BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit yang mudah menular, semudah penyebaran DBD atau malaria. Di seluruh dunia, ada 120 juta orang terinfeksi limfatik filariasis dan 1,3 milyar orang berada pada risiko terinfeksi. Penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis, seperti Asia, Afrika, dan Pasifik Barat. Dari 1,3 milyar penduduk tersebut, 851 juta di antaranya tinggal di Asia Tenggara. Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis paling tinggi. Pada komunitas di daerah endemis filariasis, sekitar 10% wanita dapat mengalami pembengkakan tungkai dan 50% pria dapat mengalami kelainan kaki dan organgenitalia akibat penyakit ini (WHO, 2010; Juriastuti et al. 2010). Kondisi tersebut berpengaruh dalam kehancuran masa depan dan kualitas hidup korban, bukan hanya memengaruhi fisik saja, tetapi juga emosional dan ekonomi. Filariasis limfatik adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan berdampak pada kerusakan sistem limfe di tubuh manusia. Tiga spesies cacing filaria yang menyebabkan filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori (Schmidt dan Robert, 2000). Penyebaran penyakit diperantarai oleh nyamuk sebagai vektor. Cacing dewasa hidup pembuluh limfa, sedangkan mikrofilaria terdapat didalam darah (Mc Mahon dan Lawrence, 1996).

2 Filariasis merupakan penyakit parasit (umumnya disebut penyakit infeksi tropis) yang disebabkan oleh cacing nematoda yang berasal dari superfamili Filarioidea atau dikenal juga dengan Filariae. Cacing parasit ini disebarkan oleh anthropoda pengisap darah, umumnya lalat hitam dan nyamuk. Ada delapan nematoda filaria yang menggunakan manusia sebagai inang definitifnya. Parasit tersebut dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan relung cacing dalam tubuh manusia ( sebagai berikut: 1) Filariasis Limfatik, Filariasis ini disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan B. timori. Cacing-cacing ini menempati sistem limfatik tubuh, termasuk nodus limfa. Pada kasus kronis, cacing ini menyebabkan penyakit elephantiasis (kaki gajah). 2) Filariasis Subkutan, Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca volvulus. Cacing ini mendiami lapisan subkutan kulit, pada lapisan lemak. Cacing L. loa menyebabkan loiasis, sedangkan O. vulvulus menyebabkan river blindness. 3) Filariasis Rongga Serosa Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstans dan M.ozzardi, yang mendiami rongga serosa dan abdomen. Cacing dewasa yang biasanya mendiami pada satu jaringan, mengeluarkan larva stadium awal yang dikenal sebagai mikrofilaria ke dalam peredaran darah inang. Mikrofilaria yang beredar dalam aliran darah ini dapat terbawa bersama darah yang diisap oleh vektor arthropoda, seperti nyamuk dan lalat pengisap darah. Dalam tubuh vektor, mikrofilaria berkembang menjadi larva yang infektif dan dapat ditransmisikan ke inang yang baru.

3 Individu yang terinfeksi oleh cacing filaria dapat dikatakan mengidap microfilaraemic atau amicrofilaraemic bergantung ada atau tidaknya miklorilaria pada darah tepi. Filariasis didiagnosa dari kasus microfilaraemic melalui observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah jari (SDJ). Occult filariasis (filariasis tersembunyi/ asymptomatis) didiagnosa dari kasus amicrofilaraemic melalui observasi klinis, dan dalam beberapa kasus, dengan menemukan antigen yang beredar dalam darah. Spesies W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori sebagai penyebab filariasis limfatik hidup eksklusif dalam tubuh manusia. Cacing berada pada sistem limfatik antara pembuluh limfe dan pembuluh darah yang memelihara keseimbangan cairan tubuh dan merupakan komponen yang essensial untuk sistem pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama 4-6 tahun menghasilkan larva (mikrofilaria) yang akan ikut dalam sirkulasi darah (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004). Diperkirakan kurang lebih 77 spesies nyamuk dari genus Anopheles spp, Aedes spp, Culex spp, dan Mansonia spp. dapat mendukung perkembangan W. bancrofti, tetapi secara alami hanya sebagian kecil yang dapat berlaku sebagai vektor. Nyamuk Culex spp. dan Anopheles spp. merupakan vector utama bentuk periodik nocturnal, sedang bentuk subperiodik ditransmisikan nyamuk Ae. polynesiensis. Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal ditemukan pada area dengan banyak sawah sedangkan bentuk subperiodik nocturnal ditemukan di desa terpencil, perkebunan dan hutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang menjadi vektor B. malayi adalah nyamuk malam dari genus Mansonia, Aedes dan Culex.

4 Spesies An. barbirostris yang berkembang biak pada area persawahan diketahui sebagai vector B. timori (Haryuningtyas S., D. & Subekti, D.T., 2004). Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Selain itu, terdapat tiga spesies cacing penyebab filariasis yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori.Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia Malayi. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010). Dunia melalui sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menegaskan tentang kepedulian utama masyarakat dunia untuk mencapai tujuan pembangunan millennium (Millennium Development Goals-MDGs) yang programnya sebagian besar terfokus pada kesehatan. Salah satu prioritas dalam program kesehatan tersebut adalah pemberantasan, pencegahan penyakit menular yang di dalamnya termasuk filariasis (WHO, 2011). Sebelum diresmikan program eliminasi filariasis oleh WHO (The Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis) pada tahun 2000, lebih dari 80 negara mengalami endemik filariasis dan 60% negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara. Jumlah orang yang berisiko terinfeksi filariasis melebihi satu milyar orang diseluruh dunia. Pada tahun 1996, WHO memperkirakan bahwa sekitar 120 juta orang di dunia telah terinfeksi penyakit filariasis, di antaranya

5 sekitar 40 juta orang mengalami gejala klinis oleh penyakit tersebut. Walaupun tidak fatal, WHO telah menetapkan bahwa penyakit filariasis sebagai salah satu penyebab utama kecacatan permanen dalam jangka panjang di dunia. Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun Program eleminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000 (WHO, 2011). Indonesia mulai melaksanakan program eliminasi filariasis pada tahun Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu: Memutuskan rantai penularan dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis (POMP Filariasis) di daerah endemis; dan Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis (Wahyono, 2010). Indonesia merupakan Negara yang endemis filariasis. Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia terutama wilayah Indonesia bagian timur yang memiliki prevalensi yang lebih tinggi. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI bahwa jumlah kasus filariasis tahun 2000 adalah kasus, namun terjadi peningkatan yang tinggi pada tahun 2009 yaitu sebanyak kasus. Sedangkan jumlah kejadian filariasis di Indonesia pada tahun 2010, 2011, 2012 masing masingnya adalah , dan kasus (Wahyono,2010; Supriyantoro, 2013). Distribusi penyebaran kasus filariasis di Indonesia mencakup hampir seluruh provinsi, termasuk provinsi Sumatera Barat. Provinsi Sumatera Barat merupakan daerah endemik filariasis dan memiliki peringkat ke sebelas kasus

6 filariasis terbanyak pada tahun 2013 yaitu 225 kasus yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Adapun distribusi dan prevalensi masing masing kabupaten dan kota di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 1. No Tabel 1. Kasus Filariasis di Sumatera Barat Tahun 2013 Kabupaten/ Kota Jumla h Kasus Jumlah Penduduk Pervalensi / Kab. Pasaman ,36 2 Kab. Agam ,27 3 Kab. Lima Puluh Kota ,24 4 Kab. Padang Pariaman ,52 5 Kab. Pes Selatan ,29 6 Kab. Tanah Datar ,27 7 Kab. Solok Kab. Sijunjung ,46 9 Kota Padang ,14 10 Kota Bukittinggi ,10 11 Kota Payakumbuh Kota Solok Kota Pd. Panjang Kota Sawahlunto Kab. Kep. Mentawai Kota Pariaman Kab. Pasaman Barat ,40 18 Kab. Dharmasraya ,28 19 Kab. Solok Selatan Jumlah ,38 Sumber : Laporan Tahunan P2PL Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat 2014 Kabupaten Pasaman Barat merupakan daerah endemis filariasis yang memiliki jumlah kasus filariasis sebanyak 49 kasus dengan angka prevalensi penyakit filariasis tertinggi di Propinsi Sumatera Barat yaitu 12,40 pada tahun 2013 dan kemudian disusul oleh Kabupaten Agam yaitu 11,27. Kejadian filariasis di Kabupaten Pasaman Barat tersebar di sembilan kecamatan. Adapun distribusi

7 dan prevalensi penyakit filariasis per kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat dapat dilihat pada Tabel 1.2. (Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat, 2014, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, 2014). Tabel 2. Distribusi Kejadian Filariasis di Kabupaten Pasaman Barat No Kecamatan Jumlah Jumlah Prevalensi / Kasus Penduduk Ranah Batahan Sungai Beremas Koto Balingka Lembah Melintang Sungai Aua Sasak Ranah Pesisir Pasaman Talamau Kinali Jumlah Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat Berdasarkan Laporan Kejadian Filariasis Dinas Kesehatan Pasaman Barat Tahun 2014, Kecamatan yang memiliki prevalensi paling tinggi adalah Kecamatan Sungai Aur yaitu 2,8 dengan jumlah penderita sebanyak sembilan orang dan kemudian disusul oleh Kecamatan Ranah Batahan yaitu 2,6 dengan jumlah penderita sebanyak enam orang. Kabupaten Pasaman Barat dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis di Sumatera Barat sejak ditemukannya penderita kronis filariasis yang mengandung mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari secara klinis. Lima tahun berturutturutsejak tahun 2007 ditemukan 47 orang, tahun 2008 sebanyak 43 orang, tahun 2009 sebanyk 45 orang,tahun 2010 sebanyak 42 orang, tahan 2011 sebanyak 46

8 orang, tahun 2012 sebanyak 44 orang dan tahun 2013 sebanyak 40 orang. (Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat 2014). Dinas Kesehatan Pasaman Barat melakukan pengobatan massal filariasis dari tahun Namun pengobatan massal yang dilakukan tenyata tidak berhasil dengan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil evalusi pengobatan massal filariasis yang dilakukan terhadap 15 SD yang dipilih secara acak pada tahun Hasil pemeriksaan darah yang dilakukan kepada 500 orang anak SD di Kabupaten Pasaman Barat adalah 63 orang diantaranya adalah positif mikrofilaria. Dari hasil evaluasi ini didapatkanlah angka Microfilaria Rate (Mf-Rate) di Kabupaten Pasaman Barat sebesar 12,6%. Angka ini tentu melebihi standar Microfilaria Rate (Mf-Rate) yang telah ditetapkan oleh WHO untuk menetukan suatu daerah endemik filariasis yaitu > 1%. Ketidakberhasilan pengobatan massal ini dapat disebabkan karena kebiasaan dan perilaku penduduk yang masih berisiko untuk tertular penyakit filariasis, dan belum diketahui secara pasti titik koordinat tempat tinggal penderita filariasis. Dengan demikian perlu diketahui perilaku penduduk, jenis nyamuk, titik koordinat tempat tinggal penderita untuk mempercapat keberhasilan program eliminasi filariasis di Pasaman Barat (Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat, 2014). Ada beberapa perilaku masyarakat yang dapat dijumpai antara lain, beberapa pengambil keputusan di daerah belum menyadari kerugian ekonomi akibat filariasis sehingga belum memprioritaskan kegiatan pengobatan massal yang mengakibatkan biaya operasional tidak atau kurang mencukupi, adanya anggapan sebagian penduduk bahwa penyakit ini disebabkan oleh guna guna atau

9 kutukan sehingga tidak perlu diobati oleh petugas kesehatan tetapi masyarakat beralih ke dukun, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemeriksaan dan pengambilan darah pada malam hari, adanya efek samping pengobatan menyebabkan masyarakat tidak mau melanjutkan pengobatan sampai tuntas, kurangnya peran serta masyarakat dalam mencegah filariasis misalnya dengan cara menghindari diri dari gigitan nyamuk, menghilangkan tempat tempat perkembangbiakkan nyamuk dan memeriksakan diri ke puskesmas bila ada tanda tanda filariasis, jarak tempat tinggal masyarakat jauh dari puskesmas sehingga untuk mendatangi masyarakat memerlukan biaya transportasi yang cukup mahal ( Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2009, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat, 2014). Kabupaten Pasaman Barat terletak di antara Lintang Utara sampai Lintang Selatan dan sampai Bujur Timur yang memiliki luas wilayah 3.864,02 km². Secara umum topografi daerah Kabupaten Pasaman Barat adalah datar dan sedikit bergelombang, sedangkan daerah bukit dan bergunung hanya terdapat di Kecamatan Talamau dan Gunung Tuleh. Ketinggian daerah bervariasi dari 0 sampai 913 meter di atas permukaan laut. Wilayah datar dengan kemiringan 0-3%, datar bergelombang dengan kemiringan 3-8%, berombak dan bergelombang dengan kemiringan lereng 8%-15% serta wilayah bukit bergunung dengan kemiringan lereng di atas 15%. Wilayah Kabupaten Pasaman Barat banyak terdapat pantai, rawa rawa, perkebunan, sawah, sungai, genangan air, hutan, semak belukar. Jumlah penduduk kabupaten pasaman barat

10 tahun 2013 sebanyak jiwa yang tersebar di sebelas kecamatan ( Budi,2011, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat, 2014). Kabupaten Pasaman Barat merupakan daerah tujuan transmigrasi nasional dan lokal dulunya sebelum dimekarkan dari kabupaten induknya berdasarkan UU No.38 Tahun 2003 tanggal 18 Desember Hal ini menyebabkan beragamnya masyarakat Pasaman Barat yaitu terdiri dari masyarakat asli (Melayu, Minang, Mandailing) dan masyarakat pendatang (Jawa) ( Budi,2011). Kontribusi perekonomian Kabupaten Pasaman Barat didominasi dari sektor pertaninan yaitu sektor tanaman pangan dan perkebunan kelapa sawit. Sehingga mata pencarian masyarakat Pasaman Barat mayoritas petani disamping nelayan, sopir, berdagang, karyawan PT, pegawai negeri sipil. Disamping itu, masyarakat Pasaman Barat memiliki beberapa pola kebiasaan penduduk yaitu menonton televisi dan duduk bersama di warung, tidur diladang, menangkap ikan dan berburu pada malam hari. ( Budi,2011, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat, 2014). Kabupaten Pasaman Barat merupakan salah satu Kabupaten yang menempati posisi geografis strategis di belahan utara Sumatera Barat dan dikaruniai sumberdaya alam yang berlimpah. Sektor pertanian (termasuk didalamnya sub sector perkebunan) merupakan salah satu sektor unggulan dan mempunyai peranan cukup penting dalam pembangunan perekonomian di Kabupaten Pasaman Barat, karena disamping menjadi sumber penghasilan masyarakat, juga diharapkan dapat menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup potensial (Statistik Pasaman Barat, 2015).

11 Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pada sub sektor perkebunan yang mempunyai peranan cukup penting dalam pembangunan perekonomian, karena disamping dapat menjadi sumber penghasilan masyarakat dan penyerap tenaga kerja, juga diharapkan dapat menjadi salah satu andalan sebagai pemasok devisa negara dan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Statistik Pasaman Barat, 2015). Lokasi pengembangan kelapa sawit secara administratif termasuk wilayah, Kabupaten Pasaman Barat yang meliputi 11 wilayah kecamatan yang ada, Yaitu kecamatan yang paling luar kebun sawitkecaman Kinali, Sungai Aur sedang yang paling sedikit kecamatan Sasak Ranah Pesisir.Hampir separah luas wilayah Kabupaten Pasaman Barat (46%) ditanami sawit (Statistik Pasaman Barat, 2015). Lingkungan perkebunan kelapa sawit yang diselingi parit-parit kecil dengan air genangan untuk mengairi tanaman sawit dan mencegah kebakaran,genangan air tersebut menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk dan perkebunan semaksemak sebagai tempat peristirahatan nyamuk, juga berkembangbiak di air payau di tepi pantai, lingkungan seperti ini sesuai untuk perkembangan vector penularan filariasis yakni nyamuk Culex, Armigeres, Anopheles dan Mansonia ( Budi,2011, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat, 2014). Menurut teori HL. Bloom, masalah kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu lingkungan, perilaku, keturunan, dan pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan terbagi tiga yaitu lingkungan fisik, biologi, dan sosial dan budaya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal bilamana keempat faktor tersebut

12 secara bersama sama mempunyai kondisi yang optimal pula (Notoatmodjo, 2007). Ada banyak faktor risiko yang bisa menyebabkan filariasis. Faktor tersebut bisa berasal host (pejamu/manusia), agent (cacing filaria) dan environment (lingkungan). Salah satu yang menjadi faktor pemicunya yang berasal dari host yaitu kebiasaan individu dalam memelihara hewan reservoir yang menjadi perantara penyebaran filariasis dan kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Faktor lingkungan juga merupakan faktor risiko karena pekerjaan dan aktifitas individu yang tidak terlepas dari interaksi mereka dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan tersebut yaitu lingkungan yang ada disekitar individu baik di dalam maupun di luar rumah individu seperti, lingkungan fisik di dalam maupun di luar rumah dan lingkungan biologi di sekitar rumah individu. Lingkungan fisik tersebut diantaranya adalah pemakaian kawat kasa, suhu, keberadaan rawa, kolam, persawahan, dan semak belukar. Lingkungan biologi terdiri dari keberadaan tanaman air seperti eceng gondok serta keberadaan hewan preadator yang menjadi musuh nyamuk seperti, ikan mujair, lele, dan ikan kepala timah (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan faktor risiko filariasis diantaranya penelitian Reyke Uloli (2008) menunjukkan bahwa faktor perilaku/kebiasaan tidak memakai kelambu, tidak memakai lengan panjang) dan faktor lingkungan (rawa/breeding places nyamuk), serta faktor status sosial budaya (pengetahuan rendah), merupakan faktor risiko terhadap kejadian filariasis di Kabupaten Bone Bolango.( Uloli S, Sumarni R.2012)

13 Cacing kecil penyebab filariasis termasuk dalam cacing nematoda. Di dunia, sebagian besar kasus filariasis disebabkan oleh cacing W. bancrofti (90%), kemudian B. Malayi, dan B. timori (Das et al. 2002). Agent filariasis di Indonesia juga terdiri atas tiga jenis cacing tersebut (Haryuningtyas et al. 2013). Cacing W. bancrofti banyak ditemui di daerah tropis seluruh dunia, B. malayi terbatas di Asia sedangkan B. timori terbatas di beberapa kepulauan Indonesia. Di Jawa Barat, ditemukan dua agent filariasis yaitu W. bancrofti dan B. malayi, tetapi yang dominan ditemukan adalah W. bancrofti (Rusmartini et al. 2008). Berbeda dengan induknya, mikrofilaria hidup pada aliran darah, dan pada waktu-waktu tertentu ditemukanpada aliran darah tepi, sehingga mikrofilaria ini memiliki periodisitas tertentu. Umumnya, periodisitas mikrofilaria W. bancrofti di Jawa Barat adalah nokturna atau malam hari, artinya mikrofilaria hanya terdapat dalam peredaran darah tepi pada malam hari.( Endang,2014) Pada siang hari mikrofilaria berada pada kapilerkapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal dan lain-lain. Namun, di beberapa wilayah W. bancrofti juga bersifat diurnal (siang hari) (McCarthy, James. 2000). Penelitian Nasrin (2008) menunjukkan terdapat hubungan antara jenis pekerjaan, tingkat penghasilan, kebiasaan tidak memakai obat anti nyamuk, tingkat pengetahuan, dengan kejadian filariasis.( Nasrin.2008) Menurut penelitian Hasmiwati, 2008 dilakukan untuk mengetahui jenisjenis nyamuk vektor filariasis dan penentuan kepastian perannya sebagai vektor di daerah endemik filariasis di kenagarian Mungo yaitu didesa Koto Bakuruang dan Desa Indobaleh, Kabupaten Lima Puluh Kota. Pada penelitian ini didapatkan

14 5 jenis nyamuk yaitu : Anopheles nigerrimus, Armigeres sp, Culex tritaeniorhynchus, Culex bitaeniorhynchus dan Mansonia uniformis Menurut penelitian Marko FS, 2015 di Kabupaten Agam faktor risiko yang paling berpengaruh yaitu keberadaan perkebunan sawit ( 200 meter) dari tempat tinggal responden. Jenis vektor filaria di Kabupaten Agam yaitu Culex,Armigeres, Aedes dan Anopheles.( Marko FS, 2015) Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), vektor filariasis di daerah endemis filarisis di Asia Selatan yang disebabkan oleh B.malayi tipe periodic adalah An.anthropophagus, An.barbirostris, An.campestris, An.donaldi, An.kweiyangensis, An.sinensis, An.nigerimus, Ma.annulata, Ma.annulifera, Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives Ma.Indiana, Ae.kiangensis dan Ae.togoi.Sedangkan vektor untuk B.malayi tipe subperiodik nokturna adalah Ma.annulata, Ma.bonneae, Ma.dives, dan Ma.uniformis.(WHO,1992) Berdasarkan hasil pembedahan terhadap nyamuk yang tertangkap tidak ditemukan adanya larva L3 yang merupakan sumber penular (agent) filarisis, namun berdasarkan referensi diketahui bahwa nyamuk Ma.uniformis telah dinyatakan sebagai vektor filariasis Brugia malayi di wilayah Sumatera.(Depkes 2010) Mansonia uniformis dan Ma.bonneae menjadi vektor utama penularan B.malayi tipe subperiodik nokturna di kawasan Selatan Thailand (Nakhon Si Thammarat, Phattalung, Pattani, Yala dan Narathiwat), sedangkan yang menjadi vektor sekunder adalah Ma.dives, Ma.indiana, Ma.annulata, dan Ma.annulifera.( Kobasa,2004)

15 Seluruh spesies nyamuk yang menjadi vector utama maupun vektor sekunder di kawasan Selatan Thailand ini juga ditemukan di Kabupaten Muaro Jambi. Nyamuk vektor yang telah dikonfirmasi sebagai penular filariasis di wilayah Sumatera Selatan adalah Ma.uniformis dan An.nigerimus1.(Depkes 2010) Kedua spesies nyamuk ini juga ditemukan pada penangkapan nyamuk di wilayah Kabupaten MuaroJambi. Spesies nyamuk yang telah dikonfirmasi sebagai vektor filariasis B.malayi di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan adalah Ma.uniformis dan Ma.annulifera (Santoso, 2012). Menurut penelitian Santoso, 2014 dilakukan untuk mengetahui penentuan jenis nyamuk mansonia sebagai tersangka vektor filariasis brugia malayi dan hewan zoonosis di kabupaten Muaro Jambi Spesies nyamuk tertangkap paling banyak adalah Mansonia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yahya di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari, Jambi mendapatkan 24 spesies nyamuk. Nyamuk yang paling banyak tertangkap adalah Cx.quinquefasciatus. Selain itu juga ditemukan vektor utama untuk filaria B.malayi tipe subperiodik nokturna, yaitu Ma.uniformis, Ma.dives, Ma.annulata dan M.bonneae (Santoso, 2014). Beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian filariasis diantaranya faktor lingkungan, perilaku dan pengetahuan. Faktor lingkungan yang berkaitan dengan kejadian filariasis adalah adanya air tergenang, penempatan kandang ternak di sekitar rumah, sawah, rawa rawa, keberadaan parit, adanya tanaman air, pendidikan dan penghasilan. Faktor

16 perilaku yang berkaitan adalah kebiasaan keluar malam, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, dan perilaku pencegahan (Masrizal, 2012). Menurut penelitian Jontari (2008) kondisi lingkungan tempat tinggal dekat (<500 m) dari lingkungan perkebunan kelapa sawit merupakan faktor risiko terkuat penyebab kejadian filariasis di Kabupaten Agam secara analisis spasial. Disamping itu, kebiasan tidak menggunakan kelambu juga merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis (Jontari,2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puji Juriastuti (2009) menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan terhadap kejadian filariasis adalah konstruksi plafon rumah. Faktor risiko lainnya seperti keberadaan kawat kassa, barang-barang bergantung, dan jenis kelamin juga mempengaruhi kejadian filariasis (Puji Juriastuti, 2009). Determinan filariasis adalah salah satu unsur budaya yang merupakan karakteristik dengan sifat in situ, seperti halnya iklim, geografi dan faktor epidemiologi filariasis (Pemerintah Republik Indonesia, 2011; Randremanana et al., 2009), sehingga penggunaan analisis berbasis geospasial dalam mempelajari determinan sosial dan kejadian filariasi sangat bermanfaat (Alvarez-Hernández et al., 2010). Geospasial adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu. Data geospasial yang sudah diolah, yang disebut informasi geospasial, dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian (Pemerintah Republik Indonesia, 2011). Untuk keperluan perubahan data spasial menjadi informasi spasial tersebut diperlukan

17 Sistem Informasi Geografis (SIG) serta analisis spasial. Analisis spasial merupakan analisis epidemiologi yang bermanfaat dalam memahami transmisi filariasis di masyarakat (Munch et al., 2003). Lebih jauh, analisis spasial dengan SIG merupakan perangkat yang sangat bermanfaat untuk mendeteksi area dengan risiko filariasis tinggi, sehingga dapat mengindikasikan tindakan yang terbaik untuk pencegahan dan pengendalian filariasis (Alvarez- Hernández et al., 2010). Menurut Tobler,1970 hukum pertama geografi, analisis spasial berkaitan dengan ruang geografis, yang adalah, pengamatan yang sesuai dengan lokasi di ruang yang menangkap kedekatan mereka di dunia nyata. Keterkaitan yang antara entitas meningkat dengan kedekatan di dunia nyata dan perwakilan mereka dalam ruang geografis dan penilaian menggunakan teknik analisis spasial yang sesuai dan sesuai dengan Konsep ketergantungan spasial yang membentuk dasar dari analisis spasial (Tobler, 1970). Pada tahun 1939, Pavlovsky memperkenalkan teori alam nidality penyakit menular, dikenal di luar Soviet Serikat hanya dengan 1950-an. Teori Pavlovsky terdiri dari: (1) penyakit cenderung terbatas secara geografis; (2) variasi spasial dipengaruhi atau mendasari oleh kondisi fisik dan biologis yang mendukung patogen dan vektor dan reservoir; (3) jika kondisi abiotik dan kondisi biotik dapat dipisahkan pada peta, maka kedua risiko penyakit menular dapat diprediksi (Ostfeld, 2005, Pavlovsky,1966) Pemetaan sebaran penyakit secara epidemiologi penting dilakukan khususnya pemetaan persebaran penyakit menular dan penyakit infeksi. Dengan menggunakan analisis spasial bukan hanya mengetahui pola distribusi penyakit, wilayah berisiko tinggi dan faktor risiko penyakit secara kewilayahan tetapi untuk

18 penemuan penyebab atau sumber penularan penyakit sehingga upaya pengendalian dan pemutusan mata rantai penyakit dapat dilakukan dengan tepat. Namun pada saat ini penelitian analisis spasial khususnya filariasis belum banyak dilakukan di Indonesia. Distribusi keberadaan lokasi pasti tempat tinggal penderita dan pola penyebaran filariasis di kabupaten pasaman barat belum diketahui secara pasti (Masrizal, 2012). Berdasarkan latar belakang inilah penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut faktor risiko kejadian filariasis dengan menggunakan Analisis Spasial (Sistem Informasi Geografis) di Kabupaten Pasaman Barat. Sehingga diharapkan dengan penelitian ini dapat diketahui intervensi dan langkah-langkah yang tepat untuk pengambilan keputusan, memutuskan rantai penularan, serta pengendalian dari penyakit filariasis. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana deskripsi frekuensi kejadian filariasis dan jenis cacing filaria di Kabupaten Pasaman Barat? 2. Bagaimana distribusi frekuensi faktor sosial budaya (Tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan, pendapatan dan suku) faktor perilaku (keluar rumah pada malam hari, memakai kelambu, memakai obat nyamuk, pola berpakaian, memelihara hewan reservoir, dan memakai kawat kasa) dan faktor lingkungan keberadaan tempat tinggal masyarakat 500 meter dari

19 tempat perkembangbiakan nyamuk (sawah, sungai, pantai, rawa-rawa, semak belukar, kebun) di Kabupaten Pasaman Barat? 3. Bagaimana pola distribusi pengelompokan kasus positif filariasis secara spasial di Kabupaten Pasaman Barat? 4. Bagaimana distribusi tempat perkembangbiakan (breeding places) nyamuk sebagai vektor filariasis di Kabupaten Pasaman Barat. 5. Apakah Faktor sosial budaya (Tingkat pendidikan rendah, tingkat pengetahuan rendah, sikap negatif, pekerjaan berisiko (petani,buruh dan nelayan), pendapatan yang rendah dan suku pendatang) meningkatkan risiko kejadian fiariasis di Kabupaten Pasaman Barat? 6. Apakah Faktor perilaku (keluar rumah pada malam hari, tidak memakai kelambu, tidak memakai obat nyamuk, pola berpakaian yang berisiko (tidak memakai baju panjang lengan), memelihara hewan reservoir (kucing, kera), dan tidak memakai kawat kasa) meningkatkan risiko kejadian fiariasis secara spasial di Kabupaten Pasaman Barat? 7. Apakah Faktor lingkungan keberadaan tempat tinggal masyarakat 200 meter dari tempat perkembangbiakan nyamuk (sawah, sungai, pantai, rawarawa, semak belukar, kebun) secara spasial di Kabupaten Pasaman Barat? 8. Apakah model pola faktor risiko yang paling berhubungan dengan kejadian filariasis secara spasial di kabupaten Pasaman Barat? 9. Apakah terdapat pengelompokkan (Clustering) kejadian filariasis di kabupaten Pasaman Barat?

20 3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menjelaskan epidemiologi determinan sosial budaya, perilaku, dan lingkungan yang berhubungan dengan kejadian filariasis berbasis geospasial serta model prediksinya di Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat 2. Tujuan Khusus Tujuan umum dapat dijabarkan secara lebih spesifik menjadi tujuan khusus sebagai berikut: 1. Menganalisis deskripsi frekuensi kejadian filariasis dan jenis cacing filaria di Kabupaten Pasaman Barat. 2. Menganalisis pola distribusi pengelompokan kasus positif filariasis secara spasial di Kabupaten Pasaman Barat. 3. Mengidentifikasi tempat perkembangbiakan (breeding places) nyamuk sebagai vektor filariasis di kabupaten Pasaman Barat. 4. Menganalisis deskripsi frekuensi faktor sosial budaya (tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan, pendapatan dan suku) di Kabupaten Pasaman Barat. 5. Menganalisis deskripsi frekuensi faktor perilaku (keluar rumah pada malam hari, memakai kelambu, memakai obat nyamuk, pola berpakaian, memelihara hewan reservoir, dan memakai kawat kasa), di Kabupaten Pasaman Barat. 6. Menganalisis deskripsi frekuensi faktor lingkungan keberadaan tempat tinggal masyarakat 500 meter dari tempat perkembangbiakan nyamuk

21 (sawah, sungai, pantai, rawa-rawa, semak belukar, kebun) di Kabupaten Pasaman Barat. 7. Menganalisis faktor sosial budaya (tingkat pendidikan rendah, tingkat pengetahuan rendah, sikap negatif, pekerjaan berisiko (petani, buruh dan nelayan), pendapatan yang rendah dan suku pendatang) berhubungan dengan kejadian fiariasis di Kabupaten Pasaman Barat. 8. Menganalisis faktor perilaku (keluar rumah pada malam hari, tidak memakai kelambu, tidak memakai obat nyamuk, pola berpakaian yang berisiko (tdak memakai baju panjang lengan), memelihara hewan reservoir (kucing dan kera), dan tidak memakai kawat kasa) berhungan dengan kejadian fiariasis di Kabupaten Pasaman Barat. 9. Menganalisis faktor lingkungan keberadaan tempat tinggal masyarakat 500 meter dari tempat perkembangbiakan nyamuk (sawah, sungai, pantai, rawa-rawa, semak belukar, kebun) berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pasaman Barat. 10. Menganalisis model pola faktor risiko apakah yang paling berhubungan dengan kejadian filariasis secara spasial di Kabupaten Pasaman Barat 11. Mengindentifikasi pengelompokkan (clustering) kejadian filariasis di Kabupaten Pasaman Barat. 4. Manfaat dan Luaran Penelitian Manfaat dari hasil penelitian penggunaan Sistem Informasi Geografis berdasarkan faktor risiko kejadian filariasis ini diharapkan dapat berguna untuk:

22 1. Manfaat teoritis. Penelitian ini memberikan manfaat tentang pemodelan kejadian filariasis yang disusun berdasar hubungan antara determinan sosial budaya, perilaku dan lingkungan dan Penelitian ini juga memberikan pengetahuan mengenai model pola faktor risiko yang berhubungan dan clustering kejadian filariasis serta hubungan spasial factor risiko dan kejadian filariasis. 2. Manfaat metodologis Penelitian ini memberikan manfaat dalam penyusunan model pola faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis dengan analisis geospasial. 3. Manfaat praktis Penggunaan analisis geospasial dan pemeriksaaan darah vena pada siang hari memberikan manfaat dalam mendukung kebijakan dan intervensi filariasis yang lebih komprehensif. Keluaran analisis geospasial yang berupa clustering penderita filariasis serta karakteristik determinan yang menyertainya, memberikan petunjuk dimana intervensi harus dilakuan dan variabel apa yang perlu diintervensi. Sedangkan keluaran pemeriksaaan darah vena pada siang hari memberikan petunjuk pengambilan darah vena pada siang hari jauh lebih efektih dari pada pengambilan darah jari pada malam hari. Sebagai bahan informasi dan data yang berkaitan dengan berdasarkan faktor risiko kejadian filariasis sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pendukung keputusan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat dalam program pencegahan dan

23 penanggulangan filariasis. a. Bahan masukan kepada pemegang kebijakan program pemberantasan filariasis dalam menentukan kebijakan tindakan eliminasi dan pemberantasan penyakit filariasis. b. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai daerah persebaran dan wilayah rentan kejadian filariasis melalui pemetaan kasus dan survei faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya filariasis, sehingga masyarakat mengetahui penularan filariasis dan cara melakukan upaya pencegahan serta penanggulangnnya. c. Untuk menambah pengetahuan, pengalaman, dan meningkatkan kemampuan peneliti dalam menganalisis suatu permasalahan melalui suatu penelitian ilmiah. d. Sebagai sumber informasi berkaitan dengan penggunaan sistem informasi geografis, sehingga dapat mendukung penggunaan sistem informasi spasial filariasis dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang kesehatan masyarakat. 5. Keaslian Penelitian Penelitian analisis epidemiologi distribusi dan determinan penyakit filariasis melalui pendekatan spasial sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan di Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat, akan tetapi ada beberapa penelitian serupa dengan penelitian ini, antara lain:

24 1. Nasrin (2008), Faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berkaitan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat. Metode Penelitian : case control study. Hasil : Pekerjaan, penghasilan, pengetahuan dan kebiasaan tidak menggunakan obat nyamuk waktu tidur merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Bangka Barat. Persamaan penelitian : meneliti faktor-faktor risiko kejadian filariasis. Perbedaaan penelitian : analisis spasial yang dilakukan peneliti, meliputi kondisi geografis, kepadatan penduduk dan keadaan lingkungan menggunakan SIG yang dihubungkan dengan kejadian filariasis, tujuan penelitian untuk mengetahui distribusi penderita dan penentuan faktor risiko terkuat, 2. Uloli (2007), Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kabupaten Bolango Provinsi Gorontalo. Metode penelitian case control study. Hasil: variabel perilaku, lingkungan dan sosial budaya mempengaruhi kejadian filariasis di Kabupaten Bone Bolango. Persamaan penelitian: meneliti faktorfaktor risiko kejadian filariasis, meliputi: variabel sosial budaya, lingkungan dan perilaku yang termaksud dalam variabel yang akan diteliti. Perbedaaan penelitian : analisis spasial yang dilakukan peneliti, meliputi kondisi geografis, kepadatan penduduk dan keadaan lingkungan menggunakan SIG yang dihubungkan dengan kejadian filariasis, tujuan penelitian untuk mengetahui distribusi penderita dan penentuan faktor risiko terkuat, dan mengetahui pengelompokkan kasus berdasarkan unit waktu dan kewilayahan..

25 3. Boyd et al. (2004) Community-And Individual Level Determinants Of Whuchereria bancrofti Infection In Leogane Commune, Haiti. Metode penelitian studi populasi dengan analisis data menggunakan SAS versi 8.2. Hasil penelitian kasus filariasis lebih sedikit terjadi pada usia muda (5 sampai 6 tahun) dibandingkan usia dewasa, sedangkan proporsi kejadian filariasis pada usia muda berdasarkan jenis kelamin berimbang (50,6% pada laki-laki berbanding 49,4% pada wanita). Analisis multivariate yang dilakukan berdasarkan topografi daerah terdapat hubungan yang singnifikan kejadian filariasis pada anak yang bersekolah dan berdomisili di kaki pengunungan mempunyai risiko 4 kali lebih besar dibandingkan anak yang bersekolah dan berdomisili di daerah dataran tinggi (p: 0,039-0,048). Lokasi penelitian di Haiti. Persamaan penelitian: meneliti kejadian filariasis yang dihubungkan dengan lokasi ketinggian (elevator) dan penentuan proporsi penderita berdasarkan umur dan jenis kelamin. Perbedaan penelitian: variabel penelitian, meliputi status sosial budaya, perilaku masyarakat dan kondisi lingkungan yang dianalisis secara spasial (kewilayahan) tujuan penelitian untuk mengetahui distribusi penderita dan penentuan faktor risiko terkuat, dan mengetahui pengelompokkan kasus berdasarkan unit waktu dan kewilayahan. 4. Washington et al. (2004) Spatial Clustering Of Filarial Transmission Before And After A Mass Drug Administration In A Setting Of Low Infection Prevalence. Metode penelitian Cohort-Study. Hasil terdapat penurunan angka prevalensi filariasis (Mf) rate dari 10,4 % menjadi (Mf) rate 6,3% dan

26 penurunan angka microfilaremia (0,9% menjadi 0,4%). Metode analisis data menggunakan multiple linear regression. Lokasi penelitian di Haiti. Persamaan penelitian: meneliti kasus kejadian filariasis dengan analisis spasial, menghitung proposi penderita filariasis berdasarkan jenis kelamin, umur dan tempat tinggal. Perbedaan penelitian: variabel penelitian, meliputi: status sosial budaya, perilaku masyarakat, kondisi lingkungan tempat tinggal subjek dan metode analisis statistik untuk penentuan faktor-faktor risiko terkuat terhadap kejadian filariasis. 5. Coriel et al. (2003), Support Group For Women With Lymphatic Filariasis In Haiti (Social, Economic and Behavioral). Metode penelitian survey community. Hasil faktor sosial ekonomi dan perilaku masyarakat mempengaruhi kejadian filariasis di Haiti. Persamaan penelitian: meneliti kasus kejadian filariasis, variabel penelitian, meliputi status ekonomi dan perilaku masyarakat termaksud dalam variabel yang diteliti. Perbedaan penelitian: subjek yang diteliti adalah total sampel penderita filariasis, analisis spasial yang dihubungkan dengan faktor-faktor risikopenyebab filariasis yang dilakukan peneliti dan metode case control yang digunakan peneliti, tujuan penelitian untuk mengetahui distribusi penderita dan penentuan faktor risiko terkuat, dan mengetahui pengelompokkan kasus berdasarkan unit waktu dan kewilayahan. 6. Srividya et al. (2002), A Geostatistical Analysis Of The Geographic Distribution Of Lymphatic Filariasis Prevalence In Southern India. Metode penelitian analisis spasial. Hasil terdapat perbedaan angka prevalensi kejadian

27 filariasis pada masyarakat yang tinggal di daerah pengunungan (dataran tinggi) dengan masyarakat yang tinggal di daerah dataran rendah dan pinggir pantai (F:3,28, df:1,24, p:0,013). Persamaan penelitian: meneliti kasus kejadian filariasis dan metode analisis spasial yang digunakan peneliti dan variabel ketinggian tempat tinggal penderita filariasis (elevator) sebagai perbandingan yang digunakan. Perbedaan penelitian: variabel penelitian tambahan yang diteliti, meliputi keadaan status sosial budaya, perilaku masyarakat dan kondisi lingkungan, tujuan penelitian untuk mengetahui distribusi penderita dan penentuan faktor risiko terkuat, dan mengetahui pengelompokkan kasus berdasarkan unit waktu dan kewilayahan. 7. Pramudiawati (2001), Analisis Spasial Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria Di Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. Metode penelitian analisis spasial atau kewilayahan. Hasil perubahan lingkungan, meliputi iklim tahunan dan migrasi penduduk mempengaruhi kejadian malaria di Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. Persamaan penelitian: analisis spasial yang digunakan untuk membedakan perbedaan variabel lingkungan yang mempengaruhi variabel terikat yang diteliti. Perbedaan penelitian: variabel terikat penelitian (penyakit malaria), variabel penelitian yang dilakukan dan analisis penentuan faktor risiko terkuat multivariate logistic regression dibandingkan dengan analisis spasial yang dilakukan peneliti, tujuan penelitian untuk mengetahui pengelompokkan kasus berdasarkan unit waktu dan kewilayahan.

28 8. Michael (1997), Global Mapping Of Lymphatic Filariasis. Metode penelitian menggunakan analisis spasial. Lokasi penelitian di Asia, Afrika, Kepulauan Pasifik, dan Amerika Latin. Hasil prevalensi filariasis Whucereria bancrofti di wilayah Sub-Sahara Afrika sebesar 8,97%, Asia 2,25%, Kepulauan Pasifik 29,11%, Amerika Latin 0,09%, sedangkan filariasis yang disebabkan Brugia malayi hanya terdapat di Asia dengan angka prevalensi 0,47%. Persamaan penelitian: menggunakan data sekunder untuk pelaksanaan pemetaan, analisis spasial digunakan untuk memberikan gambaran proporsi jumlah subjek. Perbedaan penelitian: variabel sosial ekonomi, perilaku dan kondisi lingkungan yang tidak termaksud dalam variabel penelitian Micheal & Bundy, tujuan penelitian untuk mengetahui pengelompokkan kasus berdasarkan unit waktu dan kewilayahan. 9. Astri (2006), Studi Faktor Risiko Filariasis di Desa Samborejo. Metode penelitian : cross sectional. Hasil penelitian : Pengetahuan, kebiasaan tidur tidak berkelambu, kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk, keberadaan parit berhubungan dengan filariasis. Persamaan penelitian: meneliti kasus kejadian filariasis. Perbedaan penelitian: subjek yang diteliti adalah total sampel penderita filariasis, analisis spasial yang dihubungkan dengan faktor-faktor risiko penyebab filariasis yang dilakukan peneliti dan metode case control yang digunakan peneliti, tujuan penelitian untuk mengetahui pengelompokkan kasus berdasarkan unit waktu dan kewilayahan. 10. Bonfim et al., (2011), Spatial Analysis and Privation Index to Identify Urban Areas with A High Risk of Lymphatic Filariasis. Penelitian ini bertujuan

29 untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi wilayah berisiko tinggi filariasis berdasarkan keadaan faktor sosial ekonomi. Metode penelitian: Studi ekologi. Persamaan penelitian: meneliti kejadian filariasis sebagai variabel dependen, menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis. Perbedaan penelitian: metode penelitian case control yang digunakan, variabel yang diteliti terkait untuk mengidentifikasi karakteristik kerentanan wilayah endemis filariasis dan faktor risiko filariasis (faktor sosial ekonomi, perilaku masyarakat, factor lingkungan dan faktor agent). 11. Palaniyandi (2014), A Geo-Spatial Modeling for Mapping of Filariasis Transmission Risk in India, Using Remote Sensing and GIS. Penelitian ini didesain untuk pemetaan risiko penularan filariasis dengan penggunaan variable geo-climate. Penggunaan metode Kriging atau spatial interpolation untuk memprediksi penularan filariasis. Hasil penelitian: analisis geostatistical yang diterapkan menetapkan autokorelasi spasial antara variable geoclimate dan prediksi peta zona berisiko filariasis yang signifikan dengan akurasi secara statistik 72.3%. Prediksi peta zona risiko penularan filariasis berguna untuk pengambilan keputusan dan memilih strategi kontrol yang tepat untuk melaksanakan program pengendalian filariasis di India dengan tingkat risiko penularan tinggi dan sedang. Persamaan penelitian: meneliti kejadian filariasis sebagai variabel dependen dengan penggunaan Sistem Informasi Geografis. Perbedaan penelitian: metode penelitian menggnakan case control, variabel independen yang diteliti terkait untuk mengidentifikasi karakteristik kerentanan wilayah endemis filariasis dan faktor risiko filariasis

30 (faktor social ekonomi, perilaku masyarakat, faktor lingkungan dan faktor agent), pengelompokkan kasus (clustering). 12. Chesnais et al., (2014), A Case Study of Risk Factors for Lymphatic Filariasis in the Republic of Congo. Metode penelitian: case control study. Hasil penelitian: faktor risiko yang signifikan terhadap penularan filariasis di Republik Kongo yaitu umur, jenis kelamin dan pekerjaan yang terpapar dengan nyamuk. Persamaan penelitian: meneliti tentang kejadian filariasis dan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis. Perbedaan penelitian: variabel yang diteliti terkait untuk mengidentifikasi karakteristik kerentanan wilayah endemis filariasis dan faktor risiko filariasis (faktor social ekonomi, perilaku masyarakat, faktor lingkungan dan faktor agent), dan pengelompokkan kasus (clustering). 13. Rulisa et al., (2013), Malaria Prevalence, Spatial Clustering and Risk Factors in a Low Endemic Area of Eastern Rwanda: A Cross Sectional Study. Metode penelitian: cross sectional study. Hasil penelitian: Prevalensi malaria secara signifikan lebih tinggi pada pasien puskesmas dan anggota keluarganya yang tinggal di daerah pengelompokkan spasial malaria yang signifikan. Persamaan penelitian: menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis untuk menentukan faktor risiko dan pengelompokkan kasus (clustering). Perbedaan penelitian: variabel dependen dan independen yang diteliti terkait untuk mengidentifikasi karakteristik kerentanan wilayah endemis filariasis dan faktor risiko filariasis (faktor sosial ekonomi, perilaku

31 masyarakat, factor lingkungan dan faktor agent), metode penelitian case control yang digunakan. 14. Munsaroh (2013), Pengggunaan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Tingkat Kerawanan Demam Berdarah Dengue dan Strategi Pengendaliannya di Kecamatan Metroyudan Kabupaten Magelang. Metode Penelitian: cross sectional study. Hasil penelitian: Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk penyusunan peta tingkat kerawanan DBD dan strategi pengendalian DBD pada skala menengah yaitu skala 1 : di Kecamatan Mertoyudan. Hubungan antara tingkat kerawanan DBD dengan kejadian DBD dapat dianalisis dengan menggunakan SIG. Persamaan penelitian: konsep kerawanan atau kerentanan wilayah terhadap suatu penyakit melalui penggunaan Sistem Informasi Geografis. Perbedaan penelitian: variabel yang diteliti, metode penelitian, teknik pengolahan dan analisis statistik. 15. Ngwira et al., (2007), The Geographical Distribution of Lymphatic Filariasis Infection in Malawi. Metode penelitian: analisis spasial. Pemetaan dilakukan terhadap 35 desa dari 23 distrik dan menemukan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara ketinggian dengan kejadian filariasis. Persamaan penelitian: meneliti kejadian filariasis sebagai variabel dependen, menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis. Perbedaan penelitian: metode penelitian case control yang digunakan, variabel yang diteliti terkait untuk mengidentifikasi karakteristik kerentanan wilayah endemis filariasis dan faktor risiko filariasis (faktor sosial ekonomi, perilaku masyarakat, factor lingkungan dan faktor agent).

32 16. Jontari, (2008), Analisis spasial faktor-faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat tahun Metode penelitian: case control study. Hasil penelitian: pengetahuan, pendidikan, penghasilan, menggunakan kelambu, menggunakan kawat kassa, dan lingkungan mempengaruhi kejadin filariasis, kondisi lingkungan tempat tinggal (dekat/ < 500 meter) dengan perkebunan kelapa sawit merupakan faktor risiko terkuat. Persamaan: meneliti faktor risiko kejadian filariasis. Perbedaan penelitian: variabel yang diteliti (pekerjaan, menggunakan obat anti nyamuk, temperature udara, kelembapan udara, ketinggian dan jenis vektor) dan mengidentifikasi kerentanan wilayah berdasarkan faktor risiko dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (overlay). 17. Ade Tyrell/ Georgetown, Guyana. Socioeconomic burden of lymphatic filariasis in Georgetown, Guyana/2012.Disain penelitian Cross sectional study.hasil Dampak sosial ekonomi secara statistik signifikan, terutama berkenaan dengan 'harus mengubah pekerjaan' dan mengalami perubahan emosional dan keuangan utama (P <0,05). 56% dari kasus yang dilaporkan perubahan besar sejak diagnosis mereka, sedangkan hanya 32% dari kontrol. Kasus kurang mungkin untuk dapat berpakaian sendiri dan berjalan di dalam dan di luar rumah daripada kontrol; mereka tiga kali lebih mungkin untuk menghabiskan uang untuk transportasi dibandingkan kontrol (OR, 3,04 95% CI 1.11, 8.44).

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan perwakilan dari 189 negara dalam sidang Persatuan Bangsa-Bangsa di New York pada bulan September

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular merupakan penyakit yang ditularkan melalui berbagai media. Penyakit menular menjadi masalah kesehatan yang besar hampir di semua negara berkembang

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis limfatik adalah penyalit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan berdampak pada kerusakan sistem limfe

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing filaria

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang disebabkan infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori). Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk

Lebih terperinci

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi klinis yang luas yang menyebabkan angka kesakitan dan kecacatan yang tinggi pada mereka yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua dan paling melemahkan yang dikenal dunia. Filariasis limfatik diidentifikasikan sebagai penyebab kecacatan menetap dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN.  1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit menular yang terdapat di dunia. Sekitar 115 juta penduduk terinfeksi W. Bancrofti dan sekitar 13 juta penduduk teridentifikasi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Filariasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing Wuchereria Bancrofti (W. Bancrofti), Brugia(B) Malayi dan B. Timori. Penyakit ini menyebabkan pembengkakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda, penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya

Lebih terperinci

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN SKRIPSI FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN 2011 Penelitian Keperawatan Komunitas WELLY BP. 07121017 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2010-2014 difokuskan pada delapan fokus prioritas, salah satunya adalah pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia, memiliki 10 Kabupaten dengan status malaria dikategorikan endemis tinggi (>50 kasus per 1000 penduduk),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... viii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 6 1.3. Tujuan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemiologi perubahan vektor penyakit merupakan ancaman bagi kesehatan manusia, salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD). Dengue hemorraghic fever (DHF) atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok resiko tinggi, diperkirakan pada 2009 dari 225

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah dan di beberapa daerah menyebutnya

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik BAB I Pendahuluan A. latar belakang Di indonesia yang memiliki iklim tropis memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik dan dapat berfungsi sebagai vektor penyebar penyakitpenyakit seperti malaria,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat virus yang ditularkan oleh vektor nyamuk dan menyebar dengan cepat. Data menunjukkan peningkatan 30 kali lipat dalam

Lebih terperinci

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 2012 Ety Rahmawati 1, Johanis Jusuf Pitreyadi Sadukh 2, Oktofianus Sila 3 1 Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi tingginya angka

Lebih terperinci

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 4, No. 4, Desember 013 Hal : 16-166 Penulis : 1. Juhairiyah. Budi Hairani Korespondensi : Balai Litbang

Lebih terperinci

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN 7 Candriana Yanuarini ABSTRAK Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, terutama di negara-negara tropis dan subtropis. Kurang lebih satu miliar penduduk dunia pada 104 negara (40%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis banyak menghadapi masalah kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dari genus Flavivirus ditularkan melalui gigitan nyamuk

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah satu penyakit parasitik tertua di dunia. Penyakit menular ini bersifat menahun yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan dan berinteraksi, ketiga nya adalah host, agent dan lingkungan. Ketiga komponen ini dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang World Malaria Report (2011) menyebutkan bahwa malaria terjadi di 106 negara bahkan 3,3 milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko tertular malaria. Jumlah kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit parasit tropis yang penting didunia dan masih merupakan masalah utama didunia. Malaria adalah penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh vektor masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam Berdarah Dengue

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Konsep kesehatan

Lebih terperinci

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN 2014 DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit tular vektor yang sangat luas distribusi dan persebarannya di dunia, terutama daerah tropis dan subtropis. Data statistik WHO

Lebih terperinci

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Praba Ginandjar* Esther Sri Majawati** Artikel Penelitian *Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan global di seluruh dunia dan sering terjadi di negara tropis dan sub tropis, terutama di daerah perkotaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus, jumlah ini menurun dari tahun 2012 yang ditemukan sebanyak 36 kasus (Dinkes Prov.SU, 2014).

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang berada pada periode triple

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang berada pada periode triple BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang berada pada periode triple burden. Seiring dengan terjadinya peningkatan kasus penyakit tidak menular, muncul penyakit baru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang mengancam jiwa dan banyak menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta penduduk di dunia terinfeksi

Lebih terperinci

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan Perbandingan Prevalensi Filariasis berdasarkan Status IgG4 Antifilaria pada Penduduk Daerah Endemik Filariasis Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya Kecamatan Pondokgede Kabupaten Bekasi Jawa Barat Gracia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit malaria umumnya menyerang daerah tropis (Cina daerah Mekong, Srilangka, India, Indonesia, Filipina) dan subtropis (Korea Selatan, Mediternia Timur, Turki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO (2013) penyakit infeksi oleh parasit yang terdapat di daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dangue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypty. Diantara kota di

Lebih terperinci

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit DBD banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries,

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit malaria masih mendominasi masalah kesehatan di masyarakat dunia, menurut laporan WHO tahun 2009 ada 109 negara endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Corynebacterium Diphtheria bersifat toxin-mediated desease yang ditandai dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Corynebacterium Diphtheria bersifat toxin-mediated desease yang ditandai dengan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan yang besar di hampir semua negara berkembang yang memiliki angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyamuk merupakan serangga yang penting dalam ilmu kedokteran karena lebih dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang meninggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan menjadi perhatian global. Malaria termasuk dalam 3 penyebab kematian tertinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan (membunuh) lebih dari satu juta manusia di

Lebih terperinci

Prevalensi pre_treatment

Prevalensi pre_treatment Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL Sebanyak 757 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah sebelum pengobatan masal dan 301 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah setelah lima tahun pengobatan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyamuk adalah serangga yang bentuknya langsing, halus, distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari 3.000 spesies, stadium larva dan pupanya hidup di air (Garcia

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA Editor: Nama : Istiqomah NIM : G1C015022 FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2015 /2016 1 IDENTIFIKASI FILARIASIS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak Geografi Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato berada di wilayah kecamatan Bone Raya, yang wilayahnya terdiri atas 9 desa, yakni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Filariasis 2.1.1. Pengertian Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi parasit yaitu Plasmodium yang menyerang eritrosit.malaria dapat berlangsung akut maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia mempunyai komitmen untuk melaksanakannya serta menjadikannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman penyebab penyakit Tuberkulosis yang sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana saat dewasa hanya bisa hidup di sistem limfatik manusia. Penularannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp. Virus dengue ada empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Nyamuk anopheles hidup di daerah tropis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub-tropis dan dapat mematikan. Setidaknya 270 juta penduduk dunia menderita malaria dan

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi penelitian dan waktu penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Lembah Sari Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE 1999 2010 Prayudo Mahendra Putra, 2011; Pembimbing I : Budi W. Lana., dr., MH Pembimbing II: Freddy T. Andries., dr.,ms Filariasis adalah penyakit yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dunia yang dapat

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JATI SAMPURNA

FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JATI SAMPURNA MAKARA, KESEHATAN, VOL. 14, NO. 1, JUNI 2010: 31-36 39 FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JATI SAMPURNA Puji Juriastuti 1,2, Maya Kartika 1*), I Made Djaja 1, Dewi Susanna 1 1. Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Frekuensi = Dominasi Spesies Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi nyamuk tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan. Dominasi

Lebih terperinci

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009 ARTIKEL SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 9 Ruben Wadu Willa* *Loka Penelitian dan Pengembangan Bersumber Binatang (PB) Waikabubak, Email:majaraama@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah. BAB 1 RANGKUMAN 1.1. Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah. 1.2. Pemimpin / Penanggung Jawab Penelitian akan dipimpin langsung

Lebih terperinci

Zona Kerentanan Filariasis Berdasarkan Faktor Risiko dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis

Zona Kerentanan Filariasis Berdasarkan Faktor Risiko dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis Journal of Information Systems for Public Health, Vol. 1, No. 1, April 2016 16 Journal of Information Systems for Public Health Volume 1 No. 1 April 2016 Halaman 16-24 Zona Kerentanan Filariasis Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian

Lebih terperinci

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN 2442-9805 Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN 2086-4701 STUDI KOMUNITAS NYAMUK PENYEBAB FILARIASIS DI DESA BOJONG KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Suharno Zen Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengeu Hemorragic Fever (DHF) saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Filariasis 1. Filariasis Filariasis adalah suatu infeksi cacing filaria yang menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk dan dapat menimbulkan pembesaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria merupakan penyakit yang penyebarannya sangat luas di dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan derajat dan berat infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis. BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis. Pemerintah

Lebih terperinci

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014 Volume 18, Nomor 1, Hal. 56-63 Januari Juni 2016 ISSN:0852-8349 DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014 Dwi Noerjoedianto Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat dunia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan lama yang muncul kembali (re-emerging).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit penyebab masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan sub tropis yang sedang berkembang. Pertumbuhan penduduk yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan,

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit berbasis lingkungan merupakan penyakit yang proses kejadiannya atau fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan, berakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan sebagai vektor penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypty dan atau Aedes albopictus. Infeksi virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan atau membunuh lebih dari satu juta manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) pada dekade terakhir menjadi masalah kesehatan global, ditandai dengan meningkatnya kasus DBD di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan sub tropis, dan menjangkit

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan

BAB l PENDAHULUAN. Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan menyerang 216 juta orang serta menyebabkan kematian 655.000 jiwa setiap tahunnya Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang lebih dikenal dengan singkatan DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan merupakan vector borne disease

Lebih terperinci