BAB III OBJEK PENELITIAN

Transkripsi

1 BAB III OBJEK PENELITIAN A. Sejarah Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia dimulai pada tahun 1816 dengan adanya tenement tax (huistaks), yaitu sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada tahun dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan kepemilikan pribadi. Misal, kepemilikan rumah dan tanah. Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Pada tahun 1920 diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad , No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia, dan 33

2 34 orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asasasas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber. Pada tahun 1925 ditetapkan Ordonasi Pajak Perseroan (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yaitu pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, dikenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam prakteknya lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak. Sejak dimulainya Ordonansi PPs 1925 dan perkembangan Pajak Pendapatan di Negeri Belanda, maka Ordonansi Pajak Pendapatan 1920 di revisi, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia. Pada tahun 1935 ditetapkan Ordonansi Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/ gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% - 15%.

3 35 Pada zaman perang diberlakukan Pajak Perang (Oorlogsbelasting) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Pajak Peralihan (Overgangsbelasting). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd Ord. PPd. 1944, setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia. Akhirnya Pajak Penghasilan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1983, yang dimana dalam undang-undang tersebut PPh mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan) dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. B. Perkembangan Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Penghasilan awalnya menggunakan UU No. 7 Tahun 1983 dan telah diubah dan ditambah dengan UU No. 10 tahun 1994, di mana

4 36 Undang-undang tersebut semula dinamakan Undang-undang Pajak Pengha-silan 1984 atau disingkat UU PPh 1984 Kemudian disebut undang-undang Perubahan Kedua Pajak Penghasilan 1984 (UU PPh 1984) sebagai peraturan pelaksanaannya diterbitkan PP No. 42 Tahun 1985 yang kemudian disempurna-kan dengan PP No. 41 s.d 48 Tahun Dalam perkembangannya, meskipun waktu itu baru mencapai usia 8 tahun namun telah mencapai perkembangan yang meyakinkan di antaranya perlakuan terhadap penghasilan yang diperoleh berupa bunga deposito berjangka, dan dibebaskan sampai dikenakan PPh dengan tarif 15% dan bersifat final. Sesuai tujuan dilakukannya Tax Reform (pembaharuan di bidang perpajakan) maka antara UU PPh 1984 dengan jenis-jenis pajak sebelumnya banyak terdapat perbedaan-perbedaan baik di bidang sistem pemungutan tarif pajaknya, perlakuan terhadap pemberian nikmat dan seterusnya. 1. Tax Reform II Tahun 1994 UU No. 10 tahun 1994 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh yang sebelumnya telah diubah dengan UU No. 7 tahun a. Subyek pajak BUT dipisahkan dari subyek pajak badan b. Obyek pajak lebih rinci, jelas dan tegas untuk kepentingan hukum dan keadilan dalam pengenaan pajak.

5 37 c. Perluasan biaya yang diperbolehkan (biaya penelitian dan pengembangan perusahaan), biaya pelatihan magang, dan beasiswa, biaya pengelolaan limbah. d. Fasilitas perpajakan kepada WP yang menanamkan di bidang tertentu dan daerah tertentu. e. Kompensasi 5 tahun diubah menjadi paling lama 10 tahun. f. WP memilih untuk penyusutan atas harta berwujud bukan bangunan. g. Lapisan tarif pajak berubah tetapi masih tarif progresif. h. Perluasan sistem pemotongan dan pemungutan untuk meningkatkan kepatuhan WP (pemanfaatan data pajak) 2. Tax Reform IV Tahun 2000 UU No. 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No. 7 tahun 1983 tentang PPh a. Perluasan subyek/obyek dan penyederhanaan/pembebasan pajak. b. Perubahan struktur tarif. c. Kemudahan kepada WP dengan self assesement. d. Pemberian insentif kepada WP yang investasi langsung di Indonesia. 3. Tax Reform V Tahun 2007 UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No. 7 tahun 1983 tentang PPh a. Menaikan besarnya PTKP. b. WP OP omzet 4,8 milyar dapat menggunakan norma penghitungan.

6 38 c. Surplus Bank Indonesia menjadi obyek PPh. d. Memperluas pengertian BUT (meliputi gudang, komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau yang digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. e. Perluasan objek PPH pasal 4 ayat (2). f. Tarif pemotongan PPH Pasal 21 bagi WP OP yang tidak ber NPWP lebih besar 20% dari tarif yang ber NPWP. g. Memperluas obyek PPH pasal 26 meliputi pembebasan utang. h. WP yang dikenakan PPH Pasal 22 dan 23 tetapi tidak ber NPWP diberikan pajak lebih tinggi 100%. i. Pemberian pengurangan tarif PPH untuk WP Badan Dalam Negeri yang omzetnya s/d Rp. 30 milyar menjadi 50% dari tarif semula. j. Perluasan biaya yang bisa dikurangkan yaitu mengenai sumbangan dan beasiswa dan diatur oleh Menteri Keuangan. k. Memperluas Pasal 26 (2) yang semula hanya mengatur penghasilan dari penjualan harta menjadi penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta. l. Membedakan tarif PPH Pasal 23 untuk : i. Deviden, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya dikenakan 15%. ii. Sewa, penghasilan dari penggunaan harta, imbalan jasa teknik/manajemen/ konstruksi/konsultan dan jasa lainnya 2%. iii. kekurangan pajak terutang harus dilunasi sebelum SPT disampaikan.

7 39 iv. Tarif PPH WP OP disederhanakan dan WP Badan menjadi tarif tunggal 28%.