gambar 16 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap jaringan sungai tiap tahun ( ) Sama halnya dengan hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan terhadap jarak jalan, pembukaan lahan untuk perkebunan juga dilakukan pada area yang jaraknya masih dekat dengan jaringan sungai. Hal ini karena jaringan sungai merupakan sarana transportasi yang digunakan masyarakat di Kalimantan Tengah termasuk masyarakat yang melakukan kegiatan perladangan, pertanian, perkebunan dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan (Samsuri 2008). Di samping itu semakin bertambahnya tahun perluasan lahan perkebunan juga bertambah yang terjadi pada area yang semakin jauh dari sungai Gambar 17. Hal ini dapat dimengerti karena lahan yang dekat dengan jaringan sungai sebelumnya sudah dimanfaatkan, sehingga perluasan lahan dilakukan pada area yang belum dibuka.

45 31 Gambar 17 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap jaringan sungai Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak dari pusat desa secara umum menunjukkan bahwa kerapatan titik panas cenderung lebih tinggi pada jarak sampai 10 km dari pusat desa dan berangsur menurun dengan bertambahnya jarak dari pusat desa (Gambar 18). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangkauan jarak sejauh 10 km dari pusat desa merupakan jarak ideal bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas pembakaran lahan. Sesuai dengan pernyataan PFFSEA (2003) dalam Samsuri (2008), bahwa masyarakat di pusat desa atau pemukiman yang ada di Kabupaten Kapuas umumnya merupakan petani atau berkebun yang mempunyai kebiasaan melakukan perluasan pembukaan lahan baru dan membersihkan lahannya dengan menggunakan teknologi pembakaran. Akan tetapi jika dilihat dinamika kerapatan titik panas setiap tahunnya (Gambar 19) menunjukkan bahwa semakin bertambah tahun, kerapatan titik panas cenderung mengalami penurunan sampai jarak 20 km dari pusat desa dan berangsur naik mulai jarak 25 km. Kondisi ini wajar karena pada dasarnya lahan yang dekat dengan pusat desa sudah dikelola untuk berbagai macam penggunaan lahan, sehingga pada tahun berikutnya akan mendorong masyarakat untuk membuka lahan baru yang jaraknya lebih jauh dari pusat desa. Gambar 18 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap pusat desa

46 32 Gambar 19 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap pusat desa tiap tahun ( ) Gambar 20 berikut memperlihatkan hubungan antara perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak dari pusat desa. Pembukaan lahan untuk perkebunan yang awal mulanya (tahun 2007) masih dilakukan pada lahan yang tidak jauh dari pusat desa, kemudian pada tahun-tahun berikutnya ( ) perluasan perkebunan berpindah pada lahan yang jaraknya lebih jauh dari desa. Kondisi ini wajar terjadi karena lahan yang lebih dekat dengan pusat desa sudah dimanfaatkan lebih dulu, sehingga sekarang dan tahun-tahun berikutnya masyarakat akan mencari lahan baru yang belum dimanfaatkan untuk pembukaan lahan perkebunan. Gambar 20 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan terhadap jarak dari pusat desa

47 33 VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan peta kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang terbangun selama kurun waktu 8 tahun ( ) teridentifikasi tingkat kerentanan sangat tinggi dengan luasan paling luas terjadi pada tahun 2006 (tahun El-Nino). Kecamatan Mantangai adalah kecamatan dengan tingkat kerentanan sangat tinggi paling luas dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Kapuas. Sementara, jenis penutupan/penggunaan lahan yang selalu berada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi adalah belukar rawa, belukar, dan perkebunan, sedangkan faktor yang paling berpengaruh dalam pembangunan model kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada setiap tahunnya adalah penutupan/penggunaan lahan dan kedalaman gambut. 6.2 Saran Hasil pemetaan ini belum menganalisis mengenai penilaian risiko kebakaran hutan dan lahan, sehingga perlu dilakukannya agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas, seperti pengambilan kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. VII DAFTAR PUSTAKA Ali SA, Tesgaya D Landuse and landcover change detection between in parts of highland of eastern ethiopia using remote sensing and gis techniques. International Journal of Geoformatics. 6: 2-35 Arianti I Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunaakn System Informasi Geografis di Sub Das Kapuas Tengah Propinsi Kalimantan Barat. [MS-Thesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Arifin Z Pola Spasial Kerentanan Bencana Alam, Studi Kasus Kabupaten Cianjur [Tesis]. Depok: Program Magister Ilmu Geografi, Universitas Indonesia. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas Kapuas dalam Angka [20 November 2013]. Basyar AH Evaluasi Penerapan Kebijakan Konversi Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit. [20 November 2013]. Burley TM Land use or land utilization. Professional Geographer. 13: Campbell JB Mapping The Land : Aerial Imagery for Land Use Information. Washington DC: Resource Publication in Geography, Association of American Geographers. Departemen Kehutanan Pedoman Pengelolaan Hutan Rakyat Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.

48 34 Departemen Kehutanan EC-Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and Trade Support Project. Analisis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Pola Kemitraan Propinsi Kalimantan Barat. Fakultas Pertanian. Universitas Kapuas-Sintang. Kalimantan Barat. [Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan] Press Release Pelatihan Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis (SMART) dan Pelatihan Pengendalian Kebakaran Hutan. [25 November 2013]. Elida L Penilaian Opsi Budidaya Padi Sawah Tadah Hujan Adaptif Kekeringan : Studi Kasus Kabupaten Subang [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. FFPMP2 Forest Fire Preventation Management Project Sistem Deteksi dan Peringatan Dini. [15 Agustus 2013] Giglio L. et al An enhanced contextual fire detection algorithm for MODIS. Remote Sensing of Environment. 87: Jaya NS Teknik-Teknik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press Kalimantan Tengah Minning Bahan Tambang Potensial di Kalimantan Tengah. [25 November 2013]. Kementrian Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): Kementrian Kehutanan. Kolden CA, Weisberg PJ Assessing accuracy of manually-mapped wildfire perimeters in topographically dissected area. Fire Ecology Journal. 3: Lillesand TM, Kiefer RW Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta (ID): UGM Press. Purbowaseso B Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Purwanto UY Pengelolaan Spasial Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putra El, Hayasaka H, Takahashi H, Usup A Recent peat fire activity in the mega rice project area, Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Disaster Research. 5 (5) : Saharjo BH Pedoman Analisis Potensial Dan Risiko Bahaya Kebakaran Hutan Dan Lahan. Laporan BNPB dan UNDP. Saharjo BH, Syaufina L, Putra EI, Bahruni, Sunarti E, Nurhayati AD Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia [Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013]. Samsuri Model Spasial Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Siwi R Perbandingan Sumber Hotspot Sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut dan Korelasinya dengan Curah Hujan di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

49 Solichin Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran. Newletter Hotspot. South Sumatera Forest Fire Management Project. Uni Eropa. Pemprov Sumsel. Depertemen Kehutanan Solichin L, Tarigan P, Kimman B, Firman, Bagyono R Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran. [20 November 2013] Sukmawati A Hubungan Antara Ccurah Hujan dengan Titik panas (Hotspot) sebagai Indikator Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suprayitno, Syaufina L Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Korea International Cooperation Agency. Suratmo FG Masalah Kebakaran Hutan. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. hlm 1-3. Syaufina L Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Perilaku Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Banyumedia. Wahyunto, Abidin MZ, Priyono A, Sunaryo Studi Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Seminar nasional Multifungsi Sawah; 2001 Mei; Bogor Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah. Hlm Wetlands International Laporan Akhir (Final Report) Climate Change Forest and Peatlands in Indonesia Komponen Kalimantan Tengah.Wetlands International-Indonesia Program. 35

50 36 Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan No Kelas Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ 1 Hutan lahan Seluruh kenampakan hutan dataran kering primer rendah, perbukitan dan pegununganyang belum menampakkan bekas penebangan. Rona gelap, warna hijau tua, tekstur kasar, pola tidak teratur, ukurannya relatif besar. 2 Hutan lahan kering sekunder / bekas tebangan 3 Hutan rawa primer Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitandan pegunungan yang telah menampakkan bekas penebangan (alur aksesbilitas dan bekas penebangan). Rona gelap-agak terang, warnanya hijau tua-kekuningan, teksturnya sedang-kasar, pola tidak teratur dan tersebar, adanya jaringan jalan dan bercak-bercak seperti bekas eksploitasi, ukurannya sedang. Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang belum menampakkan bekas penebangan atau aksesbilitas. Rona agak gelap (lahan basah), warnanya hijau, tekstur sedang-halus, ukuran sedang, pola tidak teratur. 4 Hutan rawa sekunder Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang telah menampakkan bekas penebangan. Rona agak gelap-agak terang, warnanya hijau, tekstur agak halusagak kasar, pola tersebar, adanya jaringan jalan dan bukaan aktivitas manusia.

51 37 Lanjutan Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ 5 Hutan Hutan bakau dan nipah yang berada mangrove di sekitar pantai yang belum primer menampakkan bekas penebangan. Rona agak gelap, warna hijau tua, tekstur agak halus, berada didaerah pantai dan muara sungai-sungai besar. 6 Hutan mangrove sekunder 7 Hutan tanaman Hutan bakau dan nipah yang berada di sekitar pantai yang telah memperlihatkan bekas penebangan dengan pola alur dan genangan atau bekas terbakar. Rona agak gelap-terang, warna hijaukekuningan, tekstur sedang-kasar, berada didaerah pantai dan muara sungai-sungai besar, terdapat bukaan, tambak, dan lahan terbuka. Seluruh kawasan hutan tanaman yang sudah ditanami. Rona terang, warna hijau terang, pola teratur, ada aksesbilitas alur jalan. 8 Perkebunan / Kebun Seluruh kawasan perkebunan, yang sudah ditanami, beralur dan aksesbilitas jalan, pola tanaman sejenis, dataran rendah. Rona terang, warna hijau muda sampai tua, tekstur agak halus-agak kasar, bentuk petak-petak beraturan, pola seragam, terdapat alur jaringan jalan.

52 38 Lanjutan Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ 9 Belukar Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Rona agak terang, warnanya hijau muda - kekuningan, teksturnya kasar, bentuk tidak beraturan, pola tidak teratur, ukurannya besar, di dataran rendah. 10 Belukar rawa Kawasan bekas hutan rawa / mangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Rona hijau terang, warna hijau mudaagak kecoklatan, tekstur halus-kasar, bentuk tidak beraturan, pola tidak seragam. 11 Pertanian lahan kering Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang. Adanya aksesbilitas jalan, rona agak terang, warna hijau bercak-bercak merah muda, tekstur agak kasarkasar, bentuk pematang, dan dekat dengan permukiman. 12 Pertanian lahan kering campur Semua jenis pertanian lahan kering yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan dan selalu berpindah-pindah dengan rotasi tanam. Rona agak terang, warna hijau, tekstur kasar, bentuk tidak beraturan, terdapat aksesbilitas jalan dan dekat dengan permukiman.

53 39 Lanjutan Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ 13 Sawah Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh rona terang-agak gelap, warna hijau tuamuda, pola seragam, bentuk petakpetak, ukuran sedang, dekat dengan aliran sungai, permukiman, dan berada di dataran rendah. 14 Tambak Aktivitas perikanan di pesisir pantai (ikan / udang) atau penggaraman yang tampak dengan pola teratur, bentuk petak-petak, ronanya gelap, tekstur kasar, asosiasi di pesisir pantai dan pulau. 15 Permukiman / Lahan terbangun Kawasan permukiman, baik perkotaan, perdesaan, industry, dll. Yang memperlihatkan pola alur rapat, rona terang, warnanya merah muda, pola seragam, bentuk tidak teraturteratur, tekstur bercak-bercak, terdapat aksesbilitas (jalan atau di sepanjang aliran sungai), di dataran rendah-tinggi. 16 Transmigrasi Kawasan permukiman transmigrasi beserta pekarangan di sekitarnya. Adanya aksesbilitas jalan, rona terang, warna hijau tua-muda, pola teratur, tekstur kasar, di dataran rendah.

54 40 Lanjutan Lampiran 1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan Kabupaten Kapuas menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan (lanjutan) No Kelas Keterangan Monogram Citra Landsat 7 ETM+ 17 Lahan terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi, lahan terbuka bekas kebakaran, dan lahan terbuka yang ditumbuhi alang-alang/rumput. Rona terang, warna kemerahan, tekstur kasar-halus, pola tidak teratur, dataran rendah-tinggi. 18 Pertambangan Lahan terbuka yang digunakan untuk aktivitas pertambangan terbuka-open pit (spt: batubara, timah, tembaga dll), serta lahan pertambangan tertutup diasosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground (penimbunan limbah penambangan). Rona agak terang, warna ungukemerahan, tekstur kasar-halus, berasosiasi dengan akses jalan dan sungai. 19 Tubuh air Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, dan waduk. Rona gelap, warnanya biru-hitam, tekstur halus, pola tidak teratur, ukurannya dari kecil-besar, dekat dengan sawah, tambak, mangrove. 20 Rawa Kenampakan lahan rawa yang sudah tidak berhutan dan selalu tergenang air. Rona gelap, warnanya hijaukehitaman, tekstur halus, pola tidak teratur, dekat dengan jaringan sungai, topografi dataran rendah.

55 Lampiran 2 Tabel Luas penutupan/penggunaan lahan tahun Tahun Penutupan/ Penggunaan Lahan Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Air , , , , , , , ,05 Belukar , , , , , , , ,06 Belukar rawa , , , , , , , ,27 Hutan Lahan Kering Primer , , , , , , , ,36 Hutan Lahan Kering Sekunder , , , , , , , ,00 Hutan Mangrove Primer 282 0, , , , , , , ,01 Hutan Mangrove Sekunder , , , , , , , ,08 Hutan Rawa Primer 699 0, , , , , , , ,02 Hutan Rawa Sekunder , , , , , , , ,41 Hutan Tanaman , , , , , , , ,59 Lahan Terbuka , , , , , , , ,35 Perkebunan , , , , , , , ,77 Permukiman , , , , , , , ,16 Pertambangan , , , , , , , ,48 Pertanian Lahan Kering , , , , , , , ,27 Pertanian Lahan Kering Campur , , , , , , , ,14 Rawa , , , , , , , ,55 Sawah , , , , , , , ,42 Tambak - 0, , , , , , , ,00 Transmigrasi 363 0, , , , , , , ,02 Total

56 42 41 Lampiran 3 Peta sebaran titik panas (a) tahun 2005, (b) tahun 2006, (c) tahun 2007, (d) tahun 2008, (e) tahun 2009, (f) tahun 2010, (g) tahun (2011) dan (h) tahun 2012 (a) (b) (c) (d)

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

ANALISIS POLA SEBARAN TITIK PANAS DAN PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, KALIMANTAN TENGAH

ANALISIS POLA SEBARAN TITIK PANAS DAN PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, KALIMANTAN TENGAH ANALISIS POLA SEBARAN TITIK PANAS DAN PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, KALIMANTAN TENGAH DINI TRESNA DININGTYAS DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur-unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) MERINA JAYANTIKA

HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) MERINA JAYANTIKA HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) MERINA JAYANTIKA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot Verifikasi data hotspot dilakukan terhadap data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei 2005 yang bersumber dari stasiun pengamat kebakaran JICA (Japan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Definisi Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Yonatan (2006) kebakaran hutan adalah suatu proses reaksi cepat dari oksigen dengan unsur-unsur lain ditandai

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

Abdul Jawad, Bachrun Nurdjali, Tri Widiastuti

Abdul Jawad, Bachrun Nurdjali, Tri Widiastuti ZONASI DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT Zoning Area of Forest Fire in Kubu Raya District of West Kalimantan Abdul Jawad, Bachrun Nurdjali, Tri Widiastuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014 *Yenni Vetrita, Parwati Sofan, Any Zubaidah, Suwarsono, M. Rokhis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Kebakaran hutan menurut JICA (2000), didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan serta menimbulkan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci