Jakarta, 20 Desember Kepada Dewan Standar Akuntasi Keuangan Jln. Sindanglaya No. 1 Menteng Jakarta 10310

Transkripsi

1 Jakarta, 20 Desember 2010 Kepada Dewan Standar Akuntasi Keuangan Jln. Sindanglaya No. 1 Menteng Jakarta Telp : Fax : iai-info@iaiglobal.or.id dsak@iaiglobal.or.id Perihal : Tanggapan atas ED (Exposure Draft) PPSAK (Pernyataan Pencabutan Standar Akuntasi Keuangan) no 7, edisi Oktober 2010 mengenai: Pencabutan PSAK 44: Akuntasi Aktivitas Pengembangan Real Estat Dengan hormat, Bersama ini kami mengirimkan tanggapan atas ED PPSAK 7, edisi Oktober 2010, mengenai Pencabutan PSAK 44: Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat yang harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember Dimana IAI telah melakukan pemaparan kepada publik pada Publik Hearing yang dilakukan pada Kamis, 18 November 2010 di Graha Niaga. Adapun tanggapan kami: 1. PINJAMAN BANK Dengan dicabutnya PSAK 44, maka Pengembang tidak diperkenankan lagi untuk membukukan pengakuan pendapatan untuk usaha dari high rise building (apartemen, office dan lain sebagainya) dengan cara metode persentase penyelesaian (progress methode). Pengakuan harus dilakukan dengan cara metode penyelesaian penuh (full completion methode). Kecuali memenuhi persyaratan pengalihan resiko seperti yang terjadi di usaha kontraktor. Dimana pemberi kerja dapat mengganti kontraktor setiap saat. Beda dengan transaksi real estat dimana konsumen tidak dapat mengganti pengembangnya. Usaha real estat adalah usaha yang padat modal. 1 / 5

2 Untuk usaha high rise building, proses produksinya sangat panjang. Dari proses ijin sampai serah terima unit diperlukan waktu kurang lebih 3 4 tahun. Sehingga selama bangunan belum siap untuk diserah terimakan, maka Pengembang tidak dapat membukukan pendapatan. Tidak dapat membukukan pendapatan, maka kreditur (bank), BI dan auditor perbankan sulit untuk menilai kriteria kolektibilitas pinjaman (lancar atau macet). Jangan sampai Pengembang tutup karena hanya salah memberi penilaian kredit sehingga Pengembang tiba-tiba harus melunasi pinjamannya. Selama Pengembang tidak dapat membukukan pendapatannya, maka akan timbul masalah: Bank sebagai kreditur atau pemberi pinjaman selama ini melakukan analisa berdasarkan kinerja Perusahaan melalui laporan laba dan rugi. Kreditur akan mengalami kesulitan ketika mempertanggungjawabkan bahwa pinjaman tersebut lancar, karena standar yang digunakan berubah, padahal standar bank belum berubah. BI mempunyai standar dalam menentukan tingkat kolektibilitas (kelancaran) pinjaman. Perubahan standar ini dapat mengakibatkan status kolektibilitas pinjaman menjadi turun dan pinjaman menjadi jatuh tempo. Jika hal ini tidak ditanggapi secara bijak, maka hal ini akan menimbulkan krisis keuangan di Indonesia dan Pengembang yang mempunyai hutang yang besar, maka akan terkena dampaknya secara signifikan. Dalam pencabutan PSAK 44 harus diimbangi dengan cara kerja Perbankan, BI dan juga auditor perbankan (external dan internal), sehingga mereka tidak terjepit diantara 2 peraturan atau standar yang bertentangan (analisa kriedit dan pencabutan PSAK 44). 2. PRINSIP MATCHING COST AGAINST REVENUE Prinsip Akuntasi Matching cost against revenue. Untuk usaha pengembangan high rise building yang masa proses produksinya sekitar 3 4 tahun, maka selama masa proses produksi tidak ada pendapatan. 2 / 5

3 Apakah selama masa proses produksi tidak ada Laporan Perhitungan Laba Rugi dalam rangka menjalankan prinsip akuntansi Matching cost against revenue Apakah biaya operasional dan pemasaran dapat dikapitalisasi? Jangan sampai biaya pemasaran (promosi dan komisi) dibiayakan terlebih dahulu, sehingga perusahaan membukukan rugi dan tiba-tiba Perusahaan membukukan laba yang sangat signifikan di akhir proyek. Jika ini terjadi prinsip Matching cost against revenue tidak akan tercapai Perlu penjelasan lebih lanjut dari IAI mengenai kebijakan kapitalisasi ini. Pengakuan biaya operasional, promosi dan komisi, harusnya diakui sesuai dengan cara pengakuan pendapatan (revenue) sesuai dengan prinsip akuntansi Matching cost against revenue. Diharapkan IAI dapat mengeluarkan ISAK mengenai hal kebijakan kapitalisasi untuk sektor real estat dengan penekanan pada contoh kasus. 3. KEBIJAKAN TRANSISI Ada beberapa skenario mengenai kebijakan transisi: Prospektif Semi Prospektif Semi Retropesktif Retrospektif Penerapan kebijakan transisi yang salah dapat berakibat fatal bagi sektor real estat. 3 / 5

4 Retrospektif: Kebijakan retrospektif secara akunting mungkin adalah kebijakan yang baik, tetapi ini mempunyai dampak antara lain: Pembagian deviden pada periode lalu. Jangan sampai manajemen membagikan deviden pada saat laporan keuangan rugi setelah dilakukan penerapan pencabutan PSAK 44 secara retrospektif. Investor dan fund manager mengalami kebingungan, karena ketika melakukan analisa kinerja Emiten melalui laporan keuangan, tiba-tiba ada perubahan yang drastis, karena yang disajikan kembali hanya laporan keuangan tahun lalu (2 tahun). Umumnya investor memerlukan 3 5 tahun untuk melakukan trend analisa. Perhatikan pula, jika emiten melakukan corporate action, Bapepam dan BEI menentukan penyajian laporan minimal 2+1. Perubahan laporan secara retrospektif akan menimbulkan masalah dalam laporan perpajakan. Tiba-tiba saldo laba berubah. Ini akan membuat pihak DJP (Direktorat Jenderal Pajak) bertanya-tanya. Sehingga akhirnya emiten harus menjawab banyak pertanyaan dari AR (Account Representative) dari KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Belum lagi masalah penerbitan SKB yang harus didasarkan pada laporan perhitungan laba rugi. Ini bisa menimbulkan masalah tersendiri. Laporan keuangan yang lama sebaiknya tidak dilakukan perubahan, karena hal ini akan menimbulkan kesulitan tersendiri dan juga melibatkan pihak lain seperti Investor, Fund Manager, Bapepam (karena Bapepam juga melakukan evaluasi tersendiri terhadap emiten), DJP melalui KPP. 4. PERPAJAKAN Fakta Saat ini perpajakan di sektor real estat bersifat final. Dan jatuh tempo berdasarkan angsuran (cash basis). Saat ini belum ada resiko, tetapi jika tiba-tiba dirubah kembali menjadi non final. Maka akan timbulissue pajak yang signifikan. Jika diterapkan pajak non final, maka Perusahaan pada akhir proyek harus membayar pajak secara signifikan. Dikawatirkan akan mengganggu cash flow Perusahaan, terutama jika cara pembayaran yang diangsur sampai 60X. 4 / 5

5 Perlu dilakukan antisipasi jika dikemudian hari terjadi perubahan penerapan dari final ke non final. Demikian tanggapan dari kami. Jika ada tanggapan lain, akan segera kami susulkan. Terima kasih atas perhatiannya. Hormat kami, Budi Hermawan Tembusan: REI AEI 5 / 5