LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga Tahun Anggaran 2015 Oleh: Drs. Daru Purnomo, M.Si Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM Dr. Umbu Rauta, SH.,M.Hum Dr. Bambang Ismanto, M.Si Seto Herwandito, S.Pd, M.Ikom Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA 2015

2 KATA PENGANTAR Ketersediaan wilayah yang cukup sesuai kebutuhan pembangunan di daerah, merupakan satu permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah Kota Salatiga. Dibatasi dengan wilayahnya yang sempit/terbatas, upaya pembangunan Kota Salatiga tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Sementara itu keberadaan daerah-daerah di sekitar Kota Salatiga yang relatif jauh dari pusat Kabupaten Semarang, secara geografis, akan memudahkan jangkauan pelayanannya dari Kota Salatiga. Kondisi ini memunculkan pemikiran yang wajar untuk mengkaji potensi dan peluang pemekaran (baca: penyesuaian) Kota Salatiga. Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang lebih maju dan berkembang. Kami, dari Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW, merasa bangga karena dipercaya oleh DPRD Kota Salatiga untuk mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun kajian ini dapat memperoleh dukungan dari semua pihak yang terkait dengan permasalahan pengembangan wilayah di Kota Salatiga dan hasilnya dapat menjadi masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan pemekaran Kota Salatiga di waktu mendatang. Laporan akhir ini disusun sebagai wujud tanggung jawab kami dalam menyelesaikan tahapan awal kegiatan kajian ini. Kiranya semua yang kita lakukan dapat memperoleh berkat dan penyertaannya. Salatiga, 21 Agustus 2015 Tim Penyusun i

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi Masalah Maksud dan Tujuan Sasaran dan Ruang Lingkup... 4 BAB II. LANDASAN TEORI Dimensi Normatif Penataan Wilayah Implikasi Politik Penataan Wilayah Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah Teori Struktur, Tata Ruang, dan Perkembangan Kota Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun BAB III. METODOLOGI Metode Penelitian Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data Jadwal Pelaksanaan Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Kegiatan Pengawasan Pekerjaan Analisis Manfaat dan Biaya BAB IV. HASIL KEGIATAN AKHIR Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga Kondisi Sosial Politik Kondisi Kependudukan Kota Salatiga Potensi Daerah Kota Salatiga Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran BAB V. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA i ii ii

4 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18, 18A dan 18B UUD NRI 1945). Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada Pemerintahan Daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintahan Daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintahan Daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju pembangunan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 1

5 Baik UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No.23 Tahun 2014 memberi pesan perlunya mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat di daerah-daerah. Karena itu, banyak urusan pemerintahan yang kemudian diserahkan dan didelegasikan kepada daerah-daerah melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Luas wilayah kabupaten/kota antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Bagi kabupaten/kota yang terlalu luas, maka pemerintah daerah otonom sulit untuk memberikan pelayanan yang mampu menjangkau semua wilayah. Berdasarkan kondisi ini, maka banyak daerah-daerah yang berusaha memekarkan diri terpisah dengan daerah otonom yang menjadi induknya. Daerah yang ingin menjadi daerah otonom sendiri umumnya adalah daerah memiliki kekayaan sumber daya alam. Pertimbangannya, dengan menjadi daerah otonom sendiri, maka daerah bersangkutan akan memiliki infrastruktur kepemerintahan, sarana dan prasarana, dana dan policy sendiri sehingga kekayaan sumber daya alam di daerahnya dapat diolah untuk lebih memakmurkan masyarakat di daerahnya. Apalagi melihat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi hutan dan laut, maka pemekaran dapat dipandang sebagai upaya untuk mempercepat pemeratan pembangunan. Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 yang selanjutnya diganti dengan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, sampai sekarang telah terbentuk lebih dari 200 daerah baru (baik berupa kabupaten, kota dan provinsi). Penataan wilayah (teritorrial reform) pada dasarnya merupakan bagian dari manajemen pemerintahan daerah, yang dimaksudkan untuk menata wilayah administratif suatu daerah agar rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien. Idealnya, penataan wilayah ini dilakukan seiring dengan perkembangan suatu daerah, sehingga pertumbuhan dan kemajuan tersebut tidak hanya terpusat tetapi dapat dinikmati secara merata di seluruh wilayah. Pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi yang baru biasanya menjadi awal bagi perkembangan suatu daerah. Pertumbuhan ini sejalan dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, baik yang bersumber dari kekayaan alam, maupun yang berupa sumber-sumber daya lainnya, seperti kemajuan industri, dan sebagainya. 2

6 1.2. Identifikasi Masalah Demikian pula dengan Kota Salatiga, dengan luas wilayah administratif 5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dan jumlah penduduk pada tahun 2013 sebanyak jiwa sehingga kepadatan per Km² mencapai jiwa/km2, maka Kota Salatiga mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan titik berat pada sektor industri/jasa. Letak Kota Salatiga yang sangat strategis, berbatasan dengan Kabupaten Semarang, dan berdekatan dengan ibukota propinsi Jawa Tengah (Semarang), DIY (Jogja) dan Solo, menyebabkan Kota Salatiga menjadi sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kota satelit. Laju pertumbuhan ekonomi di Kota Salatiga terutama berpusat di Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Diponegoro dan sekitarnya. Keberadaan Kota Salatiga, yang berada di dalam wilayah Kabupaten Semarang, telah menjadi daya tarik dan memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Semarang. Namun, kontribusi yang cukup besar tersebut dirasakan belum sepadan dengan kesejahteraan yang dinikmati masyarakat di kawasan tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya wacana pemekaran (baca: penyesuaian) Kota Salatiga. Wacana pemekaran ini perlu dikaji di kalangan masyarakat, baik bagi kelompok yang mendukung maupun yang menolak. Oleh karena itu, dalam menyikapi wacana pemekaran ini, Pemerintah Kota Salatiga perlu melakukan pengkajian secara mendalam dan komprehensif kelayakan pemekaran Kota Salatiga. Kajian kelayakan ini merupakan tindak lanjut terhadap aspirasi masyarakat. Kajian ini terutama difokuskan untuk menganalisis potensi kelurahankelurahan yang ada di wilayah perbatasan Kota Salatiga untuk menjadi bagian wilayah Kota Salatiga. Pengkajian secara ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan analisis yang obyektif dan akuntabel, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai rencana pemekaran dan penataan wilayah Kota Salatiga Maksud dan Tujuan Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian tentang potensi pemekaran (baca: penyesuaian) Kota Salatiga yang berfokus pada studi pengembangan kelurahan di wilayah perbatasan di Kota Salatiga. Secara rinci tujuan dari kegiatan studi ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis potensi wilayah yang ada di sekitar Kota Salatiga. 3

7 2. Menganalisis kemungkinan pemekaran Kota Salatiga sesuai dengan indikator dalam PP No. 78 Tahun Menganalisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya dan manfaat. 1.4.Sasaran dan Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan meliputi pengkajian mengenai potensi pemekaran wilayah Kota Salatiga, sebagai bahan pertimbangan dalam mengkaji kemungkinan pemekaran Kota Salatiga. Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian tersebut, dilakukan analisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya dan manfaat. Keluaran yang akan dihasilkan dari kegiatan ini berupa Dokumen Studi Kelayakan Pemekaran (baca: Penyesuaian) Kota Salatiga sebagai bahan pertimbangan/rekomendasi bagi pengambil kebijakan, yakni Walikota dan DPRD Kota Salatiga dalam menyusun kebijakan penataan wilayah Kota Salatiga sesuai dengan kondisi faktual dan kebutuhan masyarakat Kota Salatiga umumnya dan calon wilayah/kelurahan baru pada khususnya. 4

8 II. LANDASAN TEORI 2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah Pada dasarnya usaha pemekaran suatu daerah menjadi dua atau lebih luas adalah tidak dilarang, asalkan didukung oleh keinginan sebagian besar masyarakat dan memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik wilayah. Selain itu, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mengatur pemekaran dan atau penggabungan daerah, pemerintah telah menetapkan syarat-syarat dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah yang tertuang dalam PP No. 129 tahun Pada perkembangan berikutnya, PP No. 129 tahun 2000 diganti dengan PP No. 78 Tahun Dalam Penjelasan PP No. 78 Tahun 2007 secara eksplisit dinyatakan bahwa seluruh persyaratan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksudkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Dengan demikian, dalam usulan pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah secara ilmiah. Dalam mengkaji daerah calon daerah pemekaran sekurang-kurangnya tiga langkah pokok yang perlu dilalui yaitu mengkaji tentang kondisi eksisting penataan wilayah di Kota Salatiga, selanjutnya mengukur potensi pemekaran sesuai dengan indikator dalam PP No. 78 Tahun 2007 dan terakhir menganalisis kelayakan pemekaran dilihat dari sisi biaya dan manfaat. Dari sudut pandang yang berbeda, masyarakat yang menyetujui dan atau menolak pemekaran suatu daerah, hendaknya secara sadar memiliki alasan rasional. Artinya, tidak hanya asal menyetujui dan atau menolak tanpa kelengkapan informasi 5

9 yang memadai. Dari seluruh kasus pemekaran daerah, selalu akan ada masyarakat di daerah setempat yang menolak. Suatu hal yang bersifat manusiawi. Namun, hal yang perlu dihindari adalah alasan politik yang berlebihan sehingga melupakan aspek rasional dan mementingkan politik sesaat semata. Beberapa perspektif yang diharapkan akan memberikan perluasan wawasan dan cara pandang guna melengkapi kita dalam menyikapi fenomena pemekaran daerah adalah sebagai berikut: Alasan normatif. Produk hukum yang dilandasi UU Pemerintahan Daerah adalah wadah yang paling terbuka bagi daerah untuk memiliki akses sebanyak mungkin dalam pemekaran daerah. Dalam pandangan yang bersifat normatif tersebut, daerah punya hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat sentuhan pembangunan (karena jarak akses kebijakan yang mungkin dirasa terlalu jauh ) akan mendapatkan suatu peluang yang besar dalam mengembangkan dirinya. Kebijakan akan semakin dekat dan peran masyarakat terhadap pembangunan semakin besar. Namun demikian, pada sisi lain ternyata tidak semua daerah hasil pemekaran memiliki kesempatan yang sama. Sebagian dari daerah otonomi baru menjadi beban bagi pemerintah pusat (katakanlah karena PAD lebih sedikit daripada pembiayaan daerah), akibatnya mereka hanya mengharapkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang masih banyak bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini dilandasi realita bahwa usaha-usaha daerah memacu PAD, terutama bagi daerah yang miskin sumber daya alam, tidak terlalu signifikan. Gejala ini mendapat fokus perhatian pada UU No. 23 Tahun Persyaratan pembentukan daerah otonom baru sudah lebih selektif dan makin ketat, dengan mekanisme persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Pertimbangan lainnya yang perlu diperhatikan adalah daerah induk yang ditinggalkan dapat menjadi lemah, akibat minimnya potensi sumber-sumber PAD yang bisa dikembangkan. Demikianlah alasan normatif yang perlu dijadikan pegangan bagi penggagas pembentukan daerah baru. Alasan memacu diri untuk melakukan kompetisi. Dalam kacamata kompetisi, pemekaran daerah dapat diartikan sebagai strategi untuk mendapatkan peluang dan akses yang baru dalam upaya mendapatkan dan mengelola sumberdaya daerah. Artinya semua daerah punya hak yang sama berkompetisi dalam mengembangkan daerahnya. Namun demikian, makna kompetisi bisa saja berbalik menjadi ancaman 6

10 bahkan bencana, ketika daerah tidak mampu berkompetisi. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, tanpa memandang daerah induk maupun daerah pemekaran akan melakukan kompetisi yang sama. Setiap daerah harus berjuang guna mendapatkan akses seluas-luasnya bagi transaksi bermacam sumber daya yang dimiliki, baik yang menyangkut sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Penglolaan sektor riil mulai dari bidang perdagangan, jasa, pariwisata, transportasi, dan lain-lain akan ramai diperebutkan. Pemerintahan baru pada awal persaingannya banyak yang tersandung oleh masa transisi politik di daerah yang bersangkutan, sehingga perhatian terhadap pembangunan menjadi kurang. Jika pemerintah baru tidak segera menata diri maka ancaman kebangkrutan akanterjadi. Perspektif rasional. Motivasi pemekaran satu wilayah yang paling baik adalah melalui perspektif rasional. Ketika isu pemekaran daerah ditinjau secararasional, maka aspek politis, normatif, dan lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Kebutuhan daerah untuk mekar atau tidak, sepenuhnya dilandasi pertimbangan rasionalitas. Aspek logis yang harus dipenuhi antara lain rasioantara daerah otonomi baru dengan kondisi riil penduduk, harus jadi titik tumpu utama. Dengan memakai pertimbangan rasional, maka metode, strategi,kebijakan, kalkulasi atau pertimbangan apapun dalam proses pemekaran akan terarah pada indikator-indikator yang terukur secara akurat dan valid. Perspektif rasional adalah perspektif yang paling ideal untuk diterapkan,namun justru ini adalah perspektif yang paling sulit dikongkretkan. Kesulitan terutama datang (lebih tepatnya dihambat) oleh faktor politis dan normatif.untuk alasan yang ketiga itulah, perspektif normatif perlu mencoba mengakomodasi alasan rasional. Jalan tengahnya perlu ada suatu studi ataupenelitian yang rasional sesuai dengan tuntutan normatif dan atau perundang-undangan Implikasi Politik Penataan Wilayah Desentralisasi dalam arti pemencaran kekuasaan dapat dilakukan secara teritorial melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Desentralisasi teritorial ini dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dengan yang diperintah. Pemerintahan di tingkat lokal diperlukan untuk efisiensi dan efektivitas dalam hal keuangan, penegakan hukum, pendaftaran tanah, dan urusan-urusan lain yang akan sulit dilakukan hanya oleh pemerintah pusat. Karena itu, pemencaran 7

11 kekuasaan secara teritorial juga akan berkaitan dengan penentuan fungsi dan kewenangan apa yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh level nasional, level propinsi, ataupun level kota/kabupaten. Dengan kata lain, desentralisasi teritorial akan diikuti oleh desentralisasi kewenangan. Hal ini akan menentukan jumlah urusan yang dilaksanakan olehdaerah otonom tersebut. Dalam konsep negara kesatuan seperti yang diterapkan di Indonesia, desentralisasi teritorial tidak menyebabkan terjadinya pengurangan wilayah negara meskipun terjadi pemekaran, penggabungan ataupun penghapusan daerah otonom. Daerah-daerah otonom yang berupa Kabupaten/Kota tetap menjadi bagian dari wilayah Provinsi, dan wilayah-wilayah Provinsi tetap menjadi wilayah dari negara. Yang berbeda antara negara (pusat), provinsi,kabupaten/kota bahkan desa hanyalah kewenangan atau otoritasnya yang tercermin dari urusan dan fungsi yang menjadi kewenangannya. Desentralisasi berimplikasi pada lokalisasi pembuatan kebijakan dimana setiap daerah berwenang membuat kebijakannya sendiri. Implikasinya banyak permasalahan yang tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi (territorial administrative) dan isu teritorial (territorial issue), seperti pelayanan, pengelolaan sungai, pintu air, pendidikan dan pariwisata. Suatu tempat wisata yang lokasinya berada di perbatasan antara dua daerah otonom,seperti pantai atau pegunungan, seringkali menimbulkan konflik dalam hal pemeliharaannya karena daerah yang satu merasa tidak mendapat pendapatan dari obyek wisata itu sehingga menyerahkan pemeliharaannya pada daerahyang mendapat pendapatan. Sementara daerah yang memperoleh pendapatan dari obyek wisata itu justru menyerahkan pemeliharaannya pada daerah yang wilayahnya menjadi lokasi obyek wisata itu. Demikian juga dengan masalah pendidikan, perbedaan kurikulum antar daerah akan mempersulit tercapainya standar pelayanan minimal. Untuk mengatasi kemungkinan ini, perlu ditetapkan suatu mekanisme kerja sama antar daerah atau melalui penerapan wewenang koordinasi pemerintah propinsi. Implikasi politik yang harus dipertimbangkan dari kebijakan penataan daerah otonom yang menyangkut pemekaran, penggabungan atau penghapusan daerah-daerah otonom adalah kemungkinan terjadinya konflik antar daerah yang menyangkut batasbatas teritorial yang ada kaitannya dengan wilayah potensi sumber daya alam. 8

12 Kepemilikan akan sumber daya alam yang potensial dapat memicu tuntutan untuk membentuk daerah otonom baru. Pembentukan atau pemekaran daerah otonom memang dapat menambah ruang politik lokal bagi tumbuhnya partisipasi politik dan demokratisasi di tingkat lokal. Namun, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran nasional maupun propinsi untuk membiayai daerah baru tersebut. Pembiayaan disini maksudnya adalah alokasi Dana Perimbangan yang harus diperhitungkan untuk daerah yang bersangkutan. Banyak kasus mengenai pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru diawali oleh ketidakpuasan politik maupun ekonomi, misalnya kasus terbentuknya Provinsi Banten karena merasa kontribusi ekonomi yang diberikan tidak sebanding dengan yang kembali pada masyarakat Banten. Akan tetapi, seringkali tuntutan pemekaran atau pembentukan daerah baru tidak disertai perhitungan ekonomi maupun politik yang cermat dan akurat. Aspek kesiapan aparat dan kesiapan masyarakat setempat kurang diperhitungkan. Ketika daerah tersebut sudah terbentuk baru dipikirkan bagaimana mengisi keanggotaan DPRD atau berapa jumlah aparat birokrasi yang diperlukan untuk mengelola manajemen pemerintahan. Karena itu, dalam menentukan keputusan pembentukan atau pemekaran daerah, haruslah diketahui dahulu isu strategisapa yang melatarbelakangi tuntutan tersebut serta bagaimana dinamika politik lokal di daerah itu. Penataan wilayah dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni : (1) pemekaran; (2) penggabungan; dan (3) re-groupping sub-sub wilayah dalam daerah yang bersangkutan (misalnya re-grouping kecamatan dan/atau desadalam wilayah kabupaten). Keputusan untuk memilih salah satu cara didasarkan pada outcomes yang ingin dicapai, apakah efektivitas pelayanan publik; pertumbuhan ekonomi; pemerataan pembangunan; pemberdayaan masyarakat setempat dll. Kemudian ditentukan pula apa yang menjadi output dengan realisasi dapat dirasakan secara konkret, misalnya jika outcomes-nya efektivitas pelayanan publik maka output-nya kemudahan akses masyarakat untuk dilayani. Atas dasar itu, disusun aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan dalam bentuk berbagai program atau kebijakan. Alternatif pemekaran wilayah atau tidak, berada pada tahap ini. Apakah pelayanan dapat lebih efektif jikadaerah dimekarkan atau bisa juga efektif dengan membentuk sub-sub dinas ditingkat kecamatan dan atau desa. Pertimbangan alternatif mana yang akan diambil 9

13 akan menentukan aparat pelaksananya dan anggaran yang dibutuhkan. Dengan demikian, keputusan penataan daerah otonom harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi riil dengan berpedoman pada prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang efektif. Dengan demikian, dalam dimensi politik, penataan daerah otonom tidak sekedar ditentukan oleh perhitungan kemampuan ekonomi daerah tersebut tapi juga implikasi yang ditimbulkannya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang paling penting untuk dijawab dalam merumuskan kebijakan penataan daerah otonom adalah apakah kebijakan itu dapat (1)mewujudkan distribusi pertumbuhan ekonomi yang serasi dan merata antar daerah; (2) mewujudkan distribusi kewenangan yang sesuai dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal; (3) penciptaan ruang politik bagi pemberdayaan dan partisipasi institusi-institusi politik lokal; serta (4) mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh masyarakat Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah Penatan daerah otonom atau penataan wilayah, sebenarnya merupakan hal yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena berkaitan dengan rentang kendali. Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik. Dengan kondisi geografis yang beragam, kemampuan koordinasi dan aksesibilitas pelayanan akan berbeda pula. Semakin luas suatu daerah, akan semakin sulit rentang kendalinya. Demikian pula, semakin banyak bagian dari suatu daerah, kapasitas koordinasi dan pelayanan akan semakin kecil. Di sinilah diperlukan adanya penataan wilayah, sebagai suatu mekanisme untuk mengelola wilayah suatu daerah agar rentang kendali dan aksesibilitas pelayanan publik dapat dinikmati secara merata. Dimensi wilayah mempunyai arti penting dalam pembangunan karena setiap kegiatan pembangunan pasti akan berlangsung dan membutuhkan sumber daya yang berupa lahan. Dalam dimensi spatial, lahan merupakan sumber daya lingkungan yang menjadi ruang bagi berlangsungnya kegiatan dan juga pendukung struktural wadah kegiatan regional. Karena sifat dan posisinya inilah maka perencanaan wilayah yang berdimensi spatial dapat memainkan posisi strategis dalam menjembatani persoalan 10

14 desentralisasi dan otonomi daerah terutama yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan. Pada masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, implementasi kebijakan pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah kerap menimbulkan masalah krusial. Di antaranya adalah konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra, tarik menarik kepentingan antara daerah induk dengan calon daerah baru, dan munculnya problematika ketidakmampuan daerah baru hasil pemekaran dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya. Selain itu, hal yang menonjol dari maraknya keinginan untuk membentuk daerah baru, dominannya pertimbangan politik subyektif elit ketimbang hasil kajian ilmiah-obyektif untuk peningkatan efektifitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Sejak UU No. 22 Tahun 1999 diberlakukan, isu pemekaran lebih dominan jika dibandingkan dengan isu penggabungan atau penghapusan daerah otonom. Di satu sisi kecenderungan tersebut dapat diterima dan dipahami sebagai wujud kedewasaan dan harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah dan masyarakatnya. Namun di sisi lain, mengundang kekhawatiran terhadap kemampuan dan keberlanjutan daerah otonom baru untuk dapat bertahan mengurus rumah tangganya sendiri. Pemekaran daerah diharapkan mampu menjadi media untuk membuka simpul-simpul keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehingga perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk mendirikan pemerintahan sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki. Walaupun dalam berbagai peraturan perundangundangan tentang pemerintahan daerah telah diuraikan bahwa kriteria daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang secara teknis diuraikan lebih lanjut dalam PP No. 78 Tahun 2007, tetapi kenyataannya aspirasi politik lebih mendominasi dibandingkan dengan pemenuhan kriteria tersebut. Pada praktiknya, terbentuknya daerah-daerah otonom baru ini seringkali hanya didasarkan pada pertimbangan atau indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat pendapatan, aktivitas kegiatan ekonomi, dan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Sedangkan dimensi politik yang kemudian muncul setelah daerah otonom itu terbentuk baru dipikirkan kemudian. Gejala inilah yang kemudian (tampaknya) ingin diantisipasi oleh UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun

15 Dalam UU ini, pembentukan daerah baru disertai dengan persyaratan administratif, teknis, dan fisik wilayah. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU sebelumnya yang tidak sampai ke pengaturan teknis pembentukan daerah. Harapannya, pengaturan yang lebih rinci dapat membuat pembentukan daerah-daerah baru lebih terarah dan tidak semata-mata berorientasi politis. Namun demikian, bila penghitungan kapasitas calon daerah baru masih berbasis pada metode skoring sebagaimana digunakan oleh PP No. 78 Tahun 2007, tampaknya perlu ada banyak penyesuaian yang dilakukan agar tidak semata berbasis pada penghitungan matematis, tapi jugamemperhatikan aspirasi lokal. Keputusan mengenai pembentukan daerah baru harus lebih cermat dan bijaksana untuk melakukan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kapasitas yang dimiliki, sehingga dalam pelaksanaanya tidak tergesa-gesa dan cenderung bersifat politis. Bila hal ini tidak diindahkan maka hasil dari pemekaran tidak akan memberikan dampak terhadap peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara makro maupun mikro, tetapi cenderung akan membebani keuangan negara dan masyarakat akibat adanya pemekaran, karena social dan political cost pemekaran suatu wilayah akan lebih besar jika dibandingkan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah baru akan terasa dalam jangka panjang, tetapi bila prosesnya hanya didasari oleh pertimbangan politis tanpa memperhatikan kriteria-kriteria obyektif maka akan memberikan pengaruh yang kecil dan parsial terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, aksesibilitas pelayanan publik, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Idealnya, pemekaran daerah terjadi bila penguatan kapasitas dan kapabilitas daerah dilakukan secara bertahap, misalnya peningkatan kapasitas dalam pembangunan infrastruktur (jalan, bangunan, pemerintahan, dan lain-lain), aktivitas ekonomi, serta fiskal daerah sehingga sampai jangka waktu tertentu ketika daerah tersebut lepas dari daerah induknya. Dengan demikian, daerah yang bersangkutan akan mandiri dengan sendirinya dan tidak tergantung pada daerah induk, Provinsi maupun Pusat Teori Struktur, Tata Ruang dan Perkembangan Kota A. Struktur Ekonomi Kota Wilayah kota menjadi tempat kegiatan ekonomi penduduknya di bidang jasa, perdagangan, industri, dan administrasi. Selain itu, wilayah kota menjadi tempat 12

16 tinggal dan pusat pemerintahan. Kegiatan ekonomi kota dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut: 1. Kegiatan Ekonomi Dasar Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk keperluan luar kota atau dikirim ke daerah sekitar kota. Produk yang dikirim dan disalurkan berasal dari industri, perdagangan, hiburan, dan lainnya. 2. Kegiatan Ekonomi Bukan Dasar Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk keperluan sendiri. Kegiatan ini disebut juga dengan kegiatan residensial dan kegiatan pelayanan. Kegiatan ekonomi kota dapat berupa industri dan kegiatan jasa atau fasilitas yang tidak memerlukan lahan yang luas. Kegiatan ini menyebabkan kota berpenduduk padat, jarak bangunan rapat, dan bentuk kota kompak. Struktur kota dipengaruhi oleh jenis mata pencaharian penduduknya. Mata pencaharian penduduk kota bergerak di bidang nonagraris, seperti perdagangan, perkantoran, industri, dan bidang jasa lain. Dengan demikian, struktur kota akan mengikuti fungsi kota. Sebagai contoh, suatu wilayah direncanakan sebagai kota industri, maka struktur penduduk kota akan mengarah atau cenderung ke jenis kegiatan industri. Pada kenyataan, jarang sekali suatu kota mempunyai fungsi tunggal. Kebanyakan kota juga merangkap fungsi lain, seperti kota perdagangan, kota pemerintahan, atau kota kebudayaan. Contoh: Yogyakarta selain disebut kota budaya tetapi juga disebut sebagai kota pendidikan dan kota wisata. Di daerah kota terdapat banyak kompleks, seperti apartemen, perumahan pegawai bank, perumahan tentara, pertokoan, pusat perbelanjaan (shopping center), pecinan, dan kompleks suku tertentu. Kompleks tersebut merupakan kelompokkelompok (clusters) yang timbul akibat pemisahan lokasi (segregasi). Segregasi dapat terbentuk karena perbedaan pekerjaan, strata sosial, tingkat pendidikan, suku, harga sewa tanah, dan lainnya. Segregasi tidak akan menimbulkan masalah apabila ada pengertian dan toleransi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Munculnya segregasi di kota dapat direncanakan ataupun tidak direncanakan. Kompleks perumahan dan kompleks pertokoan adalah contoh segregasi yang direncanakan pemerintah kota. 13

17 Bentuk segregasi yang lain adalah perkampungan kumuh/slum yang sering tumbuh di kota-kota besar seperti Jakarta. Rendahnya pendapatan menyebabkan tidak adanya kemampuan mendirikan rumah tinggal sehingga terpaksa tinggal di sembarang tempat. Kompleks seperti ini biasanya ditempati oleh kaum miskin perkotaan. Permasalahan seperti ini memerlukan penanganan yang bijaksana dari pemerintah. B. Struktur Intern Kota Pertumbuhan kota-kota di dunia termasuk di Indonesia cukup pesat. Pertumbuhan suatu kota dapat disebabkan oleh pertambahan penduduk kota, urbanisasi, dan kemajuan teknologi yang membantu kehidupan penduduk di kota. Wilayah kota atau urban bersifat heterogen ditinjau dari aspek struktur bangunan dan demografis. Susunan, bentuk, ketinggian, fungsi, dan usia bangunan berbeda-beda. Mata pencaharian, status sosial, suku bangsa, budaya, dan kepadatan penduduk juga bermacam-macam. Selain aspek bangunan dan demografis, karakteristik kota dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti topografi, sejarah, ekonomi, budaya, dan kesempatan usaha. Karakteristik kota selalu dinamis dalam rentang ruang dan waktu. 14

18 Gambar 2.1. Bentuk Persegi Empat Struktur Kota Jogja awal Abad XX Apabila dilihat sekilas wajah suatu kota, maka akan banyak susunan yang tidak beraturan. Akan tetapi, apabila diamati dengan cermat maka akan dijumpai bentuk dan susunan khas yang mirip dengan kota-kota lain. Misalnya, kota A berbentuk persegi empat, kota B berbentuk persegi panjang, dan kota C berbentuk bulat. Begitu juga dalam susunan bangunan kota terjadi pengelompokan berdasarkan tata guna lahan kota.jadi, suatu kota memiliki bentuk dan susunan yang khas. Apabila kamu mengamati kota berdasarkan peta penggunaan lahan, maka kamu akan mendapatkan berbagai jenis zona, seperti zona perkantoran, perumahan, pusat pemerintahan, pertokoan, industri, dan perdagangan. Zona-zona tersebut menempati daerah kota, baik di bagian pusat, tengah, dan pinggirannya. Zona perkantoran, pusat pemerintahan, 15

19 dan pertokoan menempati kota bagian pusat atau tengah. Zona perumahan elite cenderung memiliki lokasi di pinggiran kota. Sedang zona perumahan karyawan dan buruh umumnya berdekatan dengan jalan penghubung ke pabrik atau perusahaan tempat mereka bekerja. Para geograf dan sosiolog telah melakukan penelitian berkaitan dengan persebaran zona-zona suatu kota. Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan persebaran spasial kota. C. Beberapa Teori Tentang Struktur Kota 1) Teori Konsentris (Concentric Theory) Teori konsentris dari Ernest W. Burgess, seorang sosiolog beraliran human ecology, merupakan hasil penelitian Kota Chicago pada tahun Menurut pengamatan Burgess, Kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian rupa dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris yang mencerminkan penggunaan lahan yang berbeda-beda. Burgess berpendapat bahwa kota-kota mengalami perkembangan atau pemekaran dimulai dari pusatnya, kemudian seiring pertambahan penduduk kota meluas ke daerah pinggiran atau menjauhi pusat. Zona-zona baru yang timbul berbentuk konsentris dengan struktur bergelang atau melingkar. Berdasarkan teori konsentris, wilayah kota dibagi menjadi lima zona sebagai berikut. Gambar 2.2. Struktur Kota Menurut Teori Konsentris Teori Burgess sesuai dengan keadaan negara-negara Barat (Eropa) yang telah maju penduduknya. Teori ini mensyaratkan kondisi topografi lokal yang memudahkan rute transportasi dan komunikasi. 16

20 2) Teori Sektoral (Sector Theory) Teori sektoral dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Teori ini muncul berdasarkan penelitiannya pada tahun 1930-an. Hoyt berkesimpulan bahwa proses pertumbuhan kota lebih berdasarkan sektorsektor daripada sistem gelang atau melingkar sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti Kota Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District) yang terletak di pusat kota. Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan kota menjulur seperti irisan kue tar. Mengapa struktur kota menurut teori sektoral dapat terbentuk? Para geograf menghubungkannya dengan kondisi geografis kota dan rute transportasinya. Pada daerah datar memungkinkan pembuatan jalan, rel kereta api, dan kanal yang murah, sehingga penggunaan lahan tertentu, misalnya perindustrian meluas secara memanjang. Kota yang berlereng menyebabkan pembangunan perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng. Gambar 2.3. Struktur Kota Menurut Teori Sektoral 3) Teori Inti Ganda (Multiple Nucleus Theory) Teori ini dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun Kedua geograf ini berpendapat, meskipun pola konsentris dan sektoral terdapat dalam wilayah kota, kenyataannya lebih kompleks dari apa yang dikemukakan dalam teori Burgess dan Hoyt. 17

21 Gambar 2.4. Struktur Kota Menurut Teori Inti Ganda Pertumbuhan kota yang berawal dari suatu pusat menjadi bentuk yang kompleks. Bentuk yang kompleks ini disebabkan oleh munculnya nukleus-nukleus baru yang berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Nukleus-nukleus baru akan berkembang sesuai dengan penggunaan lahannya yang fungsional dan membentuk struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. Nukleus kota dapat berupa kampus perguruan tinggi, Bandar udara, kompleks industri, pelabuhan laut, dan terminal bus. Keuntungan ekonomi menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan lahan secara mengelompok sehingga berbentuk nukleus. Misalnya, kompleks industri mencari lokasi yang berdekatan dengan sarana transportasi. Perumahan baru mencari lokasi yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan dan tempat pendidikan. Harris dan Ullman berpendapat bahwa karakteristik persebaran penggunaan lahan ditentukan oleh faktor-faktor yang unik seperti situs kota dan sejarahnya yang khas, sehingga tidak ada urut-urutan yang teratur dari zona-zona kota seperti pada teori konsentris dan sektoral. Teori dari Burgess dan Hoyt dianggap hanya menunjukkan contoh-contoh dari kenampakan nyata suatu kota. 4) Teori Konsektoral (Tipe Eropa) Teori konsektoral tipe Eropa dikemukakan oleh Peter Mann pada tahun 1965 dengan mengambil lokasi penelitian di Inggris. Teori ini mencoba menggabungkan teori konsentris dan sektoral, namun penekanan konsentris lebih ditonjolkan. 18

22 Gambar 2.5. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Eropa) 5) Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin) Teori konsektoral tipe Amerika Latin dikemukakan oleh Ernest Griffin dan Larry Ford pada tahun 1980 berdasarkan penelitian di Amerika Latin. Teori ini dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.6. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin) 6) Teori Poros Teori poros dikemukakan oleh Babcock (1932), yang menekankan pada peranan transportasi dalam memengaruhi struktur keruangan kota. Teori poros ditunjukkan pada gambar sebagai berikut. 19

23 Gambar 2.7. Struktur Kota Menurut Teori Poros 7) Teori Historis Dalam teori historis, Alonso mendasarkan analisisnya pada kenyataan historis yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal penduduk di dalam kota. Teori historis dari Alonso dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.8. Struktur Kota Menurut Teori Historis Dari model gambar tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya standar hidup masyarakat yang semula tinggal di dekat CBD disertai penurunan kualitas lingkungan, mendorong penduduk untuk pindah ke daerah pinggiran (a). Perbaikan daerah CBD menjadi menarik karena dekat dengan pusat segala fasilitas kota (b). Program perbaikan yang semula hanya difokuskan di zona 1 dan 2, melebar ke zona 3 yang menarik para pendatang baru khususnya dari zona 2 (c). Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK 20

24 atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007 Indikator dan sub indikator sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007 menunjukkan perlunya diperhatikan kondisi kependudukan; kemampuan ekonomi; potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial budaya; sosial politik; luas daerah; pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan masyarakat; dan rentang kendali. Secara rinci, indikator dan sub indikator yang diatur dalam PP tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 Indikator Faktor Indikator 1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas 3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per penduduk 7. Rasio kelompok pertokoan per penduduk 8. Rasio pasar per penduduk 9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per penduduk 13. Rasio tenaga medis per penduduk 14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau kapal motor 15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas 19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 4. Kemampuan keuangan 20. Jumlah PDS 21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk 21

25 22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per penduduk 25. Jumlah balai pertemuan 6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk yang mempunyai hak pilih 27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan 29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan 9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk 10. Tingkat kesejahteraan 33. Indeks Pembangunan Manusia masyarakat 11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten) 35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten) III. METODOLOGI 3.1. Metode Penelitian 22

26 Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kelayakan pemekaran Kota Salatiga menggunakan metoda survei dengan desain penelitian deskriptif analisis. Unit analisisnya adalah desa atau kelurahan yang ada di Kabupaten Semarang dan berbatasan dengan Kota Salatiga. Kajian ini dilakukan dengan berlandaskan pada indikator dan sub indikator sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007 yang meliputi kondisi kependudukan; kemampuan ekonomi; potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial budaya; sosial politik; luas daerah; pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan masyarakat; dan rentang kendali. Secara rinci, indikator dan sub indikator yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 Indikator Faktor Indikator 1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas 3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per penduduk 7. Rasio kelompok pertokoan per penduduk 8. Rasio pasar per penduduk 9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per penduduk 13. Rasio tenaga medis per penduduk 14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau kapal motor 15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahunke atas 23

27 19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 4. Kemampuan keuangan 20. Jumlah PDS 21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk 22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per penduduk 25. Jumlah balai pertemuan 6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk yang mempunyai hak pilih 27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan 29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan 9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk 10. Tingkat kesejahteraan 33. Indeks Pembangunan Manusia masyarakat 11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten) 35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten) Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuaidengan perannya dalam pembentukan daerah otonom, sebagaimana pada tabel berikut ini. 24

28 Tabel 3.2. Bobot untuk Setiap Faktor dan Indikator No. Faktor dan Indikator Bobot 1 Kependudukan Jumlah penduduk Kepadatan penduduk 5 2 Kemampuan ekonomi PDRB non migas per kapita 5 2. Pertumbuhan ekonomi 5 3. Kontribusi PDRB non migas 5 3 Potensi daerah Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per penduduk 2. Rasio kelompok pertokoan per Penduduk 1 3. Rasio pasar per penduduk 1 4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 1 5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 1 6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 1 7. Rasio fasilitas kesehatan per Penduduk 1 8. Rasio tenaga medis per penduduk 1 9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor 1 atau perahu atau kapal motor 10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA 1 terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap 1 penduduk usia 25 tahun ke atas 14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 1 4 Kemampuan keuangan Jumlah PDS 5 2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk 5 3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5 5 Sosial budaya 5 1. Rasio sarana peribadatan per penduduk 2 2. Rasio lapangan olahraga per penduduk 2 3. Jumlah balai pertemuan 1 6 Sosial politik 5 1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk 3 yang mempunyai hak pilih 2. Jumlah organisasi kemasyarakatan 2 7 Luas daerah 5 1. Luas wilayah keseluruhan 2 2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 3 8 Pertahanan 5 1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 3 25

29 2. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan 2 9 Keamanan 5 1. Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah 5 penduduk 10 Tingkat kesejahteraan masyarakat 5 1. Indeks Pembangunan Manusia 5 11 Rentang kendali 5 1. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat 2 pemerintahan (provinsi atau kabupaten) 2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke 3 pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten) TOTAL 100 Selanjutnya, nilai dari tiap indikator tersebut dihitung denganmenggunakan sistem skoring, yang terdiri dari 2 (dua) metode sebagai berikut: 1. Metode rata-rata Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan daerah di sekitarnya. 2. Metode kuota Metode kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota penentuan skoring baik terhadap calon daerah maupun daerah induk. Kuota jumlah penduduk kabupaten untuk pembentukan kabupaten adalah 5 kali ratarata jumlah penduduk kecamatan seluruh kabupaten di provinsi yang bersangkutan. Semakin besar perolehan besaran/nilai calon daerah dan daerah induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan daerah, maka semakin besar skornya. Dalam hal terdapat beberapa faktor yang memiliki karakteristik tersendiri maka penilaian teknis dimaksud dilengkapi dengan penilaian secara kualitatif. Nilai indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator. Kelulusan ditentukan oleh total nilai seluruh indikator denganka tegori sebagai berikut: Tabel 3.3 Kategori Kelulusan 26

30 Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu ( ) atau mampu ( ) serta perolehan total nilai indikator faktor kependudukan (80-100), faktor kemampuan ekonomi (60-75), faktor potensi daerah (60-75) dan faktor kemampuan keuangan (60-75). Usulan pembentukan daerah otonom baru ditolak apabila calon daerah otonom atau daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori kurang mampu, tidak mampu dan sangat tidak mampu dalam menyelenggarakan otonomi daerah, atau perolehan total nilai indikator faktor kependudukan kurang dari 80 atau faktor kemampuan ekonomi kurang dari 60,atau faktor potensi daerah kurang dari 60, atau faktor kemampuan keuangan kurang dari Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data Pengkajian ini sebagian besar menggunakan data sekunder dari berbagai sumber, antara lain: 1) basis data indeks pembangunan manusia; 2) Kota Salatiga dalam angka; 3) statistik keuangan daerah, dan 4) monografi kecamatan di sekitar Kota Salatiga (yang menjadi bagian Kabupaten Semarang). Untuk memvalidasi data sekunder tersebut, dilakukan wawancara terhadap para pejabat dari dinas/badan/lembaga yang relevan, antara lain: Badan Pusat Statistik, Bappeda, dan aparat kecamatan terkait. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1) wawancara, terhadap masyarakat, pemuka/tokoh msyarakat maupun para pejabat dari dinas/badan/lembaga yang relevan; 2) studi kepustakaan; mempelajari dan menelaah serta menganalisas literatur baik berupa data statistik, monografi, buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah baik itu jurnal maupun buletin yang ada kaitanya dengan permasalahan yang akan dikaji; 3) kunjungan lapangan untuk memperoleh data primer sekaligus cross 27

31 check data sekunder dengan kondisi faktual; 4) focus group discussion (FGD) untuk menjaring masukan baik dari masyarakat, SKPD, maupun anggota Dewan. Metode analisis untuk memprediksi kelayakan pemekaran Kota Salatiga menggunakan metode analisis biaya dan manfaat (cost and benefit) dengan memperhatikan potensi, permasalahan, dan kecenderungan perkembangan wilayah calon pemekaran dikaitkan dengan kondisi Kota Salatiga Jadwal Pelaksanaan Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender atau sekitar 12 minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut: No Kegiatan Bln1-1 Bln1-2 Bln2-1 Bln2-2 Bln3-1 Bln3-2 1 Persiapan (SPMK, penyusunan kues dsb) 2 Pengumpulan data 3 FGD tahap 1 4 Pengolahan dan Analisa Data 5 Penulisan Laporan 6 FGD tahap 2 7 Perbaikan Laporan Akhir 8 Penyerahan Laporan Akhir 3.4. Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dilaksanakan oleh Kelompok Masyarakat Perguruan Tinggi, akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dengan kewajiban sebagai berikut : 1) bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan pekerjaan Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga. 2) menyusun hasil Kajian Pemekaran Kota Salatiga; 3.5.Pelaksanan 28

32 Agar supaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dapat dilaksanakan dengan hasil yang maksimal, maka dibentuk tim yang terdiri dari para ahli/pakar lintas disiplin ilmu. Tim ahli yang dimaksud terdiri dari tenaga-tenaga dengan bidang keahlian yang berhubungan dengan pekerjaan dan berpengalaman di bidangnya minimal 2 (dua) tahun, yang terdiri dari : 1) Daru Purnomo, SP, MS (Ahli Geografi Sosial); 2) Prof. Sony Heru Priyanto (Ahli Pembangunan Ekonomi dan Kewirausahaan) 3) Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto (Ahli Ekonomi Pertanian); 4) Dr. Ir. Bistok Hasiholan MSc. (Ahli Pemetaan Lahan dan SIG); 5) Dr. Ir. Bambang Ismanto MS. (Ahli Dinamika Sosial dan Pendidikan); 6) Dr. Tinjung Maria Prihtanti. (Ahli Komunikasi Sosial); 7) Dr. Umbu Rauta, SH, MH (Ahli Hukum Otonomi Daerah); 8) Seto Herwandito, S.Pd, M.M, M.Ikom (Ahli Marketing Manajemen) 3.6. Pengawasan Pekerjaan Dalam rangka pelaksanaan Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, Tim Peneliti akan berkoordinasi dan berkonsultasi dengan: 1) Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Salatiga. 2) Pimpinan SKPD Kota Salatiga. 3) Lembaga non pemerintah sesuai kebutuhan 3.7. Analisis Manfaat Dan Biaya A. Analisis Manfaat Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga ini, diorientasikan dapat memberikan kemanfaatan secara internal dan eksternal. Manfaat internal berupa tersedianya bahan dasar untuk tersedianya hasil kajian terhadap pelaksanaan kebijakan mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan dinamikanya dan tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan dinamikanya dan tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah yang 29

33 merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga. Manfaat eksternal yaitu tersusunnya rujukan terhadap upaya pemekaran Kota Salatiga. B. Analisis Biaya Analisis biaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, dihitung berdasarkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebagaimana tercantum pada Lampiran Proposal ini. IV. HASIL KEGIATAN AKHIR 30

34 4.1. Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah A. Teori Otonomi Daerah 1. Ajaran Pembagian Kekuasaan Vertikal/Teritorial Pembagian kekuasaan secara vertikal/teritorial yang melengkapi pembagian kekuasaan secara horisontal/fungsional merupakan cakupan dari ajaran tentang pembatasan pemerintahan (konstitusionalisme). Friedrich menyatakan: At the outset, constitutionalism was described as divided power... Constitutionalism by dividing power provides a system of effective restraints upon governmental action. Konsep lain yang digunakan sebagai padanannya adalah federalisme dalam arti luas, yang artinya tidak melulu berbicara tentang pembagian kekuasaan vertikal/teritorial di negara federal, tetapi juga di negara kesatuan dengan desentralisasi. Friedrich menjelaskan: There is nothing in the distinction between federalism and decentralization which would imply an inherent superiority of one over the other; their advantages and disadvantages can only be contrasted in terms of the peculiar conditions of the time and place under which a particular government is supposed to operate. Namun ketika berbicara tentang pilihan model pembatasan pemerintahan paling efektif antara federalisme dan desentralisasi, Friedrich cenderung menganggap bahwa federalisme dalam arti sempit adalah lebih efektif: A federal governmental structure provides a spatial or territorial, as distinguished from a functional, division of powers. Such a division operates as a rather effective restraint upon the abuse of governmental powers by the central authorities... what federalism does is to mobilize firmly entrenched local powers in support of the constitution, and to offer them protection under the constitution as well. 31

35 Pendapat ini dapat dipahami rasionya, akan tetapi kebenarannya menurut penulis relatif. Memang, skema federalisme pada negara federal lebih kuat karena posisi pemerintah lokal, yaitu negara bagian, tidak bergantung pada kebijakan pemerintah pusat, pemerintah federal, melainkan langsung bersumber dari konstitusi. Berbeda dengan skema desentralisasi pada negara kesatuan yang bergantung pada kebijakan dari pemerintah pusat. Indonesia adalah salah satu contohnya, di mana model pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat sebagaimana ditunjukkan dengan berubah-ubahnya produk legislasi yang melandasi kekuasaan pemerintah daerah tersebut. Terlepas dari persoalan pilihan sebagaimana dikemukakan di atas, memahami persoalan kekuasaan pemerintah daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah tidak dapat mengelak dari ratio legis-nya sebagai bagian dari ajaran tentang konstitusionalisme. Pengertian demikian nampak dari pendapat The Liang Gie tentang alasan hadirnya satuan pemerintahan teritorial lebih kecil (Pemerintah Daerah) yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berikut ini: Guna mencegah penumpukan kekuasaan yang bisa membuka ruang bagi terjadinya tirani; Sebagai upaya pendemokrasian; Untuk memungkinkan tercapainya pemerintahan yang efisien; Guna dapat memberikan perhatian terhadap kekhususan-kekhususan yang menyertai setiap daerah; dan Agar Pemerintah Daerah dapat lebih langsung membantu penyelenggaraan pembangunan. Berdasarkan uraian di atas, pembatasan kekuasaan pemerintah pusat tidak semata mengambil bentuk pembagian kekuasaan belaka. Tetapi agenda lainnya sebagai implikasi adalah hasil guna dan daya guna praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam arti luas. Dilakukannya pembagian kekuasaan pemerintahan secara vertikal atau teritorial ini memungkinkan pemerintah daerah dapat terlibat lebih langsung dalam penyelenggaraan pembangunan dikaitkan dengan kebutuhankebutuhan khusus daerahnya. Asumsi yang melandasinya adalah daerah lebih tahu 32

36 kebutuhannya ketimbang pemerintah pusat karena persoalan jarak yang lebih dekat dengan sumber permasalahan. 2. Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Yang Desentralistik Indonesia adalah Negara Kesatuan atau Unitary State. Meskipun menganut bentuk atau susunan negara kesatuan, akan tetapi negara Indonesia dijalankan secara desentralistik sejak masa Indonesia merdeka (terinterupsi sejenak oleh periode Republik Indonesia Serikat) sampai sekarang. Yang dimaksud dengan negara kesatuan yang desentralistik adalah negara kesatuan yang diselenggarakan menurut asas desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (sic: Pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dasar teoretis mengapa Indonesia tidak menganut konsep negara yang sentralistik adalah alasan kewilayahan. Kusnardi & Ibrahim mengatakan: Karena wilayah negara Republik Indonesia itu sangat luas yang meliputi banyak kepulauan yang besar dan kecil, maka tidak mungkinlah jika segala sesuatunya akan diurus seluruhnya oleh Pemerintah yang berkedudukan di Ibukota Negara. Untuk mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara sampai kepada seluruh pelosok daerah negara, maka perlu dibentuk suatu pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah ini sebenarnya menyelenggarakan pemerintahan yang secara langsung berhubungan dengan masyarakatnya. Lebih lanjut, desentralisasi juga merupakan perwujudan, pada analisis akhir, gagasan konstitusionalisme (pemerintahan terbatas) yaitu pembagian kekuasaan secara vertikal/teritorial dan gagasan demokrasi atau kedaulatan rakyat. Desentralisasi sebagai bentuk pembatasan terhadap kekuasaan Pemerintah Pusat konsisten dengan prinsip negara hukum yang telah diakui secara konstitusional sebagai prinsip penyelenggaraan negara Indonesia. Desentralisasi sebagai perwujudan prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat sangat terkait dengan upaya pemenuhan kesejahteraan umum seluruh rakyat, bahwa semakin dekat pemerintah hadir di tengahtengah rakyatnya dapat berbanding lurus dengan semakin sejahteranya rakyat serta semakin mudahnya rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan dan sekaligus mengontrolnya. Legislator UU No. 23 Tahun 2014 meyakini bahwa desentralisasi dan otonomi daerah dapat:... mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta 33

37 peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep negara kesatuan yang desentralistik nampak dari bentuk atau susunan negara yang tidak mengenal negara dalam negara, serta pengakuan atas eksistensi daerah otonom yang memiliki kewenangan dan dapat menjalankan urusan pemerintahan sendiri. Menurut Mawardi, sistem desentralisasi memiliki ciri-ciri: 1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya negara federasi; 2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah; 3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan atau pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat. Dalam rangka asas desentralisasi sebagai dasar untuk penyelenggaraan negara Indonesia sebagai negara kesatuan tersebut maka pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian, hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Dengan demikian asas otonomi daerah adalah asas dalam rangka penyelenggaraan negara kesatuan yang desentralistik. Yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Sistem Otonomi Sistem otonomi adalah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah. Lazimnya ada tiga macam sistem otonomi yang dikenal, yaitu: (1). Sistem Otonomi Materiil (materiele huishoudingsbegrip); (2). Sistem Otonomi Formil (formeele huishoudingsbegrip); (3). Sistem Otonomi Riil/Nyata (riele huishoudingsbegrip) yang merupakan kompromi sistem pertama dan kedua. 34

38 Dalam menentukan batas-batas urusan rumah tangga daerah, sistem otonomi materiil bertolak dari pembedaan secara tegas antara lingkup kekuasaan pemerintah pusat dengan lingkup kekuasaan daerah otonom. Penentuan tersebut kemudian ditetapkan menjadi materi undang-undang yang mengatur tentang pembentukan daerah. Prinsip dari sistem otonomi materiil ini adalah otonomi daerah hanya meliputi tugas-tugas daerah otonom yang telah ditentukan secara limitatif. Sementara apa yang tidak tercantum di sana tetap merupakan urusan pemerintah pusat. Sistem otonomi formil bersifat kebalikannya dari sistem otonomi materiil, yaitu tidak membedakan antara urusan pemerintah pusat dengan urusan pemerintah daerah. Prinsip dari sistem otonomi formil ini adalah lingkup rumah tangga yang menjadi urusan dari daerah otonom tidak ditetapkan secara a priori, tetapi bergantung pada bagaimana daerah otonom menjabarkannya. Perpaduan kedua sistem ini melahirkan sistem otonomi riil/nyata yang mengandung prinsip otonomi daerah berdasarkan faktor riil atau nyata sesuai kebutuhan atau kemampuan sesungguhnya dari daerah otonom dan pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Sehingga konsekuensinya, jika secara nyata daerah mampu maka apa yang sebelumnya merupakan urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada daerah otonom; begitu pula sebaliknya. Dikaitkan dengan sistem otonomi maka pembentukan daerah baru secara umum dan atau penyesuaian daerah adalah sejalan dengan pengertian sistem otonomi riil/nyata. Oleh karenanya, konsisten dengan politik hukum UU Pemerintahan Daerah, sebagai berikut: 1. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 2. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian 35

39 isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. B. Landasan Yuridis Penataan Daerah Istilah penataan daerah baru dikenal dalam UU No. 23 Tahun Saat berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, istilah yang dikenal dan digunakan yaitu pembentukan daerah. Istilah ini selanjutnya digunakan sebagai salah satu anak judul dari PP No. 78 Tahun Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, telah diberikan peluang bagi pembentukan daerah baru baik provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, maupun desa/kelurahan. Pasca era transisi, peraturan perundang-undangan terkait dengan pembentukan atau penataan daerah adalah sebagai berikut: 1. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 4. PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah yang mengatur mengenai pembentukan daerah baru pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 5. PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan yang mengatur mengenai pembentukan daerah baru pada tingkat kecamatan. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, perihal pembentukan daerah diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 8. Pengaturan lebih lanjut dari UU a quo diatur dalam PP No. 78 Tahun Adapun pokok-pokok pengaturannya sebagai berikut: 1. Istilah yang digunakan yaitu pembentukan daerah. Bentuk hukum pembentukan daerah ditetapkan dengan undang-undang, yang antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah. 36

40 2. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Ini berarti bahwa jenis pembentukan daerah ada 2 (dua) yaitu: penggabungan daerah dan pemekaran daerah. 3. Pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk pembentukan daerah provinsi meliputi: persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk pembentukan kabupaten/kota meliputi: persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah, yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 1. Setelah pergantian UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 23 Tahun 2014, pengaturan perihal pembentukan daerah (baca: penataan daerah) diatur dalam Bab VI Pasal 31 sampai Pasal 48. Adapun pokok-pokok pengaturan sebagai berikut: 37

41 2. Istilah yang digunakan yaitu penataan daerah, dengan tujuan untuk: (a) mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; (c) mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; (d) meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; (e) meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah; dan (f) memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah. 3. Penataan Daerah terdiri atas Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah. Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional. 4. Pembentukan Daerah terdiri dari dua pola berupa: Pemekaran Daerah dan Penggabungan Daerah. Pembentukan Daerah mencakup pembentukan daerah provinsi dan pembentukan daerah kabupaten/kota. 5. Pemekaran Daerah dapat berupa: (a) pemecahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih daerah baru; atau (b) penggabungan bagian daerah dari daerah yang bersanding dalam 1 (satu) daerah provinsi menjadi satu daerah baru. 6. Pemekaran Daerah dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau Daerah Persiapan kabupaten/kota. Pembentukan Daerah Persiapan harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Persyaratan dasar meliputi: (a) persyaratan dasar kewilayahan; dan (b) persyaratan dasar kapasitas Daerah. Persyaratan dasar kewilayahan meliputi: luas wilayah minimal, jumlah penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah; dan batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan Kecamatan. Luas wilayah minimal dan jumlah penduduk minimal ditentukan berdasarkan pengelompokan pulau atau kepulauan. Batas wilayah dibuktikan dengan titik koordinat pada peta dasar. Cakupan Wilayah meliputi: (a) paling sedikit 5 (lima) daerah kabupaten/kota untuk pembentukan Daerah Provinsi; (b) paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan Daerah Kabupaten; dan (c) paling sedikit 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan Daerah Kota. Batas usia minimal meliputi: (a) batas usia minimal Daerah provinsi 10 (sepuluh) tahun dan Daerah kabupaten/kota 7 (tujuh) tahun terhitung sejak pembentukan; dan (b). batas usia minimal Kecamatan yang 38

42 menjadi cakupan wilayah daerah kabupaten/kota 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan. Persyaratan dasar kapasitas Daerah adalah kemampuan daerah untuk berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang didasarkan pada parameter: geografi, demografi, keamanan, sosial politik, adat, dan tradisi; potensi ekonomi, keuangan daerah; dan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan. Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut: (a) untuk daerah provinsi meliputi: persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi cakupan wilayah daerah persiapan provinsi; persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur daerah provinsi induk. (b). untuk daerah kabupaten/kota meliputi: keputusan musyawarah desa yang akan menjadi cakupan wilayah daerah kabupaten/kota, persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota daerah induk; dan persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari daerah provinsi yang mencakupi daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk. Pembentukan Daerah Persiapan diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, DPR, atau DPD setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif. Berdasarkan usulan tersebut, Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif. Hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD. Dalam hal usulan pembentukan Daerah Persiapan dinyatakan memenuhi persyaratan administratif, Pemerintah Pusat membentuk tim kajian independen yang bertugas melakukan kajian terhadap persyaratan dasar kapasitas Daerah. Hasil kajian disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. Hasil konsultasi menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat dalam menetapkan kelayakan pembentukan Daerah Persiapan. Daerah Persiapan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Jangka waktu Daerah Persiapan adalah selama 3 (tiga) tahun. Daerah Persiapan dipimpin oleh kepala daerah persiapan. Kepala daerah persiapan provinsi diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. Kepala daerah persiapan kabupaten/kota diisi dari 39

43 pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau diberhentikan oleh Menteri atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap Daerah Persiapan, selanjutnya menyampaikan perkembangan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi kepada DPR dan DPD. Pemerintah Pusat melakukan evaluasi akhir masa Daerah Persiapan, dengan maksud untuk menilai kemampuan Daerah Persiapan dalam melaksanakan kewajiban. Hasil evaluasi akhir masa Daerah Persiapan dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. Daerah Persiapan yang dinyatakan layak ditingkatkan statusnya menjadi Daerah baru dan ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan Daerah Persiapan yang dinyatakan tidak layak dicabut statusnya sebagai Daerah Persiapan dengan peraturan pemerintah dan dikembalikan ke Daerah induk. Penggabungan Daerah dapat berupa: (a) penggabungan dua daerah kabupaten/kota atau lebih yang bersanding dalam satu daerah provinsi menjadi daerah kabupaten/kota baru; dan (b) penggabungan dua daerah provinsi atau lebih yang bersanding menjadi daerah provinsi baru. Penggabungan Daerah dilakukan berdasarkan: (a) kesepakatan daerah yang bersangkutan; atau (b) hasil evaluasi Pemerintah Pusat. Penggabungan Daerah yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan dasar kapasitas Daerah. Penggabungan Daerah kabupaten/kota yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, DPR, atau DPD setelah memenuhi persyaratan administratif. Penggabungan Daerah provinsi yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah yang bersangkutan diusulkan secara bersama oleh gubernur yang daerahnya akan digabungkan kepada Pemerintah Pusat, DPR atau DPD setelah memenuhi persyaratan administratif. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan administratif, selanjutnya hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD. Dalam hal usulan penggabungan daerah dinyatakan memenuhi persyaratan administratif, Pemerintah Pusat dengan persetujuan DPR dan DPD membentuk tim kajian independen. Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap persyaratan kapasitas daerah. Hasil kajian disampaikan oleh tim kajian 40

44 independen kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. Hasil konsultasi tersebut menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat, DPR atau DPD dalam pembentukan undang-undang mengenai penggabungan Daerah. Dalam hal penggabungan Daerah dinyatakan tidak layak, Pemerintah Pusat, DPR atau DPD menyampaikan penolakan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan kepada gubernur. Penggabungan Daerah dapat pula dilakukan dalam hal daerah atau beberapa daerah tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penilaian terhadap kemampuan menyelenggarakan otonomi daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang mengenai penggabungan Daerah kepada DPR dan DPD. Dalam hal rancangan undangundang mengenai penggabungan Daerah disetujui, rancangan undang-undang dimaksud ditetapkan menjadi undang-undang. 7. Di samping Pembentukan Daerah, jenis lain dari Penataan Daerah yaitu Penyesuaian Daerah. Penyesuaian Daerah dapat berupa: (a) perubahan batas wilayah daerah; (b) perubahan nama daerah; (c) pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi; dan (d) pemindahan ibu kota; dan/atau perubahan nama ibu kota. Dalam penjelasan Pasal 48 UU No. 23 Tahun 2014 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perubahan batas wilayah Daerah dalam ketentuan ini adalah penambahan atau pengurangan Cakupan Wilayah suatu daerah yang tidak mengakibatkan hapusnya suatu Daerah. Perubahan batas wilayah daerah ditetapkan dengan undang-undang. Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta perubahan nama ibu kota ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 8. Dalam UU a quo juga diatur tentang kemungkinan pembentukan daerah dengan pertimbangan kepentingan strategis nasional. Pembentukan Daerah dimaksud berlaku untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Daerah tersebut harus dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau Daerah Persiapan kabupaten/kota paling lama 5 (lima) tahun. Pembentukan Daerah Persiapan harus memiliki cakupan wilayah dengan batasbatas yang jelas dan mempertimbangkan parameter pertahanan dan keamanan, potensi ekonomi, serta paramater lain yang memperkuat kedaulatan Negara 41

45 Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Daerah Persiapan dikonsultasikan oleh Pemerintah Pusat kepada DPR dan DPD. Dalam konteks rencana pemekaran wilayah Kota Salatiga, dengan mengacu pada materi muatan UU No. 23 Tahun 2014, pola penataan daerah yang sesuai yaitu Penyesuaian Daerah, khususnya dalam wujud Perubahan Batas wilayah Daerah.Pada awalnya analisis pemekaran Kota salatiga ini akan menggunakan UU 23 Tahun 2014 sebagai landasan hukumnya, tetapi karena aturan pelaksanaannya belum ada maka diputuskan untuk menggunakan PP 78 Tahun 2007 sebagai landasan acuan hukumnya. Sejalan dengan peraturan tersebut maka indikator utama yang akan dipergunakan sebagai dasar kajian adalah: 1. Kependudukan 2. Kemampuan ekonomi 3. Potensi daerah 4. Kemampuan keuangan 5. Sosial budaya 6. Sosial politik 7. Luas daerah 8. Pertahanan 9. Keamanan 10. Tingkat kesejahteraan masyarakat 11. Rentang kendali 12. Layanan Publik (kesehatan, perijinan, pendidikan) 13. Analisis Keruangan (ekonomi pusat pertumbuhan) 4.2. Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga Kehidupan global (internasional) telah menjadi bagian Kota Salatiga jauh sebelum Indonesia merdeka. Alamnya yang sejuk, indah, bersahabat dan aman menjadi pilihan hunian, Kota militer, lahan perkebunan kopi dan lokasi penyelesaian kemelut Kerajaan Surakarta. Alam Salatiga menghasilkan udara sejuk dan nyaman dengan suhu udara ratarata derajad celcius. Posisi Salatiga Pada ketinggian rata-rata 600 meter di atas permukaan laut dan terkesan dipagari alam pegunungan. Keberadaan di lembah 42

46 gunung Merbabu sebelah barat daya bersinggungan dengan pegunungan Telomoyo dan Gajah Mungkur dan sisi barat terdapat Gunung Ungaran. Kenyamanan alam dan rasa aman Salatiga menjadi kota pilihan transit orangorang yang baru datang dari Eropa dan hendak tinggal di Hindia Belanda dan hunian Pimpinan / Militer Belanda. Pembangunan hotel, rumah sakit, tempat ibadah, Bisnis, komnikasi dan fasilitas jalan, pendistrian, transportasi dan pasar telah dibangun secara standar pada era penjajahan Belanda. Di Salatiga di bangun beberapa Hotel seperti Hotel Kalitaman, Hotel Berg en Dal, dan Hotel Blommestein. Di dekat Kerkhof dibangun Rumah Sakit Khusus Tentara dan Rumah Sakit Umum serta menuju arah Kopeng (Jalan Hasanudin) Rumah Sakit Paru-Paru kini RSU Ario Wirawan. Di Salatiga didirikan Sekolah seperti Eerste Europeesche Lagere School, Tweede Europeesche Lagere School, Hollandsche Chinese School (HCS), Normaalscool dan Kweekschool. Disamping berdiri sekolah swasta seperti HIS Kanisius dan SD Zending. Fasilitas perkantoran seperti Algemeene Volksch Bank, Pos Telefoon Telegram Kantoor, fasilitas jalan, lapangan olah raga, taman dan trotoar. Posisi strategis Semarang, Magelang dan Surakarta, dan hunian orang Belanda menjadikan pertimbangan Salatiga sebagai Kota Militer. Tahun 1746 VOC membangun benteng De Hersteller di Kota Salatiga dengan maksud untuk menjamin keamanan jalur Surakarta Semarang dalam lalu lintas perdagangan Jawa Tengah pedalaman ke Pantai Utara. Benteng ini memberi rasa aman sehingga pilihan singgah para pedagang di Salatiga. Benteng Hock yang kini menjadi Kantor Korem 073 merupakan citra Salatiga sebagai Kota Militer. Rasa aman dan kedamaian menjadi pertimbangan para petinggi Belanda dalam mendamaikan pertikaian Kerajaan Surakarta. Tepatnya tanggal 17 Maret 1757 disepakati Perjanjian Salatiga yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran. Hingga sekarang, teritorial Salatiga memiliki fasilitas pertahanan dan keamanan seperti Komando Resort Militer dengan wilayah kekuasaan Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kendal, Purwodadi, Demak, Kudus, Jepara dan Blora, Komando Distrik Militer dan Polisi Resort dengan wilayah kekuasaan Salatiga dan Kabupaten Semarang dan Batalyon Infantri berada dalam teritorial Salatiga. Cikal bakal lahirnya Salatiga tertulis dalam batu besar dalam prasasti Plumpungan, berisi ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swatantra bagi desa Hampra. Perdikan berarti suatu daerah yang dibebaskan dari segala kewajiban 43

47 pembayaran pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu. Dasar pemberian daerah perdikan itu diberikan kepada desa atau daerah yang benar-benar berjasa kepada seorang raja. Kota Salatiga adalah Staat Gemente yang dibentuk berdasarkan Staatblad 1923 No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1995 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Berdasarkan kesadaran bersama dan didorong kebutuhan areal pembangunan demi pengembangan daerah, muncul gagasan mengadakan pemekaran wilayah yang dirintis tahun Kemudian terealisir tahun 1992 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1992 yang menetapkan luas wilayah Salatiga menjadi Ha dengan 4 Kecamatan yang terdiri dari 22 Kelurahan Tahun 2015 bertambah menjadi 23 Kelurahan. Sejak jaman Belanda dan Jepang hingga sekarang, Salatiga berkembang Kota Pendidikan yang berbasis kebhinekaan dan internasional. Kesadaran berpendidikan masyarakat muncul sejak pemerintahan Belanda, Jepang dan Pemerintahan Republik Indonesia. Kehadiran tentara KNIL yang berasal dari berbagai suku di wilayah Timur Indoenesia menjadikan Salatiga sebagai miniatur kehidupan Indonesia. Pendirian dan perkembangan Universitas Kristen Satya Wacana dengan mahasiswa dan dosen lebih dari 27 suku di Indonesia semakin mendinamiskan Salatiga sebagai Indonesia Mini bahkan Kota Global. Oleh karena program pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia di UKSW yang diikuti masyarakat Australia, Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Singapore, Korea Selatan turut mengenalkan Salatiga secara internasional. Demikian pula fasilitas kesehatan dalam hal ini Rumah Sakit, layanan air minum dan ketahanan dan keamanan di Salatiga telah berkembang sejak Pemerintahan Belanda. Kini Salatiga tumbuh sebagai Kota pendidikan, olah raga, budaya dan transit wisata. Pesona kota berbukit yang sejuk, nyaman, aman sangat kondusif tumbuh dan berkembangnya sarana prasarana pendidikan, pengembangan potensi olah raga, budaya serta menjadi tempat singgah wisata dalam perjalanan Jogjakarta, Solo dan Semarang (Joglosemar). Pengembangan infrastruktur jalan lingkar, jalan perkotaan, drainase lingkungan dan dukungan perijinan serta pertumbuhan lembaga Perbankan menjadi pendukung iklim usaha di Kota Salatiga. Pembangunan Jalan Tol ruas Bawen Semarang dan perspektif Bawen ke Solo akan semakin mendinamiskan 44

48 perkembangan Kota Salatiga sebagai hunian yang nyaman. Perkembangan UKSW, IAIN serta STIE AMA akan mendukung penyiapan SDM yang bermutu sejalan dengan upaya perwujudan Trifungsi Kota Salatiga sebagai Kota Pendidikan, Perdagangan dan Transit Wisata. Keberadaan Salatiga dalam Geografis Kabupaten Semarang sebagai fakta alami yang tidak bisa saling dipisahkan. Dinamika perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik kedua wilayah ini harus diberikan alternatif dalam membangun masyarakat yang makmur, mandiri dan berkeadilan. Jangkauan layanan dasar kepada masyarakat Kabupaten Semarang menjadi fakta yang perlu dicarikan solusi agar kebutuhan tetap dipertahankan dan dikembangkan. Terbatasnya dana transfer APBN sebagai implikasi terbatasnya wilayah dan jumlah penduduk perlu dipikirkan bersama agar apa yang selama ini telah dinikmati masyarakat tidak berhenti. 4.3.Kondisi Sosial Politik A. Aspek Sosial Budaya Kota Salatiga tergolong kota atau wilayah yang kecil dibanding dengan wilayah di sekelilingnya seperti kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dll. Lokasi kota Salatiga yang dikelilingi oleh Kabupaten Semarang menjadikan kota ini unik. Adapun rentang kendali kota Salatiga dengan kecamatan dalam kabupaten Semarang yang berdekatan dengan kota Salatiga bisa dibilang berjarak dekat, otomatis rentang kendali nya mudah atau dekat. Kota Salatiga terdiri dari 4 Kecamatan, dimana 1 kecamatan terdiri dari 4-6 desa, sehingga dalam memberikan pelayanan masih relatif mudah. Idealnya suatu kecamatan terdiri dari hingga maksimal 10 desa, hal ini tidak menjadi kendala untuk kota salatiga dalam menambah jumlah desa yang akan ikut menjadi bagian dari suatu lecamatan. (idealnya 1 kecamatan 10 desa) Kota Salatiga dengan luas wilayah yaitu km² memiliki jumlah penduduk sebesar jiwa/m², terdiri dari jiwa untuk laki-laki dan jiwa untuk perempuan dengan demikian tingkat kepadatan penduduknya adalah orang per km² Kota Salatiga yang terkenal akan Indonesia Mini dengan pluralitas yang ada terdapat 214 masjid, 303 mushola, 80 gereja dan 7 vihara/ pura, dengan total berjumlah 617 tempat ibadah tersebar di 4 kecamatan. Sedangkan untuk olah raga, Salatiga sejak dahulu terkenal akan Pendidikan Latihan atau DIKLAT, diantaranya 45

49 adalah diklat TC yang sudah mencetak pesebak bola sekelas nasional seperti Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, selain itu adapula Oyong Liza, Risdianto, Iswadi Idris, Sartono Anwar, sampai Anjas Asmara, juga merupakan jebolan Diklat Salatiga. Tabel 4.1. Sarana Peribadatan di Wilayah Kota Salatiga KECAMATAN MASJID MUSHOLA GEREJA PURA/ VIHARA dan Lainnya Argomulyo Sidomukti Sidorejo Tingkir JUMLAH TOTAL 617 Sumber: Kecamatan dalam angka 2014 Cabang olah raga Atletik juga cukup menonjol dengan adanya klub Dragon Atletik, dimana mencetak pelari-pelari terbaik, salah satunya seperti Tryaningsih. Olah raga ketangkasan berkuda (equestrian), Bulutangkis, Basket dan lain sebagainya juga mulai berkembang, bahkan Salatiga akan dipromosikan menjadi kota atletik dunia. Partisipasi masyarakat kota salatiga terhadap permasalahan kemasyarakatan dapat terwujud dalam organisasi kemasyarakatan (Ormas) sebanyak 128 Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di berbagai bidang. Selain itu adanya balai pertemuan juga mendukung dalam partisipasi masyarakat terhadap permasalahan kemasyarakatn yang ada. Jumlah balai pertemuan di Kota Salatiga sebanyak 22 balai pertemuan, dimana semua Kecamatan (Argomulyo, Sidorejo dan Tingkir) terdapat 6 balai pertemuan dan hanya Kecamatan Sidomukti yang memiliki 4 balai pertemuan. 46

50 Tabel 4.2. Jumlah Balai Pertemuan Kota Kecamatan Balai Pertemuan SALATIGA Argomulyo 6 Sidomukti 4 Sidorejo 6 Tingkir 6 JUMLAH 22 Sumber: Kecamatan dalam angka 2014 B. Aspek Sosial Politik Tabel 4.3 dibawah menunjukkan bahwa partisipasi politik warga khususnya dalam pelaksanaan Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat cukup antusias. Terbukti dengan bertambahnya jumlah pemilih dari tahun ke tahun, baik pada pilihan legislatif maupun pilihan walikota dan wakil walikota. Data diatas menujukkan adanya kenaikan jumlah pemilih (pada pilihan walikota dan pileg 2014) sebesar Tabel 4.3. Jumlah Pemilih Total Pileg dan Pilihan Walikota-Wakil Walikota Kecamatan di Salatiga Jumlah Penduduk Jumlah Pemilih Pileg 2014 Argomulyo Sidomukti Sidorejo Tingkir Jumlah Pemilih pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota 2011 Jumlah Pemilih pada Pilpres 2009 JUMLAH Sumber: KPU Kota Salatiga C. Aspek Pertahanan Untuk aspek pertahanan, Salatiga terbilang unik karena dihuni oleh beberapa instansi militer, diantaranya yaitu Korem 073 Makutarama, Kodim 0714 Salatiga dan Batalyon Infanteri 411 Raiders/ Pandawa padahal untuk luas wilayah Salatiga terbilang kecil. Akan tetapi hal ini yang menjadikan salatiga menjadi kota yang unik 47

51 dengan aspek pertahanan yang mumpuni. Salatiga menjadi satu-satunya kota yang terdapat KOREM, KODIM maupun Batalyon Infanteri. Sedangkan untuk karakteristik wilayah, kota Salatiga yang terdiri dari 4 kecamatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang. Wilayah utara Salatiga yaitu Kecamatan Sidorejo berbatasan dengan Kecamatan Pabelan-Kabupaten Semarang, wilayah timur yaitu Kecamatan Tingkir berbatasan dengan Kecamatan Pabelan dan Kecamatan Suruh-Kabupaten Semarang, wilayah selatan yaitu Kecamatan Argomulyo berbatasan dengan Kecamatan Tengaran dan Getasan-Kabupaten Semarang dan wilayah barat yaitu Kecamatan Sidomukti berbatasan dengan Kecamatan Tuntang- Kabupaten Semarang. Kesenjangan ekonomi dan sosial merupakan permasalahan klasik dan sistemik yang harus segera mendapatkan prioritas penanganannya, terutama yang mengarah pada konflik akibat keterbatasan peluang dan akses terhadap sumberdaya. Suasana kondusif merupakan faktor utama bergeraknya seluruh aktifitas sektor, sehingga optimalisasi sumberdaya dapat berjalan optimal dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud dengan lancar, aman dan terkendali. Pembangunan yang tidak merata di Kota Salatiga menjadikan kota ini hanya berpusat di tengah kota saja, sedangkan daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Semarang minim pembangunan yang merata baik infrastruktur, fasilitas publik, jalan, sekolah, dsb. D. Aspek Keamanan Banyaknya konsentrasi militer dan polisi di Salatiga dan sekitarnya memungkinkan Salatiga terhindar dari tindak kerusuhan massa. Kondisi wilayah yang jarang tertimpa bencana alam memungkinkan masyarakat dapat menjaga ketertiban dan ketenteraman. Usaha untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban akan sekaligus berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan keamanan didaerah masingmasing. Di dalam hal ini maka usaha untuk mewujudakan ketenteraman dan ketertiban didasarkan pada sistem Pamswakarsa di bawah bimbingan dan pembinaan POLRI. 48

52 Tabel 4.2. Jumlah Personel Kepolisian Kota Salatiga NO WILAYAH JUMLAH 1 Sidorejo 38 2 Sidomukti 53 3 Argomulyo 38 4 Tingkir 54 Jumlah 183 Sumber: Polres Salatiga, 2014 Berdasarkan tabel 4.2 nampak bahwa jumlah personel polisi di Kota Salatiga relatif masih kecil. Secara keseluruhan personel polisi berjumlah 183 personel yang tersebar dalam 4 Kecamatan. Dengan jumlah personel yang terbatas di satu pihak dan jumlah penduduk Kota Salatiga yang semakin meningkat, maka Polri dalam hal ini sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat dapat dipastikan kinerjanya semakin berat dan masih belum maksimal, hal ini dibuktikan dengan kurangnya tenaga kepolisian dalam menjangkau seluruh Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Kota Salatiga. Idealnya adalah 1 Desa terdiri dari 1 polisi, jikalau luas Desa tersebut luas maka bisa terdiri dari 2 polisi. Berikut adalah ratio polisi dan masyarakat yang ada di Kota Salatiga. Tabel 4.3. Rasio Jumlah Penduduk Dengan Jumlah Personel Kepolisian Kota Salatiga No Kecamatan Jumlah Polsek Jumlah Perbandingan Penduduk Personel 1 Sidorejo Sidorejo 38 1 : Sidomukti Sidomukti 53 1 : Argomulyo Argomulyo 38 1 : Tingkir Tingkir 54 1 : : 976 Ratio Rata-Rata 1: Ratio Nasional 1: 575 JUMLAH PERSONEL POLRES SALATIGA 341 Sumber: Polres Salatiga, 2014 Dari data tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara jumlah penduduk dengan jumlah personel kepolisian. Hal ini nampak pada perbandingan di setiap polsek yang menunjukkan bahwa satu orang anggota polisi rata-rata bertanggungjawab pada jiwa (ratio tertinggi di Kecamatan Sidorejo dan terendah di Kecamatan Tingkir). Bahkan, secara nasional ratio polisi-masyarakat di 49

53 wilayah Kota Salatiga masih terbilang sangat tinggi, dimana ratio rata-rata polisimasyarakat secara nasional adalah 1: 575 (Kompas, Maret, 2014). Kondisi ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun personil polisi harusnya ditambah sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Idealnya untuk kota besar adalah 1 : 300, sedangkan untuk kota seperti Salatiga ratio Polisi - masyarakat berkisar 1 : 400. Berdasarkan kriteria ideal rasio polisi dan masyarakat, maka pada aspek ini personil polisi harus ditambah, apalagi jika ada rencana untuk melakukan pemekaran wilayah (baca: penyesuaian) Kondisi Kependudukan Kota Salatiga A. Penduduk dan Dinamika Wilayah Kebutuhan dasar manusia adalah ruang atau tempat tinggal selain kebutuhan akan sandang dan pangan. Sekalipun dalam pengertian yang paling sederhana dan dalam waktu yang terbatas, setiap manusia pada berbagai tingkat peradaban apapun dan dimanapun pasti membutuhkan ruang untuk bermukim dan melaksanakan aktivitasnya. Dinamika suatu kota senantiasa selalu mengalami perubahan, seperti halnya Salatiga sebagai suatu wilayah administratif dari waktu ke waktu juga mengalami perubahan. Secara umum terjadinya perubahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya dua faktor utama sebagai diterminan sifat dinamika kehidupan suatu wilayah, yaitu aspek demografis (kependudukan) di satu sisi dan aspek dari aktivitas penduduk itu sendiri di sisi yang lain. 50

54 POPULATION Birth Death In Out Migrat. SPACE AND DEMOGRAPHIC C I T Y ASPECT of POPULATION Pol. Econ. Soc Cul. Tech Number Horizontal Movement Centripetal Public Service Accessibility Developers Initiative Urban Sectors Unmanaged Growth Demand for Space Urban Development Centrifugal Urban Sprowl Concentric Dev Ribbon Dev. Leap-frog Dev Activities Vertikal Movement Physical Characteristic Regulatory Measures Landoners Characteristic Rural Sectors Loss of Agricultural Land Rural-Oriented Techniques Urban-Oriented Techniques Financ. M. Police M. Compr. M. Bagan: Penduduk dan Kebutuhan Ruang Pertambahan penduduk yang terus menerus dan cenderung meningkat, akan membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan suatu wilayah, yaitu adanya tuntutan permintaan akan space yang meningkat pula untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian maupun aktifitas dari kegiatan penduduk lainnya seperti politik, ekonomi, social, budaya dan teknik. Sebagian besar kota-kota di Indonesia, demikian halnya kota Salatiga mengalami problematik yang serius dalam memenuhi kebutuhan akan ruang yang semakin meningkat, sementara itu ketersediaan ruang terbuka yang masih memungkinkan untuk mengakomodasikan aktivitas mereka semakin terbatas dan semakin berkurang, jikapun masih ada ruang-ruang yang tersedia merupakan bagian yang memang tidak layak atau diperuntukan sebagai hunian maupun aktivitasnya. Migrasi penduduk ke kota Salatiga dan bertambahnya penduduk secara alami (natural increase) yang terus berlangsung dari tahun ke tahun dan cenderung semakin meningkat, menyebabkan terjadinya proses densification penduduk, permukiman maupun bangunan non permukiman di kota yang berjalan tidak terkendali dan cenderung terjadinya pencaplokan wilayah yang peruntukannya tidak sesuai (urban sprowl). Untuk mengantisipasi terjadinya proses dentifikasi tersebut maka perlu adanya strategi perencanaan penataan spasial yang baik dan kongkrit. 51

55 Tidak adanya perencanaan penataan ruang dan atau implementasi hasil perencanaan penataan ruang yang baik menjadi salah satu penyebab terjadinya deteriorisasi lingkungan kekotaan (urban environmental deterioration). Hal ini bisa diidentifikasi dari semakin meningkatnya luasan permukiman kumuh yang ada pada suatu wilayah. Keberadaan permukiman kumuh ini mempunyai beberapa aspek negatif terhadap lingkungan, baik aspek spasial, aspek lingkungan biotik, lingkungan abiotik, lingkungan social, lingkungan ekonomi dan lingkungan budaya. Tentunya untuk mengatasi hal ini perlu adanya upaya yang terpadu baik secara vertikal maupun horizontal. Kendala yang dihadapi suatu kota terkait proses dentifikasi adalah keterbatasan ruang untuk bisa menanmpung penduduk dan aktifitasnya, sehingga secara alami akan terjadi proses sprowling secara horizontal. Untuk mengatasi persoalan sprowling, ada banyak alternatif yang bisa dilakukan (lihat bagan). Namun secara sederhana persoalan itu dapat diatasi dari dua sisi, yakni pemekaran secara fisik (menambah wilayah) dan atau pengendalian penduduk. B. Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Aspek kependudukan dengan mengacu pada perspektif demografis, dimana jumlah penduduk suatu wilayah khususnya di kota Salatiga cenderung memiliki tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk provinsi bahkan tingkat nasional (Laju pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Tengah sebesar 0,37 persen, dan nasional (Indonesia) sebesar 1,49 persen, sedang Kota Salatiga pada tahun 2010 sebesar 1,09 dan meningkat di tahun 2013 sebesar 2,71 persen). Jika dilihat dari trend laju pertumbuhan penduduk, kota Salatiga mengalami pertumbuhan penduduk yang cenderung semakin meningkat dengan angka laju pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dari nasional bahkan tingkat provinsi Jawa Tengah. Determinan pertambahan penduduk suatu wilayah tidak hanya disebabkan oleh natural growth saja, tetapi juga oleh aliran penduduk atau migrasi dari bagian wilayah lain yang masuk ke suatu wilayah (inmigration). Bertambah dan meningkatnya kegiatan penduduk pada suatu wilayah yang dipicu oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat menyebabkan semakin meningkatnya 52

56 volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Hal ini akan memberi konsekuensi keruangan yang sangat serius yaitu meningkatnya permintaan akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas tersebut. Persoalan yang sering dihadapi oleh pemerintah kota adalah terbatasnya persediaan ruang yang bisa dimanfaatkan untuk mengakomodasikan prasarana-prasarana kegiatan baru. Sebagian kecil prasarana fisik ini dapat dibangun di bagian dalam kota atau bahkan di pusat kota dengan memanfaatkan ruang-ruang terbuka yang masih tersisa ataupun melakukan rehabilitasi fungsi dari bangunanbangunan yang telah ada dengan cara melakukan intensifikasi fungsi maupun membangun bangunan secara vertikal. Namun hal ini ada batasnya, oleh karena itu tidak dapat dihindari sebagian besar kebutuhan akan ruang yang tidak dapat dibangun di bagian dalam kota baik oleh karena kelangkaan ruang maupun karena semakin tingginya harga tanah yang tidak terjangkau, maka pengembangan akan dialihkan pada wilayah-wilayah pinggiran kota yang ketersediaan lahan terbukanya relatif masih memungkinkan untuk dibangun. Konsekuensi dari semakin meningkatnya permintaan akan ruang, yang dipicu oleh tuntutan meningkatnya permukiman maupun tuntutan meningkatnya bangunanbangunan untuk mengakomodasikan kegiatan akan mengakibatkan munculnya dua konskuensi spasial yang penting diperhatikan dalam pembuatan kebijakan untuk mencermati dinamika perkembangan pembangunan wilayah. Konsekuensi spasial yang penting untuk dicermati adalah konsekuensi keruangan secara fisikal (perkembangan spasial secara vertical dan horizontal) dan konsekuensi keruangan yuridis-administratif. Konsekuensi spasial secara fisikal di kota Salatiga maupun kota-kota lain di Indonesia cenderung proses perkembangan spasial terjadi secara horizontal, yaitu suatu proses penambahan ruang yang terjadi secara mendatar dengan cara menempati ruang-ruang yang masih kosong baik di daerah-daerah bagian dalam kota maupun di daerah pinggiran kota. Konsekuensi perkembangan spasial di bagian dalam kota berakibat pada semakin padatnya kota yang disebabkan karena bertambahnya bangunan-bangunan, penduduk dan aktivitasnya. Sebagai contoh Kota Salatiga, tingkat kepadatan penduduk tertinggi ada di wilayah-wilayah perkotaan seperti Kelurahan Salatiga, Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Kalicacing yang memiliki tingkat kepadatan penduduk di atas 6000/km 2. Sedangkan 53

57 kelurahan-kelurahan lainnya seperti Sidorejo Lor, Ledok, Tegalrejo, dan Mangunsari akan berproses menjadi kelurahan yang ruang-nya semakin padat sebagai akibat dari proses perkembangan spasial secara horizontal. Jika melihat dari tingginya pertumbuhan penduduk Kota Salatiga, maka proses perkembangan spasial akan mengarah pada bagian-bagian yang masih kosong, dan hal ini akan terjadi di bagian sub urban dan periphery (pinggiran) kota. Konsekuensi perkembangan spasial secara yuridis-administratif terjadi sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan batas fisikal marfologi kekotaan. Perubahan ini terjadi karena dipengaruhi oleh dua diterminan dinamika suatu wilayah, yaitu jumlah penduduk yang semakin bertambah dan jumlah, volume, serta frekuensi kegiatan dari penduduk itu sendiri juga mengalami perubahan. Salatiga pernah melakukan perubahan spasial secara yuridis-administratif dalam hal ini dengan wilayah-wilayah kabupaten Semarang. Mengingat perkembangan spasial Kota Salatiga yang begitu pesat, maka perlu dipikirkan kembali untuk melakukan perubahan batas fisik marfologis dengan wilayah administratif lainnya, tentunya perlu ada persetujuan antara pemerintah Kota Salatiga dengan Pemerintah di luar kota Salatiga. C. Analisis Situasi Kependudukan Kota Salatiga 1) Struktur Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Struktur penduduk menurut umur dan jenis kelamin secara grafik dapat digambarkan dalam bentuk piramida penduduk. Piramida penduduk adalah cara penyajian lain dari struktur umur dan jenis kelamin penduduk. Dasar piramida penduduk menunjukkan jumlah penduduk, dan badan piramida penduduk bagian kiri dan kanan menunjukkan banyaknya penduduk laki-laki dan penduduk perempuan menurut umur. Dengan melihat proporsi penduduk laki-laki dan perempuan dalam tiap kelompok umur pada piramida tersebut, dapat diperoleh gambaran mengenai sejarah perkembangan penduduk masa lalu dan perkembangan penduduk masa yang akan datang. Struktur umur penduduk saat ini merupakan hasil kelahiran, kematian dan migrasi masa lalu. Sebaliknya, struktur umur penduduk saat ini akan menentukan perkembangan penduduk di masa yang akan datang. Berikut adalah piramida penduduk Kota Salatiga tahun 2010 (Sensus Penduduk, 2010) dan tahun

58 Bagan: Piramida Penduduk Kota Salatiga Tahuin 2010 dan 2013 Dari dua piramida penduduk kota Salatiga tahun 2010 dan 2013 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur umur penduduk kota Salatiga yang lebih didominasi penduduk usia dewasa (15 60 tahun) dengan penduduk usia muda (0-14 tahun) yang lebih kecil. Selama kurun waktu 3 tahun bentuk piramida penduduk kota Salatiga semakin cembung ditengah dan semakin sempit di bagian bawah yang berarti jumlah penduduk muda semakin turun, sedangkan jumlah penduduk dewasa semakin meningkat. Demikian juga bagian atas piramida yang sedikit melebar menunjukkan semakin banyaknya jumlah penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas). Dari piramida penduduk ini dapat digunakan untuk memprediksi besarnya ratio ketergantungan dan juga angka harapan hidup. Atas dasar piramida di atas dapat dinyatakan bahwa Kota Salatiga memiliki ratio ketergantungan yang semakin kecil (Bonus Demografi) dan angka harapan hidup yang semakin meningkat. Tabel 4.4 Struktur Penduduk Kota Salati Umur Laki-Laki Perempuan Total

59 Jumlah Jumlah Total Penduduk Sumber: Statistik Daerah Kota Salatiga 2014, Diolah Karakteristik penduduk menurut umur dan jenis kelamin Kota Salatiga tahun 2013 merupakan sebuah gambaran stuktur penduduk yang sangat menarik untuk dilakukan kajian, karena dari karakteristik tersebut dapat diketahui jumlah penduduk berdasar pengelompokan umur dan jenis kelamin, dan yang menarik pada perbedaan jumlah penduduk berdasar kelompok umur di Kota Salatiga jumlah terbesar pada kelompok umur dewasa/produktif (15 59 tahun), dan kelompok umur muda/belum produktif (0 14 tahun) dan tidak produktif (65 tahun ke atas) relatif rendah. Struktur penduduk Kota Salatiga ditunjukkan pada tabel dan piramida di atas. 2) Persebaran dan Kepadatan Penduduk Persebaran penduduk atau disebut juga distribusi penduduk menurut tempat tinggal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu persebaran penduduk secara geografis dan persebaran penduduk secara administratif, disamping itu ada persebaran penduduk menurut klasifikasi tempat tinggal yakni desa dan kota. Secara geografis, penduduk Salatiga tersebar di wilayah provinsi Jawa Tengah dan terletak diantara dua kota pusat pengembangan yaitu Kota Semarang dan Surakarta. Secara administratif (dan politis), penduduk Salatiga tersebar di 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Sidomukti, dan Kecamatan Sidorejo. 56

60 Variasi Pertumbuhan Penduduk Salatiga 2010 : 1.09% Salatiga Ke-3 terbesar setelah Semarang & Jepara Jawa Tengah ,37% +5,27% Papua ,64% Indonesia ,49% Indonesia 2050* 1,49% Bagan: Posisi Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Di antara Pertumbuhan Penduduk Provinsi dan Nasional Jika dilihat dari distribusi penduduk di 4 kecamatan yang ada di Kota Salatiga, menunjukkan tingkat ketersebaran/distribusi yang relative cukup merata. Namun jika dilihat dari konsentrasi jumlah penduduk maka kecamatan Sidorejo menempati urutan pertama dengan jumlah penduduk tertinggi, sedangkan untuk ketiga kecamatan lainnya jumlah penduduknya relative hampir seimbang (lihat tabel 3.3). Namun jika dilihat dari indicator tingkat kepadatannya maka kecamatan Tingkir merupakan kecamatan yang paling tinggi kepadatannya, sedangkan kecamatan Sidorejo menduduki peringkat ke-3 setelah kecamatan Sidomukti, dan kecamatan Argomulyo merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk paling rendah. 57

61 Tabel 4.5 Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kepadatan penduduk di masingmasing kecamatan yang ada di kota Salatiga memiliki trend yang semakin meningkat. Hal ini dimungkinkan karena perkembangan penduduk baik secara natural growth maupun migrasi dari tahun- ke tahun di Salatiga selalu mengalami peningkatan, sedangkan luasan wilayah cenderung tetap, sehingga tingkat kepadatan akan selalu meningkat. Jika dilihat dari data kepadatan penduduk tersebut, menunjukkan bahwa tingkat pembangunan kota Salatiga di 4 kecamatan tersebut menunjukkan tingkat intensifikasi yang sama. 58

62 Tabel 4.6. Jumlah Dan Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun N o Kelurahan Jml Penddk Kepadatan per Km² Jml Penddk Kepadatan per Km² Jml Penddk Kepadatan per Km² Jml Penddk Kepadatan per Km² Jml Penddk Kepadatan per Km² A Kec. Sidorejo , , , , ,328 1 Blotongan , , , , ,735 2 Sidorejo Lor , , , , ,491 3 Salatiga , , 068 ` , , ,480 4 Bugel Kauman Kidul , , , , ,858 5 Pulutan , , , , ,650 B Kec. Tingkir , , , , ,955 1 Kutowinangun , , , , Gendongan , , , , Sidorejo Kidul , , , , ,945 4 Kalibening , , , , Tingkir Lor , , , , ,428 6 TingkirTengah , , , , ,611 C Kec. Argomulyo , , , , ,274 1 Noborejo , , , , ,603 2 Ledok , , , , ,294 3 Tegalrejo , , , , ,525 4 Kumpulrejo , , , , ,095 5 Randuacir , , , , ,365 6 Cebongan , , , , ,217 D Kec. Sidomukti , , , , ,549 1 Kecandran , , , , ,322 2 Dukuh , , , , ,194 3 Mangunsari , , , , ,633 4 Kalicacing , , , , ,776 Jumlah Total , ,327 3, , , ,145 Sumber: Salatiga Dalam Angka Diolah,

63 Penduduk Kota Salatiga relatif terdistribusi secara merata di seluruh wilayah. Umumnya penduduk banyak terkonsentrasi di daerah pusat kota dan sub urban dibandingkan di wilayah peripheri. Secara rata-rata, kepadatan penduduk kota salatiga pada tahun 2013 tercatat sebesar 3,145 jiwa/km2 (kategori tingkat kepadatan sedang). Untuk mengetahui tingkat konsentrasi penduduk di Kota Salatiga dapat digunakan dengan perhitungan tingkat kepadatan penduduk aritmatik (KPA), yaitu jumlah penduduk yang menempati 1 Km² atau dengan penghitungan jumlah penduduk dibagi luas wilayah (Km2). Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel di atas. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa ada delapan kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga (Kecamatan Sidorejo), Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan (Kecamatan Tingkir), Kelurahan Ledok dan Kelurahan Tegalrejo (Kecamatan Argomulyo) serta Kelurahan Mangunsari dan Kelurahan Kalicacing (Kecamatan Sidomukti) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penduduk Kota Salatiga pada tahun 2009 berjumlah jiwa dan pada umumnya mengalami peningkatan tiap tahun, akan tetapi pada tahun 2013 mencapai angka jiwa. Artinya ada lonjakan jumlah penduduk sebesar 4720 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2.71 %. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh angka kelahiran dan kematian serta migrasi. Sedangkan kelurahan-kelurahan yang ada di Salatiga, pada umumnya semua mengalami kenaikan, hanya ada enam kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk, empat kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk sedang dan dua kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang tinggi. Kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk adalah Kelurahan Kauman Kidul (Kecamatan Sidorejo), Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Gendongan dan Kelurahan Tingkir Lor (Kecamatan Tingkir), Kelurahan Ledok dan Kelurahan Kumpulrejo (Kecamatan Argomulyo). Kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk sedang adalah Kelurahan Sidorejo lor (Kecamatan Sidorejo), Kelurahan Tingkir Tengah (Kecamatan Tingkir), Kelurahan Randuacir dan Kelurahan Cebongan (Kecamatan Argomulyo). Sedangkan kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kelurahan Dukuh dan Kelurahan Mangunsari (Kecamatan Sidomukti). 60

64 Jumlah penduduk Kota Salatiga Tahun 2013 yaitu jiwa dengan luas wilayah 5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dengan Kepadatan per Km² mencapai Jumlah penduduk tertinggi di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidorejo sebesar jiwa dengan kepadatan per Km² dengan luas Kecamatan 16,247 Km², kemudian Kecamatan Argomulyo jiwa dengan kepadatan penduduk per Km² dengan luas 18,526 Km², Kecamatan Tingkir sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk per Km² sebesar jiwa dengan luas sebesar 10,549 Km², dan jumlah penduduk terendah di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidomukti yaitu sebesar jiwa dengan kepadatan jiwa per Km² dengan luas Km². Sedangkan jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidorejo yaitu di Kelurahan Salatiga yaitu sebesar jiwa dengan kepadatan dengan luas 2,020 Km² dan terendah terdapat di Kelurahan Bugel yaitu sebesar jiwa dengan kepadatan 980 Km² dengan luas 2,944 Km². Kemudian di Kecamatan Argomulyo jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Tegalrejo yaitu sebesar dengan kepadatan penduduk per Km² dengan luas 1,884 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Cebongan sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk dan luas 1,381 Km². Kecamatan Tingkir jumlah penduduk tertinggi di Kelurahan Kutowinangun sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk 6,794 per Km² dan luas 2,938 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Kalibening sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk dan luas 9,96 Km². Jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidomukti yaitu di Kelurahan Mangunsari sebesar jiwa dengan luas Km² dan kepadatan penduduk 5,633 sedangkan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Kecandran sebesar jiwa dengan luas 3,992 Km² dan kepadatan penduduk 1,322. Apabila menggunakan patokan angka kepadatan penduduk, yaitu kategori kepadatan Sangat Tinggi (> 6 004/ km2), kategori kepadatan tinggi ( / Km2), Kategori kepadatan Sedang ( / Km2) dan kategori Kepadatan rendah (< / km2), maka hanya ada lima wilayah kelurahan yang dikategorikan sangat tinggi. Pertama yaitu Kelurahan Kalicacing dengan angka kepadatan mencapai 8.776, hal ini terjadi karena lokasi tersebut memiliki wilayah yang tidak luas, akan tetapi penduduk yang tinggal di lokasi tersebut sangatlah banyak atau terlalu banyak (overcrowded), sehingga menjadikan angka kepadatannya sangat tinggi. Lokasi Kelurahan Kalicacing merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota yaitu Salatiga, 61

65 sehingga akses jalan, perekonomian, toko, transportasi sangat mendudukung untuk ditinggali. Kedua adalah Kelurahan Salatiga dengan angka kepadatan penduduk mencapai jiwa/ Km2 dikatakan sangat tinggi karena lokasi ini merupakan pusat kota, jadi banyaknya toko, akses jalan, fasilitas publik menjadi magnet bagi penduduk untuk tinggal di lokasi tersebut. Ketiga adalah Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan, kedua kelurahan ini merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota Salatiga, dekatnya akses untuk ke fasilitas publik, akses jalan, dekat dengan pusat perekonomian menjadikan kedua kelurahan ini banyak ditinggali. Selain itu ada dua kelurahan yang jumlah penduduknya meningkat drastis, yaitu Kelurahan Dukuh dan Mangunsari (Kecamatan Sidomukti), hal ini disebabkan adanya JB atau Jalan Baru (Jalan Lingkar Selatan) menjadikan daerah di sekeliling jalan tersebut menjadi berkembang. Fakta yang terjadi adalah semenjak Jalan Baru tersebut selesai dibuat maka banyak pembangunan dilakukan, seperti pertokoan, ruko, rumah penduduk, perumahan, dan sekolah-sekolah, serta harga tanah atau rumah di pusat kota yaitu Salatiga sudah terlampau mahal menjadikan masyarakat bergeser untuk mencari lokasi yang harga tanah atau rumah masih murah dan akses jalan atau transportasi mudah, hal inilah yang menjadikan jumlah penduduk di dua kelurahan tersebut meningkat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar Peta Kepadatan Penduduk dan Peta Pola Penggunaan Ruang Kota Salatiga berikut ini. Trend perkembangan penduduk Kota Salatiga yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik dari aspek kuantitas maupus aktifitasnya, berimplikasi terhadap permintaan akan ruang yang semakin meningkat pula, hal ini tercermin pada distribusi tingkat kepadatan yang semakin tinggi pada berbagai wilayah Kota Salatiga. 62

66 Gambar Peta Kepadatan Penduduk Kota Salatiga

67 Gambar Peta Pola Ruang Kota Salatiga Tahun

68 3) Mobilitas Penduduk Dalam pertumbuhan penduduk salah satu komponen yang penting adalah mobilitas penduduk (migrasi). Banyaknya masyarakat atau penduduk yang melakukan mobilitas atau migrasi karena berbagai alasan, seperti untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik atau pekerjaan yang lebih baik atau karena mengikuti anggota keluarga lain yang berpindah suami misalnya. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Atau sederhananya migrasi adalah perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Ada dua dimensi penting dalam penalaahan migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu. Digunakan batasan waktu, misal berapa tahun untuk migran, jika dia tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang baru itu paling sedikit 6 bulan lamanya. Atau dari dimensi ruang atau daerah, adalah penduduk tersebut pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain dalam jangka waktu tertentu. Mobilitas penduduk (migrasi) ada yang bersifat permanen dan tidak permanen.dua jenis mobilitas penduduk yang tidak permanen ialah migrasi sirkuler dan migrasi ulang-alik. Migrasi sirkuler atau migrasi musiman, yakni migrasi yang terjadi jika seseorang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. Sedangkan migrasi ulang-alik (commuter) yakni orang yang setiap hari meninggalkan tempat tinggalnya pergi ke kota lain untuk bekerja atau berdagang dan sebagainya tetapi pulang pada sore atau malam harinya, Sedangkan mobilitas penduduk permanen diantaranya migrasi seumur hidup, migrasi risen, dan migrasi total. Migrasi seumur hidup (lift time migration) artinya bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempat tinggal waktu lahir. Perilaku mobilitas penduduk Kota Salatiga selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Semakin padatnya kota Salatiga tidak terlepas dari aspek perilaku mobilitas penduduk, hal ini jika diamati dari perkembangan mobilitas penduduk Salatiga mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang datang ke Salatiga selalu menunjukkan angka yang lebih besar dari pada penduduk yang pergi. 65

69 Tabel 4.7. Mobilitas Penduduk Kota Salatiga tahun 2013 No Aspek TAHUN Total Jumlah Penduduk Kota Salatiga 2 Jumlah Penduduk Datang Kota Salatiga 3 Jumlah Penduduk Pergi Kota Salatiga 4 IMIGRASI 26,28 29,84 32,33 25,29 5 EMIGRASI 22,85 27,006 19,52 19,99 Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013 Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk datang secara signifikan lebih besar dari pada jumlah penduduk pergi. Dalam konteks perkembangan penduduk maka sumbangan perilaku mobilitas ini secara signifikan berpengaruh cukup besar terhadap terjadinya pertumbuhan penduduk yang ada di Kota Salatiga. Berdasarkan tabel tersebut sumbangan terbesar terhadap perkembangan dan kepadatan penduduk di Salatiga terjadi pada tahun 2011, dimana ada penambahan penduduk sebesar 2210 jiwa dan pada tahun 2012 mengalami penurunan walaupun secara signifikan masih cukup tinggi yakni sebasar 921 jiwa. Yang perlu dicermati terkait dengan perilaku mobilitas ini adalah keingnan menetap atau tidaknya migran di daerah tujuan (Salatiga). Jika mereka tidak ada keinginan menetap maka disebut sebagai migrasi sirkuler, artinya mereka secara resmi atau administrasi masih tercatat dan terikat dengan daerah asal dan biasanya ini terjadi secara musiman. Kota Salatiga dapat dikatakan sebagai center/pusat yang memiliki daya tarik bagi kota-kota atau daerah-daerah disekitarnya sebagai satelit, sehingga alasan ekonomi menjadi faktor utama terjadinya migrasi sirkuler. Perilaku mobilitas ini nampak nyata pada musimmusim tertentu seperti pada hari-hari besar dimana banyak terjadi migrasi sirkuler ( mboro ) atau musim tanam di perdesaan dan musim kemarau panjang. Berbeda dengan perilaku mobilitas penduduk permanen, dimana dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah migrant masuk di Salatiga cukup tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini menggambarkan bahwa kota Salatiga mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu sehingga menjadi magnet bagi penduduk daerah lain untuk dimasuki sebagai tempat tinggal yang baru, Artinya Kota Salatiga secara social-ekonomi-politik 66

70 dipandang oleh migran memiliki kelebihan bila dibandingkan daerah sekitar lannya sehingga mendorong mereka untuk memasukinya. Melihat kondisi mobilitas yang terjadi di Salatiga, maka perlu adanya pengarahan mobilitas penduduk secara optimal, dengan mendasarkan pada keseimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan. 4) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan parameter yang secara internasional digunakan untuk mengukur tingkat kualitas manusia. Besarnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat menjadi gambaran tentang capaian tingkat kesejahteraan masyarakat ditinjau dari tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. IPM Kota Salatiga dari tahun cenderung mengalami peningkatan. IPM Kota Salatiga dari tahun memiliki nilai lebih tinggi daripada IPM Jawa Tengah tahun Berikut perkembangan nilai IPM Kota Salatiga dibandingkan dengan nilai IPM Jawa Tengah. Tabel 4.8. Perbandingan IPM Kabupaten/Kota di Jawa Tengah NO KABUPATEN/KOTA Kota Semarang 76,90 77,11 77,42 77,98 2 Kota Salatiga 76,11 76,53 76,83 77,13 3 Kab.Kendal 70,07 70,41 76,83 71,48 4 Kab.Semarang 73,66 74,41 74,45 74,98 5 Kab.Demak 73,66 74,10 74,45 73,52 6 Kab.Grobogan 70,60 70,63 71,27 71,77 7 Jawa Tengah 71,25 72,49 72,94 73,13 Sumber: TKPK Jawa Tengah, 2014 Angka IPM Kota Salatiga pada tahun 2012 sebesar 77,13 meningkat 0,39 persen dibanding tahun 2011 yang sebesar 76,83 persen. Lambatnya kenaikan IPM ini dapat dipahami, mengingat dampak dari investasi di sektor kesehatan dan pendidikan khususnya terhadap peningkatan indikator penyusun IPM biasanya baru terlihat secara nyata dalam jangka panjang. 67

71 4.5. Potensi Daerah A. Ratio Pegawai Negeri Terhadap Penduduk Pada tahun 2013 jumlah karyawan di Salatiga baik PNS, karyawan tetap maupun kontrak di kota Salatiga berjumlah orang, dimana sekitar 80,09 persen adalah pegawai tetap dan 19,91 persen. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Salatiga sebesar jiwa, dengan demikian maka ratio PNS terhadap penduduk adalah sebesar 1: , artinya setiap 1 pegawai negeri sipil melayani sebanyak penduduk Tabel 4.9. Jumlah PNS Di Salatiga Tahun 2013 No. PNS Jumlah Persentase Ratio PNS - Penduduk 1 Pegawai Tetap Pegawai Kontrak Total PNS Rasio Jumlah PNS Terhadap Penduduk Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah B. Rasio Fasilitas Kesehatan Terhadap Penduduk Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai sangat diperlukan dalam upaya peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat. Ketersediaan akan fasilitas ini tentunya tidak hanya bisa dicukupi dari pemerintah saja tetapi juga dari dukungan swasta. Berikut adalah fasilitas kesehatan di Kota Salatiga tahun 2013 Tabel 4.10 Rasio Fasilitas Kesehatan Per Penduduk No. Fasilitas Kesehatan Jumlah Persentase Rasio per penduduk 1 Rumah Sakit Puskesmas PUSTU RS. Bersalin Poliklinik Apotek Total Fasilitas Kesehatan Rasio Fasilitas Kesehatan per penduduk Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah 68

72 Dari tabel nampak fasilitas kesehatan yang ada di Kota Salatiga cukup beragam yakni meliputi Rumah Sakit, Puskesmas, PUSTU (Puskesmas Pembantu), RS Bersalin, Poliklinik, dan Apotek. Jumlah keseluruhan fasilitas kesehatan ada 82, dengan demikian besarnya rasio fasilitas kesehatan per penduduk adalah 1: , artinya setiap 1 fasilitas kesehatan melayani sebanyak atau 122 penduduk. Kota Salatiga dapat dikatakan memiliki fasilitas kesehatan yang cukup banyak bila dibanding dengan wilayah sekitar. Hal ini dapat dilihat dari besaran jumlah pemanfaat fasilitas kesehatan yang ada di salah satu Rumah Sakit di Kota Salatiga. Tabel Data Jumlah dan Asal Pasien Di BPRSUD Kota Salatiga Tahun Tahun Kota Salatiga Luar Kota Salatiga Jumlah Keterangan ,518 30,091 64, ,103 26,169 54, ,864 32,506 60, ,205 38,046 68,251 Sumber : BPRSUD Kota Salatiga, 2015 Masa transisi dari sistem manual ke komputerisasi Dari tabel nampak bahwa jumlah pasien berasal dari luar Kota Salatiga yang memanfaatkan Rumah Sakit di BPRSUD Salatiga dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan sejak tahun jumlah pasien dari luar Salatiga yang memanfaatkan fasilitas kesehatan di BPRSUD lebih banyak dari pada penduduk Salatiga itu sendiri. C. Rasio Tenaga Medis Per Penduduk Pada tahun 2013, Kota Salatiga memiliki tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan bidan) berjumlah 408. Dari jumlah tersebut persentase terbesar adalah dokter umum (42.65 persen). Perkembangan tenaga medis di Salatiga ini sejalan dengan perkembangan fasilitas kesehatan yang ada. Jika dilihat dari besarnya rasio tenaga medis per penduduk, maka secara keseluruhan rasionya adalah 1:25, artinya setiap satu tenaga medis mampu menjangkau sekitar 25 orang. Namun jika dilihat dari variasi tenaga medis maka rasio terbesar adalah pada tenaga medis dokter spesialis (1:118) dan dokter gigi (1:233). 69

73 Tabel 4.10 Rasio Tenaga Medis Per Penduduk No. Tenaga Medis Jumlah Persentase Rasio per penduduk 1 Dokter Umum Dokter Spesialis Dokter Gigi Bidan Total Tenaga Media Rasio Tenaga Medis per penduduk (25) Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka membawa konsekuensi terhadap kebutuhan tenaga medis khususnya untuk dokter spesialis yang rasionya masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan tenaga medis lainnya. D. Rasio Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Per Penduduk Menurut Statistik Daerah Kota Salatiga Tahun 2014, jumlah Bank di Kota Salatiga dari tahun 2005 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan. Jumlah terakhir bank yang ada di Kota Salatiga mencapai 23 Bank, dimana 5 Bank dari pemerintah, 16 dari swasta Nasional dan 2 Bank dari Pemerintah daerah. Sedangkan jumlah koperasi atau lembaga keuangan non bank, di Kota Salatiga mencapai 203 koperasi. Angka ini terdiri dari Koperasi Pegawai Negeri sebanyak 28, Koperasi ABRI sebanyak 6, Koperasi Karyawan sebanyak 33, Koperasi Simpan Pinjam sebanyak 28, Koperasi Pedagang Pasar sebanyak 4, Koperasi Pensiunan Pegawai Negeri sebanyak 3, Koperasi Veteran sebanyak 2, Koperasi Kepolisian sebanyak 1, Koperasi Tahu Tempe sebanyak 1, Koperasi Wanita sebanyak 6, Koperasi Unit Desa sebanyak 1, Pusat Koeprasi sebanyak 1, Kopinkra sebanyak 1, Koperasi Pedagang Kaki lima (PKL) sebanyak 1, Koperasi Mahasiswa sebanyak 1, Koperasi Lain-lain sebanyak 14, KSU sebanyak 57, Koperasi Pondok Pesantren sebanyak 9 dan Koperasi Pemuda sebanyak 3. Hasil penggabungan antara Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank akan diperoleh angka Bank (23) + Koperasi (203) = 226. Untuk ratio bank dan lembaga keuangan non bank menjadi 226 : atau sama dengan 1 : 44,24, artinya 1 bank atau lembaga keuangan non bank akan melayani 44 nasabah. 70

74 E. Rasio Pasar per Penduduk Pasar yang berfungsi sebagai tempat yang sangat vital untuk pertumbuhan ekonomi, dimana pasar berperan sebagai tempat penyalur barang. Di Kota Salatiga sendiri sekarang ini sudah banyak hadir pusat perbelanjaan modern seiring dengan globalisasi. Akan tetapi walaupun pusat perbelanjaan modern sudah menjamur kehadiran passar tradisional masih tetap ada. Di Kota Salatiga sendiri terdapat 14 unit pasar tradisional pada tahun Untuk ratio pasar per penduduk menjadi 14: dengan hasil yaitu 1: 714, 28, yang artinya bahwa satu pasar melayani 714 orang pembeli di Kota Salatiga. Dari hasil penelitian mahasiswa UKSW, jurusan Sosiologi-Fiskom, Bagus Trianggono (2015), mengungkapkan bahwa di Kota Salatiga kehadiran PKL sekarang ini sangatlah meningkat, terutama pada pasar tiban di jalan baru atau (JB). Dari 700 PKL yang ada di Jalan Baru (JB) kebanyakan berasal dari luar Kota Salatiga, adapun daerah tersebut adalah Pemalang, Kudus, Demak, Tegal, Pekalongan, Kebumen, Solo, Temanggung. Untuk persentasenya dari 700 PKL yang asli Salatiga yang terbagi menjadi 4 Kecamatan hanya 30% selebihnya di luar Kota Salatiga. Penelitian tersebut menguatkan bahwa Kota Salatiga memiliki daya magnet yang kuat di sektor perekonomian. F. Rasio Sekolah SD per Penduduk Usia SD Jumlah SD di Kota Salatiga mencapai 95 sekolah tersebar di empat Kecamatan. Dengan jumlah sekolah SLTP terbanyak berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 30 sekolah lalu Sidomukti dengan 17 sekolah, dan Argomulyo sebanyak 27 sekolah serta Tingkir terdiri dari 21 sekolah. Sedangkan untuk jumlah siswa SD di kota Salatiga mencapai angka siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa SD sebanyak 6.266, Kecamatan Sidomukti sebanyak 3.012, Kecamatan Tingkir sebanyak dan Kecamatan Argomulyo sebanyak siswa. Dengan demikian Rasio sekolah SD per penduduk usia SD adalah 30 SD : Hasilnya adalah 177, jadi setiap satu sekolah SD mampu menampung siswa sebanyak 177 siswa. 71

75 G. Rasio Sekolah SLTP per Penduduk Usia SLTP Jumlah SLTP di Kota Salatiga mencapai 23 sekolah tersebar di empat Kecamatan. Dengan jumlah sekolah SLTP terbanya berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 13 sekolah lalu Sidomukti dengan 4 sekolah, dan Argomulyo dan Tingkir, masing-masing terdiri dari 3 sekolah. Sedangkan untuk jumlah siswa SLTP di kota Salatiga mencapai angka siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa SLTP sebanyak 4.737, Kecamatan Sidomukti sebanyak 2.039, Kecamatan Tingkir sebanyak dan Kecamatan Argomulyo sebanyak siswa. Dengan demikian Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP adalah 23 SLTP : Hasilnya adalah 402, jadi setiap satu sekolah SLTP mampu menampung siswa sebanyak 402 siswa. H. Rasio Sekolah RT per Penduduk Usia RT Jumlah RT di Kota Salatiga mencapai 8 sekolah tersebar di empat Kecamatan. Dengan jumlah sekolah RT terbanya berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 6 sekolah lalu Sidomukti dengan 1 sekolah, dan Argomulyo tidak ada sekolah RT dan Tingkir, terdiri dari 1 sekolah. Sedangkan untuk jumlah siswa RT di kota Salatiga mencapai angka siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa RT sebanyak 2.663, Kecamatan Sidomukti sebanyak 539, Kecamatan Tingkir sebanyak 0 dan Kecamatan Argomulyo sebanyak 940 siswa. Dengan demikian Rasio sekolah RT per penduduk usia RT adalah 8 RT : Hasilnya adalah 518, jadi setiap satu sekolah RT mampu menampung siswa sebanyak 518 siswa. 72

76 I. Persentase Rumah Tangga (Penduduk Kota Salatiga) Yang Mempunyai Kendaraan Bermotor Jumlah RT di Kota Salatiga mencapai RT tersebar di empat Kecamatan. Dengan jumlah RT terbanyak berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 303 RT lalu Sidomukti dengan 220 RT, Tingkir dengan 292 RT, dan Argomulyo dengan 255 RT. Untuk jumlah penduduk kota Salatiga mencapai penduduk. Sedangkan untuk jumlah kendaraan bermotor di Kota Salatiga mencapai kendaraan. Angka ini terbagi menjadi 5 kategori, yaitu Kendaraan Bermotor Roda 2 sebanyak , Kendaraan Bermotor Penumpang sebanyak , Bus Mikro bus sebanyak 408, Kendaraan Bermotor Beban sebanyak 3.922, dan Kendaraan Bermotor Khusus sebanyak 51 buah. Dengan demikian Rasio rumah tangga (penduduk kota salatiga) yang mempunyai kendaraan bermotor menjadi (1.070 RT) : Hasilnya adalah 1,648% artinya bahwa 1 rumah tangga rata-rata bisa memiliki 2 kendaraan bermotor. J. Persentase Pelanggan Listrik Terhadap Jumlah Rumah Tangga Kota Salatiga yang terdiri dari 4 Kecamatan ternyata memiliki angka pemakaian yang cukup besar. Dari 4 Kecamatan tersebut pemakaian KwH mencapai angka dan jika dirupiahkan maka akan menjadi ribu rupiah. Menurut PT PLN Kota Salatiga, banyaknya pelanggan Rumah Tangga (RT) yang menggunakan listrik sebesar Sedangkan jumlah RT kota Salatiga adalah RT. Ratio salatiga memiliki pelanggan x 100% = 3, K. Rasio Panjang Jalan Terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor Untuk panjang jalan di Kota Salatiga di tahun 2013 terbagi menjadi 4 kategori yaitu, Diaspal sepanjang m, Kerikil sepanjang m, Tanah sepanjang m dan Lainnya m, dengan panjang keseluruhan mencapai m 73

77 Sedangkan untuk jumlah kendaraan bermotor di Kota Salatiga mencapai kendaraan. Angka ini terbagi menjadi 5 kategori, yaitu Kendaraan Bermotor Roda 2 sebanyak , Kendaraan Bermotor Penumpang sebanyak , Bus Mikro bus sebanyak 408, Kendaraan Bermotor Beban sebanyak 3.922, dan Kendaraan Bermotor Khusus sebanyak 51 buah. Untuk ratio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor sebesar m : motor = 6,04. Artinya bahwa setiap m² akan dilalui atau dimasuki oleh paling tidak 6 kendaraan bermotor. Dengan demikian apabila jalan tersebut tetap/ tidak diperpanjang atau diperlebar, maka akan menimbulkan kesesakan yang disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor di setiap m² Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran Salatiga adalah kota yang unik, kas dan menyenangkan bagi sebagian besar orang. Orang datang ke Salatiga bukan karena ada gula-gula atau sumber ekonomi yang melimpah, namun karena kondisi alam dan suasana kotanya yang nyaman. Dengan kondisi seperti tersebut diatas, menyebabkan orang datang dan tinggal di Salatiga. Mereka kemudian bermukim dan menetap di Salatiga. 20 tahun yang lalu, penduduk salatiga baru sekitar 100 ribuan. Sekarang sudah lebih dari 200 ribuan. Ini membutuhkan permukiman. Dalam kasus permukiman di Salatiga pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, pertumbuhan pemukiman terus berkembang pesat. Pertumbuhan permukiman ini juga tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan perumahan dan pertumbuhan perumahan ini akibat meningkatnya jumlah rumah yang dibangun. Jika ada masyarakat yang membangun rumah, akan diikuti oleh pembangunan rumah berikutnya sehingga menjadi kumpulan rumah atau perumahan. Dengan ada perumahan yang terus bertambah maka akan ada masyarakat yang bertempat tinggal, bertumbuh dan berkembang, yang sering disebut dengan permukiman. Dengan tumbuhnya permukiman, kemudian akan menjadi daya tarik orang lain untuk membangun rumah di permukiman tersebut. Disatu sisi, pertumbuhan permukiman ini sangat baik dari sisi ekonomi namun disisi lain bisa menimbulkan masalah jika pertumbuhannya tidak terkendali, terencana dan teratur. Untuk pengendalian dan pembangunan permukiman, kita perlu mengenali 74

78 faktor determinan pertumbuhan permukiman itu sendiri. Dengan mengenali faktor determinan tersebut, Pemerintah Daerah bisa membuat intervensi melalui instrumeninstrumen pembangunan baik itu regulasi, insentif dan fasilitasi. Namun jika upaya itu tidak mampu mengendalikan pertumbuhan permukiman, Pemerintah Kota Salatiga juga bisa mencari alternatif lain diantaranya adalah pemekaran wilayah. A. Faktor Determinan Ekonomi Pemekaran Pemekaran wilayah adalah fungsi dari permukiman. Jika permukiman terus bertambah maka membutuhkan ruang yang lebih besar. Jika ruang tetap, maka permukiman akan melampaui batas normal dan menyebabkan masalah. Permukiman sendiri adalah fungsi dari perumahan. Jika perumahan meningkat maka secara linier maupun tidak akan menyebabkan pertumbuhan permukiman.selain dari pertumbuhan permukiman, pemekaran wilayah juga diperlukan karena tuntutan pertumbuhan kota. Kota yang semakin bertumbuh menyebabkan volatilitasnya bertambah tinggi. Dengan luas yang terbatas maka pertumbuhan kota akan terhambat. Secara garis besar, kerangka pemikiran tentang faktor determinan ekonomi kebutuhan pemekaran seperti tampak pada gambar dibawah ini. 75

79 Berdasarkan pada kerangka kerja model metabolisme pengembangan kota, tampak bahwa dalam pengembangan kota, perlu diperhatikan atau memerlukan input sumberdaya diantaranya adalah ketersediaan lahan. Dengan luas wilayah yang terbatas, pengembangan kota Salatiga akan terhambat salah satunya akibat ketersediaan lahan. 76

80 Untuk mengembangkan kota, tidak terkecuali Salatiga, perlu memperhatikan beberapa indikator dalam pengembangan kota. Beberapa indikator tersebut seperti pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas hidup, tata kelola yang baik dalam pemerintahan dan manajemen serta melindungi lingkungan. B. Faktor Determinan Pertumbuhan Kota dan Permukiman 1) Pertumbuhan Kota/Wilayah Salah satu aspek yang mempengaruhi dinamika permukiman adalah pertumbuhan kota atau wilayah. Kota atau wilayah yang sedang membangun atau banyak membangun, akan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga pergerakan tenaga kerja akan mengarah ke kota atau wilayah tersebut. Pergerakan tenaga kerja ini kemudian menyebabkan permintaan akan rumah baik secara sewa atau dimiliki akan meningkat. Dengan permintaan rumah meningkat akan menyebabkan peningkatan permukiman baik pada permukiman yang lama maupun yang baru. Pertumbuhan kota juga menyebabkan nilai asset menjadi meningkat sehingga menyebabkan orang ingin berinvestasi di kota/wilayah tersebut, yang pada akhirnya 77

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU www. luwukpos.blogspot.co.id I. PENDAHULUAN Otonomi daerah secara resmi telah diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 2001. Pada hakekatnya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN DALAM WILAYAH KABUPATEN KOTABARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN www.bpkp.go.id DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PENILAIAN SYARAT TEKNIS I. FAKTOR DAN INDIKATOR DALAM RANGKA PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1)

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ALOR

PEMERINTAH KABUPATEN ALOR PEMERINTAH KABUPATEN ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2011 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN PEMEKARAN KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS KELAYAKAN PEMEKARAN KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG ANALISIS KELAYAKAN PEMEKARAN KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG Agus Subagyo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Akhmad Yani subagyo@scientist.com dan subagyoeti@yahoo.com.au

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi

Lebih terperinci

Telaah Hukum Kelayakan Pemekaran Kecamatan (Studi Kasus: Pemekaran Calon Kecamatan Danau Kerinci Barat Kabupaten Kerinci) Oleh: Ivan Fauzani Raharja 1

Telaah Hukum Kelayakan Pemekaran Kecamatan (Studi Kasus: Pemekaran Calon Kecamatan Danau Kerinci Barat Kabupaten Kerinci) Oleh: Ivan Fauzani Raharja 1 Telaah Hukum Kelayakan Pemekaran Kecamatan (Studi Kasus: Pemekaran Calon Kecamatan Danau Kerinci Barat Kabupaten Kerinci) Oleh: Ivan Fauzani Raharja 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang. berbunyi:.daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang. berbunyi:.daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak kebijakan otonomi daerah di Indonesia dicanangkan banyak daerahdaerah yang cenderung untuk melaksanakan pemekaran wilayah. Peluang secara normatif untuk melakukan

Lebih terperinci

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun Pemekaran Wilayah Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PP 129/2000, PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PP 129/2000, PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH Copyright (C) 2000 BPHN PP 129/2000, PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH *38263 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 129 TAHUN 2000 (129/2000)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada tanggal 1 januari 2001, pemekaran daerah kabupaten dan kota dan juga propinsi menjadi suatu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Teori Tata Ruang 1. Teori Konsentris (Concentric Theory) Teori konsentris dari Ernest W. Burgess, seorang sosiolog beraliran human ecology, merupakan hasil penelitian Kota

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/DPD RI/I/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/DPD RI/I/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 7/DPD RI/I/2013-2014 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP ASPIRASI MASYARAKAT DAN DAERAH PEMBENTUKAN KABUPATEN TAYAN SEBAGAI

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR... TAHUN... TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 26/DPD RI/II/2013-2014 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP ASPIRASI MASYARAKAT DAN DAERAH PEMBENTUKAN KOTA SEBATIK SEBAGAI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 129 TAHUN 2000 (129/2000) TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: PP 78-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 233, 2000 OTONOMI.Pemerintahan.Pemerintah Daerah.Pembentukan.Penghapusan. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KOTA SURAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURAKARTA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini memaparkan sejarah dan kondisi daerah pemekaran yang terjadi di Indonesia khususnya Kota Sungai Penuh. Menguraikan tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini memilih lokasi di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Pertimbangan dipilihnya daerah ini sebagai studi kasus karena Kota Tangerang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.244, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Otonomi. Pemilihan. Kepala Daerah. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah Deddy Supriady Bratakusumah * Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 01 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa batas desa

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2016

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KOTA PEKALONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian awal dari penelitian. Pendahuluan adalah awal suatu cara untuk mengetahui suatu masalah dengan cara mengumpulkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN UMUM

BAB II KETENTUAN UMUM BAB II KETENTUAN UMUM 2.1. Pengertian Umum Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor B A B BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini bangsa Indonesia menghadapi situasi yang selalu berubah dengan cepat, tidak terduga dan saling terkait satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi di dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Otonomi daerah dan desentralisasi memiliki kaitan erat dengan pemekaran wilayah. Kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2016

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2016 WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KOTA PEKANBARU PEMERINTAH KOTA PEKANBARU TAHUN 2016 1 WALIKOTA

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PENGUATAN KELEMBAGAAN KPH SEBAGAI PENGELOLA KAWASAN HUTAN DI TINGKAT TAPAK YANG MANDIRI Drs. H. Slamet, M.Si KASUBDIT WILAYAH IV DIREKTORAT FASILITASI KELEMBAGAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 27/DPD RI/II/2013-2014 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP ASPIRASI MASYARAKAT DAN DAERAH PEMBENTUKAN KABUPATEN CIBALIUNG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari organisasi tingkat atas kepada tingkat bawahnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan Otonomi Dacrah secara berdayaguna

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan data dipersiapkan dalam rangka upaya untuk mencapai tujuan dan ciri perjuangan nasional dengan mengkaji dan memperhitungkan implikasinya dalam berbagai

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA - 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DENGAN TITIK BERAT PADA DAERAH TINGKAT II PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan dikatakan sukses apabila kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan dikatakan sukses apabila kesejahteraan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dilaksanakan dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dikatakan sukses apabila kesejahteraan masyarakat tercapai dan sebaliknya pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada kenyataannya, otonomi daerah tidak bisa diserahkan begitu saja pada pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 54 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kelayakan Pembentukan Kabupaten Mamasa 5.1.1 Analisis Kelayakan Pembentukan Kab. Mamasa Berdasarkan Syarat Teknis PP. No. 78 Tahun 2007 Pembentukan daerah otonom

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN DESA DAN PADUKUHAN, DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOM0R : 10 TAHUN : 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. b. BUPATI BOGOR, bahwa sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA ATAU KELURAHAN, PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DAN PEMEKARAN KELURAHAN MENJADI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG POLA PENGEMBANGAN TRANSPORTASI WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 9 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEPADA PEMERINTAH, LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN 2004 SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract:In order to establish the local autonomy government, the integration

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH SALINAN WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN KELURAHAN SERTA PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 NOMOR 1 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 39 Tahun : 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 39 Tahun : 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 39 Tahun : 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

Lebih terperinci