BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang jiwa. Banyaknya jumlah bencana alam di Indonesia menjadikan Indonesia

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama tahun 2010 telah terjadi 792 bencana dan menelan korban hingga jiwa. Banyaknya jumlah bencana alam di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia (BNPB, 2010). Serangkaian erupsi gunung Merapi yang diawali pada tanggal 26 Oktober 2010 hingga mencapai puncak letusan terbesar 5 November 2010 menyebabkan kerusakan dan kerugian yang besar di empat kabupaten di Jawa Tengah dan Yogyakarta yaitu Magelang, Boyolali, Klaten, dan Sleman. Berdasarkan hasil pantauan PKK dari Dinkes 4 kabupaten tersebut tanggal 7 November 2010, korban meninggal akibat letusan gunung Merapi mencapai 152 orang (Kabupaten Sleman 129 orang, Kabupaten Magelang 11 orang, Kabupaten Boyolali 3 orang, Kabupaten Klaten 9 orang), sedangkan korban rawat inap sebanyak 968 orang. Jumlah pengungsi keseluruhan mencapai orang yang tersebar di 4 kabupaten, dan pengungsi terbanyak ada di daerah Kabupaten Sleman sebanyak orang (Kemenkes RI, 2010). Bencana alam yang terjadi menyisakan duka tersendiri bagi korbannya. Pemerintah bersama masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam penanggulangan bencana terhadap masyarakat yang tertimpa bencana terutama pada pasca bencana. Korban bencana seringkali secara psikologis mengalami gangguan stres pasca trauma. Kondisi ini pada umumnya dapat disembuhkan 1

2 2 apabila segera dapat terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat. Apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat permanen dan akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjaan penderita (Flannery, 1999 dalam BPP Prov. Jateng, 2008). Menurut Tarazona dan Gallegos dalam Siringo (2013) bencana akan memberikan dampak terutama pada populasi yang rentan. Anak-anak merupakan bagian yang paling rentan dan implikasi bencana pada anak-anak terutama yang usianya lebih muda, bisa bertahan sampai jangka waktu panjang. Pada anak yang pernah mengalami pengalaman traumatis memiliki resiko 1,7 kali terjadinya masalah perilaku termasuk perilaku agresif (Rostami et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Siringo (2013) melihat dampak jangka panjang dari bencana konflik etnis di Sampit setelah 12 tahun didapatkan 46.5% siswa SLTA yang menunjukkan perilaku tidak normal seperti depresi, kecemasan, penarikan diri, kenakalan, agresif, dan masalah alkohol. Periode remaja merupakan periode kritis dimana seorang remaja cenderung ingin bebas dari orang tua dan menyangkal apabila mengalami stres. Stres yang terjadi saat usia ini bermanifestasi dalam bentuk lari dari tanggung jawab dan melakukan perilaku berisiko tinggi yang terkadang membahayakan jiwa mereka (Dwiyathitami, 2011). Masalah kesehatan yang dihadapi kelompok remaja terkait dengan pengetahuan kesehatan yang kurang dan perilaku berisiko, seperti merokok dan pacaran tidak sehat. Selain itu masalah yang dihadapi yaitu terjadinya pernikahan pada usia dini (15-19 tahun) (Kemenkes RI, 2012).

3 3 Remaja yang tidak dapat mengatasi berbagai stresor yang ada, dapat menimbulkan berbagai kondisi seperti cemas, depresi, bahkan dapat memicu munculnya gangguan psikotik. Dampak yang dapat terjadi adalah timbulnya berbagai permasalahan yang kompleks, baik fisik, emosi maupun sosial. Termasuk dalam bidang pendidikan misalnya muncul perilaku malas sekolah, membolos, ikut perkelahian antar pelajar sampai menyalahgunakan obat-obatan terlarang. Apabila tidak segera diatasi kondisi tersebut dapat berlanjut sampai masa dewasa. Diperlukan deteksi dini dan intervensi dini pada remaja untuk mencegah berkembangnya perilaku ke arah yang lebih negatif seperti terbentuknya kepribadian antisosial maupun kondisi psikotik yang kronis (Indarjo, 2009). Hasil penelitian Fuadah (2011) juga memperlihatkan tingkat kenakalan remaja kategori tinggi lebih banyak pada siswa laki-laki dibandingkan dengan siswa perempuan, seperti berkelahi, tawuran, mencuri dan memeras. Presentase siswa yang menghabiskan waktu senggang bermain dengan teman sebayanya menunjukkan dominasi kenakalan kategori rendah seperti terlambat masuk sekolah, membolos, seragam tidak patuh aturan, dan membuat gaduh kelas sebesar 41.70%. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk-bentuk perilaku menyimpang di sekolah yaitu berkelahi di lingkungan sekolah, berpakaian tidak rapi di sekolah, membolos dari kegiatan sekolah, membawa barang yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan sekolah, terlambat masuk sekolah, merokok, minum minuman keras, dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang di lingkungan sekolah (Jonaidi et al., 2013).

4 4 Kelompok teman sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan remaja baik secara emosional maupun sosial (Puspitasari, 2010). Menurut Buhrmester menyatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman dan panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi dan independensi dari orang tua (Papalia, 2008). Penelitian Demaray et al. (2005) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri dan masalah perilaku, kekerasan, perilaku menarik diri dan keputusasaan, masalah emosi, depresi serta rendahnya konsep diri berhubungan dengan rendahnya tingkat dukungan keluarga dan dukungan teman sebaya. Secara spesifik Demaray and Malecki (2002) dalam Demaray et al. (2005) menemukan bahwa tingkat dukungan orang tua dan teman sekelas berhubungan dengan faktor seperti depresi, stres, dan faktor penyesuaian diri yang lain. Remaja cenderung lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya di sekolah daripada keluarga, sehingga peranan teman sebaya cenderung lebih besar di masa remaja (Hasan & Handayani, 2014). Dukungan sosial teman sebaya yang diberikan kepada remaja menujukkan adanya kepedulian, penghargaan dan dorongan dari teman sebaya sebagai individu yang memiliki pengaruh yang kuat bagi remaja. Hal ini akan membuat remaja tersebut lebih mudah beradaptasi dengan permasalahan yang dihadapi dan dapat mengembangkan perilaku sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya (Mulia et al., 2014). Wulandari (2015) menyebutkan bahwa remaja yang belum memiliki hubungan baik dengan teman sebayanya cenderung akan menimbulkan perilaku anti sosial seperti perilaku acuh dan tidak bersimpati dengan keadaan teman.

5 5 Rendahnya hubungan dengan teman sebaya tersebut berkaitan dengan minimnya dukungan sosial dari teman sebaya bagi remaja. Studi pendahuluan yang dilakukan dengan mewawancarai psikolog di Puskesmas Kecamatan Cangkringan, ketua PIK-R Lentera Merapi dan Guru di SMP Negeri 2 Cangkringan diketahui bahwa remaja yang tinggal di sekitar Puskesmas datang ke bagian konseling psikologi biasanya terkait dengan perubahan perilaku yang muncul karena adanya konflik dengan orang tua ataupun dengan teman. Setelah bencana terjadi banyak rumah warga yang rusak terkena erupsi, akibatnya banyak remaja yang pindah ke huntap ataupun pindah kerumah saudaranya. Perubahan lingkungan tempat tinggal pasca erupsi mempengaruhi pergaulan remaja dalam kegiatan sehari-harinya. Remaja cenderung memilih bergaul dengan teman yang lebih dewasa daripada teman sebaya, sehingga hubungan remaja dengan teman sebayanya menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan perilaku remaja lebih agresif, suka membolos, dan tidak patuh pada aturan. Selain itu, pekerjaan orang tua yang menyita waktu membuat perhatian orang tua berkurang dalam mendidik anaknya terutama remaja. Banyak remaja yang bergaul secara bebas dengan teman-teman bermain mereka tanpa ada pengawasan dari orang tua. Pengaruh dari perkembangan teknologi seperti HP dikalangan remaja juga memberi efek yang kurang baik dan sering disalahgunakan seperti mengakses video ataupun gambar-gambar porno. Seiring dengan adanya aktivitas pertambangan pasir yang padat dan pengerjaan yang lama, pengaruh budaya negatif yang dibawa para sopir maupun

6 6 pekerja tambang pun mulai berdampak pada remaja. Seperti berkata kasar, berjudi, minum minuman beralkohol, sampai berhubungan seksual. Perilakuperilaku tersebut banyak dilihat oleh remaja di sekitar area pertambangan. Beberapa remaja mungkin tertarik dan mengajak teman mereka untuk mencoba hal-hal tersebut. Kegiatan beberapa remaja selepas pulang sekolah ialah menjadi coker yaitu dengan meratakan pasir di atas truk. Mereka mendapatkan penghasilan dari kegiatan tersebut. Hal ini membuat remaja merasa lebih percaya diri dalam perilakunya, dan berpengaruh pada hubungan sosial mereka. Sebagian besar remaja berpacaran, dari yang hanya berpegangan tangan sampai pada adanya hubungan seksual pranikah, sehingga angka kejadian kehamilan dini dan infeksi menular seks juga meningkat. B. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah ada hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan masalah perilaku pada remaja SMP di Kecamatan Cangkringan pasca erupsi Merapi? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum 1. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah pemberi dukungan sosial teman sebaya (SSQN) dengan masalah perilaku pada remaja SMP di Kecamatan Cangkringan pasca erupsi Merapi.

7 7 2. Untuk mengetahui hubungan antara kepuasan dukungan sosial teman sebaya (SSQS) dengan masalah perilaku pada remaja SMP di Kecamatan Cangkringan pasca erupsi Merapi. Tujuan Khusus 1. Mengetahui jumlah pemberi dukungan sosial teman sebaya yang diterima oleh siswa SMP di Kecamatan Cangkringan pasca erupsi Merapi 2. Mengetahui kepuasan dukungan sosial teman sebaya yang diterima oleh siswa SMP di Kecamatan Cangkringan pasca erupsi Merapi 3. Mengetahui persentase remaja SMP di Kecamatan Cangkringan yang mengalami masalah perilaku tidak normal pasca erupsi Merapi. 4. Mendeskripsikan masalah perilaku yang ditunjukkan oleh remaja SMP di Kecamatan Cangkringan pasca erupsi Merapi D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan tambahan pengetahuan untuk semua pihak sehingga penanganan dampak jangka panjang dari bencana dapat dilakukan sejak dini. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan jiwa dan komunitas. Manfaat Paraktis 1. Bagi Orang Tua Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para orang tua dalam proses perkembangan anak terutama usia remaja, sehingga orang tua

8 8 mempunyai pandangan terhadap berbagai masalah perilaku yang rentan terjadi pada remaja. 2. Bagi Sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pendidik. Sehingga upaya deteksi dini dapat dilakukan sebagai pencegahan masalah perilaku remaja yang meluas di sekolahan. 3. Bagi Dinas Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan program yang harus diprioritaskan kepada penanganan remaja sebagai upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental terutama pada remaja yang terkena dampak pasca bencana. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan ada kaitannya dengan penelitian ini adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Dwinantoaji (2011) dengan judul Hubungan dukungan sosial teman sebaya dengan derajat depresi pada siswa sekolah dasar negeri di kota Yogyakarta. Persamaan dengan penelitian ini adalah mengukur dukungan sosial teman sebaya ditinjau dari jumlah pemberi dukungan dan melihat kepuasannya menggunakan instrumen Social Support Questionnaire (SSQ). Perbedaannya terletak pada sampel yang digunakan yaitu siswa kelas V SDN sedangkan penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VII SMP pasca erupsi Merapi Variabel lain yang diukur dalam penelitian Dwinantoaji adalah

9 9 tingkat depresi menggunakan Child Depression Inventory (CDI) sedangkan penelitian ini menghubungkan dukungan sosial teman sebaya dengan masalah perilaku remaja. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Dogan (2011) berjudul Adolescents posttraumatic stress reactions and behavior problems following Marmara earthquake. Persamaan dengan penelitian ini adalah salah satu variabel yang diteliti yaitu masalah perilaku diukur setelah adanya paparan bencana pada remaja. Penelitian ini dilakukan di Marmara, Turki setelah adanya gempa bumi Instrumen yang digunakan untuk menilai masalah perilaku pada penelitian Dogan menggunakan Behavior Problem Index, sedangkan pada penelitian ini menggunakan Youth Self Report (YSR). Variabel lain yang diteliti dalam penelitian Dogan adalah gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang di ukur dengan menggunakan Child Posttraumatic Stress Disorder Reaction Index (CPTSD-RI), sedangkan penelitian ini mengukur dukungan sosial teman sebaya menggunakan SSQ. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Siringo (2013) dengan judul Perbedaan perilaku normal dan tidak normal pada anak yang berada di daerah konflik Palangka Raya dan Sampit. Penelitian ini merupakan studi kuantitatif pada remaja 12 tahun paska konflik etnis di Sampit tahun Persamaan dengan penelitian ini adalah mengukur variabel masalah perilaku pada remaja pasca bencana dengan menggunakan instrumen Youth Self Report (YSR). Perbedaannya terletak pada sampel

10 10 penelitian, dimana Siringo meneliti pada remaja kelas XI SMA di kota Palangka Raya dan di kota Sampit, dengan melihat dampak bencana setelah 12 tahun konfilk etnis. Sedangkan sampel penelitian ini adalah siswa SMP. Penelitian ini juga mengukur variabel lain yaitu dukungan sosial teman sebaya dengan menggunakan instrumen SSQ, sedangkan penelitian Siringo mengukur stresor psikososial. 4. Penelitian oleh Demaray et al. (2005) dengan judul The relationship between sosial support and student adjustment: a longitudinal analysis. Persamaan dengan penelitian ini adalah melihat dukungan sosial yang di terima oleh remaja siswa sekolah menengah. Perbedaannya terletak pada instrumen yang digunakan dalam penelitian Demaray et al. yang menggunakan Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS) sedangkan pada penelitian ini menggunakan SSQ dan melihat dari jumlah serta kepuasan dukungan yang di terima. Demaray et al. juga meneliti dukungan sosial secara meluas dari dukungan orang tua, guru dan teman sekelas, sedangkan penelitian ini hanya spesifik pada dukungan sosial teman sebaya. Variabel lain dalam penelitian ini adalah mengukur masalah perilaku remaja pasca erupsi merapi, sedangkan pada penelitian Demaray et al., dukungan sosial di hubungkan dengan perilaku penyesuaian remaja.