BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
|
|
- Ivan Jayadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Kualitatif dan Kuantitatif Dalam menentukan sebuah besaran tertentu dari anomali gayaberat yang telah diperoleh, perlu adanya proses lanjutan yaitu interpretasi terhadap data tersebut. Interpretasi gayaberat secara umum dibedakan menjadi dua yaitu interpretasi kualitatif dan kuantitatif. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan mengamati data gayaberat berupa anomali Bouguer. Anomali tersebut akan memberikan hasil secara global yang masih mempunyai anomali regional dan residual. Hasil interpretasi dapat menafsirkan pengaruh anomali terhadap bentuk benda, tetapi tidak sampai memperoleh besaran matematisnya. Misal pada peta kontur anomali gayaberat diperoleh bentuk kontur tertutup maka dapat ditafsirkan sebagai struktur batuan berupa lipatan (antiklin atau sinklin). Dengan interpretasi ini dapat dilihat arah penyebaran anomali atau nilai anomali yang dihasilkan. Interpretasi kuantitatif dilakukan untuk memahami lebih dalam hasil interpretasi kualitatif dengan membuat penampang gayaberat pada peta kontur anomali. Teknik interpretasi kuantitatif mengasumsikan distribusi rapat-massa dan menghitung efek gayaberat yang diamati. Interpretasi kuantitatif pada penelitian ini adalah analisis SVD, dengan melakukan slice penampang tegak lurus struktur, kemudian dibandingkan nilai mutlak maksimum dengan nilai mutlak minimumnya melalui grafik matematis. Yang 67
2 mana dari seluruh interpretasi ini diharapkan akan dapat mengetahui struktur geologi bawah permukaan pada daerah penelitian. 5.2 Analisis Peta Anomali Bouguer Lengkap (CBA) Dari seluruh data distribusi titik pengamatan gravitasi yang diambil secara acak di daerah penelitian, dan setelah melalui proses reduksi lalu digambarkan dalam bentuk peta anomali bouguer lengkap (CBA) (Gambar 5.1). Gambar 5.1 Peta anomali bouguer lengkap Pada peta CBA dapat dilihat pada bagian barat pola kontur yang berorientasi dominan timur laut baratdaya dan terlihat di bagian timur peta yang memiliki arah utara - selatan. Rentang nilai anomali bouguer di daerah penelitian berkisar hingga mgal. Anomali rendah atau anomali yang memiliki nilai percepatan rendah pada peta CBA diperlihatkan dengan indeks warna biru yang tersebar pada bagian barat dan tengah peta, anomali sedang atau anomali yang memiliki nilai percepatan sedang ditunjukkan 68
3 dengan indeks warna hijau muda hingga warna jingga yang tersebar pada barat daya dan utara tengah peta, anomali tinggi atau anomali yang memiliki nilai percepatan tinggi ditunjukkan dengan indeks warna merah hingga merah muda yang tersebar pada bagian tengah dan timur peta. Perubahan dari anomali tersebut, tampak jelas dari barat ke timur dengan perubahan nilai anomali rendah ke tinggi yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh perubahan nilai kontras rapat-massa batuan yang terjadi pada daerah penelitian. Pada pola kontur yang menutup dan memiliki anomali yang cukup rendah pada bagian selatan dan barat laut peta yang memiliki distribusi rapat-massa bawah permukaan yang rendah diasumsikan sebagai cekungan, sedangkan pola kontur yang menutup dan memiliki anomali yang tinggi pada bagian tengah dan timur peta yang memiliki nilai distribusi rapat-massa bawah permukaan yang tinggi diasumsika sebagai tinggian perangkap hidrokarbon (Gambar 5.1). 5.3 Peta Anomali Regional Berdasarkan hasil analisis spektrum dari 4 lintasan penampang yang dibuat (dipaparkan pada Bab 4), hasil penapisan dengan lebar jendela 19x19 km didapatkan peta anomali regional. menunjukkan bahwa kedalaman rata-rata sumber anomali yang sifatnya regional pada daerah penelitian adalah berada pada kedalaman ± meter berdasarkan perhitungan analisis spektrum pada (Tabel 4.6). Kedalaman regional ini mengindikasikan bahwa kedalaman kerak bawah hingga basement pada daerah penelitian. Peta anomali regional yang didapatkan dari hasil filtering menghasilkan lebar jendela tapis sebesar 19kmx19km, dengan nilai anomali berkisar 2.91 mgal hingga mgal dapat 69
4 terlihat bahwa peta anomali regional hampir mendekati bentuk anomali Bouguernya (Gambar 5.2). Gambar 5.2 Peta anomali regional. Pada peta anomali regional pola kontur yang berorientasi dominan dari timurlaut baratdaya pada bagian barat peta dan utara selatan pada bagian timur peta. Anomali rendah ditunjukkan dengan warna biru, yang tersebar pada bagian baratlaut dan selatanpeta, anomali sedang ditunjukkan dengan warna hijau muda hingga jingga yang tersebar baratdaya dan utara peta, anomali tinggi ditunjukkan dengan warna merah hingga merah muda, yang tersebar pada bagian tengah dan timur peta. 5.4 Peta Anomali Residual Peta anomali residual diperoleh dari proses moving average ialah berupa anomali regional, sedangkan untuk mendapatkan anomali residual yaitu dilakukan pengurangan 70
5 anomali Bouguer lengkap dengan peta anomali regional hasil penapisan. Peta anomali residual ini menunjukkan sumber anomali yang bersifat lokal, biasanya berasosiasi dengan cekungan Tersier (mengindikasikan letak top basement dengan sedimennya) (Gambar 5.3). Peta anomali residual menunjukkan nilai mgal hingga mgal dan kedalaman rata-rata anomali residual di daerah penelitian berdasarkan perhitungan analisis spektrum pada (Tabel 4.6) berkisar ± meter. Gambar 5.3 Peta anomali residual Pada peta anomali residual pola kontur yang berorientasi dominan dari timurlaut baratdaya pada bagian baratlaut peta dan utara selatan pada bagian timur peta dan baratlaut tenggara pada bagian tengah peta. Anomali rendah ditunjukkan dengan warna biru, yang tersebar pada bagian baratlaut, selatan, timur peta, anomali sedang ditunjukkan dengan warna hijau muda hingga jingga yang tersebar barat dan utara peta, anomali tinggi ditunjukkan dengan warna merah hingga merah muda, yang tersebar pada bagian tengah 71
6 dan timur peta. Dari peta residual penulis melihat adanya anomali tinggi serta pola kontur yang diinterpretasikan sebagai intrusi. Berdasarkan peta geologi regional diduga salah satunya merupakan intrusi dangkal. 5.5 Peta Anomali Second Vertical Derivative (SVD) Analisis untuk menentukan jenis sesar yang terdapat pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan hasil analisis menggunakan peta anomali SVD (Gambar 5.4). Yang mana pada peta anomali SVD didapat berdasarkan konsep Elkins (1951) dengan matriks 5x5. Setelah mengamati dan membandingkan antara hasil peta anomali residual (Gambar 5.3) dengan peta anomali derivatif vertikal kedua (Gambar 5.4), tampak bahwa antara kedua peta anomali tersebut memiliki suatu pola kelurusan kontur dan deliniasi area anomali rendahan yang identik. Dari hasil peta anomali SVD tersebut didapatkan harga anomali, yakni anomali terendah 4.29 mgal hingga anomali tertinggi 4.98 mgal. Gambar 5.4 Peta anomali second vertical derivative 72
7 Setelah didapatkan peta anomali SVD maka dibuat pola sayatan yang menginterpretasikan adanya sesar pada area tersebut. Dari kontras densitas yang berbeda dan dengan dibatasi oleh nilai kontras densitas nol atau mendekati nol, maka dapat disimpulkan sebagai batas karakteristik adanya pola struktur sesar. Kemudian pada peta anomali SVD tersebut dibuat beberapa lintasan atau penampang, yang mana lintasan tersebut digunakan untuk menentukan jenis sesar berdasarkan data respon gravitasi model sintetik (Gambar 5.5). Gambar 5.5 Peta anomali second vertical derivative dengan slice penampang Cara yang digunakan pada beberapa penampang tersebut adalah dengan cara slicing. Lalu hasil slice tersebut dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik jenis sesar yang terdapat pada daerah penelitian, apakah sesar tersebut berupa sesar naik, sesar turun, ataupun sesar mendatar. 73
8 Dari penampang slice pada peta anomali SVD dapat dianalisis berdasarkan nilai ϑ2 (Δg) ϑz 2 min dengan 2 (Δg) ϑ ϑz 2 max, sehingga perbandingan antara kedua puncak anomali dengan nilai anomali yang berbeda akan menggambarkan pola struktur sesar dari kurva tersebut. Gambar 5.6 Contoh hasil slice penampang A A Hasil dari pola-pola sayatan penampang pada peta SVD (Gambar 5.6) diatas, maka dapat ditentukan jenis sesarnya (Tabel 5.1). Untuk lebih jelasnya, kurva analisis sesar tiap penampang dapat dilihat pada (Lampiran Terikat 2). Tabel 5.1 Hasil analisis slice penampang SVD. Penampang Anomali SVDmax ( g z² )max Anomali SVDmin ² g z² min SVD max dan SVD min A A SVD max > SVD min B B SVD max > SVD min C C SVD max > SVD min Jenis Turun Turun Turun 74
9 D D SVD max > SVD min E E SVD max > SVD min F F SVD max > SVD min G G SVD max > SVD min H H SVD max > SVD min I I SVD max > SVD min J J SVD max > SVD min K K SVD max > SVD min L L SVD max > SVD min M M SVD max > SVD min N N SVD max > SVD min O O SVD max < SVD min P P SVD max < SVD min Q Q SVD max < SVD min R R SVD max > SVD min S S SVD max < SVD min T T SVD max < SVD min U U SVD max < SVD min V V SVD max < SVD min Turun Turun Naik Naik Turun Turun Turun Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik 75
10 Berdasarkan hasil analisis sesar pada tabel diatas, dapat diasumsikan peta struktur secara lateral, struktur patahan daerah penelitian memiliki pola kemenerusan struktur yang relatif utara selatan, dan baratdaya timurlaut (Gambar 5.7). Dari hasil interpretasi struktur dengan metode SVD didapatkan jenis struktur pada daerah penelitian yang kemudian dibandingkan dengan peta geologi regional serta kelurusan topografi daerah penelitian (Gambar 5.8). Dari kesebandingan tersebut dapat kita lihat adanya pola yang relatif sama dengan yang didapat dari metode SVD. Gambar 5.7 Memperlihatkan adanya pola kelurusan yang sama diantara peta anomali SVD (a), dengan kelurusan topografi (b), serta peta geologi regional (c) 76
11 Gambar 5.8 Peta anomali residual yang telah di overlay dengan struktur yang dihasilkan oleh peta SVD 5.6 Pemodelan Kedepan (Forward Modelling) Pemodelan geologi bawah permukaan diperoleh melalui proses pemodelan kedepan 2D terhadap suatu lintasan atau penampang pada peta anomali residual gravitasi daerah penelitian. Pada studi tersebut, dibuat 1 penampang untuk kedepannya menghasilkan model geologi bawah permukaan daerah penelitian (Gambar 5.9). 77
12 Gambar 5.9 Peta Anomali CBA dan Residual dengan penampang A A Konsep pada pemodelan ini didapat berdasarkan gravitasi hasil perhitungan (gravity calculated) dibandingkan hasil pengukuran di lapangan (gravity observed). Pemodelan dilakukan dengan cara mengubah-ubah parameter (trial and error), seperti rapat-massanya (density), nilai kedalamannya, serta bentuk strukturnya agar nilai (gravity calculated) dan nilai (gravity observed) mendekati kesamaan dalam profilnya. Cara ini 78
13 digunakan sebagai pembanding untuk menunjukkan hasil pengukuran gravitasi di lapangan dengan interpretasi geometri struktur bawah permukaan. A A A Gambar 5.10 Peta Geologi daerah penelitian Dalam memodelkan kontras densitas bawah permukaan tersebut, peneliti memerlukan informasi pendukung, yaitu berupa data geologi daerah penelitian dan data seismik. Data geologi yang digunakan berupa peta geologi (Gambar 5.10) dan stratigrafi regional daerah penelitian. Lalu untuk data seismik, diambil beberapa line yang dibutuhkan untuk mendukung pemodelan data gravitasi sedangkan besarnya rapat-massa yang diperkirakan yaitu dengan menggunakan hasil uji laboratorium fisika dan untuk formasi lain nya digunakan tabel rapat-massa dari Telford (1990) sebagai bahan perbandingan. 79
14 Berdasarkan penilaian dari beberapa aspek, penentuan lintasan penampang A A yang diambil relatif tegak lurus dengan struktur geologi yang ada dan memiliki variasi kontras rapat-massa yang mencolok. Penampang model dari hasil slicing peta anomali CBA dan residual kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Modelvision untuk menginterpretasikan penampang bawah permukaan dari berbagai hasil interpretasi serta data-data pendukung lainnya. Hasil model geologi bawah permukaan penampang A-A dapat dilihat pada (Gambar 5.11) dan (Gambar 5.12), penampang yang ditentukan relatif berarah barat - timur. Pada sayatan pemodelan kedepan berikut ini memiliki panjang model yaitu sekitar 148 km dengan nilai anomali dari peta CBA (deep section) 12 hingga 50 mgal dan untuk nilai anomali dari peta residual (shallow section) -8 hingga 11 mgal. Ketebalan pemodelan shallow section berkisar dari 0 hingga 2.6 km, sedangkan untuk ketebalan pemodelan deep section berkisar dari 0 hingga 34 km. 80
15 Gambar 5.11 Penampang gravitasi deep section model line A A Gambar 5.12 Penampang gravitasi shallow section model line A A 81
16 Dari hasil pemodelan penampang A A (Gambar 5.11) dan (Gambar 5.12) terlihat bahwa upper mantle yang merupakan batas bidang moho berada diatas batuan alas memiliki nilai densitas 3,07 gr/cm 3 berada pada kedalaman dan untuk batuan alas yang mengalasi formasi formasi diatasnya memiliki nilai densitas 2,67 gr/cm 3. Pada Formasi Ultramafik kompleks yang di perkirakan sebagai batuan alas oseanik yang terangkat berada pada timur peta dengan densitas 2,87 gr/cm 3, Formasi ini berumur Jura. Berdasarkan model yang dibuat, batuan sedimen mulai muncul pada kedalaman sekitar ±1600m yang bila dikorelasikan dengan data geologi dapat diasumsikan sebagai Formasi Pitap dengan densitas 2,43 gr/cm 3, berdasarkan model penampang A A ketebalan yang dibuat dari Formasi ini ± m. Formasi Pitap ini berumur Kapur Akhir dan diduga Formasi ini merupakan Formasi tertua yang menjemari dengan intrusi Granit dan Breksi Basaltik/Lava Basalt pada daerah penelitian. Intrusi Granit setempat yang berada pada penampang model A A mulai muncul pada kedalaman ± m dan menerobos Formasi Pitap dengan densitas 2,67 gr/cm 3. Intrusi Granit ini berumur Kapur Akhir. Kemudian Formasi Kasale Vulkanik Haruyan setempat pada penampang model A A yang juga menjemari dengan Formasi Pitap mulai muncul di kedalaman ± m dan memiliki densitas 2,62 gr/cm 3. Formasi Kasale Vulkanik Haruyan ini memiliki umur Kapur Akhir. Lalu diatas Formasi Pitap diendapkan Formasi Kuaro setempat yang memiliki densitas 2,39gr/cm 3, dan mulai muncul pada bagian timur penampang model A A di kedalaman ±600m dengan ketebalan rata rata m, yang berumur Eosen Awal Eosen Akhir. Kemudian pada mayoritas penarikan penampang model A A di 82
17 atas Formasi Pitap diendapkan Formasi Tanjung yang memiliki densitas 2,33 gr/cm 3, dan mulai muncul pada kedalaman ± m dengan ketebalan rata rata ± m, yang berumur Eosen Awal Oligosen Awal. Kemudian dilanjutkan dengan pengendapan Formasi Berai, Formasi ini memiliki nilai densitas 2,23 gr/cm 3 yang berumur Oligosen Awal Miosen Awal. Pada Formasi Berai, terdapat pengendapan secara menjemari dengan Formasi Montalat dan Formasi Pamaluan. Formasi Montalat setempat memiliki nilai densitas 2,23 gr/cm 3 dan muncul pada kedalaman ± dengan ketebalan rata rata ± m, Formasi ini berumur Oligosen Awal Oligosen Akhir. Kemudian untuk Formasi Pamaluan setempat memiliki nilai densitas 2,23 gr/cm 3 dan muncul pada kedalaman ± m dengan ketebalan rata rata ±600 m, Formasi ini berumur Oligosen Awal Oligosen Akhir. Kemudian diatas Formasi Berai diendapkan Formasi Warukin dengan nilai densitas 2,12 gr/cm 3, Formasi ini mulai muncul pada kedalaman ±400 m dengan ketebalan Formasi sebesar ±200 m, Formasi ini berumur Miosen Awal Miosen Akhir. Kemudian diatas Formasi Warukin diendapkan Formasi Dahor yang memiliki nilai densitas 2,03 gr/cm 3, Formasi ini mulai muncul pada kedalaman ±200 m dengan ketebalan Formasi ±200 m, Formasi ini berumur Pliosen Awal Plistosen. Pada penampang model A - A dapat diasumsikan bagian yang sangat mengontrol keadaan bawah permukaan daerah penelitian adalah Intrusi Granit, pengangkatan Formasi Ultramafik, serta struktur inversi sepanjang penampang model A A. Kemudian untuk endapan Alluvial hanya terbentuk di sisi timur penampang model A A memiliki nilai densitas 1,7 gr/cm 3 apabila mengacu kepada tabel estimasi rapat massa menurut Telford (1990), akan tetapi peneliti memasukkan endapan Alluvial 83
18 kedalam satu Formasi Dahor dikarenakan keberedaan Alluvial yang tidak cukup besar dalam penampang model A A. Pada penampang model A A memperlihatkan adanya beberapa struktur yang berperan dalam mengontrol bentukan konfigurasi bawah permukaan daerah penelitian. Struktur yang tampak adalah berupa struktur inversi atau reverse fault yang diduga merupakan akibat tektonik kompresi pada Miosen Awal (Satyana & Silitonga, 1994). Akibat dari tektonik tersebut menyebabkan bentukan dari Cekungan Barito menjadi asimetris, yaitu semakin kearah timur batuan dasar akan semakin dalam, sebaliknya semakin kearah barat akan semakin dangkal. Pada bagian barat yang lebih besar dinamakan Lereng Barito Barat atau Paparan Barito, dan bagian yang lebih dalam dinamakan Barito Deep, juga disebut sebagai Barito Foredeep (Kusuma dan Darin, 1989, Satyana dan Silitonga, 1991). Struktur perkiraan lipatan berupa antiklin pada penampang tersebut didapat, dari pola kontur anomali residual dan juga hasil interpretasi pemodelan kedepan. Sedangkan untuk struktur sesar, seperti sesar turun dan sesar naik didapatkan dari hasil interpretasi data dengan metode analisis SVD. 5.7 Tectonic Extension (Beta Factor) Berdasaarkan nilai perhitungan terhadap penebalan kerak, makandaoat disimpulkan bahwa pada daerah penelitian umumnya memiliki trend cekungan dengan penebalan kearah timur dengan range 1,119 1,402, meskipun kenyataannya pada bagian barat terdapat pula nilai 1,422. Nilai 1,422 diperkirakan sebagai penyeimbang/manifestasi dari terangkatnya Meratus. Apabila dikaitkan dengan ketebalan sedimen, maka sedimen yang tebal bagian barat relatif tidak terganggu, 84
19 sedangkan pada bagian timur relatif terganggu oleh hadirnya piggy back basin akibat pengangkatan (Satyana, 1994) Gambar 5.13 Gambar analisis beta factor pada penampang model A A (deep section) daerah penelitian 5.8 Tektonik Implikasi Pada Kapur Awal Pulau Kalimantan belum terbentuk seperti saat ini. Southwest Borneo dan Paternoster Micro-Continent bergerak konvergen sehingga menutup Mesotethys akibat dari membukanya Cenotethys (Hall, 2012). Haruyan FM. dan Pitap FM. merupakan Vulkanik Basa-Intermediet juga saling mensubduksi. Pada Late Cretaceous Southwest Borneo collision dengan Paternoster sehingga menyebabkan adanya remnant Mesotethys dan Meratus Fold Belt. 85
20 Gambar 5.14 Tektonik Tahap Awal collision Southwest Borneo dan Paternoster Pada Kapur Akhir Paleocene Awal diperkirakan terjadi regangan pada daerah penelitian. Hal tersebut mengakibatkan adanya rifting dengan nilai Beta Factor sebesar 1,119 1,422 (rata rata). Trend dari rifting ini adalah Northeast Southwest pada kala tersebut atau Northwest Southeast setelah anti clockwise rotation. Diperkirakan fase ekstensi tersebut sebagai konsekuensi dari oblique convergence pada Kalimantan akibat menutupnya Mesotethys di Barat Sumatera (Hall, 2012). Pada kala Eocene terendapkan Formasi Tanjung yang merupakan fluvio-deltaic sedimen. 86
21 Gambar 5.15 Tektonik Tahap Kedua hasil akibat dari collision Southwest Borneo dan Paternoster Pada Late Oligocene hingga Early Miocene diperkirakan merupakan fase transgresi dimana terendapkan Formasi Berai yang merupakan batuan karbonat. Pada Middle Miocene hingga Pliocene diperkirakan merupakan fase regresi dimana terendapkan Formasi Warukin dan Formasi Dahor, kemudian terjadi kembali anticlockwise rotation dari Sundaland akibat dari terus menunjamnya Samudera Pasifik di Utara (hall,2012). Anti-clockwise tersebut menyebabkan adanya inversi pada Barito Basin. Tegasan utama pada periode ini relatif Northwest - Southeast akibat tumbukan di Utara Kalimantan dan membukanya Makassar Strait. 87
22 Gambar 5.16 Tektonik Tahap Akhir hasil akibat dari collision Southwest Borneo dan Paternoster 5.9 Analisis Petroleum Systems Daerah Penelitian Berdasarkan hasil analisis peta anomali residual dan pemodelan kedepan kemudian dikombinasikan dengan informasi geologi yang ada, maka dapat dianalisis petroleum systems pada daerah penelitian. Pada peta anomali CBA yang telah dikombinasikan dengan hasil interpretasi rendahan yang diperkirakan sebagai batuan induk dari petroleum systems daerah penelitian (Gambar 5.17). Pada peta anomali SVD yang telah dikombinasikan dengan hasil interpretasi struktur kemudian dizonasikan (Gambar 5.18), dimana menggambarkan kondisi geologi bawah permukaan berupa daerah tinggian maka kedua hal tersebut dapat dikaitkan dengan aspek petroleum system. 88
23 Gambar 5.17 Area batuan induk yang diperkirakan pada daerah penelitian Gambar 5.18 Area perangkap yang diperkirakan pada daerah penelitian 89
24 Gambar 5.19 Overlay antara area potensi batuan induk dengan perangkap hidrokarbon dengan perkiraan arah migrasi hidrokarbon Pada gambar gambar diatas Anomali rendah (telah dizonasi) pada Gambar 5.14 yang ditunjukkan oleh garis merah putus putus yang menunjukkan area batuan induk daerah penelitian yang merupakan tempat terbentuknya hidrokarbon. Mengacu pada prinsip perbedaan tekanan, yaitu fluida mengalir dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah bertekanan rendah (Rizka, dkk., 2011), maka dapat diasumsikan kemungkinan migrasi hidrokarbon dari area batuan induk (bertekanan tinggi) menuju ke anomali yang lebih tinggi (bertekanan rendah) yang ditunjukkan oleh area dengan indeks warna merah dan merah muda dan telah dizonasi pada Gambar 5.15 yang ditunjukkan oleh garis kuning putus putus. Hal ini diasumsikan adanya struktur tinggian yang diperkirakan sebagai antiklin atau struktur tutupan (closure). Namun untuk lebih jelasnya 90
25 perangkap hidrokarbon dan lapisan penutup dapat diidentifikasi dari hasil pemodelan kedepan dari lintasan yang telah dibuat. Pada area Tanjung raya hidrokarbon terbentuk dari batuan induk Formasi Tanjung bagian bawah dan Formasi Warukin bagian bawah. Hidrokarbon terjebak pada structural trap yang mengandung batupasir Formasi Tanjung bagian bawah dan Formasi Warukin bagian atas. Batuan Induk Tahap pertama, sedimen diendapkan di graben Paleogen berupa alluvial channel dan fan mengalami progradasi hingga ke lingkungan danau. Sejumlah lapisan tipis batubara diduga diendapkan sepanjang tepi danau. Lingkung danau dalam terbentuk pada bagian sumbu graben. Lingkungan ini menghasilkan lingkungan reduksi yang baik bagi akumulasi algae. Lapisan batuan induk berupa alga danau dapat membentuk prolific oil. Carbonaceous clay/shale dan lapisan tebal batubara lebih dari 10 meter di temukan sedimentasi tahap 2. Kebanyakan hidrokarbon di lapangan Tanjung raya diduga terbentuk dari tahap 2 ini. Maturasi Dari analisis maturasi batuan induk Formasi Tanjung bagian bawah, diketahui paada bagian baratlaut maturasi hidrokarbonnya adalah immature early mature, dan pada bagian tengahnya mature, sedangkan dibagian tenggaranya maturasinya overmature ( bagian paling dalam basin ini). 91
26 Reservoar Reservoar utama berupa syn-rift sand tahap 1, post rift sag fill tahap 2 dan 3. batupasir syn-rift pada tahap 1 (disebut batupasir A dan B atau Z 1015 dan Z 950) diendapkan dilingkungan alluvial fan dan lingkungan delta front lacustrine, dan memiliki ketebalan meter. Batupasir pada tahap 2 (batupasir c dan d atau Z.860 dan Z.825) mewakili batupair alluvial fan. Properti Reservoar pada batupasir Z.860 ini lebih baik di bandingkan batupasir pada Formasi Tanjung bagian bawah, Batupasir ini memiliki pemilahan yang bagus dan maturasi mineral yang bagus, ketebalan meter, dengan nilai porisitas dan permeabilitas rata rata yang bagus. Tidak seperti Z.860, batupasir Z.825 tipis dan diskontinyu (melensis) dengan ketebalan 3 5 meter. Tahap 3 reservoarnya terdiri dari Batupasir e (Z.710 dan Z. 670). Batupasir-E di endapakn pada pantai/barrier bar pada lingkungan garis pantau yang terus mengalami regresi.ketebalan maksimum dari batupasir- E ini 30 meter. Batuan Tudung Fase post rifting dari transgresi regional subsidence setelah pengendapan dari sagfill sedimen menghasilikan shallow marine mudstone pada tahap 4 Formasi Upper Tanjung. Batuan mudstone marine ini menyediakan sealing yang efektif bagi 92
27 reservoar Formasi Tanjung bagian bawah. Tersusun atas 800 meter dengan dominasi neritic shale dan silty shale. Traping Mechanism Hidrokarbon terbentuk, bermigrasi dari batubara Formasi Tanjung tengah - bawah, carbonaceous shales, dan carbonaceous shales pada Formasi Warukin bagian bawah. Batuan induk utama terletak pada depocentre basin sekarang. Batuan penutup dihasilkan dari intra-formational shales. Pembentukan, migrasi, dan pemerangkapan hidrokarbon terjadi sejak pertengahan awal Miosen (20 Ma). Cekungan Barito merupakan contoh dari efek interaksi tektonik terhadap tempat pembentukan hidrokarbon (petroleum system). Tektonik ekstensional pada Tersier awal membentuk rifted basin, dan grabennya diisi oleh lacustrine Tanjung shales dan coals. Lingkungan lacustrine inilah yang akan membentuk batuan induk Formasi Tanjung. Karena subsidence yang terus berlangsung dan rifted structure makin turun, shale diendapkan semakin melebar, dan akan membentuk Penutup untuk reservoar yang ada dibawahnya. Kondisi ini juga yang menyebabkan penyebaran pengendapan batuan reservoar. Patahan ekstensi merupakan media untuk migrasinya hidrokarbon yang terbentuk dibagian terbawah dari graben. Selama Miosen Akhir, Cekungan mengalami permbalikan akibat naiknya Meratus, membentuk cekungan asimetris, Cekungan Barito mengalami dipping kearah NW dan makin ke SE semakin curam. Akibatnya bagian tengah dari mengalami subsidence, sehingga batuan induk Formasi Tanjung semakin terkubur, dan 93
28 menghasilkan kedalaman yang cukup bagi batuan induk untuk tereduksi menjadi hidrokarbon. Hidrokarbon mengisi jebakan melalui patahan dan melalui batupasir yang permeable. Pada awal Pliocene, batuan induk Formasi Tanjung kehabisan cairan fluida hidrokarbon, sehingga membentuk gas dan bermigrasi mengisi jebakan yang telah ada. Batuserpih Formasi Warukin bagian bawah pada cekungan depocentre mencapai kedalaman dari oil window selama Plio-Pleistocene. Minyak terbentuk dan bermigrasi ke jebakan struktural dibawah batupasir Warukin. Migrasi Hidrokarbon Inversi struktural yang terjadi di awal Miosen sangat mempengaruhi cekungan pada akhir Miosen sampai Pliosen dan telah menurunkan batuan induk dari Formasi Tanjung bagian bawah ke kedalaman dimana hidrokarbon dapat dihasilkan. Hidrokarbon yang bermigrasi terperangkap pada antiklin yang terbentuk selama inversi. Inversi Plio- Pleistosen juga menghasilkan jebakan baru atau merusak akumulasi hidrokarbon sebelumnya, sehingga hidrokarbon kembali bermigrasi dan terperangkap pada stuktruk inversi yang lebih baru. 94
STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH
STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH Dian Erviantari, Muh. Sarkowi Program Studi Teknik Geofisika
Lebih terperinciSTUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH
STUDI IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN KEBERADAAN HIDROKARBON BERDASARKAN DATA ANOMALI GAYA BERAT PADA DAERAH CEKUNGAN KALIMANTAN TENGAH Dian Erviantari dan Muh. Sarkowi Program Studi Teknik Geofisika
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER
BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah
Lebih terperinciV. INTERPRETASI DAN ANALISIS
V. INTERPRETASI DAN ANALISIS 5.1.Penentuan Jenis Sesar Dengan Metode Gradien Interpretasi struktur geologi bawah permukaan berdasarkan anomali gayaberat akan memberikan hasil yang beragam. Oleh karena
Lebih terperinciABSTRAK. Kata Kunci : Cekungan Barito, Kalimantan Selatan STRATIGRAFI REGIONAL PENGANTAR
ABSTRAK Cekungan Barito terletak bagian tenggara Kalimantan. Cekungan Barito disebelah barat dibatasi oleh dataran sunda, sebelah timur Pegunungan Meratus, sebelah utara dibatasi oleh Cekungan Kutai. Sedimen
Lebih terperinciBAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN
BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. Anomali Bouguer U 4 3 mgal 4 3 Gambar 5.1 Peta anomali bouguer. Beberapa hal yang dapat kita tarik dari peta anomali Bouguer pada gambar 5.1 adalah : Harga anomalinya
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada
Lebih terperinciBab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan
Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian
BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1. Geologi Regional. Pulau Tarakan, secara geografis terletak sekitar 240 km arah Utara Timur Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di bagian
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah
Lebih terperinciBAB 2 GEOLOGI REGIONAL
BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Letak Geografis Daerah Penelitian Daerah penelitian, yaitu daerah Cekungan Sunda, secara umum terletak di Laut Jawa dan berada di sebelah Timur Pulau Sumatera bagian Selatan
Lebih terperinciIDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT
IDENTIFIKASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA GAYABERAT DI DAERAH KOTO TANGAH, KOTA PADANG, SUMATERA BARAT Diah Ayu Chumairoh 1, Adi Susilo 1, Dadan Dhani Wardhana 2 1) Jurusan Fisika FMIPA Univ.
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Lokasi Penelitian Gambar 3. Letak cekungan Asam-asam (Rotinsulu dkk., 2006) Pulau Kalimantan umumnya merupakan daerah rawa-rawa dan fluvial. Selain itu juga terdapat
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan
Lebih terperincimemiliki hal ini bagian
BAB III TATANANN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km 2 dan memiliki ketebalan sedimen antara 12.000 14..000 meter hal ini menyebabakan
Lebih terperinciII. GEOLOGI REGIONAL
5 II. GEOLOGI REGIONAL A. Struktur Regional dan Tektonik Cekungan Jawa Timur Lapangan KHARIZMA berada di lepas pantai bagian selatan pulau Madura. Lapangan ini termasuk ke dalam Cekungan Jawa Timur. Gambar
Lebih terperinciSalah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku
1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku berumur Paleozoic-Mesozoic
Lebih terperinciBAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI
BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI 2.1 KESAMPAIAN DAERAH 2.1.1 Kesampaian Daerah Busui Secara geografis, daerah penelitian termasuk dalam daerah administrasi Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir,
Lebih terperinciGeologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan
Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai
Lebih terperinciBAB II TATANAN GEOLOGI
BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional Cekungan Natuna Barat berada pada kerak kontinen yang tersusun oleh batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur Awal Kapur Akhir. Cekungan ini dibatasi oleh
Lebih terperinciBab V Evolusi Teluk Cenderawasih
62 Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih V.1 Restorasi Penampang Rekontruksi penampang seimbang dilakukan untuk merekonstruksi pembentukan suatu deformasi struktur. Prosesnya meliputi menghilangkan bidang-bidang
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur
Lebih terperinci2014 INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYABERAT
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Satuan tektonik di Jawa Barat adalah jalur subduksi Pra-Eosen. Hal ini terlihat dari batuan tertua yang tersingkap di Ciletuh. Batuan tersebut berupa olisostrom yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok Sanga-sanga, Cekungan Kutai, Kalimantan Timur. Cekungan Kutai merupakan cekungan penghasil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Dalam mencari cadangan minyak dan gas bumi, diperlukan adanya kegiatan eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas yang sudah
Lebih terperinciJ.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013
J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013 29 ANOMALI GAYABERAT KAITANNYA TERHADAP KETERDAPATAN FORMASI PEMBAWA BATUBARA DI DAERAH BANJARMASIN DAN SEKITARNYA, KALIMANTAN SELATAN GRAVITY ANOMALY IN RELATION TO
Lebih terperinciIII.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk
III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk menafsirkan perkembangan cekungan. Perlu diingat bahwa
Lebih terperinciTabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.
Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan
Lebih terperinciBAB 2 GEOLOGI REGIONAL
BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus
Lebih terperinciBAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA
BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA 2.1. Kerangka Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini, terletak di ujung utara Pulau Sumatera, bentuknya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL
BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi
Lebih terperinciI.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian
Bab I Pendahuluan I.1 Topik Kajian Topik yang dikaji yaitu evolusi struktur daerah Betara untuk melakukan evaluasi struktur yang telah terjadi dengan mengunakan restorasi palinspatik untuk mengetahui mekanismenya
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Pertamina BPPKA (1996), Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah Cekungan
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO
BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO II.1 GEOLOGI CEKUNGAN KUTAI Cekungan Kutai adalah salah satu cekungan di Kalimantan Timur, Indonesia. Cekungan ini memiliki area sekitar 60.000km 2 dan berisi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Sumatera Barat South West Bukit Barisan merupakan nama blok konsesi minyak dan gas bumi yang terletak di daerah onshore di bagian tengah Sumatera Barat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi sumber daya alam umumnya memerlukan biaya sangat mahal. Oleh karena itu biasanya sebelum melakuka kegiatan eksplorasi dilakukan survey awal, survey
Lebih terperinciInterpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram
BAB 4 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.1. Interpretasi Stratigrafi 4.1.1. Interpretasi Stratigrafi daerah Seram Daerah Seram termasuk pada bagian selatan Kepala Burung yang dibatasi oleh MOKA di bagian utara,
Lebih terperinciBAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA
BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pada penelitian ini, penulis menggunakan 2 data geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Kedua metode ini sangat mendukung untuk digunakan dalam eksplorasi
Lebih terperinciBAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR
BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR Terdapat tiga domain struktur utama yang diinterpretasi berdasarkan data seismik di daerah penelitian, yaitu zona sesar anjakan dan lipatan di daerah utara Seram
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai
BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan
Lebih terperinciBab II Geologi Regional
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang
Lebih terperinciII.1.2 Evolusi Tektonik.. 8
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ii PERNYATAAN.. iii KATA PENGANTAR.. iv SARI... v ABSTRACT.. vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Lokasi
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi Regional Menurut Heidrick dan Aulia (1993) Cekungan Sumatra Tengah terletak di antara Cekungan Sumatra Utara dan Cekungan Sumatra
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Cekungan Kutai (gambar 2.1) di bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah baratlaut - tenggara, di bagian barat dibatasi oleh tinggian
Lebih terperinciBAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH
BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH Cekungan Sumatra Tengah merupakan salah satu cekungan besar di Pulau Sumatra. Cekungan ini merupakan cekungan busur belakang yang berkembang di sepanjang
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan R merupakan bagian dari kompleks gas bagian Selatan Natuna yang terbentuk akibat proses inversi yang terjadi pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Batasan Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahap eksplorasi di Cekungan Sumatra Tengah sudah mencapai tahap mature field, dengan segala sumber daya alam hidrokarbon yang ada akan diekstraksi. Salah satu formasi
Lebih terperinciGambar 4.1. Peta penyebaran pengukuran gaya berat daerah panas bumi tambu
BAB IV INTERPRETASI HASIL PENGUKURAN GRAVITASI Salah satu metode geofisika yang digunakan dalam menentukan potensi suatu daerah panas bumi adalah metode gravitasi. Dengan metode gravitasi diharapkan dapat
Lebih terperinciBAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori
1 BAB I PENDAHALUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari lapangan-lapangan baru yang dapat berpotensi menghasilkan minyak dan atau
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah
Lebih terperinciBAB V SINTESIS GEOLOGI
BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun
Lebih terperinciBab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah
Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan busur belakang (back arc basin) yang berkembang di sepanjang pantai barat dan selatan
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Nova Scotia Daerah Penelitian Gambar 2.1 Cekungan Scotian di Nova Scotia (Adams, 1986) Cekungan Scotian dengan luas total sekitar 300.000 km 2 berada di sepanjang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak pada bagian utara-tengah dari Sulawesi Selatan merupakan salah satu subcekungan yang memiliki
Lebih terperinciKerangka Tektonik dan Geologi Regional
BAB II Kerangka Tektonik dan Geologi Regional II.1. Kerangka Tektonik Dalam kerangka tektonik Indonesia, Pulau Sulawesi dan Selat Makassar berada dalam pengaruh tektonisasi yang komplek oleh beberapa lempeng
Lebih terperinciBAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA
BAB 4 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pengolahan dan interpretasi data geofisika untuk daerah panas bumi Bonjol meliputi pengolahan data gravitasi (gaya berat) dan data resistivitas (geolistrik)
Lebih terperinciIV. METODOLOGI PENELITIAN
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai dengan bulan Februari 2015 di Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) Bandung dan Laboratorium
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Tatanan Geologi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan sedimentasi berumur Tersier di Indonesia dan terletak di Kalimantan bagian timur. Fisiografi Cekungan
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Kerangka Tektonik (a) 5 (b) Gambar 1. Posisi tektonik Cekungan Sumatera Selatan dan pembagian subcekungan di Cekungan Sumatera Selatan (Laporan Internal PT. PERTAMINA EP Asset
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dewasa ini kebutuhan akan minyak dan gas bumi adalah vital bagi hampir seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi komoditas
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA IDENTIFIKASI BASIN DAN PENENTUAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA GAYABERAT (STUDI KASUS CEKUNGAN SUMATERA SELATAN)
UNIVERSITAS INDONESIA IDENTIFIKASI BASIN DAN PENENTUAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA GAYABERAT (STUDI KASUS CEKUNGAN SUMATERA SELATAN) SKRIPSI INDRA GUNAWAN 0806399003 FAKULTAS MATEMATIKA DAN
Lebih terperinciBAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG
BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG IV.1. Analisis Geometri Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan arahnya, sesar yang ada didaerah sepanjang struktur Iliran- Kluang dapat dibedakan atas tiga kelompok,
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Pendahuluan Pulau Kalimantan berada di tenggara dari lempeng Eurasia besar. Di sebelah utara berbatasan dengan lempeng semudra Laut Cina Selatan, di timur dibatasi oleh sabuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH
BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1 Kerangka Tektonik dan Geologi Regional Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah
Lebih terperinciBab II Tinjauan Pustaka
Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Cekungan Sumatera Tengah II.1.1 Stratigrafi Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah terdiri dari satuan-satuan stratigrafi dari tua ke muda yaitu : Batuan dasar atau basement
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah penelitian terletak diantara pulau Seram dan semenanjung Onin- Kumawa yang termasuk kawasan Indonesia Timur. Pada kawasan Indonesia Timur ini bila dilihat dari
Lebih terperinciGEOLOGI DAERAH KLABANG
GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi
Lebih terperinciSURVEI GAYA BERAT DAN AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT) DAERAH PANAS BUMI PERMIS, KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI BANGKA BELITUNG
SURVEI GAYA BERAT DAN AUDIO MAGNETOTELURIK (AMT) DAERAH PANAS BUMI PERMIS, KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI BANGKA BELITUNG Muhammad Kholid dan Sri Widodo Kelompok Penyelidikan Bawah Permukaan Pusat Sumber
Lebih terperinciBerdasarkan persamaan (2-27) tersebut, pada kajian laporan akhir ini. dilakukan kontinuasi ke atas dengan beberapa ketinggian (level surface) terhadap
Berdasarkan persamaan (2-27) tersebut, pada kajian laporan akhir ini dilakukan kontinuasi ke atas dengan beberapa ketinggian (level surface) terhadap data Anomali Bouguer Lengkap yang telah digrid, untuk
Lebih terperinciYesika Wahyu Indrianti 1, Adi Susilo 1, Hikhmadhan Gultaf 2.
PEMODELAN KONFIGURASI BATUAN DASAR DAN STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA ANOMALI GRAVITASI DI DAERAH PACITAN ARJOSARI TEGALOMBO, JAWA TIMUR Yesika Wahyu Indrianti 1, Adi Susilo 1, Hikhmadhan
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:
Lebih terperinciBab II Tinjauan Pustaka
Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah secara fisiografis terletak di antara Cekungan Sumatera Utara dan Cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy Indonesia yang secara umum terletak di wilayah South Mahakam, sebelah tenggara dan selatan dari Kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL. Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1.
4 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Papua, atau lebih tepatnya di area Teluk Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1. Teluk Bintuni Gambar
Lebih terperinciGambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar
Gambar 5.21. Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar mendatar dengan mekanisme horsetail, dengan struktur sesar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi yang cukup besar, baik dari jumlah minyak dan gas yang telah diproduksi maupun dari perkiraan perhitungan
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA TENGAH
BAB II GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1. Pendahuluan Indonesia merupakan hasil dari evolusi dan interaksi dari gerak Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Pasifk, dan Lempeng Indo-Australia (Gambar
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi
Lebih terperinciBAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal)
BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI 4.1 Tektonostratigrafi 4.1.1 Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal) Berdasarkan penampang seismik yang sudah didatarkan pada horizon
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL
BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM
BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM Cekungan Asri merupakan bagian dari daerah operasi China National Offshore Oil Company (CNOOC) blok South East Sumatera (SES). Blok Sumatera Tenggara terletak pada
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakan busur yang dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah timur laut, ketinggian Lampung
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM
BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dengan batas koordinat UTM X dari m sampai m, sedangkan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Distribusi Data Gayaberat Daerah pengukuran gayaberat yang diambil mencakup wilayah Kabupaten Magelang, Semarang, Salatiga, Boyolali, Klaten dan Sleman,Yogyakarta. Dengan batas
Lebih terperinci