KEANEKARAGAMAN JENIS, KEPADATAN DAN AKTIVITAS MENGISAP DARAH ANOPHELES (Diptera: Culicidae) PADA APLIKASI ZOOPROFILAKSIS DI DAERAH ENDEMIS MALARIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN JENIS, KEPADATAN DAN AKTIVITAS MENGISAP DARAH ANOPHELES (Diptera: Culicidae) PADA APLIKASI ZOOPROFILAKSIS DI DAERAH ENDEMIS MALARIA"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN JENIS, KEPADATAN DAN AKTIVITAS MENGISAP DARAH ANOPHELES (Diptera: Culicidae) PADA APLIKASI ZOOPROFILAKSIS DI DAERAH ENDEMIS MALARIA IMAM HANAFY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah Anopheles (Diptera: Culicidae) pada Aplikasi Zooprofilaksis di Daerah Endemis Malaria adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Imam Hanafy NIM B

4 RINGKASAN IMAM HANAFY. Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah Anopheles (Diptera: Culicidae) Pada Aplikasi Zooprofilaksis Di Daerah Endemis Malaria. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI HADI Malaria merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia kasus malaria di sebagian daerah masih tinggi. Wilayah Lampung Selatan merupakan daerah endemis malaria yang berada di sepanjang pesisir pantai teluk Lampung. Angka malaria yang dilaporkan pada 2013 dengan indikator Annual Parasite Inciden (API) sebesar 13,6 0 /00. Usaha penanggulangan penyakit malaria yang digalakkan oleh WHO adalah penggunaan insektisida. Namun pada metode ini diperlukan insektisida dalam jumlah yang sangat besar sehingga sangat memberatkan daerah endemis malaria yang umumnya adalah negara-negara berkembang. Hewan ternak seperti sapi dan kerbau yang umum dipelihara warga di daerah endemis dapat dimanfaatkan sebagai pengalihan atau barrier agar nyamuk tidak kontak langsung dengan manusia. Hal ini dikarenakan pada umumnya Anopheles lebih tertarik mengisap darah hewan. Pemanfaatan hewan ternak sebagai barrier ini dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Namun walaupun dapat menghindarkan manusia dari kontak nyamuk vektor, kelemahan metode zooprofilaksis adalah terus berlangsungnya siklus kehidupan nyamuk akibat dari ketersediaan darah ternak untuk kepentingan reproduksi vektor. Oleh sebab itu metode ini kemudian dikombinasikan dengan penggunaan insektisida yang dibalurkan pada tubuh hewan ternak dengan harapan nyamuk akan mati ketika berkontak dengan tubuh ternak. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh aplikasi kombinasi zooprofillaksis dengan insektisida dan tanpa insektisida terhadap berbagai aspek biologi Anopheles. Aspek biologi yang dianalisis antara lain, 1) Keragaman jenis Anopheles pada orang dan sapi; 2) Kepadatan dan perilaku Anopheles (kecenderungan memilih inang orang atau sapi); 3) Aktivitas Anopheles dalam mengisap darah inang (orang dan sapi) 4) Paritas Anopheles sebagai indikasi potensi vektor malaria. Penelitian ini dilakukan pada Juni sampai September 2014 di daerah endemis malaria yaitu Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Metode yang dilakukan pada aplikasi zooprofilaksis yaitu dengan menempatkan sapi tanpa dan berinsektisida pada jarak meter dari rumah warga. Sapi ditempatkan dalam magoon trap yang ditempatkan pada jalur antara rumah dengan tempat perindukan Anopheles. Penangkapan Anopheles pada orang menggunakan metode bare leg collection (BLC). Penangkapan Anopheles pada sapi yaitu dengan melakukan penangkapan menggunakan aspirator pada tubuh sapi dan kelambu magoon trap. Hasil penelitian menunjukkan Anopheles yang tertangkap pada orang terdiri atas 4 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris dan An.aconitus. Anopheles yang tertangkap pada sapi baik pada sapi berinsektisida maupun tidak, terdiri atas 5 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An subpictus dan An.aconitus. Perbedaan jumlah keanekaragaman ini menunjukkan bahwa ketertarikan Anopheles pada sapi lebih tinggi jika

5 dibandingkan pada orang. Komposisi spesies Anopheles yang tertangkap didominasi oleh An. sundaicus sebesar 52,10% selanjutnya An. vagus sebesar 29,30%, An. barbirostris sebesar 8,58%, An. subpictus sebesar 5,59% dan An.aconitus sebesar 4,43%. Indeks keanekaragaman jenis pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida jauh lebih besar (0,043) dibandingkan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida (0,009). Selain itu, kepadatan rata-rata Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida di luar rumah lebih tinggi (0,24 ± 0,20 nyamuk/orang/jam) dibandingkan pada orang yang dilindungi sapi tanpa insektisida (0,05 ± 0,06 nyamuk/orang/jam). Perilaku Anopheles dalam mengisap darah orang yang dilindungi sapi berinsektisida di luar rumah pada pukul sebesar 0,35 nyamuk/orang, sedangkan pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida tidak ditemukan aktivitas Anopheles mengisap darah pada jam yang sama. Sementara itu, di dalam rumah aktivitas Anopheles mengisap darah orang yang dilindungi sapi berinsektisida pada pukul sebesar 0,50 nyamuk/orang, sedangkan pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida sebesar 0,28 nyamuk/orang. Nilai yang lebih tinggi juga ditemukan pada angka paritas Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida sebesar 38,5%, sementara pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida sebesar 0%. Hasil tersebut di atas menunujukkan bahwa aplikasi zooprofilaksis menggunakan sapi tidak berinsektisida justru lebih protektif sebagai barrier terhadap gigitan Anopheles apabila dibandingkan menggunakan sapi berinsektisida. Kata kunci: Anopheles, Malaria, Zoobarrier, Zooprofilaksis

6 SUMMARY IMAM HANAFY. Diversity, Density and Blood Feeding Activity of Anopheles (Diptera: Culicidae) on Zooprophylaxis Application in Malaria Endemic Area. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI Malaria is an infectious disease caused by the obligate protozoan intracellular of the genus Plasmodium. Until recently in Indonesia cases of malaria in some areas is still high. South Lampung region is malaria endemic area are located along the bay coast of Lampung. The numbers malaria were reported in 2013 with Annual Parasite Inciden (API) amounted 13,6 0 /00. Malaria prevention efforts promoted by WHO is the use of insecticide. However, this method required insecticide in very large quantities so it is incriminating malaria endemic areas which usually are developing countries. Actually, livestock such as cattles and buffaloes which commonly kept by residents in endemic areas can be utilized to divert mosquitoes bite from humans. Because of many Anopheles species are prefer animal blood than human, naturally. The utilization of livestock as a barrier of human from mosquitoes bites is known as zooprophylaxis. However, although it can protect people from mosquitos contact, weakness of this method is continuing the life cycle of mosquitoes due to the availability of cattle blood for the its reproduction. Therefore, this method then combined with insecticide which smeared on livestock body in hopes of mosquitoes die after contact to these livestock. This study aimed to compare the effect of combination zooprophylaxis application with and without insecticides about various aspects the biology of Anopheles. Biological aspects are analyzed consists of, 1) diversity of species Anopheles in human and cattle; 2) density and behavior of Anopheles (preference to human or cattle); 3) Anopheles blood sucking activities on host (human and cattle) 4) Anopheles parity as an indication of malaria vector potential. This study was conducted in June to September 2014 in malaria endemic area in Hanura village, Padang Cermin Sub District, Pesawaran District of Lampung Province. The method was carried out by putting insecticide-treated cattle and not at a distance of meters from the houses. The cattles were placed in magoon trap that were placed in the path between the house and Anopheles breeding sites. Anopheles were collected on human by Bare Leg Collection (BLC) methode, while on cattle by aspirator, both on cattle body and inside magoon trap. The results showed that Anopheles were caught on human consists of four species, namely An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris and An.aconitus, while on insecticide-treated cattle or not, consists of five species (An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. subpictus and An.aconitus). The composition of Anopheles were dominated by An. sundaicus (52,10%), while the others were An. vagus (29.30%), An. barbirostris (8.58%), An. subpictus (5.59%) and An.aconitus (4.43%). Species diversity index of Anopheles which caught on human protected by insecticide treated cattle was higher (0,043) than on human with no insecticide treated cattle (0,009). Additionally, the average density of Anopheles on human protected by insecticide-treated cattle outside the house was higher (0.24 ± 0.20 mosquitoes/

7 human/ hour) compared by on human with no insecticide treated cattle (0.05 ± 0.06 mosquitoes/ human/ hour). Anopheles blood sucking activities outdors on human protected by insecticide-treated cattle at was 0.35 mosquitoes/ human. Whereas no one mosquitoes caught on human protected by no insecticide treated cattle at the same time. Inside the house, the density of Anopheles on human protected by insecticide-treated cattle at 19:00 to 20:00 was about 0.50 mosquitoes/ human, while only 0.28 mosquitoes on human protected by no insecticide-treated cattle. Higher value also found in parity number of Anopheles on human protected by insecticide-treated cattle (38.5%), than on human protected by no insecticide-treated cattle (0%). The above results indicated that the zooprofilaksis application using no insecticide-treated cattle was more effective as Anopheles biting protection than insecticide-treated cattle. Keywords: Anopheles, Malaria, Zoobarrier, Zooprophylaxis

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

9 KEANEKARAGAMAN JENIS, KEPADATAN DAN AKTIVITAS MENGISAP DARAH ANOPHELES (Diptera: Culicidae) PADA APLIKASI ZOOPROFILAKSIS DI DAERAH ENDEMIS MALARIA IMAM HANAFY Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu H.S., MS.

11 Judul Tesis : Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah Anopheles (Diptera: Culicidae) Pada Aplikasi Zooprofilaksis Di Daerah Endemis Malaria Nama : Imam Hanafy NIM : B Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si. Ketua Prof. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. Ph.D Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Drh.Upik Kesumawati Hadi, MS. Ph.D Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr Tanggal Ujian: 22 Juni 2015 Tanggal Lulus:

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juni 2014 ini ialah : Keanekaragaman Jenis, Kepadatan Dan Aktivitas Mengisap Darah Anopheles (Diptera: Culicidae) Pada Aplikasi Zooprofilaksis Di Daerah Endemis Malaria. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si dan Prof. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. Ph.D selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis, serta Ibu Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu H.S., MS. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dalam ujian tesis. Terima Kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada para staf pengajar dan pegawai laboratorium Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama masa penyelesaian studi. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Agustus 2015 Imam Hanafy

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN vi vi vi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Malaria dan Vektor Anopheles di Indonesia 3 Bioekologi, Perilaku dan Potensi Anopheles Sebagai Vektor 4 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Nyamuk dalam Menemukan Inangnya 7 Penggunaan Hewan dalam Aplikasi Zooprofilaksis 7 Modifikasi Metode Zooprofilaksis dengan Insektisida dan Dampaknya Terhadap Resisitensi Vektor 8 3 METODE 11 Waktu dan Tempat Penelitian 11 Lokasi Penelitian 11 Rancangan penelitian 11 Aplikasi Zooprofilaksis 12 Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Orang 12 Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Sapi 12 Identifikasi Spesies Anopheles 13 Pengamatan Tingkat Paritas Anopheles 13 Analisis Data 13 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman Spesies Anopheles 13 Kepadatan Anopheles Pada Orang 14 Kepadatan Anopheles Pada Sapi 14 Derajat Paritas Nyamuk Anopheles 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Ragam Spesies Anopheles 15 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman Spesies Anopheles 18 Kepadatan Anopheles pada Orang 20 Kepadatan Anopheles pada Sapi 23 Aktivitas Anopheles dalam Mengisap Darah Inang (Orang dan Sapi) 26 Paritas Anopheles 29 5 SIMPULAN DAN SARAN 31

14 Simpulan 31 Saran 31 DAFTAR PUSTAKA 32 LAMPIRAN 36 RIWAYAT HIDUP 39 DAFTAR TABEL 1 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Jenis, Dominansi Jenis dan Indeks Keanekaragaman jenis Anopheles Angka Paritas Anopheles pada Orang dan Sapi menggunakan Aplikasi Zooprofilaksis 29 DAFTAR GAMBAR 1 Peta sebaran vektor malaria di Indonesia 4 2 Peta Lokasi Pengambilan Data 11 3 Morfologi An. sundaicus 15 4 Morfologi An. vagus 16 5 Morfologi An. barbirostris 16 6 Morfologi An. subpictus 17 7 Morfologi An. aconitus 17 8 Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Berinsektisida dari Juni-September Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Tidak Berinsektisida dari Juni-September Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Sapi Bernsektisida dari Juni- September Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Sapi Tidak Berinsektisida dari Juni-September Aktivitas Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Berinsektisida Aktivitas Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Tidak Berinsektisida Aktivitas Anopheles pada Sapi Berinsektisida dan Sapi Tidak Berinsektisida Preparat Ovarium Anopheles 30 DAFTAR LAMPIRAN 1 Pembaluran atau penyemprotan insektisida pada sapi 36 2 Koleksi Anopheles pada sapi dan orang 37 3 Pembedahan dan pengamatan ovarium Anopheles 38

15

16 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Malaria merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Pada tahun 2013 lebih dari 97 negara memiliki daerah endemis malaria, terutama pada daerah tropis (CDC & USAID 2013). Sekitar 3,4 miliar penduduk dunia berisiko terkena malaria dan 1,2 miliar penduduk berisiko tinggi terkena malaria berat. Di daerah yang berisiko tinggi, lebih dari satu kasus malaria terjadi per seribu penduduk (WHO 2013). Tahun 2012 terjadi 207 kasus malaria di Afrika dan diperkirakan diantaranya mengalami kematian. Sembilan puluh persen dari semua kasus kematian malaria terjadi pada daerah Sub-Sahara Afrika dan menewaskan sekitar anak dibawah usia lima tahun (WHO 2013). Sampai saat ini di Indonesia kasus malaria di sebagian daerah masih tinggi. Wilayah Lampung Selatan merupakan daerah endemis malaria yang berada di sepanjang pesisir pantai teluk Lampung. Angka malaria yang dilaporkan pada Tahun 2013 dengan indikator Annual Parasite Inciden (API) sebesar 13,6 0 /00 di Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran (Dinkes Kab. Pesawaran 2014). Hal ini masih jauh di atas pencapaian program eliminasi malaria yakni kurang dari 1 di setiap desa pada tahun Malaria dalam proses penularannya diperantarai oleh nyamuk dari genus Anopheles. Di Indonesia terdapat sekitar 81 spesies nyamuk Anopheles dan 25 di antaranya sudah terbukti sebagai vektor malaria. Vektor ini tersebar di seluruh kawasan di Indonesia dan masing-masing memiliki karakteristik habitat yang berbeda-beda (Depkes RI 2006). Spesies Anopheles yang pernah dilaporkan di Provinsi Lampung antara lain An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. indefinitus, An. minimus, An. kochi, An. barbirostris, An. annularis, An. tesselatus, An. aconitus (Suwito 2010; Safitri 2009). Menurut Rosa et al. (2009) di wilayah pantai Bandar Lampung terdapat An. sundaicus dan An. subpictus. Penanggulangan malaria yang digalakkan oleh WHO adalah penggunaan insektisida untuk mengendalikan vektor malaria. Laporan 10 tahun terakhir ( ) telah terjadi tren kenaikan penggunaan insektisida dalam mengendalikan serangga vektor terutama vektor malaria (WHO 2011). Saat ini penggunaan insektisida dalam skala besar untuk mengendalikan Anopheles yaitu menggunakan metode Indoor Residual Spraying (IRS) dengan menyemprotkan insektisida residual pada dinding-dinding rumah bahkan kandang-kandang ternak. Namun metode ini memerlukan insektisida dalam jumlah yang sangat besar sehingga berdampak pada pengeluaran biaya yang mahal yang sangat memberatkan daerah endemis malaria yang umumnya adalah negara-negara berkembang. Hewan ternak seperti sapi dan kerbau yang umum dipelihara warga di daerah endemis dapat dimanfaatkan sebagai pengalihan atau barier agar nyamuk tidak kontak langsung dengan manusia. Hal ini dikarenakan sifat biologi dari Anopheles yang cenderung zoofilik. Pemanfaatan hewan ternak sebagai barier ini dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Namun walaupun dapat menghindarkan manusia dari kontak langsung dengan nyamuk vektor, kelemahan metode zooprofilaksis adalah terus berlangsungnya siklus kehidupan nyamuk akibat dari ketersediaan darah ternak untuk kepentingan reproduksi nyamuk vektor. Oleh sebab itu metode ini kemudian dikombinasikan dengan

17 2 penggunaan insektisida yang dibalurkan pada tubuh hewan ternak dengan harapan nyamuk akan mati ketika kontak dengan ternak. Pemanfaatan ternak dalam pengendalian vektor Anopheles belum banyak dilaporkan di Indonesia. Hasil penelitian Santoso (2012) mengenai aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pemberian insektisida deltametrin menunjukkan terjadi penurunan kepadatan nyamuk yang signifikan dari sebelum dan sesudah pemasangan sapi yang berfungsi sebagai barier. Kepadatan nyamuk pada manusia turun sebesar 80,6% dan pada sapi 92,2%. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Santoso (2012), untuk membandingkan pengaruh aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasi insektisida dan tanpa insektisida terhadap berbagai aspek biologi Anopheles. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasi insektisida dan tanpa insektisida terhadap aspek biologi Anopheles, dengan pengukuran: 1. Keragaman jenis Anopheles pada orang dan sapi 2. Kepadatan dan kecenderungan Anopheles dalam mengisap darah orang atau sapi 3. Aktivitas Anopheles dalam mengisap darah inang (orang dan sapi) 4. Paritas Anopheles sebagai indikasi potensi vektor malaria. Manfaat Penelitian Pengamatan aspek-aspek biologi (keragaman, kepadatan dan perilaku) dari Anopheles pada metode zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan insektisida dapat dijadikan tolok ukur dari keberhasilan metode tersebut, sehingga dapat dijadikan model yang bisa diterapkan di daerah endemis malaria.

18 2 TINJAUAN PUSTAKA Malaria dan Vektor Anopheles di Indonesia Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Gejala malaria sangat khas dan mudah dikenal karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil. Selain itu terdapat kelainan pada limpa (splenomegali) yaitu limpa membesar dan menjadi keras. Pada beberapa daerah endemis, malaria dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja pada penderitanya bahkan menyebabkan kematian (WHO 2013). Indonesia merupakan negara yang masih terjadi transmisi malaria atau berisiko malaria (Malaria Risk). Sampai tahun 2011, terdapat 374 kabupaten endemis malaria. Jumlah penderita malaria di Indonesia pada tahun 2011 mencapai orang. Sebanyak kasus suspek malaria yang diperiksa sediaan darahnya, menunjukkan angka Annual Parasite Insidence (API) 1,75 per seribu penduduk. Hal ini menunjukkan, dari setiap 1000 penduduk terdapat 2 orang terkena malaria. (Depkes RI 2012). Prevalensi nasional malaria adalah 0,6% yaitu provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional adalah Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Aceh dan Lampung (PERMENKES RI 2012). Provinsi Lampung merupakan daerah endemis malaria dengan rata-rata angka API sebesar 0,38 per seribu penduduk dari 14 kabupaten/kota. Kabupaten Pesawaran menyumbangkan angka API tertinggi yaitu 4,55 per seribu penduduk (Dinkes Kab. Pesawaran 2014). Malaria memiliki hubungan yang erat, baik dengan kehadiran vektor, iklim, kegiatan manusia dan lingkungan setempat. Adanya kerusakan dan eksplorasi lingkungan menyebabkan bertambahnya jumlah dan luas tempat perindukan nyamuk vektor. Lingkungan akan mempengaruhi kapasitas Anopheles dalam menularkan Plasmodium dan menyebarkan malaria dari satu orang ke orang lain. Keberadaan vektor Anopheles di suatu daerah akan berkorelasi dengan adanya kasus malaria. Semakin kompleks jenis vektor Anopheles maka semakin tinggi risiko malaria pada daerah tersebut. Genus Anopheles di dunia terdiri atas 430 spesies tetapi hanya 70 yang dikenal sebagai vektor malaria, 40 di antaranya dianggap sangat penting dalam menularkan malaria. Anopheles terdistribusi hampir di seluruh dunia, secara umum terdapat di daerah tropis dan subtropis. Anopheles tidak pernah ditemukan di daerah Pasifik Timur Vanuatu termasuk Polinesia. Pada ketinggian di atas meter biasanya tidak ditemukan Anopheles (WRBU 2009). Jenis Anopheles yang terdapat di Indonesia diantaranya meliputi An. aconitus, An. sundaicus, An. balabasensis, An. minimus, An. barbirostris, An. punctulatus, An. maculatus dan An. karwari. Sementara itu, jenis Anopheles yang dominan di Indonesia adalah jenis An. maculatus, An. aconitus, An. farauti, dan An. sundaicus (Hiswani 2004). Gambar 1 merupakan peta sebaran vektor malaria di Indonesia.

19 4 Gambar 1. Peta sebaran vektor malaria di Indonesia. (Sumber: Depkes RI 2014). Spesies Anopheles yang pernah ditemukan di daerah Lampung antara lain An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. aconitus, An. subpictus, An. indefinitus, An. minimus, An. kochi, An. annularis, An. tesselatus. Pada umumnya Anopheles ini memiliki tempat perindukan pada daerah persawahan, lagun dan bekas tambak-tambak yang sudah tidak terpakai (Safitri 2009). Bioekologi, Perilaku dan Potensi Anopheles Sebagai Vektor Keberadaan nyamuk Anopheles di suatu daerah sangat erat hubungannya dengan kondisi alam daerah tersebut. Hans et al. (2002) mempelajari pengaruh stuktur lansekap terhadap kepadatan dan keragaman nyamuk Anopheles. Hasil penelitian menunjukkan lahan pertanian mempunyai stuktur lansekap yang berukuran kecil-kecil dan sangat bervariasi bentuknya dari pada lokasi hutan. Hal ini mempengaruhi keragaman jenis Anopheles. Keragaman Anopheles sp. dipengaruhi oleh struktur lansekap, zoogeografi, ketinggian, keberadaan habitat perkembangbiakan pradewasa dan sibling spesies. Di Indonesia secara umum, lingkungan pantai banyak ditemukan An. sundaicus dan An. subpictus, lingkungan persawahan An. barbirostris dan An. aconitus, lingkungan rawa dan sungai berbatuan An. maculatus dan An. farauti dan di lingkungan perbukitan An. balabacencis (Ditjen PP&PL 2010). Wilayah Lampung Selatan mempunyai keragaman Anopheles yang tinggi, hal ini dikarenakan banyak terdapat daerah pantai dan rawa-rawa. Di daerah ini ditemukan 16 jenis Anopheles, yaitu An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. indefinitus, An. nigerrimus, An. peditaeniatus, An. kochi, An. barbirostris, An. barumbrosus, An. annularis, An. separatus, An. tessellatus, An. aconitus, An. umbrosus, An. leucosphyrus dan An. letifer (Idris 1999; Rosa et al. 2009).

20 Kecamatan Rajabasa Kota Bandar Lampung terdapat 11 spesies dan di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran 10 spesies. Spesies yang paling dominan adalah An sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. aconitus dan An. subpictus (Suwito 2010). Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. berbeda di beberapa wilayah di Indonesia. Bruce-Chwatt (1985) mengklasifikasikan habitat larva dalam lima tipe yaitu (1) Air tawar yang menggenang permanen atau temporal seperti rawa-rawa yang terbuka luas atau daerah rawa yang merupakan bagian dari danau, kolam, genangan air, dan mata air, (2) Kumpulan air tawar yang sifatnya sementara seperti genangan air terbuka di lapangan dan bekas tapak kaki binatang, (3) Air yang mengalir permanen atau semi permanen seperti sungai yang terbuka dengan vegetasi, air yang mengalir dari selokan, (4) Tempat penampungan air alami seperti lubang pada batu, pohon, lubang buatan hewan, dan tempat penampungan air buatan manusia seperti kaleng, ban, tempurung kelapa, dan (5) Air payau seperti rawa-rawa pasang surut. Hasil penelitian di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin menunjukkan bahwa rata-rata An. sundaicus yang tertangkap pada umpan orang lebih banyak di Padang Cermin sebesar 54,26 per orang per malam dibandingkan dengan di Rajabasa sebesar 32,29 per orang per malam. Hal ini berkaitan dengan luasan habitat perkembangbiakan larva An. sundaicus. Semakin luas habitat perkembangbiakan larva, maka semakin tinggi kepadatan nyamuk yang tertangkap. Di Padang Cermin habitat utama larva An. sundaicus berupa tambak terbengkalai yang luas keseluruhan mencapai 30,6 Ha, sedangkan di Rajabasa habitat utama larva An. sundaicus adalah bak benur terbengkalai luasan total hanya 1,4 Ha (Suwito 2010). Anopheles sp. pada umumnya beraktivitas pada malam hari. Kepadatan Anopheles mengisap darah berbeda berdasarkan spesies. An. sundaicus merupakan spesies dominan di daerah sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa. An. sundaicus ini hinggap di badan sepanjang malam, dengan puncak aktivitas pada pukul dan (Sukowati & Shinta 2009). Di Langkap Jaya Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat An. aconitus mencapai puncaknya pukul , sedangkan An. barbirostris dan An. maculatus pada pukul (Munif et al. 2007). Di daerah Sukamaju Kota Bandar Lampung Anopheles spp. mengisap darah sepanjang malam dengan puncak aktivitas pada pukul di luar rumah dan pukul di dalam rumah (Rosa et al. 2009). Perilaku nyamuk berdasarkan kecenderungan terhadap inang dibedakan menjadi zoofilik, antropofilik, dan antropozoofilik. Sifat zoofilik merupakan kebiasaan nyamuk yang cenderung atau lebih menyukai darah hewan, sedangkan antropofilik merupakan kebiasaan nyamuk yang cenderung atau lebih menyukai darah manusia. Jika menyukai mengisap darah keduanya (hewan & manusia) maka disebut antropozoofilik. Berdasarkan lokasi nyamuk mengisap darah dibedakan menjadi eksofagik (di luar rumah) dan endofagik (di dalam rumah). An. vagus bersifat zoofilik, lebih menyukai darah sapi di desa Hargotirto, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta (Aprianto 2002). Sedangkan di lokasi yang sama An. maculatus dan An. balabasensis bersifat antropofilik. Berkaitan dengan lokasi mengigit, Aprianto (2002) tidak dapat memastikan sifat eksofagik atau endofagik dari An. maculatus dan An. vagus. Di desa Tarahan Lampung Selatan An. sundaicus banyak ditemukan di sekitar kandang, bersifat zoofilik dan lebih menyukai mengigit di luar rumah (Boesri 1999). An. sundaicus di Kecamatan Padang Cermin Pesawaran bersifat antropofilik lebih menyukai orang dibandingkan hewan 5

21 6 ternak (Suwito 2010). Jastal (2005) melaporkan dari delapan spesies nyamuk Anopheles yang didapatkan di desa Tongua, Donggala Sulawesi Tengah, semuanya bersifat eksofagik. 2 Spesies Anopheles bersifat antropofilik (An. barbirostris dan An. nigerrimus), 6 spesies lainnya bersifat zoofilik (An. tesselatus, An. vagus, An. punculatus, An. barumbrosus, An. maculatus dan An. kochi). Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan nyamuk sehingga dapat berperan sebagai vektor antara lain: 1) Kemampuan nyamuk menerima dan mendukung pertumbuhan patogen penyakit, 2) Spesifitas inang vertebrata terhadap patogen penyakit, 3) Mobilitas vektor, 4) Umur, semakin panjang umur memungkinkan waktu perkembangan patogen menjadi infektif, 5) Frekuensi makan, semakin sering nyamuk mengisap darah maka semakin tinggi potensi penularan, 6) Kepadatan populasi nyamuk yang tinggi, menyebabkan potensi kontak vektor dengan manusia lebih besar (Hardwood & James 1979) Spesies Anopheles dapat dikatakan sebagai vektor jika spesies tersebut memiliki nilai dominansi yang tinggi, pernah ditemukan sporozoit di dalam tubuhnya, memiliki kontak gigitan yang tinggi terhadap inang, serta memiliki umur yang panjang (Gambiro 1999). Munif dan Sudomo (2003) menyatakan An. barbirostris di Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya merupakan spesies yang paling dominan karena memiliki banyak tipe habitat perkembangbiakan dan ditemukan sepanjang tahun. An. barbirostris merupakan spesies yang paling dominan kontak dengan manusia. Selain itu, berdasarkan pengamatan tingkat paritasnya, An. barbirostris memiliki umur yang lebih panjang jika dibandingkan dengan spesies lain. Oleh sebab itu spesies ini berpotensi sebagai vektor malaria karena kapasitasnya dalam memperantarai dan menularkan Plasmodium pada manusia. Potensi Anopheles dapat diketahui dengan pengukuran angka paritas pada Anopheles tersebut. Pengukuran angka paritas Anopheles sangat penting dilakukan untuk mengetahui peluang nyamuk tersebut berperan sebagai vektor malaria. Angka paritas digunakan untuk menganalisis kemampuan nyamuk dalam menularkan Plasmodium. Anopheles yang berpotensi sebagai vektor malaria merupakan nyamuk yang sudah tua dan umumnya sudah mengalami beberapa kali siklus gonotrofik. Rentang umur ini akan mempengaruhi penyelesaian masa inkubasi ekstrinsik parasit yaitu dari gametosit sampai sporozoit di kelenjar ludah. Inkubasi ekstrinsik ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan klimatologis, seperti suhu dan kelembapan relatif. Paritas berbanding lurus dengan umur nyamuk (Gilles & Warel 2004). Anopheles di Kecamatan Rajabasa dan Padang Cermin Lampung Selatan menunujukkan bahwa spesies terbanyak adalah. An. sundaicus. Spesies ini juga memiliki aktivitas tertinggi di kedua kecamatan tersebut dan hampir ditemukan sepanjang malam dengan perilaku menggigit yang eksofagik. Tingkat paritas An. sundaicus juga tinggi terutama di luar rumah rata-rata sebesar 75,51% (Suwito 2010). Paritas berbanding lurus dengan umur nyamuk. Paritas digunakan untuk menganalisis kemampuan nyamuk dalam menularkan Plasmodium. Semakin tinggi angka paritas maka umur nyamuk semakin tua, berarti kemampuan nyamuk untuk menjadi media perkembangan Plasmodium infektif (inkubasi intrinsik) semakin besar. Nilai dominansi, aktivitas dan angka paritas yang tinggi dari An. sundaicus maka dapat disimpulkan bahwa spesies tersebut berpeluang besar sebagai vektor malaria di kedua kecamatan tersebut.

22 7 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Nyamuk dalam Menemukan Inangnya Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam menemukan inangnya. Hal ini disebabkan oleh daya tarik masing-masing inang tersebut terhadap nyamuk tidak sama. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi nyamuk dalam menemukan inang adalah suhu inang, kelembaban, karbondioksida, aroma tubuh dan macam-macam faktor visual (Olanga et al. 2010). Suhu inang yang lebih tinggi dari suhu lingkungan merupakan faktor penting sebagai perangsang dalam menemukan inang dan mengisap darahnya (Carver et al. 2009). Di dalam kandang, kebanyakan Aedes aegypti mendekati aliran udara hangat dengan kelembaban 15% sampai 20% (Brown et al. 1951). Belum ada bukti yang menunjukkan pentingnya tingkat kelembaban bagi orientasi nyamuk menemukan inang (Clement 1963). Kelembaban dimungkinkan merupakan sebagian dari faktor penting yang berasal dari lingkungan dan merupakan daya tarik nyamuk jarak dekat. Karbondioksida berperan penting bagi nyamuk untuk menemukan inang. Penelitian Smallegange et al. (2010) pada perangkap nyamuk yang diberikan aliran CO2 menemukan bahwa pada aliran CO2 25 ml/menit berhasil menangkap 86 nyamuk, CO2 60 ml/menit 100 nyamuk dan ketika aliran CO2 dinaikan menjadi 100 ml/menit jumlah nyamuk yang tertangkap bertambah menjadi 177 nyamuk. Aroma dapat mempengaruhi nyamuk dalam mendeteksi inangnya. Hasil penelitian Smallegange et al. (2010) menemukan bahwa amonia, asam laktat, dan asam karboksilat alifatik signifikan mempengaruhi orientasi nyamuk dalam menemukan inang. Bau kulit kaki secara signifikan lebih menarik dari pada tangan manusia, namun bau tangan manusia atau bau kulit kaki lebih menarik daripada ammonia karena lebih bersifat volatil. Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih inang. Bentuk dan pemantulan cahaya serta gerakan inang ternyata merupakan faktor penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang hari. Brown dan Bennet (1981) melaporkan bahwa Ae. aegypti lebih banyak menggigit orang yang memakai baju berwarna gelap dibandingkan orang yang memakai baju berwarna terang. Faktor visual mempengaruhi orientasi nyamuk yang menggigit di siang hari. Penggunaan Hewan dalam Aplikasi Zooprofilaksis Pemanfaatan ternak dalam pengendalian nyamuk merupakan cara biologis yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kontak antara nyamuk dengan manusia, hal ini dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Tindakan tersebut bertujuan agar terjadi perubahan orientasi nyamuk dari menggigit manusia kepada hewan ternak seperti sapi (Hasan 2006). Zooprofilaksis didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan inang reservoar dari suatu penyakit untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia ke hewan. Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk dengan cara menempatkan ternak sebagai barrier. Ternak ini ditempatkan diantara tempat perindukan dalam arah terbang nyamuk menuju permukiman penduduk. Tindakan zooprofilaksis yang direncanakan dan dilakukan seperti itu disebut zooprofilaksis aktif. Sebaliknya zooprofilaksis pasif, yaitu zooprofilaksis yang tidak direncanakan dan mempunyai

23 8 daya mengalihkan nyamuk vektor yang antropofilik menjadi zoofilik dalam batas tertentu (WHO 1982). Soedir (1985) di Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah menyebutkan umpan hewan berupa sapi mampu menarik 54, 3% Anopheles sedangkan umpan manusia hanya mampu menarik 5,3% Anopheles dari total penangkapan nyamuk. Hasil uji presipitasi menunjukkan bahwa 56,04% dari populasi An. aconitus mengisap darah sapi serta 3,30% darah manusia (Boewono 1986). Di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah nyamuk Anopheles spp. lebih menyukai darah hewan, antara lain A. maculatus dengan angka human blood index (HBI) 32,4% dan An. vagus 8,2% (Achmad et al. 2003). Ketertarikan atau kecenderungan Anopheles dalam mengisap darah ternak juga dilaporkan di Desa Kaligading, Jawa Tengah. Hasil uji presipitin menunjukkan 56,04% dari populasi An. aconitus mengisap darah sapi, 23,07% darah kerbau, 13,19% darah domba dan 4,40% darah kambing serta 3,30% darah manusia. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa ternak sapi atau kerbau dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan metode zooprofilaksis baik secara aktif maupun pasif (Boewono 1986). Keberhasilan program zooprofilaksis dapat terjadi jika memenuhi beberapa kriteria yaitu pertama jenis Anopheles harus bersifat zoofilik atau zooantropofilik. Kedua, ternak tersebut harus disebar dalam bentuk tameng atau menyerupai barrier antara nyamuk vektor dan manusia. Lokasi penempatan ternak harus sejauh mungkin dari manusia (Santoso 2012). Boewono (1986) menyebutkan, ternak yang dipasang bisa efektif menjadi barrier terhadap gigitan Anopheles pada manusia apabila ternak tersebut diletakkan ± 20 meter dari keberadaan manusia. Modifikasi Zooprofilaksis dengan Insektisida dan Dampaknya Terhadap Resisitensi Vektor Aplikasi zooprofilaksis bertujuan mengalihkan preferensi nyamuk vektor dari manusia ke hewan yang diharapkan dapat mengurangi transmisi malaria ke manusia. Zooprofilaksis jika dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan masalah baru yaitu terus terjaganya siklus perkembangan biologi Anopheles. Hal ini terjadi akibat tersedianya sumber nutrisi berupa darah ternak untuk keberlanjutan keturunannya. Angka gigitan Anopheles terhadap manusia akan menurun, namun disisi lain populasi Anopheles akan terus meningkat. Hal ini akan menimbulkan risiko tinggi bagi orang yang bepergian keluar rumah saat tidak terlindungi dari gigitan Anopheles, sehingga perlu dilakukan modifikasi agar menambah keefektifan dalam melakukan pengendalian. Modifikasi yang dianggap efektif adalah dengan pemberian insektisida pada tubuh hewan ternak. Program penggunaan insektisida dilakukan secara luas di seluruh dunia termasuk Indonesia (WHO 1992). Pelaburan insektisida pada sapi dapat menurunkan insiden penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum sebesar 56% dan Plasmodium vivax sebesar 31%, dengan biaya yang lebih rendah sekitar 80% dibandingkan dengan metode penyemprotan dalam ruangan (indoor residual spraying) (Rowland et al. 2001). Aplikasi insektisida pada ternak tidak hanya menguntungkan bidang kesehatan masyarakat saja, tapi juga memberi keuntungan bagi peternakan hewan dan ekonomi. Produktivitas ternak

24 dapat ditingkatkan sebagai akibat langsung dari reduksi ektoparasit dan serangga pengganggu lainnya seperti lalat dan caplak. Hasil lainnya yaitu terjadi penurunan kasus penyakit yang ditimbulkan oleh ektoparasit seperti babesiosis, anaplasmosis,dan theleriosis. Franco (2014) menyebutkan bahwa zooprofilaksis menggunakan ternak yang berinsektisida dan tidak, secara matematis menunjukkan perbedaan yang signifikan pada perhitungan kepadatan vektor yang tertangkap. Penggunaan sapi yang dikombinasikan dengan pemberian insektisida dan sekaligus berfungsi sebagai atraktan dapat mengurangi kontak vektor dengan manusia sehingga mampu menurunkan kasus malaria di suatu daerah endemis di Pakistan. Pengendalian ektoparasit dengan insektisida diketahui sangat baik dalam meningkatkan produktivitas ternak, diantaranya yang telah banyak digunakan adalah deltametrin (Hewiit & Rowland 1999). Deltametrin yang dibalurkan pada sapi di komplek pengungsian Afrika terbukti dapat menurunkan kasus malaria sebesar 56%. Metode ini sama efektifnya dengan penggunaan IRS, tetapi dengan biaya yang jauh lebih murah karena pengunaan insektisida yang lebih efektif dan aman. Metode ini sekaligus mampu meningkatkan produksi ternak akibat penurunan jumlah ektoparasit pada sapi (Rowland et al. 2001). Deltametrin sebagai insektisida pengendali ektoparasit tidak berbahaya bagi konsumen dan produk hewan (WHO 1990). Zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pemberian insektisida sama efektifnya dengan metode IRS. Secara teknis kombinasi ini dapat diarahkan untuk mengurangi risiko resistensi yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Satu diantara masalah penggunaan insektisida adalah munculnya populasi serangga yang resisten. Secara alami terjadi mutasi genetik yang memungkinkan proporsi kecil dari suatu populasi (kurang dari 1 per individu) mampu bertahan dan tetap hidup akibat insektisida. Bila hal ini terjadi secara terus menerus dengan menggunakan insektisida yang sama, serangga yang telah resisten akan menurunkan sifat-sifat resisten kepada keturunannya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan proporsi organisme resisten pada suatu populasi. Proses seleksi akibat penggunaan insektisida terjadi serupa dengan perubahan evolusi lainnya, dan proses akan terjadi lebih lama jika frekuensi gen pembawa resisten rendah. Gen resisten berkisar dari dominan, semidominan sampai resesif. Faktor pendukung terjadinya resistensi adalah penggunaan insektisida yang sama atau sejenis secara terus menerus, penggunaan bahan aktif atau formulasi yang mempunyai aktifitas yang sama, efek residual lama dan biologi spesies vektor. Penyemprotan residual memberi peluang lebih besar menciptakan generasi resisten dibandingkan terhadap aplikasi lain, karena peluang kontak antara vektor dengan bahan aktif itu lebih besar. Faktor pendukung lainnya adalah penggunaan insektisida yang sama terhadap semua stadium vektor (telur, larva, pupa dan dewasa). Mekanisme resistensi dapat digolongkan dalam dua katagori yaitu (1) biokimiawi dan (2) perilaku (behavioural resistance) (WHO 1999). 1. Mekanisme biokimiawi berkaitan dengan fungsi enzimatik didalam tubuh vektor yang mampu mengurai molekul insektisida menjadi molekulmolekul lain yang tidak toksik (detoksifikasi). Molekul insektisida harus berinteraksi dengan molekul target didalam tubuh vektor sehingga mampu menimbulkan keracunan terhadap sistem kehidupan vektor untuk dapat menimbulkan kematian. Detoksifikasi insektisida terjadi terjadi dalam 9

25 10 tubuh spesies vektor karena meningkatnya suatu populasi yang mengandung enzim yang mampu mengurai molekul insektisida. Tipe resistensi dengan mekanisme biokimiawi ini sering disebut sebagai resistensi enzimatik. 2. Resistensi perilaku (behavioural resistance). Individu dari populasi vektor terlindungi oleh struktur eksoskeleton sehingga insektisida tidak mampu masuk kedalam tubuh vektor. Secara alami juga dapat terjadi suatu perilaku dari vektor yang menghindar dari kontak langsung dengan insektisidanya, sehingga insektisida tidak sampai pada targetnya. Sebagai dasar dalam pengaturan penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor, diperlukan data atau informasi tentang status kerentanan spesies sasaran di setiap populasi yang berbasis eko-epidiomologi. Menurut WHO (1992), sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk yang telah resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Total dari keseluruhan jumlah tersebut, 56 spesies diantaranya adalah nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex. Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain, An. sacharovi di Lebanon, Iran dan Turki, An. sundaicus di Indonesia dan Myanmar terhadap DDT, An. quadrimaculatus di Mexico terhadap dieldrin, An. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat (Widiarti et al. 2003). Sementara itu, Anopheles yang resisten terhadap piretroid adalah An. minimus di Thailand (Chareoviriyaphap et al. 2002) dan An. gambiae di Kamerun (Etang et al. 2006). Kejadian resistensi Anopheles pada aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pemberian insektisida belum banyak dilaporkan di Indonesia. Aplikasi ini masih belum banyak digunakan sebagai terobosan pengendalian nyamuk vektor penyakit terutama malaria.

26 3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni September Lokasi penelitian dilakukan di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Pengambilan sampel penelitian dilakukan disekitar permukiman warga yang memiliki ternak sapi. Permukiman ini terletak ±500 meter dari garis pantai. Lingkungan disekitar permukiman penduduk tersebut banyak terdapat lagun, genangan air tambak yang terbengkalai serta genangan air sawah yang belum ditanami dan tempat-tempat tersebut banyak digunakan sebagai tempat perkembang biakan nyamuk Anopheles. U U Gambar 2. Peta Lokasi Pengambilan Data. (Sumber: Google Earth 2014). Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan mengamati aktivitas, kepadatan, keanekaragaman jenis dan perilaku Anopheles dalam memilih inang pada aplikasi zooprofilaksis menggunakan sapi berinsektisida dan sapi tidak berinsektisida. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah 1) Aplikasi zooprofilaksis, 2) Pengukuran kepadatan Anopheles pada orang, 3) Pengukuran kepadatan Anopheles pada sapi, 4) Identifikasi jenis Anopheles, 5) Pengamatan tingkat paritas Anopheles yang tertangkap.

27 12 Aplikasi Zooprofilaksis Aplikasi zooprofilaksis pada penelitian ini menggunakan sapi yang dibalur insektisida deltametrin 5% dengan konsentrasi 25 mg/m 2 sesuai dengan dosis aplikasi yang dianjurkan keseluruh permukaan tubuh sapi. Pembaluran dilakukan pada dua ekor sapi dari total empat ekor sapi yang digunakan (dua ekor sapi berinsektisida dan dua ekor sapi tanpa insektisida). Pembaluran ini dilakukan rutin setiap seminggu sekali karena daya keefektifannya dalam membunuh 95% Anopheles mampu bertahan hingga 8 hari (Santoso 2012). Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Orang Penangkapan Anopheles menggunakan umpan orang atau Bare Leg Collection (BLC) dilakukan di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui kepadatan (densitas) nyamuk yang kontak dengan orang. Jumlah kolektor secara total berjumlah delapan orang yaitu dua rumah dari pemasangan sapi berinsektisida dan dua rumah dari pemasangan sapi tanpa insektisida. Penangkapan nyamuk dilakukan selama semalam dimulai pukul Setiap jam penangkapan terdiri atas 45 menit penangkapan nyamuk menggunakan aspirator. Kolektor duduk dengan menggulung celana panjangnya hingga batas lutut dan tidak merokok selama kegiatan. Jika terdapat nyamuk yang hinggap atau menempel pada permukaan kulit maka segera disedot menggunakan aspirator. Nyamuk yang ditangkap ditampung dalam paper cup yang sudah diberi label untuk dihitung dan diidentifikasi. Kepadatan nyamuk Anopheles yang hinggap di badan per orang perjam dihitung berdasarkan nilai man hour density (MHD) (Bruce-Chwatt 1985). Penangkapan ini dilakukan dengan interval dua minggu sekali selama total tujuh kali penangkapan. Pengukuran kepadatan ini juga dilakukan penghitungan kelimpahan nisbi, frekuensi, dominansi, indeks keanekaragaman dan aktivitas menggigit dari seluruh spesies Anopheles yang tertangkap pada orang. Pengukuran Kepadatan Anopheles Pada Sapi Hewan ternak yang dipakai sebagai barier pada metode zooprofilaksis merupakan ternak sapi yang dimiliki oleh penduduk setempat. Jumlah sapi yang digunakan sebanyak empat ekor (dua ekor sapi berinsektisida dan dua ekor sapi tanpa insektisida). Sapi yang dijadikan sebagai umpan atau barier ditempatkan dalam magoon trap. Magoon ini berukuran panjang 6 m, lebar 6 m dan tinggi 2 m, berdinding kain kelambu yang dilengkapi dengan jendela-jendela untuk masuknya nyamuk dan pintu masuk untuk kolektor dan sapi. Penempatan magoon diletakkan diantara tempat perindukan nyamuk dan rumah dengan jarak meter dari rumah sejak pukul Pengukuran kepadatan populasi Anopheles dilakukan dengan penangkapan Anopheles yang hinggap pada sapi dan kelambu menggunakan aspirator. Setiap jam penangkapan selama 45 menit, jendela-jendela magoon trap dibuka untuk membiarkan nyamuk masuk dan 15 menit berikutnya dilakukan penangkapan. Sebelum penangkapan, jendela-jendela magoon harus dalam keadaan tertutup. Nyamuk yang tertangkap dimasukkan ke dalam paper

28 cup yang terpisah berdasarkan jam penangkapan dan selanjutnya dibius menggunakan kloroform untuk dihitung jumlahnya dan diidentifikasi. Pengukuran kepadatan ini juga dilakukan penghitungan kelimpahan nisbi, frekuensi, dominansi, indeks keanekaragaman dan aktivitas menggigit dari seluruh spesies Anopheles. Identifikasi Spesies Anopheles Nyamuk Anopheles yang tertangkap melalui BLC dan umpan sapi diidentifikasi dibawah mikroskop stereo menggunakan kunci identifikasi morfologi bergambar O Connor & Soepanto (2013). Pengamatan Tingkat Paritas Anopheles Pengamatan ovarium nyamuk diamati dibawah mikroskop stereo dengan perbesaran 40X. Nyamuk Anopheles yang akan dibedah diletakkan di atas kaca benda yang telah ditetesi larutan NaCl. Tangan kiri memegang jarum seksi dan ditusukkan ke bagian thoraks untuk menahan tubuh nyamuk agar tidak bergerak. Tangan kanan merobek bagian ujung ruang abdomen segment ke VII menggunakan jarum seksi. Selanjutnya ujung abdomen (segment terakhir) ditarik perlahan-lahan ke belakang sampai bagian ovariumnya keluar. Jika ujung tracheola masih menggulung, berarti nyamuk belum pernah bertelur (nuliparus). Sedangkan jika ujung tracheolnya membuka/tidak menggulung, berarti nyamuk sudah pernah bertelur (parus) atau berumur tua. Pengamatan paritas bertujuan untuk menganalisis apakah nyamuk tersebut berpotensi sebagai vektor malaria atau tidak. Nyamuk yang berpotensi sebagai vektor malaria merupakan nyamuk yang sudah parus atau sudah pernah bertelur (Bruce-Chwatt 1985; Mala et al. 2014). Analisis Data Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan untuk melihat variable yang telah ditetapkan sebagai berikut: Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman Spesies Anopheles Penghitungan kelimpahan nisbi dilakukan untuk mengetahui dominansi dari spesies Anopheles yang tertangkap selama penelitian. Penghitungan Kelimpahan nisbi, Frekuensi dan Dominasi sebagaimana Sigit (1968), dan Indeks keanekaragaman menggunakan rumus Shannon-Wiener (Odum et al. 1993) 13 Keterangan : N = a b 100% N= Kelimpahan Nisbi. a= Jumlah spesies tertentu b= Total spesies

29 14 Frekuensi Spesies Anopheles Frekuensi Spesies = Dominansi Spesies Anopheles Jumlah total tertangkapnya Anopheles Jenis tertentu Jumlah total penangkapan Dominansi Spesies = Kelimpahan Nisbi X Frekuensi Spesies Indeks Keanekaragaman (H) = - Pi Ln (Pi) dengan Pi = Ni/N Keterangan: Pi: Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis Ni : Jumlah individu ke-i N : Jumlah total individu semua jenis Kriteria indeks keanekaragaman sebagai berikut: Tinggi (H > 3); Sedang (1 H 3); Rendah (H < 1) Kepadatan Anopheles Pada Orang Kepadatan Anopheles yang kontak dengan manusia dalam satu jam (per jam per orang) dinyatakan sebagai Man Hour Density (MHD) (KEMENKES, 2012). Nilai MHD ditentukan melalui rumus berikut: MHD = Jumlah Anopheles tertangkap per spesies Jumlah jam penangkapan 45 Jumlah Kolektor 60 Kepadatan Anopheles Pada Sapi Kepadatan Anopheles yang kontak dengan sapi di dalam magoon trap dihitung sebagaimana MHD dan dinyatakan sebagai Cattle Hour Density (CHD) dengan rumus berikut: CHD = Jumlah Anopheles tertangkap per spesies Jumlah jam penangkapan 45 Jumlah Sapi 60 Derajat Paritas Nyamuk Anopheles Derajat paritas Anopheles dapat diketahui dengan melakukan pembedahan ovarium nyamuk dan menghitung jumlah nyamuk yang parus dibagi dengan total jumlah nyamuk yang dilakukan pembedahan. Nyamuk Anopheles yang dibedah berjumlah 50% dari jumlah total penangkapan nyamuk Anopheles. Parity Rate = Jumlah Nyamuk Parus Jumlah Nyamuk Parus dan Nuliparus yang Diperiksa Ovariumnya

30 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ragam Spesies Anopheles Anopheles yang tertangkap pada orang terdiri atas 4 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris dan An.aconitus. Anopheles yang tertangkap pada sapi baik pada sapi berinsektisida maupun tidak, terdiri atas 5 spesies yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An subpictus dan An.aconitus. Perbedaan keanekaragaman ini menunjukkan bahwa ketertarikan Anopheles pada sapi lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang atau dengan kata lain spesies Anopheles pada penelitian ini lebih bersifat zoofilik. Setiap spesies dari genus Anopheles memiliki ciri-ciri morfologi yang khas dan berbeda dengan spesies yang lain. Ciri khas inilah yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengenali masing-masing spesies dari genus Anopheles. An. sundaicus merupakan vektor utama di Jawa dan Sumatera. Di daerah Lampung nyamuk ini sudah terbukti sebagai vektor malaria dan sudah dikonfirmasi melalui pemeriksaan Circumsporozoite (CSP) menggunakan metode Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Suwito 2010). An. sundaicus memiliki ciri khas morfologi yaitu bagian palpusnya terdiri atas 3 gelang pucat. Probosis seluruhnya berwarna gelap (Gambar 3). Tarsus ke-5 kaki belakang sebagian atau seluruhnya berwarna gelap. Bagian sayap yaitu urat sayap Vena 1 terdapat 2 bagian gelap yang berada di bawah bagian gelap tengah costa (O Connor & Soepanto 2013). Gambar 3. Morfologi An. sundaicus. Hasil identifikasi spesies Anopheles yang kedua adalah An. vagus. Di Indonesia An. vagus juga merupakan vektor utama malaria di Jawa dan Sumatera. Lembaga Riset Angkatan Laut Amerika Serikat (NAMRU) telah mengkonfirmasikan melalui ELISA Test (Solaeman 2004). Nyamuk ini memiliki

31 16 ciri khas morfologi diantaranya yaitu pada bagian ujung proboscisnya terdapat sedikit bagian yang berwarna pucat. Noda pucat pada bagian ujung palpusnya panjangnya 3-4 kali panjang noda pucat pada bagian sub apicalnya (Gambar 4). Bagian tarsus ke-5 kaki belakangnya berwarna pucat. Tarsi kaki depan dengan gelang yang lebar. Bagian femur dan tibianya tidak berbercak (O Connor & Soepanto 2013). Gambar 4. Morfologi An. vagus. Identifikasi spesies Anopheles yang ke-3 adalah An. barbirostris. Nyamuk ini masih belum terbukti sebagai vektor malaria karena belum ada penelitian yang mengkonfirmasi keberadaan sporozoit didalam tubuhnya menggunakan uji ELISA. Ciri khas morfologi dari nyamuk ini adalah seluruh tubuhnya berwarna hitam gelap. Ukuran tubuhnya relatif lebih besar jika dibandingkan dengan spesies lainnya. Palpi dan proboscisnya seluruhnya gelap. Bagian sternit abdomen segmen ke-7 terdapat sikat atau sisik berwarna gelap (Gambar 5). Bagian abdomen dengan kumpulan sisik-sisik putih dan berjajar dibagian tepi. Gambar 5. Morfologi An. barbirostris.

32 Hasil identifikasi Anopheles yang ke-4 adalah An. subpictus. Nyamuk ini sering ditemukan bersama dengan An. sundaicus karena habitatnya yang sama yaitu pada perairan payau. Sampai saat ini belum ada yang membuktikan secara mikroskopis bahwa An. subpictus sebagai vektor malaria. Namun nyamuk ini diberbagai pesisir pantai Jawa dan Sumatera berperan sebagai kandidat vektor. Ciri khas morfologi dari nyamuk ini yaitu seluruh proboscisnya berwarna gelap. Gelang pucat pada bagian sub apical palpi 1/3 gelang sub apical yang berwarna gelap. Tarsus ke-5 kaki belakangnya seluruhnya berwarna gelap (Gambar 6). Tarsus kaki depan dengan gelang yang lebar (O Connor & Soepanto 2013). 17 Gambar 6. Morfologi An. subpictus. Hasil identifikasi Anopheles yang ke-5 adalah An.aconitus. Nyamuk ini di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta berperan sebagai vektor utama malaria. Hasil penelitian dari Widiyastuti (2013) di Kulon progo, DIY menyebutkan bahwa An. aconitus dan An. maculatus sudah terbukti sebagai vektor malaria dengan ditemukannya CSP P. vivax menggunakan uji ELISA. Ciri khas morfologi dari nyamuk ini yaitu setengah ujung dari proboscisnya terdapat noda pucat. Venasi sayap nomer 6 terdapat 3 noda gelap, sedangkan bagian venasi sayap nomer 6 terdapat jumbai-jumbai berwarna pucat (Gambar 7). Bagian tarsi kaki depan tidak bergelang atau dengan gelang sempit. Gambar 7. Morfologi An. aconitus.

33 18 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Keanekaragaman Spesies Anopheles Angka kelimpahan nisbi, frekuensi, dominansi dan indeks keanekaragaman jenis sangat diperlukan untuk mengetahui proporsi kepadatan suatu spesies pada lokasi tertentu. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Anopheles yang tertangkap pada penelitian ini secara keseluruhan (ditemukan pada orang dan sapi) terdiri atas 5 spesies, yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An.aconitus dan An. subpictus. Proporsi spesies Anopheles yang tertangkap adalah An. sundaicus sebesar 52,10%, An. vagus sebesar 29,30%, An. barbirostris sebesar 8,58%, An. subpictus sebesar 5,59% dan An.aconitus sebesar 4,43%. An. sundaicus merupakan spesies yang memiliki nilai kelimpahan nisbi tertinggi baik pada orang maupun pada sapi. An. vagus merupakan spesies terbanyak kedua. Kedua jenis Anopheles ini merupakan vektor utama di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Orang yang dilindungi sapi berinsektisida ditemukan 4 jenis Anopheles, yaitu An. sundaicus dan An. vagus secara berurutan memiliki nilai kelimpahan nisbi sebesar 2,37% dan 0,57%. Anopheles jenis lain yaitu An. barbirostris dan An. aconitus hanya sebesar 0,41% dan 0,08%. An. subpictus tidak ditemukan mengisap darah pada orang. Orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida hanya ditemukan 3 jenis Anopheles, yaitu An. sundaicus, An. vagus dan An. barbirostris. Nilai kelimpahan nisbi tertinggi adalah An. sundaicus sebesar 0,25%, An. vagus 0,08% dan An. barbirostris 0,08%. Hasil ini menunjukkan bahwa kehadiran Anopheles terutama An. sudaicus dan An. vagus pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida cukup tinggi. Oleh sebab itu risiko penularan malaria pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida. Hasil ini sangat berbeda dengan Santoso (2012) di lokasi yang sama memperoleh 6 spesies Anopheles pada orang tanpa aplikasi zooprofilaksis. Masingmasing spesies memiliki angka kelimpahan nisbi sebesar An. sundaicus 57,81%, An. vagus 20,93%, An. barbirostris 8,79%, An. subpictus 9,22%, An. aconitus 2,28%, An. kochi 0,98%. Perbedaan ini menunjukkan besarnya pengaruh aplikasi zooprofilaksis untuk menurunkan kontak Anopheles dengan orang. Kelimpahan nisbi tertinggi pada sapi berinsektisida yaitu pada An. sundaicus sebesar 19,44% dan secara berturut-turut An. vagus 7,57%, An. barbirostris 2,70%, An. subpictus 1,68% dan An.aconitus 1,15%. Sapi tidak berinsektisida memiliki nilai kelimpahan nisbi tertinggi yaitu An. sundaicus sebesar 31,52% kemudian secara berurutan An. vagus 19,57%, An. barbirostris 5,49%, An. subpictus 4,50% dan An.aconitus 2,54%. Hasil ini menunujukkan bahwa sapi tidak berinsektisida memiliki daya tarik Anopheles lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi berinsektisida. Hal ini dibuktikan dari lebih tingginya angka kelimpahan nisbi pada sapi tanpa insektisida. Semakin tinggi kelimpahan nisbi berarti semakin besar angka ketertarikan Anopheles pada umpan tersebut. Semakin besar ketertarikan Anopheles menggunakan sapi pada aplikasi zooprofilaksis, maka dapat dikatakan semakin efektif pula umpan itu sebagai penghalang Anopheles untuk menggigit manusia.

34 Tabel 1. Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Jenis, Dominansi Jenis dan Indeks Keanekaragaman jenis Anopheles. 19 No Jenis Umpan Spesies 1 Orang yang dilindungi Sapi Berinsektisida Kelimpahan Nisbi (%) Frekuensi Jenis Dominansi Jenis An. sundaicus An. vagus An. barbirostris An. aconitus Indeks Keanekara gaman Jenis (Rendah) 2 Orang yang dilindungi Sapi Tidak Berinsektisida 3 Sapi Berinsektisida 4 Sapi Tidak Berinsektisida An. sundaicus An. vagus (Rendah) An. barbirostris An. sundaicus An. vagus An. barbirostris An. subpictus An. aconitus An. sundaicus An. vagus An. barbirostris An.subpictus An. aconitus (Rendah) (Rendah) Frekuensi jenis dari spesies Anopheles yang tertangkap menunjukkan An. sundaicus ditemukan pada semua jenis umpan dan waktu penangkapan selama 7 kali berturut-turut. Hasil ini semakin menguatkan bahwa An. sundaicus merupakan vektor dominan sekaligus vektor utama malaria di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Orang yang dilindungi sapi berinsektisida memiliki nilai frekuensi Anopheles yang lebih tinggi jika dibandingkan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida. Hasil ini juga mengindikasikan masih lebih besarnya peluang orang yang dilindungi sapi berinsektisida kontak dengan Anopheles. Pada sapi tidak berinsektisida semua jenis Anopheles yang tertangkap memiliki nilai 1,00 yang artinya pada umpan ini semua jenis Anopheles selalu ditemukan pada seluruh penangkapan. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sapi tidak berinsektisida lebih disukai oleh Anopheles, sehingga meminimalkan kontak Anopheles dengan manusia. Nilai dominansi jenis merupakan parameter keberadaan spesies Anopheles pada masing-masing jenis umpan. Jika total nilai dominansi jenis sama dengan nilai kelimpahan nisbi maka spesies Anopheles tersebut dikatakan cukup tinggi. Umpan yang memiliki nilai dominansi jenis sama dengan nilai kelimpahan nisbi pada semua spesies Anopheles adalah pada sapi tidak insektisida. Umpan ini bisa dikatakan memiliki nilai dominansi spesies Anopheles yang cukup tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa spesies yang paling dominan adalah An. sundaicus dan ditemukan lebih dari 50% kemudian disusul oleh An. vagus yang jumlahnya hampir 30%. An. sundaicus merupakan spesies yang dominan ditemukan dikarenakan banyaknya lagun-lagun dan tambak yang sudah

35 20 terbengkalai di sekitar lingkungan permukiman warga. Habitat air lagun dan tambak yang terbengkalai merupakan habitat yang sangat cocok sebagai tempat perindukan An. sundaicus (Safitri 2009; Sukowati 2009; Suwito 2010). Selain itu, di sekitar permukiman juga banyak ditemukan area persawahan yang umumnya setelah selesai musim panen area persawahannya dibiarkan tergenang oleh air hujan. Habitat seperti inilah yang umumnya disukai sebagai tempat perindukan An. vagus. An. vagus menempati posisi terbanyak kedua setelah An. sundaicus dikarenakan banyaknya persawahan yang dijadikan sebagai tempat perindukan oleh nyamuk tersebut. Pada air tawar An. sundaicus ditemukan bersama-sama dengan A. barbirostris dan An. vagus sedangkan pada air payau An. sundaicus ditemukan bersama dengan An. subpictus (Shinta et al. 2003). Di Kabupaten Trenggalek habitat perkembangbiakan An. sundaicus dan An. vagus adalah lagun dengan tanaman bakau, rumput air dan lumut dengan tingkat salinitas air 9 (Mardiana et al. 2002). Indeks keanekaragaman jenis Anopheles yang diperoleh dari ke 4 jenis umpan, termasuk dalam katagori rendah, namun pada sapi memiliki nilai indeks keanekaragaman yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada orang. Sapi tidak berinsektisida memiliki nilai paling tinggi dari semua jenis umpan. Hasil ini menunjukkan bahwa sapi tidak berinsektisida lebih menarik datangnya Anopheles, yang ditunjukkan dengan lebih tingginya ragam jenis dan kepadatannya. Kepadatan Anopheles pada Orang Rata-rata kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida baik di dalam maupun di luar rumah menunjukkan nilai yang berfluktuasi. Rata-rata kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida rata-rata di luar rumah sebesar 0,24 ± 0,20 nyamuk/orang/jam. Jastal (2005) melaporkan dari delapan spesies Anopheles yang didapatkan di Desa Tongua, Donggala Sulawesi Tengah juga menunjukkan sifat Anopheles yang lebih banyak ditemukan mengisap darah di luar rumah. Seiring terpaparnya Anopheles dengan insektisida pada sapi secara terus menerus meningkatkan populasi Anopheles pada orang. Populasi Anopheles terjadi penurunan setelah penangkapan ke-5 sampai penangkapan yang terakhir yaitu penangkapan Anopheles ke-7 (Gambar 8). Kepadatan Anopheles pada orang di dalam rumah secara keseluruhan jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah Anopheles di luar rumah. Kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida rata-rata di dalam rumah sebesar 0,14 ± 0,14 nyamuk/orang/jam. Hal ini dikarenakan sifat Anopheles yang umumnya bersifat eksofagik atau lebih menyukai mengisap darah inang di luar rumah. Sebagaimana dilaporkan oleh Boesri (1999) di Tarahan Lampung Selatan menunjukkan An. sundaicus lebih cenderung mengisap darah di luar rumah (eksofilik). Rata-rata kepadatan Anopheles yang mengisap darah orang di dalam rumah jumlahnya sangat fluktuatif, pada pengambilan awal mengalami peningkatan populasi, namun pada pengambilan ke-2 sampai ke-4 mengalami penurunan populasi Anopheles. Pengambilan ke-5 terjadi peningkatan populasi Anopheles yang sangat drastis, namun pada pengambilan selanjutnya yaitu pengambilan ke-6 sampai ke-7 terjadi penurunan populasi kembali (Gambar 8).

36 nyamuk/jam/orang Luar Rumah Dalam Rumah MHD 1 MHD 2 MHD 3 MHD 4 MHD 5 MHD 6 MHD 7 Gambar 8. Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Berinsektisida dari Juni-September Ket: MHD 1-7= Man Hour Density pada penangkapan ke-1 sampai ke-7. Fluktuasi kepadatan Anopheles ini dapat disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang mempengaruhi keberadaan tempat perindukan Anopheles. Semakin tinggi curah hujan maka peluang terbentuknya tempat perindukan Anopheles akan semakin besar. Hal ini dikarenakan terbentuknya genangan-genangan air pada area persawahan, lagun dan tambak yang banyak terdapat di sekitar lokasi penelitian. Penangkapan Anopheles ke-5 dilakukan pada akhir bulan Agustus 2014 yang memiliki intensitas hujan cukup tinggi. Suwito (2010) di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung melaporkan semakin tinggi curah hujan maka akan menaikan kepadatan populasi Anopheles, demikian juga sebaliknya rendahnya curah hujan mengurangi kepadatan populasi Anopheles. Selain itu, kasus malaria di Kokap Kabupaten Kulonprogo meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi (Suwasono 2000). Kepadatan rata-rata Anopheles yang tertangkap pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida secara keseluruhan lebih sedikit jika dibandingkan pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida. Pada aplikasi ini tidak semua penangkapan ditemukan Anopheles pada orang di dalam maupun di luar rumah. Hasil ini mengindikasikan bahwa peluang Anopheles kontak dengan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida lebih kecil jika dibandingkan dengan orang yang dilindungi sapi berinsektisida. Kepadatan Anopheles pada orang di luar rumah cenderung fluktuatif, bahkan pada beberapa penangkapan yaitu penangkapan ke-2, 3, 4 dan 7 tidak ditemukan Anopheles. Jumlah Anopheles yang tertangkap pada beberapa penangkapan jumlahnya cenderung tetap (Gambar 9). Rata-rata kepadatan Anopheles di luar rumah sebesar 0,05 ± 0,06 nyamuk/orang/jam. Keberadaan nyamuk pada orang di luar rumah dimungkinkan karena tingginya populasi nyamuk pada saat pengambilan data. Tingginya populasi Anopheles ini sangat erat kaitannya dengan ketersediaan tempat perindukannya. Semakin banyak tempat perindukan nyamuk maka populasi nyamuk juga akan semakin tinggi.

37 nyamuk/jam/orang Luar Rumah Dalam Rumah MHD 1 MHD 2 MHD 3 MHD 4 MHD 5 MHD 6 MHD 7 Gambar 9. Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Tidak Berinsektisida dari Juni-September Ket: MHD 1-7= Man Hour Density pada penangkapan ke-1 sampai ke-7. Seluruh penangkapan Anopheles pada orang di luar rumah menunjukkan angka MHD tertinggi yaitu 0,12 nyamuk/jam/orang. Angka ini relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan angka MHD tertinggi pada orang di luar rumah yang dilindungi sapi berinsektisida yaitu sebesar 0,67 nyamuk/jam/orang. Kepadatan Anopheles pada orang di dalam rumah yang dilindungi sapi berinsektisida secara umum jumlahnya relatif sama dengan penangkapan orang di luar rumah (Gambar 9). Pada penangkapan ke-1, 2, 5 dan 7 tidak ditemukan atau tertangkap nyamuk Anopheles. Rata-rata kepadatan Anopheles di dalam rumah sebesar 0,05 ± 0,07 nyamuk/orang/jam. Angka MHD tertinggi pada orang di dalam rumah sebesar 0,13 nyamuk/jam/orang. Pada beberapa penangkapan yaitu penangkapan ke-1, 3, 4, 5 terjadi fenomena pengalihan preferensi nyamuk yang dibuktikan dengan ketika Anopheles ditemukan di luar rumah maka tidak akan ditemukan di dalam rumah. Hal ini juga berlaku sebaliknya, ketika Anopheles ditemukan di dalam rumah maka di luar tidak ditemukan Anopheles. Fenomena ini sangat sulit diketahui penyebabnya karena banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain dari ketelitian kolektor pada saat menangkap nyamuk. Namun fenomena ini tidak berlaku pada penangkapan ke-6 yaitu Anopheles ditemukan pada kedua orang, baik orang di luar rumah maupun orang di dalam rumah. Secara umum jumlah kepadatan Anopheles antara orang yang dilindungi sapi berinsektisida dibandingkan dengan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida pada orang di dalam dan di luar rumah menunjukkan perbedaan jumlah yang cukup tinggi. Rata-rata kepadatan Anopheles dari 7 kali pengambilan pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida sebesar 0,38 nyamuk/jam/orang. Adapun pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida sebesar 0,09 nyamuk/jam/orang. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Santoso (2012), kepadatan Anopheles di luar dan di dalam terjadi penurunan yang signifikan di lokasi yang sama ketika aplikasi zooprofilaksis tidak dilakukan lagi. Kepadatan Anopheles di luar rumah sebesar 2,98 nyamuk/orang/jam, sedangkan di dalam rumah jauh lebih rendah sebesar 0,84 nyamuk/orang/jam. Perbedaan ini

38 menunjukkan bahwa kepadatan Anopheles pada orang yang menggunakan aplikasi zooprofilaksis memiliki angka MHD yang jauh lebih rendah jika dibandingkan tanpa aplikasi zooprofilaksis. Penurunan angka gigitan Anopheles pasca penggunaan aplikasi zooprofilaksis dengan kombinasi insektisda terjadi sampai hari ke-21 (Santoso 2012). Namun, ketika aplikasi ini terus dilakukan menggunakan jenis insektisida yang sama yaitu deltamethrin 5% sampai hari ke-98 akan menurunkan tingkat kefektifannya dalam mengalihkan gigitan Anopheles terhadap orang. Menurunnya tingkat keefektifan ini mungkin disebabkan adanya resistensi baik secara biokimiawi maupun secara behavior (perilaku) saat nyamuk terpapar secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Winarno et al. (2010) pada vektor malaria di beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami resistensi pada saat dipapar insektisida pada jenis yang sama dan dalam waktu yng lama. Selanjutnya Hasan (2006) di Desa Cikarawang, Bogor juga melaporkan terjadi penurunan kepadatan An. vagus pada kerbau dengan aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan insektisida deltametrin sampai hari ke- 18. Aplikasi zooprofilaksis menggunakan babi dalam mengendalikan lalat tse-tse di Ghana yang berperan sebagai vektor Tripanosoma juga dilaporkan terjadi penurunan kepadatan sebesar 24% setelah 8 bulan menggunakan insektisida deltametrin (Bauer et al 2011). Sebaliknya, Habtewold et al. (2004) melaporkan aplikasi zooprofilaksis dengan insektisida pada sapi di Ethiopia tidak mempengaruhi nyamuk dalam merubah preferensinya untuk mencari darah inang manusia. Kepadatan Anopheles pada Sapi Kepadatan Anopheles pada sapi berinsektisida, cenderung berfluktuasi (Gambar 10). CHD rata-rata penangkapan nyamuk menggunakan sapi berinsektisida dari total 7 kali penangkapan yaitu 8,57 ± 7,61 nyamuk/jam/sapi. Tinggi rendahnya suatu populasi nyamuk di suatu lokasi sangat tergantung dengan kadar curah hujan pada daerah tersebut, semakin tinggi curah hujan maka peluang terbentuknya tempat perindukan nyamuk akan semakin besar sehingga populasinya akan meningkat (Barrera et al. 2011). Kasus malaria di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi (Suwasono 2000). Hasil penangkapan Anopheles pada penangkapan ke-1 sampai ke-3 mengalami kenaikan jumlah populasi. Namun pada penangkapan ke-4 terjadi penurunan jumlah Anopheles yang tertangkap. Pada penangkapan ke-5 kembali terjadi peningkatan jumlah Anopheles. Penangkapan ke-5 merupakan kepadatan Anopheles tertinggi yaitu sebesar 21,24 nyamuk/jam/sapi dikarenakan intensitas hujan pada saat itu cukup tinggi. Tingginya curah hujan menyebabkan terbentuknya tempat perindukan Anopheles baru di sawah-sawah maupun lagun yang terdapat di sekitar permukiman warga. Penangkapan ke-6 dan 7 kembali terjadi penurunan jumlah Anopheles yang tertangkap. 23

39 nyamuk/jam/sapi CHD 1 CHD 2 CHD 3 CHD 4 CHD 5 CHD 6 CHD 7 Gambar 10. Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Sapi Berinsektisida dari Juni- September Ket: CHD 1-7= Cattle Hour Density pada penangkapan ke-1 sampai ke-7. Kepadatan Anopheles pada sapi tidak berinsektisida seperti disajikan pada (Gambar 11). CHD rata-rata pada penangkapan nyamuk menggunakan sapi tanpa insektisida dari total 7 kali penangkapan yaitu 23,20 ± 12,76 nyamuk/jam/sapi. Jumlah CHD ini sangat jauh berbeda dengan hasil rata-rata CHD pada sapi berinsektisida. Kepadatan Anopheles pada penangkapan ke-1 dan ke-2 relatif tetap dan hanya mengalami sedikit penurunan, akan tetapi pada penangkapan ke-3 terjadi penurunan dari 30,94 nyamuk/jam/orang menjadi 14,13 nyamuk/jam/sapi. Penangkapan ke-4 dan ke-5 justru mengalami peningkatan kepadatan populasi akibat tingginya curah hujan seperti halnya pada sapi berinsektisida dengan CHD tertinggi yaitu 40,57 nyamuk/jam/sapi. Penangkapan ke-6 dan ke-7 kembali mengalami penurunan jumlah Anopheles yang tertangkap. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa Anopheles di desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung lebih bersifat zoofilik. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kepadatan nyamuk pada sapi jika dibandingkan pada orang. Hasil ini sesuai dengan Aprianto (2002) yang menyatakan An. vagus bersifat zoofilik, lebih menyukai darah sapi di desa Hargotirto, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hal ini berbeda dengan penelitian Suwito (2010) di Provinsi Lampung yang menyebutkan bahwa An. sundaicus lebih cenderung bersifat antrophofilik, hal ini dimungkinkan karena pada penelitian tersebut hanya tersedia umpan orang saja. Anopheles lebih menyukai atau memilih sapi sebagai inang karena dimungkinkan kadar karbondioksida dan aroma tubuh yang dikeluarkan sapi lebih menarik Anopheles untuk datang dan mengisap darahnya. Menurut Olanga et al. (2010) beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi nyamuk dalam mencari inang adalah suhu, kelembaban, karbondioksida, aroma tubuh dan macam-macam faktor visual.

40 nyamuk/jam/sapi CHD 1 CHD 2 CHD 3 CHD 4 CHD 5 CHD 6 CHD 7 Gambar 11. Rata-rata Kepadatan Anopheles pada Sapi Tidak Berinsektisida dari Juni-September Ket: CHD 1-7= Cattle Hour Density pada penangkapan ke-1 sampai ke-7. Fluktuasi populasi Anopheles pada sapi berinsektisida dan tidak menunjukkan pola yang hampir sama. Akan tetapi secara keseluruhan kepadatan Anopheles pada sapi tidak berinsektisida jauh lebih tinggi daripada sapi berinsektisida. Hasil ini mengindikasikan adanya preferensi Anopheles yang cenderung lebih menyukai sapi yang tidak mengandung insektisida. Fenomena lebih rendahnya angka CHD pada sapi berinsektisida ini dimungkinkan oleh dua faktor. Pertama, adanya efek reppelant dari deltametrin yang digunakan. Kedua, Anopheles sudah mengalami atau terindikasi ke arah resistensi. Hal ini dimungkinkan jenis insektisida deltametrin sudah digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut WHO (1992) faktor pendukung terjadinya resistensi adalah penggunaan insektisida yang sama atau sejenis secara terus menerus, penggunaan bahan aktif atau formulasi yang mempunyai aktifitas yang sama, efek residual lama dan biologi spesies vektor. Penyemprotan residual memberi peluang lebih besar menciptakan generasi resisten dibandingkan terhadap aplikasi lain, karena peluang kontak antara vektor dengan bahan aktif itu lebih besar. Penyebab rendahnya preferensi Anopheles pada sapi berinsektisida dimungkinkan karena permukaan kulitnya cukup lembab akibat efek residual dari insektisida sehingga aroma yang dihasilkan dari sapi tersebut akan berkurang. Aroma tubuh inang merupakan salah satu faktor penting dan sangat mempengaruhi nyamuk dalam mendeteksi keberadaan inangnya (Smallegange et al. 2010). Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak tercapainya tujuan pemberian insektisida yang seharusnya dapat membunuh Anopheles ketika kontak dengan tubuh sapi. Deltametrin memiliki berat molekul yang tinggi dan memiliki volatilitas yang rendah sehingga molekul yang dikeluarkan secara perlahan-lahan (slow release). Oleh sebab itu efek residual dari piretroid jenis ini bisa berlangsung cukup lama (NIPC 2010). Sifat volatilitas yang rendah ini justru membuat efek reppelent pada awal-awal kontak dengan serangga sasaran. Franco (2014) menyebutkan

41 nyamuk/jam/orang 26 bahwa deltametrin yang disemprotkan pada tubuh sapi menunjukkan adanya penolakan. Efek penolakan ini terjadi dikarenakan tidak semua Anopheles yang kontak dengan insektisida langsung terbunuh (WHO 1999). Efek lain yang ditimbulkan dari pemberian deltametrin dapat menimbulkan efek reppelancy (penolakan) pada Anopheles saat awal kontak dengan insektisida. Efek penolakan inilah yang membuat Anopheles menghindari sapi berinsektisida dan mencari inang lain. Efek penolakan deltametrin terhadap Anopheles pada sapi berinsektisida menyebabkan adanya pengalihan preferensi Anopheles yang semula bersifat zoofilik berubah menjadi antropofilik. Hal ini terlihat dengan lebih tingginya angka kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida jika dibandingkan pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida. Oleh sebab itu diperlukan adanya rotasi jenis insektisida kombinasi zooprofilaksis untuk menghindari kasus resistensi. Pemilihan insektisida yang tepat akan memaksimalkan peran zooprofilaksis sebagai barrier pada orang terhadap gigitan Anopheles. Kombinasi zooprofilaksis dengan insektisida akan meminimalkan angka gigitan Anopheles pada orang, sehingga diharapkan dapat menurunkan kasus malaria pada daerah tersebut. Aktivitas Anopheles dalam Mengisap Darah Inang (Orang dan Sapi) Aktivitas Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida (Gambar 12), secara umum menunjukkan bahwa Anopheles ini lebih bersifat eksofagik. Hal ini dibuktikan dengan lebih tingginya kepadatan Anopheles yang tertangkap di luar rumah selama 12 jam penangkapan. Puncak aktivitas Anopheles di luar rumah terjadi dalam dua sesi yaitu antara pukul dan kepadatan tertinggi pada pukul Gambar 12. Aktivitas Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Berinsektisida. Ket: LR= Luar Rumah; DR= Dalam Rumah LR DR

42 nyamuk/jam/orang Keberadan Anopheles yang kontak dengan orang di luar rumah terjadi sepanjang malam. Di dalam rumah puncak aktivitas nyamuk terjadi antara pukul Aktivitas Anopheles yang kontak dengan orang di dalam rumah selama semalam lebih rendah jika dibandingkan dengan orang di luar rumah. Di daerah Sukamaju Kota Bandar Lampung Anopheles spp. mengisap darah sepanjang malam dengan puncak aktivitas pada pukul di luar rumah dan pukul di dalam rumah (Rosa et al. 2010). Orang yang sering berada di luar rumah pada malam hari berisiko lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang berada di dalam rumah. Aktivitas Anopheles pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida (Gambar 13) lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang dilindungi sapi berinsektisida. Anopheles pada umpan ini lebih bersifat eksofagik karena proporsi ditemukannya lebih besar di luar rumah. Anopheles pada orang di luar rumah, ditemukan pada 3 jam penangkapan, yaitu dengan angka MHD berturut- turut jam sebesar 0,286 jam sebesar 0,200 dan jam sebesar 0,214. Anopheles pada orang di dalam rumah hanya ditemukan pada 1 jam penangkapan yaitu antara pukul dengan MHD sebesar 0,286. Hasil ini menunjukkan bahwa ketika preferensi vektor Anopheles terhadap manusia rendah maka kemungkinan nyamuk Anopheles yang kontak dengan manusia di dalam rumah juga akan semakin kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang menggunakan sapi tidak berinsektisida memiliki risiko kontak dengan Anopheles yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang menggunakan sapi berinsektisida. Terlebih lagi jika berada di dalam rumah akan semakin meminimalkan kontak Anopheles dengan orang. Puncak aktivitas Anopheles di luar rumah terjadi pada antara pukul Anopheles pada orang di luar rumah cenderung lebih aktif menjelang pagi hari karena selama jam tidak terlihat adanya aktivitas Anopheles yang kontak dengan orang. Hal ini dimungkinkan akibat kebiasaan orang pada daerah tersebut yang umumnya berprofesi sebagai nelayan, pulang dari laut pada dini hari sampai pagi hari. Aktivitas Anopheles pada orang di dalam rumah terlihat pada malam hari yaitu antara pukul Aktivitas Anopheles di dalam rumah LR DR Gambar 13. Aktivitas Anopheles pada Orang yang dilindungi Sapi Tidak Berinsektisida. Ket: LR= Luar Rumah; DR= Dalam Rumah.

43 nyamuk/jam/sapi 28 ini dimungkinkan pada jam-jam tersebut aktivitas penduduk lebih banyak di dalam rumah. Anopheles memiliki puncak aktivitas yang berbeda-beda, karena nyamuk ini sangat bersifat lokal spesifik di suatu daerah endemis. An. sundaicus yang merupakan spesies dominan di daerah sepanjang pantai selatan Sumatera dan Jawa, hinggap di badan sepanjang malam, dengan puncak aktivitas pada pukul dan (Sukowati & Shinta 2009). Di Langkap Jaya Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat An. aconitus mencapai puncaknya pukul , sedangkan An. barbirostris dan An. maculatus pada pukul (Munif et al. 2007). Aktivitas Anopheles pada sapi berinsektisida maupun tidak memliki kesamaan Gambar 14). Angka CHD pada sapi tidak berinsektisida memiliki proporsi yang lebih tinggi dalam setiap jamnya jika dibandingkan dengan sapi berinsektisida. Puncak aktivitas Anopheles pada kedua sapi ini terjadi antara pukul Hal ini sesuai dengan Safitri (2009) dan Suwito (2010) di provinsi Lampung menyebutkan bahwa puncak aktivitas An. sundaicus dan An.vagus terjadi antara pukul dan kembali menunjukkan puncak aktivitasnya pada pukul Sapi Sapi Gambar 14. Aktivitas Anopheles pada Sapi Berinsektisida dan Sapi Tidak Berinsektisida. Ket: Sapi 1= Sapi Berinsektisida; Sapi 2= Sapi Tidak Berinsektisida. Puncak aktivitas Anopheles pada sapi berinsektisida antara pukul dengan angka CHD sebesar 12,833. Setelah jam-jam berikutnya terus mengalami penurunan aktivitas sampai pukul Aktivitas Anopheles terendah terjadi pukul dengan angka CHD sebesar 1,458. Jika diamati secara keseluruhan sejak pukul sampai pukul aktivitas Anopheles cenderung tetap atau tidak mengalami fluktuasi. Puncak aktivitas Anopheles pada sapi tidak berinsektisida terjadi antara pukul dengan angka CHD sebesar 37,643. Pada jam-jam berikutnya terjadi penurunan aktivitas Anopheles dan terendah dengan angka CHD sebesar 6,429 pada pukul

44 Preferensi Anopheles pada sapi tidak berinsektisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi berinsektisida, sehingga aktivitas Anopheles pada sapi tidak berinsektisida lebih tinggi. Hal ini dikarenakan angka CHD pada sapi tidak berinsektisida 2-3 kali lebih tinggi dari angka CHD pada sapi berinsektisida. Rendahnya angka CHD pada sapi berinsektisida dimungkinkan akibat adanya efek repelensi dari pemberian deltametrin. Paritas Anopheles Hasil pengukuran angka paritas Anopheles pada orang dan sapi tersaji pada (Tabel 2). Jumlah Anopheles yang diperiksa parisitasnya pada penelitian ini adalah 50% dari total jumlah nyamuk yang tertangkap pada masing-masing umpan. Orang yang dilindungi sapi berinsektisida sebesar 38,5%. Angka ini cukup berisiko dikarenakan hampir setengah Anopheles yang tertangkap merupakan nyamuk yang parus dan berpeluang sebagai vektor malaria. Semakin tinggi nilai paritas maka umur nyamuk semakin tua, sehingga kemampuannya untuk menularkan Plasmodium semakin besar. Tabel 2. Angka Paritas Anopheles pada Orang dan Sapi menggunakan Aplikasi Zooprofilaksis Jenis Aplikasi Sapi Orang Aplikasi Kombinasi Zooprofilaksis dengan Insektisida 66,2% 38,5% 29 Aplikasi Zooprofilaksis tanpa Insektisida 79,10% 0% Angka paritas Anopheles pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida adalah 0%. Hal ini menunjukkan bahwa semua Anopheles yang mendatangi orang adalah nyamuk yang nuliparus atau nyamuk berumur muda. Anopheles yang memiliki umur muda berpotensi rendah sebagai vektor malaria. Hasil ini juga menunjukkan bahwa orang yang dilindungi dengan sapi berinsektisida memiliki risiko lebih tinggi tertular malaria jika dibandingkan dengan orang yang dililindungi dengan sapi tidak berinsektisida. Angka paritas Anopheles sebesar 77,84% pada orang tanpa aplikasi zooprofilaksis di kecamatan yang sama pernah dilaporkan Suwito (2010). Angka paritas ini menunjukkan tingginya risiko orang tertular malaria di daerah endemis tanpa aplikasi zooprofilaksis.

45 30 A Gambar 15. Preparat Ovarium Anopheles. (A= Nuliparus; B= Parus) Mikroskop Stereo Perbesaran 40X. Angka paritas Anopheles pada sapi berinsektisida sebesar 66,20% lebih rendah apabila dibandingkan dengan sapi tidak berinsektisida (79,10%). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi zooprofilaksis menggunakan sapi tidak berinsektisida lebih protektif dalam melindungi manusia terhadap gigitan Anopheles yang berpotensi sebagai vektor malaria. Semakin tinggi nilai paritas maka umur nyamuk semakin tua, sehingga kemampuan nyamuk untuk menularkan Plasmodium semakin besar (Mala et al. 2014). B

46 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keragaman dan kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida lebih tinggi dibandingkan pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks keragaman jenis Anopheles (pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida: 0,043; orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida: 0,009), rata-rata kepadatan Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida (0,14 ± 0,14 nyamuk/orang/jam), dibandingkan orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida (0,05 ± 0,07 nyamuk/orang/jam). Selain itu, paritas Anopheles pada orang yang dilindungi sapi berinsektisida sebesar 38,5%, sedangkan pada orang yang dilindungi sapi tidak berinsektisida sebesar 0%. Hasil ini menunujukkan bahwa aplikasi zooprofilaksis menggunakan sapi tanpa insektisida lebih protektif daripada zooprofilaksis berinsektisida dalam melindungi orang terhadap penularan malaria. Saran Perlu dipertimbangkan penggunaan insektisida selain deltametrin, terutama yang tidak memiliki efek repelensi terhadap Anopheles. Selain itu, disarankan bagi orang yang sering beraktivitas di malam hari menggunakan reppelant anti nyamuk dan mengenakan baju yang tertutup untuk mengurangi kontak dengan vektor malaria.

47 DAFTAR PUSTAKA Achmad H, Mardihusodo SJ, Sutanto, Hartono, Kusnanto H Estimasi tingkat intensitas penularan malaria dengan dukungan pengindraan jauh (studi kasus di daerah endemis malaria Pegunungan Menorah wilayah perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. J. Ekol. Kes. 2 (1) : Aprianto A Studi perilaku menggigit nyamuk Anopheles di Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta [Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institus Pertanian Bogor. Bauer B, Holzgrefe B, Mahama CI, Baumann MP, Mehlitz D, Clausen PH Managing tsetse transmitted trypanosomosis by insecticide treated nets- an affordable and sustainable method for resource poor pig farmers in Ghana. J PLoS Negl Trop Dis V: 5 (10): e1343. Barrera R, Amador M, MacKay AJ Population dynamics of Aedes aegypti and dengue as influenced by weather and human behavior in san juan, Puerto Rico. PLoS Negl Trop Dis 5(12): e1378. Boewono TD Pengaruh Penempatan Ternak Kerbau Dan Sapi Terhadap Infestasi Nyamuk Di Dalam Rumah [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bruce-Chwatt LJ Essential Malariology. Second Edition. Lodon : Oxford, Alden Press. 452 hal. Brown AWA, Sarkaria DS, Thomson RP Studies on the responses of the female Aedes mosquito, Part I. the search for attractants vapours. Bull Entomol Res 42: Brown AWA, Bennet GF Response of mosquito (Diptera:Culicidae) to visual stimuli). J Med Entomol 6: CDC USAID The President s Malaria Initiative. Seventh Annual Report to Congress: New York. Chareonviriyaphap T, Rongnoparut P, Juntarumporn P Selection for pyrethroid resistence in a colony of Anopheles minimus species, a malaria vector in Thailand. J Vec Ecol 27 (2): [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia Pedoman Vektor Malaria di Indonesia. Jakarta: Dit. Jen. PP & PL. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia Pedoman Vektor Malaria di Indonesia. Jakarta: Dit. Jen. PP & PL. [Dinkes Prov. Lampung] Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Laporan Evaluasi Program Malaria Provinsi Lampung. Bandar Lampung, Lampung. [Dinkes Kab. Pesawaran] Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran Laporan Evaluasi Program Malaria Kabupaten Pesawaran Gedong Tataan, Lampung. [Ditjen PP&PL] Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Vektor Malaria di Indonesia. Jakarta: Subdit Pengendalian Vektor, P2B2.

48 Etang J, Manga L, Toto JC, Guillet P, Fondjo E, Chandre F Spectrum of metabolic-based resistance to DDT and pyrethroids in Anopheles gambiae populations from Cameroon. J Vect Ecol 3 (1) : Franco AO, Gomes MGM, Rowland M, Coleman PG, Davies CR Controlling malaria using livestock-based interventions: a one health approach. J PLoS ONE. 9 (7) Gambiro, P. Y Penetapan Indikator Entomologi Penentu Penularan Malaria di Kecamatan Moyang Kabupaten Jepara [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Gilles HM, Warel DA Essential Malariology. Third Edit Edward Arnold. London : Boston Malbourne Auckland Habtewold T, Prior A, Torr SJ, Gibson G Could insecticide treated cattle reduce afrotropical malaria transmission? effects of deltamethrin-treated zebu on Anopheles arabiensis behaviour and survival in Ethiopia. Med. Vet. Entomol. 18, Issue 4:408 Hans JO, Ekbom B, Suwonkerd W, Takagi T Effect of landscape structure on anopheline mosquito density and diversity in northern Thailand: Implications for malaria transmission and control. Norway : Agricultural University of Norway, Box 5044, 1432 Ås, Norway. Hardwood RF, James MT Entomology in Human and Animal Health. Macmillan Publishing Co. Inc. USA. Hasan M Efek paparan insektisida deltametrin pada kerbau terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles vagus pada manusia [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hiswani Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Jastal Perilaku nyamuk Anopheles menghisap darah di Desa Tongoa, Donggala Sulawesi Tengah [Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Krebs, C.J Ecology The Eksperimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. New York: Herper and Row Publisher. Mala AO, Irungu LW, Mitaki EK, Shililu JI, Mbogo CM, Njagi JK, Githure JI Gonotrophic cycle duration, fecundity and parity of An. gambie complex mosquitoes during extended period of dry weather in a semi arid area in Baringo County, Kenya. International Journal of Mosquito Research; 1 (2): Mardiana, Shinta, Wigati, Enny WL, Sukijo Berbagai jenis nyamuk Anopheles dan tempat perindukannya yang ditemukan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Med. Penel. & Pengemb. Kes. 8(4) : Matsumura F Toxicology of Insecticides. Plenum Press.New York. 503 hal. Munif A, Sudomo M, Soekirno Bionomi Anopheles spp. di daerah endemis malaria Kec. Lengkong, Sukabumi. Bul. Penel. Kes. 35 (2): Mulyadi Distribusi spasial dan karakteristik habitat perkembangbiakan Anopheles spp. serta peranannya dalam penularan malaria di Desa Doro Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. [Tesis]. Bogor : IPB. NPIC Deltamethrin Technical Fact Sheet, Oregon. 11 hal. O Connor C.T, Supanto A Kunci Bergambar Nyamuk Aopheles Dewasa Di Indonesia. Depkes RI. Dit.Jen P2M & PLP. Jakarta. 40 hal. 33

49 34 Odum H T, J M Lopez, E C Odum Simulation of diurnal processes in Laguna Joyuda. Acta Cientifica 7(1-3): Olanga EA, Okal MN, Mbadi PA, Kokwaro ED, Mukabana WR Attraction of Anopheles gambiae to odour baits augmented with heat and moisture. Malar Journal Vol(9):6. [PERMENKES] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Pengendalian Vektor. Jakarta: Dit. Jen. PP & PL. Robert V, Carnevale P.1991.Influence of deltamethrin treatment of bed nets onmalaria transmission in the Kou valley, Burkina Faso. Bull Wld Hlth Org 69(6): Rosa E, Setyaningrum E, Murwani S, Halim I Identifikasi dan aktivitas menggigit nyamuk vektor malaria di daerah pantai Puri Gading Kelurahan Sukamaju Kecamatan Teluk Betung Barat Bandar Lampung. Laporan Penelitian. Bandar Lampung : FMIPA, Universitas Lampung. Rowland M, Durani N, Kenward M, Mohammed, Urahman H, Hewitt S Control of malaria by applying delthamethrin insecticides to cattle: a community randomized trial. Lancet 357: Santoso B Kombinasi Zooprofilaksis dan Pembaluran Insektisida Deltametrin pada Ternak Sapi Sebagai Upaya Pengendalian Anopheles. [Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Safitri A Habitat Perkembangbiakan dan Beberapa Aspek Perilaku Anopheles sundaicus di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten lampung Selatan. [Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Shinta, Sukowati S, Mardiana Komposisi spesies dan dominansi nyamuk Anopheles di daerah pantai Banyuwangi Jawa Timur. Med.Penelitian & Pengemb. Kesehatan 8(3): 1-8. Sigit SH Studies on The Organization of Oribatid Mite Communities in Three Ecologycally Different Grasslands [Disertation]. Oklahoma State University USA. Smallegange R,Schmied WH, Roey KJV, Verhulst NO, Spitzen J, Mukabana WR, Takken W Sugar fermenting yeast as an organic source of carbon dioxide to attract the malaria mosquito Anopheles gambiae. Malar J 9:292 [Terhubung berkala]. [17 Feb 2012]. Soedir S Efektivitas Berbagai Jenis Umpan Untuk Koleksi Nyamuk.[Tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Solaeman DS Studi Komunitas Populasi Nyamuk Anopheles di Desa Bolapapu Sulawesi Tengah Kaitannya dengan Epidemiologi Malaria. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Sukowati S, Shinta Habitat perkembangbiakan dan aktivitas menggigit nyamuk Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus di Purworejo, Jawa Tengah. J. Ekol. Kes. 8 (1) : Suwasono H Review malaria di Kabupaten Kulonprogo Propinsi DIY. Maj. Med. 4 : Suwito Bioekologi spesies Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran: keragaman, karakteristik habitat, kepadatan, perilaku dan

50 distribusi spasial [Disertasi] Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Widiarti, Boewono DT, Widyastuti U, Mujiono Uji biokimia kerentanan vector malaria terhadap insektisida organofosfat dan karbamat di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Med Litbang Kes 12 (1) [WHO] World Health Organization WHO guidelines for the treatment of malaria Geneva: WHO Press. [WHO] World Health Organization The Impact of permethrin and deltamethrin resistance in Anopheles gambie s.s. on the efficacy of insecticide-treated mosquito nets. World Health Organization Mondiale De La Sante. [WHO]. World Health Organization World Health Organization. World Malaria Report profiles /profile_ idn_en. pdf. [WHO] World Health Organization World Malaria Report. Geneva: WHO. Winarno, Zubaidah, Santoso B, Sukmono, Sarjono Monitoring status resistensi vektor malaria di Indonesia. Laporan kegiatan MTC Jakarta. [WRB] Walter Reed Biosistematics Unit Mosquito Identification Resource. Walter Reed Army Institute of Research. 35

51 Lampiran 1 Pembaluran atau penyemprotan insektisida pada sapi Gambar A Gambar B Keterangan: A: Penyiapan insektisida Deltametrin 5% B: Pembaluran/ penyemprotan insektisida pada tubuh sapi

52 37 Lampiran 2 Koleksi Anopheles pada sapi dan orang Gambar A Gambar B Keterangan: A: Koleksi Anopheles pada sapi di dalam magoon trap B: Koleksi Anopheles pada orang menggunakan metode Bare Leg Collection (BLC)

53 38 Lampiran 3 Pembedahan dan pengamatan ovarium Anopheles A B C D Keterangan: A: Pemisahan Anopheles dengan nyamuk genus lain dari hasil koleksi B: Nyamuk Anopheles siap dibedah dibawah mikroskop stereo C: Pemisahan Ovarium Anopheles dari bagian abdomen D: Ovarium Anopheles yang masuk dalam katagori parus

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Frekuensi = Dominasi Spesies Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi nyamuk tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan. Dominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria merupakan penyakit yang penyebarannya sangat luas di dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan derajat dan berat infeksi

Lebih terperinci

KOMBINASI ZOOPROFILAKSIS DAN PEMBALURAN INSEKTISIDA DELTRAMETRIN PADA TERNAK SAPI SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN Anopheles

KOMBINASI ZOOPROFILAKSIS DAN PEMBALURAN INSEKTISIDA DELTRAMETRIN PADA TERNAK SAPI SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN Anopheles KOMBINASI ZOOPROFILAKSIS DAN PEMBALURAN INSEKTISIDA DELTRAMETRIN PADA TERNAK SAPI SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN Anopheles Budi Santoso 1) Mei Ahyanti 2) 1) Dinas Kesehatan Provinsi Lampung 2) Jurusan Kesehatan

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian 17 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di sekitar Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng yaitu Kelurahan Tumbang Tahai Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka Raya (Gambar 1).

Lebih terperinci

GAMBARAN AKTIVITAS NYAMUK ANOPHELES PADA MANUSIA DAN HEWAN DI KECAMATAN BONTOBAHARI KABUPATEN BULUKUMBA

GAMBARAN AKTIVITAS NYAMUK ANOPHELES PADA MANUSIA DAN HEWAN DI KECAMATAN BONTOBAHARI KABUPATEN BULUKUMBA GAMBARAN AKTIVITAS NYAMUK ANOPHELES PADA MANUSIA DAN HEWAN DI KECAMATAN BONTOBAHARI KABUPATEN BULUKUMBA Description Activities of Anopheles Mosquitoes in Humans and Animals Subdistrict Bontobahari Bulukumba

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi penelitian dan waktu penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Lembah Sari Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar

Lebih terperinci

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI Lukman Hakim, Mara Ipa* Abstrak Malaria merupakan penyakit yang muncul sesuai

Lebih terperinci

Identifikasi Vektor Malaria di Daerah Sekitar PLTU Teluk Sirih Kecamatan Bungus Kota Padang Pada Tahun 2011

Identifikasi Vektor Malaria di Daerah Sekitar PLTU Teluk Sirih Kecamatan Bungus Kota Padang Pada Tahun 2011 584 Artikel Penelitian Identifikasi Vektor Malaria di Daerah Sekitar PLTU Teluk Sirih Kecamatan Bungus Kota Padang Pada Tahun 2011 Rezka Gustya Sari 1, Nurhayati 2, Rosfita Rasyid 3 Abstrak Malaria adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan dan berinteraksi, ketiga nya adalah host, agent dan lingkungan. Ketiga komponen ini dapat

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di desa Doro yang terletak di wilayah pesisir barat Pulau Halmahera Bagian Selatan. Secara administratif Desa Doro termasuk ke dalam wilayah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I.,

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I., 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini banyak ditemukan dengan derajat dan infeksi yang bervariasi. Malaria

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini menjadi masalah bagi kesehatan di Indonesia karena dapat menyebabkan kematian terutama pada bayi, balita,

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Lokasi Penelitian. Kec.

3 BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Lokasi Penelitian. Kec. 3 BAHAN DAN METODE 3. 1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Gambar 1). Secara geografis desa ini terletak di wilayah bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit genus plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan gigitan nyamuk Anopheles

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 13 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Kabupaten Bulukumba secara geografis terletak di jazirah selatan Propinsi Sulawesi Selatan (+150 Km dari Kota Makassar), yaitu antara 0,5 o 20 sampai 0,5 o 40

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN MALARIA Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium yang ditularkan kepada manusia oleh nyamuk Anopheles dengan gejala demam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi tingginya angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan sebagai vektor penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD),

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Sarmi. Kota. Waropen. Jayapura. Senta. Ars. Jayapura. Keerom. Puncak Jaya. Tolikara. Pegunungan. Yahukimo.

3 BAHAN DAN METODE. Sarmi. Kota. Waropen. Jayapura. Senta. Ars. Jayapura. Keerom. Puncak Jaya. Tolikara. Pegunungan. Yahukimo. 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Dulanpokpok Kecamatan Fakfak Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Desa Dulanpokpok merupakan daerah pantai, yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, terutama di negara-negara tropis dan subtropis. Kurang lebih satu miliar penduduk dunia pada 104 negara (40%

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaman dan Kelimpahan Nisbi Larva Anopheles spp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 11 spesies Anopheles yang ditemukan berdasarkan survei larva, 1 spesies di Kecamatan

Lebih terperinci

STUD1 PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK ANOPHELES DI DESA HARGOTIRTO KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA AKHRUL APRIANTO

STUD1 PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK ANOPHELES DI DESA HARGOTIRTO KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA AKHRUL APRIANTO STUD1 PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK ANOPHELES DI DESA HARGOTIRTO KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Oleh : AKHRUL APRIANTO PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK

Lebih terperinci

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data) Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 4, No. 4, Desember 2013 Hal : 175-180 Penulis : 1. Junus Widjaja 2. Hayani Anastasia 3. Samarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Malaria 1. Penyakit Malaria Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan ditularkan

Lebih terperinci

STUD1 HABITAT ANOPHELES NIGERRIMUS GILES 1900 DAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LENGKONG KABUPATEN SUKABUMI OLEH: DENNY SOPIAN SALEH

STUD1 HABITAT ANOPHELES NIGERRIMUS GILES 1900 DAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LENGKONG KABUPATEN SUKABUMI OLEH: DENNY SOPIAN SALEH STUD1 HABITAT ANOPHELES NIGERRIMUS GILES 1900 DAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LENGKONG KABUPATEN SUKABUMI OLEH: DENNY SOPIAN SALEH PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK ' DENNY SOPIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, karena mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu. melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).

BAB I PENDAHULUAN. utama, karena mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu. melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu melahirkan, serta menimbulkan Kejadian

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anopheles spp. Sebagai Vektor

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anopheles spp. Sebagai Vektor 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anopheles spp. Sebagai Vektor Nyamuk Anopheles merupakan satu genus dari famili Culicidae, ordo Diptera, kelas Insecta. Jentik Anopheles ditandai dengan rambut berbentuk kipas

Lebih terperinci

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

ABSTRAK

ABSTRAK IDENTIFIKASI NYAMUK spp. DI DELTA LAKKANG KECAMATAN TALLO MAKASSAR SULAWESI SELATAN Andi Sitti Rahma 1, Syahribulan 2, dr. Isra Wahid 3, 1,2 Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin 3 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat dunia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan lama yang muncul kembali (re-emerging).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk 16 Identifikasi Nyamuk HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis nyamuk yang ditemukan pada penangkapan nyamuk berumpan orang dan nyamuk istirahat adalah Ae. aegypti, Ae. albopictus, Culex, dan Armigeres. Jenis nyamuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Iklim tropis menyebabkan timbulnya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk dan sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit menular yang dominan di daerah tropis dan sub tropis dan dapat mematikan. Setidaknya 270 penduduk dunia menderita malaria dan lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua dan paling melemahkan yang dikenal dunia. Filariasis limfatik diidentifikasikan sebagai penyebab kecacatan menetap dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Repository.Unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Repository.Unimus.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tular vektor di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama(1). Dua jenis penyakit alboviral yaitu seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. klasifikasinya nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae yang terbagi

BAB I PENDAHULUAN. klasifikasinya nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae yang terbagi 1 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit. Menurut klasifikasinya nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae yang terbagi menjadi 109 genus

Lebih terperinci

Telaah Infestasi Nyamuk Pada Kerbau Di Bogor

Telaah Infestasi Nyamuk Pada Kerbau Di Bogor Artikel Ilmiah ini ditulis ulang sesuai aslinya dari Majalah Hemera Zoa, Indonesian Journal of Animal Science 7(): - Tahun 988. Telaah Infestasi Nyamuk Pada Kerbau Di Bogor SINGGIH. H SIGIT dan UPIK KESUMAWATI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1. Kota Pangkalpinang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kota Pangkalpinang merupakan daerah otonomi yang letaknya di bagian timur Pulau Bangka. Secara astronomi, daerah ini berada pada garis 106 4 sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyamuk merupakan serangga yang penting dalam ilmu kedokteran karena lebih dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang meninggal

Lebih terperinci

STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR. Oleh : Akhmad Hasan Huda

STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR. Oleh : Akhmad Hasan Huda STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR Oleh : Akhmad Hasan Huda PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 AKHMAD HASAN HUDA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan atau membunuh lebih dari satu juta manusia

Lebih terperinci

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Morfologi Telur Anopheles Culex Aedes Berbentuk perahu dengan pelampung di kedua sisinya Lonjong seperti peluru senapan Lonjong seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan menjadi perhatian global. Malaria termasuk dalam 3 penyebab kematian tertinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan (membunuh) lebih dari satu juta manusia di

Lebih terperinci

Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan Kejadian Penyakit Malaria

Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan Kejadian Penyakit Malaria Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., April 2010, Vol. 7, No. 1, 42-53 Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan Kejadian Penyakit Malaria SUWITO 1), UPIK KESUMAWATI HADI 2), SINGGIH

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI NYAMUK ANOPHELES SP DEWASA DI WILAYAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS MALARIA KECAMATAN BONTO BAHARI BULUKUMBA

IDENTIFIKASI NYAMUK ANOPHELES SP DEWASA DI WILAYAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS MALARIA KECAMATAN BONTO BAHARI BULUKUMBA IDENTIFIKASI NYAMUK ANOPHELES SP DEWASA DI WILAYAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS MALARIA KECAMATAN BONTO BAHARI BULUKUMBA Identification of Anopheles sp Adult Anopheles sp in Endemic Areas and Non-Endemic Malaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub-tropis dan dapat mematikan. Setidaknya 270 juta penduduk dunia menderita malaria dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries,

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit malaria masih mendominasi masalah kesehatan di masyarakat dunia, menurut laporan WHO tahun 2009 ada 109 negara endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high

Lebih terperinci

I. PENGANTAR. Separuh dari keseluruhan penduduk dunia, diperkirakan 3,3 miliar orang,

I. PENGANTAR. Separuh dari keseluruhan penduduk dunia, diperkirakan 3,3 miliar orang, I. PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Separuh dari keseluruhan penduduk dunia, diperkirakan 3,3 miliar orang, hidup di wilayah endemis malaria dengan sekitar 250 juta orang terinfeksi malaria untuk tiap

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah

BAB I. PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Perilaku Nyamuk Anopheles

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Perilaku Nyamuk Anopheles 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Perilaku Nyamuk Anopheles Nyamuk Anopheles menurut klasifikasi dalam ilmu hewan berada dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Heksapoda atau Insecta, ordo

Lebih terperinci

Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA dan DBD

Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA dan DBD SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA dan DBD SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Mampu menjelaskan, merencanakan dan melaksanakan survei entomologi malaria TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1.Mampu menjelaskan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang mengancam jiwa dan banyak menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta penduduk di dunia terinfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Nyamuk anopheles hidup di daerah tropis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering disebut sebagai vektor borne diseases. Vektor adalah Arthropoda atau

BAB I PENDAHULUAN. sering disebut sebagai vektor borne diseases. Vektor adalah Arthropoda atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga sering disebut sebagai vektor borne diseases. Vektor adalah Arthropoda atau invertebrata lain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Anopheles 1. Morfologi dan Klasifikasi Nyamuk Anopheles a. Morfologi nyamuk Anopheles sp. Morfologi nyamuk menurut Horsfall (1995) : Gambar 1. Struktur morfologi nyamuk Anopheles

Lebih terperinci

PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 1 Melisa Pantow 2 Josef S. B. Tuda 2 Angle Sorisi 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria dan vektornya Pada dekade terakhir malaria muncul kembali dan menyebar luas dengan dampak yang merugikan bagi kesehatan, sosial ekonomi dan politik. Kemunculan kembali

Lebih terperinci

ARTIKEL VEKTOR MALARIA DIDAERAH BUKIT MENOREH, PURWOREJO, JAWA TENGAH. Enny Wahyu Lestari, Supratman Sukovvati, Soekidjo, R.A.

ARTIKEL VEKTOR MALARIA DIDAERAH BUKIT MENOREH, PURWOREJO, JAWA TENGAH. Enny Wahyu Lestari, Supratman Sukovvati, Soekidjo, R.A. ARTIKEL VEKTOR MALARIA DIDAERAH BUKIT MENOREH, PURWOREJO, JAWA TENGAH Enny Wahyu Lestari, Supratman Sukovvati, Soekidjo, R.A. Wigati* Abstrak Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit yang muncul

Lebih terperinci

Species diversity and biting activity of malaria vectors (Anopheles spp.) in Lifuleo Village, West Kupang District, East Nusa Tenggara

Species diversity and biting activity of malaria vectors (Anopheles spp.) in Lifuleo Village, West Kupang District, East Nusa Tenggara Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 September 214, Vol. 11 No. 2, 53 64 Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi DOI: 1.5994/jei.11.2.53 Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN UMUM

BAB 6 PEMBAHASAN UMUM 132 BAB 6 PEMBAHASAN UMUM Angka annual malaria incidence (AMI) di Kabupaten Halmahera Selatan merupakan yang tertinggi di Provinsi Maluku. Pada tahun 2010 angka AMI mencapai 54,0 (Dinkes Kab. Halmahera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit penyebab masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan sub tropis yang sedang berkembang. Pertumbuhan penduduk yang

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

PERILAKU DAN KARAKTERISTIK HABITAT POTENSIAL NYAMUK Anopheles spp. DI DESA RIAU KECAMATAN RIAU SILIP KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG SUWARDI

PERILAKU DAN KARAKTERISTIK HABITAT POTENSIAL NYAMUK Anopheles spp. DI DESA RIAU KECAMATAN RIAU SILIP KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG SUWARDI PERILAKU DAN KARAKTERISTIK HABITAT POTENSIAL NYAMUK Anopheles spp. DI DESA RIAU KECAMATAN RIAU SILIP KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG SUWARDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STUDI PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK

STUDI PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK STUDI PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK Anopheles balabacensis DAN KAITANNYA DENGAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LEMBAH SARI KECAMATAN BATULAYAR KABUPATEN LOMBOK BARAT ALI WARDANA SEKOLAH PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit tular vektor yang sangat luas distribusi dan persebarannya di dunia, terutama daerah tropis dan subtropis. Data statistik WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit menular tropik yang distribusinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit menular tropik yang distribusinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular tropik yang distribusinya sangat luas di dunia. Menurut laporan tahunan WHO, diperkirakan 3,3 miliar penduduk dunia berisiko

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Nyamuk yang Ditemukan Jenis nyamuk yang menggigit manusia di sekitar Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng antara lain genus Aedes, Anopheles, Culex dan Mansonia.

Lebih terperinci

KERAGAMAN Anopheles spp PADA EKOSISTEM PEDALAMAN DAN PEGUNUNGAN DI KABUPATEN SIGI, SULAWESI TENGAH

KERAGAMAN Anopheles spp PADA EKOSISTEM PEDALAMAN DAN PEGUNUNGAN DI KABUPATEN SIGI, SULAWESI TENGAH Keragaman Anopheles spp pada... (Yusran Udin, et. al) KERAGAMAN Anopheles spp PADA EKOSISTEM PEDALAMAN DAN PEGUNUNGAN DI KABUPATEN SIGI, SULAWESI TENGAH Yusran Udin, Malonda Maksud, Risti, Yuyun Srikandi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plasmodium merupakan penyebab infeksi malaria yang ditemukan oleh Alphonse Laveran dan perantara malaria yaitu nyamuk Anopheles yang ditemukan oleh Ross (Widoyono, 2008).

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Hasil penelitian menunjukk an keragaman jenis nyamuk Anopheles spp yang dilaksanakan dari bulan Februari sampai Agustus 2011 di Kelurahan Caile dan Kelurahan Ela-Ela

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok resiko tinggi, diperkirakan pada 2009 dari 225

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam berdarah dengue / DBD adalah salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian dan telah dikenal selama > 200 tahun (CDC, 2012). Diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Virus dengue merupakan Anthropode-Borne Virus (Arbovirus) keluarga Flaviviridae 1, virus ini dapat menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), yang dapat berakibat

Lebih terperinci

JENIS-JENIS LARVA NYAMUK DI KELURAHAN TANJUNG REJO, KECAMATAN MEDAN SUNGGAL, MEDAN. KARYA TULIS ILMIAH OLEH: WOO XIN ZHE

JENIS-JENIS LARVA NYAMUK DI KELURAHAN TANJUNG REJO, KECAMATAN MEDAN SUNGGAL, MEDAN. KARYA TULIS ILMIAH OLEH: WOO XIN ZHE JENIS-JENIS LARVA NYAMUK DI KELURAHAN TANJUNG REJO, KECAMATAN MEDAN SUNGGAL, MEDAN. KARYA TULIS ILMIAH OLEH: WOO XIN ZHE 120100420 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 JENIS-JENIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit Malaria merupakan infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies Plasmodium penyebab malaria

Lebih terperinci

GAMBARAN FAKTOR LINGKUNGAN DAERAH ENDEMIS MALARIA DI DAERAH BERBATASAN (KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN KABUPATEN TRENGGALEK)

GAMBARAN FAKTOR LINGKUNGAN DAERAH ENDEMIS MALARIA DI DAERAH BERBATASAN (KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN KABUPATEN TRENGGALEK) Ririh Y., Gambaran Faktor Lingkungan Daerah Endemis Malaria GAMBARAN FAKTOR LINGKUNGAN DAERAH ENDEMIS MALARIA DI DAERAH BERBATASAN (KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN KABUPATEN TRENGGALEK) Environmental Factor

Lebih terperinci

Hubungan Kepadatan dan Biting Behaviour Nyamuk Anopheles farauti Dengan Kasus Malaria di Ekosistem Pantai dan Rawa (Kabupaten Biak Numfor dan Asmat)

Hubungan Kepadatan dan Biting Behaviour Nyamuk Anopheles farauti Dengan Kasus Malaria di Ekosistem Pantai dan Rawa (Kabupaten Biak Numfor dan Asmat) Biota Vol. 19 (1): 27 35, Februari 2014 ISSN 0853-8670 Hubungan Kepadatan dan Biting Behaviour Nyamuk Anopheles farauti Dengan Kasus Malaria di Ekosistem Pantai dan Rawa (Kabupaten Biak Numfor dan Asmat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Penyakit malaria

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Penyakit malaria BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Penyakit malaria tersebar hampir di seluruh dunia yaitu antara garis 60 lintang utara dan 40 lintang selatan, meliputi

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis Nyamuk Di Sekitar Kampus. Universitas Hasanuddin Makassar

Keanekaragaman Jenis Nyamuk Di Sekitar Kampus. Universitas Hasanuddin Makassar Keanekaragaman Jenis Nyamuk Di Sekitar Kampus Universitas Hasanuddin Makassar Mila Karmila Syahribulan Isra Wahid 3, Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas hasanuddin 3 Jurusan Parasitologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes spp. betina yang membawa virus dengue yang termasuk dalam golongan Flavivirus.

Lebih terperinci

HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN MALARIA DI PUSKESMAS KOELODA KECAMATAN GOLEWA KABUPATEN NGADA PROVINSI NTT

HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN MALARIA DI PUSKESMAS KOELODA KECAMATAN GOLEWA KABUPATEN NGADA PROVINSI NTT Jurnal Kesehatan Volume VII No. 2/2014 HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN MALARIA DI PUSKESMAS KOELODA KECAMATAN GOLEWA KABUPATEN NGADA PROVINSI NTT Masriadi Idrus*, Getrudis**

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO (2013) penyakit infeksi oleh parasit yang terdapat di daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan

BAB l PENDAHULUAN. Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 106 negara dan diperkirakan menyerang 216 juta orang serta menyebabkan kematian 655.000 jiwa setiap tahunnya Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara

Lebih terperinci

TABEL HIDUP NYAMUK VEKTOR MALARIA Anopheles subpictus Grassi DI LABORATORIUM.

TABEL HIDUP NYAMUK VEKTOR MALARIA Anopheles subpictus Grassi DI LABORATORIUM. TABEL HIDUP NYAMUK VEKTOR MALARIA Anopheles subpictus Grassi DI LABORATORIUM Nur Rahma 1, Syahribulan 2, Isra Wahid 3 1,2 Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin 3 Jurusan Parasitologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Malaria merupakan penyakit yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada manusia oleh gigitan nyamuk Anopheles

Lebih terperinci

Epidemiologi dan aspek parasitologis malaria. Ingrid A. Tirtadjaja Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Epidemiologi dan aspek parasitologis malaria. Ingrid A. Tirtadjaja Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Epidemiologi dan aspek parasitologis malaria Ingrid A. Tirtadjaja Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Malaria Sudah diketahui sejak jaman Yunani Kutukan dewa wabah disekitar Roma Daerah rawa berbau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori). Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk

Lebih terperinci

nyamuk bio.unsoed.ac.id

nyamuk bio.unsoed.ac.id III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.1 Bagan Alir Penelitian Persiapan alat dan bahan penelitian di Lab. Parasitologi dan Entomologi Mengamati keadaan rumah yang akan diambil sampel nyamuk Aedes spp. meliputi:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengue (DEN) dari kelompok Arbovirus B, yaitu termasuk arthtropod-borne virus

BAB 1 PENDAHULUAN. dengue (DEN) dari kelompok Arbovirus B, yaitu termasuk arthtropod-borne virus BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di tanah air. Sejak pertama kali dilaporkan yaitu

Lebih terperinci

ARTIKEL HUBUNGAN KEBERADAAN TERNAK DAN LOKASI PEMELIHARAAN TERNAK TERHADAP KASUS MALARIA DI PROVINSI NTT

ARTIKEL HUBUNGAN KEBERADAAN TERNAK DAN LOKASI PEMELIHARAAN TERNAK TERHADAP KASUS MALARIA DI PROVINSI NTT ARTIKEL HUBUNGAN KEBERADAAN TERNAK DAN LOKASI PEMELIHARAAN TERNAK TERHADAP KASUS MALARIA DI PROVINSI NTT (Analisis lanjut data Riskesdas 2007) Arief Mulyono*, Siti Alfiah*, Evi Sulistyorini*, K. Sekar

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik BAB I Pendahuluan A. latar belakang Di indonesia yang memiliki iklim tropis memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik dan dapat berfungsi sebagai vektor penyebar penyakitpenyakit seperti malaria,

Lebih terperinci

Keanekaragaman jenis dan karakteristik habitat nyamuk Anopheles spp. di Desa Datar Luas, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh

Keanekaragaman jenis dan karakteristik habitat nyamuk Anopheles spp. di Desa Datar Luas, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 November 2015, Vol. 12 No. 3, 139 148 Online version: http://jurnal.pei-pusat.org DOI: 10.5994/jei.12.3.139 Keanekaragaman jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Malaria adalah salah satu penyakit yang mempunyai penyebaran luas, sampai saat ini malaria menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Survei

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci