KERUGIAN EKONOMI PLTA AKIBAT SEDIMENTASI DAN PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN WADUK CIRATA - JAWA BARAT MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KERUGIAN EKONOMI PLTA AKIBAT SEDIMENTASI DAN PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN WADUK CIRATA - JAWA BARAT MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI"

Transkripsi

1 KERUGIAN EKONOMI PLTA AKIBAT SEDIMENTASI DAN PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN WADUK CIRATA - JAWA BARAT MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R i

2 ii

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kerugian Ekonomi PLTA Akibat Sedimentasi dan Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan Waduk Cirata - Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2013 Maria Maghdalena Diana Widiastuti NIM. H iii

4 iv

5 ABSTRACT WIDIASTUTI. Economic Loss of Hydropower Caused by Sedimentation and Institutional Role for Cirata Dam Management. Under direction of ACENG HIDAYAT and SAHAT SIMANJUNTAK. Cirata dam, a man made resource, included in the The Common Pool Resources (CPRs). Trend of CPRs are over use and produce externality. The impact of these externalities are the mass death of fish in pondfish, corrosive plant equipment, decreased production of hydroelectric power and the most important suistainability of dam. At least 3 sectors inside activity which contribute these sedimentation: fisheries, agriculture, and domestic activities. The objective of this study are to estimate which pollutant s source that contribute to sedimentation by estimating the solid and liquid waste; estimating economic losses of hydropower and analyze appropriate institutional model as the CPRs dam management. Data analysis for estimating economic losses using benefit-cost analysis and for institutional analysis using Dolsak&Ostrom approach. The results showed that the main source of pollution comes from fisheries sector. The contribution from solid waste 742 ton/day and from domestic ativities 58 ton/day. The willingness to pay community for waste management program is Rp25.000/month for fisheries family and Rp6.175,00/month for non-fisheries family. Hydropower losses is Rp11 million comes from 8 years remain life time reservoir. Cost of enviromental improvement is Rp65 million. Institutional analysis showed that management of dam are low enforcement, high demand of dam product, no leading sector for collective action, and there is the political interest. The study emphazed the importance of institutional arrangement for dam suistainability management. Keywords: Economic loss, common pool resources, dam management v

6 RINGKASAN MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI. Kerugian Ekonomi PLTA Akibat Sedimentasi dan Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan Waduk Cirata, Jawa Barat. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan SAHAT SIMANJUNTAK Sebagai sumber daya buatan, waduk termasuk dalam CPRs dimana ciriciri seperti multi stakeholder, open access, kurangnya pengaturan kelembagaan dan free rider banyak ditemui di waduk Cirata. Hal ini mengakibatkan pemakaian berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan eskternalitas. Eksternalitas waduk ditandai dengan kualitas air yang semakin memburuk, tingkat sedimentasi yang tinggi, dan terjadinya konflik kepentingan diantara multistakeholder. Akibat eksternalitas tersebut antara lain kematian ikan secara massal di sejumlah usaha budidaya perikanan (KJA), korosivitas alat pembangkit lebih cepat dari spesifikasinya, kerugian PLTA karena penurunan produksi listrik, biaya operasional yang semakin tinggi, dan berkurangnya keuntungan. Dampak eksternalitas ini menyebabkan waduk menjadi tidak lestari karena terjadinya pengurangan usia layanan waduk. Setidaknya terdapat 3 sektor inside (aktivitas di dalam waduk) yang diduga bertanggungjawab terhadap penurunan produksi listrik yang menjadi fungsi utama dibangunnya waduk, yaitu sektor perikanan, pertanian, dan aktivitas domestik. Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi sumber pencemar utama yang berkontribusi terhadap sedimentasi, mengestimasi kerugian ekonomi PLTA dan menganalisis model kelembagaan yang tepat dalam pengelolaan waduk sebagai CPRs. Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis sumber pencemar utama adalah dengan mengestimasi limbah padat dan cair yang berkontribusi terhadap sedimentasi di waduk dengan menggunakan analisis statistika deskriptive. Estimasi kerugian ekonomi PLTA menggunakan cost-benefit analysis dan analisis kelembagaan dengan menggunakan pendekatan Dolsak&Ostrom (2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber pencemar utama yang berasal dari limbah padat adalah sektor perikanan dengan kontribusi membuang limbah padat sebanyak 742 ton/hari yang berasal dari sisa pakan dan feses ikan yang terbuang ke perairan. Jika dibandingkan aktivitas domestik antara Sektor rumah tangga di sekitar waduk dan rumah tangga perikanan yang tinggal diatas waduk, maka aktivitas domestik masyarakat di sekitar waduk memberikan kontribusi paling besar. Hal ini dapat dilihat dari besarnya limbah padat yang dibuang perairan sebesar 58 ton/hari dari aktivitas domestik masyarakat di sekitar waduk dan 11 ton/hari dari aktivitas domestik masyarakat yang tinggal diatas waduk. Berdasarkan kandungan Nitrogen (N) dan Phosfat (P) yang terkandung dalam limbah padat dan cair yang dibuang ke perairan, sektor perikanan juga vii

7 berkontribusi lebih besar dibandingkan pertanian dan aktivitas domestik. N dan P sektor perikanan berasal dari feses, pakan ikan mas dan nila, dan limbah padat/cair penunggu KJA sebesar gram N dan gram P. Aktivitas pertanian sebesar gram N sedangkan untuk unsur P tidak ada yang terbuang ke perairan. Aktivitas domestik masyarakat di sekitar waduk menyumbangkan 451,68 gram N dan P. Sehingga total nutrien yang terbuang ke perairan waduk setiap harinya sebanyak 13 ton N dan 0,6 ton P. Akibat dari banyaknya kadar N dan P di perairan dapat mengakibatkan terjadinya blooming algae. Kerugian yang ditanggung PLTA karena sedimentasi sebesar 11 milyar rupiah yang berasal dari profit yang berkurang karena hilangnya masa layanan waduk selama 8 tahun. Willingness to pay (WTP) menunjukkan kesediaan masyarakat dalam berkontribusi dalam mengatasi sedimentasi agar waduk lebih lestari. Variabel yang berpengaruh terhadap pemberian nilai WTP rumah tangga perikanan yaitu umur dan pendapatan, sedangkan untuk rumah tangga non perikanan yaitu pendapatan dan asal responden. Mean WTP untuk rumah tangga perikanan sebesar rupiah/bulan dan rumah tangga masyarakat yang tinggal di sekitar waduk sebesar 6000 rupiah/bulan. Jika nilai WTP masyarakat dijumlahkan selama 55 tahun yang merupakan sisa umur layan waduk, maka diperoleh biaya investasi sebesar 53 milyar rupiah. Nilai kerugian PLTA ditambah dengan WTP masyarakat merupakan biaya lingkungan yang dapat digunakan untuk mengatasi sedimentasi saat ini, sebesar 65 milyar rupiah. Analisis kelembagaan pengelolaan waduk saat ini belumlah maksimal karena tidak ada kekuatan yang lebih besar untuk menekan free rider dan menegakkan peraturan. Konflik kepentingan terjadi karena dipengaruhi oleh karakteristik waduk yang besar sehingga sulit untuk mengatur tata kelolanya, faktor ekonomi karena demand yang tinggi terhadap produk perikanan dan pertanian, adanya kepentingan politis masing-masing daerah yang tergenangi waduk untuk memenuhi pendapatan daerahnya, tidak ada leading sector yang mampu menggerakkan massa untuk melakukan collective action dan lemahnya penegakan peraturan/kesepakatan yang sudah dibuat. Saran untuk analisis kelembagaan dalam tata kelola waduk adalah dibangunnya suatu wadah atau badan yang memiliki kewenangan lintas batas dan regional (trans boundry regime) yang menangani waduk serta aktivitas didalamnya dan dikukuhkan dalam peraturan yang jelas. Keywords : Kerugian ekonomi PLTA, kewenangan lintas batas, sumber daya The Common viii

8 @Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB. ix

9 x

10 KERUGIAN EKONOMI PLTA AKIBAT SEDIMENTASI DAN PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN WADUK CIRATA - JAWA BARAT MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R xi

11 xii Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir M. Parulian Hutagaol, M.S

12 Judul Tesis Nama NIM Program Studi : Kerugian Ekonomi PLTA Akibat Sedimentasi dan Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan Waduk Cirata - Jawa Barat : Maria Maghdalena Diana Widiastuti : H : Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Aceng Hidayat, M. T Ketua Ir. Sahat M.H Simanjuntak, M. Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M. Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr Tanggal Ujian : 24 Oktober 2012 Tanggal Lulus : xiii

13 xiv

14 PRAKATA Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian tesis yang berjudul : KERUGIAN EKONOMI PLTA AKIBAT SEDIMENTASI DAN PERAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA - JAWA BARAT. Penelitian ini merupakan syarat dalam melakukan memperoleh gelar Magister Sains di sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Aceng Hidayat, M. T, dan Ir. Sahat Simanjutak, M. Sc atas kesediaannya untuk meluangkan waktu dalam pembimbing penulis dari penulisan proposal sampai terselesaikannya laporan penelitian ini. Staf dan managemen PT. PJB Cirata dan BPWC yang telah membantu dalam pendanaan dan penyediaan data. Pihak Tanoto Foundation dan Pemerintah Kabupaten Merauke dimana penulis memperoleh beasiswa. Pihak di belakang layar yang senantiasa mendukung Mbak Sofia, rekan-rekan ESL 2010 (Ibu Ahya, Mas Slamet, Mbak Mia, Firin, Zul Edward, Yuyun, Rizky, Intan dan Iqbal), orang tua dan adik-adik tersayang, suami dan anak-anak tercinta, penulis ucapkan juga terimakasih sebesar-besarnya. Penulis berharap hasil penelitian ini berguna dan mampu menjadi masukan dalam penentuan kebijakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Bogor, Januari 2013 Maria Maghdalena Diana Widiastuti xv

15 xvi

16 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Maret 1979 dari ayah bernama FX. Pairan dan ibu M. Suharlistiati. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih jurusan Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus tahun Setelah menamatkan program Sarjana, penulis bekerja di salah satu International NGO bernama World Vision dan ditempatkan di daerah Merauke, Papua selama kurang lebih delapan tahun. Bulan September tahun 2005 penulis menikah dengan Jeffry F. Pelamonia dan dikaruniai dua orang putra, Adiel Ananta Pelamonia dan Deogratias Destian Tiranes Pelamonia. Penulis berkeinginan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat di wilayah Indonesia Timur, untuk itu penulis melanjutkan program Magister Sains pada tahun 2010 di Institut Pertanian Bogor dan mengambil program studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Tanoto Foundation sejak Juli 2011 sampai dengan Juli 2012 dan aktif mengikuti kegiatan Bina Desa yang dilakukan oleh Asosiasi Tanoto Scholar IPB untuk masyarakat di sekitar kampus Dramaga. Selama mengikuti program S2, penulis aktif mengikuti berbagai seminar dan workshop baik nasional maupun Internasional yang terkait dengan disiplin ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, seperti Regional Workshop on Water, Land Southeast Asia Food Sovereignty, International Seminar on Geospasial and Human Dimentions on Suistanable Natural Resources Management, Training Sistem Informasi Geografis (GIS), Green Economy, Blue Economy, Climate Change, Reklamasi Tambang, Swasembada Garam dan lainnya. xvii

17 xix

18 125 DAFTAR ISI Halaman BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Waduk dan Common Pool Resources Property Right Keramba Jaring Apung (KJA) Eksternalitas BAB 3. KERANGKA PEMIKIRAN...33 BAB 4. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Metode Analisis Data Estimasi Kerugian Identifikasi Sumber Sedimentasi Utama Analisis Kelembagaan BAB 5. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN KABUPATEN BANDUNG BARAT KABUPATEN CIANJUR KABUPATEN PURWAKARTA PLTA CIRATA BAB 6. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS SUMBER SEDIMEN Sektor Perikanan Sektor Pertanian Sektor Usaha Kecil Sektor Domestik Masyarakat di Sekitar Waduk Willingness to Pay (WTP) Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah untuk Mengatasi Sedimentasi...81 BAB 7. ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI PLTA...91

19 Hubungan antara Elevasi, Luas Permukaan dan Volume Waduk terhadap Sedimentasi Perhitungan Produksi Listrik Perhitungan Estimasi Kerugian Analisis Benefit Analisis Cost Analisis Kerugian BAB 8. ANALISIS KELEMBAGAAN Karakteristik Sumber Daya Waduk Faktor Ekonomi Faktor Politik Kabupaten Purwakarta Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Cianjur Faktor Kebijakan Faktor Teknologi Karakteristik Pengguna Sumber Daya Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta POKMASWAS (Kelompok Pengawas Masyarakat) ASPINDAC (Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Waduk Cirata) Kelompok Penjual Pakan (Agen, Sub Agen dan Bandar Ikan) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat BPWC vs Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat vs Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta Petani KJA vs Kelompok Penjual Pakan (Agen/Sub Agen) Tata Kelola dan Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk 148 KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA

20 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kualitas air di Inlet dan Outlet PLTA Cirata ( ) Perkiraan Beban Pencemaran N dan P (ton/hari) 3 3 Data Kematian Ikan di Waduk Cirata. 6 4 Jumlah Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata 8 5 Pola Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Cirata 9 6 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Pembagian Besarnya Jumlah Responden per-unit Desa 40 8 Daftar Kelompok Target Wawancara dan FGD Parameter yang Digunakan untuk Setiap Unit Analisis Analisis Stakeholder Analisis Konflik Analisis Konten Analisis Gap Data Turbin PLTA Cirata Data Limbah Cair dari Aktivitas Domestik di Sektor Perikanan Data Limbah Padat dari Aktivitas Domestik di Sektor Perikanan Estimasi Nutrien dari Ikan, Pakan dan Aktivitas Domestik RTP Data Limbah Padat yang Dihasilkan Masyarakat Sekitar Waduk Data Limbah Cair yang Dihasilkan Masyarakat Sekitar Waduk Perbandingan Limbah Padat Antara Aktivitas Domestik RTP dan RTM Perbandingan Limbah Cair Antara Aktivitas Domestik RTP dan RTM Perbandingan Kontribusi N dan P yang terbuang ke Perairan Biaya Lingkungan Perbaikan Waduk dari WTP Masyarakat Perbandingan Kapasitas Tampungan Antara Perencanaan versus Pengukuran Data Produksi Listrik, Estimasi Produksi Listrik Netto dan Penjualan Listrik dari Tahun Estimasi Cost Operasional&Maintenance vs Cost karena Sedimentasi Data Perhitungan Masa Layan Waduk yang Hilang Akibat Sedimentasi Analisis Financial Pembangunan Waduk Baru Gambaran Umum Waduk Kaskade Data Tehnis Waduk Cirata 115 xx

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Data Sedimentasi dari Tahun Framework Masalah Apropriation Framework Masalah Provision 20 4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan CPRs 22 5 Kerangka Berpikir Penelitian 33 6 Metode Analisis Kelembagaan Mekanisme Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Air Komposisi Responden RTP Berdasarkan Kabupaten Komposisi Usia Responden RTP Komposisi Lama Pendidikan Responden RTP Distribusi Zonasi Responden Rumah Tangga Pertanian Komposisi Jenis Kelamin Responden Sektor Pertanian Komposisi Jumlah Anggota Rumah Tangga Pertanian Komposisi Umur Responden Rumah Tangga Pertanian Lama Pendidikan Responden Rumah Tangga Pertanian Lama Usaha Pertanian Responden Rumah Tangga Pertanian Pipa Pendingin Pembangkit yang Mengalami Korosi Kurva Demand WTP untuk RT non Petani KJA Kurva Demand WTP untuk RT petani KJA Data Curah Hujan Rata-rata dari Tahun 1994 s/d Data Produksi Gross Listrik Tahunan (1988 s/d 2011) Ilustrasi Umur Layan Waduk Setelah Pengukuran Sedimentasi Perbandingan Biaya Penanggulangan Sedimentasi vs Total Biaya Operasional&Maintenance Alur Mekanisme Pembuatan Ijin Budidaya Perikanan Pungutan Retribusi yang Ditetapkan Pemerintah xxi

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Lokasi Penelitian Tabel matriks keterkaitan tujuan, parameter, jenis dan sumber data Kuesioner Sektor Rumah Tangga Kuesioner Sektor Pertanian Kuesioner Sektor Perikanan Kuesioner Sektor Usaha Kuesioner FGD dan KII kelembagaan Data Sensus KJA Tahun Gambar Bagian-bagian Pembangkit dan Foto Penelitian Ekstrapolasi Benefit Ekstrapolasi Cost NPV Benefit NPV Cost Analisis Konten dan Gap Analisis Stakeholder Analisis Konflik xxii

23 1 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Waduk adalah genangan air dalam suatu cekungan permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai kepentingan, yang airnya bersumber dari air permukaan dan/atau air tanah. Waduk buatan dikenal dengan sebutan reservoir atau dam atau bendungan yang biasanya dibuat dengan tujuan khusus seperti pengaturan air bagi irigasi pertanian, perikanan, pembangkit listrik, pengendali banjir dan wisata alam (KLH, 2010). Walaupun waduk pada umumnya adalah buatan manusia namun termasuk kategori barang sumber daya. Ostrom et al. (1994) membagi barang sumber daya dalam empat tipe berdasarkan substractibility dan excludability-nya yaitu private good, toll good, common pool resources dan open access. Sumber daya dengan substractibility yang tinggi dan tingkat excludability yang rendah merupakan ciri khas Common Pool Resources (CPRs). Artinya, dalam setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut; dan tingkat excludable yang rendah berarti sumber daya alam ini karena besarnya, sehingga akses terhadap sumber daya sulit dikontrol. Karakteristik inilah yang memungkinkan terjadinya penggunaan berlebihan, congestion atau bahkan kerusakan sumber daya pada CPRs. Berdasarkan ciri-ciri diatas, waduk termasuk CPRs. Dolsak&Ostrom (2003) juga menegaskan bahwa sumber daya buatan (waduk, salah satunya) termasuk dalam CPRs. Karakteristrik common pool resources yang dicirikan oleh dua atribut diatas muncul karena setiap pengguna sumber daya dengan sikap oportunisnya ingin lebih banyak mendapatkan manfaat dari sumber daya yang tersedia dan seringkali tanpa mempertimbangkan faktor negatif lingkungan akibat ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan. Situasi inilah yang terjadi pada Waduk Cirata saat ini. Waduk Cirata dibangun dengan tujuan utama sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sumber air bendungan Cirata diperoleh dengan membendung sungai Citarum dan merupakan kaskade dari dua waduk lainnya di hulu dan hilir

24 2 yaitu Saguling dan Jatiluhur. Waduk ini dapat menampung sebanyak juta m 3 air, dengan luas waduk sebesar m 2. Oleh karena besarnya waduk Cirata, banyak pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi, hal ini dipermudah dengan tidak adanya kontrol yang ketat untuk ijin aktivitas penggunaan waduk. Indikasi ini sesuai dengan fenomena CPRs. Bukti yang dapat dilihat dari fenomena CPRs adalah kondisi perairan waduk yang semakin tercemar, kualitas air yang terus menurun dan angka sedimentasi yang meningkat melebihi data design perencanaan waduk. Untuk mengetahui kualitas air, dapat dilihat dari kandungan COD dan BOD yang merupakan indeks oksigen yang dibutuhkan oleh bahan organik dalam melakukan respirasi. Chemical Oxigen Demad (COD) menggambarkan jumlah oksigen total yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, dengan oksidator kalium dikromat (CaCr 2 ), baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sulit didegradasi secara biologis (nonbiodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Selain COD, Biological Oxigen Demad (BOD) juga merupakan indikator lain pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologi dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Zakiyah (2012) menyatakan bahwa pada sisi outlet waduk kandungan COD dan BOD tidak memenuhi baku mutu. Sepanjang tahun , konsentrasi COD melebihi ambang batas, walaupun dengan konsentrasi yang cenderung menurun setiap tahunnya. Konsentrasi BOD juga cenderung menurun pada tiga tahun terakhir, namun tetap tidak memenuhi baku mutu. Hal ini membuat perairan waduk termasuk kategori kurang sampai dengan buruk. Data kualitas air selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Garno (2001) juga memperkirakan beban pencemaran yang masuk ke Waduk Cirata yang berasal dari aktivitas pemukiman dan perikanan. Setiap harinya Waduk Cirata diperkirakan menerima 47,82 ton limbah Nitrogen dan 6,19 ton limbah fosfat yang berasal dari aktivitas pemukiman dan perikanan. Tidak tersedia data untuk sektor pertanian, industri dan peternakan, seperti dilihat pada Tabel 2.

25 3 Tabel 1. Kualitas Air di Inlet dan Outlet PLTA Cirata Tahun Thn Stasiun Parameter (mg/l) Suhu ( 0 C) TDS TSS Fe COD BOD DO H 2 S ph 2005 Inlet 29, ,27 29,3* 14,3* 5,9 0 7,8 Outlet 28,2 164,7 19 0,2 24,4* 11* 8,8 0,2* 7, Inlet 31, ,48* 20,8* 13* 5,5 0,02* 7,4 Outlet 31, ,5* 21* 16,2* 3,25** 0 7, Inlet 28, ,18* 20,9* 12,5* 20,9 0,08* 7,4 Outlet 27, ,2 19* 11* 4,3** 0 7, Inlet ,8 0,97* 19* 15,1* 3,6** 0,02* 7,7 Outlet 26, ,4 0 16,1* 7,3 5,9 0,01* 7, Inlet 28,2 76,4 8,5 0,05 13,9* 8,8 3,7** 0,04* 8 Outlet 27, ,7 0,4* 10,5* 6,7 2,3** 0,1 7, Inlet 29, ,9 0,3 16,3* 9,7 3,9** 0,08* 7,9 Outlet 27,6 153,7 7 0,2 13,7* 7,8 3,4** 0,1 7,2 Baku Mutu , >5 0, Sumber : Zakiyah (2012) Keterangan : *) melewati baku mutu; **) kurang dari baku mutu Tabel 2. Perkiraan Beban Pencemaran Nitrogen dan Fosfat (ton/hari) Sumber Saguling Cirata Jatiluhur N P N P N P Pemukiman 27,27 3,57 18,58 2,8 4,65 0,7 Industri 0, Pertanian 2,8 0,6 - - Peternakan 3,28 0, ,78 0,17 Perikanan 3,66 0,52 23,74 3,39 2,9 0,3 Jumlah 34,032 5,5 47,82 6,19 14,53 1,17 Sumber : Garno (2001) Senyawa N dan P yang diperoleh dari aktivitas pemukiman dan perikanan berasal dari proses pembusukan makhluk hidup yang telah mati akibat dekomposisi protein dan polipeptida yang terdapat pada semua makhluk hidup. Sumber unsur hara yang lain adalah sumber antropogenik (akibat aktivitas manusia), yaitu unsur organik yang berasal dari limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian, kegiatan perikanan, dan limbah domestik. Proses terjadinya pengkayaan perairan waduk oleh unsur hara sejatinya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun proses tersebut dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk di sekitar perairan waduk.

26 4 Senyawa fosfat, pada umumnya fosfat yang berada di waduk Cirata banyak terdapat dalam bentuk fosfat organik dan anorganik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk pertanian. Sumber utama fosfat organik berasal dari makanan dan buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi fosfat organik yang selanjutnya digunakan tanaman untuk membuat energi. Menurut Garno (2001), Nastiti (2001) dan Insan (2009), berdasarkan kadar fosfat di perairan, status trofik perairan Waduk Cirata termasuk eutrof yang berarti fosfat organik diperairan mengakibatkan melimpahnya nutrien yang mengakibatkan terjadinya blooming algae. Fenomena ini kurang menguntungkan bagi organisme lain karena fitoplankton/algae memerlukan oksigen untuk respirasi dan dekomposisi bagi penguraian limbahnya, terutama di malam hari yang mengakibatkan menurunkan kadar oksigen di badan air. Jika deplesi oksigen terlarut sampai mendekati nol, maka diduga dapat mengakibatkan kematian ikan secara massal. Degradasi lingkungan waduk yang dicirikan melalui penurunan kualitas air waduk dan eutrofikasi, juga diindikasi mengalami peningkatan angka sedimentasi. Berikut ini data sedimentasi Waduk Cirata yang diperoleh dari PT. PJB : Gambar 1. Data Sedimentasi dari tahun

27 5 Sedimentasi adalah kumpulan partikel-partikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara luas dan tidak beraturan bentuknya (Duxbury, 1993 yang diacu Harijono, 2004). Data sedimentasi pada tahun 2007 diatas telah menunjukkan peningkatan endapan akumulasi sedimentasi dibandingkan dengan data perkiraan sedimentasi berdasarkan design perencanaan waduk. Data teknis pada saat pembangunan waduk pada tahun 1988 memperlihatkan kapasitas total waduk diperkirakan sebesar Juta m 3. Pengukuran terakhir pada tahun 2007, daya tampung Waduk Cirata hanya tinggal juta m 3. Perbedaan daya tampung waduk tersebut disebabkan oleh besarnya akumulasi sedimen. Volume sedimentasi yang diukur dari perbedaan besarnya daya tampung waduk selama 20 tahun, antara tahun 1988 sampai dengan 2007 sebesar 146 juta m 3. Jika dirata-rata secara analisis empiris laju sedimentasi per-tahun yang terjadi di Waduk Cirata adalah 4,38 juta ton/tahun. Sedimentasi merupakan permasalahan yang sangat penting dalam perencanaan umur waduk dimana umur waduk ditentukan oleh berapa lamanya volume tampungan mati terisi endapan material sedimentasi. Sedimentasi yang mengendap diatas tampungan matinya akan mengurangi volume efektif waduk. Sedimentasi di Waduk Cirata selain berasal dari erosi di hulu sungai Citarum, limpahan Waduk Saguling dan sungai-sungai kecil yang bermuara ke waduk juga berasal dari aktivitas perikanan KJA. Sedimentasi yang disebabkan oleh aktivitas perikanan diindikasikan berasal dari feses ikan dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan. Fred&Dobson (2002) yang diacu Puspaningsih (2011) menyatakan bahwa pada umumnya dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan mas, hanya 80 persen yang dapat diserap oleh ikan dan sisanya 20 persen akan terbuang ke perairan. Dari 80 persen pakan yang terserap oleh ikan mas tersebut, 10 persennya akan tersekresikan dalam bentuk feses. Sukimin (2008) dan Krismono (1989) yang diacu Insan (2009) menyatakan bahwa persen pakan yang diberikan akan terbuang ke perairan. Dampak dari konsidi perairan yang tercemar dan aktivitas yang melebihi daya dukung lingkungan waduk terlihat dari kasus kematian massal ikan yang terjadi hampir setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan air sudah tidak

28 6 memadai untuk budidaya dan pertumbuhan ikan. Berikut ini adalah data kematian ikan dari tahun ke tahun menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat (2011) : Tabel 3. Data Kematian Ikan di Waduk Cirata No Tahun Jumlah Ikan yang Mati (Kg) Kerugian (Rp) Jumlah Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, 2011 Selain kasus kematian ikan, jasa layanan waduk akan berkurang, jika terjadi tekanan yang tinggi terhadap sumber daya. Hal ini dirasakan oleh PLTA sebagai pengguna utama waduk. Diindikasikan dengan tingginya angka H 2 S yang dapat menyebabkan korosivitas pada alat-alat pembangkit terutama pada alat-alat yang terbuat dari logam seperti turbin, reaktor dan air cooling. Apabila terjadi korosi pada instalasi ini, maka produk energi akan menurun. Korosi adalah peristiwa memburuk atau rusaknya logam yang terjadi ketika suatu material bereaksi dengan lingkungan atau dengan fluida yang dipindahkan atau dikandungnya. Logam struktural akan memburuk dengan adanya reaksi kelembaban, gas dan polutan atmosfer. Korosivitas ini tentu saja menambah beban biaya operasional dan perawatan dari PLTA, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerugian bagi PLTA. Rendahnya kualitas air dan tingginya tingkat sedimentasi yang merupakan indikasi fenomena CPRs diperoleh dari berbagai aktivitas yang berasal dari luar perairan waduk (hulu dan badan sungai) serta aktivitas yang berada di badan waduk. Untuk memudahkan pembahasan, aktivitas yang terjadi di dalam waduk disebut inside activity dan aktivitas dari luar waduk seperti hulu sungai Citarum, hulu dan badan anak-anak sungai yang bermuara ke waduk, outlet Waduk Saguling termasuk kategori outside activity.

29 7 Garno (2001) menyatakan bahwa limbah yang berasal dari outside berupa limbah industri, air lindi TPA Sari Mukti, limbah domestik, pertanian, erosi di hulu, perubahan tata guna lahan dan limbah buangan Waduk Saguling. Identifikasi aktivitas inside adalah sisa pakan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA, aktivitas domestik masyarakat, aktivitas usaha masyarakat, dan aktivitas pertanian pasang surut di sekitar waduk Cirata. Limbah pertanian dalam aktivitas inside berasal dari air buangan limbah pertanian yang mengandung sisa pestisida seringkali dibuang ke sungai dan akhirnya tertampung dalam waduk. Begitu juga bekas sampah aktivitas pertanian diletakkan di pinggiran waduk, sehingga ketika terjadi kenaikan air waduk, sampah tersebut terbawa mengotori waduk Cirata. Limbah Air Lindi TPA Cigedig di desa Sarimukti juga merupakan penyumbang limbah organik (air lindi) yang berasal dari aktivitas outside. TPA Sarimukti menampung sampah untuk daerah Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. TPA ini menghasilkan air lindi sampah yang masuk ke dalam air tanah dan air permukaan sehingga berbahaya juga bagi organisme yang hidup di darat dan mengancam kehidupan ikan-ikan di Waduk Cirata. Jarak TPA dengan Waduk Cirata yang tidak terlalu jauh menyebabkan rembesan air dari tumpukan sampah akan mengalir ke waduk karena posisi waduk lebih rendah dibanding TPA. Industri yang berada di kota Bandung berada pada hulu sungai Citarum, terutama pada daerah di sekitar Majalaya sampai Dayeuh Kolot yang merupakan sentra industri. Banyak sentra industri tersebut yang tidak menggunakan IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) dan membuangnya pada aliran sungai Citarum yang pada akhirnya menyebabkan pencemaran perairan Citarum dan waduk Cirata meningkat. Aktivitas industri di sepanjang sungai juga merupakan salah satu aktivitas outside yang mempengaruhi waduk. Limbah organik dari industri, baik yang dapat diuraikan secara kimiawi oleh bakteri maupun yang sukar diuraikan dapat menyebabkan pertumbuhan alga secara berlebihan serta mengubah kondisi ekologi perairan. Limbah domestik dapat berasal dari hulu waduk (outside) maupun dari dalam perairan Waduk Cirata (inside). Hulu Waduk Cirata berasal juga menjadi tempat tinggal masyarakat dimana limbah domestik aktivitas manusia juga terbuang ke

30 8 sungai dan bermuara di waduk. Limbah organik yang berasal dari dalam perairan waduk merupakan sisa aktivitas domestik masyarakat yang tinggal di sekitar perairan waduk Cirata maupun berasal dari aktivitas penunggu KJA yang tinggal di atas perairan waduk. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi di sekitar perairan Waduk Cirata telah menyebabkan limbah sisa aktivitas domestik pada perairan waduk Cirata meningkat dan dapat mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Hal ini akan memberikan kontribusi pada laju penambahan zat hara dan limbah organik lainnya yang masuk ke badan air. Fenomena CPRs yang dicirikan dengan substractibility-nya yang tinggi terjadi salah satunya karena kegiatan budidaya perikanan yang jumlahnya sudah melebihi daya dukung lingkungan waduk. Sejak Waduk Cirata dibuka tahun 1988, sudah dijadikan tempat budidaya ikan air tawar, hingga tahun 2011 telah terjadi peningkatan jumlah petakan KJA seperti terlihat pada Tabel 4 dibawah ini : Tabel 4. Jumlah Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata Tahun Jumlah KJA (Petak) Sumber : Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC, 2011) Aktivitas outside selain yang disebutkan diatas, ternyata juga sangat ditentukan oleh tingkat erosi dihulu dan limpahan dari Waduk Saguling. Waduk Saguling selain dibangun untuk PLTA, perairannya juga digunakan untuk budidaya perikanan KJA. Sebagai waduk kaskade, pencemaran yang terjadi di Waduk Saguling dapat turut mencemari perairan di Waduk Cirata. Garno (2001) menyebutkan bahwa limbah pertanian dan industri yang berasal dari waduk Saguling di hulu sungai, turut mencemari perairan Waduk Cirata. Selain kontribusi yang diperoleh dari sektor industri dan pemukiman di hulu sungai, erosi dari hulu sungai juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap sedimentasi. Erosi akan membawa partikel-partikel melayang dengan konsentrasi yang cukup besar dan akan terbawa arus sungai masuk ke dalam waduk. Berdasarkan penelitian Zakiyah (2012) dengan melihat peta tutupan lahan hasil foto citra satelit tahun 2001 dan 2007 telah terjadi perubahan pola tutupan

31 9 lahan di Waduk Saguling dan Cirata. Konversi lahan terbesar terjadi dari hutan menjadi lahan perkebunan dan pemukiman yang dicirikan dengan penurunan luas hutan, lahan terbuka dan peningkatan areal pemukiman dan semak belukar. Perubahan luasan tutupan lahan seperti terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 5. Pola Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Cirata Jenis Penutupan Lahan Luas Thn 2001 Luas Thn 2007 Perubahan Ha % Ha % Ha Ha/Tahun %Tahun Hutan , ,03 (64.425) (10.738) (12,2) Pemukiman , , ,3 Sawah , , ,0 Semak belukar , , ,5 Lahan terbuka , ,04 (6.744) (1.124) (16,2) Pertanian lahan kering , ,78 (66.928) (11.155) (8,2) Perkebunan , , ,1 Rawa 840 0, ,18 (0) (0) (0,0) Badan Air , ,48 (0) (0) (0,0) TOTAL Sumber : Zakiyah (2011) Akibat-akibat yang dirasakan dari kondisi penurunan kualitas air dan tingginya tingkat sedimentasi di Waduk Cirata telah menimbulkan kerugian ekonomi terhadap fungsi utama dibangunnya waduk dan kerugian ekonomi bagi pengguna waduk lainnya. Kematian ikan secara massal yang sering terjadi telah menyebabkan kerugian bagi petani KJA. Korosivitas pada alat pembangkit listrik menyebabkan biaya perawatan meningkat dan angka sedimentasi yang tinggi dapat menyebabkan umur waduk berkurang dan menimbulkan penurunan profit PLTA dalam jangka panjang. Dampak yang dialami oleh masyarakat tentu juga cukup luas. Jika waduk ditutup lebih cepat dari usianya, maka usaha-usaha perikanan yang menyerap banyak tenaga kerja dapat menghilangkan mata pencaharian penduduk dan menurunkan pendapatan masyarakat. Penutupan PLTA juga mengakibatkan produksi dan pasokan listrik untuk masyarakat Jawa, Bali dan Madura terhenti.

32 Perumusan Masalah Secara umum masalah yang terjadi di Waduk Cirata yaitu adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam (waduk). Pemanfaatan sumber daya oleh salah satu pihak ini ternyata menimbulkan masalah karena pemanfaatannya yang melebihi daya dukung lingkungan sehingga menimbulkan eksternalitas yang mengganggu kepentingan pihak lain. Eksternalitas negatif yang timbul membuat fungsi utama waduk, yaitu penghasil tenaga listrik menjadi terancam keberlanjutannya. Oleh karena itu upaya penyelamatan waduk menjadi sesuatu yang sangat penting. Dari banyak penelitian yang telah dilakukan di Waduk Cirata, Ada tiga permasalahan penting dalam mengatasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya. Pertama, terjadinya penurunan kualitas air dan tingginya angka sedimentasi dikarenakan aktivitas yang terjadi baik dalam waduk (inside) maupun kontribusi aktivitas dari luar waduk (outside) yang melebihi daya dukung lingkungan. Aktivitas tersebut contohnya adalah kegiatan KJA, aktivitas rumah tangga, pertanian, industri, alih fungsi lahan di hulu, penebangan/penggundulan hutan di hulu dan lain sebagainya. Adanya aktivitas substractibility yang tinggi, menurut Fauzi (2004) disebabkan karena ketiadaan kelembagaan yang efektif atau kurang berfungsinya kelembagaan yang ada dalam mengatur alokasi sumber daya. Hal ini terkait dengan pengaturan akses untuk membatasi demand dari para pemilik modal dalam upaya menekan usaha perikanan dalam bentuk KJA; dan demand dari masyarakat dalam ekploitasi hutan dan alih fungsi lahan. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam tentang kelembagaan yang terdapat di hulu sungai dan di Waduk Cirata dalam menjalankan perannya mengatasi masalah sedimentasi. Pertanyaan penelitian terkait dengan analisis kelembagaan tersebut yaitu : Kelembagaan apa saja yang menangani pengelolaan waduk? Bagaimana bentuk kekuatan yang dimiliki dan agenda lembaga tersebut? Bagaimana aktoraktor sebagai pengguna CPRs menyepakati hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan lingkungan terutama untuk mengatasi sedimentasi? Bagaimana para aktor tersebut berinteraksi? Kedua, kerugian yang ditanggung PLTA karena aktivitas sekunder lain harus dihitung untuk menginternalisasikan eksternalitas negatif yang terjadi dalam

33 11 proses produksi listrik. Nilai kerugian ekonomi ini juga dapat memberikan masukan kepada pihak managemen pengelola waduk dan pembangkit dalam keputusan pembiayaan upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani sedimentasi dan penanganan aktivitas-aktivitas sekunder di atas waduk. Ketiga, penelitian mengenai sedimentasi waduk mengarah kepada aktivitas budidaya perikanan KJA yang sudah melebihi daya dukung lingkungan, namun kajian mengenai sektor-sektor lain tidak diperhitungkan, padahal ada kemungkinan faktor lain yang menjadi penyumbang terbesar sedimentasi, misalnya sektor rumah tangga atau industri. Informasi yang tidak seimbang ini dapat menyebabkan keputusan yang salah dalam penanganan sedimentasi. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi sumber-sumber pencemar yang diperkirakan dapat berkontribusi terhadap peningkatan sedimentasi di waduk dan seberapa besar frekuensi masing-masing sektor memberikan kontribusi. Identifikasi dan analisis ini diperlukan agar upaya pencegahan atau perbaikan lingkungan akibat sedimentasi oleh lembaga-lembaga terkait dapat dilakukan secara tepat sasaran dan efektif. Mengingat luasnya wilayah pengamatan, maka penelitian ini dibatasi hanya aktivitas yang berada di dalam perairan waduk atau aktivitas yang hanya terjadi di wilayah inside yaitu sektor aktivitas rumah tangga perikanan, rumah tangga masyarakat di sekitar waduk, sektor usaha di sekitar waduk, dan sektor pertanian di wilayah pasang surut waduk. Hipotesa yang dibangun dalam mengatasi masalah pemanfaatan waduk yang berlebihan dilihat dari sudut padang fungsi utama dibangunnya waduk. Masalah eksternalitas yang terjadi dari aktivitas sekunder yang dapat mengancam keberlangsungan pembangkit listrik berkaitan dengan aturan kelembagaan. Kelembagaan dalam konteks ini terletak pada aturan main yang ditetapkan, lembaga yang berfungsi mengatur dan mengarahkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan waduk dan penegakan implementasi dari aturan main yang ditetapkan. Ketiadaan aturan main, lembaga yang berwenang dalam mengatur alokasi pemanfaatan waduk, sanksi dan lemahnya penegakan hukum dapat menimbulkan terjadinya free rider, eksternalitas dan konflik yang mengancam pelestarian dan kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu studi tentang

34 12 kelembagaan dan redesign kelembagaan dalam pengelolaan waduk diperlukan untuk menjaga keberlangsungan pasokan listrik, kehidupan petani KJA, petani pasang surut, nelayan dan masyarakat di sekitar waduk serta peningkatan ekonomi secara nasional. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan batasan penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis sumber sedimentasi utama yang berasal dari aktifitas didalam Waduk Cirata 2. Mengestimasi kerugian ekonomi PLTA Cirata 3. Menganalisis kelembagaan yang mengelola Waduk Cirata : - Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik SDA - Mengidentifikasi dan menganalisis karakateristik pengguna SDA - Mengidentifikasi stakeholder dan menganalisis interaksi antar stakeholder melalui analisis konflik - Mengidentifikasi dan menganalisis kebijakan terkait pengelolaan Waduk Cirata - Mengidentifikasi dan menganalisis unit variabel lain seperti faktor ekonomi, politik, aturan main dan teknologi - Redesign kelembagaan pengelolaan waduk

35 13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Waduk dan Common Pool Resources Berdasarkan pembentukannya, ada waduk yang terbentuk secara alami (natural lake) dan buatan (man made lake/artificial lake). Waduk buatan dikenal dengan sebutan waduk (reservoir) atau bendungan, dan waduk kecil disebut situ seperti Situ Gintung, Situ Patenggang, Situ Bagendit. (KLH, 2010). Menurut Komisi Dam Dunia yang diacu dalam artikel pusat litbang sumber daya air (2005), bendungan/waduk dikatakan besar bila tinggi bendungan lebih dari 15 meter; sedangkan embung merupakan waduk kecil yang tinggi bendungannya kurang dari 15 meter. Pustaka yang sama menyatakan bahwa baik situ, embung maupun waduk umumnya memiliki peranan yang sama, secara ekologis, ekonomis, estetika, wisata alam maupun religi dan tradisi. Secara ekologis waduk mempunyai fungsi dan manfaat sebagai tempat penampungan air, daerah resapan, dan habitat kehidupan liar, penahan intrusi air laut, sedangkan secara ekonomis berfungsi atau bermanfaat sebagai sumber air irigasi, perikanan, wisata alam, dan transportasi. Secara umum fungsi dan manfaat ekosistem waduk yaitu sebagai sumber air baku (PDAM, industri), sumber air irigasi, sumber air kebutuhan rumah tangga, tempat perikanan tangkap dan perikanan budidaya, sumber energi air untuk PLTA yang dibangun pada outlet waduk, pengendali banjir (mampu menyimpan air di waktu musim hujan), obyek pariwisata, sumber plasma nutfah (flora dan fauna endemik), pengendali iklim mikro, sarana pendidikan dan penelitian dan prasarana transportasi. Artikel pusat litbang sumber daya air menyatakan bahwa sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Komponen tata air waduk umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/outflow dan waktu tinggal air dapat diketahui dengan pasti. Danau/situ/waduk/embung merupakan salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Waduk dibangun biasanya dengan cara membendung aliran sungai dan airnya digunakan untuk berbagai pemanfaatan seperti disebutkan diatas. Tipe pemanfaatan badan air waduk dan pemanfaatan lahan didalam wilayah tanggapan

36 14 air dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas air waduk dan tata air drainase wilayah. Menurut panduan valuasi ekonomi ekosistem danau/waduk (KLH, 2010), kerusakan ekosistem waduk adalah tidak atau berkurangnya fungsi ekosistem waduk dalam memberikan manfaat sebagai dampak dari adanya perubahan, baik secara fisik maupun non fisik terhadap ekosistem yang ada. Perubahan fisik yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem waduk seperti adanya pembangunan rumah hunian di bagian tanggul waduk, terjadinya sedimentasi yang berdampak terhadap semakin menyusutnya luasan waduk. Perubahan non fisik yang dapat berdampak terhadap kerusakan ekosistem waduk seperti pembuangan limbah yang dapat mengakibatkan pencemaran perairan, dan berkurangnya populasi endemik. KLH (2010) juga menyatakan bahwa ada dua faktor penyebab terjadinya kerusakan ekosistem waduk, yaitu: karena faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem karena faktor alam adalah kerusakan ekosistem waduk yang disebabkan oleh adanya bencana alam yang berdampak terhadap terjadinya kerusakan ekosistem. Sedangkan kerusakan ekosistem karena faktor manusia adalah kerusakan ekosistem waduk yang diakibatkan oleh dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Ketersediaan sumber daya air, mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas disuatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya berdampak pada perekonomian yang terbatas pula. Hal ini mengakibatkan kondisi kemakmuran rakyat tidak tercapai. Sebagai aset suatu wilayah, danau/waduk perlu dikelola dengan bijak untuk mengurangi kerusakan ekosistem waduk agar memberikan jasa layanan yang optimal bagi kehidupan perekonomian masyarakatnya (Pusat litbang SDA, 2005). Ostrom (1990) menyatakan bahwa masalah pengelolaan sumber daya air bersifat kompleks karena tidak hanya berkaitan dengan isu ekstraksi, managemen, kepemilikan, dan kelembagaan tetapi terkait dengan faktor yang lebih luas seperti sosial, lingkungan dan pilihan-pilihan politik. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat, pembangunan dan kesejahteraan manusia. Kita perlu

37 15 mengetahui karakteristik waduk/danau untuk memahami tata kelola yang tepat dari sumber daya alam tersebut. Karakteristik ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai Common Pool Resources (CPRs). Istilah Common Pool Resources diperkenalkan secara spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1990) yang menyebutkan bahwa CPRs merujuk pada sumber daya buatan manusia atau alami yang cukup luas dan untuk membuatnya membutuhkan biaya yang besar serta dibuat untuk tujuan terbatas dengan pengguna sumber daya yang terbatas pula. CPRs dicirikan dengan sifatnya yang rivalness/substractable dan non excludable. Rivalness/ketersaingan berarti dalam pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Contoh sumber daya dengan karakteristik rivalness seperti batubara, minyak bumi, sumberdaya yang dapat diperbaharui, ikan laut (ikan) serta udara. Ostrom (1990) menyatakan bahwa untuk memahami proses pembentukan dan pengelolaan CPRs, sangat penting untuk memahami perbedaan resourse system dan resource units yang diproduksi oleh sistem yang satu sama lain memiliki ketergantungan. Resource system merupakan variabel stok yang dapat diterima dalam kondisi yang menguntungkan atau jumlah maksimum yang dapat diproduksi dari resource unit tanpa merugikan stok ataupun pengguna lain yang memanfaatkan resources system. Contoh resources system adalah bendungan/waduk, danau, saluran irigasi, padang rumput, laut dan lainnya. Resource unit adalah apa yang diambil oleh pengguna resource system. Contohnya adalah ikan yang diambil dari laut, rumput yang dikonsumsi oleh ternak di padang rumput, atau pun jumlah limbah yang diabsorp oleh sungai per tahunnya. Perbedaan antara stok sumber daya dan aliran resource unit berguna untuk melihat hubungan sumber daya yang dapat dibarui (renewable resources) dengan kemampuannya meregenerasi. Selama jumlah resources unit tidak melebihi daya regenerasinya, maka stok sumber daya tidak akan habis. Ketika sumber daya tidak lagi memiliki kemampuan untuk melakukan regenerasi, maka para penerima manfaat (beneficieries) tidak bisa lagi memanfaatkan resource unit dan akhirnya akan mati. Ostrom (1990) lebih lanjut menyatakan bahwa proses mengambil/

38 16 mengesktrak/memanfaatkan resource units dari resource system dalam istilah ekonomi dikenal dengan appropriation. Mereka yang mengambil/ mengekstrak/memanfaatkan/beneficieris disebut appropriators. Terminologi appropriator seterusnya akan digunakan untuk merujuk pada pengguna sumber daya seperti penggembala, nelayan, petani yang menggunakan irigasi, pembudidaya dan setiap orang/pihak/beneficiries yang memanfaatkan resource system. Secara sederhana, appropriator menggunakan atau mengkonsumsi resource unit yang mereka ambil (contohnya nelayan mengambil ikan untuk dikonsumsi), namun ada juga appropriator yang menggunakan resource unit sebagai input dari proses produksinya (contohnya petani yang menggunakan air untuk menghasilkan padi). Secara umum, appropriator juga bisa mentransfer kepemilikan resource unit kepada pihak lain, mereka juga disebut pengguna resource unit (contohnya nelayan menjual hasil tangkapannya kepada orang lain ketika tiba di pelabuhan). Ostrom (1990) menyatakan bahwa mereka yang mengatur sumber daya CPRs dalam rangka menghindari terjadinya degradasi lingkungan biasa disebut providers. Sedangkan untuk mereka yang secara langsung membangun, memperbaiki atau mengambil langkah-langkah penggunaan resource system untuk jangka panjang disebut producer. Provider dan producer pada umunya adalah orang yang sama, namun tidak selalu demikian. Contohnya pemerintah menyediakan sistem irigasi dengan mengatur pembiayaan dan design pembangunan. Lalu pengelolaannya diserahkan kepada petani dan masyarakat setempat. Jika masyarakat setempat diberikan kewenangan untuk mengatur pengelolaannya, mereka menjadi provider sekaligus producers dalam pengelolaan CPRs. Secara sederhana, uraian yang disampaikan oleh Ostrom (1990) diatas mengelompokkan dua masalah besar dalam menganalisis CPRs yaitu masalah provision dan appropriation. Dalam masalah appropriation, produksi berhubungan dengan input yang disediakan CPRs. Masalah muncul biasanya berkaitan dengan hubungan antara penerima manfaat yang potensial dan alokasi penggunaan sumber daya. Hal ini bisa diselesaikan dengan berbagai cara antara lain membuat persetujuan di tingkat appropriator, metode appropriation dan

39 17 alokasi output. Disisi lain, masalah provision berhubungan dengan menciptakan sumber daya, mengelola dan meningkatkan kemampuan produksi dari sumber daya atau menghindari terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan. Diskusi tipe masalah yang berhubungan dengan alokasi sumber daya memerlukan kriteria untuk mengevaluasi alokasi sumber daya. Ostrom (1990) dalam bukunya Rules, Games and Common Pool Resources menggunakan konsep ekonomi efesiensi dan pareto optimal. Ekonomi efesiensi berkaitan dengan maksimisasi discounted net present value, sedangkan Pareto optimal termasuk alokasi sumber daya dimana tidak ada individu yang membuat lebih baik tanpa mengorbankan kepentingan individu lain. Dalam masalah appropriation, bentuk fundamental untuk tingkat efisiensi appropriation dapat dilakukan dengan menyamakan marjinal cost appropriation dengan marjinal returns dari appropriation. Untuk menjawab persoalan approriation yang paling penting yaitu mencapai efesiensi. Efesiensi membutuhkan pemahaman waktu dan lokasi yang tepat, dan pemahaman bagaimana alternatif teknologi dapat mempengaruhi kepentingan yang lain. Berdasarkan pengalaman mengatasi masalah appropriation, maka diperoleh tiga bentuk masalah yang berkaitan dengan appropriation, yaitu : eksternalitas appropriation, masalah assignment dan teknologi eksternalitas. Untuk lebih memahami masalah appropriation dalam CPRs dapat dilihat pada Gambar 2. Eksternalitas dihasilkan oleh pengguna CPRs, hal ini menggambarkan bahwa produksi yang dihasilkan oleh peningkatan pemanfaatan appropriator dapat mengurangi hasil yang diperoleh oleh pengguna lain dalam aktivitas yang sama di tempat yang sama. Penggunaan yang berlebihan oleh salah satu pengguna dapat mengurangi rata-rata pengembalian biaya investasi yang dialami oleh pengguna lain. Contohnya peningkatan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan dapat mengurangi produksi nelayan lain. Dalam kasus eksternalitas produksi, rata-rata keuntungan yang diperoleh oleh semua pengguna sumber daya alam akan menurun.

40 18 Gambar 2. Framework Masalah Appropriation Model yang sederhana untuk menggambarkan masalah eksternalitas appropriation seperti yang digambarkan oleh Gordon yang diacu oleh Ostrom et al. (1994). Gordon mengilustrasikan seorang nelayan yang mengambil ikan akan terus meningkatkan ekstraksinya selama biaya investasi (marjinal input) masih belum seimbang dengan hasil yang diperoleh (marjinal returns). Dalam teori pasar neoklasik, selama marjinal return lebih rendah dibandingkan marjinal costnya maka orang cenderung untuk mencari alternatif input lain untuk lebih mengefesiensikan alokasi. Pemanfaatan sumber daya oleh seseorang yang dapat mengurangi marjinal return semua appropriator termasuk eksternalitas. Keberadaan eksternalitas ini akan menyebabkan overinvestment terhadap pemanfaatan sumber daya. Ostrom et al. (1994) menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi alokasi pemanfaatan sumber daya alam mendorong terjadinya assingment problem sehingga sering memicu konflik. Pembagian resource unit yang berbeda untuk setiap pengguna CPRs akan berdampak terhadap hasil sumber daya yang diperoleh. Sebagai contoh pembagian wilayah penangkapan ikan, terdapat wilayah hot spot dan cold spot. Untuk pembagian air irigasi sawah, ada lokasi yang mendapatkan air dari hulu sungai yang bersih dan ada yang mendapatkan air dari hilir sungai. Dalam kasus ini tidak saja penting untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan pelayanan, tetapi juga penting untuk mengetahui bagaimana

41 19 membuat kesepakatan diantara pengguna dalam memanfaatkan lokasi yang menguntungkan dan lokasi yang tidak menguntungkan. Masalah assignment akan menimbulkan inefisiensi jika tidak menemukan pemecahan masalah yang tepat. Dalam banyak kasus CPRs, konflik terjadi karena perebutan wilayah yang baik. Di berbagai tempat banyak digunakan aturan tradisi setempat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah ini (berdasarkan waktu, lokasi, tipe pengguna sumber daya dan atribute lainnya). Banyak aturan daerah yang tidak dikenal namun efektif untuk menyelesaikan assingment problems ini (Ostrom et al., 1994) Jika seorang approprior sumber daya menggunakan suatu teknologi dan hal tersebut menyebabkan peningkatan biaya pemanfaatan sumber daya pihak lain, maka hal tersebut menyebkan teknologi eksternalitas diantara pengguna CPRs. Banyak masyarakat pengguna mengatur pemakaian teknologi diantara mereka untuk mengurangi eksternal cost. (Ostrom et al., 1994) Masalah provision terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas atau menghindari degradasi produksi CPRs. Provision ini memaksa dan mengarahkan user atau pengguna sumber daya agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan/penjagaan CPRs. Masalah ini terbagi dalam 2 identifikasi, yaitu dari sisi demand dan sisi supply. Sisi Demand berarti membatasi demand dengan pembatasan laju pemanfaatan sehingga tidak melebihi daya dukung kemampuan regenerasinya. Sedangkan yang dimaksud dengan sisi supply adalah rekonstruksi dan maintenance CPRs agar dapat memberikan jasa yang berkelanjutan. Untuk lebih memahami mengenai masalah provision, Gambar 3 dibawah ini akan memberikan gambaran mengenai kerangka masalah provision sesuai yang disampaikan Ostrom et al. (1994) Sumber masalah utama dari sisi demand adalah dampak appropriator dalam kapasitas produksi sumber daya. Sebagai contoh, peningkatan penangkapan ikan pada titik kritis akan mengurangi stok ikan sehingga kapasitas produksi akan menurun. Solusi untuk masalah demand ini harus melibatkan maksimisasi discounted present value of rate return. Secara eksterm, jika discount rate yang digunakan tidak cukup kuat untuk mengurangi ekstraksi sumber daya, maka akan

42 20 terjadi kepunahan spesies biologi sebagai konsekuensi peningkatan ekstraksi yang berlebihan dibandingkan pengambilan sumber daya yang aman. Gambar 3. Framework Masalah Provision Sumber masalah utama dari sisi supply adalah adanya insentif individu terhadap free rider dalam aktivitas ekstraksi sumber daya. Secara konseptual, sisi supply pada situasi CPRs paralel dengan teori dan literatur empiris tentang public good provision. Senada dengan pure public good provision, fasilitas CPRs tidak akan bersih dari free rider sebab sangat sulit untuk memonitor atau menjaga akses sumber daya. Masalah pengelolaan akan muncul berkaitan dengan ketersediaan/stok resource unit. Rasionalitas terkait dengan masalah appropriator dan situasi CPRs adalah rationalitas individu yang terbatas. Pilihan individu sangat dipengaruhi oleh behaviour dimana hal tersebut menentukan bagaimana individu tersebut memandang, belajar dan menimbang untung rugi dari tindakan yang diambil dalam menangani dan mengelola sumber daya alam. Pengorganisasian masyarakat untuk melakukan aksi bersama terhadap pengelolaan CPRs sangat tidak menentu dan diperhadapkan pada masalah yang kompleks. Ketidakpastian ini bisa berasal

43 21 dari faktor eksternal dan internal. Kuantitas dan waktu musim hujan, temperatur dan kondisi cuaca, ada atau tidaknya wabah dan harga pasar yang bervariasi yang mempengaruhi input dan produk akhir, merupakan faktor-faktor eksternal. Kurangnya pengetahuan juga merupakan sumber utama dari ketidakpastian. Namun hal ini akan berkurang seiring dengan waktu karena berkembangnya media belajar dan berkembangnya pengetahuan lokal. Trial and error learning juga dilakukan oleh para appropriator dalam mengatasi masalah pengelolaan sumber daya. Banyak tindakan yang dilakukan tanpa pertimbangan dan pengetahuan yang cukup tentang konsekuensi yang akan mereka hadapi. Semakin lama, appropriator akan semakin memahami kondisi fisik sumber daya secara lebih akurat dan apa yang mereka harapkan dari perilaku orang lain. Appropriator di berbagai CPRs sangat termotivasi untuk mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi, jika mereka mampu. Kondisi ekonomi appropriator mempengaruhi kecakapan mereka dalam mengatasi masalah atau menyelesaikan masalah bersama. Informasi yang lengkap dan akurat dari lokal appropriator bisa menggambarkan situasi mereka dari waktu ke waktu tergantung dari jumlah appropriator yang bergabung, kompleksitas situasi dan stabilitas faktor yang mempengaruhi tingkah laku individu dan respon dari resource system. Masalah aksi bersama berkaitan dengan CPRs berhubungan dengan discount future benefit (keuntungan yang diterima di masa depan) dan hal tesebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam sektor perikanan, sebagai contoh, discount rate dari nelayan lokal yang tinggal disekitar desa akan berbeda dengan nelayan yang menggunakan pukat harimau besar untuk mendapatkan ikan disepanjang garis pantai. Waktu di masa depan bagi nelayan lokal sangat penting, karena mereka mengharapkan anak cucu dapat tinggal di lokasi yang sama dan tetap dapat mengambil ikan untuk kehidupan mereka. Sementara nelayan yang berpindahpindah, akan mencari tempat untuk mendapatkan ikan yang lain ketika ikan lokal tidak ada lagi. Discount rate dipengaruhi oleh tingkat fisik dan kekuatan ekonomi appropriator. Discount rate juga dipengaruhi oleh norma yang berkembang di masyarakat dalam skala yang luas maupun masyarakat lokal, tergantung kepentingan relatif terhadap masa depan dibandingkan saat ini (Ostrom et al., 1994)

44 22 Secara umum penggunaan sumber daya tergantung pada faktor kelompokkelompok yang ada di masyarakat. Menurut Dolsak&Ostrom (2003), hubungan antara faktor-faktor tersebut dan CPRs dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini : Gambar 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan CPRs Dolsak&Ostrom (2003) menyatakan bahwa kontribusi yang paling mempengaruhi kerangka pemikiran tersebut yaitu Institutions Governing Resources Use. Faktor eksternal ekonomi lingkungan sangat mempengaruhi preferences dan aset. Dua faktor eksternal pasar yang sangat penting yaitu pasar barang dan jasa yang diperoleh dari CPRs dan pasar yang menyediakan alternatif sumber pendapatan untuk pengguna sumber daya. Politik dan legal enviroment juga mempengaruhi kelembagaan yang mengatur penggunaan CPRs. Aktor dalam eksternal legal enviroment dapat memberikan saran-saran untuk pengelolaan CPRs, memberikan legitimasi kepada pengguna CPRs sehingga memungkinkan mereka untuk mengatur kelembagaan dan mengimplementasikan aturan-aturan dengan benar, dan mampu mengatur bagaimana interaksi kelembagaan dalam berbagai level. Kekuatan politik mempengaruhi kebijakan yang dipilih. Teknologi mempengaruhi kelembagaan pengelolaan CPRs secara tidak langsung, dengan adanya metode untuk monitoring penggunaan CPRs ataupun menempatkan pekerja ahli dalam melakukan ekstraksi sumber daya alam.

45 23 Karakteristik spesifik untuk jenis CPRs tertentu dan penggunanya sangat mempengaruhi pengelolaan sumber daya tersebut. Semakin sama jenisnya, sederhana dan dalam skala yang kecil, maka semakin mudah untuk mendesign struktur kelembagan sehingga semakin terlindungi sumber daya tersebut dari degradasi dan penggunaan berlebihan. Sumber daya yang kompleks dengan berbagai interaksi dan eksternalitas negatif biasanya sangat sulit dikelola. Karakteristik individu pengguna CPRs, seperti preferensi, aset dan karakteristik dari kelompok (koherensinya, tingkat kepercayaan, homogenitas, besarnya kelompok) mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumber daya. CPRs kemudian dipengaruhi oleh kelembagaannya, pengelolaan kelembagaan itu sendiri dan ketersediaan teknologi (Dolsak&Ostrom, 2003) 2.2 Property Right Menurut Hidayat (2010), property right atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut kepada pihak lain. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa barang (fisik), jasa, informasi/pengetahuan yang bersifat intangibel. Property sangat penting dalam perekonomian karena berkaitan dengan kepastian penguasaan faktor-faktor produksi dimana sumber daya alam merupakan salah satu dalam faktor produksi tersebut. Karakteristik property rights terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, Ekslusivitas, berarti pemanfaatan/nilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakan, secara eksklusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut. Kedua, Tranferable, yang berarti seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik yang lain secara sukarela melalui jual beli, hibah, sewa dan lainnya. Ketiga, enforceability, yang berarti hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormasi dan dijamin dari praktek perampasan pihak lain. Tipe property right berdasarkan Ostrom (1990) membagi rezime kepemilikan menjadi 4 yaitu : rezim kepemilikan individu (Private property regime), yakni kepemilikan pribadi atas sesuatu dimana hak atas sesuatu tersebut melekat pada pemiliknya, sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya. Rezim kepemilikan bersama (common

46 24 property regime), yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut. Rezim kepemilikan negara (state property regime), memiliki ciri bahwa hak kepemilikkan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, dan individu tidak boleh memilikinya; dan rezim akses terbuka atau tanpa kepemilikan (open acces regime) yang berarti tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban. Biasanya open acces terjadi pada sumber daya dengan skala besar, dan sulit dijangkau untuk penegakkannya. Sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah telah memberikan komitmen peluang usaha kepada penduduk yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk dan juga penduduk sekitar. Salah satu peluang usaha tersebut adalah KJA. Bentuk hak yang diberikan kepada pemerintah tersebut termasuk dalam Common Property regime, yang berarti hak kepemilikan sumber daya secara milik bersama, karena itu siapapun yang mengaku penduduk setempat dan sekitarnya dapat masuk berinvestasi dalam budidaya KJA di kawasan ini. Ostrom (1990) menyebut common property sebagai Common pool resources (CPR s). Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa masalah keterbatasan dalam mengkonsumsi sumber daya timbul karena adanya kecenderungan overuse (penggunaan yang berlebihan) sehingga sangat mengganggu potensi orang lain untuk memanfaatkannya. Kecenderungan overuse tersebut dapat menyebabkan congestion yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand pada waktu-waktu tertentu. Contoh di jalan raya terjadi kemacetan jalan, karena banyak mobil, sementara ruang jalan sangat terbatas. Sumberdaya ruang jalan tersedia secara jangka panjang (tidak cepat habis) akan tetapi pada waktu tertentu (pada pagi dan sore jam berangkat/pulang kerja) menjadi terbatas. Menyangkut masalah kepemilikan CPRs diatas, muncul adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat, adanya masalah free rider, yakni adanya pihakpihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kecenderungan free rider yang melampaui batas akan mengancam

47 25 pada keberlanjutan sistem produksi. Kecenderungan pemanfaatan berlebihan (overuse) dan adanya free rider merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumber daya-sumber daya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat mencegah atau menghindarinya (Rustiadi et al., 2009) Ostrom (1990) menyatakan bahwa salah satu masalah utama yang terkait dengan penggunaan sumberdaya common-pool adalah biaya untuk membatasi/mencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap (free rider) dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturanaturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan biaya transaksi pengendalian (social cost) masih lebih rendah dari manfaat (social benefit). Masalah tersebut seringkali muncul dalam pengelolaan sumber daya alam dan memberikan dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumber daya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung. Tingginya biaya tersebut tercermin dari faktor produksi yang lebih besar dari yang semestinya dalam mengeksploitasi sumber daya. Solusi untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas yakni memberikan hak pemilikan (assigning property rights), internalisasi dan pemberlakuan pajak (Pigouvian tax). Eksternalitas dan solusi yang ditawarkan akan dibahas pada sub bab Eksternalitas. Rustiadi et al. (2009) juga menegaskan bahwa debat mengenai CPR s pada dasarnya mencakup dua isu penting yaitu: (1) konsep yang berkaitan dengan sistem pengelolaannya, dan (2) hak kepemilikan yang menyertainya. Rustiadi et al. (2009) lebih lanjut menyatakan bahwa teori tragedi of the common yang dipopulerkan oleh Hardin pada tahun 1960-an merupakan salah satu fenomena pengelolaan sumber daya alam tersebut. Tragedi of the common terjadi apabila seseorang membatasi penggunaan sumberdaya yang terbatas namun tetangganya (masyarakat lainnya) tidak melakukannya. Akibatnya, sumberdaya akan mengalami penurunan (ruin) dan orang yang membatasi penggunaan sumberdaya tadi akan tetap kehilangan keuntungan jangka pendek akibat alokasi yang dilakukan orang tersebut. Tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau

48 26 sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya. Pemindahan hak milik (penguasaan) kadang-kadang mengganggu keberlanjutan ketersediaan sumberdaya, akibat berubahnya perilaku masyarakat atas sumberdaya dimana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik menjadi sumberdaya yang dieksploitasi. Proses transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikelola oleh masyarakat (adat) lokal menjadi sumberdaya miliki negara di berbagai negara telah mengarahkan pada: (1) penghilangan kelembagaan kearifan lokal; (2) terjadinya situasi dimana kapasitas monitoring dan kontrol institusi negara menjadi lemah, terutama pada sumber daya-sumber daya yang berskala luas dan kompleks yang diklaim sebagai kekuasaan negara, dan (3) pemanfaatan sumber daya yang terjebak pada kondisi de facto open access dan kecenderungannya para pihak menjadi berlomba untuk memanfaatkan sumber daya sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing. Sehingga pemilikan dan pengelolaan oleh pemerintah yang diduga merupakan satu-satunya solusi pelaksanaan secara universal untuk tragedy of the common secara serius terbantahkan oleh fakta-fakta ini. Menurut Rustiadi et al. (2009), argumen Hardin didasarkan atas dua asumsi, yaitu: (1) pengawasan dengan sifat memaksa dapat berjalan secara efektif melalui pembentukan norma-norma internal atau pembentukan kewajiban pada semua pemakaian sumberdaya, dan (2) kesepakatan dalam aturan yang dicapai dalam suatu negara, umumnya pada pemerintahan nasional, karena pada pemerintah lokal dan informal serta lembaga non pemerintah tidak dapat membangun cara yang efektif untuk melindungi atau memperbaiki keadaan yang mengarah pada tragedi. Kebijakan yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common-property yang dimiliki komunitas lokal menjadi properti pemerintahan negara telah terbukti menjadi preseden yang buruk bagi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya. Di berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering kali tidak memiliki personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi sumber daya. Kelembagaan yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengatasi tragedi ini merupakan aturan-aturan yang dibangun masyarakat untuk menentukan dilakukan atau tidak dilakukan berkaitan dengan situasi tertentu. Banyak tipe

49 27 pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk mencoba mengurangi permasalahan diatas. Oleh karena setiap sumber daya memerlukan penanganan yang spesifik, maka perlu hasil evaluasi tipe pengaturan kelembagaan baik yang berhasil dikembangkan maupun yang tidak sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi pengelolaan sumber daya di wilayah lain. Karenanya, rekonstruksi kelembagaan yang ada sangat penting untuk mengevaluasi kinerja dan output yang dihasilkan, apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan. 2.3 Keramba Jaring Apung (KJA) Kolam budidaya jala terapung merupakan budidaya ikan intensif yang merupakan ciri penebaran ikan yang tinggi dan ditunjang dengan pemberian makan yang terencana. Tehnik budidaya jala terapung kini tidak hanya dikembangkan di laut tetapi juga di perairan air tawar seperti danau dan waduk. Metode dalam pemeliharaan ini, kantong jala merupakan pembatas ruang gerak ikan sedangkan masa air perairan merupakan media hidup. Pemeliharaan ikan terapung ini mula-mula diuji coba di waduk Jatiluhur pada tahun Budidaya ikan dalam keramba di Waduk Cirata secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1986 dan perkembangan paling pesat baru dimulai pada tahun 1988 (Fausia et al., 1996) Fausia (1994) menyatakan lokasi yang tepat untuk budidaya ikan air tawar dengan menggunakan metode keramba jaring apung adalah danau, telaga, waduk atau rawa. Lokasi pemasangan keramba jaring apung harus memenuhi aspek tehnis dan aspek sosial ekonomis seperti : kedalaman perairan minimal 10 meter, kualitas air memenuhi persyaratan hidup ikan, bebas dari pencemaran air, bukan alur lalu lintas kapal, tidak merusak kelestarian lingkungan, kemudahan transportasi, ketersediaan bahan dan pakan, dekat dengan daerah pemasaran, kemudahan suplai benih, keamanan terjamin, legalitas lokasi budidaya, dan ketersediaan tenaga kerja. Waduk Cirata memenuhi kriteria aspek-aspek pembudidayaan keramba jaring apung tersebut sehingga mulai dikembangkan pada saat selesai dibangunnya waduk pada tahun Pada umumnya, konstruksi bagian atas keramba jaring apung memiliki bentuk yang sama, yang membedakan hanya ada dan tidaknya bangunan kayu

50 28 (rumah) yang digunakan sebagai rumah jaga, gudang pakan, peralatan atau tempat berteduh. Walaupun tidak terlihat dari permukaan, perbedaan yang jelas adalah bagian jaringnya. Pada budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata biasanya menggunakan dua lapis jaring, jaring bagian atas yang terdiri dari satu petak atau lebih dipergunakan untuk membesarkan ikan mas, kemudian dibawahnya dipasang jaring yang disebut jaring kolor untuk pembesaran nilai. Ukuran rangka luar kolam jaring apung 15,8 m x 15,8 m (250 m 2 ). KJA terdiri dari dua lapis. Lapis pertama terdiri dari 4 kolam/jaring, lapis kedua terdiri dari 1 kolor. Lapor pertama diisi satu jaring ukuran 7 x 7 x 4 m 3 dengan diameter mata jaring 0,75 dan tiga jaring ukuran sama dengan diameter mata jaring 1. Lapis kedua (kolor) yang digunakan berkurukuran sesuai luas rangka luar (250 m 2 ) dengan kedalaman 6 m dan diameter mata jaring 1,25. Bagian-bagian keramba jaring apung : rakit/geladak, karamba, pelampung, rumah jaga, pemberat, dan jangkar. Jenis ikan yang umum dibudidayakan di jaring terapung air tawar adalah ikan mas dan ikan nila, namun ada beberapa jenis lainnya dengan jumlah yang relatif sedikit, yaitu ikan patin (jambal siam), bawal dan gurame. Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial berupa pellet kering. Ikan mas biasanya diletakkan di jaring lapis pertama dan ikan nila yang lebih tahan penyakit diletakkan pada kolor/lapis kedua. Ikan nila ini pun tidak diberikan pakan, hanya memakan remah-remah dari lapis pertama dan makan peryphyton (sejenis alga) yang menempel pada jaring. KJA menurut hukum property right merupakan private property, karena dimiliki oleh seseorang yang jelas dapat teridentifikasi. Keuntungannya dinikmati oleh pemilik karamba, bisa dipindahtangankan kepemilikannya dan hak kepemilikannya bisa dijamin oleh pengelola. Sebagai private property, KJA ternyata tetap menjadi masalah karena pemanfaatannya berada di ruang publik yang mengandung ciri-ciri rivalness dan non-excludable. Dimana pemakaian ruang untuk karamba oleh satu pihak akan mengurangi pihak lain dalam menggunakan ruang yang sama. Luasnya waduk juga menjadikan kegiatan KJA ini sulit dikontrol dan dimonitor oleh pengelola. Hal lain menyebabkan aktivitas KJA akhirnya membawa dampak negatif bagi lingkungan.

51 29 Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan waduk yang tersedia, kelestarian sumber daya, kemudahan dalam proses produksinya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomis. Penelitian Sudrajat (2009) menghasilkan surplus produsen yang diterima oleh RTP rata-rata sebesar Rp ,00/tahun. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya pihak luar yang menanamkan modalnya untuk bisnis KJA. Dibuktikan dengan semakin berkembangnya jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu. Hasil sensus terakhir yang dilakukan oleh BPWC pada tahun 2011, jumlah KJA mencapai petak dengan jumlah pemilik sebanyak RTP (rumah tangga petani), secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8 (Delapan). Dari hasil invetarisasi KJA di Waduk Cirata, telah terjadi peningkatan KJA sebanyak 39,17% jika dibandingkan dengan sensus pada tahun 2003, sedangkan jumlah pemilik menurun sebesar 3,87%. Hal ini dikarenakan beberapa kasus kematian ikan massal yang terjadi beberapa waktu lalu menyebabkan beberapa RTP yang hanya memiliki beberapa petak KJA mengalami kebangkrutan dan menjual asetnya kepada pihak lain yang memiliki lebih banyak petak KJA. 2.4 Eksternalitas Adanya kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak yang mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak yang mempengaruhi tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak merupakan eksternalitasi (Fauzi, 2004). Eksternalitas merupakan fenomena yang sering dihadapi dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini sangat penting untuk diketahui karena akan menyebabkan alokasi sumber saya yang tidak efesien. Efesiensi alokasi itu sendiri dimungkinkan terkait dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) yang ada di Waduk Cirata. Solusi untuk mengatasi eksternalitas seperti disebut diatas dapat dilakukan dengan cara memberikan hak kepemilikan, internalisasi, privatisasi atau pemberlakuan pajak. Pemberian hak kepemilikan sangat tergantung pada biaya transaksi. Berdasarkan teori Coase (Fauzi, 2004) biaya transaksi positif maka pemberian hak

52 30 kepemilikan tidak sepenuhnya menghilangkan eksternalitas, namun hanya menguranginya; pemberian hak ini akan efektif jika tahu persis siapa yang memberikan eksternalitas; pemberian hak ini akan mensejahterakan pemilik sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya eksternalitas. Pemberian hak kepemilikan hanya meningkatkan manfaat dari pertukaran (gain from trade) atas eksternalitas. Kerusakan bisa dihitung dan tawar menawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi. Fauzi (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa salah satu instrumen ekonomi lain yang digunakan untuk menghilangkan eksternalitas adalah melalui internalisasi. Internalisasi merupakan upaya untuk menginternalkan dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha. Pembayaran pajak juga bisa dilakukan dengan cara pencemar membayar akibat kegiatannya yang mencemari lingkungan. Aktivitas KJA yang melebihi daya dukung lingkungan ternyata telah menghasilkan eksternalitas. Salah satu bentuk ekternalitas adalah sedimentasi dan menurunnya kualitas air yang berdampak terhadap budidaya perikanan itu sendiri maupun PLTA sebagai pengguna lain dari waduk. Walaupun sumber sedimentasi bisa berasal dari sektor hulu maupun aktivitas disepanjang DAS, namun jumlah KJA yang telah melebihi kapasitas asimilasi lingkungan perlu dikendalikan agar terjadi efesiensi alokasi sumber daya waduk. Penelitian Rahmani (2012) mengenai kajian biaya eksternalitas pada budidaya KJA telah memasukkan faktor lingkungan dalam proses produksinya. Biaya lingkungan yang dimasukkan berupa biaya pengerukan sedimentasi, hasil rata-rata biaya produksi 1 Kg ikan mas sebesar Rp11.776,27 tanpa biaya lingkungan dan Rp11.825,01 dengan biaya lingkungan. Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan biaya produksi tidak terlalu besar jika memasukkan faktor lingkungan yang dapat digunakan sebagai kompensasi kepada pihak PLTA untuk digunakan mengatasi masalah lingkungan. Namun hal ini masih perlu ditelaah lebih lanjut, apakah jumlah kompensasi yang diberikan oleh aktivitas KJA mampu memenuhi kerugian yang diderita oleh PLTA. Fauzi (2004) menyatakan bahwa ada solusi lain yang direkomendasikan untuk mengatasi tragedy of the common yaitu privatisasi sumber daya. Walaupun

53 31 regim common property juga sebuah bentuk private property, privatisasi sering digunakan pada kasus hak pengelolaan sumber daya dialokasikan untuk individu dibandingkan untuk kepentingan kelompok, dan individu tersebut bebas untuk menjual haknya kepada pihak lain. Privatisasi sebetulnya bukanlah cara yang sempurna untuk mengatasi eksternalitas, karena individu/perusahaan penerima hak tidak menandatangani keseluruhan hak, hanya hak untuk mengakses dan menggunakan sumber daya dan mentransferkan hak mereka kepada pihak lain jika menginginkannya. Banyak CPRs yang sudah diprivatisasikan, sebagian berhasil mengurangi terjadinya eksternalitas, sebagian lagi tidak berhasil. Tantangan dalam privatisasi menurut Dolsak&Ostrom (2003) adalah merancang design kelembagaan yang memastikan susitanability dan efesiensi pengelolaan sumberdaya dengan karakteristik yang spesifik sehingga dapat memberikan legalitas eksternal dan aturan untuk menjaga lingkungan. Tidak semua bentuk kelembagaan tepat untuk diterapkan pada jenis CPRs yang lain.

54 32

55 33 BAB 3 KERANGKA PEMIKIRAN Dasar perencanaan penelitian untuk estimasi kerugian PLTA akibat sedimentasi dan analisis kelembagaan dapat dilihat dalam rangkuman kerangka pemikiran yang tertuang dalam diagram dibawah ini : Gambar 5. Kerangka Berpikir Penelitian Waduk Cirata dibangun dengan tujuan utama sebagai pembangkit tenaga listrik yang diharapkan dapat memenuhi pasokan energi listrik untuk pulau Jawa dan Bali, serta dipersiapkan jika terjadi beban puncak yang tinggi terhadap kebutuhan listrik atau disiapkan menjadi keterandalan/cadangan litrik bagi kebutuhan energi listrik sistem interkoneksi Pulau Jawa dan Bali. Sejalan dengan pembangunannya, pemerintah menetapkan 1 persen wilayah waduk boleh dipergunakan untuk kegiatan budidaya perikanan air tawar bagi masyarakat setempat sebagai kompensasi atas kehilangan tanah dan mata pencaharian penduduk yang wilayahnya tergenang air yang tertuang dalam Surat Keputusan

56 34 Gubernur No. 41 Tahun Sehingga muncul budidaya perikanan air tawar dengan teknologi KJA di perairan Waduk Cirata. Aktivitas perikanan di dalam waduk ternyata membawa keuntungan yang cukup besar dan tidak membutuhkan perijinan yang rumit sehingga mengakibatkan banyak pihak di luar masyarakat setempat yang tertarik untuk usaha budidaya ini. Ketiadaan kelembagaan yang mengatur perijinan dan proses memulainya usaha budidaya ini menyebabkan jumlah KJA semakin meningkat dari tahun ke tahun hingga menyebabkan masalah lingkungan yang cukup serius yaitu kualitas air yang semakin memburuk dan penumpukan sisa pakan dan feses ikan yang dapat menyebabkan sedimentasi. Hal ini terlihat dari data pengukuran sedimentasi waduk yang sudah melebihi design pembangunan Waduk Cirata. Selain adanya akitivitas perikanan yang terdapat di dalam waduk, ternyata aktivitas outside pun memberi kontribusi terhadap sedimentasi di Waduk Cirata. Cirata sebagai waduk kaskade yang berada di antara Waduk Saguling di hulu dan Jatiluhur di hilir, pasti menerima air buangan dari Waduk Saguling. Aktivitas pertanian yang tinggi di Saguling dan limbah buangan pertanian yang banyak mengandung bahan kimia pestisida turun menuju waduk Cirata. Partikel-partikel sedimen yang diduga dapat terperangkap di Waduk Saguling dan membawa air yang relatif bersih ke Cirata ternyata tidaklah demikian, kenyataannya masih tingginya sedimentasi di Waduk Cirata. Hal ini bisa disebabkan karena tingginya tingkat erosi di hulu-hulu sungai yang bermuara di Waduk Cirata yang membawa partikel-partikel dan menumpuk di dasar waduk. Tingkat erosi ini disebabkan oleh tingginya konversi lahan dari hutan menjadi lahan pemukiman atau industri. Konversi lahan menjadi pemukiman menjadi indikasi pula bahwa semakin tingginya jumlah penduduk yang mendiami bantaran sungai. Akibat langsung dari indikasi tersebut adalah limbah rumah tangga yang biasanya langsung dibuang ke sungai, terbawa arus dan bermuara di waduk. Adanya aktivitas industri yang berada di sekitar DAS sungai-sungai yang bermuara di Waduk Cirata juga memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas air dan sedimentasi karena limbah industri yang tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu. Kedua aktivitas yang berasal dari dalam waduk dan hulu sungai-sungai serta air buangan dari Waduk Saguling di hulu sungai Citarum telah berkontribusi

57 35 terhadap tingkat sedimentasi di Waduk Cirata. Akibat dari sedimentasi ini ternyata membuat umur waduk berkurang karena kualitas air yang buruk dapat membuat korosif beberapa alat pembangkit dan mengurangi umur operasionalnya. Di kemudian hari hal ini akan mengakibatkan produksi listrik pun akan menurun atau berkurang masa pelayanannya. Dampak luas yang terjadi adalah kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena tingginya biaya operasional dan maintenance untuk perawatan alat-alat pembangkit sehingga menurunkan profit atau keuntungan PLTA. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis estimasi kerugian ekonomi yang diakibatkan sedimentasi, terutama terhadap fungsi utama dibangunnya waduk sebagai pembangkit listrik. Estimasi kerugian ekonomi PLTA ini akan didekati dengan menghitung besarnya biaya maintenance dan operasional dan penurunan keuntungan dari data produksi listrik yang dihasilkan PLTA. Untuk melihat tata kelola pemanfaatan waduk, maka penelitian ini juga mengkaji bagaimana pengaturan kelembagaan yang berjalan saat ini. Bagaimana harapan para aktor dalam pengelolaan Waduk Cirata yang lestari. Analisis kelembagaan dilakukan dengan melihat analisis struktur kelembagaan yang mencangkup identifikasi institusi yang berwenang dalam pengelolaan waduk, identifikasi peran dan tanggungjawab dari masing-masing institusi yang ada, identifikasi hubungan antara berbagai institusi yang bersama-sama melakukan pengelolaan waduk dan analisis konflik yang pernah ada diantara berbagai aktor dan institusi yang ada di Waduk Cirata. Selanjutnya akan dilakukan analisis infrastruktur yang mencakup aturan main yang berlaku di masing-masing institusi, analisis kontent peraturan-peraturan tersebut dan bagaimana implementasi dari peraturan yang berlaku dalam insitusi tersebut. Dari kedua analisis tersebut akan diperoleh data-data untuk menyusun design kelembagaan baru yang tepat dalam menjawab persoalan mengenai tingginya tingkat sedimentasi yang menyebabkan kerugian baik jangka pendek maupun jangka panjang.

58 36

59 37 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan perairan Waduk Cirata yang meliputi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung Barat. Terdiri dari 6 kecamatan dan 15 desa yang terletak di pinggiran Waduk Cirata. dan daerah bendungan PLTA UP-PJB dan BPWC yang berada di Desa Cadas Sari, Kecamatan Tegal Waru, Plered, Kabupaten Purwakarta. Gambar lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1 (Satu). Pengumpulan data, pengolahan dan penulisan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Tabel 6 dibawah ini adalah matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini : Tabel 6. Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1 Identifikasi Sumber Sedimentasi Data Primer Data Sekunder Analisis Statistika Descriptive 2 Estimasi Kerugian Ekonomi PLTA Data Primer Analisis Benefit dan Cost 3 Analisis Kelembagaan - Identifikasi dan analisis interaksi pengguna SD - Identifikasi dan analisis karakteristik SD Data Primer Data Sekunder Data Primer Data Sekunder - Identifikasi dan analisis kebijakan Data Primer Data Sekunder - Identifikasi dan analisis variabel Data Primer unit lain : ekonomi, politik, kebijakan dan teknologi Data Sekunder - Redesign Kelembagaan Data Primer Data Sekunder Analisis stakeholder dan analisis konflik Analisis Deskriptif Analisis Kontent dan Analisis Gap Pendekatan Dolsak dan Ostrom (2003) Pendekatan Dolsak dan Ostrom (2003)

60 38 Data primer diperoleh langsung dari responden terpilih melalui wawancara secara mendalam dengan pertanyaan-pertanyaan terstruktur berupa kuesioner dan diskusi terfokus FGD untuk analisis kelembagaan. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan data-data statistik yang berasal dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung Barat, Instansi BPWC, BPS, PT PJB, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi. Untuk estimasi kerugian PLTA wawancara dilakukan langsung dengan petugas PLTA dan seksi terkait untuk pengambilan data keuangan dan data produksi. Secara lengkap jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2 (Dua). 4.3 Metode Pengambilan Sampel Untuk identifikasi sumber sedimentasi sektor rumah tangga, industri, pertanian dan perikanan (KJA) dilakukan secara cluster random sampling. Clustering didasarkan pada pembagian keempat sektor diatas. Mengingat luasnya wilayah pengamatan yang meliputi tiga kabupaten yaitu Cianjur, Bandung Barat dan Purwakarta, maka pemilihan sampling didasarkan atas area geografis tertentu. Area geografis yang dimaksud yaitu kecamatan-kecamatan yang terletak di pinggiran waduk. Pemilihan sample berikutnya ditentukan berdasarkan sub set tertentu, yaitu dipilih desa-desa yang berada di sekitar genangan dan menjadi sentra perikanan KJA dari masing-masing kabupaten. Untuk identifikasi sumber sedimentasi pada sektor pertanian dan industri, maka terlebih dahulu akan dilakukan identifikasi luas lahan dan pemiliknya serta jumlah industri yang berada di sekitar waduk. Selanjutnya dari hasil jumlah identifikasi tersebut akan dilakukan pemilihan secara acak dengan besarnya jumlah sample proporsional. Adapun untuk menghitung besarnya jumlah sampel di masing-masing desa dan sektoral dilakukan dengan mengaju pada Fauzi (2001) dengan rumusan sebagai berikut: n = Dimana :

61 39 n = jumlah sampel yang diambil N = Jumlah populasi Z = Standar deviasi yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan (95%) d = Tingkat akurasi/presisi (10%) Berdasarkan perhitungan besaran sample diatas, maka dapat ditentukan besarnya jumlah sample wilayah penelitian untuk cluster sektor rumah tangga meliputi 3 Kabupaten, 6 kecamatan dan 15 desa, dengan jumlah responden sebesar 284 orang. Penentuan jumlah responden di setiap desa dilakukan secara proporsional dan pemilihan responden di masing-masing desa akan dilakukan secara acak. Mengingat kondisi wilayah yang akan diteliti bersifat homogen yang dicirikan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang relatif sama, besarnya skala usaha yang dimiliki hampir serupa dan kondisi tempat tinggal yang sama, maka pengambilan sample dilakukan sebanyak 50 responden yang mewakili masingmasing cluster; sehingga total untuk tiga cluster sebanyak 150 sample (Lihat Tabel 7). Adapun jenis kuesioner dibagi menjadi empat sektor dengan masingmasing sektor dilengkapi dengan kuesioner data demografi responden yang terdapat pada kuesioner sektor rumah tangga domestik. Kuesioner sektor rumah tangga domestik, sektor pertanian, sektor perikanan dan sektor usaha berturutturut terdapat pada Lampiran 3, 4, 5 dan 6. Untuk analisis kelembagaan, penentuan responden dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi terhadap jenis lembaga yang ada di tiga zonasi waduk sesuai zona pembagian wilayah pengelola waduk, yaitu Zona Bandung Barat, Purwakarta dan Cianjur. Kelembagaan yang sejenis akan dilakukan wawancara dan FGD dengan sampling secara acak yang mewakili tiga zona wilayah tersebut. KII juga akan dilakukan terhadap tokoh-tokoh kunci yang berperan dalam pengelolaan waduk dengan menggunakan panduan pertanyaan seperti terdapat pada kusioner FGD dan KII pada Lampiran 7 (Tujuh). Adapun kelompok yang telah diwawancarai terdapat pada Tabel 8 (Delapan).

62 40 Tabel 7. Pembagian Besarnya Jumlah Responden per-unit Desa Penelitian Kabupaten Desa Kecamatan Jumlah Jumlah RT Sample Margalaksana Cipeundeuy Margaluyu Cipeundeuy Bandung Barat Nanggeleng Cipeundeuy Nyenang Cipeundeuy Bojong Mekar Cipeundeuy Citamiang Maniis Purwakarta Sinar Galih Maniis Tegal Datar Maniis Pasir Jambu Maniis Bobojong Mande Mande Mande Cianjur Cikidang Bayangbang Mande Kertajaya Tanggeung Gunung Sari Sukanagara Kamurang Cikalongkulon TOTAL Tabel 8. Daftar Kelompok Target Wawancara dan FGD No Kelompok Sasaran Target (Kel) 1 BPWC 1 2 PT. PJB 1 3 Dinas Perikanan Kab. Cianjur 1 4 Dinas Perikanan Kab. Purwakarta 1 5 Dinas Perikanan Kab. Bandung Barat 1 6 Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat 1 7 Kelompok Petani Ikan ASPINDAC 3 8 Kelompok Petani Ikan Non ASPINDAC 3 9 ASPINDAC 1 10 GPMT 1 11 Penjual Pakan/pemilik gudang 3 TOTAL Metode Analisis Data Estimasi Kerugian Pendekatan untuk estimasi nilai kerugian PLTA dilakukan dengan menggunakan analisis cost dan benefit. Data benefit dapat memperlihatkan trend

63 41 produksi yang diperoleh selama siklus project berjalan dan kita dapat mengetahui terjadinya perubahan produksi listrik yang dihasilkan dengan kondisi sedimentasi yang ada saat ini. Perubahan produksi ini akan mempengaruhi keuntungan atau benefit suatu proyek. Pendekatan cost dilakukan untuk mengukur tingkat kerugian yang dialami oleh PLTA. Dengan melihat trend biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional dan maintenance, maka kita dapat melihat apakah terjadinya sedimentasi dapat menyebabkan biaya yang semakin tinggi terhadap operasional peralatan dan maintenance berjalannya proyek. Cost yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi hanya operational cost dan maintenance cost, karena kedua komponen tersebut yang paling mempengaruhi nilai keuntungan atau kerugian PLTA, sedangkan Benefit yang dimaksud adalah produksi listrik dalam satuan KWh. Perhitungan total cost dan benefit merupakan penjumlahan dari cost operasional dan maintenance dan produksi listrik yang dihasilkan selama periode proyek dimulai sampai dengan dengan berakhirnya proyek PLTA. Berdasarkan hasil wawancara dengan staf PT. PJB, umur proyek diperkirakan dari besarnya tampungan mati (dead storage) yang dipersiapkan pada saat pembangunan waduk untuk menampung sedimen. Hasil perhitungan staf PT. PJB, umur waduk pada elevasi +185 diperkirakan 87 tahun. Oleh karena itu perhitungan cost dan benefit diestimasi dari mulai tahun 1988 sampai dengan tahun Masing-masing komponen total cost dan total benefit dihitung dengan nilai uang saat ini, yang disebut Net Present Value (NPV). Adapun rumusan untuk mendapatkan nilai moneter saat ini adalah sebagai berikut : Tc = c o + c 1 + c c 87 Tc = Total Cost tahun ke 0 s/d 87 Tb = b 0 + b 1 + b b 87 Tb = Total Benefit tahun ke 0 s/d 87 Masing-masing dibuat dalam bentuk net present value untuk mendapatkan nilai mata uang saat ini : NPV Tc = = NPV Tb = =

64 42 Dalam analisis benefit dan cost, hasil yang diperoleh/outcome dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak menentu antara lain adalah kenaikan harga suku cadang, kenaikan harga listrik, suku bunga/interest rate. Jika suku bunga pada saat tertentu meningkat, maka akan mempengaruhi nilai jual dasar listrik, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keuntungan PLTA. Oleh karena itu dalam analisis benefit dan ratio diperlukan analisis sensitivitas. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui sensitivitas hasil yang diperoleh terhadap faktorfaktor yang tidak bisa diantisipasi. Sensitivitas analisis ini membantu kita mengkomunikasikan kepada pemegang kebijakan mengenai resiko yang harus diantisipasi terhadap faktor-faktor yang tidak pasti. Dalam analisis sensitivitas model ini akan dilakukan dengan perubahan suku bunga/interest rate, untuk r 1 = 10%, r 2 = 15% dan r 3 = 5%. Untuk menghitung produksi listrik yang merupakan benefit proyek, dilakukan dengan menggunakan rumus persamaan dasar yang diacu dari Simanjuntak (2011) sebagai berikut : Dimana : (P) Power = Tenaga listrik dalam kilowatt atau Kw (H) Head = Jarak Kejatuhan air dari turbin ( dalam satuan kaki atau feet) (Q) Flow = Jumlah aliran air (diukur dalam cubic feed per second atau cfs) ( ) Efisiensi turbin = 60% (0,06) untuk instalasi yang sudah tua atau tidak dipelihara dan 90% (0,09) untuk instalasi yang baru dengan pemeliharaan yang baik. ( = 9,81 = gaya gravitasi bumi Untuk mengetahui besarnya penjualan listrik maka, rumus diatas dikalikan dengan harga jual dasar listrik Identifikasi Sumber Sedimentasi Utama Untuk survey identifikasi sumber sedimentasi/pencemar, analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis statistika deskriptive dimana parameter

65 43 yang dicari adalah mean/nilai rata-rata, nilai minimal, maksimal dan simpangan baku. Adapun rumus untuk nilai rata-rata yang digunakan adalah sebagai berikut : n Ei Ei i E 1 i E 1 n n di mana: n E : nilai rata-rata volume limbah yang dibuang ke waduk Cirata E i : nilai pada contoh-i (volume limbah cair dan padat pada setiap sektor) n : jumlah responden Simpangan baku (standar deviation) atau ukuran keragaman (variance) dapat digunakan untuk mengukur resiko secara statistik. Rumus ragam (V 2 ) dan simpangan baku (V) sebagai berikut : V 2 n i 1 n 1 E E i 2 V 2 V Dalam rangka mencari solusi untuk perbaikan kualitas lingkungan akibat sedimentasi, maka dilakukan pendekatan CVM (Contingent Valuation Method). Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung dari hipotesis yang dibangun, misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya dan lain sebagainya. Pada hakekatnya pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay) masyarakat, misalnya terhadap perbaikan lingkungan. Untuk mendapatkan informasi ini maka dilakukan dengan tehnik survey. Masyarakat akan diminta untuk menyebutkan berapa besar mereka ingin membayar untuk mengatasi masalah sampah yang dapat berkontribusi terhadap sedimentasi di waduk. Hasil WTP ini akan menjadi bagian sharing cost dengan pihak pengelola waduk dalam upaya melakukan perbaikan terhadap isu sedimentasi. Data WTP yang diperoleh dari hasil survey akan diregresikan dengan beberapa variabel tidak bebas (dependent variabel) yang dapat mempengaruhi WTP. Dalam penelitian ini, variabel bebas untuk analisis WTP adalah pendapatan (i), pendidikan (e), umur (a), indikator perubahan lingkungan (q), pekerjaan (o),

66 44 jarak rumah (d) dari waduk, jumlah anggota rumah tangga (f), asal responden (j) dan jenis kelamin (s). WTP = f(i, e, a, q, o, d, f, j, s) Analisis Kelembagaan Studi kelembagaan akan mengacu pada kerangka berpikir Dolsak&Ostrom (2003). Bagaimana sumber daya dapat dimanfaatkan tergantung pada faktorfaktor yang saling berkaitan. Faktor ekonomi, politik, kebijakan dan teknologi akan menjadi unit analisis. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dan kaitannya dengan karakteristik pengguna sumber daya serta karakteristik sumber daya itu sendiri akan sangat mempengaruhi jenis dan bentuk struktur dan infrastruktur kelembagaan dalam pengelolaan Waduk Cirata. Hal tersebut dapat dilihat dalam diagram pada gambar 6 dibawah ini : Gambar 6. Metode Analisis Kelembagaan Dari sisi faktor ekonomi akan dilihat bagaimana demand dari budidaya perikanan yang mempengaruhi semakin banyaknya jumlah KJA. Dalam hal ini akan mengkaji berapa permintaan pasar baik lokal, domestik maupun nasional terhadap ikan setiap tahunnya, jumlah usaha pendukung lain yang bergerak dibidang budidaya perikanan seperti usaha pakan ikan, bibit ikan maupun alat-alat

67 45 pembudidaya. Adanya biaya transaksi yang terjadi pada perijinan budidaya, retribusi dan premanisme yang terjadi di sekitar waduk yang mempengaruhi biaya produksi budidaya perikanan dan kontribusi kegiatan budidaya perikanan ini terhadap PAD dari 3 kabupaten yang melingkupi Waduk Cirata menjadi kajian dalam pembahasan faktor economic enviroment. Untuk political enviroment, akan ditelusuri sejauhmana pemegang kebijakan yang berkuasa saat ini dan bagaimana mereka membuat kebijakan terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata. Hal ini akan terlihat dari instruksi gubernur, SK pemerintah daerah maupun undang-undang lain yang terkait dengan kebijakan pemerintah di tiga kabupaten. Wilayah waduk yang beririsan diantara 3 kabupaten di Jawa Barat yaitu Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur juga mempengaruhi kebijakan pengelolaan waduk. Kesamaan persepsi terkait dengan aktivitas KJA diantara tiga kabupaten tentunya akan mempengaruhi keberlanjutan waduk. Kajian legal enviroment akan dilakukan dengan melakukan analisa kontent untuk masing-masing kebijakan/undang-undang yang menjadi dasar pengelola waduk. Bagaimana undang-undang dan kewenangan tersebut diimplementasikan serta respon dari masyarakat terkait undang-undang tersebut dan kinerja lembaga juga akan ditelaah. Pada unit analisis ini, parameter yang digunakan untuk mengamati arah kebijakan terletak pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap pengelolaan waduk. Sinkronisasi kebijakan yang dikeluarkan antara ketiga wilayah administrasi di perairan waduk yaitu pemerintah daerah Bandung Barat, Purwakarta dan Cianjur juga patut ditelusuri, karena ketika salah satu wilayah tidak mendukung kebijakan lingkungan maka akan mempengaruhi kondisi waduk keseluruhan. Analisis berikutnya terutama ditujukan untuk aturan yang ditetapkan oleh Gubernur Propinsi Jawa Barat mengenai daya dukung lingkungan waduk dan jumlah KJA yang diperbolehkan berada di area waduk. Teknologi yang digunakan oleh para penggguna sumber daya akan diidentifikasi dan dianalisis apakah penggunaanya dapat merugikan pihak lain atau menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Misalnya penggunaan drum atau busa untuk konstruksi karamba apakah dapat menyebabkan terjadinya

68 46 perbedaan produksi dan menimbulkan dampak lingkungan. Penggunaan teknologi berkaitan dengan biaya produksi, dan biaya eksternalitas. Semakin baik konstruksi karamba KJA tentunya akan semakin mahal biaya investasi yang mempengaruhi pendapatan seseorang, sehingga pengguna sumber daya cenderung mencari alternatif yang lebih murah dan mudah dalam membuat kontruksi KJA, yang tentu saja memiliki dampak lingkungan yang berbeda. Jenis pakan ikan, frekuensi pemberian pakan serta jenis ikan yang ditanam, akan memberikan dampak yang berbeda baik terhadap lingkungan maupun profit yang diperoleh petani KJA. Ketiadaan aturan main yang jelas dalam hal penggunaan teknologi ternyata juga dapat mengancam keberlanjutan waduk. Kebutuhan data dari setiap unit analisis, yaitu ekonomi, politik, hukum dan teknologi dapat dilihat pada Tabel 9. Untuk karakteristik pengguna sumber daya, analisis ini akan memetakan stakeholder yang berperan dalam melaksanakan dan yang menjadi sasaran kebijakan. Berdasarkan teori kelembagaan analisis stakeholder mengacu pada seperangkat alat untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan stakeholder atas dasar atributnya, hubungan timbal baliknya dan kepentingannya dalam kaitannya dengan isu atau sumber daya yang ada. Analisis yang dilakukan berupa : siapa para aktor yang berperan, bagaimana posisinya, apa hasil yang diharapkan oleh para aktor, bagaimana keterkaitan aksi dan hasil, siapa yang melakukan kontrol terhadap perilaku aktor dan informasi apa saja yang dimiliki aktor serta biaya dan manfaat yang ditanggung oleh aktor untuk melakukan pengorganisasian kelembagaan sumber daya. Pemetaan pengguna sumber daya ini dilakukan dengan menggunakan Tabel 10. Hasil analisis stakeholder dapat memperlihatkan bagaimana interaksi antara aktor. Interaksi yang diperoleh dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan analisis konflik. Dalam analisis ini dilakukan pemetaan terhadap konflik indikator, peace indikator dan stakeholder analisis. Konflik indikator memetakan akar masalah yang menyebabkan konflik, faktor-faktor yang menyebabkan konflik (proximate cause) dan faktor-faktor yang menjadi pemicu konflik (trigger). Ketiga indikator tersebut akan dikaitkan dengan situasi politik, ekonomi dan sosial cultural. Peace indikator merupakan hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat dalam rangka menangani konflik diantara mereka. Dalam peace

69 47 indikator tersebut akan dirangkum bagaimana sistem keadilan yang diterapkan masyarakat atau konflik carrying capacity dari masyarakat, bagaimana proses yang dilakukan dalam menjalankan sistem keadilan tersebut dan tools apa yang digunakan oleh masyarakat dalam menjalankan sistem keadilan di masyarakat. Data-data terkait konflik analisis diatas akan diperoleh melalui FGD dan diskusi dengan para stakeholder kelembagaan di wilayah perairan Waduk Cirata. Tabel 11 digunakan untuk memandu analisis konflik dalam bentuk matriks. Tabel 9. Parameter yang digunakan untuk setiap unit analisis Unit Analisis Parameter Economic - Akses ke pasar barang dan jasa Enviroment - Trend harga pasar untuk ikan - Trend Permintaan ikan - PAD Kab Cianjur, Purwakarta, Bandung Barat - Jumlah tenaga kerja - Jenis usaha pendukung lainnya - Biaya transaksi (retribusi, preman, biaya lain-lain) - Pendanaan dari luar negeri - Dampak globalisasi ekonomi Political Enviroment Legal Enviroment Teknologi - Dampak resesi ekonomi global - Produk kebijakan yang dihasilkan dari proses politik - Kebijakan terhadap budidaya perikanan - Kinerja lembaga pemerintah yang menangani CPRs - Penegakan aturan-aturan pemerintah - Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.7 tahun 2011 tentang Pengelolaan Perikanan - SK Gubernur No. 45 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah No.14/2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan - Peraturan Gubernur No.16 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu - SK Gubernur No.27tahun 1994 tentang petunjuk pelaksanaan peraturan No.11/1986 tentang Tata Cara Pemanfaatan Perairan Umum untuk Usaha Perikanan - Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung, Cianjur, Purwakarta dan Direktur PJB tahun 2003 tentang Pengembangan Pemanfaatan Kawasan Waduk Cirata - Peraturan Daerah Kab. Purwakarta No.6/2010 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan - Konstruksi karamba jaring apung - Siklus pemberian pakan ikan - Jenis ikan pemakan plankton

70 48 Tabel 10. Analisis stakeholder Daftar Stakeholder Agenda/Power Need Keterkaitan aksi dan hasil (Action) Sumber : Hidayat (2010) Tabel 11. Analisis Konflik Konflik Indikator Peace Indikator Stakeholder Analysis Summary Conclusion Sumber : Barena (2003) Analisis karakteristik sumber daya, mengkaji mengenai sumber daya waduk dan kaitannya dengan PLTA sebagai fungsi utama dibangunnya waduk. Ciri dan masalah waduk sebagai CPRs, provision dan appropriation problem yang mempengaruhi penggunaan waduk. Tata kelola sumber daya, mengkaji struktur dan infrakstruktur kelembagaan serta analisis konflik diantara institution dan multiple user seperti KJA, PLTA, petani, maupun masyarakat di sekitar waduk. Analisis infrastruktur kelembagaan adalah pemahaman makna aturan main atau peraturan yang berlaku dalam kelompok masyarakat lokal melalui identifikasi isu. Peraturan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan Tabel 12 sehingga mudah dilihat keterhubungan peraturan tersebut dan kaitannya terhadap siapa yang berwenang untuk melaksanakan peraturan tersebut dan sejauh mana wewenang tersebut telah diimplementasikan. Analisis kebijakan selanjutnya disandingkan dengan hasil FGD tentang implementasi kebijakan di lapangan dan bagaimana peraturan tersebut dapat menjawab permasalahan terkait sedimentasi khususnya dan perbaikan lingkungan waduk pada umumnya. Kesenjangan yang terjadi atau hasil analisis gap dimasukkan dalam Tabel 13.

71 49 Tabel 12. Analisis Konten Peraturan/aturan main yang berlaku Substansi/Amanat Peraturan Perundang- Undangan Mengatasi masalah apa? Aktor yang berperan Sumber : Hidayat (2010) Tabel 13. Analisis Gap Hasil Analisis Kontent Realisasi/Implementasi Peraturan Gap Analysis Sumber : Parasuraman et al. (1985) Faktor faktor yang mempengaruhi pengelolaan kelembagaan tersebut dapat menjadi data bagi rancangan kelembagan baru yang dapat mengurangi terjadinya eksternalitas yaitu sedimentasi dalam pemanfaatan CPRs. Design kelembagaan untuk mengelola CPRs contohnya design peraturan mengenai alokasi penggunaan sumber daya, monitoring dan penegakkannya membutuhkan usaha yang besar. Para appropriator akan merasakan pentingnya kelembagaan jika mendapat manfaat dari adanya lembaga tersebut. Motivasi ekonomi untuk merubah aturan main pengelolaan sumber daya ternyata tidak cukup untuk dapat melakukannya. Perlu adanya otoritas yang berwenang untuk melakukannya. Oleh karena itu para peneliti (Dolsak&Ostrom, 2003) mendiskusikan prinsip umum yang dipakai untuk meningkatkan kinerja design kelembagaan. Prinsip umum tersebut menjadi batasan dalam melakukan interview dengan stakeholder untuk merekonstruksi stuktur kelembagaan baru. Redesign

72 50 kelembagaan tersebut juga akan mengacu pada evaluasi outcome yang diperoleh dari hasil analisis-analisis diatas. Prinsip umum tersebut, yaitu : 1. Peraturan dibuat dan dikelola oleh pengguna sumber daya 2. Keluhan tentang aturan mudah untuk dimonitor 3. Aturan mampu ditegakkan bersama 4. Sangsi dapat diberlakukan 5. Pengadilan tersedia dengan biaya yang rendah 6. Ratio petugas dan pengguna sumber daya proporsional 7. Lembaga yang mengatur CPRs perlu dibuat dalam berbagai tingkatan 8. Prosedur untuk merevisi aturan tersedia Dalam menawarkan model redesign kelembagaan baru yang tepat digunakan dalam pengelolaan Waduk Cirata berdasarkan hasil wawancara dan telaah teori pembangunan good governance, maka akan dibuat tiga skenario design kelembagaan baru. Skenario tersebut mencakup best case scenario, statusquo scenario dan worst case scenario. Best scenario merupakan skenario terbaik pengelolaan waduk untuk mencapai suistanability, equity dan prosperity, dimana masing-masing aktor dapat terakomodasi baik kepentingan dan perilakunya. Status-quo scenario adalah keadaan dimana keadaan berjalan normal seperti biasa (bussiness as usual), tentunya dengan kondisi-kondisi pengelolaan saat ini yang harus diperbaiki. Worst case scenario adalah keadaan dimana masing-masing stakeholder tidak lagi mampu menaati peraturan yang dibuat dan berjalan sendiri sesuai mandat dan kebutuhan yang ingin dicapainya.

73 51 BAB 5 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 KABUPATEN BANDUNG BARAT Perairan Waduk Cirata meliputi 3 (Tiga) kabupaten, salah satunya adalah Bandung Barat. Kabupaten Bandung Barat merupakan kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Bandung berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat Menjadi Daerah Otonom di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data BPS, luas wilayah Kabupaten Bandung Barat yaitu 1.305,77 Km², terletak antara 60º 41 sampai dengan 70º 19 lintang Selatan dan 107º 22 sampai dengan 108º 05 Bujur Timur. Kemiringan minimum rata-rata 110 meter dan maksimum m diatas permukaan laut. Kemiringan wilayah bervariasi antara 0 8%, 8 15% hingga diatas 45%. Kabupaten Bandung Barat memiliki batas wilayah sebagai berikut : Sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Cianjur; sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Subang; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dan bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat sebanyak jiwa yang tersebar di 15 kecamatan dan 165 desa. Kecamatan Cipendeuy merupakan satu-satunya kecamatan di Bandung Barat yang wilayahnya terendam air waduk. Jumlah penduduk di Kecamatan Cipeundeuy pada tahun 2009 berdasarkan data Potensi Desa tercatat sebanyak orang atau KK yang tersebar di 12 desa. Jumlah ini hampir 21 persen dari total penduduk Kabupaten Bandung Barat. Persentase besarnya wilayah waduk yang termasuk dalam administratif Bandung Barat tidak kurang dari 38 persen, dan merupakan kabupaten terbesar kedua setelah Cianjur. Pada saat pembentukan waduk, tidak kurang dari 5 (Lima) desa yang terdiri dari KK harus direlokasi dan 596 KK yang mempunyai tanah/lahan atau mempunyai pekerjaan di daerah genangan. Alternatif penyaluran penduduk yang terkena dampak genangan adalah program transmigrasi dan kegiatan perikanan air tawar bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Karena kondisi inilah maka sebagian besar masyarakat di kecamatan Cipeundeuy bermata

74 52 pencaharian sebagai petani pembudidaya ikan di Waduk Cirata. Saat ini terdapat KK yang memiliki usaha perikanan air tawar dalam bentuk keramba jaring apung. Produksi perikanan dari budidaya air tawar di Cirata untuk wilayah Bandung Barat pada tahun 2010 berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bandung Barat sebanyak ton/tahun yang terdiri dari ikan mas, nila, bawal air tawar, patin, gurame dan lele. Nilai produksi ini setara dengan Rp , KABUPATEN CIANJUR Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, dengan jarak sekitar 65 Km dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat atau 120 Km dari Jakarta, ibu kota Negara Indonesia. Kabupaten Cianjur terletak diantara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian sekitar meter diatas permukaan laut. Batas wilayah administrasi Cianjur adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta b. Sebelah Barat : Kabupaten Sukabumi c. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia d. Sebelah Timur : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut Luas Wilayah Kabupaten Cianjur sebesar hektar yang terbagi menjadi 30 kecamatan, 6 kelurahan dan 362 desa. Berdasarkan BPS tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Cianjur sebanyak orang yang terdiri dari orang berjenis kelamin laki-laki dan orang perempuan. Dalam hal tingkat pendidikan, 54,5 persen penduduk Cianjur berstatus tamat SD, 30,2 persen penduduk tidak tamat/belum tamat SD. Hanya 7,91 persen penduduk yang tamat SLTP/MTs dan sisanya adalah status pendidikan lainnya. Mata pencaharian terbesar penduduk Cianjur adalah sektor pertanian, 61 persen dan perdagangan 15,4 persen. Kabupaten Cianjur merupakan daerah terbesar yang wilayahnya tergenang air waduk, atau setara dengan 60 persen luas Waduk Cirata. Dari luas tersebut, terbagi kedalam empat wilayah administrasi kecamatan antara lain : Kecamatan

75 53 Cikalong Kulon, Mande, Sukaluyu dan Ciranjang. Dari keempat kecamatan tersebut, jumlah penduduk yang harus dipindahkan sebanyak KK. Selain itu terdapat KK yang terpengaruh proyek pembangunan Waduk Cirata, yaitu mereka yang bertempat tinggal di atas genangan yang mempunyai lahan/tanah atau mempunyai pekerjaan di daerah genangan. Saat ini terdapat 12 desa yang berada di sekitar waduk yang mengusahakan berbagai budidaya perikanan dan pariwisata mengandalkan sumber daya waduk. Berdasarkan sensus petani KJA tahun 2011 yang terdapat pada Lampiran 8 (Delapan), tecatat KK yang memiliki petak usaha budidaya perikanan. Produksi hasil perikanan berdasarkan data UPTD Dinas Perikanan, Peternakan dan Kelautan Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 sebesar ton yang terdiri dari ikan mas, nila, bawal dan lainnya. Nilai nominal dengan produksi tersebut diperkirakan sebesar Rp , KABUPATEN PURWAKARTA Kabupaten Purwakarta terletak kurang lebih 80 km sebelah timur Jakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Karawang di bagian Barat dan sebagian wilayah Utara, Kabupaten Subang di bagian Utara dan sebagian wilayah bagian Timur, Kabupaten Bandung di bagian Selatan, dan Kabupaten Cianjur di bagian Barat Daya. Luas wilayah Kabupaten Purwakarta adalah 971,72 km² atau sekitar 2,81 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat berpenduduk jiwa (Proyeksi jumlah penduduk tahun 2009) dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,28 persen per-tahun. Jumlah penduduk laki-laki adalah jiwa, sedangkan jumlah penduduk perempuan adalah jiwa. Luas Kabupaten Purwakarta yang termasuk dalam genangan Cirata hanya 21 persen, dan merupakan wilayah terkecil. Jumlah penduduk yang terkena imbas genangan sebanyak 865 KK dan 186 KK yang terpengaruh proyek pembangunan Waduk Cirata, terdiri dari 1 kecamatan maniis dan 4 desa yaitu Citamiang, Sinar Galih, Pasir Jambu dan Tegal Datar. Dalam perkembangannya pun, masayarakat kecamatan Maniis berhak untuk memanfaatkan Waduk Cirata untuk kegiatan perekonomian seperti budidaya perikanan air tawar. Sensus KJA tahun 2011, seperti pada Lampiran 8 (Delapan) mencatat Kabupaten Purwakarta memiliki

76 petak KJA yang dimiliki oleh 492 rumah tangga petani, dengan produksi ikan sebesar ton/tahun atau setara dengan Rp , PLTA CIRATA Pada awal pembangunannya, sebagai pembangkit listrik tenaga air, PLTA Cirata dikelola oleh PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Jawa Bagian Barat (PLN KJB) Sektor Cirata. Pada tahun 1995 terjadi restrukturisasi di PLN yang mengakibatkan pembentukan 2 anak perusahaan, yaitu PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali I dan II yang disebut PT. PJB I dan PT. PJB II sehingga sektor Cirata masuk wilayah kerja PT. PLN PJB II. Pada tahun 1997, sektor Cirata berubah nama menjadi PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa-Bali II unit Pembangkitan Cirata (UP. Cirata). Dengan perkembangan organisasi sejak tanggal 3 Oktober 2000, PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa-Bali II berubah menjadi PT. Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali, unit Pembangkitan Cirata (PT. PJB UP Cirata) sampai dengan saat ini. Kegiatan inti usaha yang dilakukan PT. PJB UP Cirata adalah pembangkit tenaga listrik dengan total daya terpasang Mega Watt (MW), yang digerakkan oleh 8 (Delapan) turbin, yaitu : Tabel 14. Data Turbin PLTA Cirata Unit Nama Turbin Mulai Operasi Kapasitas PLTA #1 CIRATA I 25 Mei MW PLTA #2 CIRATA I 29 Feb MW PLTA #3 CIRATA I 30 Sep MW PLTA #4 CIRATA I 10 Agust MW PLTA #5 CIRATA II 15 Agust MW PLTA #6 CIRATA II 15 Agust MW PLTA #7 CIRATA II 15 Apr MW PLTA #8 CIRATA II 15 Apr MW TOTAL Sumber : Laporan Data Tehnis PT. PJB MW

77 55 Cirata I dan II mampu memproduksi energi listrik rata-rata GWh per tahun yang kemudian disalurkan melalui jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi 500 kv ke sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali) melalui Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET Cirata). UP Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara, memiliki power house 4 lantai dibawah tanah yang pengoperasiannya dapat dikendalikan dari ruang kontrol switchyard yang berjarak 2 km dari mesin-mesin pembangkit di dalam power house. Data-data tehnis berkaitan dengan alat-alat pembangkit dapat dilihat pada Lampiran 9 (Sembilan). Secara sederhana proses kerja pembangkit listrik tenaga air seperti pada gambar dibawah ini : Gambar 7. Mekanisme Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Air Proses produksi energi listrik PLTA Cirata memanfaatkan air sebagai energi primer dari sungai Citarum yang memiliki debit air cukup besar dan ditampung di waduk kemudian dialirkan melalui pintu air (water intake), sedangkan pengaturan air dilakukan dari pusat pengendalian bendungan (dam control center), selanjutnya masuk kedalam terowongan tekan (headrace tunnel). Sebelum memasuki pipa pesat (penstock), air melewati tangki pendatar (surge tank) yang berfungsi sebagai pengaman pipa pesat apabila terjadi tekanan mendadak atau tekanan kejut saat katup utama (inlet valve) ditutup seketika.

78 56 Setelah katup utama dibuka, air masuk kedalam rumah siput (spiral case). Air yang bergerak deras memutar turbin, dan keluar melalui pipa lepas (tail race), selanjutnya dibuang ke saluran pembuangan. Poros turbin yang berputar tersebut berputar menggerakkan generator sehingga menghasilkan energi listrik dengan tegangan 16,5 kv disalurkan ke trafo utama (main transformer), selanjutnya ke gardu induk (GI) dan disalurkan ke sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali) 500 kv. Oleh karena kualitas dan kointinuitas air mempengaruhi perawatan, keamanan dan produksi listrik, maka PT PJB dalam usahanya memerlukan badan tersendiri yang membantu Unit Pembangkitan Cirata dalam mengelola waduk. Pada tahun 2000, PT.PJB membentuk Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) berdasarkan SK Direksi No. 026.K/023/DIR/2000 dengan referensi SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No.16 Tahun 1998 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum dan Lahan Surutan di Waduk Cirata yang direvisi oleh SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata. BPWC bertugas untuk melaksanakan pengelolaan secara profesional (mengelola, memelihara dan mengembangkan potensi ekonomi) asset berupa waduk dan lahan-lahan disekitarnya untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan tanpa mengabaikan kepentingan unit pembangkitan dan masyarakat yang mempergunakan sungai dan waduk tersebut. Dalam rangka pengelolaan waduk tersebut, BPWC diharapkan untuk menjaga kualitas air tetap bersih agar tidak mempengaruhi alat-alat pembangkit dan mampu menjaga umur waduk sesuai dengan life time-nya. BPWC juga diharapkan mampu menjaga pasokan air tetap cukup untuk memenuhi PT. PJB dalam memproduksi listrik. Untuk itu berbagai kegiatan pembersihan lingkungan waduk, penghijauan disekitar waduk dan penataan kegiatan budidaya perikanan masyarakat ditertibkan dan diatur sedemikian rupa agar fungsi utama pembangunan waduk ini tetap bisa optimal.

79 57 BAB 6 IDENTIFIKASI DAN ANALISIS SUMBER SEDIMEN Sumber sedimentasi yang berasal dari dalam waduk (inside activities) diperkirakan berasal dari 4 sektor, yaitu sektor pertanian, sektor perikanan, skala usaha dan aktivitas domestik masyarakat yang tinggal diatas waduk maupun di sekitar waduk. Dalam rangka menentukan kebijakan yang tepat dalam mengatasi masalah sedimentasi, maka diperlukan informasi seberapa besar dampak keempat sektor tersebut terhadap perairan waduk. Untuk memperoleh informasi tersebut maka survey rumah tangga telah dilakukan terhadap ketiga sektor tersebut. Diperoleh 139 responden yang terdiri dari 68 rumah tangga perikanan, 52 orang rumah tangga pertanian dan 19 rumah tangga usaha skala kecil. Berikut ini adalah gambaran demografi hasil survey rumah tangga yang terbagi atas beberapa sektor. 6.1 Sektor Perikanan Untuk rumah tangga perikanan, survey dilakukan di tengah waduk, ditujukan bagi masyarakat yang tinggal di atas waduk, selain menanyakan aktivitas domestik juga menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan usaha karamba jaring apung yang dilakukannya. Dari 3 Kabupaten diperoleh jumlah responden seperti pada gambar dibawah ini : Gambar 8. Komposisi Responden RTP Berdasarkan Kabupaten Komposisi ini sesuai dengan gambaran jumlah RTP (Rumah tangga petani) hasil sensus BPWC, jumlah RTP Kabupaten Cianjur lebih banyak dibandingkan kabupaten lainnya sebanyak RTP, hal ini sesuai dengan luas

80 58 wilayah waduk yang sebagian besar (60%) masuk wilayah administrasi Kabupaten Cianjur. Kabupaten terbesar kedua adalah Bandung Barat sebanyak RTP dan selanjutnya Kabupaten Purwakarta dengan jumlah RTP sebanyak 492 keluarga. Jenis kelamin untuk rumah tangga petani di sektor perikanan, 100 persen didominasi oleh laki-laki. Hal ini berkaitan dengan budaya masyarakat setempat dengan adanya sistem pembagian kerja dalam keluarga, laki-laki harus bekerja di luar dan perempuan bekerja di dalam rumah, sehingga pada saat dilakukan survey, hanya responden berjenis kelamin laki-laki yang ditemui. Untuk komposisi umur responen, dapat dilihat pada gambar 11 dibawah ini. Responden dengan umur ditemukan lebih banyak (82%) dibandingkan usia diatas 50 tahun dan dibawah 20 tahun. Usia rentang antara tahun merupakan usia produktif untuk bekerja. Gambar 9. Komposisi Usia Responden RTP Untuk latar belakang pendidikan responden, dapat dilihat pada gambar 12 dibawah ini. Data lama pendidikan responden, berdasarkan grafik pie dibawah, terlihat bahwa 70 persen responden hanya lulus SD, 8 orang diantaranya bahkan tidak tamat SD. Hanya 12 responden yang tamat SMP, 6 orang tamat SD dan 2 orang yang lulus perguruan tinggi. Pada survey sektor perikanan, sebagian besar responden yang ditemui hanya buruh KJA dan bukan pemilik usaha KJA dengan komposisi responden yang ditemui 40 persen pemilik KJA dan 60 persen buruh KJA. Buruh KJA biasanya merupakan orang setempat yang direkrut untuk mengelola keramba.

81 59 Mereka tinggal di atas waduk, memberikan pakan pada ikan, melakukan pembersihan karamba dan bertugas juga menjaga keamanan karambanya. Mereka pun melakukan semua aktivitas manusia diatas waduk, seperti mandi, mencuci, dan makan. Walaupun 70 persen responden adalah warga sekitar waduk dan memiliki rumah di darat, tetapi frekuensi ke darat sangat kecil, biasanya satu minggu sekali jika ada sholat jumat atau ada keperluan dengan keluarga. Pendapatan buruh KJA berkisar Rp ,00 Rp ,00 per bulannya, dengan tambahan bahan makanan pokok dari pemilik KJA untuk hidup sehari-hari selama di air. Besarnya bervariasi tergantung dari pemilik KJA. Gambar 10. Komposisi Lama Pendidikan Responden RTP Kajian berikutnya adalah informasi limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan oleh aktivitas domestik penunggu KJA. Dari hasil penelitian, rata-rata responden memiliki 7 unit KJA dengan 2 orang pegawai yang tinggal menetap diatas waduk. Informasi mengenai aktivitas domestik ini penting karena mereka menggunakan air waduk untuk mandi, mencuci dan buang air. Tentu saja hal ini dapat mempengaruhi kualitas air waduk. Untuk limbah cair, rata-rata responden mandi dengan sabun mandi sebanyak 3 kali per hari, dengan air waduk yang digunakan untuk mandi rata-rata per hari adalah 200 liter. Cuci pakaian dengan menggunakan deterjen, rata-rata 5 kali per minggu dengan jumlah air yang digunakan sebanyak 250 liter. Mencuci perahu atau asset lain dilakukan rata-rata 2 kali per minggu dengan banyaknya air yang digunakan rata-rata sebanyak 100 liter. Mencuci perahu ini juga dilakukan dengan menggunakan sabun colek yang sama berbahayanya dengan mandi dan mencuci pakaian. BAB rata-rata dilakukan

82 60 1 kali per hari dengan jumlah air yang digunakan sebanyak 18 liter. Tabel dibawah ini berisi data limbah cair yang dihasilkan oleh rumah tangga sektor perikanan : Tabel 15. Data Limbah Cair dari Aktivitas Domestik di sektor Perikanan Aktivitas Frekuensi/minggu Jumlah air/rt Jumlah (Liter) air/minggu (Liter) Mandi ,23 Cuci pakaian 5 249, ,70 Cuci asset 2 105, ,80 BAB ,05 TOTAL ,78 Per bulan ,12 Per tahun ,44 Sumber : Hasil wawancara diolah Berdasarkan data pada tabel 15 diatas, masing-masing penunggu di RTP perikanan yang tinggal di atas waduk memanfaatkan air sebanyak liter/minggu untuk aktivitas domestiknya. Hal ini berarti bahwa perairan waduk tercemar oleh pemakaian sabun mandi dan sabun cuci setiap harinya sebanyak 675 liter. Berdasarkan sensus KJA 2011, Jumlah RTP petani yang ada di Waduk Cirata sebanyak orang. Hasil survei ke RTP rata-rata setiap rumah tangga petani KJA memiliki 2 pegawai, sehingga diprediksi jumlah penunggu yang tinggal di atas waduk sebanyak orang. Jika pemakaian air per rumah tangga dikalikan dengan jumlah RTP, maka diprediksi pencemaran limbah cair dari aktivitas domestik RTP diatas waduk sebanyak 12 juta liter/minggu, atau setara dengan 570 juta liter/tahun. Jika dibandingkan dengan daya tampung air waduk, jumlah air yang tercemar karena aktivitas penunggu KJA relatif kecil, hanya 0,03 persen dari daya tampung waduk, namun dampak pencemaran bisa terlihat dalam jangka panjang. Dampak pemakaian sabun mandi ataupun sabun cuci yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitas domestiknya dapat mempengaruhi kualitas air waduk dan kegiatan budidaya perikanan. Menurut penelitian Halang (2004) menyebutkan bahwa deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap perairan yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Ikan mas (cyprinus

83 61 carpio) adalah organisme air yang sebagian besar dibudidayakan dalam KJA oleh masyarakat. Ikan ini responsif atau peka terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungannya. Jika konsentrasi larutan detergen lebih tinggi dari sitoplasma ikan, partikel detergen akan berdifusi dari larutan ke sel-sel pada insang ikan. Larutan detergen terus-menerus berdifusi ke sel-sel insang dan insang pun akhirnya membengkak. Lama kelamaan sel-sel insang mengalami plasmolisis (pecahnya sel) karena partikel detergen terus berdifusi. Karena selnya pecah, sitoplasma pun keluar, sehingga insang ikan terlihat mengeluarkan lendir. Setelah sel-sel insangnya pecah, tentu saja ikan kehilangan organ untuk bernapas sehingga akhirnya ikan-ikan pada larutan detergen lemas dan kemudian mati satu per satu. Cepat lambatnya insang ikan tersebut membengkak lalu mati dipengaruhi oleh konsentrasi detergen pada air. Semakin tinggi konsentrasi detergen pada air, semakin cepat ikan itu akan mati. Selain ikan, air yang tercemari detergen dapat mengancam kehidupan organisme lain yang hidup di dalam air, seperti fitoplankton, zooplankton/protozoa, dan cyanobacteria. Jika organisme-organisme seperti fitoplankton mati, maka zooplankton akan mati karena tidak ada makanan, ikan-ikan pun akan mati karena zooplankton yang biasa dimakan tidak ada. Dengan kata lain detergen dan polutan lainnya yang mencemari air dapat memusnahkan seluruh organisme yang hidup di dalamnya. Menurut penelitian Nastiti (1996) aktivitas rumah tangga penunggu KJA berkontribusi menghasilkan kandungan nutrien di perairan berupa N dan P. Kandungan ini berupa material akibat kegiatan rumah tangga seperti penggunaan deterjen dan feses. Jika dibandingkan nutrien yang dihasilkan dari ikan maupun pakan, kandungan unsur N dan P hasil kegiatan domestik tersebut sangat kecil namun tidak dapat diabaikan karena nutrien tersebut akan ikut terakumulasi. Berdasarkan pendekatan Ryding&Rast (1989) yang diacu Nastiti (1996), menyatakan bahwa kontribusi nutrien dari aktivitas domestik penunggu KJA dapat dihitung sebagai berikut : N = Total N (g) dari penunggu KJA P = Total P (g) dari penunggu KJA Dengan asumsi, 100 orang yang mandi, akan menghasilkan total N = 2 g dan total P = 2 g. Berdasarkan data sensus KJA tahun 2011, terdapat rumah tangga

84 62 petani dengan masing-masing RTP rata-rata memiliki 2 orang pekerja, maka terdapat orang. Berdasarkan rumus diatas, maka aktivitas domestik RTP ini berkontribusi menghasilkan N dan P ke perairan sebanyak 100,44 gram/hari (Lihat Tabel 17). Untuk limbah padat berupa sampah, rata-rata setiap rumah tangga petani menghasilkan sampah sebanyak 4,6 Kg/RTP/hari yang terdiri dari sampah organik sebanyak 765 gram/rtp/hari, gram/rtp/hari sampah anorganik dan 9 gram/rtp/hari sampah styrofoam bekas konstruksi KJA. Dalam penelitian ini yang termasuk sampah organik adalah sampah kertas, sisa makanan, sisa sayurmayur, dll, sedangkan yang termasuk kategori sampah anorganik adalah sampah plastik bekas pakan, bungkus makanan, pembungkus mie instan, pembungkus kopi, pembungkus kue dan sampah plastik lainnya. Sampah styrofoam merupakan sampah sisa konstruksi KJA yang lapuk, atau rusak. Perlakuan sampah yang biasa dilakukan oleh responden untuk sampah organik biasanya langsung dibuang ke waduk untuk pakan ikan. Untuk sampah anorganik biasanya dibakar (83%) ditempat dan abunya dibuang ke dalam waduk, hanya sebagian kecil yang mengatakan langsung membuang sampahnya ke waduk (9%). Untuk sampah jenis plastik pakan, biasanya dikumpulkan untuk dijual ke pengepul. Berikut ini adalah tabel berisi data limbah padat di Waduk Cirata : Tabel 16. Data Limbah Padat dari Aktivitas Domestik di Sektor Perikanan Jenis sampah Volume sampah Volume sampah (gram/rtp/hari) (gram/waduk/hari) Organik Anorganik Styrofoam TOTAL Per bulan (Ton) 348 Per tahun (Ton) Sumber : Data Primer diolah Aktivitas lain diatas waduk yang berpotensi menyumbang sampah adalah aktivitas warung keliling yang menjajakan minuman, makanan dan jajanan anakanak dengan menggunakan perahu. Kurang lebih terdapat 100 warung keliling dengan rata-rata volume sampah yang dihasilkan 500 gram/hari. Sebagian besar

85 63 pedagang keliling ini membawa sampahnya ke darat baru dibakar, sebagian kecil langsung membuang sampahnya ke waduk. Berdasarkan data diatas, volume sampah yang disumbang oleh seluruh RTP yang ada di Waduk Cirata adalah 12 ton/hari, sebagian besar sampah ini memang tidak dibuang ke waduk dan tidak berkontribusi terhadap sedimentasi, namun perlu diwaspadai adanya sebagian kecil masyarakat yang mengaku langsung membuang sampahnya ke waduk, jika tidak dilakukan teguran secara langsung atau sosialisasi terus menerus maka dapat menjadi presenden bagi warga masyarakat lain untuk ikut membuang sampahnya ke waduk tanpa diolah terlebih dahulu. Kegiatan usaha budidaya perikanan dalam KJA dari beberapa penelitian (Nastiti, 1996; Garno, 2001; Irsyaphiani, 2009) memberikan kontribusi paling besar terhadap angka sedimentasi. Limbah perikanan yang dimaksudkan adalah sisa pakan yang tidak dimakan oleh ikan di lapis bawah dan feses/kotoran ikan yang terbuang ke dasar waduk. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, ratarata jumlah benih ikan mas yang ditebar untuk satu kali musim tanam sebanyak 933 kg/rtp atau Kg/petak dapat memproduksi ikan mas sebanyak kg/rtp atau 795 Kg/petak yang rata-rata dipanen pada usia 3 bulan. Dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 4 (Empat) kali per hari, dan rata-rata jumlah pakan yang digunakan sebanyak 334 kg/rtp/hari atau Kg/petak/hari. Untuk produksi ikan nila di bagian jaring lapis bawah, dengan jumlah bibit sebanyak kg/rtp dapat menghasilkan produksi rata-rata sebanyak kg/rtp yang dipanen rata-rata dalam waktu 8 (Delapan) bulan. Untuk jaring lapis bawah atau yang biasa disebut kolor, biasanya tidak diberikan pakan, dan hanya mengandalkan sisa-sisa pakan yang tidak dimakan oleh lapis pertama (ikan mas). Kajian potensi sedimentasi yang berasal dari limbah pakan yang terbuang dan feses ikan berdasarkan perhitungan pemberian pakan diatas. Fred&Dobson (2002) yang diacu Puspaningsih (2011) menyatakan bahwa pada umumnya dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan mas, hanya 80 persen yang dapat diserap oleh ikan dan sisanya 20 persen akan terbuang ke perairan. Dari 80 persen pakan yang terserap oleh ikan mas tersebut, 10 persennya akan tersekresikan dalam bentuk feses. Jika total pakan yang digunakan untuk 1 petak sebesar

86 64 50 Kg/hari, maka terdapat Kg/hari atau 27 ton/hari pakan yang diberikan untuk seluruh budidaya KJA di Cirata. Duapuluh persen dari 27 ton/hari tersebut akan terbuang ke perairan, yang berarti pakan yang tidak termakan sebanyak Kg/hari yang terbuang ke perairan. Dari Kg pakan yang termakan ikan, 10 persennya akan tersekresikan dalam bentuk feses, yaitu sebesar Kg/hari yang akan terbuang dan berkontribusi terhadap sedimentasi. Sehingga jika partikel feses dan sisa pakan yang terbuang dari sektor budidaya perikanan ditotal, kontribusi sektor perikanan terhadap sedimentasi sebesar Kg/hari atau setara dengan 742 ton/hari. Jika membandingkan nutrien N dan P yang disumbang dari sektor perikanan yang berasal dari pemberian pakan, maka pendekatan metode Ryding&Rast (1989) yang diacu Nastiti (1996) dapat digunakan untuk menghitung jumlah N dan P yang terbuang ke peraiaran dengan rumus : N = 4,86 x JP dan P = 0,26 x JP Dengan, N : Total N dalam pakan (g) P : Total P dalam pakan (g) 4,86 : Kandungan N dalam pakan komersial (%) 0,26 : Kandungan P dalam pakan komersial (%) JP : Jumlah pakan yang diberikan pada ikan budidaya (g) Berdasarkan rumus diatas, maka kegiatan perikanan budidaya memberikan kontribusi N dan P ke perairan berturut-turut sebanyak g dan g. Untuk jumlah nutrien yang dihasilkan dari feses dan urine ikan berdasarkan metode dan pendekatan yang sama menghasilkan : N = JB x 110 dan P = JB x 110 Dengan, N : Total N dari ikan (g); P : Total P dari ikan (g) JB : Jumlah total bobot ikan budidaya (ton), dengan asumsi setiap 1 ton bobot ikan yang dipelihara, menghasilkan total N = 110 g dan total P = 110 g Maka diperoleh total N dan P sebesar 611,82 g N dan 611,82 g P. Secara ringkas pendugaan jumlah nutrien yang berasal dari ikan, pakan komersial dan kegiatan penunggu KJA dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

87 65 Tabel 17. Estimasi Nutrien dari ikan, pakan dan aktivitas domestik RTP Parameter Cirata Jumlah KJA petak Luas KJA m 2 Total Bobot Ikan Kg - Total N 611,82 g - Total P 611,82 g Jumlah Pakan 50 kg/hari/petak - Total N g - Total P g Jumlah Penunggu orang - Total N 100,44 g - Total P 100,44 g Total N ,3 g = 16 ton/hari Total P ,26 g = 0,88 ton/hari Sumber : Data primer yang diolah (2012) Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa sektor perikanan terutama pada pakan memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap angka sedimentasi, setelah itu bobot ikan dan sedikit kontribusi dari aktivitas domestik penunggu KJA. Jika dibandingkan dengan penelitian Garno (2001), sektor perikanan menyumbang N dan P berturut-turut sebesar 23,74 ton/hari dan 3,39 ton/hari dengan jumlah KJA petak dengan produksi sebesar ton/tahun; berdasarkan penelitian ini maka di tahun 2012 sumbangan N dan P dari sektor perikanan menurun sebesar 7,74 ton/hari dan untuk P sebesar 2,51 ton/hari dengan jumlah KJA sebanyak petak dan produksi perikanan sebesar ton/tahun. Sepanjang sepuluh tahun ( ), memang terjadi penurunan produksi perikanan, sehingga residu yang dibuang dari sektor perikanan pun berkurang. Dalam penelitian Nastiti (2001), jumlah total N dan P diperairan sebesar 3.920,7 ton dan 814 ton. Data ini menggunakan jumlah KJA petak. Dibandingkan dengan penelitian Nastiti (2001), hasil penelitian ini tentu saja menggembirakan, karena telah terjadi penurunan nutrien N dan P yang masuk ke perairan, namun kita tetap harus waspada terhadap peningkatan pencemaran dari

88 66 sektor yang lain. Irsyaphiany (2009) yang juga melakukan penelitian jumlah P di Waduk Cirata mengatakan bahwa total P yang masuk ke perairan dari sektor perikanan sebesar 701,39 Kg/tahun dengan perhitungan jumlah KJA sebanyak petak dan produksi ikan sebesar 110,54 ton/tahun. Penelitian Irsyaphiani dilakukan dengan menggunakan asumsi untuk P yang berasal dari pakan komersial sebesar 1,2 persen. 6.2 Sektor Pertanian Masyarakat disekitar waduk, selain memiliki usaha budidaya karamba sebagian juga melakukan usaha pertanian terutama di daerah pasang surut waduk. Lahan pertanian sebagian besar merupakan lahan PLN. Berdasarkan pengakuan 52 responden rumah tangga petani, 90 persen mengaku melakukan usaha pertanian di tanah PLN. Hal ini disebabkan karena banyak masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri, kehilangan mata pencaharian akibat genangan atau tidak memiliki keahlian lain maka mereka mulai mengusahakan lahan pasang surut sebagai tempat bercocok tanam. Rata-rata responden mengatakan bahwa mereka sudah melakukan usaha pertanian ini semenjak 15 tahun yang lalu, dan tidak pernah ada teguran dari pihak PLN, sehingga mereka tetap melakukan usaha ini. Namun usaha ini bukanlah tanpa resiko karena mereka melakukan usaha budidaya pertanian di lahan pasang surut yang setiap saat bisa saja terjadi air pasang, menutup lahan pertanian mereka sehingga merugi. Saat ini menurut responden cuaca tidak dapat lagi diprediksi, sehingga seringkali mereka gagal panen. Banyak pula yang menelantarkan lahannya karena takut merugi. Menurut Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 tahun 2002 tentang pengembangan pemanfaatan perairan umum, lahan pertanian dan kawasan Waduk Cirata, telah diatur pemakaian lahan pasang surut air untuk kegiatan pertanian. Masyarakat yang berdomisili di sekitar Waduk Cirata, yang dinyatakan tertulis oleh Kepala Desa dan diketahui oleh Camat setempat boleh memanfaatkan lahan pasang surut untuk kegiatan pertanian. Namun keberadaannya harus melalui ijin tertulis dari Bupati setempat dengan rekomendasi instansi pengelola untuk penentuan batas-batas yang jelas. Namun dari penelitian ini 100 persen responden tidak memiliki ijin usaha penggarapan lahan pertanian tersebut. Walaupun seluruh

89 67 pemilik lahan pertanian adalah betul masyarakat setempat yang berdomisili di sekitar waduk. Berikut ini adalah gambaran umum responden untuk sektor pertanian : Gambar 11. Distribusi Zonasi Responden Rumah Tangga Pertanian Distribusi jumlah responden kurang lebih sama dengan sektor perikanan. Wilayah Cianjur merupakan wilayah terbesar cakupan desa dan kecamatannya, sehingga jumlah sample di Kabupaten ini lebih banyak dibandingkan di dua kabupaten lainnya. Untuk komposisi jenis kelamin responden, 42 persen responden ditemui berjenis kelamin perempuan dan 68 persen berjenis kelamin laki-laki, gambar dapat dilihat dibawah ini : Gambar 12. Komposisi Jenis Kelamin Responden sektor Pertanian

90 68 Gambar 13. Komposisi Jumlah Anggota Rumah Tangga Pertanian Jumlah anggota rumah tangga responden terbanyak yaitu 4 orang, orang tua dan 2 orang anak. Jumlah anggota keluarga terbanyak kedua adalah 3 orang yaitu orang tua dan 1 orang anak. Data ini bukan berarti sebagian besar masyarakat mempunyai sedikit anak. Kebanyakan responden yang ditemui sudah lanjut usia, sebagian besar anak-anak sudah berkeluarga dan pindah dari rumah mereka, yang tersisa adalah anak-anak yang masih kecil atau yang belum menikah. Gambar 14. Komposisi Umur Responden Rumah Tangga Pertanian Dalam penelitian ini, kategori selang umur responden yang paling banyak ditemui adalah umur tahun (34 persen), terbanyak kedua adalah pada selang umur tahun sebanyak 30 persen (Lihat gambar 14). Banyaknya jumlah responden

91 69 yang sudah berumur tua pada sektor pertanian diprediksi karena aktivitas budidaya pertanian hanya sebagai sampingan dalam mengisi hari tua, setelah tenaga mereka tidak dibutuhkan lagi sebagai tenaga kerja. Pada sektor rumah tangga pertanian, 23 orang dari 52 responden tidak tamat SD, 21 orang tamat SD, 2 orang tamat SMP dan 6 orang tamat SMA. Tingkat pendidikan ini relatif rendah, namun data ini sesuai dengan tingkat umur responden, karena sebagian besar responden sudah lanjut usia dan pada masa itu pemerintah belum mewajibkan sekolah dasar 9 tahun, maka tingkat pendidikan masyarakat di desa relatif rendah. Hal ini mungkin juga disebabkan kurangnya sarana dan prasarana sekolah yang memadai pada saat itu sehingga masyarakat yang tergolong lanjut usia saat ini kebanyakan tidak mengenyam bangku sekolah. Data tingkat pendidikan ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Gambar 15. Lama Pendidikan Responden Rumah Tangga Pertanian Gambaran mengenai lama usaha pertanian yang sudah dijalankan oleh responden selama ini dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil penelitian memperlihatkan lama usaha pertanian terbanyak pada usia tahun, selanjutnya terbanyak kedua adalah 0-5 tahun yang masih tergolong usaha pertanian baru. Jenis tanaman yang diusahakan oleh rumah tangga pertanian ini adalah padi (23 persen), singkong (22 persen), kacang tanah (12 persen), ubi (8 persen), jagung (7 persen), cabai (6 persen), timun hijau (5 persen) dan lainnya (9 persen).

92 70 Rata-rata musim tanam untuk jenis tanaman tersebut adalah 6 bulan. Tanaman jenis lainnya antara lain adalah karet, sengon, jengjen, rumput, rambutan, kelapa, suren dan albasiah. Tanaman-tanaman ini merupakan tanaman tahunan jenis kayu keras, dimana hasilnya baru bisa dimanfaatkan setelah 5 tahun kemudian. Jenis tanaman ini disinyalir berasal dari BPWC yang memberikan bibit secara gratis kepada masyarakat disekitar waduk yang tinggal di tanah PLN untuk membantu pengusahaan reboisasi dalam rangka mengurangi tingkat erosi dipinggir-pinggir waduk. Program penghijauan BPWC ini telah dimulai tahun 2000 dan terus berlanjut sampai dengan saat ini, masyarakat yang mengupayakan lahan PLN untuk penghidupannya memang tidak diberi teguran keras oleh PLN, namun masyarakat diminta bantuan untuk ikut berkontribusi terhadap upaya-upaya pelestarian waduk. Penguasaan lahan PLN secara legal ini memang diakui oleh pemerintah desa, dan masyarakat pun diminta untuk tidak memindahtangankan kepemilikan tanah ini kepada pihak lain. Gambar 16. Lama Usaha Pertanian Responden Rumah Tangga Pertanian Peraturan pemerintah dalam SK Gubernur Jawa Barat no 41 tahun 2002 juga mengatakan bahwa setiap kepala keluarga tidak boleh menggarap lahan lebih dari m 2 dan hanya berhak memiliki 1 (Satu) ijin. Hal ini sesuai dengan pengakuan responden, rata-rata luas penguasaan lahan PLN untuk pertanian masyarakat sebesar 1500 m 2 per orang. Dengan rata-rata tanah seluas itu, masyarakat bisa menanam lebih dari satu jenis tanaman, dan jika musim tanam

93 71 berhasil, maka bisa memperoleh keuntungan yang cukup untuk kehidupan masyarakat. Dari hasil wawancara, rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh dari kegiatan bertani ini adalah Rp ,00 per musim tanam. Sebanyak 42 persen responden petani mengaku menggunakan pupuk kimia dalam proses menanam. Hal ini dikarenakan petani ingin cepat mendapatkan hasil sebelum musim hujan atau menjelang air pasang, jika mereka tidak menggunakan pupuk kimia, tentu mereka rugi karena tanaman akan terendam air. Jenis tanaman yang biasa menggunakan pupuk kimia adalah jenis padi, jagung, kacang tanah, timun, kacang panjang, dan cabai; sedangkan untuk tanaman keras jarang hanya pada usia muda mereka menebar pupuk kimia, selebihnya tidak lagi. Oleh karena pertanian dilakukan diwilayah pasang surut air waduk, maka semua lahan pertanian ini memiliki saluran air yang bermuara ke waduk, sehingga penggunaan pupuk kimia, herbisida maupun obat-obat pertanian lain memicu kualitas air yang buruk di sekitar waduk. Pupuk kimia yang biasa digunakan oleh petani adalah jenis urea, pupuk majemuk dan SP36 untuk jenis pupuk phosfat. Masing-masing jenis pupuk ini mengandung N dan P dengan konsentrasi yang berbeda. Rata-rata penggunaan pupuk pada satu kali musim tanam sebanyak Kg/ha. Menurut Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian (Setyorini et al., 2006) penggunaan pupuk yang disarankan untuk berbagai status hara tanah sebanyak Kg/ha. Penggunaan pupuk ini lebih besar dibandingkan standar pemakaian pupuk yang disarankan karena petani ingin mendapatkan hasil lebih cepat mengingat lahan pertanian ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan pasang surut air waduk. Pupuk urea mengandung 100 persen kandungan N, pupuk SP36, mengandung P sebanyak 36 persen dan pupuk majemuk dengan kandungan N dan P masing-masing 15 persen. Pupuk jenis urea yang banyak mengandung unsur N digunakan pada saat pertumbuhan tanaman sebagai pembentukan klorofil. Berdasarkan penelitian Liang (1987) yang diacu Sugiyanta (2007) menyatakan bahwa umumnya unsur N diserap padi dalam bentuk amonium (NH + 4 ). Amonium pada lahan sawah persen diserap oleh tanaman padi, persen tertahan di dalam tanah, dan persen hilang karena tercuci, menguap atau

94 72 terdenitrifikasi. Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat dilakukan perhitungan pengaruh N dan P dari sektor pertanian terhadap perairan waduk. Dari 600 Kg pupuk yang digunakan, konsentrasi N sebesar 100 persen dan P sebesar 81 persen, jika persennya terbuang, maka dapat diasumsikan bahwa N yang terbuang ke waduk sebesar 300 Kg. Untuk pupuk phosfat, berdasarkan Sugiyanta (2007), 100 persen hampir dipastikan dapat diserap oleh tanaman dan hanya sedikit atau hampir 0 persen yang menjadi residu. Berdasarkan penelitian tersebut, maka diasumsikan unsur P dalam pupuk yang disebarkan petani tidak ada yang terbuang ke perairan. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, kurang lebih terdapat KK yang memiliki usaha lahan pertanian dengan rata-rata kepemilihan lahan 1,5 ha, maka jumlah N yang diperkirakan terbuang ke perairan sebesar gram/hari. Pestisida sebagai pembasmi hama juga sering digunakan oleh petani lahan pasang surut. Namun pemakaiannya tergantung hama dan penyakit tanaman, tidak setiap musim tanam pestisida ini digunakan oleh petani. Dinamika pestisida sangat berdampak buruk terhadap lingkungan karena membentuk suatu siklus, terutama jenis pestisida yang persisten. Tanaman yang diberi pestisida dapat menyerap pestisida yang kemudian terdistribusi ke dalam akar, batang, daun, dan buah. Pestisida yang tidak terserap oleh tanaman dapat tersebar di lingkungan sekitarnya seperti air permukaan, air tanah, tanah dan tanaman. Pestisida kemudian akan terbawa aliran air dan masuk ke dalam sistem biota air (kehidupan air). Konsentrasi pestisida yang tinggi dalam air dapat membunuh organisme air diantaranya ikan dan udang. Sementara dalam kadar rendah dapat meracuni organisme kecil seperti plankton. Bila plankton ini termakan oleh ikan maka ia akan terakumulasi dalam tubuh ikan. Tentu saja akan sangat berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh burung-burung atau manusia. Residu pestisida dalam tubuh manusia dapat menyebabkan kanker karena bersifat karsinogenik dalam jangka panjang. Sifat mobile yang dimiliki pestisida akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme non sasaran, kualitas air, kualitas tanah dan udara. Penelitian Shahrani (2003) mengenai pengaruh pestisida terhadap ikan mas menyatakan bahwa ikan mas yang diberi perlakuan pestisida jenis insektisida

95 73 menyebabkan ikan menjadi stress. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan ikan menahan serangan bakteri Aeromonas hydrophila. Ikan mas yang hidup di perairan yang mengandung pestisida lebih cepat mati dibandingkan ikan mas kontrol (yang hidup di perairan tanpa pestisida). Jumlah penggunaan pestisida dan pengaruhnya terhadap lingkungan tidak dikaji dalam penelitian ini. Sejauh ini belum ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pengelola waduk terhadap resiko penggunaan pupuk kimia maupun pestisida pada lahan pertanian pasang surut. Hal ini dapat memicu terjadinya pencemaran di waduk dalam jangka panjang. 6.3 Sektor Usaha Kecil Jenis usaha yang dilakukan sebagian kecil masyarakat yang tinggal di sekitar waduk adalah pembuatan ikan asin, tutut rebus, olahan hasil ikan berupa pindang, pepes, ikan asap, berbagai macam penganan dari singkong, pepaya, dan pisang. Semua usaha yang dilakukan masyarakat tergolong usaha kecil karena hampir semua usaha dikerjakan sendiri oleh masyarakat dan hanya sebagian kecil yang memiliki pekerja. Lama usaha yang sudah dijalani rata-rata 6 (Enam) tahun, dengan keuntungan bersih yang dihasilkan rata-rata Rp78.650,00 per responden per harinya. Pemasaran produk hasil usaha ini hanya di sekitar kecamatan terdekat dan cakupan terluas sebatas propinsi Jawa Barat. Lokasi kegiatan usaha pembuatan ikan asin biasanya langsung di lokasi karamba atau sekitar 5 meter dari tepi waduk. Lokasi ini dipilih selain untuk memudahkan memperoleh bahan baku, juga proses pengolahan membutuhan waktu yang cepat. Limbah hasil usaha ini biasanya berupa limbah cair seperti air rebusan tutut, air rendaman ikan asin, dan air cucian bahan baku. Oleh karena letaknya yang dekat dengan waduk, biasanya pemilik langsung membuang limbah cairnya kedalam waduk, begitu juga dengan limbah padat yang dihasilkan berupa sisik ikan, insang ikan, dan bahan lainnya langsung dibuang ke waduk. Untuk usaha pengolahan hasil ikan dan hasil pertanian lain biasanya dilakukan di rumah-rumah penduduk yang jaraknya rata-rata 100 meter dari tepi waduk. Limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan langsung begitu saja dibuang ke kebun atau selokan yang juga bermuara ke waduk. Oleh karena usaha

96 74 ini masih tergolong kecil, sehingga pengukuran kontribusi limbah padat dan cair termasuk dalam aktivitas domestik masyarakat pada pembahasan sub-bab berikut ini. 6.4 Sektor Domestik Masyarakat di Sekitar Waduk Jumlah responden dalam pengukuran aktivitas domestik sebanyak 71 kepala keluarga yang terdiri dari RT pertanian dan RT skala usaha. Informasi kedua sektor ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang karakteristik sampah dan pola perilaku masyarakat dalam menangani sampah untuk wilayah daratan. Tabel berikut akan menyajikan gambaran volume besarnya sampah organik dan anorganik yang dibuang ke waduk : Tabel 18. Data Limbah Padat yang Dihasilkan Masyarakat di Sekitar Waduk Jenis sampah Vol sampah Vol sampah (gram/rtm) (gram/waduk) Organik Anorganik TOTAL Per bulan (Ton/hari) Per tahun (Ton/hari) Sumber : Data Primer yang diolah. RTM = Rumah tangga masyarakat domestik Berdasarkan tabel diatas, rata-rata volume sampah yang dihasilkan oleh satu rumah tangga sebanyak 6,4 Kg/hari, yang terdiri dari sampah organik 3,9 Kg/hari dan sampah anorganik sebanyak 2,5 Kg/hari. Jika dibandingkan dengan data sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh rumah tangga petani yang tinggal di atas waduk memang lebih besar, hal ini karena jumlah anggota keluarga yang tinggal di darat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal diatas waduk. Sementara itu komposisi jenis sampah pun berbeda, rumah tangga di darat lebih banyak menghasilkan sampah organik, sedangkan RTP yang tinggal di atas waduk lebih banyak menghasilkan sampah anorganik. Hal ini kemungkinan karena RTP yang tinggal di atas waduk jarang melakukan kegiatan memasak dan cenderung memakan makanan instan atau makanan jadi/matang yang bisa dibeli di warung keliling atau makan makanan yang diantarkan oleh anggota keluarga mereka yang tinggal di darat.

97 75 Pola perilaku masyarakat di darat hampir sama dengan masyarakat yang tinggal di atas waduk. Masyarakat tidak terbiasa untuk melakukan pemilahan sampah dan mencampur semua sampah baik organik maupun anorganik. Tempat pembuangan sampah mereka adalah kebun, di depan halaman rumah atau selokan depan rumah yang bermuara ke waduk. Beberapa masyarakat (60 persen) membakar sampah-sampah ini dan membiarkan abunya terbawa angin atau air menuju ke selokan. Sebagian lain (40 persen) langsung membuangnya ke selokan dan akan terbawa air pada saat hujan menuju ke waduk. Jika 40 persen masyarakat yang tinggal di sekitar waduk langsung membuang sampahnya ke selokan yang bermuara ke waduk, berarti secara tidak langsung masyarakat membuang sampahnya ke waduk, karena jika musim penghujan, sampah-sampah itu akan mengalir masuk ke waduk terbawa oleh aliran air hujan. Berdasarkan data Potensi Desa kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung (2009) terdapat 15 desa dari 3 kabupaten yang letaknya berada di pinggiran Waduk Cirata, atau kira-kira RT. Jika 40 persennya atau setara dengan RT yang membuang sampahnya ke waduk, maka diperkirakan dalam 1 hari terdapat 58 ton sampah yang dibuang ke waduk. Jika dikumulatifkan selama 1 tahun maka terdapat ton sampah yang masuk ke waduk dan berpotensi menyebabkan sedimentasi. Tabel 19. Data limbah cair yang dihasilkan masyarakat di sekitar waduk Aktivitas Frekuensi/ Minggu Jumlah air/rt (Liter) Jumlah air/waduk (Liter) Mandi , ,78 Cuci pakaian 6 269, ,45 Cuci asset 1 62, ,23 BAB ,69 TOTAL ,15 Per bulan ,61 Per tahun ,30 Sumber : Data primer diolah (2012) Limbah cair yang juga dihasilkan masyarakat sekitar waduk dapat dilihat pada Tabel 19 diatas. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata masyarakat yang tinggal di darat mandi 3 kali dalam sehari dengan menghabiskan air sebanyak ,44 liter per minggunya. Untuk mencuci pakaian dilakukan hampir setiap

98 76 hari (6 kali per minggu) dengan rata-rata air yang digunakan sebanyak 269,18 liter. Data ini lebih banyak dibandingkan air yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal diatas waduk. Hal ini diperkirakan karena kebanyakan masyarakat yang tinggal di atas waduk berjenis kelamin laki-laki dan mencuci pakaian bukanlah tugas pokok dari laki-laki, sehingga frekuensi mencuci pakaian lebih banyak dilakukan oleh masyarakat di darat yang lebih banyak didominasi oleh perempuan. Volume air yang dipergunakan pun lebih banyak masyarakat di darat dibandingkan masyarakat yang tinggal di air, padahal tidak semua masyarakat didarat menggunakan air waduk untuk melakukan aktivitas ini. Sebagian besar masyarakat menggunakan air sumur dan sebagian kecil menggunakan air waduk untuk mencuci pakaian dan mandi. Alasan sebagian kecil masyarakat yang lebih senang menggunakan air waduk untuk mencuci dan mandi karena masalah kebiasaan. Mereka lebih senang mencuci di waduk karena bebas menggunakan air tanpa dibatasi dan tanpa harus menimba air di sumur. Mereka pun mengaku tidak takut akan bahaya penyakit yang mungkin diderita karena menggunakan air waduk yang kualitasnya semakin menurun (hasil wawancara dengan responden, Mei 2012) Untuk aktivitas mencuci asset, masyarakat di darat lebih sedikit mencuci assetnya dibandingkan masyarakat yang tinggal di air. Hal ini mungkin disebabkan masyarakat yang tinggal di atas waduk menyadari bahwa perahu sebagai satu-satunya transportasi mereka menuju ke darat harus dirawat dan dijaga, karena itu perawatan perahu dengan cara membersihkan dan mencucinya dilakukan masyarakat sebanyak 2 kali dalam seminggu. Kategori asset yang dimiliki masyarakat di darat adalah motor atau mobil. Sebagian besar hanya mencuci assetnya sebanyak 1 kali seminggu dengan jumlah air yang digunakan rata-rata sebanyak 62,12 liter. Aktivitas BAB yang dilakukan oleh masyarakat di darat 1 kali lebih banyak frekuensinya dibandingkan masyarakat yang tinggal di atas waduk. Hal ini karena aktivitas BAB masyarakat yang tinggal diwaduk biasanya dilakukan setelah hari gelap, sedangkan untuk masyarakat di darat tidak dibatasi waktu. Walaupun 40 persen masyarakat melakukan aktivitas BAB-nya di pinggir waduk.

99 77 Jumlah air yang digunakan untuk BAB relatif sama dengan masyarakat yang tinggal di atas waduk yaitu sebesar 36 liter/rumah tangga. Potensi pencemaran yang dihasilkan dari aktivitas domestik masyarakat yang tinggal di sekitar waduk dihitung berdasarkan persentase masyarakat yang menggunakan air waduk untuk melakukan aktivitasnya. Oleh karena itu liter air yang tercemar akan dikalikan dengan 40 persen jumlah penduduk yang tinggal di sekitar waduk, dan hasilnya sebanyak ,15 liter air/rumah tangga per harinya yang masuk ke perairan dan berpotensi untuk mencemari air waduk karena semua aktivitas tersebut menggunakan sabun dan deterjen. Menurut Wadhana (2004), deterjen terbuat dari bahan kimia surfaktan baik bersifat kationik, anionik maupun non-ionik. Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia organik dan memiliki rantai kimia yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Dalam deterjen, surfaktan berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Akibat adanya kandungan deterjen dalam perairan adalah proses eutrofikasi. Ini terjadi karena deterjen mengandung fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi salah satu jenis algae tertentu dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik, sehingga banyak industri sabun menambahkan fosfat pada pembuatan deterjennya. Penggunaan deterjen selain mengakibatkan eutrofikasi juga menyebabkan kematian pada ikan, karena mengganggu fungsi operculum ikan dengan merusak insang seperti yang sudah dibahas diatas. Bagi manusia, deterjen juga berbahaya dan dapat mengancam kehidupan. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa warga desa di sekitar waduk yang memanfaatkan air waduk untuk mandi atau mencuci mengakui bahwa pertama kali mereka menggunakan air waduk sering mengalami gatal-gatal, tetapi gejala tersebut hilang dengan sendirinya setelah beberapa minggu kemudian. Artinya masyarakat sudah terbiasa sehingga toleransi kulit mereka terhadap air waduk yang sudah tercemar sangat tinggi. Menurut Wardhana (2004), sabun dan deterjen sebernarnya berbeda. Sabun berasal dari asam lemak (stearat, palmitat atau oleat) yang direaksikan

100 78 dengan basa. Sabun terbagi menjadi dua yaitu sabun keras (sabun natron) yang merupakan garam natrium asal lemak; dan sabun lunak yaitu kalium asam lemak yang diperoleh dari reaksi asam lemak dengan basa. Sabun lunak seringkali diberi pewarna yang menarik dan pewangi (parfum) yang harum serta bahan antiseptik seperti pada sabun mandi. Larutan sabun akan menaikkan ph air sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air. Lebih lanjut Wardhana (2004) menyatakan deterjen yang menggunakan bahan non-fosfat akan menaikkan ph air sampai 10,5 11. Bahan antiseptik yang biasanya ditambahkan pada sabun juga dapat mengganggu kehidupan mikroorganisme di dalam air, bahkan dapat mematikan. Sebagian sabun maupun deterjen tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikroorganisme yang ada di dalam air. Keadaan ini tentu saja akan merugikan lingkungan. Bahan buangan anorganik pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit terdegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan anorganik ini masuk ke lingkungan perairan maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam di dalam air, seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Timbal (Pb), dan ion-ion dalam skala kecil. Hal yang patut diwaspadai adalah kandungan ion Kalsium dan Magnesium didalam air dapat menyebabkan air bersifat sadah. Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena mampu merusak peralatan yang terbuat dari besi, yaitu melalui proses pengkaratan (korosi). Kondisi inilah yang sudah dialami oleh PT. PJB pada alat-alat pembangkit setelah pemeriksaan selama 24 tahun. Berikut ini adalah gambar alat pembangkit yang terkena korosi : Gambar 17. Pipa Pendingin Pembangkit yang Mengalami Korosi

101 79 Bahan buangan organik seperti sisa makanan, feses dan urine pada umumnya dapat membusuk dan terdegradasi oleh mikroorganisme. Namun patut diwaspadai karena limbah ini dapat menaikkan populasi mikroorganisme didalam air. Dengan bertambahnya populasi mikroorganisme di dalam air maka tidak tetutup pula kemungkinan berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Untuk lebih mudah membandingkan kontribusi limbah padat diantara sektor perikanan dan sektor aktivitas domestik, dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 20. Perbandingan Limbah Padat antara Aktivitas Domestik RTP dan RTM Jenis Vol Sampah Perikanan (gram) Vol Sampah Domestik (gram) sampah Per-RTP Per-Waduk Per-RTM Per-Waduk Organik Anorganik Styrofoam , TOTAL Sumber : Data Primer yang diolah (2012) Tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa Waduk Cirata menerima limbah padat rata-rata per hari sebanyak 70 ton, yang disumbang dari sektor perikanan sebanyak 11,5 ton dan 58,5 dari sektor aktivitas domestik masyarakat yang tinggal di pinggiran waduk. Tabel 21. Perbandingan Limbah Cair antara Aktivitas Domestik RTP dan RTM Aktivitas Frekuensi/mgg Jumlah air/liter Total air Perikanan Domestik Perikanan Domestik Perikanan Domestik Mandi , Cuci pakaian ,70 269, Cuci asset ,80 62, BAB ,55 36, Total Kontribusi limbah cair antara aktivitas domestik masyarakat sekitar waduk dan masyarakat penunggu KJA, lebih besar disumbang oleh aktivitas rumah tangga. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21 diatas. Pencemaran air waduk karena limbah cair yang dihasilkan aktivitas domestik sebanyak 106 juta liter/hari sedangkan sektor perikanan hanya 11 juta liter/hari. Jika dilihat dari jumlah

102 80 pemakaian air, masyarakat Cirata cenderung boros dalam menggunakan air (330 liter/hari/kapita untuk sektor perikanan dan 480 liter/hari/kapita untuk sektor domestik) jika dibandingkan dengan standar pemakaian air dari SNI (2002), jumlah kebutuhan air masyarakat pedesaan berkisar liter/hari/kapita. Hal ini karena masyarakat merasa bahwa air waduk dapat memenuhi kebutuhan mereka bahkan pada musim kering sekalipun. Perbandingan untuk kontribusi N dan P yang berpotensi terjadinya eutrofikasi antara sektor perikanan, pertanian dan aktivitas domestik masyarakat di sekitar waduk dapat terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 22. Perbandingan Kontribusi N dan P yang Terbuang ke Perairan Parameter Jumlah Asumsi N (g) P (g) Total Bobot 1 ton bobot = 110 g Kg Ikan mas N dan P 611,82 611,82 Total Bobot ikan 1 ton bobot = 110 g Kg nila N dan P 314,38 314,38 Jumlah pakan 48 Kg/hari/petak N = 4,86 % dan P = 0,26% ,40 Jumlah 100 org = 2 g N dan orang penunggu P 100,44 100,44 Aktivitas Domestik orang 1 desa = 20% orang 451,68 451,68 Aktivitas Pertanian Kg/ha N = 50-54%, P ~ TOTAL Asumsi yang digunakan untuk menghitung kontribusi N dan P dari bobot ikan, jumlah penunggu dan aktivitas domestik berdasarkan Ryding&Rast (1989) yang diacu Nastiti (1996), sedangkan untuk jumlah pakan asumsi N dan P berasal dari rata-rata kandungan N dan P dalam komposisi pakan komersial yang digunakan oleh sebagian besar petani. Estimasi N dan P yang terbuang dari aktivitas pertanian juga berdasarkan penelitian Liang yang diacu Sugiyanta (2007). Estimasi jumlah penduduk yang melakukan aktivitas MCK yang berkontribusi terhadap N dan P sebesar 20 persen didasarkan atas jumlah masyarakat yang tinggal dengan jarak tidak kurang dari 1 Km dari waduk. Diasumsikan mereka menggunakan air waduk untuk melakukan aktivitasnya dan atau mengalirkan limbah cair aktivitas domestiknya ke parit yang bermuara ke waduk.

103 81 Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat dibandingkan kontribusi N dan P ke perairan dari ketiga sektor yang diteliti. Sektor perikanan memberikan sumbangan tertinggi karena sisa pakan ikan dan feses ikan berdasarkan bobot total ikan 6.5 Willingness to Pay (WTP) Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah untuk Mengatasi Sedimentasi Pengukuran Willingness to pay (WTP) masyarakat dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat berkeinginan untuk berkontribusi dalam penanganan sampah dan pelestarian Waduk Cirata. Data ini dapat dijadikan panduan bagi pengelola untuk melakukan sharing cost pembiayaan pengelolaan waduk atau khusus untuk mengatasi sedimentasi. Pengukuran WTP dibedakan antara masyarakat yang tinggal disekitar waduk dan masyarakat yang memiliki usaha budidaya KJA di atas waduk. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapatan yang cukup besar antara rumah tangga petani ikan dengan rumah tangga pertanian dan usaha. Berdasarkan hasil survei, diperoleh WTP rata-rata untuk masyarakat yang memiliki usaha budidaya perikanan KJA sebesar Rp25.357,00/bulan; dan rata-rata WTP untuk masyarakat yang tinggal didarat yang memiliki mata pencaharian usaha kecil dan pertanian sebesar Rp6.175,00/bulan. Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP, maka dibangun sebuah model persamaan dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi besarnya nilai WTP yang diberikan responden. Variabel tersebut adalah tingkat pendidikan, pendapatan masyarakat, jenis kelamin, preferensi masyarakat terhadap waduk, jenis kelamin, asal responden, besarnya jumlah anggota rumah tangga, dan jarak tempat tinggal responden dengan waduk. Untuk melihat korelasi antara nilai WTP yang diberikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti yang disebutkan diatas, maka dilakukan uji regresi linier. Berikut ini adalah hasil dari regresi dari pengukuran WTP untuk keluarga non petani KJA : WTP = sex jmlh ART - 26 Umur + 51 Pendidikan Pekerjaan + 0,00304 Penghasilan Asal - 10,4 jarak (m) Tanggapan sampah

104 82 Variabel sex/jenis kelamin merupakan variabel dummy, dengan pengkategorian 0 (nol) untuk menunjukkan responden laki-laki dan 1 (satu) untuk kategori perempuan. Variabel sex/jenis kelamin menunjukkan tanda negatif (-) yang berarti bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki memberikan nilai WTP lebih besar dibandingkan responden dengan jenis kelamin perempuan. Hal ini karena lama pendidikan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga laki-laki lebih terbuka terhadap paradigma baru. Sementara itu kaum perempuan biasanya mengelola keuangan keluarga dan lebih tahu pos-pos mengetahui pos pengeluaran keuangan, sehingga cenderung memberikan nilai rendah untuk sesuatu yang bukan merupakan keharusan atau kewajiban. Kaum laki-laki cenderung bersifat inelastis terhadap sesuatu yang dirasa perlu untuk kenyamanan hidup keluarga. Penelitian yang dilakukan untuk tingkat rumah tangga, biasanya dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah keluarga. Dari hasil regresi, jumlah anggota keluarga menunjukkan tanda positif (+) yang berarti bahwa keluarga dengan jumlah anggota lebih banyak memberikan nilai WTP lebih besar. Hal ini agak bertolak belakang dengan kecenderungan yang biasanya terjadi, karena keluarga dengan jumlah anggota lebih banyak, tentu lebih banyak mengeluarkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari sehingga alokasi dana untuk kegiatan sosial atau lingkungan menjadi berkurang. Namun pada penelitian ini jumlah anggota keluarga lebih banyak ternyata memberikan nilai WTP lebih besar. Hal ini kemungkinan masalah lingkungan berupa sampah dan pelestarian waduk sangat penting bagi responden, sehingga mereka mengharapkan dengan adanya program pelestarian waduk, anak-cucu mereka masih bisa menikmati Waduk Cirata dengan segala usaha yang bisa dilakukan diatasnya. Umur responden, berdasarkan uji regresi menunjukkan tanda negatif (-) yang berarti bahwa responden dengan umur lebih muda memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan dengan responden yang sudah berumur tua. Hal ini berarti responden dengan usia yang tergolong muda lebih terbuka wawasannya untuk suatu perubahan atau paradigma perbaikan lingkungan untuk pelestarian

105 83 waduk. Sehingga mereka memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan responden yang telah berumur. Tingkat pendidikan berdasarkan hasil regresi menunjukkan tanda positif (+), berarti bahwa responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, memberikan nilai WTP yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan umur responden diatas, masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih terbuka dan memahami tentang masalah lingkungan dan kaitannya dengan dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga mereka cenderung memberikan nilai WTP lebih besar dengan harapan mereka mampu berkontribusi untuk kegiatan pelestarian waduk. Jenis pekerjaan juga ikut mempengaruhi besar kecilnya nilai WTP. Masyarakat yang berprofesi petani ditandai dengan angka 1 (satu) dan non petani, ditandai dengan angka 0 (nol). Yang termasuk kategori non petani adalah pemilik usaha kecil, wiraswasta atau karyawan. Hasil regresi menunjukkan tanda negatif (-) yang berarti bahwa masyarakat yang berprofesi non-petani memberikan nilai WTP lebih besar dibandingkan masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Hal ini kemungkinan berkorelasi dengan tingkat pendapatan masyarakat. Responden yang berprofesi sebagai pemilik/pengelola usaha, karyawan maupun wiraswasta memiliki pendapatan yang pasti setiap bulannya, sedangkan untuk petani, pendapatan tidak menentu tergantung pada musim, sehingga mereka cenderung memberikan nilai lebih rendah. Kemungkinan lain, profesi non petani sangat dipengaruhi oleh aktivitas di waduk seperti budidaya perikanan, dan pariwisata; sehingga ketika waduk tercemar atau mengalami penutupan lebih cepat, merekalah yang pertama kali merasakan dampaknya. Jika usaha budidaya ikan lancar, maka semakin banyak orang yang datang ke Cirata dan usaha mereka menjadi lebih lancar. Tingkat penghasilan responden juga sangat mempengaruhi nilai WTP. Responden dengan tingkat penghasilan yang tinggi cenderung memberikan nilai WTP yang lebih besar, dan sebaliknya masyarakat dengan tingkat pendapatan lebih rendah cenderung juga memberikan nilai WTP yang rendah pula. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang mengatakan bahwa preferensi manusia dalam melakukan pilihan tergantung pada informasi yang dipahaminya, dan tingkat

106 84 pendapatannya. Hasil regresi diatas sesuai dengan teori karena variabel pendapatan menunjukkan tanda positif (+), yang berarti responden dengan penghasilan lebih besar memberikan nilai WTP yang besar pula. Asal responden juga dianalisis dalam model persamaan yang dibangun. Variabel dummy untuk masyarakat pribumi adalah nol (0), sedangkan untuk masyarakat non-pribumi adalah satu (1). Variabel ini digunakan karena masyarakat pribumi cenderung lebih merasa memiliki sumber daya sehingga diharapkan memberikan nilai WTP yang lebih besar, dibandingkan masyarakat non-pribumi. Hasil penelitian membuktikan hal tersebut, tanda negatif pada model persamaan diatas menunjukkan bahwa masyarakat asli cenderung memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan masyarakat pendatang. Dalam persamaan untuk variabel jarak menunjukkan tanda negatif (-), artinya responden dengan jarak rumah yang paling dekat dengan waduk memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan dengan responden yang jarak rumahnya cenderung semakin jauh dari waduk. Hal ini karena mereka adalah masyarakat yang paling rentan terkena dampak dari adanya perubahan waduk baik kualitas air, kuantitas, erosi maupun pencemaran air lainnya. Tanggapan terhadap sampah merupakan variabel lingkungan yang dianalisis dalam model pengelolaan sampah dan waduk yang lestari. Pertanyaan terhadap responden adalah: apakah bapak/ibu merasa terganggu dengan banyaknya sampah disekitar rumah dan waduk? Responden diberikan pernyataan berupa angka 1 (satu) yang berarti mereka merasa terganggu dengan adanya sampah dan angka 0 (nol) yang berarti mereka merasa tidak terganggu dengan adanya sampah. Hasil regresi menunjukkan tanda positif (+) yang berarti bahwa masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya sampah di sekitar waduk memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan masyarakat yang tidak merasa terganggu dengan adanya sampah di pinggiran waduk dan di sekitar rumah mereka. Diantara semua variabel yang diuji dengan menggunakan regresi linear, dengan selang kepercayaan 90 persen, hanya 2 (dua variabel) yang memberikan pengaruh nyata terhadap nilai WTP, yaitu variabel penghasilan dan asal responden. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan penghasilan yang

107 85 tinggi cenderung mulai memperhatikan kondisi lingkungan sekitar dan bersedia memberikan kontribusi terhadap program pelestarian waduk yang mungkin menjadi sumber mata pencahariannya. Asal responden juga memberikan pengaruh nyata terhadap nilai WTP, hal ini merupakan bukti bahwa masyarakat pribumi lebih menginginkan waduk ini lestari. minitab : Berikut ini adalah hasil analisis regresi dengan menggunakan software The regression equation is WTP = sex jmlh ART - 26 Umur + 51 Pendidikan Pekerjaan + 0,00304 Penghasilan Asal - 10,4 jarak (m) Tanggapan sampah 65 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant ,91 0,366 sex ,82 0,414 1,107 jmlh ART ,18 0,856 1,053 Umur -25,5 156,8-0,16 0,871 1,169 Pendidikan 51,2 820,0 0,06 0,950 1,448 Pekerjaan ,19 0,850 1,414 Penghasilan 0, , ,66 0,010 1,341 Asal ,18 0,034 1,169 jarak (m) -10,40 11,36-0,92 0,364 1,101 Tanggapan sampah ,20 0,234 1,101 S = 13891,6 R-Sq = 25,6% R-Sq(adj) = 13,4% PRESS = R-Sq(pred) = 0,00% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,10 0,045 Residual Error Total Source DF Seq SS sex jmlh ART Umur Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Asal jarak (m) Tanggapan sampah

108 86 Untuk melihat gambaran demand masyarakat terhadap program managemen pengelolaan sampah berdasarkan nilai WTP yang diberikan, berikut ini merupakan gambar kurva demand dari RT non petani KJA : Gambar 18. Kurva Demand WTP Untuk Rumah Tangga Non-Petani KJA Gambaran WTP untuk keluarga petani KJA dilakukan dengan menseleksi data responden. Data yang dipilih untuk analisis regresi RTP adalah data yang diperoleh dari kuesioner yang benar-benar sebagai pemilik KJA dan bukan merupakan pekerja/buruh KJA. Oleh karena itu dari 68 reponden yang berhasil dikumpulkan dari RTP KJA, hanya 35 responden yang benar-benar ditemui sebagai pemilik KJA, sisanya hanya mendapati buruh KJA yang bekerja. Dari hasil 35 responden inilah analisis WTP dilakukan. Analisis regresi menghasilkan fungsi WTP untuk RTP KJA adalah sebagai berikut : WTP = Umur + 0,00405 Pdptan/bln kualitas lingk Nilai diatas berarti bahwa WTP RTP dipengaruhi oleh tiga variabel yang dominan yaitu umur, pendapatan dan tanggapan RTP terhadap kualitas lingkungan waduk. Seperti halnya pada variabel RT non petani KJA, variabel umur menunjukkan tanda negatif (-) yang berarti bahwa semakin muda umur responden, semakin tinggi dalam memberikan penilaian terhadap WTP managemen pengelolaan sampah di waduk. Begitupula untuk tingkat pendapatan

109 87 masyarakat petani KJA menunjukkan tanda positif (+), yang berarti RT dengan pendapatan lebih besar memberikan WTP lebih tinggi dibandingkan dengan RT yang memiliki pendapatan lebih rendah. Hal ini tercermin dari jumlah kepemilikan petakan KJA. Variabel kualitas lingkungan yang diuji dalam RTP KJA adalah dengan menanyakan sejauhmana kualitas lingkungan waduk saat ini. Variabel ini menggunakan variabel dummy, dimana kategori 0 untuk menunjukkan bahwa kualitas lingkungan buruk dan kategori 1 untuk menunjukkan kualitas lingkungan waduk masih baik. Tanda negatif (-) pada hasil analisis varibel kualitas lingkungan menyatakan bahwa responden yang mengatakan kualitas lingkungan waduk saat ini dalam keadaan buruk, memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan responden yang mengatakan kualitas air waduk saat ini masih tergolong baik. Diantara ketiga variabel yang diuji, variabel umur dan pendapatan memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 90 persen. Artinya kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kesediaan masyarakat membayar untuk managemen pengelolaan sampah. Berikut ini adalah hasil running dengan menggunakan software minitab untuk RTP KJA : Regression Analysis: WTP versus Umur; Pdptan/bln; kualitas lingk The regression equation is WTP = Umur + 0,00405 Pdptan/bln kualitas lingk Predictor Coef SE Coef T P Constant ,30 0,028 Umur -687,7 416,8-1,65 0,109 Pdptan/bln 0, , ,88 0,069 kualitas lingk ,42 0,167 S = 29267,6 R-Sq = 21,4% R-Sq(adj) = 13,7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression ,81 0,056 Residual Error Total Source DF Seq SS Umur Pdptan/bln kualitas lingk

110 88 Unusual Observations Obs Umur WTP Fit SE Fit Residual St Resid 17 47, ,21R 19 24, ,74R 32 42, ,21R R denotes an observation with a large standardized residual. Kurva demand untuk menggambarkan bagaimana keinginan masyarakat dalam berkontribusi terhadap perubahan lingkungan, dapat tergambar pada grafik dibawah ini : Gambar 19. Kurva Demand WTP Rumah Tangga Petani KJA Kurva diatas menunjukkan trend menurun, yang berarti bahwa semakin besar nilai WTP, maka semakin sedikit orang yang memilih selang WTP tersebut, dan semakin kecil nilai WTP, semakin banyak orang yang memilih selang tersebut. Sama halnya dengan barang komoditas, semakin mahal harganya, semakin sedikit orang yang mampu membeli. Kurva ini sesuai dengan preferensi masyarakat yang berkembang selama ini. Namun inti dari kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka pelestarian waduk merupakan apresiasi yang patut ditonjolkan. Kesediaan membayar ini menunjukkan bahwa masyarakat merasa sumber daya waduk merupakan barang komditas yang penting dan bersedia bersama-sama mengeluarkan sejumlah uang supaya waduk ini tetap bertahan dan memberikan

111 89 jasa layannya secara optimal. Oleh karena itu, nilai WTP masyarakat ini dapat digunakan oleh perusahaan pengelola waduk sebagai biaya investasi untuk memperbaiki lingkungan. Nilai investasi diperoleh dari nilai mean WTP RTM dan RTP dikalikan dengan banyaknya rumah tangga petani KJA dan rumah tangga masyarakat yang tinggal di sekitar waduk dan dikalikan dengan sisa masa layan waduk yang terhitung sejak pengukuran tahun 2007 tinggal 60 tahun lagi. Sehingga jika WTP ini diterapkan di tahun 2012, sisa masa layan waduk tinggal 55 tahun lagi. Berikut ini adalah perhitungan biaya lingkungan yang diperoleh dari WTP masyarakat : Tabel 23. Biaya Lingkungan Perbaikan Waduk dari WTP Masyarakat Variabel WTP RTM WTP RTP Mean WTP (Rp) Jumlah (KK) Asumsi (40%) Sisa layan waduk (Tahun) Nilai Biaya Perbaikan waduk TOTAL (Rp) Sumber : Data Primer diolah (2012) Asumsi yang digunakan sebagai pengali mean WTP dari RTM (Rumah tangga masyarakat sekitar waduk) sebesar 40 persen berdasarkan atas jumlah KK yang tinggal hanya di sekitar waduk atau kurang dari 1 Km dari tepian waduk. Rumah Tangga Petani KJA diasumsikan akan berkurang hingga 40 persennya dari sensus KJA Pengukuran sedimentasi yang dilakukan PT. PJB pada tahun 2007, menghasilkan studi yang menyatakan bahwa umur layan waduk dengan laju sedimentasi 4,38 juta ton/tahun hanya tinggal 60 tahun lagi. Selama berlangsung penelitian ini di tahun 2012, umur waduk sudah berkurang selama 5 tahun, sehingga pengali untuk sisa layan waduk menjadi 55 tahun. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka diperoleh nilai perbaikan waduk yang berasal dari keinginan masyarakat untuk ikut berkontribusi terhadap pelestarian waduk sebesar Rp ,00 (53 milyar rupiah).

112 90

113 91 BAB 7 ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI PLTA PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) merupakan salah satu produsen listrik untuk PLN yang tergabung dalam interkoneksi Jawa dan Bali. Produk utamanya dalam pengelolaan PLTA adalah : (1). Kesiapan operasi unit pembangkit dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung kepada pelanggan yang dinyatakan dengan EAF (Equivalent Availability Factor) declare; (2). Energi listrik (kwh) dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung kepada pelanggan melalui transmisi tenaga listrik berdasarkan kontrak jual beli; (3). Jasa Operation dan Maintenance (O&M) pembangkit, dengan mekanisme penyampaian langsung kepada pelanggan melalui layanan pengoperasian dan pemeliharaan pembangkit berdasarkan kontrak (Buku Saku Panduan Magang PT. PJB, 2010) Kesiapan operasi unit pembangkit yang dinyatakan melalui EAF merupakan indikator perusahaan dalam mewujudkan pelayanan kepada pelanggan. EAF tahun 2010 untuk UP. Cirata sebesar 95,98 persen. Artinya bahwa pembangkit siap beroperasi sebesar 95,98 persen dari total kemampuan daya yang dihasilkan. Penjualan energi listrik diakui berdasarkan kilo watt hour (KwH) yang dipasok kepada PT. PLN (Persero) dengan menggunakan formula tarif yang ditetapkan melalui perjanjian jual beli tenaga listrik. Formula tarif mencangkup perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya. Disamping usaha utama, PT. PJB juga mengembangkan usaha penunjang tenaga listrik yaitu unit jasa operasi dan pemeliharaan (O&M) pembangkit. Unit jasa ini berada di bawah anak perusahaan PJB yaitu PT. Pembangkitan Jawa Bali Services dan PT. Rekadaya Elektrika. Untuk dapat menghasilkan produk utama ini, kinerja staf PT. PJB sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal perusahaan. Kondisi internal berkaitan dengan hal-hal tehnis pembangkit antara lain adalah kesiapsiagaan staf PJB selama dua puluh empat jam dalam merawat dan mengoperasikan alat-alat pembangkit sehingga berfungsi efesien dan bertahan dalam jangka panjang. Faktor eksternal pembangkit listrik tenaga air adalah tata kelola waduk yang

114 92 menjadi bahan bakar bagi alat pembangkit untuk menghasilkan listrik. Bahan bakar berupa air tersebut ditampung dalam suatu waduk dan menjadi sumber bahan bakar dalam jangka panjang. Tata kelola waduk tersebut dipengaruhi oleh seberapa besar aktivitas penunjang yang memanfaatkan waduk, tekanan lingkungan dari sekeliling waduk, dan limpasan erosi dan limbah dari hulu sungai-sungai yang bermuara di waduk. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi air di waduk adalah besarnya curah hujan, evaporasi dan besarnya sedimen mempengaruhi kualitas dan kuantitas air. Alat-alat pembangkit listrik membutuhkan air dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yag baik. Jika kualitas air di waduk dalam keadaan buruk, misalnya mengandung unsur logam tinggi tentunya akan mempengaruhi efesiensi alat-alat pembangkit. Untuk memahami lebih jauh mengenai ketersediaan air dengan produksi listrik yang menjadi produk utama PLTA, maka perlu dipelajari hubungan antara tinggi muka air, sedimentasi dan produksi listrik seperti pembahasan dibawah ini : 7.1 Hubungan antara Elevasi, Luas Permukaan dan Volume Waduk terhadap Sedimentasi Waduk diperlukan untuk menampung air pada saat musim hujan, apabila terjadi kemarau, maka air tetap tersedia dan listrik tetap dapat dihasilkan. Tampungan air di waduk pada prinsipnya sama dengan tampungan air ditempat penampungan lainnya. Hal yang membedakan adalah tampungan di waduk selalu dalam skala besar dan air yang ditampung sangat bermakna bagi kepentingan pengairan di daerah hilir dan bahkan bernilai ekonomi bila dapat membangkitkan tenaga listrik seperti di PLTA. Penambahan dan pengurangan volume air waduk dapat dikontrol melalui perubahan atau fluktuasi elevasi muka air waduk. Luas permukaan waduk juga sangat tergantung pada elevasi muka air. Luas permukaan waduk diperlukan untuk analisis perubahan tampungan, evaporasi waduk dan menghitung volume curah hujan yang langsung jatuh ke waduk. Pada umumnya, air yang ditampung di waduk tidak semua dapat dimanfaatkan. Hal ini berhubungan dengan perencanaan struktur awal sebuah waduk. Biasanya sebuah waduk memiliki batas air tertinggi disebut dengan elevasi normal (normal pool level) sedangkan batas air terendah disebut elevasi minimum (minimum pool level). Pada elevasi normal, permukaan air waduk tepat

115 93 mencapai mercu bangunan pelimpah (spillway) dan elevasi minimum tercapai pada saat permukaan air tepat mencapai dasar dari bangunan penyadap (intake, gambar lihat lampiran). Ruang antara elevasi normal sampai pada elevasi minimum disebut sebagai kapasitas tampungan efektif yaitu air yang dapat dimanfaatkan untuk operasi waduk selama musim kemarau. Ruang dibawah elevasi minimum disebut dengan kapasitas tampungan mati (dead storage). Dalam sebuah waduk, ruang tersebut haus disediakan untuk menampung kadar lumpur yang tersuspensi pada saat air masuk ke dalam waduk. Besarnya kapasitas tampungan mati pada sebuah waduk didasarkan pada data kadar sedimen melayang dari semua sungai yang masuk ke waduk pada saat perencanaan. Semakin besar sedimen melayang dari sungai-sungai yang direncanakan masuk ke waduk, semakin besar pula kapasitas tampungan mati yang harus disediakan oleh seorang perencana. Untuk Waduk Cirata, posisi elevasi normal terletak pada +220 m sedangkan elevasi minimum terletak pada +185 m. Mengingat pertimbangan teknis operasional dan keamanan dari keempat turbin (sebelum tahun 1997) maka elevasi muka air minimum dalam Pola Operasi Minimum Waduk Cirata ditetapkan pada elevasi +205 m. Hal ini dilakukan untuk melindungi turbin-turbin dari kemungkinan terjadinya gangguan cavitasi. Ketersediaan air dalam waduk menjadi komponen paling penting dalam pembangkit listrik tenaga air, sehingga debit dan jumlah air harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan memenuhi standarisasi untuk dapat menghasilkan listrik. Jika muka air mencapai elevasi terendah, maka dapat mempengaruhi efesiensi turbin. Waduk bisa mencapai elevasi terendah bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain curah hujan dan sedimentasi yang tinggi. Jika curah hujan tinggi, maka waduk dapat menampung air hujan dan muka air waduk akan meningkat. Jika curah hujan rendah maka muka air waduk dapat berkurang. Sedimentasi berkaitan dengan erosi dan limbah yang diperoleh dari anak-anak sungai yang bermuara ke waduk. Jika erosi tinggi di hulu sungai atau di sekeliling waduk, dapat terbawa sampai ke badan waduk, begitu pula jika air sungai membawa limbah dan sampah, dapat menyebabkan sedimentasi di badan waduk. Hal yang mampu ditangani oleh manusia adalah tingkat sedimentasi. Oleh karena

116 94 itu, penghitungan sedimentasi dan kualitas air waduk terus dipantau secara rutin minimal setahun sekali. Berdasarkan penelitian yang panjang yang dilakukan oleh PT PJB dapat dicari hubungan antara elevasi dengan volume air waduk dalam bentuk persamaan matematis. Berdasarkan persamaan matematis tersebut ditentukan elevasi normal (+220 m) dengan volume kumulatif 1827 juta m 3, dan elevasi minimum (+205 m), dengan volume kumulatif sebesar 1060 juta m 3, sehingga volume efektif yang merupakan selisih antara elevasi normal dan elevasi minimum sebesar 767 juta m 3. Volume ini lebih kecil dibandingkan dengan saat perencanaan yaitu sebesar 796 juta m 3. Hal ini disebabkan oleh adanya akumulasi sedimentasi dan sampah anorganik lainnya di dasar waduk yang terus berlangsung dari sejak Waduk Cirata beroperasi di tahun 1988 sampai dengan saat ini. Berdasarkan data perencanaan waduk, elevasi muka air dasar pintu pengambilan (intake) ditetapkan pada +185 m, dengan volume sekitar 491 juta m 3 dan rencana cadangan pada +205 dengan kapasitas tampungan sebesar 1177 m 3. Setelah dilakukan pengukuran sedimentasi di tahun 2007, ternyata akumulasi sedimen di Waduk Cirata pada elevasi +185 m setelah 20 tahun beroperasi diperkirakan sebesar 123 juta m 3 dan pada elevasi +205 m diperkirakan sebesar 117 juta m 3. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas tampungan mati yang tersisa pada elevasi +185 m tinggal 368 juta m 3 dan pada elevasi +205 m tinggal 1060 juta m 3. Oleh karena itu kapasitas tampungan mati Waduk Cirata masih cukup besar meskipun telah beroperasi selama 20 tahun. Laju sedimentasi waduk merupakan kecepatan penambahan sedimen di waduk. Perkiraan laju sedimen waduk dapat diketahui dengan cara membandingkan perbedaan kapasitas tampungan efektif awal pada saat perencanaan dengan kapasitas tampungan hasil perhitungan terakhir. Perbedaan tersebut merupakan kondisi volume sedimen yang diendapkan di dasar waduk dan tingkat laju sedimentasi waduk dapat dihitung berdasarkan total volume sedimen dibagi dengan lamanya waktu operasi, dalam satuan m 3 /tahun. Berdasarkan hasil perhitungan sedimentasi tahun 2007 diperoleh volume sedimen yang diendapkan selama periode 20 tahun dari sebesar 146 juta m 3 atau 7,28 juta m 3 /tahun. Volume total sedimen tersebut setara dengan

117 95 kehilangan tebal lapisan tanah di seluruh permukaan daerah alisan sungai lokal Cirata sebesar 3,96 mm (Luas DAS lokal Km 2 ). Dengan asumsi berat jenis sedimen di Waduk Cirata sebesar 0,6 ton/m 3 maka besar volume sedimen di Waduk Cirata sekitar 4,37 juta ton per tahun. Pengurangan kapasitas tampungan waduk dari sejak perencanaan sampai tahun 2007 bervariasi untuk setiap elevasi. Adapun pengurangan kapasitas tampungan untuk setiap elevasi dapat dilihat dari perbedaan kapasitas tampungan antara hasil pengukuran sedimen dengan perencanaan seperti pada Tabel 23. Sesuai hasil penelitian sedimentasi diatas, maka pada kondisi saat ini produksi listrik Cirata masih dalam status aman. Yang patut diperhatikan adalah tingkat sedimentasi yang harus dijaga, bahkan dikurangi untuk bisa memperpanjang umur waduk dan tetap menjaga kontinuitas pasokan listrik. Tabel 24. Perbedaan Kapasitas Tampungan antara Perencanaan vs Pengukuran Elevasi Vol Vol Pengurangan Kapasitas (m) Perencanaan (Juta m 3 ) Pengukuran (Juta m 3 ) (Juta mtampungan 3 ) % , , , , , , , , , , , , , , , , ,011 0 Sumber : Data Pengukuran Sedimentasi PT PLN PJB (2008) Apabila terjadi musim kemarau yang panjang, dan tinggi muka air sampai pada elevasi terendah maka sistem pola operasi waduk kaskade berlaku. Misalnya dengan meminta pasokan air dari Waduk Saguling di hulu sungai. Permintaan

118 96 tersebut harus melalui sistem dan prosedur yang dibangun oleh PT PLN untuk kaskade tiga bendungan yaitu PLTA Saguling, Cirata dan jatiluhur, serta masingmasing otorita. Sistem ini yang disebut P3B (Penyaluran Pusat Pengatur Beban). Setiap bulan anggota P3B mengadakan rapat rutin untuk menentukan berapa target yang diwajibkan untuk Cirata, Saguling dan Jatiluhur dalam produksi listrik, penggunaan air irigasi, air minum, dan peruntukkan lainnya berdasarkan data curah hujan dari Meteorologi dan data-data pendukung lain dari BPPT. Hasil rapat ini harus disepakati, tidak boleh dilanggar dan menjadi indikator performance masing-masing otorita pembangkit. 7.2 Perhitungan Produksi Listrik Dalam perhitungan produksi listrik yang dikaitkan dengan ketersediaan pasokan air, berlaku ilmu mekanika fluida, dimana terdapat 4 (Empat) perubahan energi yang diperlukan dari air menjadi listrik yaitu : energi ketinggian (potensial) menjadi energi kecepatan (kinetik). Dari energi kecepatan dirubah menjadi energi mekanik atau energi putar dan terdapat generator di dalam turbin yang berfungsi merubah energi putar menjadi energi listrik. Kerugian yang diperoleh bisa terjadi pada saat perubahan energi kinetik, karena daya yang dihasilkan oleh listrik berhubungan dengan banyaknya air yang dibutuhkan. Perhitungan produksi listrik berdasarkan, ketinggian air (h) yang diperoleh dari selisih elevasi air di bendungan, di tampungan air dan di pembuangan; flow atau debit air (Q); efesiensi turbin ( massa jenis air ( seperti rumus dibawah ini, berdasarkan Simanjuntak (2011) : H adalah ketinggian air pada elevasi normal dikurangi elevasi di bendungan dan dikurangi elevasi di pembuangan. Elevasi standar di tail race atau dipembuangan adalah 113 m, elevasi efektif = 103 meter dan elevasi rendah berada pada 97 meter, sehingga didapatkan hasil : H = ,2 H = 106,8 meter Berkaitan dengan operasional waduk untuk kebutuhan pembangkitan listrik, jika batasan TMA (tinggi muka air) sudah terpenuhi (antara 205 s/d 220 m), maka

119 97 pengaturan untuk daya yang dibangkitkan adalah melalui pengaturan debit air yang masuk ke turbin (mekanisme pembukaan Guide Vane), yang berarti bahwa flow atau debit air sudah diatur sesuai dengan kapasitas turbin dan listrik yang ingin dihasilkan. Nilai debit ait tersebut adalah : Q = 135 m 3 /s Maka : Oleh karena adanya efesiensi generator, maka hasil produksi listrik tersebut akan dikalikan dengan efesiensi generator sebesar 98%, sehingga : Dengan perhitungan elevasi standar inilah maka produksi listrik Cirata yang mampu dihasilkan sebesar 126 MW per turbin. Oleh karena PLTA Cirata memiliki 8 turbin, sehingga total kapasitas listrik terpasang yang mampu dihasilkan sebesar MW. Jadi TMA sangat mempengaruhi produksi listrik, selama batasan TMA terpenuhi (elevasi normal m), maka operasional pembangkit bisa difungsikan. Ketika TMA semakin menurun dan alat pembangkit terus menerus difungsikan, disinilah peran P3B dalam sistem kaskade Citarum mengatur permintaan produksi listrik. TMA ini sangat dipengarui oleh curah hujan. Oleh karena itu kondisi curah hujan menjadi pantauan yang mutlak dilakukan dalam perencanaan produksi listrik. Bekerjasama dengan lembaga meteorologi, PT. PJB melakukan pantauan perkiraan curah hujan di daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan seperti pada gambar dibawah ini, menunjukkan bahwa selama tahun rata-rata curah hujan sebesar 1959,67 mm/tahun. Angka curah hujan relatif rendah di tahun 1997, 1999, 2006

120 98 dan 2009, dan curah hujan yang cukup tinggi di tahun 2011 seperti yang terlihat dalam Gambar 20. Gambar 20. Data Curah Hujan Rata-rata dari tahun 1994 s/d 2011 Gambar 21. Data Produksi Gross Listrik Tahunan dari 1988 s/d 2011 (MwH) Jika data curah hujan dibandingkan dengan produksi listrik seperti yang terlihat pada Gambar 21, maka trend produksi listrik mengikuti alur curah hujan. Oleh karena peningkatan/penurunan curah hujan dapat mempengaruhi tinggi muka air waduk yang pada akhirnya mempengaruhi produksi listrik. Selain curah hujan yang pengukurannya di anak-anak sungai yang bermuara ke waduk, tinggi

121 99 muka air waduk juga dipengaruhi oleh keluaran Waduk Saguling (yang merupakan inflow Waduk Cirata) dan tingkat sedimentasi di waduk. Jika sedimentasi di waduk tinggi maka mempengaruhi kapasitas tampungan waduk yang pada akhirnya mempengaruhi tinggi muka air waduk. Oleh karena cuaca sulit diprediksi dan siklus musim tidak teratur sehingga produksi listrik setiap tahun akan berbeda. Selain itu kesiapan pembangkit thermal (base load) juga mempengaruhi pengoperasian PLTA Cirata. Jika pembangkit thermal berkapasitas besar dalam kondisi outage (keluar dari sistem) atau ada gangguan transmisi 500 kv (sutet tegangan tinggi) maka PLTA Cirata akan dioperasikan base load sehingga produksi akan meningkat. Terjadinya penurunan curah hujan yang drastis pada tahun 1997 dipengaruhi oleh musim, adanya gejala el nino menyebabkan beberapa wilayah di Indonesia mengalami kekeringan. PLTA Cirata pun mendapat dampak dari adanya gejala el nino tersebut, sehingga produksi listrik turun drastis pada level MwH. Di tahun , terjadi gejala yang berkebalikan, dimana pada tahun tersebut curah hujan saat tinggi, dan PLTA difungsikan maksimum. Bagian terpenting dari suatu waduk adalah besarnya kapasitas tampungan mati (dead storage). Kapasitas tampungan mati tersebut mempunyai batas masa layan yang telah direncanakan sejak awal pembangunannya. Apabila batas masa layan ini terlampaui berarti kapasitas tampungan matinya diperkirakan sudah tertutup penuh oleh sedimen dan waduk berfungsi sebagai waduk runoff. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari PT. PJB dalam Laporan pengukuran sedimentasi, maka dapat diprediksi umur layanan waduk. Untuk menghitung perkiraan sisa umur layan waduk menggunakan rumus sebagai berikut: Vs = Vp Va Dimana : Vs = Volume sedimen yang diendapkan (m 3 ) Vp = Volume waduk pada saat perencanaan (m 3 ) Va = Volume waduk aktual (m 3 )

122 100 Berdasarkan rumus diatas, dapat dihitung besarnya volume sedimen yang diendapkan pada elevasi +185 yaitu sebesar 123 juta m 3, pada elevasi +205 m sebesar 117 juta m 3 dan pada elevasi +220 m sebesar 146 juta m 3. Dengan rumus tingkat laju sedimentasi waduk, maka dapat dihitung pada elevasi +185 m sebesar 6,15 juta m 3 /tahun, pada elevasi +205 sebesar 5,85 juta m 3 /tahun dan pada elevasi +220 m sebesar 7,3 juta m 3 /tahun. Dengan rumus diatas maka dapat diperkirakan bahwa sisa umur layan waduk pada elevasi +185, +205 dan +220 adalah berturutturut 60 tahun, 180 tahun dan 250 tahun. Perhitungan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa laju sedimentasi tidak bertambah dari tahun ke tahun dan kondisi hutan, tata guna lahan di daerah aliran sungai Citarum hulu dan wilayah sabuk hijau (green belt) di sekeliling Waduk Cirata tidak lebih buruk dari kondisi sekarang. Berikut ini adalah matriks perhitungan umur layanan waduk : Gambar 22. Ilustrasi Umur Layan Waduk Setelah Pengukuran Sedimentasi Perhitungan Estimasi Kerugian Perhitungan estimasi kerugian PLTA akibat sedimentasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu productivity approach dan Benefit Cost Analysis. Benefit cost analysis merupakan pendekatan dengan membandingkan ratio antara keuntungan yang dihasilkan, dalam hal ini produksi listrik dan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi listrik. Pendekatan ini membutuhkan data-data berbagai macam pengeluaran (cost) dalam memproduksi listrik dan benefit yang

123 101 diperoleh dalam usaha penjualan produksi listrik. Productivity approach membutuhkan data produksi dan analisis dilakukan dengan melihat trend produksi yang dihasilkan. Adanya gap atau penurunan/peningkatan produksi mengindikasikan adanya potensi kerugian/keuntungan. Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi diantara dua pendekatan tersebut, produktivity approach dan benefit cost analysis. Hal ini karena produktivitas listrik yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh curah hujan, kesepakatan dalam kelompok P3B, sistem interkoneksi Jawa-Bali, faktor-faktor managemen dan politis. Sementara itu benefit cost analysis membutuhkan data-data keuangan yang kemungkinan sulit diperoleh secara lengkap dan berurutan sesuai waktu beroperasinya pembangkit Analisis Benefit Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data benefit adalah dengan melihat data produksi listrik dan mencari data harga jual listrik dari produsen ke perusahaan listrik. PT. PJB memiliki dokumentasi data produksi yang lengkap, customize dan bisa diakses pihak luar. Data yang diperoleh untuk produksi listrik tersedia dari mulai awal pembangkit beroperasi ditahun 1988 sampai dengan tahun 2011 dalam satuan MwH. Data produksi listrik tersebut merupakan data gross yang belum mempertimbangkan susut trafo (kehilangan energi dalam transmisi distribusi) dan pemakaian sendiri. Berdasarkan hasil analisis data produksi, rata-rata susut trafo dan pemakaian sendiri kurang dari 10 persen terhadap produksi gross. Oleh karena itu Tabel 25 dibawah ini berisi data produksi gross, produksi net, rata-rata produksi dan data penjualan. Data penjualan diperoleh dengan mengalikan produksi listrik net dan harga jual listrik kepada PT. PLN (Persero). Penjualan listrik ini dilakukan melalui hubungan kerjasama yang istimewa. Penentuan harga ditetapkan berdasarkan perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya. Menurut Laporan Tahunan PT. PJB Tahun 2010, harga jual listrik Rp679,00/KwH lebih rendah dibandingkan harga tahun 2009 yang ditetapkan sebesar Rp680,00/KwH. Berdasarkan data rata-rata harga jual listrik dalam 10 tahun terakhir ( ), diperoleh rata-rata harga jual Rp399,00/KwH. Oleh karena

124 102 itu untuk perhitungan benefit perusahaan ditetapkan harga jual listrik sebesar Rp350,00/KwH. Tabel 25. Data Produksi Listrik Gross, Estimasi Produksi Listrik Netto dan Penjualan Listrik dari Tahun TAHUN Prod. Gross (MwH) Prod. Netto (MwH) Rata-rata (MwH) Data Penjualan (Rp) Rata-rata Sumber : Data PT. PJB yang diolah (2012) Untuk mendapatkan gambaran benefit sampai dengan akhir proyek, maka dilakukan ektrapolasi data berdasarkan data benefit diatas. Ektrapolasi dilakukan dengan membuat model regresi variabel tunggal yaitu waktu. Model yang diperoleh dapat memberikan gambaran estimasi benefit yang diperoleh PT. PJB sampai dengan akhir proyek. Hasil ektrapolasi benefit sampai dengan tahun 2075 (87 tahun) dapat dilihat pada Lampiran 10.

125 Analisis Cost Identifikasi selanjutnya adalah identifikasi cost/biaya operasional dan maintenance yang harus dikeluarkan oleh PT. PJB untuk kegiatan produksi listrik. Komponen biaya operasional secara keseluruhan meliputi : pemeliharaan saluran air, pemeliharaan instalasi, pemeliharaan saluran, pemeliharaan unit umum dan pemeliharaan unit bisnis. Komponen biaya maintenance meliputi pembelian suku cadang, pemakaian umum, pembelian alat kontrol/instrumen dan pembelian suku cadang mesin. Tabel 26. Estimasi Cost Operasional&Maintenance vs Cost Karena Sedimentasi Tahun Pemeliharaan Saluran Air Biaya Operasional BPWC Total Ops&Maint Cost Rata-rata Sumber : Data Primer yang diolah (2012) Berdasarkan hasil wawancara dengan staf keuangan, jenis biaya yang harus dikeluarkan berkaitan dengan akibat sedimentasi adalah pembersihan saluran air. Biaya pembersihan saluran air ini bukanlah merupakan pengeluaran rutin setiap tahun, hanya pengeluaran tentatif yang diperlukan jika terjadi sumbatan atau kerusakan saluran air. Oleh karena tingkat sedimentasi berkaitan dengan tata kelola waduk, maka PT. PJB memberikan kewenangan kepada BPWC sebagai anak perusahaan PT PJB UP Cirata untuk mengatur dan memastikan kualitas dan kuantitas air waduk dengan biaya operasional rutin BPWC berasal dari PT. PJB sebesar Rp milyar/tahun. Informasi ini akan dimasukkan dalam operasional cost untuk menangani sedimentasi. Tabel 25 diatas

126 104 merupakan data simulasi dari biaya yang dikeluarkan dalam rangka mengatasi sedimentasi dan biaya-biaya operasional dan maintenance secara keseluruhan berdasarkan hasil wawancara dengan staf keuangan dan staf BPWC. Berdasarkan Tabel 26 diatas, pengeluaran untuk pembersihan saluran air pada tahun 2007 cukup besar oleh karena adanya kerusakan pada salah satu turbin sehingga mempengaruhi saluran air; sedangkan pada tahun 2011 juga terdapat pengeluaran yang cukup besar karena adanya kegiatan overhaul/pemeriksaan dan penggantian secara menyeluruh alat pembangkit termasuk pembersihan dan perawatan saluran air. Komposisi biaya operasional BPWC pada kolom kedua, berdasarkan hasil wawancara dengan staf BPWC, yang berkaitan dengan kegiatan mengatasi sedimentasi terdiri dari biaya penghijauan sekitar waduk sebesar Rp ,00/tahun yang terdiri dari biaya pengadaan bibit sebesar Rp ,00 dan biaya pemeliharaan sebesar Rp ,00. Biaya penanggulangan sampah sebanyak Rp ,00/bulan atau sekitar 3 milyar rupiah/tahun. Dana penanggulangan sampah tersebut dikeluarkan untuk menggaji tenaga sukarelawan yang memungut/mengambil sampah di danau di 7 titik lokasi, pengadaan perahu dan motor tempel. Kolom ke-4 (Empat) pada tabel diatas, merupakan biaya keseluruhan yang dikeluarkan oleh PT PJB dalam memproduksi listrik. Biaya tersebut terdiri dari biaya operasional, biaya pemeliharaan pembangkit, termasuk beban biaya penyusutan, beban pegawai dan beban lain-lain. Berdasarkan hasil wawancara dan verifikasi Laporan Tahunan PT. PJB secara cooperate, beban biaya penyusutan, beban pegawai dan beban lain-lainnya berkisar persen dari beban biaya maintenance dan operasional. Menurut keterangan staf enjinering, biaya pemeliharaan pembangkit mengalami trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada pemeriksaan menyeluruh alat pembangkit (over haul) yang dilaksanakan pada tahun 2011, beberapa bagian alat pembangkit mengalami korosivitas yang lebih cepat dari spesifikasi pabrik. Hal ini terjadi karena kualitas air yang buruk dan banyak mengandung unsur logam berat.

127 105 Untuk melihat perbandingan biaya secara umum, biaya pemeliharan saluran air, biaya maintenance dan operasional pembangkit, dan biaya BPWC dalam mengatasi sedimentasi, dapat dilihat pada grafik dibawah ini : Gambar 23. Perbandingan Biaya Penanggulanan Sedimentasi vs Total Biaya Operational&Maintenance Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa biaya operasional dan maintenance cenderung meningkat sepanjang sepuluh tahun terakhir. Begitu pula dengan biaya yang dikeluarkan oleh PT. PJB dalam mengatasi sedimentasi juga menunjukkan trend peningkatan. Ekstrapolasi cost juga dilakukan untuk mengestimasi biaya yang dikeluarkan sampai dengan akhir proyek, yang dilampirkan pada Lampiran 11 (Sebelas) Analisis Kerugian Secara umum biaya operasional dan maintenance memang mengalami trend peningkatan, namun hal ini tidak bisa dijadikan dasar untuk perhitungan kerugian spesifik karena sedimentasi. Oleh karena biaya operasional dan maintenance merupakan kumulatif dari seluruh pembiayaan yang terjadi termasuk dalam mengatasi korosivitas dan beban lain. Sesuai hubungan antara elevasi, sedimentasi dan produksi listrik, serta analisis biaya yang dikeluarkan PT. PJB berkaitan dengan sedimentantasi maka

128 106 dapat disimpulkan bahwa PLTA sampai dengan saat ini belum mengalami kerugian akibat sedimentasi, oleh karena TMA masih dalam batasan yang wajar (elevasi normal), sehingga produksi listrik tetap dapat berjalan. Namun akumulasi sedimentasi sebesar 146 juta m 3 tersebut berpotensi mengurangi produksi listrik karena masa layan waduk yang berkurang. Jika laju sedimentasi berdasarkan pengukuran 2007 dianggap konstan, artinya laju sedimentasi tidak bertambah dari tahun ke tahun, maka diperkirakan dead storage waduk terisi penuh oleh lapisan sediment dalam waktu 60 tahun lagi. Oleh karena umur waduk dari mulai beroperasi ( ) telah berumur 19 tahun, dan laju sedimentasi berdasarkan perencanaan sebesar 5,3 juta m 3 /tahun, maka dengan kapasitas 491 juta m 3, direncanakan umur waduk mencapai 87 tahun (lihat perhitungan gambar). Dengan perencanaan 87 tahun dan umur waduk saat ini sudah berlangsung 19 tahun, maka umur waduk tahun 2012 ini tinggal 68 tahun. Berdasarkan perhitungan umur layan waduk tahun 2007 dalam Laporan Hasil Sedimentasi PT. PJB (2008) yang hanya tinggal 60 tahun, maka waduk mengalami 8 (Delapan) tahun masa layanannya. Berikut ini tabel yang memudahkan perhitungan masa layan yang hilang dari hasi data sedimentasi yang diperoleh dari PT. PJB : Tabel 27. Data Perhitungan Masa Layan Waduk yang Hilang Akibat Sedimentasi Parameter Perencanaan 1988 Pengukuran Sedimentasi 2007 Volume waduk (Juta m 3 ) Sediment Rate (m 3 /tahun) 5,6 6,16 Umur layan (tahun) Masa layan yang hilang (thn) 8 Sumber : Data PJB dan hasil analisis (2012) Berdasarkan perhitungan berkurangnya masa layan waduk, maka dapat dihitung kerugian PLTA akibat sedimentasi karena berpeluang tidak dapat berproduksi selama Delapan tahun, dengan cara melakukan ektrapolasi pada data benefit dan cost diatas, sehingga diperoleh benefit dan cost dari awal tahun beroperasinya waduk (1988) sampai berakhirnya waduk di tahun Perhitungan ektrapolasi dapat dilihat pada lampiran 10 dan 11. Hasil ektrapolasi cost dan benefit kemudian di buat NPV untuk mengetahui nilai uang pada masa sekarang. Perhitungan NPV hasil ektrapolasi dapat dilihat pada lampiran 12 dan 13. Delapan tahun terakhir yaitu merupakan potensi kerugian PLTA

129 107 karena tidak bisa beroperasi. Nilai benefit yang hilang pada tahun tersebut dijumlahkan dan dikurangi dengan data cost yang diperoleh dengan cara yang sama. Maka diperoleh nilai penjumlahan benefit dari tahun sebesar Rp ,00 dan nilai penjumlahan cost pada tahun sebesar Rp ,00. Hasil pengurangan penjumlahan benefit dan cost merupakan nilai kerugian PLTA karena sedimentasi yaitu sebesar Rp ,00 (11 milyar rupiah). Nilai diatas dapat dijadikan acuan bagi pemegang kebijakan PT. PJB dalam mengatasi masalah sedimentasi saat ini, misalnya dengan melakukan pengerukan. Jika biaya pengerukan saat ini lebih kecil dari nilai diatas, maka hal tersebut dapat dilakukan agar perusahaan dapat memperpanjang umur waduk selama 8 tahun dan mengantisipasi kerugian. Jika nilai pengerukan sedimentasi melebihi nilai diatas, maka perlu dipertimbangkan upaya-upaya lain untuk menekan laju sedimentasi agar bisa memperpanjang umur waduk. Jika upaya-upaya mengatasi sedimentasi tidak membuahkan hasil, apa yang akan terjadi jika dead storage sudah terisi penuh dengan sedimen? Berdasarkan hasil wawancara dengan staf PT. PJB, untuk mengantisipasi keamanan bendungan maka produksi listrik akan dihentikan. Pada masa itulah waduk saatnya ditutup dan mulai perencanaan membuka waduk baru. Berikut ini adalah analisis financial untuk pertimbangan pembangunan waduk baru berdasarkan data benefit dan cost diatas : Tabel. 28 Analisis Financial Pembangunan Waduk Baru KETERANGAN BIAYA Biaya Pembangunan Cirata 1 dan Benefit selama 60 tahun Cost selama 60 tahun Net surplus : Benefit - cost Sisa surplus - biaya pembangunan Sumber : Hasil Analisis Data Discounting Benefit dan Cost Berdasarkan data diatas, jika perusahaan tidak melakukan upaya apapun dalam mengatasi sedimentasi saat ini, maka diperkirakan waduk akan tutup ditahun 2067 atau 60 tahun lagi. Pada masa tersebut terdapat net surplus dari perhitungan benefit dikurangi dengan cost sebesar Rp ,00

130 108 (43 triliun rupiah). Biaya pembangunan waduk pada tahun 1988 diperkirakan sebesar Rp ,00 (8 triliun rupiah); maka jika net surplus dikurangi biaya untuk membangun waduk baru, diperkirakan masih terdapat sisa surplus sebesar Rp ,00 (35 triliun rupiah) Pembangunan waduk baru ini sangat penting karena relevansi pembangunan bendungan baru seringkali dikaitkan dengan peningkatan ekonomi suatu negara. Fungsi bendungan selain untuk penerangan, juga memenuhi pasokan listrik yang memiliki arti penting dalam pertumbuhan ekonomi. Konsumsi listrik akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berdampak pada output perekonomian. Pertumbuhan output ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan permintaan akan energi listrik. Untuk itu ketersediaan sumbersumber listrik masih terus diperlukan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Belum lagi ditambah dengan jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan lebih banyak pasokan listrik terutama yang berasal dari sumber terbaharukan seperti air. Energi listrik yang berasal dari tenaga air cenderung lebih diutamakan karena beberapa keuntungan antara lain : (i) Bahan bakar jenis air ini sama sekali tidak habis terpakai ataupun berubah menjadi sesuatu yang lain, seperti PLTU contohnya yang menggunakan bahan bakar batu bara akan menghadapi masalah pembuangan limbahnya berupa abu batu bara. Air yang merupakan bahan bakar untuk listrik ini melimpas melalui turbin, tanpa kehilangan kemampuan pelayanan untuk wilayah di hilirnya. Air masih mampu mengairi sawah-sawah ataupun bahan baku air minum. (ii) Biaya pengoperasian PLTA lebih rendah jika dibandingkan dengan PLTN atau PLTU. (iii) Turbin-turbin pada PLTA bisa dioperasikan ataupun dihentikan pengoperasiannya setiap saat. Hal ini tidak mungkin pada PLTU dan PLTN. Dengan tehnik perencanaan yang baik pembangkit listrik dapat menghasilkan tenaga dengan efesiensi yang sangat tinggi meskipun fluktuasi beban cukup besar. (iv) Teknologi PLTA cukup sederhana, dapat dimengerti dan mudah untuk dioperasikan. Ketangguhan sistemnya dapat lebih diandalkan dibandingkan sumber-sumber daya lainnya. (v) Peralatan PLTA yang mutakhir, umumnya memiliki peluang yang besar untuk bisa dioperasikan selama lebih dari 50 tahun. Hal ini cukup bersaing jika dibandingkan dengan umur

131 109 efektif dari PLTN yang sekitar 30 tahun. (vi) Pengembangan PLTA dengan memanfaatkan arus sungai dapat menimbulkan manfaat lain seperti pariwisata, perikanan, irigasi pertanian dan pengendali banjir (Dandekar&Sharma, 1991). Tentu saja berbagai keuntungan diatas tidak terlepas dari beberapa kelemahan dalam proses pembangunannya, antara lain yang paling menonjol adalah : Pertama, semua program PLTA merupakan program padat modal, sehingga laju pengembalian modal proyek PLTA rendah. Kedua, masa persiapan suatu proyek PLTA pada umumnya memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih sepuluh sampai dengan lima belas tahun dari mulai persiapan hingga pengoperasiannya. Ketiga, PLTA sangat tergantung pada aliran sungai secara alamiah, sedangkan aliran sungai tersebut sangat bervariasi, banyak faktor yang menyebabkan variasi tersebut, misalnya adanya erosi di hulu, limbah rumah tangga/indutri/perikanan, dan lain sebagainya. Keempat, timbulnya dampak sosial dari pembangunan bendungan besar jika harus merelokasi masyarakat dari wilayah tempat tinggal mereka (Dandekar&Sharma, 1991). Goldsmith&Hilyard (1993) pernah meneliti dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan bendungan-bendungan raksasa di seluruh dunia. Mereka mengatakan bahwa lebih banyak kerugian yang diderita oleh masyarakat maupun lingkungan akibat pembangunan bendungan besar, dibandingkan keuntungan jangka pendek yang dihasilkan dari bendungan-bendungan tersebut. Dampak sosial yang dikaji dari pembangunan bendungan besar di negara-negara maju dan berkembang antara lain : masalah pembebasan lahan yang biasanya tidak menguntungkan masyarakat, masalah pemukiman kembali bagi masyarakat yang terkena dampak genangan, karena biasanya mereka mendapatkan tanah yang kurang subur; kehancuran sosial dan budaya masyarakat setempat. Pokok masalah yang disampaikan oleh Goldsmith&Hilyard (1993) dalam penelitian tentang pembangunan bendungan-bendungan besar di seluruh dunia ternyata pembangunan bendungan yang dibuat dengan tujuan irigasi tidaklah sepenuhnya memberikan peningkatan produksi pangan, karena dalam jangka panjang program irigasi tersebut telah mengubah areal luas tanah subur menjadi gurun pasir yang berlapis garam dan betapa industri yang bertenaga bendungan ini selanjutnya mengacaukan suplai bahan pangan karena terjadinya pencemaran dan

132 110 merusak tanah pertanian. Sejumlah orang terpaksa harus dipindahkan dari rumahrumah mereka agar di tempat itu dapat dibangun waduk; kehidupan sosial mereka menjadi berantakan dan kebudayaan mereka dihancurkan. Kesehatan mereka pun dipertaruhkan karena mendapat ancaman baru berupa bahaya penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh air waduk seperti malaria, schistosomiasis, filariasis, diare, dll. Selain itu dewasa ini bendungan-bendungan tersebut dicurigai memicu terjadinya gempa dan gagal mengendalikan banjir dan malah menurunkan kualitas air yang diperlukan oleh ratusan orang. Pada akhirnya ahli waris yang sesungguhnya dari program bendungan besar dan pengembangan air ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional besar, elit-elit di dunia ketiga dan para politisi negara. Dari sisi lingkungan, keberadaan bendungan besar menurut Goldsmith&Hilyard (1993) telah menghilangkan tanah dan kehidupan margasatwa di bagian hulu, menghilangkan endapan lumpur dan kesuburan di bagian hilir. Plasma nutfah yang hilang dari keunikan wilayah tropis dan biodiversitas berbagai tumbuhan dan hewan yang ikut punah terendam air waduk. Ekosistem yang harus berubah digantikan dengan ekosistem baru dimana beberapa spesies harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Seringkali yang terjadi spesies endemik atau asli setempat tidak dapat menyesuaikan diri dan akhirnya punah digantikan oleh spesies invasif yang memang sengaja dimasukkan dalam ekosistem baru tersebut untuk kepentingan kehidupan manusia. Contohnya adalah budidaya ikan mas telah menggantikan ikan-ikan endemik seperti ikan nilem, benter, kalawak, dan tawes. Masalah lingkungan lain yang kemudian akan timbul dalam jangka panjang adalah salinitas yang tinggi dan sedimentasi di waduk. Banyak studi yang menerangkan bahwa masalah utama waduk terutama di daerah tropis lebih rentan mengalami sedimentasi karena tingkat konversi hutan dan penggundulan hutan yang menyebabkan tingkat erosi lebih tinggi dibandingkan yang telah direncanakan. Waduk Peligre di Haiti yang memanfaatkan sungai Artibonite diperkirakan dapat bertahan untuk masa 50 tahun, namun dalam 30 tahun bendungan tersebut harus ditutup karena sedimentasi. Bendungan tersebut akan meninggalkan tanah berlumpur luas yang tidak bisa ditanami. Sedimentasi

133 111 sebelum waktunya sangat mempengaruhi nilai ekonomis bendungan. Biaya akhir pembangunan bendungan sangatlah besar, jika terjadi penutupan waduk lebih cepat, tentunya pengembalian hutang pembangunan tidak tercapai. Walaupun terdapat net surplus dari pembangunan waduk baru, dan adanya kebutuhan yang mendesak terhadap energi seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk, namun dalam pembangunannya kita perlu juga mempertimbangkan dampak-dampak sosial seperti diatas.

134 112

135 113 BAB 8 ANALISIS KELEMBAGAAN Dengan mengacu pada kerangka analisis Ostrom (2003), maka dapat diperoleh gambaran umum analisis kelembagaan yang meliputi karakteristik sumber daya waduk, faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna sumber daya seperti faktor ekonomi, kebijakan, politik, kebijakan dan teknologi, serta analisis pengguna sumber daya yang terangkum dalam analisis stakeholder serta analisis konflik untuk melihat interaksi masing-masing aktor. Berikut ini adalah analisis deskriptif mengenai masing-masing kategori diatas : 8.1 Karakteristik Sumber Daya Waduk Sumber daya buatan manusia berupa waduk di wilayah Cirata sangat unik dan merupakan pemanfaatan DAS Citarum yang sangat efisien, karena mencakup 3 (Tiga) buah waduk yang menggunakan satu aliran sungai yang disebut kaskade. DAS Citarum mengalir dengan debit air sebesar 52,6 m 3 /detik mampu menghasilkan MW (40 persen dari sistem kelistrikan Jawa) yang dapat mengalirkan listrik untuk seluruh pulau Jawa, Bali dan Madura. adalah perbandingan Waduk Cirata diantara waduk kaskade lainnya : Berikut ini Tabel 29. Gambaran Umum Waduk Kaskade Keterangan Saguling Cirata Jatiluhur Letak Hulu (Kab. Bandung) Tengah (Kab. Bandung Barat, Hilir (Kab. Purwakarta) Purwakarta dan Cianjur) Pembangunan Fungsi Utama PLTA dan irigasi PLTA PLTA, Irigasi dan Air Minum Ketinggian (dpl) Luas Waduk (Ha) Volume (juta m 3 ) Pengelola PT. IP (Indonesia Power) PT. PJB (Pembangkitan Jawa Bali) Produksi Listrik (MW) PJT II (Perum Jasa Tirta II)

136 114 Waduk Jatiluhur atau yang juga disebut waduk Ir. H Djuanda di Hilir Sungai Citarum merupakan waduk tertua diantara waduk kaskade. Waduk ini dibangun dengan tujuan utama untuk PLTA, irigasi, bahan baku air minum dan industri. Untuk mengantisipasi limbah dari hulu sungai yang dapat mencemari waduk Jatiluhur, maka dibangunlah waduk Saguling sebagai filter limbah, diharapkan dengan adanya Waduk Saguling maka inlet di pintu air Jatiluhur dapat memberikan air yang lebih bersih. Namun seiring dengan pembangunan Waduk Saguling, aktivitas ekonomi lain seperti perikanan dan pertanian juga dilakukan di Waduk Saguling yang menyebabkan kualitas air yang dihasilkannya semakin menurun. Oleh karena itu dibangunlah waduk di tengah-tengah DAS Citarum yaitu Cirata yang diharapkan dapat menjadi filter kedua bagi perairan Jatiluhur. Fungsi utama awal dibangunnya waduk hanya untuk PLTA. Pengoperasian PLTA tidak menghasilkan limbah dan hanya menggunakan air sebagai media untuk menghasilkan listrik. Berdasarkan wilayah administratifnya, Waduk Saguling berada di Kabupaten Bandung. Waduk Jatiluhur berada di Kabupaten Purwakarta dan keunikan Waduk Cirata berada pada lintas wilayah administratif yaitu Kabupaten Purwakarta, Cianjur dan Bandung Barat. Pengelola Waduk Jatiluhur adalah Perum Jasa Tirta II, pengelola Waduk Saguling adalah PT Indonesia Power dan pengelola Waduk Cirata adalah PT. Pembangkitan Jawa Bali. Keunikan lain dari Cirata adalah adanya pembagian kerja antara pembangkitan dan tata kelola waduk. PT. PJB membentuk anak perusahaan dengan nama BPWC (Badan Pengelola Waduk Cirata) yang khusus menangani kualitas air waduk dan kegiatan lain yang ada diatas waduk. Hampir semua waduk dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA, namun ternyata hampir semua waduk juga digunakan sebagai sarana bagi peningkatan perekonomian dalam bidang perikanan dan pariwisata. Begitu pula yang terjadi dengan waduk kaskade. Ketiganya menjadi sentra perikanan air tawar. Dalam pengelolaan sumber daya hal ini tentunya sangat efisien dan memberikan nilai tambah. Kegiatan ikutan lain ini tentu saja perlu dikelola dengan baik agar fungsi utama pembangunan waduk tidak terganggu. Oleh karena itu dibutuhkan kelembagaan yang tepat dalam menangani tata kelola waduk.

137 115 Inefesiensi biasanya terjadi ketika kegiatan lain tersebut melebihi daya dukung lingkungan waduk dan atau menghasilkan eksternalitas negatif yang dapat mempengaruhi kualitas air yang dibutuhkan untuk tercapainya fungsi utama. Kekhasan Waduk Cirata yang genangannya melintasi 3 (Tiga) kabupaten maka pengelola membagi wilayah waduk menjadi 3 zonasi yaitu : Zona 1 meliputi Kabupaten Bandung Barat, Zona 2 berada di Kabupaten Purwakarta dan Zona 3 yaitu Kabupaten Cianjur. Zonasi ini untuk dipergunakan untuk mengatur tata letak karamba agar sirkulasi dan transportasi air dapat dilalui. Pengaturan tata letak diberlakukan untuk mempermudah monitoring dan dipergunakan oleh masingmasing dinas terkait dalam pendampingan dan pembinaan petani ikan KJA dan nelayan. Selain DAS Citarum, Waduk Cirata juga menerima aliran air dari DAS- DAS kecil seperti Cikundul, Cisokan, Cimeta, Cicendo dan Cibalagung. Lahan yang dikelola oleh Cirata selain luas perairan juga wilayah non waduk dengan luas m 2. Berikut ini adalah data teknis mengenai waduk Cirata yang diperoleh dari PT. PJB : Tabel 30. Data Teknis Waduk Cirata Bendungan Nama bendungan Bendungan Cirata Type bendungan Concrete Faced Rockfill Dam ( CFRD ) Urugan batu dengan permukaan lapis beton sebagai bahan kedap air Tinggi, elevasi puncak 125 meter ; +225 meter Panjang puncak Isi tubuh bendungan 453,5 meter 3,9 juta m3 Waduk ( Reservoir ) Luas daerah tangkapan 4119 Km 2 Kapasitas tampungan waduk : - Total (Gross) kapasitas Juta m 3 pada elev. +223,00 m - Kapasitas efektif 796 Juta m 3 (+205,00 ~ + 220,00 m ) Luas area genangan Luas area genangan Debit rencana rata rata Sumber : Laporan PT. PJB UP Cirata 62,00 Km 2 pada elevasi normal + 220,00 m 65,60 Km 2 pada elevasi normal + 223,00 m 1,080 m 3 / detik

138 116 Waduk ini dibuat oleh PLN Proyek Pembangkit Hidro Jawa Barat (PIKITDRO JABAR) bekerjasama dengan beberapa kontraktor asing dan dalam negeri. Tercatat kontraktor dari Jepang (Taisei Co dan Nisso Iwai), Austria (Voest Alpine dan Elin Union), Prancis (Gogelex) dan Jerman Barat (Brown Boveri) serta kontraktor dalam negeri seperti PT. Boma Bisma Indra, PT Wasamitra, PT. Brantas Abipraya, PT. Citra Contrac, PT. Mega Eltra, PT. United Tractors, dan PT. Triguna Utama. Dengan konsultan utama dari Jepang, yaitu NEWJEC (New Japan Engineering Consultant). Adanya sistem joint operation antara kontraktor asing dengan kontraktor nasional diharapkan dapat terjadi alih teknologi, memacu pertumbuhan kontraktor nasional dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak seluruhnya diserap oleh perusahaan asing. Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh Pemerintah Indonesia melalui dana APBN dan non APBN serta dana PLN juga mendapat bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu : a. IBRD (International Bank Reconstruction and Development), sebesar ekivalen US $241,300,000 b. CDC (Common Wealth Development Cooperation), sebesar ekivalen US $ 18,800,000 c. SC (Supplier Credits), sebesar ekivalen US $ 69,000,000 d. Pemerintah Austria e. APBN dan non APBN, sebesar ekivalen US $ 235,900,000 Sehingga total pembiayaan untuk pembangunan waduk dan pembangkit Cirata I (4 trafo) sebesar US $ sedangkan untuk pembangunan Cirata II (atau penambahan 4 trafo yaitu unit 5, 6, 7 dan 8) menelan biaya sebesar Rp ,00; SFR ,00; NTD ,00 dan Yen ,00. Nilai ini setara dengan Rp (kurang lebih delapan triliun rupiah) Dampak dari pembangunan waduk ini cukup besar terutama terhadap kehidupan masyarakat di 3 Kabupaten. Dampak ini dapat dilihat secara jangka pendek maupun jangka panjang, dan ada yang bersifat baik adapula dampak buruk. Salah satu contoh dampak sosial yang dialami masyarakat yang terkena

139 117 dampak langsung dari penggenangan air, yaitu masalah pembebasan lahan. Pada saat penelitian, masih ada responden yang menyatakan kekecewaannya karena masalah pembebasan tanah yang tidak sesuai dengan nilai harga tanah saat itu. Secara sosial mereka kehilangan tanah, rumah dan karuhun lembur nenek moyang (istilah setempat untuk menyebut kampung halaman). Ada masyarakat yang dipaksa untuk melakukan transmigrasi ke luar pulau Jawa, dan ada pula yang tidak bersedia dan memilih mencari desa terdekat untuk bermukim. Dari sekian banyak masalah negatif yang timbul dari pembangunan waduk, dan hal tersebut tidak dipungkiri oleh masyarakat setempat, namun banyak pula masyarakat di Cirata mengatakan hal yang positif dengan adanya pembangunan waduk. Peluang usaha terbuka lebar, mulai dari buruh KJA, nelayan, petani, pemilik KJA, buruh angkut, sewa perahu, rumah makan, dan kegiatan ekonomi lain. Masyarakat pun tidak merasa kekurangan air walaupun menghadapi musim kemarau. Adanya usaha KJA dan usaha ikutan lainnya di sekitar waduk membuat masyarakat dapat hidup secara layak. Pada awal kegiatan budidaya ikan, kualitas air masih bagus, produksi ikan bisa mencapai hasil yang optimal, dan harga ikan tergolong tinggi, masyarakat dapat meraup untung yang cukup besar. Secara sosial perubahan status terjadi di masyarakat, dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang mampu menunaikan ibadah haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam. Secara umum permasalahan yang dialami oleh bendungan-bendungan besar di dunia, juga terjadi di Cirata. Laju sedimentasi melebihi perencanaan waduk, telah menyebabkan penurunan kualitas air waduk serta berkurangnya umur layan waduk selama 8 tahun. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya waduk. Masalah property right juga berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan tersebut. Oleh karena keunikan Waduk Cirata yang melintasi 3 kabupaten, sehingga propety right juga menjadi salah satu pemicu terjadinya pengurangan daya dukung waduk. Masalah property right ini berkaitan dengan siapa yang memiliki kewenangan untuk mengelola dan menangani managemen sumber daya. Masalah property right ini akan dibahas pada bagian ekonomi, politik, kebijakan dan tata kelola kelembagaan dalam pemanfaatan Waduk Cirata.

140 118 Dalam managemen pengelolaan CPRs, Dolsak&Ostrom (2002) telah mengidentifikasi faktor-faktor kunci. Faktor-faktor kunci tersebut antara lain : ukuran SDA relatif kecil kecil, stabil dan memiliki batas-batas yang jelas, penggunaan sumber daya yang menghasilkan eksternalitas negatif paling kecil, kemampuan pengguna sumber daya dalam memonitor stock dan flows, dan pengguna sumber daya termasuk kategori pengguna moderate, dimana tingkat pengetahuan pengguna SDA cukup tinggi sehingga mampu memahami pentingnya penggunaan sumber daya yang tidak berlebihan. Sumber daya dengan ciri-ciri diatas masih mungkin dilakukan pencegahan kerusakan SDA karena dinamika SDA dipahami dengan benar oleh para pengguna sumber daya. CPRs dengan ukuran yang relatif kecil lebih kondusif dalam pembentukan dan pengelolaan kelembagaan untuk mengelola sumber daya. Seberapa kecil ukuran sumber daya yang dimaksud? Pada kondisi ini tidak ada definisi yang lebih tepat untuk menjelaskan ukuran dari sebuah CPRs. Beberapa peneliti biasanya mengelompokkan CPR ke dalam sumber daya lokal, regional dan global. Ukuran CPRs ini berhubungan dengan variabel lain contohnya CPRs yang relatif kecil, lebih mudah dimonitor. Stok yang sedikit lebih mudah dimonitor dengan menggunakan metode yang relatif sederhana dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. CPRs yang kecil cenderung hanya diminati oleh segelintir pengguna, sehingga aliran sumber daya mudah dimonitor dalam kaitannya dengan perhitungan stok dan pengaduan terhadap batas penggunaan sumber daya mudah diukur. Untuk sumber daya skala regional dan global biasanya sulit untuk memperkirakan tehnik yang tepat dalam mengukur stok dan menghitung flow yang terjadi. Keunikan Waduk Cirata dibandingkan waduk kaskade lainnya dalam hal lintas wilayah administrasi ini mengakibatkan ketidakjelasan property right waduk sehingga terdapat 3 kabupaten yang merasa memiliki kewenangan untuk pengusahaan waduk. Oleh karena itu bisa dikategorikan bahwa Waduk Cirata merupakan CPRs dengan ukuran besar (skala regional). Monitoring sumber daya ini relatif sulit karena ukuran waduk yang besar dan melintasi beda kabupaten yang memiliki perbedaan kebijakan, perbedaan aturan main dan perbedaan administratif lainnya; dan karena besarnya waduk ini maka banyak pihak yang

141 119 tertarik untuk mengesktraksi atau memanfaatkan waduk untuk kepentingan ekonomi. Banyaknya pengguna sumber daya ini tentu saja menyulitkan proses monitoring stok dan flow sumber daya tersebut. CPRs dengan skala lokal contohnya adalah waduk Jatiluhur di hilir sungai Citarum yang merupakan kaskade dari Waduk Cirata. Kepemilikkan dan pengelolaan waduk jelas dikelola oleh satu pihak dengan melibatkan satu pemerintahan kabupaten. Sehingga setiap upaya pemanfaatan waduk dan aktivitas penanggulangan kerusakan waduk dikelola oleh pihak-pihak yang jelas. Monitoring flow dan stok dikelola oleh pihak yang berwenang, kebijakan yang dibuat dipatuhi oleh semua pengguna sumber daya. Pada awal pembangunannya, waduk Jatiluhur tidak merelokasi masyarakat karena daerah yang terkena dampak genangan adalah hutan-hutan tidak berpenghuni, sehingga tidak ada janji apapun kepada masyarakat yang terkena dampak. Hal inilah yang memungkinkan waduk Jatiluhur membuat peraturan dan monitoring siapa saja yang berhak untuk memanfaatkan waduk sebagai tempat budidaya. Peraturannya tegas, dibuat dan dilakukan oleh pemerintah berwenang yang menjaga sumber daya tersebut sebagai asset kabupaten. CPR dengan batas-batas yang jelas dan stabil ditemukan lebih kondusif dalam keberlanjutan managemen kelembagaan. Jika batas-batas CPRs dipahami dengan benar dan tidak berubah seiring dengan waktu, maka mudah untuk menentukan pengguna sumber daya dan aktivitas pengambilan sumber daya. Di lain pihak, jika sumber daya menghasilkan unit yang bergerak melewati batasbatas, misalnya ikan yang bermigrasi, jumlah pengguna sumber daya biasanya akan naik secara drastis sehingga lebih sulit untuk membentuk dan mengelola kelembagaan untuk mencegah penggunaan yang berlebihan dari sumber daya tersebut. Dalam kasus Waduk Cirata penentuan batas atau zonasi baru dilakukan di tahun Begitu juga dengan pengaturan kegiatan perekonomian budidaya baru ditertibkan oleh pengelola waduk dalam upaya untuk meningkatkan kelancaran usaha, jalur transportasi, mempermudah monitoring, dan bimbingan. Untuk resource unit dalam usaha budidaya tentunya bersifat stabil karena konstruksi karamba yang memudahkan perhitungan stok dan flow, namun untuk ikan-ikan

142 120 lain yang tidak dibudidayakan, saat ini baru wilayah Cianjur yang memiliki kelompok nelayan yang membantu memonitoring dan mengatur kegiatan-kegiatan nelayan di wilayah mereka. Upaya ini tentunya merupakan langkah yang baik dalam managemen waduk dan dalam kerangka menciptakan suistanability sumber daya. CPR yang menghasilkan eksternalitas negatif lebih sedikit relatif mudah untuk dikelola dibandingkan dengan eksternalitas yang kompleks dan yang berinteraksi dengan resource system. Semakin kompleks reource system, maka semakin sulit bagi pengguna sumber daya untuk mematuhi peraturan dalam mengatasi eksternalitas. Dalam berbagai analisis eksternalitas, kita harus mendefinisikan dengan baik tipe dari eksternalitas oleh karena setiap tipe eksternalitas membutuhkan aturan yang berbeda. Ekstraksi sumber daya oleh satu pengguna biasanya menimbulkan eksternalitas bagi pengguna lain. Pengambilan satu unit resource akan mengurangi jumlah resource unit yang tersedia untuk pengguna sumber daya yang lain. Berdasarkan tipe eksternalitas yang telah dibahas pada tinjauan pustaka, eksternalitas negatif di Waduk Cirata merupakan eksternalitas provision. Dari sisi supply adanya insentif terhadap free rider merupakan kendala dalam ketersediaan atau daya dukung lingkungan waduk. Para free rider yang merupakan pendatang yang ikut membuka usaha karamba mendapatkan kemudahan dari pihak-pihak berwenang sehingga insentif ini yang menimbulkan semakin banyak pemilik waduk yang non pribumi. Selain itu adanya pihak-pihak yang tidak memiliki ijin usaha atau SPL (Surat Penempatan Lokasi) juga menjadi free rider utama, karena mereka yang tidak membuat ijin usaha perikanan menikmati kegiatan usaha di waduk tanpa membayar untuk kegiatan pelestarian waduk. Oleh karena itu diperlukan maintaining sumber daya seperti adanya pengorganisasian masyarakat. Keberhasilan pengorganisasian masyarakat ini tergantung tingkat pendidikan, behavior dan attitude yang dimiliki oleh masyarakat setempat, selain faktor-faktor eksternal lainnya seperti kurangnya dukungan dan pembinaan dari pihak terkait, kurangnya modal, dan kuatnya pengaruh para sub agen dan agen pakan. Rata-rata tingkat pendidikan petani dan masyarakat di desa-desa sekitar waduk memang rendah dan kebiasaan masyarakat desa yang tidak bisa melakukan multiple task atau sesuatu yang rumit, sehingga

143 121 menyebabkan kelompok-kelompok pengorganisasian masyarakat di Cirata membutuhkan waktu lebih lama dalam adaptasi kelompok. Adanya kelompok yang sudah terkenal dan menjadi juara nasional serta adanya keuntungan dalam berkelompok sangat memicu masyarakat lain dalam pengorganisasian masyrakat, bahkan mendorong kelompok lain untuk bisa melakukan hal yang serupa. Sisi demand terhadap eksternalitas provision terkait dengan tingginya permintaan akan ikan yang menyebabkan masyarakat terus berupaya untuk melakukan usaha-usaha walaupun ditengah kesulitan berkurangnya daya dukung lingkungan yang dibuktikan dengan penurunan kualitas air dan penurunan produktivitas ikan dari tahun ke tahun. Memang telah banyak terjadi penurunan jumlah petani ikan karena kasus kematian ikan massal, namun hal ini masih tergolong kecil. Menurut teori dibutuhkan maksimisasi discounted present value of rate return untuk petani ikan. Hal ini berarti bahwa orientasi bukan pada seberapa banyak jumlah petani ikan, namun seberapa besar produksi yang dihasilkan oleh sejumlah petani yang terbatas. Fakta nyata yang diperoleh pada saat wawancara dengan masyarakat adalah : dulu pada saat waduk baru dioperasikan hingga tahun 2003 persentase pertumbuhan ikan bisa mencapai 80%, namun saat ini hanya 50 persen, dengan modal yang sedikit mampu menghasilkan sejumlah ikan yang sama dengan modal yang lebih besar pada saat ini. Oleh karena kompleksnya resource system waduk dengan berbagai sektor pengguna menyebabkan tidak terkontrolnya pengguna sumber daya lain sehingga menimbulkan eksternalitas bagi pengguna sektor lain. Semakin banyaknya pengguna sumber daya, maka semakin sulit pula mereka menaati peraturan untuk mengatasi eksternalitas. Walaupun sulit untuk mendesign dan menegakkan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya global dan regonal, bukan berarti tidak bisa, beberapa diantaranya bisa sukses dikelola dan dijaga. Akan tetapi implementasinya membutuhkan usaha yang cukup besar dari pengguna sumber daya dan dengan menggunakan teknologi yang mumpuni. Upaya-upaya tersebut tengah dijalankan oleh instansi pengelola maupun instansi tehnis terkait di Cirata untuk lebih memperdayakan kelompok-kelompok petani yang ada dalam melakukan

144 122 monitoring stok, flow, eksternalitas negatif yang timbul dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing kabupaten yang berbeda. 8.2 Faktor Ekonomi Dalam pemanfaatan waduk sebagai perairan umum, masyarakat sangat diuntungkan dengan adanya budidaya KJA, karena sebagian besar masyarakat yang dimukimkan kembali di daerah sekitar waduk memiliki hak untuk membuka usaha KJA dan usaha garapan lahan pertanian di daerah pasang surut air. Usaha dibidang budidaya perikanan ini sangat menguntungkan sehingga semakin banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan usahanya dibidang perikanan. Selain menguntungkan trend permintaan terhadap komoditas ini relatif meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari kenaikan rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional dari tahun 2005 sebesar 25 kg/kapita/tahun menjadi 30,48 kg/kapita di tahun Hal ini menjadi salah satu pemicu peningkatan produksi ikan budidaya, khususnya ikan air tawar. Dalam kurun waktu lima tahun ( ) terjadi peningkatan produksi ikan mas, nila, patin, dan bawal air tawar, masingmasing 19, 65, 10 dan 251 persen. Provinsi Jabar tercatat sebagai wilayah yang menghasilkan lebih dari separuh ikan air tawar konsumsi yang beredar di pasar lokal. Waduk Cirata di Jawa Barat menghasilkan rata-rata 8000 ton ikan air tawar (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, 2011). Sejauh ini, pasar ikan konsumsi air tawar Cirata masih membidik konsumen lokal yang dijual dalam bentuk segar. Pemasaran hasil produksi terutama untuk pasar tradisonial di wilayah : Jakarta (Muara Baru dan Muara Angke), Bandung, Bogor, Semarang, Surabaya, Lampung dan di sekitar pulau Jawa. Pasar lokal masih menjadi target pembudidaya karena mereka masih menganggap harga internasional belum menarik. Sebagai contoh, harga fillet patin di pasar dunia saat ini mencapai US$2,8 US$3,0 atau Rp Rp per kg. Untuk menghasilkan 1 kg fillet patin dibutuhkan 4 kg patin segar dengan harga rata-rata Rp per kg. Dengan demikian dibutuhkan Rp untuk menghasilkan satu kg fillet patin, di luar biaya produksi, pengemasan, dan transportasi. Oleh karena itu wajar bila orientasi pembudidaya ikan-ikan air tawar masih tertuju ke pasar lokal. Berdasarkan hasil wawancara dengan bandar ikan

145 123 untuk masuk dalam tahap ekspor ke luar negari, kualitas ikan Cirata belum memenuhi syarat karena ukuran ikan yang kurang besar dan kontinuitas yang masih dipertanyakan. Walaupun demikian para bandar ikan yang membeli hasil ikan Cirata mengatakan bahwa selama ini mereka tidak pernah rugi, berapapun ikan yang mereka bawa untuk dijual pasti akan habis di pasaran tradisonial. Bahkan untuk beberapa musim, kebutuhan masih belum bisa tercukupi. Oleh karena kebutuhan domestik untuk ikan air tawar pun masih belum mencukupi, para bandar ikan belum menjajaki pasar luar negeri untuk ekspor. Walaupun kecenderungan permintaan ikan terus meningkat namun tidak berkorelasi positif dengan harga ikan. Harga jual ikan diserahkan pada mekanisme pasar dimana jika permintaan tinggi maka harga akan tinggi, dan saat stok ikan melimpah, harga akan turun. Kondisi ini masih menjadi dilema bagi petani ikan Cirata. Ketika Waduk Jatiluhur dan Saguling panen ikan secara bersamaan maka harga ikan akan jatuh. Harga jual ikan mas bulan Mei 2012 ini berkisar Rp ,00/Kg. Harga ini tergolong normal, tahun 2009 harga ikan sempat jatuh mencapai Rp /Kg, tahun berikutnya Rp /Kg. Bulan Juli-Agustus, biasanya terjadi over produksi sehingga harga bisa turun, menjelang bulan Desember-maret harga bisa naik mencapai Rp20.500,00/Kg karena musim angin barat, biasanya musim banyak penyakit yang menyebabkan kematian ikan. Sementara harga ikan diserahkan kepada mekanisme pasar, tidak demikian halnya dengan harga pakan ikan. Hal inilah yang dikeluhkan oleh petani. Pakan pellet merupakan input utama dalam budidaya KJA. Harga pakan yang terus meningkat, sementara harga ikan relatif stabil sangat mempengaruhi profit petani. Pada saat penelitian ini berlangsung (Mei 2012), telah terjadi 3 (Tiga) kali kenaikan harga pakan. Penjualan pakan didominasi oleh beberapa produsen pakan seperti Comfeed (dengan produk PI Comfeed, SPM dan SPF), Sinta (dengan produk Laju, Jatra dan Pilar), Charoen Poekpan (Turbo 89, P88), dan Cargill (Extra M, Profish dan FEE). Produsen ini bekerjasama dengan 4 agen besar yang ada di perairan Cirata yaitu SH (Sayap Heulang), JP (Janari Perdana), AP (Agung Pratama) dan SD (Sari Dagang). Sayap Heulang menjual produk Cargill dan Pokpan. Agung Pratama menjual produk Bintang yaitu CV, Malindo dan Wonokoyo. JP khusus menjual produk Sinta. Mekanisme penjualan melalui agen-

146 124 agen, sub agen dan petani ditetapkan secara bersama-sama melalui wadah Asosiasi GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak). Melalui asosiasi ini maka mekanisme penjualan pakan berlaku sama untuk setiap pelabuhan di masing-masing kabupaten. Produk Sinta yang paling banyak digunakan oleh petani ikan Cirata, harga jual pakan merk Jatra (ukuran 3mm = 5.000/kg), Laju (3mm = 4.500/kg), Pilar (3mm = 4.250/kg) dan Jatra khusus untuk bibit (2mm = 5.250/kg). Harga tersebut merupakan harga agen kepada sub agen. Sedangkan dari sub agen kepada petani harga pakan merk Jatra Rp.5.870/Kg. Harga pakan merk Sinta Rp.5.700,00/Kg naik dari Rp.5.500,00/Kg. Kenaikan ini menurut GPMT karena bahan baku pakan yang harus impor dari luar negeri mengalami kenaikan harga. Bahan baku yang dimaksud adalah tepung tulang yang memiliki kandungan protein tinggi. Hal ini menyusul keputusan pemerintah untuk melarang impor semua produk olahan daging sapi dari Amerika karena merebaknya wabah sapi gila, sehingga importir produk olahan daging sapi seperti pengusaha pakan ternak ini harus mengalihkan pembeliannya ke negara lain seperti Australia atau New Zealand yang mematok harga lebih tinggi. Mata rantai pemasaran hasil produksi budidaya perikanan Cirata lebih banyak dikuasai oleh para sub agen pakan. Sistem penjualan pakan kepada petani ternyata menggunakan sistem hutang, petani membayar dengan ikan setelah masa panen (3 bulan). Masing-masing sub agen yang biasa disebut gudang memiliki aturan tersendiri dalam memberikan pinjaman kepada petani ikan. Ada yang mensyaratkan maksimal 21 hari harus membayar, ada pula yang mensyaratkan setelah hutangnya berjumlah Rp ,00 keatas, maka harus membayar bahkan ada yang tergantung permintaan dari petani tetapi maksimum 2 minggu harus sudah membayar hutangnya. Para petani ikan ini terikat perjanjian tidak tertulis dengan para pemilik gudan pakan, mereka wajib menjual hasil ikannya kepada pemilik gudang setelah masa panen untuk membayar hutang-hutang pakannya. Jika terjadi kasus kematian ikan secara massal, maka petani-petani ikan ini tidak bisa membayar hutangnya dan bahkan semakin menumpuk. Oleh karena pihak gudang tidak ingin menanggung resiko kerugian, mereka meninjau kembali luasan kolam dan feasibilitas petani, jika mereka menganggap petani masih mampu membayar hutangnya maka mereka kembali meminjamkan uang untuk

147 125 modal budidaya ikan supaya bisa mencicil hutang-hutang mereka; namun jika luasan kolam sedikit dan tidak memungkinkan untuk menutup hutang-hutangnya, maka pihak gudang akan mengambil alih kolam sebagai ganti rugi pembayaran hutang. Ikatan kerjasama ini secara ekonomi memang merugikan petani, karena petani tidak memiliki alternatif pilihan penjualan ke pihak lain dan jika sudah jatuh tempo, sementara ikan belum cukup umur untuk panen, mereka tetap akan dipaksa untuk panen dini. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi pendapatan petani, karena bobot ikan yang belum mencukupi akan dihargai rendah. Namun ketimpangan kerjasama ini belum pernah berakibat fatal misalnya konflik terbuka. Petani lebih banyak mengalah dan pasrah dengan keadaan manakala pemilik gudang mengambil alih kolamnya ketika hutang sudah mulai menumpuk. Dari wawancara kepada pemilik gudang, hampir sebagian besar mengaku mengalami penurunan pelanggan karena gulung tikar terutama semenjak kasus kematian ikan massal yang terjadi tahun 1996 dan terus berlanjut dalam skala kecil sampai sedang hingga tahun Sementara itu akses petani ke perbankan sebagai alternatif modal usaha, baru dirintis tahun 2010 dimana kelompok ASPINDAC (Asosisasi Petani Ikan Waduk Cirata) membuat rekomendasi sehingga beberapa petani yang bergabung dengan kelompok ini bisa mengajukan pinjaman ke Bank Jabar. Tidak kurang dari 60 milyar digelontorkan untuk petani ikan di Cirata. Keengganan masyarakat untuk meminjam uang sebagai modal ke pihak perbankan dikarenakan administrasi yang berbelit, menyulitkan dan mereka harus tergabung dalam kelompok petani ikan. Itupun melalui proses seleksi yang ketat. Pada akhirnya banyak dari petani kembali ke gudang untuk meminjam pakan, karena prosedurnya yang ringkas dan hanya bermodalkan kepercayaan. Pihak gudang pun mulai membina hubungan dengan para petani melalui berbagai pertemuan dan pelatihan yang difasilitasi oleh GPMT atau produsen pakan. Selain mereka mempromosikan jenis pakan terbaru atau mensosialisasikan keunggulan produk pakan, mereka juga memberikan bimbingan tehnis untuk peningkatan produksi ikan. Hal inilah yang jarang dilakukan oleh dinas terkait yang menjadi tugas dan kewenangannya. Pada intinya, faktor ekonomi memang mendorong terjadinya penggunaan waduk secara berlebihan sehingga mengurangi daya dukung lingkungan.

148 126 Walaupun usaha budidaya yang dikembangkan pun saat ini tidak luput dari kutukan sumber daya (resource curse) dimana teori ini mengatakan bahwa masyarakat yang memiliki wilayah dengan sumber daya yang besar cenderung memiliki tingkat penghidupan yang jauh dari layak. Teori ini terbukti untuk kasus Cirata, dimana hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki usaha KJA yang memiliki penghidupan yang layak, sementara itu hampir sebagian besar penduduk hanyalah buruh KJA dengan tingkat pendapatan rata-rata per bulan Rp Pemilik KJA berdasarkan sensus BPWC (2011) menunjukkan bahwa kepemilikan KJA 83 persen dikuasai oleh pribumi dan 14 persen non pribumi. Namun pada saat penelitian di lapangan dari 69 RTP, 40 persen diantaranya adalah milik pribumi dan 60 persen milik masyarakat di luar penduduk sekitar waduk. Jumlah unit KJA yang dimiliki oleh rata-rata pribumi hanya 4 unit sedangkan untuk non pribumi rata-rata memiliki 7 unit KJA. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat asli tidak mendapatkan manfaat cukup besar dari adanya waduk karena memiliki keterbatasan modal dan pengetahuan. Untuk masyarakat yang saat ini memiliki KJA dengan tingkat kepemilikan hanya 4 unit memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk gulung tikar manakala harga ikan turun atau harga pakan meningkat. Satu-satunya akses permodalan mereka adalah para sub agen pakan, dalam mekanisme principal & agent. Sehingga ketika terjadi kasus kematian ikan karena musim ataupun penyakit, dengan jumlah karamba yang sedikit, mereka rentan menghadapi pengambil alihan karamba oleh sub agen pakan. Dengan tingkat pendidikan masyarakat saat ini yang sebagian besar hanya tamat SD bahkan putus sekolah di tingkat dasar (70 persen untuk RTP), tentu saja dalam jangka panjang mereka pun memiliki kerentanan yang tinggi untuk tidak mencapai penghidupan yang lebih layak atau secara tehnis memperluas usaha karamba yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka cenderung mudah dipermainkan oleh pelaku-pelaku ekonomi dengan pengaruh yang besar. Diharapkan dengan adanya kelompok-kelompok petani, mereka bisa diberdayakan dan mendapatkan dukungan, pengetahuan serta perubahan paradigma untuk kelangsungan usaha dan waduk yang menjadi tempat usaha mereka.

149 Faktor Politik Berdasarkan data-data analisa stakeholder, maka diperoleh beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan lingkungan waduk. Pertama, oleh karena waduk Cirata meliputi 3 kabupaten dan kewenangan pengelolaan diserahkan kepada propinsi, maka secara politis Waduk Cirata adalah milik Propinsi Jawa Barat. Kedua, karena sumber daya ini milik propinsi maka semua bentuk kebijakan kabupaten seperti SK Bupati, Peraturan daerah dan kebijakan apapun yang dibuat oleh kabupaten tidak berlaku dan tidak bisa diterapkan di Waduk Cirata. Ketiga, oleh karena sumberdaya ini tidak mendatangkan keuntungan untuk daerah, maka dukungan dari pemerintah daerah terhadap sumberdaya ini juga relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari dinas-dinas terkait yang berwenang dalam pengelolaan budidaya perikanan maupun lingkungan hidup tidak memiliki dana untuk kegiatan operasionalnya. Dalam implemetasi di lapangan, walaupun kewenangan pengelolaan waduk Cirata berada di tangan propinsi namun masalah tehnis tetap ditangani oleh kabupaten. Oleh karena itu sejak awal masing-masing kabupaten melakukan upaya-upaya pembinaan tehnis kepada petani dan nelayan melalui instansi dinas terkait yaitu dinas perikanan Kabupaten Purwakarta Kabupaten Purwakarta memiliki bangunan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang saat ini sudah tidak digunakan lagi, dan 1 orang petugas penyuluh lapangan untuk melayani 1 kecamatan yaitu kecamatan Maniis sejak tahun Sebelum tahun 1997, TPI digunakan untuk pencatatan penarikan ikan dari Waduk dan penarikan retribusi budidaya perikanan. Untuk kepentingan tersebut ditempatkan 3 orang staf selain petugas penyuluh lapangan. Namun sejak tahun 1997 TPI tidak difungsikan lagi dan hanya digunakan untuk pelayanan umum seperti pengajian dan rapat desa. Selain Cirata, Kabupaten Purwarkarta memiliki kewenangan mengelola Waduk Jatiluhur secara penuh, karena waduk tersebut hanya berada di wilayah Purwakarta. Untuk itu Waduk Jatiluhur dikenai wajib PAD sebesar Rp.120juta/tahun, sedangkan Waduk Cirata secara legalitas dimiliki oleh propinsi. Oleh karena lintas 3 kabupaten dan Purwakarta hanya memiliki 20 persen dari

150 128 perairan Waduk Cirata, maka perda kabupaten tidak bisa diterapkan untuk Cirata, sehingga retribusi untuk jaring apung dan perikanan tangkap tidak bisa ditarik dan PAD kabupaten tidak bisa dibebankan untuk Cirata. Oleh karena itu lebih banyak program bantuan dan staf di alokasikan ke Jatiluhur dibandingkan Cirata. Misalnya : bangunan TPI, staf perikanan, kolam percontohan, bantuan jaring, perahu, dan modal. Kegiatan selama 20 tahun ini yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Barat baru dilakukan 2 kali pelatihan untuk seluruh petani ikan di Cirata. Sedangkan bantuan yang diberikan oleh pemerintah daerah sebelum tahun 1997 cukup banyak, antara lain : 1. Tahun 1996, bantuan modal untuk 80 orang petani yang terdiri dari 2 40 orang, masing-masing 3,5juta/orang tepatnya bantuan diberikan di desa Sirnagalih dan tegal datar paket pabrik pelet di 2 desa sebesar Rp ,00; saat ini keberadaan pabrik ini tidak berjalan karena tidak ada pembeli, petani tidak mau coba-coba jenis pakan karena takut gagal panen. Padahal harga jual cukup rendah. Pada saat itu harga pakan RP.4.000,00 sementara produk pakan sendiri dijual dengan harga Rp.2.500,00 3. Berbagai pelatihan dan penyuluhan oleh petugas penyuluh lapangan untuk peningkatan produktivitas ikan, penanganan penyakit dan peringatan dini terjadinya upwelling kepada petani Ketika harga pakan tinggi, pihak dinas tidak bisa berbuat banyak, karena merasa bukan merupakan kewenangan kabupaten, ada pihak yang lebih besar untuk mengatasi masalah lintas sektoral yaitu KKP (kementrian Kelautan dan Perikanan). Mereka sekedar mengusulkan adanya subsidi pakan seperti penerapan subsidi pupuk untuk petani padi. Saat ini produsen pakan sama sekali tidak terikat untuk membayar retribusi apapun kepada pihak Kabupaten karena adanya peraturan pemerintah No. 66 tahun 1997 tentang penghapusan retribusi pelayanan umum. Sebelum peraturan itu ditetapkan setiap pakan yang masuk ke Cirata dikenai retribusi sebesar Rp.1/Kg. Retribusi inilah yang akan dikembalikan kepada petani untuk kegiatan dan pengembangan usaha budidaya perikanan.

151 129 Purwakarta dibandingkan dengan dua kabupaten lain dikatakan oleh BPWC sebagai kabupaten yang cukup baik karena 74 persen petani di wilayah Kabupaten Purwakarta telah menggunakan kontruksi drum dan tidak lagi menggunakan styrofoam yang tidak ramah lingkungan. Selama 4 tahun terakhir telah terjadi pengurangan jumlah pemilik karamba dari petak di tahun 2007 menjadi di tahun Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat memiliki kolam percontohan sejak awal waduk dioperasikan untuk kegiatan KJA, terdiri dari 8 unit dan telah menghasilkan berbagai penelitian terkait dengan pembudidayaan ikan air tawar. Antara lain umur ikan yang bisa diperpendek dari 90 hari menjadi 70 hari dengan menggunakan suplemen. Jenis pakan yang paling bagus untuk pertumbuhan optimum ikan, dan lain sebagainya. Penyuluh lapangan ditugaskan sejak tahun 2003 dan telah melakukan berbagai kegiatan penyuluhan kepada petani ikan bersama-sama dengan BPWC. Hal ini dilakukan karena petugas penyuluh tidak memiliki dana operasional untuk kegiatan-kegiatan bimbingan dan penyuluhan tehnis di lapangan. Hal ini berkaitan dengan kewenangan pengelolaan waduk yang dipegang oleh Propinsi Jawa Barat. Sama halnya dengan kondisi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat pun lebih banyak memberikan bantuannya untuk kegiatan-kegiatan di wilayah lain yang mampu memberikan masukan tambahan bagi PAD, sehingga praktis untuk kegiatan di Cirata tidak dianggarkan. Bantuan-bantuan yang selama ini diberikan berasal dari kementrian dan dana dari pusat. Misalnya : DAK (Dana Alokasi Khusus) berupa modal usaha yang diberikan untuk 2 kelompok petani ikan, masing-masing kelompok senilai Rp ,00. Dana PUMP, rencana tahun ini akan diberikan ke desa Cipendeuy. Dana PPK IPM Rp ,00/kelompok yang diberikan untuk dua kelompok di tahun Menurut pemerintah daerah yang menjadi masalah petani saat ini bukanlah harga pakan, tetapi harga ikan yang berfluktuatif. Jika pemerintah ingin subsidi, seharusnya subsidi produksi dengan cara menetapkan harga dasar pembelian ikan, dan jangan diserahkan pada mekanisme pasar. Banyak pihak menganjurkan variasi ikan jenis lain. Mengapa petani enggan untuk beralih? karena satu-satunya

152 130 ikan yang masih memiliki nilai ekonomis adalah ikan mas. Harga ikan gurame, misalnya juga hampir sama tinggi, tapi produksi bisa mencapai 1 tahun, sama halnya dengan ikan patin. Saat ini petani masih bisa bertahan karena ada jaring lapis dua (kolor) yang berisi ikan nila. Hal yang menjadi kendala jika pemerintah menetapkan harga dasar pakan adalah adanya jaringan terkoordinir yang kuat seperti GPMT, dimana pemerintah sulit mengatasi raksasa ekonomi yang dipenuhi kaum kapitalis, dan adanya alasan bahan baku pakan yang harus diimpor. Oleh karena itu lebih tepat jika pemerintah menetapkan HET ikan, sehingga petani tidak akan dirugikan dengan harga pakan yang tinggi. Kabupaten Bandung Barat memiliki lebih banyak kelompok petani ikan dibandingkan kabupaten Purwakarta, tercatat sebanyak 465 kelompok petani ikan, dan ada 1 kelompok yang menjadi juara nasional tahun 2011 sebagai kelompok terbaik, yaitu kelompok Doa Ibu. Kelompok ini memiliki 54 anggota, dan telah menjalankan prinsip-prinsip koperasi karena mampu memberikan pinjaman modal kepada anggotanya dengan kondisi keuangan yang sehat. Kelompok ini pula yang menjalankan model kearifan lokal dalam pengelolaan budidaya ikan. Pada saat terjadinya kasus kematian ikan massal, anggota kelompok ini bebas dari kematian ikan karena menerapkan cara-cara tradisonial. Keberadaan kelompok ini telah menginsipirasi petani lain untuk bergabung atau membentuk kelompok lain dibawah binaan kelompok Doa Ibu. Di kabupaten Bandung Barat ini pula terbentuk paguyuban kelompok-kelompok petani ikan Cirata dengan nama ASPINDAC (Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Cirata). Asosiasi kelompok yang baru dibentuk tahun 2007 ini menguatkan posisinya melalui akta notaris dan menjadi kelompok yang diakui secara nasional. Kabupaten Bandung Barat pula yang mulai menggelontorkan program pelestarian untuk Waduk Cirata dengan memberikan 15 tongkang dan bak sampah untuk menjaga kebersihan waduk Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten yang memiliki Waduk Cirata terluas, 60 persen perairan waduk berada di kabupaten ini. Petani dan kelompok pembudidaya, kelompok nelayan, kelompok pengolahan ikan juga banyak terdapat di kabupen ini, mereka lebih aktif dan dinamis, karena dukungan dari dinas perikanan sangat besar, hal ini terlihat dari adanya UPTD (Unit Pelaksana

153 131 Tingkat Dinas) yang merupakan kantor perwakilan dari dinas perikanan kabupaten. UPTD ini melaksanakan berbagai program kegiatan bersama dengan petani dan masyarakat. Walaupun kondisinya sama dengan dua kabupaten lain, namun Cianjur memiliki metode tersendiri untuk menangani masalah keuangan dan pelaksanaan UPTD-nya yaitu dengan melakukan usaha-usaha pembudidayaan ikan yang dilakukan sama seperti petani lain. Hasil usaha tersebut yang masuk dan disetorkan sebagai PAD. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua UPTD Dinas Perikanan Kab Cianjur, Cirata dikenai wajib PAD rata-rata sebesar Rp /tahun. Pada awal operasional waduk, Kabupaten Cianjur pernah menerapkan PERDA Kabupaten Cianjur No 11 Tahun 1992 yaitu menerapkan retribusi QC (Quality Control) untuk hasil budidaya ikan sebesar Rp.1/Kg. Hasil retribusi ini dapat meningkatkan PAD sebesar Rp ,00. Retribusi ini berlaku sampai dengan tahun Setelah tahun 1997 terbit peraturan pemerintah pusat mengenai penghapusan semua retribusi bagi pelayanan umum kepada masyarakat dan aturan ini berlaku untuk semua kabupaten. Dengan adanya peraturan tersebut, pemerintah daerah kehilangan sumber pendapatan untuk daerahnya dan tidak memiliki alternatif lain dalam mendukung kegiatan-kegiatan perekonomian dan budidaya di Cirata. Pengelolaan waduk dinilai sangat minim menurut hasil wawancara dengan petani karena pihak provinsi yang mempunyai kewenangan untuk mengelola waduk kurang menyentuh kebutuhan dan permasalahan stakeholder yang berkepentingan dengan Waduk Cirata. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber daya manusia di tingkat propinsi dan adanya benturan dengan daerah berkaitan dengan otonomi daerah. Oleh karena itu BPWC sebagai lembaga pengelola waduk yang ditunjuk oleh PT. PJB atas referensi Gubernur memiliki peranan penting dalam melakukan pengelolaan waduk. Namun kewenangan BPWC sebagai badan juga tidak mumpuni untuk mengelola waduk seluas 6600 ha. Tugas pokok dan kewenangannya pun terbatas pada kebersihan, penghijauan, pemantauan kualitas dan kuantitas air waduk. Walaupun demikian stakeholder lebih banyak mengenal BPWC sebagai pemilik waduk dibandingkan pemerintahan propinsi Jawa Barat.

154 132 Lemahnya kekuatan yang dimiliki propinsi dan terbatasnya kekuasaan BPWC yang disebabkan karena keterbatasan tugas dan tanggungjawab, mengakibatkan masalah-masalah yang dihadapi oleh pembudidaya, nelayan dan masyarakat yang berkepentingan dengan waduk Cirata tidak mampu diatasi dengan baik, sampai akhirnya muncul fenomena booming pembangunan KJA, tingkat sedimentasi yang tinggi, pengelolaan sampah yang kurang terorganisir, erosi-erosi di pinggiran waduk serta memburuknya kualitas air dari masingmasing DAS yang bermuara di Waduk Cirata. 8.4 Faktor Kebijakan Sejak awal dioperasikannya Waduk Cirata, telah diatur kewenangan pengelolaan kepada propinsi dengan PERDA Provinsi Jawa Barat 18 tahun Dari mulai PERDA tersebut berlaku sampai dengan tahun 1990 merupakan tahap sosialisasi peraturan daerah tersebut. Berdasarkan PERDA tersebut telah diatur ijin pembudidaya ikan yang berlaku untuk 3 tahun dengan pengurusan ijin usaha ke Propinsi Jawa Barat. Retribusi untuk usaha budidaya ini ditetapkan sebesar Rp.1000/m 2. Persyaratan untuk pengurusan ijin sangat mudah yaitu fotokopi KTP, foto, surat keterangan domisili usaha dari desa setempat. Untuk 1500 KK yang terkena dampak genangan diberikan 6000 petak (1500 unit) untuk usaha budidaya, dengan asumsi 1 KK mengusahakan 1 unit. Oleh karena untuk memulai usaha budidaya perikanan ini membutuhkan modal yang besar dan sulit dijangkau oleh masyarakat sekitar maupun oleh masyarakat yang terkena dampak genangan, maka hak ini diperjualbelikan kepada pihak luar (masyarakat pendatang), sehingga dari awal dibukanya waduk, sudah banyak pendatang yang ikut membuka usaha KJA. Peraturan yang dibuat pun tidak tegas menyatakan bahwa hanya masyarakat yang berdomisili di sekitar Waduk Cirata yang boleh melakukan usaha. Dalam persyaratan pembuatan ijin usaha pun hanya melampirkan surat keterangan domilisi usaha ke pihak pemerintahan desa dan bukan surat keterangan domisili kependudukan pemilik usaha. Surat domisili usaha adalah surat keterangan dari desa dimana KJA tersebut dibuat. Tidak ada pungutan resmi untuk membuat surat keterangan domisili ke pihak desa.

155 133 Persyaratan yang mudah inilah yang menyebabkan banyak pihak luar yang masuk dan ikut membuka usaha di Waduk Cirata. Perda No 18 Tahun 1986 ini diperbaharui pada tahun 2002, dengan dilengkapi SK Gubernur No. 14 Tahun 2002 sebagai juknis. Surat Keputusan Gubernur ini ditetapkan di Bandung pada tanggal 29 November 2002, dan dengan diterbitkannya keputusan ini, maka Keputusan gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 16 Tahun 1996 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum dan lahan surutan di Waduk Cirata dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Maksud dan tujuan dikeluarkannya surat keputusan ini adalah : 1. Pengaturan secara terkoodinasi dan terpadu mengenai pengembangan, pemanfaatan perairan umum, lahan pertanian dan kawasan Waduk Cirata untuk tercapainya peningkatan fungsi dan daya guna waduk secara optimal bagi berbagai kepentingan tanpa menganggu fungsi utama waduk 2. Hal tersebut diatas dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk melakukan budidaya ikan dan pemanfaatan lahan pertanian serta pengembangan wisata sesuai persyaratan tehnis yang ditentukan, dengan tetap memperhatikan aspek keamanan, ketertiban, kebersihan, keindahan dan pelestarian lingkungan Adapun hasil kajian kebijakan ini secara lengkap tertuang dalam tabel analisis kontent seperti tercantum dalam Lampiran 14. Revisi peraturan undangundang tahun 2002 ini mulai menetapkan adanya SPL (Surat Penempatan Lokasi) yang melibatkan pihak pengelola, dalam hal ini ditangani oleh BPWC. Pembuatan SPL ini bertujuan untuk mengatur tata letak KJA sehingga tidak mengganggu jalur transportasi dan untuk memperbaiki landscaping waduk Cirata. SPL ini pun kemudian dijadikan syarat untuk pengurusan ijin usaha perikanan kepada pihak pemerintah propinsi. Pembuatan ijin dipermudah dengan sistem pelayanan satu atap (BPWC dan Dinas Perikanan Kabupaten) dan lokasi pengurusan ijin direncanakan dekat dengan waduk sehingga menekan biaya transportasi. Alur pembuatan ijin dan peraturan seperti pada gambar 24 dan 25 dibawah ini. Dalam revisi peraturan ini juga mulai diatur kuota pakan, kuota bibit ikan yang boleh ditebar dan kuota unit jaring yang diperbolehkan di Cirata sesuai studi daya dukung lingkungan. Peraturan ini menetapkan pula bahwa daya dukung lingkungan Waduk Cirata hanya 1 persen dari luas waduk atau setara dengan petak KJA. Oleh karena itu peraturan tersebut juga mengamanatkan

156 134 adanya penertiban KJA terutama bagi KJA yang tidak aktif maupun yang tidak memiliki ijin usaha. Selain usaha budidaya perikanan, peraturan ini juga mengatur tata cara dan ijin bagi usaha pertanian dan kegiatan pengambilan ikan bagi nelayan. Gambar 24. Alur Mekanisme Pembuatan Ijin Kegiatan Budidaya Perikanan Gambar 25. Pungutan Retribusi yang Ditetapkan Oleh Pemerintah

157 135 Hasil analisis terhadap kontent peraturan perundang-undangan, menyatakan setidaknya setengah dari isi pasal-pasal tersebut berada pada posisi gap yang sedang sampai tinggi dalam implementasi atau penegakan peraturan. Gap yang tinggi terjadi pada persyaratan siapa saja yang berhak melakukan usahausaha di atas waduk, pembagian kuota yang terlampaui baik kuota pakan, kuota bibit maupun kuota luas kegiatan, dan aturan perijinan. Sejak SK Gubernur ini ditetapkan tahun 2002, dengan jumlah KJA petak, tidak terjadi pengurangan jumlah KJA. Dilihat dari hasil sensus tahun 2003, 2007 dan 2011 terus terjadi penambahan KJA berturut-turut sebesar , dan petak. Berdasarkan data tersebut, implementasi SK tidak berjalan. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengurusan ijin seperti BPWC, dinas perikanan masing-masing kabupaten merasa tidak memberikan rekomendasi ijin pembuatan KJA baru. Hal ini mungkin dikarenakan pihak petani tidak mengurus ijin untuk pembuatan KJA baru. Walaupun pengurusan ijin relatif mudah dan tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar. Pihak BPWC telah beberapa kali melakukan jemput bola kepada petani untuk pengurusan SPL bersama dinas tehnis terkait di masing-masing kabupaten, sehingga petani hanya tinggal melanjutkan ijin ke pihak propinsi. Namun hal ini tidak juga mengurangi banyaknya free rider terhadap pihak-pihak yang tidak mau mengurus ijin. Beberapa kendala mungkin disebabkan tidak ada perbedaan manfaat yang dirasakan pembudidaya antara memiliki ijin dan tidak memiliki ijin. Oleh karena tidak ada sangsi bagi pembudidaya yang tidak memiliki ijin. Saat ini SPL mulai memiliki kegunaan sebagai syarat mengajukan kredit kepada pihak perbankan, namun peluang masyarakat untuk mendapatkannya masih kecil. Masih banyak masyarakat yang memanfaatkan hubungan principal dan agent dengan pihak pengelola pakan untuk memperoleh pinjaman karena lebih mudah persyaratannya. Selain itu pembudidaya pribumi cenderung tidak mengurus ijin karena merasa tidak perlu membayar untuk kegiatan di atas tanah mereka. Dengan tidak ada sangsi bagi pembudidaya yang tidak memiliki ijin, maka peningkatan KJA pun semakin banyak. Hal ini tentu mempengaruhi monitoring terhadap kuota pakan, kuota bibit maupun kuota zonasi yang menjadi syarat bagi daya dukung lingkungan waduk. Hampir semua batasan kuota dilampaui oleh

158 136 masing-masing zonasi. Hal ini yang seringkali luput dari pemantauan monitoring dan bimbingan tehnis dari masing-masing Dinas Perikanan kabupaten. Penertiban KJA yang juga menjadi mandat dalam SK ini hanya 1 kali dijalankan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Alasan tidak berjalannya penertiban KJA karena biaya operasional yang tinggi untuk melakukan penertiban. Surat Keputusan Gubernur ini tidak mengatur tentang sanksi dan bagaimana penegakan aturan diberlakukan, pihak siapa yang berwenang dan bagaimana prosedurnya. Selama ini masalah di lapangan adalah adanya pihakpihak yang cuci tangan karena merasa bukan kewenangannya. Siapa yang berwenang terhadap pengelolaan Waduk Cirata, seperti apa kewenangan yang diterimanya dan bagaimana prosesnya adalah hal yang ditunggu oleh para stakeholder terhadap pemerintah. Oleh karena karakteristik waduk melintasi beberapa kabupaten yang menjadikan Cirata harus dikelola secara eksklusif. Eksklusif dalam hal ini adalah perlunya melibatkan ketiga kabupaten yang juga merasa memiliki waduk, memiliki paradigma yang sama terhadap pelestarian waduk, pembagian peran yang jelas diantara stakeholder dan kepentingan bersama yang harus diutamakan. Berdasarkan hasil FGD dengan enam kelompok petani pembudidaya, 2 kelompok nelayan dan 2 kelompok pengolahan hasil perikanan, mereka mengatakan bahwa sebaiknya pengelolaan waduk diserahkan kepada pemerintah daerah. Selama ini mereka kurang merasakan adanya sentuhan pemerintah propinsi Jawa Barat yang justru memiliki kewenangan untuk mengelola Waduk Cirata. Hal ini terlihat dari jumlah kegiatan yang dilakukan pihak propinsi Jawa barat kepada masyarakat di Cirata sangat sedikit, kunjungan dari pihak dinas perikanan propinsi yang jarang dan seringkali aspirasi petani tidak direalisasikan. Selama ini mereka merasa dukungan dari pemerintah daerah justru lebih besar, dilihat dari adanya pos atau kolam dinas perikanan masing-masing kabupaten di kawasan Waduk Cirata dan ditempatkannya petugas penyuluh lapangan yang khusus menangani kecamatan yang ada di waduk. Dalam Surat Keputusan memang disebutkan bahwa wewenang untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan monitoring diserahkan kepada instansi tehnis terkait. Namun pelimpahan wewenang ini tanpa disertai anggaran dari pusat, sehingga pihak daerah harus

159 137 menyediakan dana khusus untuk melakukan penugasan ini. Dalam hal ini hukum ekonomi berlaku, jika wewenang dan tugas yang dilakukan tidak mendatangkan keuntungan secara langsung untuk daerah, dan sifatnya voluntary, tentu saja yang terjadi adalah kualitas ala kadarnya. Secara umum, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah kurang tegas dan tidak banyak mengatur tentang perbaikan kualitas lingkungan, aktivitas pelestarian waduk dan mekanisme pelimpahan tanggungjawab yang jelas. Oleh karena itu perlu adanya revisi kebijakan terutama berkaitan dengan pembagian peran pengelolaan waduk dengan pemerintah daerah dan upaya-upaya pelestarian lingkungan waduk untuk menjaga keberlangsungaan usaha budidaya di Cirata. 8.5 Faktor Teknologi Karamba dua kolor atau lapis atas dan bawah merupakan inovasi penting dalam mengatasi inefesiensi pakan. Sesungguhnya ikan nila yang ditanam oleh petani dilapis kedua merupakan ikan pemakan planton dan segala. Sehingga ketika pakan tidak dikonsumsi oleh ikan di lapis atas, akan dimanfaatkan oleh ikan nila di lapis kedua. Sehingga perkembangbiakan ikan nila tidak memerlukan pakan khusus. Ikan nila merupakan ikan yang lebih tahan terhadap penyakit dan dalam kondisi perairan yang buruk, namun pertumbuhannya yang lama (7-9 bulan) dengan harga jual di pasaran yang rendah (Rp7.000,00 Rp9.000,00) menyebabkan petani tidak menanam ikan nila sebagai bisnis utamanya. Saat ini tengah dikembangkan budidaya ikan mola sebagai alternatif lain ikan pemakan plankton yang lebih toleran dan tahan terhadap musim dan penyakit. Ikan mola ini sama halnya dengan ikan nila, bisa dikonsumsi, namun harga jualnya masih rendah dengan pertumbuhan yang relatif lebih lambat. Namun inovasi ini bisa menjadi pilihan alternatif petani ketika terjadi musim angin barat antara bulan Desember sampai dengan Januari. Frekuensi pemberian pakan, jumlah pakan, tehnik pemberian pakan dan jenis pakan dengan merk apa yang menghasilkan pertumbuhan ikan paling optimal sebenarnya sudah diketahui oleh pihak instansi terkait berdasarkan penelitian di kolam pembudidayaan dinas. Saat ini penelitian mengenai alternatif

160 138 lain untuk pemberian pakan dengan menggunakan bahan lokal tengah dikembangkan oleh kelompok petani sehingga mereka tidak lagi tergantung pada pakan komersial yang harga belinya semakin meningkat. Upaya ini merupakan kerjasama kelompok dengan salah satu institusi pendidikan ternama di dalam negeri. Namun saat ini masih dalam tahap penelitian dan belum disebarluaskan kepada petani maupun anggota kelompok petani. Hal ini berarti bahwa telah ada upaya-upaya inovasi pembudidayaan yang dilakukan baik oleh dinas tehnis maupun upaya kelompok dalam mengatasi masalah yang ada, namun masalah komunikasi yang menjadi corong utama dalam penyebarluasan informasi agak terhambat oleh karena belum terbangunnya media komunikasi dalam kelompok maupun wadah penyebarluasan informasi. Pihak dinas yang diharapkan dapat menjadi jembatan dalam menggerakkan kelompok-kelompok binaannya, seringkali terkendala masalah tehnis dan pembiayaan. Sementara tidak semua kelompok sudah mandiri dan melakukan kegiatan rapat rutin atau sekedar sharing diantara anggota kelompok. Walaupun sudah lama terbentuk kelompok-kelompok yang ada masih perlu bimbingan baik tehnis maupun manajerial. Secara umum petani budidaya, nelayan dan kelompok pengolahan di Cirata berdasarkan hasil penelitian tidak tersentuh oleh teknologi tinggi. Kearifan lokal masih menjadi andalan dalam mengatasi masalah. Misalnya ketika terjadi kasus kematian budidaya ikan secara massal, petani menggunakan cara-cara tradisonial dengan berenang mengupayakan air bergerak sehingga oksigen yang dibutuhkan oleh ikan dapat dihasilkan. Saat ini, beberapa petani yang memiliki modal tidak lagi berenang untuk membuat gelombang air, tetapi menggunakan mesin pompa air untuk memompa dan mengalirkan air kembali ke kolam sehingga tercipta gelembung dan riak-riak air. Selain itu ketika musim penyakit ikan karena cuaca mendung, curah hujan tinggi dan banyak angin, maka petani akan menghentikan pemberian pakan, memasukkan batang pisang kedalam kolam dan memberikan ramuan tradisonial ke dalam pakan ikan. Cara ini memang tidak dapat menyembuhkan atau menghindarkan ikan dari penyakit secara pasti, namun jumlah kematian ikan dapat diminimalisir. Ada pula beberapa petani pendatang yang menggunakan solar cell untuk penerangan di kolam.

161 139 Akses masyarakat terhadap teknologi perikanan sangat rendah, hal ini karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, juga kurangnya dukungan dari berbagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam pengelolaan waduk. Kematian ikan terus berulang setiap tahun dengan kecenderungan semakin bertambah, produktivitas petani semakin lama semakin menurun seiring dengan penurunan kualitas air. Hal ini terjadi karena masyarakat terlalu lama dibiarkan berjalan sendiri tanpa ada koordinasi dari pengelolaan CPRs ini. Informasi terbaru mengenai penelitian yang berkaitan dengan kegiatan budiadaya sebenarnya terdapat pada instansti terkait. Instansi tersebut juga melakukan upaya-upaya penelitian untuk meningkatkan produktivitas petani, dan mereka telah menghasilkan berbagai penelitian yang berguna. Namun informasiinformasi ini masih terbatas di lingkungan dinas, karena transfer knowledge dari petugas kepada petani terbatas. Hal ini disebabkan karena petugas penyuluh tidak berada di tempat dan kelompok pembudidaya sebagai perpanjangan tangan dari dinas tehnis pun tidak aktif melakukan kegiatan dengan anggotanya. 8.6 Karakteristik Pengguna Sumber Daya Stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan waduk saat ini adalah : BPWC, kelompok pembudidaya petani ikan, kelompok pengolahan hasil perikanan, kelompok pengusaha pakan, kelompok keamanan (Pokmaswas), kelompok nelayan, kelompok pedagang dan pengusaha sektor pendukung perikanan, instansi pemerintah terkait yaitu dinas perikanan, peternakan dan kelautan masing-masing kabupaten dan pemerintahan desa. Berdasarkan analisis stakeholder, maka kelompok-kelompok diatas dapat dikategorikan seperti dibawah ini : a. Lembaga lokal : kelompok pembudidaya ikan, kelompok nelayan, kelompok pengolahan hasil perikanan, POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) b. Lembaga private : BPWC, ASPINDAC, kelompok penjual pakan ikan (agen, sub agen, dan bandar ikan) c. Lembaga government : Dinas Perikanan, Peternakan, dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bandung

162 140 Barat dan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purwakarta, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Lembaga lokal adalah lembaga informal yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan yang sama serta memiliki tujuan yang sama. Cakupan organisasi ini kecil dengan jumlah anggota kurang dari 50 orang. Lembaga ini biasanya tidak memiliki aturan-aturan yang tertulis dan tidak bersifat kaku. Lembaga private atau lembaga swasta adalah lembaga yang dikelola secara profesional, memiliki aturan-aturan yang jelas dan tertuang dalam AD/ART, anggotanya lebih besar dari kelompok lokal dan cakupan kerja organisasi ini lintas kabupaten atau untuk keseluruhan area waduk. Lembaga pemerintah, adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, dengan tugas dan fungsi merupakan penunjukkan dari atasan. Cakupan kerja hanya wilayah administratif kabupaten tersebut dan tujuan utama adalah melayani masyarakat sebagai abdi negara. Analisis stakeholder lebih lanjut untuk mengetahui agenda yang dimiliki masing-masing organisasi, kebutuhan yang dirasakan dan keterkaitan antara aksi dan hasilnya tertuang dalam matriks pada lampiran 15. Secara deskriptif bagaimana peran masing-masing kelompok dan bagaimana mereka melaksanakan aturan mainnya tercantum pada pembahasan dibawah ini : Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) BPWC merupakan anak perusahaan PT. PJB Up. Cirata yang dibentuk pada tahun BPWC bertanggung jawab dalam mengelola Waduk Cirata secara partisipatif untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi BPWC dan masyarakat. Selain itu BPWC juga bertanggungjawab terhadap peningkatan dan pelestarian mutu lingkungan hidup untuk menjaga pasokan dan kontinuitas air demi kelangsungan PT. PJB. Mandat ketiga adalah memberdayakan masyarakat sekitar waduk Cirata melalui institusi perekonomian lokal untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Dalam menjalankan tujuannya, BPWC mendapat dana operasional dari PT. PJB sebesar milyar rupiah per-tahun. Dana tersebut digunakan untuk melakukan berbagai program perbaikan lingkungan waduk seperti penghijauan di daerah green belt dan pembersihan sampah dengan merekrut tenaga lokal yang bertugas untuk memungut sampah-sampah di sekitar

163 141 perairan waduk. Sebanyak 30 orang petugas kebersihan ditempatkan di 7 lokasi yang setiap hari bertugas memungut sampah di danau. Biaya yang dikeluarkan untuk penanggulangan sampah di waduk sebesar juta per-bulan, atau sebesar 3 milyar per-tahun. Adapun ketujuh lokasi pembersihan adalah : dam intake, batas zona bahaya, DAS Cisokan, DAS Citarum-Cimeta, DAS Cibalagung, DAS Cikundul, dan DAS Cilangkap. Untuk kegiatan penghijauan, BPWC telah menanm bibit pohon yang ditanam sepanjang pinggir waduk. Biaya untuk penghijauan rata-rata sebesar 250 juta rupiah per-tahun, yang terdiri dari pengadaan bibit 150 juta rupiah per tahun dan pemeliharaan bibit sebesar 80 juta rupiah per-tahun. Selain itu BPWC juga melakukan kegiatan CSR kepada masyarakat di desa Ciroyom, Kec. Cipeundeuy, Kab. Bandung Barat berupa pembuatan shelter ojek, steam pencucian motor, bantuan mesin jahit, perbaikan madrasah, rumah jompo, sumur pompa, mesjid, dan masih banyak kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat. Rata-rata dana CSR untuk kegiatan diatas sebesar juta rupiah per-tahun. Sesuai peraturan perundang-undangan, BPWC menjadi filtering pertama bagi pengurusan perijinan yaitu mekanisme pembuatan SPL (Surat Penempatan Lokasi). Surat ini merupakan lampiran untuk pengurusan surat ijin pembudidaya ke tingkat propinsi. Dalam rangka pengurusan SPL ini, BPWC bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Dinas perikanan masing-masing kabupaten, pemerintahan kecamatan (muspika), dan pihak desa, melakukan kegiatan pengurusan SPL dengan sistem jemput bola. Pihak-pihak yang ditetapkan untuk bekerjasama menurut SK Gubernur No. 14 tahun 2002, berhak atas beberapa persen pembagian hasil seperti tercantum pada alur mekanisme pada bagian faktor kebijakan. Biaya operasional untuk kegiatan pengurusan SPL ini sebesar 34 juta rupiah per-bulan, sedangkan pendapatan BPWC dari hasil SPL ini rata-rata hanya 12 juta per-bulan. Hal ini secara ekonomi tidak efesien, perlu ada mekanisme baru untuk pengurusan SPL, karena SPL ini hanya berlaku 1 tahun dan terus akan diperbaharui.

164 Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta Sesuai SK Gubernur No. 14 Tahun 2002, dinas perikanan masing-masing kabupaten bertanggungjawab terhadap tehnis pembudidayaan yang berada di Waduk Cirata. Dinas perikanan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi perikanan petani yang dapat memberikan kesejahteraan kepada petani pembudidaya ikan di Cirata. Kegiatan yang dilakukan antara lain membuat kolam percontohan, membuat berbagai penelitian, membentuk kelompok pembudidaya, kelompok nelayan, kelompok pengolahan hasil perikanan, dan melakukan berbagai pelatihan terkait dengan tehnis pembudidayaan ikan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh dinas perikanan Kabupaten Purwakarta dan Bandung Barat mengaku tidak mendapatkan dana operasional untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Dana yang diperoleh berasal dari kementrian pusat atau BPWC. Kabupaten Purwakarta dan Bandung Barat juga tidak dikenai wajib PAD oleh pemerintah daerahnya, sedangkan untuk Kabupaten Cianjur, sejak tahun 2008, Waduk Cirata dikenai wajib PAD sebesar 26 juta rupiah/tahun, tahun 2012 ini sebesar 40 juta rupiah per-tahun POKMASWAS (Kelompok Pengawas Masyarakat) Kelompok ini merupakan kelompok bentukan Dinas Perikanan karena adanya program pemerintah pusat (Kementrian Perikanan dan Kelautan) pada tahun Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk menjaga keamanan wilayah perairan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Masing-masing kabupaten mulai meresponi pembentukan pokmaswas ini dan mendapatkan SK penempatan kerja dari Dinas Perikanan masing-masing kabupaten. Untuk wilayah Bandung Barat dan Purwakarta, POKMASWAS terintegrasi dengan ASPINDAC (Asosiasi Pembudidaya Ikan Waduk Cirata) dan menjadi unit kerja ASPINDAC. Kelompok Cianjur yang tidak memiliki asosiasi menempatkan POKMASWAS sebagai kelompok mandiri yang disamakan dengan kelompok-kelompok pembudidaya, kelompok nelayan dan kelompok pengolahan. Oleh karena amanat pembentukannya untuk menjaga keamanan, maka pembentukan POKMASWAS ini banyak melibatkan para preman atau juga pembudidaya. Dengan harapan tingkat pencurian dapat ditekan dan keamanan dapat ditegakkan di wilayah

165 143 perairan. Namun karena organisasi ini masih tergolong baru, sehingga aktivitasnya masih sedikit dan belum menunjukkan hasil yang maksimal ASPINDAC (Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Waduk Cirata) Kelompok ASPINDAC ini terbentuk pada tahun 2007 dan sudah mendapatkan pengakuan legal dari akta notaris Kabupaten Bandung Barat. Oleh karena menggunakan akta notaris wilayah Bandung Barat ini, maka asosiasi ini tidak begitu diakui oleh kabupaten lain seperti Cianjur, sehingga kelompok petani di kabupaten Cianjur tidak termasuk dalam kelompok asosiasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua pengurus ASPINDAC, jumlah anggota yang terdaftar dalam ASPINDAC sebanyak 80 kelompok atau kurang lebih 3500 petani KJA. Tujuan awal pembentukan asosiasi ini untuk mengakomodir berbagai permasalahan petani KJA terutama dalam merespon kenaikan harga pakan, penurunan harga ikan, dan penurunan kualitas air dalam upaya meningkatkan perekonomian petani KJA di Cirata. Kegiatan yang dilakukan selama ini adalah mengadakan rapat, membuat pernyataan sikap keberatan kepada pemerintah tentang kenaikan harga pakan yang berpotensi memberikan kerugian kepada petani dan berupaya membentuk agen pakan khusus untuk anggota dengan harga yang lebih murah. ASPINDAC sering bekerjasama dengan BPWC dalam program-program pelestarian lingkungan waduk. Langkah awal dalam proses desiminasi suistanability waduk Kelompok Penjual Pakan (Agen, Sub Agen dan Bandar Ikan) Kelompok ini merupakan kelompok tidak teroganisasi, namun cukup banyak ditemui di Cirata. Kurang lebih 105 agen dan sub agen tersebar di 3 kabupaten. Rata-rata keuntungan yang diperoleh para agen/sub agen kurang lebih 3-5 juta/bulan, dengan rata-rata penjualan pakan kurang lebih 750 Kg/hari. Oleh karena harga pakan telah diatur oleh masing-masing agen maka tidak ada persaingan diantara para sub agen. Ada insentif yang diberikan kepada sub agen jika para sub agen ini mampu mencapai limit penjualan tertinggi. Insentif yang diberikan biasanya berupa perjalanan wisata ke luar negeri. Sub agen biasanya juga menjadi bandar ikan selain menjual pakan melalui mekanisme principal and

166 144 agent. Mekanisme ini dipilih oleh para sub agen untuk mencapai batas minimal penjualan, walaupun mekanisme ini juga memiliki resiko yang tinggi. Jika terjadi kematian ikan secara massal, maka petani tentu akan merugi dan tidak dapat membayar hutan pakan kepada sub agen. Biasanya pengambilalihan kolam menjadi alternatif terakhir untuk mengatasi hubungan utang piutang ini. Para sub agen dan agen dikenai wajib retribusi oleh pengurus desa, setiap Kg pakan yang terjual 2 rupiah, disetorkan kepada pihak desa. Untuk pajak ke desa ini rata-rata sub agen menyerahkan 4 juta rupiah kepada pihak desa. Agen dan sub agen ini juga difasilitasi oleh produsen pabrik dalam hal informasi produk dan teknologi terbaru produk yang ditawarkan. Untuk itu setidaknya sekali setahun terdapat pertemuan agen dan sub agen dan antara sub agen dengan produsen pabrik untuk memberikan pelatihan dan bimbingan seputar pakan ikan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat Dinas perikanan provinsi Jawa Barat merupakan dinas penanggungjawab Waduk Cirata. Dalam rangka bimbingan, evaluasi dan penertiban aktivitas di Waduk Cirata menjadi kewenangan provinsi. Pertimbangan ini diambil oleh karena genangan waduk yang melalui lintas kabupaten, maka kewenangan tertinggi diambil alih oleh provinsi. Namun kegiatan-kegiatan dalam hal pengelolaan waduk lebih banyak dilakukan oleh badan pengelola. Hal ini mungkin berkaitan dengan lokasi dinas perikanan provinsi yang cukup jauh dari waduk sehingga hampir sebagian besar kegiatan pengawasan, monitoring dilakukan oleh badan pengelola. Dari hasil analisis stakholder secara umum dapat disimpulkan bahwa terjadi konflik kepentingan diantara stakeholder. Walaupun tujuan akhir dari semua stakeholder adalah sama yaitu sustanability sumber daya alam untuk memperpanjang usaha-usaha yang tengah dikembangkan oleh masing-masing stakeholder namun terdapat perbedaan persepsi dan implementasi atau pengejawantahan paradigma. Bagi petani ikan, ASPINDAC, Dinas tehnis dan BWPC memiliki kepedulian dengan kategori sedang sampai tinggi terhadap pelestarian waduk. Harapan dari tujuan pelestarian ini supaya dapat menjamin

167 145 usaha budidaya mereka tetap berlangsung sampai generasi berikutnya dengan profit yang stabil bahkan meningkat. Kelompok penjual pakan atau gudang juga memiliki kepentingan terhadap pelestarian waduk, namun dalam upaya untuk tetap melancarkan usaha penjualan pakan ikan bahkan memperluas usaha dengan kuantitas yang cukup besar. Upaya yang dilakukan belum banyak bersentuhan dengan upaya pelestarian lingkungan waduk. Padahal stakholder kelompok ini memiliki kekuatan financial yang relatif besar karena marjin profit yang dihasilkan dari penjualan pakan ikan di Cirata juga cukup tinggi. Dalam tata kelola waduk terdapat interaksi-interaksi diantara pelaku/pengguna sumber daya. Secara garis besar interaksi yang terjadi antar pelaku sumber daya adalah pengelola waduk, petani KJA, pengusaha pakan dan pemerintah daerah. Masing-masing pelaku usaha ini memiliki kepentingan dengan waduk. Seperti yang sudah disebutkan dalam analisis stakeholder, masing-masing kepentingan ini tidak saling selaras dan menimbulkan konflik kepentingan di dalamnya. Hasil analisis konflik berdasarkan interaksi antar lembaga hasil FGD dengan beberapa stakeholder tercantum dalam lampiran 16. Adapun ringkasan umum analisis konflik diantara stakeholder seperti dibawah ini : BPWC vs Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat Konflik kepentingan yang terjadi berkaitan dengan pembagian peran pengelolaan waduk. Berdasarkan hasil wawancara, BPWC merasa tidak harus melakukan penertiban KJA seperti yang tertulis dalam UU, karena posisi BPWC sebagai anak perusahaan PT. PJB tidak merasa bertanggungjawab terhadap gubernur. Menurut staf BPWC, yang seharusnya berwenang melakukan penertiban KJA adalah Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) sebagai satuan pengamanan pemerintah. Oleh karena adanya lempar tanggungjawab ini sehingga kegiatan penertiban KJA yang tidak aktif hanya dilakukan satu kali sejak UU ini diberlakukan. Adanya pembagian peran yang tidak seimbang antara BPWC dan dinas perikanan provinsi dan mandat yang harus dijalankan oleh masing-masing lembaga membuat kegiatan pengawasan di Waduk Cirata menjadi lemah.

168 Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat vs Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta Konflik kepentingan terjadi berkaitan dengan dana operasional dalam pengelolaan waduk. Oleh karena secara legalitas Waduk Cirata dimiliki oleh Provinsi, maka pihak daerah praktis tidak mendapatkan pembagian dana untuk kegiatan operasional di Waduk Cirata. Pembiayaan dari APBD masing-masing daerah untuk kegiatan operasional harus dilakukan daerah agar bimbingan tehnis tetap dapat dilakukan kepada petani-petani di Cirata. Walaupun secara legal tertulis masing-masing dinas perikanan kabupaten bertanggungjawab dalam hal pembinaan tehnis atas aktivitas budidaya perikanan, namun tidak ada anggaran pusat yang dialokasikan kepada daerah sehingga bimbingan tehnis terhadap petani kurang optimal Petani KJA vs Kelompok Penjual Pakan (Agen/Sub Agen) Hubungan principal dan agent dalam kerjasama utang piutang antara petani KJA dan agen pakan/sub agen juga berpotensi menyebabkan terjadinya konflik. Konflik kepentingan ini terjadi ketika adanya kasus kematian ikan dimana para petani yang harus membayar hutang pakan tidak mampu membayar hutangnya. Oleh karena itu alternatif yang paling mungkin ditawarkan kepada petani adalah dengan pengambilalihan kolam ikan oleh sub agen/agen. Secara umum interaksi diantara pelaku-pelaku pengguna sumber daya waduk saling memiliki ketergantungan karena memiliki kepentingan yang sama yaitu pentingnya waduk bagi penghidupan dan berputarnya roda perekonomian masing-masing stakeholder. Berdasarkan sintesa analisa stakeholder terlihat tidak ada stakeholder yang menonjol atau bersifat superior dalam managemen pengelolaan waduk, sehingga tidak ada leading sector yang dapat dijadikan panutan bagi stakeholder lain. Pengelola waduk yang seharusnya menjadi leading sector dalam menangani dan mengelola waduk kurang mampu berbuat banyak karena merasa legalitas organisasinya tidak cukup kuat untuk melakukan tindakan/sangsi terhadap pelanggar peraturan dan kurangnya sumber daya manusia. Sementara itu pihak yang bertanggungjawab dalam hal pengelolaan

169 147 waduk justru tidak banyak mengambil peranan dalam hal pendampingan, monitoring dan evaluasi kinerja pelaku-pelaku pengguna sumber daya. Masalah bimbingan tehnis untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang diperbolehkan di wilayah perairan diserahkan kepada dinas tehnis terkait di masing-masing wilayah kabupaten. Hal ini dapat dimaklumi karena jarak yang cukup jauh kantor penanggungjawab dengan waduk dan terbentur dengan adanya otonomi daerah yang memungkinkan masing-masing daerah melakukan pengelolaan sumber daya yang masuk dalam lingkungan kabupaten. Oleh karena itu bentuk skenario yang diusulkan dalam mengangani konflik kepentingan diantara stakeholder dan merupakan best case scenario yaitu dengan memberikan power penuh kepada pengelola waduk untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik. Power yang diberikan berupa legalitas lembaga pengelola waduk dan terdapat peraturan perundang-undangan yang diakui oleh pemerintah daerah dan dipatuhi oleh semua stakeholder yang berkepentingan dengan Waduk Cirata. Kebijakan yang melampaui wilayah administratif dan kewenangan apapun yang dikenal dengan kebijakan trans boundry regime. Waduk Cirata yang termasuk waduk skala besar membutuhkan sumber daya manusia yang cukup dengan kemampuan managerial yang baik. Isu ini muncul karena pentingnya menegakkan peraturan yang sudah disepakati untuk kepentingan bersama. Komitmen yang tinggi dalam menjalankan kesepakatan dan kepatuhan dalam menaati sangsi yang ditetapkan. Dalam hal ini bisa menjalin kemitraan dengan kelompok-kelompok petani pembudidaya, kelompok nelayan, kelompok pedagang pakan ikan, kelompok bandar ikan, dan kelompok lainnya. Kemitraan ini berguna sebagai perpanjangan tangan dalam menegakkan peraturan. Penegakan peraturan ini terutama berkaitan dengan kegiatan usaha budidaya ikan dalam KJA dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat di sekitar waduk agar upaya pelestarian waduk dapat turut diupayakan bersama mereka. Hal pertama adalah penertiban KJA terutama bagi KJA yang sudah tidak aktif, maupun pemilik KJA yang dalam beberapa periode sudah tidak menanami kolamnya dengan ikan; selain itu tidak ada lagi penambahan ijin KJA baru maupun perluasan kolam; menegakkan kembali retribusi perairan dan berlaku

170 148 bagi semua pengelola dengan besaran yang disepakati bersama dan pelaporan penghasilan kepada seluruh stakeholder. Akuntabilitas penggunaan dana retribusi perairan sangat penting dalam mendukung keberlanjutan pungutan. Pengelola juga harus terbuka terhadap klaim maupun masukan yang berguna bagi kelangsungan pelestarian waduk dari berbagai pihak, misalnya penggunaan dana retribusi perairan untuk kepentingan pembersihan sampah atau pembuatan tong-tong sampah terapung. Dengan menjalin kemitraan bersama dengan kelompokkelompok stakeholder dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap keberadaan waduk oleh semua pihak termasuk warga pendatang. Skenario status quo yang diusulkan dalam menangani konflik kepentingan saat ini adalah dengan mendorong pemerintah Provinsi yang memiliki kewajiban dalam hal penertiban untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Propinsi harus memegang peranan penting dalam hal penataan waduk dan menjaga keberlanjutan waduk agar tetap dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Mekanisme status quo ini bisa menjadi penyelesaian yang terbaik jika masing-masing pihak menjalankan perannya sesuai SK Gubernur No. 41 tahun 2002 yang saat ini sedang berlaku dan didukung oleh pendanaan yang kuat melalui sharing pendanaan antara propinsi dan pemerintah kabupaten. 8.7 Tata Kelola dan Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk Dalam tata kelola waduk terdapat adanya interaksi di antara aktor yang dipengaruhi oleh unit-unit analisis seperti faktor karakteristik pengguna sumber daya, faktor ekonomi, kebijakan, politik dan teknologi. Pengaruh tersebut akan memberikan dampak terhadap perilaku stakeholder dalam melakukan tata kelola waduk. Secara ekonomi, permintaan masyarakat terhadap komoditas perikanan air tawar terus bertambah. Peluang untuk melebarkan wilayah pemasaran pun masih sangat terbuka, oleh karena sampai saat ini pemasaran perikanan produksi Cirata terbatas masih di pasar lokal. Industri rumah tangga dalam produksi pengolahan hasil ikan yang berada di sekitar Waduk Cirata pun masih bisa dijadikan peluang untuk menampung produksi perikanan. Industri ini berpotensi berkembang pesat

171 149 seiring dengan peningkatan perbaikan infrastruktur waduk dan peningkatan fasilitas pariwisata yang dikembangkan oleh pengelola. Permintaan akan ikan dengan berbagai jenis ikan yang terus ada sepanjang waktu inilah yang menyebabkan petani karamba tetap bertahan disaat harga pakan ikan terus naik. Begitupula dengan hasil perikanan lain seperti tutut, ikan tangkapan nelayan (bukan ikan nila/emas hasil budidaya) juga mendatangkan pendapatan bagi masyarakat. Peluang ini dimanfaatkan juga oleh para pemilik gudang untuk meningkatkan kuantitas penjualan pakan ikan dan juga memberikan pinjaman dana segar untuk pengelolaan budidaya perikanan. Pengaruh faktor eksternal seperti kekuatan ekonomi inilah yang terus membuat masyarakat bertahan dalam usaha budidaya. Dari sektor pertanian, hasil kebun dan bercocok tanam di lahan pasang surut waduk seperti padi, kacang-kacangan dan umbi-umbian merupakan bahan pangan yang terus diminati oleh konsumen. Hampir semua hasil sumber daya yang berasal dari waduk mengalami trend permintaan yang meningkat. Oleh karenanya masyarakat banyak bertahan dengan usaha budidaya-budidaya tersebut walaupun resiko yang harus ditanggung cukup tinggi. Misalnya di sektor pertanian, jika musim hujan datang lebih cepat dan merendam lahan pertanian, maka mereka dipastikan akan gagal panen, begitupula ketika musim angin barat dan penghujan dimana kondisi perairan waduk mudah terjadi upwelling dan timbul berbagai penyakit ikan, maka dipastikan akan terjadi kematian ikan baik secara serentak maupun terlokalisasi. Banjir yang melanda hulu sungai juga dapat menimbulkan kerugian bagi nelayan yang menanam jaringnya di tengah waduk. Kondisi demikian tidak menyurutkan para pengguna sumber daya untuk tetap berusaha oleh karena demand yang terus tinggi terhadap bahan pangan. Secara politis, daerah belum memanang waduk sebagai asset milik daerah yang harus dijaga. Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kebijakan pengelolaan waduk kurang menggambarkan upayaupaya untuk pelestarian lingkungan, namun lebih kepada ekstraksi yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi daerah. Dari sisi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan Waduk Cirata, pemerintah Propinsi tidak tegas dalam hal sangsi bagi pelanggar peraturan sejak

172 150 awal sehingga menyebabkan pembiaran terhadap pelaku. Mudahnya memperoleh ijin membuka usaha dan adanya oknum-oknum di organisasi yang bertanggungjawab menyebabkan semakin banyak usaha budidaya perikanan yang baru dibuka. Di sektor pertanian, tidak diberlakukannya ijin untuk membuka lahan pertanian dan tidak adanya tindakan tegas terhadap pelanggar menyebabkan penggunaan lahan pasang surut semakin bertambah. Pengguna sumber daya yang terbagi menjadi tiga kategori memiliki karakteristik berbeda. Lembaga lokal seperti kelompok pembudidaya skala kecil, buruh KJA, nelayan, sektor usaha rumah tangga adalah kelompok pengguna langsung sumber daya, yang diklaim sebagai penyumbang sedimentasi dan kerusakan lingkungan waduk. Terdiri dari masyarakat menengah dan menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, merupakan penduduk asli yang merasa memiliki waduk dan berhak atas janji kompensasi pemerintah yang memperbolehkan masyarakat setempat untuk melakukan usaha perikanan tanpa dipungut biaya apapun. Walaupun kelompok ini diklaim sebagai penyumbang kerusakan waduk sebenarnya kelompok ini adalah kelompok yang rentan baik terhadap tekanan pihak eksternal seperi para pemilik gudang, tengkulak ikan maupun akibat dari pengelolaan waduk yang tidak lestari. Mereka pula yang menjadi target dan sasaran dari kebijakan dan peraturan perundangundangan yang dibuat pemerintah. Kelompok kedua adalah lembaga swasta seperti BPWC dan Kelompok Penjual Pakan. Kelompok ini merupakan kelompok kelas menengah ke atas atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mudah memahami permasalahan dan kondisi yang tengah dihadapi oleh CPRs. Kelompok ketiga adalah lembaga pemerintah seperti pemerintah daerah, dinas perikanan dan peternakan masing-masing kabupaten, dinas pertanian, dll. Kelompok ini juga memiliki akses yang cukup besar terhadap pendanaan, teknologi, dan informasi terkini. Ketiga kelompok merupakan kelompok oportunis yang memanfaatkan waduk untuk kepentingannya dengan agendanya masingmasing. Tidak adanya koordinasi dan persamaan pandangan diantara para stakeholder menyebabkan pengelola kesulitan untuk menjaga dan mengelola waduk yang cukup besar. Akibatnya masing-masing pemerintah daerah melakukan aktivitas dan agendanya di lingkungan masing-masing tanpa adanya

173 151 koordinasi. Pihak pengelola saat ini berupaya untuk merangkul dinas terkait dan para kelompok-kelompok untuk duduk bersama membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian waduk dan sudah dilakukan beberapa kali kegiatan pertemuan. Kegiatan bersama yang diinisiasi oleh pengelola haruslah merupakan langkah yang kontinyu dan bukan bersifat tentantif, sehingga proses desiminasi terus berjalan dan akhirnya semua stakeholder memiliki kesamaan visi dan persepsi terhadap pengelolaan waduk. Rekomendasi paling konkret saat ini adalah dengan melakukan redesign kelembagaan. Skenario diatas yaitu best case scenario dan status quo merupakan saran konkret yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan Cirata saat ini. Memontum lain yang bisa dijadikan upaya awal memulai tata kelola yang baik adalah dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang saat ini sedang dilakukan oleh DPRD Propinsi Jawa Barat. Undang-undang yang baru diharapkan harus memuat sangsi yang tegas terhadap pelanggar ketentuan, siapa yang berwenang menegakkan peraturan dan fokus untuk berbagi peran dengan pihak pemerintah daerah dan pengelola waduk. Fungsi koordinasi bisa tetap berada pada level Propinsi, namun pemerintah daerah sebaiknya diberikan peluang untuk melakukan pengawasan dan monitoring kegiatan budidaya dan kegiatan pelestarian waduk. Pengelola waduk diberikan kewenangan penuh untuk bisa menegakkan peraturan terkait dengan penertiban kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan waduk dengan melibatkan pemerintah daerah. Propinsi Jawa Barat yang berwenang sejak awal dibukanya waduk, mulai lebih memperhatikan managemen pengelolaan waduk dan tidak hanya melulu fokus pada bidang perikanan saja, untuk itu sebaiknya propinsi tidak menempatkan kewenangan pengelolaan Waduk Cirata dibawah Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat. Rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan pengelolaan kelembagaan waduk adalah membentuk badan otorita yang khusus menangani masalah pengelolaan sumber daya alam sebagai aset daerah dan memiliki kewenangan melebihi kewenangan daerah kabupaten agar dapat menjadi leading sector dalam gerakan pelestarian waduk. Kondisi umum yang sering terjadi dalam sebuah badan/kelembagaan baru adalah masalah sumber daya manusia. Untuk itu pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek sumber daya manusia dalam

174 152 pembentukan badan otorita ini karena sangat berpengaruh terhadap berfungsinya gerakan pelestarian waduk. Untuk itu Ostrom telah mengidentifikan standar pelayanan yang disyaratkan untuk mencapai visi pengelolaan sebuah CPRs yaitu equity, suistanability dan prosperity Dolsak&Ostrom (2003) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan equity, suistanability dan prosperity maka pengguna sumber daya harus dilatih kemampuannya dalam berkomunikasi, membuat aturan main dalam pengelolaan sumber daya dan menegakkan aturan bila terdapat pihak yang melanggar. Hal-hal tersebut merupakan elemen yang penting dalam mencapai good govenance atau sukesnya sebuah kelembagaan untuk managemen CPRs. Mendesign kelembagaan untuk mengelola CPRs seperti membuat peraturan untuk distribusi alokasi sumber daya, monitoring dan penegakannya membutuhkan usaha yang keras. Pengguna sumber daya dapat mendesign bentuk kelembagaan baru atau mengganti aturan yang sudah berlaku ketika tidak ada manfaat yang diterima atau cost yang digunakan untuk menegakkan peratuan melebihi benefitnya. Walaupun tidak memiliki kewenangan untuk merubah sebuah peraturan setidaknya kita masih bisa duduk bersama untuk mengusulkan perubahan tersebut. Pengorganisasian masyarakat yang dibentuk sebagian besar masyarakat di Cirata tidak berdasarkan atas isu yang sama atas pentingnya menjaga sumber daya ini dari daya dukung lingkungan yang semakin berkurang, namun lebih banyak dibentuk karena desakan untuk mencari modal usaha. Isu untuk mendapatkan modal usaha bukanlah sesuatu yang salah, namun faktor ekonomi ini muncul karena akar permasalahan berupa daya dukung lingkungan yang berkurang dari banyaknya pengguna sumber daya. Menurut para pakar dan peneliti, terdapat delapan prinsip umum untuk sebuah pengorganisasian masyarakat yang sehat : 1. Peraturan dibuat dan dikelola oleh pengguna sumber daya 2. Keluhan tentang aturan mudah untuk dimonitor 3. Aturan mampu ditegakkan bersama 4. Sangsi dapat diberlakukan 5. Pengadilan tersedia dengan biaya yang rendah 6. Ratio petugas dan pengguna sumber daya proporsional 7. Lembaga yang mengatur CPRs perlu dibuat dalam berbagai tingkatan

175 Prosedur untuk merevisi aturan tersedia Dari kedelapan prinsip umum tersebut diatas, kelompok pengorganisasian yang ada di Cirata belum mencapai good governance dalam pengelolaan CPRs. Oleh karena belum ada peraturan yang dibuat secara tertulis oleh kelompok dan penegakan serta sangsi belum dapat diberlakukan. Semua kelompok pengorganisasian masyarakat masih tergolong baru dan masih dalam tahap belajar. Dibutuhkan pendampingan dari berbagai pihak untuk mencapai good governance. Dengan kelompok yang sudah mandiri, maka akan sangat mudah desiminasi untuk konsep pelestarian waduk dan mereka dapat menjadi perpanjangan tangan para pengelola waduk untuk melakukan upaya-upaya pelestarian waduk. Dalam hal suistanability, pihak pengelola tidak bisa menjadi single fighter dalam upaya menjaga dan melestarikan waduk. Perlu adanya upaya strategis bagi pengelola dalam mendorong stakeholder lain untuk terlibat dalam upaya ini. Upaya strategis yang dimaksudkan adalah upaya-upaya yang lebih suistain dalam jangka panjang dan bukan merupakan kegiatan kuratif, namun lebih ke preventif dengan pelibatan lembaga pengguna sumber daya yang juga menikmati waduk Cirata. Sebagian besar dari anggota kelompok berdasarkan hasil wawancara mengatakan bahwa mereka belum merasakan manfaat dari adanya berkelompok, karena belum menyentuh kepada kebutuhan masyarakat secara umum. Mereka belum merasa sejahtera, karena kekuatan dalam kelompok belum cukup untuk mengubah kebijakan yang dapat berpihak kepada mereka. Kedelapan pokok penting diatas dapat digunakan oleh dinas tehnis terkait untuk mengevaluasi dan memonitoring kelompok-kelompok lokal yang ada di Cirata agar lebih berguna dan berdaya dalam mencapai kesejahteraaan anggotanya Dalam equity, hasil analisis stakeholder menyatakan bahwa diantara kelompok-kelompok tersebut belum ada kesetaraan. Masih ada kelompok yang terkesan superior oleh karena power/kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan eksternal inilah yang perlu dikendalikan dengan kekuatan dari dalam yang dimiliki oleh kelompok lokal. Adanya kesenjangan yang tinggi perlu diminimalisir dengan melakukan aksi bersama untuk menunjang kepentingan masing-masing pihak.

176 154 Dalam rangka mencapai visi pengelolaan CPRs tersebut maka mutlak dilakukan redesign kelembagaan di Cirata. Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Cirata sangat besar. Oleh karena itu butuh adanya kesepakatan/komitmen dari para pengguna sumber daya yang diikat oleh faktorfaktor ekonomi dalam mendukung pelestarian waduk. Komitmen/kesepatan tersebut dapat tertuang dalam bentuk formal maupun informal namun disekapati oleh semua pihak. Pengkoordinasian sumber daya manusia ini sangat mudah jika didukung oleh badan otorita yang dapat menjadi penggerak utama pengelolaan waduk yang lestari.

177 155 BAB 9 KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Kerugian yang ditimbulkan karena adanya sedimentasi adalah berkurangnya masa layan waduk selama 8 tahun, yang berarti mengurangi keuntungan perusahaan dalam menyediakan listrik. Kehilangan keuntungan yang dialami oleh PT. PJB sebesar Rp ,00 (11 milyar rupiah). Nilai WTP masyarakat yang memiliki usaha KJA sebesar Rp25.357,00 per bulan dan masyarakat yang tinggal di sekitar waduk sebesar Rp6.175,00 per bulan. Biaya perbaikan lingkungan yang berasal dari total WTP masyarakat selama 55 tahun sisa masa layan waduk sebesar Rp ,00. Total investasi yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan untuk mengatasi sedimentasi sebesar Rp ,00 (65 milyar rupiah) 2. Sektor rumah tangga menjadi penyumbang terbesar akumulasi sedimentasi di waduk dibandingkan sektor perikanan dan pertanian, berdasarkan jumlah limbah padat dan cair yang dihasilkan dari aktivitas domestik masyarakatnya. Besarnya limbah padat untuk sektor rumah tangga dan perikanan berturutturut 58 ton/hari dan 12 ton/hari dan limbah cair sebesar 106 juta liter/minggu dan 12 juta liter/minggu. Berdasarkan usaha perikanan (KJA), maka sektor ini tetap memberikan kontribusi terbesar dalam sedimentasi terutama berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme ikan, dengan kontribusi sebesar 742 ton/hari. Jika dibandingkan antara residu N dan P yang dihasilkan dari aktivitas domestik masyarakat sekitar waduk, sektor perikanan (pakan, feses dan penunggu KJA), dan sektor pertanian, maka sektor perikanan juga memberikan kontribusi paling besar. Unsur N dari sektor perikanan yang terbuang ke perairan sebanyak Kg/hari dan unsur P sebesar 662,84 Kg/hari. Kontribusi dari sektor pertanian hanya unsur N sebesar Kg/hari. Sumbangan unsur N dan P dari sektor aktivitas domestik sebesar 451,68 Kg/hari.

178 Berdasarkan hasil analisis kelembagaan disimpulkan bahwa kelembagaan berperan penting dalam pengelolaan CPRs skala besar. Ketiadaan kelembagan di Cirata (aturan main, leading sector, managemen) menyebabkan eksternalitas terus terjadi dan mengancam kelestarian waduk. Redesign kelembagan diusulkan dengan dua skenario : best case scenario dan status quo. Best case scenario berupa dibentuknya badan otorita sebagai leading sector yang diberi kewenangan penuh melebihi batas administrasi (trans boundry regime) dan didukung oleh sumber daya manusia yang memadai. Status quo adalah kondisi yang saat ini berlangsung, namun dengan berbagai perbaikan terutama dalam hal fokus perbaikan kondisi lingkungan waduk yang mengancam suistanability waduk. Perbaikan tersebut dalam hal aturan main, penegakannya, mekanisme sanksi, sumber daya manusia, lokasi strategis, managemen pengelolaan yang holistik. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penelitian ini menyarankan beberapa hal terkait pengelolaan suatu CPRs besar dengan multi stakeholder sebagai berikut : 1. Perlunya analisis dan uji coba redesign kelembagaan pengelolaan waduk dalam dua skenario yang diusulkan 2. Perlunya membangun kebijakan untuk sektor aktivitas domestik masyarakat yang tinggal di sekitar waduk dalam upaya berkontribusi terhadap pelestarian waduk 3. Perlu dibuka wadah komunikasi dan interaksi diantara semua stakeholder untuk menentukan aturan main yang berlaku dan flesibilitas dalam merivisi aturan main tersebut sesuai dengan dinamika di masyarakat.

179 157 DAFTAR PUSTAKA Aksomo R Nilai Ekonomi Pemanfaatan Waduk Cirata untuk Perikanan dan Wisata Tirta di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Managemen, Institut Pertanian Bogor. [Anonim] Pengelolaan Danau dan Waduk di Indonesia. Badan Litbang Sumber Daya Air. [14 Mar 2012] Barena I Conflict Analysis. Disaster Preparedness & Policy Departement. International Federation of Red Crescent Societies. USA [BPS] Data Potensi Desa Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung. Jawa Barat: BPS [BPWC]. Badan Pengelola Waduk Cirata Laporan Tahunan Badan Pengelola Waduk Cirata Bandung Barat: BPWC Dandekar MM, Sharma KN Pembangkit Listrik Tenaga Air. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. [DPPK]. Dinas Perikanan, Peternakan dan Kelautan Kabupaten Cianjur Laporan Press Realease Kondisi Perikanan KJA pada kunjungan Menteri Kelautan. Cianjur: DPPK. [DISKANLUT]. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat Laporan Tahunan Produksi Perikanan Darat dan Laut. Bandung : Diskanlut. Dolsak N, Ostrom E The Commons in The New Millennium, Challenges and Adaptation. London: Massachusetts Institute of Technology. Fausia L, Popong N, Wawan O, Moch. Prihatna S Studi Perbangindan Pengelolaan Usaha Perikanan Jaring Terapung di DAS Citarum (Waduk Jatiluhur, Saguling dan Cirata) Jawa Barat. Buletin Ekonomi Perikanan No. 2 Tahun ke-2: Fauzi A Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A Tehnik Pengambilan Contoh Penelitian Sosial Eknomi: Panduan Singkat. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan.

180 158 Garno SY Status dan Karakteristik Pencemaran di Waduk Kaskade Citarum. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 2 No. 2 : Goldsmith E, Hildyard N Dampak Sosial dan Lingkungan Bendungan Raksasa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Halang B Toksisitas Air Limbah Deterjen terhdap Ikan Mas. Jurnal BIOSCIENTIAE Nomor 1 Volume 1: Harijono SN Kajian Pola Sedimentasi di Wilayah Pesisir Selat Madura Bagian Selatan [Tesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Hidayat A Karakteristik SDAL, Klasifikasi SDAL, Eksternalitas, Urgensi Kelembagaan dalam Pengelolaan SDAL, Wajah SDAL di Indonesia dan Cerminan Kegagalan Kelembagaan [Materi Kuliah Ekonomi Kelembagaan]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Insan I Status Trofik dan Daya Dukung Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata [Tesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. [KLH]. Kementrian Lingkungan Hidup Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Waduk/Danau. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Koundaouri P, et al The Economics of Water Management in Developing Countries : Problems, Principles and Policies. USA: Edward Elgar Publishing, Inc. Molle F, Priyantha J, et al Balancing Irrigation and Hydropower : a Case Study from Southern Sri Lanka. Research Report 94. Colombo: IWMI. Nastiti AS, Krismono, Kartamihardja ES Dampak Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung terhadap Peningkatan Unsur N dan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 7 Nomor 2. Nasution Z Analisis Kelembagaan Dalam Lingkungan Perairan Waduk (Studi Kasus di Perairan Waduk Jatiluhur, Jawa Barat). Buletin Ekonomi Perikanan No. VI Volume 1. Jakarta: Badan Riset Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Ostrom E, Roy G, James W Rule, Games and Common Pool Resources. USA: The University of Michigan Press.

181 159 Ostrom E Governing the Commons, The Evolution of Institutions for Collective Action. USA: Cambridge University Press. Parasuraman A, Zeithaml VA, Berry LL A conceptual model of service quality and its implication for future research. Journal of Marketing, Vol. 49, Fall : [41-50]. [PT.PJB] PT. Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkitan Cirata Laporan Akhir Pematokan dan Pengukuran Sedimentasi Waduk Cirata. Purwakarta: PJB UP.Cirata Rahmani U Kajian Biaya Eksternalitas Budidaya Ikan Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Managemen, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E. Saefulhakim S, Panuju DR Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: CrestPent Press dan Yayasan Obor. Shahrani AR Interaksi antara Pestisida dan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). [skripsi]. IPB: Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Setyorini D, Widowati LR, Kasno A Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah. Jakarta: Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian. Simanjuntak S Cost Benefit Analysis untuk Proyek Dam [Materi Kuliah Ekonomi Sumber Daya Mineral]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simanjuntak S Konflik Sumber Daya Alam [Materi Kuliah Analisis Konflik]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sudrajat M Dampak Budidaya Ikan Jaring Apung di Waduk Cirata Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Lokasi dan Pembangunan Ekonomi Kabupaten Cianjur [tesis]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Managemen, Institut Pertanian Bogor. Sugiyanta Peran Jerami dan Pupuk Hijau Crotalaria juncea Terhadap Efesiensi dan Kecukupan Hara Lima Varietas Padi Sawah [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wardhana AW Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi

182 160 Yuksel I Dams and Hydropower for Suistainability Development. Energy Sources part B. Turkey: Taylor and Francis Groups. Zakiyah Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Sukarela di PLTA [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

183 L A M P I R A N 161

184 162

185 Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian 163

186 164 Lampiran 2. Tabel Matriks Keterkaitan Tujuan, Parameter Penelitian, Jenis, Cara Mendapatkan, Sumber dan Metode Analisis Data Sumber Cara Metode Parameter Data yang Diperlukan Data Mendapat- Analisis kan Data Data Tujuan Penelitian 1. Identifikasi Sumber Sedimentasi Sektor Rumah tangga Aset yang menggunakan air untuk perawatan dan Primer Wawancara Analisis Sektor Perikanan operasionalnya dengan statistika (KJA) Frekuensi buangan hasil produksi yang bermuara menggunaka deskriptif Sektor Pertanian ke waduk n kuesioner Sektor industri Jenis buangan padat dan cair Tujuan Penelitian 2. Estimasi Kerugian Ekonomi PLTA Cost dan Benefit Data Cost operasional dan maintenance PLTA Primer Data laporan BCR berupa series (10 tahun kebelakang) produksi dan (Benefit Data benefit (produksi) listrik laporan cost Harga jual produsen listrik keuangan ratio) tahunan Tujuan Penelitian 3. Analisis Kelembagaan Analisis faktor Peraturan-peraturan yang terdapat di setiap Primer Studi Content kebijakan : gap antara lembaga kemasyarakatan (untuk skala lokal dan dan Pustaka dan analysis, kontent peraturan dan public) sekunder wawancara gap implementasi : dengan analysis - Tinggi : banyak gap anggota - Sedang : sedikit gap lembaga - Rendah : tidak ada gap masyarakat Analisis stakeholder : Daftar kelembagaan yang berwenang mengatur Primer Wawancara Analisis - Lokal : dibentuk oleh dan mengelola perairan Waduk Cirata, dan mendalam stake- pengguna sumber daya Visi, misi, tujuan lembaga, dasar hukum dan sekunder dengan holder dengan cakupan kerja kewenangan, struktur organisasi dan pembagian informan dan lokal peran key, Studi analisis - Private : dibentuk oleh Kegiatan gabungan yang dilakukan antar dokumen, konflik swasta untuk organisasi Pengisian kepentingan umum Konflik indikator kuesioner dengan cakupan kerja Peace indikator untuk seluruh waduk Skenario atau penanganan masalah konflik yang masing- - Government : lembaga pernah dilakukan masing pemerintah yang leading actor memiliki wewenang untuk mengatur pengelolaan waduk

187 165 Sumber Cara Metode Parameter Data yang Diperlukan Data Mendapat- Analisis kan Data Data Analisis konflik : - Best scenario - Status quo scenario - Worst scenario Redesign Adanya upaya konservasi Primer Wawancara Pendeka- Kelembagaan : Equity : 8 prinsip kinerja design kelembagaan dengan tan - Suistainability Tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat kuesioner Dolsak - Equity Minimum transaction cost sebagai dan - Prosperity Manfaat lain secara tidak langsung dari panduan Ostrom karakteristrik SD (2003) Analisis unit variabel Economic enviroment: Primer Wawancara Pendeka- lain : akses ke pasar barang dan jasa, trend harga pasar, dan dengan tan - Economic trend permintaan ikan, PAD Kab.Cianjur, Purwakarta Sekunder kuesioner Dolsak enviroment dan Bandung Barat, jumlah tenaga kerja, jenis usaha sebagai dan - Political pendukung lainnya, biaya transaksi (retribusi, panduan Ostrom enviroment preman, dll), pendanaan dari luar negeri, dampak (2003) - Legal enviroment globalisasi ekonomi, dampak resesi ekonomi global. - Teknologi Political enviroment : - Karakteristik Produk kebijakan yang dihasilkan dari proses politik, sumber daya kebijakan terhadap budidaya perikanan, kinerja lembaga pemerintah yang menangani CPRs, Penegakan aturan-aturan pemerintah Legal Enviroment : - Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.7 tahun 2011 tentang Pengelolaan Perikanan - SK Gubernur No. 45 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah No.14/2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan - Peraturan Gubernur No.16 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu - SK Gubernur No.27tahun 1994 tentang petunjuk pelaksanaan peraturan No.11/1986 tentang Tata Cara Pemanfaatan Perairan Umum untuk Usaha Perikanan - Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung, Cianjur, Purwakarta dan Direktur PJB tahun 2003 tentang Pengembangan Pemanfaatan

188 166 Sumber Cara Metode Parameter Data yang Diperlukan Data Mendapat- Analisis kan Data Data Kawasan Waduk Cirata - Peraturan Daerah Kab. Purwakarta No.6/2010 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan Teknologi : Konstruksi karamba jaring apung, siklus pemberian pakan ikan, jenis ikan pemakan plankton, dll

189 167 Lampiran 3. Kuesioner Sektor Rumah Tangga KUESIONER RUMAH TANGGA Tanda Tangan Responsen : No. Responden :...Tanggal Wawancara A. Karakteristik Responden No Nama Anggota RT Posisi 0. Kepala 1. IRT 2. Anak 3. Cucu 4. Kakek/n enek 5. Keponak an 6. Lainnya :...Cluster :..Nama desa/rt/rw:.. Umur (thn) Lama Pendidikan (tahun) Pekerjaan 0. Non petani 1. Petani Rata-rata Penghasil an/bulan (Rp) Pekerjaan sampingan 0. Tidak 1. Ya Rata-rata Pendapatan sampingan/b ulan (Rp) Asal 0. Asli 1.Pendata ng (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Lama Tingga l (thn)

190 168 B. Informasi Sampah Padat Jenis Sampah padat yang dihasilkan Volume/hari (Kg) Cara pengumpulan sampah (bakar, timbun dalam lubang, dikumpul dan diangkut tkg sampah, dll) Tempat pembuangan sampah akhir (TPA, sungai, waduk, kebun, dll) Biaya yang dikeluarkan C. Informasi Limbah Cair 1. Jarak Rumah dari Sungai/waduk : Km 2. Berapa kali biasa mandi/hari : kali, berapa banyak air yang digunakan liter 3. Berapa kali cuci pakaian/minggu : kali, berapa banyak air yang digunakan liter 4. Berapa kali mencuci aset (motor, mobil, dll)/minggu : kali, berapa banyak air yang digunakan liter 5. Berapa kali BAB/hari : kali, berapa banyak air yang digunakan liter 6. Berapa kali BAK/hari : kali, berapa banyak air yang digunakan liter 2

191 169 D. Kesediaan Membayar (WTP) Skenario : Jika sampah tidak ditangani dengan baik dan langsung dibuang saja ke sungai atau ke waduk, maka dalam jangka panjang yang akan terjadi adalah : - Timbulnya penyakit yang diakibatkan oleh sampah yang tergenang, contohnya : demam berdarah, malaria, disentri, mencret, dll - Bau yang menyengat - Sampah akan mengendap dan pada saat musim hujan/terjadi upwelling akan naik dan menyebabkan kematian massal pada ikan yang dipelihara dalam KJA - Sampah organik dapat menyebabkan perairan subur dan terjadi pertumbuhan yang sangat cepat dari eceng gondok yang dapat merusak pemandangan dan menghalangi jalur transportasi - Limbah cair yang dihasilkan dapat menyebabkan alat-alat pembangkit listrik mudah berkarat dan pada akhirnya menyebabkan produksi listrik menurun dan pasokan ke konsumen berkurang Apakah Bapak/Ibu terganggu dengan adanya timbunan sampah? Ya/Tidak Berdasarkan informasi diatas, Berapakah Bpk/Ibu bersedia membayar per bulannya supaya sampah yang dihasilkan dapat ditangani dengan baik dan pada akhirnya tidak menyebabkan masalah-masalah diatas? Rp.

192 170 Lampiran 4. Kuesioner Sektor Pertanian KUESIONER SEKTOR PERTANIAN Tanda Tangan Responden : No. Responden:.... Tanggal Wawancara :... Cluster :.. Nama desa/rt/rw : Informasi Umum 1. Nama Pemilik : 2. Nama Pengelola : 3. Mulai awal kegiatan pertanian : 4. Jumlah pekerja : orang Informasi Saluran Air Jenis Tanaman Luas lahan m 2 Lama masa tanam (bln) Penghasilan Bersih/masa tanam (Rp) Apakah ada saluran air ke waduk Biaya yang dikeluarkan untuk buangan air (Rp) Jumlah pupuk kimia yang digunakan (Kg/ha) Informasi Kesediaan Membayar (WTP) : Lihat Skenario di Awal Kuesioner Apakah Bapak/Ibu terganggu dengan adanya timbunan sampah? Ya/Tidak Berapakah Bpk/Ibu mau membayar per bulannya supaya sampah yang dihasilkan dapat ditangani dengan baik yang pada akhirnya tidak menyebabkan masalah-masalah diatas? Rp.

193 171 Lampiran 5. Kuesioner Sektor Perikanan (KJA) Tanda Tangan Responden : KUESIONER SEKTOR PERIKANAN No. Responden:... Tanggal Wawancara :... Cluster :.. Nama desa/rt/rw:.. Informasi Umum 1. Nama Pemilik : 2. Nama Pengelola : 3. Jumlah/luas Karamba : unit (1 unit = 4 petak) 4. Lokasi Karamba : 5. Lama usaha : tahun 6. Jumlah pekerja : orang 7. Adakah ijin usaha : Ya/Tidak 8. Pendapatan bersih usaha/musim panen : Rp. Informasi Karamba Jenis Ikan Jumlah Bibit (Kg) Jenis pakan Frekuensi pemberian pakan/hari Jumlah Pakan (Kg/hari) Lama panen (bulan) Produksi (Kg) 1. Apakah Bpk/Ibu biasa membersihkan karamba? a. Ya, berapa kali/tahun b. Tidak 2. Jika ya, dimana Bpk/Ibu biasa membersihkan karamba? a. Di dalam danau b. Di luar danau 3. Apakah Bpk/Ibu mengeluarkan biaya untuk pembersihan karamba? a. Ya, berapa Rp. b. Tidak 4. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk mengurus ijin usaha? Rp. 5. Berapa biaya retribusi KJA setiap bulannya? Rp.

194 Adakah biaya pungutan resmi lainnya? Jika Ya, sebutkan : a. Ya, 1. Rp. 2. Rp. 3. Rp. b. Tidak 7. Adakah pungutan liar lainnya? Jika Ya, sebutkan a. Ya, 1. Rp. 2. Rp. 3. Rp. b. Tidak 8. Sebutkan organisasi yang sedang diikutinya saat ini : Nama Organisasi Posisi Berapa lama? 9. Kesediaan Membayar (WTP) : lihat skenario di awal kuesioner Apakah Bapak/Ibu terganggu dengan adanya timbunan sampah? Ya/Tidak Berdasarkan informasi diatas, Berapakah Bpk/Ibu mau membayar per bulannya supaya sampah yang dihasilkan dapat ditangani dengan baik yang pada akhirnya tidak menyebabkan masalah-masalah diatas? Rp.

195 173 Lampiran 6. Kuesioner Sektor Usaha KUESIONER SEKTOR USAHA Tanda Tangan Responden : No. Responden:... Tanggal Wawancara :... Cluster :.. Nama desa/rt/rw :.. Informasi Umum 1. Nama Usaha : 2. Nama Pemilik : 3. Nama Pengelola : 4. Jenis usaha : 5. Skala usaha : 6. Luas tempat usaha : m 7. Lama usaha : tahun 8. Jumlah pekerja : orang 9. Berapa produksi yang dihasilkan/hari : (satuan) 10. Pemasaran selama ini kemana saja : 11. Ijin usaha : Ada / Tidak ada 12. Berapa kira-kira jarak usaha dari waduk/sungai : Km 13. Pendapatan bersih usaha/hari : Rp. 2 2 Bahan Baku Terdiri Dari? Diperoleh Darimana?

196 174 Informasi Buangan Padat Jenis Buangan padat yang dihasilkan Volume/ hari Cara pengumpulan (timbun dalam lubang, dibakar, langsung dibuang ke sungai, langsung ke waduk, diangkut dll) Tempat pembuangan akhir (TPA, waduk, sungai) Biaya yang dikeluarkan Informasi Buangan Cair Jenis Sampah cair yang dihasilkan Volume (liter)/minggu Cara pengumpulan sampah (langsung buang dikebun, di waduk, sungai, dll) Tempat pembuangan sampah akhir (TPA, sungai, waduk, kebun, dll) Biaya yang dikeluarkan Kesediaan Membayar (WTP) : lihat skenario di awal kuesioner Apakah Bapak/Ibu terganggu dengan adanya timbunan sampah? Ya/Tidak Berdasarkan informasi diatas, Berapakah Bpk/Ibu mau membayar per bulannya supaya sampah yang dihasilkan dapat ditangani dengan baik yang pada akhirnya tidak menyebabkan masalah-masalah diatas? Rp.

197 175 Lampiran 7. Kuesioner Kelembagaan Kuesioner FGD dan KII Tokoh Kelompok-Kelompok Masyarakat Identifikasi Kelompok Nama kelompok : Tanggal pembentukan : Oleh siapa : Tujuan : Jumlah anggota saat ini : Cakupan wilayah : Struktur organisasi : Dasar Hukum pembentukan : Kekuatan yang dimiliki/power : Aturan Main yang Berlaku Aturan apa saja yang dibuat : Tujuan dibuatnya aturan main : Siapa saja yang berperan dalam menegakkan aturan main tersebut : Apa sangsi jika melanggar : Apa bentuk reward/keuntungan yang diberikan u anggota Berapa kali melakukan rapat koordinasi/bulan :

198 176 Bagaimana implementasi di lapangan terhadap aturan tsb? Siapa yang berwenang untuk melakukan perubahan aturan main? Info lain-lain : Interaksi Antar Anggota /antar lembaga Adakah konflik yang pernah muncul selama ini : Seberapa sering terjadi konflik dalam sebulan? Berkaitan masalah apa (akar masalah) : Apa saja faktor yang memicu terjadinya konflik (trigger)? Faktor-faktor apa saja yang mempercepat terjadinya konflik (proximate cause)? Bagaimana mekanisme penyelesaian konflik yang dilakukan selama ini : Adakah faktor eksternal yang membantu penyelesaian konflik? Siapa? Informasi lain-lain : Design Kelembagaan versi masyarakat 1. Bagaimana peran pemerintah selama ini dalam mengatur dan mengelola Waduk Cirata?

199 Berapa biaya yang dikeluarkan untuk menegakkan peraturan dan membuat peraturan/aturan main yang berlaku? 3. Apakah selama ini lembaga yang Bpk/Ibu ikuti bermanfaat bagi anggotanya? dalam hal apa? Dan mengapa? 4. Apakah selama ini Bpk/Ibu sudah merasa sejahtera dan merasa setara dengan berpartisipasi dalam lembaga ini? 5. Apakah selama ini lembaga yang Bpk/Ibu ikuti berkontribusi dalam pengelolaan waduk yang berkelanjutan/lestari? 6. Kelembagaan seperti apa yang seharusnya dibuat sehingga jasa layanan waduk dapat berlangsung terus menerus dan bersifat lestari? Faktor Ekonomi 1. Adakah sumber pendanaan dari pihak lain/asing dalam mengelola kelembagaan ini? sebutkan!

200 Bagaimana akses terhadap pasar barang dan jasa di Cirata? 3. Bagaimana trend permintaan jasa layanan waduk seperti ikan, pariwisata, dll? 4. Bagaimana akses pemasaran terhadap produk dari waduk? 5. Bagaimana fasilitas pendukung layanan waduk seperti data kualitas air, peringatan curah hujan, data sedimentasi dan informasi berkaitan dengan waduk? 6. Adakah dampak dari resesi global dan globalisasi ekonomi terhadap pengelolaan kelembagaan ini? 7. Adakah dampak dari naiknya harga BBM terhadap pengelolaan kelembagaan ini? Faktor Politik dan Kebijakan 1. Menurut Bpk/Ibu bagaimana kebijakan yang dibuat oleh pengelola waduk/pemerintah saat ini?

201 Apa kekurangan-kekurangan yang dirasakan terkait dengan kebijakan pengelolaan waduk? 3. Menurut Bpk/Ibu, adakah perbedaan pemimpin yang berkuasa saat ini dengan yang kepemimpinan periode sebelumnya? 4. Bagaimana kinerja lembaga pemerintahan dalam menangani/mengelola Waduk Cirata? 5. Apa dampak/akibatnya terhadap kita/kelompok kita? Teknologi 1. Apa saja teknologi yang digunakan dalam mengekstrak sumber daya buatan Waduk Cirata? 2. Adakah dampak penggunaan teknologi tersebut terhadap pengguna lain? 3. Adakah dampak penggunaan teknologi tersebut terhadap kelestarian waduk? 4. Apa saja usahakan yang dilakukan untuk mengatasi eksternalitas teknologi? 5. Adakah akses terhadap teknologi terbaru untuk meningkatkan pendapatan dan memberikan nilai tambah masyarakat?

202 180 Lampiran 8. Data Sensus KJA tahun 2011 REKAPITULASI PENDATAAN KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA TAHUN 2011 WILAYAH N O DESA JUMLA H PETANI [RTP] PRIBU MI NON PRI JUMLA H KERAMBA JARING APUNG [PETAK] AKTI F NON AKTI F SPL NON SPL KONSTRUKSI [%] DRU M BUSA 1 BOJONG MEKAR ZONA 1 BANDUNG BARAT 2 MARGALAKSA NA ,490 10, ,098 9,392 3 MARGALUYU ,235 8, ,482 4 NANGGELENG , % 29.2% 5 NYENANG ,866 1, ,774 JUMLAH 1,198 1, ,766 21, ,065 19,701 1 CITAMIANG ,294 1, ,294 ZONA 2 PURWAKAR TA 2 PASIR JAMBU SINARGALIH ,646 2, ,630 4 TEGAL DATAR ,238 4, , % 5.8% JUMLAH ,104 8,643 1, ,329 1 BOBOJONG ,842 6,777 1, ,015 2 CIKIDANG ,930 1, ,715 ZONA 3 CIANJUR 3 KAMURANG ,395 4, ,705 4 KERTAJAYA ,762 1, , % 36.0% 5 MANDE ,232 4,229 1, ,287 JUMLAH ,161 18,634 2,527 2,677 18,484 TOTAL 2,511 2, ,031 48,591 4,440 5,517 47, % 27.5 %

203 181 Lampiran 9. Gambar dan Bagian-bagian Pembangkit Gambar 2. Penstok Gambar 3. Turbin Gambar 4. Generator Gambar 5. Tailrace (Pembungan air)

204 182 Gambar 6. Bendungan Cirata Gambar 7. KJA di Cianjur Gambar 8. Konstruksi KJA Ramah Lingkungan Gambar 9. Sampah dipinggir waduk Gambar 10. Pertumbuhan Masif Eceng Gondok Gambar 11. Aktivitas Warga Sekitar Gambar 12. Suasana FGD dengan salah satu kelompok Pembudidaya Perikanan di Bandung Barat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Waduk adalah genangan air dalam suatu cekungan permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai kepentingan, yang airnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya alam yang menjadi prioritas dari lima area kunci hasil Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Waduk dan Common Pool Resources Berdasarkan pembentukannya, ada waduk yang terbentuk secara alami (natural lake) dan buatan (man made lake/artificial lake). Waduk buatan dikenal

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun .. Latar belakang Waduk merupakan danau buatan dengan membendung aliran sungai, yang pada urnumnya ditujukan sebagai tempat penampungan air yang dipergunakan untuk berbagai macam keperluan seperti Pembangkt

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya tidak lepas dari lingkungan hidup sekitarnya. Lingkungan hidup manusia tersebut menyediakan

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI IV. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dengan luas 6.614 Km 2 dan panjang 300 km (Jasa Tirta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk hidup, tidak lepas dari lingkungan sebagai sumber kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan caranya

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan perlunya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan antar generasi,

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Waduk Cirata Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Waduk Cirata terletak diantara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang sudah menjadi kebutuhan vital bagi makhluk hidup. Tidak hanya untuk mandi atau mencuci, tapi kebutuhan akan air bersih juga diperlukan

Lebih terperinci

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah MITL Media Ilmiah Teknik Lingkungan Volume 1, Nomor 2, Agustus 2016 Artikel Hasil Penelitian, Hal. 35-39 Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN DAN PENANGANANNYA PADA SUMBERDAYA AIR

DAMPAK PEMBANGUNAN DAN PENANGANANNYA PADA SUMBERDAYA AIR ISBN 978-602-9092-54-7 P3AI UNLAM P 3 A I Penulis : Editor : Dr. rer. nat. Ir. H. Wahyuni Ilham, MP Cetakan ke 1, Desember 2012 Peringatan Dilarang memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesadaran masyarakat dan adanya hubungan timbal balik terhadap

BAB I PENDAHULUAN. kesadaran masyarakat dan adanya hubungan timbal balik terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan industri yang ada di kota-kota telah menimbulkan kesadaran masyarakat dan adanya hubungan timbal balik terhadap pencemaran, kesehatan dan lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak terhadap kondisi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari daerah tangkapannya sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring dengan berkembangnya pembangunan waduk di Indonesia. Pembangunan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disempurnakan dan diganti dengan Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Northeast Georgia Regional Development Center (1999) menjelaskan beberapa. indikator pencemaran sungai sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Northeast Georgia Regional Development Center (1999) menjelaskan beberapa. indikator pencemaran sungai sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Indikator Kerusakan Lingkungan Sungai Kualitas air sungai tergantung pada komponen penyusun sungai dan komponen yang berasal luar, seperti pemukiman dan industri. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mil laut dengan negara tetangga Singapura. Posisi yang strategis ini menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. mil laut dengan negara tetangga Singapura. Posisi yang strategis ini menempatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Batam merupakan salah satu kota di Propinsi Kepulauan Riau yang perkembangannya cukup pesat yang secara geografis memiliki letak yang sangat strategis karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan paling mendasar untuk menunjang suatu kehidupan. Sifat-sifat air menjadikannya sebagai suatu unsur yang paling penting bagi makhluk hidup. Manusia

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

LAPORAN TAHUN TERAKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

LAPORAN TAHUN TERAKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI LAPORAN TAHUN TERAKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI ELIMINASI LIMBAH UNTUK MENEKAN DAMPAK NEGATIF LIMBAH BUDIDAYA PERIKANAN DI WADUK CIRATA Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun Dr. Isni Nurruhwati /NIDN:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012). 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Air adalah salah satu kekayaan alam yang ada di bumi. Air merupakan salah satu material pembentuk kehidupan di bumi. Tidak ada satu pun planet di jagad raya ini yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi akan mempengaruhi kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi akan mempengaruhi kualitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi akan mempengaruhi kualitas lingkungan. Aktivitas manusia yang semakin banyak akan menimbulkan peningkatan konsumsi dan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berusaha, memperluas kesempatan kerja, dan lain sebagainya (Yoeti, 2004).

I. PENDAHULUAN. berusaha, memperluas kesempatan kerja, dan lain sebagainya (Yoeti, 2004). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keragaman kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, seperti potensi alam, keindahan alam, flora dan fauna memiliki daya tarik untuk dikunjungi oleh wisatawan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Degradasi lingkungan menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan akibat kegiatan masyarakat, sehingga komponen-komponen pembentuk lingkungan tidak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG Menimbang NOMOR 02 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KABUPATEN TABALONG

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Mulur Sukoharjo merupakan objek wisata alam yang terletak di provinsi Jawa Tengah.Tepatnya berada di daerah Kabupaten Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kelurahan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 1.266 m di atas permukaan laut serta terletak pada

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

ll. TINJAUAN PUSTAKA cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi

ll. TINJAUAN PUSTAKA cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi ll. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Industri Tahu Industri tahu di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi setiap hari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya pembangunan pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik, yang tercermin dalam peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perikanan Kabupaten Bandung Secara astronomi Kabupaten Bandung terletak pada 107 22-108 50 Bujur Timur dan 6 41-7 19 Lintang Selatan. Berdasarkan tofografi, wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang

BAB I PENDAHULUAN. komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sebagai kebutuhan primer setiap manusia dan merupakan suatu komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang kurang baik dapat menyebabkan

Lebih terperinci

HIDROSFER & PENCEMARAN AIR

HIDROSFER & PENCEMARAN AIR HIDROSFER & PENCEMARAN AIR Kita tidak mungkin hidup tanpa air; air mutlak diperlukan dalam setiap aspek kehidupan (Kofi Annan, Sekjen PBB). Peran air di alam dan dalam kegiatan manusia sangat kompleks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari keterkaitannya terhadap lingkungan. Lingkungan memberikan berbagai sumberdaya kepada manusia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Prototipe salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia SUMBER DAYA ALAM (SDA) Kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia SUMBER DAYA ALAM TIM ILMU LINGKUNGAN FMIPA UNSYIAH JENIS-JENIS SDA Sumber daya alam yang dapat diperbaharui

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci