BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant Imanuel Kant adalah seorang filsuf bangsa jerman, hidup antara tahun Ia menulis dalam bukunya yang berjudul Mataphysische Afangsrunde (Ajaran Metafisika dalam Hukum). 1 Menurut Imanuel Kant; manusia dilahirkan sederajat dan segala kehendak, kemauan dalam masyarakat negara harus melalui dan didasarkan dengan undangundang, peraturan-peraturan hukum harus pula dirumuskan dan harus menjadi dasar pelaksana pemerintahan, Di samping itu ia memandang bahwa perlu adanya pemisahan kekuasaaan, seperti diajarkan oleh Montesquieu (Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial ). Dalam kepustakaan dikatakan bahwa Imanuel Kant lah yang member nama ajaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) itu dengan nama Trias Politika. Jadi tujuan negara menurut Imanuel Kant adalah: menegakan hak-hak dan kebebasan warga negara atau kemerdekaan individu. Untuk menjamin kebebasan individu berupa jaminan perlindungan HAM harus diadakan pemisahan kekuasaan seperti Trias Politika. 2 b. Teori Mac Iver 1 Atmadja, I Dewa Gede, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep dan Kajian Kenegaraan, Penerbit Setara Press, Malang, 2012, h Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h

2 Pendapat Mac Iver dapat dibaca dalam dua buah bukunya, yaitu: Modern State dan Web of Government. Dalam bukunya Modern State, mengemukakan bahwa, fungsi negara adalah ditinjau dari segi intern, artinya dilihat menurut kebutuhan negara itu sendiri. Ia mengatakan fungsi negara dilihat dari kepentingan intern, mencakup: 3 1). Memelihara ketertiban dan menghormati kepribadian warga negara yang merupakan tugas negara secara positif maupun negatif. Tugas negara secara positif artinya negara melindungi dan mensejahterakan warga negaranya, sedangkan tugas negara yang negative artinya negara mempunyai wewenang menindak, menhjukum setiap orang yang melanggar aturan hukum. 2). Perlindungan, fungsi ini perlu diperluas untuk perkembangan (development) dan konservasi (conservation). Melalui fungsi perlindungan yang mencakup pengembangan dan koservasi atau pelestarian, dan apabila negara dan aparatnya menjalankan fungsi ini dengan baik, maka akan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Misalnya pelestarian sumber-sumber alam, seperti pemeliharaan hutan-hutan, pemeliharaan sumber sumber mineral, pemeliharaan kekakayaan laut, sehingga generasi yang akan dating dapat memanfaatkan warisan berupa kekayaan alam. 2. TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN HUKUM Dengan mengelaborasi pandangan G.W Paton tersebut, dapat dirinci bahwa ketiga teori hukum hubungan antara negara dan hukum dengan merujuk pandangan pakar hukum, sebagai berikut: 4 3 Ibid, h Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h

3 - Teori analisis (John Austin) yang merumuskan hukum perintah penguasa yang berdaulat (Law as sovereign command). Penguasa yang berdaulatlah yang membentuk hukum, dan ia tidak tunduk atau tidak terikat oleh hukum, hanya masyarakat yang terikat kepada hukum. Jadi, negara lebih tinggi (superior), diatas hukum. Teori analitis dari John Austin memberikan dasar pada ajaran kedaulatan negara. - Teori kedaulatan hukum (Krabbe) merumuskan bahwa hukum tidak diciptakan oleh negara, tetapi hukum lahir dari kesadaran hukum yang bersumber pada perasaan hukum individu-individu. Begitu pula pandangan Von Jhering dengan political argument-nya, dengan Jelinek melalui theory of atolimitaion atau zelbbindoengtheorie, yang mengharuskan penguasa negara lembaga negara mengikatkan diri dan tunduk kepada aturan hukum secara sukarela (lihat Abdoel Gani; 1984: 159). Dengan demikian hubungan negara dan hukum tidak dapat dipisahkan, negara menciptakan hukum tetapi kekuasaan pemerintah juga dibatasi oleh hukum, hukum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan bertempat tinggal, dan jaminan akan kepastian hukum TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA Dalam sebuah negara, keberadaan agama sangat melekat kuat pada masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam suatu negara bisa terdapat beberapa agama yang diakui secara nasional. Seperti halnya Indonesia, Indonesia saat ini telah mengakui lima (5) agama secara nasional, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, 5 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.198.

4 dan Budha. Dan satu (1) agama lagi yang baru saja diakui di Indonesia, yaitu Kong Hu Chu. Dalam teori theokrasi, disebutkan bahwa urusan negara tidak dapat dipisahkan dari urusan keagamaan. Negara berdasarkan atas ketuhanan menurut suatu agama tertentu. Negara selalu mengatur urusan agama dan mewajibkan warga negara untuk melaksanakannya. Negara diatur oleh syariat agama (negara agama). Konsep negara dan agama tersebut teraplikasi dalam konsep Tahta Suci Vatikan (Soeswoto, 1996:11). R Kranenburg mengemukakan bahwa ada beberapa akademisi, rohaniawan gereja, dan negarawan yang memandang hubungan antara agama dan negara secara berbeda. 6 Menurut pandangan John Locke, antara lain, manusia, sejak dilahirkan mempunyai kebebasan dan hak-hak kodrati yang ditakdirkan oleh alam, yakni hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak milik (property). Tujuan membentuk negara adalah untuk melindungi hak-hak kodrati (HAM). Oleh karena itu, kekuasaan negara tidak boleh melanggar hak-hak kodrati. Kekuasaan negara harus menjamin kebebasan beragama, kekuasaan negara tidak dipergunakan untuk memeluk suatu agama (Azhary; op.cit.;:121). 7 Mahatma Gandhi berpendapat bahwa semua agama, sekalipun berbeda dalam banyak hal, seperti doktrin, sistem hukum, sistem moral bahkan dalam tujuan akhirnya, tetapi relasinya dengan negara adalah sederajat. Bila satu agama dijadikan dasar negara atau dijadikan agama negara, maka yang diskriminatif terhadap agama-agama lain. 8 6 Ibid, h Ibid, h Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.191.

5 Salah satu hubungan antara negara dan agama yang paling terlihat nyata adalah dalam bidang perkawinan. Negara memegang peranan penting terutama terkait dengan pembentukan regulasi/peraturan dalam bidang perkawinan. Pembentukan regulasi/peraturan ini dilakukan oleh pemerintah yaitu pemegang kekuasaan legislatif bersama dengan eksekutif (DPR dan Presiden) dan produk regulasi yang telah diciptakan pemerintah yaitu UU Perkawinan pada tahun Sementara pemerintah yang memegang kekuasaan yudikatif (MK dan MA) berperan dalam melaksanakan fungsi peradilan terkait dengan berbagai permasalahan yang muncul seiring keberadaan UU Perkawinan sebagai norma acuan bagi warga negara Indonesia apabila hendak melangsungkan perkawinan di wilayah NKRI. II. KAJIAN NORMATIF 1. FUNGSI NEGARA MENURUT UUD 1945 Dalam alinea ketiga pembukaan (preambule) UUD 1945 secara tersirat tertulis bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarjan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 9 Ketentuan tersebutlah yang dapat ditarik sebagai fungsi negara yaitu untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang kemudian diturunkan kedalam ketentuan Pasal yang terdapat dalam UUD Namun, fungsi negara yang paling utama adalah terkait dengan perlindungan 9 Pembukaan UUD 1945.

6 terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Bab XA Pasal 28 bagian a sampai bagian j. Dan ketentuan Pasal 28B yang berbunyi: (1) setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan perkawinan yang sah. (2) setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seharusnya menjadi tonggak bagi negara dalam menjalankan fungsinya yaitu menjamin perindungan HAM warga negara Indonesia dalam bidang perkawinan. 2. CAKUPAN HAM DALAM DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di masyarakat. 10 Deklarasi ini juga berusaha untuk mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasankebebasan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatan yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada dibawah wilayah kekuasaan hukum mereka Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, h Ibid

7 Beberapa ketentuan yang terdapat didalam DUHAM diantaranya sebagai berikut: 12 - Pasal 1 Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. - Pasal 2 Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum, atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada dibawah batasan kedaulatan yang lain. - Pasal 6 Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. - Pasal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, h.2-4.

8 (1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal pekawinan, didalam masa perkawinan dan di saat perceraian. (2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai. (3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara. 3. KONSEP PERKAWINAN MENURUT UU PERKAWINAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional. Ia merupakan produk hukum yang memberikan produk nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaaan dan kebudayaan bhineka tunggal ika. Dan ia juga merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaannya itu. 13 UU Perkawinan secara resmi mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, namun mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang ini berlaku untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu, undang-undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan 1986, h Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta,

9 dan telah berlaku bagi golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional. 14 Dalam Undang-undang ini perkawinan dibatasi dengan baik sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 15 Dan untuk sampai kepada sahnya suatu perkawinan, Undang-undang menentukan harus menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. 16 Pandangan ini sejalan dengan sifat religius dari bangsa Indonesia yang terealisasikan dalam kehidupan beragama dan bernegara PERATURAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT HUKUM KOLONIAL Peraturan Perkawinan Campuran atau dalam bahasa aslinya Regeling op de Gemengde Huwelijken (6HR) adalah produk hukum kolonial, yang setelah kemerdekaan masih langsung berlaku bagi bangsa Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD Peraturan ini dibuat untuk mengatasi terjadinya banyak perkawinan antara orang-orang yang tunduk pada hukum-hukum yang berlainan Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h Pasal 1 UU No. 1 Tahun Pasal 2 UU No. 1 Tahun Asmin, Op.Cit., h Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1970, h

10 Menurut peraturan ini yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan (Ps.1). hukum yang berlainan itu dapat terjadi karena disebabkan oleh perbedaan ke-warganegaraannya, perbedaan agamanya atau perbedaan asalnya (keturunan). 19 Menurut peraturan ini juga dusebutkan bahwa perbedaanperbedaan tersebut sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan. 20 Pelaksanaan perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku terhadap suaminya, dengan tidak mengurangi persetujuan suami-istri seperti yang diisyaratkan.tetapi bila hukum suaminya itu tidak mengharuskan oleh siapa atau dihadapan siapa pelaksanaan perkawinan itu dilakukan, maka pelaksanaan perkawinan itu harus dilakukan dihadapan kepala suku dari suami atau wakilnya yang sah, dan bila kepala itu tidak ada, dihadapan kepala bagian kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan (Ps.6) perkawinan itu. 21 Perkawinan tidak dapat di langsungkan sebelum terbukti hal-hal yang mengenai diri istri telah dipenuhi, yakni peraturan-peraturan atau persyaratanpersyaratan hukum yang berlaku terhadapnya (Ps.7). Apabila persyaratanpersyaratan tersebut tidak dapat diperoleh karena adanya penolakan dari pihak yang berwenang, maka atas permohonan pihak istri atau orang-orang yang berkepentingan, hakim dapat memutuskan apakah penolakan itu beralasan atau 19 Asmin, Op.Cit., h Ibid, h Asmin, Op.Cit., h.80.

11 tidak; jika tidak maka keputusan hakim itu dapat sebagai pengganti surat keterangan yang dimaksud. 22 Demikian isi pokok-pokok peraturan perkawinan campuran, yang dalam praktiknya ternyata mengundang berbagai persoalan terutama mengenai perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama. Surat-surat keterangan yang dibutuhkan oleh calon istri untuk persyaratan perkawinan campuran ternyata tidak mudah untuk mendapatkannya. Misalnya bila seorang perempuan Islam hendak kawin dengan laki-laki non Islam, biasanya petugas pencatat nikah bagi orang Islam (penghulu) setempat sangat keberatan untuk mengeluarkan surat keterangan yang dibutuhkan calon istri tersebut. Sebab bila petugas itu mengijinkan, dianggap ia telah memberikan izin perkawinan yang oleh agama Islam dilarang. Dalam hal demikian, biasanya akan berlanjut ke pengadilan, dan pada umumnya hakim pengadilan membenarkan calon mempelai. Dengan demikian tidak ada halangan bagi calon mempelai tersebut melaksanakan perkawinan campuran. Namun perkawinan demikian seringkali menimbulkan polemik berkepanjangan, dan bahkan menimbulkan protes keras dikalangan umat Islam. 23 III. PEMBAHASAN 1. Keabsahan Perkawinan Menurut UU Perkawinan Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila semua syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam UU Perkawinan dapat terpenuhi secara kumulatif. Artinya apabila salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu perkawinan yang sah. 22 Ibid. 23 Asmin, Op.Cit., h.81.

12 Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan meliputi syarat materiil maupun formil. Syarat-syarat materiil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi calon mempelai; sedangkan syarat formil menyangkut formalitasformalitas atau tatacara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. Syarat materiil itu sendiri ada yang berlaku untuk semua perkawinan (umum) dan ada yang berlaku hanya untuk perkawinan tertentu saja. 24 a. Syarat-syarat materiil yang berlaku umum 25 Syarat-syarat yang termasuk ke dalam kelompok ini diatur dalam pasal dan mengenai hal sebagai berikut: 1.) Pasal 6 ayat (1); harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai; 2.) Pasal 7 ayat (1); usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun; 3.) Pasal 9; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (kecuali dalam hal yang diijinkan oleh Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4); 4.) Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975; mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu: hari, bila perkawinan putus karena kematian. - 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia masih berdatang bulan. - Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin. 24 Asmin, Op.Cit., h Ibid, h

13 - Penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ke-tidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan. b. Syarat Materiil yang Berlaku Khusus 26 Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1.) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.1/1974, yaitu mengenai larangan perkawinan antara dua orang yang: a.) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b.) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping; c.) Berhubungan semenda; d.) Berhubungan susuan; e.) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f.) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin; 26 Asmin, Op.Cit., h

14 g.) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4. (Pasal 9). h.) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10). 2.) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 Tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal, ijin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup; bila itupun tidak ada, dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut tidak ada atau tidak mungkin diminta ijinnya (Pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (5) ). Mengenai syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya ijin kedua orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur oleh Pasal 6, berlaku sepanjang hukum masingmasing agama dan ke-percayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Jadi, syarat-syarat perkawinan sebagai yang diatur dalam Pasal 6 itu berlaku sebagai lex generalis terhadap syarat perkawinan menurut hukum agama sebagai lex specialis nya. c. Syarat-Syarat Formil 27 Syarat-syarat formil ini meliputi: 1.) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan; 27 Asmin, Op.Cit., h.24.

15 2.) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan; 3.) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing; 4.) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan. Dari ketentuan-ketentuan diatas, jelaslah betapa besarnya peranan hukum agama dalam menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kita melihat pula adanya hubungan saling melengkapi antara Undang-Undang Perkawinan Nasional dengan hukum perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi, UU Perkawinan merupakan pedoman dasar yang harus ditaati oleh warga negara dalam melangsungkan perkawinan yang sah di wilayah Indonesia. 2. Politik Hukum Pembentukan UU Perkawinan Jika dilihat kembali proses pembentukan UU Perkawinan, terlihat betapa rumitnya proses kelahiran UU tersebut. Selama masa persidangan, banyak kritik, pendapat, dan harapan yang disampaikan oleh masyarakat kepada DPR, baik dilakukan melalui tulisan-tulisan di media massa. Polemik yang muncul pada garis besarnya berputar pada persoalan-persoalan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak kaum wanita. Sebenarnya usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu sudah ada sejak lama, yakni sejak dibentuknya Panitia Penyelidik Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk (Panitia NTR) pada tahun Bahkan sebelum bangsa Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan yang tercatat (tahun 1937) yang berlaku bagi orang Indonesia dan Timur Asing Bukan Tionghoa. 29 Namun, semua usaha tersebut 28 Arso Sastro Atmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1981, h ,h Maria Ulfah, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Idayu, Jakarta,

16 baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan selalu saja mengalami kegagalan. Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru terwujud pada tahun 1974, yaitu dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 1974, yaitu dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang ini berlaku untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu, undangundang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional. 30 Jadi, dapat disimpulkan bahwa politik hukum dari pembentukan UU Perkawinan ini adalah untuk menyeragamkan regulasi tentang Perkawinan ditengah keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. 3. Perbedaan Agama Bukan Sebagai Penghalang Perkawinan Menurut RUU Perkawinan tahun 1973 seperti disebut dalam Pasal 11 ayat (2), perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, agama/kepercayaan, dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan. Kalau ketentuan ini dibandingkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR (Peraturan Perkawinan Campuran) S.1898 No.158 seperti yang disebut dalam Bab II di atas, maka sebenarnya ketentuan yang menyebut bahwa perbedaan agama bukan sebagai penghalang perkawinan itu bukan merupakan hal yang baru, karena dalam Pasal 7 ayat (2) GHR juga disebut demikian, yaitu perbedaan agama, bangsa/asal, sama sekali bukan penghalang perkawinan Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h ,h Taufiqurrohman Syauhuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta,

17 Dimasukkannya kembali ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR itu dalam RUU Perkawinan itu, menyebabkan terjadinya perubahan pada pengertian perkawinan antara orang-orang berbeda agama termasuk dalam pengertian perkawinan campuran, maka sekarang, menurut RUU Perkawinan 1973, perkawinan demikian bukan termasuk dalam perkawinan campuran, sebab RUU Perkawinan 1973 sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 64, hanya mengenal istilah perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan. 32 Jadi, berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan diatas, seharusnya perbedaan agama/kepercayaan bukanlah menjadi penghalang bagi warga negara untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk suatu keluarga. 4. Keabsahan Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Fungsi Negara Konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi acuan dalam pembentukan peraturan lain dibawahnya, termasuk pengaturan terkait dengan perkawinan. Salah satu peraturan yang sudah terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan). Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal II Aturan Peralihan ditegaskan: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan sistem hukum yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Makna yang tersirat dalam ketentuan tersebut adalah segala badan negara dan sistem hukum atau peraturan hukum yang ada dan pernah berlaku pada masa kolonial, masih bisa berlaku terus di negara Indonesia, dengan catatan, berlakunya itu tidak untuk selamanya, melainkan hanya untuk sementara waktu, yakni selama 32 Ibid., h.113.

18 belum diadakan badan negara dan sistem hukum atau peraturan hukum yang baru menurut UUD Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa perkawinan yang dilakukan antar agama seharusnya tetap dapat dilakukan. Di dalam hukum adat, perkawinan itu disamping harus dilakukan menurut tatacara dan syarat-syarat yang berlaku pada masyarakat tersebut, juga pengesahannya dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masyarakat yang bersangkutan. 34 Salah satu putusan yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait dengan perkawinan antar agama yaitu pada tanggal 16 Februari Dalam hal seorang anak perempuan yang beragama Islam akan menikah dengan laki-laki beragama Kristen, berlakulah peraturan tentang Perkawinan Campuran dari Staatsblad , yang dalam Pasal 7 ayat (3) menentukan bahwa dalam hal ini harus ada keterangan dari Kepala Kantor Urusan Agama ditempat, bahwa tiada halangan untuk perkawinan itu. Setelah memahami duduk perkara dalam putusan MA diatas, maka dapat disimpulkan alasan hukum yang terkandung didalamnya yaitu negara ini dari dahulu sampai sekarang didiami oleh orang-orang yang berlainan agama dan kultur dan oleh karena itu berlainan hukum perkawinan, sementara Konstitusi menetapakan tentang kebebasan bagi warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya. Selain itu, pengesahan perkawinan beda agama juga diperlukan agar tidak memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang tua yang sah menurut hukum, yang karena selain itu dari tidak terjamin hak nya atas 33 Taufiurrohman Syauhuri, Op.Cit., h Asmin, Op.Cit., h Gautama, Sudargo, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,h

19 pemeliharaan warisan, terutama selama hidupnya mungkin sekali akan menderita penghinaan dalam pergaulannya. Dalam peraturan perkawinan campuran, dalam pasal 6 ayat (1) dengan tegas disebutkan bahwa perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku bagi pihak laki-laki, yang berarti bahwa bila perbuatan itu dipengaruhi oleh hukum agama-menurut keadaannya masing-masing pada satu waktu satu hukum agama yang tertentu dilakukan dan pada waktu lain hukum agama lain. Sehingga, bentuk penolakan yang berkaitan dengan perbedaan agama, nasionalitas, atau keturunan (Pasal 7 ayat (2)) tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, peraturan yang telah berlaku pada saat itu me-legal-kan perkawinan beda agama karena dipandang memiliki tujuan yang baik. Ketentuan yang mengesahkan perkawinan beda agama juga tidak melanggar HAM dari warga negara, melainkan untuk kepentingan dari anak-anak yang terlahir dari perkawinan beda agama agar mendapatkan status kedudukan yang sah dimata hukum. Putusan MA selanjutnya dikeluarkan dengan Putusan Nomor 421/Pdt.P/2013/PN.Ska yang dikeluarkan pada tanggal 29 Agustus Putusan MA ini merupakan penetapan atas perkara perkawinan beda agama dengan pihak pemohon seorang wanita bernama Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik dengan seorang laki-laki bernama Nugroho Endro Prastowo yang beragama Kristen. Pengajuan permohonan ke MA didasarkan pada adanya penolakan dari Pengadilan Negeri Surakarta dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil terhadap pendaftaran perkawinan yang hendak dilakukan oleh para pihak pemohon. Pertimbangan hukum terkait dengan perkara diatas diantaranya yaitu: Pemohon I Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik dan Pemohon II Nugroho

20 Endro Prastowo yang beragama Kristen yang masing-masing tidak berniat untuk melepaskan keyakinan agamanya. Selanjutnya, dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila sudah dilakukan menurut tata cara hukum agamanya dan kepercayaannya itu dan kemudian dicatat oleh instansi yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975 pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa UU Perkawinan hanya berlaku bagi perkawinan antara 2 orang yang sama agamanya. Regulasi lainnya yang terkait dengan perkara ini yaitu didalam Undang Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Hal ini tentunya didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara dan untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang secara rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan serta untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama. Pertimbangan lainnya juga didasarkan pada Putusan MA sebelumnya, yaitu Putusan MA No K/Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang ijin perkawinan beda agama. Berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dikemukakan diatas, maka sangat tidak manusiawi apabila permohonan Para Pemohon yang telah menunjukkan itikad baik untuk melangsungkan perkawinan harus ditolak hanya dengan alasan tidak ada hukum /undang-undang yang mengatur tentang perkawinan beda agama. Sejatinya, perkawinan antar agama secara obyektif

21 sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undangundang. Putusan MA lainnya terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama, yaitu melalui Putusan Nomor 3/Pdt.P/2015/PN.Llg yang dikeluarkan pada tanggal 27 Februari 2015 yang merupakan pelimpahan dari Pengadilan Negeri Lubuk Linggau. Dalam putusan ini tercatat perkara terkait perkawinan beda agama antara seorang laki-laki yang beragama Budha dengan seorang perempuan yang beragama Katholik. Tercatat bahwa para pemohon bernama Irawan Wijaya dan Claramitha Joan yang berkedudukan sebagai Pemohon I dan Pemohon II. Dalam duduk perkara yang terlampir, dinyatakan bahwa pihak Pemohon I dan Pemohon II sebelumnya telah melaksanakan perkawinan disebuah Vihara. Dalam putusan ini juga menetapkan bahwa perkawinan keduanya dapat disahkan menurut hukum yang berlaku. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan hakim yang memutus perkara ini, dimana hakim ini bertindak sebagai hakim tunggal, yaitu Agus Windhana,SH. Alasan hukum yang dapat disimpulkan berdasarkan duduk perkara dalam putusan ini yaitu dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tidak ditemukan aturan yang tegas mengatur mengenai perkawinan beda agama. Selanjutnya, perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan status agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf a Undang-undang nomor

22 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,dimana dalam penjelasan pasal 35 huruf a ditegaskan kalau yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Jo Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditegaskan bila suatu perkawinan sah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan diantara 2 orang yang sama agama dan keyakinannya. Perkawinan beda agama merupakan keadaan dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Disisi lain, dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 menentukan bahwa seluruh warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk melangsungkan perkawinan dengan sesama warga Negara sekalipun berlainan agama, sedangkan Pasal 29 UUD 1945 mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Selain itu, di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1), (2) pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan undang-undang.

23 Jadi, Berdasarkan beberapa putusan yang telah dikemukakan diatas, putusan MA tersebut memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah terkait dengan putusan hakim yang seluruhnya menerima permohonan dari pihak pemohon agar dapat mencatatkan pernikahan beda agamanya di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar diakui oleh negara. Dasar pertimbangan hakim yang memutus perkara perkawinan beda agama pun juga hampir seluruhnya sama yaitu untuk melindungi HAM warga negara seperti terdapat didalam Undang Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Selain didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara dan untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang secara rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan serta untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama. Pada dasarnya, perkawinan merupakan suatu tindakan yang dilandasi dengan itikad baik, sehingga berbagai perbedaan yang menjadi halangan bagi terjadinya perkawinan dapat diatasi. Terlebih jika penghalang yang ada berkaitan dengan hal yang prinsipil dan menyangkut keyakinan atau kepercayaan yang tidak bisa dipaksakan, yaitu perbedaan agama. Perkawinan beda agama sesungguhnya sangat wajar terjadi mengingat letak geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis apabila perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undangundang.

24 Substansi yang terdapat dalam UU Perkawinan yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam Perkawinan, terutama terkait dengan Perkawinan beda agama. Jadi, seharusnya negara segera memperbarui pengaturan terkait penikahan beda agama, bukan dengan melarang perkawinan beda agama. Karena jika ditarik kembali kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, selama belum ada substansi yang mengatur perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan saat ini. Dengan hadirnya Putusan MA, dapat dilihat bahwa MA telah mengambil sikap tegas dalam mengatasi masalah terkait dengan perkawinan beda agama yang terjadi, yaitu dengan mengabulkan permohonan para pemohon agar perkawinan beda agama dapat dicatatkan dan disahkan dimata negara dan hukum. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa negara juga turut campur tangan /intervensi terkait dengan problematika perkawinan beda agama di Indonesia. Campur tangan negara terlihat dari sikap yang diambil oleh Lembaga Negara, terutama Lembaga Negara Yudikatif yaitu MA dan MK yang bertugas untuk menjalankan fungsi peradilan dan mengeluarkan produk hukum berupa putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama di masa mendatang. 5. Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat UUD 1945 Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Juli 2014 yang kemudian diperbaiki pada tanggal 17 September Permohonan pengajuan uji materi UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan UUD Permohonan ini diajukan oleh tiga (3) orang pemohon yaitu:

25 Damian Agata Yuvens (Konsultan Hukum), Rangga Sujud Widigda (Konsultan Hukum), dan Anbar Jayadi (Mahasiswa). Dalam latar belakang pengajuan permohonan, dalam angka ke tiga (3) dan empat (4) secara garis besar dinyatakan bahwa ada implikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan diluar penafsiran negara atas masing-masing agama dan kepercayaannya. Atau dengan kata lain negara memaksa agar setiap warga negaranya untuk tunduk tunduk kepada suatu penafsiran yang dianut negara atas masing-masing agama/kepercayaannya. Serta pengaturan ini menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi negara. Putusan yang dikeluarkan oleh ke sembilan (9) hakim konstitusi menyatakan bahwa menolak permohonan para pemohon. Pendapat Mahkamah terlihat pada poin [3.12.3] atau pada halaman ke 151 yang menyatakan bahwa:.. Menurut Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD I945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Jika Pendapat Mahkamah ini dibandingkan dengan substansi yang terdapat dalam UU Perkawinan, maka UU Perkawinan sudah tidak dapat lagi menampung segala kenyataan hidup yang ada dalam masyarakat, salah satunya belum diaturnya ketentuan mengenai perkawinan beda agama didalamnya. Sehingga memunculkan berbagai persoalan terkait dengan keberadaan perkawinan beda agama yang banyak

26 terjadi di Indonesia. Dan jika ditilik dari segi HAM, UU Perkawinan secara tidak langsung membatasi dan memaksa warga negaranya untuk melangsungkan perkawinan hanya dengan sesama agamnya saja. Jadi, Pendapat Mahkamah ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat dan juga melanggar HAM warga negaranya dalam hal ketentuan untuk melaksanakan perkawinan. Pendapat berbeda (concurring opinion) seorang hakim MK yaitu Maria Farida Indrati, menyatakan bahwa memang benar Undang-Undang a quo telah menimbulkan berbagai permasalahan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama, bahkan menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum karena ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum negara. Namun demikian, permohonan para Pemohon agar Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masingmasing calon mempelai, adalah tidak beralasan menurut hukum. Penyelesaian terhadap permasalahan perkawinan beda agama dan kepercayaannya tidak akan tercapai hanya dengan menambahkan frase sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan ke-percayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan akan membuat penafsiran yang lebih bervariasi. Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat Konstitusi terkait dengan

27 keabsahan perkawinan beda agama dimata negara sesuai dengan ketentuan dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur terkait perkawinan beda agama. Dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berimplikasi pada belum adanya substansi yang mengatur terkait perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan, maka ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya, seperti hukum kolonial yang masih relevan seharusnya dapat berlaku dan menjadi dasar pertimbangan bagi negara dalam membuat regulasi terkait perkawinan beda agama di Indonesia. Dari rumusan tersebut di atas jelas terlihat bahwa pencatatan perkawinan merupakan faktor yang menentukan sah/tidaknya perkawinan, terlepas dari persoalan apakah perkawinan itu sendiri dilangsungkan menurut ketentuan hukum perkawinan masing-masing ataupun dilangsungkan menurut kedua ketentuan dimaksud, yaitu menurut undang-undang dan menurut hukum perkawinan masing-masing (hukum adat,hukum islam,hqci, dan BW). Dengan begitu, selain perkawinan harus dilakukan di depan pegawai pencatat perkawinan dan dicatatkan, terdapat tiga pilihan hukum bagi sahnya perkawinan. Ini berarti bagi orang-orang Islam misalnya, terbuka kemungkinan melangsungkan perkawinan tanpa menggunakan hukum perkawinan Islam. Pencatatan perkawinan fungsinya hanyalah sekedar memenuhi kebutuhan administrasi.

BAB III PENUTUP. pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang

BAB III PENUTUP. pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Salah satu pengaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menurut Mac Iver, negara

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menurut Mac Iver, negara BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menurut Mac Iver, negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan ketertiban masyarakat dalam suatu wilayah

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama) RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama) I. PEMOHON 1. Damian Agata Yuvens, sebagai Pemohon I; 2. Rangga sujud Widigda, sebagai Pemohon II; 3. Anbar

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai kodratnya, manusia mempunyai hasrat untuk tertarik terhadap lawan jenisnya sehingga keduanya mempunyai dorongan untuk bergaul satu sama lain. Untuk menjaga kedudukan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XIII/2015 Hak Milik dan Hak Guna Bangunan Terhadap Warga Negara Indonesia yang Menikah dengan Warga Negara Asing I. PEMOHON Ike Farida II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat di suatu negara. Keluarga yang baik, harmonis, penuh cinta kasih, akan dapat memberi pengaruh yang baik

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 69/PUU-XIII/2015 Hak Milik dan Hak Guna Bangunan Terhadap Warga Negara Indonesia yang Menikah dengan Warga Negara Asing I. PEMOHON Ike Farida II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian

Lebih terperinci

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang terjadi dalam hidup manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa warga negara merupakan

Lebih terperinci

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani * Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 24 Oktober 2015; disetujui: 29 Oktober 2015 Perilaku seks menyimpang hingga saat ini masih banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen tetap STIH Labuhanbatu e_mail: sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia 48 BAB III ANALISIS MENGENAI PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DIBERIKAN PENETAPAN OLEH HAKIM DAN DI DAFTARKAN KE KANTOR CATATAN SIPIL BAGI WARGA NEGARA INDONESIA 3.1 Kasus Posisi Pada tanggal 19 November 2007

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah

Lebih terperinci

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: HERU SUSETYO Dosen Fakultas Hukum UIEU heru.susetyo@indonusa.ac.id ABSTRAK Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 lahir antara lain dari perjuangan panjang kaum

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 A. Sekilas Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah lembaga yang luhur untuk membentuk keluarga dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ketentuan hukum yang berlaku nasional dalam hukum perkawinan, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam masyarakat Indonesia adalah mutlak adanya dan merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji: RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 tanggal 13 Agustus 2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold I. PEMOHON Partai Nasional Indonesia (PNI) KUASA HUKUM Bambang Suroso, S.H.,

Lebih terperinci

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975 Yasin Abstrak Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONST!TUSI

PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONST!TUSI PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONST!TUSI Oleh: DJAJA S. MELIALA, S.H., M.H. Copyright@ 2015 pada PENERBIT NUANSA AULIA Desain Cover: Media Sembiring

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Mukadimah Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional Bahasa nasional atau bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bendera negara yaitu

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA

PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA MUKADIMAH Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin NEGARA = State (Inggris), Staat (Belanda),Etat (Perancis) Organisasi tertinggi

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN. Pasal 19 s/d 37. Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan

ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN. Pasal 19 s/d 37. Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN Pasal 19 s/d 37 Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan Yang dibina oleh Bapak Gatot Isnani Oleh Kelompok Ihwan Firdaus Ma rifatun Nadhiroh

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA. Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA. Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah

Lebih terperinci

Bab V KESIMPULAN Kesimpulan. Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama. Pasal 28E

Bab V KESIMPULAN Kesimpulan. Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama. Pasal 28E Bab V KESIMPULAN Setelah menguraikan dan membahas beberapa hal di beberapa bab sebelumnya, maka dalam bab V ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran. A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian yang telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka I. PEMOHON Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), dalam hal ini diwakili oleh Drs. H. Muhaimin Iskandar,

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan undang-undang perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014). RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 61/PUU-XIV/2016 Perbedaan Akibat Hukum dalam Hal Jangka Waktu Terlampaui bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk Menetapkan dan/atau Melakukan Keputusan dan/atau

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

HAK KEBEBASAN BERAGAMA

HAK KEBEBASAN BERAGAMA HAK KEBEBASAN BERAGAMA Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-4) FH UNSRI JAMINAN HUKUM Peraturan-peraturan yang menjamin hak kebebasan beragama atau berkepercayaan di Indonesia tercantum dalam UUD

Lebih terperinci

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI TESIS Oleh : T A R S I NIM : R 100030064 Program Studi : Magister Ilmu Hukum Konsentrasi : Hukum Administrasi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum civil law yang sangat menjunjung tinggi kepastian hukum. Namun dalam perkembangannya Sistem hukum di Indonesia dipengaruhi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 tanggal 19 Juli 2010 atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Lebih terperinci

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq * ABSTRACT Marriage is a part of human life on this earth, and in Indonesia live many human diverse religions recognized by the government,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kesehatan Tafsiran zat adiktif

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kesehatan Tafsiran zat adiktif RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kesehatan Tafsiran zat adiktif I. PEMOHON Drs. H.M. Bambang Sukarno, yang selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon II. KEWENANGAN

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-59 - - 60 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KEDUA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah]

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah] RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah] I. PEMOHON Prof. Dr. drg. I Gede Winasa (Bupati Jembrana,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

ATAU BERKEPERCAYAAN. Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights. Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat

ATAU BERKEPERCAYAAN. Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights. Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat HAK KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan,

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaidah kaidah perkawinan dengan kaidah kaidah agama.

BAB I PENDAHULUAN. kaidah kaidah perkawinan dengan kaidah kaidah agama. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting bagi kehidupan manusia karena perkawinan tidak hanya menyangkut urusan pribadi kedua mempelai tetapi juga menyangkut urusan

Lebih terperinci

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) A. Pengertian Politik POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian

Lebih terperinci

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015 Syarat Pengunduran Diri Bagi Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah Yang Berasal Dari Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON 1. Fathul Hadie Utsman,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA A. PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN. Defenisi kewarganegaraan secara umum yaitu hak dimana manusia tinggal dan menetap di suatu kawasan

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB IV HUKUM KELUARGA BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan I. PEMOHON Nina Handayani selanjutnya disebut sebagai Pemohon; Kuasa Hukum: Dr. Youngky Fernando, S.H.,M.H,

Lebih terperinci

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT Mixed marriage according to Nomor.1 Act of 1974 on Marriage is a marriage between Indonesian citizens with a foreign citizen (Article 57).

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XIV/2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XIV/2016 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Untuk Mendapatkan Status Kewarganegaraan Indonesia Bagi Anak Belum Berusia 18 Tahun Atau Belum Kawin Yang Lahir Dari Ibu Warga Negara

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci