BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Pergerakan Harimau Translokasi Berdasarkan GPS Collar Berdasarkan data GPS Collar yang dipakai, pergerakan harimau translokasi dapat dilihat pada Gambar 2. Dimulai dari titik awal (tanda segitiga kuning) yaitu daerah padang rumput dataran tinggi, dan berakhir di daerah dekat pemukiman penduduk (tanda segitiga hijau) yang berjarak sekitar 24 km dari titik pelepasliaran. Titik pelepasliaran harimau Titik ditemukan mati Koordinat harian harimau translokasi Jalur pergerakan harimau Sungai Savana Batas kecamatan Gambar 2. Peta pergerakan harian harimau translokasi Harimau translokasi bertahan hidup selama 213 hari, tetapi jarak tempuh yang tercatat adalah 191 hari, yaitu dilepasliarkan pada Desember 2008 dan berakhir pada bulan Juni Data GPS Collar selama bulan Juli mengalami gangguan hingga harimau translokasi mati pada pertengahan bulan. Pergerakan harimau translokasi disajikan dalam Tabel 3.

2 21 Tabel 3. Rekapitulasi data pergerakan harimau hasil translokasi Bulan Des 08 Jan 08 Feb 09 Mar 08 Apr 08 Mei 08 Jun 08 Total Total (km) 31,63 52,04 41,65 45,43 54,71 60,26 64,98 350,70 Jumlah hari Max (km) 6,34 4,41 5,15 5,81 5,19 6,46 6,89 6,89 Median (km) 2,09 1,51 0,62 1,27 1,60 1,37 1,29 1,41 Min (m) 25 3, , ,52 0 Rataan harian (km) 3,16 1,68 1,49 1,47 1,82 1,94 2,17 1,84 SD 2,02 1,27 1,38 1,20 1,30 1,52 1,57 1,41 Berdasarkan Tabel 3 didapatkan informasi dan data bahwa pergerakan harimau bervariasi. Total jarak yang ditempuh oleh harimau ini selama 191 hari adalah 350,7 km. Setiap harinya, harimau ini mampu berpindah antara 0 hingga 6,89 kilometer. Rataan pergerakan yang didapat adalah 1,84±1,41 km/hari. Pola pergerakan harimau translokasi didapatkan melalui rataan pergerakan tiap bulan. Pada awal pergerakannya, harimau translokasi cenderung melakukan pergerakan yang cukup jauh, mencapai 3,16 km/hari. Hal ini menunjukkan bahwa harimau translokasi melakukan eksplorasi di daerah barunya. Kemudian menurun pada bulan selanjutnya menjadi 1,68 km/hari dan mencapai titik terendahnya pada bulan Maret dengan 1,47 km/hari ketika harimau translokasi mendapatkan daerah jelajah di Selatan. Namun demikian pergerakannya kembali naik pada bulan April hingga Juni ketika harimau translokasi berpindah ke Utara. Jarak (km) 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Pola pergerakan harimau Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Bulan Gambar 3. Grafik pola pergerakan harimau

3 22 Pola pergerakan tersebut menjadi penanda bahwa harimau translokasi ini tidak serta-merta mendapatkan wilayah jelajah. Dibutuhkan waktu sekitar 4 bulan untuk menemukan daerah jelajah yang sesuai dengan harimau tersebut. Sankar et al. (2010) menemukan hal yang sama dalam penelitiannya di Sariska, India. Bahasan selanjutnya, pergerakan harimau dipisah menjadi dua bagian untuk membedakan pergerakan pada awal dilepasliarkan dengan pergerakan setelah berpindah ke Utara Awal pergerakan harimau translokasi Pada awalnya, harimau yang ditranslokasi mencari daerah yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Setelah dilakukan analisis, didapatkan peta dari pencarian daerah jelajah harimau hasil translokasi seperti pada Gambar 4. Gambar 4. Peta pergerakan awal harimau translokasi Sejak dilepaskan pada bulan Desember, hanya dalam waktu 10 hari harimau ini telah menjelajahi wilayah sejauh 31,63 km atau mencapai 3,16 km/hari. Pada bulan selanjutnya, pergerakan harimau cenderung menurun, menjadi 1,68 km/hari pada Januari, 1,49 km/hari pada Februari, dan 1,47 km/hari

4 23 pada Maret. Hal ini menunjukkan bahwa harimau telah mendapatkan daerah jelajah sementara. Pada peta (Gambar 4) terlihat garis pergerakan yang sempat berulang sebanyak dua kali. Titik-titik pergerakan mengumpul yang mengindikasikan bahwa harimau sedang tidak banyak bergerak di suatu tempat dalam waktu yang lama, biasanya terjadi ketika harimau mendapatkan mangsa. Kondisi ini bertahan hingga bulan Maret dan kemudian harimau ini berpindah ke daerah Utara sejauh 23 km Berpindah ke Utara Harimau translokasi kemudian berpindah ke Utara sejauh 23 km (Gambar 5). Bermula pada bulan Maret, harimau translokasi terus bergerak dan berulang hingga berakhir pada bulan Juni. Data pergerakan menunjukkan rataan pergerakan yang cukup stabil, dimulai pada 1,82 km/hari pada bulan April, 1,94 km/hari pada Mei, dan 2,17 km/hari pada Juni. PETA PERGERAKAN HARIMAU TRANSLOKASI DI UTARA Gambar 5. Peta pergerakan harimau translokasi di Utara Besarnya pergerakan pada daerah Utara ini lebih besar dari pergerakan awal, tetapi arahnya ternyata membuat daerah jelajah menjadi lebih sempit karena

5 24 beberapa kali terjadi pengulangan jalur. Jika dibandingkan dengan daerah Selatan, sempitnya daerah jelajah menunjukkan bahwa habitat di daerah Utara lebih bagus daripada daerah Selatan. Namun jarak tempuh yang semakin jauh kemungkinan menunjukkan kesulitan menemukan mangsa. Daerah ini kemungkinan lebih bebas dari persaingan dibandingkan dengan daerah Selatan, tetapi kelimpahan satwa mangsa harimau lebih kecil Penggunaan Ruang Penggunaan Ruang Total oleh Harimau Translokasi Penggunaan ruang total perlu diketahui untuk menentukan ukuran sebenarnya yang dipakai oleh harimau sumatera hasil translokasi sejak dilepasliarkan. Besar tidaknya ukuran ruang total tergantung adaptasi harimau terhadap habitat barunya. Untuk mengetahui cakupan daerah total yang dijelajahi oleh harimau translokasi, dibuat peta dari hasil interpolasi titik-titik keberadaan harimau ini. Berikut adalah peta MCP (Minimum Convex Polygon) total dari harimau translokasi. PETA PENGGUNAAN RUANG TOTAL HARIMAU TRANSLOKASI Koordinat harimau translokasi Gambar 6. Penggunaan ruang total oleh harimau translokasi

6 25 Dengan menggunakan metode MCP 100% seperti yang terlihat pada gambar 6, ternyata luas total area yang digunakan oleh harimau translokasi adalah sebesar 540,60 km 2. Detail penggunaan ruang tiap bulan dapat dilihat pada grafik berikut. Luas penggunaan ruang tiap bulan (km 2 ) 79,62 183,48 Des-Jan 101,86 Feb Mar 82,79 150,74 94,04 Apr Mei Jun Gambar 7. Penggunaan ruang total tiap bulan Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa penggunaan ruang terbesar pada periode Desember hingga Januari, atau awal pelepasliaran harimau translokasi. Pada masa ini, harimau sedang berusaha untuk mencari daerah jelajahnya sehingga ia akan mengeksplorasi areal seluas mungkin. Maret hingga April adalah masa transisi harimau, yaitu ketika melakukan perpindahan ke Utara. Proporsi luasan di bulan Maret adalah terbesar kedua, hal ini terjadi karena pada waktu inilah harimau mulai melakukan perpindahannya dan memulai pergerakannya di Utara pada bulan April. 600 Penambahan Penggunaan Ruang Luas (km2) 0 Des-Jan Feb Mar Apr Mei Jun Gambar 8. Grafik penambahan penggunaan ruang total harimau translokasi

7 26 Ukuran total ruang yang dipakai setiap bulannya bertambah, dari awalnya hanya seluas 183,48 km 2 terus bertambah hingga pada bulan April menjadi seluas 540,6 km 2. Gambar 8 menunjukkan grafik penambahan penggunaan ruang oleh harimau translokasi. Setiap hari harimau translokasi memanfaatkan daerah yang berbeda, tergantung pada kebutuhan harimau translokasi saat itu. Rataan luasan MCP bulanan dihitung untuk mengetahui luasan daerah harian yang digunakan tiap bulan. Luas (km 2 )/hari Rataan Luas Harian 4,86 4,48 3,36 3,29 2,76 2,65 Des-Jan Feb Mar Apr Mei Jun Bulan Gambar 9. Grafik rataan luas wilayah jelajah harian tiap bulan Berdasarkan Gambar 9, didapatkan informasi bahwa dua angka besar pada rataan bulanan, yaitu 4,48 km 2 /hari pada bulan Desember-Januari dan 4,86 km 2 /hari pada bulan Maret. Sesuai dengan pergerakannya, dua bulan ini adalah bulan pencarian daerah jelajah. Bulan Februari bernilai rendah sebab harimau telah menemukan daerah jelajah di Selatan. Sedangkan pada bulan Maret kembali menjadi besar sebab harimau sedang berpindah ke Utara. Terbukti pada bulanbulan setelahnya, nilai rataan luas harian kembali rendah Daerah Jelajah Harimau Translokasi Berdasarkan pola penggunaan ruang total oleh harimau translokasi, ditemukan bahwa harimau translokasi telah melakukan dua kali pencarian daerah jelajah. Hal ini dapat terlihat dari pergerakan memutar di suatu areal yang dilakukan oleh harimau translokasi. Besaran luas areal yang dipakai oleh harimau

8 27 translokasi berbeda di kedua daerah. Perbandingan kedua daerah jelajah sementara harimau translokasi dapat dilihat pada peta (Gambar 10). Daerah jelajah harimau translokasi di daerah Selatan berukuran 225,54 km 2. Angka tersebut adalah hasil dari eksplorasi yang dilakukan oleh harimau translokasi pada bulan awal dilepasliarkan. Setelah berpindah ke Utara, besaran daerah jelajah mengecil menjadi sebesar 153,50 km 2. Menurut Sherpa & Makey (1998), harimau yang tinggal di habitat baik dan mendukung memiliki wilayah teritori yang lebih kecil dibandingkan harimau yang tinggal di wilayah yang kurang mendukung. Kemungkinan daerah Utara memiliki kondisi habitat yang lebih baik dibanding daerah Selatan, dalam artian di Utara tidak terjadi kompetisi yang ketat dengan harimau residen seperti di Selatan. PETA DAERAH JELAJAH HARIMAU TRANSLOKASI Gambar 10. Peta Daerah Jelajah Harimau Translokasi Faktor Habitat Penentu Pergerakan Harimau Translokasi Harimau Residen Harimau residen adalah harimau yang telah mendiami daerah yang menjadi lokasi pelepasan. Keberadaan harimau residen diidentifikasi dengan menggunakan metode perangkap kamera dan metode survei jalur. Perangkap

9 28 kamera menangkap 5 individu di 4 kamera berbeda. Satu dari kelima individu harimau yang terekam berjenis kelamin jantan, sedangkan 4 lagi betina. Rekapitulasi harimau tertangkap perangkap kamera disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Individu harimau sumatera tertangkap kamera Individu Jenis kelamin Perkiraan umur Lokasi temuan Agam Jantan dewasa RC 02 Ineung 1 Betina dewasa RC 02 Ineung 2 Betina dewasa RC 07 Ineung 3 Betina dewasa RC 03 Ineung 4 Betina dewasa RC 11 Identifikasi individu harimau berdasarkan loreng pada bagian tubuhnya yang berfungsi seperti sidik jari pada manusia. Dalam keseluruhan kamera tidak ditemukan harimau yang melewati satu kamera sebanyak dua kali. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa tingkat perjumpaan harimau (ER) adalah sebesar 0.93 foto/100 hari. a b Gambar 11. Harimau residen tertangkap kamera a. Ineung 4, dan b. Agam Kemudian temuan berdasarkan metode survei cepat, terdapat cukup banyak temuan tanda-tanda keberadaan harimau di lapangan. Tanda-tanda keberadaan harimau dapat dengan mudah dibedakan dari jenis lain. Tapak kaki dan kotoran umumnya digunakan untuk mengidentifikasi individu harimau. Kemudian perilaku khusus harimau seperti cakaran di tanah (scrape) dan di pohon (scratch) juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi jenis harimau. Tanda-tanda seperti ini penting sebab harimau adalah satwa yang sangat sensitif dan pemalu sehingga jarang sekali ditemukan secara langsung. Bahkan dalam penelitian ini tidak ditemukan harimau dengan perjumpaan langsung sama sekali melalui metode survei, hanya beberapa kali terdengar suara auman harimau. Tanda-tanda keberadaan harimau residen direkapitulasi dalam Tabel 5.

10 29 a b c Gambar 12. Temuan tidak langsung harimau residen a. tapak kaki, b. tulang sisa mangsa, c. feses, dan d. cakaran (scratch). d Secara keseluruhan terdapat 5 jenis jejak yang menunjukkan keberadaan harimau. Jejak berupa tapak kaki ditemukan paling banyak dan sebesar 59 buah ditemukan pada jalur pemasangan kamera, sedangkan 2 buah ditemukan di pinggir sungai. Sebanyak 18 dari 22 buah kotoran ditemukan masih utuh sedangkan 4 buah lagi sudah cukup lama dan mulai rusak. Kemudian cakaran yang ditemukan terdiri dari 4 buah cakaran di tanah (scrape), 2 buah cakaran di pohon (scratch), dan 4 buah cakaran bekas tempat duduk harimau. Cover sejumlah 2 buah ditemukan dalam bentuk cerukan batu yang biasa digunakan harimau untuk tidur dan berlindung. Tabel 5. Temuan tanda-tanda keberadaan harimau residen No Tanda keberadaan Jumlah tanda 1 Tapak kaki 61 buah 2 Kotoran 22 buah 3 Cakaran 10 buah 4 Cover 2 buah 5 Sisa makanan 1 buah

11 30 Seluruh data penemuan tersebut, baik melalui kamera perangkap maupun jejak dicatat menggunakan GPS. Setelah direkapitulasi, dihasilkan peta sebaran harimau residen seperti pada gambar 13. Terlihat bahwa sebagian besar titik temuan harimau lokal berada di sepanjang jalur utama. Jalur ini pun digunakan oleh harimau translokasi ketika meninggalkan titik pelepasliaran. Gambar 13. Peta tanda keberadaan harimau residen Savana merupakan lokasi ditemukannya empat dari lima harimau residen. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini disukai oleh harimau. Namun harimau translokasi terlihat tidak memotong daerah savana dan memilih untuk menghindari daerah tersebut Pakan Harimau Berdasarkan foto-foto hasil perangkap kamera yang berhasil diidentifikasi serta penemuan pada survei cepat, diketahui terdapat 32 spesies satwa liar dari 20 suku yang berpotensi menjadi satwa mangsa harimau. Penemuan pada survei cepat meliputi perjumpaan langsung maupun temuan berupa jejak satwa. Perjumpaan langsung banyak dijumpai untuk jenis yang berada di pohon seperti siamang, kedih, dan julang. Sebagian besar jenis satwa pakan mudah dijumpai

12 31 secara langsung di daerah padang rumput. Rusa dan gajah bisa terlihat dengan mudah dari jauh karena tidak tertutup oleh pohon. Temuan jejak banyak dijumpai di jalur pemasangan perangkap kamera. Rusa dan kijang biasanya meninggalkan jejak berupa jejak kaki, kotoran dan bekas rumput yang dimakan. Satwa karnivora seperti beruang atau kucing emas meninggalkan jejak berupa cakaran di pohon. Jenis pakan utama seperti rusa dan kijang sering dijumpai secara langsung. Babi jarang dijumpai di hutan tetapi banyak dijumpai di daerah pinggiran ladang. Selain itu, di kawasan hutan Blangraweu juga dijumpai pendukung habitat satwa pakan berupa kubangan dan salt lick. Satwa pakan khususnya jenis ungulata seperti rusa sambar dan gajah membutuhkan garam mineral yang bisa didapatkan di tempat tersebut. Tabel 6. Tingkat perjumpaan satwa pakan potensial harimau berdasarkan perangkap kamera Suku Nama Jenis Nama Ilmiah ER Cercopithecidae Beruk Macaca nemestrina 6,17 Cervidae Rusa sambar Cervus unicolor 11,26 Cervidae Kijang Muntiacus muntjak 13,58 Felidae Kucing hutan Felis bengalensis 0,31 Felidae Kucing emas Catopuma teminkii 0,93 Hystricidae Landak Hystric brachyura 2,47 Mephitidae Sigung Mydaus javanensis 0,15 Suidae Babi jenggot Sus barbatus 1,70 Tragulidae Napu Tragulus napu 1,08 Viverridae Binturong Arctictis binturong 0,46 Viverridae Linsang Prionodon linsang 0,62 Viverridae Musang Diplogale derbianus 1,08 Khusus jenis satwa pakan yang didapat dari perangkap kamera bisa dihitung tingkat perjumpaannya untuk mengukur keberlimpahan suatu jenis di kawasan hutan Blangraweu. Dari Tabel 6 diketahui bahwa kijang dan rusa sambar merupakan satwa pakan harimau yang paling melimpah dengan ER masingmasing sebesar 13,58 foto/100 hari dan 11,26 foto/100 hari. Diikuti beruk yang sering berpose di depan kamera dengan ER 6,17 foto/100 hari.

13 32 a b c Gambar 14. Satwa pakan potensial harimau. a. babi jenggot (Sus barbatus), b. beruk (Macaca nemestrina), c. rusa sambar (Cervus unicolor), dan d. kijang (Muntiacus muntjak). d Tutupan Lahan Berdasarkan tutupan lahannya, terdapat enam jenis cover yang menyusun wilayah jelajah harimau translokasi, yaitu hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, ladang, sawah, badan air dan lahan terbuka. Bagi harimau, tidak ada kebutuhan khusus untuk jenis pohon atau hutan tertentu sebagai habitatnya. Harimau hanya membutuhkan tutupan lahan yang bagus ketika berteduh karena harimau tidak tahan panas menyengat (Lekagul & McNeely 1977). Berdasarkan hal tersebut, tutupan lahan di hutan Blangraweu dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kawasan berhutan, ladang dan padang rumput. Harimau dilepasliarkan di daerah padang rumput, kemudian mengeksplorasi daerah berhutan di sekitar lokasi pelepasliaran. Setelah berpindah ke Utara, harimau tinggal di kawasan berhutan yang berbatasan langsung dengan ladang. Ladang adalah daerah yang cukup rawan bagi harimau meskipun daerah ini potensial untuk didatangi babi hutan. Masyarakat banyak memasang jerat babi dengan kabel sling sehingga jika harimau terkena jerat maka tidak akan bisa

14 33 melepaskan diri. Untuk itu pada Tabel 7 dibandingkan jarak harimau translokasi dengan ladang. a b c Gambar 15. Tipe tutupan lahan lokasi penelitian. a. padang rumput dataran tinggi, b. perbatasan hutan dan ladang, dan c. kawasan berhutan. Tabel 7. Jarak titik lokasi harimau translokasi dengan ladang Jarak dari ladang (km) Total Selatan Utara N NR (%) N NR (%) N NR (%) < ,63 7 7, ,47 0-0, ,98 3 3, ,41 0, ,38 1 1, ,35 1-1,5 13 6,77 0 0, ,27 1, ,56 1 1,06 2 2,04 > , , ,47 Keterangan: N = Jumlah titik lokasi harimau translokasi NR= N Relatif

15 5, , , Pada awal pelepasliaran, harimau translokasi menghabiskan waktunya di daerah berhutan yang jauh dari ladang. Sebanyak 87,23% titik harimau translokasi ditemukan di daerah tersebut. Hanya sebesar 7,45% titik yang berada di daerah ladang di Selatan yang berupa daerah kosong bekas pemukiman. Namun, sejumlah 23,47% titik lokasi harimau translokasi ternyata berada di daerah ladang sehingga dimungkinkan harimau menggantungkan hidupnya di daerah perbatasan. 96, , , , , Legenda ± PETA PETA KEBERADAAN HARIMAU TRANSLOKASI TUTUPAN LAHAN BERDASARKAN TUTUPAN LAHAN Koordinat harimau Ladang dan pemukiman Savana Hutan 5, : Kilometers 96, , , Sumber: 1. Data GPS Collar Harimau Translokasi FFI Aceh Programme 2. Peta Kecamatan Badan Pusat Statistik 3. Peta Kontur Bakosurtanal Gambar 16. Peta keberadaan harimau translokasi berdasarkan tutupan lahan Keberadaan Air Perbukitan barisan merupakan daerah yang sangat bergelombang sehingga banyak terbentuk aliran sungai di dalamnya. Hutan Blangraweu pun demikian, dialiri oleh banyak sungai kecil dan beberapa sungai besar. Kondisi seperti ini sangat dibutuhkan harimau untuk bertahan hidup seperti dinyatakan oleh Lekagul & McNeely (1977). Lebih dari itu, ketika cuaca sangat panas ia berendam di air sampai batas leher. Harimau memang sering dijumpai sedang duduk berendam atau berdiri sebagai cara untuk menyejukkan badan (McDougal 1979).

16 35 Harimau translokasi selalu berjalan di jalur yang tidak jauh dari sungai. Tercatat 55% titik lokasi terletak pada jarak kurang dari 1 km. Hanya 8% harimau berada sejauh lebih dari 3 km dari sungai. Akan tetapi selain sungai besar yang terpetakan, masih banyak terdapat sungai kecil serta kubangan yang bisa memenuhi kebutuhan harimau translokasi ketika jauh dari sungai besar. b a Gambar 17. Tipe sumber air di lokasi penelitian a. sungai kecil, b. kubangan, dan c. sungai besar. Tabel 8. Jarak titik lokasi harimau translokasi dengan sungai besar Jarak sungai Jumlah titik (N) N Relatif (%) <1 km , km 45 23, km 26 13,54 >3 km 15 7,81 c Berdasarkan Tabel 8, didapatkan informasi bahwa harimau translokasi tidak bisa hidup jauh dari air. Ketersediaan air yang melimpah di hutan Blangraweu membantu harimau untuk bertahan hidup dan memudahkannya mencari mangsa. Gambar 18 menunjukkan peta hubungan harimau translokasi dengan sungai besar di hutan Blangraweu.

17 36 a b PETA KEBERADAAN HARIMAU TRANSLOKASI BERDASARKAN SUNGAI BESAR c Gambar 18. Peta keberadaan harimau translokasi berdasarkan sungai besar: a. Sungai Pantairaja, b. Sungai Meureudu, dan c. Sungai Tangse Potensi Gangguan Kondisi hutan di daerah pelepasliaran harimau tampak masih memiliki pohon-pohon berdiameter besar serta berbagai jenis satwa liar yang dapat dijumpai secara langsung. Namun bukan tanpa gangguan, kawasan hutan Blangraweu secara turun temurun telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan. Bentuk pemanfaatan berupa pengambilan hasil hutan kayu maupun non kayu, perburuan satwa liar, serta alih fungsi hutan menjadi ladang atau pemukiman. Tabel 9 menunjukkan potensi gangguan tersebut. Tabel 9. Potensi gangguan pada kawasan penelitian. Kriteria Daerah Selatan Daerah Utara Perburuan harimau Perburuan pakan Penebangan liar Perambahan Kebakaran Pencari hasil hutan non kayu Keterangan : : potensi gangguan rendah : potensi gangguan sedang : potensi gangguan tinggi

18 37 Pemanfaatan tersebut rupanya berpotensi menimbulkan gangguan bagi habitat harimau. Harimau dan manusia hidup berdampingan, dan ketika manusia memanfaatkan secara berlebihan maka habitat harimau akan timpang dan mempengaruhi kemampuan hidup harimau di habitat tersebut. Jika manusia mengambil satwa mangsa harimau secara berlebihan, harimau tidak akan mampu memenuhi kebutuhan makannya. Selain itu, gangguan berupa penebangan liar dan pemanenan hasil hutan non kayu secara berlebihan akan mengganggu habitat harimau serta mempengaruhi kehidupan satwa mangsa harimau. Aktivitas manusia di daerah Selatan ternyata cukup intens. Daerah ini, juga di banyak tempat di hutan-hutan Aceh, merupakan lahan bagi masyarakat daerah sekitar untuk mencari ikan, rotan, gaharu, serta hasil hutan non kayu lainnya. Meskipun daerah ini berjarak sekitar dua hari perjalanan dari desa Geumpang, daerah ini masih kaya akan hasil bumi sehingga masyarakat cukup sering melintasi daerah ini. Perburuan terhadap mangsa harimau juga masih ada, tetapi hanya sebatas konsumsi lokal saja. Harimau tidak terlalu terganggu dengan aktivitas manusia di daerah Selatan. a b c Gambar 19. Potensi gangguan habitat di lokasi penelitian. a. pencari hasil hutan non kayu, b. penebangan liar, c. pemburu rusa tertangkap kamera, dan d. penemuan perangkap rusa oleh ranger. d

19 38 Namun di Utara, masyarakat lebih ekspansif dalam memanfaatkan lahan. Daerah Utara dekat dengan Kecamatan Meureudu yang memiliki akses yang jauh lebih bagus dari daerah Selatan sebab dilintasi jalan provinsi. Masyarakat di daerah ini mengembangkan lahannya hingga masuk jauh mendekati kawasan ekosistem Ulu Masen. Harimau hasil translokasi mati di daerah ini karena terjebak di jerat yang dipasang di perbatasan ladang untuk menghalau babi. Masyarakat di daerah Utara belum memiliki kesadaran mengenai pentingnya harimau sehingga tidak memperhatikan cara yang digunakan untuk melindungi ladangnya. Jerat yang dipasang berupa jerat kabel sehingga jika harimau terjebak tidak akan bias melepaskan diri. Salah satu jerat ini mengenai harimau translokasi, akan tetapi alih-alih dilaporkan kepada pihak yang berwajib, harimau translokasi dibunuh dan kulitnya dijual. Hal ini membuktikan bahwa masih ada perburuan harimau di daerah Utara Pembahasan Pergerakan Harimau Hasil Translokasi Jarang sekali ditemukan harimau yang memiliki pergerakan harian rendah mengingat harimau adalah salah satu mamalia besar yang biasanya bergerak aktif dengan jangkauan yang cukup jauh. Smith (1993) menyatakan bahwa harimau betina mampu menjelajah sejauh km. Sedangkan untuk pergerakan harian, Sunquist (1981) menemukan bahwa harimau betina di Nepal bergerak hingga 2,2 km/hari. Angka ini relatif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tahan tubuh, tipe habitat serta ketersediaan kebutuhan hidupnya. Harimau hasil translokasi yang diamati hanya bergerak paling jauh 6,89 km dalam sehari dengan rataan pergerakan harian 1,84 km/hari. Mengingat kondisi harimau yang baru dilepasliarkan setelah mendapat kepastian tubuh yang fit maka yang menjadi kemungkinan terbesar penyebab rendahnya angka pergerakan ini adalah ketersediaan kebutuhan hidup yang melimpah. Pada kenyataannya, tidak mudah bagi harimau ini untuk beradaptasi dengan daerah barunya. Gambar 2 menunjukkan bahwa pada awal dilepasliarkan, harimau ini cenderung bergerak aktif dengan rataan pergerakan harian 3,16 km/hari dengan jarak tempuh terjauh dalam sehari mencapai 6,34 km. Angka

20 39 pergerakan ini cenderung menurun untuk bulan-bulan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika dilepasliarkan, harimau ini langsung berusaha untuk memperoleh wilayah jelajah dan teritori dengan mengeksplorasi kemungkinan ruang yang tersedia dalam habitat baru tersebut. Hal ini diperkuat dengan penurunan angka pergerakan pada bulan berikutnya, yaitu antara Januari hingga Maret yang memiliki rataan pergerakan harian yang hanya senilai 1,47 hingga 1,68 km/hari. Jarak tempuh terjauh pun hanya 5,81 km pada bulan Maret. Ini menunjukkan bahwa harimau ini telah mendapat area yang mampu mendukung kebutuhan hidupnya sehingga harimau ini tidak perlu bersusahpayah lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun tiba-tiba pada bulan Maret, harimau translokasi berpindah sejauh 23 km ke Utara. Ia kemudian membentuk daerah jelajah baru di sana. Pergerakannya pun berbeda, tiap bulannya angka pergerakannya bertambah, dari 1,82 km/hari pada bulan April, 1,94 km/hari bulan Mei, hingga 2,17 km/hari di bulan Juni. Secara angka memang terlihat lebih besar dibanding di Selatan, tetapi arah pergerakannya ternyata bolak-balik sehingga terlihat membentuk daerah jelajah yang lebih solid Awal Pergerakan Harimau Translokasi Harimau translokasi tidak serta merta mendapatkan daerah untuk dikuasai selepas ditranslokasi. Ia harus berjuang untuk mendapatkan daerah jelajahnya dengan mengeksplorasi daerah yang cukup aman dari harimau lain untuk mendapatkan sumberdayanya. Hal inilah yang menyebabkan harimau translokasi ini bergerak cukup jauh pada bulan-bulan awal pelepasannya. Tercatat dalam waktu 10 hari ia langsung bergerak sejauh 31,63 km atau sekitar 3,16 km/hari. Pergerakan ini relatif jauh jika dibandingkan dengan pergerakan harian harimau betina yang pada umumnya berkisar 1-2 km/hari. Namun pada bulan selanjutnya, pergerakan harimau translokasi ini cenderung menurun, menjadi 1,68 km/hari pada Januari, 1,49 km/hari pada Februari, dan 1,47 km/hari pada Maret. Hal ini mengindikasikan harimau translokasi ini telah mendapatkan daerah jelajah sementara di daerah barunya ini.

21 40 Pada beberapa lokasi ditemukan titik-titik koordinat harimau yang terlihat mengumpul, ini menunjukkan bahwa harimau sedang tidak banyak bergerak di suatu tempat dalam waktu yang lama, hal ini biasa terjadi ketika harimau sedang mendapatkan mangsa yang cukup untuk beberapa hari Berpindah ke Utara Harimau berpindah dari Selatan ke Utara untuk mendapatkan daerah yang aman untuk mendapatkan sumberdayanya karena ternyata terdapat lima ekor harimau yang memiliki daerah jelajah di sekitar savana. Pada awal perpindahannya, harimau translokasi tidak menghabiskan banyak waktunya untuk mengeksplorasi daerah Utara ini. Rataan pergerakan harian setelah ia berpindah hanya sebesar 1,82 km/hari. Kisaran rataan harian bulanan harimau tidak jauh berbeda, antara 1,47 km/hari hingga 2,88 km/hari dengan rataan total untuk pergerakan harian adalah 1,83 km/hari. Lebih rendah dari temuan Sunquist (1981) di Nepal yaitu 2,2 km/hari dan sedikit lebih tinggi dari temuan Barlow (2009) di Bangladesh sebesar 1,72 km/hari. Sebagai perbandingan, disajikan data dari pergerakan harimau di beberapa lokasi (tabel 10.) Tabel 10. Perbandingan pergerakan harimau di beberapa lokasi Jenis Kelamin dan Rataan SD Lokasi Sumber Kelas Umur (km/hari) Jantan Dewasa 13,69 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Jantan Dewasa 10,84 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Betina Dewasa 7,23 Rimbang Baling, Indonesia Hutajulu (2007) Betina Dewasa 4,32 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Jantan Dewasa 2,8 0,3 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Dewasa 2,2 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Dewasa 2,2 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Dewasa 1,84 1,41 Sumatera, Indonesia Riset ini Jantan Remaja 1,8 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Remaja 1,8 0,1 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Betina Dewasa 1,72 1,69 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009) Betina Dewasa 1,65 1,4 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009) Betina Dewasa 1,4 0,2 Chitawan, Nepal Sunquist (1981) Pergerakan harian untuk harimau betina dewasa berkisar antara 1,4 2,2 km/hari di berbagai wilayah, hampir setengah dari pergerakan harian harimau jantan yang mencapai 4,2 km/hari. Harimau yang diteliti oleh Hutajulu (2007) memiliki nilai pergerakan yang sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh sedikitnya

22 41 sampel yang diambil, yaitu hanya sekitar 3 sampai 4 titik sehingga hasilnya bisa dikatakan kurang akurat. Sayang sekali jarang dilakukan penelitian mengenai pergerakan harimau sumatera. Jika dibandingkan secara morfologis, tubuh harimau benggala lebih besar dari harimau sumatera. Beberapa daerah di India pun memiliki empat musim sehingga ada kemungkinan bulan-bulan tertentu seperti pada musim dingin akan menyulitkan harimau untuk menemukan mangsanya. Perbedaan ini bisa menyebabkan perbedaan pergerakan yang dilakukan oleh kedua jenis harimau tersebut Penggunaan Ruang Penggunaan Ruang Total oleh Harimau Translokasi Luasan ruang total yang digunakan oleh harimau translokasi adalah sebesar 540,60 km 2. Luasan ini dihitung menggunakan metode MCP 100%. Ukuran ini sangat luas untuk seekor harimau betina. Waktu yang digunakan untuk mencapai luasan ini adalah sekitar 4 bulan, yaitu ketika harimau translokasi ini telah mendapatkan daerah jelajah di daerah Utara. Bulan pertama adalah bulan terberat bagi harimau translokasi. Tercatat selama 41 hari setelah pelepasan, ia telah menempuh daerah seluas 183,48 km 2. Bulan selanjutnya menurun hingga separuhnya, yaitu hanya sebesar 94,04 km 2 dan melesat lagi hingga 150,74 km 2 pada bulan Maret. Pada bulan-bulan inilah harimau translokasi mengeksplorasi daerah Selatan hingga akhirnya berpindah ke Utara. Setelah di Utara, luas daerah yang dipakai tiap bulannya tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 82,79 km 2 pada April, 101,86 km 2 pada Mei, dan 79,62 km 2 pada Juni. Hasil yang berbeda ditunjukkan dari Gambar 9 tentang rataan luas harian tiap bulan. Rataan luasan harian terbesar justru pada bulan Maret dengan nilai 4,86 km 2 /hari, lebih besar dari saat dilepasliarkan dengan luasan 4,48 km 2 /hari. Hal ini terjadi karena bulan Maret adalah bulan kepindahannya dan harimau translokasi harus menempuh jarak sekitar 23 km untuk menuju Utara. Sedangkan rataan luasan harian pada bulan dimana harimau translokasi menempati daerah jelajahnya memiliki nilai yang cukup seragam, yaitu 3,36 km 2 /hari pada Februari

23 42 ketika masih di Selatan, dan 2,76 km 2 /hari pada April, 3,29 km 2 /hari pada Mei, dan 2,65 km 2 /hari pada bulan Juni ketika berada di Utara Daerah Jelajah Harimau Translokasi Analisis lebih lanjut dari pola penggunaan ruang total didapatkan bahwa harimau telah berusaha mendapatkan daerah jelajahnya sebanyak dua kali, yaitu di Selatan dan di Utara. Ketika di Selatan, harimau translokasi menempati daerah jelajah semenentara hingga sebesar 225,54 km 2. Daerah seluas ini dicapai dalam waktu hanya 3 bulan. Besarnya daerah jelajah sementara di Selatan ini disebabkan harimau translokasi sedang melakukan eksplorasi daerah barunya. Terlihat pada peta di Gambar 4 harimau hanya berputar di daerah jelajah Selatan ini sebanyak tiga kali. Harimau translokasi kemudian berpindah ke Utara. Mulai bulan Maret, ia menempati dan mengitari daerah jelajahnya tersebut sehingga terbentuk daerah jelajah yang cukup solid. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas daerah jelajah harimau translokasi ini seluas 153,491 km 2. Daerah jelajah ini cukup luas untuk harimau sumatera betina, jauh di atas temuan Hutajulu (2007) seluas 15,76 km 2 dan temuan Franklin et al. (1999) seluas 49 km 2. Sebagai perbandingan, disajikan data daerah jelajah harimau di beberapa lokasi dalam Tabel 11. Dalam tabel ini daerah jelajah di Selatan tidak diukur sebab harimau tidak pernah kembali ke daerah tersebut sehingga dianggap harimau telah meninggalkan daerah itu dan membentuk daerah jelajah baru. Sunquist (1981) menyatakan bahwa pergerakan satwa di luar daerah jelajahnya dianggap sebagai daerah eksplorasi sehingga tidak dianggap sebagai daerah jelajah. Tabel 11. Daerah jelajah harimau di beberapa lokasi. Jenis Kelamin dan Luas daerah Lokasi Sumber Kelas Umur jelajah (km 2 ) Jantan Dewasa 243,00 Panna, India Chundawat et al. (1999) Betina Dewasa 223,40 Sariska, India Sankar et al. (2010) Betina Dewasa 181,40 Sariska, India Sankar et al. (2010) Jantan Dewasa 168,60 Sariska, India Sankar et al. (2010) Betina Dewasa 153,49 Aceh, Indonesia Riset ini Jantan Dewasa 116,00 Way Kambas, Indonesia Franklin et. al. (1999) Jantan Dewasa 98,80 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Jantan Dewasa 77,30 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Betina Dewasa 49,00 Way Kambas, Indonesia Franklin et. al. (1999) Jantan Dewasa 48,71 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007)

24 43 Jenis Kelamin dan Luas daerah Lokasi Sumber Kelas Umur jelajah (km 2 ) Jantan Dewasa 43,50 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Jantan Dewasa 34,80 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Betina Dewasa 27,00 Panna, India Chundawat et al. (1999) Jantan Dewasa 26,60 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Betina Dewasa 18,10 Nagarahole, India Karanth & Sunquist (2000) Betina Dewasa 16,20 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009) Betina Dewasa 15,76 Kerumutan, Indonesia Hutajulu (2007) Jantan Dewasa 12,48 Rimbang Baling, Indonesia Hutajulu (2007) Betina Dewasa 12,20 Sundarban, Bangladesh Barlow (2009) Betina Dewasa 7,18 Tesso Nilo, Indonesia Hutajulu (2007) Luas daerah jelajah harimau translokasi mencapai tiga kali lipat lebih besar dari luasan daerah jelajah harimau betina di Way Kambas yang diteliti oleh Franklin et al. (1999). Penelitian tersebut menggunakan kamera perangkap untuk mengukur daerah jelajahnya sehingga Franklin (2002) menyatakan bahwa ada kemungkinan harimau yang ia teliti bergerak ke daerah yang tidak teramati oleh kamera perangkap. Sebagian besar harimau yang menjadi obyek penelitian pada Tabel 11 adalah harimau yang memang menempati habitat tersebut, kemudian ditangkap dan ditandai dengan radio-telemetri atau GPS collar. Namun berbeda dengan penelitian Sankar et al. (2010) yang menggunakan harimau translokasi, ukuran daerah jelajah menjadi sangat besar. Sankar et al. (2010) menyatakan bahwa besarnya luasan daerah jelajah yang dipakai adalah eksplorasi habitat baru setelah dilakukan translokasi. Ada beberapa kemungkinan yang memungkinkan besarnya ukuran daerah jelajah harimau translokasi ini. Kemungkinan pertama adalah harimau translokasi ini belum mendapatkan daerah jelajah yang stabil. Smith (1984) menyebutkan bahwa teritori harimau betina tidak banyak berubah selama hidupnya. Namun Sunquist (1981) menyatakan bahwa daerah jelajah akan menjadi stabil setelah dihuni selama beberapa tahun. Jadi waktu eksplorasi dan kepindahannya dari Selatan ke Utara belum bisa memastikan kestabilan daerah jelajah harimau translokasi ini. Kemungkinan kedua adalah pengaruh dari faktor habitat tempat dilepasliarkannya harimau. Sherpa & Makey (1998) menyatakan bahwa harimau yang tinggal di habitat yang lebih baik dan lebih mendukung akan memiliki daerah jelajah yang lebih kecil dibandingkan dengan yang hidup di habitat yang kurang mendukung.

25 Faktor Habitat Penentu Pergerakan Harimau Hasil Translokasi Harimau Residen Harimau residen adalah faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan harimau hasil translokasi. Harimau adalah satwa soliter sehingga memiliki kecenderungan untuk menghindari pertemuan dengan harimau lain kecuali saat musim kawin. Begitu juga dengan harimau hasil translokasi ini, dari awal pelepasan di Selatan padang rumput Blangraweu, terlihat bahwa harimau langsung berpindah ke Selatan dan berputar mengelilingi padang rumput tersebut. Dari hasil perangkap kamera yang dipasang, diketahui bahwa populasi harimau sumatera di daerah ini diperkirakan mencapai 3.11±2.45 ekor/100 km 2 (Fata 2011) dengan tingkat perjumpaan relatif yang berkumpul di sekitar padang rumput. Banyaknya jumlah harimau yang ditemukan secara tidak langsung mengindikasikan kelimpahan pakan yang padat di padang rumput. Hal ini sependapat dengan Siswomartono et al. (1994) yang menyatakan bahwa habitat yang optimal untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi seperti ini sangat mendukung kelangsungan hidup harimau sumatera karena tingginya kepadatan mangsa harimau. Harimau translokasi ini berjenis kelamin betina, dan umurnya masih cukup muda yaitu 1,5 tahun. Ketika dilepasliarkan, harimau ini berkonflik dengan harimau residen, terutama 4 harimau betina di sekitar lokasi pelepasliaran. Harimau betina memiliki wilayah jelajah yang relatif kecil dibandingkan harimau jantan, dengan begitu harimau tersebut akan mudah mengontrol teritorinya ketika ada penyusup masuk. Harimau translokasi terjebak di antara empat teritori harimau residen. Menurut Gilad (2008), ketika sumberdaya yang terbatas diperebutkan oleh satu spesies yang sama maka akan terjadi kompetisi intraspesifik. Ketika melakukan eksplorasi, harimau translokasi berjalan jauh dan menemukan tanda-tanda teritori harimau residen di banyak lokasi. Harimau mampu membedakan umur dan kekuatan harimau lain dari jejak bau yang ditinggalkan harimau lain. Harimau translokasi tidak mampu bersaing dengan harimau residen.

26 45 Karena padatnya harimau di daerah tersebut serta harimau translokasi kalah bersaing maka harimau translokasi pun berpindah. Perilaku harimau yang soliter menjadikannya memiliki naluri untuk membentuk daerah jelajahnya masing-masing. Hal ini memaksa harimau translokasi berpindah dari Selatan ke Utara. Daerah padang rumput yang dianggap optimal untuk harimau justru dihindari oleh harimau translokasi ini. Ia justru bergerak melingkari padang rumput dan hanya sekali memotong padang rumput yang terletak di sebelah Utara. Terlihat jelas bahwa harimau translokasi cenderung untuk menghindari daerah yang telah penuh oleh harimau residen dan akhirnya bergerak meninggalkan daerah tersebut ke arah Utara Pakan Harimau Pakan merupakan faktor penting dalam pergerakan harimau. Harimau bergerak mengikuti mangsa dan akan memangsanya dalam jarak yang cukup dekat (Grzimek 1975). Seidensticker et al. (1999) menyatakan bahwa setiap harinya harimau membutuhkan sekitar 5-6 kg daging dan berburu hingga 3-6 hari sekali, tergantung ukuran mangsanya. Blangraweu sendiri memiliki kelimpahan pakan yang cukup tinggi. Hasil perangkap kamera menunjukkan bahwa pakan harimau yang paling banyak ditemukan adalah dari suku Cervidae yang beranggotakan rusa dan kijang. Kepadatan untuk kedua mangsa tersebut mencapai 75 ekor/km 2 untuk kijang dan 59 ekor/km 2 untuk rusa (Fata 2011). Dengan kepadatan mangsa seperti ini, mudah bagi harimau untuk menemukan mangsanya. Harimau tidak perlu bergerak jauh untuk menemukan mangsa. Hal ini terbukti dengan pendeknya jarak tempuh harian harimau translokasi yang hanya sebesar 1,84 km/hari. Berbeda dengan hasil penelitian Hutajulu (2007) yang menunjukkan angka pergerakan sebesar 7,23 km/hari untuk betina dewasa dengan kondisi satwa mangsa yang relatif sedikit, dalam artian tumpang tindih harimau dengan mangsa didominasi oleh beruk dan tidak ditemukan rusa sambar. Pada umumnya, semakin tinggi tingkat kepadatan satwa mangsa maka daerah jelajah harimau akan semakin kecil. Sherpa & Makey (1998) menyatakan bahwa harimau yang tinggal di habitat baik dan mendukung memiliki wilayah

27 46 teritori yang lebih kecil dibandingkan harimau yang tinggal di wilayah yang kurang mendukung. Harimau translokasi justru menunjukkan tanda-tanda yang sebaliknya. Baik di Utara maupun di Selatan, daerah jelajah harimau translokasi terlalu luas untuk daerah dengan kelimpahan mangsa tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa harimau translokasi masih belum mendapatkan daerah jelajah yang stabil. Kemungkinan yang menyebabkan ketidakstabilan ini adalah ada persaingan dalam memperebutkan ruang antara harimau translokasi dengan harimau residen Tutupan Lahan Kawasan Hutan Blangraweu dibedakan menjadi tiga jenis tutupan lahan, yaitu kawasan berhutan, padang rumput, serta kawasan nonhutan berupa ladang dan pemukiman. Pada dasarnya, harimau tidak terlalu tergantung pada tutupan lahan tertentu, tetapi satwa mangsa harimau sangat terkait erat dengan faktor habitat ini. Sedangkan harimau hanya membutuhkan tutupan lahan yang bagus untuk melindungi dirinya dari panas matahari yang menyengat. McDougal (1979) menyatakan bahwa suhu badan yang terlalu panas dapat membunuh harimau. Maka dari itu harimau menyukai tempat yang rimbun untuk berlindung. Tutupan lahan di daerah Selatan sebagian besar adalah hutan primer serta hutan sekunder dan ladang kecil bekas pemukiman transmigran yang sudah tidak dipakai serta padang rumput seluas 9000 ha. Tutupan lahan seperti ini sangat sesuai dengan kebutuhan harimau translokasi. Keberadan padang rumput dikuatkan oleh pernyataan Siswomartono et al. (1994) yang menyebutkan bahwa habitat yang optimal untuk harimau adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Akan tetapi, harimau translokasi menempati daerah ini hanya hingga bulan April. Selanjutnya harimau translokasi justru berpindah ke daerah Utara. Hampir separuh (44%) atau 43 titik harimau translokasi berada pada jarak hingga 500 meter dari ladang, dan 54% diantaranya (23 titik) berada di dalam ladang. Daerah Utara ini memang dekat dengan ladang dan harimau translokasi sering mencari mangsanya di sekitar ladang. Hal ini menunjukkan bahwa harimau telah terdesak hingga kembali ke daerah dekat pemukiman untuk mempertahankan hidupnya.

28 Keberadaan Air Sungai merupakan sumber air utama bagi harimau serta satwa mangsanya. Dalam memenuhi kebutuhannya, umumnya pada daerah jelajah individu harimau akan terdapat satu atau beberapa sungai. Bagi harimau, sungai sangat krusial karena selain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, harimau juga membutuhkan air untuk mendinginkan tubuhnya. Terdapat satu sungai besar yang menjadi muara bagi banyak anak sungai di sekitar Blangraweu yaitu sungai Meureudu. Daerah Blangraweu yang berkontur rapat serta berbukit-bukit membentuk banyak lipatan dan menjadi banyak sungai. Daerah seperti ini sangat cocok untuk menjadi habitat harimau. Selain sungai, keberadaan kubangan juga sangat membantu harimau ketika berjalan cukup jauh dari sungai, terutama ketika musim penghujan. Meskipun terdesak oleh harimau residen, harimau translokasi tidak ada masalah sama sekali dalam memenuhi kebutuhan airnya. Harimau translokasi menghabiskan sebagian besar perjalanannya tidak jauh dari sungai. Tercatat 55% titik berjarak kurang dari 1 km dari sungai. Hanya 8% titik yang berjarak lebih dari 3 km. Sebagian besar perjalanannya melewati banyak sungai dan kadang menyeberang sungai besar Potensi Gangguan Secara umum keseluruhan kawasan hutan Blangraweu di daerah Selatan memiliki kondisi hutan yang relatif baik. Sedangkan pada daerah Utara, keberadaan ladang yang jauh hingga mendekati daerah padang rumput cukup berpotensi mengganggu habitat hutan Blangraweu. Ancaman tersebut dikategorikan sebagai berikut. a. Perburuan harimau Kegiatan perburuan sebenarnya mulai berkurang dan sempat terhenti selama bergejolaknya konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan RI. Namun setelah damai, perburuan kembali marak. Pemerintah bekerja sama dengan LSM mencoba untuk menghentikan perburuan tersebut. Di daerah Selatan, banyak mantan pemburu harimau yang kemudian direkrut menjadi pasukan penjaga hutan (Ranger) yang dibina oleh FFI Aceh bekerjasama

29 48 dengan dinas kehutanan propinsi Aceh. Hasil wawancara dengan masyarakat juga menunjukkan bahwa masyarakat telah sadar bahwa harimau penting untuk mengontrol babi agar tidak masuk ke lading. Namun demikian menurut cerita dari ranger perburuan masih terjadi meskipun secara sembunyi-sembunyi. Kemudian di daerah Utara sendiri belum ada penanganan sehingga masyarakat kemungkinan masih memburu harimau. Penjualan kulit harimau hasil translokasi yang mati di daerah ini juga menunjukkan bahwa masih terjadi transaksi untuk tubuh harimau. b. Perburuan satwa mangsa harimau Perburuan satwa mangsa harimau pada kawasan ini umumnya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan daging masyarakat sekitar kawasan karena tidak adanya pasokan daging konsumsi baik sapi atau kambing bagi masyarakat sekitar kawasan. Maka dari itu, satwa yang umum ditangkap adalah rusa dan kijang. Perburuan rusa dan kijang dilakukan secara tradisional menggunakan jerat tali atau dalam bahasa lokal disebut taren. Keberadaan perburuan rusa dan kijang diketahui melalui banyak jerat (taren) terpasang yang ditinggalkan pemburu disepanjang jalur pemasangan perangkap kamera terutama pada hutan-hutan yang dekat dengan pemukiman dan memiliki akses yang realtif mudah. Selain itu juga sempat terjadi perjumpaan langsung dengan 3 orang pemburu rusa yang sedang membawa rusa hasil buruannya. Perangkap kamera juga beberapa kali menangkap pemburu yang sedang pulang membawa hasil buruannya. c. Penebangan liar Penebangan pohon merupakan masalah yang banyak dijumpai di kawasan yang memiliki akses terhadap jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor minimal roda dua. Penebangan pada kawasan ini banyak dilakukan pada jenis pohon meranti yang menghasikan banyak kayu setiap batangnya dan memiliki nilai jual yang tinggi serta memiliki kekuatan yang baik. Kayu jenis ini sebagian besar digunakan untuk membangun perumahan bagi masyarakat sekitar kawasan.

30 49 d. Perambahan/Pembukaan lahan Perambahan hutan sering terjadi pada kawasan yang dekat dengan pemukiman. Kawasan hutan yang dirambah ada dua tipe yaitu hutan yang dirambah untuk pertama kalinya serta hutan yang dahulunya pernah dirambah untuk perladangan dan sempat ditinggalkan. Perambahan yang dilakukan pada kawasan yang pernah menjadi lahan pertanian dibuka kembali oleh masyarakat umumnya berada pada kawasan ynag tidak jauh dari pemukiman dan secara kasat mata telah terlihat seperti hutan kembali namun masih dijumpai adanya tanaman pertanian didalamnya seperti cabe dan pisang. Lahan yang dirambah masyarakat umumnya dialihfungsikan menjadi ladang kopi, coklat dan sawah. Kopi dan coklat merupakan komuditas pertanian andalan masyarakat kecamatan Mane dan Geumpang. e. Kebakaran hutan Kebakaran hutan yang pernah terjadi adalah pada kawasan padang rumput Blangraweu. Menurut informasi pemandu, padang rumput tersebut sengaja dibakar untuk memudahkan para pemburu memburu rusa saat padang rumput mulai pulih karena rumput yang hijau dan segar setelah terbakar sangat disukai rusa sambar. Selain merusak vegetasi padang rumput, kebakaran juga menyebabkan kawasan bekas terbakar menjadi rentan terhadap bahaya longsor. Pengaruh tingginya bahaya longsor akibat kebakaran terlihat saat terjadi hujan deras dimana pada kawasan bekas terbakar banyak dijumpai longsoran sedangkan pada kawasan padang rumput yang tidak terbakar hampir tidak ditemukan adanya kawasan yang longsor. f. Pencari hasil hutan non kayu Hasil hutan non kayu yang banyak dimanfaatkan adalah rotan, jernang, kayu cendana dan gaharu (kayu alin). Pencari cendana dan gaharu merupakan aktivitas pemanfaatan hasil hutan non kayu yang cukup mengganggu kawasan. Gangguan terbesar yang mereka akibatkan adalah kerusakan hutan pada saat mereka bermalam untuk istirahat. Pada saat bermalam mereka akan melakukan penebangan kayu yang mudah terbakar untuk memasak makanan. Jumlah mereka

31 50 yang selalu bekerja dalam kelompok yang banyak (sekitar orang) mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan kayu yang mereka tebang Adaptasi Harimau Hasil Translokasi Sebagaimana terlihat dalam bahasan sebelumnya, harimau translokasi beradaptasi dengan berpindah dari lokasi pelepasliarannya menuju Utara. Banyak peneliti menyatakan bahwa aktivitas harimau sangat dipengaruhi oleh habitat tempat ia hidup, di samping dari kemampuan tubuhnya sendiri (Smith 1993; Sherpa & Makey 1998). Begitu pula dengan harimau translokasi ini. Harimau translokasi bergerak ke Utara karena rupanya Blangraweu bagian selatan memiliki habitat yang kurang sesuai. Dalam pembahasan mengenai faktor habitat, dinyatakan bahwa pakan, tutupan lahan, air serta gangguan di daerah Selatan lebih sesuai sebagai habitat harimau. Habitat yang sesuai ternyata diikuti pula oleh jumlah harimau yang menghuni daerah Selatan ini. Banyak harimau yang tertarik untuk menghuni daerah Selatan sehingga tidak menyisakan ruang lagi bagi harimau baru, dalam hal ini harimau translokasi. Dalam prosesnya, satwa yang memonopoli sumberdaya dalam sebuah teritori akan mengubah tertorinya ketika dihadapkan dengan kondisi yang mendesak (Tilman 1982, diacu dalam Begon et al. 2006). Begitu pula dengan harimau translokasi, ketika dilepasliarkan di selatan padang rumput, telah ada minimal 5 ekor harimau yang telah menempati habitat ini. Sumberdaya yang ada terbatas sehingga ketika ada harimau baru yang dimasukkan dalam habitat ini, akan terjadi kompetisi intespesifik antara harimau residen dengan harimau translokasi. Harimau residen tersebut terus mempertahankan teritorinya sehingga harimau translokasi yang bisa dikatakan asing di daerah tersebut akhirnya kalah dan menyingkir ke Utara. Ketika di Utara, harimau translokasi lebih banyak menempati daerah di perbatasan ladang. Mirip dengan daerah perbatasan padang rumput di Selatan, daerah ini disukai oleh banyak jenis satwaliar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Daerah peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda seperti ini dinyatakan oleh Odum (1971) sebagai ekoton. Perbatasan dua komunitas

32 51 seperti ini mengakibatkan efek tepi yang menarik banyak spesies berkumpul dan menyebabkan kecenderungan meningkatnya keanekaragaman dan kepadatan di daerah ekoton tersebut (Leopold 1933). Satwaliar bisa memanfaatkan lahan yang terbuka untuk mencari makan dan kembali ke hutan untuk berlindung dan beristirahat. Umumnya, pakan harimau akan banyak berkumpul di daerah seperti ini sehingga harimau translokasi pun tertarik untuk tinggal di daerah ini. Bencana yang menimpa harimau translokasi ini tidak bisa dilepaskan dari konsep tersebut. Perbatasan ladang dengan hutan adalah habitat yang juga sangat menarik bagi satwaliar terutama babi hutan. Bagi masyarakat, babi hutan ini menjadi hama karena mencari makanannya di ladang dan kembali ke hutan untuk berlindung. Masyarakat di Selatan menyadari pentingnya harimau untuk mengontrol populasi babi agar tidak sampai masuk ke lading. Namun masyarakat di daerah Utara memilih melindungi lahannya dari babi hutan dengan memasang jerat babi dari tali baja. Harimau translokasi terkena oleh salah satu jerat tersebut dan kemudian dibunuh dan dijual kulitnya oleh masyarakat. Harimau translokasi ini dipindah dari Jantho ke Blangraeweu karena berkonflik dengan masyarakat. Namun setelah dipindah, harimau translokasi kembali berkonflik dan akhirnya ia yang jadi korban.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Harimau yang ditranslokasikan dan dipasangi kalung GPS selama penelitian adalah sebanyak enam ekor. Namun demikian, harimau yang ditranslokasikan ke TNKS (JD-4) ditemukan mati

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Kondisi Habitat Harimau Tipe hutan yang masuk kedalam lokasi penelitian terdiri atas dua yaitu hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan. Perbedaan tipe hutan

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, TINJAUAN PUSTAKA Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di Resort Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, bekerja sama dan di bawah program

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komodo (Varanus komodoensis Ouwens, 1912) merupakan kadal besar dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti)

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti) ) terbagi menjadi sembilan subspesies yang tersebar di Asia, mulai dari daratan Turki hingga ke Rusia dan Indonesia. Namun saat ini hanya tersisa enam subspesies harimau saja di dunia. Tiga subspesies

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar 6.2. Konsep Pengembangan Fungsi Pendidikan

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar 6.2. Konsep Pengembangan Fungsi Pendidikan 116 VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar Konsep dasar perencanaan adalah mengembangkan laboratorium lapang PPDF sebagai tempat praktikum santri sesuai dengan mata pelajaran yang diberikan dan juga dikembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTA

BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTA BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur) Oleh: Rahman Kurniadi dan I Made Widnyana RINGKASAN Kebakaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis hitam vertikal pada tubuhnya. Taksonomi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB. Keseimbangan Lingkungan

BAB. Keseimbangan Lingkungan BAB 3 Keseimbangan Lingkungan Pada hari minggu, Dimas dan keluarganya pergi menjenguk neneknya. Rumah nenek Dimas berada di Desa Jangkurang. Mereka membawa perbekalan secukupnya. Ketika tiba di tempat

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PARAKASAK Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain III. KARAKTERISTIK WILAYAH A. Kondisi Geofisik 1. Letak Geografis Desa Kepuharjo yang berada sekitar 7 Km arah Utara Kecamatan Cangkringan dan 27 Km arah timur laut ibukota Sleman memiliki aksesibilitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis Rusa Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk dalam Bangsa (Ordo) Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) Cervidae. Suku Cervidae terbagi

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH 2.1. Aspek Geografi dan Demografi 2.1.1. Aspek Geografi Kabupaten Musi Rawas merupakan salah satu Kabupaten dalam Provinsi Sumatera Selatan yang secara geografis terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Dengan potensi tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT No. 76/12/72/Th. XVII, 23 Desember 2014 KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN HUTAN TAHUN 2014 PERSENTASE RUMAH TANGGA DI SEKITAR KAWASAN HUTAN YANG MENGUASAI LAHAN KAWASAN HUTAN SEBESAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan manusia, air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, yaitu digunakan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Pengenalan metode survey satwa vertebrata (khususnya vertebrat besar) Andrew J. Marshall

Pengenalan metode survey satwa vertebrata (khususnya vertebrat besar) Andrew J. Marshall Pengenalan metode survey satwa vertebrata (khususnya vertebrat besar) Andrew J. Marshall Kuliah Lapanagan Taman Nasional Gunung Palung 23 May-3 Juni 2016 Pengenalan metode survey satwa vertebrata Kenapa

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

SOAL KONSEP LINGKUNGAN

SOAL KONSEP LINGKUNGAN 131 SOAL KONSEP LINGKUNGAN 1. Ciri-ciri air yang tidak tercemar adalah a. Tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa b. Berkurangnya keberagaman biota perairan c. Banyak biota perairan yang mati d.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan LAPORAN PENYULUHAN DALAM RANGKA MERESPON SERANGAN WABAH PENYAKIT NGOROK (Septicae epizootica/se) PADA TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SAMOSIR BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN

Lebih terperinci

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI GEMPA DAN TSUNAMI FIDEL BUSTAMI COREMAP DAN LAPIS BANDA ACEH Pengertian : GEMPA BUMI Pergerakan bumi secara tiba-tiba tiba,, yang terjadi karena adanya tumbukan lempeng bumi yang mengandung energi yang

Lebih terperinci

DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI

DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI Hasil Pemetaan Masyarakat Desa bersama Yayasan Mitra Insani (YMI) Pekanbaru 2008 1. Pendahuluan Semenanjung Kampar merupakan kawasan hutan rawa gambut yang memiliki kekayaan

Lebih terperinci

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org LAMUN Project Seagrass Apa itu lamun? Lamun bukan rumput laut (ganggang laut), tetapi merupakan tumbuhan berbunga yang hidup di perairan dangkal yang terlindung di sepanjang pantai. Lamun memiliki daun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan kaya akan Sumber Daya Alam. dilansir dari situs WWF Indonesia, Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN Daerah pemukiman perkotaan yang dikategorikan kumuh di Indonesia terus meningkat dengan pesat setiap tahunnya. Jumlah daerah kumuh ini bertambah dengan kecepatan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur)

BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur) BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur) Oleh : Rahman Kurniadi dan I Made Widnyana Ringkasan Kebakaran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme yang sangat tinggi (Abdulhadi 2001; Direktorat KKH 2005). Dari segi keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler BAB I Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler Kampung Hamdan merupakan salah satu daerah di Kota Medan yang termasuk sebagai daerah kumuh. Hal ini dilihat dari ketidak beraturannya permukiman warga

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Kebakaran di Konsesi APP/Sinar Mas Memperparah Kabut Asap Regional dan Mengancam Cagar Biosfir PBB yang Baru

Kebakaran di Konsesi APP/Sinar Mas Memperparah Kabut Asap Regional dan Mengancam Cagar Biosfir PBB yang Baru Siaran Pers Untuk segera dirilis 27 Juli 2009 Kebakaran di Konsesi APP/Sinar Mas Memperparah Kabut Asap Regional dan Mengancam Cagar Biosfir PBB yang Baru Pekanbaru Data satelit selama enam bulan perama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai penampung air hujan, daerah resapan, daerah penyimpanan air, penangkap air hujan dan pengaliran air. Wilayahnya meliputi

Lebih terperinci

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN 5.1. LATAR BELAKANG DESA KESUMA Kawasan penelitian yang ditetapkan ialah Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Desa ini berada pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Laut yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia membuat banyak terbentuknya

PENDAHULUAN. Laut yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia membuat banyak terbentuknya PENDAHULUAN I.1. Umum Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar didunia. Memiliki laut-laut yang banyak menghasilkan sumber daya dan kekayaan alam. Laut yang mengelilingi pulau-pulau di

Lebih terperinci