KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA NANDANG PRIHADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA NANDANG PRIHADI"

Transkripsi

1 KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA NANDANG PRIHADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan Di Pulau Jawa adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, April 2010 Nandang Prihadi E

4 ABSTRACT NANDANG PRIHADI Institutional Partnership between Wood-Processing Industries and Communities on Forest Development in Java Island. Under supervisions of DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, and NURHENI WIJAYANTO. The research intended to analyze effectiveness of partnership between woodprocessing industries and communities for supporting sustainable development of forest plantations management (KIBARHUT) in Java Island. The research conducted in 3 locations, namely Sukaraja, Bawang, and Krucil on April October Up to 2008, 3 industries (INPAK) had been planted 14, ha of KIBARHUT in 4 provinces of Java Island. KIBARHUT was carried out with land owners (Type 1 and 2) and the proprietors of state property (Type 3), regulated using non-formal (Type 1) and formal contracts (Type 2 and 3). Agency relationship characterized by INPAK (principal) willingness to delegate forest development investment to agents for producing timber, which supported by market warranty and processing capacity of principal s industry, using the timber harvested from KIBARHUT by agents and supplied to principal. Rights and obligations formally enforced based upon written clausuls on the contracts, as well as involvement of informal institutions (ellite figures of the village) helped to informally enforce the contracts. KIBARHUT resulted financial and economic efficiency on allocating resources (input and output). KIBARHUT also had feasibility of financial and competitive and comparative advantages which simply indicated that log harvested was adequately enough to go to the world market for having export transactions. Efficieny on allocating output of KIBARHUT was supported by strategies carried out by woodprocessing industries (INPAK), namely: (i) creating special organization responsible for marketing purposes (log supplier and cooveratives) which had a link directly to agents; (ii) building business cooperations with sawmill surrounding the location of KIBARHUT; (iii) offering incentives (bonus or premium price per cubic of log) to encourage log supply to INPAK either goes directly to agents or through allied sawmill. The study concluded that sustainability of forest plantations development of KIBARHUT in Java Island should be implemented on the higher bundles of property rights and enforced using the formal contract which had the assurance of rule-in-use. Keywords: agency relationship, forest plantation development, institutional, Java Island, partnership, community, wood-processing industries

5 RINGKASAN NANDANG PRIHADI Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN selaku Ketua, BRAMASTO NUGROHO dan NURHENI WIJAYANTO sebagai anggota. Hubungan kemitraan (agency relationship) merupakan suatu bentuk kelembagaan, dimana para pelaku bekerjasama mengkombinasikan faktor produksi yang dimiliki dalam suatu proses produksi. Saling ketergantungan antara para pelaku tersebut menjadi dasar pelaksanaan penelitian kelembagaan kemitraan INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) di Pulau Jawa. Penelitian ini bertujuan mengetahui kelembagaan KIBARHUT yang mempunyai peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan. Kelembagaan KIBARHUT dicirikan kesediaan principal mendelegasikan kemampuan investasi membangun hutan ke agents, untuk memproduksi kayu sebagai komoditas yang ditransaksikan dengan didukung pengetahuan dan pemahaman agents terhadap jaminan pasar dari principal. Sampai dengan tahun 2008, realisasi pembangunan hutan (tanaman) KIBARHUT yang dilakukan oleh ketiga INPAK contoh di Pulau Jawa adalah ,12 ha, yang tersebar di 20 kabupaten pada 4 provinsi di Pulau Jawa (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). KIBARHUT dilaksanakan di lahan milik (Tipe 1 dan 2) atau lahan negara (Tipe 3) dengan kontrak bersifat non-formal (Tipe 1) atau formal (Tipe 2 dan 3). Pada lahan milik terdapat kepastian (jaminan) hak penggunaan lahan, sehingga terdapat kepastian hak atas kayu hasil panen KIBARHUT yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan negara. Pada kontrak formal terdapat kepastian hukum (hak dan kewajiban, termasuk aturan sanksi dan insentif) yang lebih tinggi dibandingkan pada kontrak non-formal. Kelembagaan KIBARHUT dibedakan menjadi hubungan kemitraan 1 tingkat dan 2 tingkat. Hubungan 1 tingkat adalah hubungan kemitraan secara langsung antara principal dan agents, dan didapati sangat terbatas yaitu sekitar 4,4% pada pelaksanaan KIBARHUT di lahan milik (Tipe 1 dan Tipe 2). Hubungan 2 tingkat adalah hubungan kemitraan antara principal dan agents dengan keterlibatan mitra antara yang terdapat pada mayoritas (95,6%) KIBARHUT baik di lahan milik (Tipe 1 dan Tipe 2) atau

6 lahan non-milik (KIBARHUT Tipe 3). Keterlibatan mitra antara tersebut dalam perannya untuk memotivasi agents, menyampaikan informasi, membina kerjasama serta menjembatani hubungan agents dan principal. Kelembagaan KIBARHUT mempunyai kemungkinan terjadinya moral hazard (ingkar janji) dan perilaku oportunis pasca kontrak, yang teridentifikasi lebih tinggi pada kontrak non-formal atau Tipe 1 (indikasi oportunis agents 76,7% dan principal dengan skor 3) dibandingkan kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3 yaitu oportunis agents berkisar 13,3 40% dan principal dengan skor 1). Perilaku oportunis dan sulitnya penegakan kontrak karena tidak adanya aturan mengatur sanksi yang berdampak tidak adanya resiko hukuman terhadap perilaku oportunis. Kajian fungsi produksi menunjukkan bahwa fungsi-fungsi produksi untuk setiap pelaku KIBARHUT dapat diturunkan dua kali dan fungsi produksi yang terbangun berbentuk cekung sempurna yaitu memenuhi syarat negatif terbatas ((i) elastisitas ( ) fungsi produksi bernilai 0 1 (0< <1 dan 0< <1 sehingga 0< <1), dan (ii) dapat diturunkan dua kali ( 0, 0, dan. > 0). Dengan demikian, pelaku telah berperilaku efisien dalam mengalokasikan input produksi. Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa terbukti layak secara finansial berdasarkan analisis secara total dan sudut pandang masing-masing pelakunya. Kinerja tersebut ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan finansial yaitu NPV positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang dipersyaratkan (IRR > i%), dan B/C ratio > 1. KIBARHUT juga memiliki keunggulan kompetitif (PP positif dan PCR < 1 atau rata-rata 0,701) dan komparatif (SP positif dan DRC < 1 atau rata-rata 0,572) untuk semua tipologi. Keunggulan usaha KIBARHUT tersebut dan adanya disparitas harga domestik dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik, menunjukkan bahwa kayu KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai peluang ekspor karena mampu menghasilkan haga FOB yang kompetitif di pasar internasional. Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki efisiensi dalam pemasaran kayu (tanaman) hasil panennya. Efisiensi dalam pemasaran karena KIBARHUT telah menjamin alokasi komoditas hasilnya secara mudah dan efisien serta dapat memperbesar keuntungan agents, sehingga dapat dengan mudah dipindahtangankan (easily transferable), diperjualbelikan (easily tradable), dan di-internalisasikan diantara para pelakunya. Kelembagaan yang demikian telah mampu menciptakan dan

7 vii memberikan jaminan pasar yang kompetitif. Jaminan pasar merupakan kewajiban principal sebagai bentuk pemenuhan hak agents, yang diperlukan untuk mendukung keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT. Sintesa hasil temuan temuan tersebut adalah bahwa tingginya strata hak kepemilikan (property rights) yang melekat pada pelaku ternyata belum memberikan jaminan penegakan kontrak dan keberlanjutan hubungan kemitraan, jika tidak diimbangi kejelasan (tingginya kepastian) hukum atas kontrak termasuk adanya aturan yang mengatur sanksi guna meminimalkan dorongan pelaku melanggar kepakatan (kontrak), atau berperilaku oportunis yang dapat menganggu keberlanjutan hubungan. Dengan demikian, hubungan kemitraan seharusnya diikat dan diwujudkan dalam suatu kontrak yang memiliki jaminan kepastian hukum (kontrak formal) dan strata hak kepemilikan yang tinggi. Selanjutnya, kepuasan terhadap bagi hasil (contract share) terwujud jika ada keseimbangan secara proporsional antara manfaat (hak) yang diterima dengan biaya (kewajiban) yang dikeluarkan. Kepuasan terhadap bagi hasil menjadi dasar kesediaan para pelaku untuk terus bekerjasama, sehingga terjadi keberlanjutan atau interaksi berulang (repeated games) berdasarkan kepercayaan yang diperoleh dari pengalaman dan pertemanan yang sudah dan terus berlangsung. Keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT juga diwujudkan dengan adanya: (i) pendampingan dalam membina hubungan kerjasama dan memotivasi agents, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi; (ii) peran aktif mitra antara di lapangan, dan adanya petugas lapangan (mitra antara dan principal) yang berada dan tinggal di sekitar lokasi sehingga dapat teratur dan terus menerus menjalin komunikasi dengan agents; (iii) adanya fasilitas kredit tunda tebang yang merupakan insentif untuk agents; (iv) pemberian bonus/insentif untuk agents KIBARHUT berupa tambahan harga (premium price); (v) alokasi biaya guna pemantauan, pengamanan dan koordinasi (agency costs). Kata kunci: hubungan kemitraan, industri pengolahan kayu, kelembagaan, pembangunan hutan, Pulau Jawa, rakyat

8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

9 KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUTAN DI PULAU JAWA NANDANG PRIHADI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Bedjo Santosa, M.Si 2. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, DEA 2. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS

11 HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi : Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa Nama Mahasiswa : Nandang Prihadi Nomor Pokok : E Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Menyetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA (Ketua) Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS (Anggota) Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Anggota) Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Tanggal Ujian: 23 Maret 2010 Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS 12 April 2010 Tanggal Lulus:....

12 Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Ar-Rahman (55) ayat 7-9).

13 KATA PENGANTAR Sebagaimana laiknya perjalanan menuju Sukaraja di Tasikmalaya, Bawang di Batang, dan Krucil di Probolinggo yang terjal, penuh kelokan, tanjakan dan turunan, maka proses penelitian dan penulisan disertasi ini juga tidak hanya memerlukan penguasaan ilmu tetapi juga kesabaran dan ketekunan. Dan, Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya, maka disertasi berjudul Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa telah dapat penulis selesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dengan tersusunnya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis, hingga selesainya penulisan disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga dihaturkan kepada Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas sumbangan tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan sejak dari awal tahap rencana penelitian disusun, penyusunan proposal, tahap analisa data sehingga terselesaikannya penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan sehingga disertasi ini dapat tersusun dan terselesaikan. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan juga kepada: Dr. Ir. Bedjo Santoso, MM dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Ing. Ir. Hadi Daryanto, DEA dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi; Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (Pusdiklat) Departemen Kehutanan yang telah memberikan beasiswa dan menyediakan biaya penelitian. Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Ditjen Bina Produksi Kehutanan dan staf, khususnya Dr. Ir. Jansen Tangketasik, M.Sc. (Kasubdit Penilaian Kinerja Industri dan Pemasaran Hasil Hutan) yang telah memberikan dukungan dan perhatian. Terima kasih juga kepada Yoga Prayoga, S.Hut., Andestian Wijaya, S.Hut. dan Rudianto, ST yang telah memberikan informasi dan sebagian data sekunder yang diperlukan guna penyelesaian disertasi ini.

14 ADM/KKPH Tasikmalaya dan staf, petugas PT. BKL/PT. BIL (Uus, Agus, Adi, Pak Nana Rukana), aparat kecamatan dan desa di Kecamatan Sukaraja serta seluruh narasumber yang telah membantu pelaksanaan pengumpulan data, dan khususnya Pak Heryanto dan Pak Kardana yang mendampingi penulis selama di lapangan. Mas Bowo dan keluarga, petugas PT. SGS (Pak Suranto, Mas Ganis, P. Muhaimin, Sandi, Pak Mathori, Agus), Pak Sugiyarto dan seluruh aparat Kecamatan dan Desa di Kec. Bawang, serta para narasumber yang telah membantu pelaksanaan pengumpulan data. Terima kasih disampaikan juga untuk Ratri dan Mukti yang telah mendampingi penulis selama pengumpulan data di lapangan. Ir. Gunung, MM (ADM/KKPH Probolinggo) beserta staf KPH Probolinggo, petugas PT. KTI (Heru Jhudianto, Joko, Mustofa, Supriyadi, Dewi), seluruh aparat desa dan kecamatan di Krucil, Probolinggo, dan seluruh narasumber yang telah membantu kelancaraan penelitian. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan ke Pak Edi Purwanto, Subur, Supriyadi SH, Mustofa, Supriadi, dan Pak Priyanto (dan keluarga) yang telah mendampingi pelaksanaan kegiatan di lokasi. Ir. M. Asy ari, M.Reg, Ir. Sigit Pramono, M.Sc., Dra. Nadjmatun Baroroh, M.Hum, dan rekan-rekan di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kehutanan yang telah memberikan dorongan dan dukungan serta menjadi mitra diskusi. Terima kepada Mas Iwan dan Yekti yang membantu menyiapkan peta lokasi penelitian; kepada Ir. Tigor Butar-Butar, M.Sc. dan staf, dan Novia Widyaningtyas, S.Hut., M.Sc. dan staf selaku Sekretariat Dewan Redaksi yang telah membantu proses penerbitan karya tulis ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis. Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya Program Studi IPK, BIO, DAS, PSL, PWD dan EPN yang telah menjadi mitra diskusi terbaik bagi penulis. Bapak dan Mamah di Bogor, teteh Dian sekeluarga di Ciamis, adik-adik tersayang (Teguh sekeluarga, Doni sekeluarga di Kuala Lumpur, Mugi dan Narissa) dan keluarga besar di Bogor disampaikan terima kasih atas dukungan dan doanya. Papah dan Mamah di Bekasi, Fandalina dan keluarga di Bekasi, Yanti dan Eni terima kasih atas dukungan dan doanya. Terima kasih untuk Nina, isteriku terkasih, dan Dea dan Aliya anak-anakku tercinta, yang selalu mendoakan, mendukung, menginspirasi, memberikan semangat dan menjadi bagian terpenting keberhasilan penulis. Terima kasih yang sangat khusus untuk Nina, isteriku tersayang, yang telah dengan setia menemani dan mendampingi penulis. Disertasi ini dipersembahkan bagi yang yakin bahwa kepercayaan merupakan modal penting menjalin hubungan kerjasama. Bogor, April 2010 Penulis Nandang Prihadi

15 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1969, sebagai anak kedua dari enam bersaudara keluarga Bapak H. Tjetje Soeripto Wartaatmadja dan Ibu H. Waliyah Hidayat. Penulis menikah dengan drg. Andrena, Sp.Perio (Nina) pada tahun 1997 dan telah dikaruniai dua putri yang cantik shalehah, Adeela Edinamalia Putri (Teteh Dea) lahir di Bekasi, 17 Oktober 1999 dan Aliya Numasari Putri (Aliya) lahir di Bekasi, 22 Agustus Pendidikan dasar diselesaikan penulis di Bogor, yaitu di SDN Panaragan 1 Bogor. Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 4 Bogor dan SMP St Petrus Pontianak, dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bogor pada tahun Penulis melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwijaya selama setahun, kemudian pindah studi dan memperoleh gelar S.Hut dari Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1994, dengan meraih penghargaan sebagai lulusan tercepat dan terbaik (predikat Dengan Pujian). Pada tahun 1998 penulis memperoleh beasiswa dari International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Departemen Kehutanan guna melanjutkan studi S-2 pada program studi Resources Management, University of Edinburgh dan lulus dengan gelar M.Sc., pada tahun Selama studi di University of Edinburgh, penulis dianugerahi penghargaan (award) TROPAG PRIZE sebagai mahasiswa asing (overseas student) terbaik. Pada tahun 2006, penulis mendapat beasiswa dengan biaya Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Departemen Kehutanan untuk melanjutkan studi S-3 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengawali karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Departemen Kehutanan (Dephut) sejak tahun 1995 dan ditugaskan pada Kantor Wilayah Dephut di Provinsi Jambi sampai dengan tahun Semenjak tahun 2000 sampai 2003, penulis bertugas di Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Dephut. Selanjutnya, bertugas sebagai Kepala Sub Bagian Kerjasama Regional pada Biro Kerjasama Luar Negeri (KLN) dan Investasi, Sekretariat Jenderal (Setjen) Dephut ( ), Kepala Sub Bagian Kerjasama Bilateral Wilayah Asia, Afrika dan Australia pada Biro KLN, Setjen Dephut (2005), dan Kepala Seksi Kinerja Industri dan Pemasaran Hasil

16 Hutan Wilayah II pada Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Dephut ( ). Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010, penulis mendapat penugasan sebagai karyasiswa program S-3 Departemen Kehutanan pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana, IPB. Selama mengikuti program Doktoral, karya ilmiah penulis berjudul Partnership between the wood processing industries and the people on forest plantations development in Java Island, Indonesia telah dipresentasikan pada International Seminar of Research on Plantation Forest Management: Challenges and Opportunities, Bogor, 5-6 November Empat karya tulis/artikel yang telah dipublikasikan, adalah (i) Filosofi kontrak kemitraan: kasus kemitraan pengelolaan hutan tanaman dengan masyarakat di Indonesia. Info Pustanling 9(1): 8 12/Juni 2007; (ii) Hutan rakyat: potensi bahan baku kayu bundar yang terabaikan. Warta KAGAMA Kehutanan, edisi 2, November 2008; (iii) Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan tanaman industri. Warta KAGAMA Kehutanan, edisi 2, November Dua artikel/karya tulis ilmiah yang akan dipublikasikan adalah (i) Kemitraan industri pengolahan kayu bersama rakyat untuk membangun hutan di Pulau Jawa pada Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Volume 7, Tahun 2010; (ii) Keunggulan kompetitif dan komparatif kemitraan industri dan rakyat untuk membangun hutan di Pulau Jawa pada Jurnal Analisis Kebijakan, Volume 6, Tahun 2010.

17 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xxi DAFTAR LAMPIRAN... xxii DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... xxiii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Pernyataan Masalah Penelitian... 4 C. Tujuan Penelitian... 5 D. Kegunaan Penelitian... 5 E. Ruang Lingkup Penelitian... 6 F. Kebaruan (Novelty)... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA... 7 A. Hutan Tanaman... 7 B. Teori Kemitraan dan Kontrak C. Kelembagaan Kemitraan Dalam Pembangunan Hutan D. Policy Analysis Matrix E. Pemasaran Kayu KIBARHUT III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Penelitian B. Waktu Penelitian C. Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Contoh D. Sumber Data dan Metode Pengambilan Data E. Metode Analisis Analisis karakteristik dan pelaku KIBARHUT Kinerja kelembagaan KIBARHUT Analisis pasar kayu KIBARHUT Keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT... 55

18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Kondisi dan ciri umum pembangunan hutan bersama rakyat Aturan yang dipergunakan Pelaku (actors) kelembagaan KIBARHUT Deskripsi (situasi aksi) kelembagaan KIBARHUT a. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe b. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe c. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe Perilaku Oportunis B. Kinerja Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Analisis fungsi produksi Analisis finansial Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif C. Pemasaran Kayu KIBARHUT di Pulau Jawa Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe D. Keberlanjutan Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Perbandingan karakteristik dan kinerja ketiga tipe KIBARHUT Evaluasi keberlanjutan KIBARHUT Kebijakan berkaitan kelembagaan KIBARHUT Perumusan hubungan kontraktual KIBARHUT V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (sintesa) temuan B. Kesimpulan C. Saran D. Saran untuk Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN LAMPIRAN

19 DAFTAR TABEL 1 Pembangunan HTI s.d. Tahun Pembangunan Hutan (non-hti) di Indonesia selama 5 tahun terakhir Kumpulan hak yang dimiliki berdasarkan status kepemilikan Tabel PAM Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi Lokasi pengumpulan data dan jumlah petani contoh Karakteristik Struktur Pasar Perkembangan luas hutan rakyat di kabupaten contoh Status pemilikan lahan dimanfaatkan untuk pelaksanaan KIBARHUT Jenis tanaman kehutanan dan pola pembangunan hutan di lokasi contoh Jenis tanaman pangan/hortikultur yang menjadi tanaman tumpangsari dalam tahun-tahun awal pelaksanaan KIBARHUT Indikasi aturan tertuang dalam surat perjanjian kerjasama Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. BKL Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. SGS Data penanaman kemitraan PT. KTI Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe Indikasi perilaku oportunis dalam pelaksanaan KIBARHUT Pendugaan model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa Jenis tanaman keras pada lahan dengan pola tanam AF di lokasi contoh Luas usaha (ut), pola tanam, dan jenis tanaman KIBARHUT di lokasi contoh Analisis kelayakan finansial KIBARHUT Analisis kelayakan finansial berdasarkan sudut pandang pelaku Ringkasan PAM usaha KIBARHUT di Pulau Jawa Jumlah agents sudah menebang dan bentuk penjualan kayu KIBARHUT Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Karakteristik dan struktur pasar kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil

20 30 Karakteristik kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Perbandingan pemasaran kayu KIBARHUT Indikasi perilaku oportunis Hasil analisis kepekaan (sensitivity analysis) kelembagaan KIBARHUT Rasio PAM KIBARHUT dengan dan tanpa kredit tunda tebang Aturan digunakan (rules-in-use) kelembagaan KIBARHUT Usulan model alternatif susunan kontrak kelembagaan KIBARHUT Jumlah pohon dan waktu panen tanaman KIBARHUT di lokasi contoh Perkiraan volume kayu bundar (KB) dihasilkan sebatang pohon Sengon Perhitungan harga ekspor KB jenis Sengon Harga paritas KB jenis Sengon diameter < 30 cm di tingkat petani

21 DAFTAR GAMBAR 1 Ide dasar agency theory Aliran biaya dan pendapatan (benefit and cost) Saluran pemasaran kayu bundar Kerangka Pemikiran analisis kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Tipologi KIBARHUT di lokasi penelitian Lokasi penelitian Jenis tanaman pokok pada pelaksanaan KIBARHUT di Pulau Jawa Penanaman Sengon dengan jarak tanam rapat dan pencangkokan batang untuk dijual sebagai bibit Sengon di lokasi contoh Pohon Sengon terkena jamur Karat Kuru (dikenal petani sebagai gondok) dan pohon terkena Ulat Batang Distribusi pohon KIBARHUT berdasarkan kelas diameter di lokasi contoh Organisasian pelaksanaan KIBARHUT Tipe 1 Bawang Organisasian pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Krucil Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3 Krucil Tegakan Balsa muda ditanam secara tumpangsari dengan Jagung Tegakan Balsa (umur ± 4 tahun) siap untuk tebang penjarangan Jumlah agents terindikasi berperilaku oportunis Bentuk dan saluran pemasaran kayu hasil KIBARHUT Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 1 Bawang Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Saluran pemasaran kayu KIBARHUT Tipe 2 Krucil Bagan alir model usulan prosedur perolehan kontrak KIBARHUT Pengaruh kebijakan ekspor terhadap pasar KB jenis FGS

22 DAFTAR LAMPIRAN 1 Populasi Pohon di Pulau Jawa Asal pasokan bahan baku untuk kebutuhan industri perkayuan di Indonesia Tahun Rekapitulasi pelaksanaan KIBARHUT berdasarkan informasi petani contoh Asumsi perhitungan hasil panen kayu KIBARHUT Data industri penggergajian/sawmill di kecamatan contoh Unsur-unsur kontrak pada hubungan kontraktual KIBARHUT di Pulau Jawa Data pokok pendugaan fungsi produksi Analisis regresi model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa Kurva Fungsi Produksi Evaluasi perilaku pelaku KIBARHUT Perhitungan harga paritas Harga aktual (privat) dan dugaan harga sosial Analisis aliran kas berdiskonto KIBARHUT Laba bersih usaha (INPAK) dari hasil pengolahan kayu Analisis finansial KIBARHUT berdasarkan masing-masing pelaku Analisis sensitifitas Analisis PAM KIBARHUT di Pulau Jawa Rasio PAM KIBARHUT, ada kredit tunda tebang mulai tahun ke Analisis teoritis pangsa pasar dan pasokan ekspor kayu bundar Aturan grading kayu oleh INPAK Diferensiasi produk dan harga pada pemasaran kayu di lokasi contoh Struktur organisasi KAMkti

23 DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH BUMN BUMS Dephut Ditjen BPK FGS HGU HTI HTR INPAK IPHHK IUIPHHK IUPHHK IUPHHK HT IUPHHK HA hpt KB KAMkti Kemitraan KIBARHUT KPH KUP Menhut Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Swasta Departemen Kehutanan/Kementerian Kehutanan (mulai tahun 2010) Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Fast growing species atau tanaman jenis cepat tumbuh Hak Guna Usaha Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Rakyat Industri Pengolahan Kayu Industri Primer Hasil Hutan Kayu Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam Hijauan pakan ternak Kayu Bundar. Standar Nasional Indonesia (SNI) mendefinisikan kayu bundar, kayu gelondongan, balak, dolok atau log sebagai bagian batang dan atau cabang dari pohon, berbentuk bundar memanjang dengan ukuran dan sortimen tertentu. Berdasarkan besarnya diameter, kayu bundar (KB) digolongkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu kayu bundar besar/kbs, kayu bundar sedang/kbs, dan kayu bundar kecil/kbk (SNI tentang Pendukung di bidang Kehutanan Bagian 4: Tata nama hasil hutan) Koperasi Alas Mandiri kti Dalam arti bermitra yaitu untuk membahasakan kerjasama yang dilakukan para pelaku, sedangkan pola kemitraan adalah untuk menyebutkan bentuk kemitraan yang dilaksanakan Kemitraan INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan, yaitu unit organisasi di Perum Perhutani yang dikepalai oleh ADM atau Kepala KPH Kelompok usaha penggergajian, yaitu sawmill (penggergajian kayu) yang terafiliasi dengan PT. BKL Menteri Kehutanan

24 PT. BKL PT. KTI PT. SGS PAM PP Pemilik lahan Permen SK PT. Bineatama Kayone Lestari dan perusahaan terafiliasi, yaitu PT. Bina Inti Lestari (BIL), PT. Bina Siliwangi Lestari (BSL), PT. Bina Lodaya Lestari (BLL) PT. Kutai Timber Indonesia PT. Sumber Graha Sejahtera dan perusahaan terafiliasi, diantaranya yang terkait dalam penelitian adalah PT. Kharisma Megah Dharma (KMD), PT. Makmur Alam Lestari (MAL), PT. Nusantara Makmur Sentosa (NMS) atau Mandira, dan PT. Setya Alba (SA) Policy Analysis Matrix atau matriks analisis kebijakan Peraturan Pemerintah Individu atau kelompok yang memiliki/menguasai lahan dan dikerjasamakan dalam kelembagaan KIBARHUT. Pemilik lahan adalah (i) petani pemilik lahan jika mengerjakan tanah/lahan miliknya sendiri, dan (ii) non-petani jika tidak secara langsung mengerjalan lahannya tetapi dengan mengikutsertakan petani sebagai mitra dan/atau penggarap lahan. Peraturan Menteri Surat Keputusan

25 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini dan masa mendatang, peran dan fungsi hutan tanaman dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu semakin meningkat (Nawir dan Santoso, 2005; Raymond dan Woof, 2006). Pembangunan hutan dengan permudaan buatan (umum dikenal sebagai hutan tanaman) diartikan sebagai tegakan hutan yang ditanam secara khusus dengan pohon berkayu jenis tertentu untuk keperluan penyediaan kayu bakar, dan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya. Jenis yang ditanam umumnya memiliki karakteristik khas, seperti cepat tumbuh, persyaratan pengelolaan tidak rumit dan produktivitas tinggi. Food and Agriculture Organisation atau FAO (2005) melaporkan bahwa 34,1% pembangunan hutan ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu atau secara komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu untuk konstruksi, panel kayu dan furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan di dunia juga ditujukan untuk keperluan non industri seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan (48,7%), konservasi tanah dan air (9,3%), dan fungsi lainnya yang belum tercatat (7,8%). Pembangunan hutan dengan permudaan buatan di Indonesia umumnya dilakukan pada kawasan hutan produksi oleh kelompok masyarakat yang diberikan kewenangan oleh pemerintah. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu sehingga disebut hutan tanaman industri atau HTI (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 (PP No. 6/2007) jo PP No. 3/2008 khususnya Pasal 1). Berdasarkan data release Ditjen BPK Triwulan I Tahun 2009 (website tercatat 229 unit HTI sudah memperoleh Surat Keputusan (SK) definitif dengan luas konsesi ha, tetapi realisasi tanamannya hanya seluas ha atau sekitar 39,82% dibandingkan luas areal konsesinya. Guna mengoptimalkan realisasi pembangunan hutan tanaman di Indonesia, sejak tahun 2006 pemerintah telah melakukan upaya percepatan pembangunan HTI. Upaya

26 2 pemerintah diantaranya adalah mengalokasikan kawasan hutan milik negara seluas 9 juta ha menjadi lahan hutan tanaman periode (Pasaribu, 2006), dimana 40% atau 3,6 juta ha dibangun dengan pola Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK HT), dan 60% atau 5,4 juta ha dengan pola Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR). Kebijakan pembangunan IUPHHK HTR, yang mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai stakeholder pembangunan hutan, dituangkan dalam PP No.6/2007 jo PP No. 3/2008 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.23/Menhut-II/2007 jo No. P.05/Menhut-II/2008. Berdasarkan Permenhut tersebut, maka salah satu pola pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan. Kemitraan membangun hutan tanaman dilakukan IUPHHK HT dengan melibatkan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan (forest dependent communities). Kemitraan tersebut, seperti misalnya yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada, PT. Wirakarya Sakti, PT. Finnantara Intiga, PT. Xylo Indah Pratama, PT. Arara Abadi, PT. Inti Indo Rayon, dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, telah banyak dikaji dan diungkap (Maturana et al., 2005; Nawir dan Santoso, 2005; Diyah, 2006; Yuwono, 2006; Prihadi dan Nugroho, 2007; Suwarno et al., 2009). Di Pulau Jawa, pembangunan hutan tanaman di kawasan hutan negara seluas 2,4 juta ha dilakukan Perum Perhutani. Sedangkan pembangunan hutan non-hti selama kurun waktu adalah rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) seluas ,6 ha dan rehabilitasi lahan (di luar kawasan) seluas ha (Dephut, 2008). Pembangunan hutan tanaman juga dilakukan pada lahan milik secara swadaya maupun kemitraan dengan melibatkan berbagai pihak, diantaranya dengan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) 1 yaitu industri pengolahan kayu bundar 2 (INPAK) atau industri pengolahan kayu bahan baku serpih (pulp and paper). Informasi INPAK yang melakukan kemitraan bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan 1 IPHHK adalah industri hulu hasil hutan kayu yaitu industri pengolahan kayu bundar dan/atau kayu bundar kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (Pasal 1), terdiri dari industri penggergajian kayu, industri serpih kayu (wood chip), industri veneer, industri kayu lapis/panel (plywood), dan laminated veneer lumber/lvl (Pasal 2). Industri primer adalah juga termasuk industri primer yang dibangun dengan industri kayu lanjutannya yang menggunakan bahan baku kayu bundar dan/atau kayu bundar kecil (PP. No 6/2007; Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008 jo P.9/Menhut-II/2009). 2 Standar Nasional Indonesia (SNI) mendefinisikan kayu bundar, kayu gelondongan, balak, dolok atau log sebagai bagian batang dan atau cabang dari pohon, berbentuk bundar memanjang dengan ukuran dan sortimen tertentu. Berdasarkan besarnya diameter, kayu bundar (KB) digolongkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu kayu bundar besar/kbb, kayu bundar sedang/kbs, dan kayu bundar kecil/kbk (SNI tentang Pendukung di bidang Kehutanan Bagian 4: Tata nama hasil hutan).

27 3 (KIBARHUT) atau dikenal juga sebagai Hutan Rakyat pola kemitraan masih sangat terbatas. Sampai tahun 2008, Direktorat BPPHH (Dephut) mengidentifikasi adanya 10 unit INPAK (dengan kapasitas produksi > m³/tahun dan tersebar di 4 provinsi) yang melakukan KIBARHUT di Pulau Jawa. Kenyataannya, belum ada pola kemitraan yang dianggap optimal dalam pembangunan hutan (Nawir dan Santoso, 2005; Suwarno et al., 2009), walau klaim pelaksanaan umumnya dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat (Riyanto, 2005; Najiyati et al., 2005). Pendekatan kemitraan dalam upaya pemberdayaan dilakukan karena melibatkan penduduk lokal/masyarakat sekitar hutan dan pihak terkait lainnya adalah pilihan terbaik dibandingkan kebijakan pembangunan dengan menggunakan pendekatan otoriter (Suyanto et al., 2005; Sanginga et al., 2007). Bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan, saling menghidupi, kesetaraan, partisipatif, adanya kepercayaan dan kemauan berbagi, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha dan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra (Korten, 1987; Eade, 1997; Sumardjo et al., 2004; Najiyati et al., 2005), sebagaimana juga termuat di Pasal pada UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil. Pemerintah telah menggariskan kebijakan yang tertuang dalam Pasal 99 PP No. 6/2007 jo No. 3/2008 bahwa pemberdayaan penduduk lokal atau setempat, dapat dilakukan melalui kemitraan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin pemanfaatan atau hak pengelolaan dengan penduduk, berdasarkan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Nawir (2006) menyatakan perlunya kemitraan dengan INPAK guna mendapatkan jaminan pasar bagi pengelola hutan atau pihak Hulu. Kemitraan juga merupakan solusi tepat untuk kesinambungan bahan baku kayu bundar bagi INPAK. Namun, sampai saat ini belum ada kebijakan nasional yang komprehensif mengenai kemitraan pembangunan hutan antara rakyat dengan INPAK. Kemitraan melibatkan dua atau lebih pihak yang bekerjasama dalam hal penggunaan lahan, modal, pengelolaan hutan dan jaminan pasar dengan tujuan memproduksi kayu bundar. Adanya hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat (pengelola hutan) memunculkan dugaan bahwa ada perubahan kinerja yang dicapai dalam rangka pembangunan hutan sehingga keberlanjutan pelaksanaannya menjadi relevan untuk didiskusikan. Keberlanjutan hubungan kemitraan dalam rangka

28 4 pembangunan hutan berpengaruh terhadap upaya penyediaan pasokan bahan baku sesuai dengan kebutuhan industri, meningkatkan pendapatan dan/atau keuntungan rakyat selaku pengelola hutan yang terlibat, sekaligus keberlangsungan dan kelestarian pasokan bahan baku bagi INPAK. Penelitian ini mendiskusikan hal-hal tersebut dengan menggunakan teori kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency relationship) antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan. Guna mencapai tujuan penelitian tersebut, pengungkapan fakta dan data kelembagaan KIBARHUT dilakukan dengan mengambil kasus penerapannya di Pulau Jawa. B. Pernyataan Masalah Penelitian Pengembangan usaha pembangunan hutan dengan permudaan buatan yang dilakukan secara komersial guna memasok kebutuhan bahan baku bagi INPAK di Pulau Jawa mempunyai potensi yang sangat besar (Hardjanto, 2003). Pada berbagai tempat dan lokasi, INPAK melakukan pendekatan intensif kepada rakyat sebagai petani pemilik lahan, secara perorangan ataupun kelompok, untuk bersedia bermitra dalam upaya membangun hutan dan mengelolanya. Kemitraan membangun hutan dengan pihak luar lingkungan sosial petani dapat berlangsung sepanjang ada kesediaan rakyat dan/atau para pemilik lahan untuk bermitra. Secara tidak langsung, kemitraan menyebabkan terjadinya perubahaan budaya dan kelembagaan (Purnaningsih, 2006) sehingga memerlukan pertimbangan rasional para pelakunya, khususnya petani. Pemikiran ini penting karena Mayers dan Vermeuleun (2002) mengungkapkan tidak banyaknya fakta lapangan yang memperlihatkan kemitraan antara perusahaan dengan rakyat dalam pembangunan hutan, telah mampu mengatasi kemiskinan, meningkatkan kondisi kerja atau meningkatkan daya tawar (bargaining position). Mekanisme pengaturan melalui kelembagaan kemitraan merupakan penataan, guna mendorong kesediaan pelaku bekerjasama dan berinvestasi membangun hutan. Mekanisme tersebut dipengaruhi berbagai faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi karakteristik dan pelaku KIBARHUT, sehingga menghasilkan keluaran yang dapat dipergunakan mengevaluasi keberlanjutan (arena aksi atau action arena) kelembagaan KIBARHUT. Kelembagaan KIBARHUT dapat terwujud dan berkelanjutan, jika mampu memberikan insentif positif bagi pelakunya

29 5 (actors). Selanjutnya, pelaku yang terlibat bersedia menginvestasikan kembali sebagian manfaat yang diterimanya untuk membangun dan mengelola hutan secara berkelanjutan. Dengan demikian, bagaimanakah karakteristik kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa? Kelembagaan KIBARHUT tersebut diharapkan mempunyai kinerja yang mampu memberikan manfaat (insentif positif) bagi para pelakunya. Para pelaku selanjutnya secara sukarela bersedia menginvestasikan kembali sebagian keuntungan yang diperolehnya, untuk membangun dan mengelola hutan KIBARHUT secara berkelanjutan. Dengan demikian, apakah kelembagaan KIBARHUT mempunyai kinerja yang dapat memberikan insentif positif bagi para pelakunya sehingga menjamin terwujudnya hubungan kemitraan yang berkelanjutan? Pembangunan hutan KIBARHUT tidak hanya mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages) berupa ketersediaan input produksi, tetapi juga mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkages) berupa pasar produknya. Pasar kayu KIBARHUT dan jaminan pasar yang diberikan oleh INPAK merupakan salah satu daya tarik (arena aksi) kelembagaan KIBARHUT. Sehingga, bagaimanakah struktur pasar dan saluran pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa? Pemahaman terhadap permasalahan penelitian dimaksud diharapkan dapat mensintesa kelembagaan KIBARHUT yang mampu mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan pembangunan hutan KIBARHUT di Pulau Jawa. C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini mengkaji kelembagaan kemitraan yang mendukung terwujudnya kelembagaan KIBARHUT secara berkelanjutan. Secara khusus, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah: 1. Menganalisis karakteristik kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 2. Menganalisis kinerja kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 3. Menganalisis pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa 4. Menganalisis peluang keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa D. Kegunaan Penelitian Keluaran hasil penelitian ini diharapkan berguna dan dapat dimanfaatkan untuk: 1. menjadi bahan masukan dan informasi penting bagi pemerintah dalam mengembangkan kebijakan kemitraan pembangunan hutan di masa mendatang.

30 6 2. kalangan akademisi dan peneliti dalam mengembangkan penelitian lanjutan dan menjadi bahan pembanding tentang pola kemitraan, berdasarkan konsep atau teori kontrak kemitraan dan adopsinya di lapangan. 3. membantu masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha dan pihak lain dalam mengembangkan dan melaksanakan serta memberikan pendampingan pelaksanaan kemitraan untuk membangun hutan. E. Ruang Lingkup Penelitian Analisis diarahkan pada penilaian tentang kelembagaan yang mendukung keberlanjutan hubungan kemitraan dalam rangka pembangunan hutan tanaman sehingga menghasilkan keluaran yang berdampak dan memberikan manfaat (insentif positif) bagi para pelakunya. Jalinan kerjasama ekonomi dan keterlibatan para pelaku tersebut dilakukan berdasarkan asas kemitraan, sehingga kajian dalam penelitian ini menggunakan konsep teori kemitraan (agency theory), khususnya tentang hubungan kelembagaan kemitraan antar para pelaku (agency relationship). Cakupan penelitian adalah kegiatan kemitraan dalam rangka pembanguna hutan yang dilakukan INPAK bersama rakyat (KIBARHUT) yaitu (i) petani pemilik lahan, atau (ii) petani dan pemilik lahan (perorangan, perusahaan swasta, dan pemegang izin/kuasa pengelolaan hutan/lahan negara), dengan atau tanpa keterlibatan pelaku lain (mitra antara). Kegiatan kemitraan oleh institusi yang bukan INPAK adalah tidak termasuk cakupan penelitian ini. F. Kebaruan (Novelty) 1. Kebaruan (fokus penelitian) dalam mengungkapkan jalinan hubungan pertukaran ekonomi antara INPAK dan rakyat, beserta implikasinya terhadap keberlanjutan usaha membangun hutan, serta secara tuntas (scholar) menganalisis dan mensintesis kelembagaan KIBARHUT dengan pendekatan teori kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency relationship). 2. Kebaruan keilmuan terkini (advance) karena fokus penelitian, berdasarkan review hasil-hasil penelitian sebelumnya, menghasilkan fakta belum adanya penelitian mengenai hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) dalam konteks analisis kelembagaan.

31 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Tanaman Hutan tanaman didefinisikan sebagai tegakan hutan yang dibangun melalui kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau penghutanan kembali (FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007). Evans (1992) mengartikan hutan tanaman sebagai hutan yang dibangun dan dikelola melalui kegiatan permudaan buatan atau penaburan/penanaman bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau man-made forest), sehingga merupakan hutan dengan tegakan seumur/even-aged forest atau tidak seumur/uneven-aged forest (Daniel et al., 1987). Berbagai istilah yang disepadankan dengan hutan tanaman adalah forest plantations (FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007) atau man-made forest (Singh et al., 2004; Hiratsuka et al., 2005), dan kebun kayu (Maturana et al., 2005). Hutan tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku untuk INPAK, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya. Hutan tanaman merupakan sebuah sumber daya yang tumbuh (a growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, dalam kualitas maupun kuantitasnya. Karenanya, pertimbangan pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan memiliki karakteristik khas, seperti jenis cepat tumbuh (fast growing species atau FGS), persyaratan pengelolaan yang tidak rumit dan produktivitas tinggi. Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bundar sekaligus mengurangi deforestasi. FAO (2005) menyatakan bahwa 34,1% pembangunan hutan ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu atau secara komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu untuk konstruksi, panel kayu dan furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan di dunia sebagian besar atau sekitar 48,7% ditujukan untuk keperluan non industri seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan. Sekitar 9,3% pembangunan hutan tanaman ditujukan untuk konservasi tanah dan air, serta 7,8%

32 8 untuk kepentingan dan fungsi lainnya yang belum tercatat. Pertambahan luas pembangunan hutan di kawasan Asia secara rata-rata sekitar 1,85 juta ha per tahun, atau 66,3% dari total pertambahan luas rata-rata pembangunan hutan di dunia yang sebesar 2,79 juta ha per tahun. FAO (2005) juga mencatat total hutan tanaman di dunia seluas 139,772 juta ha, dimana sekitar 46,43% (64,896 juta ha) diantaranya berada di kawasan Asia. Data FAO (2005) menunjukkan bahwa luas pembangunan HTI di Indonesia mencapai 2,4% dari total hutan tanaman di dunia, sehingga merupakan negara ke-7 di dunia dan negara ke-3 di Asia (setelah China dan Jepang) yang mempunyai kawasan hutan tanaman terluas. Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan bagian kegiatan penghijauan dan rehabilitasi. Kegiatan tersebut bertujuan memperbaiki keadaan areal kritis di daerah-daerah sumber air, dengan menggunakan jenis cepat tumbuh seperti Kaliandra (Calliandra spp.), Sengon (Paraserianthes falcataria), Eucalyptus deglupta, E. urophylla, Akasia (Acacia spp), dan lainnya. Namun, seiring semakin menurunnya kemampuan hutan alam memasok kebutuhan bahan baku untuk INPAK, maka pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang, khususnya guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo dan Supriono, 2000; Ngadiono, 2004; FAO, 2005; Darusman et al., 2006). Pembangunan hutan tanaman pada lahan milik atau hutan hak (pada tanah yang dibebani hak atas tanah) umumnya dilakukan masyarakat perorangan dan dikenal sebagai hutan rakyat. Pembangunan hutan tanaman pada bukan lahan milik atau lahan negara umumnya dilakukan pada kawasan hutan produksi, dengan 3 (tiga) skema (PP No. 6/2007 jo No. 8/2008) yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) 3, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 4, dan Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR) 5. Skema pembangunan hutan tanaman lainnya adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm) 6. 3 HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. 4 HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. 5 HTHR adalah hutan tanaman yang dibangun melalui kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan guna mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan. 6 Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya guna memberdayakan masyarakat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.

33 9 Realisasi pembangunan HTI di luar Pulau Jawa sampai dengan Desember 2008 (data release Ditjen BPK untuk triwulan I tahun 2009) adalah sebagaimana data pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 terdapat sebanyak 274 unit IUPHHK HTI dengan total luas konsesi hutan ha dan realisasi tanaman seluas ha atau 38,85% dari luas konsesinya. Namun demikian sepanjang tahun 2008, terdapat 45 unit yang pencadangannya dibatalkan dengan luas konsesi ha dan realisasi tanaman ha. Sehingga total realisasi tanaman diluar unit yang pencadangannya dibatalkan adalah seluas ha. Tabel 1 Pembangunan HTI s.d. Tahun 2008 Kelompok Usaha Luas Areal Jumlah Realisasi kumulatif (ha) Kerja (ha) (unit) s.d s.d BUMN 1. Tahap SK Definitif Tahap SK Sementara Tahap Pencadangan Jumlah Patungan 1. Tahap SK Definitif Tahap SK Sementara Tahap Pencadangan Jumlah Swasta Murni 1. Tahap SK Definitif Tahap SK Sementara Tahap Pencadangan Jumlah Jumlah Jumlah dicabut Sumber : Ditjen BPK, 2009 Pembangunan HTR melalui IUPHHK-HTR adalah kebijakan yang mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai pelaku (stakeholder) pembangunan hutan. Salah satu pola pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan. Realisasi HTR pola kemitraan sampai dengan tahun 2007 adalah seluas ,18 ha dengan melibatkan sebanyak KK (Ditjen BPK, 2008). Kegiatan HTR pola kemitraan tersebut dilakukan di dalam areal konsensi oleh 18 unit IUPHHK HT di luar Pulau Jawa. Pada tahun 2008, Menhut juga telah menerbitkan SK pencadangan areal pada 26 kabupaten dengan total luas ha, sedang dalam penyiapan peta pencadangan sebanyak 36 kabupaten (Ditjen BPK, 2009), dan telah terbit 1 unit IUPHHK HTR seluas ha a.n. Koperasi Mitra Madina Lestari oleh Bupati Madina, Sumatera Utara.

34 10 Pada sisi lain, Perum Perhutani juga mengelola kawasan hutan negara seluas 2,4 juta ha yang sebagian diantaranya dipergunakan untuk membangun hutan tanaman di Pulau Jawa ( Pembangunan hutan yang dilakukan Perum Perhutani tersebut, dan juga pengelolaan hutan tanaman lainnya yang dikelola rakyat ataupun institusi (pemerintah dan non-pemerintah) dalam statistik Dephut tidak dikategorikan sebagai HTI. Pelaksanaan pembangunan hutan di kawasan hutan negara dilakukan Perum Perhutani dengan melibatkan rakyat, khususnya sebagai pesanggem. Upaya membangun hutan dengan melibatkan rakyat melalui kontrak Perhutanan Sosial (PS) telah dirintis mulai tahun 1986 (Tatuh, 1992), dan selanjutnya mengadopsi pola kemitraan yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak Melalui PHBM, keterlibatan rakyat dalam upaya membangun hutan di kawasan hutan negara yang dikuasai Perum Perhutani di Pulau Jawa mendapatkan imbalan berupa sharing produksi yang diatur melalui keputusan Direksi No. SK 001/Kpts/Dir/2002. Besarnya sharing produksi yang telah diberikan Perum Perhutani sampai dengan tahun 2006 adalah sebesar Rp 30,862 milyar (Yuwono, 2008). Setelah berjalan selama 6 tahun, Perum Perhutani melakukan penyempurnaan sistem pembangunan hutan tersebut menjadi PHBM Plus 7 (Direksi Perum Perhutani, 2007). Melalui PHBM Plus maka nilai dan proporsi berbagi ditetapkan sesuai nilai dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan masing-masing pihak, sebagaimana juga disarankan Yuwono (2008). Hutan yang dibangun pada lahan milik oleh rakyat (yaitu petani dan/atau pemilik lahan) pada awalnya ditujukan untuk menghasilkan kayu bundar yang dikonsumsi sendiri (subsistence) seperti untuk kayu bakar dan kebutuhan bahan bangunan rumah tangga, atau dijual untuk pengolahan sederhana bagi kebutuhan penduduk di sekitar lokasi hutan. Namun, sejalan dengan berkembang pesatnya berbagai INPAK, maka pemanfaatan hasil panen dari hutan yang dibangun rakyat tersebut telah digunakan secara komersial untuk memenuhi bahan baku bagi INPAK. Jumlah realisasi luasan kegiatan pembangunan hutan (non-hti) yang dilakukan selama 5 tahun terakhir ( ) adalah sebagaimana rincian pada Tabel 2. 7 Permasalahan yang mendorong dilakukan penyempurnaan diantaranya adalah (i) sinergitas dengan pemerintah daerah dan stakeholders belum maksimal; (ii) masih berbasis kegiatan kehutanan; (iii) kurang fleksibel; (iv) pelaksanaan bagi hasil (ciri PHBM) belum dilaksanakan secara merata.

35 Tabel 2 Pembangunan Hutan (non-hti) di Indonesia selama 5 tahun terakhir ( ) No Wilayah Rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) Rehabilitasi lahan (di luar kawasan ) Hutan bakau Hutan Kemasyarakatan/HKm (ha) (ha) (ha) (km) Hutan rakyat Aneka usaha kehutanan Reboisasi (ha) (ha) 1 Sumatera , , ,00 845,00 468, ,00 2 Jawa , , , ,00 870, ,00 a. Jawa Barat , , ,00 234, ,00 b. Banten , ,00 256,00 76,78 477,00 c. Jawa Tengah , , , ,00 233, ,00 d. DI Yogyakarta 8.329, , , ,00 60,00 250,00 e. Jawa Timur ,00 175, , ,00 265, ,00 f. DKI Jakarta 600, , , ,00 3 Kalimantan ,00 740, , ,00 126, ,00 4 Sulawesi , , ,00 400,00 273, ,00 5 Bali + Nusatenggara ,00 50, , ,00 378, ,00 6 Maluku + Maluku Utara , , , ,00 7 Papua + Papua Barat 9.199, ,00 310,00 25,00 153,00 J u m l a h , , , , , ,00 Sumber : Dephut, 2008 Keterangan : 1. Semua data (angka) merupakan jumlah kumulatif kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan hutan (inside forest area) dan di luar kawasan (outside forest area) selama 5 tahun ( ) 2. Reboisasi (reforestation activities) termasuk kegiatan kegiatan reboisasi dalam rangka GNRHL 3. Hutan rakyat (community-owned forest), yaitu (i) penanaman hutan rakyat/ kebun rakyat termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) pembangunan agroforestry, (iii) areal model pengelolaan hutan rakyat 4. Aneka usaha kehutanan, yaitu (i) dalam satuan hektar (rehabilitasi teras, usaha pelestarian sumberdaya alam/upsa, usaha pertanian menetap/upm, hutan kota, dan (ii) dalam satuan km (turus jalan) 5. Hutan bakau (mangrove forest), yaitu (i) penanaman/rehabilitasi hutan bakau termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) areal model hutan bakau 11

36 12 Berdasarkan Tabel 2, luasan pembangunan hutan dikategorikan sebagai kegiatan non-hti mempunyai potensi yang setara dibandingkan realisasi tanaman di dalam pengelolaan HTI. Dephut (2008) mengklasifikasikan kegiatan pembangunan hutan (non-hti) atau rehabilitasi hutan dan lahan menjadi 3 (tiga) yaitu (i) rehabilitasi di dalam kawasan meliputi kegiatan reboisasi dan hutan kemasyarakatan, (ii) rehabilitasi di luar kawasan meliputi kegiatan hutan rakyat, kebun bibit desa, dan aneka usaha kehutanan, dan (iii) penanaman hutan bakau. Kegiatan tersebut, mulai tahun 2003 telah disinergikan dalam satu program yang dikenal sebagai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Luasan penanaman dan pembangunan hutan (di dalam kawasan hutan) periode tahun mencapai ,8 ha, dan kegiatan rehabilitasi lahan (di luar kawasan hutan) mencapai ha. Di Pulau Jawa, pembangunan hutan umumnya dilakukan dalam bentuk hutan rakyat di lahan milik, ataupun di lahan negara pada kawasan hutan konsesi Perum Perhutani. Tabel 2 menunjukkan bahwa realisasi kegiatan penanaman/pembangunan hutan di lahan milik atau dikenal sebagai hutan rakyat mencapai luasan ha. Data Dephut dan BPS (2004) memperlihatkan bahwa rumah tangga (yaitu 6,5% dari jumlah rumah tangga/rt) di seluruh Indonesia menguasai tanaman kehutanan berbagai jenis, dengan 10 (sepuluh) jenis paling dominan adalah Akasia, Bambu, Cendana, Jati, Mahoni, Pinus, Rotan, Sengon, Sonokeling dan Sungkai. Jumlah RT yang digolongkan sebagai RT kehutanan di Pulau Jawa adalah RT (yaitu 8% dari jumlah RT di Pulau Jawa) atau 77,4% dari total RT kehutanan seluruh Indonesia. Jenis tanaman yang dominan dikuasai dan diusahakan oleh RT Kehutanan di Pulau Jawa adalah (i) Jati: jumlah pohon Jati yang diusahakan mencapai 32,67 juta dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 10,44 juta; (ii) Sengon: jumlah pohon Sengon yang diusahakan mencapai 28,70 juta dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 14,21 juta; dan (iii) Mahoni: jumlah pohon Mahoni yang diusahakan sekitar 24 juta dan jumlah pohon siap tebang sejumlah 7,38 juta. Data lengkap populasi pohon dan pohon siap tebang yang dikuasai dan/atau diusahakan RT Kehutanan di Pulau Jawa disajikan pada Lampiran 1. Masripatin dan Priyono (2006) mengungkapkan bahwa keberhasilan pembangunan hutan dalam berbagai skema dipengaruhi beberapa faktor penting

37 13 antara lain: (i) pengetahuan mengenai kondisi biofisik lapangan; (ii) pengetahuan mengenai jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lapangan dan tujuan usaha atau trend pasar; (iii) ketersediaan benih/bibit bermutu tinggi (fisik, fisiologis, dan genetik) dalam jumlah cukup; (iv) penguasaan teknik silvikultur mulai pembibitan sampai manajemen tegakan dari jenis terpilih; (v) keahlian dan kesungguhan pelaksana untuk mengelola hutan. Dengan demikian, dalam kegiatan membangun dan mengelola hutan selain diperlukan kesesuaian jenis pohon, maka perlu dipertimbangkan aspek non teknis menyangkut nilai ekonomis jenis yang dikelola, akses ke industri dan jenis yang banyak diminati pasar, dan trend permintaannya di masa depan. Pembangunan hutan seringkali terkendala aspek non teknis tersebut, sehingga suatu kerjasama usaha atau kemitraan dengan pihak lain yang mampu memberikan manfaat positif merupakan salah satu solusinya. B. Teori Kemitraan dan Kontrak Teori kemitraan (agency theory) dinyatakan sebagai teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hirarkis, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran atau exchanges (Eggerstsson, 1990). Secara khusus, teori kemitraan diarahkan untuk menjelaskan suatu hubungan kemitraan antara salah satu pihak (yaitu principal) yang mendelegasikan pekerjaan ke pihak lain (yaitu agents), dimana penjelasannya dilakukan dengan menganalisis kontrak yang mengatur hubungan kedua pihak tersebut (Jensen dan Meckling, 1986; Eisenhardt, 1989). Hubungan kemitraan (agency relationship) adalah suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) menugaskan orang lain (agents) untuk melakukan sebagian kewenangan principal dan meliputi juga pendelegasian sebagian wewenang untuk mengambil keputusan (Jensen dan Meckling, 1986). Hubungan kemitraan antara principal dan agents tersebut merupakan suatu pertukaran yang kompleks sehingga mempunyai berbagai potensi permasalahan. Permasalahan hubungan kemitraan muncul dikarenakan : (i) principal dan agents mempunyai perbedaan kepentingan, tujuan atau harapan; (ii) principal kesulitan memverifikasi aktivitas agents secara lengkap (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 1998; Maskin, 2001; Gibbons, 2005). Permasalahan dasarnya adalah ketidakyakinan

38 14 principal bahwa agents bertindak sesuai kepentingan principal, dan permasalahan pembagian resiko karena kedua pihak mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang berbeda terhadap resiko usaha. Karena unit analisisnya adalah kontrak maka teori kemitraan berfokus pada efisiensi dan keberlanjutannya dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya manusia, organisasi, dan informasi (Eisenhardt, 1989). Faktor manusia sebagai pelaku kemitraan adalah penting karena agency relationship sangat bergantung dari sifat dasar manusia terhadap adanya resiko (Nugroho, 2003), dan ciri-ciri yang melekat pada masyarakat yang diharapkan terlibat menjadi pelaku kemitraan (participants who had possibility to be the prospective actors). Ostrom (2005) mengungkapkan berbagai sifat peserta/pelaku kemitraan yang diperkirakan berpengaruh pada keberlangsungan kemitraan, yaitu: (i) norma perilaku yang secara umum diterima masyarakat, (ii) tingkat pemahaman umum peserta untuk memperoleh, memproses dan memanfaatkan dalam proses memilih dan menentukan jenis aksi, (iii) adanya homogenitas preferensi dari semua yang ada di masyarakat (iv) kepemilikan dan distribusi sumberdaya pada semua pelaku. Karenanya, kesepakatan dan keberlangsungan suatu kontrak tergantung dari situasi aksi dan lingkungan kelembagaannya. Jika pengguna sumberdaya berasal dari berbagai komunitas berbeda dan tidak ada saling kepercayaan diantara mereka, maka tugas untuk menjaga keberlanjutan kemitraan dan penegakan aturan menjadi meningkat. Nugroho (2003) menyatakan adanya satu kesepakatan kontrak yang disebut sebagai bahu-membahu (interlocking). Pada sistem bahu membahu maka principal menyediakan seluruh atau sebagian dana, termasuk juga manajemen pengelolaan dan teknologi, sedangkan lahan dan tenaga kerja umumnya disediakan agents. Kondisi ini menyebabkan secara tidak langsung agents (merasa) mempunyai keterkaitan dengan principal (tying of labour), sedangkan principal mendapat jaminan atas produksi komoditas yang dihasilkan agents (interlocked transaction). Kedua model tersebut (tying of labour dan interlocked transaction) biasanya dilakukan sebagai solusi terhadap kompleksitas hubungan dengan masyarakat yang masih berpola subsistence. Pengaturan kontrak tertentu yang masuk akal dilakukan organisasi terhadap suatu faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah digariskan dan dikoordinasikan oleh para pemiliknya. Organisasi menciptakan kondisi dimana setiap

39 15 pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya transaksi dan pencarian informasi yang ekonomis dan efisien (Kasper dan Streit, 1998). Pertukaran ekonomi berkaitan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan pandangan ekonomi kelembagaan selalu mempunyai 2 (dua) atribut, yaitu adanya asymmetric information (ketidaksepadanan informasi) dan kemungkinan perilaku oportunis (opportunistic behavior) dari para pelaku (Barney dan Ouchi, 1986). Asymmetric information terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang dipertukarkan dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi dan pertukaran informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan. Asymmetric information bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi terkadang informasi tersebut tidak dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai dengan pertukaran terjadi, atau terkadang diperoleh namun sudah sangat terlambat 10. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi yang tidak selalu sama antara para pelaku kemitraan, mempengaruhi tindakan yang dilakukan para pelaku (Gambar 1). Asymmetric Information Kontrak Kepentingan pribadi P A Kepentingan pribadi Performa Gambar Gambar 1. Ide dasar 1 Agency Ide dasar Theory agency (sumber: theory Wikipedia) (sumber: en.wikipedia.org/wiki/principal-agent_problem) Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih mitra (adverse selection) pada ex ante (sebelum kejadian) dan bahaya ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kejadian), dan bahkan dalam suatu kemitraan terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard (Maskin, 2001). Salah satu 10 Fenomena ini tergambarkan dengan jelas dalam Lemons Tragedy dari Akerloff (1986) dimana pembeli tidak mempunyai informasi sempurna tentang kualitas produk yang dibelinya disebabkan tidak semua barang di pasar berkualitas baik karena bercampur dengan barang berkualitas buruk (lemons).

40 16 bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau disebut sebagai oportunis pasca kontrak (post-contractual opportunistic behavior). Perilaku oportunis adalah kegiatan yang dilakukan oleh salah satu pihak, dengan memanfaatkan informasi atau kelebihan lain yang dimiliki, untuk mengeksploitasi ekonomi pihak lain demi keuntungannya. Kartodihardjo (2006b) dan Yustika (2006) menyatakan bahwa perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktek yang tidak jujur dan tipu muslihat dalam kerjasama, yang seringkali diikuti oleh sifat menipu, mencuri, dan melalaikan kewajiban. Dalam suatu hubungan kemitraan, kedua pihak (principal dan agents) akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena salah satu pihak (khususnya agents) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan munculnya insentif (godaan) bagi satu atau lebih pelaku (khususnya agents) untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan utilitasnya sendiri (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005). Permasalahannya adalah bahwa pada kenyataannya principal tidak pernah tahu dengan agents mana seharusnya hubungan kemitraan atau kontrak (kerjasama) dilakukan. Principal juga tidak dapat mencermati secara sempurna aksi dan perilaku yang dilakukan oleh agents, serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat (Maskin, 2001). Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki principal dan agents. Insentif merupakan instrumen atau perangsang dalam pertukaran ekonomi yang berbentuk langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi keputusan dan mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan finansial atau non-finansial 11. Upaya menjamin agents melakukan tindakan optimal guna kepentingan principal adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik 11 Pemahaman ini disarikan dari Webster s Third New International Dictionary (1961), Kamus Umum Bahasa Indonesia karya WJS Poerwadarminta (1976), Kamus Besar bahasa Indonesia (edisi ketiga), McNeely (1992), dan Webster s New World College Dictionary 3 rd Edition (1996).

41 17 kepentingan antara principal dan agents selalu terjadi 12. Jika tidak tercapai trade off antara para pelaku KIBARHUT (dan ini menjadi perhatian agency theory) maka konflik terus berlanjut. Konflik berkelanjutan, bersamaan dengan mekanisme pemberian jasa dan pengawasan (yang dilakukan untuk mengurangi konflik) memerlukan biaya kemitraan atau agency costs (Jensen dan Meckling, 1986). Agency costs diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan para pelaku kemitraan untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku lainnya dan mencakup biaya atas konflik kepentingan yang tidak terselesaikan antara para pelaku. Agency costs selalu muncul dalam setiap kegiatan yang melibatkan upaya kerjasama oleh dua atau lebih orang walaupun hubungan tersebut tidak dinyatakan sebagai suatu hubungan principal-agents. Hubungan kemitraan (principal agents relationships) juga tidak terlepas dari hak kepemilikan individu yang harus ditegakkan sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Spesifikasi hak kepemilikan individu (individual property rights) menentukan bagaimana costs and rewards dialokasikan diantara para pelaku kerjasama. Kontrak juga harus mampu merinci dan mendefinisikan dengan baik hak ekonomi dari para pelaku, sehingga keuntungan yang diharapkan dapat tercapai; dan dapat menghindari sengketa yang memerlukan biaya untuk menyelesaikannya (Fama dan Jensen, 1986). Spesifikasi hak tersebut umumnya tergantung kontraktual (implisit atau eksplisit) sehingga perilaku individu atau pelaku kemitraan dalam suatu kerjasama sangat tergantung sifat alami dari suatu kontrak. Gibbons (2005) mengajukan model insentif suatu hubungan kemitraan yang dapat menggambarkan transaksi penawaran suatu komoditas (transaksi supply) antara dua organisasi yang tidak terintegrasi. Analisa kontrak insentif tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi petani dan/atau pemilik lahan sebagai pihak hulu (upstream parties), INPAK sebagai pihak hilir (downstream parties) dan kepemilikan asset (lahan, tenaga kerja, modal, dan sebagainya). Pihak hulu dapat menggunakan asset miliknya untuk membuat produk (yaitu kayu bundar) yang dapat digunakan sebagai input dalam proses produksi oleh pihak hilir.lebih lanjut, Gibbons (1998; 2005) mengungkapkan bahwa model insentif yang dapat diaplikasikan dalam suatu transaksi pasokan bahan baku (supply) adalah juga berdasarkan suatu kontrak formal 12 Hal ini terjadi karena selalu terdapat perbedaan antara keputusan agents dengan keputusan yang diharapkan dapat memaksimumkan kesejahteraan principal.

42 18 atau kontrak relasional. Kontrak formal atau court-enforceable contract maupun kontrak relasional yang diterapkan dalam aplikasi transaksi supply, mempunyai 2 (dua) variasi yaitu kontrak kemitraan yang terintegrasi dan kontrak tidak terintegrasi. Pengingkaran terhadap suatu kontrak kemitraan sangat tergantung dari kepemilikan asset dari para pihak yang terlibat Kepemilikan assets membedakan apakah transaksi ekonomi yang dilakukan adalah di antara (kontrak yang tidak terintegrasi) atau di dalam perusahaan (kontrak yang terintegrasi), karena dalam kepemilikan asset melekat pula kepemilikan terhadap barang (Gibbons, 2005). Artinya, jika pihak hulu adalah pemasok lepas sekaligus pemilik asset maka dapat menjual barangnya ke pihak hilir yang berbeda, sedangkan jika pihak hulu adalah pekerja maka pihak hilir adalah pemilik barang. Jika pihak hilir adalah pemilik barang maka pihak hilir dapat memiliki barang tersebut tanpa perlu membayar harga/bonus yang dijanjikan. Tetapi jika pihak hulu adalah pemilik barang maka (i) pihak hulu dapat mengancam menjual barangnya ke pembeli alternatif sehingga membatasi kemampuan pihak hilir untuk mengingkari pembayaran harga/bonus yang sudah dijanjikan, dan (ii) dengan pihak hulu menjadi pemilik barang maka menciptakan insentif bagi pihak hulu untuk menghasilkan barang berkualitas tinggi bagi pembeli alternatif, dan ini dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) pihak hulu terhadap pihak hilir yang menjadi mitranya. Pada berbagai situasi, godaan mengingkari adalah minimal di antara para pihak yang terintegrasi, namun terdapat situasi dimana godaan mengingkari adalah minimal diantara para pihak yang tidak terintegrasi. Gibbons (1998) menyatakan bahwa integrasi (pekerja di hulu) dapat dianggap sebagai solusi terhadap kemungkinan eksternalitas kemitraan, namun integrasi berdampak biaya terhadap dua hal yaitu pengadaan sumberdaya sebagai bahan baku produksi dan dimensi pilihan (kualitas) produksi. Dengan demikian, insentif berkekuatan lebih besar terdapat pada keadaan nonintegrasi (Gibbons, 2005), karena harga/bonus subyektif yang optimal dari memproduksi barang berkualitas baik adalah lebih tinggi bagi pemasok lepas dibandingkan pekerja. Jika pihak hulu memiliki barang, maka pihak hilir tidak dapat mengingkari harga/bonus yang dijanjikan kecuali telah memiliki barang tersebut (pemasok lepas di hulu dapat secara bebas mengembangkan komoditas yang

43 19 dibutuhkan pihak hilir mitranya, sekaligus juga berguna bagi pihak hilir alternatif yang bukan mitranya). Hubungan petani dengan industri perkayuan juga menghadapi kendala yang sama. Pada situasi dimana petani kesulitan memperoleh pembeli kayu alternatif, maka secara tidak langsung kayu menjadi khusus sehingga harus dijual ke industri tertentu. Pembeli dapat mengingkari janji dengan memaksa petani menjual kayu pada nilai yang ditentukan di ex post oleh industri. Pada kondisi dimana penggunaan alternatif adalah memungkinkan, maka petani mempunyai kemungkinan menjual komoditas yang telah diperjanjikan ke pihak lain dengan harapan nilai imbalan yang lebih tinggi. Hubungan kontraktual principal agents menjadi efisien jika tingkat harapan manfaat dan keuntungan (rewards) kedua pihak seimbang dengan korbanan masing masing dan biaya yang minimal untuk pembuatan kontrak atau kesepakatan. Kontrak juga menjadi lebih efisien untuk ditegakkan jika pelaku tidak sepenuhnya bergantung ke pihak lain, karena apabila terjadi maka memudahkan adanya eksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Secara umum bentuk kontrak mencirikan perbedaan di antara perusahaan dan mampu menjelaskan alasan bertahan dan berkelanjutannya suatu perusahaan dan kemitraan yang dilakukan (Fama dan Jensen, 1986). Kontrak perlu disusun dengan membuat aturan main yang dapat dikontrol dan diawasi secara seimbang dan menjadi aturan yang dipergunakan (rules-in-use) oleh para pelaku kemitraan, sehingga dapat ditegakkan secara sukarela (enforceable contract). Kontrak juga harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah dari manfaat mematuhi kontrak (Maskin, 2001, Ostrom, 2005; Yustika, 2006). C. Kelembagaan Kemitraan Dalam Pembangunan Hutan Lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, dalam kegiatan sehari-hari atau dalam upaya mencapai tujuan tertentu (Kartodihardjo, 1998). Kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, atau kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kasper dan Streit (1998) mendefinisikan kelembagaan adalah suatu instrumen yang dibuat oleh manusia untuk mengatur interaksi/hubungan antara individu atau kelompok, dilengkapi dengan aturan penegakan dan sanksi terhadap

44 20 pelanggaran dan perilaku oportunis. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Ruttan (1986) dalam Kartodihardjo (1998) mendefinisikan institusi sebagai behavioral rules that govern pattern of action and relationships dan organisasi adalah the decision making units families, firms, bureaus that exercise control of resources. Dengan demikian, aturan dalam kelembagaan dipergunakan untuk menata aturan main dari pelaku atau organisasi-organisasi yang terlibat. Sedangkan aturan yang ada dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan pelaku dalam permainan tersebut. Kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen 13 dalam proses pembangunan, artinya kelembagaan menyebabkan perubahan. Kelembagaan juga dapat sebagai peubah endogen 14 dalam proses pembangunan, sehingga perubahan kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem sosial yang ada. Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, kemitraan, dan lain sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak dari kelembagaan. Kartodihardjo (2006b) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan (property rights), aturan representasi/perwakilan (rule of representations) atau batas yuridiksi (jurisdictional boundaries). Konsep property atau kepemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi (Ostrom, 2000). Kepemilikan merupakan hubungan individu dengan individu lain terhadap sesuatu, dan menjadi instrumen dalam mengendalikan hubungan dan mengatur siapa memperoleh apa melalui penggunan yang disepakati bersama (Gibbons, 2005; 13 Variabel yang berada diluar sistem teori atau model, dan yang mempengaruhi variabel endogen. 14 Vaiabel yang berada di dalam sistem teori atau model, dan yang dipengaruhi variabel eksogen.

45 21 Kartodihardjo, 2006b). Perubahan sistem kepemilikan dapat merubah kinerja ekonomi, dan perubahan sistem ekonomi dapat merubah pola kepemilikan masyarakat. Hak kepemilikan merupakan sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, yang dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Berdasarkan rejim hak kepemilikan yang diungkapkan Schlager dan Ostrom (1996) dalam Ostrom (2000) sebagaimana pada Tabel 3, maka pemilik (owner) mempunyai strata kepemilikan yang paling lengkap (tinggi) karena memiliki hak untuk memasuki (access) dan memanfaatkan (withdrawal), hak menentukan bentuk pengelolaan (management), hak menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain (exclusion), dan memperjual-belikan hak (alienation). Strata pemilikan hak yang paling rendah adalah pengunjung (authorized entrance) karena hanya memiliki hak memasuki (access). Tabel 3 Kumpulan hak yang dimiliki berdasarkan status kepemilikan Strata hak Pemilik Penyewa/ Pengguna/ Authorized Owner Proprietor Claimant authorized user entrance 1 Memasuki (access) X X X X X 2 Memanfaatkan (withdrawal) X X X X 3 Menentukan bentuk pengelolaan (management) X X X 4 Menentukan keikusertaan/ mengeluarkan pihak lain X X (exclusion) 5 Dapat memperjualbelikan hak (alienation) X Sumber : Schlager dan Ostrom (1996) dalam Ostrom (2000) Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa, dalam proses pengambilan keputusan yang tercermin dalam struktur kelembagaan. Pengaturan tersebut berdampak terhadap keputusan yang diambil dan dampaknya terhadap kinerja kelembagaan. Aturan representasi sedemikian memunculkan dua jenis biaya, yaitu biaya pengambilan keputusan sebagai akibat partisipasi, dan biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau suatu lembaga sebagai akibat keputusan orang lain atau lembaga lain. Aturan representasi mempengaruhi besaran biaya tersebut, dalam artian nilai uang maupun bukan uang

46 22 sehingga menentukan apakah output dihasilkan atau tidak. Jenis output yang dihasilkan juga ditentukan aturan representasi dari kepentingan orang atau lembaga. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Batas yuridiksi berpengaruh terhadap kemampuan pelaku untuk menginternalisasikan manfaat/biaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi atau setara tambahan biaya (payoff rules) maka para pelaku bersedia memperluas kerjasama dan batas yuridiksinya. Dalam kaitan dengan pembangunan hutan, maka dapat disimpulkan bahwa kelembagaan kemitraan merupakan suatu mekanisme yang mengatur transaksi atau tata hubungan (aturan main, norma-norma, kontrak, hukum, adat atau tradisi) yang menentukan hubungan antara pengelola hutan (petani dan/atau pemilik lahan) dengan INPAK dalam melakukan aktivitas ekonomi. Hubungan ekonomi yang terjalin adalah kerjasama membangun hutan melalui mekanisme administrasi yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses kemitraan adalah mengkoordinasikan para pemilik faktor produksi (tenaga kerja, lahan, kapital, manajemen dan lain-lain) ke dalam proses transformasi faktor produksi (yaitu usaha membangun hutan) menjadi output berupa kayu bundar. Kemitraan merupakan salah satu bentuk kelembagaan dalam usaha membangun hutan yang dilakukan karena adanya saling ketergantungan (interdependency) antara rakyat selaku pihak Hulu (khususnya petani) dengan INPAK selaku pihak Hilir. Wyatt (2003) mengungkapkan bahwa petani mengharapkan pembangunan dan pekerjaan tetapi juga mengharapkan manfaat non-finansial seperti kepastian hak penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan. Pada sisi lain, industri sebagai suatu perusahaan berupaya untuk dapat mendekati sumber bahan baku dan menjamin ketersediaannya, mendapatkan peluang bisnis dan memperoleh manfaat ekonomi langsung. Industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) dalam kegiatan produksinya merupakan suatu sistem yang memproses masukan atau inputs (diantaranya kayu bundar dan/atau bahan baku serpih) untuk menghasilkan keluaran atau output berupa produk kayu olahan (kayu gergajian, kayu lapis, pulp and paper, dan lain-lain). Dalam memenuhi kebutuhan input produksi berupa kayu bundar, maka IPHHK sebagai suatu perusahaan dapat melakukan pertukaran secara inter-firm atau intra-firm.

47 23 Pertukaran ekonomi secara inter-firm berarti input(s) diperoleh atau dipertukarkan dari perusahaan itu sendiri atau perusahan yang terintegrasi atau terkait saham dengan IPHHK. Mekanisme ini merupakan integrasi vertikal dimana assets perusahaan pemasok bahan baku (pengelola hutan) adalah milik perusahaan yang berintegrasi, sehingga pengendalian pengelolaan (alokasi sumberdaya dan penentuan harga) sepenuhnya di satu tangan. Pada kondisi tersebut, perusahaan pengelola hutan merupakan divisi pemasok bahan baku dan IPHHK sebagai divisi pengolah bahan baku dan pemasaran produk akhir (Nugroho, 2005). Adanya pertukaran ekonomi melalui integrasi vertikal adalah upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku produksi, sehingga tidak dapat dieksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Integrasi juga merupakan kebijakan perluasan organisasi dan dominasi atas faktor produksi tersebut (secara ekonomis atau politis). Integrasi vertikal (inter firm) dilakukan dengan anggapan bahwa maksimisasi keuntungan perusahaan tercipta ketika kegiatan pengadaan bahan baku dikelola secara internal, daripada mengupayakan membelinya dari pasar. Hal tersebut mungkin dilakukan apabila IPHHK menguasai atau memiliki hak atas faktor produksi lahan sehingga kerjasama dapat berjalan dengan biaya yang murah. Namun, dalam realitanya, kepemilikan lahan seringkali justru berada pada pihak yang lain atau setidaknya menjadi beban konflik sosial dengan pihak lain, sehingga hubungan tersebut menjadi tidak murah. Pada keadaan yang demikian, Klein et al. (1986) dan Gibbons (2005) berpandangan bahwa pelaku ekonomi cenderung melakukan hubungan kontraktual (contractual relationships) atau koordinasi nonintegrasi (outsourcing) dibandingkan kepemilikan bersama (vertical integration). Dengan demikian, alternatif lainnya menghadapi ketidakpastian dan kelangkaan sumber daya adalah dengan mekanisme intra-firm (contracts), yaitu input produksi dibeli atau dipertukarkan dari perusahaan atau individu lain. Dalam hal ini, input produksi diperoleh dengan pembelian langsung (kontrak jangka pendek), kontrak jangka panjang dengan pemegang IUPHHK yang tidak terkait saham, atau membangun hutan (sumber bahan baku) dengan pihak lain (pemilik lahan atau pemegang konsesi/izin) melalui kontrak kerjasama dalam pengelolaan dan pembangunannya.

48 24 Kontrak kerjasama dalam usaha membangun hutan dilakukan IPHHK guna menjamin kontinyuitas (keberlangsungan) pemenuhan bahan baku kayu bagi proses produksinya. Industri yang secara langsung melakukan kerjasama membangun hutan bersama rakyat (KIBARHUT) adalah industri pertukangan atau industri pengolahan kayu bundar (INPAK). Industri pulp and paper (industri pengolahan bahan baku serpih) umumnya tidak melakukan hubungan kontraktual secara langsung dengan penduduk setempat dalam membangun hutan tanaman. Kontrak kemitraan justru dijalin oleh perusahaan afiliasinya yang merupakan IUPHHK dalam Hutan Tanaman (IUPHHK HT), dikarenakan adanya keterbatasan lahan konsesi, konflik lahan, dan sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Kerjasama tersebut bagi IUPHHK HT dapat dilakukan pada lahan/areal konsesinya maupun pada lahan milik di luar areal konsesi, sedangkan INPAK melakukannya pada lahan milik perusahaan, lahan milik masyarakat, atau lahan milik/konsesi perusahaan lain yang tidak mempunyai keterkaitan. Hubungan kerjasama usaha antara pemegang konsesi IUPHHK HT dengan penduduk setempat atau antara INPAK dengan pihak pemilik lahan adalah hubungan kemitraan (agency relationships) yang digambarkan dalam agency theory. Hubungan tersebut mencakup bagaimana menyusun hubungan kontraktual yang optimal sehingga para pelakunya memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi kontrak 15 dan bersepakat dalam hal penegakannya (Jensen dan Meckling, 1986; Maskin, 2001; Gibbons, 2005; Yustika, 2006). Namun bagi sebagian pelaku (khususnya pengusaha), kemitraan terkadang dianggap sebagai beban yang memberatkan sehingga lebih banyak mendorong perilaku sub optimal dari perusahaan dan cenderung memanjakan petani (Nugroho, 2003; Priyono, 2004). Keengganan juga muncul karena kemitraan adalah pertukaran ekonomi faktor-faktor produksi yang dimiliki, untuk melakukan suatu proses produksi secara bekerjasama dengan mengusung kesetaraan dan pembagian manfaat dan resiko diantara para pelakunya (Kasper dan Streit, 1998; Maskin, 2001; Nugroho, 2003; Yustika, 2006). 15 Kontrak (atau transaksi tunggal antara dua pihak yang melakukan hubungan ekonomi) secara umum didefinisikan sebagai kesepakatan satu orang atau sekelompok orang untuk melakukan kegiatan atau pertukaran yang bernilai ekonomi dengan pihak lain dengan konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau bayaran (Yustika, 2006).

49 25 Solusinya adalah dengan memformulasikan suatu mekanisme (pola kemitraan) yang mampu merefleksikan aturan main (kontrak) yang dibuat selengkap mungkin. Kontrak memuat semua detail hubungan untuk menghindari adanya perilaku oportunis pasca kontrak, termasuk di dalamnya membuat aturan main yang dapat dikontrol dan diawasi oleh para pelaku kemitraan. Dalam realitanya, kontrak selalu tidak lengkap dan memerlukan biaya untuk penegakannya termasuk adanya resiko pengingkaran dan tidak dihormatinya kontrak (Yustika, 2006). Karenanya, para pelaku kemitraan melakukan berbagai kegiatan guna mengawasi tindakan pelaku lainnya, termasuk kesepakatan memberikan insentif yang memadai dan penalty untuk menghukum agents bila melakukan tindakan yang bertentangan dengan interest principal (Kerr, 1975 dalam Gibbons 1998; Maskin, 2001; Gibbons, 2005). Kelembagaan selalu disertasi sanksi-sanksi (formal informal) yang disepakati dan ditegakkan, sebagaimana diungkapkan Kasper dan Streit (1998) bahwa institutions without sanctions are useless. Kartodihardjo (2006a) mengungkapkan bahwa keberhasilan hubungan kelembagaan (kontrak) kemitraan, sangat tergantung dari keberhasilan perusahaan dalam menarik minat para pemilik lahan (yang memiliki kendala permodalan), untuk dapat memanfaatkan lahannya dengan komoditas alternatif tanaman kehutanan. Karenanya, ditemukan banyak mekanisme kemitraan yang diterapkan di lapangan dalam rangka pembangunan hutan (Nawir dan Santoso, 2005). Walau terdapat berbagai bentuk kelembagaan kemitraan petani dan perusahaan, namun berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 dan SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang pedoman kemitraan usaha pertanian, maka kelembagaan yang umum dilakukan pada usaha membangun hutan adalah kemitraan inti plasma dan kerjasama operasional. Kemitraan inti plasma merupakan hubungan antara petani atau kelompok tani sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha (Sumardjo et al., 2004). Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah serta memasarkan hasil produksi. Pola ini di sektor kehutanan dapat disepadankan dengan hubungan kemitraan antara penduduk setempat dengan pemegang IUPHHK HT pada pengelolaan HTI di luar Pulau Jawa. Kemitraan kerjasama operasional merupakan hubungan bisnis yang dijalankan petani (atau kelompok mitra) dan perusahaan mitra (Sumardjo et al., 2004). Kelompok

50 26 mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja. Perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk membudidayakan suatu komoditas, serta berperan sebagai penjamin pasar bagi komoditas tersebut. Dalam pelaksanaannya terdapat kesepakatan tentang pembagian hasil dan resiko. Selain itu terdapat kelembagaan kemitraan terpadu yang melibatkan perusahaan, petani, dan lembaga keuangan dalam suatu ikatan kerjasama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi (Purnaningsih, 2006). Mekanismenya juga terkadang melibatkan pemerintah sebagai penyedia anggaran dan lembaga keuangan sebagai penyalur dana ke petani dan/atau perusahaan. Pola kerjasama operasional dan kemitraan terpadu merupakan pola yang dapat disepadankan dengan hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat untuk membangun hutan (KIBARHUT), khususnya di Pulau Jawa. D. Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix atau PAM merupakan metode analisis ekonomi yang diperkenalkan oleh Eric A. Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989 dan kemudian dikembangkan oleh Masters dan Winter-Nelson (Nelson, 1991; Mohanty et al, 2002; Malian et al, 2004; Pearson et al, 2005). PAM adalah model atau kerangka analisis ekonomi yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari sudut usaha swasta (private profit) sekaligus memberi ukuran tingkat efisiensi ekonomi usaha atau keuntungan social (social profit). PAM merupakan suatu pendekatan atau analisis normatif yang digunakan untuk mengkaji dampak kebijakan harga maupun investasi, dan memberikan informasi dasar (base line information) bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian 16. Menurut Pearson et al. (2005), PAM mempunyai tujuan umum untuk memberikan informasi dan analisis guna membantu pengambil kebijakan dalam hal daya saing suatu sistem komoditas pada tingkat harga dan teknologi yang tersedia, dampak dari suatu investasi publik dan investasi baru (riset atau teknologi) terhadap tingkat efisiensi sistem komoditas. Tujuan lainnya adalah menghitung tingkat 16 Pertanian secara luas meliputi juga komoditas kehutanan dan perkebunan (tanaman dengan rentang waktu yang panjang), perikanan, dan peternakan (Pearson et al., 2005).

51 27 keuntungan sosial suatu komoditas (dengan menilai output dan biaya pada harga efisiensi atau social opportunity cost); dan menghitung transfer effect (sebagai dampak suatu kebijakan) yaitu menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun faktor produksi (lahan, tenaga kerja, dan modal). Analisis secara ringkas digambarkan dalam suatu Tabel PAM sebagaimana pada Tabel 4, terdiri 3 baris dan 4 kolom, mengandung 2 (dua) identitas matriks yaitu tingkat keuntungan (profitability identity) private dan sosial, dan identitas penyimpangan (divergences identity). Tabel 4 Tabel PAM Value of Output Variable of Input / Biaya Input Domestic Tradable Factor Profit/ Keuntungan Private Prices/Harga Private A B C D Social Prices/Harga Sosial E F G H Policy Transfer/Efek Divergensi I J K L Sumber : Pearson et al., 2005 Catatan : Private Profit: D=A (B+C); Social Profit: H=E (F+G); Output Transfer : I=A E; Input transfer: J = B F; Factor transfer: K= C G; Net Policy transfer : L=D H or I J K Dalam kolom pertama terdapat penerimaan atau value of output. Kolom kedua dan ketiga adalah biaya produksi atau input, terdiri dari komponen yang tradable atau input tradable (kolom kedua) yaitu input yang dapat diperdagangkan secara internasional (diekspor atau diimpor), dan komponen non-tradable (faktor domestik) atau input non-tradable yaitu input yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional (kolom ketiga). Kolom keempat berisikan keuntungan atau profit. Satuan yang digunakan untuk setiap entry pada Tabel PAM menggunakan satuan mata uang dalam negeri (Rp). Analisis empiris dalam PAM meliputi 3 (tiga) analisis yang direpresentasikan dalam ketiga baris PAM, yaitu analisis private (baris kesatu/baris private), analisis sosial (baris kedua/baris sosial), dan analisis dampak divergensi (baris ketiga). Analisis private dilakukan dengan menggunakan pendekatan harga pasar (private) dan analisis sosial menggunakan harga efisiensi atau harga bayangan, sehingga menunjukkan bahwa perhitungan dalam matriks PAM mencakup analisis finansial dan ekonomi. Perbedaan kedua analisis terdapat pada harga yang digunakan dan adanya pembayaran transfer berupa pajak dan/atau subsidi (Gittinger, 1982; Nair, 1993).

52 28 Pada kelayakan finansial yang dianalisis adalah besarnya penerimaan dan pengeluaran riil suatu unit usaha tani, sedangkan kelayakan ekonomi menggunakan pendekatan biaya dan manfaat sosial atau ditinjau secara ekonomi agregat. Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi secara ringkas disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Perbedaan analisis finansial dan ekonomi No Uraian Analisis Finansial Analisis Ekonomi 1. Obyek Private/badan (petani) Publik/perekonomian keseluruhan 2. Harga digunakan Harga pasar Harga bayangan 3. Manfaat Private return, manfaat riil yang diterima oleh petani 4. Biaya Biaya riil yang dikeluarkan petani The social/economic return termasuk manfaat tidak langsung (intangible) seperti perbaikan lingkungan Manfaat yang hilang, opportunity cost, termasuk biaya pencegahan kerusakan lingkungan 5. Pajak Diperhitungkan Tidak diperhitungkan 6. Subsidi Diperhitungkan Tidak diperhitungkan 7. Bunga atas modal Dibayarkan karena dianggap sebagai biaya Tidak dianggap sebagai biaya sebab merupakan transfer payment 8. Tenaga Kerja Harga Pasar Shadow price tenaga kerja 9. Alat dan bahan Harga pasar Harga yang tidak terdistorsi Sumber : Kadariah et al. (1978) Analisis finansial dengan harga pasar adalah aktivitas pelaku ekonomi secara individu dalam menghasilkan suatu komoditas yang dihitung berdasarkan harga sesungguhnya yang diterima dan/atau dibayar pengelola hutan serta telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah berupa subsidi, proteksi, pembebasan bea masuk, pajak dan kebijakan lainnya atau pun karena adanya pola kemitraan. Analisis ekonomi dengan harga sosial meninjau aktivitas ekonomi dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan, yang menggambarkan nilai ekonomi/sosial sesungguhnya (the true of social or economic value). Metode analisis finansial menekankan pada analisis biaya-manfaat terhadap individu atau privat, sedangkan analisis ekonomi lebih menekankan pada analisis biaya-manfaat terhadap masyarakat. Perbedaan diantara kedua analisis adalah pada faktor obyek analisis, harga yang digunakan, manfaat, biaya, pengenaan pajak dan subsidi, penggunaan bunga (atas modal, tenaga kerja, alat dan bahan). Berdasarkan Tabel PAM dan dengan menggunakan pendekatan harga pasar (analisis private/finansial) dan harga sosial (analisis sosial/ekonomi), diperoleh nilai

53 29 hasil perhitungan yang merupakan indikator dampak kebijaksanaan. Indikator tersebut (Pearson et al., 2005) terdiri atas: 1. Analisis keuntungan privat dan keuntungan sosial a. Keuntungan Privat atau Private profitability (PP) yaitu D = A (B + C) Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan. Jika D 0 berarti sistem adalah layak secara finansial untuk diteruskan artinya memperoleh profit di atas normal. Implikasinya bahwa komoditas mampu berekspansi, kecuali jika sumberdaya terbatas atau ada komoditas alternatif yang lebih menguntungkan. Nilai D < 0 maka sistem adalah tidak layak untuk diteruskan. b. Keuntungan Sosial atau Social Profitability (SP) yaitu H = E (F + G) Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan efisien. Jika H 0 dan nilai semakin besar, berarti sistem adalah layak secara ekonomi untuk diteruskan dan semakin efisien. Sebaliknya bila H < 0 berarti sistem komoditas tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. 2. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif a. Rasio Biaya Private atau Private Cost Ratio (PCR) = C/(A B) Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan seberapa banyak sistem komoditas tersebut mampu membayar faktor domestik, dan tetap dalam kondisi kompetitif setelah membayar keuntungan normal (D = 0). Usaha akan untung jika D > 0 atau C < (A B). PCR menunjukkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Jika nilai PCR < 1 berarti sistem komoditas mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. PCR bernilai semakin mengecil menunjukkan kemampuan yang semakin meningkat dan memiliki efisiensi secara finansial atau keunggulan kompetitif. b. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) = G/(E F) Rasio biaya sumberdaya domestik adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga sosial. DRC merupakan indikator kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga sosial. Jika DRC > 1 berarti sistem komoditas tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Kegiatan ini memboroskan sumberdaya domestik yang langka, karena memproduksi komoditas dengan biaya sosial yang lebih besar daripada biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan lainnya, maka melakukan impor adalah lebih efisien dibandingkan memproduksi sendiri. Jika nilai DRC < 1 dan nilainya semakin kecil berarti sistem semakin efisien secara ekonomis

54 30 dalam alokasi sumberdaya atau memiliki keunggulan komparatif, mempunyai daya saing yang semakin tinggi. Sistem juga mempunyai peluang ekspor yang semakin besar dan mampu hidup tanpa bantuan dan intervensi pemerintah. 3. Dampak kebijakan pemerintah a. Kebijakan Output 1) Output transfer (OT) yaitu I = A E Transfer output merupakan selisih antara penerimaan berdasar harga privat (finansial) dengan penerimaan berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai OT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Nilai OT positif menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen. Artinya masyarakat membeli dan produsen menerima harga lebih tinggi dari harga seharusnya. Nilai OT positif berarti timbulnya implisit subsidi/transfer sumberdaya yang menambah keuntungan system. Jika sebaliknya atau OT bernilai negatif berarti implisit ada pajak/transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem. 2) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) = A/E Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output. NPCO menunjukkan dampak kebijakan (kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi) yang menyebabkan divergensi antara harga privat dengan harga sosial terhadap output. Jika: (i) nilai NPCO > 1 berarti harga domestik lebih tinggi dari harga efisiensinya atau harga dunia (harga impor/ekspor) sehingga sistem komoditas yang di-analisis menerima proteksi; (ii) nilai NPCO < 1 berarti harga domestik lebih rendah dari harga impor (ekspor) sehingga sistem komoditas yang dianalisis tidak menerima proteksi (di disproteksi); (iii) nilai NPCO = 1 berarti tidak ada policy transfer. b. Kebijakan input 1) Tradable input transfer (IT) yaitu J = B F Transfer input adalah selisih antara nilai input yang bisa diperdagangkan pada harga sosial. Nilai J menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Nilai J > 0 menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari produsen kepada pemerintah melalui kebijakan tarif impor. 2) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) = B/F Koefisien input proteksi nominal merupakan nilai rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. NPCI menunjukkan dampak kebijakan (kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi) yang menyebabkan

55 31 divergensi antara harga private dan harga sosial untuk input yang diperdagangkan (tradable input). Jika: (i) nilai NPCI > 1 berarti pemerintah menaikan harga input tradable di pasar domestik di atas harga efisiensinya (harga dunia). Dengan kata lain biaya input domestik lebih mahal dari biaya input pada harga internasional, sehingga sistem komoditas yang dianalisis seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada. Hal ini mengindikasikan sektor yang menggunakan input-input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli input produksi. Penurunan tarif impor input secara bertahap akan menurunkan nilai NPCI; (ii) nilai NPCI < 1, berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di pasar domestik di bawah harga efisiensinya. Dengan kata lain harga domestik lebih rendah dari harga impor (ekspor), sehingga komoditas yang dianalisis seolah-olah disubsidi oleh kebijakan yang ada. Hal tersebut dapat pula menunjukkan adanya hambatan impor unit, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri; (iii) NPCI = 0 berarti tidak ada policy transfer. 3) Transfer faktor atau factor transfer (FT) yaitu K = C G Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukan perbedaan harga privat dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktorfaktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada input tradable. Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan negatif). Jika nilai FT > 0 berarti ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif. c. Kebijakan Output-Input 1) Effective Protection Coefficient (EPC) = (A B)/(E F) Koefisien proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara koefisien output nominal dengan koefisien input nominal. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. EPC menunjukan tingkat transfer kebijakan dari pasar produk dan input yang diperdagangkan. Bila EPC > 0, berarti pemerintah menaikan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efisiensinya atau terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen domestik telah berjalan secara efektif. Penurunan tarif impor secara simultan untuk output dan input akan menurunkan nilai EPC. Namun seperti halnya NPCO atau NPCI, nilai EPC juga mengabaikan efek transfer dari kebijakan pasar faktor. Oleh karena itu koefisien tersebut bukan merupakan indikator yang lengkap mengenai insentif.

56 32 2) Transfer bersih atau Net Transfer (NT) yaitu L = D H Transfer bersih adalah nilai selisih antara keuntungan bersih yang benarbenar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika nilai L > 0 menunjukkan tambahan surplus produsen disebabkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sebaliknya berlaku jika nilai L < 0. 3) Profitability Coefficient (PC) = D/H atau (A B C) / (E F G) Profitability Coefficient atau koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. PC merupakan indikator yang lebih lengkap dibanding dengan EPC, karena menunjukan dampak insentif dari semua kebijakan (harga output, harga input dan faktor domestik) dan oleh karenanya merupakan proteksi dari transfer kebijakan bersih (net policy transfer). Jika PC > 1 berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya jika nilai PC < 1 menunjukan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Berarti produsen harus mengeluarkan sejumlah dana ke masyarakat atau konsumen. Penurunan secara simultan tarif impor secara bertahap pada output dan input yang diperdagangkan serta adanya subsidi akan menurunkan nilai PC, sedangkan kebijakan yang efisien pada faktor domestik (terutama bunga bank) akan meningkatkan nilai PC. 4) Subsidy Ratio to Producer (SRP) = (D H)/E = L/E Subsidy ratio to producer atau rasio subsidi produsen menunjukkan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan antara besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas pertanian. Jika nilai SRP < 0 menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi yang lebih besar dari biaya imbangan (opportunity cost) dan sebaliknya jika SRP > 0. PAM usaha membangun hutan berbeda proses analisisnya dengan komoditas tanaman semusim. Proses produksi hutan dari mulai menanam benih sampai tegakan siap tebang dan menghasilkan kayu bundar tidak dapat diperbandingkan secara langsung, karena membutuhkan waktu lebih dari 1 tahun atau terdapat perbedaan waktu. Usaha membangun hutan pada awal periode umumnya memberikan hasil yang kecil atau bahkan tidak memberikan hasil sama sekali (Nair, 1993), sehingga aliran

57 33 keuntungan bersih adalah negatif karena biaya investasi mendominasi aliran dana (Gambar 2). Pada suatu waktu tertentu terdapat kondisi dimana biaya semakin menurun dan kemudian keuntungan mulai meningkat sehingga aliran dana (cash flow) menjadi positif. Benefit dengan proyek Plus Net Benefit Minus Benefit tanpa proyek Tahun Gambar 2 Aliran biaya dan pendapatan (benefit and cost) Analisis suatu usaha atau investasi jangka panjang sebagaimana usaha membangun hutan dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun aliran kas pada titik waktu tertentu. Aliran kas tersebut dengan mempertimbangkan nilai waktu terhadap uang (discounted valuation), sehingga analisis total biaya dan manfaat di masa depan dapat dilakukan berdasarkan evaluasi nilai saat sekarang (net present value atau NPV). Rumus untuk menghitung NPV (Gittinger, 1982) adalah sebagai berikut: 1 Tingkat diskonto (discount rate) yang dipergunakan dalam menghitung NPV PAM adalah tingkat bunga nominal private untuk baris pertama dan tingkat bunga nominal sosial untuk baris kedua. Selanjutnya, PAM periode banyak dihitung dan diinterpretasikan dengan cara yang sama dengan komoditas tanaman semusim. Cash flow yang telah didiskonto terlebih dahulu tersebut, kemudian dijumlahkan untuk menghitung B/C ratio dari komoditas hasil suatu investasi. B/C ratio dihitung dengan membandingkan jumlah semua benefits (manfaat) dengan costs (biaya) selama umur ekonomis proyek yang kemudian di-discounting dengan tingkat bunga tertentu. B/C ratio dapat pula dihitung dari perbandingan sedemikian antara Total Present

58 34 Value dalam tahun-tahun dimana net benefit bernilai positif, dibagi dengan Total Present Value dalam tahun-tahun dimana net benefit bernilai negatif (Gittinger, 1982). Perhitungan B/C Ratio dirumuskan sebagai berikut: Benefit-Cost Ratio mempunyai nilai jika terdapat paling sedikit dalam satu tahun dimana nilai B t C t bersifat negatif, dan jika sebaliknya maka B/C ratio bernilai tak terhingga. B/C ratio bernilai > 1 (satu) memberikan return yang positif dan semakin besar nilai B/C ratio maka proyek mempunyai prospektif yang tinggi. Umumnya NPV berkorelasi positif dengan B/C ratio sehingga proyek dinyatakan go bila B/C ratio > 1. Pada situasi dimana NPV dan B/C ratio berbeda maka keputusan cenderung berdasarkan hasil perhitungan B/C ratio karena kriteria tersebut lebih dapat menggambarkan tingkat efisiensi suatu kegiatan/usaha. Hal ini didasari kenyataan bahwa evaluasi NPV mempunyai kelemahan karena tidak diketahuinya modal yang diperlukan, sehingga mungkin terjadi NPV lebih besar dari proyek alternatif namun diperoleh dari belanja investasi yang jauh lebih besar. Artinya NPV hanya dapat diperbandingkan jika kegiatan mempunyai nilai investasi yang sama. Untuk menghitung B/C ratio yang didiskonto diperlukan angka tingkat diskonto, dimana benefit terdiskonto sama dengan biaya terdiskonto atau NPV sama dengan nol. Nilai discount rate tersebut dikenal sebagai Internal Rate of Return atau IRR (Gittinger, 1982), dan rumus untuk menghitungnya adalah: dimana: B t = pendapatan dari hutan tanaman pada waktu ke-t C t = biaya kegiatan hutan rakyat pada waktu ke-t i = tingkat suku bunga yang berlaku t = jangka waktu (i = 1,2, n) Indikator kelayakan investasi dianalisis berdasarkan nilai sekarang dari manfaat bersih investasi (net present value atau NPV), rasio manfaat dan biaya (benefit and

59 35 cost ratio atau B/C ratio) dan internal rate of return (IRR). Kriteria kelayakan investasi yang dipergunakan adalah NPV > 0, B/C Ratio 1, dan memiliki IRR yang lebih besar dari tingkat discount ratenya. Umumnya angka IRR menghasilkan arah yang sama terhadap sosial dan private B/C ratio, dimana kegiatan dapat terus dilaksanakan karena insentif private konsisten dengan kelayakan (feasibility) sosial. Pada keadaan dimana IRR menghasilkan sosial B/C ratio > 1 sedangkan private B/C ratio < 1 maka petani atau pelaku ekonomi lainnya tidak berminat berinvestasi pada komoditas yang dianalisis tersebut, sehingga diperlukan perubahan kebijakan publik. Pada sebagian komoditas sektor kehutanan (misal industri perkayuan), analisis PAM dapat dilakukan secara langsung karena proses produksi berlangsung sesaat atau tanpa rentang waktu yang panjang. Namun, kapasitas produksinya haruslah diselaraskan dengan kemampuan lahan hutan memasok kayu bundar, sehingga tidak terjadi kelangkaan pasokan atau justru memerlukan biaya lebih tinggi untuk mendistribusikan kayu dari petani (produsen) ke konsumen (INPAK) karena pemasaran yang tidak efisien. Artinya, upaya petani untuk meningkatkan produktivitas pengelolaan hutan dengan meng-efisiensi-kan penggunaan berbagai input produksinya tidak memberikan dampak yang optimal apabila tidak didukung dengan adanya sistem pemasaran dan pasar kayu bundar yang berfungsi dengan baik. E. Pemasaran Kayu KIBARHUT Pemasaran adalah semua usaha yang mencakup kegiatan arus barang dan jasa, mulai dari titik produksi sampai ke tangan konsumen akhir. Pemasaran merupakan suatu kegiatan yang kompleks melibatkan produsen, konsumen, lembaga pemasaran, dan pemerintah serta pihak lain yang kegiatannya saling berkaitan. Pemasaran komoditas hasil panen sering menjadi kendala mendasar bagi sebagian besar petani, dan ironisnya kegiatan tersebut justru hanya mendapat porsi perhatian yang rendah dari para peneliti (Roshetko dan Yuliyanti, 2002; Tukan et al., 2004). Komoditas yang dihasilkan petani, umumnya, mempunyai sifat dan karakteristik yang relatif homogen. Dengan karakteristik produk tersebut, Bakir (2007) menyatakan bahwa petani mengalami kesulitan menyimpan produknya untuk memperoleh kegunaan waktu (time utility), mengolah sendiri untuk memperoleh kegunaan bentuk (form utility), dan kesulitan menjual ke lokasi lain untuk mendapatkan kegunaan tempat (place utility). Menurut Hardjanto (2003), terdapat dua faktor penting dalam

60 36 kaitannya dengan pemasaran hasil usahatani (komoditas kayu), yaitu karakteristik produk dan produksi. Karakteristik produk karena komoditas kayu yang dihasilkan adalah memakan ruang (bulky), mudah busuk/rusak, kualitas bervariasi, dan memerlukan alat angkut khusus sehingga peranan transportasi dan jarak ke industri menjadi sangat penting dalam pemasarannya. Kayu merupakan produk yang tidak dapat dikonsumsi secara langsung atau sulit melakukan penjualan langsung ke konsumen akhir, dan bahkan untuk jenis jenis tertentu hanya dapat dijual ke industri pengolahan tertentu pula. Karakteristik produksi dari semua produk usahatani adalah secara umum dipengaruhi faktor alam (variasi produksi tahunan atau musiman) sehingga produksi tergantung kepada musim, pola biologi, dan kebutuhan sosial ekonomi produsen. Produksi juga umumnya dihasilkan oleh petani dalam unit kecil-kecil sehingga kontinyuitas pasokan sepanjang tahun sulit terwujud. Konsentrasi geografis dan variasi biaya produksi merupakan faktor yang memperumit pemecahan masalah pemasaran. Karakteristik produksi tersebut membawa konsekuensi biaya dalam pemasaran. Dalam suatu sistem pemasaran maka sesungguhnya petani membutuhkan pasar dan saluran pemasaran yang berfungsi optimal, sehingga mampu menghubungkan petani selaku produsen hasil panen dengan konsumennya secara efisien. Proses pemasaran yang biasa ditempuh dilaksanakan dengan 2 (dua) cara. Pertama, secara langsung, dan kedua, secara tidak langsung. Cara tidak langsung berarti melibatkan beberapa pihak untuk menyampaikan kayu ke industri/konsumen sehingga membentuk saluran pemasaran. Saluran pemasaran adalah suatu jalur atau hubungan yang dilewati oleh suatu produk sehingga produk yang dihasilkan oleh produsen sampai di tangan konsumen, atau merupakan arus barang-barang, aktivitas dan informasi dari produsen sampai ke konsumen (Soekartawi, 2002). Roshetko dan Yuliyanti (2002), dan Tukan et al. (2004) mengidentifikasi bahwa petani menjual kayu hasil usaha hutan tanaman dengan berbagai saluran pemasaran, baik secara langsung ke konsumen (konsumen rumah tangga maupun INPAK) atau melalui pedagang/lembaga perantara. Beberapa hasil studi memperlihatkan bahwa bagian (share) harga jual kayu yang diterima petani dengan berbagai saluran pemasaran adalah berkisar 25 27% terhadap harga beli konsumen akhir. Petani

61 37 memperoleh keuntungan tertinggi jika menggunakan saluran pemasaran yang memungkinkan menjual kayunya secara langsung ke konsumen/industri pengolah. Secara ringkas saluran pemasaran kayu dari hutan tanaman dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3. Petani/Pengelola Hutan tanaman Pedagang/ Lembaga Perantara Gambar 3 Saluran pemasaran kayu bundar Konsumen/ INPAK Pedagang perantara (middle men) seringkali membantu menyederhanakan pelaksanaan fungsi pemasaran yang merupakan beban produsen, dan memperlancar arus barang. Lembaga perantara dibutuhkan petani karena adanya perbedaan jarak geografis antara lokasi hutan tanaman dengan lokasi industri (atau konsumen lainnya) yang jauh, dan ongkos transportasi yang relatif mahal jika ditanggung petani secara perorangan. Namun, pedagang perantara dapat juga menjadi kendala dan sumber ketidaklancaran arus barang dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran tidak memiliki bentuk baku, namun pengembangan informasi pasar sampai ke petani disertai fasilitas pemasaran yang memadai dapat menciptakan sistem yang efisien. Pasar didefinisikan sebagai media dimana konsumen dan produsen bertemu dan melakukan interaksi jual beli atas suatu komoditas tertentu (Lipsey et al., 1986; Nicholson, 2002; Sugiarto et al., 2003). Pasar kayu berbeda dengan pasar hasil pertanian lainnya, dan bahkan pasar kayu jenis cepat tumbuh (misalnya Sengon) berbeda dengan kayu kualitas prima (misalnya Jati). Hal ini menjadi penting karena pasar yang dicermati adalah pasar kayu hasil usaha hutan tanaman melalui pola kemitraan. Kayu bundar sebagai komoditas hasil panen KIBARHUT mempunyai karakteristik khas yaitu bukan merupakan komoditas yang dapat langsung dipergunakan/dimanfaatkan oleh konsumen akhir, tetapi menjadi bahan baku bagi INPAK pada proses produksi selanjutnya hingga akhirnya siap dipergunakan oleh konsumen akhir. Dengan demikian, pasar kayu diistilahkan sebagai pasar faktor produksi atau pasar input (input market). Struktur pasar (market structure) berarti sifat organisasi pasar yang berpengaruh secara strategis pada sifat persaingan dan pembentukan harga pada suatu pasar (Carlton dan Perloff, 2000). Gittinger (1982) mendefinisikan struktur pasar sebagai pengaturan organisasi guna memasarkan produk usahatani, lembaga pemasaran dan

62 38 permasalahannya. Teoritis terdapat 4 (empat) struktur pasar yaitu persaingan sempurna (perfect competition), persaingan monopolistis/monopsonistis, oligopoli/oligopsoni, dan monopoli/monopsoni 17. Kenyataannya sangat sulit menemukan struktur pasar yang merupakan pasar persaingan sempurna atau monopoli/monopsoni. Struktur pasar merupakan penentu tingkat persaingan dalam suatu pasar dan pembentukan harga di pasar yang bersangkutan. Perbedaan struktur pasar dalam pandangan ekonomi klasik/neo-klasik dicermati melalui : (i) tingkat konsentrasi penjual dan pembeli; (ii) jenis produk dan/atau tingkat diferensiasi produk; (iii) hambatan untuk masuk dan/atau keluar pasar; (iv) akses terhadap informasi (Carlton dan Perloff, 2000; Nicholson, 2002, Sugiarto et al., 2003). Pasar dikategorikan pasar persaingan sempurna jika (i) terdapat banyak penjual dan banyak pembeli dimana pangsa pasar masing-masing sangat kecil jika dibandingkan ukuran pasar, sehingga masing-masing tidak dapat mengubah harga (atau berperilaku sebagai price taker); (ii) produk homogen; (iii) tidak ada hambatan masuk atau keluar pasar; (iv) informasi diperoleh para pelaku pasar secara sempurna (perfect information). Pasar dikatakan persaingan monopolistik jika terdapat banyak penjual tetapi ada sedikit unsur diferensiasi produk. Diferensiasi menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan penjual tidak homogen (tidak sama), namun perbedaannya sangat kecil (hanya ada sedikit beda karakteristik) sehingga substitusinya sangat dekat. Pada persaingan monopsonistis terdapat banyak pembeli yang masing-masing melakukan diferensiasi terhadap produk yang dibutuhkannya. Perbedaan persaingan sempurna dengan persaingan monopolistis/monopsonistis tidak terletak pada jumlah pembeli dan penjual di pasar, atau aspek kebebasan keluar masuk pasar dan ketersediaan informasi, tetapi pada kemampuan/kekuatan penjual atau pembeli melakukan diferensiasi produk. Pasar dikategorikan pasar oligopoli jika jumlah penjual yang menguasai pasar sedikit dimana setiap pelaku di pasar mengetahui siapa saja pesaingnya sehingga tindakan/kebijakan penjual mempengaruhi penjual yang lain. Sedangkan pasar 17 Pasar input mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan pasar output. Analisa pasar input ditinjau dari sisi pembeli input (faktor produksi) sedangkan analisa pasar output ditinjau dari sisi penjual output (produk akhir yang dapat langsung dikonsumsi), sehingga istilah monopsoni dan monopoli adalah sepadan karena perbedaannya tergantung darimana tinjauan analisis dilakukan.

63 39 oligopsoni berarti hanya ada sedikit pembeli yang menguasai pasar input. Pada struktur pasar oligopoli/oligopsoni maka ada hambatan untuk masuk dan biasanya informasi sulit diperoleh sehingga mempermudah pelaku di pasar untuk mengontrol harga pasar. Pasar dengan satu penjual dikategorikan pasar monopoli, sebaliknya jika hanya ada satu pembeli diklasifikasikan sebagai pasar monopsoni. Produk yang dihasilkan adalah produk yang unik atau sulit dicarikan subsitusinya sedangkan informasi sangat sulit dan mahal diperoleh. Hambatan besar bagi pelaku untuk masuk dan keluar dari pasar monopoli/monopsoni terjadi karena adanya lisensi atau regulasi, hak paten, penguasaan sumber daya penting, penguasaan teknologi, atau juga karena economics of scale yang besar (artinya hanya dengan 1 pelaku maka pasar sudah penuh). Disimpulkan bahwa struktur pasar adalah berbagai faktor yang ada di pasar yang mempengaruhi perilaku para pelakunya. Perilaku (conduct) para pelaku di pasar adalah berbagai kegiatan atau cara yang dilakukan/diadaptasi untuk melakukan penyesuaian terhadap keadaan pasar. Perilaku mencakup kegiatan yang dilakukan para pelaku di pasar seperti praktek penetapan harga, investasi, kontrak dan kerjasama, pemilihan produk, dan lainnya, sehingga pengkajian perilaku pasar dilakukan dengan mencermati tindak-tanduk pelaku pasar (petani, pedagang perantara, mitra usaha, dan lainnya). Pemahaman terhadap struktur pasar dan perilaku pasar dapat dipergunakan untuk memahami kinerja pasar (market performance) yang dihasilkan. Dalam sistem berkelanjutan, kinerja selanjutnya mempengaruhi struktur pasar karena karakteristik dari struktur berkembang sebagai dampak tingkat kinerja yang diperoleh. Kinerja pasar yang kompetitif sebagai outcome yang dihasilkan dari adanya suatu hubungan kemitraan, dalam pandangan ekonomi kelembagaan adalah bercirikan kemampuan melarang penggunaan oleh yang tidak berhak yang sangat tinggi (highly excludable), dapat dibagi dan dipindahtangankan secara mudah (easily divisible and transferable) dan diinternalisasikan (internalized) oleh semua pelaku yang terlibat (Ostrom, 2005). Kegagalan suatu kelembagaan (action arena) untuk memproduksi, mengkonsumsi, dan mengalokasikan output guna memenuhi ketiga kriteria tersebut mencirikan adanya kegagalan pasar (market failure).

64 40 Suatu pasar yang secara klasik diasumsikan bersifat kompetitif, namun jika karakteristik kelembagaan (arena situation) tidak memotivasi individu untuk ikut memproduksi, mengkonsumsi dan mengalokasikan barang dengan mudah, maka hal tersebut juga mencirikan adanya kegagalan pasar. Walaupun suatu kerjasama ekonomi memunculkan mekanisme non-pasar tetapi, jika tidak ada indikasi kegagalan pasar (market failure), karena barang yang dihasilkan memenuhi ketiga kriteria tersebut dan kelembagaan yang terbangun terbukti memotivasi pelaku untuk memproduksi (menanam dan memanen), serta memasarkan komoditas yang dihasilkan secara efektif dan mudah, maka ekonomi kelembagaan mengasumsikannya sebagai pasar yang kompetitif (Ostrom, Dengan demikian, pasar input yang terbangun dengan adanya kemitraan dalam rangka pembangunan hutan diharapkan memberikan manfaat yang optimal bagi petani. Adanya insentif positif dan manfaat tambahan (better-off) yang diterima, selanjutnya dapat mendorong kesediaan rakyat 18 bermitra dengan industri dalam membangun dan mengelola hutan, dan diharapkan dapat menjadi pemicu terwujudnya keberlanjutan atau kelestarian (sustainability) pengelolaan hutan. 18 Adanya pola kemitraan dalam usaha membangun hutan diharapkan menguntungkan (better off) bagi petani dan/atau pemilik lahan dan sebaliknya INPAK juga tidak dirugikan (worse off) karena mendapat kepastian pasokan bahan baku.

65 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Penelitian Pembangunan dan pengelolaan hutan telah menjadi suatu usaha (business) yang dikelola secara khusus guna menghasilkan kayu untuk pasokan bahan baku industri pengolahan kayu (INPAK). Pernyataan tersebut relevan dengan ungkapan Davis (1966) bahwa the status of forest management in a country is to recognize it as a business, as a segment of the total business community. Sebagai suatu usaha komersial maka produktifitas berkelanjutan sistem usaha yang dikelola merupakan tujuan utama produsen. Usaha pembangunan dan pengelolaan hutan akan lestari jika tercapai produktifitas berkesinambungan (sustained productivity). Kelestarian hutan adalah pengusahaan untuk kontinyuitas produksi berdasarkan keseimbangan pertumbuhan dan pemanenan secara periodik, sehingga distribusinya menggambarkan hutan normal dan diistilahkan sebagai hutan lestari (Daniel et al., 1987; Simon, 1993; Hardjanto, 2003). Istilah kelestarian pada hutan tanaman adalah hutan tertata penuh (fully-regulated forest) yang dicapai pada suatu waktu tertentu, khususnya pada akhir daur, sehingga diperlukan pengaturan sistem silvikultur dan pengaturan hasil hutan (penentuan rotasi dan teknik penebangan) yang tepat untuk mencapainya (Simon, 1993; 2007). Rotasi atau daur adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu. Untuk memasok kebutuhan bahan baku industri digunakan daur teknik, yang disesuaikan dengan teknologi pengolahan dan tujuan pemanfaatannya. Umur yang dianggap memenuhi daur teknik untuk tanaman berdaur pendek (fast growing species atau FGS) adalah antara 4 10 tahun (Masripatin dan Priyono, 2006). Rentang waktu tunggu tersebut memunculkan tindakan petani untuk berinovasi melakukan tumpangsari dengan tanaman lain, dan/atau bekerjasama dengan pihak lain dalam membangun hutan. Kerjasama ekonomi tersebut dilakukan untuk mengatasi kendala permodalan dan akses pasar, sekaligus upaya mengoptimalkan faktor produksi milik petani yaitu lahan dan tenaga kerja.

66 42 Lazimnya suatu usaha sistem komoditas, maka petani selaku produsen berupaya mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien guna menghasilkan output dengan nilai tinggi/optimal, sehingga memperoleh keuntungan maksimum (maximizing profit). Adanya manfaat yang diterima tersebut mendorong kesediaan petani menginvestasikan kembali sebagian keuntungan yang diperoleh untuk memelihara hutan yang sudah ada atau membangun yang baru, sehingga menjamin sediaan (stock) kayu bundar di masa mendatang. Terus tersedianya pohon/tegakan memberikan jaminan keberlanjutan hasil panen (kayu) sehingga memberikan keberlanjutan penghasilan. Pada sisi lain, kelangkaan pasokan kayu bundar (dari hutan alam) mendorong beberapa INPAK untuk melakukan inovasi, merestrukturisasi mesin dan industrinya sehingga mampu mengolah kayu bundar jenis FGS atau kayu lunak yang dihasilkan dari hutan tanaman. INPAK, dengan kendala keterbatasan lahan yang dimilikinya, juga melakukan hubungan kemitraan bersama pelaku lainnya untuk membangun hutan guna memberikan jaminan kepastian pasokan kayu. Hubungan kemitraan merupakan suatu bentuk kelembagaan dimana pelaku individu mengkombinasikan faktor produksi yang dimiliki dalam suatu proses produksi secara bersama karena adanya kepentingan pihak yang satu dan pihak lainnya (Kasper dan Streit, 1998). Partisipasi sukarela, khususnya dari petani, dapat terwujud karena adanya pemahaman umum bahwa hubungan kelembagaan adalah sesuai dan memberikan hasil memadai bagi para pelakunya (Ostrom, 2005). Artinya kemitraan harus menjamin bahwa petani diuntungkan (better off) dan tidak ada pihak yang dirugikan (worse off) sehingga kemitraan (kerjasama ekonomi) layak untuk dilakukan secara berkesinambungan (Just et al., 1982). Kajian hubungan yang terjalin diantara para pelaku dalam teori kemitraan (agency theory) menurut Jensen dan Meckling (1986) dapat dianalisis dengan pendekatan hubungan kemitraan (agency relationship) yaitu menganalisis hubungan kontrak antara satu pihak (principal) yang menugaskan atau memberikan kepercayaan kepada pihak lain (agents). Tarik ulur dan saling ketergantungan antara para pelaku tersebut yang menjadi dasar dilakukannya penelitian mengenai kelembagaan kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) di Pulau Jawa.

67 43 Kemitraan sebagai suatu institusi merupakan kesepakatan petani dan INPAK untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar para pelaku terhadap sesuatu, kondisi atau situasi. Kemitraan bervariasi penerapannya di lapangan, yaitu unik untuk suatu situasi kondisi tertentu. Kondisi tersebut terjadi karena hubungan kemitraan dipengaruhi oleh berbagai faktor (karakteristik penduduk dan sifat/kondisi lingkungan setempat, dan aturan yang dipergunakan) dalam pelaksanaannya, sehingga sekaligus merupakan sinergi kekuatan yang dimiliki para pelakunya. Sinergi kekuatan untuk membangun hutan tanaman yang dilakukan INPAK (yaitu modal dan akses/jaminan pasar) bersama rakyat (yaitu ketersediaan lahan dan tenaga kerja) bertujuan untuk menghasilkan kayu, guna menjamin kontinyuitas pasokan bahan baku, sekaligus memiliki kinerja yang memberikan manfaat positif bagi pelaku yang terlibat. Kinerja ekonomis atau tingkat efisiensi mencerminkan kemampuan suatu sistem untuk mengalokasikan faktor produksi secara efisien guna meningkatkan produksi sekaligus memberikan keuntungan optimal dari komoditas tersebut (Soekartawi, 2002). Dampak diterapkannya kemitraan terhadap kinerja kelembagaan KIBARHUT dikaji kelayakannya dengan analisis finansial dan policy analysis matrix atau PAM (Pearson et al., 2005). Metode PAM digunakan untuk membuktikan bahwa usaha pembangunan hutan KIBARHUT mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Kinerja pasar pada kelembagaan KIBARHUT dikaji melalui pendekatan terhadap lembaga dan sistem pasar yang berlaku (Carlton dan Perloff, 2000). Dalam analisis ini, kelembagaan KIBARHUT diduga mempengaruhi struktur pasar kayu, dan selanjutnya mempengaruhi perilaku para pelaku kemitraan termasuk para middle men (usaha mikro/kecil industri pemasaran kayu bundar). Struktur dan perilaku mempengaruhi kinerja pemasaran dan akhirnya berpengaruh kembali pada komponen struktur dan perilaku. Analisis pasar dilakukan karena selain melalui peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi, maka manfaat yang diperoleh petani dapat ditingkatkan dengan terciptanya kondisi pemasaran yang efisien dan saling menguntungkan (Yin et al., 2003; Tukan et al., 2004). Pasar yang kompetitif adalah jika kelembagaan KIBARHUT menjamin kesediaan pelaku untuk memproduksi, mengkonsumsi dan mengalokasikan komoditas, bercirikan kemampuan melarang penggunaan oleh yang tidak berhak (excludability), dapat dibagi dan

68 44 dipindahtangankan secara mudah (easily divisible and transferable), dan dapat diinternalisasikan oleh semua pelaku yang terlibat (Ostrom, 2005). Pemanfaatan output dapat berkelanjutan jika hutan (resources) tetap ada, maka harus ada keuntungan (benefit) yang diinvestasikan kembali untuk memperbaharui dan memelihara tegakan. Artinya terdapat kesediaan pengelola hutan untuk menyediakan faktor-faktor produksi yang diperlukan dalam rangka membangun hutan. Kesediaan berinvestasi sangat bergantung pada tingkat efisiensi pemasaran output, ditunjang kinerja kelembagaan kemitraan yang prospektif dan layak secara finansial dan ekonomi. Secara ringkas kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian adalah sebagaimana Gambar 4. kondisi dan ciri umum sekitar aturan dan norma (rules) yang diterapkan Kelembagaan KIBARHUT Aktor/Pelaku KIBARHUT deskripsi (situasi aksi) KIBARHUT Evaluasi Kinerja KIBARHUT analisis fungsi produksi analisis finansial policy analysis matrix lembaga-struktur pasar Keberlanjutan KIBARHUT - insentif positif Gambar 4 Kerangka pemikiran analisis kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Gambar 4 menunjukkan bahwa secara sederhana konstruksi kerangka analisis adalah (arena aksi) Kelembagaan KIBARHUT dapat menjamin kesediaan pelaku untuk bekerjasama, yaitu adanya mekanisme kesepakatan yang menjamin distribusi manfaat dan biaya yang tidak merugikan pihak manapun (Just et al., 1982; Darusman dan Wijayanto, 2007), sehingga berlangsung secara berkelanjutan. Kelembagaan KIBARHUT dapat terwujud dan berkelanjutan, jika mampu memberikan insentif positif bagi pelakunya. Insentif positif tersebut selanjutnya berdampak dan memberikan umpan balik ke pelaku yang terlibat, sehingga bersedia menginvestasikan kembali sebagian manfaat yang diterimanya untuk membangun dan mengelola hutan KIBARHUT secara berkelanjutan.

69 45 B. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan 2 (dua) tahapan. Tahapan pertama merupakan penelusuran awal pada Oktober November 2007, dan tahap kedua merupakan penelitian di lapangan pada April Oktober Penelitian merupakan suatu studi kasus yang secara purposive dilakukan di Pulau Jawa dengan pertimbangan bahwa : (i) sekitar 77,45% dari total petani di seluruh Indonesia (Dephut dan BPS, 2004) atau sebagian besar petani yang membangun dan mengelola hutan tanaman berbasis kerakyatan berada di Pulau Jawa; (ii) usaha membangun hutan berbasis kerakyatan dan/atau hutan rakyat di Pulau Jawa terus berkembang dan merupakan potensi penggerak ekonomi pedesaan, ditunjang semakin besarnya permintaan pasar akibat tumbuhnya berbagai jenis dan skala industri perkayuan di setiap daerah kabupaten dan propinsi di Pulau Jawa (Hardjanto, 2003). C. Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Contoh Industri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah IPHHK yang mengolah kayu bundar dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Namun, dikarenakan industri pengolahan kayu bahan baku serpih (atau dikenal juga sebagai industri kertas dan bubur kertas) di Pulau Jawa tidak menggunakan kayu bundar/bahan baku serpih sebagai bahan baku 19, maka pengamatan penelitian difokuskan pada IPHHK yang mengolah kayu bundar atau INPAK. Proses pemilihan lokasi penelitian dilakukan melalui berbagai tahapan yaitu pemilahan dan verifikasi INPAK terindikasi melakukan KIBARHUT. Pelaksanaannya dengan telaah data sekunder, komunikasi (surat, telepon, dan fax), dan survey awal. Pendekatan pemilihan lokasi contoh selanjutnya dilakukan dengan pengklasifikasian tipologi KIBARHUT berdasarkan kriteria (i) kontrak formal atau non-formal, (ii) lahan milik atau lahan negara (bukan lahan milik) sebagaimana pada Gambar Informasi lisan Priyo Hutomo (2007), Kasubdit pada Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Departemen Perindustrian.

70 46 Lahan Milik Kontrak non-formal Tipe 1 Tipe 2 Kontrak Formal Tipe 3 Lahan Negara (bukan Lahan Milik) Gambar 5 Tipologi KIBARHUT di lokasi penelitian Salim (2002) menyatakan bahwa kontrak formal adalah perjanjian yang penyusunannya memerlukan bentuk dan cara-cara tertentu sehingga dapat menjadi akta autentik pengakuan di muka sidang pengadilan. Dengan demikian, kontrak formal memiliki fungsi ekonomis dan yuridis. Sedangkan kontrak non-formal merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk yang lazim atau informal serta hanya memiliki fungsi ekonomis. Hak kepemilikan merupakan sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, yang dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah (Kartodihardjo, 2006b). Berdasarkan rejim hak kepemilikan yang diungkapkan Schlager dan Ostrom (1996) dalam Ostrom (2000) maka pada lahan milik terdapat strata kepemilikan yang paling lengkap karena memiliki hak untuk memasuki (access) dan memanfaatkan (withdrawal), hak menentukan bentuk pengelolaan (management), hak menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain (exclusion), dan memperjual-belikan hak (alienation). Pada bukan lahan milik, pemegang kuasa hutan negara dan HGU kebun (proprietors) 20 memiliki kumpulan hak yang lebih tinggi dibandingkan petani penggarap. Petani merupakan penggarap (authorised users) dengan hak memasuki dan memanfaatkan, atau pihak yang memiliki strata hak kepemilikan paling rendah berdasarkan batasan Schlager dan Ostrom tersebut. Artinya, petani yang terlibat pada KIBARHUT Tipe 1 mempunyai karakteristik hak kepemilikan tinggi tetapi tidak memiliki kepastian kontrak secara hukum formal. 20 Jenis hak kepemilikan tersebut cenderung disebut sebagai quasi private property rights (seolah milik pribadi), karena hanya ada satu kewenangan yang tidak dimiliki yaitu kewenangan untuk memperjualbelikan (alienation) penguasaan terhadap sumberdaya milik negara tersebut (Nugroho, 2003; Kartodihardjo, 2006b).

71 47 Tipe 2 adalah tipologi yang mempunyai karakteristik hak kepemilikan tinggi dan memiliki kepastian kontrak secara hukum formal bagi petani. Tipe 3 adalah tipologi yang mempunyai karakteristik hak kepemilikan rendah bagi petani tetapi memiliki kepastian kontrak secara hukum formal. Berdasarkan hasil pemilahan dan verifikasi data, hasil survey awal, dan klasifikasi tipologi maka pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive non random sampling) dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut: (i) ketersediaan dan kelengkapan data yang dimiliki, (ii) luasan lahan kemitraan yang terdapat di suatu lokasi/wilayah, serta (iii) memperhatikan keterwakilan pada tipologi KIBARHUT. Berdasarkan kriteria tersebut, lokasi pengumpulan data dilaksanakan di 3 (tiga) provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada setiap provinsi contoh, selanjutnya dipilih secara sengaja 1 (satu) kabupaten contoh, dan pada setiap kabupaten contoh dipilih 1 (satu) kecamatan contoh. Jumlah petani contoh dan lokasi pengumpulan data penelitian disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 6. Tabel 6 Lokasi dan jumlah petani contoh Tipologi Karakteristik kontrak/ Jumlah Petani contoh KIBARHUT Lokasi contoh per lokasi per Tipe Tipe 1 Kontrak non-formal di lahan milik 30 orang Bawang Kec. Bawang, Batang, Jawa Tengah 30 orang Tipe 2 Kontrak formal di lahan milik 30 orang a. Sukaraja Kec. Sukaraja, Tasikmalaya, Jawa Barat 15 orang b. Krucil Kec. Krucil, Probolinggo, Jawa Timur 15 orang Tipe 3 Kontrak formal di lahan Negara 30 orang a. Sukaraja Kec. Sukaraja, Tasikmalaya, Jawa Barat 15 orang b. Krucil Kec. Krucil, Probolinggo, Jawa Timur 15 orang Jumlah petani contoh 90 orang

72 Gambar 6 Lokasi penelitian 48

73 49 Jumlah petani contoh peserta KIBARHUT ditetapkan sebanyak 30 petani untuk setiap tipe 35, sehingga jumlah keseluruhan responden penelitian ini adalah 90 petani hutan yang dipilih secara sengaja (purposive), yaitu petani yang bermitra dengan INPAK dalam rangka pembangunan hutan. Guna mendapatkan gambaran selengkapnya pelaksanaan kelembagaan KIBARHUT di lapangan, kelengkapan data dan informasi penelitian juga diperoleh dari informan kunci yang dipilih dengan metode bola salju (snow ball sampling). D. Sumber Data dan Metode Pengambilan Data Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup keadaan umum daerah, surat perjanjian kerjasama (kontrak KIBARHUT), aturan dan bentuk kemitraan, kelompok tani, pengaturan kontrak kemitraan, pembangunan dan pengelolaan hutan serta hasil panen KIBARHUT, harga, dan dokumen lainnya. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber informasi yaitu Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan (Provinsi dan Kabupaten), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Provinsi dan Kabupaten), Kantor Statistik, Kantor Kecamatan dan Desa, INPAK, Perum Perhutani, koperasi, asosiasi, dan institusi lain yang terkait. Data primer yang dikumpulkan berupa data usaha KIBARHUT, karakteristik sosial ekonomi petani contoh, sarana/faktor produksi, produksi dan saluran pemasaran kayu bundar, struktur biaya, dan lainnya. Pengambilan data primer dilakukan dengan metode survey (sample survey method) yaitu mengumpulkan data yang diambil dari contoh (responden) dengan teknik wawancara langsung secara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang bersifat terbuka. Penelitian mengumpulkan data dan informasi yang terinci tentang usaha membangun hutan secara kemitraan antara INPAK bersama rakyat. Namun karena pelaksanaan KIBARHUT memerlukan proses produksi dengan rentang waktu lebih dari 1 tahun, sehingga untuk mempersingkat waktu penelitian, maka tahapan waktu 35 Gulo (2002) menyatakan bahwa klasifikasi populasi dilakukan agar anggotanya lebih homogen dan selanjutnya dari setiap klasifikasi diambil jumlah yang sama sebagai sampel. Gay (1997) dalam Sevilla et al. (2006) menyarankan besaran jumlah responden setidaknya 10 contoh per kelompok pada studi yang bersifat survey. Namun, besaran tersebut bukan angka pasti yang harus diikuti karena semakin homogen karakteristik populasi maka semakin kecil unit sampel yang dibutuhkan (Singarimbun dan Effendi, 1989). Irawan (2006) menyatakan bahwa kajian penelitian kualitatif bersifat kasuistis maka sampel dipilih secara purposive dengan pertimbangan pada kemampuan sampel (responden) memasok informasi selengkap mungkin. Maka, memperoleh dan dan informasi dari sampel yang sedikit tetapi lebih tahu tentang obyek penelitian adalah lebih berharga, dibandingkan mencari informasi dari sangat banyak sampel tetapi tidak memberi arti pada tambahan data dan informasi yang bermanfaat.

74 50 pelaksanaan KIBARHUT tidak diambil pada obyek yang sama melainkan pada obyek yang berbeda (Faisal 2006; Irawan, 2006). Guna memperoleh informasi lebih mendalam, dilakukan juga teknik wawancara tidak terstruktur atau wawancara mendalam pada individu atau kelompok dan tokoh kunci lainnya yang dipilih secara sengaja. Tokoh kunci yang dimaksud adalah kelompok tani/koperasi, petugas teknis dari INPAK, pejabat kantor Dinas terkait, usaha mikro/ kecil industri pemasaran kayu (middle men), Camat dan petugas teknis di kecamatan, Kepala Desa, aparat desa dan pemerintahan lainnya, pemilik lahan nonpetani, serta tokoh masyarakat yang dianggap memahami persoalan. Pemilihan menggunakan metode bola salju (snow ball sampling) sehingga jumlah contoh untuk wawancara mendalam bervariasi di setiap kelompok sesuai dengan kebutuhannya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara (i) Observasi; teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan; (ii) Wawancara; suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan responden (petani contoh) dan informan yang diambil sebagai contoh penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaaan yang telah disiapkan; (iii) Pencatatan; mencatat semua data sekunder dari dinas atau instansi yang berkaitan dengan penelitian. E. Metode Analisis Analisis penelitian dilakukan untuk dapat membuktikan bahwa kelembagaan kemitraan yang dilakukan melalui KIBARHUT memiliki peluang untuk mewujudkan kelangsungan usaha, dan keberlanjutan hubungan kemitraan. 1. Analisis karakteristik dan pelaku KIBARHUT Adanya kelembagaan KIBARHUT berdampak terhadap interdependensi antara pelaku (petani, mitra antara, INPAK) untuk menjamin keberlanjutan usaha. KIBARHUT menimbulkan keterlibatan pihak dari luar sistem sosial petani serta diterapkannya aturan dan cara yang mungkin berbeda dengan aturan sebelumnya. Identifikasi data dan analisis dilakukan secara deskriptif, tabulasi dan grafis berdasarkan hasil olahan data yang diberikan responden atau hasil survey, data yang teridentifikasi dari kontrak atau surat perjanjian kerjasama, dan dokumen tertulis

75 51 lainnya yang berkaitan 36. Analisis dilakukan terhadap: (i) perjanjian dan kerjasama KIBARHUT; (ii) kondisi fisik dan ciri umum lokasi pelaksanaan KIBARHUT; (iii) aturan yang diterapkan; (iii) bentuk dan jenis konflik (ingkar janji atau perilaku oportunis) yang mungkin dan sudah terjadi. Indikasi perilaku oportunis selanjutnya menjadi cerminan komitmen pelaku menegakkan kontrak (Salim, 2002; Nugroho, 2003; Gibbons, 1998; 2005; Ostrom, 2005; Yustika, 2006). 2. Kinerja kelembagan KIBARHUT Analisis ditujukan untuk membuktikan bahwa KIBARHUT mempunyai kinerja yang menunjukkan kelayakan usaha, dan menguntungkan bagi para pelaku yang terlibat (actors). Kelayakan usaha dan keuntungan memungkinkan para pelaku, khususnya petani, bersedia terus berinvestasi untuk membangun hutan, sehingga ketersediaan stock (kelestarian sumberdaya hutan) dan kesinambungan pasokan kayu bundar untuk keberlangsungan proses produksi INPAK dapat terus terjamin. Analisis kinerja kelembagaan KIBARHUT terdiri atas: analisis fungsi produksi, analisis kelayakan finansial, dan analisis keunggulan kompetitif dan komparatif. a. Analisis fungsi produksi Fungsi produksi adalah model hubungan (fisik) penggunaan faktor produksi (input) dengan keluaran produksi (output) atau komoditas yang dihasilkan (Soekartawi, 2002). Secara matematis, fungsi produksi ditulis sebagai berikut:,,,, (1) dimana : Y = output atau komoditas yang dihasilkan (variabel terikat atau dependent variable) X n = variabel bebas (independent variables) yaitu input atau faktorfaktor produksi yang dipergunakan dalam memproduksi komoditas yang dihasilkan (Y) f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output (komoditas) Analisis fungsi produksi sering dilakukan, karena peneliti menginginkan informasi bagaimana sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, dan modal 36 Metode tersebut dikenal sebagai kajian isi (content analysis), yaitu teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentukbentuk tertulis lainnya, dan selanjutnya dilaporkan hasilnya secara deskripsi, tabulasi dan grafis (Irawan, 2006; Pratiwi, 2008).

76 52 dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh. Analisis fungsi produksi dalam penelitian ini dilakukan guna mengetahui tingkat efisiensi input (faktor-faktor) produksi terhadap output produknya (kayu bundar) yang dihasilkan kelembagaan KIBARHUT. Model fungsi produksi yang dipergunakan adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas, dan secara matematis dirumuskan sebagai berikut: (2) Untuk mempermudah pendugaan maka persamaan Cobb-Douglas tersebut diatas (persamaan 2) diubah menjadi bentuk linier berganda dengan melogaritmakannya. Logaritma persamaan (2) tersebut adalah : (3) Keterangan : Q = Output kayu dihasilkan KIBARHUT yang direpresentasikan dengan jumlah kayu bundar yang diproduksi (m³/satuan luas lahan) X n = input/faktor produksi yang dipergunakan per satuan luas lahan a = intersep/konstanta = koefisien regresi variabel bebas ke-i μ = kesalahan pengganggu Persamaan tersebut dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi linier berganda. Pada persamaan (3) terlihat bahwa nilai adalah tetap walau variabel yang terlibat telah dilogaritmakan, karena pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas. Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka beberapa asumsi yang harus dipenuhi (Soekartawi, 2002) adalah sebagai berikut: 1) Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari bilangan nol adalah bilangan yang besarannya tidak diketahui. 2) Setiap variabel input ( ) dalam persaingan sempurna, artinya menggunakan faktor produksi yang dapat dibeli di pasar bebas. 3) Tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan. 4) Perbedaan lokasi (iklim, topografi dan lain sebagainya) telah ditampung dalam faktor kesalahan,. Tiga alasan mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas banyak dipergunakan untuk menganalisis oleh para peneliti (Soekartawi, 2002), yaitu:

77 53 1) Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas lebih mudah dianalisis dibandingkan dengan fungsi yang lain dan mudah ditransfer ke bentuk linier. 2) Hasil pendugaan garis dari fungsi Cobb-Douglas menghasilkan koefisien regresi yang menunjukkan besaran elastisitas. 3) Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran Return to Scale, dengan 3 (tiga) kemungkinan, yaitu : Decreasing Return to Scale (b 1 + b 2 < 1) berarti proporsi penambahan faktor-faktor produksi melebihi proporsi penambahan output produksi (komoditas yang dihasilkan). Constant Return to Scale (b 1 + b 2 = 1) berarti proporsi penambahan input produksi proporsional dengan penambahan output yang diperoleh. Increasing Return to Scale (b 1 + b 2 > 1) berarti proporsi penambahan input produksi menghasilkan tambahan output yang proporsinya lebih besar. Kelemahan fungsi Cobb-Douglas adalah tidak pernah tercapai tingkat produksi maksimum, sulit menghindari multicolinearity, dan data tidak boleh nol atau negatif (karena fungsi menggunakan bentuk logaritma). Analisis guna memperoleh model fungsi produksi dilakukan dengan software pengolah data Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) ver 17.0 (Sulaiman, 2004; Pratisto, 2009; Rafiudin dan Saefudin, 2009). Selanjutnya, dugaan perilaku produsen dalam upaya mengefisienkan penggunaan dan alokasi input produksi untuk mengoptimumkan output menjadi terbukti, jika fungsi berbentuk cekung tegas (strictly concave function) sebagaimana diungkapkan oleh Henderson dan Quandt (1980), Sugiarto et al. (2002), dan Nugroho (2003). Fungsi produksi berbentuk cekung tegas jika (i) fungsi produksi memenuhi syarat pertama yang diperlukan (first order necessary conditions FONC) dan syarat kedua yang mencukupkan (second order sufficient conditions SOSC) sehingga syarat negatif terbatas terpenuhi. Uji FONC untuk membuktikan bahwa fungsi tersebut mempunyai titik ekstrim, sedangkan uji SOSC untuk membuktikan bahwa titik ekstrim tersebut adalah titik optimum maksimisasi produksi; (ii) elastisitas input produksi dari masing-masing pelaku bernilai 0 1 (0< <1 dan 0< <1 serta 0 1) dan jumlah besaran kedua variabel bebas pada tiap fungsi produksi adalah < 1 ( 1). b. Analisis kelayakan finansial Analisis finansial untuk mengetahui kelayakan KIBARHUT di Pulau Jawa dilakukan dengan menyusun proyeksi aliran kas (cash flow), yaitu suatu tabel yang

78 54 memuat aliran dana masuk (inflow) dan keluar (outflow) dalam suatu periode tertentu (Gittinger, 1982). Proyeksi aliran kas tersebut dievaluasi pada suatu titik waktu tertentu (yaitu saat proyek direncanakan), dengan mempertimbangkan nilai waktu terhadap uang (time value of money) atau discounted valuation. Evaluasi berdasarkan kriteria keberterimaan proyek (Gittinger, 1982) yaitu: (i) nilai manfaat bersih atau net present value (NPV), (ii) rasio manfaat dan biaya atau benefits/costs ratio (B/C Ratio), dan (iii) tingkat pengembalian atau internal rate of return (IRR). Secara matematis model analisisnya adalah sebagai berikut: 1) Net Present Value (NPV); dinyatakan layak jika NPV > 0 1 2) Benefits/Costs ratio (B/C Ratio); dinyatakan layak jika B/C Ratio ) Internal Rate of Return (IRR); dinyatakan layak jika IRR dimana: B t = pendapatan dari KIBARHUT pada waktu ke-t C t = biaya kegiatan KIBARHUT pada waktu ke-t i = tingkat suku bunga yang berlaku t = jangka waktu (i = 1,2, n) n = periode analisis c. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif (model PAM) Kerangka analisis ekonomi yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari sudut usaha swasta (private profit) sekaligus memberi ukuran tingkat kinerja ekonomi usaha (social profit) adalah matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis PAM digunakan untuk mengkaji keunggulan komparatif dan kompetitif kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Analisis menggunakan model PAM yang dikembangkan oleh Pearson et al. (2005).

79 55 3. Analisis pasar kayu KIBARHUT Analisis yang menjadi cakupan penelitian adalah kajian mengenai struktur dan lembaga pemasaran berkaitan dengan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Cakupan penelitian tersebut didasarkan hasil penelusuran awal bahwasanya kegiatan pemanenan belum dilakukan pada saat pengambilan data penelitian pada tahun Analisis deskripsi struktur pasar dilakukan pada setiap tahap pemasaran yang terbentuk, dengan indikator yang digunakan untuk menentukan struktur pasar sebagaimana pada Tabel 7. Analisis perilaku pelaku pasar kayu KIBARHUT mendeskripsikan para pelaku yang terlibat dalam tataniaga kayu, peran dan fungsi masing-masing pelaku, serta informasi dan akses yang dimilikinya. KIBARHUT diduga membentuk struktur pasar yang khusus sesuai aturan main yang disepakati. Karenanya, selain mencermati indikator umum struktur pasar sebagaimana Tabel 7, analisis juga mengkaji perilaku pelaku pasar dan aturan berkaitan pemasaran kayu hasil KIBARHUT. Tabel 7 Karakteristik struktur pasar Karakteristik Struktur Pasar Penjual/Pembeli Produk Informasi PASAR OUTPUT Banyak Penjual Standard/homogen Sempurna Persaingan sempurna Banyak Penjual Diferensiasi Mudah Persaingan monopolistis Sedikit Penjual Diferensiasi/spesifik Sulit Oligopoli Satu Penjual Unik Sangat sulit Monopoli PASAR INPUT Banyak Pembeli Standard/homogen Sempurna Persaingan sempurna Banyak Pembeli Diferensiasi Mudah Persaingan monopsonistis Sedikit Pembeli Diferensiasi/spesifik Sulit Oligopsoni Satu Pembeli Unik Sangat sulit Monopsoni Sumber: Carlton dan Perloff (2000), Nicholson (2002), Sugiarto et al. (2003) 4. Keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT Keberlanjutan hubungan kelembagaan terwujud jika tingkat harapan manfaat dan keuntungan (rewards) para pelaku yang terlibat sesuai (proporsional) dengan korbanan (biaya) yang dikeluarkan masing-masing pelakunya. Artinya, terdapat insentif positif yang dinikmati pelaku terhadap keterlibatannya dalam suatu kelembagaan sebagaimana diungkapkan Jensen dan Meckling (1986), Kasper dan Streit (1998), Maskin (2001), Gibbons (1998; 2005), Ostrom (2005). Berdasarkan kriteria dimaksud, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah kelembagaan

80 56 KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai peluang berlangsung secara berkelanjutan. Pengujian untuk mensintesa hipotesis utama tersebut adalah sebagai berikut: a. Kesatu: Adanya komitmen pelaku KIBARHUT untuk menegakkan kontrak sehingga menjamin diperolehnya manfaat (pendapatan) sesuai korbanan (biaya) yang dikeluarkan, diuji dengan: : komitmen penegakan kontrak tinggi tercermin berdasarkan tingkat indikasi oportunis rendah atau sedang; : komitmen penegakan kontrak rendah tercermin berdasarkan tingkat indikasi oportunis tinggi. b. Kedua: Kelembagaan KIBARHUT menghasilkan manfaat (benefit) bagi pelakunya yang dapat menjadi insentif (positif) untuk keberlangsungan investasi pembangunan hutan KIBARHUT, diuji dengan: : alokasi input produksi efisien (fungsi produksi dapat diturunkan 2 kali, dan memenuhi syarat negatif terbatas), layak secara finansial (nilai NPV positif, B/C ratio 1, IRR i% secara total dan sudut pandang masingmasing pelaku), memiliki keunggulan kompetitif (PP positif, PCR < 1) dan komparatif (SP positif, DRC < 1); : alokasi input tidak efisien, tidak layak secara finansial, tidak mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. c. Ketiga: Output produksi (kayu KIBARHUT) dialokasikan pada pasar kayu yang kompetitif sehingga mendukung kesediaan pelaku untuk terus membangun hutan KIBARHUT. Hipotesis diuji dengan: : pelaku termotivasi memproduksi (membangun hutan KIBARHUT) dan ada jaminan pasar yang bekerja secara efektif dan mudah; : pelaku tidak termotivasi membangun hutan KIBARHUT dan jaminan pasar kayu KIBARHUT tidak memberikan manfaat tambahan bagi pelaku. Berdasarkan hasil sintesis terhadap ketiga hipotesis tersebut di atas, maka hipotesis utama kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai peluang berlangsung secara berkelanjutan adalah sesuai dugaan semula jika,, dan atau ketiga hipotesis pendukung adalah terbukti sesuai dugaan semula. Hipotesis utama adalah tidak sesuai dugaan semula jika atau atau atau ada salah satu atau lebih hipotesis pendukung yang terbukti tidak sesuai dengan dugaan semula.

81 IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa Karakteristik KIBARHUT dianalisis secara deskriptif mencakup kondisi dan ciri umum pembangunan hutan bersama rakyat, aturan yang dipergunakan, pelaku yang terlibat, hubungan kontraktual KIBARHUT, dan analisis perilaku oportunis (postcontractual opportunistic behavior). 1. Kondisi dan ciri umum pembangunan hutan bersama rakyat Pembangunan hutan dilakukan pada lahan milik dan lahan negara untuk keperluan non-industri dan industri. Khusus di Pulau Jawa, pembangunan hutan di kawasan hutan negara dilakukan Perum Perhutani dan umumnya bekerjasama dengan penduduk melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM dimulai tahun 2001 dengan ciri bersama, berdaya, dan berbagi berbasis lahan dan non lahan. Dalam implementasi PHBM, masyarakat mendapat bagi hasil sebagaimana diatur SK No. 001/KPTS/DIR/2002. Setelah berjalan selama 6 tahun, Perum Perhutani melakukan penyempurnaan sistem menjadi PHBM Plus 37 (Direksi Perum Perhutani, 2007). Kegiatan penanaman yang dilakukan Perum Perhutani selain melibatkan petani desa sekitar hutan, juga bekerjasama dengan pihak ketiga (mitra kerja usaha). Kerangka kerjasama usaha berpedoman pada SK Direksi No. 400/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani. Implementasi kegiatan tersebut di kabupaten contoh adalah di KPH Tasikmalaya, Unit III Jawa Barat dan Banten (KPH Tsm) dan KPH Probolinggo, Unit II Jawa Timur (KPH Proling). KPH Tsm bersama PT. Bineatama Kayone Lestari (BKL) melakukan penanaman Albasia 38 pada tahun 2004 dan KPH Proling bersama PT. Kutai Timber Indonesia (KTI) menanam FGS jenis Sengon, Gmelina, Anggrung, Waru Rangkang, dan Jabon semenjak tahun Permasalahan yang mendorong dilakukan penyempurnaan PHBM diantaranya adalah (i) sinergitas dengan pemerintah daerah dan stakeholders belum maksimal; (ii) masih berbasis kegiatan kehutanan; (iii) kurang fleksibel; (iv) pelaksanaan bagi hasil belum dilaksanakan secara merata. 38 Penduduk Jawa Barat menyebut Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai Albasia atau Albiso. Penyebutan selanjutnya menggunakan kata Sengon sebagai istilah yang lebih umum dikenal.

82 58 Sampai dengan tahun 2007, realisasi PHBM dengan melibatkan mitra usaha (INPAK ) di KPH Tsm sekitar 862,45 ha dan KPH Proling sekitar 331 ha. Pada tahun tanam 2008, pelaksanaan di KPH Proling dilakukan di 4 RPH dengan luasan 302,40 ha. Keempat RPH tersebut yaitu Segaran (70,1 ha), Pakuniran (106,40 ha), dan Kaliacar (95,10 ha) untuk jenis Sengon, serta jenis Gmelina ditanam di Matikan (30,80 ha). Pembangunan hutan di kawasan non-hutan negara dilakukan di lahan milik, dan dikenal sebagai hutan rakyat. Data di 3 kabupaten contoh memperlihatkan trend peningkatan luasan lahan berfungsi hutan sebagaimana pada Tabel 8. Tabel 8 Perkembangan luas hutan rakyat di kabupaten contoh Kabupaten Luas (ha) Produksi (m³) tahun 2007 Contoh Total Sengon % Kab. Tasikmalaya , , , ,92 na na Kab. Batang 6.338, , , , ,00 73,6 Kab. Probolinggo 6.877, , , , ,55 63,4 Sumber: 1. Statistik kehutanan provinsi contoh tahun 2007 (2008) 2. Statistik kehutanan kabupaten contoh tahun 2007 (2008) 3. Dishutbun Tasikmalaya/Kanhut Batang/Disbunhut Probolinggo (2008) Tabel 8 menunjukkan bahwa hutan rakyat di Tasikmalaya pada tahun 2007 tercatat seluas ha, atau mengalami peningkatan sekitar 10% per tahun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Produksi kayu dari hutan rakyat pada tahun 2007 tercatat sejumlah ,92 m³. Luas hutan rakyat di Batang memperlihatkan trend meningkat, dari ha pada tahun 2002 menjadi sekitar ha pada tahun Hasil inventarisasi Kantor Kehutanan Batang mencatat adanya potensi hutan rakyat tahun 2007 seluas ha, terdiri atas Jati (1.950 ha), Mahoni (3.650 ha), Sengon ( ha), dan Rimba Jawa (7.500 ha). Potensi hutan rakyat tersebut, menghasilkan kayu sekitar m³ per tahun, dan 73,6% diantaranya adalah kayu Sengon. Luas hutan rakyat pada tahun 2007 di Probolinggo tercatat seluas ,88 ha berdasarkan inventarisasi lahan yang ditanami tanaman kayu-kayuan, atau ,57 ha jika menghitung juga tanaman multi purposes tree species (MPTS) yang dapat dimanfaatkan kayunya. Produksi kayu hasil hutan rakyat mencapai ,52 m³ dan 63,4% diantaranya adalah kayu Sengon. Bertambah luasnya lahan berfungsi hutan, de facto, terindikasikan luas hutan rakyat yang memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pembangunan hutan rakyat dilakukan di lahan milik (tegal atau huma), dan juga di lahan sawah irigasi

83 59 sederhana dan sawah tadah hujan. Trend peningkatan luasan lahan berfungsi hutan dikemukan juga oleh Bupati Batang 39 yang menyatakan banyak dijumpainya hutan rakyat yang dikembangkan di areal bekas sawah, misalnya di Kec. Reban, Bandar dan Bawang. Posisi penting hutan rakyat sebagai pemasok kebutuhan bahan baku semakin terasa, sejalan semakin berkurangnya pasokan bahan baku kayu dari hutan alam. Data Ditjen Bina Produksi Kehutanan (Dephut) tahun 2008 menunjukkan bahwa hutan rakyat mempunyai posisi penting bagi industri perkayuan karena merupakan pemasok urutan keempat kebutuhan bahan baku kayu bagi INPAK (Lampiran 2). Gerakan menanam tanaman kehutanan juga terdapat pada lahan yang (secara de jure) merupakan izin hak guna usaha (HGU) perkebunan. Hasil wawancara dan pengumpulan data lapangan, ditemukan 3 (tiga) HGU di kabupaten contoh yang terindikasi menanam tanaman kehutanan jenis cepat tumbuh atau fast growing species (FGS), yaitu: Datarsalam di Pancatengah, Tasikmalaya; Ayerdingin di Krucil, Probolinggo; dan PTPN XII di Jawa Timur. Upaya membangun hutan tidak hanya dilakukan secara swadaya, tetapi juga melalui subsidi dan kampanye berbagai program pemerintah, diantaranya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis (GRLHK), kampanye Indonesia menanam, hutan rakyat pola kemitraan dengan bantuan bergulir; hari menanam pohon Indonesia dan bulan menanam nasional; one man one tree (OMOT), dan inisiatif berbagai kalangan yang melakukan kerjasama membangun dan mengelola hutan bersama rakyat. Kerjasama atau kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) berdasarkan kepemilikan lahannya dibedakan menjadi 2, yaitu di lahan milik dan lahan/hutan negara. Proporsi status pemilikan lahan yang digunakan kelembagaan KIBARHUT sampai dengan tahun 2008 disajikan pada Tabel 9. Lahan milik adalah lahan yang dibebani hak atas tanah, baik lahan milik perorangan maupun lahan milik suatu badan usaha atau kelompok. Pemanfaatan tanah milik mencapai 72,28% pelaksanaan KIBARHUT di ketiga INPAK contoh. Pelaksanaan KIBARHUT oleh PT. SGS sekitar 97,56% terdiri atas tanah milik perorangan (96,18%) dan milik institusi (1,38%). Pemanfaatan tanah milik institusi 39 Suara Merdeka, 30/08/2008 diunduh dari [14 Sept 2008].

84 60 (11,90%) juga dilakukan PT. KTI bekerjasama dengan yayasan, perusahaan, pondok pesantren, perguruan tinggi, dan gereja. Tabel 9 Status pemilikan lahan dimanfaatkan untuk pelaksanaan KIBARHUT Pelaksanaan KIBARHUT Status Pemilikan PT. SGS PT. BKL PT. KTI Jumlah 3 INPAK Lahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 1 Tanah Milik : Perorangan 6.714,29 96, ,20 38, ,31 45, ,80 68,20 Institusi 96,45 1,38 0,00 0,00 496,82 11,90 593,27 4,08 Jumlah ,74 97, ,20 38, ,13 57, ,07 72,28 2 Tanah Negara: TKD 57,50 0,82 88,00 2,60 199,86 4,79 345,36 2,38 Instansi 112,50 1,61 250,00 7,39 64,48 1,55 426,98 2,94 Perhutani 0,00 0, ,36 47,30 353,93 8, ,29 13,44 HGU 0,00 0,00 139,90 4, ,15 27, ,05 8,96 Jumlah 2 170,00 2, ,26 61, ,79 42, ,05 27,72 Jumlah ,74 100, ,46 100, ,92 100, ,12 100,00 Pemanfaatan lahan untuk penanaman kayu yang dibutuhkan industri berdampak pada meningkatnya harga tanah. Soeranto, petugas PT. SGS, menginformasikan telah membeli tanah di Bawang seluas m² seharga Rp pada tahun Lahan tersebut ditumbuhi tegakan Sengon berumur sekitar setahun. Tahun 2008, tanah dan tanaman Sengon diatasnya ada yang berani membeli dengan nilai Rp Widi (petani di Bawang) dan Kardana (petani di Sukaraja) menginformasikan bahwa ada pihak yang bersedia membeli lahan miliknya senilai 3 kali lipat dibandingkan harga pembelian 2 tahun lalu, karena di atas lahan tersebut terdapat tegakan Sengon siap panen. Informan lain 40 mengungkapkan bahwa harga tanah yang ditumbuhi tanaman berkayu, khususnya Sengon, adalah lebih diminati. Realitas tersebut menunjukkan bahwa harga tanah di lokasi penelitian mengikuti perkembangan/pertumbuhan pohon Sengon yang tumbuh diatasnya. Perhitungan harga tanah tidak lagi berdasarkan harga per satuan luas tapi disesuaikan dengan ukuran pohon, diameter pohon, taksiran volume dan nilai kayu yang dapat dipanen dari lahan tersebut. Fenomena ini diharapkan menjadi dasar untuk dilakukannya telaah/kajian lebih lengkap dampak tegakan Sengon terhadap nilai harapan tanah di masa mendatang. 40 Pernyataan digali dari seluruh petani contoh dan responden kunci. Responden yang secara spesifik memberikan pernyataan mengenai harga tanah yang ditanami Sengon adalah Amin (Kadus di Bawang dan bekerja sambilan sebagai makelar penjualan lahan); Uus (petugas PT. BKL); Saefuloh (Kades di Sukaraja); Heru Jhudianto (petugas PT. KTI); Abdul Qodir (KP di Krucil); Kurmat (staf Disbunhut di Probolinggo); Gorin (PKL dan petani Sengon di Krucil); dan Suprapto (PKL Krucil).

85 61 Pelaksanaan KIBARHUT dengan memanfaatkan lahan/tanah kas desa (TKD) atau pengangonan ditemukan dengan luasan relatif kecil (2,38% dari total). Kemitraan umumnya merupakan inisiatif penyewa/penggarap, sehingga pihak desa hanya sebatas menyewakan lahan dengan imbalan uang sewa dari petani penggarap. Namun berdasarkan informasi petugas PT. BKL dan perangkat Desa Tarunajaya di Sukaraja, ada kesepakatan melakukan KIBARHUT dengan memanfaatkan TKD Tarunajaya. Kegiatan tersebut merupakan inisiasi perangkat desa untuk meningkatkan produktivitas lahan TKD, sehingga desa memperoleh pendapatan dari uang sewa lahan dan bagi hasil panen kayu di akhir daur. Kegiatan penanaman dilakukan pada tahun tanam 2008/09. Pemanfaatan tanah negara milik instansi pemerintah dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi, pemerintah kota, dan lahan TNI. Proporsi luasan tanah negara milik instansi adalah 2,94% dari total luasan lahan pelaksanaan KIBARHUT. Kerjasama dalam rangka KIBARHUT di hutan negara yang dikelola Perum Perhutani (mencapai 13,44% dari total lahan) dilakukan dengan pola PHBM bersama petani. Pemanfaatan lahan Perhutani untuk pelaksanaan KIBARHUT melalui pola PT. BKL seluas 1.599,36 ha di 3 KPH (Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang) lingkup Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, dan pola PT. KTI seluas 353,90 ha di 2 KPH (Probolinggo dan Kediri) lingkup Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Pemanfaatan lahan HGU (sekitar 8,96% dari total lahan yang dikerjasamakan) dilakukan karena ada kerjasama petani penggarap kebun, pemilik izin HGU/penyewa dan INPAK. Kegiatan pengelolaan hutan dalam pelaksanaan KIBARHUT tidak berbeda dengan pola yang banyak dilakukan pada pembangunan hutan oleh rakyat secara swadaya ataupun oleh Perum Perhutani. Secara umum kegiatan pengelolaan yang dilakukan terdiri dari berbagai tahapan, yaitu : (i) penanaman; (ii) pemeliharaan; (iii) perlindungan; (iv) pemanenan; (v) pemasaran. Penanaman Kegiatan penanaman dalam rangka KIBARHUT diawali penyiapan lahan. Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan secara khusus untuk tanaman kehutanan adalah pembuatan lubang tanam, sedangkan kegiatan lainnya dilakukan bersamaan dengan persiapan tanaman tumpangsari. Lubang tanam dibuat petani tidak dengan

86 62 ukuran tertentu, tetapi hanya sebatas dianggap cukup untuk bibit. Pemberian pupuk ke dalam lubang tanam dan pemasangan ajir dilakukan oleh sebagian besar (63,3%) petani (selengkapnya tersaji pada Lampiran 3). Lubang tanam dibiarkan selama kurang lebih satu minggu, dan kemudian ditanami bibit tanaman pokok KIBARHUT. Bibit tanaman berkayu disiapkan dan dipasok INPAK. Bibit bantuan INPAK jumlahnya berdasarkan perhitungan luas lahan dan jarak tanam standard, ditambah suplisi 10 20% untuk sulaman. Pasokan bibit diangkut ke lokasi terdekat yang dapat dicapai oleh kendaraan pengangkut bibit. Pola penyaluran atau tempat pendaratan bibit diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: a. Bibit diturunkan di Balai Desa setempat. Prosess ini ditemukan pada kemitraan Tipe 1 Bawang dan Tipe 2 Sukaraja. b. Bibit diturunkan di lokasi yang ditentukann kelompokk atau koordinator pengelola. Proses ini ditemukan padaa Tipe 2 Krucil dan Tipe 3 Krucil. c. Bibit diturunkan di kantor RPH setempat. Prosess ini terjadi pada kemitraan Tipe 3 Sukaraja atau kemitraan yang melibatkan Perum Perhutani. Pemilihan jenis tanaman pokok disesuaikan antara keinginan petani dan kebutuhan INPAK, yaitu jenis tanaman berdaurr pendek (FGS), komersial, ketersediaan pasar dan ada kemampuan untuk mengolah kayunya. Tanaman yang banyak ditanam dalam rangka KIBARHUT adalah jenis Sengon. Gambar 7 menunjukkan bahwa jenis FGS yang mayoritas (82,61%) ditanam dan dikembangkan di 3 kabupaten contoh adalah Sengon atau Paraserianthes falcataria. Tanamann Balsa, Jabon, Waru Rangkang, Gmelina dan jenis lainnya ditanam dalam jumlah relatif kecil dan hanya ditanam pada pelaksanaan KIBARHUT oleh PT. KTI di Jawa Timur. Jabon 0,61% Gmelina 0,76% Lainnya Waru 0,24% 0,90% Balsa 14,88% Sengon 82,61% Gambar 7 Jenis tanaman pokok pada pelaksanaann KIBARHUT di Pulauu Jawa (data primer, 2008)

87 63 Pembangunan hutan KIBARHUT dilakukan dengan 3 pola pertanaman atau cropping pattern (Tabel 10), yaitu (i) monokultur atau murni dimana petani hanya menanam 1 jenis tanaman pokok FGS. Pola ini dilakukan oleh 63,3% petani contoh; (ii) polikultur atau campuran 2 jenis tanaman FGS pada lahan yang sama. Pola ini dilakukan oleh 8,9% petani contoh; (iii) agroforestry yaitu tanaman berkayu FGS ditanam secara tumpangsari pada lahan yang sudah ada tanaman perkebunannya (MPTS). Pola ini dilakukan oleh 27,8% petani contoh. Jika selama ini penanaman pohon dilakukan untuk mengurangi resiko kegagalan unit usaha pertanian sebagai komoditas utama, tetapi data empiris kelembagaan KIBARHUT sebagaimana Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar petani (72,2%) justru menanam pohon (kayu) sebagai komoditas utama. Petani contoh bahkan cenderung menanam dengan pola tanam murni atau monocropping (penanaman pohon di lahan subur dan tidak digabung dengan tanaman keras/perkebunan lainnya). Tabel 10 Jenis tanaman kehutanan dan pola pembangunan hutan di lokasi contoh Tipologi/Jenis Pola pembangunan hutan KIBARHUT Tanaman Kehutanan Murni Campur AF Tipe 1 Bawang (30 petani) 9 (30,0%) (70,0%) 1 tingkat, Sengon 1 (3,3%) tingkat, Sengon 8 (26,7%) (70,0%) Tipe 2 Sukaraja (15 petani) 11 (73,3%) (26,7%) 2 tingkat, Sengon 11 (73,3%) (26,7%) Tipe 2 Krucil (15 petani) 15 (100,0%) tingkat, Sengon 2 (13,3%) tingkat, Balsa/lain 1 (6,7%) tingkat, Sengon 7 (46,7%) tingkat, Balsa/lain 5 (33,3%) Tipe 3 Sukaraja (15 petani) 15 (100,0%) tingkat, Sengon 15 (100,0%) Tipe 3 Krucil (15 petani) 7 (46,7%) 8 (53,3%) tingkat, Sengon 3 (20,0%) tingkat, Balsa/lain 4 (26,7%) tingkat, Sengon/Balsa (26,7%) tngkat, Sengon/Balsa/lain (26,7%) --- Jumlah (90 petani) 57 (63,3%) 8 (8,9%) 25 (27,8%) Temuan data lapangan di tingkat petani (sebagaimana disajikan pada Tabel 10) memperkuat temuan yang disajikan pada Gambar 7, yaitu mayoritas petani contoh (81,1%) memilih menanam Sengon pada pelaksanaan KIBARHUT. Sekitar 10% petani menanam Balsa atau jenis lain (Tipe 2 Krucil dan Tipe 3 Krucil), dan sisanya (9,9%) menanam secara campuran Sengon dan Balsa, atau Sengon, Balsa dan tanaman lain (Tipe 3 Krucil).

88 64 Pemilihan Sengon sebagai tanaman pokok berdasarkan pertimbangan bahwa (i) merupakan tanaman FGS yang sudah tersebar luas di kalangan petani hutan, dan masyarakat relatif sudah mengenal dan mengetahui budidayanya semenjak adanya program sengonisasi tahun 1989; (ii) mempunyai nilai komersial tinggi, khususnya di Pulau Jawa; (iii) umurnya pendek sehingga kayunya lebih cepat dipanen; (iv) pemasarannya tidak sulit karena semua INPAK bersedia menampung 41. Dephut dan BPS (2004) melaporkan bahwa Sengon adalah tanaman kayu terbanyak kedua (setelah Jati) yang ditanam dan diusahakan oleh rumah tangga kehutanan (RTK 42 ) di Pulau Jawa. Dephut dan BPS (2004) juga mencatat RTK (atau 85,63% dari total RTK) di Pulau Jawa tercatat memelihara tanaman Sengon, dan sekitar diantaranya adalah kelompok RTK yang mengusahakan Sengon. Pemilihan tanaman Sengon, yang merupakan jenis komersial yang diperlukan pasar, menunjukkan secara empiris bahwa penanaman pohon pada kelembagaan KIBARHUT dilakukan petani (agents) dengan lebih berorientasi pasar guna memasok kebutuhan bahan baku kayu bagi INPAK yang menjadi mitranya (principal). Walaupun demikian pada awal-awal daur tanaman kayu, mayoritas petani KIBARHUT (93,3%) melakukan tumpangsari dengan tanaman hortikultura (Tabel 11). Tanaman pangan/hortikultur yang dibudidayakan sebagai tanaman tumpangsari adalah jenis Jagung (44,44%), Singkong (33,3%), Jagung dan tanaman lain (8,89%), dan jenis lainnya (6,67%). Kegiatan ini dilakukan untuk memanfaatkan lahan secara optimal dan sekaligus memberikan tambahan pendapatan bagi petani (Nair, 1993; Yusran, 2005). Terdapat 6 petani di Bawang (6,67% dari total petani contoh) yang tidak melakukan tumpangsari dengan tanaman pangan. Petani tersebut menerapkan pola tanam dengan memanfaatkan sebagian lahan untuk tanaman kehutanan, dan sebagian luasan lahan sisanya sudah ditanami dengan tanaman keras/kebun. Tabel 11 menunjukkan bahwa semua petani di Sukaraja memilih Singkong, sedangkan petani di Bawang dan Krucil memilih jagung dan/atau tanaman lainnya (cabe rawit hijau, tomat, wortel, kubis atau jenis lainnya) sebagai tanaman hortikultur untuk tumpangsari dengan tanaman kehutanan. Rentang waktu bagi petani untuk 41 Kemudahan menjual dan banyaknya perusahaan yang siap menampung kayu Sengon diungkap juga oleh Trubus Majalah Pertanian Indonesia, diunduh dari mod.php? mod=publisher &op= viewarticle&cid=1&artid=1411 [13 September 2008]. 42 RTK dikategorikan rumah tangga usaha BMU (batas minimal usaha) jika jumlah pohon Sengon siap tebang yang dikuasai dan diusahakan RTK adalah 12 pohon.

89 65 dapat melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan/hortikultur tersebut bervariasi bergantung dengan pola tanam KIBARHUT. Tabel 11 Jenis tanaman pangan/hortikultur yang menjadi tanaman tumpangsari dalam tahuntahun awal pelaksanaan KIBARHUT Tipe Jenis tanaman pangan/hortikultur Jagung singkong lainnya Jgg+lain tidak TS 1 Bawang (30 petani) 16 (53,3%) -- 4 (13,3%) 4 (13,3%) 6 (20%) 1 tingkat, murni 1 0(3,3%) tingkat, murni 5 (16,7%) (10,0%) -- 2 tingkat AF 10 (33,3%) -- 4 (13,3%) 10 (3,3%) 6 (20%) 2 Sukaraja (15 petani) -- 15(100,0%) tingkat, murni (73,3%) tingkat, AF (26,7%) Krucil (15 petani) 15 (100,0%) tingkat, murni 3 0(20,0%) tingkat, murni 12 0(80,0%) Sukaraja (15 petani) -- 15(100,0%) tingkat, murni (100,0%) Krucil (15 petani) 9 (60,0%) -- 2 (13,3%) 4 (26,7%) -- 2 tingkat, murni 5 0(3,3%) (13,3%) -- 2 tingkat, campur 4 0(2,7%) -- 2 (13,3%) 3 (13,3%) -- Jumlah (90 petani) 40 (44,4%) 30 0(33,3%) 60 (6,7%) 80 (8,9%) 6 (6,7%) Pola tanam pada prinsipnya mengikuti kondisi lahan, tetapi INPAK membuat standard jarak tanam untuk tanaman pokok adalah 3m x 2m atau 6m x 2m (PT. KTI) dan 3m x 2m (PT. BKL dan PT. SGS). Dengan jarak tanam tersebut, di bawah tegakan KIBARHUT masih dapat digunakan untuk tumpangsari tanaman pertanian selama 2-3 tahun, sehingga dapat menambah penghasilan bagi petani. Dalam pelaksanaannya, petani contoh melakukan penanaman dengan jarak tanam rapat, berkisar 1,5m x 1,5m; 1,5m x 2m; 2m x 2m; 2m x 2,5m dan seterusnya sampai dengan jarak tanam tidak beraturan (Gambar 8a). Jarak tanam rapat dilakukan dengan menanam seluruh bantuan bibit, termasuk suplisi 10 20% bibit yang sebetulnya dialokasikan untuk sulaman. Penggunaan jarak tanam rapat karena petani berasumsi semakin banyak pohon ditanam, maka semakin banyak pohon yang dapat dipanen. Penanaman dengan jarak tanam yang rapat tersebut menyebabkan pemanfaatan lahan dibawah tegakan tidak dapat dilakukan secara optimal. Terdapat 7 petani contoh (7,78%) yang sengaja melakukan penanaman dengan jarak tanam awal sangat rapat, karena bertujuan menghasilkan bibit Sengon dengan memanfaatkan anakan dan/atau tanaman sengon

90 66 muda (sapling) sebagai bibit, serta dengan mencangkok batang (Gambar 8b). Petani kemudian mengurangi kerapatan, sekaligus melakukan penjarangan ketika tanaman Sengon mencapai tinggi sekitar 1 2m atau ketika pencangkokan telah berhasil. a. Penanaman dengan jarak tanam rapat b. Cangkok untuk menghasilkan bibit Gambar 8 Penanaman Sengon dengan jarak tanam rapat, dan pencangkokan batang untuk dijual sebagai bibit Sengon di lokasi contoh (dokumentasi peneliti) Penjarangan dilakukan sedemikian rupa sehingga jarak tanam akhirnya mencapai setidaknya sekitar 3m x 2m. Sebagian besar hasil penjarangan dijual dalam bentuk bibit dengan harga sekitar Rp per batang, sedangkan sebagian kecil tanaman hasil penjarangan yang tidak layak menjadi bibit dijadikan kayu bakar. Penjualan bibit hasil penjarangan mempunyai pasar tersendiri yang sangat potensial (niche market), karena terdapat petani yang cenderung melakukan penanaman menggunakan bibit yang sudah besar dengan tinggi berkisar 1 2 m. Penjualan bibit Sengon hasil penjarangan dilakukan petani guna mengganti investasi yang telah dikeluarkan untuk penanaman, termasuk biaya pemeliharaan tahun pertama, sebagaimana juga diungkapkan Lestari (2008). Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman KIBARHUT dilakukan secara intensif oleh petani sampai dengan tanaman berumur 2 tahun. Pemeliharaan dengan penyiangan (pembersihan rumput) dilakukan intensif maksimal sampai tahun kedua, karena dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan tanaman tumpangsari. Kemudian dilakukan secara tidak teratur, namun setidaknya dilakukan dua kali dalam setahun, seperti pada saat mencari rumput atau hijauan pakan ternak (hpt), saat mencari kayu bakar atau ketika mengambil hasil tanaman kebun/keras jika dikelola secara agroforestry. Pemupukan dilakukan pada saat awal penanaman, dan selanjutnya

91 67 pemupukan dilakukan intensif bersamaan dengan memupuk tanaman tumpangsari/ pertanian, tetapi hanya maksimal sampai tahun kedua. Berdasarkan data pada Lampiran 3, pelaksanaan penyulaman pada KIBARHUT Tipe 1 dan Tipe 2 terbilang rendah yaitu hanya dilakukan oleh 40% petani contoh. Sebagian besar petani contoh tidak melakukan penyulaman, karena menggunakan jarak tanam rapat di awal tanam sehingga ketika ada tanaman mati, maka jumlah tanaman per hektar yang disarankan INPAK tetap terpenuhi. Pada KIBARHUT Tipe 3, penyulaman dilakukan oleh hampir seluruh (93,3%) petani contoh. Penyulaman adalah kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan Perum Perhutani (Tipe 3 Sukaraja) dan KTI bk/aviland (Tipe 3 Krucil) bersama petani. Perum Perhutani, KTI bk, dan Aviland selaku pemilik lahan mensyaratkan pengguna lahan (penggarap) mematuhi dan melaksanakan kegiatan penyulaman guna keberhasilan tanaman. Secara teknis, pemeliharaan tegakan berupa penjarangan disarankan oleh INPAK dilakukan pada umur tegakan 3 4 tahun. Namun, penjarangan umumnya tidak dilakukan karena keberhasilan tanaman yang rendah, dan banyaknya tanaman gagal atau mati. Tanaman yang mati tersebut oleh petani dan INPAK dianggap sebagai tanaman yang terkena penjarangan. Jika pun terdapat kegiatan penjarangan atau tebangan awal, maka kegiatan dilakukan karena pohon terserang penyakit atau karena perilaku oportunis dari petani selaku pihak hulu. Berbeda dengan saran INPAK, maka petani melakukan penjarangan terhadap pohon dengan diameter (ukuran) yang mempunyai nilai komersial Pemangkasan (prunning) dilakukan tidak semata-mata untuk memperoleh batang yang lurus, tetapi juga bertujuan memperoleh kayu bakar dan daun muda untuk pakan ternak. Aktivitas ini dilakukan dengan tidak mengganggu pertumbuhan pohon, karena tingginya pemahaman petani terhadap nilai ekonomis pohon yang ditanamnya. Hasil ini sejalan temuan Romansah (2007) di Sumedang, dan Lestari (2008) di Wonosari, Batang. Gangguan terhadap pertumbuhan pohon FGS yang banyak ditemukan di lokasi adalah adanya berbagai hama dan penyakit yaitu penggerek (Xystrocera festiva), jamur, ulat daun/batang, dan jamur karat kuru (Gambar 9). Kegiatan penanggulangan oleh petani adalah dengan secepatnya melakukan penebangan terhadap pohon terpapar sehingga masih ada bagian batang yang dapat dijual.

92 68 Gambar 9 Pohon Sengon terkena jamur karat kuru (dikenal petani sebagai Gondok) dan pohon terkena Ulat batang (dokumentasi peneliti) Pengaturan hasil Petani contoh di lokasi penelitian secara sederhana telah menerapkan prinsip kelestarian hasil, yaitu setiap dilakukan penebangan diikuti dengan penanaman bibit tanaman berkayu 43. Penanaman atau permudaan kembali dilakukan dengan harapan pada saatnya membutuhkan uang, maka tersedia pohon dengan ukuran siap ditebang. Petani menggunakan sistem tebang pilih permudaan buatan dengan penjarangan keras 44. Tindakan tersebut dianggap penjarangan keras, karena ada upaya mengurangi jumlah pohon guna memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon tinggal, dan memberikan hasil panen berupa produksi kayu yang dapat dimanfaatkan petani. Tebang pilih disesuaikan kebutuhan petani yang bersifat tidak menentu (unpredictable needs), dan dilakukan terhadap pohon sudah layak tebang 45. Berdasarkan beberapa dokumen tertulis milik INPAK dan informasi lisan petugas lapangan, diperoleh informasi bahwa jumlah tanaman pada saat pohon berumur 4 tahun sekitar 50% dari jumlah tanaman awal (jarak tanam sekitar 6 m²). Untuk jarak tanam lainnya adalah menyesuaikan sehingga jumlah pohon yang dapat 43 Dalam prinsip pengelolaan hutan lestari maka setiap penebangan yang dilakukan selalu diikuti dengan kegiatan penanaman atau rehabilitasi pada lahan bekas tebangan tersebut (Simon, 2007). 44 Sistem tebang pilih yang dilakukan petani disetarakan penjarangan keras karena secara ekonomis dan teknis memproduksi kayu sebagai hasil utamanya, serta mendorong terjadinya pertumbuhan riap diameter pohon yang lebih besar dari penjarangan normal. Penjarangan keras merupakan solusi mencegah terjadinya pencurian kayu. Penjarangan keras berbeda dengan penjarangan lemah (low thinning) atau yang secara teknis dilaksanakan selama ini (konvensional) yaitu tebangan terhadap pohon cacat atau tertekan, sehingga dari segi dinamika sistem mempunyai pengaruh relatif kecil untuk merangsang pertumbuhan riap. Penjarangan lemah tidak bertujuan menghasilkan kayu, jika pun ada produksi kayu maka dianggap sebagai hasil sampingan. Hasanu Simon, 1993, hal Pohon dianggap petani telah layak tebang dan memiliki nilai finansial jika telah mencapai diameter minimal 10 cm.

93 69 dipanen pada akhir daur berkisar pohon/ha. Selanjutnya, panenan pertama menebang sekitar 40% dari jumlah pohon tersisa dan 60% sisanya ditebang pada saat panen akhir. Pola panen tersebut tidak mutlak dilaksanakan karena ada beberapa penyimpangan, yaitu (i) jumlah pohon tersisa relatif sedikit, (ii) petani memilih untuk menebang pada umur tertentu baik lebih awal atau menunda karena alasan finansial, (iii) pohon terkena penyakit sehingga dipanen lebih awal untuk menghindari kerugian, atau (iv) belum adanya pasar yang jelas maka penebangan sengaja ditunda, seperti tanaman Balsa pada Tipe 3 Krucil. Proporsi dan distribusi pola panen KIBARHUT di lokasi contoh disajikan pada Lampiran 4. Penebangan dan sekaligus sebagai panen awal mulai dilakukan petani pada tahun ke-5 atau saat tanaman berumur 4 tahun. Terdapat sebagian kecil petani di Bawang (5,6% atau 5 petani contoh) telah mulai memanen pada saat tanaman berumur 2 tahun atau tahun ke-3 pelaksanaan KIBARHUT dan memanfaatkan sebagian besar kayunya sebagai kayu bakar. Pemanenan secara umum dilakukan pada saat tanaman berumur 5 tahun, sebagaimana juga diungkapkan oleh Aunuddin (2007), Romansah (2007), Susiati (2007), dan Wijiadi (2007). Hasil penelitian PT. KTI menunjukkan bahwa Sengon pada umur 5 tahun maka diameternya mencapai sekitar 22 cm dan dapat menghasilkan kayu bundar (KB) sekitar 0,28 m³ (KAMkti, 2008). Prediksi sama diungkapkan oleh para pelaku usaha penebangan (blandong dan/atau tim tebang) yang menyatakan, bahwa dari setiap 3,5 pohon Sengon berumur sekitar 5 tahun menghasilkan KB sekitar 1 m³. Hasil penelitian PT. KTI dan taksiran blandong tersebut disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan realisasi penanaman dan sisa pohon yang ada, maka struktur tegakan di lokasi contoh memperlihatkan distribusi diameter dan jumlah pohon membentuk kurva J terbalik (Gambar 10). Artinya, tegakan tersebut menggambarkan kondisi hutan yang lestari 46 sebagaimana diungkapkan Daniel et al. (1987). 46 Kelestarian hutan mempunyai berbagai definisi yang satu sama lain dapat diperdebatkan. Secara umum definisi kelestarian hutan adalah suatu pengelolaan hutan untuk memasok hasil hutan yang teratur dan berkesinambungan sesuai dengan kapasitas maksimal suatu kawasan hutan. Artinya terdapat keseimbangan antara pertumbuhan dan panenan. Hasanu Simon, 2007, hal

94 Jumlah Pohon Sukaraja Bawang Krucil >30 Gambar 10. Distribusi pohon KIBARHUT berdasarkan kelas diameter di lokasi contoh Struktur tegakan sebagaimana Gambar 10 menggambarkan pengelolaan hutan lestari, tetapi mayoritas (79,9%) 47 adalah pohon dengan diameter (dbh) belum layak tebang. Tegakan cenderung didominasi tanaman muda juga diungkapkan Mahmud (2004) dimana 24% tanaman Sengon yang dikembangkan secara kemitraan dengan sistem kredit usaha hutan rakyat (KUHR) di Blitar termasuk kelas diameter >10cm, sedangkan mayoritas (76%) mempunyai diameter kurang dari 10cm. Kondisi tersebut terjadi seiring meningkatnya permintaan kayu (khususnya Sengon) dalam lingkup lokal (desa, kecamatan, dalam kabupaten), lingkup antar kabupaten, dan antar provinsi, dikarenakan keberadaan industri perkayuan (IPHHK) berbagai jenis dan skala usaha yang terus meningkat di seluruh daerah di Pulau Jawa, sebagaimana juga diungkapkan Hardjanto (2003) dan Romansah (2007). Pada tahun 2008, jumlah IPHHK di ketiga kabupaten yang menjadi lokasi penelitian adalah sebagai berikut: (i) di Kab. Tasikmalaya tercatat 241 unit industri penggergajian, dan 7 unit diantaranya berada di Kec. Sukaraja; (ii) di Kab. Batang terdapat 68 unit IPHHK terdiri atas 2 unit industri veneer, 2 unit industri laminating board untuk ekspor, dan 64 industri penggergajian. Industri penggergajian kayu yang beroperasi di Kec. Bawang sejumlah 12 unit; (iii) di Kab. Probolinggo terdapat 10 unit industri penggergajian, dan 4 unit diantaranya ada di Kec. Krucil. Industri tersebut umumnya menggunakan bahan baku KB dengan ukuran diameter batang lebih besar dari 10cm. Daftar industri perkayuan di kecamatan contoh disajikan pada Lampiran Struktur tegakan KIBARHUT di lokasi contoh terdiri atas 79,9% pohon berdiameter (dbh) 0 10cm, 16,7% pohon berdiameter 11 20cm, dan 3,5% pohon dengan diameter 21cm.

95 71 Adanya permintaan pasar tersebut, mendorong petani menawarkan pohonnya yang sudah dapat diserap pasar, yaitu pada kisaran diameter 10cm atau lebih besar. Dengan demikian 16,7% pohon dengan diameter berkisar cm mempunyai pasar potensial di luar KIBARHUT, yang harus diantisipasi INPAK (pelaku KIBARHUT). Antisipasi diperlukan karena selain mengancam kelestarian hutan, juga dapat menganggu keberlanjutan pasokan kayu dalam rangka KIBARHUT. Informan kunci pelaku usaha perkayuan di kecamatan contoh mengungkapkan telah terjadi perubahan trend permintaan pasar kayu, karena INPAK juga sudah bersedia menampung kayu non-super (diameter < 20cm). Kayu gelondongan tersebut diolah terlebih dahulu di penggergajian satelit/afiliasinya menjadi kayu gergajian kasar (rough sawn timber/rst), kemudian dipasok ke INPAK dan dipergunakan sebagai bahan baku proses produksinya. Antisipasi lain dalam bentuk norma aturan (ketentuan non kontrak) adalah meluncurkan program penunjang sebagai upaya menjaga agar kayu KIBARHUT tidak dijual atau dipasarkan ke industri perkayuan lain. Program tersebut berupa kredit tunda tebang (PT. KTI dan PT. SGS), pembelian kayu rakyat melalui sawmill/penggergajian yang terafiliasi di dekat lokasi tanaman (PT. BKL dan PT. KTI) atau melalui pemasok khusus/log supplier yang dibentuk INPAK (PT. SGS dan PT. BKL). 2. Aturan yang dipergunakan Ketentuan yang ditempuh dalam proses terwujudnya kemitraan membangun hutan oleh PT. SGS di Bawang dimulai dengan usulan permohonan kelompok tani (Keltan) dengan penjelasan jumlah bibit, luas lahan dan nama petani. Usulan ditindaklanjuti Dinas dan rencana pembagian bibit oleh PT. SGS ke Keltan. Selanjutnya, dibuatkan berita acara serah terima bibit dan surat pengikatan/perjanjian kemitraan yang dibuat sederhana dan cenderung informal. Konsep kontrak disusun oleh perusahaan, disampaikan ke Keltan untuk diinformasikan ke anggotanya. Kedua dokumen tersebut ditandatangani PT. SGS dan Ketua Keltan serta diketahui oleh Kepala Desa. Ketua Keltan menandatangani perjanjian selaku wakil petani, dan selanjutnya, mengajak petani bekerjasama membangun hutan. Namun demikian, tidak ditemukan adanya perjanjian tertulis apa pun antara Keltan dan petani, sehingga

96 72 peserta yang terlibat atau mendapat bantuan bibit tidak tercatat dan tidak diadministrasikan dengan baik. Prosedur hampir mirip dilakukan PT. BKL, dengan mencari kemungkinan KIBARHUT di lahan milik atau lahan negara yang dapat ditanami Sengon. Petugas BKL meminta bantuan ellite desa mencarikan lahan dan merekrutnya sebagai koordinator pelaksana Tipe 2 di Sukaraja. Pola yang dikembangkan adalah melakukan penyuluhan 48 sebagai upaya mencari kesepakatan awal. Jika petani sudah paham dan setuju/sepakat maka kemudian berangkat untuk mengikuti pertemuan sosialisasi dengan BKL. Pada kemitraan Tipe 3 di Sukaraja, PT. BKL menawarkan kerjasama penanaman jenis FGS ke ADM/Kepala KPH Tasikmalaya 49. Tawaran tersebut dianggap strategis karena penanaman FGS dan adanya jaminan pasar merupakan antisipasi tepat, pada saat kondisi tanaman Perum Perhutani Unit III, khususnya di KPH Tsm, didominasi kelompok umur (KU) muda. Dikarenakan nilai kerjasama yang lebih dari Rp 1 milyar, maka diperlukan legalitas Kantor Unit sehingga nota kesepahaman dilakukan Unit dan PT. BKL. Selanjutnya, kegiatan dilaksanakan dalam kerangka program PHBM. Kesepakatan tersebut ditindaklanjuti sosialisasi kegiatan bertempat di Kantor Kecamatan, kantor BKL di Rajapolah, atau di Balai Desa. Sosialisasi dihadiri Perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa, tokoh agama dan masyarakat. Isi sosialisasi secara garis besar adalah tentang (i) bagi hasil kayu yang diterima masing-masing pelaku; (ii) bagi hasil dihitung dari hasil pendapatan bersih penjualan kayu; (iii) harga sesuai harga di pasar saat panen; (iv) kayu ditebang jika lilitan > 80 cm dan dijual ke BKL; (v) jika secara teknis kayu sudah siap tebang, tapi petani belum mau menebang maka penebangan ditunda; (vi) penebangan dilakukan oleh petani atau melalui paguyuban penggergajian di sekitar lokasi tanaman yang menjadi mitra BKL. Kesepakatan selanjutnya dikukuhkan dengan perjanjian kerjasama yang ditandatangani (i) PT. BKL dan koordinator wilayah (korwil)/ketua kelompok (Tipe 2) serta diketahui Kepala Desa; (ii) KPH Tasikmalaya, BKL dan Ketua KTH (Tipe 3). Korwil atau Ketua KTH menandatangani kesepakatan dan bertindak selaku wakil petani berdasarkan surat kuasa yang ditandatangani petani anggota kelompoknya. 48 Lebih condong ke upaya mendiskusikan tawaran kemitraan yang datang dari PT. BKL dan mencari kesepakatan dengan peserta potensial KIBARHUT. 49 Informasi ini disampaikan oleh Nana Rukana, ADM/KKPH Tasikmalaya pada saat itu.

97 73 PT. KTI melakukan KIBARHUT karena keinginan ikut menjaga kelestarian hutan dan menjaga kesinambungan pasokan bahan baku yang sesuai spesifikasi (kualitas dan ukuran kayu) untuk proses produksinya. Pendekatan PT. KTI dilakukan terhadap semua lini termasuk Perum Perhutani, PTPN XIII dan perkebunan swasta, perorangan, sekolah, perguruan tinggi, LSM, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah. Kemitraan Tipe 2 di Krucil dilakukan melalui pendekatan ke tokoh agama yang mempunyai kharisma, menjadi panutan dan dipercaya rakyatnya yaitu Bapak Abdul Qodir Al-Hamid (Habib Qodir). Kerjasama diawali penanaman di lahan milik Habib Qodir. Melihat adanya keberhasilan, prospek menguntungkan kedua pihak, dan adanya saling kepercayaan, maka pada tahun-tahun berikutnya kegiatan diperluas ke lahan milik warga. Proses selanjutnya adalah membangun kesepakatan dengan peserta potensial Tipe 2 Krucil. Peserta yang bersedia dan sepakat terlibat dengan situasi aksi yang telah disosialisasikan, selanjutnya melakukan perjanjian tertulis dengan KP (selaku mitra antara). KP kemudian melakukan perjanjian kerjasama dengan KTI dan sekaligus mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT. Pada kemitraan Tipe 3 di Krucil, tawaran kerjasama dilontarkan PT. KTI untuk mengelola lahan kebun kopi Blok Ayer Dingin yang terlantar. Tawaran diajukan ke PUSKOPAD Brawijaya Malang sebagai pemilik izin HGU dan Aviland selaku penyewa sebagian lahan HGU. Kesepakatan ditindaklanjuti perjanjian kerjasama KIBARHUT dengan Aviland; sedangkan pada lahan HGU yang tidak dikelola Aviland, maka PT. KTI menyewa lahan tersebut dari PUSKOPAD melalui PT. KTI Bermi Krucil (KTI bk). Selanjutnya, Aviland dan KTI bk bersama-sama PT. KTI melakukan sosialisasi ke calon penggarap, dan membuat kesepakatan serta perjanjian tertulis dengan petani. Petani mendapatkan hak menggarap lahan dan izin membudidayakan tanaman tumpangsari, asalkan bersedia menanam dan memelihara pohon KIBARHUT. Berdasarkan uraian tersebut, kesepakatan kerjasama KIBARHUT tercapai melalui prosedur perolehan kerjasama (contracting process), yang dituangkan dalam suatu kontrak. Proses diawali tawaran kerjasama oleh INPAK ke calon peserta potensial (perangkat desa, tokoh masyarakat, instansi pemerintah, perusahaan swasta/bums, atau perusahaan negara/bumn). Tawaran kerjasama merupakan

98 74 tahapan awal yang terdiri atas pengenalan diri INPAK dan peserta, sosialisasi kemitraan, keuntungan yang diperoleh para pelaku yang terlibat, dan kemungkinan tindak lanjut pelaksanaannya sehingga tercapai kesepahaman awal untuk melangkah ke tahapan berikutnya. Peserta (calon pelaku) menindaklanjuti dengan evaluasi atau penilaian internal. Khusus di Perum Perhutani, ADM/Kepala KPH melaporkan dan meminta persetujuan ke Unit atau Direksi 50. Tahapan berikutnya adalah proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan kerjasama, penentuan input share 51 dan bagi hasil. Proses ini merupakan keputusan antara INPAK dan mitra antara (Perusahaan Mitra/Koordinator/Keltan). Selanjutnya, informasi adanya kemitraan membangun hutan dengan INPAK disampaikan ke petani melalui sosialisasi yang melibatkan INPAK, mitra antara, dan petani. Sosialisasi merupakan media untuk mendapatkan kesediaan, penerimaan dan kesepakatan terhadap butir-butir pokok kemitraan. Keberhasilan sosialisasi menggapai kesepakatan karena ada kesamaan preferensi yang menjadi pemahaman umum, pemberian harga pasar yang berlaku dan kepastian pasar kayu KIBARHUT, sehingga menambah daya tarik petani untuk sepakat bermitra. Kesepakatan pra-kontraktual dan persetujuan seluruh pelaku yang terlibat selanjutnya dikukuhkan dalam surat perjanjian sebagai aturan/ketentuan pelaksanaan (rules-in-use) dalam kontrak KIBARHUT. Hasil kajian kontrak KIBARHUT disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil telaah sebagaimana pada Lampiran 6, bentuk perjanjian pada hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 adalah dibuat tertulis namun sederhana dan sangat ringkas. Bentuk kontrak tersebut oleh Salim (2002) dikategorikan sebagai kontrak informal yaitu suatu perjanjian yang tidak memiliki kepastian hukum (hak dan kewajiban) bagi para pelakunya sehingga hanya memiliki fungsi ekonomis. Pada hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 dan 3, bentuk perjanjian dibuat tertulis dengan cara tertentu sehingga dapat menjadi bahan bukti autentik di pengadilan dan karenanya berfungsi ekonomis yuridis. Namun, hanya Tipe 3 di Sukaraja yang merupakan kontrak tertulis dengan akta notaris atau dibuat dihadapan notaris, sedangkan tipe lainnya merupakan perjanjian standar dan dibuat dengan tidak melibatkan notaris. 50 Persetujuan hanya sebatas kesepahaman melakukan kerjasama, dan kerjasama detail didelegasikan ke ADM/KKPH (SK No. 400/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman umum Pengembangan Usaha Perhutani) 51 Proporsi input (faktor produksi) yang menjadi kewajiban mitra dalam pelaksanaan KIBARHUT.

99 75 Kontrak (surat perjanjian kerjasama) didefinisikan sebagai suatu kesepakatan untuk melakukan tindakan yang bernilai ekonomi oleh pelaku, dengan adanya tindakan balasan atau pembayaran dari pelaku yang lain. Kontrak KIBARHUT yang ditelaah sejumlah 32 buah terdiri atas (i) 10 kontrak formal dan 5 kontrak informal antara Hilir dan mitra antara, (ii) 3 kontrak formal dan 1 kontrak informal antara Hilir dan Hulu; (iii) 4 kontrak formal dan 4 kontrak informal antara mitra antara dan Hulu; (iv) 5 surat kuasa 52 antara mitra antara dan Hulu 53. Telaah terhadap 32 surat perjanjian kerjasama ditemukan adanya 56 aturan yang ditetapkan dalam hubungan kontraktual KIBARHUT. Kelimapuluhenam aturan tersebut, dalam kerangka hubungan principal-agents, dipetakan menjadi 12 kelompok indikasi aturan sebagaimana pada Tabel 12. Kelimapuluhenam hal yang diatur tersebut, tidak seluruhnya terdapat dalam satu surat perjanjian. Hubungan antara pemasok dengan Hilir pada KIBARHUT Tipe 1 hanya menetapkan 9 15 aturan, sedangkan pada Tipe 2 dan Tipe 3 memuat aturan. Kompleksnya hubungan kerjasama ditandai dengan fungsi dan kewenangan Hilir terhadap hasil panen ternyata berhubungan dengan jumlah aturan berkaitan dengan sanksi, upaya mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis. Kewenangan Hilir terhadap hasil panen memuat kewajiban Hulu menjual atau memprioritaskan penjualan kayu KIBARHUT ke Hilir, termasuk menentukan waktu pelaksanaan pemanenan yang disesuaikan kebutuhan industri. Adanya hak Hilir terhadap kayu KIBARHUT merupakan ketentuan formal yang dinyatakan bervariasi, antara 2 aturan yang diatur (di Bawang) dan 3 4 aturan yang diatur (di Sukaraja dan di Krucil). Ketentuan tentang kewenangan tersebut terindikasi dalam klausul aturan, bahwa Hilir wajib menampung dan/atau memasarkan hasil produksi kayu. Kewenangan ini didukung adanya 8 aturan yang mengatur kontribusi (share) Hilir, terhadap faktor produksi yang dipergunakan Hulu untuk melaksanakan KIBARHUT. 52 Surat kuasa dibawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan dan dibuatkan secara tertulis oleh para pihak, bukan akta autentik karena tidak menggunakan akta notaris (Salim, 2002) 53 Pada Tipe 1, tidak ada perjanjian tertulis antara mitra antara (Keltan desa) dengan petani.

100 Tabel 12 Indikasi aturan tertuang dalam surat perjanjian kerjasama No Indikasi Aturan Jumlah Analisis Butir % 1 Hilir mempunyai share terhadap faktor produksi 2 Hulu mempunyai share terhadap faktor produksi 3 Upaya mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis 4 Fungsi/Kewenangan Hilir atas kayu (hasil panen) 5 Fungsi/Kewenangan Hulu atas kayu (hasil panen) 6 Kewenangan menentukan bentuk pengelolaan 7 Penggunaan faktor produksi untuk komoditas lain ,29 10,71 Proses produksi menggunakan assets milik Hulu dan Hilir. Indikasi adanya kepemilikan asset yang dipergunakan, menyebabkan Hulu dan Hilir merasa memiliki hak terhadap (sebagian) komoditas yang dihasilkan. Karenanya imbalan bagi hasil dihitung berdasarkan proporsi partisipasi para pelaku. Namun, tindakan balasan/imbalan tersebut belum menghitung kemungkinan eksternalitas positif (kepastian pasokan kayu) yang muncul dari pelaksanaan KIBARHUT 6 10,71 Upaya mencermati perilaku Hulu, dan menjamin keberhasilan pembangunan hutan dan hasil panennya akan dipasok ke perusahaan (kinerja Hulu mampu memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan Hilir). Pengakuan dan pencermatan terhadap hulu merupakan upaya yang menimbulkan biaya (agency cost). Mobilisasi petugas termasuk biaya transportasi untuk pengamanan, monev, dan pengawasan diperlukan untuk menjamin tidak adanya perilaku oportunis. Selain mengoptimalkan kinerja petugas lapangan, Hilir juga mengupayakan melalui aturan formal (harga pasar, sanksi pengurangan proporsi bagi hasil), memanfaatkan saluran pemasaran sampai ke lokasi, dan menjalin kerjasama/mediasi dengan elite (tokoh panutan) warga. 6 10,71 Kewenangan hilir terhadap hasil panen didukung adanya kontribusi terhadap faktor produksi, dan juga karena hilir menguasai/memiliki pasar untuk komoditas yang diproduksi dari pelaksanaan KIBARHUT. Pemanenan disepakati jika pohon mencapai diameter > 30cm atau keliling > 80cm dengan umur pohon minimal 4 tahun. Pada kondisi pasar kayu di Pulau Jawa saat ini, aturan perlu dilengkapi klausul kemungkinan penebangan pohon dibawah diameter minimal atau belum mencapai umur minimal, tapi telah mempunyai nilai/ukuran komersial. Penetapan saat panen menjadi krusial karena Hilir menghadapi kemungkinan hulu memasok kayu ke pihak lain dan mempertimbangkan opportunity cost penggunaan asset dengan daur semakin panjang. 1 1,79 Hanya ada 1 hal yang diatur tapi, secara subyektif, Hulu memiliki kekuatan tawar untuk mengancam keberlangsungan pasokan kayu ke Hilir. Karenanya Hilir, secara obyektif, menjamin harga beli kayu sesuai harga pasar dan, secara subyektif, mengoptimalkan petugas lapangan, memanfaatkan saluran pemasaran yang bekerja efektif, dan menjalin kerjasama/mediasi dengan elite atau tokoh panutan rakyat. 1 1,79 Kewenangan menentukan teknis/sistem silvikultur dimiliki Hilir (Tipe 2 Sukaraja, Tipe 3 Sukaraja, dan Tipe 3 Krucil). Aturan ini upaya subyektif Hilir menjamin kinerja Hulu dalam melaksanakan proses produksi guna mewujudkan komoditas yang diperjanjikan. Di lapangan, aturan dikomunikasikan petugas teknis principal dan koordinator (mitra antara) ke petani mitra (agents), khususnya di Tipe 2 dan Tipe ,79 Upaya menjaga harmoni dan tanggungjawab sosial terhadap petani. Merupakan imbalan/tindakan balasan atas kesediaan petani penggarap melakukan pengolahan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman pokok, ditambah imbalan proporsi bagi hasil panen. Aturan ini sekaligus pengalihan tanggungjawab untuk melaksanakan ketiga kegiatan tersebut yaitu dari mitra antara ke petani. 76

101 77 Tabel 12 ( Lanjutan) No Indikasi Aturan Jumlah Analisis Butir % 8 Transfer of Right 3 5,36 Kontrak secara formal mengatur hak kepemilikan/pemanfaatan komoditas output yang besarannya ditentukan sesuai input produksi yang dikeluarkan para pelaku. Kontrak formal juga mempunyai pengaturan ahli waris. Pada bukan lahan milik terdapat pengalihan hak dari pemegang kuasa ke petani penggarap (authorised users) berupa hak garap yang bersifat sementara. Selanjutnya pengalihan hak yang diperjanjikan adalah adanya kesepakatan untuk memanfaatkan komoditas hasil panen KIBARHUT untuk kebutuhan bahan baku INPAK. 9 Partisipasi mitra dalam pelaksanaan kegiatan 10 Sanksi atas terjadinya wanprestasi dan kepatuhan terhadap regulasi 11 Antisipasi terhadap kemungkinan perselisihan perdata 12 Get what you pay for (siapa menanam akan memanen) Jumlah ,71 Positif, karena menumbuhkan jalinan relasional dalam suatu kontrak formal. Partisipasi mitra mencakup upaya pengorganisasian petani, pengamanan tegakan dan pelaksanaan pemanenan. Aturan yang mengatur partisipasi dapat diarahkan menjadi upaya menanamkan esensi, atau budaya siapa menanam akan memanen sehingga tidak ada yang menjadi free-rider. Pemanenan tanpa diikuti penanaman memberikan eksternalitas negatif, dan kelestarian usaha para pelaku (petani, INPAK dan mitra antara) menjadi terganggu. 9 16,07 Ada yang dinyatakan secara spesifik dan ada yang tidak spesifik. Termasuk kepatuhan tersebut adalah aturan yang mengatur tentang pembayaran pungutan (PSDH, SAKB) sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Tipe 2 dan Tipe 3) dan sanksi sesuai ketentuan hukum jika terlibat pidana hutan (Tipe 3). Wanprestasi adalah suatu cidera janji atau segala bentuk kelalaian, yaitu tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban, terlambat melaksanakan kewajiban, serta pelaksanaan kewajiban tidak sesuai dengan yang diperjanjikan (Salim, 2002). Aturan ini mengatur kemungkinan pihak yang dirugikan menyelesaikan melalui jalur hukum. Namun, tidak adanya ukuran yang spesifik menyebabkan kemungkinan interpretasi yang rancu atau multitafsir. Aturan yang spesifik memberikan jaminan perlindungan/pengamanan tegakan hanya terdapat pada Tipe 3 Sukaraja. Aturan tersebut merupakan suatu permintaan/pernyataan jaminan kinerja. Perlu suatu aturan yang sangat spesifik dan tidak menimbulkan multitafsir serta kerancuan interpretasi jika terjadi sengketa. 3 5,36 Kontrak KIBARHUT dibuat tidak terlampau kompleks. Terdapat perjanjian formal bersifat court enforceable contract, tetapi norma sosial juga mempunyai peran penting dalam pelaksanaannya. Perlu dibuka peluang melibatkan lembaga mediasi guna (i) menghindari kemungkinan perilaku oportunis dan (ii) memfasilitasi keberlangsungan pasokan KB dari Hulu ke Hilir. Fasilitasi diperlukan sebagai konsekuensi kepercayaan dan kesukarelaan antara Hulu dengan Hilir sehingga keberlangsungan pelaksanaan KIBARHUT dapat terwujud. 6 10,71 Aturan mencakup pengaturan bagi hasil sebagai imbalan atas investasi yang dikeluarkan selama proses produksi untuk menghasilkan komoditas (KB). Aturan ini dapat diperluas untuk keperluan menjamin bahwa hulu bertindak untuk memuaskan Hilir (memasok KB) dikaitkan dengan aturan yang berkaitan dengan sanksi. 77

102 78 Tabel 12 menunjukkan bahwa upaya Hilir memastikan dan menjamin bahwa Hulu memasok hasil panen, didukung 6 aturan yang mengindikasikan upaya Hilir mengatasi asymmetric information dan mencegah perilaku oportunis/sub optimal dari Hulu. Ditemukan adanya aturan yang mengatur sanksi di Tipe 2 Sukaraja (5 aturan), Tipe 2 Krucil (3 aturan), Tipe 3 Sukaraja (6 aturan), dan Tipe 3 Krucil (5 aturan), sedangkan di Tipe 1 Bawang tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi. Tidak adanya sanksi dapat menjadikan kelembagaan tidak bermakna karena tidak adanya resiko hukuman untuk berperilaku oportunis atau ingkar janji. Terjadinya perilaku oportunis menjadikan pasokan kayu KIBARHUT ke INPAK (Hilir) adalah tidak terjamin. Pada sisi lain, terdapat juga ketentuan atau norma tidak tertulis yang dijalankan, dan menjadi ketentuan yang melekat bagi keterlibatan peserta dalam pelaksanaan KIBARHUT di lahan milik. Legalitas pemilikan lahan merupakan syarat mutlak 58 yang harus dipenuhi karena pengelolaan hutan memerlukan proses produksi yang cukup lama hingga siap panen 59. Legalitas lahan milik cukup beragam, yaitu berupa: (i) sertifikat hak milik; (ii) Letter C/Petok D; (iii) Girik; (iv) Surat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT). Upaya pembuktiannya sudah menjadi kebiasaan yang ada di lokasi dan diakui peserta, sehingga pengaturan rinci tidak dituliskan secara formal dalam kontrak. Peserta diminta membuktikan kepemilikan lahan secara hukum (legal aspect) dan sosial. Intinya adalah bahwa lahan kegiatan kemitraan (i) bukan merupakan lahan jarahan; (ii) bukan tanah/lahan yang bermasalah, (iii) ada pernyataan atau persetujuan saudara-saudaranya/ahli waris bahwa lahan tersebut akan ditanami pohon berkayu secara bermitra dengan INPAK (Hilir). Poin ketiga harus dipenuhi jika lahan yang diajukan ternyata bukti kepemilikan lahannya atas nama orang lain. Pembuktian tersebut harus diketahui oleh aparat desa, sehingga memudahkan petani selaku mitra pada waktu panen nantinya. Legalitas kepemilikan lahan milik tersebut menjadikan pelaksanaan di lahan milik mempunyai jaminan kepastian hak pemanfaatan dan 58 Legalitas lahan merupakan kondisi prasyarat (enabling conditions) berlangsungnya pengelolaan hutan secara lestari. Indikator ini terdapat dalam skema sertifikasi sukarela (misal Standar LEI , Standard LEI ) atau skema mandatory verification Dephut (SK Menhut No. 4795/Kpts-II/2002 untuk hutan alam dan SK Menhut No. 177/Kpts-II/2003 untuk hutan tanaman). 59 Masripatin dan Priyono (2006) memperkirakan sekitar 6 10 tahun, tetapi petani mulai melakukan tebangan ketika pohon berumur sekitar 4 tahun atau telah mencapai diameter minimal 10 cm.

103 79 penggunaan lahan bagi petani dibandingkan pelaksanaan di bukan lahan milik (lahan/hutan negara). Pada sisi lain, penjarangan atau tebangan pada pohon muda berdiamater kecil juga menjadi kondisi umum dan kebiasaan petani. Situasi umum tersebut mendorong INPAK (Hilir) menyesuaikan dengan ikut menampung kayu kecil melalui sawmill lokal/afiliasi (di Sukaraja dan Krucil), berupaya membiasakan petani untuk memanen pohon pada umur daurnya melalui fasilitas kredit tunda tebang (di Bawang dan Krucil), dan pemberlakuan harga pasar berdasarkan kelas diameter, termasuk harga premium pada pemasaran kayu KIBARHUT (di Sukaraja dan di Krucil). Pelaksanaan KIBARHUT juga dengan adanya keterlibatan ellite/tokoh warga yang dipercaya dan dihormati warganya. Keterlibatan dan peran tokoh warga tersebut sebagai penghubung (informasi dan komunikasi) para pelaku, sekaligus membina dan memotivasi petani peserta. 3. Pelaku (actors) kelembagaan KIBARHUT Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa adalah (i) INPAK; (ii) Petani; (iii) Perusahaan Mitra/Koordinator/Keltan. Jika model transaksi pasokan bahan baku 60 dari Gibbons (2005) dijadikan acuan mendefinisikan principal agents maka INPAK disebut Hilir (downstream parties) atau principal murni dan petani sebagai Hulu (upstream parties) atau agents murni. Perusahaan Mitra/Koordinator/Keltan adalah mitra antara yang bertindak sebagai agents pada hubungan tingkat pertama, tetapi menjadi principal pada hubungan tingkat kedua. a. INPAK INPAK selaku principal kelembagaan KIBARHUT di lokasi contoh, adalah: (i) PT. BKL (group) di Kab. Tasikmalaya; (ii) PT. SGS (group) di Kab. Batang; dan (iii) PT. KTI di Kab. Probolinggo. KIBARHUT dimulai sejak tahun 1999 di PT. KTI sebagai langkah uji coba, dan mulai aktif diimplementasikan pada tahun 2001/02. Dua tahun kemudian atau pada tahun 2003/04, PT. SGS dan PT. BKL juga melakukan kegiatan KIBARHUT. Deskripsi ketiga INPAK tersebut adalah sebagaimana hasil kajian berikut ini. 60 Menggambarkan hubungan kemitraan atas transaksi penawaran suatu komoditas (transaksi supply) dengan mempertimbangkan adanya Hilir, Hulu dan kepemilikan assets (Gibbons (2005).

104 80 1) PT. Bineatama Kayone Lestari PT. Bineatama Kayone Lestari (BKL) 61 memproduksi moulding dan komponen bahan bangunan, khususnya daun pintu dan bare core 62. Produk bare core dipasarkan ke Taiwan, Korea, Cina, Singapura dan Malaysia dan dijual lokal ke beberapa pabrik block board di Jawa Barat. PT. BKL juga adalah IUIPHHK yang memproduksi veneer yang dipakai sendiri guna memproduksi block board. Bahan baku menggunakan kayu kelompok jenis Meranti dan Rimba Campuran, serta Sengon. Pasokan kayu Meranti dan Rimba Campuran berasal dari Kalimantan, sedangkan kayu Sengon dari hutan rakyat di sekitar pabrik terutama dari Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sumedang, dan Kuningan. Mengantisipasi pasokan kayu Sengon yang semakin terbatas, PT. BKL melaksanakan KIBARHUT sejak tahun Visi yang disosialisasikan adalah Hutan Lestari, Masyarakat Mandiri, Investasi Kembali. KIBARHUT dilakukan di: (i) hutan negara dikelola Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, yaitu di KPH Tasikmalaya, KPH Garut dan KPH Sumedang; (ii) tanah kas desa (TKD) atau pengangonan bekerjasama dengan pemerintah desa setempat; (iii) lahan HGU kebun, kerjasama dimulai tahun 2003/04 tetapi penanaman direalisasikan bertahap pada tahun 2003/ /06 dan dilanjutkan pada tahun 2008/09 dan seterusnya; (iv) lahan milik TNI di Ciamis, dan (v) lahan milik/perorangan. Realisasi KIBARHUT terfokus di 4 kabupaten di Jawa Barat, yaitu Tasikmalaya, Garut, Sumedang, dan Ciamis. Selama kurun waktu 4 musim tanam, PT. BKL mengklaim telah melakukan kemitraan membangun hutan seluas 3.381,46 ha dengan rincian sebagaimana pada Tabel 13. Pada tahun tanam 2007/08, hampir seluruh bibit yang dipasok pihak penyedia tidak memenuhi standard bibit berkualitas layak tanam 63 sehingga tanaman banyak yang tidak tumbuh dan mati. Kegiatan dianggap gagal dan dilakukan penanaman 61 Beroperasi berdasarkan izin usaha dari Kepala Kanwil Depperindag Prov. Jawa Barat No. 003/ Kanwil /IHPK/b/Iz.00.03/IV/99 tanggal 27 April Bare core adalah bentuk produk setengah jadi yang dipergunakan sebagan bahan baku produk kayu bersifat jadi seperti pintu atau meja. Bare core merupakan bahan lembaran tengah untuk block-board dimana face-backnya menggunakan veneer. 63 Bibit berkualitas memenuhi syarat layak tanam di lapangan jika: (i) berumur 2,5 3 bulan, ii) tinggi bibit mencapai cm, (iii) diameter batang minimal 3 mm pada leher akar, (iv) daun utuh dan batang tidak rusak, (v) tanah dan perakaran yang bagus dalam kantong plastik yang tidak boleh pecah (SNI : Mutu Bibit; SNI : Mutu benih Jeungjing; SNI : Istilah dan definisi yang berkaitan dengan perbenihan dan pembibitan tanaman kehutanan).

105 81 ulang pada tahun 2008/09. Pada tahun tersebut, bekerjasama dengan BPDAS Citarum Citanduy juga dilakukan penanaman seluas 500 ha di Tasikmalaya, Garut dan Sumedang. Tabel 13 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat oleh PT. BKL Tahun Tanam Mitra Lokasi Luas (ha) 2003/2004 Keltan dan petani penggarap kebun Tasikmalaya 139,90 Kodim Ciamis dan Petani Ciamis 250,00 KTH dan Petani Ciamis 60, /2005 KPH Tasikmalaya dan KTH/LMDH Tasikmalaya 862, /2006 KPH Garut dan KTH/LMDH Garut 720,00 KPH Sumedang dan KTH/LMDH Sumedang 16, /2007 Keltan dan Petani Tasikmalaya 796,58 Keltan dan Petani Ciamis 468,62 Keltan dan Petani Garut 17,00 Jumlah 3.381,46 Sejak tahun 2007, untuk mensinergikan kegiatan KIBARHUT dan pasokan bahan baku kayu (supply) maka PT. BKL membentuk PT. Bina Inti Lestari (BIL). PT. BIL merupakan anak usaha yang konsentrasi kegiatannya pada pelaksanaan KIBARHUT dan memasok kebutuhan bahan baku untuk PT. BKL. BIL mengkoordinir bantuan gergaji mesin (band saw) ke kelompok usaha penggergajian (KUP) di sekitar lokasi KIBARHUT. KUP, selanjutnya, wajib memasok kayu gergajian sesuai ukuran 64 yang ditentukan PT. BKL. Berdirinya KUP di sekitar lokasi penanaman, memberikan jaminan ke petani mengenai pembeli dan pasar kayu KIBARHUT. Mulai tahun 2008, PT. BIL meminta KUP juga terlibat berpartisipasi membangun hutan. Setiap KUP diharapkan memiliki ha lahan ditanami Sengon, yang dilakukan pada lahan milik sendiri, sewa lahan, atau bekerjasama dengan petani di sekitar wilayah KUP. 2) PT. Sumber Graha Sejahtera PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) adalah kelompok industri perkayuan berlokasi di Tangerang berdiri tahun Berdasarkan izin industri 65, perusahaan memproduksi plywood (kayu lapis), Laminated Veneer Lumber (LVL), floorbase dan produk kayu lainnya dengan kapasitas m³ per tahun. Produk PT. SGS 64 Kalangan usaha perkayuan di Tasikmalaya mengenal produk tersebut sebagai pallet yaitu balok kayu ukuran panjang 130cm, lebar bervariasi antara 8 16 cm dan tebal sekitar 5 ± 0,2 cm. 65 SK Menteri Kehutanan No. 4106/MENHUT-VI/BPPHH/2005 tanggal 10 Otkober 2005

106 82 mayoritas dipasarkan di dalam negeri, dan sebagian kecil diekspor ke Malaysia, Korea, dan Timur Tengah. Di Batang (Jawa Tengah) terdapat 2 industri termasuk PT. SGS Group yaitu PT. Kharisma Megah Dharma (KMD) 66 dan PT. Makmur Alam Lestari (MAL) 67. Keduanya merupakan INPAK penghasil veneer dengan kapasitas produksi masing-masing m³ per tahun. Veneer hasil produksi PT. KMD dan PT. MAL, selanjutnya dikirim ke pabrik PT. SGS di Balaraja, Tangerang untuk diolah menjadi produk jadi/akhir. PT. SGS Group merintis program pembangunan hutan rakyat kemitraan sejak tahun 2003, dengan harapan dapat (i) menyediakan peluang usaha bidang perkayuan dengan pasar yang jelas, dan berdasarkan harga berlaku di pasar; (ii) memberikan nilai ekonomi yang menguntungkan petani dan kelompok tani; (iii) mengoptimalkan pemanfaatan lahan milik petani yang kurang produktif; dan (iv) menjamin ketersediaan pasokan bahan baku untuk PT. SGS group. Lokasi lahan kegiatan KIBARHUT diupayakan berjarak maksimal 40 km dengan lokasi pabrik. KIBARHUT telah dilaksanakan di 5 kabupaten pada 3 provinsi di Pulau Jawa. Tabel 14 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 4 musim tanam (2003/04 s.d. 2006/07), PT. SGS mengklaim telah melakukan kemitraan penanaman Sengon sejumlah batang. Bibit ditanam pada lahan seluas 6.980,74 ha tersebar di 5 kabupaten yaitu Pandeglang dan Lebak (Prov. Banten), Bogor (Prov. Jawa Barat), Banyumas dan Batang (Prov. Jawa Tengah). Pada tahun tanam 2007/08, kemitraan penanaman Sengon sekitar 3 juta batang Sengon yang tersebar di 5 (lima) provinsi, yaitu di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Pada saat pengumpulan data lapangan, realisasi penanaman belum seluruhnya masuk ke Divisi BioForest. Khusus di Batang, penanaman terealisasi sejumlah bibit pada lahan seluas 462,50 ha yang tersebar di Bawang ( bibit pada lahan seluas 150 ha), Tersono, dan Grinsing. 66 Izin Usaha Industri (IUI) No. SK.340/MENHUT-II/2007 tanggal 8 Oktober Izin Usaha Industri (IUI) No. SK.341/MENHUT-II/2007 tanggal 8 Oktober 2007

107 83 Tabel 14 Data kemitraan membangun hutan bersama rakyat pola PT. SGS Tahun Tanam Lokasi (Kab. / Prov.) Jumlah Bibit (btg) Luas lahan (ha) 2003/2004 Lebak, Banten ,75 Pandeglang, Banten ,25 Batang, Jawa Tengah , /2005 Lebak, Banten ,99 Pandeglang, Banten ,46 Banyumas, Jawa Tengah ,00 Batang, Jawa Tengah , /2006 Lebak, Banten ,71 Pandeglang, Banten ,77 Bogor, Jawa Barat ,00 Banyumas, Jawa Tengah ,25 Batang, Jawa Tengah , /2007 Lebak, Banten ,43 Pandeglang, Banten ,00 Batang, Jawa Tengah ,00 Jumlah ,74 PT. SGS Group melakukan kemitraan membangun hutan dalam 3 (tiga) bentuk yaitu bantuan (hibah) bibit, kerjasama (bagi hasil) dan sistem sewa tanah. Hibah bibit dengan membagikan bibit Sengon gratis ke petani. Bibit Sengon didatangkan sampai lokasi penanaman, kemudian petani melakukan penanaman di lahan yang dikuasainya dengan biaya sendiri. Petani memiliki seluruh kayu hasil panen (100%). Kerjasama dengan bagi hasil dilakukan dengan petani/mitra yang mempunyai lahan cukup luas dalam satu areal. Petani berkewajiban mengolah tanah, menanam, dan memelihara tegakan. PT SGS Group menyediakan bibit Sengon, pupuk, biaya pengolahan tanah dan pemeliharaan. Kayu hasil produksi dijual ke pabrik dan dengan porsi bagi hasil yang disepakati bersama (prosentase bagi hasil sesuai input produksi masing-masing pihak, tetapi praktek di lapangan adalah 50% untuk petani dan 50% untuk PT. SGS). Sewa tanah dilakukan dengan cara membayar uang sewa ke pemilik lahan sesuai harga standard sewa tanah yang berlaku. Penyediaan bibit, pupuk, pelaksanaan pekerjaan penanaman dan pemeliharaan dilakukan PT. SGS dengan melibatkan petani pemilik lahan sebagai buruh kerja. Hasil panen seluruhnya menjadi milik PT. SGS. Kegiatan membangun hutan rakyat kemitraan semenjak tahun 2007 telah dikelola khusus oleh Divisi Plantation (Bio Forest). Di Kab Batang, Jawa Tengah, kegiatan dilaksanakan petugas lapangan (Soeranto DN cs) yang tidak memiliki akses langsung atau kewenangan dalam hal pembelian kayu. Soeranto cs, selaku petugas kemitraan, mengakui tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan Mandira atau PT. Nusantara Makmur Sentosa (NMS) dan PT. Setya Alba (SA). Keduanya

108 84 adalah perusahaan di dalam kelompok PT. SGS yang bertanggungjawab mengatur ketersediaan bahan baku kayu untuk pabrik kelompok PT. SGS di Grinsing, Batang. Kendala tersebut, memunculkan ide petugas lapangan melakukan berbagai kegiatan pendukung KIBARHUT. Program pendukung yang ditawarkan adalah : a). Kredit tunda tebang yaitu fasilitas pinjaman uang ke petani yang membutuhkan dana mendesak (biaya sekolah, hajatan, hari raya, dsb), namun pohonnya masih belum mencapai umur tebang (5 tahun). Sosialisasi dilakukan sejak awal tahun 2008, dilanjutkan pendataan petani di Kec. Bawang yang berminat bergabung, dan inventarisasi tegakan. Pada kegiatan tersebut, INPAK memberikan subsidi bunga karena bunga kredit dibebankan adalah 0,5% per tahun. Agunan yang diminta dari petani adalah (i) legalitas kepemilikan lahan milik (copy sertifikat, letter C atau SPPT); (ii) surat pernyataan yang menyatakan lahan tidak dalam sengketa, (iii) tanaman sengon yang dijadikan agunan adalah tanaman yang dalam waktu 6 bulan 2 tahun kemudian sudah siap ditebang. Namun sampai dengan penelitian dilakukan belum ada realisasi kegiatan dimaksud. b). Pembentukan koperasi untuk kegiatan pemasaran kayu. Koperasi selanjutnya bertindak sebagai supplier kayu untuk INPAK. Koperasi Graha Mandiri Sentausa (GMS) sudah terbentuk melalui pertemuan petani KIBARHUT di Desa Surjo, Kec. Bawang pada bulan Juli ) PT. Kutai Timber Indonesia PT. Kutai Timber Indonesia (KTI) memulai operasional produksi plywood dan lumber di Probolinggo pada tahun Kapasitas produksi plywood sekitar m³/tahun, dan wood working sebesar m³/tahun berdasarkan SK Menhut No. 63/Menhut-VI/BPPHH/2006 tanggal 16 Januari Pada bulan Maret 2008, PT. KTI mulai memproduksi particleboard dengan kapasitas produksi m³/tahun. PT. KTI melakukan kegiatan penanaman jenis cepat tumbuh (fast growing species/fgs), yaitu Sengon Laut (Paraserianthes falcataria), Balsa (Ochroma sp.), Jabon (Anthocephalus cadamba), Mindi (Melia azedarach), Sungkai (Peronema canescens), Waru (Hibiscus sp.), Gmelina (Gmelina arborea), dan jenis lainnya. Kegiatan dilakukan sejak tahun 1998 di kebun percobaan Sepuh Gembol, Kec Wonomerto, Probolinggo. Mulai tahun 2001 kegiatan diperluas menjadi program KIBARHUT, dan dikelola oleh Divisi Penanaman dan Lingkungan (Divisi P & L). KIBARHUT dilakukan dengan maksud (i) mengurangi ketergantungan kebutuhan terhadap kayu dari hutan alam, dan dalam jangka panjang seluruh pasokan kebutuhan bahan baku menggunakan kayu dari hutan tanaman; dan (ii) memanfaatkan lahan rakyat yang

109 85 tidak/kurang produktif di Jawa Timur. Sampai dengan tahun tanam 2006/2007, PT. KTI telah melakukan kemitraan membangun hutan seluas 4.174,92 ha tersebar di lokasi (11 kabupaten se-provinsi Jawa Timur) sebagaimana Tabel 15. Realisasi KIBARHUT tahun 2007/2008 di Krucil seluas 595,56 ha tersebar di 901 lokasi dengan keterlibatan sejumlah 461 pemilik lahan. Tabel 15 Data penanaman kemitraan PT. KTI Tahun Lokasi Kategori Mitra Luas (ha) Sites Jenis tanaman 1997/98 Probolinggo Swakelola 2,50 1 Campur 2001/02 Lumajang Masyarakat 1,00 7 Sengon Probolinggo swakelola, institusi, masyarakat Pasuruan Masyarakat 7,56 11 Sengon Malang Masyarakat, institusi 16,61 5 Sengon Surabaya Institusi 24,98 4 Sengon 2002/03 Pasuruan Masyarakat 68, Sengon Bondowoso Masyarakat 39, Balsa Probolinggo Masyarakat,swakelola 24,84 43 Sengon, Balsa Malang Masyarakat 37,20 66 Sengon 2003/04 Probolinggo Masyarakat, institusi 335, Sengon, Balsa Pasuruan Masyarakat 11,00 38 Sengon 314,66 32 Sengon, Gmelina, Jabon, Balsa, Waru Jember Institusi (PTPN XII di Jember & Jatim) 588,15 50 Sengon, Balsa, Waru, Gmelina, campur Banyuwangi Masyarakat 1,42 11 Sengon 2004/05 Blitar Masyarakat 181, Sengon Jember Institusi 200,00 4 Sengon Pasuruan Masyarakat 4,28 9 Sengon Probolinggo Masyarakat, Institusi 142, Sengon,Gmelina, campur Tulungagung Institusi 10,00 1 Sengon 2005/06 Probolinggo Masyarakat, Institusi 377, Sengon, Balsa Malang Institusi 20,66 29 Sengon, Balsa Jember Masyarakat 81, Sengon, Balsa Pasuruan Masyarakat 15,79 55 Sengon Tulungagung Institusi 261,80 4 Sengon 2006/07 Situbondo Masyarakat 4,94 7 Sengon, Gmelina Probolinggo Masyarakat, Institusi 1.266, Sengon, Jabon, Balsa,Waru Blitar Masyarakat 1,48 4 Sengon Malang Masyarakat 12,25 22 Sengon Bondowoso Masyarakat 31,54 68 Sengon Lumajang Masyarakat 20,98 66 Sengon Jember Masyarakat 68, Sengon, Balsa, Jabon J u m l a h 4.174, KIBARHUT dilakukan dengan menggunakan berbagai macam jenis tanaman berkayu, dan dua jenis mayoritas adalah Sengon (47,84%) dan Balsa (44,65%). Pada awal kegiatan, pembangunan hutan KIBARHUT didominasi jenis Sengon sedangkan jenis lainnya hanya ditanam pada lahan swakelola. Jenis Balsa mulai ditanam dalam skala besar pada lahan yang dikuasai mitra institusi (Aviland, KTI bk dan PTPN XII)

110 86 pada tahun tanam 2003/2004, dan penanaman secara luas di lahan milik petani sejak tahun tanam 2005/2006. KIBARHUT dilakukan bekerjasama dengan mitra yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Mitra terlibat adalah perorangan atau kelompok, instansi pemerintah, perguruan tinggi, BUMN, swasta, institusi keagamaan (pesantren dan gereja), dan LSM/Yayasan. Kemitraan pada periode awal (tahun tanam 2001/ /04) dilakukan dengan mengalokasikan sumberdaya sebagai faktor produksi KIBARHUT yang lebih besar. Untuk tahun tanam 2005/06 dan selanjutnya, PT. KTI hanya membantu faktor produksi bibit tanaman, namun tetap memberikan bimbingan teknis, saran, pertimbangan, dan jaminan pasar terhadap hasil panen. b. Petani Petani sebagai Hulu atau agents murni pada kelembagaan KIBARHUT dibedakan menjadi (i) petani pemilik lahan yaitu petani yang melakukan kerjasama dan bekerja pada lahan miliknya atau yang dikuasainya, dan (ii) petani non-pemilik lahan yaitu petani terlibat dalam arena aksi sebagai penggarap (authorized user) pada lahan yang dimiliki atau dikuasai mitra antara atau pihak lain. Petani pelaku KIBARHUT dapat dideskripsikan sebagai berikut (i) di Tipe 1 Bawang adalah warga desa terdaftar sebagai anggota Keltan desa atau tidak terdaftar (2 tingkat) atau perorangan (1 tingkat); (ii) di Tipe 2 Sukaraja adalah anggota Keltan yang dibentuk koordinator wilayah atau Korwil (2 tingkat); (iii) di Tipe 2 Krucil adalah anggota kelompoknya koordinator pengelola atau KP (2 tingkat) atau warga perorangan (1 tingkat); (iv) di Tipe 3 Sukaraja adalah anggota KTH/LMDH; (v) di Tipe 3 Krucil adalah penggarap lahan HGU. Mayoritas (65,56%) umur petani contoh berada pada usia diatas 41 tahun. Temuan ini memperkuat fenomena yang umum disinyalir bahwa telah terjadi perubahan/pergeseran budaya, sehingga tenaga kerja (petani) umumnya di dominasi penduduk yang sudah tua atau berusia lanjut. Jika pun terdapat petani berusia muda maka jumlahnya sangat sedikit, dan biasanya karena sangat terpaksa atau karena tidak ada alternatif pekerjaan lainnya (Ali, 2007; diskusi dengan Soeranto DN, 2008). Kaum muda desa umumnya lebih tertarik menjadi tukang ojek atau memburuh ke kota. Kondisi ini sesungguhnya menjadi peluang pengembangan tanaman Sengon karena perawatan atau pemeliharaannya tidak perlu rutin. Setelah penanaman, tanaman

111 87 Sengon cenderung ditinggalkan dan hanya ditengok ketika dirasakan waktunya untuk ditebang, sehingga sebagaimana juga diungkapkan oleh Arnold dan Dewess (1998) bahwa pengelolaan pohon sesungguhnya membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja dibandingkan dengan pengelolaan tanaman keras/perkebunan. Proses memperoleh dan memanfaatkan informasi dan pengetahuan ditentukan juga oleh tingkat pendidikan petani. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan (Yuwono, 2006). Sebagian besar agents (78,9%) adalah berpendidikan non- SD & SD, sehingga untuk kelancaran dan menjembatani hubungan agents dan principal pada kelembagaan KIBARHUT adalah dengan adanya keterlibatan dan peranan mitra antara. Peran penting mitra antara ditunjukkan dengan keterlibatan sebagian besar agents (95,6%) adalah pada hubungan kontraktual 2 tingkat. c. Mitra antara Mitra antara berperan dalam mengorganisasikan petani peserta dan mengadministrasikan KIBARHUT. Pada KIBARHUT Tipe 1 Bawang, mitra antara adalah kelompok tani (Keltan) yang dibentuk oleh desa, dan perangkat desa bertindak sebagai pengurus Keltan. Keterlibatan mitra antara pada arena aksi di Bawang dapat diabaikan karena tidak ada tindakan manajemen apa pun guna mendukung pelaksanaan KIBARHUT, termasuk tidak adanya input dikeluarkan dan tidak ada output menjadi bagian pelaku. Pada Tipe 2 dan Tipe 3, kegiatan KIBARHUT dikoordinasikan mitra antara sehingga terjalin hubungan kelembagaan 2 tingkat. Pada hubungan tingkat pertama, principal mendelegasikan kewenangan memproduksi dan menentukan pasokan kayu sesuai spesifikasi proses produksinya; sedangkan mitra antara menjalankan sebagian kewenangan principal. Pada hubungan tingkat kedua, mitra antara bertindak sebagai pemilik sebagian kewenangan menentukan pasokan kayu, mengorganisasikan petani, dan menjamin pasar komoditas yang dikuasakan principal; sedangkan agents bertindak sebagai pelaku yang melaksanakan hak dan kewajiban untuk memproduksi dan memasok kayu KIBARHUT. Mitra antara pada Tipe 2 adalah tokoh warga/pemuka agama dan bukan merupakan suatu lembaga formal, serta tidak ada pemilikan asset atau sumberdaya yang melekat ke pelakunya. Sumberdaya yang menjadi input share adalah

112 88 kemampuan manajemen atau pengorganisasian pelaksanaan KIBARHUT, khususnya pemanfaatan pengetahuan dan informasi yang dimiliki mitra antara tentang INPAK dan petani. Mitra antara di Sukaraja adalah koordinator wilayah (Korwil) yang merupakan koordinator kelompok tani di desanya. Di Krucil, koordinator pengelola (KP) selaku mitra antara bertugas mengorganisasikan petani, mengadministrasikan kegiatan, melakukan monev, dan pengamanan tanaman. Pada Tipe 3, mitra antara merupakan institusi formal yang mempunyai organisasi lengkap. Mitra antara menguasai asset yang menjadi input produksi KIBARHUT, yaitu hutan negara (KPH Tasikmalaya) atau lahan HGU kebun (Aviland/KTI bk). 4. Deskripsi (situasi aksi) kelembagaan KIBARHUT a. Hubungan Kontraktual KIBARHUT Tipe 1 Hubungan kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 terdapat pada arena aksi yang dikembangkan PT. SGS. Untuk memahami karakteristik hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 maka kajian dilakukan terhadap 5 surat perjanjian kerjasama di Bawang. Hasil telaah unsur kontrak terdapat pada Lampiran 6, dan deskripsi ringkas disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 1 Subyek Hukum Kerjasama Pekerjaan Pembayaran/ Balasan Kontrak PT. SGS Petani (informal) PT. SGS Keltan (informal) hubungan kontraktual 1 tingkat Hulu melakukan penanaman, pemeliharaan & pemanenan 6 tahun (sesuai daur tanaman) hanya 1 kontrak dan tidak ada keberlanjutan di lokasi atau dengan petani lain Hibah Bibit (hubungan 2 tingkat) Hulu melaksanakan penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil tidak ada perjanjian tertulis antara Keltan dengan petani Hilir membantu bibit, biaya tanam, dan pemeliharaan Bagi hasil tanaman/kayu hasil panen (50% Hilir : 50% Hulu) Hulu wajib menjual hasil panen (produksi kayu) ke Hilir dengan harga pasar saat panen Hilir membantu bibit Hulu menjual hasil panen (produksi kayu) ke Hilir (melalui ketua keltan/petugas lapangan) dengan harga pasar saat panen 100% kayu hasil KIBARHUT milik Hulu Tabel 16 menunjukkan bahwa pekerjaan yang dikerjasamakan secara formal adalah pembangunan hutan, pemeliharaan dan pemungutan hasil hutan, sedangkan secara tidak tertulis mencakup pemasaran kayu KIBARHUT. Hubungan kontraktual tersebut menimbulkan harapan adanya tindakan balasan, yaitu penjualan kayu

113 89 KIBARHUT oleh Hulu ke Hilir. Namun, aturan formal dalam kontrak tidak mengatur sanksi, jika salah satu pelaku atau semua pelaku tidak melaksanakan kewajibannya. KIBARHUT Tipe 1 Bawang mempunyai 2 bentuk yaitu kemitraan 1 tingkat dan 2 tingkat. Kemitraan 1 tingkat (bentuk kerjasama bagi hasil) sebagaimana terdapat dan hanya satu-satunya di Desa Surjo, Bawang. Perjanjian kerjasama antara principal dan petani (Muhidin). Bagi hasil antara INPAK dengan agents sebesar masing-masing 50%. Principal menyediakan bibit Sengon, biaya penanaman dan pemeliharaan, dengan seluruh kayu hasil panen wajib dipasok dan dijual ke principal. Kemitraan tersebut tidak dilakukan di tempat lain atau dengan petani lain sehingga tidak terwujud keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 Bawang pada hubungan 1 tingkat. Kemitraan dua tingkat (bentuk hibah bibit) terlaksana berdasarkan perjanjian kerjasama antara principal dengan Keltan (mitra antara) sebagaimana Gambar 11. Keltan, selanjutnya, diharapkan mengorganisasikan petani (agents) untuk melaksanakan KIBARHUT, tetapi tidak ada perjanjian apa pun antara Keltan dan agents. Diakui aparat desa bahwa Keltan dibentuk hanya sebagai pemenuhan persyaratan untuk melakukan kemitraan dengan principal. Pada kemitraan dua tingkat, kayu hasil panen dikuasai seluruhnya oleh agents, artinya tidak ada bagi hasil panen yang menjadi bagian principal atau mitra antara. Tindakan balasan (manfaat) utama yang diterima principal adalah menampung dan membeli kayu KIBARHUT, yang dijual (menjadi aksi yang dipilih) agents ke principal, baik secara perorangan atau melalui koordinasi Keltan. Pihak Hilir/Principal PT. SGS Bio Forest Kelompok Tani (mitra antara) Petani (pihak Hulu) Petugas Lapangan Soeranto Cs Pendataan petani/peserta Distribusi Bantuan/bibit Menerima Bibit (dan bantuan lain) Hutan KIBARHUT Tipe 1 Penanaman dan Pemeliharaan Gambar 11. Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 1 Bawang

114 90 Guna menjamin keberhasilan kerjasama, terdapat petugas lapangan principal yang bertugas memantau perkembangan tanaman dan produksi kayunya. Namun efektifitasnya terkendala beberapa hal: (i) jumlah tenaga lapangan terbatas (3 orang) dibandingkan jumlah petani dan sebaran lahan yang dikerjasamakan; (ii) petugas tidak secara rutin dan berkala berkomunikasi dengan pelaku lainnya, sehingga agents dan mitra antara kesulitan menghubungi petugas lapangan; (iii) administrasi lahan dan petani yang tidak valid. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan hirarkis yang cukup kuat antara Keltan dan agents, serta tidak adanya petugas operasional yang secara khusus dan rutin (day-to-day) mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT. Keltan dan petugas lapangan principal tidak melaksanakan secara rutin dan intensif kegiatan pembinaan, penyuluhan dan monev, serta upaya menjaga keamanan tegakan. Keltan membagikan bantuan bibit tidak berdasarkan daftar petani yang telah didata sebagai pelaku KIBARHUT. Bantuan justru dibagi merata ke seluruh warga untuk menghindari gejolak sosial dan kecemburuan warga desa. Artinya, Keltan tidak mengorganisasikan agents dan tidak mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT. Keltan dan petugas lapangan juga tidak mempunyai dasar klaim yang kuat untuk memastikan bahwa tegakan di lahan petani berasal dari bantuan principal. Keltan juga bertindak oportunis dengan meminta penggantian biaya transport dan menurunkan bibit berkisar Rp per bibit, sehingga agents merasa membeli bibit dan berdalih tidak harus menjual kayu hasil panen ke principal. Kondisi tersebut menunjukkan tidak adanya kontribusi dan manfaat mitra antara (Keltan) pada pelaksanaan KIBARHUT. Pada situasi aksi tersebut, kontrak non-formal di Tipe 1 tidak menjamin adanya kepastian hak dan kewajiban bagi para pelakunya. Tidak adanya aturan sanksi dan resiko hukuman menyebabkan godaaan mengingkari kontrak cukup tinggi. Situasi aksi tersebut ditunjukkan dengan hanya 23,3% agents berkomitmen memasok kayu ke principal. Komitmen penegakan kontrak yang rendah tersebut menunjukkan sistem kemungkinan tidak lestari dalam jangka panjang 68. Dengan demikian, kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 (KIBARHUT dengan kontrak non-formal) tidak dapat terwujud secara berkelanjutan karena tidak adanya umpan balik atau tindakan balasan yang diharapkan diterima oleh principal dari agents. 68 Penggunaan sumberdaya yang lestari dapat terjadi jika terdapat kelembagaan yang mengatur umpan balik dan arus informasi yang setara antara semua mitra dan kondisi sumberdayanya (Berkes, 1996).

115 91 b. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 terdapat di Sukaraja (Tipe 2 Sukaraja) dan di Krucil (Tipe 2 Krucil). Hasil pendalaman 14 surat perjanjian kerjasama hubungan kelembagaan KIBARHUT Tipe 2 diringkas pada Tabel 17, sedangkan telaah unsur-unsur kontrak selengkapnya disajikan pada Lampiran 6. Tabel 17 Deskripsi Hubungan Kontraktual KIBARHUT Tipe 2 Kec Subyek Hukum Kerjasama Pekerjaan Kerjasama penanaman Albasia pada lahan milik/ garapan yang dikuasai Hulu. Hilir membantu PT. BKL bibit, pupuk dan obat serta ongkos sampai lokasi, Petani/ dan membayar honor tidak tetap ke Korwil Keltan Hulu melakukan pengolahan dan persiapan (formal) lahan, penanaman, pemeliharaan/perawatan, dan Suka penjagaan keamanan tanaman (jaminan). raja Jaminan pasar dan harga yang wajar dari Hilir Kru cil Keltan Petani (surat kuasa) PT. KTI Petani/ Koordinator pengelola (formal) KP Petani (formal) Ketua Keltan selaku wakil petani dan koordinator wilayah (Korwil) pelaksanaan KIBARHUT Korwil memasok pupuk dengan biaya Hilir Korwil mengorganisasikan petani dan mengadministrasikan pelaksanaan Memanfaatkan lahan yang dikuasai agents guna pembangunan hutan untuk menyediakan dan memasok kayu untuk proses produksi Hilir Hilir membantu kebutuhan bibit plus sulaman Hulu melaksanakan penanaman, pemeliharaan, penebangan, dan pengangkutan ke pabrik Hilir/ sawmill afiliasi di sekitar lokasi tanaman Jaminan pasar dari Hilir dan jaminan keamanan tanaman oleh Mitra antara Abdul Qodir selaku KP dan wakil petani pada kerjasama penanaman dan penjualan kayu KP menyiapkan bibit untuk petani dengan biaya Hilir dan mengangkutnya ke lokasi KP mengorganisasikan petani dan mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT Pembayaran/ Balasan Kontrak Hilir mendapat jaminan keamanan tanaman sampai panen Hilir menampung/ memasarkan produksi kayu (gelondong) Hilir memperoleh bagi hasil 25% (dirinci: 20% Hilir dan 5% dijanjikan untuk Korwil) Hulu mendapatkan 100% (bagi hasil 10% untuk KP dan 90% untuk agents) produksi kayu (hasil panen tanaman) tetapi wajib menjualnya ke Hilir sesuai standard. Harga sesuai kelompok diameter dan berdasar harga pasar saat panen. Tabel 17 menunjukkan bahwa kontrak KIBARHUT Tipe 2 mengatur jaminan keamanan tanaman dari gangguan pencurian sampai saat panen yang diatur secara tertulis formal dan berdasarkan norma sosial. KIBARHUT Tipe 2 memberikan jaminan pasar dan harga kayu yang wajar berdasarkan harga pasar saat panen, sehingga memunculkan tindakan balasan yaitu (i) bagi hasil panen antara principal dengan agents, dan mitra antara dengan agents; (ii) agents menjual hasil panen atau produksi kayunya ke principal.

116 92 Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 2 di Sukaraja merupakan kemitraan dua tingkat. Perjanjian kerjasama dilakukan antara BKL/BIL dan Ketua Keltan. Kegiatan operasional (day-to-day) dilakukan BIL dan bersama-sama Keltan (mitra antara) mengorganisasikan agents untuk melaksanakan KIBARHUT Tipe 2 sebagaimana ilustrasi Gambar 12. Kontrak dilaksanakan oleh 10 Kelompok di Desa Leuwibudah dan 11 Kelompok di Desa Linggaraja. Selanjutnya, ditunjuk 2 (dua) Ketua Keltan menjadi Korwil (Mudin di Leuwibudah dan Emud di Linggaraja). Korwil direkrut dan dipekerjakan secara tidak tetap oleh BIL sehingga secara fungsional bertugas sebagai mandor tanaman (petugas lapangan) bagi principal. Petani (Agents/Hulu) Mitra antara/ Keltan Principal/Hilir PT. BKL (PT. BIL) Partisipasi (inventarisasi) Menerima bibit-pupuk Inventarisasi petani & lahan, distribusi bibit dan pupuk, administrasi kegiatan Penanaman dan Pemeliharaan Keltan/Korwil Mandor Tanaman 11 Kel Ds Linggaraja & 10 Kel Ds Lewibudah Hutan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Gambar 12. Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja Korwil melaksanakan sebagian upaya yang seharusnya dilakukan principal, yaitu melakukan pengawasan dan pengamanan tanaman sekaligus mencermati perilaku Agents. Fungsi dan kewenangan tersebut didelegasikan principal ke Korwil (mitra antara) dalam perannya sebagai mandor tanaman. Mitra antara bersedia terlibat aktif dalam menyampaikan informasi, memotivasi agents dan melaksanakan sebagian upaya principal menjaga keamanan tanaman. Karenanya, principal tidak terlampau intensif melakukan monitoring dan evaluasi secara langsung (garis putus pada Gambar 12). Kesediaan Korwil untuk terlibat sebagai mitra antara dalam pelaksanaan KIBARHUT karena mendapat manfaat berupa honor sebagai pengawas penanaman dan pengamanan tanaman (mandor tanaman). Mitra antara dijanjikan memperoleh

117 93 bagi hasil kayu pada saat panen. Bagi hasil tersebut berbentuk kesepakatan tidak tertulis antara principal dan mitra antara. Principal memperoleh imbalan berupa hasil panen (share contract) sebesar 25% (yaitu 20% adalah bagian principal dan 5% dijanjikan untuk mitra antara). Principal menampung dan/atau memasarkan seluruh produksi kayu KIBARHUT, dan menginformasikan bahwa kayu KIBARHUT dapat langsung dijual ke sawmill afiliasi principal atau kelompok usaha penggergajian (KUP) yang terdapat di sekitar lokasi tanaman. Keterkaitan antara aksi principal mitra antara dan kemungkinan memperoleh imbalan di akhir daur, menimbulkan adanya jaminan keamanan tanaman sampai panen. Adanya janji mendapat 5% bagi hasil panen dan honor sebagai mandor tanaman membuat Korwil melakukan berbagai upaya untuk menjaga keamanan tanaman KIBARHUT. Upaya mitra antara adalah melibatkan sebanyak mungkin kerabat dan tetangga di dekat rumah ketua Keltan atau Korwil, sebagai strategi untuk mengatasi ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) dan meminimalkan kemungkinan perilaku oportunis agents 69. Upaya tersebut sekaligus juga memudahkan pengawasan tegakan, menjamin keamanan tegakan, dan menjamin peluang lebih besar mendapatkan bagi hasil di akhir daur/waktu panen. Upaya lainnya adalah mengkomunikasikan secara intensif nilai sosial dan agama sebagai pemahaman umum ke semua peserta bahwa pohon Sengon adalah titipan principal, sehingga haram hukumnya kalau dicuri atau diambil walau hanya 1 batang pun. Berbagai upaya yang dilakukan mitra antara dan principal tersebut berhasil meyakinkan sebagian besar (60%) agents terhadap adanya kewajiban bagi hasil panen dan menjual kayunya ke principal. Hubungan kontraktual Tipe 2 Krucil merupakan KIBARHUT yang dilaksanakan KTI selaku principal di Kecamatan Krucil sejak tahun tanam 2003/04. Mayoritas (89,4%) kegiatan dilakukan dengan bantuan/mediasi tokoh agama setempat (Abdul Qodir Al Hamid) selaku koordinator pengelola (KP), dan sebagian lainnya (10,6%) dengan bantuan KP lain atau secara langsung dengan petani. KP, yang bertindak selaku mitra antara, membuat kesepakatan dan kontrak pemanfaatan lahan milik (atau yang dikuasai) agents untuk membangun hutan. Agents menyetujui adanya 69 Penempatan kerabat pada berbagai lini kegiatan sebagai upaya mengatasi asymmetric information dan meminimalisir kemungkinan perilaku oportunis agents juga diungkapkan Darwis et al., (2006).

118 94 kerjasama penanaman dan penjualan hasil panen dengan principal karena diatur secara tertulis formal dalam kontrak yang dilakukan antara KP dan petani. Mitra antara berperan dalam membina dan mengorganisasikan agents. Mitra antara juga menjadi penghubung para pelaku dan mengadministrasikan pelaksanaan KIBARHUT sebagaimana ilustrasi pada Gambar 13. KP juga menjadi pemasok bibit KIBARHUT Tipe 2 Krucil. KP menyiapkan bibit di persemaian yang dikelolanya, termasuk menyediakan tenaga kerja dan media, sedangkan benih dan polybag dipasok principal. Bibit siap tanam selanjutnya didistribusikan ke agents oleh KP. Terhadap prestasi ini, principal memberi kompensasi ke KP sebesar Rp. 250/bibit. Principal/Pihak Hilir KTI (Divisi P & L) Mitra Antara/Koordinator Pengelola (KP) Petani (Hulu/Agents) 12 Kordes se-kec. Krucil Petugas lapangan/operasional staf KTI/petugas lap Staf KP/Administrasi Inventarisasi petani & lahan, sedia dan distribusi bibit, adm & monev Partisipasi aktif kegiatan inventarisasi, kontrak formal dengan KP, menerima bibit Penanaman dan pemeliharaan Hutan KIBARHUT Tipe 2 Krucil Gambar 13 Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Krucil Principal mempunyai organisasi khusus (Divisi P & L) pelaksanaan KIBARHUT. Divisi P & L memiliki petugas lapangan/operasional yang tinggal di sekitar lokasi tanaman dan bertugas melakukan koordinasi serta bekerjasama dengan petani, institusi, dan pelaku lainnya dalam melaksanakan KIBARHUT. Guna mendukung dan membantu kelancaran pekerjaan petugas principal, KP membentuk koordinator di setiap desa (kordes) dan mempekerjakan tenaga administrasi. Kordes adalah penduduk desa yang pernah menjadi santri di pesantren KP, dan secara teratur dan intensif berkoordinasi dengan petugas lapangan. Tenaga administrasi memperoleh imbalan honor tetap dari KP, sedangkan Kordes memperoleh imbalan honor tidak tetap untuk pelaksanaan pekerjaan khusus dari KP

119 95 atau principal. Kordes dan petugas lapangan dijanjikan (secara lisan) mendapat bagian dari bagi hasil yang diperoleh KP, namun besarannya tidak dinyatakan KP dan tidak diketahui Kordes dan petugas lapangan. KIBARHUT Tipe 2 Krucil mengatur secara formal proporsi bagi hasil kayu KIBARHUT yaitu 90% milik agents dan 10% milik KP sebagai imbalan upaya dan pengorbanan yang dikeluarkan, sedangkan principal tidak memperoleh imbalan bagi hasil kayu. Principal memperoleh manfaat ekonomis yaitu kewenangan menampung seluruh produksi kayu KIBARHUT sehingga memiliki jaminan dan kepastian pasokan kayu untuk proses produksinya. Hubungan bahu membahu (interlocked transaction) yang terjalin antara petani dan KP merupakan jaminan (warranty) keberlangsungan transaksi pasokan bahan baku dan pemasaran kayu KIBARHUT ke principal. Penempatan penduduk desa yang telah dikenal oleh petani sebagai Kordes merupakan strategi monitoring dan evaluasi yang murah, sekaligus efektif sebagai pengawas yang ditempatkan sewajarnya. Upaya lain adalah mengkomunikasikan nilai sosial dan agama sebagai norma yang dipahami umum bahwa tanaman KIBARHUT merupakan titipan dan amanah, sehingga harus dijaga dan haram hukumnya mengambil tanpa seijin yang menitipkan. Pendekatan non-formal tersebut diterima warga desa karena adanya KP sebagai pelaku dan pemuka agama yang menjadi panutan, karismatis dan disegani peserta situasi aksi di Krucil. Alhasil 86,7% agents mempunyai pemahaman bahwa pada waktu panen bersedia menjual produksi kayunya ke Principal. Principal pun melakukan upaya memberikan dan menjaga rasa kepercayaan yang tinggi dari petani, dengan memberikan jaminan pasar secara nyata. Upaya tersebut adalah membentuk KAMkti yang siap memberikan pinjaman atau kredit tunda tebang dan siap menampung kayu KIBARHUT. Principal juga bekerjasama dengan 2 (dua) sawmill terafiliasi untuk melakukan pembelian kayu di Krucil dan sekitarnya. Dengan demikian, pemasaran dan pasokan kayu KIBARHUT di Krucil dapat dilakukan mitra antara dan agents secara langsung ke pabrik principal di Probolinggo atau melalui KAMkti dan sawmill afiliasi tersebut. Upaya tersebut memupuk dan meningkatkan rasa saling percaya antara mitra antara dengan agents, dan mitra antara dengan Principal.

120 96 Pada pelaksanaannya ditemukan adanya variasi di lapangan yaitu terjadinya hubungan kemitraan satu tingkat atau kerjasama secara langsung antara principal dengan agents tanpa melibatkan mitra antara. Pada hubungan satu tingkat tersebut, perbedaan organisasi pelaksanaan kegiatan terdapat pada tiadanya peran dan fungsi mitra antara. Kegiatan operasional KIBARHUT di lapangan dilakukan secara langsung oleh petugas principal ke agents. Fungsi Kordes bersama-sama petugas lapangan principal tetap dilaksanakan, yaitu sebagai tenaga tidak tetap untuk pemantauan dan pengamanan tanaman yang dilaksanakan agents. Tidak adanya keterlibatan mitra antara menyebabkan seluruh hasil panen merupakan milik agents. c. Hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 KIBARHUT Tipe 3 adalah kemitraan membangun hutan bersama rakyat yang dilaksanakan pada tanah negara atau lahan yang dikuasai oleh mitra antara. Pencermatan lapangan dilakukan terhadap hubungan kontraktual KIBARHUT yang dilaksanakan BKL di Sukaraja (Tipe 3 Sukaraja) dan KTI di Krucil (Tipe 2 Krucil). Hasil pendalaman 13 surat perjanjian kerjasamanya disajikan pada Tabel 18, sedangkan telaah unsur-unsur kontrak selengkapnya disajikan pada Lampiran 6. Tabel 18 menunjukkan bahwa kerjasama pekerjaan KIBARHUT Tipe 3 adalah mengoptimalkan pemanfaatan yang dikuasai mitra antara, melalui kegiatan membangun hutan (bekerjasama dengan INPAK dan petani/penggarap) untuk memasok kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk principal. Hubungan kontraktual dilaksanakan dengan mediasi KPH Tasikmalaya (KPH Tsm) pada Tipe 3 Sukaraja, dan Aviland atau KTI bk pada Tipe 3 Krucil.

121 97 Tabel 18 Deskripsi hubungan kontraktual KIBARHUT Tipe 3 Kec Subyek Hukum Kerjasama Pekerjaan Kerjasama budidaya Sengon mencakup semua kegiatan mulai pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran Hilir menyediakan bibit tanaman dan sulaman di lokasi tanam, biaya penanaman, 50% biaya perlindungan/pembinaan SDH/monev dan bimbingan teknis (bintek) Perhutani menyediakan lahan, melakukan KPH Tasik pembinaan/bintek, menanggung biaya PT. BKL Suka perencanaan/persiapan lapangan/penjarangan/ KTH raja persiapan tebangan, 50% biaya perlindungan/ (formal) pembinaan SDH/monev/bintek Petani melaksanakan pengolahan tanah, pembuatan larikan tan, pengadaan/pasang ajir, lubang tan, penanaman, penyulaman, pemeliharaan, menanam/memelihara tanaman palawija Pemasaran kayu sesuai mekanisme di Perhutani Pengamanan dilaksanakan semua pelaku Kru Cil PT. KTI PT Mitra (formal) PT Mitra Petani Mitra (informal) Memanfaatkan areal/lahan negara yang dikuasai mitra antara guna membangun hutan untuk menyediakan dan memasok kayu ke Hilir Hilir membantu biaya untuk pengadaan bibit, biaya tenaga kerja, dan biaya manajemen. Hulu menanam, memelihara, menebang, dan mengangkut ke pabrik/sawmill afiliasi Hulu melaporkan jumlah tanaman dan kondisi tegakan setiap 6 bulan sekali Jaminan pasar oleh Hilir dan jaminan keamanan tanaman oleh mitra antara PT. Aviland & PT. KTI bk (mitra antara) dan penggarap (Hulu) dalam kerjasama penanaman dan penjualan dengan PT. KTI mitra antara mengorganisasikan petani penggarap Petani melaksanakan penanaman, memelihara dan menjaga keamanan tanaman Pembayaran/ Balasan Kontrak Prioritas penjualan kayu ke Hilir. Harga pasar sesuai kelas diameternya Bagi hasil: 30% Hilir dan 70% Hulu (50% Perhutani dan 20% Petani) Prioritas kayu pasti ke Hilir Bagi hasil: 77% Mitra antara dan 23% Hilir Petani berhak menggarap lahan tanpa biaya Harga berdasar kelompok diameter dan sesuai harga pasar saat panen. KIBARHUT Tipe 3 Sukaraja adalah kemitraan 2 tingkat. Kesepakatan dilaksanakan antara BKL dan KPH Tsm, dengan melibatkan KTH. KPH Tsm dan KTH mengorganisasikan petani dan mengadministrasikan pelaksanaannya. Kesepakatan KPH Tsm dan KTH tetap menggunakan kesepakatan yang sudah ada, karena kelembagaan KIBARHUT tidak mengubah esensi pelaksanaan pola pembangunan hutan melalui program PHBM. Pelaksanaan kegiatan di lapangan tetap menggunakan organisasi pembangunan hutan yang sudah berjalan di Perum Perhutani, khususnya KPH Tsm.

122 98 Hubungan kontraktual Tipe 3 di Sukaraja direalisasikan bekerjasama dengan (i) KTH Tarunajaya (Petak 1b luas 9,40 ha), KTH Mekarjaya (Petak 1e luas 8,00 ha), KTH Sukapura (Petak 2a luas 12,50 ha) dan KTH Sirnajaya (Petak 3b luas 10,00 ha) 70. Lokasi hutan terletak di RPH Sukaraja, BKPH Singaparna, KPH Tsm dan secara administratif termasuk Kec. Sukaraja, Kab. Tasikmalaya. Jenis tanaman pokok yang ditanam adalah Sengon. Keberhasilan tanaman tahun ke-5 (pada tahun 2008) mencapai 82,4% (petak 1b), 95,35 (petak 1e), 45,2% (petak 2a), dan 81,1% (petak 3b) atau mencapai rata-rata sebesar 76% 71. Keberhasilan tanaman yang relatif lebih tinggi dibandingkan Tipe 1 dan Tipe 2 didukung ciri dan kondisi mitra antara yang memiliki pengalaman, pengetahuan dan informasi memadai dalam usaha membangun dan mengelola hutan, serta mengorganisasikan pelaksanaannya. Mitra antara juga memiliki mekanisme pengawasan dan monev yang sudah berjalan di lapangan, sehingga kinerja memuaskan keberhasilan tanaman dapat tercapai. Situasi aksi yang mendukung tersebut tidak hanya karena faktor Perum Perhutani selaku mitra antara dan pelaku, tetapi didukung juga kesadaran petani memelihara tegakan. Petani terlibat aktif memelihara tegakan karena adanya imbal hasil panen yang diterima pada akhir daur, dan ikatan kemitraan berupa lahan garapan. Tingginya partisipasi petani dalam pelaksanaan PHBM ditunjukkan dengan keberhasilan tanaman berkategori bagus, sebagaimana juga temuan Jatmiko (2006) di BKPH Pacet, KPH Pasuruan. Ketua KTH (Sodik, Hafid, dan Oong) menyatakan petani mudah diajak dan diminta kesediaannya memelihara tanaman. Ketua KTH selalu mengingatkan bahwa banyak petani lain yang tidak memperoleh lahan garapan, karena ketersediaan lahan andil yang terbatas. Karenanya jika tidak bersedia memelihara, maka ada petani lain yang bersedia menggantikan menjadi pesanggem dan memelihara tanaman. Ketegasan para pelaku dalam mengawasi dan menjalankan aturan dalam hubungan kelembagaan, serta perilaku baik dan kedekatan Ketua KTH dan Mandor PHBM (Haryanto) diakui semua petani menjadi pendorong keberhasilan tanaman. Telah terbentuknya hubungan 70 Pada saat kontrak ditandatangani, kelembagaan petani masih berbentuk KTH. Namun saat penelitian dilakukan, LMDH di desa tersebut sudah terbentuk. 71 Keberhasilan tanaman relatif tinggi juga ditemukan di KPH Probolinggo yaitu mencapai rata-rata 74% berdasarkan hasil pemeriksaan tanaman tahun ke-3 (tahun 2008).

123 99 kelembagaan diantara mitra antara agents menjadi salah satu daya tarik dan dorongan bagi principal melakukan kerjasama dengan Perum Perhutani 72. Kelembagaan yang sudah terbentuk dan efektif berjalan di lapangan tersebut menyebabkan KIBARHUT Tipe 3 Sukaraja tidak perlu membangun kelembagaan dan mengkondisikannya dari awal. Pada sisi lain, ketersediaan lahan dalam hamparan yang luas (hektaran) menyebabkan kerjasama dengan Perum Perhutani dianggap lebih menguntungkan principal dibandingkan kerjasama dengan petani secara perorangan. Dengan demikian, terdapat keterkaitan situasi antara aksi yang dipilih untuk melakukan kemitraan dengan hasil yang diharapkan diterima para pelakunya. Principal memperoleh imbalan berupa bagi hasil panen sebesar 30%, dan mitra antara memperoleh 70%. Bagi hasil mitra antara merupakan bagi hasil untuk Perum Perhutani (50%) dan KTH/agents (20%). Bagi hasil tersebut berdasarkan nilai penjualan kayu hasil panen, setelah dikurangi PSDH dan kewajiban finansial lainnya ke Negara. Mekanisme pengelolaan dan pemasaran ditentukan oleh Perum Perhutani dengan prioritas pembelian kayu KIBARHUT dimiliki oleh principal. Kegiatan monitoring dan evaluasi, pembinaan teknis serta perlindungan dan pengamanan hutan dilakukan secara bersama-sama oleh ketiga pelaku (principal, mitra antara, dan agents). Keamanan tegakan, khususnya kemungkinan terjadinya kasus pencurian, dijamin melalui aturan bahwa bagi hasil agents disesuaikan berdasarkan prosentase kehilangan pohon karena pencurian. Jaminan keamanan merupakan suatu bentuk jaminan kinerja (non-tunai) pengelolaan hutan yang harus ditanggung agents, yaitu bagi hasil dibayarkan separuhnya (50%) jika terjadi pencurian pohon sekitar 11-20% dan dibayarkan seperempatnya (25%) jika pencurian pohon mencapai > 20%. Aturan ini merupakan jaminan keamanan yang diatur dan dinyatakan secara formal. Aturan jaminan keamanan sebagai aturan yang mengatur sanksi dan penentu kinerja petani tersebut, secara tidak langsung menunjukkan bahwa petani pesanggem masih dalam posisi yang tidak setara dalam pelaksanaan PHBM sebagaimana diungkapkan oleh Feblita (2006) dan Yuwono (2008). Tetapi, aksi arena yang terjadi menunjukkan bahwa aturan tersebut merupakan aturan untuk menegakkan komitmen 72 Disarikan dari tanggapan dan komentar yang diungkapkan oleh Nana Rukana, Uus Supriyatna, dan Agus Salim (PT. BKL), Haryanto (KPH Tasikmalaya). Sebagaimana diakui juga oleh Heru Jhudianto (PT. KTI), Gunung Djoko S, Tri Rahardjo, Edi Purwanto (KPH Probolinggo)

124 100 menjaga keamanan tegakan yang sudah disepakati, dan memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pelakunya. Aturan main yang dipergunakan (rules-in-use) tersebut sejauh ini efektif dan dapat ditegakkan, karena sampai dengan tahun 2008 tidak ditemukan adanya kasus pencurian kayu Sengon atau gangguan keamanan tegakan sehingga merupakan kontrak yang dapat ditegakkan (enforceable contract). Pada sisi lain, jika ada pelaku yang merasa situasi aksi yang dihadapinya merugikan maka diupayakan merubah aturan dijalankan (rules-in-use) guna memperbaiki aksi arena yang ada atau memperbaiki kontrak. KIBARHUT Tipe 3 Krucil merupakan kemitraan 2 tingkat di tanah milik negara, yaitu HGU Kebun Kopi Ayer Dingin. Kebun disewa Aviland seluas 275 ha dan KTI bk 73 seluas 300 ha, kemudian kedua perusahaan bertindak selaku mitra antara dan melakukan kerjasama pembangunan hutan dengan principal. Mitra antara melaksanakan KIBARHUT bersama dengan petani penggarap (agents), sekaligus mengorganisasikan dan mengadministrasikan pelaksanaan kegiatan di lapangan. KTI bk menugaskan pengawas (Wasbun) sebagai koordinator lapangan dibantu oleh mandor dan tenaga harian lepas. Mandor ikut mengawasi pekerjaan buruh harian tetapi perintah kerja tetap berasal dari Wasbun. Untuk melaksanakan kegiatan KIBARHUT, Aviland membentuk organisasi khusus dengan penanggungjawab lapangan adalah Kepala Afdeling dibantu tenaga Mandor, seperti ilustrasi Gambar 14. Kepala Afdeling dan Wasbun melakukan koordinasi dengan Pimpinan Kebun atau Pimbun (wakil PUSKOPAD selaku pemilik/pemegang kuasa HGU). Pelaksanaan pekerjaan sehari-hari diawasi dan dikoordinasikan dengan bantuan Mandor, sekaligus menjadi penghubung antara penggarap dan mitra antara (Aviland atau KTI bk). Principal juga memberikan bantuan tenaga lapangan sebagai pendukung pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3 Krucil. 73 PT. KTI bk merupakan perusahaan yang dibentuk PT. KTI untuk melaksanakan KIBARHUT dan menjamin kepastian pasokan bahan baku dari areal kebun HGU Ayer Dingin, Bermi, Krucil yang disewa oleh PT. KTI.

125 101 Administratur A Sanyoto Kepala Afdeling Joko Supriyanto PUSKOPAD Pimpinan Kebun (Tukadi) KTI - Divisi P & L PT. KTI bk Wasbun: Supriyadi Mandor Kebun Sukdi Salma Jali Mandor Khusus Heri, Hartono Buramin Tenaga KTI Pendukung: Heriyanto Mustofa Keamanan Luar 1 org Mandor (1 koord & 5 anggota) harian lepas (4 orang) Penggarap Penggarap Buruh harian Gambar 14. Organisasi pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3 Krucil Berdasarkan perjanjian kerjasama principal dan Aviland (mitra antara), maka principal memberikan saran pertimbangan tentang penanaman dan bimbingan teknis silvikultur. Principal juga memberikan bantuan penanaman (bibit dan transportasi bibit) dan biaya pengelolaan sebesar Rp per ha. Bantuan diberikan dalam 4 tahapan, yaitu 77,18% di tahun ke-1, sebesar 17,18% di tahun ke-2, sekitar 2,56% di tahun ke-3, dan 3,08% di tahun ke-4. Mitra antara menyediakan lahan, melaksanakan penanaman, pemeliharaan, penebangan, dan pengangkutan kayu hasil panen dari lokasi penanaman ke pabrik principal di Probolinggo atau sawmill afiliasi di Kertosuko, Krucil. Mitra antara melaksanakan KIBARHUT dengan merekrut petani yang tinggal di sekitar lokasi HGU menjadi penggarap (agents). Berdasarkan aturan dalam kontrak mitra antara dan petani, maka tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk menjadi penggarap, namun wajib melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman kayu. Bibit tanaman kayu disiapkan mitra antara dan diangkut sampai ke lokasi lahan. Petani (agents) wajib melakukan penanaman dan pemeliharaan pada lahan garapannya, sesuai arahan mitra antara melalui mandor. Berdasarkan arena situasi pada Tipe 3 Krucil dan keterkaitan antara biaya dikeluarkan dan aksi yang dilakukan, maka principal memperoleh balasan (manfaat) berupa bagi hasil sebesar 23% dan mendapat prioritas pertama membeli produksi kayu

126 102 KIBARHUT. Mitra antara mendapat bagi hasil 77% dan memperoleh jaminan pasar, tetapi tidak ada imbalan berupa bagi hasil kayu untuk petani penggarap (agents). Imbalan diterima agents adalah hak menggarap lahan tanpa biaya (costless), dan izin/ kewenangan melakukan penanaman palawija dan mengambil seluruh hasil panennya, serta memperoleh hijauan pakan ternak (hpt) dari lahan HGU, sehingga agents tetap mendapatkan keuntungan secara ekonomis/sosial. Hubungan formal antara principal dan mitra antara didukung adanya hubungan antar personalnya 74. Hubungan pertemanan yang baik dan saling menjaga kepercayaan selama ini 75 adalah insentif yang mendukung jalinan kerjasama, dan merupakan jaminan (insurance) atas ketidakpastian (uncertainty) pelaksanaan pembangunan hutan. Mitra antara mendapat jaminan (insurance) karena kerjasama yang telah dilakukan selama puluhan tahun menunjukkan principal tidak pernah ingkar janji atau membohongi. Adanya insentif dan jaminan tersebut menyebabkan aksi Tipe 3 Krucil dapat berjalan sejak tahun 2003 dan saat ini tinggal menunggu masa-masa panen. Pada periode pertama pembangunan hutan KIBARHUT di HGU Ayer Dingin (2002 dan 2003), tanaman mengalami kegagalan karena adanya kijang liar yang menjadikan tanaman muda tersebut sebagai pakan. Kendala lain adalah tingginya kebutuhan hpt bagi penduduk di sekitar lokasi kebun 76. Tingginya kebutuhan hpt merupakan salah satu alasan perubahan jenis tanaman menjadi jenis Balsa, dengan asumsi daunnya tidak disukai sebagai hpt. Dalam perkembangannya, daun Balsa ternyata dapat dimanfaatkan sebagai hpt (khususnya pada musim kemarau), sehingga di awal pembangunan hutan banyak terjadi kematian tegakan muda karena pengambilan daun tanaman yang sangat berlebihan. Tingginya kebutuhan hpt diakui semua (100%) agents dan terbatasnya kepemilikan lahan garapan menjadi alasan utama kesediaan bergabung menjadi penggarap di lahan kebun. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian lahan sedang direhabilitasi (Gambar 15). Pada beberapa tempat, tegakan tumbuh dengan baik dan siap untuk dilakukan penebangan (Gambar 16). 74 Heru Jhudianto (Dirmud Divisi P & L) dan Zulkifli Chalik (pemilik PT. Aviland) sudah lama saling kenal dan melakukan kerjasama (PT. Aviland merupakan salah satu rekanan PT. KTI). 75 Hubungan yang berlangsung secara terus menerus dan dapat dianggap sebagai suatu pembelajaran dari satu kontrak ke kontrak berikutnya atau repeated games (Gibbons, 1998; 2005; Yustika, 2006). 76 Desa Bermi dan sekitarnya merupakan sentra produksi susu sapi, dan hampir semua penduduk memelihara ternak sapi perah sebagai sumber pendapatan utama.

127 103 Gambar 15 Tegakan Balsa muda ditanam secara tumpangsari dengan jagung (dok peneliti) Gambar 16 Tegakan Balsa (umur ± 4 tahun) siap untuk tebang penjarangan (dok peneliti) Pengurangan tanaman karena pencurian kayu sampai dengan penelitian dilakukan tidak pernah terjadi. Upaya menjaga keamanan tegakan dilakukan mitra antara dengan bantuan mandor yang melakukan pengawasan dan kontrol secara rutin. Mandor yang direkrut dan ditugaskan oleh mitra antara adalah penduduk di sekitar lokasi kebun, dikenal penduduk, dan sudah lama mengenal lokasi/areal kebun secara detail. Tugas pengamanan petugas lapangan mitra antara lebih mudah karena agents memahami kewajibannya untuk menjaga dan mengamankan tegakan kayu. Komitmen menjaga keberhasilan tanaman dan keamanan tegakan diatur secara tertulis dalam kontrak, sehingga agents memilih aksi tersebut guna memperoleh hasil (payoff) berupa keberlanjutan haknya untuk menggarap lahan HGU. Konsentrasi pengamanan tegakan adalah pencegahan perilaku oportunis agents yaitu upaya mengambil daun tanaman untuk pakan ternak secara berlebihan sehingga pertumbuhan pohon menjadi terhambat, dan penanaman rumput gajah yang perakarannya dapat mengganggu tanaman pokok. 5. Perilaku oportunis Perilaku oportunis pasca kontrak terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara para pelaku yang terlibat dalam kemitraan. Kepentingan INPAK adalah mengupayakan agents memenuhi kewajibannya memasok kayu KIBARHUT guna keberlangsungan industri principal. Perilaku oportunis agents umumnya berbentuk penebangan pohon tanpa sepengetahuan principal. Pemanenan awal dilakukan karena dalih kepentingan memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak 77. Semua petani contoh 77 Simon (2008) mengungkapkan bahwa pola kebutuhan hidup petani mengikuti pola sosial budaya yang berlaku di desanya. Kebutuhan ekonomi umumnya ditutupi dengan mengambil tabungan kayu

128 104 mengakui bahwa pembiayaan untuk menutupi kebutuhan mendesak diperoleh dengan menebang/menjual pohon. Mitra antara mempunyai kepentingan mendapat janji imbalan bagi hasil yang diterima di akhir daur, memperoleh upah atau pendapatan sebagai agents bagi principal, dan mengoptimalkan pemanfaatan assets produksi miliknya. Pertarungan kepentingan tersebut dapat memunculkan perilaku oportunis salah satu pelaku atau bahkan semua pelaku yang terlibat (actors). Secara ringkas, indikasi perilaku oportunis yang terjadi pada kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Indikasi perilaku oportunis dalam pelaksanaan KIBARHUT Indikasi Perilaku Oportunis Hulu Hilir Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja Krucil Tipe 3 Sukaraja Krucil Menebang kayu KIBARHUT tanpa sepengetahuan Hilir Tidak menjual/memasok kayu hasil panen ke Hilir Menanam bibit bantuan di luar lahan yang dikerjasamakan Tidak melaksanakan kegiatan pemeliharaan Tanaman dilaporkan mati/tidak hidup Bantuan dianggap gratis sehingga tidak ada kewajiban menjual kayu KIBARHUT ke Hilir Bibit ditanam di tempat lain Pupuk bantuan dipergunakan untuk tanaman non kerjasama Beranggapan tidak wajib menjual kayu KIBARHUT ke Hilir Memanen/menebang tanpa sepengetahuan pihak Hilir Menghambat pertumbuhan tanaman KIBARHUT Menghambat pertumbuhan tanaman KIBARHUT Ada permintaan biaya transport untuk bibit yang diterima Hulu Tidak melakukan pendataan/administrasi pelaksanaan KIBARHUT Bibit bantuan dibagi merata ke warga desa untuk populis dan mengamankan posisi Sulit dihubungi untuk konfirmasi penjualan jaminan pasar tidak/belum dapat diwujudkan Kualitas bibit dipertanyakan Dana/bantuan (pemeliharaan) tidak disalurkan, atau disalurkan tetapi jumlahnya tidak sesuai yang dijanjikan Kualitas bibit tidak sesuai standard siap tanam dan sulaman tidak direalisasikan Bantuan pupuk dan obat semprotan (biaya sarpras pemeliharaan sesuai perjanjian) tidak direalisasikan Sebagian besar tanaman KIBARHUT hanya Hilir (saat ini) yang bersedia menampung dan mengolah Memposisikan Hulu sebagai penggarap Membebankan ongkos akibat pencurian kayu ke Hulu Memposisikan Hulu sebagai penggarap (saat ini) Hilir adalah satu-satunya INPAK yang bersedia dan dapat menggunakan tanaman FGS yang dikelola Hulu Keterangan : Hulu adalah petani (agents murni) dan mitra antara (hubungan tingkat pertama); Hilir adalah INPAK (principal murni) dan mitra antara (hubungan tingkat kedua). dari hutan rakyat adalah untuk memenuhi pembiayaan hajatan, biaya sekolah, bayar pajak/pbb, dan hari raya.

129 105 Tabel 19 menunjukkan bahwa semua pelaku mempunyai indikasii melakukan tindakan oportunis karena adanya perbedaan kepentingan. Tindakan oportunis dapat berakibat gagalnya tujuan pelaksanaann KIBARHUT, yaitu tidak dapat terwujudnya keberlanjutan pasokan bahan baku ke principal sebagaimana diungkapkan juga oleh Prihadi dan Nugroho (2007). Indikasii oportunis agents tersebut dideskripsikan dari tindakan atau tanggapan agents terhadap berbagai issue pelaksanaan KIBARHUT di lapangan sebagaimana ilustrasi pada Gambar Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja Tipe 2 Krucil Tipe 3 Sukaraja Tipe 3 Krucil D E C B A Gambar 17 Jumlah agents terindikasi berperilaku oportunis Keterangan : A = menebang phn tanpa sepengetahuan INPAK dan menjual ke pihak/industri lain B = petani belum menebang pohon tetapi berargumen pemasaran outputnya bebas, akan menjual ke pihak lain atau tidak ada kewajiban menjual ke INPAK mitra C = bibit tidak ditanam seluruhnya di lahan yang didaftarkan sbg lahan KIBAHUT D = Menghambat pertumbuhan untuk Singkong (Tipe 3 Skrj) atau hpt (Tipe 3 Kcl) E = Menanam jenis tanaman bukan pokok yang dilarang oleh Mitra (rumput gajah) Gambar 17 memperlihatkan bahwa indikasi oportunis pada Tipe 1 Bawang meliputi indikasi kegiatan menebang tanpa sepengetahuan INPAK dan/atau menjual ke pihak lain atau industri lain (26,67% agents), berdalih tidak adaa kewajiban memasarkan output pelaksanaan KIBARHUT ke principal (46,67% agents), dan 0,3% agents menanam bibit bantuan di lahan lain yang tidak didata sebagai lahan KIBARHUT. Pada Tipe 2 Sukaraja sekitar 20% petani teridentifikasi berperilaku oportunis yaitu menyatakan menjual hasil panen secara bebas atau tidak adaa kewajiban menjual ke principal, dan 20% agents lainnya masih belum memastikan atau belum menentukan sikap karena menunggu saat panen nanti. Pada Tipe 2 Krucil sekitar 13,3% petani terindikasi oportunis untuk tidak mematuhi kontrak memasok kayu ke Hilir.

130 106 Tindakan oportunis yang terindikasi dilakukan agents Tipe 3 adalah menghambat pertumbuhan tanaman pokok untuk memperpanjang waktu budidaya tanaman hortikultur (20% agents di Tipe 3 Sukaraja) atau untuk mendapatkan hpt (20% agents di Tipe 3 Krucil). Sekitar 13,3% agents lainnya di Tipe 3 Krucil terindikasi melanggar kontrak dengan menanam rumput gajah, jenis tanaman yang dilarang oleh mitra antara karena perakarannya dianggap dapat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Principal berupaya meminimalisir kemungkinan terjadinya perilaku oportunis agents. Salah satu upayanya melalui aturan formal yang mengatur kewajiban principal menampung/memasarkan hasil produksi dengan harga pasar. Aturan ini menunjukkan adanya kewenangan principal terhadap hasil panen. Pada kontrak formal (Tipe 2 dan Tipe 3), upaya tersebut juga diwujudkan melalui dukungan tokoh karismatis atau panutan yang dipercaya warga, petugas lapangan yang berada dan tinggal di sekitar lokasi, petugas yang secara teratur dan terus menerus melakukan kunjungan ke petani, serta adanya jaringan pemasaran yang dibangun. Terdapat juga aturan formal yang mengatur sanksi di kontrak formal sehingga ada resiko hukuman untuk berperilaku oportunis atau ingkar janji. Pada Tipe 1 tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi, sehingga resiko terpapar (hukuman karena berperilaku oportunis) adalah rendah dan berdampak pada rendahnya komitmen penegakan kontrak. Pada hubungan kontraktual Tipe 1, terdapat pemahaman umum di kalangan warga desa dan agents bahwa bantuan principal dianggap gratis 78. Petani beranggapan tidak ada kewajiban memasok kayu, atau memberikan prioritas pertama untuk melakukan pembelian kayu KIBARHUT ke principal. Situasi tersebut terjadi karena petani selalu membandingkan dengan bantuan dari Pemerintah (seperti dalam rangka Gerhan), dan adanya biaya pengganti transport bibit yang dibayar agents ke mitra antara. Perilaku oportunis pada Tipe 1 juga terjadi karena tidak adanya peran tokoh atau ellite warga yang menjadi panutan atau kepercayaan warganya, dan tidak adanya aturan tertulis dan norma yang mengatur perihal pengawasan, monitoring dan evaluasi oleh petugas principal. Petugas pun belum melakukan tugasnya secara intensif, dalam 78 Sebagaimana disinyalir oleh Darwis et al. (2006) yaitu adanya anggapan yang meluas di warga pedesaan bahwa setiap ada bantuan yang diberikan oleh pemerintah ataupun swasta merupakan hibah sehingga tidak perlu dikembalikan.

131 107 arti jarang atau bahkan tidak pernah melakukan kunjungan rutin dan berkala ke agents. Aksi tersebut diperlukan walau hanya sekedar memastikan bahwa tanaman ada dan hidup, sekaligus menyeimbangkan posisi pelaku terhadap informasi tegakan hasil kerjasama. Ketidakberdayaan petugas lapangan melakukan pengawasan ke seluruh lahan agents yang tersebar di Kecamatan Bawang, diperparah tidak tersedianya data tertulis mengenai agents, luasan lahan, jumlah hibah/bantuan diterima per agents dan lokasinya. Catatan yang ada sebatas catatan seadanya atau berdasarkan daya ingat petugas desa dan Keltan. Perilaku oportunis tidak hanya dilakukan agents tetapi juga dilakukan oleh mitra antara dan principal. Mitra antara berperilaku oportunis karena membebankan biaya pengambilan bibit bantuan ke petani, dan tidak melakukan pendataan dan administrasi KIBARHUT. Perilaku oportunis principal adalah sulitnya dihubungi untuk konfirmasi penjualan pohon KIBARHUT oleh agents atau mitra antara. Situasi tersebut mendorong agents untuk juga berperilaku oportunis sebagaimana uraian sebelumnya. Pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 telah dapat menanamkan pemahaman bahwa terdapat hak principal yang melekat pada pohon yang ditanam agents. Hak dan kewajiban para pelaku yang terlibat diatur secara formal dalam kontrak termasuk aturan yang mengatur sanksi. Situasi aksi tersebut didukung adanya kepastian dan jaminan terhadap hak dan kewajiban, dan diimbangi adanya hak kepemilikan dan jaminan kepastian pemanfaatan lahan yang dimiliki agents. Situasi aksi di Tipe 2 tersebut menghasilkan komitmen penegakan kontrak yang tinggi, dengan rata-rata hanya sekitar 16,7% agents yang terindikasi berperilaku oportunis, dan ada sekitar 10% agents yang belum menentukan sikap (wait and see) yaitu masih menunggu saat panen/penebangan pohon nanti. Pelaksanaan Tipe 2 dilakukan principal dengan melibatkan bantuan/mediasi dari ellite desa yang diyakini mempunyai karisma dan menjadi panutan warga desa. Keterlibatan dan peran tokoh tersebut tidak hanya dalam sosialisasi kegiatan, tetapi terlibat langsung dalam aksi KIBARHUT karena mempunyai kemampuan dan peran untuk memotivasi agents dan menjadi penghubung antara principal dan agents. Tokoh masyarakat sekaligus berperan sebagai pelaku mitra antara sehingga mempunyai

132 108 peran dan fungsi dalam pengawasan, monitoring, dan keamanan pohon Sengon yang ditanam dan dikelola melalui mekanisme KIBARHUT. Tokoh agama dan elite desa tersebut dalam perannya sebagai mitra antara mensosialisasikan adanya hak principal yang melekat pada pohon yang ditanam, dan pendekatan bahwa pohon Sengon adalah barang titipan atau amanah yang harus dipelihara dan dijaga. Pendekatan dengan mediasi dari mitra antara tersebut tentu saja tidaklah gratis, tetapi ada biaya atau agency cost (yaitu biaya pemantauan, biaya pengamanan dan biaya koordinasi) yang harus dikeluarkan principal. Biaya tersebut dikeluarkan dalam bentuk tunai (pembayaran honor pengawas, upah sebagai petugas lapangan, upah bulanan, biaya transport) dengan besaran yang bervariasi antara Rp Rp dan non-tunai yaitu mendapat bagi hasil tanaman di akhir daur. Dengan demikian, adanya keseimbangan dan distribusi manfaat yang adil dapat menekan permasalahan agency diantara pelaku yang terikat perjanjian. Pendekatan tersebut terbukti mampu meredam perilaku oportunis agents pada pelaksanaan KIBARHUT Tipe 2 Sukaraja dengan adanya keterlibatan tokoh warga (elite desa) sebagai koordinator wilayah (Korwil). Tipe 2 Sukaraja memiliki mekanisme awal yang jelas dalam proses perolehan kontrak (processing contracts) dan dalam perekrutan agents dengan koordinasi dan administrasi Korwil sekaligus selaku mitra antara. Korwil yang ditunjuk, mendapatkan bagi hasil yang jelas dan dinyatakan dalam perjanjian, sehingga bersemangat menjaga keamanan tanaman, mensosialisasikan dan melakukan pembinaan ke anggota kelompoknya (agents). Perilaku oportunis agents di Tipe 2 Krucil sangat rendah karena ada keterlibatan tokoh agama yang karismatis dan dihormati warga, ada mekanisme awal yang jelas dalam perekrutan agents, dan petugas principal rajin berkunjung ke petani sehingga terjalin keakraban dan saling mengenal. Keterlibatan tokoh agama 79 sebagai KP (mitra antara) dan santri-santrinya sebagai pekerja, pengawas, dan Kordes mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan. KP mendapatkan imbalan berupa bagi hasil kayu KIBARHUT, yang sebagiannya dijanjikan menjadi hak petugas lapangan dan Kordes. Adanya janji tersebut menambah semangat dan energi Kordes dan petugas lapangan 79 Pemimpin atau tokoh agama di pedesaan mempunyai peran sentral dan penting dalam kehidupan warganya. Tokoh agama mempunyai karisma yang mampu mengarahkan warga desa dan santrinya untuk melaksanakan suatu kegiatan, serta memunculkan ketakutan mendapatkan kualat jika melanggar wejangan/perintah dari pemimpin agamanya (Korten, 1987; Rumansara dan Rumwaropen; 1993).

133 109 untuk menjamin atau setidaknya memastikan bahwa penanaman telah dilaksanakan, pemeliharaan dilakukan, dan tidak ada yang menebang kayu tanpa seijin KP. Pada pelaksanaan KIBARHUT Tipe 3, posisi agents adalah sebagai penggarap lahan, karena secara de jure, lahan dimiliki oleh mitra antara (KPH Tsm di Tipe 3 Sukaraja dan Aviland/KTI bk di Tipe 3 Krucil). Pada pelaksanaan Tipe 3 Sukaraja terdapat aturan yang mengatur partisipasi bersama para pihak dan adanya tanggungjawab mitra antara terhadap principal. Pada posisi tersebut agents pada Tipe 3 selain mendapatkan seluruh hasil panen tanaman palawija, maka agents di Tipe 3 Sukaraja juga memperoleh bagi hasil kayu sebesar 20%. Agents tidak mempunyai (kecil) kemungkinan melakukan tindakan sub optimal berupa pemanenan kayu tanpa sepengetahuan mitra antara, karena adanya sanksi yang diatur dalam kontrak yaitu dicabutnya hak garap lahan atau dikenakan sanksi sesuai hukum dan pengurangan pembayaran bagi hasil. Walaupun terdapat kejelasan hak dan kewajiban dalam kontrak, namun adanya aturan sanksi pencabutan hak garap menjadikan tidak adanya jaminan kepastian bagi agents dalam pemanfaatan lahan. Situasi tersebut berdampak pada adanya dorongan bagi agents di KIBARHUT Tipe 3 untuk ingkar janji atau berperilaku oportunis. Tindakan oportunis yang terindikasi dilakukan agents adalah menghambat pertumbuhan tanaman kehutanan dengan tujuan memperpanjang waktu budidaya tanaman semusim/tumpangsari, sekaligus mempertahankan hak garap lahan. Guna mengatasi kemungkinan terjadinya perilaku oportunis tersebut, maka mitra antara mempunyai petugas lapangan yang melakukan koordinasi dan pengawasan secara langsung ke agents di lapangan. Petugas tersebut adalah mandor PHBM dan LMDH (Tipe 3 di Sukaraja) atau Wasbun dan jajarannya dibantu Pimbun dari Puskopad (Tipe 3 di Krucil). Pada situasi ini, principal menjadi pihak yang lebih mendapat manfaat karena struktur organisasi mitra antara yang sudah berjalan dan bekerja di lapangan dianggap lebih mampu mengatasi kemungkinan perilaku oportunis agents. Pada Tipe 3 Sukaraja, posisi mitra antara dan principal relatif setara karena kayu KIBARHUT dipasarkan sesuai mekanisme yang berlaku di Perum Perhutani. Mitra antara tidak mempunyai kewajiban menjual kayu tersebut ke principal, tetapi principal diberikan prioritas pertama membeli apabila persyaratan terpenuhi. Artinya

134 110 mitra antara telah mengamankan kemungkinan perilaku sub optimal, seperti principal membeli kayu dengan harga lebih murah dari harga pasar atau menyatakan kayu tidak memenuhi kualifikasi. Pada sisi lain, kemungkinan perilaku oportunis principal dapat diminimalisir karena adanya kontribusi biaya dari principal untuk membangun hutan KIBARHUT. Pada Tipe 3 Krucil, hubungan institusional antara principal, mitra antara, dan agents merupakan sistem institusi bahu-membahu atau interlocking (Nugroho, 2002; 2003). Pada sistem tersebut, principal menyediakan keperluan produksi (dana) yaitu Rp per ha yang dibayarkan secara lumpsum dalam 4 tahapan, ketrampilan pengelolaan (penyuluhan, teknis silvikultur, pembinaan, monev, dan inventarisasi tegakan), teknologi pemanenan dan pengolahan kayu. Mitra antara menyediakan lahan, menjamin kemanan tegakan dan sebagian kebutuhan tenaga kerja, sedangkan petani penggarap (agents) menyediakan tenaga kerja. Secara tidak langsung, agents terikat pada mitra antara dalam bentuk lahan garapan, dan mitra antara tergantung pada agents (ketersediaan pelaku penanaman dan pengelolaan hutan KIBARHUT). Mitra antara tidak mempunyai pilihan lain selain menjual kayu hasil panen ke principal, karena sampai saat ini belum ada industri perkayuan lainnya yang bersedia menampung kayu Balsa dan menggunakannya sebagai bahan baku. Hal tersebut menunjukkan bahwa, secara tidak langsung, principal telah menghindari terjebak persaingan antar industri perkayuan untuk mendapatkan komoditas bahan baku kayu di pasar. Inovasi proses produksi telah menjadikan principal berhasil menciptakan ceruk pasar produk kayu olahan dari jenis kayu Balsa yang belum begitu dilirik oleh industri perkayuan di Indonesia, dan sekaligus membuat pengaman terhadap investasinya membangun hutan tanaman jenis Balsa. Tidak adanya industri perkayuan yang menjadi pesaing potensial (di Indonesia, khususnya di Jawa Timur), yang siap mengolah atau melakukan proses produksi menggunakan jenis Balsa, menjadikan keberlanjutan pasokan bahan baku untuk industri principal terjamin tanpa bisa dicuri atau dimanfaatkan oleh INPAK lainnya.

135 111 B. Kinerja Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 1. Analisis fungsi produksi Analisis dilakukan untuk menduga besarnya pengaruh dan tingkat efisiensi faktor produksi kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa terhadap komoditas outputnya. Pendugaan model menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb- Douglas yang dimodifikasi ke bentuk logaritma (log) untuk memperoleh persamaan regresi linier berganda. Secara matematis, model fungsi produksi KIBARHUT selengkapnya adalah : (4) Keterangan: Q = jumlah produksi kayu bundar yang dihasilkan dari luasan lahan KIBARHUT selama 1 daur (m³) X 1 = jumlah input produksi per satuan luas usaha selama 1 daur, yaitu: = jumlah tenaga kerja (HOK) pada analisis fungsi produksi petani = jumlah bibit (batang) pada analisis fungsi produksi mitra non-petani = luas lahan (m²) pada analisis fungsi produksi pemegang kuasa lahan negara X 2 = jumlah modal/kapital (Rp) adalah seluruh investasi per satuan luas usaha selama 1 daur pelaksanaan KIBARHUT, yaitu: = jumlah modal/input lainnya (Rp) pada analisis fungsi produksi petani mitra = jumlah modal (Rp) pada analisis fungsi produksi mitra non-petani = jumlah modal/input lainnya (Rp) pada analisis fungsi produksi pemegang kuasa lahan negara (lahan HGU dan kawasan hutan) A = intersep/konstanta = koefisien regresi variabel bebas ke-i Μ = kesalahan pengganggu Berdasarkan persamaan (4), disusun masukan data untuk pendugaan fungsi produksi sebagaimana pada Lampiran 7, kemudian ditransformasikan dalam nilai log sehingga persamaan fungsi produksinya dapat dianalisis dengan persamaan regresi linier berganda. Pengolahan data selanjutnya dengan Statistical Package for the Social Sciences ver (SPSS 17.0). Hasil analisis pada tingkat pelaku peserta KIBARHUT di Pulau Jawa disajikan pada Lampiran 8, sedangkan fungsi produksi untuk setiap pelaku tersebut disajikan pada Tabel 20.

136 112 Tabel 20 Pendugaan model fungsi produksi KIBARHUT di Pulau Jawa Tipe Pelaku Fungsi Produksi Elastisitas produksi Petani 2,847 0,332 0,651 0,332; 0,651 atau 0, ,, 0,983 Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja Tipe 2 Krucil Tipe 3 Sukaraja Tipe 3 Krucil INPAK Petani INPAK Korwil Petani INPAK KP Petani INPAK Perhutani Petani INPAK HGU 1,414 0,767 0,207 atau 0, ,, 2,293 0,453 0,525 atau 0, ,, 2,686 0,464 0,514 atau 0, ,, 1,917 0,510 0,461 atau 0, ,, 2,329 0,505 0,491 atau 0, ,, 1,525 0,614 0,374 atau 0, ,, 2,423 0,337 0,599 atau 0, ,, 3,155 0,302 0,688 atau 0, ,, 1,989 0,455 0,515 atau 0, ,, 1,668 0,527 0,371 atau 0, ,, 2,523 0,6 0,39 atau 0, ,, 0,767; 0,207 0,974 0,453; 0,526 0,979 0,464; 0,514 0,978 0,510; 0,461 0,971 0,505; 0,491 0,996 0,614; 0,374 0,988 0,337; 0,599 0,936 0,302; 0,688 0,990 0,455; 0,515 0,970 0,527; 0,371 0,898 0,600; 0,390 0,990 Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki keunggulan karena nilai koefisien regresi variabel bebas ( ) pada model adalah sekaligus menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap output. Besaran tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasi pengaruh perubahan faktor produksi (input share) terhadap proporsi penambahan produksi. Berdasarkan fungsi produksi pada Tabel 20, diketahui bahwa elastisitas input produksi dari masing-masing pelaku berada pada kisaran 0 1 (0< <1 dan 0< <1 serta 0 1) dan jumlah besaran kedua variabel bebas pada tiap-tiap fungsi produksi adalah < 1 (kurang dari 1). Menurut Sugiarto et al. (2002) bahwa suatu fungsi produksi yang memiliki besaran elastisitas pada kisaran 0 1 menunjukkan keragaan produksi yang berada pada daerah rasional (rational region). Pada kondisi demikian maka fungsi produksi tersebut adalah decreasing returns to scale artinya proporsi penambahan faktor-faktor produksi melebihi proporsi penambahan output produksi (Lampiran 9).

137 113 Fungsi produksi juga dipergunakan untuk mengkaji perilaku para pelaku dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi. Hasil evaluasi sebagaimana pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa fungsi produksi yang terbangun dapat diturunkan dua kali, yaitu FONC dapat diturunkan atau diketahui ( 0 0 artinya fungsi produksi memiliki titik ekstrim. SOSC juga diketahui/dapat diturunkan ( 0 dan 0 serta. 0 sehingga syarat negatif terbatas terpenuhi. Fungsi yang memiliki titik ekstrim dan syarat negatif terbatas terpenuhi, menunjukkan bahwa fungsi produksi yang terbangun adalah berbentuk cekung sempurna atau strictly concave function, sehingga syarat perilaku rasional para pelakunya terpenuhi (Henderson dan Quandt, 1980; Nugroho, 2003). Artinya, para pelaku telah berupaya melakukan alokasi efisien atas input (faktor-faktor) produksi yang dimilikinya untuk memaksimumkan output (kayu bundar) dalam menjalankan kelembagaan KIBARHUT. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, maka fungsi-fungsi produksi pada Tabel 20 mengikuti hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang seperti dijelaskan oleh Henderson dan Quandt (1980), dan Sugiarto et al. (2002). Fungsi produksi yang demikian dapat dianggap telah mendekati keragaan kondisi nyata di lapangan (Soekartawi, 2002; Nugroho, 2003). Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan fungsi produksinya 80 maka para pelaku (actors) kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa telah berupaya berperilaku efisien dalam mengalokasikan input-input produksinya. 2. Analisis finansial Analisis usahatani merupakan implementasi dari aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, khususnya pada pola tanam yang diterapkan dan jenis tanaman yang dipilih petani (Andayani, 2008). Kompleksitas analisis khususnya ditemui pada KIBARHUT pola tanam agroforestry (AF), yaitu pola tanam yang mengkombinasikan tanaman pokok (kayu jenis FGS), tanaman semusim/hortikultur dan tanaman keras/perkebunan yang sangat beragam sebagaimana pada Tabel 21. Berhadapan dengan beragamnya pola pertanaman (cropping pattern) dan jenis tanaman di lokasi contoh, maka analisis 80 Analisis fungsi produksi dalam penelitian ini hanya dilakukan pada produksi kayu sebagai hasil KIBARHUT (multi input-single output), tetapi tidak memasukkan perhitungan pemanfaatan tanaman non kehutanan dengan menggunakan faktor produksi yang sama (multi input-multi output).

138 114 dilakukan dengan menetapkan pola pertanaman yang menjadi ciri dan sifat umum di lokasi penelitian, sebagaimana disarankan Andayani (2008). Tabel 21 Jenis tanaman keras pada pola tanam AF di lokasi contoh Pola pertanaman Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja Jumlah Petani 21 petani 4 petani Jenis tanaman keras diusahakan 81 Kopi, melinjo, lain-lain 11 petani (52,4%) Melinjo, bambu, lain-lain 1 petani (4,8%) Melinjo, nangka, lain-lain 3 petani (14,3%) Kopi 4 petani (19,0%) Melinjo, cengkeh, lain-lain 2 petani (9,5%) jengkol, kelapa, lain-lain 2 petani (50,0%) kelapa, pisang, lain-lain 1 petani (25,0%) kelapa, lain-lain 1 petani (25,0%) Tabel 21 menunjukkan bahwa kombinasi tanaman keras yang diusahakan sebagian besar petani dengan pola tanam AF adalah kombinasi tanaman melinjo dan kopi pada Tipe 1 Bawang, dan jengkol dan kelapa pada Tipe 2 Sukaraja. Berdasarkan pola pikir tersebut diatas dan data sebagaimana disajikan pada Tabel 10 dan 11 (halaman 63 65), maka kemudian disusun pola tanam (cropping pattern) dan jenis tanaman yang dijadikan dasar untuk analisis sebagaimana pada Tabel 22. Tabel 22 Luas usaha (ut), pola tanam dan jenis tanaman KIBARHUT di lokasi contoh Tipologi Rata-rata luas Pola Jenis tanaman lahan usaha (ut) tanam Pokok (FGS) Hortikultur Keras/Kebun Tipe 1 Bawang 1 tingkat (1B1MS) 5,000 ha Murni Sengon Jagung tingkat (1B2MS) 0,272 ha Murni Sengon Jagung tingkat (1B2AS) 0,203 ha AF Sengon Jagung Kopi, melinjo Tipe 2 Sukaraja 2 tingkat (2S2MS) 0,198 ha Murni Sengon Singkong tingkat (2S2AS) 0,385 ha AF Sengon Singkong Jengkol, kelapa Tipe 2 Krucil 1 tingkat (2K1MS) 1,075 ha Murni Sengon Jagung tingkat (2K2MB) 0,396 ha Murni Balsa Jagung tingkat (2K2MS) 0,372 ha Murni Sengon Jagung Tipe 3 Sukaraja 2 tingkat (3S2MS) 0,162 ha Murni Sengon Singkong Tipe 3 Krucil 2 tingkat (3K2MB) 0,353 ha Murni Balsa Jagung tingkat (3K2CBS) 0,324 ha campur Balsa-Sengon Jagung BPS mengklasifikasikan sebagai tanaman yang diusahakan jika memenuhi batas minimal usaha (BMU) yaitu berkisar antara 3 12 pohon per satuan unit usahatani (BPS dan Dephut, 2004). Dengan demikian tanaman yang kurang dari jumlah minimal tersebut dikategorikan sebagai lain-lain.

139 115 Analisis finansial kelayakan kelembagaan KIBARHUT di lokasi contoh dilakukan dengan metode aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto (discounted cash flow analysis). Analisis menggunakan asumsi sebagai berikut: a. Tingkat diskonto atau suku bunga adalah 15% 82 b. Sumber modal seluruhnya adalah modal sendiri milik para pelaku. c. Periode waktu analisis adalah terbatas berdasarkan kontrak KIBARHUT yaitu 5 6 tahun. Jangka waktu pengusahaan (daur) tanaman pokok KIBARHUT tersebut dibedakan sesuai tipologinya. d. Perekonomian negara dalam keadaan stabil selama jangka waktu analisis. e. Umur kelayakan usaha KIBARHUT dihitung selama daur tanaman pokok. f. Pendapatan dari tanaman dihitung sesuai periode panen. g. Semua harga input dan output (dalam rupiah) berdasarkan harga yang berlaku pada tahun penelitian (2008), dengan asumsi harga konstan selama umur proyek. h. Skala usaha dianalisis pada tingkat usahatani (ut) yaitu rata-rata luasan lahan petani yang dikerjasamakan dalam rangka KIBARHUT. i. Jumlah tanaman KIBARHUT yang dipanen dihitung berdasarkan rata-rata jumlah pohon yang ada di lahan agents pada saat penelitian dilakukan (Lampiran 4). Berdasarkan asumsi tersebut, disusun nilai dasar aktual (harga privat) sebagaimana Lampiran 11 dan Lampiran 12, dan hasil perhitungan analisis finansialnya terdapat pada Lampiran 13. Selanjutnya, ringkasan parameter ekonomi yang menjadi indikator kelayakan finansial untuk setiap tipologi KIBARHUT disajikan pada Tabel 23. Penyajian pada tabel tersebut berdasarkan perhitungan pada tingkat usahatani (per ut). Tabel 23 memperlihatkan bahwa pada tingkat suku bunga 15% per tahun, pelaksanaan KIBARHUT di lokasi contoh adalah layak secara finansial. Kelayakan ditunjukkan dengan terpenuhinya kriteria keberterimaan kelayakan finansial secara total (secara keseluruhan komoditas yang dihasilkan melalui pelaksanaan KIBARHUT), yaitu memenuhi syarat NPV > 0, IRR > i% (berkisar 22% 46%) dan B/C ratio > 1 (berkisar 1,31 2,88). Hasil tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT mampu memberikan keuntungan finansial sehingga menghasilkan kinerja yang dapat menjamin terwujudnya keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. 82 Tingkat suku bunga ditentukan dari rata-rata suku bunga investasi di bank pemerintah/swasta, bank kredit desa (BKD), bunga simpan pinjam atas dana bergulir di desa, dan suku bunga tabungan pada tahun 2008 ( Moneter/BI+Rate/). Pada sisi lain, Pearson et al. (2005) juga menyarankan penggunaan angka 15% sebagai tingkat diskonto kegiatan investasi yang wajar untuk negara berkembang seperti di Indonesia.

140 116 Tabel 23 Analisis kelayakan finansial KIBARHUT Rerata luas Pola Tipe KIBARHUT ut (ha) tanam tanaman pokok/fgs Parameter kelayakan finansial NPV, i =15% B/C ratio IRR Tipe 1 Bawang - hub 1 tingkat (1B1MS) 5,000 murni Sengon ,88 45% - hub 2 tingkat (1B2MS) 0,272 murni Sengon ,98 35% hub 2 tingkat (1B2AS) 0,203 AF Sengon ,11 36% hub 2 tingkat (rata-rata) 0, ,04 35% Tipe 2 Sukaraja - hub 2 tingkat (2S2MS) 0,198 murni Sengon ,59 29% hub 2 tingkat (2S2AS) 0,385 AF Sengon ,59 29% hub 2 tingkat (rata-rata) 0, ,59 29% Tipe 2 Krucil - hub 1 tingkat (2K1MS) 1,075 murni Sengon ,02 35% - hub 2 tingkat (2K2MB) 0,396 murni Balsa ,39 24% hub 2 tingkat (2K2MS) 0,372 murni Sengon ,55 27% hub 2 tingkat (rata-rata) 0, ,47 25% Tipe 3 Sukaraja - hub 2 tingkat (3S2MS) 0,162 murni Sengon ,98 32% Tipe 3 Krucil - hub 2 tingkat (3K2MB) 0,353 murni Balsa ,31 22% hub 2 tingkat (3KSCBS) 0,324 campur Balsa Sengon ,42 24% hub 2 tingkat (rata-rata) 0, ,36 23% Nilai kelayakan usaha tertinggi diperoleh pada Tipe 1 Bawang variasi hubungan 1 tingkat. Tetapi hasil tersebut tercapai dengan luasan lahan dimanfaatkan untuk usaha KIBARHUT adalah 5 ha per ut. Pada Tipe 3 Sukaraja, walaupun rata-rata luasan lahan yang dimanfaatkan adalah relatif lebih sempit (0,162 ha), tetapi mempunyai kinerja finansial yang relatif lebih baik (IRR = 32% dan B/C ratio = 1,98) dibandingkan rata-rata IRR dan B/C ratio tipe lainnya. Kinerja tersebut diperoleh karena Tipe 3 Sukaraja memiliki proporsi jumlah pohon siap panen lebih tinggi (ratarata 76%). Kinerja finansial juga dievaluasi berdasarkan imbalan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku dari adanya hubungan kelembagaan (Nugroho, 2003). Analisis finansial berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku, telah memperhitungkan manfaat (keuntungan) yang kemungkinan diperoleh. Manfaat atau kemungkinan pendapatan tersebut dihitung berdasarkan volume kayu yang dipasok agents (komitmen penegakan kontrak) dan laba usaha per kubik bahan baku kayu tanaman. Simulasi perhitungan berdasarkan laporan keuangan industri menunjukkan adanya laba bersih usaha per kubik bahan baku dipergunakan sekitar Rp ,62 (Lampiran 14). Hasil serupa diungkapkan Nurendah (2006) yang menghitung laba usaha industri kayu lapis/blockboard/balok laminasi sekitar Rp ,65 per kubik

141 117 bahan baku yang dipergunakan industri. Kemungkinan manfaat yang diperoleh para pelaku dengan terlaksananya hubungan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa tersebut kemudian diperhitungkan dalam analisis finansial KIBARHUT. Analisis finansial berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku menunjukkan bahwa KIBARHUT mempunyai kelayakan finansial untuk masingmasing pelaku (actors), sebagaimana terdapat pada Lampiran 15 dan secara ringkas pada Tabel 24. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT mampu memberikan manfaat untuk semua pelaku yang terlibat sehingga mendukung terwujudnya keberlanjutan pembangunan hutan KIBARHUT di Pulau Jawa. Tabel 24 Analisis kelayakan finansial berdasarkan sudut pandang pelaku Tipe Rerata luas Pelaku Parameter kelayakan finansial KIBARHUT ut (ha) (actors) NPV, i=15% B/C ratio IRR Tipe 1 Bawang - Hub 1 tingkat 5,000 Agents ,89 47% Principal ,87 43% - Hub 2 tingkat 0,222 Agents ,78 45% Principal ,02 16% Tipe 2 Sukaraja - Hub 2 tingkat 0,248 Agents ,85 35% Mitra antara ,45 28% Principal ,51 27% Tipe 2 Krucil - Hub 1 tingkat 1,075 Agents ,90 47% Principal ,07 17% - Hub 2 tingkat 0,372 Agents ,04 35% Mitra antara ,32 23% Principal ,14 18% Tipe 3 Sukaraja - Hub 2 tingkat 0,162 Agents ,98 36% Mitra antara ,14 38% Principal ,36 38% Tipe 3 Krucil - Hub 2 tingkat 0,336 Agents ,25 35% Mitra antara ,91 35% Principal ,71 29% Tabel 24 menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT Tipe 1 secara finansial adalah layak diusahakan oleh masing-masing pelakunya. Kelayakan finansial bagi semua pelaku tersebut juga diperoleh principal pada hubungan 2 tingkat walaupun principal tidak memperoleh bagi hasil kayu. Pada sisi lain, kelayakan finansial yang dinikmati masing-masing pelaku pada hubungan 1 tingkat ternyata tidak berdampak pada keberlanjutan hubungan kelembagaan. Hubungan hanya terlaksana dengan seorang agents di Desa Surjo, Bawang pada tahun tanam 2003/2004.

142 118 Pada KIBARHUT Tipe 1, jaminan pasokan kayu ditunjukkan dengan kesediaan sekitar 23,3% agents memasok kayu KIBARHUT ke principal. Pada sisi lain, principal juga memperoleh manfaat berupa (i) penghematan biaya kepala depo. Proses pembelian kayu dilakukan principal melalui NMS/SA, selanjutnya NMS menugaskan 1 Kepala Depo per wilayah Kecamatan, dengan sekitar 4 5 depo di tiap kecamatan. Principal dapat menghemat biaya dengan adanya kelembagaan KIBARHUT, karena cakupan wilayah kerja Kadep dapat ditambah atau dialihkan ke kecamatan lain; (ii) penghematan biaya pembuatan kontrak per depo/tahun. Adanya KIBARHUT menyebabkan principal tidak perlu mencari depo dan membuat/memperbaharui kontrak setiap tahun. Kontrak pengadaan kayu langsung dilakukan bersamaan penandatanganan kontrak KIBARHUT; dan (iii) menghapus kemungkinan penambahan harga secara sepihak oleh Kadep. Supplier/depo atau sawmill mengakui adanya kebiasaan menaikkan harga penjualan depo/sawmill sekitar Rp per m³ KB sebagai harga titipan Kadep. Pada Tipe 2 Sukaraja, petani (agents), mitra antara, dan principal memperoleh imbalan bagi hasil kayu sesuai proporsi yang ditetapkan dalam kontrak KIBARHUT, sehingga menguntungkan dan layak diusahakan oleh masing-masing pelakunya. KIBARHUT Tipe 2 Krucil pada hubungan kontraktual 1 tingkat dan 2 tingkat berdasarkan sudut pandang masing-masing pelaku juga layak diusahakan dan menguntungkan. Pada Tipe 2 Krucil, adanya komitmen sekitar 86,7% agents untuk memenuhi kontrak memberikan potensi keuntungan dari hasil pengolahan kayu KIBARHUT, sehingga menunjukkan kelayakan finansial bagi principal. Pada sisi lain, adanya keterlibatan mitra antara (hubungan 2 tingkat) di Tipe 2 ternyata menghasilkan kelayakan finansial lebih baik bagi principal. Hasil tersebut ditunjukkan dengan nilai IRR dan B/C ratio yang lebih tinggi dibandingkan hubungan 1 tingkat (tanpa keterlibatan dan peran mitra antara). Pada hubungan 2 tingkat, sebagian pelaksanaan kegiatan KIBARHUT dilakukan oleh mitra antara, sehingga beban (biaya) principal menjadi berkurang. Hasil ini juga menunjukkan pentingnya peran dan keterlibatan mitra antara dalam pelaksanaan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Jika analisis finansial dilakukan berdasarkan sudut pandang para pelakunya, maka hasil analisis menunjukkan bahwa Tipe 3 Sukaraja layak diusahakan oleh agents, mitra antara dan principal. Para pelaku memperoleh imbalan bagi hasil kayu

143 119 sesuai proporsi yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga memiliki parameter kelayakan finansial yang relatif merata yaitu B/C ratio berkisar 1,98 2,36 dan IRR berkisar 36% 38%. Pada Tipe 3 Krucil, analisis finansial menunjukkan bahwa KIBARHUT layak diusahakan dan menguntungkan bagi semua pelakunya. Walaupun tidak memperoleh bagi hasil kayu tetapi ada pendapatan agents dari biaya sewa lahan yang tidak perlu dibayarkan (atau merupakan pendapatan semu), sehingga kelembagaan KIBARHUT tetap menunjukkan kelayakan finansial bagi agents. Kesediaan agents untuk terlibat tersebut dicirikan adanya kesempatan memperoleh hijauan pakan ternak (hpt), menggarap lahan dan melakukan budidaya tanaman semusim (khususnya jagung). Sebagian hasil budidayanya dimanfaatkan juga sebagai hpt, dan menganggap transfer input produksi kayu yang dikeluarkan sebagai pengganti biaya sewa lahan sehingga merasa tidak dirugikan. 3. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif Analisis melalui Policy Analysis Matrix (PAM) bertujuan mengkaji kinerja atau keunggulan kompetitif dan komparatif KIBARHUT di Pulau Jawa. Analisis PAM menggunakan asumsi dan data dasar yang sama dengan analisis finansial, sedangkan perhitungan harga paritas impor kayu disajikan pada Lampiran 10 dan dugaan harga sosial untuk output dan input tradable disajikan pada Lampiran 11. Hasil perhitungan analisis PAM kelembagaan KIBARHUT pada tingkat usaha tani (ut) di lokasi contoh terdapat pada Lampiran 17 dan secara ringkas disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 menunjukkan bahwa kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa menghasilkan keuntungan privat yang positif (PP > 0) untuk semua tipe. PP bernilai positif membuktikan bahwa KIBARHUT adalah usaha yang memiliki efisiensi secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif sehingga mampu untuk berekspansi di Pulau Jawa. Hasil ini sejalan temuan analisis finansial bahwa kelembagaan KIBARHUT memiliki kelayakan finansial.

144 Tabel 25 Ringkasan PAM kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa PP (private profit) SP (social profit) OT (output transfer) IT (input transfer) FT (factor transfer) NT (net transfer) PCR DRC NPCO NPCI PC Tipe 1 Bawang - 1 tingkat ( ) ( ) 0,517 0,371 0,789 1,123 0,578-2 tingkat ( ) ( ) 0,710 0,602 0,924 1,114 0,644 Tipe 2 Sukaraja - 2 tingkat ( ) ( ) 0,670 0,530 0,875 1,014 0,591 Tipe 2 Krucil - 1 tingkat ( ) ( ) 0,684 0,549 0,885 1,144 0,588-2 tingkat ( ) ( ) 0,803 0,623 0,856 1,110 0,424 Tipe 3 Sukaraja - 2 tingkat ( ) ( ) 0,567 0,474 0,902 1,036 0,726 Tipe 3 Krucil - 2 tingkat ( ) ( ) 0,859 0,729 0,933 1,128 0,470 Rata-rata 0,701 0,572 0,891 1,083 0,577 Keterangan : PP = keuntungan privat (private profit); SP = keuntungan sosial (social profit); PCR = rasio biaya privat (private cost ratio); DRC = rasio biaya sumberdaya domestik (domestic resources cost ratio); NPCO = koefisien proteksi output nominal (nominal protection coeeficient on tradabale output); NPCI = koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on tradable input); PC = koefisien keuntungan (profitability koefisien)

145 121 Berdasarkan harga sosial, kelembagaan KIBARHUT menghasilkan keuntungan sosial positif (SP > 0) untuk semua tipe. SP bernilai positif berarti KIBARHUT memiliki keunggulan komparatif atau efisien secara ekonomi. Analisis keuntungan privat dan sosial 83 tersebut menunjukkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai kelayakan ekonomis pada kondisi tidak ada divergensi, dan penerapan kebijakan berlangsung secara efisien. Jika terjadi divergensi dan distorsi kebijakan maka keunggulan kompetitif dan komparatif dapat dikaji dengan nilai private cost ratio (PCR 84 ) dan domestic resources cost ratio (DRC 85 ). Tabel 25 menunjukkan bahwa semua tipe pada kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai PCR < 1 dengan nilai rata-rata 0,701. Nilai PCR tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 1 satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,701 atau secara rata-rata membutuhkan kurang dari satu satuan. Rasio PCR < 1 tersebut memperlihatkan bahwa KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki keunggulan secara kompetitif, dan keunggulan tersebut meningkat dengan semakin kecilnya nilai PCR yang berarti semakin efisien secara finansial. Berdasarkan kriteria tersebut maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat merupakan arena aksi yang mempunyai tingkat efisiensi finansial terbaik dibandingkan arena aksi lainnya dan diikuti oleh Tipe 3 Sukaraja. Semua tipe kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai DRC < 1 dengan nilai rata-rata 0,572. Rasio DRC menunjukkan bahwa untuk menghasilkan komoditas kayu FGS melalui kelembagaan KIBARHUT membutuhkan biaya sumberdaya domestik rata-rata 57,2% terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, untuk menghasilkan setiap US$ 1.00 dari hasil kayu jenis FGS maka KIBARHUT hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US$ 0,572 untuk memproduksinya. DRC juga memperlihatkan bahwa kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa memiliki efisiensi secara sosial atau keunggulan secara komparatif. Keunggulan atau daya saing tersebut semakin meningkat dengan semakin kecilnya 83 Analisis ekonomis dengan harga sosial yang diestimasi (estimated social prices) meninjau aktivitas ekonomi dari sudut pandang masyarakat keseluruhan dan menggambarkan nilai ekonomi/sosial sesungguhnya atau the true value of social or economic value (Gittinger, 1982; Pearson et al., 2005). 84 PCR adalah indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem usaha untuk membayar biaya domestik dan tetap memiliki daya saing atau keunggulan kompetitif. 85 DRC adalah indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa.

146 122 DRC, yang berarti mempunyai keunggulan komparatif yang semakin tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, maka Tipe 1 Bawang dengan hubungan 1 tingkat adalah arena aksi yang mempunyai keunggulan komparatif tertinggi dibandingkan tipe lainnya, dan diikuti Tipe 3 Sukaraja. Selanjutnya, dampak adanya distorsi kebijakan (yaitu dalam bentuk larangan impor/ekspor, pemberian subsidi, pengenaan pajak) atau kegagalan pasar tergambarkan pada pengaruh divergensi (effects of divergences). Divergensi atau penyimpangan/perbedaan antara harga privat yang dicermati (actual market) dan harga sosial (yang diduga) memberikan kejelasan dampak distorsi kebijakan dan kegagalan pasar (effects of distorting policies and market failures). Divergensi dicermati dari 3 sisi yaitu output (output transfer), input (input transfer) dan outputinput/transfer bersih (net transfer). Transfer output (OT) merupakan selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. OT pada semua tipe KIBARHUT di Pulau Jawa mempunyai nilai negatif. OT bernilai negatif berarti konsumen (INPAK atau principal) membeli, dan produsen menerima harga yang lebih rendah dari harga seharusnya sehingga seolah-olah (implisit) dibebani pajak/transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem usaha KIBARHUT di Pulau Jawa. Melengkapi analisis dari sisi output, maka pencermatan koefisien proteksi output nominal atau NPCO (nominal protection coefficient on tradable output) dilakukan guna menganalisis proteksi atau kebijakan pemerintah yang diberikan. kelembagaan KIBARHUT memiliki NPCO < 1 dengan rata-rata sebesar 0,891 (Tabel 25). Nilai tersebut menunjukkan harga domestik kayu Sengon di Pulau Jawa adalah lebih rendah dari harga paritasnya, dan tidak ada policy transfer atau proteksi yang diterima pelaku KIBARHUT. Nilai insentif yang diberikan pemerintah terhadap input produksi dan dampaknya dapat dilihat dari besarnya nilai tradabale input transfer (IT), koefisien nominal proteksi input atau NPCI (nominal protection coefficient on tradable input) dan transfer input faktor domestik (factor transfer atau FT). Kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa menghasilkan IT yang positif (IT > 0). IT positif terjadi karena harga privat untuk input-input tradable adalah lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Rasio kedua nilai tersebut disebut sebagai NPCI, dan kelembagaan

147 123 KIBARHUT memiliki NPCI yang lebih dari satu. NPCI > 1 tersebut terjadi karena terjadinya kelangkaan pupuk sehingga harga pupuk urea yang dibayarkan petani adalah lebih tinggi (berkisar antara 16,7 33,3%) daripada harga pupuk subsidi pemerintah. Dampaknya adalah penggunaan input tradable (pupuk an-organik dan obat-obatan) sangat rendah dan terbatas, dan umumnya dipergunakan dalam proses produksi komoditas non kayu atau tanaman hortikultur yang ditanam secara tumpangsari pada awal-awal daur tanaman kayu. Karenanya biaya-biaya yang dikeluarkan petani untuk memperoleh pupuk kimia dan obat-obatan adalah melebihi jumlah subsidi yang diterima atas input tradable tersebut dan bahan bakar minyak. Hal tersebut banyak ditemukan pada berbagai kasus sistem usahatani yang dianalisis dengan PAM, sebagaimana diungkapkan Anapu et al., Aji, Budastra dan Dipokusumo, Pellokila et al., dan Zakaria et al. dalam Pearson et al. (2005). Pada sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan adanya penggunaan input domestik (sumberdaya lokal) yang tidak diperdagangkan di pasaran dunia (sumberdaya lokal) yang lebih besar oleh produsen. Besaran yang menunjukkan perbedaan antara harga privat dan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor produksi yang tidak diperdagangkan disebut factor transfer (FT). Nilai FT pada berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT mempunyai nilai positif, dan menunjukkan bahwa barang-barang domestik yang tidak diperdagangkan mempunyai harga privat yang lebih tinggi dibandingkan harga sesungguhnya. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pembayaran sewa lahan, dan biaya modal pada harga sosial serta kewajiban-kewajiban yang dibebankan pemerintah kepada pelaku usaha termasuk pengenaan pajak dan subsidi bunga yang tidak dimasukkan dalam perhitungan harga sosial. Analisis gabungan input output dilakukan dengan mencermati nilai selisih antara penerimaan atau keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen, dengan keuntungan bersih berdasarkan harga sosialnya atau disebut net transfer (NT). Penerimaan sosial (SP) untuk berbagai tipe kelembagaan KIBARHUT adalah lebih tinggi dibandingkan PP, sehingga nilai NT yang diperoleh adalah negatif (NT < 0). Net transfer negatif menyebabkan keuntungan rata-rata untuk perhitungan secara total atau semua komoditas yang diusahakan KIBARHUT sebesar 57,7% (setara dengan nilai rata-rata koefisien profit atau profitability coefficient (PC) yaitu

148 124 0,577) dari yang seharusnya. Artinya kebijakan pemerintah pada saat ini membuat keuntungan diterima produsen lebih kecil karena terdapat surplus 42,3% yang dinikmati oleh konsumen komoditas yang dihasilkan dari kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa. Kebijakan pemerintah juga belum memberikan insentif bagi pelaksanaan KIBARHUT di Pulau Jawa dan tidak ada perlindungan diterima petani atau produsen kayu KIBARHUT. Kondisi ini ditunjukkan dengan nilai OT negatif dan NPCO < 1 yang berarti harga output (kayu Sengon) di pasar domestik masih lebih rendah dibandingkan harga dunianya. Harga kayu jenis Sengon di Pulau Jawa pada tingkat pabrik mencapai rata-rata US$ 70 per m³, sedangkan rata-rata harga dunia adalah US$ 109 atau harga paritasnya di pintu pabrik adalah sekitar US$ 86, Terdapat perbedaan (disparitas) sebesar 35,8% antara harga dunia dibandingkan harga pasar domestik, atau selisih sekitar 25,5% antara harga pasar dibandingkan harga paritasnya di pintu pabrik. Adanya selisih harga tersebut secara sederhana dianggap memadai untuk membiayai berbagai biaya-biaya terkait ekspor KB. Secara sederhana jika transaksi ekpor diperkenankan, maka terdapat kemungkinan bagi pemerintah mengenakan 12,75% tarif bea keluar. Tarif bea keluar tersebut dihitung berdasarkan disparitas di pintu pabrik (25,5%) dikurangi 12,75% pajak-pajak yang harus dibayar eksportir 87, pada harga patokan eskpor sekitar US$ 109. Jika harga patokan ekspor ditetapkan lebih rendah dari US$109, maka tarif bea keluar dapat dikenakan lebih tinggi dari 12,75% dan begitu juga sebaliknya. Pengenaan bea keluar sebesar tersebut masih dalam batas kewajaran, sebagaimana diungkapkan Astana (2005) bahwa tarif bea keluar optimal KB adalah berkisar 15 30% dari harga patokan ekspor. Besaran tarif bea keluar juga harus sudah memperhitungkan kemungkinan adanya biaya sertifikasi dan uji laboratorium yang 86 Penggunaan harga paritas impor/ekspor suatu komoditas yang tradable adalah harga sosial yang diduga dari harga barang sejenis (comparable) di pasar internasional, yaitu harga impor (cost insurance freight CIF) untuk komoditas impor dan harga ekspor (free on board atau FOB) untuk komoditas ekspor. Harga paritas berdasarkan harga internasional dengan memperhitungkan biaya kapal, asuransi, dan nilai kurs, serta biaya karantina, biaya pelabuhan dan angkutan ke pelabuhan, sehingga menjadi harga FOB di Indonesia. Artinya, harga paritas diperbandingkan pada lokasi, waktu, kualitas dan bentuk yang sama. Harga paritas tersebut belum menghitung tariff bea keluar dan pajak-pajak (Lampiran 19). 87 Beberapa biaya dan pungutan pada pemasaran ekspor adalah tariff bea ekspor, pajak/retribusi (sekitar 12,75% dari harga di invoice, yaitu PPN=10%, PPH pasal 22=2,5%, dan PNBP Rp / kontainer).

149 125 diwajibkan untuk transaksi internasional produk kayu (diantaranya adalah SPS dan fumigasi), biaya siluman (invicible cost) di pelabuhan, serta resiko pemasaran internasional seperti nilai tukar, krisis keuangan, dan tingginya nilai jaminan asuransi. Tarif bea keluar terlalu tinggi menyebabkan harga domestik kayu jenis FGS tertekan dan bernilai jauh dibawah harga dunianya.tarif terlalu rendah menyebabkan harga kayu di dalam negeri melonjak terlampau tinggi sehingga mengganggu saluran pemasaran dan pasokan kayu bagi industri dalam negeri. C. Pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa Kayu KIBARHUT yang sudah pernah dipanen pada saat penelitian lapangan dilaksanakan adalah kayu Sengon. Kayu jenis lain yang dibudidayakan pada KIBARHUT, khususnya di Krucil, yaitu Balsa, Jabon, Waru Rangkang, Gmelina, dan Anggrung belum dipanen sehingga informasi pasarnya belum tersedia. Kayu Sengon hasil KIBARHUT dimanfaatkan dan dipasarkan dalam bentuk pohon berdiri siap panen (pohon), kayu bundar (KB) atau kayu gelondongan (log), kayu gergajian (KGG), kayu bakar dan dimanfaatkan keperluan sendiri oleh petani, serta sebagai anakan untuk bibit Sengon 88. Namun, cakupan penelitian dibatasi pada pemasaran kayu dalam bentuk pohon, KB (atau log), dan KGG. Pada tingkat produsen (petani), sekitar 37,78% agents menyatakan menjual kayu KIBARHUT dalam bentuk pohon dan 28,89% agents menjual dalam bentuk KB (Gambar 18). Petani yang mempunyai kewenangan menentukan pemasaran kayu KIBARHUT tersebut seluruhnya merupakan agents pada Tipe 1 dan Tipe 2. Sekitar 33,33% agents lainnya (seluruhnya agents di Tipe 3) menyatakan bahwa kewenangan pemasaran dan penjualan kayu KIBARHUT berada pada mitra antara (Perum Perhutani di Tipe 3 Sukaraja dan Aviland/KTI bk di Tipe 3 Krucil). Mitra antara menyatakan bahwa kayu (tanaman) hasil KIBARHUT dipasarkan ke INPAK (principal) dalam bentuk KB. 88 Penjualan anakan tanaman Sengon yang dimanfaatkan sebagai bibit Sengon setidaknya dilakukan oleh 7,78% petani contoh. Penjelasan selengkapnya diuraikan pada halaman

150 126 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Tipe 1 Bawang Tip pe 2 Sukaraja Tipe 2 Krucil Tipe 3 Sukaraja Tipe 3 Krucil KB oleh mitra KB sawmill B pdg phn sawmill phn pdg Gambar 18 Bentuk dan saluran pemasaran kayu hasil KIBARHUT Aksi yang dipilih agents dalam memasarkan kayu KIBARHUT pada saat panen tersebut, ternyata tidak jauh berbeda dengan data agents yang sudah melakukan penebangan kayu KIBARHUT. Sejumlah 18 agents (atau setara 20% dari total agents) diketahui sudah sebagaimana disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Jumlah agents sudah menebang dan bentuk penjualan kayu KIBARHUT agents sudah menebang Bentuk pemanfaatan kayu Tahu a Tidak b Pohon KB sendiri Penjualan oleh Tipe 1 Bawang Tipe 2 Sukaraja Tipe 2 Krucil Jumlah oleh petani Tipe 3 Sukaraja Tipe 3 Krucil Jumlah oleh mitra Jumlah Petani --- Petani --- mitra antara Keterangan : a. Penebangan dilakukan agents dengan sepengetahuan Mitranya b. Penebangan dilakukan agents tidak sepengetahuan Mitranya Tabel 26 menunjukkan bahwa 4 agents (22,22% dari jumlah agents yang sudah menjualnya dalam bentuk KB (11,11% oleh agents secara langsung dan 22,2% oleh mitra antara pemegang izin HGU). Sekitar 44,44% agents lainnyaa menginformasikan bahwa kayu dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, yaitu sebagai kayu bakar dan/atau penggunaan lainnyaa baik oleh agents (27,77%) atau mitra antara ( 16,67%). Agents yang melakukan telah penebangan pohon melakukan pemanenan dan memanfaatkan kayunya menebang) menjual secara langsung dalam bentuk pohon dan 6 agents (33,33%) kayu KIBARHUT memasarkannya masih sangat terbatas, yaitu sejumlah 6 agents (6,67% dari seluruh dan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini dan masa mendatang, peran dan fungsi hutan tanaman dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu semakin meningkat (Nawir dan Santoso,

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan Kelembagaan KIBARHUT dicirikan kesediaan principal mendelegasikan kemampuan investasi membangun hutan kepada agents untuk memproduksi kayu sebagai

Lebih terperinci

Oleh/by ,4. Nandang Prihadi, Dudung Darusman, Bramasto Nugroho, Nurheni Wijayanto

Oleh/by ,4. Nandang Prihadi, Dudung Darusman, Bramasto Nugroho, Nurheni Wijayanto KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU BERSAMA RAKYAT UNTUK MEMBANGUN HUTAN DI PULAU JAWA (Institutional Partnership between Wood-Processing Industries and Communities on Forest Development in

Lebih terperinci

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran *Contoh Kasus RAPP dan IKPP Ringkasan Sampai akhir Desember 27 realisasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya 33,34 persen dari total 1.37 juta

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN DALAM ACARA PEMBEKALAN PETUGAS PEGAWAI PADA DINAS KEHUTANAN PROVINSI DAN BALAI PEMANTAUAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIFITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha.

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha. A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas 26.859.188 ha. 2. Progres penyelesaian permohonan melalui lelang IUPHK-HA sebagai penyelesaian PP

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 A. Dasar Kebijakan

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat (8)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV.1. Izin Usaha Industri Primer Hasil Kayu Industri Primer Hasil Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Hutan Tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Hutan Tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Tanaman Hutan tanaman didefinisikan sebagai tegakan hutan yang dibangun melalui kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau penghutanan kembali (FAO, 2005; Farrelly,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Staf RLPS Kementerian Kehutanan di Jakarta pada 23 Juli 2009 (komunikasi pribadi)

PENDAHULUAN. Staf RLPS Kementerian Kehutanan di Jakarta pada 23 Juli 2009 (komunikasi pribadi) I. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemberian kredit untuk hutan rakyat telah dimulai sejak tahun 1988/1989. Pemberian kredit tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam rangka pengembangan kehutanan, perbaikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.81/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG KERJASAMA PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DENGAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Penelitian Pembangunan dan pengelolaan hutan telah menjadi suatu usaha (business) yang dikelola secara khusus guna menghasilkan kayu untuk pasokan bahan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

Industri Kayu. Tonny Soehartono

Industri Kayu. Tonny Soehartono Tonny Soehartono 72 Bab 8 Industri Kayu Berbasis Hutan Rakyat di Jawa Timur Industri Kayu di Jawa Timur Industri kayu memberikan peran yang relatif besar terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Timur.

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN. Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan

KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN. Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan Latar Belakang Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. KELAWIT WANALESTARI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang.

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kayu rakyat (smallholder timber plantations) secara umum dapat diartikan sebagai tanaman kayu yang ditanam dalam bentuk kebun atau sistem agroforestry, yang dibangun

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 958, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kemitraan Kehutanan. Masyarakat. Pemberdayaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah Oleh : Totok Dwi Diantoro Agus Budi Purwanto Ronald M Ferdaus Edi Suprapto POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan

Lebih terperinci

9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?

9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan? 9/1/2014 Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan? Satu Pelanggaran yang dirancang sebelum Forest Conservation Policy APP/SMG diluncurkan ke Publik SENARAI Pada 5 Februari 2013, Sinar Mas

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H No.688, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Izin Usaha. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.31/Menhut-II/2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. IUPHHK. Hutan Tanaman Rakyat. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Swasta, Perusahaan Patungan. BUMN-Swasta, atau Koperasi untuk mengusahakan Hutan Tanarnan

Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Swasta, Perusahaan Patungan. BUMN-Swasta, atau Koperasi untuk mengusahakan Hutan Tanarnan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak pengusahaan hutan tanaman industri adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah, dalam ha1 ini Menteri Kehutanan, kepada Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Swasta,

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

SISTEMATIKA PENYAJIAN : KEPALA BIRO PERENCANAAN PERAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN JAKARTA, 11 JULI 2012 SISTEMATIKA PENYAJIAN : 1. BAGAIMANA ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN? 2. APA YANG SUDAH DICAPAI? 3.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1 KEMITRAAN ANTARA PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI VANILI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI : STUDI KASUS PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI DESA PADASARI, KECAMATAN CIMALAKA, KABUPATEN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO.

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. 2005. Membangun Keunggulan Kompetitif Melalui Value Chain dalam Perusahaan Hutan Tanaman (Studi Kasus di PT. Musi Hutan Persada). Di bawah bimbingan BUNASOR SANIM

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Indonesia Sawntimber & Woodworking Association (ISWA) Asosiasi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN

Lebih terperinci

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN (ARAH PENGEMBANGAN SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA DI MASA MENDATANG) Dr. DAVID Dewan Pengurus APHI Disampaikan pada Seminar Kehutanan Indonesia dalam kancah

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS PROGRAM RASKIN DAN KEPUASAN RUMAH TANGGA PENERIMA MANFAAT DI DKI JAKARTA

ANALISIS EFEKTIVITAS PROGRAM RASKIN DAN KEPUASAN RUMAH TANGGA PENERIMA MANFAAT DI DKI JAKARTA ANALISIS EFEKTIVITAS PROGRAM RASKIN DAN KEPUASAN RUMAH TANGGA PENERIMA MANFAAT DI DKI JAKARTA Oleh : Rini Andrida PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ANALISIS

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, hutan merupakan vegetasi alami utama dan salah satu sumber daya alam yang sangat penting. Menurut UU No. 5 tahun 1967 hutan didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH

RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA NUNUNG PARLINAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK. 250/VI-BPHA/2007 TENTANG IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN UNTUK KEGIATAN IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PERKEBUNAN A. N. PT. BORNEO

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. MULTI SIBOLGA TIMBER

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 26 BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Analisis Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Produksi kayu petani hutan rakyat pada penelitian ini dihitung berdasarkan

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM PT. MANCARAYA AGRO MANDIRI ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.12/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PENGENAAN, PENAGIHAN, DAN PEMBAYARAN IURAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2014 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci