BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang mengalami permasalahan penyusutan partisipasi tenaga kerja di dalam negeri yang cukup serius. Permasalahan ini memengaruhi pertumbuhan perekonomian Jepang saat ini di bawah rezim Perdana Menteri Shinzo Abe yang menurun secara signifikan hingga mengalami resesi ekonomi selama tiga kuartal secara berturut-turut pada tahun 2015 lalu. Penyusutan jumlah tenaga kerja ini mengakibatkan terjadinya labor shortages atau kekurangan tenaga kerja di dalam negeri yang menghambat kemajuan berbagai sektor pembangunan di Jepang secara signifikan. Penyusutan jumlah tenaga kerja secara keseluruhan merupakan konsekuensi dari tingkat partisipasi masyarakat di dalam negeri untuk berperan sebagai tenaga kerja aktif yang terus menurun. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja di dalam negeri terhambat, karena tidak semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sebagai tenaga kerja. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan membentuk pertumbuhan perekonomian yang lebih stabil, pemerintah Jepang mengambil langkah kebijakan mendorong kenaikan tingkat partisipasi dari berbagai elemen masyarakat Jepang di dalam pembangunan untuk berperan sebagai tenaga kerja. Pemerintah Jepang menyusun dan mengimplementasikan serangkaian kebijakan yang dapat mendorong kenaikan tingkat partisipasi dari berbagai elemen masyarakat sebagai tenaga kerja tersebut, salah satunya adalah dengan kebijakan yang dapat merombak struktur pasar ketenagakerjaan di dalam negeri. Struktur pasar ketenagakerjaan Jepang secara historis terbentuk berdasarkan dua pilar, yakni pola pekerjaan yang rigid atau kaku dan sistem senioritas dalam pemberian upah. Dua pilar yang membentuk struktur pasar ketenagakerjaan di Jepang ini merupakan sistem yang

2 berlaku bagi pekerja formal yang bekerja secara permanen atau pekerja inti. Di Jepang, peran pekerja inti ini biasanya cenderung diisi oleh laki-laki karena perusahaan lebih menganggap laki-laki dapat bekerja secara terus menerus dalam periode waktu yang lama. Sementara di sisi lain perempuan dinilai tidak dapat menyesuaikan diri dengan pola kerja lifetime employment tersebut karena perempuan akan mengalami masa-masa berkeluarga, hamil, memiliki anak, yang dianggap dapat menghambat produktivitas mereka dalam bekerja. Oleh karena itu, maka secara tidak langsung dapat diartikan bahwasanya perempuan cenderung tersisihkan dari struktur pasar ketenagakerjaan di Jepang. Perempuan hanya dianggap sebagai pekerja yang tidak tetap saja, sedangkan laki-laki memiliki proporsi ketenagakerjaan yang lebih tetap dan lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Data menunjukkan bahwasanya dari total sekitar 64 juta perempuan yang ada di Jepang, hanya sekitar 70 persen dari mereka yang berpartisipasi aktif sebagai tenaga kerja 1. Sementara dari laki-laki di Jepang yang notabene hanya berjumlah sekitar 61juta, sekitar 92 persen di antara mereka telah berpartisipasi aktif sebagai tenaga kerja. Dari data ini dapat dilihat bahwa perempuan di Jepang cenderung memiliki kesempatan ketenagakerjaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja laki-laki secara formal, dan hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah Jepang di era Shinzo Abe. Pada awal periode kedua masa pemerintahannya di akhir tahun 2012, PM Shinzo Abe bertekad membangun Jepang melalui kerangka besar kebijakan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang kemudian disebut sebagai Abenomics. Skema Abenomics dibentuk sebagai upaya merevitalisasi stagnasi ekonomi yang dialami oleh Jepang. PM Shinzo Abe menyatakan bahwa untuk merevitalisasi stagnasi ekonomi tersebut, salah satu fokus kebijakan politik yang akan ditempuh secara khusus oleh pemerintah Jepang adalah dengan mendorong perempuan agar mereka dapat berpartisipasi lebih banyak dalam pembangunan ekonomi Jepang sebagai tenaga kerja 1 Organization for Economic Cooperation & Development, OECD.Stat (daring), < diakses 11 Juni 2016.

3 di dalam negeri. Partisipasi perempuan dianggap merupakan komponen yang krusial dan menjadi salah satu prioritas utama dalam perencanaan kebijakan reformasi struktural yang akan dilakukan oleh pemerintah Jepang sebagai bagian dari strategi pembangunan Abenomics. Mendorong kenaikan tingkat partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja menjadi fokus utama dari pemerintah Jepang di bawah Shinzo Abe karena perempuan dianggap memiliki tingkat partisipasi ketenagakerjaan yang masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki di Jepang. Rendahnya tingkat partisipasi perempuan terjadi karena perempuan masih belum dapat diintegrasikan secara optimal sebagai bagian yang penting dalam pelaksanaan pembangunan di dalam negeri, padahal perempuan memiliki potensi yang sangat besar apabila diberikan kesempatan untuk terlibat lebih aktif dan berkontribusi dalam pembangunan. Sebenarnya banyak dari perempuan Jepang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi sehingga secara kapabilitas seharusnya mereka setara dengan laki-laki, namun potensi mereka terhenti seiring dengan berbagai hambatan yang membatasi kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan di dalam negeri. Abe meyakini bahwa dengan mengatasi hambatanhambatan yang dialami oleh perempuan dan mendorong partisipasi mereka dapat memberikan solusi terhadap masalah partisipasi tenaga kerja yang menyusut di dalam negeri. Dengan mendorong partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja di dalam negeri secara maksimal, Jepang diyakini dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja di dalam negeri sekitar 8.2 juta orang, dan menaikkan pertumbuhan tingkat aset produk domestik bruto (GDP) sebesar persen 2. Keyakinan Shinzo Abe terhadap kebijakannya untuk mendorong partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja di dalam negeri ini didasari, atau dapat dikatakan, terinspirasi oleh Womenomics yang dipopulerkan dalam laporan dari Goldman Sachs pada tahun yang intinya menyatakan bahwa 2 Diana Magnay, Can womenomics save Japan?, CNN (daring), 22 Mei 2013, < diakses 24 Februari K. Matsui, H. Suzuki & Y. Ushio, Women-omics: Buy the Female Economy, Goldman Sachs Japan Portfolio Strategy, Tokyo, 1999, hal. 1.

4 perempuan memiliki peranan yang penting dan merupakan bagian yang integral dalam proses pembangunan ekonomi negara dalam jangka panjang, sehingga mendorong lebih banyak partisipasi dari perempuan sebagai tenaga kerja di dalam negeri merupakan kunci bagi Jepang yang harus dilakukan apabila pemerintah ingin meningkatkan potensi pertumbuhan perekonomiannya. Sejak awal naiknya Abe ke tampuk pemerintahan dan mulai merealisasikan visinya untuk mendorong peningkatan partisipasi dan pemberdayaan perempuan dalam proses pembangunan Jepang, sekitar perempuan telah memasuki angkatan kerja di dalam negeri, yang kemudian menaikkan tingkat partisipasi perempuan sebanyak 3 persen menjadi 64 persen seperti saat ini 4. Pemerintah Jepang di bawah Shinzo Abe pun telah menetapkan berbagai tujuan dalam jangka panjang yang ingin dicapai melalui kerangka kebijakan Abenomics yang berkenaan dengan upaya mendorong dan memberdayakan perempuan di dalam proses pembangunan Jepang, diantaranya adalah meningkatkan jumlah tenaga kerja perempuan sudah menikah dan memiliki anak untuk kembali ke pekerjaan mereka sebanyak 55 persen pada tahun , dan mendorong tingkat partisipasi ketenagakerjaan perempuan secara keseluruhan di dalam negeri hingga mencapai angka 73 persen 6. Skripsi ini akan membahas kebijakan peningkatan partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja dalam pembangunan ekonomi Jepang di era pemerintahan Shinzo Abe. Pada era pemerintahan Shinzo Abe, secara khusus permasalahan penyusutan partisipasi ketenagakerjaan yang melanda Jepang menjadi salah satu titik tolak perombakan struktur perekonomian di dalam negeri. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah 4 D. Sevastopoulo, Abe pushes womenomics to shake up Japan s workforce dynamic, Financial Times (daring), 7 Desember 2014, < diakses 20 April D. Paquette, How American women fell behind Japanese women in the workplace, The Washington Post (daring), 7 Oktober 2015, < diakses 21 April S. Abe, Shinzo Abe: Unleashing the power of Womenomics, Wall Street Journal (daring), 25 September 2013,< diakses 20 April 2016.

5 satu langkah kebijakan politik yang dipilih oleh pemerintah Jepang ialah dengan mendorong peranan perempuan sebagai tenaga kerja domestik. Isu mengenai perempuan dalam peranan mereka sebagai tenaga kerja domestik telah menjadi salah satu fokus pengembangan kebijakan oleh pemerintah Jepang, setelah sekian lamanya perempuan hanya dianggap sebagai underutilized resource atau komoditas sumber daya manusia yang kurang dimanfaatkan dengan baik. Shinzo Abe meyakini bahwasanya perempuan memiliki potensi yang sangat besar untuk berkontribusi terhadap proses pembangunan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri apabila ia dapat berpartisipasi di dalamnya. Maka untuk mencapai potensi dari perempuan tersebut, pemerintah Jepang di era Shinzo Abe membentuk kebijakan yang bersifat suportif, atau yang dapat mendorong, perempuan untuk berpartisipasi secara setara di dalam pembangunan pertumbuhan ekonomi Jepang sebagai tenaga kerja Pertanyaan Penelitian Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat menjawab pertanyaan berikut: Apa tantangan politik yang muncul dalam implementasi Womenomics sebagai bagian dari transformasi relasi gender di Jepang? 1.3. Landasan Konseptual Perempuan di Jepang mengalami marginalisasi yang menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi sebagai tenaga kerja secara penuh. Marginalisasi terhadap kelompok perempuan di sektor ketenagakerjaan Jepang terjadi karena masih ada pengaruh nilai-nilai berkaitan dengan gender yang tidak menguntungkan dan membatasi perempuan dalam sistem sosial masyarakat Jepang secara turun temurun. Secara umum, nilai-nilai yang membatasi perempuan dalam sistem masyarakat Jepang

6 ini antara lain berkaitan dengan adanya kepercayaan dasar dari masyarakat Jepang bahwa laki-laki dan perempuan harus dibesarkan dengan cara atau perlakuan yang berbeda. Pembedaan tersebut memengaruhi dan menjadi bagian dari ekspektasi sosial masyarakat Jepang terhadap perilaku yang sesuai dari laki-laki atau perempuan yang didasarkan pada stereotip gender, laki-laki harus bekerja di luar rumah sementara perempuan lebih cocok untuk bekerja di rumah dan mengurus anak daripada laki-laki, dan melalui peranannya sebagai ibu rumah tangga, perempuan dianggap telah memberikan kontribusi yang berharga di masyarakat 7. Menurut konsep social role theory dari Eagly, ekspektasi sosial dari masyarakat terhadap perilaku inilah yang membentuk istilah peranan gender 8. Peranan gender ini kemudian mengalami diferensiasi di masyarakat, dan memengaruhi munculnya hierarki gender yang terkonstruksi melalui hubungan sosial dan adat istiadat. Hierarki gender inilah yang membentuk hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang di dalamnya seringkali dianggap lebih merugikan bagi kelompok perempuan. Hubungan kekuasaan ini merupakan elemen yang mendefinisikan relasi gender yang universal, dan telah menjadi realitas dari sistem sosial masyarakat Jepang yang terjadi secara turun temurun. Konsep kekuasaan ini diartikulasikan dalam bentuk relasi gender yang berkenaan dengan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Relasi gender pada dasarnya merupakan, serta dijadikan, bagian yang tak terpisahkan dari berbagai institusi seperti keluarga, sistem hukum, dan pasar. Maka dengan menjadi bagian dari institusi ini, nilai-nilai yang terkandung dalam relasi gender yang ada pada sistem sosial masyarakat Jepang pun ikut terinternalisasi, dijadikan dasar untuk mendefinisikan atau memperkuat peraturan-peraturan dan norma-norma yang menjadi karakteristik dari institusi-institusi sosial tersebut, serta 7 K. Yamaguchi, Married Women s Gender-Role Attitudes and Social Stratification: Commonalities and Differences between Japan and the United States, International Journal of Sociology, vol. 30, no. 2, 2000, hal A. H. Eagly & W. Wood, Explaining Sex Differences in Social Behavior: A Meta-Analytic Perspective, Paper presented at the Annual Meeting of the American Psychological Association, Atlanta, 1988, hal. 4

7 dipraktikkan secara umum oleh yang terlibat di dalamnya. Pasar tenaga kerja di Jepang merupakan salah satu contoh institusi sosial yang memiliki, dan dipengaruhi, oleh nilainilai relasi gender yang sifatnya hierarkis. Dalam pasar tenaga kerja Jepang, karakteristik peranan gender tradisional dan relasi gender sangat ditekankan hingga menciptakan struktur dan praktik-praktik di lingkungan kerja yang mencerminkan ketidaksetaraan dalam pembagian kesempatan kerja antara perempuan dan laki-laki, seperti pembagian beban kerja dan posisi pekerjaan yang lebih berat dan penting untuk laki-laki dan perempuan mendapatkan yang lebih ringan dan tidak terlalu signifikan seperti pekerjaan administratif menjadi juru tulis, sekretaris, dan sebagainya. Nilai-nilai relasi gender pada sistem sosial masyarakat Jepang yang sifatnya hierarkis dapat melanggengkan dirinya dalam institusi pasar tenaga kerja karena adanya sistem patriarki yang sudah mengakar menjadi budaya dari masyarakat secara umum di Jepang. Sistem patriarkis ini terjadi baik di lingkup privat maupun publik. Dalam dua lingkup ini, kelompok laki-laki terutama bagi laki-laki pencari nafkah yang memiliki posisi ekonomi yang lebih baik dari perempuan pada umumnya merupakan kelompok yang memiliki kekuasaan, lebih kuat, atau dominan yang melakukan subordinasi atau penyingkiran terhadap perempuan. Dalam lingkup patriarki privat, laki-laki berada pada posisi sebagai suami atau ayah yang membatasi istrinya untuk terlibat di dalam ranah-ranah yang dianggap khusus terbentuk untuk laki-laki seperti misalnya bekerja. Sementara itu di lingkup publik, subordinasi hak perempuan dilakukan secara lebih kolektif daripada secara individual. Subordinasi perempuan secara kolektif ini dilakukan oleh lembaga-lembaga yang kebanyakan di antaranya dipimpin oleh laki-laki, dan secara tradisional dianggap sebagai bagian dari ranah publik yang menjadi posisi sentral dalam pelanggengan sistem patriarki. Di antara patriarki privat dan publik ini terdapat pola pergeseran strategi patriarki dari sebuah strategi penyingkiran perempuan dari pekerjaan yang dianggap sebagai atribut dari laki-laki di ranah privat ke strategi segregasi dan subordinasi perempuan di berbagai area publik.

8 Kerangka patriarki dalam sistem sosial yang mengakar di Jepang ini menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang berbeda dalam struktur rumah tangga tradisional dan dengan demikian berarti akses sumber daya yang berbeda pula, yang kemudian membentuk pembagian kerja berdasarkan gender yang lazim dipraktikkan di Jepang. Adanya pembagian kerja berdasarkan gender ini dalam arti lain dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari subordinasi secara halus terhadap perempuan yang masih terus langgeng hingga saat ini di sektor ketenagakerjaan Jepang. Karena ada bentuk relasi gender yang hierarkis dan elemen patriarki yang masih langgeng di dalam konstruksi sistem sosial masyarakat Jepang, perempuan Jepang terus mengalami tekanan dari keadaan maskulinitas hegemonik yang telah dianggap biasa di sekitarnya dan tertanam secara kuat sebagai norma-norma institusi ketenagakerjaan yang membuat perempuan tidak memiliki cukup ruang untuk merepresentasikan dirinya sebagai tenaga kerja aktif, dan menyebabkan terjadinya eksklusi perempuan dari sektor ketenagakerjaan produktif di Jepang. Strategi Womenomics diperkenalkan oleh pemerintah Jepang ke ranah publik dengan kesadaran pemerintah akan posisi kelompok perempuan di masyarakat Jepang yang masih termarginalkan di bidang ekonomi. Gagasan utama dari strategi kebijakan Womenomics ialah memberdayakan peranan perempuan dan mendorong mereka untuk berkontribusi lebih terhadap pembangunan sebagai tenaga kerja karena mereka merupakan faktor potensial dalam menstimulasi pertumbuhan perekonomian Jepang dalam jangka panjang. Inti dari gagasan yang terkandung dalam strategi kebijakan Womenomics ini dimaksudkan untuk memberikan implikasi terhadap proses inklusi atau integrasi kelompok perempuan yang termarginalkan ke dalam pelaksanaan pembangunan di dalam negeri. Maka, untuk melihat seberapa besar implikasi kebijakan ini, perlu adanya pendekatan yang dapat membantu kita untuk melihat melalui perspektif atau sudut pandang perempuan sebagai kelompok yang mengalami marginalisasi itu sendiri. Sebagai upaya untuk mengidentifikasi implikasi dari kebijakan ini, penulis menggunakan sudut pandang pendekatan epistemologis yang memiliki tujuan untuk memperhitungkan konsekuensi dari perbedaan dalam konteks

9 kultural, nilai-nilai gender, dan hubungan kekuasaan dalam mengetahui sebuah masalah. Pendekatan epistemologis ini disebut dengan istilah Standpoint theory. Istilah standpoint theory pertama kali dimunculkan oleh Sandra Harding dalam bukunya The Feminist Standpoint: Developing ground for a specifically feminist historical materialism 9. Pendekatan perspektif standpoint theory lahir dari argumentasi berbasis paham Marxisme mengenai orang-orang yang berasal dari kelas yang mengalami opresi memiliki akses tersendiri terhadap pengetahuan tertentu yang berbeda yang tidak dapat diakses oleh orang-orang yang memiliki hak dan berada pada kelas yang diistimewakan. Secara konseptual, pendekatan standpoint theory ini dikembangkan pada tahun 1970-an berdasarkan pemikiran dari kaum feminis terhadap ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang ternyata dapat memengaruhi produksi dari pengetahuan yang tersedia dan dapat dipahami oleh masyarakat 10. Pendekatan standpoint theory menekankan keuntungan epistemologis yang akan kita dapatkan apabila kita melakukan pendekatan analisis terhadap sebuah pertanyaan yang menjadi permasalahan melalui perspektif kelompok-kelompok yang termarginalisasi 11. Menurut pendekatan ini, baik kelompok yang menempati posisi dominan maupun yang mengalami subordinasi memiliki pengalaman sistematis yang berbeda dari perbedaan posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat, dan dengan melihat dari standpoint atau perspektif kelompok yang mengalami subordinasi, kita mampu memiliki spektrum analisis yang khusus karena banyak fenomena sosial yang tidak dapat kita lihat dari posisi kelompok yang lebih dominan atau berkuasa. Sudut pandang yang kita ambil merupakan perspektif dari kelompok atau dikonstruksikan secara kolektif, bukan perspektif dari individual, mengenai isu wacana yang muncul 9 Communication Theory, The Standpoint Theory, < diakses 5 Desember E. Borland, Standpoint theory, Encyclopædia Britannica (daring), 27 Maret 2015, < diakses 5 Desember S. L. Weldon, Inclusion and understanding: a collective methodology for feminist International Relations, dalam B. A. Ackerly, M. Stern, & J. True (ed.), Feminist Methodologies for International Relations, Cambridge University Press, Cambridge, 2006, hal. 64

10 dari situasi politik tertentu yakni situasi hierarki atau dominasi kelompok. Mengambil sudut pandang analisis dari kelompok perempuan Jepang yang dianggap memiliki kekuasaan yang lebih rendah atau termarginalkan oleh struktur masyarakat disana dapat mengungkapkan bahwa dalam prosesnya terdapat kompleksitas di dalam hierarki kekuasaan. Analisis sudut pandang feminis terhadap konsep kekuasaan juga menekankan bahwa kekuasaan seringkali tidak hanya digunakan untuk mengucilkan secara fisik kelompok yang kurang kuat saja, tetapi juga ketika kelompok yang memiliki kekuasaan ini (laki-laki) mendominasi ranah-ranah yang di dalamnya sebenarnya terdapat keanggotaan dari kelompok yang kurang kuat ini juga. Hal ini dinamakan sebagai eksklusi internal, dan pendekatan epistemologis dari sudut pandang feminis bertujuan untuk memahami mengenai permasalahan perempuan yang mengalami eksklusi internal ini Argumentasi Utama Kebijakan Womenomics dihadapkan pada realitas relasi gender yang sangat patriarkis antara perempuan dan laki-laki di Jepang yang terlembagakan menjadi sebuah tantangan politik dalam proses implementasi kebijakan ini. Realitas relasi gender di Jepang sejak jaman dahulu adalah posisi perempuan di masyarakat yang ditempatkan sebagai kelompok yang termarginalkan dan mengalami subordinasi dari laki-laki sebagai kelompok yang dominan, sehingga hal tersebut menyebabkan terciptanya ketidaksetaraan kesempatan dan eksklusi perempuan dari sektor-sektor di ranah publik, termasuk di sektor ketenagakerjaan produktif. Karena sejak awal gagasan dari pembentukan strategi kebijakan Womenomics sangat berkaitan dengan pemberdayaan dan peningkatan peranan yang dimiliki oleh perempuan, maka kebijakan Womenomics diperkenalkan di tengah problematika relasi gender dan marginalisasi perempuan ini sebagai kebijakan yang dapat mengangkat posisi tawar perempuan terhadap laki-laki melalui peningkatan status ekonomi melalui partisipasi

11 mereka sebagai tenaga kerja, sehingga dengan demikian, pemerintah berharap dapat mengubah tatanan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam relasi gender yang sudah diterima secara umum di masyarakat Jepang. Namun apabila dilihat dari sudut pandang kelompok perempuan yang termarginalkan tersebut, banyak dari mereka yang justru menganggap bahwa upaya pemerintah untuk mengubah tatanan relasi gender melalui kebijakan-kebijakan dalam kerangka Womenomics tidak berjalan secara efektif atau tepat pada tujuannya. Melalui implementasi kebijakan-kebijakan yang terkandung di dalamnya, Womenomics dianggap tidak dapat menyentuh dasar dari permasalahan relasi gender patriarkis yang sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat yang menyulitkan perempuan di Jepang. Alasannya karena, kebijakan Womenomics hanya mempertimbangkan posisi perempuan secara ekonomis dalam partisipasi dan peranannya sebagai tenaga kerja saja. Sementara untuk mengatasi permasalahan relasi gender yang patriarkis di Jepang secara mendasar, tidak dapat hanya diukur dengan indikator penyetaraan jumlah perempuan untuk berpartisipasi sebagai tenaga kerja di dalam negeri saja, melainkan juga dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan transformasi peranan gender tradisional perempuan yang dapat memengaruhi keadaan relasi gender itu sendiri Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan data sekunder seperti buku, jurnal, artikel, website resmi, dan berbagai publikasi lainnya yang bersifat fisik maupun daring. Penulis akan melakukan konseptualisasi untuk menjelaskan konteks historis dari relasi gender yang patriarkis di Jepang, marginalisasi dan eksklusi yang dialami oleh perempuan dan upaya Womenomics dalam mentransformasikan relasi gender dan marginalisasi perempuan tersebut. Secara spesifik, penulis juga akan membahas mengenai pendapat-pendapat

12 berdasarkan sudut pandang perempuan terhadap kelemahan Womenomics, diambil dari artikel-artikel media massa Jepang secara daring yang memuat hasil wawancara yang dilakukan dengan kelompok perempuan yang terkait Sistematika Penulisan Pembahasan dalam penelitian ini akan terbagi menjadi empat bab, yaitu: 1. Bab I berisikan latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, landasan konseptual, argumen utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan latar belakang dari pembentukan kebijakan Womenomics seperti relasi gender di Jepang secara historis jauh sebelum adanya Womenomics, marginalisasi dan eksklusi perempuan yang terjadi di Jepang, dan konteks kebijakan Womenomics itu sendiri dalam mentransformasikan permasalahan relasi gender. 3. Bab III menjelaskan analisis mengenai tantangan dari kebijakan Womenomics, dan pendapat-pendapat berbentuk kritik yang diambil dari sudut pandang perempuan yang menjadi kelompok masyarakat yang mengalami marginalisasi secara langsung. Selain itu, akan dibahas juga sekilas mengenai sisi lain dari dampak yang diberikan oleh kebijakan Womenomics terhadap laki-laki di Jepang. 4. Bab IV berisi kesimpulan dari pembahasan dalam penelitian ini.

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum masalah utama yang sedang dihadapi secara nasional adalah sedikitnya peluang kerja, padahal peluang kerja yang besar dalam aneka jenis pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstruksi budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia hingga saat ini, mengakibatkan posisi perempuan semakin terpuruk, terutama pada kelompok miskin. Perempuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Sumatera Barat yang identik dengan Minangkabau merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang menganut sistem matrilineal. Masyarakat Minangkabau ini pun merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh daya saing dan keterampilan (meritokration). Pria dan wanita sama-sama

BAB I PENDAHULUAN. oleh daya saing dan keterampilan (meritokration). Pria dan wanita sama-sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan, peran seseorang tidak lagi banyak mengacu kepada norma-norma kebiasaan yang lebih banyak mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sistem pasar tenaga kerja di Jepang merupakan salah satu hasil dari nilai-nilai dan jaringan yang rumit dalam hubungan sosial masyarakat Jepang. Dalam sistem tenaga

Lebih terperinci

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY Rike Anggun Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada rikeanggunartisa@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaum perempuan hari ini tidak hanya beraktifitas di ranah domestik saja. Namun, di dalam masyarakat telah terjadi perubahan paradigma mengenai peran perempuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika dahulu dunia pekerjaan hanya didominasi oleh kaum laki-laki, sekarang fenomena tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan Latar Belakang

BAB 1. Pendahuluan Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Beberapa negara di dunia menganut konsep patriaki, menurut Bhasin (Kartika, 2014:2), Jepang juga termasuk sebagi negara kapitalis yang menganut konsep patriaki di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Timbulnya anggapan bahwa perempuan merupakan kaum lemah masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan perempuan yang telah di konstruksikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011) PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang strategis dalam penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar 44 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 No. 06/05/53/Th. XVI, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,59% Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Februari 2016 mencapai 3,59

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belaksang Masalah Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab sebelumnya legitimasi legal formal peran serta masyarakat dalam

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Negara dapat dikatakan maju apabila memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas. Pembangunan sumberdaya manusia sangat penting dan strategis guna menghadapi era persaingan ekonomi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi dari pekerja perempuan di Indonesia untuk setiap tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi dari pekerja perempuan di Indonesia untuk setiap tahun semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Partisipasi dari pekerja perempuan di Indonesia untuk setiap tahun semakin meningkat. Jika dalu dalam dunia pekerjaan hanya didominasi oleh kaum laki-laki.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender pada posisi jabatan struktural di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, yang dilihat

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Isu tentang peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional dewasa ini menjadi semakin penting dan menarik. Peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu akan memenangkan persaingan itu. memiliki kemampuan sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu akan memenangkan persaingan itu. memiliki kemampuan sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan tersebut, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia yang kini telah memasuki era global, memunculkan beberapa akibat, diantara akibat yang dapat kita lihat jelas adalah dalam segi perekonomian. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tiongkok merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Tiongkok merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tiongkok merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Saat ini total populasi penduduk Tiongkok tahun 2015 kurang lebih 1,49 milyar jiwa. Jumlah populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016.

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak kebijakan ODA Jepang mulai dijalankan pada tahun 1954 1, ODA pertama kali diberikan kepada benua Asia (khususnya Asia Tenggara) berupa pembayaran kerusakan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara sedang berkembang kemiskinan adalah masalah utama. Menurut Chambers (1983), kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan manusia mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Contohnya, perubahan kebudayaan, adat istiadat, peradaban

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah daripada kaum laki-laki masih dapat kita jumpai saat ini. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang telah dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan BAB V KESIMPULAN Matrilineal seperti yang telah banyak kita fahami, membawa kepada pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam pengambilan keputusan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di suatu negara tentunya tidak bisa terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di suatu negara tentunya tidak bisa terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di suatu negara tentunya tidak bisa terlepas dari keikutsertaan seluruh komponen masyarakat, tidak terkecuali peranan wanita didalamnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius (Depnakertrans, 2004a).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. sebagai lembaga swadaya masyarakat yang ada di wilayah Grobogan mampu

BAB 5 PENUTUP. sebagai lembaga swadaya masyarakat yang ada di wilayah Grobogan mampu BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana Lembaga Bakti Indonesia sebagai lembaga swadaya masyarakat yang ada di wilayah Grobogan mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia Sekilas tentang Profil Nasional untuk Pekerjaan Layak Apa itu Pekerjaan Layak? Agenda Pekerjaan Layak, yang dikembangkan Organisasi (ILO) semakin luas diakui sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peluang kerja di Indonesia sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk. Menurut hasil sensus penduduk pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia mencapai 237.556.363

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi merupakan hal penting untuk memutuskan sebuah kebijakan, hal ini karena bagian dari pembangunan

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan BAB IV KESIMPULAN Secara formal, Era Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901 dibawah pimpinan Ratu Victoria. Era Victoria yang terkenal dengan Revolusi industri dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1 Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. peran wanita berbeda bagi setiap masyarakat (Hutajulu, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. peran wanita berbeda bagi setiap masyarakat (Hutajulu, 2004). BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Perilaku keluarga dan peran serta setiap individu anggota keluarga akan membantu kita untuk mengerti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 1,5 juta orang. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin sebesar 32,5 juta orang, sedangkan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT History of em POWER ment Hubungan antara kekuasaan dan pemberdayaan Empowerment dikembangkan dari teori dasar kekuasaan (power) Empowerment merupakan pengembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi ini, Jepang sebagai negara maju yang kegiatan ekonominya bertumpu pada industri, ternyata menghadapi masalah yang serius dalam ketersediaan jumlah

Lebih terperinci

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global

Lebih terperinci

SKRIPSI KETIMPANGAN GENDER DAN KESUKSESAN PEMBANGUNAN INDIA STUDI KASUS: PRAKTEK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI GENDER PADA PEREMPUAN-PEREMPUAN INDIA

SKRIPSI KETIMPANGAN GENDER DAN KESUKSESAN PEMBANGUNAN INDIA STUDI KASUS: PRAKTEK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI GENDER PADA PEREMPUAN-PEREMPUAN INDIA SKRIPSI KETIMPANGAN GENDER DAN KESUKSESAN PEMBANGUNAN INDIA STUDI KASUS: PRAKTEK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI GENDER PADA PEREMPUAN-PEREMPUAN INDIA Oleh : Jeane. F.D. Talakua 10320011 PROGRAM STUDI HUBUNGAN

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan kaum perempuan pada tahap dewasa dini pada saat ini secara umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan kaum perempuan pada tahap dewasa dini pada saat ini secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan pada saat ini dihadapkan pada berbagai macam peran. Perempuan juga diharapkan dapat memilih dan bertanggung jawab atas peranan yang telah dipilihnya

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,12% Angkatan kerja NTT pada Februari 2015 mencapai 2.405.644 orang, bertambah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/ menyebutkan bahwa perusahaan yang go

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/ menyebutkan bahwa perusahaan yang go BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peraturan BAPEPAM Nomor Kep-36/PM/2003 dan Peraturan Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/07-2004 menyebutkan bahwa perusahaan yang go public diwajibkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja Issue Gender & gerakan Feminisme Rudy Wawolumaja Feminsisme Kaum feminis berpandangan bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang pria dan tidak menyuarakan peran wanita dalam membuat sejarah dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Emplek-emplek menir ketepu, wong lanang goleke kayu wong wadon sing adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki carilah kayu

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. 1. Reputasi Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Corporate. Entrepreneurship. Hal ini membuktikan bahwa Reputasi Organisasi

BAB 6 PENUTUP. 1. Reputasi Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Corporate. Entrepreneurship. Hal ini membuktikan bahwa Reputasi Organisasi 263 BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan 1. Reputasi Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Corporate Entrepreneurship. Hal ini membuktikan bahwa Reputasi Organisasi yang merupakan asset organisasi, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan kota yang inovatif dan serba maju dalam aspek kehidupan sosial ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan didalamnya seperti, semakin bertambahnya

Lebih terperinci

Ery Seda Mainstream Gender ke Dalam Gerakan Filantropi!

Ery Seda Mainstream Gender ke Dalam Gerakan Filantropi! Ery Seda Mainstream Gender ke Dalam Gerakan Filantropi! Sumber: Judul buku Ditulis ulang dari : Kaum Perempuan dan Filantropi: Stereotip Lama, Tantangan- Tantangan Baru : Jurnal Galang, Vol.2 No.2 April

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini, distirbusi informasi serta mobilitas manusia menjadi lebih mudah. Hal ini merupakan dampak langsung dari adanya pengembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 1,97% Angkatan kerja NTT pada Februari 2014 mencapai 2.383.116 orang, bertambah

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia Kerangka Acuan Call for Proposals 2016-2017: Voice Indonesia Kita berjanji bahwa tidak akan ada yang ditinggalkan [dalam perjalanan kolektif untuk mengakhiri kemiskinan dan ketidaksetaraan]. Kita akan

Lebih terperinci

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Sri Budi Eko Wardani PUSKAPOL - Departemen Ilmu Politik FISIP UI Lembaga Administrasi Negara, 21 Desember 2016 2 Partisipasi Perempuan di Ranah Politik

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: pemberdayaan, kesejahteraan, potensi, koperasi wanita

Abstrak. Kata kunci: pemberdayaan, kesejahteraan, potensi, koperasi wanita Judul : Peran Koperasi Wanita dalam Upaya Pemberdayaan Perempuan pada Koperasi Wanita di Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar Nama : Cyntia Putri Devanty NIM : 1306105108 Abstrak Kabupaten Gianyar sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pengakuan dan penghormatan untuk memosisikan dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam pandangan politik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang tentunya memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. Sekarang ini, Indonesia banyak menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan, puskemas, dan universitas merupakan beberapa contoh dari

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan, puskemas, dan universitas merupakan beberapa contoh dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era sekarang ini akuntansi sektor publik telah sangat familiar di masyarakat. Akuntansi sektor publik telah dikenal oleh semua masyarakat melalui organisasi-organisasi

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... DAFTAR TABEL Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan... 40 Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... 54 Tabel IV.3 Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sama dengan pegawai lainnya. Kaum minoritas berjumlah sedikit dibanding kaum

BAB I PENDAHULUAN. sama dengan pegawai lainnya. Kaum minoritas berjumlah sedikit dibanding kaum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Di era modern saat ini, pekerjaan menjadi kebutuhan setiap orang. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi memaksa orang untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Dalam

Lebih terperinci

Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women

Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women Stand Alone Goal Prinsip Stand Alone Goal: 1. Kesetaraan Gender 2. Hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. 3. Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN A. Persamaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender

Lebih terperinci