KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG, KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG, KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT"

Transkripsi

1 KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG, KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT TEGUH SETYO NUGROHO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Desember 2009 Teguh Setyo Nugroho NIM C

3 ABSTRACT TEGUH SETYO NUGROHO, Management Study of Mangrove Ecosystem at Protected Forest Area in Dabong Village, Kubu District, Kubu Raya Regency, Province of West Kalimantan. Supervised by GATOT YULIANTO and ZAIRION. The mangrove ecosystem in Dabong has been specified to become mangrove protected forest because having important role for life prop of coastal area and sea, but this is not fully can protect mangrove ecosystem from degradation due to some of mangrove areas has been converted to be shrimp ponds by local community. The study objective is to find alternatives policy for mangrove ecosystem management, so for the purpose need to be analysed mangrove condition; economics value of mangrove ecosystem and shrimp ponds; and institutional from mangrove ecosystem management. Data were obtained through sampling, field observation, respondent information, and bibliography study. Study result showed that already happened degradation of mangrove forest wide ha (17.65%) in range of time 16 years ( ). Economics value of mangrove ecosystem is equal to Rp.10,637, /ha/year, higher from shrimp ponds which equal to Rp.3,561, /ha/year. Institution structure (jurisdiction boundaries, property rights and rules of representation) in mangrove ecosystem management still weakening because still having problems with local community. Management policy of mangrove ecosystem which can be done is by strengthening institutional structure passed revision to zonation of mangrove protected forest area and makes agreement of conservation with local community. Keyword: mangrove ecosystem, protected forest, degradation, management policy, institution.

4 RINGKASAN TEGUH SETYO NUGROHO, Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh GATOT YULIANTO dan ZAIRION. Ekosistem mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove karena memegang peranan penting untuk penyangga kehidupan pesisir dan laut. Akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari degradasi karena sebagian kawasan mangrove telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat. Hal ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan lindung mangrove. Kajian pengelolaan ekosistem mangrove terutama yang terkait dengan kelembagaan perlu dilakukan agar didapat alternatif solusi kebijakan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif kebijakan dalam pengelolaan mangrove sehingga untuk itu perlu dikaji situasi dan kondisi mangrove, nilai ekonomi mangrove dan tambak serta akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove. Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi (pengamatan) langsung di lapangan, kuisioner, wawancara secara mendalam (depth interview), diskusi dan penelusuran berbagai data penunjang. Perubahan luasan mangrove dan tambak didapatkan dari analisis Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan 2007 dengan kombinasi warna RGB 542. Analisis struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menghitung kerapatan spesies, kerapatan relatif spesies, frekuensi spesies, frekuensi relatif spesies, penutupan spesies dan penutupan relatif spesies untuk mendapatkan indek nilai penting species (INP i ). Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove didapatkan dari nilai manfaat langsung (hasil hutan dan perikanan), nilai manfaat tidak langsung (penahan abrasi, interusi air laut dan penyedia unsur hara), nilai manfaat pilihan dan nilai keberadaan. Nilai manfaat ekonomi tambak dihitung berdasarkan hasil panen udang dikurangi dengan biaya tetap dan biaya operasional. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dihitung dari hasil kuisioner (50 responden) dengan menggunakan rating scale. Analisis kelembagaan dilakukan melalui kajian terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi), serta pengaruhnya terhadap performance. Luas hutan mangrove di Desa Dabong berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM+ pada tahun 1991 adalah ha, tahun 2002 adalah ha, dan pada tahun 2007 adalah ha. Luas tambak pada tahun 1991 adalah 0 ha (tidak ada lahan tambak), tahun 2002 adalah ha, dan pada tahun 2007 adalah ha. Hal ini menunjukan bahwa dalam kurun waktu 16 tahun ( ) terjadi penurunan luasan mangrove sebesar ha atau 17.65%. Jika penurunan luas mangrove ini dibiarkan, maka perkirakan dalam waktu tahun yang akan datang mangrove yang tersisa akan habis. Hal ini disebabkan oleh konversi wilayah hutan mangrove menjadi tambak oleh masyarakat dan juga penebangan liar.

5 Jenis vegetasi mangrove yang terdapat di lokasi penelitian (dalam transek) terdiri dari Avicennia alba, Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus moluccensis. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk tingkat pohon, pancang dan semai terdapat pada jenis Rhizophora apiculata yang secara berturut-turut nilainya %, % dan %., lalu di ikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai INP untuk tingkat pohon, pancang dan semai secara berturut-turut sebesar %, 58.05% dan 37.03%, dan selanjutnya kemudian diikuti oleh Sonneratia alba dan Avicennia alba. INP yang besar pada jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza menunjukan bahwa jenis ini merupakan jenis yang paling dominan dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga jika ada upaya rehabilitasi terhadap kawasan yang rusak, maka prioritas utama jenis vegatasi mangrove yang ditanam adalah Rhizophora apiculata kemudian diikuti Bruguiera gymnorrhiza lalu Sonneratia alba dan Avicennia alba. Nilai manfaat ekonomi mangrove adalah sebesar Rp /ha/thn, lebih tinggi dari nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp /ha/thn. Nilai ekonomi ekosistem mangrove sekitar 3 (tiga) kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak. Hal ini menunjukan bahwa jika dilihat dari nilai ekonomi, lebih menguntungkan mangrove dibiarkan dalam kondisi lestari daripada dikonversi menjadi tambak. Akan tetapi, jika nilai ekonomi tambak dibandingkan dengan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove (Rp /ha/thn), maka nilai ekonomi tambak memiliki nilai yang lebih besar. Akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong selama ini adalah masih lemah dan belum efektif organisasi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi) dalam pengelolaan ekosistem mangrove sehinga belum dapat mengontrol berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Kelembagaan yang kurang effektifi meyebabkan kondisi performance yang buruk seperti potensi konflik sosial yang tinggi, lingkungan alam yang terdegradasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Hal ini ditunjang dari pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove yang hanya sebesar 49.1%, artinya masyarakat masih memandang pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong selama ini berjalan kurang baik. Alternatif solusi kebijakan pengelolaan mangrove ditujukan untuk mendapatkan performance yang lebih baik dengan cara merubah struktur kelembagaan. Hal ini dapat dilakukan adalah dengan memperkuat struktur kelembagaan melalui cara revisi tapal batas (zonasi) sehingga tidak ada lahan masyarakat yang masuk kedalam dan kontrak sosial melalui kesepakatan konservasi. Kesepakatan konservasi yang menyatakan bahwa masyarakat diijinkan untuk budidaya udang pada lahan tambak yang sudah ada, tetapi memiliki kewajiban-kewajiban menjaga keutuhan dan kelestarian mangrove. Rehabilitasi tambak yang ada dengan penerapan pola tumpangsari antara mangrove dengan tambak (sylvofishery/wanamina) juga perlu dilakukan. Cara/teknik silvofishery yang diterapkan adalah model empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit adalah 80% : 20%.

6 Jenis mangrove yang ditanam hendak jenis yang cocok untuk daerah tersebut yaitu Rhizohopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Dengan berbagai alternatif solusi yang telah dipaparkan sebelumya, maka diharapkan performance yang baik dari pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dapat dicapai. Performance yang baik dari kelembagaan ekosistem mangrove yaitu kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) yang meningkat/lestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah. Kata kunci : ekosistem mangrove, hutan lindung, degradasi, kebijakan pengelolaan, kelembagaan.

7 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG, KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT TEGUH SETYO NUGROHO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

9 Judul Tesis : Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat Nama Mahasiswa : Teguh Setyo Nugroho Nomor Pokok : C Disetujui Komisi Pembimbing Ir. Gatot Yulianto, M.Si Ketua Ir. Zairion, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 24 Nopember 2009 Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.

11 Bukalah mata, telinga, pikiran dan hati seluas-luasnya, agar kita dapat melihat, mendengar, mengetahui dan merasakan kebenaran yang sesungguhnya. Gunakanlah semuanya sebagai dasar untuk setiap tindakan yang akan kita tempuh, agar kebijaksanaan selalu mengiringi langkah kita. (Tyo 2009) Karya ini kupersembahkan bagi Istriku Uji Sukmawati dan putriku Nada Aurellia Izdihar yang tersayang dan tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan dukungannya yang tulus selama menunggu selesainya masa studiku. Tidak lupa pula juga untuk Ibunda Hj. Tasmisih, Ayahanda Soenggono (alm), Bapak Mertua Sumaryono, Ibu Mertua Sri Lestari dan seluruh saudara-saudaraku yang juga sangat kusayangi.

12 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas atas segala karunianya sehingga tesis dengan judul Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dapat terselesaikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove dalam rangka menangani kasus pemukiman, lahan garapan dan tambak udang masyarakat di dalam kawasan hutan lindung bakau di Desa Dabong. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si dan Ir. Zairion, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Prof.Dr. Ir Mennofatria Boer, DEA yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh jajaran di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kubu Raya yang telah banyak membantu dalam penyediaan informasi dan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada masyarakat Desa Dabong yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sehingga penelitian yang akan dilaksanakan nantinya dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Desember 2009 Teguh Setyo Nugroho

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, pada tanggal 8 April 1980 dari ayah Soenggono (alm) dan Ibu Hj. Tasmisih. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1992 di SD Negeri 1 Kembang, SLTP Negeri 1 Tayu pada tahun 1995, SMU Negeri 1 Tayu pada tahun Pada Tahun 2003, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu (S-1) pada Fakultas Perikanan Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2004 sampai 2005, penulis bekerja di salah satu perusahaan swasta PT. Jico Agung (MI-WON group) Jakarta sebagai Marketing Supervisor. Tahun 2005 sampai sekarang penulis bekerja sebagai salah satu staff pengajar (Dosen) di Politeknik Negeri Pontianak Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan. Tahun 2007 penulis melanjutkan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Sekolah Pascasarjana (S-2) Institut Pertanian Bogor.

14 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi Konsep Valuasi Ekonomi Metode Valuasi Ekonomi Analisis Kelembagaan Konsep Pengelolaan Berkelanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data Pengumpulan data ekosistem mangrove dan tambak Pengumpulan data sosial ekonomi dan kelembagaan Pengumpulan berbagai data penunjang Analisis Data Analisis data luas ekosistem mangrove dan tambak Analisis terhadap struktur vegetasi mangrove Analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove Analisis nilai manfaat ekonomi tambak Analisis Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Analisis kelembagaan HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Keadaan Iklim, Topografi, Hidrologi, dan Tanah Kondisi sosial ekonomi masyarakat Aktivitas perekonomian Penggunaan Lahan di Kawasan Dabong Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sarana dan Prasarana Wilayah... 58

15 ii 4.2. Luas Ekosistem Mangrove, Tambak dan Kawasan Lindung Mangrove Struktur Vegetasi Mangrove Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove Indeks Nilai Penting (INP) Keanekaragaman Fauna Kondisi Fisik Lingkungan Ekosistem Mangrove Derajat Keasaman (ph) Suhu Salinitas Jenis Tanah Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Nilai Manfaat Langsung ( Direct Use Value) Nilai Manfaat Tidak Langsung ( Indirect Use Value) Nilai Manfaat Pilihan Nilai Manfaat Keberadaan Nilai Manfaat Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Desa Dabong Nilai Ekonomi Tambak di Kawasan Hutan Mangrove Dabong Sejarah dan Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Dabong Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Analisis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Organisasi pengelola kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong Berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Analisis struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Sintesa dan Alternatif Solusi KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 iii DAFTAR TABEL Halaman 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan Ikhtihar dampak kegiatan menusia terhadap ekosistem mangrove Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mengrove untuk lahan tambak Jenis dan variabel data yang dikumpulkan beserta metode pengumpulan datanya Kondisi iklim di wilayah studi Jumlah penduduk Desa Dabong Perkembangan jumlah penduduk Desa Dabong Struktur penduduk di Dusun-Dusun Desa Dabong berdasarkan mata pencaharian Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan agama Alat tangkap ikan di Desa Dabong Produksi perikanan laut yang didaratkan di TPI/PPI Dabong Penggunaan lahan di Kawasan Dabong Kecamatan Kubu Tahun Route trayek transportasi umum di kawasan studi Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di Desa Dabong Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong Jenis pohon mangrove yang ditemukan di Lokasi Penelitian Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove Sebaran ph, Suhu dan Salinitas di Tiap Jalur Pengamatan Nilai manfaat potensi kayu komersial Nilai manfaat kayu bakar hutan mangrove Dabong Nilai manfaat kayu cerucuk hutan mangrove Dabong... 80

17 iv 26. Nilai manfaat daun nipah hutan mangrove Dabong Nilai manfaat ikan hutan mangrove Dabong Nilai manfaat kerang hutan mangrove Dabong Nilai manfaat ale-ale hutan mangrove Dabong Nilai manfaat kepah hutan mangrove Dabong Nilai manfaat kepiting hutan mangrove Dabong Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong Nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Total nilai manfaat ekosistem mangrove Desa Dabong Nilai manfaat ekonomi tambak Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong Beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong

18 v DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong Pengelompokan Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya Dengan Metode Valuasi Ekonomi Lingkungan Kerangka analisis kelembagaan Tiga pilar pengelolaan berbasis sosial ekosistem Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove Skema penempatan petak contoh Tipologi Nilai Ekonomi Total Peta sebaran mangrove dan tambak pada tahun 1991, 2002 dan Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Frekuensi jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Penutupan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Indeks Nilai Penting komunitas mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Sebaran ph air dan tanah di Lokasi Pengamatan Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya Macam-macam teknik silvofishery: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao

19 vi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Kawasan Hutan Lindung Mangrove di Desa Dabong Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Analisis Vegetasi Tingkat Semai Rekapitulasi Analisis Vegetasi Beberapa Jenis Fauna Pada Ekosistem Mangrove Desa Dabong Data Fisika Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Potensi Kayu Mangrove Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kayu Bakar Mangrove Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Cerucuk Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Daun Nipah Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ikan Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kerang Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ale-ale Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepah Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepiting Rekapitulasi Nilai Manfaat Nilai Manfaat Budidaya Tambak Tradisional (Udang Vannamei) di Desa Dabong Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Nilai Manfaat Eksistensi Hutan Mangrove Dabong Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong Kuesioner Pengeloaan Ekosistem Mangrove Panduan Wawancara Mendalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove Panduan Wawancara Mendalam Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove

20 vii 27. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa Ijin Usaha Perikanan (IUP) Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa Surat Pembudidayaan Ikan (SBI) Foto Penelitian

21 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts- II/2000, sejumlah lahan di kawasan pesisir Desa Dabong telah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove (luas ± ha) dari hektar hutan lindung mangrove yang ada di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ekosistem mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan pesisir dan laut. Di kawasan pesisir, ekosistem mangrove ini akan mendukung lingkungan pantai, menjadi tempat yang ideal bagi ikan-ikan untuk berkembang biak, rumah yang nyaman bagi kepiting dan burung air, dalam saat berbahaya mangrove juga berfungsi menyaring pencemaran logam berat dari daratan sebelum masuk lautan. Sebagai salah satu ekosistem pesisir utama di Desa Dabong, ekosistem mangrove di sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting, baik manfaat langsung (direct) maupun manfaat tidak langsung (indirect). Manfaat tersebut diantaranya secara fisik, khususnya dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang dan interusi air laut. Mangrove juga memegang peranan penting dalam dalam melindungi pesisir dari terpaan badai. Kemampuan mangrove dalam mengembangkan wilayahnya kearah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen. Mangrove juga mempunyai fungsi sebagai spawning ground, feeding ground, dan juga nursery ground guna mendukung produksi perikanan. Beberapa studi menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara luasan mangrove dengan produksi perikanan (Martosubroto & Naamin 1977; de Graaf & Xuan 1998). Jika mangrove tidak ada, maka produksi laut akan berkurang secara nyata (Naamin 1991). Oleh karena itu,

22 2 hutan mangrove merupakan ekosistem dengan tingkat produktivitas yang tinggi dengan berbagai macam fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan yang penting. Walaupun hutan mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-II/2000, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari kerusakan dan degradasi. Kawasan mangrove di Desa Dabong ini mengalami kerusakan karena sebagian telah dikonversi menjadi tambak tanpa ada proses pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan RI. Pengambilan pohon mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan oleh masyarakat setempat juga ikut menambah kerusakan hutan mangrove di Desa Dabong ini. Kegiatan ini akan berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan lautan. Degradasi ekosistem mangrove di Desa Dabong akibat berbagai aktifitas pemanfaatan seperti konversi untuk lahan tambak dan pengambilan kayu/penebangan liar perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus dari semua pihak. Melihat hal tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat mengurai akar penyebab permasalahan sehingga dapat dirumuskan alternative pengelolaan yang tepat. Alternative pengelolaan yang didapat hendaknya mampu menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat Perumusan Masalah Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat termasuk diantaranya hutan mangrove yang ada di Desa Dabong berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 259/kpts-II/2000 telah ditetapkan statusnya sebagai Hutan Lindung Mangrove. Keluarnya SK MenHut No 259/kpts- II/2000 ini didasarkan padu-serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts/Um/10/1982, Perda Nomor I/1995 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalbar dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/1999 tentang RTRW Nasional. Berdasarkan otonomi daerah, wewenang pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong berada pada pemerintah daerah yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya. Penetapan kawasan hutan lindung mangrove

23 3 ini ditujukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan di pesisir dan laut serta bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Pengelolaan kawasan lindung meliputi upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung. Meskipun kawasan hutan mangrove tersebut telah ditetapkan statusnya sebagai Kawasan Hutan Lindung, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove ini dari kerusakan dan degradasi. Pada tahun 2009 tercatat sekitar 564,35 hektar area hutan lindung mangrove di Desa Dabong telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat setempat tanpa adanya proses pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan. Konversi hutan manggrove menjadi tambak pola tradisional oleh masyarakat ini diduga telah terjadi sejak tahun 1991 dan berkembang dengan pesat mulai tahun 1998 sampai sekarang. Perkembangan tambak didalam kawasan hutan lindung mangrove ini tidak terlepas dari adanya Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan). Pada tahun , Dinas Perikanan Pontianak menjalankan Protekan dari Departemen Kelautan dan Perikanan dan mendorong pembangunan tambak udang di area yang ternyata merupakan kawasan hutan lindung mangrove. Hampir semua petambak di Desa Dabong merupakan binaan dari Dinas Perikanan. Petambak memiliki Ijin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Pembudidayaan Ikan (SBI) yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Pontianak (yang merupakan kabupaten induk dari Kabupaten Kubu Raya sebelum pemekaran). Ijin ini mengacu kepada Perda No 12 tahun 1998 tanggal 4 Nopember tentang penertiban perizinan usaha perikanan. Hal ini menunjukan adanya ketidakjelasan kebijakan dan ketiadaan koordinasi antara instansi di pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten yang menyebabkan munculnya areal tambak didalam hutan lindung mangrove. Permasalahan lain yang serius adalah masuknya sebagian besar lahan masyakat seperti pemukiman, lahan garapan dan berbagai fasilitas umum ke dalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya proses pelepasan hak (ganti rugi/kompensasi), padahal masyarakat sudah lama bermukim di daerah tersebut. Bahkan hampir semua dusun/kampung termasuk pusat pemerintahan desa masuk kedalam kawasan hutan lindung. Hal ini tentunya menimbulkan konflik

24 4 pemanfaatan ruang antara antara pengelola hutan lindung dengan masyarakat. Pengambilan kayu mangrove secara liar untuk berbagai keperluan juga membuat semakin terancamnya kelestarian hutan mangrove di daerah tersebut. Dalam realisasinya, implementasi pengelolaan ekosistem akan menghadapi berbagai macam rintangan seperti sengketa lahan, birokrasi yang buruk dan kebijakan publik yang kurang berpihak pada upaya konservasi (Yaffee et al. 1996). Lemah dan buruknya dalam perencanaan dan pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan mangrove dapat memberikan dampak negatif seperti degradasi lingkungan dan buruknya kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan. Mengatasi berbagai rintangan pada pengelolaan ekosistem, maka hendaknya dilakukan pengelolaan yang adaptip (Sampson 1993; Brunner & Clark 1997). Untuk mencapai hal ini, maka diperlukan keterpaduan yang efektif dari para praktisi, peneliti dan berbagai stakeholder untuk berbagi pandangan, pengetahuan dan pengalaman (Yaffee 1999). Sistem pengelolaan sumberdaya mangrove di Desa Dabong hendaknya lestari, terpadu dan berkesinambungan. Penilaian atas keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya alam haruslah multidisplin dan mencakup aspek lingkungan, sosial dan ekonomi (Glaser & Diele 2004). Lebih lanjut Bengen (2002) menyatakan, bahwa masalah pengelolaan mengrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian yang dapat menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung mangrove, sehingga selanjutnya dapat dicari alternatif kebijakan pengelolan yang tepat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi arah kebijakan yang diperlukan dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, terpadu dan berkelanjutan di Desa Dabong.

25 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji situasi dan kondisi ekosistem mangrove. 2. Mengkaji manfaat ekonomi hutan mangrove dan tambak. 3. Mengkaji akar penyebab permasalahan adanya tambak, permukiman dan lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mangrove dengan menganalisis kelembagaan pengelolaan. 4. Menentukan alternatif solusi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung yang tepat dan berkelanjutan serta menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi upaya pengelolaan kawasan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat di masa mendatang Kerangka Pemikiran Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai upaya perlindungan ekosistem mangrove, maka pemerintah telah menetapkan sejumlah lahan di kawasan pesisir Desa Dabong menjadi hutan lindung mangrove berdasarkan SK Menhut No 259/kpts-II/2000. Namun pemanfaatan ekosistem mangrove sering kali rawan terhadap konflik kepentingan. Kerusakan hutan mangrove akan membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi ekologi maupun social ekonomi. Adanya tambak udang, pemukiman dan lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mangrove serta kegiatan pengambilan kayu mangrove secara liar pada dasarnya merupakan bentuk dari lemah atau kurang efektifnya institusi/kelembagaan pengelolaan hutan mengrove di daerah tersebut. Institusi pengelolaan yang ada saat ini masih belum mampu mengatur dan mengendalikan prilaku dan berbagai pihak (masyarakat) untuk melestarikan dan

26 6 tidak merusak hutan mangrove. Hal ini menyebabkan performance yang buruk, baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis kelembagaan guna mencari akar penyebab permasalahan kurang efektifnya kelembagaan selama ini. Analisis kelembagaan akan mengkaji/menganalisis berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representatif) pengelolaan mangrove selama ini serta pengaruhnya terhadap performance baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Sebagai penunjang dalam analisis kelembagaan, maka perlu dilakukan juga berbagai kajian seperti: 1. Mengkaji kondisi dan potensi mangrove dan berapa besarnya degradasi/kerusakan mangrove pada daerah tersebut. Pada kajian ini akan ditelaah: (a) luas liputan mangrove, luas areal mangrove yang dikonversi menjadi tambak dan perubahan status lahan. (b) struktur dan komposisi mangrove seperti kerapatan, frekuensi, penutupan dan indeks nilai penting species (INP i ). (c) kondisi fisika kimia mangrove (meliputi suhu, salinitas, ph dan jenis substrat). 2. Mengkaji berapa besarnya nilai manfaat total/valuasi ekonomi ekosistem mangrove (manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat eksistensi) dibandingkan dengan nilai ekonomi tambak di daerah tersebut. 3. Mengkaji sejarah dan pola penguasaan lahan di kawasan ekosistem mangrove Desa Dabong. 4. Mengkaji proses ditetapkannya kawasan ini menjadi status kawasan Hutan Lindung Mangrove berdasarkan SK MenHut No.259/kpts-II/2000 dan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pihak pengelola kawasan untuk penegakan status kawasan lindung (sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum). Output dari analisis kelembagaan ini adalah perubahan struktur kelembagaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan alternative solusi yang tepat dan reformulasi kebijakan pengelolaan. Alternative solusi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan hutan lindung ini diharapkan dapat

27 7 memberikan performance yang lebih baik, baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Secara sederhana diagram kerangka berpikir kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong dapat dilihat pada Gambar 1. Ekosistem Mangrove di Desa Dabong Institusi Pengelolaan saat ini (Status Hutan Lindung SK MenHut No.259/kpts-II/2000) Alih fungsi lahan menjadi tambak Pemukiman di dalam hutan lindung Pengambilan kayu Performance saat ini Situasi dan Kondisi Mangrove Lemahnya pengawasan & penegakan hukum Analisis Manfaat Mangrove & Tambak Analisis Kelembagaan Sejarah penguasaan lahan Berbagai situasi sebagai sumber independensi Perubahan Institusi Alternatif pengelolaan yang berkelanjutan Performance yang lebih baik Reformulasi Kebijakan Pengelolaan Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong

28 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Istilah mangrove berasal dari kata mangro yaitu nama yang biasa digunakan untuk tumbuhan Rhizophora mangle di Suriname (Karsten 1890 in Chapman 1972). Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan perpaduan antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata grove dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individuindividu jenis mangrove tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohon atau rumput-rumput maupun semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan yang berasosiasi dengannya. Menurut Aksornkoae (1993), mangrove adalah tumbuhan halophit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Canocarpus), yang termasuk dalam delapan family. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili : Rhizophoracea (Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Soneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2004). Dennis (1992) mengambarkan habitat mangrove berupa sistem akar tunjang atau akar napas yang berada dipinggir pantai, laguna, dan teluk yang berasal dari mangrove. Karakteristik habitat mangrove yakni: (1) umumnya tumbuh di daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau

29 9 berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama, frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang yang kuat. air yang bersalinitas payau (2/22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil) (Bengen 2004). Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan aktif mengeluakan garam dari jaringan, sementara yang lain mengembangkan system akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya (Bengen 2004). Menurut Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisika dan kimia di lingkungannya. Empat faktor utama yang mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu : (1) frekuensi arus pasang, (1) salinitas tanah, (3) air tanah, dan (4) suhu air. Keempat faktor tersebut akan menentukan dominasi jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan. Mangrove dapat berkembang dimana tidak terdapat gelombang. Kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul didasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan bagi suatu daerah (Supriharyono 2000). Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda tergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan frekuensi penggenangan. Dalam hal ini, Watson (1928); Chapman (1994) dan De

30 10 Hann (1931) in Kusmana et al.(2005) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi genangan pasang (kelas genangan) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada daerah yang bersangkutan (Tabel 1). Tabel 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan Tipe pasang/ kelas penggenangan Watson (1928) 1. Pasang tinggi tertinggi 2. Pasang tinggi rata-rata 3. Pasang tinggi normal 4. Pasang tinggi musim 5. pasang tinggi badai Kelas penggenangan (salinitas dan frekuensi) A.Payau sampai asin, salinitas ppt, selalu tergenang A kultur, min 20 hr/bln. A hr/bln A3. 9 hari/bln A4. Beberapa hr/bln B. Air tawar sampai payau B1. Jarang tergenang pasang Sumber: Kusmana et al.(2005) Frekuensi penggenangan Chapman (1944) kali/thn kali/thn kali/thn kali/thn Jenis pohon dominan Avicennia spp. Sonneraia spp. Rhizophora spp. Bruguiera spp. Xylocapus spp. Heritiera spp. Lumnitzera spp. Bruguiera spp. Scyphypora spp. Jenis-jenis halophyta Nypa fruticans Oncosperma sp. Carbera sp. Mangrove adalah salah satu sumberdaya yang dapat pulih (renewable). Peran dan fungsi mangrove yang sangat penting, akan tetapi kondisi hutan mangrove saat ini telah mengalami banyak kerusakan. Kerusakan mangrove disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Sekalipun demikian faktor utama kerusakan mangrove adalah karena faktor manusia, seperti aktifitas produksi, eksploitasi, konversi lahan untuk peruntukan lain atau aktifitas non-poduksi seperti polusi dari limbah rumah tangga atau limbah industry (Fauzi 2004). Lebih lanjut Kusmana (1991) menyatakan, bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Dari faktor alam, kerusakan tersebut dapat terjadi melalui pengaruh proses sedimentasi maupun kenaikan permukaan air laut. Adapun dari faktor

31 11 manusia, kerusakan yang terjadi akibat prilaku manusia itu sendiri seperti aforestasi, reforestasi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali serta pencemaran di perairan estuaria tempat lokasi tumbuhnya mangrove. Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove No Kegiatan Dampak potensial 1. Tebang habis a. berubahnya komposisi tumbuhan mangrove b. tidak berfungsi sebagai daerah mencari makanan dan pengasuhan Penggalian alian air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi Konversi menjai lahan pertanian, perikanan, pemukiman, dll. Pembuangan limbah cair Pembuangan limbah padat (sampah) Pencemaran oleh tumpahan minyak a. peningkatan salinitas pada lahan mangrove b. menurun tingkat kesubuan hutan mangrove a. mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove b. terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove c. pendangkalan perairan pantai d. erosi garis pantai dan intrusi garam. a. Penurunan kandungan oksigen terlarut, peningkatan gas H 2 S a. Kemungkinan tertutupnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat a. Kematian pohon mangrove 7. Penebangan dan ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan sekitar mangrove Sumber: Bengen (2004) a. Kerusakan total ekosistem mangrove sehingga menurunkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan). b. Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.

32 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove Kusmana et al. (2005) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut: 1. Fisiografi pantai Topografi pantai merupakan factor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh. 2. Iklim a. Cahaya Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah kkal/m 2 /hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan: Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata. Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza. Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. b. Curah hujan Curah hujan mempengaruhi factor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan rata-rata mm/thn. c. Suhu udara Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi. Mangrove yang terdapat dibagian Timur Pulau Sumatera tumbuh pada

33 13 suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari C pada Bulan Desember sampai dengan C. Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2005) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan mangrove yaitu: Avicennia marinna tumbuh baik pada suhu C, Rhizophora stylosa, Criops spp., Exceocaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu C, suhu optimum Bruguiera spp C, Xylocarpus spp. berkisar antara C dan Xylocarpus granatum 28 0 C. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 0 C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5 0 C kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai suhu 10 0 C. d. Angin Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman. 3. Pasang surut Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu factor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. 4. Gelombang dan arus Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.

34 14 5. Salinitas Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas ppt. beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas yang tinggi. Di Australia dilaporkan Aviecennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimun 63 ppt, Ceriops spp. pada 72 ppt, Sonneratia spp. pada 44 ppt, Rhizophora artikulata pada 65 ppt dan Rhizophora stylosa pada 74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan saltdimanding, oleh karena mangrove dapat tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: (a) penyebaran biji/propagul mangrove terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam. Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1931) in Bengen (2004) dibagi sebagai berikut: a. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara ppt: Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. Area yang terendam kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia alba, Avicennia marina), Sonneratia sp. dan didominasi oleh Rhizophora sp. Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp. Area yang tergenang hanya beberapa kali dalam setahun (jarang), Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih dapat hidup. b. Zona air tawar hingga relatif air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ppt: - Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut, terdapat asosiasi Nipah (Nypa fruticans).

35 15 - Area yang terendam secara musiman, didominasi oleh Hibiscus. 6. Oksigen terlarut Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar antara mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya 4.4 mg/l. 7. Tanah Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut. 8. Nutrien Nutrient mangrove dibagi atas nutrien in-organik dan detritus organic. Nutrien in-organik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organic yang terdegradasi. Detritus organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic melalu beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari authochthonus (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonus (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut). 9. Proteksi Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan

36 16 yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove Dalam perencanaan konservasi, distribusi/sebaran jenis tumbuhan dan binatang disepanjang area sangat diperlukan sebagai informasi dasar (Pearce & Ferrier 2001). Lebih lanjut Van Horne (1983) menyatakan, bahwa informasi demografis dan utilisasi sumber daya yang lengkap adalah hal penting untuk pemahaman kelayakan habitat dan akan mutunya. Menurut Noor et al. (1999), mangrove pada umumya tumbuh dalam 4 (empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing-masing zona diuraikan sebagai berikut: a) Mangrove terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur. b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis. c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau sonneratia. Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan. d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum

37 17 ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus moluccensis Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam tropika yang memiliki banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Peranan penting ekosistem mangove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup di parairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Mangrove berfungsi untuk mensuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi 1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Material ini menstimulasi produktivitas pantai, dimana daerah pantai yang bermangrove akan memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa mangrove (Marshall 1994). Detritus mangrove setelah terbawa air laut merupakan nutrisi yang berpengaruh nyata bagi kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al. 1984, Hatcher et al. 1989, Fleming et al. 1990, Marguillier et al. 1997). Sebagai tambahan, mangrove juga menyediakan bahan makanan, tempat bernaung, dan sebagai tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal (Blaber 1986; Robertson & Duke 1987). Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Hamilton dan Sneadaker (1984), Arief (1994) dan Bann (1998), fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa aspek yaitu : 1. Fungsi biologi Fungsi biologi dari hutan mangrove antara lain: (a). Tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva (nursery ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan, kepiting, udang dan kerang) (b). Pelindung terhadap keanekaragaman hayati (c). Penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup

38 18 2. Fungsi fisik Fungsi fisik dari hutan mangrove antara lain: (a). Pembangunan lahan dan pengendapan lumpur sehingga dapat memperluas daratan. (b). Menjaga garis pantai agar tetap stabil, pelindung pantai dari abrasi akibat gempuran ombak, arus, banjir akibat laut pasang dan terpaan angin (c). Pencegah interusi air laut ke daratan (d). Pengolah limbah organic dan perangkap zat-zat pencemar (pollutant trap). 3. Fungsi ekonomi Fungsi ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung dari hutan mangrove antara lain: (a). Bahan bakar (kayu bakar dan arang) (b). Bahan bangunan (kayu bangunan, tiang dan pagar) (c). Alat penangkap ikan ( tiang sero, bubu, pelampung dan bagan) (d). Makanan, minuman dan obat-obatan (e). Bahan baku pulp dan kertas (f). Bahan baku untuk membuat alat-alat rumah tangga dan kerajinan (g). Pariwisata Fungsi fisik dan biologi dapat dikatakan sebagai fungsi ekologis yang belum mengalami perubahan dari aktivitas pembangunan manusia. Fungsi ekonomi merupakan unsur tambahan dalam system ekologi tersebut yang telah melibatkan berbagai aktifitas untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Fungsi ekologis secara ekonomis memberi manfaat tidak langsung terhadap manusia, sedangkan fungsi ekonomi memberikan manfaat langsung kepada manusia. Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari eksosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran), poduksi bahan organik sebagai sumber bahan makanan, sebagai wilayah (daerah) asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Hong dan San (1993) menambahkan bahwa

39 19 pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, topan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan social ekonomi masyarakat disekitarnya. Melena et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu: 1. Mangrove menydiakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilaiayah pesisir. 2. Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir. 3. Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan. 4. Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam perairan. 5. Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya. 6. Mangrove menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak untuk budidaya perikanan. Ikan, udang-udangan, kerang dan berbagai benih ikan juga dapat di panen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial (perikanan tangkap) juga tergantung dari sumberdaya mangrove, yaitu sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang biak berbagai jenis komoditas perikanan. Selain itu mangrove juga sebagai sumber tannin, alkohol, dan obat-obatan. Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar $500 US $1 550 USD /ha/thn, nilai minim terjadi ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi diperuntukan yang lain Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi Konsep Valuasi Ekonomi Konsep nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Ukuran harga ditentukan oleh

40 20 waktu, barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa. Kajian-kajian valuasi ekonomi membahas masalah nilai lingkungan (valuing the environment) atau harga lingkungan (pricing the environment). Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Menurut Thampapillai (1993) dalam Sanim (1997) tujuan utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental goods dan services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi lingkungan hidup harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas sektoral dalam mendeterminasi keseimbangan antara konservasi dan pembangunan. Bermacam-macam teknik penilaian dapat digunakan untuk mengkuantifikasi konsep dari nilai. Sanim (1997) menyatakan hal-hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih suatu metode valuasi ekonomi dampak lingkungan adalah sebagai berikut : 1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Apabila analisis yang dilakukan memiliki tujuan ganda, maka akan lebih meyakinkan bagi seorang analis apabila mampu menyarankan besaran-besaran dampak yang disarankan. 2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Metode valuasi yang saling berbeda satu sama lain bersifat saling melengkapi bukan berkompetisi, karena mengukur aspek atau konsep yang berbeda. 3. Kebutuhan atau kepentingan pemakai hasil valuasi. Pemakai hasil valuasi memiliki preferensi tertentu dan tersendiri terhadap suatu metode valuasi ekonomi tergantung biaya, waktu dan tujuan. 4. Kepentingan umum atau masyarakat secara keseluruhan. Preferensi masyarakat umum harus mampu ditangkap secara maksimal dan setepat mungkin. Oleh karena itu, perlu ditempuh cara jajak pendapat yang intensif dan memadai.

41 21 5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi penggunaan hasil valuasi ekonomi. Apakah keuntungan yang diperoleh dari hasil penggunaan valuasi tersebut sebanding dengan biaya yang akan dikeluarkan Metode Valuasi Ekonomi Kegiatan valuasi ekonomi terdiri dari 3 tahap yaitu: (1) melakukan identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, (2) melakukan kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi sumberdaya, dan (3) melakukan pilihan alternatif pengelolaan sumberdaya (Dahuri et al. 2004). a. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove Manfaat ekosistem hutan mangrove yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama yaitu manfaat langsung (use value) dan manfaat tidak langsung (non use value). Komponen manfaat langsung dikategorikan kembali ke dalam nilai kegunaan langsung (direct use value) dan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan langsung merujuk pada kegunaan langsung dari pemanfaatan hutan mangrove baik secara komersial maupun non komersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Dahuri et al. 2004). Komponen manfaat tidak langsung adalah nilai yang diberikan kepada hutan mangrove atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung dan lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Komponen manfaat tidak langsung dibagi lagi ke dalam sub-class yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai pewarisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya. Nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya untuk generasi mendatang. Nilai pilihan diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya masih tersedia untuk masa yang akan datang (Dahuri et al. 2004).

42 22 b. Kuantifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove Tipologi metode valuasi ekonomi dapat digolongkan dalam tiga bagian besar, terantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu: (1) umum diaplikasikan, (2) potensial untuk diaplikasikan, dan (3) didasarkan atas survey. Secara garis besar metode valuasi ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu pendekatan manfaat (benefit based valuation) dan pendekatan biaya (cost based valuation). Metode-metode tersebut pada dasarnya merupakan turunan dari metode analisis biaya manfaat (Dixon and Hodgson 1988) Metode valuasi dengan pendekatan manfaat dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori umum yaitu: berdasarkan nilai pasar aktual (actual market based methods) dan yang kedua berdasarkan nilai pasar pengganti (substitute or surrogate market based methods). Metode-metode valuasi ekonomi yang termasuk ke dalam pengukuran nilai pasar aktual adalah (1) perubahan nilai produksi (change in productivity), (2) metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods). Untuk metode pasar pengganti terdiri dari: (1) biaya perjalanan (travel cost methods), (2) pendekatan perbedaan upah (wage differential methods), (3) pendekatan nilai pemilikan (property value), dan (4) pendekatan nilai barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan (hedonic pricing). Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari: (1) pengeluaran pencegahan (averted defensive expenditure methods), (2) proyek bayangan (shadow project methods), (3) biaya penggantian (replacement cost methods), dan (4) biaya perpindahan (relocation cost methods). Secara ringkas, hubungan antara nilai ekonomi dan metode valuasinya dapat dilihat pada Gambar 2.

43 23 Gambar 2. Pengelompokan nilai ekonomi lingkungan dan hubungannya dengan metode valuasi ekonomi lingkungan (Dixon and Hodgson 1988). Hufschmidt et al. (1996) mengelompokkan metode valuasi ekonomi berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan berdasarkan pendekatan survei atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan Hudgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingen valuation methods) dan metode kesesuaian manfaat (benefit transfer methods).

44 24 c. Pilihan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove Dalam menetapkan kebijakan dengan mengutamakan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian fungsi sumberdaya hutan mangrove, maka pemahaman terhadap nilai ekonomi total (total economic value) hutan mangrove serta kombinasi alokasi pemanfaatan sumberdaya yang efisien mutlak diperlukan. Menurut Barbier (1989), konsep nilai ekonomi total terdiri dari 5 komponen yaitu nilai manfaat langsung (direct use value), nilai manfaat tidak langsung (indirect use value), nilai manfaat pilihan (option value), nilai keberadaan (existence value), dan nilai waris (bequest value). Menurut Sanim (1997), nilai ekonomi dari aset lingkungan hidup dapat dipecah-pecah kedalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi dalam konteks penentuan alternatif penggunaan lahan dari hutan mangrove. Bedasarkan hukum biaya dan manfaat (benefit cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu hutan mangrove dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari pengembangan hutan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan mangrove tersebut yang juga dapat diinterprestasikan sebagai perubahan kualitas lingkungan hidup. Ruitenbeek (1994) mengemukakan dengan teknik analisis biaya dan manfaat dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan dan pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini analisis biaya dan manfaat digunakan untuk mengukur semua manfaat (benefit) dan biaya (cost) sebuah proyek dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi ekonomi proyek tersebut dari pandangan masyarakat. Lubis (1995) mengemukakan bahwa analisis biaya dan manfaat dapat digunakan jika : 1. Sebagian manfaat dan biaya proyek dapat dihitung dengan nilai uang 2. Manfaat dan biaya termasuk manfaat dan biaya lingkungan yang mengenai sekelompok masyarakat tidak secara langsung dihitung dalam proyek (dampak eksternal) 3. Manfaat dan biaya proyek berlangsung selama beberapa tahun

45 25 Adapun faktor-faktor yang perlu dibedakan dalam kuantifikasi manfaat dan biaya yaitu : 1. Kemungkinan logis untuk menilai semua manfaat dan biaya sebuah proyek 2. Kemungkinan empiris untuk mengevaluasi 3. Penilaian moral atas valuasi tersebut Dampak lingkungan sedapat mungkin diintegrasikan kedalam proses valuasi proyek, sehingga memungkinkan bagi pembuat kebijakan untuk membandingkan dampak lingkungan dengan dampak ekonomi dalam suatu unit yang sama. Tabel 3 menunjukkan beberapa dampak lingkungan yang dapat dihitung dalam ukuran uang dan dimasukkan dalam analisa manfaat dan biaya. Dalam tabel tersebut terlihat adanya dampak positif (manfaat) dan dampak negatif (biaya) dari pembukaan hutan bakau untuk tambak. Tabel 3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mangrove untuk lahan tambak Manfaat/ No Dampak Pengukur Peningkatan produksi ikan dan udang Kehilangan jenis ikan dan biota lain Peningkatan rekreasi atau wisata pantai Peningkatan kondisi lingkungan karena perkembangan daerah Abrasi pantai Konstruksi irigasi dan pekerjaan pemeliharaan Relokasi penduduk Operasi dan biaya pekerjaan pemeliharaan lainnya Pembersihan lahan Penurunan hasil ikan di muara dan lepas pantai Sumber : Lubis (1995) Biaya Manfaat Biaya Manfaat Manfaat Biaya Biaya Biaya Biaya Biaya Biaya Harga ikan atau udang setelah disesuaikan dengan subsidi/pajak x produksi??? Jumlah uang yang dibelanjakan oleh turis Peningkatan harga tanah Kehilangan lahan Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat??? Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat Harga peralatan, tenaga kerja Harga ikan x jumlah ikan yang berkurang

46 Analisis Kelembagaan Secara umum terdapat dua jenis pengertian institusi, pertama adalah institusi sebagai organisasi dan kedua adalah institusi sebagi aturan main atau rules of the game. Institusi sebagai suatu organisasi biasanya menunjukan pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank, rumah sakit, dan sejenisnya. Institusi sebagai rules of the game merupakan aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi (North 1990; Rodgers 1994). Bromley (1992) mengibaratkan organisasi sebagai hardwere dan institusi adalah softwerenya. Suatu institusi, terdiri dari tiga unsur utama yaitu batas jurisdiksi, property rights, dan aturan representasi (rules of representations). Satu institusi berbeda dengan institusi lainnya apabila satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut berbeda. Untuk memahami institusi lebih mendalam dan dapat melihat dampak perubahan alternatif institusi terhadap performa kita perlu terlebih dahulu mempelajari unsurunsur dari institusi itu sendiri (Schmid and Allan 1987). Landasan kerangka analitik institusi adalah mempelajari dampak perubahan alternatif institusi terhadap perubahan prilaku manusia yang akhirnya akan menghasilkan performa yang berbeda. Perubahan institusi hanya akan menghasilkan performa yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat mengkontrol sumber interdependensi antar individu seperti inkompatibilitas, ongkos eksklusi tinggi (high exclusion cost), ongkos transaksi, skala ekonomi, joint impact good,dan seterusnya. Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan, mengendalikan, atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid and Allan 1987). Kerangka analisis kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 3.

47 27 SITUASI Sympton Solusi KEBIJAKAN TRANSISI PERILAKU PERFORMANCE AKAR MASALAH STRUKTUR KEBIJAKAN MENDASAR Gambar 3. Kerangka analisis kelembagaan (Schmid and Allan 1987) 2.7. Konsep Pengelolaan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupannya (WCED 1987 in Dahuri et al. 2004). Selanjutnya Bengen (2004) berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan visi dunia internasional yang sudah saatnya juga menjadi visi nasional. Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi menganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam. Dengan demikian generasi mendatang memiliki asset sumber daya alam dan jasa lingkungan (environmental service) yang sama atau jika dapat lebih baik daripada generasi yang hidup sekarang. Menurut Dahuri et al. (2004), pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada didalamnya. Ambang batas yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak (absolute) melainkan merupakan batasan yang luwes (fleksibel) yang tergantung pada kondisi teknologi dan social ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi: (1) Dimensi ekologis, (2) Dimensi sosial budaya,

48 28 (3) Dimensi sosial politis, (4) Dimensi hukum dan kelembagaan (Dahuri et al. 2004). Konsep pengelolaan lain yang berbasis ekosistem yang juga telah diperkenalkan oleh Meffe et al. (2002) in INRR (2005) yang menggambarkan bahwa pada dasarnya pendekatan ini mengintegasikan antara pemahaman ekologi dan nilai-nilai sosial ekonomi. Dalam hal ini tujuan pengelolaan berbasis ekosistem adalah memelihara, menjaga kelestarian dan integritas ekosistem sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumberdaya untuk kepentingan sosial ekonomi manusia. Rejim kolaboratif untuk mecapai tujuan tersebut adalah 3 pilar pengelolaan berbasis ekologi, social ekonomi dan institusi (Gambar 4). Dari gambar tersebut terdapat 4 konteks kebijakan yang masing-masing merupakan dua perspektif tersebut. Konteks ekologi C Konteks Sosial Ekonomi D B A Konteks Hukum Gambar 4. Tiga pilar pengelolaan berbasis social ekosistem (Meffe et al in INRR 2005) Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa daerah A adalah zona otoritas pengelolaan (zone of management authority), dimana institusi pengelola mendapatkan mandat dari masyarakat untuk melakukan regulasi terhadap pengambilan keputusan yang terkait dengan ekosistem. Daerah B disebut sebagai daerah kewajiban masyarakat (zone of societal obligation), dimana kebijakan yang diambil institusi menitikberatkan pada kepentingan masyarakat sementara itu daerah C adalah daerah pengaruh (zone of influence), dimana dinamika keterkaitan sistem alam dan sistem sosial ekonomi terjadi dalam konsteks proses dan bukan pada regulasi atau otoritas. Dengan kata lain proses saling memengaruhi antar keduanya menjadi fokus utama dari perspektif daerah C.

49 29 Terakhir adalah daerah D sering pula disebut daerah interaksi bersama (zone of win-win partnership) dimana fokus utama pembangunan berbasis pada sistem sosial ekologi berada. Dalam konteks ini pandangan ketiga pilar pengelolaan berbasis sosial ekosistem menjadi sama penting dan diwujudkan dalam kebijakan pembangunan yang komprehensif dan terpadu Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu upaya untuk memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehinga pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae (1993) pengelolaan mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini antara lain harus: 1. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayukayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi domestik maupun ekspor. 2. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti daerah pemijahan dan mencari makan bebeberapa organisme darat dan laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah. 3. Mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi. Namun demikian pada hakekatnya dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat lestari dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan. 1) Perlindungan hutan mangove Pelindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan

50 30 Menteri Kehutanan nomor : KB.550/ 264/ kpts/ 1984 dan nomor: 082/ Kpts- II/ 1984 tanggal 30 April 1984 dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama itu dibuat selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga buat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara instansi terkait. Surat keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Depatemen Kehutanan dengan mengelakan Surat Edaran Nomor: 507/ IV-BPHH/ 1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau paa hutan mangrove yaitu sebsar 200 m disepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai. Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993) zonasi mangrove meupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secaa berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove tedapat 3 zona utama yaitu: a. Zona pemeliharaan (preservation zone) merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah. b. Zona perlindungan (conservation zone) merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut untuk regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat local. c. Zona pengembangan (development zone) merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.

51 31 2) Pemanfaatan hutan mangrove Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. (1999) menyatakan mangrove sebagai suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip, tannin, nipah, obat-obatan, bahan makanan, perikanan (penangkapan ikan, tambak), pertanian, perkebunan dan pariwisata. 3) Rehabilitasi hutan mangove Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbarui untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanam pada level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosisetm mangrove seringkali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (dua atau tiga jenis). Hal ini meneyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem magrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies) yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetic (Macintosh et al. 2002). Pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan terhadap masyarakat yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Menurut Sembiring dan Husbaini (1999), pemberian porsi yang besar kepada masyarakat harus diiringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan persepsi pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan masyarakat yang selama ini hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut ekonomi, secara berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bioekologis.

52 32 Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat mempertahankan poduktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar diperoleh hasil yang lestari.

53 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan ekosistem mangrove Desa Dabong selama 3 bulan, dari bulan Maret sampai Mei Desa Dabong terletak diantara muara Sungai Kapuas dan Selat Padang Tikar yang berhadapan langsung dengan Laut Natuna. Secara geografis, letak Desa Dabong berada pada titik koordinat 00 o 33 57,2 LS o 15 29,6 BT. Desa Dabong secara administrasi merupakan salah satu Desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove Luas kawasan Desa Dabong mencapai Ha (166 km 2 ) dan merupakan Desa terluas kedua di Kecamatan Kubu setelah Desa Kubu (235,08 km 2 ). Di dalam kawasan Desa Dabong terdapat kawasan pemukiman Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya (Sembuluk) dan Dusun Meriam Jaya (pemukiman Transmigrasi) dengan 1 Rukun Warga (RW) dan 13 Rukun Tetangga (RT). Secara administratif batas wilayah Desa Dabong adalah sebagai berikut:

54 34 - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Olak-Olak Kubu. - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Seruat III dan Laut Natuna - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kubu. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Padang Tikar Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari: (1) data ekosistem mangrove, (2) data sosial ekonomi dan, (3) berbagai data penunjang. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode observasi (pengamatan) langsung di lapangan, kuisioner, wawancara secara mendalam (depth interview), diskusi dan penelusuran berbagai data penunjang Pengumpulan data ekosistem mangrove dan tambak Pengumpulan data ekosistem mangrove dan tambak pada penelitian ini menggunakan metode observasi (pengamatan) langsung di lapangan, intepretasi terhadap Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan 2007 dan kuisioner. Observasi (pengamatan) langsung di lapangan, dilakukan untuk mengetahui kondisi dan potensi mangrove dan tambak. Intepretasi terhadap Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan 2007 dilakukan untuk mengetahui perubahan luasan mangrove dan tambak. Kuisioner diberikan kepada masyarakat dan petambak yang sudah lama berdomisili di daerah setempat dengan tujuan untuk mengetahui nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove dan tambak. Penarikan contoh (sampel) untuk data vegetasi mangrove terbagi atas 6 stasiun yang berbentuk jalur-jalur atau transek di sepanjang garis pantai yang ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sesuai dengan kondisi di lapangan serta dianggap representative mewakili tegakan mangrove di Desa Dabong (Gambar 5). Posisi geografis masing-masing jalur transek adalah sebagai berikut: - Jalur I, posisi geografis E ,26 N ,64 (24 plot). - Jalur II, posisi geografis E ,71 N ,67 (7 plot). - Jalur III, posisi geografis E ,12 N ,67 (32 plot). - Jalur IV, posisi geografis E ,72 N ,98 (31 plot). - Jalur V, posisi geografis E ,01 N ,23 (12 plot). - Jalur VI, posisi geografis E ,20 N ,16 (12 plot).

55 35 Penentuan sampel untuk data biologi (vegetasi) digunakan metode transek kuadrat (garis berpetak), yaitu dengan membuat transek garis tegak lurus garis pantai ke arah darat. Panjang garis transek bervariasi menurut ketebalan vegetasi mangrove (keberadaan vegetasi mangrove yang menjadi penghubung teresterial dan perairan). Analisa vegetasi mangrove dilakukan dengan membuat petak-petak kuadarat 10 x 10 meter (untuk pengamatan pohon), petak 5 x 5 meter (untuk pengamatan pancang) dan petak 2 x 2 meter (untuk pengamatan semai) yang diletakkan secara acak disepanjang garis transek. Tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan tegakan mangrove, jenis dan keanekaragaman jenis mangrove. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan tiga pola, yaitu: pengambilan data untuk semai (pemudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang/anakan (pemudaan dengan tinggi > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter lebih kecil dari 10 cm), dan pohon dewasa (diameter batang pohon > 10 cm). Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masingmasing spesies yang ada dalam setiap petak dan mengukur diameter pohon. Adapun arah pengamatan tegak lurus dari garis pantai kearah darat (Gambar 6). A: Petak pengamatan semai (2x2m 2 ) B: Petak pengamatan pancang (5x5m 2 ) C: Petak pengamatan pohon (10x10m 2 ) Gambar 6. Skema penempatan petak contoh dalam pengamatan mangrove Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pancang dan semai serta jenis pohon, data diameter pohon dan tinggi pohon. Sepanjang jalur transek pada saat pengambilan data vegetasi, dilakukan pengkuran parameter-parameter lingkungan seperti: suhu, salinitas, dan ph di setiap jalur pengamatan. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe substrat (lumpur, lumpur berpasir,

56 36 pasir berlumpur, lempung dan pasir) dan pencatatan jenis-jenis fauna yang ditemukan di lokasi penelitian teresterial serta akuatik dilakukan pencatatan. Metode 'spot check' digunakan untuk melengkapi informasi komposisi jenis, distribusi jenis, dan kondisi umum ekosistem mangrove yang tidak teramati pada metode transek-kuadrat. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati dan memeriksa zona-zona tertentu dalam ekosistem mangrove yang memiliki ciri khusus. Informasi yang diperoleh melalui metode ini bersifat deskriptif Pengumpulan data sosial ekonomi dan kelembagaan Pengumpulan data sosial ekonomi dan kelembagaan pada penelitian ini menggunakan metode wawancara secara mendalam (depth interview), diskusi dan kuisioner. Wawancara mendalam (depth interview) dan diskusi dilakukan terhadap masyarakat lokal, pengelola kawasan lindung dan instansi yang terkait. Wawancara mendalam terhadap masyarakat dilakukan pada tokoh-tokoh lokal. Sementara itu, wawancara dengan pihak pemerintah akan dipilih berdasarkan posisi dan keterlibatan mereka dalam pengelolaan kawasan lindung. Teknik ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh semua informasi yang diperlukan. Menurut Mulyana (2006), wawancara mendalam atau wawancara tidak terstruktur bersifat lebih luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada saat wawancara. Termasuk karakteristik sosial budaya dan religi responden yang dihadapi. Kuisioner diberikan kepada petambak dan masyarakat yang sudah lama berdomisili di daerah setempat, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara terperinci mengenai kondisi wilayah kajian. Penentuan responden untuk data social ekonomi menggunakan teknik Penarikan Contoh Sengaja (Purpossive Sampling Method). Responden yang diwawancarai terdiri dari: Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Bappeda dan kepala desa, Aparatur pemerintah desa, dan masyarakat sekitar lokasi. Responden masyarakat yang diamati adalah penduduk dewasa yang berdomisili di dalam/sekitar lokasi penelitian yang terkait dengan hutan mangrove, hal ini dikarenakan masyarakat tersebut dianggap mengetahui kondisi dan permasalahan ekosistem mangrove karena sering berinterakasi dengan wilayah mangrove tersebut.

57 Pengumpulan berbagai data penunjang Pengumpulan berbagai data penunjang pada penelitian ini menggunakan metode penelusuran berbagai pustaka/dokumen melalui kajian laporan, peraturan perundang-undangan, surat kabar, laporan statistik kabupaten/kecamatan/desa, dokumen dan arsip kawasan lindung serta peta tematik perkembangan penggunaan lahan di dalam kawasan lindung. Data penunjang yang dikumpulkan meliputi data kondisi fisik wilayah, kebijakan dan program pemerintah serta berbagai data untuk melengkapi data ekosistem mangrove dan tambak, sosial ekonomi dan kelembagaan. Pengumpulan data penunjang dilakukan dengan penelusuran berbagai pustaka/dokumen dari instansi terkait seperti : Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), kantor Desa dan lain-lain. Berbagai jenis data dan variabel data yang dikumpulkan beserta metode pengumpulan datanya pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis dan variabel data yang dikumpulkan beserta metode pengumpulan datanya. Jenis Data Data ekosistem mangrove dan tambak Data sosial ekonomi masyarakat Variabel Data yang Dikumpulkan - Luas lahan mangrove dan tambak - Perubahan liputan lahan mangrove dan tambak - Struktur dan komposisi mangrove - Aspek fisika kimia mangrove (meliputi suhu, salinitas, ph dan jenis substrat) - Nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove dan tambak - Data penduduk dan riwayatnya - Tingkat pendidikan - Mata pencaharian dan pendapatan penduduk - Tingkat pemanfaatan mangrove oleh masyarakat - Sarana prasarana Metode Pengumpulan Data Citra Landsat 7 ETM+ (tahun 1991, 2002 dan 2007) dan pengumpulan data penunjang Observasi, kuisioner dan pengumpulan data penunjang Pengumpulan data penunjang

58 38 Tabel 4 (lanjutan). Jenis Data Data pandangan masyarakat terhadap pengelolaan mangrove Data kelembagaan Data fisik wilayah Kebijakan dan program pemerintah Variabel Data yang Dikumpulkan - Identitas responden (umur, pendapatan, tingkat pendidikan dan pekerjaan) - Pemahaman terhadap hutan mangrove dan manfaatnya - Partisipasi dalam pelestarian hutan mangrove - Pandangan terhadap institusi yang terkait dengan pengelolaan mangrove (pemerintah) - Pandangan terhadap status lindung mangrove - Pandangan terhadap proses penetapan kawasan mangrove menjadi status lindung - Pandangan terhadap proses penegakan status lindung mangrove oleh institusi pengelola - Pandangan terhadap tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan lindung mangrove - Struktur kelembagaan yang ada di masyarakat dan pengelola kawasan lindung. - Sejarah dan pola penguasaan lahan. - Batas juridiksi, property right dan aturan representasi dalam pengelolaan mangrove. - Berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove - Batas administratif - Iklim, topografi dan fisiografi - Geologi tanah - Kondisi oseanografi (pasut) - Penggunaan lahan atau status lahan beserta riwayat dan perubahannya - Tata ruang - Kebijakan dan program-program pemerintah daerah yang berhubungan dengan pengelolaan ekosistem mangrove - UU, PP, SK, Perda yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove Metode Pengumpulan Data Kuisioner dan wawancara mendalam Observasi, wawancara mendalam, diskusi dan pengumpulan data penunjang Observasi dan pengumpulan data penunjang wawancara mendalam, diskusi dan pengumpulan data penunjang

59 Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis deskriptif dan kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk: (1) mendeskripsikan pengelolaan aktual ekosistem mengrove, (2) mendeskripsikan kondisi pesisir dan sosial ekonomi masyarakat, (3) mendeskripsikan kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove. Data fisik wilayah dan sosial ekonomi yang diperoleh dari penelitian ditabulasi dan dimasukan dalam tabel kemudian dideskripsikan. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk: (1) mengetahui potensi biofisik ekosistem mengrove, (2) mengetahui nilai manfaat ekonomi keberadaan ekosistem mengrove dan tambak. Penentuan alternative program pengelolaan ekosistem mangrove menggunakan sintesa dari pendekatan analisis kuantitatif dan analisis deskriptif Analisis luasan ekosistem mangrove dan tambak Untuk menghitung luas mangrove yang ada di Desa Dabong digunakan Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan Citra Landsat diolah dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG), dengan software yang dipakai adalah Er Mapper 7.0 dan ArcView 3.3 dengan kombinasi warna RGB 542. Tahapan pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ meliputi: (1) koreksi geometrik, (2) koreksi radiometrik, dan (3) intepretasi tutupan lahan mangrove dan tambak (klasifikasi). Analisis spasial ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau deskripsi spasial wilayah pesisir Desa Dabong khususnya untuk melihat perubahan luasan mangrove dan tambak Analisis struktur vegetasi mangrove Analisis terhadap struktur vegetasi mangrove mengacu pada English et al. (1994) yaitu dengan menghitung kerapatan, frekuensi, penutupan dan indek nilai penting (INP i ) masing-masing species. Analisis ini menggunakan data hasil pengukuran langsung di lapangan, berupa jumlah individu (IND), diameter batang (DB), jenis pohon mangrove serta luas dan jumlah petak contoh yang diambil. Untuk melengkapi kajian, maka diukur juga suhu, salinitas, ph dan jenis substrat. Selanjutnya, data vegetasi mangrove dilakukan analisis sebagai berikut :

60 40 1. Kerapatan spesies (D i ), adalah jumlah tegakan spesies i dalam suatu unit area: D i = n i A D i = kerapatan spesies i, n i = jumlah total individu dari spesies i A = luas area total pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot) 2. Kerapatan relatif spesies (RD i ) adalah perbandingan antara jumlah tegakan spesies i (n i ) dan jumlah total tegakan seluruh spesies ( n): RD i = ni x100% n n i= 1 3. Frekuensi Spesies (F i ) adalah peluang ditemukannya spesies i dalam petak contoh/plot yang diamati: p i i = n F i= 1 p F i = frekuensi spesies i; p i = jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan spesies i p =jumlah total petak contoh yang diamati. 4. Frekuensi Relatif Spesies (RF i ) adalah perbandingan antara frekuensi spesies (F i ) dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies ( F): RF i = n F i= 1 i F x100% 5. Penutupan Spesies (C i ) adalah luasan penutupan spesies i dalam suatu unit area: C i n i= = 1 Ba A Ba = π DBH 2 /4 (dalam cm 2 ), π = konstanta DBH = diameter pohon dari spesies i, A = luas total pengambilan contoh

61 41 6. Penutupan Relatif Spesies (RC i ) adalah perbandingan antara luas area penutupan spesies i (C i ) dan luas total area penutupan untuk seluruh spesies ( C): RC i = Ci x100% n C i= 1 7. Nilai Penting Species (INP i ) memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu spesies tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. Jumlah nilai kerapatan relatif spesies (RD i ), frekuensi relatif spesies (RF i ) dan penutupan relatif spesies (RC i ) menunjukkan Nilai Penting Species (INP i ) : INP = RD + RF + RC i i i i Nilai Penting suatu spesies berkisar antara 0 dan 300. Nilai Penting adalah indeks kepentingan suatu species di dalam komunitasnya. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. Nilai Penting Species (INP i ) yang rendah pada jenis tertentu mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan lingkungan yang ada disekitarnya serta jenis lainnya Analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove Analisis nilai manfaat ekonomi terhadap ekosistem mangrove mutlak diperlukan dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Pembuat dan pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan nilai fungsi yang terkandung dalam ekosistem tersebut. Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari: (1) pengeluaran pencegahan (averted defensive expenditure methods), (2) proyek bayangan (shadow project methods), (3) biaya penggantian (replacement cost methods), dan (4) biaya perpindahan (relocation cost methods). Secara ringkas, tipologi nilai ekonomi total dapat dilihat pada Gambar 7.

62 42 Total Economic value Use value Non-Use Direct Use value Indirect Use value Option value Existance value Gambar 7. Tipologi nilai ekonomi total Hufschmidt et al. (1996) mengelompokkan metode valuasi ekonomi berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan berdasarkan pendekatan survey atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan Hudgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingen valuation methods) dan metode kesesuaian manfaat (benefit transfer methods). Mengacu pada Adrianto (2006), nilai ekonomi total manfaat ekosistem mangrove di Desa Dabong adalah: 1. Manfaat Langsung (ML) Manfaat langsung yaitu manfaat yang dapat diperoleh secara langsung dari ekosistem hutan mangrove yang terdiri dari manfaat langsung hasil hutan dan manfaat langsung hasil perikanan. Manfaat langsung tersebut dapat diuraikan dalam persamaan : a. Manfaat Langsung Hasil Hutan (MLH) MLH = n H i i= 1 Keterangan: H i = manfaat langsung hasil hutan ke i

63 43 b. Manfaat Langsung Hasil Perikanan (MLP) MLP = n P i i= 1 Keterangan: P i = manfaat langsung hasil perikanan ke i c. Secara keseluruhan, manfaat langsung dari pemanfaatan hutan mangrove dapat dituliskan sebagai berikut : ML = MLH + Keterangan: MLP ML = manfaat langsung MLH = manfaat langsung hasil hutan MLP = manfaat langsung hasil perikanan 2. Manfaat Tidak Langsung (MTL) Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung. Manfaat tidak langsung terdiri dari manfaat sebagai penahan abrasi pantai, pencegah interusi air laut, dan sebagai penyedia unsur hara, secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : MTL = MTLa + MTLi + MTLh Keterangan: MTLe = manfaat tidak langsung penahan abrasi pantai MTLb = manfaat tidak langsung pencegah interusi air laut MTLh = manfaat tidak langsung penyedia unsur hara 3. Manfaat Pilihan (MP) Manfaat pilihan yaitu menunjukkan kesediaan seseorang untuk membayar kelestarian sumberdaya bagi pemanfaatan di masa depan. Nilai manfaat pilihan diestimasi dengan mengacu pada nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan mangrove di Indonesia, yaitu US $ /km/tahun atau US $ 15/ha/tahun (Ruitenbeek 1994). Nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai tukar rata-rata US $ terhadap Rupiah pada saat penelitian. Manfaat pilihan (MP) tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : MP = MPbi Keterangan: MPbi = manfaat pilihan biodiversity

64 44 4. Manfaat Eksistensi (ME) Manfaat eksistensi atau existence value yaitu manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan hutan mangrove setelah manfaat lainnya dikeluarkan dari analisis yang diformulasikan sebagai berikut : n ME ME = n i= 1 Keterangan: i ME i n = manfaat eksistensi dari responden ke- i = jumlah contoh atau responden Tahap kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang dilakukan setelah seluruh manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove telah diidentifikasi. Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah : 1. Nilai Pasar : pendekatan ini digunakan untuk mengkuantifikasi harga berbagai komoditas yang langsung dapat dipasarkan. Pendekatan ini dilakukan untuk menilai manfaat langsung hutan mangrove yang terdiri dari nilai hasil hutan, hasil perikanan dan hasil tambak. 2. Harga Tidak Langsung : pendekatan ini digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komponen sumberdaya yang diteliti, misalnya karena komponen tersebut belum memiliki pasar. Pendekatan ini digunakan untuk mengkuantifikasi nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove. 3. Contingent Valuation Method : digunakan untuk mengkuantifikasi manfaat keberadaan dari ekosistem yang diteliti. Untuk itu dalam survei digunakan dua model pertanyaan terbuka dan pertanyaan pilihan. 4. Nilai Ekonomi Total adalah penjumlahan seluruh nilai manfaat yang telah diidentifikasikan yaitu nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai manfaat pilihan dan nilai manfaat keberadaan. Berdasarkan persamaan diatas, nilai ekonomi total dari pemanfaatan hutan mangrove dapat dituliskan dalam persamaan : NET = ML + MLT + MP + ME

65 45 Keterangan: NET = nilai ekonomi total ML = manfaat langsung MTL = manfaat tidak langsung MP = manfaat pilihan ME = manfaat eksistensi Analisis nilai manfaat ekonomi tambak Analisis nilai ekonomi tambak sangat diperlukan untuk dibandingkan dengan nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove, sehingga dapat diketahui mana yang lebih menguntungkan secara ekonomi jika mangrove dibiarkan lestari dengan dikonversi menjadi lahan tambak. Pembuat dan pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove dan tambak untuk menentukan kebijakan yang tepat. Nilai manfaat ekonomi tambak (NMET) dapat dihitung dalam persamaan berikut ini: NMET = (HPr x Hjr) - (BT + BO) Keterangan: HPr = hasil panen rata-rata Hjr = harga rata-rata BT = biaya tetap (biaya investasi) BO = biaya operasional (pakan + tenaga kerja + perawatan, dan lain-lain) Analisis pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dilakukan dengan mengajukan kuisioner/pertanyaaan tertutup kepada 50 responden masyarakat. Pertanyaan yang diajukan terbagi menjadi 7 kelompok pertanyaan, antara lain : (a) pemahaman tentang hutan mangrove dan manfaatnya (8 pertanyaan), (b) partisipasi dalam pelestarian hutan mangrove (4 pertanyaan), (c) pandangan terhadap institusi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan mangrove (5 pertanyaan), (d) pandangan tentang status lindung mangrove (6 pertanyaan), (e) pandangan tentang proses penetapan kawasan mangrove menjadi status lindung (4 pertanyaan), (f) pandangan tentang proses penegakan status lindung mangrove

66 46 oleh institusi pengelola (5 pertanyaan), dan (g) pandangan tentang tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan lindung mangrove (2 pertanyaan). Hasil jawaban dari responden tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan rating scale, yaitu jumlah total hasil wawancara di bagi dengan jumlah skor kriterium (skor tertinggi x jumlah pertanyaan x jumlah responden) dan kemudian di kalikan dengan 100 untuk mendapatkan persentasinya. Kategori tingkat nilai (N) yang diberikan pada hasil wawancara pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong adalah sebagai berikut: - N > 75 % = Sangat Baik, dengan nilai (4) - 50 < N 75 % = Baik, dengan nilai (3) - 25 < N 50 % = Buruk, dengan nilai (2) - N 25 % = Sangat Buruk, dengan nilai (1) Analisis kelembagaan Untuk mengevaluasi strategi dan pendekatan dari pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong, dapat dilakukan dengan analisis kelembagaan. Oleh karena pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove merupakan suatu himpunan aturan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam, maka merupakan bentuk dari suatu sistem kelembagaan. Kelembagaan/institusi merupakan aturan main, norma-norma, laranganlarangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi. Teori kelembagaan ditujukan untuk mengetahui, menjelaskan dan memprediksi dampak dari aturan main serta membahas bagaimana perubahan suatu aturan dapat mempengaruhi kinerja pengelolaan/ekonomi. Untuk mengembangkan kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove agar efektif dan menghasilkan keragaan/performa yang baik, maka beberapa hal yang perlu dipahami dan dianalisis antara lain: (1) berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, (2) struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representatif), dan (3) pengaruh kelembagaan terhadap keragaan/performa. Analisis kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan

67 47 lindung mangrove. Untuk merubah perilaku (behavior) masing-masing stakeholder sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik perlu dilakukan perubahan terhadap unsur-unsur/struktur kelembagaan seperti yang dinyatakan oleh Pakpahan (1989) yang meliputi tiga unsur utama, yakni: a. Batas Yurisdiksi Batas yuridiksi adalah batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki suatu lembaga atau kedua-duanya, batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi. Batas yuridiksi juga dapat berimplikasi ekonomi para pihak yang terlibat dalam yuridiksi tersebut. b. Hak Penguasaan Konsep property right atau kepemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat, tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau penguasaan tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah hak seseorang adalah kewajiban dari orang lain seperti dicerminkan oleh hak kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya (Pakpahan 1989). c. Aturan representasi Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance, akan ditentukan oleh kaidah-kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk bentuk parisispasi tidak ditentukan oleh rupiah seperti halnya aturan representasi melalui pasar. Partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik organisasi.

68 48 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Keadaan Iklim, Topografi, Hidrologi, dan Tanah a. Iklim Wilayah studi secara umum beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per bulan sebesar mm, dan hari hujan terbanyak 22 hari per bulan dan terendah 8 hari per bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan curah hujan terendah pada bulan Januari. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 25.5 o C 27.4 o C. Suhu udara terendah 21.2 o C terjadi pada bulan Agustus dan yang tertinggi 33.0 o C pada bulan Juli. Kelembaban udara relatif %. Di wilayah studi tidak pernah terjadi kondisi perubahan iklim yang ekstrim. Kondisi iklim di wilayah studi yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak dapat dilihat pada Tabel 5. Bulan Curah hujan rata-rata (mm) Tabel 5. Kondisi iklim di wilayah studi Hari hujan (hari) Suhu rata-rata ( o C) Kelembaban Udara (%) Kecepatan Angin (Km/jam) Lama Penyinaran (%) Arah Angin ( o ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Rata-rata Sumber: Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak, 2007

69 49 b. Topografi Seluruh wilayah Desa Dabong merupakan daratan rendah dengan ketinggian rata-rata 0 s/d 2 m dari permukaan laut. Pemukiman penduduk berada pada kawasan pematang, yang komposisi tanahnya adalah pada permukaan hingga kedalaman meter berpasir, pada tingkat kedalaman lebih besar komposisi tanah terdiri dari tanah liat. Desa Dabong merupakan Wilayah pesisir yang sebagian besar merupakan tanah rawa asin sehingga areal pertanian tanaman pangan sangat sempit dan jauh dari pemukiman. Desa Dabong merupakan desa terpencil yang berada pada kawasan hutan lindung bakau. Untuk keperluan masyarakat beberapa kawasan hutan bakau tersebut di konversi menjadi tambak udang rakyat yang dikelola dengan sistem tradisional. c. Hidrologi Berdasarkan data peta Dinas Hidro-Oceanografi & TNI-AL (1993), kawasan ekosistem mangrove di Muara Kubu mempunyai kedalaman m terhadap surut rata-rata air laut (arah laut lepas). Dan di lokasi studi memiliki kedalaman 7-8 m. Hasil analisis data yang dilakukan oleh LIPI (1991) in Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar (2006) mengemukakan bahwa sifat pasang surut yang terjadi di Selatan Khatulistiwa Kalimantan Barat adalah campuran dengan dominansi diurnal, yakni kejadian pasang surut yang terjadi dalam satu hari (24 jam) hanya dua kali. Demikian juga keadaan pasang surut di wilayah studi adalah pasang surut diurnal (dua kali dalam 24 jam). Sementara perbedaan tinggi air pasang tertinggi (High Water Spring/HWS) dan surut terendah (Low Water Spring/LWS) di daerah studi berkisar m. Keadaan pasang tertinggi akan terjadi bila posisi Bumi-Bulan dan matahari tepat berada pada satu garis lurus yakni pada bulan baru atau bulan purnama. Keadaan surut terjadi pada kuartal terakhir setiap bulan. d. Jenis Tanah Tanah yang terdapat di wilayah studi ada 3 jenis dengan masing-masing spesifikasi sebagai berikut: (1) organosol yaitu tanah yang tersusun dari bahan organik (baik sebagian maupun seluruhnya), (2) alluvial yaitu tanah yang terbentuk dari endapan laut dan sungai berwarna abu-abu sampai coklat, dan (3)

70 50 tekstur tanah halus sampai sedang dan sebagian besar merupakan tanah gambut/rawa asin Kondisi sosial ekonomi masyarakat a. Kependudukan Penduduk di Desa dabong yang terdistribusi di tiga pusat pemukiman Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya Sembuluk dan Dusun Meriam Jaya (Satuan Pemukiman Transmigrasi Dabung) pada tahun 2009 berjumlah jiwa (544 KK) yang terdiri dari laki-laki dan perempuan (Tabel 6). Tabel 6. Jumlah penduduk Desa Dabong RT Dusun KK Jumlah penduduk Jenis kelamin laki-laki perempuan 1 Mekar Jaya (Muara Dabong) Mekar Jaya (Muara Dabong) Mekar Jaya (Muara Dabong) Selamet Jaya (Sembuluk) Selamet Jaya (Sembuluk) Mekar Jaya (Muara Kubu) Mekar Jaya (Muara Kubu) Meriam Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi) Mekar Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi) Total Sumber: Kantor Desa Dabong tahun Penduduk Kawasan pesisir Dabong tersebar di dua pusat pemukiman, yaitu Dusun Mekar Jaya (pusat desa) dan Dusun Selamat Jaya Sembuluk serta mayoritas bekerja sebagai nelayan dan petani. Lonjakan penduduk di Desa Dabong terjadi setelah adanya program transmigrasi ke Desa Dabong pada tahun 2004, 2005 dan 2008 yaitu dengan penempatan transmigran sebanyak 300 KK atau 946 jiwa. Pemukiman Transmigrasi Dabung SP.1 (Dusun Meriam Jaya) dengan luas kawasan Ha dapat menampung 400 KK (baru terisi pada penempatan tahun 2004 sebanyak 100 KK, tahun 2005 sebanyak 100 KK dan tahun 2008 sebanyak 100 KK). Pola transmigrasi yang ada adalah sistem

71 51 penempatan berupa transmigrasi sisipan (50% pendatang dan 50% penduduk setempat/sekitar) dengan pertanian tanaman pangan lahan basah (TPLB). Terkait dengan hal tersebut, khususnya dengan adanya peningkatan jaringan jalan dari Satuan Pemukiman Transmigrasi Dabung SP.1 (Dusun Meriam Jaya) ke Pusat Desa Dabong (Dusun Mekar Jaya) serta dengan adanya pembangunan tanggultanggul dan juga saluran-saluran irigrasi di Desa Dabong, maka telah mendorong masuknya penduduk (in-imigrasi) dari desa/wilayah sekitar ke wilayah desa Dabong. Perkembangan jumlah penduduk di Desa Dabong dari tahun 2002 sampai 2008 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan jumlah penduduk Desa Dabong No Tahun Penduduk Desa Dabong (jiwa) Laki-laki Perempuan Jumlah * * * Sumber: Kantor Desa Dabong tahun 2009; BPS 2008 Ket: * ) Jumlah penduduk Desa Dabong meningkat tajam karena program transmigrasi sisipan. Selain itu ada in-migrasi dari desa/kawasan sekitar adanya pembangunan infrastruktur. b. Mata pencaharian penduduk Umumnya mata pencaharian penduduk Desa Dabong adalah bertani dan nelayan. Pada kawasan Pesisir Dabong sebagian besar penduduknya adalah sebagai nelayan dan pembudidaya ikan/udang. Sedangkan mata pencaharian lain yang digeluti penduduk kawasan Dabong adalah bertani/berkebun, swasta (pedagang, kuli bangunan/tukang dan lain-lain), pegawai negeri serta ibu rumah tangga (Tabel 8).

72 52 RT Tabel 8. Struktur penduduk di Dusun-Dusun Desa Dabong berdasarkan mata pencaharian Dusun Jumlah penduduk Pekerjaan Nelayan Tani Swasta PNS Rumah tangga Total 1 Mekar Jaya (Muara Dabong) Mekar Jaya (Muara Dabong) Mekar Jaya (Muara Dabong) Selamet Jaya (Sembuluk) Selamet Jaya (Sembuluk) Mekar Jaya (Muara Kubu) Mekar Jaya (Muara Kubu) Meriam Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi) Mekar Jaya Meriam Jaya (Transmigrasi) Total % Sumber: Kantor Desa Dabong tahun 2009 Hasil perikanan andalan di Desa Dabong adalah ikan teri, udang, kerapu lumpur, kepiting, ale-ale (kerang pasir), kepah dan ikan-ikan damersal seperti manyung, kakap dan lain-lain. Komoditas hasil pembudidayaan yang dilakukan secara tradisional adalah udang Vannamei. Hasil pertanian diantaranya adalah padi, palawija dan kelapa. c. Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan formal masyarakat Desa Dabong tergolong masih rendah. Sebagian besar tingkat pendidikan penduduk adalah sekolah dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yaitu masing-masing sebanyak jiwa (59.26%) dan 238 jiwa (10.94%). Sedangkan penduduk yang mengenyam pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Perguruan Tinggi masing-masing hanya sebesar 131 jiwa (6.02%) dan 11 jiwa (0.51%). Penduduk yang belum atau tidak sekolah tercatat sebanyak 506 jiwa (23.26%). Dari kondisi pendidikan seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, pandangan, pola pikir, ketrampilan, sikap dan tindakan yang dimiliki dalam

73 53 kehidupan keseharian. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) % 1 Tidak/belum Sekolah Sekolah Dasar (SD) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Diploma 2 (D2) Diploma 3 (D3) Sarjana (S1) Master (S2) Jumlah Sumber: Kantor Desa Dabong tahun 2009 Desa Dabong merupkan salah satu desa terpencil di kabupaten Kubu Raya, sehingga sarana dan fasilitas pendidikan yang ada di Desa Dabong masih sangat minim dan terbatas. Fasilitas pendidikan yang sudah tersedia di tingkat desa hanya Sekolah Dasar. Terdapat 4 Sekolah Dasar (SD) yakni SDN 41 di Muara Kubu (terdiri 1 orang guru negeri dan 1 orang guru honorer), SDN 024 di Sembuluk (terdiri 3 orang guru negeri dan 2 orang guru honorer), SDN 40 di Transmigrasi (terdiri 1 orang guru negeri dan 5 orang guru honorer) dan SDN 023 di Dabong (terdiri 5 orang guru). Masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan jenjang lebih lanjut seperti ke SLTP, SLTA dan perguruan tinggi umumnya harus keluar dari desanya ke daerah lain. Untuk melanjutkan pendidikan tingkat SLTP dan SLTA, biasanya masyarakat pergi ke Kubu (ibukota kecamatan), Batu Ampat atau ke Pontianak dengan jalan tinggal di tempat keluarga ataupun kost. d. Agama Penduduk Agama yang dianut masyarakat Dabong ada 3 (tiga), yaitu Islam, Budha, dan Kristen. Sebagian besar masyarakat Desa Dabong menganut agama Islam yaitu sebanyak jiwa (92.51%), sedangkan yang lainnya beragama Budha dan Kristen yaitu masing-masing sebesar 110 jiwa (5.06%) dan 53 jiwa (2.44%). Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan Agama dapat dilihat pada Tabel 10.

74 54 Tabel 10. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan agama No Agama Jumlah (jiwa) % 1 Islam Budha Kristen 53 2,44 Jumlah Sumber: Kantor Desa Dabong tahun 2009 Sarana dan fasilitas Agama yang ada di Desa Dabong terdiri dari Masjid dan Vihara. Tercatat ada 4 buah Masjid/Mushola yang masing terdapat di Muara Kubu, Sembuluk, kawasan transmigrasi dan Dabong. Sedangkan untuk Vihara terdapat 1 buah yaitu di Muara Dabong Aktivitas perekonomian a. Aktivitas perikanan di wilayah studi. Kegiatan perikanan yang ada di wilayah studi adalah kegiatan penangkapan dan budidaya tambak ikan/udang serta karamba jaring apung/kja (kerapu). Kegiatan penangkapan ikan meliputi jenis ikan, udang, kepiting, ale-ale, kepah, kerang namun kerang pada umumnya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Kegiatan budidaya ikan/udang masih dikelola dengan sistem tradisional baik dipelihara secara monokultur (udang) ataupun campuran (udang dan bandeng); jenis usaha budidaya yang juga sudah dimulai adalah budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Budidaya ikan kerapu dalam KJA baru bersifat pembesaran sementara karena umumnya benih yang digunakan adalah hasil tangkapan dari laut. Jenis kerapu yang dipelihara adalah kerapu lumpur. Untuk lebih jelasnya kegiatan perikanan yang ada di wilayah studi adalah sebagai berikut: 1. Perikanan budidaya Kondisi perikanan budidaya di wilayah studi dapat di lihat dari sistem budidaya yang diterapkan yakni budidaya ikan/udang di tambak dan karamba jaring apung. Perikanan budidaya yang cukup berkembang dan menjadi mata pencaharian alternatif selain nelayan adalah budidaya udang vannamei di tambak. Pola pemeliharaan yang diterapkan adalah dengan sistem tradisional. Total luas kotor lahan tambak yang sudah diusahakan di Desa Dabong adalah Ha. Dengan luas tiap petak berkisar Ha (rata-rata per petak

75 55 luasnya 3.86 ha). Dengan pola pemeliharaan dengan sistem tradisional, hasil panen per petak tambak berkisar kg (rata-rata panen per petak kg). Selama awal masa pemeliharaan udang tidak diberi makan, pakan utama dari udang tersebut hanya mengandalkan kesuburan lahan. Pakan tambahan yang diberikan berupa pelet dan diberikan ketika udang sudah mulai besar. Tingkat teknologi yang diterapkan masih sangat sederhana karena para pembudidaya udang umumnya tidak dibekali pengetahuan yang cukup sebelum dan selama menggeluti usaha pembudidayaan udang. Pengetahuan yang didapat secara autodidak dan pengamatan dari petani-pembudidaya ikan yang sudah berhasil di luar wilayah studi. Sistem pemasaran hasil produksi berlangsung melalui mekanisme pasar tradisional bergantung karekteristik masing-masing lokasi. Untuk wilayah Desa Dabong untuk ikan/udang hasil budidaya di tambak di pasarkan ke Rasau Jaya/Pontianak atau di antar langsung ke cold storage yang banyak terdapat di Kota Pontianak. Untuk ikan kerapu hasil tangkapan ataupun budidaya dipasarkan dengan cara pembeli mendatangi lokasi penampungan/ pembudidayaan yang terdapat di kawasan studi (Desa Dabong). Para pembeli ikan kerapu dalam kondisi hidup umumnya berasal dari Kepulauan Riau, Tembelan dan Terempa. 2. Perikanan tangkap Aktivitas perikanan tangkap di Desa Dabong masih merupakan usaha perikanan tradisional. Alat tangkap yang umum digunakan adalah (lampara dasar dan trawl, tidak lagi dioprasikan), jaring udang rebon, pukat, jala, ambai dan togo. Untuk operasional penangkapan menggunakan sampan, sampan motor, kapal motor yang memiliki bobot rata-rata dibawah 5 GT. Operasional penangkapan ikan dan udang serta kepiting menggunakan perahu dayung dengan wilayah operasional sekitar 750 m m dari garis pantai, sedangkan motor tempel mencapai m dari garis pantai. Alat tangkap andalan dan masih bertahan hingga saat ini adalah togo, jermal dan sero. Ikan sasaran adalah ikan teri dan udang untuk dijadikan udang ebi.

76 56 Areal penangkapan terbatas pada daerah pesisir atau dengan jarak kurang dari 4 mil laut. Dengan kapasitas alat tangkap dan armada penangkapan yang kecil maka sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan ikan-ikan laut ekonomis penting dengan jangkauan yang lebih luas. Ikan ekonomis penting yang tertangkap di wilayah studi diantaranya adalah ikan kerapu lumpur. Kegiatan perikanan tangkap, sarana dan alat tangkap yang digunakan seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Alat tangkap ikan di Desa Dabong. No. Jenis unit dan alat tangkap Jumlah Unit tangkap Perahu Papan Kecil Kapal Motor (0-10 Gt) Kapal Moror (5-10 Gt) Alat tangkap Pukat Plastik Rawai Ambai Togo/Jermal Sumber : Hasil survey, Khusus nelayan pemilik jermal (pada umumnya WNI keturunan Cina) mempekerjakan penduduk setempat atau pendatang (transmigran) untuk bekerja di jermal (malam hari) dan proses pengolahannya (pengeringan/jemur, sortir dan pembersihan). Dengan peralatan dan sarana penangkapan ikan yang ada, para nelayan berhasil menangkap ikan dengan berbagai jenis, seperti Tabel Tebel 12. Produksi perikanan laut yang didaratkan di TPI/PPI Dabong. No. Jenis Jumlah (ton) No. Jenis Jumlah (ton) Bawal Kembung Udang Jerbung Udang Dogol Udang Lainnya Teri Tenggiri Petek/Peperek Pari Kakap Kerapu Kurau Lainnya Jumlah total Sumber: TPI/PPI Dabong dan Kubu Tahun 2008.

77 57 b. Pertanian, perkebunan dan peternakan. Pertanian terdapat di Desa Dabong terdiri dari; tanaman pangan dan palawija, sayuran dan buah-buahan. Tanaman bahan pangan yang menonjol peranannya di Desa Dabong adalah komoditi Padi dan Jagung. Perkebunan rakyat yang ada di Desa Dabong adalah perkebunan Kelapa, yaitu luasnya sebesar 131 ha. Jumlah ternak di desadabong terdiri dari sapi (9 ekor), kambing (72 ekor), ayam buras (2.076 ekor) dan itik (75 ekor) (BPS 2008) Penggunaan Lahan di Kawasan Dabong Penggunaan lahan di Kawasan Dabong yang merupakan bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Kubu, dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Penggunaan lahan di Kawasan Dabong Kecamatan Kubu Tahun 2007 No Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) % 1 Tanah sawah Tanah kering Bangunan/pekarangan Hutan Negara Lainnya Jumlah Sumber: Kecamatan Kubu Dalam Angka Tahun 2008 Adapun kawasan terbangun (build up area) di Kawasan Dabong mencakup luasan sekitar 71 Ha atau 0.43 % dari luas Desa Dabung, merupakan bangunan/perkarangan. Sedangkan kawasan tidak terbangun di Kawasan Dabong mencapai luasan sekitar Ha atau % dari luas Desa Dabong merupakan penggunaan lahan bagi tanah sawah, perkebunan, hutan, dan tanah kering lainnya Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Mayoritas etnis yang mendiami Desa Dabong adalah Etnis Melayu, Dayak, Bugis, Cina dan Jawa. Etnis Melayu dan Bugis umumnya berprofesi sebagai nelayan, dan petani. Etnis Jawa banyak terdapat di daerah transmigrasi dan bergerak di bidang perkebunan, pertanian, dan perternakan sedangkan etnis Dayak

78 58 biasanya berladang. Etnis lain seperti Cina juga terdapat Desa Dabong, namun biasanya mereka bergerak di bidang perdagangan, nelayan dan jasa. Pengaruh kebudayaan Islam di wilayah pesisir Desa Dabong sangat dominan dalam tatanan kehidupan sehari-hari, baik dari Etnis Melayu, Bugis, dan Jawa. Mereka adalah penganut agama Islam turun-temurun, sehingga adat-istiadat dan kebiasaan mereka dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Pengaruh kebudayaan islam sangat terasa sekali pada wilayah Desa Dabong ini. Hal ini terlihat dari fungsi dari mesjid dan mushola disamping digunakan sebagai keperluan ibadah juga digunakan untuk aktivitas sosial seperti pendidikan Sarana dan Prasarana Wilayah a. Sarana transportasi Desa Dabong merupakan salah satu desa terpencil yang berada di daerah pesisir Kabupaten Kubu Raya dan sulit/tidak dapat diakses melalui jalan darat. Sarana transportasi yang tersedia satu-satunya adalah melalui air (angkutan dengan kapal/motor kayu atau speed boat). Jarak tempuh dari Desa Dabong ke pelabuhan Rasau Jaya (tempat transit ke ibukota Kabupaten/Provinsi) adalah 5-7 jam perjalanan dan untuk ke ibukota kecamatan Kubu adalah jam perjalanan dengan menggunakan kapal penumpang/kapal motor kayu. Jika menggunakan speed boat dapat ditempuh hanya dalam waktu 2-3 jam untuk ke pelabuhan Rasau Jaya dan 20 menit untuk ibukota kecamatan Kubu. Sarana darmaga di Kawasan Dabong terletak di pusat Desa Dabong (Dusun Mekar Jaya) yaitu di pinggir Sungai Sembuluk bagian muara. Sarana transportasi air yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum yang melalui kawasan studi sudah tersedia (memiliki trayek tetap) dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Route trayek transportasi umum di kawasan studi. No Route Trayek Kapasitas (GT) Trip Operasional Kapal Motor Air 1. Rasau Jaya-Batu Ampar 15 PP 2. Rasau Jaya-Paket 20 1 kali/hari 3. Rasau Jaya-Padang Tikar* 20 1 kali/hari 4. Rasau Jaya-Teluk Melano 20 1 kali/hari

79 59 Tabel 14 (lanjutan). No Route Trayek Kapasitas (GT) Trip Operasional 5. Rasau Jaya-Teluk Batang 10 1 kali/hari 6. Rasau Jaya-Sei Nibung (Sepuk)* 10 1 kali/hari 7. Pontianak-Dusun (P.Maya) 20 1 kali/hari 8. Pontianak-Ketapang 40 1 kali/hari 9. Batu Ampar-Padang Tikar 10 PP Kapal Penyebrangan (Ferry-ASDP) 1. Rasau Jaya-Teluk Batang kali/hari Speed Boat 1. Rasau Jaya-Batu Ampar* PP 2. Rasau Jaya-Teluk Batang 2 1 kali/hari 3. Rasau Jaya-Teluk Melano 2 1 kali/hari Sumber : Hasil survey, 2009; * Sarana transportasi ke Desa Dabong. Selain yang transportasi reguler seperti Tabel 14, untuk mobilisasi barang dan jasa dapat digunakan kendaraan air sewa/carteran yang tersedia di pangkalan speed boat yang ada di Rasau Jaya. Untuk sarana jalan darat di Desa Dabong masih berupa jalan kampung yang masih belum dikeraskan/diaspal dengan panjang 21 km. b. Sarana air bersih Seperti kawasan pesisir lainnya di Provinsi Kalimantan, pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk kawasan Dabong saat ini masih bersumber pada air hujan dan air tanah/sumur. Air hujan pada musim penghujan ditampung dengan menggunakan bak/tong semen dan fiber glass. Air hujan digunakan untuk keperluan air bersih seperti untuk minum dan memasak. Air sumur galian digunakan masyarakat Desa Dabong untuk keperluan mandi, mencuci dan kakus (MCK). Sumur galian yang digunakan untuk MCK umumnya memiliki air berwarna kekuningan yang menunjukkan banyak mengandung zat besi. Kedalaman sumur sebagai sumber air bersih berkisar antara 1 2 meter. Hal ini dikarenakan jika kedalaman air lebih dari 2 meter maka dikhawatirkan sumber airnya akan asin/payau. Pada musim kemarau sumur-sumur tersebut terkadang terintrusi air laut. Di Desa Dabong belum memiliki instalasi air bersih dari PDAM, sehingga pada musim kemarau pada umumnya masyarakat mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.

80 60 c. Sarana Kesehatan Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Dabong juga masih sangat terbatas. Pada tahun 2009, sarana kesehatan dan tenaga medis yang dimiliki desa Dabong hanya berupa Puskesmas Pembantu, Polindes (kosong), mantri dan Dukun Bayi Terlatih. Fasilitas dan tenaga kesehatan di Kawasan Studi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15.Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di Desa Dabong No Sarana kesehatan Satuan Jumlah 1 Puskesmas Unit - 2 Puskesmas Pembantu Unit 1 3 Polindes Unit 1 4 Dokter Orang - 5 Bidan Orang - 6 Mantri Orang 1 7 Dukun Bayi Terlatih Orang 1 8 Puskesmas Keliling (air) Unit - Sumber: Hasil survey Tahun 2009 d. Sarana listrik Hingga saat ini pelayanan energi listrik dari PLN belum menjangkau Desa Dabong. Desa Dabong merupkan satu-satunya desa di wilayah administrasi kecamatan Kubu (dari 19 desa yang ada) yang belum mendapat pelayanan energi listrik dari PLN. Selama ini warga menggunakan mesin genset untuk memenuhi kebutuhan listriknya. e. Sarana telekomunikasi Sarana komunikasi yang umum di Desa Dabong berupa telepon genggam (hand phone) atau telepon selular GSM. Di wilayah ini hanya dapat menggunakan jasa operator seluler GSM dari 2 perusahaan yaitu Indosat dan Telkomsel. Sinyal telepon dari operator Telkomsel agak sulit, hal ini di kerenakan menara pemancarnya berada di Kubu. Sedangkan sinyal dari operator Indosat lebih mudah didapatkan karena di Desa Dabong ini sudah ada menara pemancar dari Indosat.

81 Luas Ekosistem Mangrove, Tambak dan Kawasan Lindung Mangrove Berdasarkan hasil pengukuran dan intepretasi luas hutan mangrove yang dilakukan dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan 2007 dengan kombinasi warna RGB 542 diperoleh riwayat luas hutan mangrove dan tambak di Desa Dabong. Luas kawasan lindung mangrove di Desa Dabong diperoleh dari peta thematik SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Kalimantan Barat Seluas hektar. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong dapat dilihat pada Tabel 16. No Tabel 16. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong Tutupan lahan Luas (ha) Penurunan luas (ha/thn) Pertambahan luas (ha/thn) 1 Hutan Mangrove Tambak * Kawasan Lindung Mangrove ** ** ** - - Sumber : Pengolahan Data Primer Citra Landsat ETM+7 tahun 1991, 2002 dan 2007 (2009). NB : *) Hasil survey tahun 2009 **) Peta Kawasan Hutan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 Luas hutan mangrove di Desa Dabong berdasarkan hasil citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991 adalah ha, berdasarkan hasil citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 adalah ha, sedangkan berdasarkan citra Landsat 7 ETM adalah ha. Dari luasan tersebut, berarti dalam kurun waktu 16 tahun terjadi penurunan luasan ha (17.65%) atau ha/tahun (1.10 % per tahun). Hal ini menunjukan tingkat kerusakan mangrove di Desa Dabong sangat besar. Dari data ini terlihat luas mangrove yang hilang dalam kurun waktu lima tahun terakhir ( ) sebesar ha atau ha/thn lebih rendah dari kurun waktu sebelas tahun sebelumnya ( ) yaitu terjadi penurunan luas sebesar ha atau ha/thn. Tingginya penurunan luas ekosistem mangrove pada tahun 1991 sampai 2007 ini kumungkinan besar disebabkan oleh konversi wilayah hutan mangrove menjadi tambak oleh masyarakat dan juga penebangan liar.

82 62 Luas tambak di Desa Dabong berdasarkan hasil citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991 adalah 0 ha (tidak ada lahan tambak), berdasarkan hasil citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 adalah ha, sedangkan berdasarkan citra Landsat 7 ETM adalah ha. Dari luasan tersebut, berarti dalam kurun waktu 16 tahun terjadi petambahan luasan tambak sebesar ha atau ha/tahun. Hal ini menunjukan tingkat pertumbuhan luas tambak di Desa Dabong sangat besar. Dari data ini terlihat luas tambak dalam kurun waktu lima tahun terakhir ( ) sebesar ha atau ha/thn lebih tinggi dari kurun waktu sebelas tahun sebelumnya ( ) yaitu terjadi penambahan luas sebesar ha atau ha/thn. Peta luasan mangrove dan tambak pada tahun 1991; 2002 dan 2007 dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Peta sebaran mangrove dan tambak pada tahun 1991, 2002 dan Berdasarkan citra landsat 7 TM+ tahun 1991, luas ekosistem mangrove di Desa Dabong adalah ha, dengan meningkatnya alih fungsi lahan

83 63 mangrove menjadi tambak dan penebangan kayu liar menyebabkan terjadinya penurunan luas mangrove mencapai ha dalam kurun waktu 16 (enam belas) tahun, berarti luas mangrove yang tersisa sekarang adalah ha, sehingga dapat dikatakan bahwa ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini mengalami kerusakan sebesar 17.65%. Hal ini sesuai dengan pendapat Bengen (2002), bahwa penyebab degradasi mangrove diantaranya adalah akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir untuk berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan dan lain-lain), tekanan ekologis pada ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove semakin meningkat. Dari data luas mangrove yang ada sekarang ha (pada tahun 2007) dan dengan penurunan luas ha/tahun, maka sangat mengancam kelestarian ekosistem mangrove yang tersisa. Jika penurunan luas mangrove ini dibiarkan tanpa adanya upaya pengelolaan, maka dapat dipastikan dalam kurun waktu tahun ekosistem mangrove yang tersisa akan habis. Untuk itu diperlukan suatu upaya pengelolaan agar ekosistem mangrove yang tersisa dapat dipulihkan dan dilestarikan. Upaya pengelolaan yang dilakukan pemerintah selama ini adalah dengan penetapan kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini. Akan tetapi penetapan kawasan lindung ini menimbulkan permasalahan dengan masyarakat desa. Luas kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong sendiri adalah seluas ha. Area hutan mangrove dan tambak yang ada di Desa Dabong hampir semuanya berada dalam kawasan hutan lindung mangrove yang telah ditetapkan pada tahun 2000 berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000. Selain area hutan mangrove dan tambak, sebagian besar kawasan pemukiman, lahan garapan, sekolah, masjid dan bahkan pusat pemerintahan Desa Dabong juga masuk dalam kawasan hutan lindung mangrove. Perlu adanya upaya pengelolaan yang melibatkan masyarakat dan memperhatikan hak-hak masyarakat setempat agar kelestarian ekosistem mangrove berkelanjutan Struktur Vegetasi Mangrove Dari hasil penelitian yang dilakukan, di dalam ekosistem mangrove yang ada di lokasi penelitian (didalam transek) ditemukan tujuh jenis (7) jenis

84 64 tumbuhan mangrove antara lain Avicennia alba, Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus moluccensis. Struktur vegetasi mangrove yang terdapat di Pesisir Dabong dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jenis pohon mangrove yang ditemukan di Lokasi Penelitian No Jenis tanaman Nama daerah Jalur transek Avicennia alba Api-api Bruguiera gymnorrhiza Tumu 3 Excoecaria agallocha Buta-buta Rhizophora apiculata Bakau 5 Sonneratia alba Perepat Xylocarpus granatum Nyirih Xylocarpus moluccensis Nyirih batu Sumber : Pengolahan Data Primer (2009). Ket : ( ) = ada; (-) = tidak ada Pada umumnya mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Dabong didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata yang diikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza. Di pesisir terbuka yang berhubungan dengan laut, komunitas perintis umumnya di dominasi oleh perepat (Sonneratia alba) dan api-api/bogen (Avicennia alba). Avicenia tumbuh di atas pasir berlumpur yang kokoh, sedangkan Sonneratia berasosiasi dengan lumpur yang lunak. Di belakang dua asosiasi tersebut di ikuti oleh jenis pohon bakau (Rhizophora apiculata) dengan area penyebaran yang sangat luas. Kearah daratan lebih jauh ditemukan beberapa jenis Tumu (Bruguiera gymnorhiza) dan sedikit nyirih (Xylocarpus granatum & Xylocarpus moluccensis) yang berasosiasi dengan Rhizophora apiculata. Nyirih (Xylocarpus granatum), nyirih batu (Xylocarpus moluccensis) dan Buta-buta (Excoecaria agallocha) sedikit ditemui di pinggiran/pematang sungai. Selanjutnya asosiasi yang ada dan mengarah ke sumber air tawar adalah nipah. Nipah tumbuh subur di pinggir-pinggir sungai kearah hulu sampai batas pasang surut maksimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Bengen (2004), bahwa daerah yang paling dekat dengan laut, yang biasanya bersubstrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh jenis Avicennia spp. Bisa pula berasosiasi dengan Sonneratia spp., yang dominan tumbuh pada lumpur dalam. Sementara makin ke arah darat, hutan mangrove

85 65 didominasi oleh jenis Rhizopora spp., juga Bruguiera spp. dan Xylocarpus. Sementara zonasi berikutnya banyak diisi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan diperoleh nilai kerapatan total sebesar pohon/ha untuk tingkat pohon, untuk tingkat pancang sebesar pohon/ha, dan untuk tingkat semai sebesar pohon/ha. Nilai kerapatan untuk masing-masing jenis mangrove berkisar antara pohon/ha untuk tingkat pohon, untuk tingkat pancang pohon/ha, dan untuk tingkat semai pohon/ha. Kerapatan relatif untuk masing-masing jenis mangrove berkisar antara % untuk tingkat pohon, untuk tingkat pancang %, dan untuk tingkat semai % (Tabel 18). Tabel 18. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai. No Jenis Kerapatan (pohon/ha) Kerapatan relatif (%) pohon pancang semai pohon pancang semai 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Total Sumber : Hasil olahan data primer (2009). Kerapatan relative jenis tertinggi terdapat pada jenis Rhizophora apiculata baik untuk tingkat pohon, pancang maupun semai kemudian di ikuti oleh jenis Bruguiera gymnorrhiza. Nilai kerapatan relative jenis Rhizophora apiculata untuk semua tingkatan secara berurutan 75.52%; 84.05%; dan 85.52%. Sedangkan kerapatan relative jenis Bruguiera gymnorrhiza pada setiap tingkatan secara berurutan adalah %; %; dan %. Untuk kerapatan relative jenis terendah pada tingkatan pohon terdapat pada jenis Xylocarpus granatum dengan nilai 0.11 % untuk tingkat pancang terdapat pada Excoecaria agallocha

86 66 dengan nilai 0.06 %, dan untuk tingkat semai terdapat pada Avicennia alba dengan nilai 0.27 %. Tingginya kerapatan relative jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza menunjukan bahwa jenis ini terdapat cukup banyak dan melimpah di lokasi penelitian, sedangkan jenis Xylocarpus granatum, Excoecaria agallocha, dan Xylocarpus moluccensis merupakan jenis yang jarang ditemukan. Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Kerapatan pohon (pohon/ha) Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Gambar 9. Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Kerapatan relatif pohon (%) Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Gambar 10. Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan

87 Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove Berdasarkan pengukuran lapangan frekuensi total untuk pohon, pancang dan semai berturut-turut adalah 1.61; 1.42; dan Nilai frekuensi jenis untuk masing-masing jenis mangrove berkisar antara untuk tingkat pohon, untuk tingkat pancang , dan untuk tingkat semai Frekuensi relatif untuk masing-masing jenis mangrove berkisar antara % untuk tingkat pohon, untuk tingkat pancang %, dan untuk tingkat semai % (Tabel 19). Tabel 19. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai. No Jenis Frekuensi Frekuensi relatif (%) pohon pancang semai pohon pancang semai 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Total Sumber : Hasil olahan data primer (2009). Frekuensi relatif jenis tertingggi untuk tingkat pohon, pancang dan semai terdapat pada jenis Rhizophora apiculata (yang nilainya secara berturut-turut 60.78%; 68.26%; dan 70.27%) kemudian diikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza (nilainya secara berturut-turut 27.08%; 27.03%; dan 23.56%). Frekuensi relatif jenis terendah tingkat pohon terdapat pada Xylocarpus granatum (0.30%) dan Xylocarpus moluccensis (1.28%), sedangkan untuk tingkat pancang frekuensi relative jenis terendah terdapat pada Excoecaria agallocha (0.64%). Frekuensi relative jenis terendah pada tingkat semai terdapat pada jenis Avicennia alba yaitu sebesar 1.98%. Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.

88 Frekuensi pohon Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Gambar 11. Frekuensi jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Frekuensi relatif pohon Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Gambar 12. Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove Berdasarkan hasil pengukuran lapangan, total penutupan jenis mangrove untuk tingkat pohon adalah m²/ha dan untuk pancang sebesar 2.15 m²/ha. Penutupan jenis mangrove berkisar 0.03 m²/ha sampai m²/ha untuk tingkat pohon dan untuk pancang berkisar antara m²/ha sampai 1.77 m²/ha. Penutupan relative jenis untuk tingkat pohon berkisar antara 0.07% sampai 80.29% sedangkan untuk tingkat pancang bekisar antara 0.1% sampai 83.19%.

89 69 Tabel 20. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis No Jenis Penutupan (m²/ha) Penutupan relatif (%) pohon pancang pohon pancang 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Total Sumber : Hasil olahan data primer (2009). Pada tingkat pohon, penutupan relatif tertinggi terdapat pada jenis Rhizophora apiculata (80.29 %) dan Bruguiera gymnorrhiza (15.03%), sedangkan penutupan relative jenis terendah terdapat pada jenis Xylocarpus granatum (0.07 %), dan Xylocarpus moluccensis (0.19%). Penutupan relative jenis tertinggi untuk tingkat pancang terdapat pada Rhizophora apiculata (83.19%) dan diikuti Bruguiera gymnorrhiza (15.96%), sedangkan penutupan relative jenis terendah terdapat pada Excoecaria agallocha (0.10 %), dan diikuti Avicennia alba (0.31 %) (Tabel 20). Penutupan dan penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13 dan Penutupan pohon (m²/ha) Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Gambar 13. Penutupan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan

90 70 Penutupan relatif pohon (%) Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Gambar 14. Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan Indeks Nilai Penting (INP) Dari perhitungan kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif jenis, dan penutupan relatif jenis maka diperoleh indeks nilai penting pada tiap-tipa jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian seperti terlihat pada tabel di bawah ini (Tabel 21). Tabel 21. Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove No Jenis Nama lokal INP (%) pohon pancang semai 1 Avicennia alba Api-api Bruguiera gymnorrhiza Tumu Excoecaria agallocha Buta-buta Rhizophora apiculata Bakau Sonneratia alba Perepat Xylocarpus granatum Nyirih Xylocarpus moluccensis Nyirih batu Total Sumber : Hasil olahan data primer (2009). Indeks nilai penting jenis mangrove pada tingkatan pohon berkisar antara 0.48 % sampai %, untuk tingkat pancang INP bekisar antara 0.80 % sampai % dan INP tingkat semai bekisar antara 2.25 % sampai %. Indeks nilai penting tertingi untuk tingkat pohon, pancang dan semai terdapat pada jenis Rhizophora apiculata yang secara berturut-turut nilainya %;

91 %; dan %., selanjutnya di ikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai INP untuk tingkat pohon, pancang dan semai secara berturut-turut sebesar %; %; dan %. Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat pohon terendah terdapat pada Xylocarpus granatum (0.48 %), dan diikuti oleh Xylocarpus moluccensis (1.84 %). Kemudian untuk tingkat pancang indeks nilai penting (INP) terendah terdapat pada Excoecaria agallocha (0.8 %) dan diikuti oleh Avicennia alba (2.16 %). Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat semai terendah pada mangrove jenis Avicennia alba yaitu sebesar 2.25 % dan kemudian diikuti oleh Sonneratia alba yaitu sebesar 4.94 %. Dari ketiga tingkatan, baik pohon, pancang, dan tingkatan semai Rhizophora apiculata mempunyai indeks nilai penting yang tertinggi, lalu diikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza kemudian diikuti oleh Sonneratia alba dan Avicennia alba. INP yang besar pada suatu jenis menggambarkan bahwa jenis ini mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Dari hal ini dapat diketahui bahwa Rhizophora apiculata merupakan jenis yang paling dominan dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada. Tingginya INP pada Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza dikarenakan di lokasi penelitian memiliki kondisi lingkungan yang cocok untuk tumbuh-kembangnnya jenis mangrove ini. Pada lokasi penelitian memiliki parameter fisik lingkungan yaitu : ph air antara 6.80 sampai 7.25; ph tanah antara 5.51 sampai 6.03; suhu air antara C sampai C; suhu udara antara C sampai C; dan salinitas antara sampai dengan substrat tanah antara berlumpur, liat sampai lumpur berpasir. Kondisi parameter fisik lingkungan ini sangat cocok dan ideal untuk kehidupan Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Indeks nilai penting komunitas mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 15.

92 INP Pohon Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Gambar 15. Indeks Nilai Penting komunitas mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan 4.4. Keanekaragaman Fauna Di samping komunitas tumbuhan mangrove, ekosistem mangrove di pesisir Dabong ini juga memiliki berbagai keanekaragaman fauna. Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas (kolom darat dan udara). (2) Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang hidup menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis lainnya. Menurut Bengen (2001) bahwa komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran anatara dua kelompok, yaitu kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove dan kelompok fauna perairan/akuatik yang hidup dalam kolom air. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat, kawasan mangrove di pesisir Dabong memiliki berbagai jenis satwa/fauna yang terdiri dari fauna akuatik maupun fauna teresterial. Fauna tersebut meliputi mamalia, burung, reptilia, amphibia, crustacea, molusca, dan ikan yang semuanya hidup dan berasosiasi di ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove menyediakan makanan dan tempat perlindungan serta tempat tinggal bagi satwa/fauna tersebut.

93 73 Pada lokasi penelitian, fauna akuatik jenis krustacea yang banyak dijumpai di ekosistem mangrove pesisir Dabong adalah jenis kepiting dan udang seperti, kepiting bakau (Scylla serrata), udang putih (Panaeus merguiensis), dan udang rebon (Panaeus latisulcatus). Untuk fauna akuatik jenis molusca yang banyak ditemui meliputi kepah (Arctica islandica), ale-ale/kerang pasir (Tellina radiate) dan kerang (Anadara sp.). Beberapa jenis ikan yang banyak ditemukan adalah ikan belanak (Liza melanopetera), kakap (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephalus sp.) dan sembilang (Plotusus canius). Sedangkan pada terestrial, fauna yang sering dijumpai untuk jenis mamalia adalah monyet (Macaca sp.), kelelawar (Pteropus sp.) dan berang-berang sumatera (Lutra sumatrana). Pada lokasi pesisir Dabong ini bahkan terdapat fauna endemic yaitu kelelawar ladam kalimantan (Rhinolophus borneensis). Fauna tersterial jenis burung yang banyak ditemui adalah jenis burung pantai, antara lain burung blekok (Ardeola speciosa), kuntul (Egyretta alba), cangak (Ardea cinerea), kowak (Nycticorax nycticorax), bambangan (Ixobrychus sp.), sirindit (Loriculus pusillus) dan raja udang (Halcyon chloris). Fauna teresterial jenis reptilia dan amphibia yang banyak di temui pada lokasi penelitian antara lain biawak (Veranus salvator), kadal (Eutropis multifasciata), kadal mangrove (Emonia atrocostata), dan berbagai jenis ular seperti ular bakau (Boiga dendrophylla) dan ular air (Cerberua rynchopa) (Lampiran 9) Kondisi Fisik Lingkungan Ekosistem Mangrove Parameter fisik lingkungan mangrove di Desa Dabong yang diamati merupakan paremeter yang sangat mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembanganya mangrove itu sendiri. Parameter fisik lingkungan mangrove yang di amati terdiri dari suhu air dan lingkungan, ph air dan tanah serta salinitas. Berdasarkan hasil pengukuran suhu air, suhu udara/lingkungan, ph air, ph tanah dan salinitas pada tiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Tabel 22.

94 74 Tabel 22. Sebaran ph, Suhu dan Salinitas di Tiap Jalur Pengamatan Jalur ph Suhu (⁰C) Salinitas air tanah Air udara ( ) I II III IV V VI Sumber : Hasil olahan data primer (2009) Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman atau kebasaan (ph) sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhluk-makhluk lainnya hidup pada selang ph tertentu sehingga dengan diketahuinya nilai ph maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan biota. Berdasarkan hasil pengkuran di lapangan kisaran ph air dan tanah pada ekosistem mangrove di Pesisir Dabong adalah bekisar antara 6.83 sampai 7.25 untuk ph air dan 5.51 sampai 6.03 untuk ph tanah. ph air tertinggi terdapat pada jalur I dan ph air terendah terdapat pada jalur V. Sedangkan ph tanah tertinggi terdapat pada jalur I dan ph tanah terendah terdapat pada jalur V (Gambar 16) ph I II III IV V VI ph air ph tanah Gambar 16. Sebaran ph air dan tanah di Lokasi Pengamatan

95 Suhu Suhu merupakan salah satu parameter fisik yang penting sekali dalam pertumbuhan mangrove. Berdasarkan hasil pengukuran suhu lingkungan/udara, dan suhu air pada tiap jalur pengamatan diperoleh kisaran suhu lingkungan di ekosistem mangrove Desa Dabong adalah C C, suhu lingkungan tertinggi yaitu C terdapat pada jalur VI dan terendah C terdapat pada jalur II. Sedangkan suhu air yang terdapat di lokasi pengamatan berkisar antara C C, suhu air tertinggi yaitu C terdapat pada jalur VI, dan suhu air terendah yaitu C terdapat pada jalur II (Gambar 17). Tingginya suhu lingkungan dan suhu air pada jalur VI disebabkan oleh tutupan mangrove yang rendah sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk tinggi. Suhu lingkungan dan air pada jalur II paling rendah, hal ini dikarenakan wilayah ini merupakan daerah hulu dari sungai Sembuluk yang memiliki tutupan mangrove cukup padat dan jauh dari laut, sehingga pengaruh udara panas dari laut laut kurang. Suhu (⁰C) I II III IV V VI Suhu air Suhu udara Gambar 17. Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan Menurut Aksornkoae (1993), kisaran suhu lingkungan untuk hutan (ekosistem) mangrove yang alami berkisar antara o C, suhu air berada pada kisaran suhu 28 o C. Selanjutnya Supriharyono (2000) menambahkan bahwa selain salinitas, suhu air juga merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan tumbuhan mangrove. Suhu pembatas kehidupan mangrove adalah suhu yang

96 76 rendah dan kisaran suhu musiman. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 o C, sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5 o C. Suhu yang tinggi (>40 o C) cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan/atau kehidupan tumbuhan mangrove Salinitas Mangrove dapat hidup dan tumbuh subur di pesisir dengan kadar salinitas antara 10-30, namun ada beberapa jenis mangrove yang dapat tumbuh pada kondisi salinatas yang tinggi. Tidak ada ketetapan baku yang mengindikasikan salinitas maksimum air di daerah intertidal (interstitial water salinity) dimana mangrove dapat bertahan hidup. Hasil pengukuran di lapangan menunjukan bahwa salinitas perairan berkisar antara Salinitas tertinggi yaitu terdapat pada jalur III yaitu di daerah pulau tiga, dan salinitas terendah yaitu 16 terdapat pada jalur II yaitu di sungai sembuluk. Tingginya salinitas di jalur III ini dikerenakan daerah ini (pulau Tiga) merupakan daerah terluar dari daratan pesisir Dabong yang berhubungan dengan laut. Jalur II (sungai sembuluk) mempunyai salinitas yang rendah karena jauh dari laut, sehingga limpasan air tawar lebih besar daripada air laut. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan dapat di lihat pada (Gambar 18). Menurut Nybakken (1993), fluktuasi salinitas dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai Salinitas ( ) I II III IV V VI Salinitas Gambar 18. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan.

97 Jenis Tanah Karakteristik tanah merupakan satu dari berbagai faktor lingkungan penting yang secara langsung mempengaruhi produktivitas dan struktur mangrove. Metode untuk mempelajari karakteristik tanah dikonsentrasikan pada sifat-sifat fisik dan kimia tanah seperti ph, Eh, salinitas dan ukuran partikel. Ukuran partikel tanah dapat diketahui melalui metode hydrometer method, yaitu menentukan prosentase pasir, debu dan liat dari tanah mangrove dengan menggunakan perbedaan rata-rata endapan dari partikel tanah dari suspensi di air (English et al. 1994). Tanah-tanah di hutan mangrove Indonesia umumnya terdiri atas tanah yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan yang rendah, memiliki kadar garam dan alkalinitas yang tinggi dan sering mengandung lapisan sulfat asam atau bahan sulfidik (cat blay). Kandungan liat atau debu umumnnya tinggi, kecuali tanah-tanah mangrove di pulau-pulau karang yang banyak mengandung pasir atau pecahan batu karang (Hardjowigeno 1986 in Hilmi dan Kusmana 1999). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa jenis tanah yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis tanah berlumpur dan lumpur berpasir. Tanah berlumpur terdapat hampir disemua wilayah penelitian terutama di area sekitar muara sungai Kubu dan sungai Sembuluk. Jenis tanah pasir berlumpur hanya sedikit dijumpai dilokasi penelitian yaitu di pantai pulau Dabong dan pulau Tiga bagian luar (yang berhadapan dengan laut) serta pantai yang terletak antara sungai Mariam dan sungai Sembuluk (sebelah kanan pulau Dabong). Hal ini sesuai dengan pendapat (Kristijono in Hilmi dan Kusmana 1999), mengemukan bahwa jenis tanah pada hutan mangrove umumnya aluvial biru sampai coklat keabuan. Tanah ini berupa lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervarisai dari tanah liat biru yang kompak dengan sedikit atau tanpa bahan organik, sampai lumpur coklat hitam yang mudah lepas kareana banyak mengandung bahan organik Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove di kawasan pesisir Dabong telah banyak memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama masyarakat asli yang secara turun-temurun telah lama berinteraksi dengan hutan mangrove yang ada di sekitar

98 78 tempat tinggalnya seperti sebagai tempat untuk mencari hasil ikan dan hutan. Oleh karena itu, setiap aktifitas pemanfaatan sumberdaya dari ekosistem mangrove perlu dikaji secara cermat demi peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan hak pemanfaatan bagi generasi yang akan datang. Nilai manfaat total ekosistem mangrove di pesisir Dabong terdiri dari 4 (empat) kategori, yaitu : (1) nilai manfaat langsung, (2) nilai manfaat tidak langsung, (3) nilai manfaat pilihan, dan (4) nilai manfaat keberadaan. Penaksiran nilai manfaat ekosistem mangrove berpedoman pada keadaan di lokasi penelitian dan didukung oleh berbagai data sekunder. Berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi di lapangan, nilai manfaat ekosistem mangrove di Pesisir Dabong dijabarkan pada sub-bab berikut ini Nilai Manfaat Langsung ( Direct Use Value) Nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Pesisir Dabong, diindentifikasi dari beberapa kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung sebagai pemenuhan kebutuhan dan mata pencahariannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut merupakan kegiatan yang dapat memberiakan nilai manfaat langsung bagi mereka. Nilai manfaat langsung tersebut terdiri dari nilai manfaat hasil hutan dan nilai manfaat hasil perikanan. a. Nilai Manfaat Hasil Hutan Ekosistem mangrove di Pesisir Dabong memiliki manfaat langsung berupa hasil hutan yang cukup besar bagi masyrakat disekitarnya. Manfaat hasil hutan yang baru dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat baru meliputi kayu bangunan/komersial, kayu bakar, cerucuk dan daun nipah. Pendekatan yang digunakan adalah dengan menghitung jumlah jenis produk langsung dari hasil hutan mangrove yang dapat dinikmati oleh masyarakat dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produksi. 1. Nilai Manfaat Kayu Mangrove Komersial Ekosistem mangrove di Pesisir Dabong memiliki potensi kayu mangrove yang cukup besar. Volume kayu ini dapat diestimasi dengan mengukur tinggi dan

99 79 diameter pohon serta jumlah pohon. Semakin besar jumlah, tinggi dan diameter pohon, maka semakin besar pula volume kayu. Berdasarkan dari inventarisasi LPP Mangrove (2007), potensi volume kayu mangrove komersial untuk pulau Dabong dan pulau Tiga rata-rata adalah sebesar m 3 /ha. Metode yang digunakan dalam pendekatan nilai manfaat langsung kayu komersial adalah metode nilai pasar (Tabel 23). Tabel 23. Nilai manfaat potensi kayu komersial No Uraian Satuan Jumlah 1 Luas hutan mangrove Ha Potensi kayu komersial m 3 /ha Harga jual Rp/m Nilai total Rp Nilai (daur 20 tahun) Rp/thn Biaya (35% dari Nilai) Rp/thn Pendapatan Rp/thn Pendapatan per hektar Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). 2. Nilai Manfaat Kayu Bakar Kayu bakar merupakan kebutuhan mendasar sebagai sumber energi bagi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Potensi kayu bakar, ranting-ranting kayu mangrove di hutan mangrove masih merupakan salah satu alternatif sumber energi atau sebagai kayu bakar untuk keperluan memasak bagi sebagian masyarakat pesisir Dabong. Selain memenuhi kebutuhan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga, kayu bakar dari hutan mangrove juga dijual sebagi pendapatan masyarakat setempat. Pemanfaatan kayu bakar pada umumnya di lakukan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan mangrove, sedangkan sebagian masyarakat lainnya memanfaatkan arang tempurung kelapa, dan kompor minyak sebagai sumber energi/bahan bakar. Jenis kayu bakar yang banyak digunakan masyarakat adalah jenis bakau. Hal ini dikarenakan sifat bakat jenis kayu bakau sangat baik dan apinya tahan lama. Pemungutan kayu bakau biasanya dilakukan di areal yang tidak jauh dari pemukiman masyarakat atau dekat dengan aktivitas sehari-hari masyarakat dengan menggunakan perahu kayuh sebagai pengangkut. Namun seiring dengan pertambahan penduduk tentunya

100 80 kebutuhan akan kayu bakar sangat banyak sehingga dengan sendirinya masyarakat terdorong untuk mengambilnya jauh kedalam kawasan hutan mangrove (Tabel 24). Tabel 24. Nilai manfaat kayu bakar hutan mangrove Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah pengambil kayu bakar Orang Jumlah produksi Ikat/thn Harga jual Rp/ikat Nilai Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Biaya investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). 3. Nilai Manfaat Kayu Cerucuk Salah satu pemanfaatan langsung oleh masyarakat terhadap ekosistem mangrove di Dabong adalah pengambilan kayu mangrove untuk cerucuk, pemanfaatan kayu mangrove untuk pancang alas atau cerucuk berkaitan langsung dengan karakteristik masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan di bantaran sungai, serta di dukung kondisi lahan atau tanah yang agak berlumpur dan berawa. Selain itu cerucuk juga merupkan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk bahan pembuatan jermal. Nilai manfaat langsung cerucuk atau pancang alas adalah Rp per tahun (Tabel 25). Tabel 25. Nilai manfaat kayu cerucuk hutan mangrove di Desa Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah pengambil kayu cerucuk Orang Jumlah produksi Batang/thn Harga jual Rp/batang Nilai Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Biaya investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). 4. Nilai Manfaat Daun Nipah Salah satu manfaat langsung lainnya dari hutan mangrove adalah pengambilan daun nipah untuk dijadikan atap rumah atau gubuk oleh masyarakat sekitar. Pekerjaan ini hanya memerlukan peralatan sabit, tali dan perahu untuk

101 81 mengambil daun nipah yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan atap daun.. Pemanfaatan daun nipah untuk atap ini biasanya digunakan oleh masyarakat sekitar untuk atap gubuk mereka di tambak, kebun kelapa, sawah bahkan ada juga yang digunakan sebagai atap rumah mereka tinggal. Nilai manfaat langsung dari daun nipah yaitu Rp per tahun (Tabel 26). Tabel 26. Nilai manfaat daun nipah hutan mangrove Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah pengrajin atap daun nipah Orang Jumlah produksi Ikat/thn Harga jual Rp/ikat Nilai Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Biaya investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). b. Nilai Manfaat Hasil Perikanan Ekosistem mangrove di Pesisir Dabong juga memiliki sumberdaya perikanan yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat disekitarnya. Pemanfaatan hasil perikanan di kawasan ini umumnya masih menggunakan tekonologi tradisional. Nelayan kebanyakan menggunakan perahu dayung dengan alat berupa pancing, jala, bubu dan serok. Manfaat hasil perikanan yang telah dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat berupa hasil ikan, kerang, ale-ale, kepah dan kepiting. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui nilai manfaat hasil perikanan adalah dengan menghitung jumlah jenis produk langsung hasil perikanan di kawasan ekosistem mangrove yang dapat dinikmati oleh masyarakat dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produksi. 1. Nilai Manfaat Ikan Sumberdaya ikan di perairan Dabong sangat dipengaruhi oleh kelestarian ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Kegiatan penangkapan ikan sudah sejak lama berlangsung di kawasan ekosistem mangrove Dabong dan dilakukan secara turun-temurun. Penangkapan ikan di perairan Dabong umumnya masih menggunakan tekonologi tradisional. Nelayan kebanyakan menggunakan perahu

102 82 dayung/jukung dengan alat tangkap berupa pancing dan jala nilon ukuran kecil. Sedangkan nelayan yang menggunakan motor air umumnya menggunakan alat tangkap pukat dan jala nilon ukutan besar. Lokasi penangkapan ikan umumnya di di tepi-tepi pulau atau hutan mangrove serta sungai-sungai yang terdapat disekitar perairan ekosistem hutan mangrove. Selain itu juga ada nelayan yang melakukan penangkapan sampai dilepas pantai. Manfaat hasil perikanan yang telah dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat berupa hasil ikan seperti ikan kerapu, bawal, belanak, angsam, kakap, sembilang dan lain-lain (Tabel 27). Tabel 27. Nilai manfaat ikan hutan mangrove Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah penangkap ikan Orang Jumlah produksi Kg/thn Harga jual Rp/Kg Nilai Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Biaya investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). 2. Nilai Manfaat Kerang Manfaat langsung berikutnya dari ekosistem mangrove pesisir Dabong bagi masyarakat disekitarnya adalah pengambilan kerang bulu (Anadara indica). Pengambilan kerang tersebut dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pesisir Dabong dan umumnya oleh ibu-ibu. Penangkapan kerang lebih menjadi perioritas dibandingkan ale-ale dan kepah karena memiliki harga jual yang lebih tinggi. Masyarakat setempat banyak mengambil kerang tersebut terutama pada bulanbulan Maret sampai dengan bulan April dan dilakukan pada waktu air konda (air laut surut). Lokasi penangkapan biasanya di daerah pantai atau tepi-tepi pulau dekat dengan hutan mangrove. Para pengambil kerang umumnya menggunakan perahu dayung dan alat serok/toreh untuk memungut hasil kerang (Tabel 28).

103 83 Tabel 28. Nilai manfaat kerang hutan mangrove Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah penangkap kerang Orang Jumlah produksi Kg/thn Harga jual Rp/Kg Nilai Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Biaya investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). 3. Nilai Manfaat Ale-ale Salah satu sumberdaya perairan lainnya di ekosistem mangrove Dabong adalah ale-ale/kerang pasir (Tellina radiate). Pemungutan ale-ale dilakukan oleh masyarakat pesisir Dabong terutama oleh kaum perempuan. Pemungutan ale-ale menjadi perioritas kedua setelah kerang. Lokasi penangkapan ale-ale seperti halnya kerang biasanya berada di daerah pantai atau tepi-tepi pulau dekat dengan hutan mangrove. Para pengambil Ale-ale umumnya menggunakan perahu dayung dan alat serok/toreh untuk memungut hasil ale-ale. Masyarakat setempat banyak mengambil ale-ale terutama pada bulan-bulan Februari sampai dengan bulan Juni dan dilakukan pada waktu air konda (air laut surut) (Tabel 29). Tabel 29. Nilai manfaat ale-ale hutan mangrove Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah Penangkap Ale-ale Orang Jumlah produksi Kg/thn Harga jual Rp/Kg Nilai Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Biaya investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). 4. Nilai Manfaat Kepah Kepah (Arctica islandica) juga merupakan salah satu hasil perikanan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir Dabong untuk menunjang perekonomiannya. Pemungutan kepah merupakan prioritas terakhir setelah kerang dan ale-ale, hal ini karena harga jual kepah lebih murah dibanding kerang dan aleale. Seperti halnya kerang dan ale-ale, pengambilan kepah umumnya dilakukan

104 84 oleh kaum perempuan dengan menggunakan perahu dayung dan alat serok/toreh. Lokasi penangkapan kepah dilakukan di perairan sekitar hutan mangrove terutama yang bersubstrat lumpur. Pengambilan kepah umumnya dilakukan sepanjang tahun pada waktu air konda (air laut surut) kecuali pada bulan November dan Desember, hal ini di kerenakan pada bulan tersebut pasang air laut terjadi pada pagi hari (Tabel 30). Tabel 30. Nilai manfaat kepah hutan mangrove Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah penangkap kepah Orang Jumlah produksi Kg/thn Harga jual Rp/Kg Nilai Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Biaya investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009). 5. Nilai Manfaat Kepiting Nilai manfaat langsung berikutnya dari ekosistem mangrove Pesisir Dabong adalah pengambilan kepiting (Scylla serrata). Penangkapan kepiting biasanya dilakukan tiap hari dengan menggunakan perahu dayung dengan alat tangkap bubu. Lokasi penangkapan kepiting biasanya dilakukan di sungai-sungai kecil dan genangan air yang ada dalam hutan mangrove. Pengambilan kepiting ini dilakukan oleh masyarakat pesisir Dabung sudah sejak lama dan turun-temurun. Nilai manfaat langsung dari pengambilan kepiting adalah Rp atau sebesar % dari total manfaat langsung (Tabel 31). Tabel 31. Nilai manfaat kepiting hutan mangrove Dabong No Uraian Satuan Jumlah 1 Jumlah Penangkap Kepiting Orang Jumlah Produksi Kg/thn Harga Rp/Kg Nilai Rp/thn Biaya Operasional Rp/thn Biaya Investasi Rp/thn Pendapatan Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009).

105 85 Berdasarkan dari manfaat langsung hasil hutan dan manfaat langsung hasil perikanan, maka nilai manfaat langsung ekosistem mangrove dapat di hitung. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove Desa Dabong dapat dilihat pada Tabel 32. No Tabel 32. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong Jenis Manfaat Nilai Manfaat (Rp/thn) Biaya operasional & investasi (Rp/thn) Nilai Manfaat Bersih (Rp/thn) 1 Potensi Kayu Kayu bakar Cerucuk Daun nipah Ikan Kerang Ale-ale Kepah Kepiting Total Sumber : Hasil olahan data primer (2009). Berdasarkan hasil perhitungan, total nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong adalah Rp /tahun. Apabila dilihat dari proporsi masing-masing jenis manfaat terhadap total manfaat langsung, persentase nilai manfaat langsung potensi kayu komersial menunjukan nilai yang tertinggi yaitu sebesar Rp /tahun (57.56% dari total manfaat langsung). % Nilai Manfaat Tidak Langsung ( Indirect Use Value) Ekosistem mangrove di Desa Dabong memilki 3 jenis manfaat tidak langsung, yaitu : (1) manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi pantai, (2) manfaat tidak langsung sebagai pencegah interusi air laut, dan (3) manfaat tidak langsung sebagai penyedia unsur hara atau bahan pakan organik bagi biota air. Metode yang digunakan adalah dalam pendekatan tidak langsung adalah metode penggantian. 1. Nilai manfaat tidak langsung penahan abrasi Estimasi manfaat sebagai penahan abrasi didekati dengan pembangunan pemecah gelombang (break water). Biaya pembangunan fasilitas pemecahan gelombang untuk ukuran 1 x 11 x 2.5 m 3 (PxLxT) atau panjang 1 m dengan daya

106 86 tahan selama 30 tahun adalah sebesar Rp (Kanwil PU Subdin Pengairan Kalbar, 2000). Jika diasumsikan besarnya inflasi sebesar 9 % per tahun, maka pada tahun 2009 biaya pembuatan break water dengan panjang 1 m adalah sebesar Rp Panjang pantai ekosistem mangrove di kawasan pesisir Dabong sebesar m, maka biaya pembuatan pemecah gelombang seluruhnya adalah Rp Nilai manfaat penahan abrasi per tahun dengan umur ekonomis 30 tahun adalah sebesar Rp Nilai manfaat tidak langsung pencegah interusi air laut Manfaat ekosistem mangrove sebagai penahan interusi air laut diestimasi setara dengan nilai turunnya produksi dan kualitas padi akibat lahan sawah terinterusi air laut. Berdasarkan dari inventarisasi LPP Mangrove (2007), produksi padi rata-rata di Desa Nipah Panjang sebelum interusi air laut sebesar 2 ton/ha/tahun. Setelah terjadi interusi air laut, produksi padi rata-rata menurun menjadi 0.74 ton/ha/thn. Sehingga terjadi penurunan produksi padi sekitar 1.26 ton/ha/tahun. Nilai penerimaan yang hilang akibat interusi air laut adalah sebesar Rp /ha/thn dengan asumsi harga padi yang berlaku Rp /kg. Apabila luas sawah di sekitar kawasan ekosistem mangrove Dabong sebesar 360 ha, maka total turunnya nilai produksi padi yang dapat terjadi apabila terjadi interusi air laut adalah sebesar ton/thn atau Rp per tahun. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka saat ini ekositem mangrove Dabong memberikan manfaat tidak langsung dari fungsi pecegahan interusi air laut sebesar Rp per tahun. 3. Nilai manfaat tidak langsung penyedia unsur hara Estimasi manfaat tidak langsung penyedia unsur hara ekosistem mangrove dari Desa Dabong didekati dengan fungsinya sebagai penyedia unsur hara dalam siklus makanan dari serasah hutan mangrove. Hasil penelitian (Soekardjo 1995 in Utomo 2001) menunjukan, bahwa setiap hektar hutan mangrove di Muara Angke Jakarta menghasilkan serasah sebanyak ton/tahun atau sekitar 4.85 ton/tahun berat kering. Analisis kandungan unsur hara serasah tersebut mengandung Nitrogen 10.5 kg/ha (setara dengan kg pupuk urea) dan Posfor 4.72 kg/ha (setara dengan kg pupuk SP-36).

107 87 Berdasarkan hasil penelitian Musiran (2007), hutan mangrove di pesisir Dabong dapat memproduksi serasah sebanyak 946 gr/m 2 /100hari atau ton/ha/tahun. Dengan menggunakan pendekatan hasil penelitian (Sukardjo 1995 in Utomo BSB. 2001), maka dari jumlah serasah ton/ha/tahun dapat diperoleh ton/ha/tahun berat kering dengan kandungan unsur hara Nitrogen kg/ha/tahun dan Posfor kg/ha/tahun. Kandungan unsur hara tersebut setara dengan kg pupuk Urea dan kg pupuk SP-36. Jika harga pupuk urea sebesar Rp /kg dan SP-36 sebesar Rp /kg, maka nilai manfaat tidak langsung biologis sebagai penyedia unsur hara adalah sebesar Rp /ha/tahun. Dengan luas hutan mangrove sebesar ha, maka nilai manfaat tidak langsung biologis sebagai penyedia unsur hara pada ekosistem mangrove Dabong adalah sebesar Rp /tahun. Berdasarkan hasil perhitungan nilai manfaat tidak langsung untuk penahan abrasi pantai, pencegah interusi air laut dan penyedia unsur hara, maka dapat diketahui nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di pesisir Dabong adalah sebesar Rp /tahun. Rekapitulasi manfaat tidak langsung ekosistem mangrove Dabong dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Persentase (Rp/thn) (%) 1 Penahan abrasi pantai Pencegah interusi air laut Penyedia unsur hara Jumlah Sumber : Hasil olahan data primer (2009) Nilai Manfaat Pilihan Nilai manfaat pilihan (option value) ekosistem mangrove di kawasan Dabong diperhitungkan dengan menggunakan nilai manfaat keanekaragaman hayati (biodiversity) yang terdapat dalam kawasan hutan mangrove. Nilai keanekaragaman hayati dalam penelitian ini dihitung berdasarkan Ruitenbeek (1994) yang mengemukakan bahwa nilai keanekaragaman hayati di Indonesia adalah US $ 15 /ha/tahun. Apabil nilai tukar dolar terhadap rupiah pada saat penelitian adalah Rp /US $, maka nilai manfaat pilihan hutan mangrove

108 88 adalah sebesar Rp /ha/tahun. Luas hutan mangrove di kawasan dabong adalah sebesar ha, sehingga nilai manfaat pilihan yang dapat diperoleh adalah sebesar Rp /tahun Nilai Manfaat Keberadaan Nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dihitung berdasarkan penilaian responden yang ada di kawasan mengenai pentingnya kawasan. Nilai kawasan ini diambil dengan menggunakan metoda kontingensi (Contingent Valuation Method). Pemilihan responden dilakukan secara sengaja (purpose) berdasarkan tingkat pendidikan serta jenis mata pencaharian. Dengan jumlah responden sebanyak 50 orang (29 orang berpendidikan SD, 11 orang berpendidikan SMP dan 10 orang berpendidikan SMA ke atas). Berdasarkan hasil penilaian (penilaian terhadap reponden terlampir) menunjukan bahwa tingkat pendidikan responden yang lebih tinggi cenderung akan memberikan nilai keberadaan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan responden berpendidikan yang lebih rendah. Responden berpendidikan SMA ke atas memberikan nilai berkisar antara Rp Rp per hektar per tahun atau rata-rata Rp per hektar per tahun (Tabel 34). Responden berpendidikan SMP memberikan nilai berkisar antara Rp Rp per hektar per tahun atau rata-rata Rp per hektar per tahun, sedangkan responden berpendidikan SD memberikan nilai berkisar antara Rp Rp per hektar per tahun atau rata-rata sebesar Rp per hektar per tahun (Tabel 34). Tabel 34. Nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Tingkat Pendidikan SD Kisaran Nilai valuasi (Rp/ha) Responden (orang) Jumlah Nilai (Rp) Rata-rata

109 89 Tabel 34 (lanjutan). Tingkat Pendidikan Kisaran Nilai valuasi (Rp/ha) Responden (orang) Jumlah Nilai (Rp) SMP Rata-rata SMA ke atas Rata-rata Jumlah total Rata-rata total Sumber : Hasil olahan data primer (2009). Berdasarkan perhitungan di atas maka nilai keberadaan ekosistem hutan mangrove yang diberikan oleh masyarakat sekitar kawasan rata-rata sebesar Rp per hektar per tahun. Jika luas hutan mangrove di Dabong sebesar ha, maka secara total nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove kawasan Dabong adalah sebesar Rp per tahun Nilai Manfaat Ekonomi Total Ekosistem Mangrove Hasil penilaian identifikasi manfaat-manfaat yang diperoleh pada ekosistem Mangrove Desa Dabong. selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 35. No Tabel 35. Total nilai manfaat ekosistem mangrove Desa Dabong. Jenis Manfaat Nilai Manfaat (Rp/Thn) Nilai Manfaat Rata-rata (Rp/Ha/Th) 1 Manfaat Langsung Manfaat Tidak Langsung Manfaat Pilihan Manfaat Keberadaan Jumlah Sumber : Hasil olahan data primer (2009). %

110 90 Berdasarkan hasil nilai seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai manfaat keberadaan menunjukkan angka yang paling tinggi (53.02%) disusul nilai manfaat tidak langsung (26.31%) kemudian nilai manfaat langsung (19.25%) serta terakhir yang paling rendah adalah nilai manfaat pilihan (1.42%). Dari hasil penilaian yang diperoleh menunjukkan bahwa ekosistem hutan mangrove Desa Dabong mempunyai peranan cukup besar yang dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat terutama sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari serta sebagai pengendali kualitas lingkungan terutama sebagai penahan abrasi pantai, penahan intrusi air laut maupun penjaga kestabilan siklus makanan bagi biota perairan. Jika dibandingkan dengan nilai manfaat ekonomi tambak, nilai total manfaat ekosistem mangrove Desa Dabong memiliki nilai yang jauh lebih tinggi. Nilai total manfaat ekosistem mangrove adalah sebesar Rp per hektar per tahun, sedangkan nilai ekonomi tambak hanya sebesar Rp per hektar per tahun. Akan tetapi, jika nilai ekonomi tambak dibandingkan dengan manfaat langsung ekosistem mangrove, maka nilai ekonomi tambak memiliki nilai yang lebih besar. Nilai ekonomi tambak sebesar Rp per hektar per tahun, sedangkan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove hanya sebesar Rp per hektar per tahun. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove yang lebih rendah dari nilai ekonomi tambak menunjukan adanya ancaman terhadap kelestarian ekosistem mangrove akibat konversi lahan mangrove menjadi tambak. Hal ini ini dikarenakan secara langsung yang dirasakan masyarakat, manfaat ekonomi tambak lebih menguntungkan dibandingkan dengan pemanfaatan ekosistem mangrove secara langsung. Akan tetapi, dengan memperhatikan nilai ekonomi total yang diperoleh, ternyata ekosistem mangrove mempunyai manfaat dan fungsi yang sangat penting sebagai sumber daya ekonomi maupun sumberdaya ekologi bagi kehidupan masyarakat yang berada disekitarnya dibandingkan hanya untuk tambak semata. Oleh karena itu keberadaan (kondisi fisik) ekosistem hutan mangrove di Desa Dabong harus tetap dipelihara sebagai aset pembangunan, baik oleh masyarakat setempat maupun instansi terkait lainnya dan tetap memperhatikan hak-hal

111 91 masyarakat setempat. Dengan demikian harapan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di Desa Dabong dapat terwujud. Menurut Mc Neely (1998), masyarakat wilayah pesisir khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove secara turun-temurun telah melaksanakan berbagai pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber ekonominya, sehingga dampak dari kerusakan tidak dapat dihindarkan kecuali dengan adanya pengelolaan yang tepat Nilai Ekonomi Tambak di Kawasan Hutan Mangrove Dabong Sebagian area hutan mangrove di kawasan pesisir Dabong oleh masyarakat dimanfaatkan atau dialih fungsikan menjadi tambak dengan pola tradisional. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jumlah petak tambak saat ini adalah 127 petak dengan luas kotor hektar (luas bersih hektar). Terdapat 59 orang petani tambak yang mengusahakan/memiliki tambak ini dan tergabung dalam 7 kelompok tani tambak serta usaha perorangan Komoditi tambak yang dibudidayakan oleh masyarakat adalah udang vannamei. Udang vannemei menjadi pilihan karena secara ekonomis udang ini bernilai tinggi yaitu harga ditingkat petambak Rp per kilogramnya. Produk udang ini sebagian besar dijual kepada perusahaan-perusahaan pembekuan udang (cold storage) di Pontianak dengan menggunakan alat transportasi perahu motor tambang. Berdasarkan hasil wawancara dengan petambak, total produksi udang vannemei di Desa Dabong pertahunnya mencapai ton per tahun dengan nilai kotor mencapai Rp per tahun. Rincian nilai manfaat ekonomi tambak yang berada di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong dapat dilihat pada Tabel 36.

112 92 Tabel 36. Nilai manfaat ekonomi tambak No Rincian Satuan Jumlah 1 Luas Tambak Ha Jumlah Petak Unit Jumlah Produksi ton/thn Harga jual Rp/kg Nilai Rp/thn Biaya penyusutan/investasi Rp/thn Biaya operasional Rp/thn Pendapatan bersih Rp/thn Pendapatan per hektar Rp/thn Sumber : Hasil olahan data primer (2009) Sejarah dan Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Dabong Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, Desa Dabong diperkirakan sudah ada sejak tahun 1871 dimana saat itu berdiri Kerajaan Kubu, dan penduduk desa sekarang merupakan generasi yang ke 8 (delapan). Pendiri desa adalah seorang saudagar dari Daek (Tanjung Pinang) yang bernama juragan Saleh yang kapalnya terdampar di daerah ini. Juragan ini beserta pengikutnya akhirnya memutuskan untuk membuka kampung di daerah ini. Makam juragan Saleh saat ini masih ada yaitu di Dusun Mekar Jaya, Desa Dabong. Untuk memperkuat bukti bahwa Desa Dabong sudah lama ada, masyarakat juga memiliki bukti surat kepemilikan tanah tahun 1937 yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kubu Nomor 36. Pada tahun , wilayah Dabong dimasuki oleh 2 (dua) perusahaan HPH yaitu CV. Agung Permai dan CV. Hasil Rimba yang menebang hutan bakau di wilayah ini. Pada tahun 1982 kedua perusahaan ini meninggalkan lahan tersebut dalam keadaan kosong tanpa adanya reboisasi. Pada tahun 1982, kawasan mangrove di desa Dabong dijadikan hutan lindung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 757/kpts/Um/10/1982. Pada tahun 2000, berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 kawasan tersebut ditetapkan statusnya menjadi Kawasan Hutan Lindung Bakau. Penetapan kawasan hutan lindung mangrove ini berdasarkan padu-serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts/Um/10/1982, Perda Nomor I/1995 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi

113 93 Kalimantan Barat dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. Penetapan kawasan hutan lindung mangrove ini ditujukan untuk melindungi dan sebagai penyangga plasma nuftah kehidupan di wilayah pesisir dan lautan. Menurut masyarakat, proses penetapan kawasan menjadi hutan lindung bakau dilakukan tanpa sepengetahuan dan tanpa melibatkan masyarakat yang sudah mendiami kawasan ini secara turun temurun. Masyarakat baru mengetahui bahwa wilayah yang mereka tempati merupakan kawasan hutan lindung setelah beberapa dari masyarakat (58 orang) yang membuka lahan tambak di kawasan ini ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana mengerjakan, memanfaatkan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a junto pasal 78 ayat 2, UU No. 41 tahun Kejadian ini bermula ketika tim gabungan dari Dinas Kehutanan, Kepolisian, Koramil dan aparat Kecamatan turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan di kawasan hutan lindung mangrove. Pada bulan Maret 2009, tim kedua sebanyak 15 orang dari Polda Kalimantan Barat dan Dinas Kehutanan Kubu Raya yang melakukan wawancara dengan masyarakat dan mengukur area yang dianggap tambak selama 3 hari. Selang beberapa hari yaitu masih pada bulan Maret 2009 sebanyak 58 warga (petambak) dipanggil Polda untuk dijadikan saksi tersangaka. Pada bulan April 2009, sebanyak 58 warga tersebut dipanggil Polda untuk didengarkan keterangannya sebagai tersangka. Terkait dengan kasus ini, pada tanggal 2 Mei 2009 Pemerintah Daerah memfasilitasi pertemuan antara perwakilan warga dengan Bupati, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, perwakilan Polda dan segenap Muspida di Kabupaten Kubu Raya untuk membahas solusi dari permasalahan ini. Dalam pertemuan ini, Bupati Kubu Raya (Muda Mahendra, S.H.) menyarankan supaya proses penyidikan tetap dilakukan dan warga boleh melakukan aktivitas di tambaknya masing-masing. Sementara Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kubu Raya (Sadik Aziz) mengatakan kalau kasus ini tidak bisa diselesaikan, warga akan dipindahkan dari Desa Dabong dan akan disiapkan anggarannya. Rencana relokasi ini yang membuat warga resah dan cemas. Hal ini dikarenakan

114 94 warga sudah lama tinggal di daerah tersebut dan sudah memiliki sistem tatanan sosial serta kehidupanya tergantung dengan sumberdaya pesisir di daerah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, pembukaan lahan tambak di Desa Dabong yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan hutan lindung mangrove diperkirakan sudah lama yaitu sejak tahun Pada tahun salah seorang warga keturunan Bugis yang bernama Anwar membuka tambak secara manual (tanpa bantuan alat berat) dan langsung berhasil sehingga memotivasi warga yang lain untuk membuka tambak. Pada tahun 1994, sebanyak 40 warga mulai membuat tambak dengan luas total 300 ha. Tambak dibuat secara gotong-royong dengan cara patungan menyewa alat berat ekskavator dan sistem pembayarannya dilakukan dengan cara cicilan ketika sudah panen. Untuk selanjutnya pembukaan lahan di kawasan lindung untuk terus berlanjut sampai tahun 2008 dengan luas total tambak sebesar ha. Untuk status kepemilikan lahan, sebagian besar masyarakat tidak memiliki Sertifikat Hak Milik Tanah karena selain lokasi desa mereka yang sangat terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan sehingga sulit dalam pengurusan perijinan juga dikarenakan wilayah yang mereka tempati sudah terlanjur ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun Pola penguasaan/kepemilikan lahan umumnya dilakukan dengan membuka lahan dengan meminta ijin dari kepala desa. Biasanya lahan yang telah dimanfaatkan maupun sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh seorang masyarakat, tidak boleh dimanfaatkan oleh masyarakat lainnya tanpa ada ijin dari pemilik lahan yang bersangkutan. Secara umum ada 3 (tiga) proses status kepemilikan lahan yaitu: (1) Masyarakat pada umumnya memperoleh lahan mereka dengan cara membuka sendiri, (2) membayar ganti rugi/membeli kepada pemilik sebelumnya maupun (3) warisan dari pemilik sebelumnya. Membuka sendiri artinya, masyarakat tersebut membuka hutan maupun semak belukar untuk dijadikan lahan garapan, tempat tinggal maupun tambak dan belum terjadi proses pindah tangan. Ganti rugi/membeli adalah proses pindah tangan dari lahan melalui proses transaksi antara kedua belah pihak dimana terjadi proses pembayaran sejumlah uang dari pihak kedua kepada pihak pertama agar supaya kepemilikan

115 95 tanah berpindah dari pihak pertama kepihak kedua. Sedangkan warisan artinya masyarakat mendapatkan lahan dari anggota keluarga lainnya Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam pengelolaan ekosistem mangrove, maka bagian yang sangat menentukan dalam keberlanjutan pengelolaan kawasan tersebut adalah masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat sangat tergantung dengan kondisi dan potensi sumberdaya alam yang ada di ekosistem mangrove. Sehingga aktifitas masyarakat di sekitar kawasan mangrove akan memberikan dampak pada ekosistem mangrove, atau dengan kata lain baik buruknya pengelolaan mangrove tergantung dari peran serta masyarakat. Nilai persentase pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong berkisar antara 0 % sampai 100 % yang menunjukan pandangan sangat buruk (0 %) sampai dengan sangat baik (100 %). Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong No Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Persentase Ekosistem Mangrove Desa Dabong (%) 1 Pemahaman tentang hutan mangrove dan manfaatnya Partisipasi dalam pelestarian hutan mangrove Persepsi/pandangan terhadap institusi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan mangrove Persepsi/pandangan tentang status lindung mangrove Persepsi/pandangan tentang proses penetapan kawasan mangrove menjadi status lindung Persepsi/pandangan tentang proses penegakan status lindung mangrove oleh institusi pengelola Persepsi/pandangan tentang tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan lindung mangrove Rata-rata Sumber : Hasil olahan data primer (2009). Berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner terhadap 50 responden, tingkat pengelolaan Ekosistem Mangrove Desa Dabong adalah sebesar 49.1% (buruk). Hal ini menunjukan bahwa pandangan masyarakat terhadap pengalolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong selama ini kurang baik. Hal ini

116 96 dapat diuraikan dari hasil wawancara ditiap-tiap kelompok pertanyaan sebagai berikut: 1) Pemahaman tentang hutan mangrove dan manfaatnya (8 pertanyaan) Pemahaman merupakan salah satu hal yang memegang peranan penting dalam terwujutnya suatu pembangunan atau pengelolaan kawasan. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap arti penting kawasan dan sumberdaya, maka semakin tinggi pula peluang tingkat keberhasilan suatu pembangunan dan pengelolaan nantinya. Dalam penelitian ini, pemahaman masyarakat diartikan sebagai pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi, fungsi dan manfaat dari ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara, tingkat pemahaman masyarakat tentang hutan mangrove dan manfaatnya di Desa Dabong adalah sebesar 73.25%. Hal ini artinya bahwa tingkat pemahaman masyarakat tentang hutan mangrove dan manfaatnya di Desa Dabong masuk dalam kategori baik. Masyarakat sudah cukup mengerti dengan baik tentang apa itu ekosistem mangrove beserta fungsi dan manfaatnya. 2) Partisipasi dalam pelestarian hutan mangrove (4 pertanyaan). Partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan atau keterlibatan masyarakat setempat dalam kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove guna menjaga sumberdaya pesisir tersebut agar tetap lestari. Berdasarkan hasil wawancara, tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove adalah sebesar 55.13% atau dalam kategori baik. Masyarakat setuju jika diikutkan dalam berbagai kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove. Hanya saja yang menjadi masalah adalah masyarakat selama ini belum pernah di ikutkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di desa mereka. 3) Pandangan terhadap institusi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan mangrove (5 pertanyaan) Berdasarkan hasil wawancara, tingkat persepsi/pandangan masyarakat terhadap institusi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah sebesar 31.9% atau dalam kategori buruk. Institusi pemerintah yang

117 97 berwenang dalam pengelolaan ekosistem mangrove selama ini dinilai kurang menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya kegiatan pelastarian dan pengelolaan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Kegiatan pembinaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat juga jarang dilakukan oleh instansi pemerintah. Bahkan menurut masyarakat institusi pemerintah selama ini belum pernah melakukan sosialisasi tentang kawaan lindung mangrove di desa mereka. Selain itu kebijakan dan koordinasi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan mengrove juga masih saling tumpang tidih dan bertentangan. Hal ini dapat dilihat dari adanya ijin tambak di kawasan lindung yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, padahal pengelola kawasan adalah Dinas Kehutanan. 4) Pandangan tentang status lindung mangrove (6 pertanyaan) Tingkat persepsi/pandangan masyarakat terhadap status lindung mangrove di desa mereka adalah sebesar 42.42% atau dalam kategori buruk. Pada dasarnya masyarakat setuju dengan status lindung pada hutan mangrove di desa mereka. Hanya saja masyarakat merasa kurang mendapatkan manfaat langsung dan peningkatkan kesejahteraan dari status lindung mangrove tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai manfaat langsung ekosistem mangrove yang hanya sebesar Rp per hektar per tahun, dimana nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp per hektar per tahun. Akan tetapi, nilai total manfaat ekosistem mangrove yang sebesar Rp per hektar per tahun memiliki nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai ekonomi tambak. Hal ini menunjukan bahwa jika dilihat dari nilai manfaat ekonomi total, lebih menguntungkan mangrove dibiarkan dalam kondisi lestari daripada dikonversi menjadi tambak. Selain itu juga masyarakat juga belum mengerti tentang tujuan dan aturanaturan yang berlaku dari status lindung pada hutan mangrove di wilayah mereka. Bahkan masyarakat sebelumnya juga kurang tahu, bahwa kawasan mangrove di desa mereka telah ditetapkan menjadi status hutan lindung.

118 98 5) Pandangan tentang proses penetapan kawasan mangrove menjadi status lindung (4 pertanyaan). Tingkat persepsi/pandangan masyarakat terhadap proses penetapan kawasan mangrove menjadi status lindung di desa mereka adalah sebesar 33.13% atau dalam kategori buruk. Hal ini karena masyarakat merasa bahwa dalam proses penetapan kawasan menjadi status lindung, masyarakat kurang dilibatkan dan bahkan banyak lahan dari masyarakat yang masuk dalam kawasan lindung. 6) Pandangan tentang proses penegakan status lindung mangrove oleh institusi pengelola (5 pertanyaan) Tingkat persepsi/pandangan masyarakat terhadap proses penegakan status lindung mangrove oleh institusi pengelola di desa mereka adalah sebesar 36.4% atau dalam kategori buruk. Menurut pandangan masyarakat, institusi pengelola selama ini jarang bahkan belum pernah melaksanakan kegiatan sosialisasi, pengawasan dan pengamanan dalam rangka penegakan status lindung. Penanganan terhadap tindakan yang di duga pelanggaran terhadap kawasan lindung juga dinilai masyarakat kurang baik dan bijaksana. Sebagai contoh adalah penanganan masalah tambak dilakukan dengan langsung melimpahkan kasus ke pihak kepolisian sebagai tindak pidana tanpa ada upaya penyelesaian dengan masyarakat terlebih dahulu. 7) Pandangan tentang tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan lindung mangrove (2 pertanyaan) Tingkat persepsi/pandangan masyarakat terhadap tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan lindung mangrove pada desa mereka adalah sebesar 71.5% atau dalam kategori baik. Masyarakat pada umumnya kurang setuju dengan adanya aktifitas yang merusak kelestarian ekosistem mangrove. Masyarakat tidak setuju dengan pembukaan lahan tambak dan penebangan pohon secara besar-besaran. Akan tetapi dalam skala tidak merusak untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat desa dan meningkatkan perekonomian desa pada umumnya masyarakat setuju.

119 Analisis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove merupakan suatu himpunan aturan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam, sehingga juga merupakan bentuk dari suatu sistem kelembagaan. Kelembagaan merupakan aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan rencana pengelolaan. Suatu kelembagaan yang kuat dan matang akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Dalam pengelolaan ekosistem mangrove aspek dan peran kelembagaan mutlak diperlukan guna mencapai tujuan pengelolaan dari suatu ekosistem itu sendiri dalam hal ini adalah pemanfaatan yang berkelanjutan. Dengan demikian keefektifan dalam pengelolaan suatu ekosistem tidak terlepas dari peran dari kelembagaan. Kelembagaan yang dikaji dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong meliputi kelembagaan dari dinas terkait di pemerintah yaitu Dinas Kehutanan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) serta masyarakat desa yang berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove di Desa Dabong. Berbagai aktor dan lembaga/institusi yang memegang peranan penting di dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong adalah : 1. Dinas Kehutanan Pada tahun 2000, berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 kawasan Hutan Mangrove di Desa Dabong ditetapkan statusnya menjadi Kawasan Hutan Lindung Mangrove. Berkaitan dengan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya, maka saat ini kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong tersebut pengelolaanya diwenangkan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya dan didukung oleh Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. 2. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Dalam kaitannya dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kubu Raya dan Propinsi kalimantan Barat memiliki kepentingan dan andil yang cukup besar. Dinas Kelautan dan Perikanan memiliki kepentingan terhadap sumberdaya perikanan di wilayah pesisir. Pengembangan di sektor perikanan dan kelautan menjadi tugas pokok

120 100 dari instasi ini, padahal sektor perikanan pesisir dan kelautan terkait erat dengan ekosistem mangrove. Hal ini menyebabkan tindih dalam upaya pengelolaan kawasan ekosistem mangrove diantara kedua Instasi pemerintah ini (Dinas Perikanan dan Dinas Kehutanan). Untuk itu diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan agar ekosistem mangrove yang ada tetap lestari dan berkelanjutan. 3. Masyarakat Desa Selain instansi dan lembaga pemerintah tersebut di atas, masyarakat yang tinggal di kawasan ekosistem mangrove merupakan faktor kunci dalam melindungi ekosistem mangrove yang ada di Desa Dabong, tanpa dukungan masyarakat perencanaan pengelolaan sematang apaun mustahil akan terwujud. Untuk itu upaya pengelolaan ekosistem mangrove harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Di Desa Dabong, masih belum ada kelembagaan atau organisasi masyarakat yang secara khusus ikut berperan dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove. Lembaga masyarakat yang ada saat ini adalah Lembaga Pemerintah Masyarakat Desa (LPMD) dan kelompok tani tambak. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi langsung di lapangan dengan menggunakan beberapa instrumen seperti diskusi, wawancara mendalam dengan berbagi aktor, wawancara bersama masyarakat setempat, serta penelusuran dan pengkajian berbagai data/pustaka penunjang. Hal ini dilakukan untuk mempelajari dan mendapatkan pemahaman tentang situasi dan kondisi yang ada. Selain itu observasi juga sekaligus melihat realitas pelaksanaan pengelolaan ekosistem mangrove di lapangan. Analisis kelembagaan akan difokuskan kepada pengelolaan hutan lindung mangrove yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan. Hal-hal yang dikaji dalam analisis kelembagaan ini meliputi organisasi, berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur kelembagaan (batas yuridiksi, hak penguasaan (property right) dan aturan representatif) dari pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong beserta realisasinya. Selain itu juga dikaji dampak institusi terhadap performance

121 Organisasi pengelola kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong Pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong diwenangkan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan (DisHutBun) Kabupaten Kubu Raya. Struktur organisasi, tugas pokok, fungsi dan tata kerja DisHutBun Kab. Kubu Raya diatur dalam Peraturan Bupati Kubu Raya No. 68 tahun Struktur organisasi DisHutBun Kab. Kubu Raya dapat dilihat pada Gambar 19. Kepala Dinas Kehutanan & Perkebunan Jabatan Fungsional Sekretariat SubBag Rencana Kerja & Keuangan SubBag Tata Usaha & Kepegawaian SubBag Perlengkapan & Umum Bidang Produksi & Rehabilitsi Hutan Bidang Perlindungan Bina Usaha Perkebunan Bidang Perlindungan Hutan & Perkebunan Seksi Produksi & Usaha Kehutanan Seksi Rehabilitasi Hutan & Lahan Seksi Penataan & Pengembangan Kawasan Seksi Produksi Pemasaran & Hasil Perkebunan Seksi Usaha Perkebunan Seksi Sarana & Prasarana Seksi Pengawasan Peredaran Hasil Hutan & Perkebunan Seksi Perlindungan Hutan & Pekerbunan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Gambar 19. Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya Tugas pokok DisHutBun Kab. Kubu Raya adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dan perkebunan berdasarkan asas otonomi, tugas dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Dalam melaksanakan tugas pokok, DisHutBun Kab. Kubu Raya mempunyai fungsi: (1) penyusunan program di

122 102 bidang kehutanan dan perkebunan, (2) perumusan kebijakan teknis dibidang kehutanan dan perkebunan, (3) penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum dibidang kehutanan dan perkebunan, (4) pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kehutanan dan perkebunan, (5) pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas, (6) pengelolaan administrasi keuangan, kepegawaian, organisasi dan tata laksana, perlengkapan, dan umum internal Dinas, dan (7) pelaksanaan tugas lain yang diserahkan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Upaya pengelolaan hutan lindung di Desa Dabong masih melekat pada bidang-bidang yang ada pada struktur organisasi DisHutBun Kab. Kubu Raya karena sampai saat ini Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) masih belum terbentuk. Bidang dan seksi pada struktur organisasi yang terkait dalam upaya pengelolaan hutan lindung meliputi: (1) bidang perlindungan hutan dan perkebunan (yaitu pada seksi perlindungan hutan dan pekerbunan), (2) bidang produksi dan rehabilitsi hutan (yaitu pada seksi rehabilitasi hutan dan lahan; dan seksi penataan dan pengembangan kawasan). Jika kita kaji dari tugas pokok, fungsi dan struktur organisasi yang telah diuraikan sebelummya, maka desain organisasi DisHutBun Kab. Kubu Raya belum sepenuhnya dapat mengakomodasi upaya pengelolaan hutan lindung dengan baik. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain: 1. Urusan yang ditangani oleh DisHutBun Kab. Kubu Raya tidak hanya pada urusan kehutanan, tetapi juga perkebunan. 2. Belum terbentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), sehingga belum ada unit/organisasi yang secara khusus menangani upaya pengelolaan hutan lindung. 3. Upaya pengelolaan hutan lindung masih melekat pada bidang-bidang yang ada pada struktur organisasi DisHutBun, padahal bidang-bidang ini memiliki tupoksi yang luas dan tidak hanya sebatas urusan hutan lindung. Berbagai hal ini tentunya akan menyebabkan perhatian terhadap upaya pengelolaan hutan lindung berpotensi terabaikan. Untuk itu diperlukan unit khusus yang menangani pengelolaan hutan lindung.

123 Berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Pengetahuan tentang sumber interdependensi dari suatu komoditas sangat diperlukan dalam memprediksi dampak alternatif institusi terhadap performance. Sumber interdependensi atau situasi disini didefinisikan sebagai karakteristik inheren yang melekat pada komoditas yang dibicarakan. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid and Allan 1987). Berdasarkan kajian kelembagaan yang dilakukan peneliti, maka berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Inkompatibilitas Dua atau tiga aktivitas dikatakan memiliki sifat inkompatibilitas apabila satu aktivitas dipilih, karena persyaratan teknologi, aktivitas lainya tidak dapat disertakan. Dengan demikian satu aktifitas secara lengkap mengeluarkan aktivitas lainnya. Apabila aktivitas-aktivitas tersebut merupakan aktivitas dari dua orang yang berbeda atau lebih maka One person s use is incompatible with that of another (Schmid and Allan 1987). Situasi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini bercirikan inkompatibilitas. Di kawasan Dabong, masyarakat desa sudah menduduki/bermukim dan memanfaatkan sebagian lahan sejak lama, sehingga lahan tersebut tidak boleh dimanfaatkan atau dikuasai oleh pihak lain termasuk untuk hutan lindung bakau tanpa terlebih dahulu ada proses pelepasan hak. Begitu juga sebaliknya, yaitu sebagian kawasan di Desa Dabong sudah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove, sehingga aktifitas lain seperti pemukiman, pertambakan, pertanian dan aktifitas lainnya yang berada dalam kawasan tersebut harus dikeluarkan. Jika hal ini dilanggar atau diabaikan, maka akan menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan. Akibat dari pengabaian kondisi inkompatibilitas adalah terjadinya konflik antara Dinas Kehutanan dengan masyarakat. Sebanyak 58 petambak di Desa Dabong dijadikannya tersangka terkait kasus tindak pidana mengerjakan,

124 104 memanfaatkan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a junto pasal 78 ayat 2 UU No. 41 tahun Akan tetapi, batas yuridiksi yang ditetapkan oleh pengelola kawasan dipandang masyarakat dilakukan secara sepihak karena tidak memperhatikan hak-hak dari masyarkat yang sudah lama bermukim di wilayah tersebut. Masyarakat mengaku hampir sebagian besar tempat tinggal/pemukiman dan lahan garapan termasuk tambak masuk dalam kawasan hutan lindung tanpa adanya konfirmasi dan pengantian biaya. Sementara itu pandangan para aktor/institusi (Dinas Kehutanan, masyarakat dan Dinas Kelautan dan Perikanan) akan batas yuridiksinya masih tumpangtindih. Hal ini karena masing-masing aktor/institusi merasa memiliki otoritas terhadap kawasan ekosistem mangrove di Desa Dabong. 2. Biaya eksklusi tinggi (high exclusion cost) Memiliki sesuatu tidak selalu berarti bahwa setiap pemilik akan selalu memperoleh (menanggung) manfaat (ongkos) dari apa yang dimilikinya. Pemilikan hanyalah berupa gugus kosong apabila ongkos untuk mencegah pihak lain memanfaatkan sumberdaya yang dimilki seseorang jauh lebih besar dari nilainya. Situasi ini disebut karakteristik ongkos eksklusi tinggi. Situasi kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini bercirikan dengan biaya eksklusi tinggi atau biaya penegakan status yang tinggi. Hal ini dikarenakan lokasi Desa Dabong sangat terpencil, jauh dan medannya sangat susah, sehingga aksebilitas menuju kawasan menjadi sulit dan mahal. Untuk menuju kawasan harus mengunakan transportasi air yang biayanya juga mahal yaitu untuk sewa satu kapal speed (kapasitas 4 orang) per hari dibutuhkan biaya antara Rp sampai Rp Hal ini belum termasuk biaya akomodasi dan biaya lainnya yang diperlukan dalam pengamanan wilayah hutan. Disisi lain pemasukan atau pendapatan pihak pengelola dari kawasan lindung ini hampir tidak ada. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama penegakan status lindung (batas yuridiksi) kurang dijaga dengan baik. Selain itu keterbatasan/minimnya

125 105 dana, SDM dan sarana-prasarana/infrastruktur dalam menegakan status juga menjadi penyebab utama lemahnya penegakan status lindung. 3. Biaya transaksi Masyarakat mengaku belum pernah dilibatkan dalam proses penetapan hutan lindung mangrove, sehingga situasi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini bercirikan biaya transaksi yang rendah. Hal ini dapat diketahui dari proses penetapan kawasan menjadi status lindung yang dilakukan tanpa negosiasi dengan para stakeholder (masyarakat dan DKP), sehingga dapat disimpulkan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan biaya penegakan status lindung menjadi tinggi akibat belum mendapat kesepakatan dengan stekeholder sehingga ancaman terhadap sumberdaya dan potensi konflik sosial tinggi. Ciri utama penetapan kawasan secara top down adalah biaya transkasi pada saat planning rendah, akan tetapi biaya pelaksanaan/implementasi tinggi Analisis struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong a. Batas yuridiksi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Batas yuridiksi adalah batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki suatu aktor/lembaga atau kedua-duanya, batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi. Batas yuridiksi juga dapat berimplikasi ekonomi para pihak yang terlibat dalam yuridiksi tersebut. Dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji batas yuridiksi dari pengelola kawasan hutan lindung mangrove (Dinas Kehutanan), ditinjau dari batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong beserta realisasinya. Berdasarkan hasil dari analisis kelembagaan terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong, batas yuridiksi (batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas) dari pengelola kawasan lindung mangrove (Dinas Kehutanan) selama ini adalah seluruh area kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong dengan luas sebesar hektar. Batas yuridiksi dari pengelola kawasan lindung ini mencakup seluruh sumberdaya alam (hayati dan non hayati) yang ada di dalam kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong. Berhubung hutan

126 106 mengrove di Desa Dabong berada di dalam kawasan hutan lindung mangrove, maka wewenang/otoritas pengelolaanya berada pada Dinas Kehutanan. Realisasi pelaksanaan batas yuridiksi oleh pengelola kawasan (Dinas Kehutanan) di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong adalah sebagai berikut: 1. Tapal batas (zonasi) atau batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong (luas hektar) dipermasalahkan oleh masyarakat desa karena sebagian besar lahan masyakat seperti pemukiman, lahan garapan dan tambak yang menjadi sumber penghidupan mereka masuk kedalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya ganti rugi/kompensasi. Bahkan hampir semua dusun/kampung termasuk pusat pemerintahan Desa masuk kedalam kawasan hutan lindung mangrove. Hal ini dikarenakan ketika proses penetapan kawasan lindung tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat telah bermukim, bertani dan memafaatkan sumberdaya hutan mangrove baik hasil hutan maupun hasil perikanan sudah sejak lama dan turun-menurun (diperkirakan sejak tahun 1871) dan generasi yang ada sekarang merupakan generasi yang ke 8 (delapan). Masyarakat juga memiliki bukti surat kepemilikan tanah tahun 1937 yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kubu Nomor 36. Jadi disini masyarakat merasa lebih memiliki otoritas terhadap kawasan yang ada di desa mereka karena mereka lebih dahulu tinggal dan menguasai kawasan. Untuk kegiatan usaha tambak, masyarakat juga sudah memiliki ijin tambak dan membayar retribusi kepada Pemerintah Daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pontianak) sebesar 1.5 % dari hasil panen tambak, jadi mereka merasa berhak untuk melakukan budidaya udang di tambak mereka. Bahkan pada tahun 2003, Gubenur Kalimantan Barat H. Usman Jafar ikut panen raya karena hasil panen udang pada saat itu melimpah dan disaksikan oleh semua pejabat daerah. Bahkan beliau juga mengatakan bahwa daerah Dabong akan dijadikan sentra budidaya tambak udang dan menjadi daerah percontohan tambak.

127 Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove juga mengalami tumpang tidih dengan sektor keluatan dan perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan juga berangapan memiliki wewenang/otoritas untuk mengembangkan dan mengelola sumberdaya wilayah pesisir khususnya perikanan, yang mana kawasan ekosistem mangrove berada di kawasan pesisir. Hal ini dapat dilihat dari: a. Dikeluarkannya Ijin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Pembudidayaan Ikan (SBI) bagi petambak di Desa Dabong. b. Telah disusunnya Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pontinak (wilayah Dabong-Kubu) pada tahun 2006 c. Dilaksanakannya berbagai program pemberdayaan masyarakat petambak di Desa Dabong melalui pembinaan, penyuluhan, pelatihan dan penyaluran kredit untuk membantu permodalan. Bahkan ada petambak yang diikutkan pelatihan ke Jepara. d. Dibuatnya tambak percontohan dengan sistem silvofishery di Desa Dabong. Menanggapi masalah adanya pembinaan pertambakan masyarakat yang berada di kawasan hutan lindung mangrove oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, maka berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan, menyatakan bahwa Setiap daerah yang mulai atau sudah ada kegiatan perikanannya, maka kami harus bantu dan bina agar maju dan sektor perikanan dapat meningkat. Jadi untuk kasus tambak di Dabong ini, kami tidak pernah menganjurkan atau memberi ijin masyarakat untuk menkonversi lahan mangrove menjadi tambak karena bukan wewenang kami, kami hanya membantu aktifitas perikanan (budidaya) yang sudah ada sejak lama dengan membina dan memberi ijin agar usaha mereka tertip. 3. Dalam rangka penegakan batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove, maka pihak pengelola kawasan hutan lindung (Dinas Kehutanan) telah mengajukan sebanyak 58 orang petambak ke ranah hukum sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana mengerjakan, memanfaatkan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a junto pasal 78 ayat 2 UU No. 41 tahun Sayangnya

128 108 penanganan terhadap dugaan pelanggaran ini dilakukan tanpa adanya mediasi/musyawarah kepada masyarakat dulu untuk meluruskan akar permasalahan, tetapi langsung dilimpahkan ke pihak kepolisian. 4. Tindakan serupa juga dilakukan warga Desa Dabong. Dalam rangka melindungi batas yuridiksi akan lahan mereka yang telah lama ditinggali, maka warga dengan bantuan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah melaporkan permasalahan ini kepada Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Kalimantan Barat pada tanggal 18 Juli tahun Menyikapi laporan ini, Komnas HAM Kalimantan Barat telah membentuk tim khusus untuk menangani permasalahan ini. Berdasarkan UU no 41 tahun 1999, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Lebih lanjut menurut Keppres no , perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Kawasan pantai di Desa Dabong memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas dan mempunyai fungsi sangat penting sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah, tempat berkembang-biaknya berbagai biota laut, pelindung pantai dari pengikisan air laut dan pelindung usaha budidaya di belakangnya. Oleh sebab itu kawasan ini perlu dilindungi dengan penetapan sebagai kawasan hutan lindung mangrove. Sehingga sudah tepat jika hutan mangrove di Desa Dabong ditetapkan atau dikukuhkan sebagai hutan lindung mangrove. Bermasalahnya batas yuridiksi (tapal batas) kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong dikarenakan proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung dilakukan dengan kurang baik. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove sangat luas dan berlebihan (luas hektar) jika

129 109 dibandingkan dengan luas hutan mangrove itu sendiri yang hanya sebesar hektar pada tahun 1991 (belum ada kegiatan konversi lahan menjadi tambak). Berdasarkan Keppres no 32 tahun 1990, kriteria kawasan pantai berhutan bakau yang perlu dilindungi adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat. Selain itu kawasan pemukiman dan lahan masyarakat yang sudah ada sebelumnya juga masuk dalam batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove. Hal ini menunjukan bahwa inventarisasi hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan kurang baik. Menurut UU no 41 tahun 1999, dalam proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah inventarisasi hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a) penunjukan kawasan hutan, (b) penataan batas kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan, dan (d) penetapan kawasan hutan. Bermasalahnya proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong juga dapat dilihat dari pengabaian atas hak-hak masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Dalam proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove, masyarakat belum memperoleh kompensasi atas hilangnya akses dengan hutan sebagai sumber kehidupan dan hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan. Menurut UU no 41 tahun 1999 pasal 68, masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

130 110 Permasalahan lain yang menunjukan buruknya proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong juga dapat dilihat dari adanya program Protekan dari DKP pada tahun di kawasan ini. Hal ini menunjukan proses penetapan kawasan hutan lindung mangrove dilakukan secara tidak terpadu dan tidak lintas sektoral. Selain itu masyarakat juga baru mengetahui status hutan lindung mangrove di Desa mereka sejak beberapa warga dijadikan tersangka pidana atas tindakan perambahan hutan lindung. Hal ini menunjukan bahwa proses pengumuman kawasan hutan lindung kepada masyarakat dilkukan dengan tidak benar. Menurut Keppres no 32 tahun 1990, penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung harus dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral serta Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II harus mengumumkan kawasan-kawasan lindung kepada masyarakat. b. Hak Penguasaan (Property Right) Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong Konsep property right atau kepemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat, tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau penguasaan tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah hak seseorang adalah kewajiban dari orang lain seperti dicerminkan oleh hak kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya (Pakpahan 1989). Penelitian ini juga mencoba untuk mengkaji bentuk-bentuk hak dan kewajiban dari pengelola kawasan (Dinas Kehutanan) atas penguasaan sumberdaya ekosistem mangrove di Desa Dabong. Pada saat ini, hak kepemilikan (property right) atas sumberdaya ekosistem mangrove di Desa Dabong berada ditangan Dinas Kehutanan Kabupaten Kubu Raya. Hak kepemilikan tersebut masuk dalam klasifikasi milik Negara (state property right) dan diperoleh melalui pengaturan administrasi formal pemerintah (tidak ada sifat tawar-menawar dan ada unsur paksaan). Mekanisme diperolehnya hak kepemilikan tersebut berdasarkan SK MenHut No.259/kpts-II/2000, yang mana kawasan hutan

131 111 mangrove di Desa Dabong ditetapkan statusnya menjadi Kawasan Hutan Lindung Mangrove. Berkaitan dengan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya, maka kawasan hutan lindung mangrove tersebut pengelolaanya diwenangkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Kubu Raya dan didukung oleh Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. Berbagai bentuk hak dari pengelola kawasan (Dinas Kehutanan) di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong adalah sebagai berikut: 1. Melakukan pengelolaan dan pemanfaatan terhadap kawasan hutan lindung mangrove 2. Menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan lindung mangrove 3. Pemberian dan pencabutan ijin terhadap pemanfatan SDA di kawasan hutan lindung Mangrove 4. Menangani dan menindak setiap pelangaran di kawasan hutan lindung mangrove (penyidikan, peringatan, pelarangan, pengusiran, relokasi dan pemberian sangsi). Berbagai bentuk kewajiban dari pengelola kawasan (Dinas Kehutanan) di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong adalah sebagai berikut: 1. Menjaga keutuhan dan kelestarian hutan Mangrove 2. Melakukan sosialisasi kawasan lindung ke masyarakat 3. Membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) 4. Melakukan penyuluhan, pelatihan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat 5. Melakukan patroli Hutan (pengawasan dan pengamanan) 6. Menyusun perencanaan pengelolaan partisipatif dan mengimplementasikannya Realisasi pelaksanaan property right oleh pengelola kawasan (Dinas Kehutanan) di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjaga property right, maka pengelola mulai mempermasalahkan kasus tambak yang berada didalam kawasan hutan lindung mangrove

132 112 pada tahun Padahal tambak diwilayah tersebut sudah lama ada. Masyarakat telah membuka tambak di dalam kawasan ekosistem mangrove diperkirakan sejak tahun 1991 sampai tahun 2008 dengan luas total sampai saat ini ha. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan perekonomian mereka. 2. Belum pernah dilakukan sosialisasi kawasan lindung ke masyarakat di Desa Dabong 3. Patroli Hutan sangat jarang dilakukan, bahkan hampir tidak pernah. Hal ini dikarenakan lokasi yang jauh dan terpencil serta terbatasnya fasilitas, dana dan SDM. 4. Belum pernah ada upaya penyuluhan, pelatihan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat 5. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) belum terbentuk 6. Belum ada rencana implementasi pengelolaan yang partisipatif 7. Upaya reboisasi dan rehabilitasi belum pernah dilakukan terhadap kawasan hutan mangrove yang rusak Lemahnya realisasi pelaksanaan dalam menjaga property right oleh pengelola kawasan (Dinas Kehutanan) di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu: 1. Sebagian wilayah yang ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove sebelumnya sudah dikuasai masyarakat desa sejak lama yaitu mulai tahun Penguasaan lahan untuk hutan lindung dilakukan secara sepihak tanpa adanya proses pelepasan hak kepemilikan dari masyarakat. 2. Keterbatasan angaran, kualitas dan kuantitas SDM, maupun sarana dan prasarana dari pengelola kawasan lindung (Dinas Kehutanan). Tercatat jumlah total jumlah polisi kehutanan di Kabupaten Kubu Raya adalah 48 orang dan harus mengamankan seluruh hutan di kabupaten Kubu Raya yang sangat luas baik hutan mangrove maupun non mangrove (hutan lindung, hutan lindung bakau, dan hutan lindung gambut) yang menjadi otoritas Dinas Kehutanan dengan luas total mencapai hektar. Jadi setiap 1 orang polisi hutan harus mengamankan hutan Negara seluas hektar.

133 Biaya penegakan property right yang tinggi. Hal ini dikarenakan sulitnya aksebilitas menuju kawasan hutan karena jauh dan terpencilnya kawasan. Untuk menuju ke lokasi harus menggunakan jalur transportasi air, sehingga biaya pengamanan menjadi sangat mahal. Biaya sewa satu kapal speed (kapasitas 4 orang) per hari dibutuhkan biaya antara Rp sampai Rp c. Aturan representatif pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance, akan ditentukan oleh kaidah-kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh rupiah seperti halnya aturan representasi melalui pasar. Partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik organisasi. Penelitian ini mengkaji mengenai aturan representasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan penting atas akses sumberdaya alam di dalam kawasan hutan lindung mengrove di Desa Dabong. Dengan ini diharapankan peneliti mendapatkan gambaran yang jelas menyangkut bentuk aturan representatif yang ada dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong. Aturan representasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong ditantukan oleh peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kehutanan, dimana keputusan pemerintah (kehutanan) menentukan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove. Dalam hal ini maka Dinas Kehutanan merupakan pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi pihak lain seperti masyarakat dan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengambilan keputausan hanya bersifat saran dan masukan saja, bukan sebagai penentu kebijakan. Berdasarkan hal tersebut, aturan representatif dalam pengelolaan hutan lindung mangrove Desa Dabong pada saat ini masih lemah atau kurang representatif. Hal ini karena aturan yang dibuat masih belum mewakili semua kepentingan stakeholder. Pengambilan keputusan/peraturan ditentukan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder terutama masyarakat sekitar kawasan hutan

134 114 lindung.kajian aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove mengacu pada PP No. 6 tahun 2007 dan Keppres No.32 tahun Aturan Uraian representatif Apa yang boleh diakses dan aturannya Pemanfaatan hutan lindung 1. Pemanfaatan kawasan Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : a. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya (fungsi lindung) b. pengolahan tanah terbatas tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi c. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat d. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam 2. Pemanfaatan jasa lingkungan Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung, dilakukan dengan ketentuan: a. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya b. tidak mengubah bentang alam 3. Tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan 4. Pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan: a. hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami b. tidak merusak lingkungan c. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya Pada hutan lindung, dilarang: (a) memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya; (b) memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi oleh undang-undang. Setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan Pemanfaatan hutan yang kegiatannya dapat mengubah bentang alam dan mempengaruhi lingkungan, diperlukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

135 115 Tabel 38 (lanjutan). Aturan representatif Apa yang boleh diakses dan aturannya (lanjutan) Siapa yang boleh mengakses Partisipasi dalam pengambilan keputusan Uraian Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya mengganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap. (Sumber: PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan; dan Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) 1. Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) dapat diberikan kepada: (a) perorangan; atau (b) koperasi. 2. Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL) dapat diberikan kepada: (a) perorangan; (b) koperasi; (c) BUMS Indonesia; (d) BUMN; atau (e) BUMD. 3. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. (Sumber: PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan) Pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan adalah pengelola kawasan lindung (yaitu Pemerintah Daerah yang wewenangnya dilimpahkan kepada Dinas Kehutanan). Partisipasi pihak lain seperti masyarakat dan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengambilan keputausan hanya bersifat saran dan masukan saja, bukan sebagai penentu kebijakan. Berdasarkan analisis kelembagaan terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur institusi (batas yuridiksi, property right dan aturan representatif) dari pengelolaan mangrove di Desa Dabong selama ini, maka telah meyebabkan kondisi performance yang buruk, antara lain: 1. Potensi konflik sosial yang tinggi Dengan pola kelembagaan pengelolaan mangrove selama ini, telah membuat masyarakat resah dan rawan anarki karena terancamnya kelangsungan hidup mereka. Batas yuridiksi hutan lindung mencakup kawasan hutan mangrove, pemukiman, tambak dan lahan garapan masyarakat dengan luas total ha.

136 116 Masyarakat terancam dipidanakan dan diusir dari kawasan yang telah lama mereka tinggali karena dianggap melakukan kegiatan perambahan hutan, padahal menurut masyarakat penguasaan kawasan lebih dahulu dilakukan masyarakat (tahun 1871) dari pada pengelola kawasan lindung (tahun 2000). Untuk mempertahankan hak hidupnya tentunya masyarakat akan melakukan apa saja walaupun harus dengan jalan kekerasan. 2. Lingkungan alam yang terancam terdegradasi Dengan pola kelembagaan pengelolaan mangrove selama ini, telah membuat terdegradasinya hutan mangrove. Dalam kurun waktu 16 tahun telah terjadi penurunan luas mencapai ha (17.65%) atau ha/tahun akibat dikonversi menjadi tambak serta penebangan liar, sehingga dapat diperkirakan dalam tahun yang akan datang hutan mangrove yang tersisa akan habis jika masalah ini tidak segera diatasi. Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Desa Dabong yang hilang selama ini adalah sebasar Rp per tahun ( ha x Rp /ha/thn). Kondisi ini terjadi karena upaya penegakan status lindung yang lemah akibat biaya penegakan status yang tinggi. Perlu pelibatan dan pemberdayaan masyarakat agar tidak terjadi biaya penegakan kawasan lindung yang tinggi. Ancaman masyarakat yang marah akibat terganggunya sumber penghidupan mereka juga bisa dilampiaskan dengan cara merusak lingkungan mangrove. Hal ini justru akan memperparah ancaman kerusakan terhadap lingkungan. 3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Dengan pola kelembagaan pengelolaan mangrove selama ini masih belum bisa membuat kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Desa Dabong masih tetap menjadi desa yang terpencil dengan kondisi sosial ekonomi yang masih terbelakang. Kondisi sarana prasarana umum, tingkat pendidikan, pelayanan kesehatan dan perekonomian masih sangat minim dan rendah. Dengan berkembangnya kasus masuknya wilayah pemukiman, tambak dan lahan garapan masyarakat kedalam kawasan hutan lindung, maka aktifitas

137 117 perekonomian masyarakat menjadi terhambat. Sebagian petambak sudah tidak melakukan budidaya udang lagi semenjak berkembangnya kasus ini akibat keresahan. Begitu juga untuk aktifitas perekonomian lainya juga terganggu. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa adanya solusi pemecahan masalah, maka diperkirakan kondisi sosial ekonomi masyarakat akan semakin terpuruk. Performance yang buruk dari pengelolaan mangrove selama ini disebabkan oleh struktur kelembagaan yang lemah dan kurang memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Menurut Schmid and Allan (1987), perubahan institusi akan dapat menghasilkan performance yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat mengkontrol sumber interdependensi antar individu. Struktur kelembagaan (batas juridiksi, property rights, dan aturan representasi) merupakan hal penting dalam memecahkan masalah ini, yaitu bagaimana pertentangan kepentingan dipecahkan dan apa akibatnya terhadap performance. Performance yang baik dari kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong yaitu kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) yang meningkat/lestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dan penguatan struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dengan memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi agar menghasilkan performance yang lebih baik. Struktur kelembagaan yang baik akan menghasilan performance yang baik sesuai yang diharapkan oleh semua pihak. Untuk mendapatkan performance yang baik tersebut, berdasarkan analisa dari berbagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong yang telah dijabarkan sebelumnya, maka alternatif kelembagaan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk mengatasi kondisi kelembagaan yang bercirikan inkompatibilitas, maka hendaknya: a. Masyarakat diberikan akses secara terbatas dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan hutan lindung (yaitu dengan dibaginya/ sharing

138 118 batas yuridiksi pengelola kawasan akan wilayah yang sudah terkonversi menjadi tambak di kawasan hutan lindung kepada masyarakat dengan pola silvofishery), b. Dikeluarkannya kawasan pemukiman dan lahan garapan masyarakat yang sudah ada sebelum tahun 2000 (yaitu sebelum kawasan ditetapkan menjadi hutan lindung) dari kawasan hutan lindung mangrove (yaitu dengan dikeluarkannya batas yuridiksi pengelola kawasan yang berupa kawasan pemukiman dan lahan garapan masyarakat yang sudah ada sebelum tahun 2000 dari kawasan hutan lindung mangrove). 2. Untuk mengatasi kondisi kelembagaan yang bercirikan biaya eksklusi tinggi (high exclusion cost), maka hendaknya: a. Masyarakat yang telah diberikan akses terhadap pemanfaatan sumberdaya di kawasan hutan lindung (dibagi sebagian batas yuridiksi pengelola kawasan) diberikan tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga keutuhan dan kelestarian seluruh kawasan kawasan hutan lindung mangrove. b. Pengoptimalan pemanfaatan hutan lindung yang lestari dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga ada pendapatan bagi pengelola kawasan. 3. Untuk mengatasi kondisi tingginya ancaman terhadap sumberdaya dan potensi konflik sosial yang besar karena minimnya biaya transaksi pada saat penetapan kawasan, maka hendaknya: a. Pengelola kawasan hendaknya mengalokasikan dan mengeluarkan anggaran biaya untuk keperluan negosiasi dalam proses penentuan batas yuridiksi, property right dan aturan representatif kepada para stakeholder. b. Perlu adanya pengelolaan yang partisipatif yaitu dengan membuat kontrak sosial antara para stakeholder (yaitu antara pengelola kawasan/dinas Kehutanan dengan masyarakat dan DKP) terkait dengan pengelolaan mangrove. Kontrak sosial tersebut berupa kesepakatan konservasi yang dituangkan dalam suatu dokumen/konsensus yang ditanda-tangani secara bersama-sama. Hal ini

139 119 guna untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Peningkatan biaya transaksi hanya untuk proses awal (membuat kesepakatan antar para stakeholder), dan dengan peningkatan biaya transaksi ini maka biaya penegakan status untuk dimasa yang akan datang menjadi lebih rendah Sintesa dan Alternatif Solusi Kebijakan Pengelolaan Upaya pengelolaan mangrove yang baik adalah yang dapat menjaga keutuhan dan kelestarian mangrove disamping itu juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar kepada masyarakat secara berkelanjutan. Dari hasil analisis yang telah diuraikan mulai dari anak bab sampai dengan 5.9. maka dapat disintesis dan dirumuskan alternatif solusi dalam menangani permasalahan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong. Berbagai alternatif solusi yang dapat ditempuh dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong guna menghasilkan performance yang baik untuk dimasa yang akan datang adalah dengan melakukan perbaikan dan penguatan struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove dengan memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, antara lain : 1. Mengkaji ulang struktur kelembagaan seperti batas yuridiksi, property right dan aturan representatif kawasan lindung agar menjadi kuat, yaitu dengan tidak mengabaikan yuridiksi dan hak-hak pihak lain (masyarakat), sehingga terbentuk batas yuridiksi, property right dan aturan representatif yang diterima dan diakui oleh pihak lain (masyarakat). Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi terhadap tapal batas (zonasi) kawasan hutan lindung sehingga tidak ada lahan masyarakat khususnya pemukiman, lahan garapan, tambak dan pusat desa (sebelum tahun 2000) yang masuk kedalam kawasan lindung. Untuk menentukan batas zonasi dapat dilakukan dengan melakukan negoisasi dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan jelasnya batas yuridiksi dan property right semua pihak, maka konflik yang berkepanjangan dapat dihindari. 2. Untuk mengatasi kasus tambak di dalam kawasan hutan lindung (yaitu pada tambak yang muncul setelah tahun 2000), maka alternatif solusi kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan akses terhadap kawasan lindung secara terbatas kepada masyarakat dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan. Masyarakat diberikan hak guna (ijin) untuk

140 120 tetap mengelola tambaknya tetapi harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Hal ini dilakukan dengan membuat kontrak sosial antara pemerintah (DisHut dan DKP) dengan masyarakat. Kontrak sosial tersebut berupa kesepakatan konservasi yang dituangkan dalam suatu dokumen/konsensus yang ditandatangani secara bersama-sama. Diharapkan kesepakatan konservasi yang terbentuk merupakan titik temu ideal antara kepentingan kehutanan yang tetap berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan konservasi dengan kepentingan masyarakat setempat. Bentuk konsensus yang dapat dituangkan dalam kesepakatan konservasi diantaranya adalah bahwa masyarakat dapat tetap mengusahakan budidaya tambak udang yang berada di dalam kawasan lindung tetapi memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut : a. Merehabilitasi tambak yang ada dengan penerapan pola tumpangsari tambak (sylvofishery/wanamina) yang merupakan model tambak ramah lingkungan. Cara/teknik silvofishery yang diterapkan adalah model empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit adalah 80% : 20%. Model empang parit tradisional dipilih karena secara struktur sudah sesuai dengan tambak yang ada. Caranya adalah dengan menanam pohon mangrove (hendaknya jenis Rhizohopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza) di pematang maupun pelataran tambak. Menurut penelitian Sadi (2006) di Kec. Legonkulon Kab. Subang, pola tambak silvofishery yang memberikan keuntungan terbaik adalah pola 80% : 20% dengan produksi udang sebesar kg/ha/thn dan biaya produksi total (biaya tetap dan operasional) sebesar Rp /ha/thn. Jika harga udang per kg sebesar Rp , maka nilai produksi kotor adalah sebesar Rp /ha/thn, dan jika dikurangi retribusi 1.5 % (Rp /ha/thn), maka nilai hasil produksi menjadi Rp /ha/thn. Nilai keuntungan atau pendapatan bersih adalah sebesar Rp /ha/thn. Jika luas tambak di Dabong ha, maka nilai keuntungan tambak silvofishery

141 121 adalah sebesar Rp /thn dengan total pendapatan retribusi pemerintah daerah sebesar Rp /thn. b. Masyarakat tidak boleh memperluas dan membuka lahan tambak baru di dalam kawasan hutan lindung. c. Pihak pengelola kawasan (Dinas Kehutanan) dan DKP memberikan ijin usaha tambak ramah lingkungan. Sebagai konsekunsinya maka masyarakat petambak harus membayar retribusi sebesar 1.5 % dari hasil panen kepada pemerintah daerah yang sebagian digunakan untuk biaya pengamanan dan pelestarian mangrove. Asumsi retribusi 1.5% adalah sebesar Rp /ha/thn, sehingga jika luas tambak silvofishery di Dabong ha, maka total pendapatan retribusi pemerintah daerah sebesar Rp /thn. d. Masyarakat juga diberi kewajiban untuk menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan serta berperan dalam usaha pengamanan kawasan hutan lindung e. Masyarakat tidak boleh memperjual belikan lahan tambak di kawasan lindung f. Masyarakat juga diberi kewajiban untuk melakukan usaha rehabilitasi pada lahan terbuka dengan menanam tanaman mangrove. Jenis mangrove yang ditanam hendak jenis yang cocok untuk daerah tersebut yaitu Rhizohopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza karena kedua jenis ini memiliki indeks nilai penting yang tertinggi. Untuk memastikan hal tersebut dapat berjalan dengan baik, maka pihak Dinas Kehutanan sebagai pengelola kawasan seyogyanya melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk melihat apakah kesepakatan tersebut berjalan atau tidak. Jika terdapat pelangaran seperti pembukaan tambak baru oleh masyarakat, maka pihak berwajib (Dinas Kehutanan dan Kepolisian) dapat melakukan tindakan penghancuran tambak tersebut dan masyarakat yang melakukannya dapat diproses secara hukum. Dengan alternatif ini, maka diharapkan: a. Biaya penegakan kawasan yang semula tinggi menjadi rendah. b. Kondisi kelembagaan yang selama ini bercirikan inkompatibilitas dapat diatasi. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah mendapat bagian yang

142 122 penting dalam pengelolaan hutan lindung. Masyarakat yang semula dianggap sebagai sumber ancaman terhadap terdegradasi sumberdaya alam (mangrove) sekarang dijadikan mitra dalam upaya pengamanan pelestarian sumberdaya alam (mangrove). c. Partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan mangrove juga semakin baik dan meningkat. 3. Dinas Kehutanan dan DKP hendaknya saling berkoordinasi dan saling berkolaborasi dalam upaya melaksanakan program pelestarian mangrove dan pemberdayaan masyarakat secara bersama-sama. 4. Perlu dioptimalkan upaya pemanfaatan ekosistem mangrove dengan berbagai aktifitas pemanfaatan lain yang ramah lingkungan, sehingga manfaat kawasan ekosistem mangrove semakin besar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dan Negara. Alternative-alternatif pemanfaatan lain yang ramah lingkungan tersebut antara lain seperti budidaya lebah untuk mendapatkan madu. 5. Perlu adanya pengelolaan ekosistem mangrove yang partisipatif dengan melibatkan semua stakeholder terutama masyarakat. Perlu dibuat kelembagaan pengelolaan mangrove di tingkat masyarakat. Dengan berbagai alternatif solusi yang telah dipaparkan sebelumya, maka diharapkan performance yang baik dari pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dapat dicapai, seperti: 1. Kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) meningkat/lestari. Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diterapkannya model tambak silvofishery pola empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit adalah 80% : 20%, maka akan terjadi pertambahan luasan mangrove sebesar ha dan luas lahan tambak yang terbuka menjadi hanya ha dari yang sebelumnya ha. Dengan terjadinya peningkatan luasan hutan mangrove sebesar ha, maka luas mangrove menjadi ha dari sebelumnya yang hanya seluas ha. Bahkan luas mangrove ini ( ha) luasannya hampir sama dengan luas mangrove pada tahun 1991 ( ha). Nilai manfaat ekonomi pertambahan luasan mangrove sebesar ha adalah sebesar

143 123 Rp / thn ( ha x Rp /ha/thn). Selain itu potensi kerusakan hutan mangrove akibat ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan menjadi kecil. Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove ini telah dijaga oleh masyarakat, sehingga setiap perusak akan berhadapan dengan masyarakat. Selain itu jika ada kawasan mangrove yang rusak maka masyarakat akan melakukan rehabilitasi atas inisiatif sendiri dengan dibantu pengelola kawasan. 2. Potensi konflik sosial yang berkepanjangan dapat diatasi. Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diberinya akses masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan lindung secara terbatas, maka sumber kehidupan masyarakat tidak terganggu. Selain itu pengakuan terhadap batas yuridiksi dan property right masyarakat akan meredam potensi konflik yang selama ini sudah timbul. 3. Kondisi sosial ekonomi (kualitas kehidupan) masyarakat semakin baik dan meningkat. Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diberinya akses masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan lindung secara terbatas, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, maka kondisi perekonomian akan meningkat dan desa akan menjadi lebih maju. Dengan usaha tambak model silvofishery dengan pola empang parit tradisional juga akan mengangkat perekonomian masyarakat Desa Dabong. Menurut penelitian Sadi (2006), pola tambak silvofishery 80% : 20% di Kec. Legonkulon Kab. Subang memiliki nilai keuntungan atau pendapatan bersih adalah sebesar Rp /ha/thn. Jika luas tambak di Dabong ha, maka nilai keuntungan tambak silvofishery adalah sebesar Rp /thn dengan total pendapatan retribusi ke pemerintah daerah sebesar Rp /thn. Untuk melengkapi kajian pengelolaan, peneliti juga memaparkan beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong (diantaranya seperti: UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, PP No. 47/1997 tentang RTRWN, Permenhut No. P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dan

144 124 lain-lain), sebagai dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan penting (Tabel 39). Tabel 39. Beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong No Peraturan Perundang-Undangan I UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, antara lain: 1. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. 2. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. 3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 4. Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah. 5. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. 6. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain hak sebagaimana dimaksud, masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. 7. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 8. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

145 125 Tabel 39 (lanjutan) No Peraturan Perundang-Undangan II Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan PP No. 47/1997 tentang RTRWN, antara lain: 1. Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung. 2. Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung dan Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasankawasan lindung kepada masyarakat. 3. Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. 4. Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak lingkungan. 5. Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya mengganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap. 6. Pemerintah Daerah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung yang meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban. 7. Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung, wajib diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya. 8. Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib diajukan kepada Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 9. Penetapan kawasan lindung apabila dipandang perlu dapat disempurnakan dalam waktu setiap lima tahun sekali.

146 126 Tabel 39 (lanjutan) No Peraturan Perundang-Undangan III Permenhut No. P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antara lain: 1. Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove salah satunya adalah di dalam kawasan hutan pada hutan lindung yang terdeforestasi, yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan mangrove yang telah mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. 2. Salah satu alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan pada kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah pola tanam tumpangsari tambak (Sylvofishery/wanamina). 3. Pola tumpangsari tambak (sylvofishery/wanamina) terdiri dari 4 (empat) macam cara yaitu : empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao (Gambar 20). Gambar 20. Macam-macam teknik silvofishery: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kaokao

147 127 Dari peraturan-peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perangkat aturan yang dikembangkan dalam rangka pengelolaan hutan lindung masih bisa mengakomodasi kepentingan berbagai stakeholders terutama masyarakat setempat. Guna menjamin keberhasilan dari pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong, maka diperlukan upaya-upaya kolaborasi membangun suatu sistem kelembagaan yang sistematis dan koordinatif, dilandasi oleh kesepahaman dan kesetaraan antar para stakeholders yang terlibat didalamnya.

148 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong, maka didapatkan beberapa kesimpulan yaitu : 1. Luas hutan mangrove di Desa Dabong pada tahun 1991 adalah ha, tahun 2002 adalah ha dan pada tahun 2007 adalah ha. Sehingga dalam kurun waktu 16 (enam belas) tahun telah terjadi penurunan luas hutan mangrove mencapai ha (17.65%) atau ha/tahun. 2. Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove di Desa Dabong untuk tingkat pohon tertinggi terdapat pada jenis Rhizophora apiculata yaitu , lalu di ikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza (60.57), Sonneratia alba (12.46), Avicennia alba (8.05), Xylocarpus moluccensis (1.84) dan Xylocarpus granatum (0.48). INP yang besar pada jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza menunjukan bahwa jenis ini merupakan jenis yang paling dominan dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada. 3. Nilai total manfaat ekonomi mangrove di Desa Dabong adalah sebesar Rp /ha/thn atau sekitar 3 (tiga) kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp /ha/thn. Hal ini menunjukan bahwa lebih menguntungkan mangrove dibiarkan dalam kondisi lestari daripada dikonversi menjadi tambak. Akan tetapi, jika nilai ekonomi tambak dibandingkan dengan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove (Rp /ha/thn), maka nilai ekonomi tambak memiliki nilai yang lebih besar. 4. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong selama ini masih dalam kategori kurang baik (49.1%). 5. Akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong selama ini adalah masih

149 129 lemah dan belum efektif organisasi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi) dalam pengelolaan ekosistem mangrove sehinga belum dapat mengontrol berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Hal ini menyebabkan performance yang buruk seperti: (1) lingkungan alam (ekositem mangrove) yang terancam terdegradasi, (2) potensi konflik sosial yang tinggi, dan (3) kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. 6. Alternative solusi untuk mengatasi pemasalahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong adalah dengan memperbaiki dan memperkuat struktur kelembagaan agar lebih efektif sehingga menghasilkan performance yang lebih baik. Hal ini dilakukan dengan cara: (1) merevisi tapal batas (zonasi) kawasan hutan lindung mangrove, sehingga tidak ada hak/lahan masyarakat yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung mangrove; (2) memberikan akses terbatas kepada masyarakat untuk tetap dapat mengusahakan budidaya tambak udang sistem silvofishery (80% : 20%) dengan aturan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang dituangkan dalam kesepakatan konservasi (kontrak sosial) Saran Beberapa saran yang dapat dijadikan masukan dalam pengelolaan hutan lindung mangrove ke depan adalah sebagai berikut : 1. Perlu adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan lindung mangrove dari yang semula hanya memandang alam sebagai sesuatu yang arcadian (musium alam) kini harus menjadi lebih kontekstual sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat, terutama bagi mereka yang telah memiliki akses turun temurun terhadap kawasan hutan lindung. Masyarakat yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman/penyebab utama terjadinya degradasi kawasan konservasi kini harus dipandang sebagi mitra penting dalam usaha menjaga dan melestarikan kawasan konservasi. 2. Membangun koordinasi yang sehat, jelas dan sistematis serta terbuka antar para pihak mengenai teknis pengelolaan ekosistem sehingga pelaksanaan pengelolaan dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama.

150 Pelaksanaan tata batas kawasan, haruslah dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat dengan memetakan secara cermat riwayat, struktur akses, dan kondisi sosio-agraria masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan lindung. 4. Perlu segera dibuat agenda rancang tindak secara sistematik yang memuat strategi dan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove yang dapat membangun perekonomian masyarakat serta menjembatani kepentingan konservasi dengan pengembangan wilayah. 5. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang opimalisasi kawasan untuk lahan tambak silvofishery dan mangrove di Desa Dabong yang memperhatikan skala ekonomi. 6. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang berbagai alternative pemanfaatan hutan lindung mangrove yang lestari di Desa Dabong seperti budidaya madu dan ekowisata mangrove.

151 131 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L Pengenalan konsep dan metodologi valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan laut [sinopsis]. PKSPL. IPB. Bogor. Aksornkoae S Ecology and management of mangrove. The IUCN Wetlands Programme. Bangkok. Thailand. Alongi DM The role of soft-bottom benthic communities in tropical mangrove and coral reef ecosystems. CRC Critical Reviews in Aquatic Science 1: Arief A Hakikat dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 153 hlm. Bann C The Economic valuation of mangrove: A Mannual for Researchers. Economic and Environment Program for Southeast Asia. IDRC. Barbier EB Evaluation of tropical wetlands resources economy and environment program for Southeast Asia (EEPSEA). EEPSEA Research Series. Singapore. Bengen DG Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir [sinopsis]. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (PKSPL). Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Bengen DG Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove [pedoman teknis]. PKSPL. IPB. Bogor. Bengen DG Pengembangan konsep daya dukung dalam pengelolaan lingkungan pulau-pulau kecil [laporan akhir]. Kantor Meneg LH dan FPIK IPB. Bogor. Bengen DG Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya [sinopsis]. PKSPL. IPB. Bogor. Blaber SJM Feeding selectivity of a guild of piscivorous fish in mangrove areas of north-west Australia. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 37: [BPS] Badan Pusat Statistik Kecamatan Kubu dalam angka. Badan Pusat Statistik. Propinsi Kalimantan Barat. Bromley DW Making the Commons Work : Theory, Practice, and Policy. Edited by Daniel W. Bromley. ICS Press. San Francisco, California.

152 132 Brunner RD, Clark TW A practice-based approach to ecosystem management. Conservation Biology 11: Chapman Mangrove vegetation. Germany. J. Cremer Publ. Leuterhausen. Chong VC, Sasekumar A, Leh MUC, D Cruz R The fish and prawn communities of a Malaysian coastal mangrove system, with comparisons to adjacent mud flats and inshore waters. Estuarine Coastal and Shelf Science 31: Dahuri R, Rais J., Ginting SP., Sitepu MJ Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT Pradnya Paramitha. Jakarta. Dahuri R Pengembangan rencana pengelolaan pemanfaatan berganda hutan mangrove di Sumatera. PPLH. IPB. Bogor. De Graaf GJ, Xuan TT Extensive shrimp farming, mangrove clearance and marine fisheries in the southern provinces of Vietnam. Mangroves and Salt Marshes 2: Dennis GD Island mangrove habitats as spawning and nursery areas for commercially important fishes in the Caribbean. Gulf and Caribbean Fisheries Institute 41: Dixon JA, Hodgson G Economic valuation of coastal resources : the El Nino study. Uniter Nations Economic Commission For Latin American An Caribbean. International Center For Living Aquatic Resources Management (ICLARM). Chile. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Rencana Detail Tata Ruang pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Pontianak (Kawasan Dabong) [laporan akhir]. Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Barat. Kalimantan Barat. English S, Wilkinson C, Baker V Survey manual for tropical marine resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville Fahrudin A Analisis ekonomi pengelolaan lahan pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat [tesis]. IPB. Bogor. Fauzi A Persepsi terhadap nilai ekonomi sumberdaya. Paper presented at the training for trainers on Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Proyek Pesisir. Bogor. Fleming M, Lin G, Sternberg LSL Influence of mangrove detritus in an estuarine ecosystem. Bulletin of Marine Science 47: Glaser M, Diele K Asymmetric outcomes: assessing central aspects of biological, economic and social sustainability of a mangrove crab fishery,

153 133 Ucides cordatus (Ocypodidae), in North Brazil. Ecological econonomics. 49: Hamilton LS, Snedaker SC Handbook for mangrove area management. Environment and Policy Institue East-West Center. IUCN. UNESCO. Hatcher BG, Johannes RE, Robertson AI Review of research relevant to the conservation of shallow tropical marine ecosystems. Oceanography and Marine Biology Annual Review 27: Hilmi E, Kusmana C Ekosistem mangrove antara karakteristik, teknik sampling dan analisis sistem. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Hong PN, San HS Mangrove of Vietman. The IUCN Wetlands Programme. Bangkok. Thailand. Hufschmidt MM, James DE, Meister AD, Bower BT, Dixon JA Lingkungan, sistem alami dan pembangunan. Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Hufschmidt MM Lingkungan, Sistem Alami dan Pembangunan (Pedoman Penilaian Ekonomis). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Inoue Y, Oki H, Afwan, Ketut RS, Nyoman IB Model pengelolaan hutan mangrove lestari. Hasil Studi Kelayakan di Republik Indonesia. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA (Jepang) INRR Delta Mahakam dalam ruang dan waktu. Ekosistem, sumberdaya dan pengolahannya. INRR Org. Bogor. Koentjaraningrat Metode-metode penelitian masyarakat: metode wawancara. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kusmana C et al Teknik rehabilitasi mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Kusmana C Silvicultur practices of mangrove Lampung forest. South East Asian Countries XXVI (1-2) : Kusmana C Habitat hutan mangrove dan biota. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusmana C Metode survei vegetasi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusumastanto T Ekonomi sumberdaya dan lingkungan [bahan kuliah], IPB, Bogor. Lee SY Mangrove outwelling: a review. Hydrobiologia 295:

154 134 Liyanage S Participatory management of seguwanthive mangrove habitat in Puttlam District [pilot project]. Srilangka. Wetlands International. [LPP] Lembaga Pengkajian Pengembangan Mangrove Indonesia Flora fauna iventories mangrove. LPP Mangrove Publish. Bogor. Lubis R Extended benefit cost analisis. Makalah Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, 25 November Januari PKSPL. IPB. Bogor. Macintosh DJ, Ashton EC, Havanon S Mangrove rehabiltation and intertidal biodiversity: a Study in Ranong Mangrove Ecosystem, Thailand. Estuarine, Costal and Shelf Sciance 55: Macnae W A General account of the fauna and flora of mangrove swamps and forest in the Indo West Pacific Region. Adv. Mor. Biol. 6 : Marguillier S, van der Velde G, Dehairs F, Hemminga MA, Rajagopal S Trophic relationships in an interlinked mangrove-seagrass ecosystem as traced by δ 13 C and δ 15 N. Marine Ecology Progress Series 151: Marshall, N Mangrove conservation in relation to overall environmental considerations. Hydrobiologia 285: Martosubroto P, Naamin N Relationship between tidal forests (mangroves) and commercial shrimp production in Indonesia. Marine Research Indonesia 18: Mc Neely JM Economic and biological diversity: Developing and using economics incentives union for conservation of nature an natural resources. Switzerland. Melena DM et al Mongrove management handbook. Coastal Resource Management project of the Departement of Environment and Natural Resources supported by the United States Agency for lnternational Development. Manila. Philippines. Mulyana D Metode penelitian kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Musiran Kajian hubungan tambak wanamina (silvofishery) terhadap produksi udang windu (Panaeus monodon), Studi kasus di Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat [tesis]. Universitas Brawijaya. Malang Naamin N Penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak keuntungan dan kerugiaannya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia. LIPI. Noor YR, Khazali M, Suryadinata INN Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. Wetland international. Indonesia Programme. Bogor.

155 135 North DC Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. New York. USA. Nybakken JW Marine Biologi. An Ecological Approach. Third Edition. Harper Collins College Publisher. New York. Odum EP Fundamentals of Ecology. 3 rd ed. W.B. Saunders. Philadelphia. hal 574. Pakpahan A Kerangka analitik untuk penelitian rekayasa sosial: perspektif ekonomi institusi. Dalam Prosiding Patanas: Evolusi kelembagaan pedesaaan di tengah perkembangan teknologi. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Balitbang Pertanian. Bogor. Pearce J, Ferrier S The practical value of modelling relative abundance of species for regional conservation planning: a case study. Biological Conservation 98 : Purba J Pengelolaan lingkungan sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Robertson AI, Duke NC Mangroves as nursery sites: comparisons of the abundance and species composition of fish and crustaceans in mangroves and other nearshore habitats in tropical Australia. Marine Biology 96: Rodelli MR, Gearing JN, Gearing PJ, Marshall N, Sasekumar A Stable isotope ratio as a tracer of mangrove carbon in Malaysian ecosystems. Oecologia 61: Rodgers, Gerry Workers, Institutions and Economic growth in Asia. International Institute for Labor Studies. Geneva. Switzerland. Ruitenbeek HJ Modelling economy-ecology linkages in mangrove: economic evidence for promoting conservation in Bintuni Bay, Indonesia. Ecological Economics 10: Saaty TL Pengambilan keputusan bagi para pemimpin: Proses hierarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Seri Manajemen No.134. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sadi Kajian finansial usaha tambak tumpangsari sistem empang parit di hutan mangrove (studi kasus di Kec. Legon Kulon, Kab. Subang, Jawa Barat) [tesis]. IPB. Bogor. Sampson N Ecosystem management: a leap ahead. American Forests. 99: 7-8.

156 136 Sanim B Metoda valuasi sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan. Makalah Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, 25 November Januari PKSPL. IPB. Bogor. Schmid A, Allan Property, power, and public choice. An inquiry into law and economics. Praeger Publisher. New York. Sembiring SN, Husbaini F Kajian hukum dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan (ICEL). NRMP. Jakarta. Singarimbun Metode penelitian survey. LP3ES. Jakarta. Snedakeer SC, Snedaker JG The Mangrove ecosystem: research methods. UNESCO. Sunoto N Sistem masyarakat pesisir dan strategi pengembangannya. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. Angkatan I. PKSPL-IPB & Ditjen Bangda Depdagri. Bogor. Supriharyono Pelestarian sumberdaya alam di wilayah pesisir tropis. Jakarta. PT. Gramedia. Tomlinson PB The botany of mangrove. Cambridge Tropical Series, Cambridge University Press. Utomo BSB Kajian potensi dan pengelolaan secara lestari ekosistem mangrove di wilatah pesisir Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu [tesis]. IPB. Bogor. Van Horne B Density as a misleading indicator of habitat quality. Journal of Wildlife Management 47: Wang IY Management of rural change in Corea. University press. Seoul. Wardoyo Pendekatan penyuluhan pertanian untuk meningkatkan partisipasi masyaraka,. dalam: penyuluhan pembangunan di Indonesia menyosong abad XXI. diedit oleh Hubeis AVS., Tjitropranoto P.dan Ruwiyanto W. Pustaka Pembangunan Swadaya. Jakarta. Yaffee SL Ecosystem management in practice: the importance of human institutions. Ecological Applications 6: Yaffee SL Three Faces of Ecosystem Management. Conservation Biology. 13:

157 Lampiran 1. Peta Kawasan Hutan Lindung Mangrove di Desa Dabong & laut

158 Lampiran 2. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 1991

159 Lampiran 3. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2002

160 Lampiran 4. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2007

161 Lampiran 5. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon Kerapatan Tingkat Pohon Kerapatan Relatif Tingkat Pohon Frekuensi Tingkat Pohon Frekuensi Relatif Tingkat Pohon No Jenis Kerapatan pohon (pohon/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Kerapatan per jalur No Jenis Kerapatan relatif pohon (pohon/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Kerapatan relatif per jalur No Jenis Frekuensi pohon ratarata Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur jumlah % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Frekuensi per jalur No Jenis Frekuensi relatif pohon ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Frekuensi relatif per jalur

162 Lampiran 5 (lanjutan) Penutupan Tingkat Pohon Penutupan Relatif Tingkat Pohon INP Pohon No Jenis Penutupan pohon (m²/ha) ratarata Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur jumlah % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Penutupan per jalur No Jenis Penutupan relatif pohon (m²/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Penutupan relatif per jalur No Jenis INP pohon ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Jumlah

163 Lampiran 6. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang Kerapatan Tingkat Pancang Kerapatan Relatif Tingkat Pancang Frekuensi Tingkat Pancang Frekuensi Relatif Tingkat Pancang No Jenis Kerapatan pancang (pohon/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Kerapatan per jalur No Jenis Kerapatan relatif pancang (pohon/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Kerapatan relatif per jalur No Jenis Frekuensi pancang ratarata Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur Jalur jumlah % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Frekuensi per jalur No Jenis Frekuensi relatif pancang ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Frekuensi relatif per jalur

164 Lampiran 6(lanjutan) Penutupan Tingkat Pancang Penutupan Relatif Tingkat Pancang INP Pancang No Jenis Penutupan pancang (m²/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Penutupan per jalur No Jenis Penutupan relatif pancang (m²/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Penutupan relatif per jalur No Jenis INP pancang ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Jumlah

165 Lampiran 7. Analisis Vegetasi Tingkat Semai Kerapatan Tingkat Semai Kerapatan Relatif Tingkat Semai Frekuensi Tingkat Semai No Jenis Kerapatan semai (pohon/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Kerapatan per jalur No Jenis Kerapatan relatif semai (pohon/ha) ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Kerapatan relatif per jalur No Jenis Frekuensi semai ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 % 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Frekuensi per jalur

166 Lampiran 7 (lanjutan) Frekuensi Relatif Tingkat Semai INP Semai No Jenis Frekuensi relatif semai ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Frekuensi relatif per jalur No Jenis INP semai ratarata jumlah Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jalur 6 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Jumlah

167 Lampiran 8. Rekapitulasi Analisis Vegetasi Kerapatan No Jenis Kerapatan (pohon/ha) Kerapatan relatif (%) pohon pancang semai pohon pancang semai 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Frekuensi No Jenis Frekuensi Frekuensi relatif (%) pohon pancang semai pohon pancang semai 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Penutupan No Jenis Penutupan (m²/ha) Penutupan relatif (%) pohon pancang pohon pancang 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis INP No Jenis INP pohon pancang semai 1 Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis

168 Lampiran 9. Beberapa Jenis Fauna Pada Ekosistem Mangrove Desa Dabong No Nama Lokal Nama Ilmiah Jenis Fauna 1 Kepah Arctica islandica 2 Ale-ale Tellina radiate Molusca 3 Kerang bulu Anadara indica 4 Kepiting Bakau Scylla serrata 5 Kepiting Uca spp. 6 Udang Putih Panaeus marguiensis 7 Udang galah Macrobrachium rosenbergii 8 Udang rebon Panaeus latisulcatus Krustacea 9 Udang getak sungai Thalassernia anomala 10 Sotong Sepia sp. 11 Cumi Loligo sp. Akuatik 12 Lokan Corbiculata sp. 13 Belanak Mugil sp. 14 Kakap Lutjanus sp. 15 Kerapu Epinephalus sp. 16 Teri Stolephorus sp. Ikan 17 Lundu Macrones sp. 18 Sembilang Plotusus canius 19 Belukang Arius maculatus 20 Betutu Bunaka gynnodae 21 Buaya Muara Crocodilus porosus 22 Kadal Eutropis multifasciata 23 Kadal Mangrove Emonia atrocostata 24 Ular Cincin Emas/Ular Boiga dendrophylla Bakau 25 Ular Air Cerberua rynchopa 26 Biawak Veranus salvator 27 Kodok Buvo spp. 28 Monyet Macaca nemestrina 29 Monyet Ekor Panjang Macaca fasicularis 30 Kelelawar Ladam Kalimantan Rhinolophus borneensis 31 Berang-Berang Sumatera Lutra sumatrana 32 Kelelawar Petropus sp. 33 Musang Paradoxurus hermaproditus Reptilia & Amphibia Mamalia Teresterial

169 Lampiran 9 (lanjutan). No Nama Lokal Nama Ilmiah Jenis Fauna 34 Kuntul Egyretta alba 35 Walet Callocalia esculenta 36 Bangau Tong-Tong Leptoptilos javanicus 37 Elang Heliaeetus sp. 38 Raja udang Halcyon chloris 39 Pekaka emas Pelargopsis capensis 40 Cekakak sungai Todirhamphus chloris 41 Kucica Copsychus saularis 42 Sikatan bakau Cyornis rufigastra 43 Kancilan bakau Pachycephala grisola 44 Tekukur Streptopelia chinensis Burung Teresterial 45 Blekek Asia Lymnodromus semipelmatus 46 Trinil Betis Hijau Tringa guttifer 47 Cangak Ardea cinerea 48 Blekok Ardeola speciosa 49 Kowak Nycticorax nycticorax 50 Bambangan Ixobrychus sp. 51 Pecut ular Anhinga melanogaster 52 Sirindit Loriculus pusillus 53 Kapinis Hirundo rustica

170 Lampiran 10. Data Fisika Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong Jalur Plot ph Suhu air tanah air udara Salinitas Substrat I lumpur berpasir lumpur berpasir lumpur berpasir lumpur berpasir liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur Rata-rata II liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur Rata-rata III lumpur berpasir lumpur berpasir lumpur berpasir lumpur berpasir lumpur berpasir liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur

171 Lampiran 10 (lanjutan). Jalur Plot ph Suhu air tanah air udara Salinitas Substrat liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur lumpur lumpur lumpur lumpur lumpur lumpur lumpur lumpur lumpur Rata-rata IV lumpur berpasir lumpur berpasir lumpur berpasir liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur

172 Lampiran 10 (lanjutan). Jalur Plot ph Suhu air tanah air udara Salinitas Substrat liat berlumpur liat berlumpur Rata-rata V liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur Rata-rata VI liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur liat berlumpur Rata-rata Rekapitulasi Parameter Fisika Kimia Lingkungan Mangrove di Tiap Jalur Jalur ph Suhu (⁰C) Salinitas air tanah air udara ( ) I II III IV V VI

173 Lampiran 11. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Potensi Kayu Mangrove No Lokasi luas Mangrove (ha) 1 Dabong Pulau Dabong Pulau Tiga Pulau Burung Potensi Kayu Mangrove Volume/ha (m3) harga/m3 (Rp) Total Nilai Total (Rp) Nilai (daur ekonomis 20 thn) (Rp/thn) Biaya (35%)(Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Pendapatan (Rp/ha/thn)

174 Lampiran 12. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kayu Bakar Mangrove No Responden Frekuensi/ bulan Produksi/ Frekuensi (ikat) Produksi/ thn (ikat) Harga (Rp/ikat) Nilai Manfaat (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

175 Lampiran 12 (lanjutan) No Responden Frekuensi/ bulan Produksi/ Frekuensi (ikat) Produksi/ thn (ikat) Harga (Rp/ikat) Nilai Manfaat (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Jumlah Rata-rata

176 Lampiran 13. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Cerucuk Biaya Biaya No Produksi/frekuensi Produksi/thn Harga Nilai Manfaat Pendapatan Frekuensi/tahun Operasional Investasi Responden (batang) (batang) (Rp/batang) (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) Jumlah 48, ,100, ,020, ,103, ,977, Rata-rata 2, ,450, ,890, , ,276,500.00

177 Lampiran 14. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Daun Nipah No Responden Frekuensi/tahun Produksi/frekuensi (ikat) Produksi/thn (ikat) Harga (Rp/ikat) Nilai Manfaat (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Jumlah Rata-rata

178 Lampiran 15. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ikan No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

179 Lampiran 15 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

180 Lampiran 15 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

181 Lampiran 15 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Jumlah 57, ,500, ,120, ,450, ,930, Rata-rata ,828, ,568, , ,058,656.72

182 Lampiran 16. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kerang No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

183 Lampiran 16 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

184 Lampiran 16 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Jumlah Rata-rata

185 Lampiran 17. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ale-ale No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

186 Lampiran 17 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

187 Lampiran 17 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Jumlah , Rata-rata ,

188 Lampiran 18. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepah No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

189 Lampiran 18 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

190 Lampiran 18 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Jumlah Rata-rata

191 Lampiran 19. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepiting No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

192 Lampiran 19 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn)

193 Lampiran 19 (lanjutan). No Responden Trip (kali/thn) Produksi/trip (Kg) Produksi/thn (Kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp/thn) Biaya Operasional (Rp/thn) Biaya Investasi (Rp/thn) Pendapatan (Rp/thn) Jumlah Rata-rata

194 Lampiran 20. Rekapitulasi Nilai Manfaat Rekapitulasi Nilai Manfaat Langsung No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Biaya operasional & investasi Nilai Manfaat Bersih Persentase (Rp/thn) (Rp/thn) (Rp/thn) (%) 1 Potensi Kayu Kayu bakar Cerucuk Daun nipah Ikan Kerang Ale-ale Kepah Kepiting Total Rekapitulasi Nilai Manfaat Total No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Nilai Manfaat Rata-rata (Rp/Thn) (Rp/Ha/Th) % 1 Manfaat Langsung Manfaat Tidak Langsung Manfaat Pilihan Manfaat Keberadaan Jumlah

195 Lampiran 21. Nilai Manfaat Budidaya Tambak Tradisional (Udang Vannamei) di Desa Dabong No Kelompok tani Nama Pembudidaya jumlah petak lahan tambak luas kotor(ha) luas bersih(ha) Produksi (ton/th) pendapatan kotor (Rp/th) biaya investasi (Rp/20th) biaya operasional & penyusutan (Rp/th) laba (Rp/th) 1 suwaji sonowardoyo sahroni murjani ismail perorangan 5 alimudin H. darwin M jhon hard yono lim siak kun jumlah rahim H. S mulyadi syafarudin Karya baru 13 basit supardianto darwis jumlah

196 Lampiran 21 (lanjutan). No 16 Kelompok tani Nama Pembudidaya jumlah petak lahan tambak luas kotor(ha) luas bersih(ha) Produksi (ton/th) pendapatan kotor (Rp/th) biaya investasi (Rp/20th) biaya operasional & penyusutan (Rp/th) laba (Rp/th) syukur umar dhani Mina 18 mandiri gatot A. latief. Ar iwani jumlah yunus dassa Tunas fauri bin A. latief muda salman firdaus jamari jumlah ridwanto sikion pai liong Windu sudirman sejahtera 30 sani gow liang 31 hwat kurniaten

197 Lampiran 21 (lanjutan). No Kelompok tani Nama Pembudidaya jumlah petak lahan tambak luas kotor(ha) luas bersih(ha) Produksi (ton/th) pendapatan kotor (Rp/th) biaya investasi (Rp/20th) biaya operasional & penyusutan (Rp/th) laba (Rp/th) 33 hidayat jumaina jumlah ibrahim M. ali alek rosadi tarmiji Windu ribka giser surya 40 efendi taher mohtar 41 wibowo pamuji djendra wati jumlah

198 Lampiran 21 (lanjutan). No Kelompok tani Nama Pembudidaya jumlah petak lahan tambak luas kotor(ha) luas bersih(ha) Produksi (ton/th) pendapatan kotor (Rp/th) biaya investasi (Rp/20th) biaya operasional & penyusutan (Rp/th) laba (Rp/th) 44 usman syakrani pieter halim Windu 47 makmur apeng rombe pare jhon sokok syahturi jumlah hajarah arafa aras bin mappiare rustam Maju terus 55 darmawan hariyanto rais hamdan cia sin siong jumlah jumlah total

199 Lampiran 22. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Nilai Manfaat Eksistensi Hutan Mangrove Dabong No Nama Responden Umur (thn) Pendidikan Pekerjaan Nilai Manfaat (Rp/ha/thn) 1 Umar Dhani 40 SMA Wiraswasta/petambak Mochtar 31 SD Nelayan/Tani Khong Phai Liong 46 SD Wiraswasta/petambak Isak Gloria 28 SMK Karyawan Tambak Gunawan 32 SD Tani Dadang Ompi 42 SMP Tani Ridho Octavianus 39 S1 Petambak Yunus 37 SPG Petambak Ismail H.B. 65 SD Tani Rajali 38 SD Tani Iwan 32 SMA Wiraswasta Syafarudin 47 SD Nelayan Fiser 30 SMP Tani Supyan 37 SMP Nelayan Surtisno 41 SD Petambak/tani Mulyadi 33 SMP Nelayan/petambak Ridwanto 38 SMP Nelayan/swasta Suhaimi 38 SD Nelayan A. Rahim H.S 54 SD Nelayan Kasimin 54 SD Nelayan M. Issa 47 SD Nelayan Syahrani 39 SGO Kepala Desa Edi Syahriadi 29 D2 PNS Abdul Karim 47 SD Wiraswasta/petambak Heriyanto 40 SMP Wiraswasta Lingga 26 SMP Wiraswasta Eka Mulyawan 26 SMP Wiraswasta Herman 54 SD Nelayan M. Bahroni 32 S1 PNS Tarmizi 41 SD Nelayan Hakim 61 SR Tani Iskandar 36 SMA Wiraswasta A. Latif. D.R. 57 SD Petambak Joni 38 SMP Nelayan Abdul Basid 49 SD Wiraswasta Jamaludin 33 SD Nelayan Bujang 30 SD Nelayan Arianto 26 SD Nelayan

200 Lampiran 22 (lanjutan). No Nama Responden Umur (thn) Pendidikan Pekerjaan Nilai Manfaat (Rp/ha/thn) 39 Nawarni 49 SD Nelayan Misrandi 38 SD Nelayan Cai Kia 46 SMP Nelayan Baharudin 45 SPG PNS Cia Sin Siong 58 SD Petambak/nelayan Mat Yunus 32 SD Nelayan Danik 39 SD Nelayan Dhai Liong 45 SD Nelayan Abdul Salam 36 SMP Nelayan Yau Aju 40 SD Nelayan Hamad 45 SD Nelayan Taufik 52 SD Nelayan total rata-rata

201 Lampiran 23. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong No Nama Pnddkn 1 Umar Dhani Pertanyaan B C D E F G H SMA Mochtar SD Khong Phai Liong SD Isak Gloria SMK Gunawan SD Dadang Ompi SMP Ridho Octavianus S Yunus SPG Ismail H.B. SD Rajali SD Iwan SMA Syafarudin SD Fiser SMP Supyan SMP Surtisno SD Mulyadi SMP Ridwanto SMP Suhaimi SD

202 Lampiran 23(lanjutan). No Nama Pnddkn Pertanyaan B C D E F G H Arahim SD Kasimin SD M. Issa SD Syahrani SGO Edi Syahriadi D Abdul Karim SD Heriyanto SMP Lingga SMP Eka Mulyawan SMP Herman SD M. Bahroni S Tarmizi SD Hakim SR Iskandar SMA A. Latif. 33 D.R. SD Joni SMP Abdul Basid SD Jamaludin SD

203 Lampiran 23 (lanjutan). No Nama Pnddkn Pertanyaan B C D E F G H Bujang SD Arianto SD Nawarni SD Misrandi SD Cai Kia SMP Baharudin SPG Cia Sin 43 Siong SD Mat Yunus SD Danik SD Dhai Liong SD Abdul Salam SMP Yau Aju SD Hamad SD Taufik SD rata-rata % rata-rata % % total 49.1

204 184 Lampiran 24. Kuesioner Pengeloaan Ekosistem Mangrove A. Identitas Responden / Informan KUISIONER 1. Nama :.. 2. Umur :.. 3. Jenis kelamin :.. 4. Pendidikan Terakhir : Agama : Suku : Alamat : Pekerjaan utama : Pekerjaan sampingan : Jumlah anggota keluarga : Pendapatan (Rp) :... per bulan. 12. Pengeluaran Rumah Tangga (Rp) :... per bulan. B. Pemahaman Tentang Hutan Mangrove dan Manfaatnya 1. Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) mengerti apa itu ekosistem mangrove? a. sangat mengerti b. mengerti c. kurang mengerti d. tidak mengerti penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), bagaimana keadaan hutan mangrove wilayah ini? a. sangat baik b. baik c.kurang baik d. rusak penjelasan: Setujukah Bpk/Ibu/Sdr(i), bila hutan mangrove wilayah ini dilestarikan? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan: Bagaimana pandangan Bpk/Ibu/Sdr(i), jika diadakan rehabilitasi terhadap mangrove? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan:....

205 185 Lampiran 24 (lanjutan). 5. Setujukah Bpk/Ibu/Sdr(i), bila hutan mangrove wilayah ini lestari dapat membawa manfaat bagi masyarakat sekitarnya? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan: Setujukah Bpk/Ibu/Sdr(i), fungsi dan manfaat dari hutan mangrove adalah sebagai tempat hidup, tempat berkembang dan tempat memijah ikan? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan: Apakah menurut Bpk/Ibu/Sdr(i) keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil perikanan (penangkapan dan budidaya)? a. sangat berpengaruh b. berpengaruh c. kurang berpengaruh d. tidak berpengaruh penjelasan: Setujukah Bpk/Ibu/Sdr(i), salah satu fungsi dan manfaat dari hutan mangrove adalah adalah mencegah abrasi; menahan intrusi air laut; menahan badai dan gelombang; dan mencegah bencana lainnya? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan:.... C. Partisipasi Dalam Pelestarian Hutan Mangrove 1. Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) pernah mengikuti kegiatan pelestarian dan pengelolaan mangrove (perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) yang difasilitasi oleh pemerintah atau lembaga lain? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan:....

206 186 Lampiran 24 (lanjutan). 2. Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) pernah melakukan penanaman/pemeliharaan mangrove atas kehendak sendiri? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan: Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) setuju jika pemerintah melakukan program pembinaan kepada masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan agar dapat berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan: Setujukah Bpk/Ibu/Sdr(i) jika masyarakat harus ikut berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan:.... D. Pandangan Terhadap Institusi yang terkait dengan Pengelolaan Mangrove (Pemerintah) 1. Apakah di desa ini sering dilakukan kegiatan pelestarian dan pengelolaan mangrove (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi) yang difasilitasi oleh pemerintah? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), seberapa sering pihak pemerintah melakukan pembinaan kepada masyarakat dalam hal pengelolaan mangrove? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan:....

207 187 Lampiran 24 (lanjutan). 3. Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), apakah pemerintah sering melaksanakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat disekitar kawasan mangrove? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i) apakah instansi lain pernah melakukan anjuran untuk kegiatan alih fungsi lahan menjadi tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan hutan lindung mangrove? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i) bagaimana kebijakan dan koordinasi antar instansi terkait dalam pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove? a. sangat baik b. baik c. kurang baik d. buruk penjelasan:.... E. Pandangan Tentang Status Lindung Mangrove 1. Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) sebelumnya tahu bahwa hutan mangrove di desa ini telah ditetapkan menjadi status kawasan hutan lindung? Dari mana Bpk/Ibu/Sdr(i) mendapatkan informasi? a. sangat tahu b. tahu c. kurang tahu d. tidak tahu Jika ya, dari mana Bpk/Ibu/Sdr(i) mendapatkan informasi? penjelasan: Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) mengeri tujuan ditetapkannya kawasan mangrove menjadi status kawasan hutan lindung di daerah ini? a. sangat mengerti b. mengerti c. kurang mengerti d. tidak mengerti penjelasan:....

208 188 Lampiran 24 (lanjutan). 3. Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) setuju dengan penetapan status kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan: Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) setuju bahwa dengan penetapan status kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan: Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) setuju bahwa dengan penetapan status kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat? a. sangat setuju b. setuju c. kurang setuju d. tidak setuju penjelasan: Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) mengerti tentang aturan-aturan yang berlaku jika suatu kawasan ditetapkan menjadi status kawasan hutan lindung? a. sangat mengerti b. mengerti c. kurang mengerti d. tidak mengerti penjelasan:.... F. Pandangan Tentang Proses Penetapan Kawasan Mangrove Menjadi Status Lindung 1. Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) pernah dilibatkan dalam proses penetapan status kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan:....

209 189 Lampiran 24 (lanjutan). 2. Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), bagaimana proses zonasi (penetapan tapal batas area) kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini? a. sangat baik b. baik c. buruk d. sangat buruk penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), apakah dalam proses zonasi (penetapan tapal batas area) kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini banyak tanah masyarakat (hak adat) yang dimasukan dalam kawasan lindung? a. tidak ada b. sedikit c. banyak d. sangat banyak penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), bagaimana proses penetapan status kawasan hutan lindung mangrove di daerah ini? (apakah sudah sesuai prosedur) a. sangat baik b. baik c. buruk d. sangat buruk penjelasan:.... G. Pandangan Tentang Proses Penegakan Status Lindung Mangrove oleh Institusi Pengelola 1. Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), bagaimana proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat yang berwenang jika ada pelanggaran dikawasan hutan lindung selama ini? a. sangat baik b. baik c. buruk d. sangat buruk penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i) bagaimana proses sosialisasi yang dilakukan oleh pengelola kawasan tentang aturan-aturan yang berlaku jika suatu kawasan ditetapkan menjadi status kawasan hutan lindung? a. sangat baik b. baik c. buruk d. sangat buruk penjelasan:....

210 190 Lampiran 24 (lanjutan). 3. Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i), seberapa sering pihak pengelola kawasan lindung mangrove melakukan pengawasan (patroli) didaerah ini? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i) bagaimana kelengkapan infrastuktur dan fasilitas pengelola kawasan hutan lindung dalam melaksanakan tugasnya? a. sangat baik b. baik c. buruk d. sangat buruk penjelasan: Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i) apakah pihak yang berwenang selama ini pernah melakukan pelarangan dan penindakan terhadap orang yang melakukan kegiatan alih fungsi lahan menjadi tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan hutan lindung mangrove? a. sangat sering b. sering c. jarang d. tidak pernah penjelasan:.... H. Pandangan Tentang Tambak dan Penebangan Kayu di Dalam Kawasan Lindung Mangrove 1. Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) setuju dengan adanya alih funsi lahan menjadi tambak di dalam kawasan hutan lindung mangrove? a. tidak setuju b. kurang setuju c. setuju d. sangat setuju penjelasan: Apakah Bpk/Ibu/Sdr(i) setuju dengan adanya penebangan kayu di dalam kawasan hutan lindung mangrove? a. tidak setuju b. kurang setuju c. setuju d. sangat setuju penjelasan:....

211 191 Lampiran 24 (lanjutan). 3. Menurut Bpk/Ibu/Sdr(i) bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan kegiatan alih fungsi lahan menjadi tambak dan penebangan kayu di dalam kawasan hutan lindung mangrove? a. Melakukan penindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku dan melakukan relokasi secara paksa dengan sangsi yang tegas b. Memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan alih fungsi lahan menjadi tambak dan penebangan kayu. c. Melakukan mediasi dan komunikasi antara pihak yang terkait untuk mencari alternative yang terbaik d. Memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya secara terbatas, dan memberikan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan e. Lainnya penjelasan:....

212 192 Lampiran 25. Panduan Wawancara Mendalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove I. Kuisioner Untuk Pengelola Kawasan Hutan Lindung Mangrove Narasumber dipilih berdasarkan posisi dan keterlibatan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove meliputi : Kepala Dinas Kehutanan dan para staff yang relevan. A. Identitas Responden / Informan KUISIONER 1. Nama :.. 2. Umur :.. 3. Jenis kelamin :.. 4. Pekerjaan/Jabatan : Masa kerja : Pendidikan Terakhir : Alamat :... B. Daftar Pertanyaan : B.1. Perencanaan 1. Bagaimana sejarah atau proses penetapan status kawasan hutan lindung mangrove? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan sehingga kawasan tersebut perlu ditetapkan statusnya menjadi kawasan hutan lindung mangrove? 3. Apakah dalam penetapan status kawasan hutan lindung mangrove sudah melibatkan dan diterima semua stakeholder terutama masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove? Bagaimana proses sosialisasinya? 4. Dalam pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove, apa yang menjadi dasar acuan dalam menentukan arah kebijakan dan regulasi pengelolaan kawasan? 5. Tindakan apa saja yang dilarang atau diperbolehkan dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan? 6. Apa saja hak-hak masyarakat yang dapat diakomodir dalam pengelolaan kawasan dan bagaimana pandangan anda terhadap hak penguasaan sumberdaya oleh masyarakat? B.2. Pelaksanaan 1. Tindakan, kegiatan dan kebijakan apa saja yang telah dilakukan untuk melestarikan hutan mangrove? Apakah ada kerjasama dan koordinasi

213 193 Lampiran 25 (lanjutan). dengan instansi lain yang terkait? Bagaimana peran serta masyarakat sekitar? 2. Apakah ada program pembinaan kepada masyarakat tentang pentingnya mangrove? Apakah ada program penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat dapat berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove? 3. Apakah ada program pengembangan dan pemberdayaan social ekonomi masyarakat? B.3. Monitoring dan Evaluasi 1. Adakah riwayat perubahan status, fungsi serta zonasi kawasan? 2. Sejauh mana perubahan kawasan menjadi status hutan lindung tersebut memberi dampak terhadap kasejahteraan masyarakat sekitar? 3. Apa saja langkah yang telah dilakukan dalam penegakan status kawasan hutan lindung mangrove tersebut dan bagaimana hasilnya?apa kendala utamanya? B.4. Lain-lain 1. Bagaimana pendapat anda dengan adanya tambak di dalam kawasan? 2. Bagaimana sejarah perkembangan isu tambak udang di dalam kawasan hutan lindung mangrove (dalam perspektif dinas kehutanan) 3. Adakah data dan informasi perkembangan penggunaan dan penutupan lahan kawasan lindung menjadi tambak udang? 4. Adakah tindakan yang pernah diambil dalam mengatasi isu tambak udang di dalam kawasan hutan lindung mangrove? 5. Bagaimana bentuk respon/tindakan tersebut dan sejauh mana efektifitas tindakan tersebut? 6. Pernahkan terjadi konflik atas tindakan atau respon yang telah dilakukan pengelola kawasan hutan lindung dalam menangani isu tambak udang? 7. Apa kendala utama dalam menangani isu tambak udang di dalam kawasan hutan lindung mangrove baik secara organisasional ataupun dalam tingkat manajemen pengelolaan kawasan? 8. Menurut anda bagaimana solusi terbaik dalam menangani dan menyelesaikan kasus tambak di kawasan hutan lindung? Catatan : 1. Kusisoner tidak diberikan kepada responden, melainkan disampaikan dengan oral dalam bentuk wawancara. 2. Pertanyaan dalam kuisioner ini bersifat dinamis, dapat disesuaikan dengan kondisi dilapangan.

214 194 Lampiran 25 (lanjutan). II. Kuisioner Untuk Pemerintah Daerah Narasumber berasal dari aparat pemerintah kabupaten/kecamatan/desa yang berkompeten dan mengetahui kebijakan dan program pengembangan wilayah (Kepala Dinas Perikanan berserta staff, BAPPEDA dan Kepala Desa di lokasi penelitian) A. Identitas Responden / Informan KUISIONER 1. Nama :.. 2. Umur :.. 3. Jenis kelamin :.. 4. Pekerjaan/Jabatan : Masa kerja : Pendidikan Terakhir : Alamat :... B. Daftar Pertanyaan : 1. Bagaimana pandangan anda perihal adanya tambak didalam kawasan hutan lindung mangrove? 2. Apakah terdapat kebijakan yang mendorong perkembangan tambak udang tersebut sebagai komoditi unggulan? 3. Apa prioritas kebijakan pengembangan wilayah yang akan dilakukan terhadap kawasan yang letaknya berbatasan dengan kawasan hutan lindung mangrove terkait dengan keberadaan tambak udang sebagai komoditi unggulan di daerah tersebut? 4. Menurut anda, diluar tambak udang, adakah peluang ekonomi dan usaha yang diharapkan dapat tumbuh sebagai efek adanya kawasan hutan lindung mangrove? 5. Adakah kebijakan dan program-program khusus terkait dengan adanya tambak udang di dalam kawasan hutan lindung mangrove yang mampu mensinergikan konservasi dan pengembangan ekonomi masyarakat? 6. Bagaimana rencana pengembangan dan infrastruktur di wilayah yang menjadi tambak udang seiring dengan laju pertambahan penduduk? 7. Apakah pemerintah daerah memprogramkan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas umum bagi masyarakat?

215 195 Lampiran 25 (lanjutan). 8. Apa saja yang menjadi prioritas utama dalam upaya pengembangan wilayah dan pembangunan infrastruktur pada desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan lindung mangrove? 9. Bagaimana tanggapan pemerintah daerah berkenaan dengan adanya isu tambak udang di dalam kawasan hutan lindung mangrove? 10. Apa tindakan yang di ambil oleh pemerintah daerah menyikapi isu tambak udang di dalam kawasan hutan lindung mangrove? 11. Menurut anda bagaimana solusi terbaik dalam menangani dan menyelesaikan kasus tambak di kawasan hutan lindung? Catatan : 1. Kusisoner tidak diberikan kepada responden, melainkan disampaikan dengan oral dalam bentuk wawancara. 2. Pertanyaan dalam kuisioner ini bersifat dinamis, dapat disesuaikan dengan kondisi dilapangan.

216 196 Lampiran 25 (lanjutan). III. Kuisioner Untuk Masyarakat dan Petambak Narasumber berasal dari tokoh-tokoh local dan orang yang dituakan dalam komunitas masyarakat dan para petambak udang. A. Identitas Responden / Informan KUISIONER 1. Nama :.. 2. Umur :.. 3. Jenis kelamin :.. 4. Pekerjaan utama dan sampingan : Lama tinggal : Pendidikan Terakhir : Alamat : Agama : Suku : Luas areal tambak :...ha 11.Hasil produksi(kg) dan harga (Rp) :...per tahun 12.Biaya tetap dan operasional (Rp) :...per tahun 13.Keuntungan (Rp) :...per tahun B. Daftar Pertanyaan : 1. Menurut anda apa manfaat hutan mangrove bagi kehidupan pesisir dan masyarakat?seberapa penting? 2. Adakah program pengelolaan hutan mangrove dari pemerintah yang melibatkan masyarakat? 3. Apakah selama ini pemerintah melakukan sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan mangrove? 4. Bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove? 5. Apa yang menjadi kendala pengelolaan ekosistem mangrove di daerah anda? 6. Setujukah anda dengan status kawasan hutan lindung pada hutan mangrove di daerah anda?kenapa? 7. Bagaimana penegakan status kawasan hutan lindung mangrove oleh aparat? 8. Apa yang melatar-belakangi pembukaan tambak udang di dalam kawasan hutan lindung mangrove dan sejak kapan areal tambak tersebut ada? 9. Bagaimana sejarah perkembangan areal tambak tersebut sejak pertama ada sampai sekarang?

217 197 Lampiran 25 (lanjutan). 10. Adakah keterlibatan pihak-pihak yang memberikan dorongan termasuk program-program pemerintah kepada masyarakat terkait isu tambak udang? 11. Bagaimana anda memperoleh lahan untuk tambak ini, dan dari siapakah anda memperoleh informasi? 12. Pernahkan ada tindakan yang dilakukan oleh pengelola kawasan hutan lindung mangrove berkaitan dengan adanya tambak udang didalam kawasan? Bagaimana tanggapan dari masyarakat terhadap tindakan tersebut? 13. Apa yang diinginkan oleh masyarakat sebenarnya berkaitan dengan permasalahan tersebut? 14. Apa tanggapan masyarakat apabila memang dibentuk kesepakatan bersama dan tipe seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat? 15. Adakah solusi yang diberikan dalam menjembatani kepentingan pengelola kawasan hutan lindung mangrove dan masyarakat? 16. Menurut anda bagaimana solusi terbaik dalam menangani dan menyelesaikan kasus tambak di kawasan hutan lindung? Dan bagaimana solusi pengelolaan mangrove yang baik menurut anda Catatan : 1. Kusisoner tidak diberikan kepada responden, melainkan disampaikan dengan oral dalam bentuk wawancara. 2. Pertanyaan dalam kuisioner ini bersifat dinamis, dapat disesuaikan dengan kondisi dilapangan.

218 198 Lampiran 26. Panduan Wawancara Mendalam Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove Narasumber dipilih berdasarkan posisi dan keterlibatan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove meliputi : Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Masyarakat dan Petambak. KUISIONER A. Identitas Responden / Informan 1. Nama :.. 2. Umur :.. 3. Jenis kelamin :.. 4. Pekerjaan/Jabatan : Masa kerja : Pendidikan Terakhir : Alamat :... B. Analisis Kelembagaan B.1. Batas Yuridiksi (wewenang, peran dan tanggung jawab) a. Wewenang Pengelolaan Mangrove 1. Bagaimana, menurut bapak wewenang Dinas Kehutanan dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan! 2. Bagaimana menurut bapak wewenang Dinas Kelautan dan Perikanan, dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan! 3. Bagaimana menurut bapak wewenang Masyarakat dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan! 4. Bagaimana menurut bapak wewenang Petambak dan Pengambil Kayu dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan! b. Peran dan Tanggung Jawab dalam Pengelolaan Mangrove 1. Bagaimana, menurut bapak peran dan tanggung jawab Dinas Kehutanan dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan! 2. Bagaimana menurut bapak peran dan tanggung jawab Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan! 3. Bagaimana menurut bapak peran dan tanggung jawab Masyarakat dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan! 4. Bagaimana menurut bapak peran dan tanggung jawab Petambak dan Pengambil Kayu dalam pengelolaan mangrove di Dabong? Jelaskan!

219 199 Lampiran 26 (lanjutan). C. Property Right 1. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong masuk dalam kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan! 2. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong mengambil hasil hutan dan hasil perikanan didalam kawasan Hutan Lindung Mangrove seperti daun, buah, kayu, ikan, satwa, dll? Jelaskan! 3. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong bermukim dan mengolah lahan (untuk tambak, pertanian dll) di kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan! 4. Menurut bapak apakah masyarakat desa Dabong bisa/harus melarang warga lain masuk dalam wilayah Hutan Lindung Mangrove atau hutan sekitarnya? Jelaskan! 5. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong menjual lahan yang terletak didalam kawasan Hutan Lindung Mangrove baik yang telah atau belum dijadikan tambak? Jelaskan! D. Role Of Representation (Aturan Representatif) 1. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap penetapan tata batas wilayah kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan! 2. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap apa yang boleh diakses dalam kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan! 3. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap siapa saja yang boleh mengakses kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan! 4. Menurut bapak bolehkah masyarakat desa Dabong ikut mengambil keputusan terhadap pemberian sanksi terhadap pelangaran aturan-aturan didalam kawasan Hutan Lindung Mangrove? Jelaskan! Catatan : 1. Kusisoner tidak diberikan kepada responden, melainkan disampaikan dengan oral dalam bentuk wawancara. 2. Pertanyaan dalam kuisioner ini bersifat dinamis, dapat disesuaikan dengan kondisi dilapangan.

220 Lampiran 27. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa Ijin Usaha Perikanan (IUP)

221 Lampiran 28. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa Surat Pembudidayaan Ikan (SBI)

222 202 Lampiran 29. Foto-foto Penelitian di Desa Dabong Foto 1. Topografi Desa Dabong Foto 2. Kondisi Pemukiman Penduduk (Mekar Jaya) Foto 3. Sarana Pendidikan (SDN 023 Dabong) Foto 4. Sarana transportasi air di Rasau Jaya Foto 5. Sarana transportasi air di Kubu Foto 6. Sarana transportasi air di Dabong

223 203 Lampiran 29 (lanjutan). Foto 7. Mangrove di Desa Dabong Foto 8. Kayu mangrove log di sepanjang sungai Dabong Foto 9. Kayu bakar mangrove Foto 10. Kayu cerucuk mangrove Foto 11. Atap daun nipah Foto 12. Komoditas ikan Foto 13. Komoditas kerang bulu Foto 14. Komoditas ale-ale

224 204 Lampiran 29 (lanjutan). Foto 15. Komoditas kepah Foto 16. Komoditas kepiting Foto 17. Tambak didalam Hutan Lindung Mangrove Foto 18. Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Foto 19. Diskusi dan wawancara dengan masyarakat Foto 20. Observasi di mangrove

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1. Definisi. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT 1123 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizophora spp). Nama mangrove diberikan

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut perpaduan antara air sungai dan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Kartini V.A. Sitorus 1, Ralph A.N. Tuhumury 2 dan Annita Sari 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman 301-308 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE MENGGUNAKAN METODE NDVI CITRA LANDSAT

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2. ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2 1) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas Udayana 2) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memilkiki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Desa Dabung

Bab III Karakteristik Desa Dabung Bab III Karakteristik Desa Dabung III.1. Kondisi Fisik Wilayah III.1.1. Letak Wilayah Lokasi penelitian berada di Desa Dabung yang merupakan salah satu desa dari 18 desa yang terdapat di Kecamatan Kubu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. di sepanjang garis pantai perairan tropis dan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang

TINJAUAN PUSTAKA. di sepanjang garis pantai perairan tropis dan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis yang terdapat di sepanjang garis pantai perairan tropis dan mempunyai ciri-ciri tersendiri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: ) BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan lindung seperti ekosistem mangrove memiliki peran cukup penting bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut karena umumnya masyarakat

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Amna dajafar, 2 Abd Hafidz Olii, 2 Femmy Sahami 1 amanjadjafar@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Mangrove 6 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Mangrove Asal kata "mangrove" menurut Macnae (1968) dalam Noor et al. (1999) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris

Lebih terperinci

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA ABSTRAK Musayyadah Tis in. TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan

Lebih terperinci