Sambutan Presiden RI - Pertemuan dengan Masyarakat Indonesia di Belanda, 21 April 2016 Kamis, 21 April 2016

Transkripsi

1 Sambutan Presiden RI - Pertemuan dengan Masyarakat Indonesia di Belanda, 21 April 2016 Kamis, 21 April 2016 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERTEMUAN DENGAN MASYARAKAT INDONESIA DI BELANDA HOTEL KURHAUS, DEN HAAG, BELANDA 21 APRIL 2016 Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, Selamat malam, Sekretariat Negara Republik Indonesia

2 Salam sejahtera bagi kita semuanya, Tadi yang sudah selfie berapa orang? Yang belum siapa? Yang sudah juga ikut tunjuk jari. Yang saya hormati seluruh Menteri, Pak Dubes, Bapak-Ibu dan Saudara-saudara sekalian yang malam hari ini hadir, Di kesempatan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan negara kita. Tiga hari yang lalu, saya bertemu dengan Kanselir Merkel. Kemarin, bertemu dengan Perdana Menteri Cameron. Tadi, bertemu dengan Presiden EU, Presiden Parlemen, dan Presiden Komisi, dan juga Raja Belgia. Sekretariat Negara Republik Indonesia

3 Sebetulnya kenapa sih kita harus bertemu dengan mereka-mereka? Beberapa bulan yang lalu, ke Amerika sudah dua kali, kemudian ke China juga sudah dua kali, ke Jepang. Kenapa harus seperti itu? Kita tahu tahun yang lalu, tahun yang lalu kita memang merasakan betul betapa perubahan sebuah negara, keguncangan di sebuah negara itu berimbas kepada negara yang lain, termasuk tahun yang lalu Indonesia. Bayangkan. Kita kemarin kan ada gonjang-ganjing di Yunani, krisis Yunani. Semua ketakutan, termasuk kita. Kita siapkan antisipasinya, yang muncul apa? Depresiasi yuan. Disiapkan Yunani, yang muncul depresiasi yuan China. Kita siapkan lagi antisipasi untuk depresiasi yuan, yang muncul adalah kenaikan suku bunga The Fed. Begitulah kondisi-kondisi global dari menit ke menit, dari hari ke hari, minggu ke minggu yang selalu berubah-ubah, yang memerlukan kewaspadaan, kehati-hatian kita dalam mengelola negara karena memang dunia sekarang ini perubahannya dari menit ke menit, detik ke detik. Selalu ada saja, dan itu mengguncangkan baik urusan kurs rupiah ke

4 dolar, baik yang berkaitan dengan indeks harga saham, baik yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Semuanya berkaitan karena memang dunia sekarang ini adalah dunia yang tanpa batas. Sekarang sudah masuk, mulai Januari yang lalu, awal Januari, kita sudah masuk ke dunia persaingan di sebelas negara anggota ASEAN, ASEAN Economic Community. Sudah masuk, bukan akan lagi, era persaingan itu sudah kita masuk. Belum kita berbicara, waktu kita ke sini kan kita ngurus SIPA dengan Uni Eropa, juga sama. Ini bloknya Uni Eropa. Mau tidak mau, ini juga harus diurus. Dan kita mau tidak mau, ini harus masuk. Kalau tidakâ tadi Pak Dubes membisikiâ ada komoditas kita yang kena pajak 20%. Yang masuk tidak dikenai. Mau tidak mau kan? Tapi ada syarat-syarat juga yang harus kita penuhi, Belum bloknya TPP, Amerika (Trans-Pacific Partnership), bloknya Amerika. Mau tidak mau kita harus juga melihat, menghitung: kalau masuk, untungnya apa; dan kalau tidak masuk, untungnya apa.

5 Belum bloknya China (RCEP), juga sama. Inilah dunia yang sekarang ini kita hadapi. Dan kita tidak bisa bilang, â œtidak, saya enggak mau gabung. Tidak, saya enggak mau masuk ke TPP, atau enggak mau masuk ke bloknya Uni Eropa.â Tidak bisa. Barang kita langsung kena cegat. Lewat apa? Barrier-barrier pajak. Tapi, kalau kita masuk dan kita di dalam tidak siap, juga berbahaya. Inilah kecepatan yang terus saya sampaikan kepada masyarakat dunia usaha, swasta, BUMN, juga birokrasi pemerintahan bahwa kita ini berhadapan pada sebuah perubahan yang sangat cepat sekali, sangat cepat sekali. Tapi saya meyakiniâ dari referensi yang saya punyaiâ bangsa kita ini, kalau sudah dipepet, pasti bisa dan mampu melakukan itu tapi dipepet dulu. Tapi, kalau dienak-enakin, dienak-enakin, tidur semuanya. Oleh sebab itu, oleh sebab itu, kenapa satu bulan setelah saya dilantik, subsidi BBM itu kita potong? Ingat, Bapak-Ibu, Saudara-saudara sekalian, subsidi BBM itu hampir 300 triliun setiap tahun. 300 triliun kita buang setiap hari. Habis, habis, enggak menghasilkan produktivitas apa-apa.

6 Bayangkan. Siapa yang pakai 300 triliun itu? Yang punya mobil, 82%. Siapa mereka? Yang menikmati subsidi, yang menikmati subsidi bertahun-tahun adalah yang punya mobil, dan itu adalah yang kaya. Ini, ini yang tidak betul. Subsidi itu kan harusnya untuk yang tidak mampu, yang miskin. Kekeliruannya di situ. Oleh sebab itu, risikonya saat saya memotong subsidi BBM, saya sudah dingatkan banyak orang. â œpresiden Jokowi, hatihati. Kalau itu dipotong, subsidi BBM, popularitas Bapak, elektabilitas Bapak pasti akan anjlok.â Saya sampaikan, â œsaya sudah jadi Presiden, kok takut elektabilitas? Saya sudah jadi Presiden, kok takut popularitas? Untuk apa jadi Presiden kalau hanya mencari popularitas?â Dan benar, setelah dipotong, anjlok separuh: dari 85%, tinggal 46%. Ya sudah. Itu risiko sebuah keputusan yang memang harus kita terima.

7 Ambil pahitnya dulu. Pahit itu memang pahit, betul pahit. Tapi, kalau tidak kita lakukan, bayangkan: kalau sepuluh tahun, berapa triliun hilang? triliun; kalau 20 tahun, berapa triliun hilang? triliun. Itu sudah jadi kereta api dari Sabang sampai Merauke, jadi. Yang namanya kereta api, itu hanya butuhâ kita hitungâ dari Sabang sampai Merauke butuh 360 triliun. Coba bayangkan. Duitnya hilang setiap tahun karena kita tidak berani memutuskan, karena kita tidak berani popularitas kita hilang. Jalan tol jadi semuanya kalau uang itu dikumpulin. Pelabuhan bisa jadi semuanya karena pelabuhan juga enggak butuh duit yang mahal. Airport yang gede saja hanya habis 2 triliun. Jadi semuanya. Infrastruktur kita hanya butuh 5.500, tapi hilang. Subsidi BBM itu, banyak dulu yang demo saya ke Istana saat BBM saya potong, banyak. Tapi menjelaskan seperti itu juga tidak mudah. Memberikan kesadaran seperti itu juga tidak mudah. Itulah risiko-risiko yang kita putuskan.

8 Kembali ke kompetisi, orang kita ini, kalau sudah dipepet, pasti bisa melakukan sesuatu yang di luar orang perkirakan. Saya berikan contoh: bank. Ingatâ ada yang kerja di bank?â ingat tahun â 70, tahun â 75, yang namanya BNI, yang namanya BRI itu, kalau jam satu, dua, sudah tutup. Ingat dulu, saya ingat betul. Dulu sehabis sekolahâ masih SMP sayaâ pulang sekolah, disuruh ngambilkan uang tabungan orang tua, ngambil , gitu, ngambil ke bank, sudah tutup. Saya pulang sekolah, sudah tutup. Keadaannya seperti itu dulu bank-bank kita. PNS kita kan jam 1 pulang, ya kan? Yang di bank juga sama. Jam 1.30, jam 2 pulang. Begituâ saya hanya mengingatkan sajaâ begitu perbankan dibuka ada pesaing-pesaing swasta, ternyata bank pemerintah itu bisa menang dibandingkan dengan bank swasta. Contoh sekarang, BRI itu keuntungannya 24 triliun, paling besar di Indonesia. Bank Mandiri keuntungannya hampir 20 triliun, nomor dua juga yang terbesar. Karena apa? Dipepet oleh persaingan, diberi pesaing. Dulu seperti itu. Kalau sekarang seperti apa? Ada sistem yang dibangun. Ada perbaikan yang diubah. Kita bisa.

9 Pompa bensin, coba lihat tahun â 75, â 80 Pertamina sendiri. Tidak ada pesaing. Ya sudah: pompa bensinnya kumuh, yang ngocorinnya itu, karyawannya juga seragamnya juga seperti itu. Ingat enggak yang ngocorin bensin ke mobil itu lo? Iya kan? Tapi begitu, begitu diberi pesaingâ ada Shell masuk, ada Petronas masuk, ada Total masukâ waduh langsung semuanya dibenahi, cat-cat-cat-cat semuanya, seragam bagus. Inilah kita. Dan juga mereka bisa bersaing lo sekarang, iya kan? Itu karena diberi pesaing. Orang-orang kita itu, saya lama-lama hafal. Beri pesaing saja supaya panas. Kalau sudah panas, itu orang kita kerjanya mati-matian. Tapi, kalau kebanyakan subsidi, waduh orang kita jadi santai. Ini, dulu juga Garuda kita juga, iya kan? Ada yang dari Garuda? Itu karena sendiri dulu. Garudanya dengan Merpati kalau enggak salah dulu iya kan, tahun â 75-an? Coba bayangkan. Dan hampir pernah bangkrut dua kali Garuda. Sudah sendiri iya kan, tidak ada pesaing, kan enak banget, monopoli, lah kok malah bangkrut? Karena apa? Terlalu enak gitu lo, lupa bahwa mengendalikan manajemen airlines itu harus pelayanannya baik, tepat waktu. Ya enggak?

10 Sekarang, begitu ada pesaing masukâ sekarang ada 70 airlines di Indonesiaâ langsung ganti jadi kayak gitu semuanya, berubah dan masuk dalam tujuh besar airlines dengan pelayanan terbaik versi Skytrax. Itu kalau diberi pesaing, â œhatihati, ada pesaing.â Ini typical Indonesia. Beri pesaing, pasti akan bergerak. Oleh sebab itu, prinsip sekarang, komitmen sekarang yang selalu saya sampaikan kepada rakyat, kepada dunia swasta, kepada BUMN, PNS, Indonesia sekarang openness, competition. Enggak ada yang lain. Dua hal saja: terbuka dan harus berani kompetisi. Sudah, sekarang visi kita ke depan hanya dua itu. Enggak ada yang lain. Apa yang kurang? Itu yang akan kita benahi. Apa yang kurang? Itu yang akan kita perbaiki. Tidak usah ragu-ragu, tidak usah takut dengan yang namanya persaingan. Kita harus yakin, kita harus optimis bahwa kita mampu bersaing dengan siapa pun, harus yakin itu. Yang belum baik ya diperbaiki. Yang belum baik, itu yang akan kita benahi. Untuk mengejar itu, ada dua hal sekarang. Kita sekarang kerja fokus, fokus sudah. Enggak ada yang lain.

11 Apa yang harus kita lakukan? Pertama, deregulasi besar-besaran. Yang kedua adalah mempercepat pembangunan infrastruktur yang kita ketinggalan dengan negara lain, jauh. Padahal kita harus sadar, Indonesia adalah kapal besar, Indonesia adalah bangsa besar. Kita harus ingat itu. Deregulasi, apa yang harus kita lakukan? Bapak-Ibu, perlu saya sampaikan, aturan kita ini banyak sekali. Ada aturan, menjerat kita sendiri sehingga kita tidak lincah, tidak fleksibel, dan tidak cepat. Perda saja yang bermasalah, yang ada di Kementerian Dalam Negeri ada lebih. Perda apa sih? Perda retribusi, perda perizinan yang justru itu menyulitkan rakyat, menyulitkan dunia usaha, menyulitkan investasi untuk masuk. Apa yang harus kita lakukan dengan aturan yang , dengan perda yang bermasalah itu? Apa yang kita harus lakukan? Saya sampaikan kepada menteri, â œ3.000 perda harus diapakan?â â œharus kita hilangkan, Pak. Caranya, dikaji Pak.â â œdikaji? Sebulan dapat berapa dikaji?â â œya sebulan lima sampai tujuh, Pak.â

12 â œberapa tahun rampung? Pakai dikaji-dikaji. Sekarang enggak usah pakai kaji-kajian, enggak usah itu hapus semuanya sudah. Ngapain dikaji-kaji? Dunia lain sudah lari, kita masih mengkaji-kaji.â Peraturan juga sama. Kita ini kapal besar. Sekarang ini, dengan perubahan global di depan tadi yang saya sampaikan, percepatan, perubahan itu, kita butuh kecepatan bertindak, kita butuh kecepatan memutuskan di lapangan. Kalau aturannya seperti itu, tidak bisa. Mau begini, ada aturan. Terbelenggu sendiri kita. Problem kita ada di situ, regulasi sehingga perlu dideregulasi. Ini yang perlu sehingga sekarang sudah ada sebelas paket deregulasi, menyederhanakan, mempercepat ngurus. Coba bayangkan. Listrik: saya setiap ke provinsi, setiap ke kabupaten, selalu keluhannya hanya satu. Apa coba? Listrik byar-pet, listrik kurang, listrik setengah hari mati, semua. Kenapa seperti itu? Salah satunya yang menyebabkan itu lama karena izinnya kebanyakan. Urusan izin itu ada 59 izin, 59 izin. Kalau ngurusâ saya kan bertanya kepada investor yang mau membangun pembangkit listrikâ saya tanya, â œberapa hari ngurus izin?â â œdua tahun, Pak, belum selesai.â Dua tahun belum selesai. Ada lagi,

13 lagi, â œempat tahun, Pak, belum selesai.â Saya ketemu lagi di Sumatera Selatan. â œpak, saya ngurus izin, Pak, enam tah belum rampung.â Saya sudah enggak mau lagi. Bayangkan, 59 izin. Saya pernah ngurus izin, ngurus sendiri. Saya, waktu mau ngurus usaha, saya ingat betul ngurus yang namanya SIUP. Dipikir ngurus SIUP itu hanya datang, kemudian. Ya kita kan harus minta ke RT, ke RW, ke lurah, ke camat, baru bisa ngurus ke sana. Kalau seperti ini diterus-teruskan. Ya kalau RT-nya ada. Kalau enggak ada? Ya kalau RW-nya ada. Kalau enggak ada? Iya kan. Ya ini, kehabisan waktu kita. Negara lain sudah meninggalkan kita. Seperti ini problem kita sehingga kita fokus ingin mengejar itu dengan cara-cara yang cepat-cepatan. Ya listrik kurang dong. Wong ngurus izin enam tahun, empat tahun belum rampung. Sekarang pun sudah 22 izin itu masih kira-kira 250 hari, tapi sudah dipotong jadi sepertiga. Dipotong dua per tiga, tinggal sepertiga. Itu pun masih lama.

14 Bagian izin itu Pak Franky, Kepala BKPM. Tapi sekarang yang dipegang Pak Franky, Kepala BKPM, delapan izin saat itu masih dua minggu. Dulunya bisa enam bulan, bisa delapan bulan. Enggak jelas pokoknya sudah. Ngurus iya, ngurus izin investasi. Saya ingat tahun yang lalu, waktu saya berikan perintah. â œiya bisa, Pak, lebih cepat, bisa dua minggu.â Bisa dua minggu, saya sudah kaget tapi saya tidak perlihatkan kekagetan saya. Jangan ditepuki dulu karena saya tidak mau, saat itu saya jawab, â œsaya enggak mau urusan izin sampai minggu. Saya maunya jam. Zaman IT kayak gini, masih berminggu-minggu. Itu apaan?â Minta waktu lagi tiga bulan. Tiga bulan saya tunggu lagi. â œpak, sekarang sudah bisa tiga jam.â Ini baru. Tiga jam sekarang. Untuk delapan izin, bisa tiga jam. Investor datang, tunggu, langsung. Tapi maaf, kemarin ada yang komplain dari CEO. â œapa?â â œpak, bukan tiga jam.â Saya sudah ngomong gini. â œeng Pak. Tidak tiga jam, Pak.â Waduh, saya kaget. Jangan-jangan berapa bulan lagi nih. â œterus berapa?â â œempat jam, P

15 Ya masih saya, kita ampunilah. Dia juga senang, â œtapi sudah bagus sekali, Pak, empat jam.â Iyalah, kadang-kadang kan orangnya kan enggak ada pas makan. Jamnya jadi mundur. Tapi, kalau sudah hari, enggak mau. Hitungannya jam sekarang urusan izin. Ya memang harus seperti itu. Negara lain secepat itu memang bekerja. Kita juga harus secepat itu. Lebih cepat dari mereka harusnya. Saya pernah coba SIUP. Tahu SIUP ya? Surat Izin Usaha Perdagangan. Hanya satu lembar gini. Isinya: nama perusahaan, nama pemilik, alamat, jenis usaha, modalnya. Hanya itu saja. Saya suruh coba, saya datang ke kantor perizinan SIUP ini. Kepada yang di depan itu, saya bilang, â œsaya mau minta izin. Coba kerjakan,â kepada anak muda di depan. â œsudah jadi?â â œsudah, Pak.â Saya tunggui: dua menit. Sebetulnya dua menit jadi, iya enggak? Saya tanya, â œkenapa izin ini bisa sampai dua minggu, tiga minggu? Kenapa tidak dua menit?â â œpak, yang lama yang di atas, Pak.â â œkok di atas?â â œdi lantai tiga, Pak.â â œsiapa itu di lantai Pak, yang tanda tangan, Pak.â Tanda tangan satu detik saja bisa sebetulnya.

16 Saya langsung lari ke lantai tiga, enggak pakai lift, tapi pakai tangga. Saya terengah-engah karena jengkel sekali saya. Yang menghambat justru yang kepalanya, yang tanda tangan itu. Untung sekali, untung dia enggak ada saat itu. Iya betul, pas dia ke lapangan. Kalau ada, betul saya gablok itu, betul saya gablok. Saya sudah jengkel sekali. Dua menit jadi dua minggu, tiga minggu, bagaimana tidak jengkel? Ndak, ndak mau saya hal-hal seperti itu diterus-teruskan, enggak bisa. Negara kita enggak bisa diterus-teruskan hal seperti ini, enggak bisa. Tapi persoalannya memang sudah banyak sekali. Ini kan baru urusan SIUP, baru urusan ngurus izin listrik, belum urusan-urusan minyak, belum urusan-urusan izin industri. Memang ini perlu satu per satu, detail, dan diselesaikan. Kenapa saya tiap hari ke lapangan? Ya itu, saya ingin tahu betul, dan saya ingin perintah langsung, dan saya akan cek lagi. Problem perizinan regulasi seperti itu.

17 Yang kedua, kalau ini nanti sudah cepat, sistemnya sudah terbangun semuanya, sistem IT-nya, sistem online-nya, cepat, cepat, cepat, cepat, cepat terus, kalau infrastrukturnya enggak siap, mau mendirikan industri di Kalimantan jalannya enggak ada, mau mendirikan industri di Papua jalan enggak ada, mau mendirikan industri di Sumatera pelabuhannya belum ada, pelabuhan yang standar internasional belum ada semua. Bagaimana? Inilah yang kita kejar, pembangunan infrastruktur sekarang ini, percepatan. Saya perintah kepada Menteri Perhubungan, Menteri PU, â œkerja sekarang tidak satu shift, tapi tiga shift, dan saya akan cek entah malam, tengah malam. Pasti akan saya cek.â Kerja memang harus seperti itu. Kalau enggak dicek, nanti dia enak-enakan saja. Benar kok, benar. Kalau hanya satu shift, kapan kita akan rampung? Enggak akan. Saya berikan contoh Jalan Tol Trans-Sumatera. Ini baru dimulai akhir Ini nanti dari Lampung menuju ke Aceh. Waktu itu, waktu groundbreaking di Lampung, ada yang bisiki saya, â œpak, ini nanti jangan-jangan hanya groundbreaking saja, Pak.â â œlo kenapa? Masyarakat ya?â â œdulu ini pernah di-groundbreaking, Pak, 30 tahun yang lalu, Pak.â Saya akan cek. Jangan-jangan ini juga nanti groundbreaking saja kalau enggak saya cek sehingga ini sudah 1,5 tahun ini saya ke sana sudah enam kali. Saya cek, datang, saya cek lagi, saya cek lagi, saya cek lagi, saya cek lagi. Terus akan saya cek karena, kalau Presiden ngecek enam kali, menterinya pasti ngeceknya 12 kali. Kalau menterinya 12 kali, dirjennya pasti 24 kali. Ini yang terus akan kita lakukan, akan ada pengawasan, ada semangat, ada controlling.

18 Ini manajemen kontrol. Ada yang harus kita lakukan. Kalau ndak, saya hanya groundbreaking, saya tinggal, enggak jadi. Saya datang terakhir kemarin saja, ada persoalan pembebasan lahan. Sudah bebas, duitnya ternyata habis. Siapa yang bisa memutuskan? Saya. Menteri enggak bisa hal-hal seperti itu. Kalau saya enggak tahu, ya sudah, berarti tahun depan. Ini persoalan-persoalan lapangan yang selalu kita hadapi. Terus yang kereta api, yang Sulawesi coba. Kita butuh tol seperti ini. Untuk apa? Untuk mempercepat distribusi barang, mempercepat distribusi logistik, menjadikan lebih murah biaya transportasi kita. Ini yang Tol Trans-Sulawesi nantinya dari Makassar, naik ke atas sampai ke Manado, Bitung. Ini paling juga baru mungkin 30 km kurang dikit, memang baru saja. Itu waktu saya diminta Pak Menhub, Pak Jonan, â œpak, nanti minggu depan groundbreaking kereta api.â â œtidak, saya sekarang tidak mau groundbreaking. Sudah, kerjakan dulu. Nanti, kalau sudah dapat 7 km, saya mau datangâ â œpak, sudah siap.â â œberapa?â â œ6,5 km sudah.â Saya datang, saya cek. Ini bagus.

19 Ini juga pernah di-groundbreaking dulu. Saya sekarang sudah malas kalau disuruh groundbreaking. Tapi juga groundbreaking enggak apa-apa wong pasti juga setelah itu akan saya cek lagi, akan saya datangi lagi. Pasti saya datangi lagi. Nanti yang kereta api di Papua juga akan mulai kita bangun tahun ini, dimulai dari Sorong menuju ke atas. Kenapa seperti itu? Bapak-Ibu, Saudara-saudara sekalian, kalau pernah ke Wamena, naik lagi ke puncak, ke Lanny Jaya, coba bayangkan. Di Jawa harga semen 70 ribu, di Wamena 800 ribu. Naik lagi di puncak, di Lanny Jaya, 2, 5 juta satu sak. Di mana keadilan? Saya ke sana bensin 60 ribu. Di Jawa hanya 7 ribu. Coba bayangkan. Itu karena infrastrukturnya tidak pernah disiapkan, jalan tidak tembus sehingga semen naik pesawat, sehingga harga berlipat-lipat. Saya waktu ke Wamena, kemudian turun lagi ke Ndugaâ Nduga itu adalah daerah yang paling merah, yang masih belum amanâ saya datang ke sana, di kabupaten aspal saja tidak ada, kabupaten tidak ada aspalnya. Kota itu. Kalau mau ke

20 Wamena, jalan kaki empat hari. Coba bayangkan. Bagaimana perasaan kita kalau seperti itu? Oleh sebab itu, pembangunan banyak kita dorong ke wilayah timur, ke wilayah perbatasan. Saya hanya ingin tahun kemarin memberi target ke Menteri PU sama Panglima TNI, â œsaya ingin Merauke, Agas, Nduga, Wamena tembus tahun ini. Caranya bagaimana? Silakan cari caranya. Saya tidak mau ikut-ikut. Saya tahunya, harus jadi tahun ini.â Ini sudah mulai seperti ini sudah. Meskipun belum diaspal, tapi sudah tembus dulu, terbuka dulu. Aspal itu cepat sekali, cepat sekali. Saya semakin tahu: cepat sekali kalau sudah pembebasan lahan, sudah kebuka, cepat sekali. Ini tembus ke perbatasan Papua Nugini. Kalau tidak kita perhatikan, sampai kapan pun yang namanya harga, yang namanya, ya akan seperti itu terus. Disparitas, gap itu gede sekali. Ini saya kira tugas kita.

21 Kemudian, misalnya di NTT, di NTT itu mau tanam apa kalau airnya juga tidak ada? Ini Pak Gubernur. Berdiri, Pak Gub. Kalau tidak ada air, bagaimana bisa nanam? Padahal masyarakatnya NTT itu rajin-rajin sekali. Tapi, kalau tidak ada air, nanam mau pakai apa? Sangat tandus. Oleh sebab itu, Pak Gub ini paling rajin nelepon saya, â œpak, minta tambahan waduk.â Baru seminggu, â œ waduknya tambah lagi ya.â Aduh. Untuk provinsi yang lain, satu saja kadang-kadang tidak. Ada yang satu, ada yang tidak. Di NTT sekarang ada tujuh. Coba bayangkan. Tapi, kalau tidak kita solusikan itu, ya itu tadi: nanamnya pakai apa? Di Raknamo, terakhir sudah berapa persen, Pak? Berapa? 42%. Cepat banget. Itu juga kerja siang-malam. Yang kedua kali saya ke sana, saya kaget. Dulu masih belum diapa-apakan, baru saya ke sana sudah kelihatan sekali. Ini dam besar sekali. Ada tujuh.

22 Dengan ini nanti, masyarakat di NTT bisa mau tanam singkong, mau tanam jagung, mau tanam gula, mau tanam sorgum, kemudian ternak juga. Tapi, kalau tidak ada air, sekali lagi ya tidak mungkin. Ya maunya gubernur, provinsi itu, ini uang gede sekali tapi karena gubernurnya rajin nelepon saya. Alasannya ada saja, â œpak, ini.â Aduh, tapi ya saya beri, saya tambah terus. Kita mungkin lima tahun ini akan bangun 49 waduk. Yang sudah mulai di Aceh di Krueng Keretoe, di Lampung, di Sukoharjo, ya semuanya, di Jawa Tengah, di Banten. Di kita ini air melimpah, tapi tidak pernah disiapkan penampungannya yang namanya waduk, dam. Ya hilang terus, hilang, hilang, hilang. Pertanian kita bagus. Tapi, kalau air tidak ada, ya dari mana mau nanam? Kemudian yang terakhir mengenai perbatasan. Saya, waktu ke Entikong di Kalimantan, perbatasan dengan Malaysia, saya melihat bangunan kita, kantor kita yang ada di perbatasan, aduh. Kita melihat di sana sangat megah sekali. Di tempat kita, kalau yang pernah ke sana, malu kita. Bagaikan bumi dan langit. Benar. Sudah kumuh dan bangunan sudah lama sekali.

23 Saat itu juga saya perintah, â œsudah, besok dirobohkan.â Dirobohkan betul. Jalannya dulu juga hanya lima meter. Sekarang jalannya sudah 20 meter lebar itu. Terus ini yang harus dibangun, akhir tahun ini selesai gedungnya. Saya hanya minta satu saja, â œlebih baik dari yang di sana,â saya gitukan. Sekali lagi, kita ini negara besar. Dan ini memang tugasnya pemerintah pusat. Di Mato Ain di NTT juga perbatasan dengan Timor-Leste, sama saja juga. Saya melihat di sana gedungnya baru, lebih bagus, lebih gede. Sudah, perintah saya juga sama, â œbesok diruntuhkan.â Diruntuhkan lagi juga. Akhir tahun selesai ya, Pak Gub? Oktober, belum sampai akhir tahun, Oktober sudah selesai karena Pak Gub mengeceki terus, tapi duitnya dari pusat lo, karena memang provinsi juga tidak punya kemampuan fiskal untuk mengerjakan ini. Memang itu tugasnya kita. Tapi Pak Gub mengeceki terus, ya akhir tahun bisa maju jadi Oktober. Ini pekerjaan memang harus dicek, dikontrol. Kalau tidak, ya sudah tidak jadi. Saya kira itu sedikit yang bisa saya sampaikan malam hari ini. Terima kasih atas kehadiran Bapak-Ibu dan Saudarasaudara semuanya.

24 Dan tadi saya kira sudah berfoto, sudah selfie. Tadi saya hitung sudah lebih dari separuh. Saya kira sudah mewakili. Saya tutup. Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. ***** Biro Pers, Media dan Informasi Sekretaris Presiden Sekretariat Negara Republik Indonesia