PERBEDAAN HARGA DIRI LAKI-LAKI HETEROSEKSUAL DAN HOMOSEKSUAL DI KOTA BESAR INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBEDAAN HARGA DIRI LAKI-LAKI HETEROSEKSUAL DAN HOMOSEKSUAL DI KOTA BESAR INDONESIA"

Transkripsi

1 PERBEDAAN HARGA DIRI LAKI-LAKI HETEROSEKSUAL DAN HOMOSEKSUAL DI KOTA BESAR INDONESIA Ezra Ollyn, Erida Rusli, Aries Yulianto Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Abstrak Keberadaan homoseksual di Indonesia masih belum dapat diterima. Masyarakat masih menganggap homoseksual sebagai sebuah gangguan. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih enggan bertetangga dengan kaum homoseksual. Bentuk penolakan terhadap kaum homoseksual ini, jika diinternalisasi dapat memberikan dampak negatif bagi harga diri individu homoseksual. Padahal harga diri merupakan komponen esensial bagi kesehatan mental seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan harga diri laki-laki heteroseksual dan homoseksual di Indonesia. Peneliti menduga bahwa harga diri laki-laki homoseksual lebih rendah dibandingkan laki-laki heteroseksual. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Partisipan penelitian ini adalah laki-laki heteroseksual dan homoseksual yang berusia antara tahun. Harga diri diukur dengan menggunakan Coopersmith Self Esteem Inventory. Sesuai dengan dugaan peneliti sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki homoseksual memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan laki-laki heteroseksual. Kata kunci: heteroseksual, homoseksual, harga diri, laki-laki Abstract The presence of homosexuals in Indonesia is still not acceptable. Society still regards homosexuality as a disorder. Survey shows that most people are still reluctant to neighboring Indonesia homosexuals. Form rejection of homosexuals, if internalized can adversely affect self-esteem individuals homseksual. Whereas self-esteem is an essential component for one's mental health. This study aimed to see differences in self-esteem in heterosexual men and homosexual in Indonesia. Researchers hypothize that self-esteem among homosexual men is lower than heterosexual men. The participants in this study were heterosexual men and homosexual between the ages of years. Self-esteem was measured using the Coopersmith Self Esteem Inventory. In accordance with previous investigators alleged, the results showed that homosexual men have a lower self-esteem than heterosexual men. Keywords: homosexual, heterosexual, self esteem, male PENDAHULUAN Mencintai dan dicintai merupakan hak setiap orang, termasuk mencintai dan dicintai seseorang yang berasal dari jenis kelamin yang sama, seperti yang dialami oleh kaum homoseksual. Homoseksual merupakan salah satu bentuk variasi dari orientasi seksual.

2 Homoseksual dapat diartikan sebagai ketertarikan fisik, emosi dan afeksi yang ditujukan pada orang yang berasal dari jenis kelamin yang sama (Papalia, Olds & Feldman 2007). Terlahir sebagai seorang homoseksual bukanlah pilihan. Tidak ada yang ingin terlahir sebagai orang yang berbeda dari orang lain pada umumnya. Homoseksual menjadi sebuah perbedaan karena heteroseksual (ketertarikan fisik, emosi dan afeksi yang ditujukan pada orang dari jenis kelamin yang berbeda) adalah orientasi seksual yang dianggap benar dan dapat diterima oleh sebagian besar orang (Greene & Croom, 2000). Masyarakat dunia memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap homoseksual. Hampir sebagaian besar negara barat sudah mengakui dan menerima keberadaan homoseksual. Hal ini disebabkan negara-negara barat yang sangat menjunjung hak asasi manusia, semakin terbukanya kaum homoseksual terhadap seksualitasnya dan juga semakin banyak orang yang memperjuangkan hak-hak homoseksual. Bahkan Perserikatan Bangsa- Bangsa sudah menyatakan bentuk dukungannya terhadap hak-hak kaum homoseksual melalui konvensi kemanusiaan di Jenewa pada bulan Juni tahun 2011, seperti yang dikutip dari situs berita online detik.com. Di negara-negara timur, keberadaan homoseksual belum diakui dan diterima secara terbuka. Belum ada negara yang membuat hukum yang jelas mengenai keberadaan homoseksual seperti yang ada di negara di barat. Hal ini disebabkan masih kuatnya nilai-nilai agama dan kondisi masyarakat di negara timur yang masih bersifat kolektif. Semua ajaran agama yang ada menolak homoseksualitas sebagai salah satu bentuk variasi dari orientasi seksual. Masyarakat yang kolektif, membuat individu yang berada dalam masyarakat tersebut berusaha untuk menjadi sama dengan kelompok masyarakat di mana dia berada. Kuatnya nilai-nilai tersebut berujung pada individu yang memilih untuk menyembunyikan orientasi seksualnya karena takut dengan penolakan masyarakat, jika orientasi seksualnya diketahui. Kaum homoseksual merupakan kelompok yang rentan dengan diskriminasi, kebencian dan perlakuan yang tidak menyenangkan terkait dengan orientasi seksual mereka. Meskipun di barat keberadaan homoseksual sudah diterima dan diakui secara terbuka, hal ini tidak membuat individu homoseksual terbebas dari dikriminasi dan perlakuan tidak menyenangkan terhadap homoseksual, terutama perlakuan tidak menyenangkan yang disebabkan oleh ketakutan tidak beralasan terhadap homoseksual (homophobia). Bentuk perlakuan tidak menyenangkan yang diterima individu homoseksual berwujud ancaman, kekerasan verbal, kekerasan fisik, pengrusakan, bahkan pembunuhan. Berbagai bentuk kebencian dan perlakuan tidak menyenangkan terhadap individu homoseksual, jika diinternalisasi dapat menyebabkan penurunan self esteem (harga diri) pada individu tersebut (Greene & Croom, 2000). Harga diri

3 merupakan penilaian personal seseorang tentang keberhargaan dirinya dan ditunjukkan melalui caranya memperlakukan diri sendiri (Coopersmith, 1967 dalam Heatherton & Wyland tahun?). Hal ini menjadi penting karena harga diri merupakan komponen esensial bagi kesehatan mental setiap orang (Haris, 2009). Artinya, tinggi atau rendahnya harga diri seseorang, dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan mental orang tersebut. Harga diri menjadi kebutuhan dasar setiap orang, baik untuk individu heteroseksual maupun individu homoseksual. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan harga diri seperti membantu orang lain, beramal, berprestasi dan banyak lagi contoh-contoh lainnya (Schimel, 2004). Ketika seseorang melakukan perbuatan yang positif seperti menolong orang lain, orang tersebut didorong oleh keinginan untuk menunjukkan bahwa dirinya ada dan merupakan bagian dari sebuah kelompok dan ingin diterima di dalam kelompok di mana dia berada. Sama halnya dengan berprestasi. Ketika seseorang berprestasi orang tersebut ingin menunjukkan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan dalam suatu bidang. Hal ini sesuai dengan pendapat Coopersmith (dalam Robson, 1988) yang menyatakan bahwa penerimaan dari orang-orang di sekitar dan keyakinan individu akan kemampuannya merupakan aspek yang turut menyusun harga diri. Di Indonesia, heteroseksual merupakan satu-satunya bentuk orientasi seksual yang dapat diterima. Kaum homoseksual masih terus berusaha untuk mendapatkan tempat di masyarakat sekaligus berjuang untuk membuka orientasi seksualnya kepada publik yang masih memberikan label negatif terhadap orientasi seksual mereka (Rahardjo, 2007). Homoseksual dianggap sebagai dosa, aneh, ketidaknormalan dan sebuah penyimpangan (Mulyani, Juanda, D. Febi, S. Agus, 2009). Survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia, menunjukkan bahwa 65% masyarakat Indonesia merasa tidak nyaman bertetangga dengan kaum homoseksual (seperti yang dikutp dari situs berita m.beritasatu.com). Menjadi laki-laki homoseksual berarti menjadi laki-laki yang gagal (Diaz, 1998; Marin & Gomez, 1997 dalam O Donnell et al, 2002). Seorang laki-laki yang menyukai lakilaki lainnya bertentangan dengan anggapan tradisional yang selama ini berlaku berkaitan dengan peran gender (Greene & Croom, 2000). Perempuanlah yang seharusnya tertarik dengan laki-laki. Laki-laki yang tertarik dengan laki-laki lainnya akan menjadi sasaran kebencian dikarenakan selama ini laki-laki dan hal yang dilakukannya jauh lebih dihargai dibandingkan perempuan (Bem, 1993; Blumenfeld & Raymond, 1988; Herek, 1993 dalam Greene, 2000). Tidak ada seorangpun yang ingin menjadi seorang homoseksual dan menjadi bagian dari kelompok yang mempunyai stigma di masyarakat. Sikap masyarakat yang pada

4 umumnya menolak homoseksualitas, membuat kaum homoseksual mencari dukungan sosial dari tempat lain. Dukungan tersebut diperoleh dari sesama homoseksual, komunitas homoseksual ataupun di tempat-tempat yang menjadi tempat berkumpulnya kaum homoseksual seperti gay bar, spa ataupun pusat kebugaran. Di tempat-tempat tersebut individu homoseksual dapat menjadi dirinya sendiri. Dia dapat menunjukkan identitas seksualnya tanpa khawatir akan adanya penolakan atau perlakuan tidak menyenangkan. Di tempat tersebut, individu homoseksual juga dapat menjalin hubungan pertemanan, hubungan romantis ataupun hanya sekedar kasual seks. Dengan begitu kehidupan sosialnya tetap berjalan dan kesehatan psikologis mereka tetap terjaga. Penelitian menunjukkan bahwa homoseksual yang bergaul dengan homoseksual lainnya lebih sehat secara psikologis dibandingkan dengan mereka yang tidak terhubung dengan homoseksual lainnya. Meskipun demikian, tidak semua individu homoseksual mau bergabung dengan komunitas homoseksual ataupun mendatangi tempat-tempat berkumpulnya kaum homoseksual. Sebagian bahkan lebih memilih untuk menghindari tempat-tempat tersebut dan memillih gaya hidup laki-laki heteroseksual (Paul, Weinrich, Gonsiorek & Hotvedt, 1982). Pada dasarnya harga diri cenderung stabil dari waktu ke waktu (Heatherton & Wyland). Jika seorang laki-laki memiliki harga diri tinggi pada saat dia masih remaja, maka saat dewasa, dia juga akan memiliki harga diri yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa remaja dari kelompok seksual minoritas (homoseksual) memiliki harga diri yang rendah. Itu artinya, pada saat dia dewasa dia akan memiliki harga diri yang rendah juga.melihat kondisikondisi yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti tertatrik untuk melihat bagaimana kondisi harga diri laki-laki homoseksual yang ada indonesia. Di barat, kelompok seksual minoritas (homoseksual) memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan heteroseksual. Hal ini disebabkan oleh berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang diterima oleh kaum homoseksual kemudian diinternalisasi. Padahal sikap masyarakat sudah menerima dan mengakui keberadaan homoseksual. Di indonesia, keberadaan homoseksual belum diakui dan diterima secara terbuka. Belum ada hukum yang mengatur keberadaan homoseksual di tengah masyarakat. Menyatakan diri sebagai homoseksual dapat memunculkan diskriminasi dan juga perlakuan tidak menyenangkan. Meskipun banyak penelitian di barat menunjukkan bahwa individu homoseksual memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan individu heteroseksual, hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada individu homoseksual yang memiliki harga diri yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan penilaian orang tersebut terhadap dirinya dan penerimaan orangorang di sekitarnya. Individu yang sudah dapat menerima orientasi seksualnya dapat menilai

5 dirinya dengan positif dan memperlakukan dirinya dengan positif sesuai dengan penilaian yang dia buat terhadap dirinya, sehingga memberikan dampak yang juga positif bagi harga diri orang tersebut. Individu homoseksual yang memiliki sikap positif terhadap dirinya, dapat kita lihat dalam sosok Dede Oetomo, aktivis homoseksual dan pendiri organisasi yang menaungi kelompok homoseksual terbesar di Indonesia. Dede merupakan dosen di Universitas Airlangga, secara terbuka menyatakan dirinya sebagai homoseksual kepada publik, bahkan menjadi seorang narasumber di sebuah acara di televisi swasta yang sedang membahas topik mengenai homoseksualitas. Di sini dapat terlihat bahwa Dede sudah menerima seksualitasnya dan tidak melihat hal itu merupakan sesuatu yang perlu disembunyikan, seperti yang dilakukan kaum homoseksual pada umumnya. Dia dapat menilai dan memperlakukan dirinya dengan cara yang positif, meskipun dia homoseksual. Selain penilaian positif terhadap diri sendiri, penerimaan dari orang-orang di sekitar, merupakan faktor yang signifikan terhadap perkembangan harga diri seseorang. Bagi kaum homoseksual, diterima oleh orang di sekitar, terutama keluarga merupakan hal yang sulit terjadi. Ketika keluarga dapat menerima keberadaan individu homoseksual di tengah mereka, maka hal ini dapat meningkatkan harga diri individu tersebut. Dengan perbedaan sikap masyarakat terhadap homoseksual di barat dan Indonesia, di mana masyarakat di Indonesia lebih diskriminatif dibandingkan dengan di barat, peneliti menduga bahwa laki-laki homoseksual memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan laki-laki heteroseksual. Untuk melihat perbedaan harga diri antara laki-laki heteroseksual dan homoseksual, peneliti menggunakan Self Esteem Inventory Coopersmith yang telah diadaptasi oleh Laili Kurnia (2012). TINJAUAN TEORITIS Self Esteem (Harga Diri) Self esteem (harga diri) adalah aspek evaluatif dari konsep diri yang berhubungan dengan cara memandang diri secara menyeluruh sebagai sosok yang berharga atau tidak berharga (Baumeister, 1998 dalam Heatherton & Wyland, 2003). Teori ini mendukung teori sebelumnya yang dibuat oleh Coopersmith (1967) yang menyatakan bahwa Self esteem adalah penilaian personal seseorang tentang keberhargaan dirinya dan ditunjukkan melalui caranya memperlakukan diri sendiri (Coopersmith, 1967 dalam Heatherton & Wyland 2003). Meskipun harga diri berhubungan dengan konsep diri, kedua konsep ini merupakan hal yang berbeda dan penggunaannya sering tertukar. Konsep diri adalah keseluruhan hal

6 yang diketahui individu tentang dirinya, sedangkan harga diri merupakan respon emosional saat seseorang merenungkan dan mengevaluasi hal-hal yang ada pada dirinya. Harga diri adalah bentuk proteksi diri karena berkurangnya harga diri dapat menyebabkan perasaan tertekan pada individu. Berbagai perilaku manusia seperti altruisme dan agresi, cinta dan benci, konformitas dan menyimpang dilakukan sebagai usaha individu untuk melihat dirinya sebagai orang yang berharga (Schimel, 2004). Harga diri pada laki-laki dihubungkan dengan perjuangan untuk meraih pencapaian pribadi (Thorne & Michaelieu, 1996 dalam Papalia, Olds & Feldman 2007). Menurut Coopersmith (dalam Robson, 1988) ada 4 komponen penyusun harga diri, yaitu: power, significance, virtue, dan competence. Power adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi dan mengendalikan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan dirinya dan ditunjukkan dengan adanya pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Significance adalah penerimaan yang diberikan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Penerimaan dapat berwujud seperti sikap yang hangat, didengarkan diperhatikan dan disukai sebagaimana adanya kita. Semakin seseorang merasakan bahwa dia diterima oleh orang-orang di sekelilingnya, maka semakin ia merasakan bahwa dirinya berharga. Virtue merupakan keterkaitan individu dengan nilai-nilai tertentu dalam hidupnya, seperti nilai-nilai agama, moral dan etika. Dengan memenuhi nilai-nilai tersebut, maka individu akan menginternalisasi sikap positif terhadap dirinya. Competence adalah saat di mana individu dapat menunjukkan bahwa dirinya mampu dan dapat berprestasi, sehingga hal itu meningkatkan keberhargaan dirinya. Menurut Coopersmith (1967, 1981 dalam Harris 2009) ada 4 faktor utama yang penting dalam perkembangan harga diri, yaitu penerimaan dan perlakuan yang didapat dari orang-orang terdekat, kesuksesan di masa lalu, interaksi nilai-nilai dan keyakinan individu dengan pengalamannya, serta bagaimana seseorang berespon terhadap berkurangnya nilai atau status individu Self Esteem dan Orientasi Seksual Kelompok seksual minoritas (homoseksual) merupakan kelompok yang paling rentan dengan diskriminasi (Levine, 1979), stigma, dan kekerasan. Kekerasan terhadap kaum homoseksual meliputi kekerasan fisik, ancaman, pembakaran rumah, bahkan pembunuhan (Greene & Croom, 2000). Jika berlangsung terus-menerus dan diinternalisasi maka akan menimbulkan efek yang negatif pada self esteem (harga diri) dan menyebabkan stres psikologis. Inilah yang menjadi penyebab, kenapa harga diri kelompok seksual minoritas

7 lebih rendah dari pada kelompok heteroseksual. Heteroseksual tidak mengalami perlakuan tidak menyenangkan terkait orientasi seksual mereka. Harga diri diidentifikasi sebagai salah satu variabel penyesuaian diri yang sering menjadi perhatian pada kelompok seksual minoritas. Para ahli menemukan bahwa kelompok seksual minoritas secara konsisten memiliki harga diri yang rendah jika dibandingkan dengan heteroseksual (Boxer et al., 1999; Galliher et. al., 2004; Rosario, Rotheram-Borus & Reid, 1996 dalam Jones, 2011). Keterbukaan seseorang terhadap oreintasi seksualnya menunjukkan bahwa orang tersebut sudah dapat menerima orientasi seksualnya. Terdapat korelasi yang positif antara keterbukaan individu terhadap orientasi seksualnya dengan harga diri individu tersebut (Greene & Croom, 2000). Orientasi Seksual Orientasi seksual adalah ketertarikan emosi, seksual, afeksi dan afeksi yang ditunjukkan secara konsisten pada gender yang berbeda dengan dirinya (heteroseksual), pada gender yang sama dengan dirinya (homoseksual), tertarik pada kedua gender (biseksual) (Papalia, Olds & Feldman 2007). Para ahli masih memperdebatkan kenapa seseorang memiliki orientasi seksual tertentu. Faktor biologis dan interaksi sosial dianggap sebagai faktor yang paling menjelaskan hal tersebut. Kinsey (dalam Hyde, 1990) merumuskan bahwa homoseksual dan heteroseksual bukanlah sebuah dikotomi yang terpisah, melainkan sebuah kontinuum. Kontinuum ini dibuat berdasarkan pengalaman dengan perilaku homoseksual. Kinsey mengkonstruksikan skala 0 (exclusively heterosexual) sampai 6 (exclusively homosexual) untuk menggambarkan orientasi seksual seseorang berdasarkan pengalaman seksual seseorang dengan orang yang berasal dari gender yang sama ataupun orang yang berasal dari gender yang berbeda, dengan nilai tengah 3 untuk orang-orang yang memiliki pengalaman homoseksual dan heteroseksual dengan jumlah yang seimbang. Dapat dikatakan bahwa orang yang berada pada skala nilai 3 pada kontinuum yang dibuat oleh Kinsey mengalami pengalaman seksual dengan orang yang berasal dari kedua gender. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Kinsey, 2% perempuan dan 4% laki-laki merupakan homoseksual. Homoseksual sendiri terbagi menjadi dua jenis. Homoseksual pria dikenal dengan istilah gay, sedangkan homoseksual wanita dikenal dengan istilah lesbian. Heteroseksual dan Homoseksual Meskipun sudah ada yang membuktikan bahwa orientasi seksual adalah sebuah kontinuum, bagi banyak orang homoseksualitas dan heteroseksualitas masih dilihat sebagai

8 sebuah dikotomi. Heteroseksual dianggap sebagai hasil perkembangan psikoseksual yang sehat, sedangkan homoseksual adalah sebuah penyimpangan patologis. Jika dilihat lebih jauh, hubungan heteroseksual dan homoseksual memiliki persamaan dalam banyak hal. Contohnya seperti kesamaan tahapan yang sama dalam perkembangan hubungan mereka (Clunis & Green, 1988; Kurdek, 1987, 1995; Kurdek & Schimitt, 1986; McWhirter & Mattison, 1984 dalam Greene & Croom, 2000). Pasangan homoseksual melalui tahapan yang sama, yang juga dilalui oleh pasangan heteroseksual ketika membentuk sebuah hubungan. Konflik yang dialami oleh pasangan heteroseksual juga dialami oleh pasangan homoseksual, seperti masalah keuangan atau karir yang mengganggu kenyamanan dalam hubungan antar pasangan (Blumenstein & Schwartz, 1983 dalam Greene & Croom, 2000). Salah satu stereotip yang melekat pada homoseksual adalah adanya pembagian peran seperti pada pasangan heteroseksual. Pada pasangan gay salah satu akan diasumsikan memainkan peran dominan atau peran yang memainkan sosok maskulin (laki-laki), sedangkan yang lainnya akan memainkan peran submisif atau peran feminim (perempuan). Pada pasangan lesbian, salah satu akan memainkan peran sebagai laki-laki (butch), sedangkan yang lainnya akan memainkan peran wanita (femme). Dalam perilaku seksual, beberapa orang percaya bahwa individu yang melakukan penetrasi dalam suatu hubungan memainkan peran yang aktif dalam aktivitas seksual (maskulin). Sedangkan individu yang dipenetrasi memainkkan peran pasif (feminin). Meskipun ini terjadi secara luas, faktanya pembagian peran maskulin dan feminim bukanlah sesuatu yang khas pada hubungan homoseksual (Hyde, 1990). Green dan rekan menggambarkan individu homoseksual sebagai sosok yang lebih androgini dan lebih sedikit dipengaruhi oleh peran gender tradisional. Individu tersebut memiliki sisi maskulin dan feminin yang seimbang dalam berhubungan dengan pasangannya. Pasangan homoseksual membagi peran dan tanggung jawab dengan seimbang dan tidak terpengaruh oleh pembagian peran gender tradisional seperti yang terjadi pada pasangan heteroseksual. Dewasa Muda Pada masa terjadi perubahan penting pada setiap individu. Perubahan itu meliputi aspek fisik, kognitif dan sosial. Pada usia ini kondisi fisik berada pada puncaknya. Kondisi ini dimulai sekitar usia 20an hingga usia 50an. Ketika individu menginjak usia 50, kondisi fisik perlahan-lahan menurun. Pada aspek sosial, individu berada dalam tahapan perkembangan, intimacy vs isolation (Erikson, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007). Individu harus mengembangkan hubungan intim dan membuat komitmen. Jika gagal, individu akan mengalami kesendirian dan tenggelam dengan dirinya sendiri. Keberadaan orang lain seperti

9 teman, keluarga atau kekasih yang selalu memberikan dukungan merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh positif bagi harga diri (Coopersmith, 1967 dalam Haris, 2009) Para ahli ilmu Psikologi merumuskan tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh dewasa muda, agar dapat beradaptasi dengan tahapan kehidupan yang sedang dilaluinya, yaitu: menyelesaikan pendidikan dan meninggalkan rumah orangtua untuk melanjutkan pendidikan, memasuki dunia kerja atau bergabung dalam militer, mandiri secara finansial, mengembangkan hubungan baru dan lebih akrab dalam pertemanan ataupun hubungan romantis, mengembangkan rasa percaya pada kemampuan diri sendiri dan individuasi (dapat berdiri sebagai pribadi yang mandiri dan percaya kepada diri sendiri). Isu-isu yang harus dihadapi individu homoseksual terkait tugas perkembangannya itu adalah apakah dia akan melakukan coming out atau tidak, menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak, reaksi terhadap diskriminasi, dan hubungan dengan keluarga (Greene & Croom, 2000). METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, kuantitatif dengan menggunakan cross sectional study design. Teknik pengambilan sampel adalah non probability sampling, yaitu snowball untuk subyek homoseksual dan accidental sampling untuk subyek heteroseksual. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner online. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Copersmith Self Esteem Inventory yang telah diadaptasi oleh Laili Kurnia (2012). Nilai reliabilitas alat ukur ini adalah 0,97. Untuk melihat apakah harga diri laki-laki homoseksual lebih rendah dibandingkan harga diri laki-laki heteroseksual maka peneliti membandingkan mean dua kelompok tersebut dengan menggunakan independent sample t-test. Analisis statistik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS for Windows HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Partisipan Jumlah partisipan sebanyak 120 orang, namun hanya 104 partisipan yang datanya dapat diolah lebih jauh, terdiri dari 52 laki-laki heteroseksual dan 52 laki-laki homoseksual yang berada pada usia dewasa muda (20-40 tahun).

10 Pekerjaan yang paling banyak digeluti oleh partisipan adalah karyawan, sebanyak 49 orang (47,11%). Partisipan mahasiswa meliputi mahasiswa S1 dan mahasiswa S2, sedangkan pekerjaan adalah freelance, konsultan, model, akuntan, wedding singer, designer, seni, dan sedang mencari/tidak bekerja. Sebagian besar partisipan (55,9%) telah menempuh jenjang Strata 1. Dilihat dari status pernikahan, terdapat 3 orang partisipan heteroseksual yang telah menikah, sedangkan dari kelompok homoseksual semuanya berstatus lajang. Gambaran Umum Self Esteem Sebagian besar partisipan memiliki self esteem kategori tinggi. Jika dilihat berdasarkan kelompok orientasi seksual, sebagian besar (92,3%) dari kelompok heteroseksual termasuk dalam self esteem kategori tinggi, hanya 7,7% yang termasuk self esteem kategori rendah. Pada kelompok homoseksual 38,5% partisipan termasuk dalam self esteem kategori rendah, sedangkan yang berada pada kategori tinggi sebanyak 61,5%. Dapat dikatakan bahwa subyek heteroseksual memiliki harga diri yang lebih tinggi. Rata-rata self esteem pada kelompok heteroseksual sebesar 123,42 (SD=17,255), sedangkan untuk kelompok homoseksual sebesar 108,98 (SD=21,790). Dengan nilai SD yang lebih besar, dapat dikatakan bahwa skor self esteem pada kelompok homoseksual lebih bervariasi dibandingkan pada kelompok heteroseksual. Uji Hipotesis Harga diri laki-laki dewasa muda homoseksual lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan laki-laki dewasa muda heteroseksual (t= 0,000, p<0,05). Dengan demikian, H0 ditolak. Peneliti juga berusaha untuk melihat apakah terdapat perbedaan mean berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan. Hasil yang didapatkan adalah, tidak ada perbedaan mean pada dua kelompok berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan KESIMPULAN Berdasarkan rumusan permasalahan utama, maka dapat disimpulkan bahwa harga diri laki-laki dewasa muda homoseksual lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dewasa muda heteroseksual. Selain membedakan harga diri berdasarkan orientasi seksual, peneliti juga melakukan analisis terhadap perbadaan harga diri berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan pada dua kelompok orientasi seksual. Hasil yang didapat adalah pendidikan dan pekerjaan tidak menghasilkan perbedaan pada dua kelompok orientasi seksual.

11 Diskusi Homoseksual merupakan orientasi seksual yang masih belum dapat diterima di sebagian besar budaya di dunia. Homoseksual dianggap sebagai penyimpangan patologis dari norma yang berlaku. Jika laki-laki menyukai laki-laki lainnya, maka hal ini bertentangan dengan anggapan tradisional yang selama ini berlaku berkaitan dengan peran gender (Greene, 2000). Perempuanlah yang seharusnya menyukai laki-laki. Selain penolakan, kaum homoseksual menerima perlakuan tidak menyenangkan berupa kekerasan verbal, fisik, ancaman, pengrusakan bahkan pembunuhan. Jika hal ini berlangsung terus-menerus dan diinternalisasi maka akan menimbulkan efek yang besar pada self esteem (harga diri) dan menyebabkan stres psikologis. Penelitian di barat menunjukkan bahwa kelompok seksual minoritas (homoseksual) memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan kelompok heteroseksual. Peneliti ingin melihat apakah hasil penelitian tersebut juga berlaku di Indonesia, oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti hal tersebut. Hasil yang didapatkan peneliti sama seperti penelitian yang telah dilakukan di barat sebelumnya. Peneliti melihat adanya beberapa kondisi yang sama yang dialami oleh kaum homoseksual di Indonesia sama dengan kondisi yang terdapat pada penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti tentang kaum homoseksual di barat, sehingga didapatkan hasil yang serupa. Di Amerika dan negara barat lainnya, sikap masyarakat sudah lebih terbuka dan menerima keberadaan kaum homoseksual (Papalia, olds & Feldman, 2007). Hukum yang mengatur tentang keberadaan homoseksual sudah diatur dan disahkan dalam undang-undang. Hal ini disebabkan semakin terbukanya kaum homoseksual dengan orientasi mereka dan semakin banyaknya pergerakan yang mendukung hak-hak kaum homoseksual sebagai bagian dari hak asasi manusia, sehingga semakin banyak orang yang perduli dengan hak-hak kaum homoseksual. Sikap yang lebih terbuka tersebut tidak serta merta membuat perlakuan tidak menyenangkan terhadap kelompok homoseksual menurun, terutama perlakuan tidak yang menyenangkan berdasarkan ketakutan tidak beralasan terhadap kaum homoseksual (homophobia). Perlakuan yang tidak menyenangkan tersebut kemudian diinternalisasi oleh individu homoseksual yang kemudian berdampak pada harga diri. Di Indonesia masyarakat masih belum dapat menerima adanya jenis orientasi seksual yang lain, selain heteroseksual (Mulyani, Juanda, Febi, & Agus, 2009). Homoseksual masih dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Hal ini didukung dengan kuatnya norma agama di Indonesia, di mana ajaranajaran agama yang berlaku di Indonesia mengutuk homoseksualitas. Hal ini terlihat dari

12 sebuah organisasi agama tertentu yang secara frontal melakukan intervensi pada sebuah kegiatan yang mengusung tema homoseksualitas. Dengan adanya kondisi di barat yang sudah lebih menerima homoseksualitas namun perilaku tidak menyenangkan terhadap individu homoseksual masih tetap terjadi sehingga menyebabkan harga diri yang rendah pada kelompok orientasi seksual minoritas, tentunya harga diri individu homoseksual yang ada di Indonesia lebih rendah dibandingkan individu heteroseksual. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang lebih diskriminan ketika menyikapi homoseksual. Kondisi tersebut dapat dilihat dari skor harga diri laki-laki homoseksual kategori rendah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki heteroseksual. Tugas perkembangan dewasa muda adalah membangun hubungan yang intim dengan seseorang. Hal ini kemudian menjadi sulit bagi kaum homoseksual. Menjadi homoseksual tidak mudah karena di satu sisi harus memenuhi harapan sosial untuk membangun hubungan dalam pernikahan seperti orang-orang pada umumnya, di sisi lain homoseksual merupakan orientasi seksual yang bertentangan dengan harapan sosial masyarakat dan mendatangkan hukuman sosial (Hammersmith dan Weinberg, 1973). Pasangan homoseksual tidak mendapat dukungan dari masyarakat untuk membangun hubungannya, padahal penerimaan dari orangorang di sekitar memberikan pengaruh bagi perkembangan harga diri. Tidak seperti laki-laki homoseksual, laki-laki heteroseksual dapat menyelesaikan tugas perkembangannya untuk membangun hubungan yang intim sesuai dengan harapan masyarakat. Selain itu, Mimpi akan seorang anak laki-laki yang akan mempunyai keturunan dan meneruskan nama keluarganya akan hancur ketika dia membuka identitas dirinya. Pengakuan tersebut juga akan membuat jarak antara anak dan orangtuanya, jika orangtua tersebut tidak dapat menerima orientasi seksual anaknya (Willoughby dkk, 2006 dalam Aceves, 2008) Berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti tidak menemukan adanya perbedaan mean pada dua kelompok berdasarkan pendidikan dan pekerjaan. Tingkat pendidikan dan bidang pekerjaan pada dua kelompok juga memiliki frekuensi yang tidak jauh berbeda pada setiap kategorinya. Peneliti ingin membahas hal tersebut karena pendidikan dan pekerjaan juga merupakan tugas perkembangan pada usia dewasa muda. Selain itu pendidikan dan pekerjaan juga merupakan salah satu bagian dari pencapaian, di mana harga diri laki-laki dibangun berdasarkan pencapaian yang dibuatnya. Pada bidang pekerjaan, kaum homoseksual memiliki penghasilan lebih rendah dibanding kaum heteroseksual. Hal ini disebabkan oleh profesi yang dipilih oleh kaum homoseksual adalah profesi yang lebih didominasi perempuan. Pemilihan ini dilakukan untuk menghindari diskriminasi karena orientasi seksual (Barret,

13 Pollack, Tilden, 2002). Penelitian tersebut berbeda dengan hasil yang didapat oleh peneliti. Hasil yang didapatkan oleh peneliti, pekerjaan tidak memberikan pengaruh terhadap harga diri pada dua kelompok. Hal ini disebabkan pemilihan bidang pekerjaan pada dua kelompok yang tidak jauh berbeda. Selain itu, subyek homoseksual dalam penelitian ini tidak memiliki profesi yang didominasi oleh wanita. Profesi pada dua kelompok subyek sifatnya netral, dapat ditekuni baik laki-laki ataupun perempuan. Pada bidang pendidikan, kaum homoseksual termasuk dalam kelompok overachiever. Kaum homoseksual akan menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya. Menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya dilakukan karena tiga alasan. Pertama, mereka tidak ingin menjadi bagian dari kelompok pekerja kerah biru. Kedua, lingkungan kampus yang terasa lebih nyaman dibandingkan dengan lingkungan kerja. Ketiga, untuk menyeimbangkan efek yang mungkin ditimbulkan oleh homophobia. Hasil yang didapatkan peneliti tidak sesuai dengan penelitian tersebut. Subyek homoseksual dalam penelitian ini sebagian besar tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA. Jika dibandingkan dengan kelompok subyek heteroseksual, jumlah subyek homoseksual dengan tingkat pendidikan SMA jauh lebih banyak dibandingkan subyek heteroseksual. sedangkan pada tingkat pendidikan Strata 1, jumlah subyek heteroseksual lebih banyak dibandingkan jumlah subyek homoseksual. Dapat disimpulkan bahwa kondisi yang ditemukan oleh peneliti berbeda dari hasil penelitian sebelumnya. Meskipun sebagian besar subyek homoseksual dalam penelitian ini termasuk dalam harga diri kategori rendah, masih ada subyek yang termasuk dalam harga diri kategori tinggi. Hal ini mungkin disebabkan penilaian positif individu tersebut terhadap dirinya dan penerimaan dari orang-orang di sekitar. Individu yang sudah dapat menerima seksualitasnya dapat menilai dan memperlakukan dirinya dengan positif. Hal ini peneliti temukan pada subyek homoseksual yang termasuk dalam kategori tinggi. Peneliti mewawancarai salah seorang subyek untuk mengkonfirmasi dugaan peneliti tentang hal ini. Sesuai dugaan peneliti, subyek tersebut sudah menerima keberadaan dirinya sebagai homoseksual. Orang-orang yang berada dalam lingkup pergaulannya sudah mengetahui mengenai orientasi seksualnya dan tetap menerima keberadaannya sebagai homoseksual. Saran Untuk penggunaan kuesioner online hendaknya peneliti membuat pengaturan yang mengharuskan subyek untuk menjawab setiap pertanyaan agar dapat menjawab pertanyaan selanjutnya. Hal ini untuk menghindarkan pertanyaan atau isian yang terlewat. Peneliti juga

14 harus membuat pengaturan di mana subyek yang tidak memenuhi kriteria dari segi umur (atau kriteria lainnya) tidak dapat melanjutkan mengisi kuesioner jika tidak memenuhi kriteria yang diminta. Dengan memperhatikan bahwa orientasi seksual merupakan sebuah kontinuum, masih ada kemungkinan bahwa kaum homoseksual dapat berubah menjadi heteroseksual. Hal ini memerlukan keperdulian banyak pihak untuk merubah individu homoseksual menjadi heteroseksual, mengingat bahwa individu homoseksual tidak akan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik di tengah masyarakat yang kurang toleran. Untuk individu homoseksual yang merasa bahwa orientasi seksual sudah tidak dapat berubah lagi, dapat meningkatkan harga dirinya melalui hal-hal lain seperti dengan membuat pencapaian, mencari dukungan sosial dari sesama homoseksual dan menerima diri apa adanya. Ketika seseorang dapat meningkatkan harga dirinya, maka kesejahteraan psikologisnya pun akan ikut meningkat. DAFTAR PUSTAKA Aceves, E. J. (2008). Issue That Impact Disclosure of Sexual Identity Among Gay Young Adult Men: A Qualitative Study. Long Beach: Department Of Social Work California State University. Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment (2nd ed). New Jersey: Prentice-Hall. Berita Satu. (2 Desember 2012). Komunitas Lesbian-Gay: Sumpah Pemuda Momen Untuk Hapus Diskriminasi. Diunduh dari: m.beritasatu.com/megapolitan/8000-komunitaslesbian-gay-sumpah-pemuda-momen-untuk-hapus-diskriminasi.html Crooks, R., & Baur, K. (1983). Our Sexuality (2nd ed). California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Greene, B., & Gladys L. C. (2000). Psychological Perspectives on Lesbian and Gay Issues, Volume 5: Education, research, and practice in lesbian, gay, bisexual and transgender psychology: A resource manual. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Hammersmith, S. K., & Weinberg, M. S. Homosexual Identity: Commitment, Adjustment, and Significant Others. Sociometry,36, Heatherton, T. F., Wyland, C. L. Assesing self-esteem. In S. J. Lopez & C.R. Synder (Eds.) Positive Psychology Assesment. Washington DC: American Psychological Association Hyde, J. S. (1990). Understanding Human Sexuality (fourth edition). McGraw-Hill., New York.

15 Kumar, R. (1996). Research Methodology: A Step-by-step Guide for Beginners. London: SAGE Publications. Kurdek, L. A. (2004). Are Gay and Lesbian Cohabiting Couples Really Different from Heterosexual Married Couples? Journal Of Marriage and Family, 66, Kurdek, L. A. (2005). What Do We Know About Gay And Lesbian Couples?. Current Direction in Psychological Science, 14, Kurnia, L. (2012). Hubungan Antara Self Esteem dan Compulsive Buying Pada Wanita Dewasa Muda. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tidak diterbitkan). Miracle, T. S., Miracle, A. W., & Baumeister, R. F. (2003). Human Sexuality, Meeting Your Basic Needs. New Jersey : Pearson Education, Inc. Moore, S. & Rosenthal, D (2006). Sexuality in Adolescene: Current trends. New York : Routledge. Mulyani, Sri R., Juanda, Anne M., D, Febi., S, & Agus. (2009). Tinjauan Psikososial, Agama, Hukum dan Budaya Terhadap Keberadaan Kaum Gay di Indonesia. Institut Pertanian Bogor O Donnell, L., Agronick, G., Doval, A.S., Duran, R., Myint-U, A., & Stueve, A. (2002). Ethnic and Gay Community Attachment and Sexual Risk Behaviors Among Latino Young Men Who Have Sex With Men. AIDS Education and Prevention, 14, Papalia, D.E., & Olds, S.W. (1995). Human Development (6th ed). New York: McGraw-Hill. Papalia, D. E. (2007). Human Development (10 th Ed). New York : McGraw- Hill International Edition. Paul, W., Weinrich, J. D., Gonsiorek, J. C. & Hotvedt, M. E. (1982). Homosexuality, social, psychological and biological issues. Sage Pub.Inc, Beverly Hills, California. Schimel, J. (2004). Why Do People Need Self Esteem? A Theoritical and Empirical review. Psychological Bulletin, 130,

DAFTAR PUSTAKA. American Psychological Association, C.J Patterson (1992, 1995a, 1995b)

DAFTAR PUSTAKA. American Psychological Association, C.J Patterson (1992, 1995a, 1995b) DAFTAR PUSTAKA American Psychological Association, C.J Patterson (1992, 1995a, 1995b) Atwater,E. (1983). Psychology of adjustment (2 nd ed). New Jersey: Prentice Hall, Inc Bell, R.R. (1973). Marriage and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia orientasi seksual yang umum dan diakui oleh masyarakat kebanyakan adalah heteroseksual. Namun tidak dapat dipungkiri ada sebagian kecil dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Orientasi Seksual a. Pengertian Orientasi Seksual Setiap individu memiliki suatu ketertarikan, baik secara fisik maupun emosional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

*LGBT. Medic & Psychological View. Dr.Anggia Hapsari, SpKJ

*LGBT. Medic & Psychological View. Dr.Anggia Hapsari, SpKJ *LGBT Medic & Psychological View Dr.Anggia Hapsari, SpKJ APA YANG DIPIKIRKAN ORANG DENGAN LBGT? BAGAIMANA PERGUMULAN MEREKA? *SAKIT / PENYAKIT? *PENYIMPANGAN YANG ILEGAL? *DOSA? *GAYA HIDUP AKHIR JAMAN?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas

Lebih terperinci

GAMBARAN PROFIL ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PERNIKAHAN PADA WANITA BEKERJA USIA TAHUN YANG BELUM MENIKAH. Siti Anggraini

GAMBARAN PROFIL ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PERNIKAHAN PADA WANITA BEKERJA USIA TAHUN YANG BELUM MENIKAH. Siti Anggraini GAMBARAN PROFIL ORIENTASI MASA DEPAN BIDANG PERNIKAHAN PADA WANITA BEKERJA USIA 30-40 TAHUN YANG BELUM MENIKAH Siti Anggraini Langgersari Elsari Novianti, S.Psi. M.Psi. Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial sekaligus menarik untuk didiskusikan. Di Indonesia sendiri, homoseksualitas sudah meranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika ia dilahirkan, baik ia dilahirkan sebagai orang kaya atau miskin, berkulit

BAB I PENDAHULUAN. ketika ia dilahirkan, baik ia dilahirkan sebagai orang kaya atau miskin, berkulit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tidak ada seorangpun yang dapat memilih oleh siapa dan menjadi apa ketika ia dilahirkan, baik ia dilahirkan sebagai orang kaya atau miskin, berkulit terang

Lebih terperinci

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis. BAB 2. SEKSUALITAS Apa itu Seks dan Gender? Sebelum kita melangkah ke apa itu seksualitas, pertanyaan mengenai apa itu Seks dan Gender serta istilah lain yang berkaitan dengan nya sering sekali muncul.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa keseluruhan subyek yang sedang dalam rentang usia dewasa awal mengalami tahapan pembentukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya sama dan dari bahasa Latin yaitu sex yang artinya jenis kelamin. Homoseksual biasanya dikonotasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia harus melewati tahap-tahap perkembangan di dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia harus melewati tahap-tahap perkembangan di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia harus melewati tahap-tahap perkembangan di dalam kehidupannya. Salah satu tahapan yang harus dilewati adalah masa dewasa awal. Masa dewasa awal (young

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun keluarga melalui pernikahan lalu memiliki keturunan dan terkait dengan kecenderungan seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai individu yang kompleks memiliki orientasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai individu yang kompleks memiliki orientasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai individu yang kompleks memiliki orientasi seksual dalam kehidupannya dari kecil. Orientasi seksual ada beberapa jenis yaitu heteroseksual,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia yang dipercaya Tuhan untuk hidup di dunia dan memanfaatkan segala yang ada dengan bijaksana. Seiring

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dewasa ini, fenomena homoseksualitas semakin marak. Bukan hanya di luar negeri, tetapi fenomena ini juga berlaku di Indonesia. Baik itu lesbian ataupun gay. Baik

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup yang unik, sangat berbeda dengan makhluk hidup yang lain. Pada manusia dalam memenuhi dorongan biologis atau seksnya tersebut dikendalikan

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah elemen terpenting dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu sendiri dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditariklah suatu kesimpulan yaitu : 5.1.1 Indikator kepuasan Seksual Subyek A, B dan C menyatakan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengolahan Data 4.1.A Validitas Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena menurut Azwar (1996), suatu item dikatakan valid apabila

Lebih terperinci

Seks Laki-laki dan Laki-laki, perempuan, interseks, transgender

Seks Laki-laki dan Laki-laki, perempuan, interseks, transgender Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT)- Jalan Lain Memahami Hak Minoritas Konsep tentang Seksualitas Esensialism vs Social Constructionism Memperbincangkan LGBT tak dapat dilepaskan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. sosial, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang terbentuk

BAB V KESIMPULAN. sosial, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang terbentuk BAB V KESIMPULAN Gender merupakan salah satu isu yang sangat penting dalam masalah pembangunan, terkhusus Sumber Daya Manusia di dunia. Meskipun isu ini tergolong ke dalam isu yang masih baru, gender telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN Variabel Penelitian & Definisi Operasional. (2010), variabel adalah konstrak yang diukur

BAB 3 METODE PENELITIAN Variabel Penelitian & Definisi Operasional. (2010), variabel adalah konstrak yang diukur BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian & Hipotesis 3.1.1 Variabel Penelitian & Definisi Operasional Menurut Sangadji (2010), variabel adalah konstrak yang diukur dengan berbagai macam nilai untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Duvall & Miller, 1985). Pernikahan merupakan awal terbentuknya sebuah

BAB I PENDAHULUAN. (Duvall & Miller, 1985). Pernikahan merupakan awal terbentuknya sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tujuan hidup seorang manusia (Duvall & Miller, 1985). Pernikahan merupakan awal terbentuknya sebuah keluarga (Blood & Blood,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan berpasang-pasangan antara lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan berpasang-pasangan antara lakilaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia mengakui setiap perbedaan yang ada pada diri manusia, baik itu perbedaan jenis kelamin, asal ras atau etnis, dan agama, yang pada dasarnya semua perbedaan itu

Lebih terperinci

Kata kunci: Motivasi Seksual, Mahasiswa, Pria, Perilaku Seksual, Hubungan Seks Pranikah

Kata kunci: Motivasi Seksual, Mahasiswa, Pria, Perilaku Seksual, Hubungan Seks Pranikah Studi Mengenai Motivasi Seksual Mahasiswa Pria Pada Perguruan Tinggi X di Jatinangor Karya Ilmiah Inneke Sandra Maharani (NPM. 190110070025) Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Abstrak. Motivasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan makhluk hidup lainya. Manusia memiliki kecenderungan seksual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan makhluk hidup lainya. Manusia memiliki kecenderungan seksual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainya. Manusia memiliki kecenderungan seksual atau sering dikenal dengan orientasi

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah 1 1.PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang berada pada rentang usia dewasa muda. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi sesama manusia. Manusia membutuhkan manusia lainnya sebagai pemenuhan kebutuhan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi, dan bahkan terus meningkat. Saling membenci antar etnik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. terjadi, dan bahkan terus meningkat. Saling membenci antar etnik atau saling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak Indonesia dilahirkan, konflik, perilaku kekerasan, dan diskriminasi terus terjadi, dan bahkan terus meningkat. Saling membenci antar etnik atau saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog PELATIHAN PSIKOLOGI DAN KONSELING BAGI DOSEN PEMBIMBING AKADEMIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog MAHASISWA Remaja Akhir 11 20 tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan

UKDW BAB I. Pendahuluan BAB I Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Masalah Kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender (LGBT) merupakan kelompok seksual minoritas di Indonesia yang dianggap menyimpang dan melanggar aturan agama

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai homoseksual dengan pendekatan studi fenomenologi ini, menyimpulkan dan menyarankan beberapa hal. 6.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam 119 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.1 Interaksi Dengan Anggota Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gita Annisa Rahmalia Fajriani,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gita Annisa Rahmalia Fajriani,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orientasi seksual yang lazim di masyarakat adalah heteroseksual. Akan tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa ada pula yang memiliki orientasi seksual yang berbeda,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

tersisih ", mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap

tersisih , mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap BABI PENDAHUL UAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Pada umumnya, masyarakat di Indonesia mengenal adanya 3 Jems orientasi seksual. Ketiga orientasi tersebut adalah heteroseksual, homoseksual dan biseksual.

Lebih terperinci

PERAN HARGA DIRI DALAM MEMPREDIKSI PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA AKHIR DI DKI JAKARTA. Maya Marsiana Kowira

PERAN HARGA DIRI DALAM MEMPREDIKSI PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA AKHIR DI DKI JAKARTA. Maya Marsiana Kowira PERAN HARGA DIRI DALAM MEMPREDIKSI PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA AKHIR DI DKI JAKARTA Maya Marsiana Kowira mayamarsiana@gmail.com Dosen Pembimbing: Moondore Madalina Ali, B.Sc.,M.Sc., Ph.D Binus University:

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

PERBEDAAN SELF DISCLOSURE TERHADAP PASANGAN MELALUI MEDIA FACEBOOK DI TINJAU DARI JENIS KELAMIN

PERBEDAAN SELF DISCLOSURE TERHADAP PASANGAN MELALUI MEDIA FACEBOOK DI TINJAU DARI JENIS KELAMIN PERBEDAAN SELF DISCLOSURE TERHADAP PASANGAN MELALUI MEDIA FACEBOOK DI TINJAU DARI JENIS KELAMIN Ditya Ardi Nugroho, Tri Dayakisni, dan Yuni Nurhamida Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan atau yang biasa disebut dengan komunikan.manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan atau yang biasa disebut dengan komunikan.manusia merupakan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator dengan menggunakan berbagai media dan sarana sehingga dapat diterima oleh sang penerima pesan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dari ketiga subyek, mereka memiliki persamaan dan perbedaan dalam setiap aspek yang diteliti. Khususnya dalam penelitian mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena dalam proses penelitiannya menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan yaitu : 5.1.1. Indikator Identitas Diri Menurut subjek SN dan GD memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh Indonesia, antara lain dengan adanya Peraturan Menteri Sosial No.8 / 2012 yang memasukan kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta

Karakteristik Anak Umur Jenis Kelamin Urutan anak Kepribadian Cita-cita dan tujuan. Tingkat Stres Menghadapi UN SMA Negeri SMA Swasta 44 KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu ciri yang paling sering muncul pada remaja untuk menjalani penanganan psikologisnya adalah stres. Stres pada remaja yang duduk dibangku sekolah dapat dilanda ketika mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

Fitriana Rahayu Pratiwi, Dian Ratna Sawitri. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang 50275

Fitriana Rahayu Pratiwi, Dian Ratna Sawitri. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang 50275 KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KONFLIK PERAN PEKERJAAN-KELUARGA DAN FASE PERKEMBANGAN DEWASA PADA PERAWAT WANITA DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. SOEROYO MAGELANG Fitriana Rahayu Pratiwi, Dian Ratna Sawitri

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Orientasi seksual heteroseksual merupakan orientasi seksual yang dianggap normal di kalangan masyarakat, namun seiring berkembangnya waktu muncul satu orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun Surabaya pada bulan Juli-Oktober 2012 pada pelajar SMA dan sederajat yang berusia 15-17 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjenis kelamin wanita disebut lesbian, dan homoseksual yang berjenis kelamin

BAB I PENDAHULUAN. berjenis kelamin wanita disebut lesbian, dan homoseksual yang berjenis kelamin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual dan romantik terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Homoseksual yang berjenis

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian ini. Selanjutnya juga akan dipaparkan hasil diskusi dan saran. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksual 2.1.1 Pengertian Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. manusia lainnya sebagai makhluk yang selalu digerakkan oleh keinginan-keinginan

BAB 1 : PENDAHULUAN. manusia lainnya sebagai makhluk yang selalu digerakkan oleh keinginan-keinginan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup yang unik, sangat berbeda dengan makhluk hidup yang lain. Pada manusia dalam memenuhi dorongan biologis atau seksnya tersebut dikendalikan

Lebih terperinci

Gambaran Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di SMAN 1 Tamansari Kabupaten Bogor

Gambaran Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di SMAN 1 Tamansari Kabupaten Bogor Gambaran Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di SMAN 1 Tamansari Kabupaten Bogor Warsina Wati 1), Subandi 2) Email : warsinawati104@gmail.com Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja merupakan masa perubahan dari yang semula anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja merupakan masa perubahan dari yang semula anak-anak menuju BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa perubahan dari yang semula anak-anak menuju ke arah kedewasaan. Masa ini juga sering disebut masa peralihan atau masa pencarian jati diri seseorang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai, diakui, dan sebagainya.memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai, diakui, dan sebagainya.memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia membutuhkan manusia lain dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik itu kebutuhan biologis seperti makan dan minum maupun kebutuhan psikologis, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya informasi diterima dan diakses oleh setiap orang, yang berada di belahan bumi berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi

Lebih terperinci

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S1 Psikologi Diajukan oleh : ANDRI SUCI LESTARININGRUM F 100

Lebih terperinci

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain.

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain. B A B I I L A N D A S A N T E O RI I. INTIMACY I. A. Pengertian Intimacy Kata intimacy berasal dari bahasa Latin, yaitu intimus, yang memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam (Caroll,

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci