V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Harimau yang ditranslokasikan dan dipasangi kalung GPS selama penelitian adalah sebanyak enam ekor. Namun demikian, harimau yang ditranslokasikan ke TNKS (JD-4) ditemukan mati hanya tujuh hari setelah dilepas-liarkan akibat terperangkap jerat yang dipasang pemburu kambing hutan di dalam kawasan taman nasional tersebut. Harimau JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan di TNBBS, diamati pergerakannya selama masingmasing 224 hari (menghasilkan data posisi) dan 253 hari (1.288 data posisi). Harimau BD-1 yang ditranslokasikan ke KHUM diobservasi selama 213 hari (6.680 data posisi), namun kemudian diketahui juga mati akibat terjerat di sebuah ladang di pinggir hutan setelah kalung GPS-nya bekerja selama 7 bulan. Harimau JD-3 di TNGL diamati pergerakannya selama 79 hari (1.486 data posisi), dan harimau JD-5 di TNKS dipantau selama 238 hari pengamatan (7.007 data posisi). Kalung GPS yang pasang pada harimau JD-1, JD-3 dan JD-5 rusak setelah masing-masing beroperasi selama 7,5 bulan, 2,5 bulan dan 8 bulan. Kalung GPS pada JD-2 terlepas secara otomatis sesuai rencana setelah 8,5 bulan beroperasi (Tabel 6). Tabel 6. Jadwal operasi dan jumlah data posisi yang berhasil dikumpulkan melalui kerah GPS pada masing-masing harimau sumatera translokasi selama penelitian antara Harimau Lokasi Tanggal operasi kerah GPS Nama Kls umur JD-1 JD-2 BD-1 JD-3 JD-4 JD-5 Jantan dewasa Jantan dewasa Betina dewasa Jantan dewasa Jantan dewasa Jantan dewasa TNBBS 22/ /03/2009 TNBBS 22/07/ /03/2009 KHUM 21/12/ /07/2009 TNGL 27/12/ /03/2009 TNKS 05/06/ /06/2009 TNKS 20/12/ /08/2011 N hari operasi N data posisi Keterangan GPS rusak GPS lepas otomatis Harimau mati GPS rusak 7 71 Harimau mati GPS rusak

2 64 Sebelum ditranslokasikan, harimau jantan dewasa JD-1 dan JD-2 ditangkap oleh petugas Balai KSDA Aceh di lokasi yang sama, yaitu di satu desa pesisir Kabupaten Aceh Selatan. Harimau JD-1 dan JD-2 masingmasing ditangkap pada 9 Nopember 2007 dan 25 Nopember 2007, dengan alasan bahwa kedua harimau tersebut sering memasuki perkampungan hingga meresahkan masyarakat. Habitat di tempat asal JD-1 dan JD-2 merupakan hutan dataran rendah kering, yang umumnya merupakan hutan bekas HPH yang bertopografi perbukitan. Kawasan tersebut terletak di kaki Pegunungan Bukit Barisan sebelah barat. Setelah tertangkap, baik JD-1 maupun JD-2 dirawat di dalam kandang berbentuk kotak berjeruji besi di halaman belakang kantor Balai KSDA Aceh selama sekitar 7 bulan. Kemudian, keduanya dipindahkan ke karantina pemulihan di dekat lokasi translokasi di dalam kawasan TNBBS di Lampung. JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan dengan jarak sekitar km dari tempat asalnya di Aceh Selatan, ke kawasan hutan TNBBS di Lampung. Harimau jantan JD-3 ditangkap 15 Nopember 2008 di satu desa tepi pantai di Aceh Barat. JD-3 juga ditangkap akibat sering memasuki desa dan diduga telah sering memangsa hewan-hewan ternak milik masyarakat desa. Tempat hidup asal JD-3 di Aceh Barat merupakan hutan dataran rendah kering dan hutan-hutan bekas HPH yang topografinya berbukit-bukit di kaki Pegunungan Bukit Barisan sebelah barat. Setelah mendapat perawatan selama 42 hari, JD-3 ditranslokasikan dengan jarak sekitar 200 km dari tempat asalnya di kawasan pantai barat Aceh ke kawasan hutan di TNGL yang berbatasan dengan kawasan bekas HPH di kaki bagian timur Pegunungan Bukit Barisan. Harimau betina dewasa BD-1 ditangkap pada 3 Desember 2008 di satu desa di Kabupaten Aceh Utara, di wilayah timur laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. BD-1 evakuasi karena sering memasuki pemukiman dan memangsa hewan ternak masyarakat. Habitat asal BD-1 di Aceh Utara merupakan hutan perbukitan dan pegunungan rendah. Kawasan tersebut merupakan sisi timur dari Pegunungan Bukit Barisan. Setelah 18 hari

3 65 dikarantina, BD-1 langsung ditranslokasikan ke wilayah terpencil di kawasan hutan Ulu Masen, yang berjarak sekitar 70 km dari tempat dimana BD-1 ditangkap. Harimau jantan dewasa JD-5 berhasil diselamatkan petugas Balai KSDA Sumatera Barat pada 24 Nopember Harimau ini terjebak selama beberapa hari dalam lubang perangkap yang dibuat masyarakat untuk menangkap rusa, di hutan dekat sebuah desa di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Habitat JD-5 di tempat asalnya adalah hutan dataran rendah yang berbukit-bukit, di sisi barat Pegunungan Bukit Barisan. Sekitar tiga minggu setelah penangkapannya (20 Desember 2010), JD-5 di translokasikan ke satu areal hutan di TNKS yang berbatasan dengan perkebunan sawit, dengan jarak sekitar 74 km dari tempat asalnya ditangkap. 5.1 Pola Penggunaan Ruang Pergerakan Panjang dan Bentuk Lintasan Pergerakan Menurut (Ahearn et al. 2001) pola lintasan pergerakan harimau dicirikan melalui jarak dan arah pergerakannya. Dengan menggunakan data dari hari-hari observasi lengkap, diketahui bahwa rata-rata jarak pergerakan harian yang ditempuh oleh harimau sumatera translokasi berkisar antara 2,80 hingga 4,00 km. Rata-rata jarak pergerakan dari seluruh harimau adalah 3,52 km (Tabel 7). Jarak pergerakan harian betina dan jantan secara signifikan berbeda (U = 44473; P= 0,000). Harimau betina menempuh rata-rata jarak harian lebih panjang dibandingkan dengan jantan. Rata-rata jarak tempuh harimau jantan JD-1 adalah 3,51 km/hari (kisaran 0,06-13,92 km/hari), sedangkan harimau jantan JD-3 dan JD-5 memiliki rata-rata jarak pergerakan masing-masing 2,80 km (kisaran 0,05-8,00 km/hari untuk JD-3) dan 3,32 km/hari (kisaran 0,14-18,99 km/hari untuk JD-5). Satu-satunya harimau betina BD-1 yang juga menggunakan data satu lokasi setiap 0,5 jam memiliki rata-rata jarak tempuh 4,00 km/hari (kisaran 0,20-11,33 km/hari). Hasil penelitian Smith (1993) di TN Chitwan, Nepal,

4 66 menyatakan sebaliknya dimana harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh daripada harimau betina. Selain untuk pencarian hewan mangsa, panjangnya penjelajahan harimau jantan lebih dikarenakan untuk menjaga wilayah teritori serta pencarian betina pasangan kawin. Sunquist (2010) berpendapat bahwa luasnya daerah jelajah jantan lebih disebabkan untuk penguasaan betina daripada penguasaan sumber pakan. Menurut observasi Valen (2011) harimau jantan akan memberikan tanda dengan cara menyemprotkan urin serta sekresi dari kelenjar anal lebih sering pada wilayah jelajahnya ketika datang masa-masa estrus harimau betina. Harimau jantan mengunjungi betina tiga sampai lima kali per bulan di dalam daerah jelajahnya dan akan bergerak lebih lambat bila sedang bersama atau mencari pasangan betina untuk kawin (Ahearn et al. 2001). Tabel 7. Rata-rata jarak pergerakan harian dan jarak tempuh maksimum hari-mau sumatera translokasi. Harimau Lokasi N hari observasi Rata-rata jarak tempuh (km) hari + SD siang + SD malam + SD Jarak tempuh maks/hari (km) JD-1 TNBBS 223 3,51 + 3,01 1,74 + 1,96 1,77 + 2,06 13,92 JD-3 TNGL 68 2,80 + 2,19 1,43 + 1,22 1,37 + 1,22 8,00 JD-5 TNKS 236 3,32 + 2,25 1,54 + 1,56 1,78 + 1,45 18,99 BD-1 EUM 208 4,00 + 2,41 2,27 + 1,74 1,74 + 1,26 11,33 Jantan 527 3,33 + 2,60 1,61 + 1,70 1,72 + 1,72 18,99 Betina 208 4,00 + 2,41 2,27 + 1,74 1,74 + 1,26 11,33 Rata-rata 735 3,52 + 2,56 1,80 + 1,74 1,73 + 1,60 18,99 Adanya perbedaan jarak jelajah harian pada setiap individu harimau translokasi di Sumatera ini sangat dimungkinkan akibat perbedaan tipe habitat utama dan kondisi topografi di masing-masing areal pelepas-liarannya. Lokasi pelepas-liaran harimau jantan JD-1 dan JD-2 di TNBBS serta JD-5 di TNKS, didominasi oleh belukar/hutan sekunder muda dan hutan dataran rendah dengan topografi umumnya datar. Lokasi translokasi jantan JD-3 di TNGL didominasi oleh hutan pegunungan rendah dan dataran rendah dengan tingkat kelerengan umumnya curam hingga sangat curam. Lokasi Ulu Masen (tempat BD-1 dilepas-liarkan) didominasi oleh hutan pegunungan rendah dan

5 67 belukar/sekunder muda dengan kelerengan datar-landai hingga curam. Konsekuensi dari perbedaan ketinggian tempat, medan dan tipe habitat adalah terjadinya perbedaan dalam keragaman dan kelimpahan hewan mangsa. Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kelimpahan hewan mangsa harimau di hutan dataran rendah dengan ketinggian meter dpl lebih tinggi dibandingkan dengan di hutan pegunungan rendah dengan ketinggian meter dpl. Dengan demikian, harimau BD-1 di Ulu Masen membutuhkan usaha yang lebih besar dengan melakukan perjalanan yang lebih panjang untuk mendapatkan hewan mangsanya. Data hasil observasi juga menunjukkan bahwa KHUM (tempat BD-1 ditranslokasikan), memiliki kelimpahan relatif hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan) yang paling rendah dibandingkan dengan lokasi pelepas-liaran harimau lainnya (Lampiran 1). Menurut Sunquist (2010) sebagian besar waktu harimau di alam dihabiskan untuk mencari pakan dan umumnya mereka menjelajah areal yang luas untuk memenuhi kebutuhan pakannya. Pendapat lain (Nowak 1991) menyatakan bahwa di Rusia timur jauh, dimana hewan mangsa tersebar secara luas, harimau siberia melakukan pergerakan hingga 60 km per hari. Selain itu, mengingat BD-1 adalah harimau betina, panjangnya perjalanan harian yang ditempuhnya mungkin juga ada kaitannya dengan upaya menemukan jantan siap kawin karena masa estrus harimau betina terjadi pada setiap tiga sampai sembilan minggu sekali (Nowak 1991, Ahearn et al. 2001). Lamanya masa estrus adalah tiga sampai enam hari pada setiap periode (Nowak 1991). Pada masa estrusnya harimau betina sering mengeluarkan suara auman untuk menarik harimau jantan (Sunquist 1981). Jackson (1996) menemukan bukti bahwa pada musim kawin, macan salju betina melakukan pergerakan satu setengah kali lebih panjang daripada biasanya. Barlow et al. (2011) melakukan studi menggunakan kalung GPS memperoleh rata-rata jarak tempuh harimau betina di hutan bakau Sundarbans, Bangladesh adalah sekitar 2,9 km/hari dengan jarak pergerakan

6 68 maksimum 10,8 km. Adanya perbedaan jarak tempuh antara harimau betina di dua lokasi yang sangat berjauhan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tipe habitat, dimana Sundarbans merupakan kawasan hutan bakau yang didominasi lahan basah, sementara KHUM merupakan kawasan yang didominasi oleh hutan pegunungan, yang secara alamiah memiliki kelimpahan hewan mangsa lebih rendah dibandingkan kawasan dataran rendah (Sunquist et al. 1999). Menurut Sunquist (2010) panjang atau pendeknya jarak tempuh harimau ada hubungannya dengan kelimpahan hewan mangsa, dimana di kawasan yang kelimpahan hewan mangsanya tinggi harimau tidak melakukan pencarian mangsa secara aktif. Namun, jarak pergerakan harimau sangat bervariasi tergantung lokasi dan habitat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum bentuk lintasan pergerakan semua harimau translokasi dilakukan secara zig-zag ketika melakukan eksplorasi di dalam daerah jelajahnya. Hal ini kemungkinan ada kaitannya dengan pemilihan jalan lintasan dalam pergerakannya. Sunquist (2010) berpendapat bahwa harimau sering ditemukan menggunakan jalanjalan bekas logging, jalan setapak dan alur-alur sungai di dalam hutan, dalam melakukan pergerakan di antara lokasi perburuan hewan mangsa. Hasil pengamatan pada saat observasi lapangan, juga menunjukkan bahwa jejakjekak harimau sangat sering ditemukan di jalan setapak yang biasa digunakan manusia di dalam hutan. Data pergerakan juga menunjukkan bahwa kadang-kadang sesekali harimau translokasi terlihat melakukan perjalanan panjang membentuk garis lurus, yang langsung menuju ke suatu tempat. Pergerakan seperti ini sepertinya berhubungan dengan perilaku kawin terutama pada harimau jantan, kemungkinan harimau akan langsung bergerak menuju daerah jelajah betina ketika mendapat tanda dari harimau betina yang siap kawin. Ahearn et al. (2001) berpendapat bahwa harimau jantan akan melakukan perjalanan langsung menuju sasaran ketika mencari hewan mangsa dan pasangan kawin, dan biasanya bergerak lebih lambat ketika berada pada daerah jelajah betina.

7 69 Harimau juga akan tinggal selama beberapa hari pada lokasi yang sama setelah mendapatkan hewan mangsa. Selain itu, harimau-harimau translokasi juga melakukan pergerakan memutar kembali mengunjungi tempat-tempat yang sebelumnya didatangi, setelah menjelajah selama beberapa hari atau beberapa minggu. Menurut Sunquist (2010), dalam pencarian hewan mangsanya harimau jarang sekali melakukan pengembaraan, tetapi pergerakan mereka sangat terarah. Harimau juga dapat mengingat dengan baik areal-areal tempat berburu hewan mangsa di dalam daerah jelajahnya, dan mereka juga hafal akan jalur-jalur yang terbaik di antara dua lokasi berburu mangsanya tersebut. Pergerakan harimau-harimau translokasi selalu diarahkan menuju batasbatas dua tipe habitat yang berbeda dan ke tepi-tepi hutan antara hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda. Pola pergerakan ini sepertinya erat kaitannya dengan kebiasaan hewan mangsa harimau yang selalu mencari makan di tepi-tepi atau batas hutan dengan vegetasi belukar. Karanth & Sunquist (1992) menyatakan bahwa mosaik lansekap yang terdiri atas hamparan hutan dan padang rumput, merupakan habitat yang sangat mendukung kehidupan hewan ungulata. Dalam penjelajahannya, terdapat kecenderungan bahwa harimau bergerak mengikuti kontur topografi dan punggungan bukit pada areal perbukitan dan pegunungan. Harimau umumnya menghindari daerah yang sangat terjal, dan akan memilih punggung bukit yang terendah apabila ingin melintasinya. Bentuk serta pola lintasan harimau translokasi setiap bulan disajikan pada Lampiran 2, 3, 4, 5 dan Panjang Pergerakan pada Siang dan Malam Rata-rata jarak pergerakan harimau pada siang hari berkisar antara 1,43-2,27 km, sedangkan pada malam hari antara 1,37-1,78 km. Secara individu, hasil uji menunjukkan bahwa pada dua harimau jantan, yaitu JD-1 (Z= -0,184; P= 0,854) dan JD-3 (Z= -0,706; P= 0,480), tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata jarak pergerakan pada siang dengan malam

8 70 harinya. Pada jantan JD-5 (Z= -2,667; P= 0,008) terdapat perbedaan jarak pergerakan antara siang dan malam hari, dimana pada malam hari harimau ini menempuh jarak lebih panjang dibandingkan siang hari. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh kondisi lokasi pelepas-liaran JD-5 di TNKS, yang mana daerah jelajah JD-5 didominasi oleh habitat belukar/sekunder muda (47,0%) serta mayoritas elevasinya adalah meter dpl (59,8%). Pada kondisi tersebut dapat diprediksi bahwa suhu udara lingkungan umumnya panas pada siang hari, sehingga pergerakan atau penjelajahan akan lebih nyaman dilakukan pada malam hari yang suhu udara lingkungannya lebih dingin. Namun, secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata jarak pergerakan siang dan malam hari pada harimau jantan (Z= -1,348; P= 0,178). Rata-rata jarak pergerakan siang hari dan malam hari pada harimau betina secara signifikan berbeda (Z= -3,711; P= 0,000), dimana pada harimau betina rata-rata jarak jelajah pada siang hari (2,27 km) lebih panjang daripada malam hari (1,74 km). Lokasi pelepas-liaran harimau BD-1 di Ulu Masen didominasi oleh habitat hutan pegunungan rendah (37,0%) dan elevasi umumnya diatas meter dpl (55,1%). Secara alamiah suhu udara lingkungan di dalam daerah jelajah BD-1 sejuk meskipun pada siang hari, sehingga pergerakan dan penjelajahan tetap nyaman meskipun dilakukan pada siang hari. Hamilton (1976) dan Sunquist (1981) melaporkan bahwa aktivitas macan tutul dan harimau erat kaitannya dengan temperatur udara, mereka umumnya tidak beraktivitas pada saat suhu udara panas di siang hari. Menurut Sunquist (2010) meskipun harimau merupakan satwa yang cenderung nokturnal, pada beberapa kasus perburuan hewan mangsa juga terjadi pada siang hari. Berdasarkan distribusi frekuensi jarak tempuh hariannya, ternyata umumnya harimau menempuh jarak < 5 km dalam sehari (76,9%) (Gambar 11). Sementara itu, masing-masing 19,0% dan 29,3% frekuensi rata-rata jarak tempuh harian harimau jantan dan betina adalah antara 5-10 km, sedangkan frekuensi untuk jarak tempuh diatas 10 km/hari hanya 1,3% pada jantan dan

9 71 1,9% pada betina. Hal ini memberi indikasi bahwa hanya pada kondisi dan situasi tertentu saja harimau menempuh perjalanan panjang dalam satu hari. Perjalanan panjang mungkin dilakukan harimau pada saat-saat mereka ingin menuju satu sasaran tertentu, misalnya lokasi tempat perburuan hewan mangsa atau pada jantan ketika menuju daerah jelajah betina untuk kawin. Gambar 11. Persentase distribusi frekuensi jarak pergerakan harian harimau sumatera yang ditranslokasikan Daerah Jelajah Waktu Pembentukan Daerah Jelajah Kajian terhadap data posisi setiap minggu menggunakan MCP100% memberi indikasi bahwa setiap harimau yang ditranslokasikan membutuhkan waktu yang berbeda, berkisar antara 8-17 minggu, untuk menetapkan daerah jelajah di lokasinya yang baru (Gambar 12). Pada harimau jantan daerah jelajah tersebut terbentuk masing-masing setelah 10 minggu untuk harimau JD-1, 11 minggu untuk JD-2, 8 minggu untuk JD-3, dan 13 minggu untuk JD-5. Sementara itu, harimau betina BD-1 membutuhkan waktu 17 minggu untuk menetapkan daerah jelajahnya.

10 72 Terdapat beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi lamanya waktu yang dibutuhkan setiap harimau translokasi dalam menetapkan daerah jelajahnya. Faktor-faktor tersebut antara lain umur dan jenis kelamin harimau, serta faktor kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa utama di lokasi tempat dimana harimau masing-masing dilepas-liarkan. Harimau betina BD-1 dan harimau jantan JD-5 membutuhkan waktu paling lama dalam menetapkan daerah jelajahnya, yaitu masing-masing 17 dan 13 minggu. Keduanya di translokasikan ke daerah dengan KR harimau lokal tertinggi (Tabel 8). Gambar 12. Daerah Jelajah kumulatif (km 2 ) mingguan yang dibentuk oleh harimau translokasi. Dengan analisis korelasi rank Spearman (N=5) diketahui bahwa kelimpahan harimau lokal di lokasi pelepas-liaran (r= 0,949; P= 0,014) merupakan satu-satunya faktor yang secara signifikan paling berpengaruh terhadap lamanya waktu harimau translokasi menetapkan daerah jelajahnya (Tabel 8). Sementara itu, faktor kelimpahan hewan mangsa, umur dan jenis kelamin harimau tidak signifikan pengaruhnya terhadap lamanya waktu pembentukan daerah jelajah harimau translokasi. Meskipun melalui uji

11 73 statistik tidak berpengaruh, namun data menunjukkan adanya kecenderungan bahwa lamanya waktu harimau translokasi membangun daerah jelajah tetapnya, dipengaruhi juga oleh faktor kelimpahan hewan mangsa di lokasi pelepas-liaran serta umur harimau ketika dilepas-liarkan. Harimau JD-1 dan JD-2 ternyata relatif cepat dalam menetapkan daerah jelajah, yaitu 10 dan 11 minggu. Keduanya ditranslokasikan ke areal dengan KR hewan mangsa paling tinggi (yaitu 0,8 tanda/km) dibanding areal translokasi lainnya (Lampiran 1). Baik harimau JD-1 maupun JD-2, keduanya juga berumur paling tua (6 dan 4 tahun) ketika dilepas-liarkan, sehingga sepertinya mereka lebih siap untuk menempati areal kosong di antara daerah jelajah harimau yang telah ada lebih dahulu di sekitar lokasi translokasinya. Tabel 8. Waktu dibutuhkan harimau translokasi dalam menetapkan daerah jelajahnya serta nilai KR harimau lokal dan mangsa utama pada masing -masing lokasi pelepas-liaran. ID Lokasi Waktu penetapan (minggu) Kelamin (1=jantan; 2=betina) Umur (thn) KR harimau lokal (tanda/km) KR mangsa utama (tanda/km) JD-1 TNBBS ,05 0,80 JD-2 TNBBS ,05 0,80 BD-1 KHUM ,09 0,25 JD-3 TNGL ,01 0,45 JD-5 TNKS ,09 0,31 Menurut laporan Smith et al. (1987), selain harimau jantan soliter yang memiliki wilayah teritori, setiap harimau betina juga memiliki daerah jelajah. Meskipun ukuran daerah jelajahnya lebih kecil dibandingkan jantan, namun daerah jelajah betina lebih stabil. Smith et al. (1987) dalam penelitiannya menemukan beberapa kasus perkelahian antara dua harimau betina yang bertemu pada satu lokasi di dalam hutan. Dengan adanya sistem teritorialitas baik pada harimau jantan maupun betina, maka jika satu harimau ditranslokasikan ke satu wilayah dimana terdapat harimau lokal yang lebih dahulu menghuni wilayah tersebut, maka akan dibutuhkan waktu untuk

12 74 mencari wilayah kosong yang dapat dijadikan daerah jelajah oleh harimau yang ditranslokasikan tersebut Luas Daerah Jelajah Setiap individu harimau yang ditranslokasi dan dilepas-liarkan di kawasan yang berbeda di Sumatera, menetapkan daerah jelajah dengan yang berbeda-beda. Dengan banyaknya data yang dikumpulkan melalui dari kalung GPS memungkinkan dilakukannya pendugaan luas daerah jelajah harimau dengan metode Fixed Kernel (FK). Perhitungan dengan FK95% memberikan variasi luas jelajah harimau jantan antara 37,5-188,1 km 2 dan betina 376,8 km 2 (Tabel 9). Perkiraan ukuran daerah jelajah dengan metode FK memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan sampel data yang besar (Seaman & Powell 1996, Mitchell 2007). Tabel 9. Luas daerah jelajah harimau yang diamati dengan kalung GPS yang dianalisis berdasarkan Minimum Convex Polygon dan Fixed Kernel. Harimau Lokasi N hari pengamatan N data posisi Daerah jelajah (km 2 ) MCP (100%) FK (95%) FK (50%) JD-1 TNBBS ,2 140,9 27,9 JD-2 TNBBS ,1 37,5 4,9 JD-3 TNGL ,2 28,9 JD-5 TNKS ,1 42,2 BD-1 KHUM ,3 376,8 80,2 Luas daerah jelajah yang dibangun oleh masing-masing harimau translokasi tidak dipengaruhi oleh umur (r= -0,580; P= 0,306), jenis kelamin (r= 0,000; P= 1,000), kelimpahan harimau lokal (r= 0,264; P= 0,668) serta kelimpahan hewan mangsa (r= 0,667; P= 0,219). Namun demikian terdapat kecenderungan bahwa luas daerah jelajah yang dibentuk oleh setiap harimau translokasi berhubungan dengan kelimpahan hewan mangsa di masingmasing lokasi translokasi. Ahearn et al. (2001) melaporkan bahwa kelimpahan spesies hewan mangsa memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan daerah jelajah harimau. Smith et al. (1987) juga

13 75 berpendapat bahwa ukuran daerah jelajah harimau betina dipengaruhi oleh kelimpahan hewan mangsa dan kualitas habitat. Harimau jantan JD-1 dan JD-2 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terkecil dibanding harimau translokasi lainnya. Kedua harimau tersebut dilepas-liarkan di TNBBS yang kelimpahan relatif hewan mangsa utamanya tertinggi. Sementara itu, harimau betina BD-1 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terluas dibandingkan dengan harimau translokasi lainnya. BD-1 dilepas-liarkan di KHUM yang memiliki kelimpahan hewan mangsa utama terendah (Lampiran 1). Lebih jauh, Griffiths (1994) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan daerah jelajah harimau adalah ketersediaan hewan mangsa, dimana luas daerah jelajah harimau meningkat seiring dengan berkurangnya kepadatan hewan mangsa. Studi Franklin et al. (1999) menunjukkan bahwa semakin tinggi kelimpahan hewan mangsa utamanya, maka semakin kecil pula daerah jelajah satu individu harimau. Menurut (Sunquist 2010), luasnya daerah jelajah pada harimau jantan lebih disebabkan untuk penguasaan betina daripada penguasaan sumber pakan. Rata-rata luas daerah jelajah MCP100% yang dihasilkan dari JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan dalam waktu dan lokasi yang sama, di hutan dataran rendah di TNBBS adalah 129 km 2. Perkiraan ini mirip dengan perkiraan terdahulu dengan metode yang sama (Franklin et al. 1999), yang menyatakan bahwa luas daerah jelajah harimau jantan dewasa di hutan dataran rendah TN Way Kambas adalah sekitar 110 km 2. Luas daerah jelajah MCP100% harimau betina BD-1 yang dilepas-liarkan di KHUM dan harimau jantan yang dilepas-liarkan di TNKS memiliki luas jelajah yang sangat luas masing-masing 610,3 km 2 dan 400 km 2. Ukuran daerah jelajah tersebut lebih luas jika dibandingkan dengan perkiraan luas jelajah harimau sumatera liar yang pernah ada sebelumnya. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan data yang digunakan dalam menduga ukuran daerah jelajah dengan metode MCP. Pendugaan-pendugaan luas daerah jelajah harimau yang ada sebelumnya (Tabel 10) umumnya cenderung underestimate karena

14 76 dilakukan menggunakan data dari camera-trapping dan radio-tracking. Kedua metode tersebut memiliki keterbatasan baik dalam hal penempatan camera trapping maupun dalam pelacakan signal radio-tracking, sehingga harimau studi sulit dilacak keberadaannya ketika menjauh dari wilayah studi. Estimasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan data posisi dari kalung GPS, sehingga hasilnya jauh lebih akurat dari hasil-hasil studi yang pernah ada di Sumatera, karena harimau-harimau studi selalu terlacak posisinya dimana pun mereka berada. Tabel 10. Perkiraan rata-rata luas daerah harimau sumatera dan pada beberapa subspesies harimau lainnya, dengan metode yang digunakan, jumlah harimau (n) dan referensi. No Lokasi Kelas umur Metode* N Rata-rata ukuran daerah jelajah (kisaran; km 2 ) Referensi 1 Chitwan (Nepal) 2 Chitwan (Nepal) 3 Panna (India) 4 Nagarahole (India) 5 Shikote-Alin (Rusia) 6 Way Kambas (Sumatera) 7 Ulu Masen (Sumatera) 8 Sundarbans (Banglades) 9 Chitwan (Nepal) 10 Panna (India) 11 Nagarahole (India) 12 Shikote-Alin (Rusia) 13 Jambi (Sumatera) 14 Bukit Barisan (Sumatera) 15 Way Kambas (Sumatera) 16 Leuser (Sumatera) 17 Leuser (Sumatera) 18 Kerinci (Sumatera) BD RT (MCP) 3 16 (15,3-16,5) Sunquist (1981) BD RT (100% MCP) 7 20,7 (10-51) Smith et al. (1987) BD RT (MCP) 1 27 Chundawat et al. (1999) BD RT (95% MCP) 1 16,5 Karanth & Sunquist (2000) BD RT (95% MCP) ( ) Goodrich et al. (2005) BD CT (100%MCP) Franklin et al. (1999) BD GPS (95%FK) 1 376,8 Penelitian ini BD GPS (95% MCP) 2 12,3 (10,6-14,1) Barlow et al. (2011) JD RT (MCP) 2 52,5 (44,7-60,2) Sunquist (1981) JD RT (MCP) Chundawat et al. (1999) JD RT (95% MCP) 4 43 (25,7-57,8) Karanth & Sunquist (2000) JD RT (MCP) 5 1,385 Goodrich et al. (2010) JD RT (95% MCP) 1 12,2 Maddox et al. (2007) JD GPS (95%FK) 2 89,2 (37,5-140,9) Penelitian ini JD CT (MCP) Franklin et al. (1999) JD GPS (95%FK) 1 141,2 Penelitian ini JD CT (MCP) ( ) Griffiths (1994) JD GPS (95%FK) 1 188,1 Penelitian ini

15 77 Apabila data memungkinkan, sebaiknya metode FK digunakan dalam memprediksi ukuran daerah jelajah satwaliar. Penggunaan metode MCP akan selalu overestimate, karena poligon daerah jelajah yang dibentuk dengan metode ini didasarkan pada titik-titik terluar posisi harimau. Namun, pada kenyataanya, sebetulnya banyak areal di dalam daerah jelajah harimau yang dibentuk dengan MCP, sama sekali tidak digunakan oleh harimau dalam penjelajahannya. Menurut Nilsen et al. (2008) sebaiknya penggunaan metode MCP dihindari pada studi-studi ekologi. Mitchell (2007) menyatakan pendugaan luas daerah jelajah dengan metode FK membutuhkan banyak data, sehingga sulit dipenuhi oleh data-data yang dihasilkan dari camera-trapping atau radio-tracking. FK merupakan salah satu metode yang direkomendasikan untuk digunakan dalam menganalisis ukuran daerah jelajah satwa liar (Mitchell 2007). Pada Tabel 10 juga dapat dilihat bahwa ukuran daerah jelajah harimau sangat bervariasi. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat variasi yang tinggi pada penggunaan wilayah jelajah pada harimau, baik sesama subspesies maupun di antara subspesies. Selain itu, harimau yang ditraslokasikan ke kawasan hutan yang baru akan membutuhkan areal yang lebih luas, sehubungan dengan adanya masa orientasi sebelum mereka membangun daerah jelajah tetapnya. Masa orientasi ini dibutuhkan mengingat pada saat harimau-harimau tersebut dilepas-liarkan di kawasan yang baru, di tempat tersebut sudah terdapat populasi harimau lokal. Oleh karena itu, pengukuran luas daerah jelajah harimau yang ditranslokasikan, sebaiknya dilakukan pada saat harimau tersebut sudah merasa nyaman tinggal di lokasinya yang baru. Kajian yang dilakukan oleh Franklin et al. (1999) menunjukkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera betina dewasa berkisar antara km 2, sedangkan Griffiths (1994) melaporkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera jantan dewasa sangat bervariasi, tergantung pada ketinggian habitat dari permukaan laut (dpl). Berdasarkan perkiraannya, luas daerah jelajah harimau jantan dewasa sekitar 180 km 2 pada kisaran ketinggian antara meter dpl, 274 km 2 pada ketinggian antara meter dpl, dan 380

16 78 km 2 pada ketinggian diatas meter dpl. Berdasarkan studi kamera-trap jangka panjang, Maddox et al. (2004) melaporkan bahwa luas daerah jelajah seekor harimau sumatera jantan pada kawasan hutan dataran rendah di Jambi adalah 14,2 km 2 sedangkan betina dewasa rata-rata 7,9 km 2. Jantan dewasa JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan ke kawasan yang sama pada waktu yang juga bersamaan di hutan dataran rendah TNBBS. Namun, yang menarik adalah bahwa daerah jelajah FK95% yang dibangun oleh kedua harimau jantan tersebut sangat berbeda, dimana daerah jelajah yang dibentuk oleh JD-1 (140,9 km 2 ) hampir empat kali lebih luas dari luas daerah jelajah JD-2 (37,5 km 2 ). Selain itu, selama 7,5 bulan pengamatan, diketahui bahwa hampir 100% daerah jelajah JD-2 tumpang-tindih dan berada di dalam daerah jelajah JD-1. Hal ini memberi indikasi bahwa daerah jelajah harimau jantan juga tidak eksklusif, yakni suatu areal yang menjadi bagian dari daerah jelajah seekor harimau jantan, mungkin juga dapat digunakan oleh jantan lain pada waktu yang berlainan. Selain itu, pada kasus ini ada kemungkinan juga bahwa jantan JD-1 lebih dominan. Pada saat dilepas-liarkan, JD-1 berumur sekitar 6 tahun dengan berat tubuh 122 kg; sedangkan JD-2 berumur sekitar 4 tahun dengan berat tubuh 73 kg. Sebagai harimau jantan yang lebih dominan, JD-1 dapat menggunakan kawasan yang lebih luas, sehingga selain memiliki akses yang lebih besar terhadap hewan mangsa, JD-1 juga memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan harimau betina. Fixed Kernel 50% digunakan untuk menentukan areal inti (core areal) yang paling sering digunakan oleh satwa liar di dalam daerah jelajahnya (Aliaga-Rossel et al. 2008). Menggunakan metode FK50% (Edwards et al. 2001, Barlow et al. 2011) dapat diprediksi bahwa luas daerah jelajah inti individu harimau jantan translokasi adalah masing-masing JD-1= 27,9 km 2, JD-2= 4,9 km 2, JD-3= 28,9 km 2 dan JD-5= 42,2 km 2 (Lampiran 7, 8, 9 dan 10); sedangkan daerah jelajah inti harimau betina BD-1= 80,2 km 2 (Lampiran 11). Areal inti yang sering digunakan harimau sumatera translokasi berkisar antara 13,1% - 22,4% dari ukuran daerah jelajahnya masing-masing. Dari

17 79 data yang terkumpul, ada kecenderungan bahwa semakin besar luas daerah jelajah harimau translokasi, semakin besar pula persentase luas areal intinya. Selanjutnya memperhatikan pada bentuk dari setiap daerah jelajah yang dibangun dengan metode FK95%, terlihat bahwa daerah jelajah harimau jantan JD-3 yang ditranslokasikan di kawasan hutan TNGL bentuknya memanjang (Lampiran 9). Hal ini mengindikasikan bahwa sebetulnya sampai akhir masa pengamatan (selama 97 hari), harimau JD-3 ini masih belum menetapkan daerah jelajahnya. Kemungkinan besar di lokasi dimana JD-3 dilepas-liarkan sudah ada harimau jantan dewasa lain yang mengokupasi wilayah tersebut, sehingga JD-3 masih menjadi individu harimau pelintas (transient atau floater) yang belum memiliki daerah jelajah yang tetap (Karanth & Chundawat 2002) Bentuk Daerah Jelajah Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa selama masa pengamatan daerah jelajah harimau jantan dewasa JD-1 yang ditranslokasikan ke TNBBS berbentuk menyerupai trapesium terbalik dengan panjang 20,08 km dan lebar 10,95 km. Namun, tidak semua areal di dalam poligon daerah jelajah digunakan oleh JD-1. Pada tingkat FK95% terlihat bentuk daerah jelajah JD- 1 menyerupai lingkaran lonjong (oval) dengan jarak terpanjang 16,33 km dan terlebar 10,95 km. Lampiran 8 memperlihatkan bahwa bentuk daerah jelajah harimau jantan JD-2, yang lokasi translokasinya sama dengan JD-1 yaitu di TNBBS, terlihat seperti layang-layang terbalik dengan panjang 13,30 km dan lebar 8,58 km. Di dalam poligon daerah jelajah JD-2 juga terlihat areal-areal yang tidak digunakan oleh JD-2 selama masa pengamatan. Bentuk daerah jelajah JD-2 yang dihasilkan oleh FK95% adalah seperti lingkaran lonjong (oval) dengan jarak terpanjang 6,89 km dan terlebar 5,28 km. Lain halnya dengan JD-3 yang ditranslokasi ke TNGL, harimau jantan dewasa ini membangun daerah jelajah yang berbentuk seperti jajar genjang dengan panjang 31,47 km dan lebar 13,88 (Lampiran 9). Harimau JD-3 ini

18 80 diduga belum menentukan daerah jelajah tetapnya hingga akhir masa 2,5 bulan observasi, karena daerah jelajah hasil analisis FK95% masih berbentuk seperti koridor dengan jarak terpanjang 31,47 km dan terlebar 7,69 km. Pada Lampiran 10 diperlihatkan bahwa harimau jantan JD-5 selama 8 bulan pengamatan di TNKS membangun daerah jelajah yang bentuknya seperti persegi panjang 32,16 km x 14,33 km. Sama halnya dengan harimau lainnya yang mana di dalam daerah jelajahnya ini terdapat wilayah-wilayah yang sebetulnya tidak digunakan oleh JD-5 selama penjelajahannya. Dengan metode FK95% diketahui bahwa bentuk daerah jelajah JD-5 adalah belah ketupat berukuran 13,79 km x 13,09 km. Satu-satunya harimau betina dewasa yang ditranslokasi ke kawasan Ulu Masen membentuk daerah jelajah seperti lingkaran lonjong (oval) dengan panjang 37,14 km dan panjang 25,61 km (Lampiran 11). Dalam wilayah jelajah yang terbangun ini juga sebetulnya banyak areal yang tidak digunakan BD-1 dalam pergerakannya. Melalui FK95%, daerah jelajah harimau betina BD-1 berbentuk seperti layang-layang yang berukuran 35,80 km x 23,01 km. Dari hasil pengamatan diketahui harimau jantan JD-1 dan betina BD-1 menggunakan lokasi pelepas-liarannya sebagai bagian dari daerah jelajahnya. Harimau jantan JD-2 dan JD-5 sepertinya meninggalkan areal pelepas-liaran dan membangun daerah jelajah pada jarak masing-masing 4,06 km dan 14,64 km dari tempat mereka dilepas-liarkan. Harimau jantan JD-3 meninggalkan lokasi translokasi sejauh 31,52 km dan belum menetapkan daerah jelajahnya hingga akhir masa pengamatan. Menjauhnya JD-2, JD-5 dan JD-3 dari lokasi pelepas-liarannya mungkin akibat sudah adanya harimau lain yang mendiami lokasi pelepas-liarannya, sehingga mereka harus berusaha mencari wilayah kosong untuk dijadikan daerah jelajahnya. Contohnya, bergesernya harimau jantan JD-2 dari lokasi peliarannya akibat wilayah tersebut telah dijadikan bagian dari daerah jelajah harimau jantan JD-1, yang diliarkan pada lokasi dan waktu yang sama dengan JD-2. Berdasarkan survey transek sign (Lampiran 1) diketahui juga bahwa lokasi pelepas-liaran harimau jantan JD-3 dan JD-5 telah kuasai oleh harimau

19 81 lokal yang ada sebelumnya, namun kedua harimau ini kemungkinan kalah bersaing sehingga mereka harus pergi meninggalkan lokasi pelepasliarannya. Faktor lain yang juga mungkin turut mendorong harimau JD-3 dan JD-5 untuk pergi meninggalkan lokasi pelepas-liarannya adalah tipe vegetasi dan topografi wilayah. JD-3 dilepas-liarkan di areal yang didominasi oleh hutan pegunungan rendah dan tinggi dengan topografi mayoritas sangat curam, sedangkan JD-5 dilepas-liarkan di areal yang didominasi oleh perkebunan sawit skala besar. Kedua harimau tersebut (JD-3 dan JD-5) diketahui bermigrasi ke areal yang didominasi oleh hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda Karakteristik Daerah Jelajah Lima harimau sumatera yang diamati dilepas-liarkan di empat lokasi yang berbeda, yaitu TN Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat dan kawasan hutan Ulu Masen. Hasil overlay antara data posisi dengan peta tutupan vegetasi MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer), menunjukkan bahwa areal yang dijadikan daerah jelajah harimau jantan JD-1 di TNBBS didominasi oleh vegetasi belukar/hutan sekunder muda (83,62%) dan hutan dataran rendah (13,95%). Daerah jelajah harimau jantan JD-2, yang juga dilepas-liarkan di TNBBS, juga umumya merupakan vegetasi belukar/hutan sekunder muda (90,00%) dengan sebagain kecil hutan dataran rendah (9,24%) (Lampiran 12). Elevasi di dalam daerah jelajah JD-1 dan JD-2 seluruhnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara meter dpl (Lampiran 13), yang mayoritas topografi datar (kelas slope 0-8 persen) (87,46%) dengan sedikit landai (kelas slope 8-15 persen) (12,04%) (Lampiran 14). Selama pengamatan, kedua harimau baik JD-1 maupun JD-2 menghabiskan seluruh waktunya (100%) pada areal dataran rendah dengan ketinggian meter dpl, dan seluruh waktunya (100%) pada areal-areal yang datar dengan kelerengan 0-8 persen. Sesuai dengan pernyataan O Brien et. al. (2003) bahwa medan pada ketinggian meter dpl di TNBBS didominasi oleh

20 82 dataran dan perbukitan. Kawasan yang dijadikan daerah jelajah JD-1 dan JD- 2 merupakan kaki Pegunungan Bukit Barisan dengan kisaran curah hujan antara mm hingga lebih dari mm per tahun, dan memiliki suhu udara 22 hingga 35 C. Hasil penelitian O Brien et. al. (2003) menunjukkan bahwa di kawasan tempat dimana JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan memiliki kepadatan harimau lokal 1,6 harimau/100 km 2. Hewan mangsa utama yang umum dijumpai di dalam daerah jelajah JD-1 dan JD-2 adalah babi hutan (Sus scrofa) and rusa sambar (Rusa unicolor). Hasil survey transek sign sepanjang 92 km di lokasi translokasi TNBBS, menghasilkan kelimpahan relatif (KR) harimau lokal sebesar 0,05 jejak/km dan KR hewan mangsa utama (babi hutan, rusa sambar dan kijang) sebesar 0,80 jejak/km (Lampiran 1). Areal yang menjadi daerah jelajah harimau jantan JD-3 di TNGL secara umum didominasi oleh vegetasi hutan pegunungan rendah (50,22%) dan hutan dataran rendah (36,87%), dengan sebagian kecil hutan pegunungan tinggi (7,54%) serta vegetasi belukar/hutan sekunder muda (5,36%) (Lampiran 12). Ketinggian elevasi pada wilayah jelajah JD-3 bervariasi mulai dari kurang dari 100 meter hingga diatas meter dpl, namun kelas ketinggian yang mendominasi wilayah tersebut adalah berturut-turut hutan antara meter dpl (34,18%), meter dpl (33,82%), dan meter dpl (26,24%) (Lampiran 13). Kondisi medan (terrain) sangat curam (kelas slope > 40 persen) (60,38%) medominasi lokasi translokasi JD- 3, dimana topografi yang lainnya adalah curam (17,37%) dan agak curam (10,74%). Sementara itu areal dengan topografi datar dan landai (kelas slope 0-15 persen) hanya 10,16% dari total luas areal (Lampiran 14). Namun, selama 2,5 bulan observasi harimau jantan JD-3 menghabiskan 38% waktunya untuk menjelajah pada areal dengan ketinggian meter dpl dan 44% waktunya mengeksplorasi areal dengan elevasi meter dpl. Selain itu, 42% waktu JD-3 digunakan untuk menjelajah pada daerah-daerah yang datar, dan 41% waktu lainnya digunakan untuk berkelana pada daerahdaerah dengan topografi sangat curam.

21 83 Seperti daerah-daerah lain di Sumatera, kawasan sekitar daerah jelajah JD-3 memiliki kisaran curah hujan antara mm hingga mm per tahun, dengan fluktuasi suhu udara mulai C. Wibisono & Pusparini (2011) melaporkan bahwa kepadatan harimau lokal minimum di sekitar lokasi translokasi JD-3 adalah 0,3 harimau/100 km 2. Mereka juga mendapati bahwa rusa sambar (Rusa unicolor), babi hutan (Sus scrofa) dan kijang (Muntiacus muntjac) merupakan hewan-hewan mangsa utama harimau di lokasi tersebut. Berdasarkan hasil transek sign sepanjang 83 km di sekitar lokasi translokasi JD-3 di TNGL diketahui bahwa KR harimau lokal sebesar 0,01 jejak/km dan KR hewan mangsa sebesar 0,45 jejak/km (Lampiran 1). Tutupan vegetasi mayoritas di dalam daerah jelajah harimau jantan JD- 5 di TNKS adalah belukar/hutan sekunder muda (40,37%) dan hutan dataran rendah (37,11%). Selain itu, di dalam daerah jelajah JD-5 juga terdapat vegetasi hutan pegunungan rendah (17,99%), hutan pegunungan tinggi (3,93%) dan perkebunan sawit skala besar (5,01%) (Lampiran 12). Daerah jelajah JD-5 juga didominasi oleh areal dengan ketinggian meter dpl (62,59,80%) dan meter dpl (26,72%) (Lampiran 13), serta mayoritas topografinya datar (61,53%) dan landai (19,57%) (Lampiran 14). Harimau jantan JD-5 menghabiskan sebagian besar waktunya (65%) menjelajah pada areal yang datar dan landai (12%). Harimau JD-5 juga memilih wilayah pada ketinggian meter dpl (64%) dan meter dpl (34%) sebagai tempat mencari hewan mangsa dan beraktivitas lainnya. Menurut Linkie et al. (2006), rata-rata curah hujan tahunannya sekitar mm dan kisaran suhu udara antara 7 hingga 28 C. Lebih jauh Linkie et al. (2006) memperkirakan bahwa kepadatan harimau di areal translokasi JD-5 di TNKS adalah sekitar 1,5-3,3 harimau/100 km 2. Dinata & Sugadrjito (2008) mengidentifikasi bahwa hewan mangsa utama harimau di kawasan ini adalah babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac). Survey transek sign sepanjang 136 km di TNKS menghasilkan KR harimau lokal 0,09 jejak/km dan KR hewan mangsa 0,31 jejak/km (Lampiran 1).

22 84 Kawasan yang dijadikan daerah jelajah harimau betina BD-1 di Ulu Masen didominasi oleh tiga tipe tutupan vegetasi, yaitu belukar/hutan sekunder muda (33,29%), hutan pegunungan rendah (30,84%), dan hutan pegunungan tinggi (17,73%); sedangkan hutan dataran rendah hanya 11,56% dari luas total daerah jelajah BD-1 (Lampiran 12). Mayoritas kawasan tersebut merupakan dataran tinggi pada elevasi > meter dpl (29,22%) dan antara meter dpl (25,88%). Selebihnya adalah areal-areal dengan ketinggian meter dpl (18,32%) dan meter dpl (19,76%) (Lampiran 13). Areal-areal dengan topografi sangat curam (kelas slope > 40 persen) dan curam umum dijumpai di sekitar daerah jelajah BD-1 (Lampiran 14). Namun, harimau betina BD-1 menghabiskan lebih dari separuh waktunya (64%) beraktivitas pada daerah dengan topografi datar dan landai. BD-1 juga menghabiskan 64% waktunya dihabiskan di areal-areal dengan ketinggian meter dpl dan m dpl (15%). Pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa survey transek sepanjang 129 km di sekitar lokasi translokasi BD-1 di Ulu Masen menghasilkan KR harimau lokal 0,09 jejak/km dan KR hewan mangsa 0,25 jejak/km. 5.2 Pola Aktivitas Harimau jantan JD-1 terdeteksi aktif pada (42,8%) dari data aktivitas yang terbaca, sedangkan jantan JD-5 terdeteksi aktif pada (49,5%) dari data aktivitasnya. Hasil penelitian serupa pada jenis Felidae lainnya di Thailand mengungkapkan bahwa macan dahan (Neofelis nebulosa) jantan dan betina aktif selama masing-masing 57% dan 59% selama masa pengamatan (Grassman et al. 2005). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa harimau sumatera jantan pada malam hari (antara pukul 18:00-06:00) menghabiskan 45,5% waktunya untuk beraktivitas dan bergerak. Menurut Sunquist (1981) harimau bengal di Nepal menghabiskan 42% waktu malam harinya untuk beraktivitas dan melakukan pergerakan. Aktivitas harimau pada malam hari mungkin ada hubungannya dengan suhu udara dan aktivitas hewan mangsa harimau karena harimau umumnya melakukan

23 85 perburuan pada malam hari. Karanth & Sunquist (2000) menyatakan harimau memanfaatkan gelapnya malam dalam melakukan perburuan mangsanya. Pola grafik yang dibentuk oleh signal X dan Y (Gambar 13) menunjukkan bahwa kedua harimau jantan JD-1 dan JD-5 banyak melakukan pergerakan dan waktu paling aktifnya adalah mulai sore hari menjelang gelap hingga petang/malam hari. Harimau jantan JD-5 juga banyak melakukan pergerakan atau aktif pada waktu subuh menjelang pagi; sedangkan harimau JD-1 sedikit lebih aktif pada pagi hari. Kedua harimau mengurangi aktivitasnya pada pagi hari hingga tengah hari dan pada tengah malam hingga menjelang subuh. Waktu aktivitas harimau-harimau ini diduga berkaitan dengan waktu aktivitas hewan-hewan mangsa pada masing-masing lokasi dimana mereka ditranslokasikan. Hal ini karena umumnya harimau berhasil melakukan perburuan ketika hewan mangsanya beraktivitas. Gambar 13. Pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan yang dipantau dengan signal X dan Y pada kalung GPS (total N JD-1= dan JD-5= 3.643).

24 86 Sunquist (1981) menyatakan bahwa waktu aktivitas harimau tidak ada hubungannya dengan waktu terbit dan terbenamnya matahari, namun memang cenderung lebih nokturnal karena kadang-kadang ditemukan aktif pada siang hari. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa pada siang hari harimau translokasi meningkat aktivitasnya dimulai pada pukul 14:00 WIB dan terus meningkat hingga malam. Pada malam hari, peningkatan aktivitas harimau translokasi terjadi hingga pukul 22:00 WIB dan meninkat kembali pada waktu subuh hingga awal pagi. Sunquist (1981) menjelaskan bahwa harimau memiliki pola aktivitas musiman yang sepertinya dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, termasuk jadwal waktu aktivitas hewan mangsa dan suhu udara. Lebih jauh dijelaskan juga bahwa manakala tidak ada perbedaan dalam jumlah waktu aktivitas antara jantan dan betina, mungkin dipengaruhi oleh status sosial atau kondisi reproduktif setiap individu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa periode waktu paling aktif harimau jantan adalah pada petang/malam hari, yaitu antara pukul 18:00-22:00 WIB (w= 1,19; Lampiran 15). Secara individual ada sedikit perbedaan dimana harimau jantan JD-1 yang ditranslokasikan ke TNBBS memilih waktu paling aktifnya pada petang/malam (pukul 18:00-22:00) dan pagi (pukul 06:00-10:00) hari (Gambar 14). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam penggunaan waktu aktif harimau (χ 2 hitung = 91,96; χ 2 0,05; 5 = 11,07). Pola waktu aktif harimau JD-1 ini sepertinya sangat erat kaitannya dengan waktu aktivitas hewan mangsanya, karena di hutan-hutan Sumatera hewan-hewan mangsa utama harimau seperti rusa sambar, kijang dan babi hutan, umumnya mencari pakan pada awal pagi hari dan pada sore hari hingga menjelang malam. Selain itu, dengan berkurangnya waktu aktivitas harimau pada siang hari mengindikasikan bahwa harimau sumatera translokasi juga menghindari panasnya sinar matahari. Penelitian-penelitian sebelumnya baik di Nepal maupun di Sumatera telah membuktikan bahwa pola aktivitas harimau sangat erat kaitannya dengan waktu aktif hewan mangsanya. Hal ini karena harimau akan lebih mudah melakukan perburuan hewan mangsanya pada saat

25 87 aktivitas hewan mangsa tinggi, yaitu ketika matahari mulai terbenam hingga menjelang tengah malam serta ketika matahari mulai terbit hingga awal pagi hari (Sunquist 1981, Fata 2011, Linkie & Ridout 2011). Gambar 14. Grafik pola persentase pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan dalam 24 jam berdasarkan interval waktu setiap 4 jam. Temuan waktu aktif harimau ini hampir serupa dengan hasil penelitian sebelumnya menggunakan camera-trapping (Fata 2011) yang melaporkan bahwa peningkatan aktivitas harimau sumatera terjadi pada selang waktu menjelang subuh hingga awal pagi, akhir siang menjelang sore, serta senja hingga menjelang tengah malam. Meskipun Sunquist (1981) dan Sunquist (2010) menyatakan bahwa harimau bengal di cenderung nokturnal, namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa ternyata harimau sumatera yang ditraslokasikan tidak sepenuhnya nokturnal, bahkan ada kecenderungan merupakan satwa krepuskular, yakni hanya aktif pada senja menjelang malam hari saja. Temuan ini didukung oleh Perry (1964 diacu dalam Sunquist 1981) yang menyatakan bahwa harimau adalah satwa yang nokturnal dan krepuskular.

26 88 Perbedaan waktu aktif harimau sumatera translokasi dengan dengan harimau bengal di Nepal, dimana mereka umumnya aktif dan bergerak mulai matahari terbenam hingga menjelang pagi (Sunquist 1981), kemungkinan diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu perilaku makan pada hewan-hewan ungulata mangsa harimau di kedua tempat tersebut. Schaller (1967) melaporkan bahwa harimau bengal di India waktu paling aktifnya adalah pada malam hari dan beristirahat mulai pagi menjelang siang hingga menjelang sore, namun kadang-kadang ada juga harimau yang berburu pada siang hari apabila harimau tersebut gagal menangkap hewan mangsa pada malam hari sebelumnya. Sunquist (1981) telah membuktikan bahwa waktu aktif harimau erat kaitannya dengan temperatur udara, dimana harimau bengal di Nepal umumnya beristirahat pada areal dengan tutupan vegetasi rapat di sepanjang aliran sungai pada siang hari di musim panas. Hamilton (1976) melaporkan hal yang sama, dimana macan tutul di Afrika umumnya tidak beraktivitas pada saat suhu udara panas di siang hari. 5.3 Pemilihan Habitat Seleksi habitat merupakan satu proses dimana individu-individu satwa liar yang secara preferensial memanfaatkan habitat-habitat yang tersedia pada satu lansekap (Morris 2003). Khan & Chivers (2007) menyatakan bahwa ada indikasi bahwa harimau memiliki kesukaan (preferensi) terhadap satu habitat tertentu yang disesuaikan dengan beberapa aktivitasnya. Hasil overlay data posisi dengan peta tutupan vegetasi memperlihatkan bahwa semua harimau yang ditranslokasikan terbukti secara signifikan mempunyai preferensi terhadap tipe habitat tertentu di masing-masing lokasi dimana mereka dilepas-liarkan (Tabel 11). Analisis preferensi dengan metode Neu juga mempertegas bahwa setiap harimau translokasi memilih tipe tutupan vegetasi tertentu sebagai habitat utamanya.

27 89 Tabel 11. Tipe habitat yang paling disukai oleh harimau translokasi di masing -masing lokasi pelepas-liaran. Harimau Lokasi Hasil uji Chi-square Habitat yang paling disukai (nilai indeks Neu/W) JD-1 TNBBS χ 2 hitung= 304,04 > χ 2 0,05;5= 11,07 Belukar/hutan sekunder muda (W= 1,18) JD-2 TNBBS χ 2 hitung= 2.840,72 > χ 2 0,05;5= 11,07 JD-3 TNGL χ 2 hitung= 306,96 > χ 2 0,05;8= 15,51 JD-5 TNKS χ 2 hitung= 3.551,99 > χ 2 0,05;9= 16,92 BD-1 EUM χ 2 hitung= 3.234,16 > χ 2 0,05;6= 12,59 Belukar/hutan sekunder muda (W= 1,21) Hutan pegunungan rendah (W= 1,41) Hutan dataran rendah (W= 1,98) Belukar/hutan sekunder muda (W= 2,17) Harimau JD-1 dan JD-2 yang diliarkan di TNBBS serta JD-5 di TNKS, mereka menggunakan tutupan vegetasi belukar/hutan sekunder muda dengan intensitas yang sangat tinggi (93,4%, 96,3% dan 58,6%). Hal ini terjadi karena memang tipe tutupan vegetasi belukar/hutan sekunder muda mendominasi lansekap dimana mereka dilepas-liarkan (79,4% di TNBBS dan 41,6% di TNKS). Tingginya intensitas penggunaan vegetasi belukar/hutan sekunder muda sangat erat kaitannya dengan kesukaan hewan mangsa utama harimau (ungulata/herbivora) mencari makan pada areal-areal tersebut. Namun, harimau-harimau tersebut juga menggunakan hutan dataran rendah sebagai habitat yang juga digunakan dengan intensitas tinggi kedua. Demikian pula dengan harimau JD-3 yang dilepas-liarkan di TNGL, mengkombinasikan penggunaan hutan pegunungan rendah (42,8%) dengan hutan dataran rendah (30,1% ) sebagai habitat utamanya. Hal ini juga terjadi karena kedua tipe tutupan vegetasi tersebut memang mendominasi lansekap dimana JD-3 ditranslokasikan. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa setiap harimau memang memiliki preferensi terhadap tipe habitat tertentu, namun pemilihan ini selalu didasarkan atas tipe habitat alami yang mendominasi kawasan tempat mereka dilepas-liarkan (Gambar 15, 16, 17,18 dan 19). Dinata & Sugardjito (2008) menyatakan bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya, karena

28 90 hutan dataran rendah dapat mendukung biomassa hewan-hewan ungulata besar (Santiapillai & Ramono 1993), seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak) yang merupakan hewan mangsa utamanya. Rajapandian (2009) menginformasikan bahwa di kawasan Terai Arc, India, harimau menyenangi habitat-habitat hutan lebat yang kesesuaiannya tinggi dengan hewan mangsa utama mereka. Selain itu, terbukti juga bahwa keberadaan tutupan habitat hutan tetap penting bagi kehidupan harimau. Meskipun Sunquist et al. (1999) menyatakan bahwa secara global harimau menghuni berbagai tipe habitat dan mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan, namun hasil penelitian Sunarto et al. (2012) telah membuktikan bahwa harimau di Sumatera merupakan satwa yang sangat bergantung pada dan lebih menyukai kawasan hutan alam. Menurut mereka, harimau juga menggunakan kawasan perkebunan sawit dan hutan akasia, namun proporsinya sangat kecil dibandingkan dengan luas kawasan yang tersedia. Hasil studi ini di lokasi translokasi TNKS mendukung pernyataan tersebut, dimana meskipun perkebunan sawit menutupi 18,5% lansekap pelepas-liaran di TNKS, harimau JD-5 hanya menggunakan 0,6% frekuensi waktunya di kawasan perkebunan sawit. Selain itu, Maddox et al. (2007) juga berpendapat bahwa harimau sumatera sering menggunakan lahan belukar/hutan sekunder muda di kawasan perkebunan sawit, namun tidak memasuki wilayah interior dari areal yang sudah ditanami pohon sawit. Sunarto (2011) mengemukakan bahwa harimau sumatera umumnya terdeteksi di areal-areal yang memiliki kerapatan vegetasi bawah yang rapat.

29 91 Gambar 15. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-1) di TNBBS. Gambar 16. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-2) di TNBBS.

30 92 Gambar 17. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-3) di TNGL. Gambar 18. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (JD-5) di TNKS.

31 93 Gambar 19. Persentase ketersediaan tipe tutupan vegetasi di lokasi penelitian dan dalam daerah jelajah serta penggunaannya oleh harimau translokasi (BD-1) di KHUM Penggunaan Habitat pada Siang dan Malam Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan setiap tipe habitat utama pada siang hari dan malam hari oleh masing-masing harimau di lokasi translokasi ada sedikit perbedaan. Harimau jantan JD-1 yang translokasikan ke TNBBS menggunakan habitat belukar/hutan sekunder muda sebesar 93,6% pada siang hari dan 93,3% pada malam hari. Harimau JD-3 di TNGL menghabiskan 62,2% waktu siangnya dan 58,2% waktu malamnya di habitat hutan pegunungan rendah. Sementara itu, harimau JD-5 menggunakan 54,1% waktu siangnya dan 62,3% waktu malamnya di habitat belukar/hutan sekunder muda. Sebaliknya, harimau betina BD-1 menggunakan 56,7% waktu siangnya dan 55,1% waktu malamnya menjelajah habitat semak/hutan sekunder muda (Tabel 12).

32 94 Tabel 12. Persentase penggunaan habitat/tutupan vegetasi oleh harimau pada siang (S) dan malam (M) hari di masing-masing lokasi translokasi. Tipe habitat/tutupan vegetasi Persentase frekuensi penggunaan (%) Harimau JD-1 Harimau JD-3 Harimau JD-5 Harimau BD-1 S M S M S M S M Pearairan 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 Bakau 0,1 0,2 Hutan rawa gambut Hutan dataran rendah 6,4 5,7 32,2 35,2 43,9 34,2 9,2 8,7 Hutan pegunungan 62,2 58,2 1,0 0,7 17,8 17,8 rendah Hutan pegunungan 2,0 1,9 0,6 1,1 7,5 9,2 tinggi Belukar/hutan 93,6 93,3 3,6 4,6 54,1 62,3 56,7 55,1 sekunder muda Mosaik dataran rendah 0,0 0,1 0,0 0,0 0,1 0,7 8,7 8,9 Mosaik pegunungan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,3 Dataran rendah 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 terbuka Pegunungan terbuka 0,3 0,0 Areal urban Perkebunan skala 0,0 0,0 0,0 1,0 besar Total (%) N data posisi Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan habitat pada waktu siang dan malam hari diantara individu harimau (Tabel 13). Tidak adanya perbedaan ini mungkin disebabkan oleh sifat harimau yang cenderung krepuskular, yakni aktif pada waktu peralihan antara terang dan gelap. Selain itu, hal ini mungkin juga terjadi karena harimau merupakan satwa top predator di hutan Sumatera yang tidak memiliki kompetitor, sehingga ada alasan bagi harimau untuk memilih waktu dalam penggunaan habitat utama. Simcharoen et al. (2008) yang mendapati bahwa macan tutul di Thailand menggunakan berbagai tipe habitat dengan proporsi yang berbeda antara siang dan malam. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya harimau yang hidup simpatrik dengan macan tutul, dimana macan tutul menggunakan satu tipe habitat ketika harimau tidak menggunakan habitat

33 95 tersebut. Sunquist (1981) menyatakan bahwa macan tutul di TN Chitwan, Nepal, aktif pada malam hari karena pola aktivitasnya mungkin dipengaruhi oleh keberadaan harimau. Begitu juga dengan macan tutul di TN Tsavo, Kenya, yang juga aktif pada malam hari akibat adanya singa yang hidup simpatrik (Hamilton 1976). Tabel 13. Hasil uji Wilcoxon untuk melihat perbedaan penggunaan habitat/tutupan vegetasi oleh harimau pada siang (S) dan malam (M) hari di masing-masing lokasi translokasi. Harimau Lokasi Hasil uji Wilcoxon Habitat utama (% penggunaan siang dan malam) JD-1 TNBBS Z= -0,211; P= 0,883 Belukar/hutan sekunder muda (siang= 93,6: malam= 93,3) JD-3 TNGL Z= 0,000; P= 1,000 Hutan pegunungan rendah (siang= 62,2: malam= 58,2) JD-5 TNKS Z= -0,315; P= 0,752 Hutan dataran rendah (siang= 54,1: malam= 62,3) BD-1 EUM Z= -0,135; P= 0,892 Belukar/hutan sekunder muda (siang= 56,7: malam= 55,1) 5.4 Model Kesesuaian Habitat Penentuan Titik Presence dan Pseudo-absence Jumlah total titik posisi koordinat yang berhasil dikumpulkan (titik presence) melalui kalung GPS dari harimau BD-1 yang ditranslokasikan di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) adalah titik posisi. Namun, setelah diseleksi ternyata jumlah posisi harimau yang memiliki akurasi tinggi adalah titik. Sebanyak titik posisi presence (50% dari jumlah total titik) digunakan untuk membangun model, sedangkan 50% lainnya digunakan untuk validasi model (Gambar 20). Penyusunan model regresi logistik biner membutuhkan titik posisi kehadiran harimau translokasi (presence = 1) dan titik yang diduga tidak dikunjungi harimau (pseudo-absence = 0). Penetapan titik pseudo-absence untuk penyusunan model ataupun validasi model dilakukan secara acak menggunakan grid 30m x30m, luar poligon batas kawasan hutan Ulu Masen dan di luar poligon daerah jelajah harimau studi yang telah diberi buffer. Jumlah titik pseudo-absence yang ditetapkan untuk menyusun model dan

34 96 validasi model masing-masing titik. Menurut Putri (2010) pemberian buffer pada batas kawasan hutan dalam penentuan titik pseudo-absence penting untuk menghindari termasukkannya areal-areal di luar hutan yang juga masih digunakan oleh harimau. Gambar 20. Peta sebaran titik presence harimau translokasi yang digunakan untuk menyusun model dan validasi model Uji Multikolinearitas Dalam analisis regresi, untuk melihat ada atau tidak adanya multikolinearitas salah satunya dapat dilihat melalui nilai Variance Inflation Factor (VIF) setiap variabel bebas yang diuji (Tabel 14). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada dua variabel bebas yang memiliki nilai toleransi < 0,1 dan nilai VIF > 10 yaitu jarak dari jalan (TOL=0,052; VIF=19,064) dan jarak dari pemukiman (TOL=0,042; VIF=23,807). Hal ini memberikan gambaran adanya multikolinearitas antara variabel bebas tersebut dengan variabel bebas lainnya. Permasalahan

35 97 multikolinearitas (keterhubungan) antar variabel bebas harus ditanggulangi sebelum analisis data dapat dilanjutkan. Tabel 14. Hasil diagnosa multikolinearitas variabel bebas dengan VIF. Model 1 (Constant) Tolerance (TOL) Collinearity Statistics VIF Ketinggian 0,116 8,587 Jarak dari jalan 0,052 19,064 Jarak dari pemukiman 0,042 23,807 Jarak dari sungai 0,903 1,107 Jarak dari tepi hutan 0,701 1,426 NDVI 0,886 1,129 Kelerengan/slope 0,713 1,402 Multikolinearitas dapat ditanggulangi dengan berbagai cara antara lain penggunaan informasi apriori, analisis komponen utama, analisis faktor, penambahan data serta prosedur mengeluarkan variabel bebas (eliminasi) yang berkolinear ganda. Prosedur penanggulangan multikolinearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur eliminasi (Ambagau 2010). Berdasarkan prosedur tersebut, maka ada dua variabel bebas yang harus dikeluarkan yaitu jarak dari jalan dan jarak dari pemukiman. Dengan demikian, hanya lima variabel bebas yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan model kesesuaian habitat harimau translokasi berdasarkan persamaan regresi logistik. Variabel-variabel bebas tersebut adalah ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI serta kelerengan/slope Analisis Regresi Logistik Variabel bebas yang digunakan untuk membangun model regresi logistik adalah lima variabel bebas yang tidak memiliki kolinearitas ganda berdasarkan nilai tolerasi dan nilai VIF yaitu ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, serta kelerengan. Hasil analisis regresi logistik

36 98 biner dengan metode Enter pada SPSS 17 dengan taraf kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 15. Pada Tabel 15 ditunjukkan bahwa kelima variabel bebas yang dianalisis seluruhnya memiliki taraf nyata secara statistik (Sig < 0,05). Berdasarkan perhitungan tersebut dapat dilihat nilai-nilai sebagai berikut: Konstanta = -1,149 Konstanta variabel ketinggian (elv) = -1,563 Konstanta variabel jarak sungai (jsg) = -0,205 Konstanta variabel jarak tepi hutan (jth) = -1,021 Konstanta variabel NDVI (ndvi) = 3,724 Konstanta variabel slope (slp) = 0,062 Dengan demikian persamaan regresi logistik kesesuaian habitat harimau translokasi yang terbentuk adalah sebagai berikut: Z = -1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp) Tabel 15. Hasil analisis regresi logistik biner dengan metode Enter terhadap variabel bebas. B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 1(a) Ketinggian -1,563 0, , ,000,210 Sungai -,205 0, , ,000,815 Edge/tepi -1,021 0,178 32, ,000,360 NDVI 3,724 0, , ,000 41,437 Slope,062 0, , ,000 1,064 Constant -1,149 0,171 45, ,000,317 Selanjutnya, melalui persamaan yang terbentuk dapat diprediksi kehadiran (presence) harimau sumatera translokasi pada wilayah studi sebagai berikut: P = 1 -(-1,149 - (1,563*elv)-(0,205*jsg)-(1,021*jth)+(3,724*ndv)+(0,062*slp)) 1 + e Keterangan: P= probabilitas; e adalah bilangan alam = 2,

37 99 Secara umum hasil analisis yang disajikan pada Tabel 15 menunjukkan bahwa variabel ketinggian, jarak dari sungai dan jarak dari tepi hutan memberikan pengaruh yang negatif terhadap model regresi yang terbentuk. Semakin tinggi, semakin jauh dari sungai serta semakin jauh satu areal dari tepi hutan, maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Sementara, variabel NDVI dan kelerengan memberikan pengaruh positif terhadap model, yang menunjukkan bahwa semakin rapat satu vegetasi (semakin berhutan) dan semakin curam satu areal maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Melalui nilai koefisien regresinya, dapat ditentukan bahwa NDVI merupakan variabel lingkungan yang paling berpengaruh pada model, sedangkan kelerengan/slope merupakan variabel yang memberi pengaruh paling kecil terhadap model yang disusun. Areal studi di hutan Blangraweu, Ulu Masen, merupakan kawasan daratan rendah yang berpadu dengan perbukitan hingga pegunungan dengan variasi ketinggian mulai 0 meter sampai meter dpl (Lampiran 16). Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi ketinggian tempat atau elevasi adalah sebesar -1,563. Ini berarti semakin tinggi satu lokasi maka semakin kecil kemungkinannya bagi kehadiran harimau. Pemodelan yang dilakukan Wibisono et al. (2011) menunjukkan bahwa harimau sumatera umumnya ditemukan pada kawasan dataran rendah. Ketinggian merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah pegunungan (Jin et al. 2008). Adanya perbedaan ketinggian menyebabkan terjadinya variasi iklim yang berpengaruh pada keragaman jenis tumbuhan. Kawasan hutan dataran rendah memiliki keragaman tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran tinggi. Keragaman jenis tumbuhan pada satu kawasan berpengaruh terhadap keragaman jenis satwa yang ada di dalamnya. Satwa mangsa utama harimau merupakan herbivora yang memerlukan tumbuhan sebagai sumber pakan.

38 100 Dalam hasil penelitiannya, Putri (2010) menyatakan bahwa ketinggian tempat bukan merupakan faktor pembatas bagi harimau sumatera untuk memilih habitatnya. Namun Santiapillai & Ramono (1993) menjelaskan bahwa harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewanhewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak), yang merupakan hewan mangsa utama harimau sumatera (Dinata & Sugardjito 2008). Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian meter dpl. Air dipergunakan satwaliar untuk minum dan berkubang (Alikodra 1990). Tersedianya sumber air juga merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup harimau (Sunquist & Sunquist 1989). Analisis euclidean distance menunjukkan bahwa jarak kehadiran harimau translokasi dari sungai bervariasi antara meter (Lampiran 17). Koefisien regresi jarak dari sungai sebesar -0,205 (Tabel 15), berarti bahwa semakin jauh jarak suatu tempat dari sungai maka semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Hasil ini sesuai dengan yang ditemukan Imam et al. (2009) dan Putri (2010) yang menyatakan bahwa semakin dekat satu areal dengan sumber air maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Dinata & Sugardjito (2008) juga menyatakan hal yang sama bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kesesuaian habitat harimau sumatera dengan jarak ke sungai. Menurut mereka harimau sumatera di TNKS menyukai areal-areal yang dekat alur sungai. Daerah dekat sungai merupakan daerah yang paling banyak dimanfaatkan oleh satwa liar termasuk hewan ungulata yang menjadi mangsa utama harimau, karena kebutuhan terhadap air dan daerah dekat sungai juga merupakan daerah aluvial yang kaya akan nutrisi. Strategi predator selalu mencari tempat-tempat hewan mangsa berkumpul agar mudah melakukan penyergapan. Hewan mangsa biasanya berkumpul pada tempat-tempat sumber pakan yang melimpah, dimana daerah

39 101 pinggiran alur sungai merupakan lahan yang sangat subur untuk jenis jenis vegetasi yang merupakan sumber pakan hewan mangsa. Harimau lebih memilih kawasan yang dekat dengan sungai agar lebih mudah melakukan penyergapan terhadap hewan mangsa. Tempat-tempat di sekitar alur sungai mempunyai tutupan vegetasi yang rapat, sehingga sangat menguntungkan harimau yang memburu mangsanya dengan cara serangan mendadak atau penyergapan. Areal-areal tepi hutan (edge) merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting pada daerah jelajah harimau sumatera. Daerah peralihan antara vegetasi hutan dengan areal tebuka (ekoton) merupakan tempat yang disukai berbagai jenis satwa ungulata untuk mencari pakan. Jarak antara kehadiran harimau sumatera translokasi terhadap batas hutan terdekat bervariasi antara meter (Lampiran 18). Variabel jarak dari tepi hutan pada model regresi logistik yang tersusun menunjukkan korelasi negatif yaitu sebesar - 1,021 (Tabel 15). Hal ini artinya bahwa semakin jauh jarak suatu areal dari tepi hutan maka areal tersebut semakin tidak sesuai bagi habitat harimau. Keberadaan harimau translokasi pada areal-areal tepi hutan sangat erat kaitannya dengan upaya perburuan hewan mangsa. Nahlik et al (2009) melaporkan bahwa rusa merah (Cervus elaphus) menggunakan areal terbuka di dalam daerah jelajahnya sebagai tempat mencari pakan, sementara hutan dijadikannya sebagai tempat berlindung dari pemangsaan predator dan gangguan manusia. Pada saat yang sama hutan juga memberikan perlindungan bagi rusa dari panas pada siang hari. Beberapa studi juga melaporkan bahwa tempat-tempat yang dipilih oleh hewan ungulata, yang merupakan mangsa harimau, adalah areal-areal terbuka dan tepi-tepi hutan. Sementara vegetasi hutan berfungsi sebagai cover untuk perlindungan (Williamson & Hirth 1985, Tufto et al diacu dalam Masse & Cote 2009). Sementara itu, Masse & Cote (2009) menyatakan bahwa rusa mencari pakan di areal-areal tepi hutan pada kawasan dimana terdapat satwa predator, sedangkan pada kawasan dimana tidak terdapat predator rusa dapat mencari

40 102 pakan ke tengah areal terbuka jika areal tersebut menyediakan sumber pakan bagi mereka. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NDVI pada lokasi studi di kawasan hutan Blangraweu, Ulu Masen, berkisar antara -0,467 hingga 0,802 (Lampiran 19). NDVI berkaitan dengan derajat kehijauan dan kandungan biomasa relatif suatu vegetasi. Hal ini memberikan gambaran bahwa lokasi studi mayoritas merupakan kawasan berhutan lebat yang terdapat di dalam KHUM dengan sebagian kecil areal-areal terbuka (perladangan dan pemukiman) di luar batas kawasan. Hasil penelitian Syartinilia & Tsuyuki (2008) menunjukkan bahwa vegetasi berhutan memiliki nilai NDVI antara 0,1 0,7. Sementara, NDVI yang mendekati nilai 0 umumnya berhubungan dengan tutupan awan dan nilai NDVI yang kurang dari 0 umumnya merupakan badan air atau areal tanpa vegetasi (Justice et al diacu dalam Roger et al. 2007). Koefisien regresi NDVI sebesar 3,724 (Tabel 15) memberikan korelasi positif terhadap model regresi yang disusun. Artinya semakin tinggi kandungan biomassa relatif atau semakin tinggi derajat kehijauan suatu vegetasi (berhutan), maka semakin sesuai bagi habitat harimau. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa NDVI berkorelasi positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau (Caroll & Larson 2008, Imam et al. 2009, Singh et al. 2009). Harimau memerlukan vegetasi dengan tajuk yang rapat sebagai tempat berlindung dari panas matahari, beristirahat dan sebagai tempat untuk bersembunyi ketika mengintai mangsanya. Variasi tingkat kelerengan atau slope pada area studi berkisar antara 0% (datar) hingga 79,4% (sangat curam) (Lampiran 20). Analisis regresi logistik biner menunjukkan bahwa tingkat kehadiran harimau sumatera translokasi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya nilai kelerengan. Namun dengan nilai koefisien regresi 0,062 (Tabel 15) dapat diterangkan bahwa variabel kelerengan pengaruhnya sangat kecil terhadap model regresi logistik yang dibangun. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa hasil

41 103 studi terdahulu yang menyatakan bahwa kelerengan atau slope tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat harimau, baik di Sumatera maupun di India (Endri 2006, Imam 2009, Singh et al. 2009). Berbeda dengan hasil penelitian Putri (2010) di TN Bukit Tigapuluh, yang menemukan bahwa habitat harimau semakin tidak sesuai dengan semakin meningkatnya nilai kelerengan suatu areal. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh metode pengumpulan data. Kehadiran harimau sumatera pada penelitian Putri (2010) ditetapkan melalui data sekunder, seperti posisi penempatan camera trapping yang merekam gambar harimau, tanda kotoran, serta tanda cakaran harimau. Penentuan lokasi kehadiran harimau dengan cara ini sangat mengandung bias, karena mungkin saja data-data kehadiran harimau tersebut hanya mewakili areal-areal bertopografi datar atau landai saja. Sementara itu, areal-areal bertopografi curam dan sangat curam yang sangat sulit dijangkau tidak terwakili. Data kehadiran harimau sumatera pada penelitian ini ditentukan berdasarkan data primer yang langsung diambil dari harimau hidup melalui kalung GPS, sehingga memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih tinggi. Namun, memang data kehadiran harimau pada penelitian ini dikumpulkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan ke kawasan yang didominasi dengan topografi curam dan sangat curam, sehingga tidak dapat mewakili harimau sumatera secara keseluruhan. Seidensticker et al. (1999) menyatakan bahwa harimau cenderung lebih menyukai areal dengan topografi datar dan bergelombang Model Spasial Kesesuaian Habitat Peta-peta tematik masing-masing variabel bebas penyusun model regresi logistik (ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI dan peta slope) disajikan pada Lampiran 16, 17, 18, 19, dan 20. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada wilayah studi, yang dihasilkan dari penerapan model regresi logistik yang terbentuk, melalui raster calculator pada ArcGIS 9.3, dapat dilihat pada Gambar 21.

42 104 Gambar 21. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi pada areal studi. Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa luas keseluruhan areal yang dijadikan wilayah studi di Ulu Masen adalah 1.278,05 km 2. Berdasarkan model yang terbangun, maka diketahui luas areal yang termasuk kelas kurang sesuai adalah 112,9 km 2 (8,84%), kelas sesuai seluas 566,39 km 2 (44,32%) dan kelas sangat sesuai sebagai habitat harimau sumatera luasnya 598,76 km 2 (46,85%). Pada peta yang terbentuk juga dapat dilihat bahwa sebetulnya areal kurang sesuai seharusnya lebih kecil dari yang terinterpretasikan, karena awan pada citra terbaca sebagai areal yang kurang sesuai. Areal yang kurang sesuai bagi habitat harimau umumnya merupakan pemukiman masyarakat. Areal yang terinterpretasi sebagai areal yang sesuai bagi habitat harimau, sebagian berada di dalam kawasan hutan Ulu Masen dan sebagian lainnya berada di hutan dan semak belukar di luar batas kawasan hutan Ulu Masen. Sementara itu, areal yang sangat sesuai

43 105 sebagai habitat harimau sumatera, hampir seluruhnya berada di dalam kawasan hutan Ulu Masen Uji Kelayakan Model Regresi Logistik Uji kelayakan model regresi logistik dengan menggunakan uji Hosmer- Lemeshow menunjukkan bahwa model dinyatakan layak dengan signifikansi sebesar 0,233 (> 0,05). Nilai Nagelkerke R 2 sebesar 0,302 merupakan gambaran bahwa 30,2% variabel-variabel bebas dalam model menjelaskan varian kesesuaian habitat harimau sumatera yang ditranslokasikan (Lampiran 21). Sisanya yaitu sebesar 69,8% dari model dijelaskan oleh faktor-faktor atau variabel lain yang tidak masuk di dalam model yang terbentuk. Faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin berpengaruh terhadap kesesuaian habitat harimau, namun tidak disertakan dalam penyusunan model regresi logistik ini antara lain kelimpahan hewan mangsa utama, tingkat gangguan manusia terhadap kawasan, serta struktur lansekap. Sunquist (2010) menyatakan bahwa mayoritas waktu aktivitas harimau digunakan untuk mencari pakan. Rajapandian (2009) dalam pemodelannya mendapati bahwa terdapat hubungan yang erat antara kelimpahan hewan mangsa dengan kehadiran harimau pada satu areal. Rajapandian (2009) dan Wibisono et al. (2011) melaporkan bahwa selain areal-areal yang berdekatan dengan patches hutan, areal-areal dengan gangguan perambahan yang minimal merupakan habitat yang palin disukai harimau baik di lansekap Terai Arc maupun di Sumatera Validasi Model Hasil validasi model menunjukkan nilai kappa akurasi sebesar 46,6%. Nilai ini menggambarkan bahwa tingkat keakuratan model kurang baik. Menurut Landis & Koch (1977), model yang baik atau akurat adalah model yang memiliki nilai kappa akurasi antara 60 80% karena merupakan nilai dengan akurasi tinggi (memuaskan). Uji validasi model juga menunjukkan bahwa terdapat kesalahan model dalam memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang kurang sesuai dimana

44 106 sebenarnya harimau kemungkinan dapat ditemukan pada lokasi tersebut (omission error) sebesar 53,5%. Kesalahan ini terjadi ketika menentukan titik pseudo-absence harimau dimana areal-areal yang sebenarnya masih merupakan habitat harimau dijadikan areal pengacakan untuk menentukan titik-titik pesudo-absence. Sepertinya menduga kesesuaian habitat harimau dengan menggunakan pendekatan titik ternyata kurang tepat, karena harimau merupakan satwa yang mempunyai daerah jelajah luas dan dapat ditemukan pada berbagai habitat dengan kondisi yang sangat beragam. Akibatnya menjadi sulit untuk menentukan titik pseudo-absence yang dapat merepresentasikan habitat kurang sesuai bagi harimau. Kesalahan lain adalah kesalahan model dalam memprediksi satu lokasi sebagai habitat yang sesuai namun sebenarnya tidak pernah dilaporkan adanya harimau sumatera pada lokasi tersebut (commission error) sebesar 38,7% (Lampiran 22). Namun, validasi yang dilakukan terhadap hasil ekstrapolasi model menggunakan 50% data titik presence harimau diketahui bahwa tingkat validitasnya 98,0% Ekstrapolasi Model Tingkat keakuratan model berdasarkan kappa akurasi menunjukkan bahwa model dapat diterapkan di tempat lain. Kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) sebagai satu kesatuan ekosistem dengan wilayah studi, dapat dianggap memiliki kondisi yang menyerupai dengan kondisi wilayah studi. Dengan demikian, model dapat diterapkan atau diekstrapolasikan pada seluruh KHUM (Gambar 22). Berdasarkan poligon peta batas kawasan, hutan Ulu Masen memiliki luas 7.496,86 km 2. Berdasarkan hasil ekstrapolasi, teridentifikasi kawasan yang kurang sesuai bagi habitat harimau translokasi seluas 376,89 km 2 (5,0% luas kawasan), yang termasuk dalam katagori sesuai luasnya 5.360,55 km 2 (71,5% luas kawasan), dan luas areal yang termasuk katagori sangat sesuai bagi habitat harimau adalah 1.759,42 km 2 (23,5% luas kawasan).

45 Model Kesesuaian Habitat dalam Perspektif Ekologi Hasil analisis dengan SPSS 17 menunjukkan bahwa dari tujuh variabel yang diamati, hanya lima variabel saja yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk menyusun model kesesuaian habitat harimau translokasi di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM). Variabel-variabel bebas tersebut antara lain ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, dan kelerengan. Kelima variabel bebas signifikan memberi pengaruh nyata terhadap kesesuaian habitat harimau translokasi (sig. < 0,05). Hasil ini ternyata sesuai dengan hasil kajian Putri (2010) di TN Bukit Tigapuluh, yang menyatakan bahwa faktor-faktor fisik kawasan seperti ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai serta tutupan vegetasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesesuaian habitat bagi harimau sumatera. Namun pada penelitiannya, Putri (2010) tidak menyertakan faktor jarak dari tepi hutan (edge). Dalam penelitian ini, jarak dari tepi hutan (edge) termasuk kedalam salah satu faktor yang memberi pengaruh signifikan terhadap model kesesuaian habitat. Wibisono et al (2011) menyatakan dalam pemodelannya bahwa harimau di Sumatera paling banyak ditemukan pada areal-areal yang berbatasan dengan patches hutan. Wilayah-wilayah batas antara daerah terbuka dengan hutan merupakan areal yang disukai oleh banyak hewan ungulata sebagai tempat mencari makan. Williamson & Hirth (1985) menyatakan bahwa tempat-tempat yang dipilih oleh hewan ungulata (yang merupakan mangsa harimau) adalah areal-areal terbuka dan tepi-tepi hutan (edge). Areal-areal bervegetasi hutan bagi ungulata berfungsi sebagai cover untuk perlindungan baik dari predator maupun dari panas matahari. Secara alamiah areal-areal terbuka yang berbatasan dengan hutan banyak ditumbuhi vegetasi tingkat bawah yang menjadi pakan hewan ungulata. Selain itu, daerah-daerah seperti ini juga merupakan kawasan yang ideal bagi harimau untuk mengintai dan menyergap hewan mangsanya.

46 108 Gambar 22. Peta kesesuaian habitat harimau sumatera translokasi hasil ekstrapolasi pada seluruh kawasan hutan Ulu Masen, Aceh. Box (1976 diacu dalam ver Hoef et al. 2001) menyatakan bahwa semua model ekologi yang dibangun tidak mungkin ada yang benar-benar tepat karena semua model mengandung kesalahan. Sebuah model, baik yang dibangun oleh sedikit maupun banyak variabel, semuanya tetap mengandung kesalahan. Semakin kompleks suatu model (semakin besar data observasi dan data simulasi yang dibutuhkan), maka model tersebut akan semakin kurang akurat atau semakin tidak pasti (Constanza & Sklar 1985 diacu dalam Sklar & Hunsaker 2001). Model dengan kompleksitas yang rendah (yang disusun dengan sedikit variabel), dapat mencapai akurasi yang lebih tinggi karena dapat menerangkan banyak hal dari sesuatu yang sedikit. Efektivitas sebuah model yang sesungguhnya adalah seberapa banyak model dapat mencoba menjelaskan (kompleksitas) dan seberapa baik model dapat menjelaskan apa yang diamati (Sklar & Hunsaker 2001).

47 109 Model kesesuaian habitat yang terbentuk menunjukkan bahwa harimau sumatera translokasi di kawasan Ulu Masen dipengaruhi secara nyata oleh lima varabel lingkungan, yaitu ketinggian/elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI, dan kelerengan. Sementara itu, Bailey (1984) dan Alikodra (1990) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan satwa pada suatu habitat tertentu merupakan kombinasi antara komponen fisik dan biotik. Demikian pula halnya dengan harimau sumatera yang merupakan satwa karnivora dan bersifat soliter, keberadaanya pada satu habitat juga ditentukan oleh adanya interaksi yang kompleks antar berbagai komponen fisik dan biotik. Ada beberapa komponen habitat atau faktor pembatas lain yang diduga kuat sangat mempengaruhi keberadaan harimau translokasi pada satu habitat, namun tidak diikutkan dalam model yang terbentuk karena keterbatasan data pendukung dan sumberdaya. Faktor/variabel tersebut antara lain ketersediaan hewan mangsa utama (rusa, kijang dan babi hutan), keberadaan harimau lokal yang lebih dahulu menghuni kawasan, dan faktor gangguan atau kehadiran manusia pada kawasan yang menjadi habitat harimau. Sebagai satwa karnivora dan top predator, harimau sumatera membutuhkan sekitar 5-6 kg daging setiap harinya (Sunquist 1981). Seekor harimau dapat membunuh kijang seberat 20 kg setiap tiga hari atau satu ekor rusa seberat 200 kg setiap beberapa minggu (Sunquist et al. 1999). Meskipun kadang-kadang harimau ditemukan berburu hewan mangsa yang berukuran lebih kecil, seperti kancil/napu, beruk, landak, trenggiling dan burung kuwau (Soehartono et al. 2007), namun ada kecenderungan bahwa ada preferensi terhadap hewan mangsa bertubuh besar (Bachi el al. 2003). Dengan demikian, diduga kuat bahwa kehadiran harimau pada satu kawasan hutan dipengaruhi oleh ketersediaan hewan mangsa di tempat tersebut. Pemodelan yang dihasilkan Rajapandian (2009) menunjukkan bahwa ketersediaan satwa ungulata (rusa dan kijang) berpengaruh positif terhadap distribusi harimau. Harimau merupakan satwa yang bersifat soliter, penyendiri, dan berperilaku teritorial meskipun daerah jelajahnya tidak eksklusif. Interaksi

48 110 sosial hanya terjadi antara harimau betina dewasa dengan anak-anaknya. Harimau jantan tidak toleran akan kehadiran harimau jantan lain di wilayah teritorialnya. Dengan adanya sifat-sifat tersebut, dapat dipastikan bahwa kehadiran harimau lain yang ditranslokasikan akan berdampak besar terhadap struktur demografi harimau yang telah ada di wilayah tersebut. Dua skenario dapat terjadi. Harimau lokal akan meninggalkan wilayah jelajahnya bila kalah dalam persaingan, atau harimau translokasi akan tersingkir dan hanya menjadi individu pelintas (floater/transient) jika tidak mampu bersaing dengan harimau lokal yang lebih dahulu mendiami wilayah tersebut. Oleh karenanya, faktor keberadaan/kelimpahan harimau lokal di lokasi translokasi menjadi salah satu variabel penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan model kesesuaian habitat harimau translokasi. Dengan sifat naturalnya yang pesembunyi (secretive) dan menghindari interaksi dengan manusia, membuat harimau sumatera menjadi sangat sensitif akan kehadiran manusia pada habitatnya. Berbagai aktivitas yang semakin tidak terkendali yang dilakukan manusia di dalam kawasan hutan (merambah hutan, menebang kayu, berburu hewan mangsa harimau, mencari gaharu, mencari madu, memanen rotan atau mengumpulkan hasil hutan bukan kayu lainnya), secara langsung atau tidak langsung dapat menurunkan kepadatan harimau di wilayah tersebut. Dengan demikian, faktor intensitas gangguan manusia di dalam hutan yang menjadi habitat harimau juga seharusnya menjadi variabel penting untuk diikut-sertakan dalam penyusunan suatu model kesesuaian habitat. Hasil pemodelan di lansekap Terai Arc, India, yang dilakukan Rajapandian (2009) menunjukkan bahwa keberadaan lahanlahan pertanian dan kehadiran manusia di habitat harimau memberikan pengaruh negatif terhadap persebaran harimau. 5.5 Penentuan Lokasi Translokasi Data kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan hewan mangsa hasil survey transek sign di seluruh kawasan hutan Ulu Masen, disajikan pada

49 111 Lampiran 23. Peta-peta prediksi kelimpahan relatif harimau lokal dan hewan mangsa hasil analisis spasial disajikan pada Lampiran 24 dan Lampiran 25. Setelah dilakukan intersect antara peta predisksi kesesuaian lokasi translokasi berdasarkan keberadaan harimau lokal dan hewan mangsa, maka didapat satu peta perkiraan kesesuaian lokasi translokasi di kawasan hutan Ulu Masen (KHUM), yang didasarkan pada KR harimau dan hewan mangsa utama (Gambar 23). Dari hasil analsis spasial tersebut diketahui bahwa di kawasan EUM terdapat areal yang memiliki kriteria kesesuaian tinggi untuk lokasi translokasi berdasarkan kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa seluas 2.632,43 km 2 (35,1% dari luas kawasan). Luas areal dengan kriteria kesesuaian sedang 3.068,85 km 2 (40,9%) dan areal dengan kriteria kesesuaian rendah seluas 640,21 km 2 (8,5%). Sebanyak 15% kawasan EUM lainnya tidak diketahui karena tidak terdapat data (tidak tersurvey). Gambar 23. Peta prediksi kesesuaian lokasi translokasi berdasarkan ketersediaan hewan mangsa dan keberadaan harimau lokal di kawasan hutan Ulu Masen.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, TINJAUAN PUSTAKA Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Pergerakan Harimau Translokasi Berdasarkan GPS Collar Berdasarkan data GPS Collar yang dipakai, pergerakan harimau translokasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Lebih terperinci

ABSTRACT DOLLY PRIATNA

ABSTRACT DOLLY PRIATNA ABSTRACT DOLLY PRIATNA. Space Use and Habitat Suitability Model for Post Translocation Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae, Pocock, 1929) Based on Monitoring of GPS Collars. Under the direction of

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di Resort Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, bekerja sama dan di bawah program

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. antara bulan Januari Maret 2014 dengan pengambilan data antara pukul

III. BAHAN DAN METODE. antara bulan Januari Maret 2014 dengan pengambilan data antara pukul III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih, Tanggamus, Lampung. Waktu penelitian berlangsung selama 3 bulan antara bulan Januari

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN 35 IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Barat Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano 23 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano 4.1.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat sebelah selatan, di antara 6

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang terletak pada posisi BT dan LS. Purbalingga

I. PENDAHULUAN. yang terletak pada posisi BT dan LS. Purbalingga I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki kekayaan alam melimpah berupa flora dan fauna. Indonesia juga memiliki potensi besar dalam pengembangan usaha peternakan lebah

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap persiapan disusun hal hal yang harus dilakukan dengan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ./ 3.3.2 Penentuan nilai gradien T BB Gradien T BB adalah perbedaan antara nilai T BB suatu jam tertentu dengan nilai

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI (PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) TANAMAN KELAPA IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI TANAMAN KELAPA Suhu rata rata tahunan adalah 27 C dengan fluktuasi 6 7 C Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera Taksonomi 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1 Taksonomi Di dalam ilmu biologi, suatu jenis hewan atau tumbuhan dapat diklasifikasikan kedalam satu golongan tertentu. Pengelompokkan tersebut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Penangkaran Rusa Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PPPKR) yang terletak di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. terkecil lingkup Balai Besar TNBBS berbatasan dengan:

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. terkecil lingkup Balai Besar TNBBS berbatasan dengan: IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Wilayah Sukaraja Atas 1. Letak Geografis dan Luas Berdasarkan administrasi pengelolaan Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Resort Sukaraja Atas sebagai

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Pola Pemukiman Terpusat Pola Pemukiman Linier Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Adanya pemukiman penduduk di dataran rendah dan dataran tinggi sangat berkaitan dengan perbedaan potensi fisik dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di penangkaran Rusa Unila, Bandar Lampung selama dua

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di penangkaran Rusa Unila, Bandar Lampung selama dua III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di penangkaran Rusa Unila, Bandar Lampung selama dua minggu pada Maret 2009 dan diambil data tambahan pada Agustus 2010. B. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti)

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti) ) terbagi menjadi sembilan subspesies yang tersebar di Asia, mulai dari daratan Turki hingga ke Rusia dan Indonesia. Namun saat ini hanya tersisa enam subspesies harimau saja di dunia. Tiga subspesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA Materi Penyebaran Komunitas Fauna di Dunia Keadaan fauna di tiap-tiap daerah (bioma) tergantung pada banyak kemungkinan yang dapat diberikan daerah itu untuk memberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

Tim Yayasan Silvagama Dipresentasikan kepada Balai TN Way Kambas Tridatu, 29 Okt Konsorsium ALeRT-UNILA

Tim Yayasan Silvagama Dipresentasikan kepada Balai TN Way Kambas Tridatu, 29 Okt Konsorsium ALeRT-UNILA Tim Yayasan Silvagama Dipresentasikan kepada Balai TN Way Kambas Tridatu, 29 Okt 2013 Konsorsium ALeRT-UNILA Tahun pertama per bulan Tahun kedua per 3 bulan Tahun ketiga per setengah tahun Tahun keempat

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan Propinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 37.530,52 km 2 atau hampir 7 % dari luas seluruh pulau Kalimantan. Wilayah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif ini, peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung 53 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung 1. Visi dan Misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung Visi dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITMN 4.1 Geografi Propinsi Lampung meliputi areal seluas 35.288,35 krn2 termasuk pulau-pulau yang terletak pada bagian sebelah paling ujung tenggara pulau Sumatera. Propinsi

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI 3.1. Umum Danau Cisanti atau Situ Cisanti atau Waduk Cisanti terletak di kaki Gunung Wayang, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Secara geografis Waduk

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Jaringan jalan merupakan salah satu prasarana untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Berlangsungnya kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci